.HVPDV Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume 9, Nomor 4, Mei 2015 ISSN 1907-7505 DAFTAR ISI Artikel Penelitian Prehipertensi pada Obesitas Abdominal............................................................................................. 293-299 Lia Churniawati, Santi Martini, Chatarina Umbul Wahyuni Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri Koliform pada Air Minum Isi Ulang ............. 300-307 Rolan Sudirman Pakpahan, Intje Picauly, I Nyoman Widiarta Mahayasa Akses Jaminan Kesehatan Nasional pada Pekerja Seks Perempuan .................................................. 308-314 Ni Made Sri Nopiyani, Putu Ayu Indrayathi, Rina Listyowati, I Ketut Suarjana, Pande Putu Januraga Pengaruh Teknik Marmet terhadap Kelancaran Air Susu Ibu dan Kenaikan Berat Badan Bayi ....... 315-319 Anita Widiastuti, Siti Arifah, Wiwin Renny Rachmawati Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan Pencetus..................................................................... 320-326 Ika Dharmayanti, Dwi Hapsari, Khadijah Azhar Tingkat Primer................................ 327-332 Elda Nazriati, Nuzelly Husnedi Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS.....................................................................333-339 Zahroh Shaluhiyah, Syamsulhuda Budi Musthofa, Bagoes Widjanarko Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di Indonesia.................................................. 340-347 Suhaema, Herta Masthalina Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika ................................................................................. 348-352 Rico Januar Sitorus, Merry Natalia dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan ........................................................................ 353-361 Endang Sutisna Sulaeman, Bhisma Murti, Waryana Ketidaktepatan Sasaran Jaminan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Kriteria Miskin Pendataan Program Pelayanan Sosial...................................................................................................................362-368 !"#$%&&Aedes sp yang Terperangkap.............................. 369-374 W #'TTTangga ..............................................375-381 Najmah, Fenny Etrawati, Yeni, Feranita Utama !#Collaborative Governance dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Menanggulangi HIV/AIDS................................................................................................................. 382-389 Argyo Demartoto Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 56/DIKTI/Kep/2012 tanggal 24 Juli 2012, Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional diakui sebagai terbitan berkala ilmiah terakreditasi Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume 9, Nomor 4, Mei 2015 ISSN 1907-7505 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional merupakan jurnal yang memuat artikel hasil penelitian maupun artikel telaahan undangan editor di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat dan diterbitkan setiap tiga bulanan. Ketua Editor Dr. Dra. Dewi Susanna, MS Anggota Editor Dr. Dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) Ir. Ahmad Syafiq, MSc, PhD (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) dr. Zarfiel Tafal, MPH (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) Doni Hikmat Ramdhan, SKM, MKKK, PhD (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) Prof. Dr. Ir. Ahmad Solaeman, MS (Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor) Prof. Dr. drh. Upik Kusumawati Hadi, MS (Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor) dr. Yodi Mahendradhata, MSc, PhD (Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada) Managing Editor Desy Hiryani, SKM Web Programmer Eddy Afriansyah, SKom, MSi Yoni Febrian Mulyono, SKom Redaktur Bahasa Ayu Lestari Purborini, SHum Sekretaris Editor Aziza Aulia Irfa, SKM Distribusi Rohaya Diterbitkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Gd. A Lt. 3 Rumpun Ilmu Kesehatan Kampus Baru UI, Depok 16424 Telp/Fax: (021)7864975/ (021)7863472, Hp. 0815-1141-6600 Email: [email protected] atau [email protected] Website: http://jurnalkesmas.ui.ac.id SURAT PEMBACA Yth. Bapak/Ibu Penulis, Mitra Bebestari, Pelanggan, dan Pembaca Dalam rangka menuju internasionalisasi jurnal, Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional mulai edisi Volume 10 Nomor 1 Agustus 2015 akan menerbitkan artikel dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan perubahan jumlah halaman dari 100 halaman (14-15 artikel) menjadi 50 halaman (7-8 artikel). Untuk itu kami menghimbau kepada Bapak/Ibu untuk mengirimkan artikel dalam bahasa Inggris melalui online pada website http://jurnalkesmas.ui.ac.id Kami akan membantu menterjemahkan artikel Bapak/Ibu yang masih dalam bahasa Indonesia dengan penambahan biaya. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sekretariat di email: [email protected] atau nomor kontak 081511416600. Kami mohon doa dan dukungan dari Bapak/Ibu agar tujuan ini dapat terwujud dan terlaksana dengan sebaik-baiknya. Kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Bapak/Ibu dalam mempublikasikan artikel di jurnal kami dan kami menunggu sumbangan artikel Bapak/Ibu. (Redaksi) Terhitung sejak edisi Volume 8 Nomor 1 Agustus 2013, setiap artikel yang dipublikasi dikenakan biaya muat sebesar Rp.500.000 (lima ratus ribu rupiah) Pembayaran ditransfer ke: FKM UI BANK BNI KANTOR CABANG UI DEPOK NO REK. 0067984984 Bukti transfer dikirim ke: Sekretariat Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Gd. A Lt. 3 Rumpun Ilmu Kesehatan Kampus Baru UI, Depok 16424 Telp/Fax: (021) 78849035, Hp. 0815-1141-6600 atau Email: [email protected] PEDOMAN PENULISAN NASKAH 1. Jurnal ini memuat artikel di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat Artikel Jurnal di Internet: meliputi Epidemiologi, Biostatistik, Administrasi dan Kebijakan Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the ANA acts Kesehatan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kesehatan in an advisory role. The American Journal of Nursing [serial on the Lingkungan, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Gizi Kesehatan Internet]. 2002 Jun [cited 2002 Aug 12]; 102 (6): [about 3 p.]. Available Masyarakat, dan Kesehatan Reproduksi. from:http://www.nursingworld.org/AJN/ 2002/june/Wawatch.htm. 2. Artikel yang diajukan berupa artikel penelitian dan artikel telaahan Buku yang ditulis Individu: undangan editor yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. Medical mi- dan tidak sedang diajukan ke tempat lain dan bebas dari plagiasi. crobiology. 4th ed. St. Louis: Mosby; 2002. Setiap artikel masuk akan dilakukan pengecekan dengan aplikasi de- Buku yang ditulis Organisasi dan Penerbit: teksi plagiat Ithenticate. Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clinical 3. Komponen Artikel: Nursing. Compendium of nursing research and practice development, • Judul dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ditulis maksimal 15 patah kata. 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001. • Identitas penulis ditulis di bawah judul memuat nama, alamat korespondensi, nomor telepon, dan email (hanya untuk penulis korespondensi). Meltzer PS, Kallioniemi A, Trent JM. Chromosome alterations in hu- • Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata, dalam satu alinea mencakup masalah, tujuan, metode, hasil, disertai dengan 3-5 kata kunci. Materi Hukum atau Peraturan: • Pendahuluan berisi latar belakang, tinjauan pustaka secara singkat dan relevan serta tujuan penelitian. Queen’s Printer for Ontario; 1994. • Metode meliputi desain, populasi, sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul data, dan prosedur analisis data. Anderson SC, Poulsen KB. Anderson’s electronic atlas of hematology • Hasil adalah temuan penelitian yang disajikan tanpa pendapat. • Pembahasan menguraikan secara tepat dan argumentatif hasil penelitian dengan teori dan temuan terdahulu yang relevan. Buku di Internet: • Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuai dengan penampilan dalam teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gambar dengan judul singkat. 2001 [cited 2002 Jul 9]. A vailable from: http://www. • Kesimpulan dan Saran menjawab masalah penelitian tidak melampaui kapasitas temuan. Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulan berbentuk narasi, logis, dan tepat guna. 4. Rujukan sesuai aturan Vancouver. A.D.A.M. medical encyclopedia [Internet]. Atlanta: A.D.A.M., Inc.; • Urutkan sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks dan diutamakan rujukan jurnal terkini Canadian Cancer Society [homepage on the Internet]. Toronto: The • Nama penulis dicantumkan nama belakang dan inisial nama depan maksimal 6 orang selebihnya diikuti “dkk (et al)” Bab dalam Buku: man solid tumors. In: Vogelstein B, Kinzler KW, editors. The genetic basis of human cancer. New York: McGraw-Hill; 2002. p. 93-113. Regulated Health Professions Act, 1991, Stat. Of Ontario, 1991 Ch.18, as amended by 1993, Ch.37: office consolidation. Toronto: CD-ROM: [CD-ROM]. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [monograph on the Internet]. Washington: National Academy Press; nap.edu/books/0309074029/html/. Ensiklopedia di Internet: c2005 [cited 2007 Mar 26]. A vailable from: http://www. nlm.nih.gov/medlineplus/encyclopedia.html. Situs Internet: Society; 2006 [updated 2006 May 12; cited 2006 Oct 17]. Available from: http://www.cancer.ca/. 5. Naskah maksimal 5000 kata A4 spasi ganda, ditulis dengan program • Huruf pertama judul acuan ditulis dengan huruf kapital, selebihnya dengan huruf kecil, kecuali nama orang, tempat, dan waktu. Nama latin ditulis miring. Judul tidak boleh digaris bawah dan ditebalkan. komputer Microsoft Word, softcopy artikel submit melalui website • Contoh bentuk referensi: Artikel Jurnal Penulis Individu: penulis bermaterai 6000. Template artikel dan surat pernyataan dapat http://jurnalkesmas.ui.ac.id dan 1 (satu) eksemplar dokumen tertulis melalui pos disertai surat pernyataan yang ditandatangani semua diunduh pada website. Zainuddin AA. Kebijakan pengelolaan kualitas udara terkait trans- 6. Naskah hardcopy dikirim kepada: Redaksi Kesmas: Jurnal Kesehatan portasi di Provinsi DKI Jakarta. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Masyarakat Nasional. 2010; 4 (6): 281-8. Artikel Jurnal Penulis Organisasi: Gedung A Lantai 3 Rumpun Ilmu Kesehatan Kampus Baru UI Depok 16424 7. Artikel yang telah dipublikasikan akan dikenakan biaya muat sebesar Diabetes Prevention Program Research Group. Hypertension, insulin, Rp.500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pembayaran biaya muat melalui no and proinsulin in participants with impaired glucose tolerance. rek. 0067984984 a.n FKM UI Bank BNI Kantor Cabang UI Depok dan buk- Hypertension. 2002; 40 (5): 679-86. ti pembayaran dikirimkan melalui email: [email protected] Artikel Penelitian Prehipertensi pada Obesitas Abdominal Prehypertention among Abdominal Obesity Lia Churniawati, Santi Martini, Chatarina Umbul Wahyuni Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Abstrak Prehipertensi banyak terjadi pada penderita obesitas abdominal. Prevalensi obesitas abdominal di Kabupaten Gresik sebesar 21,5%. Kepatuhan diet penderita prehipertensi dengan obesitas abdominal diperlukan untuk mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Prehipertensi dan hipertensi berhubungan dengan pelbagai komplikasi pada hampir seluruh organ. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis determinan prehipertensi pada obesitas abdominal di Kabupaten Gresik. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Gresik pada November 2013 - November 2014 dengan rancangan penelitian potong lintang. Responden adalah pasien yang datang ke unit rawat jalan puskesmas yang diambil secara konsekutif sejumlah 74 orang. Responden berusia antara 25 - 64 tahun, mengalami obesitas abdominal, tidak hamil, tidak hipertensi, dan tidak syok. Responden diwawancarai usia, jenis kelamin, pendidikan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, riwayat keluarga, dan kebiasaan makan serta diperiksa tekanan darah, kadar kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida, dan gula darah puasa. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji kai kuadrat serta multivariat dengan regresi logistik ganda. Prevalensi prehipertensi pada obesitas abdominal sebesar 62,2%. Jika dibandingkan menurut jenis kelamin, laki-laki banyak mengalami prehipertensi. Kadar trigliserida berhubungan secara signifikan dengan prehipertensi (PR = 4,620; 95% CI = 1,439 - 14,831; nilai p = 0,010). Intervensi untuk mencegah prehipertensi perlu dilakukan sejak dini dengan memodifikasi gaya hidup orang dengan obesitas abdominal. Kata kunci: Gaya hidup, obesitas abdominal, prehipertensi, trigliserida Abstract Prehypertension commonly happened to people suffering abdominal obesity. The abdominal obesity prevalence in Gresik District was 21.5%. Dietary compliance of patients with prehypertension and abdominal obesity was needed to decrease hypertension risk. Prehypertension and hypertension correlate with various complications in almost organs. This study aimed to analyze prehypertension determinants among abdominal obesity as conducted on November 2013 - November 2014 using cross sectional design. Respondents were patients coming to primary health care’s outpatient unit as 74 people taken consecutively. They were 25 - 64 years old, suffering abdominal obesity, not getting pregnant, non-hypertensive and not in a shock. Respondents were interviewed regarding age, sex, education, physical activities, smoking habits, family records and eating habits as blood pressure and levels of total cholesterol, LDL, HDL, triglyceride and fasting blood glucose measured. Data analysis applied univariate, bivariate with chi square test and multivariate with multiple logistic regressions. The prehypertension prevalence among abdominal obesity was 62.2%. If compared based on sex, males have more prehypertension experience. Triglyceride levels significantly related to prehypertension (PR = 4.620; 95% CI = 1.439 - 14.831; p value = 0.010). Intervention to prevent prehypertension should be implemented since early by modifying lifestyle of people suffering abdominal obesity. Keywords: Lifestyle, abdominal obesity, prehypertension, triglyceride Pendahuluan World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2020 penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyebab kematian sebanyak 73% dan beban penyakit 60% di dunia. Demikian halnya di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, dilaporkan bahwa 49,7% penyebab kematian adalah akibat penyakit tidak menular, salah satu di antaranya adalah hipertensi.1 Hipertensi merupakan suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala berlanjut pada suatu Korespondensi: Lia Churniawati, Departemen Epidemiologi FKM Universitas Airlangga Kampus C Unair Mulyorejo Surabaya Jawa Timur 60115, No. Telp: 031-5929427, e-mail: [email protected] 293 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 target organ tubuh sehingga timbul kerusakan lebih berat seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, diabetes, dan lain-lain.2 Pada tahun 2000, secara global diperkirakan prevalensi hipertensi usia 20 tahun ke atas cukup tinggi. Di Amerika Latin diperkirakan prevalensi hipertensi 40,1- 41,4%, Karibia 34,3 - 35,4%, Asia 16,1 - 17,9%, Sub-Sahara Afrika 26 - 27,7%, dan Tiongkok 21,2 23,9%. Angka tersebut diperkirakan akan mengalami peningkatan pada tahun 2025.3 Prevalensi nasional hipertensi di Indonesia pada kelompok usia lebih dari 18 tahun berdasarkan pengukuran adalah 29,8% dengan insiden komplikasi penyakit kardiovaskular lebih banyak pada perempuan, yaitu sebesar 52%.4 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi hipertensi di Jawa Timur sebesar 37,4% yang berada di atas prevalensi nasional.5 Tekanan darah dalam kisaran prehipertensi dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Prehipertensi termasuk kategori independen tekanan darah. Menurut The Joint National Committee (JNC 7) on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure, prehipertensi adalah apabila tekanan darah sistolik 120 - 139 mmHg atau tekanan darah diastolik 80 89 mmHg pada usia lebih dari 18 tahun. Diperkirakan prevalensi prehipertensi secara global 36%.6 Prevalensi prehipertensi di wilayah Asia tergolong tinggi, diketahui dari prevalensi prehipertensi usia dewasa muda di Tiongkok sebesar 47%.7 Tidak jauh berbeda dengan wilayah Asia, prevalensi prehipertensi usia muda di Indonesia tergolong tinggi dan melebihi kedua negara tersebut, yaitu 48,4%. Prehipertensi pada usia muda (< 35 tahun) juga berisiko terjadinya arteroskelorosis pada 20 tahun kemudian. Prehipertensi tidak meningkatkan mortalitas, namun secara signifikan dapat meningkatkan kematian terhadap faktor risiko lain seperti penyakit jantung.8 Penderita prehipertensi berisiko mengalami hipertensi klinis 19% pada lebih dari empat tahun mendatang dan penyakit kardiovaskuler di kemudian hari. 7 Insiden hipertensi pada kelompok yang sebelumnya mengalami prehipertensi pada usia lebih dari 65 tahun sebesar 42%, sedangkan yang terjadi pada kelompok usia 35 – 64 tahun sebesar 27%.9 Setiap peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) atau tekanan darah diastolik (TDD) (20/10 mmHg) berisiko dua kali lipat untuk terjadinya penyakit kardiovaskular.10 Di beberapa negara, saat ini prevalensi prehipertensi terus meningkat sejalan dengan perubahan gaya hidup dan dapat berisiko terjadinya hipertensi di kemudian hari. Terdapat keterkaitan yang erat antara kelebihan lemak tubuh, terutama yang terlokalisir di bagian tengah tubuh (obesitas sentral atau obesitas abdominal), dengan 294 tekanan darah. Berdasarkan data Riskesdas Provinsi Jawa Timur tahun 2007, prevalensi hipertensi di Kabupaten Gresik sebesar 29,6%. 5 Penderita hipertensi di Kabupaten Gresik mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tingginya angka hipertensi di Kabupaten Gresik tidak menutup besar kemungkinan terjadinya prehipertensi. Prehipertensi sering kali terjadi pada penderita obesitas abdominal. Berdasarkan data Riskesdas Jawa Timur tahun 2007, prevalensi obesitas abdominal di Kabupaten Gresik tergolong tinggi, yaitu 21,5%, dan angka tersebut melebihi prevalensi di Jawa Timur.5 Berdasarkan penelitian sebelumnya, diketahui bahwa faktor risiko prehipertensi adalah usia, tingkat pendidikan, gangguan lipid, merokok, obesitas, dan konsumsi alkohol.7 Jenis kelamin, aktivitas fisik, dan riwayat keluarga merupakan faktor risiko prehipertensi.11 Di Kabupaten Gresik, prevalensi hipertensi meningkat dari tahun ke tahun dan prevalensi obesitas juga menunjukkan angka yang tinggi. Oleh karena itu, faktor risiko yang menjadi penentu kejadian prehipertensi di kalangan obesitas abdominal perlu diidentifikasi. Metode Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan studi potong lintang, yaitu mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dengan variabel tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gresik pada November 2013 - November 2014. Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang berkunjung ke unit rawat jalan atau balai pengobatan puskesmas dengan obesitas abdominal dan berusia 25 64 tahun. Sampel dalam penelitian merupakan pasien dengan obesitas abdominal yang berobat di 12 puskesmas perawatan dan tercatat dalam rekam medis serta memenuhi kriteria inklusi, yaitu tidak sedang hamil, tidak dalam kondisi syok, dan tidak sedang menjalani pengobatan hipertensi. Dalam studi potong lintang, ukuran sampel dihitung dengan kepercayaan 95%. Adapun dengan proporsi pada populasi diketahui sebesar 48%, maka diperoleh sampel penelitian sejumlah 74 orang.8 Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan consecutive sampling. Pengambilan sampel darah dilakukan oleh tenaga laboratorium puskesmas. Variabel terikat pada penelitian ini adalah prehipertensi dan variabel bebas adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, riwayat keluarga dengan hipertensi, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, frekuensi makan, kolesterol total, low density lipoproterin (LDL), high density lipoprotein (HDL), trigliserida, dan diabetes melitus. Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan menggunakan sphygmomanometer sesuai dengan rekomendasi JNC 7. Adapun klasifikasi tekanan darah menurut Churniawati, Martini, Wahyuni, Prehipertensi pada Obesitas Abdominal JNC 7 yaitu normal < 120 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan < 80 mmHg untuk tekanan darah diastolik, sedangkan prehipertensi 120 - 139 mmHg tekanan darah sistolik atau 80 - 89 mmHg tekanan darah diastolik. Pengukuran obesitas abdominal dilakukan dengan menggunakan metline. Berdasarkan International Diabetes Federation, dikatakan obesitas abdominal apabila lingkar pinggang pada laki-laki ≥ 90 centimeter dan pada perempuan ≥ 80 centimeter. Adapun klasifikasi profil lipid berdasarkan The National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) yang telah dimodifikasi, yaitu kolesterol total normal < 200 mg/dL dan tinggi ≥ 200 mg/dL; LDL normal < 130 mg/dL dan tinggi ≥ 130 mg/dL; HDL rendah < 40 mg/dL untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan HDL rendah < 50 mg/dL. Sebelum dilakukan pengambilan darah guna pemeriksaan profil lipid dan gula darah, responden berpuasa selama 10 jam terlebih dahulu. Adapun analisis kadar profil lipid dilakukan oleh petugas laboratorium di puskesmas dengan menggunakan fotometer. Pengumpulan data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan instrumen kuesioner untuk mengumpulkan data mengenai karakteristik responden yang meliputi usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan hipertensi, aktivitas fisik dan perilaku merokok. Selain itu, berupa hasil laboratorium untuk kadar kolesterol total, LDL kolesterol, HDL kolesterol, trigliserida, dan gula darah puasa. Sedangkan data sekunder diperoleh dari unit rawat jalan (balai pengobatan) puskesmas berupa catatan medis sampel. Setelah pengumpulan data dilakukan, kemudian editing, coding, data entry, cleaning dianalisis. Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui adanya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat secara terpisah dengan uji kai kuadrat, kemudian melihat besar risiko dengan menghitung prevalence ratio (PR) dan 95% confidence interval (CI). Analisis multivariat (regresi logistik) digunakan untuk mengetahui pengaruh paparan secara bersama-sama dari beberapa faktor yang berhubungan dengan prehipertensi pada obesitas abdominal. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk merumuskan tindakan preventif dalam rangka pencegahan penyakit prehipertensi dan tentunya juga mencegah hipertensi. Prehipertensi merupakan suatu bentuk peringatan akan terjadinya hipertensi di kemudian hari. Komplikasi prehipertensi dan hipertensi memiliki dampak yang besar pada kualitas hidup. Promosi kesehatan, deteksi dini dan peranan intervensi penting dilakukan dalam mencegah komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis determinan yang berhubungan dengan prehipertensi pada obesitas abdominal di Kabupaten Gresik. Hasil Responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi empat kelompok usia, yaitu usia 25 - 34 tahun, 35 - 44 tahun, 45 - 54 tahun, dan 55 - 64 tahun. Sebagian besar responden dalam penelitian ini berusia 45 - 54 tahun (37,8%) dan berjenis kelamin perempuan (78,4%). Rerata kadar kolesterol total responden prehipertensi pada obesitas abdominal 203 mg/dL, SD ± 52,6. Rerata kadar kolesterol responden tidak prehipertensi 198,5 mg/dL, SD ± 51,2 dengan nilai p = 0,71. Adapun rerata kadar LDL responden prehipertensi pada obesitas abdominal 129,6 mg/dL, SD ± 48,9. Rerata kadar LDL responden tidak prehipertensi 129 mg/dL, SD ± 44,1 dan nilai p = 0,95 (Tabel 1). Rerata kadar HDL responden prehipertensi pada obesitas abdominal 48,3 mg/dL, SD ± 20,1. Rerata kadar HDL responden tidak prehipertensi 43,7 mg/dL, SD ± 19,6, dan nilai p = 0,33. Adapun rerata kadar trigliserida responden prehipertensi pada obesitas abdominal 147,8 mg/dl, SD ± 54,8. Rerata kadar LDL responden tidak prehipertensi 129,7 mg/dL, SD ± 37,6, dan nilai p = 0,12. Di antara 74 responden dengan obesitas abdominal yang berusia 25 - 64, sejumlah 62,2% mengalami prehipertensi. Pada umumnya, responden berusia 55 - 64 tahun mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal dari hasil analisis statistik antara usia dengan prehipertensi pada obesitas abdominal (nilai p = 0,13) (Tabel 1). Berdasarkan jenis kelamin, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang berjenis kelamin laki-laki mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal. Menurut analisis bivariat dengan melihat besar risiko, diketahui bahwa laki-laki berisiko 1,27 kali mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal bila dibandingkan dengan perempuan (PR = 1,27; 95% CI = 0,89 - 1,82) (Tabel 1). Dari hasil pengumpulan data, diketahui bahwa sebagian besar responden dengan aktivitas fisik rendah mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal (64,2%) (Tabel 1). Berdasarkan analisis bivariat dengan melihat besar risiko, diketahui bahwa aktivitas fisik rendah berisiko 1,49 kali mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal bila dibandingkan dengan aktivitas fisik tinggi (PR = 1,49; 95% CI = 0,62 - 3,58). Berdasarkan hasil pengumpulan data, diketahui bahwa sebagian besar responden yang memiliki kolesterol total tinggi mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal (68,8%) (Tabel 1). Dari hasil analisis statistik dengan melihat besar risiko, diketahui bahwa seseorang dengan kolesterol total tinggi berisiko mengalami prehipertensi 1,2 kali bila dibandingkan dengan kolesterol normal (PR = 1,20; 95% CI = 0,84 - 1,70). 295 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Tabel 1. Hasil Analisis Bivariat Prehipertensi Variabel PR n Usia Jenis kelamin Riwayat keluarga dengan hipertensi Aktivitas fisik Kebiasaan merokok Kolesterol total LDL HDL Trigliserida Diabetes melitus 25 - 34 tahun 35 - 44 tahun 45 - 54 tahun 55 - 64 tahun Laki-laki Perempuan Ya Tidak Rendah Tinggi Ya Tidak Tinggi (≥ 200mg/dL) Normal(< 200 mg/dL) Tinggi (≥130mg/dL) Normal (< 130mg/dL) Rendah (< 40mg/dL) Tinggi (≥ 40 mg/dL) Tinggi (≥150 mg/dL) Normal (<150 mg/dL) Ya Tidak 8 13 18 7 12 34 25 21 43 3 7 39 22 24 19 27 18 28 23 23 5 41 Tabel 2. Model Akhir Analisis Multivariat Variabel Trigliserida B OR 95% CI Nilai p 1,530 4,620 1,439 – 14,831 0,010 Rumus 1. Model Persamaan Regresi Logistik 1 Y= 1 + e-(β0 + ∑βnXn) 1 Y= 1 + e-(20,702+ 1,536 Trigliserida) Sebagian besar responden yang memiliki trigliserida tinggi mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal dengan persentase sebesar 79,3%. Sedangkan responden yang memiliki trigliserida normal sebagian besar tidak mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal sebesar 48,9%. Dari hasil analisis statistik dengan melihat besar risiko, diketahui bahwa terdapat hubungan antara trigliserida dengan prehipertensi pada obesitas abdominal (nilai p = 0,01). Orang dengan trigliserida tinggi memiliki risiko untuk terjadinya prehipertensi pada obesitas abdominal sebesar 1,55 kali bila dibandingkan trigliserida normal (PR = 1,55; 95% CI = 1,10 - 2,18) sebagaimana tersaji pada Tabel 1. Variabel yang masuk dalam analisis multivariat adalah variabel yang dalam analisis bivariat mempunyai nilai signifikansi nilai p ≤ 0,25 atau secara substansi dianggap sangat memengaruhi prehipertensi pada obesitas 296 Tidak Prehipertensi Kategori % 57,1 52,0 64,3 100 75,0 58,6 61,0 63,6 64,2 42,9 63,6 61,9 68,8 57,1 59,4 64,3 56,2 66,7 79,3 51,1 50 64,1 n 6 12 10 0 4 24 16 12 24 4 4 24 10 18 13 15 14 14 6 22 5 23 95%CI Nilai p 1,27 0,89-1,82 0,18 0,95 0,67-1,36 0,50 1,49 0,62–3,58 0,24 1,02 0,63-1,67 0,59 1,20 0,84-1,70 0,21 0,92 0,64-1,33 0,42 0,84 0,58-1,22 0,25 1,55 1,10-2,18 0,01 0,78 0,40-1,49 0,30 % 42,9 48,0 35,7 0 25,0 41,4 39,0 36,4 35,8 57,1 36,4 38,1 32,1 42,9 40,6 35,7 43,8 33,3 20,7 48,9 50 35,9 0,13 abdominal. Terdapat enam variabel yang masuk dalam analisis multivariat meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, kolesterol total, HDL dan trigliserida. Hasil multivariat dari enam variabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat satu variabel independen yang berhubungan dengan prehipertensi pada obesitas abdominal, yaitu trigliserida (nilai p = 0,01) (Tabel 2). Hasil analisis multivariat menghasilkan model persamaan regresi logistik dapat dilihat pada Rumus 1. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden berusia 55 - 64 tahun (100%) mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal. Berdasarkan analisis multivariat, tidak terdapat hubungan antara usia dengan prehipertensi pada penderita obesitas abdominal. Hal tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa individu yang berusia kurang dari 60 tahun atau usia produktif cenderung memiliki prehipertensi (34%) bila dibandingkan dengan individu yang berusia lebih muda. Hal ini dimungkinkan terjadi apabila sebagian besar kelompok usia yang lebih tua (65%) telah berkembang ke hipertensi.12 Pada kondisi obesitas abdominal, seiring dengan peningkatan usia akan meningkatkan kandungan lemak total tubuh, terutama distribusi lemak pusat.13 Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki. Menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES), prehipertensi sebagian besar terjadi pada penduduk usia muda dengan perkiraan 41,9 juta laki-laki dan 27,8 juta perempuan berusia 20 tahun atau lebih di Amerika Churniawati, Martini, Wahyuni, Prehipertensi pada Obesitas Abdominal mengalami prehipertensi.12 Hal yang sama juga terjadi di Tiongkok, 51,2% laki-laki dan 42,6% perempuan menderita prehipertensi.7 Lemak pada laki-laki lebih banyak diakumulasikan pada subkutan abdomen dan depot viseral sehingga gemuk di perut dan berbentuk seperti buah apel. Distribusi lemak tersebut dipengaruhi oleh hormon seks. Salah satu karakteristik obesitas abdominal adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak sehingga selsel lemak tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik, di antaranya sitokin proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Jaringan adiposa berperan aktif dalam meningkatkan risiko mengalami peningkatan tekanan darah pada subjek dengan peningkatan adipositas.14 Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa sebagian besar responden yang memiliki aktivitas fisik rendah mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan prehipertensi pada obesitas abdominal. Hal tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan prehipertensi pada obesitas abdominal.15 Aktivitas fisik erat kaitannya dengan jenis pekerjaan yang dimiliki. Beberapa jenis pekerjaan tertentu tidak membutuhkan aktivitas fisik yang cukup sehingga terjadi penumpukan kelebihan energi dalam tubuh. Kemudahan dalam memanfaatkan akses dan penggunaan fasilitas modern yang membuat rendahnya aktivitas fisik seseorang. Berdasarkan uji analisis sampel independen uji-t, tidak terdapat perbedaan antara kadar kolesterol total responden prehipertensi dan tidak prehipertensi. Sedangkan berdasarkan hasil uji statistik kai kuadrat, diketahui bahwa sebagian besar responden dengan kolesterol tinggi mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal bila dibandingkan dengan responden yang memiliki kolesterol normal. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kolesterol total dengan prehipertensi pada obesitas abdominal. Hal tersebut dapat diasumsikan karena tidak terdapat perbedaan antara kadar kolesterol total responden prehipertensi dan tidak prehipertensi. Uji analisis sampel independen uji-t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kadar HDL pada responden prehipertensi dan tidak prehipertensi. Sedangkan berdasarkan uji statistik kai kuadrat, diketahui bahwa sebagian besar responden yang memiliki kadar HDL tinggi mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal bila dibandingkan dengan yang tidak mengalami prehipertensi. Berdasarkan analisis multivariat, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara HDL dengan prehipertensi pada obesitas abdominal. Hal senada juga terjadi berdasarkan hasil uji statistik pearson yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan an- tara HDL dengan prehipertensi pada obesitas abdominal. HDL merupakan salah satu dari tiga komponen lipoprotein, kombinasi lemak dan protein yang mengandung kadar protein tinggi, sedikit trigliserida dan fosfolipid, memiliki sifat umum protein dan terdapat pada plasma darah yang biasa disebut sebagai lemak baik yang membantu mengurangi penimbunan plak pada pembuluh darah. Peningkatan kadar kolesterol dalam darah dikaitkan dengan pembentukan plak aterosklerotik yang dapat menyumbat pembuluh darah serta memicu serangan jantung dan stroke.16 Walaupun kadar kolesterol LDL yang tinggi bersifat aterogenik, kadar kolesterol HDL yang tinggi bersifat protektif karena partikel HDL berperan mengeluarkan kolesterol dari jaringan dan mengembalikannya ke hati. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden yang memilki kadar trigliserida tinggi mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal. Selain itu, berdasarkan analisis multivariat, diketahui bahwa terdapat hubungan antara trigliserida dengan prehipertensi pada obesitas abdominal dengan nilai (PR = 4,62; 95% CI = 1,43 - 14,83). Berdasarkan hal tersebut, maka risiko orang dengan kadar trigliserida tinggi untuk mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal adalah sebesar 4,62 kali apabila dibandingkan dengan yang memiliki trigliserida normal. Saat kadar lemak tubuh meningkat, terjadi penurunan kemampuan jaringan adiposa untuk merespon sinyal regulator atau pengatur, dengan akibat meningkatnya kadar lipid dalam sirkulasi serta risiko penimbunan lemak di hati dan otot rangka. Pada kondisi tersebut, dapat terjadi penyempitan pembuluh darah yang berujung terjadinya prehipertensi. Hal ini senada dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa orang dengan kadar trigliserida tinggi memiliki risiko 1,003 kali terjadinya prehipertensi apabila dibandingkan dengan kadar trigliserida normal.17 Dalam keadaan puasa, kebanyakan plasma trigliserida ada pada lipoprotein berdensitas rendah atau very low density lipoprotein (VLDL). Pada saat tidak puasa, terdapat kilomikron dan berkontribusi secara signifikan terhadap level plasma trigliserida total. Sebelum pengambilan darah dilakukan, responden penelitian diharuskan berpuasa selama 10 jam terlebih dahulu. Dalam keadaan berpuasa, VLDL banyak mengandung trigliserida, terutama jika responden menderita obesitas akan meningkatkan risiko hipertrigliseridemia.18 Peningkatan trigliserida dipengaruhi oleh faktor gen dan konsumsi makanan seperti karbohidrat, lemak, dan alkohol. Oleh karena itu, untuk menurunkan kadar trigliserida darah selain lemak makanan, karbohidrat juga diperhitungkan. Selain itu, kadar trigliserida darah juga dipengaruhi oleh aktivitas enzim lipoprotein lipase (LPL) yang berfungsi untuk menghidralisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Rendahnya aktivitas LPL ini akan dapat 297 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 meningkatkan kadar trigliserida darah.19 Orang yang memiliki berat badan berlebihan mempunyai kadar kolesterol total, LDL dan trigliserida yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang berat badannya normal. Orang yang gemuk memiliki kelebihan lemak yang umumnya disimpan di jaringan bawah kulit dalam bentuk trigliserida. Kalori yang bersumber dari makanan yang tidak digunakan langsung oleh jaringan tubuh diubah menjadi trigliserida atau lemak dan selanjutnya disimpan dalam sel-sel lemak tubuh. h t t p : / / w w w. t h e l a n c e t . c o m / p d f s / j o u r n a l s / l a n c e t / P I I S 0 1 4 0 6736(05)17741-1.pdf 4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008 [cited 2015 September 12]. Available from: https://www.k4health.org/sites/default/files/laporanNasional %20Riskesdas%202007.pdf. 5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan riset kesehatan dasar tahun 2007 Provinsi Jawa Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. Kesimpulan Prevalensi prehipertensi pada obesitas abdominal sebesar 62,2%. Determinan prehipertensi pada obesitas abdominal adalah trigliserida. Risiko orang dengan kadar trigliserida tinggi untuk mengalami prehipertensi pada obesitas abdominal sebesar 4,62 kali apabila dibandingkan dengan yang memiliki trigliserida normal (PR = 4,62; 95% CI: 1,439 – 14,831). Tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, riwayat keluarga dengan hipertensi, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, kolesterol total, LDL, HDL dan diabetes melitus dengan prehipertensi pada obesitas abdominal. 6. Guo X, Zou L, Zhang X, Li J, Zheng L, Sun Z, et al. Prehypertension: a meta-analysis of the epidemiology, risk factors, and predictors of progression. Texas Heart Institute Journal. 2013 [cited 2013 March 19]; 38 (6): 643. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3233334/ 7. Sun Z, Zheng L, Wei Y, Li J, Zhang M. The prevalence of prehypertension and hypertension among rural adults in Liaoning Province of China. Clinical Cardiology, 30 (4): 183-187. [cited 2013 March 19]. Available from: http://www.researchgate.net/profile/ Liqiang_Zheng/publication/6384408_The_prevalence_of_prehypertension_and_hypertension_among_rural_adults_in_Liaoning_province_of_China/links/546bf 1a80cf2397f7831ca83.pdf 8. Widjaja FF, Santoso LA, Barus N, Pradana GA, Estetika C. Prehypertension and hypertension among young Indonesian adults at a Saran Upaya deteksi dini prehipertensi pada masyarakat dapat dilakukan sebagai salah satu bentuk pencegahan dengan sasaran penderita obesitas abdominal, yaitu dengan melakukan pengukuran lingkar pinggang dan tekanan darah. Kemudian, pelatihan pada kader pos pembinaan terpadu penyakit tidak menular mengenai pengukuran lingkar pinggang dan edukasi kepada masyarakat tentang faktor risiko prehipertensi pada orang dengan obesitas abdominal dan gaya hidup sehat. Kepada masyarakat penderita prehipertensi pada obesitas abdominal, agar lebih mengontrol kebiasaan makan terutama asupan karbohidrat, mengingat konsumsi karbohidrat yang berlebihan dapat meningkatkan kadar trigliserida dalam darah. Selain itu, tentunya pemeriksaan trigliserida secara rutin bagi orang dengan obesitas abdominal. primary health care in a rural area. Medical Journal of Indonesia. 2013 [cited 2014 April 29]; 22 (1): 39-45. A vailable from: http://imsear.hellis.org/bitstream/123456789/148785/1/mji2013v 22n1p39.pdf. 9. Svatkey LP. Management of prehypertension. American Heart Association. Hypertension. 2005 [cited 2014 April 29]; 45 (6): 1056-61. A vailable from: http://hyper.ahajournals.org/content/45/6/ 1056.full.pdf+html. 10. Greenlund K, Croft J, Mensah G. Prevalence of heart disease and stroke risk factors in person with prehypertension in the United States 19992000. Archieves of Internal Medicine. 2004 [cited 2014 April 29]; 164 (19): 2113-8. Available from: http://archinte.jamanetwork. com/article.aspx?articleid=217544. 11. Srinivas S, Satyavaraprasad K, Ramdas, Krihna, Tajuddin, dan Rao. Prevalence of prehypertension in adult population of rural Andhra Pradesh. Asian Journal Biomed Pharmaceutical Science. 2013 [cited 2013 April 26]; 3 (23): 45-8. Available from: http://www.jbiopharm. Daftar Pustaka com/ index.php/ajbps/article/view/369/279. 1. World Health Organization. WHO NCD Surveillace strategi. 2013 [cit- 12. Qureshi A, Kirmani J, Divani A. Prevalence and trends of prehyperten- ed 2013 March 16]. Available from: http://www.who.int/ncd_surveil- sion and hypertension in United States: National Health and Nutrition lance/strategy/en/index.html. Examination Surveys 1976 to 2000. Medical Science Monitor. 2005 2. Syahrini E, Susant H, Udiyono A. Faktor risiko hipertensi primer di [cited 2013 June 7]; 11(9): CR403-CR409.). A vailable from: Puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang. Jurnal Kesehatan http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2883307/pdf/nihms16 Masyarakat. 2012 [cited 2013 March 16]; 1 (2): 315-25. Available from: http://download.portalgaruda.org/article.php?article= 73821&val=4700 3170.pdf. 13. Demerath EW, Sun SS, Rogers N, Lee M, Reed D, Choh AC. Anatomical patterning of visceral adipose tissue: race, sex, and age variation. Abesity 3. Kearney M, Whelton M, Reynolds K, Muntner P, Whelton, He J. Global [serial on internet]. 2007 [cited 2014 Dec 4]; 15 (12): 2984-93. burden of hypertension: analysis of worldwide data. Lancet [serial on in- A vailable from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ ternet]. 2005 [cited 2013 March 19]; 365: 217–23. Available from: PMC2883307/pdf/nihms/63170.pdf. 298 Churniawati, Martini, Wahyuni, Prehipertensi pada Obesitas Abdominal 14. Iacobellis G. Obesity and cardiovascular disease. New York: Oxford University Press; 2009. 15. Koura M, Al-Dabal K, Rasheed, Al-Sowielem L, Makki S. Available from: http://journals.lww.com/jhypertension/Abstract/ 2005/07000/Prevalence_and_determinants_of_prehypertension.10.aspx. Prehypertension among young adult females in Dammam, Saudi Arabia. 18. Feryadi R, Sulastri D, Kadri H. Hubungan kadar profil lipid dengan ke- Eastern Mediterranean Health Journal. 2012; 18 (7). Available form: jadian hipertensi pada masyarakat etnik Minangkabau di Kota Padang http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/118177/1/2012_18_7_0728 tahun 2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014 [cited 2014 March 4]; _0734.pdf 3(2): 206211. Available from: http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/ 16. Yulissa F. Pengaruh pemberian daging buah durian (Durio zibethinus L.) terhadap kadar profil lipid darah sukarelawan sehat [skripsi]. Medan: Universitas Sumatra Utara; 2013. 17. Tsai PS, Ke TL, Huang CJ, Tsai JC, Chen PL,Ping L, et al. Prevalence and determinants of prehypertension status in the Taiwanese general popu- jka/article/view/89/84. 19. Tsalissavrina I, Wahono D, Handayani D. Pengaruh pemberian diet tinggi karbohidrat dibandingkan diet tinggi lemak terhadap kadar trigliserida dan HDL darah pada Rattus novergicus galur wistar. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2006; 22 (2): 80-9. lation. Journal of hypertension. 2005 [cited 2014; 23 (7): 1355-1360. 299 Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri Koliform pada Air Minum Isi Ulang Escherichia coli Microbial and Total Coliform Bacterial Contamination of Drinking Water Rolan Sudirman Pakpahan*, Intje Picauly*, I Nyoman Widiarta Mahayasa** *Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana, **Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Abstrak Jumlah layanan air minum melalui depot air minum di Kota Kupang meningkat dengan rata-rata 1,44 setiap tahun sejak 2010, sementara tidak terdapat jaminan kualitas air minum isi ulang memenuhi syarat setiap saat. Hasil pemeriksaan sampel air minum isi ulang di Kota Kupang tahun 2013 menunjukkan 37,5% tercemar mikroba. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis cemaran mikroba dan mengetahui determinan cemaran Escherichia coli (E. coli) dan total koliform pada air minum isi ulang. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang periode Januari Maret 2015. Populasi penelitian berjumlah 51 depot air minum yang ditentukan menggunakan teknik total sampling. Analisis data dilakukan secara univariat, analisis bivariat menggunakan uji regresi logistik sederhana, dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik berganda. Hasil penelitian terhadap 51 depot air minum menunjukkan air minum telah tercemar mikroba sebanyak 26 depot air minum (51%), tercemar E. coli 33,33%, dan tercemar total koliform 51%. Deteminan cemaran mikroba dengan uji bivariat adalah pengetahuan (nilai p = 0,01), sikap operator (nilai p = 0,05). Sedangkan determinan cemaran mikroba uji multivariat adalah pengetahuan operator (nilai p = 0,026), kebersihan operator (nilai p = 0,05) dan sanitasi depot air minum (nilai p = 0,044). Variabel yang paling dominan memengaruhi cemaran mikroba adalah pengetahuan, kebersihan operator, dan sanitasi depot air minum. Kata kunci: Air minum isi ulang, depot air minum, Escherichia coli, total koliform Abstract Amount of drinking water services through drinking water depots in Kupang City is increasing in avarage of 1.44 every year since 2010, meanwhile there is no guarantee that refill drinking water quality meets any requirement every time. Results of refill drinking water sample in Kupang City in 2013 showed the water was 37.5% contaminated by microbes. This study aimed to analyze microbial contamination and determine determinants of 300 Escherichia coli (E. coli) and total Coliform on refill drinking water. This study used cross sectional design on January - March 2015. The population was 51 depots determined using total sampling technique. Data analysis was conducted in univariate, bivariate using simple logistic regression test and multivariate using multiple logistic regression test. Results showed drinking water contaminated by microbes worth 26 depots (51%), by E. coli 33.33% and by total Coliform 51%. Microbial contamination determinants using bivariate were knowledge (p value = 0.01) and behavior of operator (p value = 0.05). Meanwhile, microbial contamination determinants conducting multivariate were knowledge (p value = 0.026), hygiene of operator (p value = 0.05) and depot sanitation (p value = 0.044). Most dominating variables influencing microbial contamination are knowledge, operator’s hygiene and depot sanitation. Keywords: Refill drinking water, drinking water depot, Escherichia coli, total coliform Pendahuluan Perkembangan teknologi telah membawa kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan, salah satunya di bidang kesehatan, yaitu teknologi pengolahan depot air minum (DAM). Teknologi ini mengubah air bersih menjadi air minum tanpa dimasak terlebih dahulu, namun diolah dengan cara dan desinfeksi. 1 Adanya DAM mempermudah masyarakat dalam penyediaan air minum. Air minum merupakan kebutuhan pokok manusia. Tubuh kita memerlukan air untuk kelangsungan hidup. Kita memerlukan air antara 30 – 60 liter per hari.2 Kegunaan air yang sangat penting adalah untuk Korespondensi: Rolan Sudirman Pakpahan, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi Sucipto Kupang 85148, No.Telp: 0380-881021, email:[email protected] Pakpahan, Picauly, Mahayasa, Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri Koliform pada Air Minum Isi Ulang minum. Oleh karena itu, air minum harus memenuhi syarat-syarat kesehatan, baik fisik, kimia, radioaktif maupun mikrobiologis agar tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Agar air aman dikonsumsi, diperlukan pengolahan air untuk menghilangkan cemaran mikroba atau menurunkan kadar bahan tercemar sesuai standar yang ditetapkan. Air tercemar disebabkan masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai tingkat tertentu yang membahayakan, mengakibatkan air tidak berfungsi lagi sesuai peruntukannya.3 Air tersebut hanya dapat digunakan untuk tujuan lain yang tidak berisiko terhadap makhluk hidup. Masuknya bahan pencemar ke dalam air berbeda. Pada cemaran mikroba, mekanisme penyebarannya dari tinja ke air minum melalui air, tangan, vektor, dan tanah.2 Indikator pencemaran mikroba air minum adalah total koliform dan Escherichia coli (E. coli). Total koliform adalah suatu kelompok bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran. Total koliform yang berada di dalam makanan atau minuman menunjukkan kemungkinan adanya mikroba yang bersifat enteropatogenik dan atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan. Total koliform dibagi menjadi dua golongan4, yaitu koliform fekal, seperti E. coli yang berasal dari tinja manusia, hewan berdarah panas, dan koliform nonfekal, seperti Aerobacter dan Klebsiella yang bukan berasal dari tinja manusia, tetapi berasal dari hewan atau tanaman yang telah mati. Air olahan DAM harus bebas dari kandungan total koliform dan E. coli. Hasil penelitian kualitas bakteriologi pelbagai sarana air minum menunjukkan air minum telah tercemar E. coli dan total koliform. Penelitian Tabor et al, 5 di Ethiopia terhadap kualitas air minum menunjukkan 45,7% tercemar koliform. Penelitian Eshcol et al,6 di India menunjukkan 36% air minum rumah tangga tidak memenuhi syarat bakteriologi. Hasil penelitian Anwar, et al,7 menyatakan bahwa 37,2% air minum telah tercemar bakteriologi di Lahore. Hasil penelitian Admassu, et al,8 menunjukkan 50% air minum telah tercemar bakteri di Gondar. Penelitian Suprihatin dkk,9 di 10 kota besar di Indonesia menunjukkan 34% sampel tidak memenuhi sedikitnya satu parameter kualitas air minum dan 16% sampel tercemar bakteri koliform. Hasil pemeriksaan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2003 terhadap mutu air produksi DAM di lima kota (95 depot) menyatakan bahwa 19% tidak memenuhi syarat mikrobiologis (E. coli/total koliform/Salmonella). Hasil penelitian Rido Wandrivel dkk,10 menunjukkan bahwa 55,5% air isi ulang di Kecamatan Bungus Padang tidak memenuhi syarat bakteriologis. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa kualitas E. coli dan total koliform air baku masing-masing yang tidak memenuhi syarat adalah 3,5% dan 6,9%, sedangkan pada air olahan seluruhnya memenuhi syarat kesehatan.11 Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas air minum tidak selalu memenuhi syarat kesehatan setiap saat. Kupang merupakan salah satu kota terbesar di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan jumlah penduduk 37.425 jiwa pada tahun 2013. Laju pertumbuhan penduduk 3,58%. Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada meningkatnya kebutuhan air minum. Jumlah DAM di Kota Kupang berkembang dengan pesat. Pada tahun 2010 jumlah DAM di Kota Kupang hanya 58 unit.12 Namun, berdasarkan data dinas kesehatan, pada tahun 2014 jumlah DAM di Kota Kupang telah meningkat menjadi 359 unit. Perkembangan ini disebabkan terbatasnya sumber air baku di Kota Kupang. Curah hujan diperkirakan hanya empat bulan setiap tahun sehingga memengaruhi ketersediaan air baku. Menurut Suprihatin,1 perkembangan DAM di suatu wilayah disebabkan persediaan air bersih semakin terbatas dan di sisi lain permintaan air minum mengalami peningkatan tajam. Mutu air minum berkualitas adalah hak setiap konsumen sekalipun harganya murah dan mudah terjangkau. Hasil pemeriksaan Kantor Kesehatan Pelabuhan Kupang tahun 2013 terhadap tujuh sampel air minum isi ulang di Pelabuhan Kupang menunjukkan semuanya tercemar E. coli dan total koliform. Hasil pemeriksaan laboratorium Unit Pelaksana Teknik Dinas (UPTD) Laboratorium Kesehatan Provinsi NTT pada tahun 2013 di Kota Kupang menunjukkan bahwa 37,5% DAM tidak memenuhi persyaratan mikrobiologis. Dari enam kecamatan di Kota Kupang, diperoleh data DAM tercemar tertinggi berada di Kecamatan Maulafa sebesar 20,83%. Angka tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 492/2010 yaitu 0/100 ml. Adanya permasalahan kualitas air minum isi ulang produksi DAM mengindikasikan bahwa pengelolaan air minum isi ulang di Kecamatan Maulafa belum berjalan maksimal. Determinan yang dapat memengaruhi kualitas air minum isi ulang adalah sanitasi, kebersihan operator, kualitas alat desinfeksi, kecepatan aliran air, perilaku operator dan pengemasan air. Kurang memadainya pelbagai determinan tersebut dapat menimbulkan cemaran E. coli dan total koliform sehingga memengaruhi kesehatan masyarakat. Dari uraian dan permasalahan yang ada, maka rumusan permasalahan adalah bagaimana cemaran mikroba di Kecamatan Maulafa dan determinan apa saja yang memengaruhi cemaran E. coli dan total koliform pada air minum isi ulang. Penelitian ini bertujuan menganalisis cemaran mikroba dan mengetahui determinan cemaran E.coli dan total koliform pada air minum isi ulang serta melakukan pemetaan cemaran mikroba di Kecamatan Maulafa. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi ter301 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 hadap peningkatan kualitas air minum isi ulang pada masa yang akan datang. Metode Desain penelitian ini adalah studi potong lintang. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh DAM Kecamatan Maulafa sebanyak 51 depot pada periode Januari - Maret 2015. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling karena jumlah populasi di bawah 100. Data diperoleh dari data primer dan sekunder. Data primer meliputi karakteristik operator yang diperoleh dengan wawancara, kondisi sanitasi, kebersihan operator, kualitas desinfeksi, pengemasan air yang diperoleh dengan observasi, kecepatan aliran air, perilaku (pengetahuan, sikap dan tingkah laku) operator, letak DAM diperoleh dengan pengukuran, sedangkan cemaran mikroba yakni E. coli dan total koliform diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium. Sampel diambil dari keran pengisian air minum isi ulang menggunakan botol steril secara aseptis serta mengenakan alat pelindung diri berupa masker dan sarung tangan, kemudian dikirim ke laboratorium yang terakreditasi. Sedangkan data sekunder meliputi jumlah DAM dan lokasi penelitian. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah kuesioner, stop watch dan global positioning system (GPS). Hasil pemeriksaan sanitasi, kebersihan operator, kualitas desinfeksi, tingkah laku memenuhi syarat apabila nilai total skor > 70% dan tidak memenuhi syarat apabila nilai total skor < 70% berdasarkan standar Peraturan Menteri Kesehatan No. 43 tahun 2014. Hasil pengukuran pengetahuan dan sikap diperoleh berdasarkan jawaban responden setelah mengisi kuesioner, sedangkan hasil pemeriksaan kualitas air minum isi ulang tercemar jika ditemukan E. coli dan atau total koliform dan tidak tercemar jika tidak ditemukan E. coli dan total koliform. Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data kualitatif, yaitu sanitasi, kebersihan operator, kualitas desinfeksi, pengemasan, dan data kuantitatif yakni kecepatan aliran air dan perilaku operator. Selanjutnya, data dianalisis secara univariat, uji bivariat menggunakan regresi logistik sederhana untuk melihat ada tidaknya pengaruh variabel bebas dan terikat secara parsial, uji multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda digunakan mengetahui ada tidaknya pengaruh sanitasi, kebersihan operator, kualitas desinfeksi, kecepatan aliran air, perilaku operator dan pengemasan terhadap cemaran mikroba secara simultan. usia operator adalah 35,16 + 12,07 SD tahun. Sebagian besar berpendidikan sekolah menengah atas (SMA) (52,94%) dan terendah (1,96%) tidak tamat sekolah dasar (SD). Air minum isi ulang tercemar mikroba terbanyak (100%) ditemukan pada operator berpendidikan tidak tamat SD dan terendah (44,44%) dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi. Sebagian besar (60,78%) masa kerja operator adalah satu sampai dua tahun dan terendah (5,88%) > 5 tahun. Air minum isi ulang tercemar terbanyak (51,61%) ditemukan pada operator dengan masa kerja 1 - 2 tahun dan terendah (33,33%) dengan masa kerja > 5 tahun. Jumlah operator sebanyak satu orang dan sebagian kecil pemilik DAM bekerja sebagai operator. Lama DAM beroperasi sebagian besar (53,85%) ≤ 1 tahun, sedangkan sebagian kecil (3,85%) telah beroperasi selama ≥ 5 tahun. Air minum isi ulang tercemar tertinggi (87,50%) ditemukan pada lama DAM > 5 tahun dan terendah (40%) pada lama DAM < 1 tahun (Tabel 1). Tabel 2 menggambarkan distribusi frekuensi sanitasi, kualitas desinfeksi, kebersihan operator, pengemasan air. Sanitasi DAM sebagian besar (72,55%) memenuhi syarat, kualitas desinfeksi sebagian besar (90,20%) memenuhi syarat, kebersihan operator sebagian besar (64,71%) tidak memenuhi syarat dan kondisi pengemasan sebagian besar (82,35%) memenuhi syarat. Variabel lain yang diukur adalah kecepatan air dan Tabel 1. Karakteristik Operator dan Lama DAM Karakteristik Operator dan Lama DAM Kategori Usia 20 - 29 tahun 30 - 39 tahun 40 - 49 tahun > 50 tahun Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat perguruan tinggi < 1 tahun 1 - 2 tahun 3 - 4 tahun > 5 tahun ≤ 1 tahun 2 - 3 tahun 3 - 4 tahun ≥ 5 tahun Tingkat pendidikan Masa kerja Lama DAM Frekuensi 9 16 8 8 1 6 8 27 9 9 31 8 3 27 10 12 2 % 37,25 31,37 15,69 15,69 1,96 11,76 15,69 52,94 17,65 17,65 60,78 15,69 5,88 53,85 19,23 23,08 3,85 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Sanitasi, Kualitas Desinfeksi, Kebersihan Operator dan Pengemasan Air Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat Variabel Hasil Sebagian besar operator DAM berusia antara 20 - 29 tahun. Air minum tercemar mikroba terbanyak (38,46%) ditemukan pada operator usia 20 - 29 tahun dan terendah (11,53%) pada usia 30 - 39 tahun. Rerata 302 n Sanitasi Kualitas desinfeksi Kebersihan operator Pengemasan air 37 46 18 42 % 72,55% 90,20% 35,29% 82,35% n % 14 5 33 9 27,45% 9,80% 64,71% 17,65% Pakpahan, Picauly, Mahayasa, Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri Koliform pada Air Minum Isi Ulang perilaku operator. Pengukuran kecepatan air digunakan untuk mengetahui lama waktu pengisian galon (19 liter) dalam satuan menit. Hasil pengukuran diperoleh mean kecepatan air, yaitu 1,41 + 0,566 SD. Kecepatan air tertinggi adalah 3,4 menit dan terendah adalah 0,67 menit. Perilaku operator diukur dengan pengetahuan, sikap dan tingkah laku. Mean tingkat pengetahuan, sikap, dan tingkah laku operator berturut-turut adalah 10,49 + 4,08 SD, 17,02 + 1,72 SD, 15,40 + 1,47 SD. Tabel 3 menggambarkan cemaran mikroba DAM. Hasil pemeriksaan menunjukkan air minum isi ulang tercemar mikroba sebesar 51% dan tidak tercemar mikroba sebesar 49%. Dari cemaran tersebut, diperoleh DAM tercemar E. coli sebesar 33,33% dan total koliform sebesar 51%. Distribusi cemaran mikroba tertinggi di Kecamatan Maulafa ditemukan di Kelurahan Sikumana, Oepura, dan Kolhua. Warna merah menandakan DAM telah tercemar dan warna biru menandakan DAM tidak tercemar (Gambar 1). Tabel 4 menggambarkan hasil uji bivariat variabel bebas dan terikat. Uji bivariat digunakan untuk mengetahui Tabel 3. Distribusi Cemaran Mikroba DAM Cemaran Mikroba Frekuensi % Tercemar Tidak tercemar 26 25 51 49 Total 51 100 pengaruh masing-masing variabel bebas dan terikat. Variabel bebas adalah sanitasi, kebersihan operator, kualitas desinfeksi, kecepatan aliran air, pengemasan, dan perilaku operator. Sedangkan variabel terikat adalah cemaran mikroba. Hasil uji menunjukkan enam variabel tidak berpengaruh terhadap cemaran mikroba, yaitu sanitasi, kebersihan operator, kualitas desinfeksi, kecepatan aliran air, pengemasan, dan tingkah laku. Sedangkan dua variabel berpengaruh adalah pengetahuan dan sikap. Hasil analisis statistik variabel pengetahuan diperoleh nilai odds ratio (OR) sebesar 1,235 artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka peluang air minum isi ulang tidak tercemar akan semakin meningkat sebesar 1,235 kali. Demikian halnya dengan variabel sikap (OR = 1,448), semakin tinggi sikap operator, maka peluang air minum isi ulang tidak tercemar sebesar 1,448 kali. Tabel 5 menunjukkan hasil uji multivariat variabel bebas dan terikat. Uji multivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas dan terikat secara simultan. Dari enam variabel kandidat (nilai p < 0,25) yang diuji pada D = 5%, terdapat tiga variabel dominan yang memengaruhi cemaran mikroba, yaitu pengetahuan, kebersihan operator, dan sanitasi. Persamaan regresi logistiknya adalah Z = -1,941; sanitasi -1,589; kebersihan operator + 0,263; pengetahuan -10,809. Persamaan ini menggambarkan kebersihan dan sanitasi berpengaruh negatif terhadap cemaran mikroba, sedangkan pengetahuan berpengaruh positif terhadap cemaran mikroba. Gambar 1. Peta Cemaran Mikroba DAM 303 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Tabel 4. Hasil Analisis Bivariat Variabel Sanitasi Higiene operator Kualitas desinfeksi Kecepatan aliran air Pengemasan Perilaku Kategori Nilai p OR R2 Pengetahuan Sikap Tingkah laku 0,185 0,184 0,203 0,843 0,763 0,015 0,050 0,072 0,423 0,454 0,436 0,916 1,250 1,235 1,444 1,448 0,047 0,047 0,05 0,001 0,002 0,17 0,11 0,08 Tabel 5. Analisis Multivariat terhadap Cemaran Mikroba Variabel Sanitasi Kebersihan operator Pengetahuan Konstan B -1,941 -1,589 0,263 -10,809 Nilai p OR 95% CI R2 0,044 0,050 0,026 0,047 0,144 0,240 1,308 0,00 0,022-0,950 0,061-0,958 1,08-1,59 0,455 Jika kebersihan operator konstan, maka sanitasi memengaruhi cemaran mikroba sebesar -1,941 dan pengetahuan memengaruhi cemaran mikroba sebesar 0,263. Hasil uji diperoleh nilai OR berturut-turut untuk sanitasi, kebersihan adalah 0,144 dan 0,240 artinya, sanitasi dan kebersihan operator tidak memenuhi syarat memiliki risiko 0,144 kali dan 0,240 kali tercemar mikroba dibandingkan dengan sanitasi dan kebersihan operator yang memenuhi syarat. Pada variabel pengetahuan, diperoleh OR 1,308 yang artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka peluang air minum isi ulang tidak tercemar akan meningkat sebesar 1,308. Nilai R2 sebesar 45,5 menunjukkan variabel sanitasi, kebersihan operator, dan pengetahuan dapat menjelaskan 45,5% pengaruhnya terhadap cemaran mikroba sedangkan 54,5% dipengaruhi oleh variabel lain. Pembahasan Cemaran Mikroba Hasil pemeriksaan air minum isi ulang menunjukkan bahwa 51% DAM telah tercemar mikroba. Air minum isi ulang telah tercemar Escherichia coli (E. coli) sebesar 33,33%. Hal ini dapat dipastikan bahwa air tersebut telah tercemar kotoran hewan atau manusia pada tahap pengolahan. Di Kabupaten Bogor tahun 2007, hasil penelitian air minum isi ulang menyatakan 7,44% DAM telah tercemar E. coli dan total koliform.11 Penelitian lain di Jakarta Selatan tahun 2008 menyatakan 15,38% DAM telah tercemar bakteriologis.12 Di Kecamatan Bungus, hasil penelitian air minum isi ulang pada tahun 2012 menyatakan 55,6% DAM kualitasnya tidak memenuhi persyaratan mikrobiologi.10 Hasil penelitian air minum isi ulang di Sukolilo tahun 2013 menyatakan 66,66% DAM telah tercemar total koliform13, sedangkan di Kabupaten Blora tahun 2013 menunjukkan 4% air minum isi ulang telah terkontaminasi total ko304 liform.14 Hasil penelitian air minum isi ulang di Manado tahun 2013 menyatakan bahwa semua air minum isi ulang telah tercemar total koliform dan telah tercemar E. coli sebesar 77,78%.15 Hasil penelitian air minum isi ulang Lampung, tahun 2014 menyatakan 42% DAM telah tercemar E. coli.16 Adanya cemaran ini dapat menimbulkan masalah kesehatan. Sebagian besar konsumen memilih air minum isi ulang karena harga murah dan terjangkau, namun mereka tidak menyadari sebagian DAM telah tercemar mikroba. Kurangnya informasi kualitas air minum isi ulang merupakan penghambat bagi konsumen memilih DAM berkualitas. Pemilik DAM harus dapat memberikan informasi kondisi peralatan, kebersihan operator, dan kualitas air minum isi ulang secara terbuka kepada konsumen. Informasi demikian harus tercatat dan dapat dibaca oleh setiap konsumen pada waktu pengisian air. Usaha DAM dapat menggerakkan ekonomi masyarakat dan mengurangi pengangguran. Adanya DAM membantu masyarakat ekonomi rendah untuk mempermudah akses air minum. Namun, adanya masalah cemaran mikroba dapat berakibat turunnya kepercayaan masyarakat membeli air minum isi ulang karena dapat mengganggu kesehatannya. Pemilik DAM harus dapat menjaga kualitas air minum isi ulang agar bebas dari E. coli dan total koliform. Menurut Copeland et al,17 cemaran air minum dapat disebabkan karena praktik penyimpanan air dan lamanya sirkulasi air baku DAM, yaitu > 3 hari memengaruhi kandungan mikroba.18 Selain itu, menurut Yudo, dkk,19 meningkatkan kualitas air minum isi ulang perlu standarisasi sistem pemroses dan teknologi pengolahan. Konsumen diharapkan lebih selektif memilih dan membeli air minum isi ulang bukan hanya karena murah dan terjangkau. Konsumen dapat mengamati sanitasi DAM atau pekarangan, kebersihan dan kesehatan operator, indikator lampu penyinaran ultraviolet (UV), dan kualitas air minum isi ulang terlebih dahulu. Sanitasi Depot Air Minum dan Cemaran Mikroba Pemeriksaan sanitasi dilakukan terhadap lokasi DAM, bangunan, lantai, dinding, atap dan langit, ventilasi, fasilitas sanitasi dasar seperti jamban, saluran pembuangan air limbah, tempat sampah, tempat cuci tangan dan sabun, vektor maupun binatang pembawa penyakit seperti lalat, tikus dan kecoa. Hasil analisis multivariat menunjukkan sanitasi berpengaruh terhadap cemaran mikroba. Sanitasi tidak memenuhi syarat berisiko 0,14 kali tercemar mikroba dibandingkan dengan sanitasi memenuhi syarat (OR = 0,14). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya di Semarang pada tahun 2004 yang menyatakan terdapat hubungan sanitasi (nilai p = 0,0001) dengan kualitas bakteriologis.20 Hal ini menjelaskan bahwa semakin baik kondisi sanitasi, maka se- Pakpahan, Picauly, Mahayasa, Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri Koliform pada Air Minum Isi Ulang makin baik pula kualitas bakteriologis air minum isi ulang. Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara sanitasi dengan jumlah koliform air minum isi ulang di Kabupaten Demak.21 Pada penelitian ini, sanitasi berkategori baik ditemukan 90,9% air minum isi ulang memenuhi syarat dan pada sanitasi tidak baik ditemukan 62,5% kualitas bakteriologis tidak memenuhi syarat. Penelitian lain di Bogor menyatakan tidak terdapat hubungan (nilai p = 0,944) sanitasi dengan kontaminasi E. coli.22 Pada penelitian ini, rata-rata skor sanitasi untuk air minum isi ulang memenuhi syarat adalah 189,79 + 59,51 SD dan skor sanitasi untuk air minum isi ulang tidak memenuhi syarat adalah 187,55 + 37,75 SD. Variabel sanitasi merupakan variabel confounding terhadap variabel kualitas desinfeksi, kebersihan, sikap, dan tingkah laku. Informasi ini menunjukkan bahwa cemaran mikroba sebagian besar dari kualitas desinfeksi tidak memenuhi syarat, kebersihan yang tidak memenuhi syarat, serta nilai sikap dan tingkah laku yang masih rendah. Sanitasi DAM dapat ditingkatkan melalui penyediaan fasilitas sanitasi dan pelatihan, penyuluhan kepada operator maupun pemilik. Pelatihan dan penyuluhan kebersihan sanitasi dapat meningkatkan praktik sanitasi sehingga dapat menurunkan cemaran mikroba. Menurut Chemulity et al, 23 sanitasi lingkungan yang tidak memadai merupakan sumber potensi kontaminasi air minum dan perbaikan kualitas air minum dilakukan melalui upaya peningkatan sanitasi.24 Kebersihan dan Cemaran Mikroba Hasil analisis multivariat menunjukkan kebersihan operator berpengaruh terhadap cemaran mikroba. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di Kabupaten Demak yang menyatakan terdapat hubungan (nilai p = 0,001) kebersihan dengan jumlah koliform air minum isi ulang.21 Dalam penelitian ini, diperoleh kebersihan kategori baik terdapat 88,2% air minum isi ulang memenuhi syarat dan semua (100%) kebersihan dengan kategori tidak baik ditemukan air minum isi ulang tidak memenuhi syarat. Hasil ini menunjukkan semakin tinggi kualitas kebersihan, maka kualitas air minum isi ulang semakin baik. Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian di Bogor yang menyatakan tidak terdapat hubungan kebersihan dengan kontaminasi E. coli. Dalam penelitian ini, rata-rata skor kebersihan pada kualitas air minum isi ulang memenuhi syarat 52,82 + 35,38 SD, sedangkan rata-rata skor kebersihan pada kualitas air minum isi ulang tidak memenuhi syarat 43,33 + 15,28 SD. Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian Asfawi,20 di Semarang yang menyatakan tidak terdapat hubungan (nilai p = 0,162) kebersihan terhadap kualitas bakteriologis. Dalam penelitian ini, kualitas ke- bersihan pekerja baik diperoleh 87,5% kualitas air minum isi ulang memenuhi syarat, sedangkan kualitas kebersihan pekerja tidak baik diperoleh 76,2% air minum isi ulang memenuhi syarat. Kebersihan operator sebagian besar tidak memenuhi syarat disebabkan operator tidak melakukan pemeriksaan kesehatan berkala dan tidak menggunakan pakaian seragam bersih dan rapih saat bekerja. Operator tampaknya tidak menyadari pentingnya melakukan pemeriksaan kesehatan dan menggunakan pakaian seragam sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit melalui air kepada konsumen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kebersihan operator merupakan variabel confounding terhadap variabel sanitasi dan pengetahuan. Hal ini menunjukkan sebagian besar cemaran mikroba terdapat pada operator yang nilai pengetahuannya rendah dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat. Peningkatan kebersihan dapat dilakukan melalui pemeriksaan kesehatan secara berkala mininal dua kali setahun untuk skrining penyakit bawaan, menggunakan pakaian seragam saat bekerja, serta menjaga kebersihan diri. Pemilik DAM diharapkan dapat menyediakan seragam kerja dan menyediakan fasilitas sanitasi untuk mendukung kebersihan operator. Pengetahuan dan Cemaran Mikroba Hasil analisis multivariat menunjukkan pengetahuan operator berpengaruh terhadap cemaran mikroba. Persamaan regresi logistik sederhana menunjukkan Z = 0,211, pengetahuan –2,293 artinya setiap kenaikan pengetahuan sebanyak satu satuan maka akan terjadi penurunan cemaran mikroba sebesar 2,293. Sebagian besar operator belum mengetahui maksud dan manfaat kebersihan sanitasi, syarat lokasi dan pekarangan, syarat pengangkutan dan penyimpanan air baku, fungsi alat desinfeksi, akibat mengonsumsi air tercemar, syarat operator, syarat kualitas air minum. Hasil uji multivariat menunjukkan pengetahuan merupakan variabel confounding terhadap kualitas desinfeksi, sanitasi, kebersihan, dan tingkah laku operator. Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan dengan melaksanakan kursus kebersihan sanitasi DAM dan pendidikan atau penyuluhan kesehatan kepada operator DAM diselenggarakan oleh dinas kesehatan kota dan puskesmas. Dinas perindustrian dan perdagangan pengeluarkan izin operasi DAM seharusnya disertai sertifikat kursus operator. Adanya sertifikat merupakan bukti telah mengikuti kursus kebersihan sanitasi yang diharapkan menambah pengetahuan dalam mempraktikkan nilai-nilai kesehatan di tempat kerjanya. Kualitas Desinfeksi dan Cemaran Mikroba Hasil analisis multivariat menujukkan tidak terdapat pengaruh kualitas desinfeksi terhadap cemaran mikroba. 305 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Hasil observasi terhadap kualitas desinfeksi 51 DAM menunjukkan 94,12% memenuhi syarat. Namun, tingginya kualitas desinfeksi memenuhi syarat tidak diimbangi dengan kualitas air olahan. Hal ini dapat disebabkan karena daya kerja UV tidak maksimal apabila air keruh, kandungan kepadatan tinggi, jarak lampu dengan permukaan air, temperatur, dan jenis organisme. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian di Kabupaten Tegal pada tahun 2012 yang menghubungkan kualitas desinfeksi dengan kualitas mikrobiologis. Dalam penelitian ini, nilai OR = 9,25 menunjukkan kualitas desinfeksi tidak memenuhi syarat berisiko 9,25 kali tercemar mikroba dibandingkan kualitas desinfeksi memenuhi syarat.25 Peningkatan kualitas air minum isi ulang dapat dilakukan dengan pemilihan kualitas air baku sehingga daya kerja alat desinfeksi bekerja dengan optimal. Dinas kesehatan kota diharapkan dapat memperketat pengawasan kualitas air baku. Sikap dan Tingkah Laku Operator dan Cemaran Mikroba Hasil analisis multivariat menunjukkan sikap dan tingkah laku tidak berpengaruh terhadap cemaran mikroba. Variabel sikap merupakan varibel confounding terhadap variabel kualitas desinfeksi. Informasi ini menunjukkan bahwa cemaran mikroba terbanyak ditemukan pada kualitas desinfeksi tidak memenuhi syarat dan nilai sikap rendah, sedangkan variabel tingkah laku merupakan variabel confounding terhadap variabel sanitasi dan kualitas desinfeksi. Sebagian besar cemaran mikroba terdapat pada nilai tingkah laku rendah, kondisi sanitasi dan kualitas desinfeksi yang tidak memenuhi syarat. Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek.2 Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan. Tingkatan sikap meliputi menerima, menanggapi, menghargai, bertanggungjawab. Tingkah laku kesehatan merupakan respons seseorang yang bersifat aktif terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan.2 Dalam penelitian ini, sikap dan tingkah laku tidak berpengaruh terhadap cemaran mikroba. Hal ini dapat disebabkan karena data penelitian ini merupakan data kontinu dan data populasi homogen. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan data kategori. Untuk data homogen, perlu dilakukan jenis studi ekologi membandingkan beberapa kelompok. Kecepatan Aliran Air dan Cemaran Mikroba Kecepatan aliran air berkaitan dengan waktu kontak antara air baku dengan sinar UV. Hasil pengukuran menunjukkan rata-rata kecepatan aliran air adalah 1,41 + 0,56 SD menit. Hasil analisis bivariat menunjukkan kecepatan aliran air tidak berpengaruh terhadap cemaran 306 mikroba. Hal ini dapat disebabkan pengukuran kecepatan aliran air dalam galon tidak dapat dilaksanakan pada semua DAM dalam penelitian ini. Pada saat penelitian, beberapa konsumen tidak sedang melakukan pengisian air minum isi ulang sehingga pengukuran dilakukan dengan cara mengisi air pada gelas ukur dalam satuan detik, kemudian dikonversi dalam satuan galon per menit. Pengukuran seperti ini dapat menimbulkan ketidaktepatan hasil pengukuran kecepatan aliran air bila dibandingkan dengan pengukuran dalam galon. Penelitian selanjutnya perlu melakukan pengukuran pada galon sambil menunggu kedatangan konsumen melakukan pengisian air minum isi ulang. Semakin lama air baku kontak dengan alat desinfeksi, maka semakin tinggi kesempatan alat desinfektan menyinari air baku yang menyebabkan matinya mikroba. Menurut Hardajanto,23 waktu kontak antara air dengan sinar UV minimal empat detik, dan waktu kontak antara air dan ozon minimal empat menit. Kecepatan aliran air sangat berperan. Jika kecepatan aliran air lebih cepat dari waktu yang ditentukan, maka efektivitas UV sebagai pembasmi bakteri yang merugikan akan menurun. Pengemasan Air dan Cemaran Mikroba Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak terdapat pengaruh pengemasan terhadap cemaran mikroba. Hasil ini sejalan dengan penelitian di Kabupaten Bogor pada tahun 2012 yang menyatakan tidak terdapat hubungan pengemasan air terhadap kualitas air minum isi ulang .22 Tidak terdapat pengaruh pengemasan terhadap cemaran mikroba dapat disebabkan karena data bersifat homogen. Penelitian selanjutnya perlu melakukan studi ekologi untuk melakukan pengukuran pada beberapa kelompok. Hasil observasi terhadap pengemasan air sebagian besar disebabkan tidak menutup alat pembersih galon dan operator tidak mencuci tangan sebelum pengemasan air minum isi ulang. Prioritas peningkatan pengemasan air minum isi ulang dilakukan dengan menempatkan alat penyikat galon pada ruang tertutup atau menutup sikat galon dan operator mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Kesimpulan Hasil penelitian analisis cemaran mikroba dan determinan cemaran E. coli dan total koliform pada DAM dapat disimpulkan bahwa jumlah DAM dalam penelitian ini adalah 51. DAM telah tercemar mikroba sebesar 51% dan 33,33% telah tercemar E. coli. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan memengaruhi cemaran mikroba adalah pengetahuan operator, sanitasi DAM dan kebersihan operator. Sedangkan variabel tidak berpengaruh adalah kualitas desinfeksi, sikap operator, tingkah laku operator, pengemasan, dan kecepatan aliran air. Pakpahan, Picauly, Mahayasa, Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Total Bakteri Koliform pada Air Minum Isi Ulang Saran Dinas Kesehatan Kota Kupang perlu menyelenggarakan pelatihan, kursus kebersihan sanitasi DAM kepada para operator dan pemilik DAM, melaksanakan peningkatan pengawasan dan pembinaan DAM secara berkala. Puskesmas diharapkan melakukan penyuluhan kepada operator DAM secara berkala. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Kupang perlu menambah persyaratan sertifikasi kebersihan sanitasi DAM untuk pemberian izin operasi DAM. Pemilik DAM perlu menyediakan pakaian seragam dan fasilitas sanitasi. Operator DAM perlu melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala, pencucian tangan dengan air mengalir menggunakan sabun, mengenakan seragam dan mengikuti kursus kebersihan dan sanitasi DAM. Masyarakat diharapkan lebih selektif dalam memilih air minum DAM yang akan dikonsumsi. 12. Radji M, Oktavia H, Suryadi H. Pemeriksaan bakteriologis air minum isi ulang di beberapa depo air minum isi ulang di daerah Lenteng Agung dan Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2009; 5 (2): 101-9. 13. Marpaung DM, Marsono DB. Uji kualitas AMIU di Kecamatan Sukolilo Surabaya ditinjau dari perilaku dan pemeliharaan alat. Jurnal Teknik Publikasi Ilmiah Online Mahasiswa ITS. 2013; 2 (2). 14. Natalia AL, Bintari HS, Mustikaningtyas D. Kajian kualitas bakteriologis air minum isi ulang di Kabupaten Blora. Unnes Journal of Life Science. 2004; 3(1). 15. Bambang AG, Fatimawali, Kojong NS. Analisis cemaran bakteri coliform dan identifikasi Escherichia coli pada air isi ulang dari depot di Kota Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi. 2014; 3 (3): 325-34. 16. Apriliana E, Ramadhian MR, Gapila M. Backteriological quality of refill depot water at refill drinking water depot in Bandar Lampung. Jurnal Kedokteran Universitas Lampung [online]. 2014 [diakses tanggal 5 Mei 2015]; 4 (7); 142-6. Diunduh dari: http://download.Portal garuda.org/article. Daftar Pustaka 1. Suprihatin, Suparno O. Teknologi proses pengolahan air. Bogor: IPB Press; 2013. 2. Notoatmodjo S. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: Rineka Cipta; 2011. 3. Mukono. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Surabaya: Airlangga Universitas Press; 2011. 4. Entjang I. Ilmu kesehatan masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti; 2000. 5. Tabor M, Kibret M, Abera B. Bacteriological and physicochemical qua- 17. Copeland CC, Beers BB, Thompson MR, Fitzgerald RP, Barrett LJ, Sevilleja JE, et al. Faecal contamination of drinking water in a Brazilian shanty town: importance of household storage and new human faecal marker testing. Journal of Water and Health. 2009: 7 (2): 324-31. 18. Abdilanov D, Hasan D, Marsaulina I. Penyelenggaraan hygiene sanitasi dan pemeriksaan kualitas air minum pada depot air minum isi ulang di Kota Padang tahun 2012. Jurnal Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja. 2013 [diakses tanggal 8 Oktober 2015]: 2. Diunduh dari http://id.portalgaruda.org/? ref=browse&mod= viewarticle &article=110056 lity of drinking water and hygiene sanitation practices of consumnes in 19. Yudo S, Rahardjo PN. Evaluasi teknologi air minum isi ulang di DKI Bahir Dar City, Ethiopia. Ethiophian Journal of Health Science. Mar Jakarta. Jurnal Akuakultur Indonesia. 2005 [diakses tanggal 5 Mei 2011 [cited 2014 Oct 15]; 21 (1): 19–26. A valaible from: 2015]; 1 (3). Diunduh dari: http://ejurnal.bppt.go.id/ index.php/JAI/ar- http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3275851/. ticle/view/48/47. 6. Eshcol J, Mahapatra P, Keshapagu. Is fecal contamination of drinking 20. Asfawi S. Analisis faktor yang berhubungan dengan kualitas bakterio- water after collection assosiated with household water handling and hy- logis air minum isi ulang pada tingkat produsen di Kota Semarang giene practice? A study of urban slum households in Hyderabad, India. [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2004. Journal of Water and Health. 2009 [cited 2014 Oct 5]; 7 (1): 145-54. 21. Mirza MN. Hubungan antara hygiene sanitasi dengan jumlah coliform A valaiable from: http://www.iwaponline.com/jwh/007/0145/ air minum pada depot air minum isi ulang (DAMIU) di Kabupaten 070145.pdf. 7. Anwar MS, Lateef S, Siddiq GM. Bacteriological of drinking water in Lahore. Biomedica. 2010 [2014 Nov4]; 26: 66-9. Avalaible from: www.thebiomedicapk.com/articles/206.pdf. Demak. Kemas. 2013; 67-73. 22. Prihatini. Kualitas air isi ulang pada depot air minum di wilayah Kabupaten Bogor [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia; 2009 23. Chemulity JK, Gatura PB, Kyule MM, Njeruh MM. Bacteriological qua- 8. Admassu M, Wubset M, Gelaw B. A survey of bacteriological quality of lities of indoor and out-door drinking water in Kibera sub-location in drinking water in North Gondar. Department of Laboratory Technology: Nairobi, Kenya. East African Medical Journal. 2002 [cited 2015 Jan 2004 [Cited 2014 Oct 12]. Avalaible from: http://ejhd.uib.no/ejhdv18- 08]; 79 (5): 271-3. Avalaible from: http://www.ajol.info/index. no2/8survey.pdf. php/eamj/article/view/8868/1821 9. Suprihatin. Sebagian air minum isi ulang tercemar bakteri coliform.Tim 24. Levy K, Nelson KL, Hubbard A, Eisenberg JNS. Following the water: A Penelitian Laboratorium Teknologi dan Manajemen lingkungan. Bogor: controlled study of drinking water storage in Northern Coastal Ecuador. Institut Pertanian Bogor; 2013. Environmental Health Perspectives. 2011 [cited 2014 Dec 5]; 111 (11): 10. Wandrivel R, Suharti N, Lestari Y. Kualitas air minum yang diproduksi DAMIU di Kecamatan Bungus Padang berdasarkan persyaratan mikrobiologi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 129-33. 11. Pratiwi AW. Kualitas bakteriologis air minum isi ulang di wilayah Kota Bogor. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2007; 2 (2): 58- 1533-40. Avalaible from: http://ehp.niehs.nih.gov/wp-content/uploads/116/11/ehp.11296.pdf 25. Rahayu CR, Setiani O, Nurjazuli. Faktor resiko pencemaran mikrobiologi pada Air Minum Isi Ulang di Kabupaten Tegal. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2013; 12 (1). 63. 307 Artikel Penelitian Akses Jaminan Kesehatan Nasional pada Pekerja Seks Perempuan Access of National Health Insurance among Female Sex Workers Ni Made Sri Nopiyani, Putu Ayu Indrayathi, Rina Listyowati, I Ketut Suarjana, Pande Putu Januraga Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Abstrak Pekerja seks perempuan (PSP) merupakan kelompok yang termarjinalkan secara sosial dan memiliki kerentanan yang tinggi terhadap masalah kesehatan. Upaya perluasan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada PSP masih terbatas sehingga penting dilakukan untuk mendukung pencapaian universal health coverage. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai akses JKN pada PSP di Denpasar. Penelitian ini merupakan studi kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap 15 orang PSP dan empat orang mucikari di Denpasar pada Agustus hingga Oktober 2014. Hasil wawancara diolah dengan analisis tematik. Kerangka analisis yang digunakan adalah The Health Access Livelihood Framework. Kepemilikan JKN pada PSP di Denpasar masih rendah, meskipun sebagian PSP memiliki kemauan untuk menjadi peserta JKN dan memiliki kemampuan membayar iuran JKN. Faktor penghambat akses JKN pada PSP adalah rendahnya pengetahuan mengenai prosedur pendaftaran dan portabilitas JKN, kekhawatiran keberlanjutan pembayaran iuran, persepsi buruk mengenai kualitas layanan yang akan diterima jika menggunakan JKN, ketidaklengkapan administrasi kependudukan serta kebijakan yang mengharuskan peserta bukan penerima bantuan iuran (Non-PBI) Mandiri untuk mendaftarkan seluruh anggota keluarga. Akses JKN pada PSP terhambat oleh faktor-faktor individual, layanan dan kebijakan yang perlu diatasi untuk meningkatkan cakupan JKN pada PSP. Kata kunci: Akses, jaminan kesehatan nasional, pekerja seks perempuan Abstract Female sex workers (FSW) is marginalized social group having a high vulnerability of health problems. Effort to expand national health insurance on FSW is still limited, so it is necessarily performed in order to support the achievement of universal health coverage. This study aimed to obtain the depiction of the insurance access among FSW in Denpasar. This study was qualitative. Data was collected through in-depth interview of 15 FSW and four pimps in Denpasar on August - October 2014. The interview result was 308 analyzed using thematic analysis. The analysis framework used was The Health Access Livelihood Framework. The insurance ownership among FSW in Denpasar was low, even though some FSW were willing to be participants and afford to pay the premium. Factors inhibiting the insurance access were the lack of knowledge regarding registration procedures and portability, fear of premium payment sustainability, negative perceptions regarding quality of services that would be received if using the insurance, incomplete population administration and policy requiring participants of independent non-premium support receiver to register all of their family members. The insurance access among FSW was hindered by individual, service and policy factors that need to be conquered to increase the insurance coverage among FSW. Keywords: Access, national health insurance, female sex workers Pendahuluan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia merupakan salah satu bentuk reformasi pembangunan kesehatan utama yang diimplementasikan sejak 1 Januari 2014.1 Penyelenggaraan JKN bertujuan untuk memberikan akses universal terhadap layanan kesehatan esensial serta proteksi finansial bagi seluruh penduduk Indonesia (universal health coverage) yang ditargetkan tercapai pada tahun 2019.1 Untuk mewujudkan keadilan sebagai salah satu visi dari reformasi kesehatan, upaya perluasan cakupan perlu menyasar seluruh kelompok di masyarakat dengan tidak mengabaikan kelompokkelompok minoritas. Pekerja seks perempuan (PSP) merupakan kelompok masyarakat yang sering kali terKorespondensi: Ni Made Sri Nopiyani, Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Gedung PSKM Jl. P.B. Sudirman Denpasar Bali 80232, No.Telp: 0361-222510, e-mail: [email protected] Nopiyani, Indrayathi, Listyowati, Suarjana, Januraga, Akses Jaminan Kesehatan Nasional pada Pekerja Seks Perempuan marjinalkan secara hukum maupun sosial.2,3 Di sisi lain, populasi PSP memiliki kerentanan yang tinggi untuk terpapar human immunodeficiency virus (HIV) dan infeksi menular seksual (IMS), selain penyakit nonseksual reproduksi seperti trauma fisik dan psikologis.2-5 Bali merupakan provinsi dengan epidemi HIV terkonsentrasi dengan penularan terutama melalui transmisi heteroseksual.6 Kelompok PSP diklaim sebagai pusat dari perluasan epidemi HIV di Bali.6,7 Hasil pemetaan dan estimasi populasi kunci pada tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 5.002 PSP di Bali dan 456 orang (9,1%) berstatus HIV positif.7 Pembiayaan kesehatan seksual dan reproduksi untuk PSP di Bali terancam kesinambungannya karena bantuan dari mitra pembangunan internasional sebagai sumber dukungan dana utama akan terhenti pada tahun 2015, sedangkan pembiayaan untuk masalah medis umum masih dibayar oleh PSP dari kantong mereka sendiri (out of pocket).8,9 Pembiayaan out of pocket saat mengakses layanan kesehatan rentan meletakkan PSP pada risiko pengeluaran katastrofik dan kemiskinan.10-12 JKN merupakan solusi untuk mewujudkan pembiayaan kesehatan yang lebih berkelanjutan, efektif dan adil bagi PSP. Penelitian terkait akses JKN pada populasi PSP di Indonesia masih sangat terbatas dan belum pernah dilakukan di Bali. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran akses JKN pada PSP sehingga diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah yang menjadi landasan untuk meningkatkan cakupan JKN pada PSP di Kota Denpasar sebagai kota yang memiliki jumlah PSP terbanyak di Bali. Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap 15 orang informan PSP dan empat orang mucikari yang dipilih secara purposive dari lokalisasi di Sanur, Padanggalak, Lumintang, dan Ubung. Penelitian berlangsung pada bulan Agustus hingga Oktober 2014. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisis dengan analisis tematik. Kerangka analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah the Livelihood Access Framework. Kerangka tersebut mengkombinasikan pendekatan layanan kesehatan, perilaku mencari kesehatan dan meletakkan akses dalam konteks yang lebih luas, yaitu ketidakamanan mata pencaharian.13 Kerangka kerja ini dipilih karena dianggap sesuai dengan konteks akses JKN pada PSP yang meliputi lima dimensi, yaitu ketersediaan, aksesabilitas, keterjangkauan, kecukupan, dan penerimaan.13 Penelitian telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah dengan Surat Keterangan Kelaikan Etik No. 1316/UN.14.2/Litbang /2014. Hasil Karakteristik Informan Informan dalam penelitian ini berjumlah 19 orang yang terdiri dari 15 orang PSP dan empat orang mucikari. Usia informan berkisar antara 24 hingga 43 tahun dengan riwayat pendidikan bervariasi dari tidak tamat sekolah dasar (SD) hingga lulus sekolah menengah atas (SMA). Sebagian besar PSP berstatus janda (80%) dan sisanya saat ini masih menikah. Seluruh informan PSP berasal dari luar Bali, yaitu dari Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Lama bekerja sebagai PSP di Bali berkisar antara satu hingga sembilan tahun. Seluruh informan PSP memiliki penghasilan di atas upah minimum regional (UMR) Kota Denpasar dengan rentang penghasilan Rp 2.000.000,- hingga Rp 20.000.000,-. Kepemilikan jaminan kesehatan masih rendah dengan hanya tiga orang PSP (20%) telah memiliki Asuransi Kesehatan (Askes) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sejak sebelum diterapkannya JKN. Namun, ketiga informan PSP tersebut tidak pernah menggunakan Jamkesmas yang mereka miliki saat mengakses layanan kesehatan. Mucikari yang diwawancarai berjumlah empat orang, terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang perempuan dan memiliki penghasilan 3 -15 juta per bulan dari usaha prostitusi yang mereka kelola. Jumlah PSP yang dimiliki di lokasi mereka berkisar antara 4 - 25 orang. Namun, tidak semua PSP bekerja setiap hari. Ketersediaan Jaminan Kesehatan Nasional Pada JKN telah tersedia fasilitas untuk memfasilitasi pendaftaran dan pembayaran peserta JKN. Informasi tentang JKN juga telah disosialisasikan kepada masyarakat melalui media massa dan penyuluhan langsung, namun upaya-upaya tersebut masih terbatas dan baru menyasar masyarakat umum. Beberapa PSP mengatakan pernah melihat iklan layanan masyarakat tentang JKN di televisi, namun mereka merasa tidak mendapatkan informasi yang cukup dari iklan tersebut. “Kan pernah lihat di TV, sering dengar, sering lihat sih tapi belum paham gitu loh. Sebenarnya nggak paham untuk mendapatkan itu bagaimana caranya itu belum paham.” (PSFA_26) Bahkan terdapat di antara mereka yang tidak tertarik dan tidak mempedulikan iklan tentang JKN karena telah memiliki persepsi negatif terhadap jaminan kesehatan. “Lihat di iklan ya nggak tertarik, cuek aja. Kadangkadang iklan aja, nanti kenyataannya lempar sana lempar sini gitu. Pikiran saya gitu.” (PSYU_34) Sebagian PSP menyampaikan bahwa mereka belum menjadi peserta JKN karena kekhawatiran jika pesertaan JKN diurus di Bali, maka tidak akan dapat digunakan setelah mereka pulang ke kampung halaman. Selain itu, sebagian besar PSP mengatakan bahwa pengetahuan mereka tentang JKN masih kurang sehingga mereka 309 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 masih belum berani memutuskan untuk mendaftar sebagai peserta JKN. Ketersediaan informasi yang komprehensif mengenai JKN dirasa penting oleh PSP untuk mengambil keputusan terkait dengan keikutsertaan dalam JKN. Aksesibilitas Jaminan Kesehatan Nasional Ketersediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya sosialisasi untuk meningkatkan cakupan peserta JKN tidak serta-merta diikuti oleh peningkatan cakupan peserta JKN pada kelompok PSP. Pihak Komisi Penangulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang HIV dan AIDS di Kota Denpasar, yaitu Yayasan Kerti Praja, untuk memberikan informasi serta mendistribusikan formulir pendaftaran kepada mucikari dan PSP di lokasi-lokasi di Kota Denpasar. Tingkat partisipasi PSP dalam penyuluhan JKN yang diinisiasi oleh KPA Kota Denpasar dinilai kurang. “Kadang sih pas penyuluhan itu banyak yang nggak mau datang sih. Ayo ikut penyuluhan, ah ngantuk aku, tidur. Waktu itu dari tempat saya cuma 3 orang aja yang ikut.” (PSAN_28) Sebagian besar PSP mengatakan bahwa meskipun mereka telah diberikan informasi mengenai prosedur pendaftaran JKN saat penyuluhan, tetapi mereka belum memahami alur pendaftaran tersebut. “Nggak tahu juga aku. Dibilangin sih tapi akunya yang nggak paham. Soalnya waktu penyuluhan itu nggak pake salon [pengeras suara]. Salonnya nggak keras, nggak paham.” (PSIN_28) Sebagian PSP mengaku bahwa mereka telah mengisi formulir pendaftaran JKN, hanya saja mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Para PSP mengatakan bahwa mereka tidak dapat melakukan pendaftaran sendiri. Sebagian besar PSP tidak memiliki kendaraan pribadi sehingga tidak dapat datang sendiri ke kantor BPJS untuk mendaftarkan diri sebagai peserta. Selain itu, sebagian besar PSP berasal dari luar Bali sehingga mereka kurang familiar dengan lokasi di Denpasar. “Belum pernah sih saya ngurus gitu-gitu. Sama nggak tahu tempatnya. Mesti ada yang nganter dulu. Kalonya pas ada motornya ya nggak berat apalagi kalo tahu tempatnya. Kalo nggak tahu ya sama aja kan. Soalnya nggak paham daerah sini.” (PSIN_28) Rendahnya pengetahuan mereka juga menyebabkan rasa rendah diri dan membuat mereka merasa takut untuk menghadapi kompleksitas prosedur pendaftaran JKN yang akan dijalani. Pada saat pertemuan sosialisasi JKN oleh KPA Denpasar, pihak LSM telah menyanggupi untuk memfasilitasi proses pendaftaran. Hanya saja hingga saat wawancara dilakukan, hal tersebut belum ditindaklanju310 ti sehingga PSP tersebut belum mendaftar hingga sekarang. “Temen-temen sudah ngisi tapi belum ada yang bawa ke sana [kantor BPJS]. Disuruh ke yayasan tapi sampai sekarang nggak ada apa-apa, males saya. Ya udah biarin aja, yang penting kan saya sudah ngisi, entah kapan dikumpulin.” (PSCA_24) Informan mucikari menyebutkan bahwa kemungkinan besar PSP tidak akan melakukan pendaftaran apabila tidak difasilitasi oleh pihak lain karena kesadaran mereka yang masih rendah serta ketakutan akan terungkapnya profesi mereka sebagai PSP jika berada di tempat umum. “Kemungkinan dia [PSP] tidak mau. Masalahnya ini ya kalo masalah kesehatan saja kalo nggak kita yang gedor-gedor mungkin dia nggak akan bangun kesini untuk periksa. Mungkin malu dia. Iya gimana ya namanya orang malu. Kemungkinan takut identitas aslinya ketahuan.” (MKAG_40) Persyaratan administratif yang dibutuhkan untuk pengurusan pesertaan JKN seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) disebutkan sebagai penghambat bagi PSP untuk menjadi peserta. Sebagian besar PSP berasal dari luar Bali sehingga mereka terkendala urusan administrasi kependudukan. Persyaratan Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM) atau KTP bisa dipenuhi oleh sebagian besar PSP. Namun, seluruh PSP mengalami kesulitan untuk memenuhi persyaratan KK. Seluruh PSP tidak membawa KK, bahkan terdapat beberapa PSP yang mengaku tidak memiliki KK terutama setelah pernikahan mereka berakhir dan status mereka berubah. “Ya pengen sih tapi belum ngurus [JKN] soalnya kan harus pake KK. Aku kan belum ada. Soalnya waktu aku pulang ke banjarmasin itu kan KK- ku hilang. Sampai sekarang kan nggak ngurus. Sejak suamiku meninggal belum ngurus. Makanya nggak ikut. Sebenarnya sih pingin. Rencananya bulan ini mau pulang ngurus KKnya dulu.” (PSIN_28) Prosedur pembayaran iuran JKN melalui transaksi bank tidak menyulitkan PSP karena hampir seluruh PSP telah terbiasa melakukan transaksi keuangan lewat bank. “Saya sudah biasa transfer lewat ATM ke bank ke anaknya. Rekening juga ada jadi nggak sulit.” (PSWI_32) Peranan mucikari untuk memperluas cakupan JKN bervariasi. Di beberapa lokasi, mucikari cukup bertanggungjawab, peduli, dan bersedia membantu PSP untuk menyebarkan informasi dan membantu pengurusan pesertaan JKN. “Kalo misalnya kita minta, minta tolong diantarkan mau mungkin. Kalo membayarkan nggak mungkin. Kalo bos saya baik..” (PSWI_32) “Nggak, kalo saya nggak pernah repot.Kalo disuruh Nopiyani, Indrayathi, Listyowati, Suarjana, Januraga, Akses Jaminan Kesehatan Nasional pada Pekerja Seks Perempuan ngurus kayak gini [pendaftaran JKN] saya siap saja.” (MKAG_40) Meskipun terdapat juga mucikari yang tidak pernah membicarakan tentang JKN dengan anak buahnya, “Paling bosnya cuma ngingetin periksa tiap bulan ke yayasan. Tapi kalo masalah asuransi memang sama sekali nggak pernah bahas.” (PSFA_26) Namun, di sebagian besar lokasi, terutama pada lokasi mucikari dan PSP tidak tinggal di tempat yang sama, hubungan mucikari dengan PSP hanya sebatas hubungan bisnis. Mucikari di lokasi terebut tidak memiliki kepedulian terhadap urusan pribadi PSP, termasuk urusan kesehatan sehingga mucikari tersebut tidak memiliki peran dalam memperluas cakupan JKN pada kelompok PSP. “Kayaknya bosnya itu cuek aja dateng, cuma minta uang harian. Datengnya itu satu minggu sekali minta uang harian. Kalo masalah anak buahnya kena apa itu nggak mau tau.” (PSYA_43) Beberapa mucikari mengatakan bahwa mereka sebenarnya bersedia memfasilitasi pengurusan pesertaan PSP, namun pengetahuan mereka yang kurang mengenai prosedur pengurusan menjadi penghambat bagi mereka. Pemberian informasi saja dirasakan tidak cukup untuk membuat mucikari dan PSP mampu mengurus pendaftaran JKN secara mandiri. Bantuan dari pihak ketiga untuk mendampingi mereka dan menunjukkan secara langsung cara pendaftaran BPJS dirasa lebih efektif. Peran mucikari sebagai pemilik usaha untuk ikut mengiur sebagian iuran JKN PSP menurut mucikari tidak mungkin mereka lakukan karena tidak adanya kepastian dalam hubungan kerja mereka. Tidak adanya kontrak kerja yang formal antara mucikari dan PSP dan mobilitas PSP yang cukup tinggi menyebabkan PSP dapat berhenti bekerja kapan saja. Selain itu, kinerja dari PSP juga tidak menentu karena tidak adanya target yang ditetapkan oleh mucikari. Kontribusi mucikari untuk ikut membayar iuran PSP yang hanya mendatangkan penghasilan yang sedikit bagi mucikari, dianggap tidak menguntungkan bagi mucikari. “Kayaknya nggak mungkin ya. Ya gini, kan tidak ada ikatan pasti soalnya. Mungkin dia itu juga kerjanya nggak dipaksakan kayak kewajibannya gitu nggak. Ditelepon dulu siap kerja baru dia datang. Kalo nggak gitu ya nggak datang. Kadang-kadang satu minggu paling empat kali dia datang.” (MKAG_40) Keterjangkaun Jaminan Kesehatan Nasional Besaran iuran BPJS saat ini cukup terjangkau oleh PSP. Penghasilan yang mereka dapatkan setiap bulan cukup besar berkisar Rp 3.000.000,- hingga Rp 20.000.000,-. Hasil wawancara menunjukkan bahwa beberapa PSP sebenarnya mau dan mampu untuk membayar iuran kelas I dengan nominal Rp 59.500,- per bulan. “Yaaa.. kalau menurut kemampuan kita untuk sekarang sih milih yang kelas 1 aja, soalnya lebih baiklah, orang cuma satu bulan 60.000.” (MKTI_30) Hanya saja hampir seluruh PSP yang telah memutuskan untuk menjadi peserta JKN memilih kelas III dengan besar iuran Rp 25.500,- per bulan karena mereka khawatir akan kondisi perekonomian mereka di masa mendatang. Mereka mengatakan bahwa dalam bisnis seks, penghasilan mereka tidak menentu. Jumlah klien yang memanfaatkan jasa mereka fluktuatif. Seiring dengan pertambahan usia, maka daya jual mereka akan berkurang dan jumlah klien yang mereka dapatkan menurun sehingga pendapatan mereka pun akan menurun. Selain itu, beberapa PSP menyebutkan bahwa mereka tidak ingin bekerja selamanya sebagai pekerja seks. Mereka memprediksi bahwa setelah mereka berhenti bekerja sebagai pekerja seks, mereka tidak akan dapat lagi mendapatkan penghasilan sebesar penghasilan saat ini. “Takutnya ya namanya orang ya nanti pas kita dalam keadaan nggak ada rejeki, namanya orang ya. Pas kita lagi jatuh sakit, bayar uang 25 ribu itu berat lho. Namanya orang nggak tahu kita kesandung, kita nggak punya rejeki, itu juga berat uang segitu. Soalnya aku kan bukan orang yang punya kerjaan tetap, kantoran gitu.” (PSYA_43) Kebijakan yang mewajibkan peserta Non-PBI Mandiri untuk mengikutsertakan seluruh anggota keluarga yang tercantum dalam KK menjadi faktor penghambat bagi PSP untuk menjadi peserta JKN. Beberapa PSP meskipun berpenghasilan di atas lima juta rupiah per bulan, namun mereka merasa pesimis dapat membayar iuran JKN secara berkelanjutan dan dapat mengikutsertakan anggota keluarga mereka. “Saya dari kemarin-kemarin sih rencana mau daftar. Tapi kalo saya daftar kan kasian anak saya jadi saya masih mikir untuk saya daftar sendiri. Anak saya nanti gimana. Kalo misalkan saya ikut 2 orang kan 50 ribu. Apa mungkin nanti terus bisa bayar kalo udah di Jawa, mikir dulu.” (PSSO_38) Hal tersebut dikarenakan banyaknya pengeluaran per bulan untuk kepentingan nonkesehatan seperti membayar utang serta membiayai kehidupan dan pendidikan anak dan anggota keluarga mereka. Hampir seluruh PSP berstatus janda yang telah memiliki anak sehingga mereka menjadi tulang punggung keluarga. “Pengeluarannya banyak sekali. Banyak pengeluaran misalkan kita dapat uang segitu sebulannya. Kan pengeluarannya kan bukan hanya untuk makan, untuk cukup anak, kan untuk ini, beban hutang. Kalo misalnya nggak punya utang ya nggak kerja gini.” (PSWI_32) Kekhawatiran akan ketidakmampuan membayar iuran di masa mendatang serta persepsi yang buruk mengenai jaminan kesehatan membuat beberapa PSP lebih memilih untuk menabung daripada mengikuti asuransi 311 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 untuk berjaga-jaga jika suatu saat jatuh sakit. Pembayaran dengan out of pocket diasosiasikan oleh PSP dengan kualitas layanan yang lebih baik dibandingkan dengan asuransi kesehatan. “Makanya daripada gitu kita mendingan kita kalau kita punya uang tabungan kayak orang Jawa kan untuk beli kerbau sapi. Itu dah tabungan kita ada kalau kita ada apa apa. Ya jadi kalau kita udah mampu bayar otomatislah langsung ditangani bener bener.Kalau ga gitu, kalau kita pakai jaminan-jaminan [JKN]gitu dikasinya juga obat yang standar. Disana intinya, mendingan kita punya uang, langsung ditangani. Saya pengalaman saya disana.” (PSAM_35) “Cuma gitu aja cadangannya tiap hari kita harus bisa naruh entah 20, 25 ribu itu kita tabungin. Kalo sakit , kita nggak kerja ada yang kita pake bayar. Jadi tiap hari tu masukin ke celengan.” (PSID_42) Kecukupan Jaminan Kesehatan Nasional Hampir seluruh PSP mengatakan bahwa dalam satu tahun terakhir mereka tidak pernah mengalami masalah kesehatan yang serius. Hanya terdapat sebagian kecil yang mengalami keluhan kesehatan yang ringan, seperti sakit kepala dan demam yang biasanya diatasi dengan berobat ke dokter praktik swasta atau mengobati sendiri keluhan kesehatan mereka. Biaya yang mereka keluarkan untuk sekali berobat ke dokter praktik swasta berkisar antara Rp 40.000,- sampai Rp 80.000,- untuk biaya jasa dokter dan obat. Jumlah uang tersebut menurut mereka adalah jumlah yang sedikit. Untuk layanan kesehatan seksual dan reproduksi, seperti pemeriksaan IMS dan HIV hingga terapi antiretroviral (ARV), dapat diakses oleh PSP tanpa biaya. Secara finansial, besar iuran JKN tidak menjadi penghambat bagi PSP untuk menjadi peserta JKN. Hasil wawancara menunjukkan bahwa beberapa PSP memiliki persepsi yang buruk mengenai istilah ‘jaminan kesehatan’. Hal tersebut disebabkan oleh pengalaman buruk dalam mengakses layanan kesehatan dengan menggunakan jaminan kesehatan, khususnya jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin atau Jamkesmas. Mereka menceritakan bahwa ketika menggunakan Jamkesmas, keluarga mereka tidak mendapat pelayanan yang baik, bahkan tidak dilayani oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Persepsi yang buruk mengenai jaminan kesehatan menjadi penghalang bagi mereka untuk menjadi peserta JKN. Jaminan kesehatan diidentikkan dengan kualitas layanan yang buruk dan prosedur administrasi yang berbelit-belit. “Tapi aku pernah denger dari salah satu temenku itu punya jamkesmas itu ya. Jamkesmas itu, ada anaknya temanku mau melahirkan di Banyuwangi itu ceritanya, dibilang nggak ada alatnya kek, dilempar sana sini. Nggak ada alat sedangkan keadaan sudah gawat kan. 312 Anakku bilang, ah jangan dah pake-pake itu bu ntar nggak dihiraukan gitu. Kebanyakan gitu makanya aku takut pake yang kayak-kayak gitu. Nanti disepelekan sama pihak-pihak rumah sakit.” (PSYA_43) Pembahasan Penelitian ini mengindikasikan masih rendahnya kepemilikan JKN pada populasi PSP di Denpasar. Penelitian yang dilakukan oleh Sugiyatmi,14 terhadap 78 PSP di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, juga menunjukkan rendahnya jumlah PSP yang sadar asuransi. Ditinjau berdasarkan kerangka The Livelihood Access Framework, ketersediaan informasi tentang JKN yang dapat dimengerti oleh PSP masih terbatas. Sosialisasi JKN melalui media televisi dianggap kurang efektif oleh PSP. Hasil estimasi populasi kunci menunjukkan bahwa terdapat sekitar 2.737 orang PSP di Denpasar.7 Sebagian besar PSP di Kota Denpasar berasal dari luar Bali dan tidak memiliki KTP Bali sehingga mereka tidak dapat mengakses Jaminan Kesehatan Bali Mandara saat mereka mengalami permasalahan kesehatan.9 Hasil penelitian menunjukkan bahwa status kepemilikan asuransi berhubungan dengan pemanfaatan layanan kesehatan pada pekerja migran.15,16 Salah satu prinsip penyelenggaraan JKN adalah prinsip portabilitas yang dimaksudkan untuk menyediakan jaminan kesehatan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.1 Portabilitas JKN menjadi solusi yang tepat untuk menyediakan perlindungan kesehatan bagi PSP yang memiliki mobilitas antarprovinsi yang tinggi. Ketidakpahaman terhadap prinsip portabilitas JKN menjadi penghambat bagi PSP untuk menjadi peserta JKN. Dari sisi keterjangkauan, PSP memiliki modal keuangan yang cukup dengan pendapatan rata-rata PSP per bulan berada di atas UMR Kota Denpasar sebesar Rp 1.800.000,- pada tahun 2015. Pendapatan diatas UMR pada PSP juga ditemukan pada penelitian Januraga dkk,9 di Denpasar, Badung, dan Buleleng serta penelitian oleh Sugiyatmi,14 di Tarakan, Kalimantan Utara. PSP memiliki kemauan dan kemampuan membayar iuran JKN, namun mereka meng-khawatirkan keberlanjutan pembayaran iuran karena khawatir akan ketidakmampuan membayar iuran di masa mendatang. Penelitian yang dilakukan di Purbalingga, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa keterjangkauan iuran merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keberlanjutan pembayaran iuran pada peserta JKN Non-PBI Mandiri di Purbalingga.17 Tidak adanya bentuk ikatan kerja yang formal, ketiadaan jaminan kesehatan serta perlindungan dari pemberhentian kerja sepihak merupakan masalah-masalah umum yang dihadapi oleh para pekerja di luar sektor formal, termasuk PSP.18 Berbeda dengan pekerja penerima upah sektor formal yang sebagian iurannya dibayar oleh pem- Nopiyani, Indrayathi, Listyowati, Suarjana, Januraga, Akses Jaminan Kesehatan Nasional pada Pekerja Seks Perempuan beri kerja, mucikari sebagai pihak pemberi kerja bagi PSP tidak dapat ikut membayar sebagian iuran dari PSP karena tidak adanya bentuk ikatan kerja yang formal. Potensi mucikari untuk memperluas cakupan JKN hanya terbatas pada menyebarluaskan informasi dan memfasilitasi proses pendaftaran. Faktor terkait kebijakan yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah kebijakan yang mewajibkan pekerja sektor informal untuk mendaftarkan seluruh anggota keluarga yang tercantum dalam KK. Kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap fenomena adverse selection yang terjadi di awal implementasi JKN.19 Sejak 1 Januari 2014, diperkirakan terdapat dua juta orang pekerja sektor informal yang mendaftar sebagai peserta JKN dan sebagian besar ada dalam keadaan sakit dan memerlukan perawatan kesehatan, tidak jarang yang berbiaya tinggi.19 Jumlah peserta JKN yang masih terbatas menyebabkan risiko finansial yang besar untuk BPJS sehingga BPJS mengeluarkan kebijakan tersebut.19 Permasalahan lain yang menghambat akses JKN pada PSP adalah tidak terpenuhinya persyaratan administrasi kependudukan yang dibutuhkan untuk pendaftaran JKN, khususnya kepemilikan KK. Peningkatan ketertiban dan keterpaduan administrasi kependudukan perlu dilakukan untuk menunjang implementasi JKN dan pelbagai program pembangunan lainnya. Aksesibilitas JKN terkendala kurangnya pemahaman PSP terhadap prosedur pendaftaran dan kurangnya pendampingan. Studi terhadap PSP di wilayah perkotaan menunjukkan bahwa ketidaktahuan PSP mengenai cara memperoleh asuransi merupakan penghambat akses layanan kesehatan pada PSP.4 Dukungan dari mucikari, rekan PSP serta LSM pendamping merupakan bentuk social capital yang dianggap sangat perlu untuk mendorong pesertaan JKN pada PSP. Peran KPA juga cukup besar dalam meningkatkan cakupan pesertaan JKN pada PSP. Kecukupan JKN yang menyangkut aspek kualitas layanan kesehatan dipersepsikan kurang oleh PSP. Berdasarkan pengalaman penggunaan Jamkesmas, PSP mengidentikkan istilah ‘jaminan kesehatan’ dengan layanan kesehatan yang kurang berkualitas. Stigma buruk yang melekat pada jaminan kesehatan juga telah dibuktikan oleh beberapa studi terhadap pengguna Jamkesmas dan asuransi kesehatan untuk orang miskin (Askeskin). Studi di empat kabupaten di Jawa Timur terhadap masyarakat miskin dan hampir miskin dan hasil studi menggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) di Indonesia Timur menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kepuasan pasien Jamkesmas terhadap layanan kesehatan yang mereka terima serta perbedaan kualitas layanan dengan pasien non-Jamkesmas yang membuat mereka enggan untuk menggunakan Jamkesmas kembali.20,21 Studi terhadap implementasi Askeskin di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga menun- jukkan bahwa beberapa obat yang tercantum dalam formularium Askeskin tidak tersedia pada saat dibutuhkan.22 Persepsi buruk terhadap ‘jaminan kesehatan’ memengaruhi penerimaan JKN pada PSP. Meskipun mereka merasa memiliki kerentanan yang tinggi terhadap penyakit khususnya HIV, sebagian PSP lebih memilih pembayaran layanan kesehatan secara out of pocket yang sebenarnya meletakkan PSP dalam risiko yang tinggi akan pengeluaran katastrofik dan kemiskinan. 10-12 Kepemilikan asuransi kesehatan dapat menurunkan risiko terjadinya pengeluaran katastrofik pada PSP.23,24 Menghapus stigma yang melekat pada ‘jaminan kesehatan’ merupakan upaya yang penting dilakukan untuk meningkatkan cakupan JKN tidak hanya pada kelompok PSP, tetapi juga pada masyarakat umum. Pembiayaan kesehatan, terutama kesehatan seksual reproduksi pada PSP saat ini, sebagian besar masih bersumber dari pendanaan mitra pembangunan internasional yang akan terhenti pada tahun 2015.8,25 Epidemi HIV di Bali yang terkonsentrasi pada populasi kunci, salah satunya adalah PSP, memerlukan sumber dana yang berkelanjutan untuk pembiayaan program pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan yang saat ini sedang berjalan. Ketiadaan dukungan pembiayaan berpotensi menyebabkan terhambatnya upaya penanggulangan HIV dan meluasnya epidemi HIV.25 Di masa mendatang, pembiayaan HIV diharapkan akan terintegrasi dengan pembiayaan JKN sehingga upaya peningkatan cakupan JKN pada PSP merupakan salah satu upaya mewujudkan sistem pembiayaan yang lebih berkelanjutan bagi penanggulangan HIV di Indonesia. Selain itu, upaya untuk menjangkau PSP dengan JKN penting untuk mewujudkan keadilan serta pencapaian universal health coverage. Kesimpulan Akses JKN pada PSP di Denpasar masih terbatas. Terdapat faktor-faktor individual serta faktor-faktor terkait layanan dan kebijakan yang menghambat perluasan cakupan kepesertaan JKN pada PSP di Denpasar. Faktor-faktor individual penghambat akses JKN pada PSP adalah rendahnya pengetahuan mengenai prosedur pendaftaran dan portabilitas JKN, kekhawatiran keberlanjutan pembayaran iuran serta ketidaklengkapan administrasi kependudukan. Faktor terkait layanan, yaitu adanya persepsi buruk terhadap kualitas layanan yang akan diterima oleh pengguna JKN. Kebijakan yang mengharuskan peserta Non-PBI Mandiri untuk mendaftarkan seluruh anggota keluarga dalam KK merupakan faktor terkait kebijakan penghambat akses JKN pada PSP. Saran Upaya sosialisasi JKN pada PSP perlu menekankan pada prosedur pendaftaran, aspek portabilitas dan diser313 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 tai upaya menghapus persepsi negatif mengenai kualitas layanan kesehatan yang akan diterima peserta JKN. Potensi mucikari, LSM bidang HIV dan KPA untuk terlibat dalam upaya perluasan cakupan JKN pada PSP perlu dioptimalkan. The Lancet. 2003; 362: 111-7. 13. Obrist B, Iteba N, Lengeler C, Makemba A, Mshana C, Nathan R, et al. Access to health care in contexts of livelihood insecurity: a framework for analysis and action. PLoS Medicine. 2007; 4 (10): 1584-8. 14. Sugiyatmi TA. Gambaran asuransi kesehatan pada era JKN pada wanita pekerja seksual di lokalisasi Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Forum Daftar Pustaka Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, Bandung, 24-26 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jaminan kesehatan na- September 2014. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran; sional (JKN) dalam sistem jaminan sosial nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013. 2. Ward H, Day S. What happens to women who sell sex? report of a unique occupational cohort. Sexually Transmitted Infections. 2006; 82 (5): 413-7. 3. Rekart M. Sex-work harm reduction. The Lancet. 2005; 366 (9503): 2123-34. 2014. 15. Mou J, Cheng J, Zhang D, Jiang H, Lin L, Griffiths SM. Health care utilisation amongst Shenzhen migrant workers: does being insured make a difference? BMC Health Service Research. 2009; 9 (214):1-9. 16. Peng Y, Chang W, Zhou H, Hu H, Liang W. Factors associated with health-seeking behavior among migrant workers in Beijing, China. BMC Health Services Research. 2010; 10 (69): 1-10. 4. Baker LM, Case P, Policichio DL. General health problems of inner-city 17. Intiasari AD. Determinan keberlanjutan pembayaran premi non PBI sex workers: a pilot study. Journal of the Medical Library Association. mandiri pada JKN di wilayah pedesaan Kabupaten Purbalingga. Forum 2003; 91 (1): 67-71. Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia; 24-26 September 5. Baral S, Beyrer C, Muessig K, Poteat T, Wirtz AL, Decker MR, et al. Burden of HIV among female sex workers in low-income and middleincome countries: a systematic review and meta-analysis. The Lancet Infectious Diseases. 2012; 12: 538-49. 6. Januraga PP, Wulandari LPL, Muliawan P, Sawitri S, Causer L, Wirawan DN, et al. Sharply rising prevalence of HIV infection in Bali: a critical assessment of the surveillance data. International Journal of STD & AIDS. 2013; 24: 633-7. 2014; Bandung. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran; 2014. 18. Cuevas S, Mina C, Barcenas M, Rosario A. Informal employment in Indonesia. Manila: Asian Development Bank; 2009. 19. Thabrany H. Jaminan kesehatan nasional. Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo; 2014. 20. Jannatul N, Mansur F, Purwaningrum D, Sapardi H. Masyarakat meragukan mutu layanan kesehatan gratis: persepsi masyarakat terhadap pe- 7. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali. Estimasi populasi kunci manfaatan jaminan kesehatan masyarakat di Jawa Timur. Forum dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tahun 2014 di Kabupaten/Kota Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia; 24-26 September Provinsi Bali. Denpasar: Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali; 2014; Bandung. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran; 2014. 2014. p. 36. 8. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali. Strategi dan rencana aksi 21. Radja II. Jaminan kesehatan masyarakat di Indonesia Timur: benarkah daerah (SRAD) penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Bali tahun bermanfaat? Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan 2013-2018. Denpasar: Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali; Indonesia, 24-26 September 2014; Bandung. Bandung: Fakultas 2013. Kedokteran Universitas Padjajaran; 2014. 9. Januraga PP, Wulandari LPL, Nopiyani NMS. Pengembangan layanan 22. Lestari TRP. Implementasi program asuransi kesehatan masyarakat kesehatan dasar yang komprehensif bagi pekerja seks perempuan di miskin di Nusa Tenggara Timur. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Bali: penjajagan struktur sosial masyarakat dalam pencegahan HIV/AIDS. Denpasar: Ikatan Alumni Kesehatan Masyarakat Indonesia Bali; 2010. 10. Minh HV, Phuong NTK, Saksena P, James CD, Xu K. Financial burden of household out-of pocket health expenditure in Viet Nam: Findings from the National Living Standard Survey 2002-2010. Social Science & Medicine. 2013; 96 (2013): 258-63. Nasional. 2009; 3 (6 ): 264-9. 23. Aji B, Allegri MD, Souares A, Sauerborn R. The impact of health insurance programs on out-of-pocket expenditures in Indonesia: An increase or a decrease? International Journal of Environmental Research and Public Health. 2013; 10: 2995-3013. 24. Lagomarsino G, Garabrant A, Adyas A, Muga R, Otoo N. Moving towards universal health coverage: health insurance reforms in nine de- 11. Limwattananon S, Tangcharoensathien V, Prakongsai P. Catastrophic veloping countries in Africa and Asia. The Lancet. 2012; 380: 933-43. and poverty impacts of health payments: results from national house- 25. Katz I, Routh S, Bitran R, Hulme A, Avila C. Where will the money hold surveys in Thailand. Bulletin of the World Health Organization. come from? Alternative mechanisms to HIV donor funding. BioMed 2007; 85 (8): 600-6. Central Pub Health [serial on internet]. 2014 [cited 2015 Jan];14 (956). 12. Xu K, Evans DB, Kawabata K, Zeramdini R, Klavus J, Murray CJL. Household catastrophic health expenditure: a multicountry analysis. 314 Available from: http://www.biomedcentral.com/1471-2458/14/956 Artikel Penelitian Pengaruh Teknik Marmet terhadap Kelancaran Air Susu Ibu dan Kenaikan Berat Badan Bayi Effect of Marmet Technique on Smoothness of Breastfeeding and Baby Weight Gain Anita Widiastuti, Siti Arifah, Wiwin Renny Rachmawati Program Studi Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Semarang Abstrak Bayi lahir cukup bulan memiliki naluri menyusu 20 - 30 menit setelah dilahirkan. Namun, fakta menunjukkan produksi dan ejeksi air susu ibu (ASI) yang sedikit di hari-hari pertama menyebabkan banyak ibu yang mengalami ketidakefektifan proses menyusui. Tidak terproduksinya ASI diakibatkan karena kurangnya rangsangan hormon prolaktin. Teknik marmet merupakan perpaduan memerah dan memijat payudara pada ibu nifas yang dapat merangsang hormon pada proses menyusui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh teknik marmet dengan masase payudara pada ibu nifas tiga hari postpartum terhadap kelancaran ASI dan kenaikan berat badan bayi. Penelitian ini menggunakan desain pre-experimental bentuk perbandingan kelompok statistik yang dilakukan di Puskesmas Grabag Kabupaten Magelang. Sampel yang digunakan adalah 40 responden postpartum pada September - November 2014. Uji statistik menggunakan uji Mann Whitney U. Teknik marmet dan masase payudara dalam memengaruhi kelancaran ASI secara statistik terdapat perbedaan (nilai p = 0,047). Sedangkan perbedaan dalam memengaruhi berat badan bayi diperoleh nilai p = 0,038 sehingga secara statistik tidak terdapat perbedaan. Pemberian perlakuan teknik marmet menyebabkan pengeluaran ASI lebih lancar, tetapi tidak terdapat perbedaan teknik marmet dengan masase payudara dalam memengaruhi kenaikan berat badan bayi. Kata kunci: Air susu ibu, berat badan bayi, teknik marmet Abstract Vigorous babies have suckling instinct for 20 - 30 minutes after born. However, the fact shows that low production and ejection of breastfeed in first days cause many mothers have ineffective breastfeeding problem. The lack of prolactin hormone stimulus affects breastfeed cannot be produced. Marmet technique is a combination of breast dairy and massage in puerperium mothers that can stimulate hormone during breastfeeding. This study aimed to compare effects of both marmet technique and breast massage in three-day postpartum mothers on the smoothness of breastfeeding and baby weight gain. This study used pre-experimental design with statistical group comparison conducted in Grabag Primary Health Care, Magelang District. The samples used were 40 postpartum mother respondents on September - November 2014. The statistical test used Mann Whitney U-Test. Marmet technique and breast massage affecting the smoothness of breastfeeding were statistically different (p value = 0.047). Meanwhile, the difference in affecting baby weight gain reached p value = 0.038, so statistically no difference found. The treatment of marmet technique affects breastfeeding smoother, yet no difference found between marmet technique and breast massage in affecting the baby weight gain. Keywords: Breastfeed, baby weight, marmet technique Pendahuluan Menyusui merupakan kejadian alamiah. Namun, untuk dapat berhasil menyusui dengan optimal, seorang ibu harus mengetahui tentang air susu ibu (ASI) itu sendiri serta penatalaksanaan menyusui. Kegagalan menyusui sering disebabkan karena faktor psikologis ibu pada harihari awal proses menyusui. Ibu sering merasa takut kalau ASI yang dihasilkan tidak mencukupi kebutuhan bayinya.1 Idealnya, proses menyusui dapat dilakukan segera setelah bayi dilahirkan. Bayi yang lahir cukup bulan memiliki naluri untuk menyusu 20 - 30 menit setelah dilahirkan. Pada jam-jam pertama, bayi relatif tenang dan memiliki keinginan untuk menyusu. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan banyak ibu yang mengalami ketidakefektifan proses menyusui karena produksi dan Korespondensi: Anita Widiastuti, Program Studi Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang, Jl. Perintis Kemerdekaan Kotak Pos 221 Magelang 11440, No.Telp: 0293-365185, e-mail: [email protected] 315 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 ejeksi ASI yang sedikit di hari-hari pertama sehingga ibu enggan untuk menyusui bayinya.2 Hakikatnya, tidak ada ibu yang memproduksi ASI sedikit. Dari 100 ibu bersalin, hanya dua ibu yang benarbenar memiliki produksi ASI sedikit dan yang lainnya memiliki produksi ASI yang banyak. Ibu perlu mendapatkan penatalaksanaan dini supaya ibu dapat memahami hal-hal penting yang dapat meningkatkan produksi ASI serta upaya agar pengaliran ASI dapat berhasil dengan baik.1 Jika menyusui di periode awal kelahiran tidak dapat dilakukan, upaya yang dapat dilakukan sebagai alternatif terbaik berikutnya adalah memerah atau memompa ASI selama 10 - 20 menit tiap dua sampai tiga jam sekali hingga bayi dapat menyusu. Tindakan ini dapat membantu memaksimalkan reseptor prolaktin dan meminimalkan efek samping dari tertundanya proses menyusui pada bayi.2 Teknik marmet merupakan kombinasi cara memerah ASI dan memijat payudara sehingga refleks ASI dapat optimal. Teknik memerah ASI dengan cara marmet bertujuan untuk mengosongkan ASI dari sinus laktiferus yang terletak di bawah areola sehingga diharapkan dengan mengosongkan ASI pada sinus laktiferus akan merangsang pengeluaran prolaktin. Pengeluaran hormon prolaktin diharapkan akan merangsang mammary alveoli untuk memproduksi ASI. Semakin banyak ASI dikeluarkan atau dikosongkan dari payudara akan semakin baik produksi ASI di payudara.2 Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012, cakupan ASI eksklusif Kabupaten Magelang masih di bawah target nasional.3 Hal ini terjadi karena pemberian minuman selain ASI di hari-hari awal terkait dengan belum keluarnya ASI serta gencarnya promosi susu formula. Mengingat pentingnya pengeluaran ASI pada awal masa menyusui terhadap keberhasilan proses menyusui, peneliti melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh teknik marmet dengan masase payudara pada ibu nifas tiga hari postpartum terhadap kelancaran ASI dan kenaikan berat badan bayi di Puskesmas Grabag, Kabupaten Magelang. Metode Jenis penelitian ini termasuk desain pre-experimental bentuk perbandingan kelompok statistik, yaitu memberikan perlakuan atau intervensi kemudian dilakukan pengukuran atau observasi. Kelompok intervensi diberikan perlakuan teknik marmet, sedangkan kelompok kontrol diberikan masase payudara. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu bersalin di Puskesmas Grabag, Kabupaten Magelang pada bulan September - November 2014. Pengambilan sampel menggunakan total sampel. Pada penelitian ini, terdapat 316 42 ibu nifas yang memenuhi kriteria sampel. Namun, dua ibu tidak dapat dimonitor sampai minggu kedua. Publikasi ini melaporkan hasil dari 40 ibu nifas. Kriteria inklusi penelitian ini adalah ibu primipara, ibu nifas tiga hari postpartum yang menyusui, dan ibu yang bersedia menjadi responden. Sedangkan kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah ibu yang mengalami kelainan pada puting susu, ibu yang bayinya memiliki kelainan bibir sumbing, ibu dengan bayi berat badan lahir rendah (BBLR), bayi yang mengalami kelainan kongenital dan bayi sakit. Sebelum melakukan pengumpulan data, penulis terlebih dahulu menyiapkan lima asisten peneliti dalam memberikan intervensi dan melakukan pengamatan. Hal ini dilakukan agar persepsi dari lima asisten peneliti sama sehingga responden mendapatkan perlakuan yang sama dan hasil pengamatan terhindar dari subjektivitas asisten peneliti. Asisten peneliti memberikan perlakuan teknik marmet kepada 20 responden, sedangkan 20 responden berikutnya diberi perlakuan masase punggung. Pengambilan data dilakukan melalui pengamatan langsung, hasil pengisian lembar kuesioner, dan wawancara terstruktur. Pemberian intervensi teknik marmet dan masase payudara dimulai dengan demonstrasi pada hari pertama postpartum. Responden diberikan lembar check list pelaksanaan prosedur yang telah diajarkan untuk dilakukan di rumah. Hari keempat postpartum, responden diminta untuk mengisi kuesioner dan dilakukan wawancara terstruktur. Penilaian dilakukan pada hari keempat setelah responden melakukan prosedur selama tiga hari. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar pengamatan dan kuesioner yang berisi skor kelancaran ASI dan berat badan bayi yang dipantau dari berat badan lahir, berat badan usia satu minggu dan berat badan usia dua minggu. Hasil analisis validitas pada lembar pernyataan valid karena semua pernyataan memiliki tingkat signifikansi < 0,05. Berdasarkan hasil uji reliabilitas terhadap pernyataan yang dipakai terbukti reliabel sehingga dapat digunakan dalam penelitian ini dengan nilai α = 0,724. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian, menampilkan distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden, variabel kelancaran ASI, perubahan berat badan bayi. Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel untuk mengetahui perbedaan pengaruh variabel independen (teknik marmet) dan masase payudara terhadap variabel dependen (kelancaran ASI) dan perubahan berat badan bayi menggunakan uji Mann Whitney U untuk data tidak berpasangan dengan sebaran tidak normal. Widiastuti, Arifah, Rachmawati, Pengaruh Teknik Marmet terhadap Kelancaran ASI dan Kenaikan Berat Badan Bayi Hasil Penelitian perbedaan pengaruh teknik marmet dengan masase payudara pada ibu nifas tiga hari postpartum terhadap kelancaran ASI dan kenaikan berat badan bayi di Puskesmas Grabag, Kabupaten Magelang, dilakukan terhadap 40 responden. Responden tersebut kemudian dikelompokkan, terdiri dari 20 responden pertama yang diberi perlakuan teknik marmet dan 20 responden kedua yang diberi perlakuan masase payudara (Tabel 1). Responden pada penelitian ini telah diupayakan memiliki karakteristik yang hampir sama. Meskipun usia berpengaruh terhadap proses menyusui, peneliti telah berupaya menjadikan responden homogen pada variabel usia untuk meminimalkan bias. Pengaruh hormon menyusui optimal pada masa reproduksi sehat seorang perempuan yang berkisar antara 20 - 35 tahun. Responden yang ikut dalam penelitian ini semuanya primipara. Mayoritas ibu (90%) menyelesaikan pendidikan menengah setingkat sekolah menengah atas (pendidikan formal lebih dari sembilan tahun). Sebanyak 70% ibu bekerja dan dalam satu keluarga sebanyak 77,5% berpendapatan di atas Rp 1.255.000,- sesuai upah minimum regional Kabupaten Magelang. Berdasarkan gambaran kelancaran ASI, kelompok teknik marmet pada beberapa kriteria memiliki persentase yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok masase payudara. Ibu dapat merasakan aliran ASI yang keluar saat menyusui dan merasakan aliran ASI yang keluar deras dialami oleh semua responden yang diberikan teknik marmet. Demikian juga pengamatan pada bayi saat menyusu bayi lebih tenang dan setelah menyusu bayi tidak rewel serta dapat tidur nyenyak. Pada kriteria kecukupan bayi terhadap ASI, kelompok teknik marmet memiliki persentase lebih tinggi (Tabel 2). Hasil olah data skor kelancaran ASI kelompok perlakuan teknik marmet, skor paling rendah adalah 16, sedangkan skor tertinggi adalah 20. Mean 19,1 dan median 19, sedangkan modus pada skor kelancaran ASI kelompok ini adalah 19 sebanyak 60%. Sedangkan distribusi skor kelancaran ASI untuk kelompok perlakuan masase payudara, skor paling rendah adalah 13 dan skor tertinggi adalah 20. Mean 18,65, hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan teknik marmet. Pengamatan pada perubahan berat badan bayi pada dua minggu pertama dapat dijelaskan bahwa dibandingkan dengan berat badan lahir, berat badan bayi pada kelompok ibu dengan perlakuan teknik marmet 75% naik, 15% yang mengalami penurunan, dan 10% tetap. Sedangkan pada kelompok perlakuan masase payudara, hanya 65% yang memiliki bayi dengan berat badan naik, 20% mengalami penurunan dan 15% berat badannya tetap. Berdasarkan hasil uji beda pengaruh teknik marmet dengan masase payudara pada ibu nifas tiga hari postpartum terhadap kelancaran ASI menggunakan uji Mann Whitney U, diketahui teknik marmet memiliki rata-rata peringkat 23,70, sedangkan masase payudara memiliki peringkat 17,30. Pada hasil uji statistik dengan CI 95% diperoleh nilai p = 0,047. Berdasarkan hasil ini, secara statistik terdapat perbedaan teknik marmet dengan masase payudara dalam memengaruhi kelancaran ASI (Tabel 3). Berdasarkan uji pengaruh menggunakan uji one sample kolmogorov smirnov pada masing-masing perlakuan, didapatkan hasil bahwa teknik marmet berpengaruh dengan nilai p = 0,01. Sedangkan pada penelitian ini, masase payudara secara statistik tidak berpengaruh dengan nilai p = 0,07. Dengan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa teknik marmet lebih memberikan pengaruh Tabel 1. Karakteristik Responden Perlakuan Kategori n % Distribusi usia 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 35 Primipara Multipara SLTP SLTA IRT Bekerja < UMR > UMP 3 11 7 19 40 0 4 36 12 28 9 31 7,5 27,5 17,5 47,5 100 0 10 90 30 70 22,5 77,5 Paritas Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Tabel 2. Gambaran Kelancaran ASI pada Responden Teknik Marmet dan Responden Masase Payudara Kelancaran ASI Payudara ibu terasa kencang atau tegang saat puting dihisap bayi Payudara ibu terasa lembut dan kosong setiap kali selesai menyusui Ibu dapat merasakan aliran ASI yang keluar saat mulai menyusui Ibu menyusui bayinya secara bergantian pada kedua payudara Ibu pernah merasakan ASI yang merembes ketika puting sedang dihisap bayi ASI ibu keluar dengan deras Saat menyusu bayi terlihat tenang Setelah menyusu bayi tertidur pulas Bayi tidak rewel setelah menyusu Frekuensi air kencing bayi sesuai dengan frekuensi pemberian ASI selama 24 jam Teknik Marmet (%) Masase Payudara (%) 95 92,5 100 97,5 90 100 100 100 82,5 100 95 92,5 95 97,5 90 95 85 97,5 72,5 97,5 317 : Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Tabel 3. Hasil Uji Beda Data Penelitian Perbedaan Pengaruh Teknik Marmet dengan Masase Payudara Variabel Perlakuan Mean Kelancaran ASI Teknik marmet Massase payudara Teknik marmet Massase payudara 23,70 17,30 22,10 18,90 Kenaikan BB bayi SD 0,911 1,565 0,510 0,489 SE 0,114 0,109 0,114 0,109 U Nilai p 136 0,047 168 0,38 Keterangan: SD = Standar Deviasi, SE = Standar Eror, U = Mann Whitney U dalam kelancaran ASI dibandingkan dengan teknik masase payudara. Pengaruh teknik marmet dan masase payudara terhadap kenaikan berat badan bayi dengan menggunakan uji Mann Whitney U diketahui bahwa peringkat rata-rata pada kelompok teknik marmet 22,10 dan masase payudara 18,90. Pada hasil uji statistik dengan CI 95%, diperoleh nilai p = 0,38, maka secara statistik tidak terdapat perbedaan teknik marmet dengan masase payudara dalam memengaruhi berat badan pada periode neonatus (Tabel 3). Pembahasan Hasil analisis uji statistik pada penelitian ini tentang perbedaan teknik marmet dan masase payudara terhadap kelancaran ASI menunjukkan adanya perbedaan secara statistik. Berdasarkan pengamatan dan wawancara terstruktur kelompok responden yang mendapatkan teknik marmet pada empat hari postpartum, persentase skor kelancaran ASI tinggi lebih banyak bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Fakta ini didukung oleh penelitian tentang pemberian intervensi teknik marmet terhadap kelancaran ASI yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian tersebut, dijelaskan bahwa terdapat perbedaan kelancaran ASI pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil yang ditunjukkan dengan nilai OR = 11,5 yang berarti bahwa dengan pemberian intervensi mampu meningkatkan 11,5 kali lebih baik produksi ASI-nya dibandingkan dengan kelompok kontrol.4 Hasil yang senada juga disampaikan oleh Ulfah, 5 berdasarkan penelitiannya yang menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan sebelum diberikan teknik marmet pengeluaran ASI tidak lancar sebanyak delapan responden (53,3%) dan pengeluaran ASI lancar sebanyak tujuh responden (46,7%). Sedangkan setelah pemberian teknik marmet, didapatkan bahwa seluruh responden sejumlah 15 responden pada kelompok perlakuan pengeluaran ASI lancar. Kesimpulannya adalah pemberian teknik marmet pada ibu postpartum efektif terhadap kelancaran pengeluaran ASI. Teknik marmet adalah kombinasi memijat dan memompa payudara yang dapat meningkatkan pengeluaran hormon prolaktin dan oksitosin. Yokoyama,6 dalam pub318 likasi penelitiannya menjelaskan bahwa memberikan pijatan pada payudara disertai dengan pengosongan isi payudara akan mengaktifkan hormon prolaktin yang memproduksi ASI dan hormon oksitosin yan0g berfungsi untuk membuat payudara berkontraksi sehingga ASI dapat keluar dengan lancar. Sedangkan masase payudara hanya mengeluarkan ASI yang sudah tersimpan di sinus payudara ibu sehingga sangat efektif apabila untuk memperlancar ASI dilakukan pemberian masase disertai dengan proses pengosongan ASI pada payudara untuk merangsang kedua hormon yang bekerja dalam proses menyusui.1,2 Hasil penelitian Desmawati,7 dijelaskan bahwa dengan memberikan masase pada areola mamae sejak dini sangat bermanfaat untuk membantu proses pengeluaran ASI. Pada postpartum yang diberikan intervensi 12 jam setelah bersalin, ASI keluar pada 18 jam setelah bersalin. Masase pada areola mamae merangsang pengeluaran oksitosin sehingga memperlancar proses pengeluaran ASI. Becker, 8 melakukan penelitian di unit neonatal, penelitian ini menjelaskan bahwa untuk menghasilkan volume air susu yang lebih banyak, ibu yang akan menyusui harus berada dalam kondisi rileks secara psikologis. Selain itu, dapat juga dilakukan pemijatan sambil dilakukan pengosongan atau pemompaan. Dengan memperhatikan teknik-teknik ini, proses menyusui menjadi lebih efektif. Jutte,9 melakukan penelitian dengan memberikan teknik marmet pada perempuan menyusui. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa jumlah lubang pada puting yang aktif dan berfungsi baik menjadi lebih banyak. Usia ibu dan bayi tidak berpengaruh terhadap jumlah lubang pada puting yang aktif. Tindakan penatalaksanaan menyusui pada postpartum sangat dibutuhkan karena menurut penelitian Ahluwalia,10 para ibu yang tidak memberikan ASI pada bayinya disebabkan oleh adanya kesulitan pada awal proses pemberian ASI pada bayinya. Dewey,11 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa supaya proses menyusui dapat berjalan dengan baik, proses pemberian ASI dan faktor-faktornya harus dievaluasi dalam waktu 72 - 96 jam postpartum. Pemberian perlakuan teknik marmet menyebabkan pengeluaran ASI lebih lancar dibandingkan dengan per- Widiastuti, Arifah, Rachmawati, Pengaruh Teknik Marmet terhadap Kelancaran ASI dan Kenaikan Berat Badan Bayi lakuan masase payudara. Mengacu pada pendapat Bobak,12 kelancaran produksi ASI dapat diketahui dengan melihat indikator berat badan bayi pada usia dua minggu. Apabila ASI tercukupi, berat badan dapat meningkat atau minimal sama dengan berat badan bayi pada waktu lahir.12 Pada penelitian ini, kelancaran ASI hasil pemberian teknik marmet dan masase payudara tidak berpengaruh secara signifikan pada perubahan berat badan bayi. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Wright,13 yang menunjukkan bahwa pada periode neonatus, tidak ada perbedaan berat badan maupun lingkar lengan pada responden. Responden yang diberikan perlakuan pemberian ASI dengan frekuensi lebih sering dengan kelompok yang pemberiannya biasa,pertumbuhannya tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Perubahan menjadi lebih jelas pada penelitian yang dilakukan pada bayi yang telah mulai menggunakan energinya untuk aktivitas motorik. Perbedaan sangat jelas bila bayi telah mencapai usia enam bulan. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori pertumbuhan dan perkembangan Elizabeth Hurlock,14 pada masa bayi atau neonatus, yaitu dari lahir sampai 14 hari individu baru melakukan penyesuaian terhadap lingkungan yang baru. Terdapat empat penyesuaian utama yang harus dilakukan sebelum bayi memperoleh kemajuan perkembangan, yaitu perubahan suhu, pernapasan, menghisap, dan menelan serta pembuangan melalui organ sekresi sehingga pada masa ini bayi mengalami masa tenang dan tidak banyak terjadi perubahan, baik dalam pertumbuhan maupun perkembangannya. mandiri sehingga proses menyusui lebih efektif. Daftar Pustaka 1. Utami R. Panduan praktis menyusui. Jakarta: Pustaka Bunda; 2009. 2. La Leche League International [home page on internet]. How to get your milk supply off to a good start [update 2013 March 26; cited 2014 June 20]. Available from: http://www.lalecheleague.org/nb/nbjulaug 05p142.html. 3. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Buku profil kesehatan Propinsi Jawa Tengah tahun 2012. Semarang: Dinas Kesehatan Propinsi Semarang; 2013. 4. Mardiyaningsih E, Setyowati S, Sabri L. Efektifitas kombinasi teknik marmet dan pijat oksitosin terhadap produksi ASI ibu post seksio di Rumah Sakit wilayah Jawa Tengah. Jurnal Keperawatan Sudirman. 2011 [diakses tanggal 6 November 2014]. Diunduh dalam: http://jks.fkik.unsoed.ac.id/index.php/jks/article/view/321. 5. Ulfah RRM.Efektivitas pemberian teknik marmet terhadap pengeluaran asi pada ibu menyusui 0-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Arjasa Kabupaten Jember. 2012 [diakses tanggal 6 November 2014]. Diunduh dalam: http://repository.unej.ac.id/handle /123456789/9987. 6. YokoyamaY, Ueda T, Irahara M, Aono T. Releases of oxytocin and prolactin during breast massage and suckling in puerperal women. European Journal of Obstetric Gynecololy and Reproductive Biology [serial on the internet]. 1994 Jan [cited 2014 Nov 19]. Available from: http://web. a.ebscohost.com/ehost/resultsadvanced. 7. Desmawati. Penentu kecepatan pengeluaran air susu ibu setelah sectio caesarea. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013; 7 (8): 360-4. 8. Becker GE, Smith HA, Cooney F. Methods of milk expression for lactating women. Cochrane Database Systematic Review [serial on the internet]. 2015 [cited 2015 June 21]; 7: 12. A vailable from: http://www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed /22161398. Kesimpulan Pemberian perlakuan teknik marmet menyebabkan pengeluaran ASI lebih lancar. Responden lebih banyak yang merasakan aliran ASI lebih deras saat menyusui. Hasil pengamatan pada bayi dalam kelompok teknik marmet, bayi yang tenang dalam menyusu, tidak rewel saat menyusu dan tidur pulas setelah menyusu memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan kelompok masase payudara. Secara statistik, terdapat perbedaan pada kelancaran ASI antara responden yang diberikan perlakuan teknik marmet dengan responden yang diberikan masase payudara. Untuk variabel kenaikan berat badan bayi, secara statistik tidak terdapat perbedaan antara teknik marmet dengan masase payudara dalam memengaruhi kenaikan berat badan bayi. 9. Jutte J, Hohoff A, Sauerland C, Wiechmann D. In vivo assessment of number of milk duct orifices in lactating women and association with parameters in the mother and the infant. BMC Pregnancy Childbirth [serial on internet]. 2014 [cited 2014 Nov 6]; 14: 124. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3992155/. 10. Ahluwalia IB, Morrow B, Hsia J. Why do women stop breastfeeding? finding from the pregnancy risk assessment and monitoring system. Journal Pediatrics [serial on internet]. 2005 [cited 2014 Nov 4]; 116: 1408-12. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12949292. 11. Dewey K, Nommsen-Rivers L, Heining M, Cohen R. Risk faktor for suboptimal infant breastfeeding behavior, delayed onset lactasion, and excess neonatal weight loss. Journal Pediatrics. 2003; 112: 607-19. 12. Bobak IM, Lowdermilk DL, Jensen MD. Buku ajar keperawatan maternitas. Jakarta: EGC; 2005. 13. Wrigh MJ, Bentley ME, Mendez MA, Adair LS. The interactive associa- Saran Disarankan kepada tenaga kesehatan yang mengelola ibu hamil maupun postpartum untuk mensosialisasikan dan mengajarkan teknik marmet, juga membantu ibu nifas dan keluarga untuk melakukan teknik marmet agar ibu termotivasi melaksanakan tindakan teknik marmet tion of dietary diversity scores and breast-feeding status with weight and length in Filipino infants aged 6-24 months. Public Health Nutrition [serial on the internet]. 2015 [cited 2014 Nov 6]; 10: 1762-73. Availabel from: http://www. ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/25728248. 14. Tjandrasa M. Perkembangan anak. Hulok A, terj. Jakarta: Erlangga; 2000. 319 Artikel Penelitian Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan Pencetus Asthma among Children in Indonesia: Causes and Triggers Ika Dharmayanti, Dwi Hapsari, Khadijah Azhar Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Abstrak Asma merupakan penyakit kronis yang dapat mengganggu kualitas hidup. Hingga saat ini, jumlah penderita asma semakin meningkat termasuk di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma dan pencetus asma pada anak usia 614 tahun di Indonesia. Metode penelitian adalah desain potong lintang dengan menggunakan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 di 33 provinsi di Indonesia. Variabel bebas adalah karakteristik responden, faktor lingkungan, dan perilaku merokok anak dan orangtua. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki, kondisi sosial ekonomi rendah, riwayat asma pada orangtua, anak yang merokok atau pernah merokok, dan orangtua yang merokok atau pernah merokok adalah faktor risiko yang berhubungan secara signifikan dengan tinggi kejadian asma pada anak (nilai p < 0,05). Sedangkan variabel yang tidak berhubungan secara bermakna (nilai p > 0,05) adalah usia, kepadatan hunian, bahan bakar memasak, penerangan dalam rumah, dan penanganan sampah. Lima pencetus utama asma pada anak adalah udara dingin, flu dan infeksi, kelelahan, debu, dan asap rokok. Oleh karena itu, orangtua harus mendorong anak untuk bergaya hidup sehat agar anak terhindar dari serangan asma. Kata kunci: Anak, pencetus asma, perilaku merokok Abstract Asthma is a chronic disease that can disrupt quality of life. Up to now, the number of asthma is more increasing including in Indonesia. This study aimed to identify factors related to the incidence and triggers of asthma among 6 - 14 year-old children in Indonesia. Method of study was cross sectional design using 2013 Basic Health Research data in 33 provinces over Indonesia. Independent variables were characteristics of respondents, environmental factors and smoking behavior of children and parents.The analysis result showed that male sex, low socio-economic status, parental asthma record, children and parental smoking were the risk factors significantly related to the increasing prevalence of asthma incidence among chil320 dren (p value < 0.05). Meanwhile, age, housing density, cooking fuel, home lighting and waste handling were the other variables significantly not related (p value > 0.05). Five potential triggers of asthma among children are cold weather, flu and infections, fatigue, dust and tobacco smoke. Therefore, parents should encourage their children to get a healthy lifestyle in order to prevent them from asthma attack. Keywords: Children, asthma triggers, smoking behavior Pendahuluan Asma adalah penyakit gangguan pernapasan yang dapat menyerang anak-anak hingga orang dewasa, tetapi penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak. Menurut para ahli, prevalensi asma akan terus meningkat. Sekitar 100 - 150 juta penduduk dunia terserang asma dengan penambahan 180.000 setiap tahunnya.1 Di Indonesia, prevalensi asma menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 sebesar 4%. Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi asma untuk seluruh kelompok usia sebesar 3,5% dengan prevalensi penderita asma pada anak usia 1 - 4 tahun sebesar 2,4% dan usia 5 - 14 tahun sebesar 2,0%.2,3 Untuk dapat mengetahui prevalensi asma di seluruh dunia, maka disusunlah kuesioner International Study on Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) dengan salah satu tujuannya adalah untuk membandingkan prevalensi asma di suatu negara. Survei dengan menggunakan kuesioner ISAAC telah dilakukan di 155 pusat asKorespondensi: Ika Dharmayanti, Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Balitbangkes Kemenkes RI, Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta Pusat 10560, No. Telp: 021-4261088 ext. 202, e-mail: [email protected] Dharmayanti, Hapsari, Azhar, Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan Pencetus ma yang berada di 56 negara salah satunya adalah Indonesia.4-7 Kuesioner ISAAC ditujukan pada kelompok usia 6 - 7 tahun dan usia 13 - 14 tahun. Hasil dari survei tersebut bervariasi di beberapa negara dengan prevalensi asma antara 2,1 - 32,2%. Hasil survei dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada siswa usia 13 - 14 tahun di Indonesia menunjukkan bahwa di Jakarta Timur prevalensi asma pada tahun 2001 sebesar 8,9% dan meningkat menjadi 13,4% pada tahun 2008.4,5 Survei yang sama dilakukan pada kelompok usia 13 - 14 tahun di Jakarta Barat, hasilnya adalah prevalensi asma sebesar 13,1%.6 Asma didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika terjadi gangguan pada sistem pernapasan yang menyebabkan penderita mengalami mengi (wheezing), sesak napas, batuk, dan sesak di dada terutama ketika malam hari atau dini hari. 8,9 Menurut Canadian Lung Association,10 asma dapat muncul karena reaksi terhadap faktor pencetus yang mengakibatkan penyempitan dan penyebab yang mengakibatkan inflamasi saluran pernafasan atau reaksi hipersensitivitas. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan kambuhnya asma dan akibatnya penderita akan kekurangan udara hingga kesulitan bernapas. Secara medis, penyakit asma sulit disembuhkan, hanya saja penyakit ini dapat dikontrol sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pengendalian asma dilakukan dengan menghindari faktor pencetus, yaitu segala hal yang menyebabkan timbulnya gejala asma. Apabila anak menderita serangan asma terus-menerus, maka mereka akan mengalami gangguan proses tumbuh kembang serta penurunan kualitas hidup. Faktor pencetus asma banyak dijumpai di lingkungan baik di dalam maupun di luar rumah, tetapi anak dengan riwayat asma pada keluarga memiliki risiko lebih besar terkena asma.10 Tiap penderita asma akan memiliki faktor pencetus yang berbeda dengan penderita asma lainnya sehingga orangtua perlu mengidentifikasi faktor yang dapat mencetus kejadian asma pada anak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa setiap unsur di udara yang kita hirup dapat mencetus kambuhnya asma pada penderita. Faktor pencetus asma dibagi dalam dua kelompok, yaitu genetik, di antaranya atopi/alergi bronkus, eksim; faktor pencetus di lingkungan, seperti asap kendaraan bermotor, asap rokok, asap dapur, pembakaran sampah, kelembaban dalam rumah, serta alergen seperti debu rumah, tungau, dan bulu binatang.10 Penelitian tentang asma dengan menggunakan data Riskesdas tahun 2007 pernah dilakukan oleh Sihombing M, dkk. 11 Penelitian tersebut menganalisis data Riskesdas pada responden berusia ≥ 10 tahun. Variabel yang diteliti yaitu (1) karakteristik responden, yang terdiri dari tempat tinggal pedesaan dengan odds ratio(OR) = 1,18, usia ≥ 60 tahun (OR = 3,66), tidak bersekolah (OR = 1,86), tidak bekerja (OR = 1,20) dan indeks massa tubuh (IMT) kurus (OR = 1,45); perilaku responden, meliputi kebiasaan merokok pada mantan perokok (OR = 2,12), aktivitas fisik kurang (OR = 1,13), konsumsi makanan yang diawetkan dan bumbu penyedap dengan frekuensi sering (OR = 1,12) serta status ekonomi responden rendah (OR = 1,09). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada data Riskesdas 2007 pada responden ≥ 10 tahun, maka studi ini bermaksud untuk menganalisis data Riskesdas tahun 2013 pada anak usia 6 - 14 tahun. Studi ini akan menggali lebih dalam variabel yang tidak dianalisis pada penelitian sebelumnya, yaitu peran faktor genetik dan lingkungan rumah dengan kejadian asma. Selain itu, akan dianalisis faktor yang menjadi pencetus utama penyebab asma pada anak di Indonesia. Metode Studi ini menggunakan data Riskesdas tahun 2013. Desain penelitian Riskesdas menggunakan rancangan potong lintang dengan metode survei di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Populasi dalam penelitian ini adalah anak berusia 6 - 14 tahun. Pengambilan sampel pada usia tersebut berdasarkan perkembangan anak, yaitu masa anak-anak sekolah dasar 6 - 12 tahun (periode intelektual) dan masa prapubertas atau awal pubertas 12 - 14 tahun (periode pueral).12 Dalam studi ini, variabel yang diteliti meliputi variabel dependen yaitu responden yang mempunyai penyakit asma. Data ini diperoleh dari pengakuan responden yang melaporkan pernah mengalami gejala sesak napas disertai kondisi mengi dan sesak napas yang menjadi lebih buruk pada malam hari dan atau menjelang pagi. Sedangkan variabel independen yang terkait dengan penyakit asma, yaitu: karakteristik responden (usia, jenis kelamin, tempat tinggal, riwayat asma pada orangtua, dan kuintil indeks kepemilikan), faktor lingkungan (paparan asap rokok di dalam rumah, jenis lantai, dinding, plafon, penerangan, penggunaan bahan bakar untuk memasak dan pembuangan sampah) serta perilaku merokok anak dan orangtua. Riwayat asma pada orangtua dibagi menjadi orangtua menderita asma, salah satu menderita asma, dan keduanya tidak menderita asma. Faktor lingkungan dikategorikan menjadi tidak baik dan baik. Perilaku yang turut diteliti dalam studi ini adalah perilaku merokok anak dan orangtua. Perilaku merokok dikategorikan menjadi perokok aktif, mantan perokok, dan tidak pernah merokok. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat untuk melihat gambaran distribusi frekuensi dan besarnya proporsi masing-masing variabel. Kemudian, analisis dilanjutkan ke tingkat kemaknaan dan hubungan antara variabel dependen dan independen dengan menggunakan analisis kai kuadrat. Analisis multivariat menggunakan 321 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 regresi logistik dilakukan untuk memastikan hubungan variabel faktor risiko dengan penyakit asma dan menilai seberapa besar hubungan tersebut setelah dikontrol oleh confounding. Analisis ini dilakukan dengan mengikutsertakan variabel yang bermakna secara statistik pada analisis bivariat (nilai p < 0,05) dan variabel yang memiliki nilai (nilai p < 0,25) sebagai batas seleksi untuk menghindari kegagalan mengikutsertakan variabel yang diketahui penting (bermakna secara teori tetapi tidak bermakna secara statistik pada analisis bivariat).13 Hasil Pada Tabel 1 diketahui jumlah anak-anak yang memenuhi syarat untuk dianalisis sebanyak 157.581 orang, dimana sebanyak 3.197 anak (2,2%) menderita asma. Gambaran karakteristik responden yang menjadi sampel berdasarkan lokasi tempat tinggal sebesar 52,9% tinggal di pedesaan dengan persentase anak laki-laki sebanyak 51,8%. Jika dilihat dari riwayat penyakit asma pada orangtua, persentase salah satu orangtua baik ayah atau ibu yang menderita asma ternyata cukup tinggi, yaitu 6,1%. Berdasarkan status sosial ekonomi, Badan Pusat Statistik (BPS) membagi kuintil indeks kepemilikan rumah tangga menjadi lima kategori dari kuintil terbawah sampai dengan kuintil teratas. Tabel 1 menunjukkan proporsi responden menurut status ekonomi, yang mana persentase paling tinggi yaitu responden menengah atas (23,6%), kemudian teratas (21,0%) dan selanjutnya menengah (20,5%). Proporsi status ekonomi responden paling rendah yaitu pada kuintil terbawah (16,3%). Hasil analisis bivariat antara penyakit asma dengan karakteristik responden pada Tabel 2 menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna dengan kejadian asma (nilai p < 0,05) pada variabel usia, jenis kelamin, kuintil indeks kepemilikan, riwayat asma pada orangtua, anak perokok, orangtua perokok, kepadatan hunian, dan bahan bakar memasak. Sedangkan hubungan yang tidak bermakna adalah variabel tempat tinggal (nilai p = 0,500), merokok di dalam rumah (nilai p = 0,543), jenis lantai (nilai p = 0,365), jenis atap atau plafon (nilai p = 0,374), jenis dinding (nilai p = 0,313), penerangan dalam rumah (nilai p = 0,170), dan penanganan sampah (nilai p = 0,241). Tabel 2 menunjukkan bahwa risiko penderita asma lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan dan pada kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Anak akan lebih berisiko menderita asma apabila kedua orangtua memiliki riwayat asma dan risiko akan menurun apabila hanya salah satu orangtua menderita asma. Risiko asma juga meningkat secara bermakna pada anak yang mantan perokok, sedangkan bagi kelompok anak perokok aktif, nilai 322 Tabel 1. Distribusi Frekuensi dan Karakteristik Responden Variabel Karakteristik Individu Asma anak Jenis kelamin Tempat tinggal Riwayat asma pada orangtua Kuintil indeks kepemilikan Kategori Ya Tidak Laki-laki Perempuan Perdesaan Perkotaan Ya, keduanya Ya, salah satu Tidak Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas n 3.197 154.384 81.864 75.717 90.564 67.017 579 10.399 146.603 32.719 29.932 29.219 31.785 33.926 % 2,2 97,8 51,8 48,2 52,9 47,1 0,3 6,1 93,6 16,3 18,5 20,5 23,6 21,0 risiko menurun. Begitu juga dengan anak dengan orangtua mantan perokok memiliki risiko sedikit lebih tinggi dari anak dengan orangtua perokok aktif. Selain itu, risiko anak untuk menderita asma sedikit lebih tinggi pada kelompok anak yang tinggal di rumah dengan bahan bakar memasak yang tidak aman. Dari Tabel 2 diketahui terdapat sepuluh variabel yang kemudian dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik, yaitu : usia, jenis kelamin, kuintil indeks kepemilikan, riwayat asma orangtua, status merokok anak, status merokok orang tua, kepadatan hunian, bahan bakar memasak, penerangan dalam rumah dan penanganan sampah (nilai p < 0,25). Hasil uji multivariat pada Tabel 3 diperoleh lima faktor risiko yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian asma pada anak (nilai p < 0,05), yaitu jenis kelamin, kuintil indeks kepemilikan, orangtua yang menderita asma, anak yang merokok dan orangtua merokok. Sedangkan variabel lainnya tidak bermakna (nilai p > 0,05). Penelitian ini juga menunjukkan hasil analisis kondisi serta gambaran distribusi pencetus asma, rerata usia anak mulai menderita asma serta persentase asma anak kambuh selama 12 bulan terakhir. Data diolah secara univariat menggunakan data Riskesdas tahun 2013. Dari 3.197 anak yang menderita asma, umumnya serangan asma disebabkan oleh udara dingin (59,2%), flu dan infeksi (50,7%), kelelahan (47,1%), debu (43,5%), dan asap rokok (32,4%). Sisanya disebabkan oleh alergi makanan (9,6%), stres (6,1%), dan alergi obat (2,4%) (Gambar 1). Rerata usia responden mulai merasakan keluhan asma adalah 5,35 dengan standar deviasi rerata sebesar 3,875. Sementara itu, proporsi terbesar anak yang menderita asma mengakui bahwa 69,9% penyakitnya kambuh dalam 12 bulan terakhir, sedangkan sisanya (30,1%) menjawab tidak menderita asma selama kurun waktu 1 tahun. Dharmayanti, Hapsari, Azhar, Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan Pencetus Tabel 2. Karakteristik Individu Anak dan Faktor Lingkungan Kejadian Asma (%) Variabel Kategori Jumlah OR Ya Usia Jenis kelamin Tempat tinggal Kuintil indeks kepemilikan Riwayat asma orangtua Anak perokok Orangtua perokok Merokok di dalam rumah Kepadatan hunian Bahan bakar memasak Jenis lantai Plafon/langit-langit rumah Jenis dinding Penerangan dalam rumah Penanganan sampah 6 - 11 tahun 12 - 14 tahun Laki-laki Perempuan Perdesaan Perkotaan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Ya, keduanya Ya, salah satu Tidak Perokok aktif Mantan perokok Tidak merokok Perokok aktif Mantan perokok Tidak merokok Ya Tidak Padat Tidak padat Tidak aman Aman Tanah Bukan tanah Tidak berplafon Berplafon Bukan tembok Tembok Bukan listrik Listrik Tidak benar Benar 106.459 51.122 81.864 75.717 90.564 67.017 32.719 29.932 29.219 31.785 33.926 579 10.399 146.603 965 435 156.181 113.252 12.468 31.861 98.495 59.086 115.789 41.792 77.068 80.513 8.493 149.088 78.255 79.326 66.072 91.509 9.132 148.449 119.178 38.403 2,1 2,3 2,4 1,9 2,2 2,2 2,7 2,2 2,2 2,1 1,8 13,9 7,5 1,8 4,1 10,0 2,1 2,2 2,9 1,8 2,2 2,1 2,1 2,4 2,4 2,0 2,3 2,2 2,2 2,1 2,2 2,1 2,5 2,2 2,2 2,1 95% CI Nilai p Tidak 97,9 97,7 97,6 98,1 97,8 97,8 97,3 97,8 97,8 97,9 98,2 86,1 92,5 98,2 95,9 90,0 97,9 97,8 97,1 98,2 97,8 97,9 97,9 97,6 97,6 98,0 97,7 97,8 97,8 97,9 97,8 97,8 97,5 97,8 97,8 97,9 0,92 0,854 - 0,986 0,019 1,24 1,162 - 1,332 0,000 0,98 0,913 - 1,045 0,500 1,50 1,25 1,25 1,15 1,340 - 1,674 1,116 - 1,397 1,119 - 1,393 1,036 - 1,285 0,000 0,000 0,000 0,009 8,77 4,43 6,739 - 11,415 4,072 - 4,826 0,000 0,000 1,95 5,13 1,432 - 2,647 3,896 - 6,757 0,000 0,000 1,24 1,65 1,128 - 1,362 1,445 - 1,893 0,000 0,000 1,02 0,953 - 1,095 0,543 0,89 0,827 - 0,965 0,004 1,18 1,103 - 1,266 0,000 1,06 0,930 - 1,214 0,365 1,03 0,964 - 1,105 0,374 1,04 0,966 - 1,114 0,313 1,14 0,948 - 1,361 0,170 1,05 0,970 - 1,132 0,241 Tabel 3. Hasil Uji Multivariat Variabel Jenis kelamin Kuintil indeks kepemilikan Riwayat asma pada orangtua Anak perokok Orangtua perokok Kategori Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Ya, keduanya Ya, salah satu Tidak Perokok aktif Mantan perokok Tidak merokok Perokok aktif Mantan perokok Tidak merokok Konstanta Pembahasan Dari hasil analisis data Riskesdas tahun 2013, penderita asma pada usia 6 - 14 tahun sebanyak 3.197 anak dengan prevalensi sebesar 2,2%. Sedangkan berdasarkan β 0,185 0,249 0,129 0,157 0,100 2,104 1,445 0,407 1,466 0,149 0,345 OR (Exp β) 95% CI Nilai p 1,20 1,28 1,14 1,17 1,01 1,00 8,20 4,24 1,00 1,50 4,33 1,00 1,16 1,41 1,00 1,122 - 1,289 1,145 - 1,436 1,015 - 1,275 1,048 - 1,307 0,991 - 1,232 0,000 0,000 0,026 0,005 0,072 6,292 - 10,691 3,892 - 4,622 0,000 0,000 1,099 - 2,054 3,263 - 5,751 0,011 0,000 1,055 - 1,277 1,231 - 1,619 0,002 0,000 -4,379 hasil uji multivariat, diperoleh lima faktor risiko yang secara bermakna berhubungan dengan kejadian asma pada anak, yaitu jenis kelamin laki-laki, kuintil indeks kepemilikan terbawah, riwayat asma pada kedua orangtua, man323 : Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Gambar 1. Persentase Distribusi Pencetus Asma tan perokok pada anak dan orangtua. Beberapa variabel yang dianalisis oleh Sihombing dkk,11 pada data Riskesdas tahun 2007 juga dianalisis pada data Riskesdas tahun 2013. Perbedaan hasil analisis data Riskesdas tahun 2007 dan 2013 adalah pada variabel tempat tinggal, jenis kelamin, dan status ekonomi. Pada penelitian ini, tempat tinggal bukan merupakan faktor utama penyebab asma, sedangkan jenis kelamin dan status ekonomi berpengaruh pada kejadian asma. Hasil analisis data Riskesdas tahun 2007 menghasilkan sebaliknya. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan populasi pada kedua penelitian, pada penelitian ini populasinya adalah anak berusia 6 - 14 tahun, sedangkan Riskesdas tahun 2007 populasinya adalah anak usia ≥ 10 tahun. Kesamaan hasil analisis pada kedua penelitian adalah variabel perilaku merokok termasuk mantan perokok memiliki resiko lebih besar untuk menderita asma. Variabel yang tidak dianalisis pada Riskesdas tahun 2007 adalah riwayat asma pada orangtua dan perilaku merokok orangtua. Sedangkan variabel lingkungan yang ikut dianalisis pada penelitian ini tidak berhubungan terhadap kejadian asma. Selain itu, faktor pencetus asma juga belum ditanyakan pada Riskesdas 2007. Hasil laporan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo,14 di rumah sakit Kabupaten Kudus, menyimpulkan bahwa anak laki-laki 2,11 kali berisiko menderita asma dibandingkan dengan anak perempuan. Penelitian ini juga menunjukkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan kejadian asma. Terjadinya sensitivitas yang lebih tinggi pada anak laki-laki terhadap serangan asma dibandingkan anak perempuan dikarenakan diameter saluran napas anak laki-laki yang lebih lebih kecil sehingga mereka lebih sensitif dan peka apabila terjadi penyumbatan pada saluran napas.15 Sementara itu, menurut kuintil indeks kepemilikan diperoleh hasil bahwa kelompok anak dari keluarga dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah memiliki risiko 1,32 kali dibandingkan anak dari keluarga dengan kuintil indeks kepemilikan teratas. Sejalan dengan hasil penelitian Irawan, 16 bahwa adanya perbedaan yang bermakna pada pasien asma bronkial dan tanpa asma 324 bronkial dengan status ekonomi rendah. Penelitian lain memberikan kesimpulan yang sama bahwa penghasilan rendah akan meningkatkan risiko asma yang dikaitkan dengan kondisi perumahan yang buruk. 17 Dengan demikian, semakin tinggi status sosial ekonomi keluarga akan semakin menurunkan risiko anak terkena asma. Hal ini berarti rumah tangga dengan status sosial ekonomi tinggi memiliki kemampuan ekonomi lebih besar untuk menjaga kondisi kesehatan keluarganya dan akan mengupayakan agar keluarganya dapat hidup sehat. Berbeda dengan hasil penelitian Sihombing dkk, 11 dan Oemiati dkk,18 yang menggunakan data Riskesdas 2007, hasil menunjukkan bahwa status ekonomi rumah tangga rendah tidak berhubungan secara bermakna dengan kejadian asma. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Hapsari dkk,19 yang menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004 dan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2004, menyatakan bahwa status sosial ekonomi tidak berpengaruh pada kejadian asma. Hasil studi ISAAC,20 di Brazil memberikan kesimpulan yang sama bahwa prevalensi asma tidak dipengaruhi oleh status sosial ekonomi. Apabila dibandingkan dengan penelitian Hari, dkk,21 di Kabupaten Boyolali, bahwa status sosial ekonomi tinggi akan meningkatkan risiko asma sebesar 2,27 kali dibandingkan status sosial ekonomi rendah. Hal ini berarti bahwa anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi akan lebih sensitif terhadap rangsangan pencetus asma yang terkait dengan kebersihan lingkungan di dalam dan luar rumah sehingga sedikit saja terpapar dengan pencetus asma, maka anak tersebut akan mudah terserang asma. Hasil ini sangat berbeda dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, perlu kajian lebih lanjut terkait hubungan asma dengan status ekonomi. Adanya riwayat asma pada keluarga akan meningkatkan risiko anak untuk menderita asma. Sesuai dengan hasil penelitian ini, riwayat asma pada kedua orangtua akan meningkatkan risiko anak terkena asma sebesar 8,2 kali, sedangkan salah satu orangtua dengan riwayat asma akan meningkatkan risiko 4,24 kali dibandingkan anak dengan orangtua yang tidak memiliki riwayat asma. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dkk,14 bahwa adanya riwayat asma meningkatkan risiko 8,27 kali dibandingkan keluarga yang tidak memiliki riwayat asma. Laisina dkk, 22 juga mendapatkan hubungan yang bermakna antara riwayat asma pada keluarga dengan kejadian asma pada anak. Apabila dibandingkan dengan penelitian dan kajian sebelumnya, hasil penelitian ini tidak jauh berbeda. Zulkar, 7 Bracken dkk,23 dan Klinnert dkk,24 menyatakan bahwa faktor genetik terutama ibu akan meningkatkan risiko anak menderita asma. Hal ini terkait Dharmayanti, Hapsari, Azhar, Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan Pencetus dengan adanya kecenderungan genetik yang diturunkan oleh orangtua untuk bereaksi terhadap zat-zat yang terdapat di lingkungan (alergen). Reaksi hipersensitivitas terhadap alergen disebut alergi (atopi). Manifestasi klinis dari atopi pada anak akan berkembang menjadi asma, rinitis alergi dan dermatitis atopi.25,26 Faktor yang dapat mencetus reaksi alergi, adalah penyakit infeksi, asap rokok, alergi makanan dan lainlain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak dari orangtua mantan perokok memiliki risiko 1,41 kali, sedangkan anak dari orangtua perokok aktif berisiko 1,16 kali lebih besar dibandingkan anak dari orangtua yang tidak merokok. Risiko lebih besar apabila anak yang menderita asma tersebut merupakan mantan perokok yaitu 4,33 kali, sedangkan anak perokok aktif berisiko 1,5 kali dibandingkan anak yang tidak merokok. Adanya hubungan yang bermakna antara rokok dengan kejadian asma sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Paparan asap rokok (perokok pasif) akibat orangtua yang merokok akan mengakibatkan terjadinya reaksi peradangan di saluran napas, sehingga anak akan menderita sesak napas. Ini berarti asap rokok meningkatkan risiko anak menderita asma dan serangan asma.14,21 Hal ini sesuai dengan hasil analisis pada Gambar 1 yang menyebutkan bahwa 32,4% anak mengakui bahwa asap rokok dapat menyebabkan serangan asma. Sedangkan anak yang menderita asma dan juga merokok (perokok aktif) akan meningkatkan risiko terjadinya penurunan fungsi paru, bahkan dapat menimbulkan penyakit paru dan pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup. Penyebab kondisi tersebut adalah kandungan kontaminan berbahaya yang berada di dalam asap rokok yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada penderita asma. Pada anak penderita asma sebagai mantan perokok, risiko untuk menderita asma lebih besar dibandingkan anak yang tidak merokok dan perokok aktif.11,18,19 Hal ini dapat terjadi karena anak sudah merasakan gejala asma yang semakin berat sehingga memutuskan untuk berhenti merokok. Asma adalah penyakit menahun (kronis) pada saluran pernapasan. Penyakit ini tidak dapat dihilangkan sama sekali dari penderita, namun dapat dicegah atau dikontrol sehingga gejala dan serangan asma tidak muncul. Dalam hal penanganan anak yang menderita asma, pengendalian terhadap pencetus serangan asma sangat perlu diperhatikan.27,28 Gambar 1 menunjukkan sebagian besar serangan asma disebabkan oleh udara dingin, flu dan infeksi, kelelahan, debu, asap rokok, alergi makanan, stres, dan alergi obat. Pencetus asma berdasarkan hasil penelitian lain menyebutkan bahwa perubahan cuaca terutama cuaca dingin serta tungau debu yang ada di rumah dapat meningkatkan risiko asma.14,25 Pencetus lainnya adalah infeksi saluran napas, dermatitis atopi, eksim dan rinitis (alergi) yang nantinya akan berkembang menjadi asma.7,22,26 Hal ini membuktikan bahwa pencetus asma harus dihindari agar tidak terjadi serangan asma. Selain itu, pengendalian asma juga harus dilakukan yaitu dengan mengonsumsi obat-obatan, vitamin, berolahraga serta makanan yang bergizi agar tidak mudah sakit. Berdasarkan hasil perhitungan rerata usia anak pertama kali menderita asma adalah lima tahun. Oleh karena itu, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensinya, orangtua harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hal-hal yang menjadi pencetus asma pada anak, sehingga dapat mencegah kambuhnya asma pada anak. Dengan demikian, anak dapat hidup secara normal dan tidak terganggu dalam mengerjakan kegiatan sehari-hari.1,27 Selain pengetahuan dan obat-obatan, orangtua juga harus memperhatikan kebugaran anak agar asma dapat terkontrol. Dalam penelitian ini, 69,9% anak mengakui bahwa pernah mengalami serangan asma dalam 12 bulan terakhir. Tingkatan asma terkontrol terbagi menjadi tiga bagian, yaitu terkontrol, terkontrol sebagian dan tidak terkontrol.1 Asma dikatakan terkontrol apabila tidak terdapat (dua kali atau kurang) gejala asma dalam seminggu. Terkontrol sebagian apabila serangan asma terjadi lebih dari dua kali seminggu. Tidak terkontrol apabila tiga atau lebih gejala asma dalam seminggu, terbangun di malam hari bahkan kondisi asma semakin memburuk sekali dalam seminggu.1 Oleh karena itu, orangtua harus berkonsultasi dengan dokter mengenai gejala, cara menghindari pencetus asma, serta tindakan yang tepat ketika serangan asma semakin memburuk. Tindakan penanganan asma pada anak dimaksudkan agar anak tetap dapat beraktivitas dengan normal seperti bersekolah dan bermain seharihari. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data Riskesdas tahun 2013 pada anak usia 6 - 14 tahun, diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara variabel jenis kelamin, kuintil indeks kepemilikan, riwayat asma pada orangtua, anak yang merokok, dan orangtua yang merokok dengan kejadian asma pada anak. Sedangkan lima faktor utama pencetus asma pada anak adalah udara dingin, flu dan infeksi, kelelahan, debu, dan asap rokok. Saran Untuk pencegahan serangan asma, orangtua dan anak harus menghindari faktor pencetus serta melakukan gaya hidup sehat agar asma tetap terkendali. Daftar Pustaka 1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan menteri kese- 325 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 hatan RI Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit asma. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2009. struksi saluran nafas serangan akut asma dengan jumlah sel-sel inflamasi darah tepi. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2004; 20 (3): 142-6. 16. Irawan Y, Windi RR. Perbedaan faktor risiko terjadinya asma bronkial 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan pada pasien dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial di Republik Indonesia. Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2004: poli anak rawat jalan RSUD DR.H.Andul Moeloek Lampung pada SKRT 2004-Volume 3. Sudut pandang masyarakat mengenai status, Oktober-Desember 2011. Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas cakupan, ketanggapan dan sistem pelayanan kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2005. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar laporan nasional 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. Lampung; 2012. 17. Turyk M, Curtis L, Scheff P, Contraras A, Coover L, Hernandez E, et al. Environmental allergens and asthma morbidity in low-income children. Journal of Asthma. 2006; 43(6): 453-7. 18. Oemiati R, Sihombing M, Qomariah. Faktor-faktor yang berhubungan 4. Yunus F, Antaria R, Rasmin M, Mangunnegoro H, Jusuf A, Bachtiar A. dengan penyakit asma di Indonesia. Media Litbang. 2010; 20 (1): 41-9. Asthma prevalence among high school students in East Jakarta, 2001, 19. Hapsari D, Puti S, Supraptini. Hubungan perilaku merokok, aktivitas based on ISAAC questionnaire. Medical Journal of Indonesia. 2003; 12 fisik dan polusi udara indoor dengan penyakit asma pada usia ≥ 15 (3): 178-86. tahun (analisis data Susenas 2004 & SKRT 2004). Media Litbang 5. Rosamarlina FY, Dianiati KS. Prevalens asma bronkial berdasarkan kuesioner ISAAC dan perilaku merokok pada siswa SLTP di daerah indus- Kesehatan. 2008; 18 (1): 16-24. 20. Sole D, Camelo-Nunes IC, Wandalsen GF, Mallozi MC, Naspitz CK, and tri Jakarta Timur. Jurnal Respirologi Indonesia. 2010; 30 (2): 75-84. Group BI’s. Is the prevalence of asthma and related symptoms among 6. Yunus F, Rasmin M, Sutoyo DK, Wiyono WH, Antariksa B, Fitriani F, Brazilian children related to socioenomic status? Journal of Asthma. dkk. Prevalens asma pada siswa usia 13-14 tahun berdasarkan kuesioner ISAAC di Jakarta. Jurnal Respirologi Indonesia. 2011; 31 (4): 17680. 7. Zulfikar T, Yunus F, Wiyono WH. Prevalens asma berdasarkan kuesioner ISAAC dan hubungan dengan faktor yang mempengaruhi asma pada siswa SLTP di daerah padat penduduk Jakarta Barat tahun 2008. Jurnal Respirologi Indonesia. 2011; 31 (4): 181-92. 8. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and prevention. 2015 [cited 2015 Jan 23]. Available from: http://www.ginasthma.org/documents/3. 9. Sundaru H. Asma: apa dan bagaimana pengobatannya. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. 2008; 45(1): 19-25. 21. Hari AE, Roni N, Agung WT. Paparan asap dalam rumah, hewan peliharaan, lingkungan, tempat tinggal dan sosial ekonomi dengan kejadian asma bronkial pada anak. Berita Kedokteran Masyarakat. 2010; 26 (3): 125-31. 22. Laisina AH, Sondakh DT, Wantania JM. Faktor risiko kejadian asma pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Wenang Kota Manado. Sari Pediatri. 2007; 8 (4): 299-304. 23. Bracken MB, Belanger K, Cookson WO, Triche E, Christiani DC, Leaderer BP. Genetic perinatal risk factors for asthma onset and severity: a review and theoretical analysis. Epidemiologic Reviews. 2002; 24 (2): 176-89. 10. Canadian Lung Association [homepage on the internet]. Asthma: asth- 24. Klinnert MD, Price MR, Liu AH, Robinson JL. Unraveling the ecology ma treatment. Ottawa; 2015 [cited 2015 Feb 23]. Available from: of risk for aarly childhood asthma among ethnically diverse families in http://www.lung.ca/lung-health/lung-disease/asthma/treatment. the Southwest. American Journal of Public Health. 2002; 92 (5): 792-8. 11. Sihombing M, Alwi Q, Nainggolan O. Faktor-faktor yang berhubungan 25. Paramita OD, Harsoyo N, Setiawan H. Hubungan asma, rinitis alergik, dengan penyakit asma pada usia ≥ 10 tahun di Indonesia (analisis data dermatitis atopik dengan IgE spesifik anak usia 6-7 tahun. Sari Pediatri. Riskesdas 2007). Jurnal Respirologi Indonesia. 2010; 30 (2): 85-91. 12. Kartono K. Psikologi anak: psikologi perkembangan. Bandung: Mandar Maju; 2007. 13. Hastono SP. Analisis data kesehatan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2007. 14. Purnomo. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian asma bronkial pada anak (studi kasus di RS Kabupaten Kudus). Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro; 2008. 15. Kusuma HMSC, Kalim KH, Muid M. Hubungan antara derajat ob- 326 2013; 14 (6): 391-7. 26. Siregar SP. Faktor atopi dan asma bronkial pada anak. Sari Pediatri. 2000; 2 (1): 23-8. 27. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention. 2006 [diakses 30 April 2014]. Available from: http://www.ginasthma.org/documents/5/documents_variants/31. 28. Patriani I, Ayuningtyas D. Komunikasi dokter dengan sikap konkordansi pada pasien tuberculosis paru, hipertensi dan asma. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013; 8 (2): 51-5. Artikel Penelitian Profil Rujukan Kasus Nonspesialistik pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer Referral Profile of Non-Specialistic Cases on Primary Healthcare Facilities Elda Nazriati*, Nuzelly Husnedi** *Departemen Pendidikan Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Riau, **Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Riau Abstrak Salah satu indikator kualitas fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) adalah rendahnya rujukan nonspesialistik. Rujukan nonspesialistik adalah rujukan dari 144 penyakit yang seharusnya dapat diatur di FKTP. Kenyataannya, masih banyak kasus nonspesialistik yang dirujuk ke fasilitas kesehatan sekunder. Penelitian deskriptif dengan metode campuran kuantitatif dan kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui pola dan penyebab kasus penyakit nonspesialistik yang dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat sekunder di Kota Pekanbaru. Gambaran kasus penyakit nonspesialistik dikumpulkan dari data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Kota Pekanbaru periode Desember 2014 - April 2015, sedangkan faktor penyebab rujukan diperoleh dari focus group discussion yang diikuti oleh 40 dokter berdasarkan jenis FKTP. Penelitian ini menampilkan 20 kasus nonspesialistik yang paling sering dirujuk, di antaranya hipertensi esensial, miopia ringan, dan diabetes melitus. Penyebab rujukan kasus penyakit nonspesialistik antara lain kesalahan kode serta terbatasnya fasilitas, sumber daya manusia, manajemen pelayanan, dan kompetensi dokter. Semua faktor keterbatasan tersebut perlu diantisipasi agar upaya rujukan dapat diminimalkan. Kata kunci: Fasilitas kesehatan tingkat primer, fasilitas kesehatan tingkat sekunder, rujukan nonspesialistik Abstract One of primary healthcare facility quality indicators is the low non-specialistic referral. Non-specialistic referral is referral of 144 diseases that should be arranged in primary healthcare facilities. In fact, there are many non-specialist cases referred to secondary health care facilities. This descriptive study using quantitative and qualitative method aimed to determine patterns and causes of non-specialist diseases referred to secondary primary health care in Pekanbaru City. Depiction of non-specialistic disease cases was collected from data of the state health insurance scheme in Pekanbaru City on December 2014 - April 2015 period, meanwhile causes of referral were obtained from focus group discussion participated by 40 doctors based on types of primary healthcare facilities. This study showed 20 non-specialistic cases oftenly referred including essential hypertension, mild myopia and diabetes mellitus. Causes of non-specialistic disease referrals were code error as well as limited facilities, human resources, service management and competence of doctors. Such limitations need to be anticipated in order to minimalize act of referrals. Keywords: Primary healthcare facilities, secondary healthcare facilities, non-specialistic referral Pendahuluan Dokter praktik umum di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) merupakan pintu gerbang pelayanan kesehatan yang dituntut kompetensinya untuk menapis dan mengatur penyakit nonspesialistik secara lengkap. Rujukan pada layanan primer merupakan isu yang penting karena tingginya angka rujukan sering dihubungkan dengan inefisiensi, buruknya layanan, dan kegagalan diagnosis. Tingginya angka rujukan juga berdampak langsung pada pembiayaan kesehatan.1 Angka rujukan dari fasilitas kesehatan primer mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Penelitian di Amerika menunjukkan pada periode 1999 - 2009 terjadi peningkatan kasus rujukan hampir dua kali lipat, yaitu dari 4,8% menjadi 9,3%.2 Pada kenyatannya, banyak faktor yang memengaruhi tingginya angka rujukan, antara lain model layanan kesehatan, pengkodean diagnosis, karakteristik pasien, dan fasilitas kesehatan. 1,3 Korespondensi: Elda Nazriati, Departemen Pendidikan Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Jl. Diponegoro No. 1 Pekanbaru Riau, No.Telp: (0761) 839264, e-mail: [email protected] 327 : Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Penelitian di Inggris dan Amerika menunjukkan bahwa persentase rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat primer bervariasi antara 5 - 60%.4 Penelitian di DKI Jakarta menunjukkan angka rujukan dari puskesmas bervariasi dari 5,8 - 66%.5 Intervensi yang dilakukan PT Askes di DKI Jakarta tidak cukup untuk membentuk persepsi puskesmas terhadap peran PT Askes dalam mendorong sistem pelayanan kesehatan berjenjang.6 Secara keseluruhan, di Indonesia belum banyak penelitian tentang pola rujukan penyakit dari layanan primer sehingga gambaran rujukan di layanan primer perlu lebih banyak dieksplorasi. Dalam standar kompetensi dokter Indonesia terdapat 144 penyakit dengan level 4A, yaitu lulusan fakultas kedokteran mampu untuk mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan kasus tersebut secara mandiri di fasilitas kesehatan tingkat primer. 7 Kasus-kasus tersebut seharusnya tidak perlu dirujuk jika tidak terdapat indikasi rujuk. Berdasarkan panduan praktik klinis dokter di layanan primer, kasus-kasus tersebut dapat dirujuk dengan pertimbangan lama perjalanan penyakit, usia, komplikasi, penyakit penyerta, dan keterbatasan FKTP.8 Sejak Januari 2014 telah terjadi perubahan besar dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, yaitu diimplementasikannya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) kesehatan yang telah berdampak terhadap layanan kesehatan termasuk sistem rujukan. Salah satu indikator mutu pelayanan BPJS Kesehatan adalah rujukan kasus nonspesialistik. Dalam sistem informasi BPJS, terdapat 144 penyakit yang apabila dirujuk sebagai rujukan nonspesialistik. Kota Pekanbaru merupakan salah satu ibukota provinsi di Indonesia yang menjadi pelaksana uji coba kapitasi berbasis kinerja (KBK). Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan gambaran tentang pola dan penyebab rujukan pada kasus nonspesialistik di Kota Pekanbaru. Hasil studi ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pelbagai institusi yang terkait dengan pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat primer, khususnya pada kota-kota di Indonesia dengan karakteristik yang hampir sama dengan Kota Pekanbaru. Metode Penelitian deskriptif ini menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa rujukan kasus nonspesialistik yang dikumpulkan dari basis data BPJS Kantor Cabang Pekanbaru periode Desember 2014 - April 2015, didapatkan 91 FKTP penyedia BPJS di Kota Pekanbaru yang melakukan rujukan kasus nonspesialistik. Basis data tersebut kemudian diolah secara kuantitatif sehingga didapatkan pola rujukan kasus nonspesialistik berdasarkan waktu, jenis penyakit, dan jenis FKTP yang disajikan dalam bentuk 328 diagram dan tabel distribusi frekuensi. Data kualitatif berupa penyebab rujukan kasus nonspesialistik diperoleh melalui focus group discussion (FGD) yang diikuti oleh 40 orang dokter yang bertugas di fasilitas kesehatan tingkat primer. Pada penelitian kualitatif, jumlah informan dianggap cukup jika data telah jenuh, yaitu jika jawaban informan telah menunjukkan informasi yang sama.9 Pada penelitian ini, jumlah peserta FGD ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah peserta BPJS sesuai dengan jenis FKTP, dimana satu dokter mewakili satu FKTP. Distribusi jumlah peserta BPJS di Pekanbaru adalah klinik pratama 42%, puskesmas 37%, dan dokter praktik mandiri 21% sehingga ditentukan peserta FGD dari klinik pratama adalah 17 orang, dari puskesmas 15 orang, dan dari dokter praktik mandiri delapan orang. Selanjutnya, informan dari tiap jenis FKTP dipilih secara purposive, yaitu FKTP yang memiliki jumlah peserta BPJS yang banyak. Peserta FGD kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis FKTP, yaitu dua kelompok puskesmas, dua kelompok klinik pratama, dan satu kelompok dokter praktik mandiri. Diskusi tiap kelompok dipandu oleh seorang moderator dokter dari pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Riau dengan panduan diskusi yang telah ditetapkan. FGD tiap kelompok direkam dan dicatat oleh seorang notulen. Selanjutnya, dibuat transkrip dalam bentuk verbatim serta dilakukan pengolahan data yang meliputi pemaknaan, kategorisasi, dan tema sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil pengolahan data FGD didiskusikan kembali bersama moderator dan notulen tiap kelompok FGD. Triangulasi yang dilakukan adalah triangulasi sumber, yaitu membandingkan FGD dari kelompok klinik pratama, puskesmas, dan dokter praktik mandiri. Hasil Gambaran rujukan nonspesialistik di Kota Pekanbaru selama lima bulan pengamatan yang disajikan dalam Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan terdapat tren penurunan angka rujukan nonspesialistik dari Desember 2014 sampai April 2015 dengan rerata jumlah rujukan sebanyak Gambar 1. Jumlah Rujukan Kasus Nonspesialistik Nazriati & Husnedi, Profil Rujukan Kasus Nonspesialistik pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer 763 kasus nonspesialistik per bulan. Tabel 1 adalah 20 jenis kasus nonspesialistik berdasarkan urutan yang banyak dirujuk. Berdasarkan Tabel 1 tersebut, diketahui bahwa urutan kasus satu, dua, dan tiga adalah hipertensi esensial, myopia ringan, dan diabetes melitus. Berdasarkan jenis FKTP yang merujuk didapatkan bahwa jumlah rujukan tertinggi adalah rujukan dari klinik pratama (Gambar 2). yang di luar kewenangan praktik dokter di layanan primer. Faktor dokter antara lain tingkat keterlatihan dokter, toleransi dokter terhadap ketidakpastian klinik, dan hubungan psikososial dokter dengan pasien dan lingkungannya. Faktor sistem layanan kesehatan antara lain adalah model pembayaran layanan kesehatan, koding serta perubahan sistem pelayanan di fasilitas kesehatan primer dan sekunder. Daerah dengan jumlah dok- Nonspesialistik Berdasarkan Jenis FKTP Tabel 1. Dua Puluh Penyakit Nonspesialistik Terbanyak yang Dirujuk Rerata rujukan dari puskesmas adalah 225 kasus nonspesialistik per bulan, rerata rujukan dari dokter praktik mandiri 39 kasus nonspesialistik per bulan, dan rerata rujukan dari klinik pratama adalah 499 kasus nonspesialistik per bulan. Berdasarkan pengolahan data FGD secara kualitatif, didapatkan pelbagai penyebab rujukan kasus nonspesialistik di FKTP dan alternatif solusinya (Tabel 2). Pembahasan Sesuai dengan Gambar 1, terdapat kecenderungan penurunan jumlah rujukan nonspesialistik selama lima bulan pengamatan, kemungkinan hal ini terjadi karena diberlakukannya pembayaran KBK di Kota Pekanbaru sejak bulan Desember 2014. Pekanbaru merupakan salah satu kota uji coba pemberlakuan KBK di Indonesia yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan.10 Rujukan nonspesialistik merupakan salah satu dari empat indikator kinerja yang dievaluasi, hal ini kemungkinan berdampak pada motivasi FKTP untuk menurunkan angka rujukan nonspesialistik. Jabeen,11 berpendapat bahwa penilaian kinerja memengaruhi motivasi sehubungan dengan reward yang akan diterima. Forrest,12 menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan dokter di layanan primer memutuskan untuk merujuk, yaitu faktor pasien, faktor dokter, faktor sistem layanan kesehatan, dan faktor kebebasan untuk merujuk. Faktor pasien antara lain adalah kondisi klinis pasien Diagnosis Jumlah Hipertensi esensial Miopia ringan Diabetes mellitus Hipermetropia ringan Presbiopia Bronkhitis akut Asma bronkhial Demam tifoid Tuberkulosis paru tanpa komplikasi Demam dengue, DHF Napkin eczema Serumen prop Astigmatism ringan Otitis media akut Lipoma Infeksi saluran kemih bagian bawah n Hordeolum Demam dengue classic Bells’ palsy 697 484 451 444 230 178 168 145 133 103 100 67 58 58 54 49 32 30 27 25 Rerata per bulan 139,4 96,8 90,2 88,8 46 35,6 33,6 29 26,6 20,6 20 13,4 11,6 11,6 10,8 9,8 6,4 6 5,4 5 Gambar 2. Tren Jumlah Rujukan Tabel 2. Penyebab Rujukan Kasus Nonspesialistik dan Solusinya Berdasarkan FGD Kategori Kendala Solusi Administratif Fasilitas Kesalahan koding Terbatasnya alat pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis Laboratorium tidak lengkap Terbatasnya ketersediaan obat Beban kerja Kurangnya koordinasi antara FKTP dan FKRTL Kurangnya reward khususnya pada tindakan medis Perbedaan persepsi tentang indikasi rujuk Perbedaan persepsi tentang kewenangan dokter di FKTP untuk membuat resep kacamata Permintaan pasien untuk dirujuk Dokter kurang terlatih menangani beberapa kasus Kurang memahami aplikasi P Care Aplikasi P Care yang lebih praktis dan mudah dimengerti Fasilitasi tersedianya peralatan Membuat laboratorium jejaring Pemantauan ketersediaan obat dan obat rujuk balik oleh pihak terkait Distribusi SDM yang proporsional Koordinasi FKTP dan FKRTL terutama untuk kasus rujuk balik Penyesuaian reward tindakan medis di FKTP Tersedianya panduan rujukan terutama untuk kasus yang sering dirujuk Manajemen Kompetensi Edukasi pasien oleh seluruh pihak terkait bahwa tidak semua kasus harus dirujuk Penyegaran diagnosis dan tata laksana penyakit nonspesialistik Pelatihan P Care untuk dokter dan staf administrasi Ket: FKRTL = Fasilitas kesehasehatan rujukan tingkat lanjut 329 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 ter spesialis yang banyak dengan akses yang cukup mudah memiliki tingkat rujukan yang lebih tinggi.1,12 Penelitian ini menunjukkan bahwa kasus terbanyak yang dirujuk adalah hipertensi esensial, diikuti oleh kelainan refraksi mata dan diabetes melitus. Kasus hipertensi esensial dan diabetes melitus di Indonesia terus meningkat seiring dengan meningkatnya harapan hidup dan bergesernya pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit kronis dan degeneratif.13 Hipertensi esensial dan diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan penatalaksanaan jangka panjang dan yang berkelanjutan. Dalam perjalanan penyakitnya perlu pemantauan, atau adanya kondisi atau komplikasi yang memerlukan tindak lanjut di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL). Oleh karena itu, perlu ditelusuri lebih jauh apakah kasus tersebut memang memenuhi indikasi rujuk atau tidak. Penelitian Chant,14 menunjukkan salah satu faktor yang berhubungan erat dengan angka rujukan adalah penyakit kronis, terutama pada masyarakat miskin. Kelainan refraksi mata ringan seperti miopia, hipermetropia, dan presbiopia juga merupakan rujukan yang cukup tinggi di FKTP Kota Pekanbaru. Meskipun penyakit-penyakit ini termasuk ke dalam daftar 144 penyakit di layanan primer dengan level 4A di dalam standar kompetensi dokter Indonesia, pada kenyataannya kasus-kasus ini tidak dapat diselesaikan dengan tuntas di FKTP.7 Berdasarkan FGD yang dilakukan, beberapa penyebab dirujuknya kasus-kasus kelainan refraksi ringan adalah terbatasnya fasilitas diagnostik, beban kerja, dan kompetensi dokter serta perbedaan persepsi tentang kewenangan mengeluarkan resep kacamata pada dokter praktik umum di FKTP. Pada panduan praktik pelayanan alat kesehatan yang diterbitkan oleh BPJS Kesehatan, kacamata merupakan bagian dari pemeriksaan dan pelayanan yang diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan. Penjaminan pelayanan kacamata diberikan atas rekomendasi dokter spesialis mata.15 Kenyataan ini menunjukkan hal yang kontradiktif sehingga perlu disepakati panduan rujukan kelainan refraksi yang sesuai. Agar kelainan refraksi ringan dapat diatur di layanan primer, diperlukan perbaikan pada fasilitas diagnostik serta sosialisasi tentang kewenangan dokter di FKTP kepada pihak terkait seperti dokter, optik, dan dokter spesialis mata. Sesuai dengan pedoman praktik klinik di layanan primer yang dikeluarkan oleh IDI, penyakit dengan diagnosis yang terdaftar di dalam 144 penyakit di layanan primer tetap dapat dirujuk bila terdapat pertimbangan klinis, yaitu usia pasien, lama perjalanan penyakit, adanya komplikasi penyakit atau penyakit penyerta yang dikhawatirkan memperburuk kondisi pasien. Selain itu, fasilitas yang kurang di FKTP juga menjadi salah satu sebab dokter dapat merujuk pasien.8 Beberapa alasan dok330 ter merujuk pasien ke layanan sekunder antara lain untuk tujuan diagnosis, investigasi lebih lanjut, mendapatkan penatalaksanaan dan anjuran dokter spesialis, berbagi beban dan kesulitan penatalaksanaan pasien, permintaan pasien sendiri serta ketakutan akan tuntutan hukum. 1,3,12,14 Dalam sistem informasi di layanan primer BPJS menggunakan aplikasi P Care, akan tetapi di dalam P Care belum tersedia format untuk memberikan informasi alasan merujuk sehingga tidak diketahui secara pasti indikasi rujuk setiap kasus. Data ini penting untuk melihat permasalahan sistem rujukan di layanan primer dan mencari alternatif solusinya. Salah satu hal terpenting yang menjadi penyebab rujukan di layanan primer adalah perbedaan persepsi tentang derajat beratnya penyakit dan potensi dampak penyakit terhadap pasien di masa yang akan datang. Selain itu, terdapat variasi pada respons dokter terhadap ketidakpastian klinis di layanan primer. Dokter yang tidak toleran terhadap ketidakpastian lebih sering merujuk dibandingkan dengan dokter yang lebih toleran terhadap ketidakpastian klinik.12 Layanan primer merupakan titik awal rujukan pasien, akan tetapi banyak faktor yang memengaruhi angka rujukan. Oleh karena itu, intervensi dalam perbaikan manajemen rujukan sebaiknya tidak hanya difokuskan pada layanan primer saja.16 Masih sedikitnya panduan rujukan pasien yang dapat dipedomani ikut memengaruhi belum optimalnya sistem rujukan.17 Variasi rujukan dapat diperkecil melalui panduan rujukan, terutama pada kasus-kasus yang banyak dirujuk. Kenyataannya belum terdapat panduan rujukan di layanan primer yang dapat dipedomani oleh dokter di FKTP Kota Pekanbaru. Berdasarkan jenis FKTP yang melakukan rujukan nonspesialistik, kasus terbesar (65%) berasal dari klinik pratama, 30% dari puskesmas, dan 5% dari dokter praktik mandiri. Jumlah peserta BPJS Kesehatan di klinik pratama adalah 42% dari total peserta di BPJS Kesehatan di Kota Pekanbaru. Besarnya rujukan dari klinik pratama dapat disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor dokter, fasilitas, manajemen, dan faktor pasien. Untuk mengetahui penyebab tingginya rujukan dari klinik pratama dibandingkan jenis fasilitas kesehatan tingkat primer lainnya, diperlukan penelitian lebih lanjut. Masalah administrasi seperti kesalahan koding juga merupakan salah satu penyebab tingginya rujukan nonspesialistik di FKTP. Tinjauan sistematik yang dilakukan oleh British Medical Assosiation pada tahun 2007 – 2008 menyebutkan koding yang tidak akurat berkisar 1 -76%, dengan rerata 16,5% koding.1 Dalam sistem informasi BPJS, koding dilakukan melalui aplikasi P Care. Kesalahan koding terjadi karena kemampuan sebagian dokter dan petugas administrasi dalam penggunaan aplikasi P Care belum sesuai harapan. Pemilihan kode di FKTP tidak jarang didelegasikan dokter kepada petugas Nazriati & Husnedi, Profil Rujukan Kasus Nonspesialistik pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer kesehatan lainnya. Berdasarkan FGD yang dilakukan, kesalahan menentukan kode penyakit kadang terjadi karena banyaknya kode yang harus dipilih pada tiap penyakit. Sebagai contoh, terdapat 49 kode untuk kode penyakit diabetes melitus, petugas kesehatan di FKTP harus memilih satu di antaranya. Dari FGD terungkap bahwa kesalahan koding terjadi juga karena kendala bahasa. Kode penyakit yang ditulis dalam bahasa Inggris sering tidak dipahami oleh petugas administrasi di fasilitas kesehatan tingkat primer. Penyebab rujukan nonspesialistik lainnya adalah masalah fasilitas, seperti keterbatasan alat, tidak tersedianya fasilitas pemeriksaan laboratorium, dan terbatasnya ketersediaan obat. Berdasarkan FGD, diketahui bahwa beberapa kasus dirujuk untuk mendapatkan pemeriksaan penunjang, baik dalam rangka penegakkan diagnosis maupun untuk pemantauan perjalanan penyakit pasien. Penegakkan diagnosis beberapa kasus seperti infeksi saluran kemih sulit dilakukan di FKTP karena tidak tersedianya fasilitas penunjang pemeriksaan urin. Berdasarkan FGD dengan dokter di FKTP, terungkap bahwa beberapa kasus terpaksa dirujuk karena tidak tersedianya beberapa obat di FKTP. Pasien hipertensi esensial dan diabetes melitus juga sering dirujuk untuk pemeriksaan profil lipid dan mendapatkan obat. Beberapa apotek yang seharusnya menyediakan obat rujuk balik tidak menyediakan obat tersebut. Rujukan di FKTP juga terjadi karena masalah manajemen pelayanan seperti beban kerja, kurangnya koordinasi, perbedaan persepsi, imbalan jasa dokter, dan permintaan pasien. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa pasien dengan sistem kapitasi memiliki keinginan dan harapan yang lebih tinggi untuk dirujuk dibandingkan sistem fee for service. Pasien tidak lagi memikirkan pembayaran di fasilitas kesehatan sekunder karena sudah tercakup dalam iuran kapitasi yang dibayarkan pasien. Harapan pasien untuk dirujuk juga berhubungan dengan keinginan untuk mendapatkan layanan dokter spesialis.3 Perlu edukasi terus-menerus agar pasien memahami bahwa tidak semua penyakit memerlukan rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Perilaku dokter dalam merujuk juga dipengaruhi oleh imbalan jasa yang diterima dokter dan sistem pembayaran layanan kesehatan. Angka rujukan lebih rendah pada sistem fee for service dibandingkan dengan sistem kapitasi.3,18 Berdasarkan FGD, diketahui bahwa beberapa dokter juga merujuk karena tingginya beban kerja dan menganggap bahwa jasa pelayanan pada beberapa tindakan di layanan primer sangat rendah seperti pada kasus lipoma. Penelitian Kusnir,19 menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan angka rujukan. Beberapa penyakit juga dirujuk karena perbedaan persepsi tentang kewenangan dokter di FKTP dan koor- dinasi antara FKTP dan FKRTL. Diagnosis kelainan refraksi yang ditegakkan di FKTP tidak dapat ditatalaksana dengan kacamata koreksi karena resep kacamata yang dibuat oleh dokter di FKTP tidak dipakai oleh optik yang bersangkutan. Rujukan juga dapat terjadi karena kurangnya koordinasi antara FKTP dan FKRTL. Berdasarkan FGD, didapatkan bahwa informasi dari dokter di FKRTL tentang tindak lanjut pengobatan pasien pada beberapa kasus kurang detail sehingga pasien dirujuk kembali ke FKRTL untuk melanjutkan pengobatan. Menurut penelitian Evans,17 hubungan dan koordinasi yang baik antara dokter di layanan primer dengan dokter di layanan sekunder dapat menurunkan angka rujukan. Kompetensi dokter juga memengaruhi angka rujukan di FKTP. Sebagian dokter sulit mempertahankan kompetensinya akibat kurang terlatih atau terpapar pada jenis penyakit tertentu. Tabel 1 menunjukkan beberapa penyakit nonspesialistik seperti lipoma, napkin eczema dan serumen prop juga sering dirujuk oleh dokter di FKTP. Berdasarkan FGD, disimpulkan bahwa beberapa kompetensi dokter perlu ditingkatkan dan disegarkan kembali. Selain itu, juga perlu pelatihan bagi dokter dan staf administratif dalam aplikasi P Care. Namun, hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan pada kota lain di Indonesia karena adanya perbedaan karakteristik setiap kota. Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan masih tingginya angka rujukan kasus nonspesialistik di Kota Pekanbaru. Hipertensi esensial merupakan kasus dengan rujukan tertinggi dari 20 kasus nonspesialistik yang banyak dirujuk. Angka rujukan di klinik pratama lebih tinggi dibandingkan puskesmas dan dokter praktik mandiri. Jumlah rujukan di ketiga jenis FKTP menunjukkan tren yang menurun. Penyebab rujukan nonspesialistik antara lain masalah administratif, terbatasnya fasilitas, manajemen pelayanan, serta kompetensi dokter di FKTP. Saran Perlu peningkatan peran serta pihak terkait, khususnya Dinas Kesehatan dan Pemerintah Kota Pekanbaru dalam memenuhi keterbatasan fasilitas, obat, dan sumber daya manusia. BPJS dan IDI juga harus mengambil peran dalam memfasilitasi perbaikan pada sistem informasi dan panduan rujukan serta peningkatan kompetensi dokter di FKTP. Ucapan Terima Kasih Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih kepada Kepala Divisi Regional II BPJS Bapak Benjamin Saut dan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru Ibu Drg. Helda Suryani Munir, M.Kes serta pengurus IDI wilayah Riau yang telah memfasilitasi ter331 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 laksananya penelitian ini. tem pembayaran kapitasi berbasis kinerja. Jakarta: BPJS Kesehatan; 2014. Daftar Pustaka 1. British Medical Association Health Policy and Economic Research Unit; 11. Jabeen M. Impact of performance appraisal on employees motivation. European Jurnal of Business and Management. 2011; 3 (4): 197-204 British Medical Association. Factors capable of influencing an increase 12. Forrest CB, Nutting PA, Schrader, Rohde C, Starfield B. Primary care in GP referral rates to secondary care (England only). London: British physician specialty referral decision making: patient, physician, and Medical Association; 2009. health care system determinants. Medical Decision Making. 2006; 26 2. Barnet MI, Song Z, London BE. Trends in physician referrals in United States, 1999-2009. Archives of Internal Medicine. 2012; 172 (2): 16370. 3. Liddy C, Singh J, Kelly R, Dahrouge S, Taljaard M, Younger J. What is the impact of primary care model type on specialist referral rates? A cross-sectional study. BMC Family Practice. 2014; 15: 22. 4. Frank P, Williams G.C, Zwanziger J, Mooney C, Sarbero M. Why do physicians vary so widely in their referral rates? Journal of General Internal Medicine. 2000;15; 163- 4. 5. Malik AH. Analisis peran dokter layanan primer sebagai gatekeeper di era jaminan kesehatan nasional (monitoring 3 bulan pertama pelayanan (1): 67-85 13. Suyono S. Diabetes mellitus di Indonesia. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi Keenam. Jakarta: Interna Publishing; 2014.p. 2315-22 14. Chant BT, Austin PC. Patient, physician, and community factors affecting referrals to specialists in Ontario, Canada: a population-based, multi-level modeling approach. Medical Care. 2003 Apr; 41: 500-11. 15. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Kesehatan. Panduan praktik pelayanan alat kesehatan. 2014 [Diakses pada tanggal 8 Desember 2015]. Diunduh dalam: http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/ 4b16c5b267e8d3651fdfb9880c6921f4.pdf di PPK1 BPJS Kesehatan). Buku Prosiding Kongres InaHEA II, Jakarta, 16. Blank L, Baxter S, Woods HB, Goyder E, Lee A, Payne N, Rimmer M. 7-10 April 2015 [Diakses pada 6 Oktober 2015]. Diunduh dalam: Referral interventions from primary to specialist care: a systematic re- http://inahea.org/files/hari1/2.%20Abd%20Halik%20Malik.pdf. view of international evidence. British Journal of General Practice. 2014; 6. Idris F. Optimalisasi sistem pelayanan kesehatan berjenjang pada program Kartu Jakarta Sehat. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2014; 9 (1): 94-100. 7. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar kompetensi dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2012. 64 (629): e765-74. 17. Evans E, Aiking H, Edwards A. Reducing variation in general practitioner referral rates through clinical engagement and peer review of referrals: a service improvement project. Quality in Primary Care. 2011; 19 (4): 263-72. 8. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis dokter 18. Vahidi RG, Mojahed F, Jafarabadi MA, Gholipour K, Rasi V. bagi dokter di fasilitas kesehatan primer. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan A Systematic review of the effect of payment mechanism on family physi- Dokter Indonesia; 2013 cians service provision and referral rate behavior. Journal of Pakistan 9. Bungin HMB. Penelitian kualitatif: Komunikasi, ekonomi, kebijakan publik, dan ilmu sosial lainnya. Edisi I cetakan ke 2. Jakarta: Kencana; 2008. 10. Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Surat keputusan direksi BPJS Kesehatan nomor 411 tahun 2014 tentang ujicoba sis- 332 Medical Student. 2013; 3 (1): 54-60 19. Kushnir T, Greenberg D, Madjar N, Hadari I, Yermiahu Y, Bachner YG. Is burnout associated with referral rates among primary care physicians in community clinics? Family Practice. 2014; 31 (1): 44-50. Artikel Penelitian Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS Public Stigma to People Living with HIV/AIDS Zahroh Shaluhiyah, Syamsulhuda Budi Musthofa, Bagoes Widjanarko Program Studi Magister Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Abstrak Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten dengan peningkatan kasus HIV/AIDS cukup tajam dibandingkan kabupaten lain di Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi stigma masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan faktor yang memengaruhinya. Penelitian explanatory ini dilakukan melalui pendekatan studi potong lintang dengan sampel berjumlah 300 kepala keluarga yang dipilih menggunakan sampel acak proporsional pada tiga kelurahan dengan kasus HIV tertinggi selama Agustus - September 2014. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner terstruktur. Sedangkan analisis data dilakukan secara univariat, bivariat menggunakan kai kuadrat, dan multivariat menggunakan regresi logistik. Sebagian besar responden adalah laki-laki dengan tingkat pendidikan terbanyak sekolah menengah atas ke bawah. Separuh responden masih memberikan stigma terhadap ODHA. Responden dengan keluarga yang memberikan stigma memiliki kemungkinan memberikan stigma terhadap ODHA empat kali lebih besar dibandingkan responden yang keluarganya tidak memberikan stigma. Demikian juga responden yang berpersepsi negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan memberikan stigma dua kali lebih besar dibandingkan yang berpersepsi positif. Faktor sikap tetangga dan tokoh masyarakat terhadap ODHA juga berhubungan signifikan dengan stigma responden terhadap ODHA. Kesimpulannya adalah sikap keluarga dan persepsi responden terhadap ODHA merupakan faktor yang berpengaruh pada munculnya stigma terhadap ODHA sehingga disarankan adanya pemberian informasi tentang HIV/AIDS yang lengkap kepada keluarga dan masyarakat untuk menurunkan atau menghilangkan stigma. Kata kunci: HIV/AIDS, stigma masyarakat, orang dengan HIV/AIDS Abstract Grobogan District is a district with a sharp increasing of HIV/AIDS case compared to other districts over Central Java. This study aimed to identify public stigma to people living with HIV/AIDS (PLWHA) and influencing fac- tors. This explanatory study was conducted using cross sectional design worth 300 family head samples selected by using proportional random sampling on three subdistricts with highest HIV case within August - September 2014. Data collecting was conducted through face-to-face interview using structured questionnaire. Meanwhile, data analysis was conducted in univariate, bivariate using chi square and multivariate using logistic regression. Most respondents were men whose education level was mostly high school to the bottom level. Half of respondents were still stigmatizing PLWHA. Respondents whose families stigmatized had possibility of stigmatizing four times bigger than respondents whose families did not. Similarly, respondents holding negative perceptions toward PLWHA had possibility of stigmatizing twice bigger than those holding positive perceptions. Attitude of neighbors and public figures toward PLWHA also significantly related to respondent’s stigma to PLWHA. To sum up, family attitude and respondent’s perception to PLWHA were influencing factors of emerging stigma toward PLWHA. Therefore, it suggested that providing families and public any complete information about HIV/AIDS may decrease or remove the stigma. Keywords: HIV/AIDS, public stigma, people living with HIV/AIDS Pendahuluan Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan dan penanggulangan Human Imunnodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Indonesia adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Stigma berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang memercayai bahwa penyakit AIDS merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapat Korespondensi: Zahroh Shaluhiyah, Prodi Magister Promosi Kesehatan FKM Universitas Diponegoro, Gedung Pascasarja Undip Lantai 3 Jl. Imam Barjo, SH No. 3 Semarang, No.Telp: 024-8417993, e-mail: [email protected] 333 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 diterima oleh masyarakat. Stigma terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang berlebihan, dan pengalaman negatif terhadap ODHA. Banyak yang beranggapan bahwa orang yang terinfeksi HIV/AIDS layak mendapatkan hukuman akibat perbuatannya sendiri. Mereka juga beranggapan bahwa ODHA adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDS.1 Hal inilah yang menyebabkan orang dengan infeksi HIV menerima perlakuan yang tidak adil, diskriminasi, dan stigma karena penyakit yang diderita. Isolasi sosial, penyebarluasan status HIV dan penolakan dalam pelbagai lingkup kegiatan kemasyarakatan seperti dunia pendidikan, dunia kerja, dan layanan kesehatan merupakan bentuk stigma yang banyak terjadi. 1-3 Tingginya penolakan masyarakat dan lingkungan akan kehadiran orang yang terinfeksi HIV/AIDS menyebabkan sebagian ODHA harus hidup dengan menyembunyikan status.1,4,5 Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA. Populasi berisiko akan merasa takut untuk melakukan tes HIV karena apabila terungkap hasilnya reaktif akan menyebabkan mereka dikucilkan. Orang dengan HIV positif merasa takut mengungkapkan status HIV dan memutuskan menunda untuk berobat apabila menderita sakit, yang akan berdampak pada semakin menurunnya tingkat kesehatan mereka dan penularan HIV tidak dapat dikontrol. Dampak stigma dan diskriminasi pada perempuan ODHA yang hamil akan lebih besar ketika mereka tidak mau berobat untuk mencegah penularan ke bayinya. Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi terbanyak keenam jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia. Sampai dengan Maret 2014, jumlah kumulatif infeksi HIV sebesar 7.584, sedangkan jumlah kumulatif AIDS sebanyak 3.339 kasus dengan 978 kasus kematian AIDS.6 Masih tingginya kematian ini kemungkinan besar disebabkan karena ODHA tidak memiliki kesempatan mendapatkan perawatan yang optimal akibat masih tingginya stigma di kalangan masyarakat. Kabupaten Grobogan merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang dipilih menjadi area studi karena peningkatan kasus HIV/AIDS yang cukup tinggi dibandingkan kabupaten lain. Saat ini, Kabupaten Grobogan menduduki peringkat keempat kota/kabupaten dengan kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak di Provinsi Jawa Tengah. Sampai dengan Juni 2014, jumlah kasus HIV sebesar 221 kasus, sedangkan AIDS sejumlah 288 kasus.7 Kabupaten Grobogan merupakan salah satu kabupaten dengan perkembangan sosial ekonomi yang lambat berkaitan dengan kondisi geografis berupa bukit kapur yang tandus. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai 334 tenaga kerja informal di luar wilayah Grobogan. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan menyebabkan banyaknya masyarakat Grobogan yang menjadi pekerja migran ke kota besar seperti Jakarta, Medan, bahkan ke luar negeri. Hal ini menyebabkan mereka jauh dari keluarga dan memudahkan mereka melakukan perilaku seksual berisiko, seperti ditunjukkan dengan kasus infeksi menular seksual (IMS) dan HIV yang semakin meningkat setiap tahun. Dengan pengetahuan dan pendidikan yang rendah, stigma dan diskriminasi ODHA masih banyak terjadi di masyarakat Kabupaten Grobogan. Sebagai contoh, apabila diketahui terdapat ODHA yang meninggal, akan sulit mencari orang yang bersedia untuk melaksanakan pemulasaran jenazah. Demikian juga banyak masyarakat yang menolak bersahabat dengan ODHA. Walaupun tidak sampai terjadi pengusiran ODHA dari lingkungan, namun masih banyak masyarakat yang enggan melibatkan ODHA dalam kegiatan masyarakat. Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya stigma pada ODHA di masyarakat. Pendidikan kesehatan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan mengenai HIV/AIDS dalam banyak penelitian dibuktikan sebagai salah satu faktor yang paling memengaruhi terjadinya pengurangan stigma.8,9 Orang yang memiliki pengetahuan cukup tentang faktor risiko, transmisi, pencegahan, dan pengobatan HIV/AIDS cenderung tidak takut dan tidak memberikan stigma terhadap ODHA.8,10,11 Selain pengetahuan yang kurang, pengalaman atau sikap negatif terhadap penularan HIV dianggap sebagai faktor yang dapat memengaruhi munculnya stigma dan diskriminasi. Pendapat tentang penyakit AIDS merupakan penyakit kutukan akibat perilaku amoral juga sangat memengaruhi orang bersikap dan berperilaku terhadap ODHA. 8,12,13 Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang yang terinfeksi HIV dengan nilai-nilai negatif yang diberikan oleh mereka (masyarakat). Stigma membuat ODHA diperlakukan secara berbeda dengan orang lain. Diskriminasi terkait HIV adalah suatu tindakan yang tidak adil pada seseorang yang secara nyata atau diduga mengidap HIV.14 Berdasarkan informasi dan data tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis faktor yang memengaruhi terjadinya stigma masyarakat terhadap ODHA di Kabupaten Grobogan. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pembuat kebijakan untuk mendukung program pengurangan stigma kepada ODHA sehingga memudahkan ODHA untuk mengungkapkan status dan memudahkan pengobatan serta pencegahan penularan kepada masyarakat hingga pada akhirnya akan membantu meningkatkan kualitas hidup ODHA. Shaluhiyah, Musthofa, Widjanarko, Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS Metode Jenis penelitian ini merupakan riset explanatory untuk menemukan penjelasan tentang suatu kejadian stigma ODHA dengan pendekatan potong lintang. Pengambilan data penelitian dilakukan selama satu bulan, yaitu bulan Agustus sampai dengan September 2014, sedangkan pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan tabel Isaac and Michael dengan derajat kemaknaan 10%. Dalam tabel Isaac and Michael, dengan jumlah populasi antara 20.000 – 25.000 orang dan derajat kemaknaan sebesar 10%, jumlah sampel yang dapat diambil sebanyak 270 orang. Untuk menghindari drop out sample, maka sampel ditambah sebesar 10% sehingga jumlah sampel menjadi 297 dan dibulatkan menjadi 300 sampel. Sebanyak 300 kepala keluarga dipilih secara propotional random sampling dari tiga kelurahan dengan jumlah penderita HIV tertinggi di Kabupaten Grobogan. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner terstruktur dengan mewawancarai responden. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah kepala rumah tangga yang tinggal di salah satu dari tiga kelurahan terpilih dan bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent. Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah kepala keluarga yang tinggal di tiga kelurahan terpilih, namun menolak untuk diwawancarai serta tidak berada di tempat atau di rumah saat penelitian dilakukan. Penelitian ini berlokasi di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Purwodadi, Kelurahan Danyang, dan Kelurahan Kuripan yang merupakan kelurahan dengan angka kejadian HIV terbanyak di antara kelurahan lain. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur melalui wawancara tatap muka kepada 300 kepala rumah tangga terpilih. Penelitian ini menggunakan teori Lawrence Green sebagai referensi kerangka konsep dengan melibatkan variabel faktor predisposing, enabling, dan reinforcing, yang meliputi pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS serta persepsi terhadap ODHA, akses sumber informasi HIV/AIDS, persepsi responden terhadap sikap dan perilaku tetangga, keluarga, dan tokoh masyarakat terhadap ODHA. Sedangkan karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Stigma diukur berdasarkan beberapa pertanyaan, di antaranya bila tinggal dekat dengan ODHA, menyentuh tubuh ODHA, tidur dalam satu ruangan dengan ODHA, anak bermain dengan anak ODHA, merawat ODHA dengan pilihan jawaban takut, tidak takut. Selain itu, juga ditanyakan bila keluarga, tetangga, teman, teman anak menjadi ODHA; pendapat responden bila ODHA dikucilkan oleh masyarakat, didiskriminasi oleh petugas apabila nama ODHA disebarluaskan agar dapat dihindari dengan pilihan jawaban mendukung, tidak mendukung. Analisis data dilakukan dengan uji statistik univariat memakai distribusi frekuensi, hubungan antarvariabel yang diuji dengan menggunakan uji statistik kai kuadrat dan uji statistik multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik berganda. Hasil Stigma terhadap ODHA masih banyak terjadi di masyarakat. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan hampir separuh dari responden (49,7%) memiliki sikap negatif terhadap ODHA. Bentuk stigma di antaranya tidak bersedia makan makanan yang disediakan atau dijual oleh ODHA, tidak membolehkan anaknya bermain bersama dengan anak HIV, tidak mau menggunakan toilet bersama dengan ODHA, bahkan menolak untuk tinggal dekat dengan orang yang menunjukkan gejala HIV/AIDS. Apabila terdapat ODHA dalam keluarga, mereka merasa takut untuk tidur bersama dengan ODHA dan tidak bersedia merawat seperti menyiapkan makanan dan membersihkan peralatan makan, serta duduk dekat dengan orang-orang terinfeksi HIV yang tidak menunjukkan gejala sakit. Distribusi hasil uji statistik univariat berdasarkan karakteristik menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini terbagi dalam dua kelompok usia dengan jumlah yang hampir sama, jumlah responden laki-laki enam kali lipat lebih banyak daripada responden perempuan. Responden dengan pendidikan tinggi hanya sebesar 11,3% dan sebagian besar responden berpendidikan rendah (tamat sekolah dasar). Terkait dengan tingkat pendapatan, sebagian besar responden memiliki pendapatan di atas upah minimum Kabupaten Grobogan (Tabel 1). Hasil distribusi frekuensi faktor determinan stigma terhadap ODHA menunjukan bahwa mayoritas pengetahuan responden tentang IMS dan HIV/AIDS masih kurang, namun sebagian besar responden pernah mendapat akses informasi tentang HIV/AIDS dan memiliki persepsi positif terhadap ODHA. Tetangga merupakan salah satu orang terdekat ODHA dalam lingkup interaksi sosial. Hampir separuh responden berpendapat bahwa banyak tetangga mereka juga memiliki sikap dan perilaku Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Karakteristik Responden Karakteristik Kategori Usia < 46 tahun ≥ 46 tahun Laki-laki Perempuan Tidak sekolah Pendidikan dasar (SD) Pendidikan menengah (SMP & SMA) Pendidikan tinggi Kurang dari UMK (<Rp 935.000,-) Lebih dari UMK (≥Rp 935.000,-) Jenis kelamin Pendidikan Pendapatan n % 149 151 258 42 24 139 103 34 64 236 49,7 50,3 86,0 14,0 8,0 46,3 34,3 11,3 21,3 78,7 335 : Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Tabel 2. Distribusi Faktor Determinan Stigma Masyarakat terhadap ODHA Stigma Masyarakat terhadap ODHA Variabel Pengetahuan IMS dan HIV/AIDS Persepsi tentang ODHA Akses informasi tentang HIV/AIDS Faktor sikap tetangga terhadap ODHA Faktor sikap keluarga terhadap ODHA Faktor sikap tokoh masyarakat terhadap ODHA Kategori n Kurang Baik Negatif Positif Kurang mengakses Mengakses Negatif Positif Negatif Positif Negatif Positif 160 140 129 171 109 191 148 152 138 162 75 225 % Ya 53,3 46,7 43,0 57,0 36,3 63,7 49,3 50,7 46,0 54,0 25,0 75,0 Tidak Nilai p n % n % 82 67 76 73 53 96 90 59 93 56 48 101 51,3 47,9 58,9 42,7 48,6 50,3 60,8 38,8 67,4 34,6 64,0 44,9 78 73 53 98 56 95 58 93 45 106 27 124 48,8 52,1 41,1 57,3 51,4 49,7 39,2 61,2 32,6 65,4 36,0 55,1 0,638 0,008 0,879 0,001 0,001 0,006 Tabel 3. Analisis Multivariat Determinan Stigma Masyarakat terhadap ODHA 95% CI for EXP(B) Variabel Independen Persepsi responden terhadap ODHA Faktor sikap stigma tetangga Faktor sikap stigma keluarga Faktor sikap stigma tokoh masyarakat B 0,495 -0,120 1,339 0,145 SE 0,251 0,367 0,373 0,322 negatif (memberikan stigma) terhadap ODHA, sedangkan keluarga lebih banyak memberikan sikap positif terhadap ODHA. Sejalan dengan sikap keluarga terhadap ODHA, sebagian besar tokoh masyarakat juga memiliki sikap positif terhadap ODHA (Tabel 2). Hasil analisis hubungan atau bivariat menggunakan kai kuadrat menunjukkan terdapat empat variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan stigma terhadap ODHA (nilai p < 0,05), yaitu persepsi responden tentang ODHA, faktor sikap tetangga terhadap ODHA, faktor sikap keluarga terhadap ODHA, dan faktor sikap tokoh masyarakat terhadap ODHA. Sedangkan pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS dan akses informasi tentang HIV/AIDS tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan stigma responden terhadap ODHA, nilai p = 0,638 dan nilai p = 0,879 (Tabel 2). Hasil uji multivariat dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap ODHA dan faktor sikap keluarga terhadap ODHA merupakan variabel yang berpengaruh pada stigma terhadap ODHA. Keluarga yang memiliki sikap negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan empat kali lebih besar memberikan stigma dibandingkan dengan keluarga yang memiliki sikap positif terhadap ODHA. Demikian juga responden yang memiliki persepsi negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan dua kali lebih besar memberikan stigma terhadap ODHA dibandingkan dengan responden yang memiliki persepsi positif (Tabel 3). 336 Wald 3,900 0,107 12,905 0,203 Sig. 0,048 0,744 0,000 0,653 Exp (B) 1,640 0,887 3,815 1,156 Lower Upper 1,004 0,432 1,837 0,615 2,681 1,820 7,919 2,175 Pembahasan Stigma terhadap ODHA dalam penelitian ini adalah sikap dan perilaku negatif seseorang apabila berhadapan dengan ODHA. Fokus penelitian ini adalah mengidentikasi bentuk stigma masyarakat terhadap ODHA dan menganalisis hubungan faktor determinan yang berkontribusi terhadap stigma masyarakat pada ODHA yang masih banyak terjadi di masyarakat. Stigma muncul karena tidak tahunya masyarakat tentang informasi HIV yang benar dan lengkap, khususnya dalam mekanisme penularan HIV, kelompok orang berisiko tertular HIV dan cara pencegahannya termasuk penggunaan kondom.13,15 Stigma merupakan penghalang terbesar dalam pencegahan penularan dan pengobatan HIV. Selain itu, stigma terhadap ODHA juga menyebabkan orang yang memiliki gejala atau diduga menderita HIV enggan melakukan tes untuk mengetahui status HIV karena apabila hasilnya positif, mereka takut akan ditolak oleh keluarga dan khususnya oleh pasangan. Munculnya stigma di masyarakat juga merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam penanggulangan HIV/AIDS.1,16,17 Dalam hidup bermasyarakat, stigma juga menghalangi ODHA untuk melakukan aktivitas sosial. ODHA menutup diri dan cenderung tidak bersedia melakukan interaksi dengan keluarga, teman, dan tetangga. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat beranggapan bahwa orang dengan HIV positif adalah orang berperi- Shaluhiyah, Musthofa, Widjanarko, Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS laku tidak baik seperti perempuan pekerja seksual, pengguna narkoba, dan homoseksual. Kelompok ini oleh sebagian masyarakat dianggap memengaruhi epidemi HIV/AIDS dan membuat masyarakat menjadi menolak dan membenci kelompok tersebut.13,15,16,18 Lebih dari separuh responden dalam penelitian ini memiliki pengetahuan yang kurang tentang IMS dan HIV/AIDS dengan adanya beberapa pemahaman yang masih salah, seperti HIV dapat ditularkan melalui pakaian atau benda-benda yang dipakai oleh ODHA dan orang yang menderita HIV dapat menunjukkan gejala penyakitnya. Meskipun demikian, mayoritas responden juga memahami dengan baik bahwa HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan transfusi darah. Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat memengaruhi sikap seseorang terhadap penderita HIV/AIDS. Stigma terhadap ODHA muncul berkaitan dengan tidak tahunya seseorang tentang mekanisme penularan HIV dan sikap negatif yang dipengaruhi oleh adanya epidemi HIV/AIDS.14 Kesalahpahaman atau kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS sering kali berdampak pada ketakutan masyarakat terhadap ODHA, sehingga memunculkan penolakan terhadap ODHA. Pemberian informasi lengkap, baik melalui penyuluhan, konseling maupun sosialisasi tentang HIV/AIDS kepada masyarakat berperan penting untuk mengurangi stigma.19 Pemberian pengetahuan atau informasi terkait HIV adalah salah satu cara yang efektif untuk menjelaskan tentang pencegahan dan penularan HIV. Seseorang dengan pengetahuan yang baik dan benar terkait HIV diharapkan dapat menurunkan bahkan menghilangkan stigma pada ODHA.18,20 Persepsi masyarakat terhadap ODHA memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku memberikan stigma. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian stigma HIV/AIDS dengan pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan ODHA, juga berhubungan dengan pengalaman tentang adanya rasa malu dan menyalahkan yang berhubungan dengan penyakit AIDS.21,22 Demikian juga persepsi terhadap penderita AIDS akan sangat memengaruhi cara orang tersebut bersikap dan berperilaku terhadap ODHA.16 Terkait dengan akses media informasi tentang HIV/AIDS, mayoritas responden pernah mendapatkan informasi terkait HIV/AIDS. Media televisi merupakan akses informasi yang dipilih sebagian besar responden untuk mendapatkan informasi tentang HIV. Selain media televisi, responden juga memperoleh informasi terkait HIV/AIDS melalui koran, radio, majalah, dan internet. Media telah lama digunakan untuk memberikan informasi terkait HIV/AIDS dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS. Selain itu, informasi ten- tang HIV/AIDS melalui media juga memberikan dampak dalam penurunan stigma masyarakat terhadap ODHA, meskipun hal tersebut belum terjadi di semua negara dan semua kalangan masyarakat. Masyarakat di daerah perkotaan cenderung lebih banyak memanfaatkan media dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Kelompok masyarakat dengan akses media lebih sering memiliki stigma yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok masyarakat dengan akses media yang kurang.2 Duffy,2 menyebutkan bahwa tetangga merupakan seseorang yang secara hubungan sosial dekat dengan ODHA. Sikap seorang tetangga sangat penting terkait dengan pemberian stigma terhadap ODHA, karena dapat memengaruhi sikap orang lain terhadap ODHA. Stigma tersebut muncul karena tetangga beranggapan bahwa orang dengan HIV/AIDS membawa penyakit infeksi yang dapat menularkan ke orang lain dan penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan. Keluarga merupakan lingkungan terdekat yang berinteraksi dengan ODHA. Menurut responden, lebih banyak keluarga memiliki sikap yang positif terhadap ODHA dibandingkan dengan yang memberikan sikap negatif terhadap ODHA. Adanya perilaku keluarga yang memberikan stigma ODHA dapat memperkuat diskriminasi dan penolakan dari masyarakat. Stigma terhadap ODHA disebabkan karena keluarga merasa malu apabila mengetahui salah satu anggota keluarga adalah seorang penderita HIV sehingga ODHA juga dikucilkan dari keluarga. Ketakutan akan diperlakukan secara berbeda membuat ODHA sulit menjembatani diri dengan orang lain dan takut untuk berbagi pengalamannya, bahkan untuk menyatakan dirinya sakit.19,23,24 Sebaliknya, dukungan atau penghapusan stigma dari orang-orang di sekitar ODHA juga akan berdampak pada peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Dukungan sosial membuat penderita HIV tidak merasa sendiri, merasa disayangi dan mereka lebih berpeluang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh ODHA memungkinkan peningkatan pengetahuan, saling berbagi informasi terkait HIV/AIDS serta meningkatkan kepatuhan terapi antiretroviral (ARV). Keterbukaan dan rasa nyaman yang dirasakan ODHA membuat mereka lebih mudah untuk menerima informasi.25 Selain keluarga, tokoh masyarakat merupakan salah satu faktor lingkungan sosial memiliki peranan penting terjadinya stigma terhadap ODHA. Apabila seorang tokoh masyarakat memberikan stigma terhadap ODHA, masyarakat di sekitarnya memiliki kemungkinan juga akan terpengaruh untuk melakukan hal yang sama. Reaksi masyarakat terhadap ODHA memiliki efek besar pada ODHA. Apabila reaksi masyarakat bermusuhan, seorang penderita HIV dapat merasakan adanya diskriminasi dan kemungkinan dapat meninggalkan rumah atau 337 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 menghindari aktivitas sehari–hari seperti berbelanja, bersekolah, dan bersosialisasi dengan masyarakat.24 Pada dasarnya, tokoh masyarakat berperan penting dalam menurunkan terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA karena tokoh-tokoh lokal merupakan model atau contoh yang biasanya menjadi panutan masyarakat, terutama pada masyarakat di daerah pedesaan. Tindakan dan sikap mereka dijadikan referensi oleh masyarakat dalam mengubah perilaku sehat, termasuk yang terkait dengan penularan HIV, dan menurunkan stigma terhadap ODHA.24 Oleh karena itu, pemberian informasi yang komprehensif tentang HIV/AIDS kepada tokoh masyarakat menjadi sangat penting dilakukan oleh petugas kesehatan, agar tokoh masyarakat dapat menularkan dan menyebarkan informasi yang benar kepada masyarakat, termasuk tentang menghilangkan stigma terhadap ODHA. 6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI. Laporan perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai triwulan II tahun 2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. 7. Komisi Penanggulan AIDS Provinsi Jawa Tengah. Laporan kondisi HIV dan AIDS di Jawa Tengah sejak 1993 s/d Juni 2014. Semarang: Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Tengah; 2014. 8. Balfour L, Corace K, Tasca GA, Plummer WB, MacPherson PA, Cameron DW. High HIV knowledge relates to low stigma in Pharmacists and University Health Science Students in Guyana, South America. International Journal of Infectious Diseases. 2010; 14 (10): e881-7. 9. Li L, Wu Z, Wu S, Zhaoc Y, Jia M, Yan Z. HIV-related stigma in health care settings: a survey of service providers in China. AIDS Patient Care STDS. 2007; 21 (10): 753-62. 10. Bayer R. Stigma and the ethics of public health: not can we but should we. Social Science & Medicine. 2008; 67 (3): 463-72. 11. Law GU, Rostill-Brookes H, Goodman D. Public stigma in health and Kesimpulan Faktor yang memengaruhi stigma terhadap ODHA di Kabupaten Grobogan adalah sikap keluarga terhadap ODHA dan persepsi responden terhadap ODHA. Keluarga dengan sikap negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan empat kali lebih besar memberikan stigma terhadap ODHA, sedangkan responden dengan sikap negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan dua kali lebih besar dalam memberikan stigma terhadap ODHA. non-healthcare students: attributions, emotions and willingness to help with adolescent self-harm. International Journal of Nursing Studies. 2009; 46 (1): 108-19. 12. Anderson M, Elam G, Gerver S, Solarin I, Fenton K, Easterbrook P. HIV/AIDS-related stigma and discrimination: Accounts of HIV-positive Caribbean people in the United Kingdom. Social Science & Medicine. 2008; 67 (5): 790-8. 13. Darmoris. Diskriminasi petugas kesehatan terhadap orang dengan HIVAIDS (ODHA) di Rumah Sakit Provinsi Kepulauan Bangka Belitung [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2011. Saran Perlu pemberian informasi HIV/AIDS yang lengkap kepada masyarakat untuk memberikan pemahaman yang dapat mengubah persepsi individu dan masyarakat termasuk keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat tentang ODHA. Selain itu, juga diperlukan upaya penurunan stigma terhadap ODHA melalui penyuluhan oleh tenaga kesehatan, sebagai contoh untuk meluruskan mitos dan penularan HIV/AIDS agar tidak terjadi kekhawatiran dan ketakutan masyarakat terhadap ODHA. 14. Herek GM, Capitanio JP, Widaman KF. HIV related stigma and know- Daftar Pustaka 18. Sohn A, Park S. HIV/AIDS knowledge, stigmatizing attitudes, and re- ledge in the United States: prevalence and trends, 1991-1999. American Journal of Public Health. 2002; 92 (3): 371-7. 15. Guma JA. Health workers stigmatise HIV and AIDS patients. South Sudan Medical Journal. 2011; 4: 92-3. 16. Campbell C, Nair Y, Maimane S, Sibiya Z. Understanding and challenging HIV/AIDS stigma. HIVAN Publication. A vailable from: http://www.lse.ac.uk/collections/socialPsicology/pdf/Challenging_HIV AIDS_Stigma.pdf. 17. Lestari TRP. Kebijakan pengendalian HIV/AIDS di Denpasar. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013; 8 (1): 45-48. 1. Maman S, Abler L, Parker L, Lane T, Chirowodza A, Ntogwisangu J, et lated behaviors and factors that affect stigmatizing attitudes against al. A comparison of HIV stigma and discrimination in five internation- HIV/AIDS among Korean adolescents. Osong Public Health and al sites: The influence of care and treatment resources in high prevalence settings. Journal of Social Science & Medicine. 2009; 68 (12): 2271-8. 2. Duffy L. Suffering, shame, and silence: the stigma of HIV/AIDS. Journal of the Association of Nurses in AIDS Care. 2005; 16 (1): 13-20. 3. Carr RL, Gramling LF. Stigma: a health barrier for women with HIV/AIDS. Journal of the Association of Nurses in AIDS Care. 2004;15 (5): 30-9. 4. Foster G, Williamson J. A review of current literature of the impact of HIV/AIDS on children in Sub-Saharan Africa. AIDS. 2000; 14: 275-84. Research Perspectives. 2012; 3 (1): 24-30. 19. Djoerban Z. Membidik AIDS: ikhtiar memahami HIV dan ODHA. Yogyakarta: Galang Press; 1999. 20. Voisin DR, Bird JD, Shiu CS, Krieger C. It’s crazy being a black, gay youth. Getting information about HIV prevention: a pilot study. Journal of Adolescent. 2013; 36: 111-9. 21. Hermawati P. Hubungan persepsi ODHA terhadap stigma HIV/AIDS masyarakat dengan interaksi sosial pada ODH [tesis]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah; 2011. 5. Butt L, Morin J, Numbery G, Peyon I, Goo A. Stigma and HIV/AIDS in 22. Cock KMD, Mbori-Ngaca D, Marum E. Shadow on the continent: highlands Papua. Pusat Studi Kependudukan–Universitas Cenderawasih Public health and HIV/AIDS in Africa in the 21. The Lancet. 2002; 360: and University of Victoria. Canada: UNCEN UoV; 2010. 67–72. 338 Shaluhiyah, Musthofa, Widjanarko, Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS 23. Demartoto A. ODHA, masalah sosial dan pemecahannya. Jurnal Penduduk dan Pembangunan. 2006; 6 (2): 105-15. 24. Suhendi A. Peranan tokoh masyarakat lokal dalam pembangunan kese- 25. Burhan R. Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh perempuan terinfeksi HIV/AIDS. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013; 8 (1): 33-8. jahteraan sosial. Media Informasi. 2013; 18 (02) :105 – 16. 339 Artikel Penelitian Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di Indonesia Consumption Patterns with Occurrence of Metabolic Syndrome in Indonesia Suhaema*, Herta Masthalina** *Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Mataram, **Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Medan Abstrak Terjadinya sindrom metabolik diduga berhubungan dengan pergeseran gaya hidup masyarakat yang berubah menuju masyarakat modern, dari mengonsumsi makanan tradisional beralih ke makanan instan dan kebaratbaratan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi sindrom metabolik dan determinannya dari pola konsumsi, meliputi konsumsi sayur dan buah serta pola makan makanan manis, asin, berlemak, lauk hewani berpengawet, dan penggunaan penyedap. Penelitian ini merupakan bagian dari analisis lanjut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 dengan desain potong lintang. Jumlah sampel setelah pembobotan adalah 1.878.578 orang dengan kriteria berusia 18 tahun ke atas. Pengumpulan data pola konsumsi, antropometri, klinis, dan biomedis telah dilakukan. Analisis data menggunakan kai kuadrat dan regresi logistik biner. Prevalensi sindrom metabolik di Indonesia sebesar 23%, pada perempuan 26,6% dan pada laki-laki 18,3%. Konsumsi makanan manis lebih dari satu kali per hari sebanyak 43,5% dan kurang dari satu kali per hari 10,5% dengan risiko mengalami sindrom metabolik sebesar 6,567 kali. Konsumsi makanan asin yang termasuk dalam kategori sering memiliki proporsi sindrom metabolik sebesar 100% dengan risiko mengalami sindrom metabolik sebanyak 6,363 kali. Terdapat hubungan yang signifikan (nilai p < 0,05) antara pola konsumsi sayur dan buah, frekuensi konsumsi makanan manis, asin, berlemak, lauk hewani yang diawetkan, penggunaan penyedap, dan mi instan dengan kejadian sindrom metabolik pada usia produktif. Kata kunci: Pola konsumsi makanan, sindrom metabolik, usia produktif Abstract Occurrence of metabolic syndrome is assumedly related to the changing of people’s lifestyle into modern society, from consuming traditional food to instant food and be westernized. This study aimed to determine metabolic syndrome prevalence and its determinants from consumption patterns including vegetable and fruit consumption as well as consumption patterns of sweet, salty, fatty food, preserved animal side dishes and use of seaso340 nings. This study was a part of advanced Basic Health Research 2013 data analysis by cross sectional design. A total of sample after weighting was 1,878,578 people on aged 18 years old and older. Collection of consumption pattern, anthropometry, clinic and biomedic data had been conducted. Data analysis used chi square and binary logistic regression. Metabolic syndrome prevalence in Indonesia is 23%, 26.6% on women and 18.3% on men. Consuming sweet food more than once a day was 43.5% and less than once a day was 10.5% with 6.567 times risk of suffering metabolic syndrome. Salty food consumption included into often category had metabolic syndrome proportion worth 100% with 6.363 times risk of suffering metabolic syndrome. There was a significant relation (p value < 0.05) between the pattern of vegetable and fruit consumption, frequency of sweet, salty, fatty food, preserved animal side dishes, the seasoning use and instant noodle with metabolic syndrome occurrence in productive age. Keywords: Food consumption patterns, metabolic syndrome, productive age Pendahuluan Sindrom metabolik didefinisikan sebagai konstelasi yang saling berhubungan dari pelbagai faktor fisiologis, biokimia, klinis, dan metabolik yang secara langsung meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes melitus tipe 2 dan semua penyebab kematian. 1 Sekumpulan gejala yang terdapat pada sindrom metabolik, yaitu obesitas sentral, peningkatan kadar trigliserida darah, penurunan kadar high density lipoprotein (HDL) kolesterol darah, tekanan darah tinggi, peningkatan Korespondensi: Suhaema, Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram, Jl. Prabu Rangkasari Dasan Cermen Sandubaya, No.Telp: 0370633837, e-mail: [email protected] Suhaema & Masthalina, Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di Indonesia kadar glukosa darah dan resistensi insulin.1,2 Saat ini, sindrom metabolik telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dan tantangan klinis di seluruh dunia berkaitan dengan urbanisasi, asupan energi yang berlebihan, peningkatan kejadian obesitas dan gaya hidup sedentary serta terkait dengan dampak yang ditimbulkannya. Diperkirakan pada lima hingga sepuluh tahun mendatang akan terjadi peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2 sebanyak lima kali lipat dan penyakit kardiovaskular sebanyak dua kali lipat akibat dari penyakit ini. Pasien dengan sindrom metabolik memiliki risiko stroke sebesar dua sampai dengan empat kali dan risiko infark miokard hingga tiga sampai empat kali.3 Prevalensi sindrom metabolik sulit diketahui secara pasti karena perbedaan diagnosis yang digunakan. World Health Organization (WHO) tahun 1999 menyatakan bahwa penyakit ini didasari oleh resitensi insulin yang disertai hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg), hipertrigliseridemia (≥ 150 mg/dL), rendahnya kadar HDL (< 35 mg/dL pada laki-laki dan < 39 mg/dL pada perempuan), obesitas (rasio lingkar pinggang pinggul > 0,9 pada laki-laki dan > 0,85 pada perempuan atau indeks massa tubuh (IMT) di atas 30 kg/m2.3 Berdasarkan kriteria tersebut, dilaporkan jumlah penderita sistem metabolik pada orang dewasa di Amerika mencapai 25%.4 National Cholesterol Educational Program Adult Treatment Program III (NCEP ATP III) tahun 2001 menetapkan kriteria sindrom metabolik adalah bila menemukan tiga dari lima komponen yang terdiri dari tekanan darah ≥ 130 / 85 mmHg atau dalam pengobatan antihipertensi, kadar kolesterol HDL < 40 mg/dL pada laki-laki dan < 50 mg/dL pada perempuan, hipertrigliseridemia (≥ 150 mg/dL), kadar glukosa serum puasa yang tinggi (> 110 mg/dL) dan obesitas sentral (lingkar perut laki-laki > 102 centimeter dan perempuan > 88 centimeter).1 Kriteria penetapan obesitas sentral tersebut berbeda dengan negara Asia Pasifik, yaitu bila lingkar perut ≥ 90 centimeter dan perempuan ≥ 80 centimeter.3,5 Menggunakan kriteria NCEP ATP III, National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) 2003 - 2006 melaporkan sekitar 34% orang dewasa di Amerika mengalami sindrom metabolik dengan prevalensi faktor risiko sindrom metabolik yaitu obesitas sentral 53%, hipertensi 40%, dan 39% mengalami hiperglikemia.6 Hasil penelitian Cardiovascular Risk Factor Multiple Evaluation in Latin America (CARMELA),7 pada populasi dewasa menyatakan kejadian sindrom metabolik sebesar 27% di Mexico dan 14% di Quito. Di Indonesia, dengan menggunakan kriteria NCEP ATP III dengan modifikasi kriteria untuk Asia, dilaporkan bahwa prevalensi sindrom metabolik di Jakarta sebesar 28,4% yang terdiri dari 25,4% pada laki-laki dan 30,4% pada perempuan. Komponen sindrom metabolik terbanyak pa- da laki-laki adalah hipertensi (84,7%) diikuti oleh hipertrigliseridemia (83,4%), obesitas sentral (75,5%), hiperglikemia (50,9%) dan kadar HDL yang rendah (43,6%). Sedangkan pada perempuan, komponen sindrom metabolik terbanyak adalah obesitas sentral (91,3%), diikuti oleh hipertensi (84,1%), hipertrigliseridemia (66,1%), kadar HDL yang rendah (57,8%) serta hiperglikemia (50,2%).8 Penelitian lain di Jakarta mendapatkan prevalensi sindrom metabolik pada kelompok eksekutif sebesar 21,6%, 24,8% pada laki-laki dan 11,8% pada perempuan.9 Insiden sindrom metabolik diduga berhubungan dengan pergeseran gaya hidup akibat pengaruh globalisasi. Gaya hidup masyarakat berubah menuju masyarakat modern dengan pola konsumsi makanan tradisional beralih ke makanan instan dan kebarat-baratan. Penelitian kohort yang dilakukan Lutsey, dkk.,2 selama sembilan tahun dengan melibatkan 9.514 subjek mendapatkan bahwa terdapat sekitar 40% kasus baru sindrom metabolik. Pada penelitian ini, disimpulkan bahwa makanan barat, konsumsi daging, dan makanan gorengan meningkatkan sindrom metabolik. Sementara itu, penelitian lain mendapatkan konsumsi produk berbahan dasar susu rendah lemak, ikan, dan sereal yang tinggi melindungi terjadinya sindrom metabolik.10 Temuan lain yang dilaporkan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 adalah kecenderungan proporsi penduduk usia > 10 tahun yang kurang mengonsumsi sayur dan buah sebanyak 93,5%. Konsumsi makanan atau minuman manis ≥ 1 kali dalam sehari secara nasional adalah 53,1%, sedangkan konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan ≥ 1 kali per hari sebesar 40,7% dan penduduk Indonesia mengonsumsi penyedap ≥ 1 kali dalam sehari sebesar 77,3%.11 Pelbagai penelitian mendapatkan bahwa pola konsumsi tersebut yang cenderung rendah serat namun tinggi lemak, kolesterol, gula dan natrium serta gaya hidup kurang gerak dan tidak aktif ini merupakan faktor risiko yang berkaitan dengan obesitas dan sindrom metabolik serta penyakit degeneratif lainnya.8,11-13 Prevalensi sindrom metabolik ini diperkirakan akan terus mengalami peningkatan yang berdampak pada meningkatnya jumlah penderita penyakit kardiovaskular dan kelangsungan hidup seseorang.14,15 Penelitian Klien,16 menyatakan bahwa 21,7% pasien gangguan jantung dengan sindrom metabolik mengalami kejadian kardiovaskular dan kematian. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001 menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskular menduduki peringkat pertama penyakit degeneratif penyebab kematian di Indonesia sebesar 49,9%.17 Temuan tersebut menunjukkan bahwa sindrom metabolik dan faktor risikonya perlu mendapat perhatian serius agar tidak mengarah pada berkembangnya penyakit degeneratif.11 Berdasarkan latar be341 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 lakang tersebut, penulis ingin melakukan kajian atau analisis lanjut pola konsumsi makanan berhubungan dengan terjadinya sindrom metabolik pada usia produktif. Metode Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian analisis lanjut hasil Riskesdas tahun 2013 yang dilakukan pada tahun 2014 dengan kajian analisis model faktor determinan terjadinya sindrom metabolik berdasarkan pola konsumsi dan gaya hidup pada usia produktif. Data yang dianalisis diperoleh dari Laboratorium Manajemen Data, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jenis penelitian ini adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan rancangan yang sama dengan Riskesdas tahun 2013 yaitu potong lintang berskala nasional. Populasi dalam penelitian ini adalah populasi yang digunakan dalam Riskesdas tahun 2013, dengan populasi target adalah penduduk berusia 18 tahun ke atas yang terlibat dalam Riskesdas serta pengumpulan data pola konsumsi makanan, pengukuran antropometri, pemeriksaan klinis dan biomedis telah dilakukan. Sampel Riskesdas yang memenuhi kriteria berjumlah 46.000 orang. Kriteria sampel adalah penduduk yang berusia 18 tahun ke atas yang menjadi responden pada Riskesdas tahun 2013, telah dilakukan pengumpulan data mengenai pola konsumsi makanan dan aktivitas fisik, telah bersedia dilakukan pengukuran antropometri (lingkar perut), telah dilakukan pemeriksaan klinis (tekanan darah), dan telah dilakukan pemeriksaan biomedis (kolesterol HDL, trigliserida, dan kadar glukosa darah puasa). Penentuan sampel pada Riskesdas menggunakan desain sampling yang kompleks (pengambilan sampel bertingkat, beberapa metode pengambilan sampel sekaligus). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan penyesuaian dengan pembobotan menggunakan perangkat lunak Statistical Product and Service Solutions (SPSS). Pembobotan dilakukan untuk menyamakan peluang terpilihnya sampel pada setiap strata agar varian dalam sampel sama dengan varian dalam populasi sehingga mendukung generalisasi ke populasi. Apabila pembobotan tidak dilakukan dalam analisis, maka dapat menyebabkan tidak akuratnya estimasi parameter populasi, yaitu menjadi di bawah perkiraan yang berakibat pada confidence interval (CI) kurang tepat dan meningkatkan kesalahan tipe I.18 Jumlah sampel yang memenuhi kriteria adalah 31.998 orang dari 35.409 orang sampel yang telah dilakukan pemeriksaan biomedis, antropometri, dan pola makan. Setelah dilakukan pembobotan, maka total sampel yang dianalisis berjumlah 1.878.578 orang. Variabel bebas adalah pola konsumsi makanan yang meliputi konsumsi sayur dan buah serta pola makan ter342 tentu yang terdiri dari makanan manis, asin, berlemak, hewani berpengawet, dan penyedap. Adapun variabel terikat adalah terjadinya sindrom metabolik mengacu pada kriteria NCEP ATP III dengan modifikasi dari International Diabetes Federation (IDF) tahun 2005, yaitu seseorang yang memiliki sedikitnya tiga dari kriteria di antaranya obesitas sentral (lingkar perut ≥ 80 centimeter untuk perempuan dan laki-laki ≥ 90 centimeter), peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 150 mg/dL, atau ≥ 1,69 mmol/L), penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/L pada laki-laki dan pada perempuan < 50 mg/dL atau < 1,29 mmol/L), peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg, tekanan darah diastolik ≥ 85 mmHg atau sedang memakai obat anti hipertensi), dan peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa ≥ 110 mg/dL, atau ≥ 6,10 mmol/L. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner terstruktur dengan metode wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan biomedis. Data pola konsumsi sayur dan buah difokuskan pada total frekuensi dan porsi sayur dan buah. Informasi frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari dikategorikan menjadi cukup, yaitu konsumsi sayur dan atau buah minimal lima porsi per hari selama tujuh hari dalam seminggu; kurang, yaitu apabila konsumsi sayur dan atau buah kurang dari lima porsi per hari selama tujuh hari dalam seminggu. Data makanan tertentu (makanan manis, asin, berlemak, hewani berpengawet, dan penyedap dikategorikan menjadi sering, yaitu konsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari; tidak sering, yaitu konsumsi makanan tersebut kurang dari satu kali per hari. Uji statistik yang dilakukan adalah uji univariat untuk mengetahui besaran prevalensi sindrom metabolik serta uji bivariat untuk mengetahui pola konsumsi makanan, meliputi konsumsi makan sayur dan buah dan makanan tertentu, memengaruhi terjadinya sindrom metabolik dengan menggunakan uji kai kuadrat serta uji multivariat menggunakan regresi logistik biner. Hasil Hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar sampel berjenis kelamin laki-laki, berusia di bawah 40 tahun, tinggal di perkotaan, serta memiliki pekerjaan dengan status bekerja (Tabel 1). Ditinjau dari pola konsumsi makanan, hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh sampel kurang mengonsumsi sayur dan buah, yaitu kurang dari lima porsi per hari. Terdapat 54,3% sampel memiliki pola konsumsi makanan berlemak lebih dari satu kali sehari, 47,2% menggunakan penyedap rasa lebih dari satu kali Suhaema & Masthalina, Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di Indonesia sehari dan sebagian besar sampel (83,1%) mengonsumsi mi instan lebih dari satu kali sehari (Gambar 1). Pada penelitian ini, penetapan diagnosis sindrom metabolik mengacu pada NCEP ATP III dengan modi dari IDF tahun 2005, yaitu berdasarkan kriteria obesitas sentral (lingkar perut), tekanan darah, kadar glukosa darah puasa, kadar trigliserida, dan HDL (Gambar 2). Pada Gambar 2 terlihat bahwa sebanyak 34,5% responden tergolong dalam obesitas sentral (lingkar perut) ≥ 80 centimeter untuk perempuan dan ≥ 90 centimeter untuk laki-laki). Terdapat 22% responden dengan tekanan darah ≥ 130/85 mmHg, 37,9% memiliki kadar glukosa darah puasa ≥ 110 mg/dL, 28,1% dengan kadar trigliserida darah ≥ 150 mg/dL serta 39,4% memiliki kadar HDL yang rendah (< 40 mg/dL bagi laki-laki dan < 50 mg/dL bagi perempuan). Menurut kriteria tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi sindrom metabolik pada usia produktif sejumlah 23%. Berdasarkan demogra lebih banyak sampel perempuan yang mengalami sindrom metabolik, yaitu 26,6%, sedangkan laki-laki sebanyak 18,3% dan selebihnya tidak mengalami sindrom metabolik. Hasil analisis statistik menggunakan uji kai kuadrat diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,001 dengan odds ratio (OR) = 1,622, artinya terdapat hubungan signikan antara jenis kelamin dengan kejadian sindrom metabolik, perempuan memiliki risiko 1,622 kali mengalami sindrom metabolik dibandingkan dengan laki-laki. T Variabel Kategori Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 18 - 39 tahun 40 - 64 tahun Pedesaan Perkotaan Bekerja Tidak bekerja Usia Tempat tinggal Status pekerjaan Ket: n = 1.878.578 n % 1.075.413 803.165 1.033.112 845.466 921.424 957.154 1.158.784 719.794 57,2 42,8 55 45 49 51 61,7 38,3 Ditinjau dari faktor usia, tampak bahwa sampel yang tidak mengalami sindrom metabolik lebih banyak ditemukan pada usia di bawah 40 tahun dibandingkan dengan usia 40 tahun ke atas. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya hubungan (nilai p = 0,001). Seseorang yang berusia 40 tahun ke atas berisiko mengalami sindrom metabolik sebanyak 1,951 kali dibandingkan dengan usia di bawahnya. Selain itu, hasil penelitian ini juga mendapatkan adanya hubungan yang antara status pekerjaan dan tempat tinggal dengan kejadian sindrom metabolik. Orang yang bekerja memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak bekerja (OR = 0,783). Temuan lain yang diungkap dari penelitian ini adalah bahwa seseorang yang tinggal di pedesaan memiliki risiko mengalami sindrom metabolik sebesar 0,704 kali dibandingkan dengan yang di perkotaan (Tabel 2). Pola konsumsi makanan yang dianalisis secara bivariat dengan sindrom metabolik meliputi konsumsi sayur dan buah, makanan manis, makanan asin, makanan berlemak, lauk hewani berpengawet, makanan yang diolah dengan menambahkan penyedap rasa dan konsumsi mi instan (Tabel 3). Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signikan antara pola konsumsi sayur dan buah, konsumsi makanan manis dan makanan asin dengan kejadian sindrom metabolik. Seseorang yang mengonsumsi sayur dan buah kurang dari lima porsi setiap hari selama satu minggu memiliki risiko 1,388 kali untuk mengalami sindrom metabolik dibandingkan dengan yang mengonsumsi cukup sayur dan buah. Konsumsi makanan manis lebih dari satu kali per hari memiliki proporsi kejadian sindrom metabolik lebih banyak (43,5%) dibandingkan dengan yang kurang dari satu kali per hari (10,5%), dengan peluang mengalami sindrom metabolik sebesar 6,567 kali. Adapun seseorang dengan pola konsumsi makanan asin yang termasuk dalam kategori sering memiliki proporsi sindrom metabolik sebesar 100%, dengan risiko mengalami sindrom metabolik sebanyak 6,363 kali dibandingkan dengan orang yang jarang me- 343 : Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 ngonsumsi makanan asin. Adapun konsumsi makanan berlemak, hewani berpengawet, penggunaan penyedap, dan konsumsi mi instan lebih dari satu kali per hari memberikan proporsi kejadian sindrom metabolik yang tidak berbeda jauh dengan yang kurang dari satu kali per hari, dengan OR rata-rata mendekati satu (kisaran 0,899 0,943). Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom metabolik serta melihat besaran pengaruhnya, maka dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik biner yang hasilnya disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil analisis statistik bivariat (Tabel 1, Gambar 2. Distribusi Responden Berdasarkan Batasan Kriteria Sindrom Metabolik Tabel 2, dan Tabel 3) tampak bahwa secara terpisah semua variabel yang diteliti memiliki hubungan yang signikan dengan kejadian sindrom metabolik. Namun, hasil analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik biner menunjukkan bahwa hanya konsumsi makanan asin yang secara merupakan prediktor kejadian sindrom metabolik dengan OR sebesar 1,799. Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua variabel bebas yang diteliti memengaruhi kejadian sindrom metabolik secara terpisah. Sindrom metabolik lebih banyak dialami oleh perempuan disebabkan akumulasi lemak tubuh (trigliserida pada jaringan adipose) sehingga menyebabkan hipertrigliseridemia.19 Penelitian ini sejalan dengan penelitian Utami dkk,20 yang mendapatkan sindrom metabolik lebih banyak (93,94%) dialami oleh perempuan. Hubungan antara jenis kelamin dan kejadian obesitas sentral diduga karena perbedaan genetik, faktor diet, kurangnya aktivitas berat antara laki-laki dan perempuan. 21 Selain itu, pada perempuan menopause terjadi penurunan massa otot dan perubahan status hormon.21 Adanya akumulasi lemak tubuh yang banyak tersebut (obesitas) berdampak terhadap kejadian resistensi insulin, yang merupakan predisposisi dari keja- T Tidak Sindrom Metabolik Variabel Jenis kelamin Usia Status pekerjaan Tempat tinggal Sindrom Metabolik Kategori Perempuan Laki-laki 40 - 64 tahun 18 - 39 tahun Bekerja Tidak bekerja Pedesaan Perkotaan n % n % 789.433 656.561 595.643 850.351 911.469 534.525 738.283 707.711 73,4% 81,7% 70,5% 82,3% 78,7% 74,3% 80,1% 73,9% 285.980 146.604 249.822 182.762 247.315 185.269 183.141 249.442 26,6% 18,3% 29,5% 17,7% 21,3% 25,7% 19,9% 26,1% Nilai p OR 0,001 1,622 0,001 1,951 0,001 0,783 0,001 0,704 Nilai p OR 0,001 1,388 0,001 6,567 0,001 6,567 0,001 0,919 0,001 0,899 0,001 0,943 0,001 0,930 Tabel 3. Hubungan Pola Konsumsi Kejadian Sindrom Metabolik Tidak Sindrom Metabolik Variabel n Sayur dan buah Kurang Cukup Makanan manis Sering Jarang Makanan asin Sering Jarang Makanan berlemak Sering Jarang Makanan hewani berpengawet Sering Jarang Penyedap Sering Jarang Mi instan Sering Jarang 344 Sindrom Metabolik Kategori 15.554 1.430.440 401.927 1.044.067 68 1.445.926 792.047 653.947 477.404 968.590 686.785 759.209 1.205.430 240.564 % n % 70,7% 77,0% 56,5% 89,5% 0,00% 100% 77,7% 76,2% 78,2% 76,4% 77,5% 76,5% 77,2% 75,9% 6.432 426.151 309.976 122.607 432.584 0 227.898 204.686 132.848 299.736 199.086 233.497 356.182 76.402 29,3% 23,0% 43,5% 10,5% 100% 0% 22,2% 23,8% 21,8% 23,6% 22,5% 23,5% 22,8% 24,1% Suhaema & Masthalina, Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di Indonesia Tabel 4. Hasil Uji Regresi Logistik Biner Variabel Nilai p OR 95% CI Jenis kelamin Usia Tempat tinggal Konsumsi makanan manis Konsumsi makanan asin Konsumsi makanan berlemak 0,281 0,258 0,303 0,402 0,031 0,297 2,928 3,802 2,333 0,000 1,799 0,000 0,00 - 4,68 0,00 - 2,87 0,00 - 1,90 0,00 - 1,05 1,40 - 2,31 0,00 - 0,00 dian sindrom metabolik.22 Obesitas merupakan komponen utama kejadian sindrom metabolik, namun mekanisme yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi reactive oxygen species (ROS) meningkat, baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel adiposa dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi terganggu sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya sindrom metabolik, hipertensi, dan aterosklerosis.23 Penelitian lain yang dilakukan di Purwokerto, Jawa Tengah, 30 perempuan yang mengalami sindrom metabolik diketahui memiliki status antioksidan yang rendah (mengalami stres oksidatif).24 Faktor usia juga memengaruhi kejadian sindrom metabolik. Semakin bertambah usia, risiko sindrom metabolik semakin meningkat. Pertambahan usia ini berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah yang mengalami penurunan, sehingga risiko hipertensi dan terbentuknya endapan aterosklerosis juga bertambah. Semua keadaan tersebut merupakan faktor yang memicu terjadinya sindrom metabolik, sejalan dengan studi potong lintang pada sebagian besar perkotaan di Brazil yang menunjukkan prevalensi sindrom metabolik yang tinggi (25,4%), meningkat pada perempuan dengan usia lebih tua dan status sosial ekonomi rendah. Meskipun prevalensi sindrom metabolik hampir sama pada kedua jenis kelamin, tetapi frekuensi komponen yang menentukan sindrom metabolik sangat bervariasi di antara mereka. Secara spesifik, interaksi yang signifikan antara jenis kelamin dan status sosial ekonomi rendah telah ditemukan. Hal tersebut menjelaskan tentang interaksi yang kompleks antara faktor risiko kependudukan dan biologis. Selain faktor tersebut, juga ditemukan bahwa seseorang yang tinggal di pedesaan yang memiliki risiko mengalami sindrom metabolik sebesar 0,704 kali dibandingkan dengan yang di perkotaan.25 Penelitian lain di Brazil mengungkap bahwa pendidikan yang tinggi merupakan faktor protektif terhadap kejadian sindrom metabolik.7 Sindrom metabolik dapat terjadi akibat kurangnya asupan serat makanan, seperti yang banyak terdapat pada sayur dan buah. Dalam saluran pencernaan, serat larut mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Penelitian pada tikus yang diberikan pakan mengandung 36% pasta daun gedi merah menurunkan kadar low density lipoprotein (LDL) dan trigliserida secara bermakna.26 Selain itu, pada buah terdapat zat bioaktif yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Hasil penelitian menunjukkan pemberian buah stroberi yang dibekukan kepada orang obesitas dewasa selama 12 minggu berpengaruh pada penurunan kolesterol total dan kecilnya LDL. Penurunan kadar kolesterol pada orang dewasa yang diberikan ini terkait dengan peranan dari antioksidan yang terdapat di dalam buah stroberi.27 Konsumsi sayur dan buah yang tidak memadai berkaitan pula dengan rendahnya konsumsi kalium. Keadaan ini memungkinkan seseorang memiliki risiko yang tinggi untuk menderita hipertensi. Di samping itu, konsumsi sayur dan buah dapat mengurangi risiko sindrom metabolik melalui kombinasi dari antioksidan, serat, potasium, magnesium dan photochemical lainnya. Konsumsi sayur dan buah berhubungan dengan penurunan risiko penyakit jantung koroner. Konsumsi sayur dan buah menurunkan risiko penyakit jantung melalui penurunan konsentrasi C-reactive Protein (CRP) yang merupakan penanda inflamasi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsumsi dari dietary approaches to stop hypertension (DASH) diet, di antaranya diet kaya sayur dan buah, memiliki efek yang menguntungkan pada kejadian sindrom metabolik. 13 Pemberian buah anggur bubuk selama 30 hari antara lain dapat memperbaiki fungsi endotel, menurunkan tekanan darah sistolik pada laki-laki dewasa yang mengalami sindrom metabolik.28 Prevalensi obesitas, baik berdasarkan IMT maupun ukuran lingkar perut, lebih tinggi pada sampel yang sering mengonsumsi makanan manis.12,29,30 Kontribusi makanan manis dan berlemak terhadap obesitas memperlihatkan bahwa mekanisme fisiologis mengapa konsumsi makanan manis meningkatkan lemak tubuh melibatkan tingginya densitas energi dan efek rasa lezat makanan manis dan sifat lemahnya kenyang. Hasil penelitian sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menemukan hubungan antara konsumsi makanan berlemak dan peningkatan kejadian obesitas sentral yang merupakan salah satu indikator sindrom metabolik. Kontribusi makanan manis dan berlemak terhadap obesitas memperlihatkan bahwa mekanisme fisiologis yang menjelaskan mengapa konsumsi lemak berperan dalam peningkatan lemak tubuh adalah karena densitas energi yang tinggi, efek rasa lezat makanan berlemak, tingginya efisiensi metabolik, lemahnya kekuatan rasa kenyang, lemahnya regulasi fisiologi asupan 345 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 lemak terhadap asupan karbohidrat.30,31 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi makanan asin merupakan faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian sindrom metabolik. Konsumsi makanan asin dalam jumlah banyak atau dengan frekuensi yang sering akan mengakibatkan asupan natrium juga tinggi. Kandungan natrium setiap porsi ikan asin (20 gram) adalah 579 miligram.32 Apabila konsumsi lebih dari satu kali sehari, maka ikan asin memberi kontribusi dua per tiga dari kebutuhan total natrium pengidap hipertensi. Konsumsi natrium yang tinggi akan dapat menyebabkan natrium memasuki sel endotel pembuluh darah arteri. Keberadaan natrium tersebut atrium dapat menarik ion klorida (Cl) dengan kekuatan listrik sehingga terbentuk senyawa NaCl. Senyawa yang baru terbentuk ini akan menarik air dengan kekuatan osmotik sehingga air akan ikut memasuki sel endotel dan sel akan membengkak sehingga mengakibatkan tekanan darah akan naik dan terjadilah hipertensi.33,34 5. Alberti KGMM, Eckel RH, Grundy SM, Zimmet PZ, Cleeman JI, Donato KA, et al. Harmonizing the metabolic syndrome: a joint interim statement of the International Diabetes Federation task force on epidemiology and prevention; National Heart, Lung, and Blood Institute; American Heart Association; World Heart Federation; International. Circulation [serial on Internet]. 2009 [cited 2014 Dec 5]; 120(16):1640–5. Available from: http://circ.ahajournals.org/cgi /doi/10.1161/CIRCULATIONAHA.109.192644 6. Ervin BR. Prevalence of metabolic syndrome among adults 20 years of age and over, by sex, age, race and ethnicity, and body mass index. National Health and Nutrition Examination Survey. 2009;13 (May 5): 18. 7. Dutra ES, de Carvalho KM, Miyazaki E, Hamann EM, Ito MK. Metabolic syndrome in central Brazil: prevalence and correlates in the adult population. Diabetology and Metabolic Syndrom [serial on Internet]. 2012 [cited 2014 Dec 4]; 4(1): 20. Available from: h t t p : / / w w w. p u b m e d c e n t r a l . n i h . g o v / a r t i c l e r e n d e r. f c g i ? a r tid=3457864&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 8. Soewondo P, Purnamasari D, Oemardi M, Waspadji S, Soegondo S. Prevalence of metabolic syndrome using NCEP/ATP III criteria in Kesimpulan Prevalensi sindrom metabolik di Indonesia sebesar 23%, pada perempuan 26,6% dan pada laki-laki 18,3%. Kejadian sindrom metabolik pada usia produktif di Indonesia berkaitan dengan kebiasaan seringnya mengonsumsi makanan asin, yaitu dengan frekuensi lebih dari satu kali dalam satu hari. Jakarta, Indonesia: the Jakarta primary non-communicable disease risk factors surveillance 2006. Acta Medica Indonesia. 2010; 42 (4): 199–203. 9. Kamso S, Purwantyastuti, Lubis DU, Juwita R, Robbi YK, Besral. Prevalensi dan determinan sindrom metabolik pada kelompok eksekutif di Jakarta dan sekitarnya. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011; 6 (2): 85–90. 10. Ruidavets J-B, Bongard V, Dallongeville J, Arveiler D, Ducimetiere P, Saran Untuk mencegah sindrom metabolik pada kelompok usia produktif, hendaknya memperbaiki pola makan, khususnya mengurangi frekuensi konsumsi makanan asin. Selain itu, membatasi konsumsi makanan manis, makanan berlemak, konsumsi penyedap, dan mi instan tidak lebih dari satu kali per hari serta memperbanyak konsumsi sayur dan buah setidaknya empat sampai dengan lima porsi per hari. Perret B, et al. High consumptions of grain, fish, dairy products and combinations of these are associated with a low prevalence of metabolic syndrome. Journal of Epidemiology & Community Health [serial on Internet]. 2007 [cited 2015 Jan 5]; 61(9): 810–7. Available from: http://jech.bmj.com/cgi/doi/10.1136/jech.2006.052126 11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar (Basic Health Research). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013. 12. Esmailzadeh A, Kimiagar M, Mehrabi Y, Azadbakht L, Hu FB, Willett WC. Dietary patterns, insulin resistance and prevalence of the metabol- Daftar Pustaka 1. Kaur J. A comprehensive review on metabolic syndrome. Cardiology Research and Practice. 2014; 2014: ID 943162. ic syndrome in women. American Journal of Clinical Nutrition. 2007; 85(3): 910 – 8. 13. Mozaffarian D, Afshin A, Benowitz NL, Bittner V, Daniels SR, Franch 2. Lutsey PL, Steffen LM, Stevens J. Dietary intake and the development HA, et al. Population approaches to improve diet, physical activity, and of the metabolic syndrome: The atherosclerosis risk in communities smoking habits: A scientific statement from the American Heart study. Circulation [serial on Internet]. 2008; 117(6) :754–61. Available Association. Circulation [serial on Internet]. 2012 [cited 2015 AJn 5]; from: http://circ.ahajournals.org/cgi/doi/10.1161/CIRCULATIONA- 126(12): 1514–63. Available from: http://circ.ahajournals.org/ HA.107.716159 cgi/doi/10.1161/CIR.0b013e318260a20b 3. Alberti KGMM, Zimmet P, Shaw J. Metabolic syndrome-a new world- 14. Bernard JG, Karen S, Bogani MM SY. The epidemic of cardiovascular wide definition. A consensus statement from the International Diabetes disease in the developing world: Global Implication. European Heart Federation. Diabetic Medicine [serial on Internet]. 2006 [cited 2014 Nov 5]; 23 (5): 469–80. Available from: http://doi.wiley.com/ 10.1111/j.1464-5491.2006.01858.x 4. Ford ESG. Prevalence of metabolic syndrome among US adults: findings from the third national health and nutrition examination survey. JAMA. 2002; 287 (3): 356–9. 346 Journal. 2010; 31: 642–8. 15. Gaziano TA, Bitton A, Anand S, Abrahams-Gessel S MA. Growing epidemic of corononory heart disease in low-and middle-income countries. Current Problems in Cardiology. 2010; 35 (2) Feb: 75–115. 16. Klein S, Sheard NF, Sunyer XP, Daly A, Rosett JW KK& CN. Weight management trough life style modification for prevention and manage- Suhaema & Masthalina, Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik di Indonesia ment type 2 diabetes. American Journal of Clinical Nutrition. 2004; 80: 257–63. 17. Djaya, Sarimawar, Irianto, Joko, Mulyono L. Pola penyakit penyebab kematian di Indonesia: Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001. Majalah Kedokteran Indonesia. 2003; 53(8): 296–302. 129(2):259–65. 26. Gani N, Momuat LI PM. Profil lipid plasma tikus wistar yang hiperkolesterolemia pada pemberian gedi merah (Abelmoschus manihot L. Jurnal MIPA UNSRAT Online. 2013;2(1). 27. Basu A, Betts NM, Nguyen A, Newman ED, Fu D, Lyons TJ. Freeze- 18. IDRE: UCLA Institute for Digital Research and Education. Statistical dried strawberries lower serum cholesterol and lipid peroxidation in computing seminars introduction to survey data analysis [homepage in adults with abdominal adiposity and elevated serum lipids. Journal Internet]. 2015. Available from: www.ats.ucla.edu.stat/stata/semi- Nutrition [serial on Internet]. 2014 [cited 2015 jan 5}; 144(6): 830–7. nars/applied_svy_stataII. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24670970 19. Chen H. Enhancing energy and glucose metabolism by distrupting 28. Barona J, Aristizabal JC, Blesso CN, Volek JS, Fernandez ML. Grape trigliseride syntesis: lesson from Mice Lacking DGAT-1. Nutrition polyphenols reduce blood pressure and increase flow-mediated vasodi- Metabolism [serial on internet]. 2006 [cited 2015 Jan 5];3 (10): about lation in men with metabolic syndrome 1. Journal Nutrition. 2012; 142 4 pages. Available from: http://nutritionandmetabolism.biomedcentral.com/articles/10.1186/1743-7075-3-10. 20. Utami, Yunika M, Rosdiana, Dani, Emalia Y. Gambaran asupan gizi pada penderita sindrom metabolik di RW 04 Kelurahan Sidomulyo Kecamatan Tampan Kota Pekan baru. Jurnal Kedokteran Universitas Riau. 2014; 1 (2). 21. Erem C, Arslan C, Hacihasanoglu A, Deger O, Topbas M, Ukinc K, (9): 1626-32. 29. Miller PE, Perez V. Low-calori sweeteners and body weight n composition: a meta-analysis of randomized control trials and prospective cohort study. American Journal of Clinical Nutrition. 2014; 100 (3): 765–77. 30. Mendoza JA, Drewnowski A, Christakis DA. Dietary energy density is associated with obesity and the metabolic syndrome in US adults. Diabetes Care. 2007; 30 (4): 974–9. Ersoz HO TM. Prevalence of obesity and associated risk factors in a 31. Yoo S, Nicklas T, Baranowski T, Zakeri IF, Yang S-J, Srinivasan SR, et Turkish Population (Trabzon City, Turkey). Obesity Research. 2004; al. Comparison of dietary intakes associated with metabolic syndrome 12(7): 1117–27. risk factors in young adults: the Bogalusa Heart Study. American Journal 22. Lee ES, Kim YH, Beck S, Lee S, Oh SW, Sook EON, et al. Social and of Clinical Nutrition. 2004; 80 (4): 841–8. behavioral depressive mood and abdominal fat distribution in over- 32. Karmini M. Tabel komposisi pangan Indonesia [internet]. PERSAGI. weight premenopausal women. Obesity Research. 2005; 13(2): 320-5. 2009 [cited 2015 jan 6]. Available from: http://file.persagi.org/ 23. Furukawa S, Fujita T, Shimabukuro M, Iwaki M, Yamada Y, Nakajima share/79%20Mien%20Karmini%20-%20DKBM.pdf. Y, et al. Increased oxidative stress in obesity and its impact on metabol- 33. Drapeau V, Després JP, Bouchard C, Allard L, Fournier G, Leblanc C, et ic syndrome. The Journal of Clinical Investigation. 2004; 114: 1752–61. al. Modifications in food-group consumption are related to long-term 24. Winarsi H, Wijayanti SPM, Purwanto A. Profil lipid, peroksidasi lipid, body-weight changes. American Journal of Clinical Nutrition. 2004; 80 dan status inflamatif wanita penderita sindrom metabolik. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011; 5 (5): 212–7. (1): 29–37. 34. Selmer RM, Kristiansen IS, Haglerod a, Graff-Iversen S, Larsen HK, 25. Marquezine GF, Olivera CM, Pereira AC, Kriegen JE MJ. Metabolic syn- Meyer HE, et al. Cost and health consequences of reducing the popula- drome determinants in an urban population from Brazil: social class and tion intake of salt. Journal of Epidemiology and Community Health. gender spsesific interaction. International Journal of Cardiology. 2000; 54 (9): 697–702. 347 Artikel Penelitian Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika Risky Sexual Behavior of Narcotic Users Rico Januar Sitorus*, Merry Natalia** *Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya, **Direktorat Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI Abstrak Penyalahgunaan narkotika yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah, dan berganti-ganti mitra seksual merupakan perilaku berisiko. Masalah yang diakibatkan penyalahgunaan narkotika sangat kompleks, seperti masalah sosial dan kesehatan. Kecenderungan pengguna narkotika melakukan perilaku seksual dini dan tidak aman semakin memperparah kondisi kualitas hidup pecandu dan tentunya berdampak besar pada kelangsungan hidup di masa depan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui determinan perilaku seksual berisiko di kalangan pengguna narkotika. Metode penelitian adalah potong lintang menggunakan data sekunder kajian rekam medis di instalasi Medical Psychiatric Evaluation di rumah sakit ketergantungan obat (RSKO) Jakarta tahun 2013. Populasi penelitian adalah pasien ketergantungan narkotika yang dirawat inap di RSKO Cibubur selama tahun 2013. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang dirawat inap berjumlah 74 responden. Analisis data yang digunakan adalah analisis secara univariat, bivariat, dan multivariat. Hasil penelitian membuktikan bahwa mayoritas responden telah melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu sebesar 82,4% dengan usia pertama kali berhubungan seksual ≤ 17 tahun sebesar 78,4%. Usia pertama kali berhubungan seksual ≤ 17 tahun merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap perilaku seksual berisiko di kalangan pecandu narkotika. Model akhir analisis multivariat menunjukkan bahwa pengguna narkotika yang telah melakukan hubungan seksual ≤ 17 tahun berpeluang 6,74 kali (CI = 1,84 – 24,73) untuk melakukan perilaku seksual berisiko dibandingkan dengan pengguna narkotika > 17 tahun. Kata kunci: Pecandu narkotika, pengguna narkotika, perilaku seksual berisiko Abstract Narcotic abuse having premarital sexual intercourse and multiple sexual partners is risky behavior. Problems caused by narcotic abuse are very complex, such as social and health problems. Tendency of narcotic users 348 committing early and unsafe sexual intercourse worsen condition of the addict’s quality of life and definitely has a big impact on life survival in the future. This study aimed to determine determinants of risky sexual behavior among narcotic users. The method was cross sectional study using secondary data of medical record assessment at Medical Psychiatric Evaluation installation in Jakarta hospital for drug addicts in 2013. The study population was narcotic-addicted patients hospitalized at Cibubur Hospital for Drug Addicts within 2013. Sample of this study was all hospitalized patients amounted to 74 respondents. Data analysis used was univariate, bivariate and multivariate analysis. Results proved that most respondents had committed risky sexual behaviors worth 82.4% in which the age of first intercourse ≤ 17 years old worth 78.4%. The age of first intercourse ≤ 17 years old was the most influential variable to risky sexual behavior among narcotic addicts. The final model of multivariate analysis showed that narcotic users who committed sexual intercourse ≤ 17 years had 6.74 times opportunity (CI = 1.84 – 24.73) to commit risky sexual behavior than > 17 yearold narcotic users. Keywords: Narcotic addicts, narcotic users, risky sexual behavior Pendahuluan Perilaku penggunaan narkotika secara ilegal, apapun bentuk dan caranya, sangat berisiko terhadap kesehatan, baik laki-laki maupun perempuan. Perilaku seksual berisiko dapat menyebabkan terjadinya penularan infeksi HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya.1 Berdasarkan penelitian Besral dan Zani,2 dengan menggunakan data sekunder dari survei surveilans perilaku di Jakarta yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Korespondensi: Rico Januar Sitorus, FKM Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang-unsri KM 32 Inderalaya Ogan Ilir Sumatera Selatan, No. Telp: (0711) 580068, e-mail: [email protected] Sitorus & Natalia, Determinan Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika Universitas Indonesia tahun 2000 mengungkapkan bahwa 33% pengguna narkoba, psikotropika, dan zat adiktif (napza) suntik masih aktif secara seksual dengan perilaku berisiko. Dari 33% pengguna napza suntik dengan perilaku seksual berisiko, sebanyak 19,5% melakukan hubungan seksual dengan pasangan tidak tetap dan 12,1% berhubungan seksual dengan pasangan komersil. Dari 19,5% yang melakukan perilaku seksual berisiko dengan pasangan tidak tetap, 90% tidak menggunakan kondom. Sedangkan dari 12,1% berhubungan seksual dengan pasangan komersil, 68% di antaranya tidak menggunakan kondom.2 Prevalensi kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun tetap tinggi. Angka yang pernah menggunakan narkotika di populasi diperkirakan sebesar 2,4% dengan laki-laki jauh lebih besar daripada perempuan. Pada tahun 2011, prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia sebesar 2,2 % atau sekitar 3,8 – 4,2 juta orang. Pengguna narkotika di Indonesia mulai dari usia anak-anak sampai usia tua. Data Badan Narkotika Nasional tahun 2011 mengungkapkan bahwa rentang usia pengguna narkotika adalah 10 – 59 tahun dengan prevalensi paling tinggi pada rentang usia 20 – 29 tahun sebesar 4,41%.3 Berdasarkan laporan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012, baik laki-laki maupun perempuan pengguna narkotika melakukan perilaku hubungan seksual sebelum menikah, dengan proporsi laki-laki sebesar 19,1% dan perempuan 2,5%.4 Dampak buruk yang sangat kompleks akibat penyalahgunaan narkotika di usia dini mengakibatkan pelbagai masalah sosial dan kesehatan di masa depan. Kecenderungan pengguna narkotika melakukan perilaku seksual yang tidak aman dan belum waktunya juga semakin memperparah kondisi kualitas hidup pecandu dan tentunya berdampak besar pada kelangsungan hidup di masa depan. Dari pelbagai permasalahan di atas, perlu dicari determinan perilaku seksual berisiko di kalangan pecandu narkotika. Pelbagai penelitian tentang narkotika telah dilakukan di masyarakat. Perbedaan dari penelitian ini adalah masyarakat pecandu narkotika yang dirawat inap dan yang direhabilitasi di rumah sakit sebagai responden. Kesadaran pecandu narkotika untuk datang ke fasilitas pelayanan dan pusat rehabilitasi merupakan hal positif yang dapat mencegah komorbiditas dan perilaku-perilaku berisiko. Masyarakat yang menggunakan narkotika sejak dini akan berdampak buruk dan menjadi beban berat bagi negara, masyarakat dan keluarga pecandu narkotika. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui faktor determinan yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko di kalangan pecandu narkotika. Metode Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan populasi penelitian adalah pasien ketergantungan narkotika yang di rawat inap di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang dirawat inap dengan total sampel 74 responden. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari kajian catatan medis yang terdapat di instalasi Medical Psikiatric Evaluation (MPE) di RSKO Jakarta tahun 2013. Perilaku seksual berisiko adalah melakukan hubungan seksual sebelum menikah, berganti-ganti mitra seksual dan tidak menggunakan alat kontrasepsi. Sedangkan perilaku tidak berisiko adalah tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, berhubungan seksual dengan pasangan resmi.1 Usia ≤ 17 tahun merupakan usia remaja dan dianggap masih usia dini dalam berhubungan seksual, sedangkan usia > 17 tahun merupakan usia dewasa muda yang dianggap sudah tidak dini dalam melakukan hubungan seksual.5 RSKO Cibubur adalah sebagai pusat layanan dan kajian nasional maupun regional dalam masalah gangguan yang berhubungan dengan zat. Layanan yang tersedia di rumah sakit ini adalah konsultasi napza, terapi metadon, dan rehabilitasi ketergantungan narkotika. Variabel-variabel yang diambil dari MPE adalah variabel status demografi, jumlah mitra seksual, penggunaan alat kontrasepsi, kondisi psikologis, usia pertama kali menggunakan narkotika, usia pertama kali berhubungan seksual, dan riwayat overdosis. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat untuk memberikan gambaran dari variabel-variabel yang diteliti, analisis bivariat untuk menguji hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen menggunakan uji kai kuadrat, dan analisis multivariat untuk menjelaskan sifat variabel prediktor dan kontribusi relatif mereka dalam menjelaskan variabel dependen. Dalam penelitian ini, variabel yang dipertimbangkan untuk analisis multivariat adalah variabel dengan nilai p < 0,25. Untuk analisis multivariat dengan regresi logistic model backward stepwise, model akhir semua variabel dengan nilai p ≤ 0,05. Hasil Distribusi faktor determinan perilaku seksual berisiko di kalangan penyalahguna narkotika menunjukkan bahwa sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (80,6%), status menikah (88,5%), tidak bekerja (77,6%), pendidikan rendah (94,4%), usia pertama kali menggunakan narkoba ≤ 17 tahun (84,7%), usia ketergantungan narkoba > 17 tahun (85%), usia pertama kali berhubungan seksual ≤ 17 tahun (99,7%), pernah mengalami overdosis (86,4%), tidak menggunakan kontrasepsi saat berhubungan seksual (83,3%), dan tidak mengalami gangguan psikologis (85,7%) (Tabel 1). Tabel 1 juga menunjukkan variabel yang berhubungan secara signifikan terhadap determinan perilaku seksu349 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Tabel 1. Faktor Determinan Perilaku Seksual Berisiko di Kalangan Penyalahguna Narkotika Variabel Kategori Perilaku seksual Jenis kelamin Status pernikahan Status pekerjaan Status pendidikan Usia pertama kali menggunakan narkoba Usia ketergantungan narkoba Usia pertama kali berhubungan seksual Riwayat overdosis Penggunaan kontrasepsi Gangguan psikologis Tidak berisiko Berisiko Perempuan Laki-laki Menikah Tidak menikah Formal Nonformal Tinggi Rendah > 17 tahun ≤ 17 tahun > 17 tahun ≤ 17 tahun > 17 tahun ≤ 17 tahun Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya n % Nilai p 13 61 7 67 26 48 22 52 56 18 15 59 40 34 16 58 52 22 8 66 60 14 17,6 82,4 9,5 90,5 35,1 64,9 29,7 70,3 75,7 24,3 20,3 79,7 54,1 45,1 21,6 78,4 29,7 70,3 10,8 89,2 81,6 18,9 0,34 0,52 0,19* 0,17* 0,45 0,56 0,005* 0,74 0,62 1,00 1 Tabel 2. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Model Terakhir Variabel Usia pertama kali berhubungan seksual Kategori ≤ 17 tahun (reff) > 17 tahun al berisiko di kalangan penyalahguna narkoba, yaitu usia pertama kali berhubungan seksual ≤ 17 tahun dengan nilai p 0,005 < α = 0,05. Sedangkan variabel yang memenuhi kriteria kandidat model multivariat dengan nilai p < 0,25 terdapat tiga variabel, yaitu usia pertama kali berhubungan seksual ≤ 17 tahun, status pekerjaan, dan status perkawinan (Tabel 1). Dalam model ini, faktor determinan terkuat adalah usia pertama kali berhubungan seksual. Pengguna narkoba yang telah melakukan hubungan seksual ≤ 17 tahun, berpeluang 6,74 kali (CI = 1,84 – 24,73) untuk melakukan perilaku seksual berisiko dibandingkan dengan pengguna narkotika > 17 tahun (Tabel 2). Pembahasan Hasil penelitian ini menggambarkan pasien yang direhabilitasi rawat inap adalah sebagian besar laki-laki. Laki-laki yang berperilaku seksual berisiko jauh lebih besar dibandingkan dengan yang tidak berperilaku berisiko, yaitu sebesar 80,6%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin terhadap perilaku seksual berisiko di kalangan pecandu narkotika. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa determinan terkuat yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko pada pasien ketergantungan narkotika adalah usia pertama kali berhubungan seksual. Pengguna 350 Koefisien (B) 1,908 Nilai p OR 0,004 6,74 95% CI 1,84 – 24,73 narkotika yang telah melakukan hubungan seksual berusia ≤ 17 tahun, berpeluang 6,74 kali (CI = 1,84 – 24,73) untuk melakukan perilaku seksual berisiko dibandingkan dengan pengguna narkotika berusia > 17 tahun. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawan,6 bahwa perilaku seksual berisiko pada pengguna narkoba suntik dipengaruhi oleh pelbagai faktor, yaitu usia hubungan seksual pertama kali, status pekerjaan, dan status pendidikan. Hasil penelitian Assari,7 mengungkapkan bahwa pengguna narkoba suntik yang memiliki pasangan seksual lebih dari satu sebesar 56,4% mengungkapkan bahwa jumlah mitra seksual meningkat di kalangan perempuan dengan OR = 13,44 dan nilai p = 0,02 dan menurun setelah menikah dengan OR = 0,38 dan nilai p = 0,0001. Hasil penelitian Henny,8 menunjukkan bahwa remaja yang pernah melakukan hubungan seksual pranikah berpeluang 12 kali lebih besar untuk penyalahgunaan narkoba. Penelitian Shelly Iskandar dkk,9 mengungkapkan bahwa rata-rata usia pertama kali menggunakan narkotika adalah 14,2 tahun dan rata-rata usia pertama kali menggunakan narkotika suntik adalah 18,4 tahun. Pengguna narkotika suntik ini melakukan perilaku seksual yang berisiko dengan hubungan seks vaginal dengan orang lain sebesar 35%, berhubungan seks vaginal dengan orang lain saat menstruasi 11%, dan berhubungan Sitorus & Natalia, Determinan Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika seks anal tanpa kondom dengan orang lain 7%. Akan tetapi, menurut penelitian yang dilakukan Purnomowardani dkk,10 menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara penyalahgunaan narkotika dengan perilaku seksual. Penelitian Nik Daliana et al,11 mengungkapkan bahwa faktor yang paling dominan sebagai prediktor terhadap perilaku seksual berisiko di kalangan remaja lakilaki adalah merokok dengan OR = 10,3, 95 % CI (1,25 – 83,9), dan pada remaja perempuan terdapat hubungan yang erat dengan keluarga dengan OR = 3,13, 95 % CI (1,64 – 5,95). Menurut Fassino, 12 ketergantungan narkotika sejak usia muda akan mengakibatkan kelainan personal. Penelitian lain mengungkapkan bahwa semakin muda seorang pecandu narkotika melakukan hubungan seksual dan mengkonsumsi narkotika, akan memiliki kemungkinan risiko yang sangat besar untuk mengalami komplikasi penyakit seperti hepatitis B dan C, tuberkulosis paru, dan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrom (HIV/AIDS). 13,14 Pengguna narkotika pada usia muda, baik laki-laki maupun perempuan, berhubungan dengan pelbagai masalah seperti kesehatan fisik dan mental serta berdampak negatif terhadap perilaku seperti tindakan melakukan kriminal seksual seperti pemerkosaan, terganggunya ketertiban umum, dan risiko tertularnya pelbagai penyakit seksual.15 Penelitian yang dilakukan oleh Alessandra, 16 mengungkapkan responden yang melakukan perilaku seksual berisiko di kalangan pengguna narkotika bukan suntik, melakukan hubungan seksual dengan pekerja seksual dengan rasio prevalensi 1,96, homoseksual dan riwayat berhubungan seksual dengan rasio prevalensi 1,39. Dalam penelitian ini juga diungkapkan bahwa peminum alkohol dan konsumsi kokain berisiko 2,47 kali untuk melakukan perilaku seksual berisiko. naan narkotika dan hubungan seksual berisiko karena banyaknya masalah yang ditimbulkan. Pemerintah melalui pemangku kepentingan terkait dapat melakukan penjangkauan terhadap para pengguna narkoba dan memberikan penyuluhan agar tidak melakukan perilaku seksual berisiko. Perlu dilakukan penelitian terhadap masyarakat usia 17 tahun ke bawah dengan sampel yang lebih besar untuk mengetahui alasan mereka menggunakan narkoba dan melakukan hubungan seksual yang berisiko. Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Strategi promosi pencegahan penyalahgunaan Napza di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2001. 2. Besral, Utomo B, Zani AP. Potensi penyebaran HIV dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat umum. Makara Seri Kesehatan. 2004; 8: 53-8. 3. Badan Narkotika Nasional. Pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Jurnal Data P4GN. Jakarta: Badan Narkotika Nasional; 2012. 4. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan kesehatan reproduksi remaja: survei demografi dan kesehatan Indonesia. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 2012. 5. Centers for disease control and prevention [online]. 2015 [cited 2015 Aug 5]. Available from: www.cdc.gov/ncbddd/child development. 6. Setiawan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seks berisiko terhadap penularan HIV/AIDS pada kelompok pengguna Narkoba suntik di Jakarta, Bandung dan Surabaya (Analisis Data Behavior Surveilance Survey) [laporan penelitian]. Depok: Center for Health Research, University of Indonesia; 2002. 7. Assari S, Yarmohamadivasel M, Narenjiha H, Rafiey H, Noori R, Shirinbayan P, et al. Having multiple sexual partners among Iranian injection drug users. Frontiers in Psychiatry. 2014; 5: 125. 8. Heny LS. Perilaku berisiko remaja di Indonesia menurut survei kesehatan reproduksi remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007. Jurnal Kesimpulan Penelitian ini menemukan bahwa usia muda ≤ 17 tahun pecandu narkoba yang melakukan hubungan seksual akan berisiko sebesar 6,74 kali untuk melakukan perilaku seksual berisiko dibandingkan dengan usia > 17 tahun. Model terakhir analisis multivariat regresi logistik menunjukkan bahwa usia pertama kali melakukan hubungan seksual para pecandu merupakan faktor yang sangat berhubungan terhadap perilaku seksual berisiko di kalangan penyalahguna narkoba. Kesehatan Reproduksi. 2011; 1 (3): 136-44. 9. Iskandar S, Basar D, Hidayat T, Siregar I, Pinxten L, van Crevel R, et al. High risk behavior for HIV transmission among former injecting drug users: a survey from Indonesia. BMC Public Health. 2010; 10 (1): 472. 10. Purnomowardani AD. Penyingkapan diri, perilaku seksual, dan penyalahgunaan narkoba. Jurnal Psikologi. 2000; 27 (1): 60-72. 11. Farid NDN, Che’Rus S, Dahlui M, Al-Sadat N, Aziz NA. Predictors of sexual risk behaviour among adolescents from welfare institutions in Malaysia: a cross sectional study. BMC Public Health. 2014; 14 (Suppl 3): S9. 12. Fassino S, Daga GA, Delsedime N, Rogna L, Boggio S. Quality of life Saran Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah untuk memberikan informasi dan pemahaman yang tepat bagi masyarakat, khususnya kalangan remaja agar menjauhkan diri dari penyalahgu- and personality disorders in heroin abusers. Drug and Alcohol Dependence. 2004; 76 (1): 73-80. 13. Kemp R, Miller J, Lungley S, Baker M. Injecting behaviours and prevalence of hepatitis B, C and D markers in New Zealand injecting drug user populations. The New Zealand Medical Journal. 1998; 111 (1060): 50- 351 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 3. 14. Syarif F, Tafal Z. Karakteristik remaja pengguna narkoba suntik dan perilaku berisiko HIV/AIDS di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2008; 3 (2): 70-5. 15. Karow A, Reimer J, Schäfer I, Krausz M, Haasen C, Verthein U. Quality of life under maintenance treatment with heroin versus methadone in 352 patients with opioid dependence. Drug and Alcohol Dependence. 2010; 112 (3): 209-15. 16. Diehl A, Vieira DL, Rassool GH, Pillon SC, Laranjeira R. Sexual risk behaviors in non-injecting substance-dependent Brazilian patients. Adicciones: Revista de socidrogalcohol. 2014; 26 (3): 208-20. Artikel Penelitian Peran Kepemimpinan, Modal Sosial, Akses Informasi serta Petugas dan Fasilitator Kesehatan dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Roles of Leadership, Social Capital, Information Access as well as Health Duty and Facilitator within Public Empowerment in Health Sector Endang Sutisna Sulaeman*, Bhisma Murti*, Waryana** *Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, **Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta Abstrak Faktor internal komunitas yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan adalah kepemimpinan dan modal sosial, sedangkan faktor eksternal komunitas yang berperan adalah akses informasi kesehatan, petugas dan fasilitator kesehatan. Tujuan penelitian adalah mengetahui dan menganalisis peran kepemimpinan, modal sosial, akses informasi kesehatan, petugas, dan fasilitator kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan. Desain penelitian adalah potong lintang dengan pendekatan penelitian kualitatif melalui metode studi kasus terpancang. Penelitian dilakukan selama tiga bulan di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur dengan mengambil dua desa, yaitu Desa Bulus di Kecamatan Bandung dan Desa Tanggul Kundung di Kecamatan Besuki tahun 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran kepemimpinan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan pada program Desa Siaga adalah menyebarluaskan informasi, memberikan contoh, menyadarkan, memotivasi, membimbing, menggerakkan sasaran dan masyarakat, memfasilitasi dan mengalokasikan sumber daya. Peran modal sosial adalah saling percaya, kekerabatan, pertemanan, pertetanggaan, norma sosial, tolongmenolong, kerja sama, dan jaringan masyarakat. Peran akses informasi kesehatan adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kesehatan, mengambil keputusan, dan meminta pelayanan kesehatan. Peran petugas kesehatan adalah sosialisasi, memberikan petunjuk, melatih, membina, memfasilitasi, menumbuhkembangkan partisipasi, serta memantau dan mengevaluasi program. Sedangkan peran fasilitator kesehatan adalah sosialisasi, memotivasi, memengaruhi pengambilan keputusan, memediasi masyarakat dan pemerintah, memfasilitasi dan menumbuhkembangkan partisipasi. Kata kunci: Akses informasi kesehatan, fasilitator kesehatan, kepemimpinan, modal sosial, peran petugas kesehatan health sector were leadership and social capital, meanwhile the external factors included health information access, health duty and facilitator. This study aimed to determine and analyze the roles of leadership, social capital, information access, and health duty and facilitator within public empowerment in health sector. The study design was cross sectional with qualitative study approach through embeded case study method. The study was conducted in Tulungagung District, East Java by taking two villages namely Bulus Village at Bandung Subdistrict and Tanggul Kundung Village at Besuki Subdistrict in 2013. The result showed the roles of leadership and public empowerment in health sector in Alert Village program were spreading information, giving examples, awakening, motivating, educating, moving targets and the public, facilitating and allocating resources. The roles of social capital were mutual trust, kinship, friendship, neighborhood, social norms, mutual help and public network. The roles of health information access were improving health knowledge and skill, making decision and asking for health services. The roles of health duty were socialization, giving instructions, training, building, facilitating, developing participation as well as monitoring and evaluating the program. Meanwhile, the roles of health facilitator were socialization, motivating, influencing decision making, mediating public and government, facilitating and developing participation. Keywords: Health information access, health facilitator, leadership, social capital, roles of health duty Abstract The internal factors of community contributing to public empowerment in Korespondensi: Endang Sutisna Sulaeman, Prodi Magister IKM Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Gd. Pascasarjana Lt.2, Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan Surakarta 57126, No. Telp: 0271-632450, e-mail: [email protected] Pendahuluan Tiga dari delapan tujuan Millenium Development Goals (MDGs) terkait dengan program Desa Siaga, di antaranya menurunkan prevalensi balita kekurangan gizi, telah berkurang hampir setengahnya, dari 31% pada 353 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 tahun 1989 menjadi 18,4% pada tahun 2007 dan target pada tahun 2015 sebesar 15,5%. Kemudian, tujuan mengurangi angka kematian anak sebesar dua per tiganya antara tahun 1990 – 2015, angka kematian bayi (AKB) telah menurun dari 68 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 dan target pada tahun 2015 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian balita (AKBA) telah menurun dari 97 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 dan target pada tahun 2015 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Selain itu, tujuan memperbaiki kesehatan maternal, yakni menurunkan angka kematian ibu (AKI) sebesar tiga per empatnya antara tahun 1990 - 2015, telah menurun dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup, namun, pada tahun 2012 meningkat menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup.1 Indonesia berulang kali masuk kategori negara yang lamban langkahnya dalam mencapai MDGs. Pencapaian MDGs belum mengikutsertakan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Masalah pemberdayaan masyarakat adalah lemahnya kemampuan mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan.2 Sejalan dengan itu, Hawe (cit. Yoo et al3)mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, Rehn et al,4 merumuskan model pemberdayaan masyarakat meliputi partisipasi, kepemimpinan, keterampilan, sumber daya, nilai-nilai, sejarah, jaringan, dan pengetahuan masyarakat. Penelitian Sulaeman et al,5 menyimpulkan bahwa faktor internal komunitas yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan adalah kepemimpinan dan modal sosial. Sedangkan faktor eksternal komunitas yang berperan adalah akses informasi, peran petugas dan fasilitator. Sementara itu, penelitian Ashwell et al,6 menyimpulkan bahwa faktor kunci yang memengaruhi kesehatan adalah desa dan kabupaten termotivasi dan individu terlatih sebagai katalis untuk perubahan, kepemimpinan diberdayakan, petunjuk praktis yang efektif, dan partisipasi kader kesehatan desa yang terlatih. Sedangkan kegagalan program kesehatan disebabkan pemahaman pemberdayaan masyarakat yang buruk, terbatasnya informasi, pendekatan top-down dan kepemimpinan masyarakat yang lemah. Kouzes et al (cit. Sulaeman),7 menyimpulkan terdapat lima aspek kepemimpinan meliputi model the way, yaitu memberikan contoh dalam pelaksanaan kegiatan; inspire a shared vision, yaitu memberikan inspirasi pada visi bersama; challenge the process, yaitu melakukan 354 pembaharuan dalam proses pencapaian tujuan; enable others to act, yaitu meningkatkan kemampuan staf untuk bertindak melalui kerja sama tim, memberikan kepercayaan, dan mengembangkan kemampuan staf serta encourage the heart, yaitu memberikan semangat dan penghargaan. Macinko et al, 8 melaporkan bahwa modal sosial berhubungan positif dengan status kesehatan. Jaringan sosial merupakan sumber fundamental untuk mencegah penyakit. Individu yang tinggal di komunitas dengan tingkat modal sosial tinggi melaporkan dirinya lebih sehat secara jasmani dan rohani dibandingkan individu yang tinggal dalam masyarakat dengan tingkat modal sosial rendah. Selanjutnya, Nahapiet et al (cit. Sulaeman),2 menjelaskan peran modal sosial dalam tiga bentuk, yaitu struktural, relasional, dan kognitif. Dimensi struktural berhubungan dengan kemampuan individu untuk membuat ikatan yang lemah menjadi kuat dalam suatu sistem. Dimensi relasional berfokus pada karakter koneksi antara individu yang berlandaskan kepercayaan dan kerjasama. Dimensi kognitif memfokuskan pada makna dan pemahaman bersama bahwa individu atau kelompok merasa memiliki satu dengan yang lain. Menurut Keleher et al,9 akses informasi kesehatan adalah kemampuan seseorang dalam mengetahui dan bertindak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang selayaknya. Akses informasi kesehatan diakui sebagai deteminan kunci dari kesehatan. Akses informasi adalah aktivitas warga masyarakat dalam memperoleh informasi melalui pelbagai cara, seperti melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan kesehatan, media massa, media elektronika, dan lain-lain. Sementara itu, menurut Fineberg,10 akses informasi kesehatan adalah kemampuan seseorang dalam memperoleh, memproses dan memahami informasi kesehatan untuk pengambilan keputusan yang tepat dalam mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan. Peran petugas kesehatan menurut Kementerian Kesehatan adalah aktif dalam pengembangan dan penyelenggaraan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) di Desa Siaga (poskesdes, posyandu, dan lainlain), menggerakkan masyarakat untuk mengelola, menyelenggarakan, dan memanfaatkan UKBM yang ada serta menyelenggarakan sosialisasi program kesehatan untuk menciptakan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).11 Sementara itu, peran fasilitator adalah katalis, yaitu mendorong timbulnya perasaan tidak puas di masyarakat mengenai hasil pembangunan yang ada; penemu solusi, yaitu memberikan kejelasan gagasan pembangunan yang direkomendasikan kepada sasaran perubahan; pendamping, yaitu mendampingi proses penentuan solusi masalah sebagai aplikasi inovasi pembangunan; perantara, yaitu mempersatukan antara dua kepentingan yakni Sulaeman, Murti, Waryana, Peran Kepemimpinan, Modal Sosial , Akses Informasi serta Petugas dan Fasilitator Kesehatan pembuat kebijakan dan sasaran pembangunan dengan membuat keputusan terbaik; motivator, yaitu memberikan dorongan serta memfasilitasi proses pemberdayaan masyarakat.7 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis peran kepemimpinan, modal sosial, akses informasi, peran petugas dan fasilitator kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan pada program Desa Siaga. Metode Desain penelitian adalah potong lintang dengan pendekatan penelitian kualitatif melalui metode studi kasus terpancang. Penelitian dilakukan di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur dengan mengambil dua desa yaitu Desa Bulus di Kecamatan Bandung sebagai representasi Desa Siaga Utama dan Desa Tanggul Kundung di Kecamatan Besuki sebagai representasi Desa Siaga Pratama. Penelitian dilakukan selama tiga bulan dari Juli 2013 sampai dengan September 2013. Populasi penelitian adalah situasi sosial dalam program Desa Siaga di Desa Bulus, Kecamatan Bandung dan Desa Tanggul Kundung, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive dan snowball sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi partisipasi, dan kajian dokumen. Alat bantu yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah pedoman wawancara mendalam, perekam, alat tulis, dan kamera. Jumlah informan kunci seluruhnya adalah 56 orang yang terdiri dari dua kategori, yaitu kelompok komunitas meliputi kepala desa dan perangkatnya, Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), ketua atau anggota tim penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) tingkat desa serta kader Desa Siaga. Masing-masing desa sebanyak 15 orang sehingga terdapat 30 informan. Kategori kedua adalah kelompok petugas kesehatan meliputi tim pembina Desa Siaga puskesmas sejumlah 18 informan dan tim pembina Desa Siaga dinas kesehatan kabupaten sejumlah enam informan. Observasi partisipasi dilakukan di dua poskesdes dan di masyarakat. Peneliti melakukan observasi terhadap aktivitas pelayanan kesehatan dengan mengamati lokasi, denah ruangan, alur, prosedur, jenis pelayanan, pencatatan dan pelaporan klien yang berkunjung. Kajian dokumen dilakukan terhadap pedoman, kebijakan, perencanaan, dan hasil program Desa Siaga di Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung, unit pelaksana teknis dinas Puskesmas Bandung dan Puskesmas Besuki serta dua poskesdes.12 Unit analisis adalah program Desa Siaga di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan yang dilakukan secara interaktif dan siklik dengan proses pengumpulan data. Untuk memaksimalkan kepercayaan data, dilakukan beberapa jenis triangulasi di antaranya triangulasi peneliti, yaitu bekerja kolaboratif dalam tim penelitian dengan jumlah lima orang dalam mengidentifikasi kode, mengembangkan kategori dan tema. Kemudian, triangulasi metode dan sumber data, yaitu menggunakan pelbagai jenis data yang dikumpulkan dengan pelbagai metode dan sumber data, misalnya rekaman dari wawancara, catatan lapangan, dan pemeriksaan anggota untuk memberikan umpan balik hasil analisis data. Selanjutnya adalah triangulasi teori, yaitu penggunaan beberapa teori atau perspektif untuk menafsirkan kumpulan data. Hasil triangulasi metode melalui wawancara mendalam tentang kepemimpinan sesuai dengan hasil pengamatan langsung yang dilakukan oleh peneliti saat berlangsung pertemuan antara warga dengan pamong desa, pengurus PKK desa, dan tokoh masyarakat. Sebagai pemimpin, para pamong desa, pengurus PKK Desa, maupun tokoh masyarakat memberikan motivasi, memberikan contoh, menggerakkan sasaran dan masyarakat. Kesimpulan dari dalam tim penelitian dengan jumlah lima orang menguatkan kesimpulan bahwa modal sosial di Desa Bulus, Kecamatan Bandung dan Desa Tanggul Kundung, Kecamatan Besuki berhubungan dengan kemampuan masyarakat dalam hal identifikasi dan pemecahan masalah kesehatan. Hasil Karakteristik Informan Berdasarkan karakteristik informan pada Tabel 1, dari 56 informan, jenis kelamin laki-laki sebanyak 46,43% dan perempuan sebanyak 53,67%. Rata-rata usia informan adalah 42,7 tahun dengan rentang terendah 27 tahun dan yang paling tua berusia 54 tahun. Sebagian besar informan berusia 24 - 39 tahun (53,57%) dan berusia 40 - 55 tahun (46,43%). Ditinjau dari segi pendidikan, persentase informan berpendidikan tingkat perguruan tinggi (PT) adalah 35,71%, diploma 3 (D3) 10,71%, sekolah menengah atas (SMA) 35,50%, sekolah menengah pertama (SMP) 14,28%, dan sekolah dasar Tabel 1. Karakteristik Informan Karakteristik Kategori Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 24 - 39 tahun 40 - 55 tahun 55 tahun PT D3 SMA SMP SD Usia Pendidikan Jumlah Persentase 26 30 30 26 0 20 6 21 8 1 46,43 53,57 53,57 46,43 0,0 35,71 10,71 37,50 14,28 1,78 355 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 (SD) 1,78%. Hasil observasi partisipasi di dua poskesdes dan di masyarakat menyimpulkan bahwa poskesdes dikelola oleh tenaga kesehatan, yaitu bidan dan perawat. Poskesdes berperan sebagai UKBM yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan poskesdes mencakup upaya pelayanan kesehatan dasar secara menyeluruh secara promotif, preventif dan kuratif, termasuk pengamatan dan kewaspadaan dini, penanganan hal yang bersifat gawat darurat, dan kesiapsiagaan terhadap bencana. Pengunjung poskesdes adalah ibu hamil, bayi, anak balita, perempuan usia subur, usia lanjut, dan masyarakat lainnya. Pelayanan dilaksanakan baik di dalam maupun di luar gedung. Berdasarkan observasi, tampak bahwa kepemimpinan dan modal sosial berperan dalam keberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui gotong-royong masyarakat, adanya organisasi kelompok yasinan, pertemuan rukun tetangga (RT), dan pertemuan forum Desa Siaga sebagai media komunikasi dan kerja sama antara warga dengan pemimpin desa dan petugas kesehatan. Berdasarkan kajian dokumen terhadap cakupan program Desa Siaga tahun 2012, persentase tingkat partisipasi masyarakat (D/S) adalah 71,95%, yaitu jumlah balita yang ditimbang berjumlah 59.640 dari 82.894 anak dengan cakupan balita berat badan naik (71,09%), bayi yang diberi ASI eksklusif (51,20%), balita mendapatkan vitamin A dua kali (90,96%), balita dengan gizi buruk sejumlah 243 anak (0,41%), sedangkan balita gizi kurang sejumlah 2.476 orang (4,15%). Universal Child Immunization (UCI) adalah 74,17% dari jumlah 271 desa. Cakupan imunisasi campak bayi adalah 100,78%. Drop out imunisasi DPT1-campak adalah 5,65%. Jumlah kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yaitu 17 kasus difteri, empat kasus campak dan tujuh kasus hepatitis klinis. Kunjungan ibu hamil (K1) adalah 91,66% dan kunjungan ibu hamil (K4) 85,03%. Cakupan persalinan ditolong tenaga kesehatan adalah 89,57%, pelayanan ibu nifas 86,38%, peserta Keluarga Berencana (KB) baru 13,61%, sedangkan peserta KB aktif 67,34%. Cakupan PHBS rumah tangga adalah 35,32%, rumah sehat 57,80%, rumah/bangunan bebas jentik 92,78%, keluarga dengan sumber air minum terlindung 56,84%, keluarga memiliki jamban sehat 66,48%, keluarga memiliki tempat sampah sehat 82,09%, keluarga memiliki pengelolaan air limbah sehat 61,33%, dan institusi dibina kesehatan lingkungannya 79,62%. Jumlah kematian ibu adalah 11 jiwa dari 16.109 jiwa kelahiran hidup (68,28 per 100.000 kelahiran hidup). Angka kematian bayi adalah 121 jiwa dari 16.109 jiwa kelahiran hidup (7,51 per 1.000 kelahiran hidup) dan angka kematian balita adalah 138 jiwa dari 59.848 jiwa (8,57 per 1.000 356 kelahiran hidup). Peran Kepemimpinan dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Dari studi kasus terungkap bahwa peran kepemimpinanan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan pada program Desa Siaga adalah menyebarluaskan informasi, memberikan contoh dan sebagai panutan, menyadarkan, memotivasi, membimbing, menggerakkan sasaran dan masyarakat, memfasilitasi dan mengalokasikan sumber daya. Peran Kepemimpinan dalam Menyebarluaskan Informasi Terungkap dari penuturan informan sebagai berikut: “….Peran pemimpin adalah melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui dan memahami adanya masalah kesehatan di masyarakat. Sosialisasi dilakukan pada pertemuan Yasinan (membaca al-Qur’an Surat Yaasin), pertemuan warga RT, dan posyandu.” (Mh, Bulus, 23 Agustus 2013) Peran Kepemimpinan dalam Penyadaran dan Motivasi Seperti penuturan informan berikut: “…Pemimpin masyarakat berperan dalam memotivasi dan mendorong masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan dan gizi…” (Sns, Bulus, 23 Agustus 2013) Peran Kepemimpinan dalam Membimbing, Menggerakkan Sasaran dan Masyarakat Sebagaimana disampaikan oleh informan berikut: ”...Peran pemimpin masyarakat adalah menyadarkan, mengajak dan menggerakan masyarakat serta menyediakan tempat kegiatan seperti posyandu, membimbing masyarakat agar bergotong-royong dalam pemecahan masalah kesehatan...” (Mh, Bulus, 22 Agustus 2013) Peran Kepemimpinan dalam Memberikan Contoh dan Sebagai Panutan Seperti penuturan informan berikut: ”...Pimpinan masyarakat berperan sebagai panutan warga masyarakat dalam upaya kesehatan dan gizi, sehingga kalau Pak Lurah dan Pak Kepala Dusun memberi nasihat, masyarakat akan mengikutinya...” (Srs, Bulus, 23 Agustus 2013). “…Pemimpin memberikan contoh. Kalau pemimpin hanya memberikan saran, tapi tidak memberikan contoh, sarannya tidak didengar…” (Ags, Bandung, 24 Agustus 2013) Peran Kepemimpinan dalam Mengalokasikan Sumber Daya Memfasilitasi Sebagaimana penuturan informan berikut: dan Sulaeman, Murti, Waryana, Peran Kepemimpinan, Modal Sosial , Akses Informasi serta Petugas dan Fasilitator Kesehatan “…Pemimpin menyadarkan masyarakat, mengarahkan masyarakat tentang pentingnya kesehatan, dan melakukan penggerakan pengumpulan dana sosial untuk kesehatan…” (Rs, Bulus, 22 Agustus 2013) “…Peran pimpinan masyarakat adalah memberikan bantuan. Kalau ada keluarga atau masyarakat yang kurang mampu, pimpinan desa melakukan penggalangan dan pengumpulan dana. Desa juga memberi stimulan dana ke setiap dusun …” (Knp, Tanggul, 24 Agustus 2013). Dari kutipan pernyataan informan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran pimpinan masyarakat adalah menyebarluaskan informasi tentang program Desa Siaga kepada masyarakat, memberi contoh perilaku seharihari, mulai dari keluarga sendiri, dan di fasilitas umum seperti kantor balai desa. Peran tersebut dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat terhadap program Desa Siaga. Dengan peran pimpinan tersebut, maka akan timbul partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan dan kelangsungan program Desa Siaga. Peran Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Peran modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan meliputi adanya saling percaya antarkeluarga dan masyarakat, kerja sama antara warga masyarakat, pimpinan dan petugas kesehatan, saling tolong-menolong, norma sosial timbal-balik, hubungan kekerabatan, pertetanggaan dan pertemanan serta adanya jaringan organisasi masyarakat. Adanya Saling Percaya Antarkeluarga, Masyarakat, dan Petugas Kesehatan Sebagaimana disampaikan oleh informan berikut: “…Warga masyarakat saling percaya, sehingga terjalin kerja sama dalam pemecahan masalah kesehatan secara gotong royong. Ikatan sosial antarwarga masyarakat sangat kuat dan bersatu-padu...” (Nn, Bandung, 24 Agustus 2013) “...Adanya rasa memiliki antarwarga, ditunjukkan bila ada warga yang sakit, maka warga saling memberitahu satu sama lain dan berkunjung kepada orang yang sakit, serta memberikan sumbangan...” (Snt, Bandung, 24 Agustus 2013) “Kepercayaan warga masyarakat terhadap bidan desa besar sekali sehingga setiap melahirkan ditolong oleh bidan. Juga kalau warga sakit, warga berobat ke Pos Kesehatan Desa.” (Srt, Bulus, 23 Agustus 2013) Adanya Hubungan Kekerabatan, Pertetanggaan, dan Pertemanan Sebagaimana dituturkan oleh informan berikut: “…Adanya kekerabatan dan kedekatan antarwarga masyarakat berperan dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan, misalnya tetangga memberikan saran, nasihat, atau informasi kesehatan dan memberitahukan masalah kesehatan atau penyakit yang diderita oleh tetangganya...” (Srt, Bulus, 23 Agustus 2013) Adanya Kerja Sama antara Warga Masyarakat, Pimpinan, dan Petugas Kesehatan serta Adanya Jaringan Organisasi Masyarakat Terungkap dari penuturan informan berikut: ”...Melalui kerja sama antarwarga, masalah kesehatan dapat ditanggulangi. Kerja sama diwujudkan dalam pelbagai bentuk, seperti kerja bakti atau gotongroyong, pengumpulan iuran dana sehat…”(Ans, Bandung, 24 Agustus 2013) ”Adanya organisasi masyarakat seperti kelompok yasinan, pertemuan RT, pertemuan Dasa Wisma merupakan modal sosial yang dapat mempermudah kerja sama antara warga masyarakat serta kerja sama dengan pimpinan desa dan petugas kesehatan dalam pemecahan masalah kesehatan...”