perspektif driver - Undiknas Journal

advertisement
1
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
TRAINING DI PT. GO-JEK INDONESIA DALAM RANGKA
MENJAGA KUALITAS PELAYANAN : PERSPEKTIF DRIVER
AAN Oka Suryadinatha Gorda1
Lyris2
ABSTRACT
This study aims is to determine how training process in PT. GO-JEK Indonesia, to see
how effective is the training maintaining the quality of service, and also providing an
alternative of training program that appropriate. This research is descriptive research with
qualitative methods. Data were obtained by interview, observation, and documentation from
GO-JEK’s driver and consumers who’s used GO-JEK.
Training process of GO-JEK’s driver can be divided into two phases, it is SOP
training and defensive riding training. Based on the results of the evaluation carried out by
using Kirkpatrick’s evaluation model, the conclusion is SOP training not effective enough to
maintain the quality of service if viewed from the perspective of the drivers. While defensive
riding training is effective enough in maintaining the quality of service if viewed from the
perspective of the drivers.
From the discussion, it was concluded that the SOP training has not been sufficiently
effective, that’s why make a alternative training model is needed. The alternative training
models are change the location training, number of trainees, and make the program more
interesting, create a quis in the end of the program, making a program that reminding about
the rules in GO-JEK, and create a system where management conduct surveillance.
Keywords: training, evaluation, Kirkpatrick
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sektor jasa memiliki kontribusi yang cukup dominan pada kegiatan perekonomian
nasional. Saat ini banyak perusahaan baik skala besar maupun kecil yang beradu memberikan
pelayanan (jasa) yang terbaik kepada konsumen. Menurut Setyawan (2012:25), jasa atau
pelayanan adalah keterampilan atau bantuan kepada pihak lain untuk menghasilkan sesuatu
tak berwujud (intangible), namun dapat dinikmati. Pada praktiknya, jasa bisa dilihat dari dua
sudut pandang yang berbeda, yaitu jasa dipandang sebagai ‘produk’ utama dan jasa sebagai
‘layanan’ pendukung suatu produk. Terlepas dari sudut pandang tersebut, jasa tidak bisa lepas
dari peran Sumber Daya Manusia (SDM). Perkembangan teknologi secanggih apapun tidak
akan bisa melepaskan fungsi SDM dalam konteks jasa.
Dengan melihat pentingnya fungsi SDM dalam perusahaan tentunya diharapkan
perusahaan tidak lagi memandang sumber daya ini hanya sebelah mata. Human Resources
Management (HRM) merupakan fungsi yang penting dalam suatu organisasi. Menurut Ali
(2013 : 2), tanpa adanya HRM sumber daya akan terbuang percuma dan tenaga kerja yang
berpotensi tidak dimanfaatkan dengan baik. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat
berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya
dikelola dan diurus oleh manusia. Oleh sebab itu, manusia merupakan faktor strategis dalam
semua kegiatan institusi atau organisasi.
PT. GO-JEK Indonesia atau lebih dikenal dengan GO-JEK merupakan perusahaan
yang sedang berkembang dan sedang tren di Indonesia saat ini. Perusahaan yang bergerak
dibidang jasa ini terhitung baru di Indonesia dan mampu menggebrak dunia jasa transportasi.
GO-JEK merupakan perusahaan sosial yang bermitra dengan sekelompok tukang ojek yang
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
2
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
berpengalaman dan dapat dipercaya untuk memberikan layanan kemudahan one stop shop
untuk Indonesia. Layanannya saat ini tersedia di Jakarta, Bali, Bandung. Surabaya dan
Makasar. Layanan yang disediakan GO-JEK meliputi transportasi (GO-RIDE), Courier (GOSEND), pembelian makanan (GO-FOOD), dan belanja apapun jenisnya (GO-MART).
Kesuksesan GO-JEK dalam meberikan fasilitas jasa di bidang transportasi tentu tidak
akan terjadi tanpa adanya campur tangan sumber daya manusia yang mumpuni, khususnya
driver yang berhubungan langsung dengan konsumen. Driver-nya sendiri diberikan jaket,
helm dan masker yang harus digunakan sebagai identitas ketika bekerja. Selain itu,
penumpang yang menggunakan jasa GO-JEK juga diberikan masker, penutup kepala dan
helm untuk menjaga keamanan ketika diperjalanan.
Agar mampu menjaga kualitas pelayanan GO-JEK kepada konsumen, tentu
perusahaan harus memberikan training yang terbaik bagi driver sehingga ketika terjun di
lapangan, para driver tersebut sudah siap memberikan pelayanan terbaiknya. Proses training
menjadi proses yang penting karena proses tersebut merupakan waktunya perusahaan
menyiapkan driver-driver terbaiknya.
Menurut McClelland (2002 : 7), training merupakan aktivitas yang mengubah
perilaku seseorang. Peningkatan produktivitas sering dijadikan alasan utama pentingnya
perusahaan melakukan training. Tetapi hal tersebut sesungguhnya hanya salah satu manfaat
dari training. Training tidak hanya dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga
untuk memotivasi dan memberikan inspirasi kepada karyawan dengan membiarkan karyawan
tahu betapa pentingnya pekerjaan mereka, dan memberikan semua informasi yang mereka
butuhkan untuk melakukan pekerjaannya (McClelland, 2002 : 7).
Didasarkan pada pemikiran ini, peneliti ingin mengetahui dan menelaah lebih lanjut
mengenai proses training driver GO-JEK khususnya di Bali dalam rangka menjaga kualitas
pelayanan yang merupakan kunci utama kesuksesan perusahaan yang bergerak di bidang jasa.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan
masalahnya adalah :
1. Bagaimana proses training driver di PT. GO-JEK Indonesia ?
2. Seberapa efektif training driver di PT. GO-JEK Indonesia dalam menjaga kualitas
perusahaan ?
