BAB I PENDAHULUAN 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan moneter di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik maupun global. Perkembangan ekonomi akan menentukan bagaimana reaksi Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneternya. Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan1 (Warjiyo dan Solikin, 2003:2). Berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah disini adalah kestabilan terhadap harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak Juli tahun 2005 Bank Indonesia secara penuh mengadopsi Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utamanya. Sementara itu, sejak tanggal 14 Agustus 1997 pemerintah menetapkan sistem nilai tukar yang dianut adalah sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating). Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. 1 Dalam hal ini, besaran moneter (monetray aggregates) antara lain dapat berupa uang beredar, uang primer, atau kredit perbankan. 1 Sistem nilai tukar mengambang bebas memungkinkan terjadinya nilai tukar yang sangat fluktuatif sehingga dapat menambah ketidakpastian bagi dunia usaha. Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karena itu, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu. Dengan penerapan kerangka kerja moneter ITF sejak Juli 2005, secara operasional sikap kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI rate), dimana sebelumnya masih menggunakan uang primer sebagai sasaran operasional. Dalam penelitian ini digunakan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk mengakomodasi sikap kebijakan moneter tahun 2000-2013. Suku bunga SBI dipilih dikarenakan telah banyak digunakan sebagai reference rate. Suku bunga acuan ini diharapkan akan mempengaruhi suku bunga pasar uang, suku bunga deposito, dan suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan mempengaruhi output dan inflasi. Kebijakan moneter pada umumnya diterapkan sejalan dengan business cycle. Kebijakan moneter yang diambil saat perekonomian dalam kondisi boom tentu akan berbeda dengan saat dalam kondisi depresi. Saat perekonomian dalam kondisi depresi atau resesi, biasanya dilakukan kebijakan moneter ekspansif untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan moneter ekspansif ditujukan untuk mendorong kegiatan ekonomi, antara lain dengan peningkatan jumlah uang beredar atau penurunan BI rate. Sebaliknya, kebijakan moneter kontraktif ditujukan untuk memperlambat kegiatan ekonomi, 2 antara lain dengan penurunan jumlah uang beredar atau kenaikan BI rate secara signifikan. Kebijakan ini dilakukan saat perekonomian mengalami inflasi yang tinggi. Kebijakan moneter kontraktif di Indonesia seperti yang terjadi pada tahun 2001, 2005, 2008, dan 2013 (lihat Gambar 1.1). Tingginya inflasi pada tahun-tahun tersebut dikarenakan adanya kenaikan administered prices yaitu harga yang diatur pemetintah, dalam hal ini harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. BBM merupakan salah satu input penting dalam proses produksi, sehingga kenaikan harga BBM bersubsidi akan mempengaruhi harga barang dan jasa lainnya yang memicu kenaikan inflasi secara keseluruhan. Untuk memulihkan stabilitas moneter, Bank Indonesia menempuh langkah-langkah pengetatan moneter. Pengetatan moneter tercermin dari kenaikan suku bunga SBI secara signifikan. Inflasi, Suku bunga SBI, FFR (%) Nilai Tukar (US$/Rp) 0.000160 20.00 0.000140 15.00 0.000120 0.000100 10.00 0.000080 5.00 0.000060 0.000040 - 0.000020 - (5.00) Suku Bunga SBI Inflasi Fed Funds Rate Nilai Tukar ($/Rp) Gambar 1.1 Perkembangan Suku Bunga SBI, Inflasi, Nilai Tukar dan Fed Funds Rate, 2000 – 2013 3 Perekonomian Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan pola siklus ekonomi global. Perubahan pola siklus global tersebut mempengaruhi kinerja perekonomian domestik tidak saja melalui jalur perdagangan (trade channel), namun juga melalui jalur pasar keuangan (financial market channel). Integrasi yang semakin kuat dengan perekonomian global membuat perekonomian domestik lebih rentan terhadap pengaruh luar, seperti kenaikan harga minyak dunia, melambungnya harga komoditas dunia serta krisis keuangan global yang terjadi akhir-akhir ini. Tahun 2005, harga minyak dunia meningkat sangat tinggi setelah adanya badai Katrina di Teluk Meksiko yang menyebabkan turunnya produksi. Harga mencapai tingkat tertinggi selama kurun waktu 