BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, tindak kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun semakin
meningkat, baik secara kuantitas maupun bentuknya. Salah satu contoh di wilayah
kota besar seperti Jakarta, terdapat sekitar 10.000 anak jalanan yang rentan
mengalami kekerasan dan perlakuan eksploitatif, semisal terlibat dalam lingkaran
perdagangan anak. Sebagaimana dilaporkan harian Kompas1, tak hanya di
ibukota, persoalan anak jalanan umumnya menorehkan catatan yang miris di kota
lain. Meningkatnya jumlah anak yang bertahan hidup mengais kebutuhan
ekonomi dari kehidupan di jalan disebabkan karena banyak faktor, antara lain
maraknya bencana alam dan gagalnya program rehabilitasi di daerah bencana.
Penting untuk dipahami, anak jalanan adalah salah satu buah dari
persoalan kekerasan terhadap anak. Ia hanya satu indikator dari adanya perlakuan
atau tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Bila dirunut dari akar
permasalahannya, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat terjadi di berbagai
lokasi, tak hanya jalanan. Sebagaimana catatan Bagong Suyanto (2010: 65, 68)
berdasar hasil studi tempat kejadian child abuse, ditemukan bahwa rumah atau
lingkungan keluarga adalah tempat paling rawan bagi anak. Selain itu, lokasi
tindak child abuse disusul oleh jalanan, tempat umum, dan sekolah.
Dalam kajian ilmu sosial, kekerasan terhadap anak adalah peristiwa
pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang
yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak. Indikasi child
abuse secara langsung dan nyata hadir sebagai hal yang mengancam dan
merugikan kesehatan dan kesejahteraan anak (Suyanto, 2010: 28). Secara umum,
1
Lusiana Indriasari. “Tidak Seharusnya Mereka Berada di Jalan”. Kompas, Selasa, 10 April 2012. Hal. 14. 1 tindak kekerasan terhadap anak tergolong dalam empat bentuk, yaitu kekerasan
fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Terkait
kekerasan ekonomi, anak jalanan adalah satu fenomena masalah manakala situasi
memaksa anak di bawah umur berkontribusi menambah penghasilan keluarga.
Maka sebagai persoalan yang hadir di masyarakat, termasuk di Indonesia,
child abuse mendesak diperhatikan untuk diatasi karena kasus kekerasan terhadap
anak cenderung terus meningkat setiap tahun. Seperti dicatat oleh Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), dibandingkan 2.413 kasus pada 2010,
jumlahnya naik menjadi 2.508 kasus pada 2011.2 Sementara itu, pada 2012 angka
kekerasan meningkat lagi mencapai 2.637 kasus, dan pada 2013 menembus 3.023
kasus. Adapun hingga caturwulan pertama 2014, Komnas PA menerima
pengaduan kekerasan terhadap anak sebanyak 239 kasus (Majalah Berita
Mingguan Tempo, 12–18 Mei 2014, hal. 12). Sementara itu, Komisi Perlindungan
Anak Indonesia menaksir lebih dari 2.750 kasus kekerasan terhadap anak terjadi
sepanjang 2014.
Kenyataan mengenai pertambahan tindak kekerasan terhadap anak
tersebut sungguh mengkhawatirkan, mengingat pula dari sekian banyak problem
sosial, child abuse masih kurang mendapat perhatian publik. Dibandingkan isu
demokrasi, otonomi, atau korupsi, misalnya, kekerasan terhadap anak bisa
dikatakan masih sangat jauh dari pembicaraan umum. Di samping itu, seperti
diungkapkan Bagong Suyanto (2010: 6), “Indonesia sendiri sebenarnya telah 10
tahun lebih meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dan… Konvensi ILO No.
138 dan 182 yang intinya berupaya mencegah kemungkinan anak terpuruk pada
eksploitasi dunia kerja yang kontraproduktif bagi kelangsungan pendidikannya.”
Selain itu, untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak berlaku aturan
2
Ambrosius Harto Manumoyoso dan Agus Mulyadi. 2012. “Di Keluarga Pun Anak Tidak Aman”. Terarsip di: http://megapolitan.kompas.com/read/2012/04/30/23110064/Di.Keluarga.Pun.Anak.Tidak.Aman Diakses pada 4 September 2013. 2 normatif menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Dari sisi publik, pengetahuan atas masalah pemenuhan kesejahteraan anak
dan kesadaran untuk menjauhi tindak kekerasan terhadap anak pun belum
tersosialisasi baik dan meluas. Asumsi ini ditengarai dari masih banyaknya
tindakan child abuse yang tak tercatat dan belum dilaporkan. Seperti dibuktikan
oleh hasil penelitian Wahana Visi Indonesia (WVI), masih banyak masyarakat di
daerah-daerah terpencil melakukan tindakan kekerasan karena tidak mengetahui
adanya UU Perlindungan Anak.3
Terkait persoalan ini, pada sisi pemberitaan, efektivitas pemberitaan di
media massa mengenai masalah child abuse terbilang masih jauh dari harapan.
Dari sekian banyak isu sosial, belum banyak wartawan dalam negeri yang
meminati persoalan sosial anak-anak. Padahal sebagaimana dimuat dalam
Konvensi Hak Anak pasal 17 (a), media massa mengemban peran
menyebarluaskan informasi dan materi yang bermanfaat secara sosial dan budaya
bagi anak. Terhadap persoalan anak yang kurang beruntung dan tersisihkan, para
jurnalis seringkali menyertakan pandangan stereotip yang menempatkan anakanak bermasalah itu dalam kacamata “pengganggu ketertiban”, “perusak
pemandangan kota”, ataupun “sumber kejahatan”.4
Paparan informasi terkait child abuse yang minim di ranah publik tersebut
mengindikasikan bahwa isu kekerasan terhadap anak berpeluang untuk semakin
tersisihkan dari isu sosial lain. Perhatian masyarakat atas persoalan ini pun
berpotensi makin menurun. Di konteks inilah lembaga pemerintah dan pihak 3
Wahana Visi Indonesia. 2011. “Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua Gagal Menjaga dan Melindungi Anak”. Terarsip di: http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/20/negara‐pemerintah‐masyarakat‐keluarga‐dan‐
orang‐tua‐gagal‐menjaga‐dan‐melindungi‐anak/ Diakses pada 4 September 2013. 4
Kyailala Aiya. 2011. “Media Massa dan Konvensi Hak Anak”. Terarsip di: http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/09/media‐massa‐dan‐konvensi‐hak‐anak/ Diakses pada 11 Oktober 2012. 3 pihak pemerhati masalah sosial diharapkan dapat terus berusaha serius
memerhatikan isu ini. Terkait hal ini, sarana komunikasi lain perlu dikembangkan
sebagai ruang yang menanggapi kelemahan media massa, khususnya untuk
mengetuk kesadaran khalayak dalam menyikapi isu kekerasan terhadap anak. Ini
semakin dibutuhkan agar sosialisasi pemahaman isu kekerasan terhadap anak
dapat tersiar luas dan membangun kepedulian publik.
Di antara wahana komunikasi populer di tengah khalayak, kesenian hadir
sebagai satu macam wujud kebudayaan. Seni atau kesenian merupakan salah satu
unsur kebudayaan yang universal. Dalam kaitan sebagai salah satu dari unsur
kebudayaan, kesenian adalah bentuk dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.
Kesenian pun merupakan sebuah karya milik manusia yang dihasilkan dari proses
belajar, selain juga mencakup sistem gagasan dan tindakan.5
Sementara itu, kebudayaan yang hidup di dalam masyarakat pada
gilirannya akan berjumpa dengan kenyataan yang hadir dalam dinamika
keseharian, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Kesenian pun selalu lahir dan
terinspirasi dari kehidupan masyarakat di sekitar pelaku seni. Maka, tak dapat
dipungkiri karya seni kemudian menampilkan potongan dan cerminan dari realitas
sosial yang seakan memberikan suatu refleksi kepada publiknya—dalam hal ini
pembaca atau penonton. Ini dapat dipahami sebab seni sebagai bagian kebudayaan
berkaitan erat dengan komunikasi. Seperti dinyatakan Edward T. Hall (dalam
Liliweri, 2003: 21), “Komunikasi adalah kebudayaan, dan kebudayaan adalah
komunikasi.” Ini dimaksudkan bahwa dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika
yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi, sedangkan hanya
melalui komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan.
Maka
dari
itu,
sesungguhnya
kesenian
dapat
menjadi
sarana
menyampaikan pesan sosial. Di samping media massa cetak dan elektronik,
kesenian memiliki fungsi yang tak kalah penting atau signifikan karena hidup
5
Koentjaraningrat. 2003. Dalam Sujarno, dkk. Seni Pertunjukan Tradisional: Nilai Fungsi dan Tantangannya. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Hal. 1 4 dalam kultur masyarakat yang tradisional.6 Satu ragam kesenian yang hidup dekat
di tengah masyarakat Indonesia adalah seni pertunjukan. Ia merupakan salah satu
sarana komunikasi alternatif untuk menyampaikan kepada khalayak tentang suatu
masalah sosial. Sebagaimana dinyatakan Umar Kayam, seni pertunjukan
berpotensi sebagai sarana sosialisasi, seperti halnya jenis budaya massa lain
seperti film, musik, dan sastra pop.7
Secara khusus pada seni pertunjukan drama atau teater, terkandung fungsi
yang erat dengan kebutuhan publik. Seperti disebutkan Putu Wijaya, pertunjukan
drama panggung merupakan “komunikasi kreatif yang harus berpihak pada
audiens (masyarakat)”.8 Suatu pertunjukan teater akan bermakna bagi penonton
bila memberikan suatu amanat atau nilai yang penting bagi penontonnya. Maka
melalui seni pertunjukan berupa teater, selain mengesankan sebagai tontonan, ide
cerita yang dipentaskan turut menyampaikan nilai dan pesan sosial tertentu.
Sebagai suatu kesenian yang dapat menjangkau khalayak luas, drama
memiliki karakter khas, yaitu mengandung keutuhan sebagai dimensi sastra dan
dimensi seni pertunjukan. Hal ini disebabkan pertunjukan drama umumnya
bertumpu pada kerangka cerita yang disusun berbentuk tulisan atau naskah. Meski
adapula teater yang menyajikan rupa pertunjukan tanpa berkutat penuh pada teks
atau kata-kata, pada dasarnya naskah drama berkedudukan sebagai tuntunan kisah
yang akan dipertunjukkan. Berdasar naskah drama, cerita dapat dialihrupakan
menjadi tontonan di panggung sehingga menjumpai publik penontonnya.
Terkait hal tersebut, gambaran isu sosial dapat tercerminkan dalam
pertunjukan dan naskah drama. Hal ini dilatarbelakangi kedekatan situasi sosial
6
Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo (ed). 1984. Komunikasi dan Kaderisasi dalam Pembangunan Pedesaan (Intisari Laporan‐laporan Penelitian P3PK [LSPK] UGM 1974–1981). Yogyakarta: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada. Hal. 5. 7
Suroso. “Mengemas Nilai‐Nilai Tradisi Melalui Sinetron”. dalam Seni, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, VII Agustus 1999. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta. mengutip Umar Kayam. “Budaya Massa di Indonesia”. Prisma edisi 11 November 1981. Jakarta. Hal. 9–18. 8
Heru Kurniawan, “Berteater di Banyumas: Dilema Elitis dan Populis”. Catatan Budaya, Kedaulatan Rakyat, Minggu, 15 Juli 2012, halaman 13. 5 yang hidup mengitari jenjang penciptaan suatu naskah drama dan pertunjukannya.
