Presiden Persilahkan BPK Audit Utang Luar Negeri

advertisement
Presiden Persilahkan BPK Audit Utang Luar Negeri
Foto: tribunews.com
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempersilakan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) untuk melakukan audit i terhadap utang luar negeri ii . "Kalau BPK ingin
mengadakan audit tentang kebijakan utang atau jumlah utang iii atau penggunaan utang,
itu tugas BPK. Kita mendukung, silakan untuk melaksanakan audit seperti itu." kata SBY
dalam acara silaturahmi dengan wartawan di Istana Negara, Senin (13/2) malam.
SBY menegaskan pemerintah terus berupaya membangun APBN iv yang sehat
dengan terus mengurangi komponen utang luar negeri. Presiden mengatakan bahwa
Pemerintah tahun-tahun terakhir berusaha untuk membatasi utang, salah satunya
adalah membatasi tawaran dari pihak luar negeri, loans v misalnya dan juga pengetatan
kredit ekspor vi .
Diakui Presiden, utang luar negeri Indonesia semakin besar. Namun, rasio utang
terhadap PDB vii menurun. Pada tahun 2004, utang Indonesia tercatat Rp 1.299 triliun
dan PDB mencapai Rp 2.295 triliun. Dengan demikian, rasio utang terhadap PDB
mencapai 55,6 persen.
Sementara itu, pada tahun 2011, utang Indonesia meningkat menjadi Rp 1.816 triliun,
sementara PDB mencapai Rp 7.226 triliun. Dengan kata lain, rasio utang terhadap PDB
turun menjadi sekitar 25 persen.
Upaya untuk mengurangi komponen utang luar negeri juga sudah dilakukan
pemerintah. Pada tahun 2004 utang luar negeri Indonesia terhadap keseluruhan utang
mencapai 50 persen dan pada tahun 2011 menurun menjadi 32 persen. Artinya sumber
utang itu ada di dalam negeri.
Presiden SBY menambahkan mengenai implementasi, presiden mempersilahkan
BPK dan BPKP untuk melakukan audit untuk menilai efisiensi. Pemerintah akan
menerima koreksi yang diberikan apabila memang koreksinya benar, karena pada
Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum dasarnya pemerintah juga menginginkan untuk membangun dan mengembangkan APBN
yang sehat, termasuk jumlah utang yang tepat dan tidak melebihi kemampuan untuk
menanggungnya.
Sumber:
www.nasional.kontan.co.id
www.kompas.com
www.presidenri.go.id
¾ Utang dalam KUHPer/BW di atur dalam buku ketiga tentang Perikatan. Dapat
dikatakan utang timbul atas 2 hal berdasarkan pejanjian atau berdasarkan UndangUndang. Utang yang timbul dari perjanjian ada dalam pasal 1234 dimana disebutkan
“tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau
untuk tidak berbuat sesuatu” dimana belum terlaksanannya prestasi (kewajiban) dari
pihak berutang kepada pihak yang memiliki (hak) si berpiutang adalah musabab
timbulnya utang. Sedangkan utang yang timbul karena Undang-undang antara lain
ada dalam pasal 1354 KUHPer.
¾ Utang Negara Menurut Pasal 1 angka 8 UU No. 1 tahun 2004 (UU No. 1/2004)
tentang Perbendaharaan adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Pusat
dan/atau kewajiban Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 38 UU No.1/2004
disebutkan Tata cara pengadaan utang dan/atau penerimaan hibah baik yang berasal
dari dalam negeri maupun dari luar negeri serta penerusan utang atau hibah luar
negeri kepada Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD, diatur dengan peraturan pemerintah.
¾ Dalam PP No. 10 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan
Hibah (PP No.10/2011), utang atau pinjaman Luar Negeri didefinisikan sebagai
berikut: “Pinjaman Luar Negeri adalah setiap pembiayaan melalui utang yang
diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu
perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar
kembali dengan persyaratan tertentu.
¾ Pinjaman luar negeri adalah semua pinjaman yang menimbulkan kewajiban
membayar kembali terhadap pihak luar negeri baik dalam valuta asing maupun dalam
Rupiah. Termasuk dalam pengertian pinjaman luar negeri adalah pinjaman dalam
negeri yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri.
(Sanuri, “Pinjaman Luar Negeri Pemerintah”, Direktorat Luar Negeri Bagian Ekspor
Impor, Bank Indonesia, Makalah, 2005)
¾ Dalam menerima pinjaman atau hibah dari luar negeri, Pemerintah menetapkan
kebijakan yang ditetapkan sejalan dengan kebijakan umum dan dijadikan prinsip
dasar dan pertimbangan dalam menerima setiap pinjaman luar negeri. Prinsip dasar
itu adalah:
a. Pinjaman yang diterima harus berjangka panjang dengan syarat-syarat yang
ringan, yaitu syarat yang masih dapat dipenuhi secara normal dan wajar.
b. Pinjaman yang diterima tidak disertai dengan suatu ikatan politik apapun dan
dilandasi azas yang saling menguntungkan secara wajar.
c. Jumlah dan syarat pinjaman disesuaikan dengan batas kemampuan untuk
membayar kembali dan tidak menimbulkan beban yang terlalu memberatkan
terhadap neraca pembayaran. Indikator kemampuan membayar adalah rasio
antara jumlah utang dan bunga pada satu periode dengan hasil ekspor pada
periode yang sama atau disebut Debt-Service ratio (DSR).
Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum d. Penggunaan dan penarikan dana pinjaman tidak terlalu ketat dan lebih disukai
jenis pinjaman yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan.
e. Sumber dana pinjaman harus jelas dan pihak kreditor dikenal mempunyai reputasi
yang baik.
f. Perlu adanya penganekaragaman (diversifikasi) sumber dan bentuk pinjaman,
sehingga dapat meningkatkan borrowing capacity Indonesia. Hal ini dilakukan
karena Indonesia tidak selamanya dapat memperoleh pinjaman bersifat lunak
sehingga perlu dicari bentuk bentuk pinjaman lain seperti fasilitas kredit ekspor
dan pinjaman komersial serta mencari sumebr-sumber lain seperti dari bankbank, non bank, corporate atau individual investor potensial yang diorganisir oleh
Pemerintah negara kreditor.
g. Penggunaan pinjaman diarahkan pada pembiayaan proyek-proyek yang memberi
manfaat langsung bagi pengembangan industri dalam negeri serta mendorong
perluasan lapangan kerja.
h. Penggunaan pinjaman tidak dibatasi untuk impor barang/jasa dari negara pemberi
pinjaman saja, tetapi hendaknya bebas digunakan untuk kepentingan impor dari
negara lain.
(Sanuri, “Pinjaman Luar Negeri Pemerintah”, Direktorat Luar Negeri Bagian Ekspor
Impor, Bank Indonesia, Makalah, 2005)
¾ Pinjaman Luar Negeri menurut Jenisnya terdiri atas:
a. Pinjaman Tunai, dan
b. Pinjaman Kegiatan. (pasal 5 PP No. 10/2011).
¾ Pinjaman Luar Negeri sebagaimana di atas bersumber dari:
a. Kreditor Multilateral;
b. Kreditor Bilateral;
c. Kreditor Swasta Asing; dan
d. Lembaga Penjamin Kredit Ekspor.
¾ Pinjaman Luar Negeri digunakan untuk:
a. membiayai defisit APBN;
b. membiayai kegiatan prioritas Kementerian/Lembaga;
c. mengelola portofolio utang.
d. diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah;
e. diteruspinjamkan kepada BUMN; dan/atau
f. dihibahkan kepada Pemerintah Daerah
¾ Pasal 9 PP No. 10/2011 menyebutkan bahwa Menteri menyusun rencana batas
maksimal Pinjaman Luar Negeri yang ditinjau setiap tahun. Rencana batas maksimal
Pinjaman Luar Negeri sebagaimana dimaksud tersebut merupakan alat pengendali
Pinjaman Luar Negeri.
¾ Pelaporan atas penggunaan pinjaman luar negeri di atur dalam pasal 76 PP No.
10/2011 sebagai berikut: Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur, Bupati/Walikota
atau direksi BUMN, selaku pelaksana kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Luar
Negeri dan/atau Hibah, masing-masing harus menyampaikan laporan triwulanan
kepada Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional paling
sedikit mengenai:
a. pelaksanaan pengadaan barang/jasa;
b. kemajuan fisik kegiatan;
c. realisasi penyerapan;
d. permasalahan dalam pelaksanaan; dan
e. rencana tindak lanjut penyelesaian masalah
¾ Menteri Keuangan melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan triwulanan
mengenai realisasi penyerapan Pinjaman Luar Negeri dan/atau Hibah Luar Negeri dan
Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum , dan pelaporan triwulanan mengenai kinerja
pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri dan/atau Hibah Luar
Negeri. (pasal 77 PP No. 10/2011)
¾ Mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan dan penggunaan Pinjaman Luar Negeri
pasal 81 PP No. 10/2011 menentukan bahwa hal tersebut dilakukan oleh Instansi
Pengawas Internal dan Eksternal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
i
Audit atau Pemeriksaan adalah Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara (Pasal 1 angka 5 Peraturan BPK No. 1 tahun 2007 tentang SPKN). Pemeriksaan yang dilakukan BPK terdiri dari 3 jenis yakni Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerj dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (pasal 3 Peraturan BPK No. 1 tahun 2007 tentang SPKN) ii
Terkait dengan utang Luar Negeri dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah dinyatakan bahwa Pinjaman Luar Negeri adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. iii
Utang itu sendiri adalah merupakan kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undangā€undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. (pasal 1 angka 7 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). iv
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 1 UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara) v
Loans dalam Blacks Law Dictionary didefinisikan sebagai berikut: ”1. An act of landing; a grant of something for temporary use. 2. A thing lent for the borrower’s temporary use” vi
Kredit Ekspor hakekatnya adalah sejumlah dana yang dipinjamkan pihak ketiga untuk membeli barang atau peralatan produk negara pemberi pinjaman. Fasilitas Kredit Ekspor (FKE) adalah fasilitas yang diberikan negara kreditor dengan persyaratan tertentu kepada negara pengimpor (borrower). Diberikan oleh negaranegara pengekspor dengan jaminan tertentu (Guarranted Loan) dari pemerintahnya dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor negara yang bersangkutan di satu pihak, dan dipihak lain untuk memenuhi kebutuhan barang yang dibutuhkan negara pengimpor. (Imamuddin Lukman, ”Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Kredit Ekspor dalam Pengadaan Barang/Jasa Di Lingkungan Kementerian Pertahanan”, Thesis, FHUI, 2010) vii
Produk Domestik Bruto (PDB) diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak. (Wikipedia.com) Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum 
Download