2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Bagan Rambo Bagan merupakan salah satu jenis alat tangkap ya ng digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil, menggunakan cahaya lampu sebagai atraksi untuk mengarahkan ikan dan penggunaan jaring dengan mata jaring yang berukuran kecil. Bagan telah banyak mengalami perkembangan baik bentuk maupun ukuran yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan daerah penangkapannya. Berdasarkan cara pengoperasiaannya, bagan dikelompokkan sebagai jaring angkat atau liftnet (von Brandt 1985, Hutomo et al. 1987), namun karena menggunakan cahaya lampu untuk mengumpulkan ikan maka disebut juga light fishing (Subani dan Barus 1989). Bagan termasuk kedalam light fishing yang menggunakan lampu sebagai alat bantu untuk merangsang atau menarik perhatian ikan untuk berkumpul di bawah cahaya lampu, kemudian dilakukan penangkapan dengan jaring yang telah tersedia (Ayodhyoa 1981). Ada dua jenis bagan yang ada di Indonesia, yang pertama adalah bagan tancap yaitu jenis bagan yang ditancapkan secara tetap di perairan pada kedalaman 5 – 10 meter, dan jenis kedua adalah bagan apung yaitu bagan yang dapat dipindahkan dari satu daerah penangkapan ke daerah penangkapan lainnya (Baskoro 1999). Jenis bagan apung selanjutnya dapat diklasifikasikan menjadi bagan satu perahu, bagan dua perahu, dan bagan menggunakan mesin. Perkembangan terakhir mengenai teknologi penangkapan ikan dengan bagan di Indonesia adalah penggunaan bagan berukuran besar yang umumnya disebut sebagai bagan rambo (Nadir 2000). Bagan rambo mempunyai ukuran yang lebih besar dan konstruksinya tampak lebih kokoh serta jumlah lampu yang digunakan lebih banyak (Gambar 3). Perahu bagan dapat dikatakan sebagai bangunan utama bagan rambo karena selain berfungsi sebagai pengapung, di atas bangunan tersebut terkonsentrasi seluruh peralatan serta merupakan tempat kegiatan pada saat operasi penangkapan. Bentuk dan konstruksi perahu dirancang khusus, yaitu berbentuk pipih memanjang dengan dimensi utama panjang 30 meter, lebar 2 meter dan dalam 3,5 meter. Selain perahu, komponen lainnya adalah rangka bagan dan tiang utama 6 bagan. Adanya bangunan kayu yang berbentuk rangka merupakan ciri khas bagan. Ukuran panjang dan lebar rangka bagan adalah 32 m x 30 m, dirangkai pada sisi kiri dan kanan perahu. Tiang utama berjumlah 2 buah, merupakan tempat mengikat rangka bagan sehingga dapat berdiri kokoh. Tali pengikat menggunakan kawat baja yang dibentangkan antara rangka bagan dan tiang utama bagan. Semua bahan dari perahu, rangka dan tiang utama bagan terbuat dari kayu pilihan. Selain itu dilengkapi dengan jaring, roller, generator dan lampu merkuri (Nadir 2000; Sudirman 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengoperasian bagan rambo dapat dilakukan pada bulan terang, karena kekuatan cahaya yang digunakan sangat tinggi sehingga penetrasi cahaya yang masuk ke perairan akan lebih dalam dan dapat menarik kawana n ikan pada jarak yang jauh. Gambar 3 Bagan rambo sebelum dan saat operasi penangkapan ikan Hal yang menarik dalam pengoperasian bagan rambo ini adalah penggunaan cahaya lampu dari sumber listrik dalam kapasitas yang besar. Jumlah lampu yang digunakan berkisar 30 - 66 unit. Berdasarkan fungsinya lampu dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu lampu untuk menarik ikan sehingga memasuki catchable area dan lampu untuk mengkonsentrasikan ikan yang telah tertarik pada cahaya lampu (Sudirman 2003). Namun demikian tertariknya ikan oleh cahaya tidak semata-mata disebabkan oleh sifat fototaksis positif tersebut tetapi juga karena motif lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa bagi ikan cahaya juga merupakan indikasi adanya makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan dalam keadaan lapar akan lebih mudah terpikat oleh cahaya dibandingkan dalam keadaan kenyang. 