RIBA DAN BUNGA BANK DALAM PERSPEKTIF FIQH

advertisement
WAHANA INOVASI
VOLUME 3 No.1
JAN-JUNI 2014
ISSN : 2089-8592
RIBA DAN BUNGA BANK DALAM PERSPEKTIF FIQH
Uswah Hasanah
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Jl. Kapt. Muchtar Basri No. 3
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pemahaman umat Islam Indonesia
tentang eksistensi perbankan tampaknya
sangat beragam terutama dalam memposisikan status antara riba dengan bunga
bank. Satu sisi, masyarakat menganggapnya sebagai yang haram sehingga
harus ditingggalkan sebab itu adalah perbuatan dosa dan Allah murka terhadap
pelakunya, sedangkan pihak lain memandangnya sebagai yang diperbolehkan karena bukan haram untuk itu layak dilestarikan dan perlu lebih ditingkatkan lagi
eksistensinya. Kontroversi ini berakibat
pada ketidaksiapan mereka dalam berkecimpung dalam dunia perbankan. Akibatnya, umat Islam sangat jauh dari kegiatan
perbankan yang semakin hari tampaknya
terus saja menunjukkan kiprahnya, bahkan berbagai produk telah dihasilkan yang
umumnya banyak diminati masyarakat misalnya jaringan kemudahan antar bank,
ataupun lainnya. Pendeknya, kemajuan
yang dicapai perbankan dirasakan sangat
kontras dengan kemajuan sebelumnya.
Meskipun dikalangan terjadi kontradiktif
namun usaha perbankan masih tetap berjalan huingga saat ini. Tampaknya usaha
perbankan itu masih tetap berkelanjutan,
bahkan gedung-gedung megah serta
pembangunan infrastruktur saat ini tidak
bisa dinafikan kontribusi dunia perbankan
sehingga kontribusi dunia perbankan memiliki kontribusi yang cukup vital dalam
memajukan dunia usaha yang akhirnya
berimbas pada kesejahteraan hidup masyarakat. Capaian yang diusahakan perbankan ini sekaligus menepis asumsi masyarakat bahwa usaha perbankan ini lebih
besar mudaratnya ketimbang manfaatnya
sehingga menolak anggapan bahwa kehadirannya adalah keniscayaan.
Hingga saat ini, studi komparatif dan
upaya mencari titik temu antara riba dengan bunga bank masih terus saja dilakukan para cendekiawan muslim. Intensnya
kajian ini dilatarbelakangi adanya pandangan yang menganggap bahwa riba
dan bunga bank itu adalah sama, sementara pendapat yang lainnya membedakan
kedua aspek tersebut, sehingga wajar
sekali di kalangan mereka timbul pendapat yang cukup beragam dalam memahami persoalan ini(1). Bahkan tidak
jarang perbedaan itu mengarah kepada
perbedaan dalam memandang orang
yang gemar melakukan usaha perbankan
yang dianggap menyimpang dari koridor
ajaran Islam yang benar. Tampaknya,
usaha untuk menetralisir keadaan sehingga umat tidak lagi terpecah sangat
sulit untuk dilakuakapon karena setiap
orang bahwa kelompok serta pemahamannya yang paling benar dan orang lain
adalah salah bahkan sudah jauh dari nilai
kebenaran, padahal masalah ini adalah
mutlak urusan Tuhan dan manusia hanya
dapat mengetahui kebenaran itu berdasarkan petunjuk Tuhan itu sebab manusia
porrsi dalam menentukan pilihannya
karena manusia tidak memiliki wewenang
dalam menentukan pilihan yang benar
atau salah.
Munculnya perbedaan pemahaman
ini adalah wajar dikarenakan istilah riba
merupakan terminologi yang digunakan
Islam untuk menyatakan perbuatan yang
mengadakan penambahan terhadap jumlah dana yang harus dibayarkan seseorang
ketika
melakukan
pinjaman.
Sementara itu, dalam praktek dunia perbankan khususnya pada bank-bank komvensional, penambahan biaya yang harus
dibayarkan peminjam (kreditur) terhadap
pihak bank selaku pemberi pinjaman
sangat kelihatan sekali, bahkan sudah
ditetapkan sebelum dilakukannya kontrak.
Akan tetapi di kalangan sebagian ulama,
penambahan jumlah biaya dengan dalih
bunga ini tidak dikategorikan ke dalam
Kata Kunci : Riba, Bunga Bank,
15
Uswah Hasanah : Riba dan Bunga Bank Dalam Perspektif Fiqh ………………………………..
riba yang dilarang Islam yang dilarang dikarenakan tidak sampai dikategorikan
yang berlipat ganda yang diistilahkan oleh
Alquran
dengan
sebutan
ad’afan
muda’afan. Kajian ini lerbih dipertegas lagi
dengan sebutan bunga yang tidak
dilarang.
Di Indonesia, kajian terhadap masalah ini terus saja menjadi fokus perhatian.
Di antaranya dapat dilihat dari keseriusan
dua lembaga organisasi ke-masyarakatan
terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama dalam merumuskan hukum tentang masalah ini.
Dalam hal ini, Muhammadiyah lewat putusan Majelis Tarjihnya menetapkan kedudukan bunga bank dalam perspektif
hukum Islam. Begitu pula, Nahdhatul
Ulama melalui putusan Lajnah Bahsul
Masa’ilnya juga menetapkan hukum
bunga bank yang kelihatan memiliki perbedaan dengan Muhammadiyah. Meskipun antar kduanya menggunakan dalil
Alquran, akan tetapi pemahaman keduanya memiliki akar titik tolak yang berbeda.
