KEDUDUKAN BARANG JAMINAN DALAM TRANSAKSI MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH LAPORAN PENELITIAN Peneliti: Drs. Agus Triyanta, MA.,MH,PhD. (Ketua) (NIK 934100105) Tovan Kurniawan (Anggota) (NIM 06410165) PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2011 1 2 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah swt yang telah memberikan kenikmatan dan kemurahan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Penelitian ini berjudul “Kedudukan Barang Jaminan Dalam Transaksi Mudharabah Pada Perbankan Syaiah”. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap bagaimana konsep jaminan dalam Hukum Islam serta bagaimana implementasi transaksi mudharabah pada perbankan syariah, sehingga akan diketahui dan diungkap, bagaimanakah status jaminan serta urgensinya bagi transaksi ini. Lebih dari itu, akan dilihat juga bagaimana implementasinya pada perbankan syariah. Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Hukum Universitas islam Indonesia 2. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 3. Kepada para teman di Fakultas Hukum UII. 4. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan secara khusus. Berbagai pihak tersebut telah banyak memberikan bantuan baik berupa pendanaan bagi terselenggaranya penelitian ini maupun berbagai bantuan dalam bentuk lain yang baik moril maupun spiritual. Kepada mereka penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan di sisiNya. Amin. Yogyakarta, 10 Januari 2011 3 DAFTAR ISI Halaman …….………...………………………………............. i HALAMAN JUDUL ………………………....………………………………............ ii PENGESAHAN DAFTAR ISI ABSTRAK ……………………….....………………………………................ iii ……………………………………...………………………………..... v BAB I P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Masalah …………………………………… 1 ...………………………………..... 1 1.2. Rumusan Masalah ……......………………………………....... 10 1.3. Tujuan Penelitian ……….....………………………………...... 11 B II TINJAUAN PUSTAKA ………….....………………………………..... 12 ...……………………………………………... 18 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...…………………………... 20 BAB III METODE PENELITIAN ...…………………….. 20 4.1. Tinjauan Umum Mengenai Akad Mudharabah 4.1. Barang Jaminan dalam Akad Mudharabah 4.3. Implementasi Akad Mudharabah di Perbankan Syariah ........................... …………………………….. 38 5 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...………………………………... 56 5.1. Kesimpulan ……………………...……………………………….......... 56 5.2. Rekomendasi ……………...………………………………..................... DAFTAR PUSTAKA 58 ...……………………………….......................................... 59 4 ABSTRAK Penelitian ini berjudul ““Kedudukan Barang Jaminan Dalam Transaksi Mudharabah Pada Perbankan Syaiah”. Fokus penelitian dari penulisan ini adalah mengetahui bagimana konsep mudharabah dalam hukum Islam, berikut konsep barang jaminan bagi akad mudharabah dalam hukum Islam. Di samping itu, implementasi akad mudharabah pada perbankan syariah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, ialah penelitian hukum yang akan mlihat bagaimana pengaturan transaksi valuta asing di Malaysia dan Indonesia dalam tinjauan hukum Islam. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan konseptual yaitu dengan cara mempelajari pandanganpandangan dengan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum untuk menelaah latar belakang lahirnya dan perkembangan pengaturan mengenai masalah yang diteliti. Bahan hukum yang diteliti terdiri dari bahan hukum primer : bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti Al-qur’an, alhadts, kitab-kitab klasik, fatwa dewan syari’ah, kitab undang-undang, Bahan hukum sekunder berupa literatur, jurnal dan data elektronik, serta bahan hukum tersier berupa kamus dan ensiklopedi. Cara pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi pustaka, serta dengan studi dokumen, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti. Analisis hasil penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokan dan dipilih, kemudian dihubungkan dengan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat menjawab perumusan masalah yang ada. Data dihimpun dengan pengamatan yang seksama, meliputi analisis dokumen dan catatan-catatan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa di dalam Islam mudharabah merupakan akad kerjasama dengan keharusan adanya pembagian keuntungan dan tanggungan bersama akan resiko yang terjadi. Terkait dengan barang jaminan, Islam mengenal dan memperbolehkan adanya barang jaminan dalam perjanjian muamalah, namun untuk akad mudharabah, pada asalnya tidak dikenal adanya jaminan. Dalam implementasinya papa perbankan syariah, mudharabah masih sangat minim. Terkait dengan implementasi barang jaminan, dalam perbankan syariah hari ini, diterapkan adanya barang jaminan. Hal ini didasarkan pada fatwa yang dikeluarkan oleh DSN Majelis Ulama Indonesia. Adapun rekomendasinya adalah bahwa seharusnya, mulai diintrodusir upaya perbaikan penerapan akad mudharabah, yakni dengan meminimalisir adanya jaminan. Kata Kunci: jaminan, mudharabah, perbankan syariah 5 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Maraknya perbankan syar’iah dewasa ini bukan merupakan gejala baru dalam dunia bisnis syari’ah. Keadaan ini ditandai dengan semangat tinggi dari berbagai kalangan, yaitu: ulama, akademisi dan praktisi untuk mengembangkan perbankan tersebut dari sekitar pertengahan abad 20. Perkembangan bank syar’iah tersebut juga sampai di negeri Indonesia. Belakangan ini Bank Syari’ah sedang menjadi pilihan bagi pelaku bisnis perbankan sampai dengan pertengahan tahun 2001. Di Indonesia telah berdiri sepuluh bank umum syari’ah (BMI, BNI, BSM, Bukopin, BPD Jabar, Bank IFI, BRI, Danamon, BII dan BPD DKI), dengan sekitar 85 kantor cabang, ditambah lagi dengan 88 BPR Syari’ah (Bank Indonesia, 2004). Dari produk yang ditawarkan oleh bank syari’ah dan “dibeli” oleh masyarakat pengguna di Indonesia masih kecil dibandingkan dengan produk bank konvensional. Keadaan ini dipengaruhi oleh seberapa banyak produk yang dapat dikembangkan dan diaplikasikan oleh bank syari’ah. Berdasarkan prinsip dasar produk bank syari’ah memiliki pembiayaan berupa produk bagi hasil yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Meskipun jenis produk pembiayaan dengan akad jual beli dan sewa juga dapat dioperasionalkan namun kenyatannya bank syari’ah tingkat dunia maupun di Indonesia produk pembiayaannya masih didominasi oleh produk pembiayaan dengan akad jual beli. 6 Sebagaimana dinyatakan oleh Karim (2001) bahwa: “hampir semua bank syari’ah di dunia didominasi dengan produk pembiayaan murabahah sedangkan sistem bagi hasil sangat sedikit diterapkan, kecuali di dua negara yaitu Iran (48 %) dan Sudan (62%). Disamping itu, Ibrahim Wade (1999: 199) menggambarkan bahwa perkembangan pembiayaan bagi hasil baru mencapai 15% per tahun. Pertumbuhan share keuangan perbankan syari’ah di Indonesia pada tahun 2002 untuk pembiayaan mudharabah sebesar 14,33% dan pembiayaan musyarakah sebesar 2,86%. Sementara pembiayaan murabahah sebesar 72,21%. Hal ini menggambarkan adanya kesenjangan antara konsep teori dengan praktek bank syari’ah. Faktor ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: faktor internal perbankan syari’ah dan faktor eksternal bank syari’ah. Secara internal perbankan syari’ah mungkin belum dipahami secara baik oleh kalangan internal perbankan mekanisme kerja produk mudharabah.1 Dengan pendanaan pertumbuhan perkembangan yang tidak ekonomi, kecil pembangunan guna pendapatan mencapai perkapita, nasional memerlukan sumber sasaran-sasarannya, misalnya kesempatan distribusi kerja, pendapatan dan lain-lain. Sasaran ini terus diupayakan untuk meningkatkan kualitas dari waktu kewaktu. Untuk itu upaya untuk memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan khususnya industri perbangkan menjadi sangat penting.2 Perbankan merupakan salah satu sektor yang diharapkan berperan aktif dalam menunjang kegiatan pembangunan nasional atau regional. Peran itu diwujudkan dalam fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi atau institusi perantara antara 1 Muhammad, Ekisonline.com 2 Mulhadi, Prinsip Kehati-hatian dalam Kerangka UU Perbankan Indonesia, USU Repasitory, 2006. 7 debitor dan kreditor. Pelaku ekonomi yang demikian membutuhkan dana untuk menunjang kegiatannya dapat terpenuhi dan kemudian roda perekonomian bergerak.3 Lancarnya aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Kondisi sektor perbangkan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari kebijakan disektor perbankan. Peran sektor perbangkan dalam pembangunan juga dapat dilihat pada fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Perbankan juga merupakan alat yang sangat vital dalam menyelenggarakan transaksi pembayaran baik nasional maupun internasional. Mengingat pentingnya fungsi ini maka upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbangkan menjadi bagian yang sangat penting untuk dilakukan. Industri perbankan merupakan suatu industri yang sangat bertumpu pada kepercayaan masyarakat yang memiliki uang untuk disimpan.4 Meninjau lebih dalam tentang peranan, fungsi dan usaha bank, maka dalam undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah menjelaskan secara umum bank memiliki peranan sebagai penghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan seperti giro, deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan serta bank berperan sebagai penerbit surat pengakuan hutang, membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya, seperti suratsurat wesel dan surat pengakuan hutang. Selain itu bank juga dapat berperan sebagai penyaluran kredit pada perusahaan-perusahaan dan masyarakat.5 3 Http://One.Indoskripsi.com/Content/Peranan/Bank/Pada/Masyarakat. Hikmahanto Juana, Analisa Ekonomi Atas Hukum Perbankan, Jurnal Hukum dan Pembangunan. Ed 1-3. Tahun XXVIII. 1998. Hlm 86 5 Http://Hukumpositif.com/Node/147 4 8 Penerapan pelaksanaan pembiayaan dengan akad mudharabah dalam seluruh kegiatan di perbankan syariah merupakan salah satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap perekonomian secara menyeluruh antara pihak bank sendiri dan mudhorib (pemilik usaha). Implementasi prinsip ini harus menyeluruh, tidak hanya menyangkut masalah pemberian modal usaha bagi orang yang ingin melakukan usaha tetapi tidak mempunyai modal.6 Dunia perbankan syari’ah yang melaksanakan pembiayaan dengan transaksi atau akad Mudharabah memiliki beberapa implementasi diantaranya adalah:7 a. Nasabah yang ingin mengelola usaha, dan tidak mempunyai dana sama sekali, maka nasabah bisa datang ke bank dan mengajukan permohonannya. b. Setelah itu bank akan memberikan seluruh modalnya 100% kepada nasabah untuk mengelola usaha dan bank tidak ikut campur dalam mengelola usahanya tersebut dan yang mengelola usahanya adalah nasabah. c. Nasabah melangsungkan pengelolaan usaha. d. Setelah hasil pengelolaan mendapatkan hasil keuntungan, maka hasil tersebut dibagi sesuai margin yang disepakati di awal akad. e. Jika hasil pengelolaan itu mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung sepenuhnya oleh bank selama tidak ada kecurangan dan kekeliruan dari pihak nasabah dan bank bebas dalam menghentikan pengelolaan tersebut. f. Berjalan waktu dan pengelolaan usaha, nasabah harus mengembalikan modal milik bank sepenuhnya 100%. 6 Http://Penulis.Bloggaul.com/Aspek-Aspek/Hukum/Keuangan/dan/Perbankan 7 Mutawalli, ( Http://Hukumpositif.com ) 9 Pengawasan dan pembinaan terhadap perbankan dilakukan oleh bank sentral. Sesuai dengan pasal 23 D Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia hanya ada satu Bank sentral yaitu bank Indonesia.8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia memberikan definisi bahwa Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik Indonesia. Bank Indonesia adalah lembaga Negara yang independent dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang tersebut. Bank Indonesia adalah badan hukum berdasarkan Undang-Undang.9 Sebagai bank sentral, Bank Indonesia harus memberikan pengawasan serta pembinaan tersebut secara optimal agar bank sebagai sektor penting dalam keuangan negara dapat berjalan dengan baik dan tidak menyimpang dari aturan-aturan yang telah ada. Peran Bank Indonesia tidak hanya pada bank umum atau bank konvensional akan tetapi Bank Indonesia juga harus memberikan pengawasan dan pembinaan terhadap perbankan syari’ah. Perbankan syari’ah adalah lembaga perbankan yang kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah.10 Visi perbankan syariah umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang igin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai dengan prinsip syariah. Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah visi utama Andi Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Ctk. 1. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, Hlm 56. 9 UU No 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Pasal 4. 10 Burhanudin Susanto, Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia, Ctk. 1, UII Press, Jakarta, 2008, Hlm 17. 8 10 bank syari’ah.11 Saat ini penyesuaian dan penyempurnaan ketentuan perbankan syari’ah telah memperoleh pijakan yang kuat yaitu dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah pada tanggal 16 Juli 2008, setelah disahkannya Undang-Undang tersebut maka keberadaan perbankan syariah di Indonesia sebagai alternatif jasa perbankan bagi masyarakat Indonesia menjadi semakin diterima dan diakui oleh masyarakat dapat memberikan kontribusi yag optimal dalam rangka menunjang pembangunan ekonomi nasional.12 Salah satu perbankan syariah di Indonesia yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariaah adalah BNI Syariah. Sejarah lahirnya BNI syariah berawal karena adanya demand (kebutuhan) dari masyarakat terahadap perbankan syariah, selain itu untuk mewujudkan visinya menjadi universal banking. BNI membuka layanan perbankan yang sesuai denga prinsip syariah dengan konsep dual banking system, yakni menyediakan layanan perbankan umum dan syariah sekaligus. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang memungkinkan bank-bank umum untuk membuka layanan syariah. Pembentukan Tim Bank Syariah diTahun 1999 mengawali Bank Indonesia mengeluarkan ijin prinsip dan usaha utuk beroprasinya Unit Usaha Syariah BNI.Setelah itu BNI Syariah menerapkan strategi pengembangan jaringan cabang syariah dan hingga saat ini telah tersebar di berbagai kota di Indonesia.13 Karnaen Perwataatmadja, Gamaladewi, Wirdyaningsih dan Yenny Salma Barlinti, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, Hlm 17. 12 Penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/17/PBI/2008 Tentang Bank Umum Syari’ah 11 13 Http://BNIsyari’ah.tripod.com/Profile.Html 11 Penentuan harga atau untuk mencari keuntungan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut:14 1. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah) 2. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah) 3. Prinsip jual beli barang denga memperoleh keuntungan (murabahah) 4. Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilih (ijarah) 5. atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah waiqtina) Produk pembiayaan bank syariah berdasarkan prinsip bagi hasil mudharabah merupakan salah satu pembeda antara bank syariah dan bank konvensional. Pembiayaan mudharabah bertujuan untuk menghindari riba atau bunga yang umumnya terdapat pada perbankan konvensional. Muhammad Syafii Antonio15 mengungkapkan tentang konsep bunga dan keunggulan bank syariah dalam menghindari bunga dengan memberi alternatif sebuah sistem yang islami yakni prinsip kerjasama dengan model bagi hasil mudharabah. Islam mengharamkan bunga dan menghalalkan bagi hasil. Penerapan prinsip bagi hasil atau mudharabah agar selalu sesuai dengan prinsip syariah haruslah mendapatkan peran aktif dari Bank Indonesia untuk melakukan pengawasan. Selain itu Bank Indonesia sebagai bank sentral harus berperan aktif memberikan pembinaan apabila nantinya timbul penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan perbankan syariah yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian pada pembiayaan Zainul Arifin, Memahami Bank Syari’ah Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Ctk 1, Alpabet, Jakarta, 1999, Hlm 213. 15 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, Hlm. 54. 14 12 oleh mudharabah. Peran Bank Indonesia terhadap perbankan syariah adalah untuk memberikan pengawasan terhadap aspek kesehatan bank agar senantiasa sesuai dengan prinsip syariah. BNI syariah merupakan salah satu perbankan syariah di Indonesia yang dalan menjalankan seluruh kegiatannya harus berdasarkan pada prinsip syariah. Salah satu pembiayaan di BNI Syariah yang sesuuai dengan prinsip syariah adalah adanya pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah dalam perbankan syariah lebih dikenal dengan prinsip bagi hasil dan tidak mengenal riba. Pembiayaan mudharabah agar berjalan sesuai dengan ketetapan yang ada maka perlu mendapatkan pengawasan dan pembinaan dari Bank Indonesia. Idealitanya Bank Indonesia harus selalu memantau kegiatan perbankan syariah agar sesuai dengan ketentuan yang ditetapkannya dengan cara melakukan pengawasan dan pembinaan. Menurut peraturan Bank Indonesia pengawasan dapat dilaksanakan dengan cara online sistem yang dilakukan setiap bulannya, dan pengawasan langsung oleh Bank Indonesia dilakukan sekurang-kurangnya setahun sekali. Realita yang terjadi saat ini, pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia cabang Yogyakarta terhadap BNI syariah sudah terlaksana hanya saja pelaksanaannya masih kurang optimal, dimana hanya sebatas online system yang dilakukan setiap bulan dan pengawasan langsug kurang dalam pelaksanaanya. Realita inilah yang menjadi permasalahan hukum dan perlu untuk dibahas lebih lanjut. Bank dalam menyalurkan dananya kepada masyarakat melalui pembiayaan mudharabah idealnya menjalankan prinsip yang telah diatur oleh Bank Indonesia yang dianggap sebagai Bank Sentral Republik Indonesia agar tetap sehat karena bank harus melindungi kepentingan dan kehendak nasabah penyimpen. Sementara bank 13 juga harus melindungi kepentingan usahanya, sehingga bank harus berusaha semaksimal mungkin agar dapat menarik dana nasabah sebesar-besarnya kemudian disalurkan dananya kepada masyarakat yang membutuhkan, oleh karena itu bank yang seharusnya melaksanakan pembiayaan dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia, namun kenyataannya prinsip-prinsip itu belum sepenuhnya diterapkan oleh bank syariah. Hal ini dimungkinkan karena belum adanya aturan hukum atau regulasi atau batasan-batasan yang tegas tertentu mengenai prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Batasan –batasan mengenai prinsip-prinsip tentang bank syariah yang telah ada tersebut dapat menjadikan nasabah lebih paham apa yang harus dilakukan untuk melakukan pembayaran dengan cara mudharabah. Tindakan banker maupun nasabah yang melanggar aturan tersebut dapat diartikan sebagai tindakan melawan hukum, namun kenyataannya belum ada aturan hukum atau regulasi atau batasan-batasan yang tegas tentang prinsip ini yang harus diikuti oleh smua pelaku usaha perbankan. Seharusnya pemerintah atau intansi terkait harus secepatnya membuat kebijakan yang lebih tegas mengenai aturan-aturan atau batasan-batasan yang harus dilakukan oleh banker maupun oleh nasabah atau konsumen bank mengenai pembiayaan mudharabah tersebut. Supaya tidak terjadi kesalah pahaman antara pihak bank dan konsumen bank yang mengikatkan diri pada bank tersebut. Dengan adanya peraturan-peraturan atau prinsip-prinsip yang telah jelas dan pasti akan kepastian hukumnya maka akan mewujudkan bank yang sehat dan dapat menarik ketertarikan nasabah yang akan melakukan kerjasama usaha. Nasabah juga tidak merasa kawatir jika semua aturanaturan atau prinsip-prinsip itu sudah jelas akan kepastian hukumnya. 14 Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak dan memberikan pemahaman terhadap masyarakat tentang penerapan asas mudharabah yang baik dan benar sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman antara pihak bank dan masyarakat sendiri. Pengertian bank di atas dapat dijelaskan secara lebih luas bahwa bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan dengan uraian latar belakang yang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah terkait dengan akad mudharabah pada perbankan syariah di Indonesia yaitu: 1. Bagaimana konsep Hukum Islam tentang mudharabah ? 2. Bagaimanakah konsep barang jaminan pada akad mudharabah? 3. bagaimanakah implementasi akad mudharabah serta jaminannya pada perbankan syariah? dengan transaksi atau akad mudharabah ? 15 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis : 1. Konsep mudharabah dalam Hukum Islam. 2. Konsep barang jaminan dalam akad mudharabah menurut Hukum Islam. 3. Implementasi akad mudharabah dan jaminannya pada perbankan syariah. 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak dan memberikan pemahaman terhadap masyarakat tentang penerapan asas mudharabah.16 Pengertian bank diatas dapat dijelaskan secara lebih luas bahwa bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan.17 Fungsi utama dari bank adalah menyediakan jasa menyangkut penyimpanan nilai dan perluasan kredit. Evolusi bank berawal dari awal tulisan dan berlanjut sampai sekarang dimana bank sebagai institusi keuangan yang menyediakan jasa keuangan. Sekarang ini bank adalah institusi yang memegang lisensi bank. Lisensi bank diberikan oleh otoriter supervise keuangan dan memberikan hak untuk melakukan jasa perbankan dasar, seperti menerima tabungan dan memberikan pinjaman.18 Kata bank berasal dari bahasa Italia banca atau uang. Biasanya bank menghasilkan untung dari biaya transaksi atas jasa yang diberikan dan bunga dari pinjaman.19 Ibid 19 Ibid 16 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan 17 Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Bank 17 Bank Indonesia adalah bank sentral yang ada di Indonesia. Bank sentral disuatu Negara, pada umumnya adalah instansi yang bertanggungjawab atas kebijakan moneter di wilayah negara tersebut. Bank setral berusaha untuk menjaga stabilitas nilai mata uang, stabilitas sektor perbankan dan sistem finansial secara keseluruhan.20 Perbankan syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah, yang mencakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.21 Kehadiran perbankan syari’ah bertujuan untuk menghindari riba. Al-Quran Allah telah memberikan petunjuk yang jelas:22 “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. 20 Http://Id.Wikipedia/Wiki/Bank Central 21 UU RI No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah Pasal 1 (1) 22 Surat Albaqarah 275, Quran Karim dan Terjemahannya, UII Press. 18 13 Menjawab permasalahan mengenai riba, perbankan syari’ah menawarkan produk yang tidak mengenal istilah riba akan tetapi adanya suatu pembiayaan yang berdasarkan pembiayaan dengan akad atau transaksi mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibulnmaal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola. Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam menejemen projek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hatihati dan bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi atas kelalaian dan tujuan penggunaan modal utuk usaha yang halal. Sedangkan shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan modal laba yang optimal.23 Pelaksaan pembiayaan dengan transaksi atau akad mudharabah agar sesuai dengan prinsip syari’ah dan tidak menyimpang dari prinsip syari’ah memerlukan pembinaan dan pengawasan dari Bank Indonesia. Hal ini bertujuan agar kegiatan usaha suatu perbankan syari’ah sesuai dengan prinsip yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pengawasan dan pembinaan bank dilakukan oleh Bank Indonesia, hal ini didasarkan pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 juncto 23 Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Mudharabah 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Fokus penelitian Fokus penelitian dari penulisan ini adalah mengetahui bagimana konsep mudharabah berikut dengan jaminan barang dalam pembiayaan mudharabah ditinjau dari prespektif hukum Islam. Selain itu, bagaimana implementasi akad mudharabah dalam perbankan syariah juga akan dianalisis dengan proporsional. 