kedudukan barang jaminan dalam transaksi mudharabah pada

advertisement
KEDUDUKAN BARANG JAMINAN DALAM TRANSAKSI
MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH
LAPORAN PENELITIAN
Peneliti:
Drs. Agus Triyanta, MA.,MH,PhD. (Ketua)
(NIK 934100105)
Tovan Kurniawan (Anggota)
(NIM 06410165)
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2011
1
2
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin. Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah swt yang telah
memberikan kenikmatan dan kemurahan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini.
Penelitian ini berjudul
“Kedudukan Barang Jaminan Dalam Transaksi Mudharabah Pada Perbankan
Syaiah”.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap bagaimana konsep jaminan dalam Hukum Islam serta
bagaimana implementasi transaksi mudharabah pada perbankan syariah, sehingga akan diketahui dan
diungkap, bagaimanakah status jaminan serta urgensinya bagi transaksi ini. Lebih dari itu, akan dilihat
juga bagaimana implementasinya pada perbankan syariah.
Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima
kasih kepada:
1.
Dekan Fakultas Hukum Universitas islam Indonesia
2.
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
3.
Kepada para teman di Fakultas Hukum UII.
4.
Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan secara khusus.
Berbagai pihak tersebut telah banyak memberikan bantuan baik berupa pendanaan bagi terselenggaranya
penelitian ini maupun berbagai bantuan dalam bentuk lain yang baik moril maupun spiritual. Kepada
mereka penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga kebaikan yang telah diberikan mendapatkan
balasan di sisiNya. Amin.
Yogyakarta, 10 Januari 2011
3
DAFTAR ISI
Halaman
…….………...………………………………............. i
HALAMAN JUDUL
………………………....………………………………............ ii
PENGESAHAN
DAFTAR ISI
ABSTRAK
……………………….....………………………………................
iii
……………………………………...………………………………..... v
BAB I P E N D A H U L U A N
1.1. Latar Belakang Masalah
……………………………………
1
...……………………………….....
1
1.2. Rumusan Masalah
……......……………………………….......
10
1.3. Tujuan Penelitian
……….....………………………………......
11
B II TINJAUAN PUSTAKA
………….....……………………………….....
12
...……………………………………………...
18
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...…………………………...
20
BAB III METODE PENELITIAN
...…………………….. 20
4.1.
Tinjauan Umum Mengenai Akad Mudharabah
4.1.
Barang Jaminan dalam Akad Mudharabah
4.3.
Implementasi Akad Mudharabah di Perbankan Syariah ...........................
……………………………..
38
5
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...………………………………... 56
5.1.
Kesimpulan
……………………...……………………………….......... 56
5.2.
Rekomendasi
……………...……………………………….....................
DAFTAR PUSTAKA
58
...……………………………….......................................... 59
4
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul ““Kedudukan Barang Jaminan Dalam Transaksi Mudharabah Pada Perbankan
Syaiah”. Fokus penelitian dari penulisan ini adalah mengetahui bagimana konsep mudharabah dalam
hukum Islam, berikut konsep barang jaminan bagi akad mudharabah dalam hukum Islam. Di samping
itu, implementasi akad mudharabah pada perbankan syariah.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, ialah penelitian hukum yang akan mlihat
bagaimana pengaturan transaksi valuta asing di Malaysia dan Indonesia dalam tinjauan hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan konseptual yaitu dengan cara mempelajari pandanganpandangan dengan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum untuk menelaah latar belakang lahirnya dan
perkembangan pengaturan mengenai masalah yang diteliti. Bahan hukum yang diteliti terdiri dari bahan
hukum primer : bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti Al-qur’an, alhadts, kitab-kitab klasik, fatwa dewan syari’ah, kitab undang-undang, Bahan hukum sekunder berupa
literatur, jurnal dan data elektronik, serta bahan hukum tersier berupa kamus dan ensiklopedi. Cara
pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi pustaka, serta dengan studi dokumen, yakni dengan
mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti. Analisis hasil
penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu data-data yang diperoleh dari hasil penelitian
dikelompokan dan dipilih, kemudian dihubungkan dengan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat
menjawab perumusan masalah yang ada. Data dihimpun dengan pengamatan yang seksama, meliputi
analisis dokumen dan catatan-catatan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa di dalam Islam mudharabah merupakan akad kerjasama
dengan keharusan adanya pembagian keuntungan dan tanggungan bersama akan resiko yang terjadi.
Terkait dengan barang jaminan, Islam mengenal dan memperbolehkan adanya barang jaminan dalam
perjanjian muamalah, namun untuk akad mudharabah, pada asalnya tidak dikenal adanya jaminan.
Dalam implementasinya papa perbankan syariah, mudharabah masih sangat minim. Terkait dengan
implementasi barang jaminan, dalam perbankan syariah hari ini, diterapkan adanya barang jaminan. Hal
ini didasarkan pada fatwa yang dikeluarkan oleh DSN Majelis Ulama Indonesia. Adapun
rekomendasinya adalah bahwa seharusnya, mulai diintrodusir upaya perbaikan penerapan akad
mudharabah, yakni dengan meminimalisir adanya jaminan.
Kata Kunci: jaminan, mudharabah, perbankan syariah
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Maraknya perbankan syar’iah dewasa ini bukan merupakan gejala baru dalam
dunia bisnis syari’ah. Keadaan ini ditandai dengan semangat tinggi dari berbagai
kalangan, yaitu: ulama, akademisi dan praktisi untuk mengembangkan perbankan
tersebut dari sekitar pertengahan abad 20. Perkembangan bank syar’iah tersebut juga
sampai di negeri Indonesia.
Belakangan ini Bank Syari’ah sedang menjadi pilihan bagi pelaku bisnis
perbankan sampai dengan pertengahan tahun 2001. Di Indonesia telah berdiri sepuluh
bank umum syari’ah (BMI, BNI, BSM, Bukopin, BPD Jabar, Bank IFI, BRI,
Danamon, BII dan BPD DKI), dengan sekitar 85 kantor cabang, ditambah lagi
dengan 88 BPR Syari’ah (Bank Indonesia, 2004). Dari produk yang ditawarkan oleh
bank syari’ah dan “dibeli” oleh masyarakat pengguna di Indonesia masih kecil
dibandingkan dengan produk bank konvensional.
Keadaan ini dipengaruhi oleh seberapa banyak produk yang dapat
dikembangkan dan diaplikasikan oleh bank syari’ah. Berdasarkan prinsip dasar
produk bank syari’ah memiliki pembiayaan berupa produk bagi hasil yang
dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Meskipun
jenis produk pembiayaan dengan akad jual beli dan sewa juga dapat dioperasionalkan
namun kenyatannya bank syari’ah tingkat dunia maupun di Indonesia produk
pembiayaannya masih didominasi oleh produk pembiayaan dengan akad jual beli.
6
Sebagaimana dinyatakan oleh Karim (2001) bahwa: “hampir semua bank
syari’ah di dunia didominasi dengan produk pembiayaan murabahah sedangkan
sistem bagi hasil sangat sedikit diterapkan, kecuali di dua negara yaitu Iran (48 %)
dan Sudan (62%). Disamping itu, Ibrahim Wade (1999: 199) menggambarkan bahwa
perkembangan pembiayaan bagi hasil baru mencapai 15% per tahun. Pertumbuhan
share keuangan perbankan syari’ah di Indonesia pada tahun 2002 untuk pembiayaan
mudharabah sebesar 14,33% dan pembiayaan musyarakah sebesar 2,86%. Sementara
pembiayaan murabahah sebesar 72,21%. Hal ini menggambarkan adanya kesenjangan
antara konsep teori dengan praktek bank syari’ah. Faktor ini dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: faktor internal perbankan syari’ah dan faktor eksternal bank
syari’ah. Secara internal perbankan syari’ah mungkin belum dipahami secara baik
oleh kalangan internal perbankan mekanisme kerja produk mudharabah.1
Dengan
pendanaan
pertumbuhan
perkembangan
yang
tidak
ekonomi,
kecil
pembangunan
guna
pendapatan
mencapai
perkapita,
nasional
memerlukan
sumber
sasaran-sasarannya,
misalnya
kesempatan
distribusi
kerja,
pendapatan dan lain-lain. Sasaran ini terus diupayakan untuk meningkatkan kualitas
dari waktu kewaktu. Untuk itu upaya untuk memperbaiki dan memperkuat sektor
keuangan khususnya industri perbangkan menjadi sangat penting.2
Perbankan merupakan salah satu sektor yang diharapkan berperan aktif dalam
menunjang kegiatan pembangunan nasional atau regional. Peran itu diwujudkan
dalam fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi atau institusi perantara antara
1
Muhammad, Ekisonline.com
2
Mulhadi, Prinsip Kehati-hatian dalam Kerangka UU Perbankan Indonesia, USU Repasitory, 2006.
7
debitor dan kreditor. Pelaku ekonomi yang demikian membutuhkan dana untuk
menunjang kegiatannya dapat terpenuhi dan kemudian roda perekonomian bergerak.3
Lancarnya aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi.
Kondisi sektor perbangkan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari
kebijakan disektor perbankan. Peran sektor perbangkan dalam pembangunan juga
dapat dilihat pada fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Perbankan
juga merupakan alat yang sangat vital dalam menyelenggarakan transaksi
pembayaran baik nasional maupun internasional. Mengingat pentingnya fungsi ini
maka upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbangkan menjadi bagian
yang sangat penting untuk dilakukan. Industri perbankan merupakan suatu industri
yang sangat bertumpu pada kepercayaan masyarakat yang memiliki uang untuk
disimpan.4
Meninjau lebih dalam tentang peranan, fungsi dan usaha bank, maka dalam
undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah menjelaskan secara umum bank
memiliki peranan sebagai penghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
seperti giro, deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan serta bank berperan
sebagai penerbit surat pengakuan hutang, membeli, menjual atau menjamin atas
resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya, seperti suratsurat wesel dan surat pengakuan hutang. Selain itu bank juga dapat berperan sebagai
penyaluran kredit pada perusahaan-perusahaan dan masyarakat.5
3
Http://One.Indoskripsi.com/Content/Peranan/Bank/Pada/Masyarakat.
Hikmahanto Juana, Analisa Ekonomi Atas Hukum Perbankan, Jurnal Hukum dan Pembangunan. Ed 1-3.
Tahun XXVIII. 1998. Hlm 86
5 Http://Hukumpositif.com/Node/147
4
8
Penerapan pelaksanaan pembiayaan dengan akad mudharabah dalam seluruh
kegiatan di perbankan syariah merupakan salah satu cara untuk menciptakan
perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap
perekonomian secara menyeluruh antara pihak bank sendiri dan mudhorib (pemilik
usaha). Implementasi prinsip ini harus menyeluruh, tidak hanya menyangkut masalah
pemberian modal usaha bagi orang yang ingin melakukan usaha tetapi tidak
mempunyai modal.6
Dunia perbankan syari’ah yang melaksanakan pembiayaan dengan transaksi
atau akad Mudharabah memiliki beberapa implementasi diantaranya adalah:7
a. Nasabah yang ingin mengelola usaha, dan tidak mempunyai dana sama sekali,
maka
nasabah bisa datang ke bank dan mengajukan permohonannya.
b. Setelah itu bank akan memberikan seluruh modalnya 100% kepada nasabah untuk
mengelola usaha dan bank tidak ikut campur dalam mengelola usahanya tersebut
dan yang mengelola usahanya adalah nasabah.
c. Nasabah melangsungkan pengelolaan usaha.
d. Setelah hasil pengelolaan mendapatkan hasil keuntungan, maka hasil tersebut
dibagi sesuai margin yang disepakati di awal akad.
e. Jika hasil pengelolaan itu mengalami kerugian, maka kerugian tersebut
ditanggung sepenuhnya oleh bank selama tidak ada kecurangan dan kekeliruan
dari pihak nasabah dan bank bebas dalam menghentikan pengelolaan tersebut.
f. Berjalan waktu dan pengelolaan usaha, nasabah harus mengembalikan modal
milik bank sepenuhnya 100%.
6
Http://Penulis.Bloggaul.com/Aspek-Aspek/Hukum/Keuangan/dan/Perbankan
7
Mutawalli, ( Http://Hukumpositif.com )
9
Pengawasan dan pembinaan terhadap perbankan dilakukan oleh bank sentral.
Sesuai dengan pasal 23 D Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia hanya ada satu
Bank sentral yaitu bank Indonesia.8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Bank Indonesia memberikan definisi bahwa Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
Republik Indonesia. Bank Indonesia adalah lembaga Negara yang independent dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah atau
pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang
tersebut. Bank Indonesia adalah badan hukum berdasarkan Undang-Undang.9
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia harus memberikan pengawasan serta
pembinaan tersebut secara optimal agar bank sebagai sektor penting dalam keuangan
negara dapat berjalan dengan baik dan tidak menyimpang dari aturan-aturan yang
telah ada. Peran Bank Indonesia tidak hanya pada bank umum atau bank
konvensional akan tetapi Bank Indonesia juga harus memberikan pengawasan dan
pembinaan terhadap perbankan syari’ah.
