BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rheumatoid arthritis merupakan penyakit auto imun yang paling sering terjadi di masyarakat. Penyakit ini ditandai dengan peradangan pada lapisan sinovium sendi. Hal itu dapat menyebabkan kerusakan sendi jangka panjang, rasa sakit yang berkepanjangan, kehilangan fungsi dan kecacatan (Singh et al., 2012). Pada rheumatoid arthritis fokus peradangan berada di sinovium yaitu jaringan yang melapisi sendi. Bahan kimia yang dilepaskan oleh sistem kekebalan tubuh menyebabkan peradangan yang dapat merusak tulang rawan dan tulang (Ruderman et al., 2012). Penyebab dari rheumatoid arthritis masih belum diketahui, ada yang menyebutkan faktor genetik dan faktor lingkungan dapat meningkatkan resiko penyakit rheumatoid arthritis (Firestein et al., 2005). Rheumatoid arthritis merupakan penyakit peradangan sendi kronis dan sistemik yang mempengaruhi 0,5 % - 1% populasi umum di Amerika. Meskipun dapat menyerang dari segala usia, tingkat prevalensi meningkat secara progresif dengan onset puncak pada dekade kelima dan tingkat insiden lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria. Tanpa pengobatan dini yang memadai, rheumatoid arthritis akan menyebabkan kerusakan sendi permanen serta cacat fungsional yag berat dan mengarah pada penurunan kualitas hidup penderita (Bykerk et al., 2011). Penderita rheumatoid arthritis di seluruh dunia mencapai angka 355 juta jiwa di tahun 2009, artinya 1 dari 6 orang di dunia ini menderita 1 2 rheumatoid arthritis (Breedveld, 2003). Di Indonesia sendiri kejadian penyakit ini lebih rendah dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika. Prevalensi kasus rheumatoid arthritis di Indonesia berkisar 0,1 % sampai dengan 0,3 % sementara di Amerika mencapai 3% (Nainggolan, 2009). Penderita penyakit kronik seperti rheumatoid arthritis mengalami berbagai macam gejala yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup mereka. Banyak usaha yang dilakukan agar pasien dengan rheumatoid arthritis dapat merasa lebih baik dan dapat memperbaiki kualitas hidup mereka. Gangguan yang terjadi pada pasien rheumatoid arthritis lebih besar kemungkinannya untuk terjadi pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan pasien. Kebanyakan penyakit rheumatoid arthritis berlangsung kronis yaitu sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi secara menetap. Rheumatoid arthritis dapat mengancam jiwa pasien atau hanya menimbulkan gangguan kenyamanan (Gordon et al., 2002). Masalah yang disebabkan oleh penyakit rheumatoid arthritis tidak hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas dan aktivitas hidup sehari-hari tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas yang dapat menimbulkan kegagalan organ. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan masalah seperti rasa nyeri, keadaan mudah lelah, perubahan citra diri serta gangguan tidur. Dengan demikian hal yang paling buruk pada penderita rheumatoid arthritis adalah pengaruh negatifnya terhadap kualitas hidup (Gordon et al., 2002). Nyeri yang dialami oleh pasien rheumatoid arthritis adalah nyeri sedang atau skala nyeri rata-rata enam (National Institude of Nursing Research, 2005 3 dalam Dewi, 2009). Adanya nyeri sendi pada rheumatoid arthritis membuat penderitanya seringkali takut untuk bergerak sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya dan menurunkan produktivitasnya. Aktivitas sehari- hari yang dimaksud seperti makan, minum, berjalan, tidur, mandi berpakaian, dan buang air besar atau kecil (Hardywinoto and Toni, 2003). Bahkan arthritis yang menghilangkan tidak begitu kemampuan parah seseorang pun untuk dapat kasus rheumatoid mengurangi produktif dan bahkan melakukan kegiatan fungsional sepenuhnya. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seutuhnya (Gordon et al., 2002). Menurut hasil penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Depkes, dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama tahun 2006 menunjukkan angka kejadian gangguan nyeri muskuloskeletal yang menggangu aktifitas, merupakan gangguan yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagian responden. Dari 1.645 responden laki-laki dan perempuan yang diteliti, peneliti menjelaskan sebanyak 66,9% diantaranya pernah mengalami nyeri sendi. Penyakit ini cenderung diderita oleh wanita (tiga kali lebih sering dibanding pria). Hal ini dapat diakibatkan oleh stres, merokok, faktor lingkungan dan dapat pula terjadi pada anak karena faktor keturunan (Wiedya, 2013). Tujuan dari pengobatan rheumatoid arthritis tidak hanya mengontrol gejala penyakit, tetapi juga penekanan aktivitas penyakit untuk mencegah kerusakan permanen. Pengobatan harus multi disipliner yang melibatkan dokter, fisioterapi, 4 pasien dan anggota tim lainnya (British Columbia Guidelines, 2012). Pemberian terapi rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi dan bengkak, meringankan kekakuan dan mencegah kerusakan sendi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengobatan rheumatoid arthritis yang dilakukan hanya akan mengurangi dampak penyakit, tidak dapat memulihkan sepenuhnya. Rencana pengobatan sering mencakup kombinasi dari istirahat, aktivitas fisik, perlindungan sendi, penggunaan panas atau dingin untuk mengurangi rasa sakit dan terapi fisik atau pekerjaan. Obat-obatan memainkan peran yang sangat penting dalam pengobatan rheumatoid arthritis. Tidak ada pengobatan tunggal bekerja untuk semua pasien. Banyak orang dengan rheumatoid arthritis harus mengubah pengobatan setidaknya sekali dalam seumur hidup. Pasien dengan diagnosis rheumatoid arthritis memulai pengobatan mereka dengan DMARDs (Disease modifying antirheumatic drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan leflunomid. Obat ini tidak hanya meringankan gejala tetapi juga memperlambat kemajuan penyakit. Seringkali dokter meresepkan DMARDs bersama dengan obat anti-inflamasi atau NSAID dan/atau kortikosteroid dosis rendah, untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan demam (Arthritis Foundation, 2008). Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh karakteristik pasien dan jenis obat yang digunakan terhadap kualitas hidup dan intensitas nyeri pada pasien rheumaoid arthritis. Penelitian ini dilakukan di instalasi rawat jalan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Pemilihan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta karena rumah sakit ini 5 telah mempunyai instalasi khusus untuk penyakit rheumatoid sehingga menjadi rujukan pasien rheumatoid arthritis. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh karakteristik pasien terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta? 2. Bagaimana pengaruh jenis obat yang digunakan terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta? 3. Bagaimana pengaruh intensitas nyeri terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui pengaruh karakteristik pasien, jenis obat yang digunakan dan intensitas nyeri terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui pengaruh karakteristik pasien terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogykarta. b. Mengetahui pengaruh jenis obat yang digunakan terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 6 c. Mengetahui pengaruh intensitas nyeri terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Farmasis Dapat memberikan gambaran mengenai karakteristik pasien dan pengobatan yang berhubungan terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis sehingga dapat meningkatkan perannya sebagai konselor yang mendukung meningkatnya kualitas hidup pasien. 2. Instalasi Rumah Sakit dan Profesi Kesehatan Lain Sebagai sumber informasi bagi rumah sakit mengenai pengaruh karakteristik pasien, jenis obat yang digunakan dan intensitas nyeri terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis khususnya pada pasien rawat jalan sehingga dapat digunakan sebagai masukan dalam menyusun strategi tata laksana terapi rheumatoid arthritis di rumah sakit dan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien rheumatoid arthritis. 3. Peneliti Meningkatkan pengetahuan dan memberikan pengalaman penelitian tentang pelayanan kesehatan ksususnya pada penyakit rheumatoid arthritis serta sebagai pembanding, pendukung dan pelengkap untuk penelitian selanjutnya. 7 E. Tinjauan Pustaka 1. Rheumatoid Arthritis a. Definisi Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis (jangka panjang) yang menyebabkan nyeri, kekakuan gerak dan fungsi sendi terbatas dan bengkak. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi banyak sendi, sendisendi kecil di tangan dan kaki cenderung yang paling sering terlibat. Peradangan pada rheumatoid arthritis kadang-kadang bisa mempengaruhi organ lain seperti mata dan paru-paru. Pada rheumatoid arthritis kekakuan yang paling buruk sering terjadi pada pagi hari. Kekakuan ini dapat berlangsung satu sampai dua jam (atau bahkan sepanjang hari). Kekakuan pada pagi hari dalam waktu yang lama tersebut merupakan petunjuk bahwa seseorang mungkin mengidap rheumatoid arthritis, karena beberapa penyakit rematik lainnya berperilaku seperti ini. Misalnya osteoarthritis paling sering tidak menyebabkan kekakuan pagi yang berkepanjangan (Ruderman et al., 2012). b. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis Journal Of The Royal Society Of Medicine membagi 4 (empat) onset, yaitu : 1) Polymyalgic Onset Biasanya dialami oleh usia lanjut dan merupakan penyakit akut. Dengan kekakuan disekitar bahu dan lingkar panggul. Tingkat ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) biasanya tinggi. Pengobatan 8 yang paling umum biasanya menggunakan kortikosteroid dosis rendah (Prednisolon 15 – 20 mg per hari). 2) Palindromic Onset Pasien mengalami nyeri berulang, pembengkakan dan kemerahan yang mempengaruhi salah satu sendi atau lebih pada satu waktu, masing-masing berlangsung hanya satu atau dua hari. Kemudian pasien bisa mengalami gejala yang terus menerus. 3) Systemic Onset Keluhan pertama biasanya non-focal seperti penurunan berat badan, kelelahan, depresi, demam, atau bisa berhubungan dengan fitur ekstra artikular seperti radang pada paru-paru (serositis) atau radang pada pembuluh darah (vaskulitis). 4) Persistent Monoarthritis Biasanya pasien megalami gejala arthritis persisten yang mempengaruhi satu sendi besar seperti lutut, bahu, pergelangan kaki atau pergelangan tangan (Suresh, 2004). c. Etiologi Rheumatoid arthritis merupakan penyakit auto imun kronis yang ditandai dengan peradangan, nyeri, kekakuan dan kerusakan sendi yang progresif. Selain tingginya rasa sakit dan angka kematian, penderita rheumatoid arthritis mengalami masalah dengan keuangan mereka dan mengalami penurunan produktivitas, emosional dan keadaan sosial yang mempengaruhi kualitas hidup mereka (Bykerk et al., 2011). 9 Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita rheumatoid arthritis, yaitu : 1) Genetik Pada penyakit rheumatoid arthritis faktor genetik sangat berpengaruh. Gen-gen tertentu yag terletak di kompleks histokompatibilitas utama (MHC) pada kromosom 6 telah terlibat predisposisi dan tingkat keparahan rheumatoid arthritis. Penduduk asli Amerika dengan gen polimorfik HLA-DR9 memiliki resiko 3,5 lebih besar terkena rheumatoid arthritis bawaan. 2) Infeksi Agen penginfeksi yang terkait pada rheumatoid arthritis antara lain mycoplasma, mycobacterium, parvovirus, virus Epstein-Barr, dan retrovirus. Agen penginfeksi ini menginfeksi pasien melalui infeksi sinovial langsung, mimikri molekul atau aktivasi kekealan bawaan. 