Untuk itu perlu dipahamiayat yang penafsiran terhadap makna ayat yang menjadi
sandaran masing-masoing kelompok.
Makalah ini akan menguraikan lebih
lanjut tentang permasalah Riba dan bunga
bank dengan menelaah pandanganpandangan ulama Islam inklusif di dalamnya ulama-ulama kontemporer untuk melihat perbandingan masing-masing argumentasi yang mereka kemukakan dalam
mendukung pendapatnya. Pemahaman
komprhensif terhadap makna ayat akan
mengarahkan kepada pemahaman yang
hakiki tentang riba sekaligus pemahaman
tentang perbedaan ataupun persamaannya dengan bunga.
PENGERTIAN RIBA DAN DASAR
HUKUMNYA
Istilah riba merupakan kata yang diadopsi langsung dari bahasa Arab yang
berasal dari kata r-b-w yang digunakan
oleh Alquran sebanyak dua puluh kali.
Dari kedua puluh kali pengulangan itu
kata r-b-w yang dijadikan sebagai istilah
riba digunakan sebanyak delapan kali.
Secara literal, kata riba yang digunakan
Aquran itu memiliki makna: tumbuh (Q.S.
22:5), menyuburkan (Q.S. 2: 276, 30:39),
mengembang (Q.S. 13:17), mengasuh,
(Q.S. 17:24, 26:18) dan menjadi besar
dan banyak (Q.S. 16:92). Akar kata ini
juga digunakan dalam arti : dataran tinggi
(Q.S. 2:265, 23:50). Penggunaan-penggunaan tersebut tampak secara umum
memiliki satu makna, yaitu bertambah,
baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Pemahaman ini mengisyaratkan bahwa
makna riba ini ada unsur penambahan
terhadap hutang yang dilakukan seseorang kepada orang lain yang memberikan hutang, tanpa melihat besar kecilnya
pinjaman. Sehingga tidak perlu membedakan antara mana riba kecildan, sedang,
dan besar.
Namun secara teknikal, al-Khatib
memberikan pengertian riba sebagai penambahan jumlah utang dalam waktu
yang ditentukan karena masa pinjaman
dipanjangkan waktunya, atau orang yang
meminjam tidak mampu membayar pada
waktu yang ditentukan. Untuk itu, dalam
bahasa yang sangat ringkas beliau menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
riba adalah kelebihan harta yang diberikan
seseorang tanpa ada unsur ganti rugi
pada transaksi yang dilakukan antara
harta dengan harta (‫ﻋﻦ ﺍﻟﻌﻮﺾ ﻔﻲ ﻤﺎﻞ ﺑﻤﺎﻞ‬
‫( )ﻔﻀﻞ ﻤﺎﻞ ﺨﻟﻰ‬al-Khatib, 1967). Meskipun
disebutkan dari definisi ini bahwa riba
hanya ditentukan dalam masalah harta
dengan harta tetapi maknanya bukan
hanya melulu soal harta tetapi bisa bermakna selain itu yang penting ada kewajiban memberikan penbayaran lebih
dari jumlah dana yang dipinjamnya sehingga maknanya lebih luas lagi karena
orang tidak lagi mengkhususkannya pada
kekebuhan pada harta saja tetapi lebih
dari itu yang penting ada kelebihan terhadap sesuatu yang dipinjam dari orang
lain, misalnya sesuatu yang bisa bermanfaat bagi seseorang.
Sebelum datangnya Islam, masyarakat telah mengenal riba bahkan juga
mengutuk pelaku riba. Dalam pemahaman
sederhana, riba adalah kegiatan ekonomi
yang mengambil bentuk pembungaan
uang. Plato (427-347 S.M) seorang filosuf
Yunani termasuk orang yang mengutuk
pembungaan uang, yang dalam literature
Barat disebut usury atau interest
(Hutchins, 1989). Sikap yang sama juga
ditunjukkan oleh Solon (Abu Zahrah,
1970) yang dikenal sebagai peletak dasar
undang-undang Athena dan juga dikenal
sebagai salah seorang di antara tujuh
orang yang bijak ketika itu (Harun, 1989).
Sikap ini mirip seperti yang dikemukakan
Plato meskipun Solon tidak sama persis
16
Uswah Hasanah : Riba dan Bunga Bank Dalam Perspektif Fiqh ………………………………..
dengan penyebutan istilah yang dikemukakan Plato tersebut.
Dari perspektif agama, pada dasarnya pengutukan terhadap perbuatan riba
bukan hanya terdapat dalam Islam.
Agama Yahudi dan Nasrani juga mengutuknya (Abu Zahrah, 1970). Dengan
demikian, sangat wajar sekali jika pada
zaman Jahiliyah praktek riba banyak dijalankan masyarakat karena prakteknya
sudah dijalankan masyarakat jauh sebelumnya. Meskipun demikian, di kalangan
masyarakat Jahiliyah sendiri pun banyak
yang mencela perbuatan riba ini. Menurut
Ibn Hisyam, bahwa ketika masyarakat
Jahiliyah berbincang-bincang hendak
membangun Ka’bah kembali ada yang
mengatakan : “Hai sekalian orang
Quraisy, dalam membangun kembali
Ka’bah ini jangan menggunakan sesuatu
yang diperoleh dengan jalan yang tidak
baik, jangan menggunakan hasil pelacuran, riba, jangan pula hasil penganiayaan
kepada seseorang (Ibn Hisyam, 1955).