Perbankan syari’ah adalah lembaga perbankan yang kegiatan usahanya
berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah.10 Visi perbankan syariah umumnya adalah
menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang igin melakukan investasi dengan
sistem bagi hasil secara adil sesuai dengan prinsip syariah. Memenuhi rasa keadilan
bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah visi utama
Andi Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Ctk. 1. Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2009, Hlm 56.
9 UU No 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 Tentang Bank Indonesia Pasal 4.
10 Burhanudin Susanto, Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia, Ctk. 1, UII Press, Jakarta, 2008, Hlm 17.
8
10
bank syari’ah.11 Saat ini penyesuaian dan penyempurnaan ketentuan perbankan
syari’ah telah memperoleh pijakan yang kuat yaitu dengan telah disahkannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah pada tanggal 16
Juli 2008, setelah disahkannya Undang-Undang tersebut maka keberadaan perbankan
syariah di Indonesia sebagai alternatif jasa perbankan bagi masyarakat Indonesia
menjadi semakin diterima dan diakui oleh masyarakat dapat memberikan kontribusi
yag optimal dalam rangka menunjang pembangunan ekonomi nasional.12
Salah satu perbankan syariah di Indonesia yang
kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip-prinsip syariaah adalah BNI Syariah. Sejarah lahirnya BNI
syariah berawal karena adanya demand (kebutuhan) dari masyarakat terahadap
perbankan syariah, selain itu untuk mewujudkan visinya menjadi universal banking.
BNI membuka layanan perbankan yang sesuai denga prinsip syariah dengan konsep
dual banking system, yakni menyediakan layanan perbankan umum dan syariah
sekaligus. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang
memungkinkan bank-bank umum untuk membuka layanan syariah. Pembentukan
Tim Bank Syariah diTahun 1999 mengawali Bank Indonesia mengeluarkan ijin
prinsip dan usaha utuk beroprasinya Unit Usaha Syariah BNI.Setelah itu BNI Syariah
menerapkan strategi pengembangan jaringan cabang syariah dan hingga saat ini telah
tersebar di berbagai kota di Indonesia.13
Karnaen Perwataatmadja, Gamaladewi, Wirdyaningsih dan Yenny Salma Barlinti, Bank dan Asuransi
Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, Hlm 17.
12 Penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/17/PBI/2008 Tentang Bank Umum Syari’ah
11
13
Http://BNIsyari’ah.tripod.com/Profile.Html
11
Penentuan harga atau untuk mencari keuntungan bagi bank yang berdasarkan
prinsip syariah adalah sebagai berikut:14
1. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah)
2. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah)
3. Prinsip jual beli barang denga memperoleh keuntungan (murabahah)
4. Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilih (ijarah)
5. atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa
dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah waiqtina)
Produk pembiayaan bank syariah berdasarkan prinsip bagi hasil mudharabah
merupakan salah satu pembeda antara bank syariah dan bank konvensional.
Pembiayaan mudharabah bertujuan untuk menghindari riba atau bunga yang
umumnya terdapat pada perbankan konvensional.
Muhammad Syafii Antonio15 mengungkapkan tentang konsep bunga dan
keunggulan bank syariah dalam menghindari bunga dengan memberi alternatif
sebuah sistem yang islami yakni prinsip kerjasama dengan model bagi hasil
mudharabah. Islam mengharamkan bunga dan menghalalkan bagi hasil. Penerapan
prinsip bagi hasil atau mudharabah agar selalu sesuai dengan prinsip syariah haruslah
mendapatkan peran aktif dari Bank Indonesia untuk melakukan pengawasan. Selain
itu Bank Indonesia sebagai bank sentral harus berperan aktif memberikan pembinaan
apabila
nantinya
timbul
penyimpangan-penyimpangan
yang
dilakukan
perbankan syariah yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian pada pembiayaan
Zainul Arifin, Memahami Bank Syari’ah Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Ctk 1, Alpabet,
Jakarta, 1999, Hlm 213.
15 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, Hlm. 54.
14
12
oleh
mudharabah. Peran Bank Indonesia terhadap perbankan syariah adalah untuk
memberikan pengawasan terhadap aspek kesehatan bank agar senantiasa sesuai
dengan prinsip syariah. BNI syariah merupakan salah satu perbankan syariah di
Indonesia yang dalan menjalankan seluruh kegiatannya harus berdasarkan pada
prinsip syariah. Salah satu pembiayaan di BNI Syariah yang sesuuai dengan prinsip
syariah adalah adanya pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah dalam
perbankan syariah lebih dikenal dengan prinsip bagi hasil dan tidak mengenal riba.
Pembiayaan mudharabah agar berjalan sesuai dengan ketetapan yang ada maka perlu
mendapatkan pengawasan dan pembinaan dari Bank Indonesia. Idealitanya Bank
Indonesia harus selalu memantau kegiatan perbankan syariah agar sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkannya dengan cara melakukan pengawasan dan pembinaan.
Menurut peraturan Bank Indonesia pengawasan dapat dilaksanakan dengan cara
online sistem yang dilakukan setiap bulannya, dan pengawasan langsung oleh Bank
Indonesia dilakukan sekurang-kurangnya setahun sekali. Realita yang terjadi saat ini,
pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia cabang Yogyakarta terhadap BNI
syariah sudah terlaksana hanya saja pelaksanaannya masih kurang optimal, dimana
hanya sebatas online system yang dilakukan setiap bulan dan pengawasan langsug
kurang dalam pelaksanaanya. Realita inilah yang menjadi permasalahan hukum dan
perlu untuk dibahas lebih lanjut.
Bank dalam menyalurkan dananya kepada masyarakat melalui pembiayaan
mudharabah idealnya menjalankan prinsip yang telah diatur oleh Bank Indonesia
yang dianggap sebagai Bank Sentral Republik Indonesia agar tetap sehat karena bank
harus melindungi kepentingan dan kehendak nasabah penyimpen. Sementara bank
13
juga harus melindungi kepentingan usahanya, sehingga bank harus berusaha
semaksimal mungkin agar dapat menarik dana nasabah sebesar-besarnya kemudian
disalurkan dananya kepada masyarakat yang membutuhkan, oleh karena itu bank
yang seharusnya melaksanakan pembiayaan dengan prinsip-prinsip yang telah
ditentukan oleh Bank Indonesia, namun kenyataannya prinsip-prinsip itu belum
sepenuhnya
diterapkan oleh bank syariah. Hal ini dimungkinkan karena belum
adanya aturan hukum atau regulasi atau batasan-batasan yang tegas tertentu mengenai
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Batasan –batasan
mengenai prinsip-prinsip tentang bank syariah yang telah ada tersebut dapat
menjadikan nasabah lebih paham apa yang harus dilakukan untuk melakukan
pembayaran dengan cara mudharabah. Tindakan banker maupun nasabah yang
melanggar aturan tersebut dapat diartikan sebagai tindakan melawan hukum, namun
kenyataannya belum ada aturan hukum atau regulasi atau batasan-batasan yang tegas
tentang prinsip ini yang harus diikuti oleh smua pelaku usaha perbankan. Seharusnya
pemerintah atau intansi terkait harus secepatnya membuat kebijakan yang lebih tegas
mengenai aturan-aturan atau batasan-batasan yang harus dilakukan oleh banker
maupun oleh nasabah atau konsumen bank mengenai pembiayaan mudharabah
tersebut. Supaya tidak terjadi kesalah pahaman antara pihak bank dan konsumen
bank yang mengikatkan diri pada bank tersebut. Dengan adanya peraturan-peraturan
atau prinsip-prinsip yang telah jelas dan pasti akan kepastian hukumnya maka akan
mewujudkan bank yang sehat dan dapat menarik ketertarikan nasabah yang akan
melakukan kerjasama usaha. Nasabah juga tidak merasa kawatir jika semua aturanaturan atau prinsip-prinsip itu sudah jelas akan kepastian hukumnya.
14
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak dan
memberikan pemahaman terhadap masyarakat tentang penerapan asas mudharabah
yang baik dan benar sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman antara pihak bank
dan masyarakat sendiri.
Pengertian bank di atas dapat dijelaskan secara lebih luas bahwa bank
merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas
perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan uraian latar belakang yang diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah terkait dengan akad mudharabah pada perbankan syariah
di Indonesia yaitu:
1. Bagaimana konsep Hukum Islam tentang mudharabah ?
2. Bagaimanakah konsep barang jaminan pada akad mudharabah?
3. bagaimanakah implementasi akad mudharabah serta jaminannya pada perbankan syariah?
dengan transaksi atau akad mudharabah ?
15
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis :
1. Konsep mudharabah dalam Hukum Islam.
2. Konsep barang jaminan dalam akad mudharabah menurut Hukum Islam.
3. Implementasi akad mudharabah dan jaminannya pada perbankan syariah.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak dan memberikan pemahaman terhadap masyarakat tentang penerapan
asas mudharabah.16
Pengertian bank diatas dapat dijelaskan secara lebih luas bahwa bank
merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas
perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan.17
Fungsi utama dari bank adalah menyediakan jasa menyangkut penyimpanan
nilai dan perluasan kredit. Evolusi bank berawal dari awal tulisan dan berlanjut
sampai sekarang dimana bank sebagai institusi keuangan yang menyediakan jasa
keuangan. Sekarang ini bank adalah institusi yang memegang lisensi bank. Lisensi
bank diberikan oleh otoriter supervise keuangan dan memberikan hak untuk
melakukan jasa perbankan dasar, seperti menerima tabungan dan memberikan
pinjaman.18
Kata bank berasal dari bahasa Italia banca atau uang. Biasanya bank
menghasilkan untung dari biaya transaksi atas jasa yang diberikan dan bunga dari
pinjaman.19
Ibid
19
Ibid
16
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
17 Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Bank
17
Bank Indonesia adalah bank sentral yang ada di Indonesia. Bank sentral
disuatu Negara, pada umumnya adalah instansi yang bertanggungjawab atas
kebijakan moneter di wilayah negara tersebut. Bank setral berusaha untuk menjaga
stabilitas nilai mata uang, stabilitas sektor perbankan dan sistem finansial secara
keseluruhan.20
Perbankan syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah, yang mencakup tentang kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.21
Kehadiran perbankan syari’ah bertujuan untuk menghindari riba. Al-Quran
Allah telah memberikan petunjuk yang jelas:22
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya”.
20
Http://Id.Wikipedia/Wiki/Bank Central
21
UU RI No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah Pasal 1 (1)
22
Surat Albaqarah 275, Quran Karim dan Terjemahannya, UII Press.
18
13
Menjawab permasalahan mengenai riba, perbankan syari’ah menawarkan
produk yang tidak mengenal istilah riba akan tetapi adanya suatu pembiayaan yang
berdasarkan pembiayaan dengan akad atau transaksi mudharabah.
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana
pemilik modal (shahibulnmaal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola
(mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama
dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari
pengelola. Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal
dalam menejemen projek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hatihati dan bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi atas kelalaian dan tujuan
penggunaan modal utuk usaha yang halal. Sedangkan shahibul maal diharapkan untuk
mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan modal laba yang optimal.23
Pelaksaan pembiayaan dengan transaksi atau akad mudharabah agar sesuai
dengan prinsip syari’ah dan tidak menyimpang dari prinsip syari’ah memerlukan
pembinaan dan pengawasan dari Bank Indonesia. Hal ini bertujuan agar kegiatan
usaha suatu perbankan syari’ah sesuai dengan prinsip yang telah ditentukan oleh
Bank Indonesia sebagai bank sentral.
Pengawasan dan pembinaan bank dilakukan oleh Bank Indonesia, hal ini didasarkan
pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 juncto
23
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Mudharabah
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Fokus penelitian
Fokus penelitian dari penulisan ini adalah
mengetahui bagimana konsep
mudharabah berikut dengan jaminan barang dalam pembiayaan mudharabah
ditinjau dari prespektif hukum Islam. Selain itu, bagaimana implementasi akad
mudharabah dalam perbankan syariah juga akan dianalisis dengan proporsional.
3.2. Sumber bahan hukum
1) Sumber hukum primer : bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat seperti Al-qur’an, al-hadts, kitab-kitab klasik, fatwa dewan
syari’ah, kitab undang-undang .
2) Bahan hukum sekunder berupa literatur, jurnal dan data elektronik :
a) literatur
berupa
buku-buku
yang
memberikan
penjelasan
mengenai
pembahasan transaksi valuta asing di indonesia dan malaysia.
b) Jurnal, makalah dan hasil seminar yang berhibungan dengan pembahasan
transaksi valuta asing di indonesia dan malaysia.
c) Wawancara dengan nara sumber yang berkompeten.
d) Data-data yang berasal dari internet.
