Interaksi predasi teeri (Stolephorus spp.) selama

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perikanan Bagan Rambo
Bagan merupakan salah satu jenis alat tangkap ya ng digunakan untuk
menangkap ikan pelagis kecil, menggunakan cahaya lampu sebagai atraksi untuk
mengarahkan ikan dan penggunaan jaring dengan mata jaring yang berukuran
kecil. Bagan telah banyak mengalami perkembangan baik bentuk maupun ukuran
yang
dimodifikasi
sedemikian
rupa
sehingga
sesuai
dengan
daerah
penangkapannya. Berdasarkan cara pengoperasiaannya, bagan dikelompokkan
sebagai jaring angkat atau liftnet (von Brandt 1985, Hutomo et al. 1987), namun
karena menggunakan cahaya lampu untuk mengumpulkan ikan maka disebut juga
light fishing (Subani dan Barus 1989). Bagan termasuk kedalam light fishing yang
menggunakan lampu sebagai alat bantu untuk merangsang atau menarik perhatian
ikan untuk berkumpul di bawah cahaya lampu, kemudian dilakukan penangkapan
dengan jaring yang telah tersedia (Ayodhyoa 1981).
Ada dua jenis bagan yang ada di Indonesia, yang pertama adalah bagan
tancap yaitu jenis bagan yang ditancapkan secara tetap di perairan pada
kedalaman 5 – 10 meter, dan jenis kedua adalah bagan apung yaitu bagan yang
dapat dipindahkan dari satu daerah penangkapan ke daerah penangkapan lainnya
(Baskoro 1999). Jenis bagan apung selanjutnya dapat diklasifikasikan menjadi
bagan satu perahu, bagan dua perahu, dan bagan menggunakan mesin.
Perkembangan terakhir mengenai teknologi penangkapan ikan dengan bagan di
Indonesia adalah penggunaan bagan berukuran besar yang umumnya disebut
sebagai bagan rambo (Nadir 2000).
Bagan rambo mempunyai ukuran yang lebih besar dan konstruksinya
tampak lebih kokoh serta jumlah lampu yang digunakan lebih banyak (Gambar 3).
Perahu bagan dapat dikatakan sebagai bangunan utama bagan rambo karena selain
berfungsi sebagai pengapung, di atas bangunan tersebut terkonsentrasi seluruh
peralatan serta merupakan tempat kegiatan pada saat operasi penangkapan.
Bentuk dan konstruksi perahu dirancang khusus, yaitu berbentuk pipih
memanjang dengan dimensi utama panjang 30 meter, lebar 2 meter dan dalam 3,5
meter. Selain perahu, komponen lainnya adalah rangka bagan dan tiang utama
6
bagan. Adanya bangunan kayu yang berbentuk rangka merupakan ciri khas bagan.
Ukuran panjang dan lebar rangka bagan adalah 32 m x 30 m, dirangkai pada sisi
kiri dan kanan perahu. Tiang utama berjumlah 2 buah, merupakan tempat
mengikat rangka bagan sehingga dapat berdiri kokoh. Tali pengikat menggunakan
kawat baja yang dibentangkan antara rangka bagan dan tiang utama bagan. Semua
bahan dari perahu, rangka dan tiang utama bagan terbuat dari kayu pilihan. Selain
itu dilengkapi dengan jaring, roller, generator dan lampu merkuri (Nadir 2000;
Sudirman 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengoperasian bagan rambo dapat
dilakukan pada bulan terang, karena kekuatan cahaya yang digunakan sangat
tinggi sehingga penetrasi cahaya yang masuk ke perairan akan lebih dalam dan
dapat menarik kawana n ikan pada jarak yang jauh.
Gambar 3 Bagan rambo sebelum dan saat operasi penangkapan ikan
Hal yang menarik dalam pengoperasian bagan rambo ini adalah
penggunaan cahaya lampu dari sumber listrik dalam kapasitas yang besar. Jumlah
lampu yang digunakan berkisar 30 - 66 unit. Berdasarkan fungsinya lampu dapat
dibedakan atas dua jenis, yaitu lampu untuk menarik ikan sehingga memasuki
catchable area dan lampu untuk mengkonsentrasikan ikan yang telah tertarik pada
cahaya lampu (Sudirman 2003). Namun demikian tertariknya ikan oleh cahaya
tidak semata-mata disebabkan oleh sifat fototaksis positif tersebut tetapi juga
karena motif lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa bagi ikan cahaya juga merupakan
indikasi adanya makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan dalam
keadaan lapar akan lebih mudah terpikat oleh cahaya dibandingkan dalam
keadaan kenyang.
