BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit auto imun yang paling sering
terjadi di masyarakat. Penyakit ini ditandai dengan peradangan pada lapisan
sinovium sendi. Hal itu dapat menyebabkan kerusakan sendi jangka panjang, rasa
sakit yang berkepanjangan, kehilangan fungsi dan kecacatan (Singh et al., 2012).
Pada rheumatoid arthritis fokus peradangan berada di sinovium yaitu jaringan
yang melapisi sendi. Bahan kimia yang dilepaskan oleh sistem kekebalan tubuh
menyebabkan peradangan yang dapat merusak tulang rawan dan tulang
(Ruderman et al., 2012). Penyebab dari rheumatoid arthritis masih belum
diketahui, ada yang menyebutkan faktor genetik dan faktor lingkungan dapat
meningkatkan resiko penyakit rheumatoid arthritis (Firestein et al., 2005).
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit peradangan sendi kronis dan
sistemik yang mempengaruhi 0,5 % - 1% populasi umum di Amerika. Meskipun
dapat menyerang dari segala usia, tingkat prevalensi meningkat secara progresif
dengan onset puncak pada dekade kelima dan tingkat insiden lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pada pria. Tanpa pengobatan dini yang memadai,
rheumatoid arthritis akan menyebabkan kerusakan sendi permanen serta cacat
fungsional yag berat dan mengarah pada penurunan kualitas hidup penderita
(Bykerk et al., 2011). Penderita rheumatoid arthritis di seluruh dunia mencapai
angka 355 juta jiwa di tahun 2009, artinya 1 dari 6 orang di dunia ini menderita
1
2
rheumatoid arthritis (Breedveld, 2003). Di Indonesia sendiri kejadian penyakit ini
lebih rendah dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika. Prevalensi kasus
rheumatoid arthritis di Indonesia berkisar 0,1 % sampai dengan 0,3 % sementara
di Amerika mencapai 3% (Nainggolan, 2009).
Penderita
penyakit
kronik
seperti rheumatoid
arthritis
mengalami
berbagai macam gejala yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup
mereka. Banyak usaha yang dilakukan agar pasien dengan rheumatoid
arthritis dapat merasa lebih baik dan dapat memperbaiki kualitas hidup
mereka. Gangguan yang terjadi pada pasien rheumatoid arthritis lebih besar
kemungkinannya untuk terjadi pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan
pasien. Kebanyakan penyakit rheumatoid arthritis berlangsung kronis yaitu
sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan
kerusakan sendi secara menetap. Rheumatoid arthritis dapat mengancam jiwa
pasien atau hanya menimbulkan gangguan kenyamanan (Gordon et al., 2002).
Masalah yang disebabkan oleh penyakit rheumatoid arthritis tidak
hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas dan aktivitas hidup
sehari-hari tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas yang dapat menimbulkan
kegagalan organ. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan masalah seperti rasa
nyeri, keadaan mudah lelah, perubahan citra diri serta gangguan tidur.
Dengan demikian hal yang paling buruk pada penderita rheumatoid arthritis
adalah pengaruh negatifnya terhadap kualitas hidup (Gordon et al., 2002).
Nyeri yang dialami oleh pasien rheumatoid arthritis adalah nyeri sedang
atau skala nyeri rata-rata enam (National Institude of Nursing Research, 2005
3
dalam Dewi, 2009). Adanya nyeri sendi pada rheumatoid arthritis membuat
penderitanya seringkali takut untuk bergerak sehingga mengganggu aktivitas
sehari-harinya dan menurunkan produktivitasnya. Aktivitas sehari- hari yang
dimaksud seperti makan, minum, berjalan, tidur, mandi berpakaian, dan buang air
besar atau kecil (Hardywinoto and Toni, 2003). Bahkan
arthritis
yang
menghilangkan
tidak
begitu
kemampuan
parah
seseorang
pun
untuk
dapat
kasus rheumatoid
mengurangi
produktif
dan
bahkan
melakukan
kegiatan fungsional sepenuhnya. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan
tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seutuhnya (Gordon et al., 2002).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Depkes, dan Dinas Kesehatan DKI
Jakarta selama tahun 2006 menunjukkan angka kejadian gangguan nyeri
muskuloskeletal yang menggangu aktifitas, merupakan gangguan yang sering
dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagian responden. Dari 1.645 responden
laki-laki dan perempuan yang diteliti, peneliti menjelaskan sebanyak 66,9%
diantaranya pernah mengalami nyeri sendi. Penyakit ini cenderung diderita oleh
wanita (tiga kali lebih sering dibanding pria). Hal ini dapat diakibatkan oleh stres,
merokok, faktor lingkungan dan dapat pula terjadi pada anak karena faktor
keturunan (Wiedya, 2013).
Tujuan dari pengobatan rheumatoid arthritis tidak hanya mengontrol gejala
penyakit, tetapi juga penekanan aktivitas penyakit untuk mencegah kerusakan
permanen. Pengobatan harus multi disipliner yang melibatkan dokter, fisioterapi,
4
pasien dan anggota tim lainnya (British Columbia Guidelines, 2012). Pemberian
terapi rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi dan bengkak,
meringankan kekakuan dan mencegah kerusakan sendi sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengobatan rheumatoid arthritis yang
dilakukan hanya akan mengurangi dampak penyakit, tidak dapat memulihkan
sepenuhnya. Rencana pengobatan sering mencakup kombinasi dari istirahat,
aktivitas fisik, perlindungan sendi, penggunaan panas atau dingin untuk
mengurangi rasa sakit dan terapi fisik atau pekerjaan.
Obat-obatan memainkan peran yang sangat penting dalam pengobatan
rheumatoid arthritis. Tidak ada pengobatan tunggal bekerja untuk semua pasien.
Banyak orang dengan rheumatoid arthritis harus mengubah pengobatan
setidaknya sekali dalam seumur hidup. Pasien dengan diagnosis rheumatoid
arthritis memulai pengobatan mereka dengan DMARDs (Disease modifying antirheumatic drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan leflunomid. Obat ini tidak
hanya meringankan gejala tetapi juga memperlambat kemajuan penyakit.
Seringkali dokter meresepkan DMARDs bersama dengan obat anti-inflamasi atau
NSAID dan/atau kortikosteroid dosis rendah, untuk mengurangi pembengkakan,
nyeri dan demam (Arthritis Foundation, 2008).
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
pengaruh karakteristik pasien dan jenis obat yang digunakan terhadap kualitas
hidup dan intensitas nyeri pada pasien rheumaoid arthritis. Penelitian ini
dilakukan di instalasi rawat jalan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Pemilihan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta karena rumah sakit ini
5
telah mempunyai instalasi khusus untuk penyakit rheumatoid sehingga menjadi
rujukan pasien rheumatoid arthritis.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengaruh karakteristik pasien terhadap kualitas hidup pasien
rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta?
