Pembahasan Mazmur 73 - Yohan candawasa

advertisement
Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
KEHIDUPAN YANG BERKEMENANGAN:
Pembahasan Mazmur 73
Pdt. Yohan Candawasa
Mazmur 73 (TB-LAI)
1
Mazmur Asaf. Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus
hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya. 2 Tetapi aku, sedikit lagi maka
kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir. 3 Sebab aku cemburu kepada
pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik. 4
Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka;
5
mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena
tulah seperti orang lain. 6 Sebab itu mereka berkalungkan kecongkakan
dan berpakaian kekerasan. 7 Karena kegemukan, kesalahan mereka
menyolok, hati mereka meluap-luap dengan sangkaan. 8 Mereka menyindir
dan mengata-ngatai dengan jahatnya, hal pemerasan dibicarakan mereka
dengan tinggi hati. 9 Mereka membuka mulut melawan langit, dan lidah
mereka membual di bumi. 10 Sebab itu orang-orang berbalik kepada
mereka, mendapatkan mereka seperti air yang berlimpah-limpah. 11 Dan
mereka berkata: "Bagaimana Allah tahu hal itu, adakah pengetahuan pada
Yang Mahatinggi?" 12 Sesungguhnya, itulah orang-orang fasik: mereka
menambah harta benda dan senang selamanya! 13 Sia-sia sama sekali aku
mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak
bersalah. 14 Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap
pagi. 15 Seandainya aku berkata: "Aku mau berkata-kata seperti itu," maka
sesungguhnya aku telah berkhianat kepada angkatan anak-anakmu.
16
Tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu menjadi
kesulitan di mataku, 17 sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah,
dan memperhatikan kesudahan mereka. 18 Sesungguhnya di tempat-tempat
licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur.
19
Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena
kedahsyatan! 20 Seperti mimpi pada waktu terbangun, ya Tuhan, pada
waktu terjaga, rupa mereka Kaupandang hina. 21 Ketika hatiku merasa
Page 1 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya, 22 aku dungu dan
tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu. 23 Tetapi aku tetap di
dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku. 24 Dengan nasihat-Mu
Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam
kemuliaan. 25 Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain
Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. 26 Sekalipun dagingku dan hatiku
habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.
27
Sebab sesungguhnya, siapa yang jauh dari pada-Mu akan binasa;
Kaubinasakan semua orang, yang berzinah dengan meninggalkan Engkau.
28
Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat
perlindunganku pada Tuhan ALLAH, supaya dapat menceritakan segala
pekerjaan-Nya.
Kita memperhatikan dari Mazmur ini kalimat pertama kita diberitahu
siapa yang menulis Mazmur ini, yaitu dikatakan di situ "Mazmur Asaf".
Siapakah Asaf? Kalau kita membaca catatan kitab Tawarikh 16:4-5,
dikatakan bahwa raja Daud pernah mengangkat dari orang Lewi beberapa
orang sebagai pelayan di hadapan tabut Tuhan untuk memasyurkan Tuhan,
Allah Israel, dan menyanyikan syukur puji-pujian bagi-Nya. Pemimpinnya
adalah Asaf. Dari data ini, Asaf adalah orang Lewi. Suku yang
dikhususkan Tuhan sebagai imam dan lebih khusus lagi Asaf bertugas
sebagai kepala biduan, dua memimpin orang-orang Lewi untuk memuji
Tuhan di kemah suci. Karenanya menarik sekali, seorang pemimpin yang
biasa mengajak orang-orang dengan mulut untuk memuji Tuhan, sekarang
dari mulutnya sendiri mengatakan sebuah kalimat yang sangat
mengejutkan di dalam ayat 13: "Sia-sia sama sekali aku mempertahankan
hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah." Ini keluar
dari mulut Asaf. Ayat ini memberitahukan kepada kita dua hal: Pertama:
kehidupan Asaf selama ini. Dia berkata bahwa dia adalah orang yang
mempertahankan hati bersih dan membahas tangannya tanda tak bersalah.
Hati adalah bagian yang tidak kelihatan --batiniah, dia pertahankan bersih.
Kedua: Tangan adalah simbol dari tingkah-laku yang kelihatan, itupun dia
basuh supaya tidak bersalah. Artinya, ia selama ini hidup sebagai imam
yang konsisten antara dalam dan luar, lahir dan batin. Tetapi, ayat ini juga
memberitahu kepada kita hal yang lain, yaitu pada waktu ia berkata: "siaPage 2 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
sia". Artinya, dia melihat selama ini hidupnya mempertahankan hati,
membasuh tangan, itu adalah sebuah kehidupan yang tidak ada gunanya.
Sia-sia, kosong, dan tidak mempunyai makna apapun. Sesuatu tindakan
yang percuma, tidak menghasilkan apapun yang baik dalam kehidupannya.
Dengan ucapan ini, Asaf jelas bukan sedang memuji Tuhan, dia bukan
sedang memberi kemuliaan kepada Tuhan, dan juga tidak untuk
memasyurkan nama Tuhan. Karena kalimat-kalimat ini jelas menunjukkan
dia sedang marah, dia sedang kecewa dan dia pahit hati kepada Tuhan.