7
2.2
Gambaran Umum Teri (Stolephorus spp.)
Menurut Munro (1967) yang dikutip oleh Haumahu (1995) klasifikasi teri
sebagai berikut :
Filum
: Animalia
Sub filum : Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Clupeiformes
Famili
Genus
: Engraulidae
: Stolephorus
Teri dikenal juga sebagai anchovy, umumnya berukuran kecil sekitar 6 - 9
cm, tetapi ada juga yang berukuran relatif besar misalnya Stolephorus commersoni
dan Stolephorus indicus dapat mencapai panjang 17,5 cm. Ikan ini umumnya
menghuni perairan dekat pantai dan estuaria, hidup bergerombol utamanya yang
berukuran kecil tetapi yang berukuran lebih besar lebih bersifat soliter (Hutomo et
al. 1987)
Stolephorus spp. mempunyai tanda-tanda khas yaitu umumnya tidak
berwarna atau agak kemerah- merahan, bagian samping tubuhnya terdapat garis
putih keperakan seperti selempang yang memanjang dari kepala sampai ekor,
bentuk tubuh bulat memanjang (fusiform) dan termampat samping (compressed)
dengan sisik berukuran kecil dan tipis serta mudah lepas (Gambar 4). Tulang atas
rahang memanjang mencapai celah insang. Sirip dorsal umumnya tanpa duri
pradorsal, sebagian atau seluruhnya terletak dibelakang anus pendek dengan jarijari lemah sekitar 16 - 23 buah. terletak Sirip caudal bercagak dan tidak bergabung
dengan sirip anal, duri abdominal hanya terdapat antara sirip pektoral dan ventral
berjumlah tidak lebih dari 7 buah (Hutomo et al. 1987; Hauhamu 1995).
Teri menyebar pada daerah yang sangat luas. Daerah penangkapannya
terdapat di Samudera Hindia sebelah timur sampai Samudera Pasifik Tengah
bagian barat. Penyebaran ke selatan sampai daerah Australia, ke arah timur di
daerah Jepang dan Hawai. Ikan pelagis memiliki pola pergerakan vertikal yang
jelas, dimana pada siang hari ikan berada dekat dasar perairan. Laevastu dan
Hayes (1981) mengemukakan bahwa teri selama siang hari membentuk
8
gerombolan di dasar perairan dan bermigrasi menuju permukaan pada malam hari
dimana tebalnya gerombolan ini adalah 6 - 15 m. Kedalaman renang dari
gerombolan teri bervariasi selama siang hari dan bermigrasi ke daerah yang
dangkal (permukaan) pada waktu pagi dan sore hari. Hal ini berkaitan erat dengan
cahaya, teri menyukai intensitas cahaya tertentu dan kedalaman dari intensitas
bervariasi sesuai dengan waktu, derajat perawanan dan koefisien ekstinksi dari air.
Beberapa sifat fisika-kimia air merupakan salah satu faktor eksternal yang
berpengaruh terhadap perkembangan ikan teri. Dalam kondisi alamiah, faktor
lingkungan yang berpengaruh adalah suhu, oksigen terlarut, periode penyinaran
dan ketersediaan pakan (Omori dan Ikeda 1984).
Gambar 4 Anatomi teri Stolephorus spp. (Hutomo et al. 1987)
Peningkatan
atau
penurunan
suhu
dari
kisaran
optimum
akan
berhubungan dengan laju pencernaan karena pada suhu yang lebih rendah dari
suhu normal, nafsu makan ikan akan berkurang atau bahkan terhenti. Sebaliknya
peningkatan suhu sampai batas tertentu akan merangsang hewan air untuk makan
dan meningkatkan aktivitas fisiologi seperti metabolisme dan pencernaan pakan.
