1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Anonim, 1995). Untuk mendapatkan ekstrak yang mengandung
senyawa aktif dengan aktivitas yang tinggi perlu menggunakan pelarut dengan
komposisi yang sesuai untuk penyarian bahan tersebut. Untuk mendapatkan
komposisi pelarut yang sesuai, perlu dilakukan suatu proses yang dinamakan
optimasi pelarut. Salah satu metode yang sering sekali digunakan dalam optimasi
suatu campuran bahan dua atau lebih dalam bidang kefarmasian adalah metode
simplex lattice design. Dalam metode simplex lattice design terdapat rumusan
perhitungan yang dapat memperkirakan berapa komposisi pelarut yang optimal
dalam proses ekstraksi. Dengan metode simplex lattice design, dapat diketahui
secara teoritis komposisi pelarut yang optimal dan dapat mengurangi percobaan
yang dapat menyita waktu (Bondari, 2005). Upaya pengendalian nyamuk Aedes
aegypti dalam rangka pencegahan penyakit Demam Bedarah Dengue (DBD) telah
banyak dilakukan, salah satunya menggunakan abate untuk memberantas larva
dari nyamuk tersebut. Dampak negatif dari penggunaan bahan kimia seperti
temephos yang terkandung dalam abate dalam penanggulangan larva Aedes
aegypti dapat menyebabkan terjadinya resistensi sehingga memungkinkan
1
2
berkembangnya strain baru, adanya residu larvasidal dalam makanan maupun
lingkungan, dan efek lain yang tidak diinginkan. Alternatif yang perlu dicoba
adalah menggunakan larvasidal nabati.
Daun sirsak (Annona muricata) memiliki aktifitas larvasidal yang dapat
diarahkan sebagai alternatif dari penggunaan temephos. Menurut Bobadilla dkk.
(2005), ekstrak etanol daun sirsak mampu membunuh larva Aedes aegypti dengan
LC50 8,25 mg/ml. Menurut Gajalakshmi dkk. (2012), senyawa kimia yang terdapat
pada tanaman sirsak dapat digunakan antara lain sebagai agen sitotoksik, agen anti
virus, anti kanker, anti mikroba.
Jenis pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol:air. Kedua
pelarut tersebut digunakan karena merupakan pelarut yang aman dan
diperbolehkan menurut kebijakan dan peraturan pemerintah serta campuran kedua
pelarut ini dapat menyempurnakan penyarian bahan (Anonim, 2000). Penelitian
ini diharapkan dapat mengetahui komposisi pelarut etanol:air yang sesuai dalam
penyarian daun sirsak dan juga mengetahui nilai LC50 ekstrak daun sirsak yang
didapat.
B. Perumusan Masalah
1. Berapakah nilai LC50 ekstrak daun sirsak terhadap larva Aedes aegypti instar
III?
2. Bagaimanakah komposisi pelarut etanol:air yang sesuai dalam penyarian daun
sirsak sehingga dihasilkan ekstrak dengan respon larvasidal terhadap larva
Aedes aegypti instar III paling tinggi?
3
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui nilai LC50 ekstrak daun sirsak terhadap larva Aedes aegypti
instar III.
2. Untuk mengetahui komposisi pelarut etanol:air yang sesuai dalam penyarian
daun sirsak, sehingga dapat dihasilkan ekstrak dengan respon larvasidal
terhadap larva Aedes aegypti instar III paling tinggi.
D. Tinjauan Pustaka
1. Sirsak
Sirsak adalah tumbuhan berguna yang berasal dari Karibia, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. Sirsak merupakan jenis tanaman yang termasuk
famili Annonaceae. Sejak tahun 1940, tanaman sirsak telah digunakan sebagai
pengobatan herbal (Wiart, 2007). Menurut Rupprecht dkk. (1990), famili
Annonaceae merupakan kelompok tanaman penghasil metabolit sekunder
dengan aktivitas biologis yang menonjol sehingga famili tanaman ini banyak
digunakan untuk pengobatan, pemberantasan hama, dan lainnya.
