ii. tinjauan teoritis dan studi empirik

advertisement
II. TINJAUAN TEORITIS DAN STUDI EMPIRIK
2.1. Tinjauan Ekonomi Transportasi
Ilmu ekonomi transportasi merupakan salah satu cabang ilmu ekonomi yang
melibatkan berbagai disiplin ilmu, terutama ekonomi regional dan ilmu teknik
(engineering). Pembangunan ekonomi merupakan hal sangat fundamental untuk
kelangsungan hidup suatu bangsa. Menurut Weisbrod and Forkenbrock (2001),
dampak pembangunan ekonomi (economic development) transportasi dapat
didefenisikan sebagai dampak yang terjadi pada kegiatan ekonomi di suatu
wilayah
mencakup
perubahan
lapangan
kerja,
penggajian
dan
output
industri/bisnis yang dihasilkan dari efek moneter transportasi.
Jalan merupakan bagian dari infrastruktur dalam tahap awal pembangunan
ekonomi sering dianggap lebih berperan sebagai ”the promoting sector” daripada
”the servicing sector”. Sesuai fungsi sebagai sektor pendorong, infrastruktur jalan
atau dermaga pelabuhan misalnya dibangun mendahului pembangunan sektorsektor lainnya seperti industri/pabrik.
Pembangunan ekonomi dapat menciptakan kesempatan ekonomi (economic
opportunity), lapangan kerja dan nilai tambah (value added) yang disebabkan
oleh:
1.
Improved competitive position, reduksi biaya transportasi dan atau
aksessibilitas lebih baik memungkinkan suatu wilayah memiliki nilai saing
ekonomi lebih baik.
2.
Non-business travel, reduksi biaya transportasi untuk perjalanan pribadi akan
meningkatkan disposal income, yang berarti biaya keluar lebih kecil dan
kesempatan menggunakan biaya lebih besar untuk kebutuhan lain.
23
3.
Roadside service industries, perbaikan prasarana jalan menyebabkan induce
traffic (perjalanan yang tidak dilakukan) akan meningkatkan pendapatan lokal
dari bisnis pinggir jalan (roadside bussiness), seperti tumbuhnya pom bensin,
motel, restoran.
4.
Turisme, prasarana jalan yang baik menambah pengunjung ke suatu daerah
yang menyebabkan pendapatan daerah dan kesejahteraan akan meningkat.
2.1.1. Dampak Infrastruktur Jalan
Sistem transportasi jalan disusun untuk tujuan aksessibilitas dan mobilitas
arus orang, barang dan jasa, sehingga perpindahan kebutuhan pokok dari sumber
produksi sampai kepada konsumen akhir dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan
tinjuan ekonomi regional diketahui bahwa pembangunan atau peningkatan
kapasitas jalan akan menyebabkan industri berpindah kedekat lokasi jalan (project
location), dan saling berdekatan sehingga mendapat keuntungan melalui biaya
produksi yang lebih rendah (economic of agglomeration). Alasan utama terjadinya
aglomerasi ekonomi adalah biaya transportasi secara signifikan akan tereduksi.
Teori lokasi industri (industrial location) menyebutkan bahwa trade-off
antara skala ekonomi dengan biaya transportasi merupakan hal penting dalam
analisis (Anderson and Lakshmanan, 2004). Apabila suatu perusahaan manufaktur
menjual barangnya dalam pasar perkotaan, maka terdapat dua metode untuk
minimalisasi biaya. Pertama adalah minimalisasi biaya produksi melalui lokasi
pabrik yang lebih sedikit namun lebih besar, dan kedua adalah minimalisasi biaya
transportasi melalui fasilitas lebih kecil namun jarak lebih dekat dengan pasar.
Rodrigue (2006), menyatakan bahwa dampak ekonomi (economic impact)
dari sistem transportasi jalan dapat dibedakan menjadi dampak langsung (direct
impact) dan dampak tidak langsung (indirect impact). Dampak ekonomi langsung
24
disebut juga transport user impact menggambarkan pelayanan prasarana
transportasi termasuk jalan, angkutan laut dan udara, kereta api yang memberikan
dampak kepada pengguna langsung dalam bentuk perubahan aksessibilitas dan
mobilitas, kenyamanan (comfort), keamanan, waktu tempuh perjalanan (travel
time) dan biaya perjalanan (travel cost). Aksessibilitas menunjukkan kemudahan
mencapai suatu lokasi atau tempat aktivitas, misalnya lokasi pekerjaan, sekolah,
public service, tempat belanja. Mobilitas dapat diartikan sebagai kemampuan
seseorang untuk berpindah. Aksessibilitas dipengaruhi perubahan waktu tempuh,
keamanan (safety), dan biaya operasional kendaraan (vechicles operating cost).
Transport user impact mengukur keuntungan dan efisiensi/ reduksi biaya
transportasi yang diperoleh melalui penjumlahan penghematan biaya perjalanan
(travel cost saving), penghematan waktu tempuh (time saving), dan value of safety
improvement. Transport user impact disebut dengan user benefit disebabkan
dampaknya memberikan keuntungan bagi pengguna langsung, Bila digunakan
pendekatan Benefit Cost Analysis (BCA), keuntungan dari transport user impact
bila dibandingkan dengan biaya (cost) yang di investasikan untuk perbaikan jalan,
maka akan diperoleh nilai Benefit Cost Ratio (BCR) yang umumnya digunakan
sebagai barometer kelayakan (feasibility) sistem transportasi.
Penghematan biaya perjalanan diperoleh dari efisiensi penggunaan bahan
bakar yang lebih irit, komponen kendaraan yang tidak cepat aus atau rusak.
Penghematan waktu diperoleh dari estimasi nilai waktu (time value) yang
diperoleh karena waktu tempuh perjalanan yang lebih singkat. Value of safety
improvement diperoleh dengan turunnya biaya kecelakaan (accident cost).
Berdasarkan pendekatan teori ekonomi transportasi, biaya transportasi
mencerminkan Marginal Social Cost (MSC) yang disebut juga dengan road user
25
charge. Pembebanan (charge) kepada perusahaan atau pemakai jalan (user
charge) diterapkan agar pemakai jalan dengan kendaraannya mengeluarkan biaya
perceived cost sebesar marginal social cost yang dibutuhkan untuk melalui jalan
tersebut. MSC mencerminkan gabungan dari biaya perjalanan (travel charge),
biaya polusi (pollution charge) dan biaya pemeliharaan (maintenance charge)
yang ditanggung oleh user. Travel charge adalah kenaikan biaya perjalanan yang
terjadi karena penambahan pemakaian jalan yaitu nilai waktu yang hilang, biaya
operasional kendaraan dan kerugian akibat biaya kecelakaan. Bila terjadi macet,
maka komponen terbesar dari MSC adalah biaya perjalanan yang disebut biaya
kemacetan (congestian charge). MSC pricing diterapkan pada jalan dengan
tingkat kemacetan tinggi, sehingga pengguna tidak lagi memanfaatkan jalan
tersebut atau lebih baik memilih alternatif jalan lain untuk menghindari biaya.
Kemacetan akhirnya dapat dikurangi yang merupakan tujuan MSC.
Dalam ekonomi transportasi, secara umum diketahui bahwa penghematan
waktu tempuh biasanya dipandang sebagai keuntungan utama bagi pengguna
transportasi, dan dapat mencapai separuh dari seluruh keuntungan transportasi.
Nilai penghematan waktu tempuh dapat dipandang sebagai reduksi opportunity
cost yang dapat digunakan untuk berbagai aktivitas selain travelling,
memungkinkan seseorang atau perusahaan lebih produktif disebabkan waktu
tersedia menjadi lebih panjang atau memiliki waktu lebih banyak untuk rekreasi.
Penghematan waktu tempuh dipengaruhi oleh transportasi melalui beberapa
cara (Weisbrod, 1997), yaitu peningkatkan kapasitas jalan atau perbaikan lampu
lalulintas (traffic control) berdampak pada lebih cepatnya kendaraan bergerak dari
tempat asal (origin) ke tujuan (destination) disebabkan lebih rendahnya
kemacetan, pembangunan jalan baru memberikan pilihan transportasi (transport
26
choice) lebih variatif bagi pengguna, dan terjadinya reduksi kemacetan yang
disebabkan lebih rendahnya kecelakaan.
Menurut Wardman (1998), nilai penghematan waktu perjalanan memiliki
dua komponen yaitu opportunity cost dari waktu yang digunakan untuk perjalanan
dan disulitas relatif dari waktu tersebut, misalnya menunggu bus selama 15 menit
akan memberi disulitas lebih besar dari pada menumpang bus atau menggunakan
kendaraan lain. Keselamatan adalah keuntungan (benefit) yang diperoleh dari
perubahan sistem transportasi dalam bentuk reduksi tingkat kecelakaan fatal
(meninggal), luka atau kerusakan barang akibat tabrakan. Reduksi biaya
perjalanan merupakan salah satu benefit yang sangat bernilai dari sistem
transportasi, dan diperoleh dari reduksi biaya operasional kendaraan (BOK) dari
penghematan bahan bakar, oli, ban dan pemeliharaan (maintenance) sebagai
dampak perbaikan kondisi jalan.
