BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, tindak kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik secara kuantitas maupun bentuknya. Salah satu contoh di wilayah kota besar seperti Jakarta, terdapat sekitar 10.000 anak jalanan yang rentan mengalami kekerasan dan perlakuan eksploitatif, semisal terlibat dalam lingkaran perdagangan anak. Sebagaimana dilaporkan harian Kompas1, tak hanya di ibukota, persoalan anak jalanan umumnya menorehkan catatan yang miris di kota lain. Meningkatnya jumlah anak yang bertahan hidup mengais kebutuhan ekonomi dari kehidupan di jalan disebabkan karena banyak faktor, antara lain maraknya bencana alam dan gagalnya program rehabilitasi di daerah bencana. Penting untuk dipahami, anak jalanan adalah salah satu buah dari persoalan kekerasan terhadap anak. Ia hanya satu indikator dari adanya perlakuan atau tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Bila dirunut dari akar permasalahannya, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat terjadi di berbagai lokasi, tak hanya jalanan. Sebagaimana catatan Bagong Suyanto (2010: 65, 68) berdasar hasil studi tempat kejadian child abuse, ditemukan bahwa rumah atau lingkungan keluarga adalah tempat paling rawan bagi anak. Selain itu, lokasi tindak child abuse disusul oleh jalanan, tempat umum, dan sekolah. Dalam kajian ilmu sosial, kekerasan terhadap anak adalah peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak. Indikasi child abuse secara langsung dan nyata hadir sebagai hal yang mengancam dan merugikan kesehatan dan kesejahteraan anak (Suyanto, 2010: 28). Secara umum, 1 Lusiana Indriasari. “Tidak Seharusnya Mereka Berada di Jalan”. Kompas, Selasa, 10 April 2012. Hal. 14. 1 tindak kekerasan terhadap anak tergolong dalam empat bentuk, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Terkait kekerasan ekonomi, anak jalanan adalah satu fenomena masalah manakala situasi memaksa anak di bawah umur berkontribusi menambah penghasilan keluarga. Maka sebagai persoalan yang hadir di masyarakat, termasuk di Indonesia, child abuse mendesak diperhatikan untuk diatasi karena kasus kekerasan terhadap anak cenderung terus meningkat setiap tahun. Seperti dicatat oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), dibandingkan 2.413 kasus pada 2010, jumlahnya naik menjadi 2.508 kasus pada 2011.2 Sementara itu, pada 2012 angka kekerasan meningkat lagi mencapai 2.637 kasus, dan pada 2013 menembus 3.023 kasus. Adapun hingga caturwulan pertama 2014, Komnas PA menerima pengaduan kekerasan terhadap anak sebanyak 239 kasus (Majalah Berita Mingguan Tempo, 12–18 Mei 2014, hal. 12). Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menaksir lebih dari 2.750 kasus kekerasan terhadap anak terjadi sepanjang 2014. Kenyataan mengenai pertambahan tindak kekerasan terhadap anak tersebut sungguh mengkhawatirkan, mengingat pula dari sekian banyak problem sosial, child abuse masih kurang mendapat perhatian publik. Dibandingkan isu demokrasi, otonomi, atau korupsi, misalnya, kekerasan terhadap anak bisa dikatakan masih sangat jauh dari pembicaraan umum. Di samping itu, seperti diungkapkan Bagong Suyanto (2010: 6), “Indonesia sendiri sebenarnya telah 10 tahun lebih meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dan… Konvensi ILO No. 138 dan 182 yang intinya berupaya mencegah kemungkinan anak terpuruk pada eksploitasi dunia kerja yang kontraproduktif bagi kelangsungan pendidikannya.” Selain itu, untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak berlaku aturan 2 Ambrosius Harto Manumoyoso dan Agus Mulyadi. 2012. “Di Keluarga Pun Anak Tidak Aman”. Terarsip di: http://megapolitan.kompas.com/read/2012/04/30/23110064/Di.Keluarga.Pun.Anak.Tidak.Aman Diakses pada 4 September 2013. 2 normatif menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dari sisi publik, pengetahuan atas masalah pemenuhan kesejahteraan anak dan kesadaran untuk menjauhi tindak kekerasan terhadap anak pun belum tersosialisasi baik dan meluas. Asumsi ini ditengarai dari masih banyaknya tindakan child abuse yang tak tercatat dan belum dilaporkan. Seperti dibuktikan oleh hasil penelitian Wahana Visi Indonesia (WVI), masih banyak masyarakat di daerah-daerah terpencil melakukan tindakan kekerasan karena tidak mengetahui adanya UU Perlindungan Anak.3 Terkait persoalan ini, pada sisi pemberitaan, efektivitas pemberitaan di media massa mengenai masalah child abuse terbilang masih jauh dari harapan. Dari sekian banyak isu sosial, belum banyak wartawan dalam negeri yang meminati persoalan sosial anak-anak. Padahal sebagaimana dimuat dalam Konvensi Hak Anak pasal 17 (a), media massa mengemban peran menyebarluaskan informasi dan materi yang bermanfaat secara sosial dan budaya bagi anak. Terhadap persoalan anak yang kurang beruntung dan tersisihkan, para jurnalis seringkali menyertakan pandangan stereotip yang menempatkan anakanak bermasalah itu dalam kacamata “pengganggu ketertiban”, “perusak pemandangan kota”, ataupun “sumber kejahatan”.4 Paparan informasi terkait child abuse yang minim di ranah publik tersebut mengindikasikan bahwa isu kekerasan terhadap anak berpeluang untuk semakin tersisihkan dari isu sosial lain. Perhatian masyarakat atas persoalan ini pun berpotensi makin menurun. Di konteks inilah lembaga pemerintah dan pihak 3 Wahana Visi Indonesia. 2011. “Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua Gagal Menjaga dan Melindungi Anak”. Terarsip di: http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/20/negara‐pemerintah‐masyarakat‐keluarga‐dan‐ orang‐tua‐gagal‐menjaga‐dan‐melindungi‐anak/ Diakses pada 4 September 2013. 4 Kyailala Aiya. 2011. “Media Massa dan Konvensi Hak Anak”. Terarsip di: http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/09/media‐massa‐dan‐konvensi‐hak‐anak/ Diakses pada 11 Oktober 2012. 3 pihak pemerhati masalah sosial diharapkan dapat terus berusaha serius memerhatikan isu ini. Terkait hal ini, sarana komunikasi lain perlu dikembangkan sebagai ruang yang menanggapi kelemahan media massa, khususnya untuk mengetuk kesadaran khalayak dalam menyikapi isu kekerasan terhadap anak. Ini semakin dibutuhkan agar sosialisasi pemahaman isu kekerasan terhadap anak dapat tersiar luas dan membangun kepedulian publik. Di antara wahana komunikasi populer di tengah khalayak, kesenian hadir sebagai satu macam wujud kebudayaan. Seni atau kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang universal. Dalam kaitan sebagai salah satu dari unsur kebudayaan, kesenian adalah bentuk dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Kesenian pun merupakan sebuah karya milik manusia yang dihasilkan dari proses belajar, selain juga mencakup sistem gagasan dan tindakan.5 Sementara itu, kebudayaan yang hidup di dalam masyarakat pada gilirannya akan berjumpa dengan kenyataan yang hadir dalam dinamika keseharian, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Kesenian pun selalu lahir dan terinspirasi dari kehidupan masyarakat di sekitar pelaku seni. Maka, tak dapat dipungkiri karya seni kemudian menampilkan potongan dan cerminan dari realitas sosial yang seakan memberikan suatu refleksi kepada publiknya—dalam hal ini pembaca atau penonton. Ini dapat dipahami sebab seni sebagai bagian kebudayaan berkaitan erat dengan komunikasi. Seperti dinyatakan Edward T. Hall (dalam Liliweri, 2003: 21), “Komunikasi adalah kebudayaan, dan kebudayaan adalah komunikasi.” Ini dimaksudkan bahwa dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi, sedangkan hanya melalui komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan. Maka dari itu, sesungguhnya kesenian dapat menjadi sarana menyampaikan pesan sosial. Di samping media massa cetak dan elektronik, kesenian memiliki fungsi yang tak kalah penting atau signifikan karena hidup 5 Koentjaraningrat. 2003. Dalam Sujarno, dkk. Seni Pertunjukan Tradisional: Nilai Fungsi dan Tantangannya. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Hal. 1 4 dalam kultur masyarakat yang tradisional.6 Satu ragam kesenian yang hidup dekat di tengah masyarakat Indonesia adalah seni pertunjukan. Ia merupakan salah satu sarana komunikasi alternatif untuk menyampaikan kepada khalayak tentang suatu masalah sosial. Sebagaimana dinyatakan Umar Kayam, seni pertunjukan berpotensi sebagai sarana sosialisasi, seperti halnya jenis budaya massa lain seperti film, musik, dan sastra pop.7 Secara khusus pada seni pertunjukan drama atau teater, terkandung fungsi yang erat dengan kebutuhan publik. Seperti disebutkan Putu Wijaya, pertunjukan drama panggung merupakan “komunikasi kreatif yang harus berpihak pada audiens (masyarakat)”.8 Suatu pertunjukan teater akan bermakna bagi penonton bila memberikan suatu amanat atau nilai yang penting bagi penontonnya. Maka melalui seni pertunjukan berupa teater, selain mengesankan sebagai tontonan, ide cerita yang dipentaskan turut menyampaikan nilai dan pesan sosial tertentu. Sebagai suatu kesenian yang dapat menjangkau khalayak luas, drama memiliki karakter khas, yaitu mengandung keutuhan sebagai dimensi sastra dan dimensi seni pertunjukan. Hal ini disebabkan pertunjukan drama umumnya bertumpu pada kerangka cerita yang disusun berbentuk tulisan atau naskah. Meski adapula teater yang menyajikan rupa pertunjukan tanpa berkutat penuh pada teks atau kata-kata, pada dasarnya naskah drama berkedudukan sebagai tuntunan kisah yang akan dipertunjukkan. Berdasar naskah drama, cerita dapat dialihrupakan menjadi tontonan di panggung sehingga menjumpai publik penontonnya. Terkait hal tersebut, gambaran isu sosial dapat tercerminkan dalam pertunjukan dan naskah drama. Hal ini dilatarbelakangi kedekatan situasi sosial 6 Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo (ed). 1984. Komunikasi dan Kaderisasi dalam Pembangunan Pedesaan (Intisari Laporan‐laporan Penelitian P3PK [LSPK] UGM 1974–1981). Yogyakarta: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada. Hal. 5. 7 Suroso. “Mengemas Nilai‐Nilai Tradisi Melalui Sinetron”. dalam Seni, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, VII Agustus 1999. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta. mengutip Umar Kayam. “Budaya Massa di Indonesia”. Prisma edisi 11 November 1981. Jakarta. Hal. 9–18. 8 Heru Kurniawan, “Berteater di Banyumas: Dilema Elitis dan Populis”. Catatan Budaya, Kedaulatan Rakyat, Minggu, 15 Juli 2012, halaman 13. 