pendahuluan - IPB Repository

advertisement
PENDAHULUAN
Latar belakang
Indonesia merupakan negara terbesar kedua setelah Brazil dalam hal
kekayaan keanekaragaman hayati. Dari sekitar 30.000 jenis tumbuhan yang ada di
Indonesia, lebih dari 1.000 jenis telah dapat dimanfaatkan untuk pengobatan.
Tanaman obat tersebut sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia
dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit serta peningkatan daya tahan
tubuh. Banyak tanaman obat dan ramuan khas obat tradisional atau obat asli
Indonesia dimiliki oleh setiap suku bangsa (etnis) di Indonesia.
Ramuan ini
diproduksi dan dipasarkan oleh industri obat tradisional yang sebagian besar
untuk tujuan pengobatan (Dirjen POM 2000).
Beberapa tanaman obat tradisional yang banyak dijumpai di masyarakat
antara lain jahe, kencur, temulawak dan sambiloto. Kencur, jahe, dan temulawak
termasuk dalam tanaman rimpang. Tanaman ini
banyak digunakan dalam
aktivitas hidup sehari-hari baik sebagai bumbu masak maupun bahan baku obat
tradisional (Dirjen POM 2000).
Jahe banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional antara lain batuk,
luka dan alergi gigitan serangga serta pengobatan untuk infeksi bakteri karena
memiliki aktifitas anti mikroba yang baik (Amalia et al 1995). Pada hewan, jahe
dimanfaatakan untuk pengobatan kembung (bloat) (Ma’sum dan Murdiati 1991),
influenza dan mastitis (Gultom et al 1991)
Kencur banyak digunakan untuk bahan baku obat tradisional (jamu), industri
kosmetika, rempah-rempah serta penyedap makanan dan minuman. Secara
empiris kencur digunakan untuk menambah nafsu makan, obat batuk ekspektoran,
antibakteri dan obat asma . Dalam dunia kedokteran hewan, kencur belum banyak
dimanfaatkan untuk pengobatan. Temulawak merupakan salah satu tanaman
tradisional yang paling banyak digunakan, yaitu sebagai antioksidan, antiinflamasi
(Sumartini 2009) serta memiliki kemampuan sebagai hepatoprotektor (Dirjen
POM 2000). Dalam pengobatan hewan temulawak dimanfaatkan sebagai anti
diare, merangsang nafsu makan, dan anemia (Mundy dan Murdiati 1991).
2
Sambiloto mempunyai ciri khas dengan rasanya yang pahit. Tanaman ini
dimanfaatkan sebagai antiinflamasi, antipiretik dan antimikroba.
Pengobatan dengan menggunakan tanaman obat memiliki beberapa
keuntungan, yaitu relatif aman untuk dikonsumsi, memiliki toksisitas yang
rendah serta tidak meninggalkan residu. Selain itu, penggunaan tanaman obat
dapat mengurangi alokasi dana untuk pengobatan sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan manfaat secara ekonomi.
Chronic Respiratory Diseases (CRD) merupakan penyakit pernapasan
yang sangat merugikan pada ayam, ditemukan pada semua kelompok umur.
Penyakit CRD mempunyai arti ekonomi yang cukup penting dalam intensifikasi
peternakan ayam karena penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang
besar. Menurut OIE (2007) CRD masuk dalam notifiable diseases, artinya jika
terjadi kasus CRD di lapang harus segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera
ditanggulangi.
Chronic Respiratory Diseases telah dilaporkan oleh berbagai negara
penghasil unggas di dunia. Penyakit ini sering ditemukan pada setiap periode
pemeliharaan ayam pedaging maupun petelur. CRD disebabkan oleh Mycoplasma
gallisepticum (M. .gallisepticum). Pada kondisi kronis penyakit ini sering disertai
dengan infeksi sekunder yaitu Escherchia coli (E. coli), sehingga penyakit ini
disebut juga CRD kompleks. Di Indonesia kejadian CRD pertama kali dilaporkan
oleh Richey dan Dirdjosoebroto (1965). Belum banyak peternak yang menyadari
bahwa CRD selain merugikan secara ekonomi dari hulu ke hilir (Kleven 1990)
juga menyebabkan tekanan terhadap kekebalan tubuh (Immunosuppresive).
