pemantauan dan pengkajian legislasi

advertisement
PEMANTAUAN
DAN PENGKAJIAN
LEGISLASI
SERTA
PERMASALAHAN AKTUAL
DI BIDANG HUKUM
(Suatu Rekomendasi)
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia
Bertekad untuk Turut Mendorong Reformasi Hukum di Indonesia
PEMANTAUAN DAN PENGKAJIAN
LEGISLASI SERTA PERMASALAHAN
AKTUAL DI BIDANG HUKUM
(Suatu Rekomendasi)
Jakarta : Komisi Hukum Nasional RI,
Cetakan Pertama : Desember 2011
Jl. Diponegoro 64, Jakarta Pusat 10310
Website : http//www.komisihukm.go.id
ISBN : 978-979-3452-33-3
Penanggung Jawab/Komisioner:
1. Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., MA
(Ketua)
2. Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H.,
MA (Sekretaris)
3. Dr. Frans Hendra Winarta, S.H.,
M.H. (Anggota)
4. Mohammad Fajrul Falaakh, S.H.,
MA., M.Sc. (Anggota)
Peneliti:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Mujahid A. Latief, S.H., M.H.
T. Rifqy Thantawi, S.H., M.Si.
Hardian Aprianto, S.H.
M. Jody Santoso, S.H.
Ikhwan Fahrojih, S.H.
Jamil Burhan, S.H.
Totok Suryawan W., S.H.
Sulaiman Sujono, S.H.
Aryanti Hoed, S.H., LL.M
Diani Rahmitasari, S.H.
Yuniarti Widyaningsih, S.H.
Gina Nurthika Rajagukguk, S.H.
Tim Penerbitan/Editor:
1.
2.
3.
4.
Mohammad Saihu
Agus Surono
Farakh Harahap
Zaini Nurzaman
© Hak Cipta dilindungi undang-undang
Diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional RI
"Pengutipan, pengalibahasaan dan penggandaan (copy)
isi buku ini demi pembaruan hukum diperkenankan
dengan menyebutkan sumbernya'
*tidak untuk dijual*
KATA PENGANTAR
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN) turut serta
dalam legislasi dengan melakukan pemantauan dan pengkajian legislasi.
Dengan pemantauan dan pengkajian legislasi tersebut, KHN memberikan
rekomendasi yang diperlukan yang berguna dalam optimalisasi legislasi yang
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. KHN
melihat proses legislasi di DPR, atau yang seringkali diartikan sebagai proses
pembuatan dan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) di DPR
masih seringkali dinilai oleh banyak pengamat legislasi, belum bertanggung
jawab secara sosial. Misalnya saja pembahasan RUU dan mekanisme rapat
yang diharapkan dibuat lebih terbuka, lebih banyak ditanggapi DPR dengan
merenovasi ruangan-ruangan rapat serta pembangunan gedung DPR pada
waktu akhir periode 2004-2009 dan awal periode 2009-2014.
Pembuatan dan pembahasan suatu RUU yang bertanggung jawab secara
sosial adalah mengutamakan tiga prinsip, yaitu; partisipatif, transparan, dan
akuntabel. Substansi pengaturan juga berangkat dari masalah sosial dan
secara logis merunut uraian fakta, analisis penyebab, dan tawaran solusi yang
dikemas dalam perundang-undangan yang jelas sehingga mudah diakses dan
dipahami oleh masyarakat. Banyak juga yang mengamati bahwa permasalahan
legislasi DPR juga dipengaruhi dengan kecenderungan sikap pragmatis
dan oportunistis yang ”menimpa” kader-kader partai politik yang menjadi
anggota DPR. Oleh karenanya, harapan besar dari rakyat dalam masa periode
2009-2014 dan selanjutnya ialah partai politik harus mendidik kader-kadernya
untuk berubah dari orang-orang serba biasa menjadi pejuang cita-cita.
Dalam kerangka pemantauan dan pengkajian legislasi yang dilakukan
KHN, persoalan politik relatif tidak banyak dibahas meskipun KHN
menyadari bahwa DPR juga merupakan lembaga politik dan undang-undang
(UU) yang dihasilkannya pun pada hakikatnya merupakan keputusan politik.
KHN lebih banyak memantau dan mengkaji substansi dari RUU yang sedang
dalam proses legislasi. RUU tersebut pun lebih banyak bermuatan hukum
dibandingkan muatan-muatan lainnya. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi
KHN sebagaimana terdapat di dalam Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun
2000 tentang Komisi Hukum Nasional. Oleh karenanya pula, pemantauan dan
pengkajian legislasi yang dilakukan oleh KHN lebih banyak terarah pada RUU
yang menjadi kerja Komisi di DPR yang menangani hukum dan perundangundangan serta hak asasi manusia.
iv
KHN juga melihat bahwa DPR (yang dalam hal tertentu terdapat
peran Dewan Perwakilan Daerah/DPD), mempunyai fungsi anggaran dan
pengawasan selain fungsi legislasi. Seringkali bahwa fungsi legislasi tidak
optimal karena banyak waktu yang terpakai untuk menjalankan fungsi
anggaran dan pengawasan. Tanpa bermaksud mengesampingkan fungsi
anggaran dan pengawasan, maka fungsi legislasi DPR merupakan fungsi
yang utama. Melalui fungsi inilah, dalam setiap periode masa jabatan para
anggotanya, DPR melaksanakan amanat rakyat dengan mewujudkannya
melalui pembuatan perundang-undangan. Penjabaran fungsi legislasi DPR
ini terbagi dalam 4 (empat) hal:
1. Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama;
2. Membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang;
3. Menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan
DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya
dalam pembahasan;
4. Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang
APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
Keempat hal tersebut di atas berpijak pada berbagai ketentuan yang
terdapat di dalam Amandemen UUD 1945 (konstitusi), misalnya dalam Pasal
20, Pasal 20 A, Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 22 D.
KHN menyadari bahwa DPR telah membentuk perangkat penunjangnya
(alat perlengkapan) guna mengoptimalkan fungsi legislasinya, yaitu:
Pimpinan DPR, Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi yang bertugas
merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan
RUU untuk satu masa peiode keanggotaan DPR dan setiap Tahun Anggaran
dengan tahapan dan menyiapkan usul RUU usul inisiatif DPR berdasarkan
program prioritas yang telah ditetapkan, melakukan pembahasan,
perubahan atau penyempurnaan RUU yang secara khusus ditugaskan Badan
Musyawarah, mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap
materi undang-undang, melalui koordinasi dengan Komisi, melakukan
evaluasi terhadap program penyusunan RUU, melakukan evaluasi dan
penyempurnaan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik Anggota DPR, dan
membuat inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada
akhir masa periode keanggotaan DPR. Hasil dari fungsi legislasi DPR, secara
sederhana, dapat dilihat dari jumlah RUU yang telah disetujui melalui rapat
paripurna DPR.
Dengan buku ini, KHN juga memperkuat fungsi legislasi yang dilakukan
oleh DPR, karena pemantauan dan pengkajian legislasi yang dilakukan
oleh KHN telah diselaraskan dengan dinamika hukum yang berkembang
di masyarakat. Selain mengadakan pertemuan diskusi di KHN yang cukup
banyak jumlahnya dalam setiap tahun, KHN juga mengadakan diskusi di luar
KHN, seperti:
1. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “Wacana Legislasi dan
Perpektif Hukum Tahun 2011” pada tanggal 9 Desember 2010 di Jakarta.
2. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “RUU tentang Bantuan
Hukum” pada tanggal 9 Maret 2011 di Jakarta.
3. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “RUU tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial” pada tanggal 31 Mei 2011 di Jakarta.
4. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “RUU tentang Perubahan
UU tentang Komisi Yudisial” pada tanggal 1 Juni 2011 di Jakarta.
5. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “RUU tentang Perubahan
UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” pada tanggal
20 Juli 2011 di Jakarta.
6. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “Sinkronisasi RUU tentang
Perubahan UU tentang Kepolisian dan RUU tentang Perubahan UU
tentang Kejaksaan” pada tanggal 16 Agustus 2011 di Jakarta.
7. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “RUU tentang Hukum
Acara Pidana” pada tanggal 2 November 2011 di Jakarta.
Dalam Diskusi Bersama Komunitas Hukum tersebut, masukan-masukan
yang dikemukakan para Narasumber sangat berharga dalam pengayaan
kerangka pikir KHN yang selanjutnya terumuskan dalam pendapat hukum
KHN di dalam buku ini. Di samping dengan Diskusi Bersama Komunitas
Hukum tersebut, terdapat juga pendapat hukum KHN yang dibuat karena
kebutuhan dalam waktu tertentu yaitu adanya permintaan pendapat hukum
KHN atas suatu RUU yang sedang dibuat dan dibahas di pemerintah dan
DPR. Dalam hal yang demikian, maka pertemuan diskusi di KHN menjadi
suatu sarana untuk merumuskan pendapat hukum KHN.
Selain pemantauan dan pengkajian legislasi, KHN juga turut serta
dalam memberikan rekomendasi atas suatu permasalahan yang aktual di
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan bidang hukum. Dengan
keterbatasan yang ada pada KHN, tentunya tidak semua permasalahan
aktual di masyarakat dapat selalu dibahas dan karenanya KHN melakukan
pemilihan atas permasalahan aktual tersebut. Pemilihan tersebut berdasarkan
permasalahan aktual yang strategis dan menyita perhatian masyarakat, serta
berhubungan erat dengan kepentingan penegakkan hukum yang memenuhi
hak-hak dasar rakyat.
Dengan buku ini, KHN juga memperkuat pemerintah dalam menangani
permasalahan aktual di masyarakat, karena KHN telah menyelaraskan dengan
dinamika hukum yang berkembang di masyarakat. Selain mengadakan
vi
pertemuan diskusi di KHN yang cukup banyak jumlahnya dalam setiap
tahun, KHN juga mengadakan diskusi di luar KHN, seperti:
1. Diskusi Publik tentang “Kecenderungan Pembiaran Negara terhadap
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri” pada tanggal 8 Desember 2010 di
Jakarta.
2. Diskusi Publik tentang “Peran ASEAN dalam Perlindungan Pekerja
Migran” pada tanggal 8 Maret 2011 di Jakarta.
3. Diskusi Publik tentang “Ancaman terhadap Keamanan Nasional/Negara”
pada tanggal 31 Mei 2011 di Jakarta.
4. Diskusi Publik tentang “Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan” pada
tanggal 13 Juli 2011.
5. Diskusi Publik tentang “Model Perekrutan Hakim dan Peran Komisi
Yudisial” pada tanggal 19 Juli 2011.
6. Diskusi Publik tentang “Jurnalisme di Era Konglomerasi Media Massa”
pada tanggal 18 Agustus 2011.
7. Diskusi Publik tentang “KPK dan Arah Pemberantasan Korupsi” pada
tanggal 3 November 2011.
Diskusi Publik tersebut merupakan diskusi yang lebih luas cakupannya
dan lebih banyak pesertanya dibandingkan dengan Diskusi Bersama
Komunitas Hukum. Sama halnya dengan Diskusi Bersama Komunitas
Hukum, maka dalam Diskusi Publik tersebut, terdapat Narasumber yang
menjadi rujukan pembuatan pendapat hukum KHN. Hanya saja, terdapat
peserta Diskusi Publik yang merupakan perwakilan dari berbagai kelompok
masyarakat dan lembaga pemerintah yang “mempertajam” gagasan-gagasan
yang dikemukakan oleh Narasumber tersebut. Penajaman gagasan-gagasan
tersebut, menjadi masukan-masukan yang berharga dalam pengayaan
kerangka pikir KHN yang selanjutnya terumuskan dalam pendapat hukum
KHN di dalam buku ini.
Dengan kehadiran buku ini, semakin mempertegas bahwa di tengah
pemberitaan media massa mengenai kepatutan keberadaannya, KHN tetap
bekerja tanpa hiruk-pikuk. KHN meyakini bahwa tidak ada pekerjaan yang
sia-sia. KHN juga meyakini bahwa rekomendasi KHN yang merupakan
suatu rekomendasi kebijakan selalu terekam dalam catatan sejarah reformasi
hukum di Indonesia, yang berguna dalam keadaan sistem hukum Indonesia
yang belum beranjak dari keadaan “desperate but not hopeless”.
Jakarta, Desember 2011.
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................
iii
DAFTAR ISI................................................................................................ vii
BAB I PEMANTAUAN LEGISLASI ...............................................
1
POLITIK LEGISLASI
Mendayagunakan Legislasi Dalam Reformasi Hukum
dan Perlindungan Hak Rakyat.................................................................
3
PENGESAHAN RUU TENTANG BANTUAN HUKUM
Menunggu Implementasi Perlindungan
Hak–Hak Rakyat.........................................................................................
19
PENGESAHAN RUU TENTANG
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
Langkah Maju yang Perlu Pengawasan Implementasinya..................
29
PENGESAHAN RUU TENTANG PERUBAHAN UU
TENTANG KOMISI YUDISIAL
Instrumen Penting Perekrutan Hakim, serta Menjaga Kehormatan,
Keluhuran, Kemandirian dan Perilaku Hakim......................................
47
RUU TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAU MENGGANTI UU
TENTANG MAHKAMAH AGUNG
Pentingnya Keselarasan dengan Paket UU
Di Bidang Kekuasaan Kehakiman............................................................
65
RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU MENGGANTI UU
TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Suatu Kebutuhan Dengan Penguatan ....................................................
75
RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU MENGGANTI UU
TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
Perlu Berpedoman Pada Prospektif Rekonstruksi
Sistem Peradilan Pidana............................................................................
95
viii
RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU MENGGANTI UU
TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Perlu Berpedoman Pada Prospektif Sistem Keamanan Nasional
Dan Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana .......................................... 115
RUU TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Sebagai Pedoman Prospektif Rekonstruksi
Sistem Peradilan Pidana............................................................................ 129
BAB II PENGKAJIAN LEGISLASI . .................................................. 147
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN
TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
Permasalahan Instrumen, Struktural dan Budaya Hukum.................. 149
PERAN ASEAN DALAM PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN
Berharap Pada Solidaritas Hak Asasi Manusia
Negara-negara Anggota Asean . .............................................................. 159
ANCAMAN TERHADAP KEAMANAN NASIONAL/NEGARA
Membentuk Kesepahaman Sistem Keamanan Nasional...................... 171
RENEGOSIASI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN
Upaya Membenahi Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Untuk Kepentingan Rakyat....................................................................... 189
MODEL PEREKRUTAN CALON HAKIM
DAN PERAN KOMISI YUDISIAL
Membentuk Kesepahaman Mahkamah Agung Dan Komisi Yudisial
Dalam Perekrutan Calon Hakim.............................................................. 201
JURNALISME DI ERA KONGLOMERASI MEDIA MASSA
Pencegahan Pengaruh Negatif Terhadap Kebebasan
Dan Etika Pers............................................................................................. 215
KPK DAN ARAH PEMBERANTASAN KORUPSI
Penguatan Dan Menjaga Independensi Serta Akuntabilitas KPK
Dalam Pemberantasan Korupsi................................................................ 235
BAB SATU
PEMANTAUAN
LEGISLASI
POLITIK LEGISLASI
Mendayagunakan Legislasi
Dalam Reformasi Hukum
Dan Perlindungan Hak Rakyat
A. PENGANTAR
Reformasi di Indonesia mendorong dilakukannya amandemen
Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945) terjadi perubahan pola kekuasaan dari yang semula kekuatan
berada pada kekuasaan eksekutif (executive heavy) bergeser menuju
penguatan legislatif (legislative heavy).1 Penguatan demikian ditandai
dengan bertambahnya peran dan penguatan posisi yang lebih dominan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibandingkan pemerintah (kekuasaan
eksekutif) dalam hal pembentukan undang-undang. Pergeseran pendulum
ini bertujuan untuk mewujudkan proses politik dan legislasi yang
demokratis. Setelah Perubahan UUD 1945, DPR mempunyai “kekuatan
inisiatif” dalam menjalankan fungsi legislasi. Hal itu terlihat dalam Pasal
5 Ayat (1) Perubahan UUD 1945.
Dengan adanya pergeseran atau perubahan tersebut, maka Presiden
tidak berada dalam kekuasaan penuh ketika membentuk undang-undang.
Pergeseran tersebut tercermin juga dalam Pasal 20 ayat (1) Perubahan
UUD 1945, yaitu DPR memegang kekuasaan membentuk undangundang. Perubahan UUD 1945 menjadikan DPR mempunyai tanggungjawab yang lebih banyak dalam hal pembentukan undang-undang. Oleh
karena itu, DPR pula yang mempunyai tanggung-jawab lebih banyak atas
keberhasilan atau kegagalan legislasi atau pembuatan undang-undang.
Dengan memberikan kekuasaan pembuatan undang-undang kepada
DPR, masyarakat menaruh harapan besar pada lahirnya legislasi yang
mengakomodasi tuntutan publik untuk percepatan proses reformasi
hukum. Legislasi diharapkan dapat merespon kepentingan masyarakat
luas melalui mekanisme demokrasi partisipasi (partisipatory democracy)
atau bersifat responsif bukan demokrasi elitis (elitist democracy)2 atau yang
bersifat represif.3
Meskipun UUD 1945 membangun sistem hukum dan politik yang
lebih demokratis, tetapi perlu belajar dari sejarah tentang perubahan
konfigurasi politik di Indonesia. Mahfud MD dalam studinya menjabarkan
terjadinya pergeseran konfigurasi politik dalam setiap orde pemerintahan.
Pada orde lama dari yang demokratis (liberal) menjadi otoriter didasarkan
paham demokrasi terpimpin sedangkan pada masa orde baru pada awalnya
bersifat demokratis tetapi kemudian proses legislasi menunjukkan sifat
non demokratis.4
Sejarah tersebut menjadi penting karena selama dua belas tahun
reformasi, demokratisasi masih bersifat formal prosedural belum
menyentuh substansinya. Proses legislasi di DPR belum mengarah pada
harapan tersebut sehingga reformasi hukum dianggap belum optimal.
Legislasi bukan satu-satunya faktor penyebab belum optimalnya reformasi
hukum di Indonesia. Faktor lain yang ikut memengaruhi proses reformasi
juga disebabkan oleh lemahnya politik hukum. Dalam rentang waktu
12 (dua belas) tahun terakhir, kebijakan reformasi hukum diidentifikasi
sebagai berikut:
1. Pada awal reformasi, tidak ada grand design dan arah reformasi hukum
banyak dipengaruhi agenda lembaga internasional.
2. Dalam perkembangannya, elit politik merupakan satu kelompok yang
secara efektif dapat memanfaatkan perkembangan yang dibawa oleh
gagasan pembaharuan tersebut.
3. Masyarakat sipil, meskipun turut menyuarakan reformasi hukum,
umumnya hanya berada di luar pusat pengendali arah dan proses
pembaruan hukum.
4. Reformasi cenderung bersifat tactical reform.5
Meski perlu melakukan kajian mendalam untuk menilai proses
legislasi selama ini bersifat demokrasi partisipasi (partisipatory democracy)
atau demokrasi elitis (elitist democracy), tetapi faktor di atas cukup
untuk menyebutkan terdapat kepentingan dari kelompok kepentingan
yang turut menentukan proses legislasi. DPR dan Pemerintah belum
menjalankan proses legislasi yang didasarkan pada kebutuhan dasar
masyarakat Indonesia.
Pada sisi lain, pembahasan RUU yang berkaitan langsung dengan
perlindungan hak rakyat banyak yang tidak menjadi prioritas. Dalam
kondisi demikian, banyak dipertanyakan keberpihakan DPR dan
Pemerintah dalam merespon kepentingan rakyat melalui proses legislasi.
DPR sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi legislasi, anggaran,
maupun pengawasan, mempunyai posisi strategis dalam mendorong
dan mengawal reformasi hukum dan perlindungan hak-hak rakyat di
Indonesia. Pada awal reformasi, masyarakat menaruh harapan besar
kepada DPR yang dipilih secara langsung oleh rakyat untuk membuat
peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi tuntutan publik.
Dalam perjalanannya, fungsi legislasi DPR dijalankan tanpa visi yang
jelas, sulit dipetakan, serta pola legislasi yang cenderung menguatkan
kebijakan pemerintah.6 Terjadi ketimpangan implementasi fungsi utama
DPR. Hal demikian berbeda dengan pelaksanaan fungsi legislasi dan
anggaran. Dinamika politik dan hukum selama ini memberikan kontribusi
signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pengawasan.
B. PENGUATAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL
Program Legislasi Nasional atau yang disingkat dan biasa disebut
dengan Prolegnas diatur di dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan7. Kebutuhan adanya
prolegnas berkembang pasca 1998, khususnya setelah dirasakan bahwa
perlunya suatu kesatuan pembangunan hukum nasional dalam hal
perumusan peraturan perundang-undangan. Prolegnas secara sempit
dapat diartikan sebagai penyusunan suatu daftar materi perundangundangan atau daftar judul RUU yang telah disepakati. Daftar urutan
tersebut dibuat oleh DPR/Pemerintah berdasarkan urgensi dan prioritas
pembentukannya. Prolegnas dalam arti luas mencakup program
pembinaan hukum, pengembangan yurisprudensi, pembinaan program
perjanjian (termasuk ratifikasi konvensi internasional).8 Prolegnas
merupakan instrumen perencanaan program pembentukan undangundang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis sesuai
dengan program pembangunan nasional dan perkembangan kebutuhan
masyarakat yang memuat skala prioritas Program Legislasi Nasional
Jangka Menengah (5 Tahun) dan Program Legislasi Nasional Tahunan.
Dengan adanya Prolegnas, diharapkan pembentukan undangundang baik yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden,
maupun Dewan Perwakilan Daerah dapat dilaksanakan secara terencana,
sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh. Di samping itu pembentukan
undang-undang melalui Prolegnas diharapkan dapat mewujudkan
konsistensi undang-undang, serta meniadakan pertentangan antar
undang-undang (vertikal maupun horizontal) yang bermuara pada
terciptanya hukum nasional yang adil, berdaya guna, dan demokratis.
Selain itu, dapat mempercepat proses penggantian materi hukum yang
merupakan peninggalan masa kolonial yang sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan hukum masyarakat.9
DPR telah merumuskan skala prioritas Program Legislasi Nasional
Jangka Menengah (5 Tahun) pada tahun 2009 lalu dengan Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 41A/DPR
RI/2009-2014 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional
Tahun 2009-2014. Program Legislasi Nasional Jangka Menengah Tahun
2010-2014 ditetapkan untuk memberikan arah sekaligis menjadi acuan
bagi seluruh komponen bangsa, sehingga upaya pembentukan undangundang yang dilakukan DPR, Presiden, dan DPD dapat dilaksanakan
secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Dalam penguatan peran DPR di bidang legislasi, diharapkan
wakil rakyat mampu mengeluarkan produk hukum yang partisipatif
masyarakat. Untuk merespon hal tersebut, DPR melakukan perubahan
Tata Tertib DPR, di mana sebelumnya rapat-rapat pembahasan RUU
dinyatakan tertutup kecuali ditetapkan terbuka oleh pimpinan sidang.
Sekarang ini dibalik, pada dasarnya rapat pembahasan RUU terbuka,
kecuali ditetapkan tertutup dengan alasan-alasan tertentu.
Dalam praktiknya, keterbukaan tersebut belum berjalan sebagaimana
mestinya. Masih terjadi ketertutupan dalam proses penyiapan bahan dan
pembahasan RUU di internal pemerintah maupun DPR belum optimal.
Mekanisme partisipasi dan transparansi belum dibangun dengan baik
di tingkat internal pemerintah dan DPR. Pembahasan yang tertutup
menyebabkan RUU-RUU yang diusulkan sama sekali tidak dapat dijangkau
oleh masyarakat. RUU itu tidak mendapat perhatian masyarakat, prosesnya
akan terus berjalan, sehingga akhirnya kemudian disahkan.
Pada aspek kuantitas, jumlah produk perundang-undangan yang
dihasilkan tiap tahun, tidak semua program legislasi nasional (Prolegnas)
tahunan dapat diselesaikan oleh DPR. Produk yang dihasilkan DPR
sendiri jauh dari target Prolegnas. Undang-undang yang sahkan DPR
banyak berasal dari RUU terbuka di luar prolegnas. RUU diluar prolegnas
yang bersumber dari Kumulatif terbuka berkaitan dengan:
1. Pengesahan Perjanjian Internasional.
2. Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi.
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
4. Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
5. Penetapan PERPU Menjadi Undang-Undang.
RUU yang disahkan menjadi undang-undang, pada masa DPR 20042009, adalah:
1. Pada tahun 2005, DPR menyelesaikan 14 RUU.
2. Pada tahun 2006, sebanyak 49 RUU yang disahkan menjadi undangundang (27 RUU kumulatif terbuka yaitu: 7 RUU ratifikasi, 1 RUU
Perppu, 3 RUU APBN, 16 RUU Pemekaran).
3. Pada tahun 2007, sebanyak 40 RUU yang disahkan menjadi undangundang (24 RUU kumulatif terbuka yaitu: 5 RUU ratifikasi, 1 RUU
Perppu, 3 RUU APBN, 15 RUU Pemekaran).
4. Pada tahun 2008, sebanyak 62 RUU yang disahkan menjadi undangundang (37 RUU kumulatif terbuka yaitu: 3 RUU ratifikasi, 4 RUU
Perppu, 3 RUU APBN, 27 RUU Pemekaran).
5. Pada tahun 2009, DPR mensahkan 39 RUU menjadi undang-undang
(11 RUU kumulatif terbuka yaitu: 4 RUU ratifikasi, 4 RUU Perppu, 3
RUU APBN, 0 RUU Pemekaran).
Selama masa DPR Tahun 2004/2009, RUU yang berasal dari kumulatif
terbuka jumlahnya lebih besar dari RUU yang masuk dalam daftar
prolegnas. Tahun 2007, sebanyak 62 % RUU kumulatif terbuka diajukan
untuk dibahas dan disahkan DPR. tahun 2008, sebanyak 62% RUU, dan
tahun 2009 sebanyak 51%.
Keberhasilan penyelesaian pembahasan RUU tertinggi dilakukan
pada tahun 2008 yang telah membahas dan menetapkan 62 RUU menjadi
undang-undang. Akan tetapi, dari 62 RUU yang disahkan tersebut, 37
RUU (60 %) adalah RUU luncuran (27 RUU pemekaran, 3 RUU ratifikasi,
4 RUU pengesahan Perppu, dan 3 RUU APBN) di luar prolegnas yang
pembahasannya lebih mudah dibandingkan pembahasan RUU yang
termasuk prolegnas.
Pada tahun 2010, tahun awal kerja DPR 2009/2014, DPR menyelesaikan
16 RUU yang disahkan menjadi undang-undang. Dari 16 RUU tersebut, 8
RUU (50 %) merupakan RUU yang berasal dari kumulatif terbuka (2 RUU
ratifikasi, 1 RUU pencabutan Perppu, dan 5 RUU APBN). Dari sisi kuantitas,
capaian DPR periode 2009-2014, lebih banyak dibanding tahun awal DPR
periode 2004-2009 yang hanya menyelesaikan 14 undang-undang.
Dari sisi kualitas, capaian pada tahun 2010 menunjukkan kinerja yang
kurang optimal. 50 % dari undang-undang yang disahkan berasal dari
kumulatif terbuka. Sementara itu, dari 8 undang-undang yang berasal dari
daftar prolegnas ditemukan 106 ketentuan yang memandatkan pengaturan
lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri, hingga peraturan unit pelaksana.10 Hal demikian menunjukkan
kerja DPR didasarkan pada kerja target penyelesaian undang-undang.
Dilihat dari aspek alokasi anggaran, pada 2005, anggaran legislasi
dialokasikan Rp 560 juta, sedangkan pada 2009, dianggarkan Rp 5,8 milyar.
Kenaikan anggaran 10 kali lipat tersebut tidak menunjukkan perubahan
kinerja. Penambahan tenaga ahli bagi anggota DPR dan alat kelengkapan
belum menunjukkan perubahan.
Selain hal tersebut, terdapat beberapa kelemahan dalam proses
legislasi selama ini yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Legislasi yang berkembang saat ini cenderung merespon kebutuhan
perubahan dengan pengeluaran undang-undang. Banyak kelompok
mengajukan RUU, padahal tidak jelas apa tujuan pengaturannya bagi
masyarakat.
2. Tidak ada lembaga yang melakukan monitoring dan evaluasi
menyeluruh terhadap undang-undang sejak penyusunan, pembahasan
sampai implementasi di lapangan. Badan Legislasi (Baleg) DPR
belum memerankan fungsi tersebut. Fungsi pengawasan Baleg hanya
terbatas pada proses penyiapan dan pembahasan yang terbatas.
3. Ada kecenderungan dikeluarkannya peraturan presiden pengganti
Undang-undang (PERPU) untuk merespon kebutuhan.
a. Pada periode pertama (2004-2009), Presiden Susilo Bambang
Yudoyono telah mengeluarkan 16 peraturan presiden pengganti
Undang-undang (PERPU).
b. Tidak semua Perpu yang dikeluarkan ditetapkan DPR menjadi
undang-undang. Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan tidak ditetapkan menjadi undangundang dan berbuntut pada masalah Bank Century.
4. Belum optimalnya Badan Legislasi DPR dalam proses legislasi.
Keberadaan Baleg sebagai badan kelengkapan yang keanggotaannya
dirangkap anggota DPR menjadi lemah melakukan mengawasi proses
legislasi.
5. Prolegnas masih terbatas pada daftar keinginan bukan sebagai
prioritas program legislasi.
a. Adanya ketidak konsistenan dalam menentukan Prioritas
pertama (P-1) dan Prioritas kedua (2). P-1 adalah RUU yang sudah
disetujui Presiden dengan sifat mendesak, dan sudah memenuhi 3
syarat teknis, yaitu ada Naskah Akademis, ada Naskah RUU, dan
sudah melalui harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Sementara P-2 adalah RUU tersebut sudah ada naskah akademik,
dan naskah RUU, tetapi RUU tersebut belum diharmonisasi.
b. Ada RUU yang seharusnya masuk kategori P1, semuanya sudah
lengkap ternyata di Prolegnas masuk dalam urutan 51.
c. Dalam Prolegnas 2011, terdapat 3 (tiga) RUU yang tidak masuk
dalam Prolegnas 2010-2014 tetapi masuk dalam daftar Prolegnas
2011 yaitu RUU Tata Kelola Pendidikan Tinggi (sebenarnya
sebagai pengganti UU Badan Hukum Pendidikan), RUU Hak
Kekayaan Industri, RUU tentang Amandemen UU No. 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran.
6. Penyusunan prolegnas tidak disertai dengan data atau hasil kajian
yang valid. Kebanyakan Prolegnas atau RUU inisiatif DPR hanya
mengajukan judulnya saja, tanpa disertai dengan naskah akademik
atau kajian-kajian sebelumnya yang membuktikan bahwa RUU
tersebut penting bagi kehidupan Indonesia. Dalam hal ini RUU usulan
pemerintah lebih rapih dibandingkan RUU usulan inisiatif DPR.
7. Dalam beberapa hal, meski sudah disiapkan naskah akademis dan
RUU, namun dalam praktek terjadi distorsi yang signifikan sehingga
terjadi perbedaan antara rancangan semula dengan rancangan akhir.
8. Adanya proses yang tidak transparan dan tidak accountable, dan
political transactional di DPR.
9. Dampak yang ditimbulkan dari proses demikian adalah, antara lain:
a. Adanya substansi peraturan perundang-undangan yang tumpang
tindih.
b. Melakukan amandemen terhadap RUU yang baru disahkan.
c. Dalam hukum pidana terjadi overcriminalitation, banyak undangundang memuat ketentuan pidana.
d. Pendelegasian kewenangan.
10. Dalam konteks lebih luas, penyusunan dan pembahasan legislasi
belum diselaraskan dengan Rencana Aksi Hak Asasi Manusia (RAN
HAM) atau dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
dan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
Dalam upaya memperkuat proses legislasi, pembaruan mengarah
pada pilihan penguatan lembaga yaitu Baleg. Mengacu pada rekomendasi
Komisi Hukum Nasional tahun 2004, yaitu selain pilihan memperkuat
lembaga yang ada, yang berkaitan dengan proses legislasi, pilihan lain
adalah membentuk lembaga baru dengan mereposisi lembaga yang ada.
10
Melihat fakta yang berkembang dalam enam tahun terakhir maka perlu
memikirkan ulang dibentuknya lembaga independen11 dengan tugas dan
kewenangan tidak hanya berkaitan dengan teknis perundang-undangan.
Lebih dari itu permasalahan muncul karena terputusnya mata rantai
politik hukum dan politik perundang-undangan sehingga perlu lembaga
independen yang mampu melakukan perumusan pembaruan hukum
dan penyusunan perundang-undangan. Komisi Hukum Nasional dapat
ditempatkan dalam hal ini yaitu dengan tugas dan kewenangan sebagai
berikut:
1. Menyusun desain dan evaluasi pembaruan hukum nasional.
2. Membantu DPR dan Pemerintah dalam menetapkan dan menerapkan
politik hukum yang terkait dengan Prolegnas, yang indikatornya
terlihat dari konsistensi di dalam asas-asas pembentukannya dan
materi muatannya.
3. Mengkoordinasikan penyusunan Prolegnas melalui mekanisme
bottom-up, antara lain dari proses konsultasi publik dan penelitianpenelitian mendalam.
4. Menyosialisasikan rancangan undang-undang mulai dari taraf sedini
mungkin kepada para stakeholders, sekaligus menyerap aspirasi mereka
dan memberi artikulasi terhadap aspirasi ini agar lebih didengar oleh
para pembentuk undang-undang.
5. Menyosialisasikan undang-undang yang sudah berlaku, dengan
harapan agar dapat dijaring umpan balik guna penyermpurnaannya
di kemudian hari.
Menyosialisasikan rancangan undang-undang menjadi signifikan
untuk dimasukkan sebagai bagian dari tugas Komisi Hukum Nasional ini,
mengingat lobby-lobby politik selama proses penyusunan undang-undang
seringkali lebih menentukan wujud akhir dari suatu undang-undang.
Tidak semua stakeholders memiliki akses pada saat lobby-lobby ini dilakukan.
Komisi Hukum Nasional bekerja sama dengan berbagai kelompok di
masyarakat seperti pers, dapat mengawal aspirasi masyarakat agar tidak
gugur di tengah jalan akibat deal politik yang tidak sehat.
Menyosialisasikan undang-undang yang sudah berlaku adalah
tugas tambahan yang dilaksanakan bersama-sama dengan institusi
terkait. Tugas sosialisasi ini harus diartikan sebagai bagian dari upaya
penyerapan aspirasi masyarakat, untuk keperluan penyusunan prolegnas
pada periode berikutnya.12
11
C. LEGISLASI DAN REFORMASI HUKUM
Reformasi hukum, terutama dalam sistem peradilan di Indonesia,
tidak dapat dilepaskan dari hasil legislasi. DPR sebagai lembaga yang
dapat menentukan arah reformasi dan politik hukum berperan dalam
pelaksanaan reformasi hukum di Indonesia. Selama reformasi, politik
hukum di DPR cenderung bersifat taktis dan parsial. Hal demikian
dapat dilihat dari pembahasan paket undang-undang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman.
1. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman telah mengalami
perubahan dan pergantian.
a. Tahun 1999, UU No. 14 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman diubah berdasarkan UU No 35 tahun
1999.
b. Tahun 2004, dikeluarkan undang-undang baru yaitu UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencabut dan
menggantikan UU No. 14 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah berdasarkan UU No
35 tahun 1999.
c. Tahun 2009, dikeluarkan Undang-Undang tentang Kekuasaan
Kehakiman baru yaitu UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang yang mencabut dan menggantikan UU No 4
Tahun 2004.
2. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diubah dua kali
berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang
No. 3 Tahun 2009. Pada tahun 2011 ini akan dilakukan perubahan
ketiga. Pada sisi lain, dua RUU lainnya hingga saat ini belum disahkan
dan masih dalam proses pembahasan, yaitu:
a. Usulan RUU tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan
b. RUU tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial.
3. Hal yang sama terjadi dalam pembaruan undang-undang yang
mengatur lingkungan peradilan, yaitu:
a. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum mengalami dua
kali perubahan yaitu berdasarkan UU No. 8 Tahun 2004 dan
terakhir dengan UU No. 49 Tahun 2009.
12
b. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengalami dua
kali perubahan yaitu UU No. 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan
UU No. 50 Tahun 2009.
c. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
mengalami dua kali perubahan yaitu UU No. 9 Tahun 2004 dan
terakhir UU No. 51 Tahun 2009.
4. Pembentukan pengadilan khusus yang pengaturannya tidak
konsisten. Empat Pengadilan khusus dibentuk berdasarkan undangundang sendiri dan empat yang lain pembentukannya melekat pada
undang-undang lain yaitu:
a. Pengadilan khusus dibentuk berdasarkan undang-undang
sendiri
i. Pengadilan Anak berdasarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak).
ii. Pengadilan HAM berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM.
iii. Pengadilan Tipikor berdasarkan UU No. 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tipikor.
iv. Pengadilan Pajak berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak.
b. Pengadilan khusus lainnya melekat pada undang-undang lain,
yaitu:
i. Pengadilan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan industrial).
ii. Pengadilan Perikanan (UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan).
iii. Pengadilan Niaga (UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
iv. Mahkamah Syar’iyah Aceh (UU No. 18 Tahun 2001 tentang
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).
Dalam konteks penyelidikan, penyidikan, dan upaya paksa, UndangUndang tentang Kepolisian dan Undang-Undang tentang Kejaksaan
dalam konteks pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman serta UndangUndang sektoral yang mengatur penyelidikan dan penuntutan belum
diselaraskan dengan gagasan yang dimuat dalam RUU KUHP dan RUU
KUHAP.
13
Sementara itu, Pemerintah (kekuasaan eksekutif) pun mempunyai
program yang berhubungan dengan legislasi dan reformasi hukum.
Jika merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2010–2014 yang memuat strategi pembangunan
nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas
Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta
kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian
secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja
yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif, maka sasaran pembangunan dalam hal reformasi hukum dan
aparatur adalah terwujudnya peningkatan penyelenggaraan tata kelola
pemerintahan yang baik yang mencerminkan supremasi hukum dan
penegakan hak asasi manusia dan didukung oleh aparatur negara yang
bersih, berwibawa, bertanggung-jawab serta profesional.13
Upaya untuk mencapai sasaran tersebut dilakukan dengan strategi
sebagai berikut14:
1. Peningkatan efektivitas peraturan perundang-undangan.
2. Peningkatan kinerja lembaga di bidang hukum.
3. Peningkatan penghormatan, pemajuan dan penegakan hak asasi
manusia.
4. Peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas
korupsi, kolusi dan nepotisme.
5. Peningkatan kualitas pelayanan publik.
6. Peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi dan
7. Pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Berhubungan dengan legislasi dan reformasi hukum, maka hal
itu sangat berkaitan dengan strategi yang pertama yaitu peningkatan
efektivitas peraturan perundang-undangan. Jika merujuk dokumen resmi,
maka strategi yang pertama tersebut dilaksanakan melalui hal-hal sebagai
berikut15:
1. Peningkatan kualitas substansi peraturan perundang-undangan,
dilakukan antara lain melalui dukungan penelitian/pengkajian
Naskah Akademik. Hasil pengkajian/penelitian tersebut akan menjadi
bahan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang
akan diharmonisasikan dan disinkronisasikan dengan peraturan
perundang-undangan yang sudah ada.
2. Penyempurnaan proses pembentukan peraturan perundangundangan, dilakukan mulai dari tahapan perencanaan, persiapan,
14
teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, dan penyebarluasan. Untuk menjamin tidak
adanya kesenjangan substansi dengan kebutuhan masyarakat,
peran masyarakat dalam setiap tahapan pembentukan peraturan
perundang-undangan, perlu diperkuat. Hal ini juga perlu didukung
oleh mekanisme pelaksanaan Prolegnas dan Prolegda yang mengikat
bagi eksekutif dan legislatif serta menjadi wadah menyelaraskan
kebutuhan kerangka regulasi yang mendukung prioritas pembangunan
nasional.
3. Pelaksanaan harmonisasi peraturan perundang-undangan, dilakukan
melalui kegiatan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Hanya saja pelaksanaan dalam rangka peningkatan efektivitas
peraturan perundang-undangan tersebut di atas, seringkali tidak selaras
antara proses harmonisasi yang telah dilakukan di pemerintah (kekuasaan
eksekutif) dengan pembahasan di DPR.
D. LEGISLASI DAN PERLINDUNGAN HAK RAKYAT
Hingga saat ini terdapat banyak rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan perlindungan rakyat baik dalam proses hukum
maupun dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat yang kurang
mendapat perhatian dari eksekutif dan DPR. RUU yang berkaitan dengan
perlindungan hak rakyat dalam proses hukum yang belum disahkan
hingga akhir 2011, antara lain: RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, RUU tentang Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana, RUU
tentang Perubahan UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan RUU
tentang Sistem Peradilan Anak/ RUU tentang Perubahan atas UU No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. RUU lain yang berkaitan dengan
perlindungan hak-hak dasar rakyat Indonesia, antara lain: RUU tentang
Administrasi Pemerintahan, dan RUU tentang Perubahan atas UU No.
39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri.
Beberapa RUU di atas merupakan RUU penting dalam proses
reformasi hukum dan perlindungan hak rakyat Indonesia. Pentingnya
pembahasan dan pengesahan RUU tersebut karena hingga saat ini,
masih terdapat pelanggaran hak-hak rakyat baik dalam proses peradilan
maupun pembiaran negara terhadap hak ekonomi, sosial, politik rakyat
Indonesia. Dalam proses peradilan pidana, masih terdapat rakyat kecil
yang mengalami pelanggaran hak-hak tersangka dalam proses peradilan,
15
masih terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem peradilan pidana.
Berkaitan dengan perlindungan hak ekonomi dan sosial, banyaknya
tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang bermasalah dan tidak mendapat
bantuan hukum dan perlindungan hak yang optimal dari pemerintah baik
mereka sebagai pelaku maupun korban, serta belum adanya implementasi
sistem jaminan sosial bagi rakyat Indonesia secara menyeluruh.
Hal demikian berbeda ketika, pemerintah dan DPR merespon
berbagai RUU yang mempunyai nilai politis dan ekonomi yang tinggi.
RUU tersebut menjadi prioritas dan cepat diselesaikan. Bahkan tidak
jarang Presiden dengan kewenangannya membuat Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) mengeluarkan Perpu untuk
menyelesaikan suatu masalah meski tidak semua Perpu yang dikeluarkan
ditetapkan DPR menjadi undang-undang. Dua perpu yang dicabut oleh
DPR adalah Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan dan Perpu No 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua perpu tersebut dalam pembahasan di DPR memunculkan
dampak yang cukup serius dalam penegakan hukum di Indonesia, Perpu
No 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memicu perdebatan
tentang eksistensi KPK dalam pemberantasan korupsi.
Sementara itu, Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman
Sistem Keuangan merupakan salah satu dari 3 Paket yang berkaitan
dengan perbankan dan keuangan. Dua lainnya adalah Perpu No. 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yang ditetapkan DPR menjadi undang-undang berdasarkan UU
No. 6 Tahun 2009 dan Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU
No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan
menjadi undang-undang berdasarkan UU No. 7 Tahun 2009.
Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan
menjadi penting diperhatikan karena dalam pelaksanaannya ”berbuntut”
pada masalah dana talangan penyelamatan Bank Century. Pada masa
yang sama, UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional mengamanatkan penataan dan sinkronisasi empat BUMN
Persero penyelenggara jaminan sosial yaitu Perusahaan Perseroan
(Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Perusahaan
Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri
(TASPEN), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan
16
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahaan Perseroan
(Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) diubah menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 52 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004
menyebutkan Semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan UndangUndang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Tetapi hingga kini, Juni 2011 amanat tersebut belum dilaksanakan.
Dalam konteks lain, upaya perlindungan tenaga kerja Indonesia
di luar negeri belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Ketidakseriusan tersebut ditandai dengan banyaknya tenaga kerja Indonesia
di luar negeri yang mempunyai masalah hukum hingga adanya hukuman
mati. Pada pertengahan tahun 2011 ini, Ruyati, tenaga kerja wanita
yang bekerja di Arab Saudi dipancung Pemerintah Arab Saudi karena
diputus bersalah telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya.
Ironisnya, Pemerintah baru mengetahui kabar eksekusi pemancungan itu
setelah peristiwa tersebut terjadi. Pemerintah Indonesia sepertinya tidak
bersungguh hati memperjuangkan nasib warga negaranya terutama yang
menjadi buruh migran. Permasalahan perlindungan tenaga kerja Indonesia
di luar negeri tersebut tidak hanya muncul ketika tenaga kerja berada di
berada di luar negeri. Permasalahan lebih banyak di dalam negeri. Untuk
merespon hal tersebut, dilakukan usulan perubahan atas UU No. 39 Tahun
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri. Tetapi RUU tersebut belum dibahas dan disahkan.
DPR sebagai wakil rakyat dan eksekutif seharusnya melihat kebutuhan
mendesak rakyat Indonesia menjadi pilar utama dalam proses legislasi.
Kepentingan rakyat bersama merupakan salah satu aspek utama dalam
menentukan RUU prioritas yang akan dibahas. Sudah seharusnya RUU
yang bersentuhan langsung dengan perlindungan hak rakyat menjadi
priotas utama untuk dibahas dan disahkan.
E. REKOMENDASI
Sebagai lembaga melalui fungsi legislasi, anggaran, maupun
pengawasan, sudah seharusnya DPR melakukan perbaikan kinerja.
Fungsi legislasi dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh
mekanisme penyusunan dan pembahasan yang baik. Beberapa hal yang
dapat dilakukan berkaitan dengan reformasi hukum adalah:
1. Komisi Hukum Nasional dapat ditempatkan sebagai suatu lembaga
yang independen untuk mendesain dan evaluasi reformasi hukum
17
2.
3.
4.
5.
6.
7.
dan mendukung proses legislasi, dengan kewenangan: menyusun
desain dan evaluasi pembaruan hukum nasional, membantu DPR dan
Pemerintah dalam menetapkan dan menerapkan politik hukum yang
terkait dengan Prolegnas, mengkoordinasikan penyusunan Prolegnas
melalui mekanisme bottom-up, menyosialisasikan rancangan undangundang dan undang-undang yang sudah berlaku.
Mekanisme penyusunan prolegnas lebih yang terbuka dan partisipatif
sejak usulan, penyusunan naskah akademis, pembahasan draf
RUU baik di pemerintah maupun di DPR sampai pembahasan dan
penetapan UU.
Pemerintah dan DPR harus konsisten dalam menentukan prioritas
dan pembahasan RUU berdasarkan kebutuhan yaitu :
a. Adanya amanat dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
b. Kejelasan tujuan yaitu mempertingkan manfaat sosial yang paling
besar yang ingin dicapai serta dampak sosial yang mungkin
ditimbulkan.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan.
d. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.
e. Dapat dilaksanakan yaitu RUU yang akan dibahas dan disahkan
harus didukung oleh kesiapan SDM dan anggaran agar
implementatif.
RUU inisiatif DPR harus dilengkapi dengan naskah akademis dan
RUU yang sudah terumuskan pasal demi pasal. Untuk hal tersebut
perlu penguatan kualitas dan kuantitas Tenaga Ahli DPR.
Pembahasan undang-undang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
harus dibahas secara terpadu dengan memberikan posisi yang kuat
terhadap Komisi yudisial dalam melakukan pengawasan eksternal.
Perlu percepatan pembahasan dan pengesahan RUU yang bersentuhan
langsung dengan perlindungan hak rakyat.
Pada Tahun 2012, beberapa RUU yang perlu diprioritaskan adalah:
a. RUU tentang Perubahan UU tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
b. RUU tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
c. RUU tentang Hukum Pidana (KUHP).
d. RUU tentang Perubahan UU tentang Mahkamah Konstitusi
(berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan
18
UU tentang Perubahan UU tentang Mahkamah Konstitusi).
e. RUU tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
f. RUU tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
g. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak/RUU tentang Sistem Peradilan
Anak.
h. RUU Perubahan tentang UU tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
i. RUU tentang Perampasan Aset.
j. RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
k. RUU lain yang berkaitan dengan perlindungan hak dan
kesejahteraan rakyat perlu mendapat prioritas. RUU tersebut
antara lain: RUU tentang Perubahan atas UU No. 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri, dan RUU tentang Perubahan UU tentang
Ketenagakerjaan.
PENGESAHAN RUU TENTANG
BANTUAN HUKUM
Menunggu Implementasi
Perlindungan Hak–hak Rakyat
A. PENGANTAR
Pengesahan RUU tentang Bantuan Hukum pada saat Sidang
Paripurna DPR pada tanggal 4 Oktober 2011 masih menyisakan harapan
pada keadilan. Implementasinya dalam perlindungan hak rakyat sangat
ditunggu. Sudah terlalu lama rakyat menanti keadilan dan negara tidak
dapat tidak, harus bertanggung-jawab. Keadilan menurut Aristoteles
harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum mempunyai
tugas menjaga agar keadilan sampai kepada semua orang. Jika ada orang
bersengketa datang ke hadapan hakim, mereka harus diperlakukan sama
(audi et alteram partem). Menurut Cecil Rajendra (aktivis hak asasi manusia
cum advokat di Malaysia), bantuan hukum bukanlah semata-mata probono publico tetapi juga merupakan pro-justice, yang mengandung makna
bahwa tidak seorangpun dalam negara hukum yang boleh diabaikan
haknya untuk memperoleh pembelaan baik dari seorang advokat atau
pembela umum dengan tidak memperhatikan latar belakangnya, seperti
agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata sosial-ekonomi,
warna kulit dan gender.
Berdasarkan hal tersebut di atas setiap orang berhak untuk
memperoleh bantuan hukum dengan tidak memperhatikan latar belakang
maupun status sosial-ekonominya. Hak untuk mendapatkan pembelaan
hukum bagi semua orang tanpa ada perbedaan telah dijamin oleh UUD
1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”.
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 juga menjamin bahwa setiap orang
berhak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum:
20
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum”.
Hak untuk dibela juga merupakan hak asasi manusia dari setiap warga
negara serta pemenuhan asas equality before the law dan right to counsel, yang
dijamin dalam Universal Declaration of Human Rights, International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR), dan Basic Principles on the Role of
Lawyers. Dengan demikian, rights to counsel adalah hak asasi manusia
sebagai individu (fakir miskin) dan bukan belas kasihan. Berdasarkan
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak
yang terlantar dipelihara oleh negara”. Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat
(1) UUD 1945 tersebut negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil
dan politik dari fakir miskin. Penegasan dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945
tersebut memberikan impilikasi bahwa bantuan hukum bagi fakir miskin
merupakan tugas dan tanggungjawab negara. Penegasan sebagaimana
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut sekaligus menegaskan bahwa bantuan
hukum bagi fakir miskin merupakan hak konstitusional warga negara.
Akses kepada keadilan untuk semua (acees to justice for all) termasuk
fakir miskin adalah hak asasi manusia. Beberapa negara telah menjamin
pemberian bantuan hukum secara tegas di dalam konstitusinya, antara
lain:
1. India menjamin diberikannya bantuan hukum dalam Undang-Undang
Dasar India khususnya dalam Pasal 39A :
“The state shall secure that the operation of the legal system promotes justice,
on the basic of equal opportunity, and shall in particular provide legal aid, by
suitable legislation or schemer or in ony way, to ensure that oppurtinities for
securing justice are not dinied to any citizen by reason of economic of other
disabalities”
2. Bantuan Hukum di Filipina juga dijamin dalam konstitusinya (1987):
“Free Access to the courts and quasi-judicial bodies and adequate legal
assistance shall not be denied to any person by reason by poverty”
B. KONSEP BANTUAN HUKUM YANG TEPAT BAGI
INDONESIA
Di dunia dikenal beberapa model bantuan hukum yang dikembangkan
oleh Cappelletti dan Gordley dalam artikel yang berjudul “Legal Aid Modern
Themes And Variations” yaitu:
21
1. Bantuan hukum model yuridis-individual, yaitu bantuan hukum
merupakan hak yang diberikan kepada warga masyarakat untuk
melindungi kepentingan-kepentingan individual.
2. Bantuan hukum model kesejahteraan, yaitu bantuan hukum
merupakan suatu hak akan kesejahteraan yang menjadi bagian dari
kerangka perlindungan sosial yang diberikan oleh suatu negara
kesejahteraan (welfare state).
Sedangkan Schuyt, Groenendijk, dan Sloot, membedakan bantuan
hukum dalam 5 (lima) jenis, yaitu:
1. Bantuan hukum preventif, merupakan bantuan hukum yang
dilaksanakan dalam bentuk pemberian keterangan dan penyuluhan
hukum kepada masyarakat sehingga mereka mengerti akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara.
2. Bantuan hukum diagnostik, bantuan hukum dilaksanakan dengan cara
pemberian nasehat-nasehat hukum atau dikenal dengan konsultasi
hukum.
3. Bantuan hukum pengendalian konflik, bantuan hukum ini lebih
bertujuan untuk mengatasi secara aktif permasalahan-permasalahan
hukum konkrit yang terjadi di dalam masyarakat.
4. Bantuan hukum pembentukan hukum, bantuan ini dimaksudkan
untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas dan
benar.
5. Bantuan hukum pembaharuan hukum, merupakan bantuan hukum
yang usaha-usahanya lebih ditujukan mengadakan pembaharuan
hukum, baik itu melalui hakim atau melalui pembentuk undangundang (dalam arti materil).
Masyarakat terutama c.q. fakir miskin menginginkan bantuan hukum
yang tidak bersifat diskriminatif dimana masyarakat c.q. fakir miskin
menginginkan pembelaan di dalam menghadapi masalah-masalah hukum
tanpa membedakan bidang hukum apa yang sedang dihadapi dan jenis
hak asasi manusia apa yang dilanggar. Oleh karena itu, konsep bantuan
hukum yang tepat di Indonesia adalah konsep bantuan hukum responsif.
Bantuan hukum responsif adalah bantuan hukum yang diberikan kepada
fakir miskin secara cuma-cuma dan menyeluruh yang meliputi semua
bidang hukum dan hak asasi manusia demi mencapai keadilan dalam
kerangka mewujudkan persamaan di hadapan hukum bagi semua orang.
Konsep bantuan hukum responsif mengacu pada semua bidang hukum
dan jenis hak asasi manusia tanpa memprioritaskan bidang hukum dan
22
jenis hak asasi manusia tertentu, serta tanpa membedakan pembelaan
baik perkara individual maupun perkara kolektif.
Dengan penerapan bantuan hukum responsif menyebabkan
bertambahnya jumlah perkara yang akan masuk ke organisasi bantuan
hukum. Dilihat dari jumlah penduduk miskin (penduduk dengan
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia
pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), organisasi
bantuan hukum tentunya akan kewalahan dalam menangani perkara yang
jumlahnya sangat banyak, apalagi terbatasnya jumlah organisasi bantuan
hukum yang benar-benar menangani pro bono public. Oleh karena itu
pemberian bantuan hukum yang berintikan pada partisipasi masyarakat
adalah gagasan yang sangat baik dan diharapkan dapat membantu
penanganan jumlah perkara yang meningkat.
C. MEMBERDAYAKAN PARALEGAL
Salah satu upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam
pemberian bantuan hukum adalah dengan mencetak paralegal yang
dilatih agar memiliki ketrampilan di bidang hukum. Beberapa negara
telah melaksanakan hak atas bantuan hukum16, antara lain:
1. Belanda.
Belanda mengatur ketentuan bantuan hukum dalam UU tentang
Bantuan Hukum Tahun 1994, yang kemudian juga diamandemen
pada tahun 2004. Penerima bantuan hukum di Belanda adalah mereka
yang memiki kekayaan kurang dari jumlah tertentu. Bantuan Hukum
dilaksanakan oleh lembaga Independen yang bernama Legal Aid,
Advice & Assistance Centres (Pusat Bantuan, Nasehat dan Pembelaan
Hukum), dana untuk melaksanakan bantuan hukum berasal dari
dana publik. Adapun jenis perkara yang diberikan bantuan hukum
meliputi semua jenis perkara yang penerima bantuan hukumnya
memenuhi kriteria UU tentang Bantuan Hukum.
2. Afrika Selatan.
Hak atas bantuan hukum dijamin dalam konstitusi Afrika
Selatan, dalam Section 28 dan Section 35 The Constitution of South Africa.
Jaminan konstitusional ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Legal
Act No. 22 of 1969, South Africa Bill of Rights; Act 108 of 1999; Public
finance management act; Restitution of Land Rights; Security of Tenure dan
Criminal Procedure Act. Pelaksana dari undang-undang ini adalah Legal
23
Aid Board (LAB) yang bersifat independen dari Pemerintah. Adapun
sumber pendanaannya berasal dari anggaran negara.
3. Australia.
Bantuan hukum di Australia diakui dalam jurisprudensi dan
undang-undang negara bagian yang menciptakan Komisi Bantuan
Hukum. Untuk mendapatkan bantuan hukum, pemohon harus diuji
melalui tiga kriteria yaitu kriteria pendapatan (Means Test), kriteria
kelayakan perkara (Reasonableness Test) dan kriteria jenis perkara
(Kind of Cases).
Sehari-hari bantuan hukum dilaksanakan oleh pusat-pusat
pelayanan hukum masyarakat (Community Legal Centres) yang
dilaksanakan oleh NGO dan organisasi-organisasi masyarakat sipil
lainnya. Di seluruh Australia terdapat 214 pusat pelayanan hukum
masyarakat ini yang mempekerjakan 580 pekerja purna waktu, 662
pekerja paruh waktu dan 3.464 sukarelawan. Dalam lingkup yang lebih
luas, pusat pelayanan hukum masyarakat ini juga mengelola programprogram bantuan hukum di luar beracara di pengadilan. Lembaga ini
juga mengelola program pendidikan dan pelatihan hukum (Clinical
Legal Education) bersama-sama dengan fakultas hukum dari berbagai
universitas, program pendidikan hukum komunitas (Community Legal
Education) dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti penerbitan,
online resources, publikasi melalui radio, workshop dan sebagainya.
Lembaga ini juga aktif dalam melakukan advokasi dan reformasi
hukum secara keseluruhan. Selain disediakan oleh pusat pelayanan
bantuan hukum sebagaimana dijelaskan di atas, bantuan hukum juga
dilaksanakan secara aktif oleh advokat prodeo (pro bono lawyers) yang
tergabung dalam National Pro Bono Resource Centre, Public Interest
Law Clearing House atau dikelola sendiri oleh firma-firma hukum di
negara ini. Para advokat prodeo ini diperkirakan telah menyumbang
setidaknya 866.300 jam kerja untuk melaksanakan pendampingan
hukum gratis, 123.100 jam kerja untuk reformasi hukum dan
pendidikan hukum masyarakat dan membantu mengurangi beban
biaya pengacara sampai 536.700 jam kerja.
Program ini didanai oleh pemerintah federal Australia, pemerintah
negaranegara bagian sebesar $AU 9.700.000, dari persemakmuran
(Commonwealth) sebesar $AU 20.400.000 dan berbagai sumber dana
yang lain seperti universitas.
24
4. Taiwan
Pemerintah Taiwan mengundangkan Legal Aid Act tahun 2004
sebagai dasar bagi program bantuan hukum oleh pemerintah di negara
ini. Pelaksanaan ketentuan ini dibebankan kepada the Taiwan Legal
Aid Foundation yang didanai dengan dana publik namun dioperasikan
oleh masyarakat sipil. Dana untuk Taiwan Legal Aid Foundation ini
disediakan oleh Judicial Yuan, namun dikelola secara independen
oleh Taiwan Legal Aid Foundation. Dewan Direktur lembaga ini
beranggotakan lima orang pegawai pemerintah dan delapan orang
warga sipil yang empat orang di antaranya adalah advokat. Sekalipun
hampir setengah dari anggota dewan ini adalah pegawai pemerintah
namun independensinya tetap ditegakkan. Taiwan Legal Aid Foundation
menyediakan bantuan hukum yang komprehensif dan meluas dalam
wilayah perkara pidana, perdata dan administratif. Pendekatan
yang dilakukan adalah multi tasks legal aid yang berarti menyediakan
pelayanan konsultasi, penyusunan dokumen-dokumen hukum,
pendampingan dalam mediasi dan perdamaian, serta pendampingan
di depan persidangan.
Terdapat dua kelompok masyarakat yang berhak memanfaatkan
fasilitas ini yaitu masyarakat miskin dan mereka yang didakwa dalam
perkara-perkara yang harus didampingi (compulsory defense cases).
Ada dua syarat bagi masyarakat yang ingin menggunakan fasilitas
bantuan hukum bagi mereka yang secara finansial tidak mampu
sehingga layak untuk dibela yaitu: pendapatan/kekayaan mereka
harus sesuai dengan standar yang ditentukan dan tersedianya alasan
yang layak bagi perkara yang dimintakan pembelaannya. Sedangkan
untuk perkara yang harus didampingi (compulsory defense case)
kemampuan klien secara financial tidak boleh menjadi dasar untuk
menolak permohonan. Namun demikian kasus itu tetap dapat diuji
kelayakannya oleh tiga orang anggota Komite Penguji (Examining
Comittee) pada setiap kantor cabang. Komite ini beranggotakan
advokat, hakim atau jaksa setempat. Setelah wawancara dengan
pemohon, komisioner bermusyawarah untuk memutuskan apakah
akan memberikan bantuan hukum atau tidak.
Taiwan Legal Aid Foundation membayar honor advokat berdasarkan
kasus yang ditangani. Setiap kasus didanai sekitar 20,000 sampai
30,000 Dolar Taiwan, kasus-kasus yang lebih kompleks atau kasus
yang bertempat di tempat yang jauh dapat meminta penambahan
25
biaya sampai 40,000 Dollar Taiwan per perkara. Honor ini adalah
sekitar sepertiga dari dana yang umum dibayarkan dalam perkara
yang dibela oleh advokat privat. Taiwan Legal Aid Foundation juga
membayar biaya perkara dan biaya penting lainnya. Penerima dana
bantuan hukum umumnya tidak diminta mengganti uang yang telah
dikeluarkan oleh Taiwan Legal Aid Foundation namun jika ia menerima
ganti rugi lebih dari 500,000 Dolar Taiwan sebagai hasil dari bantuan
yang diberikan oleh Taiwan Legal Aid Foundation maka ia dituntut
untuk mengembalikan setidaknya sebagian dari dana bantuan yang
diberikan. Jika ganti rugi yang didapatkan mencapai 1,000,000 Dollar
Taiwan atau lebih maka klien diharapkan untuk membayar kembali
sepenuhnya.
5. Thailand
Section 242 Konstitusi Thailand menegaskan hak rakyat untuk
mendapatkan bantuan hukum dari negara. Thailand juga telah
meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang
memberikan jaminan untuk hak ini. Namun demikian tidak ada
undang-undang yang diturunkan dari ketentuan undang-undang
dasar ini. Saat ini Thailand masih memberlakukan sistem ExOfficcio Assigned Counsel System. Bantuan hukum dilaksanakan oleh
pengadilan, institusi negara termasuk kantor perdana menteri dan
kejaksaan agung, dan oleh Dewan Advokat Thailand (The Lawyers
Council of Thailand-LCT). Masing-masing lembaga itu menunjuk
advokat untuk membela terdakwa yang miskin dan bayaran advokat
yang ditunjuk diambil dari dana negara yang khusus dialokasikan
untuk tujuan ini.
Sistem ini menyediakan pembelaan terutama untuk perkara
pidana yang mewajibkan adanya pembela. Konstitusi mewajibkan
Negara untuk menyediakan bantuan hukum cuma-cuma mulai dari
pengusutan sampai pemeriksaan di pengadilan sebagai prasyarat
mutlak untuk keabsahan suatu pemeriksaan yang jika tidak dipenuhi
akan mengarah pada putusan pada tingkat banding. Pasal 173 Criminal
Procedural Code (CPC) mewajibkan pengadilan untuk menyediakan
pembela bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati.
Kewajiban ini juga ditetapkan jika terdakwa adalah terdakwa anak.
Sedangkan dalam perkara perdata, yang berhak mendapatkan
pendampingan hukum hanya mereka yang miskin.
26
Selain itu sebagian perkara ditangani oleh The Lawyers Council of
Thailand (LCT) yang dibentuk berdasarkan sebuah undang-undang
pada tahun 1985 sebagai organisasi profesi untuk praktisi hukum.
Advokat yang bergabung di LCT juga membela perkara yang menjadi
kepentingan umum, seperti perkara-perkara lingkungan hidup, hak
asasi manusia, dan perkara-perkara perlindungan konsumen dengan
bekerja sama dengan NGO. Sebagian dana yang dibutuhkan oleh LCT
yang juga melaksanakan bantuan hukum ini disubsidi dengan dana
yang disediakan oleh pemerintah sebesar US$ 1,3 juta per tahun.
D. REKOMENDASI
RUU tentang Bantuan Hukum telah disahkan pada saat Sidang
Paripurna DPR pada tanggal 4 Oktober 2011 dan dikenal dengan UU No.
16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Meskipun demikian, beberapa
hal tetap dapat menjadi rekomendasi dalam implementasi UU No. 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum nanti, yaitu tentang:
1. Penerima Bantuan Hukum
Penerima bantuan hukum dalam UU tentang Bantuan Hukum ini
adalah orang atau kelompok orang miskin yang menghadapi masalah
hukum di bidang keperdataan, pidana dan tata usaha negara baik litigasi
maupun non litigasi.17 Penerima bantuan hukum seharusnya juga diberikan
kepada kelompok rentan, merujuk pada Pasal 5 ayat (3) UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu : “Setiap orang yang termasuk kelompok
masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakukan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya”. Penelasan pasal tersebut menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat rentan antara lain,
orang lanjut usia, anak-anak, fakir-miskin, wanita hamil dan penyandang
cacat. Termasuk dalam kelompok rentan juga adalah buruh migran.
Bantuan Hukum seharusnya meliputi semua bidang hukum dan hak
asasi manusia, tidak dibatasi pada bidang hukum tertentu karena tidak
tertutup kemungkinan lapangan bidang hukum akan berkembang luas
di masa mendatang, dan sepanjang seseorang memenuhi kriteria sebagai
penerima bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam UU tentang
Bantuan Hukum maka ia berhak atas bantuan hukum dalam bidang
hukum apapun. Ketentuan yang membatasi bantuan hukum pada bidang
tertentu karena menganggap semua bidang hukum sudah diwadahi
dalam ketentuan tersebut dikhawatirkan menjadi kontroversi di masa
27
mendatang, karena itu sebaiknya bantuan hukum meliputi semua bidang
hukum.
Bantuan Hukum seharusnya tidak hanya terbatas pada bantuan
hukum yuridis-individual, namun juga meliputi, pemberdayaan
hukum masyarakat dan advokasi perubahan kebijakan publik sebagai
sarana partisipasi publik untuk terlibat dalam proses pengambilan dan
pemantuan kebijakan publik untuk mencegah lahirnya kebijakan yang
mengorbankan rakyat miskin dan kelompok rentan.
2. Penyelenggara Bantuan Hukum.
Penyelenggara bantuan hukum dilakukan oleh Pemerintah, dalam
hal ini Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia. Untuk verifikasi dan akreditasi
terhadap lembaga bantuan hukum dan organisasi kemasyarakatan yang
mempunyai layanan bantuan hukum dilakukan setiap 3 (tiga) tahun.
Verifikasi ini dilakukan oleh sebuah panitia yang dibentuk menteri
yang unsurnya terdiri dari kementerian, akademisi, tokoh masyarakat
dan lembaga atau organisasi yang memberi layanan bantuan hukum.18
Mengenai hal tersebut, maka selama ini sesungguhnya negara telah
mengalokasikan anggaran untuk bantuan hukum yang tersebar di setiap
kementrian/lembaga negara, bila anggaran tersebut dikumpulkan,
jumlahnya dapat mencapai Rp. 1,3 Trilyun, termasuk di dalamnya
anggaran bantuan hukum yang terdapat di Kementrian Hukum dan
HAM, Mahkamah Agung, Kepolisian dan Kejaksaan. Namun terbukti
bahwa pengelolaan dan penyalurannya selama ini tidak akuntabel,
tidak transparan dan sulit diakses oleh masyarakat, bahkan di beberapa
lembaga/pemerintah daerah tidak disalurkan untuk masyarakat namun
untuk aparat/pejabat yang terkena kasus hukum, misalnya menjadi
tersangka/terdakwa korupsi.
UU tentang Bantuan Hukum sebenarnya dimaksudkan untuk
menghimpun anggaran bantuan hukum yang tersebar selama ini. UU
tentang Bantuan Hukum juga dimaksudkan agar pengelolaan serta
penyalurannya tidak hanya bersifat sempit (yuridis-individual), namun
juga bersifat luas (pemberdayaan hukum masyarakat dan advokasi
kebijakan) secara sederhana, cepat, transparan, akuntabel, partisipasif dan
mudah diakses. Oleh karenanya bantuan hukum yang diselenggarakan
mencakup bantuan hukum secara luas tersebut, harus diselenggarakan
oleh lembaga independen. Lembaga-lembaga negara baik kementerian/
28
lembaga (khususnya yang memiliki kaitan dengan bantuan hukum)
selama ini dinilai oleh masyarakat belum mampu mewujudkan good
governance dan pelayanan publik yang prima, termasuk belum mampu
mengoptimalkan tugas dan fungsinya. Oleh karena itulah, penyerahan
tugas dan fungsi penyelenggara bantuan hukum kepada Kementerian/
Lembaga Negara yang telah ada (Kementerian Hukum dan HAM,
Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian) berpotensi besar menimbulkan
kesulitan (birokratisasi) bagi masyarakat dalam mengakses bantuan
hukum. Akses untuk mendapatkan bantuan hukum berpotensi besar
menjadi tidak transpan dan tidak akuntabel, menimbulkan conflict of
interest (terutama dalam hal bantuan hukum untuk menggugat kebijakan
negara) dan menambah beban berat bagi kementerian atau lembaga yang
ada.