3) Usia dan jenis kelamin Insidensi rheumatoid arthritis lebih banyak dialami oleh wanita daripada laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan ini diasumsikan karena pengaruh dari hormon namun data ini masih dalam penelitian. Wanita memiliki hormon estrogen sehingga dapat memicu sistem imun. Onset rheumatoid arthritis terjadi pada orang-orang usia sekitar 50 tahun. 10 4) Obesitas Secara statistik perempuan memiliki body mass index (BMI) diatas rata-rata dimana kategori BMI pada perenmpuan Asia menurut jurnal American Clinical Nutrition adalah antara 24 sampai dengan 26,9kg/m2. BMI di atas rata-rata mengakibatkan terjadinya penumpukan lemak pada sendi sehingga meningkatkan tekanan mekanik pada sendi penahan beban tubuh, khususnya lutut. 5) Lingkungan Banyak faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap keparahan rheumatoid arthritis, meskipun tidak ada objek spesifik yang diidentifikasikan sebagai masalah utama. Merokok adalah salah satu faktor resiko dari keparahan rheumatoid arthritis pada populasi tertentu. Tetapi alasan pengaruh rokok terhadap sinovitis belum sepenuhnya didefinisikan, tapi rokok mempengaruhi sistem kekebalan bawaan di jalan nafas (Firestein et al., 2005). d. Patofisiologi Rheumatoid arthritis sering disebut radang selaput sinovial. Penyebab dari rheumatoid arthritis masih belum jelas, tetapi produksi faktor rheumatoid (RFS) oleh sel-sel plasma dalam sinovium dan pembentukan lokal kompleks imun sering berperan dalam peradangan. Sinovium normal tipis dan terdiri dari lapisan-lapisan fibroblast synoviocytes dan makrofag. Pada penderita rheumatoid arthritis sinovium menjadi sangat tebal dan terasa sebagai pembengkakan di sekitar sendi 11 dan tendon. Sinovium berproliferasi ke dalam lipatan, lipatan ini kemudian disusupi oleh berbagai sel inflamasi diantaranya polimorf yang transit melalui jaringan ke dalam sel sendi, limfosit dan plasma sel. Lapisan sel sinovium menjadi menebal dan hiperplastik, kejadian ini adalah tanda proliferasi vaskuler awal rheumatoid arthritis. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan lapisan sinovial menyebabkan efusi sendi yang mengandung limfosit dan polimorf yang hampir mati (Kumar and Clark, 2009). Sinovium hiperplastik menyebar dari daerah sendi ke permukaan tulang rawan. Penyebaran ini menyebabkan kerusakan pada sinovium dan tulang rawan mengalami peradangan, kejadian ini menghalangi masuknya gizi ke dalam sendi sehingga tulang rawan menjadi menipis. Fibroblast dari sinovium berkembang biak dan tumbuh di sepanjang pembuluh darah antara margin sinovial dan rongga tulang epifis dan merusak tulang (Kumar and Clark, 2009). Sistem kekebalan tubuh memiliki dua fungsi yaitu fungsi humoral dan sel dimediasi. Komponen humoral diperlukan untuk pembentukan antibodi. Antibodi ini diproduksi oleh sel-sel plasma yang berasal dari limfosit B. Faktor rheumatoid sendiri belum diidentifikasikan sebagai patogen, jumlah antibodi yang beredar selalu berkolerasi dengan aktivitas penyakit. Pasien seropositif cenderung lebih agresif dari pasien seronegatif. Imunoglobulin dapat mengaktifkan sistem komplemen. Sistem komplemen menguatkan respon imun dengan mendorong 12 kemotaksis, fagositosis, dan pelepasan limfokin oleh sel mononuklear, yang kemudian dijabarkan ke dalam T limfosit (Dipiro et al., 2008) Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus) menginfeksi sendi akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung terusmenerus. Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan kapsul fibroma ligament tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan pembentukan pada jaringan parut sehingga membran sinovium menjadi hiperatropi dan menebal. Terjadinya hiperatropi dan penebalan ini menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (perubahan bentuk) (Dipiro et al., 2008). Sendi yang paling sering terkena rheumatoid arthritis adalah sendi tangan, pergelangan tangan dan kaki. Selain itu, siku, bahu, pinggung, lutut dan pergelangan kaki mungkin terlibat. Peradangan kronis dengan kurangnya program latihan yang memadai bisa berpengaruh pada hilangnya rentang gerak, atrofi otot, kelemahan dan deformitas. Keterlibatan tangan dan perelangan tangan adalah umum pada pasien rheumatoid arthritis. Keterlibatan tangan dimanifestasikan dengan nyeri, pembengkakan, ketidakstabilan, dan atrofi dalam fase kronis. Kesulitan fungsional ditandai dengan berkurangnya gerakan motorik halus. Deformitas tangan dapat dilihat dengan peradangan kronis, perubahan ini 13 dapat mengubah mekanisme fungsi tangan dan mengurangi kekuatan pegangan hal ini membuat sulit melakukan aktivitas sehari-hari (Dipiro et al., 2008). e. Diagnosa Faktor rheumatoid (RF) merupakan auto antibodi yang ditujukan dari bagian Fc dari IgG. Faktor rheumatoid adalah tes diagnostik dan prognostik dalam rheumatoid arthritis. Titer tinggi IgM RF relatif spesifik untuk diagnosa rhematoid arthritis dalam konteks polyarthritis kronis, dan selama beberapa dekade kriteria serolosis tunggal banyak digunakan dalam diagnosis rheumatoid arthritis. Rheumatoid arthritis merupakan penyakit variabel yang berkaitan dengan ukuran hasil seperti status fungsional atau penilaian radiologis kerusakan sendi (Eustice, 2007). Untuk menegakkan diagnosa, dilakukan beberapa tes diantaranya: 1) Tes Hitung Darah. Anemia biasanya terjadi pada penderita rheumatoid arthritis. Jumlah ESR (Erytrocyte Sedimentation Rate) dan atau CRP (CReaktive Protein) sebanding dengan aktivitas proses inflamasi dan berguna dalam pemantauan pengobatan (Kumar and Clark, 2009). 2) Serologi Anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptides) positif pada awal terjadinya rheumatoid arthritis, dan pada awal arthritis proses inflamasi menunjukkan kemungkinan berkembangnya rheumatoid arthritis. Faktor rheumatoid arthritis mempengaruhi sekitar 70% 14 kasus dan ANA (Anti Nuklear Antibodi) mempengaruhi sekitar 30% kasus (Kumar and Clark, 2009). 