BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI MUAL MUNTAH PASKA OPERASI Mual dan muntah paska operasi atau Postoperative Nausea and Vomitting (PONV) adalah komplikasi yang tidak menyenangkan yang dapat terjadi selama 24 jam sesudah tindakan operasi dengan anestesi baik anestesi umum maupun regional.27 Flagg menyatakan bahwa PONV dapat disebabkan oleh berbagai faktor selain anestesi dan paling sedikit ada 3 (tiga) macam muntah yaitu yang disebabkan pemakaian eter, respon refleks dan pemakaian opioid. 28 PONV meliputi 3 (tiga) gejala yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan. Mual adalah sensasi subjektif yang berasal dari tenggorokan dan epigastrium serta bersifat urgensi untuk muntah tanpa adanya pergerakan otot untuk mengeluarkan isi lambung. Apabila memberat maka rasa mual dapat meningkatkan sekresi air liur, gangguan vasomotor dan berkeringat. Muntah didefinisikan sebagai refleks paksa untuk mengeluarkan isi lambung melalui mulut akibat aktifitas otot abdomen, interkosta, laring dan faring termasuk kontraksi retrograde yang besar dari usus, relaksasi fundus lambung, penutupan glottis dan elevasi palatum lunak. Aktivitas muntah berhubungan dengan peningkatan denyut jantung, laju nafas dan keringat. Retching adalah usaha untuk muntah tanpa ada isi lambung yang keluar walaupun dengan kekuatan otot untuk mengeluarkannya.2 2.2. ANATOMI DAN FISIOLOGI MUAL MUNTAH Mual dan muntah merupakan suatu fenomena yang dapat dipicu oleh berbagai jalur reseptor baik perifer, sentral ataupun keduanya. 11 Universitas Sumatera Utara 12 Gambar 2.2-1. Jalur muntah dan obat-obat antiemetik yang umum digunakan (Rahman MH, Beattie J. Post-operative Nausea and Vomitting, The Pharmaceutical Journal, 2004, Vol. 273) 29 Kontrol primer untuk mual dan muntah berasal dari pusat muntah di formasi lateral reticular medulla oblongata. Ada 6 (enam) jalur aferen primer yang terlibat dalam stimulasi pusat muntah, seperti : 28,29 Pusat kortikal tertinggi (sistem limbik, olfaktorius, korteks visual, dll) dan thalamus di dalam SSP (yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, bau, memori yang tidak enak dan rasa takut) Chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema Jalur neuron dari sistem vestibular (yang berhubungan dengan motion sickness dan mual karena penyakit telinga tengah) Universitas Sumatera Utara 13 Jalur mukosa vagal (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal) Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera fisik) Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag reflex) Stimulasi salah satu jalur aferen ini dapat memicu aktifitas muntah di sentral melalui reseptor kolinergik (muskarinik), dopaminergik, histaminergik, opioid atau serotonergik.29,30 Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serabut saraf aferen vagus, yaitu : a) Mekanoreseptor : berlokasi pada otot dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi. b) Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap stimulus kimia (substansi noksius) dalam lingkungan luminal.28 CTZ berada di dasar ventrikel IV dalam area postrema batang otak.27 Area postrema mempunyai kemampuan untuk mendeteksi toksin yang beredar dalam CSF dan mengaktivasi pusat muntah di medulla oblongata. Komponen motorik refleks muntah diperantarai oleh sensasi autonomik dan somatik dan diatur oleh sistem muntah di batang otak. Neuron vagal motorik yang mensuplai usus dan jantung berasal dari nukleus vagal motorik dorsal dan nukleus ambigu. Kelompok respiratori dorsal dan ventral selain merupakan neuron parasimpatis juga untuk mempertahankan tonus simpatis jantung dan pembuluh darah dan bertugas mengatur keluaran nervus frenikus dari spinal servikal dalam batang otak. Keluaran dari nukleus ini diatur untuk menghasilkan model fisiologis muntah. CTZ kaya akan reseptor dopamin dan 5-hydroxytryptamin (D2 dan 5HT3). CTZ tidak dilindungi