2.
Bagaimana pengaruh jenis obat yang digunakan terhadap kualitas hidup
pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta?
3.
Bagaimana pengaruh intensitas nyeri terhadap kualitas hidup pasien
rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan umum
Mengetahui pengaruh karakteristik pasien, jenis obat yang digunakan dan
intensitas nyeri terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
2.
Tujuan khusus
a. Mengetahui pengaruh karakteristik pasien terhadap kualitas hidup pasien
rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogykarta.
b. Mengetahui pengaruh jenis obat yang digunakan terhadap kualitas hidup
pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta.
6
c. Mengetahui pengaruh intensitas nyeri terhadap kualitas hidup pasien
rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1.
Farmasis
Dapat memberikan gambaran mengenai karakteristik pasien dan
pengobatan yang berhubungan terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid
arthritis sehingga dapat meningkatkan perannya sebagai konselor yang
mendukung meningkatnya kualitas hidup pasien.
2.
Instalasi Rumah Sakit dan Profesi Kesehatan Lain
Sebagai sumber informasi bagi rumah sakit mengenai pengaruh
karakteristik pasien, jenis obat yang digunakan dan intensitas nyeri terhadap
kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis khususnya pada pasien rawat jalan
sehingga dapat digunakan sebagai masukan dalam menyusun strategi tata
laksana terapi rheumatoid arthritis di rumah sakit dan dapat memberikan
motivasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien
rheumatoid arthritis.
3.
Peneliti
Meningkatkan pengetahuan dan memberikan pengalaman penelitian
tentang pelayanan kesehatan ksususnya pada penyakit rheumatoid arthritis
serta sebagai pembanding, pendukung dan pelengkap untuk penelitian
selanjutnya.
7
E. Tinjauan Pustaka
1.
Rheumatoid Arthritis
a. Definisi
Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis (jangka panjang) yang
menyebabkan nyeri, kekakuan gerak dan fungsi sendi terbatas dan
bengkak. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi banyak sendi, sendisendi kecil di tangan dan kaki cenderung yang paling sering terlibat.
Peradangan pada rheumatoid arthritis kadang-kadang bisa mempengaruhi
organ lain seperti mata dan paru-paru. Pada rheumatoid arthritis
kekakuan yang paling buruk sering terjadi pada pagi hari. Kekakuan ini
dapat berlangsung satu sampai dua jam (atau bahkan sepanjang hari).
Kekakuan pada pagi hari dalam waktu yang lama tersebut merupakan
petunjuk bahwa seseorang mungkin mengidap rheumatoid arthritis,
karena beberapa penyakit rematik lainnya berperilaku seperti ini.
Misalnya osteoarthritis paling sering tidak menyebabkan kekakuan pagi
yang berkepanjangan (Ruderman et al., 2012).
b. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis
Journal Of The Royal Society Of Medicine membagi 4 (empat)
onset, yaitu :
1) Polymyalgic Onset
Biasanya dialami oleh usia lanjut dan merupakan penyakit
akut. Dengan kekakuan disekitar bahu dan lingkar panggul. Tingkat
ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) biasanya tinggi. Pengobatan
8
yang paling umum biasanya menggunakan kortikosteroid dosis
rendah (Prednisolon 15 – 20 mg per hari).
2) Palindromic Onset
Pasien
mengalami
nyeri
berulang,
pembengkakan
dan
kemerahan yang mempengaruhi salah satu sendi atau lebih pada satu
waktu, masing-masing berlangsung hanya satu atau dua hari.
Kemudian pasien bisa mengalami gejala yang terus menerus.
3) Systemic Onset
Keluhan pertama biasanya non-focal seperti penurunan berat
badan, kelelahan, depresi, demam, atau bisa berhubungan dengan
fitur ekstra artikular seperti radang pada paru-paru (serositis) atau
radang pada pembuluh darah (vaskulitis).
4) Persistent Monoarthritis
Biasanya pasien megalami gejala arthritis persisten yang
mempengaruhi satu sendi besar seperti lutut, bahu, pergelangan kaki
atau pergelangan tangan (Suresh, 2004).
c. Etiologi
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit auto imun kronis yang
ditandai dengan peradangan, nyeri, kekakuan dan kerusakan sendi yang
progresif. Selain tingginya rasa sakit dan angka kematian, penderita
rheumatoid arthritis mengalami masalah dengan keuangan mereka dan
mengalami penurunan produktivitas, emosional dan keadaan sosial yang
mempengaruhi kualitas hidup mereka (Bykerk et al., 2011).
9
Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang
menderita rheumatoid arthritis, yaitu :
1) Genetik
Pada penyakit rheumatoid arthritis faktor genetik sangat
berpengaruh.
Gen-gen
tertentu
yag
terletak
di
kompleks
histokompatibilitas utama (MHC) pada kromosom 6 telah terlibat
predisposisi dan tingkat keparahan rheumatoid arthritis. Penduduk
asli Amerika dengan gen polimorfik HLA-DR9 memiliki resiko 3,5
lebih besar terkena rheumatoid arthritis bawaan.
2) Infeksi
Agen penginfeksi yang terkait pada rheumatoid arthritis antara
lain mycoplasma, mycobacterium, parvovirus, virus Epstein-Barr,
dan retrovirus. Agen penginfeksi ini menginfeksi pasien melalui
infeksi sinovial langsung, mimikri molekul atau aktivasi kekealan
bawaan.
3) Usia dan jenis kelamin
Insidensi rheumatoid arthritis lebih banyak dialami oleh
wanita daripada laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan
ini diasumsikan karena pengaruh dari hormon namun data ini
masih dalam penelitian. Wanita memiliki hormon estrogen sehingga
dapat memicu sistem imun. Onset rheumatoid arthritis terjadi pada
orang-orang usia sekitar 50 tahun.
10
4) Obesitas
Secara statistik perempuan memiliki body mass index (BMI)
diatas rata-rata dimana kategori BMI pada perenmpuan Asia
menurut jurnal American Clinical Nutrition adalah antara 24 sampai
dengan 26,9kg/m2. BMI di atas rata-rata mengakibatkan terjadinya
penumpukan lemak pada sendi sehingga meningkatkan tekanan
mekanik pada sendi penahan beban tubuh, khususnya lutut.
5) Lingkungan
Banyak faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap
keparahan rheumatoid arthritis, meskipun tidak ada objek spesifik
yang diidentifikasikan sebagai masalah utama. Merokok adalah salah
satu faktor resiko dari keparahan rheumatoid arthritis pada populasi
tertentu. Tetapi alasan pengaruh rokok terhadap sinovitis belum
sepenuhnya
didefinisikan,
tapi
rokok
mempengaruhi
sistem
kekebalan bawaan di jalan nafas (Firestein et al., 2005).
d. Patofisiologi
Rheumatoid arthritis sering disebut radang selaput sinovial.
