BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian dilakukan

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Penelitian dilakukan pada penderita PPOK eksaserbasi akut yang dirawat inap di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan RSUD Ario Wirawan Salatiga pada tanggal 18 Maret
sampai 7 April 2016. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling yaitu
memilih subjek penelitian yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam
penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi. Selanjutnya subjek penelitian
dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan (mendapat terapi standar PPOK
eksaserbasi akut dan resveratrol) dan kelompok kontrol (terapi standar PPOK eksaserbasi
akut). Subjek penelitian didapatkan 34 orang selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok yaitu
17 orang kelompok perlakuan (mendapatkan terapi standar PPOK eksaserbasi akut dan
resveratrol 1x500 mg per oral) dan 17 orang kelompok kontrol (terapi standar PPOK
eksaserbasi akut). Satu pasien kelompok perlakuan diskontinu karena satu pasien masuk
perawatan intensif karena perburukan penyakit penyerta/komorbid dan satu pasien kelompok
perlakuan diekslusi karena menolak perawatan rumah sakit lebih lanjut. Dua pasien
kelompok kontrol diekslusi karena menolak perawatan rumah sakit lebih lanjut.
Total subjek penelitian berjumlah 30 pasien yang terbagi menjadi 15 orang kelompok
perlakuan dan 15 orang kelompok kontrol. Pasien yang ikut dalam penelitian ini tidak ada
yang mengeluhkan efek samping resveratrol secara klinis antara lain mual, muntah,
peningkatan SGOT/SGPT tiga kali diatas batas normal, dan peningkatan ureum/kreatin
kinase tiga kali diatas nilai normal. Dilakukan pengukuran kadar IL-8 plasma, MMP-9
plasma dan pencatatan skor CAT saat eksaserbasi dan sesudah tercapai kondisi klinis stabil.
1. Karakteristik subjek penelitian
Karakteristik subjek penelitian yaitu jenis kelamin, umur, IMT, pendidikan,
pekerjaan, derajat merokok, dan derajat eksaserbasi, serta komorbid. diukur dan
dibandingkan antara kelompok perlakuan dan kontrol. Karakteristik subyek masing-masing
kelompok diukur dan dibandingkan untuk mengetahui homogenitas sebagai syarat kelayakan
prosedur penelitian uji klinis. Penentuan uji statistik yang akan digunakan setelah dilakukan
uji normalitas distribusi data. Kelompok data terbagi atas data kategorik (nominal) dan data
numerik.
Data kategorik meliputi jenis kelamin, IMT, pendidikan, pekerjaan, derajat merokok,
derajat eksaserbasi, dan komorbid. Data kategorik (nominal) jenis kelamin pada masingmasing kelompok dilakukan uji beda dengan uji fisher’s exact test, karena tabel 2x2 dan nilai
expeted count tidak memenuhi syarat uji chi square. Indeks massa tubuh (IMT), pendidikan,
pekerjaan, derajat merokok, derajat eksaserbasi, dan komorbid pada masing-masing
kelompok menggunakan uji mann whitney. Data numerik umur menggunakan mean (ratarata) dan standart deviation (simpang baku) dilakukan uji normalitas dengan uji shapiro wilk
dan didapatkan data tidak berdistribusi normal sehingga uji beda dilakukan dengan uji mann
whitney.
Jenis kelamin, umur, IMT, pendidikan, pekerjaan, derajat merokok, derajat
eksaserbasi, dan komorbid pada kelompok kontrol dan perlakuan memiliki nilai p > 0.05
dapat disimpulkan secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan (homogen).