3. Bagaimana alternatif model pelaksanaan training driver yang sesuai dan disarankan untuk
dapat diterapkan di PT. GO-JEK Indonesia ?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah secara umum untuk mengetahui jawaban dari
rumusan yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan uraian sebagai berikut :
1. Mengetahui proses training driver di PT. GO-JEK Indonesia.
2. Mengetahui seberapa efektif proses training driver di PT. GO-JEK Indonesia dalam
menjaga kualitas perusahaan.
3. Memberikan alternatif model pelaksaan training driver yang sesuai dan disarankan untuk
dapat diterapkan di PT. GO-JEK Indonesia.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tujuan dan diharapkan penelitian ini
nantinya dapat berguna baik secara teoritis maupun aplikatif.
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
3
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk menambah dan memperluas
pengetahuan dalam bidang sumber daya manusia khusunya hal-hal yang berhubungan dengan
training dan model evaluasi Kirkpatrick serta penerapannya di lapangan. Selain itu,
penelitian ini nantinya dapat menjadi bahan referensi bagi yang akan melakukan penelitian
sejenis di masa yang akan datang.
Kegunaan Aplikatif
Secara aplikatif penelitian ini berguna bagi perusahaan yaitu PT. GO-JEK Indonesia
sebagai bahan masukan dalam memperbaiki sistem training dalam rangka menjaga kualitas
pelayanan.
Telaah Pustaka
Training
Training adalah proses untuk mempertahankan atau memperbaiki keterampilan
karyawan untuk menghasilkan pekerjaan yang efektif (Bangun : 2012). Setelah menjalani
proses rekrutmen dan seleksi karyawan, maka selanjutnya karyawan yang diterima akan
mengikuti kegiatan training. Tujuannya ialah agar karyawan baru memiliki keterampilan
yang sesuai kebutuhan dalam mengerjakan pekerjaannya. Di samping meningkatkan
keterampilan kerja, pemberian training dapat membantu karyawan untuk tanggung jawab
yang lebih besar terhadap pekerjaannya. Secara umum, training akan bermanfaat untuk
meningkatkan hasil kerja karyawan. Manfaat lain dari training karyawan, dengan semakin
terampilnya karyawan akan mengurangi penggunaan biaya pada pekerjaannya. Dengan
demikian, akan berpengaruh secara langsung pada peningkatan produktivitasnya.
Menurut Berdian dan Rusell yang dikutip oleh Cardoso (1999), training adalah setiap
usaha untuk memperbaiki performa pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang
menjadi tanggung jawabnya atau satu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaan. Agar
efektif, training biasanya harus mencakup pengalaman belajar, aktivitas-aktivitas yang
terencana, dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan yang berhasil
diidentifikasi. Training tidak dimaksudkan untuk mengganti kriteria seleksi yang tidak
memadai, ketidaktepatan rancangan pekerjaan, atau imbalan organisasi yang tidak memadai.
Training lebih ditekankan sebagai sarana mengurangi dampak negatif yang dikarenakan
kurangnya pendidikan, pengalaman yang terbatas, atau kurangnya kepercayaan diri dari
anggota atau karyawan.
Pada awalnya, training karyawan hanya diperuntukkan kepada tenaga-tenaga
operasional, agar memiliki keterampilan secara teknis. Tetapi, kini training diberikan kepada
setiap karyawan dalam perusahaan termasuk karyawan administrasi maupun tenaga
manajerial. Para manajer perusahaan telah menyadari betapa pentingnya training untuk dapat
meningkatkan kepuasan kerja.
Tujuan dan Manfaat Training
Kegiatan training pada dasarnya dilaksanakan untuk menghasilkan perubahan tingkah
laku dari orang-orang yang mengikuti training tersebut. Perubahan tingkah laku yang
dimaksud dapat berupa bertambahnya pengetahuan, keahlian, keterampilan, serta perubahan
sikap dan perilaku. Oleh sebab itu, sasaran training dikategorikan ke dalam beberapa tipe
tingkah laku yang diinginkan (Rivai, 2005:230), antara lain :
a. Kategori psikomotorik, meliputi pengontrolan otot-otot sehingga orang dapat melakukan
gerakan-gerakan yang tepat. Sasarannya adalah agar orang tersebut memiliki
keterampilan fisik tertentu.
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
4
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
b. Kategori afektif, meliputi perasaan, nilai, dan sikap. Sasaran training pada kategori ini
adalah untuk membuat orang mempunyai sikap tertentu.
c. Kategori kognitif, meliputi proses intelektual seperti mengingat, memahami, dan
menganalisis. Sasaran training pada kategori ini adalah untuk membuat orang
mempunyai pengetahuan dan keterampilan berfikir.
Selain tujuan yang ingin dicapai, terdapat juga manfaat yang didapat dari proses
training. Manfaat dari training itu sendiri dapat dibagi menjadi tiga, yaitu manfaat untuk
karyawan, manfaat untuk perusahaan serta manfaat dalam hubungan SDM, intra, dan
antargroup dan pelaksanaan kebijakan (Rivai, 2005:231).
1. Manfaat untuk karyawan
- Membantu karyawan dalam membuat keputusan dan pemecahan masalah yang lebih
efektif;
- Melalui training dan pengembangan, variabel pengenalan, pencapaian prestasi,
pertumbuhan, tanggung jawab dan kemajuan dapat diinternalisasi dan dilaksanakan;
- Membantu mendorong dan mencapai pengembangan diri dan rasa percaya diri;
- Membantu karyawan mengatasi stress, tekanan, frustasi, dan konflik;
- Memberikan informasi tentang meningkatnya pengetahuan kepemimpinan,
keterampilan komunikasi, dan sikap;
- Meningkatkan kepuasan kerja dan pengakuan;
- Membantu karyawan mendekati tujuan pribadi sementara meningkatkan keterampilan
interaksi;
- Mememuhi kebutuhan personal peserta dan pelatih;
- Memberikan nasihat dan jalan untuk pertumbuhan masa depan;
- Membangun rasa pertumbuhan dalam training;
- Membantu pengembangan keterampilan mendengar, bicara, dan menulis dengan
latihan;
- Membantu menghilangkan rasa takut melaksanakan tugas baru.
