L/O/KESMAS no.1 Juli `06 - Jurnal Kesehatan Masyarakat FKM UI

advertisement
.HVPDV
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Volume 9, Nomor 4, Mei 2015
ISSN 1907-7505
DAFTAR ISI
Artikel Penelitian
Prehipertensi pada Obesitas Abdominal............................................................................................. 293-299
Lia Churniawati, Santi Martini, Chatarina Umbul Wahyuni
Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri Koliform pada Air Minum Isi Ulang ............. 300-307
Rolan Sudirman Pakpahan, Intje Picauly, I Nyoman Widiarta Mahayasa
Akses Jaminan Kesehatan Nasional pada Pekerja Seks Perempuan .................................................. 308-314
Ni Made Sri Nopiyani, Putu Ayu Indrayathi, Rina Listyowati, I Ketut Suarjana, Pande Putu Januraga
Pengaruh Teknik Marmet terhadap Kelancaran Air Susu Ibu dan Kenaikan Berat Badan Bayi ....... 315-319
Anita Widiastuti, Siti Arifah, Wiwin Renny Rachmawati
Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan Pencetus..................................................................... 320-326
Ika Dharmayanti, Dwi Hapsari, Khadijah Azhar
Tingkat Primer................................ 327-332
Elda Nazriati, Nuzelly Husnedi
Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS.....................................................................333-339
Zahroh Shaluhiyah, Syamsulhuda Budi Musthofa, Bagoes Widjanarko
Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di Indonesia.................................................. 340-347
Suhaema, Herta Masthalina
Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika ................................................................................. 348-352
Rico Januar Sitorus, Merry Natalia
dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan ........................................................................ 353-361
Endang Sutisna Sulaeman, Bhisma Murti, Waryana
Ketidaktepatan Sasaran Jaminan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Kriteria Miskin Pendataan
Program Pelayanan Sosial...................................................................................................................362-368
!"#$%&&Aedes sp yang Terperangkap.............................. 369-374
W
#'TTTangga ..............................................375-381
Najmah, Fenny Etrawati, Yeni, Feranita Utama
!#Collaborative Governance dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan untuk
Menanggulangi HIV/AIDS................................................................................................................. 382-389
Argyo Demartoto
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 56/DIKTI/Kep/2012 tanggal 24 Juli 2012, Kesmas
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional diakui sebagai terbitan berkala ilmiah terakreditasi
Kesmas
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Volume 9, Nomor 4, Mei 2015
ISSN 1907-7505
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional merupakan jurnal yang memuat artikel hasil penelitian
maupun artikel telaahan undangan editor di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat dan diterbitkan setiap tiga
bulanan.
Ketua Editor
Dr. Dra. Dewi Susanna, MS
Anggota Editor
Dr. Dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)
Ir. Ahmad Syafiq, MSc, PhD (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)
dr. Zarfiel Tafal, MPH (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)
Doni Hikmat Ramdhan, SKM, MKKK, PhD (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)
Prof. Dr. Ir. Ahmad Solaeman, MS (Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor)
Prof. Dr. drh. Upik Kusumawati Hadi, MS (Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor)
dr. Yodi Mahendradhata, MSc, PhD (Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada)
Managing Editor
Desy Hiryani, SKM
Web Programmer
Eddy Afriansyah, SKom, MSi
Yoni Febrian Mulyono, SKom
Redaktur Bahasa
Ayu Lestari Purborini, SHum
Sekretaris Editor
Aziza Aulia Irfa, SKM
Distribusi
Rohaya
Diterbitkan oleh
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Gd. A Lt. 3 Rumpun Ilmu Kesehatan Kampus Baru UI, Depok 16424
Telp/Fax: (021)7864975/ (021)7863472, Hp. 0815-1141-6600
Email: [email protected] atau [email protected]
Website: http://jurnalkesmas.ui.ac.id
SURAT PEMBACA
Yth. Bapak/Ibu Penulis, Mitra Bebestari, Pelanggan, dan Pembaca
Dalam rangka menuju internasionalisasi jurnal, Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
mulai edisi Volume 10 Nomor 1 Agustus 2015 akan menerbitkan artikel dalam dua bahasa yaitu
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan perubahan jumlah halaman dari 100 halaman (14-15
artikel) menjadi 50 halaman (7-8 artikel). Untuk itu kami menghimbau kepada Bapak/Ibu untuk
mengirimkan artikel dalam bahasa Inggris melalui online pada website http://jurnalkesmas.ui.ac.id
Kami akan membantu menterjemahkan artikel Bapak/Ibu yang masih dalam bahasa Indonesia
dengan penambahan biaya. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sekretariat di email: [email protected] atau nomor kontak 081511416600. Kami mohon doa dan dukungan dari
Bapak/Ibu agar tujuan ini dapat terwujud dan terlaksana dengan sebaik-baiknya. Kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Bapak/Ibu dalam mempublikasikan artikel di jurnal kami dan kami menunggu sumbangan artikel Bapak/Ibu. (Redaksi)
Terhitung sejak edisi Volume 8 Nomor 1 Agustus 2013,
setiap artikel yang dipublikasi dikenakan biaya muat sebesar Rp.500.000 (lima ratus ribu rupiah)
Pembayaran ditransfer ke:
FKM UI
BANK BNI KANTOR CABANG UI DEPOK
NO REK. 0067984984
Bukti transfer dikirim ke:
Sekretariat Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Gd. A Lt. 3 Rumpun Ilmu Kesehatan Kampus Baru UI, Depok 16424
Telp/Fax: (021) 78849035, Hp. 0815-1141-6600
atau
Email: [email protected]
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
1. Jurnal ini memuat artikel di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat
Artikel Jurnal di Internet:
meliputi Epidemiologi, Biostatistik, Administrasi dan Kebijakan
Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the ANA acts
Kesehatan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kesehatan
in an advisory role. The American Journal of Nursing [serial on the
Lingkungan, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Gizi Kesehatan
Internet]. 2002 Jun [cited 2002 Aug 12]; 102 (6): [about 3 p.]. Available
Masyarakat, dan Kesehatan Reproduksi.
from:http://www.nursingworld.org/AJN/ 2002/june/Wawatch.htm.
2. Artikel yang diajukan berupa artikel penelitian dan artikel telaahan
Buku yang ditulis Individu:
undangan editor yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain
Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. Medical mi-
dan tidak sedang diajukan ke tempat lain dan bebas dari plagiasi.
crobiology. 4th ed. St. Louis: Mosby; 2002.
Setiap artikel masuk akan dilakukan pengecekan dengan aplikasi de-
Buku yang ditulis Organisasi dan Penerbit:
teksi plagiat Ithenticate.
Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clinical
3. Komponen Artikel:
Nursing. Compendium of nursing research and practice development,
• Judul dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ditulis maksimal
15 patah kata.
1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001.
• Identitas penulis ditulis di bawah judul memuat nama, alamat korespondensi, nomor telepon, dan email (hanya untuk penulis korespondensi).
Meltzer PS, Kallioniemi A, Trent JM. Chromosome alterations in hu-
• Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata, dalam satu alinea mencakup masalah, tujuan,
metode, hasil, disertai dengan 3-5 kata kunci.
Materi Hukum atau Peraturan:
• Pendahuluan berisi latar belakang, tinjauan pustaka secara singkat
dan relevan serta tujuan penelitian.
Queen’s Printer for Ontario; 1994.
• Metode meliputi desain, populasi, sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul data, dan prosedur analisis data.
Anderson SC, Poulsen KB. Anderson’s electronic atlas of hematology
• Hasil adalah temuan penelitian yang disajikan tanpa pendapat.
• Pembahasan menguraikan secara tepat dan argumentatif hasil
penelitian dengan teori dan temuan terdahulu yang relevan.
Buku di Internet:
• Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuai dengan penampilan dalam teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gambar
dengan judul singkat.
2001 [cited 2002 Jul 9]. A vailable from: http://www.
• Kesimpulan dan Saran menjawab masalah penelitian tidak melampaui kapasitas temuan. Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulan berbentuk narasi, logis, dan tepat guna.
4. Rujukan sesuai aturan Vancouver.
A.D.A.M. medical encyclopedia [Internet]. Atlanta: A.D.A.M., Inc.;
• Urutkan sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks dan diutamakan rujukan jurnal terkini
Canadian Cancer Society [homepage on the Internet]. Toronto: The
• Nama penulis dicantumkan nama belakang dan inisial nama depan
maksimal 6 orang selebihnya diikuti “dkk (et al)”
Bab dalam Buku:
man solid tumors. In: Vogelstein B, Kinzler KW, editors. The genetic
basis of human cancer. New York: McGraw-Hill; 2002. p. 93-113.
Regulated Health Professions Act, 1991, Stat. Of Ontario, 1991
Ch.18, as amended by 1993, Ch.37: office consolidation. Toronto:
CD-ROM:
[CD-ROM]. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.
Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer
[monograph on the Internet]. Washington: National Academy Press;
nap.edu/books/0309074029/html/.
Ensiklopedia di Internet:
c2005 [cited 2007 Mar 26]. A vailable from: http://www.
nlm.nih.gov/medlineplus/encyclopedia.html.
Situs Internet:
Society; 2006 [updated 2006 May 12; cited 2006 Oct 17]. Available
from: http://www.cancer.ca/.
5. Naskah maksimal 5000 kata A4 spasi ganda, ditulis dengan program
• Huruf pertama judul acuan ditulis dengan huruf kapital, selebihnya
dengan huruf kecil, kecuali nama orang, tempat, dan waktu. Nama
latin ditulis miring. Judul tidak boleh digaris bawah dan ditebalkan.
komputer Microsoft Word, softcopy artikel submit melalui website
• Contoh bentuk referensi:
Artikel Jurnal Penulis Individu:
penulis bermaterai 6000. Template artikel dan surat pernyataan dapat
http://jurnalkesmas.ui.ac.id dan 1 (satu) eksemplar dokumen tertulis
melalui pos disertai surat pernyataan yang ditandatangani semua
diunduh pada website.
Zainuddin AA. Kebijakan pengelolaan kualitas udara terkait trans-
6. Naskah hardcopy dikirim kepada: Redaksi Kesmas: Jurnal Kesehatan
portasi di Provinsi DKI Jakarta. Kesmas: Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Masyarakat Nasional. 2010; 4 (6): 281-8.
Artikel Jurnal Penulis Organisasi:
Gedung A Lantai 3 Rumpun Ilmu Kesehatan Kampus Baru UI Depok 16424
7. Artikel yang telah dipublikasikan akan dikenakan biaya muat sebesar
Diabetes Prevention Program Research Group. Hypertension, insulin,
Rp.500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pembayaran biaya muat melalui no
and proinsulin in participants with impaired glucose tolerance.
rek. 0067984984 a.n FKM UI Bank BNI Kantor Cabang UI Depok dan buk-
Hypertension. 2002; 40 (5): 679-86.
ti pembayaran dikirimkan melalui email: [email protected]
Artikel Penelitian
Prehipertensi pada Obesitas Abdominal
Prehypertention among Abdominal Obesity
Lia Churniawati, Santi Martini, Chatarina Umbul Wahyuni
Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Abstrak
Prehipertensi banyak terjadi pada penderita obesitas abdominal. Prevalensi
obesitas abdominal di Kabupaten Gresik sebesar 21,5%. Kepatuhan diet
penderita prehipertensi dengan obesitas abdominal diperlukan untuk mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Prehipertensi dan hipertensi
berhubungan dengan pelbagai komplikasi pada hampir seluruh organ.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis determinan prehipertensi pada
obesitas abdominal di Kabupaten Gresik. Penelitian ini dilaksanakan di
Kabupaten Gresik pada November 2013 - November 2014 dengan rancangan penelitian potong lintang. Responden adalah pasien yang datang
ke unit rawat jalan puskesmas yang diambil secara konsekutif sejumlah 74
orang. Responden berusia antara 25 - 64 tahun, mengalami obesitas abdominal, tidak hamil, tidak hipertensi, dan tidak syok. Responden diwawancarai usia, jenis kelamin, pendidikan, aktivitas fisik, kebiasaan
merokok, riwayat keluarga, dan kebiasaan makan serta diperiksa tekanan
darah, kadar kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida, dan gula darah puasa.
Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji kai kuadrat
serta multivariat dengan regresi logistik ganda. Prevalensi prehipertensi pada obesitas abdominal sebesar 62,2%. Jika dibandingkan menurut jenis kelamin, laki-laki banyak mengalami prehipertensi. Kadar trigliserida
berhubungan secara signifikan dengan prehipertensi (PR = 4,620; 95% CI
= 1,439 - 14,831; nilai p = 0,010). Intervensi untuk mencegah prehipertensi perlu dilakukan sejak dini dengan memodifikasi gaya hidup orang dengan
obesitas abdominal.
Kata kunci: Gaya hidup, obesitas abdominal, prehipertensi, trigliserida
Abstract
Prehypertension commonly happened to people suffering abdominal obesity. The abdominal obesity prevalence in Gresik District was 21.5%. Dietary
compliance of patients with prehypertension and abdominal obesity was
needed to decrease hypertension risk. Prehypertension and hypertension
correlate with various complications in almost organs. This study aimed to
analyze prehypertension determinants among abdominal obesity as conducted on November 2013 - November 2014 using cross sectional design.
Respondents were patients coming to primary health care’s outpatient unit
as 74 people taken consecutively. They were 25 - 64 years old, suffering abdominal obesity, not getting pregnant, non-hypertensive and not in a shock.
Respondents were interviewed regarding age, sex, education, physical activities, smoking habits, family records and eating habits as blood pressure
and levels of total cholesterol, LDL, HDL, triglyceride and fasting blood glucose measured. Data analysis applied univariate, bivariate with chi square
test and multivariate with multiple logistic regressions. The prehypertension
prevalence among abdominal obesity was 62.2%. If compared based on
sex, males have more prehypertension experience. Triglyceride levels significantly related to prehypertension (PR = 4.620; 95% CI = 1.439 - 14.831;
p value = 0.010). Intervention to prevent prehypertension should be implemented since early by modifying lifestyle of people suffering abdominal obesity.
Keywords: Lifestyle, abdominal obesity, prehypertension, triglyceride
Pendahuluan
World Health Organization (WHO) memperkirakan
pada tahun 2020 penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyebab kematian sebanyak 73% dan beban
penyakit 60% di dunia. Demikian halnya di kawasan
Asia Tenggara termasuk Indonesia, dilaporkan bahwa
49,7% penyebab kematian adalah akibat penyakit tidak
menular, salah satu di antaranya adalah hipertensi.1
Hipertensi merupakan suatu keadaan peningkatan
tekanan darah yang memberi gejala berlanjut pada suatu
Korespondensi: Lia Churniawati, Departemen Epidemiologi FKM Universitas
Airlangga Kampus C Unair Mulyorejo Surabaya Jawa Timur 60115, No. Telp:
031-5929427, e-mail: [email protected]
293
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
target organ tubuh sehingga timbul kerusakan lebih berat seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal,
diabetes, dan lain-lain.2
Pada tahun 2000, secara global diperkirakan
prevalensi hipertensi usia 20 tahun ke atas cukup tinggi.
Di Amerika Latin diperkirakan prevalensi hipertensi
40,1- 41,4%, Karibia 34,3 - 35,4%, Asia 16,1 - 17,9%,
Sub-Sahara Afrika 26 - 27,7%, dan Tiongkok 21,2 23,9%. Angka tersebut diperkirakan akan mengalami
peningkatan pada tahun 2025.3 Prevalensi nasional
hipertensi di Indonesia pada kelompok usia lebih dari 18
tahun berdasarkan pengukuran adalah 29,8% dengan insiden komplikasi penyakit kardiovaskular lebih banyak
pada perempuan, yaitu sebesar 52%.4 Berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
prevalensi hipertensi di Jawa Timur sebesar 37,4% yang
berada di atas prevalensi nasional.5
Tekanan darah dalam kisaran prehipertensi dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya
hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Prehipertensi termasuk kategori independen tekanan darah. Menurut The
Joint National Committee (JNC 7) on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure, prehipertensi adalah apabila tekanan darah sistolik 120 - 139 mmHg atau tekanan darah diastolik 80 89 mmHg pada usia lebih dari 18 tahun. Diperkirakan
prevalensi prehipertensi secara global 36%.6 Prevalensi
prehipertensi di wilayah Asia tergolong tinggi, diketahui
dari prevalensi prehipertensi usia dewasa muda di
Tiongkok sebesar 47%.7 Tidak jauh berbeda dengan
wilayah Asia, prevalensi prehipertensi usia muda di
Indonesia tergolong tinggi dan melebihi kedua negara
tersebut, yaitu 48,4%.
Prehipertensi pada usia muda (< 35 tahun) juga
berisiko terjadinya arteroskelorosis pada 20 tahun kemudian. Prehipertensi tidak meningkatkan mortalitas,
namun secara signifikan dapat meningkatkan kematian
terhadap faktor risiko lain seperti penyakit jantung.8
Penderita prehipertensi berisiko mengalami hipertensi
klinis 19% pada lebih dari empat tahun mendatang dan
penyakit kardiovaskuler di kemudian hari. 7 Insiden
hipertensi pada kelompok yang sebelumnya mengalami
prehipertensi pada usia lebih dari 65 tahun sebesar 42%,
sedangkan yang terjadi pada kelompok usia 35 – 64
tahun sebesar 27%.9 Setiap peningkatan tekanan darah
sistolik (TDS) atau tekanan darah diastolik (TDD)
(20/10 mmHg) berisiko dua kali lipat untuk terjadinya
penyakit kardiovaskular.10
Di beberapa negara, saat ini prevalensi prehipertensi
terus meningkat sejalan dengan perubahan gaya hidup
dan dapat berisiko terjadinya hipertensi di kemudian
hari. Terdapat keterkaitan yang erat antara kelebihan
lemak tubuh, terutama yang terlokalisir di bagian tengah
tubuh (obesitas sentral atau obesitas abdominal), dengan
294
tekanan darah. Berdasarkan data Riskesdas Provinsi Jawa
Timur tahun 2007, prevalensi hipertensi di Kabupaten
Gresik sebesar 29,6%. 5 Penderita hipertensi di
Kabupaten Gresik mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tingginya angka hipertensi di Kabupaten Gresik
tidak menutup besar kemungkinan terjadinya prehipertensi. Prehipertensi sering kali terjadi pada penderita obesitas abdominal. Berdasarkan data Riskesdas Jawa
Timur tahun 2007, prevalensi obesitas abdominal di
Kabupaten Gresik tergolong tinggi, yaitu 21,5%, dan
angka tersebut melebihi prevalensi di Jawa Timur.5
Berdasarkan penelitian sebelumnya, diketahui bahwa
faktor risiko prehipertensi adalah usia, tingkat pendidikan, gangguan lipid, merokok, obesitas, dan konsumsi alkohol.7 Jenis kelamin, aktivitas fisik, dan riwayat
keluarga merupakan faktor risiko prehipertensi.11 Di
Kabupaten Gresik, prevalensi hipertensi meningkat dari
tahun ke tahun dan prevalensi obesitas juga menunjukkan angka yang tinggi. Oleh karena itu, faktor risiko
yang menjadi penentu kejadian prehipertensi di kalangan
obesitas abdominal perlu diidentifikasi.
Metode
Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan studi potong lintang, yaitu
mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor
risiko) dengan variabel tergantung (efek) dengan
melakukan pengukuran sesaat. Penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Gresik pada November 2013 - November
2014. Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang
berkunjung ke unit rawat jalan atau balai pengobatan
puskesmas dengan obesitas abdominal dan berusia 25 64 tahun. Sampel dalam penelitian merupakan pasien
dengan obesitas abdominal yang berobat di 12
puskesmas perawatan dan tercatat dalam rekam medis
serta memenuhi kriteria inklusi, yaitu tidak sedang hamil,
tidak dalam kondisi syok, dan tidak sedang menjalani
pengobatan hipertensi.
Dalam studi potong lintang, ukuran sampel dihitung
dengan kepercayaan 95%. Adapun dengan proporsi pada populasi diketahui sebesar 48%, maka diperoleh sampel penelitian sejumlah 74 orang.8 Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan consecutive sampling. Pengambilan sampel darah dilakukan
oleh tenaga laboratorium puskesmas. Variabel terikat pada penelitian ini adalah prehipertensi dan variabel bebas
adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, riwayat
keluarga dengan hipertensi, aktivitas fisik, kebiasaan
merokok, frekuensi makan, kolesterol total, low density
lipoproterin (LDL), high density lipoprotein (HDL),
trigliserida, dan diabetes melitus.
Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan menggunakan sphygmomanometer sesuai dengan rekomendasi JNC 7. Adapun klasifikasi tekanan darah menurut
Churniawati, Martini, Wahyuni, Prehipertensi pada Obesitas Abdominal
JNC 7 yaitu normal < 120 mmHg untuk tekanan darah
sistolik dan < 80 mmHg untuk tekanan darah diastolik,
sedangkan prehipertensi 120 - 139 mmHg tekanan darah
sistolik atau 80 - 89 mmHg tekanan darah diastolik.
Pengukuran obesitas abdominal dilakukan dengan menggunakan metline. Berdasarkan International Diabetes
Federation, dikatakan obesitas abdominal apabila lingkar
pinggang pada laki-laki ≥ 90 centimeter dan pada perempuan ≥ 80 centimeter.
Adapun klasifikasi profil lipid berdasarkan The
National Cholesterol Education Program Adult
Treatment Panel III (NCEP ATP III) yang telah dimodifikasi, yaitu kolesterol total normal < 200 mg/dL dan
tinggi ≥ 200 mg/dL; LDL normal < 130 mg/dL dan tinggi ≥ 130 mg/dL; HDL rendah < 40 mg/dL untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan HDL rendah < 50
mg/dL. Sebelum dilakukan pengambilan darah guna pemeriksaan profil lipid dan gula darah, responden
berpuasa selama 10 jam terlebih dahulu. Adapun analisis kadar profil lipid dilakukan oleh petugas laboratorium
di puskesmas dengan menggunakan fotometer.
Pengumpulan data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara
dengan instrumen kuesioner untuk mengumpulkan data
mengenai karakteristik responden yang meliputi usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan hipertensi, aktivitas
fisik dan perilaku merokok. Selain itu, berupa hasil laboratorium untuk kadar kolesterol total, LDL kolesterol,
HDL kolesterol, trigliserida, dan gula darah puasa.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari unit rawat jalan
(balai pengobatan) puskesmas berupa catatan medis
sampel. Setelah pengumpulan data dilakukan, kemudian
editing, coding, data entry, cleaning dianalisis.
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan
karakteristik masing-masing variabel yang diteliti.
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui adanya
hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat
secara terpisah dengan uji kai kuadrat, kemudian melihat
besar risiko dengan menghitung prevalence ratio (PR)
dan 95% confidence interval (CI). Analisis multivariat
(regresi logistik) digunakan untuk mengetahui pengaruh
paparan secara bersama-sama dari beberapa faktor yang
berhubungan dengan prehipertensi pada obesitas abdominal.
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk merumuskan tindakan preventif dalam rangka pencegahan
penyakit prehipertensi dan tentunya juga mencegah
hipertensi. Prehipertensi merupakan suatu bentuk
peringatan akan terjadinya hipertensi di kemudian hari.
Komplikasi prehipertensi dan hipertensi memiliki
dampak yang besar pada kualitas hidup. Promosi kesehatan, deteksi dini dan peranan intervensi penting dilakukan dalam mencegah komplikasi. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis determinan yang
berhubungan dengan prehipertensi pada obesitas abdominal di Kabupaten Gresik.
Hasil
Responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi empat kelompok usia, yaitu usia 25 - 34 tahun, 35 - 44
tahun, 45 - 54 tahun, dan 55 - 64 tahun. Sebagian besar
responden dalam penelitian ini berusia 45 - 54 tahun
(37,8%) dan berjenis kelamin perempuan (78,4%).
Rerata kadar kolesterol total responden prehipertensi pada obesitas abdominal 203 mg/dL, SD ± 52,6. Rerata
kadar kolesterol responden tidak prehipertensi 198,5
mg/dL, SD ± 51,2 dengan nilai p = 0,71. Adapun rerata
kadar LDL responden prehipertensi pada obesitas abdominal 129,6 mg/dL, SD ± 48,9. Rerata kadar LDL responden tidak prehipertensi 129 mg/dL, SD ± 44,1 dan
nilai p = 0,95 (Tabel 1).
Rerata kadar HDL responden prehipertensi pada obesitas abdominal 48,3 mg/dL, SD ± 20,1. Rerata kadar
HDL responden tidak prehipertensi 43,7 mg/dL, SD ±
19,6, dan nilai p = 0,33. Adapun rerata kadar trigliserida responden prehipertensi pada obesitas abdominal
147,8 mg/dl, SD ± 54,8. Rerata kadar LDL responden
tidak prehipertensi 129,7 mg/dL, SD ± 37,6, dan nilai p
= 0,12. Di antara 74 responden dengan obesitas abdominal yang berusia 25 - 64, sejumlah 62,2% mengalami prehipertensi. Pada umumnya, responden berusia 55 - 64
tahun mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal
dari hasil analisis statistik antara usia dengan prehipertensi pada obesitas abdominal (nilai p = 0,13)
(Tabel 1).
Berdasarkan jenis kelamin, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang berjenis kelamin laki-laki
mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal.
Menurut analisis bivariat dengan melihat besar risiko,
diketahui bahwa laki-laki berisiko 1,27 kali mengalami
prehipertensi pada obesitas abdominal bila dibandingkan
dengan perempuan (PR = 1,27; 95% CI = 0,89 - 1,82)
(Tabel 1). Dari hasil pengumpulan data, diketahui bahwa
sebagian besar responden dengan aktivitas fisik rendah
mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal
(64,2%) (Tabel 1). Berdasarkan analisis bivariat dengan
melihat besar risiko, diketahui bahwa aktivitas fisik rendah berisiko 1,49 kali mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal bila dibandingkan dengan aktivitas fisik
tinggi (PR = 1,49; 95% CI = 0,62 - 3,58).
Berdasarkan hasil pengumpulan data, diketahui bahwa sebagian besar responden yang memiliki kolesterol
total tinggi mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal (68,8%) (Tabel 1). Dari hasil analisis statistik
dengan melihat besar risiko, diketahui bahwa seseorang
dengan kolesterol total tinggi berisiko mengalami prehipertensi 1,2 kali bila dibandingkan dengan kolesterol
normal (PR = 1,20; 95% CI = 0,84 - 1,70).
295
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Tabel 1. Hasil Analisis Bivariat
Prehipertensi
Variabel
PR
n
Usia
Jenis kelamin
Riwayat keluarga dengan hipertensi
Aktivitas fisik
Kebiasaan merokok
Kolesterol total
LDL
HDL
Trigliserida
Diabetes melitus
25 - 34 tahun
35 - 44 tahun
45 - 54 tahun
55 - 64 tahun
Laki-laki
Perempuan
Ya
Tidak
Rendah
Tinggi
Ya
Tidak
Tinggi (≥ 200mg/dL)
Normal(< 200 mg/dL)
Tinggi (≥130mg/dL)
Normal (< 130mg/dL)
Rendah (< 40mg/dL)
Tinggi (≥ 40 mg/dL)
Tinggi (≥150 mg/dL)
Normal (<150 mg/dL)
Ya
Tidak
8
13
18
7
12
34
25
21
43
3
7
39
22
24
19
27
18
28
23
23
5
41
Tabel 2. Model Akhir Analisis Multivariat
Variabel
Trigliserida
B
OR
95% CI
Nilai p
1,530
4,620
1,439 – 14,831
0,010
Rumus 1. Model Persamaan Regresi Logistik
1
Y=
1 + e-(β0 + ∑βnXn)
1
Y=
1 + e-(20,702+ 1,536 Trigliserida)
Sebagian besar responden yang memiliki trigliserida
tinggi mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal
dengan persentase sebesar 79,3%. Sedangkan responden
yang memiliki trigliserida normal sebagian besar tidak
mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal sebesar 48,9%. Dari hasil analisis statistik dengan melihat besar risiko, diketahui bahwa terdapat hubungan antara
trigliserida dengan prehipertensi pada obesitas abdominal (nilai p = 0,01). Orang dengan trigliserida tinggi
memiliki risiko untuk terjadinya prehipertensi pada obesitas abdominal sebesar 1,55 kali bila dibandingkan
trigliserida normal (PR = 1,55; 95% CI = 1,10 - 2,18) sebagaimana tersaji pada Tabel 1.
Variabel yang masuk dalam analisis multivariat
adalah variabel yang dalam analisis bivariat mempunyai
nilai signifikansi nilai p ≤ 0,25 atau secara substansi dianggap sangat memengaruhi prehipertensi pada obesitas
296
Tidak Prehipertensi
Kategori
%
57,1
52,0
64,3
100
75,0
58,6
61,0
63,6
64,2
42,9
63,6
61,9
68,8
57,1
59,4
64,3
56,2
66,7
79,3
51,1
50
64,1
n
6
12
10
0
4
24
16
12
24
4
4
24
10
18
13
15
14
14
6
22
5
23
95%CI
Nilai p
1,27
0,89-1,82
0,18
0,95
0,67-1,36
0,50
1,49
0,62–3,58
0,24
1,02
0,63-1,67
0,59
1,20
0,84-1,70
0,21
0,92
0,64-1,33
0,42
0,84
0,58-1,22
0,25
1,55
1,10-2,18
0,01
0,78
0,40-1,49
0,30
%
42,9
48,0
35,7
0
25,0
41,4
39,0
36,4
35,8
57,1
36,4
38,1
32,1
42,9
40,6
35,7
43,8
33,3
20,7
48,9
50
35,9
0,13
abdominal. Terdapat enam variabel yang masuk dalam
analisis multivariat meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas
fisik, kolesterol total, HDL dan trigliserida. Hasil multivariat dari enam variabel tersebut menunjukkan bahwa
terdapat satu variabel independen yang berhubungan
dengan prehipertensi pada obesitas abdominal, yaitu
trigliserida (nilai p = 0,01) (Tabel 2). Hasil analisis multivariat menghasilkan model persamaan regresi logistik
dapat dilihat pada Rumus 1.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden berusia 55 - 64 tahun (100%) mengalami prehipertensi pada
obesitas abdominal. Berdasarkan analisis multivariat,
tidak terdapat hubungan antara usia dengan prehipertensi pada penderita obesitas abdominal. Hal tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa individu yang berusia kurang dari 60 tahun atau usia produktif cenderung memiliki prehipertensi (34%) bila
dibandingkan dengan individu yang berusia lebih muda.
Hal ini dimungkinkan terjadi apabila sebagian besar
kelompok usia yang lebih tua (65%) telah berkembang
ke hipertensi.12 Pada kondisi obesitas abdominal, seiring
dengan peningkatan usia akan meningkatkan kandungan
lemak total tubuh, terutama distribusi lemak pusat.13
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki. Menurut National Health
and Nutrition Examination Survey (NHANES), prehipertensi sebagian besar terjadi pada penduduk usia muda dengan perkiraan 41,9 juta laki-laki dan 27,8 juta
perempuan berusia 20 tahun atau lebih di Amerika
Churniawati, Martini, Wahyuni, Prehipertensi pada Obesitas Abdominal
mengalami prehipertensi.12 Hal yang sama juga terjadi di
Tiongkok, 51,2% laki-laki dan 42,6% perempuan
menderita prehipertensi.7 Lemak pada laki-laki lebih
banyak diakumulasikan pada subkutan abdomen dan depot viseral sehingga gemuk di perut dan berbentuk seperti buah apel. Distribusi lemak tersebut dipengaruhi oleh
hormon seks. Salah satu karakteristik obesitas abdominal
adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak sehingga selsel lemak tersebut akan mensekresi produk-produk
metabolik, di antaranya sitokin proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Jaringan adiposa berperan aktif dalam meningkatkan risiko mengalami peningkatan tekanan darah pada subjek dengan
peningkatan adipositas.14
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa sebagian besar responden yang memiliki aktivitas fisik rendah
mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal. Hasil
analisis multivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara aktivitas fisik dengan prehipertensi pada obesitas abdominal. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan prehipertensi pada obesitas abdominal.15 Aktivitas fisik erat
kaitannya dengan jenis pekerjaan yang dimiliki. Beberapa
jenis pekerjaan tertentu tidak membutuhkan aktivitas
fisik yang cukup sehingga terjadi penumpukan kelebihan
energi dalam tubuh. Kemudahan dalam memanfaatkan
akses dan penggunaan fasilitas modern yang membuat
rendahnya aktivitas fisik seseorang.
Berdasarkan uji analisis sampel independen uji-t,
tidak terdapat perbedaan antara kadar kolesterol total
responden prehipertensi dan tidak prehipertensi.
Sedangkan berdasarkan hasil uji statistik kai kuadrat,
diketahui bahwa sebagian besar responden dengan kolesterol tinggi mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal bila dibandingkan dengan responden yang
memiliki kolesterol normal. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kolesterol total dengan prehipertensi pada obesitas abdominal.
Hal tersebut dapat diasumsikan karena tidak terdapat
perbedaan antara kadar kolesterol total responden prehipertensi dan tidak prehipertensi.
Uji analisis sampel independen uji-t menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan antara kadar HDL pada
responden prehipertensi dan tidak prehipertensi.
Sedangkan berdasarkan uji statistik kai kuadrat, diketahui bahwa sebagian besar responden yang memiliki
kadar HDL tinggi mengalami prehipertensi pada obesitas
abdominal bila dibandingkan dengan yang tidak mengalami prehipertensi. Berdasarkan analisis multivariat,
diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara HDL
dengan prehipertensi pada obesitas abdominal. Hal senada juga terjadi berdasarkan hasil uji statistik pearson
yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan an-
tara HDL dengan prehipertensi pada obesitas abdominal.
HDL merupakan salah satu dari tiga komponen lipoprotein, kombinasi lemak dan protein yang mengandung
kadar protein tinggi, sedikit trigliserida dan fosfolipid,
memiliki sifat umum protein dan terdapat pada plasma
darah yang biasa disebut sebagai lemak baik yang membantu mengurangi penimbunan plak pada pembuluh
darah. Peningkatan kadar kolesterol dalam darah
dikaitkan dengan pembentukan plak aterosklerotik yang
dapat menyumbat pembuluh darah serta memicu serangan jantung dan stroke.16 Walaupun kadar kolesterol LDL
yang tinggi bersifat aterogenik, kadar kolesterol HDL
yang tinggi bersifat protektif karena partikel HDL
berperan mengeluarkan kolesterol dari jaringan dan
mengembalikannya ke hati.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden yang memilki kadar trigliserida tinggi mengalami
prehipertensi pada obesitas abdominal. Selain itu,
berdasarkan analisis multivariat, diketahui bahwa terdapat hubungan antara trigliserida dengan prehipertensi
pada obesitas abdominal dengan nilai (PR = 4,62; 95%
CI = 1,43 - 14,83). Berdasarkan hal tersebut, maka risiko
orang dengan kadar trigliserida tinggi untuk mengalami
prehipertensi pada obesitas abdominal adalah sebesar
4,62 kali apabila dibandingkan dengan yang memiliki
trigliserida normal. Saat kadar lemak tubuh meningkat,
terjadi penurunan kemampuan jaringan adiposa untuk
merespon sinyal regulator atau pengatur, dengan akibat
meningkatnya kadar lipid dalam sirkulasi serta risiko
penimbunan lemak di hati dan otot rangka. Pada kondisi
tersebut, dapat terjadi penyempitan pembuluh darah
yang berujung terjadinya prehipertensi. Hal ini senada
dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
orang dengan kadar trigliserida tinggi memiliki risiko
1,003 kali terjadinya prehipertensi apabila dibandingkan
dengan kadar trigliserida normal.17
Dalam keadaan puasa, kebanyakan plasma trigliserida ada pada lipoprotein berdensitas rendah atau very low
density lipoprotein (VLDL). Pada saat tidak puasa, terdapat kilomikron dan berkontribusi secara signifikan terhadap level plasma trigliserida total. Sebelum pengambilan darah dilakukan, responden penelitian diharuskan
berpuasa selama 10 jam terlebih dahulu. Dalam keadaan
berpuasa, VLDL banyak mengandung trigliserida,
terutama jika responden menderita obesitas akan
meningkatkan risiko hipertrigliseridemia.18 Peningkatan
trigliserida dipengaruhi oleh faktor gen dan konsumsi
makanan seperti karbohidrat, lemak, dan alkohol. Oleh
karena itu, untuk menurunkan kadar trigliserida darah
selain lemak makanan, karbohidrat juga diperhitungkan.
Selain itu, kadar trigliserida darah juga dipengaruhi oleh
aktivitas enzim lipoprotein lipase (LPL) yang berfungsi
untuk menghidralisis trigliserida menjadi asam lemak
dan gliserol. Rendahnya aktivitas LPL ini akan dapat
297
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
meningkatkan kadar trigliserida darah.19 Orang yang
memiliki berat badan berlebihan mempunyai kadar kolesterol total, LDL dan trigliserida yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan yang berat badannya normal.
Orang yang gemuk memiliki kelebihan lemak yang
umumnya disimpan di jaringan bawah kulit dalam bentuk trigliserida. Kalori yang bersumber dari makanan
yang tidak digunakan langsung oleh jaringan tubuh diubah menjadi trigliserida atau lemak dan selanjutnya
disimpan dalam sel-sel lemak tubuh.
h t t p : / / w w w. t h e l a n c e t . c o m / p d f s / j o u r n a l s / l a n c e t / P I I S 0 1 4 0 6736(05)17741-1.pdf
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008 [cited 2015
September 12]. Available from: https://www.k4health.org/sites/default/files/laporanNasional %20Riskesdas%202007.pdf.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan riset kesehatan
dasar tahun 2007 Provinsi Jawa Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia;
2008.
Kesimpulan
Prevalensi prehipertensi pada obesitas abdominal
sebesar 62,2%. Determinan prehipertensi pada obesitas
abdominal adalah trigliserida. Risiko orang dengan kadar
trigliserida tinggi untuk mengalami prehipertensi pada
obesitas abdominal sebesar 4,62 kali apabila dibandingkan dengan yang memiliki trigliserida normal (PR =
4,62; 95% CI: 1,439 – 14,831). Tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, riwayat keluarga dengan hipertensi,
aktivitas fisik, kebiasaan merokok, kolesterol total, LDL,
HDL dan diabetes melitus dengan prehipertensi pada
obesitas abdominal.
6. Guo X, Zou L, Zhang X, Li J, Zheng L, Sun Z, et al. Prehypertension: a
meta-analysis of the epidemiology, risk factors, and predictors of progression. Texas Heart Institute Journal. 2013 [cited 2013 March 19];
38 (6): 643. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3233334/
7. Sun Z, Zheng L, Wei Y, Li J, Zhang M. The prevalence of prehypertension and hypertension among rural adults in Liaoning Province of China.
Clinical Cardiology, 30 (4): 183-187. [cited 2013 March 19]. Available
from: http://www.researchgate.net/profile/ Liqiang_Zheng/publication/6384408_The_prevalence_of_prehypertension_and_hypertension_among_rural_adults_in_Liaoning_province_of_China/links/546bf
1a80cf2397f7831ca83.pdf
8. Widjaja FF, Santoso LA, Barus N, Pradana GA, Estetika C.
Prehypertension and hypertension among young Indonesian adults at a
Saran
Upaya deteksi dini prehipertensi pada masyarakat dapat dilakukan sebagai salah satu bentuk pencegahan dengan sasaran penderita obesitas abdominal, yaitu dengan
melakukan pengukuran lingkar pinggang dan tekanan
darah. Kemudian, pelatihan pada kader pos pembinaan
terpadu penyakit tidak menular mengenai pengukuran
lingkar pinggang dan edukasi kepada masyarakat tentang
faktor risiko prehipertensi pada orang dengan obesitas
abdominal dan gaya hidup sehat. Kepada masyarakat
penderita prehipertensi pada obesitas abdominal, agar
lebih mengontrol kebiasaan makan terutama asupan karbohidrat, mengingat konsumsi karbohidrat yang
berlebihan dapat meningkatkan kadar trigliserida dalam
darah. Selain itu, tentunya pemeriksaan trigliserida secara rutin bagi orang dengan obesitas abdominal.
primary health care in a rural area. Medical Journal of Indonesia. 2013
[cited 2014 April 29]; 22 (1): 39-45. A vailable from:
http://imsear.hellis.org/bitstream/123456789/148785/1/mji2013v
22n1p39.pdf.
9. Svatkey LP. Management of prehypertension. American Heart
Association. Hypertension. 2005 [cited 2014 April 29]; 45 (6): 1056-61.
A vailable from: http://hyper.ahajournals.org/content/45/6/
1056.full.pdf+html.
10. Greenlund K, Croft J, Mensah G. Prevalence of heart disease and stroke
risk factors in person with prehypertension in the United States 19992000. Archieves of Internal Medicine. 2004 [cited 2014 April 29]; 164
(19): 2113-8. Available from: http://archinte.jamanetwork. com/article.aspx?articleid=217544.
11. Srinivas S, Satyavaraprasad K, Ramdas, Krihna, Tajuddin, dan Rao.
Prevalence of prehypertension in adult population of rural Andhra
Pradesh. Asian Journal Biomed Pharmaceutical Science. 2013 [cited
2013 April 26]; 3 (23): 45-8. Available from: http://www.jbiopharm.
Daftar Pustaka
com/ index.php/ajbps/article/view/369/279.
1. World Health Organization. WHO NCD Surveillace strategi. 2013 [cit-
12. Qureshi A, Kirmani J, Divani A. Prevalence and trends of prehyperten-
ed 2013 March 16]. Available from: http://www.who.int/ncd_surveil-
sion and hypertension in United States: National Health and Nutrition
lance/strategy/en/index.html.
Examination Surveys 1976 to 2000. Medical Science Monitor. 2005
2. Syahrini E, Susant H, Udiyono A. Faktor risiko hipertensi primer di
[cited 2013 June 7]; 11(9): CR403-CR409.). A vailable from:
Puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2883307/pdf/nihms16
Masyarakat. 2012 [cited 2013 March 16]; 1 (2): 315-25. Available
from: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=
73821&val=4700
3170.pdf.
13. Demerath EW, Sun SS, Rogers N, Lee M, Reed D, Choh AC. Anatomical
patterning of visceral adipose tissue: race, sex, and age variation. Abesity
3. Kearney M, Whelton M, Reynolds K, Muntner P, Whelton, He J. Global
[serial on internet]. 2007 [cited 2014 Dec 4]; 15 (12): 2984-93.
burden of hypertension: analysis of worldwide data. Lancet [serial on in-
A vailable from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
ternet]. 2005 [cited 2013 March 19]; 365: 217–23. Available from:
PMC2883307/pdf/nihms/63170.pdf.
298
Churniawati, Martini, Wahyuni, Prehipertensi pada Obesitas Abdominal
14. Iacobellis G. Obesity and cardiovascular disease. New York: Oxford
University Press; 2009.
15. Koura M, Al-Dabal K, Rasheed, Al-Sowielem L, Makki S.
Available from: http://journals.lww.com/jhypertension/Abstract/
2005/07000/Prevalence_and_determinants_of_prehypertension.10.aspx.
Prehypertension among young adult females in Dammam, Saudi Arabia.
18. Feryadi R, Sulastri D, Kadri H. Hubungan kadar profil lipid dengan ke-
Eastern Mediterranean Health Journal. 2012; 18 (7). Available form:
jadian hipertensi pada masyarakat etnik Minangkabau di Kota Padang
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/118177/1/2012_18_7_0728
tahun 2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014 [cited 2014 March 4];
_0734.pdf
3(2): 206211. Available from: http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/
16. Yulissa F. Pengaruh pemberian daging buah durian (Durio zibethinus
L.) terhadap kadar profil lipid darah sukarelawan sehat [skripsi].
Medan: Universitas Sumatra Utara; 2013.
17. Tsai PS, Ke TL, Huang CJ, Tsai JC, Chen PL,Ping L, et al. Prevalence and
determinants of prehypertension status in the Taiwanese general popu-
jka/article/view/89/84.
19. Tsalissavrina I, Wahono D, Handayani D. Pengaruh pemberian diet tinggi karbohidrat dibandingkan diet tinggi lemak terhadap kadar trigliserida dan HDL darah pada Rattus novergicus galur wistar. Jurnal
Kedokteran Brawijaya. 2006; 22 (2): 80-9.
lation. Journal of hypertension. 2005 [cited 2014; 23 (7): 1355-1360.
299
Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri
Koliform pada Air Minum Isi Ulang
Escherichia coli Microbial and Total Coliform Bacterial Contamination of
Drinking Water
Rolan Sudirman Pakpahan*, Intje Picauly*, I Nyoman Widiarta Mahayasa**
*Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana,
**Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana
Abstrak
Jumlah layanan air minum melalui depot air minum di Kota Kupang
meningkat dengan rata-rata 1,44 setiap tahun sejak 2010, sementara tidak
terdapat jaminan kualitas air minum isi ulang memenuhi syarat setiap saat.
Hasil pemeriksaan sampel air minum isi ulang di Kota Kupang tahun 2013
menunjukkan 37,5% tercemar mikroba. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis cemaran mikroba dan mengetahui determinan cemaran
Escherichia coli (E. coli) dan total koliform pada air minum isi ulang.
Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang periode Januari Maret 2015. Populasi penelitian berjumlah 51 depot air minum yang ditentukan menggunakan teknik total sampling. Analisis data dilakukan secara
univariat, analisis bivariat menggunakan uji regresi logistik sederhana, dan
analisis multivariat menggunakan regresi logistik berganda. Hasil penelitian
terhadap 51 depot air minum menunjukkan air minum telah tercemar mikroba sebanyak 26 depot air minum (51%), tercemar E. coli 33,33%, dan tercemar total koliform 51%. Deteminan cemaran mikroba dengan uji bivariat
adalah pengetahuan (nilai p = 0,01), sikap operator (nilai p = 0,05).
Sedangkan determinan cemaran mikroba uji multivariat adalah pengetahuan operator (nilai p = 0,026), kebersihan operator (nilai p = 0,05) dan
sanitasi depot air minum (nilai p = 0,044). Variabel yang paling dominan
memengaruhi cemaran mikroba adalah pengetahuan, kebersihan operator,
dan sanitasi depot air minum.
Kata kunci: Air minum isi ulang, depot air minum, Escherichia coli, total koliform
Abstract
Amount of drinking water services through drinking water depots in Kupang
City is increasing in avarage of 1.44 every year since 2010, meanwhile
there is no guarantee that refill drinking water quality meets any requirement
every time. Results of refill drinking water sample in Kupang City in 2013
showed the water was 37.5% contaminated by microbes. This study aimed
to analyze microbial contamination and determine determinants of
300
Escherichia coli (E. coli) and total Coliform on refill drinking water. This
study used cross sectional design on January - March 2015. The population was 51 depots determined using total sampling technique. Data analysis was conducted in univariate, bivariate using simple logistic regression
test and multivariate using multiple logistic regression test. Results showed
drinking water contaminated by microbes worth 26 depots (51%), by E. coli
33.33% and by total Coliform 51%. Microbial contamination determinants
using bivariate were knowledge (p value = 0.01) and behavior of operator
(p value = 0.05). Meanwhile, microbial contamination determinants conducting multivariate were knowledge (p value = 0.026), hygiene of operator
(p value = 0.05) and depot sanitation (p value = 0.044). Most dominating
variables influencing microbial contamination are knowledge, operator’s hygiene and depot sanitation.
Keywords: Refill drinking water, drinking water depot, Escherichia coli, total coliform
Pendahuluan
Perkembangan teknologi telah membawa kemajuan
dalam pelbagai bidang kehidupan, salah satunya di
bidang kesehatan, yaitu teknologi pengolahan depot air
minum (DAM). Teknologi ini mengubah air bersih menjadi air minum tanpa dimasak terlebih dahulu, namun diolah dengan cara dan desinfeksi. 1 Adanya DAM
mempermudah masyarakat dalam penyediaan air
minum. Air minum merupakan kebutuhan pokok manusia. Tubuh kita memerlukan air untuk kelangsungan
hidup. Kita memerlukan air antara 30 – 60 liter per hari.2
Kegunaan air yang sangat penting adalah untuk
Korespondensi: Rolan Sudirman Pakpahan, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi Sucipto Kupang 85148, No.Telp:
0380-881021, email:[email protected]
Pakpahan, Picauly, Mahayasa, Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri Koliform pada Air Minum Isi Ulang
minum. Oleh karena itu, air minum harus memenuhi
syarat-syarat kesehatan, baik fisik, kimia, radioaktif
maupun mikrobiologis agar tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Agar air aman dikonsumsi, diperlukan
pengolahan air untuk menghilangkan cemaran mikroba
atau menurunkan kadar bahan tercemar sesuai standar
yang ditetapkan.
Air tercemar disebabkan masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam
air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun
sampai tingkat tertentu yang membahayakan, mengakibatkan air tidak berfungsi lagi sesuai peruntukannya.3
Air tersebut hanya dapat digunakan untuk tujuan lain
yang tidak berisiko terhadap makhluk hidup. Masuknya
bahan pencemar ke dalam air berbeda. Pada cemaran
mikroba, mekanisme penyebarannya dari tinja ke air
minum melalui air, tangan, vektor, dan tanah.2
Indikator pencemaran mikroba air minum adalah total koliform dan Escherichia coli (E. coli). Total koliform
adalah suatu kelompok bakteri yang digunakan sebagai
indikator adanya polusi kotoran. Total koliform yang berada di dalam makanan atau minuman menunjukkan kemungkinan adanya mikroba yang bersifat enteropatogenik dan atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan. Total koliform dibagi menjadi dua golongan4,
yaitu koliform fekal, seperti E. coli yang berasal dari tinja manusia, hewan berdarah panas, dan koliform nonfekal, seperti Aerobacter dan Klebsiella yang bukan berasal dari tinja manusia, tetapi berasal dari hewan atau
tanaman yang telah mati. Air olahan DAM harus bebas
dari kandungan total koliform dan E. coli.
Hasil penelitian kualitas bakteriologi pelbagai sarana
air minum menunjukkan air minum telah tercemar E.
coli dan total koliform. Penelitian Tabor et al, 5 di
Ethiopia terhadap kualitas air minum menunjukkan
45,7% tercemar koliform. Penelitian Eshcol et al,6 di
India menunjukkan 36% air minum rumah tangga tidak
memenuhi syarat bakteriologi. Hasil penelitian Anwar,
et al,7 menyatakan bahwa 37,2% air minum telah tercemar bakteriologi di Lahore. Hasil penelitian Admassu, et
al,8 menunjukkan 50% air minum telah tercemar bakteri
di Gondar. Penelitian Suprihatin dkk,9 di 10 kota besar
di Indonesia menunjukkan 34% sampel tidak memenuhi
sedikitnya satu parameter kualitas air minum dan 16%
sampel tercemar bakteri koliform. Hasil pemeriksaan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun
2003 terhadap mutu air produksi DAM di lima kota (95
depot) menyatakan bahwa 19% tidak memenuhi syarat
mikrobiologis (E. coli/total koliform/Salmonella). Hasil
penelitian Rido Wandrivel dkk,10 menunjukkan bahwa
55,5% air isi ulang di Kecamatan Bungus Padang tidak
memenuhi syarat bakteriologis. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa kualitas E. coli dan total koliform air
baku masing-masing yang tidak memenuhi syarat adalah
3,5% dan 6,9%, sedangkan pada air olahan seluruhnya
memenuhi syarat kesehatan.11 Hal ini mengindikasikan
bahwa kualitas air minum tidak selalu memenuhi syarat
kesehatan setiap saat.
Kupang merupakan salah satu kota terbesar di Nusa
Tenggara Timur (NTT) dengan jumlah penduduk 37.425
jiwa pada tahun 2013. Laju pertumbuhan penduduk
3,58%. Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada
meningkatnya kebutuhan air minum. Jumlah DAM di
Kota Kupang berkembang dengan pesat. Pada tahun
2010 jumlah DAM di Kota Kupang hanya 58 unit.12
Namun, berdasarkan data dinas kesehatan, pada tahun
2014 jumlah DAM di Kota Kupang telah meningkat
menjadi 359 unit. Perkembangan ini disebabkan terbatasnya sumber air baku di Kota Kupang. Curah hujan
diperkirakan hanya empat bulan setiap tahun sehingga
memengaruhi ketersediaan air baku. Menurut
Suprihatin,1 perkembangan DAM di suatu wilayah disebabkan persediaan air bersih semakin terbatas dan di sisi
lain permintaan air minum mengalami peningkatan tajam. Mutu air minum berkualitas adalah hak setiap konsumen sekalipun harganya murah dan mudah terjangkau.
Hasil pemeriksaan Kantor Kesehatan Pelabuhan
Kupang tahun 2013 terhadap tujuh sampel air minum isi
ulang di Pelabuhan Kupang menunjukkan semuanya tercemar E. coli dan total koliform. Hasil pemeriksaan laboratorium Unit Pelaksana Teknik Dinas (UPTD)
Laboratorium Kesehatan Provinsi NTT pada tahun 2013
di Kota Kupang menunjukkan bahwa 37,5% DAM tidak
memenuhi persyaratan mikrobiologis. Dari enam kecamatan di Kota Kupang, diperoleh data DAM tercemar
tertinggi berada di Kecamatan Maulafa sebesar 20,83%.
Angka tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
492/2010 yaitu 0/100 ml.
Adanya permasalahan kualitas air minum isi ulang
produksi DAM mengindikasikan bahwa pengelolaan air
minum isi ulang di Kecamatan Maulafa belum berjalan
maksimal. Determinan yang dapat memengaruhi kualitas
air minum isi ulang adalah sanitasi, kebersihan operator,
kualitas alat desinfeksi, kecepatan aliran air, perilaku
operator dan pengemasan air. Kurang memadainya pelbagai determinan tersebut dapat menimbulkan cemaran
E. coli dan total koliform sehingga memengaruhi kesehatan masyarakat. Dari uraian dan permasalahan yang
ada, maka rumusan permasalahan adalah bagaimana cemaran mikroba di Kecamatan Maulafa dan determinan
apa saja yang memengaruhi cemaran E. coli dan total koliform pada air minum isi ulang.
Penelitian ini bertujuan menganalisis cemaran mikroba dan mengetahui determinan cemaran E.coli dan total
koliform pada air minum isi ulang serta melakukan
pemetaan cemaran mikroba di Kecamatan Maulafa. Hasil
penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi ter301
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
hadap peningkatan kualitas air minum isi ulang pada
masa yang akan datang.
Metode
Desain penelitian ini adalah studi potong lintang.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh DAM
Kecamatan Maulafa sebanyak 51 depot pada periode
Januari - Maret 2015. Pengambilan sampel menggunakan
teknik total sampling karena jumlah populasi di bawah
100.
Data diperoleh dari data primer dan sekunder. Data
primer meliputi karakteristik operator yang diperoleh
dengan wawancara, kondisi sanitasi, kebersihan operator, kualitas desinfeksi, pengemasan air yang diperoleh
dengan observasi, kecepatan aliran air, perilaku (pengetahuan, sikap dan tingkah laku) operator, letak DAM
diperoleh dengan pengukuran, sedangkan cemaran
mikroba yakni E. coli dan total koliform diperoleh
melalui pemeriksaan laboratorium. Sampel diambil dari
keran pengisian air minum isi ulang menggunakan botol
steril secara aseptis serta mengenakan alat pelindung diri
berupa masker dan sarung tangan, kemudian dikirim ke
laboratorium yang terakreditasi. Sedangkan data sekunder meliputi jumlah DAM dan lokasi penelitian.
Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data
adalah kuesioner, stop watch dan global positioning system (GPS). Hasil pemeriksaan sanitasi, kebersihan
operator, kualitas desinfeksi, tingkah laku memenuhi
syarat apabila nilai total skor > 70% dan tidak memenuhi
syarat apabila nilai total skor < 70% berdasarkan standar
Peraturan Menteri Kesehatan No. 43 tahun 2014. Hasil
pengukuran pengetahuan dan sikap diperoleh
berdasarkan jawaban responden setelah mengisi kuesioner, sedangkan hasil pemeriksaan kualitas air minum
isi ulang tercemar jika ditemukan E. coli dan atau total
koliform dan tidak tercemar jika tidak ditemukan E. coli
dan total koliform. Jenis data dalam penelitian ini terdiri
dari data kualitatif, yaitu sanitasi, kebersihan operator,
kualitas desinfeksi, pengemasan, dan data kuantitatif
yakni kecepatan aliran air dan perilaku operator.
Selanjutnya, data dianalisis secara univariat, uji bivariat
menggunakan regresi logistik sederhana untuk melihat
ada tidaknya pengaruh variabel bebas dan terikat secara
parsial, uji multivariat menggunakan uji regresi logistik
berganda digunakan mengetahui ada tidaknya pengaruh
sanitasi, kebersihan operator, kualitas desinfeksi, kecepatan aliran air, perilaku operator dan pengemasan terhadap cemaran mikroba secara simultan.
usia operator adalah 35,16 + 12,07 SD tahun. Sebagian
besar berpendidikan sekolah menengah atas (SMA)
(52,94%) dan terendah (1,96%) tidak tamat sekolah
dasar (SD). Air minum isi ulang tercemar mikroba terbanyak (100%) ditemukan pada operator berpendidikan
tidak tamat SD dan terendah (44,44%) dengan tingkat
pendidikan perguruan tinggi. Sebagian besar (60,78%)
masa kerja operator adalah satu sampai dua tahun dan
terendah (5,88%) > 5 tahun. Air minum isi ulang tercemar terbanyak (51,61%) ditemukan pada operator dengan masa kerja 1 - 2 tahun dan terendah (33,33%) dengan masa kerja > 5 tahun. Jumlah operator sebanyak satu
orang dan sebagian kecil pemilik DAM bekerja sebagai
operator. Lama DAM beroperasi sebagian besar
(53,85%) ≤ 1 tahun, sedangkan sebagian kecil (3,85%)
telah beroperasi selama ≥ 5 tahun. Air minum isi ulang
tercemar tertinggi (87,50%) ditemukan pada lama DAM
> 5 tahun dan terendah (40%) pada lama DAM < 1
tahun (Tabel 1).
Tabel 2 menggambarkan distribusi frekuensi sanitasi,
kualitas desinfeksi, kebersihan operator, pengemasan air.
Sanitasi DAM sebagian besar (72,55%) memenuhi
syarat, kualitas desinfeksi sebagian besar (90,20%)
memenuhi syarat, kebersihan operator sebagian besar
(64,71%) tidak memenuhi syarat dan kondisi pengemasan sebagian besar (82,35%) memenuhi syarat.
Variabel lain yang diukur adalah kecepatan air dan
Tabel 1. Karakteristik Operator dan Lama DAM
Karakteristik Operator
dan Lama DAM
Kategori
Usia
20 - 29 tahun
30 - 39 tahun
40 - 49 tahun
> 50 tahun
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat perguruan tinggi
< 1 tahun
1 - 2 tahun
3 - 4 tahun
> 5 tahun
≤ 1 tahun
2 - 3 tahun
3 - 4 tahun
≥ 5 tahun
Tingkat pendidikan
Masa kerja
Lama DAM
Frekuensi
9
16
8
8
1
6
8
27
9
9
31
8
3
27
10
12
2
%
37,25
31,37
15,69
15,69
1,96
11,76
15,69
52,94
17,65
17,65
60,78
15,69
5,88
53,85
19,23
23,08
3,85
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Sanitasi, Kualitas Desinfeksi, Kebersihan
Operator dan Pengemasan Air
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
Variabel
Hasil
Sebagian besar operator DAM berusia antara 20 - 29
tahun. Air minum tercemar mikroba terbanyak
(38,46%) ditemukan pada operator usia 20 - 29 tahun
dan terendah (11,53%) pada usia 30 - 39 tahun. Rerata
302
n
Sanitasi
Kualitas desinfeksi
Kebersihan operator
Pengemasan air
37
46
18
42
%
72,55%
90,20%
35,29%
82,35%
n
%
14
5
33
9
27,45%
9,80%
64,71%
17,65%
Pakpahan, Picauly, Mahayasa, Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri Koliform pada Air Minum Isi Ulang
perilaku operator. Pengukuran kecepatan air digunakan
untuk mengetahui lama waktu pengisian galon (19 liter)
dalam satuan menit. Hasil pengukuran diperoleh mean
kecepatan air, yaitu 1,41 + 0,566 SD. Kecepatan air tertinggi adalah 3,4 menit dan terendah adalah 0,67 menit.
Perilaku operator diukur dengan pengetahuan, sikap dan
tingkah laku. Mean tingkat pengetahuan, sikap, dan
tingkah laku operator berturut-turut adalah 10,49 + 4,08
SD, 17,02 + 1,72 SD, 15,40 + 1,47 SD.
Tabel 3 menggambarkan cemaran mikroba DAM.
Hasil pemeriksaan menunjukkan air minum isi ulang tercemar mikroba sebesar 51% dan tidak tercemar mikroba sebesar 49%. Dari cemaran tersebut, diperoleh DAM
tercemar E. coli sebesar 33,33% dan total koliform sebesar 51%. Distribusi cemaran mikroba tertinggi di
Kecamatan Maulafa ditemukan di Kelurahan Sikumana,
Oepura, dan Kolhua. Warna merah menandakan DAM
telah tercemar dan warna biru menandakan DAM tidak
tercemar (Gambar 1).
Tabel 4 menggambarkan hasil uji bivariat variabel bebas dan terikat. Uji bivariat digunakan untuk mengetahui
Tabel 3. Distribusi Cemaran Mikroba DAM
Cemaran Mikroba
Frekuensi
%
Tercemar
Tidak tercemar
26
25
51
49
Total
51
100
pengaruh masing-masing variabel bebas dan terikat.
Variabel bebas adalah sanitasi, kebersihan operator,
kualitas desinfeksi, kecepatan aliran air, pengemasan, dan
perilaku operator. Sedangkan variabel terikat adalah cemaran mikroba. Hasil uji menunjukkan enam variabel
tidak berpengaruh terhadap cemaran mikroba, yaitu sanitasi, kebersihan operator, kualitas desinfeksi, kecepatan
aliran air, pengemasan, dan tingkah laku. Sedangkan dua
variabel berpengaruh adalah pengetahuan dan sikap.
Hasil analisis statistik variabel pengetahuan diperoleh nilai odds ratio (OR) sebesar 1,235 artinya semakin tinggi
tingkat pengetahuan, maka peluang air minum isi ulang
tidak tercemar akan semakin meningkat sebesar 1,235
kali. Demikian halnya dengan variabel sikap (OR =
1,448), semakin tinggi sikap operator, maka peluang air
minum isi ulang tidak tercemar sebesar 1,448 kali.
Tabel 5 menunjukkan hasil uji multivariat variabel bebas dan terikat. Uji multivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas dan terikat secara simultan. Dari enam variabel kandidat (nilai p < 0,25) yang diuji pada D = 5%, terdapat tiga variabel dominan yang
memengaruhi cemaran mikroba, yaitu pengetahuan, kebersihan operator, dan sanitasi. Persamaan regresi logistiknya adalah Z = -1,941; sanitasi -1,589; kebersihan
operator + 0,263; pengetahuan -10,809. Persamaan ini
menggambarkan kebersihan dan sanitasi berpengaruh
negatif terhadap cemaran mikroba, sedangkan pengetahuan berpengaruh positif terhadap cemaran mikroba.
Gambar 1. Peta Cemaran Mikroba DAM
303
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Tabel 4. Hasil Analisis Bivariat
Variabel
Sanitasi
Higiene operator
Kualitas desinfeksi
Kecepatan aliran air
Pengemasan
Perilaku
Kategori
Nilai p
OR
R2
Pengetahuan
Sikap
Tingkah laku
0,185
0,184
0,203
0,843
0,763
0,015
0,050
0,072
0,423
0,454
0,436
0,916
1,250
1,235
1,444
1,448
0,047
0,047
0,05
0,001
0,002
0,17
0,11
0,08
Tabel 5. Analisis Multivariat terhadap Cemaran Mikroba
Variabel
Sanitasi
Kebersihan operator
Pengetahuan
Konstan
B
-1,941
-1,589
0,263
-10,809
Nilai p
OR
95% CI
R2
0,044
0,050
0,026
0,047
0,144
0,240
1,308
0,00
0,022-0,950
0,061-0,958
1,08-1,59
0,455
Jika kebersihan operator konstan, maka sanitasi memengaruhi cemaran mikroba sebesar -1,941 dan pengetahuan memengaruhi cemaran mikroba sebesar 0,263.
Hasil uji diperoleh nilai OR berturut-turut untuk sanitasi,
kebersihan adalah 0,144 dan 0,240 artinya, sanitasi dan
kebersihan operator tidak memenuhi syarat memiliki
risiko 0,144 kali dan 0,240 kali tercemar mikroba dibandingkan dengan sanitasi dan kebersihan operator yang
memenuhi syarat. Pada variabel pengetahuan, diperoleh
OR 1,308 yang artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka peluang air minum isi ulang tidak tercemar
akan meningkat sebesar 1,308. Nilai R2 sebesar 45,5 menunjukkan variabel sanitasi, kebersihan operator, dan
pengetahuan dapat menjelaskan 45,5% pengaruhnya terhadap cemaran mikroba sedangkan 54,5% dipengaruhi
oleh variabel lain.
