defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi di

advertisement
DEFISIT ANGGARAN, PERTUMBUHAN UANG DAN
INFLASI DI INDONESIA
OLEH
NANANG ANDRIAN
H14063028
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011 RINGKASAN
NANANG ANDRIAN. Defisit Anggaran, Pertumbuhan Uang dan Inflasi di
Indonesia (dibimbing oleh IMAN SUGEMA).
Hubungan defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi menjadi salah
satu isu penting dalam literatur kebijakan moneter dan fiskal di dunia. Secara
teori, paling tidak ada empat pandangan yang berbeda untuk melihat hubungan
ketiga variabel tersebut. Pandangan tersebut antara lain, yaitu kaum Monetaris
Ortodoks, The Fiscal Theory of Price Level (FTPL), Keynesian, dan Ricardian
Equivalence (RE). Terdapat sebuah persepsi yang menyatakan bahwa kebijakan
anggaran yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama dapat
mempengaruhi variabel moneter yang kemudian menjadi akar permasalahan dari
ketidakstabilan makroekonomi seperti inflasi yang tinggi, defisit current account
yang besar, kewajiban utang yang besar, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Berdasarkan pengalaman interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia,
dimana sebelum diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999, Indonesia telah
mengalami hyperinflation yang disebabkan oleh pencetakan uang (money
creation) secara berlebihan oleh Bank Indonesia untuk membiayai defisit
anggaran pemerintah akibat kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif.
Sejak diberlakukan tahun 2000, kerangka kerja Inflation Targetting
(kebijakan moneter) sudah mulai diterapkan oleh Bank Indonesia. Hal ini
mengindikasikan bahwa era fiscal dominance tidak boleh terjadi lagi di Indonesia.
Namun perubahan institusional tersebut secara empiris tidak menghalangi
kemungkinan adanya pengaruh defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif)
terhadap jumlah uang beredar maupun variabel moneter (inflasi). Pengaruh
tersebut dimungkinkan antara lain karena adanya jangka waktu antara pengeluaran
dan penerimaan pemerintah, sumber pendanaan (utang domestik maupun luar
negeri), dan perubahan permintaan agregat. Penelitian ini membahas hubungan
jangka panjang antara inflasi, pertumbuhan uang, dan defisit anggaran. Penelitian
ini juga akan menganalisis apakah di Indonesia defisit anggaran (kebijakan fiskal
ekspansif) mempengaruhi pertumbuhan uang dan inflasi.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series
sekunder. Data-data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari
Kementrian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Statistik Ekonomi dan
Keuangan Bank Indonesia (SEKI-BI) dari berbagai edisi, International Financial
Statistic (IFS) of International Monetary Fund (IMF) serta sumber lain yang
relevan. Data yang digunakan, diantaranya yaitu defisit anggaran pemerintah,
pertumbuhan uang (base money (M0), narrow money (M1), dan broad money
(M2)) serta IHK (Indeks Harga Konsumen) sebagai pencerminan tingkat inflasi
dengan periode waktu data antara bulan Januari 2002 hingga Desember 2009.
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah
metode analisis Vector Error Correction (VEC) yang dilengkapi dengan dua uji
lag structure tambahan, yaitu uji lag exclusion dan weak exogeneity.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa defisit anggaran pemerintah tidak
mempengaruhi pertumbuhan uang (M0, M1, dan M2) dalam jangka panjang.
Teori FTPL (the fiscal theory of the price level) juga tidak berlaku di Indonesia,
hal ini dikarenakan dalam jangka panjang, laju inflasi tidak dipengaruhi oleh
defisit anggaran. Pertumbuhan M1 dan M2 (money supply) juga tidak
mempengaruhi laju inflasi dalam jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan
bahwa teori Monetaris dan Keynesian juga tidak berlaku di Indonesia. Hubungan
antara defisit anggaran, pertumbuhan uang dan laju inflasi di Indonesia dapat
dijelaskan oleh teori Ricardian Equivalence (RE) dimana defisit anggaran tidak
akan berpengaruh ke variabel moneter dan perekonomian.
Koordinasi yang erat antara penguasa fiskal (pemerintah) dan moneter
(Bank Indonesia) dalam menentukan instrumen dan sasaran kebijakan yang
menjadi target bersama tetap diperlukan agar pencapaian target tersebut dapat
dilakukan secara efektif dan efisien. Walaupun defisit anggaran tidak memiliki
dampak terhadap pertumbuhan uang dan laju inflasi di Indonesia namun defisit
anggaran yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama, bukan tidak
mungkin akan menjadi akar permasalahan makroekonomi seperti hyperinflation,
current account deficits, overindebtness dan rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Apabila dalam jangka panjang kebijakan defisit anggaran terus
dipertahankan oleh pemerintah, maka pembiayaan melalui money creation
(pencipataan uang) lebih baik untuk dihindari karena telah terbukti menyebabkan
hyperinflation di Indonesia pada periode 1965 hingga 1970. Disatu sisi, sesuai
dengan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dimana Bank Indonesia
yang telah memiliki kebijakan moneter Inflation Targetting Framework (ITF)
akan berhasil dalam menetapkan inflasi yang ditargetkan jika salah satu
persyaratan dapat dipenuhi yaitu tidak adanya dominasi sektor fiskal terhadap
kebijakan moneter. Hal tersebut dikarenakan kebijakan defisit anggaran masih
efektif, tetapi efisiensinya harus diperhitungkan secara cermat.
DEFISIT ANGGARAN, PERTUMBUHAN UANG DAN
INFLASI DI INDONESIA
Oleh
NANANG ANDRIAN
H14063028
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011 PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2011
Nanang Andrian
H14063028
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nanang Andrian, dilahirkan di Bekasi pada tanggal 5
Oktober 1989. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Hadhi
Wardoyo dan Ibu Subarinah. Penulis menjalani pendidikan di bangku sekolah
dasar dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 di SD Negeri Jatirahayu 01,
Bekasi. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari
tahun 2000 sampai tahun 2003 di SMP Negeri 157 Jakarta. Setelah itu, penulis
melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 48 Jakarta dan lulus
pada tahun 2006.
Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan menjadi salah satu
mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu
Ekonomi dan mengambil Supporting Course. Selama menjadi mahasiswa, penulis
mencoba mengaktualisasi diri dengan mengikuti beberapa kelembagaan sebagai
anggota, antara lain UKM Futsal IPB, Kemsi (Keluarga Mahasiswa Bekasi),
HIPOTESA dan IMEPI. Penulis juga tercatat sebagai panitia acara-acara yang
diadakan di tingkat kampus, fakultas maupun departemen, seperti HIPOTEX-R,
Economic Contest, Sportakuler FEM IPB, Pujangga FEM IPB dan Olimpiade
Mahasiswa IPB. Kecintaan pada dunia pendidikan, penulis wujudkan dengan
menjadi tentor IPS dan Ekonomi di lembaga pendidikan LCC LP3I Jalan Baru,
Bogor.
Tahun 2011 penulis melakukan penelitian dengan judul “Defisit Anggaran,
Pertumbuhan Uang dan Inflasi di Indonesia” untuk memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Defisit Anggaran, Pertumbuhan Uang dan
Inflasi di Indonesia”. Hubungan defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi
menjadi salah satu isu penting dalam literatur kebijakan moneter dan fiskal di
dunia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik
ini. Disamping hal tersebut, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai
pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada:
1.
Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam
proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2.
Prof. Dr. Ir. Bambang Djuanda, M.S. dan Dr. Lukytawati Anggraeni, Sp.,
M.Si. selaku dosen penguji utama dan komisi pendidikan yang telah bersedia
menguji dan memperbaiki tata cara penulisan skripsi ini.
3.
Kedua orang tua tercinta, Bapak Hadhi Wardoyo dan Ibu Subarinah serta
segenap keluarga besar, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian,
motivasi, dukungan baik moril maupun materil serta doa bagi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4.
Staf InterCAFE yaitu Ka Ade, Ka Nilam, dan Ka Muth. Teman sebimbingan
Dini dan Cathy serta teman-teman Ec-Think Elsha dan Fitria atas bantuan
data, semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang luar biasa.
5.
Penghuni Pondok Wina yaitu Miftah, Fachri, Nodi, Irfan, Hengky, Bayu,
Arief, Riki, Heru, Luki, Eka, Vicky, Hendra dan Koko atas kebersamaan yang
tak tergantikan dalam suka maupun duka hidup di IPB.
6.
Seluruh saudara-saudaraku di Ilmu Ekonomi 43 atas kebersamaan dan
semangat yang telah menguatkan langkah perjalanan penyelesaian skripsi ini.
7.
Pakuan Regency yaitu Ardhi, Fahmi, Fuad, Bronson, Adrian, Taufik,
Meiyora, Farhana, Farah, dan lain-lain atas tempat singgah dan kebersamaan
yang cukup lama dengan penulis.
8.
Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama
menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
9.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini
namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, September 2011
Nanang Andrian
H14063028
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vi
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ..........................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah .....................................................................................
8
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................
9
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................................
9
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Defisit Anggaran ............................................................................. 10
2.2. Teori Money Supply .................................................................................. 13
2.2.1. Definisi Uang Beredar .................................................................... 13
2.2.2. Jenis Uang Beredar ......................................................................... 14
2.2.3. Mekanisme Penciptaan Uang Beredar ............................................ 15
2.2.4. Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar .............................. 16
2.3. Teori Inflasi ............................................................................................... 18
2.3.1. Definisi Inflasi ................................................................................ 18
2.3.2. Disagregasi Inflasi .......................................................................... 19
2.3.3. Sumber Inflasi ................................................................................. 20
2.3.3.1. Demand Pull Inflation .......................................................... 20
2.3.3.2. Cost Push Inflation ............................................................... 21
2.4. Hubungan Defisit Anggaran, Pertumbuhan Uang dan Inflasi .................. 21
2.4.1. Government Budget Constraint ...................................................... 21
2.4.2. The Dornbusch-Reynoso Model ..................................................... 24
2.5. Kontroversi Defisit Anggaran Pemerintah ................................................ 26
2.5.1. Kaum Monetaris ............................................................................. 26
2.5.2. The Fiscal Theory of the Price Level (FTPL) ................................. 27
2.5.3. Kelompok Keynesian ..................................................................... 29
2.3.1. Teori Ricardian Equivalence (RE) ................................................. 30
ii
2.6. Penelitian Terdahulu ................................................................................. 32
2.7. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 37
2.8. Hipotesis Penelitian ................................................................................... 39
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data .............................................................................. 40
3.2. Model Penelitian ....................................................................................... 40
3.3. Metode Analisis Data ................................................................................ 41
3.3.1. Uji Stasioneritas Data .................................................................... 41
3.3.2. Penentuan Lag Optimal .................................................................. 43
3.3.3. Uji Kointegrasi ............................................................................... 44
3.3.4. Vector Error Correction (VEC) Model .......................................... 46
3.3.5. Vector Error Correction Restriction .............................................. 48
3.3.6. Uji Lag Structure ............................................................................ 49
3.3.6.1. Uji Lag Exclusion ................................................................. 49
3.3.6.2. Uji Weak Exogeneity ............................................................. 49
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Uji Stasioneritas Data ................................................................................ 51
4.2. Penentuan Lag Optimal ............................................................................. 53
4.3. Uji Kointegrasi .......................................................................................... 54
4.4. Persamaan Jangka Panjang Inflasi, Pertumbuhan Uang dan Defisit
Anggaran .................................................................................................. 55
4.5. Uji Kausalitas Granger .............................................................................. 66
V. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ............................................................................................... 68
6.2. Saran .......................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 71
LAMPIRAN ........................................................................................................ 75
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Ringkasan Metode Pengukuran Defisit ............................................ 12
Tabel 2.2. Neraca Otoritas Moneter Indonesia ................................................. 15
Tabel 4.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level ............................................. 52
Tabel 4.2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference ............................. 52
Tabel 4.3. Penentuan Lag Optimal ..................................................................... 53
Tabel 4.4. Hasil Uji Kointegrasi Johansen .......................................................... 54
Tabel 4.5. Hasil Estimasi VEC ........................................................................... 57
Tabel 4.6. Hasil Uji Lag Structure ...................................................................... 58
Tabel 4.7. Hasil Uji Kausalitas Granger ............................................................. 66
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1. Ringkasan Defisit APBN Indonesia periode 1999-2009 ...............
3
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 38
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data yang Digunakan ..................................................................... 76
Lampiran 2. Grafik Data yang Digunakan ......................................................... 79
Lampiran 3. Uji Akar Unit pada Variabel Penelitian ......................................... 80
Lampiran 4. Penentuan Lag Optimal ................................................................. 81
Lampiran 5. Uji Kestabilan VAR ....................................................................... 83
Lampiran 6. Uji Kointegrasi dengan Asumsi Summary ..................................... 84
Lampiran 7. Uji Kointegrasi dengan Asumsi Berdasarkan SC .......................... 87
Lampiran 8. Uji Lag Structure (Lag Exclusion dan Weak Exogeneity) ............. 91
Lampiran 9. Uji Kausalitas Granger .................................................................. 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan makro yang dijalankan
oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal
yang dijalankan oleh pemerintah dapat terlihat melalui kebijakan anggaran.
Kebijakan anggaran di Indonesia ditujukan untuk mendukung kegiatan ekonomi
nasional dalam memacu pertumbuhan, menciptakan dan memperluas lapangan
kerja, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan mengurangi
kemiskinan.
Kebijakan
anggaran
memiliki
instrumen
berupa
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan penjabaran rencana
kerja para penyelenggara negara untuk kurun waktu satu tahun yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang
memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran
(1 Januari hingga 31 Desember)1.
Indikator makroekonomi yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan
kebijakan anggaran (APBN) adalah sebagai berikut:
a. Pertumbuhan ekonomi
e. Harga minyak internasional
b. Inflasi
f. Produksi minyak Indonesia
c. Nilai tukar
d. Suku bunga SBI
1
Nota Keuangan dan APBN dari berbagai edisi. 2
Kebijakan anggaran di suatu negara dalam prakteknya memiliki tiga
kondisi, antara lain berimbang, surplus dan defisit. Anggaran negara yang
berimbang memang terlihat sebagai kondisi paling ideal bagi pemerintah karena
total pengeluaran pemerintah seimbang dengan total penerimaan dan juga
merupakan indikator yang berguna untuk kesehatan makroekonomi. Namun tidak
sedikit ekonom yang menentang hal di atas karena kondisi tersebut tidak optimal
untuk pertumbuhan ekonomi dan menganggap bahwa surplus atau defisit
anggaran yang lebih optimal.
Menurut Mankiw (2000), kebijakan fiskal yang optimal pada suatu negara
sebagian besar membutuhkan kondisi defisit atau surplus pada anggarannya
karena setidaknya ada tiga alasan, yaitu alat stabilisasi, tax smoothing dan
redistribusi intergenerasi. Pada umumnya, negara berkembang dan maju
mengadopsi
kebijakan
defisit
anggaran
yang
sering
disebabkan
untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat,
rendahnya daya beli masyarakat, melemahnya nilai tukar, pengeluaran akibat
krisis global, dan pengeluaran berlebih karena inflasi. Kebijakan defisit anggaran
merupakan kondisi dimana total pengeluaran pemerintah (belanja negara) lebih
besar dari total penerimaan pemerintah (pendapatan negara ditambah hibah).
Kebijakan anggaran di Indonesia juga menerapkan kebijakan defisit
anggaran yang terlihat dari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) mulai dari rezim Orde Baru hingga tahun 2000, pemerintah selalu
menetapkan kebijakan fiskal ekspansif. Walaupun sejak pemerintahan Orde Baru
dinyatakan bahwa APBN selalu bersendikan pada prinsip anggaran berimbang
3
dan dinamis, namun sebenarnya lebih bersifat politis (agar sesuai dengan GBHN),
karena secara konseptual dan faktual APBN selalu mengalami defisit (Basri,
2000). Setelah krisis multidimensional tahun 1997-1998, Indonesia juga masih
menjaga konsistensi defisit anggarannya dibawah 3 persen dari PDB, seperti yang
terlihat pada Gambar 1.1.
4
3.5
3
2.5
2
BUDEF (% PDB)
1.5
1
0.5
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumber : Nota Keuangan dari berbagai tahun, diolah.
Gambar 1.1. Ringkasan Defisit APBN Indonesia Periode 1999-2009
Berdasarkan Gambar 1.1, terlihat bahwa sebelas tahun sesudah krisis
ekonomi yang mengguncang negara-negara di Asia Tenggara pada tahun 19971998, pemerintah Indonesia ternyata tetap melakukan ekspansi fiskal untuk
melanjutkan program pemulihan krisis, namun secara bersamaan juga
menyehatkan APBN dengan menurunkan defisit anggaran hingga dibawah 3
persen dari nilai PDB. Seperti pada tahun 1999, persentase defisit anggaran
terhadap PDB mencapai 3,9 persen dan berfluktuasi menurun hingga tahun 2005
mendekati 0,5 persen. Namun setelah tahun 2005, terus mengalami kenaikan
hingga mencapai 2,5 persen pada tahun 2009.
4
Dalam perkembangannya, kebijakan defisit anggaran juga tidak bisa lepas
dari pro dan kontra mengenai waktu dan pembiayaan terhadap defisit tersebut
karena selain kebijakan moneter, keseimbangan fiskal (anggaran) juga merupakan
indikator untuk melihat kesehatan makroekonomi. Persepsi yang berkembang
adalah kebijakan anggaran yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama
seringkali menjadi akar permasalahan dari ketidakstabilan makroekonomi seperti
inflasi yang tinggi, defisit current account yang besar, kewajiban utang yang
besar dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Pada negara industri maju,
beberapa publikasi memperlihatkan hubungan antara defisit anggaran dengan
ketidakseimbangan indikator makroekonomi sulit dijelaskan tapi bisa lebih
dikaitkan dengan bagaimana defisit anggaran tersebut dibiayai dan untuk berapa
lama terjadi (Hossain dan Chowdhury, 1998). Sedangkan menurut Lozano (2008),
hasil di negara berkembang, seringkali inflasi yang tinggi terjadi ketika
pemerintah menghadapi defisit yang besar dan terus-menerus yang kemudian
dibiayai oleh penciptaan uang (money creation) sehingga sering disebut inflasi
yang timbul karena fiscal driven monetary phenomenon.
