11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Piroduksi Padi di Indonesia Di Indonesia yang beriklim tropis, padi ditanam di seluruh daerah, mulai dekat pantai hingga ke dataran tinggi. Umumnya padi diusahakan sebagai padi sawah (85-90 persen) dan sebagian kecil diusahakan sebagai padi gogo (10-15 persen). Penyebaran pusat-pusat padi di Indonesia cenderung erat hubungannya dengan tipe iklim, khususnya curah hujan dan topografi wilayah (Taslim dan Fagi, 1988). Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat, merupakan produsen padi utama di Indonesia. Gambar I;! menggambarkan proporsi produksi padi pada tahun 1996menurut pulau dari total protluksi sebesar 47.697.538 ton. Terlihat pada Gambar 2 bahwa Pulau Jawa menghasilkan 57,4 persen dari produksi padi nasional, Surnatera 22,2 persen, Sulawesi 10,6 persen, Bali dan Nusa Tenggara 5,O persen, Kalimantan 4,7 persen dan pulau-pulau lainnya 0,2 persen. Propinsi yang merupakan penghasil padi terbesar adalah Propinsi Jawa Barat (tennasuk Propinsi Banten saat ini) yaitu mencapai 2 1,4 persendari total produksi padi nasional. Angka total produksi padi di Banten dan Jawa Barat tersebut hampir seuna dengan total produksi padi di Sumatera. Kabupaten-kabupaten yang berada di pantai utara (Kawasan Pantura), seperti ~abupatenSerang, Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, menghasilkan hampir separuh dari produksi padi di propinsi Jawa Barat dan Banten. Data luas tanam, luas panen dan produksi padi Jawa Barat dan Banten tahun 1996-1997 Total produksi pad1 naslonal 1996 adalah 47.697.538 ton Gambar 2. Proporsi produksi padi Indonesia 1996. disajihln pada Tabel 1. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa, Kawasan Pantura memiliki luas tanam padi sekitar 45 persen dari luas tanarn propinsi, luas panen sekitar 41 persen dari luas panen propinsi, produksi padi total sekitar 44 persen dari produksi padi propinsi. Tiga kabupaten yang selalu memiliki luas tanam, luas panen, dan produksi padi tertinggi terletak di Kawasan Pantura, yaitu Kabupaten Indramayu, Karawang dan Subang, Menurut Tim Puslittanak (1999a) lahan sawah di Kabupaten Indramayu umumnya ditanam hanya satu kali dalam setahun, sedangkan Karawang dan Subang umumnya ditanam dua kali dalam setahun. 2.2. f klim Regional Indonesia Secara geografis, wilayah Indonesia terletak antara 6' 08' LU - 1lo 15' LS dan ' 94' 45' - 141 05' BT sehingga termasuk wilayah yang memiliki tipe iklim tropik dengan ciri-ciri khas suhu udara cukup tinggi, rata-rata 26-28 OC. Tabel 1. Penyebaran luas tanam, luas panen, dan produksi padi di Jawa Barat (termasuk Banten) menurut kabupatenikotamadya. I 615.620 54.582 124.389 Tasikrnalaya 54.694 112.748 570.954 Ciarnis 368.872 72.983 34.108 Surnedang 467.312 86.856 Majalengka 52.201 119.784 189.916 1.010.185 lndrarnayu 82.655 452.230 60.169 Cirebon 312.490 29.682 60.422 Kuningan Pantura 524.287 869.240 4.673.293 Jabar 1.154.131 2.1 18.956 10.747.659 Sumber data: Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 1999. 5,87 4,73 5,32 4,74 3,44 2,96 4,lO 4,52 8,96 10,38 3,90 5,21 2,57 2,85 45,43 41,02 100,OO 100,OO 5,73 54.520 100.850 496.120 555.479 54.743 108.231 5,31 356.182 33.989 70.523 3,43 464.590 86.239 4,35 52.176 9,40 117.232 188.100 1.007.740 434.010 58.371 79.102 4,21 60.002 312.514 2,91 29.663 43,48 515.948 838.320 4.518.000 100,OO 1.139.428 2.040.680 10.352.650 . 