Efek Kognitif Komunikasi Massa

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
PSIKOLOGI
KOMUNIKASI
PROSES KOMUNIKASI MASSA
Fakultas
Program Studi
FIKOM
MARCOM &
ADVERTISING
Tatap Muka
08 & 09
Kode MK
Disusun Oleh
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Abstract
Kompetensi
Modul ini berisi materi mengenai
proses komunikasi massa dikaji dalam
beberapa bagian, antara lain:
Pengertian komunikasi massa, sistem
komunikasi massa dan sistem
komunikasi interpersonal, faktor-faktor
yang mempengaruhi khalayak pada
pada komunikasi massa, dan effek
komunikasi massa.
Setelah mempelajari modul ini,
mahasiswa diharapkan dapat
memahami dan menjelaskan
komunikasi massa serta perubahan
sikap dan perilaku.
SISTEM KOMUNIKASI MASSA
Abad ini disebut komunikasi massa. Komunikasi telah mencapai suatu tingkat di mana orang
mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak dan serempak. Teknologi
komunikasi
mutakhir
telah
menciptakan
apa
yang
disebut
“publik
dunia”
atau
“Weltoffentlichkeit” (Dofivat, 1967). Pendaratan manusia di bulan, kunjungan kepresidenan,
pembunuhan massal di Libanon, perang afghanistan dan perang irak dapat disaksikan di
seluruh penjuru bumi. Bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi ini,
meningkat pula kecemasan tentang efek media massa terhadap khalayknya.
Dofivat mengingatkan kita tentang kemungkinan dikontrolnya media massa oleh segelintir
orang untuk kepentingannya sendiri, sehingga jutaan manusia kehilangan kebebasannya.
George Orwell, futuris lainnya, meramalkan suatu dunia pada tahun 1984. Dalam ramalan
tersebut seorang diktator mengendalikan pikiran dan tingkah laku rakyat dengan teknologi
komunikasi yang cermat dan rumit (Tahun 1984 sudah tiba, dan ramalan Orwell –
alhamdulillah – tampaknya tidak tejadi).
Di negara-negara maju, efek komunikasi massa telah beralih dari ruang kuliah ke ruang
pengadilan, dari polemik ilmiah di antara para professor ke debat parlementer di antara
anggota badan legislatif. Di negara berkembang efek komunikasi telah merebut perhatian
berbagai kalangan, sejak politisi, tokoh agama, penyair, sampai petani. Politisi, baik karena
kerakusan
atau
ketakutan
mencoba
“melunakan”
pengaruh
media
massa
atau
mengendalikannya. Tokoh agama mencemaskan hilangnya warisan rohaniah yang tinggi
karena penetrasi media erotika. Penyair mengeluh karena gadis-gadis desa tidak lagi
mendendangkan lagu-lagu tradisional yang seronok. Petani telah menukarkan kerbaunya
dengan radio transistor dan televisi.
Pengertian Komunikasi Massa
Definisi yang paling sederhana tentang komunikasi massa dirumuskan Bittner (1980:10):
“Mass communication is message communicated through a mass medium to a large number
of people” (Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa
pada sejumlah besar orang). Ini mengundang banyak pertanyaan: apakah komunikasi
massa itu pesan atau proses? Apa yang membedakan komunikasi massa daripada
komunikasi interpersonal atau komunikasi medio?
2016
2
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Ahli komunikasi yang lain mendefiniskan komunikasi dengan memperinci karakteristik
komunikasi massa. Gerbner (1967) menulis, “Mass communication is the technologically
and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous
flow of messages in industrial societies” (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi
yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas
dimiliki orang dalam masyarakat industri). Maletzke (1963) menghimpun banyak definisi;
beberapa di antaranya dikutip di sini:
1) Komunikasi massa kita artikan setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan
pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung
dan satu arah pada publik yang tersebar).
2) Komunikasi massa dibedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan
bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah polpulasi dari berbagai
kelompok, dan bukan hanya satu atau beberapa individu atau sebagian khusus
populasi. Komunikasi massa juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alatalat khusus untuk menyampaikan komunikasi agar supaya komunikasi itu dapat
mencapai pada saat yang sama semua orang yang mewakili berbagai lapisan
masyarakat.
3) Bentuk baru komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memliki
karakteristik utama sebagai berikut: diarahkan pada khalayak yang relatif besar,
heterogen, dan aninim; pesan disampaikan secara terbuka, seringkali dapat
mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, bersifat sekilas; komunikator
cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompleks yang melibatkan
biaya besar.
Merangkum definisi-definisi diatas, di sini komunikasi massa diartikan sebagai jenis
komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan
anonim melalui media cetak atau elektronis sehingga pesan yang sama dapat diterima
secara serentak dan sesaat. Perkataan “dapat” dalam definisi ini menekankan
pengertian bahwa jumlah sebenarnya penerima komunikasi massa pada saat tertentu
tidaklah esensial. Yang penting, seperti dikatakan Alexis S. Tan (1981: 73), “The
communicator is a social organization capable of reproducing the message and sending
it simultaneously to large number of people who are spatialty separeted.”
2016
3
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sistem Komunikasi Massa versus Sistem Komunikasi Interpersonal
Secara sederhana, komunikasi massa adalah komunikasi melaui media massa, yakni surat
kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Bila sistem komunikasi massa diperbandingkan
dengan sistem komunikasi interpersonal, secara teknis kita dapat menunjukkan empat tanda
pokok dari komunikasi massa (menurut Elizabeth-Noelle Neuman, 1973:92) (1) bersifat tidak
langsung, artinya harus melewati media teknis; (2) bersifat satu arah, artinya tidak ada
interaksi antara peserta-peserta komunikasi (para komunikan); (3) bersifat terbuka, artinya
ditujukan pada publik yang tidak terbatas dan anonim; (4) mempunyai publik yang secara
geografis tersebar.
Karena perbedaan teknis, maka sistem komunikasi massa juga mempunyai karakteristik
psikologis yang khas dibandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal. Ini tampak
pada pengendalian arus inforamasi, umpan balik, simulasi alat indra, dan proporsi unsur isi
dengan hubungan. Marilah kita lihat hal ini satu persatu.
Pengendalian Arus Informasi
Mengendalikan arus informasi berarti mengatur jalannya pembicaraan yang disampaikan
dan yang diterima. Ketika anda membaca tulisan saya, anda tidak dapat menghentikan saya
dengan perkataan, “Sebentar dulu, ada yang belum saya pahami. Jelaskan kembali setiap
definisi yang diberikan Malatzke tadi.” Anda terpaksa harus mengikuti apa yang saya tulis
dan tidak dapat mengarahkan tulisan saya. Anda tentu boleh memberikan garis bawah pada
bagian-bagian yang penting, atau melemparkan buku ini sementara ke sudut meja tulis
anda, atau mengulang kembali yang sudah anda baca. Tetapi anda tidak akan dapat
mempengaruhi saya supaya mengubah pembicaraan saya. Mengapa? Karena saya dengan
anda sekarang sedang terlibat dalam proses komunikasi massa. Buku ini adalah medianya.
Tentu saja, dalam sistem komunikasi interpersonal – misalnya saya memberikan kuliah
kepada anda tentang efek media massa – Anda dapat mengarahkan perilaku komunikasi
saya. Bila saya berbicara “ngawur”, anda dapat menegur saya dan mengembalikan saya
pada “jalan yang lurus.” Pada gilirannya, bila anda mengantuk, saya dapat membangunkan
anda untuk memperhatikan saya. Kita bersama-sama dapat mengendalikan arus informasi
seperti yang kita hendaki. Anda dapat menambah informasi yang saya berikan. Saya juga
dapat mengubah informasi yang saya sampaikan karena reaksi yang saya terima dari anda.
Keadaan ini mempengaruhi efek psikologi peristiwa komunikasi. Menurut Cassata dan
Asante (1979:12), bila arus komunikasi hanya dikendalikan oleh komunikator, sitausi dapat
menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat mengatur arus informasi,
2016
4
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
situasi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif. Mungkin dengan penjelasan inilah
kita dapat memahami mengapa belajar langsung dari guru lebih memudahkan pengertian
daripada sekadar membaca buku. Tetapi pendapat Cassata dan Asante tidak dapat
menjelaskan mengapa komuniaksi interpersonal lebih efektif untuk mengubah sikap dari
komuniaksi massa (yang arus informasinya dikontrol sepenuhnya oleh sumber).
