II. TINJAUAN TEORITIS DAN STUDI EMPIRIK 2.1. Tinjauan Ekonomi Transportasi Ilmu ekonomi transportasi merupakan salah satu cabang ilmu ekonomi yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, terutama ekonomi regional dan ilmu teknik (engineering). Pembangunan ekonomi merupakan hal sangat fundamental untuk kelangsungan hidup suatu bangsa. Menurut Weisbrod and Forkenbrock (2001), dampak pembangunan ekonomi (economic development) transportasi dapat didefenisikan sebagai dampak yang terjadi pada kegiatan ekonomi di suatu wilayah mencakup perubahan lapangan kerja, penggajian dan output industri/bisnis yang dihasilkan dari efek moneter transportasi. Jalan merupakan bagian dari infrastruktur dalam tahap awal pembangunan ekonomi sering dianggap lebih berperan sebagai ”the promoting sector” daripada ”the servicing sector”. Sesuai fungsi sebagai sektor pendorong, infrastruktur jalan atau dermaga pelabuhan misalnya dibangun mendahului pembangunan sektorsektor lainnya seperti industri/pabrik. Pembangunan ekonomi dapat menciptakan kesempatan ekonomi (economic opportunity), lapangan kerja dan nilai tambah (value added) yang disebabkan oleh: 1. Improved competitive position, reduksi biaya transportasi dan atau aksessibilitas lebih baik memungkinkan suatu wilayah memiliki nilai saing ekonomi lebih baik. 2. Non-business travel, reduksi biaya transportasi untuk perjalanan pribadi akan meningkatkan disposal income, yang berarti biaya keluar lebih kecil dan kesempatan menggunakan biaya lebih besar untuk kebutuhan lain. 23 3. Roadside service industries, perbaikan prasarana jalan menyebabkan induce traffic (perjalanan yang tidak dilakukan) akan meningkatkan pendapatan lokal dari bisnis pinggir jalan (roadside bussiness), seperti tumbuhnya pom bensin, motel, restoran. 4. Turisme, prasarana jalan yang baik menambah pengunjung ke suatu daerah yang menyebabkan pendapatan daerah dan kesejahteraan akan meningkat. 2.1.1. Dampak Infrastruktur Jalan Sistem transportasi jalan disusun untuk tujuan aksessibilitas dan mobilitas arus orang, barang dan jasa, sehingga perpindahan kebutuhan pokok dari sumber produksi sampai kepada konsumen akhir dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan tinjuan ekonomi regional diketahui bahwa pembangunan atau peningkatan kapasitas jalan akan menyebabkan industri berpindah kedekat lokasi jalan (project location), dan saling berdekatan sehingga mendapat keuntungan melalui biaya produksi yang lebih rendah (economic of agglomeration). Alasan utama terjadinya aglomerasi ekonomi adalah biaya transportasi secara signifikan akan tereduksi. Teori lokasi industri (industrial location) menyebutkan bahwa trade-off antara skala ekonomi dengan biaya transportasi merupakan hal penting dalam analisis (Anderson and Lakshmanan, 2004). Apabila suatu perusahaan manufaktur menjual barangnya dalam pasar perkotaan, maka terdapat dua metode untuk minimalisasi biaya. Pertama adalah minimalisasi biaya produksi melalui lokasi pabrik yang lebih sedikit namun lebih besar, dan kedua adalah minimalisasi biaya transportasi melalui fasilitas lebih kecil namun jarak lebih dekat dengan pasar. Rodrigue (2006), menyatakan bahwa dampak ekonomi (economic impact) dari sistem transportasi jalan dapat dibedakan menjadi dampak langsung (direct impact) dan dampak tidak langsung (indirect impact). Dampak ekonomi langsung 24 disebut juga transport user impact menggambarkan pelayanan prasarana transportasi termasuk jalan, angkutan laut dan udara, kereta api yang memberikan dampak kepada pengguna langsung dalam bentuk perubahan aksessibilitas dan mobilitas, kenyamanan (comfort), keamanan, waktu tempuh perjalanan (travel time) dan biaya perjalanan (travel cost). Aksessibilitas menunjukkan kemudahan mencapai suatu lokasi atau tempat aktivitas, misalnya lokasi pekerjaan, sekolah, public service, tempat belanja. Mobilitas dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk berpindah. Aksessibilitas dipengaruhi perubahan waktu tempuh, keamanan (safety), dan biaya operasional kendaraan (vechicles operating cost). Transport user impact mengukur keuntungan dan efisiensi/ reduksi biaya transportasi yang diperoleh melalui penjumlahan penghematan biaya perjalanan (travel cost saving), penghematan waktu tempuh (time saving), dan value of safety improvement. Transport user impact disebut dengan user benefit disebabkan dampaknya memberikan keuntungan bagi pengguna langsung, Bila digunakan pendekatan Benefit Cost Analysis (BCA), keuntungan dari transport user impact bila dibandingkan dengan biaya (cost) yang di investasikan untuk perbaikan jalan, maka akan diperoleh nilai Benefit Cost Ratio (BCR) yang umumnya digunakan sebagai barometer kelayakan (feasibility) sistem transportasi. Penghematan biaya perjalanan diperoleh dari efisiensi penggunaan bahan bakar yang lebih irit, komponen kendaraan yang tidak cepat aus atau rusak. Penghematan waktu diperoleh dari estimasi nilai waktu (time value) yang diperoleh karena waktu tempuh perjalanan yang lebih singkat. Value of safety improvement diperoleh dengan turunnya biaya kecelakaan (accident cost). Berdasarkan pendekatan teori ekonomi transportasi, biaya transportasi mencerminkan Marginal Social Cost (MSC) yang disebut juga dengan road user 25 charge. Pembebanan (charge) kepada perusahaan atau pemakai jalan (user charge) diterapkan agar pemakai jalan dengan kendaraannya mengeluarkan biaya perceived cost sebesar marginal social cost yang dibutuhkan untuk melalui jalan tersebut. MSC mencerminkan gabungan dari biaya perjalanan (travel charge), biaya polusi (pollution charge) dan biaya pemeliharaan (maintenance charge) yang ditanggung oleh user. Travel charge adalah kenaikan biaya perjalanan yang terjadi karena penambahan pemakaian jalan yaitu nilai waktu yang hilang, biaya operasional kendaraan dan kerugian akibat biaya kecelakaan. Bila terjadi macet, maka komponen terbesar dari MSC adalah biaya perjalanan yang disebut biaya kemacetan (congestian charge). MSC pricing diterapkan pada jalan dengan tingkat kemacetan tinggi, sehingga pengguna tidak lagi memanfaatkan jalan tersebut atau lebih baik memilih alternatif jalan lain untuk menghindari biaya. Kemacetan akhirnya dapat dikurangi yang merupakan tujuan MSC. Dalam ekonomi transportasi, secara umum diketahui bahwa penghematan waktu tempuh biasanya dipandang sebagai keuntungan utama bagi pengguna transportasi, dan dapat mencapai separuh dari seluruh keuntungan transportasi. Nilai penghematan waktu tempuh dapat dipandang sebagai reduksi opportunity cost yang dapat digunakan untuk berbagai aktivitas selain travelling, memungkinkan seseorang atau perusahaan lebih produktif disebabkan waktu tersedia menjadi lebih panjang atau memiliki waktu lebih banyak untuk rekreasi. Penghematan waktu tempuh dipengaruhi oleh transportasi melalui beberapa cara (Weisbrod, 1997), yaitu peningkatkan kapasitas jalan atau perbaikan lampu lalulintas (traffic control) berdampak pada lebih cepatnya kendaraan bergerak dari tempat asal (origin) ke tujuan (destination) disebabkan lebih rendahnya kemacetan, pembangunan jalan baru memberikan pilihan transportasi (transport 26 choice) lebih variatif bagi pengguna, dan terjadinya reduksi kemacetan yang disebabkan lebih rendahnya kecelakaan. Menurut Wardman (1998), nilai penghematan waktu perjalanan memiliki dua komponen yaitu opportunity cost dari waktu yang digunakan untuk perjalanan dan disulitas relatif dari waktu tersebut, misalnya menunggu bus selama 15 menit akan memberi disulitas lebih besar dari pada menumpang bus atau menggunakan kendaraan lain. Keselamatan adalah keuntungan (benefit) yang diperoleh dari perubahan sistem transportasi dalam bentuk reduksi tingkat kecelakaan fatal (meninggal), luka atau kerusakan barang akibat tabrakan. Reduksi biaya perjalanan merupakan salah satu benefit yang sangat bernilai dari sistem transportasi, dan diperoleh dari reduksi biaya operasional kendaraan (BOK) dari penghematan bahan bakar, oli, ban dan pemeliharaan (maintenance) sebagai dampak perbaikan kondisi jalan. Dampak ekonomi tidak langsung (indirect impact) atau disebut juga dampak sekunder dibagi menjadi direct effect yaitu dampak pada pertumbuhan bisnis yang dipengaruhi langsung oleh perubahan dalam biaya operasi dan market, dan indirect effect yaitu dampak bagi