3) Sinar X Sinar X berguna untk menetapkan data dasar. Hanya pembengkakan jaringan lunak yang terlihat pada awal penyakit dan biaanya dilakukan pada 3 bulan pertama. MRI menunjukkan erosi awal tetapi jarang diperlukan (Kumar and Clark, 2009). 4) Aspirasi Sendi Aspirasi tampak berawaan karena adanya sel darah putih. Jika sendi tiba-tiba menyakitkan, bisa saja pasien terkena arthritis (Kumar and Clark, 2009). 5) Analisis Cairan Synovial Peradangan yang mengarah pada rheumatoid arthritis ditandai dengan cairan synovial abnormal dalam hal kualitas dan jumlahnya yang meningkat drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil dari sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa dan dianalisis tanda-tanda peradangannya (Shiel Jr., 2011). 6) USG (Ultrasonografi) Dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya cairan abnormal di jaringan lunak sekitar sendi (Shiel Jr., 2011). 7) Scan Tulang Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi pada tulang (Shiel Jr., 2011). 15 8) Densitometri Dapat mendeteksi adanya perubahan kepadatan tulang yang mengindikasikan terjadinya osteoporosis (Shiel Jr., 2011). 9) Tes Antinuklear Antibodi (ANA) Berguna untuk membedakan diagnosis rheumatoid arthritis dari penyakit lupus. Pasien rheumatoid arthritis memiliki hasil ANA positif (Shiel Jr., 2011). f. Prognosis Pada kasus rheumatoid arthritis gejala cukup bervariasi dan sulit diprediksi pada setiap individu. Pendekatan terapi pada awal-awal diagnosa dapat mengurangi gejala seperti peradangan sendi, cacat, kerusakan sendi dan kematian. Secara klasik, kabanyakan pasien mengalami kerusakan sendi tetapi berfluktuasi, disertai dengan tingkat kerusakan sendi dan gangguan fungsional. Pada usia 10-20 tahun, <20% pasien tidak mengalami kecacatan dan kelainan sendi. Harapan hidup rata-rata orang dengan rheumatoid arthritis diperpendek 3-7 tahun. Pasien dengan rheumatoid arthritis mengalami peningkatan angka kematian 2,5 kali lebih tinggi. Angka kematian meningkat dikarenakan infeksi dan pendarahan pada gastrointestinal dan resiko penyakit kardiovaskuler. Faktor terkait dengan kematian dini termasuk cacat, durasi penyakit atau keparahan, peradangan persisten, penggunaan glukokortikoid, usia, dan status sosial ekonomi atau pendidikan yang rendah (Daud, 2001). 16 g. Komplikasi Komplikasi penyakit dapat mempersingkat hidup beberapa tahun pada beberapa individu, meskipun rheumatoid arthritis itu sendiri tidak fatal. Secara umum, rheumatoid arthritis bersifat progresif dan tidak dapat disembuhkan, tetapi pada beberapa pasien penyakit ini secara bertahap menjadi kurang agresif dan gejala bahkan dapat meningkat. Jika terjadi kerusakan tulang dan ligament serta perubahan bentuk, maka efeknya akan permanen. Efek ini meliputi : 1) Anemia Anemia pada penderita rheumatoid arthritis dapat disebabkan oleh adanya peradangan kronis yang terjadi atau efek samping dari penggunaan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS) jangka panjang seperti pendarahan internal atau tukak lambung. 2) Infeksi Pasien dengan rheumatoid arthritis memiliki resiko lebih besar untuk infeksi. Obat imunosupresif akan lebih meningkatkan resiko. 3) Masalah Gastro Intestinal Pasien dengan rheumatoid arthritis mungkin mengalami gangguan perut dan usus, kanker perut dan kolorektal dalam tingkat yang rendah telah dilaporkan pada pasien rheumatoid arthritis. 4) Osteoporosis Kondisi ini lebih umum dari pada rata-rata pada wanita post menopause dengan rheumatoid arthritis, pinggul yang sangat 17 terpengaruh. Resiko osteoporosis tampaknya lebih tinggi dari pada rata-rata pada pria dengan rheumatoid arthritis yang lebih tua dari 60 tahun. 5) Penyakit Paru-Paru Sebuah studi kecil menemukan prevalensi tinggi peradangan paru dan fibrosis pada pasien yang baru didiagnosis rheumatoid arthritis, namun temuan ini dapat dikaitkan dengan merokok. 6) Penyakit Jantung Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi pembuluh darah dan meningkatkan resiko penyakit jantung iskemik koroner. 7) Sindrom Felty Kondisi ini ditandai dengan pembesaran kelenjar limfa, jumlah sel darah putih rendah dan infeksi bakteri berulang. Ini mungkin merespon Disease Modifying Antirheumatic Drugs (DMARDs). 8) Limfoma dan Kanker Lainnya Rheumatoid arthritis terkait perubahan sistem kekebalan tubuh mungkin memainkan peran. Pengobatan yang agresif untuk rheumatoid arthritis dapat membantu mencegah kanker tersebut (Shiel Jr., 2011). h. Sendi-sendi Yang Terkena Rheumatoid Arthritis Beberapa sendi yang sering terkena pada pasien rheumatoid arthritis adalah sebagai berikut : 18 a. Tangan dan Pergelangan Tangan Dampak rheumatoid arthritis pada tangan sangat parah. Pada awal gejala jari menjadi bengkak, nyeri dan kaku. Radang pada selubung tendon fleksor dapat meningkatkan gangguan fungsional. b. Bahu Rheumatoid arthritis juga mempengarui bahu. Awal gejala meniru manset rotator tendonosis dengan sindrom busur menyakitkan dan nyeri pada lengan atas dimalam hari. Sebagian sendi menjadi rusak, kaku menyeluruh. Hal ini bisa mengganggu pada saat berpakaian, makan dan di toilet. c. Siku Sinovitis pada siku menyebabkan pembengkakan dan deformitas fleksi yang menyakitkan. Pasien juga mengalami kesulitan makan jika dikombinasikan dengan bahu, tangan dan pergelangan tangan yang cacat. d. Kaki Salah satu manifestasi awal rheumatoid arthritis adalah pembengkakan. Kaki menjadi lebih luas dan deformitas hammer-toe berkembang. Paparan dari kepala metatarsal, tekanan oleh migrasi fibrofatty pada pelindung menyebabkan rasa sakit. e. Lutut Sebagian besar sinovitis dan efusi terjadi di lutut. 