oleh sawar darah otak sehingga dapat terpapar oleh Universitas Sumatera Utara 14 stimulus-stimulus (cth. obat-obatan dan toksin). CTZ juga dipengaruhi oleh agen anestesi, opioid dan faktor humoral (cth. 5HT) yang dilepas sewaktu operasi. Sistem vestibular dapat menstimulasi PONV akibat operasi pada telinga bagian tengah atau gerakan pasien sesudah operasi. Gerakan tiba-tiba dari kepala pasien sesudah sadar menyebabkan gangguan vestibular di telinga bagian tengah dan menambah kejadian PONV. Asetilkolin dan histamin berhubungan dengan transmisi sinyal dari sistem vestibular ke pusat muntah. Pusat kortikal tertinggi (cth. sistem limbik) juga berhubungan terutama jika ada riwayat PONV. Selain itu, pusat muntah di medulla oblongata letaknya sangat dekat dengan pusat viseral lainnya seperti pusat pernafasan dan vasomotor.28,29 Gambar 2.2-2. Lokasi anatomi area postrema dan pusat muntah (Naylor RJ, Inall FC. The physiology and pharmacology of postoperative nausea and vomiting. Anesthesia, 1994, Vol. 49, Hal. 2-5) 31 Refleks muntah dibagi menjadi 2 (dua) fase yaitu : 28 1. Fase pre-ejeksi : mempunyai karakteristik berupa sensasi mual yang berhubungan dengan dingin, berkeringat, dilatasi pupil, hipersalivasi dan takikardi yang diperantarai oleh nervus simpatis dan parasimpatis. 2. Fase ejeksi : meliputi retching dan keluarnya isi lambung (muntah). Universitas Sumatera Utara 15 2.3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO Etiologi muntah pada PONV 28,30,32-34 merupakan multifaktorial. Faktor-faktor penyebabnya dapat diklasifikasikan berdasarkan rangkaian waktu yang dapat diamati pada pasien yaitu : 1. Faktor – faktor pasien a. Umur : kejadian PONV 5% pada bayi, 25% pada anak usia dibawah 5 tahun, 42 – 51% pada anak umur 6 – 16 tahun dan 14 – 40% pada orang dewasa. b. Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2 – 4 kali lebih sering dibandingkan laki – laki, kemungkinan disebabkan hormon pada perempuan. c. Obesitas (BMI ≥ 30 kg/m2) : pada pasien gemuk lebih mudah terjadi PONV karena jaringan lemak yang berlebihan dapat menyimpan obat – obat anestesi atau karena produksi estrogen yang berlebihan oleh jaringan lemak. d. Motion sickness : pasien yang mudah mengalami motion sickness merupakan predisposisi untuk PONV. e. Pemanjangan waktu pengosongan lambung : pasien dengan gangguan intra abdominal, diabetes melitus, hipotiroid, kehamilan, peningkatan tekanan intrakranial, banyak menelan darah dan lambung penuh meningkatkan resiko terjadinya PONV. f. Perokok : pasien yang bukan perokok akan lebih cenderung mengalami PONV. 2. Faktor – faktor praoperatif a. Puasa : puasa yang lama atau baru saja makan akan meningkatkan kejadian PONV. b. Ansietas : stres dan kecemasan secara fisiologi dapat menyebabkan muntah. Universitas Sumatera Utara 16 c. Alasan operasi : operasi dengan peningkatan tekanan intrakranial, obstruksi saluran pencernaan, kehamilan, atau pasien dengan kemoterapi dapat meningkatkan kejadian PONV. d. Premedikasi : atropin sulfat akan memperpanjang waktu pengosongan lambung dan mengurangi tonus esofageal. Opioid (cth. morfin dan pethidin) dapat meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan motilitas saluran cerna dan memperlambat pengosongan lambung. Hal-hal di atas akan menstimulasi CTZ dan menambah pelepasan 5HT3 dari sel-sel enterochromaffin disertai pelepasan ADH. 3. Faktor – faktor intraoperatif a. Faktor anestesi i. Intubasi : stimulasi mekanoreseptor aferen faring dapat menyebabkan muntah. ii. Anestetik : anestesi yang terlalu dalam atau inflasi lambung sewaktu ventilasi tekanan positif dengan masker dapat menyebabkan muntah. iii. Anestesia : gerakan kepala pasien setelah sadar menyebabkan perangsangan vestibular yang tiba-tiba dan meningkatkan kejadian PONV. iv. Obat – obat anestesi : opioid yang diberikan sebagai premedikasi mempunyai meningkatkan efek inhibisi reseptor