supplier yang secara langsung dipengaruhi pertumbuhan bisnis dan induced effect yaitu dampak bisnis yang dipengaruhi oleh re-spending (belanja pengeluaran) dari pendapatan tambahan pekerja, serta additional induced effect yaitu tambahan pertumbuhan bisnis dari pengeluaran populasi. Jumlah semua effect ini disebut total effect pada pertumbuhan ekonomi. Perbandingan total effect dengan direct efect disebut economic multiplier. Nilai tambah (value added) merupakan suatu elemen social accounting yang menunjukkan kontribusi suatu sektor terhadap Produk Domestik Bruto/ Gross Domestic Product (GDP). Nilai tambah dapat diukur sebagai revenue dari sebuah 27 perusahaan/ sektor dikurangi dengan biaya yang harus dibayarkan kepada perusahaan atau sektor lain (untuk bahan baku atau bahan intermediate). Dengan perkataan lain nilai tambah adalah jumlah seluruh pembayaran dari perusahaan/ sektor kepada rumahtangga dan pemerintah termasuk gaji, interest, keuntungan dan pajak tidak langsung dikurangi dengan subsidi. Dalam tataran transportasi, nilai tambah dapat dipandang sebagai inferior bound dari keuntungan transportasi. Reduksi biaya transportasi jalan yang ditimbulkan perbaikan prasarana jalan dapat menyebabkan pasar lebih luas (Anderson and Lakshmanan, 2004). Industri bisa mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam berproduksi dengan adanya pasar yang lebih luas tersebut. Biaya input menjadi lebih rendah karena menurunnya biaya transportasi. Hal ini dapat menyebabkan wilayah tertentu memiliki akses yang mengarah kepada spesialisasi kegiatan bisnis. Dalam pasar komoditas, prasarana jalan yang baik memperbaiki akses perusahaan memperoleh material mentah (raw material) dan akses kepada konsumen, dan selanjutnya meningkatkan kesempatan untuk jual beli barang dan jasa keperluan industri. 2.1.2. Keterkaitan Jalan terhadap Perekonomian. Reduksi biaya transportasi yang disebabkan oleh perbaikan jalan memiliki banyak dampak pada perekonomian regional (Kelejian and Robinson, 2006). Reduksi biaya transport menyebabkan keuntungan harga untuk barang-barang ekspor. Biaya produksi lebih murah karena harga barang intermediate lebih murah yang disebabkan biaya pengangkutan dan biaya barang impor yang lebih murah. Barang ekspor, barang intermediate dan barang impor yang lebih murah menyebabkan peningkatan permintaan (demand) terhadap barang tersebut. Peningkatan permintaan akan menyebabkan peningkatan produksi dan penyerapan tenagakerja yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan 28 mengurangi pengangguran. Pembangunan jalan dapat menimbulkan negative externality yaitu kondisi dimana terjadi peningkatan permintaan barang import sehingga produksi lokal akan turun yang selanjutnya dapat menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan. Gambar 3 menunjukkan hubungan antara perbaikan atau pembangunan prasarana jalan terhadap pengembangan ekonomi. Pembangunan / Perbaikan Jalan Efisiensi / Reduksi Biaya Transportasi Harga Barang Ekspor Lebih Harga Barang Intermediate Lebih Harga Barang Impor Lebih Rendah Peningkatan Income Peningkatan Demand Barang Ekspor Peningkatan Demand Barang Intermediate Peningkatan Produksi & Lapangan Kerja Peningkatan Demand Peningkatan Final Demand Penurunan Produksi Lokal & Lapangan Kerja Di Wilayah Cakupan Pembangunan & Pertumbuhan Ekonomi Sumber: Kelejian & Robinson (2006) Gambar 3. Keterkaitan Pembangunan Jalan terhadap Perekonomian Pembangunan jalan akan mereduksi biaya transportasi dan menyebabkan biaya produksi lebih rendah sehingga memotivasi industri untuk meningkatkan 29 produktivitas barang. Gambar 4 menunjukkan efek perubahan biaya dan produksi yang disebabkan oleh reduksi biaya transportasi (Kelejian and Robinson, 2006). Andaikan terdapat sebuah industri manufaktur dalam pasar. Kurva demand adalah Average Revenue (AR), Average Cost (AC), sedangkan Marginal Cost (MC) adalah kurva supply. Kondisi keseimbangan terjadi bila MR = MC. MR dan MC berpotongan pada point e yang disebut sebagai titik keseimbangan. Pada titik ini industri memproduksi output sebesar Q yang memaksimumkan keuntungan. Reduksi biaya transportasi akan mengurangi biaya produksi. Selanjutnya AC dan MC berpindah ke AC’ dan MC’. Output dari Qa menjadi Qb dan keseimbangan berpindah dari titik e menjadi e’. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa pembangunan prasarana transportasi akan meningkatkan output yang selanjutnya disebabkan faktor skala ekonomi (economic scale) akan menurunkan harga. Sumber: Varian (1992) Gambar 4: Reduksi Biaya Transportasi dan Produksi 2.2. Pendekatan Ekonomi Regional Ekonomi regional (wilayah) bersifat multi disipliner dan merupakan cabang ilmu ekonomi (khususnya makroekonomi dan ekonomi pembangunan) yang mempertimbangkan aspek perbedaan potensi wilayah tertentu dengan potensi 30 wilayah yang lain. Kegiatan ekonomi secara individu tidak dianalisis dalam ekonomi regional namun terhadap suatu wilayah secara keseluruhan, atau meninjau potensi wilayah yang beragam, serta mengatur kebijakan untuk maksud mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut (Tarigan, 2004). Sebenarnya pemikiran kearah ilmu ekonomi regional telah dirintis oleh Von Thunen pada tahun 1826, Weber tahun 1929, dan Ohlin tahun 1939, namun masih merupakan penggalan dari ekonomi regional. Dalam disertasi berjudul Location and Space Economic di Harvard University tahun 1956, Walter Isard memberi landasan ilmu ekonomi regional yang komprehensif, berkaitan dengan penerapan prinsip ekonomi dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah yang memiliki potensi berbeda. Walter Isard cenderung menggunakan istilah ilmu regional (regional science) atau ekonomi regional karena sifat multi-disipliner keilmuan didalamnya seperti ilmu planologi, teknik, pertanian, geografi, lingkungan hidup, sosial dan lain-lain. Ilmu transportasi (disebut juga ekonomi transportasi) dan lingkungan termasuk dalam ilmu regional. Salah satu asumsi dalam ilmu regional untuk analisis permasalahan adalah ceteris paribus (other things being equal) yang berarti unsur atau faktor lain tidak berubah. Tujuan kebijakan ekonomi dalam prespektif makroekonomi adalah full employment, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas harga (price stability). Ilmu ekonomi regional dapat mengkaji full employment dan pertumbuhan ekonomi, namun stabilitas harga tidak dapat dikaji karena merupakan instrumen kebijakan pemerintah pusat dan berada di luar kapasitas pemerintah daerah. Analisis ekonomi regional yang menggunakan makroekonomi atau menerapkan modelmodel pendapatan nasional dan petumbuhan nasional disebut dengan makroekonomi antar wilayah (inter-regional macroeconomics dimana setiap 31 daerah merupakan perekonomian terbuka (open economics) dengan arus barang, modal dan tenaga kerja antar wilayah mengalir tanpa mengalami hambatan. Ohlin (1939) dan Glasson (1974) menyatakan modal dan tenaga kerja akan mengalir dari wilayah dengan tingkat upah lebih rendah ke tingkat upah lebih tinggi, dan berakhir ketika terjadi kesamaan tingkat upah yang disebut kondisi keseimbangan (equilibrium). Intervensi pemerintah tidak perlu karena akan terjadi kondisi konvergensi (berimbang) dengan sendirinya, kecuali terdapat gangguan mobilitas faktor antar wilayah atau antar sektor. Munnel (1992) meneliti investasi publik dan privat yang dapat kontradiktif. Di satu sisi public capital meningkatkan produktivitas private capital, menaikkan tingkat pengembalian (rate of return) dan mendorong investasi yang lebih banyak, namun disisi lain dalam presfektif investor, public capital merupakan subtitusi dari private capital. Perubahan lapangan kerja merupakan fungsi dari beberapa variabel yang mencerminkan biaya input (tenaga kerja, energi dan tanah), ukuran pasar (market size) dan public capital stock. Hasil analysis menunjukkan public capital secara statistik mempunyai dampak signifikan terhadap pertumbuhan lapangan kerja (employment growth), dan memiliki dampak positif terhadap aktivititas ekonomi yaitu output, investasi dan pertumbuhan ekonomi. 2.2.1. Pendapatan Regional Teori Basis Ekspor (Export Base Theory). diperkenalkan oleh Douglas C. North tahun 1956 ini merupakan model pendapatan paling sederhana dalam ekonomi makro inter-regional. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang dimiliki daerah tersebut sebagai basis untuk peningkatan ekspor. Peningkatan ekspor tersebut selanjutnya memberikan dampak berganda (multiplier effect). Sistem regional dibedakan atas 32 dua bagian yaitu daerah sendiri dan daerah lainnya. Teori ini menjadi penting karena memberikan kerangka teoritis pada studi multiplier regional empiris. Ekpor diasumsikan sebagai satu satunya unsur otonom dalam pengeluaran, dan semua unsur pengeluaran lain merupakan fungsi pendapatan. Fungsi pengeluaran dan fungsi impor tidak memiliki intersep namun bertolak dari titik nol menurut persamaan untuk daerah i : ............................................................................... (2.1) Pendapatan (Y i ) adalah pengeluaran domestik (E i –M i ) + ekspor (X i ), dan Pengeluaran domestik = total pengeluaran daerah i (Ei) – pengeluaran impor daerah i . ........................................................................................... (2.2) .......................................................................................... (2.3) (eksogen) ................................................................................. (2.4) Bila persamaan (2.2), (2.3) dan (2.4) disubtitusi pada persamaan (2.1) diperoleh: + maka: ......................................................................................... (2.5) Pendapatan regional adalah kelipatan ekspor bila marginal propensity expenditure secara lokal (Richardson, 2001) Persamaan (2.5) diubah susunannya: ........................................................................................ (2.6) Berdasarkan teori ini, tidak ada unsur eksogen lainnya selain ekspor, maka rasio rata-rata sama dengan rasio marginal. Dengan demikian multiplier basis adalah: .......................................................................................... (2.7) 33 2.2.2. Konsep Pertumbuhan Regional Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi bila terjadi peningkatan Gross National Product (GNP) riil negara tersebut. Todaro (2000) menyebutkan faktor-faktor pertumbuhan ekonomi meliputi akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja, serta kemajuan teknologi. Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan untuk memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari. Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja merupakan faktor positif merangsang pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja yang lebih besar akan menambah jumlah tenaga produktif, sedangkan pertambahan penduduk yang lebih besar akan menambah luasnya pasar domestik. Kemajuan teknologi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang penting karena dapat meningkatkan nilai tambah. Kemajuan teknologi berarti ditemukannya cara atau perbaikan produksi. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi (economic development). Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan pertambahan penduduk, disertai perubahan fundamental struktur ekonomi dan pemerataan pendapatan penduduk suatu negara. Pembangunan ekonomi tak dapat dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi, karena pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya. Perbedaan keduanya adalah pertumbuhan ekonomi lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan output, tetapi juga perubahan- 34 perubahan dalam struktur output/ produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik. Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu metode menghitung pendapatan nasional dapat didefenisikan sebagai nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode waktu tertentu (biasanya per tahun). PDB berbeda dari Produk Nasional Bruto (PNB) yang memasukkan pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara tersebut. Dengan demikian PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul faktor produksi yang digunakan. PDB dibedakan atas PDB nominal dan PDB riil. PDB Nominal (disebut PDB atas dasar harga berlaku), mengacu kepada nilai PDB tanpa memperhatikan pengaruh harga, sementara PDB riil (disebut juga PDB atas dasar harga konstan) mengoreksi PDB nominal dengan menghilangkan pengaruh dari harga. Kinerja perekonomian Indonesia digambarkan PDB atas dasar harga konstan (PDB riil). PDB dapat dihitung dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran (expenditure) dan pendekatan pendapatan (income). Rumus umum dengan pendekatan pengeluaran adalah: PDB = konsumsi rumahtangga (C) + investasi (I) + pengeluaran pemerintah (G) + Net Export (Nx). Konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan rumahtangga dan dikendalikan oleh publik, investasi (I) merupakan sektor usaha yang dikendalikan swasta, pengeluaran pemerintah (government expenditure) dikendalikan pemerintah, dan net export adalah ekspor - impor yang melibatkan sektor luar negeri. 35 Berdasarkan pendekatan pendapatan, PDB menghitung pendapatan yang diterima faktor produksi yaitu PDB = sewa + upah + bunga + laba. Sewa adalah pendapatan pemilik faktor produksi tetap seperti tanah, upah untuk tenaga kerja, bunga untuk pemilik modal, dan laba untuk pengusaha. PDB dengan pendekatan pengeluaran dan pendapatan harus menghasilkan angka yang sama. Namun dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit dilakukan, maka yang sering digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan pengeluaran. Analisis pertumbuhan regional dimaksudkan untuk mengetahui penyebab suatu daerah dapat tumbuh lebih cepat atau bahkan lebih lambat terhadap pertumbuhan nasional, serta untuk menjelaskan ketimpangan (disparitas) pembangunan ekonomi antar wilayah. Teori pertumbuhan ekonomi memasukkan unsur lokasi dan wilayah secara eksplisit dalam analisis. Pendekatan teoritis pertumbuhan regional umumnya berdasarkan pemikiran Harrod-Domar dan teori Neo-klasik. Pertumbuhan wilayah (regional) pada dasarnya menggunakan konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat dengan sentral analisis pada perpindahan faktor (factor movement). Perekonomian negara yang di asumsikan sebagai perekonomian tertutup (close economics) tidak dapat diterapkan pada perekonomian wilayah yang berciri ekonomi terbuka (open economics). Perpindahan modal (kapital) dan tenaga kerja (labor force) suatu daerah ke daerah lain berpotensi menyebabkan tingkat pertumbuhan regional antar daerah berbeda. Suatu daerah dapat mencapai pertumbuhan lebih tinggi dari pertumbuhan nasional atau sebaliknya, bergantung potensi daerah masing-masing. 2.2.2.1. Model Pertumbuhan Harrod-Domar 36 Model pertumbuhan Harrod-Domar dibangun berdasarkan pengalaman negara maju, digunakan untuk menganalisis pertumbuhan regional dengan pertimbangan factor movement yaitu perpindahan modal dan tenaga kerja antar wilayah. Beberapa asumsi yang mendasari model Harrod-Domar yaitu hasrat menabung (s), tingkat pertumbuhan penduduk (n), dan koefisien-koefisien dalam produksi adalah konstan. Input modal dan tenaga kerja yang dimaksudkan untuk mencapai pertumbuhan mantap (steady growth) disyaratkan harus memenuhi keseimbangan dimana tingkat pertumbuhan modal (k) dan tingkat pertumbuhan penduduk (n) harus sama dengan tingkat pertumbuhan output atau . Dalam kondisi keseimbangan, tabungan yang direncanakan sama dengan investasi yang direncanakan menurut persamaan: ............................................................................... (2.8) dimana adalah rasio modal-output. Pertumbuhan mantap diperoleh bila dipenuhi syarat . Disebabkan , , dan ditentukan secara independen, maka pertumbuhan mantap hanya dapat dicapai secara kebetulan. Ekonomi regional merupakan ekonomi terbuka dimana impor dan tabungan dipandang sebagai kebocoran (leakages), sementara ekspor dan investasi merupakan suntikan (injection). Ekspor dan investasi dapat menutup selisih komsumsi domestik dan output kapasitas penuh. Kelebihan produksi dan tabungan suatu daerah dapat disalurkan ke daerah lain yang tercermin dalam ekspor netto. Bila penduduk suatu daerah bertambah terlalu cepat dibanding daya serap tenaga kerja pada tingkat pertumbuhan yang sedang berlangsung, maka migrasi netto dapat menyeimbangkan dan . Syarat keseimbangan (equlibrium condition) dalam perekonomian terbuka: .................................................................................... (2.9) 37 dimana: = Saving, = Import, = Investasi dan = Ekspor. Persamaan diatas dapat ditulis menjadi: ............................. (2.10) Ekspor suatu region merupakan impor bagi daerah lainnya, sehingga: ................................................................ (2.11) Berdasarkan persamaan diatas, pertumbuhan suatu daerah dinyatakan dengan : ...................................................................... (2.12) Pada dasarnya tabungan suatu daerah cenderung lebih besar dari investasi, namun pertumbuhan modal suatu daerah bisa tetap sama dengan tingkat pertumbuhan output sepanjang selisih tabungan dengan investasi diimbangi oleh surplus ekspor. Kelebihan tenaga kerja dapat diserap melalui migrasi keluar dan kekurangan tenaga kerja dipenuhi melalui migrasi masuk, dengan syarat keseimbangan: , dimana adalah tingkat migrasi yang merupakan jumlah netto migrasi keluar dan migrasi masuk dalam setiap periode waktu sebagai prosentase jumlah penduduk pada daerah yang bersangkutan. Tingkat migrasi bila dipandang sebagai suatu sistem, dirumuskan menurut persamaan: ................................................................................. (2.13) dimana = migrasi masuk dan keluar, dan = jumlah penduduk Pencapaian syarat keseimbangan suatu daerah dapat mengubah syarat keseimbangan daerah lain, yang selanjutnya dapat berimplikasi terhadap adanya refleksi dan koreksi terhadap pertumbuhan daerah itu sendiri. Adanya tendensi kearah pertumbuhan mantap (steady state) bergantung pada kondisi dimana arus modal dan tenaga kerja antar wilayah bersifat saling menyeimbangkan atau tidak. 38 Peranan kunci pada model Harrod-Domar terletak pada investasi dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya pada peran ganda yang dimiliki investasi (Jhingan, 2004) yaitu investasi menciptakan pendapatan (disebut dengan dampak permintaan), dan investasi memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan meningkatkan stok modal disebut dengan dampak penawaran. Selama investasi netto berlangsung, pendapatan nyata dan output akan terus meningkat. Guna mempertahankan tingkat keseimbangan pendapatan dari tahun ke tahun, pendapatan nyata dan output harus meningkat dalam laju yang sama. Bila tidak, setiap perbedaan antara keduanya akan menimbulkan kelebihan kapasitas atau ada kapasitas yang menganggur (idle). Kondisi ini memaksa pengusaha membatasi pengeluaran investasi yang mengakibatkan penurunan pendapatan dan pekerjaan, dan selanjutnya menggeser perekonomian keluar dari jalur keseimbangan pertumbuhan mantap. Bila pekerjaan akan dipertahankan jangka panjang, maka investasi harus terus diperbesar. Ini membutuhkan pertumbuhan pendapatan nyata pada tingkat yang cukup untuk menjamin penggunaan kapasitas penuh atas stok modal (capital stock) yang sedang tumbuh. Tingkat pendapatan yang diperlukan disebut tingkat pertumbuhan terjamin (warranted rate of growth) atau tingkat pertumbuhan kapasitas penuh. Model Domar meneliti pada tingkat laju investasi berapa agar kenaikan pendapatan sama dengan kenaikan kapasitas produktif sehingga pekerjaan penuh dapat dipertahankan. Penelitian tersebut di analisis melalui hubungan antara penawaran agragat dengan permintaan agregat. Domar menganggap bahwa investasi memegang peran kunci dalam proses pertumbuhan dengan ciri gandanya. Berbeda dengan Domar, model Harrod menganggap tingkat 39 pendapatan merupakan faktor terpenting dalam proses pertumbuhan, dan menyamakan permintaan dan penawaran tabungan. 2.2.2.2. Model Pertumbuhan Neo-klasik Model pertumbuhan neo-klasik sudah digunakan secara luas dalam analisis regional walau asumsi tentang full-employment seringkali tidak dapat diterapkan dalam sistem multi-regional, yang disebabkan permasalahan regional timbul karena perbedaan geografis dalam penggunaan sumberdaya. Model ini mengandung teori faktor mobilitas disamping teori pertumbuhan, sehingga digunakan dalam ekonomi regional. Implikasi dari persaingan sempurna adalah kapital dan labor force akan berpindah bila balas jasa faktor berbeda-beda. Syarat steady growth dalam model neo-klasik kurang restriktif dibanding model Harrod-Domar karena adanya kemungkinan terjadi subtitusi antara modal dan tenaga kerja, yang berarti adanya fleksibilitas dalam rasio modal-output. Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga sumber yaitu akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan residu, yang dapat disebut dengan kemajuan teknologi. Bila kemajuan teknologi diasumsikan merupakan fungsi waktu, maka fungsi produksi adalah: .................................................................................... (2.14) Bila di turunkan dari rumus persamaan pertumbuhan; ................................................................. (2.15) dimana = tingkat pertumbuhan output, tingkat pertumbuhan tenaga kerja dan = tingkat pertumbuhan modal, = tingkat kemajuan teknologi, yang dihasilkan faktor modal (produk marginal dari modal diasumsikan constant return to scale, maka dihasilkan diluar modal yaitu tenaga kerja yakni = = bagian . Bila = bagian pendapatan yang . 40 Pada model neo-klasik dibutuhkan pertumbuhan kapasitas penuh sehingga investasi sama dengan full employment. Syarat keseimbangan bila (tingkat laba) juga merupakan produk marginal dari modal (marginal productivity of kapital = ), maka syarat pertumbuhan mantap: ............................................................................ (2.16) Bila tertentu dan tetap konstan, maka dan harus tumbuh dengan tingkat yang sama. Pada pertumbuhan mantap Berbeda dengan Harrod-Domar, model neo-klasik mengandung teori mobilitas faktor yang dijelaskan dengan statika komparatif. Diasumsikan terdapat dua daerah dengan satu jenis barang homogen dan biaya transport nol. Penawaran tenaga kerja adalah tetap dan tidak ada kemajuan teknologi. Pasar beroperasi pada persaingan sempurna dan fungsi produksi identik disetiap daerah sebesar . Berdasarkan asumsi diatas, produk marginal tenaga kerja (marginal productivity of labour = of kapital = dimana Dalam persaingan sempurna, ) merupakan fungsi langsung marginal productivity adalah fungsi terbalik rasio modal-tenaga kerja. sama dengan upah riil. 2.2.3. Teori Kutub Pertumbuhan Pada tahun 1950-an muncul teori yang menekankan pentingnya peranan pusat-pusat pertumbuhan seperti teori kutup pertumbuhan (growth pole theory) oleh seorang ekonomi Perancis, Francois Perrox pada tahun 1955, teori kutub pembangunan teralokasi (localized development theory) oleh Boudeville, dan teori titik pertumbuhan (growth point theory) oleh Albert Hirschaman pada tahun 1958. Sjafrizal (2008) mengidentifikasi daerah tertentu yang tumbuh sangat cepat (growing point), dan yang bertumbuh sangat lambat (lagging region). Kondisi ini terjadi karena dalam proses pembangunan selalu terdapat efek rembesan 41 (trickling-down effect) dan efek konsentrasi (polarization effect) yang berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Penentuan lokasi kegiatan ekonomi menjadi keputusan sangat penting dan strategis. Kutub pertumbuhan daerah didefinisikan sebagai seperangkat industri yang sedang berkembang berlokasi di daerah perkotaan dan mendorong perkembangan lanjutan dari kegiatan ekonomi melalui daerah pengaruhnya. Faktor utama ekspansi regional adalah interaksi antara industri inti (industri penggerak) yang merupakan pusat nadi dari kutup perkembangan. Industri berciri khas tertentu yaitu tingkat konsentrasi yang tinggi, elastisitas pendapatan dari permintaan yang tinggi, efek multiplier yang tinggi, tingkat teknologi yang sudah maju dan keahlian manajerial berbaur ke sektor lainnya. Kutub pertumbuhan tidak hanya melokalisasi industri inti, juga mendorong ekpansi yang besar di daerah sekitar. Analisis kutub pertumbuhan (growth pole) memiliki karakteristik khusus yang mengintegrasikan aspek pertumbuhan ekonomi, analisis keuntungan lokasi serta keterkaitan antarwilayah, sehingga dapat meningkatkan efisiensi ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi dapat didorong lebih maksimal. Analisis ini dapat mensinkronkan aspek pertumbuhan dan pemerataan pembangunan antarwilayah. Transfer pertumbuhan antarwilayah pada kenyataannya tidak pernah lancar, namun cenderung terkonsentrasi pada suatu daerah tertentu yang memiliki keunggulan lokasi. Analisis Perroux terhadap industri kendaraan menemukan tendensi mengelompok pada suatu lokasi tententu (cluster of industries). Hal ini menyebabkan pertumbuhan cenderung berada pada daerah tersebut karena konsentrasi kegiatan ekonomi, dan selanjutnya mendorong pertumbuhan nasional. Keuntungan skala besar adalah keuntungan yang diperoleh dalam bentuk penurunan biaya produksi rata-rata per unit karena produksi dilakukan berskala 42 besar. Produksi skala besar dimungkinkan bila terdapat jaminan ketersediaan bahan baku dan market. Keuntungan lokalisasi adalah keuntungan dalam bentuk penghematan biaya perjalanan (travel cost saving), baik bahan baku maupun pengangkutan hasil produksi, yang timbul karena lokasi terkonsentrasi dengan perusahaan terkait lainnya dalam pusat pertumbuhan yang sama. Peranan sarana dan prasarana jalan merupakan komponen penting dalam keuntungan lokalisasi. Keuntungan urbanisasi adalah keuntungan karena penggunaan fasilitas pada pusat pertumbuhan secara bersama seperti listrik, pergudangan, telepon, air minum, dan utilitas lainnya untuk menunjang kegiatan operasi perusahaan. Karakteristik utama dari pusat pertumbuhan (Richardson, 2001) yaitu: 1. Adanya sekelompok kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada lokasi tertentu. 