4,78 4.94 5,30 4,80 2,98 3,46 4,23 4,58 10,29 9,22 3,88 5,12 2,60 2,94 45,28 41 $08 100,OO 100,OO 4,79 5,37 3,44 4,49 9,73 4,19 3,02 43,64 100,OO Eleberapa ha1 yang mencirikan iklim atau cuaca Indonesia, antara lain: (1) Sebagian besar wilayah Indonesia terletak di sekitar katulistiwa. Wilayah ini rrlerupakan daerah konvergensi antartropik (Inter Tropical Convergence Zone, LrCZ), yaitu daerah pertemuan antara massa udara dari belahan bumi selatan clan belahan bumi utara. Di daerah konvergensi antartropik biasanya banyak terbentuk awan dan banyak terjadi hujan. (2) Indonesia terletak antara dua benua, yaitu Asia dan Australia, yang memiliki kiuakleristik massa udara yang berlawanan. Kawasan ini dicirikan dengan atlanya sirkulasi angin muson, yang mengakibatkan adanya musim kemarau dan m usim penghujan. Wiratmo (1998) mengemukakan bahwa untuk daerah tropik seperti Indonesia, iklim regional ldipengaruhi oleh sirkulasi udara meridional (Siklus Hadley), sirkulasi udara zonal (Si klus Walker) dan sirkulasi udara lokal. Sitklus Hadley terdapat baik di belahan bumi utara maupun belahan bumi selatan. Di dekat permukaan, udara mengalir menuju ekuator. Aliran udara h i , dari kedua belahan bumi, brtemu di wilayah yang disebut ITCZ. Di ITCZ, kedua aliran udara yang bertemu idcan naik ke atas dan menimbulkan awan dan curahan. Bahang laten (latent heat) yang dilepaskan selama pengangkatan udara ini merupakan energi yang diperlukan untuk melanjutkan seluruh sirkulasi sel Hadley. Udara naik hingga mencapai lapisan tropopauae, dari sini udara tadi &an memencar atau berdivergensi dan menuju kutub. Aliran udara ini akan menjadi dingin disebabkan oleh pemancaran radiasi gelombang panjang, ,sebagai akibatnya kerapatan udara-meningkat dan udara bergerak menurun. .. P e n m a n udara ini khususnya terpusat di lintang 30 derajat. Udara yang menurun ini mengalami pemanasan adiabatik dan menuju ke permukaan burni sebagai aliran udara panas, kering dan tak berawan. Sesampainya di permukaan bumi udara tadi akan memencar atau berdivergensi dan sebagian mengalir atau berhembus sebagai angin pasat menuju Ice ITCZ (Prawirowardoyo, 1996). I)i dalam Hastenrath (1988) dipaparkan bahwa Bjerknes pernah mengemukakan keberadzm suatu sirkulasi udara sejajar bidang zonal-vertikal sepanjangPasifik Ekuator yang terciiri dari sel-sel. Idenya ini mengemukakan beberapa hal, antara lain, adGya kolom troposfir dan permukaan lebih panas di barat daripada di timur, gradien tekanan ke arah barat dan angin timuran di lapisan troposfer yang lebih bawah, perubahan permukaan isobarik ke arah timur dan angin baratan di lapisan troposfer yang lebih atas, subsidensi di Pasifik Timur dan gerakan pengangkatan udara di sebagian besar wilayah Indonesia. Gradien suhu perm* laut ke arah timur dianggap mempengaruhi sirkulasi termal ini secara langsung. Bjerknes menamakan sirkulasi ini sebagai sirkulasi Walker, sebagai penghargaannya bahwa ini adalah bagian dari osilasi selatan (Southern Oscillation) yang ditemukan Walker. .. Plenggarnbaran lain disarnpaikan oleh Newel1 (dalam Rasool, 1984; dalam Hastenraith, 1988), yaitu hasil pengamatannya mengenai kehadiran lima sel di sekitar Lautan Pasifik, Lautan Atlantik, dan lautan Indonesia selama musim dingin maupun musim pzmas