19 f. Pinggul Pinggul jarang terkena pada awal rheumatoid arthritis. Nyeri dan kekauan yang disertai dengan hilangnya radiologi dari ruang sendi dan juxta-artikular osteoporosis. g. Tulang Belakang Pada Leher Kekauan dan nyeri di leher pada rheumatoid arthritis bisa karena otot leher (Kumar and Clark, 2009). i. Tujuan Terapi a. Tujuan Terapi Rheumatoid Arthritis Pengobatan penderita rheumatoid arthritis bertujuan untuk : a) Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi yang aktif baik lokal maupun sistemik. b) Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan. c) Mencegah terjadinya deformitas atau kelainan bentuk sendi dan menjaga fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik. d) Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang mengalami rheumatoid arthritis agar sedapat mungkin menjadi normal kembali (Rizasyah, 1997). j. Strategi Terapi Pada pengobatan rheumatoid arthritis yang perlu dilakukan antara lain: a) Mengendalikan peradangan sendi dan mencegah kerusakan sendi. 20 b) Mencegah atau mengobati rheumatoid arthritis terkait dengan komorbiditas. c) Meminimalkan terapi terkait dengan efek samping dengan menggunakan obat yang bermutu. d) Mendidik pasien dan melibatkan mereka dalam menejemen penyakit (Geofrey, 2005). k. Tata Laksana Terapi Diagnosa rheumatoid arthritis pasti menyebabkan kekhawatiran dan ketakutan pada pasien dan membutuhkan banyak penjelasan dan kepastian. Diagnosis dini sangatlah penting, dokter dan terapis harus mempertahankan pendekatan yang positif dan mengingatkan pasien bahwa kepatuhan pasien akan berdampak pada kualitas hidup pasien. Tahun-tahun awal adalah tahun yang paling sulit dan orang-orang harus dibantu atau didorong untuk tetap bekerja sama selama fase ini (Kumar and Clark, 2009). 1) Terapi Non Farmakologi a) Latihan Rheumatoid arthritis dapat mengurangi aktivitas fisik karena sakit atau disfungsi sendi. Sebuah studi baru-baru ini telah mengidentifikasi bahwa peningkatan latihan aerobik (intensitas sedang sampai tinggi, 3 kali seminggu selama 30 sampai 60 menit) memperkuat latihan (moderat untuk ketahan keras melatih 2 sampai 3 kali seminggu) akan menghasilkan 21 hasil yang lebih baik bagi pasien dengan rheumatoid arthritis (Geoffrey, 2005). b) Diet Peran diet masih kontroversial tetapi bukti terbaru menunjukkan bahwa beberapa modifikasi diet dapat mengurangi aktivitas penyakit. Yang menarik adalah penelitian kecil menunjukkan bahwa diet mediterania (konsumsi banyak buahbuahan, sayuran, sereal, kacang-kacangan, daging merah kecil, lebih banyak ikan, minyak zaitun, asupan anggur) dapat mengurangi aktivitas penyakit pada pasien rheumatoid arthritis (Geoffrey, 2005). c) Pendidikan Pasien dengan rheumatoid arthritis yang memiliki tingkat ketidakberdayaan yang berkaitan dengan penyakit mereka memiliki hasil yang lebih buruk bila dibandingkan dengan mereka yang mampu mengatasi informasi ini adalah dasar untuk mengembangkan berbagai program pendidikan yang dirancang untuk mengurangi ketidakberdayaan dengan meningkatkan pengetahuan pasien (Geoffrey, 2005). d) Istirahat Istirahat merupakan komponen esensial pada terapi nonfarmakologi rheumatoid arthritis. Istirahat dapat menyembuhkan stres dari sendi yang mengalami peradangan 22 dan mencegah kerusakan sendi yang lebih parah. Akan tetapi, terlalu banyak istirahat (berdiam diri) juga dapat menyebabkan imobilitas, sehingga dapat menurunkan rentang gerak dan menimbulkan atrofi otot. Pasien hendaknya tetap menjaga gerakan dan tidak berdiam diri terlalu lama. Dalam kondisi yang mengharuskan pasien duduk lama, pasien mungkin dapat beristirahat sejenak setiap jam, berjalan-jalan sambil meregangkan dan melenturkan sendi (Schuna et al., 2008). e) Pembedahan Jika terapi obat gagal mencegah atau memperlambat kerusakan sendi, dipertimbangkan tindakan untuk pembedahan memperbaiki mungkin sendi yang dapat rusak. Pembedahan dapat membantu mengembalikan kemampuan penggunaan sendi, mengurangi rasa sakit, dan mengurangi kecacatan (Geoffrey, 2005). 2) Terapi Farmakologi Tujuan dari terapi farmakologi adalah untuk memberantas peradangan sendi dan dengan demikian mencegah kerusakan jaringan dan memaksimalkan kualitas hidup. Pada kasus pasien usia lanjut, penerapan terapi farmakologi harus dimodifikasi untuk mempertimbangkan usia dan komordibitas (Geoffrey, 2005). 23 a) Obat Antirematik Pemodifikasi Penyakit (Disease-Modifying Anti Rheumatic Drug (DMARDS)) Pengobatan dengan DMARDs sebaiknya dimulai selama 3 bulan pertama sejak diagnosis rheumatoid arthritis ditegakkan. Kombinasi dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi gejala. Pengobatan dengan DMARDs sejak dini dapat mengurangi mortalitas. DMARDs yang paling sering digunakan adalah metotreksat, hidroksiklorokuin, sulfasalazin, dan leflunomid. (Schuna et al., 2008). i. Metotreksat Metotreksat saat ini dianggap sebagai DMARD pilihan pertama untuk mengobati rheumatoid arthritis dan digunakan sekitar 60% pasien. Efek samping yang sering terjadi adalah mual dan ulkus mukosa. ii. Klorambusil Klorambusil, mungkin melalui metabolitnya yakni asam enilasetat, menaut silang DNA sehingga mencegah replikasi sel. Efek samping yang sering terjadi adalah supresi sumsum tulang yang berhubungan dengan dosis. iii. Siklofosfamid Obat ini menekan fungsi sel T dan sel B sebesar 3040%, supresi sel T berkolerasi dengan respon klinis dalam 24 penyakit rematik. Siklofosfamid menyebabkan infertilitas bermakna terkait dosis pada laki-laki dan perempuan. iv. Siklosporin Melalui pengaturan transkripsi gen, siklosporin menghambat produksi reseptor interleukin-1 dan interleukin-2 dan secara sekunder menghambat nteraksi makrofag-sel T dan resposivitas sel T. Siklosporin jelas memiliki nefrooksisitas, kreatinin serum harus dimonitor secara ketat. Toksisitas lainnya meliputi hipertensi, hiperkalemia, dan hepatotoksik. v. Azatioprin Azatioprin bekerja melalui metabolit utamanya yakni 6-tioguanin. 