Dan itu dicatat di ayat 21: "... hatiku merasa pahit dan buah pinggangku
menusuk-nusuk rasanya". Dia sakit hati kepada Tuhan. Kalimat ini kalau
didengar oleh umat, jelas itu bisa memperlemah iman mereka, rasa hormat
mereka kepada Tuhan.
Tahun 1998 itu tahun yang gelap bagi bangsa Indonesia. Di antara
begitu banyak peristiwa jahat, terselip satu cerita ada seorang gadis pulang
mengikuti kebaktian KKR, dia naik taxi dan dia diperkosa di taxi itu. Sejak
saat itu, anak wanita ini dengan seluruh keluarganya merasa pahit hati
kepada Tuhan dan mereka memutuskan tidak akan pernah menginjakkan
kaki mereka di gereja lagi. Pahit hati, kecewa, itu merupakan nyeri jiwa
yang tidak asing bagi kita. Suami bisa getir kepada istri, istri juga bisa
getir kepada suami, orang tua getir kepada anak, anak getir kepada orang
tua. Tapi persoalannya getir tersebut pada sesama, kita bisa mohon kepada
Tuhan supaya kita diberi kekuatan untuk mengatasi itu. Ada orang berkata
begini: akar pahit dalam hati dapat dihapus dengan manisnya kasih Tuhan.
Kita bisa berdoa minta Tuhan memberi kita kekuatan untuk kemudian
dengan kasih, dengan kekuatan Tuhan kita bisa melakukan kehendak
Tuhan. Tetapi kalau pahit hatinya itu kepada Tuhan, maka kita mesti
berdoa kepada siapa? Kita harus dapat kekuatan dari mana supaya kita bisa
mengatasi persoalan ini? Ini yang Asaf hadapi, dia pahit, dia getir kepada
Tuhan. Dari mana dia mesti dapat kekuatan untuk mengampuni Tuhan,
menerima Tuhan kembali? Kita harus meneliti dulu, sebetulnya apa yang
membuat Asaf mengucapkan kata-kata dari mulut yang biasanya dipakai
untuk memuji Tuhan, di sini dipakai justru untuk menyatakan kemarahan,
kegetiran hatinya kepada Tuhan.
Kita membaca sampai pada ayat ke-3, kita mendapat jawaban apa
yang membuat Asaf getir hatinya kepada Tuhan. Rupanya dia
Page 3 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
memperhatikan orang-orang fasik. Fasik artinya orang yang tidak
mempedulikan Tuhan, mereka bahkan berani menantang Tuhan, sangat
kurang ajar kepada Tuhan. Asaf memperhatikan orang-orang ini, apa yang
mereka peroleh dengan sikap yang sangat kurang ajar kepada Tuhan, itu
yang dia catat di ayat 3: "Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual,
kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik." Kemudian ayat 4 dan 5:
"Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka;
mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah
seperti orang lain." Kesimpulan terakhir dari pengamatan Asaf terhadap
orang fasik, dikatakan: "Sesungguhnya, itulah orang-orang fasik: mereka
menambah harta benda dan senang selamanya!" Jadi ada dua yang dia
perhatian: secara ekonomi mereka cuma tahu tambah harta terus menerus
dan secara kejiwaan mereka menikmati kesenangan yang tidak habishabisnya. Setelah mengamati orang fasik, dia kemudian melihat dirinya
sendiri orang yang sangat serius. Mengasihi, mengikuti permintaan Tuhan
dalam kehidupannya, lalu apa yang dia diperoleh? Waktu dia melihat itu,
sungguh dia mendapati sebuah kontras yang bagi Asaf sangat keterlaluan.
Ayat 14 dia mengatakan alasannya: "Namun sepanjang hari aku kena
tulah, dan kena hukum setiap pagi." Asaf melihat bahwa kefasikan tidak
berarti jadi susah, miskin, sakit-sakitan. Dan hidup taat, saleh tidak berarti
kelancaran, kekayaan, kesehatan. Kita boleh menyimpulkan bahwa Asaf
sebagai imam tidak kaya, dan dia kurus, sakit-sakitan, hidupnya murung,
oleh karena itu dia kecewa waktu dia melihat orang fasik hartanya banyak,
gemuk, suka cita. Ini menjelaskan akar kepahitan hati Asaf kepada Tuhan,
karena dia merasa Tuhan tidak adil memperlakukan dia. Kalau dia sudah
memberi segala kepada Tuhan, Tuhan memberi apa kepada dia.
Sebaliknya orang fasik, mereka sebetulnya memberi apa kepada Tuhan?
