Nicolaia speciosa, Horan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecombrang (Nicolaia speciosa, Horan) merupakan tumbuhan yang
tersebar cukup luas di Indonesia. Tumbuhan ini digunakan sebagai bahan
pangan dan juga digunakan untuk pengobatan (Antoro, 1995). Saat ini,
pemanfaatan sumber daya hayati tumbuhan sebagai obat-obatan alami
banyak dikembangkan. Hasil penelitian oleh Jaffar et al. (2007) pada daun,
batang, bunga dan rimpang tanaman ini menunjukkan adanya beberapa jenis
minyak esensial dan senyawa metabolit sekunder yang bersifat bioaktif.
Suatu tumbuhan dapat berfungsi sebagai obat tradisional karena kandungan
metabolit sekundernya dengan berbagai sifat farmakologis spesifik, seperti
antifungi, antibakteri dan antiinflamasi. Kandungan metabolit yang dimiliki
setiap tanaman bervariasi tergantung jenis tumbuhannya. Setiap metabolit
yang dihasilkan tumbuhan memiliki fungsi yang spesifik, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Keberadaan bahan bioaktif dalam
tumbuhan dapat diuji berdasarkan kandungan kimianya (kemotaksonomi),
berdasarkan struktur dan ikatan kimianya (kimiawi) dan berdasarkan aktivitas
biologinya terhadap makhluk hidup. Selain itu karakteristik anatomi juga
dapat menjadi dasar pengidentifikasian suatu tumbuhan serta dapat menjadi
data pendukung dari pengujian kandungan zat aktif khususnya dalam bidang
kemotaksonomi pada suatu tumbuhan (Harborne, 1996).
Flavonoid diketahui memiliki sifat antioksidan yang sangat kuat.
Selain itu, flavonoid juga memiliki khasiat sebagai antiradang, antihistamin
(alergi), antimikrobia, antifungi, insektisida, antikanker, antiinflamasi dan
antivirus. Antioksidan sintetik banyak digunakan sebagai bahan pengawet
makanan, namun penggunaan antioksidan sintetik tidak direkomendasikan
oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena dapat
menimbulkan
penyakit kanker
(carcinogen
agent) (Nugroho, 2010).
Antioksidan alami dapat menjadi bahan pengawet makanan yang alami
1
pengganti bahan sintetik. Antioksidan adalah senyawa yang bersifat
bioaktif yang salah satunya terdapat pada kecombrang, yang merupakan
tumbuhan rempah asli Indonesia dan secara tradisional telah lama digunakan
masyarakat. Oleh karena itu, studi mengenai kandungan senyawa metabolit
sekunder salah satunya flavnoid perlu dilakukan guna mengetahui
kandungan senyawa spesifik dan kadar konsentrasinya pada tanaman
kecombrang, khususnya bagian bunga dan daun. Senyawa bioaktif dari
bagian tumbuhan kecombrang, seperti bagian bunganya perlu diekstraksi
untuk menguji aktivitasnya sehingga dapat dikembangkan pemanfaatannya
secara optimal. Selain itu, pemanfaatan yang diperoleh dari data penelitian
ini diharapkan dapat meningkatkan tanaman komoditas kecil ini menjadi
tanaman sayur yang dikenal oleh masyarakat luas dan menambah nilai
ekonomi karena kandungannya yang baik bagi kesehatan tubuh.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan yang
dikaji pada penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana kandungan flavonoid pada ekstrak bunga dan daun
kecombrang?
2.
Bagaimana distribusi senyawa metabolit sekunder (flavonoid) pada
struktur anatomis bunga dan daun kecombrang?
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1.
Mengukur konsentrasi senyawa flavonoid yang terkandung dalam bunga
dan daun kecombrang.
2.
Mengetahui distribusi senyawa metabolit sekunder (flavonoid) secara
anatomis, pada bunga dan daun kecombrang.
2
D. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan data mengenai kandungan flavonoid dan mengetahui karakter
anatomi bunga dan daun kecombrang sehingga tercipta peluang untuk
pemanfaat lebih lanjut, dibudidayakan dan diperdagangkan.
2. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar ilmiah bagi peneliti selanjutnya
dalam usaha untuk mengkaji aktivitas biologis dan kandungan senyawa
metabolit sekunder lainnya yang dimiliki oleh kecombrang.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan)
Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) merupakan
tumbuhan
perenial (musiman) yang berbentuk semak dengan tinggi ± 1-3 m.
Tumbuhan kecombrang tumbuh dan berkembang dengan baik bila
ditanam di tempat yang teduh, tanahnya membutuhkan aerasi, memiliki
drainase baik, cukup air dan mengandung unsur hara. Bila persyaratan
tersebut terpenuhi maka tumbuhan akan menghasilkan bunga terus
menerus sepanjang tahun. Bunga kecombrang merupakan bunga
majemuk yang berbentuk bongkol dengan panjang tangkai 40-80 cm.
Panjang benang sari ± 7,5 cm dan berwarna kuning. Putiknya berukuran
kecil, pendek dan berwarna putih. Mahkota bunga bertaju, dan berwarna
merah muda. Biji kecombrang berbentuk kotak atau bulat telur dengan
warna putih atau merah jambu. Buahnya berukuran kecil dan berwarna
coklat.
Sistem
perakaran
serabut
dan
berwarna
kuning
gelap
(Syamsuhidayat, 1991).
Kecombrang dapat dimanfaatkan dengan memasak daun muda dan
bunganya dimakan bersama nasi. Di daerah tertentu, kecombrang biasa
dimasak sebagai sayur lodeh. Di Jawa, bunga kecombrang digunakan
sebagai campuran untuk makan urap dan pecel. Bunga kecombrang
juga sering dimanfaatkan sebagai lalapan dan teman sambal (Antoro,
1995). Di daerah Bogor, masyarakat memanfaatkan rimpangnya untuk
mendapatkan warna kuning (Anggraeni, 2007).
Dalam
penelitian
ini
bagian tumbuhan
kecombrang
yang
digunakan adalah bagian bunga yaitu sepal dan petal dan daunnya. Bunga
kecombrang memiliki kadar air sebesar 90,23%, dan nilai pH bunga
kecombrang adalah 3,89. Khasiat dari bunga kecombrang adalah sebagai
4
obat penghilang bau badan, untuk memperbanyak air susu ibu, dan
sebagai pembersih darah. Zat aktif dalam kecombrang, diantaranya
saponin, flavonoid, dan polifenol dapat menghilangkan bau badan.
Kecombrang juga kaya akan vitamin dan mineral (Anggraeni, 2007).
Kecombrang
telah
terbukti
memiliki
aktivitas
antibakteri
dan
antikapang. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Naufalin (2005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa ekstrak bunga kecombrang dengan etil asetat dan metanol mampu
menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang pada makanan terutama
bakteri patogen penyebab penyakit.
Komponen yang terkandung dalam bunga kecombrang terdiri dari
alkaloid, flavonoid, polifenol, steroid, saponin, dan minyak atsiri. Pada
penelitian ini komponen senyawa yang dianalisis yaitu golongan
flavonoid, terutama flavonol dan flavon. Senyawa dari golongan flavonol
terdiri atas quercetin, kaempferol, dan myricetin, sedangkan dari
golongan flavon terdiri atas apigenin dan luteolin (Tampubolon, 1983).
Kelompok flavonol dan flavon merupakan kelompok flavonoid yang
mayoritas (secara kualitatif) ditemukan di dalam sayuran (Lee, 2000).
Menurut Chan et al., (2007) bagian tumbuhan yang memiliki
kandungan antioksidan terbanyak dari lima spesies Nicolaia adalah
bagian daun. Kecombrang juga mengandung senyawa fenol, flavonoid,
terpenoid, steroid, saponin, dan minyak esensial. Senyawa tersebut
berperan
aktif
sebagai
agen
antimikrobia
dan
dapat
diekstrak
menggunakan pelarut. Jumlah kadar dari tiap senyawa mungkin berbeda
dari tiap bagian tumbuhan kecombrang.