3) Bahan-bahan hukum tersier berupa kamus dan ensiklopedi.
18
3.3. Cara pengumpulan bahan hukum
1) Studi pustaka, yakni dengan mengkaji berbagai peraturan (fatwa dewan
syariah) atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.
2) Studi dokumen, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen yang terkait
dengan permasalahan yang akan diteliti.
3) Wawancara, yakni dengan nara sumber dan praktisi perbankan syariah,
khususnya pada BNI Syariah Yogyakarta.
3.4. Metode pendekatan
Adapun data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode pendekatan konseptual yaitu dengan cara mempelajari
pandangan-pandangan dengan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, serta
menggunakan pendekatan historis yaitu menelaah latar belakang lahirnya dan
perkembangan pengaturan mengenai masalah yang diteliti.
3.5. Analisis hasil penelitian
Data yang terkumpul dari studi kepustakawanan, dianalisis dengan metode
kualitatif, yaitu data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokan dan
dipilih, kemudian dihubungkan dengan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat
menjawab perumusan masalah yang ada. Data dihimpun dengan pengamatan yang
seksama, meliputi analisis dokumen dan catatan-catatan. Penelitian kualitatif ini
dengan mempergunakan cara berpikir secara induktif, yaitu pola pikir dan cara
pengambilan kesimpulan yang dimulai dari suatu gejala dan fakta satu persatu,
yang kemudian dapat diambil suatu generalisasi ( ketentuan umum ) sebagai suatu
kesimpulan.
19
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1.
Tinjauan Umum Mengenai Akad Mudharabah
4.1.1. Pengertian Mudharabah
Latar belakang filosofi pola kemitraan mudharabah adalah bahwa modal
menurut pandangan Islam bukanlah semata-mata hanya dinilai dari jumlah uang
saja, yang sebenarnya masih merupakan modal potensi.25 Uang yang dijadikan
modal tersebut memerlukan jasa atau bantuan dari bentuk-bentuk aktifitas
potensial yang lain, seperti keahlian wirausaha yang diperlukan untuk
menjalankan modal tersebut menjadi suatu aktifitas produktif. Gagasan untuk
memperoleh keuntungan sebagaimana mendepositokan uang di bank tidak dapat
dibenarkan menurut islam.26 Uang harus ditempatkan dalam kerangka
penggunaan produktif dan resiko harus diambil untuk mendapatkan keuntungan.
Setiap aktivitas usaha mengandung resiko, maka penentuan keuntungan tidak
boleh dipatok di depan.
Jusmaliani dkk, Investasi Syariah, Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, 2008, hlm. 41
26 Ibid
25
20
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukul kakinya dalam menjalankan usahanya.27
Istilah Fiqh muamalah berpendapat bahwa mudharabah adalah suatu bentuk
perniagaan dimana si pemilik modal (shahibul maal) menyetorkan modalnya
kepada pengusaha yang selanjutnya disebut mudharb untuk diniagakan dengan
keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak,
sedangkan jika ada kerugian akan ditanggung oleh pemilik modal.28
Menurut Latifa M.Algaoud dan Mervyn K.Lewis, mudharabah dapat
didefinisikan sebagai sebuah perjanjian diantara dua pihak, dimana satu pihak,
pemilik modal (shahib al-mal atau rabb al-mal), mempercayakan sejumlah dana
kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau
usaha.29
Afzalur Rahman berpendapat bahwa syirkah mudharabah atau qiradh, yaitu
berupa kemitraan terbatas adalah perseroan antara tenaga dan harta, seseorang
(pihak pertama/supplier/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada
pihak lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/harib) yang digunakan untuk bisnis,
dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh
masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka
27
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank… op cit., hlm. 37
Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah, Institute Bankir Indonesia,
Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syari’ah, Ctk kedua, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 164
29 Algaoud, M. Latifa dan Mervyn K. Lewi, Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktek dan Prospek,
(Terjemahan Burhan Wirasubrata), PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2005. hlm. 66
28
21
ketentuannya berdasarkan sara’ bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan
kepada harta, tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola yang bekerja.30
Penjelasan terminology mudharabah :
Definisi para Ulama
Fiqh mendefinisikan mudharabah atau Qiradh
dengan:31 “Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja
(pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi
milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”.
Definisi Hanafi: mereka secara tekstual menegaskan bahwa syarikat
mudharabah adalah suatu akad (kontrak) dan meraka menjelaskan unsur-unsur
pentingnya yaitu berdirinya syarikat ini atas usaha fisik dari satu pihak dan atas
modal dari pihak yang lain, namun tidak menjelaskan dalam definisi tersebut
cara pembagian keuntungan antara kedua orang yang bersyarikat itu.
Sebagaimana mereka juga tidak menyebutkan syarat yang harus dipenuhi pada
masing-masing pihak yang melakukan kontrak dan syarat yang harus dipenuhi
pada modal.
Definisi Maliki: dalam definisi mereka telah disebutkan berbagai persyaratan
dan batasan yang harus dipenuhi dalam mudharabah dan cara pembagian
keuntungan yaitu dengan jelas dan tertentu sesuai kesepakatan antara kedua
orang yang bersyarikat. Definisi Maliki menyebutkan bahwa mudharabah adalah
pembayaran (penyerahan modal) itu sendiri. Definisi ini telah menetapkan
Dewi, Gemala dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, 2006,
hlm. 119
31 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Indonesia, Jakarta, hlm. 175-176
30
22
wakalah bagi pihak mudharib (amil) sebelum pengelola modal mudharabah dan
mempengaruhi keabsahannya bukannya sebelum akad.
Mudharib menyumbangkan tenaga, waktu, dan mengelola sesuai dengan
syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama mudharabah adalah bahwa jika ada
keuntungan akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang
telah disepakati sebelumnya, dan apabila mengalami kerugian maka ditanggung
sendiri oleh pihak investor.32
4.1.2. Dasar Hukum Mudharabah
Bank syariah merupakan bank yang cukup baru atau mulai berkembang di
Indonesia. Bank syariah harus selalu melaksanakan prinsip-prinsipnya syariah
baik dalam hal operasionalnya maupun produk-produk yang dikeluarkannya.
Regulasi atau paying hukum merupakan pedoman yang diperlukan oleh
perbankan syariah dalam menjalankan kegiatan keuangannya.
Ketentuan-ketentuan
dalam
Al-Quran
yang
dapat
menjadi rujukan
pelaksanaan mudharabah adalah :
a). QS. Al-Muzaamil 73:20 :
yang artinya
“Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari
sebagian karunia Allah SWT”. Wajhud-dilalah atau argumandari surat Al-
32
Jaziri, Fiqh III, hal. 34; Saleh, Unlawful Gain, hal. 103; Abd. Al-Qadir, Fiqh al-Mudharabah, hal. 89; Abu Saud, Money, Interest and Qiradh, hlm. 66; El-Asyker, The Islamic Bussines Enterprise, hal.
75, dikutip dari Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari’ah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum
Neo-Revivalis, hal. 77
23
Muzaamil 20 tersebut adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar
kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha. QS. AlBaqarah 11:48 Allah juga berfirman bahwa hendaklah kita melakukan
syafa’at bagi orang lain, yang berarti: “Dan jagalah dirimu dari (azab) hari
(kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain,
walau sedikitpun, dan begitu pula tidak diterima syafa’at33 dan tebusan dari
padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong” (QS. Al-Baqarah 11:48).
b). QS. Al-Jumuah 62:10
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka
bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung” (Al-Jumuah:10)
Ayat tersebut menerangkan bahwa manusia dianjurkan untuk selalu berusaha
untuk mencari karunia Allah. Sebagaimana disebutkan dalan firman Allah
sebagai berikut: “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu
dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT. Demikian pula dalam surat (AlBaqarah:198), yang artinya “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari
‘arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan
menyebut)
Allah
sebagaimana
yang
ditunjukkan-Nya
kepadamu, dan
Syafa’at adalah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau
mengelakkan sesuatu mudharab bagi orang lain. Syafa’at tidak diterima di sisi Allah adalah syafa’at
bagi orang kafir
33
24
sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang
sesat”(Al-Baqarah:198).
Berdasarkan pada kedua ayat tersebut diatas keduanya mendorong kaum
muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha, diantaranya dengan tidak
membiarkan modal yang berhenti, melainkan digunakan untuk melakukan
kegiatan usaha. Ayat Al-Quran juga menganjurkan setiap muslimin melakukan
usaha di siang hari dalam mencari karunia Allah dapat kita temukan pada firman
Allah dalam surat (Al-Israa’:12).
Artinya: “Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami
hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu
mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahuntahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah kami terangkan denga jelas”
(Al-Isaa).
Adapun Al-hadist yang dapat dijadikan rujukan pelaksanaan mudharabah
adalah :
a.
Hadist Riwayat Thabrani yang berbunyi:
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak
menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu
dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan
yang ditetapkan itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”
(HR Thabrani dari Ibnu Abbas).
25
b.
Hadist Nabi Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib yang berbunyi:
“Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak
secara tunai, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan
jejawut untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual”.(HR.Ibnu Majah
dari Shuhaib).
Ijma akan keabsahan mudharib terlihat dalam Imam Zailani dalam kitabnya
Nasbu ar-Rayah (4/13) telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus
akan legitimasi pengolahan harta anak yatim secara mudharabah. Kesepakatan
para sahabat ini sejalan dengan spirit hadis yang dikutip Abu Ubaid dalam
kitabnya al-Amwal (454):
”Rasulullah SAW, telah berkhotbah di depan kaumnya seraya berkata wahai
para wali yatim, bergegaslah untuk menginvestasikan harta amanah yang ada
ditanganmu janganlah didiamkan sehingga termakan oleh zakat”.
Indikasi dari hadist ini adalah apabila menginvestasikan harta anak yatim
secara mudharabah sudah dianjurkan apalagi mudharabah dalam harta sendiri.
Adapun pengertian zakat di sini seandainya harta tersebut diinvestasikan, maka
zakatnya akan diambil dari return on investment (keuntungan) bukan dari modal.
Dengan demikian harta amanah tersebut akan senantiasa berkembang bukan
berkurang.
26
4.1.3. Rukun dan Syarat Mudharabah
Mudharabah sebagai sebuah kegiatan kerjasama ekonomi antara dua pihak
mempunyai beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka mengikat
jalinan kerjasama tersebut dalam kerangka hukum. Adapun unsur rukun dan
syarat perjanjian mudharabah tersebut adalah:34
a.
Ijab dan qabul
Pernyataan kehendak yang berupa ijab dan qabul antara kedua pihak
memiliki syarat-syarat yaitu :
1) Ijab dan qabul itu harus jelas menunjukan maksud untuk melakukan
kegiatan mudharabah, dapat menggunakan kata mudharabah, qiradh,
muqarabah, muamalah, atau semua kata yang semakna dengannya. Bisa
pula tidak menyebutkan kata mudharabah dan kata-kata sepadan
lainnya, jika maksud dari penawaran tersebut sudah dapat dipahami.
2) Ijab dan qabul harus bertemu, artinya penawaran pihak pertama harus
diterima dan disetujui oleh pihak kedua. Sebagai ungkapan kesediaan
tersebut bias diungkapkan dengan kata-kata atau gerakan tubuh (isyrat)
lain yang menunjukkan kesediaan. Misalnya “ya, saya terima”, atau
“saya setuju” atau dengan isyarat-isyarat setuju yang lain seperti
menganggukkan kepala, diam, atau senyum. Peristiwa ini harus terjadi
dalam satu majelis akad agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Muhammad, Konstruksi Mudharab dalam Bisnis Syari’ah, ctk pertama, Pusat Studi Ekonomi Islam
STIS Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 59-66
34
27
3) Ijab dan qabul harus sesuai dengan maksud pihak pertama dan sesuai
dengan keinginan pihak kedua. Secara lebih luas ijab dan qabul tidak
saja terjadi dalam soal kesediaan dau pihak untuk menjadi pemodal dan
pengusaha tetapi juga kesediaan untuk menerima kesepakatankesepakatan lain yang muncul lebih terinci. Ijab (penawaran) tidak
selalu diungkapkan oleh pihak pertama begitu juga sebaliknya.
Keduanya harus saling menyetujui, artinya jika pihak pertama
melakukan ijab (penawaran) maka pihak kedua melakukan qabul
(penerimaan), begitu juga sebaliknya. Ketika kesepakatan-kesepakatan
itu disetujui maka terjadilah hukum.
b.
Adanya dua pihak (pihak penyedia dana dan pengussaha)
Pihak penyadia dana dan pengusaha dikenal dengan istilah Shahib alMal/Shahibul Maal dan Mudharib.
