Oreochromis niloticus

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Ikan nila berasal dari Afrika bagian timur. Ikan nila memiliki bentuk tubuh
yang pipih ke arah vertikal (compress). Posisi mulutnya terletak di ujung hidung
(terminal) dan dapat disembulkan (Suyanto 2003). Morfologi ikan nila dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Ikan nila (Oreochromis niloticus)
(Lim dan Webster 2006)
Menurut Saanin (1984), ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai
klasifikasi sebagai berikut:
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Osteichtyes
Subkelas
: Acanthopterygii
Ordo
: Percomorphi
Subordo
: Percoidea
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus
Ikan nila memiliki ciri morfologis yaitu berjari-jari keras, sirip perut torasik,
letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing. Selain itu, tanda lainnya yang
dapat dilihat dari ikan nila adalah warna tubuhnya hitam dan agak keputihan.
5
Bagian tutup insang berwarna putih, sedangkan pada nila lokal putih agak
kehitaman bahkan kuning. Sisik ikan nila berukuran besar, kasar dan tersusun
rapi. Sepertiga sisik belakang menutupi sisi bagian depan. Tubuhnya memiliki
garis linea lateralis yang terputus antara bagian atas dan bawahnya. Linea lateralis
bagian atas memanjang mulai dari tutup insang hingga belakang sirip punggung
sampai pangkal sirip ekor. Ukuran kepala relatif kecil dengan mulut berada
di ujung kepala serta mempunyai mata yang besar (Kottelat et al. 1993). Ikan nila
memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang baik dengan lingkungan sekitarnya.
Ikan ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya, sehingga
bisa dipelihara di dataran rendah yang berair payau maupun dataran yang tinggi
dengan suhu yang rendah (Trewavas 1982). Ikan nila mampu hidup pada suhu
14-38 oC dengan suhu terbaik adalah 25-30 oC dan dengan nilai pH air antara
6-8,5 (Suyanto 2003).
Perbedaan antara ikan jantan dan betina dapat dilihat pada lubang genitalnya
dan juga ciri-ciri kelamin sekundernya. Pada ikan jantan, di samping lubang anus
terdapat lubang genital yang berupa tonjolan kecil meruncing sebagai saluran
pengeluaran kencing dan sperma. Tubuh ikan jantan juga berwarna lebih gelap,
dengan tulang rahang melebar ke belakang yang memberi kesan kokoh.sedangkan
yang betina biasanya pada bagian perutnya besar (Suyanto 2003). Perbedaan ciri
morfologis antara ikan nila jantan dengan ikan nila betina dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2 Ikan nila jantan dan ikan nila betina
(Suyanto 2003)
6
2.2 Anestesi
Anestesi berarti pembiusan, berasal dari bahasa Yunani, yaitu “an-" yang
berarti tidak, dan “aesthÄ“tos " yang berarti kemampuan untuk merasa. Secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Penggunaan istilah anestesi pertama kali digunakan oleh Oliver Wendel
Holmes Sr pada tahun 1846. Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi dalam
2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri
tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. Seseorang yang mengkonsumsi
analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak selalu menghilangkan
seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi
menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya
menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar
(Suryanto 1998).
Anestesi menurut Mckelvey dan Hollingshead (2003) ada 4 tahapan, tahap
pertama atau sering disebut stadium analgesia, hewan masih sadar tetapi
disorientasi dan menunjukkan sensitivitas terhadap rasa sakit berkurang, respirasi
dan denyut jantung normal atau meningkat, semua reflek masih ada, hewan masih
bangun dan dapat juga urinasi, defekasi. Tahap kedua yaitu kesadaran mulai
hilang namun refleks masih ada, pupil membesar (dilatasi) tetapi akan menyempit
(konstriksi) ketika ada cahaya masuk. Tahap kedua atau stadium eksitasi berakhir
ketika hewan menunjukkan tanda-tanda otot relaksasi, respirasi menurun dan
refleks juga menurun. Tahap ketiga atau stadium anestesi, pada stadium ini
biasanya dilakukan operasi. Hewan kehilangan kesadaran, pupil mengalami
konstriksi dan tidak merespon cahaya yang masuk, refleks hilang (refleks
palpebrae). Tahapan keempat adalah pernafasan dan jantung terhenti, dan hewan
mati. Indikator tahapan anestesi antara lain aktivitas refleks (refleks palpebrae,
pedal refleks, cornea refleks, refleks laring, refleks menelan), relaksasi otot, posisi
mata dan ukuran pupil, sekresi saliva dan air mata, respirasi dan denyut jantung.
