BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Gagal Jantung Kongestif / Congestive Heart Failure 1.1 Definisi Gagal Jantung Kongestif Congestive Hearth Failure / CHF atau lebih sering dikenal dengan gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh, keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung (Erwinanto, 2007). Gagal jantung kongestif juga dapat didefenisikan sebagai kondisi dimana jantung mengalami kegagalan dalam memompa darah untuk mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat (Udjianti, 2013). 1.2 Etiologi gagal jantung kongestif Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi gangguan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Menurut Brunner and Suddarth (2002) Volume sekuncup adalah darah yang dipompa pada setiap konteraksi tergantung pada tiga faktor, yaitu freload, konteraktilitas dan afterload. 1. Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot jantung. 7 Universitas Sumatera Utara 8 2. Konteraktilitas mangacu pada perubahan kekuatan konteraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan jantung dan kadar kalsium 3. Afterload mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan teknan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol. Penyebab dari gagal jantung kongestif adalah kelainan otot jantung yang nantinya akan berdampak pada penurunan kontraktilitas jantung, pada pasien dengan aterosklerosis koroner, peradangan dan penyakit miokardium degeneratif juga akan mengalami penurunan kontraktilitas otot jantung yang sebelumnya akan didahului terjadinya infark miokardium. Hipertensi juga menjadi salah satu penyebab CHF ke-2 setelah kelainan otot jantung, hipertensi akan menyebabkan hipertrofi serabut otot jantung (Ardiansyah, 2012) 1.3 Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif Dalam gagal jantung kongestif terdapat klasifikasi yang menunjukkan tingkatan keparahan dari kondisi pasien, menurut New York Heart Assosiation / NYHA (2008) klasifikasi CHF dibagi menjadi 4 yaitu : 1. Kelas I : Bila pasien dapat melakukan aktivitas yang berat tanpa sesak napas dan kelebihan 2. Kelas II : Bila ada sedikit keterbatasan aktivitas fisik, aktivitas fisik biasa menyebabkan keletihan dan sesak nafas namun dengan istiraht maka gejala akan hilang Universitas Sumatera Utara 9 3. Kelas III : Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa keluhan, biasanya pada keadaan ini telah edema pulmona 4. Kelas IV : Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring, sesak nafas bahkan terjadi ketika pasien istrahat 1.4 Manifestasi Klinis Gagal Jantung Kongestif Pasien dengan Gagal Jantung Kongestif banyak tanda dan gejala yang akan muncul. Tanda dan gejala itupun dapat berbeda sesuai dengan letak kegagalan jantung. Pada gagal jantung akan menunjukkan sesak nafas, edema ekstremitas bawah, penambahan berat badan, hepatomegali, anorexia, mual, nokturia dan kelemahan, sedangkan pada gagal jantung kiri gejala yang akan terlihat antara lain sesak nafas, orthpneu, sianosis, oligiria, mudah lelah, edema pulmonal, Dispneu Nokturnal Paroksimal / DNP (Kasron, 2012) 1.5 Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif Banyak hal-hal yang mendasari terjadinya CHF, diantaranya kelainan otot jantung, ateroklerosis koroner, hipertensi dan mikardium degeneratif, dari semua penyakit tersebut akan menyebabkan kondisi dimana kontraktilitas jantung menurun sehingga terjadilah CHF. Mekanisme yang mendasari CHF juga meliputi menurunnya kemampuan kontratilitas jantung sehingga darah yang dipompa pada setiap kontriksi menurun dan menyebabkan penurunan suplai darah keseluruh tubuh. Karena suplai darah ke ginjal juga menurun maka akan terjadi Universitas Sumatera Utara 10 pelepasan RAA (retin, angiotensin, aldosteron), dari pelepasan tersebut maka akan terbentuk angiotensin II sehingga menyebabkan retensi natrium dan air, perubahan tersebut mengakibatkan peningkatan cairan ekstra-intravaskular sehingga terjadi ketidakseimbangan volume cairan dan tekanan maka terjadilah edema. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Gagal jantung yang berlanjut dapat menyebabkan asites yang dapat menimbulkan mual, muntah dan anoreksia. (Brunner & Suddarth, 2002) Mekanisme yang terjadi juga akan menyebabkan suplai darah ke paru-paru menurun dan darah tidak masuk ke jantung, keadaan ini menyebabkan penimbunan cairan di paru-paru sehingga akan menurunkan pertukaran O2 dan CO2, situasi ini akan menimbulkan sesak nafas, orthopneu, paroxysmal nocturnal dyspnea. Apabila terjadi pembesaran vena di hepar maka akan mengakibatkan hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan. Suplai darah yang kurang didaerah otot dan kulit menyebabkan kulit menjadi pucat dan dingin serta timbul gejala seperti letih, lemah dan lesu (Muttaqin, 2012) 1.6 Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif Penatalaksanaan penderita gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara farmakologis dan non farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi untuk penataklaksanaan paripurna penderita gagal jantung. Penatalaksanaan medis dapat diberikan obat – obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain: diuretik (loop dan thiazide) , angiotensin Universitas Sumatera Utara 11 converting enzyme inhibitors, β blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol), digoxin, spironolakton, vasodilator (hydralazine / nitrat), antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif inotropik. Sedangkan penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat (Mariyono, 2007) Penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan menurut Rani (2006) antara lain istirahatkan pasien untuk mengurangi konsumsi oksigen, pantau tandatanda vital, edukasikan keadaan yang terjadi pada pasien agar tidak timbul kecemasan, berikan kenyamanan untuk pasien mengenai istirahat dan tidurnya. 1.7 Komplikasi Gagal Jantung Kongestif Menurut Brunner & Suddarth (2002) komplikasi yang dapat terjadi pada gagal jantung kongestif adalah: 1) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin. Universitas Sumatera Utara 12 2) Kompikasi fibrasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin). 3) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis ditinggikan. 4) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodarum, β blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkun turut mempunyai peranan. Menurut Ardiansyah (2012) komplikasi yang dapat terjadi pada pasien CHF antara lain syok kardiogenik dimana akan terjadi kehilangan 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vokal di seluruh ventrikel. Efusi dan tamponade perikardium juga menjadi komplikasi dari Congestive Hearth Failure. 1.8 Pemeriksaan Penunjang Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu : 1) Elektro kardiografi (EKG) Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpanan aksis, iskemia, disritmia, takikardi, fibralasi atrial. 2) Scan Jantung Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding 3) Sonogram (Echocardiogram, achokardiogram doppler) Universitas Sumatera Utara 13 Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau area penurunan kontraktilitas ventricular 4) Kateterisasi Jantung Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung kanan dan kiri dan stenosis katub atau insufisiensi 5) Rongent dada Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal 6) Oksimetri nadi Saturasi oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif akut menjadi kronis 7) Elektrolit Mungkin berubah karena perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal, terapi diuretik. 