Pembahasan
Cemaran Mikroba
Hasil pemeriksaan air minum isi ulang menunjukkan
bahwa 51% DAM telah tercemar mikroba. Air minum isi
ulang telah tercemar Escherichia coli (E. coli) sebesar
33,33%. Hal ini dapat dipastikan bahwa air tersebut
telah tercemar kotoran hewan atau manusia pada tahap
pengolahan. Di Kabupaten Bogor tahun 2007, hasil
penelitian air minum isi ulang menyatakan 7,44% DAM
telah tercemar E. coli dan total koliform.11 Penelitian
lain di Jakarta Selatan tahun 2008 menyatakan 15,38%
DAM telah tercemar bakteriologis.12 Di Kecamatan
Bungus, hasil penelitian air minum isi ulang pada tahun
2012 menyatakan 55,6% DAM kualitasnya tidak
memenuhi persyaratan mikrobiologi.10 Hasil penelitian
air minum isi ulang di Sukolilo tahun 2013 menyatakan
66,66% DAM telah tercemar total koliform13, sedangkan di Kabupaten Blora tahun 2013 menunjukkan 4%
air minum isi ulang telah terkontaminasi total ko304
liform.14 Hasil penelitian air minum isi ulang di Manado
tahun 2013 menyatakan bahwa semua air minum isi
ulang telah tercemar total koliform dan telah tercemar E.
coli sebesar 77,78%.15 Hasil penelitian air minum isi
ulang Lampung, tahun 2014 menyatakan 42% DAM
telah tercemar E. coli.16
Adanya cemaran ini dapat menimbulkan masalah kesehatan. Sebagian besar konsumen memilih air minum isi
ulang karena harga murah dan terjangkau, namun mereka tidak menyadari sebagian DAM telah tercemar mikroba. Kurangnya informasi kualitas air minum isi ulang
merupakan penghambat bagi konsumen memilih DAM
berkualitas. Pemilik DAM harus dapat memberikan informasi kondisi peralatan, kebersihan operator, dan
kualitas air minum isi ulang secara terbuka kepada konsumen. Informasi demikian harus tercatat dan dapat
dibaca oleh setiap konsumen pada waktu pengisian air.
Usaha DAM dapat menggerakkan ekonomi
masyarakat dan mengurangi pengangguran. Adanya
DAM membantu masyarakat ekonomi rendah untuk
mempermudah akses air minum. Namun, adanya
masalah cemaran mikroba dapat berakibat turunnya
kepercayaan masyarakat membeli air minum isi ulang
karena dapat mengganggu kesehatannya. Pemilik DAM
harus dapat menjaga kualitas air minum isi ulang agar bebas dari E. coli dan total koliform. Menurut Copeland et
al,17 cemaran air minum dapat disebabkan karena praktik penyimpanan air dan lamanya sirkulasi air baku
DAM, yaitu > 3 hari memengaruhi kandungan mikroba.18 Selain itu, menurut Yudo, dkk,19 meningkatkan
kualitas air minum isi ulang perlu standarisasi sistem
pemroses dan teknologi pengolahan. Konsumen diharapkan lebih selektif memilih dan membeli air minum isi
ulang bukan hanya karena murah dan terjangkau.
Konsumen dapat mengamati sanitasi DAM atau
pekarangan, kebersihan dan kesehatan operator, indikator lampu penyinaran ultraviolet (UV), dan kualitas air
minum isi ulang terlebih dahulu.
Sanitasi Depot Air Minum dan Cemaran Mikroba
Pemeriksaan sanitasi dilakukan terhadap lokasi DAM,
bangunan, lantai, dinding, atap dan langit, ventilasi, fasilitas sanitasi dasar seperti jamban, saluran pembuangan
air limbah, tempat sampah, tempat cuci tangan dan
sabun, vektor maupun binatang pembawa penyakit
seperti lalat, tikus dan kecoa. Hasil analisis multivariat
menunjukkan sanitasi berpengaruh terhadap cemaran
mikroba. Sanitasi tidak memenuhi syarat berisiko 0,14
kali tercemar mikroba dibandingkan dengan sanitasi
memenuhi syarat (OR = 0,14). Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya di Semarang pada tahun
2004 yang menyatakan terdapat hubungan sanitasi (nilai
p = 0,0001) dengan kualitas bakteriologis.20 Hal ini menjelaskan bahwa semakin baik kondisi sanitasi, maka se-
Pakpahan, Picauly, Mahayasa, Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri Koliform pada Air Minum Isi Ulang
makin baik pula kualitas bakteriologis air minum isi
ulang. Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang menyatakan tidak terdapat
hubungan antara sanitasi dengan jumlah koliform air
minum isi ulang di Kabupaten Demak.21 Pada penelitian
ini, sanitasi berkategori baik ditemukan 90,9% air
minum isi ulang memenuhi syarat dan pada sanitasi tidak
baik ditemukan 62,5% kualitas bakteriologis tidak
memenuhi syarat. Penelitian lain di Bogor menyatakan
tidak terdapat hubungan (nilai p = 0,944) sanitasi dengan kontaminasi E. coli.22 Pada penelitian ini, rata-rata
skor sanitasi untuk air minum isi ulang memenuhi syarat
adalah 189,79 + 59,51 SD dan skor sanitasi untuk air
minum isi ulang tidak memenuhi syarat adalah 187,55 +
37,75 SD.
Variabel sanitasi merupakan variabel confounding
terhadap variabel kualitas desinfeksi, kebersihan, sikap,
dan tingkah laku. Informasi ini menunjukkan bahwa cemaran mikroba sebagian besar dari kualitas desinfeksi
tidak memenuhi syarat, kebersihan yang tidak memenuhi
syarat, serta nilai sikap dan tingkah laku yang masih rendah. Sanitasi DAM dapat ditingkatkan melalui penyediaan fasilitas sanitasi dan pelatihan, penyuluhan kepada
operator maupun pemilik. Pelatihan dan penyuluhan kebersihan sanitasi dapat meningkatkan praktik sanitasi sehingga dapat menurunkan cemaran mikroba. Menurut
Chemulity et al, 23 sanitasi lingkungan yang tidak
memadai merupakan sumber potensi kontaminasi air
minum dan perbaikan kualitas air minum dilakukan
melalui upaya peningkatan sanitasi.24
Kebersihan dan Cemaran Mikroba
Hasil analisis multivariat menunjukkan kebersihan
operator berpengaruh terhadap cemaran mikroba. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian di Kabupaten
Demak yang menyatakan terdapat hubungan (nilai p =
0,001) kebersihan dengan jumlah koliform air minum isi
ulang.21 Dalam penelitian ini, diperoleh kebersihan kategori baik terdapat 88,2% air minum isi ulang memenuhi
syarat dan semua (100%) kebersihan dengan kategori
tidak baik ditemukan air minum isi ulang tidak
memenuhi syarat. Hasil ini menunjukkan semakin tinggi
kualitas kebersihan, maka kualitas air minum isi ulang
semakin baik. Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian di Bogor yang menyatakan tidak terdapat hubungan kebersihan dengan kontaminasi E. coli.
Dalam penelitian ini, rata-rata skor kebersihan pada
kualitas air minum isi ulang memenuhi syarat 52,82 +
35,38 SD, sedangkan rata-rata skor kebersihan pada
kualitas air minum isi ulang tidak memenuhi syarat 43,33
+ 15,28 SD. Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan
penelitian Asfawi,20 di Semarang yang menyatakan tidak
terdapat hubungan (nilai p = 0,162) kebersihan terhadap
kualitas bakteriologis. Dalam penelitian ini, kualitas ke-
bersihan pekerja baik diperoleh 87,5% kualitas air
minum isi ulang memenuhi syarat, sedangkan kualitas
kebersihan pekerja tidak baik diperoleh 76,2% air
minum isi ulang memenuhi syarat.
Kebersihan operator sebagian besar tidak memenuhi
syarat disebabkan operator tidak melakukan pemeriksaan kesehatan berkala dan tidak menggunakan pakaian
seragam bersih dan rapih saat bekerja. Operator tampaknya tidak menyadari pentingnya melakukan pemeriksaan kesehatan dan menggunakan pakaian seragam sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit melalui air
kepada konsumen.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kebersihan
operator merupakan variabel confounding terhadap
variabel sanitasi dan pengetahuan. Hal ini menunjukkan
sebagian besar cemaran mikroba terdapat pada operator
yang nilai pengetahuannya rendah dan sanitasi yang tidak
memenuhi syarat. Peningkatan kebersihan dapat dilakukan melalui pemeriksaan kesehatan secara berkala
mininal dua kali setahun untuk skrining penyakit
bawaan, menggunakan pakaian seragam saat bekerja,
serta menjaga kebersihan diri. Pemilik DAM diharapkan
dapat menyediakan seragam kerja dan menyediakan fasilitas sanitasi untuk mendukung kebersihan operator.
Pengetahuan dan Cemaran Mikroba
Hasil analisis multivariat menunjukkan pengetahuan
operator berpengaruh terhadap cemaran mikroba.
Persamaan regresi logistik sederhana menunjukkan Z =
0,211, pengetahuan –2,293 artinya setiap kenaikan
pengetahuan sebanyak satu satuan maka akan terjadi
penurunan cemaran mikroba sebesar 2,293. Sebagian besar operator belum mengetahui maksud dan manfaat kebersihan sanitasi, syarat lokasi dan pekarangan, syarat
pengangkutan dan penyimpanan air baku, fungsi alat
desinfeksi, akibat mengonsumsi air tercemar, syarat operator, syarat kualitas air minum.
Hasil uji multivariat menunjukkan pengetahuan
merupakan variabel confounding terhadap kualitas
desinfeksi, sanitasi, kebersihan, dan tingkah laku operator. Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan dengan
melaksanakan kursus kebersihan sanitasi DAM dan pendidikan atau penyuluhan kesehatan kepada operator
DAM diselenggarakan oleh dinas kesehatan kota dan
puskesmas. Dinas perindustrian dan perdagangan pengeluarkan izin operasi DAM seharusnya disertai sertifikat
kursus operator. Adanya sertifikat merupakan bukti telah
mengikuti kursus kebersihan sanitasi yang diharapkan
menambah pengetahuan dalam mempraktikkan nilai-nilai kesehatan di tempat kerjanya.
Kualitas Desinfeksi dan Cemaran Mikroba
Hasil analisis multivariat menujukkan tidak terdapat
pengaruh kualitas desinfeksi terhadap cemaran mikroba.
305
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Hasil observasi terhadap kualitas desinfeksi 51 DAM menunjukkan 94,12% memenuhi syarat. Namun, tingginya
kualitas desinfeksi memenuhi syarat tidak diimbangi
dengan kualitas air olahan. Hal ini dapat disebabkan
karena daya kerja UV tidak maksimal apabila air keruh,
kandungan kepadatan tinggi, jarak lampu dengan permukaan air, temperatur, dan jenis organisme. Hal ini
tidak sejalan dengan penelitian di Kabupaten Tegal pada
tahun 2012 yang menghubungkan kualitas desinfeksi
dengan kualitas mikrobiologis. Dalam penelitian ini, nilai OR = 9,25 menunjukkan kualitas desinfeksi tidak
memenuhi syarat berisiko 9,25 kali tercemar mikroba
dibandingkan kualitas desinfeksi memenuhi syarat.25
Peningkatan kualitas air minum isi ulang dapat dilakukan dengan pemilihan kualitas air baku sehingga
daya kerja alat desinfeksi bekerja dengan optimal. Dinas
kesehatan kota diharapkan dapat memperketat pengawasan kualitas air baku.
Sikap dan Tingkah Laku Operator dan Cemaran Mikroba
Hasil analisis multivariat menunjukkan sikap dan
tingkah laku tidak berpengaruh terhadap cemaran
mikroba. Variabel sikap merupakan varibel confounding terhadap variabel kualitas desinfeksi. Informasi ini
menunjukkan bahwa cemaran mikroba terbanyak
ditemukan pada kualitas desinfeksi tidak memenuhi
syarat dan nilai sikap rendah, sedangkan variabel
tingkah laku merupakan variabel confounding terhadap variabel sanitasi dan kualitas desinfeksi.
Sebagian besar cemaran mikroba terdapat pada nilai
tingkah laku rendah, kondisi sanitasi dan kualitas
desinfeksi yang tidak memenuhi syarat.
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang
masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek.2
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
tetapi merupakan predisposisi tindakan. Tingkatan sikap
meliputi menerima, menanggapi, menghargai, bertanggungjawab. Tingkah laku kesehatan merupakan respons
seseorang yang bersifat aktif terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit atau penyakit, pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan.2 Dalam penelitian ini,
sikap dan tingkah laku tidak berpengaruh terhadap cemaran mikroba. Hal ini dapat disebabkan karena data
penelitian ini merupakan data kontinu dan data populasi
homogen. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan data kategori. Untuk data homogen, perlu dilakukan jenis
studi ekologi membandingkan beberapa kelompok.
Kecepatan Aliran Air dan Cemaran Mikroba
Kecepatan aliran air berkaitan dengan waktu kontak
antara air baku dengan sinar UV. Hasil pengukuran menunjukkan rata-rata kecepatan aliran air adalah 1,41 +
0,56 SD menit. Hasil analisis bivariat menunjukkan kecepatan aliran air tidak berpengaruh terhadap cemaran
306
mikroba. Hal ini dapat disebabkan pengukuran kecepatan aliran air dalam galon tidak dapat dilaksanakan
pada semua DAM dalam penelitian ini. Pada saat
penelitian, beberapa konsumen tidak sedang melakukan
pengisian air minum isi ulang sehingga pengukuran dilakukan dengan cara mengisi air pada gelas ukur dalam
satuan detik, kemudian dikonversi dalam satuan galon
per menit. Pengukuran seperti ini dapat menimbulkan
ketidaktepatan hasil pengukuran kecepatan aliran air bila dibandingkan dengan pengukuran dalam galon.
Penelitian selanjutnya perlu melakukan pengukuran pada
galon sambil menunggu kedatangan konsumen
melakukan pengisian air minum isi ulang.
Semakin lama air baku kontak dengan alat desinfeksi, maka semakin tinggi kesempatan alat desinfektan
menyinari air baku yang menyebabkan matinya mikroba.
Menurut Hardajanto,23 waktu kontak antara air dengan
sinar UV minimal empat detik, dan waktu kontak antara
air dan ozon minimal empat menit. Kecepatan aliran air
sangat berperan. Jika kecepatan aliran air lebih cepat dari
waktu yang ditentukan, maka efektivitas UV sebagai
pembasmi bakteri yang merugikan akan menurun.
Pengemasan Air dan Cemaran Mikroba
Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak terdapat
pengaruh pengemasan terhadap cemaran mikroba. Hasil
ini sejalan dengan penelitian di Kabupaten Bogor pada
tahun 2012 yang menyatakan tidak terdapat hubungan
pengemasan air terhadap kualitas air minum isi ulang .22
Tidak terdapat pengaruh pengemasan terhadap cemaran
mikroba dapat disebabkan karena data bersifat homogen.
Penelitian selanjutnya perlu melakukan studi ekologi untuk melakukan pengukuran pada beberapa kelompok.
Hasil observasi terhadap pengemasan air sebagian besar
disebabkan tidak menutup alat pembersih galon dan operator tidak mencuci tangan sebelum pengemasan air
minum isi ulang. Prioritas peningkatan pengemasan air
minum isi ulang dilakukan dengan menempatkan alat
penyikat galon pada ruang tertutup atau menutup sikat
galon dan operator mencuci tangan dengan air mengalir
dan sabun.
Kesimpulan
Hasil penelitian analisis cemaran mikroba dan determinan cemaran E. coli dan total koliform pada DAM dapat disimpulkan bahwa jumlah DAM dalam penelitian ini
adalah 51. DAM telah tercemar mikroba sebesar 51%
dan 33,33% telah tercemar E. coli. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan
memengaruhi cemaran mikroba adalah pengetahuan
operator, sanitasi DAM dan kebersihan operator.
Sedangkan variabel tidak berpengaruh adalah kualitas
desinfeksi, sikap operator, tingkah laku operator, pengemasan, dan kecepatan aliran air.
Pakpahan, Picauly, Mahayasa, Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri Koliform pada Air Minum Isi Ulang
Saran
Dinas Kesehatan Kota Kupang perlu menyelenggarakan pelatihan, kursus kebersihan sanitasi DAM
kepada para operator dan pemilik DAM, melaksanakan
peningkatan pengawasan dan pembinaan DAM secara
berkala. Puskesmas diharapkan melakukan penyuluhan
kepada operator DAM secara berkala. Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Kupang perlu
menambah persyaratan sertifikasi kebersihan sanitasi
DAM untuk pemberian izin operasi DAM. Pemilik DAM
perlu menyediakan pakaian seragam dan fasilitas sanitasi. Operator DAM perlu melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala, pencucian tangan dengan air mengalir menggunakan sabun, mengenakan seragam dan
mengikuti kursus kebersihan dan sanitasi DAM.
Masyarakat diharapkan lebih selektif dalam memilih air
minum DAM yang akan dikonsumsi.
12. Radji M, Oktavia H, Suryadi H. Pemeriksaan bakteriologis air minum
isi ulang di beberapa depo air minum isi ulang di daerah Lenteng Agung
dan Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2009;
5 (2): 101-9.
13. Marpaung DM, Marsono DB. Uji kualitas AMIU di Kecamatan Sukolilo
Surabaya ditinjau dari perilaku dan pemeliharaan alat. Jurnal Teknik
Publikasi Ilmiah Online Mahasiswa ITS. 2013; 2 (2).
14. Natalia AL, Bintari HS, Mustikaningtyas D. Kajian kualitas bakteriologis air minum isi ulang di Kabupaten Blora. Unnes Journal of Life
Science. 2004; 3(1).
15. Bambang AG, Fatimawali, Kojong NS. Analisis cemaran bakteri coliform dan identifikasi Escherichia coli pada air isi ulang dari depot di
Kota Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi. 2014; 3 (3): 325-34.
16. Apriliana E, Ramadhian MR, Gapila M. Backteriological quality of refill depot water at refill drinking water depot in Bandar Lampung. Jurnal
Kedokteran Universitas Lampung [online]. 2014 [diakses tanggal 5 Mei
2015]; 4 (7); 142-6. Diunduh dari: http://download.Portal
garuda.org/article.
Daftar Pustaka
1. Suprihatin, Suparno O. Teknologi proses pengolahan air. Bogor: IPB
Press; 2013.
2. Notoatmodjo S. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: Rineka
Cipta; 2011.
3. Mukono. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Surabaya: Airlangga
Universitas Press; 2011.
4. Entjang I. Ilmu kesehatan masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti;
2000.
5. Tabor M, Kibret M, Abera B. Bacteriological and physicochemical qua-
17. Copeland CC, Beers BB, Thompson MR, Fitzgerald RP, Barrett LJ,
Sevilleja JE, et al. Faecal contamination of drinking water in a Brazilian
shanty town: importance of household storage and new human faecal
marker testing. Journal of Water and Health. 2009: 7 (2): 324-31.
18. Abdilanov D, Hasan D, Marsaulina I. Penyelenggaraan hygiene sanitasi
dan pemeriksaan kualitas air minum pada depot air minum isi ulang di
Kota Padang tahun 2012. Jurnal Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan
Kerja. 2013 [diakses tanggal 8 Oktober 2015]: 2. Diunduh dari
http://id.portalgaruda.org/? ref=browse&mod= viewarticle &article=110056
lity of drinking water and hygiene sanitation practices of consumnes in
19. Yudo S, Rahardjo PN. Evaluasi teknologi air minum isi ulang di DKI
Bahir Dar City, Ethiopia. Ethiophian Journal of Health Science. Mar
Jakarta. Jurnal Akuakultur Indonesia. 2005 [diakses tanggal 5 Mei
2011 [cited 2014 Oct 15]; 21 (1): 19–26. A valaible from:
2015]; 1 (3). Diunduh dari: http://ejurnal.bppt.go.id/ index.php/JAI/ar-
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3275851/.
ticle/view/48/47.
6. Eshcol J, Mahapatra P, Keshapagu. Is fecal contamination of drinking
20. Asfawi S. Analisis faktor yang berhubungan dengan kualitas bakterio-
water after collection assosiated with household water handling and hy-
logis air minum isi ulang pada tingkat produsen di Kota Semarang
giene practice? A study of urban slum households in Hyderabad, India.
[tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2004.
Journal of Water and Health. 2009 [cited 2014 Oct 5]; 7 (1): 145-54.
21. Mirza MN. Hubungan antara hygiene sanitasi dengan jumlah coliform
A valaiable from: http://www.iwaponline.com/jwh/007/0145/
air minum pada depot air minum isi ulang (DAMIU) di Kabupaten
070145.pdf.
7. Anwar MS, Lateef S, Siddiq GM. Bacteriological of drinking water in
Lahore. Biomedica. 2010 [2014 Nov4]; 26: 66-9. Avalaible from:
www.thebiomedicapk.com/articles/206.pdf.
Demak. Kemas. 2013; 67-73.
22. Prihatini. Kualitas air isi ulang pada depot air minum di wilayah
Kabupaten Bogor [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia; 2009
23. Chemulity JK, Gatura PB, Kyule MM, Njeruh MM. Bacteriological qua-
8. Admassu M, Wubset M, Gelaw B. A survey of bacteriological quality of
lities of indoor and out-door drinking water in Kibera sub-location in
drinking water in North Gondar. Department of Laboratory Technology:
Nairobi, Kenya. East African Medical Journal. 2002 [cited 2015 Jan
2004 [Cited 2014 Oct 12]. Avalaible from: http://ejhd.uib.no/ejhdv18-
08]; 79 (5): 271-3. Avalaible from: http://www.ajol.info/index.
no2/8survey.pdf.
php/eamj/article/view/8868/1821
9. Suprihatin. Sebagian air minum isi ulang tercemar bakteri coliform.Tim
24. Levy K, Nelson KL, Hubbard A, Eisenberg JNS. Following the water: A
Penelitian Laboratorium Teknologi dan Manajemen lingkungan. Bogor:
controlled study of drinking water storage in Northern Coastal Ecuador.
Institut Pertanian Bogor; 2013.
Environmental Health Perspectives. 2011 [cited 2014 Dec 5]; 111 (11):
10. Wandrivel R, Suharti N, Lestari Y. Kualitas air minum yang diproduksi
DAMIU di Kecamatan Bungus Padang berdasarkan persyaratan mikrobiologi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 129-33.
11. Pratiwi AW. Kualitas bakteriologis air minum isi ulang di wilayah Kota
Bogor. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2007; 2 (2): 58-
1533-40. Avalaible from: http://ehp.niehs.nih.gov/wp-content/uploads/116/11/ehp.11296.pdf
25. Rahayu CR, Setiani O, Nurjazuli. Faktor resiko pencemaran mikrobiologi pada Air Minum Isi Ulang di Kabupaten Tegal. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. 2013; 12 (1).
63.
307
Artikel Penelitian
Akses Jaminan Kesehatan Nasional pada Pekerja Seks
Perempuan
Access of National Health Insurance among Female Sex Workers
Ni Made Sri Nopiyani, Putu Ayu Indrayathi, Rina Listyowati, I Ketut Suarjana, Pande Putu Januraga
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Abstrak
Pekerja seks perempuan (PSP) merupakan kelompok yang termarjinalkan
secara sosial dan memiliki kerentanan yang tinggi terhadap masalah kesehatan. Upaya perluasan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada PSP
masih terbatas sehingga penting dilakukan untuk mendukung pencapaian
universal health coverage. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai akses JKN pada PSP di Denpasar. Penelitian ini merupakan studi kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap 15 orang PSP dan empat orang mucikari di Denpasar pada Agustus
hingga Oktober 2014. Hasil wawancara diolah dengan analisis tematik.
Kerangka analisis yang digunakan adalah The Health Access Livelihood
Framework. Kepemilikan JKN pada PSP di Denpasar masih rendah,
meskipun sebagian PSP memiliki kemauan untuk menjadi peserta JKN
dan memiliki kemampuan membayar iuran JKN. Faktor penghambat akses
JKN pada PSP adalah rendahnya pengetahuan mengenai prosedur
pendaftaran dan portabilitas JKN, kekhawatiran keberlanjutan pembayaran
iuran, persepsi buruk mengenai kualitas layanan yang akan diterima jika
menggunakan JKN, ketidaklengkapan administrasi kependudukan serta
kebijakan yang mengharuskan peserta bukan penerima bantuan iuran
(Non-PBI) Mandiri untuk mendaftarkan seluruh anggota keluarga. Akses
JKN pada PSP terhambat oleh faktor-faktor individual, layanan dan kebijakan yang perlu diatasi untuk meningkatkan cakupan JKN pada PSP.
Kata kunci: Akses, jaminan kesehatan nasional, pekerja seks perempuan
Abstract
Female sex workers (FSW) is marginalized social group having a high vulnerability of health problems. Effort to expand national health insurance on
FSW is still limited, so it is necessarily performed in order to support the
achievement of universal health coverage. This study aimed to obtain the
depiction of the insurance access among FSW in Denpasar. This study was
qualitative. Data was collected through in-depth interview of 15 FSW and
four pimps in Denpasar on August - October 2014. The interview result was
308
analyzed using thematic analysis. The analysis framework used was The
Health Access Livelihood Framework. The insurance ownership among
FSW in Denpasar was low, even though some FSW were willing to be participants and afford to pay the premium. Factors inhibiting the insurance access were the lack of knowledge regarding registration procedures and
portability, fear of premium payment sustainability, negative perceptions regarding quality of services that would be received if using the insurance, incomplete population administration and policy requiring participants of independent non-premium support receiver to register all of their family members. The insurance access among FSW was hindered by individual, service and policy factors that need to be conquered to increase the insurance
coverage among FSW.
Keywords: Access, national health insurance, female sex workers
Pendahuluan
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
di Indonesia merupakan salah satu bentuk reformasi
pembangunan kesehatan utama yang diimplementasikan
sejak 1 Januari 2014.1 Penyelenggaraan JKN bertujuan
untuk memberikan akses universal terhadap layanan kesehatan esensial serta proteksi finansial bagi seluruh penduduk Indonesia (universal health coverage) yang ditargetkan tercapai pada tahun 2019.1 Untuk mewujudkan
keadilan sebagai salah satu visi dari reformasi kesehatan,
upaya perluasan cakupan perlu menyasar seluruh kelompok di masyarakat dengan tidak mengabaikan kelompokkelompok minoritas. Pekerja seks perempuan (PSP)
merupakan kelompok masyarakat yang sering kali terKorespondensi: Ni Made Sri Nopiyani, Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Gedung PSKM Jl. P.B. Sudirman
Denpasar Bali 80232, No.Telp: 0361-222510, e-mail: [email protected]
Nopiyani, Indrayathi, Listyowati, Suarjana, Januraga, Akses Jaminan Kesehatan Nasional pada Pekerja Seks Perempuan
marjinalkan secara hukum maupun sosial.2,3 Di sisi lain,
populasi PSP memiliki kerentanan yang tinggi untuk terpapar human immunodeficiency virus (HIV) dan infeksi
menular seksual (IMS), selain penyakit nonseksual reproduksi seperti trauma fisik dan psikologis.2-5
Bali merupakan provinsi dengan epidemi HIV terkonsentrasi dengan penularan terutama melalui transmisi
heteroseksual.6 Kelompok PSP diklaim sebagai pusat
dari perluasan epidemi HIV di Bali.6,7 Hasil pemetaan
dan estimasi populasi kunci pada tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 5.002 PSP di Bali dan 456
orang (9,1%) berstatus HIV positif.7 Pembiayaan kesehatan seksual dan reproduksi untuk PSP di Bali terancam
kesinambungannya karena bantuan dari mitra pembangunan internasional sebagai sumber dukungan dana
utama akan terhenti pada tahun 2015, sedangkan pembiayaan untuk masalah medis umum masih dibayar oleh
PSP dari kantong mereka sendiri (out of pocket).8,9
Pembiayaan out of pocket saat mengakses layanan kesehatan rentan meletakkan PSP pada risiko pengeluaran
katastrofik dan kemiskinan.10-12 JKN merupakan solusi
untuk mewujudkan pembiayaan kesehatan yang lebih
berkelanjutan, efektif dan adil bagi PSP. Penelitian terkait
akses JKN pada populasi PSP di Indonesia masih sangat
terbatas dan belum pernah dilakukan di Bali. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh
gambaran akses JKN pada PSP sehingga diharapkan
dapat memberikan bukti ilmiah yang menjadi landasan untuk meningkatkan cakupan JKN pada PSP di
Kota Denpasar sebagai kota yang memiliki jumlah
PSP terbanyak di Bali.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap 15 orang informan PSP dan empat orang mucikari
yang dipilih secara purposive dari lokalisasi di Sanur,
Padanggalak, Lumintang, dan Ubung. Penelitian berlangsung pada bulan Agustus hingga Oktober 2014. Data
yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisis dengan
analisis tematik. Kerangka analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah the Livelihood Access
Framework. Kerangka tersebut mengkombinasikan pendekatan layanan kesehatan, perilaku mencari kesehatan
dan meletakkan akses dalam konteks yang lebih luas,
yaitu ketidakamanan mata pencaharian.13 Kerangka kerja ini dipilih karena dianggap sesuai dengan konteks akses JKN pada PSP yang meliputi lima dimensi, yaitu
ketersediaan, aksesabilitas, keterjangkauan, kecukupan,
dan penerimaan.13 Penelitian telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah dengan Surat
Keterangan Kelaikan Etik No. 1316/UN.14.2/Litbang
/2014.
Hasil
Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini berjumlah 19 orang
yang terdiri dari 15 orang PSP dan empat orang mucikari.
Usia informan berkisar antara 24 hingga 43 tahun dengan riwayat pendidikan bervariasi dari tidak tamat sekolah dasar (SD) hingga lulus sekolah menengah atas
(SMA). Sebagian besar PSP berstatus janda (80%) dan
sisanya saat ini masih menikah. Seluruh informan PSP
berasal dari luar Bali, yaitu dari Jawa Timur, Jawa Barat,
dan Jawa Tengah. Lama bekerja sebagai PSP di Bali berkisar antara satu hingga sembilan tahun. Seluruh informan PSP memiliki penghasilan di atas upah minimum regional (UMR) Kota Denpasar dengan rentang penghasilan Rp 2.000.000,- hingga Rp 20.000.000,-. Kepemilikan
jaminan kesehatan masih rendah dengan hanya tiga
orang PSP (20%) telah memiliki Asuransi Kesehatan
(Askes) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
sejak sebelum diterapkannya JKN. Namun, ketiga informan PSP tersebut tidak pernah menggunakan Jamkesmas
yang mereka miliki saat mengakses layanan kesehatan.
Mucikari yang diwawancarai berjumlah empat orang, terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang perempuan
dan memiliki penghasilan 3 -15 juta per bulan dari usaha
prostitusi yang mereka kelola. Jumlah PSP yang dimiliki
di lokasi mereka berkisar antara 4 - 25 orang. Namun,
tidak semua PSP bekerja setiap hari.
Ketersediaan Jaminan Kesehatan Nasional
Pada JKN telah tersedia fasilitas untuk memfasilitasi
pendaftaran dan pembayaran peserta JKN. Informasi tentang JKN juga telah disosialisasikan kepada masyarakat
melalui media massa dan penyuluhan langsung, namun
upaya-upaya tersebut masih terbatas dan baru menyasar
masyarakat umum. Beberapa PSP mengatakan pernah
melihat iklan layanan masyarakat tentang JKN di televisi,
namun mereka merasa tidak mendapatkan informasi
yang cukup dari iklan tersebut.
“Kan pernah lihat di TV, sering dengar, sering lihat
sih tapi belum paham gitu loh. Sebenarnya nggak paham
untuk mendapatkan itu bagaimana caranya itu belum
paham.” (PSFA_26)
Bahkan terdapat di antara mereka yang tidak tertarik
dan tidak mempedulikan iklan tentang JKN karena telah
memiliki persepsi negatif terhadap jaminan kesehatan.
“Lihat di iklan ya nggak tertarik, cuek aja. Kadangkadang iklan aja, nanti kenyataannya lempar sana lempar sini gitu. Pikiran saya gitu.” (PSYU_34)
Sebagian PSP menyampaikan bahwa mereka belum
menjadi peserta JKN karena kekhawatiran jika pesertaan
JKN diurus di Bali, maka tidak akan dapat digunakan
setelah mereka pulang ke kampung halaman. Selain itu,
sebagian besar PSP mengatakan bahwa pengetahuan
mereka tentang JKN masih kurang sehingga mereka
309
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
masih belum berani memutuskan untuk mendaftar sebagai peserta JKN. Ketersediaan informasi yang komprehensif mengenai JKN dirasa penting oleh PSP untuk
mengambil keputusan terkait dengan keikutsertaan
dalam JKN.
Aksesibilitas Jaminan Kesehatan Nasional
Ketersediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya
sosialisasi untuk meningkatkan cakupan peserta JKN
tidak serta-merta diikuti oleh peningkatan cakupan peserta JKN pada kelompok PSP. Pihak Komisi
Penangulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar bekerja
sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di
bidang HIV dan AIDS di Kota Denpasar, yaitu Yayasan
Kerti Praja, untuk memberikan informasi serta mendistribusikan formulir pendaftaran kepada mucikari dan
PSP di lokasi-lokasi di Kota Denpasar.
Tingkat partisipasi PSP dalam penyuluhan JKN yang
diinisiasi oleh KPA Kota Denpasar dinilai kurang.
“Kadang sih pas penyuluhan itu banyak yang nggak
mau datang sih. Ayo ikut penyuluhan, ah ngantuk aku,
tidur. Waktu itu dari tempat saya cuma 3 orang aja yang
ikut.” (PSAN_28)
Sebagian besar PSP mengatakan bahwa meskipun
mereka telah diberikan informasi mengenai prosedur
pendaftaran JKN saat penyuluhan, tetapi mereka belum
memahami alur pendaftaran tersebut.
“Nggak tahu juga aku. Dibilangin sih tapi akunya
yang nggak paham. Soalnya waktu penyuluhan itu nggak pake salon [pengeras suara]. Salonnya nggak keras,
nggak paham.” (PSIN_28)
Sebagian PSP mengaku bahwa mereka telah mengisi
formulir pendaftaran JKN, hanya saja mereka tidak tahu
apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Para PSP
mengatakan bahwa mereka tidak dapat melakukan
pendaftaran sendiri. Sebagian besar PSP tidak memiliki
kendaraan pribadi sehingga tidak dapat datang sendiri ke
kantor BPJS untuk mendaftarkan diri sebagai peserta.
Selain itu, sebagian besar PSP berasal dari luar Bali sehingga mereka kurang familiar dengan lokasi di
Denpasar.
“Belum pernah sih saya ngurus gitu-gitu. Sama nggak
tahu tempatnya. Mesti ada yang nganter dulu. Kalonya
pas ada motornya ya nggak berat apalagi kalo tahu tempatnya. Kalo nggak tahu ya sama aja kan. Soalnya nggak paham daerah sini.” (PSIN_28)
Rendahnya pengetahuan mereka juga menyebabkan
rasa rendah diri dan membuat mereka merasa takut untuk menghadapi kompleksitas prosedur pendaftaran JKN
yang akan dijalani.
Pada saat pertemuan sosialisasi JKN oleh KPA
Denpasar, pihak LSM telah menyanggupi untuk memfasilitasi proses pendaftaran. Hanya saja hingga saat
wawancara dilakukan, hal tersebut belum ditindaklanju310
ti sehingga PSP tersebut belum mendaftar hingga
sekarang.
“Temen-temen sudah ngisi tapi belum ada yang bawa
ke sana [kantor BPJS]. Disuruh ke yayasan tapi sampai
sekarang nggak ada apa-apa, males saya. Ya udah biarin
aja, yang penting kan saya sudah ngisi, entah kapan
dikumpulin.” (PSCA_24)
Informan mucikari menyebutkan bahwa kemungkinan besar PSP tidak akan melakukan pendaftaran apabila tidak difasilitasi oleh pihak lain karena kesadaran
mereka yang masih rendah serta ketakutan akan
terungkapnya profesi mereka sebagai PSP jika berada di
tempat umum.
“Kemungkinan dia [PSP] tidak mau. Masalahnya ini
ya kalo masalah kesehatan saja kalo nggak kita yang
gedor-gedor mungkin dia nggak akan bangun kesini untuk periksa. Mungkin malu dia. Iya gimana ya namanya
orang malu. Kemungkinan takut identitas aslinya ketahuan.” (MKAG_40)
Persyaratan administratif yang dibutuhkan untuk
pengurusan pesertaan JKN seperti Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) disebutkan
sebagai penghambat bagi PSP untuk menjadi peserta.
Sebagian besar PSP berasal dari luar Bali sehingga mereka terkendala urusan administrasi kependudukan.
Persyaratan Kartu Identitas Penduduk Musiman
(KIPEM) atau KTP bisa dipenuhi oleh sebagian besar
PSP. Namun, seluruh PSP mengalami kesulitan untuk
memenuhi persyaratan KK. Seluruh PSP tidak membawa
KK, bahkan terdapat beberapa PSP yang mengaku tidak
memiliki KK terutama setelah pernikahan mereka berakhir dan status mereka berubah.
“Ya pengen sih tapi belum ngurus [JKN] soalnya kan
harus pake KK. Aku kan belum ada. Soalnya waktu aku
pulang ke banjarmasin itu kan KK- ku hilang. Sampai
sekarang kan nggak ngurus. Sejak suamiku meninggal
belum ngurus. Makanya nggak ikut. Sebenarnya sih pingin. Rencananya bulan ini mau pulang ngurus KKnya
dulu.” (PSIN_28)
Prosedur pembayaran iuran JKN melalui transaksi
bank tidak menyulitkan PSP karena hampir seluruh PSP
telah terbiasa melakukan transaksi keuangan lewat bank.
“Saya sudah biasa transfer lewat ATM ke bank ke
anaknya. Rekening juga ada jadi nggak sulit.”
(PSWI_32)
Peranan mucikari untuk memperluas cakupan JKN
bervariasi. Di beberapa lokasi, mucikari cukup bertanggungjawab, peduli, dan bersedia membantu PSP untuk
menyebarkan informasi dan membantu pengurusan pesertaan JKN.
“Kalo misalnya kita minta, minta tolong diantarkan
mau mungkin. Kalo membayarkan nggak mungkin. Kalo
bos saya baik..” (PSWI_32)
“Nggak, kalo saya nggak pernah repot.Kalo disuruh
Nopiyani, Indrayathi, Listyowati, Suarjana, Januraga, Akses Jaminan Kesehatan Nasional pada Pekerja Seks Perempuan
ngurus kayak gini [pendaftaran JKN] saya siap saja.”
(MKAG_40)
Meskipun terdapat juga mucikari yang tidak pernah
membicarakan tentang JKN dengan anak buahnya,
“Paling bosnya cuma ngingetin periksa tiap bulan ke
yayasan. Tapi kalo masalah asuransi memang sama
sekali nggak pernah bahas.” (PSFA_26)
Namun, di sebagian besar lokasi, terutama pada
lokasi mucikari dan PSP tidak tinggal di tempat yang
sama, hubungan mucikari dengan PSP hanya sebatas
hubungan bisnis. Mucikari di lokasi terebut tidak memiliki kepedulian terhadap urusan pribadi PSP, termasuk
urusan kesehatan sehingga mucikari tersebut tidak
memiliki peran dalam memperluas cakupan JKN pada
kelompok PSP.
“Kayaknya bosnya itu cuek aja dateng, cuma minta
uang harian. Datengnya itu satu minggu sekali minta
uang harian. Kalo masalah anak buahnya kena apa itu
nggak mau tau.” (PSYA_43)
Beberapa mucikari mengatakan bahwa mereka sebenarnya bersedia memfasilitasi pengurusan pesertaan PSP,
namun pengetahuan mereka yang kurang mengenai
prosedur pengurusan menjadi penghambat bagi mereka.
Pemberian informasi saja dirasakan tidak cukup untuk
membuat mucikari dan PSP mampu mengurus pendaftaran JKN secara mandiri. Bantuan dari pihak ketiga untuk mendampingi mereka dan menunjukkan secara langsung cara pendaftaran BPJS dirasa lebih efektif.
Peran mucikari sebagai pemilik usaha untuk ikut
mengiur sebagian iuran JKN PSP menurut mucikari tidak
mungkin mereka lakukan karena tidak adanya kepastian
dalam hubungan kerja mereka. Tidak adanya kontrak
kerja yang formal antara mucikari dan PSP dan mobilitas
PSP yang cukup tinggi menyebabkan PSP dapat berhenti bekerja kapan saja. Selain itu, kinerja dari PSP juga
tidak menentu karena tidak adanya target yang ditetapkan oleh mucikari. Kontribusi mucikari untuk ikut membayar iuran PSP yang hanya mendatangkan penghasilan
yang sedikit bagi mucikari, dianggap tidak menguntungkan bagi mucikari.
“Kayaknya nggak mungkin ya. Ya gini, kan tidak ada
ikatan pasti soalnya. Mungkin dia itu juga kerjanya nggak dipaksakan kayak kewajibannya gitu nggak.
Ditelepon dulu siap kerja baru dia datang. Kalo nggak
gitu ya nggak datang. Kadang-kadang satu minggu paling empat kali dia datang.” (MKAG_40)
Keterjangkaun Jaminan Kesehatan Nasional
Besaran iuran BPJS saat ini cukup terjangkau oleh
PSP. Penghasilan yang mereka dapatkan setiap bulan
cukup besar berkisar Rp 3.000.000,- hingga Rp
20.000.000,-. Hasil wawancara menunjukkan bahwa beberapa PSP sebenarnya mau dan mampu untuk membayar iuran kelas I dengan nominal Rp 59.500,- per bulan.
“Yaaa.. kalau menurut kemampuan kita untuk
sekarang sih milih yang kelas 1 aja, soalnya lebih baiklah, orang cuma satu bulan 60.000.” (MKTI_30)
Hanya saja hampir seluruh PSP yang telah memutuskan untuk menjadi peserta JKN memilih kelas III dengan besar iuran Rp 25.500,- per bulan karena mereka
khawatir akan kondisi perekonomian mereka di masa
mendatang. Mereka mengatakan bahwa dalam bisnis
seks, penghasilan mereka tidak menentu. Jumlah klien
yang memanfaatkan jasa mereka fluktuatif. Seiring dengan pertambahan usia, maka daya jual mereka akan
berkurang dan jumlah klien yang mereka dapatkan menurun sehingga pendapatan mereka pun akan menurun.
Selain itu, beberapa PSP menyebutkan bahwa mereka
tidak ingin bekerja selamanya sebagai pekerja seks.
Mereka memprediksi bahwa setelah mereka berhenti
bekerja sebagai pekerja seks, mereka tidak akan dapat lagi mendapatkan penghasilan sebesar penghasilan saat ini.
“Takutnya ya namanya orang ya nanti pas kita
dalam keadaan nggak ada rejeki, namanya orang ya. Pas
kita lagi jatuh sakit, bayar uang 25 ribu itu berat lho.
Namanya orang nggak tahu kita kesandung, kita nggak
punya rejeki, itu juga berat uang segitu. Soalnya aku kan
bukan orang yang punya kerjaan tetap, kantoran gitu.”
(PSYA_43)
Kebijakan yang mewajibkan peserta Non-PBI Mandiri
untuk mengikutsertakan seluruh anggota keluarga yang
tercantum dalam KK menjadi faktor penghambat bagi
PSP untuk menjadi peserta JKN. Beberapa PSP meskipun
berpenghasilan di atas lima juta rupiah per bulan, namun
mereka merasa pesimis dapat membayar iuran JKN secara berkelanjutan dan dapat mengikutsertakan anggota
keluarga mereka.
“Saya dari kemarin-kemarin sih rencana mau daftar.
Tapi kalo saya daftar kan kasian anak saya jadi saya
masih mikir untuk saya daftar sendiri. Anak saya nanti
gimana. Kalo misalkan saya ikut 2 orang kan 50 ribu.
Apa mungkin nanti terus bisa bayar kalo udah di Jawa,
mikir dulu.” (PSSO_38)
Hal tersebut dikarenakan banyaknya pengeluaran per
bulan untuk kepentingan nonkesehatan seperti membayar utang serta membiayai kehidupan dan pendidikan
anak dan anggota keluarga mereka. Hampir seluruh PSP
berstatus janda yang telah memiliki anak sehingga mereka menjadi tulang punggung keluarga.
“Pengeluarannya banyak sekali. Banyak pengeluaran
misalkan kita dapat uang segitu sebulannya. Kan pengeluarannya kan bukan hanya untuk makan, untuk
cukup anak, kan untuk ini, beban hutang. Kalo misalnya nggak punya utang ya nggak kerja gini.” (PSWI_32)
Kekhawatiran akan ketidakmampuan membayar iuran di masa mendatang serta persepsi yang buruk mengenai jaminan kesehatan membuat beberapa PSP lebih
memilih untuk menabung daripada mengikuti asuransi
311
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
untuk berjaga-jaga jika suatu saat jatuh sakit.
Pembayaran dengan out of pocket diasosiasikan oleh PSP
dengan kualitas layanan yang lebih baik dibandingkan
dengan asuransi kesehatan.
“Makanya daripada gitu kita mendingan kita kalau
kita punya uang tabungan kayak orang Jawa kan untuk
beli kerbau sapi. Itu dah tabungan kita ada kalau kita
ada apa apa. Ya jadi kalau kita udah mampu bayar
otomatislah langsung ditangani bener bener.Kalau ga gitu, kalau kita pakai jaminan-jaminan [JKN]gitu
dikasinya juga obat yang standar. Disana intinya,
mendingan kita punya uang, langsung ditangani. Saya
pengalaman saya disana.” (PSAM_35)
“Cuma gitu aja cadangannya tiap hari kita harus
bisa naruh entah 20, 25 ribu itu kita tabungin. Kalo sakit , kita nggak kerja ada yang kita pake bayar. Jadi tiap
hari tu masukin ke celengan.” (PSID_42)
Kecukupan Jaminan Kesehatan Nasional
Hampir seluruh PSP mengatakan bahwa dalam satu
tahun terakhir mereka tidak pernah mengalami masalah
kesehatan yang serius. Hanya terdapat sebagian kecil
yang mengalami keluhan kesehatan yang ringan, seperti
sakit kepala dan demam yang biasanya diatasi dengan
berobat ke dokter praktik swasta atau mengobati sendiri
keluhan kesehatan mereka.
Biaya yang mereka keluarkan untuk sekali berobat ke
dokter praktik swasta berkisar antara Rp 40.000,- sampai Rp 80.000,- untuk biaya jasa dokter dan obat. Jumlah
uang tersebut menurut mereka adalah jumlah yang sedikit. Untuk layanan kesehatan seksual dan reproduksi,
seperti pemeriksaan IMS dan HIV hingga terapi antiretroviral (ARV), dapat diakses oleh PSP tanpa biaya.
Secara finansial, besar iuran JKN tidak menjadi penghambat bagi PSP untuk menjadi peserta JKN. Hasil
wawancara menunjukkan bahwa beberapa PSP memiliki
persepsi yang buruk mengenai istilah ‘jaminan kesehatan’. Hal tersebut disebabkan oleh pengalaman buruk
dalam mengakses layanan kesehatan dengan menggunakan jaminan kesehatan, khususnya jaminan kesehatan
untuk masyarakat miskin atau Jamkesmas. Mereka
menceritakan bahwa ketika menggunakan Jamkesmas,
keluarga mereka tidak mendapat pelayanan yang baik,
bahkan tidak dilayani oleh tenaga kesehatan di rumah
sakit. Persepsi yang buruk mengenai jaminan kesehatan
menjadi penghalang bagi mereka untuk menjadi peserta
JKN. Jaminan kesehatan diidentikkan dengan kualitas
layanan yang buruk dan prosedur administrasi yang
berbelit-belit.
“Tapi aku pernah denger dari salah satu temenku itu
punya jamkesmas itu ya. Jamkesmas itu, ada anaknya
temanku mau melahirkan di Banyuwangi itu ceritanya,
dibilang nggak ada alatnya kek, dilempar sana sini.
Nggak ada alat sedangkan keadaan sudah gawat kan.
312
Anakku bilang, ah jangan dah pake-pake itu bu ntar nggak dihiraukan gitu. Kebanyakan gitu makanya aku
takut pake yang kayak-kayak gitu. Nanti disepelekan
sama pihak-pihak rumah sakit.” (PSYA_43)
Pembahasan
Penelitian ini mengindikasikan masih rendahnya
kepemilikan JKN pada populasi PSP di Denpasar.
Penelitian yang dilakukan oleh Sugiyatmi,14 terhadap 78
PSP di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, juga menunjukkan rendahnya jumlah PSP yang sadar asuransi.
Ditinjau berdasarkan kerangka The Livelihood Access
Framework, ketersediaan informasi tentang JKN yang dapat dimengerti oleh PSP masih terbatas. Sosialisasi JKN
melalui media televisi dianggap kurang efektif oleh PSP.
Hasil estimasi populasi kunci menunjukkan bahwa
terdapat sekitar 2.737 orang PSP di Denpasar.7 Sebagian
besar PSP di Kota Denpasar berasal dari luar Bali dan
tidak memiliki KTP Bali sehingga mereka tidak dapat
mengakses Jaminan Kesehatan Bali Mandara saat mereka mengalami permasalahan kesehatan.9 Hasil penelitian
menunjukkan bahwa status kepemilikan asuransi
berhubungan dengan pemanfaatan layanan kesehatan pada pekerja migran.15,16 Salah satu prinsip penyelenggaraan JKN adalah prinsip portabilitas yang dimaksudkan untuk menyediakan jaminan kesehatan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah
tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.1 Portabilitas JKN menjadi solusi yang tepat
untuk menyediakan perlindungan kesehatan bagi PSP
yang memiliki mobilitas antarprovinsi yang tinggi.
Ketidakpahaman terhadap prinsip portabilitas JKN menjadi penghambat bagi PSP untuk menjadi peserta JKN.
Dari sisi keterjangkauan, PSP memiliki modal keuangan yang cukup dengan pendapatan rata-rata PSP per bulan berada di atas UMR Kota Denpasar sebesar Rp
1.800.000,- pada tahun 2015. Pendapatan diatas UMR
pada PSP juga ditemukan pada penelitian Januraga dkk,9
di Denpasar, Badung, dan Buleleng serta penelitian oleh
Sugiyatmi,14 di Tarakan, Kalimantan Utara. PSP memiliki kemauan dan kemampuan membayar iuran JKN, namun mereka meng-khawatirkan keberlanjutan pembayaran iuran karena khawatir akan ketidakmampuan
membayar iuran di masa mendatang. Penelitian yang dilakukan di Purbalingga, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa keterjangkauan iuran merupakan salah satu faktor
yang berhubungan dengan keberlanjutan pembayaran iuran pada peserta JKN Non-PBI Mandiri di Purbalingga.17
Tidak adanya bentuk ikatan kerja yang formal, ketiadaan
jaminan kesehatan serta perlindungan dari pemberhentian kerja sepihak merupakan masalah-masalah umum
yang dihadapi oleh para pekerja di luar sektor formal, termasuk PSP.18 Berbeda dengan pekerja penerima upah
sektor formal yang sebagian iurannya dibayar oleh pem-
Nopiyani, Indrayathi, Listyowati, Suarjana, Januraga, Akses Jaminan Kesehatan Nasional pada Pekerja Seks Perempuan
beri kerja, mucikari sebagai pihak pemberi kerja bagi
PSP tidak dapat ikut membayar sebagian iuran dari PSP
karena tidak adanya bentuk ikatan kerja yang formal.
Potensi mucikari untuk memperluas cakupan JKN hanya
terbatas pada menyebarluaskan informasi dan memfasilitasi proses pendaftaran.
Faktor terkait kebijakan yang teridentifikasi dalam
penelitian ini adalah kebijakan yang mewajibkan pekerja
sektor informal untuk mendaftarkan seluruh anggota
keluarga yang tercantum dalam KK. Kebijakan ini
muncul sebagai respons terhadap fenomena adverse selection yang terjadi di awal implementasi JKN.19 Sejak 1
Januari 2014, diperkirakan terdapat dua juta orang
pekerja sektor informal yang mendaftar sebagai peserta
JKN dan sebagian besar ada dalam keadaan sakit dan
memerlukan perawatan kesehatan, tidak jarang yang
berbiaya tinggi.19 Jumlah peserta JKN yang masih terbatas menyebabkan risiko finansial yang besar untuk
BPJS sehingga BPJS mengeluarkan kebijakan tersebut.19
Permasalahan lain yang menghambat akses JKN pada
PSP adalah tidak terpenuhinya persyaratan administrasi
kependudukan yang dibutuhkan untuk pendaftaran JKN,
khususnya kepemilikan KK. Peningkatan ketertiban dan
keterpaduan administrasi kependudukan perlu dilakukan
untuk menunjang implementasi JKN dan pelbagai program pembangunan lainnya.
Aksesibilitas JKN terkendala kurangnya pemahaman
PSP terhadap prosedur pendaftaran dan kurangnya pendampingan. Studi terhadap PSP di wilayah perkotaan
menunjukkan bahwa ketidaktahuan PSP mengenai cara
memperoleh asuransi merupakan penghambat akses
layanan kesehatan pada PSP.4 Dukungan dari mucikari,
rekan PSP serta LSM pendamping merupakan bentuk social capital yang dianggap sangat perlu untuk mendorong
pesertaan JKN pada PSP. Peran KPA juga cukup besar
dalam meningkatkan cakupan pesertaan JKN pada PSP.
Kecukupan JKN yang menyangkut aspek kualitas
layanan kesehatan dipersepsikan kurang oleh PSP.
Berdasarkan pengalaman penggunaan Jamkesmas, PSP
mengidentikkan istilah ‘jaminan kesehatan’ dengan
layanan kesehatan yang kurang berkualitas. Stigma buruk yang melekat pada jaminan kesehatan juga telah
dibuktikan oleh beberapa studi terhadap pengguna
Jamkesmas dan asuransi kesehatan untuk orang miskin
(Askeskin). Studi di empat kabupaten di Jawa Timur terhadap masyarakat miskin dan hampir miskin dan hasil
studi menggunakan data Indonesia Family Life Survey
(IFLS) di Indonesia Timur menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kepuasan pasien Jamkesmas terhadap
layanan kesehatan yang mereka terima serta perbedaan
kualitas layanan dengan pasien non-Jamkesmas yang
membuat mereka enggan untuk menggunakan
Jamkesmas kembali.20,21 Studi terhadap implementasi
Askeskin di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga menun-
jukkan bahwa beberapa obat yang tercantum dalam formularium Askeskin tidak tersedia pada saat dibutuhkan.22 Persepsi buruk terhadap ‘jaminan kesehatan’
memengaruhi penerimaan JKN pada PSP. Meskipun
mereka merasa memiliki kerentanan yang tinggi terhadap
penyakit khususnya HIV, sebagian PSP lebih memilih
pembayaran layanan kesehatan secara out of pocket yang
sebenarnya meletakkan PSP dalam risiko yang tinggi
akan pengeluaran katastrofik dan kemiskinan. 10-12
Kepemilikan asuransi kesehatan dapat menurunkan
risiko terjadinya pengeluaran katastrofik pada PSP.23,24
Menghapus stigma yang melekat pada ‘jaminan kesehatan’ merupakan upaya yang penting dilakukan untuk
meningkatkan cakupan JKN tidak hanya pada kelompok
PSP, tetapi juga pada masyarakat umum.
Pembiayaan kesehatan, terutama kesehatan seksual
reproduksi pada PSP saat ini, sebagian besar masih
bersumber dari pendanaan mitra pembangunan internasional yang akan terhenti pada tahun 2015.8,25 Epidemi
HIV di Bali yang terkonsentrasi pada populasi kunci,
salah satunya adalah PSP, memerlukan sumber dana yang
berkelanjutan untuk pembiayaan program pencegahan,
pengobatan, perawatan dan dukungan yang saat ini
sedang berjalan. Ketiadaan dukungan pembiayaan
berpotensi menyebabkan terhambatnya upaya penanggulangan HIV dan meluasnya epidemi HIV.25 Di masa
mendatang, pembiayaan HIV diharapkan akan terintegrasi dengan pembiayaan JKN sehingga upaya peningkatan cakupan JKN pada PSP merupakan salah satu
upaya mewujudkan sistem pembiayaan yang lebih berkelanjutan bagi penanggulangan HIV di Indonesia. Selain
itu, upaya untuk menjangkau PSP dengan JKN penting
untuk mewujudkan keadilan serta pencapaian universal
health coverage.
Kesimpulan
Akses JKN pada PSP di Denpasar masih terbatas.
Terdapat faktor-faktor individual serta faktor-faktor
terkait layanan dan kebijakan yang menghambat perluasan cakupan kepesertaan JKN pada PSP di Denpasar.
Faktor-faktor individual penghambat akses JKN pada
PSP adalah rendahnya pengetahuan mengenai prosedur
pendaftaran dan portabilitas JKN, kekhawatiran keberlanjutan pembayaran iuran serta ketidaklengkapan administrasi kependudukan. Faktor terkait layanan, yaitu
adanya persepsi buruk terhadap kualitas layanan yang
akan diterima oleh pengguna JKN. Kebijakan yang mengharuskan peserta Non-PBI Mandiri untuk mendaftarkan
seluruh anggota keluarga dalam KK merupakan faktor
terkait kebijakan penghambat akses JKN pada PSP.
Saran
Upaya sosialisasi JKN pada PSP perlu menekankan
pada prosedur pendaftaran, aspek portabilitas dan diser313
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
tai upaya menghapus persepsi negatif mengenai kualitas
layanan kesehatan yang akan diterima peserta JKN.
Potensi mucikari, LSM bidang HIV dan KPA untuk terlibat dalam upaya perluasan cakupan JKN pada PSP perlu dioptimalkan.
The Lancet. 2003; 362: 111-7.
13. Obrist B, Iteba N, Lengeler C, Makemba A, Mshana C, Nathan R, et al.
Access to health care in contexts of livelihood insecurity: a framework
for analysis and action. PLoS Medicine. 2007; 4 (10): 1584-8.
14. Sugiyatmi TA. Gambaran asuransi kesehatan pada era JKN pada wanita pekerja seksual di lokalisasi Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Forum
Daftar Pustaka
Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, Bandung, 24-26
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jaminan kesehatan na-
September 2014. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran;
sional (JKN) dalam sistem jaminan sosial nasional. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
2. Ward H, Day S. What happens to women who sell sex? report of a
unique occupational cohort. Sexually Transmitted Infections. 2006; 82
(5): 413-7.
3. Rekart M. Sex-work harm reduction. The Lancet. 2005; 366 (9503):
2123-34.
2014.
15. Mou J, Cheng J, Zhang D, Jiang H, Lin L, Griffiths SM. Health care utilisation amongst Shenzhen migrant workers: does being insured make a
difference? BMC Health Service Research. 2009; 9 (214):1-9.
16. Peng Y, Chang W, Zhou H, Hu H, Liang W. Factors associated with
health-seeking behavior among migrant workers in Beijing, China. BMC
Health Services Research. 2010; 10 (69): 1-10.
4. Baker LM, Case P, Policichio DL. General health problems of inner-city
17. Intiasari AD. Determinan keberlanjutan pembayaran premi non PBI
sex workers: a pilot study. Journal of the Medical Library Association.
mandiri pada JKN di wilayah pedesaan Kabupaten Purbalingga. Forum
2003; 91 (1): 67-71.
Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia; 24-26 September
5. Baral S, Beyrer C, Muessig K, Poteat T, Wirtz AL, Decker MR, et al.
Burden of HIV among female sex workers in low-income and middleincome countries: a systematic review and meta-analysis. The Lancet
Infectious Diseases. 2012; 12: 538-49.
6. Januraga PP, Wulandari LPL, Muliawan P, Sawitri S, Causer L, Wirawan
DN, et al. Sharply rising prevalence of HIV infection in Bali: a critical
assessment of the surveillance data. International Journal of STD &
AIDS. 2013; 24: 633-7.
2014; Bandung. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran;
2014.
18. Cuevas S, Mina C, Barcenas M, Rosario A. Informal employment in
Indonesia. Manila: Asian Development Bank; 2009.
19. Thabrany H. Jaminan kesehatan nasional. Jakarta: Divisi Buku
Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo; 2014.
20. Jannatul N, Mansur F, Purwaningrum D, Sapardi H. Masyarakat meragukan mutu layanan kesehatan gratis: persepsi masyarakat terhadap pe-
7. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali. Estimasi populasi kunci
manfaatan jaminan kesehatan masyarakat di Jawa Timur. Forum
dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tahun 2014 di Kabupaten/Kota
Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia; 24-26 September
Provinsi Bali. Denpasar: Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali;
2014; Bandung. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran;
2014.
2014. p. 36.
8. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali. Strategi dan rencana aksi
21. Radja II. Jaminan kesehatan masyarakat di Indonesia Timur: benarkah
daerah (SRAD) penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Bali tahun
bermanfaat? Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan
2013-2018. Denpasar: Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali;
Indonesia, 24-26 September 2014; Bandung. Bandung: Fakultas
2013.
Kedokteran Universitas Padjajaran; 2014.
9. Januraga PP, Wulandari LPL, Nopiyani NMS. Pengembangan layanan
22. Lestari TRP. Implementasi program asuransi kesehatan masyarakat
kesehatan dasar yang komprehensif bagi pekerja seks perempuan di
miskin di Nusa Tenggara Timur. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat
Bali: penjajagan struktur sosial masyarakat dalam pencegahan
HIV/AIDS. Denpasar: Ikatan Alumni Kesehatan Masyarakat Indonesia
Bali; 2010.
10. Minh HV, Phuong NTK, Saksena P, James CD, Xu K. Financial burden
of household out-of pocket health expenditure in Viet Nam: Findings
from the National Living Standard Survey 2002-2010. Social Science &
Medicine. 2013; 96 (2013): 258-63.
Nasional. 2009; 3 (6 ): 264-9.
23. Aji B, Allegri MD, Souares A, Sauerborn R. The impact of health insurance programs on out-of-pocket expenditures in Indonesia: An increase or a decrease? International Journal of Environmental Research
and Public Health. 2013; 10: 2995-3013.
24. Lagomarsino G, Garabrant A, Adyas A, Muga R, Otoo N. Moving towards universal health coverage: health insurance reforms in nine de-
11. Limwattananon S, Tangcharoensathien V, Prakongsai P. Catastrophic
veloping countries in Africa and Asia. The Lancet. 2012; 380: 933-43.
and poverty impacts of health payments: results from national house-
25. Katz I, Routh S, Bitran R, Hulme A, Avila C. Where will the money
hold surveys in Thailand. Bulletin of the World Health Organization.
come from? Alternative mechanisms to HIV donor funding. BioMed
2007; 85 (8): 600-6.
Central Pub Health [serial on internet]. 2014 [cited 2015 Jan];14 (956).
12. Xu K, Evans DB, Kawabata K, Zeramdini R, Klavus J, Murray CJL.
Household catastrophic health expenditure: a multicountry analysis.
314
Available from: http://www.biomedcentral.com/1471-2458/14/956
Artikel Penelitian
Pengaruh Teknik Marmet terhadap Kelancaran Air Susu
Ibu dan Kenaikan Berat Badan Bayi
Effect of Marmet Technique on Smoothness of Breastfeeding and Baby
Weight Gain
Anita Widiastuti, Siti Arifah, Wiwin Renny Rachmawati
Program Studi Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Semarang
Abstrak
Bayi lahir cukup bulan memiliki naluri menyusu 20 - 30 menit setelah dilahirkan. Namun, fakta menunjukkan produksi dan ejeksi air susu ibu (ASI)
yang sedikit di hari-hari pertama menyebabkan banyak ibu yang mengalami ketidakefektifan proses menyusui. Tidak terproduksinya ASI diakibatkan
karena kurangnya rangsangan hormon prolaktin. Teknik marmet merupakan perpaduan memerah dan memijat payudara pada ibu nifas yang dapat merangsang hormon pada proses menyusui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh teknik marmet dengan masase payudara pada ibu nifas tiga hari postpartum terhadap kelancaran ASI dan kenaikan berat badan bayi. Penelitian ini menggunakan desain pre-experimental bentuk perbandingan kelompok statistik yang dilakukan di
Puskesmas Grabag Kabupaten Magelang. Sampel yang digunakan adalah
40 responden postpartum pada September - November 2014. Uji statistik
menggunakan uji Mann Whitney U. Teknik marmet dan masase payudara
dalam memengaruhi kelancaran ASI secara statistik terdapat perbedaan
(nilai p = 0,047). Sedangkan perbedaan dalam memengaruhi berat badan
bayi diperoleh nilai p = 0,038 sehingga secara statistik tidak terdapat perbedaan. Pemberian perlakuan teknik marmet menyebabkan pengeluaran ASI
lebih lancar, tetapi tidak terdapat perbedaan teknik marmet dengan masase
payudara dalam memengaruhi kenaikan berat badan bayi.
Kata kunci: Air susu ibu, berat badan bayi, teknik marmet
Abstract
Vigorous babies have suckling instinct for 20 - 30 minutes after born.
However, the fact shows that low production and ejection of breastfeed in
first days cause many mothers have ineffective breastfeeding problem. The
lack of prolactin hormone stimulus affects breastfeed cannot be produced.
Marmet technique is a combination of breast dairy and massage in puerperium mothers that can stimulate hormone during breastfeeding. This
study aimed to compare effects of both marmet technique and breast massage in three-day postpartum mothers on the smoothness of breastfeeding
and baby weight gain. This study used pre-experimental design with statistical group comparison conducted in Grabag Primary Health Care,
Magelang District. The samples used were 40 postpartum mother respondents on September - November 2014. The statistical test used Mann
Whitney U-Test. Marmet technique and breast massage affecting the
smoothness of breastfeeding were statistically different (p value = 0.047).