5 yang hidup mengitari jenjang penciptaan suatu naskah drama dan pertunjukannya. Begitu pula menyangkut isu sosial kekerasan terhadap anak. Dari sebuah kelompok seni di Yogyakarta yang berdiri pada 1 Maret 2005, Seni Teku, lahirlah naskah drama berjudul Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai) (Selanjutnya lebih banyak diterakan sebagai “Kintir”.). Naskah drama atau lakon Kintir digubah oleh Ibed Surgana Yuga yang juga sebagai sutradara dalam produksi pertunjukan Kintir oleh Seni Teku pada rentang 2009–2010. Ditulis seiring dengan proses penciptaan atau latihan untuk pementasannya, kelahiran Kintir menyatakan proses kreatif Seni Teku, yakni berkreasi dengan menggunakan naskah mencakup bermacam aspek dan bentuk folklore dari berbagai wilayah budaya tradisi yang ada, lalu dikontekstualisasi dengan wacana kontemporer.9 Bersumber pada satu bagian dalam kisah klasik Mahabharata, Ibed dan rekan-rekannya mengembangkan bangunan ide cerita dengan saling bertukar pengalaman. Dari pembacaan atau interpretasi atas referensi tersebut mereka lalu melakukan perbandingan dengan fenomena sosial riil yang sehubungan. Beragam usulan kemudian muncul sebagai ide baru yang dicatat oleh Ibed guna dikembangkan dalam isi cerita. Maka, sebagaimana ditegaskan Ibed, untuk menjadi naskah utuh, lakon Kintir berkelindan dengan proses latihan dalam kebersamaan dengan tim produksi dan pemain.10 Pada lakon Kintir kemudian tersirat bahwa pokok ceritanya mengutarakan isu sosial seputar kekerasan terhadap anak. Sebagai salah satu wahana komunikasi, drama memiliki keunikan karena karakternya yang merupakan karya sastra. Tak seperti berita yang bersifat menyatakan, misalnya, drama bersifat mengisahkan.11 Naskah drama pun terutama disusun berupa dialog-dialog sebagai perkakas penyampai gagasan atau ide cerita penulis (Hasanuddin, 1996: 10–11). Sementara itu, penelitian atas teks drama atau lakon selama ini umumnya dikaji dalam bidang ilmu sastra atau seni pertunjukan. Pada pokok penelitian ini, teks drama Kintir diperlakukan sebagai 9 “Tentang Seni Teku”. Terarsip di: http://seniteku.org/aku/. Diakses pada 26 April 2011. Hasil wawancara dengan Ibed Surgana Yuga, Selasa, 26 April 2011. 11 Hasil wawancara dengan pengkritisi teater, Indra Tranggono, Kamis, 8 November 2012. 10 6 wahana komunikasi puitik. Menurut Aminuddin (dalam Sobur, 2009: 142), penyampaian pesan yang dicapai melalui teks sastra disebut komunikasi puitik. Komunikasi puitik adalah komunikasi dalam wacana sastra yang bertujuan membuahkan efek keindahan tertentu yang melekat pada elemen-elemen di dalam karya sastra tersebut. Topik ini tak banyak digiatkan dalam penelitian akademis, termasuk pada bidang ilmu komunikasi. Adapun analisis atas pertunjukan teater Kintir pernah dilakukan oleh akademisi lain dengan fokus analisis dramaturgi, yakni terkait struktur dan tekstur (aspek pemanggungan) pertunjukannya dengan perspektif semiotika teater.12 Dengan obyek penelitian berbeda, penelitian ini ditujukan mengetahui secara detail dan lengkap fungsi komunikasi yang bekerja melalui lakon sebagai media komunikasi puitik dalam mengungkapkan isu child abuse. Tujuan ini dicapai dengan analisis teks drama Kintir yang mencakup hauptext (teks utama berupa dialog-dialog) dan nebentext (teks samping berupa petunjuk pemanggungan). Penelitian atas lakon Kintir sebagai media penyampai persoalan kekerasan terhadap anak (child abuse) selanjutnya berpijak pada perspektif semiotika sastra. Hal ini didasari satu asumsi bahwa semiotika dalam kajian sastra merekonstruksi fakta dalam karya sastra selaras dengan pengalaman dan pengetahuan terkait. Naskah drama Kintir yang dipakai sebagai obyek penelitian termuat dalam buku Kintir: Sekumpulan Lakon Teater karangan Ibed Surgana Yuga yang diterbitkan pada 2011. Lakon Kintir yang terdokumentasi di buku tersebut memuat sejumlah perubahan dari naskah awal yang menjadi konteks kebutuhan spesifik ketika ia dipertunjukkan oleh Seni Teku. Analisis semiotika diterapkan atas lakon Kintir sebagai bagian yang otonom dari latar belakang penciptaan pertunjukan yang bersumbangsih pada penulisannya. Meski demikian, pokok 12 Lihat dalam Nanang Arisona. 2010. Pemanggungan, Makna, dan Arena Sosial Pementasan Anak‐Anak Mengalir di Sungai Kelompok Seni Teku Yogyakarta. Tesis Pengkajian Seni pada Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. 7 dalam proses penggubahan pertunjukan diuraikan menyertai gambaran kedudukan lakon Kintir sebagai teks yang diteliti. B. Rumusan Masalah Berdasar paparan tersebut, penelitian ini hendak menjawab rumusan masalah: Bagaimana fungsi-fungsi komunikasi dalam naskah drama Kintir (Anakanak Mengalir di Sungai) merefleksikan isu kekerasan terhadap anak (child abuse)? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui elemen dan fungsi komunikasi yang bekerja sebagai saluran komunikasi dalam naskah drama/ lakon Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai). 2. Menjelaskan cara penggambaran isu kekerasan terhadap anak yang dikisahkan dalam lakon Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai). 3. Memperkaya kajian ilmu komunikasi yang berkaitan dengan peran komunikasi melalui kesenian dan karya sastra, khususnya berupa naskah drama atau lakon. D. Obyek Penelitian Obyek penelitian ini adalah naskah drama atau lakon berjudul Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai) karya Ibed Surgana Yuga. Lakon ini telah dipentaskan sebanyak sembilan kali oleh kelompok Seni Teku dengan sutradara Ibed S.Y. dalam kurun 2009–2010. Pertunjukan drama Kintir pertama kali digelar dalam Festival Teater Jogja (FTJ) I pada 4 Agustus 2009 di Pendopo Blumbang Garing, Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta. Pementasan ini banyak menarik perhatian dan apresiasi dari peminat seni teater Yogyakarta. Sebagai salah satu 8 ajang seni teater di Yogyakarta, FTJ yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta dan Yayasan Umar Kayam pada 2–20 Agustus 2009 tersebut menetapkan Seni Teku sebagai Grup Penyaji Potensial dan meraih Umar Kayam Award (“Penghargaan Umar Kayam”). Sementara itu melalui Kintir Seni Teku pun menyabet predikat sutradara potensial yang diberikan kepada Ibed S.Y., serta aktor potensial untuk Andika Ananda.13 Selanjutnya, lewat Program Hibah Seni yang diadakan Yayasan Kelola pada 2009, Seni Teku terpilih sebagai satu dari empat grup kesenian yang berpentas ke beberapa kota. Yayasan Kelola adalah sebuah lembaga yang menggerakkan seni pertunjukan di Indonesia lewat kegiatan manajerial, seperti memfasilitasi peluang pementasan bagi kelompok seni pertunjukan lewat program hibah tahunan. Hingga tahun 2012, kemampuan hibah Yayasan Kelola mencapai Rp400 juta untuk menyokong tujuh karya tari dan empat seni pertunjukan (Kompas, Minggu, 15 April 2012). Melalui program Hibah Seni, Yayasan Kelola memacu lahirnya karya seni berkualitas dari para pelaku seni. Salah satu kategori dalam program ini ialah Pentas Keliling yang diadakan bertujuan “agar karya seni terpilih dan telah dipentaskan di suatu kota dapat dilihat oleh penonton baru di kota-kota lain.”14 Drama Kintir lantas berkeliling dipertunjukkan di Indramayu, Bandung, dan Jakarta setahun kemudian, 2010. Lakon ini dipentaskan pula di Surakarta di dua lokasi, yakni Taman Budaya Jawa Tengah dan Padepokan Lemah Putih, serta Surabaya pada perhelatan Festival Seni Surabaya 2010. Dengan latar belakang inilah Kintir memiliki nilai penting sebagai kesenian drama yang berulangkali dipertunjukkan dan menjumpai khalayak luas. Dari aspek gagasan cerita, lakon Kintir menggelontorkan kisah berpusat pada dua orang perempuan yang memiliki delapan orang anak dalam latar tempat dan waktu berbeda. Ibu pertama ialah jelmaan Dewi Gangga yang melahirkan delapan 13 Indra Tranggono, “Festival Teater Jogja 2009: Menjebol ‘Mainstream’ Media Teater”. Kedaulatan Rakyat, Minggu, 13 September 2009. 14 “Hibah Seni”. Terarsip di: http://www.kelola.or.id/program/arts‐grants. Diakses pada 18 Oktober 2012. 9 wasu (penduduk kahyangan setengah dewata) dengan tujuh di antaranya dihanyutkan ke sungai sesuai permintaan wasu-wasu itu. Sementara itu, kisah seorang ibu lain dari kehidupan sosial riil ditampilkan miris: ketujuh anaknya hilang atau pergi tanpa sepengetahuannya. Dari situ, bobot cerita disajikan melalui pesan yang berkaitan dengan perlakuan tak layak yang dialami anak-anak. Dalam latar keluarga, Kintir mengisahkan anak-anak seringkali mendapat kekangan dari orang tua untuk bersosialisasi dalam aktivitas bermain dengan teman-teman mereka. Anak sebagai subyek penderita dari perlakuan orang dewasa lantas mengalah dan patuh pada orang tua—ayah atau ibu—yang menjejalkan kehendaknya pada anak mereka. Anak lain terpaksa dan terdorong mencari penghasilan tambahan bagi keluarga dengan mengemis atau menjajakan makanan dan minuman kecil di jalanan yang membahayakan keselamatan mereka. Berangkat dari sepotong uraian cerita inilah, lakon Kintir lantas layak diangkat sebagai obyek analisis untuk mengetahui bagaimana fungsi komunikasi dalam teks drama sebagai bentuk komunikasi puitik mengetengahkan realitas sosial, dalam hal ini isu kekerasan terhadap anak. E. Kerangka Pemikiran 1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) Kekerasan terhadap anak merupakan sebuah isu yang cukup menguras perhatian dan keprihatinan besar masyarakat. Sebagai satu isu penting yang hadir dan mengisi kehidupan sosial, kekerasan terhadap anak (child abuse) telah berkembang dan meluas sebagai kajian akademis. Pada awalnya, child abuse mencuat dalam bidang kesehatan pada lingkup perawatan medis atas anak. Seperti dicatat oleh Suyanto (2010: 27), pada tahun 1946, seorang radiologis bernama Caffey menangani kasus multiple fractures pada seorang anak yang menderita cedera majemuk di bagian tulang panjang dan perdarahan subdural yang sulit dikenali sebabnya. Selanjutnya dunia medis meneliti kasus ini dan menyebutnya sebagai kondisi Caffey Syndrome. 10 Selanjutnya berkat temuan data Henry Kempe, seorang pengamat kesehatan, diketahui bahwa terjadi banyak perlakuan kekerasan pada anak-anak di rumah sakit. Setidaknya, dari 71 rumah sakit, terdapat 302 tindak kekerasan terhadap anak-anak, dengan 33 anak meninggal akibat penganiayaan sementara 85 mengalami kerusakan otak permanen. Henry menjelaskan pada risetnya, kekerasan yang terjadi pada anak berupa luka-luka berat dan pembengkakan atau memar. Selain itu, tindak kekerasan berupa kegagalan bagi anak untuk berkembang secara fisik dan intelektual. Gambaran keadaan ini diistilahkan dengan Battered Child Syndrome, yaitu “Setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang tua atau pengasuh lain.”15 Seiring perjalanan waktu, kasus tindak kekerasan itu berkembang dalam kajian teoretis atau akademis. Hasil analisis atas isu kekerasan terhadap anak ini sungguh mengejutkan, ternyata kebanyakan penelantaran dilakukan oleh pihak yang dekat dengan dan bertanggung jawab atas kesejahteraan anak. Lingkungan sosial terkecil, yakni keluarga, menjelma sebagai tempat terjadinya kekerasan terhadap anak. Merunut pengembangan kajian masalah kekerasan dan penelantaran atas anak itu, child abuse lalu dipahami sebagai hambatan atau penelantaran fisik, mental, dan perkembangan yang terjadi pada anak di bawah umur 16 tahun akibat tindakan orang yang lebih tua, pengasuhnya, atau pihak di sekitarnya (Suyanto, 2010: 28). Tindak kekerasan terhadap anak didorong oleh sejumlah faktor. Tekanan sosial dalam kehidupan masyarakat seringkali menjadi penyebab mendasar, yakni sulitnya memperoleh pekerjaan dan tempat tinggal layak. Keluarga-keluarga yang memiliki persoalan tersebut sangat berpotensi melahirkan tindak penganiayaan dan penelantaran anak. Selain itu, lingkungan yang tertutup bagi interaksi sosial antara satu rumah tangga atau keluarga dan keluarga lain adalah penyebab lain yang besar pengaruhnya (Lestari Basoeki dalam Suyanto, 2010: 32). 