1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa kanak-kanak merupakan bagian dari perjalanan panjang bagi setiap individu yang meletakkan dasar bagi kehidupannya di masa dewasa. Masa kanak-kanak ini pula yang menurut Freud (dalam Santrock, 2002) merupakan masa yang sangat fundamental bagi setiap individu. Menurutnya usia kanakkanak akan memberi dampak pada perkembangan selanjutnya, karena semakin tinggi tahap perkembangan seseorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya. Di Indonesia, terjadi bermacam-macam perilaku yang mencerminkan moralitas yang rendah. Para pemimpin yang tidak dapat dicontoh karena korupsi, kolusi, dan nepotisme, remaja yang menggunakan narkoba dan pergaulan bebas, atau anak-anak yang melakukan bullying. Rendahnya moral anak terlihat dari banyak anak yang berani membantah orang tua, berperilaku curang, berkata kasar, saling ejek dan kata-kata kotor, sepertinya sudah jadi kebiasaan dan mendarah daging di tubuh anak bangsa saat ini. Permasalahan yang ada dapat disebabkan oleh kurangnya penanaman moral pada usia dini, maka penyelesaian yang terbaik salah satunya adalah menanamkan moral secara berkesinambungan sejak sedini mungkin. Definisi moral menurut KBBI (KBBI.web.id) adalah baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban. Moral juga memiliki sinonim dengan akhlak; budi pekerti dan susila, sedangkan menurut Santrock (2002), 2 moral adalah tata cara, kebiasaan, dan adat di mana perilaku dikendalikan dalam konsep peraturan suatu budaya. Tanggung jawab penanaman moral ada pada keluarga, namun penanaman moral ini dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk media massa yang mendidik. Penanaman moral juga dapat dilakukan melalui pendidikan, maka orang tua yang baik adalah orangtua yang memilih pendidikan anak di lembaga pendidikan yang mengedepankan moral. Penanaman moral melalui pendidikan telah dimulai sejak sedini mungkin. Hal ini karena moral telah berkembang pada anak sejak usia dini. Hal ini dapat terlihat pada anak usia 3-4 tahun, dalam aspek pamahaman moral dan agama, mereka dapat memahami perilaku baik-buruk, benar-salah, sopan-tidak sopan, dan memahami arti kasih dan sayang pada ciptaan Tuhan. Pemahaman moral dan agama anak usia 4-5 tahun ditunjukkan dengan berdoa sebelum dan sesudah melakukan sesuatu, mengenal perilaku baik dan buruk, menangkap tema cerita mengenai perilaku baik atau buruk, mengucapkan salam dan membalas salam. Anak pada usia 5-6 tahun dapat mengenal agama yang dianut, menghormati agama orang lain, mengenal ritual dan hari besar agama dan memahami perilaku utama seperti jujur, penolong, sopan hormat, dan lainnya ( Standard Nasional PAUD dalam Ekowarni, 2009). Perkembangan moral menurut Kohlberg (Santrock,2002) Anak usia 4-6 tahun termasuk tahap pra-konvensional yaitu tingkat anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal itu hanya ditafsirkan dari akibat fisik atau kenikmatan perbuatan. Dengan demikian pada dasarnya kanak-kanak sudah bisa hidup dalam aturan moral sesuai usianya. 3 Kecerdasan moral didefinisikan oleh Borba (2001) sebagai kemampuan untuk memahami benar dan salah dan pendirian yang kuat untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilai moral. Anak yang cerdas secara moraladalah mereka yang mampu membedakan benar dan salah, memahami kebenaran dari kesalahan, memiliki pemahaman etika yang kuat dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut sehingga anak bersikap benar dan terhormat. Ada tujuh aspek kebajikan moral yaitu empati, nurani, kontrol diri, respek, baik budi, toleran, dan adil. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecerdasan moral adalah inteligensi atau kecerdasan intelektual (Berns, 2007). Wechsler (dalam Anastasi & Urbina, 1997) mendefinisikan inteligensi adalah kemampuan global yang dimiliki oleh individu agar bisa bertindak secara terarah dan berpikir secara bermakna serta bisa berinteraksi dengan lingkungan secara efisien. Inteligensi difokuskan dalam kemampuan untuk berpikir. Kecerdasan moral berkaitan secara signifikan dengan inteligensi (Kohlberg dalam Berns, 2007). Kemampuan anak untuk melihat, mengamati, memperkirakan, berpikir, menduga, mempertimbangkan, dan menilai akan mempengaruhi perkembangan moral anak. Semakin baik kemampuan berpikir, maka kemampuan yang berkaitan dengan moralitas semakin baik. Seiring dengan berubahnya kemampuan anak dalam menangkap dan mengerti, anak-anak bergerak ke tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi. Penelitian oleh Wellman, Larkey dan Somerville (1979) menunjukkan bahwa pada anak usia 5 tahun lebih mampu memahami kriteria moral dan memberikan moral judgment yang lebih tepat dibandingkan anak usia 3 dan 4 tahun meskipun pada anak usia 3-4 tahun sudah menunjukkan kesadaran atas kriteria moral. 