Begitu pula menyangkut isu sosial kekerasan terhadap anak. Dari sebuah
kelompok seni di Yogyakarta yang berdiri pada 1 Maret 2005, Seni Teku, lahirlah
naskah drama berjudul Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai) (Selanjutnya lebih
banyak diterakan sebagai “Kintir”.). Naskah drama atau lakon Kintir digubah oleh
Ibed Surgana Yuga yang juga sebagai sutradara dalam produksi pertunjukan
Kintir oleh Seni Teku pada rentang 2009–2010. Ditulis seiring dengan proses
penciptaan atau latihan untuk pementasannya, kelahiran Kintir menyatakan proses
kreatif Seni Teku, yakni berkreasi dengan menggunakan naskah mencakup
bermacam aspek dan bentuk folklore dari berbagai wilayah budaya tradisi yang
ada, lalu dikontekstualisasi dengan wacana kontemporer.9
Bersumber pada satu bagian dalam kisah klasik Mahabharata, Ibed dan
rekan-rekannya mengembangkan bangunan ide cerita dengan saling bertukar
pengalaman. Dari pembacaan atau interpretasi atas referensi tersebut mereka lalu
melakukan perbandingan dengan fenomena sosial riil yang sehubungan. Beragam
usulan kemudian muncul sebagai ide baru yang dicatat oleh Ibed guna
dikembangkan dalam isi cerita. Maka, sebagaimana ditegaskan Ibed, untuk
menjadi naskah utuh, lakon Kintir berkelindan dengan proses latihan dalam
kebersamaan dengan tim produksi dan pemain.10 Pada lakon Kintir kemudian
tersirat bahwa pokok ceritanya mengutarakan isu sosial seputar kekerasan
terhadap anak.
Sebagai salah satu wahana komunikasi, drama memiliki keunikan karena
karakternya yang merupakan karya sastra. Tak seperti berita yang bersifat
menyatakan, misalnya, drama bersifat mengisahkan.11 Naskah drama pun
terutama disusun berupa dialog-dialog sebagai perkakas penyampai gagasan atau
ide cerita penulis (Hasanuddin, 1996: 10–11). Sementara itu, penelitian atas teks
drama atau lakon selama ini umumnya dikaji dalam bidang ilmu sastra atau seni
pertunjukan. Pada pokok penelitian ini, teks drama Kintir diperlakukan sebagai
9
“Tentang Seni Teku”. Terarsip di: http://seniteku.org/aku/. Diakses pada 26 April 2011. Hasil wawancara dengan Ibed Surgana Yuga, Selasa, 26 April 2011. 11
Hasil wawancara dengan pengkritisi teater, Indra Tranggono, Kamis, 8 November 2012. 10
6 wahana komunikasi puitik. Menurut Aminuddin (dalam Sobur, 2009: 142),
penyampaian pesan yang dicapai melalui teks sastra disebut komunikasi puitik.
Komunikasi puitik adalah komunikasi dalam wacana sastra yang bertujuan
membuahkan efek keindahan tertentu yang melekat pada elemen-elemen di dalam
karya sastra tersebut.
Topik ini tak banyak digiatkan dalam penelitian akademis, termasuk pada
bidang ilmu komunikasi. Adapun analisis atas pertunjukan teater Kintir pernah
dilakukan oleh akademisi lain dengan fokus analisis dramaturgi, yakni terkait
struktur dan tekstur (aspek pemanggungan) pertunjukannya dengan perspektif
semiotika teater.12 Dengan obyek penelitian berbeda, penelitian ini ditujukan
mengetahui secara detail dan lengkap fungsi komunikasi yang bekerja melalui
lakon sebagai media komunikasi puitik dalam mengungkapkan isu child abuse.
Tujuan ini dicapai dengan analisis teks drama Kintir yang mencakup hauptext
(teks utama berupa dialog-dialog) dan nebentext (teks samping berupa petunjuk
pemanggungan). Penelitian atas lakon Kintir sebagai media penyampai persoalan
kekerasan terhadap anak (child abuse) selanjutnya berpijak pada perspektif
semiotika sastra. Hal ini didasari satu asumsi bahwa semiotika dalam kajian sastra
merekonstruksi fakta dalam karya sastra selaras dengan pengalaman dan
pengetahuan terkait.
Naskah drama Kintir yang dipakai sebagai obyek penelitian termuat dalam
buku Kintir: Sekumpulan Lakon Teater karangan Ibed Surgana Yuga yang
diterbitkan pada 2011. Lakon Kintir yang terdokumentasi di buku tersebut
memuat sejumlah perubahan dari naskah awal yang menjadi konteks kebutuhan
spesifik ketika ia dipertunjukkan oleh Seni Teku. Analisis semiotika diterapkan
atas lakon Kintir sebagai bagian yang otonom dari latar belakang penciptaan
pertunjukan yang bersumbangsih pada penulisannya. Meski demikian, pokok
12
Lihat dalam Nanang Arisona. 2010. Pemanggungan, Makna, dan Arena Sosial Pementasan Anak‐Anak Mengalir di Sungai Kelompok Seni Teku Yogyakarta. Tesis Pengkajian Seni pada Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. 7 dalam proses penggubahan pertunjukan diuraikan menyertai gambaran kedudukan
lakon Kintir sebagai teks yang diteliti.
B. Rumusan Masalah
Berdasar paparan tersebut, penelitian ini hendak menjawab rumusan
masalah: Bagaimana fungsi-fungsi komunikasi dalam naskah drama Kintir (Anakanak Mengalir di Sungai) merefleksikan isu kekerasan terhadap anak (child
abuse)?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui elemen dan fungsi komunikasi yang bekerja sebagai saluran
komunikasi dalam naskah drama/ lakon Kintir (Anak-anak Mengalir di
Sungai).
2. Menjelaskan cara penggambaran isu kekerasan terhadap anak yang
dikisahkan dalam lakon Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai).
3. Memperkaya kajian ilmu komunikasi yang berkaitan dengan peran
komunikasi melalui kesenian dan karya sastra, khususnya berupa naskah
drama atau lakon.
D. Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah naskah drama atau lakon berjudul Kintir
(Anak-anak Mengalir di Sungai) karya Ibed Surgana Yuga. Lakon ini telah
dipentaskan sebanyak sembilan kali oleh kelompok Seni Teku dengan sutradara
Ibed S.Y. dalam kurun 2009–2010. Pertunjukan drama Kintir pertama kali digelar
dalam Festival Teater Jogja (FTJ) I pada 4 Agustus 2009 di Pendopo Blumbang
Garing, Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta. Pementasan ini banyak menarik
perhatian dan apresiasi dari peminat seni teater Yogyakarta. Sebagai salah satu
8 ajang seni teater di Yogyakarta, FTJ yang diselenggarakan oleh Taman Budaya
Yogyakarta dan Yayasan Umar Kayam pada 2–20 Agustus 2009 tersebut
menetapkan Seni Teku sebagai Grup Penyaji Potensial dan meraih Umar Kayam
Award (“Penghargaan Umar Kayam”). Sementara itu melalui Kintir Seni Teku
pun menyabet predikat sutradara potensial yang diberikan kepada Ibed S.Y., serta
aktor potensial untuk Andika Ananda.13
Selanjutnya, lewat Program Hibah Seni yang diadakan Yayasan Kelola
pada 2009, Seni Teku terpilih sebagai satu dari empat grup kesenian yang
berpentas ke beberapa kota. Yayasan Kelola adalah sebuah lembaga yang
menggerakkan seni pertunjukan di Indonesia lewat kegiatan manajerial, seperti
memfasilitasi peluang pementasan bagi kelompok seni pertunjukan lewat program
hibah tahunan. Hingga tahun 2012, kemampuan hibah Yayasan Kelola mencapai
Rp400 juta untuk menyokong tujuh karya tari dan empat seni pertunjukan
(Kompas, Minggu, 15 April 2012). Melalui program Hibah Seni, Yayasan Kelola
memacu lahirnya karya seni berkualitas dari para pelaku seni. Salah satu kategori
dalam program ini ialah Pentas Keliling yang diadakan bertujuan “agar karya seni
terpilih dan telah dipentaskan di suatu kota dapat dilihat oleh penonton baru di
kota-kota lain.”14 Drama Kintir lantas berkeliling dipertunjukkan di Indramayu,
Bandung, dan Jakarta setahun kemudian, 2010. Lakon ini dipentaskan pula di
Surakarta di dua lokasi, yakni Taman Budaya Jawa Tengah dan Padepokan
Lemah Putih, serta Surabaya pada perhelatan Festival Seni Surabaya 2010.
Dengan latar belakang inilah Kintir memiliki nilai penting sebagai
kesenian drama yang berulangkali dipertunjukkan dan menjumpai khalayak luas.
Dari aspek gagasan cerita, lakon Kintir menggelontorkan kisah berpusat pada dua
orang perempuan yang memiliki delapan orang anak dalam latar tempat dan
waktu berbeda. Ibu pertama ialah jelmaan Dewi Gangga yang melahirkan delapan
13
Indra Tranggono, “Festival Teater Jogja 2009: Menjebol ‘Mainstream’ Media Teater”. Kedaulatan Rakyat, Minggu, 13 September 2009. 14
“Hibah Seni”. Terarsip di: http://www.kelola.or.id/program/arts‐grants. Diakses pada 18 Oktober 2012. 9 wasu (penduduk kahyangan setengah dewata) dengan tujuh di antaranya
dihanyutkan ke sungai sesuai permintaan wasu-wasu itu. Sementara itu, kisah
seorang ibu lain dari kehidupan sosial riil ditampilkan miris: ketujuh anaknya
hilang atau pergi tanpa sepengetahuannya.
Dari situ, bobot cerita disajikan melalui pesan yang berkaitan dengan
perlakuan tak layak yang dialami anak-anak. Dalam latar keluarga, Kintir
mengisahkan anak-anak seringkali mendapat kekangan dari orang tua untuk
bersosialisasi dalam aktivitas bermain dengan teman-teman mereka. Anak sebagai
subyek penderita dari perlakuan orang dewasa lantas mengalah dan patuh pada
orang tua—ayah atau ibu—yang menjejalkan kehendaknya pada anak mereka.
Anak lain terpaksa dan terdorong mencari penghasilan tambahan bagi keluarga
dengan mengemis atau menjajakan makanan dan minuman kecil di jalanan yang
membahayakan keselamatan mereka. Berangkat dari sepotong uraian cerita inilah,
lakon Kintir lantas layak diangkat sebagai obyek analisis untuk mengetahui
bagaimana fungsi komunikasi dalam teks drama sebagai bentuk komunikasi puitik
mengetengahkan realitas sosial, dalam hal ini isu kekerasan terhadap anak.
E. Kerangka Pemikiran
1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse)
Kekerasan terhadap anak merupakan sebuah isu yang cukup menguras
perhatian dan keprihatinan besar masyarakat. Sebagai satu isu penting yang hadir
dan mengisi kehidupan sosial, kekerasan terhadap anak (child abuse) telah
berkembang dan meluas sebagai kajian akademis. Pada awalnya, child abuse
mencuat dalam bidang kesehatan pada lingkup perawatan medis atas anak. Seperti
dicatat oleh Suyanto (2010: 27), pada tahun 1946, seorang radiologis bernama
Caffey menangani kasus multiple fractures pada seorang anak yang menderita
cedera majemuk di bagian tulang panjang dan perdarahan subdural yang sulit
dikenali sebabnya. Selanjutnya dunia medis meneliti kasus ini dan menyebutnya
sebagai kondisi Caffey Syndrome.
10 Selanjutnya berkat temuan data Henry Kempe, seorang pengamat
kesehatan, diketahui bahwa terjadi banyak perlakuan kekerasan pada anak-anak di
rumah sakit. Setidaknya, dari 71 rumah sakit, terdapat 302 tindak kekerasan
terhadap anak-anak, dengan 33 anak meninggal akibat penganiayaan sementara 85
mengalami kerusakan otak
permanen. Henry menjelaskan pada risetnya,
kekerasan yang terjadi pada anak berupa luka-luka berat dan pembengkakan atau
memar. Selain itu, tindak kekerasan berupa kegagalan bagi anak untuk
berkembang secara fisik dan intelektual. Gambaran keadaan ini diistilahkan
dengan Battered Child Syndrome, yaitu “Setiap keadaan yang disebabkan
kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang tua atau
pengasuh lain.”15
Seiring perjalanan waktu, kasus tindak kekerasan itu berkembang dalam
kajian teoretis atau akademis. Hasil analisis atas isu kekerasan terhadap anak ini
sungguh mengejutkan, ternyata kebanyakan penelantaran dilakukan oleh pihak
yang dekat dengan dan bertanggung jawab atas kesejahteraan anak. Lingkungan
sosial terkecil, yakni keluarga, menjelma sebagai tempat terjadinya kekerasan
terhadap anak. Merunut pengembangan kajian masalah kekerasan dan
penelantaran atas anak itu, child abuse lalu dipahami sebagai hambatan atau
penelantaran fisik, mental, dan perkembangan yang terjadi pada anak di bawah
umur 16 tahun akibat tindakan orang yang lebih tua, pengasuhnya, atau pihak di
sekitarnya (Suyanto, 2010: 28).