Meanwhile, the difference in affecting baby weight gain reached p value =
0.038, so statistically no difference found. The treatment of marmet technique affects breastfeeding smoother, yet no difference found between
marmet technique and breast massage in affecting the baby weight gain.
Keywords: Breastfeed, baby weight, marmet technique
Pendahuluan
Menyusui merupakan kejadian alamiah. Namun, untuk dapat berhasil menyusui dengan optimal, seorang ibu
harus mengetahui tentang air susu ibu (ASI) itu sendiri
serta penatalaksanaan menyusui. Kegagalan menyusui
sering disebabkan karena faktor psikologis ibu pada harihari awal proses menyusui. Ibu sering merasa takut kalau
ASI yang dihasilkan tidak mencukupi kebutuhan
bayinya.1
Idealnya, proses menyusui dapat dilakukan segera
setelah bayi dilahirkan. Bayi yang lahir cukup bulan
memiliki naluri untuk menyusu 20 - 30 menit setelah dilahirkan. Pada jam-jam pertama, bayi relatif tenang dan
memiliki keinginan untuk menyusu. Namun, kenyataan
di lapangan menunjukkan banyak ibu yang mengalami
ketidakefektifan proses menyusui karena produksi dan
Korespondensi: Anita Widiastuti, Program Studi Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Semarang, Jl. Perintis Kemerdekaan Kotak Pos 221 Magelang 11440,
No.Telp: 0293-365185, e-mail: [email protected]
315
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
ejeksi ASI yang sedikit di hari-hari pertama sehingga ibu
enggan untuk menyusui bayinya.2
Hakikatnya, tidak ada ibu yang memproduksi ASI
sedikit. Dari 100 ibu bersalin, hanya dua ibu yang benarbenar memiliki produksi ASI sedikit dan yang lainnya
memiliki produksi ASI yang banyak. Ibu perlu mendapatkan penatalaksanaan dini supaya ibu dapat memahami hal-hal penting yang dapat meningkatkan produksi
ASI serta upaya agar pengaliran ASI dapat berhasil dengan baik.1
Jika menyusui di periode awal kelahiran tidak dapat
dilakukan, upaya yang dapat dilakukan sebagai alternatif
terbaik berikutnya adalah memerah atau memompa ASI
selama 10 - 20 menit tiap dua sampai tiga jam sekali
hingga bayi dapat menyusu. Tindakan ini dapat membantu memaksimalkan reseptor prolaktin dan meminimalkan efek samping dari tertundanya proses menyusui
pada bayi.2
Teknik marmet merupakan kombinasi cara memerah
ASI dan memijat payudara sehingga refleks ASI dapat
optimal. Teknik memerah ASI dengan cara marmet
bertujuan untuk mengosongkan ASI dari sinus laktiferus
yang terletak di bawah areola sehingga diharapkan dengan mengosongkan ASI pada sinus laktiferus akan
merangsang pengeluaran prolaktin. Pengeluaran hormon
prolaktin diharapkan akan merangsang mammary alveoli
untuk memproduksi ASI. Semakin banyak ASI dikeluarkan atau dikosongkan dari payudara akan semakin
baik produksi ASI di payudara.2
Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2012, cakupan ASI eksklusif Kabupaten
Magelang masih di bawah target nasional.3 Hal ini terjadi karena pemberian minuman selain ASI di hari-hari
awal terkait dengan belum keluarnya ASI serta gencarnya
promosi susu formula. Mengingat pentingnya pengeluaran ASI pada awal masa menyusui terhadap keberhasilan proses menyusui, peneliti melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh
teknik marmet dengan masase payudara pada ibu nifas
tiga hari postpartum terhadap kelancaran ASI dan kenaikan berat badan bayi di Puskesmas Grabag,
Kabupaten Magelang.
Metode
Jenis penelitian ini termasuk desain pre-experimental
bentuk perbandingan kelompok statistik, yaitu memberikan perlakuan atau intervensi kemudian dilakukan
pengukuran atau observasi. Kelompok intervensi
diberikan perlakuan teknik marmet, sedangkan kelompok kontrol diberikan masase payudara.
Populasi dalam penelitian ini adalah ibu bersalin di
Puskesmas Grabag, Kabupaten Magelang pada bulan
September - November 2014. Pengambilan sampel
menggunakan total sampel. Pada penelitian ini, terdapat
316
42 ibu nifas yang memenuhi kriteria sampel. Namun, dua
ibu tidak dapat dimonitor sampai minggu kedua.
Publikasi ini melaporkan hasil dari 40 ibu nifas. Kriteria
inklusi penelitian ini adalah ibu primipara, ibu nifas tiga
hari postpartum yang menyusui, dan ibu yang bersedia
menjadi responden. Sedangkan kriteria eksklusi pada
penelitian ini adalah ibu yang mengalami kelainan pada
puting susu, ibu yang bayinya memiliki kelainan bibir
sumbing, ibu dengan bayi berat badan lahir rendah
(BBLR), bayi yang mengalami kelainan kongenital dan
bayi sakit.
Sebelum melakukan pengumpulan data, penulis terlebih dahulu menyiapkan lima asisten peneliti dalam
memberikan intervensi dan melakukan pengamatan. Hal
ini dilakukan agar persepsi dari lima asisten peneliti sama
sehingga responden mendapatkan perlakuan yang sama
dan hasil pengamatan terhindar dari subjektivitas asisten
peneliti.
Asisten peneliti memberikan perlakuan teknik
marmet kepada 20 responden, sedangkan 20 responden
berikutnya diberi perlakuan masase punggung.
Pengambilan data dilakukan melalui pengamatan langsung, hasil pengisian lembar kuesioner, dan wawancara
terstruktur.
Pemberian intervensi teknik marmet dan masase
payudara dimulai dengan demonstrasi pada hari pertama postpartum. Responden diberikan lembar check
list pelaksanaan prosedur yang telah diajarkan untuk
dilakukan di rumah. Hari keempat postpartum, responden diminta untuk mengisi kuesioner dan dilakukan wawancara terstruktur. Penilaian dilakukan
pada hari keempat setelah responden melakukan
prosedur selama tiga hari.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar pengamatan dan kuesioner yang berisi skor
kelancaran ASI dan berat badan bayi yang dipantau dari
berat badan lahir, berat badan usia satu minggu dan berat badan usia dua minggu. Hasil analisis validitas pada
lembar pernyataan valid karena semua pernyataan memiliki tingkat signifikansi < 0,05. Berdasarkan hasil uji reliabilitas terhadap pernyataan yang dipakai terbukti reliabel sehingga dapat digunakan dalam penelitian ini dengan nilai α = 0,724.
Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil
penelitian, menampilkan distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden, variabel kelancaran ASI,
perubahan berat badan bayi. Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel untuk mengetahui perbedaan pengaruh variabel independen (teknik marmet) dan
masase payudara terhadap variabel dependen (kelancaran ASI) dan perubahan berat badan bayi menggunakan
uji Mann Whitney U untuk data tidak berpasangan dengan sebaran tidak normal.
Widiastuti, Arifah, Rachmawati, Pengaruh Teknik Marmet terhadap Kelancaran ASI dan Kenaikan Berat Badan Bayi
Hasil
Penelitian perbedaan pengaruh teknik marmet dengan masase payudara pada ibu nifas tiga hari postpartum terhadap kelancaran ASI dan kenaikan berat badan
bayi di Puskesmas Grabag, Kabupaten Magelang, dilakukan terhadap 40 responden. Responden tersebut kemudian dikelompokkan, terdiri dari 20 responden pertama yang diberi perlakuan teknik marmet dan 20 responden kedua yang diberi perlakuan masase payudara (Tabel
1).
Responden pada penelitian ini telah diupayakan
memiliki karakteristik yang hampir sama. Meskipun usia
berpengaruh terhadap proses menyusui, peneliti telah
berupaya menjadikan responden homogen pada variabel
usia untuk meminimalkan bias. Pengaruh hormon
menyusui optimal pada masa reproduksi sehat seorang
perempuan yang berkisar antara 20 - 35 tahun.
Responden yang ikut dalam penelitian ini semuanya
primipara. Mayoritas ibu (90%) menyelesaikan pendidikan menengah setingkat sekolah menengah atas
(pendidikan formal lebih dari sembilan tahun). Sebanyak
70% ibu bekerja dan dalam satu keluarga sebanyak
77,5% berpendapatan di atas Rp 1.255.000,- sesuai
upah minimum regional Kabupaten Magelang.
Berdasarkan gambaran kelancaran ASI, kelompok
teknik marmet pada beberapa kriteria memiliki persentase yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok masase payudara. Ibu dapat merasakan aliran ASI
yang keluar saat menyusui dan merasakan aliran ASI
yang keluar deras dialami oleh semua responden yang
diberikan teknik marmet. Demikian juga pengamatan pada bayi saat menyusu bayi lebih tenang dan setelah
menyusu bayi tidak rewel serta dapat tidur nyenyak. Pada
kriteria kecukupan bayi terhadap ASI, kelompok teknik
marmet memiliki persentase lebih tinggi (Tabel 2).
Hasil olah data skor kelancaran ASI kelompok perlakuan teknik marmet, skor paling rendah adalah 16,
sedangkan skor tertinggi adalah 20. Mean 19,1 dan median 19, sedangkan modus pada skor kelancaran ASI
kelompok ini adalah 19 sebanyak 60%. Sedangkan distribusi skor kelancaran ASI untuk kelompok perlakuan
masase payudara, skor paling rendah adalah 13 dan skor
tertinggi adalah 20. Mean 18,65, hasil ini lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok perlakuan teknik
marmet.
Pengamatan pada perubahan berat badan bayi pada
dua minggu pertama dapat dijelaskan bahwa dibandingkan dengan berat badan lahir, berat badan bayi pada
kelompok ibu dengan perlakuan teknik marmet 75%
naik, 15% yang mengalami penurunan, dan 10% tetap.
Sedangkan pada kelompok perlakuan masase payudara,
hanya 65% yang memiliki bayi dengan berat badan naik,
20% mengalami penurunan dan 15% berat badannya
tetap.
Berdasarkan hasil uji beda pengaruh teknik marmet
dengan masase payudara pada ibu nifas tiga hari postpartum terhadap kelancaran ASI menggunakan uji Mann
Whitney U, diketahui teknik marmet memiliki rata-rata
peringkat 23,70, sedangkan masase payudara memiliki
peringkat 17,30. Pada hasil uji statistik dengan CI 95%
diperoleh nilai p = 0,047. Berdasarkan hasil ini, secara
statistik terdapat perbedaan teknik marmet dengan
masase payudara dalam memengaruhi kelancaran ASI
(Tabel 3).
Berdasarkan uji pengaruh menggunakan uji one sample kolmogorov smirnov pada masing-masing perlakuan,
didapatkan hasil bahwa teknik marmet berpengaruh dengan nilai p = 0,01. Sedangkan pada penelitian ini,
masase payudara secara statistik tidak berpengaruh dengan nilai p = 0,07. Dengan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa teknik marmet lebih memberikan pengaruh
Tabel 1. Karakteristik Responden
Perlakuan
Kategori
n
%
Distribusi usia
15 - 19
20 - 24
25 - 29
30 - 35
Primipara
Multipara
SLTP
SLTA
IRT
Bekerja
< UMR
> UMP
3
11
7
19
40
0
4
36
12
28
9
31
7,5
27,5
17,5
47,5
100
0
10
90
30
70
22,5
77,5
Paritas
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan
Tabel 2. Gambaran Kelancaran ASI pada Responden Teknik Marmet dan Responden Masase Payudara
Kelancaran ASI
Payudara ibu terasa kencang atau tegang saat puting dihisap bayi
Payudara ibu terasa lembut dan kosong setiap kali selesai menyusui
Ibu dapat merasakan aliran ASI yang keluar saat mulai menyusui
Ibu menyusui bayinya secara bergantian pada kedua payudara
Ibu pernah merasakan ASI yang merembes ketika puting sedang dihisap bayi
ASI ibu keluar dengan deras
Saat menyusu bayi terlihat tenang
Setelah menyusu bayi tertidur pulas
Bayi tidak rewel setelah menyusu
Frekuensi air kencing bayi sesuai dengan frekuensi pemberian ASI selama 24 jam
Teknik Marmet (%)
Masase Payudara (%)
95
92,5
100
97,5
90
100
100
100
82,5
100
95
92,5
95
97,5
90
95
85
97,5
72,5
97,5
317
: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Tabel 3. Hasil Uji Beda Data Penelitian Perbedaan Pengaruh Teknik Marmet dengan Masase Payudara
Variabel
Perlakuan
Mean
Kelancaran ASI
Teknik marmet
Massase payudara
Teknik marmet
Massase payudara
23,70
17,30
22,10
18,90
Kenaikan BB bayi
SD
0,911
1,565
0,510
0,489
SE
0,114
0,109
0,114
0,109
U
Nilai p
136
0,047
168
0,38
Keterangan:
SD = Standar Deviasi, SE = Standar Eror, U = Mann Whitney U
dalam kelancaran ASI dibandingkan dengan teknik
masase payudara.
Pengaruh teknik marmet dan masase payudara terhadap kenaikan berat badan bayi dengan menggunakan
uji Mann Whitney U diketahui bahwa peringkat rata-rata pada kelompok teknik marmet 22,10 dan masase
payudara 18,90. Pada hasil uji statistik dengan CI 95%,
diperoleh nilai p = 0,38, maka secara statistik tidak terdapat perbedaan teknik marmet dengan masase payudara dalam memengaruhi berat badan pada periode
neonatus (Tabel 3).
Pembahasan
Hasil analisis uji statistik pada penelitian ini tentang
perbedaan teknik marmet dan masase payudara terhadap
kelancaran ASI menunjukkan adanya perbedaan secara
statistik. Berdasarkan pengamatan dan wawancara terstruktur kelompok responden yang mendapatkan teknik
marmet pada empat hari postpartum, persentase skor kelancaran ASI tinggi lebih banyak bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Fakta ini didukung oleh penelitian tentang pemberian
intervensi teknik marmet terhadap kelancaran ASI yang
pernah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian tersebut, dijelaskan bahwa terdapat perbedaan kelancaran
ASI pada kelompok intervensi dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Hasil yang ditunjukkan dengan nilai
OR = 11,5 yang berarti bahwa dengan pemberian intervensi mampu meningkatkan 11,5 kali lebih baik produksi ASI-nya dibandingkan dengan kelompok kontrol.4
Hasil yang senada juga disampaikan oleh Ulfah, 5
berdasarkan penelitiannya yang menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan sebelum diberikan teknik
marmet pengeluaran ASI tidak lancar sebanyak delapan
responden (53,3%) dan pengeluaran ASI lancar sebanyak tujuh responden (46,7%). Sedangkan setelah
pemberian teknik marmet, didapatkan bahwa seluruh
responden sejumlah 15 responden pada kelompok perlakuan pengeluaran ASI lancar. Kesimpulannya adalah
pemberian teknik marmet pada ibu postpartum efektif
terhadap kelancaran pengeluaran ASI.
Teknik marmet adalah kombinasi memijat dan memompa payudara yang dapat meningkatkan pengeluaran
hormon prolaktin dan oksitosin. Yokoyama,6 dalam pub318
likasi penelitiannya menjelaskan bahwa memberikan pijatan pada payudara disertai dengan pengosongan isi
payudara akan mengaktifkan hormon prolaktin yang
memproduksi ASI dan hormon oksitosin yan0g berfungsi
untuk membuat payudara berkontraksi sehingga ASI dapat keluar dengan lancar. Sedangkan masase payudara
hanya mengeluarkan ASI yang sudah tersimpan di sinus
payudara ibu sehingga sangat efektif apabila untuk memperlancar ASI dilakukan pemberian masase disertai dengan proses pengosongan ASI pada payudara untuk
merangsang kedua hormon yang bekerja dalam proses
menyusui.1,2
Hasil penelitian Desmawati,7 dijelaskan bahwa dengan memberikan masase pada areola mamae sejak dini
sangat bermanfaat untuk membantu proses pengeluaran
ASI. Pada postpartum yang diberikan intervensi 12 jam
setelah bersalin, ASI keluar pada 18 jam setelah bersalin.
Masase pada areola mamae merangsang pengeluaran oksitosin sehingga memperlancar proses pengeluaran ASI.
Becker, 8 melakukan penelitian di unit neonatal,
penelitian ini menjelaskan bahwa untuk menghasilkan
volume air susu yang lebih banyak, ibu yang akan
menyusui harus berada dalam kondisi rileks secara
psikologis. Selain itu, dapat juga dilakukan pemijatan
sambil dilakukan pengosongan atau pemompaan.
Dengan memperhatikan teknik-teknik ini, proses
menyusui menjadi lebih efektif.
Jutte,9 melakukan penelitian dengan memberikan
teknik marmet pada perempuan menyusui. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa jumlah lubang pada puting
yang aktif dan berfungsi baik menjadi lebih banyak. Usia
ibu dan bayi tidak berpengaruh terhadap jumlah lubang
pada puting yang aktif.
Tindakan penatalaksanaan menyusui pada postpartum sangat dibutuhkan karena menurut penelitian
Ahluwalia,10 para ibu yang tidak memberikan ASI pada
bayinya disebabkan oleh adanya kesulitan pada awal
proses pemberian ASI pada bayinya. Dewey,11 dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa supaya proses
menyusui dapat berjalan dengan baik, proses pemberian
ASI dan faktor-faktornya harus dievaluasi dalam waktu
72 - 96 jam postpartum.
Pemberian perlakuan teknik marmet menyebabkan
pengeluaran ASI lebih lancar dibandingkan dengan per-
Widiastuti, Arifah, Rachmawati, Pengaruh Teknik Marmet terhadap Kelancaran ASI dan Kenaikan Berat Badan Bayi
lakuan masase payudara. Mengacu pada pendapat
Bobak,12 kelancaran produksi ASI dapat diketahui dengan melihat indikator berat badan bayi pada usia dua
minggu. Apabila ASI tercukupi, berat badan dapat
meningkat atau minimal sama dengan berat badan bayi
pada waktu lahir.12
Pada penelitian ini, kelancaran ASI hasil pemberian
teknik marmet dan masase payudara tidak berpengaruh
secara signifikan pada perubahan berat badan bayi.
Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
Wright,13 yang menunjukkan bahwa pada periode neonatus, tidak ada perbedaan berat badan maupun lingkar
lengan pada responden. Responden yang diberikan perlakuan pemberian ASI dengan frekuensi lebih sering dengan kelompok yang pemberiannya biasa,pertumbuhannya tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Perubahan
menjadi lebih jelas pada penelitian yang dilakukan pada
bayi yang telah mulai menggunakan energinya untuk aktivitas motorik. Perbedaan sangat jelas bila bayi telah
mencapai usia enam bulan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori pertumbuhan
dan perkembangan Elizabeth Hurlock,14 pada masa bayi
atau neonatus, yaitu dari lahir sampai 14 hari individu
baru melakukan penyesuaian terhadap lingkungan yang
baru. Terdapat empat penyesuaian utama yang harus dilakukan sebelum bayi memperoleh kemajuan perkembangan, yaitu perubahan suhu, pernapasan, menghisap,
dan menelan serta pembuangan melalui organ sekresi sehingga pada masa ini bayi mengalami masa tenang dan
tidak banyak terjadi perubahan, baik dalam pertumbuhan maupun perkembangannya.
mandiri sehingga proses menyusui lebih efektif.
Daftar Pustaka
1. Utami R. Panduan praktis menyusui. Jakarta: Pustaka Bunda; 2009.
2. La Leche League International [home page on internet]. How to get your
milk supply off to a good start [update 2013 March 26; cited 2014 June
20]. Available from: http://www.lalecheleague.org/nb/nbjulaug
05p142.html.
3. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Buku profil kesehatan Propinsi
Jawa Tengah tahun 2012. Semarang: Dinas Kesehatan Propinsi
Semarang; 2013.
4. Mardiyaningsih E, Setyowati S, Sabri L. Efektifitas kombinasi teknik
marmet dan pijat oksitosin terhadap produksi ASI ibu post seksio di
Rumah Sakit wilayah Jawa Tengah. Jurnal Keperawatan Sudirman. 2011
[diakses tanggal 6 November 2014]. Diunduh dalam: http://jks.fkik.unsoed.ac.id/index.php/jks/article/view/321.
5. Ulfah RRM.Efektivitas pemberian teknik marmet terhadap pengeluaran
asi pada ibu menyusui 0-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Arjasa
Kabupaten Jember. 2012 [diakses tanggal 6 November 2014]. Diunduh
dalam: http://repository.unej.ac.id/handle /123456789/9987.
6. YokoyamaY, Ueda T, Irahara M, Aono T. Releases of oxytocin and prolactin during breast massage and suckling in puerperal women.
European Journal of Obstetric Gynecololy and Reproductive Biology
[serial on the internet]. 1994 Jan [cited 2014 Nov 19]. Available from:
http://web. a.ebscohost.com/ehost/resultsadvanced.
7. Desmawati. Penentu kecepatan pengeluaran air susu ibu setelah sectio
caesarea. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013; 7 (8):
360-4.
8. Becker GE, Smith HA, Cooney F. Methods of milk expression for lactating women. Cochrane Database Systematic Review [serial on the internet]. 2015 [cited 2015 June 21]; 7: 12. A vailable from:
http://www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed /22161398.
Kesimpulan
Pemberian perlakuan teknik marmet menyebabkan
pengeluaran ASI lebih lancar. Responden lebih banyak
yang merasakan aliran ASI lebih deras saat menyusui.
Hasil pengamatan pada bayi dalam kelompok teknik
marmet, bayi yang tenang dalam menyusu, tidak rewel
saat menyusu dan tidur pulas setelah menyusu memiliki
persentase lebih tinggi dibandingkan kelompok masase
payudara. Secara statistik, terdapat perbedaan pada kelancaran ASI antara responden yang diberikan perlakuan
teknik marmet dengan responden yang diberikan masase
payudara. Untuk variabel kenaikan berat badan bayi, secara statistik tidak terdapat perbedaan antara teknik
marmet dengan masase payudara dalam memengaruhi
kenaikan berat badan bayi.
9. Jutte J, Hohoff A, Sauerland C, Wiechmann D. In vivo assessment of
number of milk duct orifices in lactating women and association with parameters in the mother and the infant. BMC Pregnancy Childbirth [serial on internet]. 2014 [cited 2014 Nov 6]; 14: 124. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3992155/.
10. Ahluwalia IB, Morrow B, Hsia J. Why do women stop breastfeeding?
finding from the pregnancy risk assessment and monitoring system.
Journal Pediatrics [serial on internet]. 2005 [cited 2014 Nov 4]; 116:
1408-12. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
12949292.
11. Dewey K, Nommsen-Rivers L, Heining M, Cohen R. Risk faktor for suboptimal infant breastfeeding behavior, delayed onset lactasion, and excess neonatal weight loss. Journal Pediatrics. 2003; 112: 607-19.
12. Bobak IM, Lowdermilk DL, Jensen MD. Buku ajar keperawatan maternitas. Jakarta: EGC; 2005.
13. Wrigh MJ, Bentley ME, Mendez MA, Adair LS. The interactive associa-
Saran
Disarankan kepada tenaga kesehatan yang mengelola
ibu hamil maupun postpartum untuk mensosialisasikan
dan mengajarkan teknik marmet, juga membantu ibu nifas dan keluarga untuk melakukan teknik marmet agar
ibu termotivasi melaksanakan tindakan teknik marmet
tion of dietary diversity scores and breast-feeding status with weight
and length in Filipino infants aged 6-24 months. Public Health Nutrition
[serial on the internet]. 2015 [cited 2014 Nov 6]; 10: 1762-73. Availabel
from: http://www. ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/25728248.
14. Tjandrasa M. Perkembangan anak. Hulok A, terj. Jakarta: Erlangga;
2000.
319
Artikel Penelitian
Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan Pencetus
Asthma among Children in Indonesia: Causes and Triggers
Ika Dharmayanti, Dwi Hapsari, Khadijah Azhar
Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI
Abstrak
Asma merupakan penyakit kronis yang dapat mengganggu kualitas hidup.
Hingga saat ini, jumlah penderita asma semakin meningkat termasuk di
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian asma dan pencetus asma pada anak usia 614 tahun di Indonesia. Metode penelitian adalah desain potong lintang dengan menggunakan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 di 33 provinsi di Indonesia. Variabel bebas adalah karakteristik responden, faktor
lingkungan, dan perilaku merokok anak dan orangtua. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki, kondisi sosial ekonomi rendah, riwayat asma pada orangtua, anak yang merokok atau pernah merokok, dan
orangtua yang merokok atau pernah merokok adalah faktor risiko yang
berhubungan secara signifikan dengan tinggi kejadian asma pada anak (nilai p < 0,05). Sedangkan variabel yang tidak berhubungan secara bermakna (nilai p > 0,05) adalah usia, kepadatan hunian, bahan bakar memasak,
penerangan dalam rumah, dan penanganan sampah. Lima pencetus utama asma pada anak adalah udara dingin, flu dan infeksi, kelelahan, debu,
dan asap rokok. Oleh karena itu, orangtua harus mendorong anak untuk
bergaya hidup sehat agar anak terhindar dari serangan asma.
Kata kunci: Anak, pencetus asma, perilaku merokok
Abstract
Asthma is a chronic disease that can disrupt quality of life. Up to now, the
number of asthma is more increasing including in Indonesia. This study
aimed to identify factors related to the incidence and triggers of asthma
among 6 - 14 year-old children in Indonesia. Method of study was cross sectional design using 2013 Basic Health Research data in 33 provinces over
Indonesia. Independent variables were characteristics of respondents, environmental factors and smoking behavior of children and parents.The
analysis result showed that male sex, low socio-economic status, parental
asthma record, children and parental smoking were the risk factors significantly related to the increasing prevalence of asthma incidence among chil320
dren (p value < 0.05). Meanwhile, age, housing density, cooking fuel, home
lighting and waste handling were the other variables significantly not related (p value > 0.05). Five potential triggers of asthma among children are
cold weather, flu and infections, fatigue, dust and tobacco smoke.
Therefore, parents should encourage their children to get a healthy lifestyle
in order to prevent them from asthma attack.
Keywords: Children, asthma triggers, smoking behavior
Pendahuluan
Asma adalah penyakit gangguan pernapasan yang dapat menyerang anak-anak hingga orang dewasa, tetapi
penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak.
Menurut para ahli, prevalensi asma akan terus
meningkat. Sekitar 100 - 150 juta penduduk dunia
terserang asma dengan penambahan 180.000 setiap
tahunnya.1 Di Indonesia, prevalensi asma menurut data
Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 sebesar 4%.
Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi asma untuk seluruh
kelompok usia sebesar 3,5% dengan prevalensi penderita asma pada anak usia 1 - 4 tahun sebesar 2,4% dan
usia 5 - 14 tahun sebesar 2,0%.2,3
Untuk dapat mengetahui prevalensi asma di seluruh
dunia, maka disusunlah kuesioner International Study
on Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) dengan
salah satu tujuannya adalah untuk membandingkan
prevalensi asma di suatu negara. Survei dengan menggunakan kuesioner ISAAC telah dilakukan di 155 pusat asKorespondensi: Ika Dharmayanti, Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan
Masyarakat Balitbangkes Kemenkes RI, Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta
Pusat 10560, No. Telp: 021-4261088 ext. 202, e-mail: [email protected]
Dharmayanti, Hapsari, Azhar, Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan Pencetus
ma yang berada di 56 negara salah satunya adalah
Indonesia.4-7 Kuesioner ISAAC ditujukan pada kelompok usia 6 - 7 tahun dan usia 13 - 14 tahun. Hasil dari
survei tersebut bervariasi di beberapa negara dengan
prevalensi asma antara 2,1 - 32,2%. Hasil survei dengan
menggunakan kuesioner ISAAC pada siswa usia 13 - 14
tahun di Indonesia menunjukkan bahwa di Jakarta Timur
prevalensi asma pada tahun 2001 sebesar 8,9% dan
meningkat menjadi 13,4% pada tahun 2008.4,5 Survei
yang sama dilakukan pada kelompok usia 13 - 14 tahun
di Jakarta Barat, hasilnya adalah prevalensi asma sebesar
13,1%.6
Asma didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika terjadi gangguan pada sistem pernapasan yang menyebabkan penderita mengalami mengi (wheezing), sesak
napas, batuk, dan sesak di dada terutama ketika malam
hari atau dini hari. 8,9 Menurut Canadian Lung
Association,10 asma dapat muncul karena reaksi terhadap faktor pencetus yang mengakibatkan penyempitan
dan penyebab yang mengakibatkan inflamasi saluran pernafasan atau reaksi hipersensitivitas. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan kambuhnya asma dan akibatnya
penderita akan kekurangan udara hingga kesulitan
bernapas.
Secara medis, penyakit asma sulit disembuhkan,
hanya saja penyakit ini dapat dikontrol sehingga tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari. Pengendalian asma dilakukan dengan menghindari faktor pencetus, yaitu
segala hal yang menyebabkan timbulnya gejala asma.
Apabila anak menderita serangan asma terus-menerus,
maka mereka akan mengalami gangguan proses tumbuh
kembang serta penurunan kualitas hidup.
Faktor pencetus asma banyak dijumpai di lingkungan
baik di dalam maupun di luar rumah, tetapi anak dengan
riwayat asma pada keluarga memiliki risiko lebih besar
terkena asma.10 Tiap penderita asma akan memiliki faktor pencetus yang berbeda dengan penderita asma lainnya sehingga orangtua perlu mengidentifikasi faktor yang
dapat mencetus kejadian asma pada anak.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa setiap unsur
di udara yang kita hirup dapat mencetus kambuhnya asma pada penderita. Faktor pencetus asma dibagi dalam
dua kelompok, yaitu genetik, di antaranya atopi/alergi
bronkus, eksim; faktor pencetus di lingkungan, seperti
asap kendaraan bermotor, asap rokok, asap dapur, pembakaran sampah, kelembaban dalam rumah, serta alergen seperti debu rumah, tungau, dan bulu binatang.10
Penelitian tentang asma dengan menggunakan data
Riskesdas tahun 2007 pernah dilakukan oleh Sihombing
M, dkk. 11 Penelitian tersebut menganalisis data
Riskesdas pada responden berusia ≥ 10 tahun. Variabel
yang diteliti yaitu (1) karakteristik responden, yang terdiri dari tempat tinggal pedesaan dengan odds ratio(OR)
= 1,18, usia ≥ 60 tahun (OR = 3,66), tidak bersekolah
(OR = 1,86), tidak bekerja (OR = 1,20) dan indeks massa tubuh (IMT) kurus (OR = 1,45); perilaku responden,
meliputi kebiasaan merokok pada mantan perokok (OR
= 2,12), aktivitas fisik kurang (OR = 1,13), konsumsi
makanan yang diawetkan dan bumbu penyedap dengan
frekuensi sering (OR = 1,12) serta status ekonomi responden rendah (OR = 1,09).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada data Riskesdas 2007 pada responden ≥ 10 tahun, maka studi ini bermaksud untuk menganalisis data Riskesdas
tahun 2013 pada anak usia 6 - 14 tahun. Studi ini akan
menggali lebih dalam variabel yang tidak dianalisis pada
penelitian sebelumnya, yaitu peran faktor genetik dan
lingkungan rumah dengan kejadian asma. Selain itu,
akan dianalisis faktor yang menjadi pencetus utama
penyebab asma pada anak di Indonesia.
Metode
Studi ini menggunakan data Riskesdas tahun 2013.
Desain penelitian Riskesdas menggunakan rancangan potong lintang dengan metode survei di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Populasi dalam penelitian ini adalah anak
berusia 6 - 14 tahun. Pengambilan sampel pada usia
tersebut berdasarkan perkembangan anak, yaitu masa
anak-anak sekolah dasar 6 - 12 tahun (periode intelektual) dan masa prapubertas atau awal pubertas 12 - 14
tahun (periode pueral).12
Dalam studi ini, variabel yang diteliti meliputi variabel dependen yaitu responden yang mempunyai penyakit asma. Data ini diperoleh dari pengakuan responden
yang melaporkan pernah mengalami gejala sesak napas
disertai kondisi mengi dan sesak napas yang menjadi
lebih buruk pada malam hari dan atau menjelang pagi.
Sedangkan variabel independen yang terkait dengan
penyakit asma, yaitu: karakteristik responden (usia, jenis
kelamin, tempat tinggal, riwayat asma pada orangtua,
dan kuintil indeks kepemilikan), faktor lingkungan (paparan asap rokok di dalam rumah, jenis lantai, dinding,
plafon, penerangan, penggunaan bahan bakar untuk
memasak dan pembuangan sampah) serta perilaku
merokok anak dan orangtua. Riwayat asma pada orangtua dibagi menjadi orangtua menderita asma, salah satu
menderita asma, dan keduanya tidak menderita asma.
Faktor lingkungan dikategorikan menjadi tidak baik dan
baik. Perilaku yang turut diteliti dalam studi ini adalah
perilaku merokok anak dan orangtua. Perilaku merokok
dikategorikan menjadi perokok aktif, mantan perokok,
dan tidak pernah merokok.
Analisis data dilakukan dengan analisis univariat untuk melihat gambaran distribusi frekuensi dan besarnya
proporsi masing-masing variabel. Kemudian, analisis dilanjutkan ke tingkat kemaknaan dan hubungan antara
variabel dependen dan independen dengan menggunakan
analisis kai kuadrat. Analisis multivariat menggunakan
321
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
regresi logistik dilakukan untuk memastikan hubungan
variabel faktor risiko dengan penyakit asma dan menilai
seberapa besar hubungan tersebut setelah dikontrol oleh
confounding. Analisis ini dilakukan dengan mengikutsertakan variabel yang bermakna secara statistik pada
analisis bivariat (nilai p < 0,05) dan variabel yang memiliki nilai (nilai p < 0,25) sebagai batas seleksi untuk
menghindari kegagalan mengikutsertakan variabel yang
diketahui penting (bermakna secara teori tetapi tidak
bermakna secara statistik pada analisis bivariat).13
Hasil
Pada Tabel 1 diketahui jumlah anak-anak yang
memenuhi syarat untuk dianalisis sebanyak 157.581
orang, dimana sebanyak 3.197 anak (2,2%) menderita
asma. Gambaran karakteristik responden yang menjadi
sampel berdasarkan lokasi tempat tinggal sebesar 52,9%
tinggal di pedesaan dengan persentase anak laki-laki sebanyak 51,8%. Jika dilihat dari riwayat penyakit asma
pada orangtua, persentase salah satu orangtua baik ayah
atau ibu yang menderita asma ternyata cukup tinggi,
yaitu 6,1%.
Berdasarkan status sosial ekonomi, Badan Pusat
Statistik (BPS) membagi kuintil indeks kepemilikan
rumah tangga menjadi lima kategori dari kuintil terbawah sampai dengan kuintil teratas. Tabel 1 menunjukkan proporsi responden menurut status ekonomi,
yang mana persentase paling tinggi yaitu responden
menengah atas (23,6%), kemudian teratas (21,0%) dan
selanjutnya menengah (20,5%). Proporsi status ekonomi
responden paling rendah yaitu pada kuintil terbawah
(16,3%).
Hasil analisis bivariat antara penyakit asma dengan
karakteristik responden pada Tabel 2 menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna dengan kejadian asma
(nilai p < 0,05) pada variabel usia, jenis kelamin, kuintil
indeks kepemilikan, riwayat asma pada orangtua, anak
perokok, orangtua perokok, kepadatan hunian, dan bahan bakar memasak. Sedangkan hubungan yang tidak
bermakna adalah variabel tempat tinggal (nilai p =
0,500), merokok di dalam rumah (nilai p = 0,543), jenis
lantai (nilai p = 0,365), jenis atap atau plafon (nilai p =
0,374), jenis dinding (nilai p = 0,313), penerangan dalam
rumah (nilai p = 0,170), dan penanganan sampah (nilai
p = 0,241).
Tabel 2 menunjukkan bahwa risiko penderita asma
lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan
dan pada kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Anak akan lebih berisiko menderita asma
apabila kedua orangtua memiliki riwayat asma dan
risiko akan menurun apabila hanya salah satu orangtua menderita asma. Risiko asma juga meningkat secara bermakna pada anak yang mantan perokok,
sedangkan bagi kelompok anak perokok aktif, nilai
322
Tabel 1. Distribusi Frekuensi dan Karakteristik Responden
Variabel
Karakteristik Individu
Asma anak
Jenis kelamin
Tempat tinggal
Riwayat asma pada orangtua
Kuintil indeks kepemilikan
Kategori
Ya
Tidak
Laki-laki
Perempuan
Perdesaan
Perkotaan
Ya, keduanya
Ya, salah satu
Tidak
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
n
3.197
154.384
81.864
75.717
90.564
67.017
579
10.399
146.603
32.719
29.932
29.219
31.785
33.926
%
2,2
97,8
51,8
48,2
52,9
47,1
0,3
6,1
93,6
16,3
18,5
20,5
23,6
21,0
risiko menurun. Begitu juga dengan anak dengan
orangtua mantan perokok memiliki risiko sedikit lebih
tinggi dari anak dengan orangtua perokok aktif. Selain
itu, risiko anak untuk menderita asma sedikit lebih
tinggi pada kelompok anak yang tinggal di rumah dengan bahan bakar memasak yang tidak aman.
Dari Tabel 2 diketahui terdapat sepuluh variabel yang
kemudian dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik,
yaitu : usia, jenis kelamin, kuintil indeks kepemilikan, riwayat asma orangtua, status merokok anak, status
merokok orang tua, kepadatan hunian, bahan bakar
memasak, penerangan dalam rumah dan penanganan
sampah (nilai p < 0,25).
Hasil uji multivariat pada Tabel 3 diperoleh lima faktor risiko yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian asma pada anak (nilai p < 0,05), yaitu jenis kelamin, kuintil indeks kepemilikan, orangtua yang
menderita asma, anak yang merokok dan orangtua
merokok. Sedangkan variabel lainnya tidak bermakna
(nilai p > 0,05). Penelitian ini juga menunjukkan hasil
analisis kondisi serta gambaran distribusi pencetus asma,
rerata usia anak mulai menderita asma serta persentase
asma anak kambuh selama 12 bulan terakhir. Data diolah secara univariat menggunakan data Riskesdas tahun
2013.
Dari 3.197 anak yang menderita asma, umumnya
serangan asma disebabkan oleh udara dingin (59,2%),
flu dan infeksi (50,7%), kelelahan (47,1%), debu
(43,5%), dan asap rokok (32,4%). Sisanya disebabkan
oleh alergi makanan (9,6%), stres (6,1%), dan alergi
obat (2,4%) (Gambar 1).
Rerata usia responden mulai merasakan keluhan asma
adalah 5,35 dengan standar deviasi rerata sebesar 3,875.
Sementara itu, proporsi terbesar anak yang menderita asma mengakui bahwa 69,9% penyakitnya kambuh dalam
12 bulan terakhir, sedangkan sisanya (30,1%) menjawab
tidak menderita asma selama kurun waktu 1 tahun.
Dharmayanti, Hapsari, Azhar, Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan Pencetus
Tabel 2. Karakteristik Individu Anak dan Faktor Lingkungan
Kejadian Asma (%)
Variabel
Kategori
Jumlah
OR
Ya
Usia
Jenis kelamin
Tempat tinggal
Kuintil indeks kepemilikan
Riwayat asma orangtua
Anak perokok
Orangtua perokok
Merokok di dalam rumah
Kepadatan hunian
Bahan bakar memasak
Jenis lantai
Plafon/langit-langit rumah
Jenis dinding
Penerangan dalam rumah
Penanganan sampah
6 - 11 tahun
12 - 14 tahun
Laki-laki
Perempuan
Perdesaan
Perkotaan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Ya, keduanya
Ya, salah satu
Tidak
Perokok aktif
Mantan perokok
Tidak merokok
Perokok aktif
Mantan perokok
Tidak merokok
Ya
Tidak
Padat
Tidak padat
Tidak aman
Aman
Tanah
Bukan tanah
Tidak berplafon
Berplafon
Bukan tembok
Tembok
Bukan listrik
Listrik
Tidak benar
Benar
106.459
51.122
81.864
75.717
90.564
67.017
32.719
29.932
29.219
31.785
33.926
579
10.399
146.603
965
435
156.181
113.252
12.468
31.861
98.495
59.086
115.789
41.792
77.068
80.513
8.493
149.088
78.255
79.326
66.072
91.509
9.132
148.449
119.178
38.403
2,1
2,3
2,4
1,9
2,2
2,2
2,7
2,2
2,2
2,1
1,8
13,9
7,5
1,8
4,1
10,0
2,1
2,2
2,9
1,8
2,2
2,1
2,1
2,4
2,4
2,0
2,3
2,2
2,2
2,1
2,2
2,1
2,5
2,2
2,2
2,1
95% CI
Nilai p
Tidak
97,9
97,7
97,6
98,1
97,8
97,8
97,3
97,8
97,8
97,9
98,2
86,1
92,5
98,2
95,9
90,0
97,9
97,8
97,1
98,2
97,8
97,9
97,9
97,6
97,6
98,0
97,7
97,8
97,8
97,9
97,8
97,8
97,5
97,8
97,8
97,9
0,92
0,854 - 0,986
0,019
1,24
1,162 - 1,332
0,000
0,98
0,913 - 1,045
0,500
1,50
1,25
1,25
1,15
1,340 - 1,674
1,116 - 1,397
1,119 - 1,393
1,036 - 1,285
0,000
0,000
0,000
0,009
8,77
4,43
6,739 - 11,415
4,072 - 4,826
0,000
0,000
1,95
5,13
1,432 - 2,647
3,896 - 6,757
0,000
0,000
1,24
1,65
1,128 - 1,362
1,445 - 1,893
0,000
0,000
1,02
0,953 - 1,095
0,543
0,89
0,827 - 0,965
0,004
1,18
1,103 - 1,266
0,000
1,06
0,930 - 1,214
0,365
1,03
0,964 - 1,105
0,374
1,04
0,966 - 1,114
0,313
1,14
0,948 - 1,361
0,170
1,05
0,970 - 1,132
0,241
Tabel 3. Hasil Uji Multivariat
Variabel
Jenis kelamin
Kuintil indeks kepemilikan
Riwayat asma pada orangtua
Anak perokok
Orangtua perokok
Kategori
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Ya, keduanya
Ya, salah satu
Tidak
Perokok aktif
Mantan perokok
Tidak merokok
Perokok aktif
Mantan perokok
Tidak merokok
Konstanta
Pembahasan
Dari hasil analisis data Riskesdas tahun 2013, penderita asma pada usia 6 - 14 tahun sebanyak 3.197 anak
dengan prevalensi sebesar 2,2%. Sedangkan berdasarkan
β
0,185
0,249
0,129
0,157
0,100
2,104
1,445
0,407
1,466
0,149
0,345
OR (Exp β)
95% CI
Nilai p
1,20
1,28
1,14
1,17
1,01
1,00
8,20
4,24
1,00
1,50
4,33
1,00
1,16
1,41
1,00
1,122 - 1,289
1,145 - 1,436
1,015 - 1,275
1,048 - 1,307
0,991 - 1,232
0,000
0,000
0,026
0,005
0,072
6,292 - 10,691
3,892 - 4,622
0,000
0,000
1,099 - 2,054
3,263 - 5,751
0,011
0,000
1,055 - 1,277
1,231 - 1,619
0,002
0,000
-4,379
hasil uji multivariat, diperoleh lima faktor risiko yang secara bermakna berhubungan dengan kejadian asma pada
anak, yaitu jenis kelamin laki-laki, kuintil indeks kepemilikan terbawah, riwayat asma pada kedua orangtua, man323
: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Gambar 1. Persentase Distribusi Pencetus Asma
tan perokok pada anak dan orangtua.
Beberapa variabel yang dianalisis oleh Sihombing
dkk,11 pada data Riskesdas tahun 2007 juga dianalisis
pada data Riskesdas tahun 2013. Perbedaan hasil analisis data Riskesdas tahun 2007 dan 2013 adalah pada
variabel tempat tinggal, jenis kelamin, dan status ekonomi. Pada penelitian ini, tempat tinggal bukan merupakan
faktor utama penyebab asma, sedangkan jenis kelamin
dan status ekonomi berpengaruh pada kejadian asma.
Hasil analisis data Riskesdas tahun 2007 menghasilkan
sebaliknya. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan
populasi pada kedua penelitian, pada penelitian ini populasinya adalah anak berusia 6 - 14 tahun, sedangkan
Riskesdas tahun 2007 populasinya adalah anak usia ≥ 10
tahun. Kesamaan hasil analisis pada kedua penelitian
adalah variabel perilaku merokok termasuk mantan perokok memiliki resiko lebih besar untuk menderita asma.
Variabel yang tidak dianalisis pada Riskesdas tahun
2007 adalah riwayat asma pada orangtua dan perilaku
merokok orangtua. Sedangkan variabel lingkungan yang
ikut dianalisis pada penelitian ini tidak berhubungan terhadap kejadian asma. Selain itu, faktor pencetus asma juga belum ditanyakan pada Riskesdas 2007.
Hasil laporan penelitian yang dilakukan oleh
Purnomo,14 di rumah sakit Kabupaten Kudus, menyimpulkan bahwa anak laki-laki 2,11 kali berisiko menderita asma dibandingkan dengan anak perempuan.
Penelitian ini juga menunjukkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan kejadian asma. Terjadinya
sensitivitas yang lebih tinggi pada anak laki-laki terhadap
serangan asma dibandingkan anak perempuan dikarenakan diameter saluran napas anak laki-laki yang lebih
lebih kecil sehingga mereka lebih sensitif dan peka apabila terjadi penyumbatan pada saluran napas.15
Sementara itu, menurut kuintil indeks kepemilikan
diperoleh hasil bahwa kelompok anak dari keluarga dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah memiliki
risiko 1,32 kali dibandingkan anak dari keluarga dengan
kuintil indeks kepemilikan teratas. Sejalan dengan hasil
penelitian Irawan, 16 bahwa adanya perbedaan yang
bermakna pada pasien asma bronkial dan tanpa asma
324
bronkial dengan status ekonomi rendah. Penelitian lain
memberikan kesimpulan yang sama bahwa penghasilan
rendah akan meningkatkan risiko asma yang dikaitkan
dengan kondisi perumahan yang buruk. 17 Dengan
demikian, semakin tinggi status sosial ekonomi keluarga
akan semakin menurunkan risiko anak terkena asma. Hal
ini berarti rumah tangga dengan status sosial ekonomi
tinggi memiliki kemampuan ekonomi lebih besar untuk
menjaga kondisi kesehatan keluarganya dan akan mengupayakan agar keluarganya dapat hidup sehat.
Berbeda dengan hasil penelitian Sihombing dkk, 11
dan Oemiati dkk,18 yang menggunakan data Riskesdas
2007, hasil menunjukkan bahwa status ekonomi rumah
tangga rendah tidak berhubungan secara bermakna dengan kejadian asma. Begitu juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hapsari dkk,19 yang menggunakan data
Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004 dan Survei
Kesehatan Rumah Tangga tahun 2004, menyatakan bahwa status sosial ekonomi tidak berpengaruh pada kejadian asma. Hasil studi ISAAC,20 di Brazil memberikan kesimpulan yang sama bahwa prevalensi asma tidak dipengaruhi oleh status sosial ekonomi.
Apabila dibandingkan dengan penelitian Hari, dkk,21
di Kabupaten Boyolali, bahwa status sosial ekonomi tinggi akan meningkatkan risiko asma sebesar 2,27 kali
dibandingkan status sosial ekonomi rendah. Hal ini berarti bahwa anak dari keluarga dengan status sosial
ekonomi tinggi akan lebih sensitif terhadap rangsangan
pencetus asma yang terkait dengan kebersihan lingkungan di dalam dan luar rumah sehingga sedikit saja terpapar dengan pencetus asma, maka anak tersebut akan mudah terserang asma. Hasil ini sangat berbeda dengan
hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Oleh karena itu,
perlu kajian lebih lanjut terkait hubungan asma dengan
status ekonomi.
Adanya riwayat asma pada keluarga akan
meningkatkan risiko anak untuk menderita asma. Sesuai
dengan hasil penelitian ini, riwayat asma pada kedua
orangtua akan meningkatkan risiko anak terkena asma
sebesar 8,2 kali, sedangkan salah satu orangtua dengan
riwayat asma akan meningkatkan risiko 4,24 kali dibandingkan anak dengan orangtua yang tidak memiliki riwayat asma. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dkk,14 bahwa adanya
riwayat asma meningkatkan risiko 8,27 kali dibandingkan keluarga yang tidak memiliki riwayat asma.
Laisina dkk, 22 juga mendapatkan hubungan yang
bermakna antara riwayat asma pada keluarga dengan kejadian asma pada anak.
Apabila dibandingkan dengan penelitian dan kajian
sebelumnya, hasil penelitian ini tidak jauh berbeda.
Zulkar, 7 Bracken dkk,23 dan Klinnert dkk,24 menyatakan bahwa faktor genetik terutama ibu akan
meningkatkan risiko anak menderita asma. Hal ini terkait
Dharmayanti, Hapsari, Azhar, Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan Pencetus
dengan adanya kecenderungan genetik yang diturunkan
oleh orangtua untuk bereaksi terhadap zat-zat yang terdapat di lingkungan (alergen). Reaksi hipersensitivitas
terhadap alergen disebut alergi (atopi). Manifestasi klinis
dari atopi pada anak akan berkembang menjadi asma,
rinitis alergi dan dermatitis atopi.25,26
Faktor yang dapat mencetus reaksi alergi, adalah
penyakit infeksi, asap rokok, alergi makanan dan lainlain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak dari
orangtua mantan perokok memiliki risiko 1,41 kali,
sedangkan anak dari orangtua perokok aktif berisiko
1,16 kali lebih besar dibandingkan anak dari orangtua
yang tidak merokok. Risiko lebih besar apabila anak yang
menderita asma tersebut merupakan mantan perokok
yaitu 4,33 kali, sedangkan anak perokok aktif berisiko
1,5 kali dibandingkan anak yang tidak merokok.
Adanya hubungan yang bermakna antara rokok dengan kejadian asma sejalan dengan beberapa penelitian
sebelumnya. Paparan asap rokok (perokok pasif) akibat
orangtua yang merokok akan mengakibatkan terjadinya
reaksi peradangan di saluran napas, sehingga anak akan
menderita sesak napas. Ini berarti asap rokok
meningkatkan risiko anak menderita asma dan serangan
asma.14,21 Hal ini sesuai dengan hasil analisis pada
Gambar 1 yang menyebutkan bahwa 32,4% anak mengakui bahwa asap rokok dapat menyebabkan serangan asma. Sedangkan anak yang menderita asma dan juga
merokok (perokok aktif) akan meningkatkan risiko terjadinya penurunan fungsi paru, bahkan dapat menimbulkan penyakit paru dan pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup. Penyebab kondisi tersebut adalah
kandungan kontaminan berbahaya yang berada di dalam
asap rokok yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada penderita asma. Pada anak penderita asma
sebagai mantan perokok, risiko untuk menderita asma
lebih besar dibandingkan anak yang tidak merokok dan
perokok aktif.11,18,19 Hal ini dapat terjadi karena anak
sudah merasakan gejala asma yang semakin berat sehingga memutuskan untuk berhenti merokok.
Asma adalah penyakit menahun (kronis) pada saluran
pernapasan. Penyakit ini tidak dapat dihilangkan sama
sekali dari penderita, namun dapat dicegah atau dikontrol sehingga gejala dan serangan asma tidak muncul.
Dalam hal penanganan anak yang menderita asma,
pengendalian terhadap pencetus serangan asma sangat
perlu diperhatikan.27,28 Gambar 1 menunjukkan sebagian besar serangan asma disebabkan oleh udara dingin,
flu dan infeksi, kelelahan, debu, asap rokok, alergi
makanan, stres, dan alergi obat. Pencetus asma
berdasarkan hasil penelitian lain menyebutkan bahwa perubahan cuaca terutama cuaca dingin serta tungau debu
yang ada di rumah dapat meningkatkan risiko asma.14,25
Pencetus lainnya adalah infeksi saluran napas, dermatitis
atopi, eksim dan rinitis (alergi) yang nantinya akan
berkembang menjadi asma.7,22,26 Hal ini membuktikan
bahwa pencetus asma harus dihindari agar tidak terjadi
serangan asma. Selain itu, pengendalian asma juga harus
dilakukan yaitu dengan mengonsumsi obat-obatan, vitamin, berolahraga serta makanan yang bergizi agar tidak
mudah sakit.
Berdasarkan hasil perhitungan rerata usia anak pertama kali menderita asma adalah lima tahun. Oleh karena
itu, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak
sesuai potensinya, orangtua harus memiliki pengetahuan
yang cukup mengenai hal-hal yang menjadi pencetus asma pada anak, sehingga dapat mencegah kambuhnya asma pada anak. Dengan demikian, anak dapat hidup secara normal dan tidak terganggu dalam mengerjakan
kegiatan sehari-hari.1,27
Selain pengetahuan dan obat-obatan, orangtua juga
harus memperhatikan kebugaran anak agar asma dapat
terkontrol. Dalam penelitian ini, 69,9% anak mengakui
bahwa pernah mengalami serangan asma dalam 12 bulan
terakhir. Tingkatan asma terkontrol terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu terkontrol, terkontrol sebagian dan tidak
terkontrol.1 Asma dikatakan terkontrol apabila tidak terdapat (dua kali atau kurang) gejala asma dalam seminggu. Terkontrol sebagian apabila serangan asma terjadi
lebih dari dua kali seminggu. Tidak terkontrol apabila
tiga atau lebih gejala asma dalam seminggu, terbangun di
malam hari bahkan kondisi asma semakin memburuk
sekali dalam seminggu.1
Oleh karena itu, orangtua harus berkonsultasi dengan
dokter mengenai gejala, cara menghindari pencetus asma, serta tindakan yang tepat ketika serangan asma semakin memburuk. Tindakan penanganan asma pada
anak dimaksudkan agar anak tetap dapat beraktivitas
dengan normal seperti bersekolah dan bermain seharihari.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data Riskesdas tahun 2013
pada anak usia 6 - 14 tahun, diketahui bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara variabel jenis kelamin,
kuintil indeks kepemilikan, riwayat asma pada orangtua,
anak yang merokok, dan orangtua yang merokok dengan
kejadian asma pada anak. Sedangkan lima faktor utama
pencetus asma pada anak adalah udara dingin, flu dan infeksi, kelelahan, debu, dan asap rokok.
Saran
Untuk pencegahan serangan asma, orangtua dan anak
harus menghindari faktor pencetus serta melakukan gaya
hidup sehat agar asma tetap terkendali.
Daftar Pustaka
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan menteri kese-
325
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
hatan RI Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit asma. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2009.
struksi saluran nafas serangan akut asma dengan jumlah sel-sel inflamasi
darah tepi. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2004; 20 (3): 142-6.
16. Irawan Y, Windi RR. Perbedaan faktor risiko terjadinya asma bronkial
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
pada pasien dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial di
Republik Indonesia. Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2004:
poli anak rawat jalan RSUD DR.H.Andul Moeloek Lampung pada
SKRT 2004-Volume 3. Sudut pandang masyarakat mengenai status,
Oktober-Desember 2011. Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas
cakupan, ketanggapan dan sistem pelayanan kesehatan. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2005.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar laporan nasional 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
Lampung; 2012.
17. Turyk M, Curtis L, Scheff P, Contraras A, Coover L, Hernandez E, et al.
Environmental allergens and asthma morbidity in low-income children.
Journal of Asthma. 2006; 43(6): 453-7.
18. Oemiati R, Sihombing M, Qomariah. Faktor-faktor yang berhubungan
4. Yunus F, Antaria R, Rasmin M, Mangunnegoro H, Jusuf A, Bachtiar A.
dengan penyakit asma di Indonesia. Media Litbang. 2010; 20 (1): 41-9.
Asthma prevalence among high school students in East Jakarta, 2001,
19. Hapsari D, Puti S, Supraptini. Hubungan perilaku merokok, aktivitas
based on ISAAC questionnaire. Medical Journal of Indonesia. 2003; 12
fisik dan polusi udara indoor dengan penyakit asma pada usia ≥ 15
(3): 178-86.
tahun (analisis data Susenas 2004 & SKRT 2004). Media Litbang
5. Rosamarlina FY, Dianiati KS. Prevalens asma bronkial berdasarkan kuesioner ISAAC dan perilaku merokok pada siswa SLTP di daerah indus-
Kesehatan. 2008; 18 (1): 16-24.
20. Sole D, Camelo-Nunes IC, Wandalsen GF, Mallozi MC, Naspitz CK, and
tri Jakarta Timur. Jurnal Respirologi Indonesia. 2010; 30 (2): 75-84.
Group BI’s. Is the prevalence of asthma and related symptoms among
6. Yunus F, Rasmin M, Sutoyo DK, Wiyono WH, Antariksa B, Fitriani F,
Brazilian children related to socioenomic status? Journal of Asthma.
dkk. Prevalens asma pada siswa usia 13-14 tahun berdasarkan kuesioner ISAAC di Jakarta. Jurnal Respirologi Indonesia. 2011; 31 (4): 17680.
7. Zulfikar T, Yunus F, Wiyono WH. Prevalens asma berdasarkan kuesioner ISAAC dan hubungan dengan faktor yang mempengaruhi asma
pada siswa SLTP di daerah padat penduduk Jakarta Barat tahun 2008.
Jurnal Respirologi Indonesia. 2011; 31 (4): 181-92.
8. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and prevention. 2015 [cited 2015 Jan 23]. Available from:
http://www.ginasthma.org/documents/3.
9. Sundaru H. Asma: apa dan bagaimana pengobatannya. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
2008; 45(1): 19-25.
21. Hari AE, Roni N, Agung WT. Paparan asap dalam rumah, hewan peliharaan, lingkungan, tempat tinggal dan sosial ekonomi dengan kejadian
asma bronkial pada anak. Berita Kedokteran Masyarakat. 2010; 26 (3):
125-31.
22. Laisina AH, Sondakh DT, Wantania JM. Faktor risiko kejadian asma pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Wenang Kota Manado. Sari
Pediatri. 2007; 8 (4): 299-304.
23. Bracken MB, Belanger K, Cookson WO, Triche E, Christiani DC,
Leaderer BP. Genetic perinatal risk factors for asthma onset and severity: a review and theoretical analysis. Epidemiologic Reviews. 2002; 24
(2): 176-89.
10. Canadian Lung Association [homepage on the internet]. Asthma: asth-
24. Klinnert MD, Price MR, Liu AH, Robinson JL. Unraveling the ecology
ma treatment. Ottawa; 2015 [cited 2015 Feb 23]. Available from:
of risk for aarly childhood asthma among ethnically diverse families in
http://www.lung.ca/lung-health/lung-disease/asthma/treatment.
the Southwest. American Journal of Public Health. 2002; 92 (5): 792-8.
11. Sihombing M, Alwi Q, Nainggolan O. Faktor-faktor yang berhubungan
25. Paramita OD, Harsoyo N, Setiawan H. Hubungan asma, rinitis alergik,
dengan penyakit asma pada usia ≥ 10 tahun di Indonesia (analisis data
dermatitis atopik dengan IgE spesifik anak usia 6-7 tahun. Sari Pediatri.
Riskesdas 2007). Jurnal Respirologi Indonesia. 2010; 30 (2): 85-91.
12. Kartono K. Psikologi anak: psikologi perkembangan. Bandung: Mandar
Maju; 2007.
13. Hastono SP. Analisis data kesehatan. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia; 2007.
14. Purnomo. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian asma bronkial pada anak (studi kasus di RS Kabupaten Kudus).
Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro; 2008.
15. Kusuma HMSC, Kalim KH, Muid M. Hubungan antara derajat ob-
326
2013; 14 (6): 391-7.
26. Siregar SP. Faktor atopi dan asma bronkial pada anak. Sari Pediatri.
2000; 2 (1): 23-8.
27. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management
and prevention. 2006 [diakses 30 April 2014]. Available from:
http://www.ginasthma.org/documents/5/documents_variants/31.
28. Patriani I, Ayuningtyas D. Komunikasi dokter dengan sikap konkordansi pada pasien tuberculosis paru, hipertensi dan asma. Kesmas:
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013; 8 (2): 51-5.
Artikel Penelitian
Profil Rujukan Kasus Nonspesialistik pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Primer
Referral Profile of Non-Specialistic Cases on Primary Healthcare Facilities
Elda Nazriati*, Nuzelly Husnedi**
*Departemen Pendidikan Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Riau, **Ikatan Dokter Indonesia Wilayah
Riau
Abstrak
Salah satu indikator kualitas fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP)
adalah rendahnya rujukan nonspesialistik. Rujukan nonspesialistik adalah
rujukan dari 144 penyakit yang seharusnya dapat diatur di FKTP.
Kenyataannya, masih banyak kasus nonspesialistik yang dirujuk ke fasilitas
kesehatan sekunder. Penelitian deskriptif dengan metode campuran kuantitatif dan kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui pola dan penyebab kasus penyakit nonspesialistik yang dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat
sekunder di Kota Pekanbaru. Gambaran kasus penyakit nonspesialistik
dikumpulkan dari data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Kota Pekanbaru periode Desember 2014 - April 2015, sedangkan faktor
penyebab rujukan diperoleh dari focus group discussion yang diikuti oleh 40
dokter berdasarkan jenis FKTP. Penelitian ini menampilkan 20 kasus nonspesialistik yang paling sering dirujuk, di antaranya hipertensi esensial,
miopia ringan, dan diabetes melitus. Penyebab rujukan kasus penyakit nonspesialistik antara lain kesalahan kode serta terbatasnya fasilitas, sumber
daya manusia, manajemen pelayanan, dan kompetensi dokter. Semua faktor keterbatasan tersebut perlu diantisipasi agar upaya rujukan dapat diminimalkan.
Kata kunci: Fasilitas kesehatan tingkat primer, fasilitas kesehatan tingkat
sekunder, rujukan nonspesialistik
Abstract
One of primary healthcare facility quality indicators is the low non-specialistic referral. Non-specialistic referral is referral of 144 diseases that should
be arranged in primary healthcare facilities. In fact, there are many non-specialist cases referred to secondary health care facilities. This descriptive
study using quantitative and qualitative method aimed to determine patterns and causes of non-specialist diseases referred to secondary primary
health care in Pekanbaru City. Depiction of non-specialistic disease cases
was collected from data of the state health insurance scheme in Pekanbaru
City on December 2014 - April 2015 period, meanwhile causes of referral
were obtained from focus group discussion participated by 40 doctors based
on types of primary healthcare facilities. This study showed 20 non-specialistic cases oftenly referred including essential hypertension, mild myopia
and diabetes mellitus. Causes of non-specialistic disease referrals were
code error as well as limited facilities, human resources, service management and competence of doctors. Such limitations need to be anticipated in
order to minimalize act of referrals.
Keywords: Primary healthcare facilities, secondary healthcare facilities,
non-specialistic referral
Pendahuluan
Dokter praktik umum di fasilitas kesehatan tingkat
pertama (FKTP) merupakan pintu gerbang pelayanan kesehatan yang dituntut kompetensinya untuk menapis dan
mengatur penyakit nonspesialistik secara lengkap.
Rujukan pada layanan primer merupakan isu yang penting karena tingginya angka rujukan sering dihubungkan
dengan inefisiensi, buruknya layanan, dan kegagalan
diagnosis. Tingginya angka rujukan juga berdampak
langsung pada pembiayaan kesehatan.1
Angka rujukan dari fasilitas kesehatan primer mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Penelitian di
Amerika menunjukkan pada periode 1999 - 2009 terjadi
peningkatan kasus rujukan hampir dua kali lipat, yaitu
dari 4,8% menjadi 9,3%.2 Pada kenyatannya, banyak
faktor yang memengaruhi tingginya angka rujukan, antara lain model layanan kesehatan, pengkodean diagnosis, karakteristik pasien, dan fasilitas kesehatan. 1,3
Korespondensi: Elda Nazriati, Departemen Pendidikan Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Riau, Jl. Diponegoro No. 1 Pekanbaru Riau, No.Telp:
(0761) 839264, e-mail: [email protected]
327
: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Penelitian di Inggris dan Amerika menunjukkan bahwa
persentase rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat primer
bervariasi antara 5 - 60%.4 Penelitian di DKI Jakarta menunjukkan angka rujukan dari puskesmas bervariasi dari
5,8 - 66%.5 Intervensi yang dilakukan PT Askes di DKI
Jakarta tidak cukup untuk membentuk persepsi
puskesmas terhadap peran PT Askes dalam mendorong
sistem pelayanan kesehatan berjenjang.6 Secara keseluruhan, di Indonesia belum banyak penelitian tentang pola rujukan penyakit dari layanan primer sehingga gambaran rujukan di layanan primer perlu lebih banyak
dieksplorasi.