6-tioguanin menekan sintesis asam inosinat, fungsi sel B dan sel T, produksi imunoglobulin dan sekresi interleukin-2. Efek sampingnya meliputi supresi sumsum tulang, gangguan saluran cerna, dan sejumlah peningkatan resiko infeksi. vi. Mikofenolat Mofetil Mikrofenolat mofetil (MMF) diubah menjadi asam mikofenilat, bentuk aktif obat ini. Produk aktifnya menghambat kemudian sitosin monofosfat menghambat Perbandingannya dengan dehidrogenase proliferasi azatioprin limfosit dalam sel dan T. literatur 25 transplantasi ginjal menunjukkan bahwa MMF dan azatioprin memiliki profil toksisitas terhadap saluran cerna, hematopoetik, dan hati yang serupa dengan kemungkinan adanya penurunan insiden infeksi jamur pada pasien yang diobati dengan MMF. vii. Klorokuin dan Hidroksiklorokuin Klorokuin dan hidroksiklorokuin digunakan terutama dalam malaria dan pada penyakit rematik. Mekanisme efek anti-inflamasi obat-obat ini pada penyakit rematik masih belum jelas. Meskipun toksisitas okular dapat terjadi pada dosis yang lebih besar dari 250mg/hari untuk klorokuin dan lebih besar dari 6,4 mg/kg/hari untuk hidroksiklorokuin, toksisitas ini jarang terjadi pada dosis yang lebih rendah. viii. Emas Emas mengubah morfologi dan kemampuan fungsional makrofag manusia, hal ini kemungkinan merupakan kerja utama mereka. Akibatnya terjadi inhibisi pada produksi monocyte chemotactic factor-1, interleukin8, interleukin-1β serta faktor pertumbuhan endotel vaskular. Senyawa emas intramuskular juga mengubah aktivitas enzim lisosom, menurunkan pelepasan histamindari sel mast, menginaktivasi komponen pertama koplemen, dan menekan aktivitas fagositik milik leukosit 26 polimorfonuklear. Ruam kulit yang gatal terjadi 15-20% penderita, beberapa terkait dengan eosinofilia. Kira-kira 810% penderita menderita proteinuria yang dapat berlanjut menjadi sindrom nefrotik. Efek samping emas ini menyebabkan 30-40% pasien menghentikan terapi emasnya dalam waktu setahun. ix. Rituximab Rituximab adalah antibodi monoklonal kimerik yang menjadikan limfosit B CD20 sebagai sasarannya. Obat ini bermanfaat dalam terapi rheumatoid arthritis yang refrakter terhadap agen anti TNF. Rituximab telah disetujui penggunaannya untuk terapi rheumatoid arthritis aktif jika dikombinasi dengan metotrexate. Kombinasi ini diberikan dalam bentuk infus IV sebanyak 2 kali yang diberikan berselang 2 minggu (Katzung, 2007). b) Obat Anti-inflamasi Nonsteroid Salisilat dan obat serupa lainnya yang digunakan untuk mengobati penyakit rematik mempunyai kemampuan untuk menekan tanda dan gejala peradangan. Obat-obat ini juga mempunyai efek antipiretik dan analgesik, tetapi efek inflamasinyalah yang membuat obat-obat ini paling bermanfaat dalam tata laksana kelainan disertai nyeri yang berhubungan dengan intensitas proses peradangan. 27 i. Aspirin Merupakan penghambat nonselektif untuk kedua isoform COX, tapi salisilat lebih tidak efektif dalam mengambat kedua isoform tersebut. Salisilat nonterasetilasi dapat bekerja sebagai penangkap radikal oksigen. Aspirin secara irreversibel menghambat COX dan menghambat agregrasi trombosit, sementara salisilat nonterasetilasi tidak. Pada dosis biasa, efek samping aspirin utama adalah gangguan lambung (intoleransi) dan ulkus lambung serta duodenum, hepatotoksisitas, asma, ruam, dan toksisitas ginjal lebih jarang terjadi. ii. Celecoxib Celecoxib merupakan penghambat COX-2 selektif, sekitar 10-20 kali lebih selektif untuk COX-2 dari pada COX-1. Meskipun celecoxib memiliki efek samping pada saluran cerna separuh dari OAINS non selektif. Frekuensi efek samping lainnya hampir sama dengan OAINS lain. Efek yang telah terbukti adalah terjadinya edema dan hipertensi. iii. Meloksikam Meloksikam adalah suatu enolkarboksamida yang berkaitan dengan piroxikam dan terbukti lebih menghambat COX-2 dari pada COX-1, khususnya pada dosis rendah 28 yakni 7,5 mg/hari. Meloksikam menyebabkan lebih sedikit gejala dan komplikasi pada saluran cerna. iv. Diklofenak Diklofenak adalah suatu turunan asam fenilasetat yang relatif tidak selektif sebagai penghambat COX. Efek samping terjadi 20% pasien dan meliputi gangguan saluran cerna, pendarahan samar saluran cerna, dan ulkus lambung, meskipun ulkus lebih jarang terjadi daripada OAINS lainnya. v. Ibuprofen Merupakan turunan sederhana asam fenilpropioat. Pada dosis sekitar 2.400 mg per hari efek inflamasi ibuprofen setara dengan 4 gram aspirin. Pemberian ibuprofen mengantagoniskan inhibisi trombosit irreversibel yang dipicu oleh aspirin. Oleh karena itu, terapi dengan ibuprofen pada pasien dengan peningkatan resiko kardiovaskuler dapat membatasi efek kardioprotektifmilik aspirin. vi. Indometasin Indometasin merupakan turunan indol, penghambat COX nonselektif yang poten dan dapat juga menghambat fosfolipase A dan C, menurunkan migrasi neutrofil, dan menurunkan proliferasi sel T dan sel B. Pada dosis yang 29 lebih tinggi, paling tidak sepertiga penderita bereaksi terhadap indometasin sehingga membuat penggunaannya harus dihentikan. Efek terhadap saluran cerna meliputi nyeri abdomen, diare, perdarahan saluran cerna dan pankreatitis. Nyeri kepala dialami oleh 15-25% penderita dan mungkin disertai pusing, bingung dan depresi. vii. Piroxicam Merupakan penghambat COX nonselektif yang pada konsentrasi tinggi juga menghambat migrasi leukoit polimorfonuklear, menurunkan produksi radikal oksigen dan menghambat fungsi limfosit. Toksisitasnya meliputi gejalagejala pada saluran cerna (20% pasien), pusing, telinga berdenging, nyeri kepala, dan ruam. Ketika piroxicam digunakan dalam dosis yang lebih tinggi dari 20 mg/hari terjadi peningkatan insidens ulkus peptikum dan perdarahan (Katzung, 2007). c) Glukokortikoid Glukokortikoid mempuyai efek yang sangat luas karena memperngaruhi fungsi kebanyakan sel dalam tubuh. Konsekuensi metabolik utama dari sekresi ata pemberian glukokortikoid disebabkan oleh kerja langsung hormon ini dalam sel. Glukokortikoid secara dramatis mengurangi manifestasi peradangan. Hal ini disebabkan