GABA, di CTZ, menurunkan aktifitas dopaminergik dan menyebabkan pelepasan 5HT3 di otak sehingga meningkatkan kejadian PONV. Pemakaian etomidat dan methohexital juga berhubungan dengan tingginya angka kejadian PONV dibandingkan thiopental. Universitas Sumatera Utara 17 v. Agen inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan kejadian PONV katekolamin. halothan yang tinggi karena pelepasan Sevofluran, enfluran, desfluran dan berhubungan dengan rendahnya derajat PONV. N2O mempunyai peranan yang bermakna untuk terjadinya PONV. Mekanisme muntah akibat N2O terjadi karena kerjanya pada reseptor opioid sentral, perubahan tekanan dari telinga bagian tengah, stimulasi saraf simpatis dan distensi lambung. b. Teknik anestesi Kejadian PONV diprediksi lebih rendah dengan anestesi spinal dibandingkan dengan anestesi umum karena tidak menggunakan N2O dan anestesi inhalasi. Pada anestesi regional, emesis intraoperasi dan paska operasi berhubungan dengan pemakaian opioid neuraksial dan hipotensi. c. Faktor pembedahan : i. Lokasi operasi : berhubungan dengan tingginya kejadian dan keparahan PONV. Sebagai contoh operasi abdomen, mata, THT, gigi, orthopedic shoulder, laparoskopi, ginekologi, payudara, plastik, bedah saraf dan operasi pada pasien-pasien anak seperti strabismus, adenotonsilektomi dan orchidopexy. ii. Lama operasi : setiap penambahan waktu operasi 30 menit akan meningkatkan resiko PONV sampai 60% sehingga resiko yang awalnya hanya 10% meningkat menjadi 16% sesudah 30 menit. Universitas Sumatera Utara 18 4. Faktor – faktor paska operatif Nyeri, pusing, pasien bedah rawat jalan, pemberian diet yang terlalu cepat dan konsumsi opioid paska operasi. Pemberian rutin profilaksis untuk mencegah PONV pada semua pasien yang menjalani pembedahan tidak direkomendasikan karena tidak semua pasien yang menjalani pembedahan akan timbul PONV. Pemberian profilaksis kadangkadang justru menimbulkan efek samping dari obat sehingga biaya pengobatan bertambah besar. Oleh sebab itu, kita harus selektif dalam memilih pasien yang beresiko untuk mengalami PONV.35 Bagaimanapun, pengertian mengenai faktor resiko PONV belumlah lengkap. Untuk mengerti tentang patofisiologi dan faktor resiko PONV menjadi sulit oleh karena banyaknya faktor yang mempengaruhi, seperti banyaknya reseptor dan stimulus mual muntah. Setidaknya ada 7 neurotransmiter yang telah diketahui berperan dalam terjadinya PONV seperti serotonin, dopamin, muskarinik, asetilkolin, neurokinin-1, histamin dan opioid. Pengertian mengenai faktor resiko PONV mengalami peningkatan sejak awal 1990-an dengan adanya analisis stastistik yang lebih baik dan stratifikasi. Perkembangan prediksi PONV menggunakan sistem skoring berdasarkan penelitian dan publikasinya dalam menentukan antiemetik profilaksis, menuntun kita untuk mengaplikasikan faktor resiko tersebut sehari – hari.2 Universitas Sumatera Utara 19 Tabel 2.3-1. Faktor resiko PONV dan kategori berdasarkan bukti yang signifikan (Apfel CC, Roewer N. Postoperative Nausea and Vomitting, Anaesthetist, 2004, Vol. 53, Hal. 377-389) 34 2.4. APLIKASI SISTEM SKORING Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor resiko terjadinya PONV dengan menggunakan analisis regresi yang logis oleh Palazzo dan Evans, Koivuranta dkk., Apfel dkk., Sinclair dkk., dan Stadler dkk. Faktor resiko yang paling sering adalah wanita, riwayat PONV sebelumnya, riwayat motion sickness, tidak merokok, pemakaian opioid paska operasi, anestesi inhalasi dan N2O.7 Apfel dkk. menciptakan skor resiko PONV yang sederhana dalam 4 (empat) faktor resiko primer untuk PONV pada pasien yang menerima anestesi inhalasi balance, yaitu : wanita, tidak merokok, mempunyai riwayat PONV atau motion sickness dan pemakaian opioid paska operasi. Sedangkan penelitian Universitas Sumatera Utara 20 Koivuranta dkk. menunjukkan bahwa : wanita, riwayat PONV sebelumnya, lama operasi > 60 menit, riwayat