8) Analisa Gas darah (AGD) Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratori ringan (dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir) 9) Pemeriksaan Tiroid Peningkatan aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre pencetus gagal jantung kongestif. Universitas Sumatera Utara 14 2. Konsep Tidur 2.1 Pengertian Tidur Tidur adalah perubahan alami status kesadaran yang biasanya terjadi pada manusia dalam irama biologis 24 jam atau bioritme (Brooker, 2009). Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang yang bersifat reversible, dan dapat dibangunkan kembali dengan rangsangan yang cukup (Asmadi, 2008) Tidur adalah proses pemulihan dimana proses ini bermanfaat mengembalikkan kondisi seseorang pada keadaan semula, yaitu tubuh yang tadinya mengalami kelelahan akan menjadi segar kembali. Proses pemulihan yang terhambat dapat menyebabkan organ tubuh tidak bisa bekerja dengan maksimal, akibatnya orang yang kurang tidur akan cepat lelah dan mengalami penurunan konsentrasi (Ulumuddin, 2011) 2.2 Fisiologi Tidur Tidur merupakan suatu keadaan yang kompleks yang melibatkan sistem saraf pusat, saraf tepi, endokrin, vaskular, respirasi, dan muskuluskeletal. Pangaturan dan kontrol aktivitas tidur-bangun dilakukan oleh Reticular Activating System (RAS). RAS terletak di formatio retikularis di batang otak yang merupakan sistem saraf pusat yang berfungsi sebagai promotor dari siklus tidurbangun. RAS itu sendiri terdiri dari kelompok-kelompok sel dan nukleus, interneuron serta traktus dan descenden yang seluruhnya saling berhubungan satu sama lain. (Barret, 2010) Universitas Sumatera Utara 15 RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan bagian atas fons. Selain itu RAS dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulsi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan tidur, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, (2005) 2.3 Tahapan Tidur Dari penyelidikan Aden (2012) yang telah dilakukan dengan menggunakan alat electroencephalograph yang mencatat kegiatan listrik otak selama tidur, didapatkan 2 tipe utama dari tidur, yaitu : 1) Non Rapid Eye Movement (NREM) Sleep, yang dibutuhkan untuk istirahat fisik. Tidur tife NREM mempunyai 3 tahap: a. Tahap pertama, aktivitas otak sama seperti seseorang yang terjaga, dimana ia mulai merasa mengantuk, tetapi masih sadar terhadap keributan dan suara di sekitarnya. b. Tahap kedua, gelombang otak menjadi lebih lambat dan bertambah besar dan orang tersebut menjadi rileks. Pada tahap ini sudah lebih sulit untuk membangunkan orang tersebut. c. Tahap ketiga, gelombang seseorang menjadi besar dan lebih lambat, yang dikenal dengan gelombang delta. Seseorang akan merasakan Universitas Sumatera Utara 16 suasana rileks yang mendalam dimana ia sama sekali tidak sadar terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Inilah yang disebut tidur yang nyenyak. 2) Rapid Eye Movement (REM) Sleep, yang dibutuhkan untuk istirahat mental. Pada tahapan tidur REM ini ada dua kejadian penting yang dialami manusia: a. Tahap pertama, terjaadi penyimpanan dan retensi daya ingat. Pada saat tidur REM, terjadi pengaktifan neuron yang intensif yang menyebar ke atas dari batang otak. Hal ini dianggap sebagai penyebab meningkatnya penyimpanan dan retensi ingatan, serta memperbaiki kemampuan pengaterisasian informasi. b. Tahap kedua, terjadi proses organisasi dan reorganisasi ingatan. Berbagai informasi yang ada dan melekat dalam ingatan ditata sebagaimana penataan folder dalam komputer. Dalam kondisi tidur nyeyak, otak meningkatkan ingatan kembali, dalam tahap ini selalu terjadi mimpi meskipun hal itu tidak diingat keesokan harinya. 