PEMANTAUAN DAN PENGKAJIAN LEGISLASI SERTA PERMASALAHAN AKTUAL DI BIDANG HUKUM (Suatu Rekomendasi) Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia Bertekad untuk Turut Mendorong Reformasi Hukum di Indonesia PEMANTAUAN DAN PENGKAJIAN LEGISLASI SERTA PERMASALAHAN AKTUAL DI BIDANG HUKUM (Suatu Rekomendasi) Jakarta : Komisi Hukum Nasional RI, Cetakan Pertama : Desember 2011 Jl. Diponegoro 64, Jakarta Pusat 10310 Website : http//www.komisihukm.go.id ISBN : 978-979-3452-33-3 Penanggung Jawab/Komisioner: 1. Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., MA (Ketua) 2. Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., MA (Sekretaris) 3. Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. (Anggota) 4. Mohammad Fajrul Falaakh, S.H., MA., M.Sc. (Anggota) Peneliti: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Mujahid A. Latief, S.H., M.H. T. Rifqy Thantawi, S.H., M.Si. Hardian Aprianto, S.H. M. Jody Santoso, S.H. Ikhwan Fahrojih, S.H. Jamil Burhan, S.H. Totok Suryawan W., S.H. Sulaiman Sujono, S.H. Aryanti Hoed, S.H., LL.M Diani Rahmitasari, S.H. Yuniarti Widyaningsih, S.H. Gina Nurthika Rajagukguk, S.H. Tim Penerbitan/Editor: 1. 2. 3. 4. Mohammad Saihu Agus Surono Farakh Harahap Zaini Nurzaman © Hak Cipta dilindungi undang-undang Diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional RI "Pengutipan, pengalibahasaan dan penggandaan (copy) isi buku ini demi pembaruan hukum diperkenankan dengan menyebutkan sumbernya' *tidak untuk dijual* KATA PENGANTAR Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN) turut serta dalam legislasi dengan melakukan pemantauan dan pengkajian legislasi. Dengan pemantauan dan pengkajian legislasi tersebut, KHN memberikan rekomendasi yang diperlukan yang berguna dalam optimalisasi legislasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. KHN melihat proses legislasi di DPR, atau yang seringkali diartikan sebagai proses pembuatan dan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) di DPR masih seringkali dinilai oleh banyak pengamat legislasi, belum bertanggung jawab secara sosial. Misalnya saja pembahasan RUU dan mekanisme rapat yang diharapkan dibuat lebih terbuka, lebih banyak ditanggapi DPR dengan merenovasi ruangan-ruangan rapat serta pembangunan gedung DPR pada waktu akhir periode 2004-2009 dan awal periode 2009-2014. Pembuatan dan pembahasan suatu RUU yang bertanggung jawab secara sosial adalah mengutamakan tiga prinsip, yaitu; partisipatif, transparan, dan akuntabel. Substansi pengaturan juga berangkat dari masalah sosial dan secara logis merunut uraian fakta, analisis penyebab, dan tawaran solusi yang dikemas dalam perundang-undangan yang jelas sehingga mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat. Banyak juga yang mengamati bahwa permasalahan legislasi DPR juga dipengaruhi dengan kecenderungan sikap pragmatis dan oportunistis yang ”menimpa” kader-kader partai politik yang menjadi anggota DPR. Oleh karenanya, harapan besar dari rakyat dalam masa periode 2009-2014 dan selanjutnya ialah partai politik harus mendidik kader-kadernya untuk berubah dari orang-orang serba biasa menjadi pejuang cita-cita. Dalam kerangka pemantauan dan pengkajian legislasi yang dilakukan KHN, persoalan politik relatif tidak banyak dibahas meskipun KHN menyadari bahwa DPR juga merupakan lembaga politik dan undang-undang (UU) yang dihasilkannya pun pada hakikatnya merupakan keputusan politik. KHN lebih banyak memantau dan mengkaji substansi dari RUU yang sedang dalam proses legislasi. RUU tersebut pun lebih banyak bermuatan hukum dibandingkan muatan-muatan lainnya. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi KHN sebagaimana terdapat di dalam Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional. Oleh karenanya pula, pemantauan dan pengkajian legislasi yang dilakukan oleh KHN lebih banyak terarah pada RUU yang menjadi kerja Komisi di DPR yang menangani hukum dan perundangundangan serta hak asasi manusia. iv KHN juga melihat bahwa DPR (yang dalam hal tertentu terdapat peran Dewan Perwakilan Daerah/DPD), mempunyai fungsi anggaran dan pengawasan selain fungsi legislasi. Seringkali bahwa fungsi legislasi tidak optimal karena banyak waktu yang terpakai untuk menjalankan fungsi anggaran dan pengawasan. Tanpa bermaksud mengesampingkan fungsi anggaran dan pengawasan, maka fungsi legislasi DPR merupakan fungsi yang utama. Melalui fungsi inilah, dalam setiap periode masa jabatan para anggotanya, DPR melaksanakan amanat rakyat dengan mewujudkannya melalui pembuatan perundang-undangan. Penjabaran fungsi legislasi DPR ini terbagi dalam 4 (empat) hal: 1. Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; 2. Membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang; 3. Menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan; 4. Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Keempat hal tersebut di atas berpijak pada berbagai ketentuan yang terdapat di dalam Amandemen UUD 1945 (konstitusi), misalnya dalam Pasal 20, Pasal 20 A, Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 22 D. KHN menyadari bahwa DPR telah membentuk perangkat penunjangnya (alat perlengkapan) guna mengoptimalkan fungsi legislasinya, yaitu: Pimpinan DPR, Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi yang bertugas merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan RUU untuk satu masa peiode keanggotaan DPR dan setiap Tahun Anggaran dengan tahapan dan menyiapkan usul RUU usul inisiatif DPR berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan, melakukan pembahasan, perubahan atau penyempurnaan RUU yang secara khusus ditugaskan Badan Musyawarah, mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi undang-undang, melalui koordinasi dengan Komisi, melakukan evaluasi terhadap program penyusunan RUU, melakukan evaluasi dan penyempurnaan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik Anggota DPR, dan membuat inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir masa periode keanggotaan DPR. Hasil dari fungsi legislasi DPR, secara sederhana, dapat dilihat dari jumlah RUU yang telah disetujui melalui rapat paripurna DPR. Dengan buku ini, KHN juga memperkuat fungsi legislasi yang dilakukan oleh DPR, karena pemantauan dan pengkajian legislasi yang dilakukan oleh KHN telah diselaraskan dengan dinamika hukum yang berkembang di masyarakat. Selain mengadakan pertemuan diskusi di KHN yang cukup banyak jumlahnya dalam setiap tahun, KHN juga mengadakan diskusi di luar KHN, seperti: 1. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “Wacana Legislasi dan Perpektif Hukum Tahun 2011” pada tanggal 9 Desember 2010 di Jakarta. 2. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “RUU tentang Bantuan Hukum” pada tanggal 9 Maret 2011 di Jakarta. 3. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial” pada tanggal 31 Mei 2011 di Jakarta. 4. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “RUU tentang Perubahan UU tentang Komisi Yudisial” pada tanggal 1 Juni 2011 di Jakarta. 5. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “RUU tentang Perubahan UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” pada tanggal 20 Juli 2011 di Jakarta. 6. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “Sinkronisasi RUU tentang Perubahan UU tentang Kepolisian dan RUU tentang Perubahan UU tentang Kejaksaan” pada tanggal 16 Agustus 2011 di Jakarta. 7. Diskusi Bersama Komunitas Hukum tentang “RUU tentang Hukum Acara Pidana” pada tanggal 2 November 2011 di Jakarta. Dalam Diskusi Bersama Komunitas Hukum tersebut, masukan-masukan yang dikemukakan para Narasumber sangat berharga dalam pengayaan kerangka pikir KHN yang selanjutnya terumuskan dalam pendapat hukum KHN di dalam buku ini. Di samping dengan Diskusi Bersama Komunitas Hukum tersebut, terdapat juga pendapat hukum KHN yang dibuat karena kebutuhan dalam waktu tertentu yaitu adanya permintaan pendapat hukum KHN atas suatu RUU yang sedang dibuat dan dibahas di pemerintah dan DPR. Dalam hal yang demikian, maka pertemuan diskusi di KHN menjadi suatu sarana untuk merumuskan pendapat hukum KHN. Selain pemantauan dan pengkajian legislasi, KHN juga turut serta dalam memberikan rekomendasi atas suatu permasalahan yang aktual di masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan bidang hukum. Dengan keterbatasan yang ada pada KHN, tentunya tidak semua permasalahan aktual di masyarakat dapat selalu dibahas dan karenanya KHN melakukan pemilihan atas permasalahan aktual tersebut. Pemilihan tersebut berdasarkan permasalahan aktual yang strategis dan menyita perhatian masyarakat, serta berhubungan erat dengan kepentingan penegakkan hukum yang memenuhi hak-hak dasar rakyat. Dengan buku ini, KHN juga memperkuat pemerintah dalam menangani permasalahan aktual di masyarakat, karena KHN telah menyelaraskan dengan dinamika hukum yang berkembang di masyarakat. Selain mengadakan vi pertemuan diskusi di KHN yang cukup banyak jumlahnya dalam setiap tahun, KHN juga mengadakan diskusi di luar KHN, seperti: 1. Diskusi Publik tentang “Kecenderungan Pembiaran Negara terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri” pada tanggal 8 Desember 2010 di Jakarta. 2. Diskusi Publik tentang “Peran ASEAN dalam Perlindungan Pekerja Migran” pada tanggal 8 Maret 2011 di Jakarta. 3. Diskusi Publik tentang “Ancaman terhadap Keamanan Nasional/Negara” pada tanggal 31 Mei 2011 di Jakarta. 4. Diskusi Publik tentang “Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan” pada tanggal 13 Juli 2011. 5. Diskusi Publik tentang “Model Perekrutan Hakim dan Peran Komisi Yudisial” pada tanggal 19 Juli 2011. 6. Diskusi Publik tentang “Jurnalisme di Era Konglomerasi Media Massa” pada tanggal 18 Agustus 2011. 7. Diskusi Publik tentang “KPK dan Arah Pemberantasan Korupsi” pada tanggal 3 November 2011. Diskusi Publik tersebut merupakan diskusi yang lebih luas cakupannya dan lebih banyak pesertanya dibandingkan dengan Diskusi Bersama Komunitas Hukum. Sama halnya dengan Diskusi Bersama Komunitas Hukum, maka dalam Diskusi Publik tersebut, terdapat Narasumber yang menjadi rujukan pembuatan pendapat hukum KHN. Hanya saja, terdapat peserta Diskusi Publik yang merupakan perwakilan dari berbagai kelompok masyarakat dan lembaga pemerintah yang “mempertajam” gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Narasumber tersebut. Penajaman gagasan-gagasan tersebut, menjadi masukan-masukan yang berharga dalam pengayaan kerangka pikir KHN yang selanjutnya terumuskan dalam pendapat hukum KHN di dalam buku ini. Dengan kehadiran buku ini, semakin mempertegas bahwa di tengah pemberitaan media massa mengenai kepatutan keberadaannya, KHN tetap bekerja tanpa hiruk-pikuk. KHN meyakini bahwa tidak ada pekerjaan yang sia-sia. KHN juga meyakini bahwa rekomendasi KHN yang merupakan suatu rekomendasi kebijakan selalu terekam dalam catatan sejarah reformasi hukum di Indonesia, yang berguna dalam keadaan sistem hukum Indonesia yang belum beranjak dari keadaan “desperate but not hopeless”. Jakarta, Desember 2011. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................ iii DAFTAR ISI................................................................................................ vii BAB I PEMANTAUAN LEGISLASI ............................................... 1 POLITIK LEGISLASI Mendayagunakan Legislasi Dalam Reformasi Hukum dan Perlindungan Hak Rakyat................................................................. 3 PENGESAHAN RUU TENTANG BANTUAN HUKUM Menunggu Implementasi Perlindungan Hak–Hak Rakyat......................................................................................... 19 PENGESAHAN RUU TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL Langkah Maju yang Perlu Pengawasan Implementasinya.................. 29 PENGESAHAN RUU TENTANG PERUBAHAN UU TENTANG KOMISI YUDISIAL Instrumen Penting Perekrutan Hakim, serta Menjaga Kehormatan, Keluhuran, Kemandirian dan Perilaku Hakim...................................... 47 RUU TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAU MENGGANTI UU TENTANG MAHKAMAH AGUNG Pentingnya Keselarasan dengan Paket UU Di Bidang Kekuasaan Kehakiman............................................................ 65 RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU MENGGANTI UU TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Suatu Kebutuhan Dengan Penguatan .................................................... 75 RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU MENGGANTI UU TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Perlu Berpedoman Pada Prospektif Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana............................................................................ 95 viii RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU MENGGANTI UU TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Perlu Berpedoman Pada Prospektif Sistem Keamanan Nasional Dan Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana .......................................... 115 RUU TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Sebagai Pedoman Prospektif Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana............................................................................ 129 BAB II PENGKAJIAN LEGISLASI . .................................................. 147 PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI Permasalahan Instrumen, Struktural dan Budaya Hukum.................. 149 PERAN ASEAN DALAM PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN Berharap Pada Solidaritas Hak Asasi Manusia Negara-negara Anggota Asean . .............................................................. 159 ANCAMAN TERHADAP KEAMANAN NASIONAL/NEGARA Membentuk Kesepahaman Sistem Keamanan Nasional...................... 171 RENEGOSIASI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN Upaya Membenahi Pemanfaatan Sumber Daya Alam Untuk Kepentingan Rakyat....................................................................... 189 MODEL PEREKRUTAN CALON HAKIM DAN PERAN KOMISI YUDISIAL Membentuk Kesepahaman Mahkamah Agung Dan Komisi Yudisial Dalam Perekrutan Calon Hakim.............................................................. 201 JURNALISME DI ERA KONGLOMERASI MEDIA MASSA Pencegahan Pengaruh Negatif Terhadap Kebebasan Dan Etika Pers............................................................................................. 215 KPK DAN ARAH PEMBERANTASAN KORUPSI Penguatan Dan Menjaga Independensi Serta Akuntabilitas KPK Dalam Pemberantasan Korupsi................................................................ 235 BAB SATU PEMANTAUAN LEGISLASI POLITIK LEGISLASI Mendayagunakan Legislasi Dalam Reformasi Hukum Dan Perlindungan Hak Rakyat A. PENGANTAR Reformasi di Indonesia mendorong dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) terjadi perubahan pola kekuasaan dari yang semula kekuatan berada pada kekuasaan eksekutif (executive heavy) bergeser menuju penguatan legislatif (legislative heavy).1 Penguatan demikian ditandai dengan bertambahnya peran dan penguatan posisi yang lebih dominan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibandingkan pemerintah (kekuasaan eksekutif) dalam hal pembentukan undang-undang. Pergeseran pendulum ini bertujuan untuk mewujudkan proses politik dan legislasi yang demokratis. Setelah Perubahan UUD 1945, DPR mempunyai “kekuatan inisiatif” dalam menjalankan fungsi legislasi. Hal itu terlihat dalam Pasal 5 Ayat (1) Perubahan UUD 1945. Dengan adanya pergeseran atau perubahan tersebut, maka Presiden tidak berada dalam kekuasaan penuh ketika membentuk undang-undang. Pergeseran tersebut tercermin juga dalam Pasal 20 ayat (1) Perubahan UUD 1945, yaitu DPR memegang kekuasaan membentuk undangundang. Perubahan UUD 1945 menjadikan DPR mempunyai tanggungjawab yang lebih banyak dalam hal pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, DPR pula yang mempunyai tanggung-jawab lebih banyak atas keberhasilan atau kegagalan legislasi atau pembuatan undang-undang. Dengan memberikan kekuasaan pembuatan undang-undang kepada DPR, masyarakat menaruh harapan besar pada lahirnya legislasi yang mengakomodasi tuntutan publik untuk percepatan proses reformasi hukum. Legislasi diharapkan dapat merespon kepentingan masyarakat luas melalui mekanisme demokrasi partisipasi (partisipatory democracy) atau bersifat responsif bukan demokrasi elitis (elitist democracy)2 atau yang bersifat represif.3 Meskipun UUD 1945 membangun sistem hukum dan politik yang lebih demokratis, tetapi perlu belajar dari sejarah tentang perubahan konfigurasi politik di Indonesia. Mahfud MD dalam studinya menjabarkan terjadinya pergeseran konfigurasi politik dalam setiap orde pemerintahan. Pada orde lama dari yang demokratis (liberal) menjadi otoriter didasarkan paham demokrasi terpimpin sedangkan pada masa orde baru pada awalnya bersifat demokratis tetapi kemudian proses legislasi menunjukkan sifat non demokratis.4 Sejarah tersebut menjadi penting karena selama dua belas tahun reformasi, demokratisasi masih bersifat formal prosedural belum menyentuh substansinya. Proses legislasi di DPR belum mengarah pada harapan tersebut sehingga reformasi hukum dianggap belum optimal. Legislasi bukan satu-satunya faktor penyebab belum optimalnya reformasi hukum di Indonesia. Faktor lain yang ikut memengaruhi proses reformasi juga disebabkan oleh lemahnya politik hukum. Dalam rentang waktu 12 (dua belas) tahun terakhir, kebijakan reformasi hukum diidentifikasi sebagai berikut: 1. Pada awal reformasi, tidak ada grand design dan arah reformasi hukum banyak dipengaruhi agenda lembaga internasional. 2. Dalam perkembangannya, elit politik merupakan satu kelompok yang secara efektif dapat memanfaatkan perkembangan yang dibawa oleh gagasan pembaharuan tersebut. 3. Masyarakat sipil, meskipun turut menyuarakan reformasi hukum, umumnya hanya berada di luar pusat pengendali arah dan proses pembaruan hukum. 4. Reformasi cenderung bersifat tactical reform.5 Meski perlu melakukan kajian mendalam untuk menilai proses legislasi selama ini bersifat demokrasi partisipasi (partisipatory democracy) atau demokrasi elitis (elitist democracy), tetapi faktor di atas cukup untuk menyebutkan terdapat kepentingan dari kelompok kepentingan yang turut menentukan proses legislasi. DPR dan Pemerintah belum menjalankan proses legislasi yang didasarkan pada kebutuhan dasar masyarakat Indonesia. Pada sisi lain, pembahasan RUU yang berkaitan langsung dengan perlindungan hak rakyat banyak yang tidak menjadi prioritas. Dalam kondisi demikian, banyak dipertanyakan keberpihakan DPR dan Pemerintah dalam merespon kepentingan rakyat melalui proses legislasi. DPR sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi legislasi, anggaran, maupun pengawasan, mempunyai posisi strategis dalam mendorong dan mengawal reformasi hukum dan perlindungan hak-hak rakyat di Indonesia. Pada awal reformasi, masyarakat menaruh harapan besar kepada DPR yang dipilih secara langsung oleh rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi tuntutan publik. Dalam perjalanannya, fungsi legislasi DPR dijalankan tanpa visi yang jelas, sulit dipetakan, serta pola legislasi yang cenderung menguatkan kebijakan pemerintah.6 Terjadi ketimpangan implementasi fungsi utama DPR. Hal demikian berbeda dengan pelaksanaan fungsi legislasi dan anggaran. Dinamika politik dan hukum selama ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pengawasan. B. PENGUATAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL Program Legislasi Nasional atau yang disingkat dan biasa disebut dengan Prolegnas diatur di dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan7. Kebutuhan adanya prolegnas berkembang pasca 1998, khususnya setelah dirasakan bahwa perlunya suatu kesatuan pembangunan hukum nasional dalam hal perumusan peraturan perundang-undangan. Prolegnas secara sempit dapat diartikan sebagai penyusunan suatu daftar materi perundangundangan atau daftar judul RUU yang telah disepakati. Daftar urutan tersebut dibuat oleh DPR/Pemerintah berdasarkan urgensi dan prioritas pembentukannya. Prolegnas dalam arti luas mencakup program pembinaan hukum, pengembangan yurisprudensi, pembinaan program perjanjian (termasuk ratifikasi konvensi internasional).8 Prolegnas merupakan instrumen perencanaan program pembentukan undangundang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis sesuai dengan program pembangunan nasional dan perkembangan kebutuhan masyarakat yang memuat skala prioritas Program Legislasi Nasional Jangka Menengah (5 Tahun) dan Program Legislasi Nasional Tahunan. Dengan adanya Prolegnas, diharapkan pembentukan undangundang baik yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, maupun Dewan Perwakilan Daerah dapat dilaksanakan secara terencana, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh. Di samping itu pembentukan undang-undang melalui Prolegnas diharapkan dapat mewujudkan konsistensi undang-undang, serta meniadakan pertentangan antar undang-undang (vertikal maupun horizontal) yang bermuara pada terciptanya hukum nasional yang adil, berdaya guna, dan demokratis. Selain itu, dapat mempercepat proses penggantian materi hukum yang merupakan peninggalan masa kolonial yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat.9 DPR telah merumuskan skala prioritas Program Legislasi Nasional Jangka Menengah (5 Tahun) pada tahun 2009 lalu dengan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 41A/DPR RI/2009-2014 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2009-2014. Program Legislasi Nasional Jangka Menengah Tahun 2010-2014 ditetapkan untuk memberikan arah sekaligis menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa, sehingga upaya pembentukan undangundang yang dilakukan DPR, Presiden, dan DPD dapat dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan sistematis. Dalam penguatan peran DPR di bidang legislasi, diharapkan wakil rakyat mampu mengeluarkan produk hukum yang partisipatif masyarakat. Untuk merespon hal tersebut, DPR melakukan perubahan Tata Tertib DPR, di mana sebelumnya rapat-rapat pembahasan RUU dinyatakan tertutup kecuali ditetapkan terbuka oleh pimpinan sidang. Sekarang ini dibalik, pada dasarnya rapat pembahasan RUU terbuka, kecuali ditetapkan tertutup dengan alasan-alasan tertentu. Dalam praktiknya, keterbukaan tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Masih terjadi ketertutupan dalam proses penyiapan bahan dan pembahasan RUU di internal pemerintah maupun DPR belum optimal. Mekanisme partisipasi dan transparansi belum dibangun dengan baik di tingkat internal pemerintah dan DPR. Pembahasan yang tertutup menyebabkan RUU-RUU yang diusulkan sama sekali tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. RUU itu tidak mendapat perhatian masyarakat, prosesnya akan terus berjalan, sehingga akhirnya kemudian disahkan. Pada aspek kuantitas, jumlah produk perundang-undangan yang dihasilkan tiap tahun, tidak semua program legislasi nasional (Prolegnas) tahunan dapat diselesaikan oleh DPR. Produk yang dihasilkan DPR sendiri jauh dari target Prolegnas. Undang-undang yang sahkan DPR banyak berasal dari RUU terbuka di luar prolegnas. RUU diluar prolegnas yang bersumber dari Kumulatif terbuka berkaitan dengan: 1. Pengesahan Perjanjian Internasional. 2. Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi. 3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 4. Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. 5. Penetapan PERPU Menjadi Undang-Undang. RUU yang disahkan menjadi undang-undang, pada masa DPR 20042009, adalah: 1. Pada tahun 2005, DPR menyelesaikan 14 RUU. 2. Pada tahun 2006, sebanyak 49 RUU yang disahkan menjadi undangundang (27 RUU kumulatif terbuka yaitu: 7 RUU ratifikasi, 1 RUU Perppu, 3 RUU APBN, 16 RUU Pemekaran). 3. Pada tahun 2007, sebanyak 40 RUU yang disahkan menjadi undangundang (24 RUU kumulatif terbuka yaitu: 5 RUU ratifikasi, 1 RUU Perppu, 3 RUU APBN, 15 RUU Pemekaran). 4. Pada tahun 2008, sebanyak 62 RUU yang disahkan menjadi undangundang (37 RUU kumulatif terbuka yaitu: 3 RUU ratifikasi, 4 RUU Perppu, 3 RUU APBN, 27 RUU Pemekaran). 5. Pada tahun 2009, DPR mensahkan 39 RUU menjadi undang-undang (11 RUU kumulatif terbuka yaitu: 4 RUU ratifikasi, 4 RUU Perppu, 3 RUU APBN, 0 RUU Pemekaran). Selama masa DPR Tahun 2004/2009, RUU yang berasal dari kumulatif terbuka jumlahnya lebih besar dari RUU yang masuk dalam daftar prolegnas. Tahun 2007, sebanyak 62 % RUU kumulatif terbuka diajukan untuk dibahas dan disahkan DPR. tahun 2008, sebanyak 62% RUU, dan tahun 2009 sebanyak 51%. Keberhasilan penyelesaian pembahasan RUU tertinggi dilakukan pada tahun 2008 yang telah membahas dan menetapkan 62 RUU menjadi undang-undang. Akan tetapi, dari 62 RUU yang disahkan tersebut, 37 RUU (60 %) adalah RUU luncuran (27 RUU pemekaran, 3 RUU ratifikasi, 4 RUU pengesahan Perppu, dan 3 RUU APBN) di luar prolegnas yang pembahasannya lebih mudah dibandingkan pembahasan RUU yang termasuk prolegnas. Pada tahun 2010, tahun awal kerja DPR 2009/2014, DPR menyelesaikan 16 RUU yang disahkan menjadi undang-undang. Dari 16 RUU tersebut, 8 RUU (50 %) merupakan RUU yang berasal dari kumulatif terbuka (2 RUU ratifikasi, 1 RUU pencabutan Perppu, dan 5 RUU APBN). Dari sisi kuantitas, capaian DPR periode 2009-2014, lebih banyak dibanding tahun awal DPR periode 2004-2009 yang hanya menyelesaikan 14 undang-undang. Dari sisi kualitas, capaian pada tahun 2010 menunjukkan kinerja yang kurang optimal. 50 % dari undang-undang yang disahkan berasal dari kumulatif terbuka. Sementara itu, dari 8 undang-undang yang berasal dari daftar prolegnas ditemukan 106 ketentuan yang memandatkan pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, hingga peraturan unit pelaksana.10 Hal demikian menunjukkan kerja DPR didasarkan pada kerja target penyelesaian undang-undang. Dilihat dari aspek alokasi anggaran, pada 2005, anggaran legislasi dialokasikan Rp 560 juta, sedangkan pada 2009, dianggarkan Rp 5,8 milyar. Kenaikan anggaran 10 kali lipat tersebut tidak menunjukkan perubahan kinerja. Penambahan tenaga ahli bagi anggota DPR dan alat kelengkapan belum menunjukkan perubahan. Selain hal tersebut, terdapat beberapa kelemahan dalam proses legislasi selama ini yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Legislasi yang berkembang saat ini cenderung merespon kebutuhan perubahan dengan pengeluaran undang-undang. Banyak kelompok mengajukan RUU, padahal tidak jelas apa tujuan pengaturannya bagi masyarakat. 2. Tidak ada lembaga yang melakukan monitoring dan evaluasi menyeluruh terhadap undang-undang sejak penyusunan, pembahasan sampai implementasi di lapangan. Badan Legislasi (Baleg) DPR belum memerankan fungsi tersebut. Fungsi pengawasan Baleg hanya terbatas pada proses penyiapan dan pembahasan yang terbatas. 3. Ada kecenderungan dikeluarkannya peraturan presiden pengganti Undang-undang (PERPU) untuk merespon kebutuhan. a. Pada periode pertama (2004-2009), Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah mengeluarkan 16 peraturan presiden pengganti Undang-undang (PERPU). b. Tidak semua Perpu yang dikeluarkan ditetapkan DPR menjadi undang-undang. Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan tidak ditetapkan menjadi undangundang dan berbuntut pada masalah Bank Century. 4. Belum optimalnya Badan Legislasi DPR dalam proses legislasi. Keberadaan Baleg sebagai badan kelengkapan yang keanggotaannya dirangkap anggota DPR menjadi lemah melakukan mengawasi proses legislasi. 5. Prolegnas masih terbatas pada daftar keinginan bukan sebagai prioritas program legislasi. a. Adanya ketidak konsistenan dalam menentukan Prioritas pertama (P-1) dan Prioritas kedua (2). P-1 adalah RUU yang sudah disetujui Presiden dengan sifat mendesak, dan sudah memenuhi 3 syarat teknis, yaitu ada Naskah Akademis, ada Naskah RUU, dan sudah melalui harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Sementara P-2 adalah RUU tersebut sudah ada naskah akademik, dan naskah RUU, tetapi RUU tersebut belum diharmonisasi. b. Ada RUU yang seharusnya masuk kategori P1, semuanya sudah lengkap ternyata di Prolegnas masuk dalam urutan 51. c. Dalam Prolegnas 2011, terdapat 3 (tiga) RUU yang tidak masuk dalam Prolegnas 2010-2014 tetapi masuk dalam daftar Prolegnas 2011 yaitu RUU Tata Kelola Pendidikan Tinggi (sebenarnya sebagai pengganti UU Badan Hukum Pendidikan), RUU Hak Kekayaan Industri, RUU tentang Amandemen UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 6. Penyusunan prolegnas tidak disertai dengan data atau hasil kajian yang valid. Kebanyakan Prolegnas atau RUU inisiatif DPR hanya mengajukan judulnya saja, tanpa disertai dengan naskah akademik atau kajian-kajian sebelumnya yang membuktikan bahwa RUU tersebut penting bagi kehidupan Indonesia. Dalam hal ini RUU usulan pemerintah lebih rapih dibandingkan RUU usulan inisiatif DPR. 7. Dalam beberapa hal, meski sudah disiapkan naskah akademis dan RUU, namun dalam praktek terjadi distorsi yang signifikan sehingga terjadi perbedaan antara rancangan semula dengan rancangan akhir. 8. Adanya proses yang tidak transparan dan tidak accountable, dan political transactional di DPR. 9. Dampak yang ditimbulkan dari proses demikian adalah, antara lain: a. Adanya substansi peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih. b. Melakukan amandemen terhadap RUU yang baru disahkan. c. Dalam hukum pidana terjadi overcriminalitation, banyak undangundang memuat ketentuan pidana. d. Pendelegasian kewenangan. 