Syarat-syarat para pihak antara lain:
1) Cakap bertindak hukum secara syar’I, artinya shahibul maal memiliki
kapasitas untuk menjadi pemodal dan mudharib memiliki kapasitas
menjadi pengelola. Jadi, mudharabah yang disepakati oleh shahibul
maal yang memepunyai penyakit gila temporer tidaklah sah, namun jika
dikuasakan kepada orang lain maka sah. Bagi mudharib, asalkan ia
memahami maksud kontrak saja sudah cukup sah mudharabahnya.
2) Memiliki wilayah al-tawkil wa al-wakilah (memiliki kewenangan
mewakilkan/memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa), karena
28
penyerahan modal oleh pihak pemberi modal kepada pihak pengelola
modal merupakan suatu bentuk pemberian kuasa untuk mengolah
pemberian tersebut.
c.
Adanya modal
Modal-modal yang disyaratkan sebagai berikut :
1) Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah
pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabah sehingga tidak
menimbulkan sengketa dalam pembagian laba karena ketidakjelasan
jumlah. Kepastian dan kejelasan laba itu penting dalam kontrak ini.
2) Harus berupa uang (bukan barang) mengenai modal harus berupa uang
dan tidak boleh barang adalah pendapat mayoritas para ulama. Mereka
beralasan mudharabah dengan barang itu
dapat menimbulkan
kesamaran. Alasannya karena barang tersebut umumnya bersifat
fluktuatif, sedangkan jika barang tersebut bersifat tidak flukuatif seperti
emas dan perak, mereka berbeda pendapat.
3) Uang bersifat tunai (tidak hutang). Mengenai keharusan uang dalam
bentuk tunai (tdak hutang) bentuknya adalah misalnya shahib maal
memiliki piutang kepada seseorang tertentu. Piutang tersebut kemudian
dijadikan modal mudharabah bersama si berhutang. Ini tidak dibenarkan
karena piutang itu sebelum diterimakan oleh siberhutang kepada
siberhutang masih merupakan milik siberhutang. Jadi apabila ia
menjalankan dalam suatu usaha berarti ia menjalankan dananya sendiri
29
bukan dana siberhutang. Selain itu hal ini bias membuka pintu kea rah
perbuatan riba, yaitu memberi tanggungan kepada siberhutang yang
belum mampu membayar hutangnya dengan kompensasi siberhutang
mendapatkan imbalan tertentu.
d.
Adanya usaha (al-mal)
Sebagian ulama khususnya Syafi’i dan Maliki mensyaratkan bahwa usaha itu
hanya berupa usaha dagang (commercial). Mereka menolak usaha yang
berjenis kegiatan industri (manufacture) dengan anggapan bahwa kegiatan
industri itu termasuk kontrak persewaan (ijarah) yang mana semua kerugian
dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal (investor). Sementara para
pegawai digaji secara tetap. Tetapi Abu Hanifah membolehkan usaha apa
saja selain berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau industri. Seseorang
dapat memberikan modalnya kepada pekerja yang akan digunakannya untuk
membeli bahan mentah yang kemudian dibuat produk dan kemudian dijual.
Keuntungan ini dapat dibagi dua antara keduanya. Contoh tersebut memang
tidak termasuk jenis perdagangan murni, di mana seseorang hanya terlibat
dalam pembelian dan penjualan. Tetapi hal tersebut dapatdibenarkan sebab
persekutuan antara modal dan tenaga menjadi kegiatan ini. Bahkan
mengenai keuntungan kadang-kadang lebih dapat dipastikan sehingga bagi
hasilkan selalu dapat diwujudkan.
Apabila ditarik lebih jauh ke era modern ini, maka perdagangan
menjadi meluas. Semua kerja ekonomi yang mengandung kegiatan membuat
30
atau membeli produk atau jasa kemudian menjualkannya atau menjadikan
produk atau jasa tersebut menjadi sebuah keuntungan merupakan arti dari
perdagangan. Jadi sesungguhnya dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jenis
usaha yang diperbolehkan adalah semua jenis usaha. Tentu saja tidak hanya
menguntungkan tetapi juga harus sesuai dengan ketentuan syariah sehingga
merupakan usaha yang halal.
Dalam menjalankan usaha ini shahibul maal tidak boleh ikut campur
dalam teknis oprasional dan menejemen usaha dan tidak boleh membatasi
usaha
mudharib
sedemikian
rupa
sehingga
mengakibatkan
upaya
memperoleh keuntungan maksimal tidak tercapai.
e.
Adanya keuntungan
Mengenai keuntungan disyaratkan :
1) Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan prosentase dari jumlah
modal yang diinvestasikan, melainkan hanya keuntunganny saja setelah
dipotong besarnya modal. Peritungan harus dilakukan secara cermat.
Setiap keadakan yang membuat ketidakjelasan perhitungan akan
membawa kepada suatu kontrak yang tidak sah.
2) Keuntungan untuk masing-masing pihak tidak ditentukan dalam jumlah
nominal, misalnya satu juta, dua juta dan seterusnya. Karena jika
ditentukan dengan nilai nominal berarti shahibul maal telah mematok
untuk perolehan keuntungan tertentu dari sebuah usaha yang belum jelas
untung ruginya, ini akan membawa pada perbuatan riba.
31
3) Nisbah pembagian ditentukan dengan prosentase minimal 60:40 % atau
50:50 % dan seterusnya. Penentuan prosentase tidak harus terikat pada
bilangan tertentu. Artinya, jika nisbah bagi hasil tidak ditentukan pada
saat akad, maka masing-masing pihak memahami bahwa keuntungan itu
akan dibagi secara sama, karena aturan umum dalam perhitungan ini
adalah kesamaan. Namun tindakan berupa penyebutan nisbah bagi hasil
pada awal kontrak adalah lebih baik untuk menghindari munculnya
kesalahpahaman.
4) Keuntungan harus menjadi hak bersama sehingga tidak boleh
diperjanjikan bahwa seluruh keuntungan untuk salah satu pihak. Pada
dasarnya mudharabah memang membagi keuntungan berdasarkan
kesamaan. Namun jika seseorang mudharib mensyaratkan seluruh
keuntungan untuk dirinya para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik
membolehkannya,
karena
cara
itu
merupakan
kebaikan
kesukarelaan shahibul maal. Pendapat berbeda dikemukakan oleh Imam
Syafi’i, Imam Syafi’i melarangnya. Imam Syafi’i menganggap cara
seperti itu sebagai suatu kesamaan, karena jika terjadi kerugian shahibul
maal pun telah menanggung modalnya. Jadi menurut Imam Syfi’i beban
resiko yang ditanggung shahibul maal itu telah berat dan tidak boleh
ditambahi lagi. Sedangkan menurut Abu Hanifah, dalam kaitannya
dengan hal tersebut berpendapat bahwa hal itu tidak termasuk kategori
mudharabah melainkan qard (pinjaman). Artinya pelimpahan seluruh
pinjaman, maka dari itu jika terjadi kejadian yang sebaliknya (kerugian)
maka seluruh kerugian ditanggung oleh mudharib.
Secara singkat rukun dari mudharabah adalah:
32
atau
a. Shahibul maal adalah yang mempunyai modal
b. Mudharib adalah yang menjalankan usaha
c. Amal adalah pekerjaan atau usahanya
d. Maal adalah modal
e. shighot, perintah atau usaha dari yang menyuruh berusaha
f. Hasil (bagi hasil/keuntungan)
4.1.4. Jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi 2 jenis:35
a. Mudharabah Muthlaqah
Transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul
maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dibatasi oleh spesifikasi
jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Pembahasan fiqih ulama Salafus Saleh
sering kali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu)
dan shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyada
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted
mudharabah/ specified mudharabah adalah kebaikan dari mudharabah
muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan betas an jenis usaha, waktu atau
tempat
usaha.
Adanya
pembatasan
ini
seringkali
mencerminkan
kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.
________________
35
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank…. op cit., hlm. 97
33
4.1.5. Mudharabah sebagai Produk Pembiayaan Perbankan Syariah
Mudharabah
biasanya
diterapkan
pada
produk-produk
pembiayaan
pendanaan. Pada sisi lain penghimpunan dana, mudharabah diterapkan pada :36
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksud untuk tujuan khusus,
seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya.
b. Deposito special (special investment), di mana dana yang dititipkan nasabah
khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana
khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh shahibul maal.
4.1.6. Manfaat dan Resiko Mudharabah
Manfaat Mudharabah antara lain :
a. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha
nasabah meningkat.
b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan
secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapat/ hasil usaha bank sehingga
bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cashflaw/arus kas usaha
nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
36
Ibid
34
dan
d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benarbenar halal dan menguntungkan, karena keuntungan yang konkrit dan benarbenar terjadi itulah yang akan dibagikan.
e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan bunga tetap, di mana
bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap
berapapun keuntungannya yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan
terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan resiko yang terdapat dalam mudharabah terutama dalam penerapan
pembiayaannya dapat dikatakan relatif tinggi, antara lain:
a. Side Streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan tidak sesuai
dengan yang disebut dalam kontrak
b. Lalai dan kesalahan yang disengaja
c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah. Hal ini erat kaitannya dengan
kejujuran nasabah.
4.1.7. Berakhirnya Akad Mudharabah
Lamanya kerjasama dalam mudharabah tidak tentu dan tidak terbatas, tetapi
semua pihak berhak untuk menentukan jangka waktu kontrak kerjasama dengan
memberitahukan pihak lain. Akad mudharabah dapat berakhir karena hal sebagai
berikut:37
Safira, Akuntansi untuk Produk Pembiayaan Mudharabah, Modul 14 Akuntansi Syari’ah,
Universitas Mercu Buana
37
35
a. dalam hal mudharabah tersebut dibatasi waktunya, maka mudharabah berakhir
pada waktu yang telah ditentukan;
b. Salah satu pihak memutuskan mengundurkan diri;
c. Salah satu pihak meninggal dunia atau ilang akal;
d. Modal sudah tidak ada;
e. Pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha untuk
mencapai tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad. Sebagai pihak yang
mengemban amanah ia harus ber’tikad baik dan hati-hati;
Kontrak mudharabah dapat dilakukan untuk satu periode tertentu. Menurut
fiqh pengikut Hanafi, Hambali dan Syafi’i, berakhirnya periode ini berarati
otomatis kontrak tersebut berubah tanpa adanya keputusan baru yang diambil,38
akan tetapi munurut para ahli fiqh pengikut Maliki, spesifikasi suatu periode
waktu dapat membatalkan perjanjian tersebut. Pertanyaan yang sering muncul
berkaitan dengan hal ini adalah apakah seorang mitra uasaha dapat mengakhiri
satu kontrak yang waktunya telah ditentukan sebelum habis masanya. Semua ahli
fiqih sependapat bahwa hal tersebut tergantung pada hal untuk mengakhiri, dan
hal ini tidak akan menghapuskan hak setiap pihak untuk mengakhiri kontrak.
Mendukung prinsip hak untuk mengakhiri kontrak yang telah dikemukakan
di atas, semua ahli fiqh setuju bahwa meskipun kontrak-kontrak itu waktunya
telah ditentukan, setiap pihak mempunyai hak untuk mengakhiri kontrak kapan
Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, Yogyakarta, 1996, hlm. 99
38
36
saja. Berdasarkan kutipan dari ahli-ahli fiqh pengikut Hambali dan Maliki yang
telah disebutkan di atas, hal tersebut juga jelas bahwa jika semua pihak mengikat
diri mereka untuk tidak mengakhiri kontrak sebelum waktu yang ditentukan,
maka kontrak itu dianggap tidak sah.
Suatu kontrak mudharabah berakhir disebabkan oleh kematian seseorang
yang pernah menjadi bagian dalam kontrak tersebut. Kontrak tersebut dapat
dilanjutkan apabila terdapat lebih dari 2 mitra usaha dengan persetujuan dari
orang-orang yang masih ada.
Semua mahzab hukum setuju terhadap prinsip ini sebagaimana yang
dijelaskan pada kutipan-kutipan di bawah ini:
Ali al Khafiif menyebutkan:39
“Ketika seorang mitra meninggal dunia, maka pengembangan sahamnya
dalam kemitraan usaha dan kontraknya menjadi berakhir, dengan demikian
bagian tersebut diserahkan kepada ahli warisnya, dan kontrak yang telah
dilakukan dengan almarhum menjadi terhapus”
Pengikut Hambali mengatakan :40
“Apabila salah seorang dari kedua mitra usaha tersebut meninggal seorang
ahli waris yang berkompeten mempunyai hak untuk melanjutkan kontrak dan
Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, Yogyakart, 1996, Hlm. 99.
40 Ibid
39
37
mitra usahanya akan mengijinkan untuk dilaksanakan transaksi-transaksi yang
dilakukan kemudian, serta adanya hak untuk membagi asset”.
Kedua pendapat tersebut dapat menjadi alasan penguat bahwa berakhirnya
kontrak akad mudharabah karena kematian dapat diwariskan kepada ahli waris
yang berkompeten untuk melaksanakan akad mudharabah yang sedang
berlangsung.
