Untitled - MuslimLife.com

advertisement
Poligami dalam Islam
Daftar Isi :
Pengantar
Arti dan Istilah
Sejarah Poligami
Landasan Teologis
Praktik Poligami Nabi SAW
Penutup
Pengantar
Hal pertama yang sangat musykil dan sering menimbulkan polemik di kalangan
umat Islam adalah posisi nabi Muhammad SAW sebagai manusia teladan yang memiliki
banyak istri (poligami). Praktik poligami yang dilakukan Rasulullah SAW didasarkan
pada banyak pertimbangan: agama, budaya, politik, dan dakwah. Semua istri Nabi SAW
adalah janda dan berumur tua, kecuali Aisyah RA, putri kesayangan Abu Bakr ashShiddiq RA, sahabat senior Nabi SAW yang atas permohonannya sendiri agar Nabi
SAW menikahi putrinya.
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW memiliki sepuluh istri:
Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakr, Hafshah binti
Umar, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Juwairiyah binti
al-Harits, Ummu Habibah, dan Maimunah binti al-Harits. Riyawat lain menyebutkan
ada 12 istri, yaitu ditambah: Shafiyyah binti Huyay dan Rayhanah binti Zaid.
Aplikasi ini menyuguhkan ulasan tentang poligami, baik dari kalangan yang pro
(mendukung) maupun yang kontra (menolak). Dengan demikian, aplikasi ini tidak ingin
menggurui atau menghakimi pihak mana yang benar dan yang salah. Aplikasi ini
semata-mata hanya ingin menghadirkan ulasan yang lebih ilmiah, obyektif, dan tidak
memihak pada satu kelompok atau golongan tertentu. Selamat menikmati uraian tentang
poligami dalam pandangan Islam.
Arti dan Istilah
Secara bahasa, poligami berarti “seseorang (baik laki-laki maupun perempuan)
yang memiliki pasangan lebih dari satu. Untuk seorang laki-laki yang memiliki lebih
dari satu pasangan (istri) disebut dengan “poligini”. Sementara untuk seorang
perempuan yang memiliki pasangan (suami) lebih dari satu disebut “poliandri”. Namun
karena masyarakat kurang mengenal istilah poligini, maka dalam aplikasi ini akan
digunakan istilah “poligami” untuk seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu.
Dalam agama (Islam) tidak ada istilah poliandri, karena memang dilarang atau
diharamkan. Yang ada adalah poligami yang dalam referensi berbahasa Arab dikenal
dengan sebutan “ta’addud az-zaujat” (poligami). Dengan demikian, “ta’addud azzaujat” berkaitan dengan istilah keagamaan, khususnya agama Islam, di mana sejak
masa sebelum Rasulullah SAW, praktik itu sudah dilakukan.
Istilah poligami dalam Islam juga didasarkan pada dua sumber keagamaan: alQur'an (seperti dalam QS an-Nisa [4]: 3) dan praktik poligami yang dilakukan
Rasulullah SAW. Sebagian besar ulama merujuk pada kedua sumber ajaran Islam
tersebut dalam membahas soal poligami. Namun karena praktik poligami yang
dilakukan Rasulullah SAW memiliki ciri-ciri dan konteks sosial-keagamaan yang
khusus, maka penafsiran tentang dianjurkan atau tidaknya poligami menjadi polemik
dan kontroversial. Oleh karena itu, para ulama atau intelektual muslim juga berbeda
penafsiran terhadap poligami. Sebagian dari mereka ada yang mendukung dan sebagian
lagi ada yang menolak.
Sejarah Poligami
Pada masa Nabi SAW, perkawinan poligami dianggap wajar dan telah menjadi
tradisi masyarakat Arab. Diriwayatkan bahwa menjelang turunnya surat an-Nisa` ayat 3
yang membatasi laki-laki punya 4 istri, Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafiy telah
memeluk Islam. Lalu dia datang menghadap Nabi SAW dan menceritakan bahwa
dirinya memiliki 10 istri. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Pilih 4 saja dari
mereka!”.
