METODE HERMENEUTIKA UNTUK AL

advertisement
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
Pro
D
ig
ital
ct
je
METODE
HERMENEUTIKA
UNTUK AL-QUR’AN
kaa
n
Ahmad Fuad Fanani
1
Kolom | Edisi 029, Oktober 2011
Edisi 029, Oktober 2011
A
c
Dem
Metode Hermeneutika
untuk Al-Qur’an
o
Kolom
cy
a
r
Pe
l-Qur’an sebagai kitab petunjuk
(hudan) memiliki posisi sentral
dalam kehidupan manusia. Ia
bukan saja sebagai landasan bagi
pengembangan dan perkembangan
rp
ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga
merupakan inspirator, pemandu dan u s
ta
pemadu gerakan-gerakan umat Islam
sepanjang empat belas abad lebih
sejarah umat manusia. Hal ini bisa
terlihat dari dari bermunculannya
gerakan Ikhwanul Muslimin di
Mesir, Jam’at Islami di Pakistan,
Wahabi di Saudi Arabia, maupun
NU, Muhammadiyah, baik organisasi
Islam lainnya di seluruh dunia.
2
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
Pro
je
D
ig
ital
ct
Al-Qur’an sebagai sebuah teks,
menurut Nasr Hamid Abu Zayd,
pada dasarnya adalah produk budaya.
(Tekstualitas Al-Qur’an, 2000) Hal
ini dapat dibuktikan dengan rentang
waktu terkumpulnya teks Al-Qur’an
dalam 20 tahun lebih yang terbentuk
dalam realitas sosial dan budaya.
Oleh karena itu, perlu adanya
dialektika yang terus-menerus antara
teks (Al-Qur’an) dan kebudayaan
manusia yang senantiasa berkembang
secara pesat. Jika hal ini tidak
dilakukan, maka teks Al-Qur’an akan
hanya menjadi benda atau teks mati
yang tidak berarti apa-apa dalam
kancah fenomena kemanusiaan. Teks
al-Qur’an masih sangat mungkin
menjadi obat mujarab, bacaan
shalat, atau perhiasaan bacaan
yang dikumandangkan tiap waktu.
Akan tetapi visi transformatif dan
kemanusiaan Al-Qur’an akan bisa
hilang begitu saja.
kaa
n
Mohammed Arkoun menegaskan,
bahwa sebuah tradisi akan kering,
mati, dan mandeg jika tidak
dihidupkan secara terus- menerus
3
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
Dem
o
melalui penafsiran ulang sejalan
dengan dinamika sosial. (Rethinking
Islam, 1999) Al-Qur’an sebagai
teks yang telah melahirkan tradisi
pemikiran, pergerakan, bahkan
perilaku keagamaan yang sangat
luas dalam rentang waktu panjang,
tentu saja tidak bisa mengabaikan
cy
a
hal ini. Oleh karena berbagai macam r
metode penafsiran dan model tafsir c
dalam kurun waktu sejarah Islam
adalah upaya yang patut dibanggakan
sebagai usaha mendinamiskan AlQur’an yang sangat universal itu.
Pe
Dalam usaha menangkap dan
mendapatkan pesan dari teks Allah
berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja
mengandung problem. Karena, setiap
r
usaha menerjemahkan, menafsirkan,p u
sta
atau mencari pemahaman terhadap
teks klasik yang berjarak waktu,
budaya, tempat sangat jauh dengan
pembacanya, selalu digelayuti
problem hermeneutika (penafsiran).
Dengan adanya problem penafsiran
teks tersebut, maka ada sebuah teori
filsafat yang digunakan menganalisis
problem penafsiran, sehingga teks
4
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
bisa dipahami secara benar dan
komprehensif.
Tawaran Her meneutik
Pro
je
D
ig
ital
ct
Hermeneutika sebagai sebuah
metode interpretasi sangat relevan
kita pakai dalam memahami pesan
Al-Qur’an agar subtilitas inttelegendi
(ketepatan pemahaman) dan subtilitas
ecsplicandi (ketepatan penjabaran)
dari pesan Allah bisa ditelusuri
secara komprehensif. Maksudnya,
pesan Allah yang diturunkan
pada teks al-Qur’an melalui Nabi
Muhammad itu tidak hanya kita
pahami secara tekstual, juga bisa
kita pahami secara kontekstual dan
menyeluruh dengan tidak membatasi
diri pada teks dan konteks ketika
Al-Qur’an turun. Maka, teks AlQur’an beserta yang melingkupinya
dapat digunakan agar selaras dan
cocok dengan kondisi ruang, waktu,
dan tempat di mana kita berada
dan hidup. Diskursus hermeneutika
tidak bisa kita lepaskan dari bahasa,
karena problem hermeneutika
adalah problem bahasa. Karena itu,
kaa
n
5
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
Dem
o
dalam memahami teks Al-Qur’an,
disamping harus memahami kaidah
tata bahasa, juga mengandaikan
suasana psikologis dan sosio historis
(wacana) yang teks tersebut. Atau
dengan kata lain, istilah teknis yang
diciptakan Ferdinand de Saussure
di atas –seorang ahli bahasa dari
cy
a
Swis adalah hubungan yang dialektis r
c
antara teks dan wacana. (K. Bertens,
Filsafat Barat Abad XX, 1995).