Sederhananya, Asaf tidak akan marah kepada Tuhan dan hatinya pasti
senang kalau berbicara kepada Tuhan, seandainya Mazmurnya ditulis
begini berdasarkan pengalaman dari Tuhan: "Berbahagialah orang yang
mempertahankan hati yang bersih dan membasuh tangannya tanda tidak
bersalah, sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh
mereka, mereka akan senang selamanya." Jika begitu perlakuan Tuhan
kepada Asaf, maka ayat 13 akan ditulis seperti ini: "oleh karena itu
pertahankanlah hati yang bersih dan basuhlah tangan tanda tak bersalah,
semua itu tidak sia-sia, besar penghasilannya." Persoalannya,
kenyataannya dia tidak melihat begitu, maka dia kecewa kepada Tuhan.
Page 4 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
Kita ingin belajar lebih dalam dari kekecewaan Asaf. Ternyata lewat
kegetiran Asaf kepada Tuhan, kita melihat Asaf adalah seorang penganut
agama yang tulen. Agama tidak lain adalah sebuah hubungan timbal balik
atau barter. Nothing come for free. Ada ubi, ada tales; ada budi, ada balas.
Gigi ganti gigi, mata ganti mata; orang baik kepada kita, kita balas baik
kepada dia; orang jahat kepada kita, kita balas jahat kepada dia. Artinya
apa yang saya beri kepada orang lain begitulah saya akan menerima
balasannya. Inilah agama Asaf, agama timbal balik. Artinya, kalau saya
jauh dari Tuhan, Tuhan jauh dari saya; kalau saya dekat Tuhan, Tuhan
dekat saya; kalau saya kikir kepada Tuhan, Tuhan kikir kepada saya; kalau
saya taat kepada Tuhan, Tuhan sayang kepada saya; kalau saya lawan
Tuhan, Tuhan juga akan benci saya. Bahkan agama bukan sekadar
hubungan timbal balik, tetapi seperti hubungan dagang, you get what you
paid. Ada sahabat saya mengatakan begini: "Agama itu seperti dagang,
kasih Rp 1 dapat Rp 1.000 atau kasih Rp 10.000 dapat Rp 1.000.000. Jadi
berapa kita investasi kepada Tuhan, Tuhan akan membalas kepada kita."
Itu sebabnya pendekatan kita dalam agama adalah selalu kita bertanya:
"Aku dapat apa?" Kalau saya sudah memberikan waktu terbaik saya, hari
Minggu saya tidak pergi jalan-jalan, saya pergi berbakti. Minggu pertama
sampai akhir tahun tidak pernah bolos, kita akan tanya: saya akan dapat
apa? Kalau saya sudah memberikan persembahan, walaupun saya lagi
susah, nanti saya akan dapat apa sebagai imbalannya? Inilah Asaf, dia ajak
Tuhan berdagang. Dia rasa dia sudah bayar, dia sudah melakukan yang
Tuhan minta, namun dia tidak melihat balasannya. Dia tidak melihat apaapa yang dia boleh dapat. Kalau sudah dibayar tidak dapat apa-apa, jelas
kita tidak ingin meneruskan dagang seperti itu.
Orang yang berhubungan dengan Tuhan dengan sistem agama yang
timbal-balik mudah dikenali. Saya memberikan 5 ciri:
Ciri Pertama, tidak ada ucapan syukur. Ciri ini gampang kita lihat waktu
kita menjawab pertanyaan ini: Kenapa orang masuk surga dan kenapa
orang masuk neraka? Agama akan dengan cepat menunjukkan ciri tidak
bersyukur dalam menjawab pertanyaan ini. Orang masuk ke surga karena
bisa membayar tiketnya berupa amal, bakti, kesalehan yang cukup. Orang
masuk neraka karena tidak bisa beli tiketnya, tidak cukup amal, tidak
cukup bakti, tidak cukup saleh, dosa terlalu banyak. Dia mendapat apa
Page 5 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
yang dia bayar, you get what you paid. Yesus pernah memberikan
perumpamaan di Lukas 18:9-14 ada orang Farisi dan pemungut cukai
masuk ke dalam bait Allah untuk berdoa. Saya ingin mengganti bait Allah
dengan surga. Jadi ada orang Farisi dengan pemungut cukai masuk ke
surga. Mereka ada di surga. Berkumpullah orang Farisi dengan orang
Farisi di surga dan mereka mulai bercakap-cakap antar orang Farisi dengan
orang Farisi (karena orang Farisi tidak mau bergaul dengan pemungut
cukai). Terjadi percakapan antara Farisi A dan Farisi B. Farisi A bertanya
kepada Farisi B: "apa yang kamu lakukan sehingga kamu bisa masuk
surga? Bagaimana kamu bisa masuk di sini?" Si Farisi B menjawab:
"karena aku tidak sama seperti orang lain, bukan perampok, bukan orang
lalim, bukan pezinah, bukan pemungut cukai, aku berpuasa dua kali
seminggu, memberikan perpuluhan dari segala penghasilan. Itu yang aku
lakukan, maka saya di sini. Kamu sendiri apa yang kamu lakukan
sehingga ada di surga." Si Farisi A menjawab: "Tentu tidak mudah. Kalau
kamu puasa dua kali seminggu, aku terbalik, seminggu hanya makan dua
kali. Kalau kamu memberi sepersepuluh dari penghasilanmu, aku justru
memberikan sembilan persepuluh untuk Tuhan, sepersepuluh untuk saya
sendiri. Makanya jangan heran kalau tempatku jauh lebih baik dari
tempatmu." Farisi B waktu mendengar jawaban ini, dia berkata "ya..ya..
memang anda pantas dapat bintang." Mana pujian terima kasih kepada
Tuhan? Tidak perlu, karena mereka bisa di surga oleh sebab cukup syarat,
prestasi mereka sendiri. Jadi mereka merasa apa yang mereka peroleh
sudah selayaknya, itu adalah usaha mereka sendiri. Jadi orang yang
membayar tiket masuk ke surga jangan harap akan berterima kasih dan
memuji kemurahan Tuhan. Itu ciri agama timbal balik: saya ada di sini
bukan sesuatu yang tidak saya bayar.
