1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pelaksanaan usaha pengembangan peternakan banyak dihadapkan pada berbagai kendala. Satu di antara berbagai kendala itu adalah faktor penyakit. Penyakit infeksi bakteri yang ditemukan pada peternakan salah satunya yaitu infeksi Escherichia coli atau sering disebut kolibasilosis. Kejadian penyakit ini umumnya berkaitan langsung dengan pemilihan lokasi dan lingkungan peternakan terutama kebersihan. Kolibasilosis berhubungan langsung dengan sumber air minum di lapangan, karena keberadaan bakteri Escherichia coli penyebab kolibasilosis di air dan tanah merupakan flora normal. Sehingga tak heran jika hasil pemeriksaan laboratorik terhadap sampel air di lokasi peternakan hampir semua menunjukkan positif bakteri E.coli. Penularan kolibasilosis biasanya terjadi secara oral melalui pakan, air minum atau debu/kotoran yang tercemar oleh E.coli. Debu dalam kandang dapat mengandung 105-106 E.coli/gram dan bakteri ini dapat tahan hidup, terutama dalam keadaan kering. Apabila debu tersebut terhirup oleh ayam, maka dapat menginfeksi saluran pernapasannya (Tabbu, 2000). Berdasarkan pengamatan penyebab utama kolibasilosis selalu muncul di lapangan adalah kebiasaan peternak menggunakan sumur dangkal sebagai sumber air minum untuk ternaknya. Sebabnya, sumur dangkal tersebut rawan tercemari oleh kuman E.coli yang letaknya dekat dengan septic dan apabila sumur tersebut tidak disanitasi. Apalagi saat memasuki musim penghujan, air hujan yang mengalir bersama tanah dan feses yang mengandung bakteri E.coli akan 2 mencemari sumur atau air tanah. E.coli tahan lama di lingkungan, setelah keluar dari inang (tubuh ayam), bakteri ini dapat bertahan tanpa “nutrisi” selama 0-30 hari, sehingga dapat menginfeksi ayam dan menyebabkan kolibasilosis. Penyakit kolibasilosis dapat dimanifestasikan dalam bentuk kelainan organ, seperti septikemia, enteritis, granuloma omfalitis, sinusitis, air sacculitis, arthritis/ synovitis, peritonitis, perikarditis, selulitis dan Swollen Head Syndrome/ SHS (Zanella et al., 2000), oovoritis, salpingitis, panopthalmitis, dan buritis sternalis (Tabbu, 2000). Di lapangan peternak sering menganggap remeh keberadaan penyakit kolibasilosis karena biasanya penyakit ini tidak menimbulkan kematian dan penurunan produksi yang tinggi serta tindakan pengobatan yang mudah yaitu dengan pemberian antibiotik. Padahal, selain besarnya biaya pengobatan, E.coli bisa menjadi resisten terhadap antibiotik. Kolibasilosis berdampak pula pada pertumbuhan ayam yang tidak optimal dan produksi telur tidak stabil. Di samping itu, adanya infeksi E.coli dapat merupakan faktor pendukung timbulnya penyakit komplek pada saluran pernapasan, percernaan atau reproduksi yang sulit ditanggulangi (Tabbu, 2000). Bakteri E.coli bisa masuk melalui saluran pernapasan saat udara sangat berdebu atau ayam sebelumnya telah menderita gangguan pernapasan. Bakteri yang terhirup tersebut akan melakukan infeksi dan berkembang biak (multiplikasi). Infeksi biasanya bersifat lokal pada kantung udara yang ditandai dengan penebalan dan menjadi keruh. Sedangkan untuk saluran pencernaan biasanya E.coli menyerang usus yang telah mengalami luka karena cacing, jamur, atau koksidiosis. Kerusakan dapat dilihat berupa 3 peradangan, penebalan dinding usus, edema, dan keluar lendir bercampur darah. Ayam mengalami diare dan menurunnya kondisi tubuh secara cepat. Kuman E.coli juga bisa masuk ke saluran reproduksi karena pencemaran feses. Di saluran reproduksi, kuman E.coli menularkan telur atau menyebabkan kematian embrio atau telur pecah di saluran reproduksi sehingga ayam mati mendadak. Selanjutnya Norton (1997), mengemukakan bahwa kerugian yang ditimbulkan E.coli berupa penurunan kualitas karkas dan pengafkiran daging. Akibat masalah tersebut, kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 30-40 juta dollar setiap tahunnya. Semua hewan dapat terserang kolibasilosis karena bakteri E.coli tidak khusus menyerang satu jenis hewan saja. E.coli juga mudah mengalami mutasi menjadi Entero Pathogenic E.coli (EPEC), yaitu menjadi bakteri patogen di saluran pencernaan. Selain itu juga bermutasi menjadi Entero Toxigenic E.coli (ETEC), yaitu bakteri yang menghasilkan racun dan kemudian merusak mukosa usus (Norton, 1997). Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta sebagai laboratorium penguji spesimen telah menerima dan mencatat data tentang kasus infeksi Escherichia coli yang dilaporkan setiap tahunnya oleh laboratorium patologi sebagai lembaga yang melayani masyarakat, maka data yang diperoleh juga sangat dibutuhkan dalam rangka mendukung program pembangunan peternakan. 4 Tujuan Tujuan dilaksanakannya pengujian patologi ini adalah : untuk mengetahui perubahan-perubahan jaringan pada unggas yang terkena bakteri E. coli, untuk mengetahui bentuk-bentuk lesi yang terdapat pada jaringan atau organ, untuk menentukan organ manakah yang harus diambil dan selanjutnya dibuat preparat histopatologi, untuk histopatologik dengan diagnosa bakteri pewarnaan E.coli berdasarkan Hematoxylin-Eosin (HE) pengamatan dan untuk mendapatkan data positif atau negatif dari hasil pengamatan secara patologis. Manfaat Hasil dari pengujian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia pengetahuan pada umumnya dan Ahli Madya pada khususnya dalam melakukan pengujian laboratorium dengan melakukan pengamatan histopatologik untuk diagnosa terhadap bakteri E.coli sehingga dapat diketahui perubahan yang terjadi pada organ yang diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE) dan dapat juga diketahui ciri-ciri yang spesifik dari hasil pengamatan tersebut.