Poligami dalam Islam Daftar Isi : Pengantar Arti dan Istilah Sejarah Poligami Landasan Teologis Praktik Poligami Nabi SAW Penutup Pengantar Hal pertama yang sangat musykil dan sering menimbulkan polemik di kalangan umat Islam adalah posisi nabi Muhammad SAW sebagai manusia teladan yang memiliki banyak istri (poligami). Praktik poligami yang dilakukan Rasulullah SAW didasarkan pada banyak pertimbangan: agama, budaya, politik, dan dakwah. Semua istri Nabi SAW adalah janda dan berumur tua, kecuali Aisyah RA, putri kesayangan Abu Bakr ashShiddiq RA, sahabat senior Nabi SAW yang atas permohonannya sendiri agar Nabi SAW menikahi putrinya. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW memiliki sepuluh istri: Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakr, Hafshah binti Umar, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Juwairiyah binti al-Harits, Ummu Habibah, dan Maimunah binti al-Harits. Riyawat lain menyebutkan ada 12 istri, yaitu ditambah: Shafiyyah binti Huyay dan Rayhanah binti Zaid. Aplikasi ini menyuguhkan ulasan tentang poligami, baik dari kalangan yang pro (mendukung) maupun yang kontra (menolak). Dengan demikian, aplikasi ini tidak ingin menggurui atau menghakimi pihak mana yang benar dan yang salah. Aplikasi ini semata-mata hanya ingin menghadirkan ulasan yang lebih ilmiah, obyektif, dan tidak memihak pada satu kelompok atau golongan tertentu. Selamat menikmati uraian tentang poligami dalam pandangan Islam. Arti dan Istilah Secara bahasa, poligami berarti “seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) yang memiliki pasangan lebih dari satu. Untuk seorang laki-laki yang memiliki lebih dari satu pasangan (istri) disebut dengan “poligini”. Sementara untuk seorang perempuan yang memiliki pasangan (suami) lebih dari satu disebut “poliandri”. Namun karena masyarakat kurang mengenal istilah poligini, maka dalam aplikasi ini akan digunakan istilah “poligami” untuk seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu. Dalam agama (Islam) tidak ada istilah poliandri, karena memang dilarang atau diharamkan. Yang ada adalah poligami yang dalam referensi berbahasa Arab dikenal dengan sebutan “ta’addud az-zaujat” (poligami). Dengan demikian, “ta’addud azzaujat” berkaitan dengan istilah keagamaan, khususnya agama Islam, di mana sejak masa sebelum Rasulullah SAW, praktik itu sudah dilakukan. Istilah poligami dalam Islam juga didasarkan pada dua sumber keagamaan: alQur'an (seperti dalam QS an-Nisa [4]: 3) dan praktik poligami yang dilakukan Rasulullah SAW. Sebagian besar ulama merujuk pada kedua sumber ajaran Islam tersebut dalam membahas soal poligami. Namun karena praktik poligami yang dilakukan Rasulullah SAW memiliki ciri-ciri dan konteks sosial-keagamaan yang khusus, maka penafsiran tentang dianjurkan atau tidaknya poligami menjadi polemik dan kontroversial. Oleh karena itu, para ulama atau intelektual muslim juga berbeda penafsiran terhadap poligami. Sebagian dari mereka ada yang mendukung dan sebagian lagi ada yang menolak. Sejarah Poligami Pada masa Nabi SAW, perkawinan poligami dianggap wajar dan telah menjadi tradisi masyarakat Arab. Diriwayatkan bahwa menjelang turunnya surat an-Nisa` ayat 3 yang membatasi laki-laki punya 4 istri, Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafiy telah memeluk Islam. Lalu dia datang menghadap Nabi SAW dan menceritakan bahwa dirinya memiliki 10 istri. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Pilih 4 saja dari mereka!”. Anjuran Rasulullah SAW untuk menceraikan sisa dari sepuluh istri itu (6 istri) karena didasarkan pada firman Allah SWT. Namun begitu, sisa yang 6 istri bukan berarti dicampakkan begitu saja. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa jika para sahabat ingin menceraikan istrinya, biasanya beliau meminta sahabat lainnya agar menikahi bekas istri sahabat yang memiliki istri lebih dari 4 orang tersebut. Dengan demikian, Rasulullah SAW juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan agar bekas istri yang dicerai tidak hidup terlantar dan menderita akibat perintah Allah SWT yang membatasi poligami hingga 4 orang istri saja. Dalam Limādzā `Addada an-Nabī Zaujātahu? (Mengapa Nabi Berpoligami?) karya Ahmad al-Hufiy, disebutkan bahwa poligami telah ada dan berkembang sejak umat terdahulu, jauh sebelum Nabi SAW. Dalam buku Limadza ‘Addad an-Nabiy Zaujatuhu (“Mengapa Nabi Memiliki Banyak Istri?”) karya Ahmad al-Hufiy, disebutkan bahwa dalam kitab suci Taurat, poligami tidak dibatasi, lalu dalam kitab suci Talmud dibatasi. Demikian juga dengan kaum Yahudi di Eropa, dari abad pertengahan sampai abad ke-20, tetap berpoligami. Bahkan, diberitakan bahwa nabi Sulaiman AS punya 100 istri. Sebelum itu, nabi Ibrahim AS juga berpoligami dengan Hajar, yang awalnya tidak lain adalah bekas budaknya. Pernikahan Ibrahim AS dengan istri pertamanya (Sara AS), tidak dikaruniai seorang anak. Atas desakan dan inisiatif sang istri, Ibrahim AS diminta untuk menikahi bekas budaknya (Hajar) yang kemudian melahirkan Ismail AS yang kemudian juga menjadi nabi dan rasul Allah SWT. Demikian juga dengan nabinabi lain yang memiliki istri lebih dari satu. Bahkan, sampai mencapai ratusan (beserta gundiknya). Dengan demikian, sejarah poligami memiliki matarantai yang sangat panjang dan mengakar di masyarakat, baik di masa lalu maupun di masa modern seperti sekarang ini. Perjalanan panjang poligami tidak hanya berkaitan dengan dominasi kaum laki-laki (patriarki) atas kaum perempuan, melainkan juga berkaitan dengan sistem dunia (world system) yang ada di belahan Timur maupun Barat. Sejarah poligami yang asal-muasalnya berangkat dari wilayah Timur (karena memang awal mula peradaban manusia dibangun dari wilayah ini), juga berimbas di dunia Barat. Di dunia barat, kaum perempuan mendapat nasib yang juga buruk. Posisi kaum perempuan di abad pertengahan (antara abad ke-11 sampai abag ke-17 M) bukan hanya ditempatkan sebagai kelompok kelas dunia atau kelompok bawah, tetapi juga posisinya hampir sama dengan posisi kelas budak. Sejarah poligami di masa modern, memang lebih banyak didominasi negaranegara di wilayah Timur, atau negara-negara berkembang. Namun demikian, di wilayah Barat bukan berarti tidak ada. Bahkan, yang menonjol justru adalah perselingkuhan, karena pengaruh paham sekularisme dan individualisme; di samping undang-undang di sebagian negara Barat juga melarang poligami. Dengan demikian, perkembangan poligami pada dasarnya bukan hanya berkaitan dengan doktrin keagamaan, melainkan juga dengan sosial-budaya di masing-masing negara. Landasan Teologis Dalil naqli atau landasan teologis yang sering dirujuk oleh kalangan ulama dan umat Islam umumnya, ketika membahas poligami adalah firman Allah SWT berikut : ل عَتِدْع عُلِداوُلاوا َّخِدْفاوُت عِدْم عَأ ا ِن ُل ْع عَف عُلِإ ِد َث عَواوُرعَبعععا ع َل ع َسعاُلِء عَمِدْثعَن ى عَواوُث ع َن الِّن ع َب عَلاوُكِدْم ُلِم ع َطعا ع َحاوا عَمعا ع ُطاوا ُلِف ي اِدْلعَيعَتعاعَم ى عَفعاِدْنُلِك او ُس او ِل اوُتِدْق ُل َّخِدْفاوُتِدْم عَأ ا ِن ُل ْعَوُلِإ ِد .(3 :ل عَتاوُعاواوُلاوا )النسعاء َّك عَأِدْدعَن ى عَأ ا َت عَأِدْيعَمعااوُناوُكِدْم عَذُلِل ع ْعَفعَاواحُلِعَدأ ًة عَأِدْو عَمعا عَمعَلعَك ِد Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil pada (hak-hak) perempuan yatim (jika kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih mudah untuk menghindari tindakan berlebihan/aniaya (QS anNisa’: 3). Di antara asbabul nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) firman Allah SWT di atas adalah adanya seorang laki-laki yang menghadap Rasulullah SAW bahwa dirinya sedang menikahi seorang wanita yatim yang memiliki kebun kurma. Sementara laki-laki itu menguasai harta peninggalan wanita yatim itu. Terhadap perlakuan itu, Rasulullah SAW menegaskan bahwa wanita yatim itu memiliki hak mengelola kebun atau pohon kelapa tersebut. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa hadis itu diriwayatkan oleh imam Bukhari dari jalur Aisyah RA. Dengan demikian, ayat itu pada mulanya turun sebagai respon terhadap kasus seorang anak perempuan yatim yang dinikahi oleh seorang laki-laki. Ayat itu juga berkaitan dengan pilihan yang diberikan Allah SWT pada umat nabi Muhammad agar bisa berlaku adil terhadap seorang wanita yatim. Jika tidak, maka ayat itu menganjurkan untuk menikahi wanita lain (yang bukan yatim) dengan batasan maksimal 4 istri. Namun dalam ayat itu juga ditegaskan bahwa melakukan pernikahan dengan lebih dari satu istri (poligami) akan lebih mudah terjerumus pada perbuatan atau tindakan aniaya. Karena itu, ayat itu menganjurkan atau memberi pilihan bahwa menikahi seorang wanita (istri) akan lebih mudah terhindar dari perbuatan aniaya pada istrinya. Di samping itu, rujukan doktrinal (dalil naqli) lainnya adalah praktik poligami yang dilakukan Rasulullah SAW sendiri. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa setelah istri pertamanya meninggal, Khadijah RA, Rasulullah SAW memiliki sekitar 10 orang istri. Namun dari semua istri itu, tidak ada satu pun yang memberikan keturunan kecuali dari Maria al-Kibtiyah, bekas budak yang dimerdekakan. Hal ini karena seluruh istri Rasulullah SAW (kecuali Aisyah dan Hafshah) adalah sudah berumur cukup tua dan sebagian besar adalah janda tua. Demikianlah rujukan teologis yang dijadikan sandaran oleh berbagai kalangan dalam mencermati poligami dalam perspektif Islam. Rujukan pertama adalah dalam QS an-Nisa ayat 3, dan rujukan kedua adalah praktik poligami yang dilakukan Rasulullah SAW. Dari kedua rujukan inilah, kemudian lahir berbagai pendapat dari kalangan ulama, dari yang mendukung sepenuhnya, mendukung dengan syarat-syarat tertentu, maupun yang mengeritik dan menolak praktik poligami. Praktik Poligami Nabi SAW Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa praktik poligami yang dilakukan Rasulullah SAW adalah sekitar 2 tahun setelah meninggalnya istri pertamanya, Khadijah RA. Saat itu, Rasulullah SAW kira-kira berumur 54 tahun. Wanita pertama yang dinikahi Rasulullah SAW setelah meninggalnya Khadijah RA adalah saudah binti Zam’ah, seorang wanita janda tua yang ditinggal suaminya karena meninggal di medan perang. Sebagian riwayat lain menyebutkan bahwa wanita pertama yang dinikahi Rasulullah SAW setelah meninggalnya Khadijah RA adalah Aisyah RA, putri Abu Bakr ash-Shiddiq. Namun karena saat itu masih terlalu muda (sekitar berumut 9 tahun) pernikahan itu lebih tepat disebut sebagai pengikat saja di mana Rasulullah SAW tidak mau berkumpul bersama sehingga Aisyah RA beranjak dewasa. Pernikahan poligami Rasulullah SAW yang ketiga (dimulai dari Hafshah) dan istri-istri lainnya, semuanya berlangsung di Madinah. Di kota suci inilah, Rasulullah SAW banyak menyiarakan dakwah dari aspek sosial-kemasyarakatan. Berbeda ketika di Makkah yang difokuskan pada penanaman akidah dan keimanan yang mantap. Kebedaan rumah tangga yang dijalankan dengan berpoligami di Madinah, juga melibatkan faktor sosial-budaya dan kebutuhan masyarakat saat itu. Di samping itu, poligami yang dipraktikkan Rasulullah SAW ditujukan untuk mengubah tradisi pelecehan masyarakat Arab saat itu terhadap kaum perempuan, di mana mereka selalu mendapat perlakuan yang tidak adil, terutama ketika memasuki pernikahan poligami. Di sinilah pentingnya peran pernikahan poligami Rasulullah SAW yang dijalankan di tengah-tengah masyarakat yang memandang