Dampak ekonomi tidak langsung (indirect impact) atau disebut juga dampak
sekunder dibagi menjadi direct effect yaitu dampak pada pertumbuhan bisnis yang
dipengaruhi langsung oleh perubahan dalam biaya operasi dan market, dan
indirect effect yaitu dampak bagi supplier yang secara langsung dipengaruhi
pertumbuhan bisnis dan induced effect yaitu dampak bisnis yang dipengaruhi oleh
re-spending (belanja pengeluaran) dari pendapatan tambahan pekerja, serta
additional induced effect yaitu tambahan pertumbuhan bisnis dari pengeluaran
populasi. Jumlah semua effect ini disebut total effect pada pertumbuhan ekonomi.
Perbandingan total effect dengan direct efect disebut economic multiplier.
Nilai tambah (value added) merupakan suatu elemen social accounting yang
menunjukkan kontribusi suatu sektor terhadap Produk Domestik Bruto/ Gross
Domestic Product (GDP). Nilai tambah dapat diukur sebagai revenue dari sebuah
27
perusahaan/ sektor dikurangi dengan biaya yang harus dibayarkan kepada
perusahaan atau sektor lain (untuk bahan baku atau bahan intermediate). Dengan
perkataan lain nilai tambah adalah jumlah seluruh pembayaran dari perusahaan/
sektor kepada rumahtangga dan pemerintah termasuk gaji, interest, keuntungan
dan pajak tidak langsung dikurangi dengan subsidi. Dalam tataran transportasi,
nilai tambah dapat dipandang sebagai inferior bound dari keuntungan transportasi.
Reduksi biaya transportasi jalan yang ditimbulkan perbaikan prasarana jalan
dapat menyebabkan pasar lebih luas (Anderson and Lakshmanan, 2004). Industri
bisa mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam berproduksi dengan
adanya pasar yang lebih luas tersebut. Biaya input menjadi lebih rendah karena
menurunnya biaya transportasi. Hal ini dapat menyebabkan wilayah tertentu
memiliki akses yang mengarah kepada spesialisasi kegiatan bisnis. Dalam pasar
komoditas, prasarana jalan yang baik memperbaiki akses perusahaan memperoleh
material mentah (raw material) dan akses kepada konsumen, dan selanjutnya
meningkatkan kesempatan untuk jual beli barang dan jasa keperluan industri.
2.1.2. Keterkaitan Jalan terhadap Perekonomian.
Reduksi biaya transportasi yang disebabkan oleh perbaikan jalan memiliki
banyak dampak pada perekonomian regional (Kelejian and Robinson, 2006).
Reduksi biaya transport menyebabkan keuntungan harga untuk barang-barang
ekspor. Biaya produksi lebih murah karena harga barang intermediate lebih murah
yang disebabkan biaya pengangkutan dan biaya barang impor yang lebih murah.
Barang ekspor, barang intermediate dan barang impor yang lebih murah
menyebabkan peningkatan permintaan (demand) terhadap barang tersebut.
Peningkatan permintaan akan menyebabkan peningkatan produksi dan
penyerapan tenagakerja yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan
28
mengurangi pengangguran. Pembangunan jalan dapat menimbulkan negative
externality yaitu kondisi dimana terjadi peningkatan permintaan barang import
sehingga produksi lokal akan turun yang selanjutnya dapat menyebabkan
berkurangnya lapangan pekerjaan. Gambar 3 menunjukkan hubungan antara
perbaikan atau pembangunan prasarana jalan terhadap pengembangan ekonomi.
Pembangunan /
Perbaikan Jalan
Efisiensi /
Reduksi Biaya
Transportasi
Harga Barang
Ekspor Lebih
Harga Barang
Intermediate Lebih
Harga Barang Impor
Lebih Rendah
Peningkatan
Income
Peningkatan Demand
Barang Ekspor
Peningkatan Demand
Barang Intermediate
Peningkatan
Produksi &
Lapangan Kerja
Peningkatan
Demand
Peningkatan Final
Demand
Penurunan Produksi
Lokal & Lapangan Kerja
Di Wilayah Cakupan
Pembangunan
&
Pertumbuhan
Ekonomi
Sumber: Kelejian & Robinson (2006)
Gambar 3. Keterkaitan Pembangunan Jalan terhadap Perekonomian
Pembangunan jalan akan mereduksi biaya transportasi dan menyebabkan
biaya produksi lebih rendah sehingga memotivasi industri untuk meningkatkan
29
produktivitas barang. Gambar 4 menunjukkan efek perubahan biaya dan produksi
yang disebabkan oleh reduksi biaya transportasi (Kelejian and Robinson, 2006).
Andaikan terdapat sebuah industri manufaktur dalam pasar. Kurva demand
adalah Average Revenue (AR), Average Cost (AC), sedangkan Marginal Cost
(MC) adalah kurva supply. Kondisi keseimbangan terjadi bila MR = MC. MR dan
MC berpotongan pada point e yang disebut sebagai titik keseimbangan. Pada titik
ini industri memproduksi output sebesar Q yang memaksimumkan keuntungan.
Reduksi biaya transportasi akan mengurangi biaya produksi. Selanjutnya AC dan
MC berpindah ke AC’ dan MC’. Output dari Qa menjadi Qb dan keseimbangan
berpindah dari titik e menjadi e’. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa
pembangunan prasarana transportasi akan meningkatkan output yang selanjutnya
disebabkan faktor skala ekonomi (economic scale) akan menurunkan harga.
Sumber: Varian (1992)
Gambar 4: Reduksi Biaya Transportasi dan Produksi
2.2. Pendekatan Ekonomi Regional
Ekonomi regional (wilayah) bersifat multi disipliner dan merupakan cabang
ilmu ekonomi (khususnya makroekonomi dan ekonomi pembangunan) yang
mempertimbangkan aspek perbedaan potensi wilayah tertentu dengan potensi
30
wilayah yang lain. Kegiatan ekonomi secara individu tidak dianalisis dalam
ekonomi regional namun terhadap suatu wilayah secara keseluruhan, atau
meninjau potensi wilayah yang beragam, serta mengatur kebijakan untuk maksud
mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut (Tarigan, 2004).
Sebenarnya pemikiran kearah ilmu ekonomi regional telah dirintis oleh Von
Thunen pada tahun 1826, Weber tahun 1929, dan Ohlin tahun 1939, namun masih
merupakan penggalan dari ekonomi regional. Dalam disertasi berjudul Location
and Space Economic di Harvard University tahun 1956, Walter Isard memberi
landasan ilmu ekonomi regional yang komprehensif, berkaitan dengan penerapan
prinsip ekonomi dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah yang
memiliki potensi berbeda. Walter Isard cenderung menggunakan istilah ilmu
regional (regional science) atau ekonomi regional karena sifat multi-disipliner
keilmuan didalamnya seperti ilmu planologi, teknik, pertanian, geografi,
lingkungan hidup, sosial dan lain-lain. Ilmu transportasi (disebut juga ekonomi
transportasi) dan lingkungan termasuk dalam ilmu regional. Salah satu asumsi
dalam ilmu regional untuk analisis permasalahan adalah ceteris paribus (other
things being equal) yang berarti unsur atau faktor lain tidak berubah.
Tujuan kebijakan ekonomi dalam prespektif makroekonomi adalah full
employment, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas harga (price stability). Ilmu
ekonomi regional dapat mengkaji full employment dan pertumbuhan ekonomi,
namun stabilitas harga tidak dapat dikaji karena merupakan instrumen kebijakan
pemerintah pusat dan berada di luar kapasitas pemerintah daerah. Analisis
ekonomi regional yang menggunakan makroekonomi atau menerapkan modelmodel
pendapatan
nasional
dan
petumbuhan
nasional
disebut
dengan
makroekonomi antar wilayah (inter-regional macroeconomics dimana setiap
31
daerah merupakan perekonomian terbuka (open economics) dengan arus barang,
modal dan tenaga kerja antar wilayah mengalir tanpa mengalami hambatan.
Ohlin (1939) dan Glasson (1974) menyatakan modal dan tenaga kerja akan
mengalir dari wilayah dengan tingkat upah lebih rendah ke tingkat upah lebih
tinggi, dan berakhir ketika terjadi kesamaan tingkat upah yang disebut kondisi
keseimbangan (equilibrium). Intervensi pemerintah tidak perlu karena akan terjadi
kondisi konvergensi (berimbang) dengan sendirinya, kecuali terdapat gangguan
mobilitas faktor antar wilayah atau antar sektor.
Munnel (1992) meneliti investasi publik dan privat yang dapat kontradiktif.
Di satu sisi public capital meningkatkan produktivitas private capital, menaikkan
tingkat pengembalian (rate of return) dan mendorong investasi yang lebih banyak,
namun disisi lain dalam presfektif investor, public capital merupakan subtitusi
dari private capital. Perubahan lapangan kerja merupakan fungsi dari beberapa
variabel yang mencerminkan biaya input (tenaga kerja, energi dan tanah), ukuran
pasar (market size) dan public capital stock. Hasil analysis menunjukkan public
capital secara statistik mempunyai dampak signifikan terhadap pertumbuhan
lapangan kerja (employment growth), dan memiliki dampak positif terhadap
aktivititas ekonomi yaitu output, investasi dan pertumbuhan ekonomi.