Gambar 1. Daun sirsak (Annona muricata)
4
a. Klasifikasi
Divisi
: Spermathophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotyledonae
Bangsa
: Ranunculales
Suku
: Annonaceae
Marga
: Annona
Spesies
: Annona muricata L. (Anonim, 2001).
b. Nama daerah dan nama asing
Deureuyan belanda (Aceh), tarutung olanda (Toba), durio ulondra (Nias),
naka lada (Tidore), naka walanda (Ternate), anad walanda (Seram), dian
blada (Kenya), srikaya jawa (Bali) (Anonim, 2001).
c. Morfologi tanaman
Sirsak tergolong pohon atau perdu dengan tinggi kurang lebih 8 m.
Sirsak memiliki batang berkayu, berbentuk bulat, bercabang, dan berwana
coklat kotor. Merupakan jenis daun tunggal dengan bentuk daun bulat telur
atau lanset dan memiliki ujung daun runcing. Tepi dan pangkal daun
meruncing, memiliki panjang 6-18 cm dan lebar 2-6 cm. Pertulangan daun
menyirip, panjang tangkai kurang lebih 5 mm dan memiliki warna hijau
kekuningan hingga hijau. Pohon sirsak memiliki perbungaan tunggal pada
batang dan ranting. Bunga memiliki kelopak kecil berwarna kuning
keputih-putihan, kepala putik silindris, serta memiliki benang sari yang
banyak dan berambut. Mahkota bunga berdaging, memiliki bentuk bulat
5
telur dan berwarna kuning muda, serta memiliki panjang 3-5 cm. Buah
sirsak memiliki bentuk bulat telur dan berwarna hijau, panjang 15-35 cm,
berdiameter 5-10 cm. Tanaman sirsak memiliki perakaran tunggang dan
memiliki warna coklat muda (Anonim, 2001).
d. Kandungan tanaman
Menurut Gajalakshmi dkk. (2012), tanaman sirsak mengandung
flavonoida, saponin, fenolik.
e. Khasiat dan kegunaan
Menurut Gajalakshmi dkk. (2012), komponen kimia yang diisolasi dari
tanaman sirsak dapat memiliki efek farmakologis antara lain antitumor,
sebagai agen sitotoksik, anti parasit, dan sebagai pestisida nabati.
2. Nyamuk Aedes aegypti
Klasifikasi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut :
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Bangsa
: Dipthera
Suku
: Culicidae
Marga
: Aedes
Jenis
: Aedes aegypti (Soegijanto, 2006).
Nyamuk Aedes aegypti termasuk nyamuk yang aktif pada siang hari dan
berkembang biak serta meletakkan telur-telurnya pada penampungan air
bersih atau genangan air misalnya bak mandi, tangki penampungan air, vas
bunga, kaleng bekas, kantung plastik bekas, talang air rumah, ban bekas
6
ataupun semua benda yang dapat menampung air bersih (Sembel, 2009).
Nyamuk Aedes aegypti dewasa hidup dan mencari makan di dalam lingkungan
rumah (Soedarto, 2008). Jarak terbang maksimum yang dapat ditempuh
nyamuk Aedes aegypti dari tempat perindukan sampai sumber makanan
kurang lebih 50 sampai 100 mil. Pada umumnya nyamuk tertarik oleh cahaya
terang, pakaian berwarna gelap dan adanya manusia ataupun hewan. Daya
penarik jarak jauh disebabkan karena rangsangan bau dari zat yang
dikeluarkan oleh hewan ataupun manusia, CO2, beberapa asam amino, dan
lokasi yang dekat dengan temperatur hangat serta lembab (Brown and Neva,
1994).