Pembiayaan defisit anggaran di Indonesia, fakta sebelum diberlakukannya
UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia adalah sebagai bendahara pemerintah
yang mempunyai kewajiban untuk mendanai pengeluaran pemerintah (defisit
anggaran) dengan mencetak uang (money creation), tentu saja pembiayaan ini
akan menyebabkan meningkatnya base money (M0) dan mempengaruhi money
supply (M1 dan M2) yang dapat berimbas pula pada tingkat inflasi. Seperti yang
terjadi pada tahun 1960 hingga 1970, tingkat inflasi Indonesia yang terus naik
5
hingga mencapai lebih dari 1000 persen atau bisa dikatakan hyperinflation yang
disebabkan oleh kebijakan fikal pemerintah yang terlalu ekspansif dan tidak
prudent. Hal tersebut menyebabkan Bank Indonesia melakukan pencetakan uang
secara berlebihan untuk membiayai defisit anggaran yang sangat besar (proyekproyek mercusuar atau pengeluaran untuk militer) namun berhasil diturunkan
dengan solusi alternatif pembiayaan defisit anggaran, yaitu berupa pinjaman luar
negeri (Chowdhury dan Sugema, 2006).
Setelah diberlakukan pada tahun 2000, transmisi pengaruh defisit
anggaran terhadap variabel moneter melalui jalur moneter secara institusional
berubah. Bank Indonesia tidak diperbolehkan memberikan dana talangan terhadap
pengeluaran pemerintah dan atau bahkan membiayai defisit rekening pemerintah
(Net Claim on Government) di Bank Indonesia. Hal ini berarti Bank Indonesia
hanya sebagai pemegang rekening pemerintah dan tidak akan mengeluarkan dana,
jika pemerintah tidak memiliki dana di rekeningnya (Maryatmo, 2004). Selain itu,
Bank Indonesia juga mulai menempuh langkah-langkah untuk semakin
meningkatkan tingkat independensi, transparansi, dan akuntabilitas. Hal ini dapat
dilihat dengan penerapan kerangka kerja kebijakan moneter berdasarkan suatu
kerangka yang dikenal dalam literature ekonomi dan praktek di bank-bank sentral
lain dengan sebutan Inflation Targetting Framework (ITF).
Prinsip dasar dari ITF adalah sasaran akhir dari kebijakan moneter
diutamakan untuk mencapai dan memlihara laju inflasi yang rendah dan stabil.
Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan pokok yaitu laju inflasi yang tinggi
menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat dan kebijakan
6
moneter jangka menengah-panjang hanya berpengaruh pada inflasi dan bukan
pada pertumbuhan ekonomi (Warjiyo, 2004). Hal ini sesuai dengan pendapat
Friedman dalam Mishkin (2001) yang menyatakan bahwa pergerakan ke atas pada
tingkat harga adalah sebuah fenomena moneter yang hanya akan terjadi apabila
pergeseran tersebut adalah sebuah proses yang berkelanjutan, sehingga inflasi
merupakan fenomena moneter dan sumber dari segala inflasi adalah pertumbuhan
money supply yang tinggi.
Agar sasaran akhir utama ITF yaitu tingkat inflasi yang rendah dan stabil
dapat diterapkan, maka ITF memiliki beberapa syarat yang salah satunya adalah
tidak adanya dominasi sektor fiskal (fiscal dominance). Hal tersebut berarti Bank
Indonesia harus dilindungi undang-undang dan dibebaskan dari segala pengaruh
atau kewajiban untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Ekspansi
moneter untuk pembiayaan pengeluaran fiskal telah terbukti secara nyata
berdampak pada tidak terkendalinya uang beredar dan memperlemah efektifitas
kebijakan moneter dalam mempengaruhi dan mencapai sasaran inflasi yang telah
ditetapkan (Warjiyo, 2004).
Menurut Lozano (2008), hubungan antara defisit anggaran, pertumbuhan
uang, dan inflasi selalu menjadi isu penting dalam literatur ekonomi moneter di
dunia. Beberapa literatur telah mencoba untuk melihat kemungkinan hubungan
sebab-akibat antara pembiayaan defisit anggaran dan tingkat harga secara umum.
Secara teori, paling tidak ada empat pandangan yang berbeda untuk melihat
hubungan ketiga variabel tersebut. Pertama, pandangan kaum Monetaris Ortodoks
dengan dasar teori kuantitas uang menjelaskan bahwa bila terjadi perubahan pada
7
kuantitas uang secara nominal akan menyebabkan perubahan yang sama pada
tingkat harga dan perubahan kuantitas uang bisa disebabkan karena penciptaan
uang (money creation) yang digunakan untuk membiayai defisit anggaran.
Kedua, The Fiscal Theory of Price Level (FTPL) atau yang dikenal
sebagai teori kuantitas utang pemerintah, menjelaskan dimana tingkat harga bisa
dipengaruhi oleh aksi kebijakan fiskal sehingga defisit anggaran merupakan salah
satu faktor perhitungan inflasi dalam jangka panjang dengan pertumbuhan uang
yang tidak berperan dalam sistem tersebut. Ketiga, pandangan kaum Keynesian
dimana berkesimpulan inflasi yang tinggi tidak disebabkan oleh kebijakan fiskal
saja tetapi banyak faktor yang lain dan lebih memfokuskan pada efek defisit
anggaran yang temporer pada tingkat inflasi dan bukan seperti inflasi pada
umunya dimana terjadi peningkatan tingkat harga secara terus-menerus.
Pandangan yang terakhir adalah pandangan kaum Ricardian Equivalence (RE)
dimana defisit anggaran pemerintah bersifat netral atau tidak akan berpengaruh
pada perekonomian (neutrality preposition).
Oleh karena dampak defisit anggaran dapat mempengaruhi variabel
moneter berupa pertumbuhan uang dan tingkat inflasi, maka penelitian tentang
hubungan defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi menarik untuk diteliti.
Walaupun kerangka kerja Inflation Targetting (kebijakan moneter) sudah
diterapkan di Indonesia, bukan tidak mungkin pengaruh defisit anggaran
(kebijakan fiskal ekspansif) tetap dapat mempengaruhi jumlah uang beredar dan
tingkat inflasi, antara lain seperti adanya jangka waktu (lag of time) antara
8
pengeluaran dan penerimaan pemerintah, sumber pendanaan (utang domestik
maupun luar negeri), dan perubahan permintaan agregat.
1.2. Perumusan Masalah
Defisit anggaran yang besar dan terjadi secara terus-menerus dapat
menjadi
akar
dari
permasalahan
makroekonomi
seperti
hyperinflation,
ketergantungan terhadap utang luar negeri, dan pertumbuhan ekonomi yang
rendah.
Apabila
ketidakseimbangan
makroekonomi
terjadi
maka
akan
membahayakan bagi kelanjutan perekonomian. Fakta di Indonesia, sebelum
diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999, Indonesia telah mengalami
hyperinflation karena pencetakan uang (money creation) secara berlebihan oleh
Bank Indonesia untuk membiayai defisit anggaran pemerintah akibat kebijakan
fiskal yang terlalu ekspansif. Namun setelah diberlakukan, kerangka kerja
Inflation Targetting (kebijakan moneter) oleh Bank Indonesia, hal ini
menunjukkan bahwa era fiscal dominance sudah tidak akan terjadi lagi di
Indonesia.
Perubahan institusional tersebut secara empiris tidak menghalangi
kemungkinan adanya pengaruh defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif)
terhadap jumlah uang beredar maupun variabel moneter (inflasi). Pengaruh
tersebut dimungkinkan misalnya saja karena adanya jangka waktu antara
pengeluaran dan penerimaan pemerintah, sumber pendanaan (utang domestik
maupun luar negeri), dan perubahan permintaan agregat.
9
Permasalahan yang dirumuskan secara spesifik dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah hubungan jangka panjang inflasi, pertumbuhan uang dan defisit
anggaran di Indonesia? Apakah defisit anggaran pemerintah (kebijakan fiskal
ekspansif) berpengaruh terhadap variabel moneter yaitu pertumbuhan uang dan
inflasi di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini secara rinci adalah mengidentifikasi persamaan
jangka panjang inflasi, pertumbuhan uang, dan defisit anggaran. Menganalisis dan
mengetahui apakah defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) mempengaruhi
pertumbuhan uang dan inflasi serta teori yang mendasarinya.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai dampak defisit
anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) terhadap variabel moneter yaitu
pertumbuhan uang dan inflasi di Indonesia. Hasil dari penelitian ini dapat
digunakan oleh pihak-pihak yang berwenang sebagai referensi untuk harmonisasi
dan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Selain itu, penelitian ini diharapkan
memberikan manfaat bagi pembacanya dan sebagai referensi untuk penelitian
lebih lanjut. Bagi penulis sendiri, penelitian ini merupakan wadah pembelajaran
untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Institut
Pertanian Bogor.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Defisit Anggaran
Suatu anggaran pemerintah terdiri dari besaran pengeluaran dan
penerimaan pemerintah. Dalam kondisi perekonomian tertentu, salah satu
kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui kebijakan fiskal.
Kebijakan fiskal yang diterapkan dapat dilihat dalam anggaran pemerintah
tersebut, dan defisit anggaran adalah salah satu kebijakan fiskal pemerintah yaitu
kebijakan fiskal ekspansif. Anggaran pemerintah memiliki sifat struktural dan
siklikal. Anggaran memiliki sifat struktural atau aktif, berarti anggaran tersebut
ditentukan oleh kebijakan aktif dan beban (diskresioner) seperti penetapan tingkat
pajak, jaminan sosial, dan belanja pemerintah untuk menghitung seberapa besar
penerimaan dan pengeluaran pemerintah, serta kemungkinan defisit/surplus bila
perekonomian beroperasi pada tingkat produksi potensial. Akan tetapi, sebagian
besar dari anggaran bersifat siklikal atau pasif dimana ditentukan oleh keadaan
siklus ekonomi, untuk menghitung dampak daripada siklus ekonomi terhadap
anggaran atau mengukur perubahan dalam penerimaan, pengeluaran, dan
defisit/surplus yang timbul oleh karena perekonomian tidak beroperasi pada
output potensialnya. Anggaran yang bersifat siklikal ini merupakan selisih antara
anggaran aktual dan anggaran struktural (Samuelson dan Nordhaus, 1997).
Konsep atau definisi defisit anggaran bervariasi. Perbedaan definisi yang
diaplikasikan oleh berbagai penguasa fiskal maupun oleh para peneliti didasari
11
oleh perbedaan metode pencatatan dan oleh perbedaan tujuan analisis dampak
defisit anggaran terhadap berbagai sektor perekonomian.
Definisi defisit secara konvensional, dapat dihitung berdasarkan selisih
antara total belanja dengan total pendapatan termasuk hibah. Sementara itu,
pengertian kedua adalah defisit moneter. Defisit moneter adalah selisih antara
total belanja pemerintah (di luar pembayaran pokok utang) dengan total
pendapatan (di luar penerimaan utang). Pengertian ketiga adalah defisit
operasional, yaitu defisit moneter yang diukur dalam nilai riil dan bukan nilai
nominal. Definisi yang terakhir adalah defisit primer. Menurut Dornbusch, et al.
(1989) defisit anggaran dapat dikelompokkan menjadi dua komponen. Kedua
komponen itu adalah defisit primer dan komponen pembayaran bunga utang.
Defisit primer didefinisikan sebagai selisih antara pengeluaran pemerintah (tidak
termasuk pembayaran bunga utang) dengan seluruh penerimaan pemerintah (tidak
termasuk utang baru dan pembayaran cicilan utang). Pengelompokan komponen
defisit anggaran itu dimaksudkan untuk melihat peranan beban utang dalam
anggaran pemerintah. Jika beban utang pemerintah, suku bunga pinjaman, dan
kurs mata uang semakin tinggi maka pembayaran bunga utang juga akan semakin
tinggi, selanjutnya defisit anggaran cenderung semakin tinggi. Pemerintah
terpaksa menjalankan defisit anggaran yang lebih tinggi karena faktor pembayaran
bunga utang.
Selain itu, masih terdapat beberapa definisi dari defisit dan sangat
tergantung pada kriteria yang digunakan serta tujuan analisis. Biasanya pilihan
konsep defisit yang tepat tergantung oleh beberapa faktor, antara lain: jenis
12
ketidakseimbangan yang terjadi, cakupan pemerintah (pemerintah pusat,
konsolidasi pemerintah, dan sektor publik), metode akuntasi (cash dan accrual
basis), dan status dari contingent liabilities (Simanjuntak dalam Waluyo, 2006).
Beberapa konsep ukuran defisit anggaran lainnya terangkum dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Ringkasan Metode Pengukuran Defisit
Jenis Defisit
Metode
Defisit Konvensional dan a. DEF = (R + A) – (G + B) ; atau
b. DEF = (R + A + D) – (G + B) ; atau
Defisit Keseluruhan
c. DEF = (R – A) – Tx ; atau
d. DEF = (R + A) – G
Defisit Fiskal Berjalan DEF = Sg = Rd – Gr
dan Konsep Nilai Bersih
Defisit Domestik
DEF = Rd – Gd
Defisit Moneter
Db = R – (G – (Df + Dnb))
Defisit Primer
DEF = (R – A) – (G – B)
Augmented Defisit Primer DEF = {(R – A) – (G – B)} –
Defisit Operasional
Defisit APBN Indonesia
(D – FR) + S
a. DEF = ((R – A) – G) – iB ; atau
b. DEF = ((R – A) – (G – B)) + iB
Primer : DEF = (R + A) – (G – B)
Anggaran : DEF = (R + A) – G
Sumber : Waluyo, 2006.
Keterangan:
Jika nilai sisi kiri persamaan negatif (-) maka menunjukkan terjadinya defisit, dan berlaku
pula sebaliknya.
DEF = Defisit Anggaran.
G = Pertumbuhan Ekonomi
Sg
= Tabungan Pemerintah.
i* = Suku Bunga Utang Luar Negeri
R
= Total Penerimaan Pemerintah.
Rd
= Penerimaan Dalam Negeri.
A
= Total Hibah.
Gr
= Pengeluaran Rutin (DN + LN).
G
= Total Pengeluaran Pemerintah.
B
= Pembayaran Bunga Utang.
D
= Total Utang Pemerintah.
Gd
= Pengeluaran Dalam Negeri.
Df
= Utang LN Pemerintah.
FR = Cadangan Devisa Luar Negeri.
Db
= Utang dari Sektor Perbankan.
S
= Seignorage.
Dnb = Utang DN dari Non Perbankan.
Tx = Penerimaan Pajak.
i
= Suku Bunga Riil.
π
= Tingkat Inflasi.
ε
= Nilai Tukar.
13
2.2. Teori Money Supply
2.2.1. Definisi Uang Beredar
Uang beredar adalah suatu istilah yang digunakan dalam illmu ekonomi
moneter. Sebelum sampai pada konsep atau pengertian uang beredar perlu
dipahami terlebih dahulu penggunaaan uang dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Menurut Solikin dan Suseno (2002), terdapat tiga jenis uang, yaitu :
1. Uang Kartal, adalah uang yang berada ditangan masyarakat atau di luar
bank umum dan dapat dibelanjakan setiap saat, terutama untuk
pembayaran dengan nilai yang tidak terlalu besar. Di Indonesia, uang
kartal adalah uang kertas dan uang logam yang beredar di masyarakat yang
diedarkan oleh Bank Indonesia atau yang dikenal sebagai uang tunai.
2. Uang Giral, adalah uang simpanan masyarakat yang berada di bank umum
dan dapat dicairkan setiap saat. Uang jenis ini sering disebut sebagai
rekening giro. Masyarakat dapat menggunakan cek untuk mencairkan
simpanan ini.
3. Uang Kuasi, adalah uang yang yang tidak dapat dipakai setiap saat dalam
proses pembayaran karena keterkaitan waktu. Jenis uang ini disimpan
dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka. Pada dasarnya uang kuasi
berbentuk bukan uang namun memiliki fungsi mendekati uang. Tabungan
dan deposito berjangka tersebut harus melalui proses pencairan terlebih
dahulu untuk dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
Otoritas moneter (Bank Indonesia) dan bank umum adalah lembaga
memiliki kewenanngan untuk menciptakan dan mengedarkan uang. Bank
14
Indonesia menciptakan dan mengadakan uang kartal sedangkan bank umum
mengeluarkan dan mengedarkan uang giral dan uang kuasi. Kedua lembaga ini
dikenal sebagai lembaga yang termasuk dalam sistem moneter.
2.2.2. Jenis Uang Beredar
Berbagai negara menggunakan uang beredar dengan jenis yang beragam
yang secara resmi didefinisikan berdasarkan komponen yang tercakup
didalamnya. Komponen tersebut adalah tiga jenis uang yang telah dikenal pada
bagian sebelumnya, yaitu uang kartal, uang giral dan uang kuasi. Jenis uang
beredar pun beragam sesuai dengan cakupan definisi uang beredar tersebut.
Menurut Bank Indonesia dalam Hidayat (2004), di Indonesia saat ini hanya
mengenal dua macam uang beredar saja, yaitu :
1. Uang beredar dalam arti sempit (narrow money), yang sering disebut M1,
didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta
domestik yang terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D).
2. Uang beredar dalam arti luas (broad money), yang disimbolkan M2,
didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta
domestik yang terdiri dari uang kartal (C), uang giral (D) dan uang kuasi
(T). Dengan kata lain, M2 adalah M1 ditambah dengan tabungan dan
simpanan berjangka lain yang jaraknya lebih pendek, termasuk rekening
pasar uang dan pinjaman semalam antar bank.
15
2.2.3. Mekanisme Penciptaan Uang Beredar
Berdasarkan peranannya, secara umum terdapat tiga pelaku ekonomi
utama dalam proses penciptaan uang, yaitu otoritas moneter, bank umum, dan
masyarakat atau sektor swasta domestik. Otoritas moneter menciptakan uang
kartal, sedangkan bank umum menciptakan uang giral dan uang kuasi. Uang yang
diciptakan oleh otoritas moneter dan bank umum ini yang digunakan masyarakat
untuk melakukan kegiatan ekonomi.
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral adalah pelaksana fungsi moneter
yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal.
Selain menciptakan uang giral, dalam prakteknya Bank Indonesia juga menerima
simpanan giro bank umum. Uang kartal ditambah dengan simpanan bank umum
di Bank Indonesia inilah yang disebut dengan uang primer (base money) dan
disimbolkan dengan M0. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
M0, maka perlu diketahui terlebih dahulu Neraca Otoritas Moneter di Indonesia
yang disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Neraca Otoritas Moneter di Indonesia
Aktiva
Pasiva
Aktiva Luar Negeri Bersih
(ALNB)
Uang Kartal
Aktiva Dalam Negeri Bersih
(ADNB)
•
Di masyarakat
(C)
• Tagihan bersih pada pemerintah pusat
•
Di bank umum
(R)
• Tagihan pada sektor swasta domestic
Saldo giro
• Tagihan pada bank umum
Aktiva Lainnya Bersih
_______
M0
•
Milik bank umum
•
Milik masyarakat
_____
M0
Sumber : Solikin dan Suseno, 2002
16
2.2.4. Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar
Hubungan antara uang primer (M0) dengan uang beredar (M1 dan M2)
dapat dijelaskan dengan konsep pengganda uang (money multiplier). Konsep ini
muncul ketika kondisi menciptakan uang giral dan uang kuasi, bank tidak harus
menjamin sepenuhnya uang tersebut dengan uang tunai yang ada di kas.