Tindak kekerasan terhadap anak didorong oleh sejumlah faktor. Tekanan
sosial dalam kehidupan masyarakat seringkali menjadi penyebab mendasar, yakni
sulitnya memperoleh pekerjaan dan tempat tinggal layak. Keluarga-keluarga yang
memiliki persoalan tersebut sangat berpotensi melahirkan tindak penganiayaan
dan penelantaran anak. Selain itu, lingkungan yang tertutup bagi interaksi sosial
antara satu rumah tangga atau keluarga dan keluarga lain adalah penyebab lain
yang besar pengaruhnya (Lestari Basoeki dalam Suyanto, 2010: 32).
15
Henry Kempe. 2010. dalam Bagong Suyanto. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Penerbit Kencana. Hal. 27. 11 Selain itu, pelanggaran hak anak atau kekerasan terhadap anak besar
kemungkinan karena kelonggaran pelaksanaan aturan dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak. Kelemahan perlindungan bagi anak, mencakup lemahnya
penerapan undang-undang, institusi keluarga, sekolah, dan lingkungan di mana
anak-anak hidup, memungkinkan perbuatan kekerasan pada anak bertumbuh
(Kompas, Selasa, 13 Mei 2014). Tindak kekerasan terhadap anak paling banyak
terjadi dalam lingkup rumah (25%), disusul sekolah (19%). Kekerasan terjadi
pula di tempat hiburan dan pusat perbelanjaan (3%). Selebihnya di tempat umum
lainnya, seperti jalan dan terminal.
Seperti terungkap dari hasil kajian lembaga Indonesia Media Monitoring
Centre (IMMC) berupa laporan “Potret Kekerasan Terhadap Anak dalam Media
2011–2012”16, sangatlah ironis menyadari rumah dan sekolah yang seharusnya
menjadi tempat anak mendapat rasa aman, malah menjadi ruang sumber tindak
kekerasan. Menurut Direktur Riset IMMC, Muhammad Farid, selain kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), disfungsi keluarga adalah penyebab kekerasan
terhadap anak.17 Adapun faktor ekonomi turut melatarbelakangi penelantaran dan
eksploitasi anak yang dilakukan ibu kandung.18
Di samping bersifat manifes atau tampak, kekerasan pada anak dapat
berupa kekerasan nonfisik yang berdampak tak kalah memprihatinkan. Kekerasan
terhadap anak biasanya ditandai pula oleh kerugian di segi kesehatan dan
kesejahteraan anak. Terdapat empat jenis kekerasan terhadap anak seperti
diuraikan oleh Suyanto (2010: 29–30), yaitu:
a) Kekerasan Fisik
Kekerasan ini umumnya tampak secara langsung atau kasatmata, baik
sebab maupun efeknya. Kekerasan fisik ini dapat berupa tindakan menampar,
16
“Potret Kekerasan Terhadap Anak dalam Media 2011–2012”. 2012. Terarsip di: http://www.immcnews.com/Topik‐Terbaru/kekerasan‐terhadap‐anak.html#ovlqi_20. Diakses pada Senin, 22 Oktober 2012. 17
“IMMC: Rumah dan Sekolah Rentan Tindak Kekerasan Anak”. Op. cit. 18
“Sosial: Pelaku Kekerasan”. Terarsip di: http://www.immcnews.com/Hari‐Anak‐2012/sosial‐
pelaku‐kekerasan.html Diakses pada Senin, 22 Oktober 2012. 12 menendang, memukul atau meninju. Ia juga tampak dalam perlakuan mencekik,
mendorong, menggigit, membenturkan, dan mengancam anak dengan benda
tajam.
b) Kekerasan Psikis
Bila dibandingkan kekerasan fisik, kekerasan psikis cukup sulit diketahui.
Namun, akibat yang ditimbulkan umumnya bertahan dalam waktu lama karena
bersifat psikologis. Sejumlah kekerasan psikis dapat disinyalir berbentuk
penggunaan kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di
depan orang lain atau muka umum, dan melontarkan ancaman dengan kata-kata.
c) Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual di sisi lain menjadi satu bentuk kekerasan terhadap
anak. Kekerasan ini berupa tindakan memaksa atau ancaman untuk melakukan
hubungan seksual. Tindakan ini menyebabkan anak-anak menjadi obyek
kekerasan, baik perlakuan yang terjadi di dalam keluarga, sekolah, ataupun
lingkungan sekitar tempat tinggal anak. Selain mengalami paksaan berhubungan
seksual, mereka kerap disiksa secara menyedihkan.
d) Kekerasan Ekonomi
Selain mengalami bermacam kekerasan yang merugikan secara psikis dan
fisik, anak tak luput pula dari kekerasan ekonomi. Tindak kekerasan ekonomi ini
bahkan biasanya bermula dari keluarga. Ia seringkali muncul dalam bentuk
paksaan orang tua kepada anak yang masih belia untuk turut bekerja
menghasilkan pendapatan bagi keluarga. Hal inilah yang ditengarai bisa
membawa pengaruh luas terhadap masalah sosial terutama di kota besar, yaitu
anak jalanan. Anak-anak yang dalam usia masih sangat muda berjuang dengan
kehidupan sosial yang keras demi memenuhi keinginan orang tua. Dalam wujud
anak yang menjajakan makanan, mengamen, dan mengemis, hak mereka untuk
bersekolah seringkali terabaikan.
13 Sebagai sebuah efek dari kekerasan ekonomi, anak jalanan menjadi satu
problem sosial yang tak luput untuk disimak. Kekerasan ekonomi umumnya lahir
dari kondisi keluarga berkemampuan ekonomi lemah. Demi memenuhi kebutuhan
ekonomi tuntutan orang tuanya, kebanyakan anak jalanan bekerja menjadi
pemulung, tukang semir sepatu, penjual koran, atau pengamen. Mereka ada yang
di jalan sebelum atau sesudah waktu ke sekolah. Tak sedikit pula dari mereka
yang sepenuhnya bekerja di jalanan tanpa menyediakan waktu untuk bersekolah.
Di samping itu, menurut Nafsiah Mboi, kehidupan anak jalanan memiliki
relasi yang tidak intens dengan keluarga dan orang tua mereka. Mereka umumnya
bekerja selama 7–12 jam sehari di jalan. Anak-anak ini ada yang berjualan secara
menyebar sendiri-sendiri di sekitar perempatan berlampu merah dan pusat
transportasi umum, seperti stasiun dan terminal.19
Dengan gambaran tempat yang berbahaya seperti itu, selain mengalami
tindakan eksploitasi dalam keluarga berupa pemaksaan bekerja, anak jalanan
berhadapan dengan aturan hukum yang malah menilai mereka sebagai pelanggar
norma sosial. Ancaman dari aparat hukum pun mengintai keselamatan diri
mereka. Polisi, kamtib, satpam, juga pihak keamanan tak resmi seperti jegger
adalah sebagian pihak yang tak segan menggunakan kewenangannya sebagai
pembenaran atas tindak kekerasan kepada anak jalanan (Nusa Putra, dalam
Mulandar, 1996: 113, 116).
Secara khusus penelitian ini memusatkan perhatian pada gambaran
persoalan kekerasan terhadap anak yang tampak atau direfleksikan dalam lakon
Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai). Pengamatan atas hal tersebut
dikembangkan melalui analisis semiotika fungsi-fungsi komunikasi pada naskah
drama Kintir.
19
Nafsiah Mboi. 1992. CHILDREN AND YOUTH ON THE STREETS; At Risk from Aids… but What Can We Do? Reflections on the Indonesian Situation. Hal. 7. Makalah disampaikan dalam SE Asian Regional Consultation “Health Rights and AIDS Prevention Among Street Youth”, Manila, Filipina, 15–21 November 1992. Hal. 7. 14 2. Wacana Child Abuse Sebagai Realitas Sosial
Berdasarkan beberapa macam tindak kekerasan terhadap anak, terlihat
bahwa kekerasan di kehidupan sosial selalu berlangsung berkaitan dengan
kekuasaan. Kekerasan dan kekuasaan adalah satu kesatuan yang bekerja demi
sebuah tujuan penguasaan satu pihak atas pihak lain. Sebagaimana diungkapkan
Fauzi Fashri (2007: 29), “Kehadiran kekerasan mengandaikan mekanisme
kekuasaan tertentu… Interaksi kekuasaan untuk mendapatkan dominasi
membutuhkan mekanisme obyektif agar dapat diterima oleh individu atau
kelompok yang akan dikuasai.”
Terkait pengamatan perihal isu kekerasan terhadap anak pada lakon Kintir,
ada tiga jenis konsep kekerasan yang perlu diketahui. Tiga pengertian kekerasan
ini meliputi kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor, kekerasan
sebagai produk dari struktur, dan kekerasan sebagai jejaring antara aktor dan
struktur.20 Bahasan terkait konsep kekerasan ini akan dilibatkan untuk
menganalisis lakon Kintir.
Pertama, kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor
dipengaruhi penelitian dalam bidang ilmu biologi, fisiologi, dan psikologi.
Kekerasan mencakup kecenderungan biologis yang didominasi kelainan genetis.
Pada jenis ini, seperti menurut Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler
(dalam Fashri, 2007: 27–28), kekerasan merupakan gambaran tindakan terbuka
juga tertutup, bersifat menyerang dan bertahan, yang disertai kekuatan atas orang
lain. Maka, kekerasan dimaksudkan sebagai tindakan aktor atau kelompok yang
merusak dan merugikan orang lain yang berupa ancaman, teror, pembunuhan,
hingga tindakan fisik lainnya.
Pada konsep kedua, kekerasan dipandang melibatkan peran struktur—
struktur negara dan aparaturnya—yang memungkinkan terjadinya kekerasan.
Dalam prosesnya, kekerasan struktural ini membuat suatu ketimpangan atau
20
Thomas Santoso dalam kata pengantar Teori‐Teori Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002. Dikutip oleh Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol; Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu (Yogyakarta: Juxtapose, 2007), hal. 27. 15 ketidakadilan bagi pihak yang lemah atau inferior. Kekerasan struktural bersifat
tak langsung, laten, statis, dan cenderung stabil di bawah kendali sebuah sistem
tertentu.
Sementara itu, konsep ketiga, kekerasan merupakan rangkaian jejaring
dialektis antara aktor dan struktur. Pandangan ini memadukan pendekatan mikro
dan makro atas penyebab kekerasan. Ia menekankan dialektika kekerasan aktor
dan struktur dengan setiap hubungan kekerasan sehingga membentuk kebertautan
yang berjejaring. Dengan demikian, kekerasan dilihat dalam cakupan ranah yang
luas, yakni, seperti dijelaskan oleh R. Kutz dan Jennifer Turpin (dalam Fashri,
2007: 28), “…kekerasan tidak saja disebabkan oleh faktor psikologis individu,
gejolak biologis, atau faktor sosial-struktural, namun juga disebabkan oleh suatu
hubungan kausal antara struktur, proses, dan perilaku level-personal dan levelglobal.”
Berkaca dari tiga pengertian di atas, tindak kekerasan dalam kehidupan
masyarakat adalah suatu gambaran nyata dan mengandaikan perhatian serius.
Terlebih masalah kekerasan terhadap anak di Indonesia yang sebenarnya jadi
tanggung jawab semua pihak, tak terkecuali pemerintah. Sayangnya, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sebagai institusi yang
membidani urusan perlindungan anak terkesan menomorduakan isu ini.
Padahal hasil pantauan riset lembaga Indonesia Media Monitoring Centre
(IMMC) sepanjang 23 Juli 2011–15 Juli 2012 menggambarkan fakta dampak
yang mengkhawatirkan. Data itu menyatakan anak korban kekerasan kebanyakan
kalangan remaja usia 12–18 tahun. Dua dampak tertinggi dari tindakan kekerasan
terhadap anak adalah dampak psikologis (59%) dan dampak fisik (34%).