Nyamuk ini dikenal juga sebagai Black White Mosquito karena tubuhnya
mempunyai ciri khas berupa corak garis dan bercak bercak putih keperakan di
atas dasar warna hitam. Dua garis melengkung berwarna putih keperakan di
kedua sisi lateral serta dua buah garis putih sejajar di garis median dari
punggungnya yang berwarna dasar hitam (James and Harwood, 1969). Mulut
nyamuk Aedes aegypti termasuk tipe penusuk dan pengisap, mempunyai enam
stilet yaitu gabungan antara mandibula, maksila yang bergerak naik turun
menusuk jaringan sampai menemukan pembuluh darah kapiler dan
mengeluarkan ludah yang berfungsi sebagai cairan racun dan antikoagulan
(Sembel, 2009). Pada kondisi istirahat, nyamuk Aedes aegypti dewasa hinggap
dalam keadaan sejajar dengan permukaan. Nyamuk Aedes aegypti betina
mempunyai abdomen yang berujung lancip dan mempunyai cerci yang
panjang. Hanya nyamuk betina yang mengisap darah dan kebiasaan mengisap
7
darah pada nyamuk Aedes aegypti umumnya dilakukan pada waktu siang hari
hingga sore hari. Nyamuk Aedes aegypti betina tidak dapat membuat telur
yang dibuahi tanpa makan darah yang diperlukan untuk membentuk hormon
gonadotropik yang diperlukan untuk ovulasi. Hormon ini berasal dari corpora
allata yaitu pituari pada otak insekta, dapat dirangsang oleh serotonin dan
adrenalin dari darah korbannya. Kegiatan menggigit berbeda menurut umur,
waktu dan lingkungan, demikian pula irama serangan sehari-hari dapat
berubah menurut musim dan suhu. Kopulasi didahului oleh pengeriapan
nyamuk jantan yang terbang bergerombol mengerumuni nyamuk betina.
Nyamuk Aedes aegypti memilih tanah teduh yang secara periodik di genangi
air. Jumlah telur yang diletakkan satu kali maksimum berjumlah seratus
sampai empat ratus butir (Brown and Neva, 1994).
Telur Aedes aegypti tidak mempunyai pelampung dan diletakkan satu
persatu di atas permukaan air. Ukuran panjangnya 0,7 mm, dibungkus dalam
kulit yang berlapis tiga dan mempunyai saluran berupa corong yang berfungsi
sebagai tempat masuknya spermatozoa. Telur Aedes aegypti dalam keadaan
kering dapat bertahan hingga bertahun-tahun. Telur berbentuk elips dan
mempunyai permukaan yang poligonal. Telur tidak akan menetas sebelum
tanah digenangi air dan telur akan menetas dalam kurun waktu satu hingga
tiga hari pada suhu 30°C tetapi membutuhkan tujuh hari apabila pada suhu
16°C (Brown and Neva, 1994).
Larva memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang
cukup jelas. Larva menggantungkan dirinya pada permukaan air untuk
8
mendapatkan oksigen. Larva menyaring mikroorganisme dan partikel-partikel
lainnya di dalam air. Larva biasanya melakukan pergantian kulit sebanyak
empat kali dan berubah menjadi pupa sesudah tujuh hari (James and Harwood,
1979).
Gambar 2. Larva instar III Aedes aegypti (Zettel and Kaufman, 2008)
Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan tetapi tetap aktif bergerak
dalam air terutama bila terganggu. Pupa akan berenang naik turun dari bagian
dasar ke permukaan air. Dalam waktu dua atau tiga hari perkembangan pupa
sudah sempurna, maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa muda segera
keluar dan terbang (Sembel, 2009).
Gambar 3. Pupa Aedes aegypti (Zettel and Kaufman, 2008)
Siklus
hidup
Aedes
aegypti
mengalami
metamorfosis
lengkap/metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu dimulai dengan telur,
9
larva (beberapa instar), pupa dan dewasa (James and Harwood, 1969).
Gambar 4. Siklus hidup Aedes aegypti (Heige and Foley, 2008)
3. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel, maka larutan yang
terpekat akan didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi
kesetimbangan konsentrasi antara larutan diluar dan di dalam sel (Anonim,
1986).
Untuk melakukan ekstraksi zat aktif tertentu dari bahan tanaman secara
sempurna, pelarut yang ideal adalah pelarut yang menunjukkan selektivitas
maksimal, mempunyai kapasitas terbaik ditinjau dari koefisien saturasi produk
dalam medium, dan kompatibel dengan sifat-sifat bahan yang diekstraksi.