Karakteristik subyek penelitian meliputi jenis kelamin, umur, IMT, pendidikan, pekerjaan,
derajat merokok, derajat eksaserbasi, dan komorbid terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karateristik dasar subjek penelitian
Karakteristik
Kelompok
p
Kontrol
(n = 15)
Jenis Kelaminc
Laki-laki
Perempuan
Umur mean+SDa
Pendidikan b
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
Pekerjaan b
Buruh
Dagang
IRT
Pensiun
Petani
Supir
Tidak Bekerja
IMT (kg/m2) b
Kurang (<18.5)
Normal (18.5-22.9)
Lebih (>22.9)
Derajat Merokok b
Tidak merokok
Ringan (1-199)
Sedang (200-599)
Berat (> 600)
Derajat eksaserbasi PPOK c
Derajat 2
Derajat 3
Komorbid b
CPC
HHD
Hipertensi gr1
Pneumoni
Tidak Ada
Keterangan:
Perlakuan
(n = 15)
1.000
12 (80.0%)
3 (20.0%)
59.06 +6.53
13 (86.7%)
2 (13.3%)
55.86 + 6.35
1 (6.7%)
10 (66.7%)
3 (20.0%)
1 (6.7%)
4 (26.7%)
9 (60.0%)
1 (6.7%)
1 (6.7%)
2 (13.3%)
2 (13.3%)
1 (6.7%)
3(20.0%)
5 (33.3%)
0 (0.0%)
2 (13.3%)
2 (13.3%)
1 (6.7%)
2 (13.3%)
0 (0.0%)
9 (60.0%)
1 (6.7%)
0 (0.0%)
5 (33.3%)
8 (53.3%)
2 (13.3%)
5 (33.3%)
10 (66.7%)
0 (0.0%)
3 (20.0%)
0 (0.0%)
6 (40.0%)
6 (40.0%)
2 (13.3%)
2 (13.3%)
11 (73.3%)
0 (0.0%)
3 (20.0%)
12 (80.0%)
4 (26.7%)
11 (73.3%)
3 (20.0%)
2 (13.3%)
2 (13.3%)
2 (13.3%)
6 (40.0%)
2 (13.3%)
0 (0.0%)
3 (20.0%)
4 (26.7%)
6 (40.0%)
0.202
0,415
0.252
0.329
0.126
1.000
0.547
a
Variabel numerik, dideskripsikan dengan mean SD, diuji beda dengan manwhitney karena data tidak
berdistribusi normal (umur) ;
b
Variabel kategorik skala nominal, dideskripsikan dengan frekuensi (%), diuji beda dengan chi square test;
c
Variabel kategorik skala nominal, dideskripsikan dengan frekuensi (%) uji fisher’s exact test. karena tabel
2x2 dan nilai expeted count tidak memenuhi syarat uji chi square.
d
Variabel kategorik skala ordinal, dideskripsikan dengan frekuensi (%) uji mann whitney
2. Kadar IL-8 plasma dan perbedaan pada kelompok perlakuan dan kontrol
Kadar IL-8 plasma kelompok perlakuan sebelum pemberian resveratrol (pre
perlakuan) ditemukan rata-rata 29,11  6,11 pg/ml dan post perlakuan rata-rata 24,81  6,74
pg/ml. Perubahan kadar IL-8 plasma pre-post kelompok perlakuan mengalami penurunan
rata-rata -4,30  4,80 pg/ml. Kadar IL-8 plasma kelompok kontrol sebelum pemberian terapi
standar PPOK eksaserbasi akut (pre kontrol) ditemukan rata-rata 24,09  7,67 pg/ml dan
setelah pemberian terapi standar terapi standar PPOK eksaserbasi akut (post kontrol) rata-rata
23,20  8,83 pg/ml. Perubahan kadar IL-8 plasma pre-post kelompok kontrol mengalami
penurunan rata-rata -0,89  6,61 pg/ml. Kadar IL-8 pre, post, dan perubahan yang terjadi prepost pada kelompok perlakuan dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kadar IL-8 plasma pre, post, dan perubahan yang terjadi pre-post pada
kelompok perlakuan dan kontrol
IL-8 (pg/ml)
Kelompok
Perlakuan (Resveratrol)
Pre
Post
p
29,11 6,11
24,816,74
0.004d
-4,304,80
c
-0,896,61
Kontrol
24,097,67
23,208,83
p
0,037b
0,579a
0.733
∆ (Pre–Post
0,019 b
Keterangan: Kadar IL-8 dideskripsikan dengan mean SD, nilai negatif pada selisih (pre – post) berarti penurunan.
a
uji beda kelompok tidak berpasangan lulus syarat normalitas (independent sampel t test),
b
uji beda kelompok tidak berpasangan tidak lulus syarat normalitas (mann whitney).
c
uji beda kelompok berpasangan lulus syarat normalitas (pair sampel t test).
d
uji beda kelompok berpasangan tidak lulus syarat normalitas (wilcoxon rank test).
Perubahan dinyatakan signifikan apabila uji menghasilkan p < 0,05.