2.2.1. Pendapatan Regional
Teori Basis Ekspor (Export Base Theory). diperkenalkan oleh Douglas C.
North tahun 1956 ini merupakan model pendapatan paling sederhana dalam
ekonomi makro inter-regional. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan
oleh keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang dimiliki daerah tersebut
sebagai basis untuk peningkatan ekspor. Peningkatan ekspor tersebut selanjutnya
memberikan dampak berganda (multiplier effect). Sistem regional dibedakan atas
32
dua bagian yaitu daerah sendiri dan daerah lainnya. Teori ini menjadi penting
karena memberikan kerangka teoritis pada studi multiplier regional empiris.
Ekpor diasumsikan sebagai satu satunya unsur otonom dalam pengeluaran,
dan semua unsur pengeluaran lain merupakan fungsi pendapatan. Fungsi
pengeluaran dan fungsi impor tidak memiliki intersep namun bertolak dari titik
nol menurut persamaan untuk daerah i :
............................................................................... (2.1)
Pendapatan (Y i ) adalah pengeluaran domestik (E i –M i ) + ekspor (X i ), dan
Pengeluaran domestik = total pengeluaran daerah i (Ei) – pengeluaran impor
daerah i
.
........................................................................................... (2.2)
.......................................................................................... (2.3)
(eksogen) ................................................................................. (2.4)
Bila persamaan (2.2), (2.3) dan (2.4) disubtitusi pada persamaan (2.1) diperoleh:
+
maka:
......................................................................................... (2.5)
Pendapatan regional adalah kelipatan ekspor bila marginal propensity expenditure
secara lokal
(Richardson, 2001)
Persamaan (2.5) diubah susunannya:
........................................................................................ (2.6)
Berdasarkan teori ini, tidak ada unsur eksogen lainnya selain ekspor, maka rasio
rata-rata sama dengan rasio marginal. Dengan demikian multiplier basis adalah:
.......................................................................................... (2.7)
33
2.2.2.
Konsep Pertumbuhan Regional
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu
perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional.
Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi bila terjadi peningkatan
Gross National Product (GNP) riil negara tersebut.
Todaro (2000) menyebutkan faktor-faktor pertumbuhan ekonomi meliputi
akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja, serta kemajuan
teknologi. Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung
dan diinvestasikan untuk memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari.
Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja merupakan faktor positif merangsang
pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja yang lebih besar akan menambah jumlah
tenaga produktif, sedangkan pertambahan penduduk yang lebih besar akan
menambah luasnya pasar domestik. Kemajuan teknologi merupakan sumber
pertumbuhan ekonomi yang penting karena dapat meningkatkan nilai tambah.
Kemajuan teknologi berarti ditemukannya cara atau perbaikan produksi.
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan
ekonomi (economic development). Pembangunan ekonomi adalah suatu proses
kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan
pertambahan penduduk, disertai perubahan fundamental struktur ekonomi dan
pemerataan pendapatan penduduk suatu negara. Pembangunan ekonomi tak dapat
dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi, karena pembangunan ekonomi mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya. Perbedaan keduanya adalah pertumbuhan
ekonomi lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan standar pendapatan dan
tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih
bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan output, tetapi juga perubahan-
34
perubahan dalam struktur output/ produksi dan alokasi input pada berbagai sektor
perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik.
Produk
Domestik
Bruto
(PDB)
merupakan
salah
satu
metode
menghitung pendapatan nasional dapat didefenisikan sebagai nilai semua barang
dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode waktu tertentu (biasanya
per tahun). PDB berbeda dari Produk Nasional Bruto (PNB) yang memasukkan
pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara tersebut.
Dengan demikian PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa
memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi
dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul faktor
produksi yang digunakan.
PDB dibedakan atas PDB nominal dan PDB riil. PDB Nominal (disebut
PDB atas dasar harga berlaku), mengacu kepada nilai PDB tanpa memperhatikan
pengaruh harga, sementara PDB riil (disebut juga PDB atas dasar harga konstan)
mengoreksi PDB nominal dengan menghilangkan pengaruh dari harga. Kinerja
perekonomian Indonesia digambarkan PDB atas dasar harga konstan (PDB riil).
PDB dapat dihitung dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran
(expenditure) dan pendekatan pendapatan (income). Rumus umum dengan
pendekatan pengeluaran adalah: PDB = konsumsi rumahtangga (C) + investasi (I)
+ pengeluaran pemerintah (G) + Net Export (Nx). Konsumsi adalah pengeluaran
yang dilakukan rumahtangga dan dikendalikan oleh publik, investasi (I)
merupakan sektor usaha yang dikendalikan swasta, pengeluaran pemerintah
(government expenditure) dikendalikan pemerintah, dan net export adalah ekspor
- impor yang melibatkan sektor luar negeri.
35
Berdasarkan pendekatan pendapatan, PDB menghitung pendapatan yang
diterima faktor produksi yaitu PDB = sewa + upah + bunga + laba. Sewa adalah
pendapatan pemilik faktor produksi tetap seperti tanah, upah untuk tenaga
kerja, bunga untuk pemilik modal, dan laba untuk pengusaha. PDB dengan
pendekatan pengeluaran dan pendapatan harus menghasilkan angka yang sama.
Namun dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit
dilakukan, maka yang sering digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan
pengeluaran.
Analisis pertumbuhan regional dimaksudkan untuk mengetahui penyebab
suatu daerah dapat tumbuh lebih cepat atau bahkan lebih lambat terhadap
pertumbuhan nasional, serta untuk menjelaskan ketimpangan (disparitas)
pembangunan ekonomi antar wilayah. Teori pertumbuhan ekonomi memasukkan
unsur lokasi dan wilayah secara eksplisit dalam analisis.
Pendekatan teoritis pertumbuhan regional umumnya berdasarkan pemikiran
Harrod-Domar dan teori Neo-klasik. Pertumbuhan wilayah (regional) pada
dasarnya menggunakan konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat dengan
sentral analisis pada perpindahan faktor (factor movement). Perekonomian negara
yang di asumsikan sebagai perekonomian tertutup (close economics) tidak dapat
diterapkan pada perekonomian wilayah yang berciri ekonomi terbuka (open
economics). Perpindahan modal (kapital) dan tenaga kerja (labor force) suatu
daerah ke daerah lain berpotensi menyebabkan tingkat pertumbuhan regional
antar daerah berbeda. Suatu daerah dapat mencapai pertumbuhan lebih tinggi dari
pertumbuhan nasional atau sebaliknya, bergantung potensi daerah masing-masing.
2.2.2.1. Model Pertumbuhan Harrod-Domar
36
Model pertumbuhan Harrod-Domar dibangun berdasarkan pengalaman
negara maju, digunakan untuk menganalisis pertumbuhan regional dengan
pertimbangan factor movement yaitu perpindahan modal dan tenaga kerja antar
wilayah. Beberapa asumsi yang mendasari model Harrod-Domar yaitu hasrat
menabung (s), tingkat pertumbuhan penduduk (n), dan koefisien-koefisien dalam
produksi adalah konstan. Input modal dan tenaga kerja yang dimaksudkan untuk
mencapai pertumbuhan mantap (steady growth) disyaratkan harus memenuhi
keseimbangan dimana tingkat pertumbuhan modal (k) dan tingkat pertumbuhan
penduduk (n) harus sama dengan tingkat pertumbuhan output
atau
.
Dalam kondisi keseimbangan, tabungan yang direncanakan sama dengan investasi
yang direncanakan menurut persamaan:
............................................................................... (2.8)
dimana
adalah rasio modal-output. Pertumbuhan mantap diperoleh bila
dipenuhi syarat
. Disebabkan
,
, dan
ditentukan secara
independen, maka pertumbuhan mantap hanya dapat dicapai secara kebetulan.
Ekonomi regional merupakan ekonomi terbuka dimana impor dan tabungan
dipandang sebagai kebocoran (leakages), sementara ekspor dan investasi
merupakan suntikan (injection). Ekspor dan investasi dapat menutup selisih
komsumsi domestik dan output kapasitas penuh. Kelebihan produksi dan
tabungan suatu daerah dapat disalurkan ke daerah lain yang tercermin dalam
ekspor netto. Bila penduduk suatu daerah bertambah terlalu cepat dibanding daya
serap tenaga kerja pada tingkat pertumbuhan yang sedang berlangsung, maka
migrasi netto dapat menyeimbangkan
dan .
Syarat keseimbangan (equlibrium condition) dalam perekonomian terbuka:
.................................................................................... (2.9)
37
dimana:
= Saving,
= Import, = Investasi dan
= Ekspor.