Sementara 7% dampaknya berupa kematian anak. Tak hanya itu, kekerasan fisik
dan emosional pada anak sangatlah dominan. Bila dijumlahkan, terdapat 33%
16 kekerasan fisik, 30% kekerasan emosional, serta 23% kekerasan seksual. Data ini
disusul kekerasan berupa penelantaran anak (7%) dan eksploitasi anak (6%).21
Kasus kekerasan terhadap anak juga cenderung terus meningkat setiap
tahun. Seperti dicatat oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA),
dibandingkan 2.413 kasus pada 2010, jumlahnya naik menjadi 2.508 kasus pada
2011.22 Sementara itu, pada 2012 angka kekerasan meningkat lagi mencapai 2.637
kasus, dan pada 2013 menembus 3.023 kasus. Adapun hingga caturwulan pertama
2014, Komnas PA menerima pengaduan kekerasan terhadap anak sebanyak 239
kasus (Majalah Berita Mingguan Tempo, 12–18 Mei 2014, hal. 12). Lalu Komisi
Perlindungan Anak Indonesia menaksir, lebih dari 2.750 kasus kekerasan terhadap
anak terjadi sepanjang 2014. Maka sebagai fenomena yang mengancam
keselamatan penduduk usia di bawah umur ini, child abuse mendesak
diperhatikan untuk diatasi.
Sayangnya, dari sisi publik, pengetahuan atas masalah pemenuhan
kesejahteraan anak dan kesadaran untuk mencegah tindak kekerasan terhadap
anak pun belum tersosialisasi secara baik dan meluas. Asumsi ini ditengarai dari
masih banyaknya tindakan child abuse yang tak tercatat dan belum dilaporkan.
Seperti dibuktikan oleh hasil penelitian Wahana Visi Indonesia (WVI) di daerahdaerah terpencil, masih banyak masyarakat yang melakukan tindakan kekerasan
karena tidak mengetahui adanya UU Perlindungan Anak.23
21
“IMMC: 60 %Kekerasan Terhadap Anak berupa Fisik dan Emosional”. Terarsip di: http://www.immcnews.com/Analisa‐Hari‐Anak‐2012/immc‐60‐kekerasan‐terhadap‐anak‐berupa‐
fisik‐dan‐emosional.html. Diakses pada Senin, 22 Oktober 2012. 22
Ambrosius Harto Manumoyoso dan Agus Mulyadi. 2012. “Di Keluarga Pun Anak Tidak Aman”. Terarsip di: http://megapolitan.kompas.com/read/2012/04/30/23110064/Di.Keluarga.Pun.Anak.Tidak.Aman Diakses pada 4 September 2013. 23
“Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua Gagal Menjaga dan Melindungi Anak”. 2011. Terarsip di: http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/20/negara‐
pemerintah‐masyarakat‐keluarga‐dan‐orang‐tua‐gagal‐menjaga‐dan‐melindungi‐anak/ Diakses pada 4 September 2013. 17 Terkait persoalan ini, pada sisi pemberitaan, efektivitas pemberitaan di
media massa mengenai masalah child abuse terbilang masih minim. Dari sekian
banyak isu sosial, belum banyak wartawan dalam negeri yang meminati persoalan
sosial anak. Padahal sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak pasal 17 (a),
media massa mengemban peran menyebarluaskan informasi dan materi yang
bermanfaat secara sosial dan budaya bagi anak. Kecuali itu, terhadap persoalan
anak yang kurang beruntung dan tersisihkan, para jurnalis seringkali menyertakan
pandangan stereotip yang menempatkan anak-anak bermasalah itu dalam
kacamata “pengganggu ketertiban”, “perusak pemandangan kota”, ataupun
“sumber kejahatan”.24
Berhubung kondisi kekerasan terhadap anak yang mengkhawatirkan
tersebut, selayaknya pemerintah dan lembaga sosial terkait isu ini mengerahkan
usaha dan perhatian lebih. Namun hingga waktu belakangan ini, kekerasan
terhadap anak masih menjadi perihal yang mendapat perhatian minim pemerintah.
Terhadap kedudukan anak yang lemah dan rentan, pemerintah cenderung
menuding kondisi perekonomian yang krisis sebagai penyebab. Sementara itu,
aturan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang berlaku saat ini belum
diterapkan secara tegas dan maksimal. Sulit terbantahkan bila penanganan
masalah kekerasan terhadap anak seakan tak kunjung bergegas dikelola oleh
negara secara serius sebagai persoalan yang penting.
3. Drama Sebagai Bentuk Komunikasi Puitik
a. Naskah Drama sebagai ‘Media’ Seni Teater
Kata “drama” berakar dari bahasa Yunani, draomai, yang berarti berbuat,
berlaku, bertindak, ataupun bereaksi. Segala perbuatan atau tindakan dapat
diartikan sebagai drama. Rene Wellek dan Austin Warren mengungkapkan, drama
merupakan salah satu genre sastra selain epik dan lirik yang telah diakui sejak
24
Kyailala Aiya. 2011. “Media Massa dan Konvensi Hak Anak”. Terarsip di: http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/09/media‐massa‐dan‐konvensi‐hak‐anak/ Diakses pada 11 Oktober 2012. 18 zaman Aristoteles dan Plato (Sahid, 2004: 25). Di samping itu, arti lain drama
adalah “kualitas komunikasi, situasi, action, (segala apa yang terlihat dalam
pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting), dan ketegangan pada
pendengar atau penonton.”25
Dalam perkembangannya di ranah publik, maksud drama dan teater sangat
bertalian. Secara konseptual, kedudukan “drama” menekankan fokusnya sebagai
genre sastra, mencakup naskah atau teks beserta elemen cerita di dalamnya.
Sedangkan “teater” berkutat perihal seni pertunjukan dan akting (Hasanuddin,
1996: 7). Istilah The Theatre berasal dari kosakata Yunani, theatron, yang
mengacu pada tempat aktor mementaskan sebuah drama dan ditonton oleh banyak
orang. Adapun theatre, disebutkan dalam Encyclopedia of Britanica bagian Art of
the Theatre, bermula dari kesenian pada masa Yunani Klasik. Ia diserap dari kata
theomai yang berarti melihat.26
Hubungan yang erat antara drama sebagai karya sastra dan seni
pertunjukan menunjukkan karakteristik drama yang unik. Sebagai sebuah karya
sastra, drama berwatak khas yang membedakannya dari karya fiksi lain. Puisi,
cerpen, dan novel dapat dinikmati pembaca seusai tuntas ditulis, sedangkan drama
tidak. Drama digubah untuk dipentaskan dan membangun kisah peristiwa dengan
sebagian besar bertumpu pada dialog-dialog. Sebagai sebuah karya sastra, drama
memiliki keistimewaan terkait maksud penulis lakon yang tak sekadar
mengomunikasikan khayalan karakter serta kejadian lewat cerita tapi juga
dihidupkan di atas panggung (Dewojati, 2010: 3).
Karakter drama tersebut menunjukkan bahwa teks drama merupakan
media bagi seni teater. Ini senada dengan ungkapan Edmund Burke Feldman
bahwa dalam kesenian, media dimaksudkan sebagai “bahasa pengantar yang
dimanfaatkan untuk membentuk material menjadi suatu bentuk artistik”.27
25
RMA Harymawan. 1993. Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal. 1. Cahyaningrum Dewojati. 2010. Drama; Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 12, 13. 27
Edmund Burke Feldman. 1990. Art as Image and Idea. Terj. Sp. Gustami, SU. Yogyakarta: Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Hal. 332. 26
19 Berdasarkan uraian di atas, maka lakon merupakan gagasan tertulis yang menjadi
kerangka atau dasar cerita yang hendak dipertunjukkan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa drama adalah suatu genre sastra yang ditulis dalam bentuk
dialog-dialog dengan tujuan dipentaskan sebagai suatu seni pertunjukan.
b. Fungsi Sosial Teater dan Naskah Drama
Sebagaimana karya kesenian, drama membawa faedah bagi kehidupan.
Kegunaan mendasar dari nilai kesenian, menurut Edmund Burke Feldman, ialah
memperbarui suatu pandangan individu terhadap kondisi mutakhir lingkungan.
Seni juga mendorong upaya pengujian, pembaruan, atau ide alternatif bagi
perkembangan kehidupan. Selaras dengan itu, Aristoteles memandang bahwa
berhubung fungsi sosialnya, drama mengandung proses kreatif untuk menggubah
cerita dan citra segar berdasar ide dari lingkungan sekitar (Sahid, 1997: 12). Oleh
sebab itulah drama sebagai karya seni memiliki fungsi sosialisasi yang
menjangkau kepentingan khalayak luas. Drama berpotensi menjadi wahana
berkomunikasi dan saluran efektif dalam menyampaikan wacana atau isu sosial
yang patut diketahui masyarakat.
Di titik itulah seni pertunjukan memiliki posisi penting pula sebagai
wahana budaya massa, di samping film, musik, dan sastra pop.28 Ini adalah
keniscayaan karena, menurut R.M.A Harymawan, drama yang dihadirkan melalui
pertunjukan teater menjumpai khalayak umum atau penonton dalam rupa
pengisahan kehidupan manusia “dengan media: percakapan, gerak dan laku,
dengan atau tanpa dekor, didasarkan pada naskah yang tertulis dengan atau tanpa
musik, nyanyian, tarian.”29
Mengingat sifat drama yang dua dimensi, sebagai seni pertunjukan dan
karya sastra, naskah drama atau lakon berfungsi sebagai bahasa pengantar yang
mengalihkan suatu gagasan atau tema menjadi karya sastra. Sementara bagi
28
Umar Kayam. 1999. dalam Suroso. “Mengemas Nilai‐Nilai Tradisi Melalui Sinetron”. Seni, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, edisi VII, Agustus 1999. Yogyakarta: Badan Penelitian ISI Yogyakarta. Hal. 7. 29
Harymawan. Op. cit. Hal. 2. 20 kepentingan pertunjukan teater, teks drama berperan vital dalam memuat
“kejadian”, “risalah” juga “karangan” (Oemarjati, 1971: 14). Di dalam naskah
drama, terkandung sejumlah pesan yang akan dapat diterima masyarakat luas bila
disampaikan secara pandang-dengar. Melalui lakon, proses komunikasi dan
transformasi simbol-simbol budaya kepada masyarakat dan lingkungan dapat
dilangsungkan hingga menjangkau audiens (Wastap, 2007: 2). Seperti dikatakan
Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo (1984: 53), suatu ide yang masih abstrak akan
semakin mudah dipahami masyarakat penonton lewat “pendramatisasian situasi
atau kondisi di mana dipentaskan kelakuan, sikap ataupun tindakan seseorang
dalam hubungannya dengan sesama, kelompok, atau masyarakat.”
Nur Sahid (1997: 2) pun mengungkapkan, kehadiran teater berfungsi
sosial bagi kepentingan ritual, hiburan, fungsi edukasi, dan politik. Atas fungsi
politik teater dalam lingkup luas, Kartodirdjo (1984: 53–54) memandang urgensi
fungsi sosio-drama bagi pelaksanaan pembangunan masyarakat. Hal ini
diwujudkan dengan konkretisasi cerita dengan konteks kekinian demi
memungkinkan masyarakat yang menyaksikan pertunjukan teater mendapatkan
suatu pembelajaran dalam memandang suatu tantangan riil yang mereka hadapi
dan cara menyikapinya.
Sebagai sebuah ungkapan gagasan lewat media kesenian, teater akan
berangkat dari menanggapi secara ekspresif pandangan umum di kehidupan
sosial. Hal ini karena kebutuhan awal penghadiran sebuah bentuk ekspresi ialah
menjawab dan mengenali arus utama dalam ruang sosial (social-sphere). Pada
langkah berikutnya, seorang seniman bersikap setuju atau tidak setuju atas arus
utama tersebut. Teater, salah satu wujud ekspresi itu, pun tidak terpisah dari alam
pikiran lingkungan yang menjadi ruang hidupnya. Dari situ teater hadir dalam
fungsi instrumental yang bermakna sebagai sarana ritual dan berfungsi horisontal
21 dalam komunitas pelakunya. Seperti diuraikan oleh Ashadi Siregar30, dari kedua
akar ini kemudian budaya teater dipelihara dan diperkembangkan.