belahan bumi utara (Gambar 3). Suatu pemodelan yang dilakukan Chervin dan Druyan (dalam Hastenrath, 1988) menghasilkan sebanyak enam buah sel pada sirkulasi ,angin zonal, yaitu lima sel sebagaimana yang dikemukakan Newel1 ditarnbah satu sel "India" sekitar 30-60 OBT. Dari set-sel yang ada, Sel Pasifik, Amerika Selatan, Atlantils dk Afrika disebut sebagai sel mayor, sedangkan dua sel lainnya di Lautan Indonesia (India dan Maritim-continent) disebut sebagai sel minor yang keberadaannya tergantimg pada kekuatan dan keterikatannya dengan pola sirkulasi zonal. Sirkulasi angin muson di Indonesia adalah bagian dari muson Asia Timur d m Asia Tenggara. Pada musim dingin belahan bumi utara, yaitu bulan Desember, Jmuari, dan Pet~ruari,angin muson bertiup dari daerah Siberia menuju ke arah benua Australia. Selama periode ini di daerah yang membentang dari ujung Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara sampai ke Irian angin muson tersebut bertiup dari barat ke timur. Oleh sebab itu di daerah ini sistem angin muson di belahan bumi utara disebut Muson .Barat dan musimnya disebut Musim Muson Barat. Di daerah yang mencakup sebagiai besar Sumatera lainnya, Kalimantan Barat, angin muson datang dari arah timur laut. Sehingga, sistem angin muson ini disebut Muson Timar Laut d m musimnya disebut Musim Muson Timur Laut (Gambar 4a). P s c i l ~ cOcean Gambar 3. South Amarlca Allanlic Ocean Alrica Indian Ocean Aurlralla Penggambaran sirkulasi zonal sel-sel sepanjang ekuator oleh Newel1 (Rasool, 1984; Hastenrath, 1988). Gambar 4. Resultan angin permukaan di kawasan muson pada bulan Januari, April, Juli dan Oktober. Isotach dalam skala angin Beaufort (Rarnage, 1971). Pada musim panas belahan burhi utara, angin muson bertiup dari benua Australia menuju k;e benua Asia. Di daerah yang membentang dari ujung Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara sampai ke Irian angin muson tersebut arahnya dari timur ke barat. Oleh sebab itu di daerah ini sistem angin muson di belahan bumi utara disebut Muson l'imur dan musimnya disebut Musim Muson Timur. Di daerah yang mencakup sebagian besar Sumatera lainnya, Kalimantan Barat, angin muson bertiup dari arahbarat daya ke timur laut. Oleh karena itu sistem angin muson ini disebut Muson Barat Daya dan mus;imnya disebut Musim Muson Barat Daya (Gambar 4c). , Di samping kedua musim di atas juga dikenal musim Transisi I dan musim Transisi [I. Pada musim Transisi I adalah periode saat muson winter belahan bumi utara digantikin muson summer belahan bumi utara (Gambar 4b). Dan pada musim Transisi I1 terjadi sc:baliknya (Gambar 4d). 2.3. Penyimpangan Iklim Global, El-Nino dan La-Nina Elerkaitan dengan Siklus Walker, kondisi suhu perrnukaan laut di Pasifik Ekuator sangat berpengaruh pada sirkulasi angin zonal yaniterjadi di kawasan mulai dari Indonesia hingga Amerika Selatan. Pada suatu ketika suhu permukaan laut Pasifik Ekuator Tengah dan Timur terjadi lebih tinggi dari rata-ratanya, kondisi tersebut dinamakan sebagai El-Nino. Sebaliknya, bila suhu permukaan laut Pasifik Ekuator Tengah dan Timur terjadi lebih rendah daripada rata-ratanya, kondisi tersebut dinamakan sebagai ]La-Nina (Wiratmo, 1998). Penggambaran dari sebaran suhu permukaan laut di Longitude Garnbar 5. 