Berdasarkan Neraca Otoritas Moneter, diketahui bahwa secara umum uang
primer (M0) terdiri dari uang kartal (C) dan saldo giro bank umum di Bank
Sentral (R). Sedangkan jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) terdiri dari
uang kartal (C) dan uang giral (D), dan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2)
terdiri dari M1 ditambah dengan uang kuasi (T). Sehingga konsep tersebut dapat
diformulasikan sebagai berikut (Solikin dan Suseno, 2002) :
M0 = C + R
(2.1)
M1 = C + D
(2.2)
M2 = C + D + T
(2.3)
Dengan mendefinisikan C/D = c (currency ratio), T/D = t (time and
saving deposit ratio), dan R/(D+T) = r (reserve ratio), maka didapat angak
pengganda uang untuk masing-masing M1 dan M2 (yang disimbolkan dengan
mm1 dan mm2) yang dapat menggambarkan interaksi antara otoritas moneter,
bank umum, dan masyarakat, yaitu :
mm1 = M1/M0 =
………….………………….…………..(2.4)
mm2 = M2/M0 =
…………..…………………………….(2.5)
17
Berdasarkan persamaan diatas, dapat disimpulkan bahwa naik turunnya angka
pengganda uang dipengaruhi oleh ketiga determinan angka pengganda uang, yaitu
currency ratio, time and savings deposits ratio dan reserve ratio.
Currency ratio (c) dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam memilih
memegang uang kartal atau giral. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi
perilaku masyarakat, yaitu biaya penggunaan uang giral (biaya transportasi dan
biaya administrasi simpanan) dan kenyamanan serta keamanan (uang giral lebih
aman dan nyaman dalam penyelesaian transaksi yang relatif besar). Untuk time
and savings deposits ratio (t) juga memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi
masyarakat menentukan t, yaitu opportunity cost (t berubah searah dengan suku
bunga uang kuasi dan berlawanan arah dengan suku bunga uang giral),
pendapatan masyarakat (t berubah searah dengan perubahan tingkat pendapatan),
dan kemajuan layanan sektor perbankan (t meningkat bila layanan sektor
perbankan semakin maju). Reserve ratio (r) yang berada di bank umum dibagi
dua, yaitu legal reserve ratio dan excess reserve. Legal reserve ratio adalah rasio
cadangan resmi terhadap simpanan masyarakat yang dipengaruhi oleh ketentuan
bank sentral. Sedangkan excess reserve ratio adalah rasio cadangan terhadap
simpanan masyarakat yang dipengaruhi oleh keperluan bank akan terhadap
likuiditas jangka pendek yaitu simpanan giro atau simpanan tabungan.
18
2.3. Teori Inflasi
2.3.1. Definisi Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga-harga komoditi secara umum yang
disebabkan oleh tidak sinkronnya antara program pengadaan komoditi (produksi,
penentuan harga, pencetakan uang, dan sebagainya) dengan tingkat pendapatan
yang dimiliki oleh masyarakat. Pada dasarnya, terjadinya inflasi bukanlah
masalah yang terlalu berarti apabila keadaan tersebut diiringi oleh tersedianya
komoditi yang diperlukan secara cukup dan diikuti dengan naiknya persentase
pendapatan yang lebih besar dari persentase inflasi tersebut (Putong, 2003).
Friedman dalam Mishkin (2001) menyatakan bahwa pergerakan ke atas
pada tingkat harga adalah sebuah fenomena moneter yang hanya akan terjadi
apabila pergeseran tersebut adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Mayoritas
pakar ekonomi, baik monetaris maupun Keynesian, menyatakan persetujuannya
terhadap pernyataan Friedman (1963) bahwa inflasi adalah fenomena moneter.
Friedman (1963) juga berpendapat bahwa sumber dari segala inflasi adalah
pertumbuhan money supply yang tinggi. Mengurangi pertumbuhan money supply
sampai ke tingkat yang rendah akan dapat menahan inflasi. Berikut adalah
pernyataan Friedman (1963) secara langsung tentang hubungan uang dan inflasi :
“Whenever a country’s inflation rate is extremely high for a sustained
period of time, it’s rate of money supply growth is also extremely high.”
Para pakar ekonomi menggunakan dua konsep dalam mempelajari inflasi.
Konsep pertama adalah tingkat harga, yang berarti tingkat rata-rata semua harga
dalam sistem ekonomi dan dinyatakan dalam simbol P. Konsep kedua adalah laju
inflasi yang berarti laju kenaikan tingkat harga secara umum. Pada umumnya,
19
untuk mengukur tingkat haga rata-rata, para ekonom menyusun suatu indeks
harga yang merata-rata harga komoditi yang berbeda menurut seberapa penting
komoditi tersebut. Indeks tersebut dikenal sebagai Consumer Price Index (CPI)
atau Indeks Harga Konsumen (IHK) (Lipsey et al., 1995).
2.3.2. Disagregasi Inflasi
Disagregasi inflasi yang sering terjadi dalam perekonomian suatu negara
dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Core Inflation (inflasi karena faktor moneter)
Inflasi inti adalah inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental
moneter dan pada umumnya dapat dikendalikan bank sentral melalui kebijakan
moneter (base money, money supply, interest rate dan exchange rate). Contohnya
: interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal (nilai tukar, harga
komoditi internasional dan inflasi mitra dagang), dan ekspektasi inflasi dari
pedagang dan konsumen.
b. Non Core Inflation (inflasi karena faktor non moneter)
Inflasi non inti adalah inflasi yang terjadi selain faktor fundamental
moneter dan sulit sekali dikendalikan oleh bank sentral. Inflasi non inti dibagi
menjadi dua, yaitu:
1) Inflasi Volatile Food
Inflasi yang dipengaruhi oleh shock dalam kelompok bahan pangan atau
makanan, seperti gagal panen, gangguan alam dan iklim, dan
gangguan
penyakit.
20
2) Inflasi Administered Price
Inflasi yang dipengaruhi shock berupa kebijakan harga pemerintah, seperti
harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), tarif angkutan, dan
lain-lain.
2.3.3. Sumber Inflasi
2.3.3.1. Demand Pull Inflation
Inflasi yang terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana
biasa dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan
yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat
tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa
mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi
tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi kemudian akan
menyebabkan harga faktor produksi meningkat sehingga inflasi terjadi karena
suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan
dalam situasi full employment dimana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan
volume likuiditas dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga
disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank
sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank
sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
21
2.3.3.2. Cost Push Inflation
Inflasi yang terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan termasuk
adanya kelangkaan distribusi, walaupun permintaan secara umum tidak ada
perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran
distribusi atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan
normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum demand
and supply, atau juga karena terbentuknya posisi equilibrium baru produk tersebut
akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi dapat terjadi
akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik,
perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk
menghasilkan produksi tersebut, aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga
memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal
yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur
memainkan peranan yang sangat penting.
2.4. Hubungan Defisit Anggaran, Pertumbuhan Uang, dan Inflasi
2.4.1. Government Budget Constrain
Dampak defisit anggaran terhadap variabel makroekonomi sering diteliti
dalam kerangka kerja analisis yang berpusat pada kendala anggaran pemerintah.
Ketika pendapatan turun secara terus menerus dan untuk membayar modal,
pemerintah akan mengalami defisit yang kemudian dapat dibiayai dengan sumber
moneter dan non-moneter. Kendala anggaran pemerintah merupakan cara untuk
22
membuktikan hubungan antara kebijakan moneter, fiskal dan makroekonomi
akibat adanya defisit anggaran.
Defisit anggaran pemerintah dapat didefinisikan dan dihubungkan dnegan
perubahan government net debt yang dapat dirumuskan :
Dg – Dg-1 = (G + Ig – T) + r Dg-1
(2.6)
dimana (Dg – Dg-1) adalah perubahan government net debt periode sekarang
dengan periode sebelumnya; G adalah pengeluaran pemerintah; Ig merupakan
investasi pemerintah; T merupakan taxes net of transfers; dan r adalah nominal
interest rate. Sisi sebelah kanan persamaan di atas adalah untuk mengukur defisit
anggaran dan persamaan memperlihatkan perubahan dalam government net debt
setara dengan defisit anggaran.
Ketika anggaran pemerintah dalam keadaan defisit, surat utang diperlukan
untuk membiayai defisit tersebut untuk menambah dana melalui penerbitan
obligasi. Pembeli dari obligasi dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori
yaitu perusahaan dan rumah tangga domestik, sistem perbankan umum domestik,
bank sentral negara tersebut, dan pihak asing (swasta maupun publik). Contoh
pada negara berkembang, bank sentral sering membeli surat utang obligasi dalam
jumlah besar yang diterbitkan untuk membiayai defisit karena permintaan yang
terbatas dari pembeli yang lain. Pemerintah mungkin juga enggan untuk menjual
dalam jumlah besar surat utang obligasi kepada publik karena akan mewajibkan
untuk membayar bunga pada periode yang akan datang. Berdasarkan fakta
tersebut, bank sentral seringkali menjadi bagian penting untuk pemerintah,
23
mungkin tidak ada pilihan untuk membeli surat utang obligasi atau monetized the
deficit.
Kecuali seperti situasi khusus, surat utang dipegang oleh publik dan bank
sentral. Oleh karena itu, perubahan dalam utang dipegang oleh bank sentral (Dgc –
Dgc-1) setara dengan keseluruhan perubahan dalam utang (Dg – Dg-1) dikurangi
perubahan dalam utang yang dipegang oleh publik (Dgp – Dgp-1) :
Dgc – Dgc-1 = (Dg – Dg-1) – (Dgp – Dgp-1)
(2.7)
Efek dari defisit anggaran pada money supply dapat ditunjukkan dari persamaan
berikut untuk perubahan monetary base (MB) :
MB – MB-1 = (Dgc – Dgc-1) + e (Rc – Rc-1) + (Lcb – Lcb-1)
(2.8)
dimana Rc adalah cadangan devisa di bank sentral; e adalah nominal exchange
rate yang dihitung dari mata uang domestik per unit mata uang asing; dan Lcb
adalah persediaan kredit dari bank umum melalui discount window. Jika
komponen discount window merupakan perubah monetary base (MB) dapat
diabaikan, persamaannya dapat ditulis :
MB – MB-1 = (Dgc – Dgc-1) + e (Rc – Rc-1)
(2.8a)
Kemudian sustitusi persamaan (2.7) dengan (2.8a) untuk menyusun
kembali hasil persamaan :
(Dg – Dg-1) = (MB – MB-1) + (Dgc – Dgc-1) – e (Rc – Rc-1)
(2.9)
atau
(G + Ig – T) + r Dg-1 = (MB – MB-1) + (Dgc – Dgc-1) – e (Rc – Rc-1) (2.9a)
Persamaan di atas dapat disebut sebagai persamaan fundamental untuk
membiayai defisit anggaran. Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa tiga
24
cara untuk membiayai defisit, yang mana setara dengan perubahan dalam
government net debt (Dg – Dg-1) :
1. Meningkatkan monetary base, MB – MB-1
2. Meningkatkan surat utang yang dipegang oleh publik, Dgc – Dgc-1 atau
3. Menurunkan cadangan devisa di bank sentral, e (Rc – Rc-1)
Untuk lebih mudahnya, untuk membiayai defisit anggaran pemerintah
dapat menciptakan uang, meminjam dari publik, atau mengurangi cadangan
devisa. Menurut Easterly, et al. dalam Hossain dan Chowdhury (1998), ketiga
sumber pembiayaan defisit tersebut dapat menyebabkan berbagai macam
permasalahan makroekonomi :
“the consequences of deficit depend on how they are financed. As a first
approximation each major type of financing, if used excessively, brings
about a macroeconomic imbalance. Money creation to finance the deficit
often leads to inflation. Domestic borrowing leads to a credit squeeze –
through higher interest rate or, when interest rates are fixed, through
credit allocation and ever more stringent financial repression – and the
crowding out of private investment and consumption. External borrowing
leads to a current account deficit and real exchange rate appreciation
and sometimes to a balance of payment crisis (if foreign reserve are run
down) or an external debt crisis (if debt is too high).”
2.4.2. The Dornbush-Reynoso Model
Peran penting defisit anggaran dalam inflasi yang tinggi membuat para
ekonom besar mencoba untuk membangun sebuah model inflasi yang dipengaruhi
oleh defisit anggaran untuk negara-negara berkembang. Seperti contohnya
Dornbusch dan Reynoso dalam Hossain dan Chowdhury (1998) membuktikan
bahwa inflasi di negara ekonomi berkembang menunjukkan interaksi dengan
empat faktor, yaitu :
25
1. Pembiayaan defisit, yang memengaruhi pertumbuhan money supply
2. Institusi keuangan, yang menetapkan permintaan uang
3. Shock pada anggaran pemerintah, dan
4. Kemampuan untuk bertindak terhadap shock tersebut dengan kebijakan
fiskal yang baik.
Inflasi yang tinggi memiliki dua karakteristik, yaitu pertama, sebagian besar
defisit anggaran dibiayai oleh money creation. Kedua, ada petunjuk dimana inflasi
periode sekarang berhubungan dengan inflasi periode sebelumnya.
Menurut Mundell dalam Hossain and Chowdury (1998), defisit anggaran
merupakan bagian (α) dari income riil dan fungsi permintaan untuk high powered
money merupakan fungsi linier inflasi yang meningkat. Bagian (β) adalah defisit
yang dibiayai oleh menciptakan uang dan dengan beberapa asumsi, Dornbusch
dan Reynoso (1993) membangun model melalui hubungan pertumbuhan dari high
powered money (μ) dan defisit anggaran, yaitu :
μ = αβ(ρ + γπ)
(2.10)
dimana ρ dan γ adalah parameter dari fungsi kecepatan. Saat kondisi steady-state,
dengan tingkat pertumbuhan output riil (gy) dan elastisitas pendapatan terhadap
uang yang bersifat unitary, tingkat inflasi (π) dapat ditunjukkan dengan :
π = (βρα – gy) / (1 – βΔα)
(2.11)
Berdasarkan model di atas maka dapat diambil tiga poin penting, yaitu
Pertama, hubungan antara inflasi dan defisit anggaran yang dibiayai oleh money
creation adalah tidak linier. Kenaikan yang rendah dari defisit dimana kondisi
defisit telah tinggi, signifikan menaikkan tingkat inflasi yang dibutuhkan untuk
26
membiayai anggaran. Kedua, struktur keuangan memengaruhi inflasi karena
pembiayaan defisit. Semakin maju struktur keuangan maka koefisien ρ dan γ akan
semakin besar, oleh karena itu, inflasi yang tinggi terhubung dengan defisit
tertentu. Ketiga, pertumbuhan ekonomi mengurangi inflasi yang disebabkan
pembiayaan defisit. Tingkat persentase penurunan pertumbuhan pendapatan akan
menaikkan inflasi berkali lipat ketika kondisi defisit yang tinggi dan juga
kecepatan lebih peka terhadap inflasi. Pergerakan besar yang menurun
pertumbuhan pendapatan riil dapat menjadi faktor penting yang memperbesar
inflasi.
2.5. Kontroversi Defisit Anggaran Pemerintah
2.5.1. Kaum Monetaris
Teori yang berdasar pada teori kuantitas uang dan menganggap aktivitas
ekonomi riil memerlukan tingkat real money balances (JUB) tertentu yang dapat
dikendalikan dan tingkat harga yang dapat dikendalikan oleh money supply.
Penjelasannya yaitu dengan jumlah money supply tertentu (bersifat eksogen dan
ditetapkan oleh kewenangan moneter) tingkat harga ditetapkan sebagai tingkat
harga yang unik dimana akan membuat daya beli money supply setara dengan
tingkat jumlah uang beredar yang diinginkan, artinya bank sentral mencoba untuk
memastikan jumlah uang dari pelaku yang diperlukan untuk transaksi. Dalam
tingkat harga tertentu, jika money supply nominal berbeda dengan jumlah uang
beredar yang diinginkan maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai perubahan
27
pada tingkat harga. Oleh karena itu, tingkat harga bersifat sangat fleksibel dan
hanya ditetapkan oleh jumlah nominal money supply.
Mengenai kebijakan fiskal, jumlah nominal money supply dapat berubah
karena digunakannya seigniorage sebagai sumber utama pembiayaan untuk
pengeluaran publik atau sebagai hasil dari operasi pasar terbuka (OPT) dari bank
sentral yang membeli utang pemerintah yang berbunga. Berdasarkan dua
mekanisme ekspansi uang tersebut mungkin memiliki akibat yang berbeda yaitu
terhadap pajak dan jumlah utang pemerintah yang juga akan berdampak berbeda
terhadap tingkat harga atau suku bunga. Kaum monetaris mengomentari dalam
mekanisme pertama (seigniorage), sedangkan mekanisme kedua (monetized the
debt) dijelaskan oleh FTPL.
Defisit anggaran dan proses pembiayaan melalui seigniorage (penciptaan
uang) dianggap sebagai exogenous terhadap kewenangan moneter. Pertumbuhan
uang akan sangat dipengaruhi oleh keperluan pembiayaan pemerintah dan tingkat
harga akan naik sebagai akibat ekspansi moneter. Dilihat dari pembahasan
empiris, dengan sistem defisit anggaran, pertumbuhan uang, dan inflasi, berarti
defisit anggaran dalam sistem persamaan jangka panjang pertumbuhan uang
bersifat weak-exogeneity. Sehingga kaum monetaris beranggapan inflasi sebagai
fenomena moneter karena terjadi karena pertumbuhan dari money supply semata.
2.5.2. The Fiscal Theory of the Price Level (FTPL)
Teori ini menghubungkan kebijakan fiskal dan moneter melalui kendala
anggaran pemerintah (GBC) antarwaktu atau dapat dipahami sebagai kondisi
28
kesanggupan pemerintah dalam membayar utang atas sektor keuangan publik
dalam jangka panjang. Kendala anggaran pemerintah dapat dipenuhi ketika
discounted value dari surplus primer pemerintah pada periode mendatang lebih
besar (atau sama dengan) nilai nominal utang publik pada periode sekarang.
Penting untuk diketahui bahwa seigniorage termasuk dalam surplus primer
pemerintah sebagai sumber pendapatan, sedangkan utang publik nominal masuk
dalam catatan atau perhitungan monetary base (M0) karena hal tersebut mengapa
sektor publik berhubungan dengan pemerintah dan bank sentral. Kendala
anggaran pemerintah (GBC) seringkali dilihat dengan persentase nominal gross
domestic product (GDP), dimana discount rate ditentukan oleh ratio antara tingkat
suku bunga terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi.