Anjuran Rasulullah SAW untuk menceraikan sisa dari sepuluh istri itu (6 istri)
karena didasarkan pada firman Allah SWT. Namun begitu, sisa yang 6 istri bukan
berarti dicampakkan begitu saja. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa jika para
sahabat ingin menceraikan istrinya, biasanya beliau meminta sahabat lainnya agar
menikahi bekas istri sahabat yang memiliki istri lebih dari 4 orang tersebut. Dengan
demikian, Rasulullah SAW juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan agar bekas istri
yang dicerai tidak hidup terlantar dan menderita akibat perintah Allah SWT yang
membatasi poligami hingga 4 orang istri saja.
Dalam Limādzā `Addada an-Nabī Zaujātahu? (Mengapa Nabi Berpoligami?)
karya Ahmad al-Hufiy, disebutkan bahwa poligami telah ada dan berkembang sejak
umat terdahulu, jauh sebelum Nabi SAW. Dalam buku Limadza ‘Addad an-Nabiy
Zaujatuhu (“Mengapa Nabi Memiliki Banyak Istri?”) karya Ahmad al-Hufiy, disebutkan
bahwa dalam kitab suci Taurat, poligami tidak dibatasi, lalu dalam kitab suci Talmud
dibatasi. Demikian juga dengan kaum Yahudi di Eropa, dari abad pertengahan sampai
abad ke-20, tetap berpoligami. Bahkan, diberitakan bahwa nabi Sulaiman AS punya 100
istri.
Sebelum itu, nabi Ibrahim AS juga berpoligami dengan Hajar, yang awalnya
tidak lain adalah bekas budaknya. Pernikahan Ibrahim AS dengan istri pertamanya (Sara
AS), tidak dikaruniai seorang anak. Atas desakan dan inisiatif sang istri, Ibrahim AS
diminta untuk menikahi bekas budaknya (Hajar) yang kemudian melahirkan Ismail AS
yang kemudian juga menjadi nabi dan rasul Allah SWT. Demikian juga dengan nabinabi lain yang memiliki istri lebih dari satu. Bahkan, sampai mencapai ratusan (beserta
gundiknya).
Dengan demikian, sejarah poligami memiliki matarantai yang sangat panjang
dan mengakar di masyarakat, baik di masa lalu maupun di masa modern seperti
sekarang ini. Perjalanan panjang poligami tidak hanya berkaitan dengan dominasi kaum
laki-laki (patriarki) atas kaum perempuan, melainkan juga berkaitan dengan sistem
dunia (world system) yang ada di belahan Timur maupun Barat.
Sejarah poligami yang asal-muasalnya berangkat dari wilayah Timur (karena
memang awal mula peradaban manusia dibangun dari wilayah ini), juga berimbas di
dunia Barat. Di dunia barat, kaum perempuan mendapat nasib yang juga buruk. Posisi
kaum perempuan di abad pertengahan (antara abad ke-11 sampai abag ke-17 M) bukan
hanya ditempatkan sebagai kelompok kelas dunia atau kelompok bawah, tetapi juga
posisinya hampir sama dengan posisi kelas budak.
Sejarah poligami di masa modern, memang lebih banyak didominasi negaranegara di wilayah Timur, atau negara-negara berkembang. Namun demikian, di wilayah
Barat bukan berarti tidak ada. Bahkan, yang menonjol justru adalah perselingkuhan,
karena pengaruh paham sekularisme dan individualisme; di samping undang-undang di
sebagian negara Barat juga melarang poligami.
Dengan demikian, perkembangan poligami pada dasarnya bukan hanya berkaitan
dengan doktrin keagamaan, melainkan juga dengan sosial-budaya di masing-masing
negara.