90' 60'W Penyebaran suhu permukaan laut di sepanjang Pasifik ekuator pada kondisi (a) Normal, (b) El-Nino, dan (c) La-Nina (Horel and Geissler, 1997). Lautan Pwifik sehubungan dengan kejadian El-Nino clanLa-Nina disajikan pada Gambar 5. Pada kondisi Normal, wilayah terpanas dengan suhu lebih dari 28 OC ditemukan di Pasifik Btwat,dan umumnya berada di sebelah barat Garis Tanggal International (180 O bujur). Ke arah timur sepanjang ekuator terlihat suhu permukaan semakin dingin hingga di pantai Amerika Selatan menjadi kurang dari 23 OC (Gambar 5a). Gambar 5b menggmlbarkan kondisi suhu perrnukaan laut pada bulan Nopember 1982 yang mewakili kondisi El-Nino paling ekstrim selama 100 tahun terakhir. Terlihat bahwa suhu yang lebih tinggi dari 28 OC meluas ke arah timur (hingga mencapai 130 OBB sepanjang ekuator). Satu tahun kemudian, pada kondisi La-Nina penyebaran suhu permukaan laut menjadi berbeda (Gambar 5c). Terlihat bahwa ujung lidah air dingin .meluas ke arah barat dari pantai Arnerika Selatan hingga menuju Garis Tanggal Internasional (Horel and Geissler, 1997). Sir Gilbert Walker pada tahun 1924 berhipotesa bahwa El-Nino berkaitan langsung dengan perbedaan tekanan udara di wilayah Indonesia (bagian barat Lautan Pasifik) clan bagian timur Lautan Pasifik. Variasi perbedaan tekanan timur-barat dihubung,kandengan sirkulasi Walker merupakan sebuah variasi antar tahun yang tidak teratur (H[astenrath, 1988). Gejala El-Nino sendiri sebenarnya merupakan interaksi proses fisilka laut-atmosfer sehingga kemudian dikenal dengan nama ENSO, berasal dari El Nino (f'enomena laut) dm Southern OsciIIation (fenomena atmosfer) (Wiratmo, 1998). Aldbat adanya perubahan suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator antara kondisi normal dibandingkan kondisi El-Nino, maka terjadi pula perubahan arah angin, pergeseran kolom penaikan dan p e n m a n udara dari sirkulasi Walker, dan parameter Tabel 2. Perbedaan kondisi beberapa parameter atau fenomena dam antara kondisi Normal dan El-Nino (IN, 2001~). Normal Gambar 6. Diagram perubahan pola rata-rata arah angin dalam sirkulasi Walker dan perrnukaan termoklin di sepanjang Pasifik Ekuator pada kondisi Normal dan El-Nino (IN, 2001b; NOAA, 2001). lainnya. Eierbedaan tersebut digambarkan pada Gambar 6 dan Tabel 2. Dijelaskan bahwa gradien tekanan antara Pasifik Timur dengan Pasifik Barat yang pada kondisi Normal a.dalah kuat menjadi lemah bila terjadi El-Nino (IN, 2001b). Angin pasat timuran (easterly tradewind) yang pada kondisi Normal adalah kuat menjadi lemah bila terjadi El-Nino. Begitu juga, arus naik (upwelling) di Pasifik Timur atau Pantai Barat Amerika Selatan yang pada kondisi Normal adalah kuat menjadi lemah bila terjadi ElNino. Po'la curah hujan muson (monsoon) yang pada kondisi Normal berada di sekitar . Indonesia atau Pasifik Barat pada kondisi El-Nino bergeser hingga berada di Pasifik Tengah. Dengan demikian yang pada kondisi Normal curah hujan di wilayah Indonesia curah huj an cukup tinggi maka pada kondisi El-Nino curah hujan menjadi lebih rendah bahkan cenderung menjadi sangat rendah atau kering (IN, 2001~). 