2.4 Fungsi Tidur Tidur dapat berfungsi dalam pemeliharaan fungsi jantung terlihat pada denyut turun 10 hingga 20 kali setiap menit. Selain itu, selama tidur, tubuh melepaskan hormon pertumbuhan untuk memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan khusus seperti sel otak. Otak akan menyaring informasi yang telah terekam selama sehari dan otak mendapatkan asupan oksigen serta aliran darah serebral dengan optimal sehingga salama tidur terjadi penyimpana memori dan Universitas Sumatera Utara 17 pemulihan kognitif. Fungsi lain yang dirasakan ketika individu tidur adalah reaksi otot sehingga laju metabolik basal akan menurun. Hal tersebut dapat membuat tubuh menyimpan lebih banyak energi saat tidur. Bila individu kehilangan tidur selama waktu tertentu dapat menyebabkan perubahan fungsi tubuh, baik kemampuan motorik, memori maupun keseimbangan. Jadi tidur dapat membantu perkembangan perilku individu yang mengalami masalah pada tahap REM akan merasa bingung dan curiga. (Potter & Perry, 2005) 2.5 Pola Tidur Pola tidur adalah ritme jadwal tidur dan bangun seseorang dalam jangka waktu tertentu pada malam hari dan meliputi waktu untuk memulai tidur, frekuensi terbangun malam, kepuasan tidur, kedalaman tidur dan konsetrasi beraktivitas. Istirahat dan tidur yang sesuai sama pentingnya bagi kesehatan, kesehatan fisik dan emosi tergantung pada kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Tanpa jumlah istirahat dan tidur yang yang cukup kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan, dan berpartisipasi dalam aktivitas harian akan menurun, dan meningkatkan iritabilitas (Potter & Perry, 2005) Dalam Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) (Smyth, 2012) terdapat instrumen untuk meneliti tentang kebiasaan tidur seseorang yang meliputi jadwal tidur di malam hari, waktu memulai tidur, jadwal bangun pagi, total jam tidur, gangguan tidur di malam hari, kualitas tidur, penggunaan obat tidur, konsentrasi Universitas Sumatera Utara 18 dalam melakukan aktivitas, masalah yang dapat terselesaikan selama bulan lalu, dan teman satu kamar. a. Waktu yang diperlukan untuk tidur Secara normal orang dewasa dimulai dengan periode sebelum tidur. Selama seseorang terjaga hanya pada rasa kantuk yang bertahap dan berkembang secara teratur. Periode ini secara normal berakhir 10 hingga 30 menit, tetapi untuk seseorang yang memiliki kesulitan untuk tertidur, akan berlangsung satu jam atau lebih (Potter & Perry, 2005) b. Total waktu jam tidur Kebanyakan orang dewasa tidur malam harirata-rata 6 sampai 8 jam/hari. Tetapi ini bervariasi, orang dewasa yang sehat membutuhkan cukup tidur untuk berpartisipasi dalam dalam kesibukan aktivitas yang mengisi hari-hari mereka. Klien yang memiliki masalah tidur seperti dypsnea pada penyakit jantung menunjukkan pola yang sangat berbeda dengan yang biasa. Dimana total waktu tidur bisa berkurang, hal ini disebabkan karena klien kesulitan untuk tertidur dan frekuensi terbangun di malam hari yang meningkat (Potter & Perry, 2005) c. Frekuensi terbangun di malam hari Jika klien baru saja mengalami gangguan jantung perawat memperkirakan bahwa klien akan mengalami gangguan tidur. dalam Efek tidur tergantung pada nyeri pada dada saat sesak nafas (Corwin, 2009). Klien dapat sering terbangun saat malam karena sesak nafas yang dialami di waktu malam hari dan hanya mendapatkan sedikit tidur dalam atau tidu REM (Rapid Eye Universitas Sumatera Utara 19 Movement) dan memerlukan perawatan sampai siklus tidur sampai normal. (Kasron, 2012) d. Keadaan untuk tertidur Kesulitan untuk memulai tidur