Bunga kecombrang antara lain mengandung minyak atsiri 0,4 %,
serta tannin sebesar 1%. Seperti halnya bagian tumbuhan kecombrang
yaitu batang, daun, dan rimpang diduga juga berpotensi sebagai
antioksidan. Ekstrak etanol dan metanol dari bunga, daun dan rimpang
tanaman ini dapat juga diuji aktivitas antioksidannya salah satunya
5
dengan mengukur Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) dan
Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC). Hasil penelitian
pada tanaman kecombrang ini, mengindikasikan bahwa semua ekstrak
mengandung aktivitas antioksidan dimana ekstrak yang berasal dari daun
menunjukkan aktivitas tertinggi diikuti ekstrak bunga dan terendah
adalah ekstrak rimpang (Chan et al., 2007).
2. Klasifikasi Tumbuhan Kecombrang
Kecombrang adalah sejenis tumbuhan rempah dan merupakan
tumbuhan musiman yang bunga, buah, serta bijinya dimanfaatkan sebagai
sayuran.kecombrang memiliki nama lain disetiap daerah, di Medan
disebut kincung, kincuang atau sambuang (Minangkabau), siantan
(Malaya), kaalaa (Thailand), dan di Bali disebut kecicang. Tumbuhan ini
termasuk kedalam famili Zingiberaceae, yang mempunyai batang semu,
tegak, berpelepah, membentuk rimpang dan berwarna hijau. Sedangkan
bunganya merupakan karangan bunga yang terdiri atas bagian bunga,
daun pelindung, kelopak, putik, dan buah (Ibrahim and Setyowati, 1999).
Tumbuhan kecombrang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kecombrang (Nicolaia speciosa, Horan)
6
Menurut Ibrahim dan Setyowati (1999) klasifikasi tumbuhan
kecombrang adalah sebagai berikut:
Regnum
: Plantae
Subregnum
: Tracheobionta
Super Divisio
: Spermathophyta
Divisio
: Magnoliophyta
Classis
: Liliopsida
Sub Classis
: Commelinidae
Ordo
: Zingiberales
Familia
: Zingiberaceae
Genus
: Nicolaia
Spesies
: Nicolaia speciosa cv. Pink Horan
3. Anatomi Tumbuhan Famili Zingiberaceae
a. Anatomi Daun
Tumbuhan yang termasuk ke dalam famili Zingiberaceae
umumnya hidup didaerah tropis hingga subtropis. Termasuk
kedalam daun tunggal. Daun ini umumnya mempunyai sel-sel
minyak. Merupakan tanaman herba dengan daun yang rindang, sistem
perakaran rhizome. Dalam mengidentifikasi karakteristik anatomis
tumbuhan Zingiberaceae, dapat diketahui antara lain dari ukuran
stomata, bentuk stomata, tipe stomata, tipe trikoma, distribusi jaringan
vaskular, letak jaringan palisade, dan substansi ergastis (substansi yang
tak hidup berasal dari bahan cadangan yang dihasilkan dari sisa sel,
yang berupa tepung protein, minyak, lilin, Kristal, badan silika dan
tanin). Selain itu, pengujian anatomi daun dan morfologi polen dapat
digunakan untuk taksonomi tumbuhan (Gufrin et al., 2014). Menurut
penelitian Setyawan (2001) pada spesies Alpina galangal (L.) Willd.,
Alpinia Hookeriana Val., Alpinia javanica Bl., Alpinia malaccensis
Rosc., Alpinia nutans Rosc., Costus speciosus (Koen.) Sm.,
7
Hedychium coronarium Koen. dan Zingiber officinale Rosc., yang
masih dalam satu famili Zingiberaceae ini secara anatomi pada
bagian helaian daun memiliki ciri-ciri yang hampir sama yaitu:
kutikula tipis, hipodermis biasanya selapis di bawah salah satu atau
kedua permukaan helai daun, sel silika berbentuk bulat atau pasir.
Pada helaian daun Costus speciosus (Koen.) kutikula agak tebal,
hipodermis berkembang dengan baik, selapis atau lebih dimasingmasing permukaan helai daun. Pada A. javanica secara anatomi
helaian daun memiliki trikoma yang terdapat di kedua permukaan
helai daun, hipodermis berbentuk segienam memanjang antiklinal.