1WE 1m4 i ~ Longitude Gambar 7. w raw ww Pembagian kawasan Pasifik Ekuator menjadi empat zone, yaitu NINO-1, ' NINO-2, NINO-3, dan NINO-4 (Kousky, 1988). Berdasarkan perbedaan penampakan anomali suhu permukaan laut (sea surface temperature, SST)dan osilasi selatan (southern oscillation) di Pasifik antara satu titik dengan titik lainnya, kawasan Pasif& Ekuator kemudian dibagi menjadi empat zone yang dikenal dengan zone NINO- 1, NINO-2, NINO-3 dan NINO-4. Zone NINO- 1 terletak antara 0-5 OLS dan 80-90 OBB, zone NMO-2 terletak antara 5-10 OLS dan 80-90 OBB, zone NINO-3 terletak antara 5 OLU - 5 OLS - 5 OLS - 160 OBT antara 5 OI,U dan 150 OBB dan 90-150 OBB, dan zone NINO-4 terletak (Gambar 7) (Kousky, 1988). Berdasarkan data historis kejadian El-Nino dan La-Nina pada periode tahun 1951-2000 tercatat ada 17 kali kejadian tahun El-Nino dan sembilar,kali kejadian tahun La-Nina. 'Tahun-tahun kejadian El-Nino antara lain tahun 1951,1953,1957,1958,1963, , 1965,1969,1972,1977,1982,1983,1987,1991,1992,1993,1994 dan 1997. Tahuntahun keja.dian La-Nina antara lain tahun 1955, 1964, 1971, 1974, 1975, 1988, 1989, 1995 dan 1998. Sisanya merupakan kejadian tahun Normal, yaitu 1952, 1954, 1956, 1984, 1985, 1986, 1990, 1996, 1999 dan 2000. Tim Puslittanak (1999b) pemah menganalisis kisaran anomali SST pada tahun El-Nino, Normal dan La-Nina dengan menggunakan data anomali SST pada zone NINO-3,4 tahun 1951-1997. Dikemukakan bahwa kisman anomali SST untuk tahun El-Nino adalah 0,289 sld 1,543, tahun Normal adalah -0,496 s/d 0,472 dan tahun La-Nina adalah -1,010 s/d -0,002. Nilai-nilai kisaran tersebut siding tumpang tindih antara tahun El-Nino maupun tahun La-Nina dengan tahun Normal. Setelah ditumpangtindihkan antara ketiga kisaran tersebut, didapat lima kelas kisaran, yaitu kisaran nilai anomali SST untuk kejadian tahun El-Nino kuat adalah & Tabel 3. Penentuan kisaran anomali SST pada tahun La-Nina, Normal dan El-Nino oleh Tim Puslittanak (1999b). 1 Parameter Tahun La-Nina Kisaran nilai anomali SST pada zone NINO-3,4 I -1 0 10 -0 002 i Tahun Normal L - -0,496 0,472 4 b Tahun EJ-Nino ~ e s i m ~ i l Awal an -1,010 -0,496 emah I I La-Nina -0,002 I I 0,289 m norma Normal 0,472 1;-543 I lemah kuat El-Nino I >0,472, kejadian tahun El-Nino lemah adalah 0,289 sld 0,472, kejadian tahun Normal adalah -0,002 sld 0,289, kejadian tahun La-Nina lemah adalah -0,496 sld -0,002, dan kejadian tahun La-Nina kuat adalah <-0,496 (Tabel 3). Batasan kisaran antara El-Nino lemah, Nalrmal dan La-Nina lemah adalah saling tumpang tindih, sehingga untuk melihat kejadian yang lebih tepat perlu disertakan parameter lain. Biro Pusat Penelitian Meteorologi Australia di Melbourne Australia telah mengembangkan suatu model lautan-atmosfer terkopel untuk memprakira suhu permukaan laut Pasifik Ekuator Timur pada zone NINO-3. Suatu indeks NINO-3 digunakarl untuk menduga keberadaan penyimpangan suhu permukaan laut. Jika indeks >1,5 dikatakan sedang terjadi El-Nino kuiit, sebaliknya jika indeks <-1,5 dikatakan sedang tel-jadi La-Nina kuat. Model tersebut diuji atau diverifikasi dengan membuat prakiraan baru setiap tiga bulan untuk periode 1982-1991. Hasil prakiraannya dibandinglkan dengan hasil pengamatan, kemudian serangkaian uji korelasi dan sisaan model digmakan untuk memprakira 23 bulan ke depan. Hasil ini dibandingkandm diuji kembali dengan model enam clan sembilan bulanan yang dikembangkan sejak tahun 1994 (National :Meteorological and Oceanography Centre, 200 1). 2.4. Hubungan El-Nino dan La-Nina dengan Hujan di Ind6nesia Ketika terjadi El-Nino, angin pasat sepanjang Pasifik ekuator melemah sehingga kolam air hangat di lepas pantai Indonesia dan New Guinea bergerak ke arah tim* meniju Amnerika. Kolam hangat ini memanaskan dan meningkatkan kelembaban udara di atasnya (Johnson, 200 1;IRI, 200 1b) hingga udara di atas Lautan Pasifik barat menjadi lebih basall, dan sebaliknya di Indonesia menjadi lebih kering daripada kondisi normal. Wiratmo (1998) menambahkan bahwa dampak El-Nino dan La-Nina adalah berubahnya cuaca dunia, dimana pada saat El-Nino, wilayah basah seperti Indonesia menjadi kering, sebaliknya wilayah yang biasanya kering seperti pantai barat Amerika Selatan menjadi basah. Sclama kejadian El-Nino, Rasmusson dan Carpenter, serta Kousky et al. (keduanya dalam Hastenrath, 1988) mencatat bahwa adanya pergeseran ITCZ ke arah selatan dm1 pergeseran daerah konvergensi Pasifik Selatan (South Pas@c Convergence Zone, SPCZ) ke arah timurlaut, mengakibatkan terjadinya penyusu* daerah kering ekuatorial (Equatorial Dry Zone, EDZ) dan meningkatkan jumlah curah hujan di bagian timur dan~tengah Pasifik Ekuator dan sebaliknya menurunkan curah hujan hingga di bawah normal untuk wilayah Indonesia. Se:cara umum hubungan antara anomali curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia dengan anomali SST bulanan adalah berkorelasi negatif. Untuk setiap perubahari anomali SST yang positif akan terjadi perubahan anomali curah hujan yang negatif (Ciambar 8). Artinya bila terjadi El-Nino (anomali SST positif), maka secara a umum akiin terjadi penurunan curah hujan di wilayah Indonesia. Sebaliknya bila terjadi La-Nina (anomali negatif), maka secara umum akan terjadi peningkatan curah hujan di wilayah Ilidonesia (Tim Puslittanak, 1999b). Musim Hujan Musim Kemarau -1 0 1 2 Anornali SST 3,4 3 -2 -1 0 1 2 3 Anomali SST 3,4 Gambar 8. Pola hubungan antara anomali SST di Lautan Pasifik pada zone NINO-3,4 dengan anomali curah hujan di wilayah Indonesia (Tim Puslittanak, 1999b). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa tidak semua stasiun curah hujan di ~ndonesiaberkaitan erat dengan kejadian El-Nino atau La-Nina. -Ada stasiun-stasiun yang anoinali curah hujannya berkorelasi nyata dengan SST pada zona NINO-3 dan ada juga yang tidak. Tingkat keeratan ini berbeda pula antara musim penghujan dengan musim kemarau (Tim Puslittanak, 1999b; 2000a). Tin1Puslittanak (2000a; 2000b) telah mempelajari hubungan antara anomali curah hujan di Sumatera dan Sulawesi dengan anomali SST pada zone NINO-3. Dari 306 stasiun curah hujan yang dianalisis di Sumatera, 133 stasiun diantaranya memiliki anomali curah hujan yang korelasi nyata dengan anomali SST zone NINO-3 pada musim kemarau dan hanya 46 stasiun curah hujan yang berkorelasi nyata pada musim penghujan. Stasiun-stasiun yang nyata di Sumatera urnumnya terdapat di sebelah selatan Ekuator, seperti Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung (Tim Puslittanak, 2000a). Di Sulawesi, dari 273 stasiun curah hujan yang dianalisis, 136 stasiun diantaranya memiliki anomali curah hujan yang korelasi nyata dengan anomali SST zone NINO-3 pada musim kemarau dan hanya 84 stasiun curah hujan yang berkorelasi nyata pada musim penghujan. Stasiun-stasiunyang nyata di Sulawesi umumnya terletak agak jauh dari Garis ~ a t u l i s t h baik a di selatan maupun di utara Ekuator, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara (Tim Puslittanak, 2000b).