atau tetap tertidur dapat disebabkan oleh stres, obat-obatan, rasa sakit, penyakit, lingkungan yang berisik dan pemakaian obat tidur. Tidak dapat tidur atau tetap tidak tertidur merupakan masalah dan dapat diperbaiki dengan mengubah kebiasaan tidur klien, mengurangi stres, memperbaiki diet atau mengurangi rasa saki (Wongvipat, 2007) e. Kepuasan terhadap tidur Kepuasan terhadap tidur seseorang dapat dilihat dari kemampuan individu dalam mempertahankan tidur dan mendapatkan kebutuhaan tidur yang cukup dari tidur REM dan NREM. Kepuasan tidur dapat diketahui dengan melakukan pengkajian yang meliputi data subjektif dan objektif (Craven & Hirnle, 2000). Data subjek merupakan kriteria yang sangat penting untuk menentukan kualitas tidur seseorang. Data subjek tidur yang baik atau buruk dapat dievaluasi berdasarkan persepsi klien tentang parameter tidur tersebut. Jika klien puas dengan kualitas dan kuantitas tidurnya maka mereka mempunyai tidur yang baik (Potter & Perry, 2005). Data objektif dapat dapat dilihat dari pemeriksaan fisik dan diagnostik, pemeriksaan fisik dapat diobservasi dari penampilan wajah seperti adanya lingkaran hikar disekitar mata, mata sayu dan konjungtiva merah. Dapat dilihat perilaku dan tingkat energi individu seperti perilaku irritable, kurang perhatian, respon lambat, sering menguap, menari diri dan bingung, postur tubuh tidak stabil, tangan tremor dan kurang koordinasi (Tarwoto & Wartonah, 2010). Universitas Sumatera Utara 20 Disamping itu data objektif tentang kualitas tidur klien juga bisa dianalisa melalui pemeriksaan EEG (Elektroencephalogram), yang merupakan rekaman arus listrik pada otak. Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus menerus timbul dalam otak. Ini sangat diperngaruhi oleh derajat eksitas otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga karena penyakit. f. Perasaan terbagun di pagi hari Orang yang tidurnya cukup akan merasakan segar setelah terbangun dari tidurnya karena tidur berfungsi sebagai penyimpanan energi untuk digunakan pada hari berikutnya. Keadaan terbangun terlalu pagi dapat merupakan suatu permasalahan. Terbangun awal yang terus berlanjut harus membuat perawat mewaspadai setiap perilaku menarik diri klien. Dengan demikian perawat harus menggali bersama-sama klien penyebab terbangun dari tidur lebih awal (Roper, 2002). 2.6 Pola Tidur normal Pola tidur yang normal dan teratur ternyata lebih penting jika dibandingkan dengan jumlah jam tidur itu sendiri. Pada beberapa orang, mereka merasa cukup dengan tidur selama 5 jam saja pada tiap malamnya, (Kozier, 2004). Secara umum, durasi atau waktu lama tidur mengikuti pola sesuai dengan tahap tumbuh kembang manusia. Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010) membagi kebutuhan pola tidur normal berdasarkan tahap perkembangan : Universitas Sumatera Utara 21 1. Neonatus sampai dengan 3 bulan a. Kira-kira membutuhkan 16 jam/hari. b. Mudah berespon terhadap stimulus c. Pada minggu pertama kelahiran 50% adalah tahap REM 2. Bayi a. Pada malam hari kira-kira tidur 8-10 jam. b. Usia 1 bulan sampai dengan 1 tahun kira-kira tidur 14 jam/hari. c. Tahap REM 20-30% 3. Toddler a. Tidur 10-12 j1m/hari. b. Tahap REM 25% 4. Prasekolah a. Tidur 11 jam pada malam hari. b. Tahap REM 20% 5. Usia sekolah a. Tidur 10 jam pada malam hari. b. Tahap REM 18,5% 6. Remaja a. Tidur 8,5 jam pada malam hari. b. Tahap REM 205 7. Dewasa muda a. Tidur 7-9 jam/hari. b. Tahap REM 20-50% Universitas Sumatera Utara 22 8. Usia dewasa pertengahan a. Tidur ±7 jam/hari. b. Tahap REM 20% 9. Usia tua a. Tidur ±6 jam/hari. b. Tahap REM 20-50% c. Tahap REM IV menurun dan kadang-kadang absen d. Sering terbangun pada malam hari 2.7 Gangguan Pola tidur Gangguan pola tidur didefenisikan sebagai gangguan waktu dan kulitas tidur yang disebabkan oleh faktor eksternal (Herdman, 2012). Menurut Carpenito (2012) gangguan pola tidur sebagai keadaan ketika individu mengalami atau beresiko mengalami suatu perubahan dalam kuantitas atau kualitas pola istirahatnya yang menyebabkan rasa ketidaknyamanan atau mengganggu gaya hidup yang diinginkan. Semua orang bisa mengalami gangguan pola tidur. Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologisnya, menurunkann daya tahan tubuh yang bisa menyebabkan prestasi kerja menurun, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang lain. (Japardi, 2002). Universitas Sumatera Utara 23 Karakteristik gangguan pola tidur juga dapat dilihat dari perubahan pada pola tidur normal, penurunan kemampuan untuk fungsi, ketidakpuasan terhadap dengan tidurnya, mengungkapkan sering terbangun pada tidurnya, mengungkapkan kesusahan untuk memulai tertidur, mengungkapkan perasaan rasa ketidakpuasan pada tidurnya. (Herdman, 2012). menambahkan Carpenito (2012) batasan karakteristik gangguan pola tidur yaitu melaporkan kesulitan tidur, letih saat terbangun atau di siang hari, dan mengantuk sepanjang hari. 2.8 Gangguan tidur 2.8.1 Gangguan Tidur Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Gangguan tidur merupakan masalah yang sangat umum, di Negara-negara industri khususnya, banyak orang menderita dari beberapa bentuk gangguan tidur. Data tentang frekuensi bervariasi anata 25-50% dari populasi. Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologisnya, menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinngung, depresi, kurang konsentrasi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri dan orang lain. (Potter & Perry 2005). Faktor fisik, lingkungan dan psikologis dapat mempengaruhi tidur sesorang, dimana dari faktor ini biasanya dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur seseorang. (Potter & Perry 2005). Universitas Sumatera Utara 24 a. Faktor fisik Ketidaknyamanan fisik dapat menyebabkan masalah tidur. Pada umumnya pada perasaan lelah, gelisah, dan nokturia dapat merupakan gejala yang dapaat mengganggu tidur. CHF menimbulkan berbagai gejala klinis yang dirasakan pasien beberapa diantaranya dyspnea, ortopnea, dan gejala yang paling sering dijumpai adalah Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) atau sesak napas pada malam hari, PND disebabkan oleh perpindahan cairan dari jaringan kedalam kompartemen intravaskular sebagai akibat dari posisi terlentang. PND terjadi dimalam hari yang mengakibatkan pasien terbangun di tengah malam karena mengalami napas yang pendek dan hebat, sehingga dapat mengakibatkan gangguan tidur dengan kesulitan masuk dalam tahap tidur dan kesulitan mempertahankan tidur, Kurang tidur dalam periode yang lama dapat menyebabkan penyakit lain atau memperburuk penyakit yang ada. (Fachrunnisa, 2015). Gagal jantung kongestif mengakibatkan nyeri yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada pasien yang dapat mengganggu tidur klien. Penyakit juga memaksa klien untuk tidur dalam posisi yang aneh saat tangan atau lengan dengan dimobilisasi pada traksi dapat menggangu tidur. Berdasarkan penelitian, rasa tidak nyaman merupakan salah satu faktor terjadinya gangguan tidur dimana seseorang akan merasa gelisah dan sulit untuk mendapatkan tidur yang nyenyak (Potter & Perry 2005). Pusing sering terjadi pada siapa saja termasuk klien CHF, dan akan menyebabkan gangguan tidur, serta apabia pusing semakin parah maka akan Universitas Sumatera Utara 25 semakin parah juga tingkat gangguan tidurnya. Pusing dapat menyebabkan seseorang terbangun dari tidurnya sehingga total jam tidur menjadi berkurang (Potter & Perry 2005). Nokturia