Suhu juga mempengaruhi laju metabolisme, tingkah laku, kelangsungan hidup
dan distribusi ikan. Laevastu dan Hayes (1981) mengemukakan bahwa kisaran
suhu bagi kehidupan dan pemijahan ikan teri adalah 13°C - 29°C. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa oksigen terlarut dalam air sangat penting bagi kehidupan dan
perkembangan larva yaitu untuk proses metabolisme dan kecepatan makan.
Kedua proses ini akan terhenti bila kekurangan oksigen. Penurunan kandungan
9
oksigen dalam air akan menurunkan laju metabolisme aktif dan menghambat
aktivitas spesies seperti pertumbuhan, perkembangan dan pergerakan.
Salinitas pada perairan pantai umumnya bervariasi karena input aliran
sungai. Variasi salinitas ini akan mempengaruhi osmoregulasi ikan dan
menentukan kemampuan mengapung telur ikan. Salinitas juga mempengaruhi
distribusi dan kelimpahan ikan karena ikan bertoleransi terhadap kisaran salinitas
tertentu. Pengaruh salinitas terhadap ikan juga berkaitan dengan orientasi migrasi
ikan sebagai respon terhadap gradien salinitas, serta pengaruhnya terhadap
keberhasilan reproduksi. Teri pada umumnya bersifat pelagis dan hidup pada
lingkungan perairan pesisir (Laevastu dan Hayes 1981).
2.3
Plankton
Plankton merupakan organisme renik yang melayang pasif dalam kolom
air, tidak dapat melawan pergerakan massa air karena kemampuan renangnya
yang sangat lemah (Parson et al. 1977). Plankton berukuran mikroskopik antara
0,02 – 200 µm, hidupnya melayang atau
mengapung dan tidak mempunyai
kemampuan renang melawan arus, secara umum terbagi atas fitoplankton dan
zooplankton (Nybakken 1992; Romimohtarto dan Juwana 2001).
Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat nabati yang mampu
memanfaatkan zat-zat anorganik dan merubahnya menjadi zat organik dengan
bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis yang hasilnya disebut produksi
primer (Nybakken 1992). Menurut Kaswadji et al. (1995) fitoplankton
merupakan awal dari model rantai makanan di lautan, organisme ini dimangsa
oleh zooplankton yang kemudian akan dimangsa oleh ikan dan predator lainnya
sehingga mengantarkan energi dan materi ke jenjang trofik yang lebih tinggi.
Komponen komunitas fitoplankton dalam suatu perairan senantiasa
mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga akan menimbulkan proses
suksesi. Jenis tertentu pada suatu saat akan muncul, kadang-kadang terjadi
ledakan populasi dan pada saat yang lain jenis tersebut akan berkurang atau
hilang sama sekali dan posisinya akan digantikan oleh jenis yang lain (Nybakken
1992). Banyaknya fitoplankton di perairan biasanya berhubungan dengan
konsentrasi fosfat, nitrat, silikat dan unsur hara lain. Dalam kondisi tertentu unsur
10
hara ini akan menurun jika populasi fitoplankton naik, demikian pula sebaliknya
unsur hara akan meningkat saat populasi fitoplankton (Prescod 1973).
Parsons et al. (1977) mengelompokkan alga yang mewakili fitoplankton
di lautan terdiri atas delapan kelas yaitu Cyanophyceae (alga biru-hijau),
Rhodophyceae (alga merah), Dynophyceae (dinoflagellata), Haptophyceae
(termasuk
cocolithophora),
Chrysophycae
(alga
kuning-kecoklatan),
Xanthophyceae (alga kuning), Chlorophyceae (alga hijau) dan Bacillariophyceae
(diatom). Diantara kelas-kelas tersebut, Bacillariophyceae dan Dynophyceae
merupakan alga yang umum di laut. Lebih lanjut dikatakan bahwa distribusi
fitoplankton yang tidak merata disebabkan oleh beberapa faktor antara lain angin,
masukan air sungai, up welling, variasi unsur hara, kedalaman perairan, adanya
arus bawah, aktivitas pemangsaan dan adanya percampuran massa air.