Penyebab dari rheumatoid arthritis masih belum jelas, tetapi produksi
faktor rheumatoid (RFS) oleh sel-sel plasma dalam sinovium dan
pembentukan lokal kompleks imun sering berperan dalam peradangan.
Sinovium normal tipis dan terdiri dari lapisan-lapisan fibroblast
synoviocytes dan makrofag. Pada penderita rheumatoid arthritis sinovium
menjadi sangat tebal dan terasa sebagai pembengkakan di sekitar sendi
11
dan tendon. Sinovium berproliferasi ke dalam lipatan, lipatan ini
kemudian disusupi oleh berbagai sel inflamasi diantaranya polimorf yang
transit melalui jaringan ke dalam sel sendi, limfosit dan plasma sel.
Lapisan sel sinovium menjadi menebal dan hiperplastik, kejadian ini
adalah tanda proliferasi vaskuler awal rheumatoid arthritis. Peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan lapisan sinovial menyebabkan efusi
sendi yang mengandung limfosit dan polimorf yang hampir mati (Kumar
and Clark, 2009).
Sinovium hiperplastik menyebar dari daerah sendi ke permukaan
tulang rawan. Penyebaran ini menyebabkan kerusakan pada sinovium
dan tulang rawan mengalami peradangan, kejadian ini menghalangi
masuknya gizi ke dalam sendi sehingga tulang rawan menjadi menipis.
Fibroblast dari sinovium berkembang biak dan tumbuh di sepanjang
pembuluh darah antara margin sinovial dan rongga tulang epifis dan
merusak tulang (Kumar and Clark, 2009).
Sistem kekebalan tubuh memiliki dua fungsi yaitu fungsi humoral
dan sel dimediasi. Komponen humoral diperlukan untuk pembentukan
antibodi. Antibodi ini diproduksi oleh sel-sel plasma yang berasal dari
limfosit B. Faktor rheumatoid sendiri belum diidentifikasikan sebagai
patogen, jumlah antibodi yang beredar selalu berkolerasi dengan aktivitas
penyakit. Pasien seropositif cenderung lebih agresif dari pasien
seronegatif. Imunoglobulin dapat mengaktifkan sistem komplemen.
Sistem komplemen menguatkan respon imun dengan mendorong
12
kemotaksis, fagositosis, dan pelepasan limfokin oleh sel mononuklear,
yang kemudian dijabarkan ke dalam T limfosit (Dipiro et al., 2008)
Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus)
menginfeksi sendi akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada
membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung terusmenerus. Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan kapsul fibroma
ligament tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan
pembentukan pada jaringan parut sehingga membran sinovium menjadi
hiperatropi dan menebal. Terjadinya hiperatropi dan penebalan ini
menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi
terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis
(rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (perubahan bentuk)
(Dipiro et al., 2008).
Sendi yang paling sering terkena rheumatoid arthritis adalah sendi
tangan, pergelangan tangan dan kaki. Selain itu, siku, bahu, pinggung,
lutut dan pergelangan kaki mungkin terlibat. Peradangan kronis dengan
kurangnya program latihan yang memadai bisa berpengaruh pada
hilangnya rentang gerak, atrofi otot, kelemahan dan deformitas.
Keterlibatan tangan dan perelangan tangan adalah umum pada pasien
rheumatoid arthritis. Keterlibatan tangan dimanifestasikan dengan nyeri,
pembengkakan, ketidakstabilan, dan atrofi dalam fase kronis. Kesulitan
fungsional ditandai dengan berkurangnya gerakan motorik halus.
Deformitas tangan dapat dilihat dengan peradangan kronis, perubahan ini
13
dapat mengubah mekanisme fungsi tangan dan mengurangi kekuatan
pegangan hal ini membuat sulit melakukan aktivitas sehari-hari (Dipiro et
al., 2008).
e. Diagnosa
Faktor rheumatoid (RF) merupakan auto antibodi yang ditujukan
dari bagian Fc dari IgG. Faktor rheumatoid adalah tes diagnostik dan
prognostik dalam rheumatoid arthritis. Titer tinggi IgM RF relatif
spesifik untuk diagnosa rhematoid arthritis dalam konteks polyarthritis
kronis, dan selama beberapa dekade kriteria serolosis tunggal banyak
digunakan dalam diagnosis rheumatoid arthritis. Rheumatoid arthritis
merupakan penyakit variabel yang berkaitan dengan ukuran hasil seperti
status fungsional atau penilaian radiologis kerusakan sendi (Eustice,
2007). Untuk menegakkan diagnosa, dilakukan beberapa tes diantaranya:
1) Tes Hitung Darah.
Anemia biasanya terjadi pada penderita rheumatoid arthritis.
Jumlah ESR (Erytrocyte Sedimentation Rate) dan atau CRP (CReaktive Protein) sebanding dengan aktivitas proses inflamasi dan
berguna dalam pemantauan pengobatan (Kumar and Clark, 2009).
2) Serologi
Anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptides) positif pada awal
terjadinya rheumatoid arthritis, dan pada awal arthritis proses
inflamasi menunjukkan kemungkinan berkembangnya rheumatoid
arthritis. Faktor rheumatoid arthritis mempengaruhi sekitar 70%
14
kasus dan ANA (Anti Nuklear Antibodi) mempengaruhi sekitar 30%
kasus (Kumar and Clark, 2009).
3) Sinar X
Sinar X berguna untk menetapkan data dasar. Hanya
pembengkakan jaringan lunak yang terlihat pada awal penyakit dan
biaanya dilakukan pada 3 bulan pertama. MRI menunjukkan erosi
awal tetapi jarang diperlukan (Kumar and Clark, 2009).
4) Aspirasi Sendi
Aspirasi tampak berawaan karena adanya sel darah putih. Jika
sendi tiba-tiba menyakitkan, bisa saja pasien terkena arthritis (Kumar
and Clark, 2009).
5) Analisis Cairan Synovial
Peradangan yang mengarah pada rheumatoid arthritis ditandai
dengan cairan synovial abnormal dalam hal kualitas dan jumlahnya
yang meningkat drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil dari
sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa dan dianalisis tanda-tanda
peradangannya (Shiel Jr., 2011).
6) USG (Ultrasonografi)
Dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya
cairan abnormal di jaringan lunak sekitar sendi (Shiel Jr., 2011).
7) Scan Tulang
Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi
pada tulang (Shiel Jr., 2011).
15
8) Densitometri
Dapat mendeteksi adanya perubahan kepadatan tulang yang
mengindikasikan terjadinya osteoporosis (Shiel Jr., 2011).