Sesuai
dengan
FTPL,
maka
GBC
diasumsikan
dalam
kondisi
keseimbangan (ekuilibrium) lalu pendapatan periode mendatang dan pengeluaran
primer bersifat exogenous terhadap kewenangan fiskal. Oleh karena itu, dalam
discount rate tertentu, jika discount value dari surplus primer lebih rendah
daripada tingkat nominal utang sebelum ditentukan (keduanya dalam persentase
terhadap GDP nominal), tingkat harga akan mengalami kenaikan untuk
menyesuaikan kondisi GBC, dengan kata lain tingkat harga menjadi satu-satunya
variabel penyesuaian untuk mempertahankan kondisi keseimbangan.
Penelitian Woodford (1995) yang menunjukkan bagaimana tingkat harga
dapat dipengaruhi oleh aksi fiskal dan menganjurkan untuk mempertimbangkan
shock harga yang positif dan bersifat eksogen yang akan menurunkan nilai riil dari
kewajiban pemerintah (utang) dan juga mengarah pada penurunan secara paralel
29
dari nilai riil dari portofolio swasta yang diinvestasikan dalam surat berharga
pemerintah. Penurunan nilai riil dari aset swasta tersebut menyebabkan efek yang
negatif terhadap tingkat kekayaan yang juga direfleksikan sebagai penurunan pada
permintaan barang (output). Berdasarkan FTPL, ekspektasi dari pelaku (agen)
mengenai kebijakan fiskal yang berkelanjutan akan menghasilkan efek yang sama
pada tingkat kekayaan.
Dalam kondisi pasar yang memiliki persepsi negatif terhadap ketahanan
keuangan publik seperti jika discounted value dari surplus primer pemerintah
tidak dapat menutupi nilai nominal dari kewajibannya, persepsi tersebut akan
mendorong naiknya tingkat harga yang diperlukan untuk mengembalikan kondisi
keseimbangan GBC. Tingkat harga yang tinggi akan menurunkan nilai riil dari
portofolio swasta dan akan berdampak negatif terhadap kekayaan yang akhirnya
akan mencerminkan permintaan barang dan jasa yang menurun. Kewajiban
pemerintah nominal (utang nominal) yang tinggi membutuhkan penyesuaian yang
besar terhadap tingkat harga sehingga FTPL dikenal juga sebagai teori kuantitas
dari utang publik. Sebagai hasilnya, persamaan jangka panjang inflasi disebabkan
adannya defisit anggaran dimana pertumbuhan uang tidak berperan mungkin
merupakan hal yang kuat mendukung FTPL.
2.5.3. Kelompok Keynesian
Kelompok Keynesian memiliki tiga ciri yang berbeda dengan aliran yang
lain. Pertama, kelompok Keynesian mengasumsikan bahwa ada kemungkinan
sumber daya tidak digunakan secara penuh. Kedua, pelaku ekonomi mempunyai
30
pandangan yang bersifat myopic. Sifat ini menggambarkan adanya hubungan antar
generasi yang erat. Ketiga, aliran Keynesian lebih memfokuskan diri pada efek
defisit anggaran temporer yang disebabkan oleh fluktuasi perekonomian.
Pengeluaran pemerintah yang meningkat secara berkelanjutan merupakan
kebijakan yang tidak mungkin dilakukan, ada suatu batas jumlah total yang
mungkin dikeluarkan pemerintah yaitu tidak bisa mengeluarkan lebih dari 100
persen dari gross domestic product (GDP). Faktanya, sebelum batas tersebut
dicapai, proses politik akan menghentikan pengeluaran pemerintah yang
meningkat tersebut. Seperti saat terjadinya penyusunan anggaran pemerintah,
dimana antara publik, politikus dan pemerintah pasti akan berdebat tentang
keseimbangan anggaran dan belanja pemerintah agar memiliki target yang tepat
bagi perekonomian. Tentu saja persepsi publik dan politikus sedikit banyak
menentukan batas yang wajar untuk pengeluaran pemerintah dapat naik. Sehingga
kelompok Keynesian menganggap bahwa inflasi yang tinggi tidak disebabkan
oleh kebijakan fiskal semata.
2.5.4. Teori Ricardian Equivalence (RE)
Berdasarkan teori Ricardian Equivalence (RE) yang berpendapat bahwa
defisit anggaran tidak akan berpengaruh terhadap perekonomiaan. Teori yang
berasal dari David Ricardo’s Funding System dan dikemukakan kembali oleh
Robbert Barro (1974) sehingga dapat dikenal juga sebagai Ricardo-Barro
Preposition.
Ricardo-Barro
Preposition
berlandaskan
pada
asumsi:
intergenerational altruism atau immortality, perfect capital markets, lump sum
31
taxation, dan kondisi bahwa tingkat utang lebih rendah daripada pertumbuhan
ekonomi. RE mengajukan hipotesis bahwa kebijakan pemerintah yang diterapkan
tidak selalu akan membawa dampak yang penting bagi perekonomiaan (neutrality
preposition). RE menggabungkan dua pendekatan fundamental, yaitu kendala
anggaran pemerintah (GBC) dan Permanent Income Hypothesis (PIH). Kendala
anggaran pemerintah menyatakan jika pengeluaran pemerintah tidak mengalami
perubahan maka tingkat pajak yang rendah pada periode sekarang akan diimbangi
oleh kenaikan tingkat pajak pada periode mendatang. Sedangkan PIH menyatakan
bahwa rumah tangga akan merespon melalui keputusan konsumsi berdasarkan
pada permanent income yang besarnya sangat tergantung oleh nilai pendapatan
setelah pajak pada periode sekarang. Pembiayaan defisit anggaran dengan
memotong pajak sekarang akan berpengaruh pada beban pajak periode
mendatang, tetapi tidak dalam nilai periode sekarang sehingga pemotongan pajak
tidak akan mengubah permanent income atau konsumsi (Waluyo, 2006).
Neutrality preposition harus di tanggapi dengan sangat hati-hati, walaupun suku
bunga tak berubah karena penerbitan obligasi negara, tetapi suku bunga dapat
mengalami perubahan karena adanya tambahan pengeluaran pemerintah.
Menurut Barro (1974), pembiayaan defisit anggaran dengan penerbitan
obligasi negara akan diimbangi oleh kenaikan pajak pada periode mendatang.
Kenaikan tingkat pajak tidak perlu membuat masyarakat takut terhadap
kemakmurannya (wealth) karena kenaikan pajak pada periode mendatang akan
diantisipasi dengan meningkatkan tabungan dan mengurangi konsumsi pada
periode sekarang. Implikasinya, individu tidak menggunakan semua pendapatan
32
untuk meningkatkan konsumsi karena penerbitan obligasi negara. Individu akan
menyimpan untuk mengantisipasi kenaikan beban pajak periode mendatang
sehingga hal itu tidak akan menaikkan permintaan terhadap barang dan jasa.
Jika pemerintah meningkatkan pajak hari ini untuk membayar utang
obligasi negara maka individu akan memandang kebijakan ini sama dengan
menggantikan pajak saat ini untuk pajak yang akan datang (pada present value
yang sama). Kebijakan ini akan menggeser titik endowment tetapi nilai aliran
pendapatan sekarang secara keseluruhan tidak mengalami perubahan. Individu
akan memilih berkonsumsi dan akan lebih banyak meminjam sekarang sampai
terjadi kenaikan dalam present value pajak.
RE juga berpendapat bahwa perubahan dalam pajak dan pembiayaan
defisit anggaran mempunyai dampak yang sama bagi variabel makro (terutama
konsumsi swasta). RE dibangun dari premis bahwa penerbitan obligasi Negara
pada saat ini selalu disertai dengan rencana kenaikan pajak di masa mendatang.
Pembiayaan utang pemerintah diasumsikan hanya mengalami perubahan sesuai
dengan perubahan perpajakan sehingga konsumsi agregat akan tetap. Dalam
kerangka pemikiran RE individu mengasumsikan pajak yang akan datang sama
dengan besarnya beban utang pemerintah (Barro, 1989).
2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai hubungan defisit anggaran dengan variabel moneter
maupun makroekonomi telah diteliti secara luas di negara sedang berkembang
maupun negara maju dengan berbagai hasil yang berbeda. Berikut ini akan
33
dipaparkan penelitian terdahulu yang menganalisis dmapak defisit anggaran
terhadap perekonomian.
Penelitian Cevdet Akcay, et al. (1996), menggunakan data tahunan
(periode 1948 hingga 1994) dan data kuartalan (periode 1987Q1 hingga 1995Q4)
Turki. Cevdet Akcay, et al. (1996) menggunakan VAR dan VEC. Mereka
meneliti adanya hubungan jangka panjang yang stabil antara defisit anggaran,
pertumbuhan uang dan inflasi. Penelitian ini menemukan vektor kointegrasi yang
menyimpulkan bahwa pengaruh yang signifikan defisit anggaran terhadap inflasi
tidak dapat ditolak setelah kesesuaian data kuartalan menggambarkan periode
pembiayaan surat obligasi sebagai acuan. Hasil tersebut memberi kesan bahwa
variabel lain mempunyai hubungan lemah terhadap inflasi. Lebih lanjut dengan
menggunakan
pendekatan
ARIMA
bahwa
hasil
tersebut
sesuai
dan
menggambarkan kelembaman dalam proses inflasi terus meningkat. Adanya
pembiayaan dengan surat obligasi sesudah 1986 mungkin menjadi catatan untuk
hubungan yang lemah defisit anggaran terhadap inflasi sampai pada tingkat
tertentu.
Tekin-Koru dan Ozmen (2003) meneliti hubungan jangka panjang antara
defisit anggaran, inflasi dan pertumbuhan uang di Turki dengan menggunakan dua
alternatif sistem trivariat secara bersamaan dan data kuartalan (1983 hingga 1999).
Dimana definisi money supply yang digunakan adalah dalam arti sempit (currency
in circulation, CC) dan arti luas (M2Y). Mereka menemukan bahwa pada studi
kasus di Turki, uang dan inflasi bersifat endogenous sehingga menolak pandangan
kaum monetaris. Hubungan langsung yang lemah antara inflasi dan defisit
34
anggaran juga menyebabkan teori fiskal (FTPL) ditolak. Defisit anggaran yang
ditetapkan bersifat eksogen terhadap pertumbuhan uang sesuai dengan pendapat
Sargent dan Wallace (1981). Meski demikian, agregat moneter yang tumbuh
karena pembiayaan defisit bukanlah di luar uang seperti yang diteliti oleh SW,
akan tetapi oleh agregat yang lainnya, sebagian besar dapat dijelaskan seperti di
dalam uang atau uang berjangka atau uang kuasi (M2Y). Mengacu pada kebijakan
pembiayaan dengan utang domestik (publik) di luar sistem bank komersial, defisit
anggaran di Turki menyebabkan tumbuhnya uang dalam arti luas dan bukan
penciptaan mata uang.
Penelitian Lozano (2008) menganalisis fakta tentang hubungan sebabakibat jangka panjang antara defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi di
Colombia. Data yang dipakai adalah data tahunan selama 53 tahun dan data
kuartalan selama 25 tahun (periode 1982Q1 hingga 2007Q4) yaitu defisit
anggaran, CPI dan pertumbuhan uang (dimana definisi money supply yang dipakai
adalah standar (M1), sempit (M0-primer) dan luas (M3)). Menggunakan VECM
untuk pengujian beberapa hipotesis (Monetarist Hypotheses (MH), The Fiscal
Theory of the Price Level (FTPL), New Keynesian (NK), dan Sarget and Wallace
Hypothesis (SW-H). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Sargent and
Wallace
Hypothesis
(SW-H)
merupakan
hipotesis
yang
sesuai
untuk
menggambarkan hubungan ketiga variabel di Kolombia, yaitu defisit angaran,
pertumbuhan uang dan inflasi. Pendapat tersebut menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan jangka panjang antara inflasi dan pertumbuhan uang di satu sisi dan
antara pertumbuhan uang dan defisit anggaran di sisi yang lain.
35
Saad dan Kalacech (2009) menguji pengaruh dari defisit anggaran
terhadap permintaan uang di Lebanon. Variabel makroekonomi yang lainnya
(PDB riil, IHK, pengeluaran pemerintah dan tingkat suku bunga) juga digunakan
di dalam penelitian tersebut untuk menganalisis pengaruhnya terhadap permintaan
uang riil (M1) saat defisit anggaran terjadi secara terus-menerus. Menggunakan
kointegrasi ECM dan data tahunan dari tahun 1973 hingga 2007, mereka
menemukan bahwa terdapat hubungan jangka panjang yang terjadi antara
permintaan uang (dalam arti sempit) riil dan
PDB, pengeluaran pemerintah,
tingkat suku bunga, dan IHK. Walaupun defisit anggaran tidak berpengaruh pada
permintaan uang di jangka panjang atau seperti pandangan Ricardian, VECM
menggambarkan bahwa 52 persen ketidakseimbangan selalu disesuaikan setiap
tahun. Koefisien defisit anggaran yang secara statistik signifikan dan positif di
jangka pendek sesuai dengan pandangan Keynesian-Neoklasik. Kemudian hasil
penelitian juga menggambarkan bahwa IHK tidak signifikan terhadap M1 di
jangka pendek dan PDB riil berdampak negatif terhadap permintaan uang riil
selama periode tersebut atau sering disebut crowding-out effect. Analisis yang lain
memperlihatkan defisit anggaran memiliki efek positif terhadap permintaan uang
di jangka pendek, namun tidak berpengaruh terhadap M1 di jangka panjang.
Penelitian Adji (1995) menggunakan model persamaan tunggal dan data
tahun 1971-92. Aplikasi Error Correction Model (ECM) digunakan untuk melihat
proses keseimbangan jangka panjang dan jangka pendek antara tingkat inflasi dan
defisit anggaran. Hasil penelitian membuktikan bahwa Ricardian Equivalence
berlaku di dalam perekonomian Indonesia. Dalam jangka panjang, pembiayaan
36
anggaran pemerintah dengan utang publik tidak mempengaruhi tingkat konsumsi
masyarakat.
Maryatmo (2004) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengamati
dampak dari kebijakan defisit anggaran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
variabel makro ekonomi secara umum dan khususnya variabel moneter dalam
jangka panjang dan jangka pendek di Indonesia. Penelitian ini menggunakan
spesifikasi model asa nalar (Rational Expectation) yang memungkinkan
pengambil keputusan untuk mencegah efek-efek yang lain. Model tersebut
mengkonstruksi delapan persamaan jangka panjang, delapan persamaan jangka
pendek dan 12 persamaan identitas. Pengestimasian menggunakan metode Two
Stage Least Square (2SLS) dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa defisit
anggaran mempengaruhi tingkat suku bunga dalam jangka panjang dan jangka
pendek. Defisit anggaran juga berpengaruh terhadap nilai tukar dan tingkat harga
dalam jangka panjang hasil uji kausalitas memperlihatkan bahwa nilai tukar dan
tingkat harga mempunyai efek yang berkebalikan dengan defisit anggaran.
Penelitian Waluyo (2006) mengenai dampak pembiayaan defisit anggaran
dengan utang luar negeri terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia
tahun 1970-2003. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan dan metode
Two Stage Least Squares (2SLS). Model dari penelitian ini terdiri dari 17
persamaan perilaku dan 18 persamaan identitas dengan 6 blok. Berdasarkan
penelitian Waluyo (2005) dapat diambil kesimpulan bahwa pembiayaan defisit
anggaran dengan menggunakan utang luar negeri akan berdampak meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan bersifat inflationary. Kesimpulan ini didukung pula
37
dengan hasil simulasi yang menunjukkan bahwa setiap adanya kenaikan
penarikan utang luar negeri baru maka menambah cadangan devisa. Penambahan
cadangan devisa akan menyebabkan terjadinya peningkatan uang primer. Setelah
uang primer dengan angka pengganda uang maka akan berdampak terhadap
peningkatan tingkat harga. Tambahan capital inflow dari utang luar negeri akan
meningkatkan pengeluaran pemerintah sehingga investasi pemerintah juga ikut
mengalami kenaikan. Selanjutnya peningkatan investasi pemerintah akan
berdampak terhadap peningkatan kapital stok pemerintah, sehingga pertumbuhan
ekonomi akan mengalami peningkatan pula.
2.7. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis hubungan defisit anggaran
terhadap pertumbuhan uang dan inflasi (kebijakan moneter) di Indonesia, dengan
menggunakan pendekatan sistem trivariabel antara inflasi, pertumbuhan uang dan
defisit anggaran. Estimasi persamaan jangka panjang inflasi dan pertumbuhan
uang akan dilakukan untuk mengetahui dampak defisit anggaran terhadap
persamaan tersebut.
Hasil dari analisis data kemudian nantinya dibandingkan dengan hipotesis
yang telah dibuat. Pada akhirnya akan ditarik kesimpulan apakah defisit anggaran
(kebijakan fiskal) mempengaruhi pertumbuhan uang dan inflasi (kebijakan
moneter) di Indonesia. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam
Gambar 2.1.
38
Kebijakan Fiskal
Kebijakan Moneter
Kebijakan Anggaran
Variabel Moneter
Defisit Anggaran
Pertumbuhan Uang
(M0, M1 & M2)
Inflasi
Data dan Pembentukan Sistem
(INF, M0GRW, DEFY)
(INF, M1GRW, DEFY)
(INF, M2GRW, DEFY)
Estimasi Persamaan Jangka
Panjang Inflasi dan
Pertumbuhan Uang
(VEC model yang dilengkapi
dengan uji exclusion dan weak
exogeneity)
Apakah Defisit Anggaran
Berpengaruh? Teori Apa yang
Berlaku di Indonesia?
Kesimpulan dan Saran
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
39
2.8. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan konsep yang relevan serta hasil penelitian terdahulu,
hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Defisit anggaran memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan uang (M0,
M1 dan M2).
2.
Pertumbuhan uang berhubungan positif dengan inflasi. (Teori Monetaris dan
Keynesian)
3.
Defisit anggaran memiliki hubungan positif dengan inflasi. (FTPL)
4.
Defisit anggaran tidak memiliki hubungan antara pertumbuhan uang dan
inflasi. (Teori Ricardian Equivalance (RE))
40
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series
sekunder. Data-data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari
Kementrian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Statistik Ekonomi dan
Keuangan Bank Indonesia (SEKI-BI) dari berbagai edisi, International Financial
Statistic (IFS) of International Monetary Fund (IMF) serta sumber lain yang
relevan. Data yang digunakan, diantaranya yaitu defisit anggaran pemerintah,
pertumbuhan uang (base money (M0), narrow money (M1), dan broad money
(M2)) serta IHK (Indeks Harga Konsumen) sebagai pencerminan tingkat inflasi
dengan periode waktu data antara bulan Januari 2002 hingga Desember 2009.
3.2. Model Penelitian
Dalam menganalisis hubungan jangka panjang antara defisit anggaran,
pertumbuhan uang, dan inflasi pada penelitian ini digunakan model Vector Error
Correction (VEC). Penggunaan model VEC adalah untuk melihat hubungan
keseimbangan jangka panjang dari persamaan-persamaan yang terkointegrasi.
