BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Rabies di Indonesia

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Rabies di Indonesia
Rabies adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Secara etimologi, rabies
berasal dari bahasa Sansekerta kuno “rhabas” yang artinya melakukan kekerasan
(Rumlawang dan Nanlohy, 2011). Di Indonesia, rabies pertama kali ditemukan pada
kuda tahun 1884, kemudian disusul pada kerbau yang dilaporkan Ester tahun 1889,
anjing oleh Penning tahun 1890, dan pada manusia oleh E.V. de Haan tahun 1894 di
Bekasi, Jawa Barat. Beberapa tahun kemudian kasus rabies ditemukan di Sumatera
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sumatera
Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), Aceh (1970), Jambi dan
Yogyakarta (1971), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah
(1978), Kalimantan Selatan (1983), Pulau Flores NTT (1997), Pulau Ambon dan
Pulau Seram (2007) (Akoso, 2007)
Pulau Bali dinyatakan positif terjangkit rabies sejak tahun 2008. Kondisi
tersebut dinyatakan dalam peraturan Kabutapen Badung No. 53/2008; Peraturan
Gubernur Bali No 88/2008; Peraturan Menteri Pertanian No 1637/2008 (1 Desember
2008); dan Office International Epizootic (OIE) sejak 18 Desember 2008.
Sebelumnya Bali merupakan suatu wilayah keresidenan di Indonesia yang bebas
rabies. Peraturan tersebut tertuang dalam Hondsdolhed Ordonantie (Staatblad 1926
No 451 yunto Stbl 1926 No 452) (Batan et al, 2014).
2.2 Etiologi Rabies
Rabies merupakan penyakit zoonotik yang bersifat akut yang disebabkan oleh
virus single-stranded RNA, yang disebabkan oleh golongan Monomegavirales,
Family Rhabdoviridae, genus Lyssavirus (Utami dan Sumiarto, 2010). Family
Rhabdoviridae yang memiliki bentuk menyerupai peluru. Virus rabies memiliki
panjang 180nm dengan diameter 75nm. Tersusun atas lima daerah penyandi protein
yaitu: gen Polymerase/Transkriptase (L), Glikoprotein (G), Matriks (M), Non
Struktural protein /Phosphorprotein(NS/P) dan Nukleoprotein (N). Protein L, NS dan
N berada di dalam nukleokapsid, sedangkan protein G dan M berada di dalam amplop
(Natik et al, 2013 ). Virus rabies dapat menginfeksi hewan berdarah panas bahkan
manusia dan dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat. Hewan berdarah
panas yang dapat tertular dan menularkan rabies adalah anjing, kucing, monyet,
bahkan sapi. (Lestyorini, 2012).
Sampai saat ini sudah dikenal 7 genotip Lyssavirus dimana genotip 1
merupakan penyebab rabies yang paling banyak di dunia. Virus ini bersifat labil dan
tidak viable bila berada diluar inang. Virus menjadi tidak aktif bila terpapar sinar
matahari/sinar ultraviolet, pemanasan selama 50 menit, pengeringan, dan sangat peka
terhadap pelarut alkalis seperti sabun, desinfektan, serta alkohol 70% (Tanzil, 2014).
Dikenal dua macam siklus rabies, yakni rabies di lingkungan pemukiman
penduduk (urban rabies) dan rabies di alam bebas (sylvatic rabies). Siklus urban
rabies umumnya terjadi pada anjing geladak yang dibiarkan bebas tanpa
pemeliharaan khusus. Manusia paling sering tertular rabies melalui gigitan anjing
yang terinfeksi, tetapi sangat jarang tertular dari kucing, kera atau hewan lain.
Sylvatic rabies bersiklus pada hewan liar, sesekali hewan pembawa sylvatic rabies
mendekati pemukiman, kemudian menggigit hewan piaraan dan terjadilah urban
rabies (Sopi, 2013).
2.3 Patogenesis Rabies
Virus rabies masuk kedalam tubuh melalui luka (biasanya gigitan hewan) atau
lewat membran mukosa, kemudian virus bereplikasi di sel-sel otot myosit dan
menyebar ke jaringan ikat neuromuscular dan spindle neurotendineal pada masa
inkubasi (Warrel dan Warrel, 2004). Massa inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara 2
minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu tergantung dari banyaknya
virus, strain virus, jarak yang harus ditempuh oleh virus sebelum mencapai Sistem
Syaraf Pusat (SSP), dan status kekebalan host. Virus terus bereplikasi menuju SSP
dan sesampainya di SSP, virus akan menyebar ke seluruh SSP, dan akhirnya ke motor
perifer, sensori, dan neuron di seluruh tubuh (Salbahaga, 2012).
Selain melalui gigitan virus juga dapat menular melalui air liur yang terkena
kulit yang luka, melalui saluran pernafasan yang terluka dan terkena air liur yang
mengandung virus penyakit rabies, melalui saluran pencernaan yang terluka pada saat
memakan bahan makanan yang tercemar virus penyakit rabies. Virus rabies juga
dapat terbawa angin masuk ke dalam kornea mata (Dharmojono, 2001).