25 tahun terakhir, yaitu sekitar $70 per barel. Hal ini mengharuskan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp4.500 per liter pada Oktober 2005 setelah sebelumnya dinaikkan menjadi Rp2.400 per liter pada Maret 2005. Kenaikan harga BBM bersubsidi ini menyebabkan inflasi mencapai 18.38 persen pada November 2005, yang mana adalah inflasi tertinggi dalam periode penelitian (lihat Gambar 1.2). Tingginya harga minyak dunia juga menyebabkan permintaan valas untuk kebutuhan impor minyak oleh Pertamina melonjak tajam. Berbagai perkembangan ini telah menyebabkan melemahnya nilai tukar rupiah hingga US$0,000097859 per Rupiah (Rp10.300 per US dolar). Pelemahan nilai tukar rupiah diperburuk pula dengan pengetatan kebijakan moneter dan kenaikan suku bunga the Fed telah mendorong penguatan dolar Amerika Serikat (lihat Gambar 1.1). 4 Harga Minyak Dunia (US$/barrel) 140.00 Inflasi (%) 20.00 120.00 15.00 100.00 10.00 80.00 60.00 5.00 40.00 - 20.00 - (5.00) Inflasi Harga Minyak Dunia Gambar 1.2 Perkembangan Harga Minyak Dunia dan Inflasi Indonesia, 2000 – 2013 Perekonomian Indonesia kembali terkena dampak negatif perekonomian global pada tahun 2008. Ketegangan antara Amerika Serikat dengan Iran serta laporan turunnya cadangan minyak Amerika Serikat memicu kenaikan harga minyak dunia mencapai $132 per barel, harga tertinggi selama periode penelitian. Pemerintah mengambil langkah kembali menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp6.000 per liter pada Mei 2008. Akibatnya inflasi melonjak sampai 12,14 persen. Namun demikian, tekanan inflasi berangsur mereda menjelang akhir tahun seiring dengan penurunan harga BBM bersubsidi dan merosotnya harga komoditas global (lihat Gambar 1.2). Sementara itu, krisis subprime mortgage di Amerika Serikat yang berujung pada krisis sektor keuangan, anjloknya pertumbuhan 5 ekonomi global, dan perubahan harga komoditas global yang sangat drastis mulai menunjukkan dampak negatif yang jelas di Indonesia pada akhir tahun 2008. Hal ini tercermin pada kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) yang menurun, yaitu kinerja NPI memburuk hingga mengalami defisit pada triwulan III-2008. Perkembangan NPI yang kurang menggembirakan pada gilirannya memicu tingginya tekanan depresiasi yaitu US$0,00008448 per Rupiah (Rp12.151 per US dolar) pada November 2008 (Gambar 1.1). Krisis memicu stance kebijakan moneter berbalik arah dari sebelumnya ketat akibat tingginya inflasi menjadi longgar. Ekspansi moneter dimungkinkan karena secara bersamaan tekanan inflasi mulai mereda. Ekspansi kebijakan moneter tercermin dari agresifnya pemotongan suku bunga acuan, injeksi likuiditas, dan pelonggaran moneter melalui penambahan kuantitas uang beredar. Amerika Serikat sebagai pusat krisis telah menurunkan suku bunganya dari sekitar lima persen pada akhir tahun 2007 hingga hanya sekitar 0,2 persen pada tahun 2009 dan mencapai 0,087 persen pada akhir tahun 2013 (lihat Gambar 1.1). Hal ini diikuti oleh negara lainnya karena kekhawatiran meluasnya intensitas penyebaran krisis. Stimulus kebijakan moneter yang dilakukan AS ini dilakukan hingga perekonomian AS membaik, yang tercermin dari tingkat pengangguran sekitar tujuh persen, pertumbuhan ekonomi 2-3 persen, dan tingkat inflasi inti yang tidak lebih dari dua persen. Pada tahun 2013, ketidakpastian keuangan global meningkat dipicu oleh rencana pengurangan stimulus moneter (tapering off) di Amerika Serikat yang mendorong arus modal keluar dari emerging market secara besar-besaran dan 6 menyebabkan tekanan nilai tukar di beberapa negara emerging market, termasuk Indonesia. Kondisi ini memunculkan ketidakseimbangan NPI yang ditandai oleh melebarnya defisit transaksi berjalan dan semakin terbatasnya arus modal masuk ke dalam negeri sehingga secara fundamental menekan nilai tukar rupiah. Tekanan depresiatif tersebut kemudian semakin besar, didorong faktor domestik terkait meningkatnya ekspektasi inflasi pasca penerapan pembatasan impor komoditas pangan. Kebijakan pengurangan subsidi BBM sebagai upaya mengatasi defisit fiskal dan transaksi berjalan juga menambah tekanan terhadap inflasi yang kemudian semakin memperburuk sentimen. Pada akhir tahun inflasi mencapai 8,38 persen dengan nilai tukar yang terus melemah pada US$0,00008273 per Rupiah (Rp12.189 per US dolar). Namun, apabila dibandingkan dengan inflasi di tahun 2005 dan 2008 saat harga BBM