BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Flu burung atau avian influenza adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A, yang ditularkan oleh unggas seperti ayam, kalkun, dan itik (Soejoedono dan Handharyani, 2006). Semua jenis unggas dapat terkena flu burung namun tingkat kepekaannya berbeda-beda. Ayam sangat peka terhadap virus avian influenza dan akan menunjukkan gejala bila terinfeksi, sedangkan unggas air seperti itik bersifat reservoir yang tidak selalu menunjukkan gejala sakit walaupun di dalam tubuhnya terdapat virus avian influenza (Dinas Kesehatan Provinsi DIY, 2010). Penyakit avian influenza menimbulkan kematian yang sangat tinggi (hampir 90%) pada unggas di beberapa peternakan (Depkominfo, 2006). Berdasarkan laporan Koordinator Unit Respon Cepat Penyakit Hewan Menular Strategis Dinas Pertanian DIY, pada periode 12 Mei hingga 16 Mei 2014 terjadi 131 kasus kematian unggas akibat positif virus H5N1. Kasus di Kota Yogyakarta sebanyak 6 ekor, Kabupaten Bantul sebanyak 25 ekor, dan Kabupaten Gunung Kidul sebanyak 100 ekor (Adiwijaya, 2014). Penyakit ini menular dari burung ke burung, tetapi dapat juga menular dari burung ke manusia. Penyakit ini dapat menular lewat udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekret burung atau unggas yang menderita 1 2 influenza (Santoso et al., 2005). Sampai saat ini, belum terjadi penularan flu burung dari manusia ke manusia (Aditama, 2012 ; O’Leary, 2013). Manusia yang terinfeksi avian influenza menunjukkan gejala seperti terkena flu biasa. Dalam perkembangannya kondisi tubuh menurun drastis dan jika tidak segera mendapatkan pertolongan, korban dapat meninggal dengan berbagai komplikasi. Komplikasi yang mengancam jiwa adalah gagal nafas dan gangguan fungsi tubuh lainnya (Judarwanto, 2009). Berdasarkan data yang diambil dari World Health Organization (WHO) sampai pada tanggal 24 Januari 2014, jumlah kasus flu burung pada manusia di dunia sebanyak 650 kasus dan 386 orang dinyatakan meninggal dunia dan Indonesia merupakan negara dengan kasus flu burung terbesar di dunia dengan 195 kasus dan 163 orang meninggal dunia (WHO, 2014). Kasus flu burung pada manusia di Yogyakarta pertama kali terjadi pada bulan Maret 2011, korban meninggal berasal dari kabupaten Gunung Kidul dan memiliki riwayat kontak dengan unggas peliharaan di rumah dan pasar tradisional (Kemenkes RI, 2011). Kasus kematian kedua terjadi pada bulan Juli 2012, korban meninggal berasal dari daerah Prambanan yang memiliki faktor risiko kontak dengan unggas di tempat kerja serta terdapat peternakan dan pemotongan ayam di sekitar rumah korban (Kemenkes RI, 2012). Kasus flu burung terbaru di Indonesia terjadi pada bulan April 2014 di Wonogiri, Jawa Tengah. Korban berusia 2 tahun dengan faktor risiko adanya kematian ayam di rumah dan lingkungan sekitar korban (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan ketiga kasus tersebut, adanya riwayat kontak dengan unggas terinfeksi merupakan faktor risiko penularan flu burung. 3 Pihak yang memiliki risiko tinggi tertular avian influenza adalah : dokter hewan, peternak, petugas kandang, laboran sampel unggas, orang yang bekerja di tempat pemotongan atau pengolahan unggas, pengolahan pupuk kandang, pencabutan bulu, pedagang unggas hidup, pedagang daging unggas, dan anakanak di bawah usia 12 tahun karena sistem kekebalan tubuh yang belum kuat (Dinas Pertanian DIY, 2006; Judarwanto, 2009). Sebagian besar infeksi flu burung pada manusia berhubungan dengan pemotongan dan persiapan ayam yang sakit dan mati sebelum dimasak (Abikusno, 2005). Pencegahan flu burung sebelumnya dipusatkan pada kegiatan pencegahan flu burung di peternakan unggas rumahan, sekarang telah bergeser ke pencegahan penularan pada kegiatan transportasi dan distribusi unggas secara komersial yang dianggap merupakan kegiatan utama untuk memutus transmisi virus flu burung. Delapan sasaran dalam kegiatan pencegahan flu burung yaitu : kelompok peternak unggas