Ciri Kedua, mereka mempunyai hubungan legalistik. Maksudnya, kalau
seseorang bangkut kehidupannya susah karena dia banyak dosa, dia tidak
akan marah kepada Tuhan. Tetapi kalau dia merasa hidupnya baik, rajin
memberi persembahan, rajin beramal, rajin beribadah, hidup baik ternyata
dia sakit-sakitan, rezeki sulit, maka dia akan marah kepada Tuhan. Waktu
dia berdosa tidak marah, karena dia merasa sudah sepantasnya
mendapatkan kesulitan-kesulitan ini. Tapi kalau dia baik dan mengalami
kesulitan, dia akan marah sekali karena dia merasa itu sebuah perlakukan
yang tidak adil. Kalau kita masuk ke surga karena kita membayar harganya
Page 6 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
dan kemudian ternyata di surga kamar kita jelek, pelayanannya jelek -seperti kita masuk hotel sudah bayar mahal ternyata pelayanan jelek, maka
kita akan marah dan komplain. Kalimat yang keluar begini: "wah
tempatnya kok jelek, pelayanan kok jelek, saya mau tuntut, saya di sini
bukan gratis saya bayar". Kalau di surga kita masuk berdasarkan kita
mampu bayar, maka kalau kita lihat nanti Tuhan melayani kurang baik,
kita akan tuntut dan kita akan marah-marah kepada Tuhan. Dan kita tidak
berani marah kalau kita dimasukkan neraka karena kita berdosa, karena
kita merasa itu sepantasnya. Jadi terjadi hubungan legalistik.
Ciri Ketiga, tidak ada hubungan personal (pribadi) dengan Tuhan.
Ilustrasinya, ada seorang ayah menjanjikan permen kepada anaknya jika
anaknya selesai mengerjakan PR (pekerjaan rumah). Tujuannya bergeser,
anak menyelesaikan PR bukan dengan tujuan menyelesaikan tetapi karena
dia ingin permen. Dia taat bukan karena dia mengasihi ayah tetapi dia mau
mendapatkan permen yang ayahnya janjikan. Ini akan berakibat
perhatiannya menjadikan permen sebagai tujuan, itu sangat menakutkan.
Apa bahayanya? Pertama, dia tidak akan menyelesaikan PR kalau
permennya masih ada. Kedua, dia tidak akan mengerjakan PR lagi kalau
dia sudah bosan dengan permen. Ketiga, kalau dia mampu mendapat
permen tanpa perlu minta dari ayahnya dan tanpa perlu menyelesaikan PR,
dia tidak akan menyelesaikan PRnya. Bahkan dia juga tidak akan mencari
ayahnya karena dia sudah mampu mendapat permen sendiri. Ini adalah
falsafah hidup orang fasik: tanpa Tuhan sudah kaya, sudah gemuk, sudah
sehat, untuk apa cari Tuhan? Kalau saja Asaf hidupnya gemuk, sehat,
senang, apa dia masih menjaga hati, membasuh tangan dan masih merasa
perlu mencari Tuhan? Pasti tidak. Jadi sebetulnya tidak ada hubungan
personal dengan Tuhan, tetapi mencari imbalan-imbalan yang kalau bisa
dicari di luar Tuhan, tidak perlu mencari Tuhan.
Ciri Keempat, agama timbal balik tidak memboleh Tuhan memberi
anugerah. Kalau kita membayangkan si Farisi tahu bahwa pemungut cukai
yang korup, yang tidak puasa, tidak memberi perpuluhan ternyata ada di
surga. Masuk surga karena Tuhan memberi anugerah bukan karena
kelayakan mereka, maka Farisi ini akan sangat marah bukan hanya kepada
si pemungut cukai tetapi kepada Tuhan. Contoh konkrit cerita waktu anak
sulung menerima adiknya kembali. Waktu ayahnya berlari, memeluk
Page 7 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
adiknya kembali yang baru memfoya-foyakan uang ayahnya, ayahnya
malah mengadakan pesta. Kakak sulungnya tidak bisa menerima kalau
adiknya diterima. Jadi dia marah kepada ayahnya dan adiknya. Bahkan dia
bisa menyesal, kalau tahu hidup seperti itu bisa diterima, untuk apa saya
menjaga hidup saya bersih? Jadi dia sebetulnya menyesal kalau hidup
berdosa boleh menerima anugerah, maka dia akan merasa menyesal harus
bersusah payah menjaga kesucian.