poligami sebagai dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan. Dengan praktik poligami tersebut, Rasulullah SAW ingin menjelaskan bahwa kaum perempuan memiliki hak untuk dihargai dan diperlakukan secara adil. Praktik poligami yang dijalankan Rasulullah SAW tentu saja tidak didasarkan oleh motivasi biologis dan seksual, melainkan karena “motivasi dakwah”. Hal ini didasarkan pada beberapa kenyataan: 1) umur Rasulullah SAW saat itu sudah 54 tahun sejak awal memasuki kehidupan berpoligami dalam rumah tangganya; 2) sebagian besar istri Rasulullah SAW adalah janda-janda tua, padahal jika berhasrat, banyak putri dari negeri Hijaz dan sekitarnya dari para pembesar yang menginginkan putrinya untuk dinikahi oleh Rasulullah SAW; 3) pernikahan Rasulullah SAW juga dimotivasi oleh adanya persatuan dan hubungan silaturahim di antara sesama umat Islam, karena salah satu perekat utama silaturahim di antara suku-suku Arab saat itu adalah melalui ikatan pernikahan, seperti permintaan Abu Bakar RA dan Umar RA agar putri mereka dinikahi oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melangsungkan pernikahan poligami setelah 2 tahun wafatnya Khadijah RA. Saat itu, anak-anak Rasulullah SAW sudah tumbuh dewasa dan sudah berumah tangga. Dalam pernikahan poligami itu, Rasulullah SAW tidak satu pun menceraikan istri-istrinya tersebut. Semuanya diperlakukan secara adil dan bijaksana. Bila akan melakukan perjalanan jauh atau hendak berperang, Rasulullah SAW mengundi di antara istri-istri beliau tentang siapa yang akan ikut serta dengannya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kecemburuan dan iri hati di antara mereka. Di samping itu, Rasulullah SAW tidak pernah mengomel atau cemberut jika ada sikap atau perilaku mereka yang dianggap kurang baik dan santun. Rasulullah SAW selalu menanamkan sikap santun dan belas-kasih serta hidup sederhana. Praktik poligami yang dijalankan Rasulullah SAW juga harus dikaitkan dengan upaya membangun perubahan kultural masyarakat Arab saat itu di mana hak-hak kaum perempuan sangat rendah dan terbatas. Saat itu, seorang laki-laki bisa menikahi banyak perempuan tanpa ada batasan sama sekali. Di samping itu, kaum perempuan tidak punya hak untuk menuntut harta waris dan seluruh peninggalan dari orang tuanya. Jika seseorang meninggal dunia tanpa memiliki anak perempuan, maka harta kekayaan orang tua itu diwariskan pada saudara laki-lakinya (paman si anak perempuan) atau keponakannya yang laki-laki. Terhadap permalahan ini, Ibnu Katsir dalam karyanya “Tafsir al-Quran al-Azhim”, menyebutkan bahwa di masa lalu, anak perempuan tidak memiliki hak mewarisi harta warisan dari orang tuanya. Yang berhak hanyalah anak laki-laki atau saudara laki-laki dari orang tuanya. Atas pertimbangan inilah, Allah SWT menurunkan ayat-ayat yang memberi peluang dan hak yang lebih baik bagi kaum perempuan. Pro-Kontra Poligami Pro-kontra poligami lebih banyak didasarkan pada interpretasi yang beragam terhadap ayat-ayat yang melansir tentang poligami, misalnya dalam QS an-Nisa’[4]: 3 yang membolehkan menikahi kaum perempuan sebanyak 4 orang. Namun pada kalimat terakhir dalam ayat itu juga disebutkan bahwa memiliki satu istri (monogami) adalah lebih dekat untuk tidak terjerumus pada perbuatan yang melampaui batas. Atas dasar inilah, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan poligami, antara dianjurkan atau dilarang. Salah satu kontroversi itu adalah masalah kriteria keadilan. Sebagian ulama berpendapat bahwa keadilan dalam poligami tidak ditekankan pada sisi mentalemosional (seperti cemburu), tetapi lebih pada sisi material, seperti: qismah (gilir istri), pakaian, tempat tinggal, dan lainnya. Terkait dengan hal ini, Mahmud bin Syarif dalam karyanya, al-Qur’an wa Dunya al-Mar’ah, mengutip