Dalam standar kompetensi dokter Indonesia terdapat
144 penyakit dengan level 4A, yaitu lulusan fakultas kedokteran mampu untuk mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan kasus tersebut secara mandiri di fasilitas
kesehatan tingkat primer. 7 Kasus-kasus tersebut seharusnya tidak perlu dirujuk jika tidak terdapat indikasi
rujuk. Berdasarkan panduan praktik klinis dokter di
layanan primer, kasus-kasus tersebut dapat dirujuk dengan pertimbangan lama perjalanan penyakit, usia, komplikasi, penyakit penyerta, dan keterbatasan FKTP.8
Sejak Januari 2014 telah terjadi perubahan besar
dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, yaitu diimplementasikannya Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) kesehatan yang telah
berdampak terhadap layanan kesehatan termasuk sistem
rujukan. Salah satu indikator mutu pelayanan BPJS
Kesehatan adalah rujukan kasus nonspesialistik. Dalam
sistem informasi BPJS, terdapat 144 penyakit yang apabila dirujuk sebagai rujukan nonspesialistik.
Kota Pekanbaru merupakan salah satu ibukota
provinsi di Indonesia yang menjadi pelaksana uji coba
kapitasi berbasis kinerja (KBK). Penelitian ini bertujuan
untuk dapat memberikan gambaran tentang pola dan
penyebab rujukan pada kasus nonspesialistik di Kota
Pekanbaru. Hasil studi ini diharapkan dapat memberi
masukan kepada pelbagai institusi yang terkait dengan
pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat primer, khususnya pada kota-kota di Indonesia dengan karakteristik
yang hampir sama dengan Kota Pekanbaru.
Metode
Penelitian deskriptif ini menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa
rujukan kasus nonspesialistik yang dikumpulkan dari basis data BPJS Kantor Cabang Pekanbaru periode
Desember 2014 - April 2015, didapatkan 91 FKTP
penyedia BPJS di Kota Pekanbaru yang melakukan rujukan kasus nonspesialistik. Basis data tersebut kemudian diolah secara kuantitatif sehingga didapatkan pola rujukan kasus nonspesialistik berdasarkan waktu, jenis
penyakit, dan jenis FKTP yang disajikan dalam bentuk
328
diagram dan tabel distribusi frekuensi.
Data kualitatif berupa penyebab rujukan kasus nonspesialistik diperoleh melalui focus group discussion
(FGD) yang diikuti oleh 40 orang dokter yang bertugas
di fasilitas kesehatan tingkat primer. Pada penelitian
kualitatif, jumlah informan dianggap cukup jika data
telah jenuh, yaitu jika jawaban informan telah menunjukkan informasi yang sama.9 Pada penelitian ini, jumlah
peserta FGD ditentukan secara proporsional berdasarkan
jumlah peserta BPJS sesuai dengan jenis FKTP, dimana
satu dokter mewakili satu FKTP. Distribusi jumlah peserta BPJS di Pekanbaru adalah klinik pratama 42%,
puskesmas 37%, dan dokter praktik mandiri 21% sehingga ditentukan peserta FGD dari klinik pratama
adalah 17 orang, dari puskesmas 15 orang, dan dari dokter praktik mandiri delapan orang. Selanjutnya, informan
dari tiap jenis FKTP dipilih secara purposive, yaitu FKTP
yang memiliki jumlah peserta BPJS yang banyak. Peserta
FGD kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis FKTP,
yaitu dua kelompok puskesmas, dua kelompok klinik
pratama, dan satu kelompok dokter praktik mandiri.
Diskusi tiap kelompok dipandu oleh seorang moderator
dokter dari pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
wilayah Riau dengan panduan diskusi yang telah ditetapkan. FGD tiap kelompok direkam dan dicatat oleh seorang notulen. Selanjutnya, dibuat transkrip dalam bentuk verbatim serta dilakukan pengolahan data yang
meliputi pemaknaan, kategorisasi, dan tema sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil pengolahan data FGD
didiskusikan kembali bersama moderator dan notulen
tiap kelompok FGD. Triangulasi yang dilakukan adalah
triangulasi sumber, yaitu membandingkan FGD dari
kelompok klinik pratama, puskesmas, dan dokter praktik
mandiri.
Hasil
Gambaran rujukan nonspesialistik di Kota Pekanbaru
selama lima bulan pengamatan yang disajikan dalam
Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan terdapat tren penurunan
angka rujukan nonspesialistik dari Desember 2014 sampai April 2015 dengan rerata jumlah rujukan sebanyak
Gambar 1. Jumlah Rujukan Kasus Nonspesialistik
Nazriati & Husnedi, Profil Rujukan Kasus Nonspesialistik pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer
763 kasus nonspesialistik per bulan.
Tabel 1 adalah 20 jenis kasus nonspesialistik
berdasarkan urutan yang banyak dirujuk. Berdasarkan
Tabel 1 tersebut, diketahui bahwa urutan kasus satu,
dua, dan tiga adalah hipertensi esensial, myopia ringan,
dan diabetes melitus. Berdasarkan jenis FKTP yang
merujuk didapatkan bahwa jumlah rujukan tertinggi
adalah rujukan dari klinik pratama (Gambar 2).
yang di luar kewenangan praktik dokter di layanan
primer. Faktor dokter antara lain tingkat keterlatihan
dokter, toleransi dokter terhadap ketidakpastian klinik,
dan hubungan psikososial dokter dengan pasien dan
lingkungannya. Faktor sistem layanan kesehatan antara
lain adalah model pembayaran layanan kesehatan, koding serta perubahan sistem pelayanan di fasilitas kesehatan primer dan sekunder. Daerah dengan jumlah dok-
Nonspesialistik Berdasarkan Jenis FKTP
Tabel 1. Dua Puluh Penyakit Nonspesialistik Terbanyak yang Dirujuk
Rerata rujukan dari puskesmas adalah 225 kasus nonspesialistik per bulan, rerata rujukan dari dokter praktik
mandiri 39 kasus nonspesialistik per bulan, dan rerata rujukan dari klinik pratama adalah 499 kasus nonspesialistik per bulan. Berdasarkan pengolahan data FGD secara
kualitatif, didapatkan pelbagai penyebab rujukan kasus
nonspesialistik di FKTP dan alternatif solusinya (Tabel
2).
Pembahasan
Sesuai dengan Gambar 1, terdapat kecenderungan
penurunan jumlah rujukan nonspesialistik selama lima
bulan pengamatan, kemungkinan hal ini terjadi karena
diberlakukannya pembayaran KBK di Kota Pekanbaru
sejak bulan Desember 2014. Pekanbaru merupakan salah
satu kota uji coba pemberlakuan KBK di Indonesia yang
dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan.10 Rujukan nonspesialistik merupakan salah satu dari empat indikator kinerja yang dievaluasi, hal ini kemungkinan berdampak
pada motivasi FKTP untuk menurunkan angka rujukan
nonspesialistik. Jabeen,11 berpendapat bahwa penilaian
kinerja memengaruhi motivasi sehubungan dengan reward yang akan diterima.
Forrest,12 menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan dokter di layanan primer memutuskan untuk
merujuk, yaitu faktor pasien, faktor dokter, faktor sistem
layanan kesehatan, dan faktor kebebasan untuk merujuk.
Faktor pasien antara lain adalah kondisi klinis pasien
Diagnosis
Jumlah
Hipertensi esensial
Miopia ringan
Diabetes mellitus
Hipermetropia ringan
Presbiopia
Bronkhitis akut
Asma bronkhial
Demam tifoid
Tuberkulosis paru tanpa komplikasi
Demam dengue, DHF
Napkin eczema
Serumen prop
Astigmatism ringan
Otitis media akut
Lipoma
Infeksi saluran kemih bagian bawah
n
Hordeolum
Demam dengue classic
Bells’ palsy
697
484
451
444
230
178
168
145
133
103
100
67
58
58
54
49
32
30
27
25
Rerata per bulan
139,4
96,8
90,2
88,8
46
35,6
33,6
29
26,6
20,6
20
13,4
11,6
11,6
10,8
9,8
6,4
6
5,4
5
Gambar 2. Tren Jumlah Rujukan
Tabel 2. Penyebab Rujukan Kasus Nonspesialistik dan Solusinya Berdasarkan FGD
Kategori
Kendala
Solusi
Administratif
Fasilitas
Kesalahan koding
Terbatasnya alat pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
Laboratorium tidak lengkap
Terbatasnya ketersediaan obat
Beban kerja
Kurangnya koordinasi antara FKTP dan FKRTL
Kurangnya reward khususnya pada tindakan medis
Perbedaan persepsi tentang indikasi rujuk
Perbedaan persepsi tentang kewenangan dokter di FKTP
untuk membuat resep kacamata
Permintaan pasien untuk dirujuk
Dokter kurang terlatih menangani beberapa kasus
Kurang memahami aplikasi P Care
Aplikasi P Care yang lebih praktis dan mudah dimengerti
Fasilitasi tersedianya peralatan
Membuat laboratorium jejaring
Pemantauan ketersediaan obat dan obat rujuk balik oleh pihak terkait
Distribusi SDM yang proporsional
Koordinasi FKTP dan FKRTL terutama untuk kasus rujuk balik
Penyesuaian reward tindakan medis di FKTP
Tersedianya panduan rujukan terutama untuk kasus yang sering dirujuk
Manajemen
Kompetensi
Edukasi pasien oleh seluruh pihak terkait bahwa tidak semua kasus harus dirujuk
Penyegaran diagnosis dan tata laksana penyakit nonspesialistik
Pelatihan P Care untuk dokter dan staf administrasi
Ket:
FKRTL = Fasilitas kesehasehatan rujukan tingkat lanjut
329
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
ter spesialis yang banyak dengan akses yang cukup mudah memiliki tingkat rujukan yang lebih tinggi.1,12
Penelitian ini menunjukkan bahwa kasus terbanyak
yang dirujuk adalah hipertensi esensial, diikuti oleh kelainan refraksi mata dan diabetes melitus. Kasus
hipertensi esensial dan diabetes melitus di Indonesia
terus meningkat seiring dengan meningkatnya harapan
hidup dan bergesernya pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit kronis dan degeneratif.13 Hipertensi
esensial dan diabetes melitus merupakan penyakit kronis
yang memerlukan penatalaksanaan jangka panjang dan
yang berkelanjutan. Dalam perjalanan penyakitnya perlu
pemantauan, atau adanya kondisi atau komplikasi yang
memerlukan tindak lanjut di fasilitas kesehatan rujukan
tingkat lanjut (FKRTL). Oleh karena itu, perlu ditelusuri
lebih jauh apakah kasus tersebut memang memenuhi indikasi rujuk atau tidak. Penelitian Chant,14 menunjukkan
salah satu faktor yang berhubungan erat dengan angka
rujukan adalah penyakit kronis, terutama pada
masyarakat miskin.
Kelainan refraksi mata ringan seperti miopia, hipermetropia, dan presbiopia juga merupakan rujukan yang
cukup tinggi di FKTP Kota Pekanbaru. Meskipun
penyakit-penyakit ini termasuk ke dalam daftar 144
penyakit di layanan primer dengan level 4A di dalam
standar kompetensi dokter Indonesia, pada kenyataannya kasus-kasus ini tidak dapat diselesaikan dengan tuntas di FKTP.7 Berdasarkan FGD yang dilakukan, beberapa penyebab dirujuknya kasus-kasus kelainan refraksi
ringan adalah terbatasnya fasilitas diagnostik, beban kerja, dan kompetensi dokter serta perbedaan persepsi tentang kewenangan mengeluarkan resep kacamata pada
dokter praktik umum di FKTP. Pada panduan praktik
pelayanan alat kesehatan yang diterbitkan oleh BPJS
Kesehatan, kacamata merupakan bagian dari pemeriksaan dan pelayanan yang diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan. Penjaminan pelayanan kacamata
diberikan atas rekomendasi dokter spesialis mata.15
Kenyataan ini menunjukkan hal yang kontradiktif sehingga perlu disepakati panduan rujukan kelainan refraksi yang sesuai. Agar kelainan refraksi ringan dapat
diatur di layanan primer, diperlukan perbaikan pada
fasilitas diagnostik serta sosialisasi tentang kewenangan
dokter di FKTP kepada pihak terkait seperti dokter, optik, dan dokter spesialis mata.
Sesuai dengan pedoman praktik klinik di layanan
primer yang dikeluarkan oleh IDI, penyakit dengan diagnosis yang terdaftar di dalam 144 penyakit di layanan
primer tetap dapat dirujuk bila terdapat pertimbangan
klinis, yaitu usia pasien, lama perjalanan penyakit,
adanya komplikasi penyakit atau penyakit penyerta yang
dikhawatirkan memperburuk kondisi pasien. Selain itu,
fasilitas yang kurang di FKTP juga menjadi salah satu sebab dokter dapat merujuk pasien.8 Beberapa alasan dok330
ter merujuk pasien ke layanan sekunder antara lain untuk
tujuan diagnosis, investigasi lebih lanjut, mendapatkan
penatalaksanaan dan anjuran dokter spesialis, berbagi
beban dan kesulitan penatalaksanaan pasien, permintaan
pasien sendiri serta ketakutan akan tuntutan
hukum. 1,3,12,14 Dalam sistem informasi di layanan
primer BPJS menggunakan aplikasi P Care, akan tetapi di
dalam P Care belum tersedia format untuk memberikan
informasi alasan merujuk sehingga tidak diketahui secara
pasti indikasi rujuk setiap kasus. Data ini penting untuk
melihat permasalahan sistem rujukan di layanan primer
dan mencari alternatif solusinya.
Salah satu hal terpenting yang menjadi penyebab rujukan di layanan primer adalah perbedaan persepsi tentang derajat beratnya penyakit dan potensi dampak
penyakit terhadap pasien di masa yang akan datang.
Selain itu, terdapat variasi pada respons dokter terhadap
ketidakpastian klinis di layanan primer. Dokter yang
tidak toleran terhadap ketidakpastian lebih sering merujuk dibandingkan dengan dokter yang lebih toleran terhadap ketidakpastian klinik.12 Layanan primer merupakan titik awal rujukan pasien, akan tetapi banyak faktor yang memengaruhi angka rujukan. Oleh karena itu,
intervensi dalam perbaikan manajemen rujukan sebaiknya tidak hanya difokuskan pada layanan primer saja.16 Masih sedikitnya panduan rujukan pasien yang dapat dipedomani ikut memengaruhi belum optimalnya sistem rujukan.17 Variasi rujukan dapat diperkecil melalui
panduan rujukan, terutama pada kasus-kasus yang
banyak dirujuk. Kenyataannya belum terdapat panduan
rujukan di layanan primer yang dapat dipedomani oleh
dokter di FKTP Kota Pekanbaru.
Berdasarkan jenis FKTP yang melakukan rujukan
nonspesialistik, kasus terbesar (65%) berasal dari klinik
pratama, 30% dari puskesmas, dan 5% dari dokter praktik mandiri. Jumlah peserta BPJS Kesehatan di klinik
pratama adalah 42% dari total peserta di BPJS Kesehatan
di Kota Pekanbaru. Besarnya rujukan dari klinik pratama
dapat disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor dokter,
fasilitas, manajemen, dan faktor pasien. Untuk mengetahui penyebab tingginya rujukan dari klinik pratama
dibandingkan jenis fasilitas kesehatan tingkat primer
lainnya, diperlukan penelitian lebih lanjut.
Masalah administrasi seperti kesalahan koding juga
merupakan salah satu penyebab tingginya rujukan nonspesialistik di FKTP. Tinjauan sistematik yang dilakukan
oleh British Medical Assosiation pada tahun 2007 – 2008
menyebutkan koding yang tidak akurat berkisar 1 -76%,
dengan rerata 16,5% koding.1 Dalam sistem informasi
BPJS, koding dilakukan melalui aplikasi P Care.
Kesalahan koding terjadi karena kemampuan sebagian
dokter dan petugas administrasi dalam penggunaan aplikasi P Care belum sesuai harapan. Pemilihan kode di
FKTP tidak jarang didelegasikan dokter kepada petugas
Nazriati & Husnedi, Profil Rujukan Kasus Nonspesialistik pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer
kesehatan lainnya. Berdasarkan FGD yang dilakukan, kesalahan menentukan kode penyakit kadang terjadi karena banyaknya kode yang harus dipilih pada tiap penyakit.
Sebagai contoh, terdapat 49 kode untuk kode penyakit
diabetes melitus, petugas kesehatan di FKTP harus
memilih satu di antaranya. Dari FGD terungkap bahwa
kesalahan koding terjadi juga karena kendala bahasa.
Kode penyakit yang ditulis dalam bahasa Inggris sering
tidak dipahami oleh petugas administrasi di fasilitas kesehatan tingkat primer.
Penyebab rujukan nonspesialistik lainnya adalah
masalah fasilitas, seperti keterbatasan alat, tidak tersedianya fasilitas pemeriksaan laboratorium, dan terbatasnya ketersediaan obat. Berdasarkan FGD, diketahui bahwa beberapa kasus dirujuk untuk mendapatkan pemeriksaan penunjang, baik dalam rangka penegakkan diagnosis
maupun untuk pemantauan perjalanan penyakit pasien.
Penegakkan diagnosis beberapa kasus seperti infeksi saluran kemih sulit dilakukan di FKTP karena tidak tersedianya fasilitas penunjang pemeriksaan urin. Berdasarkan
FGD dengan dokter di FKTP, terungkap bahwa beberapa
kasus terpaksa dirujuk karena tidak tersedianya beberapa obat di FKTP. Pasien hipertensi esensial dan diabetes
melitus juga sering dirujuk untuk pemeriksaan profil lipid
dan mendapatkan obat. Beberapa apotek yang seharusnya menyediakan obat rujuk balik tidak menyediakan
obat tersebut.
Rujukan di FKTP juga terjadi karena masalah manajemen pelayanan seperti beban kerja, kurangnya koordinasi, perbedaan persepsi, imbalan jasa dokter, dan permintaan pasien. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa pasien dengan sistem kapitasi memiliki keinginan dan
harapan yang lebih tinggi untuk dirujuk dibandingkan
sistem fee for service. Pasien tidak lagi memikirkan pembayaran di fasilitas kesehatan sekunder karena sudah tercakup dalam iuran kapitasi yang dibayarkan pasien.
Harapan pasien untuk dirujuk juga berhubungan dengan
keinginan untuk mendapatkan layanan dokter spesialis.3
Perlu edukasi terus-menerus agar pasien memahami bahwa tidak semua penyakit memerlukan rujukan ke fasilitas
kesehatan tingkat lanjut.
Perilaku dokter dalam merujuk juga dipengaruhi oleh
imbalan jasa yang diterima dokter dan sistem pembayaran layanan kesehatan. Angka rujukan lebih rendah pada sistem fee for service dibandingkan dengan sistem
kapitasi.3,18 Berdasarkan FGD, diketahui bahwa beberapa dokter juga merujuk karena tingginya beban kerja
dan menganggap bahwa jasa pelayanan pada beberapa
tindakan di layanan primer sangat rendah seperti pada
kasus lipoma. Penelitian Kusnir,19 menunjukkan terdapat
hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan
angka rujukan.
Beberapa penyakit juga dirujuk karena perbedaan
persepsi tentang kewenangan dokter di FKTP dan koor-
dinasi antara FKTP dan FKRTL. Diagnosis kelainan
refraksi yang ditegakkan di FKTP tidak dapat ditatalaksana dengan kacamata koreksi karena resep kacamata
yang dibuat oleh dokter di FKTP tidak dipakai oleh optik
yang bersangkutan. Rujukan juga dapat terjadi karena
kurangnya koordinasi antara FKTP dan FKRTL.
Berdasarkan FGD, didapatkan bahwa informasi dari dokter di FKRTL tentang tindak lanjut pengobatan pasien
pada beberapa kasus kurang detail sehingga pasien dirujuk kembali ke FKRTL untuk melanjutkan pengobatan.
Menurut penelitian Evans,17 hubungan dan koordinasi
yang baik antara dokter di layanan primer dengan dokter
di layanan sekunder dapat menurunkan angka rujukan.
Kompetensi dokter juga memengaruhi angka rujukan
di FKTP. Sebagian dokter sulit mempertahankan kompetensinya akibat kurang terlatih atau terpapar pada jenis
penyakit tertentu. Tabel 1 menunjukkan beberapa
penyakit nonspesialistik seperti lipoma, napkin eczema
dan serumen prop juga sering dirujuk oleh dokter di FKTP. Berdasarkan FGD, disimpulkan bahwa beberapa
kompetensi dokter perlu ditingkatkan dan disegarkan
kembali. Selain itu, juga perlu pelatihan bagi dokter dan
staf administratif dalam aplikasi P Care. Namun, hasil
penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan pada kota
lain di Indonesia karena adanya perbedaan karakteristik
setiap kota.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan masih tingginya angka rujukan kasus nonspesialistik di Kota Pekanbaru.
Hipertensi esensial merupakan kasus dengan rujukan
tertinggi dari 20 kasus nonspesialistik yang banyak dirujuk. Angka rujukan di klinik pratama lebih tinggi dibandingkan puskesmas dan dokter praktik mandiri. Jumlah
rujukan di ketiga jenis FKTP menunjukkan tren yang
menurun. Penyebab rujukan nonspesialistik antara lain
masalah administratif, terbatasnya fasilitas, manajemen
pelayanan, serta kompetensi dokter di FKTP.
Saran
Perlu peningkatan peran serta pihak terkait, khususnya Dinas Kesehatan dan Pemerintah Kota Pekanbaru
dalam memenuhi keterbatasan fasilitas, obat, dan sumber
daya manusia. BPJS dan IDI juga harus mengambil peran dalam memfasilitasi perbaikan pada sistem informasi
dan panduan rujukan serta peningkatan kompetensi dokter di FKTP.
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima
kasih kepada Kepala Divisi Regional II BPJS Bapak
Benjamin Saut dan Kepala Dinas Kesehatan Kota
Pekanbaru Ibu Drg. Helda Suryani Munir, M.Kes serta
pengurus IDI wilayah Riau yang telah memfasilitasi ter331
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
laksananya penelitian ini.
tem pembayaran kapitasi berbasis kinerja. Jakarta: BPJS Kesehatan;
2014.
Daftar Pustaka
1. British Medical Association Health Policy and Economic Research Unit;
11. Jabeen M. Impact of performance appraisal on employees motivation.
European Jurnal of Business and Management. 2011; 3 (4): 197-204
British Medical Association. Factors capable of influencing an increase
12. Forrest CB, Nutting PA, Schrader, Rohde C, Starfield B. Primary care
in GP referral rates to secondary care (England only). London: British
physician specialty referral decision making: patient, physician, and
Medical Association; 2009.
health care system determinants. Medical Decision Making. 2006; 26
2. Barnet MI, Song Z, London BE. Trends in physician referrals in United
States, 1999-2009. Archives of Internal Medicine. 2012; 172 (2): 16370.
3. Liddy C, Singh J, Kelly R, Dahrouge S, Taljaard M, Younger J. What is
the impact of primary care model type on specialist referral rates? A
cross-sectional study. BMC Family Practice. 2014; 15: 22.
4. Frank P, Williams G.C, Zwanziger J, Mooney C, Sarbero M. Why do
physicians vary so widely in their referral rates? Journal of General
Internal Medicine. 2000;15; 163- 4.
5. Malik AH. Analisis peran dokter layanan primer sebagai gatekeeper di
era jaminan kesehatan nasional (monitoring 3 bulan pertama pelayanan
(1): 67-85
13. Suyono S. Diabetes mellitus di Indonesia. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi Keenam. Jakarta: Interna Publishing; 2014.p. 2315-22
14. Chant BT, Austin PC. Patient, physician, and community factors affecting referrals to specialists in Ontario, Canada: a population-based, multi-level modeling approach. Medical Care. 2003 Apr; 41: 500-11.
15. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Kesehatan. Panduan
praktik pelayanan alat kesehatan. 2014 [Diakses pada tanggal 8
Desember 2015]. Diunduh dalam: http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/ 4b16c5b267e8d3651fdfb9880c6921f4.pdf
di PPK1 BPJS Kesehatan). Buku Prosiding Kongres InaHEA II, Jakarta,
16. Blank L, Baxter S, Woods HB, Goyder E, Lee A, Payne N, Rimmer M.
7-10 April 2015 [Diakses pada 6 Oktober 2015]. Diunduh dalam:
Referral interventions from primary to specialist care: a systematic re-
http://inahea.org/files/hari1/2.%20Abd%20Halik%20Malik.pdf.
view of international evidence. British Journal of General Practice. 2014;
6. Idris F. Optimalisasi sistem pelayanan kesehatan berjenjang pada program Kartu Jakarta Sehat. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional. 2014; 9 (1): 94-100.
7. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar kompetensi dokter Indonesia.
Edisi ke-2. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2012.
64 (629): e765-74.
17. Evans E, Aiking H, Edwards A. Reducing variation in general practitioner referral rates through clinical engagement and peer review of referrals: a service improvement project. Quality in Primary Care. 2011;
19 (4): 263-72.
8. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis dokter
18. Vahidi RG, Mojahed F, Jafarabadi MA, Gholipour K, Rasi V.
bagi dokter di fasilitas kesehatan primer. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan
A Systematic review of the effect of payment mechanism on family physi-
Dokter Indonesia; 2013
cians service provision and referral rate behavior. Journal of Pakistan
9. Bungin HMB. Penelitian kualitatif: Komunikasi, ekonomi, kebijakan
publik, dan ilmu sosial lainnya. Edisi I cetakan ke 2. Jakarta: Kencana;
2008.
10. Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Surat keputusan direksi BPJS Kesehatan nomor 411 tahun 2014 tentang ujicoba sis-
332
Medical Student. 2013; 3 (1): 54-60
19. Kushnir T, Greenberg D, Madjar N, Hadari I, Yermiahu Y, Bachner YG.
Is burnout associated with referral rates among primary care physicians
in community clinics? Family Practice. 2014; 31 (1): 44-50.
Artikel Penelitian
Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS
Public Stigma to People Living with HIV/AIDS
Zahroh Shaluhiyah, Syamsulhuda Budi Musthofa, Bagoes Widjanarko
Program Studi Magister Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
Abstrak
Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten dengan peningkatan kasus
HIV/AIDS cukup tajam dibandingkan kabupaten lain di Jawa Tengah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi stigma masyarakat terhadap
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan faktor yang memengaruhinya.
Penelitian explanatory ini dilakukan melalui pendekatan studi potong lintang
dengan sampel berjumlah 300 kepala keluarga yang dipilih menggunakan
sampel acak proporsional pada tiga kelurahan dengan kasus HIV tertinggi
selama Agustus - September 2014. Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara tatap muka menggunakan kuesioner terstruktur. Sedangkan
analisis data dilakukan secara univariat, bivariat menggunakan kai kuadrat,
dan multivariat menggunakan regresi logistik. Sebagian besar responden
adalah laki-laki dengan tingkat pendidikan terbanyak sekolah menengah
atas ke bawah. Separuh responden masih memberikan stigma terhadap
ODHA. Responden dengan keluarga yang memberikan stigma memiliki kemungkinan memberikan stigma terhadap ODHA empat kali lebih besar
dibandingkan responden yang keluarganya tidak memberikan stigma.
Demikian juga responden yang berpersepsi negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan memberikan stigma dua kali lebih besar dibandingkan
yang berpersepsi positif. Faktor sikap tetangga dan tokoh masyarakat terhadap ODHA juga berhubungan signifikan dengan stigma responden terhadap ODHA. Kesimpulannya adalah sikap keluarga dan persepsi responden terhadap ODHA merupakan faktor yang berpengaruh pada munculnya
stigma terhadap ODHA sehingga disarankan adanya pemberian informasi
tentang HIV/AIDS yang lengkap kepada keluarga dan masyarakat untuk
menurunkan atau menghilangkan stigma.
Kata kunci: HIV/AIDS, stigma masyarakat, orang dengan HIV/AIDS
Abstract
Grobogan District is a district with a sharp increasing of HIV/AIDS case
compared to other districts over Central Java. This study aimed to identify
public stigma to people living with HIV/AIDS (PLWHA) and influencing fac-
tors. This explanatory study was conducted using cross sectional design
worth 300 family head samples selected by using proportional random sampling on three subdistricts with highest HIV case within August - September
2014. Data collecting was conducted through face-to-face interview using
structured questionnaire. Meanwhile, data analysis was conducted in univariate, bivariate using chi square and multivariate using logistic regression.
Most respondents were men whose education level was mostly high school
to the bottom level. Half of respondents were still stigmatizing PLWHA.
Respondents whose families stigmatized had possibility of stigmatizing four
times bigger than respondents whose families did not. Similarly, respondents holding negative perceptions toward PLWHA had possibility of stigmatizing twice bigger than those holding positive perceptions. Attitude of
neighbors and public figures toward PLWHA also significantly related to respondent’s stigma to PLWHA. To sum up, family attitude and respondent’s
perception to PLWHA were influencing factors of emerging stigma toward
PLWHA. Therefore, it suggested that providing families and public any complete information about HIV/AIDS may decrease or remove the stigma.
Keywords: HIV/AIDS, public stigma, people living with HIV/AIDS
Pendahuluan
Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan
dan penanggulangan Human Imunnodeficiency
Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome
(HIV/AIDS) di Indonesia adalah masih tingginya stigma
dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS
(ODHA). Stigma berasal dari pikiran seorang individu
atau masyarakat yang memercayai bahwa penyakit AIDS
merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapat
Korespondensi: Zahroh Shaluhiyah, Prodi Magister Promosi Kesehatan FKM
Universitas Diponegoro, Gedung Pascasarja Undip Lantai 3 Jl. Imam Barjo, SH
No. 3 Semarang, No.Telp: 024-8417993, e-mail: [email protected]
333
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
diterima oleh masyarakat. Stigma terhadap ODHA
tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang
berlebihan, dan pengalaman negatif terhadap ODHA.
Banyak yang beranggapan bahwa orang yang terinfeksi
HIV/AIDS layak mendapatkan hukuman akibat perbuatannya sendiri. Mereka juga beranggapan bahwa ODHA
adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDS.1 Hal inilah yang menyebabkan orang
dengan infeksi HIV menerima perlakuan yang tidak adil,
diskriminasi, dan stigma karena penyakit yang diderita.
Isolasi sosial, penyebarluasan status HIV dan penolakan
dalam pelbagai lingkup kegiatan kemasyarakatan seperti
dunia pendidikan, dunia kerja, dan layanan kesehatan
merupakan bentuk stigma yang banyak terjadi. 1-3
Tingginya penolakan masyarakat dan lingkungan akan
kehadiran orang yang terinfeksi HIV/AIDS menyebabkan sebagian ODHA harus hidup dengan menyembunyikan status.1,4,5
Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi program pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA. Populasi
berisiko akan merasa takut untuk melakukan tes HIV
karena apabila terungkap hasilnya reaktif akan menyebabkan mereka dikucilkan. Orang dengan HIV positif
merasa takut mengungkapkan status HIV dan memutuskan menunda untuk berobat apabila menderita sakit, yang akan berdampak pada semakin menurunnya
tingkat kesehatan mereka dan penularan HIV tidak
dapat dikontrol. Dampak stigma dan diskriminasi pada perempuan ODHA yang hamil akan lebih besar
ketika mereka tidak mau berobat untuk mencegah
penularan ke bayinya.
Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi terbanyak
keenam jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Sampai dengan Maret 2014, jumlah kumulatif infeksi
HIV sebesar 7.584, sedangkan jumlah kumulatif AIDS
sebanyak 3.339 kasus dengan 978 kasus kematian
AIDS.6 Masih tingginya kematian ini kemungkinan besar
disebabkan karena ODHA tidak memiliki kesempatan
mendapatkan perawatan yang optimal akibat masih
tingginya stigma di kalangan masyarakat.
Kabupaten Grobogan merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang dipilih menjadi area studi
karena peningkatan kasus HIV/AIDS yang cukup tinggi
dibandingkan kabupaten lain. Saat ini, Kabupaten
Grobogan menduduki peringkat keempat kota/kabupaten dengan kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak di
Provinsi Jawa Tengah. Sampai dengan Juni 2014, jumlah
kasus HIV sebesar 221 kasus, sedangkan AIDS sejumlah
288 kasus.7
Kabupaten Grobogan merupakan salah satu kabupaten dengan perkembangan sosial ekonomi yang lambat
berkaitan dengan kondisi geografis berupa bukit kapur
yang tandus. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai
334
tenaga kerja informal di luar wilayah Grobogan.
Rendahnya pengetahuan dan keterampilan menyebabkan
banyaknya masyarakat Grobogan yang menjadi pekerja
migran ke kota besar seperti Jakarta, Medan, bahkan ke
luar negeri. Hal ini menyebabkan mereka jauh dari keluarga dan memudahkan mereka melakukan perilaku seksual berisiko, seperti ditunjukkan dengan kasus infeksi
menular seksual (IMS) dan HIV yang semakin meningkat
setiap tahun.
Dengan pengetahuan dan pendidikan yang rendah,
stigma dan diskriminasi ODHA masih banyak terjadi di
masyarakat Kabupaten Grobogan. Sebagai contoh, apabila diketahui terdapat ODHA yang meninggal, akan
sulit mencari orang yang bersedia untuk melaksanakan
pemulasaran jenazah. Demikian juga banyak masyarakat
yang menolak bersahabat dengan ODHA. Walaupun
tidak sampai terjadi pengusiran ODHA dari lingkungan,
namun masih banyak masyarakat yang enggan melibatkan ODHA dalam kegiatan masyarakat.
Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya stigma
pada ODHA di masyarakat. Pendidikan kesehatan
yang bertujuan meningkatkan pengetahuan mengenai
HIV/AIDS dalam banyak penelitian dibuktikan sebagai salah satu faktor yang paling memengaruhi terjadinya pengurangan stigma.8,9 Orang yang memiliki
pengetahuan cukup tentang faktor risiko, transmisi,
pencegahan, dan pengobatan HIV/AIDS cenderung
tidak takut dan tidak memberikan stigma terhadap
ODHA.8,10,11
Selain pengetahuan yang kurang, pengalaman atau
sikap negatif terhadap penularan HIV dianggap sebagai
faktor yang dapat memengaruhi munculnya stigma dan
diskriminasi. Pendapat tentang penyakit AIDS merupakan penyakit kutukan akibat perilaku amoral juga
sangat memengaruhi orang bersikap dan berperilaku terhadap ODHA. 8,12,13
Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang
menghubungkan seseorang yang terinfeksi HIV dengan
nilai-nilai negatif yang diberikan oleh mereka
(masyarakat). Stigma membuat ODHA diperlakukan secara berbeda dengan orang lain. Diskriminasi terkait HIV
adalah suatu tindakan yang tidak adil pada seseorang
yang secara nyata atau diduga mengidap HIV.14
Berdasarkan informasi dan data tersebut, maka
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis faktor yang memengaruhi terjadinya stigma
masyarakat terhadap ODHA di Kabupaten Grobogan.
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan
masukan kepada pembuat kebijakan untuk mendukung
program pengurangan stigma kepada ODHA sehingga
memudahkan ODHA untuk mengungkapkan status dan
memudahkan pengobatan serta pencegahan penularan
kepada masyarakat hingga pada akhirnya akan membantu meningkatkan kualitas hidup ODHA.
Shaluhiyah, Musthofa, Widjanarko, Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS
Metode
Jenis penelitian ini merupakan riset explanatory untuk menemukan penjelasan tentang suatu kejadian stigma ODHA dengan pendekatan potong lintang.
Pengambilan data penelitian dilakukan selama satu bulan, yaitu bulan Agustus sampai dengan September 2014,
sedangkan pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan tabel Isaac and Michael dengan derajat kemaknaan 10%. Dalam tabel Isaac and Michael, dengan jumlah populasi antara 20.000 – 25.000 orang dan derajat
kemaknaan sebesar 10%, jumlah sampel yang dapat diambil sebanyak 270 orang. Untuk menghindari drop out
sample, maka sampel ditambah sebesar 10% sehingga
jumlah sampel menjadi 297 dan dibulatkan menjadi 300
sampel. Sebanyak 300 kepala keluarga dipilih secara
propotional random sampling dari tiga kelurahan dengan
jumlah penderita HIV tertinggi di Kabupaten Grobogan.
Instrumen penelitian menggunakan kuesioner terstruktur
dengan mewawancarai responden. Kriteria inklusi dalam
penelitian ini adalah kepala rumah tangga yang tinggal di
salah satu dari tiga kelurahan terpilih dan bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent. Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini
adalah kepala keluarga yang tinggal di tiga kelurahan terpilih, namun menolak untuk diwawancarai serta tidak
berada di tempat atau di rumah saat penelitian dilakukan.
Penelitian ini berlokasi di tiga kelurahan yaitu
Kelurahan Purwodadi, Kelurahan Danyang, dan
Kelurahan Kuripan yang merupakan kelurahan dengan
angka kejadian HIV terbanyak di antara kelurahan lain.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur melalui wawancara tatap muka kepada 300 kepala rumah tangga terpilih.
Penelitian ini menggunakan teori Lawrence Green sebagai referensi kerangka konsep dengan melibatkan variabel faktor predisposing, enabling, dan reinforcing, yang
meliputi pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS serta
persepsi terhadap ODHA, akses sumber informasi
HIV/AIDS, persepsi responden terhadap sikap dan perilaku tetangga, keluarga, dan tokoh masyarakat terhadap
ODHA. Sedangkan karakteristik responden meliputi
usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan.
Stigma diukur berdasarkan beberapa pertanyaan, di
antaranya bila tinggal dekat dengan ODHA, menyentuh
tubuh ODHA, tidur dalam satu ruangan dengan ODHA,
anak bermain dengan anak ODHA, merawat ODHA
dengan pilihan jawaban takut, tidak takut. Selain itu, juga ditanyakan bila keluarga, tetangga, teman, teman anak
menjadi ODHA; pendapat responden bila ODHA dikucilkan oleh masyarakat, didiskriminasi oleh petugas apabila nama ODHA disebarluaskan agar dapat dihindari
dengan pilihan jawaban mendukung, tidak mendukung.
Analisis data dilakukan dengan uji statistik univariat
memakai distribusi frekuensi, hubungan antarvariabel
yang diuji dengan menggunakan uji statistik kai kuadrat
dan uji statistik multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik berganda.
Hasil
Stigma terhadap ODHA masih banyak terjadi di
masyarakat. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan hampir separuh dari responden (49,7%)
memiliki sikap negatif terhadap ODHA. Bentuk stigma
di antaranya tidak bersedia makan makanan yang
disediakan atau dijual oleh ODHA, tidak membolehkan
anaknya bermain bersama dengan anak HIV, tidak mau
menggunakan toilet bersama dengan ODHA, bahkan
menolak untuk tinggal dekat dengan orang yang menunjukkan gejala HIV/AIDS. Apabila terdapat ODHA dalam
keluarga, mereka merasa takut untuk tidur bersama dengan ODHA dan tidak bersedia merawat seperti menyiapkan makanan dan membersihkan peralatan makan,
serta duduk dekat dengan orang-orang terinfeksi HIV
yang tidak menunjukkan gejala sakit.
Distribusi hasil uji statistik univariat berdasarkan
karakteristik menunjukkan bahwa responden dalam
penelitian ini terbagi dalam dua kelompok usia dengan
jumlah yang hampir sama, jumlah responden laki-laki
enam kali lipat lebih banyak daripada responden perempuan. Responden dengan pendidikan tinggi hanya sebesar 11,3% dan sebagian besar responden berpendidikan
rendah (tamat sekolah dasar). Terkait dengan tingkat
pendapatan, sebagian besar responden memiliki pendapatan di atas upah minimum Kabupaten Grobogan
(Tabel 1).
Hasil distribusi frekuensi faktor determinan stigma
terhadap ODHA menunjukan bahwa mayoritas pengetahuan responden tentang IMS dan HIV/AIDS masih kurang, namun sebagian besar responden pernah mendapat akses informasi tentang HIV/AIDS dan memiliki
persepsi positif terhadap ODHA. Tetangga merupakan
salah satu orang terdekat ODHA dalam lingkup interaksi sosial. Hampir separuh responden berpendapat bahwa
banyak tetangga mereka juga memiliki sikap dan perilaku
Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Karakteristik Responden
Karakteristik
Kategori
Usia
< 46 tahun
≥ 46 tahun
Laki-laki
Perempuan
Tidak sekolah
Pendidikan dasar (SD)
Pendidikan menengah (SMP & SMA)
Pendidikan tinggi
Kurang dari UMK (<Rp 935.000,-)
Lebih dari UMK (≥Rp 935.000,-)
Jenis kelamin
Pendidikan
Pendapatan
n
%
149
151
258
42
24
139
103
34
64
236
49,7
50,3
86,0
14,0
8,0
46,3
34,3
11,3
21,3
78,7
335
: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Tabel 2. Distribusi Faktor Determinan Stigma Masyarakat terhadap ODHA
Stigma Masyarakat terhadap ODHA
Variabel
Pengetahuan IMS dan HIV/AIDS
Persepsi tentang ODHA
Akses informasi tentang HIV/AIDS
Faktor sikap tetangga terhadap ODHA
Faktor sikap keluarga terhadap ODHA
Faktor sikap tokoh masyarakat terhadap
ODHA
Kategori
n
Kurang
Baik
Negatif
Positif
Kurang mengakses
Mengakses
Negatif
Positif
Negatif
Positif
Negatif
Positif
160
140
129
171
109
191
148
152
138
162
75
225
%
Ya
53,3
46,7
43,0
57,0
36,3
63,7
49,3
50,7
46,0
54,0
25,0
75,0
Tidak
Nilai p
n
%
n
%
82
67
76
73
53
96
90
59
93
56
48
101
51,3
47,9
58,9
42,7
48,6
50,3
60,8
38,8
67,4
34,6
64,0
44,9
78
73
53
98
56
95
58
93
45
106
27
124
48,8
52,1
41,1
57,3
51,4
49,7
39,2
61,2
32,6
65,4
36,0
55,1
0,638
0,008
0,879
0,001
0,001
0,006
Tabel 3. Analisis Multivariat Determinan Stigma Masyarakat terhadap ODHA
95% CI for EXP(B)
Variabel Independen
Persepsi responden terhadap ODHA
Faktor sikap stigma tetangga
Faktor sikap stigma keluarga
Faktor sikap stigma tokoh masyarakat
B
0,495
-0,120
1,339
0,145
SE
0,251
0,367
0,373
0,322
negatif (memberikan stigma) terhadap ODHA, sedangkan keluarga lebih banyak memberikan sikap positif terhadap ODHA. Sejalan dengan sikap keluarga terhadap
ODHA, sebagian besar tokoh masyarakat juga memiliki
sikap positif terhadap ODHA (Tabel 2).
Hasil analisis hubungan atau bivariat menggunakan
kai kuadrat menunjukkan terdapat empat variabel yang
memiliki hubungan bermakna dengan stigma terhadap
ODHA (nilai p < 0,05), yaitu persepsi responden tentang
ODHA, faktor sikap tetangga terhadap ODHA, faktor
sikap keluarga terhadap ODHA, dan faktor sikap tokoh
masyarakat terhadap ODHA. Sedangkan pengetahuan
tentang IMS dan HIV/AIDS dan akses informasi tentang
HIV/AIDS tidak memiliki hubungan yang bermakna
dengan stigma responden terhadap ODHA, nilai p =
0,638 dan nilai p = 0,879 (Tabel 2).
Hasil uji multivariat dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap
ODHA dan faktor sikap keluarga terhadap ODHA merupakan variabel yang berpengaruh pada stigma terhadap
ODHA. Keluarga yang memiliki sikap negatif terhadap
ODHA memiliki kemungkinan empat kali lebih besar
memberikan stigma dibandingkan dengan keluarga yang
memiliki sikap positif terhadap ODHA. Demikian juga
responden yang memiliki persepsi negatif terhadap
ODHA memiliki kemungkinan dua kali lebih besar memberikan stigma terhadap ODHA dibandingkan dengan
responden yang memiliki persepsi positif (Tabel 3).
336
Wald
3,900
0,107
12,905
0,203
Sig.
0,048
0,744
0,000
0,653
Exp (B)
1,640
0,887
3,815
1,156
Lower
Upper
1,004
0,432
1,837
0,615
2,681
1,820
7,919
2,175
Pembahasan
Stigma terhadap ODHA dalam penelitian ini adalah
sikap dan perilaku negatif seseorang apabila berhadapan
dengan ODHA. Fokus penelitian ini adalah mengidentikasi bentuk stigma masyarakat terhadap ODHA dan
menganalisis hubungan faktor determinan yang berkontribusi terhadap stigma masyarakat pada ODHA yang
masih banyak terjadi di masyarakat.
Stigma muncul karena tidak tahunya masyarakat tentang informasi HIV yang benar dan lengkap, khususnya
dalam mekanisme penularan HIV, kelompok orang
berisiko tertular HIV dan cara pencegahannya termasuk
penggunaan kondom.13,15 Stigma merupakan penghalang terbesar dalam pencegahan penularan dan pengobatan HIV. Selain itu, stigma terhadap ODHA juga
menyebabkan orang yang memiliki gejala atau diduga
menderita HIV enggan melakukan tes untuk mengetahui
status HIV karena apabila hasilnya positif, mereka takut
akan ditolak oleh keluarga dan khususnya oleh pasangan.
Munculnya stigma di masyarakat juga merupakan salah
satu kendala yang dihadapi dalam penanggulangan
HIV/AIDS.1,16,17
Dalam hidup bermasyarakat, stigma juga menghalangi ODHA untuk melakukan aktivitas sosial. ODHA
menutup diri dan cenderung tidak bersedia melakukan
interaksi dengan keluarga, teman, dan tetangga. Hal ini
disebabkan karena sebagian masyarakat beranggapan
bahwa orang dengan HIV positif adalah orang berperi-
Shaluhiyah, Musthofa, Widjanarko, Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS
laku tidak baik seperti perempuan pekerja seksual, pengguna narkoba, dan homoseksual. Kelompok ini oleh sebagian masyarakat dianggap memengaruhi epidemi
HIV/AIDS dan membuat masyarakat menjadi menolak
dan membenci kelompok tersebut.13,15,16,18
Lebih dari separuh responden dalam penelitian ini
memiliki pengetahuan yang kurang tentang IMS dan
HIV/AIDS dengan adanya beberapa pemahaman yang
masih salah, seperti HIV dapat ditularkan melalui
pakaian atau benda-benda yang dipakai oleh ODHA dan
orang yang menderita HIV dapat menunjukkan gejala
penyakitnya. Meskipun demikian, mayoritas responden
juga memahami dengan baik bahwa HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan transfusi darah.
Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat memengaruhi
sikap seseorang terhadap penderita HIV/AIDS. Stigma
terhadap ODHA muncul berkaitan dengan tidak
tahunya seseorang tentang mekanisme penularan HIV
dan sikap negatif yang dipengaruhi oleh adanya epidemi
HIV/AIDS.14 Kesalahpahaman atau kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS sering kali
berdampak pada ketakutan masyarakat terhadap ODHA,
sehingga memunculkan penolakan terhadap ODHA.
Pemberian informasi lengkap, baik melalui penyuluhan,
konseling maupun sosialisasi tentang HIV/AIDS kepada
masyarakat berperan penting untuk mengurangi stigma.19
Pemberian pengetahuan atau informasi terkait HIV
adalah salah satu cara yang efektif untuk menjelaskan
tentang pencegahan dan penularan HIV. Seseorang dengan pengetahuan yang baik dan benar terkait HIV diharapkan dapat menurunkan bahkan menghilangkan
stigma pada ODHA.18,20 Persepsi masyarakat terhadap
ODHA memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku
memberikan stigma. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pemberian stigma HIV/AIDS dengan pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan ODHA, juga
berhubungan dengan pengalaman tentang adanya rasa
malu dan menyalahkan yang berhubungan dengan
penyakit AIDS.21,22 Demikian juga persepsi terhadap
penderita AIDS akan sangat memengaruhi cara orang
tersebut bersikap dan berperilaku terhadap ODHA.16
Terkait dengan akses media informasi tentang
HIV/AIDS, mayoritas responden pernah mendapatkan
informasi terkait HIV/AIDS. Media televisi merupakan
akses informasi yang dipilih sebagian besar responden
untuk mendapatkan informasi tentang HIV. Selain media
televisi, responden juga memperoleh informasi terkait
HIV/AIDS melalui koran, radio, majalah, dan internet.
Media telah lama digunakan untuk memberikan informasi terkait HIV/AIDS dengan tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS. Selain itu, informasi ten-
tang HIV/AIDS melalui media juga memberikan dampak
dalam penurunan stigma masyarakat terhadap ODHA,
meskipun hal tersebut belum terjadi di semua negara dan
semua kalangan masyarakat. Masyarakat di daerah
perkotaan cenderung lebih banyak memanfaatkan media
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Kelompok
masyarakat dengan akses media lebih sering memiliki
stigma yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok masyarakat dengan akses media yang kurang.2
Duffy,2 menyebutkan bahwa tetangga merupakan
seseorang yang secara hubungan sosial dekat dengan
ODHA. Sikap seorang tetangga sangat penting terkait
dengan pemberian stigma terhadap ODHA, karena dapat
memengaruhi sikap orang lain terhadap ODHA. Stigma
tersebut muncul karena tetangga beranggapan bahwa
orang dengan HIV/AIDS membawa penyakit infeksi
yang dapat menularkan ke orang lain dan penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan.
Keluarga merupakan lingkungan terdekat yang berinteraksi dengan ODHA. Menurut responden, lebih
banyak keluarga memiliki sikap yang positif terhadap
ODHA dibandingkan dengan yang memberikan sikap
negatif terhadap ODHA. Adanya perilaku keluarga yang
memberikan stigma ODHA dapat memperkuat
diskriminasi dan penolakan dari masyarakat. Stigma terhadap ODHA disebabkan karena keluarga merasa malu
apabila mengetahui salah satu anggota keluarga adalah
seorang penderita HIV sehingga ODHA juga dikucilkan
dari keluarga. Ketakutan akan diperlakukan secara
berbeda membuat ODHA sulit menjembatani diri
dengan orang lain dan takut untuk berbagi pengalamannya, bahkan untuk menyatakan dirinya sakit.19,23,24
Sebaliknya, dukungan atau penghapusan stigma dari
orang-orang di sekitar ODHA juga akan berdampak pada peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Dukungan sosial membuat penderita HIV tidak merasa
sendiri, merasa disayangi dan mereka lebih berpeluang
untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Pemanfaatan
pelayanan kesehatan oleh ODHA memungkinkan peningkatan pengetahuan, saling berbagi informasi terkait
HIV/AIDS serta meningkatkan kepatuhan terapi antiretroviral (ARV). Keterbukaan dan rasa nyaman yang dirasakan ODHA membuat mereka lebih mudah untuk
menerima informasi.25
Selain keluarga, tokoh masyarakat merupakan salah
satu faktor lingkungan sosial memiliki peranan penting
terjadinya stigma terhadap ODHA. Apabila seorang
tokoh masyarakat memberikan stigma terhadap ODHA,
masyarakat di sekitarnya memiliki kemungkinan juga
akan terpengaruh untuk melakukan hal yang sama.
Reaksi masyarakat terhadap ODHA memiliki efek besar
pada ODHA. Apabila reaksi masyarakat bermusuhan, seorang penderita HIV dapat merasakan adanya diskriminasi dan kemungkinan dapat meninggalkan rumah atau
337
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
menghindari aktivitas sehari–hari seperti berbelanja,
bersekolah, dan bersosialisasi dengan masyarakat.24
Pada dasarnya, tokoh masyarakat berperan penting
dalam menurunkan terjadinya stigma dan diskriminasi
terhadap ODHA karena tokoh-tokoh lokal merupakan
model atau contoh yang biasanya menjadi panutan
masyarakat, terutama pada masyarakat di daerah
pedesaan. Tindakan dan sikap mereka dijadikan referensi oleh masyarakat dalam mengubah perilaku sehat, termasuk yang terkait dengan penularan HIV, dan menurunkan stigma terhadap ODHA.24 Oleh karena itu, pemberian informasi yang komprehensif tentang HIV/AIDS
kepada tokoh masyarakat menjadi sangat penting dilakukan oleh petugas kesehatan, agar tokoh masyarakat
dapat menularkan dan menyebarkan informasi yang benar kepada masyarakat, termasuk tentang menghilangkan stigma terhadap ODHA.
6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan RI. Laporan perkembangan kasus HIV/AIDS di
Indonesia sampai triwulan II tahun 2014. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2014.
7. Komisi Penanggulan AIDS Provinsi Jawa Tengah. Laporan kondisi HIV
dan AIDS di Jawa Tengah sejak 1993 s/d Juni 2014. Semarang: Komisi
Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Tengah; 2014.
8. Balfour L, Corace K, Tasca GA, Plummer WB, MacPherson PA,
Cameron DW. High HIV knowledge relates to low stigma in Pharmacists
and University Health Science Students in Guyana, South America.
International Journal of Infectious Diseases. 2010; 14 (10): e881-7.
9. Li L, Wu Z, Wu S, Zhaoc Y, Jia M, Yan Z. HIV-related stigma in health
care settings: a survey of service providers in China. AIDS Patient Care
STDS. 2007; 21 (10): 753-62.
10. Bayer R. Stigma and the ethics of public health: not can we but should
we. Social Science & Medicine. 2008; 67 (3): 463-72.
11. Law GU, Rostill-Brookes H, Goodman D. Public stigma in health and
Kesimpulan
Faktor yang memengaruhi stigma terhadap ODHA di
Kabupaten Grobogan adalah sikap keluarga terhadap
ODHA dan persepsi responden terhadap ODHA.
Keluarga dengan sikap negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan empat kali lebih besar memberikan stigma terhadap ODHA, sedangkan responden dengan sikap
negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan dua kali
lebih besar dalam memberikan stigma terhadap ODHA.
non-healthcare students: attributions, emotions and willingness to help
with adolescent self-harm. International Journal of Nursing Studies.
2009; 46 (1): 108-19.
12. Anderson M, Elam G, Gerver S, Solarin I, Fenton K, Easterbrook P.
HIV/AIDS-related stigma and discrimination: Accounts of HIV-positive
Caribbean people in the United Kingdom. Social Science & Medicine.
2008; 67 (5): 790-8.
13. Darmoris. Diskriminasi petugas kesehatan terhadap orang dengan HIVAIDS (ODHA) di Rumah Sakit Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
[tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2011.
Saran
Perlu pemberian informasi HIV/AIDS yang lengkap
kepada masyarakat untuk memberikan pemahaman yang
dapat mengubah persepsi individu dan masyarakat termasuk keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat tentang
ODHA. Selain itu, juga diperlukan upaya penurunan
stigma terhadap ODHA melalui penyuluhan oleh tenaga
kesehatan, sebagai contoh untuk meluruskan mitos dan
penularan HIV/AIDS agar tidak terjadi kekhawatiran
dan ketakutan masyarakat terhadap ODHA.
14. Herek GM, Capitanio JP, Widaman KF. HIV related stigma and know-
Daftar Pustaka
18. Sohn A, Park S. HIV/AIDS knowledge, stigmatizing attitudes, and re-
ledge in the United States: prevalence and trends, 1991-1999. American
Journal of Public Health. 2002; 92 (3): 371-7.
15. Guma JA. Health workers stigmatise HIV and AIDS patients. South
Sudan Medical Journal. 2011; 4: 92-3.
16. Campbell C, Nair Y, Maimane S, Sibiya Z. Understanding and challenging HIV/AIDS stigma. HIVAN Publication. A vailable from:
http://www.lse.ac.uk/collections/socialPsicology/pdf/Challenging_HIV
AIDS_Stigma.pdf.
17. Lestari TRP. Kebijakan pengendalian HIV/AIDS di Denpasar. Kesmas:
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013; 8 (1): 45-48.
1. Maman S, Abler L, Parker L, Lane T, Chirowodza A, Ntogwisangu J, et
lated behaviors and factors that affect stigmatizing attitudes against
al. A comparison of HIV stigma and discrimination in five internation-
HIV/AIDS among Korean adolescents. Osong Public Health and
al sites: The influence of care and treatment resources in high prevalence
settings. Journal of Social Science & Medicine. 2009; 68 (12): 2271-8.
2. Duffy L. Suffering, shame, and silence: the stigma of HIV/AIDS. Journal
of the Association of Nurses in AIDS Care. 2005; 16 (1): 13-20.
3. Carr RL, Gramling LF. Stigma: a health barrier for women with
HIV/AIDS. Journal of the Association of Nurses in AIDS Care. 2004;15
(5): 30-9.
4. Foster G, Williamson J. A review of current literature of the impact of
HIV/AIDS on children in Sub-Saharan Africa. AIDS. 2000; 14: 275-84.
Research Perspectives. 2012; 3 (1): 24-30.
19. Djoerban Z. Membidik AIDS: ikhtiar memahami HIV dan ODHA.
Yogyakarta: Galang Press; 1999.
20. Voisin DR, Bird JD, Shiu CS, Krieger C. It’s crazy being a black, gay
youth. Getting information about HIV prevention: a pilot study. Journal
of Adolescent. 2013; 36: 111-9.
21. Hermawati P. Hubungan persepsi ODHA terhadap stigma HIV/AIDS
masyarakat dengan interaksi sosial pada ODH [tesis]. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah; 2011.
5. Butt L, Morin J, Numbery G, Peyon I, Goo A. Stigma and HIV/AIDS in
22. Cock KMD, Mbori-Ngaca D, Marum E. Shadow on the continent:
highlands Papua. Pusat Studi Kependudukan–Universitas Cenderawasih
Public health and HIV/AIDS in Africa in the 21. The Lancet. 2002; 360:
and University of Victoria. Canada: UNCEN UoV; 2010.
67–72.
338
Shaluhiyah, Musthofa, Widjanarko, Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS
23. Demartoto A. ODHA, masalah sosial dan pemecahannya. Jurnal
Penduduk dan Pembangunan. 2006; 6 (2): 105-15.
24. Suhendi A. Peranan tokoh masyarakat lokal dalam pembangunan kese-
25. Burhan R. Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh perempuan terinfeksi HIV/AIDS. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013; 8
(1): 33-8.
jahteraan sosial. Media Informasi. 2013; 18 (02) :105 – 16.
339
Artikel Penelitian
Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di
Indonesia
Consumption Patterns with Occurrence of Metabolic Syndrome in
Indonesia
Suhaema*, Herta Masthalina**
*Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Mataram, **Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan Medan
Abstrak
Terjadinya sindrom metabolik diduga berhubungan dengan pergeseran
gaya hidup masyarakat yang berubah menuju masyarakat modern, dari
mengonsumsi makanan tradisional beralih ke makanan instan dan kebaratbaratan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi sindrom
metabolik dan determinannya dari pola konsumsi, meliputi konsumsi sayur
dan buah serta pola makan makanan manis, asin, berlemak, lauk hewani
berpengawet, dan penggunaan penyedap. Penelitian ini merupakan bagian
dari analisis lanjut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 dengan desain
potong lintang. Jumlah sampel setelah pembobotan adalah 1.878.578
orang dengan kriteria berusia 18 tahun ke atas. Pengumpulan data pola
konsumsi, antropometri, klinis, dan biomedis telah dilakukan. Analisis data
menggunakan kai kuadrat dan regresi logistik biner. Prevalensi sindrom
metabolik di Indonesia sebesar 23%, pada perempuan 26,6% dan pada laki-laki 18,3%. Konsumsi makanan manis lebih dari satu kali per hari sebanyak 43,5% dan kurang dari satu kali per hari 10,5% dengan risiko mengalami sindrom metabolik sebesar 6,567 kali. Konsumsi makanan asin yang
termasuk dalam kategori sering memiliki proporsi sindrom metabolik sebesar 100% dengan risiko mengalami sindrom metabolik sebanyak 6,363 kali.
Terdapat hubungan yang signifikan (nilai p < 0,05) antara pola konsumsi
sayur dan buah, frekuensi konsumsi makanan manis, asin, berlemak, lauk
hewani yang diawetkan, penggunaan penyedap, dan mi instan dengan kejadian sindrom metabolik pada usia produktif.
Kata kunci: Pola konsumsi makanan, sindrom metabolik, usia produktif
Abstract
Occurrence of metabolic syndrome is assumedly related to the changing of
people’s lifestyle into modern society, from consuming traditional food to instant food and be westernized. This study aimed to determine metabolic
syndrome prevalence and its determinants from consumption patterns including vegetable and fruit consumption as well as consumption patterns of
sweet, salty, fatty food, preserved animal side dishes and use of seaso340
nings. This study was a part of advanced Basic Health Research 2013 data analysis by cross sectional design. A total of sample after weighting was
1,878,578 people on aged 18 years old and older. Collection of consumption pattern, anthropometry, clinic and biomedic data had been conducted.
Data analysis used chi square and binary logistic regression. Metabolic syndrome prevalence in Indonesia is 23%, 26.6% on women and 18.3% on
men. Consuming sweet food more than once a day was 43.5% and less
than once a day was 10.5% with 6.567 times risk of suffering metabolic syndrome. Salty food consumption included into often category had metabolic
syndrome proportion worth 100% with 6.363 times risk of suffering metabolic syndrome. There was a significant relation (p value < 0.05) between
the pattern of vegetable and fruit consumption, frequency of sweet, salty, fatty food, preserved animal side dishes, the seasoning use and instant noodle with metabolic syndrome occurrence in productive age.
Keywords: Food consumption patterns, metabolic syndrome, productive
age
Pendahuluan
Sindrom metabolik didefinisikan sebagai konstelasi
yang saling berhubungan dari pelbagai faktor fisiologis,
biokimia, klinis, dan metabolik yang secara langsung
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes
melitus tipe 2 dan semua penyebab kematian. 1
Sekumpulan gejala yang terdapat pada sindrom metabolik, yaitu obesitas sentral, peningkatan kadar trigliserida
darah, penurunan kadar high density lipoprotein (HDL)
kolesterol darah, tekanan darah tinggi, peningkatan
Korespondensi: Suhaema, Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes
Mataram, Jl. Prabu Rangkasari Dasan Cermen Sandubaya, No.Telp: 0370633837, e-mail: [email protected]
Suhaema & Masthalina, Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di Indonesia
kadar glukosa darah dan resistensi insulin.1,2
Saat ini, sindrom metabolik telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat dan tantangan klinis di seluruh
dunia berkaitan dengan urbanisasi, asupan energi yang
berlebihan, peningkatan kejadian obesitas dan gaya
hidup sedentary serta terkait dengan dampak yang ditimbulkannya. Diperkirakan pada lima hingga sepuluh tahun
mendatang akan terjadi peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2 sebanyak lima kali lipat dan penyakit kardiovaskular sebanyak dua kali lipat akibat dari penyakit ini.
Pasien dengan sindrom metabolik memiliki risiko stroke
sebesar dua sampai dengan empat kali dan risiko infark
miokard hingga tiga sampai empat kali.3
Prevalensi sindrom metabolik sulit diketahui secara
pasti karena perbedaan diagnosis yang digunakan. World
Health Organization (WHO) tahun 1999 menyatakan
bahwa penyakit ini didasari oleh resitensi insulin yang
disertai hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg),
hipertrigliseridemia (≥ 150 mg/dL), rendahnya kadar
HDL (< 35 mg/dL pada laki-laki dan < 39 mg/dL pada
perempuan), obesitas (rasio lingkar pinggang pinggul >
0,9 pada laki-laki dan > 0,85 pada perempuan atau indeks massa tubuh (IMT) di atas 30 kg/m2.3 Berdasarkan
kriteria tersebut, dilaporkan jumlah penderita sistem
metabolik pada orang dewasa di Amerika mencapai
25%.4
National Cholesterol Educational Program Adult
Treatment Program III (NCEP ATP III) tahun 2001
menetapkan kriteria sindrom metabolik adalah bila menemukan tiga dari lima komponen yang terdiri dari
tekanan darah ≥ 130 / 85 mmHg atau dalam pengobatan
antihipertensi, kadar kolesterol HDL < 40 mg/dL pada
laki-laki dan < 50 mg/dL pada perempuan, hipertrigliseridemia (≥ 150 mg/dL), kadar glukosa serum puasa
yang tinggi (> 110 mg/dL) dan obesitas sentral (lingkar
perut laki-laki > 102 centimeter dan perempuan > 88
centimeter).1 Kriteria penetapan obesitas sentral tersebut
berbeda dengan negara Asia Pasifik, yaitu bila lingkar perut ≥ 90 centimeter dan perempuan ≥ 80 centimeter.3,5
Menggunakan kriteria NCEP ATP III, National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
2003 - 2006 melaporkan sekitar 34% orang dewasa di
Amerika mengalami sindrom metabolik dengan prevalensi faktor risiko sindrom metabolik yaitu obesitas sentral
53%, hipertensi 40%, dan 39% mengalami hiperglikemia.6 Hasil penelitian Cardiovascular Risk Factor
Multiple Evaluation in Latin America (CARMELA),7 pada populasi dewasa menyatakan kejadian sindrom
metabolik sebesar 27% di Mexico dan 14% di Quito. Di
Indonesia, dengan menggunakan kriteria NCEP ATP III
dengan modifikasi kriteria untuk Asia, dilaporkan bahwa
prevalensi sindrom metabolik di Jakarta sebesar 28,4%
yang terdiri dari 25,4% pada laki-laki dan 30,4% pada
perempuan. Komponen sindrom metabolik terbanyak pa-
da laki-laki adalah hipertensi (84,7%) diikuti oleh hipertrigliseridemia (83,4%), obesitas sentral (75,5%), hiperglikemia (50,9%) dan kadar HDL yang rendah (43,6%).
Sedangkan pada perempuan, komponen sindrom
metabolik terbanyak adalah obesitas sentral (91,3%), diikuti oleh hipertensi (84,1%), hipertrigliseridemia
(66,1%), kadar HDL yang rendah (57,8%) serta hiperglikemia (50,2%).8 Penelitian lain di Jakarta mendapatkan prevalensi sindrom metabolik pada kelompok eksekutif sebesar 21,6%, 24,8% pada laki-laki dan 11,8%
pada perempuan.9
Insiden sindrom metabolik diduga berhubungan dengan pergeseran gaya hidup akibat pengaruh globalisasi.