(Sumber data primer yang diolah, 2016 )
3. Kadar MMP-9 plasma dan perbedaan pada kelompok perlakuan dan kontrol
Berdasarkan Uji Shapiro Wilk, distribusi data hasil pengamatan kadar MMP-9 plasma
data pre-post kelompok perlakuan dan kontrol berdistribusi normal, uji beda pre-post
berpasangan dengan uji pair sampel t test dan uji beda kelompok tidak berpasangan dengan
uji independent sampel t test
Kadar MMP-9 plasma kelompok perlakuan sebelum pemberian resveratrol (pre
perlakuan) ditemukan rata-rata 1532.25 + 496.35 ng/ml dan post perlakuan rata-rata 1621.37
+ 533.36 ng/ml. Perubahan kadar MMP-9 plasma pre-post kelompok perlakuan mengalami
peningkatan rata-rata 89.12 + 385.03 ng/ml. Kadar MMP-9 plasma kelompok kontrol
sebelum pemberian terapi standar PPOK eksaserbasi akut (pre kontrol) ditemukan rata-rata
1282.45 + 645.13 ng/ml dan setelah pemberian terapi standar PPOK eksaserbasi akut (post
kontrol) rata-rata 1479.51 + 622.92 ng/ml. Perubahan kadar MMP-9 plasma pre-post
kelompok kontrol mengalami peningkatan rata-rata 197.07 + 244.22 ng/ml. Kadar MMP-9
pre, post, dan perubahan yang terjadi pre-post pada kelompok perlakuan dan kontrol dapat
dilihat pada Tabel 8.
.
Tabel 8. Kadar MMP-9 plasma pre, post, dan perubahan yang terjadi pre-post pada
kelompok perlakuan dan kontrol
MMP-9 plasma (ng/ml)
Kelompok
Pre
Post
pa
∆ (Pre –Post)
Perlakuan (Resveratrol)
1532.25 + 496.35
1621.37 + 533.36
0,385
89.12 + 385.03
Kontrol
1282.45 + 645.13
1479.51 + 622.92
0.007
197.07 + 244.2
0,245
0,508
b
p
Keterangan:
0,367
Kadar MMP-9 plasma pre post kelompok perlakuan dan kontrol berdistribusi normal dan
dideskripsikan dengan mean SD. Nilai positif pada ∆ (pre – post) berarti peningkatan
a
uji beda post pre berpasangan lulus syarat normalitas (pair sampel t test),
b
uji beda kelompok tidak berpasangan lulus syarat normalitas (independent sampel t test).
Perubahan dinyatakan signifikan apabila uji menghasilkan p < 0,05.
(Sumber data primer yang diolah, 2016 )
4. Skor CAT dan perbedaan pada kelompok perlakuan dan kontrol
Berdasarkan Uji Shapiro Wilk, distribusi data hasil pengamatan Skor CAT plasma
data pre-post, kelompok perlakuan dan kontrol berdistribusi normal uji beda pre-post
berpasangan dengan uji pair sampel t test dan uji beda kelompok tidak berpasangan dengan
uji independent sampel t test
Skor CAT penderita PPOK eksaserbasi kelompok perlakuan sebelum pemberian
resveratrol (pre perlakuan) didapatkan rata-rata 32.20 + 2.91 dan skor CAT post perlakuan
rata-rata 25.60 + 3.09. Perubahan skor CAT pre-post kelompok perlakuan mengalami
penurunan rata-rata -6.60 + 2.87. Skor CAT penderita PPOK eksaserbasi akut kelompok
kontrol sebelum pemberian terapi standar PPOK eksaserbasi akut (pre kontrol) didapatkan
rata-rata 32.87+ 2.23 dan skor CAT setelah pemberian terapi standar PPOK eksaserbasi akut
post kontrol rata-rata 27.87 + 3.42. Perubahan skor CAT pre-post kelompok kontrol
mengalami penurunan rata-rata -5.00 + 3.42. Skor CAT pre, post, dan perubahan yang terjadi
pre-post antara kelompok perlakuan dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Skor CAT pre, post, dan perubahan yang terjadi post-pre pada penderita
PPOK eksaserbasi kelompok perlakuan dan kontrol
Skor CAT
Kelompok
Perlakuan (Resveratrol)
Pre
Post
pa
Pre– Post
32.20 + 2.91
25.60 + 3.09
0,000
-6.60 + 2.87
Kontrol
b
p
Keterangan:
32.87+ 2.23
27.87 + 3.42
0.487
0.067
0,000
-5.00 + 3.42
0.176
Skor CAT pretest-posttest dan selisih (Post-Pre) kelompok perlakuan dan kontrol berdistribusi
normal dan dideskripsikan dengan mean SD. Nilai negatif pada ∆ (pre – post) berarti penurunan
a
uji beda post pre berpasangan (pair sampel t test),
b
uji beda kelompok tidak berpasangan (independent sampel t test).