4.2. Barang Jaminan Dalam Akad Mudharabah
4.2.1. Tradisi Tata Cara berhutang di zaman Jahiliyah
Adanya terminologi tentang “riba jahiliyah” menunjukkan bahwa pada masa pra-Islam tradisi
berhutang sudah ada. Bahkan, model hutang-piutang yang dilakukan juga menunjukkan cara yang khas, ialah
selalu berorientasi pada mencari keuntungan dengan cara menghutangkan atau meminjamkan uang kepada
orang lain. Mengapa dapat disimpulkan demikian?. Hal ini dikarenakan bahwa keberadaan hukum akan
sesuatu perkara sebenarnya terkait erat dengan praktik kehidupan yang ada. Maka ketika Islam melakukan
pengecaman terhadap riba pada masa jahiliyah, hal itu menunjukkan adanya kebiasaan buruk yang terjadi
dan menjadi sebuah fenomena yang biasa.
Dalam al-Qur’an, kecaman terhadap riba tersebut sangat jelas, antara lain pada QS. Ai Imran yang
artinya: “wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertawakkallah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”1
Diriwayatkan oleh Faryabi yang bersumber dari Atta’, bahwa di zaman jahiliah Tsaqif berhutang
kepada Bani Nadhir. Ketika waktu tiba waktu membayar, Tasqif berkata, “kami bayar bunganya dan
undurkan waktu pembayarannya.2
1
Al-Qur’an, Surat Ali Imran: 130
55
Dari Ibnu Zaid, ayahnya mengutarakan bahwa riba yang terjadi pada masa jahiliah, atau sebelum datangnya
Islam adalah dalam pelipatgandaan dan umur hewan. Apabila seseorang yang memberikan pinjaman materi
atau uang (kreditur) mendatangi untuk menagih sementara orang yang meminjam (debitur) belum bisa
membayarnya, berkatalah kreditur kepadanya “bayarlah atau kamu tambah untukku” dan apabila peminjam
tidak mampu maka yang harus dikembalikan akan lebih berlipat di masa selanjutnya, begitu seterusnya setiap
masa sampai peminjam mampu untuk membayar. 3 Dan inilah yang menjadikan riba jahiliyah itu disebut
dengan riba ganda berganda.
Ringkasnya, pada masa pra-Islam, hutang piutang yang dipraktikkan adalah cara hutang-piutang
yang eksploitatif, dimana penambahan jumlah uang harus diberikan pada saat pengembalian uang hutang.
Dan ini lah yang dimaksudkan dengan riba jahiliyah.
4.2.2. Keberadaan jaminan dalam hutang masa Jahiliyah
Penerapan jaminan atas hutang adalah praktek yang sudah terjadi di masa Pra-Islam. Dan terkait hal
ini, Islam tidak berkeberatan untuk menerimanya. Utang dengan jaminan ini pernah dilakukan oleh Nabi
Muhammad Rasulullah saw. Anas ra. memberitahukan,"Rasulullah saw telah menjaminkan baju besi beliau
kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau utang sya’ir (gandum) dari seorang Yahudi untuk
keluarga beliau." (HR.Ahmad, Bukhori, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dalam perkembangannya, jaminan seperti ini disebut dengan rahn. Rahn
ini juga dapat
diterjemahkan sebagai gadai. Namun sebenarnya, substansi gadai juga sama dengan jaminan atas hutang.
Menurut bahasa gadai (al-rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang
menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat. 4
2
Mardani , ayat-ayat dan hadits ekonomi syariah, jakarta utara pt raja grafindo persada,2011 hlm 19
M qurais shihab, membumikan al-qur’an.mizan media utama, bandung, 2009 Hlm 410-411
4
Lihat Kifayat al-Akhyar hlm.261, lihat pula Idris Ahtllad, Fiqh al-Syafi’iyah. hlm. 59.
3
56
Dalam terminologi yang berkembang, ada berbagai pemaknaan terhadap jaminan atau rahn ini. Hal ini
wajar, karena pensyaratan adanya barang untuk menjamin sebuah utang memang dapat dilihat dari dua sudut
pandang tersebut, jaminan atau gadai. Menurut berbagai sumber, yang dimaksud dengan rahn adalah :
1) Akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan
sempurna darinya. 5
2) Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama ada
dua kemungkinan untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.6
3) Gadai adalah akad pinjaman meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. 7
4) Menjadikan harta sebagai jaminan hutang.8
5) Menjadikan zat suatu benda sebagai jaminan hutang.9
6) Gadai adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas hutang.10
7) Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguh atau penguat kepercayaan dalam hutang
piutang.11
8) Gadai adalah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang,
dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.12
5
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 86-87.
Sayyid Sabiq dalam Fiqh Al-Sunnah, hlm.187.
7
Lihat Masyfuk Zuhdi dalam Masail F’iqhiyah, CV.Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hlm.153.
8
Abi Bakr Ibn Muhammad Taqiy al-Din, dalam Kifayah al-Ahyar, Alma’arif Bandung, tth., hlm 263.
9
Lihat Muhammad Khatib al-Syarbini, dalam kitab al-iqna fi Hal al-Alfazh Ahi Syuja’, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah
Indonesia, ttp., tth., hlm.23.
10
Idris Ahmad dalam Fiqh Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta, th.1986, hlm.58.
11
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, 1985, hlm.295.
12
Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-Piutang dan Gadai,Alma’arif, Bandung, 1983, hlm.50.
6
57
4.2.3. Dasar Hukum Rahn
Jika dicermati dalam al-Qur’an, sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meninjam dengan
jaminan (borg) adalah firman Allah SWT sebagai berikut : “Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak
ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.” 13
Dalam praktik kehidupan Nabi saw, juga dijumnpai bahwa Nabi juga memberikan barang jaminan ketika
melakukan hutang-piutang. Diriwayatkan oleh Ahmad Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a., ia
berkata: “Rasulullah Saw. menjaminkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau
mengutangkan gandung dari seorang Yahudi.”14
4.2.4. Rukun Mudharabah
Di kalangan para ulama, rukun akad mudharabah relatif sama. Namun, pendapat Imam Hanafi
merupakan salah satu pendapat yang cukup banyak dirujuk. Rukun akad mudharabah menurut Hanafiah
adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan kata-kata ungkapan atau lafadh yang menunjukan kepada
arti mudharabah. Lafadh yang digunakan untuk ijab adalah lafal mudharabah, maqaradhah, dan
muamalah, serta lafal-lafal lain yang artinya sama dengan lafal-lafal tersebut. Sebagai contoh , pemilik
modal mengatakan : Ambillah modal ini dengan mudharabah, dengan ketentuan keuntungan yang
diperoleh dibagi di antara kita berdua dengan nisbah setengah, seperempat, atau sepertiga.” 15
QS. Al-Baqarah, 283. Pemaknaan bahwa ayat tersebut sebagai landasan utama dalam masalah ini ada dalam beberapa
sumber, antara lain, Rahmad Syafei, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm.165, Lihat juga dalam Fiqh
Muamalah, Hendi Suhendi, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hlm 107.
14
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Amzah, Jakarta, 2010, hlm.288, Lihat juga dalam Fiqh Muamalah, Hendi
Suhendi, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hlm 107, lihat juga dalam Rahmad Syafei, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung,
2006, hlm.161.
15
‘Alaudin Al-Kasani, Badai Ash-Shanai’ fi Tartib Asy Syarai’, Juz 6, Dar Al-Fikr, Beirut, cet.I, 1996, hlm.121.
13
58
Adapun lafadh qabul yang digunakan oleh amil mudharib(pengelola) adalah lafal: saya ambil, atau saya
terima, atau saya setujui dan semacamnya.16 Apabila ijab dan qabul telah terpenuhi maka akad
mudharabah telah dapat dinyatakan sebagai akad yang sah.
Sehingga, menurut jumhur ulama atau mayoritas ulama, rukum mudharabah ada tida, yaitu :
a. Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola (amil / mudharib),
b. Ma’qud ‘alaih, yaitu modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntungan, dan
c. Shighat, yaitu ijab dan qabul.
Lain lagi menurut madzhab Syafi’i. Para ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun mudharabah ada
lima yaitu :
a. Modal,
b. Tenaga (pekerjaan),
c. Keuntungan,
d. Shighat, dan
e. Aqidain.17
Terlepas dari perbedaan keduanya, namun dalam masalah yang pokok, kedua pendapat tadi tetap menguskan
keberadaan orang yang berakad, obyek yang diperjanjikan, serta lafadh yang menyatakan perjanjiannya.
4.2.5. Jaminan (Dhaman)
Di samping terminologi rahn yang tercantum di atas, hukum Islam atau muamalah juga dikenal
istilah dhaman. Dhaman, ialah jaminan atas beban seseorang yang menjadi kewajibannya / bebannya.
Lantas, di manakah perbedaan antara keduanya?. Letak perbedaannya adalah bahwa jika rahn itu adalah titik
beratnya pada barang, sedangkan dhaman titik beratnya pada orang yang menjamin.
16
17
Ibid, Juz 6.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Dmaskus, cet.III, 1989, hlm.180.
59
Dhaman atau jaminan itu mengenai jaminan urusan yang menyangkut pribadi seseorang, seperti
makanannya, pakaiannya, dan biaya keluarganya atau yang menyangkut kepada orang lain, seperti : jaminan
untuk membayar utang seseorang atau sebagainya, atau jaminan untuk menyampaikan tugas seseorang
seperti menyampaikan amanat orang lain kepadanya yang harus disampaikan kepada seseorang lagi. Hukum
asaln dari penerapan jaminan ini adalah sunnat. Jika demikian, tidak menjadi keharusan adanya jaminan,
namun jaminan ini menjadi suatu pilihan atau prioritas.
Di antara pernyataan Nabi yang menjadi rujukan dalam hal ini adalah pernyataan beliau yang
artinya: “Barang siapa yang mati meninggalkan utang, akulah yang membayarnya.” Di samping itu, dalam
sebuah kesempatan, Nabi saw. telah dihadapkan kepada seorang mayit untuk dishalatkan, lalu beliau
berkata : “apakah dia mempunyai utang? “ jawab sahabat : “iya, dua dinar.” Berpalinglah Nabi dari mayit
itu.” Lalu kemudian Abu Qitadah berkata : “saya tanggung utangnya.” Sabda Nabi saw. : “penuhilah
kewajiban orang yang berhutang, supaya bebas mayit itu dari utangnya.”
Jika dilihat dari berbagi sumber yang ada, elemen yang harus ada atau yang disebut dengan rukun
dhaman ada lima perkara, ialah :
1) Ada orang yang menjaminnya
2) Ada orang yang dijaminnya
3) Ada utang atau beban yang akan ditanggungnya
4) Ada barang untuk menjaminnya
5) Ada ijab qabul atau ikrar saja dari yang menjamin
Sedangkan yang menjadi objek dhaman terbagi dua :
1) Beban seperti utang atau biaya yang sudah positif
2) Beban yang belum positif, seperti menjamin dengan uang untuk membeli sesuatu
Namun, ada hal yang harus diingat terkait hal ini, bahwasanya dhaman tidak dapat diberlakukan untuk
semua perkara. Dhaman hanya diperbolehkan bagi persoalan yang bertalian dengan urusan manusia ialah
60
masalah muamalah, dhaman tidak diperbolehkan dalam urusan ibadah. Bahkan lebih dari itu dhaman juga
tidak diperkenankan untuk masalah jinayat atau terkait dengan hukuman pidana. Misalnya saja seseorang
menggantikan untuk menjalani hukuman pidana bagi orang lain. Untuk masalah ini, terdapat pernyataan
Nabi yang dengan tegas melarangnya. Nabi Muhammad bersabda: “Tiada tanggungan bagi hukuman.”
(Riwayat Baehaqie)18
Hal lain yang
penting untuk dipertimbangkan dalam masalah jaminan ini adalah harus adanya
kesepakatan bersama dalam pemberlakukan jaminan atau tanggungan. Tanggungan menjadi penting ketika
shahib al-maal khawatir akan munculnya penyelewengan dari mudharib. Namun pertanyaan yang perlu
diajukan adalah apakah dalam suatu kerjasama yang saling membutuhkan jaminan menjadi suatu yang
urgen?. Sekilah memang antara kepentingan bersama dan sikap saling percaya ini memang semstinya paralel.
Namun, tingkat kejujuran setiap orang dari yang menjalin kesepakatan tersebut tidaklah sama.
Jika dilihat masalah kerugian yang akan muncul dari kesepakatan usaha bersama tersebut pun dapat
dikaitkan dengan pertanyaan apakah setiap kerugian itu berarti penyelewengan?. Para ulama berbeda
pendapat mengenai keharusan adanya tanggungan dalam mudharabah ini. Para fuqaha pada dasarnya tidak
setuju dengan adanya tanggungan ini. Alasannya mudharabah merupakan kerjasama saling menanggung,
satu pihak menanggung modal dan pihak lain menanggung kerja, dan mereka akan mempercayai serta jika
terjadi kerugian semua pihak merasakan kerugian tersebut. Atas dasar inilah maka terdapat pendapat yang
kuat bahwa jaminan harus ditiadakan.19 Namun jaminan menjadi perlu ketika modal yang rusak melampaui
batas.20 Tetapi bagaimana batasan suatu dianggap melampaui batas, para ulama pun berbeda pendapat.