Gaya hidup masyarakat berubah menuju masyarakat
modern dengan pola konsumsi makanan tradisional beralih ke makanan instan dan kebarat-baratan. Penelitian
kohort yang dilakukan Lutsey, dkk.,2 selama sembilan
tahun dengan melibatkan 9.514 subjek mendapatkan
bahwa terdapat sekitar 40% kasus baru sindrom metabolik. Pada penelitian ini, disimpulkan bahwa makanan
barat, konsumsi daging, dan makanan gorengan
meningkatkan sindrom metabolik. Sementara itu,
penelitian lain mendapatkan konsumsi produk berbahan
dasar susu rendah lemak, ikan, dan sereal yang tinggi
melindungi terjadinya sindrom metabolik.10
Temuan lain yang dilaporkan dari Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013 adalah kecenderungan
proporsi penduduk usia > 10 tahun yang kurang mengonsumsi sayur dan buah sebanyak 93,5%. Konsumsi
makanan atau minuman manis ≥ 1 kali dalam sehari secara nasional adalah 53,1%, sedangkan konsumsi
makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan ≥ 1 kali per hari sebesar 40,7% dan penduduk
Indonesia mengonsumsi penyedap ≥ 1 kali dalam sehari
sebesar 77,3%.11 Pelbagai penelitian mendapatkan bahwa pola konsumsi tersebut yang cenderung rendah serat
namun tinggi lemak, kolesterol, gula dan natrium serta
gaya hidup kurang gerak dan tidak aktif ini merupakan
faktor risiko yang berkaitan dengan obesitas dan sindrom
metabolik serta penyakit degeneratif lainnya.8,11-13
Prevalensi sindrom metabolik ini diperkirakan akan
terus mengalami peningkatan yang berdampak pada
meningkatnya jumlah penderita penyakit kardiovaskular
dan kelangsungan hidup seseorang.14,15 Penelitian
Klien,16 menyatakan bahwa 21,7% pasien gangguan jantung dengan sindrom metabolik mengalami kejadian kardiovaskular dan kematian. Hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga tahun 2001 menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskular menduduki peringkat pertama
penyakit degeneratif penyebab kematian di Indonesia
sebesar 49,9%.17 Temuan tersebut menunjukkan bahwa
sindrom metabolik dan faktor risikonya perlu mendapat
perhatian serius agar tidak mengarah pada berkembangnya penyakit degeneratif.11 Berdasarkan latar be341
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
lakang tersebut, penulis ingin melakukan kajian atau
analisis lanjut pola konsumsi makanan berhubungan dengan terjadinya sindrom metabolik pada usia produktif.
Metode
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian analisis lanjut hasil Riskesdas tahun 2013 yang dilakukan pada tahun 2014 dengan kajian analisis model faktor determinan terjadinya sindrom metabolik berdasarkan pola konsumsi dan gaya hidup pada usia produktif. Data
yang dianalisis diperoleh dari Laboratorium Manajemen
Data, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jenis
penelitian ini adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan rancangan yang sama dengan Riskesdas tahun
2013 yaitu potong lintang berskala nasional.
Populasi dalam penelitian ini adalah populasi yang digunakan dalam Riskesdas tahun 2013, dengan populasi
target adalah penduduk berusia 18 tahun ke atas yang
terlibat dalam Riskesdas serta pengumpulan data pola
konsumsi makanan, pengukuran antropometri, pemeriksaan klinis dan biomedis telah dilakukan. Sampel
Riskesdas yang memenuhi kriteria berjumlah 46.000
orang. Kriteria sampel adalah penduduk yang berusia 18
tahun ke atas yang menjadi responden pada Riskesdas
tahun 2013, telah dilakukan pengumpulan data mengenai pola konsumsi makanan dan aktivitas fisik, telah
bersedia dilakukan pengukuran antropometri (lingkar
perut), telah dilakukan pemeriksaan klinis (tekanan
darah), dan telah dilakukan pemeriksaan biomedis (kolesterol HDL, trigliserida, dan kadar glukosa darah
puasa).
Penentuan sampel pada Riskesdas menggunakan desain sampling yang kompleks (pengambilan sampel bertingkat, beberapa metode pengambilan sampel sekaligus). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan
penyesuaian dengan pembobotan menggunakan
perangkat lunak Statistical Product and Service Solutions
(SPSS). Pembobotan dilakukan untuk menyamakan
peluang terpilihnya sampel pada setiap strata agar varian
dalam sampel sama dengan varian dalam populasi sehingga mendukung generalisasi ke populasi. Apabila
pembobotan tidak dilakukan dalam analisis, maka dapat
menyebabkan tidak akuratnya estimasi parameter populasi, yaitu menjadi di bawah perkiraan yang berakibat pada confidence interval (CI) kurang tepat dan
meningkatkan kesalahan tipe I.18 Jumlah sampel yang
memenuhi kriteria adalah 31.998 orang dari 35.409
orang sampel yang telah dilakukan pemeriksaan biomedis, antropometri, dan pola makan. Setelah dilakukan
pembobotan, maka total sampel yang dianalisis berjumlah 1.878.578 orang.
Variabel bebas adalah pola konsumsi makanan yang
meliputi konsumsi sayur dan buah serta pola makan ter342
tentu yang terdiri dari makanan manis, asin, berlemak,
hewani berpengawet, dan penyedap. Adapun variabel
terikat adalah terjadinya sindrom metabolik mengacu pada kriteria NCEP ATP III dengan modifikasi dari
International Diabetes Federation (IDF) tahun 2005,
yaitu seseorang yang memiliki sedikitnya tiga dari kriteria di antaranya obesitas sentral (lingkar perut ≥ 80 centimeter untuk perempuan dan laki-laki ≥ 90 centimeter),
peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 150 mg/dL, atau
≥ 1,69 mmol/L), penurunan kadar kolesterol HDL (< 40
mg/dL atau < 1,03 mmol/L pada laki-laki dan pada
perempuan < 50 mg/dL atau < 1,29 mmol/L), peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik ≥ 130
mmHg, tekanan darah diastolik ≥ 85 mmHg atau sedang
memakai obat anti hipertensi), dan peningkatan glukosa
darah puasa (kadar glukosa puasa ≥ 110 mg/dL, atau ≥
6,10 mmol/L.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner terstruktur dengan metode wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan biomedis. Data pola konsumsi sayur dan buah difokuskan pada total frekuensi dan porsi sayur dan buah.
Informasi frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah
dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi
dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari
dikategorikan menjadi cukup, yaitu konsumsi sayur dan
atau buah minimal lima porsi per hari selama tujuh hari
dalam seminggu; kurang, yaitu apabila konsumsi sayur
dan atau buah kurang dari lima porsi per hari selama tujuh hari dalam seminggu. Data makanan tertentu
(makanan manis, asin, berlemak, hewani berpengawet,
dan penyedap dikategorikan menjadi sering, yaitu konsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari;
tidak sering, yaitu konsumsi makanan tersebut kurang
dari satu kali per hari.
Uji statistik yang dilakukan adalah uji univariat untuk
mengetahui besaran prevalensi sindrom metabolik serta
uji bivariat untuk mengetahui pola konsumsi makanan,
meliputi konsumsi makan sayur dan buah dan makanan
tertentu, memengaruhi terjadinya sindrom metabolik
dengan menggunakan uji kai kuadrat serta uji multivariat menggunakan regresi logistik biner.
Hasil
Hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar sampel berjenis kelamin laki-laki, berusia di bawah 40 tahun,
tinggal di perkotaan, serta memiliki pekerjaan dengan
status bekerja (Tabel 1).
Ditinjau dari pola konsumsi makanan, hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh sampel kurang
mengonsumsi sayur dan buah, yaitu kurang dari lima porsi per hari. Terdapat 54,3% sampel memiliki pola konsumsi makanan berlemak lebih dari satu kali sehari,
47,2% menggunakan penyedap rasa lebih dari satu kali
Suhaema & Masthalina, Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di Indonesia
sehari dan sebagian besar sampel (83,1%) mengonsumsi mi instan lebih dari satu kali sehari (Gambar 1).
Pada penelitian ini, penetapan diagnosis sindrom
metabolik mengacu pada NCEP ATP III dengan modi dari IDF tahun 2005, yaitu berdasarkan kriteria
obesitas sentral (lingkar perut), tekanan darah, kadar
glukosa darah puasa, kadar trigliserida, dan HDL
(Gambar 2).
Pada Gambar 2 terlihat bahwa sebanyak 34,5% responden tergolong dalam obesitas sentral (lingkar perut)
≥ 80 centimeter untuk perempuan dan ≥ 90 centimeter
untuk laki-laki). Terdapat 22% responden dengan
tekanan darah ≥ 130/85 mmHg, 37,9% memiliki kadar
glukosa darah puasa ≥ 110 mg/dL, 28,1% dengan kadar
trigliserida darah ≥ 150 mg/dL serta 39,4% memiliki
kadar HDL yang rendah (< 40 mg/dL bagi laki-laki dan
< 50 mg/dL bagi perempuan). Menurut kriteria tersebut,
hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi sindrom
metabolik pada usia produktif sejumlah 23%.
Berdasarkan demogra lebih banyak sampel perempuan
yang mengalami sindrom metabolik, yaitu 26,6%,
sedangkan laki-laki sebanyak 18,3% dan selebihnya
tidak mengalami sindrom metabolik. Hasil analisis statistik menggunakan uji kai kuadrat diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,001 dengan odds ratio (OR) = 1,622,
artinya terdapat hubungan signikan antara jenis kelamin dengan kejadian sindrom metabolik, perempuan
memiliki risiko 1,622 kali mengalami sindrom metabolik
dibandingkan dengan laki-laki.
T
Variabel
Kategori
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
18 - 39 tahun
40 - 64 tahun
Pedesaan
Perkotaan
Bekerja
Tidak bekerja
Usia
Tempat tinggal
Status pekerjaan
Ket: n = 1.878.578
n
%
1.075.413
803.165
1.033.112
845.466
921.424
957.154
1.158.784
719.794
57,2
42,8
55
45
49
51
61,7
38,3
Ditinjau dari faktor usia, tampak bahwa sampel yang
tidak mengalami sindrom metabolik lebih banyak ditemukan pada usia di bawah 40 tahun dibandingkan dengan usia 40 tahun ke atas. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya hubungan (nilai p = 0,001).
Seseorang yang berusia 40 tahun ke atas berisiko mengalami sindrom metabolik sebanyak 1,951 kali dibandingkan dengan usia di bawahnya. Selain itu, hasil
penelitian ini juga mendapatkan adanya hubungan yang
antara status pekerjaan dan tempat tinggal
dengan kejadian sindrom metabolik. Orang yang bekerja
memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan yang
tidak bekerja (OR = 0,783). Temuan lain yang diungkap
dari penelitian ini adalah bahwa seseorang yang tinggal di
pedesaan memiliki risiko mengalami sindrom metabolik
sebesar 0,704 kali dibandingkan dengan yang di perkotaan (Tabel 2).
Pola konsumsi makanan yang dianalisis secara bivariat dengan sindrom metabolik meliputi konsumsi sayur
dan buah, makanan manis, makanan asin, makanan
berlemak, lauk hewani berpengawet, makanan yang diolah dengan menambahkan penyedap rasa dan konsumsi
mi instan (Tabel 3).
Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signikan antara pola konsumsi sayur dan buah, konsumsi makanan manis dan makanan asin dengan kejadian sindrom metabolik. Seseorang yang mengonsumsi
sayur dan buah kurang dari lima porsi setiap hari selama
satu minggu memiliki risiko 1,388 kali untuk mengalami
sindrom metabolik dibandingkan dengan yang mengonsumsi cukup sayur dan buah. Konsumsi makanan manis
lebih dari satu kali per hari memiliki proporsi kejadian
sindrom metabolik lebih banyak (43,5%) dibandingkan
dengan yang kurang dari satu kali per hari (10,5%), dengan peluang mengalami sindrom metabolik sebesar
6,567 kali. Adapun seseorang dengan pola konsumsi
makanan asin yang termasuk dalam kategori sering
memiliki proporsi sindrom metabolik sebesar 100%,
dengan risiko mengalami sindrom metabolik sebanyak
6,363 kali dibandingkan dengan orang yang jarang me-
343
: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
ngonsumsi makanan asin. Adapun konsumsi makanan
berlemak, hewani berpengawet, penggunaan penyedap,
dan konsumsi mi instan lebih dari satu kali per hari memberikan proporsi kejadian sindrom metabolik yang tidak
berbeda jauh dengan yang kurang dari satu kali per hari,
dengan OR rata-rata mendekati satu (kisaran 0,899 0,943). Untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian sindrom metabolik serta
melihat besaran pengaruhnya, maka dilakukan analisis
multivariat dengan uji regresi logistik biner yang hasilnya
disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan hasil analisis statistik bivariat (Tabel 1,
Gambar 2. Distribusi Responden Berdasarkan Batasan Kriteria Sindrom
Metabolik
Tabel 2, dan Tabel 3) tampak bahwa secara terpisah semua variabel yang diteliti memiliki hubungan yang signikan dengan kejadian sindrom metabolik. Namun,
hasil analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik biner menunjukkan bahwa hanya konsumsi
makanan asin yang secara merupakan prediktor kejadian sindrom metabolik dengan OR sebesar
1,799.
Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua variabel bebas yang diteliti memengaruhi kejadian sindrom
metabolik secara terpisah. Sindrom metabolik lebih
banyak dialami oleh perempuan disebabkan akumulasi
lemak tubuh (trigliserida pada jaringan adipose) sehingga menyebabkan hipertrigliseridemia.19 Penelitian ini sejalan dengan penelitian Utami dkk,20 yang mendapatkan
sindrom metabolik lebih banyak (93,94%) dialami oleh
perempuan. Hubungan antara jenis kelamin dan kejadian obesitas sentral diduga karena perbedaan genetik, faktor diet, kurangnya aktivitas berat antara laki-laki
dan perempuan. 21 Selain itu, pada perempuan
menopause terjadi penurunan massa otot dan perubahan
status hormon.21 Adanya akumulasi lemak tubuh yang
banyak tersebut (obesitas) berdampak terhadap kejadian
resistensi insulin, yang merupakan predisposisi dari keja-
T
Tidak Sindrom Metabolik
Variabel
Jenis kelamin
Usia
Status pekerjaan
Tempat tinggal
Sindrom Metabolik
Kategori
Perempuan
Laki-laki
40 - 64 tahun
18 - 39 tahun
Bekerja
Tidak bekerja
Pedesaan
Perkotaan
n
%
n
%
789.433
656.561
595.643
850.351
911.469
534.525
738.283
707.711
73,4%
81,7%
70,5%
82,3%
78,7%
74,3%
80,1%
73,9%
285.980
146.604
249.822
182.762
247.315
185.269
183.141
249.442
26,6%
18,3%
29,5%
17,7%
21,3%
25,7%
19,9%
26,1%
Nilai p
OR
0,001
1,622
0,001
1,951
0,001
0,783
0,001
0,704
Nilai p
OR
0,001
1,388
0,001
6,567
0,001
6,567
0,001
0,919
0,001
0,899
0,001
0,943
0,001
0,930
Tabel 3. Hubungan Pola Konsumsi Kejadian Sindrom Metabolik
Tidak Sindrom Metabolik
Variabel
n
Sayur dan buah
Kurang
Cukup
Makanan manis
Sering
Jarang
Makanan asin
Sering
Jarang
Makanan berlemak
Sering
Jarang
Makanan hewani berpengawet Sering
Jarang
Penyedap
Sering
Jarang
Mi instan
Sering
Jarang
344
Sindrom Metabolik
Kategori
15.554
1.430.440
401.927
1.044.067
68
1.445.926
792.047
653.947
477.404
968.590
686.785
759.209
1.205.430
240.564
%
n
%
70,7%
77,0%
56,5%
89,5%
0,00%
100%
77,7%
76,2%
78,2%
76,4%
77,5%
76,5%
77,2%
75,9%
6.432
426.151
309.976
122.607
432.584
0
227.898
204.686
132.848
299.736
199.086
233.497
356.182
76.402
29,3%
23,0%
43,5%
10,5%
100%
0%
22,2%
23,8%
21,8%
23,6%
22,5%
23,5%
22,8%
24,1%
Suhaema & Masthalina, Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di Indonesia
Tabel 4. Hasil Uji Regresi Logistik Biner
Variabel
Nilai p
OR
95% CI
Jenis kelamin
Usia
Tempat tinggal
Konsumsi makanan manis
Konsumsi makanan asin
Konsumsi makanan berlemak
0,281
0,258
0,303
0,402
0,031
0,297
2,928
3,802
2,333
0,000
1,799
0,000
0,00 - 4,68
0,00 - 2,87
0,00 - 1,90
0,00 - 1,05
1,40 - 2,31
0,00 - 0,00
dian sindrom metabolik.22 Obesitas merupakan komponen utama kejadian sindrom metabolik, namun
mekanisme yang jelas belum diketahui secara pasti.
Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya metabolisme
lemak akan menyebabkan produksi reactive oxygen
species (ROS) meningkat, baik di sirkulasi maupun di sel
adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel adiposa dapat
menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi terganggu sehingga enzim antioksidan menurun di dalam
sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif.
Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi
jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya sindrom metabolik, hipertensi, dan aterosklerosis.23 Penelitian lain yang dilakukan di Purwokerto, Jawa
Tengah, 30 perempuan yang mengalami sindrom
metabolik diketahui memiliki status antioksidan yang
rendah (mengalami stres oksidatif).24
Faktor usia juga memengaruhi kejadian sindrom
metabolik. Semakin bertambah usia, risiko sindrom
metabolik semakin meningkat. Pertambahan usia ini
berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah yang mengalami penurunan, sehingga risiko hipertensi dan terbentuknya endapan aterosklerosis juga bertambah. Semua
keadaan tersebut merupakan faktor yang memicu terjadinya sindrom metabolik, sejalan dengan studi potong
lintang pada sebagian besar perkotaan di Brazil yang menunjukkan prevalensi sindrom metabolik yang tinggi
(25,4%), meningkat pada perempuan dengan usia lebih
tua dan status sosial ekonomi rendah. Meskipun
prevalensi sindrom metabolik hampir sama pada kedua
jenis kelamin, tetapi frekuensi komponen yang menentukan sindrom metabolik sangat bervariasi di antara
mereka. Secara spesifik, interaksi yang signifikan antara
jenis kelamin dan status sosial ekonomi rendah telah
ditemukan. Hal tersebut menjelaskan tentang interaksi
yang kompleks antara faktor risiko kependudukan dan
biologis. Selain faktor tersebut, juga ditemukan bahwa
seseorang yang tinggal di pedesaan yang memiliki risiko
mengalami sindrom metabolik sebesar 0,704 kali dibandingkan dengan yang di perkotaan.25 Penelitian lain di
Brazil mengungkap bahwa pendidikan yang tinggi merupakan faktor protektif terhadap kejadian sindrom
metabolik.7
Sindrom metabolik dapat terjadi akibat kurangnya
asupan serat makanan, seperti yang banyak terdapat pada sayur dan buah. Dalam saluran pencernaan, serat larut
mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan
kemudian dikeluarkan bersama tinja. Penelitian pada
tikus yang diberikan pakan mengandung 36% pasta daun
gedi merah menurunkan kadar low density lipoprotein
(LDL) dan trigliserida secara bermakna.26 Selain itu, pada buah terdapat zat bioaktif yang dapat menurunkan
kadar kolesterol darah. Hasil penelitian menunjukkan
pemberian buah stroberi yang dibekukan kepada orang
obesitas dewasa selama 12 minggu berpengaruh pada
penurunan kolesterol total dan kecilnya LDL. Penurunan
kadar kolesterol pada orang dewasa yang diberikan ini
terkait dengan peranan dari antioksidan yang terdapat di
dalam buah stroberi.27
Konsumsi sayur dan buah yang tidak memadai
berkaitan pula dengan rendahnya konsumsi kalium.
Keadaan ini memungkinkan seseorang memiliki risiko
yang tinggi untuk menderita hipertensi. Di samping itu,
konsumsi sayur dan buah dapat mengurangi risiko sindrom metabolik melalui kombinasi dari antioksidan, serat, potasium, magnesium dan photochemical lainnya.
Konsumsi sayur dan buah berhubungan dengan penurunan risiko penyakit jantung koroner. Konsumsi sayur
dan buah menurunkan risiko penyakit jantung melalui
penurunan konsentrasi C-reactive Protein (CRP) yang
merupakan penanda inflamasi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsumsi dari dietary approaches to
stop hypertension (DASH) diet, di antaranya diet kaya
sayur dan buah, memiliki efek yang menguntungkan pada kejadian sindrom metabolik. 13 Pemberian buah
anggur bubuk selama 30 hari antara lain dapat memperbaiki fungsi endotel, menurunkan tekanan darah sistolik
pada laki-laki dewasa yang mengalami sindrom metabolik.28
Prevalensi obesitas, baik berdasarkan IMT maupun
ukuran lingkar perut, lebih tinggi pada sampel yang sering mengonsumsi makanan manis.12,29,30 Kontribusi
makanan manis dan berlemak terhadap obesitas memperlihatkan bahwa mekanisme fisiologis mengapa konsumsi makanan manis meningkatkan lemak tubuh melibatkan tingginya densitas energi dan efek rasa lezat
makanan manis dan sifat lemahnya kenyang. Hasil
penelitian sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menemukan hubungan antara konsumsi
makanan berlemak dan peningkatan kejadian obesitas
sentral yang merupakan salah satu indikator sindrom
metabolik. Kontribusi makanan manis dan berlemak terhadap obesitas memperlihatkan bahwa mekanisme fisiologis yang menjelaskan mengapa konsumsi lemak berperan dalam peningkatan lemak tubuh adalah karena densitas energi yang tinggi, efek rasa lezat makanan
berlemak, tingginya efisiensi metabolik, lemahnya kekuatan rasa kenyang, lemahnya regulasi fisiologi asupan
345
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
lemak terhadap asupan karbohidrat.30,31
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi
makanan asin merupakan faktor yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap kejadian sindrom metabolik.
Konsumsi makanan asin dalam jumlah banyak atau dengan frekuensi yang sering akan mengakibatkan asupan
natrium juga tinggi. Kandungan natrium setiap porsi ikan
asin (20 gram) adalah 579 miligram.32 Apabila konsumsi lebih dari satu kali sehari, maka ikan asin memberi
kontribusi dua per tiga dari kebutuhan total natrium
pengidap hipertensi. Konsumsi natrium yang tinggi akan
dapat menyebabkan natrium memasuki sel endotel pembuluh darah arteri. Keberadaan natrium tersebut atrium
dapat menarik ion klorida (Cl) dengan kekuatan listrik
sehingga terbentuk senyawa NaCl. Senyawa yang baru
terbentuk ini akan menarik air dengan kekuatan osmotik
sehingga air akan ikut memasuki sel endotel dan sel akan
membengkak sehingga mengakibatkan tekanan darah
akan naik dan terjadilah hipertensi.33,34
5. Alberti KGMM, Eckel RH, Grundy SM, Zimmet PZ, Cleeman JI,
Donato KA, et al. Harmonizing the metabolic syndrome: a joint interim
statement of the International Diabetes Federation task force on epidemiology and prevention; National Heart, Lung, and Blood Institute;
American Heart Association; World Heart Federation; International.
Circulation [serial on Internet]. 2009 [cited 2014 Dec 5];
120(16):1640–5. Available from: http://circ.ahajournals.org/cgi
/doi/10.1161/CIRCULATIONAHA.109.192644
6. Ervin BR. Prevalence of metabolic syndrome among adults 20 years of
age and over, by sex, age, race and ethnicity, and body mass index.
National Health and Nutrition Examination Survey. 2009;13 (May 5): 18.
7. Dutra ES, de Carvalho KM, Miyazaki E, Hamann EM, Ito MK.
Metabolic syndrome in central Brazil: prevalence and correlates in the
adult population. Diabetology and Metabolic Syndrom [serial on
Internet]. 2012 [cited 2014 Dec 4]; 4(1): 20. Available from:
h t t p : / / w w w. p u b m e d c e n t r a l . n i h . g o v / a r t i c l e r e n d e r. f c g i ? a r tid=3457864&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
8. Soewondo P, Purnamasari D, Oemardi M, Waspadji S, Soegondo S.
Prevalence of metabolic syndrome using NCEP/ATP III criteria in
Kesimpulan
Prevalensi sindrom metabolik di Indonesia sebesar
23%, pada perempuan 26,6% dan pada laki-laki 18,3%.
Kejadian sindrom metabolik pada usia produktif di
Indonesia berkaitan dengan kebiasaan seringnya mengonsumsi makanan asin, yaitu dengan frekuensi lebih
dari satu kali dalam satu hari.
Jakarta, Indonesia: the Jakarta primary non-communicable disease risk
factors surveillance 2006. Acta Medica Indonesia. 2010; 42 (4):
199–203.
9. Kamso S, Purwantyastuti, Lubis DU, Juwita R, Robbi YK, Besral.
Prevalensi dan determinan sindrom metabolik pada kelompok eksekutif di Jakarta dan sekitarnya. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional. 2011; 6 (2): 85–90.
10. Ruidavets J-B, Bongard V, Dallongeville J, Arveiler D, Ducimetiere P,
Saran
Untuk mencegah sindrom metabolik pada kelompok
usia produktif, hendaknya memperbaiki pola makan,
khususnya mengurangi frekuensi konsumsi makanan
asin. Selain itu, membatasi konsumsi makanan manis,
makanan berlemak, konsumsi penyedap, dan mi instan
tidak lebih dari satu kali per hari serta memperbanyak
konsumsi sayur dan buah setidaknya empat sampai dengan lima porsi per hari.
Perret B, et al. High consumptions of grain, fish, dairy products and
combinations of these are associated with a low prevalence of metabolic syndrome. Journal of Epidemiology & Community Health [serial on
Internet]. 2007 [cited 2015 Jan 5]; 61(9): 810–7. Available from:
http://jech.bmj.com/cgi/doi/10.1136/jech.2006.052126
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar
(Basic Health Research). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2013.
12. Esmailzadeh A, Kimiagar M, Mehrabi Y, Azadbakht L, Hu FB, Willett
WC. Dietary patterns, insulin resistance and prevalence of the metabol-
Daftar Pustaka
1. Kaur J. A comprehensive review on metabolic syndrome. Cardiology
Research and Practice. 2014; 2014: ID 943162.
ic syndrome in women. American Journal of Clinical Nutrition. 2007;
85(3): 910 – 8.
13. Mozaffarian D, Afshin A, Benowitz NL, Bittner V, Daniels SR, Franch
2. Lutsey PL, Steffen LM, Stevens J. Dietary intake and the development
HA, et al. Population approaches to improve diet, physical activity, and
of the metabolic syndrome: The atherosclerosis risk in communities
smoking habits: A scientific statement from the American Heart
study. Circulation [serial on Internet]. 2008; 117(6) :754–61. Available
Association. Circulation [serial on Internet]. 2012 [cited 2015 AJn 5];
from: http://circ.ahajournals.org/cgi/doi/10.1161/CIRCULATIONA-
126(12): 1514–63. Available from: http://circ.ahajournals.org/
HA.107.716159
cgi/doi/10.1161/CIR.0b013e318260a20b
3. Alberti KGMM, Zimmet P, Shaw J. Metabolic syndrome-a new world-
14. Bernard JG, Karen S, Bogani MM SY. The epidemic of cardiovascular
wide definition. A consensus statement from the International Diabetes
disease in the developing world: Global Implication. European Heart
Federation. Diabetic Medicine [serial on Internet]. 2006 [cited 2014
Nov 5]; 23 (5): 469–80. Available from: http://doi.wiley.com/
10.1111/j.1464-5491.2006.01858.x
4. Ford ESG. Prevalence of metabolic syndrome among US adults: findings
from the third national health and nutrition examination survey.
JAMA. 2002; 287 (3): 356–9.
346
Journal. 2010; 31: 642–8.
15. Gaziano TA, Bitton A, Anand S, Abrahams-Gessel S MA. Growing epidemic of corononory heart disease in low-and middle-income countries.
Current Problems in Cardiology. 2010; 35 (2) Feb: 75–115.
16. Klein S, Sheard NF, Sunyer XP, Daly A, Rosett JW KK& CN. Weight
management trough life style modification for prevention and manage-
Suhaema & Masthalina, Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di Indonesia
ment type 2 diabetes. American Journal of Clinical Nutrition. 2004; 80:
257–63.
17. Djaya, Sarimawar, Irianto, Joko, Mulyono L. Pola penyakit penyebab kematian di Indonesia: Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001.
Majalah Kedokteran Indonesia. 2003; 53(8): 296–302.
129(2):259–65.
26. Gani N, Momuat LI PM. Profil lipid plasma tikus wistar yang hiperkolesterolemia pada pemberian gedi merah (Abelmoschus manihot L.
Jurnal MIPA UNSRAT Online. 2013;2(1).
27. Basu A, Betts NM, Nguyen A, Newman ED, Fu D, Lyons TJ. Freeze-
18. IDRE: UCLA Institute for Digital Research and Education. Statistical
dried strawberries lower serum cholesterol and lipid peroxidation in
computing seminars introduction to survey data analysis [homepage in
adults with abdominal adiposity and elevated serum lipids. Journal
Internet]. 2015. Available from: www.ats.ucla.edu.stat/stata/semi-
Nutrition [serial on Internet]. 2014 [cited 2015 jan 5}; 144(6): 830–7.
nars/applied_svy_stataII.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24670970
19. Chen H. Enhancing energy and glucose metabolism by distrupting
28. Barona J, Aristizabal JC, Blesso CN, Volek JS, Fernandez ML. Grape
trigliseride syntesis: lesson from Mice Lacking DGAT-1. Nutrition
polyphenols reduce blood pressure and increase flow-mediated vasodi-
Metabolism [serial on internet]. 2006 [cited 2015 Jan 5];3 (10): about
lation in men with metabolic syndrome 1. Journal Nutrition. 2012; 142
4 pages. Available from: http://nutritionandmetabolism.biomedcentral.com/articles/10.1186/1743-7075-3-10.
20. Utami, Yunika M, Rosdiana, Dani, Emalia Y. Gambaran asupan gizi pada penderita sindrom metabolik di RW 04 Kelurahan Sidomulyo
Kecamatan Tampan Kota Pekan baru. Jurnal Kedokteran Universitas
Riau. 2014; 1 (2).
21. Erem C, Arslan C, Hacihasanoglu A, Deger O, Topbas M, Ukinc K,
(9): 1626-32.
29. Miller PE, Perez V. Low-calori sweeteners and body weight n composition: a meta-analysis of randomized control trials and prospective cohort
study. American Journal of Clinical Nutrition. 2014; 100 (3): 765–77.
30. Mendoza JA, Drewnowski A, Christakis DA. Dietary energy density is
associated with obesity and the metabolic syndrome in US adults.
Diabetes Care. 2007; 30 (4): 974–9.
Ersoz HO TM. Prevalence of obesity and associated risk factors in a
31. Yoo S, Nicklas T, Baranowski T, Zakeri IF, Yang S-J, Srinivasan SR, et
Turkish Population (Trabzon City, Turkey). Obesity Research. 2004;
al. Comparison of dietary intakes associated with metabolic syndrome
12(7): 1117–27.
risk factors in young adults: the Bogalusa Heart Study. American Journal
22. Lee ES, Kim YH, Beck S, Lee S, Oh SW, Sook EON, et al. Social and
of Clinical Nutrition. 2004; 80 (4): 841–8.
behavioral depressive mood and abdominal fat distribution in over-
32. Karmini M. Tabel komposisi pangan Indonesia [internet]. PERSAGI.
weight premenopausal women. Obesity Research. 2005; 13(2): 320-5.
2009 [cited 2015 jan 6]. Available from: http://file.persagi.org/
23. Furukawa S, Fujita T, Shimabukuro M, Iwaki M, Yamada Y, Nakajima
share/79%20Mien%20Karmini%20-%20DKBM.pdf.
Y, et al. Increased oxidative stress in obesity and its impact on metabol-
33. Drapeau V, Després JP, Bouchard C, Allard L, Fournier G, Leblanc C, et
ic syndrome. The Journal of Clinical Investigation. 2004; 114: 1752–61.
al. Modifications in food-group consumption are related to long-term
24. Winarsi H, Wijayanti SPM, Purwanto A. Profil lipid, peroksidasi lipid,
body-weight changes. American Journal of Clinical Nutrition. 2004; 80
dan status inflamatif wanita penderita sindrom metabolik. Kesmas:
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011; 5 (5): 212–7.
(1): 29–37.
34. Selmer RM, Kristiansen IS, Haglerod a, Graff-Iversen S, Larsen HK,
25. Marquezine GF, Olivera CM, Pereira AC, Kriegen JE MJ. Metabolic syn-
Meyer HE, et al. Cost and health consequences of reducing the popula-
drome determinants in an urban population from Brazil: social class and
tion intake of salt. Journal of Epidemiology and Community Health.
gender spsesific interaction. International Journal of Cardiology.
2000; 54 (9): 697–702.
347
Artikel Penelitian
Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika
Risky Sexual Behavior of Narcotic Users
Rico Januar Sitorus*, Merry Natalia**
*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya, **Direktorat Penyakit Tidak Menular Kementerian
Kesehatan RI
Abstrak
Penyalahgunaan narkotika yang melakukan hubungan seksual sebelum
menikah, dan berganti-ganti mitra seksual merupakan perilaku berisiko.
Masalah yang diakibatkan penyalahgunaan narkotika sangat kompleks,
seperti masalah sosial dan kesehatan. Kecenderungan pengguna narkotika melakukan perilaku seksual dini dan tidak aman semakin memperparah
kondisi kualitas hidup pecandu dan tentunya berdampak besar pada kelangsungan hidup di masa depan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
determinan perilaku seksual berisiko di kalangan pengguna narkotika.
Metode penelitian adalah potong lintang menggunakan data sekunder kajian rekam medis di instalasi Medical Psychiatric Evaluation di rumah sakit
ketergantungan obat (RSKO) Jakarta tahun 2013. Populasi penelitian
adalah pasien ketergantungan narkotika yang dirawat inap di RSKO
Cibubur selama tahun 2013. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh
pasien yang dirawat inap berjumlah 74 responden. Analisis data yang digunakan adalah analisis secara univariat, bivariat, dan multivariat. Hasil
penelitian membuktikan bahwa mayoritas responden telah melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu sebesar 82,4% dengan usia pertama kali
berhubungan seksual ≤ 17 tahun sebesar 78,4%. Usia pertama kali
berhubungan seksual ≤ 17 tahun merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap perilaku seksual berisiko di kalangan pecandu narkotika.
Model akhir analisis multivariat menunjukkan bahwa pengguna narkotika
yang telah melakukan hubungan seksual ≤ 17 tahun berpeluang 6,74 kali
(CI = 1,84 – 24,73) untuk melakukan perilaku seksual berisiko dibandingkan
dengan pengguna narkotika > 17 tahun.
Kata kunci: Pecandu narkotika, pengguna narkotika, perilaku seksual
berisiko
Abstract
Narcotic abuse having premarital sexual intercourse and multiple sexual
partners is risky behavior. Problems caused by narcotic abuse are very
complex, such as social and health problems. Tendency of narcotic users
348
committing early and unsafe sexual intercourse worsen condition of the addict’s quality of life and definitely has a big impact on life survival in the future. This study aimed to determine determinants of risky sexual behavior
among narcotic users. The method was cross sectional study using
secondary data of medical record assessment at Medical Psychiatric
Evaluation installation in Jakarta hospital for drug addicts in 2013. The study
population was narcotic-addicted patients hospitalized at Cibubur Hospital
for Drug Addicts within 2013. Sample of this study was all hospitalized patients amounted to 74 respondents. Data analysis used was univariate, bivariate and multivariate analysis. Results proved that most respondents had
committed risky sexual behaviors worth 82.4% in which the age of first intercourse ≤ 17 years old worth 78.4%. The age of first intercourse ≤ 17
years old was the most influential variable to risky sexual behavior among
narcotic addicts. The final model of multivariate analysis showed that narcotic users who committed sexual intercourse ≤ 17 years had 6.74 times opportunity (CI = 1.84 – 24.73) to commit risky sexual behavior than > 17 yearold narcotic users.
Keywords: Narcotic addicts, narcotic users, risky sexual behavior
Pendahuluan
Perilaku penggunaan narkotika secara ilegal, apapun
bentuk dan caranya, sangat berisiko terhadap kesehatan,
baik laki-laki maupun perempuan. Perilaku seksual
berisiko dapat menyebabkan terjadinya penularan infeksi HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya.1
Berdasarkan penelitian Besral dan Zani,2 dengan menggunakan data sekunder dari survei surveilans perilaku di
Jakarta yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kesehatan
Korespondensi: Rico Januar Sitorus, FKM Universitas Sriwijaya, Jl. Raya
Palembang-unsri KM 32 Inderalaya Ogan Ilir Sumatera Selatan, No. Telp:
(0711) 580068, e-mail: [email protected]
Sitorus & Natalia, Determinan Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika
Universitas Indonesia tahun 2000 mengungkapkan bahwa 33% pengguna narkoba, psikotropika, dan zat adiktif (napza) suntik masih aktif secara seksual dengan perilaku berisiko. Dari 33% pengguna napza suntik dengan
perilaku seksual berisiko, sebanyak 19,5% melakukan
hubungan seksual dengan pasangan tidak tetap dan
12,1% berhubungan seksual dengan pasangan komersil.
Dari 19,5% yang melakukan perilaku seksual berisiko
dengan pasangan tidak tetap, 90% tidak menggunakan
kondom. Sedangkan dari 12,1% berhubungan seksual
dengan pasangan komersil, 68% di antaranya tidak
menggunakan kondom.2
Prevalensi kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia
dari tahun ke tahun tetap tinggi. Angka yang pernah menggunakan narkotika di populasi diperkirakan sebesar 2,4%
dengan laki-laki jauh lebih besar daripada perempuan. Pada
tahun 2011, prevalensi penyalahgunaan narkoba di
Indonesia sebesar 2,2 % atau sekitar 3,8 – 4,2 juta orang.
Pengguna narkotika di Indonesia mulai dari usia anak-anak
sampai usia tua. Data Badan Narkotika Nasional tahun
2011 mengungkapkan bahwa rentang usia pengguna
narkotika adalah 10 – 59 tahun dengan prevalensi paling
tinggi pada rentang usia 20 – 29 tahun sebesar 4,41%.3
Berdasarkan laporan Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia tahun 2012, baik laki-laki maupun perempuan
pengguna narkotika melakukan perilaku hubungan seksual
sebelum menikah, dengan proporsi laki-laki sebesar 19,1%
dan perempuan 2,5%.4
Dampak buruk yang sangat kompleks akibat
penyalahgunaan narkotika di usia dini mengakibatkan
pelbagai masalah sosial dan kesehatan di masa depan.
Kecenderungan pengguna narkotika melakukan perilaku
seksual yang tidak aman dan belum waktunya juga semakin memperparah kondisi kualitas hidup pecandu dan
tentunya berdampak besar pada kelangsungan hidup di
masa depan. Dari pelbagai permasalahan di atas, perlu
dicari determinan perilaku seksual berisiko di kalangan
pecandu narkotika. Pelbagai penelitian tentang narkotika telah dilakukan di masyarakat. Perbedaan dari penelitian ini adalah masyarakat pecandu narkotika yang dirawat inap dan yang direhabilitasi di rumah sakit sebagai
responden. Kesadaran pecandu narkotika untuk datang
ke fasilitas pelayanan dan pusat rehabilitasi merupakan
hal positif yang dapat mencegah komorbiditas dan perilaku-perilaku berisiko.
Masyarakat yang menggunakan narkotika sejak dini
akan berdampak buruk dan menjadi beban berat bagi negara, masyarakat dan keluarga pecandu narkotika. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui faktor determinan yang berhubungan dengan perilaku seksual
berisiko di kalangan pecandu narkotika.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang
dengan populasi penelitian adalah pasien ketergantungan
narkotika yang di rawat inap di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur. Sampel dalam
penelitian ini adalah seluruh pasien yang dirawat inap
dengan total sampel 74 responden. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari kajian catatan medis yang
terdapat di instalasi Medical Psikiatric Evaluation (MPE)
di RSKO Jakarta tahun 2013. Perilaku seksual berisiko
adalah melakukan hubungan seksual sebelum menikah,
berganti-ganti mitra seksual dan tidak menggunakan alat
kontrasepsi. Sedangkan perilaku tidak berisiko adalah
tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah,
berhubungan seksual dengan pasangan resmi.1 Usia ≤ 17
tahun merupakan usia remaja dan dianggap masih usia
dini dalam berhubungan seksual, sedangkan usia > 17
tahun merupakan usia dewasa muda yang dianggap sudah tidak dini dalam melakukan hubungan seksual.5
RSKO Cibubur adalah sebagai pusat layanan dan kajian nasional maupun regional dalam masalah gangguan
yang berhubungan dengan zat. Layanan yang tersedia di
rumah sakit ini adalah konsultasi napza, terapi metadon,
dan rehabilitasi ketergantungan narkotika. Variabel-variabel yang diambil dari MPE adalah variabel status demografi, jumlah mitra seksual, penggunaan alat kontrasepsi, kondisi psikologis, usia pertama kali menggunakan narkotika, usia pertama kali berhubungan seksual, dan riwayat overdosis.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis univariat untuk memberikan gambaran
dari variabel-variabel yang diteliti, analisis bivariat untuk
menguji hubungan antara variabel-variabel independen
dengan variabel dependen menggunakan uji kai kuadrat,
dan analisis multivariat untuk menjelaskan sifat variabel
prediktor dan kontribusi relatif mereka dalam menjelaskan variabel dependen. Dalam penelitian ini, variabel
yang dipertimbangkan untuk analisis multivariat adalah
variabel dengan nilai p < 0,25. Untuk analisis multivariat
dengan regresi logistic model backward stepwise, model
akhir semua variabel dengan nilai p ≤ 0,05.
Hasil
Distribusi faktor determinan perilaku seksual berisiko
di kalangan penyalahguna narkotika menunjukkan bahwa sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (80,6%),
status menikah (88,5%), tidak bekerja (77,6%), pendidikan rendah (94,4%), usia pertama kali menggunakan
narkoba ≤ 17 tahun (84,7%), usia ketergantungan narkoba > 17 tahun (85%), usia pertama kali berhubungan
seksual ≤ 17 tahun (99,7%), pernah mengalami overdosis (86,4%), tidak menggunakan kontrasepsi saat
berhubungan seksual (83,3%), dan tidak mengalami
gangguan psikologis (85,7%) (Tabel 1).
Tabel 1 juga menunjukkan variabel yang berhubungan secara signifikan terhadap determinan perilaku seksu349
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Tabel 1. Faktor Determinan Perilaku Seksual Berisiko di Kalangan Penyalahguna Narkotika
Variabel
Kategori
Perilaku seksual
Jenis kelamin
Status pernikahan
Status pekerjaan
Status pendidikan
Usia pertama kali menggunakan narkoba
Usia ketergantungan narkoba
Usia pertama kali berhubungan seksual
Riwayat overdosis
Penggunaan kontrasepsi
Gangguan psikologis
Tidak berisiko
Berisiko
Perempuan
Laki-laki
Menikah
Tidak menikah
Formal
Nonformal
Tinggi
Rendah
> 17 tahun
≤ 17 tahun
> 17 tahun
≤ 17 tahun
> 17 tahun
≤ 17 tahun
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
n
%
Nilai p
13
61
7
67
26
48
22
52
56
18
15
59
40
34
16
58
52
22
8
66
60
14
17,6
82,4
9,5
90,5
35,1
64,9
29,7
70,3
75,7
24,3
20,3
79,7
54,1
45,1
21,6
78,4
29,7
70,3
10,8
89,2
81,6
18,9
0,34
0,52
0,19*
0,17*
0,45
0,56
0,005*
0,74
0,62
1,00
1
Tabel 2. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Model Terakhir
Variabel
Usia pertama kali berhubungan seksual
Kategori
≤ 17 tahun (reff)
> 17 tahun
al berisiko di kalangan penyalahguna narkoba, yaitu usia
pertama kali berhubungan seksual ≤ 17 tahun dengan nilai p 0,005 < α = 0,05. Sedangkan variabel yang
memenuhi kriteria kandidat model multivariat dengan
nilai p < 0,25 terdapat tiga variabel, yaitu usia pertama
kali berhubungan seksual ≤ 17 tahun, status pekerjaan,
dan status perkawinan (Tabel 1).
Dalam model ini, faktor determinan terkuat adalah
usia pertama kali berhubungan seksual. Pengguna narkoba yang telah melakukan hubungan seksual ≤ 17 tahun,
berpeluang 6,74 kali (CI = 1,84 – 24,73) untuk
melakukan perilaku seksual berisiko dibandingkan
dengan pengguna narkotika > 17 tahun (Tabel 2).
Pembahasan
Hasil penelitian ini menggambarkan pasien yang direhabilitasi rawat inap adalah sebagian besar laki-laki.
Laki-laki yang berperilaku seksual berisiko jauh lebih besar dibandingkan dengan yang tidak berperilaku berisiko,
yaitu sebesar 80,6%. Hasil uji statistik menunjukkan
tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin terhadap
perilaku seksual berisiko di kalangan pecandu narkotika.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa determinan
terkuat yang berhubungan dengan perilaku seksual
berisiko pada pasien ketergantungan narkotika adalah
usia pertama kali berhubungan seksual. Pengguna
350
Koefisien (B)
1,908
Nilai p
OR
0,004
6,74
95% CI
1,84 – 24,73
narkotika yang telah melakukan hubungan seksual berusia ≤ 17 tahun, berpeluang 6,74 kali (CI = 1,84 – 24,73)
untuk melakukan perilaku seksual berisiko dibandingkan
dengan pengguna narkotika berusia > 17 tahun. Hasil
penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan
oleh Setiawan,6 bahwa perilaku seksual berisiko pada
pengguna narkoba suntik dipengaruhi oleh pelbagai faktor, yaitu usia hubungan seksual pertama kali, status
pekerjaan, dan status pendidikan. Hasil penelitian
Assari,7 mengungkapkan bahwa pengguna narkoba suntik yang memiliki pasangan seksual lebih dari satu sebesar 56,4% mengungkapkan bahwa jumlah mitra seksual
meningkat di kalangan perempuan dengan OR = 13,44
dan nilai p = 0,02 dan menurun setelah menikah dengan
OR = 0,38 dan nilai p = 0,0001.
Hasil penelitian Henny,8 menunjukkan bahwa remaja yang pernah melakukan hubungan seksual pranikah
berpeluang 12 kali lebih besar untuk penyalahgunaan
narkoba. Penelitian Shelly Iskandar dkk,9 mengungkapkan bahwa rata-rata usia pertama kali menggunakan
narkotika adalah 14,2 tahun dan rata-rata usia pertama
kali menggunakan narkotika suntik adalah 18,4 tahun.
Pengguna narkotika suntik ini melakukan perilaku seksual yang berisiko dengan hubungan seks vaginal dengan
orang lain sebesar 35%, berhubungan seks vaginal dengan orang lain saat menstruasi 11%, dan berhubungan
Sitorus & Natalia, Determinan Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika
seks anal tanpa kondom dengan orang lain 7%. Akan
tetapi, menurut penelitian yang dilakukan Purnomowardani dkk,10 menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara penyalahgunaan narkotika dengan perilaku seksual.
Penelitian Nik Daliana et al,11 mengungkapkan bahwa faktor yang paling dominan sebagai prediktor terhadap perilaku seksual berisiko di kalangan remaja lakilaki adalah merokok dengan OR = 10,3, 95 % CI (1,25
– 83,9), dan pada remaja perempuan terdapat hubungan
yang erat dengan keluarga dengan OR = 3,13, 95 % CI
(1,64 – 5,95). Menurut Fassino, 12 ketergantungan
narkotika sejak usia muda akan mengakibatkan kelainan
personal.
Penelitian lain mengungkapkan bahwa semakin muda
seorang pecandu narkotika melakukan hubungan seksual
dan mengkonsumsi narkotika, akan memiliki kemungkinan risiko yang sangat besar untuk mengalami komplikasi penyakit seperti hepatitis B dan C, tuberkulosis
paru, dan Human Immunodeficiency Virus/Acquired
Immune Deficiency Syndrom (HIV/AIDS). 13,14
Pengguna narkotika pada usia muda, baik laki-laki
maupun perempuan, berhubungan dengan pelbagai
masalah seperti kesehatan fisik dan mental serta
berdampak negatif terhadap perilaku seperti tindakan
melakukan kriminal seksual seperti pemerkosaan, terganggunya ketertiban umum, dan risiko tertularnya pelbagai penyakit seksual.15 Penelitian yang dilakukan oleh
Alessandra, 16 mengungkapkan responden yang
melakukan perilaku seksual berisiko di kalangan pengguna narkotika bukan suntik, melakukan hubungan seksual dengan pekerja seksual dengan rasio prevalensi
1,96, homoseksual dan riwayat berhubungan seksual
dengan rasio prevalensi 1,39. Dalam penelitian ini juga
diungkapkan bahwa peminum alkohol dan konsumsi
kokain berisiko 2,47 kali untuk melakukan perilaku seksual berisiko.
naan narkotika dan hubungan seksual berisiko karena
banyaknya masalah yang ditimbulkan. Pemerintah
melalui pemangku kepentingan terkait dapat melakukan
penjangkauan terhadap para pengguna narkoba dan
memberikan penyuluhan agar tidak melakukan perilaku
seksual berisiko. Perlu dilakukan penelitian terhadap
masyarakat usia 17 tahun ke bawah dengan sampel yang
lebih besar untuk mengetahui alasan mereka menggunakan narkoba dan melakukan hubungan seksual yang
berisiko.
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Strategi promosi pencegahan penyalahgunaan Napza di Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2001.
2. Besral, Utomo B, Zani AP. Potensi penyebaran HIV dari pengguna
NAPZA suntik ke masyarakat umum. Makara Seri Kesehatan. 2004; 8:
53-8.
3. Badan Narkotika Nasional. Pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Jurnal Data P4GN. Jakarta: Badan
Narkotika Nasional; 2012.
4. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Laporan kesehatan reproduksi remaja: survei demografi dan
kesehatan Indonesia. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional 2012.
5. Centers for disease control and prevention [online]. 2015 [cited 2015
Aug 5]. Available from: www.cdc.gov/ncbddd/child development.
6. Setiawan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seks
berisiko terhadap penularan HIV/AIDS pada kelompok pengguna
Narkoba suntik di Jakarta, Bandung dan Surabaya (Analisis Data
Behavior Surveilance Survey) [laporan penelitian]. Depok: Center for
Health Research, University of Indonesia; 2002.
7. Assari S, Yarmohamadivasel M, Narenjiha H, Rafiey H, Noori R,
Shirinbayan P, et al. Having multiple sexual partners among Iranian injection drug users. Frontiers in Psychiatry. 2014; 5: 125.
8. Heny LS. Perilaku berisiko remaja di Indonesia menurut survei kesehatan reproduksi remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007. Jurnal
Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bahwa usia muda ≤ 17
tahun pecandu narkoba yang melakukan hubungan seksual akan berisiko sebesar 6,74 kali untuk melakukan
perilaku seksual berisiko dibandingkan dengan usia > 17
tahun. Model terakhir analisis multivariat regresi logistik
menunjukkan bahwa usia pertama kali melakukan
hubungan seksual para pecandu merupakan faktor yang
sangat berhubungan terhadap perilaku seksual berisiko
di kalangan penyalahguna narkoba.
Kesehatan Reproduksi. 2011; 1 (3): 136-44.
9. Iskandar S, Basar D, Hidayat T, Siregar I, Pinxten L, van Crevel R, et al.
High risk behavior for HIV transmission among former injecting drug
users: a survey from Indonesia. BMC Public Health. 2010; 10 (1): 472.
10. Purnomowardani AD. Penyingkapan diri, perilaku seksual, dan
penyalahgunaan narkoba. Jurnal Psikologi. 2000; 27 (1): 60-72.
11. Farid NDN, Che’Rus S, Dahlui M, Al-Sadat N, Aziz NA. Predictors of
sexual risk behaviour among adolescents from welfare institutions in
Malaysia: a cross sectional study. BMC Public Health. 2014; 14 (Suppl
3): S9.
12. Fassino S, Daga GA, Delsedime N, Rogna L, Boggio S. Quality of life
Saran
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah untuk memberikan informasi dan
pemahaman yang tepat bagi masyarakat, khususnya
kalangan remaja agar menjauhkan diri dari penyalahgu-
and personality disorders in heroin abusers. Drug and Alcohol
Dependence. 2004; 76 (1): 73-80.
13. Kemp R, Miller J, Lungley S, Baker M. Injecting behaviours and prevalence of hepatitis B, C and D markers in New Zealand injecting drug user
populations. The New Zealand Medical Journal. 1998; 111 (1060): 50-
351
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
3.
14. Syarif F, Tafal Z. Karakteristik remaja pengguna narkoba suntik dan perilaku berisiko HIV/AIDS di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang.
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2008; 3 (2): 70-5.
15. Karow A, Reimer J, Schäfer I, Krausz M, Haasen C, Verthein U. Quality
of life under maintenance treatment with heroin versus methadone in
352
patients with opioid dependence. Drug and Alcohol Dependence. 2010;
112 (3): 209-15.
16. Diehl A, Vieira DL, Rassool GH, Pillon SC, Laranjeira R. Sexual risk behaviors in non-injecting substance-dependent Brazilian patients.
Adicciones: Revista de socidrogalcohol. 2014; 26 (3): 208-20.
Artikel Penelitian
Peran Kepemimpinan, Modal Sosial, Akses Informasi
serta Petugas dan Fasilitator Kesehatan dalam
Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
Roles of Leadership, Social Capital, Information Access as well as Health
Duty and Facilitator within Public Empowerment in Health Sector
Endang Sutisna Sulaeman*, Bhisma Murti*, Waryana**
*Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, **Jurusan Gizi
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta
Abstrak
Faktor internal komunitas yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan adalah kepemimpinan dan modal sosial, sedangkan faktor eksternal komunitas yang berperan adalah akses informasi kesehatan,
petugas dan fasilitator kesehatan. Tujuan penelitian adalah mengetahui dan
menganalisis peran kepemimpinan, modal sosial, akses informasi kesehatan, petugas, dan fasilitator kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan. Desain penelitian adalah potong lintang dengan pendekatan penelitian kualitatif melalui metode studi kasus terpancang.
Penelitian dilakukan selama tiga bulan di Kabupaten Tulungagung, Jawa
Timur dengan mengambil dua desa, yaitu Desa Bulus di Kecamatan
Bandung dan Desa Tanggul Kundung di Kecamatan Besuki tahun 2013.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran kepemimpinan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan pada program Desa Siaga adalah
menyebarluaskan informasi, memberikan contoh, menyadarkan, memotivasi, membimbing, menggerakkan sasaran dan masyarakat, memfasilitasi
dan mengalokasikan sumber daya. Peran modal sosial adalah saling percaya, kekerabatan, pertemanan, pertetanggaan, norma sosial, tolongmenolong, kerja sama, dan jaringan masyarakat. Peran akses informasi kesehatan adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kesehatan,
mengambil keputusan, dan meminta pelayanan kesehatan. Peran petugas
kesehatan adalah sosialisasi, memberikan petunjuk, melatih, membina,
memfasilitasi, menumbuhkembangkan partisipasi, serta memantau dan
mengevaluasi program. Sedangkan peran fasilitator kesehatan adalah
sosialisasi, memotivasi, memengaruhi pengambilan keputusan, memediasi
masyarakat dan pemerintah, memfasilitasi dan menumbuhkembangkan
partisipasi.
Kata kunci: Akses informasi kesehatan, fasilitator kesehatan, kepemimpinan, modal sosial, peran petugas kesehatan
health sector were leadership and social capital, meanwhile the external factors included health information access, health duty and facilitator. This
study aimed to determine and analyze the roles of leadership, social capital, information access, and health duty and facilitator within public empowerment in health sector. The study design was cross sectional with qualitative study approach through embeded case study method. The study was
conducted in Tulungagung District, East Java by taking two villages namely Bulus Village at Bandung Subdistrict and Tanggul Kundung Village at
Besuki Subdistrict in 2013. The result showed the roles of leadership and
public empowerment in health sector in Alert Village program were spreading information, giving examples, awakening, motivating, educating, moving
targets and the public, facilitating and allocating resources. The roles of social capital were mutual trust, kinship, friendship, neighborhood, social
norms, mutual help and public network. The roles of health information access were improving health knowledge and skill, making decision and asking for health services. The roles of health duty were socialization, giving instructions, training, building, facilitating, developing participation as well as
monitoring and evaluating the program. Meanwhile, the roles of health facilitator were socialization, motivating, influencing decision making, mediating public and government, facilitating and developing participation.
Keywords: Health information access, health facilitator, leadership, social
capital, roles of health duty
Abstract
The internal factors of community contributing to public empowerment in
Korespondensi: Endang Sutisna Sulaeman, Prodi Magister IKM Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Gd. Pascasarjana Lt.2, Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan
Surakarta 57126, No. Telp: 0271-632450, e-mail: [email protected]
Pendahuluan
Tiga dari delapan tujuan Millenium Development
Goals (MDGs) terkait dengan program Desa Siaga, di antaranya menurunkan prevalensi balita kekurangan gizi,
telah berkurang hampir setengahnya, dari 31% pada
353
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
tahun 1989 menjadi 18,4% pada tahun 2007 dan target
pada tahun 2015 sebesar 15,5%. Kemudian, tujuan mengurangi angka kematian anak sebesar dua per tiganya
antara tahun 1990 – 2015, angka kematian bayi (AKB)
telah menurun dari 68 per 1.000 kelahiran hidup pada
tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada
tahun 2007 dan target pada tahun 2015 sebesar 32 per
1.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian balita (AKBA) telah menurun dari 97 per 1.000 kelahiran
hidup pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran
hidup pada tahun 2007 dan target pada tahun 2015 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Selain itu, tujuan
memperbaiki kesehatan maternal, yakni menurunkan
angka kematian ibu (AKI) sebesar tiga per empatnya
antara tahun 1990 - 2015, telah menurun dari 390 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi
228 per 100.000 kelahiran hidup, namun, pada tahun
2012 meningkat menjadi 359 per 100.000 kelahiran
hidup.1
Indonesia berulang kali masuk kategori negara yang
lamban langkahnya dalam mencapai MDGs. Pencapaian
MDGs belum mengikutsertakan masyarakat melalui
pemberdayaan masyarakat. Masalah pemberdayaan
masyarakat adalah lemahnya kemampuan mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan.2 Sejalan dengan itu, Hawe (cit. Yoo et al3)mengemukakan bahwa
pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi
dan memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat secara
keseluruhan. Sementara itu, Rehn et al,4 merumuskan
model pemberdayaan masyarakat meliputi partisipasi,
kepemimpinan, keterampilan, sumber daya, nilai-nilai,
sejarah, jaringan, dan pengetahuan masyarakat.
Penelitian Sulaeman et al,5 menyimpulkan bahwa faktor internal komunitas yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan adalah kepemimpinan dan modal sosial. Sedangkan faktor eksternal komunitas yang berperan adalah akses informasi, peran
petugas dan fasilitator. Sementara itu, penelitian Ashwell
et al,6 menyimpulkan bahwa faktor kunci yang memengaruhi kesehatan adalah desa dan kabupaten termotivasi dan individu terlatih sebagai katalis untuk perubahan, kepemimpinan diberdayakan, petunjuk praktis yang
efektif, dan partisipasi kader kesehatan desa yang terlatih. Sedangkan kegagalan program kesehatan disebabkan pemahaman pemberdayaan masyarakat yang buruk, terbatasnya informasi, pendekatan top-down dan
kepemimpinan masyarakat yang lemah.
Kouzes et al (cit. Sulaeman),7 menyimpulkan terdapat lima aspek kepemimpinan meliputi model the way,
yaitu memberikan contoh dalam pelaksanaan kegiatan;
inspire a shared vision, yaitu memberikan inspirasi pada
visi bersama; challenge the process, yaitu melakukan
354
pembaharuan dalam proses pencapaian tujuan; enable
others to act, yaitu meningkatkan kemampuan staf untuk
bertindak melalui kerja sama tim, memberikan kepercayaan, dan mengembangkan kemampuan staf serta encourage the heart, yaitu memberikan semangat dan
penghargaan.
Macinko et al, 8 melaporkan bahwa modal sosial
berhubungan positif dengan status kesehatan. Jaringan
sosial merupakan sumber fundamental untuk mencegah
penyakit. Individu yang tinggal di komunitas dengan
tingkat modal sosial tinggi melaporkan dirinya lebih sehat secara jasmani dan rohani dibandingkan individu
yang tinggal dalam masyarakat dengan tingkat modal
sosial rendah. Selanjutnya, Nahapiet et al (cit.
Sulaeman),2 menjelaskan peran modal sosial dalam tiga
bentuk, yaitu struktural, relasional, dan kognitif. Dimensi
struktural berhubungan dengan kemampuan individu untuk membuat ikatan yang lemah menjadi kuat dalam suatu sistem. Dimensi relasional berfokus pada karakter
koneksi antara individu yang berlandaskan kepercayaan
dan kerjasama. Dimensi kognitif memfokuskan pada
makna dan pemahaman bersama bahwa individu atau
kelompok merasa memiliki satu dengan yang lain.
Menurut Keleher et al,9 akses informasi kesehatan
adalah kemampuan seseorang dalam mengetahui dan
bertindak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
selayaknya. Akses informasi kesehatan diakui sebagai deteminan kunci dari kesehatan. Akses informasi adalah
aktivitas warga masyarakat dalam memperoleh informasi
melalui pelbagai cara, seperti melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan kesehatan, media massa, media
elektronika, dan lain-lain. Sementara itu, menurut
Fineberg,10 akses informasi kesehatan adalah kemampuan seseorang dalam memperoleh, memproses dan
memahami informasi kesehatan untuk pengambilan
keputusan yang tepat dalam mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan.
Peran petugas kesehatan menurut Kementerian
Kesehatan adalah aktif dalam pengembangan dan penyelenggaraan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat
(UKBM) di Desa Siaga (poskesdes, posyandu, dan lainlain), menggerakkan masyarakat untuk mengelola,
menyelenggarakan, dan memanfaatkan UKBM yang ada
serta menyelenggarakan sosialisasi program kesehatan
untuk menciptakan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).11 Sementara
itu, peran fasilitator adalah katalis, yaitu mendorong timbulnya perasaan tidak puas di masyarakat mengenai hasil
pembangunan yang ada; penemu solusi, yaitu memberikan kejelasan gagasan pembangunan yang direkomendasikan kepada sasaran perubahan; pendamping, yaitu mendampingi proses penentuan solusi
masalah sebagai aplikasi inovasi pembangunan; perantara, yaitu mempersatukan antara dua kepentingan yakni
Sulaeman, Murti, Waryana, Peran Kepemimpinan, Modal Sosial , Akses Informasi serta Petugas dan Fasilitator Kesehatan
pembuat kebijakan dan sasaran pembangunan dengan
membuat keputusan terbaik; motivator, yaitu memberikan dorongan serta memfasilitasi proses pemberdayaan masyarakat.7
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis peran kepemimpinan, modal sosial, akses informasi, peran petugas dan fasilitator kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan pada program
Desa Siaga.
Metode
Desain penelitian adalah potong lintang dengan pendekatan penelitian kualitatif melalui metode studi kasus
terpancang. Penelitian dilakukan di Kabupaten
Tulungagung, Jawa Timur dengan mengambil dua desa
yaitu Desa Bulus di Kecamatan Bandung sebagai representasi Desa Siaga Utama dan Desa Tanggul Kundung di
Kecamatan Besuki sebagai representasi Desa Siaga
Pratama. Penelitian dilakukan selama tiga bulan dari Juli
2013 sampai dengan September 2013.
Populasi penelitian adalah situasi sosial dalam program Desa Siaga di Desa Bulus, Kecamatan Bandung dan
Desa Tanggul Kundung, Kecamatan Besuki, Kabupaten
Tulungagung, Provinsi Jawa Timur. Teknik pengambilan
sampel dilakukan secara purposive dan snowball sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara mendalam, observasi partisipasi, dan kajian
dokumen. Alat bantu yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah pedoman wawancara mendalam,
perekam, alat tulis, dan kamera. Jumlah informan kunci
seluruhnya adalah 56 orang yang terdiri dari dua kategori, yaitu kelompok komunitas meliputi kepala desa dan
perangkatnya, Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), ketua atau
anggota tim penggerak Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) tingkat desa serta kader Desa Siaga.
Masing-masing desa sebanyak 15 orang sehingga terdapat
30 informan. Kategori kedua adalah kelompok petugas kesehatan meliputi tim pembina Desa Siaga puskesmas sejumlah 18 informan dan tim pembina Desa Siaga dinas kesehatan kabupaten sejumlah enam informan.