7 2.2 Gambaran Umum Teri (Stolephorus spp.) Menurut Munro (1967) yang dikutip oleh Haumahu (1995) klasifikasi teri sebagai berikut : Filum : Animalia Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Clupeiformes Famili Genus : Engraulidae : Stolephorus Teri dikenal juga sebagai anchovy, umumnya berukuran kecil sekitar 6 - 9 cm, tetapi ada juga yang berukuran relatif besar misalnya Stolephorus commersoni dan Stolephorus indicus dapat mencapai panjang 17,5 cm. Ikan ini umumnya menghuni perairan dekat pantai dan estuaria, hidup bergerombol utamanya yang berukuran kecil tetapi yang berukuran lebih besar lebih bersifat soliter (Hutomo et al. 1987) Stolephorus spp. mempunyai tanda-tanda khas yaitu umumnya tidak berwarna atau agak kemerah- merahan, bagian samping tubuhnya terdapat garis putih keperakan seperti selempang yang memanjang dari kepala sampai ekor, bentuk tubuh bulat memanjang (fusiform) dan termampat samping (compressed) dengan sisik berukuran kecil dan tipis serta mudah lepas (Gambar 4). Tulang atas rahang memanjang mencapai celah insang. Sirip dorsal umumnya tanpa duri pradorsal, sebagian atau seluruhnya terletak dibelakang anus pendek dengan jarijari lemah sekitar 16 - 23 buah. terletak Sirip caudal bercagak dan tidak bergabung dengan sirip anal, duri abdominal hanya terdapat antara sirip pektoral dan ventral berjumlah tidak lebih dari 7 buah (Hutomo et al. 1987; Hauhamu 1995). Teri menyebar pada daerah yang sangat luas. Daerah penangkapannya terdapat di Samudera Hindia sebelah timur sampai Samudera Pasifik Tengah bagian barat. Penyebaran ke selatan sampai daerah Australia, ke arah timur di daerah Jepang dan Hawai. Ikan pelagis memiliki pola pergerakan vertikal yang jelas, dimana pada siang hari ikan berada dekat dasar perairan. Laevastu dan Hayes (1981) mengemukakan bahwa teri selama siang hari membentuk 8 gerombolan di dasar perairan dan bermigrasi menuju permukaan pada malam hari dimana tebalnya gerombolan ini adalah 6 - 15 m. Kedalaman renang dari gerombolan teri bervariasi selama siang hari dan bermigrasi ke daerah yang dangkal (permukaan) pada waktu pagi dan sore hari. Hal ini berkaitan erat dengan cahaya, teri menyukai intensitas cahaya tertentu dan kedalaman dari intensitas bervariasi sesuai dengan waktu, derajat perawanan dan koefisien ekstinksi dari air. Beberapa sifat fisika-kimia air merupakan salah satu faktor eksternal yang berpengaruh terhadap perkembangan ikan teri. Dalam kondisi alamiah, faktor lingkungan yang berpengaruh adalah suhu, oksigen terlarut, periode penyinaran dan ketersediaan pakan (Omori dan Ikeda 1984). Gambar 4 Anatomi teri Stolephorus spp. (Hutomo et al. 1987) Peningkatan atau penurunan suhu dari kisaran optimum akan berhubungan dengan laju pencernaan karena pada suhu yang lebih rendah dari suhu normal, nafsu makan ikan akan berkurang atau bahkan terhenti. Sebaliknya peningkatan suhu sampai batas tertentu akan merangsang hewan air untuk makan dan meningkatkan aktivitas fisiologi seperti metabolisme dan pencernaan pakan. Suhu juga mempengaruhi laju metabolisme, tingkah laku, kelangsungan hidup dan distribusi ikan. Laevastu dan Hayes (1981) mengemukakan bahwa kisaran suhu bagi kehidupan dan pemijahan ikan teri adalah 13°C - 29°C. Lebih lanjut dijelaskan bahwa oksigen terlarut dalam air sangat penting bagi kehidupan dan perkembangan larva yaitu