Ciri Kelima, hidup tidak berdosa bukan karena benci dosa tapi takut
kehilangan imbalan. Takut masuk neraka kalau tidak taat. Jadi bukan
karena membenci dosa takut efek yang terjadi di kehidupan. Ada jemaat
yang memprotes khotbah pendetanya. Mengapa jemaat tersebut protes?
Karena pendeta berkhotbah "satu kali diselamatkan, selamanya
diselematkan". Dan salah satu kisah yang diberikan pendeta adalah ada
orang yang sungguh sudah lahir baru yang kemudian karena
kelemahannya dia melakukan dosa berzinah dan saat itu mati seketika.
Dan si pendeta berkata, "walaupun begitu darah Kristus cukup untuk
mengampuni dia dan menerima dia di surga". Setelah khotbah itu protes
luar biasa dari seorang jemaat, dia berkata: "Khotbah bapak sangat tidak
membangun. Kalau orang jatuh dalam dosa masih diselamatkan, saya
juga mau kalau begitu. Kalau orang sudah berzinah masih bisa masuk
surga, saya juga mau kalau begitu." Lalu selama ini dia tidak berzinah
karena apa, apa karena dia benci dosa zinah? Tidak. Dia takut masuk
neraka. Maka sebetulnya dia taat bukan karena dia cinta kesucian hidup.
Asaf sebetulnya punya mental yang persis sama. Kalau dengan hidup fasik
orang masih diberkati begitu limpah, kalau dengan hidup fasik orang
masih diberkati begitu limpah, kalau dengan hidup melawan Tuhan orang
masih tetap gemuk dan sehat, maka Asaf berkata: "buat apa
mempertahankan hati dan membasuh tangan, lebih baik hidup seperti
orang fasik." Ketaatan seperti ini bukan untuk Tuhan, bukan mencintai
kesalehan, melainkan takut ada bahaya-bahaya yang akan diterima.
Kesalehan ini bukan lahir karena membenci apa yang Tuhan benci, bukan
karena mencintai apa yang Tuhan cintai. Itu kerohanian yang dalam dan
luar berbeda.
Itulah beberapa ciri yang menyebabkan Yesus begitu membenci,
melawan dan menentang bentuk agama seperti ini. Kalau kita berimajinasi
Page 8 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
kembali pada perumpamaan Lukas 18, tadi kita mengikuti percakapan
orang Farisi sekarang kita melihat kelompok pemungut cukai yang masuk
surga. Pemungut cukai A bertanya kepada pemungut cukai B, "Bagaimana
kamu bisa ada di sini, apa yang kamu perbuat sehingga kamu mendapat
tempat sebagus ini?" Di jawab oleh pemungut cukai B, "saya sampai hari
ini masih tidak bisa mengerti, bagaimana bisa Tuhan bermurah hati
kepada saya orang berdosa seperti ini. Dia menerima saya di tempat-Nya.
Lalu kamu sendiri bagaimana bisa ada di sini?" Jawab pemungut cukai A:
"Semua cuma karena kemurahan-Nya, saya layaknya di neraka, saya
pernah berzinah, korup, tidak bayar perpuluhan, tidak pernah berpuasa,
jarang ke bait Allah. Tetapi waktu itu saya berdoa minta agar Tuhan
mengasihani saya orang berdosa. Dia bukan hanya memberi saya belas
kasihan, Dia menyambut saya di rumah-Nya. Saya sungguh tidak mengerti
anugerah yang begitu besar bagi diri saya." Percakapan mereka
mengungkapkan kekaguman kemurahan Tuhan, belas kasih Tuhan. Syukur
yang ada dalam hati mereka. Yesus memberi kesimpulan terakhir, orang
ini (pemungut cukai) pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan
Allah, dan orang lain (Farisi) tidak. (Lukas 18:14). Rasul Paulus menulis
dalam Efesus 2:8-10:
"Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil
usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada
orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan
dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan
Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." (TB-LAI)
Keselamatan maupun kehidupan yang saleh itu semua anugerah Allah, ini
yang Asaf lupa. Dia dipilih, dia dikasihi, dia dipakai Tuhan, semata-mata
anugerah Allah. Daud sebetulnya sama dengan Asaf, agama adalah
hubungan timbal balik dengan Tuhan. Daud dalam Mazmur 18:26 berkata
: "Terhadap orang yang setia Engkau berlaku setia, terhadap orang yang
tidak bercela Engkau berlaku tidak bercela". Bagaimana Daud harus
merevisi Mazmur ini, setelah dia jatuh dengan dosa zinah, setelah dia
membunuh Uria, dia mendapati ternyata Tuhan bertindak kepada orang
seperti dia yang tidak setia, Tuhan setiawan; pada dia yang bercela, Tuhan
bertindak tidak bercela kepadanya. Bagaimana dia harus membaca dan
Page 9 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
merevisi Mazmurnya. Hubungan kita dengan Tuhan adalah anugerah
semata, itu yang Asaf lupa.