Sehubungan dengan sarana ritual, teater berperan mengatur anggota
pelaku teater dalam keperluan relasinya dengan Tuhan. Persiapan dan pelaksanaan
kegiatan berteater untuk sarana ritual ini maka dilangsungkan secara serius
sebagaimana keperluan ibadah kepada “yang di atas”. Di sisi lain fungsi
horisontal teater adalah sarana bermain-main bagi komunitas untuk memelihara
hubungan di antara anggota komunitas seniman. Dalam lingkup komunitas, teater
menyokong terpeliharanya nilai-nilai yang menjadi landasan dan identitas
komunitas.
Pada konteks penelitian ini, masalah kekerasan terhadap anak merupakan
wacana sosial yang memperoleh respons dan penyikapan melalui naskah drama
berjudul Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai). Bibit perlakuan yang tak
manusiawi pada anak berkaitan kuat dengan pandangan dominan yang hidup
dalam kehidupan
masyarakat.
Anak
menjadi
subyek
yang
mengalami
ketidakadilan lantaran hak-haknya tidak mampu terpenuhi oleh pihak lain atau
lingkungan sosial tempat anak menyandarkan hidup.
Sesungguhnya
sebuah
ketidakadilan
dilatarbelakangi
kondisi
ketidaksetaraan (inequality) dalam kehidupan sosial, yakni dari kegagalan
seseorang mendapatkan haknya juga kekuasaan yang menghambat dalam
pengwujudan hak seseorang. Ketidakadilan adalah pembiaran atau tindakan yang
menyebabkan seseorang atau kolektivitas tidak dapat memperoleh dan
mewujudkan hak-haknya.
Sebagaimana tercermin dari perjuangan aktivis wanita Eglantyne Jebb,
upaya menegakkan keadilan bagi anak mencuat karena dampak parah Perang
Dunia I pada 1923. Melalui wadah perlindungan anak korban perang bernama
30
Ashadi Siregar. Gender Dalam Bingkai Drama. Makalah pada Lokakarya Perempuan Penulis Naskah Drama Berperspektif Gender, Institut Seni Indonesia Yogyakarta – Dewan Kesenian Jakarta, Yogyakarta 13–15 Januari 2005. Terarsip di: http://ashadisiregar.com/05_komunikasibudaya/ Diakses pada 19 Maret 2014. 22 Save the Children Fund International Union, Jebb menyerukan kepedulian atas
kaum perempuan dan anak korban peperangan di Balkan, Rusia. Pada gilirannya
api gerakan ini menjadi rintisan bagi tercetusnya pokok pernyataan hak anak dan
masukan bagi deklarasi hak anak dunia (Supeno, 2010a: 28–29).
Selain itu, kenyataan sosial dalam kehidupan masyarakat pun kuat
berlandaskan pandangan atau nilai dominan patriarki. Pandangan yang
mengasumsikan dominasi kuasa kaum pria (bapak) ini menjabarkan diri sebagai
landasan perspektif gender dan faktor penyebab masalah ketidakadilan dalam
beragam bentuk.31 Contohnya, sebagaimana menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra
dkk. (dalam Suyanto, 2010: 32), hubungan asimetris antara anak dan orang
dewasa menjadi akar berbagai tindak kekerasan orang dewasa kepada anak.
Disadari atau tidak, orang tua dan anak ditempatkan sebagai dua pihak yang
saling bersinggungan. Sebab keduanya berada dalam posisi yang tidak setara:
anak lebih rendah dan lebih lemah, sementara orang tua terus menguntungkan diri
sendiri dengan menanam dan menumbuhkan pemikiran ini kepada anak. Secara
praktikal, hubungan kultural berlangsung asimetris pula dari anak kepada orang
tua atau yang lebih tua.
Terhadap nilai dominan patriarki itulah, suatu ekspresi kesenian yang
menemui publik lewat teater atau secara khusus naskah drama Kintir, melahirkan
respons dan kreasi. Hasil pemaknaan nilai dominan akan terlihat dalam bentuk
rangkaian struktur kisah yang tertuang pada lakon tersebut. Bagi si pelaku seni,
setuju ataupun tidak atas pandangan dominan atau arus utama ialah sebuah pilihan
paradigmatis: apakah akan menjadi bagian dari arus utama tersebut, ataukah
berusaha keluar sehingga menjadi arus lain (sub-altern). Ia ditentukan oleh
bagaimana pandangan yang dimiliki para kreator dalam komunitasnya
dibandingkan nilai dominan dalam konteks sosial lebih luas. Selanjutnya, melalui
rupa ekspresi konkret karya yang dihasilkan, akan dapat dicermati fungsi sosial
yang dijalankannya.
31
Ibid. 23 Siregar menjelaskannya:
“Makna (meaning) sebagai apa yang dianggap benar dari suatu teater dengan
sendirinya paralel atau dimaksudkan untuk menjaga nilai dominan dalam
komunitas. Dengan begitu urutan berpikir dalam keberadaan teater adalah
nilai dominan dalam komunitas, pemaknaan nilai dominan, dan fungsi
teater.”32
c. Naskah Drama dalam Kajian Komunikasi Puitik
Sebagai sebuah teks sastra yang melibatkan fungsi refleksi atas kenyataan
sosial, maka selain sebagai media bagi seni teater, lakon juga memiliki urgensi
sebagai saluran penyampai amanat sosial. Namun, dibanding media komunikasi
lainnya yang digunakan secara lebih masif, lakon mengandung maksud pesan
yang lebih tersembunyi sebab berkarakter sastra. Dibandingkan praktik
representasi yang bekerja pada tampilan atau isi media massa, muatan dalam
karya sastra cenderung lebih mengesankan sebagai refleksi atas kenyataan.
Terkait hal ini, Graeme Turner (1991: 128) mengungkapkan, refleksi berbeda
dengan representasi realitas. Refleksi tidak akan merombak susunan konten
realitas yang akan disampaikan kembali kepada masyarakat, sedangkan
representasi adalah hasil seleksi dari realitas.
Pada teks berupa karya sastra, proses komunikasi antara pengarang dan
pembaca terjadi dengan cara unik, yaitu, seperti diungkapkan Tuti Kusniarti,
“menggunakan media bahasa yang netral dan diubah menjadi suatu aspek
estetika.” Maka dari itu, pengamatan atas karya sastra dengan fungsinya sebagai
wahana komunikasi membutuhkan pemahaman bahwa ia disusun dengan tendensi
menyampaikan
wacana
yang
“membuahkan
efek
keindahan
tertentu.”
Sebagaimana karakter sastra yang multiinterpretatif dan khas, perlu pengertian
khusus untuk memaknai drama (Sobur, 2009: 141).
Menurut Aminuddin (dalam Sobur, 2009: 142), efek keindahan yang
terkandung dalam sebuah karya sastra diamati tidak berdasar pada semesta
32
Ibid. 24 pembicaraan di luar wacana sastranya. Sebaliknya, elemen yang berada di dalam
lakonlah kemudian yang akan disimak, mengingat fungsinya yang kuat melekat
dengan wacana yang diusung. Komunikasi dalam ruang lingkup sastra ini
dipandang sebagai ragam komunikasi puitik. Sementara bagi Roman Jakobson,
sastra dengan demikian diperlakukan sebagai gejala komunikasi puitik.33
Penyikapan teks drama sebagai gejala komunikasi puitik maka perlu dilakukan
dengan lengkap.
Walaupun dimensi seni pertunjukan dan karya sastra dalam drama
merupakan suatu kaitan yang utuh menyatu, elemen di dalam masing-masing
dimensi itu samasekali berlainan. Oleh karena itu, antara drama dari sisi sastra dan
seni pertunjukan tak dapat dicermati dalam sekali waktu, terlebih bila
dipersamakan perlakuannya. Berhubung penelitian ini ditujukan bagi analisis atas
naskah drama, maka sudut pandang yang dipakai dititikberatkan pada aspek
drama sebagai karya sastra. Dengan demikian, kedudukan naskah drama selaku
teks sastra perlu dipahami benar untuk dapat dianalisis. Ia harus disendirikan dari
elemen-elemen lain yang terlibat bila ia dikaji dari dimensi seni pertunjukan.
Hasanuddin (1996: 10–13) menyebutkan beberapa ciri khas drama dalam
konteks dimensi sastra. Secara ringkas, ciri-ciri drama ini meliputi: (1) lakon
secara ketat dan lugas melukiskan unsur-unsur intrinsik, (2) gagasan pengarang
lakon terungkap melalui dialog tokoh-tokoh, (3) peristiwa dalam drama secara
keseluruhan dikisahkan melalui dialog, (4) lakon berkarakter unik yang tidak
sepenuhnya sama dengan karya sastra, dan (5) drama selalu memuat konflik yang
dibangun melalui dialog.
Selain itu, mengingat kedudukan lakon sebagai karya seni yang
mengisahkan
dan
bukan
menyatakan,
pemaknaan
atas
naskah
drama
membutuhkan relevansinya dengan konteks pembicaraan yang sehubungan
dengan perihal yang direfleksikannya. Penelitian ini secara khusus bertujuan
mendeskripsikan fungsi komunikasi melalui naskah drama atau lakon. Lewat
33
Roman Jakobson. 1987. dalam Krystina Promorska dan Stephen Rudy (ed.). Language in Literature. London: Harvard University Press. Hal. 71. 25 analisis semiotika bermodel komunikasi Roman Jakobson, lakon Kintir sebagai
bentuk komunikasi puitik hendak dikaji seperti apa gambaran dan caranya
merefleksikan wacana kekerasan terhadap anak (child abuse). Maka pembahasan
mengenai perlindungan anak menjadi acuan topik pembicaraan.
F. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini bersifat deskriptif-eksplanatif.
Penelitian ini diarahkan untuk mendeskripsikan temuan yang menjawab
pertanyaan “bagaimana” dalam rumusan masalah. Relevan dengan sifat penelitian
deskriptif-eksplanatif, rumusan masalah akan diteliti dengan pendekatan subjektif
dan metode kualitatif. Analisis dilakukan dengan metode semiotika dengan
maksud mendapatkan hasil lebih mendalam dan memadai untuk menguraikan
jawaban atas rumusan masalah dan tujuan penelitian. Selain itu analisis semiotika
dikembangkan sebagai pisau bedah yang menjelaskan bentuk dan fungsi
komunikasi yang terdapat dalam naskah drama Kintir, terutama yang
merefleksikan persoalan kekerasan terhadap anak.
Sebuah teks drama yang berisikan sejumlah pesan umumnya kemudian
disajikan dalam bentuk pementasan drama yang mengandung nilai simbolik dan
artistik. Sebagai karya sastra berupa kisah yang dituangkan secara tertulis, drama
merupakan buah cipta, rasa, dan karsa manusia yang mengandung komponen
budaya yang intens. Dengan pijakan itulah, keterkaitan antara studi komunikasi
dan budaya penting dikemukakan dalam penelitian ini. Sebagaimana diungkapkan
John Fiske (2007: xi) bahwa “Tanpa komunikasi kebudayaan dari jenis apapun
akan mati. Konsekuensinya, studi komunikasi melibatkan studi kebudayaan yang
dengannya ia terintegrasi.”
Fiske (2007: 8–9) menjelaskan bahwa pada studi komunikasi dan
kebudayaan terungkap keberadaan semiotika sebagai satu unsur penting. Dalam
kajian komunikasi terdapat dua mazhab utama, yaitu Mazhab Proses dan Mazhab
Semiotika. Mazhab Proses intinya melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia
26 berkutat pada bagaimana pengirim dan penerima mengonstruksi pesan (encode)
dan
menerjemahkannya
(decode),
dan
dengan
bagaimana
transmitter
menggunakan saluran dan media komunikasi. Mazhab Proses maka cenderung
memusatkan perhatian pada tindakan komunikasi dengan mempergunakan ilmu
sosial, terutama psikologi dan sosiologi.
Sementara itu, Mazhab Semiotika berkenaan dengan bagaimana pesan
atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna.
Sebab itulah studi komunikasi dalam mazhab ini berkenaan dengan kajian peran
teks dalam kebudayaan kita. Mazhab Semiotika cenderung mempergunakan
linguistik dan subjek seni, dengan memusatkan pengamatan atas karya
komunikasi. Metode pengkajiannya terutama ialah semiotika atau ilmu tentang
tanda dan makna.