9) Tes Antinuklear Antibodi (ANA)
Berguna untuk membedakan diagnosis rheumatoid arthritis
dari penyakit lupus. Pasien rheumatoid arthritis memiliki hasil ANA
positif (Shiel Jr., 2011).
f. Prognosis
Pada kasus rheumatoid arthritis gejala cukup bervariasi dan sulit
diprediksi pada setiap individu. Pendekatan terapi pada awal-awal
diagnosa dapat mengurangi gejala seperti peradangan sendi, cacat,
kerusakan sendi dan kematian. Secara klasik, kabanyakan pasien
mengalami kerusakan sendi tetapi berfluktuasi, disertai dengan tingkat
kerusakan sendi dan gangguan fungsional. Pada usia 10-20 tahun, <20%
pasien tidak mengalami kecacatan dan kelainan sendi. Harapan hidup
rata-rata orang dengan rheumatoid arthritis diperpendek 3-7 tahun. Pasien
dengan rheumatoid arthritis mengalami peningkatan angka kematian 2,5
kali lebih tinggi. Angka kematian meningkat dikarenakan infeksi dan
pendarahan pada gastrointestinal dan resiko penyakit kardiovaskuler.
Faktor terkait dengan kematian dini termasuk cacat, durasi penyakit atau
keparahan, peradangan persisten, penggunaan glukokortikoid, usia, dan
status sosial ekonomi atau pendidikan yang rendah (Daud, 2001).
16
g. Komplikasi
Komplikasi penyakit dapat mempersingkat hidup beberapa tahun
pada beberapa individu, meskipun rheumatoid arthritis itu sendiri tidak
fatal. Secara umum, rheumatoid arthritis bersifat progresif dan tidak
dapat disembuhkan, tetapi pada beberapa pasien penyakit ini secara
bertahap menjadi kurang agresif dan gejala bahkan dapat meningkat. Jika
terjadi kerusakan tulang dan ligament serta perubahan bentuk, maka
efeknya akan permanen. Efek ini meliputi :
1) Anemia
Anemia pada penderita rheumatoid arthritis dapat disebabkan
oleh adanya peradangan kronis yang terjadi atau efek samping dari
penggunaan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS) jangka
panjang seperti pendarahan internal atau tukak lambung.
2) Infeksi
Pasien dengan rheumatoid arthritis memiliki resiko lebih besar
untuk infeksi. Obat imunosupresif akan lebih meningkatkan resiko.
3) Masalah Gastro Intestinal
Pasien dengan rheumatoid arthritis mungkin mengalami
gangguan perut dan usus, kanker perut dan kolorektal dalam tingkat
yang rendah telah dilaporkan pada pasien rheumatoid arthritis.
4) Osteoporosis
Kondisi ini lebih umum dari pada rata-rata pada wanita post
menopause dengan rheumatoid arthritis, pinggul yang sangat
17
terpengaruh. Resiko osteoporosis tampaknya lebih tinggi dari pada
rata-rata pada pria dengan rheumatoid arthritis yang lebih tua dari 60
tahun.
5) Penyakit Paru-Paru
Sebuah studi kecil menemukan prevalensi tinggi peradangan
paru dan fibrosis pada pasien yang baru didiagnosis rheumatoid
arthritis, namun temuan ini dapat dikaitkan dengan merokok.
6) Penyakit Jantung
Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi pembuluh darah dan
meningkatkan resiko penyakit jantung iskemik koroner.
7) Sindrom Felty
Kondisi ini ditandai dengan pembesaran kelenjar limfa, jumlah
sel darah putih rendah dan infeksi bakteri berulang. Ini mungkin
merespon Disease Modifying Antirheumatic Drugs (DMARDs).
8) Limfoma dan Kanker Lainnya
Rheumatoid arthritis terkait perubahan sistem kekebalan tubuh
mungkin memainkan peran. Pengobatan yang agresif untuk
rheumatoid arthritis dapat membantu mencegah kanker tersebut
(Shiel Jr., 2011).
h. Sendi-sendi Yang Terkena Rheumatoid Arthritis
Beberapa sendi yang sering terkena pada pasien rheumatoid
arthritis adalah sebagai berikut :
18
a.
Tangan dan Pergelangan Tangan
Dampak rheumatoid arthritis pada tangan sangat parah. Pada
awal gejala jari menjadi bengkak, nyeri dan kaku. Radang pada
selubung tendon fleksor dapat meningkatkan gangguan fungsional.
b.
Bahu
Rheumatoid arthritis juga mempengarui bahu. Awal gejala
meniru
manset
rotator
tendonosis
dengan
sindrom
busur
menyakitkan dan nyeri pada lengan atas dimalam hari. Sebagian
sendi menjadi rusak, kaku menyeluruh. Hal ini bisa mengganggu
pada saat berpakaian, makan dan di toilet.
c.
Siku
Sinovitis
pada
siku
menyebabkan
pembengkakan
dan
deformitas fleksi yang menyakitkan. Pasien juga mengalami
kesulitan makan jika dikombinasikan dengan bahu, tangan dan
pergelangan tangan yang cacat.
d.
Kaki
Salah satu manifestasi awal rheumatoid arthritis adalah
pembengkakan. Kaki menjadi lebih luas dan deformitas hammer-toe
berkembang. Paparan dari kepala metatarsal, tekanan oleh migrasi
fibrofatty pada pelindung menyebabkan rasa sakit.
e.
Lutut
Sebagian besar sinovitis dan efusi terjadi di lutut.
19
f.
Pinggul
Pinggul jarang terkena pada awal rheumatoid arthritis. Nyeri
dan kekauan yang disertai dengan hilangnya radiologi dari ruang
sendi dan juxta-artikular osteoporosis.
g.
Tulang Belakang Pada Leher
Kekauan dan nyeri di leher pada rheumatoid arthritis bisa
karena otot leher (Kumar and Clark, 2009).
i. Tujuan Terapi
a.
Tujuan Terapi Rheumatoid Arthritis
Pengobatan penderita rheumatoid arthritis bertujuan untuk :
a)
Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi yang aktif baik
lokal maupun sistemik.
b) Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan.
c) Mencegah terjadinya deformitas atau kelainan bentuk sendi dan
menjaga fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.
d) Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang
mengalami rheumatoid arthritis agar sedapat mungkin menjadi
normal kembali (Rizasyah, 1997).
j. Strategi Terapi
Pada pengobatan rheumatoid arthritis yang perlu dilakukan antara
lain:
a) Mengendalikan peradangan sendi dan mencegah kerusakan
sendi.
