BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit jantung koroner (PJK) yangmemiliki risiko komplikasi serius bahkan kematian penderita. Penyakit jantung koroner meliputi stable angina pectoris, unstable angina pectoris, infark miokard akut (IMA) tanpa peningkatan gelombang ST dan dengan peningkatan gelombang ST (Trisnohadi, 2006). Stable Angina pectoris adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium berlangsung beberapa menit sampai kurang dari 20 menit, bila lebih dari 20 menit dan berat harus dipertimbangkan unstable angina pectoris sehingga dimasukkan dalam sindrom koroner akut (SKA) (Ogaswara, 2004). Penyakit Jantung Koroner terjadi karena proses atherosklerosis yang menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah koroner (stenosis arteri koroner). Penyempitan tersebut menyebabkan gangguan aliran darah sehingga dapat terjadi kekurangan pasokan oksigen bagi sel otot jantung yang menerima darah dari pembuluh darah yang terkena. Otot jantung yang mengalami nekrosis akan mengeluarkan makromolekul seperti protein dan enzim tertentu yang dapat menjadi penanda biokimia (Milioti, 2008). Proses atherosklerosis koroner timbul akibat perubahan pada vaskular yang progresif sehingga mengakibatkan berkembangnya 1 plak di arteri koroner 2 (Shitrit,2004). Pada beberapa studi ditunjukkan bahwa sistem fibrinolisis endogen teraktivasi pada stadium stable dan unstable atherosklerosis di jantung (Tataru,1999).Sindroma Koroner Akut timbul akibat terjadinya ruptur yang selanjutnya menghambat aliran darah dan mengakibatkan iskemia jantung (Sharis,2010). Penyakit Jantung Koroner saat ini merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara maju maupun di negara berkembang, termasuk Indonesia.Penyakit ini menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, apalagi dengan adanya fasilitas diagnostik yang semakin tersebar merata.Menurut WHO pada tahun 2004 di negara berkembangPJK menempati peringkat ke-2 penyebab kematian setelah stroke atau penyakit serebrovaskular lainnya dengan angka kematian 3,40 juta jiwa sedangkan di negara maju merupakan penyebab utama kematian dengan angka kematian 1,33 juta jiwa dan secara keseluruhan, PJK merupakan penyebab utama kematian dengan angka kematian 7,20 juta jiwa dari jumlah penduduk dunia. Di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan PJK menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi (Yuniarti, 2000) Perkiraan jumlah kematian pada tahun pertama setelah diagnosis PJK berkisar dari sekitar 22.500 di Spanyol untuk lebih dari 90.000 di Jerman. Kontribusi terbesar untuk total biaya yang tinggal di rumah sakit dan tindakan revaskularisasi adalah farmasi diperkirakan mencapai 14-25% dari total biaya PJK. Total biaya PJK di Inggris diperkirakan sekitar 1,9 miliar Euro, dibandingkan dengan 1,3 miliar Euro di 3 Prancis, 3,3 miliar Euro di Jerman, 3,1 miliar Euro di Italia dan 1,0 miliar Euro di Spanyol. Biaya per pasien PJK berkisar 7009 Euro (di Inggris) untuk 12.086 Euro (Italia) (Taylor,2007) Parameter biokimiawi pada masa lalu digunakan sebagai goldstandard yaitu aktivitas enzim Creatine Kinase (CK) dan CK-MB yang termasuk dalam definisi WHO untuk infark miokard. Karena keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas telah diperkenalkan penanda biokimiawi baru seperti, mioglobin, cardiac troponin (cTn) T dan cTn I, namun pada pasien Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina Pectoris kadar troponin dalam serum belum meningkat. Penegakkan diagnosis Stable Angina Pectorisadalah berdasarkan angiografi untuk menilai derajat stenosis, namun bersifat invasif dan butuh persiapan tertentu untuk melaksanakan tindakan tersebut, sedangkan Unstable Angina Pectorispadaelektrokardiografi (EKG) menunjukkan gambaran yang tidak spesifik berupa ST depresi dan T inversi(Songa, 2009).. Serum Amyloid A (SAA) dikenal sebagai protein fase akut yang muncul sebagai respon inflamasi kronis dan akut, serta keberadaannya meningkat seiring dengan derajat stenosis, Kadar SAA dapat meningkat mencapai 1000 kali lipat sehingga menjadi penanda yang sangat sensitif terutama pada kasus koroner. Beberapa fakta menunjukkan bahwa SAA mempunyai peran patofisiologi dalam atherosklerosis. Pertama SAA ditemukan sebagai apolipoprotein dalam partikel High Density Lipoprotein (HDL) dan berperan dalam modifikasi akut transport kolesterol selama stress fisiologis. Kedua, SAA menunjukkan efek kemotaktik terhadap 4 monosit.Ketiga, SAA terdapat pada lesi atherosklerosis manusia dan juga dapat diproduksi oleh dinding arteri(Fyfe et al., 1997). Selama proses atherosklerosis SAA dihasilkan baik oleh hepar maupun pada lesi atheroskerosisnya sendiri, yang merupakan hasil dari proses inflamasi pada lesi atherosklerosis. Kaitan SAA sebagai penanda Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina SAA Pectorisadalah berperan dalam pembentukan atherosklerosis.Apolipoprotein SAA bertindak sebagai kemoatraktan bagi monosit, T limfosit, dan memungkinkan terjadinya induksi kerusakan vaskuler serta menginduksi ekspresi matriks metalloproteinase dan pada akhirnya menimbulkan atherogenesis (Badolatoet al., 1994; Xu et al., 1995). Kemanfaatan SAA pada pasien Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina Pectorismasih diperlukan untuk tindakan preventif pada pasien Stable Angina Pectorisberkembang