Landasan Teologis
Dalil naqli atau landasan teologis yang sering dirujuk oleh kalangan ulama dan
umat Islam umumnya, ketika membahas poligami adalah firman Allah SWT berikut :
‫ل عَتِدْع عُلِداوُلاوا‬
َّ‫خِدْفاوُت عِدْم عَأ ا‬
ِ‫ن ُل‬
ْ‫ع عَف عُلِإ ِد‬
َ‫ث عَواوُرعَبعععا ع‬
َ‫ل ع‬
َ‫سعاُلِء عَمِدْثعَن ى عَواوُث ع‬
َ‫ن الِّن ع‬
َ‫ب عَلاوُكِدْم ُلِم ع‬
َ‫طعا ع‬
َ‫حاوا عَمعا ع‬
ُ‫طاوا ُلِف ي اِدْلعَيعَتعاعَم ى عَفعاِدْنُلِك او‬
ُ‫س او‬
ِ‫ل اوُتِدْق ُل‬
َّ‫خِدْفاوُتِدْم عَأ ا‬
ِ‫ن ُل‬
ْ‫عَوُلِإ ِد‬
.(3 :‫ل عَتاوُعاواوُلاوا )النسعاء‬
َّ‫ك عَأِدْدعَن ى عَأ ا‬
َ‫ت عَأِدْيعَمعااوُناوُكِدْم عَذُلِل ع‬
ْ‫عَفعَاواحُلِعَدأ ًة عَأِدْو عَمعا عَمعَلعَك ِد‬
Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil pada (hak-hak) perempuan
yatim (jika kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih mudah untuk menghindari tindakan berlebihan/aniaya (QS anNisa’: 3).
Di antara asbabul nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) firman Allah SWT di atas
adalah adanya seorang laki-laki yang menghadap Rasulullah SAW bahwa dirinya
sedang menikahi seorang wanita yatim yang memiliki kebun kurma. Sementara laki-laki
itu menguasai harta peninggalan wanita yatim itu. Terhadap perlakuan itu, Rasulullah
SAW menegaskan bahwa wanita yatim itu memiliki hak mengelola kebun atau pohon
kelapa tersebut. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa hadis itu diriwayatkan
oleh imam Bukhari dari jalur Aisyah RA.
Dengan demikian, ayat itu pada mulanya turun sebagai respon terhadap kasus
seorang anak perempuan yatim yang dinikahi oleh seorang laki-laki. Ayat itu juga
berkaitan dengan pilihan yang diberikan Allah SWT pada umat nabi Muhammad agar
bisa berlaku adil terhadap seorang wanita yatim. Jika tidak, maka ayat itu menganjurkan
untuk menikahi wanita lain (yang bukan yatim) dengan batasan maksimal 4 istri. Namun
dalam ayat itu juga ditegaskan bahwa melakukan pernikahan dengan lebih dari satu istri
(poligami) akan lebih mudah terjerumus pada perbuatan atau tindakan aniaya. Karena
itu, ayat itu menganjurkan atau memberi pilihan bahwa menikahi seorang wanita (istri)
akan lebih mudah terhindar dari perbuatan aniaya pada istrinya.
Di samping itu, rujukan doktrinal (dalil naqli) lainnya adalah praktik poligami
yang dilakukan Rasulullah SAW sendiri. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa
setelah istri pertamanya meninggal, Khadijah RA, Rasulullah SAW memiliki sekitar 10
orang istri. Namun dari semua istri itu, tidak ada satu pun yang memberikan keturunan
kecuali dari Maria al-Kibtiyah, bekas budak yang dimerdekakan. Hal ini karena seluruh
istri Rasulullah SAW (kecuali Aisyah dan Hafshah) adalah sudah berumur cukup tua
dan sebagian besar adalah janda tua.
Demikianlah rujukan teologis yang dijadikan sandaran oleh berbagai kalangan
dalam mencermati poligami dalam perspektif Islam. Rujukan pertama adalah dalam QS
an-Nisa ayat 3, dan rujukan kedua adalah praktik poligami yang dilakukan Rasulullah
SAW. Dari kedua rujukan inilah, kemudian lahir berbagai pendapat dari kalangan
ulama, dari yang mendukung sepenuhnya, mendukung dengan syarat-syarat tertentu,
maupun yang mengeritik dan menolak praktik poligami.