Umpanbalik
Istilah umpan balik sudah cukup populer di tengah-tengah masyarakat; barangkali terlalu
populer, sehingga begitu diminta definisinya orang mengalami kesulitan. Umpanbalik
berasal dari teori sibernetika (cybernetics) dalam mekanika – teori mekanistis tentang
proses mengatur diri secara otomatis. Orang yang dianggap penemu sibernetika adalah
Norbet Wiener (1954) yang menulis buku Cybernetics and Society. Wiener memandang
komunikasi dan kontrol itu identik. Sistem sibernetika menjelaskan sistem komunikasi yang
mengontrol fungsi sistem mekanis. Umpanbalik adalah metode mengontrol sistem. Dalam
sibernetika, umpanbalik adalah keluaran (output) sistem yang “dibalikkan” kembali (fedback)
kepada sistem sebagai masukan (input) tambahan dan berfungsi mengatur keluaran
berikutnya.
Dalam komunikasi, umpanbalik dapat diartikan sebagai respons, peneguhan, dan
servomekanisme internal (Fisher, 1978: 286-299). Sebagai respons, umpanbalik adalah
pesan yang dikirim kembali dari penerima, dan memberikan landasan kepada sumber untuk
menentukan perilaku selanjutnya. Dalam pengertian ini, umpanbalik bermacam-macam
jumlah dan salurannya. Ada situasi ketika saluran mengangkut banyak umpanbalik atau tak
ada umpanbalik sama sekali (dari free feedback sampai kepada zero feedback). Umpanbalik
dapat juga lewat satu saluran saja atau lewat berbagai saluran. Bila kita membalas surat,
umpanbalik tidak dapat datang lewat saluran bunyi. Ketika anda mengobrol, umpanbalik
terjadi lewat saluran mata, telinga, dan alat indra lainnya.
Umpanbalik sebagai peneguhan (reinforcement) bermula dari psikologi behaviorisme.
Respon yang diperteguh akan mendorong orang untuk mengulangi respons tersebut.
Sebaliknya, respons yang tidak mendatangkan ganjaran – atau tidak diperteguh – akan
dihilangkan. Dalam hubungan ini, umpanbalik adalah respons yang berfungsi mendorong
atau merintangi kelanjutan perilaku. Bila saya mengangguk-angguk, mengatakan, “Betul”,
“Tepat sekali”, “Anda benar”, dan sebagainya, ketika anda bicara, saya memberikan
umpanbalik. Anda akan bersemangat untuk melanjutkan pembicaraan anda. Di sini, kita
berbicara tentang dua macam umpanbalik – negatif dan positif. Tentu saja, umpanbalik
2016
5
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
positif adalah respons yang mendorong perilaku komunikatif berikutnya; dan umpanbalik
negatif adalah respons yang menghambat perilaku komunikatif.
Umpanbalik sebagai servomekanisme berasal dari mekanika. Dalam setiap sistem, selalu
ada aparat yang memberikan respons pada jalannya sistem. Ambillah rice cooker – penanak
nasi elektris – sebagai contoh. Masukan beras dan air kedalamnya. Nyalakan penanak nasi
anda. Nanti, bila panas penanak itu mencapai panas tertentu, panas akan masuk ke dalam
sistem elektris dan mematikan alat itu secara otomatis. Panas itu menjadi umpanbalik yang
mengatur mekanisme penanak nasi. Mowrer (1954) memasukkan konsep ini ke dalam
mekanisme psikologis. Belajar menimbulkan servomekanisme dalam diri individu. Sikap,
yang diperoleh melalui belajar, diinternalisasikan dalam diri individu sebagai mekanisme
yang menstabilkan perilaku individu. Konsep ini – seperti yang dinyatakan Fisher (1978) –
masih sangat kontroversial.
Lalu, bagaimana peranan umpanbalik sebagai servomekanisme. Dalam sistem komunikasi
interpersonal, sikap berfungsi sebagai servomekanisme. Bila pembicaraan orang yang
pidato mengandung hal-hal yang mengancam kepentingan kita, kita akan segera menyaring
pembicaraan
secara
selektif,
menafsirkan
secara
sepihak,
atau
berusaha
tidak
mendengarkannya sama sekali. Dengan cara itu, keseimbangan psikologis kita akan tetap
terpelihara. Dalam sistem komunikasi massa, dengan menggunakan model terpadu efek
dari De Fleur dan Ball- Roockeach (1975), servomekanisme terjadi karena kendala ekonomi,
nilai, teknologi, dan organisasi yang terdapat dalam sistem media. Bila berita diterima tidak
sesuai dengan kebijaksanaan media yang bersangkutan, berita itu akan diinterpretasikan,
didistorsi, atau tidak dimuat sama sekali. Di Indonesia, misalnya, tidak ada sensor
sebelumnya (previous censorship); tetapi setiap surat kabar mengetahui apa yang boleh dan
tidak boleh dimuat. Pengalaman pahit yang dialami surat kabar pada pencabutan Surat Izin
Terbit merupakan “hantu” yang membayang-bayangi para kuli tinta (ada yang menyebut
sebagai pedang Damocles). Ketika dikatakan “Pers Indonesia adalah pers yang bebas dan
bertanggung jawab”, surat kabar-surat kabar sudah mengerti apa yang dimaksud.
Simulasi Alat Indra
Dalam komuniaksi interpersonal, seperti telah kita uraikan pada umpanbalik, orang
menerima stimuli lewat seluruh alat inderanya. Ia dapat mendengar, melihat, mencium,
meraba, dan merasa (bila perlu!). dalam komunikasi massa, stimuli alat indera bergantung
pada jenis media massa. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada
radio dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar. Pada televisi dan film, kita
mendengar dan melihat.
2016
6
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
McLuhan (1964) pernah populer pada tahun 60-an ketika ia menguraikan perkembangan
sejarah berdasrkan penggunaan media massa. Ia membagi sejarah umat manusia pada tiga
babak: (1) Babak tribal ketika alat indera manusia bebas menangkap berbagai stimuli tanpa
dibatasi teknologi komunikasi; (2) Babak Gutenberg, ketika mesin cetak menyebabkan
orang berkomuniaksi secara tertulis dan membaca dari kiri ke kanan; di sini, hanya indera
mata yang mendapat stimuli, sehingga manusia akan cenderung berpikir linear – seperti
membaca dari kiri ke kanan; (3) Babak Neotribal, ketika alat-alat elektronis memungkinkan
manusia menggunakan beberapa macam alat indera dalam komunikasi.
Proporsi Unsur Isi dengan Hubungan
Seperti dijelaskan pada Sistem Komunikasi Interpersonal, setiap komunikasi melibatkan
unsur isi dan unsur hubungan sekaligus. Pada komunikasi interpersonal, unsur hubungan
sangat penting. sebaliknya, pada komunikasi massa, unsur isilah yang penting. ketika anda
berkomunikasi dengan suami anda, pesan yang anda sampaikan tidak berstruktur, tidak
sistematis, dan sukar disimpan atau dilihat kembali (retrieval). Anda tidak pernah
mengatakan, “Marilah kita bagi obrolan ini menjadi empat bab: bab keluarga, bab keuangan,
bab tetangga, dan bab mertua.” Apa yang sudah dibicarakan juga sukar didengar kembali
(kecuali kalau anda merekamnya). Dalam konunikasi interpersonal, yang menentukan
efektifitas bukanlah struktur, tetapi aspek hubungan manusiawi: buka “apanya” tetapi
“bagaimana”.
Sistem komunikasi massa justru menekankan “apanya”. Berita disusun berdasarkan sistem
tertentu dan ditulis dengan menggunakan tanda-tanda baca dan pembagian paragraf yang
tertib. Pidato radio juga disampaikan dengan urutan yang sistematis, dan acara televisi
sudah jelas disiarkan sesuai dengan struktur yang ditetapkan. Pesan media massa juga
dapat dilihat atau didengar kembali. Bagian-bagian berita yang penting dapat dikliping dan
dilihat kembali bila diperlukan. TVRI sering mengadakan siaran ulangan; misalnya, memutar
lagi film Unyil yang sudah disiarkan sebelumnya (Dapatkah anda dengan kawan anda
mengulangi lagi pertengakaran yang sama, yang sudah anda lakukan dua minggu yang
lalu?). Pesan media massa dapat disimpan, dikalsifikasi, dan didokumentasikan.