Ungkapan ini menunjukkan bahwa
untuk membangun tempat suci, idealisme
orang Arab Jahiliyah tidak membolehkan
penggunaan harta yang diperoleh dari kegiatan ekonomi yang menyimpang, seperti
upah pelacuran, riba, dan penipuan. Hal
ini menunjukkan pula bahwa pada masyarakat Arab Jahiliyah sendiri pun sudah
muncul kesadaran etik sekaligus religius
bahwa riba termasuk kegiatan kotor sehingga hasil yang diperoleh dari kegiatan
riba tidak layak digunakan untuk membangun tempat yang akan dijadikan
tempat mendekatkan diri kepada Tuhan.
Hanya saja, praktek itu tetap saja berlangsung di kalangan masyarakat, tidak
terkecuali para sahabat Rasul pada permulaan Islam hingga datangnya larangan
riba secara tegas dalam Alquran yang
direspon oleh para sahabat tersebut dengan meninggalkan praktek riba tersebut.
Di antara bentuk riba yang mereka
lakukan adalah bahwa objek riba tidak
hanya berupa uang, tetapi juga dapat
berupa hewan ternak. Al-Tabari menuturkan, riwayat yang berasal dari Ibn Zaid
yang menirukan ayahnya bahwa riba pada
zaman Jahiliyah adalam dalam lipat
ganda terhadap objek yang dipinjam dan
umur hewan ternak. Jika pada masa yang
telah disepakati sudah tiba, maka kreditor
mendatangi debitor, lalu kreditor mengatakan : bayarlah hutangmu, atau kamu
memberikan tambahan kepadaku. Bila
debitor mampu maka ia akan membayar
utang itu, maka jika debitor tidak mampu
untuk membayar unta yang dipinjamnya
dahulu, maka ia dipandang memiliki
hutang unta lebih tua daripada yang
dipinjamnya dahulu. Jika pada awalnya ia
hanya meminjam unta yang berumur satu
tahun masuk tahun kedua, maka unta
yang harus dibayarkannya karena ketidakmampuannya itu adalah jenis unta yang
berumur dua tahun masuk tahun ketiga
(bintu labun) kalu ia belum mampu juga
pada pembayaran berikutnya, maka
hutangnya menjadi unta yang berumur
tiga tahun masuk tahun keempat (hiqqah).
Bila pada tahapan pembayaran berikutnya
ia belum juga mampu, maka hutangnya
menjadi unta yang masuk umur lima tahun
(jaza’ah). Begitu selanjutnya sehinga nilai
hutang debitor akan bertambah terus
selama ia belum dapat melunasinya (AlTabari, 1954).
Dengan demikian, pelarangan perbuatan riba dalam Islam tidak lain adalah
dikarenakan riba dapat mengakibatkan
penderitaan seseorang terutama bagi
para peminjam akan semakin berat.
perbuatan riba selalu menampilkan orang
kaya sebagai pemberi pinjaman, dan
orang melarat sebagai peminjam. Bagi
peminjam, untuk mengembalikan pinjaman saja terasa berat, karena miskinnya,
apalagi diberi beban harus membayar
ribanya, tentu akan terasa semakin berat.
Adapun dalil yang dijadikan sebagai
sumber hukum pelarangan riba menurut
Islam pada dasarnya dilakukan secara
bertahap (tadarruj), tahapan-tahapan tersebut menurut Muhammad Ali as-Sabuni
terbagi dalam empat tahapan sebagai
berikut:
Pada tahapan pertama, Allah menurunkan firman-Nya dalam Surah ar-Rum
ayat 39 yang menyatakan bahwa perbuatan riba yang tujuannya agar jumlah
harta akan bertambah, maka pada dasarnya tidak akan memberikan tambahan
apapun di sisi Allah, yang bertambah di
sisi Allah adalah jika harta itu disalurkan
dalam bentuk zakat dimana Allah akan
melipat gandakan pahalanya(2). Dalam
pandangan as-Sabuni, ayat ini belum
dapat dikategorika sebagai larangan perbuatan riba, hanya saja ayat ini sebagai
pencelaan Allah terhadap perbuatan riba.
Pada tahapan kedua, turun ayat
pada Surah an-Nisa’ ayat 160-161(3) yang
menjelaskan pencelaan Allah terhadap
17
Uswah Hasanah : Riba dan Bunga Bank Dalam Perspektif Fiqh ………………………………..
perilaku orang Yahudi yang dalam kehidupannya selalu mempraktekkan perbuatan
riba padahal pada dasarnya mereka
sudah mengetahui bahwa perbuatan riba
itu dilarang dalam agama mereka.
Menurut as-Sabuni, ayat ini juga belum
dapat dikategorikan sebagai ayat yang
melarang perbuatan riba terhadap umat
Islam. Ayat ini hanya memberikan
pengajaran bahwa ketika orang Yahudi
telah dilarang melakukan riba, tetapi
mereka masih saja melakukannya, maka
sangat wajar sekali jika Allah murka dan
marah kepada mereka. Sama kasusnya
ketika Allah menurunkan ayat tentang
khamar yangmenyatakan bahwa di dalam
khamar itu ada manfaatnya dan ada pula
mudaratnya.