Praktik Poligami Nabi SAW
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa praktik poligami yang dilakukan
Rasulullah SAW adalah sekitar 2 tahun setelah meninggalnya istri pertamanya,
Khadijah RA. Saat itu, Rasulullah SAW kira-kira berumur 54 tahun. Wanita pertama
yang dinikahi Rasulullah SAW setelah meninggalnya Khadijah RA adalah saudah binti
Zam’ah, seorang wanita janda tua yang ditinggal suaminya karena meninggal di medan
perang. Sebagian riwayat lain menyebutkan bahwa wanita pertama yang dinikahi
Rasulullah SAW setelah meninggalnya Khadijah RA adalah Aisyah RA, putri Abu Bakr
ash-Shiddiq. Namun karena saat itu masih terlalu muda (sekitar berumut 9 tahun)
pernikahan itu lebih tepat disebut sebagai pengikat saja di mana Rasulullah SAW tidak
mau berkumpul bersama sehingga Aisyah RA beranjak dewasa.
Pernikahan poligami Rasulullah SAW yang ketiga (dimulai dari Hafshah) dan
istri-istri lainnya, semuanya berlangsung di Madinah. Di kota suci inilah, Rasulullah
SAW banyak menyiarakan dakwah dari aspek sosial-kemasyarakatan. Berbeda ketika di
Makkah yang difokuskan pada penanaman akidah dan keimanan yang mantap.
Kebedaan rumah tangga yang dijalankan dengan berpoligami di Madinah, juga
melibatkan faktor sosial-budaya dan kebutuhan masyarakat saat itu. Di samping itu,
poligami yang dipraktikkan Rasulullah SAW ditujukan untuk mengubah tradisi
pelecehan masyarakat Arab saat itu terhadap kaum perempuan, di mana mereka selalu
mendapat perlakuan yang tidak adil, terutama ketika memasuki pernikahan poligami. Di
sinilah pentingnya peran pernikahan poligami Rasulullah SAW yang dijalankan di
tengah-tengah masyarakat yang memandang poligami sebagai dominasi kaum laki-laki
atas kaum perempuan. Dengan praktik poligami tersebut, Rasulullah SAW ingin
menjelaskan bahwa kaum perempuan memiliki hak untuk dihargai dan diperlakukan
secara adil.
Praktik poligami yang dijalankan Rasulullah SAW tentu saja tidak didasarkan
oleh motivasi biologis dan seksual, melainkan karena “motivasi dakwah”. Hal ini
didasarkan pada beberapa kenyataan: 1) umur Rasulullah SAW saat itu sudah 54 tahun
sejak awal memasuki kehidupan berpoligami dalam rumah tangganya; 2) sebagian besar
istri Rasulullah SAW adalah janda-janda tua, padahal jika berhasrat, banyak putri dari
negeri Hijaz dan sekitarnya dari para pembesar yang menginginkan putrinya untuk
dinikahi oleh Rasulullah SAW; 3) pernikahan Rasulullah SAW juga dimotivasi oleh
adanya persatuan dan hubungan silaturahim di antara sesama umat Islam, karena salah
satu perekat utama silaturahim di antara suku-suku Arab saat itu adalah melalui ikatan
pernikahan, seperti permintaan Abu Bakar RA dan Umar RA agar putri mereka dinikahi
oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW melangsungkan pernikahan poligami setelah 2 tahun wafatnya
Khadijah RA. Saat itu, anak-anak Rasulullah SAW sudah tumbuh dewasa dan sudah
berumah tangga. Dalam pernikahan poligami itu, Rasulullah SAW tidak satu pun
menceraikan istri-istrinya tersebut. Semuanya diperlakukan secara adil dan bijaksana.
Bila akan melakukan perjalanan jauh atau hendak berperang, Rasulullah SAW
mengundi di antara istri-istri beliau tentang siapa yang akan ikut serta dengannya. Hal
ini dilakukan agar tidak terjadi kecemburuan dan iri hati di antara mereka. Di samping
itu, Rasulullah SAW tidak pernah mengomel atau cemberut jika ada sikap atau perilaku
mereka yang dianggap kurang baik dan santun. Rasulullah SAW selalu menanamkan
sikap santun dan belas-kasih serta hidup sederhana.
Praktik poligami yang dijalankan Rasulullah SAW juga harus dikaitkan dengan
upaya membangun perubahan kultural masyarakat Arab saat itu di mana hak-hak kaum
perempuan sangat rendah dan terbatas. Saat itu, seorang laki-laki bisa menikahi banyak
perempuan tanpa ada batasan sama sekali. Di samping itu, kaum perempuan tidak punya
hak untuk menuntut harta waris dan seluruh peninggalan dari orang tuanya. Jika
seseorang meninggal dunia tanpa memiliki anak perempuan, maka harta kekayaan orang
tua itu diwariskan pada saudara laki-lakinya (paman si anak perempuan) atau
keponakannya yang laki-laki. Terhadap permalahan ini, Ibnu Katsir dalam karyanya
“Tafsir al-Quran al-Azhim”, menyebutkan bahwa di masa lalu, anak perempuan tidak
memiliki hak mewarisi harta warisan dari orang tuanya. Yang berhak hanyalah anak
laki-laki atau saudara laki-laki dari orang tuanya. Atas pertimbangan inilah, Allah SWT
menurunkan ayat-ayat yang memberi peluang dan hak yang lebih baik bagi kaum
perempuan.
Pro-Kontra Poligami
Pro-kontra poligami lebih banyak didasarkan pada interpretasi yang beragam
terhadap ayat-ayat yang melansir tentang poligami, misalnya dalam QS an-Nisa’[4]: 3
yang membolehkan menikahi kaum perempuan sebanyak 4 orang. Namun pada kalimat
terakhir dalam ayat itu juga disebutkan bahwa memiliki satu istri (monogami) adalah
lebih dekat untuk tidak terjerumus pada perbuatan yang melampaui batas. Atas dasar
inilah, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan poligami, antara dianjurkan atau
dilarang.
Salah satu kontroversi itu adalah masalah kriteria keadilan. Sebagian ulama
berpendapat bahwa keadilan dalam poligami tidak ditekankan pada sisi mentalemosional (seperti cemburu), tetapi lebih pada sisi material, seperti: qismah (gilir istri),
pakaian, tempat tinggal, dan lainnya. Terkait dengan hal ini, Mahmud bin Syarif dalam
karyanya, al-Qur’an wa Dunya al-Mar’ah, mengutip hadis Nabi SAW: “Wahai
Tuhanku, inilah pembagianku [dengan istri-istriku] sesuai dengan apa yang aku miliki.
Janganlah Engkau menyiksaku karena sesuatu yang Engkau menguasai, sedang aku
tidak kuasa”.
Yang dimaksud dengan “sesuatu yang Engkau menguasai” adalah cinta dan
kecondongan emosional untuk mengunggulkan satu istri di atas yang lain. Hal ini
pernah dilakukan Nabi SAW ketika memuji Khadijah ra (istri pertama Nabi SAW) di
depan Aisyah ra yang kemudian merasa cemburu dengan mengucapkan kata-kata
kurang sedap, sehingga membuat Nabi SAW murka. Riwayat tentang kecemburuan
‘Aisyah ra pada Khadijah ra tersebut, antara lain dapat dibaca dalam kitab al-Manāqib
seperti termuat dalam kitab Shahīh al-Bukhari.