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, jika shahib al-maal bersikeras terhadap adanya jaminan dari Shahib
al-maal dan menetapkannya sebagai bagian dari kontrak, maka kontrak menjadi tidak sah.21
Moh. Anwar, Fiqh Islam (Muamalah, Munakahat, Faroid, & Jinayah), PT. Alma’arif, 1988, hlm.67-69.
Ibnu Qudamah, Al-Mughni ala al-Syarh al-Kabir, vol.V, (Mesir: al-Manar, 1347 H, p.68.
20
Ibnu rusyd, Bidayah al-Mujtahid, vol.I,p. 178.
21
Ibid 179.
18
19
61
4.2.6. Jaminan menurut ahli hukum islam
Dalam hal kemestian adanya jaminan dalam mudharabah, memang menarik untuk dilihat dalam
prakteknya hari ini. Meskipun sebagaimna disebutkan di atas, para ulama klasik tidak membolehkan adanya
jaminan dalam mudharabah, namun dalam perkembangannya hari ini sangat berbeda. Pendapat ulama
kontemporer membolehkan adanya jaminan , akan tetapi pembahasannya belum sampai pada faktor-faktor
yang dijadikan alasan pada pembolehan adanya jaminan pada akad mudharabah22.
Dalam hal ini, Makhalul Ilmi menjelaskan hubungan antara pemilik modal dan penglola modal yang
didasarkan pada akad mudharabah akan tetapi pembahasanya belum sampai kepada faktor yang
mempengarui adanya jaminan dalam pembiayaan mudhorobah.23
Salah seorang ulama terkemuka, Ibnu Rusyd, menjelaskan permasalahan-permasalahan dalam akad
mudharabah menurut imam madzhab salah satunya mengenai adanya tanggungan pada mudharib. Di mana,
tanggungan ini tidak diperbolehkan menurut imam Syafi’i dan Imam Maliki. Meski demikian dalam
permasalahan tersebut, beliau tidak menjelaskan adanya alasan yang melarang adanya jaminan pada akad
mudharabah.24
Demikian halnya dalam pandangan Sayyid Sabiq. Dalam karyanya, Sayyid Sabiq menjelaskan
konsep mudharabah dengan penekanan pada masalah “amanah.” Sehingga dalam masalah ini, sohib al mal
tidak boleh meminta jaminan, akan tetapi hanya kepercayaan mudharib.25 Namun, sekali lagi,
pembahasanya belum menyentuh pada aspek larangan hukum jaminan menurut para imam madzhab
sehingga tidak dapat ditemukan alasan larangan penyertaan jaminan pada akad mudharabah.
22
Abdullah saeed, bank islam dan bunga (studi kritis dalam interpetasi kontemporer tentang riba dan bunga ) alih bahasa
muhammad ufuqul mubin cet ke-2 yogyakarta ,pustaka pelajar, 2004, hlm. 97
23
Makhalul ilmi, teori dan praktek lembaga mikro syariah ,cet ke1, yogyakarta, uii pres. 2002, hlm 32
24
Ibn rusyd dalam bidayah al mujtahid wa nihayah al muqtasid .hlm 179
25
As sayid sabiq, fiqh as sunnah (libanon , dar-al kitab al-arabiyyah .t.t ),III hlm 144
62
Persoalan jaminan dalam mudharabah tidak ada dalil yang menunjukkan pembolehan atau pelarangan dalam
syara’ namun hukum muamalah memiliki prinsip-prinsip sebagai acuan hukum yakni sebagai berikut :26
1) Pada dasar nya hukum muamalah adalah mubah , kecuali yang ditentukan lain oleh alqur’an dan
sunah rosul
2) Muamalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa ada unsur pemaksaan
3) Muamalah dilakukan atas dasar mendatangkan manfaat dan menghindarkan madharat dalam hidup
masyarakat
4) Muamalah harus didasarkan unsur-unsur keadilan menghindari unsur-unsur penganiayaaan, unsurunsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Ulama fiqih seperti Imam Malik dan Imam Syafii merespon hukum jaminan pada akad mudharabah
dengan menggunakan metode ijtihadnya. Yang hal tersebut tentunya dilakukan dengan tidak terlepas dari
konteks sosial masyarakat pada waktu itu sehingga beliau mengatakan bahwa hukum jaminan dalam akad
mudharabah itu tidak diperbolehkan atau dilarang dikarenakan hal itu akan menjadikan tidak sahnya akad
yang dibuat.27
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya membolehkan adanya jaminan pada dalam akad mudharabah
hanya saja syaratnya batal.28 Pendapat ini agak unik, karena membolehkan tetapi menyatakan bahwa
penetapan syarat jaminan itu adalah syarat yang batal.
Jika dianalisis secara seksama, maka akan dapat ditarik suatu benang merah bahwa pendapat para imam
madzhab diatas mempunyai perbedaan dengan pendapat Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai sebuah
lembaga fatwa, atau bahkan lebih dari itu merupakan satu-satunya lemba yang fatwanya menjadi rujukan
26
27
Ahmad azhar basyir , asas asas hukum islam , yogyakarta ,uii, 1993 hlm 15-16
Ibn rusyd dalam bidayah al mujtahid wa nihayah al muqtasid ,II, hlm 179
28
ibid
63
bagi transaksi perbankan syariah. Hal tersebut nampak dalam fatwa DSN no 7/DSN-MUI/IV/2000 yang
menjelaskan bahwa pada “prinsipnya pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib
tidak melakukan penyimpangan, bank dapat meminya jaminan ini hanya dapat di cairkan jika mudharib
terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati.”29
Sama halnya dengan munculnya berbagai pendapat di atas yang tidak dapat dilepaskan dari konteks yang
melatarbelakanginya, maka fatwa DSN tersebut sebenarnya juga memiliki konteks sosial dan ekonomi juga.
Sehingga, memang kondisi masyarakat yang berbeda dengan masa lalu, di mana tngkat kejujuran dan
kepercayaannya juga berbeda, termasuk dalam memegang dan menunaikan sebuah amanah juga telah
mengalami banyak pergeseran.
4.2.7. Jaminan dalam hukum perdata
Istilah jaminan jika dirunut, sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu Zekerheid
atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhi tagihannya, di
samping tanggung jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Dalam hukum dan perundang-undangan
yang ada, istilah jaminan juga dikenal dengan agunan. 30
Hal ini dijumpai misalnya
dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, defenisi agunan adalah:
“Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.” Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan
(accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank, yang diserahkan oleh debitur
kepada bank. Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggerakan di Yogyakarta,
29
Dewan syariah nasional majelis ulama indonesia, himpunan fatwa dewan syariah nasional mui, cet ke4 jakarta, dewan
syariah nasional majelis ulama indonesia 2006
30
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverban, Gadai, dan Fiducia, Cet. IV, Alumni: Bandung, 1987, hlm.
227.
64
disimpulkan pengertian jaminan adalah: “Menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang
yang timbul dari suatu perikatan hukum.”31
Defenisi di atas hampir sama dengan defenisi yang dikemukakan oleh M. Bahsan yang berpendapat
bahwa jaminan adalah: “Segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu
utang piutang dalam masyarakat”.32
Jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Jaminan perorangan (personal/coorporate guarantee) diatur dalam pasal 1820-1864 Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
2. Jaminan Kebendaan
Adapun pengertian dari Jaminan Perorangan jdalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada
perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap harta kekayaan debitur
umumnya. Jaminan perorangan memberikan hak verbal kepada kreditor, terhadap benda keseluruhan dari
debitor untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya. Yang termasuk jaminan perorangan adalah : 33
1) Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih;
2) Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng;
3) Perjanjian garansi.
Adapun yang dimaksudkan dengan Jaminan Kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas
suatu benda yang mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapa
pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jika dilihat dari tujuannya, maka jaminan
yang bersifat kebendaan bermaksud atau bertujuan untuk memberikan hak verbal (hak untuk meminta
pemenuhan piutangnya) kepada sorang atau sebuah kreditur, terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu
31
ibid
M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung: Jakarta, 2002, Hlm 148.
33
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, hlm.112.
32
65
dari debitur untuk pemenuhan piutangnya. Selain itu hak kebendaan dapat dipertahankan (dimintakan
pemenuhan) terhadap siapa pun juga,, yaitu terhadap mereka yang memperoleh hak baik berdasarkan atas
hak yang umum maupun khusu, juga terhadap para kreditor dan pihak lawannya. Jaminan kebendaan dapat
dilakukan pembebanan dengan :34
1) Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUHPer.;
2) Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUHPer.;
3) Credietverband, yang diatur dalam Stb.1908 No.542 sebagaimana telah diubah dengan Stb.1937
No.190;
4) Hak Tanggungan, sebagaimana diatur dalam UU No.4 Tahun 1996;
5) Jaminan Fidusia, sebagaimana diatur dalam UU No.42 Tahun 1999.
Dari kedelapan jenis jaminan di atas, jaminan kebendaan yang masih berlaku adalah gadai, jaminan fidusia
dan Hak Tanggungan.
4.2.8. Mengapa diperlukan jaminan menurut hukum perdata
Diperlukannya, atau bahkan diwajibkannya keberadaan jaminan dikarenakan jaminan mempunyai
kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Karena keberadaan
lembaga ini dapat memberikan manfaat, bukan saja terbatas bagi kreditur, namun bagi debitur pun juga
demikian. Manfaat bagi kreditur adalah :
1) Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup.
2) Memberikan kepastian hukum terhadap kreditur, ialah bahwa barang jaminan tersedia setiap waktu
untuk di eksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutang dari penerima
(pengambil) kredit.35
34
Ibid
Subekti, aneka perjanjian,citra adiya bhakti, bandung , 1996, hlm 73 lihat juga dalamsri soedewi masjhoen sofwan, hukum
jaminan di indonesa :pokok-pokok hukum jaminan dan jaminan perorangan, yogyakarta, liberti, 1980, hlm 2, lihat juga
dalam titi triwulan tutik, hukum perdata dalam sistem hukum nasional, kencana prenada media group, jakarta, 2008, Hlm 176
35
66
4.2.9. Fatwa MUI tentang Jaminan
Jika dilihat dari bagaimana fatwa DSN MUI dapat memperbolehkan jaminan dalam akad
mudharabah, maka perlu dicermati bagaimana fatwa tersebut memberikan kesimpulan hukum yang
sedemikian itu.
Di antara konsideran dari fatwa tersebut adalah Hadist Nabi yang artinya: “tidak boleh membahayakan diri
sendiri maupun orang lain.” (HR.Ibnu Majah, Dara Qutni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri). Di
isamping mengambil hadith Nabi Muhammad sebagai dasar pijakannya, terdapat juga dalil yang berupa
Kaidah Fiqh. Kaidah yang dimaksud adalah “Pada dasarnya semua bentuk muamalah dapat dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Sehingga, fatwa yang muncul kemudian memberikan kebolehan bagi penerapan jaminan ini. Pada
angka tujuh tentang ketentuan pembiayaan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000
mengenai ketentuan pembiayaan pada No.7 disebutkan pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah
tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari
mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya bisa dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan
pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.36
Namun perlu disebutkan juga bahwasanya DSN bukan tidak menyadari adanya larangan bagi
pemberlakuan jaminan untuk akad semacam ini. Karena disebutkan juga dalam fatwa tersebut bahwa pada
dasarnya dalam mudharabah tidak ada ganti rugi karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah kecuali dari
kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan.37 Dicantumkan juga, bahwa jika salah satu
pihak tidak melakukan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka
36
Dikutip dari Fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah.
Ketentuan dalam hukum pembiayaan point 3, Dikutip dari Fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000
tentang pembiayaan mudharabah.
37
67
penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrasi syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.38
4.2.10. Kedudukan jaminan dalam perjanjian pembiayaan Mudharabah yang dipraktekkan
Untuk memahami mengapa dalam akad mudharabah jaminan diberlakukan, perlu dilihat bagaimana
pertimbangan yang diberikan. Jika dianalisa, resiko yang terdapat dalam akad mudhorobah, terutama pada
penerapannya dalam pembiayaan relatif tinggi diantaranya :
1) Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan yang seperti disebut dalam kontrak.