Stadium anestesi dan gejalanya pada ikan menurut Scott et al. (2009) yaitu
stadium eksitasi ditandai dengan peningkatan gerakan opercular atau aktivitas.
Setelah beberapa menit gerakan ikan melambat, menjadi ataksia, berenang tidak
7
seimbang dan mulai memutar ke samping. Kadang-kadang posisi ikan menjadi
dorsal recumbency, depresi, ikan menjadi berada di dasar kolam dan respirasi
meningkat. Tahapan anestesi pada ikan (Bowser 2001) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Tahapan anestesi ikan (Bowser 2001)
Tahapan
Deskripsi
0
Normal
1
2
3
4
5
6
Gejala
Kesadaran ada; opercular rate dan otot normal
Mulai kehilangan kesadaran; opercular rate
Awal Sedasi
sedikit menurun; keseimbangan normal
Kehilangan kesadaran total; penurunan opercular
Sedasi total
rate; keseimbangan menurun
Sebagian Otot mulai relaksasi; berenang tidak
Kehilangan
teratur; peningkatan opercular rate; bereaksi
sebagian
hanya ketika ada tactile yang kuat dan rangsangan
keseimbangan
getaran
Kehilangan keseimbangan dan otot secara total;
Kehilangan
lambat tetapi teratur opercular rate; kehilangan
keseimbangan total
refleks spinal
Kehilangan kesadaran total; opercular lambat dan
Kehilangan refleks tidak teratur; denyut jantung sangat lambat;
kehilangan refleks
Medulla kolaps
Opercular berhenti bergerak; jantung menahan
(stadium asphyxia) biasanya diikuti dengan gerakan cepat.
Menurut Harms (1998), anestesi pada ikan dilakukan untuk pemeriksaan,
transportasi, diagnostik dan operasi. Prosedurnya yaitu menyiapkan air,
memeriksa kondisi ikan, mengistirahatkan ikan. Penggunaan anestesi yang
berlebihan atau overdosis digunakan untuk euthanasia. Anestesi untuk ikan
biasanya penggunaannya melalui air (perendaman), dan bisa juga dengan cara
anestesi inhalasi (seperti anestesi gas pada mamalia). Anestesi melalui injeksi
efektif digunakan pada mamalia dan tidak efektif pada ikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi respon penggunaan anestetikum antara
lain spesies, kualitas air dan status kesehatan ikan. Berbeda spesies berbeda juga
responnya, spesies dengan berat badan yang berbeda akan menimbulkan respon
yang berbeda pula. Ikan dengan berat badan yang lebih besar akan menimbulkan
respon yang lebih efektif. Ikan dengan lapisan lemak yang tinggi, ikan yang
berumur tua, dan ikan betina gravid (berproduksi) akan memperpanjang durasi
dan recovery akan semakin lama apabila menggunakan anestetikum yang mudah
8
larut seperti MS-222 atau benzocaine. Kualitas air seperti temperatur sangat
mempengaruhi tetapi polanya tidak dapat dipercaya, misalnya MS-222 dan
benzocaine memerlukan suhu tinggi untuk dosis yang tinggi. Keasaman juga
mempunyai efek terhadap respon anestetikum, contohnya sebagian besar
anestetikum bekerja pada air laut tetapi barbiturat bersifat antagonis terhadap ion
Ca2+. Nilai pH juga mempengaruhi ionisasi obat sehingga efek obat menjadi
meningkat. Ikan yang sakit akan menjadi subjek yang jelek pada proses anestesi
(Ferguson 1988).