Persitiwa kecemburuan Aisyah RA dan marahnya Rasulullah SAW yang antara
lain disebabkan adanya praktik poligami yang dilakukan Rasulullah SAW, bisa
dijadikan rujukan historis oleh sebagian kalangan untuk berkesimpulan bahwa poligami
adalah pilihan yang sangat sulit. Betapa tidak, seorang Nabi saja, masih menemukan
adanya pertengkaran dan kecemburuan di dalam rumah tangga mereka. Bahkan, dalam
QS ath-Thalaq ayat 1 – 5 disebutkan adanya ancaman Allah SWT kepada kedua istri
Rasulullah SAW (Aisyah RA dan Hafshah RA) yang mengadakan semacam konspirasi
untuk menjatuhkan salah satu istri Nabi SAW yang lain (dalam beberapa riwayat adalah
Maria al-Kibtiyah).
Dari beberapa catatan sejarah itulah, para ulama kemudian berbeda pendapat
tentang praktik poligami yang dilakukan umat Islam. Perbedaan itu bukan pada
dibolehkan atau dilarangnya berpoligami, melainkan pada dianjurkan atau tidaknya.
Sebab, seluruh ulama sepakat bahwa poligami tidak diharamkan. Namun para ulama
berbeda tentang syarat-syarat kebolehannya berpoligami, seperti: motifasi berpoligami,
kemampuan berbuat adil pada istri-istrinya, dan sebagainya.
Kelompok yang mendukung poligami tentu saja mendasarkan argumentasinya
pada firman Allah SWT dalam QS an-Nisa’ ayat 3 tersebut. Dalam ayat itu jelas
ditegaskan bahwa ada kebolehan bagi seorang laki-laki untuk menikahi maksimal 4
orang istri. Ini berarti bahwa praktik poligami dibolehkan dalam Islam. Hanya saja
kebolehan itu harus dilalui dengan syarat-syarat yang sangat selektif dan ketat, karena
pembagian sikap adil (baik secara mental maupun materi) lebih sulit diterapkan pada
istri yang lebih dari satu.
Sementara kelompok yang menentang praktik poligami berargumen bahwa apa
yang dipraktikkan Nabi SAW merupakan hasil dialog antara realitas sosial dan wahyu,
sehingga poligami sebenarnya merupakan kasus temporal yang terbuka untuk dikoreksi.
Yang ideal dalam rumah tangga adalah monogami, karena lebih sesuai dengan anjuran
Allah SWT pada penghujung atau akhir redaksi dalam QS an-Nisa’ ayat 3 yang
berbunyi “…dan jika kalian khawatir tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah satu
orang istri saja”.
Di samping itu, ada sebuah riwayat sahih dari al-Miswar bin Makhramah yang
memberitakan bahwa Nabi SAW tidak menyetujui apabila putrinya, Fathimah,
dipoligami oleh Ali bin Abu Thalib, mantu sekaligus saudara sepupu Nabi SAW. Bunyi
sabda Nabi itu adalah: “Anak-anak Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku
untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Aku tidak mengizinkan, aku
tidak mengizinkan, aku tidak mengizinkan, kecuali dia ingin menceraikan putriku
(Fathimah) dan menikahi putri mereka. Fathimah adalah darah dagingku, siapa yang
menyakitinya berarti menyakitiku” (HR al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Demikianlah dua golongan yang pro dan kontra seputar praktik poligami yang
mungkin akan dilakukan umat Islam. Argumentasi yang diajukan kelompok yang
menentang poligami lebih didasarkan pada akibat atau dampak dari praktik poligami
yang lebih cenderung pada perilaku kurang adil, bahkan memungkinkan lahirnya
kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dibuktikan dari praktik poligami yang dijalankan
Rasulullah SAW bersama para istrinya yang terkadang terjadi intrik dan pertengkaran di
antara istri-istri itu. Namun karena kebesaran hati dan sikap kelembutan beliau lah,
kehidupan poligami itu berjalan utuh hingga beliau wafat, tanpa ada satu orang istri pun
yang diceraikannya. Apalagi praktik poligami yang dijalankan Rasulullah SAW sebagai
manusia panutan saja terjadi banyak masalah, bagaimana dengan orang kebanyakan dari
umatnya? Inilah yang melatari penegasan redaksi akhir ayat dalam QS an-Nisa: 3 yang
menekankan pada monogami, bukan poligami.