20
b) Mencegah atau mengobati rheumatoid arthritis terkait dengan
komorbiditas.
c) Meminimalkan terapi terkait dengan efek samping dengan
menggunakan obat yang bermutu.
d) Mendidik pasien dan melibatkan mereka dalam menejemen
penyakit (Geofrey, 2005).
k. Tata Laksana Terapi
Diagnosa rheumatoid arthritis pasti menyebabkan kekhawatiran
dan ketakutan pada pasien dan membutuhkan banyak penjelasan dan
kepastian. Diagnosis dini sangatlah penting, dokter dan terapis harus
mempertahankan pendekatan yang positif dan mengingatkan pasien
bahwa kepatuhan pasien akan berdampak pada kualitas hidup pasien.
Tahun-tahun awal adalah tahun yang paling sulit dan orang-orang harus
dibantu atau didorong untuk tetap bekerja sama selama fase ini (Kumar
and Clark, 2009).
1) Terapi Non Farmakologi
a) Latihan
Rheumatoid arthritis dapat mengurangi aktivitas fisik
karena sakit atau disfungsi sendi. Sebuah studi baru-baru ini
telah mengidentifikasi bahwa peningkatan latihan aerobik
(intensitas sedang sampai tinggi, 3 kali seminggu selama 30
sampai 60 menit) memperkuat latihan (moderat untuk ketahan
keras melatih 2 sampai 3 kali seminggu) akan menghasilkan
21
hasil yang lebih baik bagi pasien dengan rheumatoid arthritis
(Geoffrey, 2005).
b) Diet
Peran diet masih kontroversial tetapi bukti terbaru
menunjukkan bahwa beberapa modifikasi diet dapat mengurangi
aktivitas penyakit. Yang menarik adalah penelitian kecil
menunjukkan bahwa diet mediterania (konsumsi banyak buahbuahan, sayuran, sereal, kacang-kacangan, daging merah kecil,
lebih banyak ikan, minyak zaitun, asupan anggur) dapat
mengurangi aktivitas penyakit pada pasien rheumatoid arthritis
(Geoffrey, 2005).
c) Pendidikan
Pasien dengan rheumatoid arthritis yang memiliki tingkat
ketidakberdayaan yang berkaitan dengan penyakit mereka
memiliki hasil yang lebih buruk bila dibandingkan dengan
mereka yang mampu mengatasi informasi ini adalah dasar untuk
mengembangkan berbagai program pendidikan yang dirancang
untuk mengurangi ketidakberdayaan dengan meningkatkan
pengetahuan pasien (Geoffrey, 2005).
d) Istirahat
Istirahat merupakan komponen esensial pada terapi
nonfarmakologi
rheumatoid
arthritis.
Istirahat
dapat
menyembuhkan stres dari sendi yang mengalami peradangan
22
dan mencegah kerusakan sendi yang lebih parah. Akan tetapi,
terlalu banyak istirahat (berdiam diri) juga dapat menyebabkan
imobilitas, sehingga dapat menurunkan rentang gerak dan
menimbulkan atrofi otot. Pasien hendaknya tetap menjaga
gerakan dan tidak berdiam diri terlalu lama. Dalam kondisi yang
mengharuskan pasien duduk lama, pasien mungkin dapat
beristirahat
sejenak
setiap
jam,
berjalan-jalan
sambil
meregangkan dan melenturkan sendi (Schuna et al., 2008).
e) Pembedahan
Jika terapi obat gagal mencegah atau memperlambat
kerusakan
sendi,
dipertimbangkan
tindakan
untuk
pembedahan
memperbaiki
mungkin
sendi
yang
dapat
rusak.
Pembedahan dapat membantu mengembalikan kemampuan
penggunaan sendi, mengurangi rasa sakit, dan mengurangi
kecacatan (Geoffrey, 2005).
2) Terapi Farmakologi
Tujuan dari terapi farmakologi adalah untuk memberantas
peradangan sendi dan dengan demikian mencegah kerusakan
jaringan dan memaksimalkan kualitas hidup. Pada kasus pasien usia
lanjut, penerapan terapi farmakologi harus dimodifikasi untuk
mempertimbangkan usia dan komordibitas (Geoffrey, 2005).
23
a) Obat Antirematik Pemodifikasi Penyakit (Disease-Modifying
Anti Rheumatic Drug (DMARDS))
Pengobatan dengan DMARDs sebaiknya dimulai selama 3
bulan pertama sejak diagnosis rheumatoid arthritis ditegakkan.
Kombinasi dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dapat
diberikan untuk mengurangi
gejala. Pengobatan dengan
DMARDs sejak dini dapat mengurangi mortalitas. DMARDs
yang
paling
sering
digunakan
adalah
metotreksat,
hidroksiklorokuin, sulfasalazin, dan leflunomid. (Schuna et al.,
2008).
i.
Metotreksat
Metotreksat saat ini dianggap sebagai DMARD
pilihan pertama untuk mengobati rheumatoid arthritis dan
digunakan sekitar 60% pasien. Efek samping yang sering
terjadi adalah mual dan ulkus mukosa.
ii.
Klorambusil
Klorambusil, mungkin melalui metabolitnya yakni
asam enilasetat, menaut silang DNA sehingga mencegah
replikasi sel. Efek samping yang sering terjadi adalah
supresi sumsum tulang yang berhubungan dengan dosis.
iii. Siklofosfamid
Obat ini menekan fungsi sel T dan sel B sebesar 3040%, supresi sel T berkolerasi dengan respon klinis dalam
24
penyakit rematik. Siklofosfamid menyebabkan infertilitas
bermakna terkait dosis pada laki-laki dan perempuan.
iv. Siklosporin
Melalui pengaturan transkripsi gen, siklosporin
menghambat
produksi
reseptor
interleukin-1
dan
interleukin-2 dan secara sekunder menghambat nteraksi
makrofag-sel T dan resposivitas sel T. Siklosporin jelas
memiliki nefrooksisitas, kreatinin serum harus dimonitor
secara ketat. Toksisitas lainnya meliputi hipertensi,
hiperkalemia, dan hepatotoksik.
v.