2. Manfaat untuk perusahaan
- Mengarahkan untuk meningkatkan profitabilitas atau sikap yang lebih positif terhadap
orientasi profit;
- Memperbaiki pengetahuan kerja dan keahlian pada semua level perusahaan;
- Memperbaiki moral SDM;
- Membantu karyawan untuk mengetahui tujuan perusahaan;
- Membantu menciptakan image perusahaan yang lebih baik;
- Mendukung otentisitas, keterbukaan, dan kepercayaan;
- Meningkatkan hubungan antara atasan dan bawahan;
- Membantu pengembangan perusahaan;
- Belajar dari peserta;
- Membantu mempersiapkan dan melaksanakan kebijakan perusahaan;
- Memberikan informasi tentang kebutuhan perusahaan di masa depan;
- Perusahaan dapat membuat keputusan dan memecahkan masalah yang lebih efektif;
- Membantu pengembangan promosi dari dalam;
- Membantu pengembangan keterampilan kepemimpinan, motivasi, kesetiaan, sikap
dan aspek lain yang biasanya diperlihatkan pekerja;
- Membantu meningkatkan efesiensi, efektivitas, produktivitas, dan kualitas kerja;
- Membantu menekan biaya dalam berbagai bidang seperti produksi, SDM,
administrasi;
- Meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kompetensi dan pengetahuan
perusahaan;
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
5
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
- Meningkatkan hubungan antarburuh dengan manajemen;
- Mengurangi biaya konsultan luar dengan menggunakan konsultan internal;
- Mendorong mengurangi perilaku merugikan;
- Menciptakan iklim yang baik untuk pertumbuhan;
- Membantu meningkatkan komunikasi organisasi;
- Membantu karyawan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan;
- Membantu menangani konflik sehingga terhindar dari stress dan tekanan kerja.
3. Manfaat dalam hubungan SDM, intra dan antargrup dan pelaksanaan kebijakan
- Meningkatkan komunikasi antargroup dan individual;
- Membantu dalam orientasi bagi karyawan baru dan karyawan transfer atau promosi;
- Memberikan informasi tentang kesamaan kesempatan dan aksi afirmatif;
- Memberikan informasi tentang hukum pemerintah dan kebijakan internasional;
- Meningkatkan keterampilan interpersonal;
- Membuat kebijakan perusahaan, aturan dan regulasi;
- Meningkatkan kualitas moral;
- Membangun kohesivitas dalam kelompok;
- Memberikan iklim yang baik untuk belajar, pertumbuhan dan koordinasi;
- Membuat perusahaan menjadi tempat yang lebih baik untuk bekerja.
Model Evaluasi Kirkpatrick
Terdapat beberapa model evaluasi yang telah dikembangkan oleh para ahli yang dapat
digunakan dalam mengevaluasi program training, salah satunya ialah model yang ditawarkan
oleh Kirtpatrick yang diberi nama The Four levels Technique for Evaluating Training
Programs. Model ini dipilih karena model evaluasi ini ialah model yang paling familiar dan
sederhana yang digunakan dalam mengevaluasi program training. Menurut Kirkpatrick yang
dikutip dari buku Kaswan (2013:218), dalam evaluasi efektivitas program training terdapat
empat level evaluasi yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Evaluating Reaction
Evaluasi pada tingkatan pertama ini mengukur reaksi kepuasaan peserta training
terhadap pelaksaan program tersebut. Reaksi mungkin didefinisikan sebagai seberapa baik
peserta training menyukai program training tertentu. Hal ini dimaksud untuk mengukur
perasaan peserta. Sebenarnya, hal ini mengukur “kepuasan pelanggan”. Ada beberapa
manfaat yang diperoleh dari level ini. Pertama, memberikan umpan balik. Kedua, jika peserta
tidak ditanya reaksinya, maka pihak penyelenggara akan merasa paling tahu dan sudah
merasa benar dalam menyelenggarakan training. Ketiga, akan memberikan informasi
kuantitatif yang dapat menjadi masukan bagi para manajer atau pihak-pihak lain yang
berkepentingan dengan program training. Keempat, umpan balik peserta training akan
memberikan informasi yang sangat berharga bagi para trainer dalam meningkatkan
kinerjanya pada program-program training berikutnya.
2. Evaluating Learning
Learning dapat didefinisikan sebagai sikap yang berubah, pengetahuan dan
keterampilan yang dipelajari. Tahap evaluasi ini sangat penting karena jika seorang peserta
tidak dapat memahami dengan baik materi yang diberikan maka jangan berharap akan terjadi
perubahan dalam behavior-nya saat dia kembali ke tempat kerjanya. Untuk mengetahui
apakah seseorang peserta training telah memahami materi training dengan baik, biasanya
melakukan pengujian sebelum dan sesudah training, yang dikenal dengan pretest dan post
test.
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
6
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
3. Evaluating Behavior
Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan yang terjadi pada
mantan peserta training pada saat dia kembali ke lingkungan pekerjaannya. Setelah
mengikuti training, khususnya perubahan atas perilaku ketiga domain kompetensi
(pengetahuan, keterampilan, dan sikap). Menurut Kirkpatrick, pertanyaan kritis pada evaluasi
ini adalah; perubahan-perubahan dalam perilaku kerja apa saja yang terjadi setelah seseorang
mengikuti training ? untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurutnya ada tiga hal penting
yang harus diperhatikan.
Pertama, mantan peserta training tidak dapat mengubah perilakunya sampai dia
memperoleh kesempatan untuk melakukannya. Kedua, sangat sulit untuk memperkirakan
kapan perubahan itu akan terjadi. Ketiga, bisa jadi mantan peserta tadi menerapkan
pengetahuan dan keterampilan barunya dalam pekerjaan sehari-hari sekembalinya dari
training, namun kemudian tidak melakukannya lagi di kemudian hari.