Persamaan diatas dapat ditulis menjadi:
............................. (2.10)
Ekspor suatu region
merupakan impor bagi daerah lainnya, sehingga:
................................................................ (2.11)
Berdasarkan persamaan diatas, pertumbuhan suatu daerah dinyatakan dengan :
...................................................................... (2.12)
Pada dasarnya tabungan suatu daerah cenderung lebih besar dari investasi,
namun pertumbuhan modal suatu daerah bisa tetap sama dengan tingkat
pertumbuhan output sepanjang selisih tabungan dengan investasi diimbangi oleh
surplus ekspor. Kelebihan tenaga kerja dapat diserap melalui migrasi keluar dan
kekurangan tenaga kerja dipenuhi melalui migrasi masuk, dengan syarat
keseimbangan:
, dimana
adalah tingkat migrasi yang merupakan
jumlah netto migrasi keluar dan migrasi masuk dalam setiap periode waktu
sebagai prosentase jumlah penduduk pada daerah yang bersangkutan. Tingkat
migrasi
bila dipandang sebagai suatu sistem, dirumuskan menurut persamaan:
................................................................................. (2.13)
dimana
= migrasi masuk dan keluar, dan
= jumlah penduduk
Pencapaian syarat keseimbangan suatu daerah dapat mengubah syarat
keseimbangan daerah lain, yang selanjutnya dapat berimplikasi terhadap adanya
refleksi dan koreksi terhadap pertumbuhan daerah itu sendiri. Adanya tendensi
kearah pertumbuhan mantap (steady state) bergantung pada kondisi dimana arus
modal dan tenaga kerja antar wilayah bersifat saling menyeimbangkan atau tidak.
38
Peranan kunci pada model Harrod-Domar terletak pada investasi dalam
pertumbuhan ekonomi, khususnya pada peran ganda yang dimiliki investasi
(Jhingan, 2004) yaitu investasi menciptakan pendapatan (disebut dengan dampak
permintaan), dan investasi memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan
meningkatkan stok modal disebut dengan dampak penawaran.
Selama investasi netto berlangsung, pendapatan nyata dan output akan terus
meningkat. Guna mempertahankan tingkat keseimbangan pendapatan dari tahun
ke tahun, pendapatan nyata dan output harus meningkat dalam laju yang sama.
Bila tidak, setiap perbedaan antara keduanya akan menimbulkan kelebihan
kapasitas atau ada kapasitas yang menganggur (idle). Kondisi ini memaksa
pengusaha membatasi pengeluaran investasi yang mengakibatkan penurunan
pendapatan dan pekerjaan, dan selanjutnya menggeser perekonomian keluar dari
jalur keseimbangan pertumbuhan mantap. Bila pekerjaan akan dipertahankan
jangka panjang, maka investasi harus terus diperbesar. Ini membutuhkan
pertumbuhan pendapatan nyata pada tingkat yang cukup untuk menjamin
penggunaan kapasitas penuh atas stok modal (capital stock) yang sedang tumbuh.
Tingkat pendapatan yang diperlukan disebut tingkat pertumbuhan terjamin
(warranted rate of growth) atau tingkat pertumbuhan kapasitas penuh.
Model Domar meneliti pada tingkat laju investasi berapa agar kenaikan
pendapatan sama dengan kenaikan kapasitas produktif sehingga pekerjaan penuh
dapat dipertahankan. Penelitian tersebut di analisis melalui hubungan antara
penawaran agragat dengan permintaan agregat. Domar menganggap bahwa
investasi memegang peran kunci dalam proses pertumbuhan dengan ciri
gandanya. Berbeda dengan Domar, model Harrod menganggap tingkat
39
pendapatan merupakan faktor terpenting dalam proses pertumbuhan, dan
menyamakan permintaan dan penawaran tabungan.
2.2.2.2. Model Pertumbuhan Neo-klasik
Model pertumbuhan neo-klasik sudah digunakan secara luas dalam analisis
regional walau asumsi tentang full-employment seringkali tidak dapat diterapkan
dalam sistem multi-regional, yang disebabkan permasalahan regional timbul
karena perbedaan geografis dalam penggunaan sumberdaya. Model ini
mengandung teori faktor mobilitas disamping teori pertumbuhan, sehingga
digunakan dalam ekonomi regional. Implikasi dari persaingan sempurna adalah
kapital dan labor force akan berpindah bila balas jasa faktor berbeda-beda.
Syarat steady growth dalam model neo-klasik kurang restriktif dibanding
model Harrod-Domar karena adanya kemungkinan terjadi subtitusi antara modal
dan tenaga kerja, yang berarti adanya fleksibilitas dalam rasio modal-output.
Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga sumber yaitu akumulasi modal,
bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan residu, yang dapat disebut dengan
kemajuan teknologi. Bila kemajuan teknologi diasumsikan merupakan fungsi
waktu, maka fungsi produksi adalah:
.................................................................................... (2.14)
Bila di turunkan dari rumus persamaan pertumbuhan;
................................................................. (2.15)
dimana
= tingkat pertumbuhan output,
tingkat pertumbuhan tenaga kerja dan
= tingkat pertumbuhan modal,
= tingkat kemajuan teknologi,
yang dihasilkan faktor modal (produk marginal dari modal
diasumsikan constant return to scale, maka
dihasilkan diluar modal yaitu tenaga kerja yakni
=
= bagian
. Bila
= bagian pendapatan yang
.
40
Pada model neo-klasik dibutuhkan pertumbuhan kapasitas penuh sehingga
investasi sama dengan full employment. Syarat keseimbangan bila
(tingkat
laba) juga merupakan produk marginal dari modal (marginal productivity of
kapital =
), maka syarat pertumbuhan mantap:
............................................................................ (2.16)
Bila
tertentu dan
tetap konstan, maka
dan
harus tumbuh dengan tingkat
yang sama. Pada pertumbuhan mantap
Berbeda dengan Harrod-Domar, model neo-klasik mengandung teori
mobilitas faktor yang dijelaskan dengan statika komparatif. Diasumsikan terdapat
dua daerah dengan satu jenis barang homogen dan biaya transport nol. Penawaran
tenaga kerja adalah tetap dan tidak ada kemajuan teknologi. Pasar beroperasi pada
persaingan sempurna dan fungsi produksi identik disetiap daerah sebesar
. Berdasarkan asumsi diatas, produk marginal tenaga kerja (marginal
productivity of labour =
of kapital =
dimana
Dalam persaingan sempurna,
) merupakan fungsi langsung marginal productivity
adalah fungsi terbalik rasio modal-tenaga kerja.
sama dengan upah riil.
2.2.3. Teori Kutub Pertumbuhan
Pada tahun 1950-an muncul teori yang menekankan pentingnya peranan
pusat-pusat pertumbuhan seperti teori kutup pertumbuhan (growth pole theory)
oleh seorang ekonomi Perancis, Francois Perrox pada tahun 1955, teori kutub
pembangunan teralokasi (localized development theory) oleh Boudeville, dan teori
titik pertumbuhan (growth point theory) oleh Albert Hirschaman pada tahun 1958.
Sjafrizal (2008) mengidentifikasi daerah tertentu yang tumbuh sangat cepat
(growing point), dan yang bertumbuh sangat lambat (lagging region). Kondisi ini
terjadi karena dalam proses pembangunan selalu terdapat efek rembesan
41
(trickling-down effect) dan efek konsentrasi (polarization effect) yang berbeda
antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Penentuan lokasi kegiatan ekonomi
menjadi keputusan sangat penting dan strategis.
Kutub pertumbuhan daerah didefinisikan sebagai seperangkat industri yang
sedang berkembang berlokasi di daerah perkotaan dan mendorong perkembangan
lanjutan dari kegiatan ekonomi melalui daerah pengaruhnya. Faktor utama
ekspansi regional adalah interaksi antara industri inti (industri penggerak) yang
merupakan pusat nadi dari kutup perkembangan. Industri berciri khas tertentu
yaitu tingkat konsentrasi yang tinggi, elastisitas pendapatan dari permintaan yang
tinggi, efek multiplier yang tinggi, tingkat teknologi yang sudah maju dan
keahlian manajerial berbaur ke sektor lainnya. Kutub pertumbuhan tidak hanya
melokalisasi industri inti, juga mendorong ekpansi yang besar di daerah sekitar.
Analisis kutub pertumbuhan (growth pole) memiliki karakteristik khusus
yang mengintegrasikan aspek pertumbuhan ekonomi, analisis keuntungan lokasi
serta keterkaitan antarwilayah, sehingga dapat meningkatkan efisiensi ekonomi
sehingga pertumbuhan ekonomi dapat didorong lebih maksimal. Analisis ini dapat
mensinkronkan aspek pertumbuhan dan pemerataan pembangunan antarwilayah.
Transfer pertumbuhan antarwilayah pada kenyataannya tidak pernah lancar,
namun cenderung terkonsentrasi pada suatu daerah tertentu yang memiliki
keunggulan lokasi. Analisis Perroux terhadap industri kendaraan menemukan
tendensi mengelompok pada suatu lokasi tententu (cluster of industries). Hal ini
menyebabkan pertumbuhan cenderung berada pada daerah tersebut karena
konsentrasi kegiatan ekonomi, dan selanjutnya mendorong pertumbuhan nasional.