10. Dalam konteks lebih luas, penyusunan dan pembahasan legislasi belum diselaraskan dengan Rencana Aksi Hak Asasi Manusia (RAN HAM) atau dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Dalam upaya memperkuat proses legislasi, pembaruan mengarah pada pilihan penguatan lembaga yaitu Baleg. Mengacu pada rekomendasi Komisi Hukum Nasional tahun 2004, yaitu selain pilihan memperkuat lembaga yang ada, yang berkaitan dengan proses legislasi, pilihan lain adalah membentuk lembaga baru dengan mereposisi lembaga yang ada. 10 Melihat fakta yang berkembang dalam enam tahun terakhir maka perlu memikirkan ulang dibentuknya lembaga independen11 dengan tugas dan kewenangan tidak hanya berkaitan dengan teknis perundang-undangan. Lebih dari itu permasalahan muncul karena terputusnya mata rantai politik hukum dan politik perundang-undangan sehingga perlu lembaga independen yang mampu melakukan perumusan pembaruan hukum dan penyusunan perundang-undangan. Komisi Hukum Nasional dapat ditempatkan dalam hal ini yaitu dengan tugas dan kewenangan sebagai berikut: 1. Menyusun desain dan evaluasi pembaruan hukum nasional. 2. Membantu DPR dan Pemerintah dalam menetapkan dan menerapkan politik hukum yang terkait dengan Prolegnas, yang indikatornya terlihat dari konsistensi di dalam asas-asas pembentukannya dan materi muatannya. 3. Mengkoordinasikan penyusunan Prolegnas melalui mekanisme bottom-up, antara lain dari proses konsultasi publik dan penelitianpenelitian mendalam. 4. Menyosialisasikan rancangan undang-undang mulai dari taraf sedini mungkin kepada para stakeholders, sekaligus menyerap aspirasi mereka dan memberi artikulasi terhadap aspirasi ini agar lebih didengar oleh para pembentuk undang-undang. 5. Menyosialisasikan undang-undang yang sudah berlaku, dengan harapan agar dapat dijaring umpan balik guna penyermpurnaannya di kemudian hari. Menyosialisasikan rancangan undang-undang menjadi signifikan untuk dimasukkan sebagai bagian dari tugas Komisi Hukum Nasional ini, mengingat lobby-lobby politik selama proses penyusunan undang-undang seringkali lebih menentukan wujud akhir dari suatu undang-undang. Tidak semua stakeholders memiliki akses pada saat lobby-lobby ini dilakukan. Komisi Hukum Nasional bekerja sama dengan berbagai kelompok di masyarakat seperti pers, dapat mengawal aspirasi masyarakat agar tidak gugur di tengah jalan akibat deal politik yang tidak sehat. Menyosialisasikan undang-undang yang sudah berlaku adalah tugas tambahan yang dilaksanakan bersama-sama dengan institusi terkait. Tugas sosialisasi ini harus diartikan sebagai bagian dari upaya penyerapan aspirasi masyarakat, untuk keperluan penyusunan prolegnas pada periode berikutnya.12 11 C. LEGISLASI DAN REFORMASI HUKUM Reformasi hukum, terutama dalam sistem peradilan di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari hasil legislasi. DPR sebagai lembaga yang dapat menentukan arah reformasi dan politik hukum berperan dalam pelaksanaan reformasi hukum di Indonesia. Selama reformasi, politik hukum di DPR cenderung bersifat taktis dan parsial. Hal demikian dapat dilihat dari pembahasan paket undang-undang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. 1. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman telah mengalami perubahan dan pergantian. a. Tahun 1999, UU No. 14 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah berdasarkan UU No 35 tahun 1999. b. Tahun 2004, dikeluarkan undang-undang baru yaitu UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencabut dan menggantikan UU No. 14 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah berdasarkan UU No 35 tahun 1999. c. Tahun 2009, dikeluarkan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman baru yaitu UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang yang mencabut dan menggantikan UU No 4 Tahun 2004. 2. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diubah dua kali berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009. Pada tahun 2011 ini akan dilakukan perubahan ketiga. Pada sisi lain, dua RUU lainnya hingga saat ini belum disahkan dan masih dalam proses pembahasan, yaitu: a. Usulan RUU tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan b. RUU tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. 3. Hal yang sama terjadi dalam pembaruan undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan, yaitu: a. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum mengalami dua kali perubahan yaitu berdasarkan UU No. 8 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU No. 49 Tahun 2009. 12 b. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengalami dua kali perubahan yaitu UU No. 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan UU No. 50 Tahun 2009. c. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengalami dua kali perubahan yaitu UU No. 9 Tahun 2004 dan terakhir UU No. 51 Tahun 2009. 4. Pembentukan pengadilan khusus yang pengaturannya tidak konsisten. Empat Pengadilan khusus dibentuk berdasarkan undangundang sendiri dan empat yang lain pembentukannya melekat pada undang-undang lain yaitu: a. Pengadilan khusus dibentuk berdasarkan undang-undang sendiri i. Pengadilan Anak berdasarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). ii. Pengadilan HAM berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. iii. Pengadilan Tipikor berdasarkan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. iv. Pengadilan Pajak berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. b. Pengadilan khusus lainnya melekat pada undang-undang lain, yaitu: i. Pengadilan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan industrial). ii. Pengadilan Perikanan (UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan). iii. Pengadilan Niaga (UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. iv. Mahkamah Syar’iyah Aceh (UU No. 18 Tahun 2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Dalam konteks penyelidikan, penyidikan, dan upaya paksa, UndangUndang tentang Kepolisian dan Undang-Undang tentang Kejaksaan dalam konteks pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman serta UndangUndang sektoral yang mengatur penyelidikan dan penuntutan belum diselaraskan dengan gagasan yang dimuat dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP. 13 Sementara itu, Pemerintah (kekuasaan eksekutif) pun mempunyai program yang berhubungan dengan legislasi dan reformasi hukum. Jika merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010–2014 yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif, maka sasaran pembangunan dalam hal reformasi hukum dan aparatur adalah terwujudnya peningkatan penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik yang mencerminkan supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia dan didukung oleh aparatur negara yang bersih, berwibawa, bertanggung-jawab serta profesional.13 Upaya untuk mencapai sasaran tersebut dilakukan dengan strategi sebagai berikut14: 1. Peningkatan efektivitas peraturan perundang-undangan. 2. Peningkatan kinerja lembaga di bidang hukum. 3. Peningkatan penghormatan, pemajuan dan penegakan hak asasi manusia. 4. Peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. 5. Peningkatan kualitas pelayanan publik. 6. Peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi dan 7. Pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi. Berhubungan dengan legislasi dan reformasi hukum, maka hal itu sangat berkaitan dengan strategi yang pertama yaitu peningkatan efektivitas peraturan perundang-undangan. Jika merujuk dokumen resmi, maka strategi yang pertama tersebut dilaksanakan melalui hal-hal sebagai berikut15: 1. Peningkatan kualitas substansi peraturan perundang-undangan, dilakukan antara lain melalui dukungan penelitian/pengkajian Naskah Akademik. Hasil pengkajian/penelitian tersebut akan menjadi bahan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang akan diharmonisasikan dan disinkronisasikan dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. 2. Penyempurnaan proses pembentukan peraturan perundangundangan, dilakukan mulai dari tahapan perencanaan, persiapan, 14 teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Untuk menjamin tidak adanya kesenjangan substansi dengan kebutuhan masyarakat, peran masyarakat dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, perlu diperkuat. Hal ini juga perlu didukung oleh mekanisme pelaksanaan Prolegnas dan Prolegda yang mengikat bagi eksekutif dan legislatif serta menjadi wadah menyelaraskan kebutuhan kerangka regulasi yang mendukung prioritas pembangunan nasional. 3. Pelaksanaan harmonisasi peraturan perundang-undangan, dilakukan melalui kegiatan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Hanya saja pelaksanaan dalam rangka peningkatan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di atas, seringkali tidak selaras antara proses harmonisasi yang telah dilakukan di pemerintah (kekuasaan eksekutif) dengan pembahasan di DPR. D. LEGISLASI DAN PERLINDUNGAN HAK RAKYAT Hingga saat ini terdapat banyak rancangan undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan rakyat baik dalam proses hukum maupun dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat yang kurang mendapat perhatian dari eksekutif dan DPR. RUU yang berkaitan dengan perlindungan hak rakyat dalam proses hukum yang belum disahkan hingga akhir 2011, antara lain: RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU tentang Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana, RUU tentang Perubahan UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan RUU tentang Sistem Peradilan Anak/ RUU tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. RUU lain yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak dasar rakyat Indonesia, antara lain: RUU tentang Administrasi Pemerintahan, dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Beberapa RUU di atas merupakan RUU penting dalam proses reformasi hukum dan perlindungan hak rakyat Indonesia. Pentingnya pembahasan dan pengesahan RUU tersebut karena hingga saat ini, masih terdapat pelanggaran hak-hak rakyat baik dalam proses peradilan maupun pembiaran negara terhadap hak ekonomi, sosial, politik rakyat Indonesia. Dalam proses peradilan pidana, masih terdapat rakyat kecil yang mengalami pelanggaran hak-hak tersangka dalam proses peradilan, 15 masih terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem peradilan pidana. Berkaitan dengan perlindungan hak ekonomi dan sosial, banyaknya tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang bermasalah dan tidak mendapat bantuan hukum dan perlindungan hak yang optimal dari pemerintah baik mereka sebagai pelaku maupun korban, serta belum adanya implementasi sistem jaminan sosial bagi rakyat Indonesia secara menyeluruh. Hal demikian berbeda ketika, pemerintah dan DPR merespon berbagai RUU yang mempunyai nilai politis dan ekonomi yang tinggi. RUU tersebut menjadi prioritas dan cepat diselesaikan. Bahkan tidak jarang Presiden dengan kewenangannya membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) mengeluarkan Perpu untuk menyelesaikan suatu masalah meski tidak semua Perpu yang dikeluarkan ditetapkan DPR menjadi undang-undang. Dua perpu yang dicabut oleh DPR adalah Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan dan Perpu No 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua perpu tersebut dalam pembahasan di DPR memunculkan dampak yang cukup serius dalam penegakan hukum di Indonesia, Perpu No 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memicu perdebatan tentang eksistensi KPK dalam pemberantasan korupsi. Sementara itu, Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan merupakan salah satu dari 3 Paket yang berkaitan dengan perbankan dan keuangan. Dua lainnya adalah Perpu No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang ditetapkan DPR menjadi undang-undang berdasarkan UU No. 6 Tahun 2009 dan Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan UU No. 7 Tahun 2009. Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan menjadi penting diperhatikan karena dalam pelaksanaannya ”berbuntut” pada masalah dana talangan penyelamatan Bank Century. Pada masa yang sama, UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengamanatkan penataan dan sinkronisasi empat BUMN Persero penyelenggara jaminan sosial yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan 16 Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) diubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 52 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004 menyebutkan Semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan UndangUndang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Tetapi hingga kini, Juni 2011 amanat tersebut belum dilaksanakan. Dalam konteks lain, upaya perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Ketidakseriusan tersebut ditandai dengan banyaknya tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang mempunyai masalah hukum hingga adanya hukuman mati. Pada pertengahan tahun 2011 ini, Ruyati, tenaga kerja wanita yang bekerja di Arab Saudi dipancung Pemerintah Arab Saudi karena diputus bersalah telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya. Ironisnya, Pemerintah baru mengetahui kabar eksekusi pemancungan itu setelah peristiwa tersebut terjadi. Pemerintah Indonesia sepertinya tidak bersungguh hati memperjuangkan nasib warga negaranya terutama yang menjadi buruh migran. Permasalahan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri tersebut tidak hanya muncul ketika tenaga kerja berada di berada di luar negeri. Permasalahan lebih banyak di dalam negeri. Untuk merespon hal tersebut, dilakukan usulan perubahan atas UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Tetapi RUU tersebut belum dibahas dan disahkan. DPR sebagai wakil rakyat dan eksekutif seharusnya melihat kebutuhan mendesak rakyat Indonesia menjadi pilar utama dalam proses legislasi. Kepentingan rakyat bersama merupakan salah satu aspek utama dalam menentukan RUU prioritas yang akan dibahas. Sudah seharusnya RUU yang bersentuhan langsung dengan perlindungan hak rakyat menjadi priotas utama untuk dibahas dan disahkan. E. REKOMENDASI Sebagai lembaga melalui fungsi legislasi, anggaran, maupun pengawasan, sudah seharusnya DPR melakukan perbaikan kinerja. Fungsi legislasi dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh mekanisme penyusunan dan pembahasan yang baik. Beberapa hal yang dapat dilakukan berkaitan dengan reformasi hukum adalah: 1. Komisi Hukum Nasional dapat ditempatkan sebagai suatu lembaga yang independen untuk mendesain dan evaluasi reformasi hukum 17 2. 3. 4. 5. 6. 7. dan mendukung proses legislasi, dengan kewenangan: menyusun desain dan evaluasi pembaruan hukum nasional, membantu DPR dan Pemerintah dalam menetapkan dan menerapkan politik hukum yang terkait dengan Prolegnas, mengkoordinasikan penyusunan Prolegnas melalui mekanisme bottom-up, menyosialisasikan rancangan undangundang dan undang-undang yang sudah berlaku. Mekanisme penyusunan prolegnas lebih yang terbuka dan partisipatif sejak usulan, penyusunan naskah akademis, pembahasan draf RUU baik di pemerintah maupun di DPR sampai pembahasan dan penetapan UU. Pemerintah dan DPR harus konsisten dalam menentukan prioritas dan pembahasan RUU berdasarkan kebutuhan yaitu : a. Adanya amanat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. b. Kejelasan tujuan yaitu mempertingkan manfaat sosial yang paling besar yang ingin dicapai serta dampak sosial yang mungkin ditimbulkan. c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. d. Kedayagunaan dan kehasilgunaan. e. Dapat dilaksanakan yaitu RUU yang akan dibahas dan disahkan harus didukung oleh kesiapan SDM dan anggaran agar implementatif. RUU inisiatif DPR harus dilengkapi dengan naskah akademis dan RUU yang sudah terumuskan pasal demi pasal. Untuk hal tersebut perlu penguatan kualitas dan kuantitas Tenaga Ahli DPR. Pembahasan undang-undang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman harus dibahas secara terpadu dengan memberikan posisi yang kuat terhadap Komisi yudisial dalam melakukan pengawasan eksternal. Perlu percepatan pembahasan dan pengesahan RUU yang bersentuhan langsung dengan perlindungan hak rakyat. Pada Tahun 2012, beberapa RUU yang perlu diprioritaskan adalah: a. RUU tentang Perubahan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. b. RUU tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). c. RUU tentang Hukum Pidana (KUHP). d. RUU tentang Perubahan UU tentang Mahkamah Konstitusi (berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan 18 UU tentang Perubahan UU tentang Mahkamah Konstitusi). e. RUU tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. f. RUU tentang Kejaksaan Republik Indonesia. g. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak/RUU tentang Sistem Peradilan Anak. h. RUU Perubahan tentang UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. i. RUU tentang Perampasan Aset. j. RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). k. RUU lain yang berkaitan dengan perlindungan hak dan kesejahteraan rakyat perlu mendapat prioritas. RUU tersebut antara lain: RUU tentang Perubahan atas UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan RUU tentang Perubahan UU tentang Ketenagakerjaan. PENGESAHAN RUU TENTANG BANTUAN HUKUM Menunggu Implementasi Perlindungan Hak–hak Rakyat A. PENGANTAR Pengesahan RUU tentang Bantuan Hukum pada saat Sidang Paripurna DPR pada tanggal 4 Oktober 2011 masih menyisakan harapan pada keadilan. Implementasinya dalam perlindungan hak rakyat sangat ditunggu. Sudah terlalu lama rakyat menanti keadilan dan negara tidak dapat tidak, harus bertanggung-jawab. Keadilan menurut Aristoteles harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum mempunyai tugas menjaga agar keadilan sampai kepada semua orang. Jika ada orang bersengketa datang ke hadapan hakim, mereka harus diperlakukan sama (audi et alteram partem). Menurut Cecil Rajendra (aktivis hak asasi manusia cum advokat di Malaysia), bantuan hukum bukanlah semata-mata probono publico tetapi juga merupakan pro-justice, yang mengandung makna bahwa tidak seorangpun dalam negara hukum yang boleh diabaikan haknya untuk memperoleh pembelaan baik dari seorang advokat atau pembela umum dengan tidak memperhatikan latar belakangnya, seperti agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata sosial-ekonomi, warna kulit dan gender. Berdasarkan hal tersebut di atas setiap orang berhak untuk memperoleh bantuan hukum dengan tidak memperhatikan latar belakang maupun status sosial-ekonominya. Hak untuk mendapatkan pembelaan hukum bagi semua orang tanpa ada perbedaan telah dijamin oleh UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 juga menjamin bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum: 20 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum”. Hak untuk dibela juga merupakan hak asasi manusia dari setiap warga negara serta pemenuhan asas equality before the law dan right to counsel, yang dijamin dalam Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan Basic Principles on the Role of Lawyers. Dengan demikian, rights to counsel adalah hak asasi manusia sebagai individu (fakir miskin) dan bukan belas kasihan. Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik dari fakir miskin. Penegasan dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut memberikan impilikasi bahwa bantuan hukum bagi fakir miskin merupakan tugas dan tanggungjawab negara. Penegasan sebagaimana Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut sekaligus menegaskan bahwa bantuan hukum bagi fakir miskin merupakan hak konstitusional warga negara. Akses kepada keadilan untuk semua (acees to justice for all) termasuk fakir miskin adalah hak asasi manusia. Beberapa negara telah menjamin pemberian bantuan hukum secara tegas di dalam konstitusinya, antara lain: 1. India menjamin diberikannya bantuan hukum dalam Undang-Undang Dasar India khususnya dalam Pasal 39A : “The state shall secure that the operation of the legal system promotes justice, on the basic of equal opportunity, and shall in particular provide legal aid, by suitable legislation or schemer or in ony way, to ensure that oppurtinities for securing justice are not dinied to any citizen by reason of economic of other disabalities” 2. Bantuan Hukum di Filipina juga dijamin dalam konstitusinya (1987): “Free Access to the courts and quasi-judicial bodies and adequate legal assistance shall not be denied to any person by reason by poverty” B. KONSEP BANTUAN HUKUM YANG TEPAT BAGI INDONESIA Di dunia dikenal beberapa model bantuan hukum yang dikembangkan oleh Cappelletti dan Gordley dalam artikel yang berjudul “Legal Aid Modern Themes And Variations” yaitu: 21 1. Bantuan hukum model yuridis-individual, yaitu bantuan hukum merupakan hak yang diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepentingan-kepentingan individual. 2. Bantuan hukum model kesejahteraan, yaitu bantuan hukum merupakan suatu hak akan kesejahteraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan oleh suatu negara kesejahteraan (welfare state). Sedangkan Schuyt, Groenendijk, dan Sloot, membedakan bantuan hukum dalam 5 (lima) jenis, yaitu: 1. Bantuan hukum preventif, merupakan bantuan hukum yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian keterangan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehingga mereka mengerti akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. 2. Bantuan hukum diagnostik, bantuan hukum dilaksanakan dengan cara pemberian nasehat-nasehat hukum atau dikenal dengan konsultasi hukum. 3. Bantuan hukum pengendalian konflik, bantuan hukum ini lebih bertujuan untuk mengatasi secara aktif permasalahan-permasalahan hukum konkrit yang terjadi di dalam masyarakat. 4. Bantuan hukum pembentukan hukum, bantuan ini dimaksudkan untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas dan benar. 5. Bantuan hukum pembaharuan hukum, merupakan bantuan hukum yang usaha-usahanya lebih ditujukan mengadakan pembaharuan hukum, baik itu melalui hakim atau melalui pembentuk undangundang (dalam arti materil). Masyarakat terutama c.q. fakir miskin menginginkan bantuan hukum yang tidak bersifat diskriminatif dimana masyarakat c.q. fakir miskin menginginkan pembelaan di dalam menghadapi masalah-masalah hukum tanpa membedakan bidang hukum apa yang sedang dihadapi dan jenis hak asasi manusia apa yang dilanggar. Oleh karena itu, konsep bantuan hukum yang tepat di Indonesia adalah konsep bantuan hukum responsif. Bantuan hukum responsif adalah bantuan hukum yang diberikan kepada fakir miskin secara cuma-cuma dan menyeluruh yang meliputi semua bidang hukum dan hak asasi manusia demi mencapai keadilan dalam kerangka mewujudkan persamaan di hadapan hukum bagi semua orang. Konsep bantuan hukum responsif mengacu pada semua bidang hukum dan jenis hak asasi manusia tanpa memprioritaskan bidang hukum dan 22 jenis hak asasi manusia tertentu, serta tanpa membedakan pembelaan baik perkara individual maupun perkara kolektif. Dengan penerapan bantuan hukum responsif menyebabkan bertambahnya jumlah perkara yang akan masuk ke organisasi bantuan hukum. Dilihat dari jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), organisasi bantuan hukum tentunya akan kewalahan dalam menangani perkara yang jumlahnya sangat banyak, apalagi terbatasnya jumlah organisasi bantuan hukum yang benar-benar menangani pro bono public. Oleh karena itu pemberian bantuan hukum yang berintikan pada partisipasi masyarakat adalah gagasan yang sangat baik dan diharapkan dapat membantu penanganan jumlah perkara yang meningkat. C. MEMBERDAYAKAN PARALEGAL Salah satu upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam pemberian bantuan hukum adalah dengan mencetak paralegal yang dilatih agar memiliki ketrampilan di bidang hukum. Beberapa negara telah melaksanakan hak atas bantuan hukum16, antara lain: 1. Belanda. Belanda mengatur ketentuan bantuan hukum dalam UU tentang Bantuan Hukum Tahun 1994, yang kemudian juga diamandemen pada tahun 2004. Penerima bantuan hukum di Belanda adalah mereka yang memiki kekayaan kurang dari jumlah tertentu. Bantuan Hukum dilaksanakan oleh lembaga Independen yang bernama Legal Aid, Advice & Assistance Centres (Pusat Bantuan, Nasehat dan Pembelaan Hukum), dana untuk melaksanakan bantuan hukum berasal dari dana publik. Adapun jenis perkara yang diberikan bantuan hukum meliputi semua jenis perkara yang penerima bantuan hukumnya memenuhi kriteria UU tentang Bantuan Hukum. 2. Afrika Selatan. Hak atas bantuan hukum dijamin dalam konstitusi Afrika Selatan, dalam Section 28 dan Section 35 The Constitution of South Africa. Jaminan konstitusional ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Legal Act No. 22 of 1969, South Africa Bill of Rights; Act 108 of 1999; Public finance management act; Restitution of Land Rights; Security of Tenure dan Criminal Procedure Act. Pelaksana dari undang-undang ini adalah Legal 23 Aid Board (LAB) yang bersifat independen dari Pemerintah. Adapun sumber pendanaannya berasal dari anggaran negara. 3. Australia. Bantuan hukum di Australia diakui dalam jurisprudensi dan undang-undang negara bagian yang menciptakan Komisi Bantuan Hukum. Untuk mendapatkan bantuan hukum, pemohon harus diuji melalui tiga kriteria yaitu kriteria pendapatan (Means Test), kriteria kelayakan perkara (Reasonableness Test) dan kriteria jenis perkara (Kind of Cases). Sehari-hari bantuan hukum dilaksanakan oleh pusat-pusat pelayanan hukum masyarakat (Community Legal Centres) yang dilaksanakan oleh NGO dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya. Di seluruh Australia terdapat 214 pusat pelayanan hukum masyarakat ini yang mempekerjakan 580 pekerja purna waktu, 662 pekerja paruh waktu dan 3.464 sukarelawan. Dalam lingkup yang lebih luas, pusat pelayanan hukum masyarakat ini juga mengelola programprogram bantuan hukum di luar beracara di pengadilan. Lembaga ini juga mengelola program pendidikan dan pelatihan hukum (Clinical Legal Education) bersama-sama dengan fakultas hukum dari berbagai universitas, program pendidikan hukum komunitas (Community Legal Education) dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti penerbitan, online resources, publikasi melalui radio, workshop dan sebagainya. Lembaga ini juga aktif dalam melakukan advokasi dan reformasi hukum secara keseluruhan. Selain disediakan oleh pusat pelayanan bantuan hukum sebagaimana dijelaskan di atas, bantuan hukum juga dilaksanakan secara aktif oleh advokat prodeo (pro bono lawyers) yang tergabung dalam National Pro Bono Resource Centre, Public Interest Law Clearing House atau dikelola sendiri oleh firma-firma hukum di negara ini. Para advokat prodeo ini diperkirakan telah menyumbang setidaknya 866.300 jam kerja untuk melaksanakan pendampingan hukum gratis, 123.100 jam kerja untuk reformasi hukum dan pendidikan hukum masyarakat dan membantu mengurangi beban biaya pengacara sampai 536.700 jam kerja. Program ini didanai oleh pemerintah federal Australia, pemerintah negaranegara bagian sebesar $AU 9.700.000, dari persemakmuran (Commonwealth) sebesar $AU 20.400.000 dan berbagai sumber dana yang lain seperti universitas. 24 4. Taiwan Pemerintah Taiwan mengundangkan Legal Aid Act tahun 2004 sebagai dasar bagi program bantuan hukum oleh pemerintah di negara ini. Pelaksanaan ketentuan ini dibebankan kepada the Taiwan Legal Aid Foundation yang didanai dengan dana publik namun dioperasikan oleh masyarakat sipil. Dana untuk Taiwan Legal Aid Foundation ini disediakan oleh Judicial Yuan, namun dikelola secara independen oleh Taiwan Legal Aid Foundation. Dewan Direktur lembaga ini beranggotakan lima orang pegawai pemerintah dan delapan orang warga sipil yang empat orang di antaranya adalah advokat. Sekalipun hampir setengah dari anggota dewan ini adalah pegawai pemerintah namun independensinya tetap ditegakkan. Taiwan Legal Aid Foundation menyediakan bantuan hukum yang komprehensif dan meluas dalam wilayah perkara pidana, perdata dan administratif. Pendekatan yang dilakukan adalah multi tasks legal aid yang berarti menyediakan pelayanan konsultasi, penyusunan dokumen-dokumen hukum, pendampingan dalam mediasi dan perdamaian, serta pendampingan di depan persidangan. Terdapat dua kelompok masyarakat yang berhak memanfaatkan fasilitas ini yaitu masyarakat miskin dan mereka yang didakwa dalam perkara-perkara yang harus didampingi (compulsory defense cases). Ada dua syarat bagi masyarakat yang ingin menggunakan fasilitas bantuan hukum bagi mereka yang secara finansial tidak mampu sehingga layak untuk dibela yaitu: pendapatan/kekayaan mereka harus sesuai dengan standar yang ditentukan dan tersedianya alasan yang layak bagi perkara yang dimintakan pembelaannya. Sedangkan untuk perkara yang harus didampingi (compulsory defense case) kemampuan klien secara financial tidak boleh menjadi dasar untuk menolak permohonan. Namun demikian kasus itu tetap dapat diuji kelayakannya oleh tiga orang anggota Komite Penguji (Examining Comittee) pada setiap kantor cabang. Komite ini beranggotakan advokat, hakim atau jaksa setempat. Setelah wawancara dengan pemohon, komisioner bermusyawarah untuk memutuskan apakah akan memberikan bantuan hukum atau tidak. Taiwan Legal Aid Foundation membayar honor advokat berdasarkan kasus yang ditangani. Setiap kasus didanai sekitar 20,000 sampai 30,000 Dolar Taiwan, kasus-kasus yang lebih kompleks atau kasus yang bertempat di tempat yang jauh dapat meminta penambahan 25 biaya sampai 40,000 Dollar Taiwan per perkara. Honor ini adalah sekitar sepertiga dari dana yang umum dibayarkan dalam perkara yang dibela oleh advokat privat. Taiwan Legal Aid Foundation juga membayar biaya perkara dan biaya penting lainnya. Penerima dana bantuan hukum umumnya tidak diminta mengganti uang yang telah dikeluarkan oleh Taiwan Legal Aid Foundation namun jika ia menerima ganti rugi lebih dari 500,000 Dolar Taiwan sebagai hasil dari bantuan yang diberikan oleh Taiwan Legal Aid Foundation maka ia dituntut untuk mengembalikan setidaknya sebagian dari dana bantuan yang diberikan. Jika ganti rugi yang didapatkan mencapai 1,000,000 Dollar Taiwan atau lebih maka klien diharapkan untuk membayar kembali sepenuhnya. 