Pemahaman atas apa yang membentuk sebuah pesan juga berbeda
antarkedua mazhab tersebut. Jika Mazhab Proses memahami pesan sebagai
sesuatu yang ditransmisikan melalui proses komunikasi, semiotika melihat pesan
sebagai suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima
menghasilkan makna. Oleh sebab itulah, sementara Mazhab Proses memaknai
pesan sebagai apa yang pengirim sampaikan dengan sarana apapun, Semiotika
menempatkan peran penting keaktifan pembaca dalam interaksinya dengan teks.
Di antara perspektif komunikasi sebagai transmisi (Mazhab Proses) dan
Mazhab Semiotika ada sebuah model komunikasi yang menjembatani keduanya.
Ia adalah model komunikasi menurut Roman Jakobson yang relevan menjadi
“kacamata” guna mengamati sastra sebagai gejala komunikasi puitik. Di samping
itu, model komunikasi Jakobson adalah model yang memadukan kedua mazhab
tersebut.34 Dalam penelitian ini, model komunikasi Jakobson dipergunakan
sebagai pedoman metode analisis semiotika dalam mengamati teks sastra, yakni
naskah drama Kintir.
34
John Fiske. 2007. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Hal. 37. 27 2. Teknik Analisis
Terkait sifat penelitian tersebut, analisis bertumpu pada keaktifan peneliti
dalam memahami teks drama Kintir sebagai obyek material penelitian. Mengingat
naskah drama atau lakon mengungkapkan realitas atau persoalan sosial secara
tidak langsung, maka analisis semiotika cocok untuk dipakai guna mendapatkan
kejelasan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.
Secara etimologis, istilah semiotik berakar kata dari bahasa Yunani
semeion yang bermakna “tanda”. Umberto Eco mengatakan bahwa tanda itu
sendiri didefinisikan sebagai sesuatu dengan dasar konvensi sosial yang terbangun
sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.35 Tanda-tanda yang ada
dalam dunia kita inilah yang dapat merepresentasikan ataupun mengungkapkan
makna yang tersembunyi di balik sebuah realitas.
Pengertian semiotika sebagai teknik analisis dalam penelitian ini perlu
dipahami secara mendasar. Semiotika umumnya didefinisikan sebagai the study of
signs ‘pengkajian tanda-tanda’, yakni sistem apapun yang membantu kita
memandang entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sesuatu yang bermakna.
Terdapat dua pemikiran mendasar semiotika. Sementara Charles Sanders Peirce
memandang semiotika sebagai sebuah doktrin formal tentang tanda-tanda yang
bercabang dari filsafat, Ferdinand de Saussure mengamatinya dengan sebutan
semiologi dan mencakup disiplin psikologi sosial, yaitu merupakan suatu ilmu
yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat (Budiman, 2011: 3).
Meskipun ada perbedaan sebutan semiotika dan semiologi, keduanya
merujuk pada perihal yang sama, sebagaimana menurut John Fiske, “The study of
signs and the way they work is called semiotics or semiology.”36 Pembedaan
istilah itu terutama menunjukkan tradisi keilmuan yang melandasi perkembangan
semiotika. Terence Hawkes (dalam Budiman, 2011: 4) menjelaskan, semiologi
35
Alex Sobur. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2001. Hal. 95. 36
John Fiske. 1990. Introduction to Communication Studies. London: Routledge. Hal. 40. 28 lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi tradisi linguistik Saussurean;
sedangkan istilah semiotika cenderung dipakai oleh pewaris tradisi Peircian.
Sebagai ilmu yang dilahirkan dari rahim ilmu bahasa, dalam perkembangannya,
semiotika masuk ke berbagai aspek kehidupan manusia. Pemakaian analisis
semiotika pun mencakup penelitian mengenai fenomena komunikasi.
Karya sastra merupakan salah satu bentuk komunikasi dalam kehidupan
manusia. Melalui rupa jalinan cerita rekaan, sebuah karya sastra memiliki aspek
ruang dan waktu yang secara utuh hadir sebagai sebuah tanda. Karya sastra yang
meniru ataupun sekadar diinspirasi oleh kenyataan sosial seringkali memuat
pertandaan yang berkaitan erat dengan semiotika. Hal ini ditekankan Sobur (2009:
141) bahwa “Dari dua tataran (level) antara mimetik dan semiotik (atau tataran
kebahasaan dan mitis) sebuah karya sastra menemukan keutuhannya untuk
dipahami dan dihayati.”
Komunikasi dalam wacana sastra ditujukan untuk membuahkan efek
keindahan tertentu. Hal ini menjelaskan adanya perlakuan khusus atas karya
sastra, termasuk teks drama atau lakon. Menurut Aminuddin (dalam Sobur, 2009:
142), efek keindahan yang terkandung dalam sebuah karya sastra diamati tidak
berdasar pada semesta pembicaraan di luar wacana sastranya. Sebaliknya, elemen
yang berada di dalam naskah lakonlah kemudian yang akan disimak, mengingat
fungsinya yang kuat melekat dengan wacana yang diusung. Komunikasi dalam
ruang lingkup sastra ini dipandang sebagai ragam komunikasi puitik. Sementara
bagi Roman Jakobson, sastra dengan demikian diperlakukan sebagai gejala
komunikasi puitik.37
Sebagai pencetus pandangan tentang komunikasi puitik, Jakobson melalui
akar disiplin linguistik menjelaskan kedudukan utama bahasa puitik dalam studi
atas karya sastra. Dia berangkat dari pertanyaan atas bahasa puitik yakni “Apa
yang membuat pesan verbal menjadi karya seni?”. Bahasa puitik yang adalah seni
verbal dan perilaku verbal memiliki kekhususan yang membuatnya berbeda
37
Roman Jakobson. 1987. dalam Krystina Promorska dan Stephen Rudy (ed.). Language in Literature. London: Harvard University Press. Hal. 71. 29 dengan seni-seni lainnya. Kekhususan yang membedakan (differentia spesifica)
dari bahasa puitik inilah yang mendasari pentingnya pengamatan atas bahasa
puitik dalam studi sastra.38
Terkait uraian komunikasi puitik tersebut, semiotika memberikan
sumbangan fungsional bagi kemajuan penelitian drama dan teater sebagai bentuk
komunikasi. Secara khusus pada penelitian ini semiotika diarahkan untuk
mengkaji naskah drama. Hal ini sebagai pilihan pokok studi dari dua cakupan
kajian semiotika, meliputi ranah teks drama (dramatic text) dan pertunjukannya
(performance text) (Aston dan Savona dalam Nur Sahid, 2004: 18). Sebab di
samping semiotika dalam kajian pertunjukan teater yang menghadirkan alat
analisis bahasa gambar, fisik, dan auditif, semiotika memungkinkan penelaahan
mendalam teks drama secara struktural.39
Berdasar uraian tersebut, analisis semiotika Roman Jakobson akan
diterapkan dalam penelitian ini. Relevansi dan kesesuaian penggunaannya
disebabkan dua hal utama:
Pertama, Jakobson adalah salah seorang teoretikus yang pertama-tama
berusaha menjelaskan proses komunikasi teks sastra. Berlatar belakang
konsentrasi studi ilmu bahasa atau linguistik, Jakobson menjadi seorang
pengembang semiotika klasik. Dialah ahli linguistik abad kedua puluh yang
pertama kali meneliti secara serius pembelajaran bahasa dan fungsi bahasa.
Pemikiran awalnya yang penting, seperti dipaparkan John Lechte, adalah
penekanannya pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran
metafor retoris (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan). Pada tahun 1914
Jakobson memasuki fakultas historiko-fisiologis di Universitas Moskow dan
38
Roman Jakobson. 1992. “Linguistik dan Bahasa Puitik”. dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed.). Serba‐Serbi Semiotika. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. hal. 65. 39
Nur Sahid. Semiotika Teater. (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2004). Hal. 29, mengutip Elain Aston dan George Savona, Theatre as Sign‐System: A Semiotics of Text and Performance (London: Routledge, 1991), hal. 10. 30 bagian bahasa di Jurusan Slavia dan Rusia. Telaah bahasa menjadi kunci
pemikirannya dalam memahami sastra dan folklore (cerita rakyat).40
Kedua, dalam artikelnya yang terkenal, Linguistic and Poetics, Jakobson
menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda yang merupakan faktor-faktor
pembentuk setiap jenis komunikasi verbal (Rien T. Segers dalam Sobur, 2009:
57). Jakobson menawarkan suatu pandangan yang menjelaskan model komunikasi
yang relevan dikembangkan dalam kajian ilmu komunikasi, dalam hal ini
komunikasi teks sastra. Model komunikasi yang menjadi konsep analisis
semiotika Jakobson ini cocok dipakai mengingat kedudukan lakon sebagai salah
satu karya sastra.
Dalam komunikasi teks sastra, menurut Jakobson, secara mendasar
terdapat enam elemen dalam tindak komunikasi beserta fungsinya masing-masing.
Enam elemen serta fungsi komunikasi ini meliputi elemen pembicara atau
pengirim (fungsi emotif), konteks pertuturan (fungsi referensial), pesan (fungsi
puitik), kontak (fungsi fatis), kode sebagai wahana encoding dan decoding (fungsi
metalingual), dan pendengar atau penerima (fungsi konatif) (Jakobson dalam
Sobur, 2007: 143).
Elemen dan fungsi-fungsi komunikasi menurut model komunikasi Roman
Jakobson terlihat dalam skema berikut.
Bagan 1. Elemen dan Fungsi Komunikasi Menurut Roman Jakobson41
KONTEKS (referensial)
PESAN (puitik)
PENGIRIM (emotif)
PENERIMA (konatif)
KONTAK (fatis)
KODE (metalingual)
40
John Lechte. 2009. Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 55 dan 57. 41
Lihat Fiske. 2007. Op. cit. hal. 52. 31 Secara ringkas, faktor-faktor pembentuk dalam setiap situasi ujaran atau
komunikasi verbal itu membangun skema fungsi-fungsi komunikasi dalam sastra.
Sebagaimana dijelaskan oleh Jakobson:
“Pengirim mengirim pesan pada penerima. Agar dapat beroperasi, pesan
memerlukan konteks yang diacu yang dapat ditangkap oleh penerima
pesan, baik verbal maupun yang dapat diverbalkan; kode yang sepenuhnya
atau setidak-tidaknya sebagian dikenal oleh pengirim dan penerima; dan
akhirnya suatu kontak yang menghubungkan si pengirim dan penerima
pesan secara fisik dan secara psikologis, yang memungkinkan keduanya
untuk melakukan komunikasi.”42
Elemen-elemen komunikasi puitik menurut Jakobson (dalam Danesi,
2011: 122–123) ini dirincikan sebagai berikut:
1) Pembicara/pengirim yang memulai percakapan
2) Pesan yang akan disampaikan pengirim, dan ia paham bahwa pesan itu
pasti mengacu pada hal selain pesan itu sendiri
3) Penerima yang merupakan penadah termaksud dari pesan
4) Konteks
yang
menyediakan
kerangka
untuk
menyandikan
dan
menguraikan pesan
5) Mode atau jenis kontak yang digunakan untuk menghantarkan pesan
antara pengirim dan penerima
6) Kode yang berisi tanda-tanda untuk menyandikan dan menguraikan pesan
Keenam fungsi komunikasi yang melekat dengan setiap elemennya dapat
dijelaskan sebagai berikut43:
1) Fungsi emotif atau ekspresif. Fungsi yang berfokus pada pembicara ini
menunjukkan ekspresi langsung dari sikap pembicara terhadap apa yang
42
43
Jakobson. Op. Cit. hal. 69–70. Lihat Jakobson. Ibid. hal. 70–79. 32 dibicarakan. Melalui fungsi ini terlihat kesan emosi tertentu, baik kesan
bersungguh-sungguh ataupun yang dibuat-buat.
2) Fungsi puitik. Perangkat tentang pesan yang berfokus pada elemen pesan
disebut
fungsi
puitik
bahasa.
Terhadap
fungsi
ini
Jakobson
memperingatkan bahwa fungsi puitik bukan satu-satunya fungsi dalam
seni bahasa, melainkan fungsi yang paling menentukan dan mendominasi.