15 Henry Kempe. 2010. dalam Bagong Suyanto. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Penerbit Kencana. Hal. 27. 11 Selain itu, pelanggaran hak anak atau kekerasan terhadap anak besar kemungkinan karena kelonggaran pelaksanaan aturan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Kelemahan perlindungan bagi anak, mencakup lemahnya penerapan undang-undang, institusi keluarga, sekolah, dan lingkungan di mana anak-anak hidup, memungkinkan perbuatan kekerasan pada anak bertumbuh (Kompas, Selasa, 13 Mei 2014). Tindak kekerasan terhadap anak paling banyak terjadi dalam lingkup rumah (25%), disusul sekolah (19%). Kekerasan terjadi pula di tempat hiburan dan pusat perbelanjaan (3%). Selebihnya di tempat umum lainnya, seperti jalan dan terminal. Seperti terungkap dari hasil kajian lembaga Indonesia Media Monitoring Centre (IMMC) berupa laporan “Potret Kekerasan Terhadap Anak dalam Media 2011–2012”16, sangatlah ironis menyadari rumah dan sekolah yang seharusnya menjadi tempat anak mendapat rasa aman, malah menjadi ruang sumber tindak kekerasan. Menurut Direktur Riset IMMC, Muhammad Farid, selain kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), disfungsi keluarga adalah penyebab kekerasan terhadap anak.17 Adapun faktor ekonomi turut melatarbelakangi penelantaran dan eksploitasi anak yang dilakukan ibu kandung.18 Di samping bersifat manifes atau tampak, kekerasan pada anak dapat berupa kekerasan nonfisik yang berdampak tak kalah memprihatinkan. Kekerasan terhadap anak biasanya ditandai pula oleh kerugian di segi kesehatan dan kesejahteraan anak. Terdapat empat jenis kekerasan terhadap anak seperti diuraikan oleh Suyanto (2010: 29–30), yaitu: a) Kekerasan Fisik Kekerasan ini umumnya tampak secara langsung atau kasatmata, baik sebab maupun efeknya. Kekerasan fisik ini dapat berupa tindakan menampar, 16 “Potret Kekerasan Terhadap Anak dalam Media 2011–2012”. 2012. Terarsip di: http://www.immcnews.com/Topik‐Terbaru/kekerasan‐terhadap‐anak.html#ovlqi_20. Diakses pada Senin, 22 Oktober 2012. 17 “IMMC: Rumah dan Sekolah Rentan Tindak Kekerasan Anak”. Op. cit. 18 “Sosial: Pelaku Kekerasan”. Terarsip di: http://www.immcnews.com/Hari‐Anak‐2012/sosial‐ pelaku‐kekerasan.html Diakses pada Senin, 22 Oktober 2012. 12 menendang, memukul atau meninju. Ia juga tampak dalam perlakuan mencekik, mendorong, menggigit, membenturkan, dan mengancam anak dengan benda tajam. b) Kekerasan Psikis Bila dibandingkan kekerasan fisik, kekerasan psikis cukup sulit diketahui. Namun, akibat yang ditimbulkan umumnya bertahan dalam waktu lama karena bersifat psikologis. Sejumlah kekerasan psikis dapat disinyalir berbentuk penggunaan kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan orang lain atau muka umum, dan melontarkan ancaman dengan kata-kata. c) Kekerasan Seksual Kekerasan seksual di sisi lain menjadi satu bentuk kekerasan terhadap anak. Kekerasan ini berupa tindakan memaksa atau ancaman untuk melakukan hubungan seksual. Tindakan ini menyebabkan anak-anak menjadi obyek kekerasan, baik perlakuan yang terjadi di dalam keluarga, sekolah, ataupun lingkungan sekitar tempat tinggal anak. Selain mengalami paksaan berhubungan seksual, mereka kerap disiksa secara menyedihkan. d) Kekerasan Ekonomi Selain mengalami bermacam kekerasan yang merugikan secara psikis dan fisik, anak tak luput pula dari kekerasan ekonomi. Tindak kekerasan ekonomi ini bahkan biasanya bermula dari keluarga. Ia seringkali muncul dalam bentuk paksaan orang tua kepada anak yang masih belia untuk turut bekerja menghasilkan pendapatan bagi keluarga. Hal inilah yang ditengarai bisa membawa pengaruh luas terhadap masalah sosial terutama di kota besar, yaitu anak jalanan. Anak-anak yang dalam usia masih sangat muda berjuang dengan kehidupan sosial yang keras demi memenuhi keinginan orang tua. Dalam wujud anak yang menjajakan makanan, mengamen, dan mengemis, hak mereka untuk bersekolah seringkali terabaikan. 13 Sebagai sebuah efek dari kekerasan ekonomi, anak jalanan menjadi satu problem sosial yang tak luput untuk disimak. Kekerasan ekonomi umumnya lahir dari kondisi keluarga berkemampuan ekonomi lemah. Demi memenuhi kebutuhan ekonomi tuntutan orang tuanya, kebanyakan anak jalanan bekerja menjadi pemulung, tukang semir sepatu, penjual koran, atau pengamen. Mereka ada yang di jalan sebelum atau sesudah waktu ke sekolah. Tak sedikit pula dari mereka yang sepenuhnya bekerja di jalanan tanpa menyediakan waktu untuk bersekolah. Di samping itu, menurut Nafsiah Mboi, kehidupan anak jalanan memiliki relasi yang tidak intens dengan keluarga dan orang tua mereka. Mereka umumnya bekerja selama 7–12 jam sehari di jalan. Anak-anak ini ada yang berjualan secara menyebar sendiri-sendiri di sekitar perempatan berlampu merah dan pusat transportasi umum, seperti stasiun dan terminal.19 Dengan gambaran tempat yang berbahaya seperti itu, selain mengalami tindakan eksploitasi dalam keluarga berupa pemaksaan bekerja, anak jalanan berhadapan dengan aturan hukum yang malah menilai mereka sebagai pelanggar norma sosial. Ancaman dari aparat hukum pun mengintai keselamatan diri mereka. Polisi, kamtib, satpam, juga pihak keamanan tak resmi seperti jegger adalah sebagian pihak yang tak segan menggunakan kewenangannya sebagai pembenaran atas tindak kekerasan kepada anak jalanan (Nusa Putra, dalam Mulandar, 1996: 113, 116). Secara khusus penelitian ini memusatkan perhatian pada gambaran persoalan kekerasan terhadap anak yang tampak atau direfleksikan dalam lakon Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai). Pengamatan atas hal tersebut dikembangkan melalui analisis semiotika fungsi-fungsi komunikasi pada naskah drama Kintir. 19 Nafsiah Mboi. 1992. CHILDREN AND YOUTH ON THE STREETS; At Risk from Aids… but What Can We Do? Reflections on the Indonesian Situation. Hal. 7. Makalah disampaikan dalam SE Asian Regional Consultation “Health Rights and AIDS Prevention Among Street Youth”, Manila, Filipina, 15–21 November 1992. Hal. 7. 14 2. Wacana Child Abuse Sebagai Realitas Sosial Berdasarkan beberapa macam tindak kekerasan terhadap anak, terlihat bahwa kekerasan di kehidupan sosial selalu berlangsung berkaitan dengan kekuasaan. Kekerasan dan kekuasaan adalah satu kesatuan yang bekerja demi sebuah tujuan penguasaan satu pihak atas pihak lain. Sebagaimana diungkapkan Fauzi Fashri (2007: 29), “Kehadiran kekerasan mengandaikan mekanisme kekuasaan tertentu… Interaksi kekuasaan untuk mendapatkan dominasi membutuhkan mekanisme obyektif agar dapat diterima oleh individu atau kelompok yang akan dikuasai.” Terkait pengamatan perihal isu kekerasan terhadap anak pada lakon Kintir, ada tiga jenis konsep kekerasan yang perlu diketahui. Tiga pengertian kekerasan ini meliputi kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor, kekerasan sebagai produk dari struktur, dan kekerasan sebagai jejaring antara aktor dan struktur.20 Bahasan terkait konsep kekerasan ini akan dilibatkan untuk menganalisis lakon Kintir. Pertama, kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor dipengaruhi penelitian dalam bidang ilmu biologi, fisiologi, dan psikologi. Kekerasan mencakup kecenderungan biologis yang didominasi kelainan genetis. Pada jenis ini, seperti menurut Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler (dalam Fashri, 2007: 27–28), kekerasan merupakan gambaran tindakan terbuka juga tertutup, bersifat menyerang dan bertahan, yang disertai kekuatan atas orang lain. Maka, kekerasan dimaksudkan sebagai tindakan aktor atau kelompok yang merusak dan merugikan orang lain yang berupa ancaman, teror, pembunuhan, hingga tindakan fisik lainnya. Pada konsep kedua, kekerasan dipandang melibatkan peran struktur— struktur negara dan aparaturnya—yang memungkinkan terjadinya kekerasan. Dalam prosesnya, kekerasan struktural ini membuat suatu ketimpangan atau 20 Thomas Santoso dalam kata pengantar Teori‐Teori Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002. Dikutip oleh Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol; Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu (Yogyakarta: Juxtapose, 2007), hal. 27. 15 ketidakadilan bagi pihak yang lemah atau inferior. Kekerasan struktural bersifat tak langsung, laten, statis, dan cenderung stabil di bawah kendali sebuah sistem tertentu. Sementara itu, konsep ketiga, kekerasan merupakan rangkaian jejaring dialektis antara aktor dan struktur. Pandangan ini memadukan pendekatan mikro dan makro atas penyebab kekerasan. Ia menekankan dialektika kekerasan aktor dan struktur dengan setiap hubungan kekerasan sehingga membentuk kebertautan yang berjejaring. Dengan demikian, kekerasan dilihat dalam cakupan ranah yang luas, yakni, seperti dijelaskan oleh R. Kutz dan Jennifer Turpin (dalam Fashri, 2007: 28), “…kekerasan tidak saja disebabkan oleh faktor psikologis individu, gejolak biologis, atau faktor sosial-struktural, namun juga disebabkan oleh suatu hubungan kausal antara struktur, proses, dan perilaku level-personal dan levelglobal.” Berkaca dari tiga pengertian di atas, tindak kekerasan dalam kehidupan masyarakat adalah suatu gambaran nyata dan mengandaikan perhatian serius. Terlebih masalah kekerasan terhadap anak di Indonesia yang sebenarnya jadi tanggung jawab semua pihak, tak terkecuali pemerintah. Sayangnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sebagai institusi yang membidani urusan perlindungan anak terkesan menomorduakan isu ini. Padahal hasil pantauan riset lembaga Indonesia Media Monitoring Centre (IMMC) sepanjang 23 Juli 2011–15 Juli 2012 menggambarkan fakta dampak yang mengkhawatirkan. Data itu menyatakan anak korban kekerasan kebanyakan kalangan remaja usia 12–18 tahun. Dua dampak tertinggi dari tindakan kekerasan terhadap anak adalah dampak psikologis (59%) dan dampak fisik (34%). Sementara 7% dampaknya berupa kematian anak. Tak hanya itu, kekerasan fisik dan emosional pada anak