motion sickness dan bukan perokok adalah lima prediktor terkuat untuk terjadinya PONV. 36,37 Stadler dkk. menemukan perbedaan faktor resiko untuk mual dan muntah. Gender wanita, tidak merokok, dan anestesi umum merupakan prediksi untuk mual dan muntah, sementara riwayat migren dan tipe operasi merupakan faktor utama yang menyebabkan mual. 27 Menurut Apfel dan Koivuranta, penambahan satu atau lebih faktor resiko hanya sedikit atau tidak sama sekali menambah akurasi. Sistem skoring yang sederhana menyingkirkan perhitungan yang sulit dan mengurangi perlunya anamnesa yang lebih rinci namun menunjukkan kekuatan yang lebih atau sama bila dibandingkan dengan formula yang lebih kompleks. Pada pasien dewasa, skor Apfel dan Koivuranta secara statistika menunjukkan predictive value yang lebih tinggi dibandingkan skor Palazzo-Evan dan nilai discriminating power skor Apfel lebih tinggi dibandingkan Koivuranta (0,68 dan 0,66). 38 Sistem Apfel secara signifikan menunjukkan akurasi yang lebih dibandingkan dengan Sinclair pada penelitian pasien dewasa. Namun belum ada penelitian yang membandingkan kedua skor ini.39 Tabel 2-4.1. Cara identifikasi faktor resiko PONV yang sederhana (American Society of Peri Anesthesia Nurses (ASPAN). ASPAN. ASPAN’s evidence-based clinical practice guideline for the prevention and/or management of PONV/PDNV. Journal of Peri Anesthesia Nursing 2006; 21 (4): 230-50) 38 Apfel et al Risk Factors Points Female gender 1 Non-smoker 1 History of PONV/motion sickness 1 Postoperative opioids 1 Sum = 0…4 Universitas Sumatera Utara 21 Koivuranta et al Risk Factors Points Female gender 1 Non-smoker 1 History of PONV 1 History of motion sickness 1 Duration of surgery > 60 minutes 1 Sum = 0…5 Penggunaan sistem skoring memberikan alasan rasional sebagai strategi dalam memilih antiemetik. Namun demikian, ada saja kritik yang menentang pemakaian skor resiko tersebut. Tidak satu pun model skor resiko yang dapat memprediksi dengan tepat apakah seseorang akan mengalami PONV atau tidak. Sebagai tambahan, belum ada kesepakatan dalam pemakaian berbagai sistem skoring yang berbeda tersebut. Penelitian terakhir terhadap 1388 pasien yang dilakukan oleh Van den Bosch dkk. menggunakan dua dari sistem skoring (Koivuranta dan Apfel) untuk memprediksi resiko PONV selama 24 jam sesudah operasi.29 Tabel 2.4-2. Hubungan antara faktor resiko dengan tingkat resiko PONV (American Society of Peri Anesthesia Nurses (ASPAN). ASPAN. ASPAN’s evidence-based clinical practice guideline for the prevention and/or management of PONV/PDNV. Journal of Peri Anesthesia Nursing 2006; 21 (4): 230-50) 38 Universitas Sumatera Utara 22 Apfel dkk. menemukan bahwa tipe operasi bukanlah faktor resiko independen untuk PONV. Walaupun terdapat hubungan antara tipe operasi dengan PONV, namun masih menjadi tanda tanya karena tingginya kejadian PONV setelah operasi tertentu mungkin disebabkan oleh faktor resiko yang lain, seperti teknik anestesi, lama operasi dan pemakaian opioid paska operasi. Sebagai tambahan, pada penelitian multisenter terbesar yang terakhir terhadap 5000 lebih pasien, Apfel dkk. tidak dapat menemukan interaksi antara intervensi antiemetik dengan tipe operasi. Namun demikian, seorang ahli anestesi tidak boleh terlalu percaya terhadap sistem skoring yang ada karena belum tentu ideal untuk suatu populasi pasien tertentu.27 2.5. PENATALAKSANAAN 2.5.1. Pencegahan Untuk kasus resiko tinggi PONV maka propofol adalah agen induksi dan pemeliharaan pilihan pada operasi yang berlangsung sampai 2 jam. Dosis induksi propofol adalah 2-2,5 mg/kgbb dan dosis pemeliharaan adalah 50-100 mg/kgbb/menit. Profilaksis droperidol (dewasa) atau metoklopramid 10 mg atau ondansetron (dewasa) 0,1 mg/kgbb (dosis maksimal 4 mg) dapat diberikan 15-30 menit sebelum operasi berakhir.28 Fentanil dan sufentanil kurang menyebabkan PONV dibandingkan morfin dan petidin tetapi