Azatioprin
Azatioprin bekerja melalui metabolit utamanya yakni
6-tioguanin. 6-tioguanin menekan sintesis asam inosinat,
fungsi sel B dan sel T, produksi imunoglobulin dan sekresi
interleukin-2. Efek sampingnya meliputi supresi sumsum
tulang, gangguan saluran cerna, dan sejumlah peningkatan
resiko infeksi.
vi. Mikofenolat Mofetil
Mikrofenolat mofetil (MMF) diubah menjadi asam
mikofenilat, bentuk aktif obat ini. Produk aktifnya
menghambat
kemudian
sitosin
monofosfat
menghambat
Perbandingannya
dengan
dehidrogenase
proliferasi
azatioprin
limfosit
dalam
sel
dan
T.
literatur
25
transplantasi ginjal menunjukkan bahwa MMF dan
azatioprin memiliki profil toksisitas terhadap saluran cerna,
hematopoetik, dan hati yang serupa dengan kemungkinan
adanya penurunan insiden infeksi jamur pada pasien yang
diobati dengan MMF.
vii. Klorokuin dan Hidroksiklorokuin
Klorokuin dan hidroksiklorokuin digunakan terutama
dalam malaria dan pada penyakit rematik. Mekanisme efek
anti-inflamasi obat-obat ini pada penyakit rematik masih
belum jelas. Meskipun toksisitas okular dapat terjadi pada
dosis yang lebih besar dari 250mg/hari untuk klorokuin dan
lebih besar dari 6,4 mg/kg/hari untuk hidroksiklorokuin,
toksisitas ini jarang terjadi pada dosis yang lebih rendah.
viii. Emas
Emas
mengubah
morfologi
dan
kemampuan
fungsional makrofag manusia, hal ini kemungkinan
merupakan kerja utama mereka. Akibatnya terjadi inhibisi
pada produksi monocyte chemotactic factor-1, interleukin8, interleukin-1β serta faktor pertumbuhan endotel vaskular.
Senyawa emas intramuskular juga mengubah aktivitas
enzim lisosom, menurunkan pelepasan histamindari sel
mast, menginaktivasi komponen pertama koplemen, dan
menekan
aktivitas
fagositik
milik
leukosit
26
polimorfonuklear. Ruam kulit yang gatal terjadi 15-20%
penderita, beberapa terkait dengan eosinofilia. Kira-kira 810% penderita menderita proteinuria yang dapat berlanjut
menjadi sindrom nefrotik. Efek samping emas ini
menyebabkan 30-40% pasien menghentikan terapi emasnya
dalam waktu setahun.
ix. Rituximab
Rituximab adalah antibodi monoklonal kimerik yang
menjadikan limfosit B CD20 sebagai sasarannya. Obat ini
bermanfaat dalam terapi rheumatoid arthritis yang refrakter
terhadap agen anti TNF. Rituximab telah disetujui
penggunaannya untuk terapi rheumatoid arthritis aktif jika
dikombinasi dengan metotrexate. Kombinasi ini diberikan
dalam bentuk infus IV sebanyak 2 kali yang diberikan
berselang 2 minggu (Katzung, 2007).
b)
Obat Anti-inflamasi Nonsteroid
Salisilat dan obat serupa lainnya yang digunakan untuk
mengobati penyakit rematik mempunyai kemampuan untuk
menekan tanda dan gejala peradangan. Obat-obat ini juga
mempunyai
efek antipiretik dan
analgesik,
tetapi
efek
inflamasinyalah yang membuat obat-obat ini paling bermanfaat
dalam tata laksana kelainan disertai nyeri yang berhubungan
dengan intensitas proses peradangan.
27
i. Aspirin
Merupakan penghambat nonselektif untuk kedua
isoform COX, tapi salisilat lebih tidak efektif dalam
mengambat kedua isoform tersebut. Salisilat nonterasetilasi
dapat bekerja sebagai penangkap radikal oksigen. Aspirin
secara irreversibel menghambat COX dan menghambat
agregrasi trombosit, sementara salisilat nonterasetilasi tidak.
Pada dosis biasa, efek samping aspirin utama adalah
gangguan lambung (intoleransi) dan ulkus lambung serta
duodenum, hepatotoksisitas, asma, ruam, dan toksisitas
ginjal lebih jarang terjadi.
ii. Celecoxib
Celecoxib merupakan penghambat COX-2 selektif,
sekitar 10-20 kali lebih selektif untuk COX-2 dari pada
COX-1. Meskipun celecoxib memiliki efek samping pada
saluran cerna separuh dari OAINS non selektif. Frekuensi
efek samping lainnya hampir sama dengan OAINS lain.
Efek yang telah terbukti adalah terjadinya edema dan
hipertensi.
iii. Meloksikam
Meloksikam adalah suatu enolkarboksamida yang
berkaitan dengan piroxikam dan terbukti lebih menghambat
COX-2 dari pada COX-1, khususnya pada dosis rendah
28
yakni 7,5 mg/hari. Meloksikam menyebabkan lebih sedikit
gejala dan komplikasi pada saluran cerna.
iv. Diklofenak
Diklofenak adalah suatu turunan asam fenilasetat yang
relatif tidak selektif sebagai penghambat COX.
Efek
samping terjadi 20% pasien dan meliputi gangguan saluran
cerna, pendarahan samar saluran cerna, dan ulkus lambung,
meskipun ulkus lebih jarang terjadi daripada OAINS
lainnya.
v. Ibuprofen
Merupakan turunan sederhana asam fenilpropioat.
Pada dosis sekitar 2.400 mg per hari efek inflamasi
ibuprofen setara dengan 4 gram aspirin. Pemberian
ibuprofen mengantagoniskan inhibisi trombosit irreversibel
yang dipicu oleh aspirin. Oleh karena itu, terapi dengan
ibuprofen
pada
pasien
dengan
peningkatan
resiko
kardiovaskuler dapat membatasi efek kardioprotektifmilik
aspirin.
vi. Indometasin
Indometasin merupakan turunan indol, penghambat
COX nonselektif yang poten dan dapat juga menghambat
fosfolipase A dan C, menurunkan migrasi neutrofil, dan
menurunkan proliferasi sel T dan sel B. Pada dosis yang
29
lebih tinggi, paling tidak sepertiga penderita bereaksi
terhadap indometasin sehingga membuat penggunaannya
harus dihentikan. Efek terhadap saluran cerna meliputi nyeri
abdomen, diare, perdarahan saluran cerna dan pankreatitis.
Nyeri kepala dialami oleh 15-25% penderita dan mungkin
disertai pusing, bingung dan depresi.
vii. Piroxicam
Merupakan penghambat COX nonselektif yang pada
konsentrasi tinggi juga menghambat migrasi leukoit
polimorfonuklear, menurunkan produksi radikal oksigen dan
menghambat fungsi limfosit. Toksisitasnya meliputi gejalagejala pada saluran cerna (20% pasien), pusing, telinga
berdenging, nyeri kepala, dan ruam. Ketika piroxicam
digunakan dalam dosis yang lebih tinggi dari 20 mg/hari
terjadi peningkatan insidens ulkus peptikum dan perdarahan
(Katzung, 2007).
c)
Glukokortikoid
Glukokortikoid mempuyai efek yang sangat luas karena
memperngaruhi
fungsi
kebanyakan
sel
dalam
tubuh.
Konsekuensi metabolik utama dari sekresi ata pemberian
glukokortikoid disebabkan oleh kerja langsung hormon ini
dalam
sel.