Pe
Sebuah penafsiran dan usaha
pemahaman terhadap Al-Qur’an
jika memakai metode hermeneutika,
selalu terdapat tiga faktor yang
senantiasa dipertimbangkan, yaitu
dunia teks, dunia pengarang, dan
dunia pembaca. Ketiga komponenr p
itu memiliki konteks sendiri-sendiri, u
sta
sehingga jika memahami teks AlQur’an hanya bertumpu pada satu
dimensi tanpa mempertimbangkan
dimensi yang lainnya, pemahaman
yang diperoleh tidak akan luas dan
miskin.
Dalam tradisi hermeneutika,
terutama metode yang diperkenalkan
6
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
Pro
je
D
ig
ital
ct
oleh Gadamer, akan terlihat jelas
bahwa dalam setiap pemahaman
teks, tidak terkecuali pada teks AlQur’an, unsur subyektivitas penafsir
tidak mungkin disingkirkan. Bahkan
secara ekstrem dikatakan bahwa
sebuah teks akan berbunyi dan hidup
ketika dipahami, diperhatikan, dan
diajak dialog oleh pembacanya.
Dalam proses dialog, berarti pihak
pembaca memiliki ruang kebebasan
dan otonomi. Munculnya kitab tafsir
Al-Qur’an yang berjilid-jilid yang
masih dan akan terus berkembang
menunjukkan bahwa pemahaman
ulama’ pada Al-Qur’an dan tradisi
kenabian tidak pernah final.
kaa
n
Di masa modern ini, ada dua
mufassir terkemuka yang
menggunakan metode hermeneutika
yaitu Fazlur Rahman dan
Mohammed Arkoun. Fazlur Rahman
meskipun belum secara langsung
menggunakan hermeneutika sebagai
metodetafsirnya,namun ia telah
memberikan bobot besar pada
kontekstualitas. Belum tuntasnya
penggunaan hermeneutika dalam
7
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
Dem
o
tafsir Al-Qur’an itu justru merupakan
kelemahan Rahman dalam penafsiran
Al-Qur’an untuk mencapai tujuan
dasarnya, yaitu mengedepankan etika
dalam Al-Qur’an. Menurut Rahman,
memahami pesan Al-Qur’an secara
adikuat dan efektif, pemahaman
secara menyeluruh terhadap
y
c
a
perkembangan kronologisnya, dan r
bukan pemahaman secara ayat per c
ayat, merupakan sebuah kemutlakan.
Pe
Mohammed Arkoun mungkin
orang yang secara tuntas mencoba
menggunakan hermeneutika dalam
penafsiran Al-Qur’an. Untuk
kepentingan analisisnya, Arkoun
meminjam teori hermeneutika dari
Paul Ricour, dengan memperkenalkan
rp
tiga level “perkataan Tuhan”
us
atau tingkatan Wahyu. Pertama
ta
Wahyu sebagai firman Allah yang
transenden, tak terbatas, yang tak
diketahui oleh manusia, yaitu wahyu
al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab.
Kedua, Wahyu yang nampak dalam
proses sejarah. Berkenaan dengan
Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada
realitas Firman Allah sebagaimana
8
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
Pro
diturunkan dalam bahasa Arab
kepada Nabi Muhammad selama
kurang lebih dua puluh tahun.
Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis
dalam Mushaf dengan huruf dan
berbagai macam tanda yang ada di
dalamnya. Ini menunjuk pada alMushaf al-Usmani yang dipakai
orang-orang Muslim hingga hari ini.
je
D
ig
ital
ct
Ketiga tingkatan pemahaman wahyu
di atas tentu saja memberikan
implikasi pada penafsiran. Bagi
Arkoun, dalam tafsir klasik atau
modern, ketiga kategori wahyu
itu tidak dibedakan sehingga
menempatkan wahyu ketiga kategori
di atas menjadi satu otoritas, yaitu
skema otoritas Tuhan. Arkoun
melihat secara kritis otoritas dari
masing-masing teks Al-Qur’an
itu. Sehingga masing-masing tidak
dicampurkadukkan begitu saja.
kaa
n
Dengan demikian, ia telah
membongkar sesuatu di balik
penyejarahan ketiga kategori otoritas
tersebut. Hal ini menjadi teks AlQur’an terbongkar dari selubung9
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
selebung ideologis dan klaim
kebenaran penafsiran yang sudah
tidak relevan lagi.
Signifikansi Her meneutika
Pembebasan
Dem
o
Analisis yang dilakukan oleh Arkoun
cy
dan Rahman di atas memang harus r a
diakui sebagai prestasi intelektual c
yang briliyan. Analisis tersebut telah
mampu membongkar yang selama
ini tidak tersentuh (unthoucable)
oleh akal klasik maupun modern.