Sebagai tambahan, ketika terjadi shock yang tidak terduga yang menyebabkan
variabel-variabel tersebut menyimpang dari kondisi keseimbangan, maka model
tersebut juga memberikan penilaian melalui penyesuaian dinamis pada jangka
pendek menuju jangka panjang. Model yang digunakan dalam penelitian ini
41
diadopsi dari model penelitian Lozano (2008). Penelitian ini menggunakan sistem
trivariabel yang menggunakan model VEC dimana:
,
=(
,
,
)
(3.1)
,
=(
,
,
)
(3.2)
,
=(
,
,
)
(3.3)
dimana:
INF
= laju inflasi year on year
M0GRW = pertumbuhan base money (uang inti-M0)
M1GRW = pertumbuhan narrow money (uang dalam arti sempit-M1)
M2GRW = pertumbuhan broad money (uang dalam arti luas-M2)
DEFY
= defisit anggaran pemerintah
Sesuai dengan jurnal yang diacu, maka data pertumbuhan uang dan IHK
diubah dalam bentuk laju pertumbuhan year on year sehingga berbentuk
persentase, sedangkan data defisit anggaran pemerintah sudah berbentuk
persentase dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Khusus untuk variabel defisit
anggaran, jika terjadi defisit maka akan bernilai positif sedangkan jika terjadi
surplus maka bernilai negatif. Data pertumbuhan uang (M0, M1 dan M2)
berbentuk nominal, sedangkan data inflasi dan defisit anggaran dalam bentuk riil.
3.3. Metode Analisis Data
3.3.1. Uji Stasioneritas Data
Data ekonomi time series pada umumnya bersifat stokastik atau memiliki
trend tidak stasioner artinya data tersebut mengandung akar unit. Untuk dapat
42
mengestimasi suatu model menggunakan data tersebut maka langkah pertama
yang harus dilakukan adalah masalah uji stasioneritas data atau dikenal dengan
unit root test. Apabila data yang digunakan mengandung akar unit maka akan sulit
untuk mengestimasi suatu model dengan menggunakan data tersebut karena trend
data tersebut cenderung berfluktuasi tidak disekitar nilai rata-ratanya. Maka dapat
disimpulkan bahwa data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk
mendekati nilai rata-ratanya dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya (Gujarati,
2004).
Ada berbagai cara untuk mengukur kestasioneran data, salah satunya
adalah dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Jika nilai
ADF statistiknya lebih kecil dari MacKinnon Critical Value maka dapat
disimpulkan bahwa data tersebut stasioner. Namun jika nilai ADF statistiknya
ternyata lebih besar dari nilai MacKinnon Critical Value berarti data tersebut tidak
stasioner. Salah satu cara yang dapat dilakukan apabila berdasarkan uji ADF
diketahui suatu data time series adalah non stasioner adalah dengan meningkatkan
taraf nyata yang digunakan. Jika hal tersebut tidak berhasil, kemudian lakukan
difference non stationary processes.
Pada dasarnya Augmented Dickey Fuller (ADF) Test melakukan regresi
terhadap persamaan berikut:
∆
Δ
…
∆
(3.4)
Hipotesis yang diuji adalah :
H0 :
= 0 (data tidak stasioner)
H1 :
< 0 (data stasioner)
43
dimana
=
+
+… +
. Nilai
diestimasi melalui metode Ordinary
Least Square (OLS) dengan statistik uji yang digunakan adalah :
=
/
(3.5)
dengan:
= simpangan baku dari
Jika nilai
lebih kecil dari nilai MacKinnon Critical Value, maka
keputusan yang diambil adalah tolak H0. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data
tersebut telah stasioner.
3.3.2. Penentuan Lag Optimal
Untuk memperoleh panjang lag optimal ada dua pengujian yang
dilakukan. Tahap pertama adalah melihat panjang lag maksimum sistem VAR
yang stabil. Stabilitas sistem VAR dapat dilihat dari nilai inverse roots
karakteristik AR polinomialnya dan dapat dikatakan stabil apabila seluruh rootsnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak pada unit circle.
Kemudian tahap kedua yang harus dilakukan dalam mencari panjang lag
(ordo) optimal. Penentuan lag optimal dapat diidentifikasi dengan menggunakan
Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC),
Hannan-Quinn Criterion (HQ), dan sebagainya.. Secara matematis, perumusan
AIC dan SC adalah sebagai berikut:
AIC(k) = - 2
SC(k) = - 2
+2
+ k log (T)/T
(3.6)
(3.7)
44
dimana l adalah nilai dari fungsi log likelihood dan k adalah jumlah parameter
yang diestimasi dengan menggunakan T pengamatan. Dalam penelitian ini akan
digunakan kriteria SC. Besarnya lag optimal ditentukan oleh lag yang memiliki
kriteria SC terkecil.
3.3.3. Uji Kointegrasi (Cointegration Test)
Kointegrasi merupakan hubungan jangka panjang (long term relationship)
antara variabel-variabel stasioner pada derajat integrasi yang sama. Konsep dari
kointegrasi menyatakan bahwa jika satu variabel atau lebih tidak stasioner akan
tetapi terkointegrasi, maka kombinasi linier antara variabel dalam sistem akan
bersifat stasioner, sehingga diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang
relatif stabil (Enders, 1995).
Engle dan Granger dalam Enders (1995) menyatakan bahwa hubungan
kointegrasi hanya dapat dibentuk oleh variabel-variabel yang terintegrasi pada
derajat yang sama. Selain itu, menurut Engle dan Granger komponen-komponen
dari vektor
=(
,
,…,
) dikatakan terkointegrasi pada order (d,b), jika:
1. Semua komponen-komponen dari xt terintegrasi pada order d,
2. Terdapat vector β = ( ,
=
+
,…,
+…+
) sehingga kombinasi linier dari
terintegrasi pada order (d-b) dengan
b>0.
Pada dasarnya terdapat pelbagai cara untuk melakukan uji kointegrasi,
yaitu : uji kointegrasi Engle-Granger dan uji kointegrasi Johansen. Namun, yang
digunakan dalam penelitian ini adalah uji kointegrasi Johansen.
45
Prosedur
pengujian
kointegrasi
Johansen
merupakan
generalisasi
multivariat dari Dickey-Fuller Test (Enders, 1995). Seperti halnya the augmented
dickey fuller test, model multivariat juga dapat digeneralisasi menjadi:
=
+
+…+
+
(3.8)
Persamaan diatas juga dapat ditransformasi menjadi:
∆
∆
(3.9)
dimana:
1–
Pengujian bertujuan untuk menilai rank dari matriks π. Rank dari matriks π
adalah jumlah vektor kointegrasi yang independen. Jika rank (π) = 0, maka
matriks bernilai nol dan persamaan (3.14) merupakan persamaan VAR biasa
dalam bentuk first difference. Jika rank (π) = 1, maka terdapat satu vektor
kointegrasi dan bagian
merupakan error correction model.
Jumlah vektor kointegrasi bisa diketahui dengan melihat signifikansi dari
characteristic roots dari π. Pengujian untuk jumlah characteristic roots dapat
dilakukan melalui dua uji statistik, yaitu:
(3.10)
46
,
(3.11)
dimana:
= estimasi nilai characteristic roots (yang disebut eigenvalues) yang
diperoleh dari estimasi matriks
T
= jumlah observasi yang digunakan
3.3.4. Vector Error Correction (VEC) Model
VEC Model adalah bentuk VAR yang terestriksi. Tambahan restriksi harus
diberikan karena tidak stasionernya bentuk data yang diestimasi namun
terkointegrasi. Informasi restriksi kointegrasi tersebut akan dimanfaatkan VECM
dalam modelnya sehingga VECM juga disebut sebagai bentuk VAR bagi time
series non stasioner yang memiliki kointegrasi.
Persamaan regresi yang lancung (spurious regression) dapat diatasi
dengan cara menarik differensial dari variabel dependen dan independen,
sehingga didapatkan variabel yang stasioner dengan pendifferensialan I(n).
Namun kestasioneran data melalui pendifferensialan tersebut tidaklah cukup, hal
ini juga merepresentasikan bahwa model VAR biasa tidak langsung dapat
digunakan karena mempertimbangkan masuk atau tidaknya informasi jangka
pendek dan panjang dalam model.
Terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan yaitu model VAR dengan
pendifferensialan (VAR first difference) untuk data yang tidak terkointegrasi atau
VECM untuk data yang terkointegrasi. Apabila pilihan pertama dilakukan maka
informasi jangka panjang akan hilang karena hanya menerangkan hubungan
47
jangka pendek sehingga hubungan antara variabel pada level menjadi hilang
karena berdasarkan parameter yang tidak terkointegrasi. Sehingga diperlukan
pendekatan alternatif yaitu dengan Error Correction Model (ECM) jika
persamaan tunggal dan Vector Error Correction Model (VECM) jika
persamaannya lebih dari satu. ECM atau VECM telah meng-cover informasi
jangka pendek dan jangka panjang karena dalam persamaan mengandung
parameter jangka pendek dan jangka panjang. Sehingga persamaan ECM dapat
dituliskan sebagai:
∆
∆
(3.12)
dimana:
= parameter jangka pendek,
λ
= parameter error correction,
,
= parameter jangka panjang.
VECM berasal dari VAR (k) dengan mengurangi lag VAR sama dengan
satu dimana variabel yng relevan bersifat endogen. Model VECM (k-1) secara
umum adalah:
∆
∆
´
(3.13)
dimana:
∆
=
-
(k – 1) = lag VECM dari VAR,
Γ
= matriks koefisien regresi (b1, b2, b3),
= vektor intersep,
48
= vektor koefisien regresi,
= loading matrix,
´
= vektor kointegrasi.
Berdasarkan persamaan di atas, vektor kointegrasi
´
sangat ditekankan
karena menunjukkan adanya kointegrasi dalam variabel-variabel yang diestimasi.
Apabila rank kointegrasi sama dengan dua (r=2) maka terdapat dua vektor
kointegrasi yang terbentuk.
3.3.5. Vector Error Correction Restrictions
Vector Error Correction Restrictions merupakan suatu metode turunan
dari VAR yang berguna untuk melihat hubungan keseimbangan jangka panjang
dari persamaan-persamaan yang terkointegrasi. Hubungan kointegrasi ke-I
direpresentasikan sebagai berikut:
,
*
+
,
*
+…+
,
*
=0
(3.14)
dimana:
,
,…
= variabel endogen.
= koefisien kointegrasi persamaan kointegrasi ke-i dan variabel
,
endogen ke-k.
Cara untuk dapat mengidentifikasi persamaan jangka panjang adalah
dengan merestriksi beberapa variabel dari satu persamaan kointegrasi. Metode ini
juga merupakan cara untuk melihat pengaruh suatu variabel terhadap variabel
lainnya dalam jangka panjang. Intepretasi dapat dilakukan dengan melihat
49
koefisien kointegrasinya dan pembacaan tanda adalah terbalik dari tanda
koefisiennya.
3.3.6. Uji Lag Structure
Untuk mengetahui hubungan jangka pendek atau jangka panjang antar
variabel dalam sistem persamaan VAR/VECM tidak cukup jika hanya
menggunakan tingkat dan tanda dari koefisien yang dihasilkan, maka untuk
memeriksa ketepatan estimasi VAR/VECM akan dilanjutkan dengan dua uji lag
structure tambahan yaitu uji lag exclusion dan weak exogeneity.
3.3.5.1. Uji Exclusion
Pengujian lag exclusion dapat dilakukan untuk setiap lag pada VAR.
Untuk setiap lag yang diuji, statistik
(Wald) bertujuan untuk melihat
signifikansi semua variabel endogen dalam setiap persamaan pada lag tersebut,
yang dapat dilihat secara terpisah maupun bersama (Joint).
Namun perlu diperhatikan, jika estimasi yang digunakan adalah VEC, lag
pada variabel yang diuji untuk exclusion adalah hanya pada first differenced
sedangkan saat lag pada level dalam persamaan kointegrasi (saat error correction)
tidak diuji.
3.3.5.2. Uji Weak Exogeneity
Uji weak exogeneity (uji pairwise Granger causality) dapat dilakukan
untuk menguji apakah variabel endogen dalam suatu persamaan dapat
50
diperlakukan menjadi variabel eksogen. Untuk setiap persamaan pada VAR, hasil
output memperlihatkan nilai statistik
(Wald) untuk signifikansi setiap variabel
endogen dalam suatu persamaan. Nilai statistik pada baris terakhir (All) adalah
statistik
(Wald) untuk melihat nilai signifikansi gabungan dari seluruh variabel
endogen dalam suatu persamaan.
51
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini
adalah metode analisis Vector Error Correction (VEC) yang dilengkapi dengan
dua uji lag structure tambahan yaitu lag exclusion dan weak exogeneity dengan
menggunakan alat analisis Software Eviews versi 6.0. Metode VEC digunakan
dalam penelitian karena sesuai untuk data time series dan sesuai untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Tahapan-tahapan dalam analisis VEC
adalah sebagai berikut:
4.1. Uji Stasioneritas Data
Uji kestasioneran data pada seluruh variabel sangat penting dilakukan
untuk data yang bersifat time series guna mengetahui apakah data tersebut
mengandung akar unit atau tidak. Data yang tidak mengandung akar unit atau
bersifat stasioner berarti data tersebut memiliki ragam yang tidak terlalu besar dan
mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya.
Apabila data yang digunakan tidak stasioner maka dapat menghasilkan
hubungan palsu atau spurious regression. Spurious regression adalah regresi yang
menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan
secara statistik tetapi pada kenyataannya tidak, atau tidak sebesar yang nampak
pada regresi yang dihasilkan.
52
Tabel 4.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level
Variabel
ADF
Nilai Kritis MacKinnon
Statistic
1%
5%
10%
INF
-2.367895 -4.058619 -3.458326 -3.155161
M0GRW -3.875170 -4.057528 -3.457808 -3.154859
M1GRW -2.108224 -4.058619 -3.458326 -3.155161
M2GRW -3.637500 -4.057528 -3.457808 -3.154859
DEFY
-9.276394 -4.057528 -3.457808 -3.154859
Keterangan*
Tidak Stasioner
Stasioner
Tidak Stasioner
Stasioner
Stasioner
Sumber : Lampiran 3
*) taraf nyata 5%
Hasil uji ADF in level atau I(0) menunjukkan bahwa nilai mutlak statistik
ADF lebih besar dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5 persen pada
variabel M0GRW, M2GRW dan DEFY sehingga dapat disimpulkan ketiga
variabel tersebut tidak mengandung akar unit atau sudah stasioner pada level.
Sedangkan untuk variabel INF dan M1GRW, nilai mutlak statistik ADF lebih
kecil dari nilai kritis MacKinnon sehingga disimpulkan kedua variabel
mengandung akar unit atau belum stasioner pada level. Oleh karena itu,
diperlukan pengujian akar unit lanjutan yaitu pengujian in first difference atau I(1)
untuk kedua variabel tersebut agar stasioner pada tingkat yang sama (Tabel 4.1).
Tabel 4.2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference
Variabel
ADF
Nilai Kritis MacKinnon
Statistic
1%
5%
10%
INF
-7.966493 -2.589795
-1.944286
-1.614487
M1GRW -13.92580 -2.589795
-1.944286
-1.614487
Keterangan*
Stasioner
Stasioner
Sumber : Lampiran 3
*) taraf nyata 5%
Hasil pengujian in first difference atau I(1) menunjukkan bahwa variabel
INF dan M1GRW tidak mengandung akar unit atau stasioner pada taraf nyata 5
persen. Hal ini karena nilai mutlak statistik ADF lebih besar dari nilai kritis
MacKinnon pada taraf nyata 5 persen (Tabel 4.2). Berdasarkan hasil tersebut,
dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel yang diestimasi sudah stasioner dan
53
dapat dilanjutkan dengan langkah pengujian selanjutnya yaitu penentuan lag
optimal.
4.2. Penentuan Lag Optimal
Penentuan lag optimal penting untuk dilakukan karena dalam metode
VAR, lag optimal dari variabel endogen merupakan variabel independen yang
digunakan dalam model. Lag optimal dalam model ini ditentukan nilai Schwarz
Information Criteria (SC) yang terkecil.
Tabel 4.3. Penentuan Lag Optimal
Schwarz Information Criterion (SC)
Lag
0
1
2
3
4
5
6
7
8
18.28994
16.04337*
16.36702
16.76291
17.04243
17.38566
17.73559
18.09697
18.27320
17.21259
14.61269*
14.85764
15.23484
15.52232
15.90667
16.31311
16.67446
16.80918
16.53939
13.14919*
13.46052
13.84323
14.06105
14.46193
14.82433
15.16792
15.21982
Sumber : Lampiran 4
*) lag optimal
Berdasarkan Tabel 4.3, lag optimal dari seluruh sistem trivariabel
( ,
, dan
) pada model VAR adalah lag 1. Setelah itu diuji kembali dengan
lag 1 untuk melihat apakah ketiga sistem trivariabel tersebut stabil atau tidak.
Hasil pengujian kestabilan model VAR dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil uji
kestabilan menunjukkan bahwa seluruh sistem trivariabel tersebut stabil karena
semua modulusnya tidak lebih besar dari 1. Uji stabilitas ini perlu dilakukan
karena persamaan yang tidak stabil akan menyebabkan hasil dari Impulse
Response Function (IRF) menjadi tidak valid.
54
4.3. Uji Kointegrasi
Kointegrasi merupakan hubungan jangka panjang (long term relationship)
antara variabel-variabel stasioner pada derajat integrasi yang sama. Konsep dari
kointegrasi menyatakan bahwa jika satu variabel atau lebih tidak stasioner akan
tetapi terkointegrasi, maka kombinasi linier antara variabel dalam sistem akan
bersifat stasioner, sehingga diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang
relatif stabil (Enders, 2004). Uji kointegrasi pada penelitian ini menggunakan
Johansen Trace Statistic Test untuk mengetahui konsistensi jangka panjang dari
model yang dianalisis.
Tabel 4.4. Hasil Uji Kointegrasi Johansen
System
Hypothesis
Eigenvalue
Trace Statistic
Z1
r = 0*
r ≤ 1*
r≤2
0.348605
0.104931
0.020664
52.67509
12.38304
1.962755
5 Percent
Critical Value
24.27596
12.32090
4.129906
Z2
r = 0*
r≤1
r≤2
0.345966
0.070699
0.009369
47.68915
7.777162
0.884864
24.27596
12.32090
4.129906
Z3
r = 0*
r≤1
r≤2
0.367496
0.058234
0.006198
49.28276
6.224349
0.584450
24.27596
12.32090
4.129906
Sumber : Lampiran 7
*) tolak H0 pada taraf 5 %
Jumlah persamaan yang terkointegrasi dari setiap sistem trivariabel dapat
diketahui dengan membandingkan nilai Trace Statistic terhadap nilai Critical
Value. Taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 persen. Apabila
nilai Trace Statistic lebih besar daripada nilai 5 Percent Critical Value maka
persamaan tersebut terkointegrasi. Hasil uji kointegrasi Johansen menunjukkan
bahwa untuk sistem trivariabel
dan
terdapat satu persamaan yang
55
terkointegrasi pada taraf 5 persen, sedangkan pada sistem trivariabel
terdapat
dua persamaan yang terkointegrasi pada taraf 5 persen (Tabel 4.4).