atau berkemih pada malam hari, mengganggu tidur dan siklus tidur. Kondisi ini sudah sering terjadi pada klien penyakit jantung, setelah seseorang berulang kali terbangun untuk berkemih, menyebabkan kembali untuk tertidur lagi menjadi sulit (Potter & Perry 2005). Kelelahan menyebabkan gangguan tidur, dimana biasanya seseorang yang kelelahan akan merasa seolah-olah mereka bangun ketika tidur dan biasanya tidak mendapatkan tidur yang dalam, (Potter & Perry, 2005). Seseorang yang kelelahan menengah biasanya memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan adalah hasil kerja atau latihan yang menyenangkan. Latihan 2 jam atau lebih sebelum waktu tidur membuat tubuh mendingin dan mempertahankan suatu keadaan kelelahan yang meningkatkan relaksasi. Akan tetapi, kelelahan yang berlebihan yang dihasilkan dari kerja yang meletihkan atau penuh stres membuat sulit tidur. Hal ini dapat menjadi masalah yang umum bagi sebagian orang. (Potter & Perry, 2005). b. Faktor lingkungan Lingkungan tempat seseorang tidur berpengaruh penting pada kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang tenang. Ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur. Jika seseorang biasanya tidur dengan individu lain, maka tidur sendiri Universitas Sumatera Utara 26 menyebabkan ia terjaga. Sebaliknya, tidur tanpa ketenangan atau teman tidur yang mengorok juga mengganggu tidur (Potter & Perry, 2005). Suara bising, kebisingan dapat menyebabkan tertundanya tidur dan juga dapat membangunkan seseorang dari tidur (Hanning, 2009). Suara yang terlalu keras jelas mengganggu konsentrasi untuk beristirahat. Suhu ruangan Lee (1997 dalam Suci 2015), menyatakan bahwa seseorang mengalami gangguan tidur apabila tidur diruangan yang terlalu panas ataupun terlalu dingin. Cahaya lampu Menurut Lee (1997), sorot lampu yang terlalu terang dapat menyebabkan gangguan tidur dan dapat menghambat sekresi melatonin pada tubuh. Joyce A. Walsleben PhD. Mengatakan bahwa kondisi yang relatif tenang dan tidak terlalu terang akan mempengaruhi cepat gerak mata. Selain itu tubuh juga akan memproduksi melatonin, hormon yang akan membantu untuk bermimpi. Tempat tidur nyaman Ruang tidur merupakan tempat dimana seseorang melepaskan penat dan lelah setelah seharian beraktifitas. Dan seseorang membutuhkan tempat yang kondusif untuk membuat tidur semakin sehat dan nyaman. Ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang tenang (Potter & Perry, 2005). Kelembaban ruangan perlu diatur agar paru-paru tidak kering karena apabila kelembaban ruangan tidak diatur maka seseorang tidak akan dapat tidur, walaupun dapat tidur maka seseorang akan terbangun Universitas Sumatera Utara 27 dengan kerongkongan kering seakan – akan seseorang tersebut menderita radang amandel (Septiyadi, 2005). c. Faktor psikologis Riwayat rawat inap pertama kali dengan CHF mempengaruhi kecemasan karena kerusakan organ jantung belum terlalu parah. Serangan yang berulang dari CHF juga memberikan pengalaman serta koping yang baik bagi pasien CHF. Perilaku koping diperlukan dalam menghadapi kecemasan. Kecemasan yang dialami responden setelah dirawat berbeda ketika reponden mengalami serangan pertama kali. Kecemasan yang dialami responden mempunyai beberapa alasan yaitu cemas akibat penyakitnya, cemas memikirkan anggota keluarga yang ditinggalkan dirumah dan cemas dengan biaya pengobatan yang menyebabkan gelisah dan tidak tenang sehingga istirahat responden terganggu. Cemas dan depresi akan menyebabkan gangguan paa frekuensi tidur. Hal ini disebabkan karena pada kondisi cemas akan meningkatkan norefinefrin darah melalui sistem saraf simpatik. Zat ini mengurangi tahap IV NREM dan REM (Asmadi, 2008). Universitas Sumatera Utara