sangatlah dominan. Bila dijumlahkan, terdapat 33% 16 kekerasan fisik, 30% kekerasan emosional, serta 23% kekerasan seksual. Data ini disusul kekerasan berupa penelantaran anak (7%) dan eksploitasi anak (6%).21 Kasus kekerasan terhadap anak juga cenderung terus meningkat setiap tahun. Seperti dicatat oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), dibandingkan 2.413 kasus pada 2010, jumlahnya naik menjadi 2.508 kasus pada 2011.22 Sementara itu, pada 2012 angka kekerasan meningkat lagi mencapai 2.637 kasus, dan pada 2013 menembus 3.023 kasus. Adapun hingga caturwulan pertama 2014, Komnas PA menerima pengaduan kekerasan terhadap anak sebanyak 239 kasus (Majalah Berita Mingguan Tempo, 12–18 Mei 2014, hal. 12). Lalu Komisi Perlindungan Anak Indonesia menaksir, lebih dari 2.750 kasus kekerasan terhadap anak terjadi sepanjang 2014. Maka sebagai fenomena yang mengancam keselamatan penduduk usia di bawah umur ini, child abuse mendesak diperhatikan untuk diatasi. Sayangnya, dari sisi publik, pengetahuan atas masalah pemenuhan kesejahteraan anak dan kesadaran untuk mencegah tindak kekerasan terhadap anak pun belum tersosialisasi secara baik dan meluas. Asumsi ini ditengarai dari masih banyaknya tindakan child abuse yang tak tercatat dan belum dilaporkan. Seperti dibuktikan oleh hasil penelitian Wahana Visi Indonesia (WVI) di daerahdaerah terpencil, masih banyak masyarakat yang melakukan tindakan kekerasan karena tidak mengetahui adanya UU Perlindungan Anak.23 21 “IMMC: 60 %Kekerasan Terhadap Anak berupa Fisik dan Emosional”. Terarsip di: http://www.immcnews.com/Analisa‐Hari‐Anak‐2012/immc‐60‐kekerasan‐terhadap‐anak‐berupa‐ fisik‐dan‐emosional.html. Diakses pada Senin, 22 Oktober 2012. 22 Ambrosius Harto Manumoyoso dan Agus Mulyadi. 2012. “Di Keluarga Pun Anak Tidak Aman”. Terarsip di: http://megapolitan.kompas.com/read/2012/04/30/23110064/Di.Keluarga.Pun.Anak.Tidak.Aman Diakses pada 4 September 2013. 23 “Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua Gagal Menjaga dan Melindungi Anak”. 2011. Terarsip di: http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/20/negara‐ pemerintah‐masyarakat‐keluarga‐dan‐orang‐tua‐gagal‐menjaga‐dan‐melindungi‐anak/ Diakses pada 4 September 2013. 17 Terkait persoalan ini, pada sisi pemberitaan, efektivitas pemberitaan di media massa mengenai masalah child abuse terbilang masih minim. Dari sekian banyak isu sosial, belum banyak wartawan dalam negeri yang meminati persoalan sosial anak. Padahal sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak pasal 17 (a), media massa mengemban peran menyebarluaskan informasi dan materi yang bermanfaat secara sosial dan budaya bagi anak. Kecuali itu, terhadap persoalan anak yang kurang beruntung dan tersisihkan, para jurnalis seringkali menyertakan pandangan stereotip yang menempatkan anak-anak bermasalah itu dalam kacamata “pengganggu ketertiban”, “perusak pemandangan kota”, ataupun “sumber kejahatan”.24 Berhubung kondisi kekerasan terhadap anak yang mengkhawatirkan tersebut, selayaknya pemerintah dan lembaga sosial terkait isu ini mengerahkan usaha dan perhatian lebih. Namun hingga waktu belakangan ini, kekerasan terhadap anak masih menjadi perihal yang mendapat perhatian minim pemerintah. Terhadap kedudukan anak yang lemah dan rentan, pemerintah cenderung menuding kondisi perekonomian yang krisis sebagai penyebab. Sementara itu, aturan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang berlaku saat ini belum diterapkan secara tegas dan maksimal. Sulit terbantahkan bila penanganan masalah kekerasan terhadap anak seakan tak kunjung bergegas dikelola oleh negara secara serius sebagai persoalan yang penting. 3. Drama Sebagai Bentuk Komunikasi Puitik a. Naskah Drama sebagai ‘Media’ Seni Teater Kata “drama” berakar dari bahasa Yunani, draomai, yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, ataupun bereaksi. Segala perbuatan atau tindakan dapat diartikan sebagai drama. Rene Wellek dan Austin Warren mengungkapkan, drama merupakan salah satu genre sastra selain epik dan lirik yang telah diakui sejak 24 Kyailala Aiya. 2011. “Media Massa dan Konvensi Hak Anak”. Terarsip di: http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/09/media‐massa‐dan‐konvensi‐hak‐anak/ Diakses pada 11 Oktober 2012. 18 zaman Aristoteles dan Plato (Sahid, 2004: 25). Di samping itu, arti lain drama adalah “kualitas komunikasi, situasi, action, (segala apa yang terlihat dalam pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting), dan ketegangan pada pendengar atau penonton.”25 Dalam perkembangannya di ranah publik, maksud drama dan teater sangat bertalian. Secara konseptual, kedudukan “drama” menekankan fokusnya sebagai genre sastra, mencakup naskah atau teks beserta elemen cerita di dalamnya. Sedangkan “teater” berkutat perihal seni pertunjukan dan akting (Hasanuddin, 1996: 7). Istilah The Theatre berasal dari kosakata Yunani, theatron, yang mengacu pada tempat aktor mementaskan sebuah drama dan ditonton oleh banyak orang. Adapun theatre, disebutkan dalam Encyclopedia of Britanica bagian Art of the Theatre, bermula dari kesenian pada masa Yunani Klasik. Ia diserap dari kata theomai yang berarti melihat.26 Hubungan yang erat antara drama sebagai karya sastra dan seni pertunjukan menunjukkan karakteristik drama yang unik. Sebagai sebuah karya sastra, drama berwatak khas yang membedakannya dari karya fiksi lain. Puisi, cerpen, dan novel dapat dinikmati pembaca seusai tuntas ditulis, sedangkan drama tidak. Drama digubah untuk dipentaskan dan membangun kisah peristiwa dengan sebagian besar bertumpu pada dialog-dialog. Sebagai sebuah karya sastra, drama memiliki keistimewaan terkait maksud penulis lakon yang tak sekadar mengomunikasikan khayalan karakter serta kejadian lewat cerita tapi juga dihidupkan di atas panggung (Dewojati, 2010: 3). Karakter drama tersebut menunjukkan bahwa teks drama merupakan media bagi seni teater. Ini senada dengan ungkapan Edmund Burke Feldman bahwa dalam kesenian, media dimaksudkan sebagai “bahasa pengantar yang dimanfaatkan untuk membentuk material menjadi suatu bentuk artistik”.27 25 RMA Harymawan. 1993. Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal. 1. Cahyaningrum Dewojati. 2010. Drama; Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 12, 13. 27 Edmund Burke Feldman. 1990. Art as Image and Idea. Terj. Sp. Gustami, SU. Yogyakarta: Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Hal. 332. 26 19 Berdasarkan uraian di atas, maka lakon merupakan gagasan tertulis yang menjadi kerangka atau dasar cerita yang hendak dipertunjukkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa drama adalah suatu genre sastra yang ditulis dalam bentuk dialog-dialog dengan tujuan dipentaskan sebagai suatu seni pertunjukan. b. Fungsi Sosial Teater dan Naskah Drama Sebagaimana karya kesenian, drama membawa faedah bagi kehidupan. Kegunaan mendasar dari nilai kesenian, menurut Edmund Burke Feldman, ialah memperbarui suatu pandangan individu terhadap kondisi mutakhir lingkungan. Seni juga mendorong upaya pengujian, pembaruan, atau ide alternatif bagi perkembangan kehidupan. Selaras dengan itu, Aristoteles memandang bahwa berhubung fungsi sosialnya, drama mengandung proses kreatif untuk menggubah cerita dan citra segar berdasar ide dari lingkungan sekitar (Sahid, 1997: 12). Oleh sebab itulah drama sebagai karya seni memiliki fungsi sosialisasi yang menjangkau kepentingan khalayak luas. Drama berpotensi menjadi wahana berkomunikasi dan saluran efektif dalam menyampaikan wacana atau isu sosial yang patut diketahui masyarakat. Di titik itulah seni pertunjukan memiliki posisi penting pula sebagai wahana budaya massa, di samping film, musik, dan sastra pop.28 Ini adalah keniscayaan karena, menurut R.M.A Harymawan, drama yang dihadirkan melalui pertunjukan teater menjumpai khalayak umum atau penonton dalam rupa pengisahan kehidupan manusia “dengan media: percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor, didasarkan pada naskah yang tertulis dengan atau tanpa musik, nyanyian, tarian.”29 Mengingat sifat drama yang dua dimensi, sebagai seni pertunjukan dan karya sastra, naskah drama atau lakon berfungsi sebagai bahasa pengantar yang mengalihkan suatu gagasan atau tema menjadi karya sastra. Sementara bagi 28 Umar Kayam. 1999. dalam Suroso. “Mengemas Nilai‐Nilai Tradisi Melalui Sinetron”. Seni, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, edisi VII, Agustus 1999. Yogyakarta: Badan Penelitian ISI Yogyakarta. Hal. 7. 29 Harymawan. Op. cit. Hal. 2. 20 kepentingan pertunjukan teater, teks drama berperan vital dalam memuat “kejadian”, “risalah” juga “karangan” (Oemarjati, 1971: 14). Di dalam naskah drama, terkandung sejumlah pesan yang akan dapat diterima masyarakat luas bila disampaikan secara pandang-dengar. Melalui lakon, proses komunikasi dan transformasi simbol-simbol budaya kepada masyarakat dan lingkungan dapat dilangsungkan hingga menjangkau audiens (Wastap, 2007: 2). Seperti dikatakan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo (1984: 53), suatu ide yang masih abstrak akan semakin mudah dipahami masyarakat penonton lewat “pendramatisasian situasi atau kondisi di mana dipentaskan kelakuan, sikap ataupun tindakan seseorang dalam hubungannya dengan sesama, kelompok, atau masyarakat.” Nur Sahid (1997: 2) pun mengungkapkan, kehadiran teater berfungsi sosial bagi kepentingan ritual, hiburan, fungsi edukasi, dan politik. Atas fungsi politik teater dalam lingkup luas, Kartodirdjo (1984: 53–54) memandang urgensi fungsi sosio-drama bagi pelaksanaan pembangunan masyarakat. Hal ini diwujudkan dengan konkretisasi cerita dengan konteks kekinian demi memungkinkan masyarakat yang menyaksikan pertunjukan teater mendapatkan suatu pembelajaran dalam memandang suatu tantangan riil yang mereka hadapi dan cara menyikapinya. Sebagai sebuah ungkapan gagasan lewat media kesenian, teater akan berangkat dari menanggapi secara ekspresif pandangan umum di kehidupan sosial. Hal ini karena kebutuhan awal penghadiran sebuah bentuk ekspresi ialah menjawab dan mengenali arus utama dalam ruang sosial (social-sphere). Pada langkah berikutnya, seorang seniman bersikap setuju atau tidak setuju atas arus utama tersebut. Teater, salah satu wujud ekspresi itu, pun tidak terpisah dari alam pikiran lingkungan yang menjadi ruang hidupnya. Dari situ teater hadir dalam fungsi instrumental yang bermakna sebagai sarana ritual dan berfungsi horisontal 21 dalam komunitas pelakunya. Seperti diuraikan oleh Ashadi Siregar30, dari kedua akar ini kemudian budaya teater dipelihara dan diperkembangkan. Sehubungan dengan sarana ritual, teater berperan mengatur anggota pelaku teater dalam keperluan relasinya dengan