oleh efeknya yang 30 nyata terhadap kadar, distribusi, dan fungsi leukosit periferserta oleh efek supresifnya terhadap sitokin dan kemokin peradangan serta terhadap perantara peradangan lainnya. Peradangan tanpa melihat penyebabnya, ditandai dengan ektravasasi dan infiltrasi leukosit ke dalam jaringan yang terpengaruh. Setelah pemberian glukokortikoid kerja singkat dosis tunggal, kadar neutrofil dalam peredaran meningkat sedangkan jumlah limfosit (sel T dan B), monofil, eosinofil,dan basofil menurun. Peningkatan neitrofil disebabkan oleh peningkatan influks ke arah dari sumsum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, yang menyebabkan pengurangan jumlah sel pada daerah peradangan. Pengurangan limfosit, monosit, eosinofil dan basofil dalam sirkulasi terutama terjadi akibat perpindahannya dari bantalan vaskular ke jaringan limfoit. Penggunaan obat ini harus dipertimbangkan secara matang pada tiap penderita terhadap efeknya yang luas pada tiap bagian organisme. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukotirkoid adalah akibat kerja hormonalnya, yang memunculkan gambaran klinis sindrom cushing iatrogenik. Jika glukotirkoid digunakan untuk waktu yang singkat (kurang dari dua minggu) jarang terlihat efek samping yang serius walaupun dosis yang cukup besar. Akan tetapi, kadang dijumpai adanya insomnia, perubahan 31 perilaku (terutama hipomania) dan ulkus peptikum akut setelah beberapa hari pengobatan (Katzung, 2007). Metotreksat, atau DMARD lain ± NSAID ± Prednison dalam 3 bulan pertama Respon buruk DMARD lain monoterapi (Metotreksat jika tidak digunakan diatas) Kombinasi DMARD DMARD biologis mono atau kombinasi dengan DMARD Respon buruk Coba kombinasi lain, 3 jenis obat (DMARD + biologi, tambahkan prednisone dosis rendah jangka panjang, pertimbangkan lini kedua DMARD Gambar 1. Algoritma terapi rheumatoid arthritis (Dipiro et al., 2008). l. Monitoring Terapi Evaluasi terapi meliputi : 1) Ciri klinis mengalami perbaikan seperti reduksi pembengkakan sendi, pengurangan rasa sakit pada sendi yang aktif terkait, dan penurunan urat sampai ke palpasi sendi. 2) Perbaikan gejala meliputi pengurangan rasa sakit sendi dan kekakuan di pagi hari, onset dengan waktu yang panjang untuk 32 kelelahan di sore hari dan perbaikan kemampuan dalam penampilan aktivitas harian. 3) Radiograf sendi bisa menjadi penilaian dalam menaksir proses penyakit (Sukandar et al., 2008). m. Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya (aktual) atau potensi kerusakan jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan tersebut. Berdasarkan patofisiologinya nyeri dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Nyeri Nosiseptif Nyeri nosisepseptif (akut) meliputi nyeri somatik (sumber nyeri berasal dari kulit, tulang, sendi, otot atau jaringan penghubung) atau viseral (berasal dari organ dalam seperti usus besar atau penkreas). 2) Nyeri Neuropatik Nyeri neuropatik (kronis) terjadi akibat pemrosesan input sensorik yang abnormal oleh sistem saraf pusat atau perifer. Terdapat sejumlah besar sindrom nyeri neuropatik yang sering kali sulit diatasi (misal : nyeri punggung bawah, neuropati diabetik, nyeri akibat kanker, luka pada sumsum tulang belakang) (Sukandar et al., 2008). 33 Skala analog visual (Visual Analog Scale/VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis yang umumnya sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau peryataan deskriptif. Ujung angka 0 mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. Manfaat utama VAS adalah penggunaannya yang sangat mudah dan sederhana. Farmasis dapat segera menggunakannya sebagai penilaian cepat pada hampir semua situasi praktek farmasi (Breivik et al.,2008). Intensitas nyeri pada skala 0 tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri ringan pada skala 1 sampai 3, intensitas nyeri sedang pada skala 4 sampai 6, intensitas nyeri berat pada skala 7 sampai 9 intensitas nyeri sangat berat pada skala 10 nyeri tidak terkontrol (Potter and Perry, 2005). Williamson and Hoggart (2005) juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS 34 secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Gambar 2. Visual Analog Scale 2. Kualitas Hidup Kualitas hidup didefinisikan dengan cara yang berbeda oleh para peneliti. Hal ini karena istilah tersebut merupakan istilah multi disipliner yang tidak hanya digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, tetapi dalam konteks penelitian dihubungkan dengan berbagai macam bidang khusus. Istilah kualitas hidup (quality of life) yang lebih spesifik disebut Health Related Quality of Life (HRQOL) merupakan domain kesehatan fisik, psikologi, kepercayaan, harapan dan persepsi seseorang. Oleh karena itu, dua orang dengan status kesehatan yang sama mungkin bisa mempunyai kualitas hidup yang berbeda (Testa and Simonson, 1996). Menurut WHOQOL-BREF (dalam Rapley, 2003) terdapat empat dimensi mengenai kualitas hidup yang meliputi: 1) Dimensi kesehatan fisik, mencakup aktivitas sehari-hari; ketergantungan pada obat-obatan; energi dan kelelahan; mobilitas; ketidaknyamanan; tidur dan istirahat; kapasitas kerja. sakit; dan 35 2) Dimensi kesejahteraan psikologis, mencangkup bodily image dan appearance; perasaan negatif; perasaan positif; self esteem; spiritual/agama/ keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memori dan konsentrasi. 3) Dimensi hubungan sosial, mencakup relasi personal, dukungan sosial, aktivitas seksual. 