10
Untuk tiap-tiap tanaman, persyaratan ini harus dicari secara eksperimental
karena pilihan sering bergantung pada stabilitas senyawa yang akan
‘diekstraksi’ dan juga pada kemungkinan terjadinya antaraksi dengan zat lain
yang terdapat dalam proses pengekstraksian. Etanol merupakan pelarut pilihan
untuk memperoleh ekstrak secara klasik yang masih digunakan secara luas
dalam formulasi sediaan farmasi. Etanol atau campurannya dengan air,
merupakan pelarut dengan daya ekstraktif terbesar untuk semua bahan alam
berbobot molekul rendah seperti alkaloida, saponin, dan flavonoid (Agoes,
2007). Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari
adalah sebagai berikut:
1. Selektivitas.
2. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut.
3. Ekonomis.
4. Ramah lingkungan.
5. Keamanan (Anonim, 2000).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara
maserasi adalah pengerjaannya yang membutuhkan waktu lama dan
penyariannya kurang sempurna (Anonim, 1986).
Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara: 10 bagian simplisia
dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian
dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari
terlindung dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari sari
11
diserkai, ampas diperas. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya diaduk
dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana
ditutup, dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari,
kemudian endapan dipisahkan. Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu
dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi
larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut
tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya
antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel (Anonim, 1986).
4. Simplex Lattice Design
Metode SLD sering diaplikasikan dalam penentuan respon permukaan dan
untuk menentukan daerah optimal dari suatu formulasi bahan. Metode ini
sangat cocok dalam menentukan komposisi kombinasi bahan sehingga dapat
dihasilkan perbandingan bahan yang dapat menghasilkan respon optimum.
Dalam
percobaan
ini,
metode
SLD
digunakan
untuk
menentukan
perbandingan pelarut etanol:air sehingga dapat dihasilkan ekstrak dengan
respon larvasidal terhadap larva Aedes aegypti yang optimum (Bolton, 1997).
Metode SLD memiliki persamaan berikut untuk menentukan daerah
optimum formulasi suatu bahan:
Y= B1 (A) + B2 (B) + B12 (A) (B)
Di mana dalam percobaan ini Y adalah respon kematian dari larva Aedes aegypti,
(A) dan (B) adalah komposisi pelarut etanol dan air yang digunakan, sedangkan
koefisien B1, B2, dan B12 dihitung dari pengamatan percobaan. Respon Y dapat
diprediksi untuk semua kombinasi A dan B, di mana (A) + (B) = 1,0 (100%).
12
Bentuk dari simplex lattice design memungkinkan untuk mempermudah perhitungan
koefisien (Bolton, 1997).
Tujuan utama dalam percobaan seperti yang telah dijelaskan di atas,
kemungkinan penentuan komposisi pelarut yang menghasilkan ekstrak dengan
respon larvasidal optimum. Perbandingan komposisi pelarut yang optimal
dapat dihitung dengan cara menghitung prediksi kematian larva di banyak
komposisi pelarut etanol dan air. Metode ini seperti pendekatan tidak langsung
tetapi dengan tersedianya komputer, metode ini cukup efektif (Bolton, 1997).
5. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar,
selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi
kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada
kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform)
pada permukaan bidang datar yang di dukung oleh lempeng kaca, pelat
aluminium, atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini
dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak
sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara
mekanik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan
secara menurun (descending) (Gandjar dan Rohman, 2007). Kromatografi
lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan
dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam
13
kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat
dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat
secara tepat.
Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna,
fluoresensi, atau menggunakan radiasi sinar ultraviolet (Gandjar dan Rohman,
2007). Pada percobaan ini digunakan 3 pereaksi yang berbeda yaitu
aluminium klorida, anisaldehid asam sulfat, besi (III) klorida. Aluminium
klorida merupakan salah satu pereaksi semprot yang digunakan sebagai
pendeteksi adanya suatu golongan senyawa pada analisis kromatografi lapis
tipis. Senyawa ini sering digunakan untuk mendeteksi adanya senyawa
flavonoid, fosolipid, trigliserida, kolesterol dan esternya.