Struktur minyak atsiri pada Alpinia sp. berupa modifikasi sel-sel
parenkim, yang dibentuk di semua jaringan terutama rimpang. Pada
Z. officinale jaringan hipodermis selapis di kedua permukaan
daun, letak beraturan; hipodermis atas berukuran 12,64x12,0 μm, dan
bawah berukuran 11,67x10,37 μm (Burkill, 1935; Claus et al., 1970).
b. Anatomi Bunga
Tumbuhan yang termasuk kedalam famili Zingiberaceae
merupakan
tumbuhan
herba
perenial
dengan
rhizome
yang
mengandung minyak menguap hingga berbau aromatik. Bunga
terpisah-pisah tersusun dalam bunga majemuk, tunggal dan berganda,
kebanyakan banci, zigomorf atau asimetrik. Hiasan bunga terdiri dari
tiga daun kelopak dan tiga daun mahkota yang berlekatan. Benang
sari berjumlah tiga sampai lima benang sari, delapan ovari mandul
yang terkadang bersifat seperti daun mahkota, tangkai putik terletak
di ujung, bebas atau bergigi dua (Tjitrosoepomo, 2002). Pada
beberapa kasus yang dilaporkan bunga Zingiberaceae mekar tidak
lebih dari 24 jam. Bunga ini biasanya mekar pada pagi hari dan
menutup pada sore hari. Dibeberapa jenis Zingiberaceae bunga mekar
pada pagi setelah itu menutup pada beberapa jam kemudian (Holtum,
1950).
8
c. Anatomi Akar
Rimpang merupakan modifikasi dari batang sehingga pada
penampang melintang rimpang memiliki struktur anatomi yang
menyerupai struktur anatomi batang. Rimpang merupakan batang
yang tumbuh secara horizontal di bawah permukaan tanah (Tri,
2008). Struktur anatomi rimpang temulawak famili Zingiberaceae ini
terdiri dari sel epidermis, bagian korteks, endodermis serta bagian
silinder pusat (Gambar 2). Bagian kortek dan silinder pusat terdiri
atas sel parenkim, sel sekresi dan berkas pengangkut. Di dalam sel
parenkim terdapat butir pati atau amilum. Berkas pengangkut
tersebar dibagian kortek dan silinder pusat, antara bagian korteks dan
silinder pusat dibatasi oleh sel endodermis. Silinder pusat pada
rimpang temulawak terdapat banyak sel sekresi dan berkas
pengangkut. Tipe berkas pengangkut pada rimpang temulawak adalah
kolateral yaitu dimana xilem dan floem letaknya berdampingan. Sel
sekresi merupakan tempat penyimpanan metabolit sekunder yang
secara anatomi terlihat berwarna jingga pada famili Zingiberaceae
(Kuntorini dkk, 2011).
Gambar 2. Penampang melintang rimpang temulawak. SS (sel
sekresi), A (butir amilum), PK (sel parenkim) (Kuntorini
dkk, 2011).
9
d. Anatomi Batang
Anatomi
batang
pada
famili
Zingiberaceae
umumnya
berukuran pendek dan memiliki struktur anatomi yang relatif sama.
Batang. Misalnya pada tanaman Alpinia galanga, pada batang
lengkuas ini secara anatomi terdiri dari kortek dan stele yang
dipisahkan cincin tengah. Bagian terluar kortek berupa selapis sel
epidermis dilindungi kutikula agak tebal. Berkas pengangkut tersebar
merata, rapat, tidak beraturan, agak bulat, ukuran bervariasi. Sel
minyak atsiri kekuningan tersebar merata (Jayaprakasha et al.,
2005). Pada penelitian yang dilakukan oleh Setyawan (2001)
mengenai anatomi tanaman famili Zingiberaceae dapat diketahui
bahwa hubungan kekerabatan dapat ditentukan dengan metode
numerik. Perbandingan ini dilakukan terhadap delapan spesies yang
diteliti yaitu Alpina galangal (L.) Willd, A. Hookeriana Val., A.
javanica Bl., A. malaccensis Rosc, A. nutans Rosc, Costus speciosus
(Koen.) Sm. Hedychium coronarium Koen. dan Zingiber officinale
Rosc., menghasilkan beberapa kunci identifikasi anatomi, yaitu
batang secara anatomi hampir semua spesies diatas mengandung
sel minyak atsiri, khusus pada Costus speciosus (Koen.) tidak
mengandung sel minyak atsiri, senyawa sekunder utamanya adalah
steroid. Anatomi batang pada ke delapan spesies diatas pada irisan
batang semu terdiri dari korteks dan stele yang dipisahkan cincin
tengah. Bagian terluar korteks berupa sel epidermis. Tepi batang rata,
tetapi pada C. speciosus dan H. coronarium tidak rata karena adanya
berkas pengangkut perifer. Pada A. javanica, A. malaccensis dan A.
nutans korteks sempit, sedang pada spesies lainnya lebar. Pada A.