5. Thailand Section 242 Konstitusi Thailand menegaskan hak rakyat untuk mendapatkan bantuan hukum dari negara. Thailand juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang memberikan jaminan untuk hak ini. Namun demikian tidak ada undang-undang yang diturunkan dari ketentuan undang-undang dasar ini. Saat ini Thailand masih memberlakukan sistem ExOfficcio Assigned Counsel System. Bantuan hukum dilaksanakan oleh pengadilan, institusi negara termasuk kantor perdana menteri dan kejaksaan agung, dan oleh Dewan Advokat Thailand (The Lawyers Council of Thailand-LCT). Masing-masing lembaga itu menunjuk advokat untuk membela terdakwa yang miskin dan bayaran advokat yang ditunjuk diambil dari dana negara yang khusus dialokasikan untuk tujuan ini. Sistem ini menyediakan pembelaan terutama untuk perkara pidana yang mewajibkan adanya pembela. Konstitusi mewajibkan Negara untuk menyediakan bantuan hukum cuma-cuma mulai dari pengusutan sampai pemeriksaan di pengadilan sebagai prasyarat mutlak untuk keabsahan suatu pemeriksaan yang jika tidak dipenuhi akan mengarah pada putusan pada tingkat banding. Pasal 173 Criminal Procedural Code (CPC) mewajibkan pengadilan untuk menyediakan pembela bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati. Kewajiban ini juga ditetapkan jika terdakwa adalah terdakwa anak. Sedangkan dalam perkara perdata, yang berhak mendapatkan pendampingan hukum hanya mereka yang miskin. 26 Selain itu sebagian perkara ditangani oleh The Lawyers Council of Thailand (LCT) yang dibentuk berdasarkan sebuah undang-undang pada tahun 1985 sebagai organisasi profesi untuk praktisi hukum. Advokat yang bergabung di LCT juga membela perkara yang menjadi kepentingan umum, seperti perkara-perkara lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan perkara-perkara perlindungan konsumen dengan bekerja sama dengan NGO. Sebagian dana yang dibutuhkan oleh LCT yang juga melaksanakan bantuan hukum ini disubsidi dengan dana yang disediakan oleh pemerintah sebesar US$ 1,3 juta per tahun. D. REKOMENDASI RUU tentang Bantuan Hukum telah disahkan pada saat Sidang Paripurna DPR pada tanggal 4 Oktober 2011 dan dikenal dengan UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Meskipun demikian, beberapa hal tetap dapat menjadi rekomendasi dalam implementasi UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum nanti, yaitu tentang: 1. Penerima Bantuan Hukum Penerima bantuan hukum dalam UU tentang Bantuan Hukum ini adalah orang atau kelompok orang miskin yang menghadapi masalah hukum di bidang keperdataan, pidana dan tata usaha negara baik litigasi maupun non litigasi.17 Penerima bantuan hukum seharusnya juga diberikan kepada kelompok rentan, merujuk pada Pasal 5 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu : “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakukan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Penelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat rentan antara lain, orang lanjut usia, anak-anak, fakir-miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Termasuk dalam kelompok rentan juga adalah buruh migran. Bantuan Hukum seharusnya meliputi semua bidang hukum dan hak asasi manusia, tidak dibatasi pada bidang hukum tertentu karena tidak tertutup kemungkinan lapangan bidang hukum akan berkembang luas di masa mendatang, dan sepanjang seseorang memenuhi kriteria sebagai penerima bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Bantuan Hukum maka ia berhak atas bantuan hukum dalam bidang hukum apapun. Ketentuan yang membatasi bantuan hukum pada bidang tertentu karena menganggap semua bidang hukum sudah diwadahi dalam ketentuan tersebut dikhawatirkan menjadi kontroversi di masa 27 mendatang, karena itu sebaiknya bantuan hukum meliputi semua bidang hukum. Bantuan Hukum seharusnya tidak hanya terbatas pada bantuan hukum yuridis-individual, namun juga meliputi, pemberdayaan hukum masyarakat dan advokasi perubahan kebijakan publik sebagai sarana partisipasi publik untuk terlibat dalam proses pengambilan dan pemantuan kebijakan publik untuk mencegah lahirnya kebijakan yang mengorbankan rakyat miskin dan kelompok rentan. 2. Penyelenggara Bantuan Hukum. Penyelenggara bantuan hukum dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Untuk verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum dan organisasi kemasyarakatan yang mempunyai layanan bantuan hukum dilakukan setiap 3 (tiga) tahun. Verifikasi ini dilakukan oleh sebuah panitia yang dibentuk menteri yang unsurnya terdiri dari kementerian, akademisi, tokoh masyarakat dan lembaga atau organisasi yang memberi layanan bantuan hukum.18 Mengenai hal tersebut, maka selama ini sesungguhnya negara telah mengalokasikan anggaran untuk bantuan hukum yang tersebar di setiap kementrian/lembaga negara, bila anggaran tersebut dikumpulkan, jumlahnya dapat mencapai Rp. 1,3 Trilyun, termasuk di dalamnya anggaran bantuan hukum yang terdapat di Kementrian Hukum dan HAM, Mahkamah Agung, Kepolisian dan Kejaksaan. Namun terbukti bahwa pengelolaan dan penyalurannya selama ini tidak akuntabel, tidak transparan dan sulit diakses oleh masyarakat, bahkan di beberapa lembaga/pemerintah daerah tidak disalurkan untuk masyarakat namun untuk aparat/pejabat yang terkena kasus hukum, misalnya menjadi tersangka/terdakwa korupsi. UU tentang Bantuan Hukum sebenarnya dimaksudkan untuk menghimpun anggaran bantuan hukum yang tersebar selama ini. UU tentang Bantuan Hukum juga dimaksudkan agar pengelolaan serta penyalurannya tidak hanya bersifat sempit (yuridis-individual), namun juga bersifat luas (pemberdayaan hukum masyarakat dan advokasi kebijakan) secara sederhana, cepat, transparan, akuntabel, partisipasif dan mudah diakses. Oleh karenanya bantuan hukum yang diselenggarakan mencakup bantuan hukum secara luas tersebut, harus diselenggarakan oleh lembaga independen. Lembaga-lembaga negara baik kementerian/ 28 lembaga (khususnya yang memiliki kaitan dengan bantuan hukum) selama ini dinilai oleh masyarakat belum mampu mewujudkan good governance dan pelayanan publik yang prima, termasuk belum mampu mengoptimalkan tugas dan fungsinya. Oleh karena itulah, penyerahan tugas dan fungsi penyelenggara bantuan hukum kepada Kementerian/ Lembaga Negara yang telah ada (Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian) berpotensi besar menimbulkan kesulitan (birokratisasi) bagi masyarakat dalam mengakses bantuan hukum. Akses untuk mendapatkan bantuan hukum berpotensi besar menjadi tidak transpan dan tidak akuntabel, menimbulkan conflict of interest (terutama dalam hal bantuan hukum untuk menggugat kebijakan negara) dan menambah beban berat bagi kementerian atau lembaga yang ada. Di beberapa negara yang semangat dan kadar demokrasinya cukup tinggi, penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan oleh lembaga independen (Misalnya, di Belanda, program bantuan hukum dilaksanakan oleh Legal Aid, Advice & Assistance Centres (Pusat Bantuan, Nasehat dan Pembelaan Hukum) yang merupakan lembaga independen dan didanai dari dana publik, di Afrika Selatan jaminan bantuan hukum termuat dalam Section 28 dan Section 35 The Constitution of South Africa dan diatur lebih lanjut dalam Legal Aid Act No. 22 of 1969 yang mengamanatkan dibentuknya suatu badan yang disebut Legal Aid Board (LAB) dan didanai sepenuhnya oleh dana negara. Meskipun demikian, LAB yang didanai oleh pemerintah tetap menjaga independensinya dari intervensi pemerintah. Oleh karenanya, di dalam kerangka RUU tentang Bantuan Hukum yang telah disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, maka perlu terus dipantau dan diawasi dengan ketat implementasinya agar tetap menunjukkan keberpihakan dan keseriusan serta memperluas dan mempermudah akses bantuan hukum kepada masyarakat sesuai dengan kecenderungan negara-negara demokrasi yang melindungi hak-hak rakyat. PENGESAHAN RUU TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL Langkah Maju Yang Perlu Pengawasan Implementasinya A. PENGANTAR RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 28 Oktober 2011. Pengesahan RUU dalam Sidang Paripurna yang berlangsung malam hari itu, disetujui dengan aklamasi oleh semua fraksi yang ada di DPR. Hal ini merupakan suatu langkah maju dalam sistem dan penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. Meskipun begitu, langkah maju tersebut tetap memerlukan pengawasan dalam implementasinya nanti. Jaminan sosial merupakan suatu kebutuhan yang dalam konstitusi Indonesia pun terdapat secara tersirat. Dalam konstitusi, disebutkan bahwa dibentuknya negara Republik Indonesia bertujuan untuk, yaitu 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Memajukan kesejahteraan umum. 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan negara yang diatur dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara Rupublik Indonesia Tahun 1945. Untuk mewujudkan jaminan sosial rakyat Indonesia, dibangun sistem jaminan sosial berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuan dibangunnya sistem jaminan sosial nasional adalah untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan 30 dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Sistem jaminan sosial nasional diselenggarakan berdasarkan pada asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta sembilan prinsip yaitu: 1. Kegotong-royongan. 2. Nirlaba. 3. Keterbukaan. 4. Kehati-hatian. 5. Akuntabilitas. 6. Portabilitas. 7. Kepesertaan bersifat wajib. 8. Dana amanat. 9. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Lima jenis program jaminan sosial meliputi: 1. Jaminan kesehatan. 2. Jaminan kecelakaan kerja. 3. Jaminan hari tua. 4. Jaminan pensiun. 5. Jaminan kematian. Untuk menyelenggarakan kelima program jaminan sosial tersebut dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial berdasarkan undang-undang [Pasal 5 ayat (1)]. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 007/PUU-III/2005 tentang permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, ketentuan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi berpendapat Ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang” tidak bertentangan dengan UUD 1945 asalkan ditafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat nasional yang berada di Pusat. Mahkamah Konstitusi berpendapat Pemerintahan Daerah untuk membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional. 31 Berdasarkan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 007/ PUU-III/2005, maka pembentukan BPJS dapat dibentuk di tingkat pusat maupun daerah dengan tetap mengacu pada asas dan prinsip dalam sistem Jaminan Sosial Nasional. Tidak hanya Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui perkara No. 278/PDT.G/PN.JKT.PST mengabulkan sebagian gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang amar putusannya memerintahkan pemerintah dan DPR, untuk: 1. Segera mengundangkan UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan perintah Pasal 5 ayat (1) UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 2. Membentuk peraturan pemerintah dan peraturan presiden sebagaimana diperintahkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 3. Melakukan penyesuaian terhadap 4 badan penyelenggara jaminan sosial, yakni PT Jamsostek, PT Askes, PT Asabri, dan PT Taspen untuk dikelola badan wali amanat dan dinikmati seluruh penduduk Indonesia. B. SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL Jaminan sosial bagi masyarakat Indonesia adalah hak yang harus didapatkan oleh seluruh rakyat. Sebagai hak atas jaminan sosial, seharusnya rakyat Indonesia mendapatkan hak tersebut dari pemerintah dengan tetap memberi peran serta masyarakat untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dalam sistem jaminan sosial. Pasal 28H UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang bermartabat”, Pasal 34 UUD 1945 menyatakan, bahwa: 1. Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. 2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. 3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. 32 Terdapat dua hal penting yang dianut dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang berhubungan dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yaitu: 1. Konsepsi jaminan sosial sebagai hak warga negara. Dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, hak tersebut dihilangkan dan diganti dengan kewajiban masyarakat untuk membayar iuran jaminan sosial. Pemerintah hanya berperan memberi bantuan untuk kelompok masyarakat. 2. Sistem jaminan sosial yang dibangun lebih menekankan pada kelompok masyarakat yaitu kelompok miskin dan pekerja formal. Tidak ada perdebatan terhadap jaminan sosial untuk kelompok miskin. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Perdebatan muncul berkaitan dengan jaminan sosial masyarakat bagi orang yang dianggap mampu. Penafsiran Pasal 28H yang menyebutkan Setiap orang berhak atas jaminan sosial… berhubungan dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) : Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan dan Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU tentang BPJS yang telah disahkan menjadi UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, menyelenggarakan sistem jaminan sosial dalam dua mekanisme yaitu sistem asuransi (jaminan) sosial dan bantuan sosial pemerintah. Dua mekanisme ini pada dasarnya sama yaitu kewajiban rakyat sendiri untuk mendapatkan jaminan sosial. Dalam sistem asuransi, pemerintah membiarkan mekanisme jaminan sosial pada pengelolaan berbasis mekanisme pasar. Pada bantuan sosial, Pemerintah memberikan subsidi pada kelompok rakyat dalam membayar iuran. Pasal 17 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyebutkan: 1. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. 2. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan 33 iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. 3. Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhandasar hidup yang layak. 4. Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah. 5. Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan. 6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bappenas dalam kajiannya menjabarkan bahwa sistem yang dianut dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah jaminan sosial dan bantuan sosial yang perkenalkan oleh PBB. Definisi perlindungan sosial yang digunakan oleh PBB dalam “United Nations General Assembly on Social Protection”, yaitu sebagai kumpulan kebijakan dan program pemerintah dan swasta yang dibuat dalam rangka menghadapi berbagai hal yang menyebabkan hilangnya ataupun berkurangnya secara substansial pendapatan/gaji yang diterima; memberikan bantuan bagi keluarga (dan anak) serta memberikan layanan kesehatan dan permukiman. Secara lebih detail dijelaskan bahwa perlindungan sosial memberikan akses pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan hakhak dasar manusia, termasuk akses pada pendapatan, kehidupan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan, gizi dan tempat tinggal. Selain itu, perlindungan sosial juga dimaksudkan sebagai cara untuk menanggulangi kemiskinan dan kerentanan absolut yang dihadapi oleh penduduk yang sangat miskin. Dengan demikian, perlindungan sosial menurut PBB dapat dibagi menjadi dua sub-kategori yaitu bantuan sosial (social assistance) dan asuransi sosial (social insurance). Bantuan sosial merupakan penyaluran sumberdaya kepada kelompok yang mengalami kesulitan sumber daya; sedangkan asuransi sosial adalah bentuk jaminan sosial dengan pendanaan yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi. Nampaknya definisi inilah yang kemudian diadopsi dalam penyusunan konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional.19 Dengan pengertian seperti itu maka perlindungan sosial di sini memiliki beberapa prinsip dasar sebagai berikut: 1. Merupakan program publik yang bersifat wajib bagi seluruh warga negara yang pengelolaanya dilakukan di bawah pengawasan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. 34 2. Perlindungan dasar untuk menjaga harkat dan martabat manusia. 3. Perlindungan untuk menanggulangi resiko sosial-ekonomis yang berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara. 4. Berkelanjutan. 5. Lintas Sektor, dalam arti bahwa perlindungan sosial ini perlu dilakukan melalui kerjasama dan koordinasi yang baik antar sektor baik sektor ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, sosial, keuangan, kependudukan, perindustrian, perdagangan, dan sektor terkait lainnya. Dari sisi jenis dan cara pembiayaan, perlindungan sosial ini mencakup beberapa aspek sebagai berikut: 1. Jaminan sosial yang terdiri dari: a. Asuransi Sosial, dimana seluruh warga negara membayar iuran/ premi guna membiayai kemungkinan terjadinya resiko sosialekonomi yang dialami dengan ciri-ciri antara lain kepesertaan bersifat wajib bagi setiap warga negara dan dikelola dengan motif not for profit (keuntungan dikembalikan kepada peserta). b. Tabungan Hari Tua, dimana seluruh warga negara yang berusia ekonomis (15-60 tahun) dan memiliki penghasilan diwajibkan untuk menabung sejumlah tertentu untuk memupuk dana yang akan digunakan sebagai tunjangan hari tua baik berupa tunjangan paska karya maupun uang pensiun 2. Bantuan sosial, dimana negara memberikan bantuan sosial (subsidi) kepada setiap warga negara yang mengalami resiko sosial ekonomi sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya baik berupa pangan, sandang, papan, kesehatan maupun pendidikan. Pada sisi lain, jaminan sosial untuk kelompok lain yang diutamakan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS adalah kelompok masyarakat pekerja formal. Data statistik BPS tahun 2010 menunjukkan bawah jumlah penduduk Indonesia adalah 237.641.326. Dari jumlah tersebut, terdapat 172.070.339 penduduk angkatan kerja. Dari jumlah penduduk angkatan kerja tersebut hanya terdapat 32.521.517 pekerja formal (buruh/karyawan/ pegawai). Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah pekerja formal hanya 30,05 % dari jumlah penduduk angkatan kerja atau hanya 13,7% dari total penduduk Indonesia. Sementara itu, kelompok masyarakat lain yang lebih besar presentasianya belum menjadi prioritas penyelenggaraan jaminan sosial.20 35 UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS masih menyisakan banyak permasalahan penyelesaian peleburan pelaku asuransi yang ada saat ini yaitu PT Jamsostek, PT Askes, PT Asabri, dan PT Taspen menjadi BPJS yang pada saat ini lebih banyak mengelola uang asuransi para pekerja formal. Pada hal, dalam praktinya, Jamsostek misalnya, hanya bisa mencakup sekitar 7,7 juta orang dari total sekitar 32.521.517 juta orang yang bekerja di sektor formal. Hal demikian menunjukkan bahwa pengelolaan sistem asuransi selama ini jauh dari amanah UUD 1945 yang harus memberikan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS berpotensi tidak membangun mekanisme penyelenggaraan jaminan sosial bagi kelompok masyarakat di luar pekerja formal dan kelompok. Sistem Jaminan Sosial seharusnya menjamin seluruh rakyat Indonesia. Tahapan penyelenggaraan jaminan sosial dilakukan secara bertahap dalam besar, kelompok, dan waktu yang dapat diukur. Selama ini, Pemerintah pusat dan daerah juga telah melaksanakan beberapa program perlindungan sosial, antara lain: Sebagaimana diuraikan di atas, jenis manfaat yang selama ini diberikan oleh badan pengelola adalah sebagai berikut: 1. PT Jamsostek, manfaat yang diberikan antara lain Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, dan Jaminan Hari Tua. 2. PT Askes, manfaat yang diberikan berupa asuransi kesehatan dengan cakupan pelayanan antara lain meliputi Rawat Jalan, Rawat Inap, Persalinan dan sebagainya. 3. PT Taspen, manfaat yang diberikan berupa Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT). Disamping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan beberapa skema lainnya seperti Asuransi Kematian; Uang Duka Wafat; Bantuan untuk Veteran; dan Uang TAPERUM dari BAPERTARUM. 4. PT ASABRI . 5. PT Jasa Raharja, memberikan santunan kepada masyarakat dari kerugian akibat kecelakaan atau musibah saat menggunakan transportasi umum. 6. Bantuan Kesejahteraan Sosial. 7. Bantuan Sosial Kesehatan Keluarga Miskin antara lain diarahkan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara murah dan gratis kepada penduduk miskin baik dalam bentuk pelayanan langsung 36 (seperti imunisasi, pos pelayanan terpadu (posyandu) bagi balita, posyandu bagi lansia, sanitasi lingkungan dan sebagainya) maupun dalam bentuk pembiayaan kesehatan seperti kartu sehat/ kartu miskin dan Jaminan Pemelirahaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) dan lain sebagainya. 8. Bantuan Sosial Pendidikan Bagi Keluarga Miskin. 9. Bantuan Sosial Ketenagakerjaan. 10. Pemberdayaan rakyat miskin, dan lain-lain. 11. Perlindungan sosial oleh pemerintah daerah a. Di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, programprogram yang berhubungan dengan perlindungan sosial berada pada beberapa dinas, yaitu Dinas Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Transmigrasi dan Tenaga Kerja, dan Pendidikan Nasional. b. Kabupaten Sidoarjo Di bidang kesehatan pelayanan kesehatan membutuhkan dana Rp 3 miliar per tahun untuk pelayanan kesehatan gratis di puskesmas bagi 450 ribu kepala keluarga. Namun demikian dari segi pendanaan belum mencukupi karena saat ini total APBD saat ini hanya Rp 5 miliar. Untuk itu, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, yaitu pada tahun 2003, telah dilakukan uji coba pelaksanaan JPKM di satu kecamatan. Biaya yang diperlukan untuk memperoleh Pelayanan dasar di Puskesmas adalah Rp. 2000 setiap KK dan dibayarkan kepada Badan Pelaksana JPKM di Kab Sidoarjo. Sebagai perbandingan bila penyelenggaraan melalui ASKES memerlukan biaya Rp. 15.000 setiap KK. c. Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai pelayan masyarakat senantiasa berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai program yang telah dilaksanakan antara lain adalah program JPS bidang pendidikan dalam bentuk pemberian beasiswa, BKS, dan DBO; program bantuan sosial; pengelolaan program kesehatan; dan program jaminan sosial tenaga kerja. Di samping itu telah dikembangkan juga berbagai sistem Tidak semua program perlindungan sosial diatas menjadi program BPJS. Sesuai ketentuan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, hanya lima program yang menjadi program BPJS. Oleh karena itu, BPJS harus mengintegrasikan semua program jaminan sosial yang ada saat ini di luar program yang dikelola PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, PT ASABRI. 37 C. STATUS HUKUM, DAN KELEMBAGAAN BPJS. Sesuai dengan yang tersebut di atas, maka dalam hal ini terdapat hal yang penting untuk dibahas dan diawasi implementasinya dalam pembentukan BPJS nanti, yaitu status hukum, dan kelembagaan (kepengurusan dan pertanggungjawaban pengurus, serta pengelolaan dana amanat) BPJS. 1. Status Hukum BPJS Perdebatan status subyek hukum BPJS setidak-tidaknya menawarkan kepada masyarakat dua opsi yakni sebagai berikut: a. Badan hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bersifat privat, Perum atau Persero (BUMN); b. Badan Hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bersifat publik seperti lembaga negara atau badan hukum pendidikan atau badan hukum wali amanat. Dalam menentukan status hukum BPJS, maka harus mendasarkan pada 9 (Sembilan) prinsip dalam membangun sistem jaminan sosial nasional yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Setidaknya, terdapat tiga prinsip yang menjadi ukuran penentuan status hukum BPJS yaitu prinsip nirlaba, prinsip dana amanat dan prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Ketiga prinsip tersebut menjadi jiwa dalam menentukan status hukum BPJS yaitu: 1. BPJS dalam mengelola usaha tidak berorientasi pada keuntungan BPJS dan memberatkan peserta tetapi mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta. 2. Iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial. 3. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial tidak untuk pemegang saham atau para pengelola BPJS. Hasil pengelolaan dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Berdasarkan dua prinsip tersebut dengan sendirinya menolak status hukum BPJS sebagai Persero Terbatas atau bentuk usaha milik 38 negara seperti BUMN (Persero). Hal tersebut disebabkan karena hasil pengelolaan BUMN menggunanakan prinsip-prinsip mencari keuntungan perusahaan. Pemilihan bentuk badan hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesungguhnya harus didasarkan sekurang-kurangnya: 1. Besarnya manfaat yang diterima seluruh rakyat Indonesia sebagai peserta; 2. Minimnya resiko yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia bilamana terjadi abuse of power (penyalahgunaan wewenang); 3. Besarnya peranan pemerintah di dalamnya. Sebab bagaimanapun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah lembaga yang menguasai hajat hidup orang banyak. 2. Kelembagaan BPJS Bentuk kelembagaan BPJS yang disepakati dengan disahkannya UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS ialah multi. Semula terdapat usulan DPR bahwa bentuk BPJS mengarah pada bentuk tunggal yang mencakup dan mengelola 5 (lima) jaminan sosial, yaitu: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Sementara itu, dalam usulan Pemerintah, pembentukan BPJS tidak tunggal tetapi lebih dari satu BPJS. Menjelang akhir Oktober 2011, disepakati bahwa bentuk kelembagaannya ialah multi, dalam arti terdapat 2 BPJS yaitu BPJS bidang kesehatan dan BPJS bidang ketenagakerjaan. Pada tahap awal (sebelum pengesahan UU tentang BPJS) Pemerintah mengusulkan untuk dibentuk 2 (dua) kelompok BPJS. Pada tahap selanjutnya, dalam hal dianggap perlu, Pemerintah mengusulkan agar dapat dibentuk BPJS baru dengan Undang-Undang. Pada tahap awal Pembentukan 2 (dua) kelompok BPJS tersebut didasarkan pada durasi risiko dan pengelolaan dana yang menjadi karakteristik program-program Jaminan Sosial, yaitu: a. BPJS Kesehatan, Kecelakaan Kerja, dan Kematian yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan, program Jaminan Kecelakaan Kerja, dan program Jaminan Kematian; dan b. BPJS Ketenagakerjaan yang melingkupi Pensiun dan Hari Tua yang menyelenggarakan program Jaminan Pensiun dan program Jaminan Hari Tua. 39 Pembentukan BPJS itu sendiri, selain merujuk pada UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, juga harus merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah dapat membentuk BPJS Daerah berdasarkan Peraturan Daerah. Berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi, maka dengan sendirinya pembentukan BPJS tunggal sulit dilakukan. Hal ini karena Pemerintah Daerah dapat membentuk BPJS Daerah berdasarkan Perda. Berdasarkan pada putusan tersebut, maka selain mengacu pada UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan sendirinya pembentukan BPJS harus mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya menentukan 6 (enam) urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah pusat, yaitu: 1. Politik luar negeri. 2. Pertahanan. 3. Keamanan. 4. Yustisi. 5. Moneter dan fiskal nasional. 6. Agama. Sesuai Ketentuan Pasal 22 dan Pasal 167, Pemerintah Daerah berkewajiban pengembangan jaminan sosial. Berdasarkan katentuan pasal-pasal UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, pada dasarnya, pengembangan jaminan sosial merupakan kewajiban daerah. Meski demikian, Negara dalam hal ini Pemerintah Pusat sesuai amanat konstitusi berkewajiban mewujudkan kesejahteraan sosial. a. Kepengurusan dan Pertanggungjawaban Pengurus BPJS Menurut UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, badan yang turut mengembangan dan penyelenggara sistem jaminan sosial adalah Dewan Sistem Jaminan Sosial dan BPJS. a.1.Dewan Sistem Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Berdasarkan undang-undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, terdapat dua badan yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem jaminan sosial yaitu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). DJSN sebagai pembuat kebijaksanaan umum dan sekaligus sebagai pengawas; 40 Kebijakan tentang dibentuknya multi BPJS maka peran Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam penyelenggaraan jaminan sosial sangat penting. Dewan Jaminan Sosial Nasional berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang berwenang melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial dan bertugas: 1. Melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial; 2. Mengusulkan kebijakan investasi dana Jaminan Sosial nasional ; dan 3. Mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah. Dalam Pasal 10 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional disebutkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Selain DJSN, dalam menyelenggarakan jaminan sosial dibentuk BPJS. BPJS merupakan lembaga independen yang mengelola dana amanat. Organ pelaksana BPJS terdiri dari Dewan BPJS dan Direksi Pelaksana. a.2. BPJS Sebagai badan hukum publik independen, BPJS tidak berada di bawah salah satu kementerian negara. BPJS bertanggung jawab langsung kepada presiden. BPJS dalam melaksanakan tugasnya juga menyampaikan laporan pertanggung jawaban secara berkala dan transparan kepada : Masyarakat /publik, DPR, dan BPK. Pelaksanaan tugas dan kewenangan BPJS dilaksanakan oleh dua organ yaitu Dewan Pengawas BPJS dan direksi pelaksana BPJS. a.2.1. Dewan Pengawas BPJS Dewan Pengawas BPJS merupakan organ BPJS yang bertugas melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengurusan BPJS oleh direksi dan memberikan nasihat kepada direksi dalam penyelenggaraan program Jaminan Sosial. Dewan Pengawas BPJS berfungsi melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas BPJS. Keanggotaan Dewan Pengawas BPJS berasal dari Pemerintah dan Masyarakat, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Dewan Pengawas BPJS terdiri dari 7 orang yang terdiri dari : 41 a. 2 (dua) orang unsur Pemerintah. b. 2 (dua) orang unsur Pekerja, dan c. 2 (dua) orang unsur Pemberi Kerja, serta d. 1 (satu) orang unsur tokoh masyarakat. Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud di atas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 2. Dalam menjalankan fungsinya, Dewan Pengawas BPJS bertugas untuk: a. Melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja Direksi. b. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial oleh Direksi. c. Memberikan saran, nasihat, dan pertimbangan kepada Direksi mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS; dan d. Menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN. 3. Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Pengawas BPJS berwenang untuk: a. Menetapkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS. b. Mendapatkan dan/atau meminta laporan dari Direksi. c. Mengakses data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS. d. Melakukan penelaahan terhadap data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS; dan e. Memberikan saran dan rekomendasi kepada Presiden mengenai kinerja Direksi. a.2.2. Direksi Pelaksana Direksi Pelaksana merupakan organ eksekutif. Direksi terdiri atas paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur profesional. Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Presiden menetapkan salah seorang dari anggota Direksi) sebagai direktur utama. Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diusulkan untuk diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Direksi berfungsi melaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS yang menjamin Peserta untuk mendapatkan Manfaat sesuai 42 dengan haknya. Dalam menjalankan fungsinya, Direksi bertugas untuk: 1. Melaksanakan pengelolaan BPJS yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. 2. Mewakili BPJS di dalam dan di luar pengadilan; dan 3. Menjamin tersedianya fasilitas dan akses bagi Dewan Pengawas untuk melaksanakan fungsinya. Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi berwenang untuk: 1. Melaksanakan wewenang BPJS. 2. Menetapkan struktur organisasi beserta tugas pokok dan fungsi, tata kerja organisasi, dan sistem kepegawaian; 3. Menyelenggarakan manajemen kepegawaian BPJS termasuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai BPJS serta menetapkan penghasilan pegawai BPJS. 4. Mengusulkan kepada Presiden penghasilan bagi Dewan Pengawas dan Direksi. 5. Menetapkan ketentuan dan tata cara pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan tugas BPJS dengan memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. 6. Melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Pengawas. 7. Melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Presiden; dan 8. Melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. b. Pengelolaan Dana Amanat Dalam hal pengelolaan dana amanat, yang penting untuk diawasi implementasinya ialah mengenai aset dan pengelolaan dana itu sendiri. b.1. Aset BPJS Sebagai lembaga independen yang mengelola dana jaminan sosial, dilakukan pemisahan aset BPJS. Aset BPJS bersumber dari: 43 1. Modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham; 2. Hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial; 3. Hasil pengembangan aset BPJS; 4. Dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau 5. Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Modal awal dari pemerintah merupakan dana dari pemerintah yang diberikan untuk biaya kerja, operasional, dan pengelolaan BPJS. Modal awal dari pemerintah bukan merupakan kekayaan negara yang dipisahkan seperti hanya kekayaan negara yang ada di BUMN (persero). Modal awal dari pemerintah dapat dijadikan aset tetap BPJS. Selain modal awal dari Pemerintah, biaya operasional dan penambahan aset tetap milik BPJS dapat diambil dari hasil pengelolaan dana jaminan sosial dan iuran peserta pertahun. Dengan demikian, selain aset tetap BPJS Dana Jaminan Sosial bukan merupakan kekayaan BPJS. BPJS wajib memisahkan kekayaan BPJS dan kekayaan Dana Jaminan Sosial. Aset BPJS tersebut di atas, dapat digunakan untuk: 1. Biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial. 2. Biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional penyelenggaraan Jaminan Sosial. 3. Biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan; dan 4. Investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b.2. Pengelolaan Empat prinsip penting yang menjadi acuan pengelolaan dana amanat jaminan sosial sesuai ketentuan Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah : 1. Dana yang dikelola adalah dana amanat, Dikelola dengan prinsip dana amanat mempunyai arti bahwa dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola dengan sebaik-baiknnya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta. 44 Pengelolaan bersifat nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari laba (nirlaba) bagi BPJS. Pengelolaan harus member keuntungan dan keuntungan atau laba tersebut untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan peserta. 2. Kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian, keterbukaan, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas merupakan prinsip yang terkait dengan manajemen dan diterspkan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya. 3. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Segala hasil pengelolaan dana jaminan sosial ini adalah dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial. Dengan demikian, pengelolaan dana jaminan sosial dapat dikembangkan dan mendapatkan keuntungan tetapi keuntungan tersebut bukan untuk Aset BPJS seperti yang terjadi pada BUMN saat ini. Keuntungan pengelolaan dikembalikan kepada peserta dan pengembangn program. D. PERAN DAN KETERLIBATAN PEMERINTAH DALAM KEPENGURUSAN DAN PENGELOLAAN DANA PADA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL Terkait peran pemerintah, selain pada proses pemilihan ketua BPJS yang juga melibatkan DPR, maka dapat dilihat pada mekanisme pengangkatan dan pemberhentian dari Anggota Dewan BPJS dan Direktur pelaksana yang kewenangannya ada pada Presiden. Peran pemerintah juga dapat dilihat pada pendanaan awal dari BPJS. DPR dan Pemerintah menyepakati bahwa sumber pendanaan BPJS berasal dari Pemerintah. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan jaminan sosial, pemerintah harus mempunyai peran dominan dan besar yakni dalam bentuk: 1. Memberikan modal awal sebagai aset Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam bekerja; 45 2. Membayar dan menanggung iuran wajib kepesertaan bagi rakyat miskin dan tidak mampu. Dalam kondisi tertentu, Pemerintah harus mengambil langkahlangkah penyelematan jika terjadi kondisi yang tidak mengarah pada penurunan kinerja BPJS yang berdampak pada penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional. Intervensi pemerintah menjadi penting untuk menyelamatkan dana amanat dan tetam menjamin peserta mendapatkan jaminan sosial. E. REKOMENDASI Jaminan Sosial seharusnya menjamin seluruh rakyat Indonesia. Perintah baru melaksanakan perlindungan kepada rakyat miskin dan pekerja formal. Selain, program yang dikelola PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, PT ASABRI, saat ini Pemerintah dan Pemerintahan Daerah juga mengembangkan sistem jaminan sosial lain seperti: Bantuan Sosial Kesehatan Keluarga Miskin bentuk pembiayaan kesehatan seperti kartu sehat/kartu miskin dan Jaminan Pemelirahaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) dan lain sebagainya. Oleh kerena itu, maka berdasarkan sembilan prinsip sistem jaminan sosial nasional yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, maka status badan hukum BPJS tepat jika disebutkan sebagai badan hukum publik dan bukan badan hukum privat atau BUMN. Pelaksana sistem jaminan sosial dilaksanakan oleh: 1. Dewan Jaminan Sosial Nasional, yang tugas melakukan pengawasan dan membuat kebijakan umum pelaksanaan sistem jaminan sosial 2. BPJS, sebagai badan pelaksana Jaminan Sosial. Organ BPJS terdiri dari a. Pimpinan BPJS, berasal dari Pemerintah dan masyarakat melalui mekanisme pemilihan di DPR melalui seleksi yang dilakukan oleh Dewan JSN. b. Direksi pelaksana dan Pegawai BPJS yang diangkat PResiden berdasarkan usulan Pimpinan BPJS. Pemerintah memegang peran penting pengembangan sistem jaminan sosial masyarakat. Meski BPJS bukan kementerian negara tetapi lembaga non struktural di bawah Presiden, tetapi pemerintah berperan dalam menempatkan wakil pemerintah di Pimpinan BPJS, mengangkat 46 dan memberhentikan Direksi Pelaksana BPJS, serta memberikan tindakan khusus untuk menjamin terselenggaranya jaminan sosial. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cukup tepat apabila dilakukan: 1. BPJS harus mengintegrasikan semua program jaminan sosial yang ada saat ini baik yang dikelola oleh PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, PT ASABRI maupun program lain di luar empat BUMN. 2. Untuk mewujudkan adanya BPJS yang berbentuk badan hukum publik, maka sudah seharusnya PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, PT ASABRI menjadi BPJS dengan status badan hukum publik. Keberadaan BPJS tidak menghapus masyarakat yang mampu untuk menyerahkan jaminan sosial pada mekanisme asuransi komersial. 3. Kepesertaan dalam jaminan sosial berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa perkecualian. 4. Pemerintah harus memberikan modal awal kepada BPJS dan membayar iuran wajib kepesertaan rakyat miskin dan tidak mampu. PENGESAHAN RUU TENTANG PERUBAHAN UU TENTANG KOMISI YUDISIAL Instrumen Penting Perekrutan Hakim, Serta Menjaga Kehormatan, Keluhuran, Kemandirian Dan Perilaku Hakim A. PENGANTAR Setelah melalui perjalanan panjang yang diwarnai dengan perdebatan mengenai wewenang Komisi Yudisial, pada tanggal 10 Oktober 2011, DPR mengesahkan RUU tentang Perubahan UU tentang Komisi Yudisial dalam Sidang Paripurna DPR. Dengan RUU ini, kembali diteguhkan penguatan kembali Komisi Yudisial dengan suatu instrumen penting perekrutan hakim serta menjaga kehormatan, keluhuran, kemandirian dan perilaku hakim. Penguatan kembali atau rekonsolidasi Komisi Yudisial pasca putusan “amputasi” kekuasaan pengawasan hakim, diperlukan di tengah masih maraknya penyalahgunaan kekuasaan di lembaga kekuasaan kehakiman, dan di sisi yang lain semakin menggumpalnya pengharapan masyarakat pada pengadilan yang bersih. Kehadiran Komisi Yudisial sebagai pengawas dan penjaga serta penegak kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, diharapkan dapat mengikis habis mafia peradilan yang menghilangkan akses keadilan bagi masyarakat dan pencari keadilan untuk mendapatkan peradilan yang jujur dan tidak memihak. Putusan Mahkamah Konstitusi yang “mengamputasi” kewenangan Komisi Yudisial menjaga dan menegakkan nilai-nilai profesi hakim (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006) berintisarikan sebagai berikut: 1. Perumusan Pasal 13 huruf b dan Pasal 20 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menimbulkan ketidakpastian hukum (“rechtsonzekerheid”); 2. UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas 48 menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan mengenai pengawasan dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial serta perbedaan dalam rumusan kalimat di atas menyebabkan semua ketentuan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tentang pengawasan menjadi kabur (“obscuur”) dan menimbulkan ketidakpastian hukum (“rechtsonzekerheid”) dalam pelaksanaannya; 3. Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial didasarkan atas paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berada dalam pola hubungan “checks and balances” antar cabang kekuasaan dalam konteks ajaran pemisahan kekuasaan (“separation of powers”), sehingga menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam pelaksanaannya. Jika hal ini dibiarkan tanpa penyelesaian, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung akan terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat pencari keadilan akan terus meningkat, yang pada gilirannya juga dapat mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya semakin tidak dipercaya. Putusan tersebut cukup mengagetkan karena kekuatan awal Komisi Yudisial terletak pada “peran pengawasannya” terhadap pengadilan. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk menghapus intervensi atau pengaruh campur tangan kekuasaan pemerintah dan pemilik modal yang begitu jelas terlihat dan terasa dalam lembaga pengadilan. Seolah-olah yang terjadi, pengadilan subordonasi kekuasaan eksekutif dan kekuasaan sumber daya ekonomi dan politik. Mengembalikan kekuasaan Komisi Yudisial seperti sediakala memang tidaklah mudah di tengah derasnya perlawanan balik mafia hukum (“mafioso fight back”), bahkan terkesan pemerintah dan DPR sendiri menginginkan kekuasaan kehakiman terus menerus dalam “status quo” atau mati suri, padahal Mahkamah Konstitusi telah memberikan amanat perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang harus ditaati Presiden dan DPR. Amanat perubahan itu mempunyai substansi mengupayakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri dari dimensi personal, substansi maupun prosedural (“the independence of judiary”), yang mana dapat diwujudkan jika pengawasan Hakim Agung, hakim pengadilan tinggi dan hakim pengadilan negeri dapat berjalan efisien, efektif, transparan dan adil dengan mengacu “code of judicial ethics 49 atau code of judicial conduct”. Keberadaan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan adalah melakukan reformasi kekuasaan kehakiman khususnya soal pengawasan dan perekrutan calon hakim agung yang masih belum baik. Sebagaimana diketahui, dampak dari ketidakberesan kedua hal tersebut, membuat tugas dan fungsi kekuasaan kehakiman beralih menjadi alat legitimasi kekuasaan eksekutif dan terjerembab dalam perilaku korupsi dan manipulasi. Keinginan penguatan Komisi Yudisial sejak sebelum tahun 2011 telah nampak, di mana perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), artinya perubahan tersebut akan segera disahkan pada tahun 2010. Namun, dalam praktiknya, pengesahan dilakukan tahun 2011. Terlepas dari pelbagai alasan yang sudah dimunculkan ke masyarakat, nampaknya jika melihat ke belakang, muncul kesan bahwa (pemerintah dan DPR) tidak terlalu aktif dan lebih memprioritaskan perubahan UU lainnya. Pengesahan UU Paket Kekuasaan Kehakiman minus RUU tentang Komisi Yudisial pada tahun 2010 dilihat dari perspektif reformasi kekuasaan kehakiman ialah mendistorsi reformasi peradilan itu sendiri dan amanat putusan Mahkamah Konstitusi, karena Komisi Yudisial adalah salah satu penunjang dalam kekuasaan kehakiman (“the state auxiliary body”) atau bagian rumpun kekuasaan kehakiman. Menjelang pembahasan RUU tentang Komisi Yudisial di tahun 2011, terdapat isu-isu krusial atau strategis yang mengemuka yang antara lain mengenai: 1. Kesekretariatan Jenderal dan Deputi; 2. Uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Agung; 3. Seleksi calon Hakim Agung; 4. Penjatuhan sanksi dan Majelis Kehormatan Hakim (MKH); 5. Pembentukan Komisi Yudisial di daerah; 6. Penerimaan pengaduan dan mekanisme pemeriksaan; 7. Kekuasaan penyadapan dan pemanggilan saksi-saksi, pelapor dan terlapor (penyelidikan dan pemeriksaan); 8. Upaya paksa dalam penyelidikan dan pemeriksaan; 9. Kerjasama (“partnership”) Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung di dalam pembinaan hakim. Isu-isu krusial tersebut bersinggungan dengan berbagai undangundang di bidang kekuasaan kehakiman yang telah terlebih dahulu disahkan pemerintah dan DPR. Undang-undang tersebut ialah UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 50 tentang Mahkamah Agung, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang tersebut seyogianya memuat soal-soal pengawasan yudisial, perekrutan, sanksi dan mekanisme penjatuhan sanksi atas pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim serta wewenang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Pengesahan undang-undang dalam lingkungan kekuasaan kehakiman (“judicial power”) lebih awal dari RUU tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menandakan tidak harmonisnya dengan semangat reformasi kekuasaan kehakiman. Pengesahan awal itu “menyandera atau mengunci” RUU tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sehingga tidak dapat dirancang seoptimal mungkin sebuah substansi atau materi peraturan yang memperkuat pengawasan dan perekrutan hakim serta pembersihan dunia peradilan dari praktik-praktik mafia hukum. Alangkah arifnya bilamana seluruh undang-undang di dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman dibahas dan disahkan bersamaan, dengan begitu sinergitas independensi hakim, perekrutan hakim dan menjaga serta mengawasi perilaku hakim dapat tercapai. Hal tersebut perlu digarisbawahi karena Komisi Yudisial sejak awal pembentukannya sebagai lembaga negara dalam ranah kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, diberikan tugas konstitusional memperkuat kekuasaan kehakiman yang begitu terpuruk pasca orde baru karena sistem yang dibangun tidak berjalan baik dan lemah. Perilaku hakim pun cenderung korup dan budaya hukum masyarakat yang rendah untuk menghargai dan menaati independensi institusi peradilan. Meskipun demikian, pada akhirnya disahkannya juga RUU tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang dikenal dengan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tetap patut mendapatkan respon positif. B. POTENSI PERMASALAHAN DALAM PEREKRUTAN CALON HAKIM AGUNG Hakim yang ideal selain memiliki kecerdasan yang tinggi, dia harus memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai keadilan, mampu mengintegrasi- 51 kan nilai-nilai agama, kesusilaan, sopan santun serta adat-istiadat ke dalam hukum positif yang tercermin dalam setiap putusan yang dilahirkannya. Seorang hakim juga harus mempunyai moral dan integritas yang tinggi.21 Hakim yang demikian hanya dapat lahir dari suatu sistem yang baik. Mantan Menteri Kehakiman Belanda, Odette Buitendam menyatakan bahwa “good judges are not born but made”, yaitu melalui suatu sistem perekrutan, seleksi dan pelatihan yang baik. Perekrutan serta seleksi yang baik adalah perekrutan dan seleksi yang mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, “right to man on the right place”, objektivitas dan sebagainya22. Dalam rangka mewujudkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, kewenangan perekrutan calon Hakim Agung dan pengawasan dialihkan menjadi kewenangan Komisi Yudisial (Pasal 24B ayat (1) UUD 1945). Sebelumnya, menurut UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, perekrutan calon Hakim Agung dilakukan Presiden dan DPR serta Mahkamah Agung dengan tidak melibatkan masyarakat. Dalam praktiknya, perekrutan itu dilakukan dalam bentuk dan mekanisme yang tertutup, cenderung menjauh dari prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Dengan begitu, hakim agung yang terpilih seringkali tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Begitu pun dengan pengawasannya yang berada pada Mahkamah Agung yang pada saat itu cenderung menjauh dari prinsip-prinsip transparansi dan partisipasi masyarakat. Hal tersebut di atas karena ketentuan di dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (sebelum diubah pasca 1998) mengaturnya demikian. Hal ini terlihat di dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) berbunyi: Ayat (1) : “Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat”. Ayat (2) : “Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan Rakyat mendengar pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah”, Terlihat juga di dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: Ayat (1) : “Mahkamah Agang melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman”. 52 Ayat (2) : “Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya”. Sebelum reformasi bergulir faktor-faktor yang menyebabkan buruknya wajah perekrutan calon Hakim Agung antara lain disebabkan: 1. Kekuasan yang sentralistik dan kooptatif. 2. Pengawasan yang sangat lemah dari masyarakat. 3. Sistem yang tidak transparan dan tidak akuntabel. 4. Transaksional dan manipulatif. Berangkat dari buruknya perekrutan calon Hakim Agung yang dilakukan pada saat itu, maka mandat kepada Komisi Yudisial untuk melakukan perekrutan calon Hakim Agung sangat tepat. Pengalihan perekrutan calon Hakim Agung oleh Presiden, DPR dan Mahkamah Agung setidak-tidaknya mengurangi relasi kepentingan dan kekuasaan politik yang selama orde baru mencengkeram calon hakim agung. Jika dievaluasi, penyelenggaraan perekrutan calon Hakim Agung oleh Komisi Yudisial sejak pertama berjalan sampai dengan saat ini perlu dan patut mendapat apresiasi. Komisi Yudisial telah berhasil melakukan seleksi calon Hakim Agung secara baik dengan menerapkan prinsip-prinsip imparsialitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Hasil seleksi itu dirasakan mendekati profil hakim yang diinginkan masyarakat seperti mempunyai rekam jejak yang bersih, adil, intelektual, profesional, berwawasan hukum yang baik dan seterusnya, yang sebelumnya masyarakat dan para pencari keadilan tidak diberikan ruang apapun untuk berpartisipasi dan menentukan profil Hakim Agung yang diinginkan guna menegakkan hukum dan keadilan yang tercabik-cabik lama di ruang pengadilan. Komisi Yudisial berhasil mengurangi atau mengeleminasi intervensi atau pengaruh politik (Presiden dan DPR serta kekuatan politik lainnya) dan politisasi dalam proses perekrutan calon Hakim Agung. Perilaku intervensi itu telah lama berlangsung di Indonesia yang juga lazim terjadi di negara-negara lain, karena disadari besarnya kekuasaan hakim dalam memutuskan perkara-perkara besar yang melibatkan eksekutif dan legislatif sebagai para pihak. Intervensi itu tak lain bertujuan mendudukan orang-orang yang dapat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif dan legislatif dengan harapan kelak ketika duduk dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan politik mereka. Profil Hakim Agung yang dinominasikan Komisi Yudisial ke DPR mendekati kemauan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945, berbunyi: “Hakim 53 Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman dibidang hukum”. Untuk mendekati ketentuan tersebut, mekanisme perekrutan calon Hakim Agung yang dilakukan Komisi Yudisial adalah: 1. Membuka pendaftaran calon Hakim Agung (publikasi ke masyarakat, pengajuan calon oleh Mahkamah Agung, pemerintah dan masyarakat). 2. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung (administrasi, “tracking”, kualitas dan kepribadian calon dan seterusnya). 3. Menetapkan calon Hakim Agung. 4. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR (mengajukan tiga orang nama calon Hakim Agung kepada DPR untuk setiap satu lowongan Hakim Agung). Hal di atas cukup memadai bagi Komisi Yudisial dalam melakukan perekrutan calon Hakim Agung yang sesuai standar atau kriteria yang diinginkan masyarakat dan kekuasaan kehakiman itu sendiri. Seorang Hakim Agung harus memenuhi standar dan kriteria tertentu (integritas, kompetensi, jujur, adil, dan seterusnya) karena hakim merupakan lembaga yang mendistribusikan keadilan dan memberikan kepastian hukum, menemukan hukum, menciptakan hukum dan mempertahankan tertib hukum. Penguatan pemantauan dan pengawasan hakim menjadi variabel penting bagi Komisi Yudisial, karena dapat memberi implikasi terhadap tugas dan wewenang Komisi Yudisial di dalam mengusulkan pengangkatan calon Hakim Agung atau merekrut calon Hakim Agung yang berasal dari hakim tinggi atau hakim negeri. Komisi Yudisial akan kesulitan mengetahui calon Hakim Agung yang akan diseleksi dan diusulkan nanti, baik menyangkut kepribadian, kinerja dan pengetahuan hukum selama hakim tersebut menjabat menjadi seorang hakim, bilamana kewenangan pengawasan atau pemantauan tidak berjalan optimal. Meskipun UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial cukup memberikan kekuatan bagi Komisi Yudisial, namun yang belum nampak berubah dan mengalami pergeseran norma, adalah bentuk dan mekanisme “uji kelayakan dan kepatutan” yang dilakukan DPR untuk menetapkan Hakim Agung yang terpilih. Bagaimana pun DPR dalam proses dan pemilihan Hakim Agung semestinya jauh lebih demokratis, partisipatif, objektif, dan transparan sehingga Hakim Agung yang dipilih melalui mekanisme voting, adalah yang terbaik, meskipun calon Hakim Agung yang dinominasikan (usulan) Komisi Yudisial telah melalui atau melewati standar dan kriteria 54 yang sangat ketat. Pergeseran norma itu penting, karena seolah-olah yang tampak di permukaan, “uji kelayakan dan kepatutan” yang dilakukan oleh DPR (Komisi III) hanya formalitas, di mana hasil akhir telah ditentukan dan diputuskan terlebih dahulu oleh fraksi, sebelum uji tersebut dilakukan. Tanpa disertai penormaan standar, kriteria, dan pedoman dalam “uji kelayakan dan kepatutan”, sangat rawan terjadi transaksi politik antara DPR dengan calon Hakim Agung yang akan dipilih. UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang tetap menempatkan DPR pada posisi yang cukup penting dalam perekrutan calon Hakim Agung (dengan kewenangan pemilihan dan persetujuan), berprotensi tetap terjadinya suasana transaksional (kepentingan politik) antara calon Hakim Agung dengan anggota DPR atau partai politik. Masalahnya lagi ialah hal tersebut sulit dibuktikan karena kadarnya rendah dan tidak seekstrim pada masa orde baru berkuasa. Keadaan demikian, mengakibatkan perlunya pengawasan yang terus menerus terhadap DPR agar dapat tetap dipastikan adanya akuntabilitas dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Agung. Bagaimanapun juga, pengakuan penting dan sentralnya prinsip independensi peradilan (“the independence of judiciary”) sebagai negara hukum haruslah diimbangi dengan penerapan prinsip akuntabilitas. Fungsi partisipasi masyarakat tetap penting, agar fungsi yang dilaksanakan oleh DPR berjalan dengan benar dan baik. Selain itu, penormaan baru terkait perekrutan Hakim Agung menjadi penting dilakukan dan tidak lagi berpijak pada lowongan Hakim Agung yang ada, tetapi berdasarkan dua hal, yaitu: 1. Kebutuhan jumlah Hakim Agung. 2. Berbasis kamar atau sistem kamar (pidana, perdata, tata negara/ administrasi negara, militer, agama dan seterusnya). Perekrutan yang mengacu pada kedua hal itu seyogianya didasarkan pada pertimbangan: 1. Jumlah perkara yang terus membanjiri Mahkamah Agung sebagai peradilan kasasi dan peninjauan kembali belum teratasi, meskipun dapat diatasi dengan pembatasan upaya hukum, namun setidaktidaknya dapat bersinergi. 2. Kasus-kasus yang masuk ke ruang-ruang pengadilan semakin kompleks dan spesifik, yang membutuhkan Hakim Agung yang mempunyai pengetahuan hukum dan kemampuan khusus dan dengan begitu putusan dapat memberikan kepastian hukum dan menciptakan keteraturan hukum serta keteraturan masyarakat. 55 3. Kadang-kadang putusan Mahkamah Agung satu dengan lainnya saling mengingkari dan membantah, padahal “case” nya serupa, sehingga putusan itu tak dapat menjadi sumber hukum atau yurisprudensi bagi Hakim Agung lainnya, atau pun hakim tinggi dan hakim negeri. Komisi Yudisial bersama-sama Mahkamah Agung dapat meneliti dan menakar besaran jumlah Hakim Agung yang tepat sesuai kebutuhan di tengah situasi dan keadaan makin menumpuknya perkara yang masuk di Mahkamah Agung. Jika tidak dilakukan, maka dapat terjadi ketiadaan penyelesaian dan jenis perkara yang semakin spesifik dan kompleks. Tentu bukan rahasia lagi, perkara (kasasi dan peninjauan kembali) yang diadili dan diperiksa Mahkamah Agung membutuhkan waktu sekurangkurangnya tiga tahun mendapatkan penyelesaian dengan miskin pertimbangan hukum. C. POTENSI PERMASALAHAN DALAM PEREKRUTAN CALON HAKIM Kewenangan tambahan Komisi Yudisial menurut paket UU Kekuasaan Kehakiman melakukan rekrutmen hakim pengadilan negeri yang dilakukan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, sebagaimana ditegaskan Pasal 14A UU No. 