mempunyai lama kerja yang pendek.29 Dosis neostigmin > 2,5 mg sebagai reversal obat pelumpuh otot non depolarisasi sebaiknya dihindari.30 Prehidrasi dengan karbohidrat oral 2 jam sebelum operasi atau resusitasi cairan intravena baik dengan kristaloid atau koloid akan mengurangi kejadian PONV.40 Untuk operasi besar sebaiknya dilakukan pemberian regimen di bawah ini : 27,28 1. Pastikan lambung kosong dengan puasa preoperasi 2. Ranitidin 2 mg/kgbb dan metoklopramid 0,2 mg/kgbb intravena diberikan 45 menit sebelum operasi 3. Preoksigenasi dengan FiO2 80% selama 3 menit Universitas Sumatera Utara 23 4. Intubasi endotrakea dengan ETT cuff sesudah pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi bersamaan dengan melakukan tekanan krikoid (manuver Sellick) Tabel 2.5-1. Rekomendasi strategi untuk meminimalisir kejadian PONV (Gan TJ. Postoperative Nausea and Vomitting – Can It Be Eliminated?, JAMA 2002; 287:10) 5 Rekomendasi strategi untuk meminimalisir kejadian PONV 1. Identifikasi pasien yang mempunyai resiko tinggi 2. Cegah stimulus emetogenik: Etomidat Anestesi inhalasi Opioid 3. Terapi multimodal : Antiemetik (terapi kombinasi) Propofol (TIVA) Hidrasi yang adekuat Analgesia efektif seperti anestesi lokal dan inhibitor cyclooxygenase-2 (COX2) Ansiolitik (benzodiazepin) Suplementasi oksigen intraoperasi (FiO2 ≥ 0,8) Teknik non farmakologi Walaupun opioid bersifat emetogenik, namun analgesia yang optimal sebaiknya dapat dicapai dengan melakukan edukasi preoperasi dan pemberian anestesi lokal dan inhibitor COX2. Universitas Sumatera Utara 24 2.5.2. Kontrol PONV Farmokologi 1,29,32,33 a) Antagonis Serotonin : Antagonis reseptor serotonin seperti Ondansetron, Dolasetron, Granisetron, dan Tropisetron terbukti mempunyai efek untuk mengatasi mual dan muntah. Antagonis serotonin terutama menghambat reseptor 5HT3 baik di perifer pada usus (reseptor 5HT 3 pada nervus aferen vagal) dan di sentral pada CTZ. Obat ini efektif bila diberikan pada saat akhir pembedahan. Ondansetron mempunyai efek anti muntah yang lebih besar dari pada efek anti mual. b) Antagonis Dopamin : Dopamin mempunyai reseptor di CTZ dan bila reseptor ini dirangsang akan terjadi muntah. Contoh antagonis dopamin adalah benzamid (metoklopramid dan domperidon), phenotiazin (chlorpromazin dan prochlorperazin), dan butirophenon (haloperidol dan droperidol). Kerja antagonis dopamin terutama menghambat agen yang menstimulasi CTZ seperti opioid. c) Antihistamin : Promethazin dan siklizin memblok reseptor H2 dan reseptor muskarinik di pusat muntah. Pemakaian antihistamin terutama efektif dalam penatalaksanaan PONV yang berhubungan dengan aktifasi jalur vestibular (cth. operasi telinga bagian tengah) tetapi hanya mempunyai sedikit efek untuk muntah akibat perangsangan langsung pada CTZ. Akibat aktifitas antimuskariniknya, antihistamin dapat memperlihatkan efek samping seperti mengantuk dan sedasi. Siklizin sebaiknya hati-hati digunakan pada pasien glaukoma atau gagal jantung. Universitas Sumatera Utara 25 d) Antikolinergik : Hyoscin hydrobromida atau skopolamin mencegah rangsangan di pusat muntah dengan memblok kerja asetilkolin di reseptor muskarinik pada sistem vestibular. Efek samping antikolinergik adalah mengantuk, pandangan kabur, retensi urin dan mulut kering. e) Steroid : Obat yang sering digunakan adalah deksametason. Deksametason berguna sebagai profilaksis PONV dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin. Efek samping pemakaian berulang deksametason adalah peningkatan infeksi, supresi kelenjar adrenal tetapi tidak pernah dilaporkan efek samping pada pemakaian dosis tunggal. Obat ini juga menurunkan motilitas lambung dan rangsangan aferen di pusat muntah, efek samping yang sering terjadi pada obat ini adalah pandangan kabur, retensi urin, mulut kering dan mengantuk. Non Farmakologi Ada berbagai macam teknik non farmakologikal termasuk akupunktur, rangsangan