4. Evaluating Result
Evaluasi pada level ini diakui Kirkpatrick sebagai evaluasi yang paling
penting sekaligus yang paling sulit untuk dilakukan, yaitu sejauh mana training-training yang
dilakukan memberikan dampak atau hasil terhadap peningkatan kinerja mantan peserta, unit
kerja, maupun perusahaan secara keseluruhan. Menurut Kirkpatrick, hasil yang diperoleh
kerap kali sulit dikuantifikasikan, misalnya meningkatkan kualitas kerja, produktivitas,
kepuasan kerja, efektivitas komunikasi, kerja sama, atau penurunan tingkat kesalahan, dan
lain-lain.
Dari keempat tingkatan evaluasi tersebut dapat dipahami bahwa level 1 merupakan
tingkat evaluasi yang paling sederhana dan mudah untuk dilakukan, sementara level 4 adalah
evaluasi yang paling sulit untuk dilakukan. Pada umumnya, perusahaan yang melakukan
evaluasi efektivitas program training hanya mengevaluasi pada level 1 dan level 2 saja
mengingat adanya keterbatasan waktu, biaya, serta metode pengukurannya. Melakukan
evaluasi hanya sampai level 1 dan level 2 saja juga relatif lebih mudah dan murah karena
dilakukan dilakukan saat peserta masih berada di lokasi training.
Evaluasi yang dilakukan sampai pada level 3 akan memberikan pemahaman kepada
perusahaan mengenai apakah materi yang diberikan dapat diterapkan dengan baik dalam
pekerjaan sehari-hari. Apabila tidak, dapat dicari kendala-kendala apa yang menyebabkan
dan cara mengatasinya. Evaluasi yang dilakukan pada tahapan ini akan memberikan timbal
balik yang sangat berguna untuk menyempurnakan pelaksanaan training secara keseluruhan
dibanding dengan kenyataan yang ada sehingga pada akhirnya akan memberikan kontribusi
yang nyata terhadap peningkatan kinerja karyawan.
Eveluasi pada level 4 akan memberikan jawaban akhir mengenai apakah tujuan
penyelenggaraan suatu training telah tercapai atau belum. Sehingga dapat dikatakan bahwa
evaluasi hingga level 3 dan level 4 merupakan suatu keharusan apabila perusahaan ingin
mengetahui apakah hal-hal yang menjadi tujuan training telah tercapai dan berarti bahwa
training telah terselenggara dengan efektif.
Pembahasan
PT. GO-JEK Indonesia sebagai perusahaan bergerak di bidang jasa yang bermitra
dengan lebih dari 200.000 driver tentu harus menjaga kualitas pelayanannya. Driver yang
secara langsung berhubungan dengan konsumen tentu harus diberikan keahlian dan
kemampuan yang sesuai dengan standar perusahaan, sehingga nantinya driver mampu
memberikan pelayanan terbaik dan menjaga nama baik perusahaan. Oleh sebab itu, setiap
driver harus diberikan training sebelum mulai menerima orderannya.
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
7
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
Secara garis besar training yang diberikan kepada driver terdiri dari dua tahapan,
yaitu training SOP dan Deffensive Riding Training. Pertama, training SOP di lakukan di
sebuah ruangan yang cukup besar dengan jumlah peserta training kurang lebih 100 orang.
Metode yang digunakan berupa ceramah atau pemberian materi dari trainer. Di dalam
training SOP terdapat beberapa materi yang dijelaskan yaitu training mengenai GO-JEK,
training android, training rekening ponsel, dan cara membawa barang yang baik.
Training tahap dua ialah training terkait cara berkendara yang disebut defensive
riding training yang bekerja sama dengan Rivat Driving Labs (RDL) dan dilakukan di
Garuda Wisnu Kencana (GWK). RDL sendiri merupakan perusahaan yang memiliki
kompetensi di bidang safety riding.
Training ini merupakan investasi yang dilakukan oleh PT. GO-JEK Indonesia dalam
rangka memberikan layanan terbaik dan teraman bagi para konsumennya. Defensive Riding
Training diikuti kurang lebih 200 driver dan memerlukan waktu dari pagi hingga sore hari.
Adapun materi yang diberikan ialah tata cara berkendara yang dikombinasikan dengan
bagaimana cara mengantisipasi kejadian yang mungkin saja menimpa ketika berada di
jalanan. Metode training yang digunakan berupa pemberian materi di awal dan dilanjutkan
dengan praktek atau simulasi.
Perspektif Driver Terkait Program Training yang Diikuti di PT. GO-JEK Indonesia
Untuk mengetahui perspektif dari driver terkait program training yang diikutinya,
peneliti melakukan observasi dan wawancara terhadap 3 orang driver, yaitu Bapak Haryanto,
Bapak Heri Mulyono, dan Bapak I Nyoman Arya Munajaya yang dipilih dengan
menggunakan teknik accidental sampling.
Dari hasil wawancara kepada tiga orang driver GO-JEK, peneliti melihat sebuah
kecenderungan yang sama yaitu driver tidak terlalu memperhatikan proses training SOP yang
dilakukan oleh PT. GO-JEK Indonesia. Hal ini terkait beberapa hal, yaitu :
1. Metode training yang digunakan
PT. GO-JEK Indonesia melakukan training dengan menggunakan metode ceramah.
Menurut Rivai (2004), ceramah adalah pendekatan terkenal karena menawarkan sisi
ekonomis, tetapi partisipasi, umpan balik, transfer dan repetisi sangat rendah. Maka tidak
mengherankan jika pada training SOP, driver tidak menunjukkan rasa antusias dan
partisipasinya.
2. Jumlah Peserta Training
Seseorang yang mengikuti suatu training dengan jumlah peserta sedikit tentu memiliki
tingkat keseriusan yang berbeda dengan jumlah peserta yang banyak. Menurut hasil
wawancara, jumlah peserta training SOP mencapai 100 orang lebih. Tentu sangat sulit
bagi trainer untuk mengontrol setiap peserta. Demikian pula bagi peserta, dengan jumlah
peserta training yang banyak tentu mengurangi tingkat keseriusan peserta training karena
suasana yang bising dan perasaan tidak diperhatikan trainer.