Pada tahapan ketiga, Allah menurunkan ayat yang melarang melakukan riba
yang berlipat ganda sebagaimana yang
terungkap dalam Q.S. Ali Imran ayat 130131(4). Dalam hal ini, as-Sabuni menyatakan bahwa meskipun ayat ini secara
jelas (sarih) menunjukkan pengharaman
riba, akan tetapi penharamannya tidak
berbentuk totalitas (kulliy) tetapi hanya
bersifat parsial yaitu riba yang hanya memiliki unsur keburukan (fahisyah) semata,
sehingga menjadikan hutang itu semakin
berlipat ganda sehingga kreditor merasa
kepayahan untuk melunasinya. Bentuk
pengharaman riba dalam konteks ini tidak
ubahnya seperti pengharaman khamar
hanya pada saat tiba waktu salat saja
sehingga pengharamannya tidak bersifat
totalitas.
Pada tahapan keempat yang merupakan tahapan terakhir dari pengharaman
riba dengan menurunkan firmannya dalam
Q.S. al-Baqarah 273-280(5). dengan turunnya ayat ini, Allah mengharamkan riba
secara total serta berlaku secara umum
dan pasti sehingga tidak dibedakan apakah riba yang dilakukan itu dalam jumlah
besar atau kecil. Dalam ayat ini Allah menyatakan agar umat Islam meninggalkan
segala macam bentuk riba sehingga tidak
dibedakan antara yang berlipat ganda
atau tidak.
Dengan demikian, pengharaman riba
dalam Alquran tidak dilakukan secara
spontan, melainkan dengan cara gradual,
tujuannya adalah agar umat Islam yang
telah lam berkecimpung dalam kegiatan
bisnis dan perniagaan yang menggunakan
riba dalam mencari keuntungan dapat
meninggalkan perbuatan tersebut yang
oleh as-Sabuni
memandang bahwa
sistem pengharaman riba dengan cara seperti ini tidak ubahnya seperti pengharaman khamar yang juga dilakukan
secara bertahap agar umat Islam dapat
meninggalkan minuman keras tersebut.
BUNGA BANK DAN RIBA SERTA
PANDANGAN ULAMA FIQH
HUKUMNYA
Istilah bunga bank merupakan terminologi yang digunakan pada zaman
modern dan diperkenalkan oleh dunia
Barat dalam kegiatan perbankan yang
mengalami masa kejayaannya pada abad
ke-18. Dalam lalu lintas perekonomian
masyarakat modern, bank muncul sebagai
lembaga keuangan dengan inti kegiatan
menyediakan jasa permintaan dan penawaran di samping bentuk jasa-jasa lainnya. Peranan perbankan lebih dirasakan
signifikan karena perbankan dipandang
sebagai lembaga perantara dan penyalur
dana antara pihak yang berkelebihan
dengan pihak yang kekurangan dana atau
yang lebih popular dengan sebutan
financial intermediary. Dengan demikian,
bank sangat berperan dalam melancarkan
transaksi perdagangan dan pembayaran
serta memberikan perlindungan keamanan uang dari berbagai gangguan seperti
perampokan dan lainnya.
Dalam prakteknya, bank pada dasarnya adalah membeli uang dari masyarakat
pemilik dana ketika ia menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan dana ketika ia
memberikan pinjaman kepada mereka.
Dalam kegiatan ini muncul apa yang
disebut bunga sehingga Sri Edi Swasono
berpandangan bahwa bunga adalah harga
uang dalam transaksi yang dilakukan
dalam dunia perbankan (Swasono, 1988).
Sebagai lembaga bisnis, bank tidak
memperoleh dana Cuma-Cuma dari pihak
luar. Untuk pengembangan dirinya, bak
hanya mengandalkan modal dari saham
anggota yang termasuk dalam lembaga
ini. Karena itu, semua beban yang harus
ditanggulangi dibayar oleh bank dengan
bunga yang ditarik dari nasabah pemakai
jasa bank (peminjam) yang lazim disebut
dengan “bunga debet”. Jika demikian halnya, pada dasarnya bunga debet bukan
keuntungan bersih bank, tetapi keuntungan yang harus dikurangiuntuk berbagai
biaya, seperti pengelolaan gedung, cada-
18
Uswah Hasanah : Riba dan Bunga Bank Dalam Perspektif Fiqh ………………………………..
ngan resiko, dan cadangan inflasi. Sisanya merupakan keuntungan yang akan
dibagikan kepada para penyimpan, dan
bang itu sendiri.
Adanya tambahan keuntungan yang
akan diperoleh nasabah selaku pemilik
dana yang menabung uangnya di bank
yang disebut dengan bunga, dan juga
adanya keharusan penambahan dana
bagi nasabah yang meminjam uang dari
bank sehingga ada penambahan baginya
dari hutangnya semula dan disebut pula
sebagai bunga menimbukan persoalan
hukum bagi umat Islam. Adanya bunga
yang ditetapkan dalam perbankan konvensional dirasakan perlu dicari kejelasan
hukumnya menurut perspektif Islam.
Sebagian ulama mengkategorikannya sebagai perbuatan riba yang diharamkan
Islam, tetapi ada pula yang tidak memandangnya sebagai riba tetapi keuntungan dari proses dan kinerja perbankan
dengan meminjamkan modal kepada
nasabah untuk diusahakan sehingga
memperoleh keuntungan yang juga akan
dapat dibagikan kepada pihak bank dan
kepada pemilik modal yang menyimpankan uangnya di bank.