saraf transkutaneus, stimulasi listrik akupoin, akupresur. Stimulasi listrik manual pada titik akupunktur P-6 (Neiguan) menggunakan jarum akan menghasilkan penurunan kejadian PONV sampai 6 jam. Tekanan pada titik P-6 setiap 2 jam dapat memberikan efek antiemetik selama 24 jam. 29,30 Kombinasi Antiemetik Pemberian antiemetik yang bekerja pada 1 (satu) reseptor hanya mengurangi kejadian PONV sebesar 30%. Dengan menggunakan kombinasi anti emetik (≥2 obat) yang bekerja pada beberapa reseptor yang berbeda akan meningkatkan efektifitasnya.28,32 Universitas Sumatera Utara 26 Tabel 2.5-2. Reseptor antiemetik spesifik dan efeknya (Saeeda Islam, P.N. Jain. Postoperative nausea and Vomitting (PONV) – a review article, Indian J. Anaesth, 2004; 48 (4) : 253-258) 30 Group and drugs Mechanism of action D2 M H2 Side effects 5HT3 PHENOTIAZINES 1. Fluphenazine ++++ + ++ - Sedation 2. Chlorpromazine ++++ ++ ++++ + Extrapyramidal side effects 3. Prochlorperazine ++++ Cholestatic jaundice 4. Promazine Hemolytic 5. Perphenazine abnormalities 6. Trifluperazin Skin sensitization Hypotension ANTIHISTAMINIC 1. Diphenydramine 2. Dimenhydrinate 3. Promethazine 4. Cyclizine 5. Meclizine 6. Hydroxyzine + ++ ++++ - Sedation Drowsiness ++ ++ ++++ - Depression Drymouth BUTYROPHENONES 1. Haloperidol ++++ - + 2. Droperidol ++++ - 3. Domperidone ++++ - + + Drowsiness - Restlessness, hallucinations Extrapyramidal side Effects ANTICHOLINERGICS Hyoscine/ scopolamine/ atropine + ++++ + - Dryness of mouth, tachycardia, mydriasis, retention of urine, somnolence Universitas Sumatera Utara 27 Group and drugs Mechanism of action D2 M1 H2 ++++ - + Side effect 5HT3 PROKINETICS 1. Benzamides Metoclopramide ++ Dysrrithmias, 2. Thiobenzamides galactorrhoea 3. Benzimidazole Gynaecomastia, derivatives Amenorrhoea, Domperidone Constipation/diarrhoea Benzamide Extrapyramidal side derivatives effects, drowsiness, Cisapride/Alizaprid/ hypertensive crisis 4. Clebopride 5. Substituted Benzamide Batanopride/ Zacropride 5HT3 ANTAGONIST Ondansetron Granisetron Dysrrythmias Tropisetron Bronchospasm Dolasetron Blurred vision - - - ++++ Allergic reactions OTHERS 1. 2. Corticosteroids Dexamethasone and They enhances the anti-emetic efficacy of Hyperglycaemia and methylprednisolone other drugs psychotic reaction etc. Cannabinoids Hallucination - D9 tetrohydro cannabinoid 3. 4. - Dronabidol Disorientation - Nabilone Vertigo Benzodiazepins - Lorazepam Sedative, anxiolytics - Alprazolam Amnesia, enhance effectiveness of anti- Clonidine and Sedatives emetic regiments ephedrine Universitas Sumatera Utara 28 Keterangan : D2 = reseptor dopamin tipe 2, M1 = muskarinik tipe 1, H2 = reseptor histamin tipe 2, 5HT3 = reseptor serotonin tipe 3 2.6. ONDANSETRON Gambar 2.6-1. Rumus bangun ondansetron 2.6.1. Mekanisme Kerja Ondansetron adalah derivat carbazalone dan merupakan antagonis reseptor serotonin subtipe 5-hydroxytryptamin (5HT3) yang spesifik di sentral (CTZ di area postrema dan nukleus traktus solitarius) dan di perifer (nervus vagal aferen gastrointestinal), dengan sedikit atau tanpa mempengaruhi reseptor dopamin, histamin, adrenergik, maupun kolinergik. Ondansetron berperan penting untuk mengatasi terjadinya mual dan gastrointestinal dan sfingter esophagus. muntah tanpa mengganggu motilitas 32 Obat ini memilki efek neurologikal yang lebih kecil dibandingkan droperidol ataupun metoklopramid. 5HT3 berperan penting pada neurotransmiter di SSP, retina, sistem limbik, hipotalamus, serebelum dan korda spinalis. 