Hookeriana, A. nutans dan H. coronarium cincin tengah tebal. Stele
selalu tebal. Berkas pengangkut rapat, tidak beraturan, bentuk kurang
lebih bulat, ukuran bermacam-macam. Sel minyak atsiri kekuningkuningan tersebar diseluruh batang (Setyawan, 2011).
10
4. Senyawa Flavonoid
Metabolisme primer merupakan keseluruhan proses sintesis dan
perombakan senyawa-senyawa penyusun utama tubuh makhluk hidup
berupa polisakarida, protein, lemak, dan asam nukleat. Hasil metabolit
primer dari semua makhluk hidup adalah sama, walaupun memiliki sifat
genetik yang berbeda (Manitto, 1992). Metabolisme sekunder merupakan
proses
sintesis
yang berbeda dengan metabolisme primer dan
menghasilkan produk yang berbeda untuk setiap spesies. Produk yang
dihasilkan melalui metabolisme sekunder ini dikenal sebagai metabolit
sekunder misalnya terpena, alkaloid, saponin, flavonoid, polifenil dan
pigmen. Metabolit sekunder ini berperan dalam kelangsungan hidup suatu
spesies dalam rangka menghadapi spesies lainnya, seperti senyawa kimia
untuk proteksi. Pembentukan senyawa metabolit sekunder diduga sebagai
produk timbunan metabolit yang beracun yang tidak dapat dibuang oleh
organisme melalui cara lain (Manitto, 1992).
Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit
sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman
(Rajalakshmi dan Narasimhan, 1985). Metabolit sekunder merupakan
senyawa yang dihasilkan atau disintesa pada sel dan grup taksonomi
tertentu pada tingkat pertumbuhan atau stres tertentu. Senyawa ini
diproduksi hanya dalam jumlah sedikit tidak terus-menerus untuk
mempertahankan diri dari habitatnya dan tidak berperan penting dalam
proses metabolisme utama (primer). Pada tanaman, senyawa metabolit
sekunder memiliki beberapa fungsi, diantaranya
sebagai
(menarik serangga penyerbuk), melindungi
stres lingkungan,
dari
atraktan
pelindung dari serangan penyakit (phytoaleksin), pelindung terhadap
sinar ultra violet, sebagai zat pengatur tumbuh dan untuk bersaing
dengan
tanaman
lain (alelopati). Prekursor (Starting material)
biosintesis metabolit sekunder didapatkan dari proses metabolisme
primer (Dewick, 1999).
11
Struktur dan jumlah dari prekursor menentukan kerangka
metabolit sekunder yang terbentuk. Oleh sebab itu, prekursorprekursor ini sering disebut juga sebagai building blocks dari metabolit
sekunder. Meskipun struktur metabolit sekunder pada umumnya
berupa
makro
molekul
yang
kompleks.
Akan
tetapi,
sangat
mengherankan bahwa jumlah macam building blocks metabolit
sekunder (yang berasal dari senyawa antara/intermedier) tidaklah
banyak. Secara garis besar hanya ada 3 senyawa antara pokok yaitu,
asetat, shikimat dan mevalonat, ditambah beberapa L-asam amino
(seperti ornitin dan lisin) yang berasal dari proses metabolisme primer,
seperti fotosintesis, glikolisis, siklus pentosa dan Krebs (Gambar 3, di
dalam kotak). Jadi senyawa antara tersebut merupakan "jembatan"
antara metabolisme primer dan sekunder (Smith et al., 1996).
Hubungan antara metabolisme primer dan sekunder secara garis besar
dapat dilihat pada Gambar 3.