Dari hasil wawancara peneliti dengan ketiga driver terkait defensive riding training,
peneliti dapat menyimpulkan bahwa ketiga driver cukup antusias dalam mengikuti program
training tersebut dan driver merasa mendapat ilmu baru yang bisa digunakannya sehari –
hari. Adapun penyebab defensive riding training lebih diminati oleh driver, adalah :
1. Materi yang Bermakna
Materi pelatihan haruslah bermakna. Menurut Kaswan (2013), kebermaknaan adalah
bahan yang kaya hubungannya dengan peserta pelatihan dan oleh karena itu lebih mudah
dipahami. Materi defensive riding training memberikan materi mengenai cara berkendara
dan menghadapi kemungkinan berbahaya di jalanan. Hal ini sangat berhubungan dengan
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
8
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
peserta pelatihan dimana mereka memang lebih banyak berada di jalanan. Dibanding
training SOP yang hanya memberikan materi terkait aturan – aturan yang ada, tentu lebih
membosankan.
2. Metode training yang digunakan
Pada defensive riding training, setelah pemberian materi ada praktek yang dilakukan
berupa simulasi. Menurut Mangkunegara (2013), metode simulasi adalah suatu situasi
atau peristiwa menciptakan bentuk realitas atau imitasi dari realitas. Simulasi ini
merupakan pengkondisian suuatu keadaan yang mendekati kondisi nyata pada pekerjaan.
Metode ini dirasa lebih menarik bagi driver dibanding hanya sekedar mendengarkan
materi saja.
3. Post Test
Pada akhir program training terdapat tes yang dilakukan kepada seluruh peserta training.
Post test merupakan evaluasi akhir saat materi yang diajarkan pada hari itu telah selesai
disampaikan. Manfaatnya adalah untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan yang
dicapai setelah mengikuti training yang diberikan. Bahkan adanya isu yang muncul
bahwa apabila gagal mengikuti tes kemungkinan tidak bisa menjadi driver memberikan
motivasi bagi driver untuk lebih serius belajar selama pemberian materi dan praktek.
Evaluasi Program Training Dengan Menggunakan Model Evaluasi Kirkpatrick.
Untuk memastikan bahwa proses training yang dilakukan telah berhasil dan mencapai
tujuannya perlu dilakukan suatu evaluasi. Pada penelitian ini evaluasi dilakukan dengan
menggunakan pendekatan teori KirkPatrick. Data yang telah diperoleh berupa hasil
wawancara driver dan konsumen selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi program
training yang telah diikuti oleh driver di PT. GO-JEK Indonesia.
Evaluation Reaction
Menurut Kirkpatrick & Kirkpatrick (2009), “reaction is to what degree participants
react favorably to the learning event”. Reaksi dapat didefinisikan sebagai seberapa besar
peserta training yakni driver menyukai program training yang ada telah diikuti di PT. GOJEK Indonesia.
Dari hasil wawancara dengan ketiga informan yakni Bapak Haryanto, Bapak Heri dan
Bapak Nyoman peneliti melihat terdapat dua reaksi yang berbeda ketika informan
menjelaskan kedua tahapan training yang diikutinya. Pertama, untuk training SOP ketiga
informan menunjukkan reaksi yang sama, yakni kurang antusias saat menceritakan proses
training SOP yang diikutinya. Ketiga informan juga menunjukkan sikap bahwa materi dan isi
pelatihan tidak terlalu menarik dan dibutuhkan. Seperti ketika pemberian materi cara
penggunaan aplikasi, ketiga informan merasa hal tersebut bisa dipelajari sendiri tanpa perlu
ada training.
Sedangkan, untuk defensive riding training, ketiga informan juga menunjukkan reaksi
yang sama yakni antusias, hal ini karena ketiga informan merasa mendapatkan ilmu baru
yang tidak mungkin diperoleh jika tidak bergabung dengan GO-JEK. Selain itu, pada training
bagian ini menjadi lebih menarik karena adanya simulasi cara berkendara di jalanan sehingga
ilmu yang didapat terasa lebih nyata.
Training SOP terkesan kurang menyenangkan dan menarik bagi driver karena hanya
sebatas pemberian materi dengan kondisi ruangan dan lingkungan yang tidak kondusif
menurut informan, sehingga sulit bagi informan memberikan reaksi positif selama proses
training tersebut berlangsung. Sedangkan defensive riding training terkesan cukup menarik
dilihat dari materi yang ditawarkan serta adanya simulasi dan post test sehingga membuat
driver menunjukkan reaksi yang lebih positif dan peserta training merasa termotivasi untuk
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
9
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
belajar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Hikmawati (2012) yang telah dijelaskan di
atas.
Kesimpulannya ialah, peserta training memberikan reaksi yang negatif terkait
training SOP yang diikutinya dan memberikan reaksi yang positif terkait defensive riding
training yang diikutinya. Artinya training SOP yang dilakukan oleh PT. GO-JEK Indonesia
belum efektif.
Evaluation Learning
Menurut Kirkpatrick & Kirkpatrick (2009), “Learning to what degree participants
acquire the intended knowledge, skills, and attitudes based on their participation in the
learning event”. Artinya pada bagian ini dilihat seberapa besar pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang dapat dipelajari oleh driver GO-JEK.
Evaluasi ini berhubungan dengan evaluasi tingkat pertama yakni reaksi. Ketiga
informan menunjukkan reaksi yang negatif ketika mengikuti training SOP, namun secara
umum ketiga informan mengetahui pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ingin
disampaikan melalui program training tersebut. Sebagai contoh, mereka mengetahui cara
menggunakan aplikasi, cara menggunakan rekening ponsel serta peraturan – peraturan yang
ada di GO-JEK. Namun, mengetahui tentu berbeda dengan memahami konsep atau teori yang
diberikan.