Sementara kelompok yang mendukung lebih mendasarkan pada makna lahir ayat
al-Qur'an yang tidak memberi siyarat pada adanya larangan atau pengharaman. Bagi
kelompok yang mendukung poligami, penegasan Allah SWT bahwa memiliki satu istri
lebih terhindar dari perilaku berlebihan, didasarkan pada pertimbangan kecenderungan
umum, bukan sebagai penegasan pelarangan.
Di samping itu, masalah poligami
sebenarnya termasuk dalam persoalan relasi pernikahan (muhakahat) di mana lahirnya
banyak pilihan masih sangat terbuka luas. Dengan demikian, pemilihan untuk
berpoligami maupun bermonogami, diserahkan pada kapasitas dan kondisi seseorang;
apakah dia mampu berbuat adil (terutama pada aspek sandang, pangan, dan papan) atau
justru bisa melahirkan kemudharatan dan perilaku aniaya? Dengan demikian, hukum
poligami tetap dibolehkan dan bersifat kondisional.
Penutup
Demikianlah paparan seputar poligami dalam pandangan ajaran Islam yang
landasan teologisnya berangkat dari QS an-Nisa ayat 3. Dalam ayat itu, ada kesan
bahwa poligami dan monogami sama-sama dibolehkan, sehingga muncul pro dankontra
seputar praktik poligami.
Umat Islam juga harus mencermati persoalan poligami dari pandangan yang
lebih proporsional dan adil sehingga dalam menyikapi persoalan poligami, mereka tidak
terjebak pada kesan bahwa Islam adalah ajaran yang merendahkan kaum perempuan.
Semoga paparan ringkas dalam aplikasi ini bisa menambah cakrawala wawasan
umat Islam dalam memandang permasalahan poligami. Dengan membaca aplikasi ini,
umat Islam diharapkan bisa lebih berimbang dan adil dalam memandang permasalahan
poligami sebagai bagian dari realitas sejarah yang harus disikapi secara obyektif, adil,
dan bijak.
Daftar Pustaka
Al-Hufiy, Ahmad. 1992 (cet. II). Limādzā `Addada an-Nabiy Zaujātahu. Kairo:
Mu’assasah al-Khalīj al-`Arabiy
Al-Syarif, Mahmud bin. 1991. Al-Qur`ān wa Dunyā al-Mar`ah. Mesir: Dār al-Ma’ārif.
Aripurnami, Sita. 1999. Hak Reproduktif antara Kontrol dan Perlawanan: Wacana
tentang Kebijakan Kependudukan di Indonesia. Jakarta: PKIP Kalyanamitra.
Faiz, Ahmad. 1992 (cet. VI). Dustūr al-Usrah fī Zhilāl al-Qur`ān. Beirut: Mu`assasah
ar-Risalah.
Hadipranoto, Sri. 1997. Kesehatan Reproduksi: Suatu Pendekatan Baru. Malang: Danar
Wijaya Brawijaya University Press.
International Conference on Population and Development 1994 (ICPD ’94).
Bayan Dewan Syari’ah Partai Keadilan, “Kajian Progresif Poligami” (dikeluarkan oleh
Bayan Dewan Syari’ah Partai Keadilan tentang poligami pada 26 September
2001).
Mohamad, Kartono. 1998. Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan (terjemahan Hartian Silawati).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Meiyanti, Sri. 1999. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga.
Yogyakarta: kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan UGM dengan Ford
Foundation.
Mulia, Musdah. 1999. Pandangan Islam tentang Poligami. Jakarta: LKAJ.
Reyneta,Vony, “Kebijakan Poligami: Kekerasan Negara terhadap Perempuan” (dimuat
dalam Jurnal Perempuan, No. 31, 2003)
Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama. 2001. Keadilan & Kesetaraan Jender
(Perspektif Islam). Jakarta: TPPBA Depag RI.
Download