Senyawa metabolit sekunder diproduksi melalui jalur diluar
biosintesa karbohidrat dan protein. Ada tiga jalur utama untuk
pembentukan metabolit sekunder, yaitu 1) jalur Asam asetat (Acetic
pathway), 2) Asam Mevalonat (Mevalonate pathway) dan 3) Asam
Shikimat (Shikimate pathway). Berdasarkan jalur biosintesis tersebut maka
(Gambar 4) senyawa-senyawa asam lemak (baik jenuh maupun tidak jenuh),
prostaglandin, makrolid, poliketid aromatik biosintesisnya masuk ke dalam
jalur asam asetat. Sedangkan senyawa- senyawa asam amino aromatik,
flavonoid, terpenoid, lignan, lignin dan flavonolignan, biosintesisnya masuk
ke dalam jalur shikimat. Biosintesis kelompok terpen (seperti monoterpen,
diterpen, triterpen dan tetraterpen), steroid biosintesinya masuk ke dalam
jalur mevalonat (Dewick, 1999).
12
Biosintesis bermacam-macam alkaloid (seperti kafein, teofilin, kinin,
kuinidin, kodein, dan morfin) masuk ke dalam jalur prekursor asam amino
(baik asarn amino protein maupun non protein) dan bermacam-rnacam
protein enzim, hormon (seperti hormon-hormon tiroid, hipotalamik, pituitari
dan pankreas), oligopeptida (macam-macam interferon, interleukin, dan
turunannya) masuk ke dalam jalur peptida dengan prekursor asam amino
protein. Adapun biosintesis bermacam-macam gula (baik monosakarida,
oligosakarida, maupun polisakarida) masuk ke dalam jalur karbohidrat
(Dewick, 1999).
Pembentukan warna pada bunga dapat diketahui dari mekanisme
biosintesis flavonoid atau biosintesis antosianin. Selain itu, ekpresi gen
dari biosintesis setiap spesies dalam memproduksi pigmen warna juga
dapat mempengaruhi pembentukan warna pada bunga. Sebab setiap
spesies memiliki spesifikasi yang berbeda-beda dalam menerima
informasi genetik dan mengekspresikan suatu kode genetik yang diterima.
Setiap spesies tumbuhan biasanya memiliki akumulasi antosianin sebagai
pigmen warna bunga spesifik dipengaruhi oleh ekspresi biosintesis gen,
substrat yang spesifik dari suatu enzim yang secara temporal maupun
spasial teregulasi di dalam biosintesis gen. Pada jalur biosintesis
antosianin, terdapat tiga kelompok utama antosianin dengan warna yang
diekspresikannya
berbeda-beda
tergantung
dari
gugus
kimia
penyusunnya. Misalnya saja pada pelargonidin yang mengandung 4
gugus OH, menghasilkan warna oranye atau jingga. Cyanidin membentuk
warna merah dengan 5 gugus OH, dan delpinidin dengan 6 gugus OH
akan membentuk warna ungu (Forkman and Heller, 1999; Grotewold
2006; Brugliera and Tanaka, 2006). Berikut jalur biosintesis warna pada
bunga dapat dilihat pada gambar 5.
13
Gambar 3. Hubungan antara metabolisme primer (dalam kotak) dan
metabolisme sekunder melalui beberapa senyawa antara
(Dewick, 1999).
14
Gambar 4. Biosintesa hubungan antara jenis monomer flavonoid dari jalur
asam asetat asam mevalonat, dan jalur asam shikimat (Dewick,
1999).
15
Gambar 5. Jalur umum biosintesis flavonoid pada warna bunga (Holton and
Tanaka, 1994).
16
Dengan mengetahui jalur-jalur biosintesis metabolit sekunder
memungkinkan seseorang melakukan manipulasi untuk pengembangan
metabolit sekunder, baik dalam peningkatan produksi maupun modifikasi
struktur dari metabolit bersangkutan. Flavonoid banyak terdapat di
vakuola, memiliki sifat mudah terhidrolisis oleh suhu tinggi, enzim, air
dan pH ekstrim. Pada umumnya flavonoid bersifat polar karena memiliki
gugus hidroksil sehingga larut dalam pelarut polar seperti air, metanol,
etanol, butanol dan aseton. Flavonoid sedikit larut dalam pelarut organik
seperti eter, benzena dan kloroform. Adanya gugus hidroksil pada
flavonoid menyebabkan senyawa bersifat asam
disemprot
dengan
memberikan warna
sitroborat
atau
diuapkan
kuning menyala
sehingga
dengan
yang permanen.