Sejarah Penelitian Efek Komunikasi Massa
“Pada malam tanggal 30 Oktober 1938, ribuan orang Amerika panik karena siaran radio
yang menggambarkan serangan mahluk Mars yang mengancam seluruh peradaban
manusia. barangkali tidak pernah terjadi sebelumnya, begitu banyak orang dari berbagai
lapisan dan di berbagai tempat di Amerika secara begitu mendadak dan begitu tegang
2016
7
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tergoncangkan oleh apa yang terjadi waktu itu, “begitu Hadley Cantril memulai tulisannya
tentang The Invasion of Mars (Schramm, 1977:579).
Sebuah pemancar radio menyiarkan sandiwara Orson-Welles. Sandiwara ini begitu hidup
sehingga orang menduga bahwa yang terjadi adalah laporan pandangan mata. Ketika –
dalam cerita itu – dihadirkan tokoh-tokoh fiktif seperti para profesor dari beberapa
observatorium dan perguruan tinggi yang terkenal, dan Jenderal Montgommery Smith,
panglima angkatan bersenjata, pendengar menganggapnya peristiwa sebenarnya. “Sebelum
siaran itu berakhir,” begitu dilaporkan Cantril, “di seluruh Amerika Serikat orang berdoa,
menangis, melarikan diri secara panik untuk menghindarkan kematian karena mahluk Mars.
Ada yang lari menyelamatkan kekasihnya; ada yang menelpon menyampaikan ucapan
perpisahan atau peringatan; ada yang segera memberitahu tetangga, mencari informasi dari
surat kabar atau pemancar radio, memanggil ambulans dan mobil polisi. Sekurangkurangnya enam juta orang mendengar siaran itu. Sekurang-kurangnya satu juta orang
ketakutan atau tergoncangkan”.
Peristiwa itu menarik beberapa orang peneliti sosial – suatu peristiwa langka telah terjadi.
Peristiwa ini juga menarik karena menggambarkan keperkasaan media massa dalam
mempengaruhi khalayaknya. Sekarang orang memandang media massa dengan perasaan
ngeri. Sementara itu, pada dasawarsa yang sama, jutaan pemilik radio juga dipukau dan
digerakkan oleh propagandis agama Father Couhlin (Teknik-teknik propaganda Coughlin
dianalisa oleh Institute for Propoganda Analysis). Di Jerman, orang melihat bagaimana
sebuah bangsa beradab diseret pada kegilaan massa yang mengerikan. Jerman Nazi
menggunakan media massa secara maksimal. Media massa dikontrol dengan ketat oleh
kementerian Propaganda. Menulis atau berbicara yang bertentangan dengan penguasa
Nazi dapat membawa orang pada kamp-kamp konsentrasi. Oposisi dibungkan. Hanya
inforamsi yang dirancang oleh penguasa yang boleh disebabkan. Radio diperbanyak untuk
menambah efektivitas mesin propaganda. Disamping Hitler, Mussolini di Italia juga
memanfaatkan media massa untuk kepentingan fasisme. Sebelumnya, di Rusia Lenin
berhasil merebut kekuasaan, tak kurang dengan menggunakan media massa pula.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Reaksi Khalayak pada
Komunikasi Massa
Seperti diuraikan di atas, model jarum hipodermis menunjukkan kekuatan media massa
yang perkasa untuk mengarahkan dan membentuk perilaku khalayak. Dalam kerangka
behaviorisme, media massa adalah faktor lingkungan yang mengubah perilaku khalayak
2016
8
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
melalui proses pelaziman klasik. Dalam kerangka behaviorisme, media massa adalah faktor
lingkungan yang mengubah perilaku khalayak melalui proses pelaziman klasik, pelaziman
operan, atau proses imitasi (belajar sosial). Khalayak sendiri dianggap sebagai kepala
kosong yang siap untuk menampung seluruh pesan komunikasi yang dicurahkan kepadanya
(Dervin, 1981:74). Pesan komunikasi dianggap sebagai “benda” yang dilihat sama baik oleh
komunikator maupun komunikate. Bila saya memberikan buku pada Anda, Anda akan
menerima buku itu persis seperti yang saya berikan; bentuk buku tidak berubah. Seperti itu
jugalah pesan komunikasi. “Model peluru” mengasumsikan semua orang memberikan reaksi
yang sama terhadap pesan. ini mirip dengan percobaan-percobaan kaum behavioris. Bila
setiap saat sesudah Anda mendengar suara Ebiet, anda menerima makanan yang enak;
lama-kelamaan suara Ebiet akan menitik kan air liur anda, tidak peduli apakah anda tukang
becak, gubernur, sarjana, atau seekor anjing.
Realitas tidaklah sesederhana dunia kaum behavioris. Efek lingkungan berlainan pada
orang yang berbeda. Munculnya psikologi kognitif yang memandang manusia sebagai
organisme yang aktif mengorganisasikan stimuli, perkembangan teori kepribadian, dan
meluasnya penelitian sikap (konsep yang ditemukan oleh W.I. Thomas dan Florian
Znaniecki) mengubah potret kahlayk. W. Philips Davison menulis, “Khalayak bukanlah
penerima yang pasif – tidak dapat dianggap sebagai sebongkah tanah liat yang dapat
dibentuk oleh jago propaganda. Khalayak terdiri dari individu-individu yang menuntut
sesuatu dari komunikasi yang menerpa mereka. Dengan kata lain, mereka harus
memperoleh sesuatu dari manipulator jika manipulator itu ingin memperoleh sesuatu dari
mereka. Terjadilah tawar-menawar..............Khalayak dapat membuat proses tawarmenawar yang berat.” (Davison, 1959:360)
Raymod A. Bauer juga mengkritik potret khalayak sebegai robot yang pasif. Ia bahkan
menyebut khalayk yang kepala baru (obstinate audience), yang baru mengikuti pesan bila
pesan itu menguntungkan mereka. Komunikasi tidak lagi bersifat linear (dengan peranan
komunikator yang dominan), tetapi merupakan transaksi. “Each gives in order to get,” kata
Bauer (dalam Schramm dan Roberts, 1977:345). Media massa memang berpengaruh, tetapi
pengaruh ini disaring, diseleksi, bahkan mungkin ditolak sesuai dengan faktor-faktor
personal yang mempengaruhi reaksi mereka. Adegan kekerasan dalam televisi dapat
mengilhami seorang yang sedang dongkol untuk menyerang musuhnya tetapi adegan yang
sama menimbulkan semangat polisi untuk membekuk penjahat; untuk kebanyakan orang,
adegan kekerasan itu hanya dilihat sebagai hiburan saja – tidak lebih! Kita kan melihat
faktor-faktor yang berpengaruh pada reaksi khalayk ini dengan mengulas secara sepintas
2016
9
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
penjelasan Melvin DeFleur dan Sandra Ball-Rokeach tentang teori-teori komunikasi dan
pendekatan motivasional dari model uses and gratification.
Teori DeFleur dan Ball-Rokeach tentang Pertemuan dengan Media
DeFleur dan Ball-Rokeach melihat pertemuan khalayk dengan media berdasarkan tiga
kerangka teoritis: perspektif perbedaan individual, perspektif kategori sosial, dan perspektif
hubungan sosial.
Perspektif perbedaan individual memandang bahwa sikap dan organisasi personalpsikologis individu akan menentukan bagaimana individu memilih syimuli dari lingkungan,
dan bagaimana ia memberi mkna pada stimuli tersebut. setiap orang mempunyai potesni
biologis. Pengalaman belajar, dan lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan
pengaruh media massa yang berbeda pula.