Observasi partisipasi dilakukan di dua poskesdes dan
di masyarakat. Peneliti melakukan observasi terhadap aktivitas pelayanan kesehatan dengan mengamati lokasi,
denah ruangan, alur, prosedur, jenis pelayanan, pencatatan dan pelaporan klien yang berkunjung. Kajian
dokumen dilakukan terhadap pedoman, kebijakan,
perencanaan, dan hasil program Desa Siaga di Dinas
Kesehatan Kabupaten Tulungagung, unit pelaksana teknis dinas Puskesmas Bandung dan Puskesmas Besuki serta dua poskesdes.12
Unit analisis adalah program Desa Siaga di
Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Analisis data
meliputi reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan
yang dilakukan secara interaktif dan siklik dengan proses
pengumpulan data. Untuk memaksimalkan kepercayaan
data, dilakukan beberapa jenis triangulasi di antaranya
triangulasi peneliti, yaitu bekerja kolaboratif dalam tim
penelitian dengan jumlah lima orang dalam mengidentifikasi kode, mengembangkan kategori dan tema.
Kemudian, triangulasi metode dan sumber data, yaitu
menggunakan pelbagai jenis data yang dikumpulkan dengan pelbagai metode dan sumber data, misalnya rekaman dari wawancara, catatan lapangan, dan pemeriksaan
anggota untuk memberikan umpan balik hasil analisis data. Selanjutnya adalah triangulasi teori, yaitu penggunaan
beberapa teori atau perspektif untuk menafsirkan
kumpulan data.
Hasil triangulasi metode melalui wawancara mendalam tentang kepemimpinan sesuai dengan hasil pengamatan langsung yang dilakukan oleh peneliti saat berlangsung pertemuan antara warga dengan pamong desa, pengurus PKK desa, dan tokoh masyarakat. Sebagai
pemimpin, para pamong desa, pengurus PKK Desa,
maupun tokoh masyarakat memberikan motivasi, memberikan contoh, menggerakkan sasaran dan masyarakat.
Kesimpulan dari dalam tim penelitian dengan jumlah lima orang menguatkan kesimpulan bahwa modal sosial di
Desa Bulus, Kecamatan Bandung dan Desa Tanggul
Kundung, Kecamatan Besuki berhubungan dengan kemampuan masyarakat dalam hal identifikasi dan
pemecahan masalah kesehatan.
Hasil
Karakteristik Informan
Berdasarkan karakteristik informan pada Tabel 1, dari
56 informan, jenis kelamin laki-laki sebanyak 46,43%
dan perempuan sebanyak 53,67%. Rata-rata usia informan adalah 42,7 tahun dengan rentang terendah 27
tahun dan yang paling tua berusia 54 tahun. Sebagian besar informan berusia 24 - 39 tahun (53,57%) dan berusia 40 - 55 tahun (46,43%). Ditinjau dari segi pendidikan, persentase informan berpendidikan tingkat perguruan tinggi (PT) adalah 35,71%, diploma 3 (D3)
10,71%, sekolah menengah atas (SMA) 35,50%, sekolah
menengah pertama (SMP) 14,28%, dan sekolah dasar
Tabel 1. Karakteristik Informan
Karakteristik
Kategori
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
24 - 39 tahun
40 - 55 tahun
55 tahun
PT
D3
SMA
SMP
SD
Usia
Pendidikan
Jumlah
Persentase
26
30
30
26
0
20
6
21
8
1
46,43
53,57
53,57
46,43
0,0
35,71
10,71
37,50
14,28
1,78
355
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
(SD) 1,78%.
Hasil observasi partisipasi di dua poskesdes dan di
masyarakat menyimpulkan bahwa poskesdes dikelola
oleh tenaga kesehatan, yaitu bidan dan perawat.
Poskesdes berperan sebagai UKBM yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan pelayanan kesehatan
dasar. Kegiatan poskesdes mencakup upaya pelayanan
kesehatan dasar secara menyeluruh secara promotif, preventif dan kuratif, termasuk pengamatan dan kewaspadaan dini, penanganan hal yang bersifat gawat darurat,
dan kesiapsiagaan terhadap bencana. Pengunjung
poskesdes adalah ibu hamil, bayi, anak balita, perempuan
usia subur, usia lanjut, dan masyarakat lainnya.
Pelayanan dilaksanakan baik di dalam maupun di luar
gedung.
Berdasarkan observasi, tampak bahwa kepemimpinan
dan modal sosial berperan dalam keberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui gotong-royong masyarakat,
adanya organisasi kelompok yasinan, pertemuan rukun
tetangga (RT), dan pertemuan forum Desa Siaga sebagai
media komunikasi dan kerja sama antara warga dengan
pemimpin desa dan petugas kesehatan.
Berdasarkan kajian dokumen terhadap cakupan program Desa Siaga tahun 2012, persentase tingkat partisipasi masyarakat (D/S) adalah 71,95%, yaitu jumlah balita yang ditimbang berjumlah 59.640 dari 82.894 anak
dengan cakupan balita berat badan naik (71,09%), bayi
yang diberi ASI eksklusif (51,20%), balita mendapatkan
vitamin A dua kali (90,96%), balita dengan gizi buruk sejumlah 243 anak (0,41%), sedangkan balita gizi kurang
sejumlah 2.476 orang (4,15%). Universal Child
Immunization (UCI) adalah 74,17% dari jumlah 271 desa. Cakupan imunisasi campak bayi adalah 100,78%.
Drop out imunisasi DPT1-campak adalah 5,65%. Jumlah
kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I) yaitu 17 kasus difteri, empat kasus campak dan
tujuh kasus hepatitis klinis. Kunjungan ibu hamil (K1)
adalah 91,66% dan kunjungan ibu hamil (K4) 85,03%.
Cakupan persalinan ditolong tenaga kesehatan adalah
89,57%, pelayanan ibu nifas 86,38%, peserta Keluarga
Berencana (KB) baru 13,61%, sedangkan peserta KB aktif 67,34%.
Cakupan PHBS rumah tangga adalah 35,32%, rumah
sehat 57,80%, rumah/bangunan bebas jentik 92,78%,
keluarga dengan sumber air minum terlindung 56,84%,
keluarga memiliki jamban sehat 66,48%, keluarga memiliki tempat sampah sehat 82,09%, keluarga memiliki
pengelolaan air limbah sehat 61,33%, dan institusi dibina kesehatan lingkungannya 79,62%. Jumlah kematian
ibu adalah 11 jiwa dari 16.109 jiwa kelahiran hidup
(68,28 per 100.000 kelahiran hidup). Angka kematian
bayi adalah 121 jiwa dari 16.109 jiwa kelahiran hidup
(7,51 per 1.000 kelahiran hidup) dan angka kematian
balita adalah 138 jiwa dari 59.848 jiwa (8,57 per 1.000
356
kelahiran hidup).
Peran Kepemimpinan dalam Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Kesehatan
Dari studi kasus terungkap bahwa peran kepemimpinanan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan pada program Desa Siaga adalah menyebarluaskan
informasi, memberikan contoh dan sebagai panutan,
menyadarkan, memotivasi, membimbing, menggerakkan
sasaran dan masyarakat, memfasilitasi dan mengalokasikan sumber daya.
Peran Kepemimpinan dalam Menyebarluaskan Informasi
Terungkap dari penuturan informan sebagai berikut:
“….Peran pemimpin adalah melakukan sosialisasi
dan penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat
mengetahui dan memahami adanya masalah kesehatan
di masyarakat. Sosialisasi dilakukan pada pertemuan
Yasinan (membaca al-Qur’an Surat Yaasin), pertemuan
warga RT, dan posyandu.” (Mh, Bulus, 23 Agustus
2013)
Peran Kepemimpinan dalam Penyadaran dan Motivasi
Seperti penuturan informan berikut:
“…Pemimpin masyarakat berperan dalam memotivasi dan mendorong masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan dan gizi…” (Sns, Bulus, 23
Agustus 2013)
Peran Kepemimpinan dalam Membimbing, Menggerakkan
Sasaran dan Masyarakat
Sebagaimana disampaikan oleh informan berikut:
”...Peran pemimpin masyarakat adalah menyadarkan,
mengajak dan menggerakan masyarakat serta menyediakan tempat kegiatan seperti posyandu, membimbing
masyarakat agar bergotong-royong dalam pemecahan
masalah kesehatan...” (Mh, Bulus, 22 Agustus 2013)
Peran Kepemimpinan dalam Memberikan Contoh dan
Sebagai Panutan
Seperti penuturan informan berikut:
”...Pimpinan masyarakat berperan sebagai panutan
warga masyarakat dalam upaya kesehatan dan gizi, sehingga kalau Pak Lurah dan Pak Kepala Dusun memberi nasihat, masyarakat akan mengikutinya...” (Srs,
Bulus, 23 Agustus 2013).
“…Pemimpin memberikan contoh. Kalau pemimpin
hanya memberikan saran, tapi tidak memberikan contoh, sarannya tidak didengar…” (Ags, Bandung, 24
Agustus 2013)
Peran Kepemimpinan dalam
Mengalokasikan Sumber Daya
Memfasilitasi
Sebagaimana penuturan informan berikut:
dan
Sulaeman, Murti, Waryana, Peran Kepemimpinan, Modal Sosial , Akses Informasi serta Petugas dan Fasilitator Kesehatan
“…Pemimpin menyadarkan masyarakat, mengarahkan masyarakat tentang pentingnya kesehatan, dan
melakukan penggerakan pengumpulan dana sosial untuk kesehatan…” (Rs, Bulus, 22 Agustus 2013)
“…Peran pimpinan masyarakat adalah memberikan
bantuan. Kalau ada keluarga atau masyarakat yang kurang mampu, pimpinan desa melakukan penggalangan
dan pengumpulan dana. Desa juga memberi stimulan
dana ke setiap dusun …” (Knp, Tanggul, 24 Agustus
2013).
Dari kutipan pernyataan informan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran pimpinan masyarakat adalah
menyebarluaskan informasi tentang program Desa Siaga
kepada masyarakat, memberi contoh perilaku seharihari, mulai dari keluarga sendiri, dan di fasilitas umum
seperti kantor balai desa. Peran tersebut dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat terhadap program Desa
Siaga. Dengan peran pimpinan tersebut, maka akan timbul partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan dan kelangsungan program Desa Siaga.
Peran Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang
Kesehatan
Peran modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan meliputi adanya saling percaya antarkeluarga dan masyarakat, kerja sama antara warga
masyarakat, pimpinan dan petugas kesehatan, saling tolong-menolong, norma sosial timbal-balik, hubungan
kekerabatan, pertetanggaan dan pertemanan serta
adanya jaringan organisasi masyarakat.
Adanya Saling Percaya Antarkeluarga, Masyarakat, dan
Petugas Kesehatan
Sebagaimana disampaikan oleh informan berikut:
“…Warga masyarakat saling percaya, sehingga terjalin kerja sama dalam pemecahan masalah kesehatan
secara gotong royong. Ikatan sosial antarwarga
masyarakat sangat kuat dan bersatu-padu...” (Nn,
Bandung, 24 Agustus 2013)
“...Adanya rasa memiliki antarwarga, ditunjukkan
bila ada warga yang sakit, maka warga saling memberitahu satu sama lain dan berkunjung kepada orang yang
sakit, serta memberikan sumbangan...” (Snt, Bandung,
24 Agustus 2013)
“Kepercayaan warga masyarakat terhadap bidan desa besar sekali sehingga setiap melahirkan ditolong oleh
bidan. Juga kalau warga sakit, warga berobat ke Pos
Kesehatan Desa.” (Srt, Bulus, 23 Agustus 2013)
Adanya Hubungan Kekerabatan, Pertetanggaan, dan
Pertemanan
Sebagaimana dituturkan oleh informan berikut:
“…Adanya kekerabatan dan kedekatan antarwarga
masyarakat berperan dalam mengidentifikasi dan
memecahkan masalah kesehatan, misalnya tetangga
memberikan saran, nasihat, atau informasi kesehatan
dan memberitahukan masalah kesehatan atau penyakit
yang diderita oleh tetangganya...” (Srt, Bulus, 23
Agustus 2013)
Adanya Kerja Sama antara Warga Masyarakat, Pimpinan, dan
Petugas Kesehatan serta Adanya Jaringan Organisasi
Masyarakat
Terungkap dari penuturan informan berikut:
”...Melalui kerja sama antarwarga, masalah kesehatan dapat ditanggulangi. Kerja sama diwujudkan
dalam pelbagai bentuk, seperti kerja bakti atau gotongroyong, pengumpulan iuran dana sehat…”(Ans,
Bandung, 24 Agustus 2013)
”Adanya organisasi masyarakat seperti kelompok
yasinan, pertemuan RT, pertemuan Dasa Wisma merupakan modal sosial yang dapat mempermudah kerja
sama antara warga masyarakat serta kerja sama dengan
pimpinan desa dan petugas kesehatan dalam pemecahan masalah kesehatan...”(Bdn, Bulus, 23 Agustus 2013)
”...Modal sosial di desa adalah gotong-royong
masyarakat dalam melaksanakan posyandu dan membantu keluarga gizi buruk serta memotivasi masyarakat
untuk selalu menjaga kesehatan lingkungan, memberikan nasihat kepada ibu balita agar selalu menimbangkan balitanya setiap bulan serta memerhatikan gizi
dan kesehatan anaknya, kader kesehatan bergotong-royong dalam melaksanakan program posyandu dan Desa
Siaga...” (Sp, Bandung, 24 Agustus 2013)
Modal sosial yang terdapat di masyarakat merupakan
perekat antara individu satu sama lain, seperti adanya
kebiasaan saling mengunjungi apabila terdapat tetangga
yang baru melahirkan, warga masyarakat yang sakit, atau
dirawat di rumah sakit. Kebiasaan ini sebagai modal
sosial untuk tercapainya derajat kesehatan masyarakat
secara optimal.
Peran Akses Informasi Kesehatan dalam Pemberdayaan
Masyarakat Bidang Kesehatan
Sebagian besar informan mengatakan bahwa akses informasi kesehatan berperan dalam pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan melalui peningkatan
pengetahuan dan keterampilan kesehatan, mengambil
keputusan kesehatan, dan meminta pelayanan kesehatan.
Peran Akses Informasi Kesehatan dalam Mengambil
Keputusan Kesehatan dan Meminta Pelayanan Kesehatan
Sebagaimana penuturan informan berikut:
”...Akses informasi kesehatan berperan dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan, misalnya Depkes menayangkan informasi kesehatan di TV,
seperti biaya persalinan gratis melalui jaminan persalinan, masyarakat menanyakan kepada petugas puskesmas
357
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
bagaimana syarat dan tata caranya...” (Bd. Bulus, 22
Agustus 2013)
Peran Akses Informasi Kesehatan dalam Meningkatkan
Pengetahuan dan Ketrampilan Kesehatan
Sebagaimana disampaikan informan berikut:
“….Penyampaian informasi kesehatan berdampak
pada peningkatan kemampuan pengetahuan dan keterampilam kesehatan bagi masyarakat….” (Tn, Bandung,
24 Agustis 2013)
“…Perolehan informasi kesehatan membuat
masyarakat lebih memahami masalah kesehatan dan
mengetahui bagaimana cara mengatasi masalah kesehatan di desa…” (Srt, Bulus, 22 Agustus 2013)
Akses informasi kesehatan diperoleh masyarakat dari
petugas puskesmas dan media massa seperti televisi dan
radio. Melalui sumber informasi tersebut, masyarakat
memperoleh pengetahuan tentang cara hidup sehat, cara
merawat kesehatan perorangan, cara menjaga kebersihan lingkungan, cara merawat kehamilan, cara merawat
bayi, dan sebagainya. Mudahnya akses informasi yang
diperoleh masyarakat akan meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat.
Peran Petugas Kesehatan dalam Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Kesehatan
Beberapa informan menyampaikan bahwa peran
petugas kesehatan adalah melakukan sosialisasi, memberikan petunjuk, melatih, membina, memfasilitasi,
menumbuh-kembangkan partisipasi serta memantau dan
mengevaluasi program Desa Siaga, seperti penuturan informan berikut:
”...Peran petugas puskesmas adalah membina, memberi bantuan peralatan, memberikan penyuluhan, dan
melatih serta memfasilitasi masyarakat untuk pelaksanaan program Desa Siaga...”(Srt, Bandung, 23
Agustus 2013).
“…Peran petugas puskesmas dan sektor terkait di
tingkat kecamatan adalah mengusahakan kemudahan
masyarakat dalam melaksanakan program Desa Siaga.
Petugas puskesmas memberikan pembinaan kepada
masyarakat dalam melakukan identifikasi masalah kesehatan, cara memecahkan masalah kesehatan, cara
memanfaatkan potensi sumber daya lokal, dan menumbuh-kembangkan partisipasi.” (Ans, Bulus, 22 Agustus
2013)
“…Petugas kesehatan berperan dalam meningkatkan
kemampuan mengidentifikasi dan memecahkan
masalah kesehatan lokal…” (Ss, Bandung, 24 Agustus
2013)
Peran Fasilitator dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang
Kesehatan
Sebagian besar informan menjelaskan bahwa peran
358
fasiltator program Desa Siaga adalah melakukan sosialisasi, pendampingan, motivator, pengarah, mediator antara masyarakat dengan pemerintah, memengaruhi
pengambilan keputusan, dan menumbuh-kembangkan
partisipasi. Hal tersebut seperti penuturan informan
berikut:
“…Fasilitator berperan sebagai penyuluh dan
penghubung antara masyarakat dan pemerintah, mengarahkan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan program Desa Siaga, menampung aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintah, dan menumbuhkembangkan partisipasi…” (Srt, Bulus, 22 Agustus
2013).
“…Fasilitator berperan sebagai pendamping, yaitu
mendampingi proses pengenalan masalah kesehatan,
membantu memperoleh sumber-sumber daya yang diperlukan, membantu memilih pemecahan masalah kesehatan yang sesuai dengan kondisi masyarakat.” (Spd,
Bandung, 23 Agustus 2013).
“Peran fasilitator adalah sebagai motivator, yaitu
memberikan dorongan kepada warga masyarakat untuk
mampu mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan”. (Wt, Bulus, 22 Agustus 2013)
Pembahasan
Peran Kepemimpinan dalam Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Kesehatan
Penelitian Adrian, 13 menyimpulkan bahwa
kepemimpinan masyarakat berperan untuk mengikutsertakan masyarakat lokal dalam program pembangunan.
Sinergi yang jelas di antara mereka untuk berperan saling
melengkapi. Bukti dampak dari kepemimpinan
masyarakat menunjukkan adanya keikutsertaan
masyarakat ke dalam ruang tata kelola masyarakat, dan
menekankan kebutuhan untuk menggerakan kepemimpinan lokal yang kuat.
Penelitian Ferguson et al,14 memberikan kerangka
teoritis untuk memahami cara masyarakat memandang
peluang kepemimpinan dalam lembaga masyarakat serta
proses lembaga mendorong peningkatan keikutsertaan.
Empat tema utama yang muncul, yaitu suara masyarakat
dan kepemilikan, keamanan emosional, kekuasaan, dan
dukungan timbal balik. Untuk keberhasilan pemberdayaan masyarakat, perlu ditunjang dengan pemberdayaan kepemimpinan. Pitts,15 memformulasikan secara
komprehensif definisi dari pemberdayaan kepemimpinan
yang meliputi tujuh dimensi, yaitu kekuasaan, pengambilan keputusan, informasi, otonomi, inisiatif dan
kreativitas, pengetahuan dan keterampilan, dan pertanggungjawaban. Penelitian Ashwell et al,6 menegaskan
bahwa kemandirian berkelanjutan di bidang kesehatan
dapat dicapai melalui kepemimpinan masyarakat dan
mempertahankan aktivitas, menguatkan intervensi
pogram dan meningkatkan interaksi antara masyarakat
Sulaeman, Murti, Waryana, Peran Kepemimpinan, Modal Sosial , Akses Informasi serta Petugas dan Fasilitator Kesehatan
dan sistem kesehatan serta meningkatkan penggunaan
pelayanan kesehatan oleh masyarakat.
Peran Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang
Kesehatan
Modal sosial menurut Lynch et al,16 merupakan kemampuan sosial yang lebih luas menyangkut inklusivitas,
hak asasi manusia, keadilan sosial, partisipasi ekonomi,
dan politik secara penuh dari warga masyarakat sehingga investasi modal sosial merupakan strategi yang berguna untuk kesehatan masyarakat. Selanjutnya, penelitian
Nina,17 menyimpulkan bahwa pemberdayaan disajikan
dan dibandingkan dengan modal sosial dan kapasitas
masyarakat sebagai strategi untuk memperkuat faktor
perlindungan sosial.
Penelitian Lopez,18 menemukan hubungan antara peningkatan inovasi dan tingkat modal sosial yang berbeda.
Penelitian ini menjelaskan hubungan antara pemberdayaan dan tujuan inovasi dalam peningkatan kondisi kehidupan berdasarkan perbedaan tingkatan modal sosial.
Promosi kesehatan dalam modal sosial dan pemberdayaan dapat menyumbangkan pengaruh pada pembangunan melalui aksi perorangan ataupun masyarakat
yang didukung oleh kebijakan dan program. Terdapat
hubungan antara pemberdayaan modal sosial (struktur
dan nilai) dan inovasi dalam organisasi masyarakat pada
daerah pedesaan di Peru.
Peran Akses Informasi dalam Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Kesehatan
Hasil studi kasus menunjukkan bahwa akses informasi kesehatan berperan dalam pemberdayaan
masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Rothman,19 bahwa peran akses informasi kesehatan
meliputi pengetahuan tentang kesehatan dan perawatan
kesehatan, kemampuan untuk menemukan, memahami,
menginterpretasikan dan mengkomunikasikan informasi
kesehatan, kemampuan untuk meminta perawatan kesehatan yang tepat dan membuat keputusan kesehatan secara kritis. Pelbagai jenis informasi berperan dalam peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
masyarakat untuk hidup bersih dan sehat. Masyarakat
memahami cara-cara melakukan identifikasi dan
pemecahan masalah kesehatan. Akses informasi akan
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan kesehatan, baik pada tingkat individu maupun
pada kelompok masyarakat.
Peran Petugas Kesehatan dalam Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Kesehatan
Terungkap melalui studi kasus bahwa petugas kesehatan berperan dalam pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan. Menurut Sulaeman,7 petugas kesehatan
berperan dalam melakukan pendekatan kepada pe-
mangku kepentingan dan masyarakat agar mereka menjadi sadar terhadap permasalahan yang dihadapi di desanya, bangkit niat dan tekad untuk mencari solusi serta
memantau, membina pelaksanaan survei mawas diri dan
musyawarah masyarakat desa sebagai media untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan dan merumuskan
pemecahan masalah kesehatan, juga melakukan pendampingan yang berperan sebagai fasilitator.
Petugas kesehatan perlu memahami kebutuhan
masyarakat, budaya masyarakat, dan karakteristik
kepribadian masyarakat. Petugas kesehatan berupaya
mengembangkan pembelajaran bagi masyarakat untuk
membangun kemandirian dalam pemecahan masalah kesehatan. Peran petugas kesehatan adalah sebagai fasilitator berperan untuk memberikan kemudahan bagi
masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan,
memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan sarana dan peralatan untuk mendukung kelancaran kegiatan Desa Siaga,
sebagai konsultan dengan memberikan nasihat dan
petunjuk kepada masyarakat agar pelaksanaan kegiatan
program Desa Siaga dapat berjalan sesuai dengan tujuan.20
Kementerian Kesehatan (Kemenkes),21 menegaskan
bahwa keberhasilan program kesehatan ditentukan oleh
peran petugas kesehatan di antaranya pertama adalah
kinerja profesional, yaitu upaya sistematis yang dilakukan dalam aktivitas kerja yang diwujudkan dalam
penampilan kinerja. Kedua adalah persepsi terhadap perilaku kepemimpinan, yaitu perilaku positif dari
pemimpin yang merupaka panutan yang memengaruhi
peran pegawai. Ketiga adalah kompetensi, yaitu kemampuan pegawai untuk mendemonstrasikan pengetahuan
dan keterampilannya untuk menghasilkan jasa layanan
kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan, dan
kemampuan untuk mengalihkan pengetahuan dan
keterampilan. Keempat adalah kompensasi, yaitu faktor
eksternal yang secara langsung memengaruhi peran pegawai dalam proses penggerakan dan pemberdayaan,
seperti gaji, penghargaan, dan fasilitas. Kelima adalah
sikap pegawai terhadap pekerjaan, yaitu sikap positif terhadap pekerjaan yang akan mendorong kemampuan
menerjemahkan lingkungan untuk diwujudkan dalam
kinerja pegawai. Keenam adalah motivasi kerja, yaitu
daya dorong sebagai hasil proses interaksi dengan
lingkungan. Ketujuh adalah kecerdasan emosi, yaitu kesadaran, pengendalian diri dan kemampuan atau kekuatan pribadi, sosial, politik, ekonomi yang diwujudkan
dalam bentuk kinerja sebagai hasil interaksi dengan
lingkungan.
Peran Fasilitator dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang
Kesehatan
Fasilitator menciptakan suasana dialogis dengan
masyarakat dan mampu menumbuhkembangkan, meng359
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
gerakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat dalam
program pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan,
mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi hasil
kegiatan.
Peran fasilitator menurut Mardikanto, 22 adalah
memengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengadopsi inovasi,
meningkatkan kapasitas individu, entitas, dan jejaring
yang terhimpun dalam satu kata “edfikasi” sebagai akronim dari edukasi, diseminasi informasi/inovasi, fasilitasi,
konsultasi, supervisi, pemantauan, dan evaluasi.
Sementara itu, peran fasilitator menurut Yoo et al,3
adalah untuk memberikan bantuan dan bimbingan serta
tetap menjaga hubungan yang erat dengan masyarakat,
namun tidak mengarahkan atau memengaruhi keputusan
masyarakat.
berikan petunjuk, melatih, membina, memfasilitasi,
menumbuh-kembangkan partisipasi serta memantau dan
mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat. Selain
itu, disarankan untuk memperkuat peran fasilitator dengan melakukan sosialisasi, pendampingan, motivator,
mediator antara masyarakat dan pemerintah, memengaruhi pengambilan keputusan, dan menumbuhkembangkan partisipasi.
Daftar Pustaka
1. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Laporan pencapaian tujuan
pembangunan milenium Indonesia 2010. Jakarta: Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional; 2010.
2. Sulaeman ES, Karsid R, Murti B, Kartono DT, Waryana, Hartanto R.
Model pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan, studi program de-
Kesimpulan
Peran kepemimpinan dalam pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan pada program Desa Siaga
adalah menyebarluaskan informasi, memberikan contoh,
penyadaran, memotivasi, membimbing, menggerakkan
sasaran dan masyarakat, memfasilitasi dan mengalokasikan sumber daya. Sementara itu, peran modal
sosial adalah saling percaya, kekerabatan, pertetanggaan
dan pertemanan, norma sosial, kerjasama, tolong-menolong, dan adanya jaringan masyarakat. Peran akses informasi kesehatan adalah meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan kesehatan, mengambil keputusan kesehatan, dan meminta pelayanan kesehatan. Peran petugas kesehatan adalah melakukan sosialisasi, memberikan
petunjuk, melatih, membina, memfasilitasi, menumbuhkembangkan partisipasi, serta memantau dan mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat. Kemudian,
peran fasilitator kesehatan adalah melakukan sosialisasi,
pendampingan, motivator, mediator antara masyarakat
dan pemerintah, memengaruhi pengambilan keputusan,
dan menumbuhkembangkan partisipasi.
sa siaga. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2012; 7 (4):
186-92.
3. Yoo S, Weed NE, Lempa ML, Mbondo M, Shada RE, Goodman RM.
Collaborative community empowerment: an illustration of a six-step
process. Health Promotion Practice. 2004; 5 (3): 256-65.
4. Rehn NS, Ovretveit J, Laamanen R, Suominen S, Sundell J, Brommels
M. Determinants of health promotion action: comparative analysis of local voluntary associations in four municipalities in Finland. Health
Promotion International. 2006; 21 (4): 274-83.
5. Sulaeman ES, Karsid R, Murti B, Kartono DT, Waryana, Hartanto R.
Leadership, social capital, access to information and community empowerment to address health issues. International Journal of Scientific
Research and Education (IJSRE). 2013; 1 (5): 90-107.|
6. Ashwell HES, Barclay L. A retrospective analysis of a community-based
health program in Papua New Guinea. Health Promotion International.
2009; 24 (2): 140-8
7. Sulaeman ES, Karsid R, Murti B, Kartono DT, Waryana, Hartanto R.
Model Pemberdayaan masyarakat dalam kemampuan mengidentifikasi
masalah kesehatan: studi pada program desa siaga. Jurnal Kedokteran
YARSI. 2012; 20 (3): 118 – 27.
8. Macinko J, Startfiiel B. The utility of social capital in research on health
determinants. The Johns Hopkins Medical Institutions. 2001; 79 (3):
Saran
Berdasarkan temuan penelitian, disarankan untuk
memperkuat peran kepemimpinan dalam pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan, yaitu peran penyebarluasan informasi, pemberian contoh, penyadaran, pemberian
motivasi, pembimbingan, penggerakkan sasaran dan
masyarakat, fasilitasi dan pengalokasian sumber daya.
Selain itu, memperkuat peran modal sosial, yaitu saling
percaya, kekerabatan, pertetanggaan dan pertemanan
norma sosial, kerja sama, tolong-menolong, serta adanya
jaringan masyarakat. Memperkuat peran akses informasi
kesehatan, yaitu peningkatan pengetahuan dan keterampilan kesehatan, pengambilan keputusan kesehatan,
dan meminta pelayanan kesehatan. Memperkuat peran
petugas kesehatan, yaitu melakukan sosialisasi, mem360
387-427.
9. Keleher H, Mac DC. Understanding health a determinants approach.
2nd Edition. Australia and New Zealand: Oxford University Press; 2009.
10. Fineberg H. Health literacy, Institute of Medicine. The National
Academics Press; 2004
11. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pengembangan desa siaga.
Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 564/Menkes/VIII/2006. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2006.
12. Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung. Profil kesehatan Kabupaten
Tulungagung. Tulungagung: Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung;
2012.
13. Adrian M. The community leadership and place-shaping roles of english
local government synergy or tension? Public Policy and Administration.
2010; 25 (5): 175-87.
14. Ferguson KM, Kim MA, McCoy S. Enhancing empowerment and lead-
Sulaeman, Murti, Waryana, Peran Kepemimpinan, Modal Sosial , Akses Informasi serta Petugas dan Fasilitator Kesehatan
ership among homeless youth in agency and community settings: a
[accessed
grounded theory approach. Child Adolescence Social Worker Journal.
http://is.muni.cz/el/1423/podzim2010/SPP815/um/15.rothman.pdf.
2011; 28 (4):1–22.
15. Pitts DW. Leadership, empowerment, and public organizations. Review
of Public Personnel Administration. 2005; 25 (3): 5-17.
16. Lynch J, Due P, Muntaner C, Smith GD. Social capital - is it a good investment strategy for public health? Journal of Epidemiol Community
Health. 2000; 54 (5): 404-8.
17. Nina W. Empowerment to reduce health disparities. Scandinavian
Journal of Public Health. 2002; 30: 72-7.
on
Thursday
March
2014].
A vailable
from:
20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia kerjasama dengan
Kementerian Dalam Negeri RI. Keputusan menteri kesehatan Republik
Indonesia No.1529/Menkes/SK/X/2010. Pedoman umum pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2010.
21. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jalan setapak menuju
Indonesia sehat melalui pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2004
18. Lopez LH. Assering rural community empowerment what it takes to
22. Mardikanto T. Konsep-konsep pemberdayaan masyarakat acuan bagi
think innovatively a doctoral research proposal. Journal of Centrum
aparat birokrasi, akademisi, praktisi, dan peminat/pemerhati pember-
Cathedra. 2009; 12 (4): 145-63.
dayaan masyarakat. Cetakan ke-1. Surakarta: Kerjasama Fakultas
19. Rothman J, Tropman JE. Models of community organization and macro
practice: their mixing and phasing in strategies of community organiza-
Pertanian UNS dengan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS
Press); 2010.
tion [online]. 4th ed. FM. Cox et al. Eds: Itasca; Peacocok Publ: 1987
361
Artikel Penelitian
Ketidaktepatan Sasaran Jaminan Kesehatan Masyarakat
Berdasarkan Kriteria Miskin Pendataan Program
Perlindungan Sosial
Inaccuracy of Public Health Insurance Target Based on Poor Criteria of
Data Collection for Social Protection Program
Umi Lutfiah*, Ery Setiawan**, Sindu Setia Lucia*
*Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, **Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Abstrak
Peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) hingga tahun 2010
mencapai 76,4 juta jiwa mencakup masyarakat miskin dan tidak mampu,
sedangkan peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) mencapai 31,6
juta jiwa. Secara prinsip, program Jamkesda dibentuk untuk memfasilitasi
masyarakat miskin dan kurang mampu di luar kuota Jamkesmas yang dibiayai oleh pemerintah daerah. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau
ketepatan sasaran peserta program Jamkesmas berdasarkan kriteria
miskin Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Sumber data yang
digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun
2012. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rumah tangga di Indonesia
tahun 2012. Sampel penelitian adalah rumah tangga terpilih dari masingmasing blok sensus. Analisis yang dilakukan adalah analisis univariat, bivariat hingga multivariat dengan regresi logistik. Masih terdapat 12,4% penduduk yang mendapatkan Jamkesmas, tetapi tidak miskin atau hampir
miskin. Selain itu, masih terdapat 56,4% penduduk yang hampir miskin dan
41,1% penduduk miskin yang belum terjangkau pesertaan Jamkesmas.
Layanan gratis merupakan faktor yang paling menentukan apakah penduduk dapat menjadi peserta Jamkesmas atau tidak. Mereka yang memiliki layanan kesehatan gratis berpeluang 5,462 kali mendapatkan layanan
Jamkesmas dibandingkan mereka yang tidak memiliki layanan gratis.
Perbaikan basis data, pengawasan, evaluasi serta sistem alokasi yang baik
sangat diperlukan untuk mengurangi ketidaktepatan sasaran. Penyesuaian
data antara Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan daerah berguna
dalam penanganan peserta yang belum terdata.
Kata kunci: Jamkesmas, pendataan program perlindungan sosial, survei
sosial ekonomi nasional, tinjauan kebijakan
Abstract
Participants of Public Health Insurance (Jamkesmas) up to 2010 reached
76.4 million including poor and disadvantaged people, meanwhile participants of Regional Health Insurance (Jamkesda) reached 31.6 million peo362
ple. In principle, Jamkesda program is made to facilitate the poor and disadvantaged people outside Jamkesmas quota funded by local government.
This study aimed to review the accuracy of Jamkesmas participant target
according to the poor criteria of Data Collection for Social Protection
Program. Data source used was National Socio-Economic Survey 2012.
Population of this study was all households in Indonesia within 2012.
Sample of this study was households selected from each census block.
Analysis conducted was univariate, bivariate, and multivariate with logictic
regression. There were 12.4% people receiving Jamkesmas, but they were
not poor or almost poor. Moreover, there were 56.4% the almost poor and
41.1% the poor not yet having access to Jamkesmas. Free service is the
most determining factor whether people can be Jamkesmas participants or
not. People having free health services had 5.462 times opportunity to get
Jamkesmas service compared to people who did not. Database improvement, surveillance, evaluation as well as good allocation system are needed to reduce the inaccuracy of target. Adjustment of data between Health
Ministry and local health agency is useful in handling uncovered participants.
Keywords: Jamkesmas, data collection for social protection program, national socio-economic survey, policy review
Pendahuluan
Ketidaktepatan program Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) akan menyebabkan dampak
penggunaan anggaran yang tidak efisien. Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin
dari tahun 2007 sampai 2010 berturut-turut adalah 37,1
juta, 34,96 juta, 32,53 juta, dan 31,023 juta jiwa. Jumlah
Korespondensi: Umi Luthfiah, Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM
Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok 16424, No.Telp: -, e-mail: [email protected]
Lutfiah, Setiawan, Lucia, Ketidaktepatan Sasaran Jamkesmas Berdasarkan Kriteria Miskin
peserta Jamkesmas tahun 2007 sampai 2010 adalah 76,4
juta jiwa. Sedangkan alokasi anggaran tahun 2007 sampai 2010 meningkat dari 3,53 triliun, 4,7 triliun, 3,6 triliun, dan 5,5 triliun untuk tahun 2010.1
Sejak tahun 2012, penentuan pesertaan Jamkesmas
menggunakan data survei BPS tahun 2011 oleh
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K).2,3 Data Kemenkes menunjukkan
cakupan pesertaan Jamkesmas di Indonesia tahun 2010
adalah 53,7% dari penduduk yang telah memiliki jaminan kesehatan.4,5 Berdasarkan data BPS 2011, peserta
Jamkesmas adalah masyarakat miskin dan tidak mampu
di seluruh Indonesia yang berjumlah 76,4 juta jiwa,
sedangkan jumlah penduduk miskin tahun 2010 sebanyak 31,023 juta jiwa. Jika masih terdapat masyarakat
miskin yang belum terdata, maka mereka akan dimasukkan ke dalam Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda).1
Jaminan kesehatan merupakan jaminan perlindungan
kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap
orang yang telah membayar iuran, atau iurannya dibayar
oleh pemerintah. Tujuan dari program ini adalah melaksanakan penjaminan pelayanan kesehatan terhadap
masyarakat miskin dan tidak mampu dengan menggunakan prinsip asuransi kesehatan sosial.2,6,7 Selain itu,
program ini juga bertujuan untuk mencegah masyarakat
yang hampir miskin untuk tidak jatuh miskin ketika sakit.8 Masyarakat yang berhak mendapatkan Jamkesmas
adalah rumah tangga sangat miskin, rumah tangga
miskin, dan rumah tangga hampir miskin.5
Jumlah penduduk dan rumah tangga miskin ditetapkan oleh BPS dengan menggunakan garis kemiskinan.
Garis kemiskinan didapatkan dari survei modul konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang
ditetapkan dalam rupiah per orang per bulan dan terdiri
dari komoditas makanan dan komoditas nonmakanan.
Komponen komoditas makanan akan digunakan untuk
membentuk garis kemiskinan makanan (GKM) dan komoditas nonmakanan akan digunakan untuk membentuk garis kemiskinan nonmakanan (GKNM). Penduduk
dengan nilai pengeluaran di bawah garis kemiskinan
akan dikategorikan sebagai penduduk miskin.9
Terdapat dua jenis data kemiskinan, yaitu kemiskinan
makro dan mikro. Kemiskinan makro bersumber dari
Susenas dengan dasar GKM dan GKNM yang digunakan
oleh BPS sebagai penentu jumlah penduduk dan rumah
tangga miskin. Sedangkan data kemiskinan mikro menggunakan pendekatan nonmoneter bersumber dari
Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) dan
menyediakan data jumlah rumah tangga sasaran menurut
nama dan alamat. Pendataan data kemiskinan mikro di-
laksanakan dari unit terkecil, mulai dari rumah tangga,
rukun warga, kelurahan, kecamatan sampai tingkat kabupaten.10 Jika pendataan jumlah penduduk dan rumah
tangga miskin ini melebihi kuota Jamkesmas yang
diberikan kepada pemerintah daerah, maka akan terdapat penduduk yang sebenarnya miskin tetapi tidak masuk
cakupan Jamkesmas.
Penggunaan data kriteria kemiskinan mikro mampu
menyediakan informasi mengenai penduduk miskin sampai dengan nama, alamat penduduk miskin, dan dapat
mencakup penduduk hampir miskin.9,11 Adapun 13 kriteria tersebut adalah mendapatkan beras murah, mendapatkan layanan kesehatan gratis, jenis atap terluar
(berbahan dari beton/genteng/sirap/asbes/seng/ijuk), jenis dinding tempat tinggal (dari bambu/rumbia/kayu
kualitas rendah/tembok tanpa diplester), jenis lantai terbuat dari kayu murah/bambu/tanah, luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari delapan meter persegi per
orang, sumber air minum berasal dari sumur/mata air
tak terlindungi/sungai/air hujan, tidak memiliki fasilitas
buang air besar, sumber penerangan rumah tangga tidak
menggunakan listrik, bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah, status
kepemilikan bangunan terdiri dari milik sendiri atau milik bersama, tempat pembuangan tinja, dan kepemilikan
aset. Suatu rumah tangga dikatakan sangat miskin jika
memenuhi semua dari 13 indikator tersebut, dikatakan
miskin jika memenuhi 11 - 13 indikator, dan dikatakan
hampir miskin jika memenuhi 9 - 10 indikator. 11
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti ingin melihat ketepatan penerima Jamkesmas berdasarkan kriteria
kemiskinan mikro yang digunakan oleh BPS dalam data
PPLS.
Metode
Penelitian menggunakan desain studi potong lintang
dengan metode penarikan sampel tiga tahap berstrata.
Tahap pertama adalah memilih wilayah cacah secara
probability proportional to size (PPS). Wilayah cacah
tersebut dialokasikan ke empat triwulan. Masing-masing
triwulan terdapat 7.500 wilayah cacah. Tahap kedua dipilih dua blok sensus dan dialokasikan secara acak, satu untuk Susenas dan satu untuk Survei Angkatan Kerja
Nasional (Sakernas). Masih pada tahap kedua, dipilih lagi satu blok sensus pada setiap wilayah cacah secara PPS.
Tahap terakhir adalah memilih sejumlah rumah tangga
dari setiap blok sensus terpilih.12 Populasi dari penelitian
ini adalah seluruh rumah tangga di Indonesia pada tahun
2012. Sampel penelitian adalah rumah tangga terpilih
dari masing-masing blok sensus dengan kriteria inklusi
adalah mereka yang memiliki jaminan kesehatan dengan
jumlah sampel sebesar 286.113 sampel. Penelitian ini
menggunakan data Susenas tahun 2012 dengan teknik
pengumpulan data menggunakan kuesioner yang telah
363
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
dilaksanakan oleh BPS. Analisis data menggunakan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat digunakan untuk melihat proporsi masyarakat penerima Jamkesmas dan masyarakat miskin. Analisis bivariat untuk melihat karakteristik yang berhubungan dengan
pesertaan Jamkesmas serta persentase masyarakat miskin
yang telah tercakup program Jamkesmas. Analisis multivariat dengan regresi logistik dilakukan untuk melihat
karakteristik yang paling memengaruhi dalam penentuan
pesertaan Jamkesmas.
Hasil
Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat peserta
Jamkesmas yang tidak berasal dari rumah tangga miskin
dan hampir miskin. Hal ini terlihat dari persentase penduduk yang terdaftar sebagai peserta Jamkesmas lebih
banyak dibandingkan dengan persentase penduduk
Tabel 1. Gambaran Penerima Jamkesmas dan Jumlah Penduduk Miskin
Variabel
Kategori
Jumlah
%
Kepesertaan jamkesmas
Tidak
Ya
Tidak miskin
Hampir miskin
Miskin
218.080
68.033
253.294
27.557
5.262
76,2
23,8
88,5
9,6
1,8
Kategori penduduk miskin
miskin dan hampir miskin. Selisih antara peserta
Jamkesmas dengan penduduk miskin dan hampir miskin
adalah 12,4%.
Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat 13 kriteria yang
berhubungan dengan Jamkesmas. Dari 13 kriteria yang
menentukan pesertaan Jamkesmas, terdapat satu kriteria
yang tidak sesuai dengan aturan yang ada, yaitu status
kepemilikan bangunan dengan OR = 0,625, artinya penduduk yang memiliki rumah sendiri memiliki peluang
mendapatkan Jamkesmas 1,6 kali dibandingkan dengan
mereka yang tidak memiliki rumah sendiri.
Selain itu, dekat prinsip memberi bantuan pada peserta Jamkesmas, masih ditemukan bahwa mereka yang
tidak memiliki Jamkesmas tetapi mendapatkan fasilitas,
di antaranya penduduk yang mendapatkan beras murah
(63,1%), penduduk yang mendapatkan layanan gratis
(45%), penduduk dengan atap rumah sirap/asbes/seng/
ijuk (73,7%), penduduk dengan jenis dinding kayu/bambu tidak memiliki Jamkesmas (67,6%), penduduk dengan jenis lantai kayu/tanah/semen (69,8%), dengan luas lantai rumah per orang kurang dari delapan meter
persegi (78%), tidak memiliki sumber air minum
tersendiri (69,4%), penduduk yang tidak memiliki tempat buang air besar (66,6%), penduduk yang tidak memiliki listrik (60,8%), penduduk yang memasak dengan ba-
Tabel 2. Kriteria Penerima Jamkesmas
Kepesertaan Jamkesmas
Kriteria
Beras murah
Layanan kesehatan gratis
Jenis atap terluas
Jenis dinding
Jenis lantai
Luas lantai per orang
Sumber air minum
Tempat buang air besar
Sumber penerangan
Jenis bahan bakar memasak
Status kepemilikan bangunan
Tempat pembuangan tinja
Kepemilikan aset
Status kemiskinan
364
Kategori
Penduduk tidak mendapatkan
Penduduk mendapatkan
Penduduk tidak mendapatkan
Mendapatkan
Beton, genteng
Sirap, asbes, seng, ijuk, dll.
Tembok
Kayu, bambu, lainnya
Tegel, teraso, marmer, keramik
Kayu, tanah, semen, lainnya
< 8 m2
> 8 m2
Terlindungi
Tidak terlindungi
Sendiri
Bersama, umum, tidak ada
Listrik
Nonlistrik
Listrik , gas
Minyak, arang, briket, kayu
Milik sendiri
Milik bersama
Tangki/SPAL
Kolam, sawah, sungai, danau, tanah, pantai,
tanah lapang
2 item
≤ 2 item
Tidak miskin
Hampir miskin
Miskin
Tidak
%
Ya
%
129.814
88.266
191.992
26.088
93.555
124.525
138.144
79.936
89.089
128.991
188.111
29.969
177.136
40.944
153.421
64.659
202.917
15,163
102.986
115.094
203.398
14.682
140.442
77.638
88,8
63,1
84,1
45,0
79,8
73,7
82,3
67,6
88,0
69,8
78,0
66,7
78,0
69,4
81,1
66,6
77,7
60,8
84,5
70,1
75,7
83,9
81,9
67,8
16.402
51.631
36.171
31.862
23.691
44.342
29.742
38.291
12.168
55.865
53.038
14.995
49,944
18,089
35,638
31,395
58,267
9,766
18.860
49.173
65.208
2.825
31.129
36.904
11,2
36,9
15,9
55,0
20,2
26,3
17,7
32,4
12,0
30,2
22,0
33,3
22,0
30,6
18,9
33,4
22,3
39,2
15,5
29,9
24,3
16,1
18,1
32,2
109.824
108.256
200.383
15.533
2.164
86,0
68,3
79,1
56,4
41,1
17.814
50.219
52.911
12.024
3.098
14,0
31,7
20,9
43,6
58,9
Nilai p
OR
0,001
4,630
0,001
6,483
0,001
1,406
0,001
2,225
0,001
3,171
0,001
1,775
0,001
1,567
0,001
2.157
0,001
2,243
0,001
2,333
0,001
0,625
0,001
2,145
0,001
2,860
0,001
2,857
5,128
Lutfiah, Setiawan, Lucia, Ketidaktepatan Sasaran Jamkesmas Berdasarkan Kriteria Miskin
Tabel 3. Analisis Regresi Logistik Jenis Kriteria Jamkesmas
Variabel
Jenis lantai
Jenis dinding
Jenis atap
Sumber air minum
Sumber penerangan
Bahan bakar memasak
Tempat buang air besar
Tempat pembuangan tinja
Kepemilikan asset
Subsidi beras murah
Layanan kesehatan gratis
Luas lantai per orang
B
0,484
0,162
0,062
-0,083
0,097
0,199
0,145
0,094
0,376
1,159
1,698
0,110
Nilai p
OR
95% CI
0,001
0,001
0,001
0,001
0,001
0,001
0,001
0,001
0,001
0,001
0,001
0,001
1,622
1,176
1,064
0,920
1,102
1,220
1,156
1,099
1,456
3,187
5,462
1,117
1,578 - 1,668
1,148 - 1,203
1,040 - 1,090
0,897 - 0,943
1,065 - 1,140
1,190 - 1,250
1,130 - 1,183
1,073 - 1,125
1,422 - 1,492
3,117 - 3,258
5,347 - 5,580
1,088 - 1,146
han bakar tradisional (70,1%), yang tidak memiliki
rumah sendiri (83,9%), yang tidak memiliki saluran
pembuangan air limbah (67,8%), dan penduduk yang
hanya memiliki kurang atau sama dengan dua aset
(68,3%).
Selain itu, terdapat 58,9% penduduk miskin dan
43,6% penduduk hampir miskin yang telah mendapatkan Jamkesmas. Akan tetapi, masih terdapat 20,9%
penduduk tidak miskin yang mendapatkan Jamkesmas,
sedangkan 41,1% penduduk miskin dan 56,4% penduduk hampir miskin belum mendapatkan Jamkesmas.
Hal ini menunjukkan adanya ketidaktepatan sasaran peserta Jamkesmas.
Tabel 3 menunjukkan bahwa kriteria konsekuensi
yang paling menentukan seseorang akan mendapatkan
Jamkesmas adalah status layanan kesehatan gratis.
Demikian pula mereka yang mendapatkan beras murah
berpeluang 3,258 kali mendapatkan Jamkesmas dari
yang tidak mendapatkan subsidi beras murah. Mereka
yang mendapatkan layanan gratis akan berpeluang 5,462
kali untuk mendapatkan pesertaan Jamkesmas dibandingkan dengan mereka yang tidak mendapatkan layanan
gratis. Penduduk yang memiliki jenis lantai kayu, tanah,
dan semen memiliki peluang 1,668 kali untuk mendapatkan pesertaan Jamkesmas dibandingkan dengan mereka yang memiliki jenis lantai tegel, teraso, marmer,
keramik, dan granit. Sementara mereka yang memiliki jenis dinding kayu dan bambu memiliki peluang 1,203 kali
untuk mendapatkan Jamkesmas jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki dinding rumah berupa tembok.
Faktor sumber air minum merupakan variabel yang
memberikan efek negatif. Artinya, justru mereka yang
tidak memiliki sumber air minum terlindungi lebih sedikit yang menerima Jamkesmas dibandingkan dengan
mereka yang memiliki sumber air minum terlindungi.
Penduduk dengan sumber air terlindungi (air kemasan
bermerek, air isi ulang, air leding, sumur bor/pompa,
sumur terlindungi, mata air terlindungi) justru memiliki
peluang 1,11 kali lebih besar untuk mendapatkan peser-
taan Jamkesmas dibandingkan dengan mereka yang tidak
memiliki sumber air minum terlindungi (sumur tidak terlindungi, mata air tidak terlindungi, air sungai, air hujan,
lainnya).
Penduduk dengan sumber penerangan nonlistrik
memiliki peluang 1,14 kali untuk mendapatkan
Jamkesmas. Mereka dengan bahan bakar tradisional
memiliki peluang 1,25 kali, sedangkan mereka yang tidak
memiliki tempat buang air besar berpeluang 1,18 kali
untuk mendapatkan Jamkesmas. Mereka dengan tempat
saluran pembuangan air limbah berpeluang 1,12 kali untuk mendapatkan Jamkesmas. Kepemilikan dua aset atau
kurang akan memengaruhi peluang untuk mendapatkan
Jamkesmas 1,49 kali. Sementara itu, status layanan gratis
merupakan faktor paling dominan dalam menentukan
pesertaan Jamkesmas. Mereka yang mendapatkan
layanan gratis memiliki peluang 5,58 kali untuk mendapatkan program Jamkesmas. Sementara mereka dengan
luas lantai rumah per orang kurang dari delapan meter
persegi akan memiliki peluang 1,12 kali untuk mendapatkan pesertaan Jamkesmas.
Pembahasan
Penduduk Indonesia yang berhak ikut dalam program
Jamkesmas adalah masyarakat miskin, tidak mampu, gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar,
masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas, dan semua peserta Program Keluarga Harapan (PKH) yang
telah memiliki atau belum memiliki kartu Jamkesmas.
Bahkan pada tahun 2010 dan tahun 2011, cakupan peserta diperluas dengan dimasukkannya penghuni panti
sosial, penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahanan negara, korban bencana, ibu hamil yang tidak
memiliki jaminan kesehatan serta penderita penyakit talasemia. Sejak tahun 2007 - 2012, Kemenkes telah memberikan kuota peserta sebesar 76,4 juta jiwa.13-16
Masfiah et al, 17 menyebutkan bahwa penduduk
Indonesia yang memiliki jaminan kesehatan pada tahun
2007 hanya 40,32% dan yang tercakup oleh Jamkesmas
sejumlah 39,47%. Kemudian, pada tahun 2010, pemerintah melalui Kemenkes melaporkan bahwa terdapat
peningkatan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan
sebesar 60,24%.18 Berbanding terbalik dengan laporan
The World Bank yang menyatakan bahwa masih terdapat
60% penduduk Indonesia yang belum memiliki jaminan
kesehatan, termasuk mereka yang bekerja di sektor informal.19
Faktanya, masih terdapat perbedaan proporsi antara
mereka yang miskin, hampir miskin, dan tidak miskin
dalam mendapatkan pesertaan Jamkesmas. Dengan kata
lain, terjadi ketidaktepatan sasaran peserta program
Jamkesmas. Ketidaktepatan sasaran tersebut ditandai
dengan adanya pihak yang tidak berhak menjadi peserta,
namun mendapatkan program Jamkesmas atau belum
365
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
seluruh penduduk miskin dan hampir miskin dapat tercatat dalam daftar target Jamkesmas. Idris,20 juga menemukan adanya ketidaktepatan sasaran, sebanyak 23,39%
orang yang berobat ke fasilitas kesehatan sebagai peserta Jamkesmas berasal dari golongan ekonomi menengah
ke atas. Selain itu, adanya tumpang tindih keuntungan
dari program serupa yang dikelola oleh pemerintah daerah, atau Jamkesda, yang disebabkan ketidakpercayaan
terhadap data kemiskinan nasional dan perbedaan
cakupan peserta.1
Ketidaktepatan sasaran program Jamkesmas juga sejalan dengan penemuan Indonesia Corruption Watch
(ICW) di awal tahun 2009 yang menemukan bahwa terdapat enam permasalahan dalam program Jamkesmas.
Keenam permasalahan tersebut adalah data peserta yang
belum akurat, sosialisasi yang belum optimal, adanya
pungutan untuk mendapatkan kartu, adanya peserta
yang tidak menggunakan kartu ketika berobat, adanya
pasien Jamkesmas yang tetap mengeluarkan biaya, dan
masih buruknya kualitas pelayanan pasien Jamkesmas.
Dua dari enam permasalahan Jamkesmas tersebut dapat
menyebabkan ketidaktepatan sasaran program, yaitu permasalahan data yang tidak akurat serta pungutan liar untuk mendapatkan kartu peserta Jamkesmas.20
Selain itu, permasalahan penentuan kriteria miskin
oleh pihak daerah, khususnya pihak pemerintah desa
merasa kesulitan dalam menentukan pesertaan
berdasarkan banyak kriteria yang ada. Menurut mereka,
kriteria miskin yang ada tersebut sangat sulit dijadikan
pedoman dalam menentukan warga yang berhak mendapatkan Jamkesmas. Hal ini dikarenakan cukup banyak
warga yang terlihat mampu, namun sebenarnya sangat
membutuhkan bantuan kesehatan, atau Jamkesmas,
seperti warga yang memiliki penyakit kronis. Selain itu,
dalam penelitian Antono,21 di Kecamatan Kembaran,
Kabupaten Banyumas, juga ditemukan beberapa
perangkat desa yang mengusulkan diri mereka sendiri
untuk mendapatkan Jamkesmas. Sama halnya kejadian di
Kabupaten Bantul, pemilihan peserta Jamkesmas
berdasarkan kedekatan personal dengan aparatur desa
dikarenakan petugas tidak turun ke lapangan untuk mendata, melainkan menanyai perangkat desa.22 Hal ini jelas
akan menyebabkan ketidaktepatan sasaran program.
Selama ini, basis data peserta Jamkesmas tingkat nasional dari tahun 2008 sampai 2011 masih mengacu pada data makro BPS tahun 2005 dan pada tingkat daerah
ditetapkan menurut nama dan alamat oleh surat keputusan walikota/bupati. Dengan demikian, data yang digunakan mengalami perubahan di lapangan, seperti
banyaknya kelahiran baru, kematian, perpindahan tempat tinggal, perubahan tingkat sosial ekonomi, dan masih
terdapat penyalahgunaan surat rekomendasi dari institusi yang berwenang, penyalahgunaan kartu oleh yang
tidak berhak, dan masih adanya peserta yang masih sulit
366
mendapatkan surat keabsahan peserta bagi bayi baru
lahir dari peserta Jamkesmas. Hal ini disebabkan masih
belum adanya persamaan persepsi antara verifikator
(Kementerian Sosial) dengan petugas di lapangan dan
fasilitas kesehatan serta hanya sebagian kecil daerah yang
memberikan umpan balik dalam hal pelaporan.13-16
Adanya perbedaan kriteria penduduk miskin di masing-masing daerah yang dapat memicu subjektivitas
dalam penetapan sasaran, misalnya di daerah Kabupaten
Bantul penentuan kriteria warga miskin berdasarkan
Peraturan Bupati No. 27A/2007, sedangkan di daerah
Sumenep penentuan kriteria miskin berasal dari data
BPS pusat.1,22,23 The World Bank dalam laporannya
menyebutkan bahwa jumlah penerima Jamkesmas selalu
lebih besar dari jumlah warga miskin. Hal ini disebabkan
karena sistem alokasi yang ada, serta tidak diperbaharuinya data penduduk miskin secara berkala.19
Hal senada juga ditemukan dalam penelitian
Budiarto,24 bahwa masih terdapat peserta Jamkesmas
yang bukan berasal dari penduduk miskin. Sebagian keuntungan dari jaminan kesehatan yang seharusnya untuk
penduduk miskin, namun dinikmati oleh penduduk
menengah ke atas. Ketidaktepatan sasaran ini dapat
mengakibatkan kesenjangan sosial yang semakin tinggi.
Pada saat kondisi penduduk hampir miskin, kemudian
sakit dan tidak mendapatkan haknya sebagai peserta
Jamkesmas, maka penduduk hampir miskin tersebut dengan terpaksa harus mengeluarkan sejumlah uang untuk
membayar tagihan berobat yang dapat menyebabkan
penduduk tersebut menjadi jatuh miskin. Padahal program Jamkesmas ditujukan khusus bagi rumah tangga
sangat miskin, miskin, dan hampir miskin untuk mencapai akses pelayanan kesehatan dan untuk menurunkan
biaya pengobatan yang dikeluarkan secara mandiri (out
of pocket).25
Di sisi lain, meskipun terdapat peningkatan anggaran
pemerintah pusat dari tahun 2007 hingga tahun 2012
untuk membiayai program Jamkesmas, namun akan
menimbulkan ketidakefisienan karena kebocoran
anggaran untuk membiayai yang bukan sasaran peserta
Jamkesmas.16 Secara tidak langsung, ketidaktepatan target program Jamkesmas akan berdampak pada alokasi
dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dana yang digunakan untuk membiayai program
Jamkesda pada umumnya berasal dari APBD yang
berfungsi untuk menjamin peserta daerah yang tidak tercakup Jamkesmas.26 Jika masalah pesertaan tidak segera
ditanggulangi, maka akan berdampak bagi keberlanjutan
program jaminan kesehatan berikutnya dan menjadi
hambatan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) atau memberlakukan kebijakan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) 2014. Penerima
bantuan iuran (PBI) dalam program JKN merupakan
fakir miskin dan orang tidak mampu sehingga basis data
Lutfiah, Setiawan, Lucia, Ketidaktepatan Sasaran Jamkesmas Berdasarkan Kriteria Miskin
yang digunakan adalah basis data peserta Jamkesmas
yang telah diperbarui. 6,13,22
Implementasi kebijakan yang efektif sangat ditentukan oleh komunikasi antara para pelaksanaan kebijakan secara akurat dan konsisten. Selain itu, koordinasi
merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi
kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara
pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan,
maka kesalahan akan semakin kecil. Program Jamkesmas
sendiri merupakan kerja sama dari pelbagai pihak, antara
lain pihak kecamatan/kelurahan selaku penyelenggara
administrasi, pihak dinas kesehatan selaku penanggung
biaya, dan pihak rumah sakit/puskesmas selaku penyedia
layanan kesehatan. Artinya, program tersebut akan berjalan dengan maksimal jika pihak-pihak terkait saling
berkoordinasi dengan baik.27
Penduduk yang mendapat layanan gratis berpeluang
lebih besar untuk mendapatkan Jamkesmas. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnata,28
bahwa pada tahun 2013 didapatkan masyarakat kurang
mampu dan tidak mampu yang datang ke layanan kesehatan tetapi belum masuk ke dalam basis data penerima
Jamkesmas, maka akan dilakukan upaya tindak lanjut
berupa pendataan untuk selanjutnya akan diberikan
surat keterangan atau surat rekomendasi untuk dapat
mendapatkan layanan kesehatan secara gratis.28 Layanan
gratis dapat diartikan mendapatkan layanan kesehatan
gratis yang berasal dari program pemerintah lainnya,
misalnya layanan kesehatan gratis daerah, pelayanan
Keluarga Berencana gratis, atau Program Keluarga
Harapan.6 Sebelumnya, peserta yang telah memiliki
jaminan kesehatan yang lain ternyata turut serta dalam
daftar peserta Jamkesmas. Keadaan ini dapat memicu keuntungan ganda yang tentu saja hal ini tidak sesuai dengan tujuan awal dari program Jamkesmas yang sasarannya merupakan penduduk yang tidak memiliki jaminan
kesehatan atau yang tidak mampu mengakses layanan kesehatan.29,30
Hasil tinjauan kriteria pesertaan Jamkesmas, sebenarnya kriteria pertama dan kedua dari 13 kriteria cocok
untuk menjadi kriteria konsekuensi atau dampak ungkit
setelah menjadi peserta Jamkesmas. Kriteria yang masih
relevan dan akurat dalam menetapkan mereka miskin
dan mendapatkan kepesertaan Jamkesmas adalah kriteria
sisanya. Kriteria pesertaan Jamkesmas seharusnya merupakan nilai kumulatif dari 11 kriteria sisa, tidak diperkenankan parsial per kriteria sehingga tepat sasaran. Hasil
ke salah sasaran dikarenakan kriteria diberlakukan secara parsial.
patkan Jamkesmas tidak sepenuhnya penduduk miskin.
Dengan kata lain, Jamkesmas masih belum tepat sasaran
serta kriteria konsekuensi atau dampak Jamkesmas,
seperti hak mendapatkan beras murah dan layanan gratis
sebaiknya tidak dimasukkan sebagai kriteria pesertaan
Jamkesmas.
Saran
Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi dan tepat sasaran program
Jamkesmas adalah menghindari salah sasaran, antara lain
dengan sistem alokasi dan basis data penduduk miskin
harus valid dan pengecekan ulang sangat diperlukan,
penyesuaian data antara Kemenkes dan dinas kesehatan
daerah dalam penanganan peserta yang belum terdata sebagai peserta, memperbarui basis data peserta
Jamkesmas yang dilakukan secara berkala untuk meminimalkan adanya ketidaktepatan sasaran, misalnya terdapat peserta yang telah meninggal dunia, pindah, atau
status ekonominya telah meningkat serta melakukan
pengawasan dan evaluasi program pada saat menetapkan peserta dan pembagian kartu peserta yang penting
sebagai upaya mengawal dan mengevaluasi program
Jamkesmas agar dapat dijadikan pembelajaran ke depan,
terutama untuk program jaminan kesehatan lainnya.
Daftar Pustaka
1. IBP Indonesia Core Team. Jamkesmas dan program jaminan kesehatan
daerah: laporan pengkajian di 8 kabupaten/kota dan 2 provinsi tahun
2012. Bandung: BP Indonesia Core Team; 2012.
2. Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada [ Internet]. Yogyakarta:
masih ada 20 juta orang miskin yang terabaikan Jamkesmas. 2012 [diakses tanggal 11 Januari 2015]. Diunduh dalam: http://www.kpmakugm.org/news/bpjs-update/123-masih-ada-20-juta-orang-miskin-yangterabaikan-jamkesmas.html.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. Data base terpadu sasaran jamkesmas dari TNP2K; 2012 [diakses tanggal 11 Januari
2015]. Diunduh dalam: http://www.depkes.go.id/article/print/1930/data-base-terpadu-sasaran-jamkesmas-dari-tnp2k.html.
4. Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia
[ Internet]. Layanan jamkesmas mencakup gelandangan; 2010 [diakses
tanggal 5 Januari 2015. Diunduh dalam:
http://www.ppjk.depkes
.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=244:layananjamkesmas-mencakup-gelandangan&catid=55:beritapusat&Itemid
=101.
5. Badan Pusat Statistik dan Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Analisis data kemiskinan berdasarkan data pendataan program perlindungan sosial (PPLS) tahun 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik dan
Kementerian Sosial Republik Indonesia; 2012.
Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian
ini antara lain penduduk miskin belum secara keseluruhan dijangkau Jamkesmas. Penduduk yang menda-
6. Prana MM. Kualitas pelayanan kesehatan penerima jamkesmas di RSUD
Ibnu Sina Gresik. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik. 2013; 1 (1):
173-85.
7. Simmonds A, Hort K. Institutional analysis of Indonesia’s proposed road
367
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
map to universal health coverage. Nossal Institute of Global Health,
AusAID(Australia): University of Melbourne; 2013.
sal-health-care-in-indonesia.