3.2. Sumber bahan hukum 1) Sumber hukum primer : bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti Al-qur’an, al-hadts, kitab-kitab klasik, fatwa dewan syari’ah, kitab undang-undang . 2) Bahan hukum sekunder berupa literatur, jurnal dan data elektronik : a) literatur berupa buku-buku yang memberikan penjelasan mengenai pembahasan transaksi valuta asing di indonesia dan malaysia. b) Jurnal, makalah dan hasil seminar yang berhibungan dengan pembahasan transaksi valuta asing di indonesia dan malaysia. c) Wawancara dengan nara sumber yang berkompeten. d) Data-data yang berasal dari internet. 3) Bahan-bahan hukum tersier berupa kamus dan ensiklopedi. 18 3.3. Cara pengumpulan bahan hukum 1) Studi pustaka, yakni dengan mengkaji berbagai peraturan (fatwa dewan syariah) atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. 2) Studi dokumen, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti. 3) Wawancara, yakni dengan nara sumber dan praktisi perbankan syariah, khususnya pada BNI Syariah Yogyakarta. 3.4. Metode pendekatan Adapun data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan konseptual yaitu dengan cara mempelajari pandangan-pandangan dengan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, serta menggunakan pendekatan historis yaitu menelaah latar belakang lahirnya dan perkembangan pengaturan mengenai masalah yang diteliti. 3.5. Analisis hasil penelitian Data yang terkumpul dari studi kepustakawanan, dianalisis dengan metode kualitatif, yaitu data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokan dan dipilih, kemudian dihubungkan dengan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat menjawab perumusan masalah yang ada. Data dihimpun dengan pengamatan yang seksama, meliputi analisis dokumen dan catatan-catatan. Penelitian kualitatif ini dengan mempergunakan cara berpikir secara induktif, yaitu pola pikir dan cara pengambilan kesimpulan yang dimulai dari suatu gejala dan fakta satu persatu, yang kemudian dapat diambil suatu generalisasi ( ketentuan umum ) sebagai suatu kesimpulan. 19 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Tinjauan Umum Mengenai Akad Mudharabah 4.1.1. Pengertian Mudharabah Latar belakang filosofi pola kemitraan mudharabah adalah bahwa modal menurut pandangan Islam bukanlah semata-mata hanya dinilai dari jumlah uang saja, yang sebenarnya masih merupakan modal potensi.25 Uang yang dijadikan modal tersebut memerlukan jasa atau bantuan dari bentuk-bentuk aktifitas potensial yang lain, seperti keahlian wirausaha yang diperlukan untuk menjalankan modal tersebut menjadi suatu aktifitas produktif. Gagasan untuk memperoleh keuntungan sebagaimana mendepositokan uang di bank tidak dapat dibenarkan menurut islam.26 Uang harus ditempatkan dalam kerangka penggunaan produktif dan resiko harus diambil untuk mendapatkan keuntungan. Setiap aktivitas usaha mengandung resiko, maka penentuan keuntungan tidak boleh dipatok di depan. Jusmaliani dkk, Investasi Syariah, Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2008, hlm. 41 26 Ibid 25 20 Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usahanya.27 Istilah Fiqh muamalah berpendapat bahwa mudharabah adalah suatu bentuk perniagaan dimana si pemilik modal (shahibul maal) menyetorkan modalnya kepada pengusaha yang selanjutnya disebut mudharb untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan jika ada kerugian akan ditanggung oleh pemilik modal.28 Menurut Latifa M.Algaoud dan Mervyn K.Lewis, mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah perjanjian diantara dua pihak, dimana satu pihak, pemilik modal (shahib al-mal atau rabb al-mal), mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha.29 Afzalur Rahman berpendapat bahwa syirkah mudharabah atau qiradh, yaitu berupa kemitraan terbatas adalah perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak pertama/supplier/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/harib) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka 27 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank… op cit., hlm. 37 Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah, Institute Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, Ctk kedua, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 164 29 Algaoud, M. Latifa dan Mervyn K. Lewi, Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktek dan Prospek, (Terjemahan Burhan Wirasubrata), PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2005. hlm. 66 28 21 ketentuannya berdasarkan sara’ bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan kepada harta, tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola yang bekerja.30 Penjelasan terminology mudharabah : Definisi para Ulama Fiqh mendefinisikan mudharabah atau Qiradh dengan:31 “Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”. Definisi Hanafi: mereka secara tekstual menegaskan bahwa syarikat mudharabah adalah suatu akad (kontrak) dan meraka menjelaskan unsur-unsur pentingnya yaitu berdirinya syarikat ini atas usaha fisik dari satu pihak dan atas modal dari pihak yang lain, namun tidak menjelaskan dalam definisi tersebut cara pembagian keuntungan antara kedua orang yang bersyarikat itu. Sebagaimana mereka juga tidak menyebutkan syarat yang harus dipenuhi pada masing-masing pihak yang melakukan kontrak dan syarat yang harus dipenuhi pada modal. Definisi Maliki: dalam definisi mereka telah disebutkan berbagai persyaratan dan batasan yang harus dipenuhi dalam mudharabah dan cara pembagian keuntungan yaitu dengan jelas dan tertentu sesuai kesepakatan antara kedua orang yang bersyarikat. Definisi Maliki menyebutkan bahwa mudharabah adalah pembayaran (penyerahan modal) itu sendiri. Definisi ini telah menetapkan Dewi, Gemala dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 119 31 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Indonesia, Jakarta, hlm. 175-176 30 22 wakalah bagi pihak mudharib (amil) sebelum pengelola modal mudharabah dan mempengaruhi keabsahannya bukannya sebelum akad. Mudharib menyumbangkan tenaga, waktu, dan mengelola sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama mudharabah adalah bahwa jika ada keuntungan akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya, dan apabila mengalami kerugian maka ditanggung sendiri oleh pihak investor.32 4.1.2. Dasar Hukum Mudharabah Bank syariah merupakan bank yang cukup baru atau mulai berkembang di Indonesia. Bank syariah harus selalu melaksanakan prinsip-prinsipnya syariah baik dalam hal operasionalnya maupun produk-produk yang dikeluarkannya. Regulasi atau paying hukum merupakan pedoman yang diperlukan oleh perbankan syariah dalam menjalankan kegiatan keuangannya. Ketentuan-ketentuan dalam Al-Quran yang dapat menjadi rujukan pelaksanaan mudharabah adalah : a). QS. Al-Muzaamil 73:20 : yang artinya “Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT”. Wajhud-dilalah atau argumandari surat Al- 32 Jaziri, Fiqh III, hal. 34; Saleh, Unlawful Gain, hal. 103; Abd. Al-Qadir, Fiqh al-Mudharabah, hal. 89; Abu Saud, Money, Interest and Qiradh, hlm. 66; El-Asyker, The Islamic Bussines Enterprise, hal. 75, dikutip dari Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari’ah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, hal. 77 23 Muzaamil 20 tersebut adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha. QS. AlBaqarah 11:48 Allah juga berfirman bahwa hendaklah kita melakukan syafa’at bagi orang lain, yang berarti: “Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun, dan begitu pula tidak diterima syafa’at33 dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong” (QS. Al-Baqarah 11:48). b). QS. Al-Jumuah 62:10 Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Al-Jumuah:10) Ayat tersebut menerangkan bahwa manusia dianjurkan untuk selalu berusaha untuk mencari karunia Allah. Sebagaimana disebutkan dalan firman Allah sebagai berikut: “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT. Demikian pula dalam surat (AlBaqarah:198), yang artinya “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan Syafa’at adalah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharab bagi orang lain. Syafa’at tidak diterima di sisi Allah adalah syafa’at bagi orang kafir 33 24 sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”(Al-Baqarah:198). Berdasarkan pada kedua ayat tersebut diatas keduanya mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha, diantaranya dengan tidak membiarkan modal yang berhenti, melainkan digunakan untuk melakukan kegiatan usaha. Ayat Al-Quran juga menganjurkan setiap muslimin melakukan usaha di siang hari dalam mencari karunia Allah dapat kita temukan pada firman Allah dalam surat (Al-Israa’:12). Artinya: “Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahuntahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah kami terangkan denga jelas” (Al-Isaa). Adapun Al-hadist yang dapat dijadikan rujukan pelaksanaan mudharabah adalah : a. Hadist Riwayat Thabrani yang berbunyi: “Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR Thabrani dari Ibnu Abbas). 25 b. Hadist Nabi Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib yang berbunyi: “Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan jejawut untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual”.(HR.Ibnu Majah dari Shuhaib). Ijma akan keabsahan mudharib terlihat dalam Imam Zailani dalam kitabnya Nasbu ar-Rayah (4/13) telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus akan legitimasi pengolahan harta anak yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadis yang dikutip Abu Ubaid dalam kitabnya al-Amwal (454): ”Rasulullah SAW, telah berkhotbah di depan kaumnya seraya berkata wahai para wali yatim, bergegaslah untuk menginvestasikan harta amanah yang ada ditanganmu janganlah didiamkan sehingga termakan oleh zakat”. Indikasi dari hadist ini adalah apabila menginvestasikan harta anak yatim secara mudharabah sudah dianjurkan apalagi mudharabah dalam harta sendiri. Adapun pengertian zakat di sini seandainya harta tersebut diinvestasikan, maka zakatnya akan diambil dari return on investment (keuntungan) bukan dari modal. Dengan demikian harta amanah tersebut akan senantiasa berkembang bukan berkurang. 26 4.1.3. Rukun dan Syarat Mudharabah Mudharabah sebagai sebuah kegiatan kerjasama ekonomi antara dua pihak mempunyai beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka mengikat jalinan kerjasama tersebut dalam kerangka hukum. Adapun unsur rukun dan syarat perjanjian mudharabah tersebut adalah:34 a. Ijab dan qabul Pernyataan kehendak yang berupa ijab dan qabul antara kedua pihak memiliki syarat-syarat yaitu : 1) Ijab dan qabul itu harus jelas menunjukan maksud untuk melakukan kegiatan mudharabah, dapat menggunakan kata mudharabah, qiradh, muqarabah, muamalah, atau semua kata yang semakna dengannya. Bisa pula tidak menyebutkan kata mudharabah dan kata-kata sepadan lainnya, jika maksud dari penawaran tersebut sudah dapat dipahami. 