Perspektif kategori sosial berasumsi bahwa dalam masayarakat terdapat kelompokkelompok sosial, yang reaksinya pada stimuli tertentu cenderung sama. Golongan sosial
berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, pendidikan, tempat tinggal, dan
keyakinan beragama menampilkan kategori respons. Anggota-anggota kategori tertentu
akan cenderung memilih isi komunikasi yang sama dan akan memberi respons kepadanya
dengan cara yang hampir sama pula. Anak-anak akan membaca Ananda, Sahabat, atau
Bobo. Ibu-ibu akan membaca Femina, Kartini, atau sarinah.
Perspektif hubungan sosial menekankan pentingnya peranan hubungan sosial yang informal
dalam mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa. Lazarfeld menyebutnya
“pengaruh personal”. Seperti dijelaskan di muka, perspektif ini tampak pada model “two step
flow of communication”. Dalam model ini, informasi bergerak melewati dua tahap. Pertama,
informasi bergerak pada sekelompok individu yang relatif lebih tahu dan sering
memperhatikan media massa. Kedua, informasi bergerak dari orang-orang itu – disebut
“pemuka pendapat” – dan kemudian melalui saluran-saluran interpersonal disampaikan
kepada individu yang bergantung kepada mereka dalam informasi.
Secara singkat, berbagai faktor akan mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa.
Faktor-faktor ini meliputi organisasi personal psikologis individu seperti potensi biologis,
sikap, nilai, kepercayaan, serta bidang pengalaman; kelompok-kelompok sosial di mana
individu menjadi anggota; dan hubungan-hubungan interpersonal pada proses penerimaan,
2016
10
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pengelolaan, dan penyampaian informasi. Untuk memperjelas kesimpulan ini, ambillah
contoh penggunaan media. Diduga orang yang berpendidikan rendah jarang membaca surat
kabar, tetapi sering menonton televisi. Eksekutif dan kaum bisnis menyenangi rubrik niaga
dalam surat kabar atau majalah. Telah diteliti bahwa kelompok menengah cenderung
menyukai acara pendidikan, berita, dan informasi. Contoh-contoh ini mabawa kita pada
model uses and gratification.
Pendekatan Motivasional dan Uses and Gratification
Apa yang mendorong kita untuk menggunakan media? Mengapa kita senang acara X dan
membenci acara Y? Bila anda kesepian, mengapa anda lebih senang mendengarkan musik
klasik dalam radio daripada membaca novel? Apakah media massa berhasil memenuhi
kebutuhan kita? Inilah diantara sekian banyak pertanyaan yang berkeannan denga uses and
gratification.
Menurut para pendirinya, Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevith, uses and
gratification meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan
harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola
terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan akibat-akibat lain, barangkali termasuk juga yang
tidak kita inginkan (Katz, Blumler, Gurevitch, 1974:20). Mereka juga merumuskan asumsiasumsi dasar dari teori ini:
1) Khalayak dianggap aktif; artinya, sebagian penting dari penggunaan media massa
diasumsikan mempunyai tujuan.
2) Dalam proses komuniaksi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan
kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
3) Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan
kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah bagian dari rentangan
kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui
konsumsi media amat bergantung kepada perilaku khalayak yang bersangkutan.
4) Banyak tujuan pemilihan media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota
khalayak; artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan
dan motif pada sitausi-sitausi tertentu.
5) Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti
lebih dahulu orientasi khalayak. (Blumler dan Katz, 1974:22)
2016
11
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Model used and gratification memandang individu sebagai mahluk supra rasional dan
sangat selektif. Ini memamng mengundang kritik. Tetapi yang jelas, dalam model ini
perhatian bergeser dari proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan.
dibandingkan dengan model jarum hipodermis, model uses and gratication mempunyai
kelebihan dan kekurangannya.
Berdasarkan berbagai “aliran” dalam psikologi motivasional, William J. McGuire (1974)
menyebutkan 16 motif. Mula-mula motif dikelompokkan pada dua kelompok besar: motif
kognitif (berhubungan dengan pengetahuan) dan motif afektif (berkaitan dengan
“perasaan”). Selanjutnya, dalam setiap kategori ditunjukkan dua fokus perhatian:
pertumbuhan diri dan pemeliharaan diri – perkembangan dan stabilitas. Dengan melihat
inisiatif perilaku manusia ditambahkan lagi dimensi pasif dan aktif. Dari segi oreintasi tujuan
disebutkan lagi dimensi internal dan eksternal. Terbentuklah matriks 16 sel yang manis
(Dalam tulisan-tulisan yang lain, memang McGuire sering tidak lupa membuat matriks –
misalnya McGuire 1969 dan McGuire, 1981).
Motif Kognitif dan Gratifikasi Median
Motif kognitif menekankan kebutuham manusia akan informasi dan kebutuhan untuk
mencapai tingkat ideasional tertentu. Motif afektif menekankan aspek perasaan dan
kebutuhan mencapai tingkat emosional tertentu.
Pada kelompok motif kognitif yang berorientasi pada pemeliharaan keseimbangan, McGuire
menyebut empat teori: teori konsistensi yang menekankan kebutuhan individu untuk
memelihara orientasi eksternal pada lingkungan. Teori kategorisasi yang menjelaskan upaya
manusia untuk memberikan makna tentang dunia berdasarkan kategori internal dalam diri
kita; dan teori objektifikasi yang menerangkan upaya manusia untuk memberikan makna
tentang dunia berdasarkan hal-hal eksternal.
Teori Konsistensi – yang mendominasi penelitian psikologi sosial pada tahun 1960-an –
memandang manusia sebagai makhluk yang dihadapkan pada berbagai konflik. Konflik itu
mungkin terjadi di antara beberapa kepercayaan yang dimilikinya (seperti antara “merokok
itu merusak kesehatan” dan “merokok itu membantu proses berpikir”), atau di antara
beberapa hubungan sosial (seperti “Saya menyukai Diah”, “Diah membenci Amir”,
sedangkan “Saya menyukai Amir”), atau di antara pengalaman masa lalu dan masa kini.
Dalam suasana konflik, manusia resdan berusaha mendamaikan konflik itu dengan sedapat
mungkin mencari kompromi. Kompromi diperoleh dengan rasionalisasi (“Tetapi rokok yang
2016
12
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
saya isap sudah di saring filter”), atau melemahkan salah satu kekuatan penyebab konflik
(“Saya tidak begitu senang pada Amir”). Dalam hubungan ini, komunikasi massa
mempunyai potensi untuk menyampaikan informasi yang menggoncangkan kestabilan
psikologis individu. Tetapi, pada saat yang sama, karena individu mempunyai kebebasan
untuk memilih isi media, media massa memberikan banyak peluang untuk memenuhi
kebutuhan akan konsistensi. Sikap politik tertentu yang bertabrakan dengan kenyataan
dapat diperkokoh oleh pemberitaan surat kabar yang sepihak. Media massa juga
menyajikan berbagai rasionalisasi, justifikasi, atau pemecahan persoalan yang efektif.
Komunikasi massa kadang-kadang lebih efektif daripada komunikasi interpersonal, karena
melalui media massa orang menyelesaikan persoalan tanpa terhambat oleh gangguan
seperti yang terjadi dalam situasi komunikasi interpersonal.
Teori atribusi yang berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an memandang individu
sebagai psikolog amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai
peristiwa yang dihadapinya. Ia mencoba menemukan apa penyebabnya apa, atau apa yang
mendorong siapa melakukan apa. Respons yang kita berikan pada suatu peristiwa
bergantung pada interpretasi kita tentang peristiwa itu. Kita tidak begitu gembira dipuji oleh
orang banyak yang – menurut persepsi kita – menyampaikan pujian kepada kita karena
ingin meminjam uang. Kita sering dipuji oleh orang asing yang – menurut persepsi kita –
memberikan pujian yang objektif.
Teori Kategorisasi memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengelompokkan
pengalamannya dalam kategorisasi yang sudah dipersiapkannya. Untuk setiap peristiwa
sudah disediakan tempat dalam prakonsepsi yang dimilikinya. Dengan cara itu individu
menyederhanakan pengalaman, tetapi juga membantu mengkoding pengalaman dengan
cepat. Menurut teori ini orang memperoleh kepuasan apabila sanggup memasukkan
pengalaman dalam kategori-kategori yang sudah dimilikinya, dan menjadi kecewa bila
pengalaman itu tidak cocok dengan prakonsepsinya. Pandangan ini menunjukkan bahwa isi
komunikasi massa, yang disusun berdasarkan alur-alur cerita tertentu, dengan mudah
diasimilasikan pada kategori yang ada. Bermacam-macam upacara, pokok dan tokoh, dan
kejadian-kejadian biasanya ditampilkan sesuai dengan kategori yang sudah diterima.