2. Konsentrasi tersebut mampu mendorong pertumbuhan yang dinamis. 3. Ada keterkaitan input output sesama kegiatan ekonomi pada pusat tersebut. 4. Terdapat sebuah industri induk (propulsive industry) pada pusat tersebut yang dapat berfungsi sebagai industri hulu (penyedia bahan baku) maupun industri hilir (pengguna hasil produksi). Adisasmita (2005) terdapat elemen yang sangat menentukan dalam konsep pertumbuhan yaitu pengaruh suatu unit ekonomi terhadap unit ekonomi lainnya tidak dapat dihindari (Gambar 5). Usaha Terkait Usaha Terkait USAHA UTAMA Usaha Terkait Usaha Terkait Gambar 5. Struktur Ekonomi Pusat Pertumbuhan 43 Industri pendorong yang dipandang sebagai titik awal dan merupakan elemen kunci pembangunan berkelanjutan memiliki ciri-ciri yang terkait yaitu: 1. Kapasitas industri pendorong harus relatif besar sehingga berpengaruh kuat, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi; 2. Industri pendorong harus merupakan sektor yang dapat berkembang cepat; 3. Jumlah dan intensitas hubungan industri pendorong dengan sektor lain dipandang penting, sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat di implementasikan ke dalam unit-unit ekonomi lainnya. Kutub pertumbuhan akan berperan sebagai penggerak pertumbuhan dalam pembangunan wilayah, yakni menyebarkan hasil-hasil pembangunan ke wilayah pengaruh. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan kegagalan peranan kutub pertumbuhan disebabkan pusat pertumbuhan berada di kota besar yang merupakan pusat konsentrasi penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial, memiliki daya tarik yang kuat bagi urbanisasi. Akibatnya terjadi dampak negatif terhadap wilayah pengaruh yang disebut oleh Myrdal sebagai dampak serap balik (backwash effect). Myrdal berpendapat pembangunan ekonomi menghasilkan suatu proses yang menyebabkan Si kaya mendapat keuntungan semakin banyak dan yang tertinggal di belakang semakin terhambat. Dampak serap balik cenderung membesar dan dampak sebar (spread effect) cenderung mengecil, yang secara kumulatif akan memperlebar ketimpangan internasional dan regional diantara negara-negara terbelakang. Dampak serap balik dapat diartikan sebagai semua perubahan yang merugikan dari ekspansi ekonomi di suatu tempat karena sebab diluar tempat itu. Dampak sebar adalah dampak momentum pembangunan ekonomi yang menyebar secara sentrifugal dari sentra ekonomi ke wilayah- 44 wilayah lain. Penyebab utama ketimpangan regional adalah kuatnya dampak balik dan lemahnya dampak sebar. Perbedaaan pendapatan regional dalam ekonomi yang maju jauh lebih kecil daripada perekonomian yang kurang berkembang. Konsep titik pertumbuhan (growth point concept) merupakan mata rantai penghubung antara struktur daerah-daerah nodal yang berkembang dengan sendirinya dan perencanaan fisik dan regional. Keuntungan aglomerasi menyebabkan konsentrasi produksi lebih efisien daripada terpencar-pencar. Pemikiran dasar titik pertumbuhan adalah bahwa kegiatan ekonomi disuatu daerah cenderung beraglomerasi disekitar sejumlah kecil titik-titik fokal (pusat kontrol/pusat yang dominan) yang disebut dengan titik pertumbuhan. 2.2.4. Model Von Thunen Model Von Thunen berkembang di Jerman pada sekitar abad ke 19 dengan latar belakang kondisi perekonomian yang umumnya berbasis pertanian, yang dikelola dengan sistem tuan tanah (land lord). Raja dan bangsawan yang merupakan tuan tanah menyewakan tanahnya untuk dikelola rakyat yang bekerja sebagai buruh tani. Struktur ruang yang ada bersifat monocentric dimana petani tinggal tersebar dan menghasilkan komoditi yang dijual ke kota Central Bussiness District (CBD) dimana para tuan tanah tinggal. Berdasarkan struktur ruang yang monocentric, Von Thunen menyusun teori lokasi khusus yang menunjukkan pengaruh kenaikan nilai jual komoditas dan sewa lahan (land-rent) akibat perubahan biaya angkut output terkait dengan jarak (distance) dan biaya transportasi (transportation cost). Faktor utama yang menentukan pemilihan lokasi atau penggunaan tanah (land-use) adalah biaya sewa lahan (land-rent). Terdapat gradient sewa tanah negatif (negative land-rent gradient) yaitu harga lahan akan menurun sebanding dengan jarak yang semakin 45 jauh ke pusat kota (market) sebagai kompensasi biaya transportasi yang lebih tinggi, namun ini tidak linier. Model Von Thunen juga menyatakan terdapat batas ruang (spasial) dimana komoditas terus diproduksi untuk dijual pada lokasi tertentu, melewati batasan spasial tersebut, komoditas tidak akan diproduksi. Model Von Thunen, lahan sebagai faktor input dalam proses produksi, kecuali untuk pembayaran tanah yang dipandang sebagai residual. Hal ini berarti bahwa pembayaran sewa lahan akan didistribusikan setelah semua faktor non-land dan biaya pengangkutan telah dibayar. Biaya sewa lahan maksimum per hektar adalah menurut persamaan: Sewa lahan = pendapatan output – pembayaran non lahan – biaya transportasi Apabila dikaitkan dengan luas lahan yang berproduksi, maka: Sewa lahan per unit luas x luas lahan = pendapatan output (output revenue) – pembayaran non lahan – biaya transportasi. Sewa lahan per unit area adalah sisa total pendapatan output setelah seluruh biaya transport dan non land input dibayar, dibagi luas lahan yang di usahakan. 2.3. Investasi Prasarana Jalan Berdasarkan teori ekonomi, investasi dapat didefinisikan sebagai pembelian modal barang (capital stock) yang tidak dikonsumsi, namun digunakan untuk produksi yang akan datang (barang produksi), dengan harapan memperoleh keuntungan pada masa mendatang, misalnya membangun rel kereta api atau pabrik. Investasi juga berarti suatu kegiatan yang menunda komsumsi/ penggunaan sejumlah dana saat ini dengan tujuan mendapatkan keuntungan pada masa mendatang. Menurut Sadono (2004), investasi merupakan pengeluaran penanaman modal atau perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan 46 memproduksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian. Dalam bahasa sederhana, investasi adalah penanaman modal. Investasi merupakan fungsi pendapatan dan bunga, dan menjadi salah satu komponen Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai persamaan PDB = komsumsi (C) + investasi (I) + pengeluaran pemerintah (G) + (ekspor - impor). Investasi juga memiliki risiko bila mengalami kegagalan, yang disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya faktor keamanan, faktor manusia, atau ketertiban hukum. Neraca modal atau neraca kapital (capital account) adalah bagian neraca pembayaran yang mencerminkan perubahan dalam kepemilikan aset jangka pendek (saham, obligasi) dan jangka panjang (real estate) suatu negara, yang meliputi arus modal masuk tercatat sebagai kredit karena suatu negara menjual aset berharga kepada pihak asing untuk mendapat uang tunai, serta arus modal keluar sebagai debit karena negara membeli asset berharga dari luar negeri. Secara tradisional, jasa seperti telekomunikasi, suplai dan distribusi listrik dan air minum, konstruksi jalan dan jembatan, bandara, pelabuhan laut dan rel kereta api merupakan tanggung jawab pemerintah (public