Dengan demikian, antara pihak
bank, penyimpan dan peminjam dana dari
bank telah terjadi kerjasama yang saling
menguntungkan. Masyarakat sebagai
penyedia dana perlu mendapatkan bunga
dengan alasan bahwa penabung telah
mengorbankan kesempatan atas keuntungan yang mungkin diperoleh dari pemakaian dana itu, andaikata ia melakukannya. Sementara bank memperoleh
keuntungan dengan alasan untuk pengembangan dirinya, bank hanya mengandalkan modal dari saham anggota dan
memutar uang tersebut yang keudian
hasilnya dinikmati semua pihak yang ikut
menanamkan modalnya dalam usaha
bank, termasuk penabung. Sedangkan
pemakai jasa (peminjam) ditempatkan
sebagai mitra usaha yang diperkirakan
mendapatkan keuntungan melalui penggunaan dana yang dipinjam dari bank.
untuk itu, adanya keharusan membayar
bunga bagi peminjam dan perolehan
bunga yang diperoleh oleh masayarakat
penabung serta bank didasari atas pertimbangan adanya keuntungan yang akan
diperoleh oleh masing-masing mitra usaha
yaitu, nasabah penyimpan dana, peminjam, dan bank. Atas dasar ini pula sebagian ulama menyatakan bahwa bunga
bank itu bukan ternmasuk riba yang
diharamkan Islam, karena riba yang
diharamkan Islam itu adalah dikarenakan
aadanya faktor penzaliman terhadap
orang lain seperti yang berlaku pada
masyarakat Arab Jahiliyah di masa Rasul
sehingga si peminjam merasa kesulitan
dalam mengembalikan pembayaran hutangnya karena hutangnya telah berlipat
ganda.
Untuk itu, dikarenakan masalah
bunga bank merupakan problematika
hukum Islam kontemporer, maka sangat
wajar sekali jika persoalan bunga bank
adalah bidang kajian yang hanya dapat
diketemukan argumentasinya berdasarkan wacana perkembangan pemikiran
yang dikembangkan oleh kaum modernis,
sehingga untuk menetapkan status bunga
bank identik dengan riba maka pandangan fiqh kontemporer merupakan
keharusan yang mesti dilakukan.
Jika merujuk kepada kitab-kitab fiqh
klasik yang mendasarkan pemikirannya
bahwa segala sesuatu yang bertambah
dalam pembayaran jumlah hutang adalah
riba, maka bunga bank sudah jelas termasuk kepada perbuatan riba. Untuk itu,
dalam pinjam meminjam maka tindakan
itu masuk dalam kategori riba karena
illatnya adalah bahwa si peminjam hanya
diwajibkan mengembalikan pokok pinjaman saja sesuai dengan firman Allah wa
lakum ru’us su amwalikum (al-Baqarah :
279). Jika ada penambahan terhadap
pokok modal pinjaman maka penambahan
itu masuk dalam kategori riba.
Abd al-Rahman al-Jaza’ri menyatakan bahwa para ulama sependapat bahwa
tambahan atas sejumlah pinjaman ketika
pinjaman itu dibayar dalam tenggang
waktu tertentu tanpa ‘iwad ( imbalan)
adalah riba. Atas dasar kesamaan sifat
yang dimiliki antara riba dan bunga bank
ini, maka hukum bunga bank itu adalah
riba dan termasuk yang diharamkan.
Tampaknya pemahaman seperti sama
dengan metode pemahaman ulama tafsir
seperti al-Jassas, Ibn Kasir, al-Qurtubi,
dan lainnnya.
Pandangan mufassir yang lebih
mendekati dengan persoalan bunga bank
dikemukakan oleh Tabataba’i yang berpendapat bahwa bunga yang ditarik oleh
bank dari nasabah sama dengan riba lain
dalam dunia dagang. Kedua-duanya
sama-sama memberikan beban yang semakin berat kepada masyarakat ekonomi
19
Uswah Hasanah : Riba dan Bunga Bank Dalam Perspektif Fiqh ………………………………..
lemah dalam kewajiban mereka membayar angsuran. Tidak terlihat unsur menolong dari pihak bank dalam meningkatkan kehidupan mereka. Dengan demikian,
al-Tabatab’i melihat bank sebagai lembaga penumpukan harta, bukan sebagai
lembaga keuangan yang melancarkan sirkulasi perdagangan. Perbedaan konotasi
yang dimaksudkan al-Tabatabai bahwa
fungsi bank bukan hanya sebagai lembaga keuangan apalagi sebagai penumpuk harta bukan sebagai lembaga
keuangan yang melancarkan sirkulasi perdagangan.
Di kalangan pemikir Islam modern
lainnya muncul pula berbagai tanggapan
pemikiran yang tampak memiliki perbedaan dengan para fukaha klasik.
Modernis semisal Fazlur Rahman (1964),
Muhammad Assad (1984), Sa’id al-Najjar
(1989, dan Abd al-Mun’im al-Namir (1989)
cenderung menekankan pada aspek
moral pengharaman riba, dan menomorduakan bentuk legal riba seperti yang
ditafsirkan dalam hukum Islam (fiqih).
Mereka berargumen bahwa raison d`ètre
pengharaman riba adalah kezaliman, seperti yang dirumuskan dalam pernyataan
Alquran yaitu “la tazhlimuna wa la tuzhlamun”. Dalam pandangan Muhammad
Assad misalnya yang menganggap bahwa
bunga bank itu bukan termasuk riba
karena tidak adanya unsur penzaliman itu.
Secara tegas ia menyatakan bahwa pada
garis besarnya, kekejian riba (dalam arti
dimana istilah ini digunakan dalam Alquran dan dalam banyak ucapan Nabi)
terkait dengan keuntungan-keuntungan
yang diperoleh melalui pinjaman-pinjaman
berbunga yang mengandung eksploitasi
atas orang-orang kuat dan kaya.