4.4. Persamaan Jangka Panjang Inflasi, Pertumbuhan Uang dan Defisit
Anggaran
Persamaan jangka panjang inflasi, pertumbuhan uang dan defisit anggaran
dapat diidentifikasi dengan model Vector Error Correction. Penggunaan model
VEC adalah untuk melihat hubungan keseimbangan jangka panjang dari
persamaan-persamaan yang terkointegrasi. Sebagai tambahan, ketika terjadi shock
yang tidak terduga yang menyebabkan variabel-variabel tersebut menyimpang
dari kondisi keseimbangan, maka model tersebut juga memberikan penilaian
melalui penyesuaian dinamis pada jangka pendek menuju jangka panjang.
Intepretasi dapat dilakukan dengan melihat koefisien kointegrasinya dan
pembacaan tanda adalah terbalik dari tanda koefisiennya.
Kemudian, untuk mendapatkan hasil analisis statistik dan ekonomi yang
lebih tepat pada model VEC, maka tingkat signifikansi dan tanda koefisien dari
variabel tidaklah cukup sehingga perlu dilengkapi dengan dua uji lag structure
tambahan yaitu exclusion dan weak exogeneity. Uji exclusion digunakan untuk
menilai dan mengevaluasi hubungan (signifikansi) antar variabel terhadap sistem
dalam persamaan jangka panjang. Jika hipotesis awal (H0) ditolak pada vektor
pertama maka variabel tersebut dapat dimasukkan (signifikan) ke dalam sistem.
Sedangkan uji weak exogeneity dapat digunakan untuk membuktikan variabel
tersebut dapat menjadi variabel yang menjelaskan (biasanya berada di sisi sebelah
kanan persamaan) sebagai eksogen terhadap sistem atau hanya menjadi variabel
56
yang dijelaskan (berada di sisi sebelah kiri persamaan) sebagai endogen terhadap
sistem. Pada uji ini, jika hipotesis awal (H0) tidak mampu ditolak maka variabel
tersebut sebagai weak exogeneity.
Hasil uji kointegrasi pada analisis model Vector Error Correction,
menunjukkan koefisien estimasi jangka panjang. Hasil vektor kointegrasi inflasi,
pertumbuhan uang dan defisit anggaran dapat dilihat pada Tabel 4.5, dimana
angka di dalam kurung merupakan standard error. T-statistik diperoleh dari
pembagian koefisien variabel dengan standard error, jika t-statistik lebih besar
dari t-tabel (pada taraf nyata 5 persen), maka variabel independen memberikan
pengaruh terhadap variabel dependen. Untuk intepretasi dapat dilakukan dengan
melihat koefisien kointegrasinya dan pembacaan tanda adalah terbalik dari tanda
koefisiennya.
57
Tabel 4.5. Hasil Estimasi VEC
Sistem (INF, M0GRW, DEFY) :
Standardized Eigenvectors (β’s)
INF
M0GRW
1.000000
0.000000
Vektor pertama
(0.00000)
0.000000
(0.00000)
Vektor kedua
(0.00000)
1.000000
(0.00000)
DEFY
-23.86757*
(3.41304)
-52.30928*
(7.89635)
Standardized Adjustment Coefficients (α’s)
D(INFYOY)
D(M0GRW)
D(DEFY)
0.152080
-0.238974
-0.104868
0.047685
-0.263068
-0.044306
Sistem (INF, M1GRW, DEFY) :
Standardized Eigenvectors (β’s)
INF
M1GRW
DEFY
Vektor pertama
1.000000
(0.00000)
0.800058
(0.52847)
10.68284*
(1.44995)
-0.001257
0.080278
0.104635
C
-26.77522
(8.47368)
Standardized Adjustment Coefficients (α’s)
D(INFYOY)
D(M1GRW)
D(DEFY)
0.190094
-0.546646
-0.013293
0.011528
-0.348082
0.013705
Sistem (INF, M2GRW, DEFY) :
Standardized Eigenvectors (β’s)
INF
M2GRW
Vektor pertama
1.000000
(0.00000)
-1.311706*
(0.33259)
0.039114
0.124090
0.100034
DEFY
14.43921*
(1.99895)
Standardized Adjustment Coefficients (α’s)
D(INFYOY)
D(M2GRW)
D(DEFY)
0.189349
-0.031864
-0.112423
0.179727
-0.040395
-0.286608
0.030442
-0.003062
0.108039
Sumber : Lampiran 8
*) signifikan pada taraf nyata 5%
58
Tabel 4.6. Hasil Uji Lag Structure Uji Lag Structure
Sistem Trivariabel
Sistem (INF, M0GRW, DEFY) :
INF
M0GRW
DEFY
10.56702*
6.466979*
2.270763
Uji Lag Exclusion
LR~
Uji Weak Exogeneity
LR~
Sumber : Lampiran 9
*) tolak H0 pada taraf 5 % (
Sistem
INF
4.155143*
(INF, M1GRW, DEFY) :
M1GRW
DEFY
18.33136*
0.965916
Sistem
INF
9.583525*
(INF, M2GRW, DEFY) :
M2GRW
DEFY
0.206532
3.563111
Sistem
INF
6.966624*
(INF, M0GRW, DEFY) :
M0GRW
DEFY
0.227202
1.692069
Sistem
INF
0.700262
(INF, M1GRW, DEFY) :
M1GRW
DEFY
5.885373*
0.029582
Sistem
INF
6.023973*
(INF, M2GRW, DEFY) :
M2GRW
DEFY
0.059331
3.050137
variabel
tabel = 3,84)
Persamaan pada Sistem
INF = 23.86757 DEFY
[6.95409]
M0GRW = 52.30928 DEFY
[6.58758]
Berdasarkan hasil estimasi sistem trivariabel
pada Tabel 4.5, dapat
diketahui bahwa terdapat dua persamaan jangka panjang yang dipengaruhi oleh
defisit anggaran yaitu persamaan jangka panjang inflasi dan pertumbuhan M0
(base money). Pengaruh defisit anggaran terhadap inflasi dan pertumbuhan M0
tersebut dapat diidentifikasi dengan Vector Error Correction Restrictions. Pada
59
persamaan jangka panjang inflasi, vektor kointegrasi inflasi dan pertumbuhan M0
direstriksi masing-masing menjadi
= 1 dan
= 0, agar hubungan defisit
anggaran terhadap inflasi dapat diidentifikasi. Sedangkan untuk melihat hubungan
defisit anggaran terhadap pertumbuhan M0, maka pada persamaan jangka panjang
pertumbuhan M0 perestriksian vektor kointegrasi inflasi dan pertumbuhan M0
diubah menjadi
= 0 dan
= 1. Kemudian dengan melihat t-statistik (angka
dalam tanda kurung siku) pada variabel defisit anggaran yang lebih besar daripada
t-tabel pada taraf nyata 5 persen maka dalam jangka panjang defisit anggaran
berpengaruh signifikan terhadap inflasi dan pertumbuhan M0. Defisit anggaran
memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi maupun pertumbuhan M0.
Defisit anggaran mempengaruhi inflasi dengan koefisien sebesar 23,87,
artinya jika defisit anggaran meningkat sebesar satu persen maka laju inflasi akan
meningkat 23,87 persen. Sedangkan pertumbuhan M0 dipengaruhi defisit
anggaran dengan koefisien sebesar 52,31. Hal ini berarti pertumbuhan M0 akan
meningkat sebesar 52,734 persen ketika defisit anggaran meningkat sebesar satu
persen.
Namun untuk mengetahui hubungan jangka panjang antar variabel pada
sistem trivariabel
dan memeriksa ketepatan estimasi VAR/VEC maka belum
cukup jika hanya menggunakan tingkat signifikansi dan tanda koefisien yang
diharapkan. Oleh karena itu, diperlukan dua uji lag structure tambahan yaitu lag
exclusion dan weak exogeneity yang hasilnya terdapat pada Tabel 4.6.
Berdasarkan uji lag exclusion (
) pada sistem
, terdapat hasil yang sangat
menarik dimana hipotesis awal (H0) tidak mampu ditolak pada tingkat
60
kepercayaan 95 persen hanya pada variabel defisit anggaran, artinya variabel
defisit anggaran tidak berpengaruh (tidak signifikan) terhadap sistem dalam
jangka panjang. Sehingga dapat dikatakan bahwa hanya variabel inflasi dan
pertumbuhan M0 (base money) signifikan terhadap sistem trivariabel
dalam
jangka panjang. Sedangkan hasil dari uji lag structure kedua yaitu uji weak
exogeneity diketahui bahwa H0 mampu ditolak oleh variabel inflasi, maka dapat
dikatakan bahwa variabel tersebut merupakan variabel endogen yang tidak bisa
menjadi variabel eksogen, sedangkan untuk variabel sisanya (defisit anggaran dan
pertumbuhan M0) dapat menjadi variabel eksogen.
Berdasarkan hasil estimasi VEC dan dua uji lag structure tambahan pada
sistem trivariabel
tersebut didapatkan fakta yang menarik, antara lain:
a. Defisit anggaran tidak mempengaruhi pertumbuhan M0 (base money).
Pembiayaan defisit anggaran dapat dilakukan pemerintah melalui
penciptaan uang (money creation), menerbitkan surat utang, menggunakan
cadangan devisa maupun utang luar negeri. Pada saat perencanaan APBN
tersebut, koordinasi Pemerintah dan Bank Indonesia menjadi penting. Bank
Indonesia yang telah bersifat independen, artinya Bank Indonesia dilarang
memberikan pinjaman kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran
APBN baik secara langsung (money creation) maupun melalui pembelian
surat utang negara (monetized the debt). Hal ini dikarenakan pengalaman
hyperinflation pada periode 1960 hingga 1970 menunjukkan bahwa fiscal
dominance telah terjadi di Indonesia dimana ekspansi moneter untuk
pembiayaan pengeluaran fiskal telah terbukti secara nyata berdampak pada
61
tidak terkendalinya base money (M0) dan money supply (M1 dan M2) yang
mengakibatkan hyperinflation. Oleh karena itu, pembiayaan defisit anggaran
haruslah mencari alternatif yang lain, misalnya saja penerbitan surat utang
negara kepada publik maupun menambah utang luar negeri walaupun tidak
dapat dipungkiri pembiayaan tersebut juga mempunyai resiko, contohnya
ketergantungan utang luar negeri, krisis nilai tukar, serta beban utang dan
bunga utang yang besar.
b. Selain pertumbuhan M0 (base money), laju inflasi juga tidak dipengaruhi
oleh defisit anggaran.
Hal tersebut juga menunjukkan jika penerapan Inflation Targetting
Framework (ITF) yang bertujuan untuk mencapai dan menjaga tingkat inflasi
yang rendah sudah cukup berhasil, karena salah satu syarat yaitu tidak adanya
dominasi fiskal (pemerintah) dalam kebijakan moneter (Bank Indonesia) juga
sudah terpenuhi. Defisit anggaran yang bersifat netral terhadap inflasi
menunjukkan bahwa defisit anggaran pemerintah akan direspon oleh
masyarakat dengan langkah antisipatif terhadap penerbitan surat hutang
maupun kenaikan tingkat pajak periode yang akan datang, hal ini sesuai
dengan teori Ricardian Equivalence (RE). Inflasi terkadang juga terjadi
bukan karena base money (M0) atau money supply (M1 dan M2) tetapi
mungkin karena faktor non moneter seperti harga pangan yang bergejolak
(volatile foods) dan administered price. Harga pangan yang bergejolak dan
administered
price
seringkali
menjadi
penyebab
inflasi
di
negara
berkembang, khususnya Indonesia. Bank Indonesia memang hanya bisa untuk
62
menetapkan core inflation (inflasi inti) sedangkan volatile foods dan
administered price sulit sekali untuk dihindari.
Persamaan pada Sistem
dan
INF = 26.77522 - 10.68284 DEFY
[-7.36773]
dan
INF = 1.311706 M2GRW - 14.43921 DEFY
[3.94397]
[-7.22341]
Berdasarkan hasil persamaan sistem trivariabel
tampak berbeda dengan hasil pada sistem trivariabel
dan
pada Tabel 4.5,
antara lain jumlah dari
persamaan jangka panjang, vektor kointegrasi yang direstriksi, dan tanda
koefisien dari variabel defisit anggaran. Sistem trivariabel
dan
hanya
memiliki satu persamaan jangka panjang saja yaitu persamaan inflasi sehingga
tidak perlu untuk direstriksi variabel kointegrasi inflasi dan pertumbuhan M1 dan
M2. Namun ternyata persamaan inflasi pada sistem trivariabel
dan
pun
memiliki perbedaan dalam hal variabel yang mempengaruhi.
Persamaan inflasi pada sistem trivariabel
menunjukkan bahwa dalam
jangka panjang defisit anggaran signifikan mempengaruhi laju inflasi. Namun
hubungan keduanya adalah negatif (berbeda dengan hasil pada sistem trivariabel
) dengan koefisien sebesar 10,68. Hal ini berarti ketika defisit anggaran
meningkat sebesar satu persen maka inflasi malah akan menurun sebesar 10,68
persen sedangkan pada sistem trivariabel
, inflasi memiliki hubungan positif
dengan pertumbuhan M2 namun negatif dengan defisit anggaran. Pertumbuhan
63
M2 dan defisit anggaran signifikan mempengaruhi inflasi dalam jangka panjang
dengan koefisien masing-masing sebesar 1,31 dan 14,34, artinya jika
pertumbuhan uang meningkat sebesar satu persen maka inflasi juga akan
meningkat sebesar 1,31 persen namun inflasi akan menurun sebesar 14,34 persen
jika defisit anggaran meningkat sebesar satu persen.
Proses pengujian yang sama dilakukan seperti sistem trivariabel
, untuk
mengetahui hubungan jangka panjang antar variabel dalam sistem trivariabel
dan
serta memeriksa ketepatan estimasi VAR/VEC maka tidak cukup jika
hanya menggunakan tingkat signifikansi dan tanda koefisien yang diharapkan.
Oleh karena itu, diperlukan juga dua uji lag structure tambahan yaitu lag
exclusion dan weak exogeneity yang hasilnya terdapat pada Tabel 4.6.
Berdasarkan uji exclusion (
dan memiliki kesamaan dengan
) pada sistem
dan
, terdapat hasil menarik
dimana selain variabel pertumbuhan M2 yang
tidak mampu menolak hipotesis awal (H0) pada selang kepercayaan 95 persen,
defisit anggaran ternyata juga tidak mampu menolak H0 sehingga menyebabkan
defisit anggaran dan pertumbuhan M2 tidak berpengaruh (tidak signifikan)
terhadap sistem dalam jangka panjang. Sehingga hanya variabel inflasi dan
pertumbuhan M1 yang signifikan dalam kedua sistem trivariabel tersebut.
Berdasarkan hasil dari uji tambahan kedua yaitu uji weak exogeneity
diketahui bahwa hipotesis awal (H0) mampu ditolak pada taraf nyata 5 persen
hanya pada variabel pertumbuhan M1 pada sistem
maka dapat dikatakan
variabel tersebut tidak bisa menjadi variabel eksogen dalam sistem. Kemudian
64
pada sistem
, variabel inflasi mampu menolak hipotesis nol, sehingga variabel
eksogen pada persamaan di atas adalah pertumbuhan M2 dan defisit anggaran.
Berdasarkan hasil estimasi VEC dan dua uji lag structure tambahan pada
sistem trivariabel
tersebut didapatkan fakta yang menarik, antara lain:
a. Laju inflasi tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan M1 dan M2 (money
supply).
Dalam kebijakan moneter, sasaran antara yang digunakan untuk
mencapai sasaran akhir yaitu inflasi yang rendah dan stabil (sesuai dengan
ITF) terkadang lebih efektif melalui interest rate (tingkat suku bunga)
daripada money supply (M1 dan M2). Tingkat suku bunga menjadi variabel
yang lebih dicermati para pelaku pasar dan rumah tangga daripada money
supply (M1 dan M2) karena tingkat suku bunga mencerminkan cost of
capital (biaya modal), yang pada gilirannya akan mempengaruhi
pengeluaran investasi dan konsumsi yang merupakan komponen dari
permintaan agregat.
Hal ini semakin menguatkan bahwa laju inflasi di Indonesia lebih
karena faktor non moneter seperti harga pangan yang bergejolak (volatile
foods),
administered
price,
kelembaman
(inersia)
inflasi
ataupun
international driven issue. Namun harga pangan yang bergejolak dan
administered price seringkali menjadi penyebab inflasi di negara
berkembang, khususnya Indonesia. Bank Indonesia memang hanya bisa
menetapkan core inflation (inflasi inti) sedangkan volatile foods dan
65
administered price sulit untuk dikendalikan karena bukan variabel moneter
dan banyak faktor yang mempengaruhinya.
b. Defisit anggaran pemerintah tidak mempengaruhi laju inflasi.
Inflation Targetting Framework (ITF) yang bertujuan untuk mencapai
dan menjaga tingkat inflasi yang rendah sudah cukup berhasil diterapkan,
karena salah satu syarat yaitu tidak adanya dominasi fiskal (pemerintah)
dalam kebijakan moneter (Bank Indonesia) sudah terpenuhi. Defisit anggaran
yang bersifat netral terhadap inflasi menunjukkan bahwa defisit anggaran
pemerintah akan direspon oleh masyarakat dengan langkah antisipatif
terhadap penerbitan surat hutang maupun kenaikan tingkat pajak periode yang
akan datang, hal ini sesuai dengan teori Ricardian Equivalence (RE). Selain
itu, laju inflasi di Indonesia sering kali terjadi bukan karena base money
(M0), money supply (M1 dan M2) dan defisit anggaran, namun mungkin
lebih kepada faktor non moneter seperti harga pangan yang bergejolak
(volatile foods) dan administered price.