Ilmuwan yang berhasil karena kesungguhannya, pengusaha yang sukses karena bekerja
keras, dan proyek-proyek pembangunan yang menyejahterakan rakyat adalah contohcontoh peristiwa yang memperkokoh prakonsepsi bahwa kerja keras, kesungguhan, dan
usaha melahirkan manfaat.
2016
13
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori objektifikasi memandang manusia sebagai makhluk yang pasif, yang tidak berpikir,
yang selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk eksternal untuk merumuskan konsep-konsep
tertentu. Teori ini menyatakan bahw kita mengambil kesimpulan tentang diri kita dari perilaku
yang tampak. Kita menyimpulkan bahwa kita menyenangi satu acara radio karena kita selalu
mendengarkannya.
Keempat teori di atas (konsistensi, atribusi, kategorisasi, dan objektifikasi) menekankan
aspek kognitif dari kebutuhan manusia, yang bertitik tolak dari individu sebagai mahluk yang
memelihara stabilitas psikologisnya. Empat teori kognitif berikutnya – otonomi, stimulasi,
teori berusaha mengembangkan kondisi kognitif yang dimilikinya.
Teori otonomi, yang dikembangkan oleh psikolog-psikolog mazhab humanistik, melihat
manusia sebagai mahluk yang berusaha mengaktualisasikan dirinya sehingga mencapai
identitas kepribadian yang otonom. Dalam kerangka teori inti, kepribadian manusia
berkembang melewati beberapa tahap sampai ia memiliki makna hidup yang terpadu.
Teori stimulasi memandang manusia sebagai mahluk yang “lapar stimuli”, yang sennatiasa
mencari pengalaman-pengalaman baru, yang selalu berusaha memperoleh hal-hal yang
memperkaya pemikirannya. Hasrat ingin tahu, kebutuhan untuk mendapat rangsangan
emosional, dan keinginan untuk menghindari kebosanan merupakan kebutuhan dasar
komunikasi. Komunikasi massa menyajikan hal-hal yang baru, yang aneh, yang spektakuler,
yang menjangkau pengalaman-pengalaman yang tidak terdapat pada pengalaman individu
sehari-hari. Televisi, radio, film, dan surat kabar mengantarkan orang pada dunia yang tidak
terhingga – baik dengan kisah-kisah fantastis mampu peristiwa-peristiwa aktual. Dengan
menggunakan istilah Daniel Lerner, media massa menyajikan pengalaman buatan (vicarious
experience).
Teori teleologis memandang manusia sebagai mahluk yang berusaha mencocokkan
persepsinya tentang situasi sekarang dengan representasi internal dari kondisi yang
dikehendaki. Teori ini menggunakanan komputer sebagai analogi otak. Dalam kerangka
teori ini media massa merupakan sumber pemuasan kebutuhan yang subur. Isi media
massa sering memperkokoh moralitas konvensional dan menunjukkan bahwa orang yang
berpegang teguh kepadanya memperoleh ganjaran dalam hidupnya. Selain itu cerita-cerita
yang mengisahkan tokoh-tokoh yang menyimpang, tetapi kemudian berhasil dalam
hidupnya memberikan konfirmasi pada orang-orang yangs ekarang berperilaku tidak
konvensional.
2016
14
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori utilitarian memandang individu sebagai orang yang memperlakukan setiap situasi
sebagai peluang untuk memperoleh informasi yang berguna atau keterampilan baru yang
diperlukan dalam menghadapi tantangan hidup.dalam teori, hidup dipandang sebagai satu
medan yang penuh tantangan, tetapi juga yang dapat diatasi dengan informasi yang
relevan. Komunikasi massa dapat memberikan informasi, pengetahuan dan keterampilan
seperti – walaupun tidak sama – apa yang dapat diberikan oleh lembaga-lembaga
pendidikan.
Motif Afektif dan Gratifikasi Media
Delapan teori diatas berkenaan dengan aspek-aspek kognitif, delapan teori yang berikutnya
berkenaan dengan motif afektif yang ditandai oleh kondisi perasaan atau dinamika yang
menggerakkan manusia mencapai tingkat perasaan tertentu. Seperti diatas, kit akan
memulai dengan motif-motif yang ditujukan untuk memelihara stabilitas psikologis dan motifmotif yang mengembangkan kondisi psikologis. Pada kelompok pertama kita masukkan teori
reduksi tegangan, teori ekspresif, teori egodefensif, dan teori peneguhan. Pada kelompok
kedua kita masukkan teori penonjolan, teori afiliasi, teori identifikasi, dan teori peniruan.
Teori reduksi tegangan memandang manusia sebagai sistem tegangan yang memperoleh
kepuasan pada pengurangan ketegangan. Manusia dipandang sebagai mahluk yang
mencoba mencapai suasana “nirwana”. Orang berusaha menghilangkan atau mengurangi
tegangan dengan mengungkapkannya. Tegangan emosional karena marah berkurang
setelah kita mengungkapkan kemarahan itu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ungkapkan perasaan dipandang dapat berfungsi sebagai katarsis atau pelepas tegangan.
Teori ekspresif menyatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam mengungkapkan
eksistensi dirinya – menampakkan perasaan dan keyakinannya. Latihan yang berat untuk
memperoleh keterampilan fisik, mislanya, terasa menyenangkan karena memberikan
tantangan untuk menunjukkan kemampuan diri. Komunikasi massa mempermudah orang
untuk berfantasi, melaui identifikasi dengan tokoh-tokoh yang disajikan sehingga orang
secara tidak langsung mengungkapkan perasaannya. Media massa bukan saja membantu
orang untuk mengembangkan sikap tertentu, tetapi juga menyajikan berbagai macam
permainan untuk ekspresi diri: misalnya teka-teki silang, kontes, novel misterius, acara kuiz
televisi.
Teori ego-defensif beranggapan bahwa dalam hidup ini kita mengembangkan citra diri yang
tertentu dan kita berusaha untuk mempertahankan citra diri ini serta berusaha hidup sesuai
dengan diri dan dunia kita. Kita berpegang teguh pada konsep diri ini karena kita
2016
15
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
membentuknya dengan susah payah. Bila terjadi peristiwa yang tidak sesuai dengan konsep
diri, kita menggunakan mekanisme pertahanan ego yang diuraikan oleh kelompok psikolog
dari mazhab psikoanalisis, misalnya rasionalisasi, personifikasi, pembentukan reaksi, dan
sebagainya.
Teori peneguhan memandang bahwa orang dalam sitausi tertentu akan bertingkah laku
dengan suatu cara yang membawanya kepada ganjaran seperti yang telah dialaminya pada
waktu lalu. Menurut kerangka teori ini, orang menggunakan media massa karena
mendatangkan ganjaran berupa informasi, hiburan, hubungan dengan orang lain, dan
sebagainya.
Teori
penonjolan
(assertion)
memandang
manusia
sebagai
mahluk
yang
selalu
mengembangkan seluruh potensinya untuk memperoleh penghargaan dari dirinya dan dari
orang lain. Manusia ingin mencapai prestasi, sukses, dan kehormatan. Masyarakat
dipandang sebagai suatu perjuangan di mana setiap orang ingin menonjol dari yang lain.
Dalam bahasa Hobbes, masnusia adalah srigala bagi manusia lain (homo homini lupus).
Dalam konsepsi Alfred, manusia bergerak karena didorong oleh keinginan berkuasa. Dalam
tilikan David McClelland, , ini disebutnya hasrat berprestasi (need for achievement).teori
penonjolan yang menekankan motif agresi dan berkuasa memang tidak terlalu berhasil
dapat dipuaskan komunikasi massa.