Glukokortikoid
secara
dramatis
mengurangi
manifestasi peradangan. Hal ini disebabkan oleh efeknya yang
30
nyata terhadap kadar, distribusi, dan fungsi leukosit periferserta
oleh efek supresifnya terhadap sitokin dan kemokin peradangan
serta terhadap perantara peradangan lainnya. Peradangan tanpa
melihat penyebabnya, ditandai dengan ektravasasi dan infiltrasi
leukosit ke dalam jaringan yang terpengaruh. Setelah pemberian
glukokortikoid kerja singkat dosis tunggal, kadar neutrofil
dalam peredaran meningkat sedangkan jumlah limfosit (sel T
dan B), monofil, eosinofil,dan basofil menurun. Peningkatan
neitrofil disebabkan oleh peningkatan influks ke arah dari
sumsum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah,
yang menyebabkan pengurangan jumlah sel pada daerah
peradangan. Pengurangan limfosit, monosit, eosinofil dan
basofil dalam sirkulasi terutama terjadi akibat perpindahannya
dari bantalan vaskular ke jaringan limfoit. Penggunaan obat ini
harus dipertimbangkan secara matang pada tiap penderita
terhadap efeknya yang luas pada tiap bagian organisme. Efek
utama yang tidak diinginkan dari glukotirkoid adalah akibat
kerja hormonalnya, yang memunculkan gambaran klinis
sindrom cushing iatrogenik. Jika glukotirkoid digunakan untuk
waktu yang singkat (kurang dari dua minggu) jarang terlihat
efek samping yang serius walaupun dosis yang cukup besar.
Akan tetapi, kadang dijumpai adanya insomnia, perubahan
31
perilaku (terutama hipomania) dan ulkus peptikum akut setelah
beberapa hari pengobatan (Katzung, 2007).
Metotreksat, atau DMARD lain ±
NSAID ± Prednison dalam 3 bulan
pertama
Respon buruk
DMARD lain monoterapi
(Metotreksat jika tidak
digunakan diatas)
Kombinasi
DMARD
DMARD biologis
mono atau kombinasi
dengan DMARD
Respon buruk
Coba kombinasi lain, 3 jenis obat (DMARD + biologi, tambahkan prednisone
dosis rendah jangka panjang, pertimbangkan lini kedua DMARD
Gambar 1. Algoritma terapi rheumatoid arthritis (Dipiro
et al., 2008).
l. Monitoring Terapi
Evaluasi terapi meliputi :
1) Ciri klinis mengalami perbaikan seperti reduksi pembengkakan
sendi, pengurangan rasa sakit pada sendi yang aktif terkait, dan
penurunan urat sampai ke palpasi sendi.
2) Perbaikan gejala meliputi pengurangan rasa sakit sendi dan
kekakuan di pagi hari, onset dengan waktu yang panjang untuk
32
kelelahan di sore hari dan perbaikan kemampuan dalam penampilan
aktivitas harian.
3) Radiograf sendi bisa menjadi penilaian dalam menaksir proses
penyakit (Sukandar et al., 2008).
m. Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya (aktual) atau potensi
kerusakan jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan
tersebut. Berdasarkan patofisiologinya nyeri dibedakan menjadi dua
yaitu:
1)
Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosisepseptif (akut) meliputi nyeri somatik (sumber
nyeri berasal dari kulit, tulang, sendi, otot atau jaringan penghubung)
atau viseral (berasal dari organ dalam seperti usus besar atau
penkreas).
2)
Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik (kronis) terjadi akibat pemrosesan input
sensorik yang abnormal oleh sistem saraf pusat atau perifer.
Terdapat sejumlah besar sindrom nyeri neuropatik yang sering kali
sulit diatasi (misal : nyeri punggung bawah, neuropati diabetik, nyeri
akibat kanker, luka pada sumsum tulang belakang) (Sukandar et al.,
2008).
33
Skala analog visual (Visual Analog Scale/VAS) adalah cara
yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini
menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin
dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis yang
umumnya sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap
sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka
atau peryataan deskriptif. Ujung angka 0 mewakili tidak ada nyeri,
sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang
mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. Manfaat
utama VAS adalah penggunaannya yang sangat mudah dan
sederhana.
Farmasis
dapat
segera
menggunakannya
sebagai
penilaian cepat pada hampir semua situasi praktek farmasi (Breivik
et al.,2008).
Intensitas nyeri pada skala 0 tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri
ringan pada skala 1 sampai 3, intensitas nyeri sedang pada skala 4
sampai 6, intensitas nyeri berat pada skala 7 sampai 9 intensitas
nyeri sangat berat pada skala 10 nyeri tidak terkontrol (Potter and
Perry, 2005). Williamson and Hoggart (2005) juga melakukan
kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan
bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat
menyajikan data dalam bentuk rasio. Melakukan kajian pustaka
atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS
34
secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data
dalam bentuk rasio.
Gambar 2. Visual Analog Scale
2.
Kualitas Hidup
Kualitas hidup didefinisikan dengan cara yang berbeda oleh para
peneliti. Hal ini karena istilah tersebut merupakan istilah multi disipliner yang
tidak hanya digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, tetapi dalam konteks
penelitian dihubungkan dengan berbagai macam bidang khusus. Istilah
kualitas hidup (quality of life) yang lebih spesifik disebut Health Related
Quality of Life (HRQOL) merupakan domain kesehatan fisik, psikologi,
kepercayaan, harapan dan persepsi seseorang. Oleh karena itu, dua orang
dengan status kesehatan yang sama mungkin bisa mempunyai kualitas hidup
yang berbeda (Testa and Simonson, 1996).
Menurut WHOQOL-BREF (dalam Rapley, 2003) terdapat empat
dimensi mengenai kualitas hidup yang meliputi:
1) Dimensi kesehatan fisik, mencakup aktivitas sehari-hari; ketergantungan
pada
obat-obatan;
energi
dan
kelelahan;
mobilitas;
ketidaknyamanan; tidur dan istirahat; kapasitas kerja.
sakit;
dan
35
2) Dimensi kesejahteraan psikologis, mencangkup bodily image dan
appearance;
perasaan
negatif;
perasaan
positif;
self
esteem;
spiritual/agama/ keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memori dan
konsentrasi.
3) Dimensi hubungan sosial, mencakup relasi personal, dukungan sosial,
aktivitas seksual.
4) Dimensi hubungan dengan lingkungan, mencakup sumber finansial,
kebebasan, keamanan, dan keselamatan fisik; perawatan kesehatan dan
sosial termasuk aksesbilitas dan kualitas; lingkungan rumah, kesempatan
untuk mendapatkan berbagai informasi baru maupun ketrampilan;
partisipasi dan mendapat kesempatan untuk melakukan rekreasi dan
kegiatan yang menyenangkan di waktu luang; lingkungan fisik terutama
polusi/ kebisingan/ lalu lintas/ iklim; serta transportasi.