41,42 Selain berikatan dengan reseptor 5HT 3, ondansetron memiliki afinitas terhadap reseptor 5HT1B, 5HT1C, α1-adrenergik dan µ-opioid. Namun demikian, bukti adanya ikatan ini masih belum jelas.27 Universitas Sumatera Utara 29 2.6.2. Farmakokinetik Bioavailabilitas ondansetron pada dosis oral atau intravena rata-rata 60% pada konsentrasi terapi dan akan muncul dalam 30-60 menit dalam darah sesudah pemberian.27,33,42,43 Waktu paruh eliminasinya adalah 3-4 jam untuk orang dewasa dan 2-3 jam untuk anak usia di bawah 15 tahun. Ondansetron dimetabolisme di hati melalui proses hidroksilasi dan konjugasi oleh berbagai enzim sitokrom P450 (CYP) termasuk CYP1A1, CYP1A2, CYP2D6 dan CYP3A.27,33,42 2.6.3. Penggunaan Klinis Ondansetron terbukti efektif untuk mencegah mual dan muntah paska operasi (PONV), kemoterapi dan radiasi. Tetapi tidak mempunyai efek pada mual dan muntah akibat gangguan vestibular. Ondansetron tidak menyebabkan sedasi, gangguan ekstrapiramidal dan depresi pernafasan.41 Untuk mencegah PONV dapat diberikan dosis awal ondansetron 0,1-0,2 mg/kg intravena secara perlahan 15 menit sebelum operasi atau 4-8 mg/iv pada akhir pembedahan dan dapat diulang setiap 4-8 jam.27,42 2.6.4. Efek Samping Efek samping yang paling sering terjadi adalah sakit kepala, light-headedness, pusing, konstipasi dan pada kasus yang jarang dapat menyebabkan pemanjangan interval QT, aritmia jantung dan AV block. Iskemia jantung akut yang berat telah dilaporkan pada pasien tanpa kelainan jantung.27,33,41,42 Universitas Sumatera Utara 30 2.6.5. Kontraindikasi Kontraindikasi ondansetron adalah pasien dengan hipersensitifitas terhadap obat ini, kehamilan dan menyusui karena obat ini dapat disekresi melalui ASI, gangguan fungsi hati tetapi relatif aman pada gangguan fungsi ginjal. 42 2.7. MIDAZOLAM Gambar 2.7-1. Rumus bangun midazolam 2.7.1. Mekanisme Kerja Midazolam hidroklorida adalah golongan benzodiazepin yang bekerja pada reseptor gamma-amino butyricacid (GABA) tipe A di membran sel saraf. Reseptor GABAA di SSP berfungsi untuk membuka kanal ion klorida sehingga terjadi hiperpolarisasi membran. Struktur cincin imidazol yang dimiliki midazolam membuatnya stabil dalam air dan cepat dimetabolisme tetapi pada pH fisiologis menjadikannya bersifat larut dalam lemak sehingga dapat melewati sawar darah otak. Benzodiazepin tidak mengaktifkan reseptor GABAA melainkan meningkatkan afinitas reseptor untuk GABAA.42,43 Mekanisme benzodiazepin sebagai antiemetik belum diketahui sepenuhnya. Mungkin disebabkan oleh kerjanya pada CTZ dalam mengurangi sintesa, pelepasan dan efek dopamin di post sinaps. Benzodiazepin mengurangi pelepasan dopamin secara sentral dengan cara menghambat re-uptake adenosin. Universitas Sumatera Utara 31 Agonis reseptor adenosin juga menghasilkan inhibisi terhadap nigrostriatal untuk melepaskan dopamin. Adenosin menurunkan aktivitas neuronal dopaminergik dan pelepasan 5HT3 ketika midazolam berikatan dengan kompleks GABA-benzodiazepin.44 Ansiolitik sebagai efek sekunder mungkin juga menyebabkan efek antiemetik midazolam. 2.7.2. Farmakokinetik Midazolam termasuk golongan benzodiazepin kerja singkat dan waktu pulih cepat serta menyebabkan depresi pada SSP. Mula kerja midazolam adalah 1-2 menit setelah pemberian intravena. Waktu paruh eliminasi midazolam pendek yaitu sekitar 1-4 jam. Kecuali pada pasien geriatri, waktu paruh eliminasi menjadi dua kali lipat karena penurunan aliran darah hepar dan kerja enzim. 32 Midazolam dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 (CYP3A).41,42 Metabolit midazolam diekskresi terutama melalui urine. 32 2.7.3. Penggunaan Klinis Midazolam dapat diberikan sebelum operasi sebagai premedikasi untuk mengurangi kecemasan dan menghasilkan amnesia, untuk induksi anestesi dan untuk sedasi sadar. Dibandingkan diazepam, midazolam dua sampai tiga kali lebih poten, tidak dikonversi menjadi metabolit aktif dan kurang menyebabkan iritasi. Flumazenil adalah antagonis benzodiazepin intravena yang terkadang digunakan untuk mempercepat pemulihan sedasi tetapi kemampuannya untuk mengatasi depresi nafas kurang dapat diprediksi.32,41 Midazolam menurunkan input psikis dari thalamus yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap pusat muntah. Van den Bosch dkk. dan Chandrakantan