2) Lalai dan kesalahan yang disengaja
3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabah nya tidak jujur39
Untuk itulah maka kemudian bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko
apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan/atau
kecurangan. Terlebih lagi, jika dilihat dari prinsip prudensial yang harus dipatuhi juga sama dengan yang
berlaku pada perbankan konvensional. Berarti bahwa prinsip dalam analisis pembiayaan di bank syariah juga
menekankan 5C, yaitu character, capacity, capital, collateral, dan condition. Prinsip keempat (collateral)
artinya bahwa bank dalam melakukan pendekatan analisis pembiayaan selalu memperhatikan kuantitas dan
kualitas jaminan yang dimiliki oleh peminjam.40
Maka dari itu, dapat diambil kesimpulan bahwa jaminan difungsikan sebagai perlindungan hak-hak LKS yakni
agar mudharib tidak melakukan penyimpangan terkait tentang hal-hal yang telah disepakati bersama dalam Akad.41
38
Ketentuan dalam hukum pembiayaan point 4, Dikutip dari Fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000
tentang pembiayaan mudharabah.
39
Syafii antonio, bank syariah dari teori ke praktek, gema insani, jakarta, 2001, hlm 98
40
Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Jakarta: UPP AMP YMKN, 2002) h. 304.
41
Dikutip dari Fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah.
68
Di samping berbagai pertimbangan tersebut, DSN menyebutkan bahwa jaminan dapat dicairkan jika
terjadi penyimpangan dan pelanggaran. Secara umum, penyimpangan timbul karena adanya moral hazard.
Moral hazard terjadi ketika masalah moral dan etika dalam berbisnis tidak diindahkan.42
4.3. Implementasi Akad Mudharabah di Perbankkan Syari’ah
4.3.1. Tujuan Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad Mudharabah
a. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat islam, terutama golongan
masyarakat ekonomi lemah.
b. Meningkatkan pendapatan perkapita.
c. Menambah lapangan kerja terutama di kecamatan-keamatan.
d. Mengurangi urbanisasi.
42
Latifa M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik, Prospek, h.112
69
e. Membina semangat ukhuwah islamiah melalui kegiatan ekonomi.51
Tingginya suku bunga pada bank konvensional menyebabkan masyarakat
dan dunia usahakurang berminat untuk mendapatkan kredit pada bank
konvensional hal ini sangat berbeda dengan bank syariah yang menerapkan
sistem bagi hasil pada kegiatan pembiayaannya. Salah satu bentnk
pembiayaan yang dilakukan
oleh
bank
syariah
adalah
pembiayaan.
Safira, Akuntansi untuk Produk Pembiayaan Mudharabah, Modul 14 Akuntansi Syari’ah,
Universitas Mercu Buana
51 Wawancara dengan Bapak Hadi Suseno Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari kam
is,
tanggal 2 Desember 2010, jam 11.00
50
70
mudharabah. Sistem pembiayaan memiliki peranan yang sangat penting bagi
dunia usaha perbankan karena merupakan salah satu aktifitas utama
perbankan. Dengan penerapan sistem bagi hasil pada sistem pembiayaan
mudharabah diharapkan dapat meringankan beban masyarakat dan dunia
usaha.
Dari sudut ekonomi Bank Syari’ah Indonesia memiliki produk penyaluran
dana yang cukup di gemari yaitu Mudharabah yang merupakan kontrak yang
melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) yang
mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk di gunakan
dalam aktivitas perdagangan. Mudharib dalam hal ini memberikan konstribusi
pekerjaan, waktu dan mengelola usahanya sesuai dengan ketentuan yang di
capai dalam kontrak, salah satunya adalah untuk mencapai keuntungan yang
di bagi antara pihak investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah di
setujui bersama, namun apabila terjadi kerugian yang menanggung adalah
pihak investor saja. Jadi pelaksanaan pembiayaan dengan Mudharabah
merupakan sarana tolong menolong antara sesama manusia. Mudharabah
adalah salah satu bentuk muamalah Islamiyah, tetapi apakah di dalam
pembiayaan dengan Mudharabah sudah dapat memenuhi persyaratan
sebagaimana yang di atur di dalam Undang-undang No 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.52
Wawancara dengan Bapak Hadi Suseno Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari kamis,
tanggal 2 Desember 2010, jam 11.00
52
55
4.3.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Serta Upaya Untuk Mengatasi
Hambatan Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad Mudharabah
Adapun faktor pendukung dan penghambat serta upaya untuk mengatasi
hambatan dalam pelaksanaan dengan akad Mudharabah adalah sebagai
berikut:
a. Faktor Pendukung Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad
Mudharabah, antara lain yaitu :
1. Telah lahirnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Isinya antara lain tentang keharusan melepas (spin off) divisi
syariah dalam 15 tahun, atau ketika pangsa pasar syariah mencapai
50%.
2. Diterbitkanya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk pada
Agustus 2008.
3. Beroperasinya lembaga-lembaga pendidikan syariah dan pendirian
Fakultas Ekonomi Syariah oleh berbagai perguruan tinggi di
Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mencetak sumberdaya manusia
untuk mengisi kekurangan sdm di sektor perbankan syariah.
4. Beroperasinya lembaga keuangan hasil joint venture dengan pemodal
timur tengah. Hal ini membuka jalan masuknya dana-dana investasi
berbasis syariah dari timur tengah.
56
5. Pertumbuhan indikator keuangan syariah di Indonesia tertinggi
dibanding negara lain. Hal ini bisa menjadi modal bagi pertumbuhan
yang pesat di masa mendatang.
b.
Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad
Mudharabah, antara lain yaitu:
1. Minimnya sumberdaya manusia yang memahami secara komprehensif
segala hal yang berkaitan dengan industri perbankan syariah. Sehingga
dalam prakteknya, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan
aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
2. Belum adanya suatu Bank Sentral Syariah sebagai penyokong
selaiknya Bank Indonesia yang menjadi bank-nya lembaga-lembaga
perbankan yang mampu memerankan diri seperti peran Bank Indonesia
tetapi dengan prinsip Islam
3. Masih ada kesan di sebagian masyarakat bahwa Bank syariah bersifat
ekslusif dalam artian bahwa bank syariah hanya ditujukan untuk
masyarakat muslim dan melibatkan kaum yang beragama muslim saja.
4. Kejujuran para nasabahnya
5. Kekurang pahaman tentang pengembalian pinjaman
6. Pemahaman masyarakat terhadap bank syariah belum optimal dan
menyeluruh. Hal ini mungkin disebabkan karena disseminasi atau
sosialisasi masih kurang untuk memaparkan keunggulan produk
syari’ah.
57
c.
Upaya Untuk Mengatasi Hambatan Pelaksanaan Pembiayaan Dengan
Akad Mudharabah.
Bank melakukan promosi atau seminar-seminar bersama dengan
bank syari’ah lainnya untuk memberikan penjelasan mengenai bank
syari’ah dan produk-produknya, setelah semua itu dilakukan kemudian
pihak bank baru mempromosikan kepada masyarakat umum supaya
masyarakat umum paham akan produk-produk yang ditawarkan oleh bank
syari’ah.53
4.3.3 Syarat-Syarat Mengajukan
Permohonan
Melakukan
Pembiayaan
Dengan Akad Mudharabah
Setiap mengajukan permohonan pembiayaan mudharabah pada Bank BNI
Syari’ah cabang Yogyakarta harus diajukan secara tertulis dengan mengisi
Formulir Surat Keterangan Permohonan Pembiayaan (SKPP) yang telah
disediakan dan dilengkapi data yang diperlukan untuk bahan penilaian,seperti
di bawah ini :
a. Mengisi formulir permohonan pembiayaan disertai :
1) Foto copy KTP suami & istri @ 2 lembar
2) Foto copy Kartu Keluarga 1 lembar
3) Foto copy Surat Nikah 1 lembar
4) Pas foto suami & istri @ 1 lembar
Wawancara dengan Bapak Wahid Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari senin, tanggal 6
Desember 2010, jam 13.00
53
58
5) Foto copy legalitas usaha
6) Foto copy Rekening giro/tabungan 3 bulan terakhir
7) Foto copy SPK/proyek-proyek yang pernah dijalani
8) Foto copy jaminan
b. Menyerahkan foto copy bukti-bukti proyek/usaha yang akan dibiayai.
c. Menyerahkan proyeksi keuangan atas proyek/usaha yang diajukan beserta
asumsi yang dipakai.54
4.3.4 Keuntungan Dalam Pelaksanaan Akad Mudharabah Di Bank BNI
Syari’ah
Tentunya akan banyak sekali manfaat yang akan diperoleh dengan
menjadi nasabah BNI Syariah. Dari sisi pendapatan, masyarakat akan
memperoleh bagi hasil yang menguntungkan, sesuai dengan pendapatan yang
diperoleh Bank Syariah. Jika pendapatan yang diperoleh Bank tinggi tentunya
akan menyebabkan bagi hasil yang diperoleh nasabah juga menjadi tinggi.
Namun yang lebih penting lagi, masyarakat akan terbebas dari keraguan akan
bunga bank, sehingga menjadi lebih tenang.Dana yang disimpan akan
disalurkan kepada sektor-sektor yang halal dan menguntungkan dan tidak
bertentangan dengan syariah Islam.
Dengan kata lain dengan menabung di bank syariah, masyarakat akan
memperoleh keuntungan baik di dunia maupun untuk bekal akhirat kelak.55
54
“Syarat Mengajukan Pembiayaan Akad Mudharabah”, Bank BNI Syariah.
59
4.3.5. Prinsip-Prinsip Perbankkan Syari’ah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah
antara lain :
a) Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai
pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
b) Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat
hasil usaha institusi yang meminjam dana.
c) Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya
merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki
nilai intrinsik.
d) Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah
pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari
sebuah transaksi.
Wawancara dengan Bapak Wahid Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari senin, tanggal 6
Desember 2010, jam 13.00
55
60
e) Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan
dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh
perbankan syariah.56
4.3.6. Pelaksanaan Akad Mudharabah Di BNI Syari’ah Di Lihat Dari Hukum
Islam
1. Pelaksanaan Akad Mudharabah Di BNI Syari’ah Di Lihat Dari Hukum Islam.
a) Dilihat dari syarat-syarat pelaksanaan pembiayaan akad mudharabah sudah
sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada pada Al-Quran, Hadis, Fatwafatwa, dan peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia dan Dewan
Pengawas Syariah. Dan masyarakat sendiri sudah tahu akan maksud syaratsyarat yang diajukan pihak bank kepada masyarakat umum yang akan
melakukan pembiayaan dengan akad mudharabah di perbankan syari’ah
pada umumnya.
b) Dilihat dari bentuk kontraknya pembiayaan mudharabah adalah sistem bagi
hasil yang merupakan sistem dimana dilakukannya perjanjian atau ikatan
bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut
diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan didapat
antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan
syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kepada masyarakat dan
Wawancara dengan Bapak Prof. Syamsul Anwar, Fakultas Syari’ah UIN Yogyakarta, hari Rabu,
tanggal 24 November 2010, jam 09.30
56
61
didalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan hasil usaha harus ditentukan
terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan
porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan
bersama dan harus terjadi dengan adanya kerelaan dimasing-masing pihak
tanpa adnya unsur paksaan.
Selama didirikan dan diterapkan pada masyarakat umum pembiayaan
akad mudharabah di perbankan syari’ah sudah sesuai dengan hukum islam
karena sudah sesuai pada peraturan-peraturan yang ada pada Al-Quran, Hadis,
fatwa-fatwa , dan peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia untuk perbankan
syari’ah, selain itu selama 1 tahun Bank Indonesia dan Dewan Pengawas
Syari’ah juga selalu mengawasi kinerja yang dilaksanakan dan diterapkan
oleh bank syari’ah pada masyarakat umum.Dari tahun ketahun perbankan
syariah makin banyak digemari oleh masyarakat umum untuk melakukan
kegiatan usaha, terutama dalam kegiatan perdagangan yang menggunakan
prinsip bagi hasil, yang dapat meringankan beban ekonomi masyarakat yang
ingin melakukan kegiatan perdagangan.57
2. Pengawasan Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad Mudharabah Di
Bank BNI Syari’ah Yogyakarta.
Berdasarkan Undang-Undang Perbankan yang diubah, yang ditindak
lanjuti
dengan
Surat
Keputusan
Direksi
Bank
Indonesia
Wawancara dengan Bapak Hadi Suseno Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari kamis,
tanggal 2 Desember 2010, jam 11.00
57
62
Nomor
32/34/KEP/DIR dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
32/36/KEP/DIR, maka pengawasan terhadap bank syariah dilakukan secara
rangkap, berupa :
a.
Pengawasan Umum
Pengawasan umum adalah pengawasan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia terhadap bank konvensional dan bank syari’ah sebagai
wewenang bank sentral yang ada di Indonesia.Pengawasan dilakukan
dengan cara mengawasi secara langsung dan dengan cara online system
terhadap kinerja perbankan konvensional maupun perbankan syari’ah
pada setiap bulannya atau setiap setahun sekalinya.