Keuntungan skala besar adalah keuntungan yang diperoleh dalam bentuk
penurunan biaya produksi rata-rata per unit karena produksi dilakukan berskala
42
besar. Produksi skala besar dimungkinkan bila terdapat jaminan ketersediaan
bahan baku dan market. Keuntungan lokalisasi adalah keuntungan dalam bentuk
penghematan biaya perjalanan (travel cost saving), baik bahan baku maupun
pengangkutan hasil produksi, yang timbul karena lokasi terkonsentrasi dengan
perusahaan terkait lainnya dalam pusat pertumbuhan yang sama. Peranan sarana
dan prasarana jalan merupakan komponen penting dalam keuntungan lokalisasi.
Keuntungan urbanisasi adalah keuntungan karena penggunaan fasilitas pada pusat
pertumbuhan secara bersama seperti listrik, pergudangan, telepon, air minum, dan
utilitas lainnya untuk menunjang kegiatan operasi perusahaan.
Karakteristik utama dari pusat pertumbuhan (Richardson, 2001) yaitu:
1.
Adanya sekelompok kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada lokasi tertentu.
2.
Konsentrasi tersebut mampu mendorong pertumbuhan yang dinamis.
3.
Ada keterkaitan input output sesama kegiatan ekonomi pada pusat tersebut.
4.
Terdapat sebuah industri induk (propulsive industry) pada pusat tersebut yang
dapat berfungsi sebagai industri hulu (penyedia bahan baku) maupun industri
hilir (pengguna hasil produksi).
Adisasmita (2005) terdapat elemen yang sangat menentukan dalam konsep
pertumbuhan yaitu pengaruh suatu unit ekonomi terhadap unit ekonomi lainnya
tidak dapat dihindari (Gambar 5).
Usaha Terkait
Usaha Terkait
USAHA
UTAMA
Usaha Terkait
Usaha Terkait
Gambar 5. Struktur Ekonomi Pusat Pertumbuhan
43
Industri pendorong yang dipandang sebagai titik awal dan merupakan
elemen kunci pembangunan berkelanjutan memiliki ciri-ciri yang terkait yaitu:
1.
Kapasitas industri pendorong harus relatif besar sehingga berpengaruh kuat,
baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi;
2.
Industri pendorong harus merupakan sektor yang dapat berkembang cepat;
3.
Jumlah dan intensitas hubungan industri pendorong dengan sektor lain
dipandang penting, sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat di
implementasikan ke dalam unit-unit ekonomi lainnya.
Kutub pertumbuhan akan berperan sebagai penggerak pertumbuhan dalam
pembangunan wilayah, yakni menyebarkan hasil-hasil pembangunan ke wilayah
pengaruh. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan kegagalan peranan kutub
pertumbuhan disebabkan pusat pertumbuhan berada di kota besar yang
merupakan pusat konsentrasi penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial,
memiliki daya tarik yang kuat bagi urbanisasi. Akibatnya terjadi dampak negatif
terhadap wilayah pengaruh yang disebut oleh Myrdal sebagai dampak serap balik
(backwash effect).
Myrdal berpendapat pembangunan ekonomi menghasilkan suatu proses
yang menyebabkan Si kaya mendapat keuntungan semakin banyak dan yang
tertinggal di belakang semakin terhambat. Dampak serap balik cenderung
membesar dan dampak sebar (spread effect) cenderung mengecil, yang secara
kumulatif akan memperlebar ketimpangan internasional dan regional diantara
negara-negara terbelakang. Dampak serap balik dapat diartikan sebagai semua
perubahan yang merugikan dari ekspansi ekonomi di suatu tempat karena sebab
diluar tempat itu. Dampak sebar adalah dampak momentum pembangunan
ekonomi yang menyebar secara sentrifugal dari sentra ekonomi ke wilayah-
44
wilayah lain. Penyebab utama ketimpangan regional adalah kuatnya dampak balik
dan lemahnya dampak sebar. Perbedaaan pendapatan regional dalam ekonomi
yang maju jauh lebih kecil daripada perekonomian yang kurang berkembang.
Konsep titik pertumbuhan (growth point concept) merupakan mata rantai
penghubung antara struktur daerah-daerah nodal yang berkembang dengan
sendirinya dan perencanaan fisik dan regional. Keuntungan aglomerasi
menyebabkan konsentrasi produksi lebih efisien daripada terpencar-pencar.
Pemikiran dasar titik pertumbuhan adalah bahwa kegiatan ekonomi disuatu daerah
cenderung beraglomerasi disekitar sejumlah kecil titik-titik fokal (pusat
kontrol/pusat yang dominan) yang disebut dengan titik pertumbuhan.
2.2.4. Model Von Thunen
Model Von Thunen berkembang di Jerman pada sekitar abad ke 19 dengan
latar belakang kondisi perekonomian yang umumnya berbasis pertanian, yang
dikelola dengan sistem tuan tanah (land lord). Raja dan bangsawan yang
merupakan tuan tanah menyewakan tanahnya untuk dikelola rakyat yang bekerja
sebagai buruh tani. Struktur ruang yang ada bersifat monocentric dimana petani
tinggal tersebar dan menghasilkan komoditi yang dijual ke kota Central Bussiness
District (CBD) dimana para tuan tanah tinggal.
Berdasarkan struktur ruang yang monocentric, Von Thunen menyusun teori
lokasi khusus yang menunjukkan pengaruh kenaikan nilai jual komoditas dan
sewa lahan (land-rent) akibat perubahan biaya angkut output terkait dengan jarak
(distance) dan biaya transportasi (transportation cost). Faktor utama yang
menentukan pemilihan lokasi atau penggunaan tanah (land-use) adalah biaya
sewa lahan (land-rent). Terdapat gradient sewa tanah negatif (negative land-rent
gradient) yaitu harga lahan akan menurun sebanding dengan jarak yang semakin
45
jauh ke pusat kota (market) sebagai kompensasi biaya transportasi yang lebih
tinggi, namun ini tidak linier. Model Von Thunen juga menyatakan terdapat batas
ruang (spasial) dimana komoditas terus diproduksi untuk dijual pada lokasi
tertentu, melewati batasan spasial tersebut, komoditas tidak akan diproduksi.
Model Von Thunen, lahan sebagai faktor input dalam proses produksi,
kecuali untuk pembayaran tanah yang dipandang sebagai residual. Hal ini berarti
bahwa pembayaran sewa lahan akan didistribusikan setelah semua faktor non-land
dan biaya pengangkutan telah dibayar. Biaya sewa lahan maksimum per hektar
adalah menurut persamaan:
Sewa lahan = pendapatan output – pembayaran non lahan – biaya transportasi
Apabila dikaitkan dengan luas lahan yang berproduksi, maka:
Sewa lahan per unit luas x luas lahan = pendapatan output (output revenue) –
pembayaran
non
lahan
–
biaya
transportasi.
Sewa lahan per unit area adalah sisa total pendapatan output setelah seluruh biaya
transport dan non land input dibayar, dibagi luas lahan yang di usahakan.
2.3. Investasi Prasarana Jalan
Berdasarkan
teori
ekonomi,
investasi
dapat
didefinisikan
sebagai
pembelian modal barang (capital stock) yang tidak dikonsumsi, namun digunakan
untuk produksi yang akan datang (barang produksi), dengan harapan memperoleh
keuntungan pada masa mendatang, misalnya membangun rel kereta api
atau pabrik. Investasi juga berarti suatu kegiatan yang menunda komsumsi/
penggunaan sejumlah dana saat ini dengan tujuan mendapatkan keuntungan pada
masa mendatang. Menurut Sadono (2004), investasi merupakan pengeluaran
penanaman modal atau perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan
46
memproduksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian. Dalam bahasa
sederhana, investasi adalah penanaman modal.
Investasi merupakan fungsi pendapatan dan bunga, dan menjadi salah satu
komponen Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai persamaan PDB = komsumsi
(C) + investasi (I) + pengeluaran pemerintah (G) + (ekspor - impor). Investasi
juga memiliki risiko bila mengalami kegagalan, yang disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya faktor keamanan, faktor manusia, atau ketertiban hukum.
Neraca modal atau neraca kapital (capital account) adalah bagian neraca
pembayaran yang mencerminkan perubahan dalam kepemilikan aset jangka
pendek (saham, obligasi) dan jangka panjang (real estate) suatu negara, yang
meliputi arus modal masuk tercatat sebagai kredit karena suatu negara menjual
aset berharga kepada pihak asing untuk mendapat uang tunai, serta arus modal
keluar sebagai debit karena negara membeli asset berharga dari luar negeri.
Secara tradisional, jasa seperti telekomunikasi, suplai dan distribusi listrik
dan air minum, konstruksi jalan dan jembatan, bandara, pelabuhan laut dan rel
kereta api merupakan tanggung jawab pemerintah (public sector). Infrastruktur
tersebut dibangun bukan berorientasi keuntungan (profit oriented), namun untuk
melayani masyarakat, sehingga tidak menarik bagi pihak swasta (private sector).
Pada dekade belakangan, privatisasi infrastrukur termasuk jalan mengalami
lonjakan signifikan melalui mekanisme Public Private Partnership (PPP). Swasta
bermitra dengan pemerintah menanam modal/ saham pada infrastruktur jalan dan
selanjutnya tol dipungut dari penggunan jalan (toll road).