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, berbunyi: Ayat (1) : “Pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif”. Ayat (2) : “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”. Ayat (3) : “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”. Demikian halnya perekrutan hakim pengadilan tata usaha negara dan hakim pengadilan agama dilakukan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial (Pasal 14A UU No. 51 Tahun 2009 dan Pasal 13A UU No. 50 Tahun 2009). Wewenang tambahan itu tentu akan sangat signifikan di dalam penciptaan hakim-hakim tingkat pertama yang yang jujur, adil, berkepribadian baik, berpengetahuan hukum dan seterusnya. Untuk itu, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu membuat sebuah 56 mekanisme seleksi yang berpegang pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Dengan mekanisme ini, praktik-praktik “abuse” perekrutan hakim masa lampau yang didasarkan kekerabatan, suap, kolusi, kedekatan dan seterusnya, dapat dikurangi dan bahkan dihapuskan. Hanya saja terdapat kecenderungan belum terjadinya kesepahaman yang cukup kuat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang berpotensi terjadinya permasalahan dalam perekrutan calon hakim. Kecenderungan tersebut selalu bersifat “naik-turun” dan dipengaruhi keadaan tertentu dan dalam waktu tertentu. D. MENJAGA DAN MENEGAKKAN KEHORMATAN, KELUHURAN MARTABAT DAN PERILAKU HAKIM Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim sebagaimana terdapat di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 ini berawal dari situasi dan kondisi hukum dan pengadilan yang tidak lagi menjadi tempat harapan terakhir pencari keadilan dan pihak bersengketa, karena pengadilan telah berubah menjadi sarang mafia hukum (“mafioso”) yang memperjualbelikan hukum dan keadilan serta alat represi kekuasaan atas nama kepentingan umum dan pembangunan. Situasi serba tidak mengenakkan ini menyulut keprihatinan bangsa melalui MPR (pada tanggal 9 November 2001) untuk melakukan reformasi hukum dan peradilan (“justice sector reform”). Salah satu yang dilakukan ialah dengan membentuk dan menempatkan satu lembaga negara (Komisi Yudisial) yang diberi tugas-tugas konstitusional melakukan pengawasan eksternal terhadap pengadilan dan merekrut calon hakim agung yang bersih dan berintegritas. Dengan keberadan Komisi Yudisial, diharapkan demoralisasi yang menghinggapi pengadilan secara bertahap berkurang, sehingga pada masanya pengadilan menjadi tempat yang teduh bagi para pencari keadilan. Di samping itu, Komisi Yudisial hadir sebagai akibat lemahnya sistem pengawasan terhadap hakim dan Hakim Agung yang dijalankan oleh Mahkamah Agung. Beberapa kelemahan tersebut antara lain23 : 1. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Hal ini dapat disimpulkan dengan tidak adanya mekanisme yang memberi hak bagi pelapor untuk mengetahui “progress report” atas laporan yang mereka masukkan. Selain itu akses masyarakat terhadap proses serta hasil pengawasan juga sulit dilakukan. Kondisi ini bertentangan dengan 57 sejumlah ketentuan internasional, seperti IBA (International Bar Association) Standards, Beijing Statement dan lain-lain; 2. Adanya dugaan semangat membela korps. Hal ini menjadikan pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung kurang efektif. Keengganan korps hakim untuk mengangkat kasus-kasus yang menimpa anggotanya, secara tidak langsung juga telah menyuburkan praktik-praktik tidak baik di pengadilan. 3. Kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya metode pengawasan yang ada secara efektif. Praktik negatif yang dilakukan oleh hakim bervariasi, mulai dari yang mencolok sampai dengan yang ‘halus’. Karena itu metode yang tepat dalam pencarian fakta, sangat penting. Ada banyak metode yang dapat dilakukan untuk memperoleh fakta, selain berdasarkan informasi pelapor. Misalnya mengklarifikasi proses penentuan majelis hakim, mengklarifikasi kekayaan pihak yang diduga melakukan praktik negatif dengan sumber pemasukannya dan sebagainya. Sebagian dari metode tersebut tidak atau harus ditafsirkan sendiri dari metode pengawasan yang ada saat ini. 4. Kelemahan sumber daya manusia. Mayoritas pengawas tidak bekerja “full time” karena memang tugas utama hakim agung adalah memeriksa dan memutus perkara. 5. Pelaksanaan pengawasan yang selama ini berjalan kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Mahkamah Agung belum mengoptimalkan sarana tersebut, seperti kotak pos yang kurang disosialisasikan. 6. Rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan atau mengadukan perilaku hakim yang menyimpang, karena surat-surat pengaduan harus melalui tata usaha dan tidak mengenal sistem prioritas, sehingga mengalami proses berbulan-bulan. Rumitnya birokrasi selalu memunculkan potensi ‘permainan’ dari oknumoknum yang tidak bertanggung jawab. Sejak dibentuknya, Komisi Yudisial dalam menjalankan tugas dan wewenang “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim” mengalami pasang-surut: 1. Pada tahun 2005, Komisi Yudisial mulai menerima pengaduan dan melakukan pengawasan serta penelitian putusan. 2. Pada tanggal 16 Agustus 2006, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 diputuskan wewenang pengawasan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3. Pada tanggal 29 Oktober 2009 wewenang pengawasan dipulihkan melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 58 40 sampai dengan Pasal 43. Tugas menjaga dan menegakkan profesi hakim menurut UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dilakukan dalam bentuk: UU tentang Kekuasaan Kehakiman, UU tentang Perubahan UU tentang Komisi Mahkamah Agung, Peradilan Tata Yudisial Usaha Negara, Peradilan Umum dan Peradilan Agama a. b. c. d. e. f. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/ atau pedoman perilaku hakim secara tertutup. Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Mengambil langkah hukum dan/ atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. a. b. c. d. e. f. Menerima dan menindaklanjuti laporan/pengaduan masyarakat tentang dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Mengusulkan, memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas kode etik dan pedoman perilaku hakim melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Memantau persidangan. Menelaah, meneliti, dan memeriksa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Merekomendasikan mutasi hakim kepada Mahkamah Agung. Untuk melengkapi atau mendukung kewenangan mengawasi perilaku hakim, maka dapat dilakukan melalui pemeriksaan dan penelitian putusan, baik yang sudah berkekuatan hukum tetap (“inkracht van gewijsde”) maupun masih dalam proses upaya hukum. Selain itu, dapat dilakukan pemantauan dan pengawasan proses dan jalannya persidangan, untuk memastikan proses pemeriksaan dan pembuktian sesuai dengan hukum acara dan “due proccess of law”. Cara itu dapat 59 memastikan putusan hakim benar-benar bersesuaian dengan fakta-fakta persidangan dan peraturan perundang-undangan serta keadilan. Dalam hal ini lah (proses persidangan dan putusan) “mafia hukum” sering “bermain mata” dengan hakim, dan jika cara itu dilakukan, maka dapat meningkatkan kualitas pertimbangan putusan hakim. Cara itu juga dapat memadukan prinsip akuntabilitas dan kemerdekaan hakim sehingga dapat berjalan beriringan, karena antara keduanya ibarat dua sisi mata uang logam yang saling melekat dan tidak terpisahkan. Dengan prinsip itu, hakim tidak lagi menyalahgunakan kekuasaan kehakiman di dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan, dengan berlindung pada independensi hakim, yang pada akhirnya melahirkan ‘peradilan sesat atau tirani kekuasan kehakiman dan alat kekuasaan lainnya’, yang telah berlangsung cukup lama di masa orde baru, bahkan di era reformasi saat ini, yang berdampak pada demoralisasi bangsa. Meskipun kemerdekaan hakim sesuatu yang “inheren”, namun ia tidak bekerja di ruang hampa, tetapi dibatasi atau diikat oleh integritas, moral atau etika, keadilan, transparansi, kontrol, dan akuntabilitas, karena sejatinya tujuan dari kekuasaan kehakiman menciptakan keadilan dan kepastian hukum. E. PEMERIKSAAN DUGAAN PELANGGARAN KODE ETIK DAN/ATAU PEDOMAN PERILAKU HAKIM Pengawasan dan pemantauan serta pemeriksaan putusan dapat menjadi tolok ukur Komisi Yudisial untuk mengevaluasi kinerja hakim (“assessment of judicial performance”) dan pintu masuk menilai apakah ada pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hasinya pun dapat digunakan sebagai bahan untuk memberikan penghargaan kepada hakim yang berprestasi dan berintegritas dan memberikan rekomendasi promosi serta mutasi hakim kepada Mahkamah Agung. Ketentuan mengenai pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (hakim tingkat pertama dan Hakim Agung) serta penjatuhan sanksi baik ringan, sedang, dan berat, semestinya setelah melalui proses pemeriksaan yang adil dan jujur dihadapan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang diisi Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Sangat tidak fair dan objektif bilamana sanksi dijatuhkan sepihak saja oleh Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung, meskipun telah melalui proses klarifikasi dan investigasi serta pemeriksaan saksi-saksi. Idealnya, hasil pemeriksaan MKH yang berupa putusan dapat langsung dijalankan (final dan mengikat) tanpa melalui persetujuan lembaga 60 lainnya, semacam DPR atau Presiden. Sehubungan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, Komisi Yudisial, dalam pemeriksaan pelapor atau saksi, dapat memanggil paksa seseorang dengan bantuan penegak hukum, merupakan kemajuan signifikan di dalam upaya-upaya membongkar praktik-praktik “abuse” peradilan maupun “judicial corruption” yang sifatnya masif, sistemik dan terstruktur”. Pembentukan perwakilan Komisi Yudisial di daerah guna memudahkan dan mendekatkan akses masyarakat untuk melaporkan atau mengadukan perilaku hakim yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku, memberi kekuatan baru kepada Komisi Yudisial di dalam mengakselerasi peran-peran pengawasan yang selama ini tersentral di Jakarta. Yang luput dalam UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial ialah pengawasan dan pemantauan terhadap Hakim Konstitusi yang dinilai cukup dengan hadirnya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi melalui Pasal 23 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, artinya materi, kelembagaan, dan penegakan kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi dilakukan secara internal tanpa melibatkan Komisi Yudisial. Meskipun bilamana merujuk pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/ PUU-IV/2006, maka Hakim Konstitusi dikecualikan, yang berbunyi: “... Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan “original intent” perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistimatika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945...Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang dimaksud dengan perilaku 61 hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut juga terdapat dalam ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang dibentuk sebelum pembentukan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU tentang Mahkamah Konstitusi, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan oleh Komisi Yudisial”. Padahal semestinya dalam negara hukum demokratis “rule of law” atau pun “rechtsstaat” tidak ada satu lembaga pun yang luput dari pengawasan atau kontrol (“checks and balances”) dari lembaga negara lainnya. Andaikata Hakim Konstitusi generasi pertama dan kedua masih relatif terlepas dari anasir-anasir kepentingan politik dan uang, belum tentu generasi selanjutnya demikian. Untuk itu, ikut sertanya Komisi Yudisial sebagai rumpun (bukan pelaku) kekuasaan kehakiman di dalam merancang dan melembagakan serta menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi sangat penting demi menjaga dan merawat lembaga ini sebagai penafsir konstitusi (“the sole judicial interpreter of the constitution”), pengawal demokrasi (“the guardian of democracy”), pelindung hak konstitusional warga negara (“the protector of citizen’s constitutional rights”) dan pelindung hak asasi manusia (“the protector of human rights”).24 Bahkan tidak usah beralih ke generasi ketiga, tahun 2011, tercatat seorang Hakim Konstitusi diberhentikan karena melanggar kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi. Pemberhentian ini tentu memberikan catatan penting bahwa Hakim Konstitusi rentan penyalahgunaan wewenang (“abuse of power”) dan intervensi politik atau pihak-pihak yang berperkara. Sehingga bila tak diawasi, kewibawaan dan “trust” yang sudah tumbuh dan menaik, akan runtuh seperti yang berlaku pada pengadilan dan Mahkamah Agung. F. TANTANGAN KOMISI YUDISIAL PASCA DISAHKANNYA UU NO. 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN UU NO. 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Disahkannya UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial memberikan penguatan kepada 62 Komisi Yudisial dalam menjaga dan mengawasi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Penguatan ini meliputi aspek kelembagaan dan kewenangan yang sebelumnya direduksi lewat pengujian undang-undang. 1. Penguatan Kelembagaan Salah satu kendala kelembagaan yang dihadapi Komisi Yudisial sebelum revisi UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial adalah kelembagaannya yang hanya berada di Jakarta, sedangkan hakim yang diawasi tersebar di berbagai kabupaten dan kota serta propinsi yang tentu meyulitkan masyarakat yang akan melaporkan atau mengadukan hakim yang terindikasi dan terlibat pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Selain itu, dengan hanya berada di Jakarta, praktis pemantauan atau pengawasan di ruang-ruang pengadilan di daerah tidak dapat dijangkau Komisi Yudisial. Pembentukan perwakilan Komisi Yudisial di daerah dapat mengefektifkan pengaduan dan penyelidikan atau investigasi hakim, karena salah satu kendala yang dihadapi Komisi Yudisial dalam mengumpulkan alat bukti terhadap pengaduan yang ditangani, keberadaan pelapor dan saksi-saksi yang berdomisili di daerah. Kesulitan itu tidak akan ditemui lagi ke depan, dan dengan begitu pengaduan yang masuk dapat diproses dengan tepat waktu dan didukung alat bukti yang kuat, sehingga dapat dilanjutkan ke tahap pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Hakim. 2. Penguatan Kewenangan Penguatan Komisi Yudisial melalui penambahan kewenangan terutama di dalam penyelidikan dan mekanisme penjatuhan sanksi kepada hakim memberikan semangat baru bagi Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku hakim di dalam sidang maupun di luar persidangan. Dengan peraturan ini, perilaku “menyimpang” hakim dapat di deteksi secara dini dan dapat dikenai sanksi yang berat, untuk membuat efek jera para pelaku. Dengan peraturan ini pula diharapkan tidak ada lagi hakim yang memperjualbelikan hukum dan keadilan. Penguatan ini tentunya tidak lepas dari kesulitan Komisi Yudisial di dalam mendeteksi, menyelidiki, dan mengadili pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim serta eksekusi keputusan yang sudah dihasilkan. Bahkan, beberapa keputusan penjatuhan sanksi kepada hakim tidak digubris atau pun dilaksanakan Mahkamah Agung, sedangkan Komisi Yudisial secara konstitusional telah didesain UUD 1945 sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi kepada hakim yang menyimpang dari pedoman perilaku dan kode etik hakim. 63 Kewenangan Komisi Yudisial yang semula hanya mengangkat hakim agung dan hakim tingkat pertama (hakim Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Agama dan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara) diperluas dengan kewenangannya mengangkat hakim ad hoc, meskipun masih terdapat ketidaksepahaman mengenai hal ini dengan Mahkamah Agung. Perubahan ini semakin mendekatkan harapan masyarakat pada terbentuknya hakim-hakim di seluruh lingkungan peradilan yang tidak hanya pandai secara intelektual atau keilmuwan, namun juga memiliki integritas, moralitas, dan kejujuran. Keluhan masyarakat pada banyaknya hakim yang rendah integritas dan kapasitasnya akan dapat dijawab dengan penguatan kewenangan ini. Terlepas dari berbagai kemajuan dari institusionalisasi Komisi Yudisial, ke depan yang perlu diperbaiki dari Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung adalah pola hubungan dari konfrontatif ke harmonis dan sinergis baik di dalam membina dan mendidik hakim, maupun di dalam menjatuhkan sanksi. Sebab, selama ini jelas telihat kedua lembaga beberapa kali saling menjatuhkan dan mendelegitimasi kewenangan masing-masing lembaga yang tidak berdampak produktif bagi reformasi dunia peradilan dan pencari keadilan. G. Rekomendasi Dalam metode dan mekanisme rekrutmen Hakim Agung, Komisi Yudisial telah cukup baik menyelenggarakannya dengan berpegang pada prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, profesional dan partisipatif. Penyelenggaraan “uji kelayakan dan kepatutan” oleh DPR lebih tampak hanya sekedar seremonial dan formalitas belaka yang rentan dengan transaksi politik. Perekrutan hakim tingkat pertama (pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara) yang dilakukan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial memberikan harapan terbentuknya hakim-hakim ‘pejuang hukum dan keadilan’. Dalam hal yang demikian, maka pengawasan dan pemantauan proses persidangan serta pemeriksaan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum sangat penting dilakukan guna memastikan kinerja dan integritas hakim. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka: 1. Perlu pelahiran norma baru terkait perubahan bentuk dan mekanisme penyelenggaran “uji kelayakan dan kepatutan” oleh Komisi III DPR, sehingga berpegang pada prinsip akuntabilitas, transparansi, objektivitas, dan partisipatif, sehingga dapat meminimalisir atau menghilangkan ‘transaksi gelap’ antara calon Hakim Agung dengan DPR. 64 2. Perlu dirumuskan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, suatu metode dan mekanisme perekrutan hakim tingkat pertama (pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara) yang akuntabel, transparan dan partisipatif. 3. Pemeriksaan putusan tidak boleh dibatasi hanya pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, karena pada prinsipnya, setiap putusan meskipun belum berkekuatan hukum tetap adalah dokumen milik publik, sehingga Komisi Yudisial ketika menduga kuat adanya “judicial corruption” dan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim, maka dapat segera dan seketika melakukan tindakan pemeriksaan tanpa harus menunggu bertahun-tahun putusan memiliki kekuatan hukum tetap. 4. Hasil pemeriksaan dan penelitian putusan hakim dapat dijadikan dasar dan bahan Komisi Yudisial di dalam merekomendasikan promosi dan mutasi hakim, yang mana rekomendasi tersebut wajib ditaati oleh Mahkamah Agung. 5. Penjatuhan sanksi kepada hakim melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH) perlu tetap dipertahankan, dengan tidak terbatas pada sanksi berat, namun juga melingkupi sanksi ringan dan sedang; 6. Perwakilan Komisi Yudisial di daerah perlu dibentuk untuk memudahkan dan mendekatkan masyarakat mengadukan hakim yang melakukan perbuatan tercela dan melanggar kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Pembentukan ini pula dapat membantu Komisi Yudisial memantau dan mengawasi proses persidangan yang terdapat kepentingan umum di dalamnya atau perhatian yang sangat kuat dari masyarakat, seperti kasus korupsi, pencurian kayu, kejahatan oleh pejabat negara dan seterusnya. RUU TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAU MENGGANTI UU TENTANG MAHKAMAH AGUNG Pentingnya Keselarasan Dengan Paket UU Di Bidang Kekuasaan Kehakiman A. PENGANTAR Masih belum terlalu lama sebenarnya jika dihitung rentang waktu saat ini sampai dengan saat disahkannya RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang dikenal dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Rentang waktu itu ialah sekitar dua tahun. Namun, dalam perkembangannya di tahun 2011 ini, DPR merencanakan perubahan kembali terhadap UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dengan demikian, maka RUU yang sedang direncanakan tersebut ialah RUU yang merupakan perubahan ketiga kalinya. DPR berpendapat bahwa diperlukan perubahan secara yuridis dalam bentuk perubahan undang-undang agar dapat mewujudkan peran strategis Mahkamah Agung. Diharapkan Mahkamah Agung dapat lebih mengemban kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan negara hukum dan mencapai tujuan negara Indonesia dalam konstitusi. Selain itu, menurut DPR pula, perkembangan hukum dan perkembangan sosiologis masyarakat berubah dengan cukup cepat. Oleh karenanya, hal itu memperkuat kebutuhan perubahan atau mengganti UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahannya. Hal itu pun sudah terdapat dalam Prolegnas tahun 2011.25 Sementara itu kelompok masyarakat, termasuk para praktisi hukum (advokat dan lembaga bantuan hukum) berpendapat bahwa perubahan ke tiga atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebaiknya bukan lagi perubahan yang bersifat tambal sulam dengan merubah sebagian dari ketentuan undang-undang lama. Perubahan yang dilakukan harus bersifat mendasar yang dapat mengembalikan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dan dapat menghasilkan putusan yang konsisten sebagai panduan para hakim di tingkat pertama dan banding. Selain itu, masalah pengawasan juga harus dibenahi karena pengawasan 66 ini merupakan rohnya dari semua permasalahan yang terjadi saat ini yang berkaitan dengan Mahkamah Agung.26 Yang dapat dianggap penting dalam perubahan ketiga atau bahkan penggantian UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahannya ialah keselarasan dengan paket UU di bidang kekuasan kehakiman, termasuk dalam hal ini ialah UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. B. PEMBATASAN KASASI PERKARA PERDATA, PERKAWINAN DAN PERKARA PIDANA Pembatasan perkara kasasi mendorong adanya penguatan posisi dan meningkatkan kualitas putusan pengadilan tingkat banding. Dengan adanya pembatasan kasasi maka Pengadilan Tingkat Pertama sebagai judex facti, sedangkan Pengadilan Tingkat Banding di samping berperan sebagai judex facti juga berperan sebagai judex juris. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah merumuskan pembatasan perkara yang dapat dikasasi. Pasal 45A ayat (2) menentukan tiga perkara yang tidak dapat dikasasi adalah: 1. putusan tentang praperadilan; 2. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda; 3. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. Pasal tersebut diatas mengatur pembatasan perkara yang dapat dikasasi yaitu perkara pidana dan perkara tata usaha negara. Selain Pasal 45 A, pembatasan perkara yang dapat di kasasi juga merujuk pada Pasal 46 dan Pasal 47 UU No 14 Tahun 1985 yaitu syarat formal tenggang waktu pengajuan Kasasi. Dalam perkara pidana, perubahan terhadap ketentuan pasal 45A ayat (2) huruf a dan b harus diselaraskan dengan pembaruan yang terdapat di dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian sebelum di sidang pengadilan atau penyelesaian dengan peradilan acara cepat. Perkara pidana yang ancamannya hukuman ringan dan/atau denda dapat masuk dalam proses penyelesaian sebelum di sidang pengadilan. Dengan demikian terdapat dua kelompok penyelesaian perkara pidana yang tidak dapat dikasasi, yaitu: 67 1. Perkara yang diselesaikan pada tahap penuntutan atau peradilan dengan acara cepat di pengadilan negeri. Pengaturannya lebih baik diatur dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 2. Pemeriksaan biasa pada pengadilan tingkat pertama dan banding, tetapi tidak dapat diajukan kasasi. a. Pengaturannya dapat dimasukkan dalam RUU tentang Perubahan Ketiga UU No. 15 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. b. Dengan demikian perlu ditinjau pembatasan perkara pidana yang tidak dapat di kasasi yang semula perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda [Pasal 45A ayat (2) ] Dapat dinaikkan menjadi : “perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 5 (lima) tahun dan/atau diancam pidana denda“ Dalam perkara perdata, belum ada ketentuan undang-undang yang mengatur pembatasan perkara perdata yang dapat diajukan kasasi. Pengaturan dapat dilihat dari kompleksitas dan besaran obyek sengketa, yaitu; 1. Perkara waris baik yang diperiksa di pengadilan negeri maupun pengadilan agama. 2. Perkara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dengan nilai perkara riil tertentu. 3. Perkara perdata permohonan, kecuali untuk permohonan kepailitan. Dalam hal perkara yang berkaitan dengan perkawinan, ukuran yang dapat digunakan adalah: 1. Perkara yang membutuhkan penyelesaian cepat karena berkaitan dengan kepastian hukum dan status hukum para pihak, dan 2. Perkara yang berkaitan dengan perlindungan anak jika dalam perkawinan ada anak. Oleh karena itu perlu diatur pembatasan perkara perkawinan yang dapat diajukan kasasi baik yang diperiksa Peradilan Umum maupun Peradilan Agama, yaitu perkara permohonan cerai dan biaya pemeliharaan anak yang perkaranya dipisahkan dari perkara sengketa harta bawaan. C. PEMBAGIAN OBYEK PENGAWASAN HAKIM YANG DILAKUKAN OLEH MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL Pedoman etika dan perilaku hakim yang telah disusun oleh Mahkamah Agung bersama-sama dengan Komisi Yudisial merupakan yudisial ethics 68 (norma etika yudisial) yang tergolong sebagai professional legal ethics (norma etika profesi hukum) yang mengatur kewajiban para anggota profesi hukum (dalam hal ini hakim) untuk berperilaku. Apabila asasasas tersebut dilanggar, maka hal yang akan terjadi ialah pengaduan yang datang “biasanya” akan berkaitan dengan “putusan yudisial pengadilan” (judicial decision), yang tentunya bagian putusan yudisialnya harus dinilai melalui upaya hukum yang tersedia (banding, kasasi dan peninjauan kembali). Tetapi bagian yang berhubungan dengan perilaku hakim adalah tepat urusan Komisi Yudisial. Dalam hal investigasi yang dilakukan Komisi Yudisial membenarkan adanya perilaku yang melanggar asas-asas dalam pedoman, maka hakim tersebut dapat dikenakan tindakan disiplin. Kewenangan mengawasi perilaku hakim dapat dilakukan dengan dua cara: 1. Melalui pemeriksaan dan penelitian putusan, baik yang sudah berkekuatan hukum tetap (“inkracht van gewijsde”) maupun masih dalam proses upaya hukum; 2. Memantau dan mengawasi proses dan jalannya persidangan, untuk memastikan proses pemeriksaan dan pembuktian sesuai dengan hukum acara dan “due process of law”. Pengawasan dan pemantauan serta pemeriksaan putusan dapat menjadi tolok ukur Komisi Yudisial untuk mengevaluasi kinerja hakim (“assessment of judicial performance”) dan pintu masuk untuk menilai apakah ada pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hasilnya dapat digunakan sebagai bahan untuk memberikan penghargaan kepada hakim yang berprestasi dan berintegritas dan rekomendasi promosi serta mutasi hakim kepada Mahkamah Agung. D. ORGANISASI MAHKAMAH AGUNG DAN KEPANITERAAN Organisasi berbasis kinerja menjadi fondasi untuk Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya, berkembang menjadi organisasi yang berorientasi pada pengembangan pengetahuan dan keahlian. Syarat yang harus dipenuhi agar Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya dapat berhasil dalam membangun organisasi adalah perlunya pemanfaatan teknologi informasi secara maksimal-hal yang saat ini telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Struktur organisasi Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya harus menjadi organisasi yang modern, tepat fungsi, tepat ukuran dengan kinerja maksimal. Pembaruan organisasi Badan Peradilan ke depan diharapkan menuju organisasi Berbasis Kinerja (Performance Based Organization) dan 69 organisasi Berbasis Pengetahuan (Knowledge Based Organization), jika hal itu dapat dilakukan, maka Mahkamah Agung dapat dikualifikasi sebagai organisasi yang menjalankan prinsip organisasi modern. Mengingat struktur dan demografi pengadilan di Indonesia, mulai dari pusat pemerintahan, propinsi, kabupaten/kota, maka sistem pengelolaan organisasi yang menganut prinsip terdesentralisasi adalah pilihan yang paling tepat dan rasional. Sistem ini mendelegasikan sebagian besar wewenang kepada tingkatan manajemen di bawah manajemen puncak. Dengan mengadopsi sistem ini, maka seluruh Pengadilan Tingkat Pertama akan di bawah pengelolaan Pengadilan Tingkat Banding. Oleh karena itu, Pengadilan Tingkat Banding haruslah diperkuat kapasitas dan kapabilitasnya untuk memastikan percepatan penyelesaian perkara dan peningkatan kualitas putusan. Penguatan Pengadilan Tingkat Banding ini, lambat laun dapat mengurangi arus perkara ke tingkat kasasi yang saat ini menjadi salah satu permasalahan yang belum terselesaikan. Sementara di bagian kepaniteraan, perlu dilakukan penyempurnaan dengan pendekatan structure follow function. Proses ini harus mampu menyelesaikan masalah yang timbul dari pemisahan unit pengelolaan perkara dari kepaniteraan, sehingga alur penanganan perkara hanya ditangani oleh satu satuan kerja. E. MANAJEMEN PERKARA Mengenai manajemen perkara, terdapat hal yang penting yang dapat menjadi perhatian serius dalam perubahan ketiga atau bahkan penggantian UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahannya, yaitu mengenai penerimaan pekara dan penunjukkan hakim yang termasuk dalam majelis hakim. 1. Penerimaan Perkara Dalam sistem manajemen perkara di Mahkamah Agung saat ini, memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi, Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama, mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari. Selanjutnya, Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung. Dalam rangka mendorong akses publik terhadap informasi perkara, maka ke depan Panitera Mahkamah Agung wajib untuk mempublikasikan pendaftaran kasasi melalui sistem informasi elektronik. 70 2. Penunjukan Hakim Dalam hal penunjukkan majelis hakim, ketua Mahkamah Agung harus mendasarkan pada kompetensi dan beban kerja. Untuk melaksanakan hal tersebut, Mahkamah Agung perlu mengembangkan sistem informasi untuk mengklasifikasi kompleksitas perkara, beban kerja hakim dan jadwal ketersediaan hakim. 3. Penyampaikan Putusan Dalam rangka transparansi dan akuntabilitas publik, maka semua salinan putusan dipublikasikan melalui website Mahkamah Agung paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan dibacakan. F. PEREKRUTAN CALON HAKIM AGUNG Perekrutan Calon Hakim Agung saat ini dilakukan berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah mengalami perubahan dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua melalui UU No. 3 Tahun 2009 dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Salah satu wewenang Komisi Yudisial adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Komisi Yudisial bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman, namun fungsinya berkaitan erat dengan kekuasaan kehakiman, terutama karena fungsinya sebagai “penjaga mutu” kekuasaan kehakiman. Sejak Komisi Yudisial terbentuk, Komisi Yudisial telah mengajukan sejumlah calon hakim agung ke DPR. Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dipilih oleh DPR 1 orang dari 3 orang calon untuk setiap lowongan (Pasal 8 ayat (3)). Mencari 3 orang calon terbaik bukan merupakan persoalan yang gampang, calon yang berminat untuk mendaftarkan diri juga tidak begitu banyak, singkatnya Komisi Yudisial kesulitan mendapatkan calon yang memenuhi kualifikasi paripurna baik dari segi pengetahuan maupun integritas. Karena itu sebaiknya calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial untuk satu lowongan cukup dua orang calon saja. Calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR tidak didasarkan pada lowongan yang sesuai dengan kebutuhan di Mahkamah Agung. Pasal 14 ayat (2) dalam hal berakhir masa jabatan hakim agung, Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut. Pasal ini tidak mengharuskan Mahkamah Agung menyebutkan spesialisasi Hakim Agung dibutuhkan. Sistem ini sangat potensial memunculkan hakim agung terpilih tidak sesuai dengan kebutuhan nyata Mahkamah Agung. 71 Oleh karena itu, seharusnya sejak Mahkamah Agung menyampaikan surat kepada Komisi Yudisial sudah harus menyebutkan jumlah hakim agung yang lowong berikut bidang hukum yang dibutuhkan. Atas dasar itu, maka Komisi Yudisial juga berkewajiban mengumumkan kepada publik jumlah hakim agung dan bidang hukum yang dibutuhkan. G. HAL-HAL LAIN YANG PERLU DIATUR AGAR MAHKAMAH AGUNG BENAR-BENAR MENGEMBAN AMANAT PASAL 1 AYAT 3 UUD 1945 DAN ALINEA KEEMPAT PEMBUKAAN UUD 1945 Tercatat ada dua kewenangan Mahkamah Agung yang tidak banyak dipersoalkan sejak reformasi bergulir, yaitu: 1. Melakukan “judicial review” peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 20 ayat (2) huruf b UU Kekuasan Kehakiman dan Pasal 31 dan Pasal 31A UU Mahkamah Agung); 2. Memberikan pertimbangan hukum kepada lembaga negara (Pasal 20 ayat (2) huruf c UU Kekuasan Kehakiman dan Pasal 35 dan Pasal 37 UU Mahkamah Agung). Padahal banyak hal yang perlu “dibenahi” dalam wewenang itu dalam rangka terciptanya negara hukum Indonesia berlandaskan konstitusi. Kewenangan menguji peraturan perundang-undangan pertama kali diperkenalkan melalui UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekusaan Kehakiman yang dilekatkan di Mahkamah Agung sebagai lembaga tunggal kekuasaan kehakiman. Pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 “judicial review” dilembagakan kepada dua lembaga, Mahkamah Konstitusi (pengujian undang-undang terhadap UUD) dan Mahkamah Agung (pengujian peraturan di bawah undang-undang). Dualisme mengadili dan menguji norma peraturan perundangundangan di atas menimbulkan ketidakpastian hukum (“rechtsonzekerheid”) karena suatu undang-undang dan peraturan di bawahnya dapat diuji secara bersamaan dan dapat diputus berbeda. Sehingga dualisme ini harus diakhiri dengan memindahkan kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi. Di samping itu, begitu banyak peraturan di bawah undangundang terutama Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah berisi norma setingkat undang-undang yang melanggar UUD 1945, namun tidak tersentuh oleh Mahkamah Konstitusi. Hambatan konstitusional (“constitutional constraint”) memindahkan kewenangan itu sebagaiman diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 72 dapat dilakukan dengan melakukan amandemen kelima UUD 1945 Pasal 24A dan Pasal 24C. Dengan begitu Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (“the sole judicial interpreter of the constitution”), pengawal demokrasi (“the guardian of democracy”), pelindung hak konstitusional warga negara (“the protector of citizen’s constitutional rights”) dan pelindung hak asasi manusia (“the protector of human rights”) kembali kepada khittahnya (“setting-nya”) sebagai lembaga judisial peradilan konstitusi. Dengan desain ini, seluruh kekuasaan “judicial review” diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga Mahkamah Agung dapat berkonsentrasi menangani perkara-perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara dalam tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Bilamana kekuasaan Mahkamah Agung itu dipertahankan, perlu dibuat mekanisme atau proses yang bisa memastikan pencari keadilan (“justice seekers”) mendapatkan proses yang adil, objektif dan transparan (“fair trial”). Ketentuan hukum acara dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahannya saat ini belum mencerminkan prinsip-prinsip itu sebagaimana terlihat dalam Pasal 31 dan Pasal 31A dan Peraturan No. 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Wewenang lain Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum (fatwa) kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi dan kepada lembaga tinggi negara lain (Pasal 35 dan Pasal 37 UU Mahkamah Agung) perlu tetap dipertahankan untuk menjawab permasalahan hukum yang semakin kompleks. H. REKOMENDASI Hal yang terurai di bagian sebelumnya, pada dasarnya merupakan bagian dari rekomendasi yang dibutuhkan bagi perubahan ketiga atau bahkan penggantian UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahannya. Namun perlu juga diberikan suatu rekomendasi lanjutan yang terangkum sebagai berikut: 1. Reformasi terhadap Mahkamah Agung perlu ditempatkan sebagai bagian dari reformasi kekuasaan kehakiman yang menyeluruh. Oleh karenanya, arah kebijakan terhadap perubahan ketiga atau bahkan penggantian UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahannya harus didasarkan pada kebutuhan untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Keterpaduan kebijakan reformasi kekuasaan kehakiman berkaitan pula dengan lembaga penegak hukum yang lain, seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan lainnya. Selain itu juga dengan Komisi Yudisial yang 73 telah diperkuat dengan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. 2. Masalah pengawasan tetap menjadi perhatian penting. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pelaksanaan reformasi Mahkamah Agung yang menjadi bagian dari refromasi kekuasaan kehakiman perlu dilakukan pengawasan secara ketat dan terpadu dalam proses dan tahapan reformasi. Pengawasan proses reforamsi ini mensyaratkan adanya keterbukaan tidak hanya dari Mahkamah Agung, tetapi juga dari Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial serta pengadilan dan lembaga peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung. 3. Dalam upaya mendorong percepatan reformasi yang terpadu dalam kekuasaan kehakiman dan lembaga peradilan lainnya maka terdapat prioritas reformasi legislasi, yaitu: a. Dalam jangka pendek dan menengah, yang dapat dilakukan adalah dengan cara memperkuat politik legislasi Kekuasaan Kehakiman melalui: i. Revisi terhadap UU tentang Mahkamah Konstitusi (berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU tentang Perubahan UU tentang Mahkamah Konstitusi), khususnya terkait dengan materi-materi mengenai Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim, Periodesasi Masa Jabatan Hakim, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, dan Pengawasan Eksternal Mahkamah Konstitusi. ii. Memperjelas fungsi kewenangan internal yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk mewujudkan hubungan yang independent but interrelated antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. iii. Mempertegas pembatasan perkara yang dapat diajukan kasasi, dan pembentukan sistem kamar di Mahkamah Agung. iv. Mendorong pembahasan UU tentang Hukum Pidana (KUHP), dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-udangan terkait. v. Percepatan pembahasan revisi UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai upaya mempercepat perbaikan sistem peradilan pidana. vi. Memperbaiki penyatuatapan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan khusus menjadi terpadu di bawah Mahkamah Agung. vii. Peningkatan jumlah pengadilan kelas IA dan IB agar seimbang jumlahnya dengan pengadilan kelas II, agar proses 74 mutasi hakim dapat berjalan sesuai dengan tahapan, tanpa sumbatan. b. Dalam jangka panjang, yang harus dilakukan adalah menyusun ulang bangunan kelembagaan kekuasaan kehakiman, yang di dalamnya terdiri dari: i. Berkaitan dengan kewenangan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang saat ini berada di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, sebaiknya disatu-atapkan di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, nantinya Mahkamah Konstitusi akan berperan sebagai mahkamah sistem hukum (court of law) dan MA sebagai mahkamah keadilan (court of justice). ii. Perluasan kewenangan peradilan Tata Usaha Negara dalam sistem kekuasaan kehakiman sebagai fungsi kontrol terhadap tindakan hukum eksekutif. iii. Restrukturisasi keberadaan pengadilan khusus dan kemungkinan pembentukan kamar di Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya. iv. Membentuk lembaga pengawas eksternal atau mengoptimalkan fungsi Ombudsman RI yang memiliki kewenangan mengawasi penegakan access to justice di setiap lembaga penegak hukum, menyangkut terselenggaranya hukum acara, prosedur-prosedur pelayanan hukum terhadap masyarakat, transparansi dan kebebasan informasi. v. Penguatan peranan Komisi Yudisial yang menindaklanjuti UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Selain menjalankan fungsi pengawasan, seharusnya Komisi Yudisial juga melaksanakan fungsi pengurusan manajemen karir, promosi, dan mutasi. Agar supaya hakim-hakim di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya, lebih fokus dalam melakukan penanganan perkara (tugas yudisial), sehingga waktunya tidak dihabiskan untuk mengurusi persoalan-persoalan yang sifatnya administratif dan personalia. RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU MENGGANTI UU TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Suatu Kebutuhan Dengan Penguatan A. PENGANTAR Sepanjang perjalanannya melaksanakan tugas pemberantasan korupsi melalui pencegahan dan penindakan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang biasa disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lahir berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak pernah sepi dari “badai” yang cukup dapat melemahkan keberadaannya seperti lembaga-lembaga pemberantasan korupsi yang sebelumnya terbentuk di Indonesia. Berbagai peristiwa yang berupaya untuk melemahkan keberadaan KPK seperti dengan melakukan pengajuan uji materi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, maka telah terjadi uji materi sebanyak 13 kali dan 11 uji materi diantaranya mengancam keberadaan KPK dan bahkan berpotensi membubarkannya. Pemerintah pernah menyusun sebuah RUU tentang Perubahan Kedua UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terkesan membuat tidak jelas pencantuman kewenangan penuntutan oleh KPK. Di lembaga legislatif, upaya-upaya melemahkan keberadaan KPK pun dilakukan cukup terbuka, yang terlihat melalui pernyataan politik yang resisten dengan KPK. Pada tahun 2011 ini, DPR mengajukan percepatan pembahasan RUU tentang Perubahan atau Mengganti UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), meskipun belum menjadi prioritas tahun ini untuk segera dibahas dan dibuatkan naskah 76 akademisnya. Pengajuan tersebut tercermin melalui surat nomor: PW01/0054/DPR-RI/1/2011 tanggal 24 Januari 2011 yang ditujukan kepada Pimpinan Komisi III DPR. Surat yang dibuat berdasarkan Keputusan DPR R.I. nomor: 02B/DPR-RI/II/2010-2011 tentang Program Legislasi Nasional 2011 itu berisi permintaan kepada Komisi III DPR untuk segera menyusun naskah akademik. Sejumlah polemik semakin berkembang dan tarik menarik dukungan suara untuk melakukan revisi secara cepat UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) atau menundanya, dan masing-masing dengan berbagai argumentasinya. Dalam perkembangannya pada tanggal 25 April 2011, Komisi III DPR berargumentasi bahwa perlu secara mendesak adanya RUU tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) karena sudah menjadi ketetapan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR sedang mempersiapkan naskah akademis dan sudah disepakati sebagai usulan DPR. Masalah untuk segera dilaksanakan sinkronisasi, adanya pengurangan dan penambahan kewenangan KPK akan dapat diketahui setelah Daftar Inventarisasi Masalah dibuat, dan pihak pemerintah dapat melakukan revisi terhadap DIM tersebut. RUU tersebut justru menciptakan KPK yang lebih akuntabel dan profesional ke depannya. B. MENGHINDARI TUMPANG TINDIH PENANGANAN KASUS KORUPSI ANTAR INSTITUSI PENEGAK HUKUM Penanganan kasus korupsi, terbagi dalam beberapa penanganan yang salah satunya menggunakan ukuran nilai kerugian negara. Selain itu modus operandi yang melibatkan pejabat negara juga menjadi salah satu klasifikasi lembaga yang melakukan penanganan kasus korupsi. Tercatat UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan legalitas wewenang kepada Kepolisian, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia memberikan legalitas kepada Kejaksaan, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan legalitas kepada KPK. Kecanggihan teknologi dan variasi modus operandi yang dilakukan oleh para koruptor telah mempersulit proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi, sehingga masing-masing lembaga yaitu KPK, Kejaksaan dan Kepolisian merasa perlu untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap 77 suatu kasus korupsi, yang mengakibatkan seolah-olah terjadi tumpang tindihnya kewenangan satu sama lain. Meskipun demikian, terdapat juga pengartian bahwa KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dapat bekerja sama dan bersinergi satu sama lain karena di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, terutama dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 disebutkan bahwa wewenang dan tugas kepolisian salah satunya ialah melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu, untuk membantu pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi, Kepolisian juga berwenang dalam menerima laporan dan/atau pengaduan, mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan Kepolisian dalam rangka pencegahan, mencari keterangan dan barang bukti yang semuanya dalam satu kerangka umum dalam menyelesaikan kasus pidana. Oleh karena itu, untuk kasus tindak pidana korupsi tertentu pihak kepolisian dapat bekerjasama dan bersinergi dengan KPK. Sementara itu, di dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yakni di dalam Bab III Pasal 30, Pasal 32 sampai dengan Pasal 35, dinyatakan bahwa di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: 1. Melakukan penuntutan. 2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat. 4. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. 5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu Kejaksaan dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Hal tersebut di atas, dapat menjadi ”pintu” bagi Kejaksaan untuk memberantas korupsi melalui koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya, terutama Kepolisian dan KPK. Dengan saling koordinasi terhadap kasus yang ada dapat mencegah tidak tumpang tindih dan tidak saling mendukung dalam penanganan kasus korupsi. 78 KPK yang memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dapat menggunakan kewenangan koordinasi dan monitoringnya terhadap Kejaksaan dan Kepolisian. Untuk memadukan lagi koordinasi dan monitoring tersebut, maka KPK dapat menggunakan kewenangan supervisinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dengan kewenangan supervisi itu, maka KPK dapat mengambil alih suatu penanganan kasus korupsi yang sulit berkembang jika tetap ditangani oleh Kejaksaan atau Kepolisian. Dengan begitu, seharusnya dapat dihindari suatu potensi tumpang tindih penanganan kasus korupsi. Jika dalam praktik, tetap terjadi tumpang tindih, maka permasalahan ini perlu diselesaikan melalui sinkronisasi dasar hukum dari ketiga aparat penegak hukum itu, baik itu melalui peraturan bersama atau surat keputusan bersama atau Nota Kesepahaman yang pernah ditandatangani oleh KPK dengan Kejaksaan dan KPK dengan Kepolisian. Kondisi saling mendukung antara KPK, Kejaksaan dan Kepolisian harus tetap diupayakan, terutama dengan menyediakan kesempatan yang seimbang untuk setiap institusi penegak hukum yang melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus korupsi sehingga tidak terjadi kecemburuan antar institusi penegak hukum. Yang perlu juga disadari ialah terjadinya tumpang tindih dalam praktik penanganan kasus korupsi, hanya akan menguntungkan para pelaku korupsi. Oleh karenanya, tetap perlu diupayakan pembenahan yang tidak semata-mata mengandalkan perubahan undang-undang, tetapi pembenahan moril semangat untuk bekerjasama dan bersinergi sehingga penyelesaian kasus-kasus tindak pidana korupsi akan lebih efektif, efisien, transparan, dan terpercaya serta tidak ada lagi masalah tumpang tindih. C. PEMBENAHAN PROSEDUR DALAM MELAKUKAN PENYADAPAN Penyadapan yang dilaksanakan oleh KPK diatur di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Penyadapan informasi ini digunakan antara lain untuk mendukung pemberantasan korupsi. Dalam melakukan 79 penyadapan dan perekaman tersebut, KPK dapat meminta bantuan interpol (Polisi Internasional). Penyadapan ini merupakan keistimewaan yang dimiliki dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan harus mempunyai landasan konstitusionalnya. Oleh karenanya, naskah akademis dan RUU tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), harus disusun dengan merujuk pada hasil putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 tentang Uji Materi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), ditentukan bahwa syarat dan tata cara tentang penyadapan harus ditetapkan dengan undang-undang, apakah dalam Undang-Undang tentang KPK yang akan direvisi atau dalam undang-undang lain. Penyadapan informasi sebenarnya termasuk dalam salah satu kegiatan intelijen komunikasi yaitu suatu kegiatan merekam atau mencuri dengar dengan atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk mendapatkan informasi baik secara diamdiam ataupun terang-terangan. Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dan gangguan ketertiban, pemerintah harus mengatur kegiatan ini, karena kegiatan penyadapan berkembang ke berbagai bidang kehidupan khususnya untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara, dalam kondisi peperangan, dan dalam kegiatan politik.27 Dalam melakukan penyadapan, KPK telah menerapkan mekanisme pengawasan internal dalam bentuk standar prosedur operasional penyadapan, dan KPK telah mendapatkan sertifikasi dari European Telecommunication Standard Institute di bidang lawful standard interception. Mekanisme pengawasan internal tersebut utamanya bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan penyadapan, namun untuk lebih meminimalisir kemungkinan terjadinya penyalahgunaan, maka tetap diperlukan pengkajian terhadap pelaksanaan kegiatan penyadapan agar sesuai dengan standar internasional yang telah berhasil diterapkan di negara-negara lain. Selain itu perlu dikaji kembali maksud serta tujuan pelaksanaan penyadapan di undang-undang lain yang terkait, misalnya narkotika, terorisme dan lainnya. Hal itu perlu dikompilasikan sehingga terjadi sinkronisasi antar undang-undang dalam bidang tindak pidana khusus yang memerlukan kegiatan penyadapan sebagai salah satu alat untuk menggali data dan bukti. 80 Tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK adalah untuk mendapatkan data, bukti, dan informasi terkait indikasi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu sesuai dengan standar prosedur operasional penyadapan yang sah dan tidak melanggar hak asasi manusia,. Penyadapan ini dilakukan justru untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia berupa terjadinya kerugian keuangan negara, yang asal keuangan negara adalah dari berbagai pendapatan negara yang diterima dari rakyat Indonesia dengan memungut pajak dari seluruh rakyat Indonesia. Menurut UUD 1945 sendiri Hak Asasi Manusia dapat dibatasi melalui Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan Hak Asasi Manusia orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Itulah yang menjadi alasan mengapa kewenangan penyadapan oleh KPK sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), tidak pernah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun juga tertuang dalam UndangUndang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, terutama dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 42. Dalam Pasal 41 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, terdapat keharusan bagi setiap penyelenggara jasa telekomunikasi untuk merekam pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi. Pasal 42 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi tersebut menyatakan bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi yang diselenggarakannya yang hanya digunakan untuk kepentingan proses peradilan pidana.28 Dengan demikian, UndangUndang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi mendukung Pasal 12 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan pelaksanaan penyadapan telah memberikan acuan mengenai pembatasan dari hak privasi seseorang dan bagaimana seharusnya penyadapan itu dilakukan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-I/2003 tanggal 30 Maret 2004, Putusan Mahkamah Konstitusi No 012-016-019/PUUIV/2006 tanggal 19 Desember 2006, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011 menegaskan bahwa: 81 1. Hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan undang-undang sesuai dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Mahkamah mempertimbangkan pula, “Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman. 2. Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukah justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai perintah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi. 3. Mahkamah menilai hingga saat ini belum ada pengaturan secara komprehensif mengenai penyadapan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai penyadapan masih tersebar di beberapa Undang- Undang dengan mekanisme dan tata cara yang berbedabeda. Tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan, sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan. 4. Perlu sebuah Undang-Undang khusus yang mengatur penyadapan pada umumnya hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang. Undang-Undang ini amat dibutuhkan karena sampai kini belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan yang berpotensi merugikan hak konstitutional warga negara umumnya. Atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, terdapat pemikiran bahwa penyadapan oleh aparat hukum atau intitusi negara tetap merupakan praktik invasi atas hak-hak privasi warga negara. Hanya saja, dalam kerangka kepentingan yang lebih besar dibandingkan hak-hak privasi warga negara, yaitu kepentingan penegakan hukum dan keadilan, maka dapat disimpulkan bahwa penyadapan berguna sekali sebagai salah satu metode penyidikan. Melalui penyadapan, penegak hukum memiliki 82 alternatif dalam investigasi kriminal terhadap perkembangan modus kejahatan, terutama kejahatan yang sangat serius. Dalam hal ini, terlihat jelas bergunanya penyadapan sebagai alat pencegahan dan pendeteksi kejahatan. D. PENYIDIK DAN PENUNTUT KPK Keberadaan penyidik dan penuntut KPK sendiri dimungkinkan dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Argumentasi ini sesuai pemikiran dan alasan hukum yakni keberadaan penyidik maupun penuntut bagi KPK agar tidak lagi bergantung pada Kepolisian dan Kejaksaan. Penyidik maupun penuntut independen sudah menjadi hal biasa di negara lain. Khusus dalam sistem hukum Indonesia, penyidik atas tindak pidana khusus bukan hal yang baru misalnya di bidang perpajakan dan lingkungan hidup. Tidak ada kendala dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih khusus dibandingkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), misalnya dapat dilihat dalam Pasal 38 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pasal 7 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika terdapat tentangan yang cukup kuat mengenai keberadaan penyidik maupun penuntut KPK yang bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan, maka KPK dapat mengupayakan dasar hukum yang lebih kuat untuk dapat melakukan perekrutan penyidik maupun penuntut yang bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan. Upaya itu dapat dilakukan KPK dengan melakukan pengajuan uji materil ke Mahkamah Konstitusi. Jimly Asshiddiqie (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) berpendapat bahwa idealnya penyidik maupun penuntut KPK berasal dari kalangan hukum dan tidak perlu memakai kata penyidik maupun penuntut independen tetapi penyidik dan penuntut KPK sendiri. Selain itu, dukungan juga datang dari Benny K. Harman (Ketua Komisi III DPR periode 2009-2014), yang mengusulkan agar KPK memulangkan penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan, dan menyeleksi kembali penyidik yang akan diperbantukan ke KPK, ini juga sebagai jalan tengah terhadap hambatan dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dukungan lainnya juga menyatakan bahwa setuju KPK mempunyai penyidik dan penuntu KPK sendiri, dengan catatan bahwa kehadiran penyidik dan 83 penuntut itu harus didukung perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan perubahan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidik dan penuntut yang direkrut, dididik, dan dikelola sendiri oleh KPK cenderung lebih loyal kepada KPK, dan menghindari risiko mempunyai konsekuensi kesetiaan ganda di tengah semangat korps yang cukup tinggi di dalam lembaga penegak hukum di Indonesia. Atau, kalaupun penyidik dan penuntut tersebut berasal dari lembaga penegak hukum lainnya, maka statusnya adalah pegawai tetap KPK, sehingga tidak dapat mudah ditarik oleh Kepolisian maupun Kejaksaan. Sejumlah aturan dan konstruksi hukum di UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya memberi kemungkinan atau ruang yang cukup bagi penyidik independen KPK. Beberapa diantaranya adalah: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 Mahkamah Konstitusi menyebut KPK sebagai lembaga yang penting secara konstitusional (constitutionality important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, seperti diatur di dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi sesungguhnya menegaskan, keberadaan KPK dan penguatan lembaga ini sesuai dengan apa yang dikehendaki konstitusi. Apalagi disebutkan juga, bahwa KPK sangat bernilai untuk menjamin dan menegakkan hak asasi manusia, khususnya hak atas ekonomi, sosial dan budaya rakyat Indonesia yang dirugikan dan terancam akibat korupsi yang dianggap sudah luar biasa dan membutuhkan metode luar biasa yang ditandai dengan keberadaan KPK. 2. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) a. Prinsip Independensi KPK Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) mengatur: “KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh manapun”. Sesuai dengan Pasal 6 butir (d), salah satu tugas KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana 84 korupsi. Sehingga, apapun yang membuat KPK tidak independen dalam melakukan tugas tersebut, jelas bertentangan dengan prinsip dasar independensi KPK. Terdapat kecenderungan bahwa penyidik yang berasal Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut yang berasal dari Kejaksaan, membuat KPK tidak dapat bekerja secara independen, apalagi jika menangani kasus korupsi yang terkait dengan lembaga Kepolisian maupun Kejaksaan tersebut. Kecenderungan tidak luasnya transparansi dan akses masyarakat, membuat lembaga Kepolisian maupun Kejaksaan tetap mendapatkan keluhan dan keluhan akses masyarakat. Oleh karena manajemen yang tidak transparan dan perencanaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan personil Kepolisian maupun Kejaksaan di lapangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta penuntutan sehingga dana untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan tidak dapat menutup kegiatan penegakan hukum. Dalam hal penggajian, terdapat kecenderungan timbulnya kecemburuan antar lembaga penegak hukum misalnya Kepolisian maupun Kejaksaan terhadap KPK dalam hal gaji yang diterima oleh penyidik di Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut di Kejaksaan terhadap rekannya di KPK yakni 1 berbanding 3. Sementara masa jabatan lebih lama di Kepolisian maupun Kejaksaan tetapi penghasilan lebih sedikit dibandingkan di KPK. Perekrutan penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut Kejaksaan oleh KPK kemudian menjadi pegawai KPK dianggap dapat menjadi contoh kepada rekan-rekannya di Kepolisian maupun Kejaksaan. Dengan begitu terjadi ”perlombaan” untuk membersihkan lembaganya, mengubah citra serta sistem yang belum dimiliki Kepolisian maupun Kejaksaan dalam mengelola anggaran penyelidikan, penyidikan serta penuntutan sehingga terjadi kinerja yang baik yang akan berbanding lurus dengan penghasilan dan mengurangi korupsi di lembaga Kepolisian maupun Kejaksaan. Dalam hal KPK mempunyai penyidik maupun penuntut KPK, maka diperlukan suatu standar penyidik dan penuntut minimal dan maksimal untuk pendidikan, pelatihan, pengalaman, masa jabatan, prestasi dan kinerja yang diberikan, pengujian atas perkembangan kemampuan dan integritas sehingga berbanding lurus dengan penghasilan di KPK. Dengan demikian, ini juga memudahkan KPK untuk memiliki penyidik dan penyelidik sendiri seperti harapan 85 masyarakat karena KPK dapat membangun sistem yang lebih kuat dengan membuat peraturan internal yang lebih spesifik dengan memperhitungkan sumber daya dan dananya. b. Pimpinan KPK adalah Penyidik dan Penuntut Umum Jika Pasal 21 ayat (4) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tndak Pidana Korupsi (KPK) dibaca secara cermat, ternyata menegaskan kewenangan penyidik dan penuntut umum yang tidak dimonopoli oleh institusi tertentu. Penyidik tidaklah monopoli Kepolisian, dan demikian juga dengan penuntut umum. Karena setiap pimpinan KPK diberi kewenangan penyidikan dan penuntutan. Hal ini membantah secara tegas banyak pendapat yang mengatakan penyidik dan penuntut harus berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan. Dalam tataran praktik kewenangan, penyidik dan penuntut ini tentu dapat dilaksanakan dan didelegasikan kepada pegawai yang direkrut sebagai penyidik dan penuntut KPK. c. Istilah “Penyidik KPK” UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ataupun UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak pernah mengatakan bahwa Kepolisian adalah satusatunya penyidik tindak pidana. KPK terbuka memiliki penyidik sendiri yang bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan yang terpisah karena jika diambil penyidik dari Kepolisian maupun Kejaksaan dengan jangka waktu tertentu, maka saat penyidik kembali ke institusi asal dikhawatirkan mereka akan menjelekan institusi mereka sendiri dengan cara membuka aib korps yang tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi. Kemungkinan besar mereka dapat diadili dan dikenakan sanksi walau sebenarnya ingin membersihkan dan memperbaiki citra korps mereka tersebut. Ini menjadi tidak adil pula dan dimungkinkan untuk dibuat sebuah tempat pendidikan dan pelatihan penyidik KPK yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK). Bahkan di beberapa lembaga lain, seperti Pajak, Kehutanan, Bea Cukai, Pertambangan dan bahkan Lingkungan Hidup mengenal konsep Penyidik PPNS (bukan dari Kepolisian). UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) bersifat Lex Specialis terhadap UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 86 (KUHAP). Hal ini disebutkan secara tegas pada Pasal 38 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK). Disebutkan bahwa ketentuan pada Pasal 7 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi yang di bawah KPK. Sedangkan Pasal 7 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah pasal yang mengatur bahwa penyidik PPNS di bawah koordinasi dan pengawasan Kepolisian. Artinya, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) menegaskan, bahwa penyidik di KPK lepas dari koordinasi dan pengawasan atau hubungan dengan Kepolisian maupun Kejaksaan. Dengan kata lain, sebenarnya penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan berada di bawah KPK. Namun, kenyataan sering berbeda dengan maksud pengaturan tersebut. Pasal 45 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) juga lebih menegaskan, bahwa penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Rumusan ini sama persis dengan Pasal 43 yang mengatur tentang penyelidikan. Saat ini, KPK sudah merekrut penyelidik sendiri. Hal ini dapat diberlakukan juga dalam rangka kebutuhan adanya penyidik KPK. 3. PP No. 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) Di dalam Pasal 3 disebutkan mengenai pegawai tetap, yang didefenisikan, pegawai yang memenuhi syarat dan diangkat oleh Pimpinan KPK melalui proses seleksi. Eksistensi atau keberadaan pegawai tetap diakui oleh peraturan perundang-undangan, sehingga jika KPK mempunyai penyidik maupun penuntut KPK, maka penyidik maupun penuntut tersebut masuk kategori pegawai tetap. Pendapat yang sering mengatakan KPK tidak dapat merekrut penyidik dan penuntut yang bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan karena KPK bersifat Ad Hoc, tidak tepat. Tidak tepat menghubungkan antara sifat kelembagaan dengan penyidik dan penuntut yang diperkerjakan di KPK. Penjelasan dasar hukum UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) berpijak pada realitas kebutuhan Indonesia pada suatu metode luar biasa dalam pemberantasan korupsi dan karenanya KPK itu ada dengan penguatan sepanjang waktu keberadaaannya. Dengan begitu, usulan agar KPK mempunyai penyidik yang bukan berasal 87 dari Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut yang bukan berasal dari Kejaksaan, sangat memungkinkan. Hal itu seharusnya diperkuat dengan undang-undang. KPK tidak perlu ragu untuk melakukan proses perekrutan dan pembangunan kelembagaan dengan penyidik dan penuntut yang berintegritas. Ke depan, KPK tidak terus-menerus disandera oleh kepentingan pihak lain yang masuk dan mempengaruhi KPK melalui berbagai cara. Diantara berbagai cara itu, penyidik yang berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut yang berasal dari Kejaksaan, tanpa bermaksud mengenyampingkan integritasnya, masih dimungkinkan menjadi bagian dari berbagai cara untuk melemahkan, mengancam independensi dan bahkan menyandera KPK. Selain itu, dalam kerangka memberantas mafia hukum, maka pembentukan penyidik yang bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan serta penuntut yang bukan berasal dari Kejaksaan, adalah salah satu cara untuk memutus jalur mafia hukum. E. KEMUNGKINAN PEMBENTUKAN PERWAKILAN KPK DI DAERAH Untuk menjembatani masalah keterbatasan masyarakat di daerah, terutama di luar pulau Jawa dalam menjangkau KPK, sebenarnya hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk mengakses internet yang relatif semakin mudah saat ini. Meskipun begitu, pembangunan infrastruktur di Indonesia yang tidak baik, masih menyisakan permasalahan yaitu tentu tidak semua daerah memiliki jaringan internet. Atas keadan tersebut, diperlukan pembentukan perwakilan KPK di daerah-daerah yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Di saat yang bersamaan, hal ini akan mendukung kinerja Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi yang mulai dibentuk di berbagai daerah. Terdengar bahwa perwakilan KPK di 33 propinsi belum direncanakan oleh KPK meskipun dimungkinkan menurut Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) yang menyatakan: ”Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia” dan ”Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah propinsi”. 88 Hal tersebut untuk mendukung kinerja KPK yang sangat luas dan berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka KPK perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sesuai pasal tersebut diatas, dasarnya Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, tetapi jika dipandang perlu karena kondisi mendesak, banyak tuntutan saran dan kritik sesuai dengan kebutuhan masyarakat, KPK dapat membentuk perwakilan di daerah propinsi. Dengan demikian pembentukan perwakilan KPK di daerah dapat dibentuk tetapi untuk langsung diterapkan tidak mudah, karena permasalahan keterbatasan anggaran negara. DPR lebih memrioritaskan penggunaan anggaran untuk keperluan supervisi dan koordinasi antar aparat penegak hukum yakni KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Argumentasi lain yang menghendaki penundaan atau tidak perlunya pembentukan perwakilan KPK di daerah ialah untuk menjaga KPK tetap bebas dari konflik kepentingan di daerah. Hal ini banyak dinyatakan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat, akademisi, praktisi hukum, dan lembaga negara lain yang menginginkan KPK tetap berada di pusat (ibu kota). Pernyataan ini berhubungan juga dengan kecenderungan praktik yang dijalankan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah yang mulai tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Jika direncanakan segera pembentukan perwakilan KPK di daerah, maka dapat dibentuk di Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara), Palembang (Sumatera Selatan), Semarang (Jawa Tengah), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Makassar (Sulawesi Selatan) dan Jayapura (Papua). Hal ini juga selaras dengan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah. Perwakian KPK di daerah dapat bertugas dalam pelaksanaan pemantauan praktik pelayanan publik dan menanamkan semangat antikorupsi di bidang pendidikan.30 Di tingkat propinsi, untuk mendukung perwakilan KPK di daerah, maka perlu melibatkan Gubernur, Wakil Gubernur, Ketua DPRD Propinsi, Kepala Kepolisian Daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Agama, Komandan Komando Distrik Militer, Rektor Universitas dan unsur muspida di tingkat kabupaten/kota. Namun, wacana ini secara terbuka ditentang oleh DPR. Hal ini karena anggapan bahwa KPK merupakan lembaga dengan metode luar biasa pada saat yang luar biasa pula. Jika suatu saat tidak diperlukan metode luar biasa, maka dapat tidak diteruskan, terutama dalam keadaan reformasi Kepolisian dan Kejaksaan dianggap sudah berhasil.31 89 Keberadaan perwakilan KPK di daerah-daerah yang memiliki tingkat korupsi tinggi dapat dipelajari dengan melihat lembaga negara lainnya yang memiliki perwakilan di daerah misalnya Ombudsman R.I. dengan struktur dan manajemen kerja yang sudah lebih dahulu ada dibandingkan KPK. Meskipun, KPK berbeda kondisinya, dengan waktu yang berjalan dapat beradaptasi sendiri dan membangun mekanisme kerja yang dianggap sesuai dengan pelaksanaan tugas pemberantasan korupsi di seluruh Indonesia. F. TIDAK BERWENANGNYA KPK MENGHENTIKAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menganut sistem peradilan pidana terpadu. Meskipun demikian, terdapat pendapat kritis bahwa di dalamnya tidak mencerminkan sistem peradilan pidana terpadu, namun lebih mencerminkan prosedur atau tata-cara dalam peradilan pidana. Pendapat kritis ini merupakan hasil pengamatan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap penanganan perkara-perkara korupsi yang dihentikan penyidikannya, baik oleh Kepolisian maupun Kejaksaan. ICW meminta KPK mengkaji ulang semua surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus korupsi yang dibuat Kepolisian maupun Kejaksaan. Menurut ICW pula, pemberian SP3 dianggap sebagai tindakan yang melukai rasa keadilan dan harapan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi. Dengan pendapat kritis tersebut, semakin menguatkan bahwa sebaiknya kewenangan untuk menerbitkan SP3 dan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2) tidak diberikan kepada KPK. Penyidikan dan penuntutan merupakan proses inti penyelesaian kasus korupsi. Diawali dengan proses penyelidikan yang selektif, maka penyelidikan menjadi penyaring kasus korupsi yang mengerucut pada penyidikan dan penuntutan. Pengerucutan tersebut menandakan bahwa kasus korupsi tersebut mempunyai alat bukti yang kuat. Dengan demikian SP3 dan SKP2 tidak diperlukan. Hal ini pun untuk mencegah anggapan kasus yang ditangani KPK dapat dipastikan vonis hukuman oleh pengadilan. Idealnya, wewenang mengeluarkan atau menerbitkan SP3 dan SKP2 juga tidak disematkan pada lembaga yang pemberantasan korupsi selain KPK karena akan menimbulkan benturan kepentingan. Idealnya pula jika wewenang mengeluarkan atau menerbitkan SP3 dan SKP2 disematkan pada semua lembaga pemberantasan korupsi termasuk KPK, maka 90 diperlukan lembaga lain yang berwenang memutus boleh atau tidaknya SP3 dan SKP3 tersebut. Dalam hal SP3, terdapat kecenderungan bahwa hakim tidak beperan untuk memutus kasus atau perkara pemberantasan korupsi seadil-adilnya. Di Indonesia, sejarah penerbitan SP3 dan SKP2 banyak diwarnai dengan kompromi antara pihak-pihak yang terlibat dan penyelesaian suatu kasus. Hal ini jelas bukan perkembangan yang menggembirakan dalam pemberantasan korupsi dengan metode luar biasa dalam keadaan yang luar biasa pula. Idealnya penentuannya tetap melalui hakim dengan putusan yang seadil-adilnya, dan bukan dengan cara menerbitkan SP3 dan SKP2. Hal tersebut pula yang melatarbelakangi KPK tidak boleh menerbitkan SP3 dan SKP2. KPK dicegah untuk mengulangi kesalahan yang telah dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan yang oknumnya ”menekan tersangka untuk membayar sejumlah uang dengan alasan jika ingin dihentikan prosesnya atau jika tidak membayar sejumlah uang tertentu kasus korupsinya tidak dapat diberikan SP3 dan SKP2”, sedangkan tetap tidak tertutup kemungkinan perkara yang sudah di-SP3 dan SKP2, dibuka kembali, manakala ditemukan bukti yang baru atau tekanan dari masyarakat. Dengan demikian, SP3 dan SKP2 juga rentan dan tidak sepi terhadap gugatan sewaktu-waktu. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-I/2003 pada tanggal 30 Maret 2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUUIV/2006 pada tanggal 19 Desember 2006, tetap menyatakan KPK sah untuk tetap tidak berwenang mengeluarkan SP3 dan SKP2 dalam perkara tindak pidana korupsi, sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 40 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK). Jika diselaraskan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka perubahan atau mengganti UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) jangan sampai menghilangkan sifat dasar kekhususan KPK. Dengan KPK tetap tidak dapat menghentikan proses penyidikan maupun penuntutan tindak pidana yang ditanganinya maka KPK tetap harus berhati-hati terhadap berbagai kasus yang masuk untuk diajukan ke pengadilan. Putusan tersebut telah menegaskan bahwa jika KPK diberikan wewenang SP3 dan SKP2 terhadap perkara korupsi, dikhawatirkan wewenang tersebut dapat disalahgunakan. Hukum acara yang terdapat dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) merupakan lex specialis dari UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga jika menyimpang diperbolehkan. Selain itu, tidak tepat jika asas praduga tak bersalah dipertentangkan dengan tidak adanya wewenang KPK mengeluarkan 91 atau menerbitkan SP3 dan SKP2. Asas praduga tidak bersalah harus diartikan sebagai kewajiban semua pihak agar tersangka/terdakwa belum dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. G. PERGANTIAN ANTAR WAKTU PIMPINAN KPK Status terdakwa yang melekat pada Ketua KPK Antasari Azhar, berlanjut pada kerumitan pergantian antar waktu antara Pemerintah dengan DPR yang memiliki pandangan berbeda dalam memahami pasalpasal di dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK). Kerumitan itu juga berlanjut pada pembahasan panjang dan diajukannya permasalahan ini ke Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) tidak mengatur pimpinan KPK harus menjabat satu periode dalam masa bakti yang sama. Jika ditafsirkan secara sistematis Pasal 21 dan 24 dikaitkan dengan Pasal 34 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK), maka masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun. Kerja individu pimpinan KPK pengganti (Busyro Muqoddas) yang baru diangkat pada akhir 2010 dan akan berakhir akhir 2011 ini tidak akan efektif karena singkatnya masa jabatan. Pengisian masa jabatan pimpinan KPK sebagaimana diatur Pasal 33 dan 34 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) tidak harus dilakukan dalam satu paket. Dengan demikian, ke depan jika akan diadakan perubahan dalam pengaturan mengenai pergantian pimpinan antar waktu ini harus merujuk pada putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, terutama pertimbangan hukum yang dapat dibandingkan dengan perkembangan zaman. Meskipun demikian, pendapat berbeda atas putusan tersebut (dissenting opinion) patut dipertimbangkan dalam perubahan atau mengganti UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK). Jika dihubungkan dengan pendapat berbeda tersebut maka kemungkinan terdapat kerugian jika suatu lembaga independen, sistem penggantian jabatannya tidak dilakukan serentak yakni berkuasanya satu rezim dalam lembaga tersebut. KPK yang menggunakan konsep trigger mechanism, terkait pula dengan pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK terhadap berbagai penyelesaian kasus yang harus kolektif, namun menjadi masalah jika seleksi calon pimpinannya tidak harus kolektif. 92 Pendapat yang mengatakan bahwa pengisian jabatan para pimpinan KPK sebaiknya tidak lakukan secara serentak, yang dalam arti, setiap pengganti pimpinan KPK akan menjabat selama empat tahun penuh atau tidak berdasarkan penggantian antar waktu mempunyai alasan bahwa jika terjadi pergantian secara serentak lembaga tersebut akan bekerja dari nol karena para pimpinannya baru semua. Jika penetapan pengganti antar waktu, diputuskan menjabat hanya sampai periode yang memimpin saat ini habis, hal tersebut dinilai mubazir karena proses seleksi pengganti pimpinan KPK memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Perdebatan mengenai itu dianggap sudah seleai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menafsirkan bahwa pimpinan dan/atau pimpinan KPK pengganti memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan (conditionally constitutional).32 H. REKOMENDASI Perubahan atau Mengganti UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) merupakan suatu kebutuhan dengan penguatan. Perubahan atau mengganti tersebut karena dalam realitasnya masih terdapat kelemahan, hambatan, tantangan, rintangan yang dialami oleh KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang sesuai UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK). Pelaksanaan supervisi dan koordinasi yang seharusnya mencerminkan KPK sebagai lembaga dengan metode luar biasa dalam pemberantasan korupsi, tidak berkembang dengan baik. Dengan berpijak pada uraian di atas yang di dalam bagiannya terdapat rekomendasi pula, maka disusun rekomendasi lanjutan yaitu: 1. Diperlukan perbaikan kerangka pikir pimpinan aparat penegak hukum, pimpinan lembaga negara, pimpinan lembaga pemerintahan non departemen untuk memberantas korupsi secara bersama dengan melakukan keterbukaan informasi dan transparansi terhadap berbagai laporan keuangan. Dalam hal itu, diperlukan sikap saling mendukung dan bukan saling berkompetisi yang tidak sehat dan terkesan menimbulkan resistensi terhadap pemberantasan korupsi sendiri, dan perlu pengawasan terhadap berbagai kepentingan politik kekuasaan negara maupun perorangan. Di saat yang bersamaan ketentuan supervisi, monitoring dan koordinasi yang terdapat dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) perlu diatur lebih rinci, termasuk pengaturan bagian dari KPK 93 2. 3. 4. 5. 6. yang bertugas mendukung supervisi, monitoring dan koordinasi dalam pemberantasan korupsi. Melakukan sinkronisasi kembali dasar hukum dan pengaturan penyadapan sehingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang sinkron dan harmonis serta tidak multi interpretasi. Dalam hal ini, setiap lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan harus tetap menerapkan mekanisme pengawasan internal dalam bentuk standar prosedur operasio dalam hal penyadapan. Pengaturan penyidik dan penuntut KPK perlu dipertegas dalam Perubahan atau Mengganti UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK) dengan disertai peraturan internal yang cukup ketat untuk membentuk penyidik dan penuntut KPK yang berintegritas. Pembentukan KPK perwakilan disetiap daerah harus mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dan prospektif kebaikannya bagi KPK itu sendiri. Kepentingan menjembatani berbagai hambatan teknis di lapangan yang dialami oleh masyarakat untuk melakukan pengaduan/pelaporan, memantau perkembangan kasus yang dilaporkan kepada KPK secara intens tetap perlu disikapi dengan hati-hati oleh KPK. Jika pengkajian mengenai hal tersebut memberikan hasil yang prospektif bagi KPK, maka perwakilan KPK di daerah dapat dibentuk mengikuti perkembangan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini, KPK dapat membangun jejaring dengan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat di daerah dalam upaya pemantauan pemberantasan korupsi dan dalam rangka membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk melaporkan dugaan kasus korupsi yang ada di daerahnya. KPK tetap tidak berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan dengan menerbitkan SP3 dan SKP2 karena di saat korupsi dianggap merupakan keadaan yang luar basa dan diselesaikan dengan metode yang luar biasa, maka kewenangan menerbitkan SP3 dan SKP2 akan melukai rasa keadilan dan harapan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi. Dalam hal pergantian antar waktu pimpinan KPK sebaiknya tetap berpedoman kepada putusan Mahkamah Konstitusi, yang memutuskan pimpinan KPK pengganti yang tidak dipilih dalam satu paket dengan pimpinan KPK yang lain tetap menjabat selama empat tahun sejak dipilih. Jika pergantian antar waktu pimpinan KPK tetap 94 diupayakan dengan mengikuti pemikiran bahwa pimpinan KPK serempak menjabat dalam periode yang sama, maka perlu landasan fisolofis, yuridis dan sosioligis yang kuat. Landasan tersebut tertuang dalam undang-undang yang tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU MENGGANTI UU TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Perlu Berpedoman Pada Prospektif Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana A. PENGANTAR Ketika UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disahkan, cukup besar harapan masyarakat pada reformasi Kejaksaan. Perkembangannya di tahun 2011, ternyata terdapat kebutuhan perlunya perubahan atau bahkan mengganti UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, terlebih lagi terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materil UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. DPR telah merencanakan perubahan kembali terhadap UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dengan demikian, maka RUU yang sedang direncanakan tersebut ialah RUU yang merupakan perubahan atau mungkin menggantinya. DPR berpendapat bahwa perkembangan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan ketatanegaraan menjadikan perlunya perubahan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, atau bahkan membentuk undang-undang yang baru. Hal itu dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Kejaksaan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Kejaksaan harus melaksanakan apa yang diamanatkan oleh undang-undang dengan merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. RUU yang merupakan perubahan atau mungkin mengganti UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah terdapat dalam Prolegnas tahun 2011.33 96 Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, Kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban umum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.34 Salah satu hal yang cukup mendesak dari perubahan atau bahkan mengganti UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ialah agar lebih memperhatikan prospektif rekonstruksi sistem peradilan pidana yang sudah dimulai dengan membuat suatu RUU tentang Hukum Acara Pidana yang dianggap lebih mampu menjamin penegakan hukum dan keadilan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dibandingkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku sampai dengan saat ini. B. KEDUDUKAN KEJAKSAAN Dalam hal kedudukan Kejaksaan di Indonesia, dapat melihat terlebih dahulu mengenai sekilas sejarah kedudukan Kejaksaan di Indonesia dengan perundang-undangan yang mendasarinya dalam setiap masa tertentu. 1. Kedudukan Kejaksaan di Indonesia Sebelum Berlakunya UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasca kemerdekaan, Indonesia belum memiliki peraturan perundangundangan sendiri yang mengatur kedudukan, tugas dan kewenangan Kejaksaan. Untuk itu berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pemerintah menggunakan peraturan-peraturan lama yang diwariskan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Saat itu posisi Jaksa Agung RI meneruskan apa yang telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negeri Belanda atau Indische Staatsregeling, yang menempatkan Kejaksaan Agung berdampingan dengan Mahkamah Agung. Namun secara administratif, Kejaksaan dan Pengadilan berada di bawah Kementerian Kehakiman. 97 Ketentuan-ketentuan di dalam Indische Staatsregeling yang mengatur kedudukan Kejaksaan sama dengan ketentuan-ketentuan dalam UUD Negeri Belanda yang menganut sistem pemerintahan Parlementer. Secara teori, konstitusi Belanda memang memisahkan tugas badan eksekutif dengan badan yudikatif. Namun dalam tradisi di Negeri Belanda, semua hakim dan jaksa, adalah pegawai negeri. Secara struktural organisasi, personil dan keuangan baik jaksa maupun pengadilan berada di bawah Ministrie van Justititie (Kementerian Kehakiman). Namun secara fungsional dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam kekuasaan yudikatif, jaksa dan hakim adalah independen. Dalam hukum tata negara Belanda, Jaksa Agung diangkat oleh Perdana Menteri atas usul Menteri Kehakiman. Calon Jaksa Agung diambil dari pejabat karir berdasarkan kecakapan, pengalaman dan kemampuan. Jabatan Jaksa Agung bukanlah jabatan politik. Oleh karena tugas jaksa terkait langsung dengan pengadilan, maka dalam tradisi Belanda, Jaksa Agung disebut sebagai ”Jaksa Agung (Hoofd Officer van Justitie) pada Mahkamah Agung (Hooge Raad)”. Pola seperti ini, diikuti Indonesia sampai dengan tahun 1958, ketika Perdana Menteri Juanda merintis jalan untuk menempatkan Kejaksaan sebagai institusi yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan eksekutif. Berdasarkan UU Republik Indonesia Serikat (RIS) No 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, Jaksa Agung tetap berada di di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU RIS No. 1 Tahun 1950 mengatakan ”Pada Mahkamah Agung adalah seorang Jaksa Agung dan dua orang Jaksa Agung Muda”. Namun ada sedikit perubahan pada proses perekrutan Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda, yang dalam sistem ketatanegaraan Belanda diangkat oleh Perdana Menteri atas usul Menteri Kehakiman, yang dalam undang-undang ini diangkat oleh Presiden, yang dalam praktiknya dilakukan atas usul Perdana Menteri. Sebagaimana diketahui, Konstitusi Republik Indonesia Serikat menganut sistem parlementer. Keberadaan Kejaksaan yang rancu antara eksekutif dan yudikatif ini, baru berakhir pada tahun 1959, ketika UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah Dekrit Presiden, 13 Juli 1959, pada tanggal 22 Juli 1960 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960, yang secara tegas memisahkan Kejaksaan dari Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung, dan menjadikannya sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri dan merupakan bagian dari kabinet. Dalam pembentukan kabinet baru yang bercorak presidensial yang dinamakan dengan Kabinet 98 Kerja I, Presiden Sukarno mengangkat Mr. Gatot Tarunamihardja sebagai Menteri/Jaksa Agung. Inilah pertama kalinya terjadi pergeseran kedudukan Kejaksaan dan posisi Jaksa Agung, yang dulunya rancu karena mengikuti tradisi Belanda, menjadi lebih tegas: Kejaksaan adalah bagian dari ranah eksekutif. Jaksa Agung adalah anggota kabinet dengan sebutan Menteri/Jaksa Agung. Tidak lama setelah itu, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang didalamnya menyebut bahwa Kejaksaan adalah bukan saja alat negara penegak hukum, tetapi dalam konteks penyelesaian revolusi, Kejaksaan adalah “alat revolusi”, yang tugas utamanya adalah “penuntut umum”. 2. Kedudukan Kejaksaan dalam UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Konsideran UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa bahwa Kejaksaan adalah ”alat negara” dan ”alat revolusi”, sedangkan konsideran UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan adalah ”lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tatanan susunan kekuasaan badanbadan penegak hukum dan keadilan”. Oleh karena itu terjadi pergeseran penting dalam mendudukkan institusi Kejaksaan, dari ”alat negara” menjadi ”lembaga pemerintahan”. Pergeseran tersebut untuk mempertegas posisi Kejaksaan sepenuhnya berada dalam ranah kekuasaan eksekutif. Kemudian dikatakan bahwa Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggungjawab tertinggi Kejaksaan yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan” [Pasal 18 ayat (1)]. UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga menghapus istilah Departemen Kejaksaan dan Menteri sebagai penyelenggaranya sebagaimana diatur di dalam UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung juga ”diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggungjawab kepada Presiden” (Pasal 19). Penegasan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah kewenangan Presiden, serta pertanggungjawabannya kepada 99 Presiden, semakin mempertegas bahwa Kejaksaan adalah sepenuhnya berada di bawah ranah kekuasaan eksekutif. 