Kegetiran Asaf bukan hanya sekadar konsep timbal baliknya, tetapi
juga dari konsepnya tentang berkat. Bagi Asaf yang namanya berkat tidak
lain gemuk, sehat, senang, kaya; maka waktu dia lihat orang fasik gemuk,
sehat, senang, kaya, itu pasti berkat, maka dia salah paham. Benarkah
pandangan Asaf bahwa orang fasik hidup penuh dengan segala kelimpahan
kekayaan walaupun tidak menghormati Tuhan, sebaliknya dia adalah
orang yang dikutuki, dihukum, ditulahi Tuhan setiap hari? Dalam ayat 16
dia kemukakan bahwa dia bergumul, dia ingin mendapat jawaban
walaupun diakui sangat sulit dipahami: "tetapi ketika aku bermaksud untuk
mengetahuinya, hal itu menjadi kesulitan di mataku". Walaupun begitu,
kita memuji Asaf karena waktu dia pahit terhadap Tuhan, dia tidak lari
dari Tuhan. Dia cari jawabannya tetap dari Tuhan: "sampai aku masuk ke
dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka" (ayat
17). Pahit hatinya, tetapi dia larinya tetap kepada Tuhan dan situlah Tuhan
memberinya pemahaman: "sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh
mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur." (ayat 18). Jadi Tuhan
menempatkan orang fasik tidak di jalan berlubang, tidak di jalan berbatu,
tetapi di tempat-tempat licin, maka ini menjelaskan mengapa orang fasik
gampang sukses, kenapa mereka makin berlimpah dalam perbuatan
dosanya? Jawabannya karena mereka ditaruh di tempat yang licin.
Pertanyaannya, sebetulnya tempat licin ini adalah berkat atau hukuman?
Waktu orang menantang Allah, Allah justru menempatkan di tempat licin
sehingga tidak ada halangan, serba lancar, tambah gemuk, tambah sehat,
tambah kaya, ini berkat atau hukuman? Kelihatannya berkat, tetapi kalau
kita lanjutkan pembacaan kita, di situ dikatakan: "Betapa binasa mereka
dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan!" (ayat 19).
Jadi dengan jalan licin orang fasik diberi kelancaran tanpa rem, bagaikan
mereka diberi mobil mewah dengan kecepatan tinggi di jalan tol bebas
hambatan, hanya saja tanpa rem. Itu berarti terjamin mereka meluncur
cepat menuju kehancuran. Untuk menolong kita mengerti lebih baik point
ini, di dalam Roma 1:18:
"Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman
manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman." (TB-LAI)
Page 10 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
Jadi saat manusia berdosa apakah Allah diam? Tidak. Dikatakan
bahwa murka-Nya nyata. Senyata apakah murka itu? Apakah seperti dalam
Perjanjian Lama Allah mengirim banjir, mengirim petir, membelah bumi,
menghabisi semua orang berdosa sehingga mereka distop dari dosadosanya? Apa seperti itu? Ternyata tidak. Ayat 24, 26, dan 28 ada
ungkapan yang sama yang diulang yaitu "Allah menyerahkan". Allah tidak
menghambat, tetapi Allah menyerahkan. Tiga kali dikatakan "Allah
menyerahkan". Pertama, Allah menyerahkan mereka kepada keinginan
hati mereka akan kecemaran; kedua, Allah menyerahkan kepada hawa
nafsu yang memalukan; ketiga, Allah menyerahkan pikiran-pikiran yang
terkutuk. Jadi orang yang terkena hukuman seperti ini bukan berhenti
berdosa, karena dia diserahkan kepada keinginannya, hawa nafsunya.
Kalau demikian orang ini akan pernah berpikir akan bertobat? Perlu
Tuhan? Ayat 28b-31 menjelaskan akibat setelah "Allah menyerahkan":
"...sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas: penuh dengan ruparupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan
dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan. Mereka
adalah pengumpat, pemfitnah, pembenci Allah, kurang ajar, congkak,
sombong, pandai dalam kejahatan, tidak taat kepada orang tua, tidak
berakal, tidak setia, tidak penyayang, tidak mengenal belas kasihan" (TBLAI)
Orang-orang seperti itu dihukum Tuhan, tetapi di mata kita mereka tambah
gila, tambah berani, tambah tenggelam dalam dosanya, sehingga kita
berkata mengapa Tuhan diam saja? Kelihatannya Tuhan mendiamkan,
padahal itulah bentuk hukuman. Dengan Tuhan mendiamkan sehingga
mereka hidup makin hidup dalam dosa makin dalam. Mereka tidak pernah
berpikir untuk kembali kepada Tuhan, untuk kembali kepada Tuhan. Jadi
dengan itu sebetulnya mereka dijamin akan masuk ke dalam kebinasaan
kekal. Kalau dilihat dari sudut ini, perumpamaan anak hilang dalam Lukas
15 yang Yesus berikan, waktu ia susah sekali di kandang babi, itu apakah
berkat atau hukuman? Jelas itu adalah hukuman sekaligus berkat. Karena
justru di dalam krisis dia di kandang babi, dia berpikir betapa banyaknya
orang upahan yang berlimpah-limpah makannya tetapi di situ dia
kelaparan, dia bangkit dan pergi kepada bapaknya. Justru krisis ini
membawa dia ingat, dia pulang ke rumah bapanya. Coba kita bayangkan
Page 11 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
secara terbalik, seandainya dia meninggalkan rumah bapanya dengan
meminta seluruh harta bagiannya. Setelah itu dia menjadi makin kaya raya,
makin jauh dari bapanya hidupnya justru makin melimpah, apakah dia
berpikir mau pulang? Apakah dia pernah berpikir lagi tentang bapanya?