2) Ijab dan qabul harus bertemu, artinya penawaran pihak pertama harus diterima dan disetujui oleh pihak kedua. Sebagai ungkapan kesediaan tersebut bias diungkapkan dengan kata-kata atau gerakan tubuh (isyrat) lain yang menunjukkan kesediaan. Misalnya “ya, saya terima”, atau “saya setuju” atau dengan isyarat-isyarat setuju yang lain seperti menganggukkan kepala, diam, atau senyum. Peristiwa ini harus terjadi dalam satu majelis akad agar tidak terjadi kesalahpahaman. Muhammad, Konstruksi Mudharab dalam Bisnis Syari’ah, ctk pertama, Pusat Studi Ekonomi Islam STIS Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 59-66 34 27 3) Ijab dan qabul harus sesuai dengan maksud pihak pertama dan sesuai dengan keinginan pihak kedua. Secara lebih luas ijab dan qabul tidak saja terjadi dalam soal kesediaan dau pihak untuk menjadi pemodal dan pengusaha tetapi juga kesediaan untuk menerima kesepakatankesepakatan lain yang muncul lebih terinci. Ijab (penawaran) tidak selalu diungkapkan oleh pihak pertama begitu juga sebaliknya. Keduanya harus saling menyetujui, artinya jika pihak pertama melakukan ijab (penawaran) maka pihak kedua melakukan qabul (penerimaan), begitu juga sebaliknya. Ketika kesepakatan-kesepakatan itu disetujui maka terjadilah hukum. b. Adanya dua pihak (pihak penyedia dana dan pengussaha) Pihak penyadia dana dan pengusaha dikenal dengan istilah Shahib alMal/Shahibul Maal dan Mudharib. Syarat-syarat para pihak antara lain: 1) Cakap bertindak hukum secara syar’I, artinya shahibul maal memiliki kapasitas untuk menjadi pemodal dan mudharib memiliki kapasitas menjadi pengelola. Jadi, mudharabah yang disepakati oleh shahibul maal yang memepunyai penyakit gila temporer tidaklah sah, namun jika dikuasakan kepada orang lain maka sah. Bagi mudharib, asalkan ia memahami maksud kontrak saja sudah cukup sah mudharabahnya. 2) Memiliki wilayah al-tawkil wa al-wakilah (memiliki kewenangan mewakilkan/memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa), karena 28 penyerahan modal oleh pihak pemberi modal kepada pihak pengelola modal merupakan suatu bentuk pemberian kuasa untuk mengolah pemberian tersebut. c. Adanya modal Modal-modal yang disyaratkan sebagai berikut : 1) Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabah sehingga tidak menimbulkan sengketa dalam pembagian laba karena ketidakjelasan jumlah. Kepastian dan kejelasan laba itu penting dalam kontrak ini. 2) Harus berupa uang (bukan barang) mengenai modal harus berupa uang dan tidak boleh barang adalah pendapat mayoritas para ulama. Mereka beralasan mudharabah dengan barang itu dapat menimbulkan kesamaran. Alasannya karena barang tersebut umumnya bersifat fluktuatif, sedangkan jika barang tersebut bersifat tidak flukuatif seperti emas dan perak, mereka berbeda pendapat. 3) Uang bersifat tunai (tidak hutang). Mengenai keharusan uang dalam bentuk tunai (tdak hutang) bentuknya adalah misalnya shahib maal memiliki piutang kepada seseorang tertentu. Piutang tersebut kemudian dijadikan modal mudharabah bersama si berhutang. Ini tidak dibenarkan karena piutang itu sebelum diterimakan oleh siberhutang kepada siberhutang masih merupakan milik siberhutang. Jadi apabila ia menjalankan dalam suatu usaha berarti ia menjalankan dananya sendiri 29 bukan dana siberhutang. Selain itu hal ini bias membuka pintu kea rah perbuatan riba, yaitu memberi tanggungan kepada siberhutang yang belum mampu membayar hutangnya dengan kompensasi siberhutang mendapatkan imbalan tertentu. d. Adanya usaha (al-mal) Sebagian ulama khususnya Syafi’i dan Maliki mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha dagang (commercial). Mereka menolak usaha yang berjenis kegiatan industri (manufacture) dengan anggapan bahwa kegiatan industri itu termasuk kontrak persewaan (ijarah) yang mana semua kerugian dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal (investor). Sementara para pegawai digaji secara tetap. Tetapi Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau industri. Seseorang dapat memberikan modalnya kepada pekerja yang akan digunakannya untuk membeli bahan mentah yang kemudian dibuat produk dan kemudian dijual. Keuntungan ini dapat dibagi dua antara keduanya. Contoh tersebut memang tidak termasuk jenis perdagangan murni, di mana seseorang hanya terlibat dalam pembelian dan penjualan. Tetapi hal tersebut dapatdibenarkan sebab persekutuan antara modal dan tenaga menjadi kegiatan ini. Bahkan mengenai keuntungan kadang-kadang lebih dapat dipastikan sehingga bagi hasilkan selalu dapat diwujudkan. Apabila ditarik lebih jauh ke era modern ini, maka perdagangan menjadi meluas. Semua kerja ekonomi yang mengandung kegiatan membuat 30 atau membeli produk atau jasa kemudian menjualkannya atau menjadikan produk atau jasa tersebut menjadi sebuah keuntungan merupakan arti dari perdagangan. Jadi sesungguhnya dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jenis usaha yang diperbolehkan adalah semua jenis usaha. Tentu saja tidak hanya menguntungkan tetapi juga harus sesuai dengan ketentuan syariah sehingga merupakan usaha yang halal. Dalam menjalankan usaha ini shahibul maal tidak boleh ikut campur dalam teknis oprasional dan menejemen usaha dan tidak boleh membatasi usaha mudharib sedemikian rupa sehingga mengakibatkan upaya memperoleh keuntungan maksimal tidak tercapai. e. Adanya keuntungan Mengenai keuntungan disyaratkan : 1) Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan prosentase dari jumlah modal yang diinvestasikan, melainkan hanya keuntunganny saja setelah dipotong besarnya modal. Peritungan harus dilakukan secara cermat. Setiap keadakan yang membuat ketidakjelasan perhitungan akan membawa kepada suatu kontrak yang tidak sah. 2) Keuntungan untuk masing-masing pihak tidak ditentukan dalam jumlah nominal, misalnya satu juta, dua juta dan seterusnya. Karena jika ditentukan dengan nilai nominal berarti shahibul maal telah mematok untuk perolehan keuntungan tertentu dari sebuah usaha yang belum jelas untung ruginya, ini akan membawa pada perbuatan riba. 31 3) Nisbah pembagian ditentukan dengan prosentase minimal 60:40 % atau 50:50 % dan seterusnya. Penentuan prosentase tidak harus terikat pada bilangan tertentu. Artinya, jika nisbah bagi hasil tidak ditentukan pada saat akad, maka masing-masing pihak memahami bahwa keuntungan itu akan dibagi secara sama, karena aturan umum dalam perhitungan ini adalah kesamaan. Namun tindakan berupa penyebutan nisbah bagi hasil pada awal kontrak adalah lebih baik untuk menghindari munculnya kesalahpahaman. 4) Keuntungan harus menjadi hak bersama sehingga tidak boleh diperjanjikan bahwa seluruh keuntungan untuk salah satu pihak. Pada dasarnya mudharabah memang membagi keuntungan berdasarkan kesamaan. Namun jika seseorang mudharib mensyaratkan seluruh keuntungan untuk dirinya para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik membolehkannya, karena cara itu merupakan kebaikan kesukarelaan shahibul maal. Pendapat berbeda dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Imam Syafi’i melarangnya. Imam Syafi’i menganggap cara seperti itu sebagai suatu kesamaan, karena jika terjadi kerugian shahibul maal pun telah menanggung modalnya. Jadi menurut Imam Syfi’i beban resiko yang ditanggung shahibul maal itu telah berat dan tidak boleh ditambahi lagi. Sedangkan menurut Abu Hanifah, dalam kaitannya dengan hal tersebut berpendapat bahwa hal itu tidak termasuk kategori mudharabah melainkan qard (pinjaman). Artinya pelimpahan seluruh pinjaman, maka dari itu jika terjadi kejadian yang sebaliknya (kerugian) maka seluruh kerugian ditanggung oleh mudharib. Secara singkat rukun dari mudharabah adalah: 32 atau a. Shahibul maal adalah yang mempunyai modal b. Mudharib adalah yang menjalankan usaha c. Amal adalah pekerjaan atau usahanya d. Maal adalah modal e. shighot, perintah atau usaha dari yang menyuruh berusaha f. Hasil (bagi hasil/keuntungan) 4.1.4. Jenis Mudharabah Secara umum, mudharabah terbagi menjadi 2 jenis:35 a. Mudharabah Muthlaqah Transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Pembahasan fiqih ulama Salafus Saleh sering kali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dan shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar. b. Mudharabah Muqayyada Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/ specified mudharabah adalah kebaikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan betas an jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha. ________________ 35 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank…. op cit., hlm. 97 33 4.1.5. Mudharabah sebagai Produk Pembiayaan Perbankan Syariah Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan pendanaan. Pada sisi lain penghimpunan dana, mudharabah diterapkan pada :36 a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksud untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya. b. Deposito special (special investment), di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja. Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk: a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal. 4.1.6. Manfaat dan Resiko Mudharabah Manfaat Mudharabah antara lain : a. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat. b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapat/ hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread. c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cashflaw/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah. 36 Ibid 34 dan d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benarbenar halal dan menguntungkan, karena keuntungan yang konkrit dan benarbenar terjadi itulah yang akan dibagikan. e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan bunga tetap, di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungannya yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi. Sedangkan resiko yang terdapat dalam mudharabah terutama dalam penerapan pembiayaannya dapat dikatakan relatif tinggi, antara lain: a. Side Streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan tidak sesuai dengan yang disebut dalam kontrak b. Lalai dan kesalahan yang disengaja c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah. Hal ini erat kaitannya dengan kejujuran nasabah. 4.1.7. Berakhirnya Akad Mudharabah Lamanya kerjasama dalam mudharabah tidak tentu dan tidak terbatas, tetapi semua pihak berhak untuk menentukan jangka waktu kontrak kerjasama dengan memberitahukan pihak lain. Akad mudharabah dapat berakhir karena hal sebagai berikut:37 Safira, Akuntansi untuk Produk Pembiayaan Mudharabah, Modul 14 Akuntansi Syari’ah, Universitas Mercu Buana 37 35 a. dalam hal mudharabah tersebut dibatasi waktunya, maka mudharabah berakhir pada waktu yang telah ditentukan; b. Salah satu pihak memutuskan mengundurkan diri; c. Salah satu pihak meninggal dunia atau ilang akal; d. Modal sudah tidak ada; e. Pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha untuk mencapai tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad. Sebagai pihak yang mengemban amanah ia harus ber’tikad baik dan hati-hati; Kontrak mudharabah dapat dilakukan untuk satu periode tertentu. Menurut fiqh pengikut Hanafi, Hambali dan Syafi’i, berakhirnya periode ini berarati otomatis kontrak tersebut berubah tanpa adanya keputusan baru yang diambil,38 akan tetapi munurut para ahli fiqh pengikut Maliki, spesifikasi suatu periode waktu dapat membatalkan perjanjian tersebut. Pertanyaan yang sering muncul berkaitan dengan hal ini adalah apakah seorang mitra uasaha dapat mengakhiri satu kontrak yang waktunya telah ditentukan sebelum habis masanya. Semua ahli fiqih sependapat bahwa hal tersebut tergantung pada hal untuk mengakhiri, dan hal ini tidak akan menghapuskan hak setiap pihak untuk mengakhiri kontrak. Mendukung prinsip hak untuk mengakhiri kontrak yang telah dikemukakan di atas, semua ahli fiqh setuju bahwa meskipun kontrak-kontrak itu waktunya telah ditentukan, setiap pihak mempunyai hak untuk mengakhiri kontrak kapan Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996, hlm. 99 38 36 saja. Berdasarkan kutipan dari ahli-ahli fiqh pengikut Hambali dan Maliki yang telah disebutkan di atas, hal tersebut juga jelas bahwa jika semua pihak mengikat diri mereka untuk tidak mengakhiri kontrak sebelum waktu yang ditentukan, maka kontrak itu dianggap tidak sah. Suatu kontrak mudharabah berakhir disebabkan oleh kematian seseorang yang pernah menjadi bagian dalam kontrak tersebut. Kontrak tersebut dapat dilanjutkan apabila terdapat lebih dari 2 mitra usaha dengan persetujuan dari orang-orang yang masih ada. Semua mahzab hukum setuju terhadap prinsip ini sebagaimana yang dijelaskan pada kutipan-kutipan di bawah ini: Ali al Khafiif menyebutkan:39 “Ketika seorang mitra meninggal dunia, maka pengembangan sahamnya dalam kemitraan usaha dan kontraknya menjadi berakhir, dengan demikian bagian tersebut diserahkan kepada ahli warisnya, dan kontrak yang telah dilakukan dengan almarhum menjadi terhapus” Pengikut Hambali mengatakan :40 “Apabila salah seorang dari kedua mitra usaha tersebut meninggal seorang ahli waris yang berkompeten mempunyai hak untuk melanjutkan kontrak dan Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakart, 1996, Hlm. 99. 