Ferguson (1988) menyatakan bahwa tipe anestesi dan anestetikum yang
biasa digunakan antara lain anestesi irigasi atau perendaman, jenis anestetikumnya
yaitu MS-222, 2-phenoxyethanol dan benzocaine. Anestesi parenteral contoh
sediaan anestetikumnya adalah alphaxolone (saffan), propanidid (epontol),
sodium pentobarbitone (Nembutal), ketamin hydrochloride (ketalar). Tipe
anestesi yang lainnya yaitu dengan elektrik anestesi.
Anestetikum yang digunakan pada ikan banyak jenisnya, misalnya ethanol,
diethyl ether, halothane, lidocaine, tricaine methanesulfonate (MS-222), eugenol,
ketamin, metomidate, propofol, and carbon dioxide. Dua diantaranya yang sering
digunakan sekarang adalah tricaine methanesulfonate (MS-222) dan eugenol.
Isofluran digunakan sebagai anestesi inhalasi pada mamalia dan burung, dapat
juga untuk ikan dengan cara dicampurkan ke dalam air meskipun ada juga efek
sampingnya (Harms 1998).
Tricaine
nama
kimianya
yaitu
3-aminobenzoic
acid
ethyl
ester
methanesulfonate, ethyl m-aminobenzoate methadesulfonate, methadesulfonate
salt of alkyl aminobenzoate, and methandesulfonate salt of ethyl metaaminobenzoate. Nama dagangnya adalah tricaine methanesulfonate (MS-222),
Tricaine-Stm and Meta-caine. Finqueltm and Tricaine-Stm yang biasa digunakan
pada ikan. Ikan yang telah diberi anestesikum Finqueltm and Tricaine-Stm tidak
boleh dimakan sebelum 21 hari setelah pemberian. Komposisinya larut air dan
juga larut dalam lemak. Konsentrasi tricaine 15-330 mg/L. Dosis yang digunakan
disesuaikan dengan jenis anestesi, ukuran, spesies, temperatur air dan tekanan air.
Tricaine lebih baik digunakan dalam air hangat dan tekanan air yang rendah
9
(Bowser 2001). Cara kerja tricaine menurut Lewbart (2001) adalah dengan cara
memblokir saluran sodium dan penggunaanya melalui pakan ikan.
Sediaan sedatif tertentu dalam dosis tinggi akan mendepresi sistem saraf
pusat hingga tingkat tertentu yang dikenal sebagai tahap III dari anestesi umum.
Akan tetapi kecocokan suatu senyawa tertentu sebagai senyawa pembantu dalam
anestesi sangat bergantung pada sifat fisikokimia yang menentukan kecepatan
mulai kerja dan lama kerja dari efek obat. Redistribusi dalam jaringan yang sangat
cepat menentukan lama kerja yang singkat dari obat-obat tersebut, yang sangat
berguna di dalam praktik anestesi (Katzung 2001).
2.3 Kegunaan Anestesi dalam Menanggulangi Stres pada Ikan
Stres adalah suatu keadaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor lingkungan
atau faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi daya penyesuaian diri dari seekor
hewan melebihi batas-batas daya normalnya, atau mengganggu fungsi-fungsi
normal hewan hingga ke batas harapan untuk dapat bertahan secara jelas-jelas
berkurang. Lingkungan perairan dan ketidakmampuan ikan sebagai hewan
poikilotermik (yang suhunya bergantung pada suhu lingkungan, ini sedikit di atas
atau di bawah) untuk mengatur suhu badannya, telah merubah dan menyesuaikan
anatomi dan fisiologi dari ikan. Rantai kejadian sebagai akibat dari setiap
perubahan patologis, seperti infeksi oleh mikroba, kerusakan-kerusakan oleh
trauma atau defisiensi nutrisipun sangat dipengaruhi oleh kedua faktor di atas.
Pengaruh faktor-faktor stres lebih jelas terlihat pada penyakit ikan dari pada
penyakit-penyakit pada spesies hewan lainnya (Nabib dan Pasaribu 1989).