Zooplankton merupakan anggota plankton yang bersifat hewani, jenisnya
sangat beranekaragam dan terdiri dari berbagai macam larva dan plankton bentuk
dewasa yang dimiliki oleh hampir seluruh filum hewan (Newell dan Newell
1977). Nybakken (1992) membedakan zooplankton berdasarkan daur hidupnya
menjadi dua kelompok yaitu : (1) holoplankton, merupakan organisme plankton
yang seluruh daur hidupnya bersifat plankton yang meliputi Copepoda, rotatoria
dan chaetognata; dan (2) meroplankton, merupakan organisme yang hanya
sebagian daur hidupnya bersifat plankton yaitu masa larva yang meliputi larva
ikan, larva krustasea dan larva moluska.
Umumnya perairan yang mempunyai kandungan zooplankton yang
tinggi, memakan fitoplankton sedemikian cepatnya sehingga fitoplankton tidak
memiliki kesempatan untuk melakukan pembelahan sel. Bila jumlah zooplankton
menurun dan menjadi sedikit, kondisi ini memberikan kesempatan kepada
fitoplankton untuk tumbuh sehingga menghasilkan konsentrasi yang tinggi
(Nybakken 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa siklus pembelahan sel
fitoplankton relatif lebih cepat dari siklus reproduksi zooplankton sehingga
fitoplankton dapat bertambah dalam waktu yang relatif lebih cepat. Walaupun
zooplakton akan memakan fitoplankton, namun karena siklus reproduksinya
lebih lama maka untuk mencapai jumlah maksimum dibutuhkan waktu.
11
Hubungan antara fitoplankton dan zooplankton terjadi di dalam rantai
makanan dimana zooplankton memakan fitoplankton, proses ini dinamakan
grazing (pemangsaan). Grazing (pemangsaan) tidak hanya sebagai penyebab
mortalitas fitoplankton tetapi juga merubah komposisi fitoplankton. Adanya
grazing inilah yang menyebabkan perubahan biomassa fitoplankton di perairan
(Frost 1977). Nybakken (1992) menyatakan bahwa laju siklus reproduksi
fitoplankton jauh lebih cepat dari pada zooplankton dan proses pemangsaan
terjadi terus menerus sehingga komposisi fitoplankton tetap stabil. Hal ini
berlangsung dalam jumlah yang tetap sepanjang tahun, sehingga proses
pemangsaan tersebut tidak banyak mempengaruhi jumlah fitoplankton secara
keseluruhan.
Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa jumlah plankton di permukaan
perairan pada pagi hari berbeda dengan siang hari. Hal ini penting untuk melihat
migrasi vertikal, dimana plankton-plankton hewani cenderung berpindah di
kedalaman yang lebih dalam selama siang hari dan menuju ke permukaan pada
malam hari (Basmi 1990). Banyak plankton hewani yang menghindari sinar
matahari yang terlampau kuat di permukaan pada siang hari dan menyusup ke
lapisan yang lebih dalam, baru setelah malam hari plankton tersebut kembali ke
permukaan, sedangkan pada perairan yang lebih dangkal banyak yang bermigrasi
dekat dasar perairan selama siang hari dan akan mucul ke permukaan pada
malam hari. Migrasi vertikal bukan saja pada holoplankton seperti Copepoda,
tetapi juga pada meroplankton seperti pada bermacam- macam mikroplankton
(Tomascik et al. 1997).
2.4
Kebiasaan Makanan
Menurut Effendie (1997) yang dimaksud dengan kebiasaan makanan (food
habits) adalah jenis, kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan.
Ketersedian makanan merupakan faktor yang menentukan ukuran populasi,
pertumbuhan, reproduksi dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang ada di
suatu perairan (Nikolsky 1963). Makanan yang telah digunakan oleh ikan akan
mempengaruhi sisa ketersediaan makanan, sebaliknya dari makanan yang diambil
tersebut akan mempengaruhi keberhasilan hidupnya. Adanya makanan yang
12
tersedia dalam perairan selain dipengaruhi oleh kondis i biotik seperti tersebut
diatas, ditentukan pula oleh kondisi abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang
dan luas permukaan (Effendie 1997).
Jumlah makanan yang dibutuhkan oleh suatu jenis ikan tergantung pada
macam makanan, kebiasaan makanan, kelimpahan ikan, suhu air dan kondisi ikan
yang bersangkutan. Jenis-jenis makanan yang dimakan oleh suatu spesies ikan
biasanya biasanya tergantung pada umur ikan, tempat dan waktu (Effendie 1997).