bersubsidi dinaikkan, inflasi 2013 masih berada di bawah 10 persen. Perkembangan positif ini dipengaruhi respons kebijakan Bank Indonesia yang mengantisipasi kenaikan inflasi sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi dan koordinasi kebijakan yang erat dengan Pemerintah dalam mengendalikan dampak lanjutan kenaikan harga BBM bersubsidi. Seluruh penjelasan di atas menunjukkan besarnya pengaruh kebijakan moneter dan perekomomian global terhadap berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan Indonesia. Kebijakan moneter yang diambil ditujukan mengendalikan inflasi agar sesuai dengan sasarannya sebagai tujuan dari Bank Indonesia. Kecepatan proses transmisi dari suku bunga kebijakan hingga ke tingkat inflasi tersebut mencerminkan efektivitas kebijakan moneter. Dengan demikian mengukur 7 dampak kebijakan moneter tersebut perlu dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor di luar hubungan korelatif dua arah. 1.2 Rumusan Masalah Diadopsinya kerangka kerja ITF secara penuh pada tahun 2005 oleh Bank Indonesia, menjadikan inflasi sebagai sasaran utamanya dan secara operasional sikap kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI rate). Disamping itu, semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia dengan perekonomian global membuat perekonomian domestik lebih rentan terhadap pengaruh luar. Dengan demikian mengukur dampak kebijakan moneter terhadap variabel makroekonomi Indonesia sebagai small open economy menjadi penting untuk dilakukan. Fokus pada penelitian ini adalah untuk melihat dampak kebijakan moneter terhadap variabel makroekonomi Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbuka. Selain itu juga untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel ekonomi global dalam menjelaskan fluktuasi ekonomi di Indonesia. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka pertanyaan yang coba dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana respon variabel makroekonomi Indonesia seperti output, inflasi, jumlah uang beredar dalam arti sempit, dan nilai tukar nominal terhadap kejutan suku bunga SBI? 8 2. Bagaimana pengaruh kejutan harga minyak dunia dan kejutan fed funds rate terhadap variabilitas variabel output, inflasi, jumlah uang beredar dalam arti sempit, suku bunga SBI, dan nilai tukar nominal? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis respon variabel makroekonomi Indonesia seperti output, inflasi, jumlah uang beredar dalam arti sempit, dan nilai tukar nominal terhadap kejutan suku bunga SBI. 2. Menganalisis kejutan harga minyak dunia dan kejutan fed funds rate terhadap variabilitas variabel output, inflasi, jumlah uang beredar dalam arti sempit, suku bunga SBI, dan nilai tukar nominal. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, antara lain: 1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi Bank Indonesia selaku otoritas moneter dalam menentukan kebijakan melalui penetapan suku bunga. 2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai literatur untuk penelitianpenelitian selanjutnya mengenai kebijakan moneter dan pengaruh 9 harga minyak dunia serta fed funds rate terhadap perekonomian Indonesia. 1.6 Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi khusus untuk Indonesia sebagai small open economy dengan rentang periode penelitian tahun 2000 – 2013, dimana rentang periode tersebut merupakan periode pascakrisis yang cenderung mendekati arah kondisi perekonomian yang stabil. Cakupan indikator makroekonomi dalam penelitian ini difokuskan pada suku bunga SBI, inflasi, nilai tukar nominal, output, dan jumlah uang beredar dalam arti sempit. Selain itu, indikator harga minyak dunia dan fed funds rate juga digunakan dalam penelitian ini sebagai representasi atas indikator ekonomi global. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu bab 1 pendahuluan, bab 2 tinjauan pustaka, bab 3 metodologi penelitian, bab 4 analisis penelitian dan bab 5 penutup. Bab 1 berisi uraian latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2 menguraikan landasan teori dan penelitian-penelitian terdahulu. Bab 3 menguraikan data, metode analisis, model, dan hipotesis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Bab 4 merupakan pembahasan dari variabel, data dan hasil temuan berdasarkan metode yang digunakan. Bab 5 merupakan bagian penutup yang mencakup kesimpulan dan saran dari hasil penelitian. 10