Prasarana jalan khususnya non tol merupakan barang modal yang tidak
dikomsumsi. Biaya pembangunan dan pemeliharaan jalan merupakan pengeluaran
modal (capital expenditure), dan merupakan investasi karena mengharapkan
47
keuntungan selama masa pelayanan. Keuntungan diharapkan melalui kelancaran
pergerakan manusia, barang dan jasa sehingga biaya operasional kendaraan
menjadi lebih murah, penghematan waktu tempuh dan pada akhirnya berdampak
pada perekonomian misalnya biaya produksi menjadi turun dan harga barang ke
konsumen (pemakai akhir) menjadi lebih murah. Seiring dengan waktu, kondisi
jalan dipastikan semakin menurun, misalnya mengalami retak (crack), berlubang
(potholes), yang berarti nilai investasi jalan semakin berkurang (investasi negatif).
Depresiasi merupakan penurunan nilai fisik barang modal lama atau asset
seiring waktu dan penggunaan, yang menyebabkan persediaan modal (capital
stock) menurun. Prasarana jalan adalah investasi berupa pengeluaran pemerintah,
dan merupakan barang modal (kapital) yang mengalami depresiasi (penyusutan)
menurut persamaan: K t+1 = Kt + I t - δ.K t dimana Kt+1 = nilai kapital jalan tahun
ke t+1 (tahun depan), Kt = nilai kapital jalan saat ini, I t = Nilai investasi jalan saat
ini, dan δ = depresiasi.
Nilai kapital jalan agar tetap layak dalam melayani lalu lintas, seharusnya
mengikuti prinsip bahwa biaya investasi jalan yang dikeluarkan adalah sebesar
nilai depresiasi yang terjadi (δ.K t ) sehingga nilai kapital jalan tidak berubah (K t+1
= Kt ). Umumnya investasi pada prasarana jalan tidak dapat mengimbangi tingkat
depresiasi jalan yang terjadi sehingga persediaan modal menurun. Kondisi ini
terjadi karena nilai depresiasi jalan karena kerusakan jalan lebih cepat
dibandingkan dengan rencana, serta adanya faktor overloading (kelebihan
muatan). Dalam perkembangannya, selalu saja dibutuhkan pembangunan jalan
baru untuk mengimbangi tingkat pertumbuhan volume lalu lintas atau untuk
membuka daerah yang terisolir. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan
menggunakan konsep BCR (Benefit Cost Ratio). Pada pekerjaan rekonstruksi
48
(betterment) jalan dan pemeliharaan (maintenance), pendekatan lebih kearah
kondisi jalan dalam parameter kekasaran permukaan jalan (roughness).
2.4.
Pendapatan dan Distribusi Pendapatan
Beratus juta orang miskin dengan penghasilan rendah bahkan sangat rendah
terdapat di dunia dan menjadi permasalahan yang serius. Menurut World bank
(2006), orang miskin didefenisikan sebagai orang yang mempunyai biaya hidup
kurang dari $ 2 dollar perhari. Mereka tinggal di negara-negara termiskin, dan
negara-negara berpenghasilan menengah yang menunjukkan adanya ketimpangan
pendapatan yang besar. Tantangan-tantangan kemiskinan global berkaitan erat
dengan ketidak sama-rataan bidang ekonomi dan sosial, serta perbedaan dalam
pembagian jatah kekayaan alam. Bank dunia menerapkan strategi jangka panjang
dengan dua pilar anti kemiskinan yang saling berkaitan yaitu memperbaiki iklim
penanaman modal, dan memberi kekuasaan kepada orang-orang miskin.
Pertanian masih tetap menjadi mesin pertumbuhan utama pada kebanyakan
negara-negara yang berpenghasilan rendah di dunia. Untuk mendukung produksi
pertanian, bank dunia memberikan prioritas pembangunan pada sektor prasarana
(infrastruktur). Pada tahun fiskal 2006, terdapat 125 proyek baru yang disetujui
dengan komponen prasarana berjumlah $ 8 milyar dolar. Kenaikan kira-kira 10
persen dibandingkan pembukuan tahun sebelumnya. Kebanyakan dari proyek
yang sudah disetujui berada pada sektor pengangkutan, termasuk sektor jalan (40
persen), dan sektor energi serta pertambangan (38 persen), diikuti dengan air,
sanitasi, serta sektor perlindungan banjir (21 persen).
Pendapatan
Tabungan
rumahtangga
Rumahtangga
Pembayaran
Pasar untuk
faktor
Pasar uang
Investasi swasta
Defisit pemerintah
Pajak
Transfer pemerintah
Pemerintah
Pajak
Pembayaran
Perusahaan
49
Sumber: Mankiw (2000)
Gambar 6. Arus Uang dalam Perekonomian
Konsep pendapatan dapat dibagi atas pendapatan individu, pendapatan
perusahaan dan pendapatan pemerintah. Mankiw (2000), menggambarkan arus
perputaran kegiatan ekonomi (circular flow of economics activity) yang
menunjukkan interaksi ketiga pendapatan tersebut (Gambar 6).
Rumahtangga memperoleh pendapatan dari perusahaan atas penawaran
faktor-faktor produksinya, dan dari pemerintah yang disebut dengan transfer
pemerintah. Rumahtangga mengeluarakan pendapatannya untuk belanja barang
dan jasa, ditabung, serta untuk membayar pajak kepada pemerintah. Perusahaan
memperoleh pendapatan yang bersumber dari belanja barang dan jasa
rumahtangga, pemerintah, dan selanjutnya mengeluarkan pendapatan untuk
membayar penggunaan faktor-faktor produksi, membayar pajak dan investasi.
Pemerintah memperoleh pendapatan yang bersumber dari pembayaran pajak
rumahtangga dan perusahaan, serta mengeluarkan pendapatan untuk pembelian
barang dan jasa, dan transfer ke rumahtangga. Pendapatan pemerintah sebaiknya
lebih besar dari pengeluaran (surplus) untuk menjamin stabilitas ekonomi, namun
bila pengeluaran pemerintah lebih besar dari pendapatan (defisit), maka
pemerintah akan meminjam dari pasar uang untuk menutupi defisit tersebut.
Distribusi pendapatan dapat dikelompokkan menjadi distribusi pendapatan
fungsional (distribusi balas jasa), dan distribusi pendapatan antar rumahtangga.
Distribusi pendapatan fungsional mengacu pada teori keseimbangan neo-klasik
50
yang diturunkan dari konsep pasar persaingan sempurna, dimana dijelaskan
pembagian pendapatan yang diterima masing-masing faktor produksi, misalnya
yang diterima oleh pekerja dan pemilik modal.
Distribusi
pendapatan
berdasarkan
pendekatan
fungsional
dapat
diturunkan dengan menggunakan faktor produksi yaitu:
......................................................................................... (2.17)
dimana:
= output fisik,
= kapital (modal) dan
adalah labor (tenaga kerja).
Berdasarkan persamaan diatas dapat diturunkan marginal faktor
produk marginal faktor produksi kapital
dan
dan
. Dengan mengetahui besaran
, selanjutnya dapat diketahui pembagian pendapatan atau output
fisik masing-masing faktor produksi menurut kondisi pasar.
Distribusi pendapatan rumahtangga dibagi menjadi distribusi pendapatan
absolut (mutlak) dan distribusi pendapatan relatif. Distribusi pendapatan absolut
berkaitan dengan proporsi jumlah rumahtangga yang pendapatannya mencapai
tingkat tertentu atau lebih kecil, dan selalu dikaitkan dengan jumlah penduduk
yang berada dibawah garis kemiskinan.
Pemahaman mengenai distribusi pendapatan menjadi parameter yang
penting dalam analisis keberhasilan pembangunan ekonomi. Faktor pertumbuhan
ekonomi dan meningkatnya pendapatan perkapita tidak cukup, Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan meningkatnya pendapatan perkapita tidak ada artinya
bila distribusi pendapatan sangat timpang. Penduduk kaya yang jumlahnya sedikit
akan menikmati kenaikan pendapatan yang jauh lebih besar, sementara penduduk
miskin yang mayoritas hanya mengalami sedikit peningkatan pendapatan. Tidak
mengherankan apabila distribusi pendapatan yang timpang menimbulkan kondisi
dimana si kaya bertambah kaya dan si miskin bertambah miskin.
51
2.5. Studi Empir ik Inter -r egional Social Accounting Matr ix
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Model Input-Output dan SAM
memiliki kaitan yang sangat erat. Model Input-Output merupakan komponen
utama dalam penyusunan Social Accounting Matrrix (SAM). Pada tahun 1990,
Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Japan Bank for International
Agency (JICA) menyusun tabel Inter-regional Input-Output (IRIO) Indonesia
berdasarkan lima pulau yaitu pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan
Pulau lainnya. Berdasarkan tabel IRIO selanjutnya dikembangkan Inter-regional
Social Accounting Matrix (IRSAM).