Dengan dasar definisi ini kita menyadari bahwa persoalan mengenai jenis
transaksi keuangan mana yang jatuh ke
dalam kategori riba, pada akhirnya adalah
masuk dalam kategori persoalan moral,
yang sangat terkait dengan motivasi
sosial-ekonomi yang mendasari hubungan
timbal balik antara si peminjam dan
sipemberi pinjaman (Muhammad Assad,
1984). Adanya hubungan ribawi didasari
oleh kepentingan sosial-ekonomi yang
melandasi kepentingan masyarakat apalagi sama-sama menguntungkan, maka
hubungan timbal balik ini tidak mengapa
bila dilakukan, bahkan dirasakan sangat
baik untuk lebih ditingkatkan.
Sedangkan Fazlur Rahman dengan
mengomentari sikap kebanyakan muslim
dalam menghadapi bunga tidak menampik
adanya kecenderungan sebagian umat
Islam yang atas dasar niat baiknya dan
kesadaran moral yang tinggi secara tulus
mempercayai bahwa Alquran telah melarang semua bunga bank selamnya.
Namun di balik itu sangat menyedihkan
sekali bahwa umat Islam itu tidak menyadari apa itu riba sebenarnya secara
historis, mengapa Alqura mencelanya
sebagai bentuk eksploitasi yang mencolok
dan kejam lalu melarangnya, dan apa pula
fungsi bunga bank saat ini (Welch and
Cachia, 1979).
Dalam pandangan kedua cendekiawan muslim ini bahwa faktor utama dari
pengharaman riba adalah adanya eksploitasi atas orang yang melarat, bukan
pada konsep bunga itu sendiri. Dengan
demikian, yang diharamkan adalah tipe
peminjaman yang berusaha mengambil
keuntungan dari penderitaan orang lain.
Untuk itu, senada dengan pandangan
Muhammad Abduh (w. 1905) yang juga
didukung oleh pandangan Ibn Qayyim,
Abd al-Razzaq Sanhuri seorang otoritas
fiqh dari Mesir bahwa apa yang diharamkan adalah bentuk riba yang dipraktekkan
pada zaman pra Islam dan bunga yang
diharamkan hanyalah bunga yang berlipat
gandalah yang pertama-tama diharamkan
dalam Alquran dan terutama yang diharamkan dalam Alquran (QS.3 :130) dan
bunga yang ringan tidak diharamkan.
Sementara itu, Ahli Fiqih dari Mesir yang
lain bernama Ibrahim Zaki al-Badawi menambahkan bahwa pengharaman yang
ketat terhadap riba seharusnya hanya
diterapkan pada bentuk riba pra Islam
yaitu adanya penambahan dalam pokok
pinjaman pada saat jatuh tempo untuk
menerima pinjaman yang baru (Abdullah
Saeed, 2004). Dengan demikian, pandangan al-Badawi ini lebih kontras lagi
bahwa alasan pengharaman itu lebih ditekankan pada adanya niatan dari sipeminjam itu untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dari pinjaman yang sudah
dilakukan sebelumnya.
Di Indonesia, kajian masalah bunga
bank dapat ditelusuri melalui pandangan
dua organisasi Islam terbesar di negeri ini
yaitu, Muhammadiyah melalui keputusan
Lajnah Tarjih Muhammadiyah pada Tahun
1976 di Sidoarjo dan Nahdhatul Ulama
(NU) melalui putusan Lajnah Bahsul
20
Uswah Hasanah : Riba dan Bunga Bank Dalam Perspektif Fiqh ………………………………..
Masa’ilnya pada Tahun 1927 di Surabaya
dan pandangan Bahsul Masa’il tentang
masalah bankndengan judul Masalah
bank Islam yang diputuskan di Bandar
Lampung pada Tahun 1982.
Dalam keputusan Lajnah Tarjih
Muhammadiyah
tersebut
dinyatakan
bahwa :
1. Riba hukumnya haram dengan nash
sharih Qur’an dan Sunnah
2. Bank dengan sistem riba hukumnya
haram dan bank tanpa riba hukumnya
halal.
3. Bunga yang diberkan oleh bank-bank
milik negara kepada para nasabahnya
atau sebaliknya yang selam ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
4. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian
khususnya lembaga perbankan yang
sesuai dengan qaidah Islam (Tim PP
Muhammadiyah Majelis Tarjih). Upaya
ini merupakan suatu hal yang dirasakan banyak manfaatnya bagi manusia
aplagi untuk melepaskan mereka dari
jeratan ribawi.
Selain itu, tampaknya keputusan ini
mengisyaratkan bahwa pada dasarnya
Muhammadiyah tidak sepakat dengan
perbankan yang menggunakan sistem
bunga. Akan tetapi, keputusan ini tidak
menyebutkan jenis dan kriteria perbankan
yang menganut sistem riba tersebut.
Sementara itu, jenis-jenis perbankan yang
dikelola oleh negara maupun swasta di
Indonesia semuanya menetapkan bunga
kepada nasabahnya, tetapi hukumnya
tidak dikategorikan haram mutlak tetapi
masuk dalam kategori syubhat yang
dalam klasifikasi hukum Islam pada
dasarnya hamper saja mendekati haram.
Alasan penetapan hukum mutasyabihat
kepada bunga yang diberikan oleh bank
yang dikelola negara ini adalah dikarenakan bunga yang dipungut dalam system
perkreditannya ”sangat rendah sehingga
sama sekali tak ada pihak yang dikecewakan”.