hadis Nabi SAW: “Wahai Tuhanku, inilah pembagianku [dengan istri-istriku] sesuai dengan apa yang aku miliki. Janganlah Engkau menyiksaku karena sesuatu yang Engkau menguasai, sedang aku tidak kuasa”. Yang dimaksud dengan “sesuatu yang Engkau menguasai” adalah cinta dan kecondongan emosional untuk mengunggulkan satu istri di atas yang lain. Hal ini pernah dilakukan Nabi SAW ketika memuji Khadijah ra (istri pertama Nabi SAW) di depan Aisyah ra yang kemudian merasa cemburu dengan mengucapkan kata-kata kurang sedap, sehingga membuat Nabi SAW murka. Riwayat tentang kecemburuan ‘Aisyah ra pada Khadijah ra tersebut, antara lain dapat dibaca dalam kitab al-Manāqib seperti termuat dalam kitab Shahīh al-Bukhari. Persitiwa kecemburuan Aisyah RA dan marahnya Rasulullah SAW yang antara lain disebabkan adanya praktik poligami yang dilakukan Rasulullah SAW, bisa dijadikan rujukan historis oleh sebagian kalangan untuk berkesimpulan bahwa poligami adalah pilihan yang sangat sulit. Betapa tidak, seorang Nabi saja, masih menemukan adanya pertengkaran dan kecemburuan di dalam rumah tangga mereka. Bahkan, dalam QS ath-Thalaq ayat 1 – 5 disebutkan adanya ancaman Allah SWT kepada kedua istri Rasulullah SAW (Aisyah RA dan Hafshah RA) yang mengadakan semacam konspirasi untuk menjatuhkan salah satu istri Nabi SAW yang lain (dalam beberapa riwayat adalah Maria al-Kibtiyah). Dari beberapa catatan sejarah itulah, para ulama kemudian berbeda pendapat tentang praktik poligami yang dilakukan umat Islam. Perbedaan itu bukan pada dibolehkan atau dilarangnya berpoligami, melainkan pada dianjurkan atau tidaknya. Sebab, seluruh ulama sepakat bahwa poligami tidak diharamkan. Namun para ulama berbeda tentang syarat-syarat kebolehannya berpoligami, seperti: motifasi berpoligami, kemampuan berbuat adil pada istri-istrinya, dan sebagainya. Kelompok yang mendukung poligami tentu saja mendasarkan argumentasinya pada firman Allah SWT dalam QS an-Nisa’ ayat 3 tersebut. Dalam ayat itu jelas ditegaskan bahwa ada kebolehan bagi seorang laki-laki untuk menikahi maksimal 4 orang istri. Ini berarti bahwa praktik poligami dibolehkan dalam Islam. Hanya saja kebolehan itu harus dilalui dengan syarat-syarat yang sangat selektif dan ketat, karena pembagian sikap adil (baik secara mental maupun materi) lebih sulit diterapkan pada istri yang lebih dari satu. Sementara kelompok yang menentang praktik poligami berargumen bahwa apa yang dipraktikkan Nabi SAW merupakan hasil dialog antara realitas sosial dan wahyu, sehingga poligami sebenarnya merupakan kasus temporal yang terbuka untuk dikoreksi. Yang ideal dalam rumah tangga adalah monogami, karena lebih sesuai dengan anjuran Allah SWT pada penghujung atau akhir redaksi dalam QS an-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi “…dan jika kalian khawatir tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah satu orang istri saja”. Di samping itu, ada sebuah riwayat sahih dari al-Miswar bin Makhramah yang memberitakan bahwa Nabi SAW tidak menyetujui apabila putrinya, Fathimah, dipoligami oleh Ali bin Abu Thalib, mantu sekaligus saudara sepupu Nabi SAW. Bunyi sabda Nabi itu adalah: “Anak-anak Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Aku tidak mengizinkan, aku tidak mengizinkan, aku tidak mengizinkan, kecuali dia ingin menceraikan putriku (Fathimah) dan menikahi putri mereka. Fathimah adalah darah dagingku, siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku” (HR al-Bukhari, Muslim, dan lainnya). Demikianlah dua golongan yang pro dan kontra seputar praktik poligami yang mungkin akan dilakukan umat Islam. Argumentasi yang diajukan kelompok yang menentang poligami lebih didasarkan pada akibat atau dampak dari praktik poligami yang lebih cenderung pada perilaku kurang adil, bahkan