komersiil, peternak ayam kampung, peternak bebek dan itik, pedagang dan pengangkut, pemotong unggas, penjual unggas hidup dan potong, pengelola pasar, serta pelanggan dan konsumen (Komnas FBPI, 2009). Berdasarkan hasil lokakarya pasar unggas hidup yang diadakan oleh Komnas FBPI, USDA dan CIVAS tahun 2008 terdapat empat titik kritis dalam rantai distribusi unggas dan produknya yaitu peternakan, tempat penampungan unggas, tempat pemotongan unggas dan tempat penjualan unggas. Salah satu titik kritis yang perlu segera mendapat penanganan adalah pasar tradisional (Jaelani, 2009). Pasar Terban, merupakan pasar ayam terbesar di Yogyakarta yang berada di tengah-tengah pemukiman padat penduduk. Pedagang di pasar ini menjual unggas 4 hidup dan unggas potong. Sebagian besar unggas yang diperdagangkan adalah ayam. Di pasar ini juga terdapat 5 rumah potong unggas yang berlokasi di dalam area pasar. Pada tahun 2005, Dinas Pertanian dan Kehewanan Kota Yogyakarta menemukan 14 bangkai ayam positif flu burung dari pedagang dan tempat pemotongan ayam di Pasar Terban Gondokusuman (Kurniawan, 2005). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh keterangan bahwa unggas yang diperdagangkan di pasar ini berasal dari Kabupaten-Kabupaten di Provinsi Yogyakarta maupun dari luar Yogyakarta dan dijual juga ke daerah lain seperti Jakarta. Pembeli ayam hidup dan pelanggan rumah potong di pasar ini merupakan pemilik rumah makan besar di Yogyakarta. Pasar Terban memiliki peran dalam rantai distribusi unggas dan penyebaran penyakit flu burung dari unggas kepada manusia. Pihak pengelola pasar dalam wawancara studi pendahuluan menyatakan bahwa langkah pencegahan flu burung sejak tahun 2013-2014 sudah mengalami penurunan. Kegiatan penyuluhan sudah jarang dilakukan, pelaku usaha hanya mengetahui informasi mengenai flu burung melalui media televisi. Kegiatan penyemprotan desinfekan dilaksanakan setiap hari Jumat oleh Dinas Pertanian dan Kehewanan. Dilakukan juga pemeriksaan ayam tiren oleh dokter hewan. Pengelola pasar menyarankan membuang ayam yang mati, tetapi ada juga pedagang yang menjadikannya sebagai pakan ikan lele. Limbah dan sampah akan dibersihkan setiap hari dan diangkut dengan truk menuju tempat pembuangan. Limbah cair akan ditampung pada bak khusus. Ayam-ayam hidup yang diperdagangkan akan dibawa pulang pada malam hari oleh pemiliknya. 5 Peneliti juga melakukan observasi lingkungan dan wawancara singkat terhadap para pedagang ayam hidup dan pekerja rumah potong. Salah seorang pedagang mengatakan bahwa ayam miliknya belum pernah sakit dan belum pernah diberikan vaksin. Pedagang tersebut mengatakan belum pernah diberikan penyuluhan oleh pihak terkait mengenai flu burung dan saat peneliti menanyakan beberapa pertanyaan terkait flu burung pedagang tersebut mengatakan tidak tahu. Peneliti juga mewawancarai pedagang lain yang sedang mengangkut ayam dari mobil ke area pasar. Pedagang tersebut menggunakan masker sebagai perlindungan. Pedagang tersebut mengatakan alasan penggunaan masker hanya untuk melindungi diri dari debu. Pedagang tersebut mengetahui bahwa flu burung disebabkan oleh virus tapi tidak mengetahui gejala penyakit yang ditimbulkan. Beberapa pedagang menjual kembali bulu-bulu ayam untuk shutlecock. Berdasarkan hasil observasi peneliti, kebersihan lingkungan pasar masih kurang, bulu-bulu dan kotoran unggas berserakan di area pasar. Sebagian besar pedagang tidak memakai masker dan sarung tangan. Kendaraan pengangkut dan pembeli ayam langsung masuk ke area pasar. Sementara di area potong unggas, petugas pemotongan tidak menggunakan sarung tangan dan masker. Lantai dan dinding terlihat penuh dengan darah ayam. Pemilik rumah potong mengatakan jika perkerjaan sudah selesai maka akan dibersihkan, sampah-sampah akan dibuang dan petugas pemotongan diwajibkan untuk mandi sebelum pulang. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merasa tertarik melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pencegahan flu burung di Pasar Terban Yogyakarta. 