Berdasarkan hasil estimasi seluruh sistem trivariabel juga dapat
dibandingkan dengan teori-teori yang berlaku dalam ekonomi, antara lain
Pertama, hipotesis kaum monetaris orthodoks (MH) dimana perubahan
yang sebanding untuk jumlah nominal dari uang menyebabkan perubahan
yang sebanding juga pada tingkat harga (inflasi) tidak berlaku di Indonesia
karena laju inflasi yang tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan M1 dan M2
(money supply). Kedua, defisit anggaran yang tidak mempengaruhi secara
66
langsung terhadap laju inflasi, membuktikan bahwa fiscal dominance tidak
terjadi di Indonesia, sehingga the fiscal theory of the price level (FTPL)
juga tidak berlaku. Ketiga, teori yang dapat menjelaskan hubungan antara
defisit anggaran, pertumbuhan uang (M0, M1 dan M2) adalah teori
Ricardian Equivalence (RE) yang beranggapan bahwa defisit anggaran
tidak akan berpengaruh ke variabel makroekonomi dan perekonomian. Hal
tersebut dibuktikan melalui hasil pada penelitian ini yaitu dalam jangka
panjang defisit anggaran tidak mempengaruhi pertumbuhan uang (M0, M1
dan M2) dan laju inflasi.
4.5. Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test)
Uji kausalitas Granger dilakukan dengan tujuan untuk melihat kausalitas
dari variabel-variabel dalam suatu sistem persamaan. Kemudian dengan
menggunakan Pairwise Granger Causality Test, maka keterkaitan variabelvariabel dalam model penelitian ini, khususnya keterkaitan defisit anggaran
terhadap pertumbuhan uang (M0, M1 dan M3) dan inflasi akan dapat terlihat.
Tabel 4.7. Hasil Uji Kausalitas Granger
Causal Direction (Probability)
Pair-Variables
DEFY, M0GRW
0.3581
DEFY, M1GRW
0.7302
DEFY, M2GRW
0.7671
DEFY, INF
0.6128
M0GRW, INF
0.0395*
M1GRW, INF
0.7288
M2GRW, INF
0.0853
Sumber : Lampiran 10
*) signifikan pada taraf nyata 5%
0.0487*
0.2615
0.4003
0.6956
0.9594
0.1104
0.9899
67
Hipotesis awal (H0) yang diuji adalah tidak adanya kausalitas antar
variabel. Sementara hipotesis alternatif (H1) adalah adanya kausalitas antar
variabel. Untuk menolak ataupun menerima H0, dapat menggunakan nilai
probability. Apabila nilai probability lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan
yaitu 5 persen, maka H0 ditolak. Hasil uji kausalitas yang tertera pada Tabel 4.7,
terlihat bahwa pertumbuhan M0 memiliki hubungan searah terhadap variabel
defisit anggaran dan laju inflasi. Hal ini semakin mengindikasikan bahwa defisit
anggaran (DEFY) tidak memiliki hubungan dengan pertumbuhan uang (M0GRW,
M1GRW dan M2GRW) dan inflasi (INF).
68
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Defisit anggaran pemerintah tidak mempengaruhi pertumbuhan uang (M0, M1,
dan M2) dalam jangka panjang.
2. Teori FTPL (the fiscal theory of the price level) tidak berlaku di Indonesia, hal
ini dikarenakan dalam jangka panjang, laju inflasi juga tidak dipengaruhi oleh
defisit anggaran.
3. Pertumbuhan M1 dan M2 (money supply) tidak mempengaruhi laju inflasi
dalam jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan bahwa teori Monetaris dan
Keynesian juga tidak berlaku di Indonesia.
4. Hubungan antara defisit anggaran, pertumbuhan uang dan laju inflasi di
Indonesia dapat dijelaskan oleh teori Ricardian Equivalence (RE) dimana
defisit anggaran tidak akan berpengaruh ke variabel makroekonomi dan
perekonomian.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini yaitu :
1. Koordinasi yang erat antara penguasa fiskal (pemerintah) dan moneter (Bank
Indonesia) dalam menentukan instrumen dan sasaran kebijakan yang menjadi
69
target bersama tetap diperlukan agar pencapaian target tersebut dapat dilakukan
secara efektif dan efisien. Walaupun defisit anggaran tidak memiliki dampak
pada pertumbuhan uang dan laju inflasi di Indonesia namun defisit anggaran
yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama, bukan tidak mungkin
akan menjadi akar permasalahan makroekonomi seperti hyperinflation, current
account deficits, overindebtness dan rendahnya pertumbuhan ekonomi.
2. Bila dalam jangka panjang kebijakan defisit anggaran terus dipertahankan oleh
pemerintah, maka pembiayaan melalui money creation (pencipataan uang)
lebih baik untuk dihindari karena telah terbukti menyebabkan hyperinflation di
Indonesia pada periode 1965 hingga 1970. Disatu sisi, sesuai dengan UU
No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia yang telah
memiliki kebijakan moneter Inflation Targetting Framework (ITF) akan
berhasil dalam menetapkan inflasi yang ditargetkan jika salah satu persyaratan
dapat dipenuhi yaitu tidak adanya dominasi sektor fiskal terhadap kebijakan
moneter. Karena kebijakan defisit anggaran masih efektif, tetapi efisiensinya
harus diperhitungkan secara cermat.
3. Penelitian ini tentunya masih memiliki kelemahan dan memerlukan perbaikan
guna mendapatkan hasil yang lebih realistis dengan kondisi yang terjadi.
Upaya mempertahankan kesederhaaan dalam model dalam penelitian ini
memberikan implikasi pada relatif rendahnya kemampuan model dalam
melakukan analisis dan proyeksi. Sehingga perlu penyempurnaan lebih lanjut
terhadap model yang dilakukan atau penggunaan model yang berbeda dengan
penelitian ini dengan harapan realitas yang terjadi dalam interaksi kebijakan
70
fiskal dan moneter di Indonesia dapat digambarkan secara lebih akurat. Selain
itu, variabel lain juga dapat ditambahkan ke dalam penelitian yang selanjutnya
agar fenomena ekonomi dari dampak defisit anggaran yang lain juga dapat
ditemukan, seperti tingkat suku bunga, nilai tukar, investasi, dan lain-lain.
71
DAFTAR PUSTAKA
Adji, A. 1995. “Is Publik Debt Neutral? Evidence For Indonesia”. Journal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia (JEBI), September 2005: 21-34.
Bank Indonesia. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Edisi 2000 hingga
2009. http://www.bi.go.id/web/id/data+statistik/statcat.htm.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Data Realisasi APBN 2002 hingga 2009.
Departemen Keuangan, Jakarta.
Barro, Robert J. 1974. “Are Government Bonds Net Wealth?”, Journal of Political
Economics, Vol. 6, No. 82: 1095-1117.
Barro, Robert J. 1989. “The Ricardian Approach to Budget Deficits”. Journal of
Economic Perspectives, Vol.3, No.2: 37-54.
Basri, F. 1995. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI; Distorsi, Peluang
dan Kendala. Erlangga, Jakarta.
Cevdet, A., Alper E. C., dan Ozmucur, S. 2001. “Budget Deficit, Inflation and
Debt Sustainbility: Evidence from Turkey (1970-2000)”. Mim. Istanbul:
Bogazici University.
Chimobi, O. P. dan Igwe, O. L. 2010. “Budget Deficit, Money Supply and
Inflation in Nigeria”. European Journal of Economics, Finance and
Administrative Sciences, Issue 19.
Chowdhury, A. dan Sugema, I. 2006. “Aid and Fiscal Behaviour in Indonesia:
The Case of a Lazy Government”. [SECURED]. APEA.
72
Dornbusch, R., Fischer, S., dan Sparks, G. R. 1989. Macroeconomics, 3rd Edd.,
McGraw-Hill Ryerson Limited, Toronto.
Dornbusch, R. dan Reynoso, A. 1993. Financial Factors in Economic
Development. in R. Dornbusch (ed.), Policymaking in the Open Economy :
Concepts and Case Studies in Economic Performance. Oxford University
Press, New York.
Easterly, W., Rodriguez, C. A., dan Schmith-Hebbel, K. 1994. “Publik Sector
Deficits and Macroeconomic Performance”. Oxford University Press,
New York.
Enders, W. 1995. Applied Econometric Time Series. Second Edition. John Wiley
& Sons, Inc., New York.
Engle, R. F. dan Granger, C. W. J. 1987. “Co-integration and Error Correction:
Representation, Estimation, and Testing”, Econometrica, Vol.55, No.2,
251-276.
Gujarati, D. N. 2004. Basic Econometrics. 4th edd. McGraw-Hill International
Editions, New York.
Hidayat, S. 2004. Pengendalian Jumlah Uang Beredar di Indonesia [Skripsi].
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hossain, A. dan Chowdhury, A. 1998. Open Economy Macroeconomics for
Developing Countries. Edward Elgar, Massachusetts.
International Financial Statistics (IFS) of International Monetary Fund (IMF).
Country Table – Indonesia : 1990-2010.
73
Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Nota Keuangan dan APBN. edisi
2000 hingga 2009. Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.
Lipsey, R. G., Courant P. N., Purvis, D. D., dan Steiner, P. O. 1995. Pengantar
Makroekonomi. Edisi ke-10. Jilid 1. Wasana, Kirbrandoko, dan Budijanto
[editor]. Binarupa Aksara, Jakarta.
Lozano, I. 2008. “Budget Deficit, Pertumbuhan uang, and Inflation : Evidence
from the Colombian Case”. Borradores de Economia, No. 537, Banco de
la Republica.
Mankiw, N. G. 2000. Pengantar Ekonomi. Jilid 2. Munandar dan Salim
[penerjemah]. Sumiharti dan Kristiaji [editor]. Erlangga, Jakarta.
Metin, K. 1998. “The Relationship between Inflation and the budget deficit in
Turkey”. Journal of Business and Economic Statistics, Vol. 16, No. 4:
412-22.
Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets.
6th Edd. The Addison-Wesley, New York.
Mundell, R. 1971. Monetary Theory. Goodyear Publishing Company, California.
Maryatmo, R. 2004. Dampak Moneter Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah
dan Peranan Asa Nalar dalam Simulasi Model Makro-Ekonomi Indonesia
(1983:1-2002:4). Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September
2004.
Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro & Makro. Edisi ke-2. Ghalia
Indonesia, Jakarta.
74
Saad, W. dan Kalakech, K. 2009. “The Impact of Budget Deficit on Money
Demand: Evidence from Lebanon”. Middle Eastern Finance and
Economics, Issue 3.
Samuelson, P. A dan Nordhaus, W. D. 1997. Macroeconomics. 13th edd.
McGraw-Hill, New York.
Sargent, T., dan Wallace, N. 1981. “Some Unpleasant Monetarist Arithmetic”.
Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review 5: 1‐17.
Solikin, dan Suseno. 2002. Uang : Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya
dalam Perekonomian. Pusat Penelitian dan Studi Kebanksentralan, Bank
Indonesia, Jakarta.
Tekin‐Koru, A., dan Özmen E. 2003. “Budget Deficits, Pertumbuhan uang and
Inflation: The Turkish Evidence”. Applied Economics, Taylor and Francis
Journals, Vol. 35, No.5: 591‐596.
Thomas, R. L. 1997. Modern Econometrics; an Introduction. 1st edd. Addison
Wesley Longman, Reading.
Waluyo, J. 2006. Pengaruh Pembiayaan Defisit Anggaran terhadap Inflasi dan
Pertumbuhan Ekonomi: Suatu Model Ekonomi Makro Indonesia 19702003. KINERJA, Vol.10, No.1: 1-22
Warjiyo, P. 2004. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta.
Woodford, M. 1995. “Price Level Determination without Control of A Monetary
Aggregate”. Working Paper No. 5204, National Bureau of Economic
Research.
LAMPIRAN
76
Lampiran 1. Data yang Digunakan
PERIODE
INF
M0GRW
M1GRW
M2GRW
DEFY
2002M1
2002M2
2002M3
2002M4
2002M5
2002M6
2002M7
2002M8
2002M9
2002M10
2002M11
2002M12
2003M1
2003M2
2003M3
2003M4
2003M5
2003M6
2003M7
2003M8
2003M9
2003M10
2003M11
2003M12
2004M1
2004M2
2004M3
2004M4
2004M5
2004M6
2004M7
2004M8
2004M9
2004M10
2004M11
2004M12
2005M1
2005M2
14.41695
15.12666
14.08162
13.29544
12.92504
11.4752
10.04959
10.59183
10.47869
10.32524
10.47797
10.02606
8.758387
7.345051
7.146247
7.532903
6.895143
6.589741
5.764349
6.382071
6.18384
6.248034
5.32532
5.087016
4.821181
4.613547
5.211679
6.106
6.831979
7.261696
7.637041
6.804788
6.452464
6.414252
6.334402
6.400825
7.315515
7.153844
12.82918
13.94946
13.3283
9.124641
9.273595
8.443637
5.86341
4.863524
7.494381
7.127152
15.79721
8.180225
9.366926
7.539259
7.003316
7.849043
9.443033
10.38827
10.45629
11.39336
10.17365
12.31419
25.08054
20.41519
15.40889
13.16701
13.98998
17.10184
14.50436
37.55655
41.96164
36.86403
39.50656
37.43798
12.80983
23.85117
29.19906
30.72665
14.7401
12.51943
11.99528
9.530321
8.002388
8.664186
7.011853
5.462958
10.68821
6.886205
14.67707
7.994103
8.000887
7.641586
9.066455
8.260849
13.96308
12.18387
13.29211
14.71477
14.18992
17.03501
14.13525
16.59902
20.11582
20.6594
20.88292
17.75496
16.65641
15.84272
17.50759
15.24975
13.04947
13.11344
8.567302
9.895933
12.03182
11.70372
13.44089
10.75039
8.424229
4.55059
5.678405
5.297951
10.5796
10.6969
9.781843
6.740267
5.884816
4.72186
4.255253
5.262435
5.576791
6.583659
7.200354
6.667978
5.745745
5.679507
5.992397
7.336416
8.574374
8.121207
8.423421
6.188047
6.547456
5.439795
6.706425
8.813656
8.027388
8.522373
8.444695
7.75571
6.027966
8.181297
7.412087
8.403465
3.438596
0.434389
-0.78715
-0.13519
0.268275
0.315706
0.978539
-0.13436
0.36433
-0.20067
2.944669
-0.67336
1.016853
0.1553
-1.99005
-0.40321
0.494887
3.061736
0.681581
-0.05766
0.696799
0.527225
1.214537
3.644451
1.875468
-0.44429
-1.59647
-0.97221
-0.59726
1.858114
-0.25345
-1.39847
-0.2399
-0.64411
-2.33802
10.48757
1.347103
-2.89141
77
2005M3
2005M4
2005M5
2005M6
2005M7
2005M8
2005M9
2005M10
2005M11
2005M12
2006M1
2006M2
2006M3
2006M4
2006M5
2006M6
2006M7
2006M8
2006M9
2006M10
2006M11
2006M12
2007M1
2007M2
2007M3
2007M4
2007M5
2007M6
2007M7
2007M8
2007M9
2007M10
2007M11
2007M12
2008M1
2008M2
2008M3
2008M4
2008M5
2008M6
8.725144
8.12253
7.395971
7.422514
7.841537
8.33487
9.061423
17.89128
18.38196
17.11489
17.02878
17.91369
15.82766
15.39869
15.59503
15.53574
15.15647
14.89725
14.54841
6.290781
5.268495
6.601532
6.261723
6.301436
6.514492
6.296694
6.004409
6.0094
6.153261
6.409635
6.743547
6.664693
6.716191
5.788901
6.44518
6.567152
7.220806
8.966029
10.38652
11.03494
34.08721
29.41418
32.84914
12.71077
7.939212
12.53129
26.51981
39.19805
23.97628
30.93947
28.85884
30.33401
28.47058
28.73338
33.57994
31.29935
32.87614
30.06226
17.29977
19.9091
20.12125
28.34416
28.1858
31.72298
21.67351
24.13096
16.22856
18.63503
16.24247
20.46232
14.5682
7.580425
16.95768
26.5426
11.80484
5.592847
19.35184
19.25323
22.41257
25.90061
11.37265
11.61719
10.27221
15.7716
13.03554
15.56641
14.09859
16.53881
10.33728
10.25428
13.07736
10.49177
10.82856
13.77138
20.03981
16.03772
16.09835
18.65757
20.96003
19.9818
23.67041
27.97069
22.4874
24.43423
22.67209
25.05428
15.94321
22.37141
27.40437
22.86454
23.52378
20.14583
24.40839
29.69399
22.35687
19.32769
23.52232
21.11673
24.1689
21.86283
9.350675
12.44349
10.13241
10.59505
12.12538
13.88372
16.78623
17.09864
16.72341
16.33458
17.43997
18.07902
17.21424
14.37525
18.32647
16.8365
14.70505
13.84863
12.19098
13.73926
14.785
14.94313
14.47939
14.31577
15.05652
15.75364
12.41766
15.64662
17.71603
17.18652
17.15711
15.37651
16.21757
19.32528
16.71101
17.12702
15.59917
16.30789
17.59654
17.10459
-4.38903
-0.53952
-1.76273
2.573552
0.226095
-0.25075
1.04039
1.015652
-0.0439
6.719419
2.517277
-0.02361
-3.54581
-1.48334
-0.16312
1.433834
-2.4167
2.103319
0.76597
0.803617
-0.07457
6.250828
2.14391
0.270878
-0.65625
-5.09268
-1.29972
1.122081
1.694344
-0.99248
-0.22011
-0.42696
2.292856
11.20815
-2.23878
-3.08727
-6.71965
-0.90675
-0.65286
1.394266
78
11.90312
11.84659
12.15123
11.7708
11.48022
11.06095
9.172878
8.600687
7.924164
6.041083
4.617285
3.651651
2.706526
2.754998
2.834127
2.566518
2.41456
2.78392
2008M7
2008M8
2008M9
2008M10
2008M11
2008M12
2009M1
2009M2
2009M3
2009M4
2009M5
2009M6
2009M7
2009M8
2009M9
2009M10
2009M11
2009M12
23.15004
13.25011
42.94691
12.56964
9.453036
-2.87666
7.911914
4.364252
1.348842
3.207519
-0.43222
-3.27739
-1.08827
5.024247
-10.8294
5.527933
7.240851
9.52126
15.45359
12.34208
19.90077
13.63751
12.13292
1.495817
6.595951
8.308463
9.338455
9.302107
7.19522
6.5278
5.163022
11.30773
2.153252
5.754973
6.985699
12.9244
14.3263
12.70955
17.21428
18.16605
18.68784
14.92308
17.38676
18.48542
20.21839
18.6717
17.38045
16.09447
16.30438
18.56894
13.5
11.53275
9.793519
12.95151
1.259877
-5.01174
9.431223
-3.19271
0.650501
9.314933
-0.49152
-1.47864
1.402138
-1.56696
0.463973
2.656892
2.167608
2.708826
3.248585
3.819884
4.427069
5.065615
Keterangan :
INF
= laju inflasi year on year
M0GRW = pertumbuhan base money (uang inti-M0)
M1GRW = pertumbuhan narrow money (uang dalam arti sempit-M1)
M2GRW = pertumbuhan broad money (uang dalam arti luas-M2)
DEFY
= defisit anggaran pemerintah
79
Lampiran 2. Grafik Data yang Digunakan
INF
M1GRW
DEFY M0GRW
M2GRW
80
Lampiran 3. Uji Akar Unit pada Variabel Penelitian
INF Level
Null Hypothesis: INF has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.367895
-4.058619
-3.458326
-3.155161
0.3938
t-Statistic
Prob.*
-3.875170
-4.057528
-3.457808
-3.154859
0.0168
t-Statistic
Prob.*
-2.108224
-4.058619
-3.458326
-3.155161
0.5343
t-Statistic
Prob.*
-3.637500
-4.057528
-3.457808
-3.154859
0.0319
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
M0GRW Level
Null Hypothesis: M0GRW has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
M1GRW Level
Null Hypothesis: M1GRW has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
M2GRW Level