Misalnya, driver mengetahui bahwa mereka harus memberikan service bintang lima
kepada konsumen. Namun mereka tidak memahami makna tersebut sehingga konsumen
memberikan komentar negatif terkait pelayanan yang diberikan. Selain itu, ketika peneliti
menanyakan terkait training mengenai cara membawa barang pesanan dengan baik, Bapak
Heri tidak bisa menjelaskannya artinya beliau tidak memahami betul apa yang dipelajarinya
selama proses training.
Untuk defensive riding training, seperti yang dijelaskan pada level reaksi, ketiga
informan menunjukkan reaksi yang positif selama mengikuti program tersebut. Ketiga
informan terlihat cukup antusias dan mengakui mengikuti program tersebut dengan baik.
Salah satu driver mengatakan bahwa mengikuti training tersebut dengan baik dan seksama
karena adanya sanksi. Namun bagaimanapun, secara umum ketiga informan mengetahui
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ingin disampaikan melalui program training
tersebut.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hikmawati (2012), didapatkan hasil
bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pembelajaran (learning) dan efektivitas
pelatihan service excellence di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta. Hal
ini juga sesuai dengan teori Kirkpatrick yang dikuti dari Hikmawati (2012) bahwa evaluasi
pada tingkat pembelajaran berhubungan dengan efektivitas pelatihan.
Hal yang sama juga didapat pada penelitian ini. Ketika tingkat pembelajaran
(learning) memberikan hasil yang negatif dan konsumen juga mengeluhkan terkait driver
yang tidak mengikuti SOP, menunjukkan bahwa training SOP tidak efektif. Serta, ketika
tingkat pembelajaran (learning) memberikan hasil yang positif dan konsumen juga tidak
mengeluhkan terkait cara driver berkendara, menunjukkan bahwa defensive riding training
cukup efektif.
Kesimpulannya ialah, peserta training menunjukkan tingkat pembelajaran yang
negatif terkait training SOP yang diikutinya dan menunjukkan tingkat pembelajaran yang
positif terkait defensive riding training yang diikutinya. Artinya training SOP yang dilakukan
oleh PT. GO-JEK Indonesia belum efektif.
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
10
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
Evaluation Behavior
Menurut Kirkpatrick & Kirkpatrick (2009), “ Behavior to what degree participants
apply what the learned during training when they are back on the job”. Pada level ketiga ini,
evaluasi dilakukan untuk melihat perubahan perilaku peserta training setelah memperoleh
ilmu selama training ketika kembali ke pekerjaan. Menurut Bangun (2012), penilaian tingkat
perilaku (behavior) bertujuan untuk mengukur kinerja peserta latihan dalam melaksanakan
tugasnya. Keberhasilan karyawan dalam melaksanakan tugasnya menunjukkan bahwa
program pelatihan berhasil.
Pada evaluasi pembelajaran, peserta training menunjukkan tingkat pembelajaran yang
negatif terkait training SOP yang diikutinya. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi
yang dilakukan, driver tidak mengikuti atau menunjukkan perubahan sikap setelah mengikuti
program tersebut. Padahal menurut Rivai (2005), sasaran training dikategorikan dalam
beberapa hal salah satunya ialah kategori afektif. Kategori afektif meliputi perasaan, nilai,
dan sikap untuk membuat orang mempunyai sikap tertentu. Namun dari hasil pembahasan,
sasaran tersebut tidak dapat dicapai.
Contoh sederhananya, baik ketiga informan maupun driver lain yang pernah melayani
konsumen yang diteliti sering tidak menggunakan atribut GO-JEK selama bekerja. Padahal
pada training SOP tentu memberitahukan bahwa wajib menggunakan atribut GO-JEK selama
bekerja. Artinya, driver tidak menunjukkan perubahan perilaku setelah mengikuti program
tersebut.
Bapak Haryanto menyatakan bahwa beliau merasakan perubahan perilaku setelah
mengikuti defensive riding training karena mengetahui bahayanya jika berkendara secara
ugal-ugalan. Selain itu, menurut Jason, selama menggunakan GO-JEK selalu mendapatkan
driver yang berhati – hati selama berkendara. Artinya driver mengalami perubahan perilaku
setelah mengikuti program defensive riding training.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hikmawati (2012), memberikan
hasil bahwa meskipun telah mengikuti pelatihan service excellence, sebagian besar peserta
masih belum melaksanakan konsep pelayanan prima secara optimal. Hal ini dikarenakan
tidak sebandingnya jumlah SDM dengan jumlah pasien atau pengunjung, sehingga ketika
jumlah pasien dan pengunjung memblundak pegawai menjadi terlihat kurang sabar. Untuk
mengubah perilaku pegawai pasca pelatihan, pihak manajemen harus mengetahui kebutuhan
yang diperlukan para pegawai yang menyebabkan perilaku mereka berubah sehingga
peningkatan kinerja tercapai.
Hal yang sama juga terjadi pada penelitian ini, karena tidak mendapat sanksi, sesuatu
yang nantinya berdampak pada diri mereka terkait perilaku yang tidak sesuai SOP sehingga
tidak ada perubahan perilaku. Sedangkan karena mereka menyadari akan pentingnya
merubah perilaku berkendara demi keselamatan diri sendiri dan juga penumpang, mereka
melakukan perubahan perilaku atas kesadaran diri sendiri.
Kesimpulannya ialah, peserta training tidak menunjukkan perubahan perilaku tingkat
setelah mengikuti training SOP dan menunjukkan perubahan perilaku setelah mengikuti
defensive riding training. Artinya training SOP yang dilakukan oleh PT. GO-JEK Indonesia
belum efektif.
Evaluation Results
Menurut Kirkpatrick & Kirkpatrick (2009), “ Result to what degree targeted outcomes
occur, as a result of the learning event(s) and subsequent reinforcement”. Evaluasi pada
level ini akan memberikan jawaban akhir mengenai apakah tujuan penyelenggaraan suatu
training telah tercapai atau belum.