untuk proses metabolisme dan kecepatan makan. Kedua proses ini akan terhenti bila kekurangan oksigen. Penurunan kandungan 9 oksigen dalam air akan menurunkan laju metabolisme aktif dan menghambat aktivitas spesies seperti pertumbuhan, perkembangan dan pergerakan. Salinitas pada perairan pantai umumnya bervariasi karena input aliran sungai. Variasi salinitas ini akan mempengaruhi osmoregulasi ikan dan menentukan kemampuan mengapung telur ikan. Salinitas juga mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan karena ikan bertoleransi terhadap kisaran salinitas tertentu. Pengaruh salinitas terhadap ikan juga berkaitan dengan orientasi migrasi ikan sebagai respon terhadap gradien salinitas, serta pengaruhnya terhadap keberhasilan reproduksi. Teri pada umumnya bersifat pelagis dan hidup pada lingkungan perairan pesisir (Laevastu dan Hayes 1981). 2.3 Plankton Plankton merupakan organisme renik yang melayang pasif dalam kolom air, tidak dapat melawan pergerakan massa air karena kemampuan renangnya yang sangat lemah (Parson et al. 1977). Plankton berukuran mikroskopik antara 0,02 – 200 µm, hidupnya melayang atau mengapung dan tidak mempunyai kemampuan renang melawan arus, secara umum terbagi atas fitoplankton dan zooplankton (Nybakken 1992; Romimohtarto dan Juwana 2001). Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat nabati yang mampu memanfaatkan zat-zat anorganik dan merubahnya menjadi zat organik dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis yang hasilnya disebut produksi primer (Nybakken 1992). Menurut Kaswadji et al. (1995) fitoplankton merupakan awal dari model rantai makanan di lautan, organisme ini dimangsa oleh zooplankton yang kemudian akan dimangsa oleh ikan dan predator lainnya sehingga mengantarkan energi dan materi ke jenjang trofik yang lebih tinggi. Komponen komunitas fitoplankton dalam suatu perairan senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga akan menimbulkan proses suksesi. Jenis tertentu pada suatu saat akan muncul, kadang-kadang terjadi ledakan populasi dan pada saat yang lain jenis tersebut akan berkurang atau hilang sama sekali dan posisinya akan digantikan oleh jenis yang lain (Nybakken 1992). Banyaknya fitoplankton di perairan biasanya berhubungan dengan konsentrasi fosfat, nitrat, silikat dan unsur hara lain. Dalam kondisi tertentu unsur 10 hara ini akan menurun jika populasi fitoplankton naik, demikian pula sebaliknya unsur hara akan meningkat saat populasi fitoplankton (Prescod 1973). Parsons et al. (1977) mengelompokkan alga yang mewakili fitoplankton di lautan terdiri atas delapan kelas yaitu Cyanophyceae (alga biru-hijau), Rhodophyceae (alga merah), Dynophyceae (dinoflagellata), Haptophyceae (termasuk cocolithophora), Chrysophycae (alga kuning-kecoklatan), Xanthophyceae (alga kuning), Chlorophyceae (alga hijau) dan Bacillariophyceae (diatom). Diantara kelas-kelas tersebut, Bacillariophyceae dan Dynophyceae merupakan alga yang umum di laut. Lebih lanjut dikatakan bahwa distribusi fitoplankton yang tidak merata disebabkan oleh beberapa faktor antara lain angin, masukan air sungai, up welling, variasi unsur hara, kedalaman perairan, adanya arus bawah, aktivitas pemangsaan dan adanya percampuran massa air. Zooplankton merupakan anggota plankton yang bersifat hewani, jenisnya sangat beranekaragam dan terdiri dari berbagai macam larva dan plankton bentuk dewasa yang dimiliki oleh hampir seluruh filum hewan (Newell dan Newell 1977). Nybakken (1992) membedakan zooplankton berdasarkan daur hidupnya menjadi dua kelompok yaitu : (1) holoplankton, merupakan organisme plankton yang seluruh daur