ketika
NH 3 akan
Flavonoid
terdistribusi pada semua bagian tumbuhan seperti akar, kayu, kulit
batang, tepung sari, daun, bunga, buah dan biji. Flavonoid berperan untuk
melindungi tanaman dari sinar UV, cekaman suhu, antimikrobia,
antivirus, toleransi terhadap logam berat, pertahanan serangga dan sinyal
kimia untuk menarik serangga. Secara kimia, flavonoid terdiri dari 15
atom karbon yang umumnya tersebar di semua jenis tumbuhan. Kerangka
dasar flavonoid biasanya terdapat banyak ikatan rangkap, sehingga
senyawa tersebut dapat menyerap cahaya tampak dan menyebabkan
senyawa ini dapat berwarna. Selain itu, flavonoid mengandung sistem
aromatik yang terkonjugasi sehigga menunjukkan pita serapan kuat pada
daerah spektrum UV (Salisbury and Ross, 1977). Pembentukan flavonoid
dapat melalui dua jalur, yaitu melalui jalur pentosa fosfat kemudian akan
masuk ke dalam jalur shikimat dan dapat juga melalui jalur glikolisis, dari
fosfoenol piruvat (PEP) sebelum menjadi piruvat, fosfoenol piruvat ini
akan masuk ke dalam jalur shikimat, yang selanjutnya membentuk
senyawa flavonoid (Smith et al., 2009). Berikut adalah jalur biosintesis
flavonoid dari jalur pentosa fosfat dapat dilihat pada gambar 6.
17
Gambar 6. (a) Perjalanan molekul sukrosa (hasil fotosintesis) menjadi molekul PEP
(melalui jalur glikolisis) dan E4P (melalui jalur pentosa fosfat)
menghasilkan flavonoid hingga menjadi chorismate (Smith et al.,
2009).
18
(b)
Gambar 6.b Jalur chorismate memasuki Shikimic acid pathway untuk membentuk
asam amino tirosin dan fenilalanin (Smith et al., 2009).
Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik dengan
struktur kimia C6-C3-C6 (White dan Y. Xing, 1951; Madhavi et al.,
1985; Maslarova, 2001) (Gambar 7). Kerangka flavonoid terdiri atas satu
cincin aromatik A, satu cincin aromatik B, dan cincin tengah berupa
heterosiklik yang mengandung oksigen dan bentuk teroksidasi cincin
ini dijadikan dasar pembagian flavonoid ke dalam sub-sub kelompoknya.
Sistem penomoran digunakan untuk membedakan posisi karbon di
sekitar molekulnya (Cook and Samman, 1996).
19
Gambar 7. Struktur C6 – C3 – C6 Flavonoid (Cook and Samman, 1996).
Flavonoid memiliki kontribusi yang penting dalam kesehatan
manusia. Menurut Hertog et al., (1992), disarankan agar setiap harinya
manusia mengkonsumsi beberapa gram flavonoid. Flavonoid terutama
terdiri atas antosianidin, flavonol, flavon, flavanol, flavanon dan
isoflavon (Spencer et al., 2003). Dalam penelitian ini flavonol dan
flavon merupakan senyawa yang paling tersebar luas dari semua
pigmen tumbuhan kuning (Robinson, 1995). Flavonol dan flavon yang
terdapat
dalam
tanaman,
biasanya
dalam
bentuk
O-glikosida.
Perbedaan yang paling utama antara flavonol dan flavon yaitu pada
flavonol terdapat gugus hidroksi pada C3. Kedua senyawa ini banyak
terdapat pada bagian daun dan bagian luar dari tanaman, dan hanya
sedikit sekali yang ditemukan pada bagian tanaman yang berada di
bawah permukaan tanah. Dalam sayuran, quersertin glikosida merupakan
komponen yang paling menonjol. Namun, terdapat pula glikosida lain
diantaranya, kaempferol, luteolin, dan apigenin (Hertog et al., 1992).