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
11
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
Mengingat terbatasnya data yang dapat diakses oleh peneliti karena proses yang
berbelit dari PT. GO-JEK Indonesia terkait ijin penelitian, sehingga peneliti tidak mengetahui
apa sebenarnya tujuan utama program training yang dilakukan oleh PT. GO-JEK Indonesia.
Sedangkan tujuan dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui jawaban akhir terkait tercapai
atau tidaknya tujuan perusahaan dalam melakukan program training. Oleh sebab itu, peneliti
tidak dapat melanjutkan evaluasi dari tingkat hasil (evalution results).
Alternatif Program Training
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa peserta training yakni driver
memberikan reaksi negatif terkait training SOP karena materi yang diberikan tidak menarik
serta kondisi ruangan yang tidak kondusif karena jumlah peserta training yang sangat
banyak. Oleh sebab itu, harus dirancang sebuah program training yang dapat menutupi
kekurangan program training SOP yang saat ini dirasakan oleh driver, seperti berikut.
1. Lokasi training
Jika sebelumnya training SOP dilakukan di GOR Prajaraksaka dengan ruangan besar
seperti aula dan tidak menarik, maka alternatif yang peneliti sarankan ialah melakukan
training di alam terbuka, contohnya di Bali Botanical Garden untuk suasana terbuka dan
udara yang segar. Atau dapat juga dilakukan di pantai, mengingat di Bali banyak sekali
ada pantai dan bisa diakses secara gratis.
2. Jumlah peserta training
Menurut Mathis & Jackson (2011), variabel yang umum dipertimbangkan dalam sebuah
proses training salah satunya adalah jumlah peserta training. Jumlah peserta training
menjadi penting karena akan mempengaruhi kondisi dan suasana selama proses training
berlangsung.
Jika sebelumnya training dilakukan di GOR Prajaraksaka dengan jumlah peserta kurang
lebih 100 orang sehingga kondisi menjadi tidak kondusif, maka alternatif yang peneliti
sarankan ialah membagi jumlah peserta tersebut menjadi kelompok – kelompok kecil
antara 5 – 10 orang per kelompok dan masing – masing kelompok di komando oleh
seorang trainer. Hal tersebut akan mempermudah trainer untuk berinteraksi dengan
setiap peserta training.
3. Membuat Materi lebih menarik
Metode ceramah dalam menyampaikan suatu materi training memiliki cukup banyak
kekurangan oleh sebab itu, materi harus jauh lebih menarik. Alternatif program training
yang peneliti sarankan ialah Role Playing. Menurut Rivai (2004), Role Playing adalah
metode pelatihan yang merupakan perpaduan antara metode kasus dan program
pengembangan sikap.
4. Post Test
Misalkan dalam kelompok kecil ada 10 orang, maka kuis akan dilakukan dua tahap
dengan masing – masing 5 orang. Trainer diisi berlaku sebagai juri dan pemberi
pertanyaan. Pertanyaan bisa dijawab secara rebutan dan peserta yang mendapat nilai
tertinggi nantinya akan mendapat hadiah yang tentunya sesuai budget PT. GO-JEK
Indonesia.
Dari sana, trainer dapat mencatat nilai dari masing–masing anggotanya dan melihat
sejauh mana driver atau peserta training memahami materi yang didapatnya selama
proses training. Dengan membagi menjadi kelompok kecil, trainer akan lebih mudah
mengontrol dan menilai kemampuan setiap anggotanya.
5. Program Pengingat
Agar driver selalu mengingat aturan-aturan yang ada dan harus dipatuhinya selama proses
training, maka pihak manajemen membuat sebuah program dimana setiap driver
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
12
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
menerima orderan melalui aplikasinya, akan muncul pesan pengingat mengenai aturan
yang harus dilakukan oleh driver. Contoh sederhananya dapat dilihat pada Gambar 5.5
6. Manajemen turun ke jalan
Menurut Glendoh (2000), pengawasan merupakan suatu kegiatan untuk mencocokkan
apakah kegiatan operasional di lapangan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian yang menjadi obyek dari kegiatan
pengawasan adalah mengenai kesalahan, penyimpangan, cacat, dan hal-hal yang bersifat
negatif seperti adanya kecurangan, pelanggaran, dan korupsi. Artinya pengawasan sangat
penting dilakukan oleh perusahaan guna mencapai tujuan perusahaan yang ingin dicapai.
Selama ini, untuk mengawasi drivernya, pihak gojek memberikan kesempatan kepada
konsumen memberikan rating atas pelayanan yang baru saja diterimanya dari driver. Namun
ternyata jika ada keluhan pun konsumen tidak secara cepat menerima balasan dari pihak
manajemen ataupun dari customer service. Melihat secara langsung dan mengawasi kegiatan
yang dilakukan oleh pihak manajemen menjadi solusi agar driver dapat mengikuti SOP
Perusahaan.
Gambar 1 : Contoh Program Pengingat Driver
PENUTUP
Simpulan
1. Proses training driver di PT. GO-JEK Indonesia dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu
training SOP dan defensive riding training. Pada training SOP materi yang dijelaskan
terkait GO-JEK secara umum, aturan pelanggaran, training penggunaan android, serta
training cara penggunaan rekening ponsel dari pihak CIMB NIAGA. Sedangkan
defensive riding training menjelaskan terkait cara berkendara yang bekerja sama dengan
Rifat Driving Labs (RDL).
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
13
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
2. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan dengan menggunakan model evaluasi
Kirkpatrick, dapat disimpulkan bahwa Training SOP belum cukup efektif untuk menjaga
kualitas pelayanan jika dilihat dari perspektif driver. Sedangkan defensive riding training
cukup efektif dalam menjaga kualitas pelayanan jika dilihat dari perspektif driver.
Sehingga, perlu dirancang suatu alternatif program training yang sesuai dan disarankan
untuk dapat diterapkan di PT. GO-JEK Indonesia.