hidupnya bersifat plankton yang meliputi Copepoda, rotatoria dan chaetognata; dan (2) meroplankton, merupakan organisme yang hanya sebagian daur hidupnya bersifat plankton yaitu masa larva yang meliputi larva ikan, larva krustasea dan larva moluska. Umumnya perairan yang mempunyai kandungan zooplankton yang tinggi, memakan fitoplankton sedemikian cepatnya sehingga fitoplankton tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pembelahan sel. Bila jumlah zooplankton menurun dan menjadi sedikit, kondisi ini memberikan kesempatan kepada fitoplankton untuk tumbuh sehingga menghasilkan konsentrasi yang tinggi (Nybakken 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa siklus pembelahan sel fitoplankton relatif lebih cepat dari siklus reproduksi zooplankton sehingga fitoplankton dapat bertambah dalam waktu yang relatif lebih cepat. Walaupun zooplakton akan memakan fitoplankton, namun karena siklus reproduksinya lebih lama maka untuk mencapai jumlah maksimum dibutuhkan waktu. 11 Hubungan antara fitoplankton dan zooplankton terjadi di dalam rantai makanan dimana zooplankton memakan fitoplankton, proses ini dinamakan grazing (pemangsaan). Grazing (pemangsaan) tidak hanya sebagai penyebab mortalitas fitoplankton tetapi juga merubah komposisi fitoplankton. Adanya grazing inilah yang menyebabkan perubahan biomassa fitoplankton di perairan (Frost 1977). Nybakken (1992) menyatakan bahwa laju siklus reproduksi fitoplankton jauh lebih cepat dari pada zooplankton dan proses pemangsaan terjadi terus menerus sehingga komposisi fitoplankton tetap stabil. Hal ini berlangsung dalam jumlah yang tetap sepanjang tahun, sehingga proses pemangsaan tersebut tidak banyak mempengaruhi jumlah fitoplankton secara keseluruhan. Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa jumlah plankton di permukaan perairan pada pagi hari berbeda dengan siang hari. Hal ini penting untuk melihat migrasi vertikal, dimana plankton-plankton hewani cenderung berpindah di kedalaman yang lebih dalam selama siang hari dan menuju ke permukaan pada malam hari (Basmi 1990). Banyak plankton hewani yang menghindari sinar matahari yang terlampau kuat di permukaan pada siang hari dan menyusup ke lapisan yang lebih dalam, baru setelah malam hari plankton tersebut kembali ke permukaan, sedangkan pada perairan yang lebih dangkal banyak yang bermigrasi dekat dasar perairan selama siang hari dan akan mucul ke permukaan pada malam hari. Migrasi vertikal bukan saja pada holoplankton seperti Copepoda, tetapi juga pada meroplankton seperti pada bermacam- macam mikroplankton (Tomascik et al. 1997). 2.4 Kebiasaan Makanan Menurut Effendie (1997) yang dimaksud dengan kebiasaan makanan (food habits) adalah jenis, kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan. Ketersedian makanan merupakan faktor yang menentukan ukuran populasi, pertumbuhan, reproduksi dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan (Nikolsky 1963). Makanan yang telah digunakan oleh ikan akan mempengaruhi sisa ketersediaan makanan, sebaliknya dari makanan yang diambil tersebut akan mempengaruhi keberhasilan hidupnya. Adanya makanan yang 12 tersedia dalam perairan selain dipengaruhi oleh kondis i biotik seperti tersebut diatas, ditentukan pula oleh kondisi abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang dan luas permukaan (Effendie 1997). Jumlah makanan yang dibutuhkan oleh suatu jenis ikan tergantung pada macam makanan, kebiasaan makanan, kelimpahan ikan, suhu air dan kondisi ikan yang bersangkutan. Jenis-jenis makanan yang dimakan oleh suatu spesies ikan biasanya biasanya tergantung pada umur ikan, tempat