sector). Infrastruktur tersebut dibangun bukan berorientasi keuntungan (profit oriented), namun untuk melayani masyarakat, sehingga tidak menarik bagi pihak swasta (private sector). Pada dekade belakangan, privatisasi infrastrukur termasuk jalan mengalami lonjakan signifikan melalui mekanisme Public Private Partnership (PPP). Swasta bermitra dengan pemerintah menanam modal/ saham pada infrastruktur jalan dan selanjutnya tol dipungut dari penggunan jalan (toll road). Prasarana jalan khususnya non tol merupakan barang modal yang tidak dikomsumsi. Biaya pembangunan dan pemeliharaan jalan merupakan pengeluaran modal (capital expenditure), dan merupakan investasi karena mengharapkan 47 keuntungan selama masa pelayanan. Keuntungan diharapkan melalui kelancaran pergerakan manusia, barang dan jasa sehingga biaya operasional kendaraan menjadi lebih murah, penghematan waktu tempuh dan pada akhirnya berdampak pada perekonomian misalnya biaya produksi menjadi turun dan harga barang ke konsumen (pemakai akhir) menjadi lebih murah. Seiring dengan waktu, kondisi jalan dipastikan semakin menurun, misalnya mengalami retak (crack), berlubang (potholes), yang berarti nilai investasi jalan semakin berkurang (investasi negatif). Depresiasi merupakan penurunan nilai fisik barang modal lama atau asset seiring waktu dan penggunaan, yang menyebabkan persediaan modal (capital stock) menurun. Prasarana jalan adalah investasi berupa pengeluaran pemerintah, dan merupakan barang modal (kapital) yang mengalami depresiasi (penyusutan) menurut persamaan: K t+1 = Kt + I t - δ.K t dimana Kt+1 = nilai kapital jalan tahun ke t+1 (tahun depan), Kt = nilai kapital jalan saat ini, I t = Nilai investasi jalan saat ini, dan δ = depresiasi. Nilai kapital jalan agar tetap layak dalam melayani lalu lintas, seharusnya mengikuti prinsip bahwa biaya investasi jalan yang dikeluarkan adalah sebesar nilai depresiasi yang terjadi (δ.K t ) sehingga nilai kapital jalan tidak berubah (K t+1 = Kt ). Umumnya investasi pada prasarana jalan tidak dapat mengimbangi tingkat depresiasi jalan yang terjadi sehingga persediaan modal menurun. Kondisi ini terjadi karena nilai depresiasi jalan karena kerusakan jalan lebih cepat dibandingkan dengan rencana, serta adanya faktor overloading (kelebihan muatan). Dalam perkembangannya, selalu saja dibutuhkan pembangunan jalan baru untuk mengimbangi tingkat pertumbuhan volume lalu lintas atau untuk membuka daerah yang terisolir. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan konsep BCR (Benefit Cost Ratio). Pada pekerjaan rekonstruksi 48 (betterment) jalan dan pemeliharaan (maintenance), pendekatan lebih kearah kondisi jalan dalam parameter kekasaran permukaan jalan (roughness). 2.4. Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Beratus juta orang miskin dengan penghasilan rendah bahkan sangat rendah terdapat di dunia dan menjadi permasalahan yang serius. Menurut World bank (2006), orang miskin didefenisikan sebagai orang yang mempunyai biaya hidup kurang dari $ 2 dollar perhari. Mereka tinggal di negara-negara termiskin, dan negara-negara berpenghasilan menengah yang menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan yang besar. Tantangan-tantangan kemiskinan global berkaitan erat dengan ketidak sama-rataan bidang ekonomi dan sosial, serta perbedaan dalam pembagian jatah kekayaan alam. Bank dunia menerapkan strategi jangka panjang dengan dua pilar anti kemiskinan yang saling berkaitan yaitu memperbaiki iklim penanaman modal, dan memberi kekuasaan kepada orang-orang miskin. Pertanian masih tetap menjadi mesin pertumbuhan utama pada kebanyakan negara-negara yang berpenghasilan rendah di dunia. Untuk mendukung produksi pertanian, bank dunia memberikan prioritas pembangunan pada sektor prasarana (infrastruktur). Pada tahun fiskal 2006, terdapat 125 proyek baru yang disetujui dengan komponen prasarana berjumlah $ 8 milyar dolar. Kenaikan kira-kira 10 persen dibandingkan pembukuan tahun sebelumnya. Kebanyakan dari proyek yang sudah disetujui berada pada sektor pengangkutan, termasuk sektor jalan (40 persen), dan sektor energi serta pertambangan (38 persen), diikuti dengan air, sanitasi, serta sektor perlindungan banjir (21 persen). Pendapatan Tabungan rumahtangga Rumahtangga Pembayaran Pasar untuk faktor Pasar uang Investasi swasta Defisit pemerintah Pajak Transfer pemerintah Pemerintah Pajak Pembayaran Perusahaan 49 Sumber: Mankiw (2000) Gambar 6. Arus Uang dalam Perekonomian Konsep pendapatan dapat dibagi atas pendapatan individu, pendapatan perusahaan dan pendapatan pemerintah. Mankiw (2000), menggambarkan arus perputaran kegiatan ekonomi (circular flow of economics activity) yang menunjukkan interaksi ketiga pendapatan tersebut (Gambar 6). Rumahtangga memperoleh pendapatan dari perusahaan atas penawaran faktor-faktor produksinya, dan dari pemerintah yang disebut dengan transfer pemerintah. Rumahtangga mengeluarakan pendapatannya untuk belanja barang dan jasa, ditabung, serta untuk membayar pajak kepada pemerintah. Perusahaan memperoleh pendapatan yang bersumber dari belanja barang dan jasa rumahtangga, pemerintah, dan selanjutnya mengeluarkan pendapatan untuk membayar penggunaan faktor-faktor produksi, membayar pajak dan investasi. Pemerintah memperoleh pendapatan yang bersumber dari pembayaran pajak rumahtangga dan perusahaan, serta mengeluarkan pendapatan untuk pembelian barang dan jasa, dan transfer ke rumahtangga. Pendapatan pemerintah sebaiknya lebih besar dari pengeluaran (surplus) untuk menjamin stabilitas ekonomi, namun bila pengeluaran pemerintah lebih besar dari pendapatan (defisit), maka pemerintah akan meminjam dari pasar uang untuk menutupi defisit tersebut. Distribusi pendapatan dapat dikelompokkan menjadi distribusi pendapatan fungsional (distribusi balas jasa), dan distribusi pendapatan antar rumahtangga. Distribusi pendapatan fungsional mengacu pada teori keseimbangan neo-klasik 50 yang diturunkan dari konsep pasar persaingan sempurna, dimana dijelaskan pembagian pendapatan yang diterima masing-masing faktor produksi, misalnya yang diterima oleh pekerja dan pemilik modal. Distribusi pendapatan berdasarkan pendekatan fungsional dapat diturunkan dengan menggunakan faktor produksi yaitu: ......................................................................................... (2.17) dimana: = output fisik, = kapital (modal) dan adalah labor (tenaga kerja). Berdasarkan persamaan diatas dapat diturunkan marginal faktor produk marginal faktor produksi kapital dan dan . Dengan mengetahui besaran , selanjutnya dapat diketahui pembagian pendapatan atau output fisik masing-masing faktor produksi menurut kondisi pasar. Distribusi pendapatan rumahtangga dibagi menjadi distribusi pendapatan absolut (mutlak) dan distribusi pendapatan relatif. Distribusi pendapatan absolut berkaitan dengan proporsi jumlah rumahtangga yang pendapatannya mencapai tingkat tertentu atau lebih kecil, dan selalu dikaitkan dengan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Pemahaman mengenai distribusi pendapatan menjadi parameter yang penting dalam analisis keberhasilan pembangunan ekonomi. Faktor pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan perkapita tidak cukup, Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan meningkatnya pendapatan perkapita tidak ada artinya bila distribusi pendapatan sangat timpang. Penduduk kaya yang jumlahnya sedikit akan menikmati kenaikan pendapatan yang jauh lebih besar, sementara penduduk miskin yang mayoritas hanya mengalami sedikit peningkatan pendapatan. Tidak mengherankan apabila distribusi pendapatan yang timpang menimbulkan kondisi dimana si kaya bertambah kaya dan si miskin bertambah miskin. 