Di Indonesia, IRSAM pertama sekali dibangun oleh Hidayat (1991)
berdasarkan data tahun 1985. Indonesia dibagi menjadi 2 wilayah yaitu Jawa dan
luar Jawa. SAM Nasional digunakan untuk mengestimasi neraca Jawa, sementara
neraca (account) luar Jawa dihitung sebagai perbedaan antara neraca nasional dan
neraca Jawa. Lebih jauh Hidayat (1991) mengestimasi transfer inter-regional
sebagai perbedaan antara pendapatan total dengan pengeluaran total. Namun
demikan hanya transfer didalam blok yang sama saja yang digunakan.
Wuryanto (1996), memperbaiki struktur IRSAM dengan membagi Indonesia
menjadi 2 wilayah yaitu Jawa dan luar Jawa. Spesifikasi regional dibuat lebih
rinci untuk faktor dan account rumahtangga. Jawa dibagi 3 region yaitu Jawa
bagian Barat, sentral dan Timur, sedangkan luar Jawa menjadi 4 sub-region yaitu
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan wilayah Indonesia timur lainnya. Wuryanto
(1996) menunjukkan desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pendapatan
rumahtangga regional pada hampir semua provinsi, terutama di Jawa. Peningkatan
pendapatan rumahtangga luar Jawa pada awalnya rendah dan cenderung
menimbulkan ketidakmerataan pendapatan dibandingkan skenario aktual.
52
Perbaikan dilakukan oleh Achyar et al. (2003), yang membangun IRSAM
Indonesia tahun 1995 dengan membagi Indonesia menjadi 5 wilayah utama yaitu
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau di timur lainnya.
Hadi (2001), dan Achyar et al. (2003), membangun model IRSAM
menggunakan data IRIO dengan fokus penelitian disparitas ekonomi antar
wilayah Indonesia belahan Barat dan Timur yang disebut dengan Sistem Neraca
Sosial Ekonomi Antar Regional Kawasan Barat Indonesia (KBI) – Kawasan
Timur Indonesia (KTI) Tahun 1993 (SNSE-AR KBI-KTI 1993). Pulau Sumatera
dan Jawa-Bali dikelompokkan sebagai wilayah Barat, sementara pulau
Kalimantan, Sulawesi dan pulau lainnya dikelompokkan dalam wilayah Timur.
Model IRSAM KBI-KTI yang dibangun digunakan untuk meneliti ketimpangan
pembangunan wilayah antara KBI dan KTI, keterkaitan sektor ekonomi intra dan
inter-regional, serta dampak perubahan kebijakan terhadap disparitas KBI-KTI.
Dari penelitian Hadi diperoleh fakta bahwa sektor-sektor ekonomi pada KTI
memiliki ketergantungan yang lebih besar terhadap sektor-sektor ekonomi di KBI
daripada sebaliknya. KTI membutuhkan input dari sektor ekonomi KBI rata-rata
29 persen dari input total yang dibutuhkan, yang terdiri dari sektor primer 32.1
persen, sektor industri 28.6 persen dan sektor jasa 26.4 persen. Sebaliknya sektor
ekonomi KBI memerlukan input dari KTI rata-rata 4.8 persen dengan perincian
sektor primer 6.4 persen, sektor industri 5.3 persen, dan sektor jasa 2.8 persen.
Keterkaitan langsung sektor ekonomi menunjukkan 39.1 persen total output sektor
KBI dijual ke KTI, namun tidak ada produk industri KTI yang dijual ke KBI.
Rachman dan Utama (2003), menggunakan IRSAM untuk menganalisis
dampak desentralisasi fiskal. Berbeda dengan studi sebelumnya, Indonesia dibagi
menjadi dua wilayah makro yaitu Jawa dan luar Jawa. Wilayah Jawa selanjutnya
53
dikelompokkan dalam tiga wilayah mikro yaitu Jawa Barat termasuk Jakarta dan
Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara wilayah luar Jawa terdiri dari
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau lainnya. Data IRSAM 1990 (matrik
102x102) yang dibangun Wuryanto (1996), diperbaharui menjadi IRSAM 1999
(matrik 30 x 30) yang selanjutnya digunakan untuk meneliti dampak anggaran
pemerintah daerah pada tahun fiskal 2002 dalam menyeimbangkan pendapatan,
mengurangi disparitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Penelitian Rahman dan Utama (2003), menunjukkan bahwa perekonomian
Indonesia sangat bergantung pada pulau Jawa. Ini dibuktikan dengan kenyataan
bahwa tenaga kerja dan modal yang digunakan di luar pulau Jawa kebanyakan
didatangkan dari Jawa. Hal ini merupakan dasar utama terjadinya disparitas
ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Sektor yang dominan dalam alokasi
penganggaran di Jawa adalah sektor manufaktur, jasa dan pertanian, dan ini juga
merupakan porsi tertinggi dari output multiplier dari luar Jawa.
Nurdianto et al. (2009) menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal
terhadap perekonomian nasional dengan menggunakan Inter-regional Social
Acccounting Matrix (IRSAM). Hasil penelitiaan menunjukkan bahwa strategi
transfer fiskal akan mereduksi gap pertumbuhan perekonomian regional, namun
dapat menyebabkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional secara
keseluruhan. Desentralisasi fiskal yang lebih banyak akan memberi keuntungan
pada wilayah Sulawesi dan Indonesia Timur. Dampak terhadap tenaga kerja
bervariasi bergantung pada wilayah dan tipe tenaga kerja.
Alim (2006), sebagaimana disinggung dalam perumusan masalah,
menggunakan model IRSAM Jawa - Sumatera tahun 2002 (SAMIJASUM 2002)
untuk menganalisis keterkaitan dan kesenjangan ekonomi intra dan inter-regional
54
Jawa dan Sumatera. Dengan menggunakan tabel IRIO Sumatera-Jawa tahun 2000,
SAMIJASUM tahun 2002 disusun dengan matriks berukuran 59 x 59. Studi yang
dilakukan mencakup analisis struktur ekonomi intra-regional dan inter-regional,
struktur pengeluaran dan pendapatan rumahtangga, distribusi pendapatan.
Keterkaitan (linkages) antar sektor intra-regional pada penelitian Alim
menunjukkan bahwa sektor jasa di Jawa maupun Sumatera memiliki backward
dan forward linkages yang tinggi, sementara sektor perdagangan, restoran dan
hotel, dan sektor industri makanan, minuman, dan tembakau di kedua wilayah
kurang terkait dengan sektor dibelakangnya. Keterkaitan antar sektor interregional (inter-linkages) menunjukkan secara agregat tingkat ketergantungan
perekonomian Sumatera atas input dari Jawa relatif tinggi dibandingkan
sebaliknya terutama pada sektor industri makanan, minuman, dan tembakau. Studi
Rum alim menyimpulkan bahwa distribusi kenaikan pendapatan antar golongan
rumahtangga di Sumatera relatif lebih baik (lebih merata) daripada di Jawa-Bali,
walaupun distribusi pendapatan kedua pulau cenderung divergen. Kecuali
golongan rumahtangga golongan atas desa dan rumahtangga buruh tani yang
cenderung konvergen. Melalui simulasi diketahui bahwa perekonoman di Jawa
sangat sensitif terhadap kemajuan ekonomi Sumatera, sedang perekonomian
Sumatera kurang sensitif terhadap ekonomi Jawa-Bali. Hal ini dibuktikan dengan
besarnya efek multiplier yang diterima Jawa dari kemajuan ekonomi Sumatera,
sementara efek multiplier yang diterima Sumatera dari Jawa relatif kecil, yang
artinya efek sebar (spread effect) yang diterima Sumatera dari kemajuan ekonomi
Jawa lebih kecil daripada efek serap balik (backwash effect).
Berdasarkan SAM Indonesia, Thorbecke and Jung (1996), menganalisis
konsekwensi pertumbuhan sektoral terhadap kemiskinan dalam prespektif dampak
55
multiplier SAM. Studi kasus di Indonesia tersebut menunjukkan pertumbuhan
sektor pertanian dan sektor jasa yang terkait pertanian cenderung lebih baik dalam
penanggulangan kemiskinan daripada pertumbuhan sektor industri atau bahkan
sektor jasa, bahkan setelah mengakomodasi variasi dampak multiplier.
2.6. Studi Empir ik Dampak Infr astr uktur ter hadap Per ekonomian
Dampak pembangunan infrastruktur terhadap fungsi produksi (production
function) dengan berbagai metode analisis sudah banyak dilakukan para ekonom.
Aschauer (1989), mengestimasi hubungan antara kapital infrastruktur publik
dengan kapasitas produksi melalui investasi sektor swasta dengan menggunakan
fungsi produksi Cobb-Douglas yang menggunakan time series data tahun 1945 1985. Hasilnya menunjukkan bahwa infrastuktur memiliki dampak positif pada
sektor private dengan koefisien infrastruktur sebesar 0.39 persen.
Munnell (1990), meneliti dampak public capital pada produktifitas pekerja
dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas berbasis data time series.