8. The World Bank. Indonesia helath sector review: does jamkesmas pro-
20. Idris H. The impact of subsidised social health insurance for the poor on
the health care utilization. Proceeding 2nd Indonesian Health Economics
tect the population from health expenditure shocks? Washington DC
Association (InaHEA) Congress 2014 & 2015. Jakarta, 7 April 2015.
(Amerika): the World Bank; 2011.
Jakarta: CHEPS; 2015
9. Asra A. Poverty and inequality in Indonesia: estimates, decomposition,
21. Antono A. Orientasi pelayanan publik melalui pendekatan new public
and key issues. Journal of Asia pacific Economy. 2000; 5 (1/2): 91-111.
service untuk mengatasi problem kesehatan pada program Jamkesmas di
10. Badan Pusat Statistik. Profil dan analisis kemiskinan nasional 2013.
Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas. Jurnal Pembangunan
Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2013.
Pedesaan. 2011: 11 (1): 7-16.
11. Badan Pusat Statistik [Internet]. Jakarta: berita resmi statistik No.47/IX;
22. Adhiyana M. Implementasi program Jaminan Kesehatan Masyarakat
2006 [diakses tanggal 1 Februari 2015]. Diunduh dalam:
(Jamkesmas) di Kabupaten Bantul. Natapraja-Jurnal Kajian Ilmu
http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01sep06.pdf.
Administrasi Negara. 2013; 1 (1): 1-17.
12. Badan Pusat Statistik. Jakarta: sampling procedure. 2013 [diakses tang-
23. Ulfiah U, Khoiriah S, Fuadi K, Maulana M, Muslih F, Adji HW, et al.
gal November 2014]. Diunduh dalam: http://catalog.ihsn.org/
Audit sosial: studi kepesertaan Jamkesmas dan Jamkesda. Mundiharno,
index.php/catalog/3030/sampling.
ed. Cetakan ke-1. Jakarta: PP Lakpesdam Nu; 2013.
13. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman jaminan kese-
24. Budiarto W, Ristini. Komparasi implementasi program jamkesmas dan
hatan masyarakat (Jamkesmas). Jakarta: Kementerian Kesehatan
jamkesda di tiga kab/kota di jawa timur. Buletin Penelitian Sistem
Republik Indonesia; 2008.
Kesehatan. 2013; 16 (2): 194-202
14. Juliastutik. Model pelayanan kesehatan masyarakat miskin perkotaan
25. Aji B, Allegri M, Souares A, Saueborn R. The Impact of health insurance
berbasis altruis di kota malang. Jurnal Kualitatif Humanity. 2011; 7 (1):
programs on out-of-pocket expenditures in Indonesia: an increase or a
28-43.
decrease? International Journal of Environmental Research and Public
15. Prianto B, Supriyono B, Soeaidy MS, Saleh C. Decentralization in the
Health. 2013 Jul; 10 (7): 2995–3013.
provision of health care services: study on the provinsion of regional
26. Sunarto. Sistem pembiayaan dan skema jaminan kesehatan daerah Kota
health insurance (Jamkesda) in malang regency east java province.
Yogyakarta. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011; 5
Journal Public Policy and Administration Research. 2014; 4 (10): 57-71.
(6): 275-82.
16. Sedjati HW. Community health policy guarantee implementation banyu-
27. Dewi FEP. Implementasi peraturan menteri kesehatan republik indone-
mas regency central java province of indonesia. Journal of Basic and
sia nomor 40 tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan jaminan kese-
Applied Scientific Research. 2013: 3 (12): 218-24.
hatan masyarakat di UPT puskesmas perawatan tanjung palas kabupat-
17. Masfiah S. Health insurance coverage and benefit across different income population:experience of health insurance scheme before universal coverage program in Indonesia. Proceeding 1st and 2st Indonesian
Health Economics Association (InaHEA) 2014. Congress 2014 & 2015.
Hotel Intercontinental. Jakarta, 7 April 2015. Jakarta: CHEPS; 2015.
18. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Analisis data laporan
Jamkesmas 2010. Buletin Jendela Data dan Informasi. 2011; 4: 1-31.
en bulungan. Journal Administrasi Negara. 2013; 1 (2): 816-30.
28. Purnata EA. Faktor-faktor yang mempengaruhi program jaminan kesehatan masyarakat di kelurahan Sungai Jawi Dalam. Jurnal Ilmu
Administrasi Negara. 2013: 2 (2).
29. Utomo B, Sucahya PK, Utami FR. Priorities and realities: addresing the
rich poor gaps in health status and service access in Indonesia.
International Journal for Equity in Health. 2011; 10: 47.
19. The World Bank [home page on the Internet]. Key Lessons Learned
30. Lestari TP. Implementasi program asuransi masyarakat miskin di Nusa
from Jamkesmas to Achieve Universal Health Care in Indonesia. 2014 [
Tenggara Timur. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2009;
cited 2015 January 10]. Available from http://www.worldbank.org/
3 (6): 1-6.
en/news/feature/2014/01/30/improving-jamkesmas-to-achieve-univer-
368
Efektivitas Ovitrap Bambu terhadap Jumlah Jentik Aedes
sp yang Terperangkap
Effectivity of Bamboo Ovitrap to The Number of Trapped Aedes sp Larvae
W!"#$
Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Aceh
Abstrak
Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Banda Aceh. Banda Aceh merupakan daerah endemik DBD
dengan meningkatnya angka kejadian dan case fatality rate setiap tahun.
Insiden tertinggi DBD berada di Kecamatan Baiturrahman dengan angka
kejadian 120 per 100.000 penduduk dan tertinggi kedua adalah Kecamatan
Jaya Baru dengan angka kejadian 84 per 100.000 penduduk. Keberadaan
larva Aedes sp di masyarakat merupakan salah satu indikator populasi nyamuk Aedes aegypti di daerah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui jumlah jentik nyamuk Aedes sp yang terperangkap pada
masing-masing wadah ovitrap (tempurung kelapa, gelas plastik, dan potongan bambu) serta tingkat kepadatan jentik nyamuk Aedes sp sebelum
dan setelah pemasangan wadah ovitrap. Jenis penelitian adalah explanatory study dengan desain eksperimental quasi. Teknik pengambilan sampel
adalah proportional sampling. Populasi unit penelitian adalah 30 rumah.
Ovitrap diletakkan merata pada 30 titik lokasi dari 10 kelurahan secara
acak. Data jumlah jentik nyamuk Aedes yang terperangkap diambil empat
kali secara berulang dengan selang waktu satu minggu. Analisis dengan
rerata jumlah jentik di dalam ovitrap dan indeks ovitrap. Hasil jumlah jentik
Aedes aegypti yang terperangkap sebanyak 1.265. Ovitrap yang paling
efektif, yaitu potongan bambu rerata = 123, nilai p = 0,006, HI = 10,01%
(16,66 – 26,67%), CI = 36,8% (336,06 – 39,74%), BI = 29,97% (73,33 103,3%). Otoritas kesehatan harus mempromosikan ovitrap bambu kepada masyarakat sebagai upaya pengendalian Aedes sp.
Kata kunci: Demam berdarah dengue, jentik Aedes sp, ovitrap bambu
Abstract
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a public health problem in Banda Aceh.
Banda Aceh is a DHF endemic city by increasing incidence rate (IR) and
case fatality rate every year. The highest DHF incidence was in
Baiturrahman District (IR = 120 per 100,000 people) and Jaya Baru District
(IR = 84 per 100,000 people). Aedes sp larvae existence among people is
one of Aedes aegypti population indicators in such region. This study aimed
to find out numbers of Aedes sp trapped in each ovitrap (coconut shell, plastic cup, and piece of bamboo) and Aedes sp density level before and after
ovitrap installation. This study was explanatory study using quasi-experimental design. The sampling technique was proportional sampling.
Population of study was 30 houses. Ovitraps were randomly located in 30
places of 10 subdistricts. Data of trapped Aedes sp larvae numbers was collected four times repeatedly within one week time-lapse. Analysis was conducted using the mean number of larvae in ovitraps and ovitrap index. The
number of Aedes sp larvae trapped was 1,265. The most effective ovitrap
is piece of bamboo, mean = 123, p value = 0.006, HI = 10.01% (16.66 26.67%), CI = 36.8% (336.06 - 39.74%), BI = 29.97% (73.33 - 103.3%).
Health authorities should promote bamboo ovitrap, especially to public as
an act to control Aedes sp.
Keywords: Dengue hemorrhagic fever, Aedes sp larvae, bamboo ovitrap
Pendahuluan
Di Indonesia, sejak Januari - Oktober 2009 demam
berdarah dengue (DBD) telah menelan 1.013 korban jiwa dari total penderita sebanyak 121.423 orang dengan
case fatality rate (CFR) = 0,83. Jumlah ini meningkat
dibandingkan dengan periode tahun 2008, CFR sebesar
0,81. Dari kasus yang dilaporkan selama tahun 2009,
tercatat 10 provinsi yang menunjukkan kasus terbanyak,
salah satunya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.1
Jumlah kasus DBD di Kota Banda Aceh sejak tahun 2009
adalah 313 orang (CFR = 1,2%), tahun 2011 berjumlah
382 orang (CFR = 0,04%), dan tahun 2010 meningkat
Korespondensi: Wiwit Aditama, Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Aceh, Jl. Soekarno-Hatta Kampus Terpadu
Aceh Besar 23352, No.Telp: 0651-46123, email:[email protected]
369
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
menjadi 759 orang. Keberadaan jentik Aedes aegypti suatu daerah merupakan indikator terdapatnya populasi
nyamuk Aedes aegypti di daerah tersebut. Penanggulangan penyakit DBD mengalami masalah yang cukup
kompleks karena penyakit ini belum ditemukan obatnya.
Akan tetapi, cara paling baik untuk mencegah penyakit
ini adalah dengan pemberantasan jentik nyamuk penularnya atau dikenal dengan istilah pemberantasan sarang
nyamuk demam berdarah dengue (PSN - DBD).2
Keberadaan tempat penampungan air, baik yang berada di dalam rumah maupun di luar rumah, sangat
memungkinkan sebagai tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti. Pada penelitian terdahulu, diperoleh
hasil bahwa terdapat hubungan antara keberadaan kontainer dengan kejadian penyakit DBD. Daerah yang
memiliki keberadaan kontainer yang tinggi memiliki
risiko terjadinya kasus DBD lebih besar dibandingkan
dengan daerah yang keberadaan kontainer rendah.3
Penanggulangan nyamuk dengan pemberantasan terhadap jentik dengan implementasi program menutup,
menguras, menimbun (3M Plus). Plus yang dimaksud
adalah menaburkan abate ataupun sumilarv (bahan
penghambat pertumbuhan larva), memelihara ikan pemakan jentik, memakai repelen (misalnya losion anti nyamuk), juga terdapat perangkap telur nyamuk (ovitrap)
yang ditempatkan di dalam dan di luar rumah.4
Salah satu metode pengendalian Aedes tanpa insektisida yang berhasil menurunkan densitas vektor di beberapa negara adalah penggunaan ovitrap. Alat ini
dikembangkan pertama kali oleh Fay dan Eliason pada
tahun 1966, kemudian digunakan oleh Central for
Diseases Control and Prevention (CDC) dalam surveilans Aedes aegypti.5 Ovitrap standar berupa tabung
gelas plastik (350 mililiter), tinggi 91 milimeter dan diameter 75 milimeter dicat hitam bagian luarnya, diisi air
tiga per empat bagian dan diberi lapisan kertas, bilah
kayu, atau bambu sebagai tempat bertelur, serta menggunakan atraktan air rendaman jerami 10% dan membuktikan jumlah telur terperangkap delapan kali lipat
dibanding ovitrap standar.6 Indeks ovitrap tempurung
kelapa mencapai 57%, atau 1,8 kali lebih banyak
dibandingkan dengan indeks ovitrap gelas kaca (32%).7
Akan tetapi, belum terdapat penelitian yang membandingan antara tiga wadah berbeda dalam menangkap
jentik nyamuk Aedes aegypti, khususnya di Kota Banda
Aceh. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jumlah
jentik nyamuk Aedes sp yang terperangkap pada masingmasing wadah ovitrap (tempurung kelapa, gelas plastik,
dan potongan bambu), juga untuk mengetahui perbedaan kepadatan jentik nyamuk Aedes sp sebelum dan
setelah pemasangan wadah ovitrap.
Metode
Jenis penelitian adalah penelitian explanatory dengan
370
menggunakan metode desain eksperimental quasi.
Penelitian dilakukan pada bulan November 2013 bertempat di Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh.
Teknik pengambilan sampel adalah proportional sampling. Unit penelitian adalah sekelompok rumah/bangunan Desa Ateuk Pahlawan yang berada di kawasan
Kecamatan Baiturrahman sejumlah 30 rumah dan bangunan rumah di dua lingkungan (unit perlakuan dan sebagai kontrol) berjarak > 50 meter. Hal ini dengan ketentuan dari 103 rumah, hanya 30 rumah yang layak dengan dasar atau alasan bukan ruko yang di pinggir jalan
raya, rumah yang terdapat halaman, hitungan lingkungan
bukan rumah yang berbentuk perumahan kopel yang
bersambung-sambung. Lokasi ini ditentukan dengan kriteria di antaranya salah satu wilayah kecamatan endemis
tinggi DBD sebagai bukti adanya aktivitas nyamuk Aedes
dan karakteristik wilayah (keadaan pemukiman, vegetasi,
dan topografi) yang setara. Subjek penelitian adalah jentik nyamuk Aedes (Aedes aegypti dan Aedes albopictus)
di lokasi penelitian. Populasi subjek tidak dapat diketahui
kepadatan atau densitasnya secara pasti. Variabel penelitian adalah wadah ovitrap (tempurung kelapa, gelas plastik, dan potongan bambu) untuk mengetahui perbedaan
kepadatan jentik nyamuk Aedes sp sebelum dan setelah
pemasangan wadah ovitrap.
Pengumpulan data indeks Aedes yang terperangkap
diambil empat kali ulangan dengan selang waktu satu
minggu. Data lain yang dikumpulkan secara kualitatif
adalah adalah gambaran lokasi penelitian yang mencakup
kerapatan rumah, jarak antar rumah, dan sistem penyediaan air bersih. Data ini diamati secara umum sebagai
informasi tambahan.
Ovitrap dibuat dari tempurung kelapa, bambu, dan
gelas plastik, lalu bagian tengahnya dibuang sehingga
membentuk cincin dengan tebal satu centimeter dan
diberi kain kasa nilon dipotong membentuk lingkaran
seluas lingkaran gabus. Cincin gabus diletakkan tepat
ditengah lingkaran kain kasa, lalu dibalik dan bagian
atasnya direkatkan sebuah cincin gabus lain.
Pengukuran indeks Aedes ditempatkan enam pasang
ovitrap dengan wadah berbeda, dan menghitung jentik
pada ovitrap tiap minggu selama dua kali seminggu
dalam satu bulan. Sebelum dan setelah pemasangan ovitrap, dihitung jentik pada tempat-tempat perindukan nyamuk Aedes di lingkungan rumah. Untuk mengevaluasi
banyaknya jentik di wilayah penelitian, dihitung rerata
jumlah jentik di dalam ovitrap (jumlah total jentik di ovitrap dibagi jumlah total ovitrap) dan ovitrap indeks (jumlah ovitrap positif dibagi jumlah total ovitrap dikali
100%). Data jumlah nyamuk Aedes yang terperangkap
dan densitas vektor dari hasil pengukuran indeks Aedes
dianalisis secara deskriptif dan analitik dengan menggunakan uji anova. Jumlah jentik nyamuk Aedes yang terperangkap dideskripsikan berdasarkan jenis wadah dan
Aditama & Zulfikar, Efektifitas Ovitrap Bambu terhadap Jumlah Jentik Aedes sp yang Terperangkap
letak. Indeks-indeks Aedes dideskripsikan berdasarkan
kelompok perlakukan dan waktu pengamatan, penghitungan penurunan indeks, lalu dibandingkan dengan
kategori nilai patokan perhitungan house index (HI),
breteau index (BI) dan container index (CI).
Hasil
Penggunaan tiga wadah ovitrap yang berbeda, yaitu
tempurung kelapa, gelas plastik, dan potongan bambu,
jumlah jentik nyamuk Aedes yang terperangkap di dalam
ovitrap disajikan pada Tabel 1. Jentik nyamuk Aedes aegypti yang terperangkap pada minggu I dengan jenis
wadah potongan bambu sebanyak 141 jentik, dan tidak
secara merata jumlah yang terperangkap dengan jumlah
terendah sebanyak 55 jentik pada wadah gelas plastik.
Hasil perhitungan indeks ovitrap pada setiap wadah
menunjukkan pada ovitrap dari potongan bambu memiliki indeks ovitrap terbanyak, yaitu 78,33% di minggu
pertama dan berdistribusi tidak merata dengan ovitrap
indeks terendah pada gelas plastik sebanyak 30,56%
(Tabel 2). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji
Anova pada Tabel 3 menunjukkan perbedaan rata-rata
jumlah jentik yang terperangkap pada tempurung kelapa,
yaitu 114,0, gelas plastik 73,75 dan tertinggi pada potongan bambu yaitu 123,0. Dari hasil uji Anova, diperoleh nilai p = 0,006, (nilai p < 0,05) sehingga terdapat
perbedaan jenis ovitrap terhadap jumlah jentik nyamuk
Aedes aegypti yang terperangkap.
Gambaran lebih jelas perbedaan rerata pada Tabel 4
dimana rerata nyamuk Aedes aegypti yang terperangkap
dalam ovitrap yang berbeda secara bermakna pada ovitrap tempurung kelapa dan gelas plastik dengan nilai p =
0,02 95% CI tidak mencakup angka nol jika dibandingkan dengan gelas plastik. Terdapat perbedaan yang
bermakna pada wadah tempurung kelapa dan potongan
bambu, juga pada rerata potongan bambu dan gelas plastik dengan nilai p = 0,009, 95% CI tidak mencakup
angka nol dan CI lebih tinggi (13,50 – 84,91), sedangkan
yang lain tidak bermakna.
Pemeriksaan jentik nyamuk Aedes aegypti dilakukan
secara visual pada kontainer, baik yang berada di dalam
rumah maupun di luar rumah. Dari Tabel 5 terdapat
perbedaan jumlah kontainer sebelum dan setelah pemasangan ovitrap dari 78 menjadi 61 karena setelah pemasangan terdapat 17 kontainer yang telah hilang atau
dipindahkan oleh pemiliknya. Dari 30 rumah yang
diperiksa, rumah positif jentik nyamuk Aedes aegypti sebanyak delapan dan rumah yang tidak ditemukan jentik
sebanyak 22. Sedangkan, jumlah jentik menurut keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti setelah perlakuan
rumah positif jentik nyamuk Aedes aegypti adalah lima
dan rumah yang tidak ditemukan jentik sebanyak 25.
Tabel 1. Jumlah Jentik Nyamuk Aedes aegypti Terperangkap Berdasarkan Jenis Wadah Ovitrap
Waktu
Jenis ovitrap
Minggu I
Tempurung kelapa
Gelas plastik
Potongan bambu
Tempurung kelapa
Gelas palstik
Potongan bambu
Tempurung kelapa
Gelas palstik
Potongan bambu
Tempurung kelapa
Gelas palstik
Potongan bambu
Minggu II
Minggu III
Minggu IV
Minimal
Maksimal
Rata-rata
Jumlah Jentik
21
15
32
21
15
24
25
11
27
22
16
17
37
31
41
33
27
42
32
16
44
43
17
24
29,50
24,00
35,25
29,25
19,50
33,00
27,50
13,75
32,75
33,25
16,50
22,00
118
96
141
117
78
132
110
55
131
133
66
88
Tabel 2. Indeks Ovitrap Jentik Nyamuk Aedes aegypti Terperangkap Berdasarkan Jenis
Wadah Ovitrap
Waktu
Minggu
Minggu
Minggu
Minggu
Tempurung kelapa (%)
I
II
III
IV
65,56
65,00
61,11
73,89
Gelas plastik (%)
Potongan bambu (%)
53,33
43,33
30,56
36,67
78,33
73,33
72,78
48,89
Tabel 3. Analisis Jentik Nyamuk Aedes yang Terperangkap di Ovitrap Berdasarkan
Perbedaan Jenis Wadah
Kategori
Mean
SD
Tempurung kelapa
Gelas plastik
Potongan bambu
114,0
73,75
123,0
3,69
17,55
23,76
95% CI
Nilai p
108,61 - 120,38
45,81 - 101,68
85,19 - 160,81
0,006
371
: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Tabel 4. Perbedaan Rerata Jentik Nyamuk Aedes yang Terperangkap di Ovitrap Berdasarkan Perbedaan Jenis Wadah
Jenis Wadah Ovitrap (I)
Jenis Wadah Ovitrap (J)
Tempurung kelapa
Gelas plastik
Potongan bambu
Tempurung kelapa
Potongan bambu
Tempurung kelapa
Gelas plastik
Gelas plastik
Potongan bambu
Perbedaan Nilai Rerata (I-J)
40,75*
-8,5
-40,75*
-49,25*
8,5
49,25*
SE
12,15
12,15
12,15
12,15
12,15
12,15
Nilai p
0,02
1,00
0,02
0,009
1,00
0,009
95% CI
5,09 - 76,41
-44,16 - 27,16
-76,41 - (-5,09)
-84,91 - (-13,59)
-27,16 - 44,16
13,50 - 84,91
*T
Tabel 5. Distribusi Jumlah Jentik Menurut Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes
aegypti Sebelum dan Setelah Pemasangan Ovitrap
Jentik
Kategori
Diperiksa
Sebelum pemasangan ovitrap
Setelah pemasangan ovitrap
Jumlah
Rumah
Kontainer
Rumah
Kontainer
30
78
30
61
Positif
Negatif
8
31
5
22
22
47
25
39
Tabel 6. Selisih Indeks Sebelum dan Setelah Pemasangan Ovitrap
Indeks
ABJ
HI
CI
BI
Sebelum
DF
Setelah
DF
Selisih
73,33
26,67
39,74
103,3
4
8
8
83,33
16,66
36,06
73,33
3
8
7
10
10,01
3,68
29,97
Selisih penurunan jentik berdasarkan indeks angka bebas
jentik (ABJ), HI, CI, dan BI terdapat pada Tabel 6.
Pada Tabel 6 selisih indeks diperoleh HI = 10,01%
dari 26,67% ke 16,66%. Untuk pemeriksaan kontainer,
diperoleh CI = 3,68% dari 39,74% ke 36,06%, BI =
29,97% dari 103,3% ke 73,33%. Density (DF)
atau kepadatan jentik Aedes aegypti yang merupakan
gabungan dari HI, CI dan BI diperoleh DF tertinggi delapan artinya kepadatan jentik Aedes kategori
sedang. Angka ABJ mengalami peningkatan dari 73,88
menjadi 83,33. Nilai ini menunjukan bahwa kepadatan
nyamuk di Kelurahan Ateuk Pahlawan termasuk kategori tinggi sehingga memiliki risiko transmisi nyamuk
yang cukup tinggi untuk terjadi penularan penyakit
DBD.
Pembahasan
Pada penelitian, tampak jumlah nyamuk Aedes ae
terperangkap banyak terjadi pada minggu keempat
karena beberapa penyebab yang mungkin, termasuk
mekanisme adaptasi nyamuk Aedes yang cepat terhadap
perubahan lingkungan. Dalam hal ini nyamuk menghadapi kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan
karena pada saat penelitian, Kota Banda Aceh sedang
dalam musim kemarau panjang. Hal ini turut berpengaruh pada terbatasnya tempat perindukan atau tempat
372
bertelur nyamuk sehingga nyamuk betina gravid berusaha mencari tempat bertelur. Pada saat diletakkan terdapat wadah yang telah diberi antrakan rendaman jerami,
maka nyamuk akan bertelur pada ovitrap tersebut karena air rendaman jerami menghasilkan CO2 dan amonia,
suatu senyawa yang terbukti memengaruhi saraf penciuman nyamuk Aedes.6,8
Pada hasil penelitian jumlah jentik Aedes yang terperangkap pada tempurung, gelas plastik dan bambu terdapat jentik nyamuk dengan jumlah yang bervariasi.
Semua wadah terdapat jentik Aedes kemungkinan dikarenakan faktor cuaca yang tidak stabil, yaitu
panas terik pada saat penelitian sehingga tidak terdapat
tempat lain untuk bertelur, atau populasi yang meningkat
sehingga secara alamiah populasi nyamuk Aedes berkurang akibat berkurangnya tempat perindukan. Penurunan curah hujan dan hari hujan mengurangi jumlah
tempat penampungan air bersih alamiah yang merupakan
proses pengendalian populasi nyamuk secara alamiah.
Peningkatan jumlah nyamuk Aedes terperangkap dapat
terjadi karena beberapa penyebab yang mungkin termasuk mekanisme adaptasi nyamuk Aedes yang cepat terhadap perubahan lingkungan. Dalam hal ini nyamuk
menghadapi kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (awal musim kemarau), yaitu terbatasnya tempat perindukan sehingga nyamuk betina gravid berusaha
mencari tempat bertelur.9 Nyamuk juga senang meletakkan telur di luar rumah karena suhu dan kelembaban
di luar rumah lebih baik dibandingkan di dalam rumah,
oleh karena itu jumlah telur yang terperangkap lebih
banyak di luar rumah.10
Jumlah jentik yang terperangkap dari wadah bambu
sebagai ovitrap lebih disenangi karena penggunaan gelas
plastik (bekas minuman mineral) berwarna terang atau
transparan, cenderung suhu tinggi karena cahaya panas
langsung memantul serta permukaan yang licin akan
menyulitkan oviposisi nyamuk, yaitu posisi yang baik untuk nyamuk dapat bertelur. Warna bening/terang ovitrap
menyebabkan sumber cahaya dari sinar lampu atau sinar
matahari memasuki dan menerangi isi ovitrap dan penghantar panas matahari, menyebabkan suhu dalam ovitrap
mendekati atau sama dengan suhu lingkungan. Gelas kaca juga tidak menyerap air dibandingkan dengan tempu-
Aditama & Zulfikar, Efektifitas Ovitrap Bambu terhadap Jumlah Jentik Aedes sp yang Terperangkap
rung kelapa sehingga berpengaruh pada kelembaban ovitrap.7,11 Daya tarik nyamuk betina dalam meletakkan
telur dipengaruhi oleh warna wadah, suhu, kelembaban,
cahaya dan kondisi lingkungan.12 Umumnya, warna yang
disukai nyamuk adalah warna gelap seperti hitam, coklat,
merah tua, dan lain sebagainya.13 Nyamuk betina meletakkan telur di atas permukaan air dan telur akan menempel pada dinding perindukan tersebut, jumlah telur
100 butir.14
Indeks ovitrap pada ovitrap dari potongan bambu
adalah 78,33%. Penggunaan bambu sebagai ovitrap paling banyak digunakan nyamuk untuk bertelur dan merupakan wadah yang paling efektif karena sifatnya yang
gelap. Ovitrap yang berwarna gelap seperti bambu dapat
memancing nyamuk agar bertelur di sana, sesuai dengan
penelitian yang menyatakan ovitrap hitam lebih baik
dibandingkan yang berwarna kontras dan bermotif sebagai pilihan bagi Aedes albopictus dalam oviposisi.15
Nyamuk dewasa akan bertelur di permukaan atas ovitrap. Kemudian, telur akan masuk ke dalam air di penampung. Larva dan pupa masih dapat hidup di ovitrap
itu, namun saat berkembang menjadi dewasa, nyamuk
tidak akan dapat keluar dari ovitrap karena terhalang
kain kasa hingga akhirnya mati. Penggunaan ovitrap
akan sangat efektif jika nyamuk tidak memiliki alternatif
lain untuk bertelur.16 Parameter indeks ovitrap lebih sensitif dibandingkan BI dalam mendeteksi keberadaan vektor. Secara umum, ovitrap merupakan metode pemantauan sederhana dan mudah karena jumlah telur yang
diletakkan di perangkap standar dalam periode waktu
tertentu akan memberikan ukuran relatif dari jumlah
nyamuk di daerah yang sama.17 Keberadaan ovitrap dapat menangkap jentik nyamuk Aedes aegypti. Beberapa
penelitian yang membuktikan bahwa tingkat keberhasilan ovitrap dalam menangkap jentik nyamuk Aedes aegypti dengan rata-rata cukup tinggi.18,19 Survei berbasis
ovitrap juga digunakan sebagai alat survei jentik dan terbukti mampu memerangkap telur nyamuk di Srilanka. 20
Penelitian di Brazil juga menunjukkan ovitrap mampu
menurunan populasi kepadatan jentik Aedes aegypti
dibandingkan dengan jentik dan pupa dalam kontainer
dan lebih banyak pada ovitrap (perbandingan 4 - 5 versus 10 - 18) dan pupa (0,3-0,7 versus 8 - 10).21 Hal ini
sesuai dengan referensi bahwa pengendalian populasi
nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan dengan
memasang autocidal ovitrap, yang dilakukan bersama
kegiatan pengendalian lain seperti 3M.
(nilai p < 0,05), dengan ovitrap yang paling efektif, yaitu
potongan bambu nilai p = 0,009 95% CI (13,50 – 84,
91), HI = 10,01%, CI = 3,68%, BI = 29,97% %. DF tertinggi adalah delapan, yaitu kepadatan sedang, dan angka
ABJ 83,33%.
Saran
Untuk melakukan pencegahan terhadap demam
berdarah, salah satunya dapat dilakukan dengan
memasang ovitrap yang diberi kain kasa dan lebih baik
terbuat dari bambu. Kepada pihak dinas kesehatan atau
puskemas hendaknya mempromosikan ovitrap kepada
masyarakat sebagai salah satu upaya pengendalian nyamuk Aedes. Institusi jurusan kesehatan lingkungan dapat
memfasilitasi dengan memberikan pengetahuan tentang
cara membuat ovitrap dan pelatihan kesehatan
lingkungan dalam mencegah DBD.
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2009.
2. Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Laporan surveilans pengendalian
penyakit demam berdarah dengue, Kota Banda Aceh. Banda Aceh:
Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh; 2011.
3. Hariyono. Peran faktor lingkungan dan perilaku terhadap kejadian demam berdarah dengue di Kota Kediri [tesis]. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada; 2008.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Surveilans Epidemiologis
Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2005.
5. World Health Organization. Pencegahan dan pengendalian dengue dan
demam berdarah dengue. Alih bahasa: Palupi Widyastuti. Editor Bahasa
Indonesia: Salmiyatun. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.
6. Polson KA, Curtis C, Seng CM, Olson JG, Chanta N, Rawlins SC. The
use of ovitrap baited with hay infusion as a surveillance tool for Ae aegypti mosquitoes in Cambodia. Dengue Bulletin. 2002; 26: 178-84.
7. Wahyuningsih NE, Mursid R, Hidayat T. Keefektifan penggunaan dua jenis ovitrap untuk pengambilan contoh telur Aedes sp di lapangan. Jurnal
Entomologi Indonesia. 2009; 6 (2): 95-102.
8. Santos SRA, Melo-Santos MAV, Regis L, Albuquerque CMR. Field evaluation of ovitrap with grass infusion and bacillus thuringiensis var israelensis to determine oviposition rate of Ae aegypti. Dengue Bulletin.
2003; 27: 156-62.
9. Budiyanto A. Studi indeks larva Nyamuk Ae aegypti dan hubungannya
dengan PSP masyarakat tentang penyakit DBD di Kota Palembang
Sumatera Selatan. 2005 [diakses tanggal 2 November 2013]. Diunduh
dalam: http//:www.balitbang.depkes.id.
10. Sjarkawi JA. Uji efektifitas penggunaan air rendaman daun kering
Kesimpulan
Jumlah jentik nyamuk Aedes sp yang terperangkap pada wadah ovitrap potongan bambu rata-rata 35,25 dengan indeks ovitrap pada ovitrap dari potongan bambu
terbanyak, yaitu 78,33%. Terdapat perbedaan jenis ovitrap dalam merangkap jentik nyamuk (nilai p = 0,006,
(Artocarpus heterophyllus, Nephelium lappaceum) dan kuning telur
(Vitellus) terhadap jumlah telur Aedes sp yang terperangkap. Jurnal
Kesehatan Lingkungan. 2011; 1 (1): 39-48.
11. Rozilawati H, Zairi J, Adanan CR. Seasonal abundance of Aedes albopictus in selected urban and suburban areas in Penang, Malaysia
Tropical Biomedicine. 2007; 24 (1): 83-94.
373
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
12. Novelani BA. Studi habitat dan perilaku menggigit nyamuk Aedes serta
18. Santoso J, Hestiningsih R, Wardani RS, Sayono. Pengaruh warna kasa
kaitannya dengan kasus demam berdarah di Kelurahan Utan Kayu Utara
penutup autocidal ovitrap terhadap jumlah jentik nyamuk Ae aegypti
Jakarta Timur [tesis]. Bogor: Institutut Pertanian Bogor; 2007.
yang terperangkap. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2007; 4
13. Hermawan. Nyamuk demam berdarah dan warna bak mandi. 2007 [di-
(2): 85 – 90.
akses tanggal 5 Agustus 20140. Diunduh dalam: http://alumni4968
19. Baak-Baak CM, Rodríguez-Ramírez AD, García-Rejón JE, Ríos-Delgado
.blogspot.com/2009/01/nyamuk-demam-berdarah-dan-warna-
S, Torres-Estrada JL. Development and laboratory evaluation of chemi-
bak.html.
cally-based baited ovitrap for the monitoring of Ae aegypti. Journal of
14. Safar R. Parasitologi kedokteran protozoologi, helmintologi, entomologi. Bandung: Yrama Widya; 2009.
Vector Ecology. 2014; 38: 175–81.
20. Surendran SN, Kajatheepan A, Karunakaran FA, Sanjeefkumar Jude PJ.
15. Hoel DF, Obenauer PJ, Clark M, Smith R, Hughes TH, Larson RT, et al.
Seasonality and insecticide susceptibility of dengue vectors an ovitrap
Efficacy of ovitrap colors and patterns for attracting Aedes albopictus at
based survey in a residential area of northern Sri Lanka. The Southeast
suburban field sites in North-Central Florida source. Journal of the
Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health. 2007; 38 (2):
American Mosquito Control Association. 2001; 27 (3): 245-51.
16. Sayono. Pengaruh modifikasi ovitrap terhadap jumlah nyamuk yang terperangkap [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2008.
17. Sunaryo, Pramestuti N. Surveilans Ae aegypti di daerah endemis demam
berdarah dengue. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
2014; 8 (8): 423-9.
374
276-82.
21. Perich MJ, Kardec A, Braga IA, Portal IF, Burge R, Zeichner BC,
Brogdon WA, Wirtz RA. Field evaluation of a lethal ovitrap against
dengue vectors in Brazil. Medical and Veterinary Entomology. 2003;
17(2): 205-10.
Artikel Penelitian
Studi Intervensi Kawasan Tanpa Rokok pada Tingkat
Rumah Tangga
Interventional Study of Non-Smoking Area at Household Level
Najmah*, Fenny Etrawati**, Yeni***, Feranita Utama*
*Departemen Epidemiologi FKM Universitas Sriwijaya, **Departeman Promosi Kesehatan FKM Universitas
Sriwijaya, ***Departemen Biostatistika FKM Universitas Sriwijaya
Abstrak
Perilaku merokok memberikan dampak negatif, baik bagi perokok aktif
maupun pasif, ditinjau dari sudut pandang kesehatan maupun ekonomi.
Regulasi mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang telah diterbitkan
belum ada yang mengatur mengenai penerapan KTR di tingkat rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan perilaku
melalui intervensi terpadu KTR pada tingkat rumah tangga. Penelitian dilakukan pada bulan Juli - September 2014 menggunakan desain cluster trial pada empat desa di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Selanjutnya,
200 sampel kepala keluarga dipilih melalui metode cluster random sampling. Intervensi yang dilakukan meliputi konseling terpadu, pemberian permen pengganti rokok, dan tabungan sehat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa proporsi responden yang merokok setiap hari dalam sebulan terakhir dan komitmen untuk tidak akan merokok di masa yang akan datang
mencapai 71,6% dan 62% pada kelompok intervensi serta 91% dan 38%
pada kelompok non-intervensi. Intervensi ini berpeluang 46% mengurangi
perilaku merokok responden (RR = 0,46) setelah dikontrol oleh variabel
pendidikan (RR = 0,152) dan sikap (RR = 0,216) dengan nilai p < 0,0001.
Intervensi terpadu ini terbukti berhasil mengubah perilaku merokok pada
kawasan rumah tangga sehingga diperlukan partisipasi masyarakat dan dinas kesehatan setempat untuk menindaklanjuti penerapan intervensi ini
dalam jangka panjang.
Kata kunci: Intervensi, kawasan tanpa rokok, perilaku, rumah tangga
Abstract
Smoking behavior has negative impacts, both for active and passive smokers, as reviewed from health and economic perspectives. Regulation concerning non-smoking area issued has not yet arranged implementation of
non-smoking area at household level. This study aimed to identify any behavior change through integrated intervention of non-smoking area at
household level. This study was conducted on July - September 2014 using cluster trial design in four villages at Ogan Ilir District, South Sumatra.
Then 200 household head samples were selected through cluster random
sampling method. The intervention included integrated counseling, distribution of candy as substitute for cigarette, and healthy saving. Results of study
showed that proportion of respondents who smoked every day in a recent
month and had a commitment not to smoke in the future reached 71.6% and
62% in the intervention group, then 91% and 38% in the non-intervention
group respectively. This intervention had 46% opportunity of reducing the
smoking behavior of respondents (RR = 0.46) after controlled by education
variable (RR = 0.152) and attitude (RR = 0.216) with p value < 0.0001. This
integrated intervention was profoundly successful changing smoking behavior at household level. So that, public participation and health agency
need to follow up the implementation of this intervention in a long term.
Keywords: Intervention, non-smoking area, behavior, household
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan
tingkat konsumsi tembakau tertinggi di dunia. Hal ini terjawab melalui pelbagai catatan statistik yang menunjukkan tingginya jumlah perokok di Indonesia. Pada
tahun 2004, diestimasikan bahwa sepertiga (34%) dari
orang Indonesia merokok. Melalui Riset Kesehatan Dasar
Indonesia tahun 2008, diketahui bahwa 23,7% penduduk usia > 10 tahun merokok setiap hari.1 Survei yang
sama pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 28,2% penduduk usia > 15 tahun merokok setiap hari. Hasil ini menunjukkan adanya kenaikan yang signifikan persentase
penduduk perokok aktif. Berdasarkan intensitasnya,
seperlima dari jumlah perokok tersebut menghisap seKorespondensi: Najmah, Departemen Epidemiologi FKM Universitas Sriwijaya,
Jl. Raya Palembang Prabumulih Gedung Dekanat Lantai 3 Ogan Ilir-Inderalaya
30662, No.Telp: 0711-580068 email: [email protected]
375
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
banyak 11 - 20 batang (satu bungkus) rokok per hari.2
Perokok aktif tidak hanya didominasi oleh orang dewasa,
persentase perokok pada remaja usia 13 - 15 tahun sebesar 12% dengan perbandingan perokok pada remaja putri dan remaja putra adalah 1 : 12.3 Lembaga statistik
Indonesia pada periode 2001 - 2004 mencatat adanya
lonjakan pada perokok pemula pada usia di bawah 10
tahun dari 0,4% naik menjadi 2,8%.4 Hasil pencatatan
tahun 2012 menunjukkan distribusi perilaku merokok
masih tinggi dengan distribusi yang hampir sama berkisar 60% - 80%, baik pada penduduk di perkotaan
maupun di pedesaan. Ironisnya, masyarakat dengan
tingkat kekayaan pada kuintil terbawah yang paling
banyak merokok.5
Pelbagai penyakit yang dapat dipicu melalui perilaku
merokok antara lain infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia, dan tuberkulosis. Prevalensi nasional
penyakit tersebut secara berturut adalah 8,10, 0,63, dan
0,40. Jika dibandingkan dengan angka tersebut, Provinsi
Sumatera Selatan memiliki prevalensi ISPA dan pneumonia di atas rata-rata nasional, yakni 10,08 dan 0,75.
Sedangkan prevalensi tuberkulosis 0,15 lebih rendah
dibandingkan dengan rerata kejadiannya di Indonesia.6
Ogan Ilir merupakan salah satu kabupaten di Sumatera
Selatan dengan jumlah penduduk mencapai 400.000 jiwa. Hasil pencatatan kesehatan di Ogan Ilir menunjukkan bahwa ISPA merupakan penyakit dengan temuan
kasus terbanyak, yakni 32.991. Sedangkan penderita tuberkulosis dengan pemeriksaan Basil Tahan Asam Positif
(BTA+) sebanyak 343 kasus.7
Perilaku merokok tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan kesehatan perokok aktif, tetapi juga terbukti memengaruhi status kesehatan perokok pasif. Pada
tahun 2011, The Tobacco Atlas,8 mencatat bahwa setidaknya 600.000 perokok pasif meninggal dunia dan 75%
di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Dalam
rangka mengurangi besaran dampak akibat perilaku
merokok, diperlukan suatu upaya inisiasi kawasan tanpa
asap rokok tingkat rumah tangga di Ogan Ilir. Komposisi
penduduk di daerah ini, yakni 29,3% merupakan pelajar
atau mahasiswa, diyakini rentan terhadap pengaruh perilaku merokok, baik aktif maupun pasif. Penerapan secara
komprehensif model intervensi yang diadopsi dari
Centers for Disease Controland Prevention (CDC) diharapkan dapat mengurangi dampak perilaku merokok
di tingkat rumah tangga. Penelitian ini secara umum
bertujuan untuk menguji efektivitas intervensi Kawasan
Tanpa Rokok (KTR) pada tingkat rumah tangga di Ogan
Ilir yang diadopsi dari CDC.
Metode
Penelitian ini merupakan riset kuantitatif dengan desain penelitian cluster experiment. Lokasi penelitian ini
376
adalah di Kabupaten Ogan Ilir. Adapun populasi penelitian ini adalah seluruh rumah tangga di Kabupaten Ogan
Ilir. Unit sampling adalah rumah tangga dan sampel
penelitian adalah sebagian rumah tangga yang terdapat di
Kabupaten Ogan Ilir. Sampel diambil dengan menggunakan teknik cluster random sampling.
Berdasarkan hasil acak, diperoleh empat desa yang
menjadi lokasi penelitian, yaitu Desa Muara Penimbung
Ilir, Desa Sungai Pinang, Desa Ulak Banding, dan Desa
Tanjung Batu Seberang. Setelah desa terpilih, kemudian
dilakukan pengacakan kembali untuk menentukan desa
yang mendapat intervensi dan desa yang tidak mendapat
intervensi. Berdasarkan hasil pengacakan, diperoleh desa yang akan mendapat intervensi adalah Desa Ulak
Banding dan Desa Tanjung Batu Seberang. Sedangkan
desa yang akan menjadi kontrol adalah Desa Muara
Penimbung Ilir dan Desa Sungai Pinang.
Menurut Lemeshow,9 besar sampel minimal yang
dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung menggunakan
rumus besar sampel untuk uji hipotesis beda dua rata-rata. Pada penelitian ini, diasumsikan perbedaan rata-rata
skor perilaku merokok sebelum dan sesudah intervensi
adalah 10% dengan varians (s 2 ) sebesar 5%.
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh besar sampel
minimal untuk satu kelompok adalah 40 responden.
Untuk menghindari adanya loss to follow up atau sampel
drop out, besar sampel minimal akan ditambah sebanyak
20% sehingga menjadi 48 responden. Besar sampel yang
akan diambil pada tiap cluster digenapkan menjadi 50
responden per cluster (desa) sehingga total sampel yang
diambil menjadi 200 responden. Tahap selanjutnya
adalah pengambilan sampel pada tiap cluster yang dilakukan dengan teknik simple random sampling.
Kriteria inklusi pengambilan sampel untuk kelompok
yang akan diintervensi dan kelompok kontrol yang tidak
diintervensi yaitu responden adalah kepala keluarga, status telah menikah, dan status responden adalah perokok
aktif. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi tiga
tahapan penting, yaitu survei awal untuk melihat gambaran karakteristik rumah tangga, baik di desa intervensi maupun desa kontrol; intervensi program yang dilakukan selama satu bulan terhadap kepala rumah tangga terpilih dari desa intervensi, meliputi konseling terpadu tentang rokok yang diberikan oleh kader kesehatan
yang telah dilatih, dan pemberian permen herbal pengganti rokok untuk mengurangi kebiasaan merokok dengan mengalokasikan sebagian uang rokok ke dalam celengan; posttest dilakukan melalui survei lapangan dalam
rangka pengumpulan data kuantitatif pada kelompok intervensi dan non-intervensi. Analisis univariat meliputi
variabel demografi (pekerjaan, status perkawinan, pendidikan, usia, jumlah anggota keluarga, dan jumlah balita di rumah) dan variabel perilaku merokok. Selanjutnya,
analisis bivariat dilakukan dengan uji-t menggunakan alat
Najmah, Etrawati, Yeni, Utama, Studi Intervensi Kawasan Tidak Merokok pada Tingkat Rumah Tangga
bantu statistik untuk melihat perbedaan perilaku
merokok antara kelompok intervensi dan kelompok nonintervensi. Regresi linear berganda dilakukan untuk
tahap pemodelan akhir.
34% pada kelompok non-intervensi. Hasil analisis
deskriptif terhadap karakteristik responden dapat dilihat
pada Tabel 1. Rata-rata usia antara kelompok intervensi
dan non-intervensi 46 tahun dan 44 tahun. Sedangkan
jumlah anggota keluarga berkisar empat orang dan balita antara 0 - 2 balita per rumah pada kelompok intervensi dan non-intervensi.
Tabel 2 menunjukkan bahwa 84,2% pada kelompok
intervensi dan 67% pada kelompok non-intervensi tidak
akan menolak rokok gratis yang diberikan. Sebanyak
65,3% pada kelompok intervensi tidak ingin merokok di
masa yang akan datang dan 62% kelompok non-intervensi tetap akan merokok di masa yang akan datang.
Hasil
Hasil analisis karakteristik demogra responden pada
Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas responden pada
kelompok intervensi bekerja sebagai petani (61%),
sedangkan pada kelompok non-intervensi sebagian besar
bekerja sebagai wiraswasta (44%). Lebih dari 50% responden pada kelompok intervensi tidak tamat sekolah
dasar (SD) atau madrasah ibtidaiyah (MI) dan sebesar
Tabel 1. Gambaran Karakteristik Responden pada Desa Intervensi dan Non-Intervensi
Intervensi (n = 95)
Variabel
n
Pekerjaan
Status kawin
Pendidikan
Non Intervensi (n = 100)
Kategori
Tidak kerja
TNI/POLRI
PNS/pegawai
Wiraswasta/jasa/dagang
Petani
Buruh
Lainnya
Belum kawin
Kawin
Cerai hidup
Cerai mati
Tidak pernah sekolah
Tidak tamat SD/MI
Tamat SD/MI
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat D1/D2/D3
Tamat PT
Usia bapak (rata-rata)
Jumlah anggota keluarga (rata-rata)
Jumlah balita (rata-rata)
%
n
%
11
1
1
19
58
4
0
0
93
0
1
9
11
53
11
11
0
0
11,6
1
2
20
61,1
4,2
0
0
98,9
0
1,1
9,5
11,6
55,8
11,6
11,6
0
0
10
1
1
44
31
9
4
7
85
1
0
3
17
34
25
18
1
2
10
1
1
44
31
9
4
7,5
91,4
1,1
0
3
17
34
25
18
1
2
46
4
0
(26-83)
(1-8)
(0-2)
44
4
1
(27-69)
(1-8)
(0-2)
Tabel 2. Gambaran Perilaku Merokok Responden pada Desa Intervensi dan Non-Intervensi
Intervensi (n = 95)
Perilaku
Pernah menolak rokok gratis
Di masa akan datang tetap merokok
Merokok sebulan terakhir
Ya, setiap hari
Ya, kadang-kadang
Tidak, tapi sebelumnya pernah
Tidak pernah sama sekali
Merokok di rumah
Di dalam rumah
Di depan rumah
Di luar pekarangan rumah
Merokok dengan anggota keluarga
Mengajak orang lain merokok
Mengajak orang lain tidak merokok
Keinginan untuk berhenti merokok
Ya
Non Intervensi (n = 100)
Tidak
Ya
Tidak
n
%
n
%
n
%
n
%
80
33
84,2
34,7
15
62
15,8
65,3
67
62
67
62
33
38
33
38
68
22
4
1
71,6
23,2
4,2
1,1
27
73
91
91
28,4
76,8
95,8
98,9
91
8
0
1
91
8
0
1
9
92
100
99
9
92
100
99
56
10
29
26
19
36
89
58,9
10,5
30,5
27,4
20
37,9
100
39
85
66
69
76
59
6
41
89,5
69,5
72,6
80
62,1
6,3
70
16
14
70
43
48
80
70
16
14
70
43
48
86,7
30
84
86
30
57
52
20
30
84
86
30
57
52
20
377
: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Tabel 3. Riwayat Merokok Responden pada Desa Intervensi dan Non-Intervensi
Variabel
Intervensi (n = 95)
Usia pertama kali merokok (rata-rata/median)
Usia pertama kali merokok tiap hari (rata-rata/median)
Rata-rata batang rokok per hari(rata-rata/median)
Usia berhenti merokok (rata-rata/SD)
Non-Intervensi (n = 100)
15.50 (5 - 53)
19 (7 - 60)
12 (1 - 48)
50 (12,2)
15 (6 - 35)
18 (6 - 40)
12 (1 - 80)
48 (11,24)
Tabel 4. Perbedaan Perilaku Merokok Responden pada Desa Intervensi dan Non-Intervensi
Variabel
Rata-rata
Intervensi (n = 95)
Perilaku
Rata-rata
Non Intervensi (n = 100)
7,40
5,75
Tabel 5. Rasio Risiko Perilaku Merokok setelah Dikontrol oleh Variabel
Perancu
Risk Ratio
Variabel
Crude RR
Intervensi
Pendidikan
Pekerjaan
Usia (tahun)
Skor sikap
Skor pengetahuan
*0,462
0,131
-0,064
-0,071
*0,227
-0,052
Adjusted RR*
*0,463
*0,152
*0,216
-
*dikontrol oleh tingkat pendidikan dan sikap, nilai p < 0,005
Sedangkan proporsi responden yang merokok setiap hari
dalam sebulan terakhir mencapai 71,6% pada kelompok
intervensi dan 91% pada kelompok non-intervensi.
Selain itu, 58,9% kelompok intervensi merokok di dalam
rumah dan 72,6% responden tidak merokok dengan
anggota keluarga. Sedangkan pada kelompok non-intervensi diketahui bahwa 70% responden merokok di
dalam rumah dan bersama anggota keluarga.
Berdasarkan Tabel 3 diketahui karakteristik perilaku
merokok pada kelompok intervensi dan non-intervensi
hampir sama. Rata-rata usia pertama kali merokok
adalah 15 tahun pada kedua kelompok dan rata-rata
merokok tiap hari pada saat responden usia 19 tahun pada kelompok intervensi serta usia 18 tahun pada kelompok non-intervensi. Rata-rata jumlah rokok tiap hari
mencapai 20 batang, sedangkan usia berhenti merokok
pada usia 50 tahun pada kedua kelompok.
Perbedaan perilaku antara kelompok intervensi dan
non-intervensi dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis
menunjukkan bahwa rata-rata skor perilaku merokok
kelompok intervensi mencapai 7,40 dan 5,75 pada
kelompok non-intervensi (-2,141 - 1,159). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai p < 5%. Ada perbedaan
yang bermakna antara perilaku merokok pada kelompok
intervensi dan perilaku merokok pada kelompok pada
kelompok non-intervensi.
Hasil analisis pada Tabel 5 menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel intervensi berpengaruh sig378
Beda
Rata-rata
Nilai p
-1,650
0,0001
95% CI
-2,141 - 1,159
terhadap perubahan perilaku responden (nilai p
< 0,05). Hasil intervensi yang dilakukan memiliki peluang 46% untuk mengurangi perilaku merokok responden (RR = 0,46) setelah dikontrol oleh variabel pendidikan (RR = 0,152) dan sikap (RR = 0,216).
Pembahasan
Umumnya, perokok berasal dari pelbagai latar belakang pekerjaan. Namun, dalam penelitian ini paling
banyak bekerja sebagai petani, wiraswasta, dan tidak
bekerja, baik untuk kelompok intervensi maupun untuk
kelompok non-intervensi. Kecenderungan merokok, baik
pada kelompok intervensi maupun non-intervensi, tidak
hanya terjadi pada kelompok responden yang bekerja,
tetapi juga pada kelompok responden yang tidak bekerja. Kedua kategori tersebut berkaitan dengan tingkat
stres pada pekerja atau pengangguran dengan menjadikan rokok sebagai media untuk mengurangi stres.10
Posisi pekerjaan seseorang akan berdampak terhadap besar kecilnya penghasilannya. Harga rokok yang cukup
mahal seharusnya menjadi hambatan bagi mereka yang
berpenghasilan rendah untuk merokok. Faktanya, di
Indonesia justru perokok aktif banyak berasal dari
masyarakat dengan tingkat kekayaan pada kuintil terbawah dengan distribusi 60% - 80%, dari jumlah penduduk, baik di perdesaan maupun di perkotaan.2 Pada
keluarga kurang mampu, persentase pengeluaran rumah
tangga untuk rokok bahkan lebih besar lagi.11
Status sebagai kepala keluarga yang penuh dengan
tanggup jawab terhadap anggota keluarganya sering
menjerumuskan seseorang ke dalam kebiasaan merokok.
Akan tetapi, status perkawinan seseorang tidak hanya
membawa risiko ke arah perilaku merokok pada laki-laki, tetapi juga dapat digunakan sebagai peluang untuk
melakukan intervensi bidang kesehatan dalam menurunkan perilaku merokok. Laki-laki yang lajang cenderung meneruskan perilaku merokok, sedangkan lakilaki yang menikah berhasil berhenti merokok.12 Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa mereka yang
menikah relatif lebih sukses dalam program berhenti
Najmah, Etrawati, Yeni, Utama, Studi Intervensi Kawasan Tidak Merokok pada Tingkat Rumah Tangga
merokok dengan adanya perubahan struktur keluarga
yang semula lajang kemudian beristri dan estimasi
adanya dukungan dari pasangannya untuk mendukung
program berhenti merokok.
Lebih dari 50% responden penelitian di Ogan Ilir ini,
baik pada kelompok yang diintervensi maupun yang
tidak diintervensi, hanya mengenyam kategori pendidikan dasar, baik tamat maupun tidak tamat SD. Hal
ini senada dengan hasil penelitian Reimondos et al,5 yang
mencatat lebih dari 60% perokok aktif berpendidikan
rendah. Hal ini sungguh ironis, masyarakat terkategori
sosial ekonomi rendah justru lebih banyak menghabiskan
penghasilannya untuk rokok daripada untuk keperluan
pendidikan dan kesehatan. Pendidikan seseorang secara
alamiah seharusnya berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang. Akan tetapi, tidak semua institusi pendidikan memberikan mata ajar yang spesifik mengenai
dampak buruk yang dapat ditimbulkan karena perilaku
merokok. Oleh karena itu, di masyarakat dapat juga ditemui fenomena bahwa mereka yang tingkat pendidikannya tinggi tetap berperilaku merokok sehingga tidak terdapat korelasi di antara keduanya. 13 Hal ini
dimungkinkan karena ketidakterpaparan dengan informasi tentang rokok, didukung dengan kondisi lingkungan (peer group) yang tidak merokok membuat seorang
individu terproteksi untuk tidak ikut mencoba rokok.
Selain itu, tingkat pendidikan orangtua secara statistik
menjadi faktor prediktor bagi perilaku merokok anak remajanya.14,15 Hal ini dikarenakan remaja cenderung
akan melakukan perilaku yang sama dengan panutannya,
termasuk orangtua.16
Kebiasaan merokok merupakan masalah kesehatan
yang cukup sulit diselesaikan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan peraturan tentang KTR seperti yang diatur dalam undang-undang.
Komitmen dari pemangku kepentingan melalui penerapan sanksi yang tegas terhadap perokok di tempat kerja
dan institusi pendidikan serta larangan iklan rokok terbukti memberikan dampak positif terhadap penurunan
perilaku merokok masyarakat.17 Selain itu, komitmen
untuk mengubah perilaku juga harus timbul dari dalam
diri warga masyarakat di segala tatanan. Salah satu contoh, penerapan kebijakan kampus bebas dari asap rokok
secara signifikan (6% - 12%) mengurangi kebiasaan
merokok, sekaligus menjadi media promosi kesehatan
untuk menghentikan perilaku merokok mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.18
Penerapan KTR di institusi pendidikan dan tempat
kerja relatif lebih mudah untuk ditegakkan sekaligus diawasi dibandingkan dengan masyarakat di luar institusi
pendidikan dan tempat kerja. Bahkan, peraturan KTR
yang ada belum mencantumkan pembentukan KTR di
level rumah tangga. Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa sebanyak 70% responden pada kelompok non-in-
tervensi merokok di dalam rumah atau di hadapan
anggota keluarganya bahkan 62% menyatakan akan
tetap merokok. Ketidaktahuan akan bahaya merokok
akan berlanjut pada pembentukan sikap dan perilaku
terkait konsumsi rokok. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan di Victoria, Australia, para orangtua percaya bahwa asap rokok sangat berbahaya bagi balita
mereka. Walaupun hanya satu per lima orangtua yang
menerapkan KTR di rumah tangga, KTR secara signifikan berhubungan dengan pengurangan rasio urinary
cotinine dan creatinine pada balita.19 Penelitian lain di
Nigeria menunjukkan bahwa 88% responden menyadari
bahaya rokok. Tingkat kesadaran tersebut berhubungan
secara signifikan dengan karakteristik sosiodemografi, riwayat merokok sebelumnya, paparan asap rokok di
rumah dan tempat umum serta persepsi terhadap penggunaan tembakau itu sendiri.20
Perwujudan KTR dapat dimulai dengan melakukan
pelbagai intervensi di masyarakat. Intervensi untuk
berhenti merokok dapat dilakukan ketika masyarakat
terkena dampak akibat rokok, misalnya pelaksanaan konseling spesifik oleh dokter gigi bahwa terdapat
keterkaitan antara perilaku merokok dan penyakit pada
gusi walaupun secara umum pasien mengetahui dampak
umum akibat merokok adalah kerusakan paru-paru.21
Keberhasilan program berhenti merokok pada pasien tergantung dari besar kecilnya ketertarikan mereka untuk
berpartisipasi aktif dalam program tersebut. Analisis terhadap data yang dikumpulkan National Cancer Institute
menunjukkan bahwa 62,8% tertarik untuk mengikuti
pelbagai terapi perubahan perilaku merokok, sedangkan
75% responden menginginkan terapi obat untuk sembuh
dari penyakitnya.22 Upaya terbaik yang dapat dilakukan
untuk mewujudkan KTR adalah promosi kesehatan yang
bersumber daya masyarakat (dibantu oleh kader terlatih)
sebelum timbul dan parahnya penyakit yang diakibatkan
perilaku merokok. Meskipun demikian, dukungan kelompok merupakan hal yang dinilai lebih berimplikasi terhadap pengurangan perilaku merokok dibandingkan
dengan format lain, termasuk video pendidikan, informasi tertulis atau bahkan konseling oleh kader.23
Upaya pencegahan primer melalui konseling saja
tidak cukup. Kelompok intervensi dalam penelitian ini
diberikan permen sebagai pengganti rokok. Perbedaan
perilaku merokok tampak nyata pada kedua kelompok,
yakni dengan besar perbedaan skor perilaku = 2 (nilai p
< 0,05). Penggunaan produk pengganti tembakau
(nikotin) telah terbukti menurunkan perilaku merokok
partisipan, baik pada kelompok yang memiliki motivasi
dan tingkat depresi yang tinggi maupun rendah.
Walaupun demikian, hasilnya akan lebih baik jika responden memiliki motivasi yang kuat untuk berhenti
merokok dan menghilangkan depresi. Dalam konsep
psikologis, konsumsi produk pengganti tembakau ini
379
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
merupakan salah satu bentuk coping terhadap stres.24
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar
Kesimpulan
Mayoritas kelompok intervensi tidak ingin merokok
di masa yang akan datang dan proporsi responden yang
merokok setiap hari dalam sebulan terakhir lebih rendah
20% dibandingkan pada kelompok non-intervensi.
Selain itu, proporsi kelompok intervensi merokok di
dalam rumah lebih tinggi dibandingkan kelompok nonintervensi. Intervensi berupa konseling terpadu, pemberian permen pengganti rokok, dan pesan singkat sehat
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan perilaku responden setelah dikontrol dengan variabel
pendidikan dan sikap. Intervensi ini memberikan peluang 46% untuk mengurangi perilaku merokok. Hasil
pengukuran menunjukkan angka merokok di dalam
rumah 14% lebih rendah pada kelompok intervensi
dibandingkan dengan kelompok non-intervensi. Hal ini
mengindikasikan partisipasi masyarakat yang cukup baik
untuk mewujudkan KTR pada tingkat rumah tangga.
5. Global Youth Tobacco Survey (GYTS). Indonesia-nasional 2006.
tahun 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.
Atlanta-USA: Centers for Disease Control and Prevention (CDC); 2009.
6. Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir. Profil kesehatan Kabupaten
Ogan Ilir tahun 2009. Indralaya: Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir;
2009.
7. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Ringkasan eksekutif data
dan informasi kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Palembang: Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan; 2012.
8. Eriksen M, Hana R dan Judith M. The tobacco atlas, 4th edition. AtlantaGeogia: American Cancer Society; 2011.
9. Lemeshow S, Hosmer DW dan Klar J. Besar sampel dalam penelitian kesehatan. Dalam: Pramoni D, Kusnanto H, editor. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press; 1997.
10. Perkins KA, Giedgowd GE, Karelitz JL, Conklin CA dan Parzyns CS.
Expectancy for negative affect relief due to smoking may not be predictive under acute mood situations. Experimental and Clinical
Psychopharmacology. 2012; 20 (2): 161–6.
11. Reimondos A, Utomo ID, McDonald P, Hull T, SuparnoH, dan Utomo
A. Merokok dan penduduk dewasa muda di Indonesia, the 2010 Greater
Saran
Penelitian ini merekomendasikan untuk mengedukasi
kepala keluarga dalam rangka kesehatan melalui kegiatan
konseling terpadu yang membahas isu seputar perilaku
merokok, pemberdayaan kader kesehatan dalam mewujudkan lingkungan rumah tangga tanpa asap rokok dan
meningkatkan kesadaran tentang bahaya merokok di
masa yang akan datang, tidak hanya untuk kepala keluarga yang merokok, tetapi juga anggota keluarga yang
tinggal dalam satu rumah cukup efektif mengurangi perilaku merokok pada tingkat rumah tangga. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan intervensi lebih
lama dan dapat dilakukan aplikasi intervensi terpadu pada skala tempat lainnya, seperti kawasan belajar-mengajar, pelayanan kesehatan, transportasi.
Jakarta Transition to Adulthood Survey-Policy Background No. 2.
Canberra: Australian Demographic and Social Research Institute -the
Australian National University ; 2012.
12. Broms U, Silventoinen K, Lahelma E, Koskenvuo M, Kaprio J. Smoking
cessation by socioeconomic status and marital status: the contribution of
smoking behavior and family background. Oxford Journals. 2004; 6 (3):
447-55.
13. Chotidjah S. Pengetahuan tentang rokok, pusat kendali kesehatan eksternal dan perilaku merokok. Makara Seri Sosial Humanioral. 2012; 16
(1): 49-56.
14. Berg C J, An LC, Thomas JL, Lusi KA, Sarem JR, Swam PW, et.al.
Smoking patterns, attitudes and motives: unique characteristics among
2-year versus 4-year college students. Health Education Research. 2011;
26 (4): 614–23.
15. Vries, Hd, Engels R, Kremers S, Wetzels J, Mudde A. Parents’ and
friends’ smoking status as predictors of smoking onset: findings from six
Ucapan Terima Kasih
Kami mengucapkan terima kasih kepada Lembaga
Penelitian Universitas Sriwijaya yang telah mendukung
pelaksanaan kegiatan ini melalui dana DIPA Universitas
Sriwijaya Nomor 023-04.2.415112/2014 tanggal 5
Desember 2013. Terima kasih juga kami ucapkan kepada para peserta intervensi di Kabupaten Ogan ilir dan
para asisten peneliti dalam menyukseskan penelitan ini.
European countries. Health Education Research. 2003;18 (5): 627-36.
16. Septiono W, Meyrowitsch DW. Family role towards smoking behavior
among children in Jakarta. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional. 2014; 9 (1): 58-63.
17. Azkha N. Studi efektivitas penerapan kebijakan perda kota tentang
kawasan tanpa rokok (ktr) dalam upaya menurunkan perokok aktif di
Sumatera Barat tahun 2013. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia,
2013; 2 (4): 171–9.
18. Prabandari YS, Ng N, Padmawati RS. Kawasan tanpa rokok sebagai al-
Daftar Pustaka
ternatif pengendalian tembakau studi efektivitas penerapan kebijakan
1. Republic of Indonesia Ministry of Health. The tobacco source book: da-
kampus bebas rokok terhadap perilaku dan status merokok mahasiswa
ta to support nasional tobacco control strategy. Jakarta: Indonesia
di fakultas kedokteran UGM, Yogyakarta. Jurnal Manajemen Pelayanan
Ministry of Health; 2004.