Cara
pembuatan
pereaksi
semprot
aluminium
klorida
dengan
mencampurkan 20 g aluminium klorida ke dalam 100 ml etanol. Senyawa ini
akan stabil dalam jangka waktu yang panjang apabila disimpan di dalam
lemari pendingin (Jork dkk, 1990). Adanya flavonoid ditandai dengan sampel
berpendar kuning intensif, hijau atau jingga di bawah sinar UV 366.
Pereaksi semprot kedua yang digunakan adalah besi (III) klorida. Besi (III)
klorida merupakan salah satu pereaksi semprot yang digunakan sebagai
pendeteksi adanya suatu golongan senyawa tanin dan fenolik pada sampel.
Cara pembuatan senyawa ini dengan menambahkan 5 g besi (III) klorida ke
dalam campuran 50 ml air dan 50 ml asam perklorat heksahidrat. Senyawa ini
dapat disimpan paling tidak selama satu minggu (Jork dkk, 1990). Adanya
14
senyawa tanin dan fenolik akan berwarna hijau hingga biru kehitaman di
bawah sinar tampak setelah penyemprotan.
Perekasi semprot ketiga yang digunakan adalah anisaldehid asam sulfat.
Senyawa ini sering digunakan sebagai pereaksi semprot untuk mendeteksi
adanya senyawa terpenoid, propilpropanoid, zat pedas, zat pahit, dan saponin
pada sampel (Wagner and Bladt, 1996). Cara pembuatan pereaksi semprot
anisaldehid asam sulfat dengan mencampurkan 0,5 ml anisaldehid dengan 10
ml asam asetat glasial. Pada larutan yang telah dibuat tadi, tambahkan 85 ml
metanol yang telah dicampur dengan asam sulfat sebanyak 5 ml. Pereaksi ini
akan stabil dalam beberapa minggu dengan penyimpanan di dalam lemari
pendingin (Jork dkk, 1990). Adanya saponin akan memberikan bercak
berwarna biru dibawah sinar tampak setelah disemprot dengan pereaksi ini.
Beberapa keuntungan lain kromatografi planar adalah:
a. Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
b. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna,
fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultra violet.
c. Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending),
atau dengan elusi 2 dimensi (Gandjar dan Rohman, 2007).
E. Landasan Teori
Pemberantasan larva Aedes aegypti menggunakan larvasidal kimia banyak
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh sebab itu
perlu digunakan pestisida nabati sebagai alternatif dalam pengendalian
nyamuk Aedes aegypti. Menurut Bobadilla dkk. (2005), ekstrak etanol daun
15
sirsak mampu membunuh larva Aedes aegypti dengan nilai LC50 8,25 mg/ml.
Daun sirsak mengandung senyawa flavonoid, saponin, fenolik. Kandungan
senyawa yang terdapat pada daun sirsak dapat larut dalam komposisi pelarut
etanol:air. Pelarut air digunakan karena semakin besar persentase gugus OH
dalam suatu pelarut maka akan membantu pelarut dalam penetrasi pelarut ke
dalam rongga sel sehingga memudahkan pelarut dalam penyarian zat aktif
(Anonim, 1986).
Komposisi pelarut yang sesuai untuk penyarian daun sirsak dapat
diperoleh dengan metode simplex lattice design. Metode ini terbukti dapat
digunakan untuk memperkirakan campuran pelarut etanol:air yang digunakan
sehingga menyempurnakan penyarian kandungan kimia yang terdapat pada
daun dan didapatkan ekstrak dengan respon larvasidal paling tinggi.
Efektivitas dari ekstrak dapat dilihat dari nilai LC50 yang didapat dari
konsentrasi ekstrak vs respon kematian larvasida yang didapat. Semakin kecil
nilai LC50 yang didapat, maka semakin sedikit ekstrak yang digunakan dan
semakin efektif ekstrak tersebut.
F. Hipotesis
1. Senyawa-senyawa yang aktif sebagai larvasidal yang terkandung di dalam
daun sirsak dapat terlarut dalam komposisi pelarut etanol-air.
2. Ekstrak daun sirsak yang dihasilkan dengan komposisi pelarut etanol:air yang
berbeda-beda akan memiliki nilai LC50 yang berbeda pula.
Download