Perubahan dinyatakan signifikan apabila uji menghasilkan p < 0,05.
(Sumber data primer yang diolah, 2016 )
B. Pembahasan
Eksaserbasi PPOK adalah suatu keadaan akut yang ditandai dengan perburukan gejala
diluar variasi normal sehari-hari sehingga memerlukan pengobatan yang adekuat. Gejala
eksaserbasi meliputi sesak napas bertambah, produksi sputum meningkat, dan terjadi
perubahan warna sputum 1. Eksaserbasi berat memiliki 3 gejala diatas, eksaserbasi sedang
memiliki 2 gejala diatas, dan eksaserbasi ringan memiliki 2 gejala diatas
1,4
. Peningkatan
frekuensi eksaserbasi menyebabkan angka kematian dan kesakitan meningkat, risiko rawat
inap meningkat, dan kualitas hidup penderita PPOK meurun
16
. Pada keadaan eksaserbasi
ditandai dengan peningkatan sel dan mediator inflamasi antara lain IL-8 dan MMP-9 16.
Interleukin (IL)-8, kemokin CXC adalah kemoaktraktan poten terhadap netrofil yang
memiliki peranan penting dalam amplifikasi respons inflamasi pada PPOK eksaserbasi.
Kadar IL-8 meningkat di sputum dan plasma pada penderita PPOK eksaserbasi. Peningkatan
kadar IL-8 dalam sputum dikaitkan dengan peningkatan jumlah sel netrofil dalam sputum.
Peningkatan kadar IL-8 dalam sputum dan plasma menyebabkan perburukan gejala klinis 14.
Matrix metalloproteinase (MMP)-9 merupakan enzim elastolitik utama MMP yang berperan
dalam remodelling dan perbaikan jaringan melalui degradasi kolagen tipe IV dan protein
matrik lainnya pada membran basal. Peningkatan aktivitas sel netrofil menyebabkan banyak
pengeluaran MMP-9 kedalam saluran napas. Peningkatan kadar MMP9 dalam sputum, cairan
bronkoalveolar, dan plasma dikaitkan dengan tanda inflamasi lokal dan sistemik pada
penderita PPOK 18,34,35.
Penatalaksanaan eksaserbasi PPOK antara lain inhalasi bronkodilator β-2 agonis aksi
cepat kombinasi dengan atau tanpa antikolinergik, bronkodilator golongan xanthine.
Antibiotik diberikan pada penderita PPOK eksaserbasi dengan tiga gejala kardinal atau dua
gejala kardinal yang salah satunya adalah purulensi sputum
1,4
. Kortikosteroid sistemik
diberikan pada penderita PPOK eksaserbasi, namun respons inflmasi abnormal di paru masih
dapat terjadi sehingga menjadi pemikiran dibutuhkan antiinflamasi tambahan, salah satunya
obat resveratrol 79.
Resveratrol memiliki peranan sebagai antioksidan dan antiinflamasi, sehingga
mempunyai peluang menurunkan pembentukan sitokin inflamasi dengan menghambat
aktivitas makrofag melalui hambatan NFκβ (Nuclear factor kaffa β) sebagai faktor transkripsi
yang mengatur pembentukan gen sitokin proinflamasi. Resveratrol dapat menghambat
aktivitas NFκβ dengan menghalangi fosforilasi dan degradasi protein inhibitor kaffa β (Iκβ)
sebagai protein penting yang mengikat NFκβ 9,74.
Pemberian resveratrol dosis 500 mg/hari pada penelitian ini diharapkan dapat
menurunkan kadar IL-8 plasma, MMP-9 plasma, dan skor CAT penderita PPOK eksaserbasi
akut yang dirawat inap di RSUD dr. Moewardi Surakarta dan RSUD Ario Wirawan Salatiga.