Saya kira dia akan berpikir begini: "keputusan saya meninggalkan rumah
bapa, itu keputusan yang paling tepat. Kalau saya tidak pergi dari rumah
itu, sampai sekarang saya ditindas, bodoh, miskin. Jangan harap saya
mau pulang ke rumah seperti kandang babi itu." Krisis itu adalah justru
sesuatu yang indah dai Tuhan bagi dia, karena membawa dia kembali
kepada Tuhan. Betapa indahnya kalau orang-orang Kristen mengerti
berkat itu tidak hanya dalam arti sempit, makmur, sehat. Makmur, sehat itu
bisa berupa hukuman dan jangan berpikir penyakit itu pasti kutuk dari
Tuhan untuk menghukum. Kesulitan dan penyakit itu bisa berkat dalam
kehidupan kita. Asaf waktu dia masuk ke tempat kudus Tuhan, dia melihat
orang fasik. Mereka tidak dalam kebahagian, namun bahaya yang pasti
mematikan mereka: "Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh
mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur" (ayat 18). Itu yang Asaf
perhatikan. Apakah Asaf kena hukum, kena tulah? Jelas bukan. Dia bukan
sedang ditulahi. Yang Asaf alami persis seperti penulis Ibrani katakan
dalam pasal 12:
Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti
kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan,
dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan
menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak." (Ibrani 12:5-6, TB-LAI)
Jadi Asaf itu dihajar, disesah karena dia anak. Tuhan sangat
memperhatikannya. Itu sebabnya waktu dia menulis ayat 1 -- yang luar
biasa menggugah hati kita: "Sesungguhnya Allah itu baik...". Pengalaman
yang dia sudah lewati, membuat dia menulis sebuah kesimpulan
"Sesungguhnya Allah itu baik". Mengapa dia bisa berkata demikian?
Apakah terjadi perubahan dalam hidupnya? Apakah Tuhan datang kepada
Asaf dan Tuhan berkata: "Maaf Asaf, Saya salah memperlakukan orang.
Mulai besok orang fasik akan Saya siksa, Saya tulahi, Saya hukum. Mulai
besok kamu akan gemuk, sehat, kaya raya." Tidak ada perubahan seperti
itu. Tidak ada perubahan secara lahiriah. Asaf tetap pada kondisinya,
Page 12 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
orang fasik pun demikian. Yang Asaf lihat adalah perubahan pemahaman
rohani. Dia melihat sebetulnya Tuhan sayang kepada dia, dia mengalami
kasih setia Tuhan. Karena di ayat 21-24, Tuhan tidak membalas gigi ganti
gigi, mata ganti mata, tidak memperlakukan timbal balik, melainkan tetap
dekat, memegang tangannya, menuntun dia dalam nasihat-Nya dan
mengangkat dia dalam kemuliaan. Dari proses Asaf marah kepada Tuhan
sampai sesungguhnya Allah itu baik, proses demikian berapa lama? Kita
tidak tahu. Mungkin lama sekali, tetapi kita perlu belajar dari Asaf, masamasa getir seperti itu dia tidak lari dari Tuhan, melainkan terus mencari,
mendekatkan dirinya pada Tuhan. Kalau pokok persoalannya adalah pahit
hati kepada Tuhan, maka dia harus mencari penyelesaian dari Tuhan itu
sendiri. Waktu kita pahit hati kepada Tuhan, kekuatan dari mana untuk
mengatasi ini? Tidak lain tetap dari Tuhan itu sendiri.
Di ayat 25 -- salah satu ungkapan puncak kerohanian di dalam
Perjanjian Lama: "Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau?
Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi." Ini adalah perubahan
yang sangat drastis, transformasi rohani yang luar biasa. Kalau
sebelumnya yang dia cari adalah kaya, gemuk, sehat, di sini dia katakan
dia tidak mau apa-apa selain Tuhan. Kalimat ini menunjukkan kepada kita,
orang mencari Tuhan ada dua bentuk. Pertama, menjadikan Tuhan sarana
untuk mendapatkan sesuatu. Orang mencari Tuhan, bukan untuk Tuhan,
dia cari sesuatu lewat Tuhan, entah itu kesembuhan, kekayaan, kepuasan
atau mendapat surga. Ini adalah kerohanian anak-anak. Kedua, mencari
Tuhan karena menginginkan Tuhan itu sendiri.