Tuhan. Persiapan dan pelaksanaan kegiatan berteater untuk sarana ritual ini maka dilangsungkan secara serius sebagaimana keperluan ibadah kepada “yang di atas”. Di sisi lain fungsi horisontal teater adalah sarana bermain-main bagi komunitas untuk memelihara hubungan di antara anggota komunitas seniman. Dalam lingkup komunitas, teater menyokong terpeliharanya nilai-nilai yang menjadi landasan dan identitas komunitas. Pada konteks penelitian ini, masalah kekerasan terhadap anak merupakan wacana sosial yang memperoleh respons dan penyikapan melalui naskah drama berjudul Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai). Bibit perlakuan yang tak manusiawi pada anak berkaitan kuat dengan pandangan dominan yang hidup dalam kehidupan masyarakat. Anak menjadi subyek yang mengalami ketidakadilan lantaran hak-haknya tidak mampu terpenuhi oleh pihak lain atau lingkungan sosial tempat anak menyandarkan hidup. Sesungguhnya sebuah ketidakadilan dilatarbelakangi kondisi ketidaksetaraan (inequality) dalam kehidupan sosial, yakni dari kegagalan seseorang mendapatkan haknya juga kekuasaan yang menghambat dalam pengwujudan hak seseorang. Ketidakadilan adalah pembiaran atau tindakan yang menyebabkan seseorang atau kolektivitas tidak dapat memperoleh dan mewujudkan hak-haknya. Sebagaimana tercermin dari perjuangan aktivis wanita Eglantyne Jebb, upaya menegakkan keadilan bagi anak mencuat karena dampak parah Perang Dunia I pada 1923. Melalui wadah perlindungan anak korban perang bernama 30 Ashadi Siregar. Gender Dalam Bingkai Drama. Makalah pada Lokakarya Perempuan Penulis Naskah Drama Berperspektif Gender, Institut Seni Indonesia Yogyakarta – Dewan Kesenian Jakarta, Yogyakarta 13–15 Januari 2005. Terarsip di: http://ashadisiregar.com/05_komunikasibudaya/ Diakses pada 19 Maret 2014. 22 Save the Children Fund International Union, Jebb menyerukan kepedulian atas kaum perempuan dan anak korban peperangan di Balkan, Rusia. Pada gilirannya api gerakan ini menjadi rintisan bagi tercetusnya pokok pernyataan hak anak dan masukan bagi deklarasi hak anak dunia (Supeno, 2010a: 28–29). Selain itu, kenyataan sosial dalam kehidupan masyarakat pun kuat berlandaskan pandangan atau nilai dominan patriarki. Pandangan yang mengasumsikan dominasi kuasa kaum pria (bapak) ini menjabarkan diri sebagai landasan perspektif gender dan faktor penyebab masalah ketidakadilan dalam beragam bentuk.31 Contohnya, sebagaimana menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra dkk. (dalam Suyanto, 2010: 32), hubungan asimetris antara anak dan orang dewasa menjadi akar berbagai tindak kekerasan orang dewasa kepada anak. Disadari atau tidak, orang tua dan anak ditempatkan sebagai dua pihak yang saling bersinggungan. Sebab keduanya berada dalam posisi yang tidak setara: anak lebih rendah dan lebih lemah, sementara orang tua terus menguntungkan diri sendiri dengan menanam dan menumbuhkan pemikiran ini kepada anak. Secara praktikal, hubungan kultural berlangsung asimetris pula dari anak kepada orang tua atau yang lebih tua. Terhadap nilai dominan patriarki itulah, suatu ekspresi kesenian yang menemui publik lewat teater atau secara khusus naskah drama Kintir, melahirkan respons dan kreasi. Hasil pemaknaan nilai dominan akan terlihat dalam bentuk rangkaian struktur kisah yang tertuang pada lakon tersebut. Bagi si pelaku seni, setuju ataupun tidak atas pandangan dominan atau arus utama ialah sebuah pilihan paradigmatis: apakah akan menjadi bagian dari arus utama tersebut, ataukah berusaha keluar sehingga menjadi arus lain (sub-altern). Ia ditentukan oleh bagaimana pandangan yang dimiliki para kreator dalam komunitasnya dibandingkan nilai dominan dalam konteks sosial lebih luas. Selanjutnya, melalui rupa ekspresi konkret karya yang dihasilkan, akan dapat dicermati fungsi sosial yang dijalankannya. 31 Ibid. 23 Siregar menjelaskannya: “Makna (meaning) sebagai apa yang dianggap benar dari suatu teater dengan sendirinya paralel atau dimaksudkan untuk menjaga nilai dominan dalam komunitas. Dengan begitu urutan berpikir dalam keberadaan teater adalah nilai dominan dalam komunitas, pemaknaan nilai dominan, dan fungsi teater.”32 c. Naskah Drama dalam Kajian Komunikasi Puitik Sebagai sebuah teks sastra yang melibatkan fungsi refleksi atas kenyataan sosial, maka selain sebagai media bagi seni teater, lakon juga memiliki urgensi sebagai saluran penyampai amanat sosial. Namun, dibanding media komunikasi lainnya yang digunakan secara lebih masif, lakon mengandung maksud pesan yang lebih tersembunyi sebab berkarakter sastra. Dibandingkan praktik representasi yang bekerja pada tampilan atau isi media massa, muatan dalam karya sastra cenderung lebih mengesankan sebagai refleksi atas kenyataan. Terkait hal ini, Graeme Turner (1991: 128) mengungkapkan, refleksi berbeda dengan representasi realitas. Refleksi tidak akan merombak susunan konten realitas yang akan disampaikan kembali kepada masyarakat, sedangkan representasi adalah hasil seleksi dari realitas. Pada teks berupa karya sastra, proses komunikasi antara pengarang dan pembaca terjadi dengan cara unik, yaitu, seperti diungkapkan Tuti Kusniarti, “menggunakan media bahasa yang netral dan diubah menjadi suatu aspek estetika.” Maka dari itu, pengamatan atas karya sastra dengan fungsinya sebagai wahana komunikasi membutuhkan pemahaman bahwa ia disusun dengan tendensi menyampaikan wacana yang “membuahkan efek keindahan tertentu.” Sebagaimana karakter sastra yang multiinterpretatif dan khas, perlu pengertian khusus untuk memaknai drama (Sobur, 2009: 141). Menurut Aminuddin (dalam Sobur, 2009: 142), efek keindahan yang terkandung dalam sebuah karya sastra diamati tidak berdasar pada semesta 32 Ibid. 24 pembicaraan di luar wacana sastranya. Sebaliknya, elemen yang berada di dalam lakonlah kemudian yang akan disimak, mengingat fungsinya yang kuat melekat dengan wacana yang diusung. Komunikasi dalam ruang lingkup sastra ini dipandang sebagai ragam komunikasi puitik. Sementara bagi Roman Jakobson, sastra dengan demikian diperlakukan sebagai gejala komunikasi puitik.33 Penyikapan teks drama sebagai gejala komunikasi puitik maka perlu dilakukan dengan lengkap. Walaupun dimensi seni pertunjukan dan karya sastra dalam drama merupakan suatu kaitan yang utuh menyatu, elemen di dalam masing-masing dimensi itu samasekali berlainan. Oleh karena itu, antara drama dari sisi sastra dan seni pertunjukan tak dapat dicermati dalam sekali waktu, terlebih bila dipersamakan perlakuannya. Berhubung penelitian ini ditujukan bagi analisis atas naskah drama, maka sudut pandang yang dipakai dititikberatkan pada aspek drama sebagai karya sastra. Dengan demikian, kedudukan naskah drama selaku teks sastra perlu dipahami benar untuk dapat dianalisis. Ia harus disendirikan dari elemen-elemen lain yang terlibat bila ia dikaji dari dimensi seni pertunjukan. Hasanuddin (1996: 10–13) menyebutkan beberapa ciri khas drama dalam konteks dimensi sastra. Secara ringkas, ciri-ciri drama ini meliputi: (1) lakon secara ketat dan lugas melukiskan unsur-unsur intrinsik, (2) gagasan pengarang lakon terungkap melalui dialog tokoh-tokoh, (3) peristiwa dalam drama secara keseluruhan dikisahkan melalui dialog, (4) lakon berkarakter unik yang tidak sepenuhnya sama dengan karya sastra, dan (5) drama selalu memuat konflik yang dibangun melalui dialog. Selain itu, mengingat kedudukan lakon sebagai karya seni yang mengisahkan dan bukan menyatakan, pemaknaan atas naskah drama membutuhkan relevansinya dengan konteks pembicaraan yang sehubungan dengan perihal yang direfleksikannya. Penelitian ini secara khusus bertujuan mendeskripsikan fungsi komunikasi melalui naskah drama atau lakon. Lewat 33 Roman Jakobson. 1987. dalam Krystina Promorska dan Stephen Rudy (ed.). Language in Literature. London: Harvard University Press. Hal. 71. 25 analisis semiotika bermodel komunikasi Roman Jakobson, lakon Kintir sebagai bentuk komunikasi puitik hendak dikaji seperti apa gambaran dan caranya merefleksikan wacana kekerasan terhadap anak (child abuse). Maka pembahasan mengenai perlindungan anak menjadi acuan topik pembicaraan. F. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini bersifat deskriptif-eksplanatif. Penelitian ini diarahkan untuk mendeskripsikan temuan yang menjawab pertanyaan “bagaimana” dalam rumusan masalah. Relevan dengan sifat penelitian deskriptif-eksplanatif, rumusan masalah akan diteliti dengan pendekatan subjektif dan metode kualitatif. Analisis dilakukan dengan metode semiotika dengan maksud mendapatkan hasil lebih mendalam dan memadai untuk menguraikan jawaban atas rumusan masalah dan tujuan penelitian. Selain itu analisis semiotika dikembangkan sebagai pisau bedah yang menjelaskan bentuk dan fungsi komunikasi yang terdapat dalam naskah drama Kintir, terutama yang merefleksikan persoalan kekerasan terhadap anak. Sebuah teks drama yang berisikan sejumlah pesan umumnya kemudian disajikan dalam bentuk pementasan drama yang mengandung nilai simbolik dan artistik. Sebagai karya sastra berupa kisah yang dituangkan secara tertulis, drama merupakan buah cipta, rasa, dan karsa manusia yang mengandung komponen budaya yang intens. Dengan pijakan itulah, keterkaitan antara studi komunikasi dan budaya penting dikemukakan dalam penelitian ini. Sebagaimana diungkapkan John Fiske (2007: xi) bahwa “Tanpa komunikasi kebudayaan dari jenis apapun akan mati. Konsekuensinya, studi komunikasi melibatkan studi kebudayaan yang dengannya ia terintegrasi.” Fiske (2007: 8–9) menjelaskan bahwa pada studi komunikasi dan kebudayaan terungkap keberadaan semiotika sebagai satu unsur penting. Dalam kajian komunikasi terdapat dua mazhab utama, yaitu Mazhab Proses dan Mazhab Semiotika. Mazhab Proses intinya melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia 26 berkutat pada bagaimana pengirim dan penerima mengonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi. Mazhab Proses maka cenderung memusatkan perhatian pada tindakan komunikasi dengan mempergunakan ilmu sosial, terutama psikologi dan sosiologi. Sementara itu, Mazhab Semiotika berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna. Sebab itulah studi komunikasi dalam mazhab ini berkenaan dengan kajian peran teks dalam kebudayaan kita. Mazhab Semiotika cenderung mempergunakan linguistik dan subjek seni, dengan memusatkan pengamatan atas karya komunikasi. Metode pengkajiannya terutama ialah semiotika atau ilmu tentang tanda dan makna. Pemahaman atas apa yang membentuk sebuah pesan juga berbeda antarkedua mazhab tersebut. Jika Mazhab Proses memahami pesan sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui proses komunikasi, semiotika melihat pesan sebagai suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima menghasilkan makna. Oleh sebab itulah, sementara Mazhab Proses memaknai pesan sebagai apa yang pengirim sampaikan dengan sarana apapun, Semiotika menempatkan peran penting keaktifan pembaca dalam interaksinya dengan teks. Di antara perspektif komunikasi sebagai transmisi (Mazhab Proses) dan Mazhab Semiotika ada sebuah model komunikasi yang menjembatani keduanya. Ia adalah model komunikasi menurut Roman Jakobson yang relevan menjadi “kacamata” guna mengamati sastra sebagai gejala komunikasi puitik. Di samping itu, model komunikasi Jakobson adalah model yang memadukan kedua mazhab tersebut.34 Dalam penelitian ini, model komunikasi Jakobson dipergunakan sebagai pedoman metode analisis semiotika dalam mengamati teks sastra, yakni naskah drama Kintir. 