1. Karakteristik subjek penelitian
Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi berjumlah 30 orang yang
terdiri dari 15 orang kelompok perlakuan dan 15 orang kelompok kontrol. Prosentase jenis
kelamin pada kelompok perlakuan yaitu laki-laki 13 orang (86.7%) dan perempuan 2 orang
(13.3%), sedangkan pada kelompok kontrol laki-laki 12 orang ( 80.0%) dan perempuan 3
orang (20.0%). Berdasarkan penelitian ini sebagian besar prevalensi PPOK pada kedua
kelompok adalah laki-laki. Serupa dengan penelitian Indrayati (2014) di RSUD Dr. meowardi
didapatkan 13 orang laki-laki kelompok perlakuan dan 12 orang laki-laki kelompok kontrol
80
. Prevalensi PPOK di Indonesia lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Prevalensi ini dikaitkan dengan riwayat kebiasaan merokok laki-laki lebih tinggi
sekitar 60% dan perempuan 4%
81
. Prevalensi PPOK terbanyak pada laki-laki sering
dikaitkan dengan risiko riwayat kebiasaan merokok, pajanan di luar lingkungan, termasuk
pajanan polusi di tempat kerja 1,4.
Umur kelompok perlakuan rata-rata 55.86 + 6.35 tahun lebih muda dibandingkan
kelompok kontrol 59.06 +6.53 tahun namun secara statistik rata-rata umur pada kedua
kelompok tidak ada perbedaan signifikan (homogen) dengan nilai p=0,202 (p>0,05). Umur
merupakan salah satu faktor risiko PPOK dengan mekanisme yang belum jelas dipahami,
diperkirakan dengan pertambahan umur mencerminkan kumulatif/jumlah pajanan selama
hidup sehingga dapat berkembang menjadi PPOK 1.
Indeks massa tubuh (IMT) subjek penelitian sebagian besar memiliki nilai normal
(IMT= 18,5-22,9) yaitu 10 orang (66.7%) kelompok resveratrol dan 8 orang (53.3%)
kelompok kontrol. Serupa dengan penelitian oleh Indrayati (2014), didapatkan IMT normal
kelompok perlakuan 13 orang (86,7%) dan kelompok kontrol 14 (93,3%)
80
. Berdasarkan
penelitian ini subjek dengan IMT normal harus lebih dipertahankan dengan memberikan
asupan makanan yang adekuat untuk mencegah penurunan IMT yang dapat menyebabkan
perburukkan PPOK. Status gizi kurang atau malnutrisi dikaitkan dengan peningkatan risiko
infeksi saluran napas 82.
Derajat merokok pada kelompok perlakuan (resveratrol) dan kelompok kontrol
sebagian besar adalah dengan indeks brigman sedang-berat. Penelitian yang dilakukan oleh
Indrayati (2014) derajat merokok pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah
sedang-berat sebanyak 80%77. Faktor risiko utama PPOK yaitu merokok namun tidak semua
perokok dapat menjadi PPOK. Keterlibatan faktor genetik dan pajanan lingkungan perlu
dipertimbangkan 1,2,35. Kebiasaan merokok 10 pak/tahun atau setara dengan indeks brigman
(IB) sedang lebih berisiko berkembang menjadi PPOK dibandingkan IB ringan3.
Beratnya derajat eksaserbasi PPOK menyebabkan respons inflamasi di saluran napas
meningkat yang mengakibatkan perburukan gejala klinis, penurunan fungsi paru dan kualitas
hidup, serta peningkatan mortalitas
83
. Derajat eksaserbasi PPOK pada kedua kelompok
penelitian ini sebagian besar adalah derajat 2 dan 3 dengan distribusi yang homogen sehingga
tidak mempengaruhi outcome penelitian.
Tingkat pendidikan dan pekerjaan menjadi indikator sosial ekonomi individu. Tingkat
pendidikan dan pekerjaan kedua kelompok penelitian ini sebagian besar adalah SD dan
petani. Berdasarkan penelitian ini sebagian besar subjek penelitian berstatus sosial ekonomi
rendah. Sosial ekonomi rendah menjadi salah satu faktor risiko PPOK yang berhubungan
dengan tingkat pengetahuan dalam memandang kebiasaan merokok, pajanan polutan baik di
dalam dan luar lingkungan, serta kepatuhan pengobatan 1,84
Faktor risiko eksaserbasi PPOK antara lain infeksi saluran napas, pajanan polutan
lingkungan, dan beberapa kondisi komorbid
1,4
. Komorbid pada kelompok perlakuan
sebanding dengan kelompok kontrol antara lain penyakit cor pulmonale, hipertensi,
hipertensi heart disease, dan pneumoni. Komorbid dikaitan dengan tingkat keparahan PPOK
dan mortalitas. Penelitian ini mendapatkan distribusi komorbid homogen pada kedua
kelompok sehingga komorbid kemungkinan tidak mempengaruhi outcome penelitian.