51 2.5. Studi Empir ik Inter -r egional Social Accounting Matr ix Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Model Input-Output dan SAM memiliki kaitan yang sangat erat. Model Input-Output merupakan komponen utama dalam penyusunan Social Accounting Matrrix (SAM). Pada tahun 1990, Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Japan Bank for International Agency (JICA) menyusun tabel Inter-regional Input-Output (IRIO) Indonesia berdasarkan lima pulau yaitu pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau lainnya. Berdasarkan tabel IRIO selanjutnya dikembangkan Inter-regional Social Accounting Matrix (IRSAM). Di Indonesia, IRSAM pertama sekali dibangun oleh Hidayat (1991) berdasarkan data tahun 1985. Indonesia dibagi menjadi 2 wilayah yaitu Jawa dan luar Jawa. SAM Nasional digunakan untuk mengestimasi neraca Jawa, sementara neraca (account) luar Jawa dihitung sebagai perbedaan antara neraca nasional dan neraca Jawa. Lebih jauh Hidayat (1991) mengestimasi transfer inter-regional sebagai perbedaan antara pendapatan total dengan pengeluaran total. Namun demikan hanya transfer didalam blok yang sama saja yang digunakan. Wuryanto (1996), memperbaiki struktur IRSAM dengan membagi Indonesia menjadi 2 wilayah yaitu Jawa dan luar Jawa. Spesifikasi regional dibuat lebih rinci untuk faktor dan account rumahtangga. Jawa dibagi 3 region yaitu Jawa bagian Barat, sentral dan Timur, sedangkan luar Jawa menjadi 4 sub-region yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan wilayah Indonesia timur lainnya. Wuryanto (1996) menunjukkan desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga regional pada hampir semua provinsi, terutama di Jawa. Peningkatan pendapatan rumahtangga luar Jawa pada awalnya rendah dan cenderung menimbulkan ketidakmerataan pendapatan dibandingkan skenario aktual. 52 Perbaikan dilakukan oleh Achyar et al. (2003), yang membangun IRSAM Indonesia tahun 1995 dengan membagi Indonesia menjadi 5 wilayah utama yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau di timur lainnya. Hadi (2001), dan Achyar et al. (2003), membangun model IRSAM menggunakan data IRIO dengan fokus penelitian disparitas ekonomi antar wilayah Indonesia belahan Barat dan Timur yang disebut dengan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Antar Regional Kawasan Barat Indonesia (KBI) – Kawasan Timur Indonesia (KTI) Tahun 1993 (SNSE-AR KBI-KTI 1993). Pulau Sumatera dan Jawa-Bali dikelompokkan sebagai wilayah Barat, sementara pulau Kalimantan, Sulawesi dan pulau lainnya dikelompokkan dalam wilayah Timur. Model IRSAM KBI-KTI yang dibangun digunakan untuk meneliti ketimpangan pembangunan wilayah antara KBI dan KTI, keterkaitan sektor ekonomi intra dan inter-regional, serta dampak perubahan kebijakan terhadap disparitas KBI-KTI. Dari penelitian Hadi diperoleh fakta bahwa sektor-sektor ekonomi pada KTI memiliki ketergantungan yang lebih besar terhadap sektor-sektor ekonomi di KBI daripada sebaliknya. KTI membutuhkan input dari sektor ekonomi KBI rata-rata 29 persen dari input total yang dibutuhkan, yang terdiri dari sektor primer 32.1 persen, sektor industri 28.6 persen dan sektor jasa 26.4 persen. Sebaliknya sektor ekonomi KBI memerlukan input dari KTI rata-rata 4.8 persen dengan perincian sektor primer 6.4 persen, sektor industri 5.3 persen, dan sektor jasa 2.8 persen. Keterkaitan langsung sektor ekonomi menunjukkan 39.1 persen total output sektor KBI dijual ke KTI, namun tidak ada produk industri KTI yang dijual ke KBI. Rachman dan Utama (2003), menggunakan IRSAM untuk menganalisis dampak desentralisasi fiskal. Berbeda dengan studi sebelumnya, Indonesia dibagi menjadi dua wilayah makro yaitu Jawa dan luar Jawa. Wilayah Jawa selanjutnya 53 dikelompokkan dalam tiga wilayah mikro yaitu Jawa Barat termasuk Jakarta dan Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara wilayah luar Jawa terdiri dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau lainnya. Data IRSAM 1990 (matrik 102x102) yang dibangun Wuryanto (1996), diperbaharui menjadi IRSAM 1999 (matrik 30 x 30) yang selanjutnya digunakan untuk meneliti dampak anggaran pemerintah daerah pada tahun fiskal 2002 dalam menyeimbangkan pendapatan, mengurangi disparitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Penelitian Rahman dan Utama (2003), menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia sangat bergantung pada pulau Jawa. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa tenaga kerja dan modal yang digunakan di luar pulau Jawa kebanyakan didatangkan dari Jawa. Hal ini merupakan dasar utama terjadinya disparitas ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Sektor yang dominan dalam alokasi penganggaran di Jawa adalah sektor manufaktur, jasa dan pertanian, dan ini juga merupakan porsi tertinggi dari output multiplier dari luar Jawa. Nurdianto et al. (2009) menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap perekonomian nasional dengan menggunakan Inter-regional Social Acccounting Matrix (IRSAM). Hasil penelitiaan menunjukkan bahwa strategi transfer fiskal akan mereduksi gap pertumbuhan perekonomian regional, namun dapat menyebabkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan. Desentralisasi fiskal yang lebih banyak akan memberi keuntungan pada wilayah Sulawesi dan Indonesia Timur. Dampak terhadap tenaga kerja bervariasi bergantung pada wilayah dan tipe tenaga kerja. Alim (2006), sebagaimana disinggung dalam perumusan masalah, menggunakan model IRSAM Jawa - Sumatera tahun 2002 (SAMIJASUM 2002) untuk menganalisis keterkaitan dan kesenjangan ekonomi intra dan inter-regional 54 Jawa dan Sumatera. Dengan menggunakan tabel IRIO Sumatera-Jawa tahun 2000, SAMIJASUM tahun 2002 disusun dengan matriks berukuran 59 x 59. Studi yang dilakukan mencakup analisis struktur ekonomi intra-regional dan inter-regional, struktur pengeluaran dan pendapatan rumahtangga, distribusi pendapatan. Keterkaitan (linkages) antar sektor intra-regional pada penelitian Alim menunjukkan bahwa sektor jasa di Jawa maupun Sumatera memiliki backward dan forward linkages yang tinggi, sementara sektor perdagangan, restoran dan hotel, dan sektor industri makanan, minuman, dan tembakau di kedua wilayah kurang terkait dengan sektor dibelakangnya. Keterkaitan antar sektor interregional (inter-linkages) menunjukkan secara agregat tingkat ketergantungan perekonomian Sumatera atas input dari Jawa relatif tinggi dibandingkan sebaliknya terutama pada sektor industri makanan, minuman, dan tembakau. Studi Rum alim menyimpulkan bahwa distribusi kenaikan pendapatan antar golongan rumahtangga di Sumatera relatif lebih baik (lebih merata) daripada di Jawa-Bali, walaupun distribusi pendapatan kedua pulau cenderung divergen. Kecuali golongan rumahtangga golongan atas desa dan rumahtangga buruh tani yang cenderung konvergen. Melalui simulasi diketahui bahwa perekonoman di Jawa sangat sensitif terhadap kemajuan ekonomi Sumatera, sedang perekonomian Sumatera kurang sensitif terhadap ekonomi Jawa-Bali. Hal ini dibuktikan dengan besarnya efek multiplier yang diterima Jawa dari kemajuan ekonomi Sumatera, sementara efek multiplier yang diterima Sumatera dari Jawa relatif kecil, yang artinya efek sebar (spread effect) yang diterima Sumatera dari kemajuan ekonomi Jawa lebih kecil daripada efek serap balik (backwash effect). Berdasarkan SAM Indonesia, Thorbecke and Jung (1996), menganalisis konsekwensi pertumbuhan sektoral terhadap kemiskinan dalam prespektif dampak 55 multiplier SAM. Studi kasus di Indonesia tersebut menunjukkan pertumbuhan sektor pertanian dan sektor jasa yang terkait pertanian cenderung lebih baik dalam penanggulangan kemiskinan daripada pertumbuhan sektor industri atau bahkan sektor jasa, bahkan setelah mengakomodasi variasi dampak multiplier. 2.6. Studi Empir ik Dampak Infr astr uktur ter hadap Per ekonomian Dampak pembangunan infrastruktur terhadap fungsi produksi (production function) dengan berbagai metode analisis sudah banyak dilakukan para ekonom. Aschauer (1989), mengestimasi hubungan antara kapital infrastruktur publik dengan kapasitas produksi melalui investasi sektor swasta dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang menggunakan time series data tahun 1945 1985. Hasilnya menunjukkan bahwa infrastuktur memiliki dampak positif pada sektor private dengan koefisien infrastruktur sebesar 0.39 persen. Munnell (1990), meneliti dampak public capital pada produktifitas pekerja dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas berbasis data time series. Hasilnya menunjukkan pertambahan 1 persen public capital akan meningkatkan output 0.34 persen. Lebih jauh Munnel menganalisis hubungan antara public capital dengan aktifitas ekonomi pada level negara bagian (state) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dengan panel data dari tahun 1970 – 1986. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa public capital memiliki dampak positif yang signifikan pada output dengan koefisien 0.15. McGuire (1992) memakai fungsi Cobb-Douglas pada tingkat state dengan memilih public capital yang terdiri dari prasarana jalan, air dan lain sebagainya. Hasilnya menunjukkan bahwa prasarana jalan memiliki dampak positif yang kuat terhadap output. Stephan (1997), mengestimasi dampak infrastruktur jalan terhadap produksi sektor manufaktur menggunakan metode ekonometrika seperti autocorrelation, 56 heteroskedasticity dan cross-sectional correlation. Dari penelitian Stephan yang menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglass dengan panel data, diperoleh hasil bahwa infrastruktur jalan memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap output sektor manufaktur dengan koefisien infrastruktur jalan sebesar 0.325. Boarnet (1998), melakukan test terhadap eksistensi output negatif spillover dari street-and-highway capital, dengan menggunakan fungsi produksi pada negara bagian California pada tahun 1969-1988. Hasilnya menunjukkan streetand-highway capital mempengaruhi output di California, namun infrastruktur ini menyebabkan negative output spillovers sepanjang daerah urban, berarti investasi infrastruktur produktif untuk negara bagian (counties), namun mereduksi output pada tingkat state yang disebabkan oleh negative output spill-overs. Tabel 3. Rangkuman Hasil Studi Terhadap Fungsi Produksi Peneliti Data Hasil Aschauer (1989) Time series data, 1945-1985 Koefisien infrastruktur 0.39 Munnell (1990a) Time series data, 1948-1987 Koefisien public capital 0.34 Munnell (1990b) Panel data, 1970-1986 Koefisien public capital 0.15 Stephan (1997) Panel data, 1970-1993 Koefisien infrastruktur jalan 0.32 Boarnet (1998) Panel data, 1969-1988 Infrastruktur produktif untuk counties, namun negatif pada tingkat state Para ahli juga meneliti dampak infrastruktur terkait fungsi biaya (cost function). Berndt and Hanson (1991) meneliti pengaruh infrastruktur pada output private (sektor bisnis swasta dan manufaktur) dan tingkat produktivitas menggunakan fungsi biaya berbasis data time series di Swedia. Hasilnya menunjukkan reduksi infrastructure capital menyebabkan tingkat kecepatan pertumbuhan produktivitas yang lebih rendah dan peningkatan investasi infrastruktur publik akan mereduksi biaya private (private cost). Nadiri and Mamuneas (1996), menganalisis kontribusi output demand, harga input, perubahan teknologi dan pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP), 57 dan mengukur kontribusi jalan terhadap pertumbuhan produksi sektor private menggunakan fungsi biaya. Hasilnya menunjukkan prasaran jalan mempengaruhi reduksi biaya produksi dan berdampak positif pada kapital, buruh dan material. Tortorice (2002), menganalisis peranan infrastruktur pemerintah terhadap proses produksi dengan menggunakan fungsi biaya, dan menemukan dampak pada variabel cost dari industral private dan TFP total yang bertumbuh. Hasilnya adalah perubahan dalam government capital stock memiliki peranan signifikan pada proses produksi. Elastisitas biaya pekerja terhadap goverment capital adalah 0.02 dan elastisitas produktivitas terhadap government capital adalah 0.003. Canaleta et al. (1998), memeriksa dampak infrastruktur pada produktivitas dalam berbagai wilayah di Spanyol dan memberikan estimasi dampak berbagai type infrastruktur pada biaya produktifitas dalam pertanian, industri dan jasa. Hasilnya menunjukkan bahwa dampak terhadap industri dan jasa lebih tinggi sedikit pada sektor sekunder (secondary sector), dan lebih besar daripada pertanian. Hasil ini memperlihatkan bahwa public capital mereduksi biaya produksi private dan terdapat dampak spillover pada infrastruktur transportasi. Cohen and Catherine (2002), melakukan re-evaluasi pada public capital hypothesis untuk sektor manufaktur di Amerika Serikat dengan periode waktu 1986-1992. Hasilnya menunjukkan bahwa investasi infrastruktur publik pada intra-state adalah produktif. Spatial spillovers berdampak terhadap penghematan biaya pada “within-state”. Mereka memberi argument bahwa pertumbuhan output dapat menstimulasi investasi modal dan lapangan kerja baru. Tabel 4. Rangkuman Studi Fungsi Biaya Peneliti Berndt and Hanson (1991) Data Data Swedia, 1960-1988 Hasil Investasi publik mereduksi private cost 58 Nadiri and Mamuneas (1996) 35 sektor, 1950-1989 Canaleta et al (1998) Spanyol, 1964-1991 Cohen and Paul (2002) Manufaktur, 1986-1992 Penghematan biaya produksi dari kapital jalan raya. Public capital mereduksi biaya produksi Public capital ternyata produktif Dampak infrastruktur terhadap industri banyak diteliti para ahli, terutama terkait pengambilan keputusan lokasi. Wasylenko (1980), meneliti keputusan suatu perusahaan yang pindah dari Milwaukee Central City ke daerah sub-urban dengan menggunakan model logistik dan melakukan testing keputusan tersebut secara statistik signifikan. Wasylenko menyebutkan terdapat dua tipe dari industri. Type pertama termasuk konstruksi, manufaktur, dan wholesale trade yang fokus pada permintaan output (output demand) dimana keuntungan tidak bergantung signifikan terhadap lokasi perusahaan. Tipe kedua termasuk perdagangan eceran (retail), keuangaan dan jasa dimana keuntungan dipengaruhi oleh lokasi. Perkin et al. (2005) melakukan analisis jangka panjang pengembangan infrastruktur dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi jangka panjang di negara Afrika Selatan. Berdasarkan F-test yang digunakan sebagai alat analisis diperoleh hasil bahwa investasi infrastruktur yang tidak mencukupi dapat menyebabkan hilangnya kesempatan bagi pertumbuhan ekonomi. Pembuat kebijakan (policy maker) harus fokus dalam memilih atau mendukung tipe infrastruktur yang tepat pada waktu yang tepat pula. Selain itu kebutuhan investasi infrastruktur untuk mendukung ekonomi tidak pernah berkurang, pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur sangat penting dalam mendorong pertumbuhan. Holl (2004), menganalisis dampak infrastruktur jalan terhadap lokasi pendirian perusahaan manufaktur yang baru di Spanyol dan hasil empiris menunjukkan bahwa infrastruktur jalan sangat penting dalam menentukan lokasi. 59 Motorway mempengaruhi distribusi spasial dari pendirian perusahaan yang baru dan infrastruktur jalan memiliki dampak berbeda sepanjang sektor manufaktur. Kim and Shin (2002), mengukur keuntungan regional dari investasi jalan menggunakan fungsi biaya pada industri manufaktur di 4 wilayah utama Seoul ibukota Korea Selatan. Hasilnya menunjukkan prasarana jalan (road capital stock) berkontribusi signifikan pada industri manufaktur. Hewings, Okuyama, and Sonis (2001) menggunakan aplikasi teori lokasi untuk melakukan estimasi nilai koefisien perdagangan industri diantara subregional kota metropolitan Chicago dengan model multiregional Input-Output. Chang and Kraybill (2001) meneliti dampak pertambahan investasi publik terhadap output regional dan kesejahteraan rumahtangga di Ohio dengan menggunakan model Regional Dynamic Computable General Equilibrium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi publik mempengaruhi pertumbuham ekonomi negara bagian Ohio, walaupun besar dampaknya bergantung pada elastisitas public capital. Melewati tingkat tertentu, investasi infrastruktur tidak lagi menambah kesejahteraan rumahtangga, namun mereduksi kesejahteraan. Kim (2006) menganalisis investasi transportasi pada ekonomi Korea dengan model Dynamic Computable General Equilibrium. Hasilnya menunjukkan kebijakan investasi infrastruktur menguntungkan pertumbuhan ekonomi, namun tidak menguntungkan terhadap inflasi harga (price inflation). Elastisitas investasi infrastruktur kaitannya dengan produk domestik bruto (PDB), ekspor, utilitas dan inflasi bergantung pada keterbatasan institusi dalam negeri untuk arus modal luar negeri dan ketersediaan dana untuk proyek infrastruktur. Dampak investasi transportasi terhadap pertumbuhan dapat ditingkatkan bila regulasi arus modal asing pada sektor private diperbaiki. Sebaliknya dampak investasi transportasi 60 terhadap inflasi dapat diminimumkan bila pengeluaran investasi transportasi semuanya dibiayai dari pendapatan pajak (tax revenue). Berdasarkan hasil berbagai penelitian diatas, diketahui infrastruktur publik memberi kontribusi positif terhadap reduksi biaya produksi selain faktor lokasi.