4) Dimensi hubungan dengan lingkungan, mencakup sumber finansial, kebebasan, keamanan, dan keselamatan fisik; perawatan kesehatan dan sosial termasuk aksesbilitas dan kualitas; lingkungan rumah, kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru maupun ketrampilan; partisipasi dan mendapat kesempatan untuk melakukan rekreasi dan kegiatan yang menyenangkan di waktu luang; lingkungan fisik terutama polusi/ kebisingan/ lalu lintas/ iklim; serta transportasi. Brief Pain Inventory (BPI) merupakan instrumen yang dicatat sendiri dan telah dikembangkan dalam penelitian dan berbagai keadaan klinis serta diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan memiliki tingkat validitas dan kepercayaan yang tinggi. Alat ini dikembangkan untuk memberikan metode yang cepat dan mudah untuk menghitung intensitas nyeri. BPI terdiri dari 11 pertanyaan terkait nyeri yang menanyakan mengenai aspek pengalaman nyeri yang dirasakan pasien dalam periode 24 jam, seperti dimana lokasi nyeri dan intensitasnya, dampak nyeri tersebut terhadap kualitas hidup pasien, serta efektifitas dari pengalaman nyeri yang diberikan. Sebuah gambar diberikan agar pasien dapat menunjukkan lokasi nyerinya (Mendoza et al., 2005). 36 BPI juga merupakan salah satu instrumen yang dapat menilai nyeri maupun pengaruh subjektif terhadap nyeri, aktivitas dan kemampuan fungsional pasien. Instrument dalam BPI termasuk empat skala nyeri (paling buruk, paling ringan, rata-rata dan nyeri sekarang) serta 7 skala dalam menilai dampak sakit pada kegiatan umum, suasana hati, kemampuan berjalan, bekerja, menjalin hubungan dengan orang lain, tidur dan menikmati hidup. Masing-masing bagian dinilai pada skala numerik 0 – 10, untuk skor 0 tidak mengganggu dan skor 10 sangat mengganggu. Hasil dari penilaian menggunakan kuesioner ini menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik pada skor paling rendah (Mendoza et al., 2005). F. Landasan Teori Rheumatoid arthritis merupakan penyakit yang masih belum diketahui penyebabnya dan penyakit rheumatoid arthritis berlangsung kronis yaitu sembuh dan kambuh secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi yang menetap. Rheumatoid arthritis biasanya menyerang sendi pada pergelangan tangan, tangan dan kaki sehingga mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Pasien dengan rheumatoid arthritis merasa kurang nyaman dan pergerakan sendi sangatlah terbatas. Keadaan ini mengakibatkan aktivitas sehari-hari pasien berkurang, efek lain yang timbul adalah rasa nyeri, mudah lelah, perubahan citra diri serta gangguan tidur (Nainggolan, 2009). Resiko penyakit rheumatik arthritis paling tinggi adalah pada usia 65 tahun. Hal ini dikarenakan setiap persendian tulang memiliki lapisan pelindung sendi 37 yang menghalangi teradinya gesekan antara tulang dan di dalam sendi terdapat cairan yang berfungsi sebagai pelumas sehingga tulang dapat digerakkan dengan leluasa. Pada mereka yang sudah berusia lanjut lapisan pelindung persendian mulai menipis dan cairan tulang mulai mengental, menyebabkan tubuh menjadi kaku dan sakit saat digerakkan (Drisckel, 2006). Karakteristik pasien seperti Body Mass Index mempengaruhi kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis. Pada penelitian yag dilakukan silman and Hochberg (1993) menyatakan bahwa kenaikan Body Mass Index diikuti dengan meningkatnya risiko teradinya rhematoid arthritis. Penyakit sendi atau rematik bukanlah jenis penyakit yang muncul seketika. Prosesnya melalui beberapa tahap dan bila sudah terkena biasanya menjadi kronis. Radang sendi bisa bermula dari tubuh yang kegemukan. Berat badan yang berlebih memberikan beban yang besar pada tulang sehingga mempengaruhi kesehatan sendi (Nainggolan, 2009). Pengobatan rheumatoid arthritis merupakan pengobatan jangka panjang sehingga pola pengobatan yang tepat dan terkontrol sangat dibutuhkan. Dengan pengukuran kualitas hidup dapat diketahui pola pengobatan yang efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien (Chen and Kochen, 2005). Pada penelitian yang dilakukan Westhovens et al (2009) mengatakan bahwa di Filipina, pasien yang mendapat obat DMARDS kurang lebih satu tahun memiliki kualitas hidup yang baik karena DMARDS memiliki keamanan obat yang baik. Terapi tunggal atau terapi kombinasi secara signifikan lebih superior mengurangi tanda atau akibat dari rheumatoid arthritis. Penelitian lain 38 menyebutkan bahwa OAINS umumnya diterima sebagai terapi pertama untuk perawatan simtom rheumatoid arthritis ringan. OAINS digunakan sebagai terapi primer dan tidak boleh digunakan sebagai terapi tunggal selama lebih dari 3 bulan kecuali pasien memberikan respon yang baik. OAINS COX-2 selektif memberikan efek aman terhadap saluran cerna Gouze (2001). Secara umum kualitas hidup menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukannya. Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan menggambarkan pandangan individu terhadap kebahagiaan dan kepuasan terhadap kehidupan yang mempengaruhi kesehatan mereka (American Thoracic Society, 2007). Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain karakteristik pasien, karakteristik penyakit dan tingkat nyeri yang dialami pasien (Asmadi, 2008). Nyeri yang dialami oleh pasien rheumatoid arthritis adalah nyeri sedang atau skala nyeri rata-rata enam (National Institude of Nursing Research, 2005 dalam Dewi, 2009). Adanya nyeri sendi pada rheumatoid arthritis membuat penderitanya seringkali takut untuk bergerak sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya dan menurunkan produktivitasnya. Selain itu, pengobatan atau terapi, seperti jenis obat atau terapi juga ikut berperan dalam kualitas hidup pasien (Chen et al., 2005). 39 G. Kerangka Konsep Karakteristik pasien a. Jenis kelamin b. Usia c. BMI d. Lokasi nyeri Kualitas hidup Jenis obat yang digunakan Intensitas Nyeri Gambar 3. Skema Kerangka Konsep Penelitian H. Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara karakteristik pasien dengan kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis. 2. Terdapat hubungan antara pola pengobatan dengan kualitas hidup pasien rhematoid arthritis. 3. Terdapat hubungan antara intensitas nyeri dengan kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis.