Hukum Islam di Indonesia

advertisement
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam
tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai
komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di
tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa
jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam
di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak
komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai
salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di
masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam.
Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya
berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan
yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan
telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi
sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara
lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa
akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam,
sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini. Pada bagian
akhir tulisan ini, Penulis juga menyampaikan kesimpulan tentang apa yang sebaiknya
dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia untuk –apa yang Penulis sebut dengan“mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam.
Wallahu a’la wa a’lam!
Sumber Hukum Islam
Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (QS
Saba 34:28). Selain sebagai sumber ajaran Islam, Al Qur'an disebut juga sebagai sumber
pertama atau asas pertama syara'.
Al Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang
pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Qur'an dari waktu ke waktu telah
berkembang tafsiran tentang isi-isi Al Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.
Al-Hadist
Hadits terbagi dalam beberapa derajat keasliannya, diantaranya adalah:




Shaheh
Hasan
Dhaif (lemah)
Maudu' (palsu)
Hadits yang dijadikan acuan hanya hadits dengan derajat shaheh dan hasan, kemudian hadits
dhaif dan maudu wajib ditinggalkan oleh umat Muslim.
Perbedaan al-qur'an dan al-Hadist adalah al-qur'an, merupakan kitab suci yang berisikan
kebenaran, hukum hukum dan firman Allah Subhana hu Wa ta'ala. yang kemudian atas izin
Allah pula diturunkan dalam bentuk fisik, untuk seluruh umat semesta alam. Sedangkan alhadist, merupakan Kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah al Qur'an
berisikan aturan pelaksanaan, tata cara akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Rasulullah.
Walaupun ada beberapa pertentangan di dalamnya tapi merupakan kebenaran yang hanya
orang orang yang diberikan izin oleh Allah untuk bisa memahaminya dan semua ini atas
kehendak Allah.
Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al Qur'an dan Al
Hadist. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat sehingga tidak bisa langsung
menanyakan pada beliau tentang sesuatu hukum. Namun, ada hal-hal ibadah tidak bisa di
ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :




Ijma', kesepakatan para-para ulama
Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat
'Urf, kebiasaan
Terkait dengan susunan tertib syariat, Al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan
bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam
tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara implisit dapat
dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan
ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman
makna ini didukung oleh ayat Al Qur'an dalam Surat Al Maidah (QS 5:101) yang
menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya
kepada Allah SWT itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut
sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam
kategori Furu' Syara'.

Asas Syara'
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Qur'an atau Al Hadits.
Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Qur'an itu asas pertama Syara' dan
Al Hadits itu asas kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia
dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman, kecuali
dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang
memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau
dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak
diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan
keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali
kepada ketentuan syariat yang berlaku.

Furu' Syara'
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al'quran dan Al Hadist.
Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh
umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan /
perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara
ijtihadiyah.
Penegakan Syari’at di Indonesia
Thursday, 06 January 2011 06:23 Admin
PENEGAKAN SYARI’AT DI INDONESIA
Oleh Drs. KHAMIMUDIN, MH.
(KPA- ATAMBUA)
Pendahuluan
Hukum Islam (Al-Qur’an) diturunkan dari Allah SWT yang dalam proses emanasinya (ketersiarannya)
dilakukan oleh seorang agen sakral, yaitu Muhammad, Rasulullah SAW. Nabi Muhamad memainkan
peran yang amat penting dalam tradisi hukum Islam, bukan saja utusan Allah tetapi menjadi model
percontohan bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamain) dalam menjalankan hukum Allah
demi keselamatan di dunia dan di akhirat kelak. Segala sabda dan perilaku Nabi dicatat oleh para
sahabatnya, yang kemudian disebut sebagi hadits yang merupakan sumber hukum kedua setelah alQur’an.
Kedua sumber di atas merupakan sistem hukum yang disebut syari’ah. Kata syari’ah diambil dari
istilah Arab yang berarti “jalan”; yaitu jalan hidup yang telah didesain oleh Allah dan Rasul-Nya untuk
kehidupan semua orang Islam di dunia ini sebagai persiapan untuk kehidupan di akhirat nanti.
Di kalangan umat Islam masih terdapat kerancuan dalam memahami Syari’ah, Fiqh, dan Hukum
Islam. Kekacauan ini menyebabkan munculnya berbagai masalah dalam penerapan hukum di
masyarakat dan timbul ketidakseragaman mengenai hukum Islam dan syari’at Islam.
Pengertian Syari’ah, fiqh dan hukum Islam
Secara lughawi (etimologi), syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan atau tempat aliran air di
sungai”. Kata syari’ah muncul dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti al-Maidah ayat 48, asSyura ayat 13 dan al-Jatsiyah ayat 18 yang semuanya mengandung arti “jalan yang jelas yang
membawa pada kemenangan”.
Menurut istilah, syari’at adalah khitab Allah yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia di
luar yang mengenai akhlak yang diatur tersendiri. Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan syari’at dengan
“hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya agar diikuti dalam
hubungannya dengan Allah dan hubungan sesama manusia. (Hasbi ash-Siddieqy, Filsafat Hukum
Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, hal. 29).
Syari’ah sebagai kumpulan norma-norma yang merupakan hasil dari proses tasyri’. Syari’ah
merupakan kata aturan yang ditetapkan yang menyangkut tingkah laku manusia. Sedang tasyri’
adalah pengetahuan tentang cara, proses, dasar dan tujuan Allah menetapkan hukum bagi tingkah
laku manusia dalam kehidupan keagamaan dan keduniaan.
Syari’ah dalam konotasi hukum Islam terbagi menjadi dua macam, yaitu syari’ah Ilahi (tasyri’
samawi), yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang langsung dinyatakan secara eksplisit dalam alQur’an dan Sunnah, dan syari’ah wadh’i (tasyri’ wadh’i) yaitu ketentuan hukum yang dilakukan oleh
para mujtahid. Produk pemikiran yang dilakukan para ulama’ mujtahid dalam syari’ah wadh’i diakui
sebagai syari’ah jika hal-hal yang dikaji itu merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah, seperti qiyas atau
maslahah.
Secara sistematis kata fiqh bermakna “mengetahui sesuatu dan memahaminya secara baik dan
mendalam (Abu al-Hasan Ahmad Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, III, al-Babi al-Halabi, Cairo Mesir,
1970, hal. 442). Muhammad Abu Zahrah mengartikan fiqh dengan “mengetahui hukum-hukum
syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalil yang terinci (Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar-alFikr al-Arabi, Cairo, 1958, hal. 6).
Dua objek kajian fiqh, yaitu hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah dan dalil-dalil terperinci dari
al-Qur’an dan Sunnah yang menunjuk suatu kejadian tertentu atau menjadi rujukan bagi kejadiankejadian tertentu. Seperti riba haram hukumnya karena telah ditetapkan dalam surat al-Baqarah
ayat 279. Pengetahuan itu didasarkan pada dalil tafsili. Dan fiqh digali dan ditemukan melalui
penalaran para mujtahid. Hasil pemahaman dan penalaran mujtahid terhadap hukum syara’
dituangkan dalam bentuk ketentuan terperinci tentang tingkah laku para mukallaf yang disebut fiqh.
Pemahaman terhadap hukum syara’ senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
situasi dan kondisi yang menjalaninya. Karena fiqh adalah refleksi dari perkembangan kehidupan
masyarakat sesuai kondisi zaman, perubahan waktu dan situasi setiap masyarakat.
Pada hakekatnya fiqh adalah :
1. Ilmu yang menerangkan hukum syara’ dari setiap aktifitas mukallaf, baik yang wajib, haram,
makruh, mandub dan mubah.
2. Objek kajian fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3. Pengetahuan hukum syari’ah didasarkan pada dalil tafsili.
4. Fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’amul yang diistinbatkan dari ijtihad.
5. Fiqh sebagai ilmu merupakan seperangkat cara kerja, cara berpikir, terutama cara berpikir
taksonomi dan cara berpikir logis untuk memahami kandungan ayat dan hadits hukum.
6. Fiqh adalah seperangkat norma yang mengatur hubungan antar manusia dalam hidup
bermasyarakat
(Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, Rajawali Grasindo, Jakarta, 2007, hal. 45).
Qanun (hukum) adalah produk manusia melalui campur tangan kekuasaan negara dalam
menyelesaikan perkara tertentu. Qanun wadh’iyah (undang-undang) adalah peraturan yang dibuat
oleh pihak penguasa yang diperuntukan untuk masyarakat atau untuk menata dengan baik segala
sesuatu dalam kehidupan masyarakat. (Oxford Advanced Learner’s Dictionary Current English,
Oxford, The University Press, 1964, hal. 476).
Qanun adalah undang-undang yang berisi hukum Islam dengan tetap mempergunakan prosedur /
metodologi hukum Islam dalam menemukan hukum, seperti istihsan, urf, maslahah dan siyasah
syar’iyah. A.A. Fyzee, (Outlines of Muhammadan law,1955) mengartikan “Canon Law of Islam”
adalah hukum Islam, yakni keseluruhan perintah Tuhan yang meliputi seluruh tingkah laku manusia.
Karakter Hukum Islam
Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW hanya berisi sedikit ayat yang
mengandung doktrin hukum, sekitar 80 dari 500 ayat-ayat hukum yang dapat dikatergorikan sebagai
kode hukum.( Tahir Mahmood, Law in the al-Qur’an: A. Draft Code, 1987). Oleh karena itu
diperlukan sunnah untuk dapat memahami pesan-pesan al-Qur’an yang berhubungan erat dengan
problem hukum keseharian.
Sunnah merupakan informasi yang kaya mengenai sabda dan perilaku Nabi yang mencakup pula
perintah, larangan, dan persetujuan Nabi mengenai kasus-kasus tertentu yang muncul di kalangan
sahabat pada saat itu. Sunnah adalah refleksi pemahaman Rasul mengenai dialektika (seni berpikir
secara teratur logis dan teliti yang diawali dengan tesis, antitesis, dan sintesis) teks suci al-Qur’an
dan konteks sejarah pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW.
Semua permasalahan hukum yang muncul pada saat itu di bawa kepada Nabi untuk mendapatkan
pemecahan. Nabi dalam menyelesaikan masalah yang diadukan umat Islam senantiasa berpegang
pada teks suci al-Qur’an untuk menjawabnya. Jika dalam al-Qur’an tidak ditemukan solusi
pemecahan dalam kasus-kasus tertentu, maka Nabi berperan menjadi pemecah masalah hukum.
Oleh karena itu dalam hukum Islam dikenal Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dan Nabi
dipahami sebagai legislator (al-Syari’) setelah Allah.
Nabi dipercayai memiliki sifat sakral yang berfungsi sebagai garansi terhadap keputusan-keputusan
hukum yang dikeluarkannya. Tanpa karakter sakral ini, maka doktrin yang mewajibkan umat Islam
untuk mengikuti keputusan-keputusan Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an tidak akan mungkin
terformulasikan/terumuskan dalam bentuk yang tepat.(Daniel Brown, Retheinking Tradition in
Modern Islamic Thought, Cambridge Univ.Press,1996).
Karakteristik hukum Islam adalah sempurna (ta’amul), harmonis (wasathiyah), dan dinamis
(harakah). Muhammad Ali al-Sayis mengatakan bahwa karakteristik hukum Islam yang paling
menonjol ada tiga hal, yaitu 1. Tidak menyusahkan dan selalu menghindari kesusahan dalam
pelaksanaannya, 2. Menjaga kemaslahatan manusia dan, 3. Selalu melaksanakan keadilan dalam
penerapannya (Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islam, Qoriah, Mesir, tt, hal.25). Karakterkarakter di atas sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam surat al-‘Araf ayat 157, yaitu
tidak susah, sedikit beban, berangsur-angsur, ada kelonggaran dan sesuai dengan kemaslahatn
umum.
Perkembangan sumber hukum Islam
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam, dan itu tetap bertahan dalam waktu
lama. Akan tetapi karena permasalahan hukum semakin kompleks di wialayah Islam, maka umat
Islam memerlukan metodologi yang mapan untuk memecahkan permaslahan-permasalahan hukum
yang muncul berdasarkan sumber-sumber utama hukum Islam.
Para yuris Islam merespon kebutuhan ini dengan mengembangkan prosedur ijma’ dan qiyas yang
menekankan pentingnya akal dalam pengambilan keputusan hukum. Qiyas terdiri dari dua macam,
yaitu qiyas ‘illah (causative inference) dan qiyas dalalah (indicative inference). Dengan ijma’
pemikiran para ahli hukum dapat diaplikasikan dalam proses penetapan hukum suatu kasus, dan
melalui qiyas kasus-kasus yang timbul dapat dipecahkan melalui deduksi analogi.
Beberapa sumber hukum lain muncul seagai metodologi baru untuk merespon masalah-masalah
hukum baru yang tidak mampu dipecahkan melalui sumber-sumber hukum yang ada (al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas), yaitu Istishab, Istislah atau maslahah al-mursalah atau istihsan, ‘amal ahl
al-Madinah, shar’ man qablana dan ‘urf yang dapat dipergunakan untuk memecahkan problem
hukum yang muncul belakangan.
Istishab adalah presumsi hukum (legal presumption) yang mencakup semua presumsi yang diterima
hukum, seperti presumsi tidak bersalah dan presumsi semua benda adalah halal kecuali jika secara
eksplisit dilarang (Abdur Rahman I Doi, Shariah: The Islamic Law, 1990).
Istislah, maslahah musrasalah dan istihsan adalah sumber hukum yang menekankan pentingnya
merujuk kepada kepentingan umum (interes publik) sebagai alat penguji terhadap keabsahan suatu
solusi hukum. Dengan istislah berarti preferen juristik (juristic preference) yang didasarkan pada apa
yang dipandang sebagai yang terbaik bagi kepentingan publik.
Sedang maslahah mursalah juristic preferencenya dilandasi oleh kepentingan kemakmuran publik,
dan istihsan berarti preferen juristik yang melibatkan pertimbangan pemilihan satu aturan hukum
ketimang aturan yang lain, karena faktor lingkungan, sebagai bagian interes publiknya.
Amal ahl al-Madinah merupakan terma yang menunjuk kepada perilaku masyarakat Madinah yang
hidup dalam waktu yang lama bersama Nabi. Shar’u man qablana esensinya adalah hukum yang
dibuat oleh masarakat sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti ajaran hukum Nabi Musa dalam kitan
Taurat dan Isa dalam Injil. ‘Urf adalah sumber hukum yang mendasarkan diri pada adat kebiasaan
masyarakat setempat (Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh,1956).
Dari ‘Urf ini para yuris Islam membuat kaidah hukum (formulasi maksim) al-‘adah muhakkamah
(adat menjadi dasar penetapan hukum). Agar adat yang dijadikan dasar penetapan hukum itu tidak
melanggar ajaran dasar al-Qur’an dan Sunnah, maka ditentukan syarat-syarat validitas sebagai
berikut:
1. Adat itu harus secara umum dipraktikkan oleh masyarakat atau sebagian tertentu dari
masyarakat;
2. Adat harus betul-betul menjadi kebiasaan pada waktu akan ditetapkan sebagai rukujukan hukum;
3. Adat harus dipandang batal ab initio jika ternyata bertentangan dengan sumber utama hukum
Islam;
4. Dalam kasus perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum hanya jika tidak ada pihak
bersangkutan yang menolak adat tersebut. (Tahir Mahmood, Custom as a Source of Law in Islam,
1965).
Tujuan Hukum
Hukum Islam mempunyai tujuan untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia
di dunia dan akhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidup.
Syari’at Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksnaan. Hukum Islam
itu adil dan menempatkan keadilan Allah di tengah-tengah hambanya, kasih sayang Allah diantara
makhluk-makhluknya (Ibnu Qayyim, I’lmu al-Muwaqqi’in, Makatabah Tijariyah al-Qahirah, Mesir,
1955, hal. 14-15).
Hukum sebagai alat rekayasa sosial yang dapat mempengaruhi moral masyarakat harus memberi
manfaat bagi masyarakat. Tujuan syari’at atau penetapan hukum menurut para ahli fiqh (Yuris Islam)
adalah:
1. Mendidik individu agar menjadi sumber kebajikan bagi masyarakat;
2. Menetapkan keadilan, dan
3. Menciptakan kemaslahatan yang dikaitkan dengan lima pokok kunci pemeliharaan dalam syari’at
Islam, yaitu, agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta milik.
Kemaslahatan itu bertingkat-tingkat cara pemenuhannya, yaitu:
1. Kemaslahatan yang bersifat primer (dlorury) yang diharuskan adanya lima pokok di atas;
2. Kemaslahatan yang bersifat penting/sekunder (Hajji) yang adanya merupakan
keringanan/dispensai (rukhsakh);
3. Kemaslahatan yang bersifat asoseris (tahsini), yaitu suatu kebutuhan yang sifatnya hanya sebagai
pelengkap,yang bisa diabaikan jika menyangkut hal-hal pokok.
Mohammad Salam Madkur menjelaskan bahwa untuk menjaga kelima kebutuhan pokok di atas,
Islam telah mengadopsi dua strategi, yaitu: (1) penanaman kesadaran agama dan jiwa manusia dan
pengembangan keasadaran kemanusiaan melalui pendidikan moral, dan (2) penggunaaan prinsip
hukuman pencegahan (deterrent punishment) sebagai asas hukum pidana Islam (M. Salam Madkur,
Human Rights from an Islamic Worldview: An Outline of Hudud, Ta’zir & Qisas).
Sedang menurut teori ilmu hukum modern tujuan hukum dapat dikaji dalam tiga sudut pandang,
yaitu:
1. Pandangan falsafah hukum (teori etis) yang menitikberatkan tujuan hukum untuk merealisir atau
mewujudkan keadilan baik yang bersifat distributif atau keadilan proporsional maupun keadilan
kumulatif yang memastikan setiap orang memperoleh hak yang sama;
2. Pandangan sosiologi hukum (teori Utilitis) yang menakankan bahwa tujuan hukum adalah
memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat; dan
3. Pandangan ilmu hukum normatif (aliran yuridis dogmatik) yang menekankan tujuan hukum
dengan terwujudnya kepastian hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo (1999:145) dalam upaya menegakkan hukum, maka ketiga unsur
tujuan hukum di atas harus diperhatikan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel
terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat menghendaki adanya suatu kepastian hukum
agar masyarakat lebih tertib. Masyarakat juga mengharapkan kemanfaatan dari penegakan hukum.
Substansi Hukum Islam
Hukum Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia agar selamat di dunia dan di akhirat.
Hukum Islam mengontrol, mengatur dan meregulasi (pengaturan) semua perilaku privat maupun
publik seseorang.
Tingkah laku manusia diatur dan dibagi dalam dua klasifikai besar yang terpisah tapi saling
mempengaruhi. Pertama adalah hubungan Allah dengan manusia yang diatur melaluihukum
kewajiban ibadah. Ibadah merupakan refleksi atas ketundukan manusia kepada Allah, seperti. Kedua
adalah hubungan antara sesama manusia, yaitu aturan hukum yang mengatur segala aktivitas dalam
kehidupan manusia sehari-hari.
Hukum Islam memberi aturan yang spesifik tentang shalat, puasa, zakat, dan haji serta bantuanbantuan sosial seperti infak dan shadaqah, tetapi juga berisi aturan tentang barbagai hal seperti
makanan halal, diet, perkawinan, hubungan seksual, pemeliharaan anak dan masalah-masalah
domestik lainnya. Hukum Islam juga mengatur tatanan tentang bagaimana sesorang harus harus
bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi dengan kelompok lain, aturan
tentang transaksi bisnis, penyelesaian konflik bahkan aturan perang (Sohail H.Hashmi, Saving and
Taking Life in War Three Modern Muslim Views 89, 1999).
Perkembangan substantif hukum Islam senantiasa menyambut positif nilai-nilai dari luar yang
dipandang masih masuk dalam batas ajaran Islam. Aspek-aspek substantif hukum yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW sudah mengalamai percampuran antara ide hukum yang suci (sakral) dengan
tradisi setempat, yaitu hukum adat masyarakat Arab.
Dalam hukum keluarga misalnya, Islam tetap mempertahankan perkawinan sebagai lembaga sakral.
Perkawinan dalam Islam bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kebersihan hubungan genealogis
ras manusia. Nabi telah melakukan penghapusan beberapa praktik adat Arab yang bertentangan
dengan hukum Islam, seperti poliandri, hubungan seksual di luar nikah, adopsi, perceraian berulangulang, dan lain sebagainya. Nabi juga terus melakukan modifikasi dalam masalah poligami dan
mahar.
Perkawinan dalam Islam mengandung tiga unsur penting; legal, sosial, dan agama. Secara legal,
perkawinan merupakan sebuah kontrak, ia dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak dan tanpa
persetujuan untuk memutus hubungan tersebut. Secara sosial, perkawinan telah memberi
penghormatan kepada wanita karena ia memperoleh status lebih tinggi dibanding sebelum nikah
terlebih pada masyarakat Arab pada masa pra-Islam yang dipandang sebagai makhluk tanpa hak.
Secara agama, perkawinan harus dilakukan menurut tata cara yang dibenarkan oleh agama, seperti
telah memenuhi syarat rukunnya, wali, saksi, ijab, qabul, dan mahar. Hukum perkawinan Islam telah
memadukan antar aspek ibadah dan aspek muamalah.
Perkawinan Islam masih mempertahankan praktik poligami yang secara umum ditemukan dalam
masyarakat Arab, kemudian oleh Islam dibatasi hanya empat isteri dengan syarat suami dapat
membuktikan kemampuannya berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Mahar dalam adat Arab
merupakan pembayaran yang diberikan kepada ayah si pengantin perempuan atau keluarganya,
maka Nabi memperbaiki masalah mahar ini dengan cara mahar tersebut adalah hadiah perkawinan
yang diberikan oleh si suami kepada isterinya untuk dimiliki sebagai hak milik pribadi si isteri
tersebut.
Hukum waris dalam Islam menganut prinsip-prinsip: (1) suami dan isteri saling mewarisi; (2)
keturunan dari jalur laki-laki/ayah dan saudara sama-sama dapat mewarisi; (3) orang tua dan kakeknenek dapat mewarisi meskipun ada keturunan laki-laki; (4) seorang perempuan mendapat bagian
setengah dibanding seorang laki-laki.
Hukum waris Islam dapat dikategorikan sebagai sistem warisan nir wasiat (intestate disposition)
dalam arti harta warisan tidak dapat dibagikan sesuai dengan kemauan pewarisnya, melankan si
pewaris harus tunduk mengikuti aturan-aturan Allah dalam al-Qur’an. Dalam hukum waris tradisi
Arab, si pewaris bebas memberikan dan menentukan kepada siapa dan berapa banyak harta yang
akan diwariskan (testamentary disposition).
Hukum pidana Islam membedakan tiga kategori kriminal. Kategori pertama terdiri dari beberapa
tindak kriminal yang disebut hudud yang hukumannya telah ditentukan dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah murtad, pencurian, hubungan seksual di luar nikah,
menuduh orang bebuat zina. Kelompok
Kategori kedua adalah qisas, yaitu kejahatan yang hukumannya lebih didasarkan balas dendam.
Perbuatan kriminal yang masuk dalam kategori ini adalah semua jenis tindakan kriminal yang
bertentangan dengan prinsip kehidupan manusia, seperti pembunuhan, penyerangan, dan semua
kejahatan yang mengaharuskan hukuman retalisasi atau retribusi oleh si pelaku kepada korban atau
keluarganya. Bentuk hukumannya bisa berupa pembayaran diyat. Qisas pada dasarnya memberikan
hak penentuan hukuman kepada keluarga korban, apakah mereka menginginkan agar si pelaku
dihukum seberat-beratnya atau memberikan ampunan sepenuhnya kepada pelaku kajehatan.
Kategori ketiga adalah ta’zir, yaitu semua jenis tindakan kriminal yang secar umum dipandang
ofensif atau merusak sistem masyarakat (kriminal ringan/ minor felonies), sehingga bentuk
humannya pun tidak ditentukan secara pasti. Hakim diberi hak untuk menentukan jenis hukuman
sesuai dengan besar kecilnya kejahatan yang dilakukan, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
Dengan ta’zir ini hukuman tidak semata-mata dibatasi pada asumsi pencegahan (deterrence) atau
balasan (retribution) sebagaimana diatur dalam hadd dan qisas, tetapi mengikuti perkembangan
pemikiran filsafat hukum modern.
Bisnis adalah salah satu alat yang diperlukan untuk melangsungkan kehidupan manusia di dunia ini,
yang merupakan persiapan untuk kehidupan di akhiratn nanti. Prinsip utama bisnis Islam adalah
melarang semua bentuk manipulasi pasar, eksploitasi dan penipuan. Islam juga mencegah terjadinya
berbagai bentuk transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) karena dapat
menimbulkan penipuan dan perselisihan. Islam melarang praktik riba (bunga) sebagai respon atas
praktik ketidakadilan sosial ekonomi yang tertjadi pada masa pra-Islam.
Prinsip keuangan Islam harus memenuhi empat kriteria, yaitu: (1) pelarangan praktik riba, (2) bagi
hasil dan kerugian, (3) pelarangan tindakan spekulasi, dan (4) kesakralan kontrak perjanjian (Zamir
Iqbal, Islamic Banking Gains Momentum, Expands Market and Competes with Conventional Banking
in Arab States, 1998).
Hukum Islam di Indonesia
Islam datang ke Indonesia jauh sebelum pengaruh Barat datang, ada yang mengatakan abad ke-11
ada pula yang berpendapat abad ke-13. Tetapi masyarakat nusantara pada saat itu telah memiliki
warisan dari agama Budha dan Hindu yang sangat kuat. Dengan demikian Islam datang ke Indonesia
dengan kondisi masyarakat yang sangat beragam (plural) dalam hal tradisi dan nilai-nilai keagamaan.
Karena masyarakat Indonesia yang sangat beragam, maka pendekatan sufisme menjadi pilihan yang
tepat bagi para pendakwah Islam di masa-masa awal melalui para wali. Para walisongo lah yang
menjadi pelaku utama gerakan dakwah dan memperoleh banyak pengikut. Dalam berdakwah para
wali itu tidak menolak nilai-nilai agama yang sudah dianut oleh masyarakat pada waktu itu, bahkan
sering menyatukan praktik keagamaan masyarakat pribumi dengan ajaran Islam (lihat: Idrus H.A.,
Kitab Asrar Walisongo, CV.Bahagia, Pekalongan, 1999).
Dalam proses Islamisasi pada saat itu Ppara wali menerapkan konsep mewarnai, bukan menentang
masyarakat dalam berdakwah. Pola seperti itu mendapat respon positif dari masyarakat. Dengan
memanfaatkan Sinkretisme (penyesuaian/keseimbangan) antara dua aliran, Islam dan budaya lokal,
maka terciptalah berbagai elemen dari bebagai tradisi menjadi sebuah bentuk baru. (Lihat Clifford
Geertz, The Religion of Java, New Haven: Yale University Press, 1968).
Masyarakat pribumi mengenal agama Islam di awal sejarah melalui tradisi heterodoksi (menyimpang
dari kepercayaan resmi). Islam disebarkan secara damai ke berbagai daerah dan kepulauan yang
praktik agama Budha/Hindu dan tradisi animisme maupun dinamisme masih menjadi kepercayaan
yang dominan. Kemampuan para wali dalam mengadopsi dan menyesuaikan dengan adat dan
praktik lokal yang bukan Islam, serta praktik ibadah dan cara pandang mereka sangat cocok dengan
gerakan massa rakyat.
Sufi telah menjadi bagian integral (tak terpisahkan) dari praktik keagamaan masyarakat serta
spiritualitas Islam. Berkat perjuangan merekalah gerakan penyebaran Islam di Nusantara
memperoleh hasil yang sangat mengagumkan bagi perkembangan karakter Islam di Indonesia.
Hukum Islam Indonesia terbentuk dari hasil usaha untuk memasukkan ajaran hukum Islam ke dalam
situasi yang berbeda dari situasi dan kondisi tempat asal hukum Islam lahir. Umat Islam Indoensia
berusaha melakukan domestikasi (penjinakan) tradisi hukum yang berasal dari ajaran Islam dan
mempraktikannya dengan cara mengintergasikan hukum itu dalam korpus (lingkungan kumpulan)
hukum Indonesia yang lebih luas (Kelompok realis-kontekstual).
Di lain pihak muncul kelompok konservatif-literal yang mengritik praktik keagamaan yang selama ini
berlangsung. Kelompok konservatif-literal ini cenderung melihat hukum Islam sebagai hukum ideal
yang tidak boleh diubah, meskipun telah terjadi perubahan masa dan keadaan. Menurut mereka
kinerja hukum suci harus baku dan abadi, dan orang wajib menerima kebakuan hukum tersebut.
Untuk mencapai terwujudnya hukum Islam versi Indonesia perlu dilakukan dengan memfokuskan
usaha untuk mereformulasikan teori hukum Islam (ushul al-fiqh) sesuai dengan kebutuhan hukum
masyarakat Indonesia melalui penalaran hukum secara mandiri (ijtihad) dengan berbagai metodologi
dan pendekatan baru yang bisa berfungsi sesuai dengan pemahaman hukum masyarakat Indonesia
(Lihat Ahmad Hasan, Al-Boerhan, Persis, Bandung, 1928).
Substansif hukum Islam Indonesia cenderung mengakomodasi aturan-aturan non-Islam yang masuk
ke dalam sistem hukum agama melalui rekayasa hukum. Hukum perkawinan misalnya, semua agama
yang ada di Nusantara selalu melibatkan pemimpin/tokoh komunitas (ulama, tetua adat, sesepuh)
dalam upacara pernikahan. Pernikahan bukan lagi menjadi sebuah kontrak individu antara suami
dan isteri tetapi lebih banyak melibatkan pihak-pihak yang terkait yang sifatnya komunal. Di era
modern, inisiasi maupun pemutusan hubungan pernikahan adalah objek regulasi kantor pemerintah
(KUA-Catatn Sipil) dan Pengadilan (Agama-Negeri).
Dalam hukum perceraian, konsep Islam tentang ta’liq talaq diubah. Institusi ini awalnya bernama
djanji dalem (janji mulia) yang dikenal dalam kebudayaan Jawa abad ke-17 ketika Raja Mataram
membuat ketentuan diputus bila kedapatan melakukan tindakan yang selah terhadap isteri (Jan
Prins, Adat Law and Muslim Religious Law in Modern Indonesia, 1951). Tujuan utama institusi ini
adalah fokus untuk menjaga hak-hak tradisional isteri dalam pernikahan, sehingg setiap pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh suami otomatis akan memutus hubungan pernikahan.
Dua pendekatan
Dalam budaya hukum di Indonesia terdapat tiga tradisi normatif hukum; yaitu hukum adat pribumi,
hukum Islam dan hukum sipil Belanda. Hukum adat adalah tradisi hukum yang iikuti oleh masyarakat
pribumi, ia terbentuk berdasarkan nilai-nilai normatif yang mengakar sejak lama dan dianggap
memenuhi rasa keadilan dan harmoni masyarakat itu. Hukum adat terbentuk berdasarkan sikap
hidup masyarakat komunal dan hukumnya pun bersifat komunal.
Hukum Islam dan hukum sipil Belanda merupakan dua tradisi hukum yang diimpor dari luar yang
masuk Nusantara melalui penyebaran Islam dan kolonialisasi Belanda, namun hukum adat dan
hukum Islam kadang begitu menyatu dalam satu wilayah hukum, sebagian wilayah hukum adat
dianggap sebagai wilayah hukum Islam (Franz dan Keebet von Badan-Beckmann, Adat and Islam und
Staat- Rechtspluralismus in Indonesia, 2005).Proses asimilasi dan akulturasi (percampuran) budaya
dalam waktu lama dan terus menerus antara masyarakat pribumi dengan norma dan nilai-nilai asing
menyebabkan terjadinya pluralisme hukum di Indonesia.
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi dua bagian ; pertama, hukum Islam
berlaku secara yuridis formal, yakni sebagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia lainnya dan berada dalam masyarakat (mu’amalah) dan sebagian telah menjadi
hukum positif berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua, hukum Islam berlaku secara
normatif, yaitu hukum Islam yang mempunyai sanksi atau padanan hukum masyarakat muslim
mengenai normatif hukum Islam dan bersifat normatif seperti pelaksanaan ibadah shalat, puasa,
zakat, dan haji yang termasuk dalam kategori ibadah murni (ibadah mahdah).
Kedua hukum di atas (yuridis formal dan normatif) telah menjadi hukum yang hidup (living law)
dalam masyarakat Indonesia. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam di Indonesia telah mengalir
dan berurat-akar di masyarakat. Hal ini menandakan bahwa hukum Islam memang fleksibel dan
elastis dapat menyesuaikan dengan budaya dan lingkungan setempat.
Fonemena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat telah melahirkan satu teori credo
atau syahadah di kalangan pemerhati hukum Islam seperti H.A.R. Gibb yang mengatakan bahwa
orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam
atas dirinya.
Prof. Rifyal Ka’bah menengarai terdapat perbedaan dari segi pendekatan tentang penegakan syari’at
Islam di Indonesia. Ada yang cenderung menggunakan pendekatan struktural dan ada pula yang
cenderung menggunakan pendekatan kultural.
Pendekatan struktural menginginkan penegakkan syari’at tersutruktur dalam sistem hukum Nasioanl
dengan hukum subtansial da hukum acara yang jelas dan penegakan yang jelas melalui lembaga
penegakkan hukum. Bila penegakan syari’at tidak terstruktur, dikhawatirkan tidak efektif dalam
mewujudkan tujuan syari’at, yaitu menjega kepentingan umum dengan sebaik-baiknya.
Kecenderungan ini mendapat dukungan dalam bidang politik melalui sejarah Piagam Jakarta,
Departemen Agama, MPR, DPR, pendirian Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, pendirian bankbank syari’ah, Badan Arbitrasi Syari’ah, Dewan Syari’ah Nasional, dan lain-lain.
Undang-undang yang bernafaskan hukum Islam semakin banyak dilahirkan oleh parlemen. Seperti
Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang Nomor 17 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Haji, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7
Tahun 1989, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, Undang-undang
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Sementara pendekatan kultural menginginkan penegakan syari’at tumbuh dari pembiasaan
masyarakat melalui usaha persuasif seperti, pendidikan, percontohan yang baik, dan lain-lain sesuai
dengan penegertian agama (ad-diin), yaitu ketaatan, ketundukan, dan ketakutan individu kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Mereka mendasarkan pendekatannya berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 252 “...tidak ada paksaan dalam
agama”. Dan surat Al-Ghasyiyah ayat 21-22 “...engkau (Muhammad) tidak lain adalah pemberi ingat dan bukan
menguasai hati orang”. Alasan lain, adalah Indonesia sebagai masyarakat majemuk, asas hukum modern yang
tidak bisa membeda-bedakan orang karena perbedaan agama dan asal usulnya. Organisasi NU dan
Muhammadiyah juga tidak pernah membicarakan syari’at Islam sebagai hukum yang harus dilaksanakan oleh
Negara.
Perdebatan tentang kedua pendekatan ini mirip dengan perbedaan tentang prioritas antara pengadaan AYAM
dan TELUR, kata Rifyal Ka’bah. Untuk mendapatkan telur ayam diperlukan ayam dan jelas pula bahwa untuk
mendapatkan ayam diperlukan telur. Untuk keluar dari kontroversi ini diperlukan pendekatan gabungan, yaitu
dengan memelihara ayam didapatkan telurnya dan dengan menetaskan telur didapatkan ayam. Dan ternyata
dua pendekatan yang saling berbeda tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu terwujudnya tujuan-tujuan
syari’at.
Para faqih (ulama/cendekiawan muslim) di Indonesia terus berjuang untuk tegaknya hukum/syari’at Islam di
Indonesia meskipun dengan cara pendekatan yang berbeda, semuanya bermuara pada terciptanya rasa keadilan
dalam masyarakat Indonesia yang semakin baik. Dan salah satu karya faqih Indonesia adalah dengan telah
tersusunnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berisi tentang hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum
pewakafan dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) yang sampai saat ini menjadi hukum material bagi
Peradilan Agama di Indonesia.
Penutup
Hukum Islam terus mengalami perubahan sesuai dengan arah perubahan masyarakat itu sendiri. Hukum Islam
ada yang memuat prinsip-prinsip yang mengakomodir perubahan dan ada pula hukum darurat (Rule of
Necessity/Rukhshah) yang perlu menampung kebutuhan-kebutuhan msyarakat yang terus berkembang. Hukum
Islam harus tetap memiliki kapasitas untuk terus berdamai dengan perubahan masyarakat melalui para Juris
(Faqih) yang telah menggunakan kemampuannya secara maksimal (Ijtihad) untuk memahami fiqh (hukum),
sehingga tujuan hukum yang tertinggi dalam Islam yaitu keadilan dapat tercapai.
Hukum sebagai faktor utama dalam mengoordinasikan dan mengatur berbagai sub-sistem yang menciptakan
masyarakat moderen harus diatur oleh negara. Negara Indonesia dengan bantuan seluruh aparatnya telah
berusaha memusatkan dan menyeragamkan sistem hukum Islam dalam sebuah tatanan yang khas Indoensia
(fiqh Indonesia) yang sekarang ini sudah tewujud dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES).
istem Hukum Islam di Indonesia
Islam adalah salah satu agama yang dianut oleh masyarakat dunia saat ini dan termasuk di
antara agama-agama besar di dunia, jumlahnya tak kurang dari ¼ penduduk dunia saat ini 6,8
Milyar. Sedangkan di Indonesia menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk, lebih
dari 85% jumlah penduduk.
Fakta ini tidak terlepas dari sejarah masuk dan berkembangnya berbagai agama dan
kepercayaan di Indonesia sejak berdirinya negara Nusantara I Sriwijaya, negara Nusantara II
Majapahit, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum kemerdekaan, setelah
kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, masa reformasi, dan hingga saat ini.
Boleh dikatakan penyebaran Islam di Indonesia hampir sebagian besar merupakan andil dan
peran para pedagang. Mereka yang berstatus sebagai pedagang itu ada yang dianggap sebagi
wali (Wali Sanga) oleh masyarakat di Pulau Jawa. Dalam menjalankan misinya
mendakwahkan Islam, tak jarang para wali menerapkan strategi dakwah melalui unsur-unsur
budaya masyarakat tempatan.
Ini dapat dilihat dari seni yang merupakan akulturasi nilai-nilai Islam dan budaya Jawa,
misalnya wayang, penggunaan bedug, seni arsitektur masjid, perayaan keagamaan, dan
sebagainya.
Perkembangan terbentuknya negara Indonesia dan tatanan kenegaraanya itu, jika dilihat dari
sisi pengaturan kehidupan beragama warga negaranya, Indonesia dikatakan bukan sebagai
negara agama (teokrasi) dan bukan pula negara sekuler – oleh Gus Dur dikatakan sebagai
“negara yang bukan-bukan”.
Indonesia dikatakan bukan sebagai negara agama (teokrasi) yang berdasar penyelenggaraan
negara pada agama tertentu saja, karena negara tidak campur tangan terhadap tata cara
pengamalan, ritual masing-masing agama. Yang diatur adalah administrasi setiap agama yang
ada di Indonesia sehingga dalam menjalankan kegiatan agama dan keagamaan tidak
berbenturan dan mengganggu agama lain.
Di sinilah pentingnya menjaga dan membangun Kerukunan Umat Beragama sebagai salah
satu tugas Negara untuk melindungi setiap warganya dalam memeluk agama dan beribadat
menurut kepercayaannya.
Indonesia juga bukan negara sekuler apalagi negara atheis, karena negara yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa seperti tercantum dalam Sila Pertama Pancasila dan pasal 29
UUD 1945 ini, tidak membenarkan warga negaranya hidup tanpa memeluk agama atau
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam konstelasi sistem hukum dunia atau sistem hukum utama (major legal system), hukum
Islam (Islamic Law) diakui dalam masyarakat Internasional di antara hukum hukum lainnya
seperti Hukum Sipil (Civil Law), Hukum Kebiasan Umum (Common Law), Hukum Sosilis
(Socialist Law), Sub-Saharan Africa, dan Far East.
Hukum Syar’i
Hukum Syar’i, dalam banyak istilah disebut hukum syara’ atau hukum syari’at atau hukum
syari’ah, dan oleh dalam masyarakat Indonesia lebih dikenal sebagai Hukum Islam adalah
salah satu sub sistem hukum yang berlaku di negara Indonesia dan menjadi unsur yang
membentuk (sumber bahan hukum) sistem hukum nasional Indonesia. Disamping itu ada dua
sub sistem hukum lagi sebagai sumber bahan hukum yaitu hukum barat dan hukum adat.
Secara lughawi (etimologis) syari’at berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang
sesungguhnya harus dituruti. Syari’at juga berarti tempat yang akan dilalui untuk mengambil
air di sungai. Maka dapat ditegaskan di sini syari’at adalah segala aturan Allah yang
berkaitan dengan amalan manusia yang harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Sedangkan
segala hukum atau aturan-aturan yang berasal atau dibangsakan kepada syari’at tersebut
disebut hukum syar’i.
Sedangakan syari’at/syari’ah dalam pengertian terminologis adalah seperangkat norma ilahi
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt, hubungan manusia dengan sesamanya,
dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya.
Di dalam ajaran Islam sendiri tidak dikenal istilah hukum Islam (hanya merupakan istilah
khas di Indonesia). Dalam Alquran dan Sunnah istilah hukum islam (al-hukm al-islam) tidak
ditemukan. Namun yang lazim digunakan adalah kata hukum syar’i, hukum syara’, syari’at
islam, yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqh, artinya adalah menetapkan
sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu dari padanya (secara terminologis).
Para ulama fiqh/ushul fiqh kemudian menetapkan defenisi hukum Islam (selanjutnya
pemakalah sebut hukum syar’i) antara lain sebagai berikut:
- Dikemukakan oleh Al-Baidhawi sebagai berikut: “Firman Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun bersifat wadh’i”. – Dikemukakan
oleh Muhammad Abu Zahrah: “Firman (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf yang bersifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan dan mencegah
terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntutan (peruntah dan larangan) atau
semata-mata meneragkan pilihan (kebolehan memilih) atau menjadikan sesuatu sebagai
sebab, syarat, atau penghalang terhadap suatu hukum”.
Adapun syari’at dalam literatur hukum Islam, mempunyai tiga pengertian sebagai berikut:
a. Syaria’ah dalam arti hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa.
b. Syariah dalam pengertian hukum Islam/Hukum Syar’i, baik yang tidak berubah sepanjang
masa maupun yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
c. Syari’ah dalam pengertian hukum yang terjadi berdasarkan istinbath dari Alquran dan
Hadits (fiqh), yaitu hukum yang diinterpretasikan oleh para sahabat Nabi saw, hasil ijtihad
dari para mujtahid dan hukum-hukum yang dihasilkan oleh ahli hukum Islam melalui metode
qiyas dan metode ijtihad lainnya.
Dengan demikian hukum syar’i adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia
mukallaf dalam bidang fiqh Islam (syari’ah), bukan hukum berkaitan dengan akidah dan
akhlak. Karena syari’ah Islam secara luas meliputi meliputi aqidah/iman/sistem keyakinan,
syari’ah/islam/sistem hukum, dan akhlak/ihsan/sistem moral.
Pada dimensi lain penyebutan hukum syar’i selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu
negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum. Jika demikian,
hukum syar’i bukan lagi sebagai hukum Islam in absracto (pada tataran fatwa atau doktrin)
melainkan sudah menjadi hukum Islam in concreto (pada tataran aplikasi dan pembumian).
Sebab secara formal sudah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif, yaitu hukum yang
mengikat dalam suatu negara. Misalnya di Indonesia Hukum Syara’ diterapkan dalam
Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Zakat dan Wakaf,
dan sebagainya.
Kata yang sangat dekat hubungannya dengan perkataan syari’at adalah syara’ dan syar’i yang
diterjemahkan dengan agama. Oleh karena itu jika berbicara tentang hukum syara’ yang
dimaksud adalah hukum agama yaitu hukum yang ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh
rasulNya, yakni hukum syari’at, kendatipun kadang-kadang isinya hukum fiqih.
Dari perkataan syari’at kemudian lahir perkataan tasyri’, artinya pembuatan peraturan
perundang-undangan yang bersumber dari wahyu dan sunnah yang disebut tasyri’ samawi,
dan peraturan yang bersumber dari pemikiran manusia yang disebut tasyri’ wadh’i.
Perbedaan Ulama dalam Menentukan Hukum Syar’i
Bila diperhatikan berbagai definisi yang dikemukakan oleh berbagai ulama tentang kriteria
penetapan sesuatu sebagai hukum syar’i, maka dapat dikatakan:
1. Menurut ulama ushul fiqh, bahwa nash/teks dari pembuat syara’ (Allah dan RasulNya)
itulah yang dikatakan hukum syar’i. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 10, ‫ةالصلا اوميقاو‬
(Dirikanlah sholat). Jadi perkataa aqiimussholah itulah yang menjadu hukum syar’i.
2. Sedangkan menurut ulama Fiqh, bukan nash itu yang dimaksud dengan hukum syar’i,
malainkan efek dari kandungan perkataan aqiimusshlolah itulah yang mengakibatkan
terjadinya hukum syar’i.
Jadi ulama ushul fiqh mengatakan bahwa firman (perintah wajib sholat) itulah yang dikatakan
hukum syar’i, berbeda dengan ahli fiqh yang mengatakan bahwa wajib sholatlah yang yang
dikatakan hukum syar’i.
Hukum syar’i/syara’ yang di Indonesia lebih sering dipakai istilah hukum Islam adalah kata
yang tidak dikenal dalam ajaran Islam sendiri, tetapi istilah yang dipakai adalah hukum
syar’i, hukum syara’, hukum syari’at, hukum syari’ah, syari’at Islam, atau fiqh (Islam).
Kalau berbicara tentang hukum Islam di Indonesia, maka yang dimaksud adalah bagaimana
hukum yang berlandaskan hukum syar’i itu diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa hukum
yang terjadi pada kaum muslimin.
Berbagai pendapat ulama dalam mendefinisikan hukum syar’i pada prinsipnya sependapat
bahwa ia (hukum syar’i) adalah perintah Allah swt terhadap manusia dalam menjalankan
kehidupannya, yang berisi aturan/pedoman dalam berhubungan dengan Allah swt, sesama
manusia dan makhluk lainnya. Sumbernya berasal dari Alquran dan Alhadits serta ijtihad
para ulama, dan biasanya hanya mencakup masalah fiqhiyyah/ibadah, bukan aqidah dan
akhlak.
Sumber : http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=12
Download