3. alternatif model pelaksanaan training driver yang sesuai dan disarankan untuk dapat
diterapkan di PT. GO-JEK Indonesia adalah sebagai berikut.
- Melakukan perubahan lokasi training, jumlah peserta training, dan membuat materi yang
lebih menarik
- Membuat kuis di akhir program training
- Membuat program pengingat pada aplikasi driver
- Manajemen turun ke jalan untuk melakukan pengawasan
Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka peneliti dapat memberikan beberapa saran yang
nantinya dapat digunakan untuk pelaksanaan program training selanjutnya. Adapun saran
yang dapat disampaikan oleh peneliti adalah sebagai berikut.
1. Dari kesimpulan pada evaluasi proses training dengan menggunakan metode evaluasi
Kirkpatrick terlihat bahwa training SOP kurang mendapat antusias dari driver sehingga
mendapat feedback yang negatif. Maka untuk training selanjutnya perlu dilakukan
perancangan program training yang lebih baik.
2. Untuk penelitian di masa yang akan datang agar lebih menyempurnakan lagi penelitian
ini dengan menampilkan data dari pihak perusahaan yaitu PT. GO-JEK Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Akbar. (2013). Significance of Human Resource Management in Ogranizations: Linking
Global Practices with Local Perspective. Vol. IV, Issue 1 [78-87]
Alyahya, Mohammed Saad & Mat, Norsiah Binti. (2007). Evaluation of Effectiveness of
Training and Development : The Kirkpatrick Model. Vol. 2 No.11 [14-24].
Bangun, Wilson. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Penerbit Erlangga.
Brinkerhoff, R. O. et al. (1986). Program Evaluation L A Practiitoner’s Guide for Trainers
and Educators. Fourth Printing. Massachusetts: Kluwer-Nijhoff Publishing.
Chang, Ya Hui Elegance. (2010). An Empirical Study of Kirkpatric’s Evaluation Model in the
Hospitality Industry. Disertasi Adult Education and Human Resources Development,
Florida International University, Miami, Florida.
Christanto, Freddie Yeremia & Santoso, Thomas. (2014). Analisis Training dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia di PT Wahana Kosmetika Indonesia. Vol. 2,
No. 2.
Elnaga, Amir & Imran, Amen. (2013). The Effect of Training on Employee Performance.
European Journal of Business and Management. Vol. 5, No. 4.
Glendoh, Sentot Harman. (2000). Fungsi Pengawasan dalam Penyelenggaraan Manajemen
Korporasi. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan/ Vol. 2, No.1.
H.B. Sutopo. (2002). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press.
Herdianti, Yunita Hasri. (2012). Evaluasi Pasca Pelatihan Perilaku Caring pada Perawat di
Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo Tahun 2011, Skripsi
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok.
Ikramina, Fildzah & Gustomo, Aurik. (2014). Analysis of Training Evaluation Process Using
Kirkpatrick’s Training Evaluation Model At PT. Bank Tabungan Negara (Persero)
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
14
Jurnal Manajemen & Bisnis
ISSN : 1892-8486, Volume 13 Nomor 1 Pebruari 2016
Tbk. School of Business and Management Institut Teknologi Bandung, Indonesia. Vol
3, No. 1.
Jehanzeb, Khawaja & Bashir, Nadeem Ahmed. (2013). Training and Development Program
and its Benefit to Employee and Organization: A Conceptual Study. European Journal
of Business and Management. Vol. 5, No. 2.
Kaswan. (2013). Training dan Pengembangan untuk Meningkatkan Kinerja SDM. Bandung :
CV. Alfabeta.
Kirkpatrick, D.L. (2005). Kirkpatrick’s Training Evaluation Model. (on line), Available
http://www.businessballs.com/kirkpatricklearningevaluationmodel.htm (2015 Oktober
25).
Kirkpatrick, Jim & Kirkpatrick, Wendy Kayser. (2009). The Kirkpatrick Four Levels : A
Fresh Look After 50 Years 1959 – 2009. (on line), Available
http://www.kirkpatrickpartners.com/Portals/0/Resources/Kirkpatrick%20Four%20Lev
els%20white%20paper.pdf ( 2016 Januari 06)
Mangkunegara, A. P. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
McClelland, Susan D. (2002). A Training Needs Assessment fot The United Way of Dubb
County Wisconsin. University of Wisconsin – Stout.
Moleong, L. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Patton, Michael Quinn. (1987). Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills: Sage
Pulications.
Rakhmi, Meidy Maulia. (2012). Rencana Pengembangan Program Pendidikan dan Training
Keperawatan Berbasis Kompetensi di RSIA Hermina Bekasi. Depok, Tesis Program
Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit, Universitas Indonesia, Depok.
Rivai, Veithzal. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan: dari Teori ke
Praktik. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Satphaty, Ipseeta D.Litt. Patnaik, B.Chandra Mohan. & Anamika. (2014). Outbond Training
and Its Effect on Employee Performance – A Review Literature, IJMSS. Vol. 2, Issue11.
Setyawan, Henri. (2012). Kualitas Layanan Transportasi (Studi KAsus Transjakarta Busway
di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Tesis Program Magister Perencanaan dan
Kebijakan Publik, Universitas Indonesia, Jakarta.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sutopo, H.B. (2006). Penelitian Kualitatif : Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Weiss, C.H. (1972). Evaluation Research: Methods for Assessing Program Effectiveness.
Toronto: Englewood Cliff.
Werner, J.M dan Randy L. DeSimone. (2006). Human Resource Development. USA:
Thomson.
Widoyoko, Eko Putro. (2009). Evaluasi Program Training (Training Program Evaluation).
(on
line),
Available
http://www.umpwr.ac.id/download/publikasiilmiah/Evaluasi%20Program%20Training.pdf (2015 November 01)
@JMB 2015
http://journal.undiknas.ac.id/index.php/magister-manajemen/issue/archive
Download