dan waktu (Effendie 1997). Adapun struktur pencernaan yang berperan dalam adaptasi makanan adalah mulut, gigi, tapis insang, lambung dan usus (Lagler 1972). Makanan yang dimanfaatkan oleh ikan, pertama-tama digunakan untuk memelihara tubuh dan menggantikan organ-organ tubuh yang rusak, kelebihan makanan digunakan untuk pertumbuhan. Menurut Nikolsky (1963) bahwa urutan kebiasaan makanan ikan dibedakan kedalam 4 kategori berdasarkan persentase bagian terbesar yang terdiri dari makanan utama, yaitu makanan yang biasa dimakan dalam jumlah besar; makanan pelengkap, yaitu makanan dalam saluran pencernaan dalam jumlah yang lebih sedikit; dan makanan tambahan, yaitu makanan yang ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit; selain itu terdapat juga makanan pengganti, yaitu makanan yang dikonsumsi jika makanan utama tidak tersedia. Effendie (1997) mengelompokkan ikan berdasarkan makanannya sebagai ikan sebagai pemakan plankton, pemakan tanaman, pemakan dasar, pemakan detritus, ikan buas dan pemakan campuran. Selanjutnya berdasarkan kepada jumlah variasi dari makanan tadi, ikan dapat dibagi menjadi eurypagic yaitu ikan pemakan bermacam- macam makanan, stenophagic yaitu ikan pemakan makan yang macamnya sedikit atau sempit dan monophagic yaitu ikan yang makanannya terdiri dari satu macam makanan saja. Effendie (1997) mengemukakan jika ditelaah makanan ikan itu sejak dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan, sebenarnya merupakan mata rantai yang dinamakan rantai makanan (food chains). Plankton tumbuh-tumbuhan melalui proses fotosintesis dapat memproduksi bahan organik dari bahan anorganik (produsen primer), organisme yang memakan nprodusen primer dinamakan konsumer primer, organisme yang memakan konsumer primer dinamakan konsumer skunder, dan seterusnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa 13 panjang pendeknya rantai makanan tergantung dari macam, uk uran atau umur ikan, namun kenyataannya dalam interaksi makan-pemakan terjadi tumpang tindih, dimana satu jenis konsumen memakan beberapa jenis makanan dan satu jenis produsen di makan oleh beberapa jenis konsumen sehingga membentuk suatu jaringan yang dinamakan jaring- jaring makanan (food webs). Popova (1978) mengemukakan bahwa komposisi makanan konsumer tergantung dari sifat-sifat morfologi, pola hidup dan tingkah laku pemangsa. Ketersediaan makanan untuk ikan ditentukan oleh berbagai faktor dan yang terutama adalah kehadiran dan kelimpahan relatif dari tipe makanan tertentu. Bila salah satu macam makanan ikan tersedia dalam jumlah melimpah pada suatu perairan, belum tentu makanan tersebut menjadi bagian penting dalam susunan makanan ikan. Jika makanan yang disukai tidak ditemukan, ikan akan mengganti organisme makanannya walaupun kelimpahan organisme makanan ini rendah. Dikemukakan lebih lanjut bahwa selain kelimpahan, pemangsaan juga tergantung pada distribusi spesies makanan dalam perairan, tingkah laku, aktivitas dan ukuran makanan maupun ikan pemangsa. Mempelajari makanan ikan- ikan pemangsa dapat melalui: (1) penentuan komposisi spesies dan ukuran dari organisme makanan yang ditemukan dalam saluran pencernaan; (2) penentuan laju pencernaan; dan (3) penentuan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh ikan. Menurut Hyslop (1980), studi tentang makanan ikan didasarkan pada analisis isi saluran pencernaan saat ini merupakan standar dalam ekologi ikan. Berbagai metode digunakan untuk menentukan makanan yang dominan dikonsumsi oleh ikan. Metode tersebut mencakup frekuensi kejadian, metode jumlah, metode volumetrik dan metode gravimetrik (Popova 