(Bdn, Bulus, 23 Agustus 2013) ”...Modal sosial di desa adalah gotong-royong masyarakat dalam melaksanakan posyandu dan membantu keluarga gizi buruk serta memotivasi masyarakat untuk selalu menjaga kesehatan lingkungan, memberikan nasihat kepada ibu balita agar selalu menimbangkan balitanya setiap bulan serta memerhatikan gizi dan kesehatan anaknya, kader kesehatan bergotong-royong dalam melaksanakan program posyandu dan Desa Siaga...” (Sp, Bandung, 24 Agustus 2013) Modal sosial yang terdapat di masyarakat merupakan perekat antara individu satu sama lain, seperti adanya kebiasaan saling mengunjungi apabila terdapat tetangga yang baru melahirkan, warga masyarakat yang sakit, atau dirawat di rumah sakit. Kebiasaan ini sebagai modal sosial untuk tercapainya derajat kesehatan masyarakat secara optimal. Peran Akses Informasi Kesehatan dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Sebagian besar informan mengatakan bahwa akses informasi kesehatan berperan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan kesehatan, mengambil keputusan kesehatan, dan meminta pelayanan kesehatan. Peran Akses Informasi Kesehatan dalam Mengambil Keputusan Kesehatan dan Meminta Pelayanan Kesehatan Sebagaimana penuturan informan berikut: ”...Akses informasi kesehatan berperan dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan, misalnya Depkes menayangkan informasi kesehatan di TV, seperti biaya persalinan gratis melalui jaminan persalinan, masyarakat menanyakan kepada petugas puskesmas 357 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 bagaimana syarat dan tata caranya...” (Bd. Bulus, 22 Agustus 2013) Peran Akses Informasi Kesehatan dalam Meningkatkan Pengetahuan dan Ketrampilan Kesehatan Sebagaimana disampaikan informan berikut: “….Penyampaian informasi kesehatan berdampak pada peningkatan kemampuan pengetahuan dan keterampilam kesehatan bagi masyarakat….” (Tn, Bandung, 24 Agustis 2013) “…Perolehan informasi kesehatan membuat masyarakat lebih memahami masalah kesehatan dan mengetahui bagaimana cara mengatasi masalah kesehatan di desa…” (Srt, Bulus, 22 Agustus 2013) Akses informasi kesehatan diperoleh masyarakat dari petugas puskesmas dan media massa seperti televisi dan radio. Melalui sumber informasi tersebut, masyarakat memperoleh pengetahuan tentang cara hidup sehat, cara merawat kesehatan perorangan, cara menjaga kebersihan lingkungan, cara merawat kehamilan, cara merawat bayi, dan sebagainya. Mudahnya akses informasi yang diperoleh masyarakat akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat. Peran Petugas Kesehatan dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Beberapa informan menyampaikan bahwa peran petugas kesehatan adalah melakukan sosialisasi, memberikan petunjuk, melatih, membina, memfasilitasi, menumbuh-kembangkan partisipasi serta memantau dan mengevaluasi program Desa Siaga, seperti penuturan informan berikut: ”...Peran petugas puskesmas adalah membina, memberi bantuan peralatan, memberikan penyuluhan, dan melatih serta memfasilitasi masyarakat untuk pelaksanaan program Desa Siaga...”(Srt, Bandung, 23 Agustus 2013). “…Peran petugas puskesmas dan sektor terkait di tingkat kecamatan adalah mengusahakan kemudahan masyarakat dalam melaksanakan program Desa Siaga. Petugas puskesmas memberikan pembinaan kepada masyarakat dalam melakukan identifikasi masalah kesehatan, cara memecahkan masalah kesehatan, cara memanfaatkan potensi sumber daya lokal, dan menumbuh-kembangkan partisipasi.” (Ans, Bulus, 22 Agustus 2013) “…Petugas kesehatan berperan dalam meningkatkan kemampuan mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan lokal…” (Ss, Bandung, 24 Agustus 2013) Peran Fasilitator dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Sebagian besar informan menjelaskan bahwa peran 358 fasiltator program Desa Siaga adalah melakukan sosialisasi, pendampingan, motivator, pengarah, mediator antara masyarakat dengan pemerintah, memengaruhi pengambilan keputusan, dan menumbuh-kembangkan partisipasi. Hal tersebut seperti penuturan informan berikut: “…Fasilitator berperan sebagai penyuluh dan penghubung antara masyarakat dan pemerintah, mengarahkan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan program Desa Siaga, menampung aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintah, dan menumbuhkembangkan partisipasi…” (Srt, Bulus, 22 Agustus 2013). “…Fasilitator berperan sebagai pendamping, yaitu mendampingi proses pengenalan masalah kesehatan, membantu memperoleh sumber-sumber daya yang diperlukan, membantu memilih pemecahan masalah kesehatan yang sesuai dengan kondisi masyarakat.” (Spd, Bandung, 23 Agustus 2013). “Peran fasilitator adalah sebagai motivator, yaitu memberikan dorongan kepada warga masyarakat untuk mampu mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan”. (Wt, Bulus, 22 Agustus 2013) Pembahasan Peran Kepemimpinan dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Penelitian Adrian, 13 menyimpulkan bahwa kepemimpinan masyarakat berperan untuk mengikutsertakan masyarakat lokal dalam program pembangunan. Sinergi yang jelas di antara mereka untuk berperan saling melengkapi. Bukti dampak dari kepemimpinan masyarakat menunjukkan adanya keikutsertaan masyarakat ke dalam ruang tata kelola masyarakat, dan menekankan kebutuhan untuk menggerakan kepemimpinan lokal yang kuat. Penelitian Ferguson et al,14 memberikan kerangka teoritis untuk memahami cara masyarakat memandang peluang kepemimpinan dalam lembaga masyarakat serta proses lembaga mendorong peningkatan keikutsertaan. Empat tema utama yang muncul, yaitu suara masyarakat dan kepemilikan, keamanan emosional, kekuasaan, dan dukungan timbal balik. Untuk keberhasilan pemberdayaan masyarakat, perlu ditunjang dengan pemberdayaan kepemimpinan. Pitts,15 memformulasikan secara komprehensif definisi dari pemberdayaan kepemimpinan yang meliputi tujuh dimensi, yaitu kekuasaan, pengambilan keputusan, informasi, otonomi, inisiatif dan kreativitas, pengetahuan dan keterampilan, dan pertanggungjawaban. Penelitian Ashwell et al,6 menegaskan bahwa kemandirian berkelanjutan di bidang kesehatan dapat dicapai melalui kepemimpinan masyarakat dan mempertahankan aktivitas, menguatkan intervensi pogram dan meningkatkan interaksi antara masyarakat Sulaeman, Murti, Waryana, Peran Kepemimpinan, Modal Sosial , Akses Informasi serta Petugas dan Fasilitator Kesehatan dan sistem kesehatan serta meningkatkan penggunaan pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Peran Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Modal sosial menurut Lynch et al,16 merupakan kemampuan sosial yang lebih luas menyangkut inklusivitas, hak asasi manusia, keadilan sosial, partisipasi ekonomi, dan politik secara penuh dari warga masyarakat sehingga investasi modal sosial merupakan strategi yang berguna untuk kesehatan masyarakat. Selanjutnya, penelitian Nina,17 menyimpulkan bahwa pemberdayaan disajikan dan dibandingkan dengan modal sosial dan kapasitas masyarakat sebagai strategi untuk memperkuat faktor perlindungan sosial. Penelitian Lopez,18 menemukan hubungan antara peningkatan inovasi dan tingkat modal sosial yang berbeda. Penelitian ini menjelaskan hubungan antara pemberdayaan dan tujuan inovasi dalam peningkatan kondisi kehidupan berdasarkan perbedaan tingkatan modal sosial. Promosi kesehatan dalam modal sosial dan pemberdayaan dapat menyumbangkan pengaruh pada pembangunan melalui aksi perorangan ataupun masyarakat yang didukung oleh kebijakan dan program. Terdapat hubungan antara pemberdayaan modal sosial (struktur dan nilai) dan inovasi dalam organisasi masyarakat pada daerah pedesaan di Peru. Peran Akses Informasi dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Hasil studi kasus menunjukkan bahwa akses informasi kesehatan berperan dalam pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Rothman,19 bahwa peran akses informasi kesehatan meliputi pengetahuan tentang kesehatan dan perawatan kesehatan, kemampuan untuk menemukan, memahami, menginterpretasikan dan mengkomunikasikan informasi kesehatan, kemampuan untuk meminta perawatan kesehatan yang tepat dan membuat keputusan kesehatan secara kritis. Pelbagai jenis informasi berperan dalam peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan masyarakat untuk hidup bersih dan sehat. Masyarakat memahami cara-cara melakukan identifikasi dan pemecahan masalah kesehatan. Akses informasi akan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan kesehatan, baik pada tingkat individu maupun pada kelompok masyarakat. Peran Petugas Kesehatan dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Terungkap melalui studi kasus bahwa petugas kesehatan berperan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan. Menurut Sulaeman,7 petugas kesehatan berperan dalam melakukan pendekatan kepada pe- mangku kepentingan dan masyarakat agar mereka menjadi sadar terhadap permasalahan yang dihadapi di desanya, bangkit niat dan tekad untuk mencari solusi serta memantau, membina pelaksanaan survei mawas diri dan musyawarah masyarakat desa sebagai media untuk mengidentifikasi masalah kesehatan dan merumuskan pemecahan masalah kesehatan, juga melakukan pendampingan yang berperan sebagai fasilitator. Petugas kesehatan perlu memahami kebutuhan masyarakat, budaya masyarakat, dan karakteristik kepribadian masyarakat. Petugas kesehatan berupaya mengembangkan pembelajaran bagi masyarakat untuk membangun kemandirian dalam pemecahan masalah kesehatan. Peran petugas kesehatan adalah sebagai fasilitator berperan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan sarana dan peralatan untuk mendukung kelancaran kegiatan Desa Siaga, sebagai konsultan dengan memberikan nasihat dan petunjuk kepada masyarakat agar pelaksanaan kegiatan program Desa Siaga dapat berjalan sesuai dengan tujuan.20 Kementerian Kesehatan (Kemenkes),21 menegaskan bahwa keberhasilan program kesehatan ditentukan oleh peran petugas kesehatan di antaranya pertama adalah kinerja profesional, yaitu upaya sistematis yang dilakukan dalam aktivitas kerja yang diwujudkan dalam penampilan kinerja. Kedua adalah persepsi terhadap perilaku kepemimpinan, yaitu perilaku positif dari pemimpin yang merupaka panutan yang memengaruhi peran pegawai. Ketiga adalah kompetensi, yaitu kemampuan pegawai untuk mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilannya untuk menghasilkan jasa layanan kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan, dan kemampuan untuk mengalihkan pengetahuan dan keterampilan. Keempat adalah kompensasi, yaitu faktor eksternal yang secara langsung memengaruhi peran pegawai dalam proses penggerakan dan pemberdayaan, seperti gaji, penghargaan, dan fasilitas. Kelima adalah sikap pegawai terhadap pekerjaan, yaitu sikap positif terhadap pekerjaan yang akan mendorong kemampuan menerjemahkan lingkungan untuk diwujudkan dalam kinerja pegawai. Keenam adalah motivasi kerja, yaitu daya dorong sebagai hasil proses interaksi dengan lingkungan. Ketujuh adalah kecerdasan emosi, yaitu kesadaran, pengendalian diri dan kemampuan atau kekuatan pribadi, sosial, politik, ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk kinerja sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Peran Fasilitator dalam Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Fasilitator menciptakan suasana dialogis dengan masyarakat dan mampu menumbuhkembangkan, meng359 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 gerakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi hasil kegiatan. Peran fasilitator menurut Mardikanto, 22 adalah memengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengadopsi inovasi, meningkatkan kapasitas individu, entitas, dan jejaring yang terhimpun dalam satu kata “edfikasi” sebagai akronim dari edukasi, diseminasi informasi/inovasi, fasilitasi, konsultasi, supervisi, pemantauan, dan evaluasi. Sementara itu, peran fasilitator menurut Yoo et al,3 adalah untuk memberikan bantuan dan bimbingan serta tetap menjaga hubungan yang erat dengan masyarakat, namun tidak mengarahkan atau memengaruhi keputusan masyarakat. berikan petunjuk, melatih, membina, memfasilitasi, menumbuh-kembangkan partisipasi serta memantau dan mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat. Selain itu, disarankan untuk memperkuat peran fasilitator dengan melakukan sosialisasi, pendampingan, motivator, mediator antara masyarakat dan pemerintah, memengaruhi pengambilan keputusan, dan menumbuhkembangkan partisipasi. Daftar Pustaka 1. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Laporan pencapaian tujuan pembangunan milenium Indonesia 2010. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; 2010. 2. Sulaeman ES, Karsid R, Murti B, Kartono DT, Waryana, Hartanto R. Model pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan, studi program de- Kesimpulan Peran kepemimpinan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan pada program Desa Siaga adalah menyebarluaskan informasi, memberikan contoh, penyadaran, memotivasi, membimbing, menggerakkan sasaran dan masyarakat, memfasilitasi dan mengalokasikan sumber daya. Sementara itu, peran modal sosial adalah saling percaya, kekerabatan, pertetanggaan dan pertemanan, norma sosial, kerjasama, tolong-menolong, dan adanya jaringan masyarakat. Peran akses informasi kesehatan adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kesehatan, mengambil keputusan kesehatan, dan meminta pelayanan kesehatan. Peran petugas kesehatan adalah melakukan sosialisasi, memberikan petunjuk, melatih, membina, memfasilitasi, menumbuhkembangkan partisipasi, serta memantau dan mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat. Kemudian, peran fasilitator kesehatan adalah melakukan sosialisasi, pendampingan, motivator, mediator antara masyarakat dan pemerintah, memengaruhi pengambilan keputusan, dan menumbuhkembangkan partisipasi. sa siaga. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2012; 7 (4): 186-92. 3. Yoo S, Weed NE, Lempa ML, Mbondo M, Shada RE, Goodman RM. Collaborative community empowerment: an illustration of a six-step process. Health Promotion Practice. 2004; 5 (3): 256-65. 4. Rehn NS, Ovretveit J, Laamanen R, Suominen S, Sundell J, Brommels M. Determinants of health promotion action: comparative analysis of local voluntary associations in four municipalities in Finland. Health Promotion International. 2006; 21 (4): 274-83. 5. Sulaeman ES, Karsid R, Murti B, Kartono DT, Waryana, Hartanto R. Leadership, social capital, access to information and community empowerment to address health issues. International Journal of Scientific Research and Education (IJSRE). 2013; 1 (5): 90-107.| 6. Ashwell HES, Barclay L. A retrospective analysis of a community-based health program in Papua New Guinea. Health Promotion International. 2009; 24 (2): 140-8 7. Sulaeman ES, Karsid R, Murti B, Kartono DT, Waryana, Hartanto R. Model Pemberdayaan masyarakat dalam kemampuan mengidentifikasi masalah kesehatan: studi pada program desa siaga. Jurnal Kedokteran YARSI. 2012; 20 (3): 118 – 27. 8. Macinko J, Startfiiel B. The utility of social capital in research on health determinants. The Johns Hopkins Medical Institutions. 2001; 79 (3): Saran Berdasarkan temuan penelitian, disarankan untuk memperkuat peran kepemimpinan dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan, yaitu peran penyebarluasan informasi, pemberian contoh, penyadaran, pemberian motivasi, pembimbingan, penggerakkan sasaran dan masyarakat, fasilitasi dan pengalokasian sumber daya. Selain itu, memperkuat peran modal sosial, yaitu saling percaya, kekerabatan, pertetanggaan dan pertemanan norma sosial, kerja sama, tolong-menolong, serta adanya jaringan masyarakat. Memperkuat peran akses informasi kesehatan, yaitu peningkatan pengetahuan dan keterampilan kesehatan, pengambilan keputusan kesehatan, dan meminta pelayanan kesehatan. Memperkuat peran petugas kesehatan, yaitu melakukan sosialisasi, mem360 387-427. 9. Keleher H, Mac DC. Understanding health a determinants approach. 2nd Edition. Australia and New Zealand: Oxford University Press; 2009. 10. Fineberg H. Health literacy, Institute of Medicine. The National Academics Press; 2004 11. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pengembangan desa siaga. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 564/Menkes/VIII/2006. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2006. 12. Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung. Profil kesehatan Kabupaten Tulungagung. Tulungagung: Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung; 2012. 13. Adrian M. The community leadership and place-shaping roles of english local government synergy or tension? Public Policy and Administration. 2010; 25 (5): 175-87. 14. Ferguson KM, Kim MA, McCoy S. Enhancing empowerment and lead- Sulaeman, Murti, Waryana, Peran Kepemimpinan, Modal Sosial , Akses Informasi serta Petugas dan Fasilitator Kesehatan ership among homeless youth in agency and community settings: a [accessed grounded theory approach. Child Adolescence Social Worker Journal. http://is.muni.cz/el/1423/podzim2010/SPP815/um/15.rothman.pdf. 2011; 28 (4):1–22. 15. Pitts DW. Leadership, empowerment, and public organizations. Review of Public Personnel Administration. 2005; 25 (3): 5-17. 16. Lynch J, Due P, Muntaner C, Smith GD. Social capital - is it a good investment strategy for public health? Journal of Epidemiol Community Health. 2000; 54 (5): 404-8. 17. Nina W. Empowerment to reduce health disparities. Scandinavian Journal of Public Health. 2002; 30: 72-7. on Thursday March 2014]. A vailable from: 20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri RI. Keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia No.1529/Menkes/SK/X/2010. Pedoman umum pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010. 21. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jalan setapak menuju Indonesia sehat melalui pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2004 18. Lopez LH. Assering rural community empowerment what it takes to 22. Mardikanto T. Konsep-konsep pemberdayaan masyarakat acuan bagi think innovatively a doctoral research proposal. Journal of Centrum aparat birokrasi, akademisi, praktisi, dan peminat/pemerhati pember- Cathedra. 2009; 12 (4): 145-63. dayaan masyarakat. Cetakan ke-1. Surakarta: Kerjasama Fakultas 19. Rothman J, Tropman JE. Models of community organization and macro practice: their mixing and phasing in strategies of community organiza- Pertanian UNS dengan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press); 2010. tion [online]. 4th ed. FM. Cox et al. Eds: Itasca; Peacocok Publ: 1987 361 Artikel Penelitian Ketidaktepatan Sasaran Jaminan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Kriteria Miskin Pendataan Program Perlindungan Sosial Inaccuracy of Public Health Insurance Target Based on Poor Criteria of Data Collection for Social Protection Program Umi Lutfiah*, Ery Setiawan**, Sindu Setia Lucia* *Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, **Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abstrak Peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) hingga tahun 2010 mencapai 76,4 juta jiwa mencakup masyarakat miskin dan tidak mampu, sedangkan peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) mencapai 31,6 juta jiwa. Secara prinsip, program Jamkesda dibentuk untuk memfasilitasi masyarakat miskin dan kurang mampu di luar kuota Jamkesmas yang dibiayai oleh pemerintah daerah. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau ketepatan sasaran peserta program Jamkesmas berdasarkan kriteria miskin Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Sumber data yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rumah tangga di Indonesia tahun 2012. Sampel penelitian adalah rumah tangga terpilih dari masingmasing blok sensus. Analisis yang dilakukan adalah analisis univariat, bivariat hingga multivariat dengan regresi logistik. Masih terdapat 12,4% penduduk yang mendapatkan Jamkesmas, tetapi tidak miskin atau hampir miskin. Selain itu, masih terdapat 56,4% penduduk yang hampir miskin dan 41,1% penduduk miskin yang belum terjangkau pesertaan Jamkesmas. Layanan gratis merupakan faktor yang paling menentukan apakah penduduk dapat menjadi peserta Jamkesmas atau tidak. Mereka yang memiliki layanan kesehatan gratis berpeluang 5,462 kali mendapatkan layanan Jamkesmas dibandingkan mereka yang tidak memiliki layanan gratis. Perbaikan basis data, pengawasan, evaluasi serta sistem alokasi yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi ketidaktepatan sasaran. Penyesuaian data antara Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan daerah berguna dalam penanganan peserta yang belum terdata. Kata kunci: Jamkesmas, pendataan program perlindungan sosial, survei sosial ekonomi nasional, tinjauan kebijakan Abstract Participants of Public Health Insurance (Jamkesmas) up to 2010 reached 76.4 million including poor and disadvantaged people, meanwhile participants of Regional Health Insurance (Jamkesda) reached 31.6 million peo362 ple. In principle, Jamkesda program is made to facilitate the poor and disadvantaged people outside Jamkesmas quota funded by local government. This study aimed to review the accuracy of Jamkesmas participant target according to the poor criteria of Data Collection for Social Protection Program. Data source used was National Socio-Economic Survey 2012. Population of this study was all households in Indonesia within 2012. Sample of this study was households selected from each census block. Analysis conducted was univariate, bivariate, and multivariate with logictic regression. There were 12.4% people receiving Jamkesmas, but they were not poor or almost poor. Moreover, there were 56.4% the almost poor and 41.1% the poor not yet having access to Jamkesmas. Free service is the most determining factor whether people can be Jamkesmas participants or not. People having free health services had 5.462 times opportunity to get Jamkesmas service compared to people who did not. Database improvement, surveillance, evaluation as well as good allocation system are needed to reduce the inaccuracy of target. Adjustment of data between Health Ministry and local health agency is useful in handling uncovered participants. Keywords: Jamkesmas, data collection for social protection program, national socio-economic survey, policy review Pendahuluan Ketidaktepatan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) akan menyebabkan dampak penggunaan anggaran yang tidak efisien. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin dari tahun 2007 sampai 2010 berturut-turut adalah 37,1 juta, 34,96 juta, 32,53 juta, dan 31,023 juta jiwa. Jumlah Korespondensi: Umi Luthfiah, Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok 16424, No.Telp: -, e-mail: [email protected] Lutfiah, Setiawan, Lucia, Ketidaktepatan Sasaran Jamkesmas Berdasarkan Kriteria Miskin peserta Jamkesmas tahun 2007 sampai 2010 adalah 76,4 juta jiwa. Sedangkan alokasi anggaran tahun 2007 sampai 2010 meningkat dari 3,53 triliun, 4,7 triliun, 3,6 triliun, dan 5,5 triliun untuk tahun 2010.1 Sejak tahun 2012, penentuan pesertaan Jamkesmas menggunakan data survei BPS tahun 2011 oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).2,3 Data Kemenkes menunjukkan cakupan pesertaan Jamkesmas di Indonesia tahun 2010 adalah 53,7% dari penduduk yang telah memiliki jaminan kesehatan.4,5 Berdasarkan data BPS 2011, peserta Jamkesmas adalah masyarakat miskin dan tidak mampu di seluruh Indonesia yang berjumlah 76,4 juta jiwa, sedangkan jumlah penduduk miskin tahun 2010 sebanyak 31,023 juta jiwa. Jika masih terdapat masyarakat miskin yang belum terdata, maka mereka akan dimasukkan ke dalam Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).1 Jaminan kesehatan merupakan jaminan perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran, atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Tujuan dari program ini adalah melaksanakan penjaminan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu dengan menggunakan prinsip asuransi kesehatan sosial.2,6,7 Selain itu, program ini juga bertujuan untuk mencegah masyarakat yang hampir miskin untuk tidak jatuh miskin ketika sakit.8 Masyarakat yang berhak mendapatkan Jamkesmas adalah rumah tangga sangat miskin, rumah tangga miskin, dan rumah tangga hampir miskin.5 Jumlah penduduk dan rumah tangga miskin ditetapkan oleh BPS dengan menggunakan garis kemiskinan. Garis kemiskinan didapatkan dari survei modul konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang ditetapkan dalam rupiah per orang per bulan dan terdiri dari komoditas makanan dan komoditas nonmakanan. Komponen komoditas makanan akan digunakan untuk membentuk garis kemiskinan makanan (GKM) dan komoditas nonmakanan akan digunakan untuk membentuk garis kemiskinan nonmakanan (GKNM). Penduduk dengan nilai pengeluaran di bawah garis kemiskinan akan dikategorikan sebagai penduduk miskin.9 Terdapat dua jenis data kemiskinan, yaitu kemiskinan makro dan mikro. Kemiskinan makro bersumber dari Susenas dengan dasar GKM dan GKNM yang digunakan oleh BPS sebagai penentu jumlah penduduk dan rumah tangga miskin. Sedangkan data kemiskinan mikro menggunakan pendekatan nonmoneter bersumber dari Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) dan menyediakan data jumlah rumah tangga sasaran menurut nama dan alamat. Pendataan data kemiskinan mikro di- laksanakan dari unit terkecil, mulai dari rumah tangga, rukun warga, kelurahan, kecamatan sampai tingkat kabupaten.10 Jika pendataan jumlah penduduk dan rumah tangga miskin ini melebihi kuota Jamkesmas yang diberikan kepada pemerintah daerah, maka akan terdapat penduduk yang sebenarnya miskin tetapi tidak masuk cakupan Jamkesmas. Penggunaan data kriteria kemiskinan mikro mampu menyediakan informasi mengenai penduduk miskin sampai dengan nama, alamat penduduk miskin, dan dapat mencakup penduduk hampir miskin.9,11 Adapun 13 kriteria tersebut adalah mendapatkan beras murah, mendapatkan layanan kesehatan gratis, jenis atap terluar (berbahan dari beton/genteng/sirap/asbes/seng/ijuk), jenis dinding tempat tinggal (dari bambu/rumbia/kayu kualitas rendah/tembok tanpa diplester), jenis lantai terbuat dari kayu murah/bambu/tanah, luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari delapan meter persegi per orang, sumber air minum berasal dari sumur/mata air tak terlindungi/sungai/air hujan, tidak memiliki fasilitas buang air besar, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik, bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah, status kepemilikan bangunan terdiri dari milik sendiri atau milik bersama, tempat pembuangan tinja, dan kepemilikan aset. Suatu rumah tangga dikatakan sangat miskin jika memenuhi semua dari 13 indikator tersebut, dikatakan miskin jika memenuhi 11 - 13 indikator, dan dikatakan hampir miskin jika memenuhi 9 - 10 indikator. 11 Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti ingin melihat ketepatan penerima Jamkesmas berdasarkan kriteria kemiskinan mikro yang digunakan oleh BPS dalam data PPLS. Metode Penelitian menggunakan desain studi potong lintang dengan metode penarikan sampel tiga tahap berstrata. Tahap pertama adalah memilih wilayah cacah secara probability proportional to size (PPS). Wilayah cacah tersebut dialokasikan ke empat triwulan. Masing-masing triwulan terdapat 7.500 wilayah cacah. Tahap kedua dipilih dua blok sensus dan dialokasikan secara acak, satu untuk Susenas dan satu untuk Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Masih pada tahap kedua, dipilih lagi satu blok sensus pada setiap wilayah cacah secara PPS. Tahap terakhir adalah memilih sejumlah rumah tangga dari setiap blok sensus terpilih.12 Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rumah tangga di Indonesia pada tahun 2012. Sampel penelitian adalah rumah tangga terpilih dari masing-masing blok sensus dengan kriteria inklusi adalah mereka yang memiliki jaminan kesehatan dengan jumlah sampel sebesar 286.113 sampel. Penelitian ini menggunakan data Susenas tahun 2012 dengan teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner yang telah 363 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 dilaksanakan oleh BPS. Analisis data menggunakan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat digunakan untuk melihat proporsi masyarakat penerima Jamkesmas dan masyarakat miskin. Analisis bivariat untuk melihat karakteristik yang berhubungan dengan pesertaan Jamkesmas serta persentase masyarakat miskin yang telah tercakup program Jamkesmas. Analisis multivariat dengan regresi logistik dilakukan untuk melihat karakteristik yang paling memengaruhi dalam penentuan pesertaan Jamkesmas. Hasil Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat peserta Jamkesmas yang tidak berasal dari rumah tangga miskin dan hampir miskin. Hal ini terlihat dari persentase penduduk yang terdaftar sebagai peserta Jamkesmas lebih banyak dibandingkan dengan persentase penduduk Tabel 1. Gambaran Penerima Jamkesmas dan Jumlah Penduduk Miskin Variabel Kategori Jumlah % Kepesertaan jamkesmas Tidak Ya Tidak miskin Hampir miskin Miskin 218.080 68.033 253.294 27.557 5.262 76,2 23,8 88,5 9,6 1,8 Kategori penduduk miskin miskin dan hampir miskin. Selisih antara peserta Jamkesmas dengan penduduk miskin dan hampir miskin adalah 12,4%. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat 13 kriteria yang berhubungan dengan Jamkesmas. Dari 13 kriteria yang menentukan pesertaan Jamkesmas, terdapat satu kriteria yang tidak sesuai dengan aturan yang ada, yaitu status kepemilikan bangunan dengan OR = 0,625, artinya penduduk yang memiliki rumah sendiri memiliki peluang mendapatkan Jamkesmas 1,6 kali dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki rumah sendiri. Selain itu, dekat prinsip memberi bantuan pada peserta Jamkesmas, masih ditemukan bahwa mereka yang tidak memiliki Jamkesmas tetapi mendapatkan fasilitas, di antaranya penduduk yang mendapatkan beras murah (63,1%), penduduk yang mendapatkan layanan gratis (45%), penduduk dengan atap rumah sirap/asbes/seng/ ijuk (73,7%), penduduk dengan jenis dinding kayu/bambu tidak memiliki Jamkesmas (67,6%), penduduk dengan jenis lantai kayu/tanah/semen (69,8%), dengan luas lantai rumah per orang kurang dari delapan meter persegi (78%), tidak memiliki sumber air minum tersendiri (69,4%), penduduk yang tidak memiliki tempat buang air besar (66,6%), penduduk yang tidak memiliki listrik (60,8%), penduduk yang memasak dengan ba- Tabel 2. Kriteria Penerima Jamkesmas Kepesertaan Jamkesmas Kriteria Beras murah Layanan kesehatan gratis Jenis atap terluas Jenis dinding Jenis lantai Luas lantai per orang Sumber air minum Tempat buang air besar Sumber penerangan Jenis bahan bakar memasak Status kepemilikan bangunan Tempat pembuangan tinja Kepemilikan aset Status kemiskinan 364 Kategori Penduduk tidak mendapatkan Penduduk mendapatkan Penduduk tidak mendapatkan Mendapatkan Beton, genteng Sirap, asbes, seng, ijuk, dll. Tembok Kayu, bambu, lainnya Tegel, teraso, marmer, keramik Kayu, tanah, semen, lainnya < 8 m2 > 8 m2 Terlindungi Tidak terlindungi Sendiri Bersama, umum, tidak ada Listrik Nonlistrik Listrik , gas Minyak, arang, briket, kayu Milik sendiri Milik bersama Tangki/SPAL Kolam, sawah, sungai, danau, tanah, pantai, tanah lapang 2 item ≤ 2 item Tidak miskin Hampir miskin Miskin Tidak % Ya % 129.814 88.266 191.992 26.088 93.555 124.525 138.144 79.936 89.089 128.991 188.111 29.969 177.136 40.944 153.421 64.659 202.917 15,163 102.986 115.094 203.398 14.682 140.442 77.638 88,8 63,1 84,1 45,0 79,8 73,7 82,3 67,6 88,0 69,8 78,0 66,7 78,0 69,4 81,1 66,6 77,7 60,8 84,5 70,1 75,7 83,9 81,9 67,8 16.402 51.631 36.171 31.862 23.691 44.342 29.742 38.291 12.168 55.865 53.038 14.995 49,944 18,089 35,638 31,395 58,267 9,766 18.860 49.173 65.208 2.825 31.129 36.904 11,2 36,9 15,9 55,0 20,2 26,3 17,7 32,4 12,0 30,2 22,0 33,3 22,0 30,6 18,9 33,4 22,3 39,2 15,5 29,9 24,3 16,1 18,1 32,2 109.824 108.256 200.383 15.533 2.164 86,0 68,3 79,1 56,4 41,1 17.814 50.219 52.911 12.024 3.098 14,0 31,7 20,9 43,6 58,9 Nilai p OR 0,001 4,630 0,001 6,483 0,001 1,406 0,001 2,225 0,001 3,171 0,001 1,775 0,001 1,567 0,001 2.157 0,001 2,243 0,001 2,333 0,001 0,625 0,001 2,145 0,001 2,860 0,001 2,857 5,128 Lutfiah, Setiawan, Lucia, Ketidaktepatan Sasaran Jamkesmas Berdasarkan Kriteria Miskin Tabel 3. Analisis Regresi Logistik Jenis Kriteria Jamkesmas Variabel Jenis lantai Jenis dinding Jenis atap Sumber air minum Sumber penerangan Bahan bakar memasak Tempat buang air besar Tempat pembuangan tinja Kepemilikan asset Subsidi beras murah Layanan kesehatan gratis Luas lantai per orang B 0,484 0,162 0,062 -0,083 0,097 0,199 0,145 0,094 0,376 1,159 1,698 0,110 Nilai p OR 95% CI 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 1,622 1,176 1,064 0,920 1,102 1,220 1,156 1,099 1,456 3,187 5,462 1,117 1,578 - 1,668 1,148 - 1,203 1,040 - 1,090 0,897 - 0,943 1,065 - 1,140 1,190 - 1,250 1,130 - 1,183 1,073 - 1,125 1,422 - 1,492 3,117 - 3,258 5,347 - 5,580 1,088 - 1,146 han bakar tradisional (70,1%), yang tidak memiliki rumah sendiri (83,9%), yang tidak memiliki saluran pembuangan air limbah (67,8%), dan penduduk yang hanya memiliki kurang atau sama dengan dua aset (68,3%). Selain itu, terdapat 58,9% penduduk miskin dan 43,6% penduduk hampir miskin yang telah mendapatkan Jamkesmas. Akan tetapi, masih terdapat 20,9% penduduk tidak miskin yang mendapatkan Jamkesmas, sedangkan 41,1% penduduk miskin dan 56,4% penduduk hampir miskin belum mendapatkan Jamkesmas. Hal ini menunjukkan adanya ketidaktepatan sasaran peserta Jamkesmas. Tabel 3 menunjukkan bahwa kriteria konsekuensi yang paling menentukan seseorang akan mendapatkan Jamkesmas adalah status layanan kesehatan gratis. Demikian pula mereka yang mendapatkan beras murah berpeluang 3,258 kali mendapatkan Jamkesmas dari yang tidak mendapatkan subsidi beras murah. Mereka yang mendapatkan layanan gratis akan berpeluang 5,462 kali untuk mendapatkan pesertaan Jamkesmas dibandingkan dengan mereka yang tidak mendapatkan layanan gratis. Penduduk yang memiliki jenis lantai kayu, tanah, dan semen memiliki peluang 1,668 kali untuk mendapatkan pesertaan Jamkesmas dibandingkan dengan mereka yang memiliki jenis lantai tegel, teraso, marmer, keramik, dan granit. Sementara mereka yang memiliki jenis dinding kayu dan bambu memiliki peluang 1,203 kali untuk mendapatkan Jamkesmas jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki dinding rumah berupa tembok. Faktor sumber air minum merupakan variabel yang memberikan efek negatif. Artinya, justru mereka yang tidak memiliki sumber air minum terlindungi lebih sedikit yang menerima Jamkesmas dibandingkan dengan mereka yang memiliki sumber air minum terlindungi. Penduduk dengan sumber air terlindungi (air kemasan bermerek, air isi ulang, air leding, sumur bor/pompa, sumur terlindungi, mata air terlindungi) justru memiliki peluang 1,11 kali lebih besar untuk mendapatkan peser- taan Jamkesmas dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki sumber air minum terlindungi (sumur tidak terlindungi, mata air tidak terlindungi, air sungai, air hujan, lainnya). Penduduk dengan sumber penerangan nonlistrik memiliki peluang 1,14 kali untuk mendapatkan Jamkesmas. Mereka dengan bahan bakar tradisional memiliki peluang 1,25 kali, sedangkan mereka yang tidak memiliki tempat buang air besar berpeluang 1,18 kali untuk mendapatkan Jamkesmas. Mereka dengan tempat saluran pembuangan air limbah berpeluang 1,12 kali untuk mendapatkan Jamkesmas. Kepemilikan dua aset atau kurang akan memengaruhi peluang untuk mendapatkan Jamkesmas 1,49 kali. Sementara itu, status layanan gratis merupakan faktor paling dominan dalam menentukan pesertaan Jamkesmas. Mereka yang mendapatkan layanan gratis memiliki peluang 5,58 kali untuk mendapatkan program Jamkesmas. Sementara mereka dengan luas lantai rumah per orang kurang dari delapan meter persegi akan memiliki peluang 1,12 kali untuk mendapatkan pesertaan Jamkesmas. Pembahasan Penduduk Indonesia yang berhak ikut dalam program Jamkesmas adalah masyarakat miskin, tidak mampu, gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar, masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas, dan semua peserta Program Keluarga Harapan (PKH) yang telah memiliki atau belum memiliki kartu Jamkesmas. Bahkan pada tahun 2010 dan tahun 2011, cakupan peserta diperluas dengan dimasukkannya penghuni panti sosial, penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara, korban bencana, ibu hamil yang tidak memiliki jaminan kesehatan serta penderita penyakit talasemia. Sejak tahun 2007 - 2012, Kemenkes telah memberikan kuota peserta sebesar 76,4 juta jiwa.13-16 Masfiah et al, 17 menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang memiliki jaminan kesehatan pada tahun 2007 hanya 40,32% dan yang tercakup oleh Jamkesmas sejumlah 39,47%. Kemudian, pada tahun 2010, pemerintah melalui Kemenkes melaporkan bahwa terdapat peningkatan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan sebesar 60,24%.18 Berbanding terbalik dengan laporan The World Bank yang menyatakan bahwa masih terdapat 60% penduduk Indonesia yang belum memiliki jaminan kesehatan, termasuk mereka yang bekerja di sektor informal.19 Faktanya, masih terdapat perbedaan proporsi antara mereka yang miskin, hampir miskin, dan tidak miskin dalam mendapatkan pesertaan Jamkesmas. Dengan kata lain, terjadi ketidaktepatan sasaran peserta program Jamkesmas. Ketidaktepatan sasaran tersebut ditandai dengan adanya pihak yang tidak berhak menjadi peserta, namun mendapatkan program Jamkesmas atau belum 365 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 seluruh penduduk miskin dan hampir miskin dapat tercatat dalam daftar target Jamkesmas. Idris,20 juga menemukan adanya ketidaktepatan sasaran, sebanyak 23,39% orang yang berobat ke fasilitas kesehatan sebagai peserta Jamkesmas berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas. Selain itu, adanya tumpang tindih keuntungan dari program serupa yang dikelola oleh pemerintah daerah, atau Jamkesda, yang disebabkan ketidakpercayaan terhadap data kemiskinan nasional dan perbedaan cakupan peserta.1 Ketidaktepatan sasaran program Jamkesmas juga sejalan dengan penemuan Indonesia Corruption Watch (ICW) di awal tahun 2009 yang menemukan bahwa terdapat enam permasalahan dalam program Jamkesmas. Keenam permasalahan tersebut adalah data peserta yang belum akurat, sosialisasi yang belum optimal, adanya pungutan untuk mendapatkan kartu, adanya peserta yang tidak menggunakan kartu ketika berobat, adanya pasien Jamkesmas yang tetap mengeluarkan biaya, dan masih buruknya kualitas pelayanan pasien Jamkesmas. Dua dari enam permasalahan Jamkesmas tersebut dapat menyebabkan ketidaktepatan sasaran program, yaitu permasalahan data yang tidak akurat serta pungutan liar untuk mendapatkan kartu peserta Jamkesmas.20 Selain itu, permasalahan penentuan kriteria miskin oleh pihak daerah, khususnya pihak pemerintah desa merasa kesulitan dalam menentukan pesertaan berdasarkan banyak kriteria yang ada. Menurut mereka, kriteria miskin yang ada tersebut sangat sulit dijadikan pedoman dalam menentukan warga yang berhak mendapatkan Jamkesmas. Hal ini dikarenakan cukup banyak warga yang terlihat mampu, namun sebenarnya sangat membutuhkan bantuan kesehatan, atau Jamkesmas, seperti warga yang memiliki penyakit kronis. Selain itu, dalam penelitian Antono,21 di Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, juga ditemukan beberapa perangkat desa yang mengusulkan diri mereka sendiri untuk mendapatkan Jamkesmas. Sama halnya kejadian di Kabupaten Bantul, pemilihan peserta Jamkesmas berdasarkan kedekatan personal dengan aparatur desa dikarenakan petugas tidak turun ke lapangan untuk mendata, melainkan menanyai perangkat desa.22 Hal ini jelas akan menyebabkan ketidaktepatan sasaran program. Selama ini, basis data peserta Jamkesmas tingkat nasional dari tahun 2008 sampai 2011 masih mengacu pada data makro BPS tahun 2005 dan pada tingkat daerah ditetapkan menurut nama dan alamat oleh surat keputusan walikota/bupati. Dengan demikian, data yang digunakan mengalami perubahan di lapangan, seperti banyaknya kelahiran baru, kematian, perpindahan tempat tinggal, perubahan tingkat sosial ekonomi, dan masih terdapat penyalahgunaan surat rekomendasi dari institusi yang berwenang, penyalahgunaan kartu oleh yang tidak berhak, dan masih adanya peserta yang masih sulit 366 mendapatkan surat keabsahan peserta bagi bayi baru lahir dari peserta Jamkesmas. Hal ini disebabkan masih belum adanya persamaan persepsi antara verifikator (Kementerian Sosial) dengan petugas di lapangan dan fasilitas kesehatan serta hanya sebagian kecil daerah yang memberikan umpan balik dalam hal pelaporan.13-16 Adanya perbedaan kriteria penduduk miskin di masing-masing daerah yang dapat memicu subjektivitas dalam penetapan sasaran, misalnya di daerah Kabupaten Bantul penentuan kriteria warga miskin berdasarkan Peraturan Bupati No. 27A/2007, sedangkan di daerah Sumenep penentuan kriteria miskin berasal dari data BPS pusat.1,22,23 The World Bank dalam laporannya menyebutkan bahwa jumlah penerima Jamkesmas selalu lebih besar dari jumlah warga miskin. Hal ini disebabkan karena sistem alokasi yang ada, serta tidak diperbaharuinya data penduduk miskin secara berkala.19 Hal senada juga ditemukan dalam penelitian Budiarto,24 bahwa masih terdapat peserta Jamkesmas yang bukan berasal dari penduduk miskin. Sebagian keuntungan dari jaminan kesehatan yang seharusnya untuk penduduk miskin, namun dinikmati oleh penduduk menengah ke atas. Ketidaktepatan sasaran ini dapat mengakibatkan kesenjangan sosial yang semakin tinggi. Pada saat kondisi penduduk hampir miskin, kemudian sakit dan tidak mendapatkan haknya sebagai peserta Jamkesmas, maka penduduk hampir miskin tersebut dengan terpaksa harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar tagihan berobat yang dapat menyebabkan penduduk tersebut menjadi jatuh miskin. Padahal program Jamkesmas ditujukan khusus bagi rumah tangga sangat miskin, miskin, dan hampir miskin untuk mencapai akses pelayanan kesehatan dan untuk menurunkan biaya pengobatan yang dikeluarkan secara mandiri (out of pocket).25 Di sisi lain, meskipun terdapat peningkatan anggaran pemerintah pusat dari tahun 2007 hingga tahun 2012 untuk membiayai program Jamkesmas, namun akan menimbulkan ketidakefisienan karena kebocoran anggaran untuk membiayai yang bukan sasaran peserta Jamkesmas.16 Secara tidak langsung, ketidaktepatan target program Jamkesmas akan berdampak pada alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana yang digunakan untuk membiayai program Jamkesda pada umumnya berasal dari APBD yang berfungsi untuk menjamin peserta daerah yang tidak tercakup Jamkesmas.26 Jika masalah pesertaan tidak segera ditanggulangi, maka akan berdampak bagi keberlanjutan program jaminan kesehatan berikutnya dan menjadi hambatan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau memberlakukan kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) 2014. Penerima bantuan iuran (PBI) dalam program JKN merupakan fakir miskin dan orang tidak mampu sehingga basis data Lutfiah, Setiawan, Lucia, Ketidaktepatan Sasaran Jamkesmas Berdasarkan Kriteria Miskin yang digunakan adalah basis data peserta Jamkesmas yang telah diperbarui. 6,13,22 Implementasi kebijakan yang efektif sangat ditentukan oleh komunikasi antara para pelaksanaan kebijakan secara akurat dan konsisten. Selain itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil. Program Jamkesmas sendiri merupakan kerja sama dari pelbagai pihak, antara lain pihak kecamatan/kelurahan selaku penyelenggara administrasi, pihak dinas kesehatan selaku penanggung biaya, dan pihak rumah sakit/puskesmas selaku penyedia layanan kesehatan. Artinya, program tersebut akan berjalan dengan maksimal jika pihak-pihak terkait saling berkoordinasi dengan baik.27 Penduduk yang mendapat layanan gratis berpeluang lebih besar untuk mendapatkan Jamkesmas. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnata,28 bahwa pada tahun 2013 didapatkan masyarakat kurang mampu dan tidak mampu yang datang ke layanan kesehatan tetapi belum masuk ke dalam basis data penerima Jamkesmas, maka akan dilakukan upaya tindak lanjut berupa pendataan untuk selanjutnya akan diberikan surat keterangan atau surat rekomendasi untuk dapat mendapatkan layanan kesehatan secara gratis.28 Layanan gratis dapat diartikan mendapatkan layanan kesehatan gratis yang berasal dari program pemerintah lainnya, misalnya layanan kesehatan gratis daerah, pelayanan Keluarga Berencana gratis, atau Program Keluarga Harapan.6 Sebelumnya, peserta yang telah memiliki jaminan kesehatan yang lain ternyata turut serta dalam daftar peserta Jamkesmas. Keadaan ini dapat memicu keuntungan ganda yang tentu saja hal ini tidak sesuai dengan tujuan awal dari program Jamkesmas yang sasarannya merupakan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan atau yang tidak mampu mengakses layanan kesehatan.29,30 Hasil tinjauan kriteria pesertaan Jamkesmas, sebenarnya kriteria pertama dan kedua dari 13 kriteria cocok untuk menjadi kriteria konsekuensi atau dampak ungkit setelah menjadi peserta Jamkesmas. Kriteria yang masih relevan dan akurat dalam menetapkan mereka miskin dan mendapatkan kepesertaan Jamkesmas adalah kriteria sisanya. Kriteria pesertaan Jamkesmas seharusnya merupakan nilai kumulatif dari 11 kriteria sisa, tidak diperkenankan parsial per kriteria sehingga tepat sasaran. Hasil ke salah sasaran dikarenakan kriteria diberlakukan secara parsial. patkan Jamkesmas tidak sepenuhnya penduduk miskin. Dengan kata lain, Jamkesmas masih belum tepat sasaran serta kriteria konsekuensi atau dampak Jamkesmas, seperti hak mendapatkan beras murah dan layanan gratis sebaiknya tidak dimasukkan sebagai kriteria pesertaan Jamkesmas. Saran Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan tepat sasaran program Jamkesmas adalah menghindari salah sasaran, antara lain dengan sistem alokasi dan basis data penduduk miskin harus valid dan pengecekan ulang sangat diperlukan, penyesuaian data antara Kemenkes dan dinas kesehatan daerah dalam penanganan peserta yang belum terdata sebagai peserta, memperbarui basis data peserta Jamkesmas yang dilakukan secara berkala untuk meminimalkan adanya ketidaktepatan sasaran, misalnya terdapat peserta yang telah meninggal dunia, pindah, atau status ekonominya telah meningkat serta melakukan pengawasan dan evaluasi program pada saat menetapkan peserta dan pembagian kartu peserta yang penting sebagai upaya mengawal dan mengevaluasi program Jamkesmas agar dapat dijadikan pembelajaran ke depan, terutama untuk program jaminan kesehatan lainnya. Daftar Pustaka 1. IBP Indonesia Core Team. Jamkesmas dan program jaminan kesehatan daerah: laporan pengkajian di 8 kabupaten/kota dan 2 provinsi tahun 2012. Bandung: BP Indonesia Core Team; 2012. 2. Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada [ Internet]. Yogyakarta: masih ada 20 juta orang miskin yang terabaikan Jamkesmas. 2012 [diakses tanggal 11 Januari 2015]. Diunduh dalam: http://www.kpmakugm.org/news/bpjs-update/123-masih-ada-20-juta-orang-miskin-yangterabaikan-jamkesmas.html. 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. Data base terpadu sasaran jamkesmas dari TNP2K; 2012 [diakses tanggal 11 Januari 2015]. Diunduh dalam: http://www.depkes.go.id/article/print/1930/data-base-terpadu-sasaran-jamkesmas-dari-tnp2k.html. 4. Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia [ Internet]. Layanan jamkesmas mencakup gelandangan; 2010 [diakses tanggal 5 Januari 2015. Diunduh dalam: http://www.ppjk.depkes .go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=244:layananjamkesmas-mencakup-gelandangan&catid=55:beritapusat&Itemid =101. 5. Badan Pusat Statistik dan Kementerian Sosial Republik Indonesia. Analisis data kemiskinan berdasarkan data pendataan program perlindungan sosial (PPLS) tahun 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Sosial Republik Indonesia; 2012. Kesimpulan Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini antara lain penduduk miskin belum secara keseluruhan dijangkau Jamkesmas. Penduduk yang menda- 6. Prana MM. Kualitas pelayanan kesehatan penerima jamkesmas di RSUD Ibnu Sina Gresik. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik. 2013; 1 (1): 173-85. 7. Simmonds A, Hort K. Institutional analysis of Indonesia’s proposed road 367 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 map to universal health coverage. Nossal Institute of Global Health, AusAID(Australia): University of Melbourne; 2013. sal-health-care-in-indonesia. 8. The World Bank. Indonesia helath sector review: does jamkesmas pro- 20. Idris H. The impact of subsidised social health insurance for the poor on the health care utilization. Proceeding 2nd Indonesian Health Economics tect the population from health expenditure shocks? Washington DC Association (InaHEA) Congress 2014 & 2015. Jakarta, 7 April 2015. (Amerika): the World Bank; 2011. Jakarta: CHEPS; 2015 9. Asra A. Poverty and inequality in Indonesia: estimates, decomposition, 21. Antono A. Orientasi pelayanan publik melalui pendekatan new public and key issues. Journal of Asia pacific Economy. 2000; 5 (1/2): 91-111. service untuk mengatasi problem kesehatan pada program Jamkesmas di 10. Badan Pusat Statistik. Profil dan analisis kemiskinan nasional 2013. Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas. Jurnal Pembangunan Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2013. Pedesaan. 2011: 11 (1): 7-16. 11. Badan Pusat Statistik [Internet]. Jakarta: berita resmi statistik No.47/IX; 22. Adhiyana M. Implementasi program Jaminan Kesehatan Masyarakat 2006 [diakses tanggal 1 Februari 2015]. Diunduh dalam: (Jamkesmas) di Kabupaten Bantul. Natapraja-Jurnal Kajian Ilmu http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01sep06.pdf. Administrasi Negara. 2013; 1 (1): 1-17. 12. Badan Pusat Statistik. Jakarta: sampling procedure. 2013 [diakses tang- 23. Ulfiah U, Khoiriah S, Fuadi K, Maulana M, Muslih F, Adji HW, et al. gal November 2014]. Diunduh dalam: http://catalog.ihsn.org/ Audit sosial: studi kepesertaan Jamkesmas dan Jamkesda. Mundiharno, index.php/catalog/3030/sampling. ed. Cetakan ke-1. Jakarta: PP Lakpesdam Nu; 2013. 13. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman jaminan kese- 24. Budiarto W, Ristini. Komparasi implementasi program jamkesmas dan hatan masyarakat (Jamkesmas). Jakarta: Kementerian Kesehatan jamkesda di tiga kab/kota di jawa timur. Buletin Penelitian Sistem Republik Indonesia; 2008. Kesehatan. 2013; 16 (2): 194-202 14. Juliastutik. Model pelayanan kesehatan masyarakat miskin perkotaan 25. Aji B, Allegri M, Souares A, Saueborn R. The Impact of health insurance berbasis altruis di kota malang. Jurnal Kualitatif Humanity. 2011; 7 (1): programs on out-of-pocket expenditures in Indonesia: an increase or a 28-43. decrease? International Journal of Environmental Research and Public 15. Prianto B, Supriyono B, Soeaidy MS, Saleh C. Decentralization in the Health. 2013 Jul; 10 (7): 2995–3013. provision of health care services: study on the provinsion of regional 26. Sunarto. Sistem pembiayaan dan skema jaminan kesehatan daerah Kota health insurance (Jamkesda) in malang regency east java province. Yogyakarta. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011; 5 Journal Public Policy and Administration Research. 2014; 4 (10): 57-71. (6): 275-82. 16. Sedjati HW. Community health policy guarantee implementation banyu- 27. Dewi FEP. Implementasi peraturan menteri kesehatan republik indone- mas regency central java province of indonesia. Journal of Basic and sia nomor 40 tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan jaminan kese- Applied Scientific Research. 