Tanda-tanda penyesuaian umum (General Adaptation Syndrome = GAS)
yang terjadi tidaklah spesifik secara fisiologik dan biokemik, serta umumnya
berjalan dalam tiga fase yaitu reaksi permulaan (alarm reaction), masa bertahan
(stage of resistance), dimana hewan berusaha menyesuaikan diri untuk tetap
mempertahankan keseimbangan fisiologis (homeostatis) di dalam keadaankeadaan lingkungan yang berubah, dan masa kehabisan daya (exhaution), dimana
usaha-usaha adaptasi terhenti dan homeostatispun tidak tercapai (Nabib dan
Pasaribu 1989).
Kejadian-kejadian yang timbul pada GAS dikendalikan oleh sistem
hormonal dan syaraf. Pengeluaran dari hormon-hormon adenocorticotropic
10
(ACTH) dan corticostreroid menyebabkan retensi ion Na+ dan Cl– sedang ion K+
dikeluarkan, maka ada penambahan dalam kadar glukosa darah dan metabolisme
nitrogen, sedang kelenjar thyroid distimulasi dan pengeluaran thyroxinnya
bertambah, dalam darah terjadi lymphocitemia dan neurophilia. Kemudian sistem
syaraf simpatik bereaksi secara berlebihan, yang menyebabkan kontraksi limpa,
meningkatkan pernafasan dan kenaikan tekanan darah. Sebagian besar dari efekefek ini telah dilaporkan juga pada ikan, meskipun mekanisme pengaturannya
belum diketahui benar (Nabib dan Pasaribu 1989).
Stres yang terjadi pada ikan berkaitan dengan timbulnya penyakit pada ikan
tersebut. Biasanya stres pada ikan diakibatkan perubahan lingkungan akibat
beberapa hal atau perlakuan misalnya akibat pengangkutan atau transportasi ikanikan yang dimasukkan ke dalam jaring apung di laut dari tempat pengangkutan
biasanya akan mengalami shock, berhenti makan dan mengalami perlemahan daya
tahan terhadap penyakit. Kepadatan ikan yang melibihi daya dukung perairan
(carrying capacity) akan menimbulkan persaingan antar ikan tinggi, oksigen
terlarut menjadi rendah dan sisa metabolisme seperti amonia akan meningkat
sehingga dapat menimbulkan stres dan merupakan penyebab timbulnya serangan
penyakit (Nabib dan Pasaribu 1989).
Tingkat stres yang terjadi pada ikan juga berbeda-beda. Kajian yang lebih
mendalam menunjukkan tingkatan stres yang terjadi pada ikan dapat ditelusuri
dengan kandungan kortisol. Banyak hal berkenaan dengan kortisol selama proses
metabolisme, misalnya saat starvasi (puasa), osmoregulasi, pengerahan simpanan
energi untuk migrasi, proses pematangan gonad, pemijahan dan selama stress
yang dialami oleh ikan itu sendiri (Van Ginneken et al. 1997).
Pada saat ditransportasikan, ikan harus dikondisikan dalam keadaan
aktivitas biologis rendah sehingga konsumsi energi dan oksigen juga rendah
sehingga kemungkinan terjadinya stress pada ikan dapat dicegah. Penggunaan
transportasi sistem kering merupakan salah satu cara yang efektif untuk untuk
mengkondisikan ikan dalam keadaan aktivitas biologis yang rendah. Untuk
menurunkan aktivitas biologis ikan dapat dilakukan dengan menggunakan suhu
rendah dan menggunakan bahan metabolik atau anestetikum (Wibowo 2001).
11
Anestesi diperlukan untuk ikan dalam sistem transportasi, kegiatan
penelitian, diagnosa penyakit, penandaan ikan pada bagian kulit atau insang,
pengambilan sampel darah dan proses pembedahan. Pada kegiatan penelitian,
anestesi bertujuan untuk menurunkan seluruh aktivitas ikan untuk menghindari
stress. Ikan dapat menyerap bahan anestesi melalui jaringan otot, saluran
pencernaan dengan cara injeksi atau melalui insang. Anestesi melalui insang
adalah cara yang ideal karena konsentrasi bahan anestesi yang digunakan dapat
dikontrol dan stress dapat diminimalkan. Salinitas, suhu, pH, dan oksigen harus
diperhitungkan dalam penggunaan bahan anestesi karena faktor-faktor ini dapat
mempengaruhi aktivitas bahan anestesi, kecepatan metabolisme ikan, dan
kemampuan ikan untuk menyerap bahan anestesi (Gunn 2000).