Namun analisis Arkoun itu masih
menyisakan problem yang belum
terjawab, yaitu apakah analisis itu
hanya sebagai kajian epistemologis
yang tidak mempunyai implikasi r
praktis dan humanis? Padahal, umatp u
sta
Islam sekarang sedang mengalami
kemunduran besar yang tidak cukup
hanya bisa dipecahkan dengan teori
minus aksi!
Pe
Al-Qur’an sesungguhnya mempunyai
visi transformatif dan liberatif
untuk kemanusiaan. Ayat-ayat
mengawali misi penurunan Al10
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
Pro
je
D
ig
ital
ct
Qur’an dengan mengadakan
revolusi teologis. Revolusi
teologis ini mengartikulasikan
substansinya melalui jargon
“Tauhid” yang menegasikan seluruh
sesembahan selain Allah. Tauhid
ini juga menegaskan semangat
egalitarianisme sebagai simbol
perlawanan terhadap perbudakan
dan kejahatan kemanusiaan yang
terjadi di Makkah. Sedangkan ayatayat Madaniyah mengindikasikan
semangat revolusi sosiologis
terhadap tatanan dan struktur
sosial kehidupan masyarakat
dengan menjadikan keadilan dan
kemakmuran sebagai doktrin
sandaran.
n
kaa
Dari periodesasi ayat-ayat Al-Qur’an
beserta implikasi revolusinya,
dapatlah dipahami bahwa semangat
dan nilai Al-Qur’an itu bergerak.
Ia tidak hanya berhenti dan
memperkaya horizon pengalaman
beragama individual, tetapi juga
berlanjut implikasinya pada
dimensi sosial. Dengan kata lain, ia
berdampak meningkatkan kualitas
11
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
penghayatan individu terhadap
universalitas nilai-nilai kemanusiaan.
Dem
o
Bahkan, dengan merekontruksi
sejarah Kenabian dan mecermati
ulang Al-Qur’an, Asghar Ali
Engineer berkesimpulan bahwa
Islam yang bertumpu pada Al-Qur’an
cy
mempunyai perhatian sentral pada r a
keadilan sosial untuk membebaskanc
kaum lemah dan tertindas serta
menciptakan masyarakat egalitarian.
Menurutnya, wahyu secara esensial
bersifat religius, namun tetap
menaruh perhatian pada situasi yang
serta memiliki kesadaran sejarah.
(Islam dan Pembebasan, 1993) Hal
terbukti dari ayat-ayat pertama yang
turun kepada Nabi, mengungkapkan
rp
keprihatinan yang mendalam
us
terhadap situasi sosial yang terjadi
ta
di Mekkah. Fakta bahwa Islam yang
bertumpu pada Al-Qur’an lebih dari
sekedar agama formal, tetapi juga
risalah yang agung bagi transformasi
sosial dan tantangan bagi
kepentingan-kepentingan pribadi,
dibuktikan oleh penekanannyan
pada shalat dan zakat. Dalam
Pe
12
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
Pro
kebanyakan ayat Al-Qur’an, shalat
tidak pernah disebut tanpa diiringi
oleh zakat. Zakat bertujuan untuk
distribusi kekayaan bagi fakir
miskin, untuk membebaskan budakbudak, membayar hutang bagi
para penghutang, dan membantu
problem- problem agama lainnya.
je
D
ig
ital
ct
Oleh karena itu, hermeneutika yang
merupakan metode penafsiran yang
memadai pada saat sekarang, perlu
memberikan tujuan penafsiran yang
tegas dan jelas. Tugas hermeneutika
Al-Qur’an yang mendesak pada saat
sekarang adalah untuk pembebasan
sosial kemanusiaan dari berbagai
ekspoitasi yang merugikan.
Eksploitasi itu bisa berbentuk
ekonomi, politik, sosial, budaya,
serta pengekangan keberagamaan.
kaa
n
Maka ke depan, umat Islam
Indonesia harus memelopori
penafsiran Al-Qur’an yang
berimplikasi pada pembebasan
sosial. Sudah waktunya para
agamawan terjun untuk
membebaskan penindasan, membela
13
Edisi 029, Oktober 2011
Kolom
c
cy
a
r
Dem
o
hak-hak wanita, dan berdiri pada
garda terdepan menumbangkan
segala ketidakadilan. Usaha
yang dilakukan Farid Esack
dalam menumbangkan rezim
apartheid di Afrika Selatan, layak
dipertimbangkan sebagai pemandu
gerakan dan wacana keilmuan.
Wallahu A’lam.
Kolom ini diterbitkan oleh
Democracy Project,
Yayasan Abad Demokrasi.
Untuk berlangganan, kunjungi
www.abad-demokrasi.com
Kode kolom: 029K-AFF001
14
Pe
© 2011
rp
us
ta
Download