34 John Fiske. 2007. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Hal. 37. 27 2. Teknik Analisis Terkait sifat penelitian tersebut, analisis bertumpu pada keaktifan peneliti dalam memahami teks drama Kintir sebagai obyek material penelitian. Mengingat naskah drama atau lakon mengungkapkan realitas atau persoalan sosial secara tidak langsung, maka analisis semiotika cocok untuk dipakai guna mendapatkan kejelasan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya. Secara etimologis, istilah semiotik berakar kata dari bahasa Yunani semeion yang bermakna “tanda”. Umberto Eco mengatakan bahwa tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu dengan dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.35 Tanda-tanda yang ada dalam dunia kita inilah yang dapat merepresentasikan ataupun mengungkapkan makna yang tersembunyi di balik sebuah realitas. Pengertian semiotika sebagai teknik analisis dalam penelitian ini perlu dipahami secara mendasar. Semiotika umumnya didefinisikan sebagai the study of signs ‘pengkajian tanda-tanda’, yakni sistem apapun yang membantu kita memandang entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sesuatu yang bermakna. Terdapat dua pemikiran mendasar semiotika. Sementara Charles Sanders Peirce memandang semiotika sebagai sebuah doktrin formal tentang tanda-tanda yang bercabang dari filsafat, Ferdinand de Saussure mengamatinya dengan sebutan semiologi dan mencakup disiplin psikologi sosial, yaitu merupakan suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat (Budiman, 2011: 3). Meskipun ada perbedaan sebutan semiotika dan semiologi, keduanya merujuk pada perihal yang sama, sebagaimana menurut John Fiske, “The study of signs and the way they work is called semiotics or semiology.”36 Pembedaan istilah itu terutama menunjukkan tradisi keilmuan yang melandasi perkembangan semiotika. Terence Hawkes (dalam Budiman, 2011: 4) menjelaskan, semiologi 35 Alex Sobur. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2001. Hal. 95. 36 John Fiske. 1990. Introduction to Communication Studies. London: Routledge. Hal. 40. 28 lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi tradisi linguistik Saussurean; sedangkan istilah semiotika cenderung dipakai oleh pewaris tradisi Peircian. Sebagai ilmu yang dilahirkan dari rahim ilmu bahasa, dalam perkembangannya, semiotika masuk ke berbagai aspek kehidupan manusia. Pemakaian analisis semiotika pun mencakup penelitian mengenai fenomena komunikasi. Karya sastra merupakan salah satu bentuk komunikasi dalam kehidupan manusia. Melalui rupa jalinan cerita rekaan, sebuah karya sastra memiliki aspek ruang dan waktu yang secara utuh hadir sebagai sebuah tanda. Karya sastra yang meniru ataupun sekadar diinspirasi oleh kenyataan sosial seringkali memuat pertandaan yang berkaitan erat dengan semiotika. Hal ini ditekankan Sobur (2009: 141) bahwa “Dari dua tataran (level) antara mimetik dan semiotik (atau tataran kebahasaan dan mitis) sebuah karya sastra menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati.” Komunikasi dalam wacana sastra ditujukan untuk membuahkan efek keindahan tertentu. Hal ini menjelaskan adanya perlakuan khusus atas karya sastra, termasuk teks drama atau lakon. Menurut Aminuddin (dalam Sobur, 2009: 142), efek keindahan yang terkandung dalam sebuah karya sastra diamati tidak berdasar pada semesta pembicaraan di luar wacana sastranya. Sebaliknya, elemen yang berada di dalam naskah lakonlah kemudian yang akan disimak, mengingat fungsinya yang kuat melekat dengan wacana yang diusung. Komunikasi dalam ruang lingkup sastra ini dipandang sebagai ragam komunikasi puitik. Sementara bagi Roman Jakobson, sastra dengan demikian diperlakukan sebagai gejala komunikasi puitik.37 Sebagai pencetus pandangan tentang komunikasi puitik, Jakobson melalui akar disiplin linguistik menjelaskan kedudukan utama bahasa puitik dalam studi atas karya sastra. Dia berangkat dari pertanyaan atas bahasa puitik yakni “Apa yang membuat pesan verbal menjadi karya seni?”. Bahasa puitik yang adalah seni verbal dan perilaku verbal memiliki kekhususan yang membuatnya berbeda 37 Roman Jakobson. 1987. dalam Krystina Promorska dan Stephen Rudy (ed.). Language in Literature. London: Harvard University Press. Hal. 71. 29 dengan seni-seni lainnya. Kekhususan yang membedakan (differentia spesifica) dari bahasa puitik inilah yang mendasari pentingnya pengamatan atas bahasa puitik dalam studi sastra.38 Terkait uraian komunikasi puitik tersebut, semiotika memberikan sumbangan fungsional bagi kemajuan penelitian drama dan teater sebagai bentuk komunikasi. Secara khusus pada penelitian ini semiotika diarahkan untuk mengkaji naskah drama. Hal ini sebagai pilihan pokok studi dari dua cakupan kajian semiotika, meliputi ranah teks drama (dramatic text) dan pertunjukannya (performance text) (Aston dan Savona dalam Nur Sahid, 2004: 18). Sebab di samping semiotika dalam kajian pertunjukan teater yang menghadirkan alat analisis bahasa gambar, fisik, dan auditif, semiotika memungkinkan penelaahan mendalam teks drama secara struktural.39 Berdasar uraian tersebut, analisis semiotika Roman Jakobson akan diterapkan dalam penelitian ini. Relevansi dan kesesuaian penggunaannya disebabkan dua hal utama: Pertama, Jakobson adalah salah seorang teoretikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan proses komunikasi teks sastra. Berlatar belakang konsentrasi studi ilmu bahasa atau linguistik, Jakobson menjadi seorang pengembang semiotika klasik. Dialah ahli linguistik abad kedua puluh yang pertama kali meneliti secara serius pembelajaran bahasa dan fungsi bahasa. Pemikiran awalnya yang penting, seperti dipaparkan John Lechte, adalah penekanannya pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran metafor retoris (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan). Pada tahun 1914 Jakobson memasuki fakultas historiko-fisiologis di Universitas Moskow dan 38 Roman Jakobson. 1992. “Linguistik dan Bahasa Puitik”. dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed.). Serba‐Serbi Semiotika. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. hal. 65. 39 Nur Sahid. Semiotika Teater. (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2004). Hal. 29, mengutip Elain Aston dan George Savona, Theatre as Sign‐System: A Semiotics of Text and Performance (London: Routledge, 1991), hal. 10. 30 bagian bahasa di Jurusan Slavia dan Rusia. Telaah bahasa menjadi kunci pemikirannya dalam memahami sastra dan folklore (cerita rakyat).40 Kedua, dalam artikelnya yang terkenal, Linguistic and Poetics, Jakobson menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda yang merupakan faktor-faktor pembentuk setiap jenis komunikasi verbal (Rien T. Segers dalam Sobur, 2009: 57). Jakobson menawarkan suatu pandangan yang menjelaskan model komunikasi yang relevan dikembangkan dalam kajian ilmu komunikasi, dalam hal ini komunikasi teks sastra. Model komunikasi yang menjadi konsep analisis semiotika Jakobson ini cocok dipakai mengingat kedudukan lakon sebagai salah satu karya sastra. Dalam komunikasi teks sastra, menurut Jakobson, secara mendasar terdapat enam elemen dalam tindak komunikasi beserta fungsinya masing-masing. Enam elemen serta fungsi komunikasi ini meliputi elemen pembicara atau pengirim (fungsi emotif), konteks pertuturan (fungsi referensial), pesan (fungsi puitik), kontak (fungsi fatis), kode sebagai wahana encoding dan decoding (fungsi metalingual), dan pendengar atau penerima (fungsi konatif) (Jakobson dalam Sobur, 2007: 143). Elemen dan fungsi-fungsi komunikasi menurut model komunikasi Roman Jakobson terlihat dalam skema berikut. Bagan 1. Elemen dan Fungsi Komunikasi Menurut Roman Jakobson41 KONTEKS (referensial) PESAN (puitik) PENGIRIM (emotif) PENERIMA (konatif) KONTAK (fatis) KODE (metalingual) 40 John Lechte. 2009. Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 55 dan 57. 41 Lihat Fiske. 2007. Op. cit. hal. 52. 31 Secara ringkas, faktor-faktor pembentuk dalam setiap situasi ujaran atau komunikasi verbal itu membangun skema fungsi-fungsi komunikasi dalam sastra. Sebagaimana dijelaskan oleh Jakobson: “Pengirim mengirim pesan pada penerima. Agar dapat beroperasi, pesan memerlukan konteks yang diacu yang dapat ditangkap oleh penerima pesan, baik verbal maupun yang dapat diverbalkan; kode yang sepenuhnya atau setidak-tidaknya sebagian dikenal oleh pengirim dan penerima; dan akhirnya suatu kontak yang menghubungkan si pengirim dan penerima pesan secara fisik dan secara psikologis, yang memungkinkan keduanya untuk melakukan komunikasi.”42 Elemen-elemen komunikasi puitik menurut Jakobson (dalam Danesi, 2011: 122–123) ini dirincikan sebagai berikut: 1) Pembicara/pengirim yang memulai percakapan 2) Pesan yang akan disampaikan pengirim, dan ia paham bahwa pesan itu pasti mengacu pada hal selain pesan itu sendiri 3) Penerima yang merupakan penadah termaksud dari pesan 4) Konteks yang menyediakan kerangka untuk menyandikan dan menguraikan pesan 5) Mode atau jenis kontak yang digunakan untuk menghantarkan pesan antara pengirim dan penerima 6) Kode yang berisi tanda-tanda untuk menyandikan dan menguraikan pesan Keenam fungsi komunikasi yang melekat dengan setiap elemennya dapat dijelaskan sebagai berikut43: 1) Fungsi emotif atau ekspresif. Fungsi yang berfokus pada pembicara ini menunjukkan ekspresi langsung dari sikap pembicara terhadap apa yang 42 43 Jakobson. Op. Cit. hal. 69–70. Lihat Jakobson. Ibid. hal. 70–79. 32 dibicarakan. Melalui fungsi ini terlihat kesan emosi tertentu, baik kesan bersungguh-sungguh ataupun yang dibuat-buat. 2) Fungsi puitik. Perangkat tentang pesan yang berfokus pada elemen pesan disebut fungsi puitik bahasa. Terhadap fungsi ini Jakobson memperingatkan bahwa fungsi puitik bukan satu-satunya fungsi dalam seni bahasa, melainkan fungsi yang paling menentukan dan mendominasi. Hal ini berbeda dalam kegiatan verbal lain, di mana puitik hanyalah fungsi pelengkap saja. “Fungsi ini yang dengan giat mengembangkan kejelasan tanda, lebih memperdalam dikotomi fundamental antara tanda dan benda. Karena itu, apabila kita membicarakan fungsi puitik, fungsi ini tak dapat dibatasi pada puisi saja dalam linguistik.”44 Dalam mempelajari fungsi puitik haruslah menyertakan masalah umum dalam bahasa sehingga kajiannya tidak sebatas karya puisi. Adapula perhatian penuh atas fungsi puitik dibutuhkan dalam penelitian kebahasaan. 