menjadi Unstable Angina Pectorisdan SKA (Songa, 2009). Penelitian terkait SAA terhadap kejadian Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina Pectorismasih belum banyak dilakukan di Indonesia serta peranan SAA dalam keterlibatan perkembangan angina pectoris masih kontroversial sehingga peneliti ingin mengetahui perbedaan kadar SAA pada pasien Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina Pectoris. B. Permasalahan Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 5 1. Sangat penting adanya penanda dini terhadap terjadinya SKA pada pasien Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina Pectoris. Penanda penyakit jantung seperti CK, CKMB dan Troponin I yang dilakukan selama ini merupakan penanda terjadinya nekrosis otot jantung sedangkan faktorfaktor yang terjadi saat iskemia sebelum terjadinya nekrosis masih perlu diteliti. 2. Sampai saat ini menegakkan diagnosis Stable Angina Pectorisdan unstable angina pectoris masih berdasarkan angiografi koroner yang bersifat invasif perlu persiapan dan kontraindikasi pada pasien tertentu. 3. Pemeriksaan Serum Amyloid A bersifat non-invasif tanpa persiapan khusus terhadap pasien relatif lebih murah dan mudah dilakukan. 4. Serum amyloid A merupakan protein fase akut dan kadarnya dapat meningkat mencapai 1000 kali lipat, sehingga menjadi penanda yang sangat sensitif terutama pada kasus koroner. 5. Serum amyloid A berperan sebagai apolipoprotein HDL dan pemindahan apolipoprotein A-1 oleh SAA sehingga mengubah fungsi HDL dari menghambat oksidasi LDL menjadi meningkatkan oksidasi LDL selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel sebagai awal terjadi mekanisme atherosklerosis pada Stable Angina Pectoris. 6. Serum Amyloid A menurunkan produksi kolagen dan matriks yang selanjutnya mengakibatkan menipisnya fibrous caps ditambah dengan 6 aktifnya enzim protease sehingga memicu terjadinya ruptur plak sebagai awal terjadinya mekanisme Unstable Angina Pectoris. 7. Sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian terhadap SAA pada pasien Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina Pectoris. C. Pertanyaan penelitian Adakah perbedaan kadarSerum Amyloid A pada pasien Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina Pectoris? D. Keaslian penelitian Kestenbaun etal. pada tahun 1986 di Israel melakukan pengukuran kadar serum amyloid A terhadap 41 subjek dengan acute ischemic heart disease dengan metode radioimmunoassay. Terjadi peningkatan kadar serum amyloid A setelah onset infark awal. Memuncak pada hari ketiga dengan kadar serum amyloid A lebih dari 2200 kali nilai normal. Fyfe et al. pada tahun 1997 meneliti hubungan antara serum amyloid A dengan coronary disease. Pengukuran serum amyloid A menggunakan metode ELISA dan didapatkan hasil adanya peningkatan SAA pada pasien transplantasi koroner dan koroner atherosklerosis spontan. Hal ini membuktikan hubungan patofisiologis yang potensial antara inflamasi dengan perkembangan atherosklerosis. Johnson et al. pada tahun 2004 melakukan penelitian terhadap 705 pasien wanita dengan mengukur SAA sebagai prediktor Coronary Artery Disease and Cardiovascular Outcome. Dari penelitian tersebut, pasien stable angina dan sindrom koroner akut dengan inflamasi sistemik, manisfestasi tingkat SAA yang tinggi, 7 memicu destabilisasi plak atherosklerotik, dan mempunyai efek langsung terhadap aterogenesis. Fillepet al. pada tahun 2008 meneliti pada 40 pasien dengan mengukur kadar SAA yang berpotensi sebagai protrombotik dan proinflamasi pada sindrom koroner akut dengan menggunakan metode ELISA. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa SAA sebagai mediator untuk terjadinya protrombotik dan proinflamasi pada sindrom koroner akut dengan memperberat aterogenesis dan komplikasinya. Yusnitasari, pada tahun 2011 meneliti profil SAA pada 60 pasien SKA, mendapatkan perbedaan bermakna kadar Serum Amyloid Aantara unstable angina pectoris, non ST elevasi myocard infarct (NSTEMI) dan ST elevasi myocard Infarct (STEMI) Pada penelitian ini mengukur kadarSerum Amyloid A dengan metode ELISA pada pasien Stable Angina Pectorisdan Unstable angina pectoris di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. E. Manfaat penelitian 1. Bagi dokter Dengan mengetahui perbedaan kadar SAA pada pasien Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina Pectorisklinisi dapat mengetahui perkembangan penyakit sehingga dapat memberikan tindakan preventif terhadap terjadinya sindrom koroner akut lebih dini. 2. Bagi pasien (masyarakat) 8 Dengan mengetahui perbedaan kadar SAA pada pasien Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina Pectorisdiharapkan masyarakat dapat melakukan pencegahan sejak dini dengan mengubah gaya hidup dan melakukan aktifitas fisik yang cukup, untuk mengurangi faktor risiko. 3. Bagi peneliti Dengan mengetahui perbedaan kadar SAA pada pasien Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina Pectoris,membuktikan bahwa SAA sangat berkaitan dengan perkembangan proses atherosklerosis yang dapat berkembang menjadi SKA, dan dapat memberikan saran bagi klinisi dan masyarakat tentang SAA sebagai parameter skrining SKA. F. Tujuan Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kadar SAApada pasien Stable Angina Pectorisdan Unstable Angina Pectorisdi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.