Teori afiliasi (affiliation) memandang manusia sebagai makhluk yang mencari kasih sayang
dan penerimaan orang lain. Ia ingin memelihara hubungan baik dalam hubungan
interpersonal dengan saling membantu dan saling mencintai. Dalam hubungannya dengan
gratifikasi media, banyak sarjana ilmu komunikasi yang menekankan fungsi media massa
dalam menghubungkan individu dengan individu lain. Lassewell (1948) menyebutnya fungsi
“correlation”. Asumsi pokok dari Kartz, Gurevitz, dan Hass adalah pandangan bahwa
komunikasi massa digunakan individu untuk menghubungkan dirinya – melalui hubungan
instrumental, afektif, dan integratif – dengan orang-orang lain (diri, keluarga, kawan, bangsa,
dan sebagainya). Isi media menegaskan kembali fungsi khalayak sebagai peserta dalam
drama kemanusiaan yang lebih luas. Tidak jarang isi media massa juga dipergunakan orang
sebagai bahan percakapan dalam membina sahabat akrab bagi khlayaknya yang setia. Di
negara-negara maju – mislanya Amerika serikat – televisi telah menjadi orangtua kedua
(bahkan orantua pertama) bagi nak-anak; penghibur bagi mereka yang frustasi, dan kawan
setia bagi mereka yang kesepian.
2016
16
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori identifikasi melihat manusia sebagai pemain peranan yang berusaha memuaskan
egonya dengan menambahkan pernan yang memuaskan pada konsep dirinya. Kepuasan
diperoleh bila orang memperoleh identitas peranan tambahan yang meningkatkan konsep
dirinya.
Teori Peniruan (modeling theories) hampir sama dengan teori identifikasi, memandang
manusia sebagai mahluk yangs ellau mengembangkan kemampuan afektifnya. Tetapi,
berbeda dengan teori identifikasi, teori peniruan menekankan orientasi eksternal dalam
pencarian gratifikasi. Di sini, individu dipandang secara otomatis cenderung berempati
dengan
perasaan
orang-orang
yang
diamatinya
dan
meniru
perilakunya.
Kita
membandingkan perilaku kita dengan orang yang kita amati, yang berfungsi sebagai model.
Efek Komunikasi Massa
Pendekatan uses and gratification mempersoalkan apa yang dilakukan orang pada media,
yakni menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya. Umumnya kita lebih tertarik bukan
kepada apa yang kita lakukan pada media, tetapi kepada apa yang dilakukan media pada
kita. Kita ingin tahu bukan untuk apa kita membaca surat kabar atau menonton televisi,
tetapi bagiaman surat kabar dan televisi menambah pengetahuan, mengubah sikap, atau
menggerakkan perilaku kita. Inilah yang disebut sebagai efek komunikasi massa.
Kita pernah terkejut mendengar beberapa orang remaja yang memperkosa anak kecil
setelah menonton film porno di suatu tempat di Indonesia; atau beberapa orang pemuda
berndal yang membakar seorang wanita di Boston setelah menyaksikan adegan yang sama
pada film malam Minggu yang disiarkan televisi ABC. Pada saat yang sama, kita juga
percaya bahwa surat kabar dapat menambah pernedaharaan pengetahuan kita sehingga
kita masukkan koran ke desa, walaupun rakyat desa lebih memerlukan subsidi makanan
yang bergizi. Kita menaruh perhatian pada peranan televisi dalam menanamkan mentalitas
pembangunan, sehingga kita bersedia meminjam uang untuk membeli satlit komuniaksi.
Semuanya didasarkan pada asumsi bahwa komunikasi massa menimbulkan efek pada diri
khalayaknya.
2016
17
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Efek Kehadiran Media Massa
Menurut Mc Luhan, bentuk media saja sufah mempengaruhi kita. “The medium is the
message,” ujar McLuhan. Medium saja sudah menjadi pesan. ia bahkan menolak pengaruh
isi pesan sama sekali. Yang mempengaruhi kita bukan apa yang disampaikan media, tetapi
jenis media komunikasi yang kita pergunakan – interpersonal, media cetak, atau televisi.
Teori McLuhan, disebut teori perpanjangan alat indra (sense extension theory), menyatakan
bahwa media adalah perluasan dari alat indra manusia; telepon adalah perpanjangan telinga
dan televisi adalah perpanjangan mata. Seperti Gatutkaca, yang mampu melihat dan
mendengar dari jarak jauh, begitu pula manusia yang menggunakan media massa.
McLuhan menulis, Secara operasional dan praktis, medium adalah pesan. ini berarti bahwa
akibat-akibat personal dan sosial dari media – yakni karena perpanjangan diri kita – timbul
karena skala baru yang dimasukkan pada kehidupan kita oleh perluasan diri kita atau oleh
teknologi baru ...... media adalah pesan karena media membentuk dan mengendalikan skala
serta bentuk hubungan dan tindakan manusia.” (McLuhan, 1964: 23 – 24)
Walaupun kita tidaks etuju sepenuhnya dengan McLuhan – misalnya bahwa isi pesan tidak
mempengaruhi khalayak – kita sepakat dengannya tentang adanya efek media massa dari
kehadirannya sebagai benda fisik. Steven H. Chaffe menyebut lima hal: (1) efek ekonomis,
(2) efek sosial, (3) efek pada penjadwalan kegiatan, (4) efek pada penyaluran/penghilangan
perasaan tertentu, dan (5) efek pada perasaan orang terhadap media.
Efek Kognitif Komunikasi Massa
Suatu hari anda berjumpa dengan seekor (atau seorang) mahluk aneh di atas meja anda.
Anda tidak pernah mengenal mahluk itus ebelumnya, dalam dunia nyata, dalam buku, atau
pada cerita-cerita yang pernah anda dengar. Mahluk itu betul-betul asing. Ia memandang
anda dengan tatapan yang tidak berkedip. Apa yang akan anda lakukan? Anda akan
kebingungan; tetapi anda tidak tahu harus diapakan mahluk itu. Anda mungkin
mengambilnya, tetapi anda ragu jangan-jangan ia berbisa. Anda mungkin membentaknya,
tetapi siapa tahu ia meloncat dan hinggap di hidung anda. Mahluk itu tidak ada dalam
organisasi kognitif anda. Anda tidak memiliki inforamsi apa pun tentang dirinya.
Wilbur Schramm (1977:13) mendefinisikan informasi sebagai segala sesuatu “yang
mengurangi ketidakpastian atau mengurangi jumlah kemungkinan alternatif dalam sitausi.
“misalkan, seorang insinyur genetis datang dan memberitahukan bahwa mahluk itu adalah
2016
18
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
“chimera”, hasil perkawinan gen manusia dengan gen monyet. Ketidakpastian anda
berkurang, dan alternatif tindakan yang harus anda lakukan juga berkurang, dan alternatif
tindakan yang harus anda lakukan juga berkurang. Bila setelah anda tanyakan – mahluk itu
ternyata jinak dan cerdas, maka makin sedikit alternatif tindakan anda. Sekarang realitas di
depan anda bukan lagi realitas tak berstruktur. Informasi yang anda peroleh telah
menstruktur atau mengorganisasikan realitas. Realitas itu sekarang tampak sebagai
gambaran yang mempunyai makna. Gambaran disebut lazim disebut citra (image), yang
menurut Roberts (1977) “representing the totality of all information about the word any
individual has processed, organized, and atored” (menunjukkan keseluruhan informasi
tentang dunia ini yang telah diolah, diorganisasikan, dan disimpan individu).
Citra adalah peta anda tentang dunia. Tanpa citra anda akan selalu berada dalam suasana
yang tidak pasti. Citra adalah gambaran tentang realitas dan tidak harus selalu sesuai
dengan realitas. Citra adalah dunia menurut persepsi kita. Walter Lippman (1965)
menyebutnya “pictures in our head”. Lippman bercerita tentang suatu koloni yang dihuni
orang Prancis dan Jerman. Mereka hidup rukun, sampai satu saat mengetahui bahwa di
Eropa kedua bangsa itu sudah berperang selama lebih dari enam minggu. Sekarang, citra
Jerman berubah bagi orang Prancis; mereka musuh orang Prancis. Tetapi enam minggu
telah bersahabat dengan musuh.