Senyawa quersetin merupakan golongan flavonol yang paling
banyak terdapat dalam tanaman dan merupakan senyawa yang paling
aktif dibandingkan senyawa lain dari golongan flavonol. Para peneliti
umumnya menggunakan quersetin sebagai standar untuk pengujian
flavonoid. Selain berperan sebagai antioksidan, quersetin berperan
juga untuk menghambat oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL)
dengan cara mengikat ion tembaga, yang dapat menginduksi oksidasi
dari LDL (Bao and Chang, 1994).
20
5. Identifikasi Flavonoid
Analisis
kuantitatif
flavonoid
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Spektrum serapan ultra violet
dan serapan tampak merupakan cara tunggal yang paling bermanfaat
untuk mengidentifikasi struktur flavonoid (Markham, 1988). Metode
tersebut juga dapat digunakan untuk melakukan uji secara kuantitatif
untuk menentukan jumlah flavonoid yang terdapat dalam ekstrak
metanol juga dilakukan dengan spetrofotometer UV-Vis yaitu dengan
mengukur nilai absorbansinya (Carbonaro, 2005). Nilai absorbansi ini
akan bergantung pada kadar zat yang terkandung di dalamnya, semakin
banyak kadar zat yang terkandung dalam suatu sampel maka semakin
banyak molekul yang akan menyerap cahaya pada panjang gelombang
tertentu sehingga nilai absorbansi semakin besar atau dengan kata lain
nilai absorbansi akan berbanding lurus dengan konsentrasi zat yang
terkandung didalam suatu sampel.
Spektrum flavonoid pada tumbuhan biasanya ditentukan dalam
larutan dengan pelarut metanol atau etanol. Spektrum khas flavonoid
terdiri atas dua maksimal pada rentang 230-295 nm (pita II) dan 300-560
nm (pita I) (lihat Tabel 1) (Neldawati dkk, 2013).
Tabel 1. Pita absorpsi UV dari flavonoid
No. Jenis Flavonoid
Pita II
Pita I
Flavon
250-280
310-350
1
Flavonol
250-280
330-385
2
Flanonon
275-295
300-330
3
Bilavonil
270-295
300-320
4
Kalkon
230-270
340-390
5
Auron
230-270
380-430
6
Antosianidin
270-280
465-560
7
(Sumber: Neldawati dkk, 2013)
Flavonoid mengandung sistem aromatis yang terkonjugasi dan
dapat menunjukkan pita serapan kuat pada daerah UV-Vis (Rohyami,
2007; Nawawi, 2004; Rohyami, 2003; Copriyadi, 2002; Harborne, 1987).
21
Bentuk daerah spektrum flavonoid pada spektrotometri UV-Vis tampak
dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Spektrum serapan UV-Visible jenis flavonoid (Neldawati
dkk, 2013).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yuli Rohyami (2007) untuk
menentukan kadar flavonoid yang terdapat dalam ekstrak metanol
daging buah mahkota dewa juga dilakukan dengan menggunakan
spetrofotometer UV-Vis. Standar yang digunakan adalah flavonoid rutin
(Carbonaro, 2005). Pada penelitian ini, isolasi flavonoid akan difokuskan
pada ekstrak metanol. Menurut Markham (1988) untuk mendapatkan
ekstrak flavonoid sebaiknya dilakukan ekstraksi sokhletasi menggunakan
pelarut metanol:air (9:1). Senyawa flavonoid pada umumnya mudah larut
dalam air, terutama bentuk glikosidanya. Senyawa tersebut dapat
diekstrak menggunakan pelarut air. Senyawa yang sedikit larut dalam air
bersifat semi polar dapat diekstraksi dengan pelarut metanol 80%, aseton,
dan etanol (Robinson, 1991). Flavonoid juga ditemukan pada ekstrak
22
etanol. Dengan metode yang sama (Rolim, 2005) menduga adanya
senyawa flavon yang mengandung gugus hidroksi pada posisi 4’ dan
senyawa 4-OH flavonol dengan 5-OH tersubtitusi alkil.
B. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Bunga dan daun kecombrang mengandung flavonoid.
2. Karakteristik organ bunga dan daun tersusun atas jaringan epidermis,
parenkim, berkas pengangkut, dan pigmen warna. Pada daun terdapat
trakea dan sklerenkim.
23
24
Download