2013: 3 (12): 218-24. hatan masyarakat di UPT puskesmas perawatan tanjung palas kabupat- 17. Masfiah S. Health insurance coverage and benefit across different income population:experience of health insurance scheme before universal coverage program in Indonesia. Proceeding 1st and 2st Indonesian Health Economics Association (InaHEA) 2014. Congress 2014 & 2015. Hotel Intercontinental. Jakarta, 7 April 2015. Jakarta: CHEPS; 2015. 18. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Analisis data laporan Jamkesmas 2010. Buletin Jendela Data dan Informasi. 2011; 4: 1-31. en bulungan. Journal Administrasi Negara. 2013; 1 (2): 816-30. 28. Purnata EA. Faktor-faktor yang mempengaruhi program jaminan kesehatan masyarakat di kelurahan Sungai Jawi Dalam. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. 2013: 2 (2). 29. Utomo B, Sucahya PK, Utami FR. Priorities and realities: addresing the rich poor gaps in health status and service access in Indonesia. International Journal for Equity in Health. 2011; 10: 47. 19. The World Bank [home page on the Internet]. Key Lessons Learned 30. Lestari TP. Implementasi program asuransi masyarakat miskin di Nusa from Jamkesmas to Achieve Universal Health Care in Indonesia. 2014 [ Tenggara Timur. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2009; cited 2015 January 10]. Available from http://www.worldbank.org/ 3 (6): 1-6. en/news/feature/2014/01/30/improving-jamkesmas-to-achieve-univer- 368 Efektivitas Ovitrap Bambu terhadap Jumlah Jentik Aedes sp yang Terperangkap Effectivity of Bamboo Ovitrap to The Number of Trapped Aedes sp Larvae W!"#$ Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Aceh Abstrak Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Banda Aceh. Banda Aceh merupakan daerah endemik DBD dengan meningkatnya angka kejadian dan case fatality rate setiap tahun. Insiden tertinggi DBD berada di Kecamatan Baiturrahman dengan angka kejadian 120 per 100.000 penduduk dan tertinggi kedua adalah Kecamatan Jaya Baru dengan angka kejadian 84 per 100.000 penduduk. Keberadaan larva Aedes sp di masyarakat merupakan salah satu indikator populasi nyamuk Aedes aegypti di daerah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah jentik nyamuk Aedes sp yang terperangkap pada masing-masing wadah ovitrap (tempurung kelapa, gelas plastik, dan potongan bambu) serta tingkat kepadatan jentik nyamuk Aedes sp sebelum dan setelah pemasangan wadah ovitrap. Jenis penelitian adalah explanatory study dengan desain eksperimental quasi. Teknik pengambilan sampel adalah proportional sampling. Populasi unit penelitian adalah 30 rumah. Ovitrap diletakkan merata pada 30 titik lokasi dari 10 kelurahan secara acak. Data jumlah jentik nyamuk Aedes yang terperangkap diambil empat kali secara berulang dengan selang waktu satu minggu. Analisis dengan rerata jumlah jentik di dalam ovitrap dan indeks ovitrap. Hasil jumlah jentik Aedes aegypti yang terperangkap sebanyak 1.265. Ovitrap yang paling efektif, yaitu potongan bambu rerata = 123, nilai p = 0,006, HI = 10,01% (16,66 – 26,67%), CI = 36,8% (336,06 – 39,74%), BI = 29,97% (73,33 103,3%). Otoritas kesehatan harus mempromosikan ovitrap bambu kepada masyarakat sebagai upaya pengendalian Aedes sp. Kata kunci: Demam berdarah dengue, jentik Aedes sp, ovitrap bambu Abstract Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a public health problem in Banda Aceh. Banda Aceh is a DHF endemic city by increasing incidence rate (IR) and case fatality rate every year. The highest DHF incidence was in Baiturrahman District (IR = 120 per 100,000 people) and Jaya Baru District (IR = 84 per 100,000 people). Aedes sp larvae existence among people is one of Aedes aegypti population indicators in such region. This study aimed to find out numbers of Aedes sp trapped in each ovitrap (coconut shell, plastic cup, and piece of bamboo) and Aedes sp density level before and after ovitrap installation. This study was explanatory study using quasi-experimental design. The sampling technique was proportional sampling. Population of study was 30 houses. Ovitraps were randomly located in 30 places of 10 subdistricts. Data of trapped Aedes sp larvae numbers was collected four times repeatedly within one week time-lapse. Analysis was conducted using the mean number of larvae in ovitraps and ovitrap index. The number of Aedes sp larvae trapped was 1,265. The most effective ovitrap is piece of bamboo, mean = 123, p value = 0.006, HI = 10.01% (16.66 26.67%), CI = 36.8% (336.06 - 39.74%), BI = 29.97% (73.33 - 103.3%). Health authorities should promote bamboo ovitrap, especially to public as an act to control Aedes sp. Keywords: Dengue hemorrhagic fever, Aedes sp larvae, bamboo ovitrap Pendahuluan Di Indonesia, sejak Januari - Oktober 2009 demam berdarah dengue (DBD) telah menelan 1.013 korban jiwa dari total penderita sebanyak 121.423 orang dengan case fatality rate (CFR) = 0,83. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan periode tahun 2008, CFR sebesar 0,81. Dari kasus yang dilaporkan selama tahun 2009, tercatat 10 provinsi yang menunjukkan kasus terbanyak, salah satunya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.1 Jumlah kasus DBD di Kota Banda Aceh sejak tahun 2009 adalah 313 orang (CFR = 1,2%), tahun 2011 berjumlah 382 orang (CFR = 0,04%), dan tahun 2010 meningkat Korespondensi: Wiwit Aditama, Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Aceh, Jl. Soekarno-Hatta Kampus Terpadu Aceh Besar 23352, No.Telp: 0651-46123, email:[email protected] 369 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 menjadi 759 orang. Keberadaan jentik Aedes aegypti suatu daerah merupakan indikator terdapatnya populasi nyamuk Aedes aegypti di daerah tersebut. Penanggulangan penyakit DBD mengalami masalah yang cukup kompleks karena penyakit ini belum ditemukan obatnya. Akan tetapi, cara paling baik untuk mencegah penyakit ini adalah dengan pemberantasan jentik nyamuk penularnya atau dikenal dengan istilah pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN - DBD).2 Keberadaan tempat penampungan air, baik yang berada di dalam rumah maupun di luar rumah, sangat memungkinkan sebagai tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti. Pada penelitian terdahulu, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara keberadaan kontainer dengan kejadian penyakit DBD. Daerah yang memiliki keberadaan kontainer yang tinggi memiliki risiko terjadinya kasus DBD lebih besar dibandingkan dengan daerah yang keberadaan kontainer rendah.3 Penanggulangan nyamuk dengan pemberantasan terhadap jentik dengan implementasi program menutup, menguras, menimbun (3M Plus). Plus yang dimaksud adalah menaburkan abate ataupun sumilarv (bahan penghambat pertumbuhan larva), memelihara ikan pemakan jentik, memakai repelen (misalnya losion anti nyamuk), juga terdapat perangkap telur nyamuk (ovitrap) yang ditempatkan di dalam dan di luar rumah.4 Salah satu metode pengendalian Aedes tanpa insektisida yang berhasil menurunkan densitas vektor di beberapa negara adalah penggunaan ovitrap. Alat ini dikembangkan pertama kali oleh Fay dan Eliason pada tahun 1966, kemudian digunakan oleh Central for Diseases Control and Prevention (CDC) dalam surveilans Aedes aegypti.5 Ovitrap standar berupa tabung gelas plastik (350 mililiter), tinggi 91 milimeter dan diameter 75 milimeter dicat hitam bagian luarnya, diisi air tiga per empat bagian dan diberi lapisan kertas, bilah kayu, atau bambu sebagai tempat bertelur, serta menggunakan atraktan air rendaman jerami 10% dan membuktikan jumlah telur terperangkap delapan kali lipat dibanding ovitrap standar.6 Indeks ovitrap tempurung kelapa mencapai 57%, atau 1,8 kali lebih banyak dibandingkan dengan indeks ovitrap gelas kaca (32%).7 Akan tetapi, belum terdapat penelitian yang membandingan antara tiga wadah berbeda dalam menangkap jentik nyamuk Aedes aegypti, khususnya di Kota Banda Aceh. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jumlah jentik nyamuk Aedes sp yang terperangkap pada masingmasing wadah ovitrap (tempurung kelapa, gelas plastik, dan potongan bambu), juga untuk mengetahui perbedaan kepadatan jentik nyamuk Aedes sp sebelum dan setelah pemasangan wadah ovitrap. Metode Jenis penelitian adalah penelitian explanatory dengan 370 menggunakan metode desain eksperimental quasi. Penelitian dilakukan pada bulan November 2013 bertempat di Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Teknik pengambilan sampel adalah proportional sampling. Unit penelitian adalah sekelompok rumah/bangunan Desa Ateuk Pahlawan yang berada di kawasan Kecamatan Baiturrahman sejumlah 30 rumah dan bangunan rumah di dua lingkungan (unit perlakuan dan sebagai kontrol) berjarak > 50 meter. Hal ini dengan ketentuan dari 103 rumah, hanya 30 rumah yang layak dengan dasar atau alasan bukan ruko yang di pinggir jalan raya, rumah yang terdapat halaman, hitungan lingkungan bukan rumah yang berbentuk perumahan kopel yang bersambung-sambung. Lokasi ini ditentukan dengan kriteria di antaranya salah satu wilayah kecamatan endemis tinggi DBD sebagai bukti adanya aktivitas nyamuk Aedes dan karakteristik wilayah (keadaan pemukiman, vegetasi, dan topografi) yang setara. Subjek penelitian adalah jentik nyamuk Aedes (Aedes aegypti dan Aedes albopictus) di lokasi penelitian. Populasi subjek tidak dapat diketahui kepadatan atau densitasnya secara pasti. Variabel penelitian adalah wadah ovitrap (tempurung kelapa, gelas plastik, dan potongan bambu) untuk mengetahui perbedaan kepadatan jentik nyamuk Aedes sp sebelum dan setelah pemasangan wadah ovitrap. Pengumpulan data indeks Aedes yang terperangkap diambil empat kali ulangan dengan selang waktu satu minggu. Data lain yang dikumpulkan secara kualitatif adalah adalah gambaran lokasi penelitian yang mencakup kerapatan rumah, jarak antar rumah, dan sistem penyediaan air bersih. Data ini diamati secara umum sebagai informasi tambahan. Ovitrap dibuat dari tempurung kelapa, bambu, dan gelas plastik, lalu bagian tengahnya dibuang sehingga membentuk cincin dengan tebal satu centimeter dan diberi kain kasa nilon dipotong membentuk lingkaran seluas lingkaran gabus. Cincin gabus diletakkan tepat ditengah lingkaran kain kasa, lalu dibalik dan bagian atasnya direkatkan sebuah cincin gabus lain. Pengukuran indeks Aedes ditempatkan enam pasang ovitrap dengan wadah berbeda, dan menghitung jentik pada ovitrap tiap minggu selama dua kali seminggu dalam satu bulan. Sebelum dan setelah pemasangan ovitrap, dihitung jentik pada tempat-tempat perindukan nyamuk Aedes di lingkungan rumah. Untuk mengevaluasi banyaknya jentik di wilayah penelitian, dihitung rerata jumlah jentik di dalam ovitrap (jumlah total jentik di ovitrap dibagi jumlah total ovitrap) dan ovitrap indeks (jumlah ovitrap positif dibagi jumlah total ovitrap dikali 100%). Data jumlah nyamuk Aedes yang terperangkap dan densitas vektor dari hasil pengukuran indeks Aedes dianalisis secara deskriptif dan analitik dengan menggunakan uji anova. Jumlah jentik nyamuk Aedes yang terperangkap dideskripsikan berdasarkan jenis wadah dan Aditama & Zulfikar, Efektifitas Ovitrap Bambu terhadap Jumlah Jentik Aedes sp yang Terperangkap letak. Indeks-indeks Aedes dideskripsikan berdasarkan kelompok perlakukan dan waktu pengamatan, penghitungan penurunan indeks, lalu dibandingkan dengan kategori nilai patokan perhitungan house index (HI), breteau index (BI) dan container index (CI). Hasil Penggunaan tiga wadah ovitrap yang berbeda, yaitu tempurung kelapa, gelas plastik, dan potongan bambu, jumlah jentik nyamuk Aedes yang terperangkap di dalam ovitrap disajikan pada Tabel 1. Jentik nyamuk Aedes aegypti yang terperangkap pada minggu I dengan jenis wadah potongan bambu sebanyak 141 jentik, dan tidak secara merata jumlah yang terperangkap dengan jumlah terendah sebanyak 55 jentik pada wadah gelas plastik. Hasil perhitungan indeks ovitrap pada setiap wadah menunjukkan pada ovitrap dari potongan bambu memiliki indeks ovitrap terbanyak, yaitu 78,33% di minggu pertama dan berdistribusi tidak merata dengan ovitrap indeks terendah pada gelas plastik sebanyak 30,56% (Tabel 2). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Anova pada Tabel 3 menunjukkan perbedaan rata-rata jumlah jentik yang terperangkap pada tempurung kelapa, yaitu 114,0, gelas plastik 73,75 dan tertinggi pada potongan bambu yaitu 123,0. Dari hasil uji Anova, diperoleh nilai p = 0,006, (nilai p < 0,05) sehingga terdapat perbedaan jenis ovitrap terhadap jumlah jentik nyamuk Aedes aegypti yang terperangkap. Gambaran lebih jelas perbedaan rerata pada Tabel 4 dimana rerata nyamuk Aedes aegypti yang terperangkap dalam ovitrap yang berbeda secara bermakna pada ovitrap tempurung kelapa dan gelas plastik dengan nilai p = 0,02 95% CI tidak mencakup angka nol jika dibandingkan dengan gelas plastik. Terdapat perbedaan yang bermakna pada wadah tempurung kelapa dan potongan bambu, juga pada rerata potongan bambu dan gelas plastik dengan nilai p = 0,009, 95% CI tidak mencakup angka nol dan CI lebih tinggi (13,50 – 84,91), sedangkan yang lain tidak bermakna. Pemeriksaan jentik nyamuk Aedes aegypti dilakukan secara visual pada kontainer, baik yang berada di dalam rumah maupun di luar rumah. Dari Tabel 5 terdapat perbedaan jumlah kontainer sebelum dan setelah pemasangan ovitrap dari 78 menjadi 61 karena setelah pemasangan terdapat 17 kontainer yang telah hilang atau dipindahkan oleh pemiliknya. Dari 30 rumah yang diperiksa, rumah positif jentik nyamuk Aedes aegypti sebanyak delapan dan rumah yang tidak ditemukan jentik sebanyak 22. Sedangkan, jumlah jentik menurut keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti setelah perlakuan rumah positif jentik nyamuk Aedes aegypti adalah lima dan rumah yang tidak ditemukan jentik sebanyak 25. Tabel 1. Jumlah Jentik Nyamuk Aedes aegypti Terperangkap Berdasarkan Jenis Wadah Ovitrap Waktu Jenis ovitrap Minggu I Tempurung kelapa Gelas plastik Potongan bambu Tempurung kelapa Gelas palstik Potongan bambu Tempurung kelapa Gelas palstik Potongan bambu Tempurung kelapa Gelas palstik Potongan bambu Minggu II Minggu III Minggu IV Minimal Maksimal Rata-rata Jumlah Jentik 21 15 32 21 15 24 25 11 27 22 16 17 37 31 41 33 27 42 32 16 44 43 17 24 29,50 24,00 35,25 29,25 19,50 33,00 27,50 13,75 32,75 33,25 16,50 22,00 118 96 141 117 78 132 110 55 131 133 66 88 Tabel 2. Indeks Ovitrap Jentik Nyamuk Aedes aegypti Terperangkap Berdasarkan Jenis Wadah Ovitrap Waktu Minggu Minggu Minggu Minggu Tempurung kelapa (%) I II III IV 65,56 65,00 61,11 73,89 Gelas plastik (%) Potongan bambu (%) 53,33 43,33 30,56 36,67 78,33 73,33 72,78 48,89 Tabel 3. Analisis Jentik Nyamuk Aedes yang Terperangkap di Ovitrap Berdasarkan Perbedaan Jenis Wadah Kategori Mean SD Tempurung kelapa Gelas plastik Potongan bambu 114,0 73,75 123,0 3,69 17,55 23,76 95% CI Nilai p 108,61 - 120,38 45,81 - 101,68 85,19 - 160,81 0,006 371 : Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Tabel 4. Perbedaan Rerata Jentik Nyamuk Aedes yang Terperangkap di Ovitrap Berdasarkan Perbedaan Jenis Wadah Jenis Wadah Ovitrap (I) Jenis Wadah Ovitrap (J) Tempurung kelapa Gelas plastik Potongan bambu Tempurung kelapa Potongan bambu Tempurung kelapa Gelas plastik Gelas plastik Potongan bambu Perbedaan Nilai Rerata (I-J) 40,75* -8,5 -40,75* -49,25* 8,5 49,25* SE 12,15 12,15 12,15 12,15 12,15 12,15 Nilai p 0,02 1,00 0,02 0,009 1,00 0,009 95% CI 5,09 - 76,41 -44,16 - 27,16 -76,41 - (-5,09) -84,91 - (-13,59) -27,16 - 44,16 13,50 - 84,91 *T Tabel 5. Distribusi Jumlah Jentik Menurut Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti Sebelum dan Setelah Pemasangan Ovitrap Jentik Kategori Diperiksa Sebelum pemasangan ovitrap Setelah pemasangan ovitrap Jumlah Rumah Kontainer Rumah Kontainer 30 78 30 61 Positif Negatif 8 31 5 22 22 47 25 39 Tabel 6. Selisih Indeks Sebelum dan Setelah Pemasangan Ovitrap Indeks ABJ HI CI BI Sebelum DF Setelah DF Selisih 73,33 26,67 39,74 103,3 4 8 8 83,33 16,66 36,06 73,33 3 8 7 10 10,01 3,68 29,97 Selisih penurunan jentik berdasarkan indeks angka bebas jentik (ABJ), HI, CI, dan BI terdapat pada Tabel 6. Pada Tabel 6 selisih indeks diperoleh HI = 10,01% dari 26,67% ke 16,66%. Untuk pemeriksaan kontainer, diperoleh CI = 3,68% dari 39,74% ke 36,06%, BI = 29,97% dari 103,3% ke 73,33%. Density (DF) atau kepadatan jentik Aedes aegypti yang merupakan gabungan dari HI, CI dan BI diperoleh DF tertinggi delapan artinya kepadatan jentik Aedes kategori sedang. Angka ABJ mengalami peningkatan dari 73,88 menjadi 83,33. Nilai ini menunjukan bahwa kepadatan nyamuk di Kelurahan Ateuk Pahlawan termasuk kategori tinggi sehingga memiliki risiko transmisi nyamuk yang cukup tinggi untuk terjadi penularan penyakit DBD. Pembahasan Pada penelitian, tampak jumlah nyamuk Aedes ae terperangkap banyak terjadi pada minggu keempat karena beberapa penyebab yang mungkin, termasuk mekanisme adaptasi nyamuk Aedes yang cepat terhadap perubahan lingkungan. Dalam hal ini nyamuk menghadapi kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan karena pada saat penelitian, Kota Banda Aceh sedang dalam musim kemarau panjang. Hal ini turut berpengaruh pada terbatasnya tempat perindukan atau tempat 372 bertelur nyamuk sehingga nyamuk betina gravid berusaha mencari tempat bertelur. Pada saat diletakkan terdapat wadah yang telah diberi antrakan rendaman jerami, maka nyamuk akan bertelur pada ovitrap tersebut karena air rendaman jerami menghasilkan CO2 dan amonia, suatu senyawa yang terbukti memengaruhi saraf penciuman nyamuk Aedes.6,8 Pada hasil penelitian jumlah jentik Aedes yang terperangkap pada tempurung, gelas plastik dan bambu terdapat jentik nyamuk dengan jumlah yang bervariasi. Semua wadah terdapat jentik Aedes kemungkinan dikarenakan faktor cuaca yang tidak stabil, yaitu panas terik pada saat penelitian sehingga tidak terdapat tempat lain untuk bertelur, atau populasi yang meningkat sehingga secara alamiah populasi nyamuk Aedes berkurang akibat berkurangnya tempat perindukan. Penurunan curah hujan dan hari hujan mengurangi jumlah tempat penampungan air bersih alamiah yang merupakan proses pengendalian populasi nyamuk secara alamiah. Peningkatan jumlah nyamuk Aedes terperangkap dapat terjadi karena beberapa penyebab yang mungkin termasuk mekanisme adaptasi nyamuk Aedes yang cepat terhadap perubahan lingkungan. Dalam hal ini nyamuk menghadapi kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (awal musim kemarau), yaitu terbatasnya tempat perindukan sehingga nyamuk betina gravid berusaha mencari tempat bertelur.9 Nyamuk juga senang meletakkan telur di luar rumah karena suhu dan kelembaban di luar rumah lebih baik dibandingkan di dalam rumah, oleh karena itu jumlah telur yang terperangkap lebih banyak di luar rumah.10 Jumlah jentik yang terperangkap dari wadah bambu sebagai ovitrap lebih disenangi karena penggunaan gelas plastik (bekas minuman mineral) berwarna terang atau transparan, cenderung suhu tinggi karena cahaya panas langsung memantul serta permukaan yang licin akan menyulitkan oviposisi nyamuk, yaitu posisi yang baik untuk nyamuk dapat bertelur. Warna bening/terang ovitrap menyebabkan sumber cahaya dari sinar lampu atau sinar matahari memasuki dan menerangi isi ovitrap dan penghantar panas matahari, menyebabkan suhu dalam ovitrap mendekati atau sama dengan suhu lingkungan. Gelas kaca juga tidak menyerap air dibandingkan dengan tempu- Aditama & Zulfikar, Efektifitas Ovitrap Bambu terhadap Jumlah Jentik Aedes sp yang Terperangkap rung kelapa sehingga berpengaruh pada kelembaban ovitrap.7,11 Daya tarik nyamuk betina dalam meletakkan telur dipengaruhi oleh warna wadah, suhu, kelembaban, cahaya dan kondisi lingkungan.12 Umumnya, warna yang disukai nyamuk adalah warna gelap seperti hitam, coklat, merah tua, dan lain sebagainya.13 Nyamuk betina meletakkan telur di atas permukaan air dan telur akan menempel pada dinding perindukan tersebut, jumlah telur 100 butir.14 Indeks ovitrap pada ovitrap dari potongan bambu adalah 78,33%. Penggunaan bambu sebagai ovitrap paling banyak digunakan nyamuk untuk bertelur dan merupakan wadah yang paling efektif karena sifatnya yang gelap. Ovitrap yang berwarna gelap seperti bambu dapat memancing nyamuk agar bertelur di sana, sesuai dengan penelitian yang menyatakan ovitrap hitam lebih baik dibandingkan yang berwarna kontras dan bermotif sebagai pilihan bagi Aedes albopictus dalam oviposisi.15 Nyamuk dewasa akan bertelur di permukaan atas ovitrap. Kemudian, telur akan masuk ke dalam air di penampung. Larva dan pupa masih dapat hidup di ovitrap itu, namun saat berkembang menjadi dewasa, nyamuk tidak akan dapat keluar dari ovitrap karena terhalang kain kasa hingga akhirnya mati. Penggunaan ovitrap akan sangat efektif jika nyamuk tidak memiliki alternatif lain untuk bertelur.16 Parameter indeks ovitrap lebih sensitif dibandingkan BI dalam mendeteksi keberadaan vektor. Secara umum, ovitrap merupakan metode pemantauan sederhana dan mudah karena jumlah telur yang diletakkan di perangkap standar dalam periode waktu tertentu akan memberikan ukuran relatif dari jumlah nyamuk di daerah yang sama.17 Keberadaan ovitrap dapat menangkap jentik nyamuk Aedes aegypti. Beberapa penelitian yang membuktikan bahwa tingkat keberhasilan ovitrap dalam menangkap jentik nyamuk Aedes aegypti dengan rata-rata cukup tinggi.18,19 Survei berbasis ovitrap juga digunakan sebagai alat survei jentik dan terbukti mampu memerangkap telur nyamuk di Srilanka. 20 Penelitian di Brazil juga menunjukkan ovitrap mampu menurunan populasi kepadatan jentik Aedes aegypti dibandingkan dengan jentik dan pupa dalam kontainer dan lebih banyak pada ovitrap (perbandingan 4 - 5 versus 10 - 18) dan pupa (0,3-0,7 versus 8 - 10).21 Hal ini sesuai dengan referensi bahwa pengendalian populasi nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan dengan memasang autocidal ovitrap, yang dilakukan bersama kegiatan pengendalian lain seperti 3M. (nilai p < 0,05), dengan ovitrap yang paling efektif, yaitu potongan bambu nilai p = 0,009 95% CI (13,50 – 84, 91), HI = 10,01%, CI = 3,68%, BI = 29,97% %. DF tertinggi adalah delapan, yaitu kepadatan sedang, dan angka ABJ 83,33%. Saran Untuk melakukan pencegahan terhadap demam berdarah, salah satunya dapat dilakukan dengan memasang ovitrap yang diberi kain kasa dan lebih baik terbuat dari bambu. Kepada pihak dinas kesehatan atau puskemas hendaknya mempromosikan ovitrap kepada masyarakat sebagai salah satu upaya pengendalian nyamuk Aedes. Institusi jurusan kesehatan lingkungan dapat memfasilitasi dengan memberikan pengetahuan tentang cara membuat ovitrap dan pelatihan kesehatan lingkungan dalam mencegah DBD. Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2009. 2. Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Laporan surveilans pengendalian penyakit demam berdarah dengue, Kota Banda Aceh. Banda Aceh: Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh; 2011. 3. Hariyono. Peran faktor lingkungan dan perilaku terhadap kejadian demam berdarah dengue di Kota Kediri [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2008. 4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Surveilans Epidemiologis Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2005. 5. World Health Organization. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah dengue. Alih bahasa: Palupi Widyastuti. Editor Bahasa Indonesia: Salmiyatun. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. 6. Polson KA, Curtis C, Seng CM, Olson JG, Chanta N, Rawlins SC. The use of ovitrap baited with hay infusion as a surveillance tool for Ae aegypti mosquitoes in Cambodia. Dengue Bulletin. 2002; 26: 178-84. 7. Wahyuningsih NE, Mursid R, Hidayat T. Keefektifan penggunaan dua jenis ovitrap untuk pengambilan contoh telur Aedes sp di lapangan. Jurnal Entomologi Indonesia. 2009; 6 (2): 95-102. 8. Santos SRA, Melo-Santos MAV, Regis L, Albuquerque CMR. Field evaluation of ovitrap with grass infusion and bacillus thuringiensis var israelensis to determine oviposition rate of Ae aegypti. Dengue Bulletin. 2003; 27: 156-62. 9. Budiyanto A. Studi indeks larva Nyamuk Ae aegypti dan hubungannya dengan PSP masyarakat tentang penyakit DBD di Kota Palembang Sumatera Selatan. 2005 [diakses tanggal 2 November 2013]. Diunduh dalam: http//:www.balitbang.depkes.id. 10. Sjarkawi JA. Uji efektifitas penggunaan air rendaman daun kering Kesimpulan Jumlah jentik nyamuk Aedes sp yang terperangkap pada wadah ovitrap potongan bambu rata-rata 35,25 dengan indeks ovitrap pada ovitrap dari potongan bambu terbanyak, yaitu 78,33%. Terdapat perbedaan jenis ovitrap dalam merangkap jentik nyamuk (nilai p = 0,006, (Artocarpus heterophyllus, Nephelium lappaceum) dan kuning telur (Vitellus) terhadap jumlah telur Aedes sp yang terperangkap. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2011; 1 (1): 39-48. 11. Rozilawati H, Zairi J, Adanan CR. Seasonal abundance of Aedes albopictus in selected urban and suburban areas in Penang, Malaysia Tropical Biomedicine. 2007; 24 (1): 83-94. 373 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 12. Novelani BA. Studi habitat dan perilaku menggigit nyamuk Aedes serta 18. Santoso J, Hestiningsih R, Wardani RS, Sayono. Pengaruh warna kasa kaitannya dengan kasus demam berdarah di Kelurahan Utan Kayu Utara penutup autocidal ovitrap terhadap jumlah jentik nyamuk Ae aegypti Jakarta Timur [tesis]. Bogor: Institutut Pertanian Bogor; 2007. yang terperangkap. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2007; 4 13. Hermawan. Nyamuk demam berdarah dan warna bak mandi. 2007 [di- (2): 85 – 90. akses tanggal 5 Agustus 20140. Diunduh dalam: http://alumni4968 19. Baak-Baak CM, Rodríguez-Ramírez AD, García-Rejón JE, Ríos-Delgado .blogspot.com/2009/01/nyamuk-demam-berdarah-dan-warna- S, Torres-Estrada JL. Development and laboratory evaluation of chemi- bak.html. cally-based baited ovitrap for the monitoring of Ae aegypti. Journal of 14. Safar R. Parasitologi kedokteran protozoologi, helmintologi, entomologi. Bandung: Yrama Widya; 2009. Vector Ecology. 2014; 38: 175–81. 20. Surendran SN, Kajatheepan A, Karunakaran FA, Sanjeefkumar Jude PJ. 15. Hoel DF, Obenauer PJ, Clark M, Smith R, Hughes TH, Larson RT, et al. Seasonality and insecticide susceptibility of dengue vectors an ovitrap Efficacy of ovitrap colors and patterns for attracting Aedes albopictus at based survey in a residential area of northern Sri Lanka. The Southeast suburban field sites in North-Central Florida source. Journal of the Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health. 2007; 38 (2): American Mosquito Control Association. 2001; 27 (3): 245-51. 16. Sayono. Pengaruh modifikasi ovitrap terhadap jumlah nyamuk yang terperangkap [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2008. 17. Sunaryo, Pramestuti N. Surveilans Ae aegypti di daerah endemis demam berdarah dengue. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2014; 8 (8): 423-9. 374 276-82. 21. Perich MJ, Kardec A, Braga IA, Portal IF, Burge R, Zeichner BC, Brogdon WA, Wirtz RA. Field evaluation of a lethal ovitrap against dengue vectors in Brazil. Medical and Veterinary Entomology. 2003; 17(2): 205-10. Artikel Penelitian Studi Intervensi Kawasan Tanpa Rokok pada Tingkat Rumah Tangga Interventional Study of Non-Smoking Area at Household Level Najmah*, Fenny Etrawati**, Yeni***, Feranita Utama* *Departemen Epidemiologi FKM Universitas Sriwijaya, **Departeman Promosi Kesehatan FKM Universitas Sriwijaya, ***Departemen Biostatistika FKM Universitas Sriwijaya Abstrak Perilaku merokok memberikan dampak negatif, baik bagi perokok aktif maupun pasif, ditinjau dari sudut pandang kesehatan maupun ekonomi. Regulasi mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang telah diterbitkan belum ada yang mengatur mengenai penerapan KTR di tingkat rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan perilaku melalui intervensi terpadu KTR pada tingkat rumah tangga. Penelitian dilakukan pada bulan Juli - September 2014 menggunakan desain cluster trial pada empat desa di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Selanjutnya, 200 sampel kepala keluarga dipilih melalui metode cluster random sampling. Intervensi yang dilakukan meliputi konseling terpadu, pemberian permen pengganti rokok, dan tabungan sehat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi responden yang merokok setiap hari dalam sebulan terakhir dan komitmen untuk tidak akan merokok di masa yang akan datang mencapai 71,6% dan 62% pada kelompok intervensi serta 91% dan 38% pada kelompok non-intervensi. Intervensi ini berpeluang 46% mengurangi perilaku merokok responden (RR = 0,46) setelah dikontrol oleh variabel pendidikan (RR = 0,152) dan sikap (RR = 0,216) dengan nilai p < 0,0001. Intervensi terpadu ini terbukti berhasil mengubah perilaku merokok pada kawasan rumah tangga sehingga diperlukan partisipasi masyarakat dan dinas kesehatan setempat untuk menindaklanjuti penerapan intervensi ini dalam jangka panjang. Kata kunci: Intervensi, kawasan tanpa rokok, perilaku, rumah tangga Abstract Smoking behavior has negative impacts, both for active and passive smokers, as reviewed from health and economic perspectives. Regulation concerning non-smoking area issued has not yet arranged implementation of non-smoking area at household level. This study aimed to identify any behavior change through integrated intervention of non-smoking area at household level. This study was conducted on July - September 2014 using cluster trial design in four villages at Ogan Ilir District, South Sumatra. Then 200 household head samples were selected through cluster random sampling method. The intervention included integrated counseling, distribution of candy as substitute for cigarette, and healthy saving. Results of study showed that proportion of respondents who smoked every day in a recent month and had a commitment not to smoke in the future reached 71.6% and 62% in the intervention group, then 91% and 38% in the non-intervention group respectively. This intervention had 46% opportunity of reducing the smoking behavior of respondents (RR = 0.46) after controlled by education variable (RR = 0.152) and attitude (RR = 0.216) with p value < 0.0001. This integrated intervention was profoundly successful changing smoking behavior at household level. So that, public participation and health agency need to follow up the implementation of this intervention in a long term. Keywords: Intervention, non-smoking area, behavior, household Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi tembakau tertinggi di dunia. Hal ini terjawab melalui pelbagai catatan statistik yang menunjukkan tingginya jumlah perokok di Indonesia. Pada tahun 2004, diestimasikan bahwa sepertiga (34%) dari orang Indonesia merokok. Melalui Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2008, diketahui bahwa 23,7% penduduk usia > 10 tahun merokok setiap hari.1 Survei yang sama pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 28,2% penduduk usia > 15 tahun merokok setiap hari. Hasil ini menunjukkan adanya kenaikan yang signifikan persentase penduduk perokok aktif. Berdasarkan intensitasnya, seperlima dari jumlah perokok tersebut menghisap seKorespondensi: Najmah, Departemen Epidemiologi FKM Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang Prabumulih Gedung Dekanat Lantai 3 Ogan Ilir-Inderalaya 30662, No.Telp: 0711-580068 email: [email protected] 375 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 banyak 11 - 20 batang (satu bungkus) rokok per hari.2 Perokok aktif tidak hanya didominasi oleh orang dewasa, persentase perokok pada remaja usia 13 - 15 tahun sebesar 12% dengan perbandingan perokok pada remaja putri dan remaja putra adalah 1 : 12.3 Lembaga statistik Indonesia pada periode 2001 - 2004 mencatat adanya lonjakan pada perokok pemula pada usia di bawah 10 tahun dari 0,4% naik menjadi 2,8%.4 Hasil pencatatan tahun 2012 menunjukkan distribusi perilaku merokok masih tinggi dengan distribusi yang hampir sama berkisar 60% - 80%, baik pada penduduk di perkotaan maupun di pedesaan. Ironisnya, masyarakat dengan tingkat kekayaan pada kuintil terbawah yang paling banyak merokok.5 Pelbagai penyakit yang dapat dipicu melalui perilaku merokok antara lain infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia, dan tuberkulosis. Prevalensi nasional penyakit tersebut secara berturut adalah 8,10, 0,63, dan 0,40. Jika dibandingkan dengan angka tersebut, Provinsi Sumatera Selatan memiliki prevalensi ISPA dan pneumonia di atas rata-rata nasional, yakni 10,08 dan 0,75. Sedangkan prevalensi tuberkulosis 0,15 lebih rendah dibandingkan dengan rerata kejadiannya di Indonesia.6 Ogan Ilir merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Selatan dengan jumlah penduduk mencapai 400.000 jiwa. Hasil pencatatan kesehatan di Ogan Ilir menunjukkan bahwa ISPA merupakan penyakit dengan temuan kasus terbanyak, yakni 32.991. Sedangkan penderita tuberkulosis dengan pemeriksaan Basil Tahan Asam Positif (BTA+) sebanyak 343 kasus.7 Perilaku merokok tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan kesehatan perokok aktif, tetapi juga terbukti memengaruhi status kesehatan perokok pasif. Pada tahun 2011, The Tobacco Atlas,8 mencatat bahwa setidaknya 600.000 perokok pasif meninggal dunia dan 75% di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Dalam rangka mengurangi besaran dampak akibat perilaku merokok, diperlukan suatu upaya inisiasi kawasan tanpa asap rokok tingkat rumah tangga di Ogan Ilir. Komposisi penduduk di daerah ini, yakni 29,3% merupakan pelajar atau mahasiswa, diyakini rentan terhadap pengaruh perilaku merokok, baik aktif maupun pasif. Penerapan secara komprehensif model intervensi yang diadopsi dari Centers for Disease Controland Prevention (CDC) diharapkan dapat mengurangi dampak perilaku merokok di tingkat rumah tangga. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menguji efektivitas intervensi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pada tingkat rumah tangga di Ogan Ilir yang diadopsi dari CDC. Metode Penelitian ini merupakan riset kuantitatif dengan desain penelitian cluster experiment. Lokasi penelitian ini 376 adalah di Kabupaten Ogan Ilir. Adapun populasi penelitian ini adalah seluruh rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir. Unit sampling adalah rumah tangga dan sampel penelitian adalah sebagian rumah tangga yang terdapat di Kabupaten Ogan Ilir. Sampel diambil dengan menggunakan teknik cluster random sampling. Berdasarkan hasil acak, diperoleh empat desa yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Desa Muara Penimbung Ilir, Desa Sungai Pinang, Desa Ulak Banding, dan Desa Tanjung Batu Seberang. Setelah desa terpilih, kemudian dilakukan pengacakan kembali untuk menentukan desa yang mendapat intervensi dan desa yang tidak mendapat intervensi. Berdasarkan hasil pengacakan, diperoleh desa yang akan mendapat intervensi adalah Desa Ulak Banding dan Desa Tanjung Batu Seberang. Sedangkan desa yang akan menjadi kontrol adalah Desa Muara Penimbung Ilir dan Desa Sungai Pinang. Menurut Lemeshow,9 besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis beda dua rata-rata. Pada penelitian ini, diasumsikan perbedaan rata-rata skor perilaku merokok sebelum dan sesudah intervensi adalah 10% dengan varians (s 2 ) sebesar 5%. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh besar sampel minimal untuk satu kelompok adalah 40 responden. Untuk menghindari adanya loss to follow up atau sampel drop out, besar sampel minimal akan ditambah sebanyak 20% sehingga menjadi 48 responden. Besar sampel yang akan diambil pada tiap cluster digenapkan menjadi 50 responden per cluster (desa) sehingga total sampel yang diambil menjadi 200 responden. Tahap selanjutnya adalah pengambilan sampel pada tiap cluster yang dilakukan dengan teknik simple random sampling. Kriteria inklusi pengambilan sampel untuk kelompok yang akan diintervensi dan kelompok kontrol yang tidak diintervensi yaitu responden adalah kepala keluarga, status telah menikah, dan status responden adalah perokok aktif. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi tiga tahapan penting, yaitu survei awal untuk melihat gambaran karakteristik rumah tangga, baik di desa intervensi maupun desa kontrol; intervensi program yang dilakukan selama satu bulan terhadap kepala rumah tangga terpilih dari desa intervensi, meliputi konseling terpadu tentang rokok yang diberikan oleh kader kesehatan yang telah dilatih, dan pemberian permen herbal pengganti rokok untuk mengurangi kebiasaan merokok dengan mengalokasikan sebagian uang rokok ke dalam celengan; posttest dilakukan melalui survei lapangan dalam rangka pengumpulan data kuantitatif pada kelompok intervensi dan non-intervensi. Analisis univariat meliputi variabel demografi (pekerjaan, status perkawinan, pendidikan, usia, jumlah anggota keluarga, dan jumlah balita di rumah) dan variabel perilaku merokok. Selanjutnya, analisis bivariat dilakukan dengan uji-t menggunakan alat Najmah, Etrawati, Yeni, Utama, Studi Intervensi Kawasan Tidak Merokok pada Tingkat Rumah Tangga bantu statistik untuk melihat perbedaan perilaku merokok antara kelompok intervensi dan kelompok nonintervensi. Regresi linear berganda dilakukan untuk tahap pemodelan akhir. 34% pada kelompok non-intervensi. Hasil analisis deskriptif terhadap karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 1. Rata-rata usia antara kelompok intervensi dan non-intervensi 46 tahun dan 44 tahun. Sedangkan jumlah anggota keluarga berkisar empat orang dan balita antara 0 - 2 balita per rumah pada kelompok intervensi dan non-intervensi. Tabel 2 menunjukkan bahwa 84,2% pada kelompok intervensi dan 67% pada kelompok non-intervensi tidak akan menolak rokok gratis yang diberikan. Sebanyak 65,3% pada kelompok intervensi tidak ingin merokok di masa yang akan datang dan 62% kelompok non-intervensi tetap akan merokok di masa yang akan datang. Hasil Hasil analisis karakteristik demogra responden pada Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas responden pada kelompok intervensi bekerja sebagai petani (61%), sedangkan pada kelompok non-intervensi sebagian besar bekerja sebagai wiraswasta (44%). Lebih dari 50% responden pada kelompok intervensi tidak tamat sekolah dasar (SD) atau madrasah ibtidaiyah (MI) dan sebesar Tabel 1. Gambaran Karakteristik Responden pada Desa Intervensi dan Non-Intervensi Intervensi (n = 95) Variabel n Pekerjaan Status kawin Pendidikan Non Intervensi (n = 100) Kategori Tidak kerja TNI/POLRI PNS/pegawai Wiraswasta/jasa/dagang Petani Buruh Lainnya Belum kawin Kawin Cerai hidup Cerai mati Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3 Tamat PT Usia bapak (rata-rata) Jumlah anggota keluarga (rata-rata) Jumlah balita (rata-rata) % n % 11 1 1 19 58 4 0 0 93 0 1 9 11 53 11 11 0 0 11,6 1 2 20 61,1 4,2 0 0 98,9 0 1,1 9,5 11,6 55,8 11,6 11,6 0 0 10 1 1 44 31 9 4 7 85 1 0 3 17 34 25 18 1 2 10 1 1 44 31 9 4 7,5 91,4 1,1 0 3 17 34 25 18 1 2 46 4 0 (26-83) (1-8) (0-2) 44 4 1 (27-69) (1-8) (0-2) Tabel 2. Gambaran Perilaku Merokok Responden pada Desa Intervensi dan Non-Intervensi Intervensi (n = 95) Perilaku Pernah menolak rokok gratis Di masa akan datang tetap merokok Merokok sebulan terakhir Ya, setiap hari Ya, kadang-kadang Tidak, tapi sebelumnya pernah Tidak pernah sama sekali Merokok di rumah Di dalam rumah Di depan rumah Di luar pekarangan rumah Merokok dengan anggota keluarga Mengajak orang lain merokok Mengajak orang lain tidak merokok Keinginan untuk berhenti merokok Ya Non Intervensi (n = 100) Tidak Ya Tidak n % n % n % n % 80 33 84,2 34,7 15 62 15,8 65,3 67 62 67 62 33 38 33 38 68 22 4 1 71,6 23,2 4,2 1,1 27 73 91 91 28,4 76,8 95,8 98,9 91 8 0 1 91 8 0 1 9 92 100 99 9 92 100 99 56 10 29 26 19 36 89 58,9 10,5 30,5 27,4 20 37,9 100 39 85 66 69 76 59 6 41 89,5 69,5 72,6 80 62,1 6,3 70 16 14 70 43 48 80 70 16 14 70 43 48 86,7 30 84 86 30 57 52 20 30 84 86 30 57 52 20 377 : Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Tabel 3. Riwayat Merokok Responden pada Desa Intervensi dan Non-Intervensi Variabel Intervensi (n = 95) Usia pertama kali merokok (rata-rata/median) Usia pertama kali merokok tiap hari (rata-rata/median) Rata-rata batang rokok per hari(rata-rata/median) Usia berhenti merokok (rata-rata/SD) Non-Intervensi (n = 100) 15.50 (5 - 53) 19 (7 - 60) 12 (1 - 48) 50 (12,2) 15 (6 - 35) 18 (6 - 40) 12 (1 - 80) 48 (11,24) Tabel 4. Perbedaan Perilaku Merokok Responden pada Desa Intervensi dan Non-Intervensi Variabel Rata-rata Intervensi (n = 95) Perilaku Rata-rata Non Intervensi (n = 100) 7,40 5,75 Tabel 5. Rasio Risiko Perilaku Merokok setelah Dikontrol oleh Variabel Perancu Risk Ratio Variabel Crude RR Intervensi Pendidikan Pekerjaan Usia (tahun) Skor sikap Skor pengetahuan *0,462 0,131 -0,064 -0,071 *0,227 -0,052 Adjusted RR* *0,463 *0,152 *0,216 - *dikontrol oleh tingkat pendidikan dan sikap, nilai p < 0,005 Sedangkan proporsi responden yang merokok setiap hari dalam sebulan terakhir mencapai 71,6% pada kelompok intervensi dan 91% pada kelompok non-intervensi. Selain itu, 58,9% kelompok intervensi merokok di dalam rumah dan 72,6% responden tidak merokok dengan anggota keluarga. Sedangkan pada kelompok non-intervensi diketahui bahwa 70% responden merokok di dalam rumah dan bersama anggota keluarga. Berdasarkan Tabel 3 diketahui karakteristik perilaku merokok pada kelompok intervensi dan non-intervensi hampir sama. Rata-rata usia pertama kali merokok adalah 15 tahun pada kedua kelompok dan rata-rata merokok tiap hari pada saat responden usia 19 tahun pada kelompok intervensi serta usia 18 tahun pada kelompok non-intervensi. Rata-rata jumlah rokok tiap hari mencapai 20 batang, sedangkan usia berhenti merokok pada usia 50 tahun pada kedua kelompok. Perbedaan perilaku antara kelompok intervensi dan non-intervensi dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata skor perilaku merokok kelompok intervensi mencapai 7,40 dan 5,75 pada kelompok non-intervensi (-2,141 - 1,159). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai p < 5%. Ada perbedaan yang bermakna antara perilaku merokok pada kelompok intervensi dan perilaku merokok pada kelompok pada kelompok non-intervensi. Hasil analisis pada Tabel 5 menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel intervensi berpengaruh sig378 Beda Rata-rata Nilai p -1,650 0,0001 95% CI -2,141 - 1,159 terhadap perubahan perilaku responden (nilai p < 0,05). Hasil intervensi yang dilakukan memiliki peluang 46% untuk mengurangi perilaku merokok responden (RR = 0,46) setelah dikontrol oleh variabel pendidikan (RR = 0,152) dan sikap (RR = 0,216). Pembahasan Umumnya, perokok berasal dari pelbagai latar belakang pekerjaan. Namun, dalam penelitian ini paling banyak bekerja sebagai petani, wiraswasta, dan tidak bekerja, baik untuk kelompok intervensi maupun untuk kelompok non-intervensi. Kecenderungan merokok, baik pada kelompok intervensi maupun non-intervensi, tidak hanya terjadi pada kelompok responden yang bekerja, tetapi juga pada kelompok responden yang tidak bekerja. Kedua kategori tersebut berkaitan dengan tingkat stres pada pekerja atau pengangguran dengan menjadikan rokok sebagai media untuk mengurangi stres.10 Posisi pekerjaan seseorang akan berdampak terhadap besar kecilnya penghasilannya. Harga rokok yang cukup mahal seharusnya menjadi hambatan bagi mereka yang berpenghasilan rendah untuk merokok. Faktanya, di Indonesia justru perokok aktif banyak berasal dari masyarakat dengan tingkat kekayaan pada kuintil terbawah dengan distribusi 60% - 80%, dari jumlah penduduk, baik di perdesaan maupun di perkotaan.2 Pada keluarga kurang mampu, persentase pengeluaran rumah tangga untuk rokok bahkan lebih besar lagi.11 Status sebagai kepala keluarga yang penuh dengan tanggup jawab terhadap anggota keluarganya sering menjerumuskan seseorang ke dalam kebiasaan merokok. Akan tetapi, status perkawinan seseorang tidak hanya membawa risiko ke arah perilaku merokok pada laki-laki, tetapi juga dapat digunakan sebagai peluang untuk melakukan intervensi bidang kesehatan dalam menurunkan perilaku merokok. Laki-laki yang lajang cenderung meneruskan perilaku merokok, sedangkan lakilaki yang menikah berhasil berhenti merokok.12 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mereka yang menikah relatif lebih sukses dalam program berhenti Najmah, Etrawati, Yeni, Utama, Studi Intervensi Kawasan Tidak Merokok pada Tingkat Rumah Tangga merokok dengan adanya perubahan struktur keluarga yang semula lajang kemudian beristri dan estimasi adanya dukungan dari pasangannya untuk mendukung program berhenti merokok. Lebih dari 50% responden penelitian di Ogan Ilir ini, baik pada kelompok yang diintervensi maupun yang tidak diintervensi, hanya mengenyam kategori pendidikan dasar, baik tamat maupun tidak tamat SD. Hal ini senada dengan hasil penelitian Reimondos et al,5 yang mencatat lebih dari 60% perokok aktif berpendidikan rendah. Hal ini sungguh ironis, masyarakat terkategori sosial ekonomi rendah justru lebih banyak menghabiskan penghasilannya untuk rokok daripada untuk keperluan pendidikan dan kesehatan. Pendidikan seseorang secara alamiah seharusnya berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang. Akan tetapi, tidak semua institusi pendidikan memberikan mata ajar yang spesifik mengenai dampak buruk yang dapat ditimbulkan karena perilaku merokok. Oleh karena itu, di masyarakat dapat juga ditemui fenomena bahwa mereka yang tingkat pendidikannya tinggi tetap berperilaku merokok sehingga tidak terdapat korelasi di antara keduanya. 13 Hal ini dimungkinkan karena ketidakterpaparan dengan informasi tentang rokok, didukung dengan kondisi lingkungan (peer group) yang tidak merokok membuat seorang individu terproteksi untuk tidak ikut mencoba rokok. Selain itu, tingkat pendidikan orangtua secara statistik menjadi faktor prediktor bagi perilaku merokok anak remajanya.14,15 Hal ini dikarenakan remaja cenderung akan melakukan perilaku yang sama dengan panutannya, termasuk orangtua.16 Kebiasaan merokok merupakan masalah kesehatan yang cukup sulit diselesaikan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan peraturan tentang KTR seperti yang diatur dalam undang-undang. Komitmen dari pemangku kepentingan melalui penerapan sanksi yang tegas terhadap perokok di tempat kerja dan institusi pendidikan serta larangan iklan rokok terbukti memberikan dampak positif terhadap penurunan perilaku merokok masyarakat.17 Selain itu, komitmen untuk mengubah perilaku juga harus timbul dari dalam diri warga masyarakat di segala tatanan. Salah satu contoh, penerapan kebijakan kampus bebas dari asap rokok secara signifikan (6% - 12%) mengurangi kebiasaan merokok, sekaligus menjadi media promosi kesehatan untuk menghentikan perilaku merokok mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.18 Penerapan KTR di institusi pendidikan dan tempat kerja relatif lebih mudah untuk ditegakkan sekaligus diawasi dibandingkan dengan masyarakat di luar institusi pendidikan dan tempat kerja. Bahkan, peraturan KTR yang ada belum mencantumkan pembentukan KTR di level rumah tangga. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa sebanyak 70% responden pada kelompok non-in- tervensi merokok di dalam rumah atau di hadapan anggota keluarganya bahkan 62% menyatakan akan tetap merokok. Ketidaktahuan akan bahaya merokok akan berlanjut pada pembentukan sikap dan perilaku terkait konsumsi rokok. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Victoria, Australia, para orangtua percaya bahwa asap rokok sangat berbahaya bagi balita mereka. Walaupun hanya satu per lima orangtua yang menerapkan KTR di rumah tangga, KTR secara signifikan berhubungan dengan pengurangan rasio urinary cotinine dan creatinine pada balita.19 Penelitian lain di Nigeria menunjukkan bahwa 88% responden menyadari bahaya rokok. Tingkat kesadaran tersebut berhubungan secara signifikan dengan karakteristik sosiodemografi, riwayat merokok sebelumnya, paparan asap rokok di rumah dan tempat umum serta persepsi terhadap penggunaan tembakau itu sendiri.20 Perwujudan KTR dapat dimulai dengan melakukan pelbagai intervensi di masyarakat. Intervensi untuk berhenti merokok dapat dilakukan ketika masyarakat terkena dampak akibat rokok, misalnya pelaksanaan konseling spesifik oleh dokter gigi bahwa terdapat keterkaitan antara perilaku merokok dan penyakit pada gusi walaupun secara umum pasien mengetahui dampak umum akibat merokok adalah kerusakan paru-paru.21 Keberhasilan program berhenti merokok pada pasien tergantung dari besar kecilnya ketertarikan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam program tersebut. Analisis terhadap data yang dikumpulkan National Cancer Institute menunjukkan bahwa 62,8% tertarik untuk mengikuti pelbagai terapi perubahan perilaku merokok, sedangkan 75% responden menginginkan terapi obat untuk sembuh dari penyakitnya.22 Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk mewujudkan KTR adalah promosi kesehatan yang bersumber daya masyarakat (dibantu oleh kader terlatih) sebelum timbul dan parahnya penyakit yang diakibatkan perilaku merokok. Meskipun demikian, dukungan kelompok merupakan hal yang dinilai lebih berimplikasi terhadap pengurangan perilaku merokok dibandingkan dengan format lain, termasuk video pendidikan, informasi tertulis atau bahkan konseling oleh kader.23 Upaya pencegahan primer melalui konseling saja tidak cukup. Kelompok intervensi dalam penelitian ini diberikan permen sebagai pengganti rokok. Perbedaan perilaku merokok tampak nyata pada kedua kelompok, yakni dengan besar perbedaan skor perilaku = 2 (nilai p < 0,05). Penggunaan produk pengganti tembakau (nikotin) telah terbukti menurunkan perilaku merokok partisipan, baik pada kelompok yang memiliki motivasi dan tingkat depresi yang tinggi maupun rendah. Walaupun demikian, hasilnya akan lebih baik jika responden memiliki motivasi yang kuat untuk berhenti merokok dan menghilangkan depresi. Dalam konsep psikologis, konsumsi produk pengganti tembakau ini 379 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 merupakan salah satu bentuk coping terhadap stres.24 4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar Kesimpulan Mayoritas kelompok intervensi tidak ingin merokok di masa yang akan datang dan proporsi responden yang merokok setiap hari dalam sebulan terakhir lebih rendah 20% dibandingkan pada kelompok non-intervensi. Selain itu, proporsi kelompok intervensi merokok di dalam rumah lebih tinggi dibandingkan kelompok nonintervensi. Intervensi berupa konseling terpadu, pemberian permen pengganti rokok, dan pesan singkat sehat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan perilaku responden setelah dikontrol dengan variabel pendidikan dan sikap. Intervensi ini memberikan peluang 46% untuk mengurangi perilaku merokok. Hasil pengukuran menunjukkan angka merokok di dalam rumah 14% lebih rendah pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok non-intervensi. Hal ini mengindikasikan partisipasi masyarakat yang cukup baik untuk mewujudkan KTR pada tingkat rumah tangga. 5. Global Youth Tobacco Survey (GYTS). Indonesia-nasional 2006. tahun 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010. Atlanta-USA: Centers for Disease Control and Prevention (CDC); 2009. 6. Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir. Profil kesehatan Kabupaten Ogan Ilir tahun 2009. Indralaya: Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir; 2009. 7. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Ringkasan eksekutif data dan informasi kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Palembang: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan; 2012. 8. Eriksen M, Hana R dan Judith M. The tobacco atlas, 4th edition. AtlantaGeogia: American Cancer Society; 2011. 9. Lemeshow S, Hosmer DW dan Klar J. Besar sampel dalam penelitian kesehatan. Dalam: Pramoni D, Kusnanto H, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1997. 10. Perkins KA, Giedgowd GE, Karelitz JL, Conklin CA dan Parzyns CS. Expectancy for negative affect relief due to smoking may not be predictive under acute mood situations. Experimental and Clinical Psychopharmacology. 2012; 20 (2): 161–6. 11. Reimondos A, Utomo ID, McDonald P, Hull T, SuparnoH, dan Utomo A. Merokok dan penduduk dewasa muda di Indonesia, the 2010 Greater Saran Penelitian ini merekomendasikan untuk mengedukasi kepala keluarga dalam rangka kesehatan melalui kegiatan konseling terpadu yang membahas isu seputar perilaku merokok, pemberdayaan kader kesehatan dalam mewujudkan lingkungan rumah tangga tanpa asap rokok dan meningkatkan kesadaran tentang bahaya merokok di masa yang akan datang, tidak hanya untuk kepala keluarga yang merokok, tetapi juga anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah cukup efektif mengurangi perilaku merokok pada tingkat rumah tangga. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan intervensi lebih lama dan dapat dilakukan aplikasi intervensi terpadu pada skala tempat lainnya, seperti kawasan belajar-mengajar, pelayanan kesehatan, transportasi. Jakarta Transition to Adulthood Survey-Policy Background No. 2. Canberra: Australian Demographic and Social Research Institute -the Australian National University ; 2012. 12. Broms U, Silventoinen K, Lahelma E, Koskenvuo M, Kaprio J. Smoking cessation by socioeconomic status and marital status: the contribution of smoking behavior and family background. Oxford Journals. 2004; 6 (3): 447-55. 13. Chotidjah S. Pengetahuan tentang rokok, pusat kendali kesehatan eksternal dan perilaku merokok. Makara Seri Sosial Humanioral. 2012; 16 (1): 49-56. 14. Berg C J, An LC, Thomas JL, Lusi KA, Sarem JR, Swam PW, et.al. Smoking patterns, attitudes and motives: unique characteristics among 2-year versus 4-year college students. Health Education Research. 2011; 26 (4): 614–23. 15. Vries, Hd, Engels R, Kremers S, Wetzels J, Mudde A. Parents’ and friends’ smoking status as predictors of smoking onset: findings from six Ucapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya yang telah mendukung pelaksanaan kegiatan ini melalui dana DIPA Universitas Sriwijaya Nomor 023-04.2.415112/2014 tanggal 5 Desember 2013. Terima kasih juga kami ucapkan kepada para peserta intervensi di Kabupaten Ogan ilir dan para asisten peneliti dalam menyukseskan penelitan ini. European countries. Health Education Research. 2003;18 (5): 627-36. 16. Septiono W, Meyrowitsch DW. Family role towards smoking behavior among children in Jakarta. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2014; 9 (1): 58-63. 17. Azkha N. Studi efektivitas penerapan kebijakan perda kota tentang kawasan tanpa rokok (ktr) dalam upaya menurunkan perokok aktif di Sumatera Barat tahun 2013. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 2013; 2 (4): 171–9. 18. Prabandari YS, Ng N, Padmawati RS. Kawasan tanpa rokok sebagai al- Daftar Pustaka ternatif pengendalian tembakau studi efektivitas penerapan kebijakan 1. Republic of Indonesia Ministry of Health. The tobacco source book: da- kampus bebas rokok terhadap perilaku dan status merokok mahasiswa ta to support nasional tobacco control strategy. Jakarta: Indonesia di fakultas kedokteran UGM, Yogyakarta. Jurnal Manajemen Pelayanan Ministry of Health; 2004. 2. Badan Pusat Statistik. Survey demografi dan kesehatan Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2012. 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar tahun 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2008. 380 Kesehatan. 2009; 12 (4): 218–25. 19. Blackburn C, Spencer N, Bonas S, Coe C, Dolan A, Moy R. Effect of strategies to reduce exposure of infants to environmental tobacco smoke in the home: cross sectional survey. British Medical Journal. 2003; 327 (1): 257-61. Najmah, Etrawati, Yeni, Utama, Studi Intervensi Kawasan Tidak Merokok pada Tingkat Rumah Tangga 20. Onyeonoro UU, Chukwuonye II, Madukwe OO, Ukegbu AU, Akhimien tion efforts and interest in cessation resources among survivors of smok- MO Ogah OS. Awareness and perception of harmful effects of smoking ing-related cancers. Journal of Cancer Survivorship. 2013; 7 (1): 44–54. in Abia State, Nigeria. Nigerian Journal of Cardiology. 2015; 12 (1): 27- 23. Dietz NA, Hooper MW, Byrne M, Messiah A, Baker EA, Parker DF, et 33. 21. Terrades M, Coulter WA, Clarke H, Mullally BH, Stevenson M. Patients’ knowledge and views about the effects of smoking on their mouths and the involvement of their dentists in smoking cessation activities. British Dental Journal. 2009; 207 (E22): 1-6. 22. Berg CJ, Carpenter MJ, Jardin B, Ostroff JS. Harm reduction and cessa- al. Developing a smoking cessation intervention within a communitybased participatory research framework. Journal of Smoking Cessation. 2012; 7 (2): 89–95. 24. Carpenter MJ, Alberg AJ, Graya KM, Saladin ME. Motivating the unmotivated for health behavior change: a randomized trial of cessation induction for smokers. Clinical Trials. 2010; 7 (1): 157–66. 381 Efektivitas Collaborative Governance dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Menanggulangi HIV/AIDS Effectivity of Collaborative Governance in Sustainable Comprehensive Service to Cope with HIV/AIDS Argyo Demartoto Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Abstrak Di tingkat nasional dan daerah telah terdapat kebijakan publik, program dan kegiatan untuk menanggulangi HIV/AIDS, namun jumlah kasus HIV/AIDS meningkat setiap tahun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas collaborative governance antarpemangku kepentingan dalam pelayanan komprehensif berkesinambungan untuk menanggulangi HIV/AIDS di Kota Surakarta. Penelitian ini merupakan studi kasus jenis exploratory. Informan ditentukan dengan menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan pada 2 Juli – 2 September 2013 dengan wawancara mendalam, observasi, focus group discussion, dan dokumentasi. Teknik analisis data dengan model analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberi dan penerima layanan berperan dalam penanggulangan HIV/AIDS sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Program pencegahan dan penjangkauan, layanan kesehatan, reduksi bahaya, dan pemberdayaan belum efektif karena komitmen terhadap tujuan dan sikap saling percaya antarpemangku kepentingan belum optimal, petugas lapangan kurang profesional, terdapat konflik laten antarpemangku kepentingan, kurang optimalnya koordinasi antaranggota Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Kota Surakarta dan rendahnya anggaran untuk penanggulangan HIV/AIDS karena HIV/AIDS belum menjadi isu prioritas dalam pembangunan daerah. Disimpulkan bahwa kolaborasi governance antarpemangku kepentingan belum efektif. Untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kolaborasi governance antarpemangku kepentingan, harus ada norma, struktur, dan proses yang jelas dalam menanggulangi HIV/AIDS. Kata kunci: Collaborative governance, efektivitas, pelayanan komprehensif berkesinambungan, penanggulangan HIV/AIDS Abstract There have been public policies, programs and activities to cope with HIV/AIDS in Indonesia at national and local level, but number of HIV/AIDS cases is increasing every year. This study aimed to determine effectivity of collaborative governance between stakeholders in a sustainable compre382 hensive service to cope with HIV/AIDS in Surakarta City. This study was an exploratory study. Informants were selected using purposive sampling technique. Data collection was conducted on 2 July – 2 September 2013 using in-depth interview, observation, focus group discussion, and documentation. Technique of data analysis was an interactive analysis model. Results showed that service provider and receiver had taken roles in HIV/AIDS coping based on their own duty and function. Prevention and outreach, healthcare service, harm reduction and empowerment programs had not been yet effective because of less optimal commitment to purpose and mutual trust between stakeholders, less professional fieldworkers, latent conflict occurred between stakeholders, less optimal coordination between AIDS Coping Commission of Surakarta City members, and low budget for HIV/AIDS coping as HIV/AIDS is not yet a priority issue in regional development. In brief, collaborative governance between stakeholders is not yet efffective. To improve the quality and collaborative governance effectivity between stakeholders, there should be any clear norm, structure and process in coping with HIV/AIDS. Keywords: Collaborative governance, effectivity, sustainable comprehensive service, HIV/AIDS coping Pendahuluan Sejak tahun 2000, terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) secara pesat, bahkan terdapat beberapa lokasi tingginya penularan HIV/AIDS (concentrated level epidemic).1,2 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS tahun 2010 – 2014 merupakan kebijakan pada level nasional yang mengamanatkan HIV/AIDS sebagai salah satu isu prioritas Korespondensi: Argyo Demartoto, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan Surakarta, No.Telp: 0271-637277, e-mail: [email protected] Demartoto, Efektivitas Collaborative Governance dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Menanggulangi HIV/AIDS sekaligus menandai terjadinya intensifikasi penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Di Kota Surakarta, dari Oktober 2005 – Maret 2015 terdapat 1.565 kasus HIV/AIDS yang terdiri dari 532 kasus HIV, 1.033 kasus AIDS, dan 449 orang meninggal dunia. Komitmen Kota Surakarta dalam mengatasi permasalahan HIV/AIDS muncul dengan adanya Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 443.2.05/98/ 1/2012 pada Tanggal 20 November 2012 Tentang Pembentukan Komisi, Kelompok Kerja dan Sekretariat Penanggulangan AIDS. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa selama ini upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi HIV/AIDS belum optimal terlebih karena faktor kondisi sosial-politik masyarakat seperti kebijakan dan pemerintahan.3-5 Terkait respons terhadap meningkatnya jumlah penduduk yang terjangkit HIV/AIDS, tidak kurang pelbagai program dan kegiatan telah banyak dilakukan dengan pendekatan medis dan sosial, baik sektoral maupun multisektoral, untuk menanggulangi HIV/AIDS.6-12 Kolaborasi dalam arti sebuah proses merupakan serangkaian proses dalam mengelola atau memerintah secara institusional, sedangkan dalam pengertian normatif merupakan aspirasi atau tujuan-tujuan filosofis bagi pemerintah untuk berinteraksi dengan para mitranya.13 Collaborative governance adalah suatu cara mengelola dengan melibatkan pelbagai pihak untuk mencapai tujuan tertentu dengan menekankan nilai-nilai kewarganegaraan dan demokrasi secara tidak langsung, meskipun pemangku kepentingan tertentu tidak dilibatkan secara fisik, tetapi kepentingan mereka seoptimal mungkin diupayakan untuk diakomodasi dalam proses pengambilan keputusan.14 Collaborative governance penting untuk diterapkan karena pemikiran yang semakin luas tentang pluralisme kelompok kepentingan dan mampu merespons hambatan yang selama ini menjadi masalah, seperti kegagalan implementasi kebijakan di lapangan, ketidakmampuan kelompok tertentu karena institusi lain menghambat keputusan, mobilisasi kelompok kepentingan, tingginya biaya dan politisasi regulasi.15-18 De Seve,19 menyebutkan delapan indikator penting untuk mengukur keberhasilan sebuah kolaborasi dalam governance, yaitu struktur jaringan, komitmen terhadap tujuan, saling percaya antarpelaku, adanya kepastian governance atau kejelasan dalam tata kelola, termasuk batasan dan exclusivity, akses terhadap kekuasaan, pembagian akuntabilitas/responsibilitas, berbagi informasi dan akses terhadap sumber daya. Dampak kolaborasi antarinstitusi untuk menanggulangi HIV/AIDS seperti dalam The Chicago HIV Prevention and Adolescent Mental Health Project, antara lain banyak orang yang akhirnya dapat hidup dengan normal meskipun berada pada kondisi yang sebenarnya penuh tekanan, banyak pula ibu-ibu yang akhirnya opti- mis dengan masa depan anak-anaknya serta berusaha keras untuk menghindarkan anak-anaknya dari bahaya HIV/AIDS.20-23 Penelitian ini bermaksud mengkaji peran, bentuk, dan efektivitas pelayanan komprehensif berkesinambungan dalam penanggulangan HIV/AIDS berbasis kolaborasi governance antarpemangku kepentingan di Kota Surakarta. Metode Penelitian kualitatif ini merupakan studi kasus jenis exploratory untuk menjawab cara dan alasan fenomena pelayanan komprehensif berkesinambungan dalam penanggulangan HIV/AIDS berbasis kolaborasi governance. Penelitian ini dilakukan di Kota Surakarta pada tanggal 2 Juli – 2 September 2013 dengan wawancara mendalam, menggunakan buku catat, observasi nonpartisipan, focus group discussion (FGD), dan dokumentasi. Subyek penelitian adalah pemberi dan penerima layanan komprehensif berkesinambungan untuk menanggulangi HIV/AIDS di Kota Surakarta yang ditentukan dengan menggunakan purposive karena dipandang dapat memberikan data dan informasi secara maksimal yang terkait objek penelitian.24 Informan berjumlah 34 orang, yaitu 17 informan pemberi layanan yang terdiri dari Sekretaris, Manajer Program dan Koordinator Kelompok Kerja Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kota Surakarta; wakil dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli AIDS, yaitu Direktur Yayasan Mitra Alam, Manajer Program Lembaga Swadaya Masyarakat Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), Ketua Yayasan Gessang, Ketua Himpunan Waria Solo dan Ketua Kelompok Dukungan Sebaya Solo Plus; pihak swasta, yaitu perwakilan dari produsen kondom dan pelicin dan seorang karyawan perusahaan susu yang memberi makanan tambahan bergizi bagi ODHA; peneliti dari Pusat Penelitian Kesehatan Seksual Universitas Sebelas Maret; serta petugas pelayanan kesehatan, yaitu seorang konselor voluntary counseling and testing (VCT) dari Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta, seorang dokter yang melayani penapisan infeksi menular seksual (IMS) di Puskesmas Sangkrah Surakarta dan seorang petugas pemberi Layanan Jarum Suntik Steril untuk pengguna narkoba suntik di Puskesmas Manahan Surakarta. Sedangkan 17 informan penerima layanan terdiri dari kelompok berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu seorang perempuan pekerja seksual, seorang pengguna narkoba suntik, seorang laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, seorang waria dan seorang high risk man; ODHA, keluarga ODHA dan teman ODHA; serta informan yang mewakili pengurus organisasi Warga Peduli AIDS (WPA) di 51 Kelurahan Kota Surakarta, yaitu dari Kelurahan Semanggi, Punggawan, Jebres, 383 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Sriwedari, dan Serengan. Seluruh informan menjadi peserta FGD yang dilakukan September 2013. Untuk melindungi subyek penelitian, sebelum pengumpulan data, dilakukan studi pendahuluan pada subyek penelitian dengan penyebaran lembar informasi tentang penelitian yang dilakukan. Semua data dan informasi yang diperoleh dari subjek penelitian dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian. Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan data hasil observasi lapangan dan wawancara mendalam, yaitu hal yang dikatakan informan pada waktu FGD dan yang dikatakan secara pribadi serta hasil wawancara dan isi dokumen yang terkait objek penelitian. Triangulasi sumber data dilakukan dengan membandingkan yang dikatakan informan satu dan informan lain serta keadaan dan perspektif seseorang dengan pelbagai pendapat dan pandangan orang lain, termasuk subjek penelitian.25 Data yang terkumpul dianalisis secara mendalam melalui interactive model of analysis yang terdiri dari reduksi data, tampilan data, dan gambaran konklusi yang terkait, baik sebelum, selama maupun setelah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar. Peneliti melakukan pengumpulan data kembali apabila data yang telah dikumpulkan dirasa belum lengkap dan apabila validitas dan reliabilitas data diragukan.26 Dalam reduksi data dilakukan proses pemilihan, pemusatan, penyederhanaan, dan klasifikasi data yang diperoleh di lapangan yang berlangsung secara terus-menerus selama penelitian. Pada tahapan penyajian data, segala bentuk data disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks dan atau bagan sehingga mudah dibaca dan dipahami untuk penarikan kesimpulan berdasarkan temuan-temuan yang ada dan melakukan verifikasi dengan merefleksikan kembali data yang telah ditemukan di lapangan.26 Hasil Peran Pemangku Kepentingan dan Bentuk Pelayanan KPAD Kota Surakarta yang dibentuk pada tahun 2005 bertanggung jawab atas terlaksananya kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta, memimpin pelaksanaan advokasi dan koordinasi dengan pemangku kebijakan di tingkat kota, mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang dilakukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), organisasi masyarakat, klinik layanan dan LSM terkait dengan isu HIV/AIDS yang terdapat di Surakarta. KPAD Kota Surakarta memiliki empat kelompok kerja (pokja), yaitu pencegahan dan penjangkauan, layanan kesehatan dan pengobatan, reduksi bahaya dan pemberdayaan. Menurut Sekretaris dan Manajer Program KPAD Kota Surakarta (A1 dan A2) bahwa Pokja KPAD Kota Surakarta bertugas membantu KPAD dalam merumuskan kebijakan operasional yang berkaitan dengan 384 program penanggulangan AIDS; mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program; mengembangkan program tertentu yang sesuai dengan kebutuhan menggerakkan pemangku kepentingan dalam mengaplikasikan kebijakan nasional dan daerah untuk program tertentu; mengadakan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi program serta membuat dan menyampaikan laporan kerja kepada ketua KPAD melalui sekretaris KPAD secara periodik. Pelayanan komprehensif berkesinambungan dalam penanggulangan HIV/AIDS melibatkan suatu jejaring kerja di antara semua sumber daya yang terdapat di Kota Surakarta untuk memberikan pelayanan dan perawatan holistik, komprehensif, dan dukungan yang luas bagi populasi kunci, ODHA dan keluarganya serta masyarakat umum. Pelayanan komprehensif berkesinambungan meliputi perawatan di rumah sakit dan rawat jalan. Sebelum diputuskan untuk memberikan pelayanan komprehensif berkesinambungan, perlu dipertimbangkan beberapa hal, antara lain sumber daya yang memadai yaitu dukungan dana, bahan dan alat, sumber daya manusia baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat yang menjalin kerjasama. Hal ini mencakup tata laksana klinis, pelayanan kepada pasien secara langsung, pendidikan, pencegahan, konseling, perawatan paliatif dan dukungan sosial. Pernyataan tersebut didukung oleh seluruh koordinator pokja KPAD Kota Surakarta (A3, A4, A5 dan A6). Seluruh informan dari kelompok risiko tinggi tertular HIV/AIDS (F1, F2, F3, F4 dan F5) dan seorang pengurus warga peduli AIDS (WPA) di Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta (H1) pernah mengikuti pelatihan tentang pendidikan sebaya untuk penanggulangan HIV/AIDS dan sosialisasi tentang IMS, HIV/AIDS yang dilakukan oleh KPAD Kota Surakarta. KPAD Kota Surakarta rutin melakukan rapat koordinasi antarpemangku kepentingan untuk menginventaris permasalahan terkait penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta. Dalam melakukan penjangkauan kepada kelompok berisiko tinggi, petugas lapangan menemui hambatan dan kendala, misalnya kelompok dampingan belum memiliki kesadaran untuk melakukan VCT dan penapisan IMS. Hal ini seperti pendapat petugas lapangan yang menjangkau komunitas lelaki suka lelaki (LSL) dan waria (F3 dan F4). “...Komunitas gay pada umumnya malu Pak untuk melakukan VCT karena mereka tidak ingin diketahui orientasi seksualnya. Apalagi petugas pelayanan kesehatan sering mengolok-olok...” (informan F3) “...Teman-teman susah sekali Pak diajak untuk VCT, apalagi penapisan IMS karena mereka malu, belum tahu tentang bahaya perilaku seksual yang tidak sehat dan tidak aman...” (informan F4) Pernyataan tersebut didukung juga oleh informan dari Demartoto, Efektivitas Collaborative Governance dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Menanggulangi HIV/AIDS komunitas wanita pekerja seks, pengguna narkoba suntik dan high risk man (HRM) (F1,F2 dan F5). Dalam pelaksanaan program layanan kesehatan dan pengobatan, institusi kesehatan menyediakan layanan VCT dan IMS, kondom, pelicin, antiretroviral (ARV) dan layanan Program Terapi Rumatan Methadon. Hal ini seperti yang diutarakan oleh petugas pelayanan kesehatan Rumah Sakit Dr. Moewardi, Puskesmas Sangkrah, dan Puskesmas Manahan (E1,E2, dan E3). ODHA dapat mengakses ARV dengan gratis di tempat yang telah ditentukan dan makanan tambahan untuk menjaga kesehatan. Menurut seorang informan dari perusahaan susu bahwa perusahaannya aktif dan rutin memberi bantuan susu formula kepada ODHA di Kota Surakarta (C1). Untuk memberdayakan ODHA, KPAD Kota Surakarta aktif melaksanakan kegiatan pelatihan keterampilan seperti menjahit, teknologi dan informasi, percetakan dan sablon yang bekerjasama dengan Universitas Sebelas Maret. Hal ini seperti diungkapkan oleh peneliti dari Universitas Sebelas Maret (D1). Tantangan Pemangku Kepentingan dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan Dalam struktur organisasi KPAD Kota Surakarta, terdapat ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, dan anggota. Hal ini menunjukkan adanya hirarki kekuasaan dalam hal kewajiban, tanggung jawab dan otoritas dalam penanggulangan AIDS. KPAD sebagai koordinator dari seluruh pemangku kepentingan, dinilai oleh pihak LSM terlalu bergantung pada LSM yang mendapat bantuan dana dari lembaga donor. Kolaborasi dengan LSM terus berjalan sekalipun belum optimal, sedangkan dengan SKPD dan institusi lain hanya sebatas rapat koordinasi. Seharusnya, KPAD sebagai koordinator lebih tegas dalam mengkoordinir seluruh anggotanya sehingga tugas dan kewajiban dapat jauh lebih merata dan semua anggota KPAD memiliki tanggung jawab sesuai dengan porsi dan lingkup fokus mereka masing-masing. Pernyataan ini disampaikan secara kritis oleh beberapa pengurus LSM peduli AIDS di Kota Surakarta dalam kegiatan FGD. Pada umumnya, peserta FGD menyatakan bahwa dalam kegiatan promotif dan preventif, Dinas Kesehatan Kota Surakarta telah membuat brosur dan melaksanakan sosialisasi HIV/AIDS dan seputar narkoba pada siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) serta pelbagai organisasi masyarakat seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, Forum Anak dan organisasi WPA di 51 kelurahan lima kecamatan Kota Surakarta. Kegiatan tersebut dirasa lebih efektif karena pelaksanaannya melibatkan anggota masyarakat sehingga proses transfer ilmu pengetahuan mengenai HIV/AIDS, termasuk cara penu- laran, pencegahan maupun penanganan seseorang yang terlanjur terjangkit HIV/AIDS akan lebih cepat terealisasikan. Hal ini juga diungkapkan oleh seorang informan yang merupakan pengurus organisasi WPA Kelurahan Punggawan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta (informan H2). Selama ini kegiatan berbagi informasi telah dijalankan dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan pihak KPAD bahwa LSM menyampaikan data dan informasi terkait dengan jangkauan di lapangan, jumlah ODHA, kerahasiaan status klien sebagai ODHA yang dijaga dengan baik. Data itu diolah oleh KPAD kemudian diteruskan pada Walikota Surakarta sebagai laporan bulanan. Selama ini, KPAD selalu terbuka memberikan informasi tentang program dan kegiatan, pelatihan yang akan diselenggarakan oleh KPAD. Dalam penyediaan sumber daya, memang pihak KPAD telah mengupayakan semaksimal mungkin. Misalnya, adanya pelatih untuk pelatihan, advokasi, pemantauan dan evaluasi. Namun, yang menjadi kendala terbesar adalah minimnya dana yang dimiliki pemerintah Kota Surakarta dalam penanggulangan HIV/AIDS. Sejak tahun 2006 sebagian besar pendanaan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam penanggulangan HIV/AIDS bersumber dari Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis, and Malaria, sebuah lembaga donor asing yang rencananya akan berhenti memberikan dana untuk Indonesia di tahun 2015. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Direktur Yayasan Mitra Alam dan Program Manager LSM SPEK-HAM (B1 dan B2). “...Pemerintah harus menyediakan alokasi anggaran khusus untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta karena selama ini kita hanya tergantung dari pihak donor asing yang memberikan bantuan dana…” (informan B1 dan B2). Sesuai dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 7/PER/MENKO/KESRA/ III Tahun 2007 Tentang Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Indonesia Tahun 2007-2010, maka Dinas Kesehatan Kota Surakarta merupakan lembaga penyedia layanan VCT pengobatan HIV/AIDS dan layanan Program Terapi Rumatan Methadon. Di Kota Surakarta, terdapat dua puskesmas yang menyediakan layanan VCT, yaitu Puskesmas Manahan yang memberikan pelayanan dan perawatan ODHA dari komunitas pengguna narkoba suntik dan Puskesmas Sangkrah untuk populasi berisiko tinggi yang lain. Kegiatan VCT penting karena merupakan pintu masuk ke seluruh layanan medis HIV/AIDS, di antaranya pelayanan terapi ARV, pencegahan infeksi oportunistik serta pencegahan penularan infeksi HIV ibu ke anak (prevention of mother-tochild transmission/PMTCT). Memastikan ketersediaan ARV secara berkelanjutan menjadi hal yang sangat pen385 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 ting dan utama. Saat ini seluruh ODHA, baik penduduk Surakarta maupun luar Kota Surakarta, masih mendapatkan ARV secara gratis yang dapat diakses di puskesmas dan rumah sakit VCT. Namun, ketersediaan ARV di Kota Surakarta juga mengalami masalah. Hal ini sesuai dengan pendapat Ketua Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Solo-Plus yang mendampingi ODHA, baik di rumah maupun di rumah sakit, dan seorang dokter yang memberi pelayanan VCT (B5 dan E1). “...Kadang-kadang teman-teman ODHA susah mau mendapatkan ARV, karena stoknya habis padahal kita sangat membutuhkan...” (informan B5) “...Memang persediaan ARV kadang menipis karena supplier-nya belum mengirim ke RS Dr. Moewardi. Hal ini tentu berdampak pada kesehatan ODHA...” (informan E1) Layanan care support and treatment (CST) bagi ODHA merupakan konseling lanjutan bagi ODHA, dengan didampingi oleh tenaga medis, psikolog maupun KDS Solo Plus. Keberadaan KDS memang menjadi hal yang penting untuk saling memotivasi sesama ODHA, manajemen rujukan, mendampingi rujukan tes CD4, PMTCT dan tes fungsi hati dan ginjal, pendampingan bagi ODHA baik di rumah sakit maupun di rumah. Layanan CST tidak hanya melibatkan unit layanan, tetapi juga pemangku kepentingan lainnya. Selama ini, CST di Kota Surakarta masih terbatas bagi ODHA, sedangkan bagi keluarga dan orang-orang yang berada di sekitar ODHA belum diberikan pelatihan CST. Hal ini diungkap oleh ibu PH ODHA dari kelompok WPS, AK ODHA dari kelompok pengguna narkoba suntik dan HN ODHA dari kelompok HRM (G1,G2 dan G4). “...Kadang kala kami stress Pak, mengingat penyakit kami yang tidak ada obatnya. Apalagi anggota keluarga kami ada yang belum bisa menerima keberadaan kami. Sementara itu Manajer Kasus kurang memperhatikan kami, malah sibuk sendiri…” (informan G1,G2 dan G4). Pendapat tersebut didukung oleh seluruh peserta FGD bahwa CST bagi ODHA sangat penting dan utama agar ODHA tidak rendah diri dan tetap memiliki semangat hidup (peserta FGD-I). Dana APBD Kota Surakarta belum mampu mencakup pemberian makanan tambahan bagi ODHA. Dalam implementasi di lapangan, pendistribusiannya masih menemui kendala karena ODHA yang berjejaring dalam Kelompok Dukungan Sebaya dan klien VCT di unit layanan kesehatan Kota Surakarta tidak hanya dari Kota Surakarta. Hal ini seperti diungkapkan oleh seorang waria yang berstatus HIV+ (G3). “... Saya sebetulnya sangat sedih sekali karena keluarga saya belum bisa menerima saya sebagai ODHA, bahkan mereka mengusir saya dari rumah. Jadi saya merasa mendapat perlakuan yang diskriminatif justru 386 dari keluarga saya sendiri. Namun, pemerintah kurang memperhatikan keberadaan ODHA, misalnya jarang memberi makanan tambahan…’’ (informan G3). Pemberdayaan bagi ODHA penting agar ODHA dapat kembali berdaya, bebas menentukan pilihannya sebagai warga negara dan ikut mendukung penanggulangan HIV/AIDS, tidak menularkan pada masyarakat. Bentuk-bentuk pemberdayaan lebih cenderung pada pelatihan kewirausahaan dan modal usaha. Pelayanan yang lain adalah pelayanan psikososial, konseling perilaku hidup sehat, memudahkan akses ke pelbagai pelayanan kesehatan yang dibutuhkan klien serta rujukan ke klinik VCT, yaitu suatu program rujukan kepada populasi umum dan populasi berisiko tertular HIV/AIDS untuk mengetahui status HIV agar segera mendapatkan perawatan maupun mencegah perilaku berisiko. Peserta FGD (I) menyatakan bahwa KPAD Kota Surakarta belum melaksanakan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan HIV/AIDS secara reguler. Di tahun 2012, Bidang Sosial Budaya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta pernah melakukan studi evaluasi efektivitas WPA di setiap kelurahan yang telah mensosialisasikan HIV/AIDS pada masyarakat umum. Studi evaluasi dilakukan pada 466 responden laki-laki (45%) dan 566 responden perempuan (55%) untuk mengetahui pemahaman, pengetahuan, dan paparan informasi terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta. Menurut peneliti dari Universitas Sebelas Maret (D1), banyak hasil penelitian yang mengkaji masalah HIV/AIDS, baik dari sisi medis, sosial, perilaku seksual kelompok berisiko tinggi tertular HIV/AIDS seperti kelompok waria, gay, men who have sex with men (MSM), perempuan pekerja seks, pengguna narkoba suntik, anak yang dilacurkan, dan masyarakat umum. Sementara itu, perusahaan yang terdapat di Kota Surakarta juga banyak berperan, misalnya dengan memberi bantuan dana untuk memperingati Hari AIDS Sedunia, Malam Renungan AIDS Nusantara, menyuplai kondom dan pelicin serta pemberian makanan tambahan bagi ODHA. Pembahasan Pemerintah Kota Surakarta berusaha profesional dalam menanggulangi HIV/AIDS dengan membentuk KPAD Kota Surakarta yang terdiri dari pelbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, lembaga nonpemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil. Organisasi kesehatan bukan struktur homogen, melainkan koleksi individu atau institusi yang bersatu dalam tujuan yang sama, namun dipisahkan oleh nilai-nilai, keyakinan, aspirasi karir dan pandangan operasional.14 Kolaborasi antarpemangku kepentingan dalam KPAD dapat dikategorikan kolaborasi dalam konteks Demartoto, Efektivitas Collaborative Governance dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Menanggulangi HIV/AIDS normatif karena seluruh pemangku kepentingan memiliki aspirasi dan tujuan yang sama untuk menurunkan penyebaran HIV/AIDS. Collaborative governance sesuai diterapkan dalam pelayanan kesehatan, khususnya upaya-upaya dalam penanggulangan HIV/AIDS mengingat pelayanan kesehatan dan upaya penanggulangan HIV/AIDS merupakan hal yang kompleks. Penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan pelayanan kesehatan yang komprehensif berkesinambungan, baik pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang melibatkan suatu jejaring kerja di antara semua sumber daya yang terdapat dalam rangka memberikan pelayanan dan perawatan holistik, komprehensif, dan dukungan yang luas.12 Kolaborasi governance telah berjalan dengan adanya pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak agar penanggulangan HIV/AIDS dapat ditangani dengan lebih baik dan efektif. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih terdapat beberapa kekurangan dan kelemahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen dari masing-masing pemangku kepentingan belum mencapai visi dan misi yang bulat, misalnya komitmen LSM yang tidak selalu tertuju untuk institusi pemerintah, mengingat LSM lebih merasa bertanggung jawab pada lembaga donor yang telah membiayai semua aktivitasnya. Kurangnya komitmen pada tujuan-tujuan yang telah dicanangkan dapat dipandang sebagai perwujudan rendahnya efektivitas kolaborasi di antara pemangku kepentingan yang ada. Collaborative governance mampu merespons dan menjadi solusi atas pelbagai hal yang menghambat pelbagai program yang telah dijalankan dalam menanggulangi HIV/AIDS. Collaborative governance memungkinkan dan memberi jalan pelbagai pihak terlibat dalam suatu program atau kegiatan penanggulangan HIV/AIDS karena pemangku kepentingan merupakan pihak yang terpengaruh atau terkena dampak dari sebuah tindakan, program, kebijakan atau pihak yang memang seharusnya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan suatu pemecahan persoalan bersama.16,20 Namun, telah menjadi rahasia umum bahwa terkadang pemangku kepentingan terutama ODHA yang menjadi sasaran suatu program dan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS justru tidak memperoleh kesempatan atau memang enggan terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Dalam sebuah kolaborasi, sangat diperlukan kepercayaan di antara para partisipan. Oleh karena itu, harus terdapat kepercayaan antarpemangku kepentingan bahwa data dan informasi yang disediakan pemangku kepentingan adalah akurat. Sejauh ini KPAD mereduksi semua data yang masuk ke KPAD, diolah menjadi laporan bulanan KPAD kepada Walikota Surakarta. Selain itu, perlu adanya kepercayaan dari pihak kelompok sasaran atau dampingan yang terlibat dan mengikuti setiap pro- gram yang dilaksanakan oleh KPAD. Namun, sikap saling percaya antarpemangku kepentingan masih rendah. Pihak LSM merasa bahwa KPAD terkesan tidak tegas dalam mengkoordinir anggota KPAD dan membebankan semua pekerjaan penjangkauan kelompok sasaran hanya kepada LSM sehingga tidak ada rasa saling percaya untuk bekerja bersama sampai masyarakat tingkat bawah. Konsep governance dalam kolaborasi antarpemangku kepentingan untuk menanggulangi HIV/AIDS di Surakarta belum dapat diimplementasikan secara maksimal. Meskipun telah terdapat aturan dan kesepakatan dalam berkolaborasi, namun hal ini hanya sebatas kesepakatan tertulis saja karena dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Dalam manajemen jaringan, ciri sebuah kolaborasi yang efektif adalah jika kolaborasi itu didukung sepenuhnya oleh semua anggota jaringan tanpa konflik dan pertentangan dalam pencapaian tujuan, ketersediaan sumber daya manusia yang memenuhi persyaratan kompetensi yang diperlukan dan ketersediaan sumber daya keuangan secara memadai dan berkesinambungan, terdapat penilaian kinerja terhadap masing-masing anggota yang berkolaborasi, dan tetap mempertahankan eksistensi masing-masing anggota untuk tetap adaptif dan berjalan secara berkesinambungan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing tanpa mengganggu kolaborasi itu sendiri.15,16 Kolaborasi yang berjalan selama ini masih memiliki banyak kelemahan, seperti adanya konflik dan pertentangan terkait dengan kurang aktifnya beberapa pelaku kolaborasi yang mengakibatkan penanggulangan HIV/AIDS seolah-olah menjadi beban KPAD dengan pihak LSM semata.7,9 Sejauh ini pihak yang paling berperan aktif adalah LSM yang menjangkau kelompok sasaran sampai ditingkat paling bawah. Sedangkan pihak SKPD dan institusi yang lain bersikap pasif dan menganggap itu bukan merupakan bagian dari tanggung jawab mereka, sekalipun mereka termasuk dalam daftar anggota KPAD Kota Surakarta. Pihak KPAD pun sebagai lembaga koordinator tidak memberi ketegasan sikap terhadap masalah ini. Dalam hal sumber daya manusia, masih dibutuhkan banyak tenaga penjangkau lapangan yang profesional demi penanganan yang lebih baik. Sumber daya keuangan tampaknya merupakan masalah paling serius yang dihadapi dalam kolaborasi ini. Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta untuk penanggulangan HIV/AIDS sangat sedikit, hanya 75 juta rupiah setahun. Dinas kesehatan hanya menggunakan dana tersebut untuk penyuluhan narkoba dan HIV/AIDS di kalangan pelajar dan organisasi masyarakat. Selama ini KPAD dan dinas kesehatan bergantung pada LSM yang mendapat bantuan lembaga donor dari luar negeri, seperti GFATM, Family Health International (FHI)-USAID, HIV Cooperation Program for Indonesia (HCPI)-AUSAID.17 387 Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4, Mei 2015 Seharusnya pihak KPAD sebagai institusi pemerintah segera mengambil alih seluruh pengeluaran dana penanggulangan HIV/AIDS. LSM sangat bergantung pada lembaga donor dari luar negeri, padahal tidak dapat ditentukan dengan pasti dana itu akan terus diberikan kepada mereka sehingga LSM lebih berfokus pada kepentingan dan eksistensi mereka sendiri dibanding menjalankan kolaborasi. Keberlangsungan kolaborasi antarpemangku kepentingan akan sulit berjalan dengan optimal, jika pemerintah tidak segera turun tangan terkait dengan besarnya dana yang dibutuhkan untuk program penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta.18 Yang menjadi kekhawatiran adalah apabila pihak LSM tidak lagi responsif dan tidak mau terlibat lagi dalam Jaringan Peduli AIDS Surakarta karena LSM merasa dibebani terlalu besar, sementara pemerintah tidak peduli dengan keberlangsungan LSM jika suatu saat tidak lagi didanai oleh lembaga donor luar negeri. Daftar Pustaka Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih atas bantuan dana penelitian yang diberikan oleh Hibah Penelitian Utama Universitas Sebelas Maret tahun anggaran 2013 sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. 6. Bell E, Mthembu P, O’Sullivan S, Moody K. Sexual and reproductive 1. World Health Organization. Priority interventions. HIV-AIDS prevention, treatment and care in the health sector. Geneva: World Health Organization; 2010. 2. Lestari TRP. Kebijakan pengendalian HIV/AIDS di Denpasar. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013; 8 (1): 45-48. 3. Laperrière H, Ricardo Z. Sociopolitical determinants of an AIDS prevention program: multiple actors and vertical relationships of control and influence. Policy, Politics & Nursing Practice. 2006; 7 (2): 125-35. 4. Alistar SS, Brandeau ML. Decision making for HIV prevention and treatment scale up: bridging the gap between theory and practice. Medical Decision Making. 2012; 32 (1): 105-117. 5. Demartoto A. Hambatan dan peluang sosio-kultural untuk memperbaiki strategi pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS di Indonesia. dalam seminar nasional: Jaringan Epidemiologi Nasional, dengan tema: tantangan, strategi pengendalian terkini, dan pendekatan epidemiologi molekuler untuk penyakit infeksi virus HIV/AIDS, flu burung, SARS, ebola, dan MERS-CoV.Hotel Syariah (Lorin), Surakarta, 18 Oktober 2014. Surakarta: Jaringan Epidemiologi Nasional; 2014. health services and HIV testing: perspectives and experiences of women and men living with HIV and AIDS. Reproductive Health Matters. 2007; 159 (29): 113-135. 7. Harman S. Bottlenecks and benevolence: how the world bank is helping communities to ‘cope’ with HIV/AIDS. Journal of Health Management. Kesimpulan Kolaborasi governance antarpemangku kepentingan dalam pelayanan komprehensif berkesinambungan untuk menanggulangi HIV/AIDS di Kota Surakarta telah berjalan, namun belum efektif sehingga masih perlu banyak pembenahan demi tercapainya kualitas dan efektivitas kolaborasi. Terlebih terdapat konflik laten antarpemangku kepentingan dan kurang optimalnya koordinasi antar anggota KPAD Kota Surakarta. Pada tataran kebijakan makro, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Surakarta Tahun 2011 – 2015, isu HIV/AIDS belum menjadi isu prioritas yang berdiri sendiri. HIV/AIDS masih termaktub dalam kebijakan fasilitasi pengembangan jaminan sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial dan program pencegahan dan penanggulangan penyakit menular. Hal ini berdampak pada minimnya anggaran daerah untuk perencanaan dan pelaksanaan program serta komitmen kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta. 2009;11 (2): 297–313. 8. Khumsaen N, Aoup-por W, Thammachak P. Factors influencing quality of life among people living with HIV (PLWH) in Suphanburi Province, Thailand. Journal of the Association of Nurses in AIDS Care. 2012; 23 (1): 63-72. 9. Hellevik S B. The pattern and challenges to multisectoral HIV/AIDS coordination in Tanzania. International Review of Administrative Sciences. 2012; 78 (3): 554–75. 10. Berg R C, Gamst A, Said M, Aas K B, Songe S H, Fangen K, Rysstad O. True user involvement by people living with HIV is possible: description of a user-driven HIV clinic in Norway. Journal of the Association of Nurses in AIDS Care. 2015; 26 (6): 732-42. 11. Grossman C I, Ross A L, Auerbach J D, Ananworanich J, Dubé K, Tucker J D, Noseda V, Possas C, Rausch D M. Towards multidisciplinary HIV-cure research: integrating social science with biomedical. Trends in Microbiology. 2016; 24 (10): 5-11. 12. Alisjahbana B, Alam NN, Hastuti EB, Nurjanah, Tholib, Ayu D, et al (Eds). Pedoman layanan komprehensif HIV-AIDS &IMS di lapas, rutan dan bapas. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Direktorat Jenderal Penyuluhan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Saran Oleh karena individu dan atau lembaga yang berkolaborasi untuk menanggulangi HIV/AIDS memiliki nilai-nilai, keyakinan, dan pandangan operasional masingmasing, maka kolaborasi governance dalam pelayanan komprehensif berkesinambungan untuk menanggulangi HIV/AIDS seharusnya dilakukan dengan norma, struktur, dan proses yang jelas. 388 Manusia Republik Indonesia; 2012. 13. Donahue J. On collaborative governance. Corporate social responsibility initiative [Working Paper No. 2]. Cambridge: Kennedy School of Government, Harvard University; 2004. 14. Ansell C, Gash A. Collaborative governance in theory and practice. Journal of Public Administration Research and Theory. 2008; 18 (4): 543-571. 15. Brazil K, MacLeod S, Guest B. Collaborative practice: a strategy to im- Demartoto, Efektivitas Collaborative Governance dalam Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan untuk Menanggulangi HIV/AIDS prove the relevance of health services research. Health Manage Forum. 2002; 15 (3):18-24. 16. Nugroho R. Public policy. Jakarta: PT Gramedia; 2012. standing of the program. Journal of Human Behavior in the Social Environment. 2007; 15 (2-3): 271–89. 22. The Kesho Bora Study Group. Safety and effectiveness of antiretroviral 17. Gravelle M. Collaborative governance and changing federal roles a PPF drugs during pregnancy, delivery and breastfeeding for prevention of and PRI joint roundtable outcomes report. Ottawa: Public Policy mother-to-child transmission of HIV-1: the Kesho Bora Multicentre Forum; 2008. Collaborative Study rationale, design, and implementation. 18. Milward HB, Provan KG. A manager’s guide to choosing and using collaborative networks. networks and partnerships series. Washington DC: IBM Center for the Business of Government; 2006. 19. DeSeve GE. Creating managed networks as a response to societal challenges. Washington DC: IBM Center for the Business of Government; 2007. 20. Mckay MM, Paikoff RL, Eds. Collaborative partnerships: the foundation for HIV prevention research efforts. New York: Routledge; 2011. 21. Pinto RM, McKay MM, Wilson M, Phillips D, Baptiste D, Bell CC, et al. Correlates of participation in a family-based HIV prevention pro- Contemporary Clinical Trials. 2011; 32 (1): 74-85. 23. Siddiqui S, Sarro Y, Diarra B, Diallo H, Guindo O, Dabitao D, et al. Tuberculosis specific responses following therapy for TB: impact of HIV co-infection. Clinical Immunology. 2015; 159 (1): 1-12. 24. Denzin N K, Lincoln Y S (Eds). Handbook of qualitative research. California: Sage Publications Inc; 2000. 25. Patton MQ. Qualitative research & evaluation methods: integrating theory and practice. 4th ed. Thousand Oaks, CA: Sage Publication; 2014 26. Miles M B, Huberman A M, Saldana J. Qualitative data analysis: a methods sourcebook. California : Sage Publication Inc; 2014 gram: exploring African-American Women’s motivations and under- 389 MITRA BESTARI VOL. 9 NO. 4 MEI 2015 Redaksi Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari pada edisi ini antara lain: Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM, MKes, MSc.PH (FKM Universitas Hasanuddin) Prof. Dr. dr. Rachmadi Purwana, SKM (Departemen Kesehatan Lingkungan FKM Universitas Indonesia) Prof. Dr. dr. Tjipto Suwandi, MOH, SpOK (FKM Universitas Airlangga) Prof. Dr. dr. L. Meily Widjaja, MSc, SpOK (Departemen K3 FKM Universitas Indonesia) Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH (FKM Universitas Sumatera Utara) Prof. dr. Soedjaja Keman, MS, PhD (FKM Universitas Airlangga) Prof. Dr. dr. I Made Djaja, SKM, MSc (Departemen Kesehatan Lingkungan FKM Universitas Indonesia) Prof. Dr. dr. Stefanus Suriyanto, MS (FKM Universitas Airlangga) Dr. Dian Ayubi, SKM, MQIH (Departemen Pendidikan dan Ilmu Perilaku FKM Universitas Indonesia) Dr. Prijono Satyabhakti, MS, MPH (FKM Universitas Airlangga) Dr. Hermansyah Hasan, SKM, MPH (FKM Universitas Sumatera Utara) Dr. Pujiyanto, SKM, MKes (Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Indonesia) Zakianis, SKM, MKes (Departemen Kesehatan Lingkungan FKM Universitas Indonesia) Dr. Lucky Herawati, SKM, MSc (Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta) Dr. Kholis Ernawati, MKes (Fakultas Kedokteran Universitas Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia) Harry Freitag SGz, MSc (Departemen Gizi kesehatan Universitas Gajah Mada) Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH (Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM UI) Dr. Ir. Basuki Budiman, MKes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI) Dr. dr. Bagoes Widjanarko, MPH, MA (FKM Universitas Diponegoro) Dr. dr. Rachmat Hargono, MS, MPH (Departemen PKIP FKM Universitas Airlangga) Dr. Dra. Margareta Maria Sintorini, MKes (Teknik Lingkungan Universitas Trisakti) Dr. Emi Nurjasmi, MKes (Ikatan Bidan Indonesia) Indeks Mitra Bestari Indeks Mitra Bestari Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume 9, Agustus 2014 - Mei 2015 Redaksi Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para Mitra Bestari atas bantuannya pada Volume 9, No. 1 - 4: Abdur Rahman Andi Alfian Zainuddin Anies Irawati Anwar Daud Atikah Adyas Bagoes Widjanarko Basuki Budiman Besral Budi Anna Keliat Budi Hidayat Catarina Umbul W. Diah Mulyawati Utari Dian Ayubi Djazuly Chalidyanto E. Elsa Herdiana Murhandarwati Ede Surya Darmawan Ella Nurlaela Hadi Emi Nurjasmi Endang Laksminingsih Achadi Evi Martha Fatwasari Tetra Dewi Harry Freitag Hasanuddin Ishak Hermansyah Hasan I Made Djaja Indang Trihandini Irnawati Marsaulina Judhiastuty Februhartanty Kholis Ernawati Krisnawati Bantas Kusharisupeni L. Meily Kurniawidjaja Lucky Herawati Lukman Hakim M. Furqaan Naiem Margareta Maria Sintorini Prijono Satyabakti Puguh Prasetyoputra Pujiyanto Rachmadi Purwana Rachmat Hargono Ratu Ayu Dewi Sartika Ridwan Amiruddin Ririh Yudhastuti Rita Damayanti Rizanda Machmud Samsuridjal Djauzi Sandra Fikawati Santi Martini Soedjajadi Keman Sorimuda Sarumpaet Stefanus Supriyanto Supargiyono Suwito Syahrir A. Pasinringi Tjipto Suwandi Toha Muhaimin Tri Yunis Miko Wahyono Trina Astuti Tubagus Rachmat Sentika Veni Hadju Y. Denny Ardyanto W Zakianis Indeks Penulis Indeks Penulis Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume 9, Agustus 2014 - Mei 2015 Abidah Nur.............................................(2) : 144-149 Adila Prabasiwi......................................(3) : 282-287 Aditia Nugraha.......................................(3) : 257-263 Ahmad Husain Asdie............................. (2) : 121-129 Ahmad Syafiq.........................................(3) : 282-287 Anita Widiastuti..................................... (4) : 315-319 Aprilya Roza Werdani............................(1) : 71-77 Ardini S. Raksanagara........................... (2) : 157-163 Argyo Demartoto................................... (4) : 382-389 Asri C. Adisasmita................................. (1) : 64-70 Bagoes Widjanarko.................................(4) : 333-339 Benny Hasan Purwara............................(2) : 157-163 Besral..................................................... (3) : 222-228 Bhisma Murti......................................... (4) : 353-361 Bina Melvia Girsang...............................(3) : 288-292 Chatarina Umbul Wahyuni.................... (4) : 293-299 Dan Wolf Meyrowitsch...........................(1) : 58-63 Demsa Simbolon.................................... (3) : 235-242 Dewi Marhaeni Diah Herawati..............(1) : 78-86 Dewi Susanna........................................ (2) : 179-186, (2) : 194-200, (3) : 270-276 Dhimas Nirwana Yudha.........................(1) : 19-26 Dinyar Supiadi Widjaya......................... (3) : 257-263 Dita Nurhaifah....................................... (3) : 207-213 Djaswadi Dasuki.................................... (3) : 214-221 Doni Hikmat Ramdhan..........................(1) : 1–5 Dwi Hapsari...........................................(4) : 320-326 Dwi Sarwani Sri Rejeki..........................(2) : 137-143 Dyah Wulan S Rengganis Wardani........ (1) : 39-43 Eka Anggreni......................................... (3) : 277-281 Elda Nazriati.......................................... (4) : 327-332 Elly Nurachmah..................................... (1) : 14-18 Endang Sutisna Sulaeman......................(4) : 353-361 Erna Kusumawati.................................. (3) : 249-256 Ery Setiawan.......................................... (4) : 362-368 Fachmi Idris........................................... (1) : 94-100 Fachri Latif............................................ (2) : 101-106 Farida Wahyu Ningtyias......................... (2) : 121-129 Fenny Etrawati....................................... (4) : 375-381 Feranita Utama...................................... (4) : 375-381 Fitri Haryanti......................................... (1) : 50-57, (2) : 130-136 Hadyana Sukandar................................. (1) : 44-49 Hastuti Usman....................................... (1) : 44-49 Herta Masthalina................................... (4) : 340-347 Hesti Permata Sari................................. (3) : 249-256 I Ketut Suarjana.....................................(4) : 308-314 I Nyoman Widiarta Mahayasa................ (4) : 300-307 Ida Leida Maria......................................(2) : 101-106 Ii Sumarni.............................................. (2) : 179-186 Ika Dharmayanti.................................... (4) : 320-326 Ika Murtiyarini...................................... (1) : 78-86 Intje Picauly........................................... (4) : 300-307 Irvan Afriandi........................................ (1) : 78-86 Kadek Ayu Erika.................................... (1) : 14-18 Khadijah Azhar...................................... (4) : 320-326 Laksono Trisnantoro.............................. (1) : 50-57, (2) : 130-136 Lia Churniawati..................................... (4) : 293-299 Lientje K. Setyawati............................... (2) : 113-120 Luh Putu Sinthya Ulandari.................... Lusi Andriani......................................... Ma`mun Sutisna..................................... Madarina Julia........................................ (2) : 164-170 (3) : 235-242 (1) : 44-49 (1) : 50-57, (2) : 121-129, (2) : 130-136 Masni..................................................... (3) : 264-269 Menofeltus Darman............................... (2) : 171-178 Merry Natalia......................................... (4) : 348-352 Mohammad Hakimi................................ (1) : 87-93 Mugia Bayu Raharja............................... (1) : 6–13 Muhammad Syafar................................. (2) : 101-106 Mukni......................................................(3) : 288-292 Najmah....................................................(4) : 375-381 Nanik Setiyawati.................................... (3) : 201-206 Nelly Marissa.......................................... (2) : 144-149 Ngatemi.................................................. (3) : 277-281 Ni Made Sri Nopiyani............................. (2) : 164-170, (4) : 308-314 Niken Meilani..........................................(3) : 201-206 Nunung Nurhayati...................................(2) : 137-143 Nur Siyam............................................... (1) : 87-93 Nuzelly Husnedi......................................(4) : 328-332 Pande Putu Januraga...............................(4) : 308-314 Pandu Riono........................................... (2) : 107-112 Purwanta.................................................(1) : 19-26 Putu Ayu Indrayathi................................ (2) : 164-170, (4) : 308-314 Raden Ayu Aisyah................................... (2) : 194-200 Rahmadani Arnur....................................(3) : 243-248 Retno Gitawati........................................(1) : 27-31 Rico Januar Sitorus................................. (4) : 348-352 Rikawarastuti.......................................... (3) : 277-281 Rina Listyowati....................................... (2) : 164-170, (4) : 308-314 Rini Sundari............................................ (3) : 257-263 Rinidar.................................................... (2) : 150-156 Rizka Nur Fadila..................................... (2) : 107-112 Rolan Sudirman Pakpahan..................... (4) : 300-307 Rosdarni.................................................. (3) : 214-221 Rostika Flora...........................................(3) : 288-292 Rutho Armita Sari...................................(2) : 137-143 Saifuddin Sirajuddin............................... (3) : 264-269 Sandra Fikawati...................................... (3) : 282-287 Santi Martini........................................... (4) : 293-299 Septyana Choirunisa............................... (1) : 64-70 Setiyowati Rahardjo................................ (3) : 249-256 Sigit Purwanto........................................ (3) : 288-292 Sindu Setia Lucia.................................... (4) : 362-368 Siswanto Agus Wilopo............................ (1) : 87-93 Siti Arifah................................................(4) : 315-319 Sri Andarini Indreswari.......................... (1) : 32-38 Sugito...................................................... (2) : 150-156 Suhaema................................................. (4) : 340-347 Suharjo ...................................................(3) : 229-234 Suharyo .................................................. (1) : 32-38 Sukar....................................................... (3) : 229-234 Sumarni Djoko Waluyo........................... (3) : 214-221 Susy Sriwahyuni Sukiswo....................... (2) : 150-156 Syamsulhuda Budi Musthofa...................(4) : 333-339 Teni Supriyani......................................... (3) : 270-276 Theodorus............................................... (3) : 288-292 Indeks Penulis Titih Huriah............................................ (1) : 50-57, (2) : 130-136 Tri Wahyuni Sukesi................................. (3) : 207-213 Triyanti ...................................................(1) : 71-77 Umar Fahmi Achmadi.............................(3) : 270-276 Umi Lutfiah.............................................(4) : 362-368 Wahyu Dwi Astuti...................................(3) : 235-242 Wahyu Septiono...................................... (1) : 58-63 Wanti.......................................................(2) : 171-178 Waryana.................................................. (4) : 353-361 Wasilah Rochmah................................... (2) : 113-120 Willa Follona.......................................... (2) : 157-163 Winne Widiantini.................................... (3) : 222-228 Wiwin Renny Rachmawati...................... (4) : 315-319 Wiwit Aditama........................................ (4) : 369-374 Yayi Suryo Prabandari............................ (1) : 19-26, (2) : 113-120, (2) : 121-129 Yeni ........................................................ (4) : 375-381 Yeni Mahwati ......................................... (2) : 187-193 Zahroh Shaluhiyah..................................(4) : 333-339 Zahtamal................................................. (2) : 113-120 Zulfikar................................................... (4) : 369-374 Zulkifli Djunaidi..................................... (3) : 243-248 Indeks Subjek Indeks Subjek Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume 9, Agustus 2014 - Mei 2015 Aedes aegypti.........................................(3) : 207-213 Aedes sp................................................. (2) : 171-178 Air minum isi ulang............................... (4) : 300-307 Air perasan jeruk manis......................... (3) : 207-213 Air susu ibu............................................(1) : 78-86, (2) : 144-149, (4) : 315-319 Akses informasi kesehatan..................... (4) : 353-361 Akses......................................................(4) : 308-314 Aktivitas fisik......................................... (1) : 71-77, (2) : 113-120, (3) : 222-228 Anak usia 0-4 tahun............................... (2) : 194-200 Anak usia 1-14 tahun............................. (1) : 87-93 Anak.......................................................(4) : 320-326 Anemia...................................................(3) : 264-269 Anemia...................................................(3) : 288-292 Annual parasite insidence...................... (2) : 137-143 Antiretroviral......................................... (2) : 101-106 Antropometri......................................... (3) : 243-248 ASI eksklusif.......................................... (3) : 282-287 Asupan energi........................................ (3) : 282-287 Asupan karbohidrat............................... (1) : 71-77 Asupan makan....................................... (1) : 14-18 Asupan vitamin D.................................. (1) : 87-93 Badan layanan umum.............................(2) : 164-170 Balita...................................................... (1) : 50-57, (2) : 130-136, (2) : 144-149 Batita......................................................(3) : 249-256 Berat badan bayi.....................................(4) : 315-319 Bioindikator timbal................................ (3) : 229-234 Breatau index........................................ (2) : 171-178 Child healthcare model.......................... (1) : 14-18 Children................................................. (1) : 58- 63 Collaborative governance..................... (4) : 382-389 Container index..................................... (2) : 171-178 Daerah bebas......................................... (2) : 171-178 Daerah bukan konflik............................ (1) : 43-49 Daerah konflik....................................... (1) : 43-49 Daerah tempat tinggal............................(1) : 6-13 Demam berdarah dengue....................... (1) : 87-93, (2) : 171-178, (4) : 369-374 Depot air minum.................................... (4) : 300-307 Determinan sosial.................................. (1) : 39-43 Diabetes melitus.....................................(3) : 277-281 Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta..(1) : 94-100 Drug storage...........................................(1) : 27-31 Efek samping obat.................................. (2) : 101-106 Efektivitas.............................................. (4) : 382-389 Elderly.................................................... (2) : 187-193 Endemis..................................................(2) : 171-178 Ergonometri........................................... (3) : 243-248 Escherchia coli...................................... (4) : 300-307 Ethical drugs.......................................... (1) : 27-31 Evaluasi..................................................(1) : 78-86 Fasilitas kesehatan tingkat primer..........(4) : 327-332 Fasilitas kesehatan tingkat sekunder...... (4) : 327-332 Fasilitator kesehatan.............................. (4) : 353-361 Fertilitas................................................. (1) : 6-13 Gangguan akibat kekurangan iodium.... (2) : 121-129 Gaya hidup.............................................(4) : 293-299 Genom................................................... (1) : 1-5 Gizi buruk..............................................(1) : 64-70 Goitrogenik............................................ (2) : 121-129 Hepatitis A............................................. (2) : 179-186 HIV/AIDS............................................. (2) : 101-106, (4) : 333-339 Home care.............................................. (2) : 130-136 House index........................................... (2) : 171-178 Household.............................................. (1) : 27-31 Ibu hamil................................................(3) : 288-292 Implementasi..........................................(2) : 164-170 Industri minyak...................................... (3) : 229-234 Infeksi malaria....................................... (3) : 288-292 Insiden................................................... (1) : 39-43 Intervensi............................................... (4) : 375-381 Jaminan kesehatan nasional................... (4) : 308-314 Jaringan periodontal...............................(3) : 277-281 Jentik Aedes sp...................................... (4) : 369-374 Jumlah konsumsi rokok..........................(3) : 257-263 Jumlah pendatang.................................. (2) : 137-143 Kadar gula darah puasa......................... (1) : 71-77 Kadar IFN-g........................................... (1) : 32-38 Kadar TNF-α α..........................................(3) : 288-292 Karakteristik demografi......................... (1) : 50-57 Karakteristik.......................................... (2) : 150-156 Kawasan tanpa rokok.............................(4) : 375-381 Kebiasaan makan bersama.....................(2) : 179-186 Kebiasaan sarapan pagi..........................(3) : 264-269 Kebijakan............................................... (2) : 164-170 Kecacingan.............................................(3) : 264-269 Kehamilan..............................................(3) : 235-242 Kelambu berinsektisida..........................(2) : 194-200 Kepadatan penduduk............................. (2) : 137-143 Kepatuhan..............................................(2) : 101-106, (2) : 107-112 Kepemimpinan....................................... (4) : 353-361 Kesehatan masyarakat............................(1) : 1-5 Ketersediaan informasi.......................... (3) : 201-206 Kartu jakarta sehat................................ (1) : 94-100 Koliform.................................................(4) : 300-307 Kondisi kesehatan lingkungan............... (2) : 179-186 Konseling menyusui............................... (1) : 78-86 Kontak serumah.....................................(1) : 32-38 Lama merokok....................................... (3) : 257-263 Larvasida................................................(3) : 207-213 Lingkungan............................................ (2) : 150-156 Luas wilayah.......................................... (2) : 137-143 Makanan penghambat zat besi............... (3) : 264-269 Makanan sumber heme.......................... (3) : 264-269 Malaria................................................... (2) : 137-143, (2) : 150-156, (2) : 194-200, (3) : 270-276 Malnutrisi akut berat............................. (1) : 50-57 Malnutrisi akut berat............................. (2) : 130-136 Media lingkungan...................................(3) : 229-234 Modal sosial........................................... (4) : 353-361 Multimorbidity....................................... (2) : 187-193 Nutrigenomik......................................... (1) : 1-5 Obesitas abdominal................................(4) : 293-299 Obesitas................................................. (1) : 14-18 Indeks Subjek Obesitas................................................. (3) : 222-228 Orang dengan HIV/AIDS...................... (4) : 333-339 Over the counter drugs.......................... (1) : 27-31 Overweight.............................................(1) : 14-18 Ovitrap bambu....................................... (4) : 369-374 Panjang badan lahir pendek...................(3) : 235-242 Parameter trombosit...............................(3) : 257-263 Parental control......................................(1) : 58- 63 Parental support.....................................(1) : 58- 63 Pecandu narkotika................................. (4) : 348-352 Pekerja migran....................................... (3) : 270-276 Pekerja perusahaan................................ (2) : 113-120 Pekerja seks perempuan.........................(4) : 308-314 Pelaksanaan Jamkesmas.........................(4) : 362-368 Pelayanan kesehatan berjenjang............ (1) : 94-100 Pemberdayaan keluarga......................... (3) : 249-256 Pembiayaan kesehatan........................... (1) : 64-70 Pendataan program perlindungan sosial (4) : 362-368 Penanggulangan HIV/AIDS.................. (4) : 382-389 Pencetus asma........................................ (4) : 320-326 Pendapatan daerah.................................(1) : 64-70 Pendewasaan usia perkawinan...............(2) : 157-163 Pendidikan kelompok sebaya................. (2) : 157-163 Pengetahuan...........................................(1) : 19-26, (2) : 157-163 Pengguna narkotika............................... (4) : 348-352 Pengobatan tuberkulosis........................ (2) : 107-112 Pengolahan makanan............................. (2) : 121-129 Penyakit infeksi...................................... (2) : 144-149, (3) : 249-256 Penyuluhan gizi......................................(2) : 121-129 Peran petugas kesehatan........................ (4) : 353-361 Perdesaan............................................... (2) : 157-163 Perilaku..................................................(2) : 150-156, (4) : 375-381 Perilaku hidup bersih dan sehat.............(2) : 179-186 Perilaku merokok...................................(4) : 320-326 Perilaku seksual berisiko....................... (4) : 348-352 Perilaku seksual pranikah...................... (3) : 214-221 Perkembangan pertumbuhan................. (1) : 43-49 Perkotaan............................................... (2) : 157-163 Persepsi ketidakcukupan ASI................ (3) : 282-287 Persepsi.................................................. (1) : 19-26 Personal................................................. (3) : 214-221 Pola konsumsi makanan.........................(4) : 340-347 Pola konsumsi........................................ (3) : 264-269 Prehipertensi.......................................... (4) : 293-299 Prevalensi sindrom metabolik................ (2) : 113-120 Puskesmas.............................................. (2) : 164-170 Rejimen.................................................. (2) : 107-112 Remaja................................................... (1) : 6-13, (2) : 157-163, (3) : 214-221 Reseptif.................................................. (3) : 270-276 Resurgensi..............................................(3) : 270-276 Rujukan nonspesialistik......................... (4) : 327-332 Rumah tangga........................................ (4) : 375-381 Rural...................................................... (1) : 50-57 Sepeda motor..........................................(3) : 243-248 Shisha.....................................................(1) : 19-26 Sikap...................................................... (2) : 157-163 Siklus kehidupan....................................(3) : 235-242 Sindrom metabolik.................................(4) : 340-347 Smoking................................................. (1) : 58- 63 Sosial ekonomi....................................... (2) : 150-156 Status gizi...............................................(2) : 130-136, (3) : 282-287 Stigma masyarakat................................. (4) : 333-339 Stres....................................................... (3) : 222-228 Stunting..................................................(3) : 249-256 Survei sosial ekonomi nasional.............. (4) : 362-368 Teknik marmet....................................... (4) : 315-319 Tes HIV ibu hamil..................................(3) : 201-206 Tingkat keparahan................................. (1) : 87-93, (3) : 277-281 FORMULIR BERLANGGANAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Alamat Telepon E-mail Edisi : ...................................................................................................................... : ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... : ...................................................................................................................... : ...................................................................................................................... : ...................................................................................................................... Bersedia untuk menjadi pelanggan Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional dengan biaya Rp. 300.000,-/tahun/4 edisi (sudah termasuk ongkos kirim)*. ..................................., .................... (......................................................) *Apabila membeli edisi sebelumnya dan lebih dari 2 eksemplar per transaksi dikenakan biaya ongkos kirim Pembayaran ditransfer ke: FKM UI BANK BNI KANTOR CABANG UI DEPOK NO REK. 0067984984 Bukti transfer beserta formulir ini dikirimkan ke: Redaksi Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Gd. A Lt. 3 Rumpun Ilmu Kesehatan Kampus Baru UI, Depok 16424 Hp. 0815-1141-6600 atau email: [email protected]