Kita agak banyak mengulas tentang citra, sebelum membicarakan efek kognitif komunikasi
massa, “Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu”. Ujar Roberts
(1977), “tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita berperilaku.
“ Demikian pula komunikasi massa. Kita akan memulai menelaah efek kognitif komunikasi
pada pembentukan dan perubahan citra. Setelah itu, kita akan memperkenalkan teori
Agenda Setting, yang sebelumnya merupakan sofistikasi (pencanggihan, penguraian) dari
pembentukan citra. Akhirnya, akan kita laporkan efek prososial kognitif media massa, yakni
begaimana media massa membantu khalayak mempelajari informasi yang bermanfaat dan
mengembangkan keterampilan kognitif.
Pembentukan dan Perubahan Citra
Seeperti telah dijelaskan di muka, citra terbentuk berdasarkan informasi yang kita terima.
Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi. Buat khalayak, informasi itu dapat
membentuk, mempertahankan atau mendefinisikan citra.
Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat indra kita. Dengan media massa
kita memperoleh informasi tentang benda, orang, atau tempat yang tidak kita alami secara
2016
19
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
langsung. Dunia ini terlalu luas untuk kita masuki semuanya. Media massa datang
menyampaikan inforamsi tentang lingkungan sosial dan politik; televisi menjadi jendela kecil
untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh dari jangkauan alat indra kita – Libanon, El
Salvador, inggris, Iran, dan sebagainya; surat kabar menjadi teropong kecil untuk melihat
gejala-gejala yang terjadi waktu ini di seluruh penjuru bumi; buku kadang-kadang bisa
menjadi kapsul waktu yang membawa kita ke masa lalu, masa kini, dan masa yang akan
datang; film menyajikan pengalaman imajiner yang melintas ruang dan waktu.
Agenda Setting
Kemmapuan media massa untuk mempengaruhi apa yang dianggap penting oleh
masyarakat disebut agenda setting. Media massa memang tidak menentukan “what to
think”, tetapi mempengaruhi “ehat to think about”. Dengan memilih berita tertentu dan
mengabaikan yang lain, media membentuk citra atau gambaran dunia kita seperti yang
disajikan dalam media massa.
Efek Prososial Kognitif
Bila televisi, radio, surat kabar menyampaikan informasi atau nilai-nilai yang berguna,
apakah khalayknya akan memperoleh manfaat? Disini kita membicarakan bagaimana media
massa memberikan manfaat yang dikehendaki oleh masyarakat. Inilah yang kita sebut efek
prososial. Bila televisi menyebabkan anda mengerti tentang bahasa Indonesia yang baik
dan benar, televisi telah menimbulkan efek prososial kognitif. Bial majalah menyajikan
penderitaan Rakyat miskin di pedesaan, dan hati anda tergerak untuk menolong mereka,
media massa telah menghasilkan efek prososial afektif. Bila surat kabar membuka dompet
bencana alam, menghimbau anda untuk menyumbang, lalu anda mengirimkan wesel pos ke
surat kabar tersebut, maka terjadilah efek prososial behavioral.
Efek Afektif Komunikasi Massa
Pembentukan dan Perubahan Sikap
Ketika Carl I Hovland meneliti pengaruh film pada kelompok angkatan bersenjata di
Amerika, ia ingin mengetahui efek media massa dalam pembentukan dan perubahan sikap.
Sayang sekali, penelitian itu hanya sampai di laboratorium. Selama bertahun-tahun setelah
itu, seperti dinyatakan Walter Weiss (1969:101). “Kebanyakan penelitian yang biasanya
dikutip dalam membicarakan efek komunikasi massa terhadap pendapat dan sikap, telah
dilakukan dengan prosedur eksperimental yang mencakup penerapan secara paksa
2016
20
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
khalayak terpilih pada komuniaksi yang tunggal. “Hasil penelitian itu umumnya menunjukkan
sedikit sekali bukti yang menunjukkan adanya efek media massa pada perubahan sikap.
Pada tahun 1960, Joseph Klapper melaporkan hasil epnelitian yang komprehensif tenatng
efek media massa. Dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap,
pengaruh media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum:
1. Pengaruh komuniaksi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi
personal, proses selektif, keanggotaan kelompok (atau hal-hal yang dalam buku ini
disebut faktor personal).
2. Kerana faktor-faktor ini, komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap
dan pendapat yang ada, awalaupun kadang-kadang berfungsi sebagai media
pengubah (agen of change)
3. Bila komuniaksi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada
intensitas sikap lebih umum terjadi daripada “konversi” (perubahan seluruh sikap)
dari satu sisi masalah ke sisi yang lain.
4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang di
amna pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial.
5. Komunikasi massa cukup afektif dalam menciptakan pendapat tentang masalahmasalah baru bila tidak ada predisposisi yang harus diperteguh (Oskamp, 1977:149).
Rangsangan Emosioanal
Anda mungkin mengalami atau melihat orang lain pernah mengalami perasaan sedih dan
menangis terisak-isak ketika menyaksikan adegan yang mengharukan dalam sandiwara
televisi atau film. Kita mengenal film-film “cengeng” yang mendramatisasikan tragedi. Kita
juga mengetahui novel-novel melankolis yang dimaksudkan untuk meneteskan air mata
pembacanya. Jutaan rakyat India menangis menyaksikan siaran kematian Indira Gandhi;
jutaan rakyat Iran meneteskan air mata ketika kematian Ayatullah Muttahhari dipancarkan
stasiun radio dan televisi; dan jutaan rakyat Amerika tindak sanggup menahan keharuan
yang mendalam ketika penembakan Kennedy mereka saksikan di layar televisi. Karen aitu,
peneliti komunikasi terusik untuk bertanya: apakah media massa memang menimbulkan
rangsangan emosioanl?
Menjawab pertanyaan itu dengan penelitian empiris tidaklah mudah. Penelitian mengalami
kesukaran untuk mmengukur emosi sedih, gembira, atau takut sebagai akibat pesan media
massa. Kita tidak dapat mengukur efek emosional sebuah film tragedi dengan menampung
air mata penonton yang tumpah; tidak juga mampu mengukur kegembiraan dengan
mengukur kerasnya suara tertawa ketika bereaksi pada suatu adegan lucu. Tetapi para
2016
21
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
peneliti telah berhasil menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas rangsangan
emosional pesan media massa. Faktor-faktor itu, antara lain, suasana emosional (mood),
skema kogntitif, suasana terpaan, predisposisi individual, dan tingkat identifikasi khalayak
dengan tokoh dalam media massa (Weiss, 1969, V:52-99).
Rangsangan Seksual
Sejenis rangsangan emosional yang banyak dibicarakan orang adalah rangsangan seksual
akibat adegan-adegan merangsang dalam media massa. Bahan-bahan erotis dalam televisi,
film, majalah, buku, dan sebagainya, biasanya disebut “pornografi”. Karena istilah ini terlalu
abstrak, beberapa orang ahli menggunakan istilah SEM (sexually explicit materials) atau
erotika (TAN, 1981: 231-242). Diduga oleh kebanyakan orang bahwa erotika merangsang
gairah seksual, meruntuhkan nilai-nilai moral, mendorong orang gila seks, atau
menggalakkan perkosaan. Di sini, kita mencoba menjawab pertanyaan: Betulkah erotika
merangsang gairah seksual?
The Commission on Obscenity and Pornography di Amerika Serikat Mencoba menjawab
pertanyaan diatas dengan penelitian yang cukup luas. Di antara kesimpulan-kesimpulan
penelitian itu dinyatakan bahwa terpaan erotika – walaupun singkat – membangkitkan gairah
seksual pada kebanyakan pria dan wanita; di samping itu ia juga menimbulkan reaksi-reaksi
emosional lainnya seperti “resah”, “impulsif”, “agresif”, dan “gelisah”.
Penelitian diatas merruapkan proyek besar dan nasional. Hasilnya membenarkan anggapan
kebanyakan orang bahwa materi erotika bukan hanya hiburan yang netral. Pornografi
terbukti membangkitkan rangsangan seksual. Yang belum terjawab dalam penelitian itu –
sebenarnya bahkan yang paling menarik perhatian kita – ialah: mengapa orang bisa
terangsang secara seksual oleh media erotika, padahal rangsangan seksual adalah hal
yang biologis; pesan media massa yang bagaimana yang sangat merangsang; dan – yang
mengehrankan kita mengapa sepanjang zaman manusia selalu menyukai stimuli erotis.