Null Hypothesis: M2GRW has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
81
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
DEFY Level
Null Hypothesis: DEFY has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.276394
-4.057528
-3.457808
-3.154859
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-7.966493
-2.589795
-1.944286
-1.614487
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-13.92580
-2.589795
-1.944286
-1.614487
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
INF
Difference
Null Hypothesis: D(INF) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
M1GRW
Difference
Null Hypothesis: D(M1GRW) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 4. Penentuan Lag Optimal
Sistem Trivariabel
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: INF M0GRW DEFY
Exogenous variables: C
Date: 06/30/11 Time: 11:00
82
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 88
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-798.0412
-679.0442
-673.1368
-670.4081
-662.5587
-657.5130
-652.7618
-648.5146
-636.1206
NA
227.1762
10.87489
4.837229
13.37966
8.256703
7.450719
6.370807
17.74586*
16185.22
1328.899*
1426.838
1648.619
1698.361
1868.740
2075.652
2339.782
2200.446
18.20548
15.70555*
15.77584
15.91837
15.94452
16.03439
16.13095
16.23897
16.16183
18.28994
16.04337*
16.36702
16.76291
17.04243
17.38566
17.73559
18.09697
18.27320
18.23951
15.84165*
16.01401
16.25861
16.38684
16.57878
16.77742
16.98751
17.01245
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Sistem Trivariabel
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: INF M1GRW DEFY
Exogenous variables: C
Date: 06/30/11 Time: 11:01
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 88
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-750.6380
-616.0942
-606.7240
-603.1731
-595.6739
-592.4372
-590.1728
-585.9242
-571.7038
NA
256.8564
17.24964
6.294761
12.78269
5.296435
3.551009
6.372920
20.36097*
5511.040
317.8008
315.3976*
357.6750
371.4113
425.8238
500.4734
564.1414
508.9742
17.12814
14.27487
14.26645*
14.39030
14.42441
14.55539
14.70847
14.81646
14.69781
17.21259
14.61269*
14.85764
15.23484
15.52232
15.90667
16.31311
16.67446
16.80918
17.16216
14.41097*
14.50463
14.73054
14.86673
15.09979
15.35494
15.56500
15.54843
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Sistem Trivariabel
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: INF M2GRW DEFY
Exogenous variables: C
Date: 06/30/11 Time: 11:02
83
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 88
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-721.0171
-551.7004
-545.2508
-541.9420
-531.3783
-528.8690
-524.6666
-519.6362
-501.7718
NA
323.2411
11.87295
5.865623
18.00639
4.106162
6.590063
7.545579
25.57864*
2811.029
73.54728*
78.00062
88.94420
86.14616
100.4131
112.9310
125.0558
103.8588
16.45493
12.81137*
12.86934
12.99868
12.96314
13.11066
13.21970
13.30991
13.10845
16.53939
13.14919*
13.46052
13.84323
14.06105
14.46193
14.82433
15.16792
15.21982
16.48896
12.94747*
13.10751
13.33893
13.40546
13.65505
13.86616
14.05846
13.95907
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 5. Uji Kestabilan VAR
Sistem Trivariabel
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: INF M0GRW DEFY
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 06/30/11 Time: 11:03
Root
Modulus
0.911982
0.748648
-0.000504
0.911982
0.748648
0.000504
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Sistem Trivariabel
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: INF M1GRW DEFY
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 06/30/11 Time: 11:04
Root
Modulus
0.893512
0.858203
0.017479
0.893512
0.858203
0.017479
84
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Sistem Trivariabel
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: INF M2GRW DEFY
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 06/30/11 Time: 11:05
Root
Modulus
0.923720 - 0.023253i
0.923720 + 0.023253i
0.037193
0.924012
0.924012
0.037193
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Lampiran 6. Uji Kointegrasi dengan Asumsi Summary
Sistem Trivariabel
Date: 06/30/11 Time: 11:06
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 94
Series: INF M0GRW DEFY
Lags interval: 1 to 1
Selected
(0.05 level*)
Number of
Cointegrating
Relations by
Model
Data Trend:
Test Type
Trace
Max-Eig
None
No Intercept
No Trend
2
1
None
Intercept
No Trend
1
1
Linear
Intercept
No Trend
3
1
Linear
Intercept
Trend
1
1
Quadratic
Intercept
Trend
1
1
Linear
Intercept
Trend
Quadratic
Intercept
Trend
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999)
Information
Criteria by
Rank and
Model
Data Trend:
Rank or
No. of CEs
None
No Intercept
No Trend
Log
None
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
No Trend
85
0
1
2
3
Likelihood by
Rank (rows)
and Model
(columns)
-742.3667
-722.2207
-717.0106
-716.0292
-742.3667
-720.0861
-714.7775
-712.0242
-742.0540
-719.7744
-714.5656
-712.0242
-742.0540
-719.0270
-713.6948
-710.9991
-741.8820
-718.9082
-713.6911
-710.9991
0
1
2
3
Akaike
Information
Criteria by
Rank (rows)
and Model
(columns)
15.98653
15.68555
15.70235
15.80913
15.98653
15.66141*
15.69739
15.78775
16.04370
15.69733
15.71416
15.78775
16.04370
15.70270
15.73819
15.82977
16.10387
15.74273
15.75938
15.82977
0
1
2
3
Schwarz
Criteria by
Rank (rows)
and Model
(columns)
16.23003
16.09139*
16.27054
16.53965
16.23003
16.09431
16.31969
16.59944
16.36838
16.18434
16.36351
16.59944
16.36838
16.21677
16.44165
16.72263
16.50972
16.31091
16.48991
16.72263
None
Intercept
No Trend
1
1
Linear
Intercept
No Trend
1
1
Linear
Intercept
Trend
1
1
Quadratic
Intercept
Trend
1
1
Sistem Trivariabel
Date: 06/30/11 Time: 11:07
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 94
Series: INF M1GRW DEFY
Lags interval: 1 to 1
Selected
(0.05 level*)
Number of
Cointegrating
Relations by
Model
Data Trend:
Test Type
Trace
Max-Eig
None
No Intercept
No Trend
1
1
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999)
Information
Criteria by
Rank and
Model
86
Data Trend:
Rank or
No. of CEs
None
No Intercept
No Trend
None
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
Trend
Quadratic
Intercept
Trend
0
1
2
3
Log
Likelihood by
Rank (rows)
and Model
(columns)
-669.4472
-649.4912
-646.0450
-645.6026
-669.4472
-647.0775
-643.6277
-641.6754
-669.1444
-646.7752
-643.5397
-641.6754
-669.1444
-645.5094
-642.1549
-640.2200
-668.9832
-645.4083
-642.0664
-640.2200
0
1
2
3
Akaike
Information
Criteria by
Rank (rows)
and Model
(columns)
14.43505
14.13811
14.19245
14.31069
14.43505
14.10803*
14.18357
14.29097
14.49243
14.14415
14.20297
14.29097
14.49243
14.13850
14.21606
14.32383
14.55283
14.17890
14.23545
14.32383
0
1
2
3
Schwarz
Criteria by
Rank (rows)
and Model
(columns)
14.67855
14.54395
14.76063
15.04121
14.67855
14.54093*
14.80586
15.10266
14.81711
14.63117
14.85232
15.10266
14.81711
14.65257
14.91953
15.21669
14.95868
14.74708
14.96598
15.21669
None
Intercept
No Trend
1
1
Linear
Intercept
No Trend
1
1
Linear
Intercept
Trend
2
2
Quadratic
Intercept
Trend
3
3
Sistem Trivariabel
Date: 06/30/11 Time: 11:08
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 94
Series: INF M2GRW DEFY
Lags interval: 1 to 1
Selected
(0.05 level*)
Number of
Cointegrating
Relations by
Model
Data Trend:
Test Type
Trace
Max-Eig
None
No Intercept
No Trend
1
1
87
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999)
Information
Criteria by
Rank and
Model
Data Trend:
Rank or
No. of CEs
None
No Intercept
No Trend
None
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
Trend
Quadratic
Intercept
Trend
0
1
2
3
Log
Likelihood by
Rank (rows)
and Model
(columns)
-608.6990
-587.1698
-584.3498
-584.0576
-608.6990
-586.9079
-583.9182
-582.0732
-608.4418
-586.6509
-583.9148
-582.0732
-608.4418
-585.8044
-574.5646
-572.0798
-608.3717
-585.7868
-574.5646
-572.0798
0
1
2
3
Akaike
Information
Criteria by
Rank (rows)
and Model
(columns)
13.14253
12.81212
12.87978
13.00123
13.14253
12.82783
12.91315
13.02283
13.20089
12.86491
12.93436
13.02283
13.20089
12.86818
12.77797*
12.87404
13.26323
12.91036
12.79925
12.87404
0
1
2
3
Schwarz
Criteria by
Rank (rows)
and Model
(columns)
13.38604
13.21797*
13.44797
13.73175
13.38604
13.26073
13.53545
13.83452
13.52556
13.35193
13.58371
13.83452
13.52556
13.38225
13.48144
13.76690
13.66907
13.47854
13.52977
13.76690
Lampiran 7. Uji Kointegrasi dengan Asumsi Berdasarkan SC
Sistem Trivariabel
(Asumsi: Model 1)
Date: 06/30/11 Time: 11:09
Sample (adjusted): 2002M03 2009M12
Included observations: 94 after adjustments
Trend assumption: No deterministic trend
Series: INF M0GRW DEFY
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
Trace
0.05
88
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2
0.348605
0.104931
0.020664
52.67509
12.38304
1.962755
24.27596
12.32090
4.129906
0.0000
0.0488
0.1899
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
0.348605
0.104931
0.020664
40.29205
10.42029
1.962755
17.79730
11.22480
4.129906
0.0000
0.0690
0.1899
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
INF
-0.039455
-0.203475
-0.049950
M0GRW
0.008965
0.093250
-0.027413
DEFY
0.472756
-0.021402
0.009987
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(INF)
D(M0GRW)
D(DEFY)
-0.112056
-0.842221
-2.119303
1 Cointegrating Equation(s):
0.289900
-1.579132
-0.151872
0.148270
0.920393
0.024659
Log likelihood
-722.2207
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
INF
M0GRW
DEFY
1.000000
-0.227216
-11.98207
(0.18010)
(1.70997)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(INF)
0.004421
(0.00572)
D(M0GRW)
0.033230
(0.03381)
D(DEFY)
0.083618
(0.01223)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-717.0106
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
89
INF
1.000000
M0GRW
0.000000
0.000000
1.000000
DEFY
-23.86757
(3.41304)
-52.30928
(7.89635)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(INF)
-0.054566
0.026029
(0.02935)
(0.01326)
D(M0GRW)
0.354544
-0.154805
(0.17422)
(0.07875)
D(DEFY)
0.114520
-0.033161
(0.06414)
(0.02899)
Sistem Trivariabel
(Asumsi: Model 2)
Date: 06/30/11 Time: 11:11
Sample (adjusted): 2002M03 2009M12
Included observations: 94 after adjustments
Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant)
Series: INF M1GRW DEFY
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
0.378706
0.070770
0.040688
55.54355
10.80413
3.904640
35.19275
20.26184
9.164546
0.0001
0.5610
0.4265
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
0.378706
0.070770
0.040688
44.73942
6.899487
3.904640
22.29962
15.89210
9.164546
0.0000
0.6818
0.4265
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
INF
-0.044621
-0.200505
-0.148804
M1GRW
-0.035699
0.089916
-0.146976
DEFY
-0.476675
0.007061
0.058321
C
1.194726
0.166350
3.236820
90
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(INF)
D(M1GRW)
D(DEFY)
0.146246
0.413917
2.242869
1 Cointegrating Equation(s):
0.364119
-0.134498
-0.126006
0.065019
0.673320
-0.005733
Log likelihood
-647.0775
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
INF
M1GRW
DEFY
C
1.000000
0.800058
10.68284
-26.77522
(0.52847)
(1.44995)
(8.47368)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(INF)
-0.006526
(0.00667)
D(M1GRW)
-0.018469
(0.01607)
D(DEFY)
-0.100078
(0.01369)
Sistem Trivariabel
(Asumsi: Model 1)
Date: 06/30/11 Time: 11:13
Sample (adjusted): 2002M03 2009M12
Included observations: 94 after adjustments
Trend assumption: No deterministic trend
Series: INF M2GRW DEFY
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
0.367496
0.058234
0.006198
49.28276
6.224348
0.584450
24.27596
12.32090
4.129906
0.0000
0.4092
0.5062
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
0.367496
0.058234
0.006198
43.05841
5.639898
0.584450
17.79730
11.22480
4.129906
0.0000
0.3925
0.5062
91
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
INF
0.033072
0.225001
-0.040067
M2GRW
-0.043380
-0.130456
0.100866
DEFY
0.477526
-0.037135
0.008156
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(INF)
D(M2GRW)
D(DEFY)
-0.173844
-0.077376
-2.175363
1 Cointegrating Equation(s):
-0.309430
0.149401
0.149485
-0.035151
-0.137250
-0.021312
Log likelihood
-587.1698
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
INF
M2GRW
DEFY
1.000000
-1.311706
14.43921
(0.33259)
(1.99895)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(INF)
-0.005749
(0.00480)
D(M2GRW)
-0.002559
(0.00646)
D(DEFY)
-0.071943
(0.01022)
Lampiran 8. Uji Lag Structure (Lag Exclusion dan Weak Exogeneity)
Sistem Trivariabel
a. Uji Lag Exclusion
VEC Lag Exclusion Wald Tests
Date: 06/30/11 Time: 11:14
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 94
Chi-squared test statistics for lag exclusion:
Numbers in [ ] are p-values
D(INF)
D(M0GRW)
D(DEFY)
Joint
DLag 1
10.56702
[ 0.014313]
6.466979
[ 0.090974]
2.270763
[ 0.518145]
22.50745
[ 0.007403]
Df
3
3
3
9
92
b. Uji Weak Exogeneity
VEC Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests
Date: 06/30/11 Time: 11:14
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 94
Dependent variable: D(INF)
Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(M0GRW)
D(DEFY)
6.788303
0.000630
1
1
0.0092
0.9800
All
6.966624
2
0.0307
Dependent variable: D(M0GRW)
Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF)
D(DEFY)
0.160931
0.073420
1
1
0.6883
0.7864
All
0.227202
2
0.8926
Dependent variable: D(DEFY)
Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF)
D(M0GRW)
0.236986
1.280527
1
1
0.6264
0.2578
All
1.692069
2
0.4291
Sistem Trivariabel
a. Uji Lag Exclusion
VEC Lag Exclusion Wald Tests
Date: 11/30/11 Time: 11:15
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 94
Chi-squared test statistics for lag exclusion:
Numbers in [ ] are p-values
DLag 1
D(INF)
D(M1GRW)
D(DEFY)
Joint
4.155143
[ 0.245191]
18.33136
[ 0.000376]
0.965916
[ 0.809499]
25.28366
[ 0.002673]
93
df
3
3
3
9
b. Uji Weak Exogeneity
VEC Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests
Date: 11/30/11 Time: 11:15
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 94
Dependent variable: D(INF)
Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(M1GRW)
D(DEFY)
0.078529
0.583417
1
1
0.7793
0.4450
All
0.700262
2
0.7046
Dependent variable: D(M1GRW)
Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF)
D(DEFY)
4.860680
1.011821
1
1
0.0275
0.3145
All
5.885373
2
0.0527
Dependent variable: D(DEFY)
Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF)
D(M1GRW)
0.003960
0.026343
1
1
0.9498
0.8711
All
0.029582
2
0.9853
Sistem Trivariabel
a. Uji Lag Exclusion
VEC Lag Exclusion Wald Tests
Date: 11/30/11 Time: 11:16
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 94
Chi-squared test statistics for lag exclusion:
Numbers in [ ] are p-values
D(INF)
D(M2GRW)
D(DEFY)
Joint
94
DLag 1
9.583525
[ 0.022459]
0.206532
[ 0.976528]
3.563111
[ 0.312669]
13.20290
[ 0.153638]
df
3
3
3
9
b. Uji Weak Exogeneity
VEC Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests
Date: 11/30/11 Time: 11:16
Sample: 2002M01 2009M12
Included observations: 94
Dependent variable: D(INF)
Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(M2GRW)
D(DEFY)
5.017303
0.368501
1
1
0.0251
0.5438
All
6.023973
2
0.0492
Dependent variable: D(M2GRW)
Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF)
D(DEFY)
0.056152
0.002059
1
1
0.8127
0.9638
All
0.059331
2
0.9708
Dependent variable: D(DEFY)
Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF)
D(M2GRW)
0.278949
2.811700
1
1
0.5974
0.0936
All
3.050137
2
0.2176
Lampiran 9. Uji Kausalitas Granger
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 06/30/11 Time: 11:18
Sample: 2002M01 2009M12
Lags: 1
Null Hypothesis:
M0GRW does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause M0GRW
Obs
F-Statistic
Prob.
95
4.92568
0.12347
0.0289
0.7261
95
M1GRW does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause M1GRW
95
1.40405
1.54710
0.2391
0.2167
M2GRW does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause M2GRW
95
1.14595
0.10239
0.2872
0.7497
DEFY does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause DEFY
95
0.27664
0.54496
0.6002
0.4623
M1GRW does not Granger Cause M0GRW
M0GRW does not Granger Cause M1GRW
95
0.03268
0.33261
0.8570
0.5655
M2GRW does not Granger Cause M0GRW
M0GRW does not Granger Cause M2GRW
95
0.74236
0.10214
0.3911
0.7500
DEFY does not Granger Cause M0GRW
M0GRW does not Granger Cause DEFY
95
3.62499
5.29421
0.0600
0.0237
M2GRW does not Granger Cause M1GRW
M1GRW does not Granger Cause M2GRW
95
0.39157
0.05352
0.5330
0.8176
DEFY does not Granger Cause M1GRW
M1GRW does not Granger Cause DEFY
95
1.04111
2.48783
0.3102
0.1182
DEFY does not Granger Cause M2GRW
M2GRW does not Granger Cause DEFY
95
0.75746
0.00122
0.3864
0.9722
Download