2. Pengaruh pemberian resveratrol terhadap kadar IL-8 plasma
Kadar IL-8 plasma pada kelompok perlakuan mengalami penurunan rata-rata dari
29,11  6,11 pg/ml (pre) menjadi 24,81  6,74 pg/ml (post), secara statistik penurunan
tersebut signifikan (p= 0,004). Kadar IL-8 plasma pada kelompok kontrol mengalami
penurunan rata-rata dari 24,09  7,67 pg/ml (pre) menjadi 23,20  8,83 pg/ml (post).
Kelompok kontrol mengalami penurunan kadar IL-8 tidak signifikan (p= 0,086).
Penurunan kadar IL-8 plasma pada kedua kelompok terdapat perbedaan yaitu Kadar
IL-8 kelompok perlakuan menurun rata-rata (-4,304,80) pg/ml lebih besar dibanding
kelompok kontrol (-0,89  6,61) pg/ml dan perbedaan penurunan signifikan (p=0.019).
Berdasarkan hasil diatas disimpulkan bahwa resveratrol efektif menurunkan kadar IL-8
plasma. Penelitian Culpitt dkk. tahun 2001 menunjukkan resveratrol dapat menghambat
pelepasan IL-8 yang dikeluarkan oleh sel epitel bronkus (diakibatkan oleh pajanan asap rokok
dan LPS) serta dinyatakan pada perokok potensi menderita PPOK sekitar 88% dan 94% 28.
Interleukin (IL)-8, kemokin CXC merupakan kemoaktraktan poten netrofil yang
memiliki peranan penting dalam amplifikasi respons inflamasi pada PPOK eksaserbasi.
Interleukin (IL)-8 disintesis oleh beberapa sel yaitu epitel, netrofil, makrofag sebagai respons
terhadap stimulus (antara lain pajanan asap rokok, produk infeksi bakteri dan virus, serta
faktor komorbid)
14,15
. Kondisi eksaserbasi menyebabkan kadar IL-8 meningkat di dalam
sputum dan plasma. Peningkatan kadar IL-8 sputum dan plasma dikaitkan dengan
perburukkan gejala klinis dan peningkatan mortalitas 16.
Resveratrol sebagai antiinflamasi diketahui dapat menghambat faktor transkripsi
utama NFκβ melalui hambatan pembentukan inhibitor κβ kinase (IκK). Hambatan enzim IκK
mencegah fosforilasi dan degradasi protein Iκβ kinase sehingga mencegah translokasi
heterodimer subunit p65 dan p50 NFκβ kedalam inti sel. Hambatan NFκβ mencegah
pelepasan kadar IL-8 yang meningkat akibat infeksi, polutan, serta komorbid 28,74.
2. Pengaruh pemberian resveratrol terhadap kadar MMP-9 plasma
Kadar MMP-9 plasma kelompok perlakuan mengalami peningkatan rata-rata dari
1532.25 + 496.35 ng/ml (pre) menjadi 1621.37 + 533.36 ng/ml (post), secara statistik
peningkatan tersebut tidak signifikan (p=0,385). Kadar MMP-9 plasma kelompok kontrol
mengalami peningkatan rata-rata dari 1282.45 + 645.13 ng/ml (pre) menjadi 1479.51 +
622.92 ng/ml (post), secara statistik peningkatan tersebut signifikan (p=0,007). Peningkatan
kadar MMP-9 plasma antar kelompok perlakuan dan kontrol terdapat perbedaan yaitu kadar
MMP-9 plasma pre-post kelompok perlakuan rata-rata (89.12 + 385.03) ng/ml lebih rendah
dibandingkan kadar MMP-9 plasma kelompok kontrol (197.07 + 244.22) ng/ml, secara
statistik perbedaan peningkatan tidak signifikan (p=0.367). Berdasarkan hasil data diatas
disimpulkan pemberian resveratrol tidak menunjukkan pengaruh terhadap penurunan kadar
MMP-9 plasma, akan tetapi penelitian justru mengalami peningkatan, meskipun perbedan
kadar MMP-9 pre perlakuan dibanding post perlakuan tidak signifikan. Penelitian
sebelumnya untuk mengetahui pengaruh pemberian resveratrol terhadap penurunan kadar
MMP-9 pada penderita PPOK belum ditemukan oleh penulis.