Hal ini berbeda dalam kegiatan verbal lain, di mana puitik hanyalah fungsi
pelengkap saja. “Fungsi ini yang dengan giat mengembangkan kejelasan
tanda, lebih memperdalam dikotomi fundamental antara tanda dan benda.
Karena itu, apabila kita membicarakan fungsi puitik, fungsi ini tak dapat
dibatasi pada puisi saja dalam linguistik.”44
Dalam mempelajari fungsi puitik haruslah menyertakan masalah umum
dalam bahasa sehingga kajiannya tidak sebatas karya puisi. Adapula
perhatian penuh atas fungsi puitik dibutuhkan dalam penelitian
kebahasaan.
3) Fungsi konatif. Fungsi ini berorientasi pada penerima. Wujudnya berupa
ekspresi tanggapan gramatikal yang paling murni dalam bentuk vokatif
dan imperatif yang menyimpang dari kategori nominal dan verbal lainnya.
Jakobson memberi permisalan dengan membedakan kalimat imperatif dari
kalimat deklaratif. Tak seperti kalimat deklaratif, pada kalimat perintah
atau imperatif tes kebenaran tidak dapat dikenakan.
4) Fungsi referensial. Fungsi yang seperangkat dengan dan berorientasi pada
elemen konteks atau ‘referen’ ini disebut pula fungsi “kognitif” dan fungsi
“denotatif”. Menurut Jakobson, fungsi referensial merupakan tugas utama
sejumlah besar pesan. Meskipun demikian, fungsi lain dalam suatu pesan
haruslah diperhatikan pula. Adapun Buhler (dalam Jakobson, 1966)
memandang bahwa fungsi emotif, konatif, dan referensial merupakan tiga
44
Ibid. hal. 75. 33 fungsi mendasar dalam model bahasa secara tradisional atau yang paling
sederhana.
5) Fungsi fatis, mengacu pendapat Malinowski, ialah fungsi yang dapat
diperagakan dengan tukar-menukar ritus formula, dengan dialog yang
lengkap semata-mata untuk menciptakan, memperpanjang, atau memutus
percakapan/komunikasi. Fatis juga mewujud dalam pesan yang bertujuan
pokok meneliti kembali apakah komunikasi berjalan dengan baik atau
tidak, dan untuk menarik perhatian pendengar atau untuk memastikan
perhatian pendengar secara terus-menerus.
Fungsi fatis juga merupakan fungsi verbal pertama yang digunakan oleh
anak-anak. Mendahului kemampuan mereka untuk mengirim atau
menerima komunikasi berupa pesan, anak-anak umumnya memulainya
dengan berinteraksi secara fatis.
6) Fungsi metalingual, metalinguistik, atau metabahasa merupakan tingkatan
bahasa yang membicarakan bahasa. Di samping “bahasa objek” yang
membicarakan
benda,
“metalinguistik”
berperan
penting
dalam
komunikasi sehari-hari. Fungsi metalingual berguna mengidentifikasi kode
yang digunakan atas suatu konsep atau perihal yang terkandung dalam
beragam tindak komunikasi (Fiske, 2007: 53–54). Meski kerap tak
disadari, metabahasa sesungguhnya turut dipakai dalam percakapan.
Hal ini dijelaskan Jakobson: “Bila pengirim atau penerima perlu mengecek
apakah mereka menggunakan kode yang sama, percakapan difokuskan
pada kode yang sama itu dan kode ini melaksanakan fungsi
metalinguistik.”45 Fungsi metalinguistik ini terutama banyak digunakan
dalam setiap proses belajar bahasa, termasuk ketika seorang anak belajar
bahasa ibunya. Contoh metalingual diperlihatkan pada bentuk komunikasi
ini:
45
Ibid. hal. 74. 34 Penerima: Saya tak mengerti apa yang Anda katakan. Apa yang Anda
maksudkan?
Pengirim: (Setelah menjelaskan maksudnya) Anda paham apa yang saya
maksudkan?
Dari pembahasan elemen dan fungsi komunikasi dalam teks drama/ lakon
Kintir, fungsi referensial dan elemen konteksnya ditelaah secara mendalam untuk
memaparkan wacana sosial yang dirujuk dan direfleksikannya, yakni child abuse
‘kekerasan terhadap anak’. Dengan analisis atas fungsi referensial dalam kesatuan
dengan fungsi-fungsi komunikasi lainnya, refleksi perihal kekerasan terhadap
anak yang terungkap atau dikisahkan dalam lakon Kintir memungkinkan untuk
dimengerti.
Selain dengan model komunikasi yang menawarkan enam unsur dan
fungsi komunikasi, pengamatan atas isi naskah Kintir mengungkap sisi metafor
retoris (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan) yang ada di dalam lakon. Hal
ini didasari pemikiran awal dan penting Roman Jakobson yang menekankan dua
aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran kedua metafor tersebut.
Menurut Sudjiman (dalam Sahid, 2004: 43), metafor retoris digunakan
dalam menjelaskan sejumlah unsur dalam teks drama yang berisi kiasan atau
perbandingan antara satu perihal dan hal lainnya. Sementara itu, metonimia ialah
majas berupa pemakaian nama, ciri orang, atau barang sesuatu untuk menyebut
hal yang bertautan. Dalam lakon Kintir, metafor retoris dan metonimia diamati
pada sejumlah unsur intrinsik yang akan lebih dikaitkan dengan pertanyaan
penelitian mengenai refleksi isu kekerasan terhadap anak.
3. Operasionalisasi
a. Langkah-Langkah Penelitian
Sebuah penelitian dilakukan guna menghasilkan temuan untuk menjawab
persoalan yang menjadi rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Setelah
35 metode penelitian yang relevan untuk dipakai dalam penelitian ditentukan,
langkah selanjutnya diuraikan sebagai berikut.
Pertama ialah memilih sebuah naskah drama atau lakon yang memuat
persoalan menyangkut kekerasan terhadap anak. Awalnya ini dilakukan dengan
menelusuri dan bertanya kepada beberapa narasumber sastrawan dan pengamat
seni pertunjukan Yogyakarta. Berdasar pengamatan dan wawancara dengan
seorang pelaku teater, diketahui bahwa ada sejenis kecenderungan potensi dari
kelompok teater Yogyakarta untuk mementaskan ide cerita dari cerita kuno yang
dikemas dengan muatan pesan yang baru, alternatif, dan segar. Di samping itu,
sejumlah kelompok seni teater Yogyakarta yang penulis amati secara jujur atau
tegas mengungkapkan persoalan sosial yang terjadi di kehidupan masyarakat.
Meski demikian, sangat jarang ditemukan kelompok pertunjukan membawakan
lakon yang mengungkapkan secara penuh kaitannya dengan kekerasan terhadap
anak.
Salah satu klub pertunjukan teater di Yogyakarta yang sempat ditemui
peneliti ialah Sinten Asmane. Dengan mementaskan lakon berjudul Rama Shinta
– Babak Shinta Memilih yang menyitir kisah Pati Obong dalam petilan Ramayana
dan mengubah jalan ceritanya, kelompok teater yang beranggotakan kaum
perempuan ini menaruh keprihatinan pada masalah gender, yaitu kekerasan
terhadap perempuan. Walaupun kekerasan gender ini merupakan latar belakang
yang dapat berhubungan dengan isu kekerasan terhadap anak, tetapi perhatian
penelitian ini dipusatkan lebih pada karya drama yang mengangkat kekerasan
terhadap anak. Oleh sebab itu, lakon tersebut tidak dipilih sebagai obyek
penelitian.
Selanjutnya, berbekal informasi dari sastrawan yang turut mengamati seni
pertunjukan, penulis menelusuri perihal kelompok Seni Teku dari laman Seni
Teku dan sumber sekunder media massa terkait, seperti koran dan majalah seni.
Peneliti kemudian menemui kelompok teater Seni Teku yang mempertunjukkan
teater dengan gambaran yang mengesankan perihal kekerasan pada anak. Dengan
36 menempuh wawancara tahap awal, peneliti menentukan sebuah lakon dari
pementasan Seni Teku berjudul Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai) sebagai
obyek material penelitian. Hal ini lantaran drama tersebut sesuai dengan obyek
formal yang akan dikaji pada penelitian ini, yakni kekerasan terhadap anak atau
child abuse.
Kendati demikian, pertunjukan Kintir tidak diproduksi berdasarkan cerita
naskah tertulis lengkap atau sudah jadi. Sebagai kekhasan sebuah karya teater
produksi Seni Teku, drama Kintir dihasilkan melalui proses penulisan yang
beriringan dengan penjadiannya sebagai pertunjukan teater. Dalam keperluan
untuk keikutsertaan dalam Festival Teater Jogja tahun 2009 pun, Seni Teku hanya
menawarkan teks tertulis yang belum lengkap karena dalam pertunjukannya
memuat sejumlah improvisasi adegan dan dialog.46
Di titik inilah, peneliti selanjutnya melakukan pembacaan atas Kintir
dengan menelusuri referensi dari sumber sekunder, termasuk pula penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan pertunjukan drama Kintir. Bagi peneliti,
pembacaan atas Kintir melalui sumber sekunder penting dilakukan. Selain
ditujukan mendapat panutan gambaran besar naskah atau urutan adegannya,
penelusuran itu untuk mengecek penelitian atas Kintir yang telah dilakukan oleh
akademisi lain. Dengan demikian mendukung peneliti untuk mendapatkan sebuah
obyek penelitian yang dapat diamati secara utuh, lengkap, dan layak
dipertanggungjawabkan sesuai kaidah penelitian.
Penelusuran bahan untuk menentukan obyek material yang akan diteliti
dimulai pada sekitar pertengahan April 2011. Pada Jurnal Matajendela volume V
Nomor 4/2010 halaman 38–40, peneliti menemukan draft teks pementasan teater
Seni Teku untuk Festival Teater Jogja 2009 berjudul “Anak-anak Mengalir di
Sungai”. Namun draft yang ditulis oleh Ibed Surgana Yuga dan Andika Ananda
ini, seperti diungkapkan oleh Ibed, hanya sebuah versi yang dilihat dari isinya,
46
Berdasarkan wawancara dengan pegiat Seni Teku, Ibed Surgana Yuga dan Andika Ananda, Selasa, 26 April 2011. 37 sekadar menyaran pada cerita dengan beberapa bagian yang diberi subjudul
sebagai topik-topik spesifik.
Dalam proses, peneliti lalu memperoleh naskah drama tertulis Kintir yang
disusun oleh Ibed Surgana Yuga dalam buku Kintir: Sekumpulan Lakon Teater
dan terbit pada Desember 2011. Selanjutnya penelitian ini dilakukan atas obyek
material penelitian naskah drama atau lakon Kintir dalam buku tersebut yang telah
mengalami sejumlah pengubahan dari karya pertunjukan teater Kintir produksi
Seni Teku 2009–2010. Dengan demikian, teks drama/lakon Kintir dalam skripsi
ini menjadi obyek material penelitian yang bersifat khusus, khas, dan otonom
karena diperlakukan dalam kedudukannya sebagai karya sastra yang dikaji pada
ranah studi ilmu komunikasi.
Pada praktiknya, penelitian atas karya sastra dalam skripsi ini menekuni
gambaran isu kekerasan terhadap anak di dalam naskah drama Kintir sebagai
fokus kajian. Merujuk uraian Aminuddin (dalam Sobur, 2009: 142), ada tiga
pemahaman semiotika untuk studi sastra. Asumsi pertama melihat karya sastra
sebagai gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang, wujud sastra sebagai
sistem tanda, dan pembaca. Kedua, karya sastra merupakan sebuah bentuk
penggunaan sistem tanda yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.
Adapun asumsi ketiga yang menjadi titik perhatian pada penelitian ini
ialah karya sastra sebagai fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan
dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian,
analisis semiotika atas karya sastra (literary semiotics) mengikutsertakan
penyikapan sastra dalam konteks wacana (literary discourse) yang mengamini
kedudukan karya sastra sebagai wacana dan gejala komunikasi. Hal ini
disebabkan penelitian ilmiah terhadap karya sastra ditujukan pada metadiscourse
atau bentuk dan ciri isu yang tersirat atau bersifat tak tampak secara langsung.47
Terkait kebutuhan penelitian ini, peneliti sebagai pembaca berperan utama pada
47
Alex Sobur. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 142. 38 analisis dan interpretasi atas obyek material teks drama Kintir yang berkaitan
dengan child abuse sebagai obyek formal penelitiannya.