Kalau saudara teliti membaca cerita anak yang hilang, apa yang
menyebabkan anak hilang mau pulang? Apa karena rindu ayahnya? Cinta
ayahnya? Dia pulang karena kepentingan dia sendiri, dia mau dapat
makan. Dia berkata: "di rumah bapaku ada banyak makanan". Jadi
sebetulnya dia mau pulang, dia tahu dia harus pulang kalau tetap dapat
hidup, bukan karena ada banyak makanan. Si ayah juga tidak tanya
motivasi anak ini pulang. Allah tidak keberatan kalau kita memulai
perjalanan bersama Dia bukan demi Allah. Tetapi Alkitab menekankan
sekali betapa rindu-Nya sebagai Bapa melihat kita bertumbuh.
Bernard dari Chlerfo, menyebutkan 4 tingkatkan dalam pertumbuhan
kerohanian:
Page 13 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
1. Mengasihi diri sendiri demi diri sendiri.
2. Mengasihi Tuhan demi diri sendiri. Mengasihi Tuhan untuk
mengharapkan mendapatkan apa-apa yang Dia bisa berikan kepada
kita.
3. Mengasihi Tuhan demi Tuhan itu sendiri, tanpa mementingkan diri
sendiri.
4. Mengasihi diri sendiri dan orang lain demi Tuhan, dalam kesadaran
akan kasih Tuhan yang besar bagi kita.
Dari 4 tahapan Bernard ini, Asaf sudah pindah dari 1 dan 2 masuk ke tahap
3 dan 4. Dari demi kasih kepada Tuhan dia dapat apa, kemudian dia
berkata: "Tidak ada yang kuingini selain Tuhan itu sendiri."
Seorang teman saya bercerita suatu ketika pulang dari luar negeri, dia
bawa hadiah yang kemudian diberikan anaknya. Anaknya senang sekali.
Kemudian dia bertanya: "kamu senang karena papa pulang atau karena
hadiah?" Anak ini membuang hadiahnya, kemudian dia lari dan peluk
ayahnya dan berkata "aku senang tentu karena ayah pulang." Hati ayah ini
berbunga-bunga karena dia lihat anaknya bukan mau barang tapi karena
mau dia. Tuhan luar biasa berbahagia kalau kita mengasihi demi diri-Nya
sendiri.
Kita di tahap mana? Di tahap 1 dan 2 adalah di situ ada kebaktian
penuh berkat, ada kesembuhan, ada kesuksesan kita lari ke sana. Tapi
kalau kita diundang ikut kebaktian yang isinya mendoakan pekerjaan
Tuhan, kalau kita diudang tiap pagi baca Alkitab, kita tidak mau lakukan.
Karena apa? Karena kita tidak mau pusing dengan Tuhan, kita pusing
dengan diri sendiri. Khususnya pada waktu krisis, mudah kita tahu
motivasi kita mencari Tuhan. Kalau waktu krisis kita meninggalkan
Tuhan, itu menunjukkan kita cari Tuhan karena ingin dapat sesuatu dari
Tuhan. Tetapi kalau waktu krisis kita makin mendekatkan diri kepada
Tuhan, itu menunjukkan karena yang memang karena Tuhan, walaupun
kehilangan apa saja bahkan Asaf berkata "sekalipun dagingku dan hatiku
habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selamalamanya." (ayat 26) dan dia berkata "tetapi aku, aku suka dekat pada
Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan ALLAH, supaya
dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya." (ayat 28). Krisis bukan hanya
mengukur motivasi kita, tetapi juga mengoreksi kerohanian kita. Melalui
Page 14 Pembahasan Mazmur 73 – Pdt. Yohan Candawasa
krisis inilah Asaf bertumbuh, dia mencari Tuhan dan mendapat pengertianpengertian yang jauh lebih mematangkan hubungannya dengan Tuhan.
Asaf melalui pengalaman ini semua mengambil keputusan untuk
menceritakan segala pekerjaan Tuhan. Asaf bukan orang pertama dan
terakhir yang merasakan pahit hati kepada Tuhan, maka betapa
menolongnya Mazmur ini untuk orang-orang yang pahit hati kepada
Tuhan. Dengan kata lain, kalau kesaksian Asaf hanya menceritakan
manisnya perbuatan Tuhan, Mazmur ini tidak ada gunanya untuk orangorang yang pahit hati kepada Tuhan. Dapat saya ambil kesimpulan:
pelayanan kita kalau tidak mempunyai pengalaman getir bersama Tuhan,
maka kesaksian dan pelayanan itu banyak merugikan orang lain, karena
tidak disiapkan menghadapi masa-masa sukar dalam pergaulan dengan
Tuhan. Asaf kemudian bercerita dari kepahitannnya, kemudian berubah
apa yang dia kenali dengan Tuhan. Kita berdoa supaya Tuhan terus pegang
tangan dan tuntun kita khususnya pada waktu kita merasa Tuhan tidak adil
memperlakukan kita.
Pengutipan dari artikel ini harus mencantumkan:
Dikutip dari
http://www.geocities.com/thisisreformed/artikel/yohancandawasa-mzm73.html
Page 15 
Download