Stimuli erotis adalah stimuli yang membangkitkan gairah seksual – internal dan eksternal.
Stimuli internal ialah perangsang yang timbul dari mekanisme dalam tubuh organisme –
misalnya pada binatang ialah adanya perubahan hormonal pada bulan-bulan tertentu yang
merupakan musim berkelamin. Stimuli eksternal meruapkan petunjuk-petunjuk (cues) yang
bersifat visual, berupa bau-bauan (olfactory), sentuhan (tactual), atau gerakan (kinesthetic).
2016
22
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Efek Behavioral Komunikasi Massa
Apakah media erotika, selain merangsang gairah seksual, juga menimbulkan perilaku
seksual yang menyimpang? Apakah adegan kekerasan dalam televisi atau film
menyebabkan orang beringas? Apakah siaran kesejahteraan keluarg dalam televisi
menyebabkan ibu-ibu rumah tangga memiliki keterampilan baru? Pertanyaan-pertanyaan ini
mencoba mengungkapkan efek komunikasi massa pada perilaku khalayknya, pada tindakan
dan gerakan yang tampak dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Pada waktu membicarakan efek kehadiran media massa, secara sepintas kita juga telah
menyebutkan efek behavioral seperti pengalihan kegiatan dan penjadwalan pekerjaan
sehari-hari. Di situ, kita melihat pada media massa samata-mata sebagai benda fisik. Di sini,
kita meneliti juga efek pesan media massa pada perilaku khalayak. Perilaku meliputi bidang
yang luas; yang kita pilih – dan yang paling sering dibicarakan – ialah efek komuniaksi
massa pada perilaku sosial yang diterima (efek prososial behavior) dan pada perilaku
agresif.
Efek Prososial Behavioral
Salah satu perilaku prososial ialah memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan
bagi orang lain. Keterampilan seperti ini biasanya diperoleh dari saluran-saluran
interpersonal: orangtua, atasan, pelatih, atau guru. Pada dunia modern, sebagian dari tugas
mendidik telah juga dilakukan media massa. Buku, majalah, dan surat kabar sudah kita
ketahui mengajarkan kepada pembacanya berbagai keterampilan. Buku teks menyajikan
petunjuk penguasaan keterampilan secara sistematis dan terarah. Majalah profesi
memberikan resep-resep praktis dalam mengatasi persoalan. Surat kabar membuka
berbagai ruang keterampilan seperti potografi, petunjuk komputer mini, ersep makanan, dan
sebagainya. Yang sering diragukan orang adalah pengaruh prososial behavioral media
elektronis seperti radio, televisi, atau film.
Agresi sebagai Efek Komunikasi Massa
Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang
diamatinya; stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Orang belajar bahasa Indonesia yang
baik setelah mengamatinya dalam televisi. Wanita juga meniru potongan rambut Lady Di
yang disiarkan dalam media massa. Selanjutnya, juga menduga bahwa penyajian cerita
atau adegan kekerasan dalam media massa akan menyebabkan orang melakukan
kekerasan pula; denga kata lain, mendorong orang menjadi agresif. Benarkah media massa
menggalakkan agresi? Sebelum menjawab pertanyaan ini, untuk membentuk pengertian
2016
23
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang sama, marilah kita definisikan dahulu agresi sebagai “setiap bentuk perilaku yang
diarahkan untuk merusak atau melukai orang lain yang menghindari perlakuan seperti itu”
(baron dan Byrne, 1979:405). Kita juga akan membatasi uraian kita pada efek dengan
kekerasan dalam televisi (atau film) terhadap perilaku agresif penontonnya. Kebetulan pada
bidang inilah banyak dilakukan studi tentang efek media pada agresi.
Dalam film (televisi) sering disajikan adegan pembunuhan, pemerkosaan, perusakan, dan
sebagainya, yang merusak atau mencelakakan orang lain. Adegan kekerasan ini biasanya
dianggap sebagai bagian yang “ramai” dari penyajian film. Penonton menyukainya, dan
produser tentu saja menyukainya pula. Bersama dengan adegan seks, adegan kekerasan
adalah pemancing penonton yang paling manjur. Akibatnya, persentase film-film tersebut
makin meningkat. Di Indonesia, belakangan gejala seperti ini mulai menonjol.
Teori-teori Efek Sosial Komunikasi Massa
Disini kita akan membicarakan teori Harold Adams Innis dan Marshall McLuhan. Menurut
Innis (1951), media massa mempengaruhi bentuk-bentuk organisasi sosial. Setiap media
memiliki kecenderungan memihak raung atau waktu – Communication bias. Perekam pesan
zaman dahulu – seperti batu, tanah liat, kulit kayu – sukar diangkut ke tempat-tempat jauh,
tetapi tahan lama. Ini berarti bias pada waktu. Kertas cetak, sebaliknya, mudah diangkut ke
mana pun, tetapi tidak begitu than lama. Media cetak bias pada ruang. Bila komuniaksi yang
dilakukan bias pada ruang – artinya, pesan dapat disampaikan ke tempat-tempat yang jauh
– orang cenderung bergerak ke tempat-tempat yang jauh, sehingga terjadi ekspansi
teritorial, mobilisasi penduduk secara horizontal, dan kekaisaran. Sebaliknya, bila
komuniaksi bias pada waktu, orang tinggal pada suatu ruang yang terbatas, pada kelompok
yang terikat erat karena sejarah, tradisi, agama, dan keluarga. Bias waktu membawa ke
masa lalu, bias ruang membawa ke masa depan. Dengandemikian, setiap media
komunikasi membentuk jenis kebudayaan tertentu. Media lisan mengandung bias waktu,
karena sukar didengar dari jarak jauh. Ini melahirkan masyarakat tradisional dan kekuasaan
kelompok agama serta orang-orang tua. Media tulisan memiliki bias ruang. Ini melahirkan
masyarakat yang menolak tradisi, meninggalkan mitos dan agama, serta berorientasi pada
masa depan.
Dari Innis, McLuhan belajar banyak. Dipoles denganteori SapirWhorf yang menyatakan
bahwa bahasa mempengaruhi cara berpikir, lahirlah teori “Medium is the message” (Sekalisekali dengan lincah McLuhan menggantinya menjadi “medium is the message” atau
“medium is the message”). Menurut McLuhan, setiap media mempunyai tata bahasanya
sendiri. Yang dimaksud dengan tata bahasa ialah seperangkat peraturan yang erat
2016
24
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya dengan pengunaan media.
Setiap tata bahasa media memiliki kecenderungan (bias) pada alat indra tertentu. Media
adalah perpanjangan alat indra: pidato adalah perpanjanagan suara, media cetak adalah
perpanjangan penglihatan, radio perpanjangan pendengaran, dan televisi perpanjangan alat
indra peraba (meraba, menyentuh, dan sistem syaraf). Karena media bias pada alat indra
tertentu, media mempunyai pengaruh yang berbeda pada perilaku manusia yang
menggunakannya. Media lisan bias pada suara dan melahirkan keakraban sosial dan
kehidupan berkelompok. Media cetak bias pada penglihatan dan melahirkan sistem
perseptual yang linear, urutan yang sekuensial, dan kecenderungan menata dan mengatur
berdasarkan susunan tertentu. Media lisan melahirkan ikatan sosial yang erat, media cetak
menimbulkan individualisme, dan televisi menyebabkan demokrasi kolektif. Menurut
McLuhan, televisi akan melahirkan desa dunia (global village), di mana orang-orang di
seluruh dunia berbagi
pengalaman dan aggasan secara serentak. Televisi juga
merangsang seluruh alat indra kita, mengubah persepsi kita, dan akhirnya mempengaruhi
perilaku kita.
DAFTAR PUSTAKA
Rakhmat, Jalaludin. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Pearce, B. W. (1989). Communication and the Human Condition. Illinois: Southern Illinois
University Press.
McQuail, Denis. (2011). Teori Komunikasi Massa. Jakarta. Penerbit Salemba Humanika.
2016
25
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download