40 Ibid 39 37 mitra usahanya akan mengijinkan untuk dilaksanakan transaksi-transaksi yang dilakukan kemudian, serta adanya hak untuk membagi asset”. Kedua pendapat tersebut dapat menjadi alasan penguat bahwa berakhirnya kontrak akad mudharabah karena kematian dapat diwariskan kepada ahli waris yang berkompeten untuk melaksanakan akad mudharabah yang sedang berlangsung. 4.2. Barang Jaminan Dalam Akad Mudharabah 4.2.1. Tradisi Tata Cara berhutang di zaman Jahiliyah Adanya terminologi tentang “riba jahiliyah” menunjukkan bahwa pada masa pra-Islam tradisi berhutang sudah ada. Bahkan, model hutang-piutang yang dilakukan juga menunjukkan cara yang khas, ialah selalu berorientasi pada mencari keuntungan dengan cara menghutangkan atau meminjamkan uang kepada orang lain. Mengapa dapat disimpulkan demikian?. Hal ini dikarenakan bahwa keberadaan hukum akan sesuatu perkara sebenarnya terkait erat dengan praktik kehidupan yang ada. Maka ketika Islam melakukan pengecaman terhadap riba pada masa jahiliyah, hal itu menunjukkan adanya kebiasaan buruk yang terjadi dan menjadi sebuah fenomena yang biasa. Dalam al-Qur’an, kecaman terhadap riba tersebut sangat jelas, antara lain pada QS. Ai Imran yang artinya: “wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawakkallah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”1 Diriwayatkan oleh Faryabi yang bersumber dari Atta’, bahwa di zaman jahiliah Tsaqif berhutang kepada Bani Nadhir. Ketika waktu tiba waktu membayar, Tasqif berkata, “kami bayar bunganya dan undurkan waktu pembayarannya.2 1 Al-Qur’an, Surat Ali Imran: 130 55 Dari Ibnu Zaid, ayahnya mengutarakan bahwa riba yang terjadi pada masa jahiliah, atau sebelum datangnya Islam adalah dalam pelipatgandaan dan umur hewan. Apabila seseorang yang memberikan pinjaman materi atau uang (kreditur) mendatangi untuk menagih sementara orang yang meminjam (debitur) belum bisa membayarnya, berkatalah kreditur kepadanya “bayarlah atau kamu tambah untukku” dan apabila peminjam tidak mampu maka yang harus dikembalikan akan lebih berlipat di masa selanjutnya, begitu seterusnya setiap masa sampai peminjam mampu untuk membayar. 3 Dan inilah yang menjadikan riba jahiliyah itu disebut dengan riba ganda berganda. Ringkasnya, pada masa pra-Islam, hutang piutang yang dipraktikkan adalah cara hutang-piutang yang eksploitatif, dimana penambahan jumlah uang harus diberikan pada saat pengembalian uang hutang. Dan ini lah yang dimaksudkan dengan riba jahiliyah. 4.2.2. Keberadaan jaminan dalam hutang masa Jahiliyah Penerapan jaminan atas hutang adalah praktek yang sudah terjadi di masa Pra-Islam. Dan terkait hal ini, Islam tidak berkeberatan untuk menerimanya. Utang dengan jaminan ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Rasulullah saw. Anas ra. memberitahukan,"Rasulullah saw telah menjaminkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau utang sya’ir (gandum) dari seorang Yahudi untuk keluarga beliau." (HR.Ahmad, Bukhori, Nasai, dan Ibnu Majah). Dalam perkembangannya, jaminan seperti ini disebut dengan rahn. Rahn ini juga dapat diterjemahkan sebagai gadai. Namun sebenarnya, substansi gadai juga sama dengan jaminan atas hutang. Menurut bahasa gadai (al-rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat. 4 2 Mardani , ayat-ayat dan hadits ekonomi syariah, jakarta utara pt raja grafindo persada,2011 hlm 19 M qurais shihab, membumikan al-qur’an.mizan media utama, bandung, 2009 Hlm 410-411 4 Lihat Kifayat al-Akhyar hlm.261, lihat pula Idris Ahtllad, Fiqh al-Syafi’iyah. hlm. 59. 3 56 Dalam terminologi yang berkembang, ada berbagai pemaknaan terhadap jaminan atau rahn ini. Hal ini wajar, karena pensyaratan adanya barang untuk menjamin sebuah utang memang dapat dilihat dari dua sudut pandang tersebut, jaminan atau gadai. Menurut berbagai sumber, yang dimaksud dengan rahn adalah : 1) Akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya. 5 2) Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama ada dua kemungkinan untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.6 3) Gadai adalah akad pinjaman meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. 7 4) Menjadikan harta sebagai jaminan hutang.8 5) Menjadikan zat suatu benda sebagai jaminan hutang.9 6) Gadai adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas hutang.10 7) Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguh atau penguat kepercayaan dalam hutang piutang.11 8) Gadai adalah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.12 5 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 86-87. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Al-Sunnah, hlm.187. 7 Lihat Masyfuk Zuhdi dalam Masail F’iqhiyah, CV.Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hlm.153. 8 Abi Bakr Ibn Muhammad Taqiy al-Din, dalam Kifayah al-Ahyar, Alma’arif Bandung, tth., hlm 263. 9 Lihat Muhammad Khatib al-Syarbini, dalam kitab al-iqna fi Hal al-Alfazh Ahi Syuja’, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah Indonesia, ttp., tth., hlm.23. 10 Idris Ahmad dalam Fiqh Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta, th.1986, hlm.58. 11 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, 1985, hlm.295. 12 Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-Piutang dan Gadai,Alma’arif, Bandung, 1983, hlm.50. 6 57 4.2.3. Dasar Hukum Rahn Jika dicermati dalam al-Qur’an, sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meninjam dengan jaminan (borg) adalah firman Allah SWT sebagai berikut : “Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.” 13 Dalam praktik kehidupan Nabi saw, juga dijumnpai bahwa Nabi juga memberikan barang jaminan ketika melakukan hutang-piutang. Diriwayatkan oleh Ahmad Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a., ia berkata: “Rasulullah Saw. menjaminkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandung dari seorang Yahudi.”14 4.2.4. Rukun Mudharabah Di kalangan para ulama, rukun akad mudharabah relatif sama. Namun, pendapat Imam Hanafi merupakan salah satu pendapat yang cukup banyak dirujuk. Rukun akad mudharabah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan kata-kata ungkapan atau lafadh yang menunjukan kepada arti mudharabah. Lafadh yang digunakan untuk ijab adalah lafal mudharabah, maqaradhah, dan muamalah, serta lafal-lafal lain yang artinya sama dengan lafal-lafal tersebut. Sebagai contoh , pemilik modal mengatakan : Ambillah modal ini dengan mudharabah, dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi di antara kita berdua dengan nisbah setengah, seperempat, atau sepertiga.” 15 QS. Al-Baqarah, 283. Pemaknaan bahwa ayat tersebut sebagai landasan utama dalam masalah ini ada dalam beberapa sumber, antara lain, Rahmad Syafei, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm.165, Lihat juga dalam Fiqh Muamalah, Hendi Suhendi, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hlm 107. 14 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Amzah, Jakarta, 2010, hlm.288, Lihat juga dalam Fiqh Muamalah, Hendi Suhendi, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hlm 107, lihat juga dalam Rahmad Syafei, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm.161. 15 ‘Alaudin Al-Kasani, Badai Ash-Shanai’ fi Tartib Asy Syarai’, Juz 6, Dar Al-Fikr, Beirut, cet.I, 1996, hlm.121. 13 58 Adapun lafadh qabul yang digunakan oleh amil mudharib(pengelola) adalah lafal: saya ambil, atau saya terima, atau saya setujui dan semacamnya.16 Apabila ijab dan qabul telah terpenuhi maka akad mudharabah telah dapat dinyatakan sebagai akad yang sah. Sehingga, menurut jumhur ulama atau mayoritas ulama, rukum mudharabah ada tida, yaitu : a. Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola (amil / mudharib), b. Ma’qud ‘alaih, yaitu modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntungan, dan c. Shighat, yaitu ijab dan qabul. Lain lagi menurut madzhab Syafi’i. Para ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun mudharabah ada lima yaitu : a. Modal, b. Tenaga (pekerjaan), c. Keuntungan, d. Shighat, dan e. Aqidain.17 Terlepas dari perbedaan keduanya, namun dalam masalah yang pokok, kedua pendapat tadi tetap menguskan keberadaan orang yang berakad, obyek yang diperjanjikan, serta lafadh yang menyatakan perjanjiannya. 4.2.5. Jaminan (Dhaman) Di samping terminologi rahn yang tercantum di atas, hukum Islam atau muamalah juga dikenal istilah dhaman. Dhaman, ialah jaminan atas beban seseorang yang menjadi kewajibannya / bebannya. Lantas, di manakah perbedaan antara keduanya?. Letak perbedaannya adalah bahwa jika rahn itu adalah titik beratnya pada barang, sedangkan dhaman titik beratnya pada orang yang menjamin. 16 17 Ibid, Juz 6. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Dmaskus, cet.III, 1989, hlm.180. 59 Dhaman atau jaminan itu mengenai jaminan urusan yang menyangkut pribadi seseorang, seperti makanannya, pakaiannya, dan biaya keluarganya atau yang menyangkut kepada orang lain, seperti : jaminan untuk membayar utang seseorang atau sebagainya, atau jaminan untuk menyampaikan tugas seseorang seperti menyampaikan amanat orang lain kepadanya yang harus disampaikan kepada seseorang lagi. Hukum asaln dari penerapan jaminan ini adalah sunnat. Jika demikian, tidak menjadi keharusan adanya jaminan, namun jaminan ini menjadi suatu pilihan atau prioritas. Di antara pernyataan Nabi yang menjadi rujukan dalam hal ini adalah pernyataan beliau yang artinya: “Barang siapa yang mati meninggalkan utang, akulah yang membayarnya.” Di samping itu, dalam sebuah kesempatan, Nabi saw. telah dihadapkan kepada seorang mayit untuk dishalatkan, lalu beliau berkata : “apakah dia mempunyai utang? “ jawab sahabat : “iya, dua dinar.” Berpalinglah Nabi dari mayit itu.” Lalu kemudian Abu Qitadah berkata : “saya tanggung utangnya.” Sabda Nabi saw. : “penuhilah kewajiban orang yang berhutang, supaya bebas mayit itu dari utangnya.” Jika dilihat dari berbagi sumber yang ada, elemen yang harus ada atau yang disebut dengan rukun dhaman ada lima perkara, ialah : 1) Ada orang yang menjaminnya 2) Ada orang yang dijaminnya 3) Ada utang atau beban yang akan ditanggungnya 4) Ada barang untuk menjaminnya 5) Ada ijab qabul atau ikrar saja dari yang menjamin Sedangkan yang menjadi objek dhaman terbagi dua : 1) Beban seperti utang atau biaya yang sudah positif 2) Beban yang belum positif, seperti menjamin dengan uang untuk membeli sesuatu Namun, ada hal yang harus diingat terkait hal ini, bahwasanya dhaman tidak dapat diberlakukan untuk semua perkara. Dhaman hanya diperbolehkan bagi persoalan yang bertalian dengan urusan manusia ialah 60 masalah muamalah, dhaman tidak diperbolehkan dalam urusan ibadah. Bahkan lebih dari itu dhaman juga tidak diperkenankan untuk masalah jinayat atau terkait dengan hukuman pidana. Misalnya saja seseorang menggantikan untuk menjalani hukuman pidana bagi orang lain. Untuk masalah ini, terdapat pernyataan Nabi yang dengan tegas melarangnya. Nabi Muhammad bersabda: “Tiada tanggungan bagi hukuman.” (Riwayat Baehaqie)18 Hal lain yang penting untuk dipertimbangkan dalam masalah jaminan ini adalah harus adanya kesepakatan bersama dalam pemberlakukan jaminan atau tanggungan. Tanggungan menjadi penting ketika shahib al-maal khawatir akan munculnya penyelewengan dari mudharib. Namun pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah dalam suatu kerjasama yang saling membutuhkan jaminan menjadi suatu yang urgen?. Sekilah memang antara kepentingan bersama dan sikap saling percaya ini memang semstinya paralel. Namun, tingkat kejujuran setiap orang dari yang menjalin kesepakatan tersebut tidaklah sama. Jika dilihat masalah kerugian yang akan muncul dari kesepakatan usaha bersama tersebut pun dapat dikaitkan dengan pertanyaan apakah setiap kerugian itu berarti penyelewengan?. Para ulama berbeda pendapat mengenai keharusan adanya tanggungan dalam mudharabah ini. Para fuqaha pada dasarnya tidak setuju dengan adanya tanggungan ini. Alasannya mudharabah merupakan kerjasama saling menanggung, satu pihak menanggung modal dan pihak lain menanggung kerja, dan mereka akan mempercayai serta jika terjadi kerugian semua pihak merasakan kerugian tersebut. Atas dasar inilah maka terdapat pendapat yang kuat bahwa jaminan harus ditiadakan.19 Namun jaminan menjadi perlu ketika modal yang rusak melampaui batas.20 Tetapi bagaimana batasan suatu dianggap melampaui batas, para ulama pun berbeda pendapat. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, jika shahib al-maal bersikeras terhadap adanya jaminan dari Shahib al-maal dan menetapkannya sebagai bagian dari kontrak, maka kontrak menjadi tidak sah.21 Moh. Anwar, Fiqh Islam (Muamalah, Munakahat, Faroid, & Jinayah), PT. Alma’arif, 1988, hlm.67-69. Ibnu Qudamah, Al-Mughni ala al-Syarh al-Kabir, vol.V, (Mesir: al-Manar, 1347 H, p.68. 20 Ibnu rusyd, Bidayah al-Mujtahid, vol.I,p. 178. 21 Ibid 179. 18 19 61 4.2.6. Jaminan menurut ahli hukum islam Dalam hal kemestian adanya jaminan dalam mudharabah, memang menarik untuk dilihat dalam prakteknya hari ini. Meskipun sebagaimna disebutkan di atas, para ulama klasik tidak membolehkan adanya jaminan dalam mudharabah, namun dalam perkembangannya hari ini sangat berbeda. Pendapat ulama kontemporer membolehkan adanya jaminan , akan tetapi pembahasannya belum sampai pada faktor-faktor yang dijadikan alasan pada pembolehan adanya jaminan pada akad mudharabah22. Dalam hal ini, Makhalul Ilmi menjelaskan hubungan antara pemilik modal dan penglola modal yang didasarkan pada akad mudharabah akan tetapi pembahasanya belum sampai kepada faktor yang mempengarui adanya jaminan dalam pembiayaan mudhorobah.23 Salah seorang ulama terkemuka, Ibnu Rusyd, menjelaskan permasalahan-permasalahan dalam akad mudharabah menurut imam madzhab salah satunya mengenai adanya tanggungan pada mudharib. Di mana, tanggungan ini tidak diperbolehkan menurut imam Syafi’i dan Imam Maliki. Meski demikian dalam permasalahan tersebut, beliau tidak menjelaskan adanya alasan yang melarang adanya jaminan pada akad mudharabah.24 Demikian halnya dalam pandangan Sayyid Sabiq. Dalam karyanya, Sayyid Sabiq menjelaskan konsep mudharabah dengan penekanan pada masalah “amanah.” Sehingga dalam masalah ini, sohib al mal tidak boleh meminta jaminan, akan tetapi hanya kepercayaan mudharib.25 Namun, sekali lagi, pembahasanya belum menyentuh pada aspek larangan hukum jaminan menurut para imam madzhab sehingga tidak dapat ditemukan alasan larangan penyertaan jaminan pada akad mudharabah. 22 Abdullah saeed, bank islam dan bunga (studi kritis dalam interpetasi kontemporer tentang riba dan bunga ) alih bahasa muhammad ufuqul mubin cet ke-2 yogyakarta ,pustaka pelajar, 2004, hlm. 97 23 Makhalul ilmi, teori dan praktek lembaga mikro syariah ,cet ke1, yogyakarta, uii pres. 2002, hlm 32 24 Ibn rusyd dalam bidayah al mujtahid wa nihayah al muqtasid .hlm 179 25 As sayid sabiq, fiqh as sunnah (libanon , dar-al kitab al-arabiyyah .t.t ),III hlm 144 62 Persoalan jaminan dalam mudharabah tidak ada dalil yang menunjukkan pembolehan atau pelarangan dalam syara’ namun hukum muamalah memiliki prinsip-prinsip sebagai acuan hukum yakni sebagai berikut :26 1) Pada dasar nya hukum muamalah adalah mubah , kecuali yang ditentukan lain oleh alqur’an dan sunah rosul 2) Muamalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa ada unsur pemaksaan 3) Muamalah dilakukan atas dasar mendatangkan manfaat dan menghindarkan madharat dalam hidup masyarakat 4) Muamalah harus didasarkan unsur-unsur keadilan menghindari unsur-unsur penganiayaaan, unsurunsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Ulama fiqih seperti Imam Malik dan Imam Syafii merespon hukum jaminan pada akad mudharabah dengan menggunakan metode ijtihadnya. Yang hal tersebut tentunya dilakukan dengan tidak terlepas dari konteks sosial masyarakat pada waktu itu sehingga beliau mengatakan bahwa hukum jaminan dalam akad mudharabah itu tidak diperbolehkan atau dilarang dikarenakan hal itu akan menjadikan tidak sahnya akad yang dibuat.27 Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya membolehkan adanya jaminan pada dalam akad mudharabah hanya saja syaratnya batal.28 Pendapat ini agak unik, karena membolehkan tetapi menyatakan bahwa penetapan syarat jaminan itu adalah syarat yang batal. Jika dianalisis secara seksama, maka akan dapat ditarik suatu benang merah bahwa pendapat para imam madzhab diatas mempunyai perbedaan dengan pendapat Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai sebuah lembaga fatwa, atau bahkan lebih dari itu merupakan satu-satunya lemba yang fatwanya menjadi rujukan 26 27 Ahmad azhar basyir , asas asas hukum islam , yogyakarta ,uii, 1993 hlm 15-16 Ibn rusyd dalam bidayah al mujtahid wa nihayah al muqtasid ,II, hlm 179 28 ibid 63 bagi transaksi perbankan syariah. Hal tersebut nampak dalam fatwa DSN no 7/DSN-MUI/IV/2000 yang menjelaskan bahwa pada “prinsipnya pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, bank dapat meminya jaminan ini hanya dapat di cairkan jika mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati.”29 Sama halnya dengan munculnya berbagai pendapat di atas yang tidak dapat dilepaskan dari konteks yang melatarbelakanginya, maka fatwa DSN tersebut sebenarnya juga memiliki konteks sosial dan ekonomi juga. Sehingga, memang kondisi masyarakat yang berbeda dengan masa lalu, di mana tngkat kejujuran dan kepercayaannya juga berbeda, termasuk dalam memegang dan menunaikan sebuah amanah juga telah mengalami banyak pergeseran. 4.2.7. Jaminan dalam hukum perdata Istilah jaminan jika dirunut, sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu Zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhi tagihannya, di samping tanggung jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Dalam hukum dan perundang-undangan yang ada, istilah jaminan juga dikenal dengan agunan. 30 Hal ini dijumpai misalnya dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, defenisi agunan adalah: “Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.” Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank, yang diserahkan oleh debitur kepada bank. Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggerakan di Yogyakarta, 29 Dewan syariah nasional majelis ulama indonesia, himpunan fatwa dewan syariah nasional mui, cet ke4 jakarta, dewan syariah nasional majelis ulama indonesia 2006 30 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverban, Gadai, dan Fiducia, Cet. IV, Alumni: Bandung, 1987, hlm. 227. 64 disimpulkan pengertian jaminan adalah: “Menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.”31 Defenisi di atas hampir sama dengan defenisi yang dikemukakan oleh M. Bahsan yang berpendapat bahwa jaminan adalah: “Segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat”.32 Jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: 1. Jaminan perorangan (personal/coorporate guarantee) diatur dalam pasal 1820-1864 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. 2. Jaminan Kebendaan Adapun pengertian dari Jaminan Perorangan jdalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya. Jaminan perorangan memberikan hak verbal kepada kreditor, terhadap benda keseluruhan dari debitor untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya. Yang termasuk jaminan perorangan adalah : 33 1) Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih; 2) Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; 3) Perjanjian garansi. Adapun yang dimaksudkan dengan Jaminan Kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jika dilihat dari tujuannya, maka jaminan yang bersifat kebendaan bermaksud atau bertujuan untuk memberikan hak verbal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya) kepada sorang atau sebuah kreditur, terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu 31 ibid M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung: Jakarta, 2002, Hlm 148. 33 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, hlm.112. 32 65 dari debitur untuk pemenuhan piutangnya. Selain itu hak kebendaan dapat dipertahankan (dimintakan pemenuhan) terhadap siapa pun juga,, yaitu terhadap mereka yang memperoleh hak baik berdasarkan atas hak yang umum maupun khusu, juga terhadap para kreditor dan pihak lawannya. Jaminan kebendaan dapat dilakukan pembebanan dengan :34 1) Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUHPer.; 2) Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUHPer.; 3) Credietverband, yang diatur dalam Stb.1908 No.542 sebagaimana telah diubah dengan Stb.1937 No.190; 4) Hak Tanggungan, sebagaimana diatur dalam UU No.4 Tahun 1996; 5) Jaminan Fidusia, sebagaimana diatur dalam UU No.42 Tahun 1999. Dari kedelapan jenis jaminan di atas, jaminan kebendaan yang masih berlaku adalah gadai, jaminan fidusia dan Hak Tanggungan. 4.2.8. Mengapa diperlukan jaminan menurut hukum perdata Diperlukannya, atau bahkan diwajibkannya keberadaan jaminan dikarenakan jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Karena keberadaan lembaga ini dapat memberikan manfaat, bukan saja terbatas bagi kreditur, namun bagi debitur pun juga demikian. Manfaat bagi kreditur adalah : 1) Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup. 2) Memberikan kepastian hukum terhadap kreditur, ialah bahwa barang jaminan tersedia setiap waktu untuk di eksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutang dari penerima (pengambil) kredit.35 34 Ibid Subekti, aneka perjanjian,citra adiya bhakti, bandung , 1996, hlm 73 lihat juga dalamsri soedewi masjhoen sofwan, hukum jaminan di indonesa :pokok-pokok hukum jaminan dan jaminan perorangan, yogyakarta, liberti, 1980, hlm 2, lihat juga dalam titi triwulan tutik, hukum perdata dalam sistem hukum nasional, kencana prenada media group, jakarta, 2008, Hlm 176 35 66 4.2.9. Fatwa MUI tentang Jaminan Jika dilihat dari bagaimana fatwa DSN MUI dapat memperbolehkan jaminan dalam akad mudharabah, maka perlu dicermati bagaimana fatwa tersebut memberikan kesimpulan hukum yang sedemikian itu. Di antara konsideran dari fatwa tersebut adalah Hadist Nabi yang artinya: “tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR.Ibnu Majah, Dara Qutni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri). Di isamping mengambil hadith Nabi Muhammad sebagai dasar pijakannya, terdapat juga dalil yang berupa Kaidah Fiqh. Kaidah yang dimaksud adalah “Pada dasarnya semua bentuk muamalah dapat dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Sehingga, fatwa yang muncul kemudian memberikan kebolehan bagi penerapan jaminan ini. Pada angka tujuh tentang ketentuan pembiayaan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000 mengenai ketentuan pembiayaan pada No.7 disebutkan pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya bisa dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.36 Namun perlu disebutkan juga bahwasanya DSN bukan tidak menyadari adanya larangan bagi pemberlakuan jaminan untuk akad semacam ini. Karena disebutkan juga dalam fatwa tersebut bahwa pada dasarnya dalam mudharabah tidak ada ganti rugi karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah kecuali dari kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan.37 Dicantumkan juga, bahwa jika salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka 36 Dikutip dari Fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah. Ketentuan dalam hukum pembiayaan point 3, Dikutip dari Fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah. 37 67 penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrasi syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.38 4.2.10. Kedudukan jaminan dalam perjanjian pembiayaan Mudharabah yang dipraktekkan Untuk memahami mengapa dalam akad mudharabah jaminan diberlakukan, perlu dilihat bagaimana pertimbangan yang diberikan. Jika dianalisa, resiko yang terdapat dalam akad mudhorobah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan relatif tinggi diantaranya : 1) Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan yang seperti disebut dalam kontrak. 