Di beberapa negara yang semangat dan kadar demokrasinya cukup
tinggi, penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan oleh lembaga
independen (Misalnya, di Belanda, program bantuan hukum dilaksanakan
oleh Legal Aid, Advice & Assistance Centres (Pusat Bantuan, Nasehat dan
Pembelaan Hukum) yang merupakan lembaga independen dan didanai
dari dana publik, di Afrika Selatan jaminan bantuan hukum termuat
dalam Section 28 dan Section 35 The Constitution of South Africa dan diatur
lebih lanjut dalam Legal Aid Act No. 22 of 1969 yang mengamanatkan
dibentuknya suatu badan yang disebut Legal Aid Board (LAB) dan didanai
sepenuhnya oleh dana negara. Meskipun demikian, LAB yang didanai oleh
pemerintah tetap menjaga independensinya dari intervensi pemerintah.
Oleh karenanya, di dalam kerangka RUU tentang Bantuan
Hukum yang telah disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum, maka perlu terus dipantau dan diawasi dengan ketat
implementasinya agar tetap menunjukkan keberpihakan dan keseriusan
serta memperluas dan mempermudah akses bantuan hukum kepada
masyarakat sesuai dengan kecenderungan negara-negara demokrasi yang
melindungi hak-hak rakyat.
PENGESAHAN RUU TENTANG
BADAN PENYELENGGARA
JAMINAN SOSIAL
Langkah Maju Yang Perlu
Pengawasan Implementasinya
A. PENGANTAR
RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial telah disahkan
dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 28 Oktober 2011. Pengesahan
RUU dalam Sidang Paripurna yang berlangsung malam hari itu, disetujui
dengan aklamasi oleh semua fraksi yang ada di DPR. Hal ini merupakan
suatu langkah maju dalam sistem dan penyelenggaraan jaminan sosial di
Indonesia. Meskipun begitu, langkah maju tersebut tetap memerlukan
pengawasan dalam implementasinya nanti.
Jaminan sosial merupakan suatu kebutuhan yang dalam konstitusi
Indonesia pun terdapat secara tersirat. Dalam konstitusi, disebutkan
bahwa dibentuknya negara Republik Indonesia bertujuan untuk, yaitu
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan negara yang diatur dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut
ditegaskan kembali dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara Rupublik Indonesia Tahun
1945.
Untuk mewujudkan jaminan sosial rakyat Indonesia, dibangun
sistem jaminan sosial berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Tujuan dibangunnya sistem jaminan sosial
nasional adalah untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan
30
dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.
Sistem jaminan sosial nasional diselenggarakan berdasarkan pada asas
kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia serta sembilan prinsip yaitu:
1. Kegotong-royongan.
2. Nirlaba.
3. Keterbukaan.
4. Kehati-hatian.
5. Akuntabilitas.
6. Portabilitas.
7. Kepesertaan bersifat wajib.
8. Dana amanat.
9. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan
peserta.
Lima jenis program jaminan sosial meliputi:
1. Jaminan kesehatan.
2. Jaminan kecelakaan kerja.
3. Jaminan hari tua.
4. Jaminan pensiun.
5. Jaminan kematian.
Untuk menyelenggarakan kelima program jaminan sosial tersebut
dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial berdasarkan undang-undang
[Pasal 5 ayat (1)].
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor
007/PUU-III/2005 tentang permohonan Pengujian Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, ketentuan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Mahkamah Konstitusi berpendapat Ketentuan Pasal 5 ayat (1)
yang berbunyi “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan
undang-undang” tidak bertentangan dengan UUD 1945 asalkan ditafsirkan
bahwa yang dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah pembentukan
badan penyelenggara jaminan sosial tingkat nasional yang berada di
Pusat. Mahkamah Konstitusi berpendapat Pemerintahan Daerah untuk
membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara jaminan sosial
tingkat daerah dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional.
31
Berdasarkan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional dan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 007/
PUU-III/2005, maka pembentukan BPJS dapat dibentuk di tingkat pusat
maupun daerah dengan tetap mengacu pada asas dan prinsip dalam
sistem Jaminan Sosial Nasional.
Tidak hanya Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat melalui perkara No. 278/PDT.G/PN.JKT.PST mengabulkan
sebagian gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang amar putusannya
memerintahkan pemerintah dan DPR, untuk:
1. Segera mengundangkan UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, sesuai dengan perintah Pasal 5 ayat (1) UU No 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
2. Membentuk peraturan pemerintah dan peraturan presiden
sebagaimana diperintahkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
3. Melakukan penyesuaian terhadap 4 badan penyelenggara jaminan
sosial, yakni PT Jamsostek, PT Askes, PT Asabri, dan PT Taspen
untuk dikelola badan wali amanat dan dinikmati seluruh penduduk
Indonesia.
B. SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
Jaminan sosial bagi masyarakat Indonesia adalah hak yang harus
didapatkan oleh seluruh rakyat. Sebagai hak atas jaminan sosial,
seharusnya rakyat Indonesia mendapatkan hak tersebut dari pemerintah
dengan tetap memberi peran serta masyarakat untuk lebih meningkatkan
kesejahteraan dalam sistem jaminan sosial.
Pasal 28H UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak
atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagaimana manusia yang bermartabat”,
Pasal 34 UUD 1945 menyatakan, bahwa:
1. Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan.
3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
32
Terdapat dua hal penting yang dianut dalam UU No. 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang berhubungan dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yaitu:
1. Konsepsi jaminan sosial sebagai hak warga negara.
Dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, hak tersebut dihilangkan dan diganti dengan kewajiban
masyarakat untuk membayar iuran jaminan sosial. Pemerintah hanya
berperan memberi bantuan untuk kelompok masyarakat.
2. Sistem jaminan sosial yang dibangun lebih menekankan pada
kelompok masyarakat yaitu kelompok miskin dan pekerja formal.
Tidak ada perdebatan terhadap jaminan sosial untuk kelompok
miskin. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Perdebatan muncul berkaitan dengan jaminan sosial masyarakat bagi
orang yang dianggap mampu. Penafsiran Pasal 28H yang menyebutkan
Setiap orang berhak atas jaminan sosial… berhubungan dengan ketentuan
Pasal 34 ayat (2) : Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan dan Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak.
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
dan UU tentang BPJS yang telah disahkan menjadi UU No. 24 Tahun
2011 tentang BPJS, menyelenggarakan sistem jaminan sosial dalam dua
mekanisme yaitu sistem asuransi (jaminan) sosial dan bantuan sosial
pemerintah. Dua mekanisme ini pada dasarnya sama yaitu kewajiban
rakyat sendiri untuk mendapatkan jaminan sosial. Dalam sistem asuransi,
pemerintah membiarkan mekanisme jaminan sosial pada pengelolaan
berbasis mekanisme pasar. Pada bantuan sosial, Pemerintah memberikan
subsidi pada kelompok rakyat dalam membayar iuran.
Pasal 17 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional menyebutkan:
1. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan
berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal
tertentu.
2. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya,
menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan
33
iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara
berkala.
3. Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan
perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhandasar hidup yang
layak.
4. Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak
mampu dibayar oleh Pemerintah.
5. Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dibayar oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan.
6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bappenas dalam kajiannya menjabarkan bahwa sistem yang dianut
dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah
jaminan sosial dan bantuan sosial yang perkenalkan oleh PBB. Definisi
perlindungan sosial yang digunakan oleh PBB dalam “United Nations
General Assembly on Social Protection”, yaitu sebagai kumpulan kebijakan dan
program pemerintah dan swasta yang dibuat dalam rangka menghadapi
berbagai hal yang menyebabkan hilangnya ataupun berkurangnya
secara substansial pendapatan/gaji yang diterima; memberikan bantuan
bagi keluarga (dan anak) serta memberikan layanan kesehatan dan
permukiman. Secara lebih detail dijelaskan bahwa perlindungan sosial
memberikan akses pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan hakhak dasar manusia, termasuk akses pada pendapatan, kehidupan,
pekerjaan, kesehatan dan pendidikan, gizi dan tempat tinggal. Selain itu,
perlindungan sosial juga dimaksudkan sebagai cara untuk menanggulangi
kemiskinan dan kerentanan absolut yang dihadapi oleh penduduk yang
sangat miskin. Dengan demikian, perlindungan sosial menurut PBB dapat
dibagi menjadi dua sub-kategori yaitu bantuan sosial (social assistance) dan
asuransi sosial (social insurance). Bantuan sosial merupakan penyaluran
sumberdaya kepada kelompok yang mengalami kesulitan sumber daya;
sedangkan asuransi sosial adalah bentuk jaminan sosial dengan pendanaan
yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi. Nampaknya definisi inilah
yang kemudian diadopsi dalam penyusunan konsep Sistem Jaminan Sosial
Nasional.19 Dengan pengertian seperti itu maka perlindungan sosial di sini
memiliki beberapa prinsip dasar sebagai berikut:
1. Merupakan program publik yang bersifat wajib bagi seluruh warga
negara yang pengelolaanya dilakukan di bawah pengawasan negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
34
2. Perlindungan dasar untuk menjaga harkat dan martabat manusia.
3. Perlindungan untuk menanggulangi resiko sosial-ekonomis yang
berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara.
4. Berkelanjutan.
5. Lintas Sektor, dalam arti bahwa perlindungan sosial ini perlu
dilakukan melalui kerjasama dan koordinasi yang baik antar sektor
baik sektor ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, sosial, keuangan,
kependudukan, perindustrian, perdagangan, dan sektor terkait
lainnya.
Dari sisi jenis dan cara pembiayaan, perlindungan sosial ini mencakup
beberapa aspek sebagai berikut:
1. Jaminan sosial yang terdiri dari:
a. Asuransi Sosial, dimana seluruh warga negara membayar iuran/
premi guna membiayai kemungkinan terjadinya resiko sosialekonomi yang dialami dengan ciri-ciri antara lain kepesertaan
bersifat wajib bagi setiap warga negara dan dikelola dengan motif
not for profit (keuntungan dikembalikan kepada peserta).
b. Tabungan Hari Tua, dimana seluruh warga negara yang berusia
ekonomis (15-60 tahun) dan memiliki penghasilan diwajibkan
untuk menabung sejumlah tertentu untuk memupuk dana yang
akan digunakan sebagai tunjangan hari tua baik berupa tunjangan
paska karya maupun uang pensiun
2. Bantuan sosial, dimana negara memberikan bantuan sosial (subsidi)
kepada setiap warga negara yang mengalami resiko sosial ekonomi
sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya baik
berupa pangan, sandang, papan, kesehatan maupun pendidikan.
Pada sisi lain, jaminan sosial untuk kelompok lain yang diutamakan
dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS adalah kelompok masyarakat
pekerja formal. Data statistik BPS tahun 2010 menunjukkan bawah jumlah
penduduk Indonesia adalah 237.641.326. Dari jumlah tersebut, terdapat
172.070.339 penduduk angkatan kerja. Dari jumlah penduduk angkatan
kerja tersebut hanya terdapat 32.521.517 pekerja formal (buruh/karyawan/
pegawai). Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah pekerja formal hanya
30,05 % dari jumlah penduduk angkatan kerja atau hanya 13,7% dari total
penduduk Indonesia. Sementara itu, kelompok masyarakat lain yang lebih
besar presentasianya belum menjadi prioritas penyelenggaraan jaminan
sosial.20
35
UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS masih menyisakan banyak
permasalahan penyelesaian peleburan pelaku asuransi yang ada saat ini
yaitu PT Jamsostek, PT Askes, PT Asabri, dan PT Taspen menjadi BPJS yang
pada saat ini lebih banyak mengelola uang asuransi para pekerja formal.
Pada hal, dalam praktinya, Jamsostek misalnya, hanya bisa mencakup
sekitar 7,7 juta orang dari total sekitar 32.521.517 juta orang yang bekerja
di sektor formal. Hal demikian menunjukkan bahwa pengelolaan sistem
asuransi selama ini jauh dari amanah UUD 1945 yang harus memberikan
jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS berpotensi tidak membangun
mekanisme penyelenggaraan jaminan sosial bagi kelompok masyarakat
di luar pekerja formal dan kelompok. Sistem Jaminan Sosial seharusnya
menjamin seluruh rakyat Indonesia. Tahapan penyelenggaraan jaminan
sosial dilakukan secara bertahap dalam besar, kelompok, dan waktu yang
dapat diukur.
Selama ini, Pemerintah pusat dan daerah juga telah melaksanakan
beberapa program perlindungan sosial, antara lain: Sebagaimana
diuraikan di atas, jenis manfaat yang selama ini diberikan oleh badan
pengelola adalah sebagai berikut:
1. PT Jamsostek, manfaat yang diberikan antara lain Jaminan Kecelakaan
Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, dan
Jaminan Hari Tua.
2. PT Askes, manfaat yang diberikan berupa asuransi kesehatan dengan
cakupan pelayanan antara lain meliputi Rawat Jalan, Rawat Inap,
Persalinan dan sebagainya.
3. PT Taspen, manfaat yang diberikan berupa Dana Pensiun dan
Tabungan Hari Tua (THT). Disamping itu, pada saat ini PT. TASPEN
juga membayarkan beberapa skema lainnya seperti Asuransi Kematian;
Uang Duka Wafat; Bantuan untuk Veteran; dan Uang TAPERUM dari
BAPERTARUM.
4. PT ASABRI .
5. PT Jasa Raharja, memberikan santunan kepada masyarakat dari
kerugian akibat kecelakaan atau musibah saat menggunakan
transportasi umum.
6. Bantuan Kesejahteraan Sosial.
7. Bantuan Sosial Kesehatan Keluarga Miskin antara lain diarahkan
untuk memberikan pelayanan kesehatan secara murah dan gratis
kepada penduduk miskin baik dalam bentuk pelayanan langsung
36
(seperti imunisasi, pos pelayanan terpadu (posyandu) bagi balita,
posyandu bagi lansia, sanitasi lingkungan dan sebagainya) maupun
dalam bentuk pembiayaan kesehatan seperti kartu sehat/ kartu
miskin dan Jaminan Pemelirahaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK
Gakin) dan lain sebagainya.
8. Bantuan Sosial Pendidikan Bagi Keluarga Miskin.
9. Bantuan Sosial Ketenagakerjaan.
10. Pemberdayaan rakyat miskin, dan lain-lain.
11. Perlindungan sosial oleh pemerintah daerah
a. Di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, programprogram yang berhubungan dengan perlindungan sosial berada
pada beberapa dinas, yaitu Dinas Kesehatan, Kesejahteraan Sosial,
Transmigrasi dan Tenaga Kerja, dan Pendidikan Nasional.
b. Kabupaten Sidoarjo Di bidang kesehatan pelayanan kesehatan
membutuhkan dana Rp 3 miliar per tahun untuk pelayanan
kesehatan gratis di puskesmas bagi 450 ribu kepala keluarga.
Namun demikian dari segi pendanaan belum mencukupi
karena saat ini total APBD saat ini hanya Rp 5 miliar. Untuk itu,
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, yaitu pada tahun 2003,
telah dilakukan uji coba pelaksanaan JPKM di satu kecamatan.
Biaya yang diperlukan untuk memperoleh Pelayanan dasar di
Puskesmas adalah Rp. 2000 setiap KK dan dibayarkan kepada
Badan Pelaksana JPKM di Kab Sidoarjo. Sebagai perbandingan
bila penyelenggaraan melalui ASKES memerlukan biaya Rp.
15.000 setiap KK.
c. Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai pelayan masyarakat
senantiasa berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
berbagai program yang telah dilaksanakan antara lain adalah
program JPS bidang pendidikan dalam bentuk pemberian
beasiswa, BKS, dan DBO; program bantuan sosial; pengelolaan
program kesehatan; dan program jaminan sosial tenaga kerja.
Di samping itu telah dikembangkan juga berbagai sistem Tidak
semua program perlindungan sosial diatas menjadi program
BPJS.
Sesuai ketentuan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, hanya lima program yang menjadi program BPJS. Oleh
karena itu, BPJS harus mengintegrasikan semua program jaminan sosial
yang ada saat ini di luar program yang dikelola PT Jamsostek, PT Askes,
PT Taspen, PT ASABRI.
37
C. STATUS HUKUM, DAN KELEMBAGAAN BPJS.
Sesuai dengan yang tersebut di atas, maka dalam hal ini terdapat
hal yang penting untuk dibahas dan diawasi implementasinya dalam
pembentukan BPJS nanti, yaitu status hukum, dan kelembagaan
(kepengurusan dan pertanggungjawaban pengurus, serta pengelolaan
dana amanat) BPJS.
1. Status Hukum BPJS
Perdebatan status subyek hukum BPJS setidak-tidaknya menawarkan
kepada masyarakat dua opsi yakni sebagai berikut:
a. Badan hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bersifat privat,
Perum atau Persero (BUMN);
b. Badan Hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bersifat publik
seperti lembaga negara atau badan hukum pendidikan atau badan
hukum wali amanat.
Dalam menentukan status hukum BPJS, maka harus mendasarkan
pada 9 (Sembilan) prinsip dalam membangun sistem jaminan sosial
nasional yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Setidaknya, terdapat tiga prinsip yang menjadi
ukuran penentuan status hukum BPJS yaitu prinsip nirlaba, prinsip dana
amanat dan prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan
seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar
kepentingan peserta. Ketiga prinsip tersebut menjadi jiwa dalam
menentukan status hukum BPJS yaitu:
1. BPJS dalam mengelola usaha tidak berorientasi pada keuntungan BPJS
dan memberatkan peserta tetapi mengutamakan penggunaan hasil
pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi seluruh peserta.
2. Iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari
peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta
jaminan sosial.
3. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial tidak untuk pemegang saham
atau para pengelola BPJS. Hasil pengelolaan dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan
peserta.
Berdasarkan dua prinsip tersebut dengan sendirinya menolak
status hukum BPJS sebagai Persero Terbatas atau bentuk usaha milik
38
negara seperti BUMN (Persero). Hal tersebut disebabkan karena hasil
pengelolaan BUMN menggunanakan prinsip-prinsip mencari keuntungan
perusahaan.
Pemilihan bentuk badan hukum Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dalam RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesungguhnya
harus didasarkan sekurang-kurangnya:
1. Besarnya manfaat yang diterima seluruh rakyat Indonesia sebagai
peserta;
2. Minimnya resiko yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia
bilamana terjadi abuse of power (penyalahgunaan wewenang);
3. Besarnya peranan pemerintah di dalamnya. Sebab bagaimanapun
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah lembaga yang menguasai
hajat hidup orang banyak.
2. Kelembagaan BPJS
Bentuk kelembagaan BPJS yang disepakati dengan disahkannya
UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS ialah multi. Semula terdapat usulan
DPR bahwa bentuk BPJS mengarah pada bentuk tunggal yang mencakup
dan mengelola 5 (lima) jaminan sosial, yaitu: jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan
kematian. Sementara itu, dalam usulan Pemerintah, pembentukan BPJS
tidak tunggal tetapi lebih dari satu BPJS. Menjelang akhir Oktober 2011,
disepakati bahwa bentuk kelembagaannya ialah multi, dalam arti terdapat
2 BPJS yaitu BPJS bidang kesehatan dan BPJS bidang ketenagakerjaan.
Pada tahap awal (sebelum pengesahan UU tentang BPJS) Pemerintah
mengusulkan untuk dibentuk 2 (dua) kelompok BPJS. Pada tahap
selanjutnya, dalam hal dianggap perlu, Pemerintah mengusulkan agar
dapat dibentuk BPJS baru dengan Undang-Undang. Pada tahap awal
Pembentukan 2 (dua) kelompok BPJS tersebut didasarkan pada durasi
risiko dan pengelolaan dana yang menjadi karakteristik program-program
Jaminan Sosial, yaitu:
a. BPJS Kesehatan, Kecelakaan Kerja, dan Kematian yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan, program Jaminan
Kecelakaan Kerja, dan program Jaminan Kematian; dan
b. BPJS Ketenagakerjaan yang melingkupi Pensiun dan Hari Tua yang
menyelenggarakan program Jaminan Pensiun dan program Jaminan
Hari Tua.
39
Pembentukan BPJS itu sendiri, selain merujuk pada UU tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, juga harus merujuk pada putusan Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah dapat
membentuk BPJS Daerah berdasarkan Peraturan Daerah. Berdasarkan pada
putusan Mahkamah Konstitusi, maka dengan sendirinya pembentukan
BPJS tunggal sulit dilakukan. Hal ini karena Pemerintah Daerah dapat
membentuk BPJS Daerah berdasarkan Perda.
Berdasarkan pada putusan tersebut, maka selain mengacu pada
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan
sendirinya pembentukan BPJS harus mengacu pada UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya menentukan 6 (enam) urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah pusat, yaitu:
1. Politik luar negeri.
2. Pertahanan.
3. Keamanan.
4. Yustisi.
5. Moneter dan fiskal nasional.
6. Agama.
Sesuai Ketentuan Pasal 22 dan Pasal 167, Pemerintah Daerah
berkewajiban pengembangan jaminan sosial. Berdasarkan katentuan
pasal-pasal UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut,
pada dasarnya, pengembangan jaminan sosial merupakan kewajiban
daerah. Meski demikian, Negara dalam hal ini Pemerintah Pusat sesuai
amanat konstitusi berkewajiban mewujudkan kesejahteraan sosial.
a. Kepengurusan dan Pertanggungjawaban Pengurus BPJS
Menurut UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, badan yang turut mengembangan dan penyelenggara sistem
jaminan sosial adalah Dewan Sistem Jaminan Sosial dan BPJS.
a.1.Dewan Sistem Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
Berdasarkan undang-undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, terdapat dua badan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan sistem jaminan sosial yaitu Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). DJSN
sebagai pembuat kebijaksanaan umum dan sekaligus sebagai pengawas;
40
Kebijakan tentang dibentuknya multi BPJS maka peran Dewan
Jaminan Sosial Nasional dalam penyelenggaraan jaminan sosial sangat
penting. Dewan Jaminan Sosial Nasional berfungsi merumuskan kebijakan
umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional
yang berwenang melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
program jaminan sosial dan bertugas:
1. Melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial;
2. Mengusulkan kebijakan investasi dana Jaminan Sosial nasional ; dan
3. Mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran
dan tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah.
Dalam Pasal 10 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional disebutkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dewan Jaminan
Sosial Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Selain DJSN,
dalam menyelenggarakan jaminan sosial dibentuk BPJS. BPJS merupakan
lembaga independen yang mengelola dana amanat. Organ pelaksana BPJS
terdiri dari Dewan BPJS dan Direksi Pelaksana.
a.2. BPJS
Sebagai badan hukum publik independen, BPJS tidak berada di
bawah salah satu kementerian negara. BPJS bertanggung jawab langsung
kepada presiden. BPJS dalam melaksanakan tugasnya juga menyampaikan
laporan pertanggung jawaban secara berkala dan transparan kepada :
Masyarakat /publik, DPR, dan BPK.
Pelaksanaan tugas dan kewenangan BPJS dilaksanakan oleh dua
organ yaitu Dewan Pengawas BPJS dan direksi pelaksana BPJS.
a.2.1. Dewan Pengawas BPJS
Dewan Pengawas BPJS merupakan organ BPJS yang bertugas
melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengurusan BPJS oleh direksi
dan memberikan nasihat kepada direksi dalam penyelenggaraan program
Jaminan Sosial. Dewan Pengawas BPJS berfungsi melakukan pengawasan
atas pelaksanaan tugas BPJS.
Keanggotaan Dewan Pengawas BPJS berasal dari Pemerintah dan
Masyarakat, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dewan Pengawas BPJS terdiri dari 7 orang yang terdiri dari :
41
a. 2 (dua) orang unsur Pemerintah.
b. 2 (dua) orang unsur Pekerja, dan
c. 2 (dua) orang unsur Pemberi Kerja, serta
d. 1 (satu) orang unsur tokoh masyarakat.
Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud di atas diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden.
2. Dalam menjalankan fungsinya, Dewan Pengawas BPJS bertugas
untuk:
a. Melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan
kinerja Direksi.
b. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan dan
pengembangan Dana Jaminan Sosial oleh Direksi.
c. Memberikan saran, nasihat, dan pertimbangan kepada Direksi
mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS; dan
d. Menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan
Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden dengan
tembusan kepada DJSN.
3. Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Pengawas BPJS berwenang
untuk:
a. Menetapkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS.
b. Mendapatkan dan/atau meminta laporan dari Direksi.
c. Mengakses data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS.
d. Melakukan penelaahan terhadap data dan informasi mengenai
penyelenggaraan BPJS; dan
e. Memberikan saran dan rekomendasi kepada Presiden mengenai
kinerja Direksi.
a.2.2. Direksi Pelaksana
Direksi Pelaksana merupakan organ eksekutif. Direksi terdiri atas
paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur profesional.
Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Presiden
menetapkan salah seorang dari anggota Direksi) sebagai direktur utama.
Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diusulkan untuk diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya.
Direksi berfungsi melaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS yang menjamin Peserta untuk mendapatkan Manfaat sesuai
42
dengan haknya. Dalam menjalankan fungsinya, Direksi bertugas untuk:
1. Melaksanakan pengelolaan BPJS yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.
2. Mewakili BPJS di dalam dan di luar pengadilan; dan
3. Menjamin tersedianya fasilitas dan akses bagi Dewan Pengawas untuk
melaksanakan fungsinya.
Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi berwenang untuk:
1. Melaksanakan wewenang BPJS.
2. Menetapkan struktur organisasi beserta tugas pokok dan fungsi, tata
kerja organisasi, dan sistem kepegawaian;
3. Menyelenggarakan manajemen kepegawaian BPJS termasuk
mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai BPJS
serta menetapkan penghasilan pegawai BPJS.
4. Mengusulkan kepada Presiden penghasilan bagi Dewan Pengawas
dan Direksi.
5. Menetapkan ketentuan dan tata cara pengadaan barang dan jasa
dalam rangka penyelenggaraan tugas BPJS dengan memperhatikan
prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
6. Melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Dewan Pengawas.
7. Melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Presiden; dan
8. Melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
b. Pengelolaan Dana Amanat
Dalam hal pengelolaan dana amanat, yang penting untuk diawasi
implementasinya ialah mengenai aset dan pengelolaan dana itu sendiri.
b.1. Aset BPJS
Sebagai lembaga independen yang mengelola dana jaminan sosial,
dilakukan pemisahan aset BPJS. Aset BPJS bersumber dari:
43
1. Modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;
2. Hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang
menyelenggarakan program jaminan sosial;
3. Hasil pengembangan aset BPJS;
4. Dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau
5. Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Modal awal dari pemerintah merupakan dana dari pemerintah
yang diberikan untuk biaya kerja, operasional, dan pengelolaan BPJS.
Modal awal dari pemerintah bukan merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan seperti hanya kekayaan negara yang ada di BUMN (persero).
Modal awal dari pemerintah dapat dijadikan aset tetap BPJS. Selain modal
awal dari Pemerintah, biaya operasional dan penambahan aset tetap milik
BPJS dapat diambil dari hasil pengelolaan dana jaminan sosial dan iuran
peserta pertahun.
Dengan demikian, selain aset tetap BPJS Dana Jaminan Sosial bukan
merupakan kekayaan BPJS. BPJS wajib memisahkan kekayaan BPJS dan
kekayaan Dana Jaminan Sosial.
Aset BPJS tersebut di atas, dapat digunakan untuk:
1. Biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial.
2. Biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung
operasional penyelenggaraan Jaminan Sosial.
3. Biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan; dan
4. Investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
b.2. Pengelolaan
Empat prinsip penting yang menjadi acuan pengelolaan dana amanat
jaminan sosial sesuai ketentuan Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah :
1. Dana yang dikelola adalah dana amanat,
Dikelola dengan prinsip dana amanat mempunyai arti bahwa
dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada
badan-badan penyelenggara untuk dikelola dengan sebaik-baiknnya
dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan
peserta.
44
Pengelolaan bersifat nirlaba.
Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari
laba (nirlaba) bagi BPJS. Pengelolaan harus member keuntungan dan
keuntungan atau laba tersebut untuk memenuhi sebesar-besarnya
kepentingan peserta. Surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan peserta.
2. Kehati-hatian.
Prinsip kehati-hatian, keterbukaan, akuntabilitas, efisiensi dan
efektivitas merupakan prinsip yang terkait dengan manajemen dan
diterspkan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal
dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
3. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan
peserta.
Segala hasil pengelolaan dana jaminan sosial ini adalah
dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Dengan demikian, pengelolaan dana jaminan sosial dapat dikembangkan dan mendapatkan keuntungan tetapi keuntungan tersebut bukan
untuk Aset BPJS seperti yang terjadi pada BUMN saat ini. Keuntungan
pengelolaan dikembalikan kepada peserta dan pengembangn program.
D. PERAN DAN KETERLIBATAN PEMERINTAH
DALAM KEPENGURUSAN DAN PENGELOLAAN
DANA PADA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
Terkait peran pemerintah, selain pada proses pemilihan ketua
BPJS yang juga melibatkan DPR, maka dapat dilihat pada mekanisme
pengangkatan dan pemberhentian dari Anggota Dewan BPJS dan Direktur
pelaksana yang kewenangannya ada pada Presiden.
Peran pemerintah juga dapat dilihat pada pendanaan awal dari BPJS.
DPR dan Pemerintah menyepakati bahwa sumber pendanaan BPJS berasal
dari Pemerintah. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan jaminan sosial,
pemerintah harus mempunyai peran dominan dan besar yakni dalam
bentuk:
1. Memberikan modal awal sebagai aset Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dalam bekerja;
45
2. Membayar dan menanggung iuran wajib kepesertaan bagi rakyat
miskin dan tidak mampu.
Dalam kondisi tertentu, Pemerintah harus mengambil langkahlangkah penyelematan jika terjadi kondisi yang tidak mengarah pada
penurunan kinerja BPJS yang berdampak pada penyelenggaraan sistem
jaminan sosial nasional. Intervensi pemerintah menjadi penting untuk
menyelamatkan dana amanat dan tetam menjamin peserta mendapatkan
jaminan sosial.
E. REKOMENDASI
Jaminan Sosial seharusnya menjamin seluruh rakyat Indonesia.
Perintah baru melaksanakan perlindungan kepada rakyat miskin dan
pekerja formal. Selain, program yang dikelola PT Jamsostek, PT Askes,
PT Taspen, PT ASABRI, saat ini Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
juga mengembangkan sistem jaminan sosial lain seperti: Bantuan Sosial
Kesehatan Keluarga Miskin bentuk pembiayaan kesehatan seperti kartu
sehat/kartu miskin dan Jaminan Pemelirahaan Kesehatan Keluarga Miskin
(JPK Gakin) dan lain sebagainya. Oleh kerena itu, maka berdasarkan
sembilan prinsip sistem jaminan sosial nasional yang diatur dalam UU
No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, maka status
badan hukum BPJS tepat jika disebutkan sebagai badan hukum publik
dan bukan badan hukum privat atau BUMN.
Pelaksana sistem jaminan sosial dilaksanakan oleh:
1. Dewan Jaminan Sosial Nasional, yang tugas melakukan pengawasan
dan membuat kebijakan umum pelaksanaan sistem jaminan sosial
2. BPJS, sebagai badan pelaksana Jaminan Sosial. Organ BPJS terdiri
dari
a. Pimpinan BPJS, berasal dari Pemerintah dan masyarakat melalui
mekanisme pemilihan di DPR melalui seleksi yang dilakukan oleh
Dewan JSN.
b. Direksi pelaksana dan Pegawai BPJS yang diangkat PResiden
berdasarkan usulan Pimpinan BPJS.
Pemerintah memegang peran penting pengembangan sistem
jaminan sosial masyarakat. Meski BPJS bukan kementerian negara tetapi
lembaga non struktural di bawah Presiden, tetapi pemerintah berperan
dalam menempatkan wakil pemerintah di Pimpinan BPJS, mengangkat
46
dan memberhentikan Direksi Pelaksana BPJS, serta memberikan tindakan
khusus untuk menjamin terselenggaranya jaminan sosial.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cukup tepat apabila
dilakukan:
1. BPJS harus mengintegrasikan semua program jaminan sosial yang ada
saat ini baik yang dikelola oleh PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen,
PT ASABRI maupun program lain di luar empat BUMN.
2. Untuk mewujudkan adanya BPJS yang berbentuk badan hukum
publik, maka sudah seharusnya PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen,
PT ASABRI menjadi BPJS dengan status badan hukum publik.
Keberadaan BPJS tidak menghapus masyarakat yang mampu untuk
menyerahkan jaminan sosial pada mekanisme asuransi komersial.
3. Kepesertaan dalam jaminan sosial berlaku bagi seluruh rakyat
Indonesia, tanpa perkecualian.
4. Pemerintah harus memberikan modal awal kepada BPJS dan
membayar iuran wajib kepesertaan rakyat miskin dan tidak mampu.
PENGESAHAN RUU TENTANG
PERUBAHAN UU TENTANG
KOMISI YUDISIAL
Instrumen Penting Perekrutan Hakim, Serta
Menjaga Kehormatan, Keluhuran,
Kemandirian Dan Perilaku Hakim
A. PENGANTAR
Setelah melalui perjalanan panjang yang diwarnai dengan perdebatan
mengenai wewenang Komisi Yudisial, pada tanggal 10 Oktober 2011, DPR
mengesahkan RUU tentang Perubahan UU tentang Komisi Yudisial dalam
Sidang Paripurna DPR. Dengan RUU ini, kembali diteguhkan penguatan
kembali Komisi Yudisial dengan suatu instrumen penting perekrutan hakim
serta menjaga kehormatan, keluhuran, kemandirian dan perilaku hakim.
Penguatan kembali atau rekonsolidasi Komisi Yudisial pasca putusan
“amputasi” kekuasaan pengawasan hakim, diperlukan di tengah masih
maraknya penyalahgunaan kekuasaan di lembaga kekuasaan kehakiman,
dan di sisi yang lain semakin menggumpalnya pengharapan masyarakat
pada pengadilan yang bersih. Kehadiran Komisi Yudisial sebagai
pengawas dan penjaga serta penegak kehormatan, keluhuran martabat
serta perilaku hakim, diharapkan dapat mengikis habis mafia peradilan
yang menghilangkan akses keadilan bagi masyarakat dan pencari keadilan
untuk mendapatkan peradilan yang jujur dan tidak memihak.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang “mengamputasi” kewenangan
Komisi Yudisial menjaga dan menegakkan nilai-nilai profesi hakim
(Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006) berintisarikan
sebagai berikut:
1. Perumusan Pasal 13 huruf b dan Pasal 20 UU No. 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda sehingga
menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam UU No. 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial yang menimbulkan ketidakpastian
hukum (“rechtsonzekerheid”);
2. UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terbukti tidak rinci
mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas
48
menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi,
instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan
itu dilaksanakan. Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan
mengenai pengawasan dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial serta perbedaan dalam rumusan kalimat di atas menyebabkan
semua ketentuan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
tentang pengawasan menjadi kabur (“obscuur”) dan menimbulkan
ketidakpastian hukum (“rechtsonzekerheid”) dalam pelaksanaannya;
3. Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UU No. 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial didasarkan atas paradigma konseptual yang
tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial berada dalam pola hubungan “checks and balances”
antar cabang kekuasaan dalam konteks ajaran pemisahan kekuasaan
(“separation of powers”), sehingga menimbulkan penafsiran yang juga
tidak tepat, terutama dalam pelaksanaannya. Jika hal ini dibiarkan
tanpa penyelesaian, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan
antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung akan terus berlangsung
dan kebingungan dalam masyarakat pencari keadilan akan terus
meningkat, yang pada gilirannya juga dapat mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya semakin tidak
dipercaya.
Putusan tersebut cukup mengagetkan karena kekuatan awal Komisi
Yudisial terletak pada “peran pengawasannya” terhadap pengadilan.
Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk menghapus intervensi atau
pengaruh campur tangan kekuasaan pemerintah dan pemilik modal yang
begitu jelas terlihat dan terasa dalam lembaga pengadilan. Seolah-olah
yang terjadi, pengadilan subordonasi kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
sumber daya ekonomi dan politik.
Mengembalikan kekuasaan Komisi Yudisial seperti sediakala
memang tidaklah mudah di tengah derasnya perlawanan balik mafia
hukum (“mafioso fight back”), bahkan terkesan pemerintah dan DPR sendiri
menginginkan kekuasaan kehakiman terus menerus dalam “status quo”
atau mati suri, padahal Mahkamah Konstitusi telah memberikan amanat
perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang harus
ditaati Presiden dan DPR. Amanat perubahan itu mempunyai substansi
mengupayakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri dari
dimensi personal, substansi maupun prosedural (“the independence of
judiary”), yang mana dapat diwujudkan jika pengawasan Hakim Agung,
hakim pengadilan tinggi dan hakim pengadilan negeri dapat berjalan
efisien, efektif, transparan dan adil dengan mengacu “code of judicial ethics
49
atau code of judicial conduct”.
Keberadaan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan adalah
melakukan reformasi kekuasaan kehakiman khususnya soal pengawasan
dan perekrutan calon hakim agung yang masih belum baik. Sebagaimana
diketahui, dampak dari ketidakberesan kedua hal tersebut, membuat
tugas dan fungsi kekuasaan kehakiman beralih menjadi alat legitimasi
kekuasaan eksekutif dan terjerembab dalam perilaku korupsi dan
manipulasi. Keinginan penguatan Komisi Yudisial sejak sebelum tahun
2011 telah nampak, di mana perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas),
artinya perubahan tersebut akan segera disahkan pada tahun 2010.
Namun, dalam praktiknya, pengesahan dilakukan tahun 2011. Terlepas
dari pelbagai alasan yang sudah dimunculkan ke masyarakat, nampaknya
jika melihat ke belakang, muncul kesan bahwa (pemerintah dan DPR)
tidak terlalu aktif dan lebih memprioritaskan perubahan UU lainnya.
Pengesahan UU Paket Kekuasaan Kehakiman minus RUU tentang Komisi
Yudisial pada tahun 2010 dilihat dari perspektif reformasi kekuasaan
kehakiman ialah mendistorsi reformasi peradilan itu sendiri dan amanat
putusan Mahkamah Konstitusi, karena Komisi Yudisial adalah salah satu
penunjang dalam kekuasaan kehakiman (“the state auxiliary body”) atau
bagian rumpun kekuasaan kehakiman.
Menjelang pembahasan RUU tentang Komisi Yudisial di tahun 2011,
terdapat isu-isu krusial atau strategis yang mengemuka yang antara lain
mengenai:
1. Kesekretariatan Jenderal dan Deputi;
2. Uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Agung;
3. Seleksi calon Hakim Agung;
4. Penjatuhan sanksi dan Majelis Kehormatan Hakim (MKH);
5. Pembentukan Komisi Yudisial di daerah;
6. Penerimaan pengaduan dan mekanisme pemeriksaan;
7. Kekuasaan penyadapan dan pemanggilan saksi-saksi, pelapor dan
terlapor (penyelidikan dan pemeriksaan);
8. Upaya paksa dalam penyelidikan dan pemeriksaan;
9. Kerjasama (“partnership”) Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung di
dalam pembinaan hakim.
Isu-isu krusial tersebut bersinggungan dengan berbagai undangundang di bidang kekuasaan kehakiman yang telah terlebih dahulu disahkan
pemerintah dan DPR. Undang-undang tersebut ialah UU No. 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
50
tentang Mahkamah Agung, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
kehakiman, UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.
2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang tersebut seyogianya
memuat soal-soal pengawasan yudisial, perekrutan, sanksi dan mekanisme
penjatuhan sanksi atas pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim
serta wewenang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Pengesahan undang-undang dalam lingkungan kekuasaan kehakiman
(“judicial power”) lebih awal dari RUU tentang Perubahan UU No. 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menandakan tidak harmonisnya
dengan semangat reformasi kekuasaan kehakiman. Pengesahan awal itu
“menyandera atau mengunci” RUU tentang Perubahan UU No. 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial sehingga tidak dapat dirancang seoptimal
mungkin sebuah substansi atau materi peraturan yang memperkuat
pengawasan dan perekrutan hakim serta pembersihan dunia peradilan
dari praktik-praktik mafia hukum. Alangkah arifnya bilamana seluruh
undang-undang di dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman dibahas
dan disahkan bersamaan, dengan begitu sinergitas independensi hakim,
perekrutan hakim dan menjaga serta mengawasi perilaku hakim dapat
tercapai.
Hal tersebut perlu digarisbawahi karena Komisi Yudisial sejak
awal pembentukannya sebagai lembaga negara dalam ranah kekuasaan
kehakiman bersama Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,
diberikan tugas konstitusional memperkuat kekuasaan kehakiman yang
begitu terpuruk pasca orde baru karena sistem yang dibangun tidak
berjalan baik dan lemah. Perilaku hakim pun cenderung korup dan
budaya hukum masyarakat yang rendah untuk menghargai dan menaati
independensi institusi peradilan. Meskipun demikian, pada akhirnya
disahkannya juga RUU tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial yang dikenal dengan UU No. 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tetap patut
mendapatkan respon positif.
B. POTENSI PERMASALAHAN DALAM PEREKRUTAN CALON HAKIM AGUNG
Hakim yang ideal selain memiliki kecerdasan yang tinggi, dia harus
memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai keadilan, mampu mengintegrasi-
51
kan nilai-nilai agama, kesusilaan, sopan santun serta adat-istiadat ke dalam
hukum positif yang tercermin dalam setiap putusan yang dilahirkannya.
Seorang hakim juga harus mempunyai moral dan integritas yang tinggi.21
Hakim yang demikian hanya dapat lahir dari suatu sistem yang baik.
Mantan Menteri Kehakiman Belanda, Odette Buitendam menyatakan
bahwa “good judges are not born but made”, yaitu melalui suatu sistem
perekrutan, seleksi dan pelatihan yang baik. Perekrutan serta seleksi yang
baik adalah perekrutan dan seleksi yang mengedepankan prinsip-prinsip
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, “right to man on the right place”,
objektivitas dan sebagainya22.
Dalam rangka mewujudkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman,
kewenangan perekrutan calon Hakim Agung dan pengawasan dialihkan
menjadi kewenangan Komisi Yudisial (Pasal 24B ayat (1) UUD 1945).
Sebelumnya, menurut UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, perekrutan calon Hakim Agung dilakukan Presiden dan DPR
serta Mahkamah Agung dengan tidak melibatkan masyarakat. Dalam
praktiknya, perekrutan itu dilakukan dalam bentuk dan mekanisme
yang tertutup, cenderung menjauh dari prinsip-prinsip akuntabilitas,
transparansi, dan partisipasi. Dengan begitu, hakim agung yang terpilih
seringkali tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Begitu pun dengan
pengawasannya yang berada pada Mahkamah Agung yang pada saat
itu cenderung menjauh dari prinsip-prinsip transparansi dan partisipasi
masyarakat.
Hal tersebut di atas karena ketentuan di dalam UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (sebelum diubah pasca 1998) mengaturnya
demikian. Hal ini terlihat di dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) berbunyi:
Ayat (1) : “Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala
Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat”.
Ayat (2) : “Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat (1) diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah Dewan
Perwakilan Rakyat mendengar pendapat Mahkamah
Agung dan Pemerintah”,
Terlihat juga di dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
Ayat (1) : “Mahkamah Agang melakukan pengawasan tertinggi
terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan
kehakiman”.
52
Ayat (2) : “Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan
perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan tugasnya”.
Sebelum reformasi bergulir faktor-faktor yang menyebabkan
buruknya wajah perekrutan calon Hakim Agung antara lain disebabkan:
1. Kekuasan yang sentralistik dan kooptatif.
2. Pengawasan yang sangat lemah dari masyarakat.
3. Sistem yang tidak transparan dan tidak akuntabel.
4. Transaksional dan manipulatif.
Berangkat dari buruknya perekrutan calon Hakim Agung yang
dilakukan pada saat itu, maka mandat kepada Komisi Yudisial untuk
melakukan perekrutan calon Hakim Agung sangat tepat. Pengalihan
perekrutan calon Hakim Agung oleh Presiden, DPR dan Mahkamah
Agung setidak-tidaknya mengurangi relasi kepentingan dan kekuasaan
politik yang selama orde baru mencengkeram calon hakim agung.
Jika dievaluasi, penyelenggaraan perekrutan calon Hakim Agung
oleh Komisi Yudisial sejak pertama berjalan sampai dengan saat ini
perlu dan patut mendapat apresiasi. Komisi Yudisial telah berhasil
melakukan seleksi calon Hakim Agung secara baik dengan menerapkan
prinsip-prinsip imparsialitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi.
Hasil seleksi itu dirasakan mendekati profil hakim yang diinginkan
masyarakat seperti mempunyai rekam jejak yang bersih, adil, intelektual,
profesional, berwawasan hukum yang baik dan seterusnya, yang
sebelumnya masyarakat dan para pencari keadilan tidak diberikan ruang
apapun untuk berpartisipasi dan menentukan profil Hakim Agung yang
diinginkan guna menegakkan hukum dan keadilan yang tercabik-cabik
lama di ruang pengadilan.
Komisi Yudisial berhasil mengurangi atau mengeleminasi intervensi
atau pengaruh politik (Presiden dan DPR serta kekuatan politik lainnya)
dan politisasi dalam proses perekrutan calon Hakim Agung. Perilaku
intervensi itu telah lama berlangsung di Indonesia yang juga lazim terjadi
di negara-negara lain, karena disadari besarnya kekuasaan hakim dalam
memutuskan perkara-perkara besar yang melibatkan eksekutif dan
legislatif sebagai para pihak. Intervensi itu tak lain bertujuan mendudukan
orang-orang yang dapat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif dan
legislatif dengan harapan kelak ketika duduk dapat memperjuangkan
kepentingan-kepentingan politik mereka.
Profil Hakim Agung yang dinominasikan Komisi Yudisial ke DPR
mendekati kemauan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945, berbunyi: “Hakim
53
Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman dibidang hukum”. Untuk mendekati
ketentuan tersebut, mekanisme perekrutan calon Hakim Agung yang
dilakukan Komisi Yudisial adalah:
1. Membuka pendaftaran calon Hakim Agung (publikasi ke masyarakat,
pengajuan calon oleh Mahkamah Agung, pemerintah dan masyarakat).
2. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung (administrasi,
“tracking”, kualitas dan kepribadian calon dan seterusnya).
3. Menetapkan calon Hakim Agung.
4. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR (mengajukan tiga orang
nama calon Hakim Agung kepada DPR untuk setiap satu lowongan
Hakim Agung).
Hal di atas cukup memadai bagi Komisi Yudisial dalam melakukan
perekrutan calon Hakim Agung yang sesuai standar atau kriteria yang
diinginkan masyarakat dan kekuasaan kehakiman itu sendiri. Seorang
Hakim Agung harus memenuhi standar dan kriteria tertentu (integritas,
kompetensi, jujur, adil, dan seterusnya) karena hakim merupakan lembaga
yang mendistribusikan keadilan dan memberikan kepastian hukum,
menemukan hukum, menciptakan hukum dan mempertahankan tertib
hukum.
Penguatan pemantauan dan pengawasan hakim menjadi variabel
penting bagi Komisi Yudisial, karena dapat memberi implikasi terhadap tugas dan wewenang Komisi Yudisial di dalam mengusulkan
pengangkatan calon Hakim Agung atau merekrut calon Hakim Agung
yang berasal dari hakim tinggi atau hakim negeri. Komisi Yudisial akan
kesulitan mengetahui calon Hakim Agung yang akan diseleksi dan
diusulkan nanti, baik menyangkut kepribadian, kinerja dan pengetahuan
hukum selama hakim tersebut menjabat menjadi seorang hakim, bilamana
kewenangan pengawasan atau pemantauan tidak berjalan optimal.
Meskipun UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial cukup memberikan kekuatan bagi
Komisi Yudisial, namun yang belum nampak berubah dan mengalami
pergeseran norma, adalah bentuk dan mekanisme “uji kelayakan dan
kepatutan” yang dilakukan DPR untuk menetapkan Hakim Agung yang
terpilih. Bagaimana pun DPR dalam proses dan pemilihan Hakim Agung
semestinya jauh lebih demokratis, partisipatif, objektif, dan transparan
sehingga Hakim Agung yang dipilih melalui mekanisme voting, adalah
yang terbaik, meskipun calon Hakim Agung yang dinominasikan
(usulan) Komisi Yudisial telah melalui atau melewati standar dan kriteria
54
yang sangat ketat. Pergeseran norma itu penting, karena seolah-olah yang
tampak di permukaan, “uji kelayakan dan kepatutan” yang dilakukan oleh
DPR (Komisi III) hanya formalitas, di mana hasil akhir telah ditentukan dan
diputuskan terlebih dahulu oleh fraksi, sebelum uji tersebut dilakukan.
Tanpa disertai penormaan standar, kriteria, dan pedoman dalam
“uji kelayakan dan kepatutan”, sangat rawan terjadi transaksi politik
antara DPR dengan calon Hakim Agung yang akan dipilih. UU No. 18
Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial yang tetap menempatkan DPR pada posisi yang cukup penting
dalam perekrutan calon Hakim Agung (dengan kewenangan pemilihan
dan persetujuan), berprotensi tetap terjadinya suasana transaksional
(kepentingan politik) antara calon Hakim Agung dengan anggota DPR atau
partai politik. Masalahnya lagi ialah hal tersebut sulit dibuktikan karena
kadarnya rendah dan tidak seekstrim pada masa orde baru berkuasa.
Keadaan demikian, mengakibatkan perlunya pengawasan yang terus
menerus terhadap DPR agar dapat tetap dipastikan adanya akuntabilitas
dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Agung. Bagaimanapun
juga, pengakuan penting dan sentralnya prinsip independensi peradilan
(“the independence of judiciary”) sebagai negara hukum haruslah diimbangi
dengan penerapan prinsip akuntabilitas. Fungsi partisipasi masyarakat
tetap penting, agar fungsi yang dilaksanakan oleh DPR berjalan dengan
benar dan baik.
Selain itu, penormaan baru terkait perekrutan Hakim Agung menjadi
penting dilakukan dan tidak lagi berpijak pada lowongan Hakim Agung
yang ada, tetapi berdasarkan dua hal, yaitu:
1. Kebutuhan jumlah Hakim Agung.
2. Berbasis kamar atau sistem kamar (pidana, perdata, tata negara/
administrasi negara, militer, agama dan seterusnya).
Perekrutan yang mengacu pada kedua hal itu seyogianya didasarkan
pada pertimbangan:
1. Jumlah perkara yang terus membanjiri Mahkamah Agung sebagai
peradilan kasasi dan peninjauan kembali belum teratasi, meskipun
dapat diatasi dengan pembatasan upaya hukum, namun setidaktidaknya dapat bersinergi.
2. Kasus-kasus yang masuk ke ruang-ruang pengadilan semakin
kompleks dan spesifik, yang membutuhkan Hakim Agung yang
mempunyai pengetahuan hukum dan kemampuan khusus dan
dengan begitu putusan dapat memberikan kepastian hukum dan
menciptakan keteraturan hukum serta keteraturan masyarakat.
55
3. Kadang-kadang putusan Mahkamah Agung satu dengan lainnya saling
mengingkari dan membantah, padahal “case” nya serupa, sehingga
putusan itu tak dapat menjadi sumber hukum atau yurisprudensi bagi
Hakim Agung lainnya, atau pun hakim tinggi dan hakim negeri.
Komisi Yudisial bersama-sama Mahkamah Agung dapat meneliti
dan menakar besaran jumlah Hakim Agung yang tepat sesuai kebutuhan
di tengah situasi dan keadaan makin menumpuknya perkara yang masuk
di Mahkamah Agung. Jika tidak dilakukan, maka dapat terjadi ketiadaan
penyelesaian dan jenis perkara yang semakin spesifik dan kompleks.
Tentu bukan rahasia lagi, perkara (kasasi dan peninjauan kembali) yang
diadili dan diperiksa Mahkamah Agung membutuhkan waktu sekurangkurangnya tiga tahun mendapatkan penyelesaian dengan miskin
pertimbangan hukum.
C. POTENSI PERMASALAHAN DALAM PEREKRUTAN CALON HAKIM
Kewenangan tambahan Komisi Yudisial menurut paket UU
Kekuasaan Kehakiman melakukan rekrutmen hakim pengadilan negeri
yang dilakukan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial,
sebagaimana ditegaskan Pasal 14A UU No. 49 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum,
berbunyi:
Ayat (1) : “Pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan
melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan
partisipatif”.
Ayat (2) : “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri
dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial”.
Ayat (3) : “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur
bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”.
Demikian halnya perekrutan hakim pengadilan tata usaha negara dan
hakim pengadilan agama dilakukan bersama Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial (Pasal 14A UU No. 51 Tahun 2009 dan Pasal 13A UU No.
50 Tahun 2009).
Wewenang tambahan itu tentu akan sangat signifikan di dalam
penciptaan hakim-hakim tingkat pertama yang yang jujur, adil,
berkepribadian baik, berpengetahuan hukum dan seterusnya. Untuk
itu, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu membuat sebuah
56
mekanisme seleksi yang berpegang pada prinsip-prinsip transparansi,
akuntabilitas dan partisipasi. Dengan mekanisme ini, praktik-praktik
“abuse” perekrutan hakim masa lampau yang didasarkan kekerabatan,
suap, kolusi, kedekatan dan seterusnya, dapat dikurangi dan bahkan
dihapuskan.
Hanya saja terdapat kecenderungan belum terjadinya kesepahaman
yang cukup kuat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang
berpotensi terjadinya permasalahan dalam perekrutan calon hakim.
Kecenderungan tersebut selalu bersifat “naik-turun” dan dipengaruhi
keadaan tertentu dan dalam waktu tertentu.
D. MENJAGA DAN MENEGAKKAN KEHORMATAN,
KELUHURAN MARTABAT DAN PERILAKU
HAKIM
Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim sebagaimana terdapat di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 ini berawal dari situasi dan kondisi hukum dan pengadilan yang
tidak lagi menjadi tempat harapan terakhir pencari keadilan dan pihak
bersengketa, karena pengadilan telah berubah menjadi sarang mafia
hukum (“mafioso”) yang memperjualbelikan hukum dan keadilan serta
alat represi kekuasaan atas nama kepentingan umum dan pembangunan.
Situasi serba tidak mengenakkan ini menyulut keprihatinan bangsa
melalui MPR (pada tanggal 9 November 2001) untuk melakukan reformasi
hukum dan peradilan (“justice sector reform”). Salah satu yang dilakukan
ialah dengan membentuk dan menempatkan satu lembaga negara (Komisi
Yudisial) yang diberi tugas-tugas konstitusional melakukan pengawasan
eksternal terhadap pengadilan dan merekrut calon hakim agung yang
bersih dan berintegritas. Dengan keberadan Komisi Yudisial, diharapkan
demoralisasi yang menghinggapi pengadilan secara bertahap berkurang,
sehingga pada masanya pengadilan menjadi tempat yang teduh bagi para
pencari keadilan.
Di samping itu, Komisi Yudisial hadir sebagai akibat lemahnya
sistem pengawasan terhadap hakim dan Hakim Agung yang dijalankan
oleh Mahkamah Agung. Beberapa kelemahan tersebut antara lain23 :
1. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Hal ini dapat disimpulkan
dengan tidak adanya mekanisme yang memberi hak bagi pelapor
untuk mengetahui “progress report” atas laporan yang mereka
masukkan. Selain itu akses masyarakat terhadap proses serta hasil
pengawasan juga sulit dilakukan. Kondisi ini bertentangan dengan
57
sejumlah ketentuan internasional, seperti IBA (International Bar
Association) Standards, Beijing Statement dan lain-lain;
2. Adanya dugaan semangat membela korps. Hal ini menjadikan
pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung kurang efektif.
Keengganan korps hakim untuk mengangkat kasus-kasus yang
menimpa anggotanya, secara tidak langsung juga telah menyuburkan
praktik-praktik tidak baik di pengadilan.
3. Kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya
metode pengawasan yang ada secara efektif. Praktik negatif yang
dilakukan oleh hakim bervariasi, mulai dari yang mencolok sampai
dengan yang ‘halus’. Karena itu metode yang tepat dalam pencarian
fakta, sangat penting. Ada banyak metode yang dapat dilakukan untuk
memperoleh fakta, selain berdasarkan informasi pelapor. Misalnya
mengklarifikasi proses penentuan majelis hakim, mengklarifikasi
kekayaan pihak yang diduga melakukan praktik negatif dengan
sumber pemasukannya dan sebagainya. Sebagian dari metode
tersebut tidak atau harus ditafsirkan sendiri dari metode pengawasan
yang ada saat ini.
4. Kelemahan sumber daya manusia. Mayoritas pengawas tidak
bekerja “full time” karena memang tugas utama hakim agung adalah
memeriksa dan memutus perkara.
5. Pelaksanaan pengawasan yang selama ini berjalan kurang melibatkan
partisipasi masyarakat. Mahkamah Agung belum mengoptimalkan
sarana tersebut, seperti kotak pos yang kurang disosialisasikan.
6. Rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan atau
mengadukan perilaku hakim yang menyimpang, karena surat-surat
pengaduan harus melalui tata usaha dan tidak mengenal sistem
prioritas, sehingga mengalami proses berbulan-bulan. Rumitnya
birokrasi selalu memunculkan potensi ‘permainan’ dari oknumoknum yang tidak bertanggung jawab.
Sejak dibentuknya, Komisi Yudisial dalam menjalankan tugas dan
wewenang “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat
dan perilaku hakim” mengalami pasang-surut:
1. Pada tahun 2005, Komisi Yudisial mulai menerima pengaduan dan
melakukan pengawasan serta penelitian putusan.
2. Pada tanggal 16 Agustus 2006, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 005/PUU-IV/2006 diputuskan wewenang pengawasan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Pada tanggal 29 Oktober 2009 wewenang pengawasan dipulihkan
melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal
58
40 sampai dengan Pasal 43.
Tugas menjaga dan menegakkan profesi hakim menurut UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
dan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dilakukan
dalam bentuk:
UU tentang Kekuasaan Kehakiman,
UU tentang Perubahan UU tentang Komisi Mahkamah Agung, Peradilan Tata
Yudisial
Usaha Negara, Peradilan Umum dan
Peradilan Agama
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Melakukan
pemantauan
dan
pengawasan terhadap perilaku hakim.
Menerima laporan dari masyarakat
berkaitan dengan pelanggaran kode etik
dan/atau pedoman perilaku hakim.
Melakukan
verifikasi,
klarifikasi,
dan investigasi terhadap laporan
dugaan pelanggaran kode etik dan/
atau pedoman perilaku hakim secara
tertutup.
Memutuskan benar tidaknya laporan
dugaan pelanggaran kode etik dan/atau
pedoman perilaku hakim.
Mengambil langkah hukum dan/
atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau
badan hukum yang merendahkan
kehormatan dan keluhuran martabat
hakim.
Meminta bantuan kepada aparat
penegak hukum untuk melakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan
dalam hal adanya dugaan pelanggaran
kode etik dan/atau pedoman perilaku
hakim.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Menerima dan menindaklanjuti
laporan/pengaduan masyarakat
tentang dugaan pelanggaran
kode etik dan pedoman perilaku
hakim.
Melakukan
pengawasan
terhadap
perilaku
hakim
berdasarkan kode etik dan
pedoman perilaku hakim.
Mengusulkan, memeriksa dan
memutus dugaan pelanggaran
atas kode etik dan pedoman
perilaku hakim melalui Majelis
Kehormatan Hakim (MKH).
Memantau persidangan.
Menelaah,
meneliti,
dan
memeriksa putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Merekomendasikan
mutasi
hakim
kepada
Mahkamah
Agung.
Untuk melengkapi atau mendukung kewenangan mengawasi
perilaku hakim, maka dapat dilakukan melalui pemeriksaan dan
penelitian putusan, baik yang sudah berkekuatan hukum tetap (“inkracht
van gewijsde”) maupun masih dalam proses upaya hukum. Selain itu,
dapat dilakukan pemantauan dan pengawasan proses dan jalannya
persidangan, untuk memastikan proses pemeriksaan dan pembuktian
sesuai dengan hukum acara dan “due proccess of law”. Cara itu dapat
59
memastikan putusan hakim benar-benar bersesuaian dengan fakta-fakta
persidangan dan peraturan perundang-undangan serta keadilan. Dalam
hal ini lah (proses persidangan dan putusan) “mafia hukum” sering
“bermain mata” dengan hakim, dan jika cara itu dilakukan, maka dapat
meningkatkan kualitas pertimbangan putusan hakim. Cara itu juga dapat
memadukan prinsip akuntabilitas dan kemerdekaan hakim sehingga
dapat berjalan beriringan, karena antara keduanya ibarat dua sisi mata
uang logam yang saling melekat dan tidak terpisahkan.
Dengan prinsip itu, hakim tidak lagi menyalahgunakan kekuasaan
kehakiman di dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan, dengan
berlindung pada independensi hakim, yang pada akhirnya melahirkan
‘peradilan sesat atau tirani kekuasan kehakiman dan alat kekuasaan
lainnya’, yang telah berlangsung cukup lama di masa orde baru, bahkan
di era reformasi saat ini, yang berdampak pada demoralisasi bangsa.
Meskipun kemerdekaan hakim sesuatu yang “inheren”, namun ia
tidak bekerja di ruang hampa, tetapi dibatasi atau diikat oleh integritas,
moral atau etika, keadilan, transparansi, kontrol, dan akuntabilitas, karena
sejatinya tujuan dari kekuasaan kehakiman menciptakan keadilan dan
kepastian hukum.
E. PEMERIKSAAN DUGAAN PELANGGARAN KODE
ETIK DAN/ATAU PEDOMAN PERILAKU HAKIM
Pengawasan dan pemantauan serta pemeriksaan putusan dapat
menjadi tolok ukur Komisi Yudisial untuk mengevaluasi kinerja hakim
(“assessment of judicial performance”) dan pintu masuk menilai apakah ada
pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hasinya pun dapat
digunakan sebagai bahan untuk memberikan penghargaan kepada hakim
yang berprestasi dan berintegritas dan memberikan rekomendasi promosi
serta mutasi hakim kepada Mahkamah Agung.
Ketentuan mengenai pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik
dan pedoman perilaku hakim (hakim tingkat pertama dan Hakim Agung)
serta penjatuhan sanksi baik ringan, sedang, dan berat, semestinya setelah
melalui proses pemeriksaan yang adil dan jujur dihadapan Majelis
Kehormatan Hakim (MKH) yang diisi Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung. Sangat tidak fair dan objektif bilamana sanksi dijatuhkan sepihak
saja oleh Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung, meskipun telah
melalui proses klarifikasi dan investigasi serta pemeriksaan saksi-saksi.
Idealnya, hasil pemeriksaan MKH yang berupa putusan dapat langsung
dijalankan (final dan mengikat) tanpa melalui persetujuan lembaga
60
lainnya, semacam DPR atau Presiden.
Sehubungan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku
hakim, Komisi Yudisial, dalam pemeriksaan pelapor atau saksi, dapat
memanggil paksa seseorang dengan bantuan penegak hukum, merupakan
kemajuan signifikan di dalam upaya-upaya membongkar praktik-praktik
“abuse” peradilan maupun “judicial corruption” yang sifatnya masif,
sistemik dan terstruktur”.
Pembentukan perwakilan Komisi Yudisial di daerah guna memudahkan dan mendekatkan akses masyarakat untuk melaporkan atau
mengadukan perilaku hakim yang melanggar kode etik dan pedoman
perilaku, memberi kekuatan baru kepada Komisi Yudisial di dalam
mengakselerasi peran-peran pengawasan yang selama ini tersentral di
Jakarta.
Yang luput dalam UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No.
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial ialah pengawasan dan pemantauan
terhadap Hakim Konstitusi yang dinilai cukup dengan hadirnya Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi melalui Pasal 23 UU No. 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, artinya materi, kelembagaan, dan
penegakan kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi dilakukan
secara internal tanpa melibatkan Komisi Yudisial. Meskipun bilamana
merujuk pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/
PUU-IV/2006, maka Hakim Konstitusi dikecualikan, yang berbunyi: “...
Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan
“original intent” perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai
Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan
dengan ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam
Pasal 24C UUD 1945. Dari sistimatika penempatan ketentuan mengenai
Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung
yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah
Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan
mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak
dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan
dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc
tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai
Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah
dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945...Hal tidak tercakupnya pengertian
perilaku hakim konstitusi dalam apa yang dimaksud dengan perilaku
61
hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut juga terdapat dalam
ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
dibentuk sebelum pembentukan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Dalam UU tentang Mahkamah Konstitusi, untuk fungsi
pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi ditentukan adanya
lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal
23 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Demikian pula
Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek
pengawasan oleh Komisi Yudisial”.
Padahal semestinya dalam negara hukum demokratis “rule of law”
atau pun “rechtsstaat” tidak ada satu lembaga pun yang luput dari
pengawasan atau kontrol (“checks and balances”) dari lembaga negara
lainnya. Andaikata Hakim Konstitusi generasi pertama dan kedua masih
relatif terlepas dari anasir-anasir kepentingan politik dan uang, belum
tentu generasi selanjutnya demikian. Untuk itu, ikut sertanya Komisi
Yudisial sebagai rumpun (bukan pelaku) kekuasaan kehakiman di
dalam merancang dan melembagakan serta menjaga dan menegakkan
kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi sangat penting demi
menjaga dan merawat lembaga ini sebagai penafsir konstitusi (“the sole
judicial interpreter of the constitution”), pengawal demokrasi (“the guardian
of democracy”), pelindung hak konstitusional warga negara (“the protector
of citizen’s constitutional rights”) dan pelindung hak asasi manusia (“the
protector of human rights”).24
Bahkan tidak usah beralih ke generasi ketiga, tahun 2011, tercatat
seorang Hakim Konstitusi diberhentikan karena melanggar kode etik dan
pedoman perilaku Hakim Konstitusi. Pemberhentian ini tentu memberikan
catatan penting bahwa Hakim Konstitusi rentan penyalahgunaan
wewenang (“abuse of power”) dan intervensi politik atau pihak-pihak yang
berperkara. Sehingga bila tak diawasi, kewibawaan dan “trust” yang sudah
tumbuh dan menaik, akan runtuh seperti yang berlaku pada pengadilan
dan Mahkamah Agung.
F. TANTANGAN KOMISI YUDISIAL PASCA DISAHKANNYA UU NO. 18 TAHUN 2011 TENTANG
PERUBAHAN UU NO. 22 TAHUN 2004 TENTANG
KOMISI YUDISIAL
Disahkannya UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No.
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial memberikan penguatan kepada
62
Komisi Yudisial dalam menjaga dan mengawasi penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Penguatan ini meliputi aspek
kelembagaan dan kewenangan yang sebelumnya direduksi lewat
pengujian undang-undang.
1. Penguatan Kelembagaan
Salah satu kendala kelembagaan yang dihadapi Komisi Yudisial
sebelum revisi UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial adalah
kelembagaannya yang hanya berada di Jakarta, sedangkan hakim yang
diawasi tersebar di berbagai kabupaten dan kota serta propinsi yang tentu
meyulitkan masyarakat yang akan melaporkan atau mengadukan hakim
yang terindikasi dan terlibat pelanggaran kode etik dan/atau pedoman
perilaku hakim. Selain itu, dengan hanya berada di Jakarta, praktis
pemantauan atau pengawasan di ruang-ruang pengadilan di daerah tidak
dapat dijangkau Komisi Yudisial.
Pembentukan perwakilan Komisi Yudisial di daerah dapat
mengefektifkan pengaduan dan penyelidikan atau investigasi hakim, karena
salah satu kendala yang dihadapi Komisi Yudisial dalam mengumpulkan
alat bukti terhadap pengaduan yang ditangani, keberadaan pelapor dan
saksi-saksi yang berdomisili di daerah. Kesulitan itu tidak akan ditemui
lagi ke depan, dan dengan begitu pengaduan yang masuk dapat diproses
dengan tepat waktu dan didukung alat bukti yang kuat, sehingga dapat
dilanjutkan ke tahap pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Hakim.
2. Penguatan Kewenangan
Penguatan Komisi Yudisial melalui penambahan kewenangan
terutama di dalam penyelidikan dan mekanisme penjatuhan sanksi
kepada hakim memberikan semangat baru bagi Komisi Yudisial dalam
mengawasi perilaku hakim di dalam sidang maupun di luar persidangan.
Dengan peraturan ini, perilaku “menyimpang” hakim dapat di deteksi
secara dini dan dapat dikenai sanksi yang berat, untuk membuat efek jera
para pelaku. Dengan peraturan ini pula diharapkan tidak ada lagi hakim
yang memperjualbelikan hukum dan keadilan.
Penguatan ini tentunya tidak lepas dari kesulitan Komisi Yudisial
di dalam mendeteksi, menyelidiki, dan mengadili pelanggaran kode etik
dan/atau pedoman perilaku hakim serta eksekusi keputusan yang sudah
dihasilkan. Bahkan, beberapa keputusan penjatuhan sanksi kepada hakim
tidak digubris atau pun dilaksanakan Mahkamah Agung, sedangkan
Komisi Yudisial secara konstitusional telah didesain UUD 1945 sebagai
lembaga pengawas dan pemberi sanksi kepada hakim yang menyimpang
dari pedoman perilaku dan kode etik hakim.
63
Kewenangan Komisi Yudisial yang semula hanya mengangkat
hakim agung dan hakim tingkat pertama (hakim Pengadilan Negeri,
Hakim Pengadilan Agama dan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara)
diperluas dengan kewenangannya mengangkat hakim ad hoc, meskipun
masih terdapat ketidaksepahaman mengenai hal ini dengan Mahkamah
Agung. Perubahan ini semakin mendekatkan harapan masyarakat pada
terbentuknya hakim-hakim di seluruh lingkungan peradilan yang tidak
hanya pandai secara intelektual atau keilmuwan, namun juga memiliki
integritas, moralitas, dan kejujuran. Keluhan masyarakat pada banyaknya
hakim yang rendah integritas dan kapasitasnya akan dapat dijawab
dengan penguatan kewenangan ini.
Terlepas dari berbagai kemajuan dari institusionalisasi Komisi
Yudisial, ke depan yang perlu diperbaiki dari Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung adalah pola hubungan dari konfrontatif ke harmonis
dan sinergis baik di dalam membina dan mendidik hakim, maupun di
dalam menjatuhkan sanksi. Sebab, selama ini jelas telihat kedua lembaga
beberapa kali saling menjatuhkan dan mendelegitimasi kewenangan
masing-masing lembaga yang tidak berdampak produktif bagi reformasi
dunia peradilan dan pencari keadilan.
G. Rekomendasi
Dalam metode dan mekanisme rekrutmen Hakim Agung, Komisi
Yudisial telah cukup baik menyelenggarakannya dengan berpegang pada
prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, profesional dan partisipatif.
Penyelenggaraan “uji kelayakan dan kepatutan” oleh DPR lebih tampak
hanya sekedar seremonial dan formalitas belaka yang rentan dengan
transaksi politik. Perekrutan hakim tingkat pertama (pengadilan negeri,
pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara) yang dilakukan
bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial memberikan harapan
terbentuknya hakim-hakim ‘pejuang hukum dan keadilan’. Dalam hal
yang demikian, maka pengawasan dan pemantauan proses persidangan
serta pemeriksaan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum sangat
penting dilakukan guna memastikan kinerja dan integritas hakim.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka:
1. Perlu pelahiran norma baru terkait perubahan bentuk dan mekanisme
penyelenggaran “uji kelayakan dan kepatutan” oleh Komisi III DPR,
sehingga berpegang pada prinsip akuntabilitas, transparansi, objektivitas,
dan partisipatif, sehingga dapat meminimalisir atau menghilangkan
‘transaksi gelap’ antara calon Hakim Agung dengan DPR.
64
2. Perlu dirumuskan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial, suatu metode dan mekanisme perekrutan hakim tingkat
pertama (pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata
usaha negara) yang akuntabel, transparan dan partisipatif.
3. Pemeriksaan putusan tidak boleh dibatasi hanya pada putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap, karena pada prinsipnya, setiap
putusan meskipun belum berkekuatan hukum tetap adalah dokumen
milik publik, sehingga Komisi Yudisial ketika menduga kuat adanya
“judicial corruption” dan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman
perilaku hakim, maka dapat segera dan seketika melakukan tindakan
pemeriksaan tanpa harus menunggu bertahun-tahun putusan
memiliki kekuatan hukum tetap.
4. Hasil pemeriksaan dan penelitian putusan hakim dapat dijadikan
dasar dan bahan Komisi Yudisial di dalam merekomendasikan
promosi dan mutasi hakim, yang mana rekomendasi tersebut wajib
ditaati oleh Mahkamah Agung.
5. Penjatuhan sanksi kepada hakim melalui Majelis Kehormatan Hakim
(MKH) perlu tetap dipertahankan, dengan tidak terbatas pada sanksi
berat, namun juga melingkupi sanksi ringan dan sedang;
6. Perwakilan Komisi Yudisial di daerah perlu dibentuk untuk
memudahkan dan mendekatkan masyarakat mengadukan hakim
yang melakukan perbuatan tercela dan melanggar kode etik dan/atau
pedoman perilaku hakim. Pembentukan ini pula dapat membantu
Komisi Yudisial memantau dan mengawasi proses persidangan
yang terdapat kepentingan umum di dalamnya atau perhatian yang
sangat kuat dari masyarakat, seperti kasus korupsi, pencurian kayu,
kejahatan oleh pejabat negara dan seterusnya.
RUU TENTANG PERUBAHAN KETIGA
ATAU MENGGANTI UU TENTANG
MAHKAMAH AGUNG
Pentingnya Keselarasan
Dengan Paket UU
Di Bidang Kekuasaan Kehakiman
A. PENGANTAR
Masih belum terlalu lama sebenarnya jika dihitung rentang waktu saat
ini sampai dengan saat disahkannya RUU tentang Perubahan Kedua atas
UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang dikenal dengan
UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung. Rentang waktu itu ialah sekitar dua tahun.
Namun, dalam perkembangannya di tahun 2011 ini, DPR merencanakan
perubahan kembali terhadap UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Dengan demikian, maka RUU yang sedang direncanakan tersebut
ialah RUU yang merupakan perubahan ketiga kalinya.
DPR berpendapat bahwa diperlukan perubahan secara yuridis
dalam bentuk perubahan undang-undang agar dapat mewujudkan
peran strategis Mahkamah Agung. Diharapkan Mahkamah Agung dapat
lebih mengemban kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan negara
hukum dan mencapai tujuan negara Indonesia dalam konstitusi. Selain
itu, menurut DPR pula, perkembangan hukum dan perkembangan
sosiologis masyarakat berubah dengan cukup cepat. Oleh karenanya, hal
itu memperkuat kebutuhan perubahan atau mengganti UU No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahannya. Hal itu pun sudah
terdapat dalam Prolegnas tahun 2011.25
Sementara itu kelompok masyarakat, termasuk para praktisi hukum
(advokat dan lembaga bantuan hukum) berpendapat bahwa perubahan
ke tiga atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebaiknya
bukan lagi perubahan yang bersifat tambal sulam dengan merubah
sebagian dari ketentuan undang-undang lama. Perubahan yang dilakukan
harus bersifat mendasar yang dapat mengembalikan Mahkamah Agung
sebagai lembaga peradilan tertinggi dan dapat menghasilkan putusan yang
konsisten sebagai panduan para hakim di tingkat pertama dan banding.
Selain itu, masalah pengawasan juga harus dibenahi karena pengawasan
66
ini merupakan rohnya dari semua permasalahan yang terjadi saat ini yang
berkaitan dengan Mahkamah Agung.26
Yang dapat dianggap penting dalam perubahan ketiga atau bahkan
penggantian UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
perubahannya ialah keselarasan dengan paket UU di bidang kekuasan
kehakiman, termasuk dalam hal ini ialah UU No. 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
B. PEMBATASAN KASASI PERKARA PERDATA,
PERKAWINAN DAN PERKARA PIDANA
Pembatasan perkara kasasi mendorong adanya penguatan posisi
dan meningkatkan kualitas putusan pengadilan tingkat banding. Dengan
adanya pembatasan kasasi maka Pengadilan Tingkat Pertama sebagai
judex facti, sedangkan Pengadilan Tingkat Banding di samping berperan
sebagai judex facti juga berperan sebagai judex juris.
UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung telah merumuskan pembatasan perkara yang
dapat dikasasi. Pasal 45A ayat (2) menentukan tiga perkara yang tidak
dapat dikasasi adalah:
1. putusan tentang praperadilan;
2. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
3. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan
pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah
daerah yang bersangkutan.
Pasal tersebut diatas mengatur pembatasan perkara yang dapat
dikasasi yaitu perkara pidana dan perkara tata usaha negara. Selain Pasal
45 A, pembatasan perkara yang dapat di kasasi juga merujuk pada Pasal
46 dan Pasal 47 UU No 14 Tahun 1985 yaitu syarat formal tenggang waktu
pengajuan Kasasi.
Dalam perkara pidana, perubahan terhadap ketentuan pasal 45A ayat
(2) huruf a dan b harus diselaraskan dengan pembaruan yang terdapat
di dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya
yang berkaitan dengan penyelesaian sebelum di sidang pengadilan
atau penyelesaian dengan peradilan acara cepat. Perkara pidana yang
ancamannya hukuman ringan dan/atau denda dapat masuk dalam proses
penyelesaian sebelum di sidang pengadilan. Dengan demikian terdapat
dua kelompok penyelesaian perkara pidana yang tidak dapat dikasasi,
yaitu:
67
1. Perkara yang diselesaikan pada tahap penuntutan atau peradilan
dengan acara cepat di pengadilan negeri. Pengaturannya lebih baik
diatur dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
2. Pemeriksaan biasa pada pengadilan tingkat pertama dan banding,
tetapi tidak dapat diajukan kasasi.
a. Pengaturannya dapat dimasukkan dalam RUU tentang Perubahan
Ketiga UU No. 15 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
b. Dengan demikian perlu ditinjau pembatasan perkara pidana yang
tidak dapat di kasasi yang semula perkara pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam
pidana denda [Pasal 45A ayat (2) ]
Dapat dinaikkan menjadi : “perkara pidana yang diancam dengan
pidana penjara di bawah 5 (lima) tahun dan/atau diancam pidana
denda“
Dalam perkara perdata, belum ada ketentuan undang-undang yang
mengatur pembatasan perkara perdata yang dapat diajukan kasasi.
Pengaturan dapat dilihat dari kompleksitas dan besaran obyek sengketa,
yaitu;
1. Perkara waris baik yang diperiksa di pengadilan negeri maupun
pengadilan agama.
2. Perkara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dengan nilai
perkara riil tertentu.
3. Perkara perdata permohonan, kecuali untuk permohonan kepailitan.
Dalam hal perkara yang berkaitan dengan perkawinan, ukuran yang
dapat digunakan adalah:
1. Perkara yang membutuhkan penyelesaian cepat karena berkaitan
dengan kepastian hukum dan status hukum para pihak, dan
2. Perkara yang berkaitan dengan perlindungan anak jika dalam
perkawinan ada anak.
Oleh karena itu perlu diatur pembatasan perkara perkawinan yang
dapat diajukan kasasi baik yang diperiksa Peradilan Umum maupun
Peradilan Agama, yaitu perkara permohonan cerai dan biaya pemeliharaan
anak yang perkaranya dipisahkan dari perkara sengketa harta bawaan.
C. PEMBAGIAN OBYEK PENGAWASAN HAKIM
YANG DILAKUKAN OLEH MAHKAMAH AGUNG
DAN KOMISI YUDISIAL
Pedoman etika dan perilaku hakim yang telah disusun oleh Mahkamah
Agung bersama-sama dengan Komisi Yudisial merupakan yudisial ethics
68
(norma etika yudisial) yang tergolong sebagai professional legal ethics
(norma etika profesi hukum) yang mengatur kewajiban para anggota
profesi hukum (dalam hal ini hakim) untuk berperilaku. Apabila asasasas tersebut dilanggar, maka hal yang akan terjadi ialah pengaduan yang
datang “biasanya” akan berkaitan dengan “putusan yudisial pengadilan”
(judicial decision), yang tentunya bagian putusan yudisialnya harus dinilai
melalui upaya hukum yang tersedia (banding, kasasi dan peninjauan
kembali). Tetapi bagian yang berhubungan dengan perilaku hakim adalah
tepat urusan Komisi Yudisial. Dalam hal investigasi yang dilakukan Komisi
Yudisial membenarkan adanya perilaku yang melanggar asas-asas dalam
pedoman, maka hakim tersebut dapat dikenakan tindakan disiplin.
Kewenangan mengawasi perilaku hakim dapat dilakukan dengan
dua cara:
1. Melalui pemeriksaan dan penelitian putusan, baik yang sudah
berkekuatan hukum tetap (“inkracht van gewijsde”) maupun masih
dalam proses upaya hukum;
2. Memantau dan mengawasi proses dan jalannya persidangan, untuk
memastikan proses pemeriksaan dan pembuktian sesuai dengan
hukum acara dan “due process of law”.
Pengawasan dan pemantauan serta pemeriksaan putusan dapat
menjadi tolok ukur Komisi Yudisial untuk mengevaluasi kinerja hakim
(“assessment of judicial performance”) dan pintu masuk untuk menilai apakah
ada pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hasilnya dapat
digunakan sebagai bahan untuk memberikan penghargaan kepada hakim
yang berprestasi dan berintegritas dan rekomendasi promosi serta mutasi
hakim kepada Mahkamah Agung.
D. ORGANISASI MAHKAMAH AGUNG DAN KEPANITERAAN
Organisasi berbasis kinerja menjadi fondasi untuk Mahkamah Agung
dan badan-badan peradilan di bawahnya, berkembang menjadi organisasi
yang berorientasi pada pengembangan pengetahuan dan keahlian. Syarat
yang harus dipenuhi agar Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan
di bawahnya dapat berhasil dalam membangun organisasi adalah
perlunya pemanfaatan teknologi informasi secara maksimal-hal yang
saat ini telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Struktur organisasi
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya harus
menjadi organisasi yang modern, tepat fungsi, tepat ukuran dengan kinerja
maksimal. Pembaruan organisasi Badan Peradilan ke depan diharapkan
menuju organisasi Berbasis Kinerja (Performance Based Organization) dan
69
organisasi Berbasis Pengetahuan (Knowledge Based Organization), jika hal
itu dapat dilakukan, maka Mahkamah Agung dapat dikualifikasi sebagai
organisasi yang menjalankan prinsip organisasi modern.
Mengingat struktur dan demografi pengadilan di Indonesia, mulai
dari pusat pemerintahan, propinsi, kabupaten/kota, maka sistem
pengelolaan organisasi yang menganut prinsip terdesentralisasi adalah
pilihan yang paling tepat dan rasional. Sistem ini mendelegasikan sebagian
besar wewenang kepada tingkatan manajemen di bawah manajemen
puncak. Dengan mengadopsi sistem ini, maka seluruh Pengadilan Tingkat
Pertama akan di bawah pengelolaan Pengadilan Tingkat Banding. Oleh
karena itu, Pengadilan Tingkat Banding haruslah diperkuat kapasitas dan
kapabilitasnya untuk memastikan percepatan penyelesaian perkara dan
peningkatan kualitas putusan. Penguatan Pengadilan Tingkat Banding
ini, lambat laun dapat mengurangi arus perkara ke tingkat kasasi yang
saat ini menjadi salah satu permasalahan yang belum terselesaikan.
Sementara di bagian kepaniteraan, perlu dilakukan penyempurnaan
dengan pendekatan structure follow function. Proses ini harus mampu
menyelesaikan masalah yang timbul dari pemisahan unit pengelolaan
perkara dari kepaniteraan, sehingga alur penanganan perkara hanya
ditangani oleh satu satuan kerja.
E. MANAJEMEN PERKARA
Mengenai manajemen perkara, terdapat hal yang penting yang
dapat menjadi perhatian serius dalam perubahan ketiga atau bahkan
penggantian UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
perubahannya, yaitu mengenai penerimaan pekara dan penunjukkan
hakim yang termasuk dalam majelis hakim.
1. Penerimaan Perkara
Dalam sistem manajemen perkara di Mahkamah Agung saat ini,
memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi, Panitera Pengadilan
yang memutus perkara dalam tingkat pertama, mengirimkan permohonan
kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas
perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari. Selanjutnya, Panitera Mahkamah Agung mencatat
permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan
nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat
tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung.
Dalam rangka mendorong akses publik terhadap informasi perkara, maka
ke depan Panitera Mahkamah Agung wajib untuk mempublikasikan
pendaftaran kasasi melalui sistem informasi elektronik.
70
2. Penunjukan Hakim
Dalam hal penunjukkan majelis hakim, ketua Mahkamah Agung harus
mendasarkan pada kompetensi dan beban kerja. Untuk melaksanakan
hal tersebut, Mahkamah Agung perlu mengembangkan sistem informasi
untuk mengklasifikasi kompleksitas perkara, beban kerja hakim dan
jadwal ketersediaan hakim.
3. Penyampaikan Putusan
Dalam rangka transparansi dan akuntabilitas publik, maka semua
salinan putusan dipublikasikan melalui website Mahkamah Agung paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan dibacakan.
F. PEREKRUTAN CALON HAKIM AGUNG
Perekrutan Calon Hakim Agung saat ini dilakukan berdasarkan UU
No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah mengalami
perubahan dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua melalui
UU No. 3 Tahun 2009 dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Salah satu wewenang Komisi Yudisial adalah mengusulkan pengangkatan
hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Komisi Yudisial bukanlah
pelaku kekuasaan kehakiman, namun fungsinya berkaitan erat dengan
kekuasaan kehakiman, terutama karena fungsinya sebagai “penjaga
mutu” kekuasaan kehakiman.
Sejak Komisi Yudisial terbentuk, Komisi Yudisial telah mengajukan
sejumlah calon hakim agung ke DPR. Calon hakim agung yang diusulkan
oleh Komisi Yudisial dipilih oleh DPR 1 orang dari 3 orang calon untuk
setiap lowongan (Pasal 8 ayat (3)). Mencari 3 orang calon terbaik bukan
merupakan persoalan yang gampang, calon yang berminat untuk
mendaftarkan diri juga tidak begitu banyak, singkatnya Komisi Yudisial
kesulitan mendapatkan calon yang memenuhi kualifikasi paripurna baik
dari segi pengetahuan maupun integritas. Karena itu sebaiknya calon
yang diajukan oleh Komisi Yudisial untuk satu lowongan cukup dua
orang calon saja.
Calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR tidak
didasarkan pada lowongan yang sesuai dengan kebutuhan di Mahkamah
Agung. Pasal 14 ayat (2) dalam hal berakhir masa jabatan hakim agung,
Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama
Hakim Agung yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat
6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut. Pasal ini tidak
mengharuskan Mahkamah Agung menyebutkan spesialisasi Hakim
Agung dibutuhkan. Sistem ini sangat potensial memunculkan hakim
agung terpilih tidak sesuai dengan kebutuhan nyata Mahkamah Agung.
71
Oleh karena itu, seharusnya sejak Mahkamah Agung menyampaikan
surat kepada Komisi Yudisial sudah harus menyebutkan jumlah hakim
agung yang lowong berikut bidang hukum yang dibutuhkan. Atas dasar
itu, maka Komisi Yudisial juga berkewajiban mengumumkan kepada
publik jumlah hakim agung dan bidang hukum yang dibutuhkan.
G. HAL-HAL LAIN YANG PERLU DIATUR AGAR
MAHKAMAH AGUNG BENAR-BENAR MENGEMBAN AMANAT PASAL 1 AYAT 3 UUD 1945 DAN
ALINEA KEEMPAT PEMBUKAAN UUD 1945
Tercatat ada dua kewenangan Mahkamah Agung yang tidak banyak
dipersoalkan sejak reformasi bergulir, yaitu:
1. Melakukan “judicial review” peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang (Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 20 ayat
(2) huruf b UU Kekuasan Kehakiman dan Pasal 31 dan Pasal 31A UU
Mahkamah Agung);
2. Memberikan pertimbangan hukum kepada lembaga negara (Pasal 20
ayat (2) huruf c UU Kekuasan Kehakiman dan Pasal 35 dan Pasal 37
UU Mahkamah Agung). Padahal banyak hal yang perlu “dibenahi”
dalam wewenang itu dalam rangka terciptanya negara hukum
Indonesia berlandaskan konstitusi.
Kewenangan menguji peraturan perundang-undangan pertama
kali diperkenalkan melalui UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekusaan
Kehakiman yang dilekatkan di Mahkamah Agung sebagai lembaga
tunggal kekuasaan kehakiman. Pasca reformasi dan amandemen UUD
1945 “judicial review” dilembagakan kepada dua lembaga, Mahkamah
Konstitusi (pengujian undang-undang terhadap UUD) dan Mahkamah
Agung (pengujian peraturan di bawah undang-undang).
Dualisme mengadili dan menguji norma peraturan perundangundangan di atas menimbulkan ketidakpastian hukum (“rechtsonzekerheid”)
karena suatu undang-undang dan peraturan di bawahnya dapat diuji
secara bersamaan dan dapat diputus berbeda. Sehingga dualisme ini
harus diakhiri dengan memindahkan kewenangan menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang kepada Mahkamah
Konstitusi. Di samping itu, begitu banyak peraturan di bawah undangundang terutama Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah berisi
norma setingkat undang-undang yang melanggar UUD 1945, namun
tidak tersentuh oleh Mahkamah Konstitusi.
Hambatan konstitusional (“constitutional constraint”) memindahkan
kewenangan itu sebagaiman diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945
72
dapat dilakukan dengan melakukan amandemen kelima UUD 1945 Pasal
24A dan Pasal 24C. Dengan begitu Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir
konstitusi (“the sole judicial interpreter of the constitution”), pengawal
demokrasi (“the guardian of democracy”), pelindung hak konstitusional
warga negara (“the protector of citizen’s constitutional rights”) dan pelindung
hak asasi manusia (“the protector of human rights”) kembali kepada
khittahnya (“setting-nya”) sebagai lembaga judisial peradilan konstitusi.
Dengan desain ini, seluruh kekuasaan “judicial review” diserahkan kepada
Mahkamah Konstitusi, sehingga Mahkamah Agung dapat berkonsentrasi
menangani perkara-perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara dalam
tingkat kasasi dan peninjauan kembali.
Bilamana kekuasaan Mahkamah Agung itu dipertahankan, perlu
dibuat mekanisme atau proses yang bisa memastikan pencari keadilan
(“justice seekers”) mendapatkan proses yang adil, objektif dan transparan
(“fair trial”). Ketentuan hukum acara dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan perubahannya saat ini belum mencerminkan
prinsip-prinsip itu sebagaimana terlihat dalam Pasal 31 dan Pasal 31A dan
Peraturan No. 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.
Wewenang lain Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum
(fatwa) kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi dan
kepada lembaga tinggi negara lain (Pasal 35 dan Pasal 37 UU Mahkamah
Agung) perlu tetap dipertahankan untuk menjawab permasalahan hukum
yang semakin kompleks.
H. REKOMENDASI
Hal yang terurai di bagian sebelumnya, pada dasarnya merupakan
bagian dari rekomendasi yang dibutuhkan bagi perubahan ketiga atau
bahkan penggantian UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
dan perubahannya. Namun perlu juga diberikan suatu rekomendasi
lanjutan yang terangkum sebagai berikut:
1. Reformasi terhadap Mahkamah Agung perlu ditempatkan sebagai
bagian dari reformasi kekuasaan kehakiman yang menyeluruh. Oleh
karenanya, arah kebijakan terhadap perubahan ketiga atau bahkan
penggantian UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
perubahannya harus didasarkan pada kebutuhan untuk mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan
keadilan demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Keterpaduan kebijakan reformasi kekuasaan kehakiman berkaitan
pula dengan lembaga penegak hukum yang lain, seperti Kejaksaan,
Kepolisian, dan lainnya. Selain itu juga dengan Komisi Yudisial yang
73
telah diperkuat dengan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
2. Masalah pengawasan tetap menjadi perhatian penting. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka pelaksanaan reformasi Mahkamah Agung
yang menjadi bagian dari refromasi kekuasaan kehakiman perlu
dilakukan pengawasan secara ketat dan terpadu dalam proses dan
tahapan reformasi. Pengawasan proses reforamsi ini mensyaratkan
adanya keterbukaan tidak hanya dari Mahkamah Agung, tetapi juga
dari Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial serta pengadilan dan
lembaga peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung.
3. Dalam upaya mendorong percepatan reformasi yang terpadu dalam
kekuasaan kehakiman dan lembaga peradilan lainnya maka terdapat
prioritas reformasi legislasi, yaitu:
a. Dalam jangka pendek dan menengah, yang dapat dilakukan
adalah dengan cara memperkuat politik legislasi Kekuasaan
Kehakiman melalui:
i. Revisi terhadap UU tentang Mahkamah Konstitusi
(berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU tentang Perubahan UU tentang Mahkamah
Konstitusi), khususnya terkait dengan materi-materi
mengenai Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi,
Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim, Periodesasi Masa
Jabatan Hakim, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, dan
Pengawasan Eksternal Mahkamah Konstitusi.
ii. Memperjelas fungsi kewenangan internal yang dimiliki oleh
Mahkamah Agung untuk mewujudkan hubungan yang
independent but interrelated antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial.
iii. Mempertegas pembatasan perkara yang dapat diajukan kasasi,
dan pembentukan sistem kamar di Mahkamah Agung.
iv. Mendorong pembahasan UU tentang Hukum Pidana (KUHP),
dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-udangan
terkait.
v. Percepatan pembahasan revisi UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai upaya mempercepat
perbaikan sistem peradilan pidana.
vi. Memperbaiki penyatuatapan organisasi, administrasi, dan
keuangan pengadilan khusus menjadi terpadu di bawah
Mahkamah Agung.
vii. Peningkatan jumlah pengadilan kelas IA dan IB agar
seimbang jumlahnya dengan pengadilan kelas II, agar proses
74
mutasi hakim dapat berjalan sesuai dengan tahapan, tanpa
sumbatan.
b. Dalam jangka panjang, yang harus dilakukan adalah menyusun
ulang bangunan kelembagaan kekuasaan kehakiman, yang di
dalamnya terdiri dari:
i. Berkaitan dengan kewenangan judicial review terhadap
peraturan perundang-undangan yang saat ini berada di
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, sebaiknya
disatu-atapkan di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian,
nantinya Mahkamah Konstitusi akan berperan sebagai
mahkamah sistem hukum (court of law) dan MA sebagai
mahkamah keadilan (court of justice).
ii. Perluasan kewenangan peradilan Tata Usaha Negara dalam
sistem kekuasaan kehakiman sebagai fungsi kontrol terhadap
tindakan hukum eksekutif.
iii. Restrukturisasi keberadaan pengadilan khusus dan kemungkinan pembentukan kamar di Mahkamah Agung dan
pengadilan di bawahnya.
iv. Membentuk lembaga pengawas eksternal atau mengoptimalkan fungsi Ombudsman RI yang memiliki kewenangan
mengawasi penegakan access to justice di setiap lembaga
penegak hukum, menyangkut terselenggaranya hukum acara,
prosedur-prosedur pelayanan hukum terhadap masyarakat,
transparansi dan kebebasan informasi.
v. Penguatan peranan Komisi Yudisial yang menindaklanjuti
UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial. Selain menjalankan fungsi
pengawasan, seharusnya Komisi Yudisial juga melaksanakan
fungsi pengurusan manajemen karir, promosi, dan mutasi.
Agar supaya hakim-hakim di Mahkamah Agung dan
peradilan di bawahnya, lebih fokus dalam melakukan
penanganan perkara (tugas yudisial), sehingga waktunya
tidak dihabiskan untuk mengurusi persoalan-persoalan yang
sifatnya administratif dan personalia.
RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU
MENGGANTI UU TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Suatu Kebutuhan Dengan Penguatan
A. PENGANTAR
Sepanjang perjalanannya melaksanakan tugas pemberantasan korupsi
melalui pencegahan dan penindakan, Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi atau yang biasa disebut dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang lahir berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak pernah sepi dari “badai”
yang cukup dapat melemahkan keberadaannya seperti lembaga-lembaga
pemberantasan korupsi yang sebelumnya terbentuk di Indonesia.
Berbagai peristiwa yang berupaya untuk melemahkan keberadaan KPK
seperti dengan melakukan pengajuan uji materi UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan catatan Indonesia
Corruption Watch, maka telah terjadi uji materi sebanyak 13 kali dan 11 uji
materi diantaranya mengancam keberadaan KPK dan bahkan berpotensi
membubarkannya. Pemerintah pernah menyusun sebuah RUU tentang
Perubahan Kedua UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang terkesan membuat tidak jelas pencantuman
kewenangan penuntutan oleh KPK. Di lembaga legislatif, upaya-upaya
melemahkan keberadaan KPK pun dilakukan cukup terbuka, yang terlihat
melalui pernyataan politik yang resisten dengan KPK.
Pada tahun 2011 ini, DPR mengajukan percepatan pembahasan
RUU tentang Perubahan atau Mengganti UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), meskipun belum
menjadi prioritas tahun ini untuk segera dibahas dan dibuatkan naskah
76
akademisnya. Pengajuan tersebut tercermin melalui surat nomor:
PW01/0054/DPR-RI/1/2011 tanggal 24 Januari 2011 yang ditujukan
kepada Pimpinan Komisi III DPR. Surat yang dibuat berdasarkan
Keputusan DPR R.I. nomor: 02B/DPR-RI/II/2010-2011 tentang Program
Legislasi Nasional 2011 itu berisi permintaan kepada Komisi III DPR
untuk segera menyusun naskah akademik.
Sejumlah polemik semakin berkembang dan tarik menarik dukungan suara untuk melakukan revisi secara cepat UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) atau
menundanya, dan masing-masing dengan berbagai argumentasinya.
Dalam perkembangannya pada tanggal 25 April 2011, Komisi III DPR
berargumentasi bahwa perlu secara mendesak adanya RUU tentang
Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK) karena sudah menjadi ketetapan antara pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR sedang mempersiapkan
naskah akademis dan sudah disepakati sebagai usulan DPR. Masalah
untuk segera dilaksanakan sinkronisasi, adanya pengurangan dan
penambahan kewenangan KPK akan dapat diketahui setelah Daftar
Inventarisasi Masalah dibuat, dan pihak pemerintah dapat melakukan
revisi terhadap DIM tersebut. RUU tersebut justru menciptakan KPK
yang lebih akuntabel dan profesional ke depannya.
B. MENGHINDARI TUMPANG TINDIH PENANGANAN KASUS KORUPSI ANTAR INSTITUSI
PENEGAK HUKUM
Penanganan kasus korupsi, terbagi dalam beberapa penanganan
yang salah satunya menggunakan ukuran nilai kerugian negara. Selain itu
modus operandi yang melibatkan pejabat negara juga menjadi salah satu
klasifikasi lembaga yang melakukan penanganan kasus korupsi. Tercatat
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
memberikan legalitas wewenang kepada Kepolisian, UU No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia memberikan legalitas kepada
Kejaksaan, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi memberikan legalitas kepada KPK. Kecanggihan
teknologi dan variasi modus operandi yang dilakukan oleh para koruptor
telah mempersulit proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi,
sehingga masing-masing lembaga yaitu KPK, Kejaksaan dan Kepolisian
merasa perlu untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
77
suatu kasus korupsi, yang mengakibatkan seolah-olah terjadi tumpang
tindihnya kewenangan satu sama lain.
Meskipun demikian, terdapat juga pengartian bahwa KPK, Kejaksaan
dan Kepolisian dapat bekerja sama dan bersinergi satu sama lain karena
di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, terutama dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 disebutkan
bahwa wewenang dan tugas kepolisian salah satunya ialah melakukan
penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana korupsi sebagai
tindak pidana khusus sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Selain itu, untuk membantu pencegahan
terjadinya tindak pidana korupsi, Kepolisian juga berwenang dalam
menerima laporan dan/atau pengaduan, mencegah dan menanggulangi
tumbuhnya penyakit masyarakat, melaksanakan pemeriksaan khusus
sebagai bagian dari tindakan Kepolisian dalam rangka pencegahan,
mencari keterangan dan barang bukti yang semuanya dalam satu kerangka
umum dalam menyelesaikan kasus pidana. Oleh karena itu, untuk kasus
tindak pidana korupsi tertentu pihak kepolisian dapat bekerjasama dan
bersinergi dengan KPK.
Sementara itu, di dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia yakni di dalam Bab III Pasal 30, Pasal 32 sampai dengan
Pasal 35, dinyatakan bahwa di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang sebagai berikut:
1. Melakukan penuntutan.
2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.
4. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang.
5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu Kejaksaan
dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.
Hal tersebut di atas, dapat menjadi ”pintu” bagi Kejaksaan untuk
memberantas korupsi melalui koordinasi dengan aparat penegak hukum
lainnya, terutama Kepolisian dan KPK. Dengan saling koordinasi terhadap
kasus yang ada dapat mencegah tidak tumpang tindih dan tidak saling
mendukung dalam penanganan kasus korupsi.
78
KPK yang memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: melibatkan aparat penegak
hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah), dapat menggunakan kewenangan koordinasi dan
monitoringnya terhadap Kejaksaan dan Kepolisian. Untuk memadukan
lagi koordinasi dan monitoring tersebut, maka KPK dapat menggunakan
kewenangan supervisinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,
yang dengan kewenangan supervisi itu, maka KPK dapat mengambil
alih suatu penanganan kasus korupsi yang sulit berkembang jika tetap
ditangani oleh Kejaksaan atau Kepolisian.
Dengan begitu, seharusnya dapat dihindari suatu potensi tumpang
tindih penanganan kasus korupsi. Jika dalam praktik, tetap terjadi
tumpang tindih, maka permasalahan ini perlu diselesaikan melalui
sinkronisasi dasar hukum dari ketiga aparat penegak hukum itu, baik
itu melalui peraturan bersama atau surat keputusan bersama atau Nota
Kesepahaman yang pernah ditandatangani oleh KPK dengan Kejaksaan
dan KPK dengan Kepolisian. Kondisi saling mendukung antara KPK,
Kejaksaan dan Kepolisian harus tetap diupayakan, terutama dengan
menyediakan kesempatan yang seimbang untuk setiap institusi penegak
hukum yang melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
kasus korupsi sehingga tidak terjadi kecemburuan antar institusi penegak
hukum. Yang perlu juga disadari ialah terjadinya tumpang tindih dalam
praktik penanganan kasus korupsi, hanya akan menguntungkan para
pelaku korupsi. Oleh karenanya, tetap perlu diupayakan pembenahan
yang tidak semata-mata mengandalkan perubahan undang-undang, tetapi
pembenahan moril semangat untuk bekerjasama dan bersinergi sehingga
penyelesaian kasus-kasus tindak pidana korupsi akan lebih efektif, efisien,
transparan, dan terpercaya serta tidak ada lagi masalah tumpang tindih.
C. PEMBENAHAN PROSEDUR DALAM MELAKUKAN PENYADAPAN
Penyadapan yang dilaksanakan oleh KPK diatur di dalam Pasal 12
ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK). Penyadapan informasi ini digunakan
antara lain untuk mendukung pemberantasan korupsi. Dalam melakukan
79
penyadapan dan perekaman tersebut, KPK dapat meminta bantuan
interpol (Polisi Internasional). Penyadapan ini merupakan keistimewaan
yang dimiliki dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan harus mempunyai landasan
konstitusionalnya.
Oleh karenanya, naskah akademis dan RUU tentang Perubahan UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK), harus disusun dengan merujuk pada hasil putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 tentang Uji Materi UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK), ditentukan bahwa syarat dan tata cara tentang penyadapan harus
ditetapkan dengan undang-undang, apakah dalam Undang-Undang
tentang KPK yang akan direvisi atau dalam undang-undang lain.
Penyadapan informasi sebenarnya termasuk dalam salah satu
kegiatan intelijen komunikasi yaitu suatu kegiatan merekam atau mencuri
dengar dengan atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada
jaringan telekomunikasi untuk mendapatkan informasi baik secara diamdiam ataupun terang-terangan. Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan
dan gangguan ketertiban, pemerintah harus mengatur kegiatan ini,
karena kegiatan penyadapan berkembang ke berbagai bidang kehidupan
khususnya untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara, dalam
kondisi peperangan, dan dalam kegiatan politik.27
Dalam melakukan penyadapan, KPK telah menerapkan mekanisme
pengawasan internal dalam bentuk standar prosedur operasional
penyadapan, dan KPK telah mendapatkan sertifikasi dari European
Telecommunication Standard Institute di bidang lawful standard interception.
Mekanisme pengawasan internal tersebut utamanya bertujuan
untuk mencegah penyalahgunaan penyadapan, namun untuk lebih
meminimalisir kemungkinan terjadinya penyalahgunaan, maka tetap
diperlukan pengkajian terhadap pelaksanaan kegiatan penyadapan agar
sesuai dengan standar internasional yang telah berhasil diterapkan di
negara-negara lain. Selain itu perlu dikaji kembali maksud serta tujuan
pelaksanaan penyadapan di undang-undang lain yang terkait, misalnya
narkotika, terorisme dan lainnya. Hal itu perlu dikompilasikan sehingga
terjadi sinkronisasi antar undang-undang dalam bidang tindak pidana
khusus yang memerlukan kegiatan penyadapan sebagai salah satu alat
untuk menggali data dan bukti.
80
Tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK adalah untuk
mendapatkan data, bukti, dan informasi terkait indikasi tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu sesuai dengan
standar prosedur operasional penyadapan yang sah dan tidak melanggar
hak asasi manusia,. Penyadapan ini dilakukan justru untuk mengurangi
pelanggaran hak asasi manusia berupa terjadinya kerugian keuangan
negara, yang asal keuangan negara adalah dari berbagai pendapatan
negara yang diterima dari rakyat Indonesia dengan memungut pajak dari
seluruh rakyat Indonesia. Menurut UUD 1945 sendiri Hak Asasi Manusia
dapat dibatasi melalui Undang-Undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan Hak Asasi Manusia
orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis. Itulah yang menjadi alasan mengapa
kewenangan penyadapan oleh KPK sebagaimana diatur dalam UU No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK),
tidak pernah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.
Kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan
telekomunikasi dalam bentuk apapun juga tertuang dalam UndangUndang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, terutama dalam
Pasal 40 sampai dengan Pasal 42. Dalam Pasal 41 UU No. 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi, terdapat keharusan bagi setiap penyelenggara
jasa telekomunikasi untuk merekam pemakaian fasilitas telekomunikasi
yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi. Pasal 42 UU No.
36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi tersebut menyatakan bahwa
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang
dikirim dan/atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui
jaringan telekomunikasi yang diselenggarakannya yang hanya digunakan
untuk kepentingan proses peradilan pidana.28 Dengan demikian, UndangUndang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi mendukung Pasal
12 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan
pelaksanaan penyadapan telah memberikan acuan mengenai pembatasan
dari hak privasi seseorang dan bagaimana seharusnya penyadapan itu
dilakukan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-I/2003 tanggal
30 Maret 2004, Putusan Mahkamah Konstitusi No 012-016-019/PUUIV/2006 tanggal 19 Desember 2006, dan Putusan Mahkamah Konstitusi
No 5/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011 menegaskan bahwa:
81
1. Hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara dapat
melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut
dengan menggunakan undang-undang sesuai dalam Pasal 28J ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Mahkamah
mempertimbangkan pula, “Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah
Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang
mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman.
2. Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan,
antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan
dan perekaman dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan
yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman
pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukah justru
penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan
untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai perintah Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang
guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak
asasi.
3. Mahkamah menilai hingga saat ini belum ada pengaturan secara
komprehensif mengenai penyadapan. Hal ini menunjukkan bahwa
pengaturan mengenai penyadapan masih tersebar di beberapa
Undang- Undang dengan mekanisme dan tata cara yang berbedabeda. Tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan,
sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan.
4. Perlu sebuah Undang-Undang khusus yang mengatur penyadapan
pada umumnya hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing
lembaga yang berwenang. Undang-Undang ini amat dibutuhkan
karena sampai kini belum ada pengaturan yang sinkron mengenai
penyadapan yang berpotensi merugikan hak konstitutional warga
negara umumnya.
Atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, terdapat pemikiran
bahwa penyadapan oleh aparat hukum atau intitusi negara tetap
merupakan praktik invasi atas hak-hak privasi warga negara. Hanya saja,
dalam kerangka kepentingan yang lebih besar dibandingkan hak-hak
privasi warga negara, yaitu kepentingan penegakan hukum dan keadilan,
maka dapat disimpulkan bahwa penyadapan berguna sekali sebagai salah
satu metode penyidikan. Melalui penyadapan, penegak hukum memiliki
82
alternatif dalam investigasi kriminal terhadap perkembangan modus
kejahatan, terutama kejahatan yang sangat serius. Dalam hal ini, terlihat
jelas bergunanya penyadapan sebagai alat pencegahan dan pendeteksi
kejahatan.
D. PENYIDIK DAN PENUNTUT KPK
Keberadaan penyidik dan penuntut KPK sendiri dimungkinkan dalam
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Argumentasi ini sesuai pemikiran dan alasan hukum yakni keberadaan
penyidik maupun penuntut bagi KPK agar tidak lagi bergantung pada
Kepolisian dan Kejaksaan. Penyidik maupun penuntut independen sudah
menjadi hal biasa di negara lain. Khusus dalam sistem hukum Indonesia,
penyidik atas tindak pidana khusus bukan hal yang baru misalnya di
bidang perpajakan dan lingkungan hidup. Tidak ada kendala dalam UU
No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih
khusus dibandingkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), misalnya dapat dilihat dalam Pasal 38 ayat (2) UU No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pasal 7 ayat (2)
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jika terdapat tentangan yang cukup kuat mengenai keberadaan
penyidik maupun penuntut KPK yang bukan berasal dari Kepolisian
maupun Kejaksaan, maka KPK dapat mengupayakan dasar hukum yang
lebih kuat untuk dapat melakukan perekrutan penyidik maupun penuntut
yang bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan. Upaya itu dapat
dilakukan KPK dengan melakukan pengajuan uji materil ke Mahkamah
Konstitusi. Jimly Asshiddiqie (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) berpendapat bahwa
idealnya penyidik maupun penuntut KPK berasal dari kalangan hukum
dan tidak perlu memakai kata penyidik maupun penuntut independen
tetapi penyidik dan penuntut KPK sendiri. Selain itu, dukungan juga
datang dari Benny K. Harman (Ketua Komisi III DPR periode 2009-2014),
yang mengusulkan agar KPK memulangkan penyidik Kepolisian maupun
Kejaksaan, dan menyeleksi kembali penyidik yang akan diperbantukan
ke KPK, ini juga sebagai jalan tengah terhadap hambatan dalam UU No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dukungan
lainnya juga menyatakan bahwa setuju KPK mempunyai penyidik dan
penuntu KPK sendiri, dengan catatan bahwa kehadiran penyidik dan
83
penuntut itu harus didukung perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan perubahan UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Penyidik dan penuntut yang direkrut, dididik, dan dikelola sendiri
oleh KPK cenderung lebih loyal kepada KPK, dan menghindari risiko
mempunyai konsekuensi kesetiaan ganda di tengah semangat korps
yang cukup tinggi di dalam lembaga penegak hukum di Indonesia. Atau,
kalaupun penyidik dan penuntut tersebut berasal dari lembaga penegak
hukum lainnya, maka statusnya adalah pegawai tetap KPK, sehingga
tidak dapat mudah ditarik oleh Kepolisian maupun Kejaksaan. Sejumlah
aturan dan konstruksi hukum di UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya memberi kemungkinan atau
ruang yang cukup bagi penyidik independen KPK. Beberapa diantaranya
adalah:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006
Mahkamah Konstitusi menyebut KPK sebagai lembaga yang penting
secara konstitusional (constitutionality important) dan termasuk lembaga
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, seperti diatur di
dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi sesungguhnya
menegaskan, keberadaan KPK dan penguatan lembaga ini sesuai dengan
apa yang dikehendaki konstitusi. Apalagi disebutkan juga, bahwa KPK
sangat bernilai untuk menjamin dan menegakkan hak asasi manusia,
khususnya hak atas ekonomi, sosial dan budaya rakyat Indonesia yang
dirugikan dan terancam akibat korupsi yang dianggap sudah luar biasa
dan membutuhkan metode luar biasa yang ditandai dengan keberadaan
KPK.
2. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK)
a. Prinsip Independensi KPK
Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK) mengatur:
“KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh manapun”.
Sesuai dengan Pasal 6 butir (d), salah satu tugas KPK adalah
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana
84
korupsi. Sehingga, apapun yang membuat KPK tidak independen
dalam melakukan tugas tersebut, jelas bertentangan dengan prinsip
dasar independensi KPK.
Terdapat kecenderungan bahwa penyidik yang berasal Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut yang berasal dari Kejaksaan,
membuat KPK tidak dapat bekerja secara independen, apalagi jika
menangani kasus korupsi yang terkait dengan lembaga Kepolisian
maupun Kejaksaan tersebut. Kecenderungan tidak luasnya transparansi dan akses masyarakat, membuat lembaga Kepolisian
maupun Kejaksaan tetap mendapatkan keluhan dan keluhan akses
masyarakat. Oleh karena manajemen yang tidak transparan dan
perencanaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan personil Kepolisian
maupun Kejaksaan di lapangan dalam melakukan penyelidikan
dan penyidikan, serta penuntutan sehingga dana untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan tidak dapat menutup
kegiatan penegakan hukum.
Dalam hal penggajian, terdapat kecenderungan timbulnya
kecemburuan antar lembaga penegak hukum misalnya Kepolisian
maupun Kejaksaan terhadap KPK dalam hal gaji yang diterima
oleh penyidik di Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut di
Kejaksaan terhadap rekannya di KPK yakni 1 berbanding 3. Sementara
masa jabatan lebih lama di Kepolisian maupun Kejaksaan tetapi
penghasilan lebih sedikit dibandingkan di KPK. Perekrutan penyidik
Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut Kejaksaan oleh KPK
kemudian menjadi pegawai KPK dianggap dapat menjadi contoh
kepada rekan-rekannya di Kepolisian maupun Kejaksaan. Dengan
begitu terjadi ”perlombaan” untuk membersihkan lembaganya,
mengubah citra serta sistem yang belum dimiliki Kepolisian maupun
Kejaksaan dalam mengelola anggaran penyelidikan, penyidikan serta
penuntutan sehingga terjadi kinerja yang baik yang akan berbanding
lurus dengan penghasilan dan mengurangi korupsi di lembaga
Kepolisian maupun Kejaksaan.
Dalam hal KPK mempunyai penyidik maupun penuntut KPK,
maka diperlukan suatu standar penyidik dan penuntut minimal dan
maksimal untuk pendidikan, pelatihan, pengalaman, masa jabatan,
prestasi dan kinerja yang diberikan, pengujian atas perkembangan
kemampuan dan integritas sehingga berbanding lurus dengan
penghasilan di KPK. Dengan demikian, ini juga memudahkan KPK
untuk memiliki penyidik dan penyelidik sendiri seperti harapan
85
masyarakat karena KPK dapat membangun sistem yang lebih kuat
dengan membuat peraturan internal yang lebih spesifik dengan
memperhitungkan sumber daya dan dananya.
b. Pimpinan KPK adalah Penyidik dan Penuntut Umum
Jika Pasal 21 ayat (4) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tndak Pidana Korupsi (KPK) dibaca secara cermat,
ternyata menegaskan kewenangan penyidik dan penuntut umum
yang tidak dimonopoli oleh institusi tertentu. Penyidik tidaklah
monopoli Kepolisian, dan demikian juga dengan penuntut umum.
Karena setiap pimpinan KPK diberi kewenangan penyidikan dan
penuntutan. Hal ini membantah secara tegas banyak pendapat yang
mengatakan penyidik dan penuntut harus berasal dari Kepolisian
maupun Kejaksaan. Dalam tataran praktik kewenangan, penyidik
dan penuntut ini tentu dapat dilaksanakan dan didelegasikan kepada
pegawai yang direkrut sebagai penyidik dan penuntut KPK.
c. Istilah “Penyidik KPK”
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
ataupun UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia tidak pernah mengatakan bahwa Kepolisian adalah satusatunya penyidik tindak pidana. KPK terbuka memiliki penyidik sendiri
yang bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan yang terpisah
karena jika diambil penyidik dari Kepolisian maupun Kejaksaan
dengan jangka waktu tertentu, maka saat penyidik kembali ke institusi
asal dikhawatirkan mereka akan menjelekan institusi mereka sendiri
dengan cara membuka aib korps yang tidak sesuai dengan semangat
pemberantasan korupsi. Kemungkinan besar mereka dapat diadili
dan dikenakan sanksi walau sebenarnya ingin membersihkan dan
memperbaiki citra korps mereka tersebut. Ini menjadi tidak adil pula
dan dimungkinkan untuk dibuat sebuah tempat pendidikan dan
pelatihan penyidik KPK yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK).
Bahkan di beberapa lembaga lain, seperti Pajak, Kehutanan, Bea
Cukai, Pertambangan dan bahkan Lingkungan Hidup mengenal
konsep Penyidik PPNS (bukan dari Kepolisian). UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) bersifat Lex
Specialis terhadap UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
86
(KUHAP). Hal ini disebutkan secara tegas pada Pasal 38 ayat (2) UU No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK).
Disebutkan bahwa ketentuan pada Pasal 7 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak berlaku bagi penyidik
tindak pidana korupsi yang di bawah KPK. Sedangkan Pasal 7 ayat (2)
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah
pasal yang mengatur bahwa penyidik PPNS di bawah koordinasi
dan pengawasan Kepolisian. Artinya, UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) menegaskan, bahwa
penyidik di KPK lepas dari koordinasi dan pengawasan atau hubungan
dengan Kepolisian maupun Kejaksaan. Dengan kata lain, sebenarnya
penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan berada
di bawah KPK. Namun, kenyataan sering berbeda dengan maksud
pengaturan tersebut. Pasal 45 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) juga lebih menegaskan, bahwa
penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan
oleh KPK. Rumusan ini sama persis dengan Pasal 43 yang mengatur
tentang penyelidikan. Saat ini, KPK sudah merekrut penyelidik sendiri.
Hal ini dapat diberlakukan juga dalam rangka kebutuhan adanya
penyidik KPK.
3. PP No. 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya
Manusia Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK)
Di dalam Pasal 3 disebutkan mengenai pegawai tetap, yang
didefenisikan, pegawai yang memenuhi syarat dan diangkat oleh
Pimpinan KPK melalui proses seleksi. Eksistensi atau keberadaan pegawai
tetap diakui oleh peraturan perundang-undangan, sehingga jika KPK
mempunyai penyidik maupun penuntut KPK, maka penyidik maupun
penuntut tersebut masuk kategori pegawai tetap. Pendapat yang sering
mengatakan KPK tidak dapat merekrut penyidik dan penuntut yang
bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan karena KPK bersifat Ad
Hoc, tidak tepat.
Tidak tepat menghubungkan antara sifat kelembagaan dengan
penyidik dan penuntut yang diperkerjakan di KPK. Penjelasan dasar
hukum UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Korupsi (KPK) berpijak pada realitas kebutuhan Indonesia pada suatu
metode luar biasa dalam pemberantasan korupsi dan karenanya KPK
itu ada dengan penguatan sepanjang waktu keberadaaannya. Dengan
begitu, usulan agar KPK mempunyai penyidik yang bukan berasal
87
dari Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut yang bukan berasal
dari Kejaksaan, sangat memungkinkan. Hal itu seharusnya diperkuat
dengan undang-undang. KPK tidak perlu ragu untuk melakukan
proses perekrutan dan pembangunan kelembagaan dengan penyidik
dan penuntut yang berintegritas. Ke depan, KPK tidak terus-menerus
disandera oleh kepentingan pihak lain yang masuk dan mempengaruhi
KPK melalui berbagai cara. Diantara berbagai cara itu, penyidik yang
berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut yang berasal dari
Kejaksaan, tanpa bermaksud mengenyampingkan integritasnya, masih
dimungkinkan menjadi bagian dari berbagai cara untuk melemahkan,
mengancam independensi dan bahkan menyandera KPK. Selain itu, dalam
kerangka memberantas mafia hukum, maka pembentukan penyidik yang
bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut yang
bukan berasal dari Kejaksaan, adalah salah satu cara untuk memutus jalur
mafia hukum.
E. KEMUNGKINAN PEMBENTUKAN PERWAKILAN
KPK DI DAERAH
Untuk menjembatani masalah keterbatasan masyarakat di daerah,
terutama di luar pulau Jawa dalam menjangkau KPK, sebenarnya hal
itu dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk mengakses internet
yang relatif semakin mudah saat ini. Meskipun begitu, pembangunan
infrastruktur di Indonesia yang tidak baik, masih menyisakan permasalahan yaitu tentu tidak semua daerah memiliki jaringan internet.
Atas keadan tersebut, diperlukan pembentukan perwakilan KPK di
daerah-daerah yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Di saat yang
bersamaan, hal ini akan mendukung kinerja Pengadilan Khusus Tindak
Pidana Korupsi yang mulai dibentuk di berbagai daerah.
Terdengar bahwa perwakilan KPK di 33 propinsi belum direncanakan
oleh KPK meskipun dimungkinkan menurut Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2)
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi
(KPK) yang menyatakan:
”Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik
Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik
Indonesia” dan
”Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah
propinsi”.
88
Hal tersebut untuk mendukung kinerja KPK yang sangat luas dan
berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka KPK perlu
didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Sesuai pasal tersebut diatas, dasarnya
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota
negara, tetapi jika dipandang perlu karena kondisi mendesak, banyak
tuntutan saran dan kritik sesuai dengan kebutuhan masyarakat, KPK
dapat membentuk perwakilan di daerah propinsi. Dengan demikian
pembentukan perwakilan KPK di daerah dapat dibentuk tetapi untuk
langsung diterapkan tidak mudah, karena permasalahan keterbatasan
anggaran negara. DPR lebih memrioritaskan penggunaan anggaran
untuk keperluan supervisi dan koordinasi antar aparat penegak hukum
yakni KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Argumentasi lain yang
menghendaki penundaan atau tidak perlunya pembentukan perwakilan
KPK di daerah ialah untuk menjaga KPK tetap bebas dari konflik
kepentingan di daerah. Hal ini banyak dinyatakan oleh berbagai lembaga
swadaya masyarakat, akademisi, praktisi hukum, dan lembaga negara
lain yang menginginkan KPK tetap berada di pusat (ibu kota). Pernyataan
ini berhubungan juga dengan kecenderungan praktik yang dijalankan
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah yang mulai tidak sesuai
dengan harapan masyarakat.
Jika direncanakan segera pembentukan perwakilan KPK di daerah,
maka dapat dibentuk di Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara),
Palembang (Sumatera Selatan), Semarang (Jawa Tengah), Banjarmasin
(Kalimantan Selatan), Makassar (Sulawesi Selatan) dan Jayapura (Papua).
Hal ini juga selaras dengan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi di daerah. Perwakian KPK di daerah dapat bertugas dalam
pelaksanaan pemantauan praktik pelayanan publik dan menanamkan
semangat antikorupsi di bidang pendidikan.30 Di tingkat propinsi, untuk
mendukung perwakilan KPK di daerah, maka perlu melibatkan Gubernur,
Wakil Gubernur, Ketua DPRD Propinsi, Kepala Kepolisian Daerah,
Kepala Kejaksaan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan
Agama, Komandan Komando Distrik Militer, Rektor Universitas dan
unsur muspida di tingkat kabupaten/kota. Namun, wacana ini secara
terbuka ditentang oleh DPR. Hal ini karena anggapan bahwa KPK
merupakan lembaga dengan metode luar biasa pada saat yang luar biasa
pula. Jika suatu saat tidak diperlukan metode luar biasa, maka dapat tidak
diteruskan, terutama dalam keadaan reformasi Kepolisian dan Kejaksaan
dianggap sudah berhasil.31
89
Keberadaan perwakilan KPK di daerah-daerah yang memiliki
tingkat korupsi tinggi dapat dipelajari dengan melihat lembaga negara
lainnya yang memiliki perwakilan di daerah misalnya Ombudsman R.I.
dengan struktur dan manajemen kerja yang sudah lebih dahulu ada
dibandingkan KPK. Meskipun, KPK berbeda kondisinya, dengan waktu
yang berjalan dapat beradaptasi sendiri dan membangun mekanisme kerja
yang dianggap sesuai dengan pelaksanaan tugas pemberantasan korupsi
di seluruh Indonesia.
F. TIDAK BERWENANGNYA KPK MENGHENTIKAN
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
menganut sistem peradilan pidana terpadu. Meskipun demikian, terdapat
pendapat kritis bahwa di dalamnya tidak mencerminkan sistem peradilan
pidana terpadu, namun lebih mencerminkan prosedur atau tata-cara
dalam peradilan pidana. Pendapat kritis ini merupakan hasil pengamatan
Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap penanganan perkara-perkara
korupsi yang dihentikan penyidikannya, baik oleh Kepolisian maupun
Kejaksaan. ICW meminta KPK mengkaji ulang semua surat perintah
penghentian penyidikan (SP3) kasus korupsi yang dibuat Kepolisian
maupun Kejaksaan. Menurut ICW pula, pemberian SP3 dianggap sebagai
tindakan yang melukai rasa keadilan dan harapan masyarakat terhadap
upaya pemberantasan korupsi. Dengan pendapat kritis tersebut, semakin
menguatkan bahwa sebaiknya kewenangan untuk menerbitkan SP3 dan
Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2) tidak diberikan kepada
KPK. Penyidikan dan penuntutan merupakan proses inti penyelesaian
kasus korupsi. Diawali dengan proses penyelidikan yang selektif,
maka penyelidikan menjadi penyaring kasus korupsi yang mengerucut
pada penyidikan dan penuntutan. Pengerucutan tersebut menandakan
bahwa kasus korupsi tersebut mempunyai alat bukti yang kuat. Dengan
demikian SP3 dan SKP2 tidak diperlukan. Hal ini pun untuk mencegah
anggapan kasus yang ditangani KPK dapat dipastikan vonis hukuman
oleh pengadilan.
Idealnya, wewenang mengeluarkan atau menerbitkan SP3 dan SKP2
juga tidak disematkan pada lembaga yang pemberantasan korupsi selain
KPK karena akan menimbulkan benturan kepentingan. Idealnya pula jika
wewenang mengeluarkan atau menerbitkan SP3 dan SKP2 disematkan
pada semua lembaga pemberantasan korupsi termasuk KPK, maka
90
diperlukan lembaga lain yang berwenang memutus boleh atau tidaknya
SP3 dan SKP3 tersebut. Dalam hal SP3, terdapat kecenderungan bahwa
hakim tidak beperan untuk memutus kasus atau perkara pemberantasan
korupsi seadil-adilnya. Di Indonesia, sejarah penerbitan SP3 dan SKP2
banyak diwarnai dengan kompromi antara pihak-pihak yang terlibat
dan penyelesaian suatu kasus. Hal ini jelas bukan perkembangan yang
menggembirakan dalam pemberantasan korupsi dengan metode luar biasa
dalam keadaan yang luar biasa pula. Idealnya penentuannya tetap melalui
hakim dengan putusan yang seadil-adilnya, dan bukan dengan cara
menerbitkan SP3 dan SKP2. Hal tersebut pula yang melatarbelakangi KPK
tidak boleh menerbitkan SP3 dan SKP2. KPK dicegah untuk mengulangi
kesalahan yang telah dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan yang
oknumnya ”menekan tersangka untuk membayar sejumlah uang dengan
alasan jika ingin dihentikan prosesnya atau jika tidak membayar sejumlah
uang tertentu kasus korupsinya tidak dapat diberikan SP3 dan SKP2”,
sedangkan tetap tidak tertutup kemungkinan perkara yang sudah di-SP3
dan SKP2, dibuka kembali, manakala ditemukan bukti yang baru atau
tekanan dari masyarakat. Dengan demikian, SP3 dan SKP2 juga rentan
dan tidak sepi terhadap gugatan sewaktu-waktu.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-I/2003 pada tanggal
30 Maret 2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUUIV/2006 pada tanggal 19 Desember 2006, tetap menyatakan KPK sah
untuk tetap tidak berwenang mengeluarkan SP3 dan SKP2 dalam perkara
tindak pidana korupsi, sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 40
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi
(KPK). Jika diselaraskan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
maka perubahan atau mengganti UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) jangan sampai menghilangkan sifat
dasar kekhususan KPK. Dengan KPK tetap tidak dapat menghentikan
proses penyidikan maupun penuntutan tindak pidana yang ditanganinya
maka KPK tetap harus berhati-hati terhadap berbagai kasus yang masuk
untuk diajukan ke pengadilan. Putusan tersebut telah menegaskan bahwa
jika KPK diberikan wewenang SP3 dan SKP2 terhadap perkara korupsi,
dikhawatirkan wewenang tersebut dapat disalahgunakan. Hukum acara
yang terdapat dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Korupsi (KPK) merupakan lex specialis dari UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga jika menyimpang
diperbolehkan. Selain itu, tidak tepat jika asas praduga tak bersalah
dipertentangkan dengan tidak adanya wewenang KPK mengeluarkan
91
atau menerbitkan SP3 dan SKP2. Asas praduga tidak bersalah harus
diartikan sebagai kewajiban semua pihak agar tersangka/terdakwa belum
dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
G. PERGANTIAN ANTAR WAKTU PIMPINAN KPK
Status terdakwa yang melekat pada Ketua KPK Antasari Azhar,
berlanjut pada kerumitan pergantian antar waktu antara Pemerintah
dengan DPR yang memiliki pandangan berbeda dalam memahami pasalpasal di dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Korupsi (KPK). Kerumitan itu juga berlanjut pada pembahasan
panjang dan diajukannya permasalahan ini ke Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi
(KPK) tidak mengatur pimpinan KPK harus menjabat satu periode
dalam masa bakti yang sama. Jika ditafsirkan secara sistematis Pasal 21
dan 24 dikaitkan dengan Pasal 34 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK), maka masa jabatan pimpinan KPK
selama empat tahun. Kerja individu pimpinan KPK pengganti (Busyro
Muqoddas) yang baru diangkat pada akhir 2010 dan akan berakhir akhir
2011 ini tidak akan efektif karena singkatnya masa jabatan. Pengisian masa
jabatan pimpinan KPK sebagaimana diatur Pasal 33 dan 34 UU No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) tidak
harus dilakukan dalam satu paket. Dengan demikian, ke depan jika akan
diadakan perubahan dalam pengaturan mengenai pergantian pimpinan
antar waktu ini harus merujuk pada putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi, terutama pertimbangan hukum yang dapat dibandingkan
dengan perkembangan zaman.
Meskipun demikian, pendapat berbeda atas putusan tersebut
(dissenting opinion) patut dipertimbangkan dalam perubahan atau
mengganti UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Korupsi (KPK). Jika dihubungkan dengan pendapat berbeda tersebut maka
kemungkinan terdapat kerugian jika suatu lembaga independen, sistem
penggantian jabatannya tidak dilakukan serentak yakni berkuasanya satu
rezim dalam lembaga tersebut. KPK yang menggunakan konsep trigger
mechanism, terkait pula dengan pengambilan keputusan oleh pimpinan
KPK terhadap berbagai penyelesaian kasus yang harus kolektif, namun
menjadi masalah jika seleksi calon pimpinannya tidak harus kolektif.
92
Pendapat yang mengatakan bahwa pengisian jabatan para pimpinan
KPK sebaiknya tidak lakukan secara serentak, yang dalam arti, setiap
pengganti pimpinan KPK akan menjabat selama empat tahun penuh atau
tidak berdasarkan penggantian antar waktu mempunyai alasan bahwa
jika terjadi pergantian secara serentak lembaga tersebut akan bekerja dari
nol karena para pimpinannya baru semua. Jika penetapan pengganti antar
waktu, diputuskan menjabat hanya sampai periode yang memimpin saat
ini habis, hal tersebut dinilai mubazir karena proses seleksi pengganti
pimpinan KPK memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Perdebatan
mengenai itu dianggap sudah seleai dengan putusan Mahkamah Konstitusi
yang menafsirkan bahwa pimpinan dan/atau pimpinan KPK pengganti
memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya
untuk sekali masa jabatan (conditionally constitutional).32
H. REKOMENDASI
Perubahan atau Mengganti UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) merupakan suatu kebutuhan
dengan penguatan. Perubahan atau mengganti tersebut karena dalam
realitasnya masih terdapat kelemahan, hambatan, tantangan, rintangan
yang dialami oleh KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang
sesuai UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Korupsi (KPK). Pelaksanaan supervisi dan koordinasi yang seharusnya
mencerminkan KPK sebagai lembaga dengan metode luar biasa dalam
pemberantasan korupsi, tidak berkembang dengan baik. Dengan berpijak
pada uraian di atas yang di dalam bagiannya terdapat rekomendasi pula,
maka disusun rekomendasi lanjutan yaitu:
1. Diperlukan perbaikan kerangka pikir pimpinan aparat penegak
hukum, pimpinan lembaga negara, pimpinan lembaga pemerintahan
non departemen untuk memberantas korupsi secara bersama dengan
melakukan keterbukaan informasi dan transparansi terhadap
berbagai laporan keuangan. Dalam hal itu, diperlukan sikap saling
mendukung dan bukan saling berkompetisi yang tidak sehat dan
terkesan menimbulkan resistensi terhadap pemberantasan korupsi
sendiri, dan perlu pengawasan terhadap berbagai kepentingan politik
kekuasaan negara maupun perorangan. Di saat yang bersamaan
ketentuan supervisi, monitoring dan koordinasi yang terdapat dalam
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi
(KPK) perlu diatur lebih rinci, termasuk pengaturan bagian dari KPK
93
2.
3.
4.
5.
6.
yang bertugas mendukung supervisi, monitoring dan koordinasi
dalam pemberantasan korupsi.
Melakukan sinkronisasi kembali dasar hukum dan pengaturan
penyadapan sehingga tata cara penyadapan untuk masing-masing
lembaga yang berwenang sinkron dan harmonis serta tidak multi
interpretasi. Dalam hal ini, setiap lembaga yang memiliki kewenangan
untuk melakukan penyadapan harus tetap menerapkan mekanisme
pengawasan internal dalam bentuk standar prosedur operasio dalam
hal penyadapan.
Pengaturan penyidik dan penuntut KPK perlu dipertegas dalam
Perubahan atau Mengganti UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) dengan disertai peraturan
internal yang cukup ketat untuk membentuk penyidik dan penuntut
KPK yang berintegritas.
Pembentukan KPK perwakilan disetiap daerah harus mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dan prospektif
kebaikannya bagi KPK itu sendiri. Kepentingan menjembatani
berbagai hambatan teknis di lapangan yang dialami oleh masyarakat
untuk melakukan pengaduan/pelaporan, memantau perkembangan
kasus yang dilaporkan kepada KPK secara intens tetap perlu disikapi
dengan hati-hati oleh KPK. Jika pengkajian mengenai hal tersebut
memberikan hasil yang prospektif bagi KPK, maka perwakilan KPK
di daerah dapat dibentuk mengikuti perkembangan pembentukan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini, KPK dapat membangun
jejaring dengan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat di
daerah dalam upaya pemantauan pemberantasan korupsi dan dalam
rangka membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi masyarakat
untuk melaporkan dugaan kasus korupsi yang ada di daerahnya.
KPK tetap tidak berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan
dengan menerbitkan SP3 dan SKP2 karena di saat korupsi dianggap
merupakan keadaan yang luar basa dan diselesaikan dengan metode
yang luar biasa, maka kewenangan menerbitkan SP3 dan SKP2 akan
melukai rasa keadilan dan harapan masyarakat terhadap upaya
pemberantasan korupsi.
Dalam hal pergantian antar waktu pimpinan KPK sebaiknya
tetap berpedoman kepada putusan Mahkamah Konstitusi, yang
memutuskan pimpinan KPK pengganti yang tidak dipilih dalam satu
paket dengan pimpinan KPK yang lain tetap menjabat selama empat
tahun sejak dipilih. Jika pergantian antar waktu pimpinan KPK tetap
94
diupayakan dengan mengikuti pemikiran bahwa pimpinan KPK
serempak menjabat dalam periode yang sama, maka perlu landasan
fisolofis, yuridis dan sosioligis yang kuat. Landasan tersebut tertuang
dalam undang-undang yang tidak bertentangan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi.
RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU
MENGGANTI UU TENTANG
KEJAKSAAN
REPUBLIK INDONESIA
Perlu Berpedoman Pada Prospektif
Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana
A. PENGANTAR
Ketika UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
disahkan, cukup besar harapan masyarakat pada reformasi Kejaksaan.
Perkembangannya di tahun 2011, ternyata terdapat kebutuhan perlunya
perubahan atau bahkan mengganti UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, terlebih lagi terdapat Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materil UU No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. DPR telah merencanakan
perubahan kembali terhadap UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Dengan demikian, maka RUU yang sedang
direncanakan tersebut ialah RUU yang merupakan perubahan atau
mungkin menggantinya.
DPR berpendapat bahwa perkembangan kebutuhan masyarakat
dan kebutuhan ketatanegaraan menjadikan perlunya perubahan UU
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, atau bahkan
membentuk undang-undang yang baru. Hal itu dimaksudkan untuk lebih
memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan sebagai lembaga negara
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Kejaksaan
harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Kejaksaan harus
melaksanakan apa yang diamanatkan oleh undang-undang dengan
merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya. RUU yang merupakan perubahan atau mungkin
mengganti UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
sudah terdapat dalam Prolegnas tahun 2011.33
96
Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, Kejaksaan
harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban umum, keadilan
dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma
keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai
kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan
antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan
pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga
dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi
kepentingan masyarakat.34
Salah satu hal yang cukup mendesak dari perubahan atau bahkan
mengganti UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
ialah agar lebih memperhatikan prospektif rekonstruksi sistem peradilan
pidana yang sudah dimulai dengan membuat suatu RUU tentang Hukum
Acara Pidana yang dianggap lebih mampu menjamin penegakan hukum
dan keadilan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dibandingkan
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
berlaku sampai dengan saat ini. B. KEDUDUKAN KEJAKSAAN
Dalam hal kedudukan Kejaksaan di Indonesia, dapat melihat terlebih
dahulu mengenai sekilas sejarah kedudukan Kejaksaan di Indonesia
dengan perundang-undangan yang mendasarinya dalam setiap masa
tertentu.
1. Kedudukan Kejaksaan di Indonesia Sebelum Berlakunya UU No. 5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Pasca kemerdekaan, Indonesia belum memiliki peraturan perundangundangan sendiri yang mengatur kedudukan, tugas dan kewenangan
Kejaksaan. Untuk itu berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
Pemerintah menggunakan peraturan-peraturan lama yang diwariskan
oleh Pemerintah Hindia Belanda. Saat itu posisi Jaksa Agung RI
meneruskan apa yang telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negeri
Belanda atau Indische Staatsregeling, yang menempatkan Kejaksaan Agung
berdampingan dengan Mahkamah Agung. Namun secara administratif,
Kejaksaan dan Pengadilan berada di bawah Kementerian Kehakiman.
97
Ketentuan-ketentuan di dalam Indische Staatsregeling yang mengatur
kedudukan Kejaksaan sama dengan ketentuan-ketentuan dalam UUD
Negeri Belanda yang menganut sistem pemerintahan Parlementer. Secara
teori, konstitusi Belanda memang memisahkan tugas badan eksekutif
dengan badan yudikatif. Namun dalam tradisi di Negeri Belanda, semua
hakim dan jaksa, adalah pegawai negeri. Secara struktural organisasi,
personil dan keuangan baik jaksa maupun pengadilan berada di bawah
Ministrie van Justititie (Kementerian Kehakiman). Namun secara fungsional
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam kekuasaan yudikatif,
jaksa dan hakim adalah independen.
Dalam hukum tata negara Belanda, Jaksa Agung diangkat oleh
Perdana Menteri atas usul Menteri Kehakiman. Calon Jaksa Agung diambil
dari pejabat karir berdasarkan kecakapan, pengalaman dan kemampuan.
Jabatan Jaksa Agung bukanlah jabatan politik. Oleh karena tugas jaksa
terkait langsung dengan pengadilan, maka dalam tradisi Belanda, Jaksa
Agung disebut sebagai ”Jaksa Agung (Hoofd Officer van Justitie) pada
Mahkamah Agung (Hooge Raad)”. Pola seperti ini, diikuti Indonesia
sampai dengan tahun 1958, ketika Perdana Menteri Juanda merintis jalan
untuk menempatkan Kejaksaan sebagai institusi yang sepenuhnya berada
di bawah kekuasaan eksekutif.
Berdasarkan UU Republik Indonesia Serikat (RIS) No 1 Tahun 1950
tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung
Indonesia, Jaksa Agung tetap berada di di Mahkamah Agung. Pasal
2 UU RIS No. 1 Tahun 1950 mengatakan ”Pada Mahkamah Agung adalah
seorang Jaksa Agung dan dua orang Jaksa Agung Muda”. Namun ada sedikit
perubahan pada proses perekrutan Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda,
yang dalam sistem ketatanegaraan Belanda diangkat oleh Perdana Menteri
atas usul Menteri Kehakiman, yang dalam undang-undang ini diangkat
oleh Presiden, yang dalam praktiknya dilakukan atas usul Perdana
Menteri. Sebagaimana diketahui, Konstitusi Republik Indonesia Serikat
menganut sistem parlementer. Keberadaan Kejaksaan yang rancu antara
eksekutif dan yudikatif ini, baru berakhir pada tahun 1959, ketika UUD
1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Setelah Dekrit Presiden, 13 Juli 1959, pada tanggal 22 Juli 1960 Presiden
Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960, yang
secara tegas memisahkan Kejaksaan dari Kementerian Kehakiman dan
Mahkamah Agung, dan menjadikannya sebagai suatu institusi yang
berdiri sendiri dan merupakan bagian dari kabinet. Dalam pembentukan
kabinet baru yang bercorak presidensial yang dinamakan dengan Kabinet
98
Kerja I, Presiden Sukarno mengangkat Mr. Gatot Tarunamihardja
sebagai Menteri/Jaksa Agung. Inilah pertama kalinya terjadi pergeseran
kedudukan Kejaksaan dan posisi Jaksa Agung, yang dulunya rancu karena
mengikuti tradisi Belanda, menjadi lebih tegas: Kejaksaan adalah bagian
dari ranah eksekutif. Jaksa Agung adalah anggota kabinet dengan sebutan
Menteri/Jaksa Agung.
Tidak lama setelah itu, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU No.
15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik
Indonesia yang didalamnya menyebut bahwa Kejaksaan adalah bukan
saja alat negara penegak hukum, tetapi dalam konteks penyelesaian
revolusi, Kejaksaan adalah “alat revolusi”, yang tugas utamanya adalah
“penuntut umum”.
2. Kedudukan Kejaksaan dalam UU No. 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia
Konsideran UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa bahwa Kejaksaan
adalah ”alat negara” dan ”alat revolusi”, sedangkan konsideran UU No.
5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa
Kejaksaan adalah ”lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan dalam tatanan susunan kekuasaan badanbadan penegak hukum dan keadilan”. Oleh karena itu terjadi pergeseran
penting dalam mendudukkan institusi Kejaksaan, dari ”alat negara”
menjadi ”lembaga pemerintahan”.
Pergeseran tersebut untuk mempertegas posisi Kejaksaan sepenuhnya
berada dalam ranah kekuasaan eksekutif. Kemudian dikatakan bahwa
Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggungjawab tertinggi Kejaksaan
yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan” [Pasal
18 ayat (1)]. UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
juga menghapus istilah Departemen Kejaksaan dan Menteri sebagai
penyelenggaranya sebagaimana diatur di dalam UU No. 15 Tahun 1961
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa
Agung juga ”diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggungjawab
kepada Presiden” (Pasal 19).
Penegasan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung
adalah kewenangan Presiden, serta pertanggungjawabannya kepada
99
Presiden, semakin mempertegas bahwa Kejaksaan adalah sepenuhnya
berada di bawah ranah kekuasaan eksekutif.
3. Kedudukan Kejaksaan dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia
Perubahan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia dilatarbelakangi oleh rumusan pasal-pasal dalam Bab IX
UUD 1945 Hasil Amandemen tentang ”Kekuasaan Kehakiman”. Setelah
perubahan atau amandemen tersebut, Bab IX UUD 1945.
Pasal 24 ayat (1) berbunyi:
”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal 24 ayat (2) berbunyi:
”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, lingkungan militer dan lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi”.
Pasal 24 ayat (3) berbunyi:
”Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kekuasaan
kehakiman diatur dengan undang-undang”.
Bila kita telaah seluruh ketentuan dalam Bab IX UUD 1945 Hasil
Amandemen, sebagaimana juga dalam keseluruhan teks UUD 1945
setelah perubahan, maka kita tidak akan menemukan kata ”Kejaksaan”
disebutkan di dalamnya. Demikian juga dengan ”Kepolisian” yang
sebelumnya juga dicantumkan, namun pasca perubahan mendapatkan
tempat yang khusus diatur dalam Bab XII tentang Pertahanan Negara
(Pasal 30 ayat 4 dan 5).
Perdebatan yang muncul dalam pembentukan UU No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah apakah dengan
tetap mempertahankan kedudukan Kejaksaan dalam ranah eksekutif
tidak bertentangan dengan rumusan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 setelah
perubahan? Hal ini tergantung pada penafsiran kata seluruh ketentuan
dalam BAB IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman.
”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Sementara lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman itu disebutkan secara
100
limitatif yakni ”dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan yang berada di bawahnya…dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
(Pasal 24 ayat 1 dan 2). Sementara ”badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Sebagai badan yang melaksakan tugas penuntutan dan pelaksanaan
putusan pengadilan, maka Kejaksaan adalah badan yang secara fungsional
terkait dengan kekuasaan kehakiman. Apakah terkait berarti menjadi
bagian dari kekuasaan kehakiman? Tentunya tidak demikian, Kejaksaan
tidak menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman hanya memiliki kaitan
dengan kekuasaan kehakiman dalam konteks integrated criminal justice
system.
C. KEJAKSAAN: LEMBAGA PEMERINTAHAN ATAU
LEMBAGA NEGARA
Lazimnya dalam sistem presidensial di negara-negara lain seperti
Amerika Serikat dan Philipina, Kejaksaan berada dalam ranah kekuasaan
eksekutif, namun demikian dalam menjalankan fungsinya bersifat
independen.
Secara filosofis, dalam sistem presidensial, keberadaan Kejaksaan
dalam ranah kekuasaan eksekutif karena dalam menjalankan fungsinya,
Jaksa Penuntut Umum bertindak mewakili kepentingan umum (seluruh
rakyat). Dalam sistem presidensial, Presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat, berarti rakyat memberi amanat kepada Presiden untuk melindungi
kepentingannya, karena itu Presiden berwenang memilih Jaksa Agung
untuk menjalankan amanat melindungi kepentingan rakyat tersebut.
Seandainya fungsi penuntutan berada di bawah kekuasaan yudikatif
maka hakim-hakim di lembaga peradilan tidak dipilih secara langsung
oleh rakyat dan karena itu bila Kejaksaan di bawah kekuasaan yudikatif
maka tidak berhak untuk mengatasnamakan rakyat.
Meskipun Kejaksaan berada dibawah Presiden namun Kejaksaan
memiliki Independensi dalam menjalankan fungsi penuntutan, hal ini
harus mendapat jaminan dalam undang-undang. Jaminan tersebut dapat
mengikuti pola independensi yang berkaitan dengan independensi etisindividual (nilai-nilai profesionalitas) maupun independensi organisasi
(pengaturan kelembagaan).
101
D. RUANG LINGKUP TUGAS KEJAKSAAN SELAIN
PENUNTUTAN
Ruang lingkup tugas Kejaksaan selain penuntutan yang selama ini
dikenal ialah mengenai:
1. Kewenangan penyidikan dalam kasus tindak pidana korupsi dan
pelanggaran hak asasi manusia.
2. Kewenangan untuk melakukan deponeering.
3. Kewenangan di bidang ketertiban umum.
4. Kewenangan di bidang perdata dan tata usaha negara.
Ketiga kewenangan tersebut penting untuk ditelaah. Dalam
perkembangan negara yang berdemokrasi, kewenangan tersebut seringkali
menjadi masalah karena terdapat pola pikir yang berbeda di masyarakat.
Hal ini seringkali menimbulkan pertentangan antara pemerintah dan
masyarakat.
1. Kewenangan Penyidikan dalam Kasus Korupsi dan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia
Sejak berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), kewenangan penyidikan berada di tangan Kepolisian Republik
Indonesia. Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menyebutkan bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, ini berarti bahwa Kepolisian adalah penyidik tunggal.
Akan tetapi dalam aturan peralihan pasal 284 ayat (1) UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan:
“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka
terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan
pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan
dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
ketentuan khusus adalah ketentuan yang menyangkut pengusutan,
penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (UU No. 7 Darurat
Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana korupsi. Namun agar tidak menimbulkan multitafsir maka
102
dalam PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, dalam pasal 17, secara tegas menyebutkan Jaksa
Kejaksaan sebagai penyidik untuk tindak pidana tertentu (korupsi). Untuk
lebih lengkapnya isi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
“Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat
(2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat Penyidik yang
berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan."
Pasal inilah yang menjadi acuan untuk memberikan kewenangan
Jaksa Kejaksaan bertindak selaku penyidik tindak pidana korupsi. Dalam
pasal tersebut sebenarnya ada pembatasan yaitu dengan adanya redaksi
“sementara”. Kenyataannya setelah sekian banyak ketentuan mengenai
undang-undang tindak pidana korupsi mulai dari UU No. 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sampai dengan UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ada penyebutan secara
tegas tentang apakah Kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia secara
eksplisit telah menyebutkan secara tegas bahwa Kejaksaan memiliki
kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur
dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
tindak pidana tertentu adalah tindak pidana Korupsi dan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM). Dengan bunyi Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, maka secara yuridis
formil Kejaksaan telah memiliki kewenangan dalam hal melakukan
penyelidikan tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM.
Salah satu argumentasi bahwa Kejaksaan berwenang dalam penyidikan tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM, ialah dengan
berdasarkan asas utility hukum atau asas manfaat hukum. Artinya,
apakah penyidikan tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM oleh
Kejaksaan selama ini lebih banyak menimbulkan mudharat daripada
manfaat atau sebaliknya? Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar
biasa yang perlu mendapatkan penanganan luar biasa pula. Termasuk
dalam penanganan luar biasa ini adalah memperluas pengawasan, agar
103
memperkecil celah terjadinya “tindak pidana korupsi”, dan keberadaan
Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi adalah dalam rangka
memperkuat pengawasan. Oleh karena itu, berdasarkan argumentasi ini
ialah kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi masih relevan untuk
diberikan kepada Kejaksaan. Sementara dalam hal penyidikan pelanggaran
HAM, terbentur dengan masalah kompetensi Kejaksaan, karena itu terlihat
kinerja yang tidak optimal dari Kejaksaan dalam penyidikan pelanggaran
HAM. Dalam hal ini, banyak yang berpendapat bahwa sebaiknya
penyidikan pelanggaran HAM diberikan kepada lembaga yang kompeten
dalam hal ini, yaitu Komisi Nasional HAM. Berkaitan dengan hal tersebut,
Komisi Nasional HAM ditingkatkan kewenangannya bukan hanya dalam
penyelidikan namun juga dalam penyidikan pelanggaran HAM.
Hanya saja dalam konteks prospektif rekonstruksi sistem peradilan
pidana, maka perlu diperhatikan perumusan yang sudah dilakukan di
dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana, yaitu bahwa penyidik adalah:
1. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia;
2. Pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut
Undang-Undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan
Penyidikan; dan
3. Pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut
Undang-Undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan
Penyidikan.
Dengan begitu, tersirat bahwa terdapat pembagian kewenangan
penyidikan dan penuntutan, sehingga tidak terdapat lagi kewenangan
penyidikan dan penuntutan dirangkap oleh dalam suatu jabatan
kelembagaan.
2. Kewenangan untuk Melakukan Deponeering
Pasal 35 sub c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia maupun penjelasannya mengatakan pengenyampingan perkara
(deponeering) demi kepentingan umum adalah sebagai berikut:
yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa
dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas. Asas tersebut hanya dapat
dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat
dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan
masalah tersebut.
104
Asas oportunitas terkait dengan ajaran utility hukum atau asas
manfaat dari hukum. Bicara tentang manfaat maka berhubungan dengan
mudharat. Tegasnya, jika asas oportunitas dihubungkan dengan diskresi
Jaksa Agung untuk men-deponeer perkara maka dapat dipahami kebijakan
itu diambil tergantung pada mana yang lebih besar manfaatnya dalam
logika kepentingan umum yang menguat pada saat itu atau manakah
yang lebih besar manfaatnya antara menuntut atau tidak menuntut suatu
perkara terhadap kepentingan bangsa pada saat itu.
Tabel. Pengaturan Deponeering pada UU tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
UU No. 15/1961
Pasal 8
Jaksa
Agung
dapat
menyampingkan
suatu
perkara
berdasarkan
kepentingan umum.
UU No. 5/1991
Pasal 32 huruf ‘c’
Jaksa Agung mempunyai
tugas dan wewenang:
Menyampingkan perkara
demi kepentingan umum;
UU No. 16/2004
Pasal 35 huruf ‘c’
Jaksa Agung mempunyai
tugas dan wewenang:
Mengesampingkan
perkara demi kepentingan
umum
Menurut Prof Dr Andi Hamzah, SH dalam bukunya yang berjudul
“Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas
Dalam Hukum Acara Pidana” tahun 2006. Beliau menjelaskan sebagai
berikut:
“Demi kepentingan umum” dalam penseponeran perkara dalam rangka
penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk
kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan
masyarakat.”
3. Kewenangan di Bidang Ketertiban Umum
Kewenangan Kejaksaan di bidang ketertiban umum yang mendapat
perhatian luas dari masyarakat ialah kewenangan untuk:
a. Mengawasi peredaran barang cetakan.
b. Mengawasi aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan
negara serta penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
Seperti sempat disebutkan dalam bagian di atas bahwa kewenangan
ini dapat mengakibatkan pertentangan antara pemerintah dan masyarakat.
Oleh karenanya Kejaksaan harus menelaah kembali kewenangan ini.
105
a. Kewenangan untuk Mengawasi Peredaran Barang Cetakan
Selama ini, sejak zaman Orde Lama sampai dengan masa reformasi,
Kejaksaan melakukan pelarangan dan penyitaan buku tanpa ada due
process of law. Alasannya, demi menjaga ketertiban dan ketentraman
umum, Kejaksaan boleh mengambil keputusan sepihak. Akibatnya,
banyak penulis buku yang menjadi korban. Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 kemudian membatalkan UU
No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan. Namun
kewenangan Jaksa berkaitan dengan pengawasan peredaran barang
cetakan tidak dibatalkan, artinya Jaksa masih berwenang mengawasi
peredaran barang-barang cetakan. Namun demikian menurut Mahkamah
Konstitusi, kewenangan Jaksa tersebut tidak dapat dilakukan secara
sepihak, melainkan harus melalui due process of law (proses hukum yang
adil) berdasarkan hukum acara yang berlaku.
b. Kewenangan untuk Mengawasi Aliran Kepercayaan yang
Membahayakan Masyarakat dan Negara serta Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama.
Pasal 30 ayat (3) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia menjelaskan tugas Kejaksaan di bidang ketertiban dan
ketentraman umum, diantaranya adalah pengawasan aliran kepercayaan
yang membahayakan masyarakat dan negara, serta mencegah penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Sebenarnya pasal 30 ayat (3)
merupakan pengulangan dari UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
Kewenangan ini banyak dipersoalkan oleh berbagai pihak, setidaknya
karena beberapa hal :
1. Menjaga ketertiban dan ketentraman umum bukan tugas Kejaksaan,
melainkan tugas Kepolisian.
2. Pengawasan aliran kepercayaan dan penodaan agama, melanggar
HAM.
Dalam perkembangan saat ini, kewenangan ini tidak relevan lagi
diberikan kepada Kejaksaan, karena itu seharusnya kewenangan ini
ditiadakan dan direkonstruksi untuk diberikan kepada lembaga-lembaga
lain yang lebih kompeten.
106
4. Kewenangan di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan mempunyai
kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai
penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya
memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau
pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.
Dalam hal ini, terkait dengan ajaran utility hukum atau asas manfaat
dari hukum. Dapat dipahami bahwa dengan keadaan Indonesia yang
mana negara atau pemerintah mempunyai keterbatasan, maka peran
Kejaksaan dimanfaatkan dalam hal membela kepentingan negara atau
pemerintah. Sampai dengan saat ini, manfaat tersebut masih diraskan
seperti dalam hal sengketa hasil perhitungan suara dalam pemilihan
umum legislatif. Meskipun demikian, hal ini tetap memerlukan kajian
lebih lanjut agar tidak berbenturan dengan peran advokat.
F. PENINGKATAN SUMBER DAYA MANUSIA
Peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan yang perlu mendapat
perhatian serius ialah dalam hal perekrutan calon jaksa, pendidikan dan
pelatihan, serta mutasi dan promosi.
1. Perekrutan Calon Jaksa
Perekrutan calon jaksa merupakan langkah awal untuk mendapatkan
sumber daya jaksa yang berkualitas. Proses perekrutan yang baik
tentunya dimulai dari persyaratan untuk menjadi jaksa harus berbeda
dengan pegawai negeri pada umumnya. Jabatan jaksa dengan segala
tugas dan wewenang yang dimilikinya harus dijabat oleh orang-orang
pilihan yang memiliki kemampuan dan pengatahuan hukum secara baik.
Jaksa merupakan jabatan fungsional di Kejaksaan yang dapat dijabat oleh
pegawai negeri di Kejaksaan dengan kualifikasi memiliki ijasah sarjana
hukum dan lulus pendidikan pembentukan jaksa (PPJ).
Status jaksa sebagai pegawai negeri sipil berakibat pada sistem
perekrutan yang tidak jauh berbeda dengan pola perekrutan pegawai
negeri sipil pada umumnya. Kejaksaan memiliki kewenangan untuk
menetapkan sistem perekrutan secara otonom namun pola yang saat
ini diterapkan pada praktiknya seringkali mengalami penyimpangan
sehingga belum dapat menghasilkan tenaga jaksa yang berkualitas baik.
Proses perekrutan yang berjalan selama ini perlu dikaji kembali
mengenai efektivitas pelaksanaannya di lapangan. Beberapa pendapat
107
menyatakan bahwa proses yang telah dijalankan oleh Kejaksaan dalam
melakukan perekrutan masih belum dapat menghasilkan sumber daya
jaksa dengan kualitas sebagaimana yang diharapkan. Proses pelaksanaan
perekrutan baik melalui tes calon pegawai Kejaksaan maupun PPJ
tidak jarang menimbulkan kritik karena dipandang tidak transparan
dan akuntabel. Misalnya, mekanisme kerja Tim Seleksi yang cenderung
tertutup dengan tidak diumumkannya penilaian hasil seleksi secara
keseluruhan. Hal ini dapat mendorong terjadinya penyimpangan dalam
pelaksanaan perekrutan dan seleksi.
Perekrutan calon jaksa saat ini hanya bertujuan untuk mengisi
formasi tenaga jaksa yang kosong di Kejaksaan. Kekosongan formasi
biasanya ditimbulkan oleh sebab-sebab yang rutin dan terukur, seperti
adanya jaksa yang pensiun, dibentuknya Kejaksaan baru (perluasan
organisasi), atau sebab-sebab yang insidental, seperti adanya jaksa yang
berhenti atau meninggal. Pada dasarnya analisis kebutuhan jaksa telah
dilakukan namun informasi tersebut belum dimanfaatkan secara baik dan
benar. Hal ini dapat dilihat dari penempatan jaksa pada masing-masing
daerah yang tidak merata.
Perekrutan calon jaksa sebaiknya tidak dilakukan secara otonom oleh
Kejaksaan itu sendiri, namun dilakukan oleh pihak ketiga yang memiliki
kompetensi dan integritas untuk memilih calon-calon jaksa yang memenuhi
kualifikasi yang dibutuhkan. Pihak ketiga ini bekerja tanpa keterlibatan
dan intervensi Kejaksaan. Kejaksaan hanya terlibat untuk menentukan
jumlah calon jaksa yang dibutuhkan dan kompetensi yang harus dimiliki.
Pihak ketiga dimaksud bekerja secara transparan dan akuntabel. Hal ini
dimaksudkan untuk memutus mata rantai korupsi, kolusi dan nepotisme
di Kejaksaan dan memulihkan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan.
Dengan uraian tersebut di atas, maka yang dapat disimpulkan dalam
perekrutan calon jaksa ialah:
1. Instrumen uji harus ditingkatkan untuk menggali kemampuan
analisis.
2. Materi uji perlu selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan.
3. Pedoman penilaian wawancara harus memuat tujuan definisi dan
tujuan tiap aspek penilaian, serta parameternya.
4. Wawancara dilakukan kepada tiap calon secara terpisah.
5. Wawancara diserahkan pada Seskretaris Jaksa Agung Muda dan
Direktur yang telah dilatih mewawancara, tidak pada Jaksa Agung
Muda.
108
6. Kemahiran berbahasa Inggris dan menggunakan komputer harus
diuji.
2. Pendidikan dan Pelatihan.
Pendidikan dan Pelatihan diarahkan pada keahlian. Pokok bahasan
dalam pendidikan dan pelatihan jaksa lebih menitikberatkan pada
pengetahuan yang “based on data”, yakni pengetahuan yang menggambarkan
kaitan antara kenyataan yang dijelaskan dan penjelasannya. Bahan ajar
dalam pendidikan dan pelatihan jaksa perlu dikoreksi, utamanya dalam
hal kecenderungan yang aksiomatik-deduktif. Sebagai pengayaan, harus
dilakukan aksentuasi pada keterampilan dalam olah logika dari pokok
bahasan yang terkandung dalam bahan ajar. Berkaitan dengan hal ini
diperlukan penambahan jam pelajaran berupa studi kasus.
Selain hal tersebut di atas, maka dalam hal pendidikan dan pelatihan
ini, diperlukan suatu perubahan yang menyeleraskan pendidikan dan
pelatihan antar lembaga penegak hukum, yaitu:
1. Pendidikan dan pelatihan terpadu.
2. Awalnya dipandu oleh Fakultas Hukum untuk menghindari kecemburuan dan kompetisi antar lembaga penegak hukum.
3. Proses perekrutan yang obyektif dan transparan.
4. Kurikulum didesain bersama, setelah dilakukan need assessment yang
melibatkan stakeholders, dan berorientasi pada content and competence.
5. Metoda pengajaran diperkaya dan tidak sekedar monologue oleh
pengajar (group dynamics, moot court, dan berbagai simulasi lain).
6. Pengajar dari berbagai profesi hukum dan akademisi yang accredited
7. Bahan ajar selalu dikembangkan dan dimutakhirkan.
8. Didukung oleh perpustakaan yang lengkap, mutakhir, dan juga yang
IT-based.
9. Menyediakan sarana video conference untuk berinteraksi dengan
profesional hukum dari manca negara.
10. Proses pembelajaran dalam kelas disertai dengan praktik magang di
berbagai lembaga profesi hukum.
11. Dilakukan tidak secara massal, tapi dalam kelas-kelas kecil, kecuali
untuk studium generale.
12. Mekanisme evaluasi disusun dengan seksama dan dimanfaatkan
untuk meningkatkan kinerja lembaga.
13. Quality Assurance dilakukan secara berkesinambungan.
14. Pencerminan dari public service, social concern and social involvement.
109
15. Didukung oleh praktisi hukum yang handal dan berintegritas.
16. Tingkat kelulusan yang jelas parameternya, sesuai dengan tujuan
pendidikan hukum lanjutan.
Hal tersebut di atas, dengan memerlukan suatu prasyarat:
1. Adanya kesamaan visi antar pemuka dalam pendidikan tinggi hukum
serta profesi hukum mengenai pendidikan hukum lanjutan yang
career-oriented.
2. Dukungan dari lembaga-lembaga untuk penyelenggaraannya.
3. Dukungan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif.
4. Dukungan dari civil society.
3. Mutasi dan Promosi.
Kondisi saat ini yang masih menyelimuti Kejaksaan dan berpengaruh
pada mutasi dan promosi dalam Kejaksaan ialah:
1. Kualitas sumber daya manusia, misalnya: penempatan pimpinan
yang kurang tepat dan keterbatasan pendidikan dan pelatihan.
2. Kuantitas sumber daya manusa: Jumlah aparat pengawasan di daerah
saat ini masih belum memadai.
3. Integritas aparat pengawasan yang seringkali menghambat
pelaksanaan pengawasan.
Berkaitan dengan hal itu, untuk memutus mata rantai korupsi, kolusi
dan nepotisme seharusnya penilaian untuk mutasi dan promosi diserahkan
pada Tim Independen, dalam hal ini komposisi Badan Pertimbangan
Jabatan dan Kepangkatan (BAPERJAKAT) seharusnya terdiri dari Tim
Independen yang berasal dari Unsur Akademisi, Tokoh Masyarakat dan
Mantan Jaksa yang berintegritas.
Selain itu pula, maka diperlukan:
1. Menempatkan personil pengawasan dilakukan berdasarkan need
asessment yang sesuai dan tepat.
2. Mengadakan fit and proper test bagi aparat pengawasan khususnya
dan Kejaksaan umumnya.
3. Memberikan reward tertentu bagi aparat pengawasan fungsional
khususnya dan Kejaksaan umumnya.
110
F. PENGISIAN JABATAN JAKSA AGUNG MUDA
DAN JAKSA AGUNG.
Pengisian jabatan Jaksa Agung Muda dan Jaksa Agung perlu
mendapat perhatian, terutama dengan adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materil UU No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
1. Apakah Jaksa Agung Muda dan Jaksa Agung Berasal dari Karier
atau Non-Karier
Keberadaan Jaksa Agung Non-Karier dilatarbelakangi oleh tuntutan
publik untuk mempercepat proses reformasi kelembagaan di Kejaksaan,
asumsi yang mendasari adalah adanya resistensi yang tinggi dari internal
Kejaksaan dalam menjalankan gagasan reformasi kelembagaan, karena
itu sulit mengharapkan reformasi berjalan dari dalam. Keberadaan Jaksa
Agung non-karir diharapkan mampu memutus mata rantai “mafiaperadilan” yang bersarang di tubuh Kejaksaan. Namun keinginan tersebut
tidak semudah membalik telapak tangan, banyak hal yang merintangi
Jaksa Agung non-karier dalam mereformasi kelembagaan Kejaksaan.
Keberadaan Jaksa Agung non-karier juga rentan tidak diterima oleh
Internal Kejaksaan dan akan membuat program reformasi kelembagaan
tidak dapat dijalankan secara maksimal.
Dalam situasi seperti saat ini, dimana Kejaksaan masih membutuhkan
proses menuju reformasi kelembagaan maka Jaksa Agung non-karir harus
tetap diberikan kesempatan, agar lebih leluasa memilih figur baik karir
maupun non-karir yang memiliki semangat perubahan yang tinggi dan
memiliki kualitas kepemimpinan yang baik dan berintegritas.
2. Masa Jabatan Jaksa Agung; Apakah Sama Dengan Masa Jabatan
Kabinet atau Mengikuti Masa Kerja Pejabat Jaksa (Sampai
Pensiun)
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010,
jabatan Jaksa Agung harus dibatasi, dan berdasarkan konvensi
ketatanegaraan, pembatasan masa jabatan Jaksa Agung adalah setiap
berakhirnya masa jabatan Presiden. Namun demikian agar tidak terjadi
lagi seperti kasus mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji maka
masa jabatan tersebut harus diatur secara eksplisit dalam RUU tentang
perubahan atau yang Mengganti UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Oleh karena itu, perlu mempertegas bahwa masa
jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan masa jabatan Presiden.
111
G. TATA KELOLA DAN SISTEM PENDUKUNG
KEJAKSAAN
Tata kelola dan sistem pendukung Kejaksaan berhubungan dengan
pemisahan antara tugas kesekretariatan dengan fungsi utama jaksa
melakukan penuntutan. Selain itu mengenai transparansi dan akuntabilitas
kelembagaan perlu juga mendapat perhatian.
1. Pemisahan antara Jabatan Struktural dan Fungsional (Fungsi Teknis
dan Fungsi Administrasi)
Seharusnya di Kejaksaan dibentuk Sekretariat Jenderal yang
menangani bidang-bidang administrasi dan keuangan, jabatan ini
diisi oleh Pegawai Negeri Sipill (PNS) non-jaksa, adapun jaksa hanya
menjalankan fungsi sebagai penuntut umum dan tugas-tugas lainnya
yang diamanatkan oleh undang-undang.
2. Transparansi dan Akuntabilitas Kelembagaan.
Untuk membangun transparansi maka Kejaksaan wajib menyediakan
layanan yang mudah diakses masyarakat tentang perkembangan
penanganan perkara. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan:
1. Meningkatkan kinerja Persatuan Jaksa (Persaja) melalui program
“dari, oleh dan untuk” jaksa.
2. Mengefektifkan dan membuka untuk umum pembacaan putusan
Sidang Komisi Kode Etik Jaksa.
3. Menegaskan kembali peran Majelis Kehormatan Jaksa.
4. Menyusun pengaturan mengenai mekanisme kerja yang jelas dan rinci
diantara pengawasan yang dilakukan oleh organ internal Kejaksaan
dan Komisi Kejaksaan.
H. KOMISI KEJAKSAAN
Yang juga berpengaruh penting terhadap pengawasan Kejaksaan dan
peningkatan kinerja Kejaksaan ialah Komisi Kejaksaan, yang terdapat
di dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Lahirnya Komisi Kejaksaan tidak luput dari latar belakang berikut :
1. Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai.
2. Pengawasan yang tidak transparan (tidak terjangkau oleh kontrol
publik).
112
3. Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan
menyampaikan pengaduan dan memantau proses serta hasilnya
(ketiadaan atau minimalisnya akses yang telah disediakan).
4. Masih menonjolnya semangat membela sesama korps (esprit de corps)
yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak sebanding dengan
perbuatannya.
5. Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan puncak lembaga
penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil-hasil pengawasan.
Apakah setelah dibentuk Komisi Kejaksaan kondisi pengawasan
terhadap Kejaksaan menjadi lebih baik? Menurut hasil penelitian KHN,
tahun 2008, Komisi Kejaksaan menghadapi kendala sebagai berikut:
1. Dasar Hukum
Terdapat kelemahan antara lain:
a. Output dari tugas Komisi Kejaksaan hanya bersifat rekomendasi,
meskipun ada ketentuan lain bahwa masukan dari Komisi
Kejaksaan kepada Jaksa Agung adalah untuk ditindaklanjuti.
b. Belum diatur secara optimal mengenai peran masyarakat dalam
proses seleksi Komisioner dan akses terhadap laporan kinerja
Komisi di dalam Peraturan Presiden; dan
2. Kelembagaan.
Komisi Kejaksaan menghadapi persoalan kemandirian. Hal ini terlihat
dari sekretariat Komisi dengan pejabat dan staf pendukung berasal
dari institusi tersebut. Pengelolaan anggaran pun masih melekat
dengan lembaga yang diawasinya. Kondisi ini dapat mempengaruhi
independensi dari kinerja Komisi Kejaksaan.
3. Tugas dan wewenang.
Terbatas hanya untuk mengawasi kinerja pengawas dan tidak dapat
langsung melakukan pengawasan terhadap kode etik/perilaku jaksa.
Dalam praktiknya sulit menurunkan tingkat pelanggaran jaksa bila
pengawasan tidak diperkuat dengan pengawas eksternal yang dapat
mengawasi Kejaksaan.
4. Sumber Daya Manusia Komisi Kejaksaan.
Sumber daya manusia mengalami kendala terbatasnya kuantitas yang
tidak sebanding dengan luasnya cakupan wilayah serta kompleksitas
persoalan di Kejaksaan. Belum adanya capacity building terhadap
sumber daya manusia dan institutional building pada lembaga, juga
menjadi hambatan tersendiri. Capaian kerja serta dampak bagi
113
masyarakat yang minim, diyakini disebabkan oleh keterbatasan
Komisioner dalam merumuskan visi dan misi Komisi, yang seharusnya
diejawantahkan menjadi program kerja dalam tataran yang lebih
operasional.
5. Akses komunikasi yang terbatas dengan stakeholders. Berdampak
pada lemahnya akseptasi dan ekspektasi masyarakat terhadap
Komisi Kejaksaan. Dua hal tersebut sebenarnya dapat menjadi
stamina tambahan bagi Komisi Kejaksaan yang berada dalam kondisi
keterbatasan kemampuan.
Dengan keadaan seperti tersebut di atas, Komisi Kejaksaan masih
mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap Kejaksaan.
Dengan demikian, tujuan peningkatan kinerja Kejaksaan masih belum
tercapai.
I. REKOMENDASI
Dengan berpijak pada uraian di atas yang di dalam bagiannya
terdapat rekomendasi pula, maka disusun rekomendasi lanjutan yaitu:
1. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia tetap menempatkan Kejaksaan
sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penuntutan, dengan penegasan kekuasaan negara tersebut
dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini, dapat menjadi dasar bagi
Kejaksaan untuk tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya
terlepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif (pemerintah) dan
kekuasaan lainnya.
2. Dengan penegasan penempatan Kejaksaan pada lembaga pemerintah,
maka Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang
dilaksanakan secara merdeka demi keadilan berdasarkan hukum
dan keadilan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Jaksa
Agung selaku pimpinan kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan
dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk
keberhasilan penuntutan. Selain itu, Jaksa Agung bertanggung-jawab
atas reformasi Kejaksaan menuju Kejaksaan yang berintegritas.
3. Dengan berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi, maka, Jaksa
Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung
jawab kepada Presiden dalam masa jabatan sesuai dengan masa
jabatan presiden.
114
4. Tetap menempatkan jaksa sebagai jabatan fungsional. Dengan
demikian, jaksa harus profesional dengan kewajiban menempuh
berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan
fungsi, tugas, dan wewenang.
5. Membatasi atau menghilangkan secara bertahap kewenangan
Kejaksaan untuk tidak melakukan penyidikan tindak pidana tertentu.
Pembatasan kewenangan ini dengan mengacu atau berpedoman pada
prospektif rekonstruksi sistem peradilan pidana yang sudah dimulai
dengan membuat suatu RUU tentang Hukum Acara Pidana yang
dianggap lebih mampu menjamin penegakan hukum dan keadilan
yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dibandingkan UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
6. Di bidang ketertiban umum, peran Kejaksaan terasakan manfaatnya.
Meskipun demikian, sesungguhnya kewenangan ini tidak relevan
lagi diberikan kepada Kejaksaan, karena itu seharusnya kewenangan
ini ditiadakan dan direkonstruksi untuk diberikan kepada lembagalembaga lain yang lebih kompeten.
7. Di bidang perdata dan tata usaha negara, terasakan manfaatnya
Kejaksaan dengan kewenangan untuk dan atas nama negara
atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam
pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau
membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela
dan melindungi kepentingan rakyat. Meskipun demikian, hal ini tetap
memerlukan kajian lebih lanjut agar tidak berbenturan dengan peran
advokat.
8. Sinergitas antar pemangku kepentingan reformasi di Kejaksaan
perlu lebih dioptimalkan. Terutama respon positif dan proaktif
dari pihak Kejaksaan untuk membuka diri terhadap masukan,
kritik dan dukungan dari eksternal. Berkaitan dengan hal tersebut,
maka penguatan kapasitas dan peran Komisi Kejaksaan juga perlu
ditingkatkan, tidak sebatas pada fungsi pengawasan perilaku saja
tetapi juga untuk memastikan bahwa Kejaksaan bersungguh-sungguh
melakukan reformasi.
RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU
MENGGANTI UU TENTANG
KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Perlu Berpedoman Pada Prospektif
Sistem Keamanan Nasional Dan Rekonstruksi
Sistem Peradilan Pidana
A. PENGANTAR
Perjalanan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia telah berlangsung selama 9 tahun sampai dengan saat ini. Suatu
usia yang cukup lama untuk melihat apakah keberadaan Kepolisian
sudah selaras dengan fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia,
globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Hal-hal tersebut, seringkali dijadikan rujukan bagi masyarakat untuk
mengritisi perjalanan Kepolisian yang Kepolisian beranggapan telah
melakukan berbagai paradigma baru dalam menerapkan tujuan, tugas,
fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian sesuai UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bukan sekedar “isu” lagi melainkan fakta, Kepolisian dengan “force
and power” yang dimiliki masih menggunakan pemerasan, korupsi,
kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam
penegakan hukum. Di samping itu penegakkan hukum yang akuntabel
(accountability), transparan (openness), efektif dan efisien belum dicapai
pula.
Dalam mengemban tugas, Kepolisian saat ini masih saja menonjolkan
kekuasaan (power) sebagaimana berbagai perkara yang muncul ke
permukaan. Di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
116
(KUHAP) dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang
menegaskan bahwa pada Kepolisian melekat kekuasaan upaya paksa
(penyelidikan, penyidikan, penyitaan, penggeledahan) dan diskresi yang
sangat berpotensi disalahgunakan apabila tidak ada pengawasan internal,
eksternal dan horizontal serta aturan perilaku (code of practice). Sepertinya
ada kesalahpahaman dan penyimpangan dalam pelaksanan upaya paksa
itu.
Kedudukan Kepolisian juga mulai dipersoalkan, terutama ketika
ramai dibicarakan RUU tentang Keamanan Nasional yang diusulkan oleh
Lembaga Ketahanan Nasional dan Kementerian Pertahanan di tahun 2006
sampai dengan 2007. Meskipun pembicaraan mengenai RUU tentang
Keamanan Nasional sudah meredup seiring belum dibahasnya kembali
RUU tersebut, tetap perlu dilakukan pengkajian kembali kedudukan
Kepolisian dalam ketatanegaraan di Indonesia.
Begitupun halnya dalam penegakan hukum pidana, maka peran
Kepolisian perlu dikaji kembali apakah sudah memenuhi idealitas
suatu prospektif rekonstruksi sistem peradilan pidana. Berkaitan hal ini
revitalisasi peran Komisi Kepolisian Nasional juga perlu dilakukan agar
tidak seperti keadaan saat ini yang hampir tidak berperan penting dalam
memengaruhi kebijakan-kebijakan Kepolisian.
Dengan melihat uraian di atas, maka rencana perubahan atau bahkan
mengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang termasuk dalam daftar Prolegnas, perlu berpedoman pada
prospektif rekonstruksi sistem peradilan pidana dan sistem keamanan
nasional.
B. MENINJAU FUNGSI
KEPOLISIAN
DAN
TUGAS
POKOK
Sejauh ini, terdapat keragu-raguan apakah fungsi dan tugas pokok
Kepolisian telah dijalankan dengan baik. Fungsi Kepolisian yang
dinyatakan dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan kalimat:
"Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”,
diberikan penegasan dalam penjelasan pasalnya bahwa fungsi Kepolisian
harus memperhatikan semangat penegakan hak asasi manusia, hukum
117
dan keadilan. Ini merupakan wujud paradigma baru dalam fungsi
Kepolisian. Hal tersebut memberikan landasan bagi tugas dan wewenang
Kepolisian.
Tugas pokok Kepolisian yang terdapat dalam UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu "memelihara
keamanan” dan "ketertiban masyarakat” bersumber dari kewajiban
umum Kepolisian bersumber dari Undang Undang Dasar 1945, yaitu
”memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum”. Tugas pokok
"menegakkan hukum” bersumber dari ketentuan peraturan perundangundangan yang memuat tugas pokok Kepolisian dalam hubungannya
dengan peradilan pidana seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan berbagai
undang-undang yang memuat ketentuan pidana serta undang-undang
tertentu lainnya. Tugas pokok "memberikan perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat” bersumber dari kedudukan fungsi
Kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara yang pada
hakikatnya bersifat pelayanan publik (public service) dan termasuk dalam
kewajiban umum Kepolisian.35
1. Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, serta
Perlindungan, Pengayoman, dan Pelayanan kepada Masyarakat
Dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat banyak
permasalahan yang tidak kunjung selesai. Hal ini menelisik untuk
menelaah hal yang mendasar mengenai hakekat sebenarnya dari ketertiban
itu sendiri. Dalam hal yang demikian, bagaimana posisi Kepolisian dalam
melakukan upaya penertiban itu. Banyak orang berpendapat bahwa
fungsi Kepolisian yang paling penting, dan yang paling dikaitkan dengan
pemolisian, adalah pemeliharaan ketertiban umum, dan bahkan semua
fungsi Kepolisian lainnya berasal dari fungsi ini.
Sementara itu, Kepolisian bukanlah satu-satunya alat negara yang
bertanggung jawab atas pemeliharaan ketertiban. Kepolisian juga bukan
satu-satunya badan yang beroperasi di bidang ini. Ada berbagai mitra
yang terlibat, masing-masing memiliki peranan dan tanggung jawab serta
kekuasaan yang berbeda-beda. Dalam banyak kasus, tidak pantas dan
tidak efektif apabila pendekatan atau bahkan tudingan hanya ditujukan
pada Kepolisian saja dengan membawa keprihatinan mengenai tidak
adanya hukum dan ketertiban. Oleh karena itu sangat penting memahami
bahwa banyak lembaga lainnya juga terlibat dalam penjagaan ketertiban
118
dan bagaimana Kepolisian terkait (dan tergantung kepada hal ini). Dalam
arti, keberhasilan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat
merupakan tanggung-jawab yang terbagi pada Kepolisian dan lembagalembaga lainnya.
Hal lain yang juga sama pentingnya adalah pengertian bagaimana
Kepolisian terkait kepada negara dan warganya. Kepolisian dapat
dianggap merupakan ”tangan” yang digunakan negara untuk memaksa
atau merupakan alat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kepolisian juga dianggap sebagai “kekuatan’ atau’ pelayanan’. Perspektif
yang dianut juga memberikan pengaruh kuat pada bagaimana Kepolisian
mendekati masyarakat serta bagaimana masyarakat mendekati Kepolisian.
Para penganjur penegakan hak asasi manusia (HAM) cenderung untuk
memandang Kepolisian sebagai ”kekuatan’ dan berusaha agar Kepolisian
menjadi ’pelayanan’, yaitu Kepolisian yang responsif dan secara langsung
bertanggung-gugat kepada masyarakat. Usaha-usaha yang digunakan
untuk mengubah perspektif Kepolisian dari ”kekuatan manjadi pelayanan”
banyak menjadi slogan yang sering dipakai sehubungan dengan pekerjaan
HAM dengan Kepolisian.
Dalam praktiknya, terjadi masalah ketika layanan kepada negara
diprioritaskan. Kepolisian berisiko menjadi instrumen kekuatan kalangan
elit yang berkuasa. Namun, ketika layanan kepada masyarakat yang menjadi
prioritas, Kepolisian berisiko melayani kebutuhan segolongan orang dengan
mengorbankan golongan lainnya. Dengan demikian, dalam waktu tertentu
Kepolisian memerlukan sejumlah kebebasan untuk membuat pilihannya
sendiri berdasarkan profesionalitas Kepolisian. Kebebasan tersebut harus
tetap terikat oleh hukum dan kebijakan yang mapan.
Dalam upaya mencapai Kepolisian yang menjunjung tinggi HAM,
Kepolisian merupakan ”kekuatan” yang ’pelayanan’, yang mencerminkan
bagaimana dan sejauh mana negara bekerja untuk kepentingan umum.
Kepolisian, dalam hal ini, adalah dinas pelayanan yang dapat dengan
sah menggunakan kekuatan agar dapat mencapai tujuan-tujuan sah.
Bagaimana menyeimbangkan dalam masyarakat kekuatan dan pelayanan,
dalam praktiknya sangat terkait erat dengan peranan Kepolisian dalam
masyarakat. Apabila salah satu dari kedua hal tersebut (kekuatan atau
pelayanan) diabaikan, maka akan menghasilkan pemolisian yang kurang
efektif.
Kepolisian perlu dengan tepat memosisikan kelembagaannya
dalam konsep ’ketertiban’ dan konsep lawannya yaitu ’ketidaktertiban’.
119
Kepolisian dapat membentuk tanggung jawab mereka dalam menjaga
ketertiban; dengan memakai metodologi yang berbeda-beda untuk
mencapai sasaran. Kemudian Kepolisian dapat melihat sejauh mana
hubungannya dengan negara, para warganya dan Kepolisian itu sendiri.
Kepolisian dapat menjelajahi kebutuhan, dan risiko dari kemandirian
operasional seperti pada saat ini. Ketertiban harus dipelihara karena
ketertiban merupakan kepentingan semua orang, dan semua orang
harus ikut berkontribusi sebab setiap orang memiliki kewajiban terhadap
masyarakat.
Ketertiban sebagai ’keadaan penuh kedamaian dan harmoni di bawah
pihak otoritas yang berkuasa”. Namun, ketertiban bukanlah konsep
yang sepenuhnya bersifat netral. Sebagian orang akan berpendapat
bahwa ketertiban berarti tidak adanya mereka yang menentang hukum.
Namun sebagian lain dapat berargumen bahwa pemeliharaan ketertiban
bertujuan mengamankan pendistribusian sumber daya yang tidak merata.
Ketertiban cenderung dijabarkan oleh penguasa sebagai tidak adanya
ancaman apa pun terhadap kekuasaannya. Penindasan terhadap para
pembangkang lalu dibenarkan sebagai ’tindakan yang diperlukan untuk
menjaga ketertiban.
Ketertiban berkaitan dengan konsep ’keselamatan komunitas
masyarakat”. Ketertiban berkaitan juga dengan konsep yang digunakan
oleh lembaga-lembaga negara, sementara keselamatan masyarakat
adalah konsep yang digunakan ’di lapangan’ (lokal). ’Perspektif lokal’
ini berlawanan dengan perspektif nasional, dan kini menjadi semakin
relevan karena belakangan ini semakin jelas bahwa negara tidak selalu
berhasil menjamin adanya kedamaian dan ketertiban. Negara memilki
kemampuan yang terbatas dalam melakukan intervensi terhadap segala
jenis konflik dan dalam memengaruhi para pelaku yang bukan dari
kalangan negara, dan kemampuan ini pun terkadang berat sebelah dan
membela kepentingan-kepentingan tertentu. Di samping itu, penjaminan
keselamatan masyarakat memerlukan kerjasama dari semua kelompok yang
terlibat, termasuk masyarakat sipil. PBB menanggapi tantangan ini dengan
konsep ’Keamanan Manusia’. Konsep ini menekankan gagasan bahwa
negara harus melindungi hak-hak manusia, tetapi juga harus mendukung
pemberdayaan mereka demi meningkatkan potensi mereka untuk bisa
melindungi diri sendiri. Penting dicatat bahwa konsep keamanan manusia
ini berhubungan dengan HAM termasuk hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya dan kembali mengakui ”bahwa keamanan, pertumbuhan ekonomi
dan kemerdekaan manusia tidak bisa dipisahkan”.36
120
Para pendukung HAM mungkin tidak nyaman dengan konsep
ketertiban. Ketertiban dapat memiliki konotasi konservatisme dan
pemeliharaan status quo. Namun, ketertiban seperti termaksud tidak
berarti kesetiaan kepada peraturan tanpa mempedulikan kesesuaian
isi perundang-undangan yang berlaku dengan tuntutan kondisi riil
masyarakat. Contohnya, dalam sebuah komunitas yang dipimpin oleh
gerombolan/geng, ketertiban bisa dipertahankan melalui rasa takut.
Ketertiban dalam hal ini muncul dari ’hak untuk mendapat keamanan’,
bahwasanya ketertiban dianggap mencakup tidak adanya kesewenangwenangan dan bisa ditebaknya peraturan dan norma apa yang akan
diterapkan. Ini artinya negara harus dipandu oleh prinsip-prinsip negara
hukum dan HAM agar dapat meningkatkan kemungkinan bahwa
keharmonisan memang didapatkan dan dipelihara dengan damai.
’Ketertiban’ semacam itu merupakan konsep yang dapat dirumuskan
negara agar ketertiban berada sejajar dengan prinsip-prinsip HAM.
Ketertiban harus berdasarkan pada supremasi hukum dan menuju pada
’cita-cita manusia bebas yang menikmati semua hak-hak mereka’.37
2. Penegakan Hukum
Hukum pada dasarnya adalah hasil kesepakatan, tidak pernah
merupakan kesepakatan utuh, dan bahkan sebagian masyarakat merasa
sangat tidak bertanggungjawab terhadap terbentuknya sebuah hukum
dan bahkan menafikannya sebagai sarana keadilan. Dalam keadaan yang
demikian, Kepolisian menghadapi berbagai masalah penegakan hukum
(pencarian tersangka, pembuktian dan lain-lain). Kepolisian harus pula
bekerja keras menghadapi penentang sistem dan materi hukum.
Interprestasi lain mengenai asas negara hukum berfokus pada
lembaga-lembaga yang dibutuhkan untuk menunjang supremasi
hukum, termasuk perundang-undangan yang komprehensif, pengadilan
yang berjalan dengan baik dan kemandirian para hakim dan ”mesin”
penegakan hukum. Namun asas negara hukum dapat juga berarti tentang
pencapaian sasaran tertentu. Untuk sasaran itulah lembaga-lembaga
tersebut diperlukan, tetapi seperti biasanya di setiap negara, tetap tidak
mencukupi untuk mencapai sasaran. Sasarannya adalah :
1. Pemerintahan yang terikat oleh hukum.
2. Kesetaraan di hadapan hukum.
3. Tegaknya hukum dan ketertiban.
4. Keputusan/ kebijaksanaan yang bisa diprediksi dan efektif; dan
121
5. Penghormatan kepada HAM.
Pembentukan lembaga-lembaga dengan tujuan meraih kelima
sasaran, adalah interpretasi yang didukung oleh organisasi-organisasi
HAM termasuk Amnesti Internasional. HAM harus menjadi elemen
integral (sementara untuk penganut formalisme prosedur keempat butir
pertama sudah mencukupi). Posisi ini juga menyiratkan bahwa sekedar
advokasi untuk pendirian lembaga-lembaga penegakan asas hukum
tidaklah memadai.
Salah satu tujuan dari asas negara hukum adalah menciptakan
ketertiban, ketertiban yang kemudian harus berdasarkan pada asas
negara hukum. Menciptakan dan mempertahankan supremasi hukum
adalah salah satu cara negara untuk menjamin adanya ketertiban. Tidak
perlu dikatakan lagi bahwa kehadiran asas negara hukum merupakan
hal mendasar bagi pemolisian berbasis HAM karena hal ini menjabarkan
dan membatasi fungsi dan kekuasaan polisi, memberikan panduan yang
mengatur perilaku profesional Kepolisian, dan mempatkan Kepolisian
dalam sistem keamanan yang lebih luas. Ketaatan kepada asas negara
hukum pasti membutuhkan sistem perundang-undangan yang bekerja
dengan baik dalam melindungi hak-hak manusia, baik itu hak sipil, budaya,
ekonomi, politik dan sosial. Kepolisian mungkin terkadang mengatakan
”undang-undang membatasi pekerjaan Kepolisian” sedangkan justru
sebaliknya: ”hukum memungkinkan Kepolisian bekerja”.
C. KEDUDUKAN KEPOLISIAN
Dalam negara demokratis, ada tiga sistem Kepolisian yang digunakan
yakni:
1. Sistem Kepolisian terpisah (fragmented system of policing).
2. Sistem Kepolisian terpusat (centralized system of policing).
3. Sistem Kepolisian terpadu (integrated system of policing).
Indonesia salah satu negara selain Perancis, Italia, dan Thailand
dan mungkin negara lainnya yang menganut sistem Kepolisian terpusat
sesuai dengan UUD 1945 dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Sistem Kepolisian Indonesia yang terpusat
itu mempunyai keunggulan antara lain yaitu :
1. Pembuatan kebijakan (policy making) dan penegakan hukum (law
enforcement) serta pengendalian dalam soal keamanan dan ketertiban
serta penegakan hukum dapat berjalan secara simultan.
122
2. Pelaksanaan kebijakan (policy executing) melalui sistem komando
dapat berjalan efektif dan efisien.
3. Pengawasan dan evaluasi kebijakan dan kode etik serta peraturan
disiplin, terhadap setiap lapis struktur kesatuan di bawahnya
(Kepolisian Daerah, Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor) dapat
berjalan maksimal, tanpa hambatan yang berarti seperti tumpang
tindih kebijakan, personil, dan yuridiksi.
4. Kesepahaman dan kesamaan pandang terhadap mekanisme
pengamanan, diskresi, penegakan hukum, kode etik (code of conduct),
peraturan disiplin, administrasi, anggaran dan profesionalisme.
Indonesia sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum
menempatkan Kepolisian merupakan salah satu lembaga negara yang
disebutkan di dalam Pasal 30 Bab XII Pertahanan dan Keamanan Negara
UUD 1945. Secara implisit Kepolisian juga (Reserse) ditempatkan sebagai
pelaku yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana
ditegaskan Pasal 24 UUD Tahun 1945:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
“Badan - badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang - undang.”
Kepolisian adalah salah satu lembaga negara yang berperan
menegakan hukum selain Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Lembaga
Pemasyarakatan. Keempat pilar penegak hukum ini harus berkoordinasi
dan bekerjasama di dalam menanggulangi kejahatan dan memberikan
rasa aman kepada masyarakat sekaligus menegakan hukum dan keadilan.
Keberadaan lembaga Kepolisian di dalam negara demokratis yang
berlandaskan hukum merupakan keniscayaan untuk memberikan rasa
aman dan penegakan hukum, bahkan dalam negara totaliter pun lembaga
Kepolisian merupakan keharusan (taken for granted).
Pemisahan Kepolisian dengan ABRI pasca 1998, merupakan
kristalisasi dari evaluasi dan kritik terhadap Kepolisian yang sering
dilontarkan berbagai kelompok dalam masyarakat, yang mengusulkan
agar struktur organisasi Kepolisian harus dipisahkan dari ABRI.
Tujuannya adalah agar Kepolisian dapat menjadi suatu “lembaga yang
independen” dalam melayani masyarakat. Pekerjaan Kepolisian, tidak bisa
dipengaruhi struktur militer. Dalam pengalaman sebelum 1998, sebagai
akibatnya, fungsi dan tugas Kepolisian menjadi disfungsional, seakan-
123
akan Kepolisian sedang berperang menghadapi masyarakat. Peran dan
fungsi Kepolisian pada dasarnya adalah menjaga ketertiban dan hukum
dalam masyarakat, dengan membawa para tersangka ke pengadilan guna
mengembalikan kerugian publik dan juga korban.
Berkaitan dengan prospektif rekonstruksi sistem keamanan nasional
dan sistem peradilan pidana, Kepolisian ditempatkan sebagai pembantu
Presiden (eksekutif) setingkat menteri untuk memberikan rasa aman
kepada masyarakat dan mewakili negara dalam bidang penegakan
hukum pidana (investigation powers). Pemikiran ini dilandasi Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sekaligus kepala negara
yang bertanggung jawab penuh pada keamanan dan tegaknya supremasi
hukum bersama kekuasaan kehakiman.
Dalam pengaturan kekuasaan kehakiman, meskipun UUD Tahun
1945 hanya mengatur tiga lembaga yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial. Komisi Konstitusi yang menganalisis UUD
1945 pasca 1998, menghendaki agar pengaturan dalam bab kekuasaan
kehakiman lebih luas dari dari hanya sebatas kekuasaan kehakiman.
Komisi Konstitusi mengusulkan judul babnya menjadi kekuasaan
“Kehakiman dan Penegakan Hukum”. Usulan ini dilatarbelakangi oleh
adanya lembaga lain yang juga sangat penting dalam proses penegakan
hukum, tetapi kurang mendapat jaminan ”independensi konstitusional”
dalam UUD 1945, diantaranya adalah Kepolisian, Kejaksaan dan Advokat.
Komisi Konstitusi menilai, pengaturan Kejaksaan dan Kepolisian dalam
UUD 1945 sangat penting karena terkait dengan sistem penegakan hukum
pidana, hukum pidana lingkungan dan tindak pidana tertentu serta
perkara-perkara ruang maya.38
Independensi kekuasaan kehakiman, merupakan faktor penting dan
fundamental dalam penyelenggaraan peradilan. Independensi kekuasaan
kehakiman sebagai adjudication dan neutral third mempunyai arti penting,
bahwa penerapan prinsip-prinsip keadilan tanpa memandang status
pihak yang berperkara. Selain itu, independensi ini juga penting manakala
pemerintah merupakan salah satu pihak yang “berperkara”. Dari dua
persoalan ini, maka persoalan utama dalam independensi terkait dengan
impartiality dan political insularity.39 Penerapan prinsip independence of the
individual dalam Kepolisian penyidik Kepolisian sesungguhnya telah
dijamin UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Prinsip ini dimaknai, bahwa penyidik dalam melakukan penyidikan
dan upaya paksa (penetapan tersangka, penangkapan, penahanan,
124
penyadapan, penggeledahan, penyitaan) dan melaksanakan tugas lain
(diskresi) hanya tunduk pada hukum dan keadilan. Selain itu, penyidik
juga harus bebas dari segala bentuk gangguan yang berasal dari lembagalembaga eksternal, misalnya kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif,
maupun tekanan yang bersifat keuangan atau bisnis.
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang menindaklanjuti TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan
TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, TAP MPR No. VII/
MPR/2000 tentang Peran TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dan amandemen UUD 1945, sudah tepat menempatkan kedudukan,
karena dapat menjamin kemandirian terutama dalam penegakan hukum
bersama-sama dengan Kejaksaan. Kedudukan Kepolisian seperti saat ini
juga merupakan penyelesaian atas proses sejarah yang menempatkan
kedudukan Kepolisian dalam kedudukan di bawah departemen (sekarang
Kementerian) yang berbeda, yang kemudian menimbulkan permasalahan
kemandirian dalam penegakan hukum.
Tepatnya menempatkan Kepolisian di bawah Presiden seperti tersebut
di atas, perlu kewaspadaan pengawasan yang kuat untuk mengeleminasi
Kepolisian menjadi alat kekuatan rezim yang sedang berkuasa. Kerentanan
dan potensi yang cukup tinggi terhadap munculnya intervensi penguasa
serta penyalahgunaan organisasi maupun wewenang Kepolisian untuk
kepentingan penguasa memang sangat disadari. Jika itu terjadi Kepolisian
tersebut tidak lagi mengindahkan posisi dan perannya sebagai penegak
hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
D. ORGANISASI KEPOLISIAN DENGAN PENGUATAN PENGAWASAN
Dalam kerangka perubahan atau mengganti UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka organisasi Kepolisian
dengan prioritas Badan Reserse Kriminal seyogianya direstrukturisasi
dengan mengedepankan:
1. Keterbukaan informasi tentang mekanisme penanganan perkara.
2. Keterbukaan jumlah perkara yang diadukan, diproses dan dihentikan
Kepolisian setiap tahunnya.
3. Keterbukaan target waktu penyelesaian perkara.
4. Keterbukaan perkembangan proses penanganan perkara.
5. Akuntabilitas penggunaan diskresi.
125
6. Keterbukaan infromasi penanganan laporan/pengaduan tentang
pelanggaran kode etik dan peraturan disiplin Kepolisian.
Tantangan paling rumit dan berat yang dihadapi Kepolisian ke depan
adalah merestorasi kepercayaan publik dan menjamin komitmen dalam
membangun profesionalitas, akuntabilitas, transparansi dan independensi.
Kepolisian juga harus melakukan gebrakan dengan melakukan akselerasi
reformasi kelembagaan, di mana masyarakat melihat Kepolisian masih
resisten dengan reformasi internal. Atas dasar hal tersebut, maka
Kepolisian dapat juga memrioritaskan desain Badan Reserse Kriminal dan
penyidik agar tetap netral dalam posisinya di bawah komando Presiden
selaku kepala pemerintahan. Hal lainnya ialah bagaimana mendesain
hubungan secara sistemik dan harmonis antara penyidik Kepolisian dan
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Setelah itu, Kepolisian dapat memberikan landasan yang kuat dalam
RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk membenahi dan
mengembangkan profesionalitas Kepolisian, dan membangun lembaga
independen yang kuat yang mengawasi pelaksanaan tugas Kepolisian
sehari-hari di seluruh wilayah tugasnya.
RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, perlu memperkuat
pengawasan kelembagaan, reposisi dan pergeseran kedudukan, struktur,
tugas dan wewenang, keterbukaan dan akuntabilitas dari Inspektorat
Pengawasan Umun/Daerah dan Divisi Profesi dan Pengamanan sebagai
bagian dari fungsi pengawasan internal. Revitalisasi fungsi lembaga
pengawasan internal ini dalam fungsinya mengawasi proses penyidikan
dan pelanggaran kode etik serta peraturan disiplin Kepolisian, menjadi
penting dalam situasi saat ini untuk melanjutkan reformasi Kepolisian
pasca 1998.
E. Komisi Kepolisian Nasional
Di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia diperkenalkan Komisi Kepolisian Nasional. Hanya saja, tidak
mencerminkan fungsi Komisi Kepolisian Nasional sebagai pengawas
Kepolisian. Oleh karena Komisi Kepolisian Nasional yang dibentuk saat
ini tidak dibentuk sebagai lembaga pengawas eksternal yang independen,
maka model organisasi yang dibentuk pun sangat sederhana dan tidak
126
menyesuaikan dengan desain dan sistem kelembagaan organisasi
Kepolisian yang menjadi counter part-nya. Dapat dikatakan bahwa model
organisasi yang dipakai oleh Komisi Kepolisian Nasional termasuk dalam
kategori yang tidak efektif sebagaimana lazimnya organisasi modern.
Karena organisasi Kepolisian itu sendiri merupakan sebuah organisasi
besar yang melingkupi seluruh wilayah negara, yang dimulai dari tingkat
pusat di ibukota negara sampai ke berbagai kecamatan maupun kelurahan
dan desa di Indonesia.
Penguatan fungsi dan kewenangan Komisi Kepolisian Nasional
akan sangat membantu pengawasan eksternal Kepolisian, yang relatif
tidak mampu bergerak sendiri dengan kekuatan pengawasan dari dalam
dirinya sendiri. Dalam hal optimalisasi tugas dan wewenang Komisi
Kepolisian Nasional untuk membantu masyarakat dalam menangani
berbagai keluhan masyarakat terhadap Kepolisian, tidaklah dapat
dipisahkan dengan keberadaan berbagai lembaga pengawasan terhadap
Kepolisian, baik yang bersifat eksternal dan internal tersebut. Di satu sisi,
saat bersanding dengan berbagai lembaga pengawasan Kepolisian tersebut
maka Komisi Kepolisian Nasional seyogianya perlu memiliki nilai lebih
agar dapat berfungsi lebih ketimbang sekedar menerima dan menampung
keluhan-keluhan masyarakat terhadap Kepolisian, yang artinya Komisi
Kepolisian Nasional optimal dalam memantau tindak lanjutnya. Hal
ini terkait dengan seberapa besar kemanjuran fungsi Komisi Kepolisian
Nasional dalam menindaklanjuti keluhan-keluhan masyarakat yang ada.
Nilai lebih yang harus dibuat Komisi Kepolisian Nasional tersebut, akan
lebih terasa apabila berbagai lembaga pengawasan Kepolisian tersebut,
terutama lembaga pengawasan internal, sudah melakukan tugasnya
dengan baik. Tanpa adanya nilai lebih yang dibuat oleh Komisi Kepolisian
Nasional dari pada apa yang sudah diperbuat saat ini, maka fungsi dan
wewenang Komisi Kepolisian Nasional tidak akan berarti.
F. REKOMENDASI
Melanjutkan uraian tersebut di atas, maka rekomendasi lanjutan
selain yang terdapat dalam uraian tersebut di atas, yang dapat diberikan
ialah:
1. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sepanjang yang
berkaitan dengan tugas pokok Kepolisian dalam keamanan dan
ketertiban, dapat diusulkan sebagai berikut:
127
a. Revitalisasi Komisi Kepolisian Nasional.
b. Pendelegasian wewenang pada Kepolisian Daerah.
c. Memungsikan Kepolisian Resor sebagai Pusat Informasi
Keamanan dan Ketertiban.
2. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sepanjang yang
berkaitan dengan tugas pokok Kepolisian dalam perlindungan,
pengayoman dan pelayanan masyarakat, dapat diusulkan sebagai
berikut:
a. Pendelegasian wewenang pada Kepolisian Resor dan Kepolisian
Sektor.
b. Optimalisasi peran Mitra Bhayangkara.
3. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sepanjang yang
berkaitan dengan tugas pokok Kepolisian dalam penegakan hukum,
dapat diusulkan sebagai berikut:
a. Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana.
b. Penggantian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
c. Pembenahan Koordinasi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
4. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam hal penataan
organisasi Kepolisian, yang memrioritaskan penataan Badan Reserse
Kriminal, maka harus ditegaskan bahwa:
a. Penuntut Umum dan Polisi Reserse adalah bagian dari kekuasaan
kehakiman dan tunduk pada hakim serta dapat ditegur dan
dihukum oleh hakim/majelis sidang pengadilan bersangkutan,
bilamana lalai ataupun mengganggu kelancaran proses
pengadilan pidana, serta melanggar hak asasi manusia Tersangka
atau Terdakwa.
b. Polisi Reserse adalah pendamping Penuntut Umum, dalam
mempersiapkan bukti-bukti adanya tindak pidana dan kesalahan
Tersangka/Terdakwa. Tugas utamanya adalah pengumpulan fakta
lapangan (physical evidence dan witnesses). Dalam KUHAP dikenal
pula adanya penyelidikan (Bel.onderzoek;pro-actief rechercheren), di
mana belum diperlukan adanya “bukti permulaan yang kuat”,
berbeda dengan penyidikan. Penuntut Umum memeriksa dan
128
mengawasi (oversight) pengumpulan fakta lapangan, agar sesuai
dengan hukum dan yurisprudensi. Hanya Polisi Reserse yang
adalah pendamping Penuntut Umum. Divisi-divisi lain dari
Kepolisian tidak berkaitan langsung dengan Kejaksaan atau
Penuntut Umum. Karena itu dahulu, pegertian “hulp-magistraat”
hanya berlaku untuk “de rechterlijke politie”, tidak untuk kepolisian
secara keseluruhan;
5. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam hal penataan
organisasi Kepolisian, maka perlu pengaturan uji kelayakan dan
kepatutan terhadap seseorang anggota Kepolisian yang hendak atau
dicalonkan menjadi pemimpin Kepolisian dalam arti Kepala Satuan
Wilayah (Kepolisian Sektor, Kepolisian Resor dan Kepolisian Daerah),
dapat menjadi solusi permasalahan kepemimpinan Kepolisian yang
relatif lebih cepat dan dapat diperketat. Uji kelayakan dan kepatutan
tersebut dapat dengan memasukkan nilai-nilai kepemimpinan seperti
di bawah ini:
1. Top management, menjadi change agent;
2. Manajemen partisipatif, mengurangi hambatan komunikasi antar
level jabatan, kalau perlu diadakan komunikasi direct line pada top
management;
3. Konsistensi menerapkan sistem reward and punishment yang tegas,
menekankan bahwa tidak ada tempat bagi mereka yang tidak
berprestasi dan tidak ada waktu tersedia untuk mengembangkan
mereka yang butuh dorongan. Setiap orang harus menolong
dirinya sendiri, dan pastikan bahwa setiap orang harus menjadi
aset bagi organisasi Kepolisian;
4. Dekat dengan bawahan dan keteladanan;
5. Kemampuan membuat orang bertanggung-jawab.
6. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, harus
menjamin pelibatan masyarakat dengan melibatkan jaringan
lembaga swadaya masyarakat yang dikenal mempunyai
akuntabilitas. Hanya saja diperlukan suatu Nota Kesepahaman
yang detail dalam pelibatan tersebut, selain untuk menjaga
independensi Kepolisian maupun lembaga swadaya masyarakat,
karena lembaga swadaya masyarakat tetap diperlukan untuk
berposisi di luar Kepolisian guna memberikan saran dan kritik
atau mengawasi Kepolisian.
RUU TENTANG HUKUM
ACARA PIDANA
Sebagai Pedoman Prospektif
Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana
A. PENGANTAR
Hukum acara pidana sebagai salah satu instrumen sistem peradilan
pidana dimungkinkan untuk berubah. Perubahan tersebut terjadi karena
sistem peradilan pidana bukan merupakan sistem tertutup tetapi sebagai
sistem terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar
(openness). Melalui interaksi tersebut dimungkinkan adanya pengaruh
sistem sosial lainnya seperti pengaruh politik, sosial, pertahanan dan
keamanan (hankam), ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terhadap
sistem peradilan pidana.40 Dalam konteks yang lebih tinggi, UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau yang lebih dikenal dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seharusnya
diselaraskan dengan amandemen UUD 1945 yang telah menempatkan
Indonesia sebagai negara hukum (rechsstaats) yang menjunjung tinggi
Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan dimanapun.41 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) juga harus beradaptasi dengan perkembangan
perlindungan hak asasi manusia yang diatur dalam The Declaration of
Human Rights42 dan International Covenant on Civil and Political Right
(ICCPR)43 beserta Optional Protocol-nya. Implikasi Indonesia meratifikasi
Konvensi-Konvensi PBB tentang HAM, sebagai negara pihak (state party),
berkewajiban bahkan terikat secara yuridis dan politis untuk melakukan
langkah-langkah strategis guna menghormati (to respect), melindungi
(to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak tersangka/terdakwa dalam
tahapan proses peradilan pidana.
Kebutuhan pada pembaruan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia telah direspon oleh pemerintah
dengan mengajukan RUU tentang Hukum Acara Pidana yang baru ke
130
DPR. Rancangan yang dipantau dan dikaji dalam pendapat ini adalah
rancangan yang masih sama dengan tahun 2009. Saat ini, proses tersebut
masih berlangsung (dengan masih terdaftar dalam daftar prolegnas).
Sekalipun UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
dibuat pada tahun 1970-an dan diundangkan pada tahun 1981, sebagai
pembaruan total dari Herziene Inlands Reglement (HIR), tetapi harus
diakui bahwa setelah berjalan lebih dari tiga dekade, banyak kelemahan
yang ditemukan dalam praktik, sehingga timbul kebutuhan baru yang
mendesak untuk diperbaiki. Hal ini wajar karena sesuai dengan dinamika
perkembangan dan pertumbuhan masyarakat demokratis yang menuntut
adanya pembaruan hukum secara berkala atau dengan perkataan lain
hukum yang responsif.44
B. KEWENANGAN HAKIM (MENUJU REKONSTRUKSI SISTEM PERADILAN PIDANA DENGAN
DIAWALI
REKONSTRUKSI
KEWENANGAN
YANG SEHARUSNYA DIMILIKI HAKIM)
Hakim memegang peranan penting dalam setiap tahapan peradilan
pidana. Tahapan proses praajudikasi merupakan tahapan yang dalam
praktik sering didominasi oleh Kepolisan dan Kejaksaan. Hal tersebut
sebenarnya keliru, karena dalam tahapan proses praajudikasi pun, Hakim
lah yang memegang peranan penting agar tindakan yang dilakukan
oleh Kepolisian dan Kejaksaan berjalan secara adil dan tidak memihak
(due process of law). Meskipun UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) mengatur peran pengadilan dalam hal ini Ketua
Pengadilan Negeri dalam proses sebelum sidang, tetapi dalam praktik
peran tersebut kurang memberikan makna yang berarti dalam upaya
perlindungan hak-hak tersangka. Dalam praktik selama ini:
1. Ijin Ketua Pengadilan Negeri terhadap tindakan penyidik dan
penuntut umum hanya bersifat administrasi.
2. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa perlu tidaknya upaya
paksa penyidik dan penuntut umum dilakukan.
3. Praktik demikian menyebabkan sistem kontrol kekuasaan yudikatif
terhadap upaya paksa eksekutif dalam hal ini penyidik dan penuntut
umum tidak ada.
Perkembangan sejak berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) hingga saat ini, terdapat kelemahan
131
dalam praperadilan baik dalam aspek normatif maupun empiris. Secara
normatif, kelemahannya adalah, antara lain:
1. Pengadilan hanya dapat dilaksanakan jika para pihak menggunakan
haknya. Selama para pihak tidak menuntutnya hakim tidak dapat
menguji sah tidaknya tindakan penyidik dan penuntut umum dalam
menggunakan kewenangannya;
2. Hak tersangka, keluarga, atau kuasanya dapat gugur jika perkara
pidana telah mulai disidangkan. Hal ini dimuat dalam Pasal 82 ayat
(1) huruf d yang menyebutkan, dalam hal perkara sudah diperiksa
pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan permintaan kepada
praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
3. Tidak semua upaya paksa dapat diuji oleh hakim sehingga
menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang mengujinya
dan hakim hanya memperhatikan perihal dipenuhinya syarat formal
semata tidak menyentuh syarat materil;
4. Lembaga praperadilan yang saat ini ada merupakan hasil transplantasi
dari konsep habeas corpus, ternyata baik substansi maupun mekanisme
proseduralnya tidak sesuai dengan konsep dasarnya. Akibatnya,
hakim dalam praperadilan tidak efektif dalam mengawasi penggunaan
upaya paksa dari kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut
umum;
Dalam sistem negara yang demokratis yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia, tahap ajudikasi seharusnya mempunyai arti penting
dalam melakukan “pengawasan” terhadap tahap praajudikasi dan purna
ajudikasi. Dalam tahap ajudikasi ini, hakim-hakim yang independen
berkonsentrasi penuh untuk menentukan hasil pembuktian di persidangan
dan dalam tahap ini pula, hakim dapat menilai apa yang terjadi dalam
tahap praajudikasi dan apa yang seharusnya dilaksanakan dalam tahap
purna ajudikasi.
Dengan demikian, perlu rekonstruksi peran hakim dalam tahapan
atau proses praajudikasi, ajudikasi dan purnaajudikasi. Tidak tepat
jika hakim, melalui praperadilan, hanya memeriksa bukti formil dan
mengenyampingkan fakta yang terjadi (materil). Peran hakim yang seperti
demikian, menyimpangi tujuan proses peradilan pidana yang mencari
kebenaran materil. Sangat sulit mengharapkan kebenaran materil jika
dalam tahapan praajudikasi, hakim hanya memeriksa bukti formil saja
sebagaimana dipraktikan dalam praperadilan (sebagai salah satu bagian
dalam tahapan atau proses praajudikasi saat ini).
132
Rekonstruksi peran hakim dalam proses prajudikasi dapat dijadikan
sebagai “arus utama” dalam suatu rekonstruksi yang lebih besar yaitu
rekonstruksi sistem peradilan pidana. RUU tentang Hukum Acara Pidana
yang baru yang telah dipersiapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia sejak tahun 1999 dengan Surat Keputusan Nomor C.17.
PR.09.03. tahun 1999 sampai dengan 2007, dapat dijadikan kesempatan
yang besar bagi suatu rekonstruksi peran hakim dalam proses praajudikasi.
Pola pikir yang menjadi “arus utama” dalam RUU tentang Hukum Acara
Pidana yang baru seharusnya ialah bagaimana rekonstruksi sistem
peradilan pidana berpijak pada rekonstruksi peran hakim dalam proses
praajudikasi. Dengan kata lain, rekonstruksi peran hakim dalam proses
praajudikasi mengawali rekonstruksi sistem peradilan pidana.
C. MODEL DAN KELEMBAGAAN PENGAWASAN
(MENELAAH HAKIM KOMISARIS SEBAGAI
SUATU MODEL DAN KELEMBAGAAN PENGAWASAN)
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirimkan
kepada Penuntut Umum, seringkali masih “kabur” tersangkanya, padahal
ketika telah masuk ke tahap penyidikan secara yuridis formal telah ada
pelaku (tersangka) dan kualifikasi tindak pidana. Seseorang yang sudah
disebut oleh penyidik dalam SPDP sebagai tersangka berarti sudah
tinggal menyelesaikan kelengkapan penyidikan. Tidak hanya itu, dalam
penegakan hukum selama ini, SPDP tidak sesegera mungkin dikirimkan,
tetapi diserahkan bersamaan dengan perpanjangan penahanan atau
penyerahan Berkas Perkara. Laporan tahunan institusi penyidik belum
pernah menunjukkan berapa jumlah perkara yang masuk tahap penyidikan
dan SPDP yang telah diterima institusi penuntut umum dan dilimpahkan
ke Kejaksaan. Hal ini menunjukkan lemahnya “pengawasan berjenjang”
di tingkat penyidikan.
RUU tentang Hukum Acara Pidana memberikan suatu harapan
pengawasan yang lebih ketat terhadap potensi penyalahgunaan
kewenangan yang selama ini dlakukan, namun masih terdapat berbagai
kelemahan yang masih dimiliki dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana
antara lain:
1. Pengawasan Hakim Komisaris terhadap dimulainya penyidikan dan
penetapan tersangka. Sebab belum dirinci dalam keadaan bagaimana
seseorang dapat dikatakan ”diduga keras” melakukan tindak pidana
133
dan jumlah alat bukti yang harus dipenuhi sehingga dapat dikatakan
telah memenuhi syarat sebagai ”bukti permulaan yang cukup” (prime
facie evident). Kewenangan Hakim Komisaris dalam menilai tindakan
perlu tidaknya dilakukan upaya paksa dalam tahap penyidikan dan
penuntutan tidak disertai dengan syarat-syarat yang ketat. Syaratsyarat penahanan sebagai guidence putusan atau penetapan Hakim
Komisaris tidak jauh berbeda sebagaimana diatur sebelumnya dalam
Pasal 21 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP): ”...Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan
terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan
diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak
pidana”. Dalam Pasal 59 ayat (5) RUU tentang Hukum Acara Pidana
disebutkan Penahanan ...dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa
yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup dan ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan:
a. Melarikan diri.
b. Merusak dan menghilangkan alat bukti dan/atau barang bukti.
c. Mempengaruhi saksi.
d. Melakukan ulang tindak pidana; dan
e. Untuk kepentingan keselamatan tersangka atau terdakwa dengan
persetujuannya.
2. Mekanisme pemeriksaan oleh Hakim Komisaris sangat singkat
yang tidak memungkinan peradilan dan pembuktian berlangsung
berdasarkan prinsip-prinsip peradilan yang transparan, akuntabel,
fair dan imparsial. Ketakutan yang paling rasional dan realistis
lembaga ini hanya menjadi birokrasi tambahan yang memperpanjang
pemerkosaan hak asasi tersangka.
3. Belum diatur kewenangan Hakim Komisaris apabila laporan atau
pengaduan pencari keadilan (justiabelen) tidak mendapat respon
dari penyidik atau jaksa. Padahal praktiknya banyak sekali laporan/
pengaduan yang tidak mendapat respon dalam bentuk proses hukum
(Tanda Terima Laporan/Pengaduan);
4. Fungsi jaksa selain sebagai penuntut umum juga sebagai penyidik,
perlu melihat perkembangan penegakan hukum di mana kewenangan
jaksa dalam melakukan penyidikan korupsi pernah di gugat ke
Mahkamah Konstitusi. Di Indonesia, konsep sistem peradilan pidana
134
mengarah pada pembagian kewenangan antara fungsi penyidikan
dan penuntutan. Oleh karena itu, perlu mengkaji ulang pemberian
kewenangan penyidikan kepada jaksa.
5. Meskipun penyadapan berpotensi melanggar hak-hak privasi
(infringement of privacy rights), namun izin penyadapan dari Hakim
Komisaris harus dikecualikan terhadap kejahatan serius (white
collar crime) seperti korupsi dan terorisme. Hal ini penting untuk
memudahkan penyelidik dan penyidik mengumpulkan bukti-bukti,
karena begitu sulitnya membongkar kejahatan jenis ini.
D. STANDAR MEKANISME LEMBAGA PENGAWASAN DI DALAM MENJALANKAN KEWENANGANNYA (MENELAAH USULAN STANDAR
MEKANISME BAGI HAKIM KOMISARIS)
RUU tentang Hukum Acara Pidana cukup mengatur secara rinci
tentang Hakim Komisaris. Jika Hakim Komisaris berasal dari hakim yang
telah menjabat golongan III/C biasanya sudah diberikan wewenang untuk
menangani perkara yang lebih serius sedangkan hakim yang menjabat
golongan III/D, untuk pengadilan kelas II, biasanya sudah menjabat
sebagai Wakil Ketua. Apabila tidak dipersyaratkan untuk jenjang karir di
masa selanjutnya, maka Hakim Komisaris tidak menjadi hal yang menarik
bagi hakim-hakim tersebut. Dalam keadaan yang demikian, maka tetap
diperlukan suatu motivasi dari Ketua Pengadilan Negeri yang dianggap
lebih mengetahui secara teknis hal-hal yang dipersyaratkan sebagai
atasan langsung hakim yang akan diusulkan sebagai Hakim Komisaris
tersebut. Teknis operasional di lapangan yang mungkin terjadi sesuai
jalur birokrasinya, ialah Ketua Pengadilan Negeri yang mengusulkan ke
Ketua Pengadilan Tinggi dan kemudian Ketua Pengadilan Tinggi yang
mengusulkan ke Presiden. Fungsi Ketua Pengadilan Tinggi dalam hal ini
adalah fungsi koordinatif saja sebagai pengusul ke Presiden, untuk hakimhakim Pengadilan Negeri di wilayahnya yang akan diangkat sebagai
Hakim Komisaris.
RUU tentang Hukum Acara Pidana tidak mengatur apakah seorang
hakim yang sudah menjabat Hakim Komisaris di satu Pengadilan Negeri,
dapat diangkat kembali sebagai Hakim Komisaris di Pengadilan Negeri
yang lain, apabila yang bersangkutan mengalami mutasi. Persoalan
seperti tersebut di atas, ditambah lagi dengan terbatasnya jumlah Hakim
135
Komisaris yang ditentukan dalam Pasal 123 RUU tentang Hukum Acara
Pidana yaitu hakim tunggal. Entah apakah pengertian ”tunggal” itu dalam
hal bersidangnya ”tunggal” ataukah hanya seorang (tunggal) Hakim
Komisaris di dalam suatu yurisdiksi Pengadilan Negeri. Penjelasan Pasal
123 RUU tentang Hukum Acara Pidana tidak memberikan keterangan yang
memadai mengenai hal ini, hanya disebutkan ”cukup jelas”. Sementara
itu, bahwa jumlah Hakim Komisaris dalam setiap wilayah atau yurisdiksi
Pengadilan Negeri ditentukan relatif sedikit dibandingkan beban tugas
yang diembannya. Terlebih lagi, dapat terjadi bahwa tidak semua
Pengadilan Negeri mempunyai Hakim yang memenuhi kriteria untuk
menjadi Hakim Komisaris. Hal ini patut menjadi perhatian penting.
Persyaratan untuk menjadi Hakim Komisaris yang sudah relatif
baik, tetap tidak menutupi kelemahan kemungkinan terjadinya Hakim
Komisaris tidak berjalan sebagaimana mestinya atau tidak sesuai dengan
tujuan pembentukannya. Misalnya ialah kelemahan mendasar mekanisme
pengawasan yang dilakukan Hakim Komisaris adalah belum dirincinya
secara detail bagaimana standar dalam “proses pemeriksaan”.
Mengingat besarnya kewenangan yang dimiliki, beban kerja dan
budaya kerja yang harus dimiliki seorang Hakim Komisaris, maka
ketentuan RUU tentang Hukum Acara Pidana yang mengatur Hakim
Komisaris adalah hakim tunggal, hal itu menuntut seorang Hakim
Komisaris yang bukan saja berpengalaman (sebagaimana ketentuan
undang-undang ini mengharuskan pengalaman kerja minimal 10 tahun),
melainkan benar-benar harus memiliki kapabilitas dan integritas moral
tinggi. Mengingat nasib perlindungan hak asasi manusia tersangka
dalam proses praajudikasi dan upaya untuk menghindari terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyidik dan atau penuntut
umum, yang menjadi komitmen dan tujuan RUU tentang Hukum Acara
Pidana ini, perwujudannya sangat tergantung penuh kepada obyektifitas,
kapabilitas dan integritas moral Hakim Komisaris. Berkaitan dengan hal
itu, berinisiatif sendiri melaksanakan kewenangannya sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum menjadi suatu kebutuhan masyarakat.
Pasca reformasi tahun 1998, penyalahgunaan wewenang pada
lembaga-lembaga penegakan hukum masih saja terjadi, sehingga muncul
lah gagasan adanya lembaga pengawas eksternal yang berguna untuk
mendorong peningkatan kinerja dan profesionalitas. Lembaga pengawas
tersebut selanjutnya dikenal dengan komisi-komisi yang berfungsi sebagai
pengawas eksternal. Kebijakan itu dimulai dari masa Presiden BJ Habibie
untuk mendorong percepatan reformasi hukum pada masa awal transisi
136
demokrasi, kemudian dilanjutkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Lahirnya
komisi-komisi negara tersebut cukup mendapat tentangan dari sebagian
kalangan dengan alasan bahwa pembentukan komisi-komisi negara itu
tidak sesuai dengan semangat konstitusi. Pelaksanaan pengawasan sesuai
konstitusi UUD 1945 adalah pertama oleh parlemen, masyarakat melalui
media massa dan lainnya. Namun hal tersebut disanggah dengan pendapat
yang menyetujuinya bahwa model pengawasan parlemen akan efektif
jika telah terjadi pemisahan antara institusi pemberi kebijakan (element
of policy) dengan unsur pelaksana. Dalam hal ini, komisi-komisi negara
tersebut yang merupakan pelaksananya dan berbeda dengan parlemen
yang memberikan kebijakan. Cukup banyaknya lembaga pengawasan
baik yang bersifat internal maupun eksternal saat ini, tetap tidak
membuat penegakan hukum menjadi lebih baik. Meskipun keberadaan
Hakim Komisaris mendapatkan dukungan yang cukup kuat, namun
dikhawatirkan yang terjadi adalah tumpang-tindihnya pengawasan. Ini
jelas merupakan keadaan yang tidak sinergi antara lembaga pengawasan
dengan Hakim Komisaris.
E. REKOMENDASI
1. RUU tentang Hukum Acara Pidana yang mencerminkan suatu
rekonstruksi sistem peradilan pidana, dapat mencakup hal sebagai
berikut:
a. Desain prosedur.
b. Kewenangan penyidikan dan pendakwaan/penuntutan.
c. kewenangan kekuasaan kehakiman; dan
d. Realitas keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
2. Sebagai bagian dari rekonstruksi sistem peradilan pidana, perlu ada
pembenahan terminologi sebagai berikut:
a. Alat penegak hukum (milik Negara) adalah hanya institusi
Kepolisian dan institusi Kejaksaan. Keliru menyebut Pengadilan,
Advokat, Notaris dan Institusi Pemasyarakatan Narapidana
sebagai “penegak hukum” (law enforcement agencies). Kita harus
dapat membedakan antara pengertian harafiah bahasa, dengan
makna suatu konsep (concept).
b. Institusi Kepolisian dan institusi Kejaksaan adalah bagian dari
137
Kekuasan Eksekutif (pemerintahan), dan bukan Kekuasaan
Yudikatif (kekuasaan kehakiman). Pengertian “(Kewenangan)
Kepolisian” dan “(Kewenangan) Kejaksaan” yang independen,
hanya berarti “bebas intervensi (politik) untuk kasus”, bukan
berarti “bebas pengaruh politik Kabinet” (dengan Presiden
sebagai Kepala Pemerintahan, Kapolri dan Jaksa Agung sebagai
pembantu Presiden, setingkat Menteri, tunduk kepada politik/
kebijakan Kabinet); apakah Kapolri harus duduk dalam (Sidang)
Kabinet (setara Menteri) adalah kebijaksanaan politik, bukan
hukum.
c. Kepolisian dan Kejaksaan harus bekerjasama dalam proses sistem
peradilan pidana, secara “in tandem” (keduanya bekerjasama secara
erat). Bagian Kepolisian yang mempunyai wewenang penyidikan
hanya “Divisi Reserse Kriminal (Reskrim)” (Belanda : de rechterlijke
politie, Inggris : criminal investigation division – CID), dan kalau
divisi ini dahulu dinamakan “hulp-magistraat”, jangan merasa
“terhina”. Ini sekedar “istilah” dan bukan untuk merendahkan
Kepolisian, seperti juga ada istilah “magistrat – duduk” (hakim)
dan “magistrat berdiri” (penuntut umum); mungkin tidak merasa
“terhina” kalau diterjemahkan sebagai “magistrat-pendamping”.
d. Tidak dikenal “monopoli” wewenang Kepolisian (police powers),
karena publik juga punya wewenang Kepolisian (terutama
dalam hal “tertangkap tangan”), begitu pula: institusi Imigrasi,
institusi Bea Cukai, institusi Pajak, dan institusi-institusi lain yang
ditentukan oleh undang-undang. Tidak pula dikenal “monopoli”
wewenang pendakwaan (prosecutorial powers). Dalam KUHAP
untuk tindak pidana ringan, Kepolisian dapat mendakwa di
pengadilan. Di luar negeri dikenal adanya “private prosecutor”
(disamping “state/public prosecutor”) atau “special prosecutor”
(dalam hal tersangka/terdakwa adalah hakim, menteri atau
presiden). Di Inggris ”prosecution” diserahkan oleh Directorate of
Prosecution kepada Advokat Swasta (Barrister).
e. Perbedaan wewenang Kepolisian dengan wewenang penuntut
umum/Kejaksaan, harus dilihat dalam pengertian “division of
powers” (pembagian kewenangan) dan bukan “separation of powers”
(pemisahan kewenangan). Tujuan pembagian kewenangan ini
adalah untuk “saling mengawasi” (check and balances). Saling
mengawasi dalam kewenangan berimbang, dengan tujuan sinergi
138
(disinilah letak pengertian Sistem Peradilan Pidana Terpadu).
3. Pembenahan terminologi perlu juga ditekankan pada Kekuasaan
kehakiman yang berasal dari terjemahan istilah (konsep) Belanda
“rechterlijke macht” (rechter: hakim, rechterlijke: kehakiman). Dalam
konsep “kekuasaan kehakiman” ini tercakup pengertian “judicial
power” oleh “the Judiciary” (jajaran hakim pengadilan), tetapi juga
dari “officers of the court” (pejabat pengadilan lainnya). Siapa yang
lain ini? the judicial police” (Indonesia : Polisi kehakiman atau Reserse,
sebagai “pendamping magistrat berdiri/penuntut umum”), dan
Jaksa/PU sebagai magistrat berdiri. Juga adalah “officers of the court”,
para advokat ketika mereka “memakai toganya” (melaksanakan
kewenangan “membela perkara pidana”). Dalam kedudukan dan
kewenangan penuntut umum sebagai “officer of the court”, dia dapat
“memerintah kegiatan” (direct the activities) dari “judicial police”. Oleh
karena itu:
a. Institusi Kepolisian bukan bagian dari Bab Kekuasaan Kehakiman
UUD/Konstitusi kita. Institusi Kepolisian masuk dalam Bab lain
dari konstitusi (kewenangan eksekutif). Namun, kewenangan
Kepolisian kehakiman/kewenangan reserse sebagai “judicial
police” ada di dalam kekuasaan kehakiman. Karena itu, Kepala
Reserse pada Kepolisian berada secara administratif di bawah
Kapolri, tetapi secara fungsional di bawah “officer of the court”:
Penuntut Umum (Jaksa Agung ).
b. Institusi Kejaksaan (Agung) adalah bagian dari pemerintahan
(kewenangan eksekutif), seperti juga institusi Kepolisian.
Akan tetapi kewenangan pendakwaan (prosecutorial powers)/
penuntutan (vervolging) adalah sebagai “officer of the court” dan
karena itu masuk dalam kekuasaan kehakiman, dan merupakan
wakil publik bersama dengan polisi–reserse, mewakili kekuasaan
negara (publik) membuktikan kesalahan terdakwa dan menuntut
hukuman (tetapi juga, bila tidak cukup bukti membatalkan
dakwaan dan hukuman). Didalam bahan pustaka, maka bilamana
dibicarakan tentang reformasi “judiciary”, yang dimaksud adalah
reformasi hakim dan penuntut umum (judges and prosecutors). Dan
secara logika tentunya juga reformasi polisi kehakiman/reserse.
c. Advokat adalah organisasi swasta (private), tetapi begitu mereka
berperan sebagai “pembela”, baik dalam tahap pra-adyudikasi
(penyidikan), maupun dalam tahap adyudikasi (pendakwaan
139
di pengadilan), mereka adalah bagian pula dari “kekuasaan
kehakiman”. Mereka disebut sebagai “counsel of the court”
ataupun juga “officer of the court”. Di Inggris, advokat (barrister)
bertindak mewakili publik (negara) mendakwa di pengadilan,
sedangkan di Belanda, advokat dapat bertindak (sementara)
sebagai hakim (rechter). Kekeliruan desain UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah karena mengarah
pada peng”kotak-kotak”an. Ini salah satu hasil “kompromi” pada
waktu pembentukannya.
d. Suatu “anomali” (perbedaan dari yang biasa/umum) adalah
dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia. Dapat dinamakan anomali sistem peradilan
pidana Indonesia, tetapi dasar politiknya ialah “ketidak percayaan
total terhadap Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung/
Pengadilan”, yang dipersepsikan terlibat dalam korupsi dan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tersangka dan terdakwa
(dan juga terpidana oleh institusi Lembaga Pemasyarakatan).
Persepsi masyarakat terhadap sistem peradilan pidana Indonesia
menghasilkan solusi KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagai usaha pemulihan kepercayaan masyarakat. Dalam krisis
kepercayaan yang terjadi, maka solusi ini seharusnya dapat
diterima oleh institusi Kepolisian, institusi Kejaksaan (Agung)
dan jajaran Pengadilan/Mahkamah Agung.
4. Dibutuhkan ketegasan politik hukum dalam RUU tentang Hukum
Acara Pidana agar jika kelak disahkan, menjadi rujukan utama bagi
perundang-undangan lainnya yang mengatur secara khusus mengenai
peradilan pidananya atau mengenai kelembagaannya. Dukungan
untuk ketegasan politik hukum dalam RUU tentang Hukum Acara
Pidana untuk mengatasi hambatan-hambatan selama ini. Ketegasan
tersebut tertuju pada substansi RUU tentang Hukum Acara Pidana
seperti di bawah ini:
a. Sistem peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
b. Asas legalitas.
c. Penyidikan.
d. Penyadapan.
e. Penahanan.
f. Sistem penuntutan dan penyelesaian perkara di luar pengadilan.
140
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
5.
6.
7.
8.
Hakim Komisaris.
Alat bukti, perolehan alat bukti dan pembuktian di persidangan;
Saksi mahkota.
Adversarial dalam pemeriksaan di persidangan.
Plea bargaining.
Acara pemeriksaan.
Bantuan hukum.
Ganti kerugian, rehabilitasi, dan putusan pengadilan tentang
ganti kerugian terhadap korban.
o. Upaya hukum atas putusan pengadilan.
Penempatan Hakim Komisaris sebagaimana dimaksudkan di dalam
RUU tentang Hukum Acara Pidana perlu dilakukan secara matang
agar masalah-masalah yang menjadi potensi hambatan seperti faktor
geografi maupun keterbatasan sarana dan prasana menjadi dapat
diperkecil potensinya.
SPDP adalah instrumen penyidik melakukan koordinasi dengan
penuntut umum, sejak mulainya penyidikan. Dalam RUU tentang
Hukum Acara Pidana ketentuan ini diatur pada Pasal 13. Pasal
lain yang berkaitan dengan koordinasi adalah Pasal 8 ayat (1).
Ketentuan RUU tentang Hukum Acara Pidana tersebut tentu bukan
mendudukan institusi penyidikan (Kepolisian) di bawah institusi
penuntutan (Kejaksaan) akan tetapi sejak awal penyidikan, penyidik
telah berkonsultasi dan koordinasi dengan penuntut umum untuk
memudahkan penyelesaian berkas perkara. Oleh karenanya penting
penuntut umum sejak awal mengikuti proses penyidikan, dengan begitu
efisiensi penyelesaian perkara dapat tercapai yang selaras dengan asas
peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan (constante justitie) sebagai
prinsip dalam setiap tahapan hukum acara peradilan pidana.
Kewenangan Hakim Komisaris sebagaimana terdapat dalam RUU
tentang Hukum Acara Pidana, mempunyai legitimasi yang cukup
kuat berdasarkan pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian
ini. Oleh karenanya, kelemahan-kelemahan pengaturan mengenai
kewenangan pengawasan oleh Hakim Komisaris dalam proses
penyidikan maupun pra penuntutan, perlu segera diperbaiki dalam
pembahasan RUU tentang Hukum Acara Pidana tersebut di tingkat
legislatif/DPR.
Implikasi putusan Hakim Komisaris tentu saja sangat signifikan
dalam perwujudan hak asasi tersangka dan kelanjutan proses
141
praajudikasi, baik yang berkaitan dengan penyidikan maupun
penuntutan. Kemungkinan suatu sanksi dimasukkan dalam putusan
Hakim Komisaris merupakan kebutuhan di tengah penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh polisi maupun jaksa. Pemberian sanksi
oleh Hakim Komisaris mempunyai legitimasi atau dukungan yang
cukup kuat untuk diwujudkan meskipun hal ini menjadi kontroversial
karena merupakan hal yang tidak biasa jika terdapat sanksi dalam
hukum acara (jika hal ini hendak dimasukkan dalam pembahasan RUU
tentang Hukum Acara Pidana di tingkat legislatif/DPR). Pemberian
rekomendasi sanksi tersebut disesuaikan dengan karakteristik
penegakan hukum pidana yang sesuai dengan masyarakat Indonesia
dan asas-asas universal dalam suatu hukum acara pidana.
9. RUU tentang Hukum Acara Pidana atau peraturan pelaksanaannya
nanti mengatur agar jabatan Hakim Komisaris dipersyaratkan untuk
jenjang karier hakim di masa selanjutnya, layaklah untuk dipikirkan.
Dengan demikian dalam perjalanan karier seorang hakim, menjadi
Hakim Komisaris adalah sebuah jenjang karier yang harus dilalui
terlebih dahulu sebelum menjadi Ketua Pengadilan atau jabatan
struktural lainnya.
10. Di dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana atau peraturan
pelaksanaannya, perlu dijelaskan alasan pengaturan Ketua Pengadilan
Tinggi yang mengusulkan hakim-hakim yang akan menjabat Hakim
Komisaris ke Presiden. Dalam hal ini perlu diperjelas alasan tidak
menyerahkan calon-calon tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung,
lalu Ketua Mahkamah Agung yang mengusulkannya ke Presiden.
Dengan demikian jalur birokrasinya jelas dan terstruktur, dan dapat
dihindari kesan bahwa Ketua Mahkamah Agung dilewati oleh Ketua
Pengadilan Tinggi dalam hal ini.
11. Memahami bahwa kelembagaan Hakim Komisaris masih perlu ditelaah
pengorganisasiannya, maka perlu dibuat perencanaan yang standar
mengenai hal tersebut. Salah satu usulan yang dapat diperhatikan
ialah pengaturan pengorganisasian Hakim Komisaris dalam lingkup
pendayagunaan aparatur negara, koordinasi, sinkronisasi, integrasi,
pengawasan dan pengendalian, yang kesemua hal tersebut merupakan
bagian penting bagi berjalannya suatu organisasi. Standar, diartikan
sebagai suatu nilai yang dalam bidang manajemen digunakan sebagai
rujukan atau acuan. Standar tersebut diusulkan untuk diterapkan
dengan pembentukan Hakim Komisaris sebagai bagian sistem
142
peradilan di Indonesia. Standar tersebut berpijak pada peran penting
sumber daya manusia. Perincian standar tersebut tercermin dalam hal
sebagai berikut:
a. Konsep manajemen sumber daya manusia aparatur.
b. Penerapan konsep manajemen sumber daya manusia aparatur
yang layak bagi Hakim Komisaris.
c. Manajemen Hakim Komisaris di masa mendatang.
d. Perencanaan Hakim Komisaris.
e. Pengadaan Hakim Komisaris.
f. Penempatan Hakim Komisaris.
g. Pengembangan Hakim Komisaris.
h. Pengelolaan kinerja.
i. Penerapan peraturan disiplin dan kode etik.
j. Remunerasi.
k. Pemberhentian/pemensiunan.
l. Efektivitas pembentukan Hakim Komisaris.
Standar tersebut di atas atau dapat juga disebut standar manajemen
sumber daya manusia aparatur negara dapat diterapkan untuk jenis
jabatan apapun yang berkaitan dengan kepentingan publik tanpa
terkecuali di lingkungan peradilan. Standar manajemen sumber
daya manusia aparatur adalah mewujudkan pejabat yang memiliki
integritas dan kompetensi tinggi. Prinsip-prinsip umum tersebut dapat
diterapkan secara selektif dalam jabaran teknis sesuai kepentingan
pembentukan Hakim Komisaris.
12. Masih adanya keraguan atas persyaratan Hakim Komisaris tersebut,
perlu juga diimbangi dengan pelibatan Komisi Yudisial. Komisi
Yudisial perlu terlibat mengawasi penyeleksian calon Hakim
Komisaris. Tugas dan wewenang Komisi Yudisial sudah diatur
dalam konstitusi dan juga undang-undang yang mengatur mengenai
kelembagaan Komisi Yudisial. terdapat harapan yang besar agar
penyeleksian calon Hakim Komisaris tidak hanya dilakukan oleh
Mahkamah Agung tetapi juga melibatkan Komisi Yudisial. Hal ini,
meskipun dapat menjadi kontroversial mengingat tugas dan fungsi
Komisi Yudisial yang sudah terdapat dalam konstitusi, menandakan
besar harapan agar penyeleksian berlangsung dengan menjunjung
tinggi integritas dan profesionalitas. Harapan besar itu berpotensi
lebih terwujud dengan melibatkan Komisi Yudisial. Untuk itu perlu
dirumuskan standar mekanisme pengawasan oleh Hakim Komisaris.
143
13. Dukungan untuk bersikap pro aktif atau melaksanakan kewenangan
atas inisiatifnya sendiri bagi Hakim Komisaris, tetap memerlukan
suatu standar mekanisme kerja. Standar mekanisme tersebut, dapat
berupa perincian prinsip-prinsip fair trial yang penting dan wajib
diikuti Hakim Komisaris dalam pemeriksaan antara lain:
a. Prinsip pembuktian.
b. Prosedur dan persamaan kedudukan (equality of arms).
c. Asas non diskriminasi.
d. Praduga tidak bersalah (presumption of innocence).
e. Hak atas penasihat hukum.
f. Peradilan yang bebas, cepat dan sederhana.
g. Peradilan yang terbuka untuk umum.
14. Rekomendasi sanksi dari Hakim Komisaris tentu memerlukan
pelaksanaan yang efektif. Keefektivan ini sangat ditentukan oleh
pihak yang berwenang di institusi Kepolisian dan/atau Kejaksaan.
Oleh karenanya diperlukan suatu sifat yang mengikat dan wajib
dilaksanakannya rekomendasi tersebut oleh pihak yang berwenang di
institusi Kepolisian dan/atau Kejaksaan dan pelaksanaannya diawasi
oleh pengawas internal maupun eksternal. Hal ini tentunya dapat
turut memberikan terobosan bagi agar Hakim Komisaris tidak sematamata terpaku pada Pasal 111 RUU tentang Hukum Acara Pidana saja,
namun juga memikirkan efektivitas efek jera bagi penegak hukum
yang menyalahgunakan kewenangannya. Pemberian rekomendasi
sanksi tersebut disesuaikan dengan karakteristik penegakan hukum
pidana yang sesuai dengan masyarakat Indonesia dan asas-asas
universal dalam suatu hukum acara pidana, maka begitupun juga
dengan sifat mengikatnya rekomendasi sanksi tersebut. Hakim
Komisaris memberikan rekomendasi sanksi yang mengikat dalam
putusan atau penetapannya, dengan tidak melanggar kaidah-kaidah
suatu putusan atau penetapan dalam proses praajudikasi.
Endnote
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
Komisi Hukum Nasional, Kajian Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional,
2008), hlm. 17.
Tentang dua aliran proses pemuatan kebijakan melalui demokrasi partisipasi (participatory democracy) dan
demokrasi elitis (elitist democracy) baca antara lain: Anis Ibrahim, Legislasi dan Demokrasi, (Malang: Instrans,
2008), hlm. 144-117.
Tentang legislasi di Indonesia dengan pendekatan hukum responsif, otonom, dan represif yang disampaikan
Nonet dan Selznick. Baca lebih lanjut Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 2023.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 317.
Komisi Hukum Nasional, Kajian tentang Evaluasi Reformasi Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Komisi Hukum
Nasional, 2010), hlm. 51.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Catatan Akhir Tahun 2009. (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia, 2009).
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4389, Bab IV – Bab V.
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Program Legislasi Nasional, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional
Republik Indonesia, 2002).
Ignatius Mulyono, “Kebijakan Penyusunan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2011”, suatu tulisan yang
disampaikan dalam Rapat Pembahasan Tahunan Program Legislasi Nasional Tahun 2010, Badan Pembinaan
Hukum Nasional - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, pada tanggal 12 -14
Oktober 2010 di Bogor – Jawa Barat.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Berharap Pada 560: Catatan Kinerja DPR 2009-2010, (Jakarta: Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2011), hlm.38.
Dikembangan dari Komisi Hukum Nasional, Program Legislasi Nasional, Op. Cit., hlm. 54-58.
Ibid.
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2010 – 2014, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010,
Ibid., bagian Lampiran, hlm. II.8.- 32.
Ibid.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Naskah Akademik RUU tentang Bantuan Hukum dan RUU tentang
Bantuan Hukum, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2009).
Berdasarkan penegasan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin Ketua DPR RI Marzuki Alie pada
hari Selasa, 4 Oktober 2011, yang telah mensahkan RUU tentang Bantuan Hukum menjadi Undang-Undang.
Sebelumnya, RUU ini telah dibawa pada Pembicaraan Tingkat I di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada tanggal
20 September 2011. Pembicaraan Tingkat I tersebut merupakan hasil Rapat Konsultasi pengganti rapat Badan
Musyawarah pada tanggal 13 Juli 2010.
Ibid.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Desain Sistem Perlindungan Sosial Terpadu, (Jakarta:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2003), hlm 3.
Diolah dari data BPS 2010.
Komisi Hukum Nasional, Perekrutan dan Karir di Bidang Peradilan, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2002).
Mahkamah Agung, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, (Jakarta: Mahkamah
Agung, 2003).
Maruarar Siahaan, “Membangun Kembali Komisi Yudisial yang Mampu Menjaga dan Menegakkan Kehormatan
Hakim Indonesia”, 2011.
Moh. Mahfud MD, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Hak Konstitusional Warga Negara”, 2009.
Berdasarkan surat DPR tanggal 11 Juli 2011 mengenai Undangan Rapat Dengar Pendapat Umum pada tanggal
14 Juli 2011 di DPR.
Berdasarkan Rapat Dengar Pendapat Umum pada tanggal 15 September 2011 di DPR antara Komisi III
DPR dengan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan
Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Newsletter Komisi Hukum Nasional, ”Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyadapan: Tidak
Konstitusional?”, volume 10, No.1, Edisi Januari-Februari 2010, hlm. 34.
Ibid.
Dikembangkan berdasarkan Indonesia Corruption Watch, “KPK Harus Rekrut Penyidik Independen”, dalam
146
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
www.antikorupsi.org, 16 Mei 2010.
www.waspada.co.id,”KPK Rancang Perwakilan Daerah”, diunduh 15 Juli 2011.
www.okezone.com, 3 Juli 2011, “Din Syamsuddin Usul: KPK Diperkuat di Daerah”.
www.hukumonline.com, 24 Mei 2011, “Jabatan Pimpinan KPK Jangan Diisi Bersamaan”.
Berdasarkan surat DPR tanggal 13 September 2011 mengenai Undangan Rapat Dengar Pendapat Umum pada
tanggal 19 September 2011 di DPR.
Ibid.
Momo Kelana, Memahami Undang-Undang Kepolisian – Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 – Latar Belakang dan
Komentar Pasal demi Pasal, (Jakarta: PTIK Press, 2002), hlm. 76 – 77.
Zakarias Poerba, “Kajian Evaluasi terhadap Pelaksanaan Reformasi Kepolisian”, suatu tulisan yang
dipresentasikan dalam Lokakarya Penelitan “Kajian Evaluasi terhadap Pelaksanaan Reformasi Kepolisian” di
Jakarta, 26 Oktober 2010.
Ibid.
Komisi Hukum Nasional, ”Kajian Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional,
2009).
Ibid.
Muladi, “Peran Administrasi Peradilan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu”, Newsletter Komisi Hukum
Nasional, (Mei, 2002), hlm. 4-6;
Lihat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28A – Pasal 29J UUD 1945.
Pasal 6: setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum hukum sebagai manusia secara pribadi dimana
saja ia berada; Pasal 7: semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama
tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi.... Pasal
9: tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang;. Pasal 10: setiap orang,
dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka dan pengadilan yang bebas dan
tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang
dijatuhkan kepadanya. Pasal 11 ayat (1): setiap orang yang dituntut karena diduga melakukan suatu tindak
pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan
yang terbuka, dimana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya”.
Pasal 9 ayat (1): ...tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun
dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, dan sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan oleh hukum; ayat (3): siapapun yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana harus
segera dibawa ke hadapan hakim atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk melaksanakan
kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Seharusnya
bukan merupakan ketentuan umum bahwa orang yang menunggu pemeriksaan pengadilan harus ditahan,
tetapi pembebasan dapat dilakukan dengan syarat jaminan untuk hadir pada waktu pemeriksaan pengadilan,
pada tahap lain dari proses peradilan, dan apabila dibutuhkan, pada pelaksanaan putusan pengadilan; ayat
(4): siapapun yang dirampas kemerdekaannya dengan cara penangkapan atau penahanan, mempunyai hak
untuk disidangkan di depan pengadilan, agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan
penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tersebut tidak sah menurut hukum.
Pasal 14 ayat (3): dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan, setiap orang berhak atas jaminan
minimum berikut, dalam persamaan yang penuh: (c) untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;
(d) untuk diberitahu tentang haknya atas bantuan hukum dan/atau mendapat bantuan hukum; (g) untuk tidak
dipaksa agar memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengakui kesalahannya.
Adnan Buyung Nasution, “Praperadilan Versus Hakim Komisaris, Beberapa Pemikiran Mengenai Keberadaan
Keduanya” , 27 November 2001.
BAB DUA
PENGKAJIAN
LEGISLASI
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN
TENAGA KERJA INDONESIA
DI LUAR NEGERI
Permasalahan Instrumen,
Struktural Dan Budaya Hukum
A. PENGANTAR
Hak atas pekerjaan dijamin dalam Universal Declaration of Human
Right 1948. Di dalam Pasal 23 disebutkan bahwa setiap orang berhak
atas pekerjaan, memilih pekerjaan, menikmati kondisi kerja yang baik
serta perlindungan atas ancaman pengangguran (everyone has the right
to work, to free choice of employment, to just and favorable conditions of work
and to protection against unemployment). Selain itu juga dijamin dalam
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Di dalam
Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa negara mengakui hak atas pekerjaan
dan melindunginya.
Amandemen UUD 1945 juga menjamin hak atas pekerjaan. Di dalam
Pasal 28E ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang bebas memilih pekerjaan
untuk mendapatkan penghidupan yang layak demi kesejahteraannya. Di
dalam Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan di
dalam Pasal 28D ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja. Ketentuan lebih lanjut kemudian diatur dalam UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang juga mengamanatkan
dibentuknya perundangan yang mengatur penempatan dan perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, yang selanjutnya disebut
dengan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Di dalam Pasal 34 UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa ketentuan
mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Kesulitan ekonomi menyebabkan TKI rela meninggalkan tanah air
tercinta untuk mencari nafkah di luar negeri. Hal itu tidak lepas dari
ketidakmampuan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang layak.
150
Ironinya, tidak hanya tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan,
negara juga tidak “cakap” melindungi warga negaranya yang bekerja
di luar negeri. Sementara itu, penempatan TKI di luar negeri selain
menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi juga menyumbangkan devisa
yang luar biasa kepada negara. Pada Tahun 2005, jumlah TKI mencapai
474.310 orang dengan remitansi lebih dari 2,93 miliar dolar AS. Jumlah
itu meningkat tajam pada tahun 2006, sejumlah 680.000 orang berhasil
diserap dan menghasilkan remitansi lebih dari 4,4 miliar dolar AS atau
sekitar Rp 40 triliun, angka tersebut lebih tinggi dari tahun sebelumnya
(2005) sekitar 150%, dan tahun 2007 peningkatan remitansi sekitar 4,8
miliar dolar AS. Berangkat dari kenyataan tersebut, sesungguhnya
negara sangat diuntungkan dengan keberadaan TKI, sehingga wajar bila
pemerintah berkepentingan untuk memprogramkan penempatan TKI di
luar negeri, termasuk Pemerintah Daerah. Kebijakan penempatan TKI juga
mendapatkan dukungan kuat karena angka remitansi yang dihasilkan dari
penempatan TKI di luar negeri dapat melampaui angka PAD (pendapatan
asli daerah), seperti di Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang tiga tahun
lalu mencapai Rp 39,6 miliar.
Namun ironisnya, besarnya sumbangan devisa dari para TKI tidak
sebesar perhatian pemerintah terhadap perlindungan TKI. Kasus Ruyati
adalah potret betapa Pemerintah tidak memiliki sistem perlindungan yang
baik bagi TKI. Sehingga ketika warga negaranya menghadapi eksekusi
pancung di Arab Saudi, alih-alih memberikan perlindungan, bahkan
Pemerintah Republik Indonesia baru mengetahui kabar pemancungan itu
setelah peristiwa tersebut terjadi. Pemerintah sepertinya tidak bersungguh
hati memperjuangkan nasib warga negaranya terutama TKI di luar negeri.
Pemerintah bergerak memberikan pembelaan hanya ketika disorot tajam
oleh masyarakat, namun ketika sorotan itu reda, maka reda pula pembelaan
itu. Inilah gambaran betapa Pemerintah belum membenahi diri secara
sungguh-sungguh untuk dapat bekerja secara sistemik dan penuh dengan
kesadaran akan tugas dan tanggung-jawab yang diembannya, bukan
reaktif terhadap sorotan publik. Hal ini pula yang dengan kasat mata
menunjukkan kepada kita bahwa institusionalisasi pembelaan terhadap
hak-hak pekerja migran hanya isapan jempol. Lihat saja rasio jumlah atase
luar negeri untuk urusan TKI, terlalu timpang dibandingkan jumlah TKI.
Bayangkan, di Arab Saudi hanya ada 4 tenaga atase untuk mengurus
sekitar 1,5 juta Warga Negara Indonesia (WNI) di Arab Saudi. Belum lagi
keterbatasan anggaran dan tidak adanya pembagian urusan yang tegas
antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan
151
Kementerian Luar Negeri, sehingga ketika muncul persoalan TKI di luar
negeri masing-masing saling lempar tanggung-jawab. Birokrasi yang
morat-marit menjadi penyebab munculnya persoalan TKI dalam tahap
Pra-Penempatan-Penempatan dan Purna Penempatkan.
A. PERMASALAHAN DALAM TAHAP PRA PENEMPATAN
Dalam tahap pra penempatan ini, permasalahan terdapat pada calo
atau sponsor, perjanjian kerja, dan TKI ilegal.
1. Calo atau Sponsor
Kesalahan awal dalam pengiriman TKI adalah penggunaan “calo
atau sponsor”. Keberadaan calo dalam pengiriman TKI ke luar negeri
tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pemerintah di dalam menyediakan
informasi dan lemahnya pengawasan serta penindakan terhadap
Pelaksana Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
(PPTKIS) yang mempergunakan jasa calo. BNP2TKI mengakui terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap TKI tidak terlepas
dari banyaknya PPTKIS yang menggunakan “calo” dalam melakukan
perekrutan, sementara pengawasan dari pemerintah juga sangat lemah.
Saat ini dapat dikatakan, penyediaan TKI masih didominasi oleh
calo yang rawan dan rentan terjadinya pelanggaran HAM. Keberadaan
calo, kurang mendapat “perhatian serius” dari pemerintah, sehingga
penegakan hukum baik secara pidana maupun perdata tidak berjalan.
Kepolisian dan penyidik ketenagakerjaan terkesan lamban di dalam
memerangi dan memberantas serta menertibkan mereka, meskipun secara
hukum tindakan calo tersebut merupakan tindak pidana kejahatan dan
perbuatan melawan hukum (onrecht matigedaads).
Peran calo sangat signifikan dalam penempatan TKI secara ilegal yang
bekerjasama dengan PPTKIS ilegal atau pun legal. Dengan mekanisme
ilegal, TKI pada akhirnya menjadi korban kekerasan, pemerasan dan
perdagangan manusia (human trafickking) bahkan deportasi karena tidak
memiliki dokumen yang sah. Dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,
khususnya di dalam Pasal 4, Pasal 10, Pasal 34, dan Pasal 100 ayat (1)
dan (2) disebutkan bahwa penempatkan TKI ke luar negeri hanya boleh
dilakukan pemerintah dan PPTKIS. Larangan kepada siapapun termasuk
“calo” disertai dengan sanksi pidana dan administrasi. Namun ketentuan
ini, tidak terimplementasi dengan baik, karena lemahnya political will dari
152
pemerintah, serta lemahnya pengawasan dan penindakan Kementerian
Tenaga Kerja dan BNP2TKI serta Kepolisian.
2. Perjanjian Kerja
Salah satu faktor penyebab terjadinya pelanggaran HAM terhadap
TKI adalah ketidakmampuan membaca dan memahami dokumen yang
ditandatangani. Hal ini diperparah sikap PPTKIS yang tertutup dengan
tidak memberikan pemahaman secara komprehensif tentang perjanjian
perekrutan (antara Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia dengan
Agen Asing), Perjanjian Penempatan (antara Perusahaan Jasa Tenaga
Kerja Indonesia dengan TKI); dan Perjanjian Kerja (antara TKI dengan
perusahaan/majikan).
Di sisi lain, BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
kurang serius dalam melakukan review dan pemeriksaan semua
jenis perjanjian yang akan ditandatangani TKI. Ketiga jenis perjanjian
di atas sesungguhnya menjadi pintu masuk terjadinya pelanggaran
HAM terhadap TKI baik dilakukan PPTKIS, agency atau pun majikan/
perusahaan. Oleh karena itu peran negara tidak nampak sama sekali di
dalam “mencegah” pelanggaran HAM terhadap TKI.
Timbulnya pelanggaran HAM terhadap TKI di luar negeri juga
tidak dapat dilepaskan dari ketertutupan “perjanjian kerja” oleh PPTKIS
kepada TKI itu sendiri maupun kepada Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi atau BNP2TKI. Padahal Pasal 55 ayat (3) dan Pasal 58
ayat (1) UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri mengharuskan perjanjian kerja
dilegalisir dan disahkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
dan perwakilan pemerintah di negara setempat. Selain mengandung
keharusan PPTKIS melaporkan perjanjian kerja ke Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, pasal itu juga memberikan sanksi administratif
kepada PPTKIS yang melakukan pelanggaran.
3. TKI Ilegal
Salah satu persoalan besar dalam pengiriman TKI ke luar negeri adalah
keberadaan TKI ilegal yang merupakan bentuk kegagalan pemerintah di
dalam memberi pelayanan, pengawasan dan monitoring pengiriman TKI
ke luar negeri. Diperkirakan jumlah TKI ilegal lebih dari 70% dari total
TKI yang ke luar negeri. Faktor utama maraknya penempatan TKI secara
ilegal adalah mahalnya dan birokratisasi pengurusan penempatan TKI di
luar negeri. Meskipun Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah
153
menyederhanakan birokrasi dari yang semula 40 pos menjadi 11 pos.
Tetapi jika dicermati dari skema alur penempatan TKI, ada 41 birokrasi
yang harus dilewati oleh seorang TKI. Jika diasumsikan untuk masingmasing birokrasi ada tiga meja saja, berarti ada 123 meja yang harus dilalui
oleh TKI. Di samping faktor di atas, faktor yang tatkalah penting adalah
rendahnya kesadaran masyarakat untuk berangkat melalui jalur resmi.1
Permasalahan TKI ilegal merupakan bagian tak terpisah dari
praktik calo tenaga kerja. Mereka spekulan yang memanfaatkan kondisi
ketidaktahuan dan keterjepitan masyarakat. Ketertarikan dan keinginan
berangkat bekerja ke luar negeri didasarkan “iming-iming” dari calo,
dimana biaya keberangkatan ke luar negeri jauh lebih murah dibandingkan
dengan yang dipungut PPTKIS resmi.
C. PERMASALAHAN DALAM TAHAP PENEMPATAN
DAN PURNA PENEMPATAN
Pemerintah menyadari dengan menyerahkan pengelolaan TKI −
perekrutan, penempatan dan pemulangan − kepada PPTKIS banyak
menimbulkan terjadinya pelanggaran HAM terhadap TKI. Pelanggaran
HAM tersebut telah menjadi fenomena sehari-hari bagi TKI tanpa
tindakan tegas dari pemerintah, bahkan cenderung “menyalahkan” TKI.
Karakteristik pelanggaran HAM tersebut di setiap negara tempatan sangat
berbeda begitu pula dengan pelakunya.
Lemahnya penegakkan UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri oleh pemerintah
memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memiliki komitmen pemenuhan
HAM TKI, sementara realitasnya kemauan untuk menjadi TKI terus
meningkat. Hal ini dapat dilihat dari lemahnya penindakan dalam bentuk
pemberian sanksi administrasi dan sanksi pidana. Di lain pihak pemerintah
juga “gagal” mendorong penyelesaian pelanggaran HAM terhadap
mereka, baik yang bersifat pidana maupun perdata, yang dilakukan
agency maupun majikan/perusahaan serta pemerintah negara tempatan.
Kelemahan mendasar pemerintah terletak pada lemahnya monitoring
praktik PPTKIS dan pemantauan TKI di negara tempatan. Khusus
BNP2TKI, kelemahan mendasar lembaga ini terletak pada substansi UU
No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri yang hanya memberikan wewenang “sebatas
merekomendasikan” hasil pengawasannya tanpa wewenang melakukan
“penindakan” baik yang bersifat pidana maupun administratif.
154
Lemahnya komitmen pemerintah di dalam memberikan perlindungan hukum juga dapat dilihat dari “ketidaktahuan” pemerintah berapah
jumlah TKI yang bekerja di luar negeri, karena PPTKIS umumnya yang tidak
melaporkan TKI yang diberangkatkan bekerja ke luar negeri. Kegagalan
pemerintah di dalam memberikan perlindungan hukum terhadap TKI dan
mendorong penyelesaian pelanggaran HAM-nya telah melanggar berbagai
instrumen internasional yang substansinya “mengharuskan setiap negara
memberikan perlindungan hukum terhadap setiap warganya” antara
lain Deklarasi Umum HAM (1948), Konvensi Pencegahan Perdagangan
Manusia dan Eksploitasi Pelacur (1949), Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Hukum lain yang Kejam (1965), Konvensi Perlindungan
Hak-Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990),
Konvensi Hak Anak (1989), Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan (1993); dan Konvensi Penghapusan Perdagangan Manusia dan
Eksploitasi Prostitusi Lainnya (1949).
Dibalik lemahnya perlindungan TKI, pemerintah (Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI) menyatakan berbagai
keberhasilan dalam mengimplementasikan peningkatan kualitas dan
kuantitas TKI. Namun demikian, kalau kita melihat keseluruhannya,
berlangsung di dalam kerangka memperdagangkan dan menempatkan
sebanyak-banyaknya mereka di pasar tenaga kerja internasional.
Kebijakan pemerintah tentang TKI masih terkesan memperlakukan
mereka sebagai barang dagangan yang perlu dipasarkan, menghilangkan
sisi kemanusian mereka. Ukuran-ukuran keberhasilan pemerintah dengan
membuka kerjasama penempatan TKI mengesankan komoditisasi mereka;
karena tidak linier dengan peningkatkan perlindungan HAM. Selain itu,
mereka ditempatkan sebagai persediaan tenaga kerja untuk memenuhi
permintaan di pasar tenaga kerja internasional. Kebijakan dan tindakan
pemerintah yang mengobjektifikasikan TKI makin terlihat dalam UU
No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri yang menjadikan PPTKIS sebagai subjek yang
bebas mengatur bagaimana hak-hak dan perlindungan hukum mereka di
dalam dan di luar negeri.
Begitu pun dari sisi kebijakan dan legislasi di Indonesia sejak tahun
1974 hingga sekarang, masalah TKI masih dirumuskan menempatkan
mereka sebagai “barang perdagangan” yang tidak perlu sungguhsungguh untuk diberikan perlindungan. Lebih ekstrem lagi dapat
dikatakan bahwa tidak ada regulasi yang sunguh-sunguh melindungi
mereka, meskipun sejatinya mereka adalah penyumbang devisa negara.
Cara pandang pemerintah tersebut adalah bentuk pelanggaran HAM oleh
155
negara. Padahal nafas UUD 1945 sangat menghargai dan menjamin hak
setiap warga negara untuk bekerja di dalam dan di luar negeri, untuk
memperoleh penghidupan yang layak dan kesejahteraan. Kondisi itu
mendeskripsikan TKI terpasung pada kerangka bisnis ketenagakerjaan.
Pemasungan ini menjadi semakin kokoh ketika perlindungan TKI
diterjemahkan menjadi bagian dari aspek bisnis penempatan tenaga kerja,
bukan sebagai kewajiban negara. Padahal UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28I ayat (4) telah menegaskan pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil, menjadi tanggung jawab negara.
Hal itu tidaklah berlebihan karena memang kelemahan mendasar UU
No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri terletak dalam tataran paradigmatis, dimana
substansinya tidak mencerminkan tanggung jawab negara di dalam
memberikan perlindungan hukum ke semua warganya tidak terkecuali
TKI di luar negeri. Selain itu, UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri lebih banyak
mengatur bagaimana mekanisme perekrutan dan penempatan TKI, dengan
mengabaikan perlindungan hukum mereka. Ke depan, pemerintah harus
dapat menjamin dan memastikan serta menyediakan sarana perlindungan
hukum terhadap mereka. Perlindungan itu tidak hanya dalam kerangka
penanganan setelah terjadinya peristiwa (represif) tetapi juga harus
mencakup unsur pencegahan (preventif). Untuk itu langkah yang paling
strategis untuk memperbaiki “perlidungan hukum terhadap TKI” adalah
dengan memperbaiki (revisi) UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dengan lebih
menonjolkan perlindungan hukum, ketimbang mekanisme penempatan.
D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
MASIH BERMASALAH
Permasalahan TKI bersumber dari kegamangan UU No. 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri dan Peraturan Pelaksananya dalam memberikan perlindungan
kepada TKI sehingga pengaturannya tidak jelas dan tegas. Demikian pula
dengan birokrasi pelaksana yang tidak terkoordinasi secara sistematis,
tidak jelas pembagian tugas dan tanggungjawab masing-masing pihak.
Pada akhirnya hal ini menimbulkan berbagai permasalahan yang terus
menerus terjadi. Tidak terlalu salah bahwa peraturan perundangundangan tentang TKI selalu bermotifkan keuntungan pihak-pihak
tertentu karena itu tidak pernah benar-benar berpihak pada perlindungan
TKI itu sendiri.
156
UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
TKI di Luar Negeri dan Peraturan Pelaksananya sebagai dasar hukum
penempatan dan perlindungan TKI memiliki sejumlah kelemahan, antara
lain :
1. Dasar pemikiran lahirnya lebih menitikberatkan pada pengaturan
tentang penempatan dan perlindungan yang hanya melengkapi
kebutuhan untuk penempatan. Karena itu tidak dideskripsikan secara
jelas hak-hak TKI atas perlindungan dan prosedur perlindungan yang
mudah diakses TKI. (Dari 109 pasal, hanya 8 pasal yang mengatur
tentang Perlindungan).
2. Perlindungan lebih didekati sebagai “program” bukan sistem yang
selalu melekat dalam setiap proses dan tahapan. (Pasal 83).
3. Tidak mengakomodasi Hak-Hak yang dijamin oleh Peraturan
Perundang-Undangan tentang Hak Asasi Manusia, antara lain UU 39
No. Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 7 Tahun 1984
Tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan dan UU No. 5 Tahun 1988 Tentang Anti
Penyiksaan.
4. Tidak menjamin “Hak atas Komunikasi”, “Hak Berserikat” dan “Hak
Cuti atas Tanggungan Majikan” (termasuk cuti haid dan cuti hamil).
5. Monopoli kewenangan oleh Pemerintah sebagai regulator, pembinaan
dan pengawasan. [Pasal 5 ayat (1)].
6. Tidak jelas pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam hal PPTKI sehingga dalam praktiknya
masih sentralistik. (Pasal 5 ayat (1) bertentangan dengan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana ketenagakerjaan
masuk dalam wewenang daerah).
7. Tidak sinkron antara Peraturan Pelaksana dengan UU, misalnya pasal
73 ayat (2) yang mengatur mengenai Pemulangan TKI meninggal dunia
dibebankan kepada PPTKIS namun dalam Pasal 24 Permenakertrans
No. 07/MEN/V/2010 menjadi tanggungjawab konsorsium asuransi
TKI bekerjasama dengan Perwakilan R.I. dan/atau lembaga yang
mendapat persetujuan Perwakilan R.I. di Negara Penempatan.
8. Bentuk perlindungan bagi TKI seperti yang diamanatkan Pasal 77-84
direduksi menjadi program asuransi TKI.
9. Belum diratifikasinya Konvensi Internasional tentang Perlindungan
Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
157
E. PERMASALAHAN PELAKSANA PENEMPATAN
DAN PERLINDUNGAN TKI.
Pelaksana Penempatan dan Perlindungan TKI dalam hal ini adalah
Pemerintah termasuk BNP2TKI dan PPTKIS. Beberapa permasalahan
yang terjadi adalah:
1. Tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan BNP2TKI.
2. Tidak terkoordinasinya institusi yang terkait dengan TKI dalam satu
atap pelayanan (one stop service), antara lain, Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar
Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan
Nasional, dan Kementerian Kesehatan.
3. Birokratisasi baru di BNP2TKI.
4. Birokrasi Pemerintahan Pusat dan Daerah belum memiliki sistem
informasi, pendataan dan sosialisasi untuk rekruitmen calon TKI/
TKI.
5. Kementerian Luar Negeri tidak dilibatkan secara aktif untuk mengurus
TKI di luar negeri, dengan tidak diberikan kewenangan dan alokasi
anggaran yang memadai.
6. Kinerja pengawasan dan perlindungan dari pemerintah yang sangat
lemah.
7. Belum dibuat Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan TKI Pada
Masa Penempatannya di Luar Negeri.
8. Hasil Pemeriksaan BPK atas kinerja BNP2TKI Tahun 2007 dan
2008, bahwa pengelolaan pengawasan BNP2TKI (Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan TKI) terhadap PPTKIS (Pelaksana
Penempatan TKI Swasta), BLKLN (Balai Latihan Kerja Luar Negeri),
LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) dan sarana kesehatan dalam proses
pra penempatanTKI informal secara prosedural belum dilaksanakan
secara efektif. Sesuai dengan kerangka model pengelolaan yang
baik (model of good management) yang telah dikembangkan dalam
pemeriksaan.
F. Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan
dalam permasalahan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri
ialah:
1. Pembenahan perundang-undangan, yaitu dengan:
158
a. Mengganti UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI di Luar Negeri dengan UU yang baru yang
berparadigma Perlindungan TKI dalam setiap tahapan.
b. UU Perlindungan TKI yang baru harus secara jelas dan tegas
mengatur pembagian tugas, kewenangan, jaminan hak-hak TKI
atas perlindungan dan mekanisme perlindungan serta penegakan
UU ini.
c. UU Perlindungan TKI yang baru harus mendekatkan akses,
mendorong dan memudahkan masyarakat untuk mengadukan
pelanggaran-pelanggaran TKI serta menjamin hak pengadu atas
proses penindakan.
d. UU TKI yang baru juga harus menjamin hak-hak yang telah diatur
dalam UU yang berkaitan dengan HAM.
e. Segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan
Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
2. Pembenahan kelembagaan yang bekaitan dengan penempatan dan
perlindungan TKI, yaitu dengan:
a. Membangun pelayanan satu atap untuk pengurusan dokumen
TKI terdiri dari, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Kesehatan.
b. Membangun sistem informasi, sosialisasi peluang kerja di luar
negeri, perekrutan calon TKI dan pendataan TKI di daerah.
c. Memberikan Peranan dan Alokasi Anggaran Yang Lebih
Besar Kepada Kementrian Luar Negeri Untuk Memberikan
Perlindungan TKI di Luar Negeri.
d. Membentuk Tim Terpadu Perlindungan TKI yang independen
(bukan bagian dari birokrasi) dengan keanggotaan dari unsur
pemerhati masalah TKI, Tokoh Masyarakat, Pemerintah, PJTKI.
e. Tim Terpadu Perlindungan TKI berfungsi untuk memberikan
perlindungan TKI serta menerima dan memberikan tindakan
terhadap pengaduan/laporan masyarakat terhadap pelanggaran
pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang TKI.
3. Pembenahan budaya hukum masyarakat, dengan mengoptimalkan
peran pemerintah dalam hal:
a. Pendidikan kritis calon TKI.
b. Pendidikan hak dan kewajiban calon TKI.
c. Buku panduan hak-hak TKI dan cara bertindak bila ada
pelanggaran.
PERAN ASEAN
DALAM PERLINDUNGAN
PEKERJA MIGRAN
Berharap Pada Solidaritas
Hak Asasi Manusia
Negara-negara Anggota ASEAN
A. PENGANTAR
Sabtu, 18 Juni 2011, Ruyati Binti Satubi, seorang pekerja migran asal
Bekasi di pancung di Pengadilan Mekah, Arab Saudi karena Pengadilan
memutuskan Ruyati terbukti melakukan pembunuhan terhadap
majikannya. Ruyati adalah TKI kedua yang menjalani hukuman mati di
Arab Saudi. Tahun 2008, TKI bernama Yanti Riyanti juga mengalami nasib
yang sama yaitu meninggal karena hukuman pancung. Selain Ruyati dan
Riyanti, masih terdapat 23 TKI yang masih dalam proses pengadilan
karena didakwa hukuman mati.2 Pemerintah Indonesia merupakan pihak
yang turut serta bertanggung jawab atas hukuman mati yang menimpa
Ruyati dan Riyanti serta TKI yang mempunyai masalah hukum.
Pada level ASEAN, pasca penandatanganan Piagam ASEAN,
permasalahan pekerja migran belum menjadi tanggung jawab bersama
negara-negara ASEAN. Masalah pekerja migran tetap menjadi masalah
dan tanggung jawab masing-masing negara pengirim. Hal demikian
bertolak belakang dengan komitmen bersama yang dituangkan dalam
Piagam ASEAN.
Kesepakatan pemimpin ASEAN dalam menandatangani Piagam
ASEAN juga disandarkan pada keinginan bersama untuk hidup di
kawasan yang damai, aman dan stabil, pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, kesejahteraan bersama, kemajuan sosial, serta untuk
memajukan kepentingan, cita-cita, dan aspirasi bersama. Negara-negara
ASEAN bersepakat untuk membentuk komunitas ASEAN sebagai
langkah untuk menjamin pembangunan berkelanjutan yang bermanfaat
bagi generasi-generasi sekarang dan mendatang dan menempatkan
kesejahteraan dan penghidupan yang layak serta kemakmuran rakyat
sebagai pusat proses pembentukan komunitas ASEAN. Salah satu tujuan
ASEAN adalah memajukan ASEAN yang berorientasi kepada rakyat yang
di dalamnya seluruh lapisan masyarakat didorong untuk berpartisipasi
dalam, dan memperoleh manfaat dari, proses integrasi dan pembangunan
komunitas ASEAN. Upaya mewujudkan tujuan ASEAN tersebut adalah
dengan memberikan perlindungan hak ekonomi, hak sosial, dan hakhak rakyat negara-negara ASEAN. Pekerja migran merupakan kelompok
masyarakat yang perlu mendapat perhatian.
Dalam perspektif historis, arus pekerja migran dari negara-nagara
ASEAN ke sesama negara ASEAN maupun ke negara di luar ASEAN telah
berlangsung lama sejak ratusan tahun lalu berbarengan dengan kebijakan
kolonial di ASEAN serta migrasi konvensional yang sudah berlangsung
lama. Pekerja migran dari negara-negara ASEAN kebanyakan unskilled
atau semi-skilled. Perkembangan selanjutnya, pergerakan pekerja migran
lintas batas negara demikian mendorong adanya penataan perijinan antar
negara. Hal demikian memunculkan pekerja migran resmi/berdokumen
(legal/documented) maupun tidak resmi/tidak berdokumen (illegal/
undocumented).
Pekerja migran pekerja rumah tangga (PRT) yang kebanyakan
sebagai kelompok unskilled dianggap sebagai kelompok pekerja migran
kelas bawah yang paling rentan di kawasan ASEAN, karena pekerja
migran PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Selain itu pekerja migran perempuan yang bekerja sebagai PRT di negaranegara ASEAN tidak memiliki standar upah, tidak menikmati hak atas
keselamatan kerja dan kesehatan reproduksi, dan hak lain.
Hingga saat ini, sekitar 13,5 juta pekerja migran dari negara-negara
anggota ASEAN bekerja di negara-negara lain di seluruh dunia. Lima juta
di antaranya bekerja di negara di wilayah ASEAN3 selebihnya bekerja
di luar ASEAN seperti Timur Tengah, Hongkong, Eropa, dll. Untuk
hal tersebut, ASEAN sebagai organisasi regional diharuskan memberi
perhatian pada para pekerja migran baik yang bekerja di wilayah ASEAN
maupun di luar ASEAN.
Data US 0f The 10th annual Trafficking in Persons Report mencatat
adanya praktik perdagangan manusia melalui pengiriman pekerja migran
di negara-negara ASEAN. Negara-negara ASEAN menjadi tempat tujuan,
transit, serta pengirim pekerja migran yang berujung pada eksploitasi
manusia khususnya anak dan perempuan. Di Indonesia, Harian Tempo
pada 12 September 2007, menulis berita berjudul “1.300 Pekerja Asal
Indramayu Korban Trafficking”, yang menyebutkan sebanyak 1.300 pekerja
asal Kabupaten Indramayu tercatat sebagai korban trafficking.4
Menyikapi kondisi pengiriman pekerja migran diatas, maka ASEAN
perlu membuat langkah-langkah positif untuk mewujudkan kawasan
ekonomi, sosial budaya, dan politik keamanan di ASEAN memberikan
perlindungan pada rakyat Negara-Negara ASEAN.
B. ASEAN DAN PEKERJA MIGRAN
Negara-negara ASEAN merupakan salah satu wilayah yang
mempunyai kontribusi tinggi dalam mengirim tenaga kerja. Selain itu,
negara-negara ASEAN juga merupakan negara tujuan bagi pekerja migran
dari luar ASEAN. Pergerakan pekerja migran di ASEAN juga beririsan
dengan praktik perdagangan manusia lintas negara. Perdagangan
Manusia dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu: forced labor, bonded labor,
sex trafficking, debt bondage among migrant laborers, involuntary domestic
servitude, forced child labor, child soldiers, child sex trafficking.5
Adanya praktik perdagangan manusia yang dilakukan melalui
pengiriman pekerja migran dapat dilihat dalam UN Convention on
the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their
Families, yang menjelaskan bahwa pergerakan pekerja migran yang tidak
didokumentasikan atau yang berada dalam situasi yang tidak biasa
seringkali dipekerjakan dalam kondisi yang lebih buruk dibandingkan
dengan pekerja-pekerja lain, dan bahwa beberapa majikan berupaya
mencari pekerja-pekerja semacam itu untuk memperoleh keuntungan
dalam persaingan yang tidak wajar. Saluran untuk mempekerjakan
pekerja migran yang berada dalam situasi yang tidak biasa, harus
dikurangi agar hak yang mendasar dari pekerja migran lebih dihormati,
dan lebih lanjut lagi, bahwa memberikan seperangkat hak tambahan pada
pekerja migran dan anggota keluarganya dalam situasi yang biasa, akan
mendorong semua pekerja migran dan majikan untuk menghormati dan
mematuhi hukum dan prosedur yang ditetapkan oleh negara-negara yang
bersangkutan.6
Pada tahun 1994, PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai
“perdagangan perempuan dan anak” yang memperluas definisi
perdagangan sehingga memasukkan eksploitasi yang tidak hanya untuk
162
tujuan prostitusi saja tetapi juga untuk semua jenis kerja paksa. Dalam
resolusi ini perdagangan didefinisikan sebagai “tujuan akhir dari memaksa
perempuan dan anak perempuan masuk kedalam situasi yang menekan
dan eksploitatif dari segi ekonomi ataupun seksual”
Perdagangan manusia untuk eksploitasi tenaga kerja lebih banyak
terjadi dalam konteks perdagangan manusia internal dan regional
dibandingkan perdagangan manusia interkontinental (antar benua).
Apabila eksploitasi tenaga kerja terdiri dari pekerjaan yang membutuhkan
tenaga fisik seperti di pertambangan, ladang pertanian atau armada kapal
ikan, maka kemungkinan yang lebih besar terjadi, akan menimpa kaum
lelaki dibandingkan kaum perempuan. Sebaliknya, jika tenaga kerja
mencakup pekerjaan pertanian ringan seperti pemetik hasil panen, tenaga
kerja tempat kerja dengan gaji rendah atau perbudakan rumah tangga
maka kemungkinkan besar korbannya terdiri dari perempuan.7
Dalam US 0f The 10th annual Trafficking in Persons Report, dijabarkan:
1. Brunei merupakan negara tujuan, dan pada tingkat lebih rendah,
Brunei merupakan negara penyedia dan transit perdagangan orang,
khususnya tenaga kerja paksa dan prostitusi paksa. Warga negara dari
Indonesia, Malaysia, Filipina, Pakistan, India, Bangladesh, Cina, dan
Thailand bermigrasi ke Brunei. Ada lebih dari 88.000 pekerja migran
di Brunei, beberapa di antaranya tidak diberi pembayaran uang kerja,
penyitaan paspor, mengalami kekangan, dan kontrak kerja beralih.
Faktor tersebut memberi kontribusi terjadinya praktik perdagangan
manusia. Dari 25.000 pekerja rumah tangga perempuan di Brunei ada
yang bekerja dengan jam kerja sangat panjang tanpa libur. Terdapat
perempuan dipaksa dalam prostitusi, dan adanya laporan bahwa
perempuan ditangkap karena prostitusi terbukti menjadi korban
perdagangan.
2. Pekerja migran Indonesia, diperkirakan 6,5 juta lebih di seluruh
dunia, termasuk 2,6 juta di Malaysia dan 1,8 juta di Timur Tengah.
Diperkirakan 69% dari seluruh tenaga kerja Indonesia yang bekerja
di luar negeri adalah perempuan dan lebih dari 50% dari tenaga kerja
Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah anak-anak. Sekitar 43 %
atau 3 juta pekerja migran Indonesia adalah korban human trafficking.
Malaysia, Singapura, Brunei merupakan negara tujuan migran serta
tujuan dan transit human trafficking.
3. Malaysia adalah negara tujuan pekerja migran. Pada tahun 2009,
sekitar 2 (dua) juta pekerja migran yang terdokumentasi bekerja di
Malaysia, dan diperkirakan 1,9 juta yang tidak berdokumen. Banyak
163
perusahaan merekrut pekerja berlebihan dan kemudian sering tunduk
pada kondisi kerja paksa. Beberapa warga Malaysia diperdagangkan
secara internal dan ke luar negeri seperti Singapura, Hong Kong,
Perancis, dan Amerika Serikat. Malaysia juga merupakan negara
sumber dan transit negara perdagangan wanita dan anak-anak.
Mayoritas korban perdagangan manusia adalah pekerja asing. Pelaku
perdagangan manusia di Malaysia adalah individu dan sindikat
kejahatan terorganisir.
4. Singapura adalah negara tujuan pekerja migran. Bagi yang
mempekerjakan perempuan dan anak perempuan, dapat dikenakan
terhadap perdagangan orang, khususnya dipaksa prostitusi, dan
untuk beberapa pekerja migran dalam kondisi yang mungkin
menunjukkan kerja paksa. Terdapat sepertiga pekerja asing dari total
tenaga kerja di Singapura. Pekerja migran dari Thailand, Myanmar,
Filipina, Indonesia, Vietnam, India, Sri Lanka, Bangladesh, dan tempat
lain di Asia, kebanyakan pekerja tidak terampil dan setengah terampil
yang bekerja di konstruksi, rumah tangga domestik, dan industri jasa.
Beberapa wanita dari Thailand, Filipina, dan Cina direkrut di negara
asal mereka dengan tawaran kerja resmi tetapi setibanya di Singapura,
ditipu atau dipaksa ke dalam prostitusi. Kelompok kejahatan
terorganisir mungkin terlibat dalam perdagangan seks internasional
khususnya perempuan dan anak ke Singapura. Berdasarkan data
yang diterbitkan tahun 2008 lalu, pria Singapura terus menjadi sumber
permintaan untuk pariwisata seks anak di Asia Tenggara.
5. Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam, dan Filipina adalah negara-negara
pengirim pekerja migran baik ke negara-negara ASEAN maupun di
luar ASEAN. Tidak jarang pekerja Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam,
dan Filipina dipaksa bekerja di tempat tertentu di negara penerima
serta dipaksa masuk dalam prostitusi dan eksploitasi seksual komersial.
Ditemukan juga anak-anak dari Kamboja diperdagangkan ke Thailand
dan Vietnam untuk mengemis, menjual permen, bunga, dan sepatu.8
Berdasarkan US of The 10th Annual Trafficking in Persons Report
ditemukan banyak kasus terjadinya kerja paksa dan praktik prostitusi
serta terjadinya human trafficking. Dari daftar TIER yang dikeluarkan US
of The 10th annual Trafficking in Persons Repor, tidak ada negara ASEAN
yang masuk dalam daftar TIER I atau dengan bahasa lain, dalam upaya
memberantas perdagangan manusia, semua negara-negara ASEAN tidak
ada yang pemerintahannya secara penuh mematuhi standar minimum
Trafficking Victims Protection Act .
164
Hanya Indonesia dan Kamboja menempati TIER 2 yaitu kelompok
negara-negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya sesuai dengan
standar minimum Trafficking Victims Protection Act tetapi melakukan upaya
yang signifikan untuk menyesuaikan dengan standar-standar. Negaranegara ASEAN lainnya, selain Indonesia dan Kamboja, menempati TIER
Tier 2 Watch List dimana dalam kategori ini negara yang pemerintahannya
tidak sepenuhnya sesuai dengan standar minimum Trafficking Victims
Protection Act tetapi membuat upaya yang signifikan menyesuaikan
dengan standar-standar tetapi di negara tersebut ditemukan:
1. Jumlah korban perdagangan sangat signifikan atau secara signifikan
meningkat.
2. Ada kegagalan untuk memberikan bukti telah dilakukannya
peningkatan upaya memerangi perdagangan orang dari tahun
sebelumnya dan adanya bukti keterlibatan perdagangan oleh pejabat
pemerintah, atau,
3. Penentuan bahwa suatu negara melakukan upaya signifikan untuk
memenuhi standar minimum berdasarkan komitmen negara untuk
mengambil langkah-langkah tambahan sampai tahun berikutnya.
Hasil temuan yang muat dalam US 0f The 10th annual Trafficking in
Persons Report perlu dicermati oleh negara-negara ASEAN. ASEAN yang
dibentuk salah tujuannya adalah memberikan perlindungan hak ekonomi,
hak sosial, dan hak-hak rakyat negara-negara ASEAN, maka fakta di atas
merupakan hal yang harus dipertimbangkan untuk mewujudkan tujuan
tersebut. ASEAN harus mampu membuat langkah-langkah konkrit untuk
memerangi perdagangan manusia yang salah satunya melalui pengiriman
tenaga kerja lintas negara. ASEAN harus serius melindungi rakyat negaranegara ASEAN khususnya perempuan dan anak.
Penilaian US 0f The 10th annual Trafficking in Persons Report didasarkan
pada Standar Minimum Trafficking Victims Protection Act. UU di Amerika
Serikat tentang perlindungan korban perdagangan manusia dikeluarkan
pada tahun 2000 pada masa Presiden Bill Clinton dan ini hampir bersamaan
dengan diadopsinya The UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish
Trafficking in Persons, Especially Women and Children (Palermo Protocol) pada
tahun 2000 di Palermo, Italy and entered into force in 2003.
Terdapat empat standar minimal yang ditentukan yaitu The minimum
Standards for The Elimination of Trafficking Applicable to The Government
of a Country of Origin, Transit, or Destination for Victims of Severe Forms of
Trafficking are the following:
165
(1) The government of the country should prohibit severe forms of
trafficking in persons and punish acts of such trafficking.
(2) For the knowing commission of any act of sex trafficking involving
force, fraud, coercion, or in which the victim of sex trafficking is a
child incapable of giving meaningful consent, or of trafficking which
includes rape or kidnapping or which causes a death, the government of
the country should prescribe punishment commensurate with that for
grave crimes, such as forcible sexual assault.
(3) For the knowing commission of any act of a severe form of trafficking
in persons, the government of the country should prescribe punishment
that is sufficiently stringent to deter and that adequately reflects the
heinous nature of the offense.
(4) The government of the country should make serious and sustained
efforts to eliminate severe forms of trafficking in persons.
Pada pertemuan tingkat tinggi ASEAN di Indonesia, Kepala Negaranegara ASEAN bersepakat yang salah satunya adalah meningkatkan
kerjasama pemberantasan perdagangan manusia. Kesepakatan tersebut
seharusnya tidak berhenti pada komintmen para Kepala Negara ASEAN
tetapi harus segera dijabarkan dalam bentuk kesepakatan mengikat
yang lebih implementatif. Hal tersebut disebabkan, kondisi pengiriman
pekerja migran di ASEAN sudah mengarah pada perdagangan manusia
dan terdapat perbedaan keseriusan dari masing negara anggota ASEAN
dalam memerangi human trafficking.
Pada sisi lain, sampai saat ini, negara-negara ASEAN banyak yang
belum meratifikasi Konvensi ILO, beberapa Konvensi ILO yang berkaitan
dengan perlindungan pekerja yaitu:
1. Konvensi ILO tentang Non Diskriminasi bagi Pekerja (Konvensi ILO
No 100 dan 111).
2. Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87
dan 89).
3. Konvensi ILO tentang Larangan Kerja Paksa (Konvensi ILO No. 29
dan 105).
4. Konvensi ILO tentang Larangan terhadap Pekerja Anak (konvensi
ILO No. 138 dan 182).
Selain itu, terdapat juga konvensi-konvensi khusus yang berkaitan
dengan pekerja migran secara langsung, diantaranya yaitu:
1. Konvensi ILO tentang Pekerja Migran (Konvensi ILO No. 143).
2. Konvensi ILO tentang Migrasi untuk Bekerja (Konvensi ILO No. 97).
166
3. Konvensi ILO tentang Kesetaraan Perlakuan bagi Pekerja (Konvensi
ILO No. 118).
4. Konvensi ILO tentang Jaminan Sosial (Konvensi ILO No. 157).
5. Konvensi ILO tentang Agen/Perusahaan Tenaga Kerja, serta
Pembahasan Konvensi tentang Standar Internasional Pekerja Rumah
Tangga (Konvensi ILO No. 181).
Tidak dilakukannya ratifikasi konvensi internasional tersebut, maka
di antara negara-negara ASEAN menggunakan standar yang berbedabeda dalam memperlakukan pekerja migran sejak perekrutan, pengiriman,
penempatan, maupun pengembalian pulang. Perbedaan demikian akan
menjadi bermasalah ketika terjadi perbedaan hukum nasional dalam
menyelesaikan masalah pekerja migran. Prinsip penghormatan kedaulatan
masing-masing negara menjadi problem penyelesaian masalah pekerja
migran. Untuk menghindari hal demikian serta untuk memberikan
perlindungan hak dan kepastian hukum pekerja migran, maka seharusnya
ASEAN mampu memerankan diri untuk mendorong kesamaan standar
internasional melalui ratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan dengan
perlindungan pekerja migran.
Sebagai organisasi regional yang menghendaki pembentukan
komunitas ekonomi, komunitas politik keamanan, dan komunitas sosial
ekonomi, maka ASEAN seharusnya menyejajarkan upaya membangun
ekonomi melalui mekanisme pasar tunggal di kawasan ASEAN dengan
upaya perlindungan dan pengembangan pekerja migran secara regional.
Keberadaan pasar tunggal akan menjadi timpang jika tidak diimbangi
dengan pemerataan peningkatan sumber daya manusia di ASEAN. Salah
satu karakteristik dan elemen ASEAN Economy Comunity (AEC) adalah
bahwa The AEC will establish ASEAN as a single market and production base
making ASEAN more dynamic and competitive with new mechanisms and
measures to strengthen the implementation of its existing economic initiatives;
accelerating regional integration in the priority sectors; facilitatingmovement of
business persons, skilled labour and talents; and strengthening the institutional
mechanisms of ASEAN.9
Setelah dilakukannya penandatangan Piagam ASEAN, muncul
keinginan untuk memberikan perlindungan pada pekerja migran.
Dalam Socio-Cultural Community Blueprint, perlindungan pekerja migran
merupakan salah satu agenda yang akan dibangun dan menjadi bagian
dari pembangunan komunitas sosial budaya di ASEAN. Begitu halnya
dalam Cetak Biru “Politik dan Keamanan ASEAN” menentukan upaya
167
menyinergikan langkah pembentukan Komisi Pemajuan dan Perlindungan
Hak Perempuan dan Anak, dan mendorong penyusunan instrumen
ASEAN untuk pemajuan dan perlindungan hak pekerja migran. Pada
bagian Promotion and Protection of human rights, dengan tegas disebutkan
bahwa Cooperate closely with efforts of the sectoral bodies in the development of
an ASEAN instrument on the protection and promotion of the rights of migrant
workers.10
Pada 13 January 2007, ditanda tangani ASEAN Declaration on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ACMW). Dalam the
3rd ASEAN Forum on Migrant Labour in Ha Noi from 19 to 21 July 2010. This
year’s Forum carried the theme “Enhancing Awareness and Information Services
to Protect the Rights of Migrant Workers” merekomendasaikan, antara lain:
1. Menyerukan ASEAN memastikan adanya layanan informasi mudah
diakses untuk migran dan mencerminkan spesifik dan beragam
kebutuhan mereka.
2. Lingkup informasi antara lain: jalur pengiriman bervariasi untuk prakerja, pra-keberangkatan dan situs informasi, termasuk sekolah dan
lembaga pelatihan, wakil masyarakat migran, media dan kampanye
informasi publik.
3. ASEAN juga perlu untuk memperkuat dan meningkatkan visibilitas
atase tenaga kerja dan konsulat staf dalam mengumpulkan dan
menyediakan informasi, dan menanggapi pelanggaran hak asasi
terhadap pekerja migran.
4. Mendorong Sekretariat ASEAN dan pemangku kepentingan nasional
dan organisasi internasional menyediakan informasi dan pelayanan,
mempromosikan pengembangan dan penggunaan informasi
pengguna antara dan antar Negara Anggota ASEAN.
5. Memberi kemudahan pekerja migran mengakses dan memahami
informasi publik mengenai hukum, pedoman dan bahan informasi
lainnya.
Kendala muncul dalam level implementasi. Banyak faktor
yang mempengaruhi belum efektifnya ASEAN dalam memberikan
perlindungan dan promosi pekerja migran. Faktor yang muncul yang
menyebabkan belum optimalnya perlindungan dan promosi pekerja
migran, antara lain:
1. Penyelesaian permasalahan pekerja migran baik yang bekerja di
wilayah ASEAN maupun di negara-negara di luar ASEAN menjadi
belum menjadi masalah ASEAN tetapi masih menjadi masalah antar
168
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
negara dengan pekerja migran dan antara negara pengirim dengan
negara penerima. ASEAN sebagai organisasi regional belum memberi
peran aktif untuk melindungi pekerja migran.
Prinsip kedaulatan negara menjadi problem penyelesaian permasalahan pekerja migran antara negara ASEAN.
Perbedaan pandang negara-negara di ASEAN dalam menyepakati
undocumented migrant workers sebagai pihak yang berhak dilindungi.
Indonesia dan Filipina, sebagai negara pengirim pekerja migran,
memandang persoalan undocumented migrant workers ini sebagai
masalah ketenagakerjaan. Akan tetapi, Singapura dan Malaysia
memandang masalah pekerja migran sebagai masalah politik dan
security. Mereka merasa unsecured ketika bicara tentang undocumented
migrant workers.
Adanya upaya di negara-negara penerima untuk memanfaatkan dan
mencari pekerja migran yang tidak didokumentasikan (undocumented)
atau yang berada dalam situasi yang tidak biasa untuk tujuan
memperoleh keuntungan dengan dipekerjakan dalam kondisi kerja
yang buruk atau dengan upah yang murah.
Banyak ditemukan terjadinya eksploitasi pekerja dalam bentuk tidak
diberikan pembayaran, penyitaan paspor, pengekangan, dan kontrak
beralih, bekerja dengan jam kerja sangat panjang tanpa libur, terdapat
perempuan dipaksa dalam praktik prostitusi.
Kuatnya praktik trafficking yang melibatkan pelaku-pelaku baik di
negara pengirim, negara transit, maupun di negara penerima. Masalah
trafficking sampai saat ini belum dapat diselesaikan. Keterlibatan
kelompok kejahatan terorganisir dalam masalah pekerja migran dan
perdagangan manusia.
Lemahnya sistem hukum dan birokrasi negara-negara pengirim
khususnya Indonesia. Hal demikian menghambat dilakukannya
sistem informasi terpadu.
Pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai tugas perempuan yang
tidak bernilai produktif. Hukum ketenagakerjaan setempat belum
mengakui pekerja rumah tangga sebagai pekerja yang berhak atas
kondisi kerja layak sebagaimana jenis pekerjaan lainnya. Akibatnya
pekerja migran PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum yang
memadai.
Pekerja migran perempuan yang bekerja sebagai PRT di negaranegara ASEAN tidak memiliki standar upah, tidak menikmati hak atas
keselamatan kerja dan kesehatan reproduksi, tidak diberi hari libur,
169
dan tidak punya kesempatan untuk bergabung dalam serikat pekerja.
Akibat relasi kuasa yang tidak seimbang antara majikan dan pekerja
migran PRT, pekerja migran PRT rentan mengalami penganiayaan
fisik, pelecehan seksual, atau bahkan perkosaan. Sejalan dengan ini
pekerja migran PRT tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan
akses informasi tentang mekanisme internasional (CEDAW, ILO,
Migrant Convention 1990) dan regional (ASEAN Declaration) yang telah
tersedia. Masih subur pandangan (dari pemerintah dan majikan) yang
menganggap jika pekerja migran PRT diberi libur akan berpeluang
menyebabkan PRT hamil, dan melawan majikan.
10. Diplomat dan petugas perwakilan pemerintah di luar negeri yang
bertanggung jawab pada perlindungan warga negara Indonesia di
luar negeri kurang menggunakan perspektif gender dan HAM dalam
menangani masalah pekerja migran. Hal ini banyak merugikan pekerja
migran perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga.
C. REKOMENDASI
Upaya perwujudan perlindungan pekerja migran di ASEAN
merupakan materi yang menjadi pembahasan dalam pertemuan antar
negara-negara anggota ASEAN. Perlindungan, promosi dan penyelesaian
masalah pekerja migran tidak hanya dilihat dari perspektif ketenagakerjaan
antar negara belaka. Pekerja migran juga dapat dilihat dari perspektif hak
asasi manusia dan kejahatan perdagangan manusia (trafficking). Oleh
karena itu, pendekatan dalam penyelesaian masalah pekerja migran dapat
dilakukan dengan pendekatan:
1. Hubungan ketenagakerjaan antara negara. ASEAN dalam hal ini
bertujuan untuk mensejahterakan rakyat negara anggota ASEAN,
perlu mendorong pentingnya perlindungan pekerja migran baik di
negara pengirim maupun penerima. Peran ASEAN sangat menentukan
untuk menerapkan prinsip dasar pekerja migran yang diatur dalam
konvensi Internasional.
2. Perlindungan dan promosi HAM melalui :
a. ASEAN commision for the protection and promotion of the rights of
migrant workers.
b. ASEAN commission on the promotion and protection of the rights of
women and children.
c. Badan HAM ASEAN.
170
3. Pemberantasan kejahatan perdagangan manusia baik di negara
pengirim maupun di negara penerima.
ASEAN sebagai wadah negara-negara di Asia Tenggara sudah
selayaknya memrioritaskan promosi dan perlindungan pekerja migran
untuk mendukung capaian masyarakat ASEAN. Peran ASEAN dalam
mewujudkan perlindungan dan promosi pekerja migran:
1. ASEAN harus memposisikan diri sebagai organisasi yang turut
bertanggung jawab dalam permasalahan pekerja migran negaranegara ASEAN baik yang bekerja di wilayah negara ASEAN maupun
di luar negara ASEAN.
2. ASEAN bersama negara-negara pengirim, Negara transit, dan negara
tujuan, turut memberi perlindungan dan promosi pekerja mirgran di
negara-negara di luar ASEAN.
3. Membuat standar minimal perlindungan dan promosi pekerja migran
yang sama bagi negara-negara ASEAN yang dilakukan dengan cara
membuat konvensi regional tentang standar minimal perlindungan
pekerja migran atau mendorong negara-negara ASEAN melakukan
ratifikasi konvensi internasiolan berkaitan dengan perlindungan
pekerja migran.
4. Mendorong negara-negara ASEAN untuk meratifikasi konvnsi
internasional berkaitan dengan human trafficking.
5. Mendorong negara-negara ASEAN baik negara pengirim maupun
negara tujuan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja
migran sejak rekruitmen, pengiriman, penempatan, bekerja, hingga
kembali ke negara masing-masing melalui perbaikan intrumen hukum
dan implementasiannya di masing-masing negara anggota ASEAN.
6. Mewujudkan tranparansi informasi yang mudah di akses pekerja
migran yang terintegrasi, mencakup:
a. Informasi kebutuhan negara tujuan.
b. Mekanisme rekruitmen dan pendidikan calon pekerja migran.
c. Mekanisme pengiriman dan penempatan.
d. Informasi tempat asal pekerja dan tempat bekerja.
e. Mekanisme pemulangan kembali ke negara masing-masing.
7. Membangun mekanisme penyelesaian pekerja migran dengan
membentuk:
a. Bantuan hukum pekerja migran yang berkonflik dengan hukum.
b. Membangun mekanisme arbitrase penyelesaian sengketa pekerja
migran.
c. Membangun mekanisme pengawasan pekerja migran.
ANCAMAN TERHADAP
KEAMANAN
NASIONAL / NEGARA
Membentuk Kesepahaman
Sistem Keamanan Nasional
A. PENGANTAR
Pembahasan tentang keamanan nasional selayaknya dilakukan
bersamaan dengan pembahasan mengenai pertahanan negara karena
kedua hal ini sangat berkaitan. Namun, pembahasan mengenai pertahanan
negara sudah sejak lama dilakukan, tidak lama setelah momentum
reformasi di segala bidang pasca 1998.
Dalam perkembangan saat ini, pembahasan tentang masalah kemanan
nasional masih belum tuntas dan perdebatan tertuju pada sistem dan
proses penataan kerangka regulasi bidang keamanan nasional. Bahkan
dalam hal tertentu emngarah langsung pada masalah yang cenderung
bernuansa kepentingan menyudutkan Kepolisian dengan terlihat upaya
yang gigih, misalnya mengampanyekan penempatan Kepolisian di bawah
suatu Kementerian. Dalam sisi yang lain, pembahasan keamanan nasional
terlalu memakan waktu lama dibandingkan dengan cepat dan seringnya
Indonesia mengalami berbagai bencana, musibah kecelakaan, wabah
penyakit, masalah kemiskinan dan kelaparan, serta mencuatnya kembali
konflik komunal yang bernuansa agama dan suku serta aliran nasionalisme
sempit, terorisme, maupun sengketa perbatasan dengan berbagai negara
tetangga. Meskipun demikian, disadari pula bahwa masalah keamanan
nasonal berhubungan dengan kelembagaan dan kompleksitas tentang
keamanan nasional itu sendiri.
KHN memahami bahwa berbagai konsep keamanan nasional yang
banyak dibicarakan oleh masyarakat mempunyai beragam definisi.
Dahulu dikenal suatu definisi strategis (strategic definition) dalam
keamanan nasional. Kemudain dalam perkembangannya, dikenal pula
172
definisi non-strategis ekonomi (economic non-strategic definition). Dalam
definisi strategis, “keamanan” diartikan sebagai upaya mempertahankan
independensi dan kedaulatan negara dan umumnya berdimensi militer.
Dalam definisi non-strategis ekonomi, keamanan nasional dilihat
secara menyeluruh atau dikenal pula dengan istilah konsep keamanan
komprehensif (comprehensive security). Konsep ini melihat dari totalitas
kemampuan negara untuk melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilainilai inti (core values), yang pencapaiannya merupakan sebuah proses yang
terus-menerus dengan menggunakan segala element power dan resources
yang ada serta melingkupi semua aspek kehidupan.
Di Indonesia, pemahaman keamanan nasional mulai difokuskan
seperti pemahaman keamanan nasional secara menyeluruh atau
komprehensif. Oleh karenanya pembahasan ancaman terhadap keamanan
nasional juga termasuk pembahasan berkembangnya ideologi-ideologi
yang bertentangan dengan Pancasila, misalnya ialah ideologi NII (Negara
Islam Indonesia). Selain itu, pemberontakan G-30 S PKI yang mencoba
merebut kekuasaan dengan cara kekerasan. Pada masa otoriter orde
baru (begitu juga orde lama dengan konteks yang berbeda), pemerintah
memberangus orang-orang atau organisasi-organisasi yang kritis terhadap
jalannya pemerintahan. Dengan dalih menjaga stabilitas nasional dan
mempertahankan Pancasila. Namun dalam perkembangan paham
demokrasi hingga saat ini, ada jaminan terhadap kebebasan berpikir,
berekspresi, berserikat, berkumpul dan berorganisasi sebagai bagian dari
hak sipil-politik. Disinilah terjadi polemik sejauhmana kebebasan berpikir,
berekspresi dan berorganisasi dapat dikatakan mengancam keamanan
nasional?
Permasalahan di tengah dua keadaan tersebut (memberikan hak
kebebasan berpendapat dengan risiko berkembangnya potensi ancaman
terhadap keamanan nasional/negara, dan mempertahankan integritas
nasional) bertambah berat dengan kecenderungan bahwa saat ini
negara belum memiliki sikap yang jelas dan tegas tentang bagaimana
menempatkan ideologi negara secara tepat dalam konteks demokrasi.
Bahkan ideologi Pancasila di era reformasi telah banyak ditinggalkan,
proses-proses penanaman ideologi Pancasila kepada generasi penerus
minim dilakukan oleh negara, karena itu tidak tertutup kemungkinan
di saat-saat mendatang bangsa ini akan tercerabut dari akar ideologinya.
Sikap phobi terhadap Pancasila akibat politisasi di masa Orde Baru seolah
dibiarkan berkembang secara liar tanpa arah yang jelas, karena itu
seharusnya negara berupaya merumuskan nilai-nilai yang terkandung
173
dalam Pancasila dalam konteks demokrasi agar identitas nasional
tertancap kuat sebagai karakter bangsa Indonesia.
Membicarakan mengenai perumusan konsep keamanan nasional
secara komprehenshif, perkembangan ideologi-ideologi pasca reformasi
dan pengaruhnya terhadap integritas nasional, serta perumusan konsep
tentang hak sipil politik dalam konteks demokrasi dan keamanan
nasional, tidak terlepas dari membicarakan mengenai koordinasi peran
berbagai lembaga dan harmonisasi undang-undang. Harmonisasi tersebut
dapat juga tertuju pada rancangan undang-undang yang mempunyai
keterkaitan yang erat dalam mengatur peran berbagai lembaga tersebut.
Berkaitan dengan hal di atas, dalam kerangka negara menjaga
keamanan nasional secara menyeluruh atau konsep keamanan
komprehensif, negara juga masih mempunyai permasalahan dalam
mengoordinasikan peran berbagai lembaga dan mempunyai permasalahan
dalam mengharmonisasikan undang-undang maupun rancangan undangundang yang mempunyai keterkaitan yang erat dalam mengatur peran
berbagai lembaga tersebut. Sebagai contoh berbagai lembaga tersebut
ialah Intelijen dan Kepolisian. Adapun sebagai contoh berbagai undangundang maupun rancangan undang-undang tersebut ialah UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (yang juga dikenal dengan
sebutan KUHAP), UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, RUU tentang Keamanan Nasional dan UU No. 17
Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
B. KONSEP KEAMANAN NASIONAL
Secara konstitusional, keamanan nasional ditujukan untuk mencapai
tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam alinea keempat Pembukaan
UUD 1945 bahwa “... negara melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.” Oleh
karenanya, keamanan nasional dipahami sebagai upaya mempertahankan
diri sebagai suatu entitas berdaulat, memelihara identitas kedaulatan, dan
mengembangkan diri sebagai entitas berdaulat dalam kehidupan bangsabangsa.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa
dalam pandangan yang konvensional, konsep keamanan nasional lebih
menekankan pada kemampuan pemerintah dalam melindungi integritas
174
teritorial negara dari ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam
negara tersebut dan umumnya berdimensi militer. Namun konsep
keamanan nasional tidak lagi dibatasi atau dipersekutukan dengan
sudut pandang militer. Jadi bukan hanya militer sebagai alat negara yang
memiliki kekuatan senjata dan boleh menggunakan kekuatan secara paksa
untuk mewujudkan keamanan nasional. PBB telah menekankan perubahan
konsep dan fokus keamanan dari keamanan yang menitikberatkan kepada
keamanan negara menjadi keamanan masyarakat, dari keamanan melalui
kekuatan militer menuju keamanan melalui pembangunan masyarakat,
dari keamanan wilayah kepada keamanan manusia terkait jaminan hak
asasi manusia (HAM), ketersediaan pangan dan pekerjaan serta kelestarian
lingkungan.11
Seiring perubahan tersebut, di dalam pengertian keamanan lahir
istilah keamanan insani (human security), yang dikonseptualisasikan
melalui pendekatan HAM, pendekatan humanitarian dan pendekatan
pembangunan berkelanjutan. Pendekatan HAM menitikberatkan
pada penguatan sistem hukum dan penegakan hukum yang berkaitan
dengan HAM di tingkat regional maupun internasional, serta juga
penguatan sistem hukum dan penegakan hukum di tingkat negara.
Pendekatan humanitarian meletakkan perang sebagai ancaman utama
human security sehingga keselamatan individu dipandang sebagai tujuan
utama pengembangan konsep human security. Sedangkan pendekatan
pembangunan berkelanjutan menekankan pada ancaman non-militer
atas human security dan ancaman atas human survival yang berasal dari
persoalan-persoalan seperti pertumbuhan populasi global yang tidak
terdata, migrasi jurang ekonomi dan kesempatan, penyakit, degradasi
lingkungan, drug trafficking dan terorisme.12
Apabila dilihat dari sumber ancamannya, maka ada tiga tipe ancaman,
yakni ancaman yang berasal dari dalam negara (internal), ancaman yang
berasal dari luar negara (eksternal), dan ancaman yang tidak dapat
dipastikan secara tepat sumbernya (internal-eksternal). Sedangkan apabila
dilihat dari sifatnya, dikenal pembedaan antara ancaman non militer dengan
ancaman militer. Ancaman non militer merupakan suatu spektrum, mulai
dari tindak kriminal, kerusuhan sosial, berkembangnya ideologi radikal,
pertikaian elit politik yang tidak terkendali, ketidakpuasan yang meluas
hingga memunculkan pembangkangan massal dan subversi. Ancaman
militer itu meliputi teror dan pemberontakkan bersenjata sampai dengan
tindakan militer dari luar. Beberapa ancaman yang bersifat non militer
bisa saja berubah menjadi ancaman yang bersifat militer, hal ini dikenal
175
dengan istilah sekuritisasi. Sekuritisasi sering terjadi pada masa orde baru
dalam menangani berbagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Bagi masyarakat, istilah “keamanan nasional” memang akan selalu
dikaitkan dengan masa orde baru, dimana aparat keamanan menjadi
pilar utama kekuasaan Suharto. Keadaan ini tidak berubah, bahkan ketika
aparat keamanan itu telah menjadi aktor yang terpisah, polisi dan tentara.
Terlihat kekhawatiran pada masyarakat, bahwa dengan mengatasnamakan
“demi keamanan nasional”, aparat keamanan bisa mengalahkan hak-hak
pada masyarakat dan melanggar nilai-nilai yang sebetulnya menjadi
bagian perekat dari bangsa. Sesuatu yang berharga, dan tidak boleh
dilupakan, dari pesan seperti itu adalah bahwa pendekatan-pendekatan
yang terlalu menitikberatkan pada keamanan wilayah dan/atau stabilitas
pemerintahan, pada saat yang sama harus memperhatikan kesejahteraan
dan keamanan manusia (human security).
Pengalaman Indonesia di masa orde baru yang mengedepankan
kekuatan militer dalam menangani berkembangnya ideologi-ideologi
yang bertentangan dengan Pancasila, telah mengharamkan ideologi
komunis, marxis, leninis hidup di negeri ini berdasarkan UU No. 27
Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Begitu pula halnya dalam
menangani ideologi Negara Islam Indonesia (NII) pada awal tahun
1940 sampai dengan tahun 1960-an, yang kemudian berkembang lagi
sampai dengan saat ini. Perkembangan paham demokrasi yang memberi
jaminan terhadap kebebasan berpikir, berkespresi, berserikat, berkumpul
dan berorganisasi secara tidak langsung telah memberi ruang kepada
ideologi-ideologi yang “kelihatannya” bertentangan dengan Pancasila
untuk berkembang. Di era reformasi, dimana peluang kebebasan
semakin terbuka, maka potensi berkembangnya ideologi yang berpotensi
bertentangan dengan Pancasila dan mengancam keamanan nasional
semakin terbuka lebar. Namun negara tidak dapat secara semena-mena
memberangus ideologi-ideologi tersebut, karena ada hak sipil-politik
warga negara yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara (terlebih
dengan adanya UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik).
Oleh karenanya, upaya perwujudan keamanan nasional harus
didasarkan pada lima prinsip, yaitu:
1. Tidak boleh mengorbankan prinsip demokrasi dan hak-hak sipil.
2. Penggunaan instrumen keamanan harus didasarkan pada tingkat
176
gradasi ancaman dan efisiensi pengunaan sumber daya, hal ini
berkaitan dengan penggunaan instrumen negara yang meliputi
diplomasi preventif, sistem peringatan dini, penangkalan, pertahanan,
hingga rekonstruksi paska konflik.
3. Penggunaan instrumen keamanan nasional harus didasarkan pada
prinsip supremasi sipil, akuntabilitas dan transparansi vertikal.
4. Menempatkan keamanan nasional sebagai konsep multidimensi
sehingga perlu ditangani secara sektoral dengan mempertimbangkan
spesialisasi fungsi dan kompetensi teknis, dan
5. Mengharuskan adanya kerjasama dan koordinasi lintas institusi untuk
mendapatkan akuntabilitas dan transparansi horisontal dalam setiap
upaya untuk mewujudkan keamanan nasional.13
Untuk menghadapi berbagai macam ancaman sebenarnya telah
dikembangkan sistem keamanan nasional melalui sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta (Sishankamrata), sebagaimana yang tercantum
di dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945. Namun Sishankamrata yang
dikembangkan sampai saat ini seharusnya dapat bersifat lebih dinamis
dan dapat memberikan ruang lingkup bagi negara untuk mengembangkan
strategi, kebijakan dan kemampuan pertahanan negara yang memadai.
Pasal 10 ayat (3) huruf c dan d UU No. 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara hanya mengatur bahwa TNI dapat melakukan peran di
luar tugas pokoknya. Di sisi lain, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia membuka peluang Kepolisian untuk meminta
perbantuan TNI kepada fungsi-fungsi kepolisian. Ketentuan legislasi
tersebut juga belum mengatur secara lebih rinci tentang mekanisme tugas
perbantuan TNI kepada fungsi Kepolisian.
Kebutuhan legislasi dalam kebijakan keamanan yang komprehensif
dan tersinkronisasi sangat diperlukan untuk mengatur penyelenggaraan
keamanan nasional secara demokratis, komprehensif dan terkoordinasi.
Kebijakan itu juga menjadi landasan hukum untuk mengatur keterlibatan
berbagai institusi, batas kewenangan antar institusi yang terlibat dan
sumber daya yang digunakan. Tugas untuk menyusun legislasi yang
berkaitan dengan keamanan nasional berada di tangan DPR bersama
pemerintah. DPR juga berperan melakukan fungsi pengawasan atas
penggunaan anggaran dan implementasi kebijakan keamanan nasional.
Sementara itu Presiden merupakan penanggung jawab tertinggi dalam
perumusan dan pelaksanaan kebijakan keamanan nasional yang meliputi
perumusan anggaran, pernyataan deklarasi perang dan keadaan darurat,
177
pengerahan pasukan, penggunaan komponen cadangan dan pengaturan
tentang pengelolaan sumber daya.
Dalam penyusunan legislasi, perumusan kebijakan dan pelaksanaan
kebijakan, sangat perlu untuk memperhatikan 5 (lima) prinsip yang
telah dijelaskan di atas dalam mewujudkan keamanan nasional terutama
yang terkait dengan perumusan pengertian ancaman di dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pengertian ancaman yang longgar dan
tidak jelas dapat membuka peluang multitafsir, dan memberi peluang
untuk tindakan bersenjata. Kekhawatiran masyarakat timbul, terutama dari
pemerhati hak asasi manusia dan Komnas HAM yang menyoroti beberapa
kelemahan yang terdapat di dalam RUU tentang Keamanan Nasional.
Sebagai contoh adalah Pasal 1 Poin ke-13 dalam RUU menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan ancaman tidak bersenjata adalah ancaman
selain ancaman militer dan ancaman bersenjata yang membahayakan
keselamatan individu dan/atau kelompok, kedaulatan negara, keutuhan
wilayah negara dan keselamatan bangsa. Definisi ancaman yang seperti
ini dinilai masih terlalu luas dan tidak spesifik.14
Pengertian ancaman pada poin lain juga dinilai bermasalah, misalnya
definisi ancaman pada Pasal 1 Poin ke-2 RUU15 yang dinilai masih sangat
longgar dan membuka peluang munculnya institusi seperti Komando
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) seperti yang ada
pada masa orde baru. Pengaturan mengenai sasaran, jenis dan bentuk
ancaman yang luas dan tidak dijelaskan secara terperinci, termasuk siapa
aktor utama pelaku dan siapa yang seharusnya mempunyai wewenang
dalam menghadapi berbagai ancaman tersebut, dapat mengakibatkan
penanganan ancaman bisa tumpang tindih. Selain itu diperlukan adanya
satu lembaga koordinator alternatif untuk menyatukan berbagai bentuk
mekanisme koordinasi sebagai wadah tunggal keamanan nasional di
tingkat nasional, melalui pembentukan Dewan Keamanan Nasional.
C. PERAN DEWAN KEAMANAN NASIONAL
Substansi berikutnya yang harus dikembangkan untuk membentuk
sistem keamanan nasional adalah pembentukan Dewan Keamanan
Nasional (DKN). DKN merupakan perangkat kepresidenan yang
berfungsi membantu Presiden untuk menentukan masalah-masalah
yang dapat dikategorikan sebagai masalah keamanan nasional dan
merekomendasikan alternatif kebijakan dalam menangani masalah
keamanan nasional tersebut. Dalam hal ini DKN akan menjadi lembaga
178
yang bisa memberikan pandangan dan masukan secara cepat kepada
Presiden, terutama mengenai kondisi keamanan nasional sesuai dengan
eskalasi ancaman.
DKN diketuai oleh Presiden dengan keanggotaan dari pemerintah
dan non-pemerintah. Anggota DKN terdiri dari Wakil Presiden, Menteri
Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Kehakiman, Jaksa Agung dan kepala lembaga-lembaga intelijen (BIN dan
lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi intelijen). Menurut Lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhanas), DKN diklaim akan menjadi jalan keluar
dari berbelit-belitnya birokrasi di bidang pertahanan dan keamanan, dan
tumpang tindih tugas antara Kepolisian dan TNI dalam wilayah tugas
yang masih abu-abu.16
Berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh DKN, Presiden dapat
menggunakan institusi-institusi yang sudah ada (seperti TNI, Kepolisian,
lembaga-lembaga intelijen dan departemen-departemen) untuk menangani masalah keamanan nasional atau jika diperlukan Presiden dapat
membentuk unit pelaksana operasi keamanan nasional (executing agencies)
yang bersifat ad hoc, namun diperlukan penegasan secara eksplisit
mengenai syarat-syarat yang menjadi pertimbangan dalam membentuk
unit pelaksana operasi keamanan nasional di dalam peraturan perundangundangan. Unit pelaksana operasi keamanan nasional tersebut merupakan
instrumen untuk melaksanakan kebijakan keamanan nasional yang telah
dirumuskan oleh Presiden.
Menurut Pasal 25 RUU tentang Keamanan Nasional dinyatakan
bahwa DKN memiliki beberapa peran, yaitu:
1. Merumuskan ketetapan kebijakan dan strategi keamanan nasional.
2. Menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan
eskalasi ancaman.
3. Menetapkan unsur utama dan unsur pendukung penyelenggaraan
keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman.
4. Mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional.
5. Menelaah dan menilai risiko dari kebijakan dan strategi yang
ditetapkan, dan
6. Menelaah dan menilai kemampuan dukungan sumber daya bagi
penyelenggaraan keamanan nasional.
Dengan peran yang dilaksanakan oleh DKN tersebut, diharapkan
akan dapat mengelola dan mensinergikan semua unsur yang terkait dalam
penyelenggaraan keamanan nasional, sehingga dapat mengatasi dengan
179
tepat setiap ancaman yang ada sesuai tingkat eskalasinya dalam rangka
mewujudkan stabilitas keamanan nasional yang mantap.17
Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada keamanan internal
yang disertai dengan blue-print keamanan nasional yang melingkupi
aspek pertahanan dan keamanan (dalam dimensi politik, hukum, ekonomi
dan kesejahteraan) yang memperhatikan tantangan eksternal dan
internal mendesak untuk segera disusun. Potensi ancaman yang terjadi
di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika lingkungan strategis
yang terjadi di tiga ranah, yaitu global, regional dan domestik. Di tingkat
global, dinamika lingkungan strategis dipengaruhi oleh interaksi diantara
negara-negara besar yaitu interaksi antara Amerika Serikat, Cina, Rusia
dan negara-negara Eropa (Uni Eropa). Sementara di tingkat regional,
beragam kepentingan dan persaingan antar negara-negara Asia terhadap
penguasaan pasar, jalur ekonomi dan sumber daya alam terutama di
wilayah-wilayah perbatasan yang dipersengketakan menjadi persoalan
tersendiri. Sedangkan di tingkat domestik, instabilitas politik, ancaman
krisis ekonomi dan lemahnya sistem hukum yang ada merupakan potensi
ancaman yang selalu dikemukakan namun tidak pernah diupayakan
untuk diselesaikan secara komprehensif, akuntabel, adil dan sesuai
dengan prinsip negara demokrasi.
Perlu disadari oleh pemerintah bahwa berbagai gerakan separatisme
yang muncul, seperti di Aceh, Maluku dan Papua, sebagian besar
disebabkan oleh kekecewaan terhadap pemerintah terkait dengan
ketimpangan distribusi ekonomi, diskriminasi politik dan peminggiran
sosial-budaya masyarakat setempat. Perdamaian yang tercapai antara
GAM-RI merupakan salah satu contoh keberhasilan penyelesaian masalah
separatisme di Aceh. Namun pencapaian tersebut juga harus dibarengi
sejumlah penyelesaian lain, khususnya terkait dengan penyelesaian akar
masalah konflik yang berupa ketimpangan ekonomi, diskriminasi politik
dan peminggiran sosial-budaya masyarakat setempat, serta kekerasan
dan pelanggaran HAM.
Demikian halnya dengan konflik horisontal yang kerap terjadi,
yang menggunakan isu agama dan primordial, seperti konflik dengan
isu agama di Ambon dan Poso (Kristen-Islam) dan konflik primordial di
Sampit dan Sambas (dengan isu etnis Madura-Melayu-Dayak). Penyebab
dari terjadinya konflik horizontal tersebut tidak lain adalah distribusi
ekonomi, sosial dan politik yang dianggap tidak adil yang bertepatan
dengan perbedaan identitas masyarakatnya. Mengingat keragaman etnis
180
dan agama yang rawan gesekan serta kondisi ekonomi dan politik yang
belum mapan, konflik horisontal menjadi potensial untuk dapat terjadi.
Oleh karenanya sistem keamanan nasional dan penanganan pola
ancaman yang dimiliki harus bersifat multidimensional, komprehensif
dan integratif. Kekuatan militer tidak lagi menjadi satu-satunya aktor
dalam penanggulangan ancaman keamanan di Indonesia. Penanganan
ancaman harus melibatkan aktor-aktor lain yang bersifat non-militer.
Sekalipun kekuatan militer harus digunakan dalam penanganan ancaman,
pendekatan militer yang digunakan harus menghormati hak-hak sipil
warganegara. Langkah-langkah yang diambil dalam rangka memelihara
dan meningkatkan stabilitas keamanan nasional harus disesuaikan dengan
perkembangan eskalasi, jenis dan bentuk ancaman yang dihadapi, yang
pelaksanaannya harus melalui tahapan:18 Pencegahan dini, Peringatan
dini, Penindakan dini, Penanggulangan, dan Pemulihan. Ini artinya
negara harus menjamin dan melindungi hak-hak dasar setiap individu
yang menjadi warga negaranya.
D. PERAN INTELIJEN DALAM MENGHADAPI ANCAMAN TERHADAP KEAMANAN NASIONAL/
NEGARA
Pada hakikatnya tugas intelijen adalah mengumpulkan dan
menganalisis informasi yang relevan mengenai ancaman terhadap
keamanan bangsa dan negara. Informasi dan analisis tersebut harus
tersedia sebagai bagian dari peran intelijen untuk menyediakan peringatan
dini mengenai ancaman-ancaman terhadap keamanan bangsa dan negara,
yang bersifat menyeluruh dan mencakup berbagai aspek kehidupan.
Tugas dan peran intelijen ini menjadi tidak sederhana apabila melihat
sifat rahasia dari informasi dan analisis mengenai keamanan negara
tersebut dan apabila dikaitkan dengan perkembangan teknologi dan
produk informasi yang tersedia dalam masyarakat. Kepiawaian maupun
ketertinggalan intelijen dalam memanfaatkan kemutakhiran teknologi dan
produk informasi dapat berdampak pada peranannya dalam mengolah
informasi dan menyajikannya secara cepat, akurat dan bersifat kekinian.
Karena kepiawaiannya tersebut, peran intelijen dapat mengawasi dan
mencegah terjadinya sekuritisasi, sedangkan ketertinggalannya dapat
menjadikan intelijen disfungsional.
Operasi intelijen pada umumnya terdiri dari pelaksanaan fungsi
operasi penyelidikan, penanganan dan penggalangan, yang ketiga-tiganya
181
digunakan dalam beberapa operasi, yakni19 :
1. Operasi lunak, yang menggunakan sarana kontak berupa materi
dalam pelaksanaan tugasnya,
2. Operasi cerdas dengan menggunakan konsep rasional yang
meyakinkan, dan
3. Operasi keras yang menggunakan kekuatan militer dalam
operasionalnya.
Pola operasi intelijen cerdas inilah yang membuat kemenangan Barat
di kawasan asia tenggara, yakni menggunakan kekuatan sendiri untuk
menghancurkan dirinya sendiri. Pola ini jauh lebih efisien daripada
menggunakan angkatan perang, dan pola inilah yang digunakan
pemerintah Indonesia dalam menangani DI/TII. Pola gerakan dengan
pengerahan secara militer seperti yang digunakan Barat ketika perang
Vietnam, dan Indonesia ketika menghadapi masalah Timor-Timur pada
akhirnya berakhir dengan kekalahan.
Ancaman terhadap ketahanan negara RI tidak lagi berasal dari
lingkungan eksternal, tetapi juga berasal dari internal. Ancaman terhadap
negara Pancasilais tidak lagi bersifat non-teritorial yang datang dari bangsa
asing dan menyebabkan saling bantai antar bangsa tetapi juga datang dari
bangsa sendiri atau disebut teroris lokal yang melakukan aksi bom bunuh
diri. Pola intelijen lunak dan cerdas ini lebih efektif digunakan daripada
pengerahan tentara dan polisi secara besar-besaran dalam menghadapi
perang urat syaraf atau phsychological war serta berbagai ancaman
yang semakin kompleks sekarang ini. Oleh karena itu para pengambil
kebijakan baik dari kalangan elite maupun sipil perlu memahami jenisjenis ancaman baru dan harus berani menggunakan metode yang tepat
untuk menghadapinya.20
Sekuritisasi yang kerap terjadi pada masa pemerintahan orde baru
sudah seharusnya dihindari. Otoritas politik yaitu Presiden bersama-sama
DPR yang memiliki kewenangan untuk menetapkan mengenai eskalasi
ancaman ini, seharusnya menetapkan kebijakan berdasarkan analisis
atau input-input dari kalangan intelijen, serta berdasarkan rekomendasi
dari Dewan Keamanan Nasional. Keberadaan pengawasan politik
oleh DPR ini memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat
untuk menguji seberapa jauh assessment dari otoritas politik itu dapat
dipertanggungjawabkan ataupun memiliki korelasi dan berkorespondensi
dengan realitas.
182
Namun praktik intelijen dapat dan sering bersalah guna, sehingga
kinerja dan produk intelijen justru mengancam keamanan bangsa dan
negara yang seharusnya dilindungi. Informasi tentang ancaman terhadap
keamanan nasional selalu disertai dengan informasi dan bahan mentah
yang bukan berasal dari bahan-bahan publik (atau dari sumber-sumber
yang terbuka). Perolehan informasi ini sering dilakukan bukan secara
kebetulan, melainkan berdasarkan perencanaan yang sistematik, misalnya
dengan melakukan spionase, surveillance dan pemotretan udara, intersepsi
(mencegat) komunikasi, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan seperti itu
dapat, sering dan bahkan sudah mengabaikan atau melanggar kebebasan
sipil dan legalitas, seperti menguntit seseorang sehinga mengganggu
keleluasaan bergerak, memonitor perkantoran hingga kawasan pemukiman, memblokir dan menyabot komunikasi untuk memperoleh
informasi, dan menjatuhkan musuh.
Oleh karena itu, pembatasan dan pengawasan sangat diperlukan,
melalui pengawasan (oversight) atas intelijen, khususnya dengan
menetapkan batas-batas yuridis dan pengawasan yudikatif. Pembatasan
dan pengawasan ini merupakan kebutuhan mendesak dalam masyarakat
Indonesia pasca orde baru, yang mengutamakan kehidupan demokratik,
tegaknya rule of law serta perlindungan hak-hak asasi manusia dari
ancaman organ-organ kekuasaan negara yang bersalah guna.
Dalam uraian tentang perkembangan intelijen di Indonesia hingga
dewasa ini sudah ditengarai bahwa intelijen Indonesia dibangun tanpa
landasan hukum yang kuat, jelas dan eksplisit. Keberadaan organisasi
intelijen lebih karena kepentingan kekuasaan negara, bahkan rezim
semata. Intelijen kepolisian tunduk pada aturan yang sangat umum dalam
UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara dan kemudian tunduk pada UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Intelijen Yustisi tunduk
pada UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
yang tidak memberi kejelasan. Tidak ditentukan, misalnya, batas-batas
kekuasaan, metode operasi dan cara pertanggungjawaban intelijen.
Peraturan yang terakhir diberlakukan terhadap intelijen nasional
adalah Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004. Untuk fungsi koordinasi
(keutuhan dan keterpaduan) semua kegiatan intelijen oleh semua unsur
komunitas intelijen Indonesia, BIN berpegang kepada Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 5 Tahun 2002. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004
hanya berisi aturan umum organisasi di lingkungan internal eksekutif,
183
bahkan hanya dalam kaitan dengan kepala eksekutif (Presiden) tanpa
menyebut pola hubungannya dengan lembaga-lembaga pengawasan
politik (parlemen) dan anggaran (Badan Pemeriksa Keuangan, misalnya).
Sesudah itu, kewenangan umum diberikan kepada kepala BIN untuk
mengatur ke dalam.
Wewenang intelijen dirumuskan sangat umum dan dapat meluas
secara sembarangan (arbituary), pola hubungannya terbatas dengan kepala
eksekutif, tidak ada aturan mengenai metode pengumpulan dan analisis
informasi terutama jika diperoleh melalui tindakan yang melanggar
kebebasan sipil, tidak disinggung sama sekali mengenai deklasifikasi
informasi intelijen maupun yang tidak rahasia, akses publik juga tidak
disinggung. Begitu pula, tidak disebut tentang pertanggungjawaban
intelijen, tidak ada penegasan bahwa intelijen tidak berhak untuk
memanggil pejabat dan tidak memiliki wewenang penegakan hukum atau
fungsi-fungsi keamanan internal, tidak ada kewajiban kepala lembaga
intelijen negara untuk melindungi kerahasiaan sumber dan metode
intelijen kecuali jika diberi wewenang untuk membukanya atau karena
faktor lampau waktu (setelah periode tertentu), tidak ada ketentuan
tentang tata cara penunjukkan pimpinan lembaga intelijen maupun
kualifikasi pimpinan. Hal-hal terakhir ini biasa dicantumkan dalam
undang-undang intelijen di berbagai negara demokratik lainnya.
Dewasa ini kebutuhan untuk membatasi dan mengontrol intelijen
justru meningkat, baik karena pertimbangan sosial-politik untuk
mewujudkan kehidupan yang terbuka, bebas dan demokratik maupun
karena praktik-praktik kotor yang menjadi stigma intelijen dan aparat
keamanan Indonesia selama ini. Dalam kaitan ini, pemberian wewenang
yang berlebih dan melampaui kewenangannya sebagai institusi dalam
sistem peringatan dini justru membuat intelijen semakin tidak populer.
Hal ini sudah mengemuka ketika dalam UU Antiteror 2002 (Peraturan
Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme) dimungkinkan penggunaan laporan intelijen
dalam proses yustisia (penegakan hukum). Dengan demikian gagasan
memberi keleluasaan kepada intelijen untuk memasuki ranah penegakan
hukum (law enforcement) dalam RUU Intelijen dari pihak pemerintah,
yang sempat beredar pada tahun 2004 pun dituding anti reformasi serta
mengancam demokrasi dan hak-hak asasi manusia.
184
E. PERAN KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN
HUKUM
KEAMANAN
NASIONAL/NEGARA
DAN PEMBAGIAN PERAN DENGAN LEMBAGA
LAINNYA
Berbagai ketentuan yang terkait dengan peran Kepolisian dalam
kaitannya sebagai penegak hukum di bidang keamanan nasional, telah
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, mulai dari
Konstitusi UUD 1945 sampai kepada peraturan yang lebih operasional.
Dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, keberadaan Kepolisian telah ditentukan
demikian:
“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”
Demikian juga telah ditentukan dalam Bab II, Pasal 6 ayat (1) TAP
MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peranan TNI dan Peran Kepolisian
Negara Republik Indonesia, yaitu:
“(1) Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.”
Selanjutnya, secara tegas telah ditentukan dalam UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 13
sampai dengan pasal 16 telah diatur mengenai tugas pokok, fungsi
dan peran Kepolisian secara terperinci, baik dalam bidang tugas-tugas
operasional Kepolisian berupa pemberian pelayanan, perlindungan,
pengayoman kepada masyarakat dan penegakan hukum. Bahkan juga
telah diatur mengenai kerja sama baik dalam negeri maupun dengan
pihak luar negeri, bahkan turut berperan dalam menjaga perdamaian
internasional dan dalam UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Demikian juga peran Kepolisian yang pengaturannya terdapat dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang tersebar di luar UU No.
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, utamanya
terkait dengan tugas-tugas pengamanan dan/atau tugas-tugas penegakan
hukum secara represif.21
Namun UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia masih banyak membuka celah bagi terjadinya penyimpangan
dan penyalahgunaan wewenang. Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Kapolri) memiliki kewenangan yang luas, yakni sebagai institusi
185
yang membuat kebijakan dan juga pelaksana kebijakan (Pasal 30 ayat (2) jo
Pasal 30 ayat (3)). Sudah seharusnya Kepolisian hanya bertindak sebagai
pelaksana kebijakan dan bukan sebagai pembuat kebijakan. Hal ini untuk
memisahkan akuntabilitas antara aktor penanggungjawab atas kebijakan
dan aktor yang bertanggungjawab secara operasional. Dengan demikian
pertanggungjawabannya menjadi jelas. Hal ini merupakan prasyarat
demokrasi yang mensyaratkan perlunya diferensiasi fungsi dan kerja
antar aktor pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Dalam hal ini
diperlukan revitalisasi peran dari Komisi Kepolisian Nasional, menjadi
lembaga yang menjadi jembatan bagi masyarakat untuk melakukan kritik
dan pengawasan terhadap kinerja Kepolisian. Hal ini perlu ditegaskan
agar kinerja Kepolisian dapat terukur oleh masyarakat.
Dalam perkembangan ganguan terhadap Kamtibmas dewasa ini
yang semakin meningkat, baik dalam kejahatan yang sifatnya konservatif,
kejahatan kontingensi, kejahatan lintas batas negara (transnational crimes),
yang dilakukan dengan modus operandi yang rapi, yaitu melalui berbagai
jaringan yang sangat kuat dengan menggunakan berbagai kemajuan
teknologi elektronik, informasi dan transformasi. Sebenarnya Polri sesuai
dengan tugas dan wewenangnya telah berusaha dengan sekuat tenaga
memelihara kondisi keamanan nasional/negara baik melalui tindakan
preventif dan represif sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
namun tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh negara belum
berhasil dilaksanakan semaksimal mungkin sebagaimana diharapkan
oleh masyarakat.22
Di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia telah diatur mengenai pemberian bantuan dari
TNI kepada Kepolisian dalam rangka tugas-tugas keamanan, namun
teknis operasional pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah
sampai saat ini belum ada/belum selesai dibahas. Namun secara taktis
di lapangan perbantuan dari TNI kepada Polri dalam rangka tugastugas keamanan sudah dilaksanakan berdasarkan prinsip kerja sama dan
tanggung-jawab selaku alat negara, seperti dalam menghadapi ancaman
dalam negeri semisal dalam penanganan konflik Ambon dan konflik Poso.
Mekanisme pelibatan itu berpijak pada Protap (Prosedur Tetap) yang
dimiliki oleh Kepolisian maupun oleh TNI itu sendiri. Masalahnya Protap
bukanlah bagian dari tata peraturan perundang-undangan sehingga
status hukumnya lemah dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Dalam
praktiknya, kadangkala justru terjadi rivalitas dan kurangnya koordinasi
akibat kelemahan pengaturan tentang tugas perbantuan itu.23
186
Rencana pengaturan tugas perbantuan TNI ke Kepolisian dalam
kerangka operasi militer selain perang sudah sepantasnya memperhatikan
beberapa prasyarat berikut ini yakni tugas perbantuan baru dapat
dilakukan apabila24 :
1. Adanya ancaman nyata dan tingkat eskalasinya telah meningkat
tajam.
2. Adanya kondisi dimana aparat kepolisian sudah tidak bisa lagi
menanggulanginya secara sendiri.
3. Adanya permintaan aparat kepolisian ke otoritas sipil untuk meminta
perbantuan dari TNI.
4. Adanya penilaian dari otoritas sipil atas permintaan itu.
5. Adanya keputusan dari otoritas sipil untuk melibatkan TNI membantu
Kepolisian maupun dalam menghentikan tugas perbantuan itu
sendiri.
6. Kendali pasukan TNI yang diperbantukan di lapangan harus tetap
berada di bawah kendali pimpinan Kepolisian kecuali dalam situasi
darurat militer.
7. Memperhatikan prinsip proporsionalitas dalam pengerahan kekuatan
TNI.
8. Perbantuan itu sifatnya sementara dan tidak permanen.
9. Pelibatan TNI merupakan alternatif terakhir.
10. Adanya pembagian tugas yang jelas diantara keduanya guna
menghindari tumpang tindih kerja.
11. Memperhatikan tata nilai HAM dalam tugas perbantuan.
12. Adanya pengawaan dan evaluasi dari otoritas sipil dari pelaksanaan
tugas perbantuan itu.
F. REKOMENDASI
Berkaitan uraian tersebut di atas, terdapat beberapa rekomendasi
yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan ancaman terhadap
keamanan nasional/negara, yaitu:
1. Melihat Perkembangan konsep keamanan nasional dewasa ini,
maka sistem keamanan nasional di Indonesia dan penanganan
pola ancaman yang dimiliki harus bersifat multidimensional,
komprehensif dan integratif. Kekuatan militer tidak lagi menjadi
satu-satunya aktor dalam penanggulangan ancaman keamanan
di Indonesia. Penanganan ancaman harus melibatkan aktor-aktor
lain yang bersifat non-militer. Sekalipun kekuatan militer harus
187
digunakan dalam penanganan ancaman, pendekatan militer yang
digunakan harus menghormati hak-hak sipil warga negara. Oleh
karenanya, pemerintah perlu menunjukkan political will untuk tidak
lagi mengutamakan penggunaan kekuatan militer sebagai alat utama
untuk mengatasi berbagai ancaman terhadap keamanan nasional,
menghentikan perdebatan yang terjadi selama ini dan menyusun blueprint yang disepakati bersama tentang konsep keamanan nasional
yang komprehensif sebagai dasar untuk menyusun kerangka regulasi
bidang keamanan nasional ke depan.
2. Kebutuhan legislasi dalam kebijakan keamanan yang komprehensif
dan tersinkronisasi sangat diperlukan untuk mengatur penyelenggaraan keamanan nasional secara demokratis, komprehensif dan
terkoordinasi. Kebijakan itu juga menjadi landasan hukum untuk
mengatur keterlibatan berbagai institusi, batas kewenangan antar
institusi yang terlibat dan sumber daya yang digunakan. Selain itu,
permasalahan yang muncul setelah pasca pemisahan TNI-Polri perlu
segera diselesaikan. Ketentuan legislasi yang mengatur mengenai
tugas perbantuan TNI kepada fungsi-fungsi kepolisian perlu
mengatur secara lebih rinci tentang mekanisme tugas perbantuan TNI
tersebut. Dalam hal ini, maka diperlukan penyelesaian RUU tentang
Keamanan Nasional dengan mengacu kepada blue-print tentang konsep
keamanan nasional, kemudian melakukan amandemen terhadap UU
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara terutama mengenai
tugas perbantuan TNI kepada fungsi kepolisian.
3. Penyusunan pengertian ancaman di dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan harus jelas dan tidak menimbulkan multitafsir.
Pengertian ancaman yang longgar dan tidak jelas dapat membuka
peluang untuk dilakukannya tindakan bersenjata. Dalam hal ini
diperlukan pengkajian kembali dan memperjelas pengertian ancaman
yang terdapat RUU tentang Keamanan Nasional.
4. Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang akan dibentuk diharapkan
dapat mengelola dan mensinergikan semua unsur yang terkait dalam
penyelenggaraan keamanan nasional, sehingga dapat mengatasi
dengan tepat setiap ancaman yang ada sesuai tingkat eskalasinya.
Berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh DKN nantinya, Presiden
dapat menggunakan institusi-institusi yang sudah ada (seperti TNI,
Kepolisian, lembaga-lembaga intelijen dan departemen-departemen)
188
untuk menangani masalah keamanan nasional atau jika diperlukan,
Presiden dapat membentuk unit pelaksana operasi keamanan nasional
yang bersifat ad hoc. Selain itu, perlu penegasan secara eksplisit
mengenai syarat-syarat yang menjadi pertimbangan bagi Presiden
dalam membentuk unit pelaksana operasi keamanan nasional di
dalam peraturan perundang-undangan.
5. Peranan intelijen sangat penting untuk menyediakan peringatan dini
mengenai ancaman-ancaman terhadap keamanan bangsa dan negara.
Oleh karenanya perlu diupayakan praktik-praktik intelijen yang baik
dan terencana, yang tidak mengabaikan atau melangar kebebasan
sipil dan legalitas. Dalam hal ini, pola intelijen lunak dan cerdas lebih
efektif digunakan daripada pengerahan tentara dan polisi secara
besar-besaran dalam menangani berbagai ancaman yang semakin
kompleks. Pembatasan dan pengawasan sangat diperlukan melalui
pengawasan (oversight) atas intelijen, khususnya dengan menetapkan
batas-batas yuridis dan pengawasan yudikatif.
6. Untuk lebih memungsikan Kepolisian dan meminimalisasi terjadinya
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang, maka sudah
seharusnya akuntabilitas Kepolisian diprioritaskan. Posisi dimanapun
Kepolisian akan terukur sejauhmana akuntabilitas Kepolisian dapat
dipertanggungjawabkan melalui pengawasan internal dan eksternal
yang aktif dilakukan terhadap kinerja Kepolisian. Peran Komisi
Kepolisian Nasional perlu direvitalisasi menjadi lembaga yang
mempunyai fungsi pengawasan eksternal dan menjadi jembatan bagi
masyarakat untuk melakukan kritik dan pengawasan terhadap kinerja
Kepolisian.
RENEGOSIASI KONTRAK
KARYA PERTAMBANGAN
Upaya Membenahi
Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Untuk Kepentingan Rakyat
A. PENGANTAR
Akhir - akhir ini telah berkembang wacana di masyarakat bahwa
sistem royalti di dalam Kontrak Karya Pertambangan dianggap sangat
merugikan negara, dan oleh karena itu Kontrak Karya perlu di renegosisasi.
Pelaksanaan renegosiasi kontrak karya tersebut masih terus dikaji oleh
pemerintah, agar kontrak karya yang berlaku sekarang dan yang akan
berlaku ke depan semuanya tetap berjalan dengan logis, lancar dan
adil, serta dapat membawa manfaat. Dalam hal ini renegosiasi kontrak
karya utamanya ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah industri
pertambangan.25 Selain itu, renegosiasi Kontrak Karya merupakan salah
satu bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3I)26 .
Keberadaan Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia memegang
peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama pada
saat pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan signifikan
yang disebabkan karena krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1977,
dan juga krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998
dan berkembang menjadi krisis ekonomi. Pada saat itu, banyak pakar
berpendapat bahwa kegiatan ekonomi yang bersumber pada sumber
daya alam (“resource-based industry”) dapat diharapkan menjadi andalan
untuk menunjang perbaikan perekonomian nasional. Dengan memiliki
potensi cadangan sumber daya mineral yang besar, maka Indonesia
dapat memanfaatkan sektor pertambangan sebagai salah satu sektor
yang merupakan keunggulan komparatif (“comparative advantage”)
dari negara ini. Oleh karena itu, selama periode yang cukup panjang,
industri pertambangan telah berhasil memegang peranan penting dalam
190
mempromosikan dan meningkatkan kegiatan eksplorasi atas sumber
daya mineral di Indonesia, khususnya dalam rangka percepatan serta
peningkatan perbaikan perekonomian nasional.
Dalam masa sekitar dan pasca proklamasi kemerdekaan 1945,
perkembangan industri pertambangan umum sangat tidak berarti,
bahkan kinerjanya menurun dibandingkan dengan tahun terakhir
masa penjajahan Belanda (1941). Hal ini disebabkan oleh tidak adanya
perundang–undangan yang mengatur investasi di bidang usaha
pertambangan umum. Peraturan pemerintah kolonial Belanda di bidang
ini yang diperbaiki terakhir kalinya pada tahun 1918, yaitu “Indische
Mijnwet” menganut sistem kolonial yaitu sistem Konsesi, yang pada
tahun 1950-an dianggap tidak sesuai lagi dengan UUD 1945. Usaha untuk
menerbitkan peraturan baru tidak pernah terlaksana karena situasi politik
pada masa itu. Bahkan pada tahun 1959 dikeluarkan undang–undang
yang membatalkan semua hak pertambangan yang diberikan sebelum
tahun 1949 dan tidak berproduksi atau tidak aktif lagi. Selanjutnya, pada
tahun 1960 telah dikeluarkan Perpu dan menjadi UU No. 37 Tahun 1960
tentang Pertambangan. Akan tetapi UU ini ternyata tidak menarik minat
investor, baik dalam negeri maupun asing, meskipun seperti yang telah
disebutkan di atas bahwa sebenarnya geologi kepulauan Indonesia sangat
potensial mengandung sumber daya mineral.
Pada era pemerintah Orde Baru, kegiatan industri pertambangan
umum yang berarti dan modern di Indonesia mulai berkembang secara
pesat setelah diundangkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing, pada bulan Januari 1967, dan disusul kemudian dalam
tahun yang sama, telah diundangkannya UU No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan–Ketentuan Pokok Pertambangan. Kedua undang – undang ini,
memberikan dasar hukum yang kuat untuk bidang industri pertambangan,
khususnya dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi para investor
asing untuk menanamkan modalnya di industri pertambangan
Indonesia.
Dengan terbentuknya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan–Ketentuan
Pokok Pertambangan, dasar hukum keberadaan Kontrak Karya telah
diperkuat. Pasal 8 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing menyatakan bahwa:
“Penanaman Modal Asing di Indonesia, khususnya pada bidang
pertambangan, harus dilaksanakan dengan didasarkan pada suatu
191
kerja sama dengan pemerintah atas dasar Kontrak Karya atau bentuk
lain sesuai dengan perundang–undangan yang berlaku”.
Kemudian pasal 10 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing, menyatakan bahwa:
“Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila
diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan–pekerjaan yang belum
atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah atau
perusahaan negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa
pertambangan”.
Keberadaan kontrak karya di dalam UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan–
Ketentuan Pokok Pertambangan, tampaknya telah dapat menarik minat
investor (terutama investor asing) untuk menanamkan modal di bidang
pertambangan. Konsep “Kotrak Karya” yang diberlakukan kepada
investor asing, dianggap telah dapat menjamin kepastian hukum dan
kepastian usaha yang sangat diharapkan oleh investor dalam industri
pertambangan umum. Begitu juga halnya di sektor batubara, Pemerintah
memperkenalkan konsep kontrak kerja sama yang disebut sebagai
“Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara”, atau disingkat sebagai PKP2B
untuk menarik investor menanamkan modalnya di sektor batubara. Namun
di sisi lain, posisi dan pengawasan pemerintah di dalam pelaksanaan
kontrak karya sangat lemah, besaran royalti yang rendah dan potensi akan
hilangnya sebagian besar sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Oleh
karena itu pemerintah kemudian berupaya untuk melakukan negosiasi
kembali terhadap kontrak karya yang telah dilakukan dengan perusahaan
pertambangan.