Kejadian CRD dilaporkan telah menyebar luas ke seluruh dunia. Kejadian
CRD tidak hanya menyerang ayam pembibit tetapi juga menyerang ayam
komersial lainnya di seluruh Indonesia (ROMINDO 2007, BPPH 2007).
Kerugian akibat CRD adalah penurunan bobot badan, banyaknya ayam yang
harus diafkir dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan serta
kematian. Selain itu, CRD kompleks pada ayam sering kali menyebabkan
terjadinya kegagalan vaksinasi karena penyakit ini bersifat immunosuppresive
(Soeripto 2009), sehingga menimbulkan komplikasi dengan mikroba penyebab
penyakit lain seperti penyakit tetelo atau New castle Desease (ND) dan Infetious
3
Bronhitis (IB). Peternakan ayam pembibit yang ada di indonesia pada umumnya
tidak ada yang terbebas dari CRD, hal ini disebabkan ayam yang terinfeksi
menjadi karier sehingga wilayah dimana peternakan itu berada menjadi daerah
endemik (Soeripto 2009).
Beberapa alternatif untuk mengobati adanya infeksi bakteri adalah dengan
pemberian antibiotik. Pengobatan, pencegahan dan control terhadap CRD pada
peternakan ayam sudah sering dilakukan, tetapi sampai sekarang kejadian CRD
masih terus mewabah (Soeripto 2000; Ley 2003; Vance et al 2008 dan BPPH
2007). Antibiotika yang sering digunakan untuk pengobatan CRD adalah
golongan makrolide dan kuinolon (Bywater 1991 dan Soeripto 1989, 1990) .
Akhir – akhir ini resiko penggunaan antibiotika mulai dibatasi, terutama adanya
efek resisten dan residu pada bahan pangan. Menurut Soeripto (1996) residu yang
biasa ditemukan didalam daging dan telur ayam adalah antibiotika dari golongan
sulfa dan tetracycline. Pengobatan yang terus menerus dengan obat yang sama
tidak disarankan, karena dapat menyebabkan resistensi serta meninggalkan residu
yang berbahaya bagi konsumen produk ayam (Purwadikarta dan Soeripto 1990;
Soeripto 1996; Wahyuwardani dan Soeripto 1998)
Penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit pada ayam sudah
dibatasi. Informasi tentang bahaya resistensi dan residu antibiotik pada produk
pangan khususnya daging ayam dan telur semakin penting seiring dengan
meningkatnya kesadaran konsumen akan penyediaan bahan makanan yang aman,
sehat, utuh, dan halal (ASUH). Sebaliknya, efisiensi biaya
menyediakan
produksi untuk
produk daging ayam yang ASUH tersebut juga menjadi
pertimbangan utama peternak ayam termasuk di dalamnya penanggulangan
penyakit dengan menggunakan obat-obatan. Oleh karena itu, peternak ayam selalu
berusaha berinovasi untuk mencari obat alternatif dengan memanfaatkan tanaman
sebagai obat.
Peternak unggas menggunakan tanaman obat untuk menanggulangi
penyakit
yang didasarkan pada pengalaman empiris mereka yang sudah
dilakukan secara turun-temurun. Beberapa peternak ayam di Indonesia secara
empiris menggunakan jahe, kencur, temulawak dan sambiloto sebagai sediaan
yang sering dipakai sebagai bahan baku obat tradisional pada manusia untuk
4
pengobatan gangguan pernafasan. Pengalaman empiris yang telah dipaparkan di
atas menunjukkan bahwa tanaman obat yang selama ini banyak digunakan oleh
manusia untuk pengobatan penyakit pernafasan juga memiliki khasiat yang
hampir sama pada hewan atau ternak.
Tujuan penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah
mengetahui potensi jahe, kencur,
temulawak dan sambiloto yang mempunyai daya antibakterial terhadap M.
gallisepticum dan E. coli sebagai agen penyebab CRD kompleks secara in vitro.
Manfaat Penelitian
Penggunaan jahe, kencur, temulawak dan sambiloto sebagai alternatif
pengobatan CRD komplek diharapkan mampu bersaing dengan pengobatan
konvensional.
Download