1978). Analisis isi saluran pencernaan yang dilakukan di alam berdasarkan pada kelebihan dan kelemahan metode yang ada (Hyslop 1980). Menurut Effendie (1979) keuntungan menggunakan metode frekuensi kejadian adalah organisme makanan dengan mudah diidentifikasi, cepat dan membutuhkan peralatan yang minimum. Kelemahannya metode ini kurang memberikan indikasi tentang jumlah relatif jenis makanan yang terdapat dalam lambung. Metode jumlah merupakan metode yang relatif cepat dan mudah dikerjakan serta memberikan identifikasi spesies yang jelas. Kelemahan dari 14 metode ini adalah organisme makanan yang berukuran kecil yang mungkin lebih cepat dicerna tidak tercatat. Dengan analisis volumetrik, volume total dari kategori makanan yang dikonsumsi oleh ikan ditentukan sebagai persentase total volume dari semua lambung. Perhitungan dari rata-rata dimensi spesies makanan didasarkan pada jumlah individu yang selanjutnya akan menentukan volume ratarata. Kelebihan dari metode volumetrik adalah dapat digunakan khusus untuk organisme makanan dengan variasi makanan yang dimakan berukuran besar. 2.5 Pemangsaan (Predasi) Pemangsaan mempunyai arti pengrusakan dengan cara dimakan atau dimangsa, sedangkan ikan pemangsa (predator) biasanya diartikan sebagai musuh. Hal yang perlu diketahui dalam hubungan mangsa pemangsa adalah jenis, jumlah dan ukuran ikan yang dimangsa serta bagaimana frekuensi pemangsa mengambil mangsanya (Effendie 1997). Umumnya para ahli biologi menganggap bahwa predator semuanya spesies karnivor, termasuk ikan pemakan ikan (piscivor) dan pemakan bermacammacam invertebrata mulai dari berukuran kecil sampai berukuran besar. Menurut Weatherley dan Gill (1987) ada 11 prinsip mengenai hubungan mangsa dan pemangsa pada ikan : 1) Jumlah ikan yang dimakan oleh piscivor lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikan yang ditangkap oleh nelayan. 2) Ukuran mangsa yang dimakan oleh pemangsa semakin bertambah besar dengan bertambah besarnya ukuran pemangsa. 3) Pemangsa memiliki kesukaan (preferensi) pada spesies mangsa dengan ukuran tertentu. 4) Pemangsa umumnya mengambil bermacam- macam mangsa. 5) Pemangsaan terhadap suatu jenis mangsa memungkinkan terjadi perubahan terhadap kepadatan mangsa. 6) Pemangsa mungkin mengganti makanannya dengan spesies lain dalam suatu suatu kesetimbangan biologi. 7) Jumlah mangsa berkurang akibat pemangsaan oleh tekanan pemangsa. 8) Komposisi komunitas mangsa dipengaruhi oleh pemangsa. 15 9) Populasi mangsa yang melimpah dapat merangsang pertumbuhan dan densitas pemangsa. 10) Persaingan antara spesies pemangsa dapat mempengaruhi pertumbuhan dan densitas populasi. 11) Pemangsaan terhadap mangsa tertentu dapat menurunkan persaingan diantara spesies mangsa sehingga dapat penambahan keragaman komunitas mangsa. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kebanyakan spesies ikan memiliki kebiasaan makan yang bervariasi. Umumnya ikan memperlihatkan tingkat kesukaan makan terhadap organisme makanan tertentu dan hal ini terlihat dalam organisme makanan yang predominan dalam lambungnya Teri adalah ikan pemakan plankton. Pada ukuran < 40 mm, teri umumnya memakan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil, sedangkan pada ukuran > 40 mm, ikan teri memanfaatkan zooplankton (Copepoda) berukuran besar (Hutomo et al. 1987). Berdasarkan kajian isi lambung teri dalam beberapa interval waktu pada malam hari (Sudirman 2003) diketahui bahwa ikan ini aktif mencari makan sebelum tengah malam (pukul 22:00), dimana tingkat kepenuhan isi lambung selama waktu itu lebih tinggi dibandingkan 2 waktu lainnya (pukul 01:00 dan 05:00).