6 B. Rumusan Masalah Peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku pedagang unggas hidup dan pemotong unggas dalam pencegahan flu burung di Pasar Terban, Yogyakarta ?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pedagang unggas hidup dan pemotong unggas dalam upaya pencegahan flu burung di Pasar Terban, Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pengaruh pengetahuan terhadap perilaku pedagang unggas hidup dan pemotong unggas dalam pencegahan flu burung di Pasar Terban, Yogyakarta. b. Mengetahui pengaruh sikap terhadap perilaku pedagang unggas hidup dan pemotong unggas dalam pencegahan flu burung di Pasar Terban, Yogyakarta. c. Mengetahui pengaruh fasilitas terhadap perilaku pedagang unggas hidup dan pemotong unggas dalam pencegahan flu burung di Pasar Terban, Yogyakarta. d. Mengetahui pengaruh perilaku pengelola pasar terhadap perilaku pedagang unggas hidup dan pemotong unggas dalam pencegahan flu burung di Pasar Terban, Yogyakarta. 7 e. Mengetahui faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku pencegahan flu burung pada pedagang unggas hidup dan pemotong unggas di Pasar Terban, Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan kajian mengenai perilaku pencegahan flu burung di lingkungan pasar yang diharapkan dapat menjadi sumber dan perbandingan untuk penelitian berikutnya. 2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti Memberikan gambaran mengenai perilaku pencegahan flu burung serta melatih kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian. b. Bagi Pasar Terban. Sebagai bahan masukan sejauh mana pedagang dan pemotong unggas di lingkungan pasar mengetahui tentang flu burung serta tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus flu burung. c. Bagi Dinas Peternakan dan Dinas Kesehatan Provinsi Yogyakarta Memberikan masukan tentang pemahaman masyarakat mengenai flu burung dan tindakan pencegahan yang dilakukan serta ketersediaan fasilitas yang mendukung sehingga dapat diwujudkan pasar sehat. d. Bagi perawat komunitas Memberi masukan tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku pencegahan 8 flu burung di lingkungan pasar yang merupakan jalur distribusi serta dapat menjadi pertimbangan dalam melaksanakan promosi kesehatan e. Bagi institusi pendidikan Memberikan dasar untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. E. Keaslian Penelitian Menurut sepengetahuan peneliti, penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pedagang unggas hidup dan pemotong unggas dalam upaya pencegahan flu burung di Pasar Terban, Yogyakarta belum pernah dilakukan. Penelitian sebelumnya yang dapat menunjang penelitian ini antara lain: 1. Sihaloho, Emma S (2009) yang berjudul “Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Pekerja Rumah Potong Unggas dalam Pencegahan Penularan Penyakit Flu Burung di Kecamatan Berbah dan Kecamatan Prambanan, Sleman, Yogyakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan perilaku pekerja rumah potong unggas dalam pencegahan flu burung, penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional menggunakan metode total sampling. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan pekerja rumah potong unggas mengenai flu burung pada kategori sedang, sikap pekerja rumah potong unggas cukup baik, dan perilaku pekerja rumah potong unggas dalam pencegahan flu burung cukup baik. Ada hubungan positif antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan perilaku pekerja rumah potong unggas. 9 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah subjek penelitian dalam penelitian ini merupakan pedagang unggas hidup dan pemotong unggas di lingkungan pasar ayam, peneliti juga melakukan penelitian tentang ketersediaan fasilitas dan perilaku pengelola pasar dalam mencegah terjadinya kasus flu burung. 2. Kusrini, Dwi (2008) yang berjudul “Hubungan antara Pengetahuan Keluarga dengan Perilaku Pencegahan Flu Burung di Desa Kiping Kecamatan Sambungmacan Kabupaten Sragen”. Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional. Sampel ditentukan dengan teknik accidental sampling dan pengujian analisis data menggunakan uji Kendall Tau. Hasil dari penelitian tersebut yaitu pengetahuan keluarga tentang flu burung rata-rata cukup, perilaku keluarga dalam pencegahan flu burung rata-rata cukup, dan ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang flu burung dengan perilaku keluarga dalam pencegahan flu burung di Desa Kiping Sambungmacan Sragen. Perbedaan penelitian Kusrini dengan penelitian ini adalah pada variabel penelitian. Variabel dalam penelitian ini pengetahuan, sikap, ketersediaan fasilitas, perilaku pengelola pasar, dan perilaku. 3. Mou Sa (2007) yang berjudul “Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap Terhadap Flu Burung pada Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian”. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan kuantitatif, design cross sectional. Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap serta sumber informasi tentang flu burung yang diperoleh oleh 10 mahasiswa FTP. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar mahasiswa FTP mempunyai tingkat pengetahuan yang sedang tetapi mempunyai sikap yang baik terhadap flu burung. Acara berita merupakan sumber informasi yang paling sering dimanfaatkan oleh mahasiswa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah variabel penelitian dan subjek penelitian. Variabel peneliti adalah pengetahuan, sikap, ketersediaan fasilitas, perilaku pengelola pasar, dan perilaku. Subjek peneliti adalah pedagang unggas hidup dan pemotong unggas di lingkungan pasar ayam. 4. Maton, Tavorn, et al. (2007) yang berjudul “Avian Influenza Protection Knowledge, Awareness, and Behaviors in A High-Risk Population in Suphan Buri Province, Thailand”. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional yang berlokasi di daerah Song Phi Nong, Provinsi Suphan Buri. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai flu burung dalam kategori sedang, tetapi pengetahuan tentang tanda dan gejala flu burung masih kurang. Sikap dalam pencegahan flu burung sudah baik. Responden yang mendapatkan informasi dari media memiliki perilaku pencegahan flu burung yang lebih baik. Media massa memegang peranan penting dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan flu burung, tetapi pendidikan kesehatan yang berkelanjutan lebih diperlukan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah pada variabel penelitian. Peneliti juga melakukan penelitian tentang 11 ketersediaan fasilitas dan perilaku pengelola pasar dalam mencegah terjadinya kasus flu burung. 5. Paudel, Mohan, et al. (2013) yang berjudul “Social Determinants That Lead To Poor Knowledge About, and Inappropriate Precautionary Practices Towards, Avian Influenza Among Butchers in Kathmandu, Nepal”. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan instrumen kuesioner wawancara terstruktur dan checklist untuk mengamati faktor sosial dan tindakan pencegahan pada 120 pemotong unggas berusia 15 tahun ke atas di Kathmandu. Sebanyak 61,3 % responden memiliki pengetahuan kurang, dan sisanya memiliki pengetahuan yang sedang mengenai flu burung. Sebanyak 55,4 % responden memiliki perilaku yang buruk dan sisanya memiliki perilaku yang sedang terhadap flu burung. Responden yang berusia kurang dari 25 tahun dan dengan tingkat pendidikan yang rendah, memiliki pengetahuan yang lebih buruk mengenai flu burung. Responden yang tidak tahu mengenai definisi dan faktor risiko mengenai flu burung memiliki perilaku yang lebih jelek. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti terdapat pada variabel dan subjek penelitian. Peneliti melakukan penelitian pada pedagang unggas hidup dan pemotong unggas pada segala tingkat usia, peneliti juga melakukan penelitian mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku pencegahan flu burung seperti sikap, ketersediaan fasilitas dan perilaku pengelola.