Hasilnya menunjukkan pertambahan 1 persen public capital akan meningkatkan
output 0.34 persen. Lebih jauh Munnel menganalisis hubungan antara public
capital dengan aktifitas ekonomi pada level negara bagian (state) menggunakan
fungsi produksi Cobb-Douglas dengan panel data dari tahun 1970 – 1986. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa public capital memiliki dampak positif
yang signifikan pada output dengan koefisien 0.15. McGuire (1992) memakai
fungsi Cobb-Douglas pada tingkat state dengan memilih public capital yang
terdiri dari prasarana jalan, air dan lain sebagainya. Hasilnya menunjukkan bahwa
prasarana jalan memiliki dampak positif yang kuat terhadap output.
Stephan (1997), mengestimasi dampak infrastruktur jalan terhadap produksi
sektor manufaktur menggunakan metode ekonometrika seperti autocorrelation,
56
heteroskedasticity dan cross-sectional correlation. Dari penelitian Stephan yang
menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglass dengan panel data, diperoleh hasil
bahwa infrastruktur jalan memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap
output sektor manufaktur dengan koefisien infrastruktur jalan sebesar 0.325.
Boarnet (1998), melakukan test terhadap eksistensi output negatif spillover
dari street-and-highway capital, dengan menggunakan fungsi produksi pada
negara bagian California pada tahun 1969-1988. Hasilnya menunjukkan streetand-highway capital mempengaruhi output di California, namun infrastruktur ini
menyebabkan negative output spillovers sepanjang daerah urban, berarti investasi
infrastruktur produktif untuk negara bagian (counties), namun mereduksi output
pada tingkat state yang disebabkan oleh negative output spill-overs.
Tabel 3. Rangkuman Hasil Studi Terhadap Fungsi Produksi
Peneliti
Data
Hasil
Aschauer (1989)
Time series data, 1945-1985
Koefisien infrastruktur 0.39
Munnell (1990a)
Time series data, 1948-1987
Koefisien public capital 0.34
Munnell (1990b)
Panel data, 1970-1986
Koefisien public capital 0.15
Stephan (1997)
Panel data, 1970-1993
Koefisien infrastruktur jalan 0.32
Boarnet (1998)
Panel data, 1969-1988
Infrastruktur produktif untuk counties,
namun negatif pada tingkat state
Para ahli juga meneliti dampak infrastruktur terkait fungsi biaya (cost
function). Berndt and Hanson (1991) meneliti pengaruh infrastruktur pada output
private (sektor bisnis swasta dan manufaktur) dan tingkat produktivitas
menggunakan fungsi biaya berbasis data time series di Swedia. Hasilnya
menunjukkan reduksi infrastructure capital menyebabkan tingkat kecepatan
pertumbuhan produktivitas yang lebih rendah dan peningkatan investasi
infrastruktur publik akan mereduksi biaya private (private cost).
Nadiri and Mamuneas (1996), menganalisis kontribusi output demand, harga
input, perubahan teknologi dan pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP),
57
dan mengukur kontribusi jalan terhadap pertumbuhan produksi sektor private
menggunakan fungsi biaya. Hasilnya menunjukkan prasaran jalan mempengaruhi
reduksi biaya produksi dan berdampak positif pada kapital, buruh dan material.
Tortorice (2002), menganalisis peranan infrastruktur pemerintah terhadap
proses produksi dengan menggunakan fungsi biaya, dan menemukan dampak
pada variabel cost dari industral private dan TFP total yang bertumbuh. Hasilnya
adalah perubahan dalam government capital stock memiliki peranan signifikan
pada proses produksi. Elastisitas biaya pekerja terhadap goverment capital adalah
0.02 dan elastisitas produktivitas terhadap government capital adalah 0.003.
Canaleta et al. (1998), memeriksa dampak infrastruktur pada produktivitas
dalam berbagai wilayah di Spanyol dan memberikan estimasi dampak berbagai
type infrastruktur pada biaya produktifitas dalam pertanian, industri dan jasa.
Hasilnya menunjukkan bahwa dampak terhadap industri dan jasa lebih tinggi
sedikit pada sektor sekunder (secondary sector), dan lebih besar daripada
pertanian. Hasil ini memperlihatkan bahwa public capital mereduksi biaya
produksi private dan terdapat dampak spillover pada infrastruktur transportasi.
Cohen and Catherine (2002), melakukan re-evaluasi pada public capital
hypothesis untuk sektor manufaktur di Amerika Serikat dengan periode waktu
1986-1992. Hasilnya menunjukkan bahwa investasi infrastruktur publik pada
intra-state adalah produktif. Spatial spillovers berdampak terhadap penghematan
biaya pada “within-state”. Mereka memberi argument bahwa pertumbuhan output
dapat menstimulasi investasi modal dan lapangan kerja baru.
Tabel 4. Rangkuman Studi Fungsi Biaya
Peneliti
Berndt and Hanson (1991)
Data
Data Swedia, 1960-1988
Hasil
Investasi publik mereduksi
private cost
58
Nadiri and Mamuneas (1996)
35 sektor, 1950-1989
Canaleta et al (1998)
Spanyol, 1964-1991
Cohen and Paul (2002)
Manufaktur, 1986-1992
Penghematan biaya produksi
dari kapital jalan raya.
Public capital mereduksi
biaya produksi
Public capital ternyata
produktif
Dampak infrastruktur terhadap industri banyak diteliti para ahli, terutama
terkait pengambilan keputusan lokasi. Wasylenko (1980), meneliti keputusan
suatu perusahaan yang pindah dari Milwaukee Central City ke daerah sub-urban
dengan menggunakan model logistik dan melakukan testing keputusan tersebut
secara statistik signifikan. Wasylenko menyebutkan terdapat dua tipe dari industri.
Type pertama termasuk konstruksi, manufaktur, dan wholesale trade yang fokus
pada permintaan output (output demand) dimana keuntungan tidak bergantung
signifikan terhadap lokasi perusahaan. Tipe kedua termasuk perdagangan eceran
(retail), keuangaan dan jasa dimana keuntungan dipengaruhi oleh lokasi.
Perkin et al. (2005) melakukan analisis jangka panjang pengembangan
infrastruktur dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi jangka panjang di
negara Afrika Selatan. Berdasarkan F-test yang digunakan sebagai alat analisis
diperoleh hasil bahwa investasi infrastruktur yang tidak mencukupi dapat
menyebabkan hilangnya kesempatan bagi pertumbuhan ekonomi. Pembuat
kebijakan (policy maker) harus fokus dalam memilih atau mendukung tipe
infrastruktur yang tepat pada waktu yang tepat pula. Selain itu kebutuhan investasi
infrastruktur untuk mendukung ekonomi tidak pernah berkurang, pemeliharaan
dan pengembangan infrastruktur sangat penting dalam mendorong pertumbuhan.
Holl (2004), menganalisis dampak infrastruktur jalan terhadap lokasi
pendirian perusahaan manufaktur yang baru di Spanyol dan hasil empiris
menunjukkan bahwa infrastruktur jalan sangat penting dalam menentukan lokasi.
59
Motorway mempengaruhi distribusi spasial dari pendirian perusahaan yang baru
dan infrastruktur jalan memiliki dampak berbeda sepanjang sektor manufaktur.
Kim and Shin (2002), mengukur keuntungan regional dari investasi jalan
menggunakan fungsi biaya pada industri manufaktur di 4 wilayah utama Seoul
ibukota Korea Selatan. Hasilnya menunjukkan prasarana jalan (road capital stock)
berkontribusi signifikan pada industri manufaktur.
Hewings, Okuyama, and Sonis (2001) menggunakan aplikasi teori lokasi
untuk melakukan estimasi nilai koefisien perdagangan industri diantara subregional kota metropolitan Chicago dengan model multiregional Input-Output.
Chang and Kraybill (2001) meneliti dampak pertambahan investasi publik
terhadap output regional dan kesejahteraan rumahtangga di Ohio dengan
menggunakan model Regional Dynamic Computable General Equilibrium. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa investasi publik mempengaruhi pertumbuham
ekonomi negara bagian Ohio, walaupun besar dampaknya bergantung pada
elastisitas public capital. Melewati tingkat tertentu, investasi infrastruktur tidak
lagi menambah kesejahteraan rumahtangga, namun mereduksi kesejahteraan.
Kim (2006) menganalisis investasi transportasi pada ekonomi Korea dengan
model Dynamic Computable General Equilibrium. Hasilnya menunjukkan
kebijakan investasi infrastruktur menguntungkan pertumbuhan ekonomi, namun
tidak menguntungkan terhadap inflasi harga (price inflation). Elastisitas investasi
infrastruktur kaitannya dengan produk domestik bruto (PDB), ekspor, utilitas dan
inflasi bergantung pada keterbatasan institusi dalam negeri untuk arus modal luar
negeri dan ketersediaan dana untuk proyek infrastruktur. Dampak investasi
transportasi terhadap pertumbuhan dapat ditingkatkan bila regulasi arus modal
asing pada sektor private diperbaiki. Sebaliknya dampak investasi transportasi
60
terhadap inflasi dapat diminimumkan bila pengeluaran investasi transportasi
semuanya dibiayai dari pendapatan pajak (tax revenue). Berdasarkan hasil
berbagai penelitian diatas, diketahui infrastruktur publik memberi kontribusi
positif terhadap reduksi biaya produksi selain faktor lokasi.
Download