2. Badan Pusat Statistik. Survey demografi dan kesehatan Indonesia.
Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2012.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar
tahun 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
380
Kesehatan. 2009; 12 (4): 218–25.
19. Blackburn C, Spencer N, Bonas S, Coe C, Dolan A, Moy R. Effect of
strategies to reduce exposure of infants to environmental tobacco smoke
in the home: cross sectional survey. British Medical Journal. 2003; 327
(1): 257-61.
Najmah, Etrawati, Yeni, Utama, Studi Intervensi Kawasan Tidak Merokok pada Tingkat Rumah Tangga
20. Onyeonoro UU, Chukwuonye II, Madukwe OO, Ukegbu AU, Akhimien
tion efforts and interest in cessation resources among survivors of smok-
MO Ogah OS. Awareness and perception of harmful effects of smoking
ing-related cancers. Journal of Cancer Survivorship. 2013; 7 (1): 44–54.
in Abia State, Nigeria. Nigerian Journal of Cardiology. 2015; 12 (1): 27-
23. Dietz NA, Hooper MW, Byrne M, Messiah A, Baker EA, Parker DF, et
33.
21. Terrades M, Coulter WA, Clarke H, Mullally BH, Stevenson M. Patients’
knowledge and views about the effects of smoking on their mouths and
the involvement of their dentists in smoking cessation activities. British
Dental Journal. 2009; 207 (E22): 1-6.
22. Berg CJ, Carpenter MJ, Jardin B, Ostroff JS. Harm reduction and cessa-
al. Developing a smoking cessation intervention within a communitybased participatory research framework. Journal of Smoking Cessation.
2012; 7 (2): 89–95.
24. Carpenter MJ, Alberg AJ, Graya KM, Saladin ME. Motivating the unmotivated for health behavior change: a randomized trial of cessation induction for smokers. Clinical Trials. 2010; 7 (1): 157–66.
381
Efektivitas Collaborative Governance dalam Pelayanan
Komprehensif Berkesinambungan untuk Menanggulangi
HIV/AIDS
Effectivity of Collaborative Governance in Sustainable Comprehensive
Service to Cope with HIV/AIDS
Argyo Demartoto
Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret
Abstrak
Di tingkat nasional dan daerah telah terdapat kebijakan publik, program dan
kegiatan untuk menanggulangi HIV/AIDS, namun jumlah kasus HIV/AIDS
meningkat setiap tahun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas
collaborative governance antarpemangku kepentingan dalam pelayanan
komprehensif berkesinambungan untuk menanggulangi HIV/AIDS di Kota
Surakarta. Penelitian ini merupakan studi kasus jenis exploratory. Informan
ditentukan dengan menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data
dilakukan pada 2 Juli – 2 September 2013 dengan wawancara mendalam,
observasi, focus group discussion, dan dokumentasi. Teknik analisis data
dengan model analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberi dan penerima layanan berperan dalam penanggulangan HIV/AIDS
sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Program pencegahan dan penjangkauan, layanan kesehatan, reduksi bahaya, dan pemberdayaan belum
efektif karena komitmen terhadap tujuan dan sikap saling percaya antarpemangku kepentingan belum optimal, petugas lapangan kurang profesional,
terdapat konflik laten antarpemangku kepentingan, kurang optimalnya koordinasi antaranggota Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Kota
Surakarta dan rendahnya anggaran untuk penanggulangan HIV/AIDS karena HIV/AIDS belum menjadi isu prioritas dalam pembangunan daerah.
Disimpulkan bahwa kolaborasi governance antarpemangku kepentingan
belum efektif. Untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kolaborasi
governance antarpemangku kepentingan, harus ada norma, struktur, dan
proses yang jelas dalam menanggulangi HIV/AIDS.
Kata kunci: Collaborative governance, efektivitas, pelayanan komprehensif berkesinambungan, penanggulangan HIV/AIDS
Abstract
There have been public policies, programs and activities to cope with
HIV/AIDS in Indonesia at national and local level, but number of HIV/AIDS
cases is increasing every year. This study aimed to determine effectivity of
collaborative governance between stakeholders in a sustainable compre382
hensive service to cope with HIV/AIDS in Surakarta City. This study was an
exploratory study. Informants were selected using purposive sampling technique. Data collection was conducted on 2 July – 2 September 2013 using
in-depth interview, observation, focus group discussion, and documentation.
Technique of data analysis was an interactive analysis model. Results
showed that service provider and receiver had taken roles in HIV/AIDS coping based on their own duty and function. Prevention and outreach, healthcare service, harm reduction and empowerment programs had not been yet
effective because of less optimal commitment to purpose and mutual trust
between stakeholders, less professional fieldworkers, latent conflict occurred between stakeholders, less optimal coordination between AIDS
Coping Commission of Surakarta City members, and low budget for
HIV/AIDS coping as HIV/AIDS is not yet a priority issue in regional development. In brief, collaborative governance between stakeholders is not yet
efffective. To improve the quality and collaborative governance effectivity
between stakeholders, there should be any clear norm, structure and
process in coping with HIV/AIDS.
Keywords: Collaborative governance, effectivity, sustainable comprehensive service, HIV/AIDS coping
Pendahuluan
Sejak tahun 2000, terjadi peningkatan jumlah orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) secara pesat, bahkan terdapat beberapa lokasi tingginya penularan HIV/AIDS (concentrated level epidemic).1,2 Strategi dan Rencana Aksi
Nasional Penanggulangan HIV/AIDS tahun 2010 – 2014
merupakan kebijakan pada level nasional yang mengamanatkan HIV/AIDS sebagai salah satu isu prioritas
Korespondensi: Argyo Demartoto, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan Surakarta,
No.Telp: 0271-637277, e-mail: [email protected]
Demartoto, Efektivitas Collaborative Governance dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Menanggulangi HIV/AIDS
sekaligus menandai terjadinya intensifikasi
penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Di Kota
Surakarta, dari Oktober 2005 – Maret 2015 terdapat
1.565 kasus HIV/AIDS yang terdiri dari 532 kasus HIV,
1.033 kasus AIDS, dan 449 orang meninggal dunia.
Komitmen Kota Surakarta dalam mengatasi permasalahan HIV/AIDS muncul dengan adanya Surat
Keputusan Walikota Surakarta Nomor 443.2.05/98/
1/2012 pada Tanggal 20 November 2012 Tentang
Pembentukan Komisi, Kelompok Kerja dan Sekretariat
Penanggulangan AIDS. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa selama ini upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi HIV/AIDS belum optimal
terlebih karena faktor kondisi sosial-politik masyarakat
seperti kebijakan dan pemerintahan.3-5 Terkait respons
terhadap meningkatnya jumlah penduduk yang terjangkit
HIV/AIDS, tidak kurang pelbagai program dan kegiatan
telah banyak dilakukan dengan pendekatan medis dan
sosial, baik sektoral maupun multisektoral, untuk
menanggulangi HIV/AIDS.6-12
Kolaborasi dalam arti sebuah proses merupakan
serangkaian proses dalam mengelola atau memerintah
secara institusional, sedangkan dalam pengertian normatif merupakan aspirasi atau tujuan-tujuan filosofis bagi pemerintah untuk berinteraksi dengan para
mitranya.13 Collaborative governance adalah suatu cara
mengelola dengan melibatkan pelbagai pihak untuk mencapai tujuan tertentu dengan menekankan nilai-nilai kewarganegaraan dan demokrasi secara tidak langsung,
meskipun pemangku kepentingan tertentu tidak dilibatkan secara fisik, tetapi kepentingan mereka seoptimal
mungkin diupayakan untuk diakomodasi dalam proses
pengambilan keputusan.14 Collaborative governance
penting untuk diterapkan karena pemikiran yang semakin luas tentang pluralisme kelompok kepentingan
dan mampu merespons hambatan yang selama ini menjadi masalah, seperti kegagalan implementasi kebijakan
di lapangan, ketidakmampuan kelompok tertentu karena
institusi lain menghambat keputusan, mobilisasi kelompok kepentingan, tingginya biaya dan politisasi regulasi.15-18 De Seve,19 menyebutkan delapan indikator
penting untuk mengukur keberhasilan sebuah kolaborasi
dalam governance, yaitu struktur jaringan, komitmen terhadap tujuan, saling percaya antarpelaku, adanya kepastian governance atau kejelasan dalam tata kelola, termasuk batasan dan exclusivity, akses terhadap kekuasaan,
pembagian akuntabilitas/responsibilitas, berbagi informasi dan akses terhadap sumber daya.
Dampak kolaborasi antarinstitusi untuk menanggulangi HIV/AIDS seperti dalam The Chicago HIV
Prevention and Adolescent Mental Health Project, antara lain banyak orang yang akhirnya dapat hidup dengan
normal meskipun berada pada kondisi yang sebenarnya
penuh tekanan, banyak pula ibu-ibu yang akhirnya opti-
mis dengan masa depan anak-anaknya serta berusaha
keras untuk menghindarkan anak-anaknya dari bahaya
HIV/AIDS.20-23 Penelitian ini bermaksud mengkaji peran, bentuk, dan efektivitas pelayanan komprehensif
berkesinambungan dalam penanggulangan HIV/AIDS
berbasis kolaborasi governance antarpemangku kepentingan di Kota Surakarta.
Metode
Penelitian kualitatif ini merupakan studi kasus jenis
exploratory untuk menjawab cara dan alasan fenomena
pelayanan komprehensif berkesinambungan dalam
penanggulangan HIV/AIDS berbasis kolaborasi governance. Penelitian ini dilakukan di Kota Surakarta pada
tanggal 2 Juli – 2 September 2013 dengan wawancara
mendalam, menggunakan buku catat, observasi nonpartisipan, focus group discussion (FGD), dan dokumentasi.
Subyek penelitian adalah pemberi dan penerima layanan
komprehensif berkesinambungan untuk menanggulangi
HIV/AIDS di Kota Surakarta yang ditentukan dengan
menggunakan purposive karena dipandang dapat memberikan data dan informasi secara maksimal yang terkait
objek penelitian.24
Informan berjumlah 34 orang, yaitu 17 informan
pemberi layanan yang terdiri dari Sekretaris, Manajer
Program dan Koordinator Kelompok Kerja Komisi
Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kota Surakarta;
wakil dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli
AIDS, yaitu Direktur Yayasan Mitra Alam, Manajer
Program Lembaga Swadaya Masyarakat Solidaritas
Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia
(SPEK-HAM), Ketua Yayasan Gessang, Ketua
Himpunan Waria Solo dan Ketua Kelompok Dukungan
Sebaya Solo Plus; pihak swasta, yaitu perwakilan dari
produsen kondom dan pelicin dan seorang karyawan perusahaan susu yang memberi makanan tambahan bergizi
bagi ODHA; peneliti dari Pusat Penelitian Kesehatan
Seksual Universitas Sebelas Maret; serta petugas
pelayanan kesehatan, yaitu seorang konselor voluntary
counseling and testing (VCT) dari Rumah Sakit Dr.
Moewardi Surakarta, seorang dokter yang melayani penapisan infeksi menular seksual (IMS) di Puskesmas
Sangkrah Surakarta dan seorang petugas pemberi
Layanan Jarum Suntik Steril untuk pengguna narkoba
suntik di Puskesmas Manahan Surakarta.
Sedangkan 17 informan penerima layanan terdiri dari
kelompok berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu seorang perempuan pekerja seksual, seorang pengguna
narkoba suntik, seorang laki-laki yang berhubungan seks
dengan laki-laki, seorang waria dan seorang high risk
man; ODHA, keluarga ODHA dan teman ODHA; serta
informan yang mewakili pengurus organisasi Warga
Peduli AIDS (WPA) di 51 Kelurahan Kota Surakarta,
yaitu dari Kelurahan Semanggi, Punggawan, Jebres,
383
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Sriwedari, dan Serengan. Seluruh informan menjadi peserta FGD yang dilakukan September 2013. Untuk
melindungi subyek penelitian, sebelum pengumpulan data, dilakukan studi pendahuluan pada subyek penelitian
dengan penyebaran lembar informasi tentang penelitian
yang dilakukan. Semua data dan informasi yang diperoleh dari subjek penelitian dijaga kerahasiaannya dan
hanya digunakan untuk keperluan penelitian.
Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan data hasil observasi lapangan dan wawancara mendalam, yaitu hal yang dikatakan informan pada
waktu FGD dan yang dikatakan secara pribadi serta hasil
wawancara dan isi dokumen yang terkait objek penelitian. Triangulasi sumber data dilakukan dengan membandingkan yang dikatakan informan satu dan informan
lain serta keadaan dan perspektif seseorang dengan pelbagai pendapat dan pandangan orang lain, termasuk subjek penelitian.25
Data yang terkumpul dianalisis secara mendalam
melalui interactive model of analysis yang terdiri dari reduksi data, tampilan data, dan gambaran konklusi yang
terkait, baik sebelum, selama maupun setelah
pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar. Peneliti
melakukan pengumpulan data kembali apabila data yang
telah dikumpulkan dirasa belum lengkap dan apabila validitas dan reliabilitas data diragukan.26 Dalam reduksi
data dilakukan proses pemilihan, pemusatan, penyederhanaan, dan klasifikasi data yang diperoleh di lapangan
yang berlangsung secara terus-menerus selama penelitian. Pada tahapan penyajian data, segala bentuk data
disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks dan atau
bagan sehingga mudah dibaca dan dipahami untuk penarikan kesimpulan berdasarkan temuan-temuan yang
ada dan melakukan verifikasi dengan merefleksikan kembali data yang telah ditemukan di lapangan.26
Hasil
Peran Pemangku Kepentingan dan Bentuk Pelayanan
KPAD Kota Surakarta yang dibentuk pada tahun
2005 bertanggung jawab atas terlaksananya kegiatan
penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta,
memimpin pelaksanaan advokasi dan koordinasi dengan
pemangku kebijakan di tingkat kota, mengkoordinasikan
seluruh kegiatan yang dilakukan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD), organisasi masyarakat, klinik layanan
dan LSM terkait dengan isu HIV/AIDS yang terdapat di
Surakarta.
KPAD Kota Surakarta memiliki empat kelompok kerja (pokja), yaitu pencegahan dan penjangkauan, layanan
kesehatan dan pengobatan, reduksi bahaya dan pemberdayaan. Menurut Sekretaris dan Manajer Program KPAD
Kota Surakarta (A1 dan A2) bahwa Pokja KPAD Kota
Surakarta bertugas membantu KPAD dalam merumuskan kebijakan operasional yang berkaitan dengan
384
program penanggulangan AIDS; mengkoordinasikan
perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program;
mengembangkan program tertentu yang sesuai dengan
kebutuhan menggerakkan pemangku kepentingan dalam
mengaplikasikan kebijakan nasional dan daerah untuk
program tertentu; mengadakan bimbingan, pemantauan,
dan evaluasi program serta membuat dan menyampaikan
laporan kerja kepada ketua KPAD melalui sekretaris
KPAD secara periodik.
Pelayanan komprehensif berkesinambungan dalam
penanggulangan HIV/AIDS melibatkan suatu jejaring
kerja di antara semua sumber daya yang terdapat di Kota
Surakarta untuk memberikan pelayanan dan perawatan
holistik, komprehensif, dan dukungan yang luas bagi
populasi kunci, ODHA dan keluarganya serta masyarakat
umum. Pelayanan komprehensif berkesinambungan
meliputi perawatan di rumah sakit dan rawat jalan.
Sebelum diputuskan untuk memberikan pelayanan komprehensif berkesinambungan, perlu dipertimbangkan beberapa hal, antara lain sumber daya yang memadai yaitu
dukungan dana, bahan dan alat, sumber daya manusia
baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat yang
menjalin kerjasama. Hal ini mencakup tata laksana klinis,
pelayanan kepada pasien secara langsung, pendidikan,
pencegahan, konseling, perawatan paliatif dan dukungan
sosial. Pernyataan tersebut didukung oleh seluruh koordinator pokja KPAD Kota Surakarta (A3, A4, A5 dan
A6).
Seluruh informan dari kelompok risiko tinggi tertular
HIV/AIDS (F1, F2, F3, F4 dan F5) dan seorang pengurus warga peduli AIDS (WPA) di Kelurahan Semanggi,
Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta (H1) pernah
mengikuti pelatihan tentang pendidikan sebaya untuk
penanggulangan HIV/AIDS dan sosialisasi tentang IMS,
HIV/AIDS yang dilakukan oleh KPAD Kota Surakarta.
KPAD Kota Surakarta rutin melakukan rapat koordinasi antarpemangku kepentingan untuk menginventaris
permasalahan terkait penanggulangan HIV/AIDS di Kota
Surakarta. Dalam melakukan penjangkauan kepada
kelompok berisiko tinggi, petugas lapangan menemui
hambatan dan kendala, misalnya kelompok dampingan
belum memiliki kesadaran untuk melakukan VCT dan
penapisan IMS. Hal ini seperti pendapat petugas lapangan yang menjangkau komunitas lelaki suka lelaki (LSL)
dan waria (F3 dan F4).
“...Komunitas gay pada umumnya malu Pak untuk
melakukan VCT karena mereka tidak ingin diketahui
orientasi seksualnya. Apalagi petugas pelayanan kesehatan sering mengolok-olok...” (informan F3)
“...Teman-teman susah sekali Pak diajak untuk VCT,
apalagi penapisan IMS karena mereka malu, belum tahu
tentang bahaya perilaku seksual yang tidak sehat dan
tidak aman...” (informan F4)
Pernyataan tersebut didukung juga oleh informan dari
Demartoto, Efektivitas Collaborative Governance dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Menanggulangi HIV/AIDS
komunitas wanita pekerja seks, pengguna narkoba suntik dan high risk man (HRM) (F1,F2 dan F5).
Dalam pelaksanaan program layanan kesehatan dan
pengobatan, institusi kesehatan menyediakan layanan
VCT dan IMS, kondom, pelicin, antiretroviral (ARV) dan
layanan Program Terapi Rumatan Methadon. Hal ini
seperti yang diutarakan oleh petugas pelayanan kesehatan Rumah Sakit Dr. Moewardi, Puskesmas Sangkrah,
dan Puskesmas Manahan (E1,E2, dan E3).
ODHA dapat mengakses ARV dengan gratis di tempat yang telah ditentukan dan makanan tambahan untuk
menjaga kesehatan. Menurut seorang informan dari perusahaan susu bahwa perusahaannya aktif dan rutin
memberi bantuan susu formula kepada ODHA di Kota
Surakarta (C1).
Untuk memberdayakan ODHA, KPAD Kota
Surakarta aktif melaksanakan kegiatan pelatihan
keterampilan seperti menjahit, teknologi dan informasi,
percetakan dan sablon yang bekerjasama dengan
Universitas Sebelas Maret. Hal ini seperti diungkapkan
oleh peneliti dari Universitas Sebelas Maret (D1).
Tantangan Pemangku Kepentingan dalam Pelayanan
Komprehensif Berkesinambungan
Dalam struktur organisasi KPAD Kota Surakarta, terdapat ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, dan
anggota. Hal ini menunjukkan adanya hirarki kekuasaan
dalam hal kewajiban, tanggung jawab dan otoritas dalam
penanggulangan AIDS. KPAD sebagai koordinator dari
seluruh pemangku kepentingan, dinilai oleh pihak LSM
terlalu bergantung pada LSM yang mendapat bantuan
dana dari lembaga donor. Kolaborasi dengan LSM terus
berjalan sekalipun belum optimal, sedangkan dengan
SKPD dan institusi lain hanya sebatas rapat koordinasi.
Seharusnya, KPAD sebagai koordinator lebih tegas
dalam mengkoordinir seluruh anggotanya sehingga tugas dan kewajiban dapat jauh lebih merata dan semua
anggota KPAD memiliki tanggung jawab sesuai dengan
porsi dan lingkup fokus mereka masing-masing.
Pernyataan ini disampaikan secara kritis oleh beberapa
pengurus LSM peduli AIDS di Kota Surakarta dalam
kegiatan FGD.
Pada umumnya, peserta FGD menyatakan bahwa
dalam kegiatan promotif dan preventif, Dinas Kesehatan
Kota Surakarta telah membuat brosur dan melaksanakan
sosialisasi HIV/AIDS dan seputar narkoba pada siswa
sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) serta pelbagai organisasi masyarakat
seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK),
Karang Taruna, Forum Anak dan organisasi WPA di 51
kelurahan lima kecamatan Kota Surakarta. Kegiatan
tersebut dirasa lebih efektif karena pelaksanaannya melibatkan anggota masyarakat sehingga proses transfer ilmu
pengetahuan mengenai HIV/AIDS, termasuk cara penu-
laran, pencegahan maupun penanganan seseorang yang
terlanjur terjangkit HIV/AIDS akan lebih cepat terealisasikan. Hal ini juga diungkapkan oleh seorang informan
yang merupakan pengurus organisasi WPA Kelurahan
Punggawan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta (informan H2).
Selama ini kegiatan berbagi informasi telah dijalankan
dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan pihak
KPAD bahwa LSM menyampaikan data dan informasi
terkait dengan jangkauan di lapangan, jumlah ODHA,
kerahasiaan status klien sebagai ODHA yang dijaga dengan baik. Data itu diolah oleh KPAD kemudian
diteruskan pada Walikota Surakarta sebagai laporan bulanan. Selama ini, KPAD selalu terbuka memberikan informasi tentang program dan kegiatan, pelatihan yang
akan diselenggarakan oleh KPAD. Dalam penyediaan
sumber daya, memang pihak KPAD telah mengupayakan
semaksimal mungkin. Misalnya, adanya pelatih untuk
pelatihan, advokasi, pemantauan dan evaluasi. Namun,
yang menjadi kendala terbesar adalah minimnya dana
yang dimiliki pemerintah Kota Surakarta dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Sejak tahun 2006 sebagian besar pendanaan upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam
penanggulangan HIV/AIDS bersumber dari Global Fund
to Fight AIDS, Tuberculosis, and Malaria, sebuah lembaga donor asing yang rencananya akan berhenti memberikan dana untuk Indonesia di tahun 2015. Hal ini
seperti yang disampaikan oleh Direktur Yayasan Mitra
Alam dan Program Manager LSM SPEK-HAM (B1 dan
B2).
“...Pemerintah harus menyediakan alokasi anggaran
khusus untuk pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS di Kota Surakarta karena selama ini kita
hanya tergantung dari pihak donor asing yang memberikan bantuan dana…” (informan B1 dan B2).
Sesuai dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat Nomor 7/PER/MENKO/KESRA/
III Tahun 2007 Tentang Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Indonesia Tahun 2007-2010,
maka Dinas Kesehatan Kota Surakarta merupakan lembaga penyedia layanan VCT pengobatan HIV/AIDS dan
layanan Program Terapi Rumatan Methadon. Di Kota
Surakarta, terdapat dua puskesmas yang menyediakan
layanan VCT, yaitu Puskesmas Manahan yang memberikan pelayanan dan perawatan ODHA dari komunitas
pengguna narkoba suntik dan Puskesmas Sangkrah untuk
populasi berisiko tinggi yang lain. Kegiatan VCT penting
karena merupakan pintu masuk ke seluruh layanan medis
HIV/AIDS, di antaranya pelayanan terapi ARV,
pencegahan infeksi oportunistik serta pencegahan penularan infeksi HIV ibu ke anak (prevention of mother-tochild transmission/PMTCT). Memastikan ketersediaan
ARV secara berkelanjutan menjadi hal yang sangat pen385
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
ting dan utama. Saat ini seluruh ODHA, baik penduduk
Surakarta maupun luar Kota Surakarta, masih mendapatkan ARV secara gratis yang dapat diakses di
puskesmas dan rumah sakit VCT. Namun, ketersediaan
ARV di Kota Surakarta juga mengalami masalah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ketua Kelompok Dukungan
Sebaya (KDS) Solo-Plus yang mendampingi ODHA,
baik di rumah maupun di rumah sakit, dan seorang dokter yang memberi pelayanan VCT (B5 dan E1).
“...Kadang-kadang teman-teman ODHA susah mau
mendapatkan ARV, karena stoknya habis padahal kita
sangat membutuhkan...” (informan B5)
“...Memang persediaan ARV kadang menipis karena
supplier-nya belum mengirim ke RS Dr. Moewardi. Hal
ini tentu berdampak pada kesehatan ODHA...” (informan E1)
Layanan care support and treatment (CST) bagi
ODHA merupakan konseling lanjutan bagi ODHA, dengan didampingi oleh tenaga medis, psikolog maupun
KDS Solo Plus. Keberadaan KDS memang menjadi hal
yang penting untuk saling memotivasi sesama ODHA,
manajemen rujukan, mendampingi rujukan tes CD4,
PMTCT dan tes fungsi hati dan ginjal, pendampingan bagi ODHA baik di rumah sakit maupun di rumah.
Layanan CST tidak hanya melibatkan unit layanan, tetapi
juga pemangku kepentingan lainnya. Selama ini, CST di
Kota Surakarta masih terbatas bagi ODHA, sedangkan
bagi keluarga dan orang-orang yang berada di sekitar
ODHA belum diberikan pelatihan CST. Hal ini diungkap
oleh ibu PH ODHA dari kelompok WPS, AK ODHA
dari kelompok pengguna narkoba suntik dan HN ODHA
dari kelompok HRM (G1,G2 dan G4).
“...Kadang kala kami stress Pak, mengingat penyakit
kami yang tidak ada obatnya. Apalagi anggota keluarga
kami ada yang belum bisa menerima keberadaan kami.
Sementara itu Manajer Kasus kurang memperhatikan
kami, malah sibuk sendiri…” (informan G1,G2 dan
G4).
Pendapat tersebut didukung oleh seluruh peserta
FGD bahwa CST bagi ODHA sangat penting dan utama
agar ODHA tidak rendah diri dan tetap memiliki semangat hidup (peserta FGD-I).
Dana APBD Kota Surakarta belum mampu mencakup pemberian makanan tambahan bagi ODHA.
Dalam implementasi di lapangan, pendistribusiannya
masih menemui kendala karena ODHA yang berjejaring
dalam Kelompok Dukungan Sebaya dan klien VCT di
unit layanan kesehatan Kota Surakarta tidak hanya dari
Kota Surakarta. Hal ini seperti diungkapkan oleh seorang
waria yang berstatus HIV+ (G3).
“... Saya sebetulnya sangat sedih sekali karena keluarga saya belum bisa menerima saya sebagai ODHA,
bahkan mereka mengusir saya dari rumah. Jadi saya
merasa mendapat perlakuan yang diskriminatif justru
386
dari keluarga saya sendiri. Namun, pemerintah kurang
memperhatikan keberadaan ODHA, misalnya jarang
memberi makanan tambahan…’’ (informan G3).
Pemberdayaan bagi ODHA penting agar ODHA dapat kembali berdaya, bebas menentukan pilihannya sebagai warga negara dan ikut mendukung penanggulangan HIV/AIDS, tidak menularkan pada masyarakat.
Bentuk-bentuk pemberdayaan lebih cenderung pada
pelatihan kewirausahaan dan modal usaha. Pelayanan
yang lain adalah pelayanan psikososial, konseling perilaku hidup sehat, memudahkan akses ke pelbagai
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan klien serta rujukan
ke klinik VCT, yaitu suatu program rujukan kepada populasi umum dan populasi berisiko tertular HIV/AIDS untuk mengetahui status HIV agar segera mendapatkan
perawatan maupun mencegah perilaku berisiko.
Peserta FGD (I) menyatakan bahwa KPAD Kota
Surakarta belum melaksanakan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan HIV/AIDS secara reguler. Di
tahun 2012, Bidang Sosial Budaya Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kota Surakarta pernah melakukan
studi evaluasi efektivitas WPA di setiap kelurahan yang
telah mensosialisasikan HIV/AIDS pada masyarakat
umum. Studi evaluasi dilakukan pada 466 responden laki-laki (45%) dan 566 responden perempuan (55%) untuk mengetahui pemahaman, pengetahuan, dan paparan
informasi terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta.
Menurut peneliti dari Universitas Sebelas Maret (D1),
banyak hasil penelitian yang mengkaji masalah
HIV/AIDS, baik dari sisi medis, sosial, perilaku seksual
kelompok berisiko tinggi tertular HIV/AIDS seperti
kelompok waria, gay, men who have sex with men
(MSM), perempuan pekerja seks, pengguna narkoba suntik, anak yang dilacurkan, dan masyarakat umum.
Sementara itu, perusahaan yang terdapat di Kota
Surakarta juga banyak berperan, misalnya dengan memberi bantuan dana untuk memperingati Hari AIDS
Sedunia, Malam Renungan AIDS Nusantara, menyuplai
kondom dan pelicin serta pemberian makanan tambahan
bagi ODHA.
Pembahasan
Pemerintah Kota Surakarta berusaha profesional
dalam menanggulangi HIV/AIDS dengan membentuk
KPAD Kota Surakarta yang terdiri dari pelbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, lembaga nonpemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat
sipil. Organisasi kesehatan bukan struktur homogen,
melainkan koleksi individu atau institusi yang bersatu
dalam tujuan yang sama, namun dipisahkan oleh nilai-nilai, keyakinan, aspirasi karir dan pandangan operasional.14 Kolaborasi antarpemangku kepentingan dalam
KPAD dapat dikategorikan kolaborasi dalam konteks
Demartoto, Efektivitas Collaborative Governance dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Menanggulangi HIV/AIDS
normatif karena seluruh pemangku kepentingan memiliki aspirasi dan tujuan yang sama untuk menurunkan
penyebaran HIV/AIDS. Collaborative governance sesuai
diterapkan dalam pelayanan kesehatan, khususnya upaya-upaya dalam penanggulangan HIV/AIDS mengingat
pelayanan kesehatan dan upaya penanggulangan
HIV/AIDS merupakan hal yang kompleks. Penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan pelayanan kesehatan
yang komprehensif berkesinambungan, baik pelayanan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang melibatkan suatu jejaring kerja di antara semua sumber daya
yang terdapat dalam rangka memberikan pelayanan dan
perawatan holistik, komprehensif, dan dukungan yang
luas.12
Kolaborasi governance telah berjalan dengan adanya
pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak agar penanggulangan HIV/AIDS dapat ditangani
dengan lebih baik dan efektif. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih terdapat beberapa
kekurangan dan kelemahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen dari masing-masing pemangku
kepentingan belum mencapai visi dan misi yang bulat,
misalnya komitmen LSM yang tidak selalu tertuju untuk
institusi pemerintah, mengingat LSM lebih merasa
bertanggung jawab pada lembaga donor yang telah membiayai semua aktivitasnya. Kurangnya komitmen pada tujuan-tujuan yang telah dicanangkan dapat dipandang sebagai perwujudan rendahnya efektivitas kolaborasi di antara pemangku kepentingan yang ada.
Collaborative governance mampu merespons dan
menjadi solusi atas pelbagai hal yang menghambat pelbagai program yang telah dijalankan dalam menanggulangi HIV/AIDS. Collaborative governance memungkinkan dan memberi jalan pelbagai pihak terlibat dalam
suatu program atau kegiatan penanggulangan HIV/AIDS
karena pemangku kepentingan merupakan pihak yang
terpengaruh atau terkena dampak dari sebuah tindakan,
program, kebijakan atau pihak yang memang seharusnya
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan suatu
pemecahan persoalan bersama.16,20 Namun, telah menjadi rahasia umum bahwa terkadang pemangku kepentingan terutama ODHA yang menjadi sasaran suatu
program dan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS justru
tidak memperoleh kesempatan atau memang enggan terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam sebuah kolaborasi, sangat diperlukan kepercayaan di antara para partisipan. Oleh karena itu, harus
terdapat kepercayaan antarpemangku kepentingan bahwa data dan informasi yang disediakan pemangku kepentingan adalah akurat. Sejauh ini KPAD mereduksi semua data yang masuk ke KPAD, diolah menjadi laporan
bulanan KPAD kepada Walikota Surakarta. Selain itu,
perlu adanya kepercayaan dari pihak kelompok sasaran
atau dampingan yang terlibat dan mengikuti setiap pro-
gram yang dilaksanakan oleh KPAD. Namun, sikap saling percaya antarpemangku kepentingan masih rendah.
Pihak LSM merasa bahwa KPAD terkesan tidak tegas
dalam mengkoordinir anggota KPAD dan membebankan
semua pekerjaan penjangkauan kelompok sasaran hanya
kepada LSM sehingga tidak ada rasa saling percaya untuk bekerja bersama sampai masyarakat tingkat bawah.
Konsep governance dalam kolaborasi antarpemangku
kepentingan untuk menanggulangi HIV/AIDS di
Surakarta belum dapat diimplementasikan secara maksimal. Meskipun telah terdapat aturan dan kesepakatan
dalam berkolaborasi, namun hal ini hanya sebatas kesepakatan tertulis saja karena dalam pelaksanaannya
masih jauh dari harapan. Dalam manajemen jaringan,
ciri sebuah kolaborasi yang efektif adalah jika kolaborasi
itu didukung sepenuhnya oleh semua anggota jaringan
tanpa konflik dan pertentangan dalam pencapaian tujuan, ketersediaan sumber daya manusia yang memenuhi
persyaratan kompetensi yang diperlukan dan ketersediaan sumber daya keuangan secara memadai dan
berkesinambungan, terdapat penilaian kinerja terhadap
masing-masing anggota yang berkolaborasi, dan tetap
mempertahankan eksistensi masing-masing anggota untuk tetap adaptif dan berjalan secara berkesinambungan
sesuai dengan visi dan misinya masing-masing tanpa
mengganggu kolaborasi itu sendiri.15,16
Kolaborasi yang berjalan selama ini masih memiliki
banyak kelemahan, seperti adanya konflik dan pertentangan terkait dengan kurang aktifnya beberapa pelaku
kolaborasi yang mengakibatkan penanggulangan
HIV/AIDS seolah-olah menjadi beban KPAD dengan pihak LSM semata.7,9 Sejauh ini pihak yang paling berperan aktif adalah LSM yang menjangkau kelompok
sasaran sampai ditingkat paling bawah. Sedangkan pihak
SKPD dan institusi yang lain bersikap pasif dan menganggap itu bukan merupakan bagian dari tanggung jawab
mereka, sekalipun mereka termasuk dalam daftar
anggota KPAD Kota Surakarta. Pihak KPAD pun sebagai lembaga koordinator tidak memberi ketegasan sikap
terhadap masalah ini. Dalam hal sumber daya manusia,
masih dibutuhkan banyak tenaga penjangkau lapangan
yang profesional demi penanganan yang lebih baik.
Sumber daya keuangan tampaknya merupakan
masalah paling serius yang dihadapi dalam kolaborasi
ini. Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kota Surakarta untuk penanggulangan
HIV/AIDS sangat sedikit, hanya 75 juta rupiah setahun.
Dinas kesehatan hanya menggunakan dana tersebut untuk penyuluhan narkoba dan HIV/AIDS di kalangan
pelajar dan organisasi masyarakat. Selama ini KPAD dan
dinas kesehatan bergantung pada LSM yang mendapat
bantuan lembaga donor dari luar negeri, seperti GFATM, Family Health International (FHI)-USAID, HIV
Cooperation Program for Indonesia (HCPI)-AUSAID.17
387
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015
Seharusnya pihak KPAD sebagai institusi pemerintah
segera mengambil alih seluruh pengeluaran dana penanggulangan HIV/AIDS. LSM sangat bergantung pada lembaga donor dari luar negeri, padahal tidak dapat ditentukan dengan pasti dana itu akan terus diberikan kepada
mereka sehingga LSM lebih berfokus pada kepentingan
dan eksistensi mereka sendiri dibanding menjalankan kolaborasi. Keberlangsungan kolaborasi antarpemangku
kepentingan akan sulit berjalan dengan optimal, jika pemerintah tidak segera turun tangan terkait dengan besarnya dana yang dibutuhkan untuk program penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta.18 Yang menjadi
kekhawatiran adalah apabila pihak LSM tidak lagi responsif dan tidak mau terlibat lagi dalam Jaringan Peduli
AIDS Surakarta karena LSM merasa dibebani terlalu besar, sementara pemerintah tidak peduli dengan keberlangsungan LSM jika suatu saat tidak lagi didanai oleh
lembaga donor luar negeri.
Daftar Pustaka
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih atas bantuan dana
penelitian yang diberikan oleh Hibah Penelitian Utama
Universitas Sebelas Maret tahun anggaran 2013 sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.
6. Bell E, Mthembu P, O’Sullivan S, Moody K. Sexual and reproductive
1. World Health Organization. Priority interventions. HIV-AIDS prevention, treatment and care in the health sector. Geneva: World Health
Organization; 2010.
2. Lestari TRP. Kebijakan pengendalian HIV/AIDS di Denpasar. Kesmas:
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013; 8 (1): 45-48.
3. Laperrière H, Ricardo Z. Sociopolitical determinants of an AIDS prevention program: multiple actors and vertical relationships of control
and influence. Policy, Politics & Nursing Practice. 2006; 7 (2): 125-35.
4. Alistar SS, Brandeau ML. Decision making for HIV prevention and treatment scale up: bridging the gap between theory and practice. Medical
Decision Making. 2012; 32 (1): 105-117.
5. Demartoto A. Hambatan dan peluang sosio-kultural untuk memperbaiki strategi pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS di Indonesia. dalam
seminar nasional: Jaringan Epidemiologi Nasional, dengan tema: tantangan, strategi pengendalian terkini, dan pendekatan epidemiologi
molekuler untuk penyakit infeksi virus HIV/AIDS, flu burung, SARS,
ebola, dan MERS-CoV.Hotel Syariah (Lorin), Surakarta, 18 Oktober
2014. Surakarta: Jaringan Epidemiologi Nasional; 2014.
health services and HIV testing: perspectives and experiences of women
and men living with HIV and AIDS. Reproductive Health Matters. 2007;
159 (29): 113-135.
7. Harman S. Bottlenecks and benevolence: how the world bank is helping
communities to ‘cope’ with HIV/AIDS. Journal of Health Management.
Kesimpulan
Kolaborasi governance antarpemangku kepentingan
dalam pelayanan komprehensif berkesinambungan untuk menanggulangi HIV/AIDS di Kota Surakarta telah
berjalan, namun belum efektif sehingga masih perlu
banyak pembenahan demi tercapainya kualitas dan efektivitas kolaborasi. Terlebih terdapat konflik laten antarpemangku kepentingan dan kurang optimalnya koordinasi antar anggota KPAD Kota Surakarta. Pada tataran
kebijakan makro, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kota Surakarta Tahun 2011 – 2015,
isu HIV/AIDS belum menjadi isu prioritas yang berdiri
sendiri. HIV/AIDS masih termaktub dalam kebijakan
fasilitasi pengembangan jaminan sosial bagi penyandang
masalah kesejahteraan sosial dan program pencegahan
dan penanggulangan penyakit menular. Hal ini
berdampak pada minimnya anggaran daerah untuk
perencanaan dan pelaksanaan program serta komitmen kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Kota
Surakarta.
2009;11 (2): 297–313.
8. Khumsaen N, Aoup-por W, Thammachak P. Factors influencing quality
of life among people living with HIV (PLWH) in Suphanburi Province,
Thailand. Journal of the Association of Nurses in AIDS Care. 2012; 23
(1): 63-72.
9. Hellevik S B. The pattern and challenges to multisectoral HIV/AIDS coordination in Tanzania. International Review of Administrative Sciences.
2012; 78 (3): 554–75.
10. Berg R C, Gamst A, Said M, Aas K B, Songe S H, Fangen K, Rysstad O.
True user involvement by people living with HIV is possible: description
of a user-driven HIV clinic in Norway. Journal of the Association of
Nurses in AIDS Care. 2015; 26 (6): 732-42.
11. Grossman C I, Ross A L, Auerbach J D, Ananworanich J, Dubé K,
Tucker J D, Noseda V, Possas C, Rausch D M. Towards multidisciplinary
HIV-cure research: integrating social science with biomedical. Trends in
Microbiology. 2016; 24 (10): 5-11.
12. Alisjahbana B, Alam NN, Hastuti EB, Nurjanah, Tholib, Ayu D, et al
(Eds). Pedoman layanan komprehensif HIV-AIDS &IMS di lapas, rutan
dan bapas. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
dan Direktorat Jenderal Penyuluhan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Saran
Oleh karena individu dan atau lembaga yang berkolaborasi untuk menanggulangi HIV/AIDS memiliki nilai-nilai, keyakinan, dan pandangan operasional masingmasing, maka kolaborasi governance dalam pelayanan
komprehensif berkesinambungan untuk menanggulangi
HIV/AIDS seharusnya dilakukan dengan norma, struktur, dan proses yang jelas.
388
Manusia Republik Indonesia; 2012.
13. Donahue J. On collaborative governance. Corporate social responsibility
initiative [Working Paper No. 2]. Cambridge: Kennedy School of
Government, Harvard University; 2004.
14. Ansell C, Gash A. Collaborative governance in theory and practice.
Journal of Public Administration Research and Theory. 2008; 18 (4):
543-571.
15. Brazil K, MacLeod S, Guest B. Collaborative practice: a strategy to im-
Demartoto, Efektivitas Collaborative Governance dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Menanggulangi HIV/AIDS
prove the relevance of health services research. Health Manage Forum.
2002; 15 (3):18-24.
16. Nugroho R. Public policy. Jakarta: PT Gramedia; 2012.
standing of the program. Journal of Human Behavior in the Social
Environment. 2007; 15 (2-3): 271–89.
22. The Kesho Bora Study Group. Safety and effectiveness of antiretroviral
17. Gravelle M. Collaborative governance and changing federal roles a PPF
drugs during pregnancy, delivery and breastfeeding for prevention of
and PRI joint roundtable outcomes report. Ottawa: Public Policy
mother-to-child transmission of HIV-1: the Kesho Bora Multicentre
Forum; 2008.
Collaborative Study rationale, design, and implementation.
18. Milward HB, Provan KG. A manager’s guide to choosing and using collaborative networks. networks and partnerships series. Washington DC:
IBM Center for the Business of Government; 2006.
19. DeSeve GE. Creating managed networks as a response to societal challenges. Washington DC: IBM Center for the Business of Government;
2007.
20. Mckay MM, Paikoff RL, Eds. Collaborative partnerships: the foundation
for HIV prevention research efforts. New York: Routledge; 2011.
21. Pinto RM, McKay MM, Wilson M, Phillips D, Baptiste D, Bell CC,
et al. Correlates of participation in a family-based HIV prevention pro-
Contemporary Clinical Trials. 2011; 32 (1): 74-85.
23. Siddiqui S, Sarro Y, Diarra B, Diallo H, Guindo O, Dabitao D, et al.
Tuberculosis specific responses following therapy for TB: impact of HIV
co-infection. Clinical Immunology. 2015; 159 (1): 1-12.
24. Denzin N K, Lincoln Y S (Eds). Handbook of qualitative research.
California: Sage Publications Inc; 2000.
25. Patton MQ. Qualitative research & evaluation methods: integrating
theory and practice. 4th ed. Thousand Oaks, CA: Sage Publication; 2014
26. Miles M B, Huberman A M, Saldana J. Qualitative data analysis: a methods sourcebook. California : Sage Publication Inc; 2014
gram: exploring African-American Women’s motivations and under-
389
MITRA BESTARI VOL. 9 NO. 4 MEI 2015
Redaksi Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional mengucapkan terima kasih kepada Mitra
Bestari pada edisi ini antara lain:
Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM, MKes, MSc.PH (FKM Universitas Hasanuddin)
Prof. Dr. dr. Rachmadi Purwana, SKM (Departemen Kesehatan Lingkungan FKM Universitas Indonesia)
Prof. Dr. dr. Tjipto Suwandi, MOH, SpOK (FKM Universitas Airlangga)
Prof. Dr. dr. L. Meily Widjaja, MSc, SpOK (Departemen K3 FKM Universitas Indonesia)
Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH (FKM Universitas Sumatera Utara)
Prof. dr. Soedjaja Keman, MS, PhD (FKM Universitas Airlangga)
Prof. Dr. dr. I Made Djaja, SKM, MSc (Departemen Kesehatan Lingkungan FKM Universitas Indonesia)
Prof. Dr. dr. Stefanus Suriyanto, MS (FKM Universitas Airlangga)
Dr. Dian Ayubi, SKM, MQIH (Departemen Pendidikan dan Ilmu Perilaku FKM Universitas Indonesia)
Dr. Prijono Satyabhakti, MS, MPH (FKM Universitas Airlangga)
Dr. Hermansyah Hasan, SKM, MPH (FKM Universitas Sumatera Utara)
Dr. Pujiyanto, SKM, MKes (Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Indonesia)
Zakianis, SKM, MKes (Departemen Kesehatan Lingkungan FKM Universitas Indonesia)
Dr. Lucky Herawati, SKM, MSc (Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta)
Dr. Kholis Ernawati, MKes (Fakultas Kedokteran Universitas Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia)
Harry Freitag SGz, MSc (Departemen Gizi kesehatan Universitas Gajah Mada)
Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH (Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM UI)
Dr. Ir. Basuki Budiman, MKes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI)
Dr. dr. Bagoes Widjanarko, MPH, MA (FKM Universitas Diponegoro)
Dr. dr. Rachmat Hargono, MS, MPH (Departemen PKIP FKM Universitas Airlangga)
Dr. Dra. Margareta Maria Sintorini, MKes (Teknik Lingkungan Universitas Trisakti)
Dr. Emi Nurjasmi, MKes (Ikatan Bidan Indonesia)
Indeks Mitra Bestari
Indeks Mitra Bestari
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Volume 9, Agustus 2014 - Mei 2015
Redaksi Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya
dan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para Mitra Bestari atas bantuannya pada
Volume 9, No. 1 - 4:
Abdur Rahman
Andi Alfian Zainuddin
Anies Irawati
Anwar Daud
Atikah Adyas
Bagoes Widjanarko
Basuki Budiman
Besral
Budi Anna Keliat
Budi Hidayat
Catarina Umbul W.
Diah Mulyawati Utari
Dian Ayubi
Djazuly Chalidyanto
E. Elsa Herdiana Murhandarwati
Ede Surya Darmawan
Ella Nurlaela Hadi
Emi Nurjasmi
Endang Laksminingsih Achadi
Evi Martha
Fatwasari Tetra Dewi
Harry Freitag
Hasanuddin Ishak
Hermansyah Hasan
I Made Djaja
Indang Trihandini
Irnawati Marsaulina
Judhiastuty Februhartanty
Kholis Ernawati
Krisnawati Bantas
Kusharisupeni
L. Meily Kurniawidjaja
Lucky Herawati
Lukman Hakim
M. Furqaan Naiem
Margareta Maria Sintorini
Prijono Satyabakti
Puguh Prasetyoputra
Pujiyanto
Rachmadi Purwana
Rachmat Hargono
Ratu Ayu Dewi Sartika
Ridwan Amiruddin
Ririh Yudhastuti
Rita Damayanti
Rizanda Machmud
Samsuridjal Djauzi
Sandra Fikawati
Santi Martini
Soedjajadi Keman
Sorimuda Sarumpaet
Stefanus Supriyanto
Supargiyono
Suwito
Syahrir A. Pasinringi
Tjipto Suwandi
Toha Muhaimin
Tri Yunis Miko Wahyono
Trina Astuti
Tubagus Rachmat Sentika
Veni Hadju
Y. Denny Ardyanto W
Zakianis
Indeks Penulis
Indeks Penulis
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Volume 9, Agustus 2014 - Mei 2015
Abidah Nur.............................................(2) : 144-149
Adila Prabasiwi......................................(3) : 282-287
Aditia Nugraha.......................................(3) : 257-263
Ahmad Husain Asdie............................. (2) : 121-129
Ahmad Syafiq.........................................(3) : 282-287
Anita Widiastuti..................................... (4) : 315-319
Aprilya Roza Werdani............................(1) : 71-77
Ardini S. Raksanagara........................... (2) : 157-163
Argyo Demartoto................................... (4) : 382-389
Asri C. Adisasmita................................. (1) : 64-70
Bagoes Widjanarko.................................(4) : 333-339
Benny Hasan Purwara............................(2) : 157-163
Besral..................................................... (3) : 222-228
Bhisma Murti......................................... (4) : 353-361
Bina Melvia Girsang...............................(3) : 288-292
Chatarina Umbul Wahyuni.................... (4) : 293-299
Dan Wolf Meyrowitsch...........................(1) : 58-63
Demsa Simbolon.................................... (3) : 235-242
Dewi Marhaeni Diah Herawati..............(1) : 78-86
Dewi Susanna........................................ (2) : 179-186, (2) : 194-200,
(3) : 270-276
Dhimas Nirwana Yudha.........................(1) : 19-26
Dinyar Supiadi Widjaya......................... (3) : 257-263
Dita Nurhaifah....................................... (3) : 207-213
Djaswadi Dasuki.................................... (3) : 214-221
Doni Hikmat Ramdhan..........................(1) : 1–5
Dwi Hapsari...........................................(4) : 320-326
Dwi Sarwani Sri Rejeki..........................(2) : 137-143
Dyah Wulan S Rengganis Wardani........ (1) : 39-43
Eka Anggreni......................................... (3) : 277-281
Elda Nazriati.......................................... (4) : 327-332
Elly Nurachmah..................................... (1) : 14-18
Endang Sutisna Sulaeman......................(4) : 353-361
Erna Kusumawati.................................. (3) : 249-256
Ery Setiawan.......................................... (4) : 362-368
Fachmi Idris........................................... (1) : 94-100
Fachri Latif............................................ (2) : 101-106
Farida Wahyu Ningtyias......................... (2) : 121-129
Fenny Etrawati....................................... (4) : 375-381
Feranita Utama...................................... (4) : 375-381
Fitri Haryanti......................................... (1) : 50-57, (2) : 130-136
Hadyana Sukandar................................. (1) : 44-49
Hastuti Usman....................................... (1) : 44-49
Herta Masthalina................................... (4) : 340-347
Hesti Permata Sari................................. (3) : 249-256
I Ketut Suarjana.....................................(4) : 308-314
I Nyoman Widiarta Mahayasa................ (4) : 300-307
Ida Leida Maria......................................(2) : 101-106
Ii Sumarni.............................................. (2) : 179-186
Ika Dharmayanti.................................... (4) : 320-326
Ika Murtiyarini...................................... (1) : 78-86
Intje Picauly........................................... (4) : 300-307
Irvan Afriandi........................................ (1) : 78-86
Kadek Ayu Erika.................................... (1) : 14-18
Khadijah Azhar...................................... (4) : 320-326
Laksono Trisnantoro.............................. (1) : 50-57, (2) : 130-136
Lia Churniawati..................................... (4) : 293-299
Lientje K. Setyawati............................... (2) : 113-120
Luh Putu Sinthya Ulandari....................
Lusi Andriani.........................................
Ma`mun Sutisna.....................................
Madarina Julia........................................
(2) : 164-170
(3) : 235-242
(1) : 44-49
(1) : 50-57, (2) : 121-129,
(2) : 130-136
Masni..................................................... (3) : 264-269
Menofeltus Darman............................... (2) : 171-178
Merry Natalia......................................... (4) : 348-352
Mohammad Hakimi................................ (1) : 87-93
Mugia Bayu Raharja............................... (1) : 6–13
Muhammad Syafar................................. (2) : 101-106
Mukni......................................................(3) : 288-292
Najmah....................................................(4) : 375-381
Nanik Setiyawati.................................... (3) : 201-206
Nelly Marissa.......................................... (2) : 144-149
Ngatemi.................................................. (3) : 277-281
Ni Made Sri Nopiyani............................. (2) : 164-170, (4) : 308-314
Niken Meilani..........................................(3) : 201-206
Nunung Nurhayati...................................(2) : 137-143
Nur Siyam............................................... (1) : 87-93
Nuzelly Husnedi......................................(4) : 328-332
Pande Putu Januraga...............................(4) : 308-314
Pandu Riono........................................... (2) : 107-112
Purwanta.................................................(1) : 19-26
Putu Ayu Indrayathi................................ (2) : 164-170, (4) : 308-314
Raden Ayu Aisyah................................... (2) : 194-200
Rahmadani Arnur....................................(3) : 243-248
Retno Gitawati........................................(1) : 27-31
Rico Januar Sitorus................................. (4) : 348-352
Rikawarastuti.......................................... (3) : 277-281
Rina Listyowati....................................... (2) : 164-170, (4) : 308-314
Rini Sundari............................................ (3) : 257-263
Rinidar.................................................... (2) : 150-156
Rizka Nur Fadila..................................... (2) : 107-112
Rolan Sudirman Pakpahan..................... (4) : 300-307
Rosdarni.................................................. (3) : 214-221
Rostika Flora...........................................(3) : 288-292
Rutho Armita Sari...................................(2) : 137-143
Saifuddin Sirajuddin............................... (3) : 264-269
Sandra Fikawati...................................... (3) : 282-287
Santi Martini........................................... (4) : 293-299
Septyana Choirunisa............................... (1) : 64-70
Setiyowati Rahardjo................................ (3) : 249-256
Sigit Purwanto........................................ (3) : 288-292
Sindu Setia Lucia.................................... (4) : 362-368
Siswanto Agus Wilopo............................ (1) : 87-93
Siti Arifah................................................(4) : 315-319
Sri Andarini Indreswari.......................... (1) : 32-38
Sugito...................................................... (2) : 150-156
Suhaema................................................. (4) : 340-347
Suharjo ...................................................(3) : 229-234
Suharyo .................................................. (1) : 32-38
Sukar....................................................... (3) : 229-234
Sumarni Djoko Waluyo........................... (3) : 214-221
Susy Sriwahyuni Sukiswo....................... (2) : 150-156
Syamsulhuda Budi Musthofa...................(4) : 333-339
Teni Supriyani......................................... (3) : 270-276
Theodorus............................................... (3) : 288-292
Indeks Penulis
Titih Huriah............................................ (1) : 50-57, (2) : 130-136
Tri Wahyuni Sukesi................................. (3) : 207-213
Triyanti ...................................................(1) : 71-77
Umar Fahmi Achmadi.............................(3) : 270-276
Umi Lutfiah.............................................(4) : 362-368
Wahyu Dwi Astuti...................................(3) : 235-242
Wahyu Septiono...................................... (1) : 58-63
Wanti.......................................................(2) : 171-178
Waryana.................................................. (4) : 353-361
Wasilah Rochmah................................... (2) : 113-120
Willa Follona.......................................... (2) : 157-163
Winne Widiantini.................................... (3) : 222-228
Wiwin Renny Rachmawati...................... (4) : 315-319
Wiwit Aditama........................................ (4) : 369-374
Yayi Suryo Prabandari............................ (1) : 19-26, (2) : 113-120,
(2) : 121-129
Yeni ........................................................ (4) : 375-381
Yeni Mahwati ......................................... (2) : 187-193
Zahroh Shaluhiyah..................................(4) : 333-339
Zahtamal................................................. (2) : 113-120
Zulfikar................................................... (4) : 369-374
Zulkifli Djunaidi..................................... (3) : 243-248
Indeks Subjek
Indeks Subjek
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Volume 9, Agustus 2014 - Mei 2015
Aedes aegypti.........................................(3) : 207-213
Aedes sp................................................. (2) : 171-178
Air minum isi ulang............................... (4) : 300-307
Air perasan jeruk manis......................... (3) : 207-213
Air susu ibu............................................(1) : 78-86, (2) : 144-149,
(4) : 315-319
Akses informasi kesehatan..................... (4) : 353-361
Akses......................................................(4) : 308-314
Aktivitas fisik......................................... (1) : 71-77, (2) : 113-120,
(3) : 222-228
Anak usia 0-4 tahun............................... (2) : 194-200
Anak usia 1-14 tahun............................. (1) : 87-93
Anak.......................................................(4) : 320-326
Anemia...................................................(3) : 264-269
Anemia...................................................(3) : 288-292
Annual parasite insidence...................... (2) : 137-143
Antiretroviral......................................... (2) : 101-106
Antropometri......................................... (3) : 243-248
ASI eksklusif.......................................... (3) : 282-287
Asupan energi........................................ (3) : 282-287
Asupan karbohidrat............................... (1) : 71-77
Asupan makan....................................... (1) : 14-18
Asupan vitamin D.................................. (1) : 87-93
Badan layanan umum.............................(2) : 164-170
Balita...................................................... (1) : 50-57, (2) : 130-136,
(2) : 144-149
Batita......................................................(3) : 249-256
Berat badan bayi.....................................(4) : 315-319
Bioindikator timbal................................ (3) : 229-234
Breatau index........................................ (2) : 171-178
Child healthcare model.......................... (1) : 14-18
Children................................................. (1) : 58- 63
Collaborative governance..................... (4) : 382-389
Container index..................................... (2) : 171-178
Daerah bebas......................................... (2) : 171-178
Daerah bukan konflik............................ (1) : 43-49
Daerah konflik....................................... (1) : 43-49
Daerah tempat tinggal............................(1) : 6-13
Demam berdarah dengue....................... (1) : 87-93, (2) : 171-178,
(4) : 369-374
Depot air minum.................................... (4) : 300-307
Determinan sosial.................................. (1) : 39-43
Diabetes melitus.....................................(3) : 277-281
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta..(1) : 94-100
Drug storage...........................................(1) : 27-31
Efek samping obat.................................. (2) : 101-106
Efektivitas.............................................. (4) : 382-389
Elderly.................................................... (2) : 187-193
Endemis..................................................(2) : 171-178
Ergonometri........................................... (3) : 243-248
Escherchia coli...................................... (4) : 300-307
Ethical drugs.......................................... (1) : 27-31
Evaluasi..................................................(1) : 78-86
Fasilitas kesehatan tingkat primer..........(4) : 327-332
Fasilitas kesehatan tingkat sekunder...... (4) : 327-332
Fasilitator kesehatan.............................. (4) : 353-361
Fertilitas................................................. (1) : 6-13
Gangguan akibat kekurangan iodium.... (2) : 121-129
Gaya hidup.............................................(4) : 293-299
Genom................................................... (1) : 1-5
Gizi buruk..............................................(1) : 64-70
Goitrogenik............................................ (2) : 121-129
Hepatitis A............................................. (2) : 179-186
HIV/AIDS............................................. (2) : 101-106, (4) : 333-339
Home care.............................................. (2) : 130-136
House index........................................... (2) : 171-178
Household.............................................. (1) : 27-31
Ibu hamil................................................(3) : 288-292
Implementasi..........................................(2) : 164-170
Industri minyak...................................... (3) : 229-234
Infeksi malaria....................................... (3) : 288-292
Insiden................................................... (1) : 39-43
Intervensi............................................... (4) : 375-381
Jaminan kesehatan nasional................... (4) : 308-314
Jaringan periodontal...............................(3) : 277-281
Jentik Aedes sp...................................... (4) : 369-374
Jumlah konsumsi rokok..........................(3) : 257-263
Jumlah pendatang.................................. (2) : 137-143
Kadar gula darah puasa......................... (1) : 71-77
Kadar IFN-g........................................... (1) : 32-38
Kadar TNF-α
α..........................................(3) : 288-292
Karakteristik demografi......................... (1) : 50-57
Karakteristik.......................................... (2) : 150-156
Kawasan tanpa rokok.............................(4) : 375-381
Kebiasaan makan bersama.....................(2) : 179-186
Kebiasaan sarapan pagi..........................(3) : 264-269
Kebijakan............................................... (2) : 164-170
Kecacingan.............................................(3) : 264-269
Kehamilan..............................................(3) : 235-242
Kelambu berinsektisida..........................(2) : 194-200
Kepadatan penduduk............................. (2) : 137-143
Kepatuhan..............................................(2) : 101-106, (2) : 107-112
Kepemimpinan....................................... (4) : 353-361
Kesehatan masyarakat............................(1) : 1-5
Ketersediaan informasi.......................... (3) : 201-206
Kartu jakarta sehat................................ (1) : 94-100
Koliform.................................................(4) : 300-307
Kondisi kesehatan lingkungan............... (2) : 179-186
Konseling menyusui............................... (1) : 78-86
Kontak serumah.....................................(1) : 32-38
Lama merokok....................................... (3) : 257-263
Larvasida................................................(3) : 207-213
Lingkungan............................................ (2) : 150-156
Luas wilayah.......................................... (2) : 137-143
Makanan penghambat zat besi............... (3) : 264-269
Makanan sumber heme.......................... (3) : 264-269
Malaria................................................... (2) : 137-143, (2) : 150-156,
(2) : 194-200, (3) : 270-276
Malnutrisi akut berat............................. (1) : 50-57
Malnutrisi akut berat............................. (2) : 130-136
Media lingkungan...................................(3) : 229-234
Modal sosial........................................... (4) : 353-361
Multimorbidity....................................... (2) : 187-193
Nutrigenomik......................................... (1) : 1-5
Obesitas abdominal................................(4) : 293-299
Obesitas................................................. (1) : 14-18
Indeks Subjek
Obesitas................................................. (3) : 222-228
Orang dengan HIV/AIDS...................... (4) : 333-339
Over the counter drugs.......................... (1) : 27-31
Overweight.............................................(1) : 14-18
Ovitrap bambu....................................... (4) : 369-374
Panjang badan lahir pendek...................(3) : 235-242
Parameter trombosit...............................(3) : 257-263
Parental control......................................(1) : 58- 63
Parental support.....................................(1) : 58- 63
Pecandu narkotika................................. (4) : 348-352
Pekerja migran....................................... (3) : 270-276
Pekerja perusahaan................................ (2) : 113-120
Pekerja seks perempuan.........................(4) : 308-314
Pelaksanaan Jamkesmas.........................(4) : 362-368
Pelayanan kesehatan berjenjang............ (1) : 94-100
Pemberdayaan keluarga......................... (3) : 249-256
Pembiayaan kesehatan........................... (1) : 64-70
Pendataan program perlindungan sosial (4) : 362-368
Penanggulangan HIV/AIDS.................. (4) : 382-389
Pencetus asma........................................ (4) : 320-326
Pendapatan daerah.................................(1) : 64-70
Pendewasaan usia perkawinan...............(2) : 157-163
Pendidikan kelompok sebaya................. (2) : 157-163
Pengetahuan...........................................(1) : 19-26, (2) : 157-163
Pengguna narkotika............................... (4) : 348-352
Pengobatan tuberkulosis........................ (2) : 107-112
Pengolahan makanan............................. (2) : 121-129
Penyakit infeksi...................................... (2) : 144-149, (3) : 249-256
Penyuluhan gizi......................................(2) : 121-129
Peran petugas kesehatan........................ (4) : 353-361
Perdesaan............................................... (2) : 157-163
Perilaku..................................................(2) : 150-156, (4) : 375-381
Perilaku hidup bersih dan sehat.............(2) : 179-186
Perilaku merokok...................................(4) : 320-326
Perilaku seksual berisiko....................... (4) : 348-352
Perilaku seksual pranikah...................... (3) : 214-221
Perkembangan pertumbuhan................. (1) : 43-49
Perkotaan............................................... (2) : 157-163
Persepsi ketidakcukupan ASI................ (3) : 282-287
Persepsi.................................................. (1) : 19-26
Personal................................................. (3) : 214-221
Pola konsumsi makanan.........................(4) : 340-347
Pola konsumsi........................................ (3) : 264-269
Prehipertensi.......................................... (4) : 293-299
Prevalensi sindrom metabolik................ (2) : 113-120
Puskesmas.............................................. (2) : 164-170
Rejimen.................................................. (2) : 107-112
Remaja................................................... (1) : 6-13, (2) : 157-163,
(3) : 214-221
Reseptif.................................................. (3) : 270-276
Resurgensi..............................................(3) : 270-276
Rujukan nonspesialistik......................... (4) : 327-332
Rumah tangga........................................ (4) : 375-381
Rural...................................................... (1) : 50-57
Sepeda motor..........................................(3) : 243-248
Shisha.....................................................(1) : 19-26
Sikap...................................................... (2) : 157-163
Siklus kehidupan....................................(3) : 235-242
Sindrom metabolik.................................(4) : 340-347
Smoking................................................. (1) : 58- 63
Sosial ekonomi....................................... (2) : 150-156
Status gizi...............................................(2) : 130-136, (3) : 282-287
Stigma masyarakat................................. (4) : 333-339
Stres....................................................... (3) : 222-228
Stunting..................................................(3) : 249-256
Survei sosial ekonomi nasional.............. (4) : 362-368
Teknik marmet....................................... (4) : 315-319
Tes HIV ibu hamil..................................(3) : 201-206
Tingkat keparahan................................. (1) : 87-93, (3) : 277-281
FORMULIR BERLANGGANAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
Alamat
Telepon
E-mail
Edisi
: ......................................................................................................................
: ......................................................................................................................
......................................................................................................................
......................................................................................................................
: ......................................................................................................................
: ......................................................................................................................
: ......................................................................................................................
Bersedia untuk menjadi pelanggan Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
dengan biaya Rp. 300.000,-/tahun/4 edisi (sudah termasuk ongkos kirim)*.
..................................., ....................
(......................................................)
*Apabila membeli edisi sebelumnya dan lebih dari 2 eksemplar per transaksi dikenakan biaya ongkos kirim
Pembayaran ditransfer ke:
FKM UI
BANK BNI KANTOR CABANG UI DEPOK
NO REK. 0067984984
Bukti transfer beserta formulir ini dikirimkan ke:
Redaksi Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Gd. A Lt. 3 Rumpun Ilmu Kesehatan
Kampus Baru UI, Depok 16424
Hp. 0815-1141-6600
atau email: [email protected]
Download