Pengawasan umum terhadap bank syari’ah dilakukan oleh Bank
Indonesia, sama seperti bank konvensional pada umumnya. Bank
Indonesia bertindak mengawasi bank syari’ah selaku pemegang otoritas
Pembina dan pengawas bank. Disamping itu, secara internal bank
syari’ah diawasi oleh Dewan Komisaris, Dewan Pengawas, atau
Pengawas Bank yang bersangkutan.
b.
Pengawasan Khusus
Pengawasan khusus terhadap bank syari’ah dilakukan oleh Dewan
Syari’ah Nasional(DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah(DPS) yang ada
pada setiap bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip
syari’ah. Dewan Syari’an Nasional dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia yang bertugas dan memiliki wewenang untuk memastikan
63
kesesuaian produk, jasa, dan kegiatan usaha bank dengan prinsip syari’ah.
Sedangkan Dewan Pengwas Syari’ah berkedudukan di kantor pusat bank
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Dengan
demikian, Dewan Pengawas Syari’ah ini:
a. Berfungsi untuk mengawasi kegiatan usaha bank syari’ah agar sesuai
dengan prinsip syari’ah.
b. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, Dewan Pengawas Syari’ah wajib
mengikuti fatwa Dewan Syari’ah Nasional.
c. Kedudukan Dewan Pengawas Syari’ah bersifat independent, yang
dibentuk oleh Dewan Syari’ah Nasional, dengan tugas yang diatur oleh
Dewan Syari’ah.
d. Dewan Pengawas Syari’ah wajib dimiliki oleh setiap bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.
Dahulu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992,
pengawasan khusus terhadap bank berdasarkan prinsip bagi hasil hanya
dilakukan oleh Dewan Pengawas Syari’ah, yang dalam organisasi bank yang
bersangkutan bersifat independent dan terpisah dari kepengurusan bank
sehingga tidak mempunyai akses terhadap oprasional bank. Pembentukan
Dewan Pengawas Syari’ah dilakukan oleh bank yang bersangkutan
berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah
para ulama.
64
Adapun tugas Dewan Pengawas Syari’ah ini adalah melakukan
pengawasan secara intern atas produk perbankan dalam menghimpun dana
dari masyarakat dan menyalurkan kepada masyarakat, agar sesuai dengan
prinsip syariat. Dengan kata lain, Dewan Pengawas Syari’ah mempunyai
tugas menentukan boleh tidaknya suatu produk atau jasa dipasarkan atau suatu
kegiatan dilakukan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil tersebut, ditijau
dari sudut syariat. Oleh karena itu, anggota-anggotaDewan Pengawas Syari’ah
harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai syari’ah. Dan
dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Dewan Pengawas Syari’ah dapat
berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia(MUI).
Dengan demikian, dapat dikatakan kalau fungsi Dewan Pengawas
Syari’ah dalam bank berdasarkan prinsip bagi hasil berbeda dengan fungsi
Dewan Komisaris, Dewan Pengawas atau Pengawas Bank, yang juga dimiliki
oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil tersebut. Fungsi Dewan Pengawas
Syari’ah semata-mata terbatas pada meneliti dan menetukan suatu produk,
jasa, atau kegiatan uasaha yang dilakukan oleh bank yang bersangkutan,
apakah sudah sesuai atau belum dengan prinsip syari’ah. Sebaliknya, fungsi
Dewan Komisaris, Dewan Pengawas atau Pengawas Bank melakukan
pengawasan terhadap seluruh kegiatan oprasional dan manajemen bank
berdasarkan prinsip syari’ah.58
58
Rochmadi Usman, SH., Aspek-aspek Hukum Perbangkan Islam di Indonesia, hlm. 57-59
65
3. Cara Penyelesaian Sengketa Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Dengan Akad
Mudharabah Di Bank BNI Syari’ah Yogyakarta.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa diperbangkan syari’ah dapat
dilakukan melalui proses litigasi dan non litigasi(arbitrase) dalam hal ini
badan Arbitrase Syari’ah Nasional.59
a. Litigasi
Sempat terjadi perdebatan diberbagai kalangan mengenai badan
Peradilan Agama yang berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi
sengketa perbankan syari’ah, apakah menjadi kewenangan Pengadilan
Umum atau Pengadilan Agama, hal ini dikerenakan pada waktu itu belum
ada undang-undang yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga
masing-masing mencari landasan hukum yang tepat.
Dengan dirubahnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama oleh Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syari’ah menjadi
kopetensi absolute Peradilan Agama.60
Wawancara dengan Bapak Hadi Suseno Bagian Pemasaran BNI Syari’ah Yogyakarta, hari jumat,
tanggal 3 Desember 2010, jam 10.00
60 Suhartono, Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah, Sinar Grafika, Jakarta 2009
59
66
b. Badan Arbitrase Syariah Nasional
Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. Suatu lembaga Arbitrase disebut juga dengan Pengadilan
Swasta, karena kedudukannya yang bukan merupakan pelaksana kekuasaan
kehakiman Negara.
Definisi arbitrase Undang-Undang Nomor 30 Tahum 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa pada pasal 1 ayat 1 bahwa
“Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh
para pihak yang bersengketa.61
Selama didirikan dan diterapkan pada masyarakat umum pembiayaan akad
mudharabah di perbankan syari’ah sudah sesuai dengan apa yang ada pada
uraian di atas mengenai produk-produk yang ditawarkan, pelaksanaan,
penerapan, manfaat dan tujuan, keuntungan, factor penghambat dan
pendukung, cara penyelesaian sengketa, serta cara pengawasan dan sudah
sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada pada Al-Quran, Hadis, fatwafatwa ,dan peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia untuk perbankan
syari’ah yang melakukan kegiatan syari’ah.
Harimurti Adinugroho, Penyelesaian Sengketa pada Perbankan Syari’ah melalui Peradilan Agama
dan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional. Skripsi Fak. Hukum Universitas Airlangga, 2006
61
67
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
1. Pembagian ketentuan dalam pembiayaan mudharabah sesuai dengan nisbah
yang telah disepakati dan dihitung berdasarkan pendapatan kotor dari hasil
pendapatan usaha mudharib, karena dana yang digunakan dalam pembiayaan
mudharabah sebgian besar berasal dari dana masyarakat, sehingga bank
syariah harus melakukan cara-cara agar dana dari nasabah penyimpan dana
yang digunakan dalam pembiayaan tidak dirugikan karena resiko dalam
pembiayaan bagi hasil relatif tinggi. Bank syari’ah dalam menangani
pembiayaan bermasalah melakukan upaya penyelamatan dan penyelesaian
pembiayaan bermasalah. Upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah
dilakukan dengan restrukturasi pembiayaan melalui penjadwalan kembali
pembiayaan, menambah fasilitas, pembiayaan dan penyertaan modal
sementara. Sedangkan upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah dilakukan
penyelesaian melalui jaminan, hapus buku pembiayaan dan penyelesaian
sengketa baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi(arbitrase).
2. Selama didirikan dan diterapkan pada masyarakat umum pembiayaan akad
mudharabah di perbankan syari’ah sudah sesuai dengan apa yang ada pada
uraian di atas mengenai produk-produk yang ditawarkan, pelaksanaan,
penerapan, manfaat dan tujuan, keuntungan, factor penghambat dan
68
pendukung, cara penyelesaian sengketa, serta cara pengawasan dan sudah
sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada pada Al-Quran, Hadis, fatwafatwa ,dan peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia untuk perbankan
syari’ah yang melakukan kegiatan syari’ah.
3. Hambatan dan Upaya untuk Mengatasi Hambatan Pelaksanaan Pembiayaan
dengan Akad Mudharabah
Hambatan :
Pertama,
Minimnya
sumberdaya
manusia
yang
memahami
secara
komprehensif segala hal yang berkaitan dengan industri perbankan syariah.
Sehingga dalam prakteknya, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan
aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah, kedua belum adanya
suatu Bank Sentral Syariah sebagai penyokong selaiknya Bank Indonesia
yang
menjadi
bank-nya
lembaga-lembaga
perbankan
yang
mampu
memerankan diri seperti peran Bank Indonesia tetapi dengan prinsip Islam,
ketiga masih ada kesan di sebagian masyarakat bahwa Bank syariah bersifat
ekslusif dalam artian bahwa bank syariah hanya ditujukan untuk masyarakat
muslim dan melibatkan kaum yang beragama muslim saja, keempat kejujuran
para nasabahnya, kelima kekurang pahaman tentang pengembalian pinjaman,
keenam pemahaman masyarakat terhadap bank syariah belum optimal dan
menyeluruh. Hal ini mungkin disebabkan karena disseminasi atau sosialisasi
masih kurang untuk memaparkan keunggulan produk syari’ah.
69
Sedangkan upaya yang dilakukan pihak Bank untuk mengatasi hambatan ialah
melakukan promosi atau seminar-seminar bersama dengan bank syari’ah
lainnya untuk memberikan penjelasan mengenai bank syari’ah dan produkproduknya, setelah semua itu dilakukan kemudian pihak bank baru
mempromosikan kepada masyarakat umum supaya masyarakat umum paham
akan produk-produk yang ditawarkan oleh bank syari’ah.
5.2. Rekomendasi
1. Dalam kerangka berfikir dengan niat amar ma’ruf nahi mungkar, diperlukan
komitmen penuh bagi pihak-pihak terkait dengan perbankan syari’ah dalam
meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai keberadaan prinsip-prinsip
syari’ah dalam dunia perbankan. Hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama muslim serta tidak adanya larangan barmuamalah dengan orang
selain muslim.
2. Dengan tingginya resiko dalam pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, maka
diperlukan upaya secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia(SDM) pengelola dan pengambil kebijakan perbankan
syari’ah agar bias menerapkan ketentuan perbankan syari’ah di Indonesia dan
keberadaan peratuaran perundang-undangan yang mengatur konsep dan
operasional perbankan syari’ah sangat diperlukan sebagai pembeda yang jelas
antara prinsip-prinsip operasional bank syari’ah dan bank konvensional.
70
DAFTAR PUSTAKA
Andi Soemitra,Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah,ctk 1,Kencana Prenada
Media Group,Jakarta,2009.
Burhanudin
Press,Jakarta,2008.
Susanto,Hukum
Syari’ah
Perbankan
diIndonesia,ctk
1
UII
Dadan Muttaqien dan Fakhruddin Cikman, Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syariah, Cetakan I, Total Media, Yogyakarta 2008.
Harimurti Adinugroho, Penyelesaian Sengketa pada Perbankan Syari’ah melalui
Peradilan Agama dan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional. Skripsi Fak. Hukum
Universitas Airlangga, 2006
Hikmahanto Juwana,Analisa Ekonomi Atas Hukum Perbankan,Jurnal Hukum dan
Pembangunan,Ed 1-3
Ismail Hasan Anshari, Samir Mutawalli. 1993. Perbankan Islam, Sejarah, Prinsip
dan Operasional, Alih bahasa Syahril Mukhtar Muhammad, Cet. 1. Jakarta: Minaret.
Karnaen
Perwataatmadja,Gumaladewi,Widyaningsih
dan
Barlinti,Bank dan Asuransi Islam diIndonesia,Kencana Jakarta,2005.
Muhammad
Insani,Jakarta,2001.
Syafii
Antonio,
Bank
Syariah
dan
Teori
Yenny
Salma
Praktik,Gema
Mulhadi,prinsip kehati-hatian dalam kerangka UU perbankan Indonesia,USU
Repasitory 2006
Rochmadi Usman, SH., Aspek-aspek Hukum Perbangkan Islam di Indonesia
Suhartono, Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah, Sinar Grafika,
Jakarta 2009
Sutan Remy Sjahdaeni, Perbankan Islam
Syafira, Akuntansi Untuk Produk Pembiayaan Mudharabah, Modul 14 Akuntansi
Syari’ah, Universitas Mercu Buana
Zainul Arifin,Memahami
Prospek,ctk.1,Alpabet,Jakarta,1999.
Bank
Syari’ah
71
Lingkup,Peluang,Tntangan
dan
Muhammad, ekisonline.com
Http://one.Indoskripsi.com/content/Bank/Pada/Masyarakat
Http://Hukumpositif.com/node/147
Http://penulis,bloggaul.com/Aspek-aspek/hukum/keuangan/dan/perbankan
http://Hukum positif.com/Mutawalli
Http://BNISyariah.com/profil.Hlm.1
Http://id.wikipedia.org/wiki/bank
Http://id.wikipedia.org/wiki/bank
Http://id.wikipedia.org/wiki/bank
Http://id,wikipedia.org/wiki/bank sentral
Http://wikipedia.org/wiki/mudharabah
Http://Eai.fe.umy .ac.ad/index.php?id=153&item=3317option=page
UU no.3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Pasal 4
Penjelasan Atas Perubahan Bank Indonesia Nomor 11 / 17 / PBI / 2008 Tentang Bank
Umum Syari’ah
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan
UU RI no.21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah Pasal 1(1)
Surat AL baqoroh 275,Quran Karim dan Terjemahan,UII Press
72
lxxiii
Download