Matriks metalloproteinase (MMP) merupakan suatu enzim yang terdiri dari 24
rumpun dan mampu mendegradasi matriks jaringan. Ekspresi MMP yang berlebihan
berkaitan erat dengan perusakan jaringan khususnya elastin sehingga menyebabkan emfisema
paru. Enzim elastase yang memiliki kemampuan memecah elastin terutama MMP-9
56
.
Makrofag alveolar merupakan sumber utama elastase MMP-9, dapat meningkat pada
makrofag yang aktif
56
. Aktivitas elastase makrofag meningkat secara signifikan setelah
pajanan asap rokok (diakibatkan oleh pajanan nikotin rokok) dan lingkungan berpolutan
57
.
Kadar enzim elastase MMP-9 dalam sirkulasi dan bahkan pada septum interalveoler dapat
berbulan-bulan, dan lebih lama dibanding sitokin inflamasi. Hasil penelitian lavase cairan
bronkus kadar MMP-9 lebih tinggi ditemukan pada penderita emfisema dibanding tidak
emfisema
58
. Peningkatan sekresi dan aktivitas enzimatik elastase MMP-9 lebih besar
ditemukan dalam cairan BAL dan penderita emfisema 85.
Resveratrol sebagai anti inflamasi dapat menurunkan aktivitas inflamasi dan
diperhitungkan dapat menurunkan enzim elastase (MMP-9) melalui hambatan aktivasi NFκβ.
Hasil penelitian ini, tidak menemukan penurunan kadar MMP-9 namun menunjukkan
peningkatan meskipun uji beda kadar MMP-9 sebelum pemberian resveratrol (pre perlakuan)
dibanding sesudah pemberian (post perlakuan) tidak bermakna. Selanjutnya apabila
dibanding dengan kelompok kontrol, nilai peningkatan pada kelompok kontrol (197.07) lebih
besar dibanding kelompok perlakuan (89.12), keadaan ini dapat dinyatakan terdapat unsur
pengendalian pada kenaikan kadar MMP-9 yang kemungkinan dapat diakibatkan oleh
pengaruh pemberian terapi resveratrol meskipun memerlukan kajian lebih lanjut, salah satu
hal yang dimungkinan karena kurangnya lama pemberian resveratrol. Dosis dan lama
pemberian resveratrol pada penderita PPOK secara spesifik juga belum ditemukan oleh
penulis.
3. Pengaruh pemberian resveratrol terhadap skor CAT pada kelompok perlakuan dan
kontrol
Skor CAT penderita PPOK eksaserbasi akut kelompok perlakuan rata-rata mengalami
penurunan dari 32.20 + 2.91 (pre) menjadi 25.60 + 3.09 (post), perbedaan skor CAT pre
dibanding post pada kelompok perlakuan adalah signifikan (p=0.000). Skor CAT penderita
PPOK eksaserbasi akut kelompok kontrol rata-rata juga mengalami penurunan dari 32.87 +
2.23 (pre) menjadi 27.87 + 3.42 (post), perbedaan skor CAT pre dibanding post pada
kelompok kontrol adalah signifikan (p=0.000). Nilai penurunan skor CAT kelompok
perlakuan yaitu -6.60, sedangkan pada kelompok kontrol -5.00, menunjukkan penurunan
pada kelompok perlakuan lebih besar dibanding kelompok kontrol, meskipun perbedaan tidak
signifikan (p= 0,176). Hal ini dapat dinyatakan pemberian resveratrol pada PPOK eksaserbasi
akut dapat berpengaruh terhadap penurunan skor CAT, melalui efek anti inflamasi yang
didukung oleh penurunan kadar IL-8, dan penurunan respons inflamasi selama eksaserbasi
akan memperbaiki gejala klinis penderita PPOK eksaserbasi akut.