Brief Pain Inventory (BPI) merupakan instrumen yang dicatat sendiri
dan telah dikembangkan dalam penelitian dan berbagai keadaan klinis serta
diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan memiliki tingkat validitas dan
kepercayaan yang tinggi. Alat ini dikembangkan untuk memberikan metode
yang cepat dan mudah untuk menghitung intensitas nyeri. BPI terdiri dari 11
pertanyaan terkait nyeri yang menanyakan mengenai aspek pengalaman nyeri
yang dirasakan pasien dalam periode 24 jam, seperti dimana lokasi nyeri dan
intensitasnya, dampak nyeri tersebut terhadap kualitas hidup pasien, serta
efektifitas dari pengalaman nyeri yang diberikan. Sebuah gambar diberikan
agar pasien dapat menunjukkan lokasi nyerinya (Mendoza et al., 2005).
36
BPI juga merupakan salah satu instrumen yang dapat menilai nyeri
maupun pengaruh subjektif terhadap nyeri, aktivitas dan kemampuan
fungsional pasien. Instrument dalam BPI termasuk empat skala nyeri (paling
buruk, paling ringan, rata-rata dan nyeri sekarang) serta 7 skala dalam menilai
dampak sakit pada kegiatan umum, suasana hati, kemampuan berjalan,
bekerja, menjalin hubungan dengan orang lain, tidur dan menikmati hidup.
Masing-masing bagian dinilai pada skala numerik 0 – 10, untuk skor 0 tidak
mengganggu dan skor 10 sangat mengganggu. Hasil dari penilaian
menggunakan kuesioner ini menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik pada
skor paling rendah (Mendoza et al., 2005).
F. Landasan Teori
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit yang masih belum diketahui
penyebabnya dan penyakit rheumatoid arthritis berlangsung kronis yaitu sembuh
dan kambuh secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi yang
menetap. Rheumatoid arthritis biasanya menyerang sendi pada pergelangan
tangan, tangan dan kaki sehingga mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Pasien
dengan rheumatoid arthritis merasa kurang nyaman dan pergerakan sendi
sangatlah terbatas. Keadaan ini mengakibatkan aktivitas sehari-hari pasien
berkurang, efek lain yang timbul adalah rasa nyeri, mudah lelah, perubahan citra
diri serta gangguan tidur (Nainggolan, 2009).
Resiko penyakit rheumatik arthritis paling tinggi adalah pada usia 65 tahun.
Hal ini dikarenakan setiap persendian tulang memiliki lapisan pelindung sendi
37
yang menghalangi teradinya gesekan antara tulang dan di dalam sendi
terdapat cairan yang
berfungsi
sebagai
pelumas sehingga
tulang
dapat
digerakkan dengan leluasa. Pada mereka yang sudah berusia lanjut lapisan
pelindung persendian mulai menipis dan cairan tulang mulai mengental,
menyebabkan tubuh menjadi kaku dan sakit saat digerakkan (Drisckel, 2006).
Karakteristik pasien seperti Body Mass Index mempengaruhi kualitas hidup
pasien rheumatoid arthritis. Pada penelitian yag dilakukan silman and Hochberg
(1993) menyatakan bahwa kenaikan Body Mass Index diikuti
dengan
meningkatnya risiko teradinya rhematoid arthritis. Penyakit sendi atau rematik
bukanlah jenis penyakit yang muncul seketika. Prosesnya melalui beberapa
tahap dan bila sudah terkena biasanya menjadi kronis. Radang sendi bisa
bermula dari tubuh yang kegemukan. Berat badan yang berlebih memberikan
beban yang
besar
pada
tulang
sehingga mempengaruhi kesehatan
sendi
(Nainggolan, 2009).
Pengobatan rheumatoid arthritis merupakan pengobatan jangka panjang
sehingga pola pengobatan yang tepat dan terkontrol sangat dibutuhkan.
Dengan pengukuran kualitas hidup dapat diketahui pola pengobatan yang
efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien (Chen and Kochen, 2005).
Pada penelitian yang dilakukan Westhovens et al (2009)
mengatakan
bahwa di Filipina, pasien yang mendapat obat DMARDS kurang lebih satu tahun
memiliki kualitas hidup yang baik karena DMARDS memiliki keamanan obat
yang baik. Terapi tunggal atau terapi kombinasi secara signifikan lebih superior
mengurangi tanda atau akibat dari rheumatoid arthritis. Penelitian lain
38
menyebutkan bahwa OAINS umumnya diterima sebagai terapi pertama untuk
perawatan simtom rheumatoid arthritis ringan. OAINS digunakan sebagai terapi
primer dan tidak boleh digunakan sebagai terapi tunggal selama lebih dari 3 bulan
kecuali pasien memberikan respon yang baik. OAINS COX-2 selektif
memberikan efek aman terhadap saluran cerna Gouze (2001).
Secara umum kualitas hidup menggambarkan kemampuan individu
untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang
dilakukannya.
Kualitas
hidup
yang
berhubungan
dengan
kesehatan
menggambarkan pandangan individu terhadap kebahagiaan dan kepuasan
terhadap
kehidupan
yang
mempengaruhi
kesehatan
mereka
(American
Thoracic Society, 2007). Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain karakteristik pasien, karakteristik penyakit dan tingkat nyeri
yang dialami pasien (Asmadi, 2008). Nyeri yang dialami oleh pasien rheumatoid
arthritis adalah nyeri sedang atau skala nyeri rata-rata enam (National Institude of
Nursing Research, 2005 dalam Dewi, 2009). Adanya nyeri sendi pada rheumatoid
arthritis membuat penderitanya seringkali takut untuk bergerak sehingga
mengganggu aktivitas sehari-harinya dan menurunkan produktivitasnya.
Selain
itu, pengobatan atau terapi, seperti jenis obat atau terapi juga ikut berperan
dalam kualitas hidup pasien (Chen et al., 2005).
39
G. Kerangka Konsep
Karakteristik pasien
a. Jenis kelamin
b. Usia
c. BMI
d. Lokasi nyeri
Kualitas hidup
Jenis obat yang digunakan
Intensitas Nyeri
Gambar 3. Skema Kerangka Konsep Penelitian
H. Hipotesis
1.
Terdapat hubungan antara karakteristik pasien dengan kualitas
hidup pasien rheumatoid arthritis.
2.
Terdapat hubungan antara pola pengobatan dengan kualitas hidup
pasien rhematoid arthritis.
3.
Terdapat hubungan antara intensitas nyeri dengan kualitas hidup
pasien rheumatoid arthritis.
Download