2.4 Gejala Klinis
2.4.1 Gejala Klinis Pada Hewan.
Menurut Dharmawan (2009) rabies pada hewan mempunyai tiga
stadium, yaitu:
1.
Tahap Prodromal
Tahap prodromal merupakan tahap awal terjadinya rabies dan
berlangsung sekitar 2-3 hari. Pada hewan yang terkena rabies, tahap prodromal
ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Namun
perilakunya sudah mulai berubah dan seolah-olah tidak mengenal lagi
pemiliknya. Hewan akan mudah menjadi sangat perasa, mudah terkejut, dan
cepat berontak bila ada provokasi. Dan dalam keadaan ini perubahan perilaku
tersebut sering diikuti oleh kenaikan suhu badan.
2.
Tahap Eksitasi
Pada tahap eksitasi akan berlangsung selama 3-7 hari, lebih lama dari
tahap prodromal. Pada tahap eksitasi ini anjing yang terkena rabies akan lebih
cepat merasa terganggu, emosional, dan akan cepat bereaksi agresif terhadap
apa saja yang dirasa mengganggunya. Anjing cenderung menghindar apabila
bertemu atau berpapasan dengan orang, dan suka bersembunyi di tempat yang
gelap. Selain itu anjing juga akan mengalami photofobia (takut cahaya),
hipersalivasi, dan tampak seperti ketakutan.
3.
Tahap Paralisa
Pada tahap ini keadaan klinis berlangsung singkat, sehingga gejalanya
sulit untuk dikenali bahkan dapat tidak terjadi secara jelas dan langsung
berlanjut pada tahap kematian. Stadium ini ditandai oleh kelumpuhan,
umpamanya rahang bawah layuh dan mulut terbuka secara konstan, disamping
itu kelumpuhan membran nictitans beserta otot-otot mata dapat terjadi
sehingga hewan itu menjadi juling. Akhirnya hewan meninggal karena
kelumpuhan otot pernafasan (Ressang, 1986).
2.4.2 Gejala Klinis Pada Manusia
Masa inkubasi rabies pada manusia sangat bervariasi antara kurang
dari satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Masa inkubasi ini dipengaruhi
oleh kedalaman gigitan, jarak gigitan dengan susunan saraf pusat, dan jumlah
virus yang masuk ke dalam luka. Menurut Soeharsono (2002) tahap-tahap
gejala klinis rabies pada manusia meliputi:
1.
Tahap Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat
adalah perasaan gelisah dan demam. Secara umum pasien yang mengalami
tahap prodromal rabies diliputi perasaan tidak enak, sakit kepala, gatal, merasa
panas seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah, dan rasa sakit. Selain
itu akan terjadi penurunan nafsu makan, mual atau muntah, atau rasa sakit
perut.
2.
Tahap Sensoris
Pada tahap sensoris, penderita merasa nyeri, rasa panas dan kesemutan
di daerah yang pernah digigit oleh Hewan Penular Rabies (HPR) disertai
dengan kesemutan pada tempat bekas luka yang kemudian disusul dengan
gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsangan sensoris.
3.
Tahap Eksitasi
Pada tahap eksitasi tonus otot pasien akan meninggi dengan gejala
seperti ketakutan yang berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan
cahaya (photofobia), takut terhadap tiupan angin (aerofobia), atau takut
terhadap suara keras. Selain itu pasien juga mengalami demam yang tinggi.
Pasien juga akan menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman. Kebingungan
akan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi agresif, halusinasi,
ketakutan, tubuh gemetar atau kaku kejang.
Gejala stimulasi saraf otonom termasuk peningkatan ekskresi saliva,
air liur berbuih, mengeluarkan banyak keringat, lakrimasi, dan abnormalitas
pupil.
4.
Tahap Paralisis
Biasanya pasien yang mengalami rabies akan meninggal pada tahap
eksitasi. Namun terkadang ditemukan pula kasus tanpa gejala eksitasi,
melainkan terjadi paresis otot-otot yang bersifat progresif. (Soeharsono, 2002).
2.5 Tipe Rabies pada Hewan
Beberapa literatur mengatakan rabies terdiri dari 2 bentuk, yaitu:
1.
Dump Rabies
Pada dumb rabies umumnya terjadi gangguan menelan, bersembunyi
dan jarang menggigit, selanjutnya dalam kurun waktu sekitar empat hari akan
terjadi paralisa progresif yang berakhir dengan kematian. Bentuk ini
umumnya jarang menular ke manusia.
2.