4 Di sisi lain, Sundari (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa penanaman moral yang kurang baik di keluarga dalam menjadikan anak memiliki moral yang tidak baik seperti suka kekerasan, temperamental, suka memutarbalikkan fakta dan sering bermasalah dengan anak-anak yang lain. Dengan kondisi yang demikian ini, anak tidak memiliki semangat tinggi dalam belajar, sehingga perkembangan intelektual dan moralnya tidak berjalan secara optimal. Jadi kecerdasan intelektual bisa mempengaruhi kecerdasan moral atau sebailknya kecerdasan moral bisa mempengaruhi kecerdasan intelektual. Faktor yang mempengaruhi kecerdasan moral dalam konteks sosial adalah peran lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga - orangtua. Menurut Borba (2001) kualitas moral diawali dari rumah. Orangtua berperan penting dalam menumbuhkan sifat baik dalam diri anak. Sikap orangtua sangat berperan penting dalam membantu anak menjalani hidup sesuai etika yang berlaku. Untuk itulah pola asuh orang tua memegang peranan penting bagi kehidupan anak. Menurut Baumrind (dalam Berns, 2007) pola asuh merupakan cara-cara yang digunakan orangtua dalam mengasuh anak. Baumrind membagi pola asuh menjadi empat, yaitu authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved / neglegtful. Pembagian pola asuh ini berdasarkan kontrol dan keterlibatan orang tua kepada anak. Pola asuh authoritative, ditandai dengan adanya kontrol dari orangtua terhadap anak tetapi orangtua tetap menghargai kebebasan anak sebagai individu, penetapan tuntutan yang bersifat rasional, fleksibel, serta ada pengutamakan disiplin anak. Pola asuh orang tua memberi dampak pada kehidupan moral anak (Santrock,2002). Anak-anak dengan orang tua yang authoritative, akan menjadi anak yang berkompeten dan bertanggung jawab secara sosial, serta percaya diri. 5 Pola asuh authoritative memberi dampak positif pada anak. Nurwati (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh authoritative pada anaknya mempunyai hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar anak, maka disarankan pola asuh authoritative diterapkan para orang tua. Pola asuh authoritative juga memberi pengaruh pada kecerdasan moral anak. Pratiwi (2010) menyimpulkan bahwa kecerdasan moral anak usia prasekolah (4 - 6 tahun) etnis Cina yang diasuh oleh orangtua dengan gaya authoritative lebih tinggi daripada anak yang diasuh oleh orangtua dengan gaya authoritarian, permissive, dan uninvolved. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat dirumuskan permasalahan : apakah inteligensi dan keotoritatifan pola asuh orang tua dapat memprediksi kecerdasan moral anak ? C. Tujuan dan Manfaat Tujuan utama penelitian ini untuk memprediksi kecerdasan moral anak prasekolah berdasarkan inteligensi dan keotoritatifan pola asuh orang tua. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi psikologi Perkembangan dengan melihat adanya peran inteligensi dan keotoritatifan pola asuh orang tua dalam memprediksi kecerdasan moral anak prasekolah. Penelitian ini secara praktis diharapkan memberi masukan kepada guru dan orang tua mengenai peran inteligensi anak dan keotoritatifan pola asuh dengan kecerdasan moral anak prasekolah. 6 D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya: 1. Pratiwi (2010) meneliti tentang kecerdasan moral pada anak usia prasekolah, menguji secara empiris perbedaan kecerdasan moral anak usia prasekolah khususnya pada rentang usia 4 – 6 tahun dengan latar belakang etnis Cina ditinjau dari gaya pengasuhan orangtua. 2. Febriani (2010) meneliti tentang kecerdasan moral untuk anak usia prasekolah, mengkaji faktor yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan moral dan mengetahui secara empiris efektivitas bermain peran untuk meningkatkan kecerdasan moral anak usia prasekolah (5 tahun). 3. Wuryandari (2007) meneliti tentang penanaman nilai moral untuk anak usia dini. Metode bercerita dinilai sangat tepat untuk menanamkan nilai moral pada anak usia dini. Kriteria yang mesti diperhatikan adalah cerita yang memuat pesan moral, tema cerita sesuai dengan tingkat perkembangan anak, tidak monoton, ekspresi yang jelas saat membawakan cerita dan menggunakan alat peraga yang menarik bagi anak. 4. Pranoto (2010) meneliti tentang hubungan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan perkembangan kecerdasan moral anak usia prasekolah. 5. Ahyani (2010) meneliti tentang metode dongeng dalam meningkatkan perkembangan kecerdasan moral anak usia prasekolah. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya tentang kecerdasan moral anak usia prasekolah, maka secara keseluruhan peneliti belum menemukan penggunaan variabel inteligensi dan keotoritatifan pola asuh orang tua dengan kecerdasan moral.