2) Lalai dan kesalahan yang disengaja 3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabah nya tidak jujur39 Untuk itulah maka kemudian bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan/atau kecurangan. Terlebih lagi, jika dilihat dari prinsip prudensial yang harus dipatuhi juga sama dengan yang berlaku pada perbankan konvensional. Berarti bahwa prinsip dalam analisis pembiayaan di bank syariah juga menekankan 5C, yaitu character, capacity, capital, collateral, dan condition. Prinsip keempat (collateral) artinya bahwa bank dalam melakukan pendekatan analisis pembiayaan selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki oleh peminjam.40 Maka dari itu, dapat diambil kesimpulan bahwa jaminan difungsikan sebagai perlindungan hak-hak LKS yakni agar mudharib tidak melakukan penyimpangan terkait tentang hal-hal yang telah disepakati bersama dalam Akad.41 38 Ketentuan dalam hukum pembiayaan point 4, Dikutip dari Fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah. 39 Syafii antonio, bank syariah dari teori ke praktek, gema insani, jakarta, 2001, hlm 98 40 Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Jakarta: UPP AMP YMKN, 2002) h. 304. 41 Dikutip dari Fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah. 68 Di samping berbagai pertimbangan tersebut, DSN menyebutkan bahwa jaminan dapat dicairkan jika terjadi penyimpangan dan pelanggaran. Secara umum, penyimpangan timbul karena adanya moral hazard. Moral hazard terjadi ketika masalah moral dan etika dalam berbisnis tidak diindahkan.42 4.3. Implementasi Akad Mudharabah di Perbankkan Syari’ah 4.3.1. Tujuan Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad Mudharabah a. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat islam, terutama golongan masyarakat ekonomi lemah. b. Meningkatkan pendapatan perkapita. c. Menambah lapangan kerja terutama di kecamatan-keamatan. d. Mengurangi urbanisasi. 42 Latifa M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik, Prospek, h.112 69 e. Membina semangat ukhuwah islamiah melalui kegiatan ekonomi.51 Tingginya suku bunga pada bank konvensional menyebabkan masyarakat dan dunia usahakurang berminat untuk mendapatkan kredit pada bank konvensional hal ini sangat berbeda dengan bank syariah yang menerapkan sistem bagi hasil pada kegiatan pembiayaannya. Salah satu bentnk pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah adalah pembiayaan. Safira, Akuntansi untuk Produk Pembiayaan Mudharabah, Modul 14 Akuntansi Syari’ah, Universitas Mercu Buana 51 Wawancara dengan Bapak Hadi Suseno Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari kam is, tanggal 2 Desember 2010, jam 11.00 50 70 mudharabah. Sistem pembiayaan memiliki peranan yang sangat penting bagi dunia usaha perbankan karena merupakan salah satu aktifitas utama perbankan. Dengan penerapan sistem bagi hasil pada sistem pembiayaan mudharabah diharapkan dapat meringankan beban masyarakat dan dunia usaha. Dari sudut ekonomi Bank Syari’ah Indonesia memiliki produk penyaluran dana yang cukup di gemari yaitu Mudharabah yang merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk di gunakan dalam aktivitas perdagangan. Mudharib dalam hal ini memberikan konstribusi pekerjaan, waktu dan mengelola usahanya sesuai dengan ketentuan yang di capai dalam kontrak, salah satunya adalah untuk mencapai keuntungan yang di bagi antara pihak investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah di setujui bersama, namun apabila terjadi kerugian yang menanggung adalah pihak investor saja. Jadi pelaksanaan pembiayaan dengan Mudharabah merupakan sarana tolong menolong antara sesama manusia. Mudharabah adalah salah satu bentuk muamalah Islamiyah, tetapi apakah di dalam pembiayaan dengan Mudharabah sudah dapat memenuhi persyaratan sebagaimana yang di atur di dalam Undang-undang No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.52 Wawancara dengan Bapak Hadi Suseno Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari kamis, tanggal 2 Desember 2010, jam 11.00 52 55 4.3.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Serta Upaya Untuk Mengatasi Hambatan Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad Mudharabah Adapun faktor pendukung dan penghambat serta upaya untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan dengan akad Mudharabah adalah sebagai berikut: a. Faktor Pendukung Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad Mudharabah, antara lain yaitu : 1. Telah lahirnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Isinya antara lain tentang keharusan melepas (spin off) divisi syariah dalam 15 tahun, atau ketika pangsa pasar syariah mencapai 50%. 2. Diterbitkanya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk pada Agustus 2008. 3. Beroperasinya lembaga-lembaga pendidikan syariah dan pendirian Fakultas Ekonomi Syariah oleh berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mencetak sumberdaya manusia untuk mengisi kekurangan sdm di sektor perbankan syariah. 4. Beroperasinya lembaga keuangan hasil joint venture dengan pemodal timur tengah. Hal ini membuka jalan masuknya dana-dana investasi berbasis syariah dari timur tengah. 56 5. Pertumbuhan indikator keuangan syariah di Indonesia tertinggi dibanding negara lain. Hal ini bisa menjadi modal bagi pertumbuhan yang pesat di masa mendatang. b. Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad Mudharabah, antara lain yaitu: 1. Minimnya sumberdaya manusia yang memahami secara komprehensif segala hal yang berkaitan dengan industri perbankan syariah. Sehingga dalam prakteknya, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah. 2. Belum adanya suatu Bank Sentral Syariah sebagai penyokong selaiknya Bank Indonesia yang menjadi bank-nya lembaga-lembaga perbankan yang mampu memerankan diri seperti peran Bank Indonesia tetapi dengan prinsip Islam 3. Masih ada kesan di sebagian masyarakat bahwa Bank syariah bersifat ekslusif dalam artian bahwa bank syariah hanya ditujukan untuk masyarakat muslim dan melibatkan kaum yang beragama muslim saja. 4. Kejujuran para nasabahnya 5. Kekurang pahaman tentang pengembalian pinjaman 6. Pemahaman masyarakat terhadap bank syariah belum optimal dan menyeluruh. Hal ini mungkin disebabkan karena disseminasi atau sosialisasi masih kurang untuk memaparkan keunggulan produk syari’ah. 57 c. Upaya Untuk Mengatasi Hambatan Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad Mudharabah. Bank melakukan promosi atau seminar-seminar bersama dengan bank syari’ah lainnya untuk memberikan penjelasan mengenai bank syari’ah dan produk-produknya, setelah semua itu dilakukan kemudian pihak bank baru mempromosikan kepada masyarakat umum supaya masyarakat umum paham akan produk-produk yang ditawarkan oleh bank syari’ah.53 4.3.3 Syarat-Syarat Mengajukan Permohonan Melakukan Pembiayaan Dengan Akad Mudharabah Setiap mengajukan permohonan pembiayaan mudharabah pada Bank BNI Syari’ah cabang Yogyakarta harus diajukan secara tertulis dengan mengisi Formulir Surat Keterangan Permohonan Pembiayaan (SKPP) yang telah disediakan dan dilengkapi data yang diperlukan untuk bahan penilaian,seperti di bawah ini : a. Mengisi formulir permohonan pembiayaan disertai : 1) Foto copy KTP suami & istri @ 2 lembar 2) Foto copy Kartu Keluarga 1 lembar 3) Foto copy Surat Nikah 1 lembar 4) Pas foto suami & istri @ 1 lembar Wawancara dengan Bapak Wahid Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari senin, tanggal 6 Desember 2010, jam 13.00 53 58 5) Foto copy legalitas usaha 6) Foto copy Rekening giro/tabungan 3 bulan terakhir 7) Foto copy SPK/proyek-proyek yang pernah dijalani 8) Foto copy jaminan b. Menyerahkan foto copy bukti-bukti proyek/usaha yang akan dibiayai. c. Menyerahkan proyeksi keuangan atas proyek/usaha yang diajukan beserta asumsi yang dipakai.54 4.3.4 Keuntungan Dalam Pelaksanaan Akad Mudharabah Di Bank BNI Syari’ah Tentunya akan banyak sekali manfaat yang akan diperoleh dengan menjadi nasabah BNI Syariah. Dari sisi pendapatan, masyarakat akan memperoleh bagi hasil yang menguntungkan, sesuai dengan pendapatan yang diperoleh Bank Syariah. Jika pendapatan yang diperoleh Bank tinggi tentunya akan menyebabkan bagi hasil yang diperoleh nasabah juga menjadi tinggi. Namun yang lebih penting lagi, masyarakat akan terbebas dari keraguan akan bunga bank, sehingga menjadi lebih tenang.Dana yang disimpan akan disalurkan kepada sektor-sektor yang halal dan menguntungkan dan tidak bertentangan dengan syariah Islam. Dengan kata lain dengan menabung di bank syariah, masyarakat akan memperoleh keuntungan baik di dunia maupun untuk bekal akhirat kelak.55 54 “Syarat Mengajukan Pembiayaan Akad Mudharabah”, Bank BNI Syariah. 59 4.3.5. Prinsip-Prinsip Perbankkan Syari’ah Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain : a) Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan. b) Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana. c) Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik. d) Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi. Wawancara dengan Bapak Wahid Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari senin, tanggal 6 Desember 2010, jam 13.00 55 60 e) Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.56 4.3.6. Pelaksanaan Akad Mudharabah Di BNI Syari’ah Di Lihat Dari Hukum Islam 1. Pelaksanaan Akad Mudharabah Di BNI Syari’ah Di Lihat Dari Hukum Islam. a) Dilihat dari syarat-syarat pelaksanaan pembiayaan akad mudharabah sudah sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada pada Al-Quran, Hadis, Fatwafatwa, dan peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia dan Dewan Pengawas Syariah. Dan masyarakat sendiri sudah tahu akan maksud syaratsyarat yang diajukan pihak bank kepada masyarakat umum yang akan melakukan pembiayaan dengan akad mudharabah di perbankan syari’ah pada umumnya. b) Dilihat dari bentuk kontraknya pembiayaan mudharabah adalah sistem bagi hasil yang merupakan sistem dimana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan didapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kepada masyarakat dan Wawancara dengan Bapak Prof. Syamsul Anwar, Fakultas Syari’ah UIN Yogyakarta, hari Rabu, tanggal 24 November 2010, jam 09.30 56 61 didalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama dan harus terjadi dengan adanya kerelaan dimasing-masing pihak tanpa adnya unsur paksaan. Selama didirikan dan diterapkan pada masyarakat umum pembiayaan akad mudharabah di perbankan syari’ah sudah sesuai dengan hukum islam karena sudah sesuai pada peraturan-peraturan yang ada pada Al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa , dan peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia untuk perbankan syari’ah, selain itu selama 1 tahun Bank Indonesia dan Dewan Pengawas Syari’ah juga selalu mengawasi kinerja yang dilaksanakan dan diterapkan oleh bank syari’ah pada masyarakat umum.Dari tahun ketahun perbankan syariah makin banyak digemari oleh masyarakat umum untuk melakukan kegiatan usaha, terutama dalam kegiatan perdagangan yang menggunakan prinsip bagi hasil, yang dapat meringankan beban ekonomi masyarakat yang ingin melakukan kegiatan perdagangan.57 2. Pengawasan Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad Mudharabah Di Bank BNI Syari’ah Yogyakarta. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan yang diubah, yang ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Wawancara dengan Bapak Hadi Suseno Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari kamis, tanggal 2 Desember 2010, jam 11.00 57 62 Nomor 32/34/KEP/DIR dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/KEP/DIR, maka pengawasan terhadap bank syariah dilakukan secara rangkap, berupa : a. Pengawasan Umum Pengawasan umum adalah pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank konvensional dan bank syari’ah sebagai wewenang bank sentral yang ada di Indonesia.Pengawasan dilakukan dengan cara mengawasi secara langsung dan dengan cara online system terhadap kinerja perbankan konvensional maupun perbankan syari’ah pada setiap bulannya atau setiap setahun sekalinya. Pengawasan umum terhadap bank syari’ah dilakukan oleh Bank Indonesia, sama seperti bank konvensional pada umumnya. Bank Indonesia bertindak mengawasi bank syari’ah selaku pemegang otoritas Pembina dan pengawas bank. Disamping itu, secara internal bank syari’ah diawasi oleh Dewan Komisaris, Dewan Pengawas, atau Pengawas Bank yang bersangkutan. b. Pengawasan Khusus Pengawasan khusus terhadap bank syari’ah dilakukan oleh Dewan Syari’ah Nasional(DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah(DPS) yang ada pada setiap bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah. Dewan Syari’an Nasional dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki wewenang untuk memastikan 63 kesesuaian produk, jasa, dan kegiatan usaha bank dengan prinsip syari’ah. Sedangkan Dewan Pengwas Syari’ah berkedudukan di kantor pusat bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Dengan demikian, Dewan Pengawas Syari’ah ini: a. Berfungsi untuk mengawasi kegiatan usaha bank syari’ah agar sesuai dengan prinsip syari’ah. b. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, Dewan Pengawas Syari’ah wajib mengikuti fatwa Dewan Syari’ah Nasional. c. Kedudukan Dewan Pengawas Syari’ah bersifat independent, yang dibentuk oleh Dewan Syari’ah Nasional, dengan tugas yang diatur oleh Dewan Syari’ah. d. Dewan Pengawas Syari’ah wajib dimiliki oleh setiap bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Dahulu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, pengawasan khusus terhadap bank berdasarkan prinsip bagi hasil hanya dilakukan oleh Dewan Pengawas Syari’ah, yang dalam organisasi bank yang bersangkutan bersifat independent dan terpisah dari kepengurusan bank sehingga tidak mempunyai akses terhadap oprasional bank. Pembentukan Dewan Pengawas Syari’ah dilakukan oleh bank yang bersangkutan berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah para ulama. 64 Adapun tugas Dewan Pengawas Syari’ah ini adalah melakukan pengawasan secara intern atas produk perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kepada masyarakat, agar sesuai dengan prinsip syariat. Dengan kata lain, Dewan Pengawas Syari’ah mempunyai tugas menentukan boleh tidaknya suatu produk atau jasa dipasarkan atau suatu kegiatan dilakukan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil tersebut, ditijau dari sudut syariat. Oleh karena itu, anggota-anggotaDewan Pengawas Syari’ah harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai syari’ah. Dan dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Dewan Pengawas Syari’ah dapat berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia(MUI). Dengan demikian, dapat dikatakan kalau fungsi Dewan Pengawas Syari’ah dalam bank berdasarkan prinsip bagi hasil berbeda dengan fungsi Dewan Komisaris, Dewan Pengawas atau Pengawas Bank, yang juga dimiliki oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil tersebut. Fungsi Dewan Pengawas Syari’ah semata-mata terbatas pada meneliti dan menetukan suatu produk, jasa, atau kegiatan uasaha yang dilakukan oleh bank yang bersangkutan, apakah sudah sesuai atau belum dengan prinsip syari’ah. Sebaliknya, fungsi Dewan Komisaris, Dewan Pengawas atau Pengawas Bank melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan oprasional dan manajemen bank berdasarkan prinsip syari’ah.58 58 Rochmadi Usman, SH., Aspek-aspek Hukum Perbangkan Islam di Indonesia, hlm. 57-59 65 3. Cara Penyelesaian Sengketa Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad Mudharabah Di Bank BNI Syari’ah Yogyakarta. Pada dasarnya penyelesaian sengketa diperbangkan syari’ah dapat dilakukan melalui proses litigasi dan non litigasi(arbitrase) dalam hal ini badan Arbitrase Syari’ah Nasional.59 a. Litigasi Sempat terjadi perdebatan diberbagai kalangan mengenai badan Peradilan Agama yang berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa perbankan syari’ah, apakah menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama, hal ini dikerenakan pada waktu itu belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing mencari landasan hukum yang tepat. Dengan dirubahnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syari’ah menjadi kopetensi absolute Peradilan Agama.60 Wawancara dengan Bapak Hadi Suseno Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari jumat, tanggal 3 Desember 2010, jam 10.00 60 Suhartono, Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah, Sinar Grafika, Jakarta 2009 59 66 b. Badan Arbitrase Syariah Nasional Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Suatu lembaga Arbitrase disebut juga dengan Pengadilan Swasta, karena kedudukannya yang bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman Negara. Definisi arbitrase Undang-Undang Nomor 30 Tahum 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa pada pasal 1 ayat 1 bahwa “Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.61 Selama didirikan dan diterapkan pada masyarakat umum pembiayaan akad mudharabah di perbankan syari’ah sudah sesuai dengan apa yang ada pada uraian di atas mengenai produk-produk yang ditawarkan, pelaksanaan, penerapan, manfaat dan tujuan, keuntungan, factor penghambat dan pendukung, cara penyelesaian sengketa, serta cara pengawasan dan sudah sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada pada Al-Quran, Hadis, fatwafatwa ,dan peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia untuk perbankan syari’ah yang melakukan kegiatan syari’ah. Harimurti Adinugroho, Penyelesaian Sengketa pada Perbankan Syari’ah melalui Peradilan Agama dan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional. Skripsi Fak. Hukum Universitas Airlangga, 2006 61 67 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan 1. Pembagian ketentuan dalam pembiayaan mudharabah sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dihitung berdasarkan pendapatan kotor dari hasil pendapatan usaha mudharib, karena dana yang digunakan dalam pembiayaan mudharabah sebgian besar berasal dari dana masyarakat, sehingga bank syariah harus melakukan cara-cara agar dana dari nasabah penyimpan dana yang digunakan dalam pembiayaan tidak dirugikan karena resiko dalam pembiayaan bagi hasil relatif tinggi. Bank syari’ah dalam menangani pembiayaan bermasalah melakukan upaya penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan bermasalah. Upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah dilakukan dengan restrukturasi pembiayaan melalui penjadwalan kembali pembiayaan, menambah fasilitas, pembiayaan dan penyertaan modal sementara. Sedangkan upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah dilakukan penyelesaian melalui jaminan, hapus buku pembiayaan dan penyelesaian sengketa baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi(arbitrase). 2. Selama didirikan dan diterapkan pada masyarakat umum pembiayaan akad mudharabah di perbankan syari’ah sudah sesuai dengan apa yang ada pada uraian di atas mengenai produk-produk yang ditawarkan, pelaksanaan, penerapan, manfaat dan tujuan, keuntungan, factor penghambat dan 68 pendukung, cara penyelesaian sengketa, serta cara pengawasan dan sudah sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada pada Al-Quran, Hadis, fatwafatwa ,dan peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia untuk perbankan syari’ah yang melakukan kegiatan syari’ah. 3. Hambatan dan Upaya untuk Mengatasi Hambatan Pelaksanaan Pembiayaan dengan Akad Mudharabah Hambatan : Pertama, Minimnya sumberdaya manusia yang memahami secara komprehensif segala hal yang berkaitan dengan industri perbankan syariah. Sehingga dalam prakteknya, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah, kedua belum adanya suatu Bank Sentral Syariah sebagai penyokong selaiknya Bank Indonesia yang menjadi bank-nya lembaga-lembaga perbankan yang mampu memerankan diri seperti peran Bank Indonesia tetapi dengan prinsip Islam, ketiga masih ada kesan di sebagian masyarakat bahwa Bank syariah bersifat ekslusif dalam artian bahwa bank syariah hanya ditujukan untuk masyarakat muslim dan melibatkan kaum yang beragama muslim saja, keempat kejujuran para nasabahnya, kelima kekurang pahaman tentang pengembalian pinjaman, keenam pemahaman masyarakat terhadap bank syariah belum optimal dan menyeluruh. Hal ini mungkin disebabkan karena disseminasi atau sosialisasi masih kurang untuk memaparkan keunggulan produk syari’ah. 69 Sedangkan upaya yang dilakukan pihak Bank untuk mengatasi hambatan ialah melakukan promosi atau seminar-seminar bersama dengan bank syari’ah lainnya untuk memberikan penjelasan mengenai bank syari’ah dan produkproduknya, setelah semua itu dilakukan kemudian pihak bank baru mempromosikan kepada masyarakat umum supaya masyarakat umum paham akan produk-produk yang ditawarkan oleh bank syari’ah. 5.2. Rekomendasi 1. Dalam kerangka berfikir dengan niat amar ma’ruf nahi mungkar, diperlukan komitmen penuh bagi pihak-pihak terkait dengan perbankan syari’ah dalam meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai keberadaan prinsip-prinsip syari’ah dalam dunia perbankan. Hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama muslim serta tidak adanya larangan barmuamalah dengan orang selain muslim. 2. Dengan tingginya resiko dalam pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, maka diperlukan upaya secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia(SDM) pengelola dan pengambil kebijakan perbankan syari’ah agar bias menerapkan ketentuan perbankan syari’ah di Indonesia dan keberadaan peratuaran perundang-undangan yang mengatur konsep dan operasional perbankan syari’ah sangat diperlukan sebagai pembeda yang jelas antara prinsip-prinsip operasional bank syari’ah dan bank konvensional. 70 DAFTAR PUSTAKA Andi Soemitra,Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah,ctk 1,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2009. Burhanudin Press,Jakarta,2008. Susanto,Hukum Syari’ah Perbankan diIndonesia,ctk 1 UII Dadan Muttaqien dan Fakhruddin Cikman, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Cetakan I, Total Media, Yogyakarta 2008. Harimurti Adinugroho, Penyelesaian Sengketa pada Perbankan Syari’ah melalui Peradilan Agama dan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional. Skripsi Fak. Hukum Universitas Airlangga, 2006 Hikmahanto Juwana,Analisa Ekonomi Atas Hukum Perbankan,Jurnal Hukum dan Pembangunan,Ed 1-3 Ismail Hasan Anshari, Samir Mutawalli. 1993. Perbankan Islam, Sejarah, Prinsip dan Operasional, Alih bahasa Syahril Mukhtar Muhammad, Cet. 1. Jakarta: Minaret. Karnaen Perwataatmadja,Gumaladewi,Widyaningsih dan Barlinti,Bank dan Asuransi Islam diIndonesia,Kencana Jakarta,2005. Muhammad Insani,Jakarta,2001. Syafii Antonio, Bank Syariah dan Teori Yenny Salma Praktik,Gema Mulhadi,prinsip kehati-hatian dalam kerangka UU perbankan Indonesia,USU Repasitory 2006 Rochmadi Usman, SH., Aspek-aspek Hukum Perbangkan Islam di Indonesia Suhartono, Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah, Sinar Grafika, Jakarta 2009 Sutan Remy Sjahdaeni, Perbankan Islam Syafira, Akuntansi Untuk Produk Pembiayaan Mudharabah, Modul 14 Akuntansi Syari’ah, Universitas Mercu Buana Zainul Arifin,Memahami Prospek,ctk.1,Alpabet,Jakarta,1999. Bank Syari’ah 71 Lingkup,Peluang,Tntangan dan Muhammad, ekisonline.com Http://one.Indoskripsi.com/content/Bank/Pada/Masyarakat Http://Hukumpositif.com/node/147 Http://penulis,bloggaul.com/Aspek-aspek/hukum/keuangan/dan/perbankan http://Hukum positif.com/Mutawalli Http://BNISyariah.com/profil.Hlm.1 Http://id.wikipedia.org/wiki/bank Http://id.wikipedia.org/wiki/bank Http://id.wikipedia.org/wiki/bank Http://id,wikipedia.org/wiki/bank sentral Http://wikipedia.org/wiki/mudharabah Http://Eai.fe.umy .ac.ad/index.php?id=153&item=3317option=page UU no.3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Pasal 4 Penjelasan Atas Perubahan Bank Indonesia Nomor 11 / 17 / PBI / 2008 Tentang Bank Umum Syari’ah Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan UU RI no.21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah Pasal 1(1) Surat AL baqoroh 275,Quran Karim dan Terjemahan,UII Press 72 lxxiii