2.4 Acepromazine
Acepromazine tergolong phenothiazine yang berwarna kuning, tidak berbau,
rasanya pahit dan berbentuk bubuk dan cair (Plumb 2008). Menurut Mckelvey
dan Wayne (2003) ada tiga macam kelas sedasi (tranquilizer) yang umum
digunakan dalam kedokteran hewan yaitu phenothiazine, benzodiazepine dan
alpha-2 agonist. Golongan ini bekerja pada susunan syaraf pusat dan
menghasilkan efek penenang pada hewan. Obat-obat ini dapat juga menyebabkan
ataksia, dan prolapsus membran niktitan. Hanya alpha-2 agonist yang mempunyai
efek analgesik, sedangkan yang lainnya tidak punya. Efektif pada berbagai spesies
hewan dan dapat dikombinasikan dengan obat lainnya, misalnya atropin, opoid
dan ketamin. Pemberian phenothiazine dapat melalui oral, intra muscular, intra
vena dan sub kutan. Efek yang ditimbulkan golongan phenothiazine antara lain
sedasi, antiemetik, antiaritmia, antihistamin, vasodilatasi pembuluh darah,
perubahan perilaku dan prolapsus penis pada kuda. Efek samping acepromazine
yaitu hipotensi, anemia dan dehidrasi. Pada kuda dan anjing ras boxer penggunaan
acepromazine sebaiknya dihindari.
Acepromazine digunakan sebagai tranquilizer pada anjing, kucing dan kuda.
Acepromazine bersifat anti-kholinergik, anti-emetik, antispasmodik, antihistamin,
dan memblok alpha-adrenergik. Acepromazine menyebabkan hipotensi dan
menurunkan vasomotorik. Dapat juga berpengaruh terhadap respirasi, denyut
jantung dan suhu tubuh (Forney 2004).
12
Acepromazine adalah golongan phenothiazine neuroleptik yang mempunyai
potensi untuk memblok post-sinapsis reseptor. Acepromazine mendepresi susunan
syaraf pusat (CNS) sehingga menghasilkan efek sedasi, relaksasi otot, dan
menurunkan aktifitas refleks. Selain itu efek lainnya adalah anti kholinergik,
antihistamin dan memblok alpha-adrenergik. Acepromazine seperti golongan
phenothiazine lainnya dimetabolisme di hati dan ekresinya melalui urin.
Acepromazine digunakan sebagai agen preanestesi, sebagai pengontrol satwa liar,
antiemetik pada anjing dan kucing dan sebagai tranquilizer pada kuda.
Acepromazine akan lebih efektif apabila dikombinasikan dengan tranquilizer
lainnya dan dengan senyawa yang mempunyai potensi sebagai anestesi general.
Tranquilizer harus diberikan dalam dosis yang kecil selama anestesi general dan
hewan yang lemah, hewan dengan penyakit jantung, hypovolemik atau shock.
Acepromazine jangan digunakan pada hewan yang lemah, betina bunting, breed
giant, greyhound, dan boxer. Hasil penelitian menyatakan pada hewan pengerat
acepromazine
menyebabkan
embryotoxycity.
Phenothiazine
tidak
boleh
digunakan pada hewan yang mempunyai depresi tulang belakang (Crowell-Davis
dan Murray 2005).
Crowell-Davis dan Murray (2005) menyatakan bahwa phenothiazine
mendepresi sistem reticular aktif dan bagian otak yang mengontrol pergerakan
tonus otot, tingkat metabolisme basal, dan keseimbangan hormonal. Efek samping
pada cardiovascular adalah hipotensi, bradicardia, pembuluh darah kolaps, dan
tachicardya. Acepromazine memiliki waktu onset 15 sampai dengan 60 menit
setelah pemberian dan durasinya antara 3 sampai dengan 7 jam pada anjing dan
kucing.
Download