Selanjutnya, peneliti akan menggunakan analisis semiotika menurut model
komunikasi Roman Jakobson guna mengetahui elemen dan fungsi komunikasi
yang terkandung dan bekerja melalui lakon Kintir. Dari amatan atas elemen dan
fungsi komunikasi, elemen konteks dan fungsi referensial dalam teks drama Kintir
dikaji lebih mendalam untuk memaparkan wacana sosial yang ditunjuk dan
direfleksikannya, yakni child abuse ‘kekerasan terhadap anak’. Analisis
diterapkan secara teoretis melibatkan pandangan atau konsep ilmu yang bertalian
dengan pokok wacana kekerasan terhadap anak, drama dan karya sastra, juga
kajian ilmu sosial lain yang terkait.
Selain itu, mengingat kedudukan lakon sebagai karya seni yang
mengisahkan bukan menyatakan, analisis menyertakan pembahasan mengenai isu
perlindungan anak dan kekerasan terhadap anak berdasar sumber materi dan
acuan perangkat hukum yang berlaku. Dengan demikian, analisis semiotika
komunikasi Roman Jakobson dalam penelitian ini hendak menjelaskan fungsi
komunikasi melalui naskah drama/lakon Kintir sebagai wujud komunikasi puitik
berkaitan dengan cara merefleksikan wacana child abuse.
b. Penentuan Unit-Unit Analisis
Selanjutnya analisis atas lakon Kintir akan menekuni sejumlah aspek.
Sebagaimana umumnya penelitian naskah drama, perhatian peneliti terpusat pada
nilai dramatik yang meliputi plot, karakter, tema, dialog, mood, dan spectacle.
Keenam nilai dramatik inilah yang membangun struktur dan tekstur yang khas
dimiliki drama sebagai pembeda dari genre sastra prosa dan puisi. Struktur adalah
bentuk drama pada waktu pementasan, sedangkan tekstur adalah apa yang secara
langsung dialami oleh pengamat, yang muncul melalui indera, yang didengar
telinga (dialog), yang dilihat mata (spectacle), dan yang dirasakan (mood) melalui
seluruh alat visual serta pengalaman aural. Plot, karakter, dan tema adalah nilai
39 dramatik yang dikelompokkan sebagai struktur drama. Sementara itu, nilai
dramatik dialog, mood, dan spectacle merupakan tekstur drama.48
Dengan demikian, unit analisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan
berupa struktur dan tekstur drama.
1)
Unit Analisis Struktur Drama
Struktur adalah bentuk drama pada waktu pementasan yang
meliputi plot, karakter, dan tema.
i.
Plot
Aristoteles menyebut plot sebagai jalan cerita sebuah drama yang
di dalamnya terdapat skema-skema action para tokoh di atas
panggung. Plot adalah urutan peristiwa yang berhubungan secara
kausalitas (Soemanto dalam Dewojati, 2010: 162). Penyingkapan
lapis-lapis ketersembunyian melalui plot dalam drama diibaratkan
sebagai usaha untuk memperoleh pencerahan. Inilah daya tarik dan
posisi penting plot yang membawa penonton atau pembaca pada
keingintahuan besar untuk mendapatkan pencerahan.
ii.
Karakter
Disebut pula penokohan, karakter dalam drama menjadi alat bagi
pengarang mengungkapkan alasan logis terhadap tingkah laku
tokoh. Tokoh-tokoh akan membawakan tema dalam keseluruhan
rangkaian latar dan alur. Lantaran tokoh menjalin alurnya sendiri,
penokohan menjadi inti lakon.49
iii.
Tema
Teks drama sebagai sebuah karya sastra mengandung gagasan
pokok atau dasar cerita. Inilah yang disebut tema, yakni sesuatu
48
George R. Kernodle, The Invitation to The Theatre (New York: Harcourt, Brace, & World, 1966), hal. 344, dikutip oleh Cahyaningrum Dewojati, Drama; Sejarah, Teori, dan Penerapannya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hal. 159. 49
Boen S. Oemarjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1971), hal. 38. dikutip oleh Cahyaningrum Dewojati, Drama; Sejarah, Teori, dan Penerapannya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hal. 169. 40 yang akan diungkapkan untuk memberikan arah dan tujuan cerita.
Pada drama modern, tema dapat diketahui dalam bentuk dialog
para tokohnya, tetapi umumnya dialog tersebut menunjukkan ironi
dari kejadian yang sebenarnya terjadi. Oleh sebab itu, tema pada
dasarnya adalah pemikiran (thought). Ia adalah argumen dari
simpulan terhadap karakter tertentu yang bisa jadi tema umum atau
hanya tema sebagian dari sebuah lakon. Telaah tema naskah
drama, dengan demikian, membutuhkan analisis yang cermat atas
dialog-dialog penting dalam teks (Dewojati, 2010: 172).
2)
Unit Analisis Tekstur Drama
Tekstur drama adalah apa yang secara langsung dialami oleh
pengamat, yang muncul melalui indera, yang didengar telinga (dialog),
yang dilihat mata (spectacle), dan yang dirasakan (mood) melalui seluruh
alat visual serta pengalaman pendengaran. Dalam naskah drama, tekstur
dialog dijumpai dalam teks utama (hauptext) sedangkan tekstur mood dan
spectacle ditemukan dalam teks samping (nebentext).
i.
Dialog
Dialog atau cakapan umumnya dipandang sebagai bangunan
naskah drama. Dari cakapan antartokoh cerita dirangkai, konflik
ditumbuhkan, dan perwatakan tokoh dikembangkan. Sebagaimana
diungkapkan Dewojati (2010: 176), dialog merupakan sarana
primer drama yang mewadahi pengarang untuk menyampaikan
informasi,
menjelaskan
fakta
dan
ide-ide
utama.
Dialog
memberikan tuntunan alur. Melalui dialog, penikmat dan pembaca
mengetahui jalannya peristiwa.
ii.
Mood
Mood adalah suasana. Menurut George R. Kernodle (dalam
Dewojati, 2010: 182), mood dalam drama tercipta dalam
hubungannya dengan unsur lain, misalnya spectacle, dialog, dan
41 irama permainan. Oleh karena itu, mood hanya tercipta dan dapat
dirasakan pada saat unsur-unsur tersebut dikomunikasikan
langsung kepada penonton. Dalam naskah drama, mood dapat
diteliti
pada
nebentext
(teks
samping
atau
petunjuk
pemanggungan).
iii.
Spectacle
Dalam naskah drama, spectacle adalah berbagai peralatan yang
disebutkan dalam teks, khususnya pada nebentext. Spectacle dapat
disebut pula sebagai aspek-aspek visual sebuah lakon, terutama
action fisik para tokoh di atas panggung, selain pembabakan, tata
kostum, tata rias, tata lampu, dan perlengkapan lain.50 Dalam
sebuah lakon, sarana tekstur berupa spectacle dapat dibayangkan
melalui interpretasi atas teks samping.
4. Metode Analisis dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika berdasar model komunikasi
Roman Jakobson untuk menelaah obyek penelitian berupa dramatic text, yaitu
naskah drama/ lakon Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai). Analisis semiotika
Jakobson dilakukan guna menjelaskan fungsi bahasa atau komunikasi yang
bekerja dalam lakon Kintir. Secara khusus, nilai dramatik yang tercakup sebagai
struktur dan tekstur drama diamati dalam konteks wacana kekerasan terhadap
anak. Struktur drama diteliti terkait unsur intrinsik yang mengandung metafor
retoris dan metonimia. Adapun tekstur drama diamati untuk mengetahui elemen
dan fungsi komunikasi yang bekerja dalam lakon.
Analisis semiotik atas lakon Kintir diarahkan pada aspek pragmatik, yakni
menekankan analisis berkaitan dengan komunikasi antara pengirim dan penerima.
Di dalam drama aspek pragmatik ini terwujud berupa komunikasi antara tokoh
yang satu dengan tokoh yang lain, atau antara pengarang/pencerita dan
50
Cahyaningrum Dewojati, Drama; Sejarah, Teori, dan Penerapannya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hal. 169, mengutip Soebakdi Soemanto, Jagat Teater (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), hal. 24. 42 pembaca/penonton.51 Sebuah teks drama mencakup dua aspek sekaligus, yaitu
hauptext (teks utama berupa dialog-dialog) dan nebentext (teks samping atau
tambahan berupa stage direction ‘petunjuk pemanggungan’).52 Maka untuk
mendapatkan hasil lengkap serta menyeluruh, analisis lakon tersebut diterapkan
atas aspek teks utama (hauptext) dan teks samping (nebentext).
Sementara itu, seperti dijelaskan sebelumnya, penciptaan pertunjukan
teater Kintir yang dijalani tim produksi Seni Teku bersumbangsih banyak pada
pengisahan dalam teks drama/ lakonnya. Oleh sebab itu, penjelasan hasil analisis
teks drama Kintir akan dilengkapi paparan tentang konteks penciptaannya sebagai
pertunjukan. Hal ini ditujukan memperoleh penjelasan atas kekhasan lakon Kintir
yang proses penciptaan pertunjukan dan penulisan naskahnya bertalian erat.
Tak hanya itu, selama ini kajian atas lakon umumnya sekadar ditekankan
atas drama sebagai karya sastra. Padahal, sebagaimana diungkapkan Sahid (2004:
28), suatu obyek kajian naskah drama tak dapat begitu saja lepas dari kedudukan
drama yang selain berdimensi karya sastra juga sebagai seni pertunjukan. Sahid
menekankan, “…tindakan mengidentifikasi drama secara literer [sastra]
sebenarnya sama saja dengan mengabaikan fungsi fundamental drama sebagai
blue print produksi teater, yakni suatu peristiwa teater yang mesti direalisasi
dalam waktu dan ruang.”53
Maka dari itu, untuk menunjang analisis dalam menjawab pertanyaan serta
tujuan penelitian tersebut, dilakukan tiga cara untuk mengumpulkan data, yaitu:
a. Wawancara
Dalam wawancara, diajukan sejumlah pertanyaan terbuka demi
memperoleh kejelasan informasi yang sesuai dengan maksud
penelitian. Pendalaman data melalui wawancara difokuskan pada
51
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Hal. 117. 52
Nur Sahid. 2004. Semiotika Teater. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Hal. 56. 53
Ibid. hal. 28. 43 narasumber relevan, seperti pelaku seni teater, kritikus teater dan
sastra, juga pihak lain yang menaruh perhatian utama pada topik yang
dikaji oleh peneliti.
b. Observasi
Penelitian ini dilakukan dengan turut memerhatikan secara
berkelanjutan obyek formal penelitian isu kekerasan terhadap anak
pada informasi yang disiarkan media massa nasional dan lembaga
sosial lain. Hal ini mengingat sebagai masalah sosial, isu tersebut
mengalami pertumbuhan yang dinamis dalam perjalanan waktu,
setidaknya lima tahun belakangan. Adapun menyangkut obyek
material lakon Kintir yang ditulis oleh Ibed S.Y. dalam proses kreatif
bersama Seni Teku, penting bagi peneliti memerhatikan perkembangan
proses berkesenian yang dilakukan oleh kelompok ini. Sejumlah
perubahan,
kontinuitas,
ataupun
konsistensi
mereka
dalam
berkesenian, khususnya si penulis naskah, diamati terkait kajian atas
penciptaan dan penulisan lakon Kintir. Hal ini dilakukan dengan
menyaksikan dan mencari informasi tentang pertunjukan lakon teater
yang mereka produksi selain Kintir.
c. Studi Pustaka/ Dokumentasi
Studi pustaka menjadi metode yang menunjang analisis dan
pemahaman tentang fenomena yang hendak diungkap dalam penelitian
ini. Melalui penelusuran serta pendalaman referensi menyangkut topik
penelitian, persoalan sosial dan kajian kesenian yang berkaitan dengan
pokok permasalahan dapat diketahui dengan lengkap.
44 
Download