Sedangkan terhadap peminjam pada
koperasi simpan pinjam, maka Muktamar
Tarjih Malang tahun 1989 memutuskan
bahwa koperasi simpan pinjam hukumnya
adalah Mubah karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan pinjam
bukan termasuk riba. Selanjutnya, dengan
merujuk kepada keputusan Muktamar
Tarjih Malang tersebut, Tim PP Muham-
madiyah Majelis Tarjih menambahkan
bahwa tambahan pembayaran atau jasa
yang diberikan oleh peminjam bukan termasuk riba. Namun dalam pelaksanaannya perlu diingat beberapa hal berikut ini :
1. Tambahan pembayaran (jasa) tidak
melebihi laju inflasi. Di Indonesia,
pada beberapa tahun terakhir ini tidak
me-lebihi 10 %.
2. Hendaknya koperasi simpan pinjam
itu ditekankan pada ta’awun, seperti
diajarkan dalam agama Islam.
3. Hendaknya simpan pinjam dikhususkan pada anggota. Untuk itu, peminjaman kepada selain anggota adalah
sanagat riskan sekali bahkan sangat
beresiko.
4. Pinjaman anggota untuk keperluan
yang disebabkan karena terkena musibah agar dibebaskan dari uang tambahan (jasa).
5. Pengumpulan modal dari anggota
atau pihak lain agar diusahakan tanpa
mengharapkan keuntungan.
Sementara itu NU melalui keputusan
Lajnah Bahsul Masa’ilnya menetapkan
hukum mengenai bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Dalam hal
ini, para ulama mempunyai tiga pendapat,
yaitu :
1. Haram : sebab termasuk hutang yang
dipungut manfaatnya (rente). Letak
pengharamannya didasarkan pada
adanya unsur penzaliman terhadap
orang lain, adanya penzaliman ini
sesuatu yang tidak diperkenankan
Islam.
2. Halal : Sebab tidak ada syarat pada
waktu akad, sebab menurut ahli hukum yang terkenal bahwa adat yang
berlaku itu tidak termasuk menjadi
syarat. Apalagi, meskipun tidak termasuk syarat pada waktu akad akan
tetapi
3. Syubhat: (tidak tentu halal atau
haramnya) sebab para ahli hukum
berselisih pendapat. Belum jelasnya
hukum yang dikandungnya menjadi
pertimbangan dalam menetapkan hukumnya, kecenderungan ini dipengaruhi oleh kuatnya dorongan pengaruh
dampak dan akibat yang ditetapkan
dari adanya bunga bank ini. Dampaknya memang tidak menyusahkan
orang lain, tetapi perbuatan ini juga
didasari berakibat susahnya orang
lain karena kewajibanan pembayarannya sesuatu yang harus ditanggung
21
Uswah Hasanah : Riba dan Bunga Bank Dalam Perspektif Fiqh ………………………………..
oleh sipeminjam, suka atau tidak suka
kewajiban ini merupakan beban yang
harus dipertanggungjawabkannya.
Sementara itu, Muktamar lebih
cenderung memutuskan bahwa yang
lebih berhati-hati ialah pendapat pertama (haram).
Berdasarkan pendapat kedua organisasi Islam ini, tampak adanya perbedaan pandangan dalam menetapkan
hukum bunga bank. Muhammadiyah lebih
memilih sikap yang tidak begitu tegas
dengan menetapkan hukumnya sebagai
musytabihat, sementara NU sudah berani
secara tegas memilih hukumnya haram.
Tentunya, kedua pandangan ini memiliki
argumentasi masing-masing yang perlu
diuji kesahihannya. Yang jelas, kedua
argumen ini memiliki dalil yang kuat,
bukan hanya dalil yang tidak didukung
oleh pijakan dan dasar hukum yang tidak
ada dalilnya sehingga bisa dipertahankan
apalagi bagi umat Islam. Ketentuan
hukum ini merupakan dasar yang kuat
sehingga umat Islam menjadi pegangan
terutama untuk meletakkan mana yang
boleh dilakukan mana pula yang tidak.
Setidaknya, rambu hukum yang diletakkan
antara riba dan bunga bank dapat
ditegakkan sehingga umat Islam tidak
sembarangan dalam menetapkan hokumnya.
PENUTUP
Berdasarkan paparan uraian di atas,
maka eksistensi hukum bunga bank apakah termasuk dalam kategori riba atau
tidak, setidaknya terdapat perbedaan di
kalangan fukaha muslim kontemporer.
Ada yang memahaminya sebagai bunga
yang diharamkan Islam karena adanya
tambahan dari jumlah utang semula. Akan
tetapi, ulama modernis lainnya tidak memandangnya sebagai bunga yang diharamkan karena tidak memenuhi unsur
adanya penzaliman seperti yang terdapat
dalam alasan pengharaman riba dalam
perspektif Islam. Meskipun ada perbedaan
dalam menetapkan keputusan hukumnya,
namun terdapat sisi baik dan buruknya
pendapat ini, apalagi pendapat ulama ini
menjadi panutan bagi pangikutnya yang
tetap diperpergang teguh bagi pengikutnya. Memang, masing-masing kelompok
memiliki pengikut yang sangat kuat dalam
memperpeganginya bahkan merasa pendapatnya yang paling benar dan pendapat
yang lain adalah salah bahkan menyimpang dari kebenaran. Yang paling penting,
mereka telah berusaha menampilkan hukum Islam dan juga menghadirkan dasar
hukum yang bisa dijadikan sandaran bagi
umat dimanapun berada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah :
Kritik atas Interpretasi Bunga Bank
Kaum Neo-Revivalis, terj. Arif
Maftuhin (Jakarta : Paramadina,
2004).