3) Fungsi konatif. Fungsi ini berorientasi pada penerima. Wujudnya berupa ekspresi tanggapan gramatikal yang paling murni dalam bentuk vokatif dan imperatif yang menyimpang dari kategori nominal dan verbal lainnya. Jakobson memberi permisalan dengan membedakan kalimat imperatif dari kalimat deklaratif. Tak seperti kalimat deklaratif, pada kalimat perintah atau imperatif tes kebenaran tidak dapat dikenakan. 4) Fungsi referensial. Fungsi yang seperangkat dengan dan berorientasi pada elemen konteks atau ‘referen’ ini disebut pula fungsi “kognitif” dan fungsi “denotatif”. Menurut Jakobson, fungsi referensial merupakan tugas utama sejumlah besar pesan. Meskipun demikian, fungsi lain dalam suatu pesan haruslah diperhatikan pula. Adapun Buhler (dalam Jakobson, 1966) memandang bahwa fungsi emotif, konatif, dan referensial merupakan tiga 44 Ibid. hal. 75. 33 fungsi mendasar dalam model bahasa secara tradisional atau yang paling sederhana. 5) Fungsi fatis, mengacu pendapat Malinowski, ialah fungsi yang dapat diperagakan dengan tukar-menukar ritus formula, dengan dialog yang lengkap semata-mata untuk menciptakan, memperpanjang, atau memutus percakapan/komunikasi. Fatis juga mewujud dalam pesan yang bertujuan pokok meneliti kembali apakah komunikasi berjalan dengan baik atau tidak, dan untuk menarik perhatian pendengar atau untuk memastikan perhatian pendengar secara terus-menerus. Fungsi fatis juga merupakan fungsi verbal pertama yang digunakan oleh anak-anak. Mendahului kemampuan mereka untuk mengirim atau menerima komunikasi berupa pesan, anak-anak umumnya memulainya dengan berinteraksi secara fatis. 6) Fungsi metalingual, metalinguistik, atau metabahasa merupakan tingkatan bahasa yang membicarakan bahasa. Di samping “bahasa objek” yang membicarakan benda, “metalinguistik” berperan penting dalam komunikasi sehari-hari. Fungsi metalingual berguna mengidentifikasi kode yang digunakan atas suatu konsep atau perihal yang terkandung dalam beragam tindak komunikasi (Fiske, 2007: 53–54). Meski kerap tak disadari, metabahasa sesungguhnya turut dipakai dalam percakapan. Hal ini dijelaskan Jakobson: “Bila pengirim atau penerima perlu mengecek apakah mereka menggunakan kode yang sama, percakapan difokuskan pada kode yang sama itu dan kode ini melaksanakan fungsi metalinguistik.”45 Fungsi metalinguistik ini terutama banyak digunakan dalam setiap proses belajar bahasa, termasuk ketika seorang anak belajar bahasa ibunya. Contoh metalingual diperlihatkan pada bentuk komunikasi ini: 45 Ibid. hal. 74. 34 Penerima: Saya tak mengerti apa yang Anda katakan. Apa yang Anda maksudkan? Pengirim: (Setelah menjelaskan maksudnya) Anda paham apa yang saya maksudkan? Dari pembahasan elemen dan fungsi komunikasi dalam teks drama/ lakon Kintir, fungsi referensial dan elemen konteksnya ditelaah secara mendalam untuk memaparkan wacana sosial yang dirujuk dan direfleksikannya, yakni child abuse ‘kekerasan terhadap anak’. Dengan analisis atas fungsi referensial dalam kesatuan dengan fungsi-fungsi komunikasi lainnya, refleksi perihal kekerasan terhadap anak yang terungkap atau dikisahkan dalam lakon Kintir memungkinkan untuk dimengerti. Selain dengan model komunikasi yang menawarkan enam unsur dan fungsi komunikasi, pengamatan atas isi naskah Kintir mengungkap sisi metafor retoris (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan) yang ada di dalam lakon. Hal ini didasari pemikiran awal dan penting Roman Jakobson yang menekankan dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran kedua metafor tersebut. Menurut Sudjiman (dalam Sahid, 2004: 43), metafor retoris digunakan dalam menjelaskan sejumlah unsur dalam teks drama yang berisi kiasan atau perbandingan antara satu perihal dan hal lainnya. Sementara itu, metonimia ialah majas berupa pemakaian nama, ciri orang, atau barang sesuatu untuk menyebut hal yang bertautan. Dalam lakon Kintir, metafor retoris dan metonimia diamati pada sejumlah unsur intrinsik yang akan lebih dikaitkan dengan pertanyaan penelitian mengenai refleksi isu kekerasan terhadap anak. 3. Operasionalisasi a. Langkah-Langkah Penelitian Sebuah penelitian dilakukan guna menghasilkan temuan untuk menjawab persoalan yang menjadi rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Setelah 35 metode penelitian yang relevan untuk dipakai dalam penelitian ditentukan, langkah selanjutnya diuraikan sebagai berikut. Pertama ialah memilih sebuah naskah drama atau lakon yang memuat persoalan menyangkut kekerasan terhadap anak. Awalnya ini dilakukan dengan menelusuri dan bertanya kepada beberapa narasumber sastrawan dan pengamat seni pertunjukan Yogyakarta. Berdasar pengamatan dan wawancara dengan seorang pelaku teater, diketahui bahwa ada sejenis kecenderungan potensi dari kelompok teater Yogyakarta untuk mementaskan ide cerita dari cerita kuno yang dikemas dengan muatan pesan yang baru, alternatif, dan segar. Di samping itu, sejumlah kelompok seni teater Yogyakarta yang penulis amati secara jujur atau tegas mengungkapkan persoalan sosial yang terjadi di kehidupan masyarakat. Meski demikian, sangat jarang ditemukan kelompok pertunjukan membawakan lakon yang mengungkapkan secara penuh kaitannya dengan kekerasan terhadap anak. Salah satu klub pertunjukan teater di Yogyakarta yang sempat ditemui peneliti ialah Sinten Asmane. Dengan mementaskan lakon berjudul Rama Shinta – Babak Shinta Memilih yang menyitir kisah Pati Obong dalam petilan Ramayana dan mengubah jalan ceritanya, kelompok teater yang beranggotakan kaum perempuan ini menaruh keprihatinan pada masalah gender, yaitu kekerasan terhadap perempuan. Walaupun kekerasan gender ini merupakan latar belakang yang dapat berhubungan dengan isu kekerasan terhadap anak, tetapi perhatian penelitian ini dipusatkan lebih pada karya drama yang mengangkat kekerasan terhadap anak. Oleh sebab itu, lakon tersebut tidak dipilih sebagai obyek penelitian. Selanjutnya, berbekal informasi dari sastrawan yang turut mengamati seni pertunjukan, penulis menelusuri perihal kelompok Seni Teku dari laman Seni Teku dan sumber sekunder media massa terkait, seperti koran dan majalah seni. Peneliti kemudian menemui kelompok teater Seni Teku yang mempertunjukkan teater dengan gambaran yang mengesankan perihal kekerasan pada anak. Dengan 36 menempuh wawancara tahap awal, peneliti menentukan sebuah lakon dari pementasan Seni Teku berjudul Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai) sebagai obyek material penelitian. Hal ini lantaran drama tersebut sesuai dengan obyek formal yang akan dikaji pada penelitian ini, yakni kekerasan terhadap anak atau child abuse. Kendati demikian, pertunjukan Kintir tidak diproduksi berdasarkan cerita naskah tertulis lengkap atau sudah jadi. Sebagai kekhasan sebuah karya teater produksi Seni Teku, drama Kintir dihasilkan melalui proses penulisan yang beriringan dengan penjadiannya sebagai pertunjukan teater. Dalam keperluan untuk keikutsertaan dalam Festival Teater Jogja tahun 2009 pun, Seni Teku hanya menawarkan teks tertulis yang belum lengkap karena dalam pertunjukannya memuat sejumlah improvisasi adegan dan dialog.46 Di titik inilah, peneliti selanjutnya melakukan pembacaan atas Kintir dengan menelusuri referensi dari sumber sekunder, termasuk pula penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pertunjukan drama Kintir. Bagi peneliti, pembacaan atas Kintir melalui sumber sekunder penting dilakukan. Selain ditujukan mendapat panutan gambaran besar naskah atau urutan adegannya, penelusuran itu untuk mengecek penelitian atas Kintir yang telah dilakukan oleh akademisi lain. Dengan demikian mendukung peneliti untuk mendapatkan sebuah obyek penelitian yang dapat diamati secara utuh, lengkap, dan layak dipertanggungjawabkan sesuai kaidah penelitian. Penelusuran bahan untuk menentukan obyek material yang akan diteliti dimulai pada sekitar pertengahan April 2011. Pada Jurnal Matajendela volume V Nomor 4/2010 halaman 38–40, peneliti menemukan draft teks pementasan teater Seni Teku untuk Festival Teater Jogja 2009 berjudul “Anak-anak Mengalir di Sungai”. Namun draft yang ditulis oleh Ibed Surgana Yuga dan Andika Ananda ini, seperti diungkapkan oleh Ibed, hanya sebuah versi yang dilihat dari isinya, 46 Berdasarkan wawancara dengan pegiat Seni Teku, Ibed Surgana Yuga dan Andika Ananda, Selasa, 26 April 2011. 37 sekadar menyaran pada cerita dengan beberapa bagian yang diberi subjudul sebagai topik-topik spesifik. Dalam proses, peneliti lalu memperoleh naskah drama tertulis Kintir yang disusun oleh Ibed Surgana Yuga dalam buku Kintir: Sekumpulan Lakon Teater dan terbit pada Desember 2011. Selanjutnya penelitian ini dilakukan atas obyek material penelitian naskah drama atau lakon Kintir dalam buku tersebut yang telah mengalami sejumlah pengubahan dari karya pertunjukan teater Kintir produksi Seni Teku 2009–2010. Dengan demikian, teks drama/lakon Kintir dalam skripsi ini menjadi obyek material penelitian yang bersifat khusus, khas, dan otonom karena diperlakukan dalam kedudukannya sebagai karya sastra yang dikaji pada ranah studi ilmu komunikasi. Pada praktiknya, penelitian atas karya sastra dalam skripsi ini menekuni gambaran isu kekerasan terhadap anak di dalam naskah drama Kintir sebagai fokus kajian. Merujuk uraian Aminuddin (dalam Sobur, 2009: 142), ada tiga pemahaman semiotika untuk studi sastra. Asumsi pertama melihat karya sastra sebagai gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang, wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca. Kedua, karya sastra merupakan sebuah bentuk penggunaan sistem tanda yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu. Adapun asumsi ketiga yang menjadi titik perhatian pada penelitian ini ialah karya sastra sebagai fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian, analisis semiotika atas karya sastra (literary semiotics) mengikutsertakan penyikapan sastra dalam konteks wacana (literary discourse) yang mengamini kedudukan karya sastra sebagai wacana dan gejala komunikasi. Hal ini disebabkan penelitian ilmiah terhadap karya sastra ditujukan pada metadiscourse atau bentuk dan ciri isu yang tersirat atau bersifat tak tampak secara langsung.47 Terkait kebutuhan penelitian ini, peneliti sebagai pembaca berperan utama pada 47 Alex Sobur. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 142. 38 analisis dan interpretasi atas obyek material teks drama Kintir yang berkaitan dengan child abuse sebagai obyek formal penelitiannya. Selanjutnya, peneliti akan menggunakan analisis semiotika menurut model komunikasi Roman Jakobson guna mengetahui elemen dan fungsi komunikasi yang terkandung dan bekerja melalui lakon Kintir. Dari amatan atas elemen dan fungsi komunikasi, elemen konteks dan fungsi referensial dalam teks drama Kintir dikaji lebih mendalam untuk memaparkan wacana sosial yang ditunjuk dan direfleksikannya, yakni child abuse ‘kekerasan terhadap anak’. Analisis diterapkan secara teoretis melibatkan pandangan atau konsep ilmu yang bertalian dengan pokok wacana kekerasan terhadap anak, drama dan karya sastra, juga kajian ilmu sosial lain yang terkait. Selain itu, mengingat kedudukan lakon sebagai karya seni yang mengisahkan bukan menyatakan, analisis menyertakan pembahasan mengenai isu perlindungan anak dan kekerasan terhadap anak berdasar sumber materi dan acuan perangkat hukum yang berlaku. Dengan demikian, analisis semiotika komunikasi Roman Jakobson dalam penelitian ini hendak menjelaskan fungsi komunikasi melalui naskah drama/lakon Kintir sebagai wujud komunikasi puitik berkaitan dengan cara merefleksikan wacana child abuse. b. Penentuan Unit-Unit Analisis Selanjutnya analisis atas lakon Kintir akan menekuni sejumlah aspek. Sebagaimana umumnya penelitian naskah drama, perhatian peneliti terpusat pada nilai dramatik yang meliputi plot, karakter, tema, dialog, mood, dan spectacle. Keenam nilai dramatik inilah yang membangun struktur dan tekstur yang khas dimiliki drama sebagai pembeda dari genre sastra prosa dan puisi. Struktur adalah bentuk drama pada waktu pementasan, sedangkan tekstur adalah apa yang secara langsung dialami oleh pengamat, yang muncul melalui indera, yang didengar telinga (dialog), yang dilihat mata (spectacle), dan yang dirasakan (mood) melalui seluruh alat visual serta pengalaman aural. Plot, karakter, dan tema adalah nilai 39 dramatik yang dikelompokkan sebagai struktur drama. Sementara itu, nilai dramatik dialog, mood, dan spectacle merupakan tekstur drama.48 Dengan demikian, unit analisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan berupa struktur dan tekstur drama. 1) Unit Analisis Struktur Drama Struktur adalah bentuk drama pada waktu pementasan yang meliputi plot, karakter, dan tema. i. Plot Aristoteles menyebut plot sebagai jalan cerita sebuah drama yang di dalamnya terdapat skema-skema action para tokoh di atas panggung. Plot adalah urutan peristiwa yang berhubungan secara kausalitas (Soemanto dalam Dewojati, 2010: 162). Penyingkapan lapis-lapis ketersembunyian melalui plot dalam drama diibaratkan sebagai usaha untuk memperoleh pencerahan. Inilah daya tarik dan posisi penting plot yang membawa penonton atau pembaca pada keingintahuan besar untuk mendapatkan pencerahan. ii. Karakter Disebut pula penokohan, karakter dalam drama menjadi alat bagi pengarang mengungkapkan alasan logis terhadap tingkah laku tokoh. Tokoh-tokoh akan membawakan tema dalam keseluruhan rangkaian latar dan alur. Lantaran tokoh menjalin alurnya sendiri, penokohan menjadi inti lakon.49 iii. Tema Teks drama sebagai sebuah karya sastra mengandung gagasan pokok atau dasar cerita. Inilah yang disebut tema, yakni sesuatu 48 George R. Kernodle, The Invitation to The Theatre (New York: Harcourt, Brace, & World, 1966), hal. 344, dikutip oleh Cahyaningrum Dewojati, Drama; Sejarah, Teori, dan Penerapannya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hal. 159. 49 Boen S. Oemarjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1971), hal. 38. dikutip oleh Cahyaningrum Dewojati, Drama; Sejarah, Teori, dan Penerapannya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hal. 169. 40 yang akan diungkapkan untuk memberikan arah dan tujuan cerita. Pada drama modern, tema dapat diketahui dalam bentuk dialog para tokohnya, tetapi umumnya dialog tersebut menunjukkan ironi dari kejadian yang sebenarnya terjadi. Oleh sebab itu, tema pada dasarnya adalah pemikiran (thought). Ia adalah argumen dari simpulan terhadap karakter tertentu yang bisa jadi tema umum atau hanya tema sebagian dari sebuah lakon. Telaah tema naskah drama, dengan demikian, membutuhkan analisis yang cermat atas dialog-dialog penting dalam teks (Dewojati, 2010: 172). 2) Unit Analisis Tekstur Drama Tekstur drama adalah apa yang secara langsung dialami oleh pengamat, yang muncul melalui indera, yang didengar telinga (dialog), yang dilihat mata (spectacle), dan yang dirasakan (mood) melalui seluruh alat visual serta pengalaman pendengaran. Dalam naskah drama, tekstur dialog dijumpai dalam teks utama (hauptext) sedangkan tekstur mood dan spectacle ditemukan dalam teks samping (nebentext). i. Dialog Dialog atau cakapan umumnya dipandang sebagai bangunan naskah drama. Dari cakapan antartokoh cerita dirangkai, konflik ditumbuhkan, dan perwatakan tokoh dikembangkan. Sebagaimana diungkapkan Dewojati (2010: 176), dialog merupakan sarana primer drama yang mewadahi pengarang untuk menyampaikan informasi, menjelaskan fakta dan ide-ide utama. Dialog memberikan tuntunan alur. Melalui dialog, penikmat dan pembaca mengetahui jalannya peristiwa. ii. Mood Mood adalah suasana. Menurut George R. Kernodle (dalam Dewojati, 2010: 182), mood dalam drama tercipta dalam hubungannya dengan unsur lain, misalnya spectacle, dialog, dan 41 irama permainan. Oleh karena itu, mood hanya tercipta dan dapat dirasakan pada saat unsur-unsur tersebut dikomunikasikan langsung kepada penonton. Dalam naskah drama, mood dapat diteliti pada nebentext (teks samping atau petunjuk pemanggungan). iii. Spectacle Dalam naskah drama, spectacle adalah berbagai peralatan yang disebutkan dalam teks, khususnya pada nebentext. Spectacle dapat disebut pula sebagai aspek-aspek visual sebuah lakon, terutama action fisik para tokoh di atas panggung, selain pembabakan, tata kostum, tata rias, tata lampu, dan perlengkapan lain.50 Dalam sebuah lakon, sarana tekstur berupa spectacle dapat dibayangkan melalui interpretasi atas teks samping. 4. Metode Analisis dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan analisis semiotika berdasar model komunikasi Roman Jakobson untuk menelaah obyek penelitian berupa dramatic text, yaitu naskah drama/ lakon Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai). Analisis semiotika Jakobson dilakukan guna menjelaskan fungsi bahasa atau komunikasi yang bekerja dalam lakon Kintir. Secara khusus, nilai dramatik yang tercakup sebagai struktur dan tekstur drama diamati dalam konteks wacana kekerasan terhadap anak. Struktur drama diteliti terkait unsur intrinsik yang mengandung metafor retoris dan metonimia. Adapun tekstur drama diamati untuk mengetahui elemen dan fungsi komunikasi yang bekerja dalam lakon. Analisis semiotik atas lakon Kintir diarahkan pada aspek pragmatik, yakni menekankan analisis berkaitan dengan komunikasi antara pengirim dan penerima. Di dalam drama aspek pragmatik ini terwujud berupa komunikasi antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, atau antara pengarang/pencerita dan 50 Cahyaningrum Dewojati, Drama; Sejarah, Teori, dan Penerapannya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hal. 169, mengutip Soebakdi Soemanto, Jagat Teater (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), hal. 24. 42 pembaca/penonton.51 Sebuah teks drama mencakup dua aspek sekaligus, yaitu hauptext (teks utama berupa dialog-dialog) dan nebentext (teks samping atau tambahan berupa stage direction ‘petunjuk pemanggungan’).52 Maka untuk mendapatkan hasil lengkap serta menyeluruh, analisis lakon tersebut diterapkan atas aspek teks utama (hauptext) dan teks samping (nebentext). Sementara itu, seperti dijelaskan sebelumnya, penciptaan pertunjukan teater Kintir yang dijalani tim produksi Seni Teku bersumbangsih banyak pada pengisahan dalam teks drama/ lakonnya. Oleh sebab itu, penjelasan hasil analisis teks drama Kintir akan dilengkapi paparan tentang konteks penciptaannya sebagai pertunjukan. Hal ini ditujukan memperoleh penjelasan atas kekhasan lakon Kintir yang proses penciptaan pertunjukan dan penulisan naskahnya bertalian erat. Tak hanya itu, selama ini kajian atas lakon umumnya sekadar ditekankan atas drama sebagai karya sastra. Padahal, sebagaimana diungkapkan Sahid (2004: 28), suatu obyek kajian naskah drama tak dapat begitu saja lepas dari kedudukan drama yang selain berdimensi karya sastra juga sebagai seni pertunjukan. Sahid menekankan, “…tindakan mengidentifikasi drama secara literer [sastra] sebenarnya sama saja dengan mengabaikan fungsi fundamental drama sebagai blue print produksi teater, yakni suatu peristiwa teater yang mesti direalisasi dalam waktu dan ruang.”53 Maka dari itu, untuk menunjang analisis dalam menjawab pertanyaan serta tujuan penelitian tersebut, dilakukan tiga cara untuk mengumpulkan data, yaitu: a. Wawancara Dalam wawancara, diajukan sejumlah pertanyaan terbuka demi memperoleh kejelasan informasi yang sesuai dengan maksud penelitian. Pendalaman data melalui wawancara difokuskan pada 51 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Hal. 117. 52 Nur Sahid. 2004. Semiotika Teater. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Hal. 56. 53 Ibid. hal. 28. 43 narasumber relevan, seperti pelaku seni teater, kritikus teater dan sastra, juga pihak lain yang menaruh perhatian utama pada topik yang dikaji oleh peneliti. b. Observasi Penelitian ini dilakukan dengan turut memerhatikan secara berkelanjutan obyek formal penelitian isu kekerasan terhadap anak pada informasi yang disiarkan media massa nasional dan lembaga sosial lain. Hal ini mengingat sebagai masalah sosial, isu tersebut mengalami pertumbuhan yang dinamis dalam perjalanan waktu, setidaknya lima tahun belakangan. Adapun menyangkut obyek material lakon Kintir yang ditulis oleh Ibed S.Y. dalam proses kreatif bersama Seni Teku, penting bagi peneliti memerhatikan perkembangan proses berkesenian yang dilakukan oleh kelompok ini. Sejumlah perubahan, kontinuitas, ataupun konsistensi mereka dalam berkesenian, khususnya si penulis naskah, diamati terkait kajian atas penciptaan dan penulisan lakon Kintir. Hal ini dilakukan dengan menyaksikan dan mencari informasi tentang pertunjukan lakon teater yang mereka produksi selain Kintir. c. Studi Pustaka/ Dokumentasi Studi pustaka menjadi metode yang menunjang analisis dan pemahaman tentang fenomena yang hendak diungkap dalam penelitian ini. Melalui penelusuran serta pendalaman referensi menyangkut topik penelitian, persoalan sosial dan kajian kesenian yang berkaitan dengan pokok permasalahan dapat diketahui dengan lengkap. 44