Rencana renegosiasi kontrak karya yang dinyatakan oleh Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 1 Juni 2011 seharusnya tetap
dianggap sebagai suatu pembenahan kembali pemanfaatan sumber
daya pertambangan atau sumber daya alam untuk kepentingan rakyat.
Meskipun demikian asas-asas umum yang berlaku secara internasional
sejak dahulu, harus tetap dijunjung tinggi. Asas tersebut misalnya suatu
perjanjian yang sudah dibuat dengan sah, harus tetap dihormati dan
ditaati agar tetap menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha bagi
para investor. Penghormatan dan pentaatan terhadap suatu asas tersebut
akan berpengaruh pada perkembangan investasi di Indonesia dan citra
Indonesia di mata dunia internasional.
192
B. TUJUAN RENEGOSIASI
PERTAMBANGAN
KONTRAK
KARYA
Kontrak karya pertambangan adalah sebuah kontrak yang dilakukan
antara pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan penanaman
modal asing yang memuat persyaratan teknis, finansial dan persyaratan
lain untuk melakukan usaha pertambangan bahan galian di Indonesia,
kecuali minyak dan gas bumi, batu bara dan uranium. Dalam naskah
kontrak karya dimuat ketentuan-ketentuan yang mengatur soal-soal
yang mencakup aspek hukum, teknis, kewajiban di bidang keuangan dan
perpajakan, ketenagakerjaan, perlindungan dan pengolahan lingkungan,
hak-hak khusus pemerintah, penyelesaian sengketa, pengakhiran kontrak,
dan ketentuan-ketentuan lainnya yang diberlakukan selama jangka waktu
kontrak.27
Di dalam kontrak karya pertambangan tersebut, pemerintah
memberikan sebuah perlakuan khusus atau lex specialis, dimana segala
ketentuan-ketentuan atau kesepakatan yang telah tercantum di dalam
kontrak, tidak akan pernah berubah karena adanya peraturan perundangundangan yang berlaku umum (lex generalis). Kalaupun akan diubah
(renegosiasi), maka terlebih dahulu harus ada kesepakatan dari para
pihak, yakni pihak pemerintah dan pihak perusahaan penanam modal.
Perlakuan khusus tersebut merupakan jaminan kepastian hukum bagi
investor, dan hal inilah yang kemudian banyak menarik minat para
investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.28
Kesepakatan bersama antara para pihak dalam melakukan renegosiasi
kontrak karya pertambangan harus mencakup kesepakatan tentang
tujuan utama dari renegosiasi, seperti, manfaat dan kepentingan dari
masing-masing pihak yang hendak dicapai dari renegosiasi dan hal–hal
yang harus dipertimbangkan oleh para pihak dalam rangka melakukan
renegosiasi. Dalam hal ini, Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian
Mining Association/IMA) berpendapat bahwa, tujuan untuk melakukan
suatu renegosiasi kontrak karya pertambangan antara lain adalah sebagai
berikut:29
1. Untuk mendapatkan kesepakatan atas pemahaman yang jelas tentang
isu bahwa Kontrak Karya Pertambangan itu adil atau tidak adil.
2. Untuk mendapatkan kesepakatan atas pemahaman mengenai manfaat
yang diterima bangsa Indonesia dari mekanisme kontrak karya
pertambangan.
193
3. Untuk mendapatkan kesepakatan atas pemahaman mengenai masalah
transfer of knowledge/technology.
4. Untuk mendapatkan kesepakatan atas pemahaman mengenai masalah
kesempatan kerja yang luas bagi warga negara Indonesia.
5. Untuk mendapatkan kesepakatan atas pemahaman yang jelas
mengenai isu Nasionalisme.
Renegosiasi adalah hal yang biasa dalam suatu perjanjian termasuk
kontrak karya pertambangan, namun seperti yang telah dijelaskan di
atas, renegosiasi tersebut harus dilakukan berdasarkan kesepakatan
dari para pihak dan mengutamakan prinsip-prinsip itikad baik dan
berkeadilan. Beberapa poin kesepakatan yang diungkapkan oleh IMA
tersebut berusaha untuk menegaskan kembali segi keadilan dari kontrak
karya pertambangan, mengenai manfaat apa saja yang telah diterima oleh
bangsa Indonesia termasuk transfer of technology dan kesempatan kerja
bagi masyarakat Indonesia.
Dari sisi pemerintah, pelaksanaan renegosiasi kontrak karya
pertambangan ini benar-benar harus ditujukan untuk memberikan
kemanfaatan yang besar kepada masyarakat. Tidak hanya untuk
memperbesar prosentase royalti sebagai penerimaan negara, tetapi juga
menciptakan mekanisme pengawasan atas pengelolaan perusahaan
pertambangan dan mencegah terjadinya eksploitasi besar-besaran
terhadap sumber daya alam yang tanpa mengindahkan lingkungan dan
masyarakat di sekitarnya.
Selanjutnya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara yang menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan, menyatakan bahwa Ketentuan yang tercantum dalam
pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara harus disesuaikan dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
sejak diundangkannya UU itu. Ketentuan ini kemudian memperkuat dasar
bagi pelaksanaan renegosiasi kontrak karya pertambangan, walaupun
pihak pengusaha tambang dan beberapa ahli menyatakan bahwa terdapat
ketidaksinkronan antara bunyi Pasal 169 a dengan Pasal 169 b UU No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam Pasal 169
a disebutkan bahwa pemegang Kontrak karya dan PKP2B tetap dihormati
hingga berakhirnya masa kontrak, sedangkan Pasal 169 b menyebutkan
bahwa ketentuan kontrak harus disesuaikan dengan UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
194
Adanya ketidaksinkronan antara kedua pasal di dalam UU No.
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut
memang harus dijelaskan oleh pemerintah dan DPR sebagai pembentuk
undang-undang, karena sementara ini yang banyak dipahami ialah
Kontrak Karya Pertambangan yang berlaku sebelum disahkannya UU
No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tetap
terlaksana dan dihormati sampai dengan masa kontrak habis sedangkan
Kontrak Karya Pertambangan yang sudah habis masa berlakunya saat atau
setelah disahkannya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, dilakukan negosiasi ulang. Namun masalah demikian,
dianggap tidak menghalangi renegosiasi terhadap semua kontrak karya
dan tetap diperbolehkan sepanjang hal-hal mengenai renegosiasi dan
tujuan dari renegosiasi itu sudah disepakati oleh para pihak yang terlibat
di dalamnya.
Renegosiasi yang dilaksanakan harus dapat bermanfaat untuk
kesejahteraan rakyat Indonesia dengan tetap memerhatikan posisi
internasional Indonesia dan menjamin kepastian usaha bagi pelaku
usaha pertambangan dalam renegosiasi kontrak karya pertambangan
dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara30. Indonesia
merupakan bagian dari komunitas internasional, yang dengan keadaan
itu, maka Indonesia mempunyai kewajiban sebagai bagian dari komunitas
internasional. Diantara kewajiban itu ialah kewajiban untuk menghormati
kontrak.31
C. RENEGOSIASI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN DALAM TINJAUAN HUKUM PERDATA
INDONESIA
Renegosiasi kontrak karya pertambangan seyogianya dilakukan
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang–undangan yang
berlaku saat ini, dalam hal ini adalah KUHPerdata, yang di dalamnya
dinyatakan sebagai berikut:
1. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang
– undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan – alasan yang oleh undang – undang dinyatakan cukup untuk
itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
195
2.
Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.”
Setiap Kontrak Karya Pertambangan selalu mencantumkan klausul
bahwa para pihak dapat melakukan negosiasi untuk mengubah Kontrak
Karya Pertambangan atas kesepakatan. Kesepakatan salah satunya
bertujuan untuk melindungi salah satu pihak dari pihak lain yang
memiliki kemampuan untuk memaksa pihak lain. Sejak terbentuknya
Kontrak Karya Pertambangan Generasi I sampai dengan Kontrak Karya
Pertambangan yang berlaku saat ini, maka telah dilakukan beberapa kali
perubahan Kontrak Karya Pertambangan atas dasar itikad baik.
Atas dasar itikad baik menjadi alasan utama bahwa tidak ada
sengketa dalam beberapa kali perubahan kontrak sebagaimana tersebut di
atas. Hal ini karena, sampai sejauh ini, tidak ada alasan bahwa renegosiasi
dilakukan karena adanya suatu syarat objektif tidak terpenuhi (hal tertentu
atau sebab yang halal). Tidak terpenuhinya syarat obyektif tersebut dapat
mengakibatkan perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void).
Dalam hal yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu
perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang – orang yang
bermaksud membuat perjanjian itu. Artinya, tujuan para pihak untuk
meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah
gagal.32
Sementara itu, renegosiasi yang dahulu telah dilakukan pun, bukan
atas dasar terdapat syarat subyektif yang tidak terpenuhi. Dalam hal ini
persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, antara
lain harus diberikan secara bebas. Dalam Hukum Perjanjian ada tiga sebab
yang membuat kesepakatan tidak bebas, yaitu33 :
1. Paksaan.
2. Kekhilafan.
3. Penipuan.
Sejauh ini, pelaku kesepakatan dalam perjanjian kontrak tersebut, bebas
dan tidak ada paksaan dan kekhilafan atau bahkan penipuan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, apabila renegosiasi Kontrak
Karya Pertambangan ini dilihat dari segi yuridisnya, dapatkah menurut
hukum di Indonesia, suatu kontrak yang telah ditandatangani dan
196
berjalan beberapa waktu (artinya para pihak telah memenuhi sebagian
isi perjanjian) dimintakan diperjanjikan-ulang?34 Dapatkah pengadilan
Indonesia meluluskan permohonan semacam ini berdasarkan hukum
Indonesia?35 Inilah yang secara rasional (lawan dari emosional) harus
dikaji oleh kita bersama. Diasumsikan tentunya bahwa pihak yang
dimintakan untuk bersedia mengulang negosiasi perjanjian (pihak-lawan)
menolaknya.36 Jika pihak-lawan bersedia, tentu tidak perlu ada sengketa.
Namun, bila pihak-lawan menolak, maka tentu ada sengketa yang perlu
diselesaikan menurut hukum yang berlaku untuk kontrak tersebut.
Diasumsikan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia (tentu
ada kemungkinan bahwa dalam kontrak ditentukan berlakunya hukum
asing dan sengketa diselesaikan melalui jalur arbitrase internasional).
Sengketa ini termasuk dalam kebatalan perjanjian.37 Karena jika ingin
mengubah sebagian dari kontrak, maka secara hukum harus mengambil
ancang-ancang bahwa pasal-pasal tertentu dari kontrak “batal” atau
“batal demi hukum” ataupun “dapat dibatalkan”. Pandangan yang lebih
hati-hati (dan tidak retorik) adalah mereka yang berprakarsa “dapat
dibatalkan” seperti ucapan yang mengatakan bahwa semua kontrak karya
dan PKP2B sedang dikaji ulang.
Meskipun demikian, patut diperhatikan pula mengenai ”kekhilafan”
dalam hukum perjanjian yang ada dalam hukum perdata di Indonesia.
Subekti menjelaskan bahwa kekhilafan terjadi bila salah satu pihak khilaf
tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifatsifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun
mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.38 Lebih lanjut,
menurut Herlien Budiono, kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan
itu dapat bersifat sebenarnya dan dapat pula bersifat semu.39 Kekeliruan
yang sebenarnya terjadi dalam hal antara kehendak dan pernyataan para
pihak saling berkesesuaian namun kehendak salah satu pihak atau kedua
pihak terbentuk secara cacat. Artinya, perjanjian memang telah terbentuk
namun terjadinya perjanjian itu berada di bawah pengaruh kekeliruan
atau kesesatan, sehingga bila kekeliruan itu diketahui sebelumnya maka
tidak akan terbentuk perjanjian.40 Subekti juga menyebutkan bahwa
“kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang
itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan
persetujuannya.”41 Dalam kekeliruan yang bersifat semu, menurut Herlien
Budino, sebenarnya tidak terbentuk perjanjian sebab pada situasi seperti
itu belum terbentuk kata sepakat di antara para pihak sehingga belum
memenuhi unsur subyektif pertama untuk sahnya perjanjian.42
197
Banyaknya pendapat masyarakat yang meminta pengkajian kembali
atas isi Kontrak Karya Pertambangan, menimbulkan suatu pemikiran
bahwa terdapat kemungkinan terjadi kekhilafan atau kekeliruan yang
baru disadari saat ini sehingga isi Kontrak Karya tersebut berpotensi atau
bahkan sudah menimbulkan kerugian bagi rakyat Indonesia. Jika terjadi
kekhilafan, maka pemerintah dan semua pihak tidak perlu malu untuk
mengakuinya sepanjang hal itu berlanjut pada penguatan hukum yang
bermanfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
D. KONSTITUSI UUD 1945 DAN MANFAAT RENEGOSIASI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN
Konstitusi Indonesia telah meletakkan dasar hukum bagi pelaksanaan
kegiatan usaha pertambangan di Indonesia, yaitu pada Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945. Pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut dinyatakan bahwa
“Bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan pasal tersebut diatas, dapat dimaknai bahwa industri
pertambangan yang kegiatannya mencari (survey dan eksplorasi)
menemukan, menggali, dan mengolah sumber daya alam pertambangan,
merupakan suatu kegiatan usaha yang melaksanakan amanat pasal 33 (3)
UUD 1945 tersebut.
Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan dilakukan agar kontrak
tersebut tetap bermanfaat bagi negara dan digunakan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat. Dalam kerangka “sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat”, maka perlu ditelaah kembali mengenai sistem yang
ada dalam kontrak tersebut, termasuk dalam hal ini ialah mengenai royalti
saja, pembayaran PPh Badan (Pajak Perusahaan Badan) sebesar 35% dari
keuntungan perusahaan, yang tarifnya berlaku selama berlakunya kontrak
karya tersebut, tarif pajak yang berlaku umum yang sejak beberapa tahun
ini sudah diturunkan untuk menarik investasi, pembayaran “Deadrent”
(artinya iuran tetap atas lokasi pertambangannya), pembayaran Pajak
Bumi dan Bangunan atas seluruh wilayah yang dipergunakan termasuk
untuk perumahan karyawan dan sebagainya, pembayaran Bea Masuk
Barang Impor, dan pembayaran Bea Materai Atas Dokumen.
Disadari bahwa renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan ini
bukan hal yang mudah dan oleh karena itu sebaiknya dilakukan dengan
198
cermat serta mempertimbangan segala aspek dan permasalahan yang
ada di dalamnya. Selain itu, renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan
tetap dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang pada
akhirnya dapat bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Situasi dan kesempatan untuk dilakukan renegosiasi Kontrak Karya
Pertambangan sudah terbuka, lebar kecilnya sangat tergantung dengan isu
– isu di dalam kontrak karya tersebut. Menurut IMA, renegosiasi Kontrak
Karya Pertambangan kemungkinan tidak seragam formatnya, karena
terdapat perbedaan antara kontrak karya satu dengan yang lainnya. Hal
ini berarti pemerintah tidak dapat memaksakan satu format atau konsep
renegosiasi tertentu untuk diterapkan pada semua proses renegosiasi
Kontrak Karya Pertambangan, karena baiknya renegosiasi Kontrak Karya
Pertambangan harus dilakukan sesuai dengan format dan konsep Kontrak
Karya Pertambangan yang bersangkutan, dimana setiap kontrak karya
memiliki karakteristik, prinsip–prinsip hak dan kewajiban para pihaknya
dan risiko yang berbeda satu dengan lainnya.
Di sisi lain, di dalam renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan harus
dengan cermat melihat dan mempertimbangkan semua kondisi dan situasi
faktual yang sedang dialami para pihaknya (pelaku kesepakatan Kontrak
Karya Pertambangan) saat itu. Jika dilihat dari segi kemampuan Indonesia
sebagai bangsa, maka pada saat itu, terdapat ketidakmampuan Indonesia
dalam meningkatkan kepemilikan. Selain itu harus cermat melihat,
setelah sekian lama waktu berlalu, maka perlu ditelusuri kemampuan
teknologi Indonesia dalam pertambangan. Perlu ditelusuri pula, kesiapan
kemampuan modal Indonesia, dan sejau mana transfer of technology sudah
terjadi pada Indonesia.
Kemungkinan serta kesempatan untuk melakukan renegosiasi kontrak
karya pertambangan itu sudah terbuka, namun yang harus diingat adalah
bahwa dalam melakukan renegosiasi tersebut ada banyak hal yang harus
dipertimbangkan dengan cermat. Banyak kepentingan para pihak Kontak
Karya Pertambangan yang harus dipertimbangkan. Sehubungan dengan
hal ini, maka harus diperhatikan bahwa Indonesia masih dinilai sangat
rendah oleh PERC (Political and Economic Risk Consultancy), sedangkan
untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia dibutuhkan kepercayaan dari
dunia bisnis dan pemodal (dalam dan luar negeri). Renegosiasi merupakan
suatu kebutuhan untuk membenahi pemanfaatan sumber daya alam bagi
kepentingan rakyat. Dalam kerangka itu, berhubungan dengan upaya
membangun ekonomi yang pro-rakyat, yang secara serius mengutamakan
199
kesejahteraan rakyat, yang ingin membangun suatu sistem yang mampu
“memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu” (pasal 33
UUD 1945), maka memerlukan terutama sistem hukum yang efisien,
dengan peradilan yang punya personalia (terutama hakimnya) yang
jujur, kompeten dan adil – hal yang sayangnya masih sangat langka di
infrastruktur hukum Indonesia.43 Jangan sampai terjadi bahwa renegosiasi
yang dilakukan nanti mengakibatkan ketidakpercayaan luar biasa
terhadap pemerintah Indonesia karena tidak cermat melakukannya.
E. REKOMENDASI
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rekomendasi yang dapat
diberikan dalam hal ini ialah:
1. Renegosiasi merupakan suatu kebutuhan yang harus ditindaklanjuti.
Oleh karenanya, pelaksanaannya harus dilakukan dengan cermat agar
tidak menimbulkan pengaruh yang negatif bagi Indonesia sendiri.
Situasi dan kesempatan untuk dilakukannya renegosiasi Kontrak
Karya Pertambangan yang sudah terbuka seperti saat ini, jangan
sampai mengakibatkan ketidakpercayaan dunia bisnis dan pemodal
(dalam dan luar negeri) akibat pelaksanaannya yang tidak cermat dan
banyaknya kepentingan para pihak Kontak Karya Pertambangan,
yang tidak dipertimbangkan.
2. Atas hal renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan yang menggunakan
instrumen kontrak, yang mengakibatkan formatnya tidak seragam
antara suatu kontrak dengan kontrak lainnya, maka diperlukan suatu
standar yang umum dalam suatu kontrak yang dapat menjadi bahan
renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan. Selain itu dipersiapkan
pula suatu standar yang khusus dalam suatu kontrak, yang berlaku
dalam keadaan yang khusus pula dalam suatu kontrak.
3. Dalam hal renegosiasi Kontrak Karya pertambangan dalam segi
hukum (yuridis). Terdapat beberapa hal yang dapat direnegosiasikan
yaitu sebagai berikut:
a. Hal–hal yang bertentangan dengan konstitusi, namun
permasalahan berikutnya adalah yaitu siapa yang menjadi
penggugat (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi? Karena
Pemerintah tidak akan mungkin menjadi penggugat (Invesment
Guarantee Agreement) GOI terhadap sejumlah negara.
200
b. Hal – hal yang jatuh tempo, yaitu jika cadangan / deposit sudah
tidak ekonomis maka investor akan cenderung meninggalkan,
dan jika deposit masih menggiurkan, kata kuncinya ada pada
kepekaan dan tanggung jawab intelektual, moral dan sosial
Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral, Kementerian
Keuangan dan lembaga lainnya yang berkaitan.
c. Hal – hal yang merugikan, seperti biaya produksi (cost revovery,
strategic transfer pricing) dan harga serta jumlah bagi hasil, jumlah
yang sesungguhnya diproduksi (e-mining).
d. Masalah Royalti.
e. Masalah Domestic Market Obligation.
4. Selain itu juga suatu renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan
harus dilakukan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang–
undangan yang berlaku di Indonesia dan asas-asas universal saat ini.
5. Apabila terjadi suatu kondisi dimana tidak tercapai suatu kesepakatan
antara para pihak Kontrak Karya Pertambangan untuk melakukan
renegosiasi, maka kontrak karya pertambangan mempunyai mekanisme penyelesaian sengketa, yaitu dengan menggunakan tiga cara:
a. Musyawarah:
Konsultasi dan pemecahan administratif.
b. Konsiliasi:
Dilakukan sesuai dengan peraturan – peraturan Konsiliasi
UNCITRAL dalam resolusi 35/32 PBB yaitu “Conciliation Rules of
the United Nations Commission on International Trade Law”.
c. Arbitrase:
Dilakukan sesuai dengan peraturan – peraturan Arbitrase
UNCITRAL dalam resolusi 31/98 PBB yaitu “Arbitration Rules of
the United Nations Commission on International Trade Law”.
MODEL PEREKRUTAN
CALON HAKIM DAN
PERAN KOMISI YUDISIAL
Membentuk Kesepahaman
Mahkamah Agung Dan Komisi Yudisial
Dalam Perekrutan Calon Hakim
A. PENGANTAR
Pada tahun 2010 lalu, Mahkamah Agung (MA) telah melaksanakan
seleksi calon hakim dan calon pegawai negeri sipil (CPNS), yang
menghasilkan sekitar 210 orang calon hakim untuk menjadi hakim di
seluruh pengadilan di Indonesia. Namun Komisi Yudisial (KY) memutuskan
untuk tidak menandatangani surat MA tentang pengangkatan sekitar 210
orang calon hakim tersebut, sehingga dapat diartikan 210 orang calon
hakim yang diluluskan oleh MA itu statusnya akan tetap sebagai calon
hakim. Komisioner KY Bidang Perekrutan calon hakim, Taufiqurrohman
Syauhari menyatakan bahwa apabila ke-210 orang calon hakim ini
dipaksakan menjadi hakim, maka mereka rentan digugat putusannya oleh
para berperkara yang mengerti aturan hukum, karena dipandang status
hakim mereka yang inprosedural.
KY menyatakan bahwa KY tidak pernah dilibatkan dalam proses
seleksi calon hakim tersebut. Padahal semestinya, MA dapat memberikan
porsi yang lebih kepada KY dalam proses seleksi. KY memiliki kredibilitas
dalam menyeleksi maupun menyaring nama calon hakim, yang diyakini
bisa membantu MA dalam meningkatkan mutu hakim. Mengenai
pelibatan KY dalam proses seleksi calon hakim ini juga telah diatur di
dalam beberapa ketentuan antara lain: (1) Pasal 14A Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, (2) Pasal 13A Undang-Undang
No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, dan (3) Pasal 14A Undang-Undang No. 51
202
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sistem perekrutan dan pendidikan dan pelatihan (diklat) calon hakim
merupakan salah satu masalah yang belum banyak mengalami perubahan
sampai saat ini. Pada bulan Februari 2010, Tim Psikologi Universitas
Indonesia meluncurkan Laporan Analisis Kebutuhan Pendidikan bagi
Calon Hakim MA Republik Indonesia. Hasil analisis menunjukkan fakta
dan temuan berkaitan dengan rendahnya kompetensi dan integritas
hakim di Indonesia, yang diidentifikasi antara lain beberapa masa sidang
masih ditemukan hakim-hakim yang tidak menguasai materi, tidak dapat
menentukan jumlah ganti rugi secara cepat, membuat keputusan yang
tidak sesuai dengan premis-premis yang digunakan, dan lemah dalam
penguasaan hukum acara. Kajian yang dilakukan oleh Tim Psikologi
Universitas Indonesia tersebut tidak berbeda dengan hasil kajian yang
dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional pada tahun 2005. Hal ini
menunjukkan belum ada perubahan mendasar terhadap sistem diklat
calon hakim. Lebih luas lagi, sistem diklat calon hakim tersebut berkaitan
erat dengan sistem perekrutan calon hakim.
Perekrutan sebagai sarana awal mendapatkan sumber daya manusia
(SDM) yang berkualitas dan berintegritas saat ini pelaksanaannya
masih kurang transparansi dan belum mendapatkan sumber daya calon
hakim yang diinginkan. Ouput dari seleksi/perekrutan calon hakim ini
nantinya akan menjadi input dalam pelaksanaan diklat calon hakim. Jika
perekrutan menghasilkan calon-calon hakim yang mempunyai kualitas
intelektual dan moral yang tinggi, maka kemungkinan untuk mencetak
SDM hakim yang berkualitas melalui diklat calon hakim akan menjadi
lebih luas. Sebaliknya, jika kualitas hasil seleksi rendah maka perlu upaya
yang sangat besar untuk menjadikan calon hakim tersebut sebagai hakim
yang profesional dan berkualitas. Oleh karena itu untuk mempermudah
pelaksanaan dan keberhasilan diklat calon hakim dibutuhkan sebuah
proses seleksi/perekrutan calon hakim yang berkualitas agar dapat
menghasilkan SDM hakim yang berkualitas. Pada tahap perekrutan inilah
dibutuhkan pelibatan peran KY, sehingga dapat bersama-sama dengan
MA menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan dalam
menghasilkan SDM hakim yang memiliki kualitas intelektual dan moral
yang tinggi.
Permasalahan yang terjadi pada pelaksanaan seleksi calon hakim dan
CPNS pada tahun 2010, menunjukkan masih adanya sikap sentimentil
antar lembaga penegak hukum, yang dalam hal ini adalah antara MA
203
dan KY. Persaingan yang terjadi antara MA dan KY selalu berkisar pada
persoalan mengenai kewenangan dan tugas, yang pada puncaknya
terjadi pada tahun 2006, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 005/PUU-IV/2006, yang telah memangkas kewenangan KY
dalam melakukan pengawasan. Pengaturan yang jelas mengenai tugas
dan kewenangan dari kedua lembaga sangat diperlukan. Penyusunan
Undang-undang tentang perubahan Undang-undang Komisi Yudisial
dan rencana perubahan kembali Undang-undang MA harus memberikan
perhatian yang lebih mengenai hal ini. MA dan KY seharusnya dapat
saling membantu dalam mewujudkan reformasi hukum terutama dalam
mewujudkan reformasi peradilan di Indonesia. Selain itu harus ada titik
temu dalam menyelesaikan permasalahan mengenenai pelaksanaan
seleksi calon hakim dan CPNS ini, terutama mengenai status 210 orang
calon hakim yang telah diluluskan oleh MA.
B. PERSPEKTIF MAHKAMAH AGUNG MENGENAI
PEREKRUTAN CALON HAKIM
Dari sekian banyak institusi yang giat melakukan reformasi, lembaga
peradilan menjadi salah satu lembaga yang masih tetap berada dalam
iklim yang tidak jauh berbeda dengan kondisinya di masa orde baru.
Walaupun sejak tahun 1999, kewenangan organisasi dan administrasi
pengadilan telah berpindah dari Departemen Kehakiman kepada
Mahkamah Agung (MA). Namun peradilan terus mendapatkan kritik
terutama dari pencari keadilan, berkenaan dengan kualitas putusan,
integritas hakim dan pegawai pengadilan, lambatnya proses penyelesaian
perkara dan sebagainya yang sesungguhnya berujung pada buruknya
kinerja pengadilan secara keseluruhan.
Semua permasalahan yang terjadi pada lembaga peradilan berawal
pada perekrutan. Perekrutan sebagai sarana awal untuk mendapatkan
SDM hakim yang berkualitas dan berintegritas saat ini pelaksanaannya
masih kurang transparansi dan cenderung mengadopsi sistem perekrutan
yang dilaksanakan pada masa sebelumnya. Sistem perekrutan calon
hakim merupakan salah satu masalah MA yang belum banyak mengalami
perubahan. Baik dan buruknya sistem perekrutan calon hakim secara
tidak langsung akan mempengaruhi kualitas hakim yang dihasilkan.
Mengingat beratnya tanggung jawab hakim, maka hakim yang dihasilkan
melalui proses perekrutan harus memiliki profesionalitas yang tinggi,
berbudi pekerti luhur dan mempunyai integritas. Sebagai penegak
204
hukum dan keadilan, hakim harus dapat berdiri tegak dan mandiri dalam
memberikan keadilan.
Proses perekrutan calon hakim yang selama ini dilaksanakan oleh
MA, dilakukan dalam 3 (tiga) tahap penyaringan, tahap pertama adalah
pendaftaran pelamar dan seleksi administrasi, kemudian tehap kedua,
penyaringan melalui test tertulis dan tahap terakhir penyaringan melalui
psikotest dan wawancara. Para pelamar yang lulus tahap seleksi awal
akan mengikuti tes tertulis, yang terdiri dari tes kompetensi dasar (TKD)
dan tes kompetensi bidang (TKB), khusus bagi calon hakim diberikan tes
substansi. Bagi pelamar calon hakim yang lulus tes tertulis maka akan
diberikan psikotest dan wawancara.
Pengangkatan Calon hakim (Cakim) dan Calon Pegawai Negeri
Sipil (CPNS) dilakukan terhadap para peserta yang telah dinyatakan
lulus, berdasarkan Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung.44 Para
lulusan tes Cakim dan CPNS kemudian akan ditempatkan di pengadilan
tingkat pertama kelas II untuk jangka waktu tertentu (kurang lebih 2
(dua) sampai dengan 3 (tiga) tahun dan kemudian mengikuti pendidikan
dan pelatihan Cakim (Diklat Cakim) selama 4 (empat) sampai dengan 6
(enam) bulan yang diselenggarakan oleh Balitbang Diklat Kumdil MARI.
Setelah mengikuti Diklat dan dipandang mampu, Cakim akan diusulkan
oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama melalui Pengadilan Tingkat
Banding untuk proses pengusulan penerbitan Keputusan Presiden untuk
pengangkatan sebagai hakim.45
Proses perekrutan seperti dijelaskan di atas terus berjalan sampai
sekarang. Beberapa perubahan telah diupayakan oleh MA untuk
mengadopsi berbagai masukan dalam mereformasi sistem perekrutan
calon hakim, seperti melakukan kerja sama dengan pihak universitas.
Pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2010, MA mengadakan kerjasama
dengan Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran, untuk
pembuatan dan pengiriman soal-soal ujian tertulis serta pemeriksaan
dan pemberian peringkat/ranking hasil ujian juga dalam pelaksanaan
psikotest. Namun tetap saja masyarakat menganggap bahwa sistem
perekrutan belum dapat diakses secara luas, dan belum ada transparansi
atas hasil-hasil ujian tertulis dan psikotest yang telah dilaksanakan.
MA juga berupaya melakukan penelusuran bibit-bibit unggul dari para
mahasiswa di fakultas hukum atau perguruan tinggi yang berkalitas untuk
direkrut sebagai Cakim, namun tidak banyak mahasiswa-mahasiswa yang
berprestasi yang mempunyai minat menjadi hakim. Hal ini menjadi satu
permasalahan tersendiri bagi MA.
205
Permasalahan yang ada dalam proses perekrutan calon hakim pada
saat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan permasalahan perekrutan
calon hakim pada masa sebelum reformasi, yang berkisar pada kurangnya
transparansi dan adanya indikasi praktik korupsi-kolusi dan nepotisme
(KKN). Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh KHN pada tahun
2003 diperoleh informasi bahwa sistem perekrutan belum dapat diakses
oleh masyarakat secara luas. Hal tersebut dibenarkan oleh Dirjen Badan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia (saat itu), dengan alasan keterbatasan dana untuk
melakukan perekrutan dan keterbatasan jumlah hakim yang akan direkrut
pada periode tersebut. Selain itu dari sekitar 230 responden penelitian non
yustisiabel, 55,66% responden menyatakan pernah mengetahui adanya
KKN dalam perekrutan calon hakim. Data tersebut diperkuat pendapat
dari 20 responden yustisiabel yang semuanya mengatakan percaya akan
adanya KKN dalam proses perekrutan calon hakim.46
Pada tahun 2010, tim psikologi Universitas Indonesia juga
meluncurkan Laporan Analisis Kebutuhan Pendidikan bagi Calon Hakim
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hasil analisis menunjukkan fakta
dan temuan yang menunjukkan rendahnya kompetensi dan integritas
hakim di Indonesia. Rendahnya kompetensi dan integritas hakim secara
tidak langsung adalah akibat dari kurangnya pengawasan, transparansi,
dan akuntabilitas dalam pelaksanaan perekrutan calon hakim, serta
kurang efektifnya pelaksanaan diklat calon hakim.
Sejak dikeluarkannya paket perubahan Undang-undang Peradilan
(Kekuasaan Kehakiman) pada tahun 200947, proses perekrutan untuk
tahun 2010 dan seterusnya harus dilakukan bekerja sama dengan Komisi
Yudisial (KY). Proses perekrutan pada tahun 2010 itu seharusnya sudah
tidak lagi menggunakan istilah CPNS dan Cakim. Namun pelaksanaan
perekrutan calon hakim oleh MA pada tahun 2010 lalu ternyata masih
menggunakan pola lama, dan masih menggunakan istilah CPNS dan
Cakim, sehingga kembali menuai perselisihan dengan KY, Selain itu MA
juga dianggap tidak mengikutsertakan KY dalam prosesnya.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, pelaksanaan
seleksi CPNS dan Cakim pada tahun 2010 tersebut telah menghasilkan
sekitar 210 orang Cakim untuk menjadi hakim di seluruh pengadilan di
Indonesia. Namun KY memutuskan untuk tidak menandatangani surat
MA tentang pengangkatan sekitar 210 orang Cakim tersebut, sehingga 210
orang Cakim yang diluluskan oleh MA itu statusnya akan tetap sebagai
Cakim. Permasalahan ini menunjukkan kembali sikap sentimentil antar
206
lembaga penegak hukum,yang seharusnya bisa duduk bersama untuk
mencari alternatif solusi. Perspektif MA dalam hal perekrutan calon hakim
harus dirubah terlebih dahulu sehingga tidak kembali menggunakan
pola lama yang banyak memiliki kelemahan dan cenderung dapat
dimanfaatkan untuk menyuburkan praktek kolusi dan nepotisme dalam
pelaksanaan perekrutan calon hakim.
C. PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM PEREKRUTAN
CALON HAKIM
Kurangnya transparansi dan tidak adanya supervisi merupakan
beberapa kelemahan yang ditengarai oleh masyarakat dan KY dari
pelaksanaan perekrutan calon hakim selama ini. Selain karena paket
revisi undang-undang di bidang peradilan pada tahun 2009, sudah
mengamanatkan agar proses perekrutan calon hakim oleh pihak MA
harus dilakukan bekerja sama dengan KY. Oleh karena itu, keikutsertaan
KY dalam proses perekrutan calon hakim sangat penting dan harus segera
dibicarakan bersama dengan MA.48
Pada proses seleksi CPNS dan Cakim pada tahun 2010, MA
menyatakan sudah berupaya untuk mengikutsertakan KY di dalamnya.
Namun KY tidak dilibatkan sejak tahap awal proses seleksi, yaitu seleksi
administrasi dan tahap tes tertulis. Keterlibatan KY hanya sebatas untuk
melakukan wawancara mengenai penguasaan kode etik dan pedoman
perilaku hakim.49 Keterlibatan KY sejak tahap awal seleksi sebenarnya
sangat penting, agar proses penjaringan CPNS dan Cakim bisa lebih
obyektif dan mencegah kemungkinan praktik suap dan nepotisme.
Disinilah KY berperan dalam melakukan supervisi dan menjamin
pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan proses
seleksi. Selama ini KY dan lembaga penegak hukum (KPK, Kepolisian
dan Kejaksaan) hanya mampu menyentuh hakim. Sementara proses
perekrutan yang diduga korup belum tersentuh. Padahal peradilan yang
bersih akan tercipta jika pembersihan dilakukan sejak proses perekrutan.
Sistem perekrutan calon hakim yang selama ini dijalankan adalah
melalui perekrutan pegawai negeri sipil (PNS) diikuti dengan test untuk
menjadi Cakim dan kemudian mengikuti Diklat Cakim serta melakukan
praktek magang menjadi hakim. Sehingga seorang hakim secara otomatis
juga menjadi PNS. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang
207
menyatakan bahwa “Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim
Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim
pada semua badan peradilan” adalah salah satu kategori pegawai negeri
sipil yang menjadi pejabat negara.
Namun menurut KY, proses perekrutan calon hakim tidak perlu
semuanya berasal dari Cakim, karena hakim adalah pejabat negara,
sehingga diperlukan mekanisme baru dalam perekrutan calon hakim
yang harus disusun bersama-sama MA, sesuai dengan asas partisipatif.50
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah
pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
undang-undang. Apabila dihubungkan dengan Pasal 31 ayat (1) Undangundang yang sama, maka Hakim yang dimaksudkan tidak hanya hakim
agung, melainkan juga seluruh hakim pada pengadilan tingkat banding
dan seluruh hakim pada pengadilan tingkat pertama.51
Lebih lanjut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Ashidiqie
bahkan mengatakan bahwa pola perekrutan calon hakim seperti yang
diterapkan sekarang ini sudah tidak relevan lagi dan perlu diubah. Pola
seleksi yang sekarang dilakukan sarat dengan penyimpangan. Calon hakim
yang direkrut adalah mereka dengan pengalaman dangkal, seseorang yang
baru menyelesaikan pendidikan strata satu atau dua dapat menjadi hakim
setelah menjadi calon hakim selama 3-4 tahun saja. Padahal seharusnya
yang menjadi kriteria bagi seseorang untuk menjadi hakim diantaranya
adalah harus memiliki pengalaman dengan usia minimal 40 tahun dan
maksimal 70 tahun, serta berintegritas.52
Keikutsertaan KY di dalam proses perekrutan calon hakim merupakan
perluasan dari kewenangan yang dimiliki KY, yang sebelumnya hanya
memiliki wewenang menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku hakim dan wewenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung.53 Perluasan kewenangan ini patut mendapatkan apresiasi,
karena di negara-negara yang memberikan kewenangan secara terbatas
terhadap KY pun mengenal adanya kewenangan perekrutan, mutasi dan
promosi hakim. Sebagai contoh kewenangan ini dimiliki oleh KY di negaranegara Eropa Selatan semacam Perancis, Italia, Spanyol dan Portugal.
Di Perancis, KYl disebut dengan istilah The Conseil Superieur de
la Magistrature. Lembaga ini mempunyai wewenang mengangkat,
mengawasi kedisiplinan, dan promosi hakim. Di Italia, KY disebut
Consiglio Superiore della Magistratura (Bahasa Inggris: The Superior Council
of the Judiciary). Lembaga ini mempunyai wewenang yang mirip dengan
208
The Conseil Superieur de la Magistrature di Prancis yang juga diketuai oleh
Presiden. Wewenang lembaga ini adalah mengangkat hakim, promosi,
mutasi, pengangkatan petugas peradilan umum, dan pendisiplinan
hakim. Di Spanyol, Komisi Yudisial disebut El Consejo General del Poder
Judicial (Bahasa Inggris: The General Council of the Judicial Power) yang
mempunyai Wewenang menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi,
dan pengawasan hakim melalui inpeksi dan prosedur pendisiplinan
hakim. Terakhir, di Portugal, KY disebut Coselho Superior da Magistratura
(Bahasa Inggris: The Higher Council of the Bench), wewenangnya adalah
juga menyangkut promosi dan mutasi hakim.
Di Belanda, lembaga seperti KY memiliki peran sentral dalam proses
seleksi hakim. Bahkan seluruh pegawai yang terlibat dalam urusan
administrasi pengadilan, seperti panitera dan pegawai lainnya juga
menjadi wewenang KY untuk melakukan perekrutan. Dengan demikian
hakim hanya memiliki 1 (satu) peran, yaitu hanya mengurus perkara di
persidangan, sehingga konsetrasi seorang hakim hanya terfokus pada
bagaimana membuat putusan yang baik.54
Di Indonesia diharapkan ada kerjasama yang baik antara MA dan KY
dalam proses perekrutan calon hakim. Dalam hal ini, KY harus diberikan
peran yang lebih besar dalam proses perekrutan calon hakim. Adapun
peranan yang dapat dilakukan oleh KY dalam proses seleksi hakim antara
lain:55
1. Melakukan supervisi terhadap seluruh proses seleksi pengangkatan
hakim sejak dimulai.
2. Menentukan kriteria tertentu dalam proses seleksi pengangkatan
hakim (misalnya dalam tes kemampuan khusus, psikotes, pendidikan
hakim dan wawancara akhir).
3. Melakukan tes kepribadian dan analisis track record (rekam jejak) pada
peserta seleksi pengangkatan hakim; dan
4. Menetapkan kelulusan peserta seleksi pengangkatan hakim bersamasama dengan MA.
D. PERAN MASYARAKAT DALAM PROSES PEREKRUTAN CALON HAKIM
Upaya yang dapat digunakan untuk menekan unsur KKN dalam
proses perekrutan adalah dengan pengawasan, transparansi dan
akuntabilitas publik. Upaya ini merupakan bagian yang sangat penting
untuk mengurangi terjadinya kesalahan dan penyalahgunaan wewenang.
209
Pelaksanaan pengawasan yang paling ideal adalah dari dalam atau lembaga
seprofesi, karena hal yang demikian itu akan menambah kewibawaan
dari profesi tersebut. Kalau terdapat pelanggaran hukum maupun kode
etik mestinya tidak sungkan-sungkan untuk menerapkan, tetapi pada
kenyataannya, pengawasan dari dalam tidak efektif, karena masih ada
unsur sungkan terhadap yang diawasi atau bahkan melindunginya karena
merupakan satu profesi atau korps.
Disinilah KY sebagai lembaga pengawas eksternal mempunyai
peranan penting. Peranan KY dalam proses perekrutan calon hakim
sebenarnya sejalan dengan peranan masyarakat dalam melaksanakan
supervisi terhadap jalannya proses perekrutan. KY dapat menampung
berbagai keluhan masyarakat sehubungan dengan pelaksanaan perekrutan.
Pada proses perekrutan calon hakim selama ini, MA cenderung tidak
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi selama
proses perekrutan karena kurangnya transparansi. Bahkan MA mengakui
kelemahannya dalam melakukan publikasi, sehingga informasi yang
sebenarnya terjadi tidak tersampaikan kepada publik.
Melihat pada prinsip pelaksanaan perekrutan calon hakim yang
harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, maka partisipasi
masyarakat itu merupakan suatu keharusan. Hak publik untuk menilai
bagaimana jalannya proses perekrutan tidak dapat dihilangkan begitu
saja. Masyarakat juga dapat memberikan masukan agar pelaksanaan
perekrutan calon hakim dapat menghasilka hakim-hakim yang
profesional dan berintegritas sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan dan sesuai juga dengan kriteria
masyarakat pencari keadilan.
Peneliti senior dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Emerson
Junto mengatakan bahwa terkait dengan proses seleksi hakim, ketika ada
dugaan suap dalam proses perekrutan dan penempatan hakim, maka
hendaknya fungsi pengawasan MA dapat berjalan. Perlu ada evaluasi di
dalam tubuh MA sehubungan dengan pelaksanaan perekrutan, karena
tidak hanya satu atau dua kasus yang terjadi, namun ada banyak kasus
terjadi dimana banyak calon hakim yang tidak lulus karena tidak memiliki
kolega pejabat-pejabat di MA.56
Pihak masyarakat harus dapat memperoleh informasi atau
mengakses proses perekrutan calon hakim. Proses dan rationalitas
pengambilan kebijakan dalam perekrutan harus transparan serta dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Bentuk transparansi dapat
210
dilakukan antara lain dengan cara memberikan kemudahan bagi anggota
masyarakat untuk mengakses setiap proses pengambilan keputusan, serta
menciptakan aturan (sistem seleksi) yang lebih terbuka. Sebelum para
hakim diangkat atau diumumkan melalui media massa, maka masyarakat
perlu mengetahui para calon hakim yang telah lulus seleksi dan sekaligus
perlu diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan. Seluruh proses
perekrutan calon hakim hendaknya dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat (akuntabilitas publik) terutama kualitas hakim yang diperoleh
dan seluruh biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan perekrutan calon
hakim.57
E. UPAYA UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN
MENGENAI HASIL SELEKSI CALON HAKIM
YANG TELAH DILULUSKAN OLEH MAHKAMAH
AGUNG PADA PROSES SELEKSI CALON HAKIM
DAN CPNS PADA TAHUN 2010
Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 2010 lalu, MA telah
melaksanakan seleksi CPNS dan Cakim yang menghasilkan sekitar
210 orang calon hakim untuk menjadi hakim di seluruh pengadilan di
Indonesia. Proses perekrutan yang dilakukan tetap menggunakan pola
lama, dengan seleksi administrasi, tes tertulis, dan tes kemampuan berupa
psikotes dan wawancara. Proses perekrutan ini dianggap tidak sah oleh
KY, karena tidak mengikutsertakan KY sejak tahap awal proses, sehingga
status 210 orang calon hakim yang telah lulus tahap seleksi menjadi tidak
jelas.
Menurut MA, proses perekrutan ini harus dilanjutkan ke tahap
selanjutnya yaitu penempatan ke-210 orang lulusan CPNS dan Cakim
tersebut ke beberapa Pengadilan Negeri tingkat II untuk jangka waktu
tertentu, antara 2 (dua) sampai 3 (tiga) tahun, baru kemudian diikutsertakan
di dalam Diklat Cakim selama kurang lebih 4 (empat) sampai 6 (enam)
bulan. Namun menurut KY, apabila ke-210 orang Cakim ini dipaksakan
untuk berpraktek sebagai hakim dan membuat putusan atas suatu
perkara di Pengadilan Negeri, maka putusan yang dibuat akan rentan
digugat oleh para berperkara, karena dipandang status hakim mereka
yang inprosedural. Oleh karena itu saat ini dibutuhkan jalan keluar, untuk
mengatasi ketidakjelasan status dari 210 orang lulusan CPNS dan Cakim
tersebut.
211
Dapat dikatakan bahwa proses perekrutan calon hakim terbagi
menjadi 3 tahap,yaitu: pertama, tahap seleksi CPNS dan Cakim, kedua
tahap penempatan dan Diklat, dan ketiga tahap pasca Diklat. Walaupun
proses seleksi CPNS dan Cakim sudah berjalan tanpa keterlibatan KY,
namun KY masih dapat menjalankan peranannya dalam melakukan
wawancara mengenai penguasaan kode etik dan pedoman perilaku
hakim terhadap 210 orang lulusan CPNS dan Cakim. Hal ini berarti ada
satu tahap seleksi lagi yang harus dilalui para lulusan CPNS dan Cakim
tersebut, yaitu tahap wawancara mengenai kode etik dan pedoman
perilaku hakim. Tahap wawancara inilah yang akan mengesahkan apakah
ke-210 orang lulusan CPNS dan Cakim itu layak untuk ditempatkan di
beberapa Pengadilan Negeri di Indonesia.58
Pada saat pelaksanaan Diklat Cakim, KY dapat ikut serta dalam
mengembangkan metode pelaksanaan Diklat Cakim, agar dapat lebih
efektif serta melakukan supervisi dan penilaian terhadap para peserta
Diklat cakim. Peranan KY dalam mengembangkan metode Diklat, antara
lain adalah dalam hal penyusunan kurikulum Diklat Cakim dan cara
penyampaian materi Diklat. Menurut penelitian yang dilaksanakan
oleh KHN pada tahun 2005, kurikulum Diklat Cakim selama ini tidak
terstruktur dan tidak jelas target kompetensi yang hendak dicapainya.
Hampir setiap pengajar dalam Diklat Cakim menentukan sendiri materi
yang akan diajarkannya, sehingga banyak materi yang tumpang tindih.
Pasca pelaksanaan Diklat Cakim, KY dapat melakukan peranannya
mengawasi 210 orang lulusan CPNS dan Cakim tersebut, dalam
melaksanakan tugas-tugasnya di Pengadilan Negeri yang telah ditentukan
sebagai bahan penilaian atau rekomendasi bagi MA pada saat akan
melantik para lulusan CPNS dan Cakim tersebut menjadi hakim. Periode
pasca Diklat selama ini tidak dirancang secara sistematis dan tidak jelas
capaiannya. Tidak ada standarisasi materi, metode dan prosedur magang
yang dijalani Cakim pasca Diklat, semuanya tergantung pada inisiatif
setiap Pengadilan Negeri dimana para Cakim tersebut ditempatkan.
Periode pasca Diklat yang semestinya mejadi ajang penguatan kompetensi
hakim, pada prakteknya dianggap tidak menymbang banyak kepada
penguatan dan peningkatan kompetensi para Cakim.
Agar mampu menghasilkan hakim yang berkualitas, maka sudah
seharusnya dilakukan pembaruan dan penyelarasan antara perekrutan,
Diklat terpusat di Pusdiklat, dan Diklat praktek. Diklat terpusat di
Megamendung perlu melakukan perbaikan metode dan kurikulum
pendidikan serta peningkatan sarana dan prasarana yang dapat mendukung
212
proses pendidikan. Dalam Diklat praktek (pra dan pasca Diklat terpusat)
perlu ada standar dan pola pembinaan yang seragam, pembuatan aturan
yang mempunyai daya paksa kepada Ketua Pengadilan Negeri dan hakim
senior untuk melakukan pendampingan dan pembinaan. Pendampingan
dan pembinaan nantinya bisa menjadi prestasi kerja bagi Ketua Pengadilan
Negeri dan hakim-hakim senior.
F. REKOMENDASI
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rekomendasi yang dapat
diberikan dalam hal ini ialah:
1. Permasalahan yang ada dalam proses perekrutan calon hakim
pada saat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan permasalahan
perekrutan calon hakim pada masa sebelum reformasi, yang
berkisar pada kurangnya transparansi dan adanya indikasi praktek
KKN. Hal ini disebabkan karena sistem perekrutan calon hakim
yang dilaksanakan oleh MA belum banyak mengalami perubahan
dan masih banyak mengadopsi pola lama. Masyarakat masih
menganggap sistem perekrutan belum dapat diakses secara luas dan
belum ada transparansi atas hasil-hasil ujian tertulis dan psikotest
yang telah dilaksanakan. Kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan
proses perekrutan juga menyebabkan timbulnya berbagai indikasi
adanya praktek KKN. Dalam hal ini, maka perspektif MA dalam hal
perekrutan calon hakim harus dirubah terlebih dahulu sehingga tidak
kembali menggunakan pola lama yang banyak memiliki kelemahan
dan cenderung dimanfaatkan untuk menyuburkan praktek KKN
dalam pelaksanaan perekrutan calon hakim. Dalam hal ini MA perlu
memprioritaskan transparansi dan pengawasan yang ketat baik oleh
MA sendiri maupun oleh lembaga pengawasan eksternal (KY) dalam
proses pelaksanaan perekrutan calon hakim.
2. Keikutsertaan KY dalam proses perekrutan calon hakim sangat
penting, oleh karenanya MA dan KY perlu menyusun metoda baru
dalam proses perekrutan calon hakim. Sistem perekrutan calon hakim
tidak perlu lagi mengadopsi sistem perekrutan CPNS dan Cakim
seperti yang selama ini dilakukan, karena sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, hakim adalah pejabat negara dan tidak dapat
disamakan dengan PNS. MA perlu memberikan peran yang lebih
besar kepada KY untuk turut serta dalam proses perekrutan sejak
awal, proses seleksi bisa lebih obyektif dan mencegah kemungkinan
213
praktek KKN. Dalam hal ini, maka peranan yang dapat dilakukan
oleh KY dalam proses perekrutan calon hakim antara lain:
a. Melakukan supervisi terhadap seluruh proses perekrutan sejak
awal.
b. Menentukan kriteria tertentu dalam proses perekrutan, misalnya
dalam tes kemampuan khusus, psikotes, pendidikan hakim dan
wawancara akhir.
c. Melakukan tes kepribadian dan analisis track record (rekan jejak)
pada peserta perekrutan calon hakim; dan
d. Menetapkan kelulusan peserta perekrutan calon hakim bersamasama dengan MA.
3. Peranan Masyarakat dalam proses perekrutan calon hakim adalah
sejalan dengan peranan KY dalam melakukan supervisi terhadap
jalannya proses perekrutan. KY dapat menampung berbagai keluhan
masyarakat sehubungan dengan pelaksanaan perekrutan. Pada proses
perekrutan calon hakim selama ini, MA cenderung tidak memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Berkaitan dengan
hal tersebut, pihak masyarakat harus dapat memperoleh informasi
atau mengakses proses perekrutan calon hakim. Proses rationalitas
pengambilan kebijakan dalam perekrutan harus transparan serta
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Sebelum para
Cakim diangkat, maka masyarakat perlu mengetahui para Cakim
yang telah lulus seleksi dan sekaligus perlu diberi kesempatan untuk
mengajukan keberatan, baik kepada MA maupun kepada KY.
4. Pola perekrutan calon hakim seperti yang diterapkan sekarang ini
sudah tidak relevan lagi, oleh karena itu MA dan KY perlu duduk
bersama untuk melakukan perubahan. Pola seleksi yang sekarang
dilakukan sarat dengan penyimpangan, selain itu Cakim yang
direkrut adalah mereka dengan pengalaman dangkal. Seseorang yang
baru menyelesaikan pendidikan strata satu atau dua dapat menjadi
hakim setelah menjadi calon hakim selama 3-4 tahun saja. Dalam hal
ini, pengalaman magang di Pengadilan Negeri bagi para Cakim perlu
diperbanyak, bisa dengan memperbanyak pelaksanaan Diklat Cakim
dan memperpanjang masa magang. Selain itu perlu dipikirkan dalam
proses perekrutan calon hakim, agar hakim tidak perlu semuanya
berasal dari Calon hakim, karena menurut undang-undang, hakim
adalah pejabat negara, sehingga diperlukan mekanisme baru dalam
perekrutan calon hakim, sesuai dengan asas partisipatif.
214
5. Proses perekrutan CPNS dan Cakim yang telah dilakukan pada tahun
2010 dan telah menghasilkan 210 orang lulusan CPNS dan Cakim
harus dilanjutkan ke tahap selanjutnya karena adanya kebutuhan
akan sumber daya hakim yang mendesak. Dalam tahapan berikutnya,
MA dalam harus mengikut sertakan KY, dan memberikan peranan
yang lebih besar kepada KY dalam melakukan penilaian terhadap
para lulusan CPNS dan Cakim tersebut. Oleh karenanya:
a. KY masih dapat menjalankan peranannya dalam melakukan
wawancara mengenai penguasaan kode etik dan pedoman
perilaku hakim. Tahap wawancara inilah yang akan mengesahkan
apakah ke-210 orang lulusan CPNS dan Cakim itu layak untuk
ditempatkan di beberapa Pengadilan Negeri di Indonesia.
b. Pada saat pelaksanaan Diklat Cakim, KY dapat ikut serta dalam
mengembangkan metode pelaksanaan Diklat Cakim, agar lebih
efektif serta melakukan supervisi dan penilaian terhadap para
peserta Diklat Cakim.
c. Pasca pelaksanaan Diklat Cakim, KY dapat melakukan peranannya
dalam mengawasi 210 orang lulusan CPNS dan akim tersebut,
dalam melaksanakan tugas-tugasnya di Pengadilan Negeri yang
telah ditentukan sebagai bahan penilaian atau rekomendasi bagi
MA pada saat akan melantik para lulusan CPNS dan Cakim
tersebut menjadi hakim.
JURNALISME
DI ERA KONGLOMERASI
MEDIA MASSA
Pencegahan Pengaruh Negatif
Terhadap Kebebasan Dan Etika Pers
A. PENGANTAR
Pembahasan mengenai konglomerasi media massa bukanlah hal
yang baru sekali ini dibicarakan, mengingat kecenderungan konglomerasi
media massa ini telah lama berlangsung di Indonesia. Konglomerasi media
massa ialah gambaran dari perusahaan berskala besar yang memiliki
bagian unit usaha media massa yang berbeda seperti suatu perusahaan
yang menaungi televisi, koran, majalah dan lain sebagainya. Konsentrasi
kepemilikan media ini dimaksudkan untuk mencapai efisiensi sehingga
keuntungan ekonomi maksimal dapat diperoleh. Disamping keuntungan
yang menjadi tujuan utama para pemilik perusahaan pers, perdebatan
mengenai konglomerasi media massa muncul manakala konglomerasi ini
mulai mengancam kebebasan pers dan menciptakan “single voice” di suatu
daerah, negara, bahkan regional tentang suatu persoalan. Jika media cetak
dan televisi sudah berada di satu tangan pemilik, keseragaman berita
penting bisa terjadi, dan ini bisa jadi amat merugikan masyarakat dilihat
dari perspektif demokrasi.
Kebebasan pers dan berpendapat telah melewati beberapa fase
panjang dalam perkembangannya di Indonesia. Pers tidak mendapatkan
tempatnya pada zaman Kolonial. Indonesia mulai mengakui kebebasan
berpendapat dengan diterapkannya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
’45) sebagai konstitusi negara yakni terlihat dari Pasal 28 UUD ’45 yang
berbunyi:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”
Pasal tersebut tidak jauh berbeda atau sama dengan sebelum
undang-undang tersebut di amandemen. Dalam kerangka media massa
216
yang dihubungkan dengan amandemen UUD ‘45, maka pasal 28 tersebut
mendapatkan penguatan dengan Pasal 28C, dalam hal yang berhubungan
dengan media massa yang menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
(setiap orang) dan demi kesejahteraan manusia. Pasal 28E ayat (3) juga
menguatkan peran media massa dengan menyebutkan bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat. Pasal 28F pun menguatkan Pasal 28, dengan menyatakan
bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia. Kebebasan yang didapatkan media massa, disertai dengan
kewajiban yang dikenakan kepadanya oleh konstitusi, sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 28J yang jika dihubungkan dengan media massa,
maka media massa wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pada tahun 1965, sistem pemerintahan Indonesia yang bersifat
demokrasi terpimpin membuat sejumlah surat kabar di-bredel. Surat
kabar yang menjadi korban adalah Merdeka, Berita Indonesia, dan
Indonesia Observer. Kebebasan pers dan berpendapat kembali kehilangan
tempatnya seperti masa Hindia Belanda dahulu. Berakhirnya kekuasaan
demokrasi terpimpin yang kemudian digantikan oleh kekuasaan orde
baru memberikan “angin segar” bagi kebebasan pers nasional. Pers
boleh bersikap kritis terhadap penyimpangan kekuasaan. Sayangnya
kondisi tersebut tidak berimbang, karena pemerintah orde baru ternyata
tidak merespon segala kritik yang ada. Akan tetapi, masa keemasan pers
nasional berakhir setelah meletusnya peristiwa Malari (lima belas Januari)
di tahun 1974. Lebih dari 12 koran dibredel kala itu. Pasca lengsernya
rezim Soeharto, pers kembali menjamur di pertengahan 1998. Di masa
reformasi ini mulai bermunculan sejumlah media daerah (lokal).
Peran media massa banyak mengalami perubahan seiring berkembangnya teknologi yang ada. Surat kabar baik koran atau majalah dulu
bertujuan untuk menyampaikan berita yang berasal dari pemerintah
kepada masyarakat, terdapat pula sarana iklan dan juga hiburan berupa
musik atau ceritera. Di era 1900-an, koran mulai tersaingi dengan
menjamurnya media informasi lain seperti radio dan televisi. Dengan
kehadiran radio dan televisi, maka semakin besar pula pintu kebebasan
bagi pers. Setelah orde baru tumbang, mulai banyak bermunculan stasiun-
217
stasiun televisi swasta yang bermunculan. Hal ini tidak lain ialah sebagai
akibat dari euphoria demokratisasi yang terjadi di Indonesia. Data tahun
2000 menunjukkan 54% penduduk di Indonesia mempunyai televisi,
jumlah ini meningkat menjadi 65% pada 2007 dan 91% pada 2010.59 Fungsi
media massa pun telah berubah tidak lagi sebagai media penyampaian
berita saja namun juga media pembujuk selera (persuaders). Ditambah
lagi dengan adanya media komputer dan internet belakangan ini yang
semakin gencar membuat suatu bentuk komunikasi massal yang mampu
menyediakan kebutuhan akan informasi yang cepat mengenai apa yang
terjadi baik lokal, nasional, regional maupun internasional. Pada 2011,
lebih dari 39% penduduk Indonesia menjadikan internet sebagai sumber
media kedua setelah televisi melebihi radio dan internet.
B. KONSEP KONGLOMERASI MEDIA MASSA
Secara konseptual, konglomerasi merupakan suatu perkembangan
bisnis yang terjadi karena suatu perusahaan melakukan diversifikasi
(perluasan) bisnis baik, pada bisnis terkait maupun bisnis yang tidak
terkait.60 Sebuah surat kabar melakukan diversifikasi atau perluasan
usaha terkait misalnya dengan mendirikan usaha percetakan, perusahaan
pabrik kertas, pada sektor hulu, atau mendirikan perusahaan peragenan,
toko buku pada sektor hilir, lalu dalam perkembangannya, perusahaan
surat kabar tersebut mendirikan usaha lain, yang tidak terkait dengan core
business. Dapat diambil contoh, KompasTV yang baru saja mengudara
sejak 9 September 2011 lalu. Popular di jalur persuratkabaran, KompasTV
yang merupakan bagian dari Kompas Gramedia sebagai induk perusahaan
telah bekerjasama dengan saluran lokal di beberapa wilayah Indonesia.
Kompas Gramedia memiliki unit usaha mulai dari media massa, surat
kabar, majalah, tabloid, televisi, radio, toko buku, percetakan, penerbitan,
bahkan event organizer, hotel hingga lembaga pendidikan. Tidak hanya
Kompas Gramedia, Konsentrasi media massa inipun dimiliki oleh Media
Group, Jawa Pos Group, MNC, Femina Group, dan lain lain.
Media massa sebagai bagian dari komunikasi massa memegang
peranan penting dalam masyarakat dimana menurut Lasswell dan
Wright, komunikasi massa memiliki fungsi sosial sebagai surveillance,
korelasi dan interpretasi, transmisi budaya dan sosialisasi, serta sebagai
media hiburan. Peranan ini yang kemudian berkembang sangat pesat,
membuat media massa seakan tidak lagi sebagai media yang idealis
melainkan berubah menjadi alat kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan
218
juga ideologi tertentu. Seperti saat ini media dimiliki beberapa pengusaha
dan tokoh-tokoh politik. Mereka sadar bahwa dengan memiliki media
akan lebih mudah menyiarkan kepentingan mereka.
Kebebasan pendapat yang dimiliki oleh pers saat ini tidak hanya
dapat dituangkan dalam bentuk cetak saja, namun juga ke dalam
bentuk elektronik. Perkembangan dari media massa ialah tidak hanya
memproduksi barang, tetapi juga mempunyai karakteristik yakni menjual
jasa berupa tayangan program dari media itu sendiri. Dikarenakan
semakin banyaknya persaingan dalam bisnis media massa, maka
diperlukan kekuatan sosial ekonomi dengan melakukan konsolidasi
media yang kemudian mengarah pada munculnya pemain raksasa media
massa yang kemudian mengakibatkan terjadinya konsentrasi kepemilikan
media massa.
Gejala konsentrasi kepemilikan media massa ini dapat dilihat
kelompok korporasi media yang mana di Indonesia terdapat 3 (tiga)
kelompok korporasi media. Korporasi media pertama adalah PT Media
Nusantara Citra, Tbk (MNC) yang dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo
yang membawahi RCTI (PT Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT
Cipta Televisi Pendidikan Indonesia/ sekarang MNCTV), dan GlobalTV
(PT Global Informasi Bermutu). Kelompok kedua berada di bawah PT.
Bakrie Brothers (Group Bakrie) yang dimiliki oleh Anindya N. Bakrie.
Grup Bakrie ini membawahi ANTV (PT Cakrawala Andalas Televisi) yang
dulu berbagi saham dengan STARTV (News Corp, menguasai saham 20%)
dan Lativi yang sekarang telah berganti nama menjadi TVOne. Kelompok
ketiga adalah PT. Trans Corpora (Group Para). Grup ini membawahi
TransTV (PT Televisi Transformasi Indonesia) dan Trans7 (PT. Duta
Visual Nusantara Tivi Tujuh). Singkat kata, nama pemiilik media tersebut
di atas merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya
dengan berupaya dekat dengan kekuasaan dan beberapa diantaranya
ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada pula
yang merupakan tokoh penting salah satu partai yang telah sekian lama
berkuasa di Indonesia.
Konsentrasi media massa ini banyak terjadi tidak hanya di Indonesia,
tapi juga terjadi di dunia khususnya negara barat yang banyak menganut
sistem demokrasi dan kebebasan pers. Amerika misalnya, didominasi
oleh kelompok media News Corporation, salah satu perusahaan media
terbesar yang paling berpengaruh di dunia, yang dikuasai Rupert
Murdoch.61 Perusahaan yang dimiliki News Coep di antaranya adalah
FOX dan HarperCollins di Amerika Serikat, dan BSkyB di Britania Raya.
219
Skandal harian News of the World di London milik Murdoch adalah
bukti nyata tentang dampak buruk konglomerasi pers. Selama lebih dari
10 tahun koran ini menyadap telepon seluler dan rekening bank mantan
Perdana Menteri Gordon Brown. Penyadapan dilakukan sejak Brown
menjabat Menteri Keuangan di tahun 1997-2007. Menjelang pemilihan
umum Mei 2010, Murdoch mengalihkan dukungannya dari Partai Buruh
(Gordon Brown) ke Partai Konservatif yang dipimpin David Cameron.
David Cameron pun memenangkan pemilihan umum tersebut.
Dapat dibayangkan bagaimana pengaruh politik media Murdoch
terhadap pemerintahan Inggris karena tindakan medianya ini. Bahkan
Perdana Menteri Tony Blair mengatakan: “No big decision could ever made
inside No. 10 Downing Street without taking account of the likely reaction of
three men: The Deputy Prime Minister, The Chancellor, and Rupert Murdoch.”
Di Amerika, kerisauan ini terlihat dari buku Edward S Herman dan Noam
Chomsky yang berjudul Manufacturing Consent: “The Political Economy of
The Mass Media, Concentrated Corporate Media Ownership Works to Narrow
The Limits on What is Considered Reasonable, Responsible, or So Calleds
Objective Reporting by Journalist.”
Konglomerasi media massa di Indonesia terjadi sejak awal 1990-an.
Istilah awal yang dipakai ialah “kerjasama manajemen”. Pada tahun 1982,
Surat Izin Terbit (SIT) yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan
diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). SIUPP ini hampir
sama dengan SIT, namun yang membedakan ialah jika sebuah SIUPP
dicabut oleh Departemen Penerangan, terbitan itu langsung ditutup oleh
pemerintah. Sejak tahun 1970an pers telah mulai menjadi industri besar
dan mempekerjakan banyak karyawan dalam setiap tahap produksinya. Di
samping kepentingan-kepentingan itu, ada kekuasaan pemerintah dengan
ancaman pencabutan SIT dan Surat Izin Cetak (SIC) kemudian SIUPP.
Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup. Sebagai respons terhadap
kelemahan tersebut, perusahan pers mulai melakukan diversifikasi baik
di bidang pers sendiri maupun perusahaan di bidang-bidang lain. Jalan
diversifikasi yang ditempuh oleh surat kabar besar di Jakarta adalah
dengan mengambil alih surat kabar regional dengan memberi bantuan
dana, serta pimpinan manajemen maupun redaksi. Akibat diversifikasi
itu muncul grup-grup besar, atau konglomerat media, seperti Kompas Gramedia Grup, Grafiti Pers Grup dan Sinar Kasih Grup.
Di tahun 1990-an pers mulai proses repolitisasi dengan memuat berita
yang kritis terhadap pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari ditutupnya
Tempo, Detik, dan Editor oleh pemerintah. Kemudian di tahun 1998 krisis
220
moneter melanda menyebabakan harga kertas koran membumbung tinggi
sehingga banyak surat kabar mengurangi jumlah halaman dan masa terbit.
Segala daya upaya efisiensi dilakukan agar media ini tetap eksis. Wartawan
dan karyawan dikenakan potong gaji atau bahkan diberhentikan,
kemudian surat kabar mengurangi jumlah halaman dan mengurangi
masa terbitnya. Media yang nyaris “tewas” karena kesulitan finansial
mencari mitra untuk menyelamatkannya. Menurut peraturan perundangundangan, SIUPP tidak bisa diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
Maka pembatasan ini diterobos dengan konsep “kerjasama manajemen”.
Akan tetapi konsep ini otomatis mematikan kewenangan pemilik lama,
bahkan memberikan kewenangan kepada pemilik baru, mitra baru, untuk
merombak total susunan keredaksian, disamping manajemen keuangan,
pemasaran, dan sebagainya.
Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto
dan rezim Orde Barunya, juga memberikan semangat kebangkitan
kepada pers di Indonesia. Era reformasi ditandai dengan terbukanya
kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan
dipermudahnya pengurusan SIUPP62. Sebelum tahun 1998 proses
perolehan SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet
BJ Habibie, dikurangi menjadi tiga tahap. Di samping itu pada bulan
September 1999, pemerintahan BJ Habibie mengesahkan UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers, menggantikan UU No. 11 Tahun 1966, UU No. 4
Tahun 1967 dan UU No. 21 Tahun 1982, yang diakui “sudah tidak sesuai
dengan perkembangan zaman.”63 Pasca disahkannya UU tentang Pers,
kini cukup dengan secarik kertas bertajuk Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP), siapapun yang berbadan hukum dan memiliki modal berhak
untuk menerbitkan media cetak.
Pengakuan ketidaksesuaian dalam perundang-undangan Republik
Indonesia tersebut, merupakan sejenis kemenangan untuk pers Indonesia.
Dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers antara lain, menjamin
kebebasan pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi
dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan
hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan
“kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tersebut juga memberikan kebebasan
kepada wartawan untuk memilih organisasi wartawan sekaligus menjamin
keberadaan Dewan Pers. Perkembangan zaman membuat kerjasama
manajemen ini tidak hanya sebatas media dalam surat kabar saja, namun
221
juga merambah kiprahnya ke media lain seperti televisi dan internet yang
kemudian menjadi media sosial.