Adapun struktur pencernaan yang berperan dalam adaptasi makanan adalah mulut,
gigi, tapis insang, lambung dan usus (Lagler 1972).
Makanan yang dimanfaatkan oleh ikan, pertama-tama digunakan untuk
memelihara tubuh dan menggantikan organ-organ tubuh yang rusak, kelebihan
makanan digunakan untuk pertumbuhan. Menurut Nikolsky (1963) bahwa urutan
kebiasaan makanan ikan dibedakan kedalam 4 kategori berdasarkan persentase
bagian terbesar yang terdiri dari makanan utama, yaitu makanan yang biasa
dimakan dalam jumlah besar; makanan pelengkap, yaitu makanan dalam saluran
pencernaan dalam jumlah yang lebih sedikit; dan makanan tambahan, yaitu
makanan yang ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit; selain itu terdapat
juga makanan pengganti, yaitu makanan yang dikonsumsi jika makanan utama
tidak tersedia. Effendie (1997) mengelompokkan ikan berdasarkan makanannya
sebagai ikan sebagai pemakan plankton, pemakan tanaman, pemakan dasar,
pemakan detritus, ikan buas dan pemakan campuran. Selanjutnya berdasarkan
kepada jumlah variasi dari makanan tadi, ikan dapat dibagi menjadi eurypagic
yaitu ikan pemakan bermacam- macam makanan, stenophagic yaitu ikan pemakan
makan yang macamnya sedikit atau sempit dan monophagic yaitu ikan yang
makanannya terdiri dari satu macam makanan saja.
Effendie (1997) mengemukakan jika ditelaah makanan ikan itu sejak dari
awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan, sebenarnya
merupakan mata rantai yang dinamakan rantai makanan (food chains). Plankton
tumbuh-tumbuhan melalui proses fotosintesis dapat memproduksi bahan organik
dari bahan anorganik (produsen primer), organisme yang memakan nprodusen
primer dinamakan konsumer primer, organisme yang memakan konsumer primer
dinamakan konsumer skunder, dan seterusnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
13
panjang pendeknya rantai makanan tergantung dari macam, uk uran atau umur
ikan, namun kenyataannya dalam interaksi makan-pemakan terjadi tumpang
tindih, dimana satu jenis konsumen memakan beberapa jenis makanan dan satu
jenis produsen di makan oleh beberapa jenis konsumen sehingga membentuk
suatu jaringan yang dinamakan jaring- jaring makanan (food webs).
Popova (1978) mengemukakan bahwa komposisi makanan konsumer
tergantung dari sifat-sifat morfologi, pola hidup dan tingkah laku pemangsa.
Ketersediaan makanan untuk ikan ditentukan oleh berbagai faktor dan yang
terutama adalah kehadiran dan kelimpahan relatif dari tipe makanan tertentu. Bila
salah satu macam makanan ikan tersedia dalam jumlah melimpah pada suatu
perairan, belum tentu makanan tersebut menjadi bagian penting dalam susunan
makanan ikan. Jika makanan yang disukai tidak ditemukan, ikan akan mengganti
organisme makanannya walaupun kelimpahan organisme makanan ini rendah.
Dikemukakan lebih lanjut bahwa selain kelimpahan, pemangsaan juga tergantung
pada distribusi spesies makanan dalam perairan, tingkah laku, aktivitas dan
ukuran makanan maupun ikan pemangsa.
Mempelajari makanan ikan- ikan pemangsa dapat melalui: (1) penentuan
komposisi spesies dan ukuran dari organisme makanan yang ditemukan dalam
saluran pencernaan; (2) penentuan laju pencernaan; dan (3) penentuan kuantitas
makanan yang dikonsumsi oleh ikan. Menurut Hyslop (1980), studi tentang
makanan ikan didasarkan pada analisis isi saluran pencernaan saat ini merupakan
standar dalam ekologi ikan. Berbagai metode digunakan untuk menentukan
makanan yang dominan dikonsumsi oleh ikan. Metode tersebut mencakup
frekuensi kejadian, metode jumlah, metode volumetrik dan metode gravimetrik
(Popova 1978). Analisis isi saluran pencernaan yang dilakukan di alam
berdasarkan pada kelebihan dan kelemahan metode yang ada (Hyslop 1980).