Abu Zahrah, Muhammad , Buhus fi alRiba (Mesir : Dar al-‘Ilmiyyah, 1970).
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1989).
Hutchins, Robert Maynard, “ The Dialog of
Plato “ terj. Benjamin Jawett dalam
Encyclopaedia Brittanica, (London :
Greet Books of the Western World,
1989).
Ibn Hisyam, al-Sirah an-Nabawiyah (alQahirah : Mustafa al-Baby al-Halaby
wa Auladuhu, 1955).
al-Jaza’iri, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh
‘ala Mazahib al-Arbaah, juz II (Beirut
: Dar al-Turas al-Arabi, t.t.).
al-Khatib, Abd al-Karim, al-Tafsir Alquran
al-Karim (Kairo : Dar al-Fikr al-Arabi,
1967).
Muhammad Assad, The Message of the
Qur’an (Gibraltar : Dar al-Andalus,
1984).
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis
Tarjih, Himpunan Putusan Majelis
Tarjih (Yogyakarta, t.t).
as-Sabuni, Muhammad Ali as-Sabuni,
Rawai’ al-Bayan : Tafsir Ayat alAhkam Alquran, jilid I.
Swasono, Sri Edi, “Bank dan Suku Bunga
“ dalam Kajian Islam Tentang
Berbagai
Masalah
Kontemporer
(Jakarta: Hikmat Syahid Indah,
1988).
22
Uswah Hasanah : Riba dan Bunga Bank Dalam Perspektif Fiqh ………………………………..
Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alquran
Juz IV (Mesir : ‘Isa al-Baby alHalaby, 1954).
al-Tabataba’i,
Muhammad Husain, alMizan fi Tafsir Alquran, Juz II (Beirut
: Dar al-Fikr, t.t).
Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih,
Tanya Jawab Agama I (Yogyakarta:
Penerbit Suara Muhammadiyah,
1996).
Welch, Alford T. dan Peirre Cachia (ed.),
Islam : Past Influence and Present
Challenge (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1979).
Catatan:
(1)
Kajian penting tentang persoalan ini
dapat dilihat pada aktivitas kajian
yang dilakukan oleh Dar al-Ifta’ Mesir
pada tahun 1986 dengan menghadirkan para pakar Islam semisal
Yusuf
al-Qardhawi,
Shalah
alMuntasar, Sayyyid Thantawi mufti
Republik Arab Mesir yang menghalalkan bunga sertifikat deposito dan
bunga buku tabungan dan ulamaulama lainnya. Acara ini dihadiri oleh
para perwakilam dari 77 negara
muslim. Hasil dari pertemuan ini dituangka dalam sebuah buku berjudul
Arbah al-Bunuk Bain al-Halal wa alHaram : Tafsir Ayat ar-Riba yang
diterbitkan oleh Dar al-Syuruq Mesir
tahun 1987 dan Dar al-Ma’arif Mesir
tahun 1989.
(2)
Adapun redaksi ayat tersebut adalah :
‫ﻤﻦ ﺯﻜﻮﺓ ﺘﺮﻴﺪﻮﻦ ﻮﺟﻪ ﺍﻠﻠﻪ ﻔﺄﻠﺋﻚ ﻫﻡ ﺍﻠﻤﺿﻌﻔﻮﻦ‬
‫ﺮﺑﺎ ﻟﻴﺮﺒﻮﺍ ﻔﻲ ﺍﻤﻮﺍﻝ ﺍﻟﻧﺎﺱ ﻔﻼ ﻴﺮﺒﻮﺍ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻟﻪ ﻮﻤﺎﺍﺘﻴﺘﻡ‬
‫ﻮﻤﺎ זּﺘﻴﺘﻡ ﻤﻦ‬
(3)
Adapun redaksi ayat tersebut adalah :
‫ﺍ‬
‫ﺳﺑﻴﻞ ﺍﻠﻠﻪ ﻜﺛﻴﺭﺍ ﻮﺍﺨﺫﻫﻢ ﺍﻠﺭ ﺑﻮﺍ ﻮﻗﺪ ﻨﻬﻮﺍ ﻋﻨﻪ‬
‫ﺍﻠﺬﻴﻦ ﻫﺎﺪﻮﺍ ﺤﺮﻤﻧﺎ ﻋﻠﻴﻫﻡ ﻄﻴﺑﺎﺖ ﺍﺤﻠﺖ ﻠﻫﻡ ﻮﺑﺼﺩﻫﻡ ﻋﻦ‬
‫ﻔﺑﻈﻠﻡ ﻤﻦ‬
(4)
Redaksi ayat tersebut adalah :
‫ﻴﺎﻴﻬﺎ ﺍﻠﺫﻴﻦ ﺁﻤﻧﻮﺍ ﻻ ﺘﺄ ﻜﻟﻮﺍ ﺍﻟﺮﺑﺎ ﺃﺿﻌﺎﻔﺎ ﻤﺿﺎﻋﻔﺔ‬
(5)
Redaksi ayat tersebut adalah :
‫ﺍﻟﺬﻴﻦ ﺁﻤﻨﻮﺍ ﺍﺘﻘﻮﺍ ﺍﻟﻟﻪ ﻮﺬﺮﻮﺍ ﻤﺎ ﺑﻗﻲ ﻤﻦ ﺍﻟﺮﺑﺎ … ﺍﻟﺦ‬
‫ﻴﺎﻴﻬ‬
Download