Furious Rabies
Pada bentuk furious rabies umumnya terlihat gejala umum misalnya
menurunnya nafsu makan , gelisah, bersembunyi, sensitif dan agresif,
menyerang segala sesuatu yang berada disekitarnya, kejang-kejang yang
berakibat dyspaghia, hydrophobia, hypersalivasi, selanjutnya terjadi paralisa
dan kematian. Bentuk furious ini yang biasanya menular ke manusia akibat
gigitan hewan penderita (Rahayu, 2010)
2.6 Diagnosa
Teknik diagnosis pada kasus rabies dengan menemukan adanya badan
negri (negri bodies) pada otak. Pemeriksaan ini memerlukan preparat sentuh dari
jaringan otak hewan yang telah menggigit atau menunjukkan gejala klinis rabies
dengan menggunakan metoda Seller (Chhabra et al., 2005). Dan pemeriksaan lain
dapat digunakan dengan metode IFAT (Indirect Fluorescent Antibody Technique)
atau inokulasi hewan percobaan (Soeharsono, 2002; WHO, 2004). Selanjutnya,
apabila dari dua metode di atas tidak menemukan hasil maka akan dilakukan uji
biologik (Webster et al., 1976; OIE, 2012).
Pemeriksaan biologik memerlukan waktu yang lama, yaitu antara 4-21 hari.
Teknik tersebut telah diterapkan pada anjing diduga rabies di Kabupaten Badung dan
Kabupaten Tabanan. Kini diagnosis rabies juga dilaporkan dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik antibodi monoklonal pada anjing penderita rabies (Astawa et
al., 2010).
Selain menggunakan metode di atas, di lapangan untuk mengawal kasus yang
diduga kuat rabies dilakukan hal-hal berikut yaitu:
•
Apabila terdapat hewan yang telah menggigit manusia, maka anjing tersebut
harus ditangkap dan diobservasi untuk melihat perkembangan penyakit rabies.
Observasi dilakukan selama 10-15 hari pada hewan yang menggigit. Riwayat
penggigitan ditelusuri dan dicermati ada tidaknya provokasi. Indikasi
kecenderungan rabies di lapangan tanpa adanya tindakan provokasi dapat
ditentukan sebagai berikut (Mahardika et al, 2009):
a.
Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 1 orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 25%.
b.
Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 2 orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positis rabies 50%.
c.
Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 3 orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 75%.
d.
Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 4 orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 100%.
•
Dilakukan penelusuran terhadap jumlah korban gigitan yang telah digigit oleh
hewan yang sama.
2.7 Kerangka Konsep
Rabies adalah suatu penyakit yang menginfeksi sususan saraf pusat yang
disebabkan oleh virus. Penyakit ini bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari
hewan ke manusia dan sangat berbahaya dan memberikan dampak kerugian yang
sangat besar baik dari aspek ekonomi, psikologi, maupun pariwisata. Virus rabies
ditularkan ke manusia melalui gigitan hewan terinfeksi rabies terutama oleh anjing
dan dapat menyebabkan kematian. Rabies masuk ke wilayah Pulau Bali sejak akhir
2008, hingga bulan Agustus 2011 rabies telah menyebar ke seluruh wilayah
kabupaten dan kota di Provinsi Bali dan telah menyebabkan 131 korban manusia
meninggal dunia (Dinas Peternakan Provinsi Bali, 2014)
Jumlah kasus rabies sampai November 2012 telah ditemukan di 315 desa dari
723 desa di Provinsi Bali. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran rabies sangat luas
dan siklus penularan rabies terus terjadi, dan secara perlahan menyebar ke seluruh
Bali (Putra, 2012)
Di Kabupaten Karangasem kasus rabies ditemukan pertama kali di Desa Ban
Kecamatan Kubu pada September 2009 dan pada tahun 2010 menyebar ke
Kecamatan Abang, Karangasem, Bebandem, Manggis, Selat, dan Rendang. Hingga
tahun 2013 jumlah kasus rabies pada anjing yang telah dikonfirmasi laboratorium
berjumlah 88 kasus dengan kasus terbanyak terjadi pada tahun 2010 (Dibia et al.,
2014).
Anjing merupakan HPR yang paling banyak diitemukan di Bali.
Keberadaannya dikenal sangat dekat dengan lingkungan manusia, bukan hanya
sebagai hewan peliharaan namun sudah dianggap sebagai sahabat manusia. Anjing
juga mempunya peranan penting dalam kehidupan manusia seperti menjaga rumah
atau kebun, sarana berburu, bahkan sarana upacara adat dan ritual.
Menurut yayasan yudhistira ratio populasi anjing di bali mencapai 1:6 yang
berarti populasi anjing di bali sekitar 540.000 ekor. Semakin besar jumlah anjing
maka semakin besar pula resiko tergigitnya manusia. Pulau Bali
khususnya
Kabupaten Karangasem memiliki banyak objek wisata antara lain Pura Besakih, Puri
Agung Karangasem, Tulamben, Padang Bai, Taman Ujung Karangasem. Banyak para
wiatawan baik asing maupun lokal yang datang maupun tinggal dalam waktu yang
relatif lama. Dengan adanya kasus rabies ini dapat menurunkan jumlah wisatawan
yang datang ke Kabupaten Karangasem sehingga dapat mengakibatkan pendapatan
masyarakat di sektor wisata tersebut menurun.
Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mengetahui apakah ada korelasi antara
kejadian rabies pada anjing dan manusia, pola penyebarannya, dan
daerah
penyebarannya di Kabupaten Karangasem sehingga dapat membantu dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan rabies di Kabupaten Karangasem.
Download