Menurut Effendie (1979) keuntungan menggunakan metode frekuensi
kejadian adalah organisme makanan dengan mudah diidentifikasi, cepat dan
membutuhkan peralatan yang minimum. Kelemahannya metode ini kurang
memberikan indikasi tentang jumlah relatif jenis makanan yang terdapat dalam
lambung. Metode jumlah merupakan metode yang relatif cepat dan mudah
dikerjakan serta memberikan identifikasi spesies yang jelas. Kelemahan dari
14
metode ini adalah organisme makanan yang berukuran kecil yang mungkin lebih
cepat dicerna tidak tercatat. Dengan analisis volumetrik, volume total dari
kategori makanan yang dikonsumsi oleh ikan ditentukan sebagai persentase total
volume dari semua lambung. Perhitungan dari rata-rata dimensi spesies makanan
didasarkan pada jumlah individu yang selanjutnya akan menentukan volume ratarata. Kelebihan dari metode volumetrik adalah dapat digunakan khusus untuk
organisme makanan dengan variasi makanan yang dimakan berukuran besar.
2.5
Pemangsaan (Predasi)
Pemangsaan mempunyai arti pengrusakan dengan cara dimakan atau
dimangsa, sedangkan ikan pemangsa (predator) biasanya diartikan sebagai
musuh. Hal yang perlu diketahui dalam hubungan mangsa pemangsa adalah jenis,
jumlah dan ukuran ikan yang dimangsa serta bagaimana frekuensi pemangsa
mengambil mangsanya (Effendie 1997).
Umumnya para ahli biologi menganggap bahwa predator semuanya
spesies karnivor, termasuk ikan pemakan ikan (piscivor) dan pemakan bermacammacam invertebrata mulai dari berukuran kecil sampai berukuran besar. Menurut
Weatherley dan Gill (1987) ada 11 prinsip mengenai hubungan mangsa dan
pemangsa pada ikan :
1)
Jumlah ikan yang dimakan oleh piscivor lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah ikan yang ditangkap oleh nelayan.
2)
Ukuran mangsa yang dimakan oleh pemangsa semakin bertambah
besar dengan bertambah besarnya ukuran pemangsa.
3)
Pemangsa memiliki kesukaan (preferensi) pada spesies mangsa
dengan ukuran tertentu.
4)
Pemangsa umumnya mengambil bermacam- macam mangsa.
5)
Pemangsaan terhadap suatu jenis mangsa memungkinkan terjadi
perubahan terhadap kepadatan mangsa.
6)
Pemangsa mungkin mengganti makanannya dengan spesies lain dalam
suatu suatu kesetimbangan biologi.
7)
Jumlah mangsa berkurang akibat pemangsaan oleh tekanan pemangsa.
8)
Komposisi komunitas mangsa dipengaruhi oleh pemangsa.
15
9)
Populasi mangsa yang melimpah dapat merangsang pertumbuhan dan
densitas pemangsa.
10)
Persaingan
antara
spesies
pemangsa
dapat
mempengaruhi
pertumbuhan dan densitas populasi.
11)
Pemangsaan terhadap mangsa tertentu dapat menurunkan persaingan
diantara spesies mangsa sehingga dapat penambahan keragaman
komunitas mangsa.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kebanyakan spesies ikan memiliki
kebiasaan makan yang bervariasi. Umumnya ikan memperlihatkan tingkat
kesukaan makan terhadap organisme makanan tertentu dan hal ini terlihat dalam
organisme makanan yang predominan dalam lambungnya
Teri adalah ikan pemakan plankton. Pada ukuran < 40 mm, teri umumnya
memakan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil, sedangkan pada ukuran
> 40 mm, ikan teri memanfaatkan zooplankton (Copepoda) berukuran besar
(Hutomo et al. 1987). Berdasarkan kajian isi lambung teri dalam beberapa interval
waktu pada malam hari (Sudirman 2003) diketahui bahwa ikan ini aktif mencari
makan sebelum tengah malam (pukul 22:00), dimana tingkat kepenuhan isi
lambung selama waktu itu lebih tinggi dibandingkan 2 waktu lainnya (pukul 01:00
dan 05:00).
Download