dkk. menyatakan bahwa kecemasan pada periode perioperatif dapat mempengaruhi angka kejadian PONV.3 Midazolam telah dilaporkan mempunyai efek sebagai profilaksis PONV yang diberikan secara bolus sebelum Universitas Sumatera Utara 32 dan sesudah induksi anestesi atau infus kontinu paska operasi. Midazolam untuk PONV biasanya diberikan intravena dengan dosis subhipnotik (dosis awal 0,5-1 mg diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/jam infus kontinu). Midazolam dosis rendah aman digunakan perioperatif tanpa menyebabkan depresi nafas bahkan pada kombinasi dengan opioid.11 Midazolam telah digunakan sebagai antiemetik pada orang dewasa dan anak-anak, baik untuk mencegah maupun mengatasi PONV. Splinter dkk. melaporkan terjadi penurunan muntah pada anak-anak yang menjalani operasi tonsilektomi dengan penggunaan midazolam. 45 Beberapa laporan kasus penggunaan midazolam sebagai antiemetik pernah dilaporkan, namun penelitian acak terkontrol atau RCT baru dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun dosis, rute dan modalitas midazolam yang diberikan berbeda-beda. Pemberian midazolam sebagai premedikasi pada pasien yang menjalani operasi orthopedi, abdomen, ginekologi dan bedah rawat jalan pernah dilaporkan. Salah satu efek midazolam yang menguntungkan dibandingkan premedikasi lain, antiemetik standar atau plasebo dapat terlihat pada operasi bypass kardiopulmoner dimana infus kontinu midazolam yang diberikan sesudah ekstubasi trakea lebih efektif mencegah PONV daripada ondansetron bolus intravena. 46 Emesis yang persisten (bukan hanya paska operasi) menjadi prioritas untuk segera diatasi dan dapat dialami oleh 1% pasien bedah rawat jalan. Tiga kasus PONV yang persisten dan menunjukkan respon terhadap pemberian midazolam dosis rendah intravena pernah dilaporkan oleh Di Florio pada tahun 1992. Penelitian dilanjutkan dengan membandingkan midazolam dengan plasebo pada pasien yang resisten terhadap obat antiemetik standar dan memperlihatkan hasil yang baik secara bermakna meskipun dengan jumlah pasien yang terbatas.47 Hanya midazolam yang dapat mengurangi kecemasan dan mencegah ingatan yang buruk sekaligus menghentikan semua gejala muntah. Hal ini diduga terjadi karena mula kerja yang lama dari satu atau lebih antiemetik lainnya.11 Universitas Sumatera Utara 33 2.7.4. Efek Samping Berbagai interaksi obat, efek samping dan komplikasi akibat penggunaan midazolam dapat terjadi. Efek samping midazolam termasuk hipotensi akibat hipovolemia, takikardi, amnesia anterograde (sebenarnya memberi keuntungan perioperatif), eksitasi psikomotor, depresi pernafasan bahkan mual dan muntah. Semua efek samping tersebut kecuali amnesia jarang terjadi secara keseluruhan sehingga midazolam dianggap sebagai obat yang cukup aman. Hati-hati pemakaian midazolam pada orang tua karena lebih sensitif sehingga efek terapi, efek samping maupun komplikasi yang ditimbulkan menjadi lebih berat.11,32 2.7.5. Kontraindikasi Midazolam dosis besar kontraindikasi diberikan pada pasien gagal ginjal karena dapat menyebabkan pemanjangan efek sedasi akibat akumulasi dari metabolit αhydroxymidazolam.32 Universitas Sumatera Utara 34 KERANGKA TEORI Inhibisi re-uptake Adenosin Adenosin ↑↑ Inhibisi pelepasan 5-HT3 di otak Antagonis Reseptor GABAA Agonis Dopamin Midazolam Pusat Kortikal Tertinggi CTZ Memori Ondansetron Antagonis 5-HT3 di usus N. Vagus Gastrointestinal Opiat Pusat Mual Muntah Ansietas N2O Traktus Solitarius Stimulus Faring Rangsangan Simpatis dan Parasimpatis Sistem Vestibular Motion sickness Operasi telinga tengah Gambar 2.7-2. Kerangka Teori Universitas Sumatera Utara 35 KERANGKA KONSEP ANESTESI UMUM (GA-ETT) PEMBEDAHAN 30 menit sebelum ekstubasi ONDANSETRON 4 MG/IV MIDAZOLAM 0,035 MG/KG/IV MUAL MUNTAH PASKA OPERASI (PONV) Gambar 2.7-3. Kerangka Konsep Keterangan gambar : = Variabel bebas = Variabel tergantung Universitas Sumatera Utara