Pers Indonesia saat ini mengalami perubahan struktur politik dari
negara yang menganut sistem pemerintahan otoriter menjadi negara
demokrasi. Kehidupan media massa pun mengalami perubahan signifikan
menuju ke arah liberalisasi media. Industri media massa berkembang
dengan sangat pesat baik dalam bentuk cetak maupun elektronik.
Kecenderungan media massa di era liberalisasi media massa sangat
kuat dan mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap negara.
Contohnya adalah kasus Bibit dan Chandra, kekuatan media menyebabkan
terbentuknya opini publik yang luar biasa dan menyebabkan Presiden
turun tangan. Begitu pula dengan kasus Prita Mulyasari dengan kekuatan
media terhadap kasus ini dikawal ketat oleh publik dan terbentuk opini
luar biasa. Liberalisasi media memunculkan semacam tirani media, karena
media dengan bebas menyampaikan informasi sesuai dengan agendanya
tanpa pengawasan publik. Media massa ini juga cenderung tidak otonom
terhadap pemilik modal dan memberikan informasi yang bias akan
kepentingan pemilik modal.
C. PENGARUH KONGLOMERASI MEDIA MASSA
Konglomerasi media massa ini sudah menjadi fenomena global yang
tidak dapat dibendung lagi dimana pun dan dengan kekuatan apapun,
karena konglomerasi media ini membuktikan bahwa media memiliki
kekuatan untuk dapat mempangaruhi opini publik. Tidak keliru apabila
media massa mendapat julukan sebagai “the hidden persuaders” (pembujuk
tersembunyi). Melalui media massa modern saat ini, pencitraan maupun
selera seseorang, kelompok atau bahkan masyarakat dapat dipengaruhi.
Menyadari hal ini, banyak para pengusaha besar termotivasi untuk
memasuki dunia media, sekaligus menggapai tingkat konglomerasi pers
dengan terus memakan media yang hampir mati, atau berusaha keras
membangun kerajaan medianya sendiri sepanjang dimungkinkan oleh
ketentuan perundang-undangan. Fenomena ini membuktikan ambisi
orang-orang media untuk masuk ke dunia politik atau eksis paling tidak
menaruh pengaruh mereka di lingkaran kekuasaan.
Perkembangan akhir-akhir ini yang mana media massa dikuasai
oleh perusahaan-perusahaan besar menimbulkan kekhawatiran. Dilihat
dari isi atau konten yang disampaikan kepada masyarakat, konten media
acap kali mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak.
222
Sebagian besar yang diberitakan tidak jauh dari tema kekerasan, kejahatan,
pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional yang tidak mengandung nilai
edukatif. Kekhawatiran kedua adalah akan tergerusnya independensi
jurnaliseme di Indonesia sehingga publik disajikan berita dan pendapat
yang “berat sebelah” terhadap suatu peristiwa.
Salah satu faktor yang membuat media massa kehilangan kenetralannya (independensi) ialah faktor politik. Faktor politik berpengaruh
besar terhadap kepentingan dalam konsentrasi media massa di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat pada media massa yang dekat dengan pemerintah
cenderung menghadirkan pemberitaan yang pro pemerintah. Contohnya
dapat dilihat pada pemberitaan salah satu stasiun televisi yang
menayangkan perihal Rakornas partai tertentu dibandingkan pemberitaan
yang lebih perlu untuk rakyat ketahui. Kemudian, ketika pemilik media
merupakan tokoh politik, ia akan cenderung menggunakan medianya
sebagai alat politik untuk menyiarkan kepentingannya. Sebagian berita
yang diberitakan menjadi cenderung bias karena memihak pihak-pihak
tertentu. Belum lagi pada pemberitaan yang banyak mengandung fitnah,
ini mengesampingkan hak masyarakat akan informasi yang memuat
kebenaran.
Faktor kepemilikan media massa tersebut menyebabkan isu ekonomi
politik media memiliki konsekuensi:64
1. Homogenisasi yang dapat diartikan sebagai: “Financial pressures and
other forces lead all media products to becom similar, standard and uniform”
atau penyeragaman bentuk tayangan atau program.
2. Agenda setting merupakan upaya media untuk membuat pemberitaan
tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa melainkan ada
strategi dan kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan
memiliki nilai lebih yang diharapkan oleh media.
3. Hegemoni Budaya merupakan pandangan bahwa telah terjadi
dominasi oleh salah satu kelas di masyarakat atas kelas-kelas lainnya.
Hegemoni budaya mengidentifikasi dan menjelaskan dominasi dan
upaya mempertahankan kekuasaan, metode yang dipakai mereka
yang berkuasa atas kelas-kelas yang subordinat untuk menerima dan
mengadopsi the ruling-class values.
Dalam perspektif Marxian, media massa berpotensi menyebarkan
ideologi dominan. Ideologi dominan biasanya disebarkan oleh orde
yang berkuasa dalam rangka mengekalkan kekuasaannya. Dalam rangka
mengekalkan kekuasaan tersebut, kelompok yang dominan melalui
223
media cenderung menyuarakan kepentingannya dan berusaha agar kelas
lain turut serta berpartisipasi dengan sukarela, atau tanpa mereka sadari
dan itulah yang disebut sebagai “hegemoni”. Hegemoni merujuk pada
upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang
berkuasa. Bahkan lebih lanjut hegemoni didefinisikan sebagai “rekayasa
sistematik” kepatuhan massa untuk memapankan kekuasaan kelompok
yang berkuasa. Maka dari itu selama media massa masih dikuasai oleh
ideologi dominan, maka mereka akan menggambarkan kelompok oposisi
sebagai kaum marjinal. Hal ini pula yang menciptakan kekhawatiran akan
konglomerasi media karena media massa cenderung untuk tunduk kepada
kekuatan pasar, pemilik modal dan juga industri yang melahirkannya.
Konglomerasi media massa yang mendunia membuktikan bahwa
media itu “powerful”, namun media tidak saja “powerful”, tetapi juga
“powerless”. Hal ini karena dalam operasionalisasinya media massa
akan selalu menghadapi tekanan-tekanan. Efeknya adalah konten
yang ditampilkan oleh media yang dimasukkan hanya konten yang
secara ekonomi mendatangkan rating tinggi untuk menarik pengiklan
sebanyak mungkin. Selain itu, konflik kepentingan juga bisa muncul
akibat persaingan yang ketat dengan kompetitornya. Akhirnya, media
itu terjebak pada dilema antara harus menghadirkan tayangan yang
melayani kepentingan publik atau menayangkan tayangan yang popular
demi meraih uang yang banyak. Tekanan-tekanan itu juga yang membuat
pemberitaan menjadi tidak obyektif. Akibatnya, masyarakat semakin
banyak disuguhi dengan berita-berita rekayasa, mengandung fitnah,
provokatif, dan informasi yang kurang beragam. Dampak lebih jauh ialah
ancaman akan kehidupan demokrasi dan mengontrol juga menggiring
opini publik ke arah kepentingan media.
Dapat dilihat bahwa potensi gangguan terhadap kebebasan dan
independensi pers tidak hanya datang dari pemilik perusahaan pers
atau pemilik modal melalui pengaruh-pengaruhnya demi kepentingan
komersial ataupun kepentingan non-komersialnya, tetapi gangguan
juga berasal dari publik dan juga perundang-undangan yang berlaku.
Publik dapat diartikan secara luas yakni termasuk juga pejabat negara,
melalui pengaruh atau tekanan yang saat ini terutama terjadi di daerah,
demi kepentingan pribadi subjek berita atau kepentingan kebijakan
pemeritahan tersebut. Perundang-undangan juga turut memberi andil
manakala undang-undang pada masa reformasi sekarang ini, produk
hukumnya tidak harus berarti lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan
masyarakat demokratis dibandingkan dengan undang-undang yang
224
dibuat oleh pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Hal ini dapat
dilihat terkait hukuman pidana yang terdapat pada UU No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dirasa jauh lebih berat
untuk pencemaran nama baik daripada pidana yang terdapat pada Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ketika sumber informasi sudah dikuasai oleh pihak-pihak yang
memiliki kepentingan tertentu, maka terdapat potensi bahwa kebenaran
yang ada ikut tersembunyikan. Masyarakat, dengan sadar atau tidak,
sangat dirugikan dengan terjadinya distorsi informasi. Distorsi informasi
ini berpotensi menimbulkan muatan fitnah dan/atau pencemaran nama
baik kepada siapapun. Yang menjadi masalah dalam pemberitaan pers
adalah jika pemberitaan tersebut digunakan sebagai alat untuk memfitnah
dan/atau menghina seseorang atau institusi dan tidak memiliki nilai
berita selain daripada pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan
dan unsur kesalahan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
Perlu ditekankan bahwa hukum tetap harus diberlakukan kepada
pihak manapun yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah
dengan menggunakan pemberitanan pers sebagai sarana. Kecenderungan
banyak pihak memperjuangkan agar proses pertanggungjawaban
hukum oleh insan pers kirannya melalui proses peradilan perdata
dan bukan pidana. Seperti misalnya di beberapa negara saat ini telah
mengubah ketentuan hukum pidana menjadi ketentuan hukum perdata.
Dipertimbangkan pula pemberlakuan sanksi dengan (untuk pidana)
atau ganti rugi (untuk perdata) yang proporsional, yakni disesuaikan
dengan kemampuan pembayar denda atau ganti rugi. Tujuan pemberian
sanksi yang proporsional tersebut ialah pertama, agar tidak menyulitkan
kehidupan terhukum atau tidak membangkrutkan perusahaan atau
lembaganya apabila harus melaksanakan putusan itu. Kedua, agar tidak
mengakibatkan terhukum traumatis dan takut sehingga diharapkan
akan tetap memiliki keberanian untuk berekspresi serta mengemukakan
pendirian dan sikapnya. Takut berekspresi dan menyatakan pendapat
dapat berakibat timbulnya rasa takut untuk berkarya jurnalistik, seni dan
intelektual, termasuk dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dalam
upaya mengembangkan kemerdekaan pers maka dibentuklah Dewan
Pers yang independen.
D. PERAN DEWAN PERS
Patut diberdayakan untuk dikembangkan peranannya ialah fungsi
dari Dewan Pers Nasional. Dewan Pers merupakan perangkat yang
225
independen dibentuk berdasarkan perintah UU No. 40 tahun 1999 tentang
Pers. Anggota Dewan Pers terdiri dari:
1. Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan.
2. Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan
pers.
3. Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan
bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi
perusahaan pers.
Dalam hal ini, pemerintah tidak duduk di dalam anggota Dewan
Pers guna menjaga independensi lembaga pers tetap terjaga. Dalam hal ini
pembentukan Dewan Pers merupakan bagian dari upaya mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Dengan
demikian, Dewan Pers mengemban amanat atas dipatuhinya kode etik
pers dan penggunaan standar jurnalistik profesional.
Menurut Bab V Pasal 15 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Dewan
Pers memiliki peranan antara lain:
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian
pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan
pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan
pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturanperaturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi
kewartawanan, dan
7. Mendata perusahaan pers.
Berdasarkan peranan Dewan Pers diatas, maka Dewan Pers dibentuk
untuk mengatur pers dari segi etika jurnalistik baik media cetak maupun
elektronik. Di dalam tubuh Dewan Pers kemudian terdapat tujuh komisi
untuk menjalankan fungsinya, yaitu:
1. Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika Pers.
2. Komisi Hukum dan Perundang-undangan.
3. Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers.
4. Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi.
5. Komisi Pemberdayaan Organisasi.
6. Komisi Pendanaan Organisasi, dan
226
7. Komisi Hubungan Antarlembaga dan Hubungan Luar Negeri.
Selain Dewan pers, terdapat pula organisasi penerbit seperti Serikat
Penerbit Surat Kabar (SPS), organisasi wartawan dan jurnalis seperti
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Terdapat pula Ikatan Penerbit Buku
Indonesia (IKAPI) yang mengkhususkan untuk penerbitan buku. Sumber
pembiayaan Dewan Pers ini berasal dari organisasi pers, perusahaan pers,
dan/ atau bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
Untuk mengelola dukungan dana dari Negara maka dibentuk Sekretariat
Dewan Pers yang dipimpin oleh seorang sekretaris berdasarkan Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 04/P.KOMINFO/5/2005
yang merupakan unsur staf yang bertugas melaksanakan pelayanan
teknis dan administratif kepada Dewan Pers dalam menyelenggarakan
fungsi-fungsinya.
Dalam peranannya dalam melakukan pengawasan terhadap Kode
Etik Jurnalistik, Dewan Pers wajib untuk menjaga kodrat pers sebagai salah
satu unsur pengawas pemerintah dalam memberitakan informasi secara
utuh, jelas, adil dan berimbang. Selain daripada Dewan Pers, terdapat pula
komisi yang sifatnya independen yang kedudukannya setingkat dengan
lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai regulator yaitu Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) yang berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan
UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Tujuan dari KPI ialah untuk
memperkukuh integrasi nasional dan membangun masyarakat yang
mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera serta menumbuhkan industri
penyiaran Indonesia.
E. PERAN PEMERINTAH DALAM MENJAMIN
KEBEBASAN PERS DI ERA KONGLOMERASI
MEDIA MASSA
Kebebasan pers dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran
merupakan hal yang mutlak sesuai amanat konstitusi dan konvensi
internasional relevan yang telah diratifikasi Indonesia. Hanya saja,
kebebasan itu patut dipahami bukanlah kebabasan mutlak dan tanpa batas.
Untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai sarana penghinaan,
hujat-menghujat, fitnah, ataupun nista diperlukan perangkat hukum
lain yang sebenarnya bertujuan bukan untuk mengekang kebebasan pers
namun membuat pers menjadi lebih profesional dan bertanggung jawab
serta menghormati hukum (hukum positif) dan hak asasi manusia setiap
227
individu sebagaimana diatur dalam konstitusi, undang-undang dan
konvensi internasional. Undang-undang yang terkait dengan pers antara
lain UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, KUHP dan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 tentang
Lembaga Penyiaran Swasta. Selain itu, pemerintah juga berperan dalam
menciptakan undang-undang lain terkait pers seperti UU No. 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik.
Dalam KUHP setidaknya terdapat 34 (tiga puluh empat) pasal yang
memiliki keterkaitan dengan delik pers. Terdiri dari pasal mengenai
pembocoran rahasia negara (Pasal 112), pembocoran rahasia pertahanan
dan keamanan negara (Pasal 113), penghinaan terhadap Presiden dan
Wakil Presiden (Pasal 134, 136 bis dan 137), penghinaan terhadapraja
atau kepala negara sahabat (Pasal 142), penghinaan terhadap wakil
negara asing dan pemerintah (Pasal 143,144 dan 154, 155), pernyataan
permusuhan atau penghinaan golongan, penodaan agama dan penguasa
atau badan umum (Pasal 156, 157, dan 207-208), penghasutan (Pasal 160161), penawaran tindak pidana (Pasal 162-163), pelanggaran kesusilaan
(Pasal 282), pencemaran nama baik seseorang dan/atau orang mati (Pasal
310-321), pelanggaran hak ingkar (Pasal 322) penadahan penerbitan dan
percetakan (Pasal 483 dan 484), penanggulangan kejahatan (Pasal 484),
dan pelanggaran ketertiban umum (Pasal 519, 533 dan 534).
Hukum di Indonesia khususnya yang tertuang dalam KUHP memuat
setidaknya delapan klasifikasi penghinaan, adapun klasifikasinya ialah
pencemaran lisan (Pasal 310 ayat 91), pencemaran terlulis (Pasal 310 ayat
(2), fitnah (Pasal 310-314), penghinaan ringan (Pasal 315), pengaduan fitnah
(Pasal 317), menimbulkan persangkaan palsu (Pasal 318), penghinaan
terjadap orang mati lisan (Pasal 320), dan penghinaan terhadap orang
mati tertulis (Pasal 321).
Dari sudut pandang KUHP, maka Pasal 310-311 KUHP telah mengatur
perihal permasalahan penghinaan maupun fitnah yang dapat terjadi dalam
pemberitaan pers. Untuk Pasal 310-321 KUHP telah mengatur secara jelas
mengenai kriteria tindak pidana penghinaan. Dari beberapa pasar tersebut
di atas, mengatur ancaman hukuman pidana penjara paling lama 4 bulan
sampai dengan 4 tahun. Pemberatan tersebut akan dikenakan apabila
penghinaan tersebut memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam
beberapa pasal dalam KUHP mengenai tindak pidana penghinaan. Selain
KUHP, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
228
juga mengatur perihal larangan membuat berita yang mengandung
unsur fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik yakni terdapat
dalam Pasal 27 ayat (3). Tindak pidana fitnah merupakan tindak pidana
penghinaan yang ditambahkan unsur kesempatan bagi pelaku penghinaan
untuk membuktikan kebenaran apa yang dituduhkan dan jika apa yang
dituduhkan oleh si pelaku tidak terbukti, maka ia telah melakukan tindak
pidana fitnah. Apabila tindak pidana fitnah itu dilakukan melalui media
pemberitaan pers, maka tindak pidana fitnah itu akan memenuhi unsurunsur yang ada. Dengan demikian, pada prinsipnya KUHP sendiri cukup
memberikan perlindungan bagi kebebasan pers, yaitu kesempatan bagi
terdakwa pelaku penghinaan dan/atau fitnah untuk membuktikan
kebenaran mengenai apa yang dituduhkannya, atau dalam hal penghinaan
atau fitnah tersebut dilakukan melalui pemberitaan pers maka wartawan
yang melakukan pemberitaan tersebut diberi kesempatan oleh hakim
untuk membuktikan kebenaran mengenai pemberitaannya ataupun
dengan alasan pemberitaan “demi kepentingan umum”.
Jika pemberitaan pers yang dianggap menghina dan/atau memfitnah
itu dapat dibuktikan kebenarannya, maka wartawan yang menjadi
terdakwa tidak dapat dipidana atas tuduhan penghinaan atau fitnah.
Sebaliknya, jika berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan
hukum tetap tetapi perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak terbukti,
maka si terhina atau si terfitnah tersebut dibebaskan dari apa yang
dituduhkan, dan putusan tersebut menjadi bukti sempurna bahwa apa
yang dituduhkan tersebut tidak benar. Berdasarkan pemaparan tersebut,
dapat dimengerti bahwa kebebasan pers dalam mengemukakan buah
pikiran dan berita tetap dilindungi, akan tetapi bukan berarti kriminalisasi
dalam pers tidak dimungkinkan sesuai hukum positif. Dalam hal ini
media pers telah menjadi alat untuk melakukan penghinaan dan fitnah
tentu saja pelaku tersebut harus dapat dipidana berdasarkan hukum
positif. Jadi, bukan pers sebagai media pemberitaan yang dikriminalisasi
pelaku, pelaku yang mungkin saja menunggangi pers atau memanfaatkan
pers untuk kepentingan yang melanggar hukum, itulah yang akan
dikriminalisasi. Oleh karena itu, yang diadili ialah si pelaku bukan pers.
Dalam pembuktian pidana penghinaan dan fitnah yang dilakukan
melalui media pemberitaan pers tentu saja harus terdapat kesenjangan
pelaku untuk melakukan tindak pidana dan juga adanya kesalahan
dalam perbuatan tersebut. Jadi sesungguhnya bukan pemberitaan pers
yang dipidanakan tetapi perbuatan menghina atau memfitnah tersebut
yang dipidana. Kebebasan pers merupakan hal yang mutlak untuk
229
dijaga dan dijamin secara hukum sesuai konstitusi serta dalam Pasal
19 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 19
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tentang kebebasan berpendapat
dan kebebasan informasi serta kebebasan pers dan media massa.
Untuk menjamin kebebasan pers di era konglomerasi media
ini, pemerintah memberikan jaminan untuk tidak terjadi pemusatan
kepemilikan sesuai peraturan perundang-undangan (UU No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran (Pasal 18)) yang berbunyi:
“(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta
oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun
di beberapa wilayah siaran, dibatasi”
“(2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang
menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta
yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran
Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta
dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung
maupun tidak langsung, dibatasi”
Pembatasan pemusatan kepemilikan Lembaga Penyiaran Swasta tersebut
juga diatur dalam PP No. 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran
Swasta (Pasal 32 dan Pasal 33) sebagaimana berbunyi:
(32) “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta
jasa penyiaran televisi oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu
wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran di seluruh wilayah
Indonesia dibatasi sebagai berikut:
a) satu badan hukum paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan
penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di dua provinsi yang
berbeda;
b) paling banyak memiliki saham sebesar 100% pada badan hukum
kesatu;
c) paling banyak memiliki saham sebesar 49% pada badan hukum kedua;
d) paling banyak memiliki saham sebesar 20% pada badan hukum ketiga;
e) paling banyak memiliki saham sebesar 5% pada badan hukum
keempat;
f) badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, c, d, dan e berlokasi
di beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia.
230
(33) “Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta, perusahaan
media cetak, dan Lembaga Penyiaran Berlangganan baik langsung maupun
tidak langsung dibatasi sebagai berikut:
a. satu Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan satu Lembaga
Penyiaran Berlangganan dengan satu perusahaan media cetak di
wilayah yang sama; atau
b. satu Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dan satu
Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan satu perusahaan media
cetak di wilayah yang sama; atau
c. satu Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan satu Lembaga
Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dengan satu Lembaga
Penyiaran Berlangganan di wilayah yang sama.”
Berdasarkan pasal tersebut di atas, sudah jelas adanya peraturan
terkait dengan pembatasan suatu badan hukum terkait pemusatan
kepemilikan atau dalam hal ini disebut kepemilikan silang. Walaupun
dalam peraturannya sudah diatur dengan jelas, namun masih ada saja
pemilik media yang “nakal” melanggar pasal tersebut. Dalam menjamin
kebebasan pers, pemerintah mendorong terjadinya penegakkan hukum
serta pengawasan dan pengawasan masyarakat yang efektif dan kuat,
sehingga media massa mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas,
terutama untuk pendidikan dan pembentukan karakter bangsa.
F. REKOMENDASI
Berdasarkan uraian yang tersebut di atas, maka yang dapat
direkomendasikan dalam hal ini ialah:
1. Konsentrasi media tidak seluruhnya buruk, dengan adanya
konglomerasi media maka dapat meningkatkan efisiensi yang
berlipat-lipat, dan dengan efisiensi tersebut maka meningkatkan daya
saing perusahaan. Namun kepemilikan media sangat berpengaruh
terhadap konten program yang disajikan kepada masyarakat yang
mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak atau
hanya merepresentasikan kepentingan ekonomi maupun politik
pemilik media dan menyajikan pendapat yang “berat sebelah” atau
dalam hal ini “bias” yang pada akhirnya merugikan masyarakat
dari perspektif demokrasi dan hak untuk mendapatkan pemberitaan
yang berimbang. Dalam hal ini, agar menjaga independensi media
dari segala campur tangan pemilik media, maka manajemen mediamedia tersebut harus memisahkan antara redaksi pemberitaan
dengan pemberitaan yang mengandung faktor bisnis berkaitan
231
dengan medianya. Media dan para pemilik media harus menyadari
akan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat sehingga faktor
kepentingan pemilik media seperti kepentingan politik pemilik
media sebaiknya dipisahkan dengan obyektifitas media tersebut.
Pemberitaan yang disampaikan harus mengandung kebenaran yang
mencakup akurasi, pemahaman publik, jujur, dan berimbang. Selain
itu perlu diperbaiki iklim persaingan usaha yang sehat di bidang
media, sehingga setiap pemberitaan yang mengandung agenda
politik tertentu dari sebuah kelompok media dapat diimbangi dengan
pemberitaan yang seimbang dari kelompok media lainnya.
2. Seiring dengan perkembangannya, pers Indonesia saat ini mengalami
perubahan signifikan menuju ke arah liberalisasi media. Industri media
massa berkembang dengan sangat pesat baik dalam bentuk cetak
maupun elektronik menyebabkan fungsi media tidak hanya sebagai
media penyampaian berita saja namun juga media pembujuk selera
(persuaders). Kecenderungan media massa di era liberalisasi media
massa sangat kuat sehingga mampu menjalankan fungsi pengawasan
terhadap negara. Liberalisasi media ini memunculkan tirani media
karena media dapat dengan bebas menyampaikan informasi tanpa
adanya pengawasan masyarakat. Dalam hal ini, maka pengawasan
dari masyarakat sangat diperlukan melalui pengawasan atas pers atau
media khususnya memberikan sosialisasi terhadap masyarakat agar
lebih jeli dalam menghadapi pemberitaan-pemberitaan oleh media
apalagi terhadap media yang ditunggangi oleh kepentingan tertentu.
Berkaitan dengan hal itu, perlu peningkatan peran Komisi Penyiaran
Indonesia dan Dewan Pers.
3. Dewan Pers perlu dioptimalkan sebagai wadah untuk menampung
aspirasi dan laporan masyarakat terhadap pelanggaran kode etik
jurnalistik. Dewan pers mempunyai peranan dalam hal melindungi
kebebasan pers dari campur tangan pihak lain dan mengawasi
pelaksanaan kode etik jurnalistik dan hasil karya jurnalistik sesuai
dengan pers nasional yang berkewajiban memberitakan peristiwa dan
opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Hal tersebut karena
Dewan Pers saat ini masih kurang dalam melakukan pengawasan
kepada pers itu sendiri. Masih banyak pelanggaran terhadap kode etik
jurnalistik dan asas praduga tak bersalah tidak begitu diperhatikan.
4. Kode etik jurnalistik sudah seharusnya digunakan sebagai pegangan
bagi pers dalam melaksanakan tugasnya dan menciptakan hasil karya
232
jurnalistik. Hal ini penting sebagai tolak ukur kebebasan pers itu sendiri.
Selain itu Dewan Pers seharusnya bisa meningkatkan kinerjanya
dengan lebih baik dan menggunakan haknya untuk memberikan
sanksi kepada para pelanggar dengan sanksi yang tegas. Begitu
juga dengan kinerja dari KPI karena dua lembaga pers ini menjadi
tumpuan harapan masyarakat sebagai konsumen yang diakui lemah
posisinya. Dewan Pers dan KPI diharapkan tetap konsisten dalam
melaksanakan fungsi pokoknya yakni menegakkan etika pers dan
meluruskan kembali peranan media sebagai pengawas (surveillance)
pemerintah yang bebas dari segala campur tangan termasuk dari sang
pemilik media yang melahirkannya.
5. Perdebatan dalam Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang pada intinya larangan untuk
dengan sengaja membuat informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik. Pasal ini dirasa dapat membelenggu kebebasan baik pers
ataupun pihak di luar pers dalam menyuarakan pendapatnya dan
dianggap melanggar konstitusi yakni Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal
27 ayat (1) Pasal 28, Pasal 28 C ayat (1) dan (2), Pasal 28 D ayat (1),
Pasal 28 E ayat (2) dan (3), Pasal 28 F serta Pasal 28 G ayat (1). Dalam
hal ini, perlu adanya revisi terhadap UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik terkait Pasal 27 ayat (3). Pasal
ini dapat diibaratkan sebagai pedang bermata dua yang pada satu
sisi melindungi kehormatan dan nama baik orang namun disisi lain
memenjarakan orang yang tidak bersalah dan dapat menimbulkan
diskriminasi, ketakutan, dan ketidakadilan bagi pengguna teknologi
informasi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan program
pemerintah yang sedang gencar untuk memanfaatkan teknologi
informasi. Revisi juga perlu dilakukan terkait ancaman pidana baik
denda maupun penjara dari undang-undang tersebut yang dirasa
sangat berat, yakni pidana pencara paling lama enam tahun, dan/
atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
6. Salah satu peran pemerintah dalam menjaga kebebasan pers dalam
era konglomerasi media massa ini ialah dengan adanya jaminan tidak
terjadinya pemusatan kepemilikan di UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran dan juga mengatur pembatasan kepemilikan lembaga
penyiaran swasta atau kepemilikan silang dalam PP No. 50 Tahun
2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Namun pada kenyataannya,
masih banyak pemilik media yang melanggar peraturan tersebut
233
dengan melakukan ekspansi dengan cara merger atau akuisisi sehingga
memiliki saham melebihi prosentase yang terdapat pada PP No. 50
Tahun 2005 yakni kepemilikan saham di lembaga penyiaran swasta
pertama sebesar 100% dan kedua 46%. Dengan demikian, diperlukan
adanya revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang nantinya
sudah harus mengatur perihal merger lembaga penyiaran swasta.
Polemik merger dan akuisisi antar lembaga penyiaran bermuara
pada lemahnya pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran tersebut. Maka dari itu untuk selanjutnya perlu diatur
apakah nanti merger antar lembaga penyiaran swasta dilarang atau
tidak. Selain itu, pemerintah juga perlu untuk menyusun peraturan
terkait penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan saham di
sektor telekomunikasi dan penyiaran. Law enforcement juga patut
diperhatikan, karena tanpa ini maka lembaga penyiaran swasta dapat
memanfaatkan celah hukum yang ada.
KPK DAN ARAH
PEMBERANTASAN KORUPSI
Penguatan Dan Menjaga Independensi
Serta Akuntabilitas KPK
Dalam Pemberantasan Korupsi
A. PENGANTAR
KPK dibentuk ketika (dan begitu juga sampai dengan sekarang ini)
tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat,
dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari
jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun
dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis
serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
KPK dengan kewenangannya yang luar biasa, dianggap tepat untuk
menangani tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis yang juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat. Dengan keadaan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa, tentu saja harapan besar pun dibebankan pada
KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi dengan cara-cara yang
tidak lagi dapat dilakukan secara biasa seperti yang telah dilakukan
oleh penegak hukum yang ada (Kepolisian dan Kejaksaan), tetapi perlu
dilakukan cara-cara yang luar biasa. Dengan begitu UU tentang KPK yang
disahkan pada tahun 2002 (UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) menjadi dasar hukum yang kuat
bagi pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenangnya dengan cara-cara yang
luar biasa. Dengan undang-undang tersebut, KPK tampil sebagai suatu
badan khusus yang mempunyai kewenangan luas (termasuk dalam hal ini
ialah kewenangan penyidikan dan penuntutan), independen serta bebas
dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif,
profesional serta berkesinambungan.
Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang:
236
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Selain itu, KPK juga:
1. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan
memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner”
yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan
secara efisien dan efektif.
2. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan.
3. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada
dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism).
4. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang
telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas
dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody)
yang sedang dilaksanakan oleh Kepolisian dan/atau Kejaksaan.
KPK juga didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis
antara lain:
1. Ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat
bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik.
2. Ketentuan tentang wewenang KPK yang dapat melakukan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara
negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat
negara.
3. Ketentuan tentang pertanggungjawaban KPK kepada publik dan
menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik
Indonesia, DPR, dan BPK.
4. Ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap
Anggota atau pegawai pada KPK yang melakukan korupsi; dan
5. Ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota
KPK yang melakukan tindak pidana korupsi.
Setelah perjalanan KPK selama 8 tahun (jika dihitung sejak satu tahun
disahkannya UU tentang KPK), banyak ketidakpuasan terhadap KPK.
237
Ketidakpuasan itu, dapat dlihat sehari-hari di berbagai berita media massa
cetak maupun elektronik. Ketidakpuasan tidak hanya diungkapkan oleh
masyarakat, juga terutama diungkap oleh kalangan DPR. Ketidakjelasan
rekomendasi DPR mengenai kasus Century dan beberapa penangkapan
terhadap anggota DPR yang dianggap bermuatan politis (yang
berhubungan dengan permasalahan “tebang pilih” yang dilakukan oleh
KPK), semakin membuat ketidakpuasan kalangan DPR terhadap KPK.
Ketidakpuasan tersebut tercemin juga dalam Rapat Konsultasi atau Rapat
Dengar Pendapat antara KPK dan DPR. Ketidakpuasan tersebut juga
ditunjukkan dengan pewacanaan kembali konstitusionalitas keberadaan
KPK sementara kebutuhan mengenai KPK telah dijelaskan seperti bagian
di atas Kerangka Acuan ini.
Betapapun demikian yang terjadi antara kalangan DPR dengan
KPK, peran DPR sangat penting dalam turut serta menentukan arah
pemberantasan korupsi, karena DPR merupakan representasi pilihan
rakyat dalam suatu negara demokrasi (terlebih lagi dengan pemilihan
umum yang demokratis pasca momentum reformasi tahun 1998 yaitu di
tahun 1999, 2004 dan 2009). Selain itu, Calon Pimpinan KPK yang harus
memenuhi persyaratan administratif, juga harus melalui uji kelayakan (fit
and proper test) yang dilakukan oleh DPR (seperti yang sedang dilakukan
dalam saat ini), sebelum dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.
DPR juga berperan dalam menentukan sumber anggaran KPK yang
didukung oleh sumber anggaran yang berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
B. KONSTITUSIONALITAS KPK
Sikap “galak dan tidak suka” yang ditunjukkan oleh beberapa politisi
terhadap keberadaan KPK dinilai sebagai akibat perlakuan tebang pilih
dan diskriminasi yang ditunjukkan KPK dalam bekerja. Tidak hanya di
DPR, “ketidaksukaan” terhadap sepak terjang KPK juga muncul dari
para tersangka, terdakwa, dan narapidana korupsi dengan mengajukan
uji materil ke Mahkamah Konstitusi, sejak KPK mulai bekerja sampai
dengan saat ini. Ketidaksukaan itu kemudian lalu ingin membubarkan
atau melemahkan KPK dari peta pemberantasan korupsi. Alasan-alasan
yang sering digunakan:
1. KPK lembaga yang bersifat ad hoc.
2. Kepolisian dan Kejaksaan dapat memerankan tugas dan fungsi KPK.
3. KPK kini telah berubah menjadi instrumen kekuasaan.
238
Melacak perkembangan yang ada, ancaman terbesar dan yang paling
serius terhadap KPK datang dari manuver sejumlah elite politik di DPR,
yang hendak memakai kewenangan konstitusional yang diberikan UUD
1945 untuk membangun opini bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc
yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Dengan cara pandang demikian,
KPK sulit bekerja dengan nyaman menghadapi laju praktik korupsi yang
kian masif.65 Keinginan membubarkan KPK tersebut sangatlah tidak tepat
dengan desain negara hukum yang termaktub dalam UUD 1945. Gerakan
pemberantasan korupsi yang dicanangkan oleh hampir semua lembaga
negara dan masyarakat sipil karena korupsi dianggap kejahatan luar biasa,
bertolak belakang dengan keinginan pembubaran tersebut, sehingga ide
itu tidak lain dan tidak bukan sebagai gerakan perlawanan balik para
koruptor dan mafioso (corruptors and mafioso fight back).
Dari segi sejarah badan khusus pertama pemberantasan korupsi di
Indonesia di kenal dengan nama Panitia Retooling kemudian berevolusi
menjadi Operasi Budhi. Pada masa kekuasaan Soeharto dibentuk Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Lalu memasuki
era reformasi dibentuklah Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara
(KPKPN) dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK) yang kemudian perannya dilebur dalam KPK. Dari aspek
historis gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia, KPK bukanlah
badan pertama yang pernah dibentuk untuk memberantas korupsi.
Dalam konteks pelaksanaan clean and good governance atau pun
reformasi birokrasi (reformasi administrasi), pembentukan dan peran
KPK amat sangat dibutuhkan dalam mengakselerasi tujuan itu, tatkala
Kepolisian dan Kejaksaan yang diberi amanat itu, berkembang menjadi
bagian dari kejahatan korupsi. Bahkan pembentukan KPK sendiri
merupakan amanah dari ketentuan Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu apakah DPR akan
membubarkan KPK dengan alasan sebagai legal policy? Tentu ini perlu
diperdebatkan kembali. Sikap “tidak suka” para politisi di DPR terhadap
KPK terbalik dengan sikap pemerintah yang terus mendorong akselerasi
pemberantasan korupsi. Sejak 2004, pemerintah melalui Instruksi
Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian
Kasus-Kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak, terus membangun sistem
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Meski peraturan ini terus
berjalan dan dikampanyekan secara masif, korupsi masih saja subur yang
menggerogoti anggaran negara dan daerah hampir 80%.66 Berpijak pada
239
hal ini, tentu sikap naif jika ingin membubarkan KPK atas dasar tidak
suka pada pimpinan KPK.
Keberadaan KPK tidak bisa dinafikan karena setidak-tidaknya telah
membawa implikasi dalam gerakan pemberantasan korupsi sekaligus
penyelamatan uang negara. Keberhasilan KPK dalam konteks tertentu
tidak bisa dinafikan dari keberadaan beberapa desain prosedur di
dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang memberi keleluasaan dan kebebasan bagi
KPK untuk bertindak dengan cara-cara luar biasa (extra ordinary) dalam
pemberantasan korupsi. Perihal itu di antaranya:
1. Tindakan penyadapan tanpa melalui persetujuan atau pun
pemberitahuan kepada pengadilan (Pasal 12 ayat (1) huruf a UU UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi).
2. Tindakan pemeriksaan tanpa persetujuan atau pun pemberitahuan
kepada atasan (Pasal 46 ayat (1) huruf a UU UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
3. Tindakan penyitaan tanpa melalui persetujuan atau pun pemberitahuan
kepada pengadilan (Pasal 47 ayat (1) huruf a UU UU No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
4. Tindakan lainnya yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU UU No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Larangan KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan
dan penuntutan (Pasal 40 UU UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
6. Alat bukti baru sebagimana diatur Pasal 26 A UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi berupa: a. alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni
setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan
atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,
atau perforasi yang memiliki makna.
Dari sekian alasan keinginan membubarkan KPK dari peta
pemberantasan korupsi, sesungguhnya jika ditelisik, tidak lepas dari
kewenangan luar biasa yang dimiliki KPK sebagaimana disebutkan
240
di atas. Alasan yang sering disembunyikan itu sebenarnya telah
pernah diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi di mana
diajukan para tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi, tetapi selalu
kandas, dan Mahkamah Konstitusi telah melakukan tindakan afirmasi
konstitusionalitas atas keseluruhan ketentuan di atas, sehingga seluruh
ketentuan di atas dapat diterima dalam praktik pemberantasan kejahatan
korupsi.
Dalam penjelasan umum UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga ditegaskan bahwa kewenangan
KPK yang luar biasa didasarkan pertimbangan penanggulangan kejahatan
korupsi harus dilakukan cara-cara yang luar biasa karena sifatnya sistemik
dan terorganisir serta masif, sehingga penanganannya harus dengan caracara yang luar biasa pula, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan. Dalam konsideran UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dijelaskan mengapa KPK
dibentuk sebagai badan khusus di luar Kepolisian dan Kejaksaan, yang
berbunyi:
1. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur,
dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pemberantasan
tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat
dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak
pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara,
perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
2. Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana
korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas
tindak pidana korupsi.
Sebagai organ negara (supporting organ), meskipun tidak disebut
secara eksplisit di dalam UUD 1945, itu tidak mengurangi eksistensi KPK
sebagai badan kekuasaan kehakiman di luar Kepolisian dan Kejaksaan.
Penilaian miring terhadap KPK sebagai organ inkonstitusional baik dari
segi kelembagaan dan penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan dalam satu lembaga dianggap bertentangan dengan Pasal 24
ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan badan-badan khusus yang fungsinya
berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diatur dengan
undang-undang guna menegakkan hukum dan keadilan, dan sistem
peradilan pidana.
Seperti juga diketahui, Indonesia telah lama menandatangani United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 dan diratifikasi
241
melalui UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB
Menentang Korupsi. Sebagai negara pihak sudah barang tentu Indonesia
harus membentuk badan spesifik dalam memerangi kejahatan korupsi.
Berdasar ketentuan ini, pembubaran dan/atau pelemahan KPK akan
berakibat fatal dan Indonesia dapat dianggap tak serius memberantas
korupsi.67
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bahwa Indonesia harus
memberantas korupsi sampai tingkat paling rendah dan akar-akarnya.
Tidak perlu berdalih macam-macam karena ketidakberhasilan
pemberantasan korupsi dengan membubarkan dan/atau melemahkan
KPK, sementara Kepolisian dan Kejaksaan masih mengalami krisis
kepercayaan dalam pemberantasan korupsi.68
C. KINERJA KPK
Dibalik pembubaran Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN) dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK) sekaligus pembentukan KPK, negara mempunyai
maksud dan tujuan mengakselerasi atau mengefektifkan pemberantasan
korupsi yang dinilai lamban dan terfragmentasi. Hal ini tentu sejalan
dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XI/
MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, Dan Nepotisme yang menegaskan bahwa upaya pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap
siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan
kroninya maupun pihak swasta/konglemerat termasuk mantan Presiden
Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan
hak-hak azasi manusia (Pasal 4).
Integrasi pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam satu badan
(in casu KPK) tentunya adalah usaha mengonsolidasikan kelembagaan
pemberantasan korupsi, sehingga kejahatan korupsi dapat dikurangi dan
dihapus, dengan begitu uang rakyat terselamatkan. Kewenangan yang
diberikan kepada KPK antara lain:
1. Tugas: (a) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
(c) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi; (d) melakukan tindakan-tindakan pencegahan
tindak pidana korupsi; dan (e) melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara;
242
2. Wewenang: (a) mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi; (b) menetapkan sistem pelaporan
dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; (c) meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait; (d) melaksanakan dengar pendapat
atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan (e) meminta laporan
instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Periode pertama KPK cukup berhasil di dalam menyusun dan
menyelesaikan langkah awal pencegahan dan penindakan tindak pidana
korupsi, namun pada periode kedua, KPK mulai diguncang berbagai
masalah internal sebut saja penangkapan Antasari Azhar (Ketua KPK saat
itu) sebagai dalang dalam pembunuhan Nazruddin Zulkarnain, kasus
Cicak versus Buaya, dan dugaan pelanggaran etika pimpinan KPK.
Berbagai macam deraan masalah hukum yang menimpa para
komisioner, kinerja penindakan korupsi tanpa diskriminasi yang
menyentuh hampir semua lembaga politik, hukum, dan swasta terkecuali
Kepolisian, menunjukkan “progress” yang sangat baik. Namun, sebagian
pihak menilai, KPK melakukan tindakan tebang pilih dalam penindakan
pemberantasan korupsi, karena tidak berani menyentuh lembaga
Kepolisian, Pengadilan dan pusat kekuasaan eksekutif.
Sementara langkah-langkah pencegahan (preventif) untuk menekan
kebocoran keuangan negara dan pengembalian kerugian keuangan negara
(BUMN dan Pemerintah Daerah) secara optimal belum berjalan seperti
yang diharapkan. Kendala utama sesungguhnya bukan pada tiadanya
langkah-langkah KPK kearah sana, ini lebih karena kurang bekerjanya
sistem pengawasan keuangan yang bersifat internal dan eksternal oleh
instansi terkait (inspektorat, badan pengawasan, BPKP, dan BPK). Sampai
dengan hari ini sektor negara yang paling subur menjadi ladang korupsi
di antaranya, yakni:
1. Korupsi eksekutif.
2. Korupsi peradilan.
3. Korupsi legislatif.
4. Korupsi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Eksistensi KPK dalam mencegah atau pun menindak praktik korupsi
di empat sektor di atas harus menjadi prioritas ke depan dalam arah
kebijakan pemberantasan korupsi, di mana KPK sebagai leading sector
bersinergi dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Dengan menjadikan kedua
lembaga tersebut sebagai counter partner, maka pemberantasan korupsi
243
akan berjalan efektif dan efisien. Koordinasi dan kerjasama tersebut
sesuai yang diinginkan sistem peradilan pidana sebagaimana diatur
dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sendiri maupun dalam KUHAP. Bilamana KPK bekerja
sendirian (monopoli penyidikan dan penuntutan), maka dapat dipastikan
pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil mengembalikan
“uang negara” dalam jumlah besar dan membuat Indonesia bebas dari
praktik korupsi. Karena idealnya anggaran yang dikeluarkan negara
untuk pemberantasan korupsi seimbang dengan uang yang berhasil
dikembalikan KPK kepada negara.
Ke depan pemberantasan korupsi harus dilakukan secara bersinergi
dan seimbang. Keseimbangan diperoleh jika KPK fokus pada sektor
penyelamatan uang negara dengan cara menyelidiki, menyidik, dan
menuntut perkara korupsi besar. Kemudian, KPK melakukan pencegahan
dengan cara menata sistem pengawasan penganggaran dan pengunaan
anggaran baik di hulu dan hilir. Selain itu, untuk mengukur keberhasilan
KPK dalam satu periode, perlu dilakukan audit kinerja yang meliputi tiga
hal pokok:
1. Uang yang berhasil dikembalikan KPK.
2. Perkara yang ditangani atau diproses.
3. Pelaksanaan supervisi dan keberhasilannya.
Dalam meningkatkan dan mempercepat kinerja pemberantasan
tindak pidana korupsi, KPK tenyata dihambat secara yuridis. Hambatan
itu, antara lain:
1. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mensyaratkan Penuntut Umum dan Penyidik berasal dari
Kejaksaan dan Kepolisian, padahal kedua lembaga masuk objek
pengawasan, pencegahan, dan penindakan.
2. Berlakunya UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi mengharuskan KPK untuk menuntut terdakwa di daerah,
padahal KPK tak mempunyai kantor perwakilan.
3. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme hanya memberi sanksi
adminsitrasi terhadap penyelenggara negara yang tidak melaporkan
kekayaan negara.
D. ARAH PEMBERANTASAN KORUPSI
Pemberantasan korupsi yang gencar KPK tenyata bukan tanpa
hambatan di lapangan. Beberapa kasus yang melilit pimpinan KPK bukti
244
bahwa “serangan” terhadap KPK dari berbagai sisi terus dilakukan
guna menghambat jalannya rezim pemberantasan korupsi di Indonesia.
Serangan tersebut bersifat internal maupun eksternal, baik melalui
peraturan perundang-undangan dan perlawanan hukum di Mahkamah
Konstitusi.
Serangan tersebut juga berkaitan dengan sepak terjang KPK yang
dinilai terjebak dalam ruang-ruang politik, sehingga dianggap tebang
pilih dengan dominan membungkam lawan-lawan pemerintah. Untuk
mematahkan itu dan mempertegas nondiskriminasi dalam agenda
pemberantasan korupsi, KPK harus dipandu dengan sebuah “arah” yang
menuntun KPK dalam bekerja.
Pada dua periode kepemimpinan KPK sebelumnya, arah tersebut
sesungguhnya telah ada yang diberi nama Rencana Strategis Komisi
Pemberantasan Korupsi yang substansinya antara lain, yakni:
Tabel. Rencana Strategis KPK
2004-2007
2008-2011
Penindakan
- Pengembangan sistem dan prosedur
peradilan pindana korupsi yang ditangani
langsung oleh KPK;
- Pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan perkara tindak pidana korupsi
oleh KPK;
- Pengembangan
mekanisme,
sistem
dan prosedur supervisi oleh KPK atas
penyelesaian perkara tindak pidana korupsi
yang dilaksanakan oleh Kepolisian dan
Kejaksaan;
- Identifikasi kelemahan undang-undang dan
konflik antar undang-undang yang berkaitan
dengan pemberantasan korupsi;
- Pemetaan
aktivitas-aktivitas
yang
berindikasikan tindak pidana korupsi.
Penindakan
- Penindakan korupsi dilakukan bersamasama dengan aparat penegak hukum
lainnya;
- Menangani kasus-kasus yang belum selesai
dikerjakan oleh Pimpinan KPK yang lama;
- Menanganani
kasus-kasus
yang
menimbulkan dampak ikutan kumulatif
yang tinggi, sedangkan kasus-kasus yang
ber-scope lokal dilimpahkan kepada aparat
penegak hukum daerah;
- Menangani kasus-kasus korupsi di
lingkungan aparat penegak hukum,
pemasukan dan pengeluaran keuangan
negara, serta sektor pelayanan publik;
- Menindaklanjuti MoU dengan Kemhan
untuk mendorong penanganan kasus-kasus
korupsi di lingkungan TNI.
Pencegahan
Pencegahan
- Peningkatan efektifitas sistem pelaporan - Mendorong segenap instansi dan masyarakat
kekayaanpenyelenggara Negara;
untuk meningkatkan kesadaran anti korupsi
dan peran sertanya dalam pencegahan
- Penyusunan sistem pelaporan gratifikasi
korupsi di lingkungan masing-masing;
dan sosialisasi;
- Penyusunan sistem pelaporan pengaduan - Melakukan proaktif investigasi (deteksi)
untuk mengenali dan memprediksi
masyarakat dan sosialisasi;
kerawanan korupsi dan potensi masalah
- Pengkajian dan penyampaian saran
penyebab korupsi secara periodik untuk
perbaikan atas sistem administrasi
disampaikan kepada instansi dan masyarakat
pemerintahan dan pelayanan masyarakat
yang bersangkutan;
yang berindikasikan korupsi;
245
Pencegahan
Pencegahan
- Penelitian
dan
pengembangan - Mendorong lembaga dan masyarakat untuk
teknik dan metode yang mendukung
mengantisipasi kerawanan korupsi (kegiatan
pemberantasan korupsi.
pencegahan) dan potensi masalah penyebab
korupsi (dengan menangani hulu permasalahan)
di lingkungan masing-masing.
Dalam arah pemberantasan korupsi ke depan, KPK melakukannya
dengan:
1. Menindak dan membongkar kasus dari hulu sampai hilir atau pusat
dan daerah.
2. Fokus pada kasus atau perkara yang nilai korupsinya sangat tinggi.
3. Melakukan upaya pencegahan di pusat-pusat korupsi berbarengan
dengan tindakan penindakan.
Berdasarkan data yang ada sampai saat ini arah pemberantasan
korupsi masih berkutat pada angka kerugian keuangan negara sebesar
Rp 1 Miliar sampai dengan Rp 20 Miliar. Artinya, KPK belum menyentuh
perkara korupsi yang mencapai nilai ratusan atau triliunan rupiah (BLBI,
pengelapan pajak, rekening “gendut” perwira Kepolisian, Bank Century,
dan lain-lain). Ini yang kemudian menjadi fokus perbaikan performance
KPK ke depan.
Tugas pencegahan dan penindakan KPK ke depan yang tak kalah
pentingnya adalah menuntaskan pembersihan “mafia peradilan atau
mafia hukum” yang sekian lama menggerogoti peradilan (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) dan birokrasi di
Indonesia. Masih suburnya praktik mafia peradilan atau mafia hukum
membuat tak bisa tegaknya keadilan dan kepastian hukum serta lenyapnya
uang negara ratusan miliar.
KPK penting dan harus mempertegas keberadaannya sebagai
“lembaga superbody” untuk mencegah dan menindak mafia hukum,
sebab lembaga pengawas peradilan (Komisi Kepolisian Nasional, Komisi
Kejaksaan, dan Komisi Yudisial) belum mampu saat ini memberantasnya.
Oleh karena itu peletakkan “beban” tersebut tidaklah berlebihan, agar
KPK dapat mengembalikan proses peradilan menjadi tempat yang
nyaman dan aman bagi setiap warga negara yang memimpikan kepastian
hukum dan keadilan.
Penetapan arah pemberantasan korupsi tersebut merupakan bagian
dari peningkatan transparansi dan akuntabilitas KPK kepada masyarakat.
Di samping itu pula, arah tersebut dapat memandu setiap lembaga
pemeriksa dan pengawas keuangan (seperti BPK, Irjen, Bawasda dan
246
PPATK) untuk mendukung KPK dalam bekerja. Adanya penetapan arah
pemberantasan korupsi akan semakin memperkuat agenda percepatan
pemberantasan korupsi. Adanya kepentingan politis tertentu yang ikut
menggembosi proses pemberantasan korupsi seperti terlihat, dapat
ditangkal dengan hal tersebut. Tidak hanya sampai disitu, Indonesia dalam
gerakan pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan kekuasaan
kepala negara yakni Presiden. Tanpa itu, pemberantasan korupsi akan
mengarah pada penanganan korupsi yang nilainya kecil, dan tentu
penanganan kasus-kasus korupsi penuh dengan intervensi politik.
Kehadiran arah pemberantasan korupsi tidak lain diperlukan untuk
semakin mendorong KPK untuk mengukir “success story” pemberantasan
korupsi, sebab di mata publik, KPK masih menjadi lembaga yang dipercaya
serta punya integritas dan kredibilitas di dalam agenda percepatan
pemberantasan korupsi. Dalam arah upaya percepatan pemberantasan
korupsi demikian, KPK masih memerlkanu kebijakan yang menghapus
hambatan-hambatan prosedural seperti ijin pemeriksaan, supervisi,
pengambilalihan kasus, ketersediaan dana, ketersediaan penyidik dan
penuntut umum, dan lain sebagainya yang selama ini menjadi hambatan
besar.
Jika menengok ke belakang tentang arah pemberantasan korupsi,
maka sesungguhnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun
2001 pernah menebitkan arah kebijakan pemberantasan korupsi yang
tertuang dalam Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi
Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Ketetapan ini diterbitkan dengan pertimbangan, yakni:
1. Permasalahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda bangsa
Indonesia sudah sangat serius, dan merupakan kejahatan yang luar
biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara.
2. sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan korupsi,
kolusi, dan nepotisme telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi belum menunjukkan
arah perubahan dan hasil sebagaimana diharapkan.
3. Terdapat desakan kuat masyarakat yang menginginkan terwujudnya
berbagai langkah nyata oleh pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi
negara lainnya dalam hal pemberantasan dan pencegahan korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
4. Pembaruan komitmen dan kemauan politik untuk memberantas
dan mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme memerlukan langkahlangkah percepatan.
247
Hal-hal penting dalam arah kebijakan percepatan pemberantasan
korupsi dalam Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi
Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme sebagai berikut (Pasal 2):
1. Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama
aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga
melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat
dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses
hukum.
2. Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh
terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di
masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi
hukuman yang seberat-beratnya.
3. Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan
melaporkan kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri,
penyelenggara negara dan anggota masyarakat.
4. Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundangundangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang
berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
5. Merevisi semua peraturan perundang-undangan yang berkenaan
dengan korupsi sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang
lainnya.
6. Membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk
membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan
dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: (a) Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (b) Perlindungan Saksi dan
Korban; (c) Kejahatan Terorganisasi; (d) Kebebasan Mendapatkan
Informasi; (e) Etika Pemerintahan; dan (f) Kejahatan Pencucian Uang;
(g) Ombudsman.
7. Perlu segera membentuk Undang-undang guna mencegah terjadinya
perbuatan-perbuatan kolusi dan/atau nepotisme yang dapat
mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.
E. KELEMAHAN YANG MASIH MENYELIMUTI KPK
Salah satu kelemahan paling menonjol dari KPK sejak berdirinya
hingga saat ini adalah ketiadaan penyidik dan penuntut umum sendiri
(perekrutan). Keberadaan penyidik dan penuntut umum non Kepolisian
248
dan Kejaksaan amat dibutuhkan untuk menjamin dan menjaga
independensi KPK, efektifitas pemberantasan korupsi, dan prinsip
nondiskriminasi.
Selama ini, KPK dalam menjalankan kerja-kerja pemberantasan
korupsi masih mengandalkan penyidik dari Kepolisian serta penuntut
umum dari Kejaksaan. Padahal ketika muncul kasus korupsi di intansi
mereka berasal, maka tidak terhindarkan lagi conflict of interest yang
pada akhirnya melahirkan sikap “keengganan” yang sudah barang tentu
menganggu jalannya penyelidikan dan penyidikan.
Kelemahan lain yang menjadi hambatan KPK adalah minimnya
dukungan dari pemerintah dan DPR. Sebagaimana diketahui umum
proses pemilihan pimpinan, legislasi dan penganggaran KPK berasal dari
kedua lembaga tersebut, sehingga bila tak mendapat dukungan penuh
maka pemberantasan korupsi tidak akan pernah mencapai titik maksimal
seperti yang diinginkan publik.
Kelemahan internal yang dimiliki saat ini yang bagaimana pun
“menganggu” kerja-kerja KPK adalah jumlah sumber daya manusia yang
masih terbatas (staf, Penuntut Umum, Penyidik dan penyelidik) yang
tidak sebanding dengan ruang lingkup dan luasnya wilayah yang menjadi
objek tugas KPK. Begitu pun dengan kantor KPK yang sudah tidak dapat
menampung dokumen-dokumen berkaitan dengan tugas pemberantasan
korupsi.
Guna memperkuat agenda pemberantasan korupsi ke depan
perlu kiranya KPK dipermanenkan dengan mengangkatnya pada level
konstitusi. Hal ini penting mengingat berbagai hambatan dan gangguan
yang dihadapi KPK seperti isu pembubaran dan pemandulan yang sering
disampaikan ke publik yang tidak hanya datang dari koruptor, tapi juga
kalangan DPR. Dengan berada pada level konstitusi, perang terhadap
kejahatan korupsi tak bisa dihentikan (yuridis dan keuangan) baik oleh
DPR dan pemerintah.
Keberadaan KPK di konstitusi saat ini hanya diatur oleh pasal sapu
jagat berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:
“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang”.
Pasal inilah yang menjadi pijakan keberadaan KPK selama ini,
sehingga penyempurnaan UUD 1945 ke depan khususnya Pasal 24 Bab
Kekuasaan Kehakiman perlu mencamtumkan eksplisit eksistensi KPK.
249
F. REKOMENDASI
KPK yang dibentuk dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan lembaga superbodi
dalam bidang pemberantasan korupsi karena memiliki beberapa
kewenangan yang tidak dimiliki lembaga penegak hukum lain seperti
Kepolisian dan Kejaksaan, baik itu dalam penyidikan, upaya paksa
(penyadapan, penggeledahan, dan lain-lain), jenis alat bukti, dan
pembuktian perkara. Selain itu, KPK juga merupakan “trigger mechanism”
dan institusi independen pemberantasan korupsi (tidak di bawah
kekuasaan Presiden).
Sebagai lembaga pemberantasan korupsi paling berhasil dan
dipercaya masyarakat, maka KPK perlu tetap dipertahankan dan bahkan
harus dikuatkan baik secara yuridis dan politik, sebagai upaya luar biasa
negara di dalam upaya mencegah dan menindak tindak pidana korupsi
yang sudah mendarah daging di Indonesia. Bilamana seluruh kewenangan
yang melekat dioptimalkan, maka KPK akan bisa menyelematkan
kekayaan negara yang dirampok dan disalahgunakan.
Dari masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri dan
Soesilo Bambang Yudhoyono KPK selalu mendapat dukungan politik.
Bahkan di masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
dukungan itu dikonkritkan dengan terbitnya Instruksi Presiden No 5
Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
kemudian diganti dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2011 tentang
Percepatan Penyelesaian Kasus-Kasus Hukum dan Penyimpangan
Pajak, di mana keduanya menunjukkan tekad bulat Presiden di dalam
pemberantasan korupsi.
Kini memasuki periode ketiga, eksistensi KPK banyak digugat oleh
para politisi dan narapidana korupsi, dengan mengidekan membubarkan
dan/atau memandulkan KPK (mengembalikan fungsi pemberantasan
korupsi pada Kepolisian dan Kejaksaan) dengan dua alasan pokok,
Pertama, KPK hanya membongkar kasus korupsi pesanan penguasa, dan
Kedua, politik tebang pilih pada penindakan pemberantasan korupsi.
Serangan terhadap KPK tersebut sudah barang tentu dilandasi keinginan
tidak baik yang tetap menginginkan Indonesia diselimuti budaya korupsi,
padahal institusi yang dibebani untuk memberantas korupsi masih
bergelut dengan kerusakan integritas, akuntabilitas, transparansi, dan
kemauan dalam pemberantasan korupsi (Kepolisian dan Kejaksaan).
250
KPK dalam perjalananannya (sejak operasional efektif tahun
2003) tentu banyak kelemahan, maka dari itu menjadi suatu keharusan
harus diadakan evaluasi untuk mengakselerasi dan mengefektifkan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Evaluasi itu menyangkut Standard
Operating Procedure (SOP) penanganan kasus, kebijakan penanganan kasus
korupsi, dan infrastuktur penanganan kasus seperti penyidik, penuntut
umum, kantor, dan anggaran.
Berdasarkan paparan di atas, ada beberapa rekomendasi ke depan
yang perlu dilakukan, yakni:
1. Meneguhkan keberadaan KPK sebagai lembaga anti korupsi dengan
cara memberikan dukungan secara politik baik berasal dari pemerintah
(Presiden, Kepolisian dan Kejaksaan) dan DPR maupun yudikatif
(Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi).
2. Menguatkan keberadaan dan kewenangan KPK pada level
berbagai perundang-undangan, sehingga tidak mudah diamputasi,
dilemahkan, atau pun dibubarkan oleh pihak-pihak yang tidak suka
terhadap eksistensi KPK dalam percepatan pemberantasan korupsi.
3. KPK dalam penindakan, perlu fokus membongkar kasus-kasus besar
baik yang terjadi di pusat atau pun di daerah seperti kasus BLBI, Bank
Century, penggelapan pajak dan lain sebagainya.
4. Melakukan upaya pencegahan di pusat-pusat (kantong-kantong)
korupsi bersamaan dengan tindakan penindakan.
Endnote
1. Sri Hartati Samhadi, “Potret Suram TKI, Salah Siapa?”, Kompas, 9 Juni 2007.
2. Migran Care, Siaran Pers : Menyikapi Siaran Pers Presiden SBY dan 3 Menteri Terkait Eksekusi Ruyati , Jakarta, 23
Juni 2011.
3. ASEAN, Summary Report of The 3rd ASEAN Forum on Migrant Labour 19-20 July 2010 Ha Noi, VietNam).
4. Harian Tempo, “1.300 Pekerja Asal Indramayu Korban Trafficking”, 12 September 2007, dalam Zaky Alkazar
Nasution, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak Korban Perdagangan Manusia (Trafficking in Persons),
suatu tesis yang telah diuji di Universitas Diponegoro, 2008, hlm. 23.
5. Laura Rundlet, U.S. Department of State Office to Monitor and Combat Trafficking in Persons, Makalah, 2011, hlm. 6.
6. UN Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families, Bagian
Menimbang
7. Zaky Alkazar Nasution, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak Korban Perdagangan Manusia
(Trafficking in Persons), suatu tesis yang telah diuji di Universitas Diponegoro, 2008, hlm. 195.
8. Dalam US 0f The 10th annual Trafficking in Persons Report, tidak ada hasil evaluasi dan monitoring terhadap
Myanmar.
9. Sekretariat ASEAN, ASEAN Economic Community Blueprint, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2010), hlm. 5.
10. Ibid.
11. Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS) dan Rights & Democracy Kanada, Seri 8 Penjelasan Singkat
(Backgrounder) Keamanan Nasional, suatu tulisan yang terdapat di dalam situs www.idsps.org, Jakarta: Juni
2008, hlm. 2.
12. Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS), Policy Paper Kebijakan Umum Keamanan Nasional, suatu
tulisan yang terdapat di dalam situs www.idsps.org, Jakarta: September 2008, hlm. 9-11.
13. ProPatria, Naskah Akademik RUU Keamanan Nasional, suatu tulisan yang terdapat di dalam situs www.propatria.
or.id, (Jakarta: ProPatria, Juli, 2003), hlm. 5-6.
14. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Keamanan
Nasional, suatu tulisan yang terdapat di dalam situs www.elsam.or.id, tanggal 30 Maret 2011
15. Ibid.
16. Ibid.
17. Budi Susilo Soepandji, “Peran Dewan Keamanan Nasional dalam Merumuskan Kebijakan Keamanan Nasional”,
suatu tulisan yang dipresentasikan dalam Diskusi Publik tentang “Ancaman terhadap Keamanan Nasional/
Negara” yang diselenggarakan KHN pada tanggal 31 Mei 2011 di Jakarta.
18. Pasal 4 huruf C RUU tentang Keamanan Nasional, tanggal 30 Maret 2011.
19. A.M. Hendropriyono, “Pentingnya Peran Intelijen Negara”, suatu tulisan yang dipresentasikan dalam Diskusi
Publik tentang “Ancaman terhadap Keamanan Nasional/Negara” yang diselenggarakan KHN pada tanggal 31
Mei 2011 di Jakarta.
20. Ibid.
21. R. M. Panggabean, “Peran Kepolisian dalam Penegakan Hukum Keamanan Nasional/Negara”, suatu tulisan
yang dipresentasikan dalam Diskusi Publik tentang “Ancaman terhadap Keamanan Nasional/Negara” yang
diselenggarakan KHN pada tanggal 31 Mei 2011 di Jakarta.
22. Ibid.
23. ProPatria, Op. Cit
24. Ibid.
25. www.rakyatmerdekaonline.com, 7 Juni 2011, “DPR Dukung Renegosiasi Kontrak Karya Tambang - Demi
Tingkatkan Pendapatan Negara”,
26. Ibid.
27. Abrar Saleng, “Kepastian Hukum dan Status Hukum Pemerintah dalam Kontrak Karya Pertambangan”, suatu
tulisan yang terdapat dalam Majalah Mimbar Hukum, Nomor 36, Volume X, Tahun 2000.
28. Ibid.
29. Tony Wenas, “Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan”, suatu tulisan yang dipresentasikan pada acara
Diskusi Publik tentang “Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan”, yang diadakan KHN pada tanggal 13 Juli
2011 di Jakarta.
30. Kompas, 20 Juni 2011, “Renegosiasi Kontrak: Jangan Menimbulkan Ketidakpastian Usaha”, hlm. 18.
31. Ibid.
32. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1998), cet. 17, hlm. 22-25.
33. Subekti, Ibid., hlm. 64-78.
34. Mardjono Reksodiputro, “Renegosiasi Kontrak antara Pemerintah RI dengan Investor Asing: Retorika ataukah
Kebijakan Rasional?”, suatu tulisan yang dipresentasikan pada acara Diskusi Publik tentang “Renegosiasi
Kontrak Karya Pertambangan”, yang diadakan KHN pada tanggal 13 Juli 2011 di Jakarta.
35. Ibid.
252
36. Ibid.
37. Ibid.
38. Komisi Hukum Nasional dan National Legal Reform Program, Restatement atas Perjanjian Batal Demi Hukum (Null
and Void) dalam Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2010), hlm. 12.
39. Ibid.
40. Ibid.
41. Ibid.
42. Ibid.
43. Mardjono Reksodiputro, Op. Cit.
44. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2009, (Jakarta:
Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010), hlm. 179, bagian “Proses Perekrutan Sumber Daya Manusia di
Mahkamah Agung”.
45. Ibid., hlm. 188, bagian “Calon Hakim”.
46. Komisi Hukum Nasional, Perekrutan dan Karir di Bidang Peradilan, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2002), hlm.
20.
47. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; UU No.
46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; UU No.
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; UU No. 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
48. Pasal 14A ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh MA dan KY”.
49. Transkrip Diskusi Publik KHN mengenai “Model Perekrutan Calon Hakim dan Peran Komisi Yudisial”,
di Jakarta, tanggal 19 Juli 2011, dimana Karopeg MA, Bapak Aco Nur mengemukakan bahwa MA berusaha
melibatkan KY dalam proses seleksi CPNS/Cakim pada tahun 2010 dalam hal melakukan wawancara mengenai
Penguasan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
50. “Presentasi Bapak Taufiqurrohman Syahuri” dalam Diskusi Publik yang diadakan KHN mengenai “Model
Perekrutan calon hakim dan Peran Komisi Yudisial”, di Jakarta, tanggal 19 Juli 2011.
51. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Hakim di bawah Mahkamah
Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan
di bawah Mahkamah Agung.”
52. “www.tempointeraktif, 4 Juni 2011, “Jimly Ashidiqie: Antasari Korban Peradilan Sesat”.
53. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial .
54. www.komisiyudisial.go.id, 27 Mei 2011, “KY Minta Dilibatkan Merekrut Hakim”.
55. “Presentasi Anggota Komisi Yudisial RI”, Bapak Taufiqurrohman Syahuri dalam Diskusi Publik yang diadakan
KHN mengenai “Model Perekrutan calon hakim dan Peran Komisi Yudisial”, di Jakarta, tanggal 19 Juli 2011.
56. Presentasi Emerson Junto, dalam Diskusi Publik yang diadakan KHN mengenai “Model Perekrutan calon hakim
dan Peran Komisi Yudisial”, di Jakarta, tanggal 19 Juli 2011.
57. Komisi Hukum Nasional, Op. Cit., hlm. 33.
58. Emerson Junto dalam presentasinya pada Diskusi Publik yang diadakan KHN mengenai “Model Perekrutan
calon hakim dan Peran Komisi Yudisial”, di Jakarta, tanggal 19 Juli 2011, menyatakan bahwa dalam mengatasi
permasalahan 210 orang calon hakim yang telah lulus seleksi pada tahun 2010, KY harus dilibatkan terutama
dalam hal penilaian kode etik dan dalam penempatan calon hakim tersebut.
59. World Bank, World Development Indicators Database, suatu data yang terdapat di dalam www.worldbank.org,
diterbitkan tahun 2009, yang diunduh pada tanggal 28 Juli 2011.
60. LSPR (Felix Jebarus dan A. Edi Aruman), Konglomerasi Media – Studi Kasus terhadap Praktik Manajemen pada Surat
Kabar Lokal, suatu hasil penelitian yang dipresentasikan dalam 2nd Communication Research Conference, yang
terdapat dalam situs www.lspr.edu, yang diunduh pada tanggal 26 April 2011.
61. www.reuters.com, 18 Juli 2011, Paul Sandle, “Quickguide to the News Corp Hacking Scandal”.
62. Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik atas Profesionalisme Wartawan, 2001, hlm. 3.
63. UU tersebut terlampir dalam Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik Atas Profesionalisme Wartawan, 2001, hlm. 205
- 214
64. www.globalization.icaap.org. Amerika Serikat, 2003.
65. Saldi Isra, “Selamatkan Jalan KPK”, suatu tulisan yang terdapat di situs www.saldiisra.web.id. dan www.
seputarindonesia.com, pada tanggal 10 Juni 2010.
66. Transparansi Internasional (TI) Indonesia menyatakan Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia berada di poin
2,8. Kondisi ini masih sangat jauh tertinggal jika dibandingkan IPK negara tetangga seperti Singapura 3,9 dan
Malaysia 4 serta Korea Selatan 5,4. Lihat www.detiknews.com., 7 November 2011, “Pemerintah Akui Indeks
Persepsi-Korupsi Indonesia Lemah”.
67. Frans H Winarta, “Jangan Bubarkan KPK”, Kompas, 24 Oktober 2011.
68. Ibid.
Download