memungkinkan lahirnya kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dibuktikan dari praktik poligami yang dijalankan Rasulullah SAW bersama para istrinya yang terkadang terjadi intrik dan pertengkaran di antara istri-istri itu. Namun karena kebesaran hati dan sikap kelembutan beliau lah, kehidupan poligami itu berjalan utuh hingga beliau wafat, tanpa ada satu orang istri pun yang diceraikannya. Apalagi praktik poligami yang dijalankan Rasulullah SAW sebagai manusia panutan saja terjadi banyak masalah, bagaimana dengan orang kebanyakan dari umatnya? Inilah yang melatari penegasan redaksi akhir ayat dalam QS an-Nisa: 3 yang menekankan pada monogami, bukan poligami. Sementara kelompok yang mendukung lebih mendasarkan pada makna lahir ayat al-Qur'an yang tidak memberi siyarat pada adanya larangan atau pengharaman. Bagi kelompok yang mendukung poligami, penegasan Allah SWT bahwa memiliki satu istri lebih terhindar dari perilaku berlebihan, didasarkan pada pertimbangan kecenderungan umum, bukan sebagai penegasan pelarangan. Di samping itu, masalah poligami sebenarnya termasuk dalam persoalan relasi pernikahan (muhakahat) di mana lahirnya banyak pilihan masih sangat terbuka luas. Dengan demikian, pemilihan untuk berpoligami maupun bermonogami, diserahkan pada kapasitas dan kondisi seseorang; apakah dia mampu berbuat adil (terutama pada aspek sandang, pangan, dan papan) atau justru bisa melahirkan kemudharatan dan perilaku aniaya? Dengan demikian, hukum poligami tetap dibolehkan dan bersifat kondisional. Penutup Demikianlah paparan seputar poligami dalam pandangan ajaran Islam yang landasan teologisnya berangkat dari QS an-Nisa ayat 3. Dalam ayat itu, ada kesan bahwa poligami dan monogami sama-sama dibolehkan, sehingga muncul pro dankontra seputar praktik poligami. Umat Islam juga harus mencermati persoalan poligami dari pandangan yang lebih proporsional dan adil sehingga dalam menyikapi persoalan poligami, mereka tidak terjebak pada kesan bahwa Islam adalah ajaran yang merendahkan kaum perempuan. Semoga paparan ringkas dalam aplikasi ini bisa menambah cakrawala wawasan umat Islam dalam memandang permasalahan poligami. Dengan membaca aplikasi ini, umat Islam diharapkan bisa lebih berimbang dan adil dalam memandang permasalahan poligami sebagai bagian dari realitas sejarah yang harus disikapi secara obyektif, adil, dan bijak. Daftar Pustaka Al-Hufiy, Ahmad. 1992 (cet. II). Limādzā `Addada an-Nabiy Zaujātahu. Kairo: Mu’assasah al-Khalīj al-`Arabiy Al-Syarif, Mahmud bin. 1991. Al-Qur`ān wa Dunyā al-Mar`ah. Mesir: Dār al-Ma’ārif. Aripurnami, Sita. 1999. Hak Reproduktif antara Kontrol dan Perlawanan: Wacana tentang Kebijakan Kependudukan di Indonesia. Jakarta: PKIP Kalyanamitra. Faiz, Ahmad. 1992 (cet. VI). Dustūr al-Usrah fī Zhilāl al-Qur`ān. Beirut: Mu`assasah ar-Risalah. Hadipranoto, Sri. 1997. Kesehatan Reproduksi: Suatu Pendekatan Baru. Malang: Danar Wijaya Brawijaya University Press. International Conference on Population and Development 1994 (ICPD ’94). Bayan Dewan Syari’ah Partai Keadilan, “Kajian Progresif Poligami” (dikeluarkan oleh Bayan Dewan Syari’ah Partai Keadilan tentang poligami pada 26 September 2001). Mohamad, Kartono. 1998. Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan (terjemahan Hartian Silawati). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Meiyanti, Sri. 1999. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan UGM dengan Ford Foundation. Mulia, Musdah. 1999. Pandangan Islam tentang Poligami. Jakarta: LKAJ. Reyneta,Vony, “Kebijakan Poligami: Kekerasan Negara terhadap Perempuan” (dimuat dalam Jurnal Perempuan, No. 31, 2003) Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama. 2001. Keadilan & Kesetaraan Jender (Perspektif Islam). Jakarta: TPPBA Depag RI.