Skor COPD assessment test (CAT) merupakan skor yang digunakan untuk
mendeteksi gejala PPOK terhadap status kesehatan penderita secara klinis. Nilai skor CAT
meningkat saat eksaserbasi dan menggambarkan beratnya eksaserbasi berkaitan dengan
fungsi paru dan lamanya perawatan
1,62
. Resveratrol memiliki efek antiinflamasi sehingga
dapat mencegah pengeluaran sitokin proinflamasi melalui hambatan NFκβ
28
. Penurunan
jumlah sel dan mediator inflamasi dapat menurunkan inflamasi saluran napas, edema, dan
hipersekresi mukus sehingga gejala klinis PPOK eksaserbasi menurun. Gejala klinis
eksaserbasi PPOK dapat dinilai dengan skor CAT
1,62
.
Mencermati keseluruhan karakteristik subjek dan variable penelitian yang dilakukan
pada penderita PPOK eksaserbasi akut kelompok subjek yang diberikan tambahan terapi
resveratrol sebagai kelompok perlakuan dan kelompok yang tidak diberikan resveratrol
sebagai kontrol diperoleh hasil karakteristik kedua kelompok tidak ditemukan perbedaan
yang signifikan atau homogen. Homogeniti subjek penelitian dapat menjadi dasar penilaian
analisis temuan selanjutnya. Kadar IL-8 plasma, MMP-9 plasma, dan perbaikan klinis
berdasarkan skor CAT merupakan parameter evaluasi dalam penelitian.
Ditemukan perbedaan nilai rata-rata kadar IL-8 dan MMP-9 plasma post perlakuan
baik pada kelompok perlakuan dan kontrol. Pada kelompok perlakuan ditemukan nilai ratarata kadar IL-8 plasma post pemberian resveratrol lebih rendah dibanding kelompok kontrol,
yang secara statistik signifikan. Kadar MMP-9 plasma post pemberian resveratrol pada
kelompok perlakuan meningkat dibanding sebelum pemberin resveratvatrol, namun
perbedaan tersebut tidak signifikan. Berbeda pada kelompok kontrol, ditemukan peningkatan
yang lebih besar kadar MMP-9 pada fase pencapaian perbaikan klinis dan ditemukan
perbedaan yang bermakna. Nilai
perubahan yang terjadi pada kadar MMP-9 dapat
dinyatakan, peningkatan kelompok kontrol lebih besar dibanding kelompok perlakuan
berdasarkan nilai perbandingan antara 197,07 (kelompok kontrol) dibanding 89,12
(kelompok perlakuan) dan keduanya menunjukkan perbedaan yang bermakna (p <0,05).
Kondisi tersebut dapat dinyatakan terdapat unsur pengendalian inlamasi pada kelompok
perlakuan yang diberikan reservatrol sehingga dapat mengendalikan terjadinya peningkatan
kadar enzim MMP-9 plasma.
Perbaikkan klinis berdasarkan skor CAT resveratrol ditemukan petunjuk yang lebih
baik pada kelompok perlakuan dibanding kelompok kontrol, yaitu nilai penurunan skor CAT
kelompok perlakuan 6,60 lebih besar dibanding kelompok kontrol 5,00 meskipun perbedaan
tidak signifikan. Sehingga manfaat penelitian ini, dapat diketahui yaitu pemberian resveratrol
1x500mg/hari per oral (po) berkontribusi pada perbaikan klinis penderita PPOK eksaserbasi
akut. Pemberian resveratrol 1x500mg/hari per oral (po) sebagai terapi tambahan bermanfaat
dalam mengendalikan respons inflamasi yang diketahui dengan menurunnya kadar IL-8
plasma, dan terkendalinya laju peningkatan kadar MMP-9 plasma meskipun secara statistik
tidak nyata, serta dapat berperan pada perbaikan klinis berdasarkan penurunan nilai skor
CAT.
C. Keterbatasan
Keterbatasan penelitian ini antara lain, penelitian ini singkat sehingga waktu yang
dibutuhkan untuk menurunkan kadar MMP-9 belum tercapai. Dosis relevan untuk
menurunkan kadar enzim MMP-9 plasma belum ditemukan. Penilaian skor CAT penderita
PPOK eksaserbasi akut berdasarkan questionere sudah diakui meskipun mengandung unsur
subjektivitas
Download