3. Kedudukan Kejaksaan dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Perubahan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dilatarbelakangi oleh rumusan pasal-pasal dalam Bab IX UUD 1945 Hasil Amandemen tentang ”Kekuasaan Kehakiman”. Setelah perubahan atau amandemen tersebut, Bab IX UUD 1945. Pasal 24 ayat (1) berbunyi: ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Pasal 24 ayat (2) berbunyi: ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi”. Pasal 24 ayat (3) berbunyi: ”Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang”. Bila kita telaah seluruh ketentuan dalam Bab IX UUD 1945 Hasil Amandemen, sebagaimana juga dalam keseluruhan teks UUD 1945 setelah perubahan, maka kita tidak akan menemukan kata ”Kejaksaan” disebutkan di dalamnya. Demikian juga dengan ”Kepolisian” yang sebelumnya juga dicantumkan, namun pasca perubahan mendapatkan tempat yang khusus diatur dalam Bab XII tentang Pertahanan Negara (Pasal 30 ayat 4 dan 5). Perdebatan yang muncul dalam pembentukan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah apakah dengan tetap mempertahankan kedudukan Kejaksaan dalam ranah eksekutif tidak bertentangan dengan rumusan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan? Hal ini tergantung pada penafsiran kata seluruh ketentuan dalam BAB IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman. ”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sementara lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman itu disebutkan secara 100 limitatif yakni ”dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya…dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” (Pasal 24 ayat 1 dan 2). Sementara ”badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Sebagai badan yang melaksakan tugas penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan, maka Kejaksaan adalah badan yang secara fungsional terkait dengan kekuasaan kehakiman. Apakah terkait berarti menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman? Tentunya tidak demikian, Kejaksaan tidak menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman hanya memiliki kaitan dengan kekuasaan kehakiman dalam konteks integrated criminal justice system. C. KEJAKSAAN: LEMBAGA PEMERINTAHAN ATAU LEMBAGA NEGARA Lazimnya dalam sistem presidensial di negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Philipina, Kejaksaan berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, namun demikian dalam menjalankan fungsinya bersifat independen. Secara filosofis, dalam sistem presidensial, keberadaan Kejaksaan dalam ranah kekuasaan eksekutif karena dalam menjalankan fungsinya, Jaksa Penuntut Umum bertindak mewakili kepentingan umum (seluruh rakyat). Dalam sistem presidensial, Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, berarti rakyat memberi amanat kepada Presiden untuk melindungi kepentingannya, karena itu Presiden berwenang memilih Jaksa Agung untuk menjalankan amanat melindungi kepentingan rakyat tersebut. Seandainya fungsi penuntutan berada di bawah kekuasaan yudikatif maka hakim-hakim di lembaga peradilan tidak dipilih secara langsung oleh rakyat dan karena itu bila Kejaksaan di bawah kekuasaan yudikatif maka tidak berhak untuk mengatasnamakan rakyat. Meskipun Kejaksaan berada dibawah Presiden namun Kejaksaan memiliki Independensi dalam menjalankan fungsi penuntutan, hal ini harus mendapat jaminan dalam undang-undang. Jaminan tersebut dapat mengikuti pola independensi yang berkaitan dengan independensi etisindividual (nilai-nilai profesionalitas) maupun independensi organisasi (pengaturan kelembagaan). 101 D. RUANG LINGKUP TUGAS KEJAKSAAN SELAIN PENUNTUTAN Ruang lingkup tugas Kejaksaan selain penuntutan yang selama ini dikenal ialah mengenai: 1. Kewenangan penyidikan dalam kasus tindak pidana korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. 2. Kewenangan untuk melakukan deponeering. 3. Kewenangan di bidang ketertiban umum. 4. Kewenangan di bidang perdata dan tata usaha negara. Ketiga kewenangan tersebut penting untuk ditelaah. Dalam perkembangan negara yang berdemokrasi, kewenangan tersebut seringkali menjadi masalah karena terdapat pola pikir yang berbeda di masyarakat. Hal ini seringkali menimbulkan pertentangan antara pemerintah dan masyarakat. 1. Kewenangan Penyidikan dalam Kasus Korupsi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Sejak berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan penyidikan berada di tangan Kepolisian Republik Indonesia. Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, ini berarti bahwa Kepolisian adalah penyidik tunggal. Akan tetapi dalam aturan peralihan pasal 284 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan: “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan khusus adalah ketentuan yang menyangkut pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (UU No. 7 Darurat Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi. Namun agar tidak menimbulkan multitafsir maka 102 dalam PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam pasal 17, secara tegas menyebutkan Jaksa Kejaksaan sebagai penyidik untuk tindak pidana tertentu (korupsi). Untuk lebih lengkapnya isi pasal tersebut adalah sebagai berikut: “Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan." Pasal inilah yang menjadi acuan untuk memberikan kewenangan Jaksa Kejaksaan bertindak selaku penyidik tindak pidana korupsi. Dalam pasal tersebut sebenarnya ada pembatasan yaitu dengan adanya redaksi “sementara”. Kenyataannya setelah sekian banyak ketentuan mengenai undang-undang tindak pidana korupsi mulai dari UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sampai dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ada penyebutan secara tegas tentang apakah Kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia secara eksplisit telah menyebutkan secara tegas bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana Korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dengan bunyi Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, maka secara yuridis formil Kejaksaan telah memiliki kewenangan dalam hal melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM. Salah satu argumentasi bahwa Kejaksaan berwenang dalam penyidikan tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM, ialah dengan berdasarkan asas utility hukum atau asas manfaat hukum. Artinya, apakah penyidikan tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM oleh Kejaksaan selama ini lebih banyak menimbulkan mudharat daripada manfaat atau sebaliknya? Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa yang perlu mendapatkan penanganan luar biasa pula. Termasuk dalam penanganan luar biasa ini adalah memperluas pengawasan, agar 103 memperkecil celah terjadinya “tindak pidana korupsi”, dan keberadaan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi adalah dalam rangka memperkuat pengawasan. Oleh karena itu, berdasarkan argumentasi ini ialah kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi masih relevan untuk diberikan kepada Kejaksaan. Sementara dalam hal penyidikan pelanggaran HAM, terbentur dengan masalah kompetensi Kejaksaan, karena itu terlihat kinerja yang tidak optimal dari Kejaksaan dalam penyidikan pelanggaran HAM. Dalam hal ini, banyak yang berpendapat bahwa sebaiknya penyidikan pelanggaran HAM diberikan kepada lembaga yang kompeten dalam hal ini, yaitu Komisi Nasional HAM. Berkaitan dengan hal tersebut, Komisi Nasional HAM ditingkatkan kewenangannya bukan hanya dalam penyelidikan namun juga dalam penyidikan pelanggaran HAM. Hanya saja dalam konteks prospektif rekonstruksi sistem peradilan pidana, maka perlu diperhatikan perumusan yang sudah dilakukan di dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana, yaitu bahwa penyidik adalah: 1. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2. Pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut Undang-Undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan Penyidikan; dan 3. Pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut Undang-Undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan Penyidikan. Dengan begitu, tersirat bahwa terdapat pembagian kewenangan penyidikan dan penuntutan, sehingga tidak terdapat lagi kewenangan penyidikan dan penuntutan dirangkap oleh dalam suatu jabatan kelembagaan. 2. Kewenangan untuk Melakukan Deponeering Pasal 35 sub c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia maupun penjelasannya mengatakan pengenyampingan perkara (deponeering) demi kepentingan umum adalah sebagai berikut: yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas. Asas tersebut hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. 104 Asas oportunitas terkait dengan ajaran utility hukum atau asas manfaat dari hukum. Bicara tentang manfaat maka berhubungan dengan mudharat. Tegasnya, jika asas oportunitas dihubungkan dengan diskresi Jaksa Agung untuk men-deponeer perkara maka dapat dipahami kebijakan itu diambil tergantung pada mana yang lebih besar manfaatnya dalam logika kepentingan umum yang menguat pada saat itu atau manakah yang lebih besar manfaatnya antara menuntut atau tidak menuntut suatu perkara terhadap kepentingan bangsa pada saat itu. Tabel. Pengaturan Deponeering pada UU tentang Kejaksaan Republik Indonesia UU No. 15/1961 Pasal 8 Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum. UU No. 5/1991 Pasal 32 huruf ‘c’ Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: Menyampingkan perkara demi kepentingan umum; UU No. 16/2004 Pasal 35 huruf ‘c’ Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum Menurut Prof Dr Andi Hamzah, SH dalam bukunya yang berjudul “Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana” tahun 2006. Beliau menjelaskan sebagai berikut: “Demi kepentingan umum” dalam penseponeran perkara dalam rangka penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat.” 3. Kewenangan di Bidang Ketertiban Umum Kewenangan Kejaksaan di bidang ketertiban umum yang mendapat perhatian luas dari masyarakat ialah kewenangan untuk: a. Mengawasi peredaran barang cetakan. b. Mengawasi aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara serta penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Seperti sempat disebutkan dalam bagian di atas bahwa kewenangan ini dapat mengakibatkan pertentangan antara pemerintah dan masyarakat. Oleh karenanya Kejaksaan harus menelaah kembali kewenangan ini. 105 a. Kewenangan untuk Mengawasi Peredaran Barang Cetakan Selama ini, sejak zaman Orde Lama sampai dengan masa reformasi, Kejaksaan melakukan pelarangan dan penyitaan buku tanpa ada due process of law. Alasannya, demi menjaga ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan boleh mengambil keputusan sepihak. Akibatnya, banyak penulis buku yang menjadi korban. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 kemudian membatalkan UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan. Namun kewenangan Jaksa berkaitan dengan pengawasan peredaran barang cetakan tidak dibatalkan, artinya Jaksa masih berwenang mengawasi peredaran barang-barang cetakan. Namun demikian menurut Mahkamah Konstitusi, kewenangan Jaksa tersebut tidak dapat dilakukan secara sepihak, melainkan harus melalui due process of law (proses hukum yang adil) berdasarkan hukum acara yang berlaku. b. Kewenangan untuk Mengawasi Aliran Kepercayaan yang Membahayakan Masyarakat dan Negara serta Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 30 ayat (3) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menjelaskan tugas Kejaksaan di bidang ketertiban dan ketentraman umum, diantaranya adalah pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara, serta mencegah penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Sebenarnya pasal 30 ayat (3) merupakan pengulangan dari UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kewenangan ini banyak dipersoalkan oleh berbagai pihak, setidaknya karena beberapa hal : 1. Menjaga ketertiban dan ketentraman umum bukan tugas Kejaksaan, melainkan tugas Kepolisian. 2. Pengawasan aliran kepercayaan dan penodaan agama, melanggar HAM. Dalam perkembangan saat ini, kewenangan ini tidak relevan lagi diberikan kepada Kejaksaan, karena itu seharusnya kewenangan ini ditiadakan dan direkonstruksi untuk diberikan kepada lembaga-lembaga lain yang lebih kompeten. 106 4. Kewenangan di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat. Dalam hal ini, terkait dengan ajaran utility hukum atau asas manfaat dari hukum. Dapat dipahami bahwa dengan keadaan Indonesia yang mana negara atau pemerintah mempunyai keterbatasan, maka peran Kejaksaan dimanfaatkan dalam hal membela kepentingan negara atau pemerintah. Sampai dengan saat ini, manfaat tersebut masih diraskan seperti dalam hal sengketa hasil perhitungan suara dalam pemilihan umum legislatif. Meskipun demikian, hal ini tetap memerlukan kajian lebih lanjut agar tidak berbenturan dengan peran advokat. F. PENINGKATAN SUMBER DAYA MANUSIA Peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan yang perlu mendapat perhatian serius ialah dalam hal perekrutan calon jaksa, pendidikan dan pelatihan, serta mutasi dan promosi. 1. Perekrutan Calon Jaksa Perekrutan calon jaksa merupakan langkah awal untuk mendapatkan sumber daya jaksa yang berkualitas. Proses perekrutan yang baik tentunya dimulai dari persyaratan untuk menjadi jaksa harus berbeda dengan pegawai negeri pada umumnya. Jabatan jaksa dengan segala tugas dan wewenang yang dimilikinya harus dijabat oleh orang-orang pilihan yang memiliki kemampuan dan pengatahuan hukum secara baik. Jaksa merupakan jabatan fungsional di Kejaksaan yang dapat dijabat oleh pegawai negeri di Kejaksaan dengan kualifikasi memiliki ijasah sarjana hukum dan lulus pendidikan pembentukan jaksa (PPJ). Status jaksa sebagai pegawai negeri sipil berakibat pada sistem perekrutan yang tidak jauh berbeda dengan pola perekrutan pegawai negeri sipil pada umumnya. Kejaksaan memiliki kewenangan untuk menetapkan sistem perekrutan secara otonom namun pola yang saat ini diterapkan pada praktiknya seringkali mengalami penyimpangan sehingga belum dapat menghasilkan tenaga jaksa yang berkualitas baik. Proses perekrutan yang berjalan selama ini perlu dikaji kembali mengenai efektivitas pelaksanaannya di lapangan. Beberapa pendapat 107 menyatakan bahwa proses yang telah dijalankan oleh Kejaksaan dalam melakukan perekrutan masih belum dapat menghasilkan sumber daya jaksa dengan kualitas sebagaimana yang diharapkan. Proses pelaksanaan perekrutan baik melalui tes calon pegawai Kejaksaan maupun PPJ tidak jarang menimbulkan kritik karena dipandang tidak transparan dan akuntabel. Misalnya, mekanisme kerja Tim Seleksi yang cenderung tertutup dengan tidak diumumkannya penilaian hasil seleksi secara keseluruhan. Hal ini dapat mendorong terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan perekrutan dan seleksi. Perekrutan calon jaksa saat ini hanya bertujuan untuk mengisi formasi tenaga jaksa yang kosong di Kejaksaan. Kekosongan formasi biasanya ditimbulkan oleh sebab-sebab yang rutin dan terukur, seperti adanya jaksa yang pensiun, dibentuknya Kejaksaan baru (perluasan organisasi), atau sebab-sebab yang insidental, seperti adanya jaksa yang berhenti atau meninggal. Pada dasarnya analisis kebutuhan jaksa telah dilakukan namun informasi tersebut belum dimanfaatkan secara baik dan benar. Hal ini dapat dilihat dari penempatan jaksa pada masing-masing daerah yang tidak merata. Perekrutan calon jaksa sebaiknya tidak dilakukan secara otonom oleh Kejaksaan itu sendiri, namun dilakukan oleh pihak ketiga yang memiliki kompetensi dan integritas untuk memilih calon-calon jaksa yang memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Pihak ketiga ini bekerja tanpa keterlibatan dan intervensi Kejaksaan. Kejaksaan hanya terlibat untuk menentukan jumlah calon jaksa yang dibutuhkan dan kompetensi yang harus dimiliki. Pihak ketiga dimaksud bekerja secara transparan dan akuntabel. Hal ini dimaksudkan untuk memutus mata rantai korupsi, kolusi dan nepotisme di Kejaksaan dan memulihkan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan. Dengan uraian tersebut di atas, maka yang dapat disimpulkan dalam perekrutan calon jaksa ialah: 1. Instrumen uji harus ditingkatkan untuk menggali kemampuan analisis. 2. Materi uji perlu selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan. 3. Pedoman penilaian wawancara harus memuat tujuan definisi dan tujuan tiap aspek penilaian, serta parameternya. 4. Wawancara dilakukan kepada tiap calon secara terpisah. 5. Wawancara diserahkan pada Seskretaris Jaksa Agung Muda dan Direktur yang telah dilatih mewawancara, tidak pada Jaksa Agung Muda. 108 6. Kemahiran berbahasa Inggris dan menggunakan komputer harus diuji. 2. Pendidikan dan Pelatihan. Pendidikan dan Pelatihan diarahkan pada keahlian. Pokok bahasan dalam pendidikan dan pelatihan jaksa lebih menitikberatkan pada pengetahuan yang “based on data”, yakni pengetahuan yang menggambarkan kaitan antara kenyataan yang dijelaskan dan penjelasannya. Bahan ajar dalam pendidikan dan pelatihan jaksa perlu dikoreksi, utamanya dalam hal kecenderungan yang aksiomatik-deduktif. Sebagai pengayaan, harus dilakukan aksentuasi pada keterampilan dalam olah logika dari pokok bahasan yang terkandung dalam bahan ajar. Berkaitan dengan hal ini diperlukan penambahan jam pelajaran berupa studi kasus. Selain hal tersebut di atas, maka dalam hal pendidikan dan pelatihan ini, diperlukan suatu perubahan yang menyeleraskan pendidikan dan pelatihan antar lembaga penegak hukum, yaitu: 1. Pendidikan dan pelatihan terpadu. 2. Awalnya dipandu oleh Fakultas Hukum untuk menghindari kecemburuan dan kompetisi antar lembaga penegak hukum. 3. Proses perekrutan yang obyektif dan transparan. 4. Kurikulum didesain bersama, setelah dilakukan need assessment yang melibatkan stakeholders, dan berorientasi pada content and competence. 5. Metoda pengajaran diperkaya dan tidak sekedar monologue oleh pengajar (group dynamics, moot court, dan berbagai simulasi lain). 6. Pengajar dari berbagai profesi hukum dan akademisi yang accredited 7. Bahan ajar selalu dikembangkan dan dimutakhirkan. 8. Didukung oleh perpustakaan yang lengkap, mutakhir, dan juga yang IT-based. 9. Menyediakan sarana video conference untuk berinteraksi dengan profesional hukum dari manca negara. 10. Proses pembelajaran dalam kelas disertai dengan praktik magang di berbagai lembaga profesi hukum. 11. Dilakukan tidak secara massal, tapi dalam kelas-kelas kecil, kecuali untuk studium generale. 12. Mekanisme evaluasi disusun dengan seksama dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja lembaga. 13. Quality Assurance dilakukan secara berkesinambungan. 14. Pencerminan dari public service, social concern and social involvement. 109 15. Didukung oleh praktisi hukum yang handal dan berintegritas. 16. Tingkat kelulusan yang jelas parameternya, sesuai dengan tujuan pendidikan hukum lanjutan. Hal tersebut di atas, dengan memerlukan suatu prasyarat: 1. Adanya kesamaan visi antar pemuka dalam pendidikan tinggi hukum serta profesi hukum mengenai pendidikan hukum lanjutan yang career-oriented. 2. Dukungan dari lembaga-lembaga untuk penyelenggaraannya. 3. Dukungan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. 4. Dukungan dari civil society. 3. Mutasi dan Promosi. Kondisi saat ini yang masih menyelimuti Kejaksaan dan berpengaruh pada mutasi dan promosi dalam Kejaksaan ialah: 1. Kualitas sumber daya manusia, misalnya: penempatan pimpinan yang kurang tepat dan keterbatasan pendidikan dan pelatihan. 2. Kuantitas sumber daya manusa: Jumlah aparat pengawasan di daerah saat ini masih belum memadai. 3. Integritas aparat pengawasan yang seringkali menghambat pelaksanaan pengawasan. Berkaitan dengan hal itu, untuk memutus mata rantai korupsi, kolusi dan nepotisme seharusnya penilaian untuk mutasi dan promosi diserahkan pada Tim Independen, dalam hal ini komposisi Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (BAPERJAKAT) seharusnya terdiri dari Tim Independen yang berasal dari Unsur Akademisi, Tokoh Masyarakat dan Mantan Jaksa yang berintegritas. Selain itu pula, maka diperlukan: 1. Menempatkan personil pengawasan dilakukan berdasarkan need asessment yang sesuai dan tepat. 2. Mengadakan fit and proper test bagi aparat pengawasan khususnya dan Kejaksaan umumnya. 3. Memberikan reward tertentu bagi aparat pengawasan fungsional khususnya dan Kejaksaan umumnya. 110 F. PENGISIAN JABATAN JAKSA AGUNG MUDA DAN JAKSA AGUNG. Pengisian jabatan Jaksa Agung Muda dan Jaksa Agung perlu mendapat perhatian, terutama dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materil UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 1. Apakah Jaksa Agung Muda dan Jaksa Agung Berasal dari Karier atau Non-Karier Keberadaan Jaksa Agung Non-Karier dilatarbelakangi oleh tuntutan publik untuk mempercepat proses reformasi kelembagaan di Kejaksaan, asumsi yang mendasari adalah adanya resistensi yang tinggi dari internal Kejaksaan dalam menjalankan gagasan reformasi kelembagaan, karena itu sulit mengharapkan reformasi berjalan dari dalam. Keberadaan Jaksa Agung non-karir diharapkan mampu memutus mata rantai “mafiaperadilan” yang bersarang di tubuh Kejaksaan. Namun keinginan tersebut tidak semudah membalik telapak tangan, banyak hal yang merintangi Jaksa Agung non-karier dalam mereformasi kelembagaan Kejaksaan. Keberadaan Jaksa Agung non-karier juga rentan tidak diterima oleh Internal Kejaksaan dan akan membuat program reformasi kelembagaan tidak dapat dijalankan secara maksimal. Dalam situasi seperti saat ini, dimana Kejaksaan masih membutuhkan proses menuju reformasi kelembagaan maka Jaksa Agung non-karir harus tetap diberikan kesempatan, agar lebih leluasa memilih figur baik karir maupun non-karir yang memiliki semangat perubahan yang tinggi dan memiliki kualitas kepemimpinan yang baik dan berintegritas. 2. Masa Jabatan Jaksa Agung; Apakah Sama Dengan Masa Jabatan Kabinet atau Mengikuti Masa Kerja Pejabat Jaksa (Sampai Pensiun) Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010, jabatan Jaksa Agung harus dibatasi, dan berdasarkan konvensi ketatanegaraan, pembatasan masa jabatan Jaksa Agung adalah setiap berakhirnya masa jabatan Presiden. Namun demikian agar tidak terjadi lagi seperti kasus mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji maka masa jabatan tersebut harus diatur secara eksplisit dalam RUU tentang perubahan atau yang Mengganti UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, perlu mempertegas bahwa masa jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan masa jabatan Presiden. 111 G. TATA KELOLA DAN SISTEM PENDUKUNG KEJAKSAAN Tata kelola dan sistem pendukung Kejaksaan berhubungan dengan pemisahan antara tugas kesekretariatan dengan fungsi utama jaksa melakukan penuntutan. Selain itu mengenai transparansi dan akuntabilitas kelembagaan perlu juga mendapat perhatian. 1. Pemisahan antara Jabatan Struktural dan Fungsional (Fungsi Teknis dan Fungsi Administrasi) Seharusnya di Kejaksaan dibentuk Sekretariat Jenderal yang menangani bidang-bidang administrasi dan keuangan, jabatan ini diisi oleh Pegawai Negeri Sipill (PNS) non-jaksa, adapun jaksa hanya menjalankan fungsi sebagai penuntut umum dan tugas-tugas lainnya yang diamanatkan oleh undang-undang. 2. Transparansi dan Akuntabilitas Kelembagaan. Untuk membangun transparansi maka Kejaksaan wajib menyediakan layanan yang mudah diakses masyarakat tentang perkembangan penanganan perkara. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan: 1. Meningkatkan kinerja Persatuan Jaksa (Persaja) melalui program “dari, oleh dan untuk” jaksa. 2. Mengefektifkan dan membuka untuk umum pembacaan putusan Sidang Komisi Kode Etik Jaksa. 3. Menegaskan kembali peran Majelis Kehormatan Jaksa. 4. Menyusun pengaturan mengenai mekanisme kerja yang jelas dan rinci diantara pengawasan yang dilakukan oleh organ internal Kejaksaan dan Komisi Kejaksaan. H. KOMISI KEJAKSAAN Yang juga berpengaruh penting terhadap pengawasan Kejaksaan dan peningkatan kinerja Kejaksaan ialah Komisi Kejaksaan, yang terdapat di dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lahirnya Komisi Kejaksaan tidak luput dari latar belakang berikut : 1. Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai. 2. Pengawasan yang tidak transparan (tidak terjangkau oleh kontrol publik). 112 3. Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan menyampaikan pengaduan dan memantau proses serta hasilnya (ketiadaan atau minimalisnya akses yang telah disediakan). 4. Masih menonjolnya semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak sebanding dengan perbuatannya. 5. Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan puncak lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil-hasil pengawasan. Apakah setelah dibentuk Komisi Kejaksaan kondisi pengawasan terhadap Kejaksaan menjadi lebih baik? Menurut hasil penelitian KHN, tahun 2008, Komisi Kejaksaan menghadapi kendala sebagai berikut: 1. Dasar Hukum Terdapat kelemahan antara lain: a. Output dari tugas Komisi Kejaksaan hanya bersifat rekomendasi, meskipun ada ketentuan lain bahwa masukan dari Komisi Kejaksaan kepada Jaksa Agung adalah untuk ditindaklanjuti. b. Belum diatur secara optimal mengenai peran masyarakat dalam proses seleksi Komisioner dan akses terhadap laporan kinerja Komisi di dalam Peraturan Presiden; dan 2. Kelembagaan. Komisi Kejaksaan menghadapi persoalan kemandirian. Hal ini terlihat dari sekretariat Komisi dengan pejabat dan staf pendukung berasal dari institusi tersebut. Pengelolaan anggaran pun masih melekat dengan lembaga yang diawasinya. Kondisi ini dapat mempengaruhi independensi dari kinerja Komisi Kejaksaan. 3. Tugas dan wewenang. Terbatas hanya untuk mengawasi kinerja pengawas dan tidak dapat langsung melakukan pengawasan terhadap kode etik/perilaku jaksa. Dalam praktiknya sulit menurunkan tingkat pelanggaran jaksa bila pengawasan tidak diperkuat dengan pengawas eksternal yang dapat mengawasi Kejaksaan. 4. Sumber Daya Manusia Komisi Kejaksaan. Sumber daya manusia mengalami kendala terbatasnya kuantitas yang tidak sebanding dengan luasnya cakupan wilayah serta kompleksitas persoalan di Kejaksaan. Belum adanya capacity building terhadap sumber daya manusia dan institutional building pada lembaga, juga menjadi hambatan tersendiri. Capaian kerja serta dampak bagi 113 masyarakat yang minim, diyakini disebabkan oleh keterbatasan Komisioner dalam merumuskan visi dan misi Komisi, yang seharusnya diejawantahkan menjadi program kerja dalam tataran yang lebih operasional. 5. Akses komunikasi yang terbatas dengan stakeholders. Berdampak pada lemahnya akseptasi dan ekspektasi masyarakat terhadap Komisi Kejaksaan. Dua hal tersebut sebenarnya dapat menjadi stamina tambahan bagi Komisi Kejaksaan yang berada dalam kondisi keterbatasan kemampuan. Dengan keadaan seperti tersebut di atas, Komisi Kejaksaan masih mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap Kejaksaan. Dengan demikian, tujuan peningkatan kinerja Kejaksaan masih belum tercapai. I. REKOMENDASI Dengan berpijak pada uraian di atas yang di dalam bagiannya terdapat rekomendasi pula, maka disusun rekomendasi lanjutan yaitu: 1. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tetap menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, dengan penegasan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini, dapat menjadi dasar bagi Kejaksaan untuk tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif (pemerintah) dan kekuasaan lainnya. 2. Dengan penegasan penempatan Kejaksaan pada lembaga pemerintah, maka Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara merdeka demi keadilan berdasarkan hukum dan keadilan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan. Selain itu, Jaksa Agung bertanggung-jawab atas reformasi Kejaksaan menuju Kejaksaan yang berintegritas. 3. Dengan berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi, maka, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden dalam masa jabatan sesuai dengan masa jabatan presiden. 114 4. Tetap menempatkan jaksa sebagai jabatan fungsional. Dengan demikian, jaksa harus profesional dengan kewajiban menempuh berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. 5. Membatasi atau menghilangkan secara bertahap kewenangan Kejaksaan untuk tidak melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. Pembatasan kewenangan ini dengan mengacu atau berpedoman pada prospektif rekonstruksi sistem peradilan pidana yang sudah dimulai dengan membuat suatu RUU tentang Hukum Acara Pidana yang dianggap lebih mampu menjamin penegakan hukum dan keadilan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dibandingkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 6. Di bidang ketertiban umum, peran Kejaksaan terasakan manfaatnya. Meskipun demikian, sesungguhnya kewenangan ini tidak relevan lagi diberikan kepada Kejaksaan, karena itu seharusnya kewenangan ini ditiadakan dan direkonstruksi untuk diberikan kepada lembagalembaga lain yang lebih kompeten. 7. Di bidang perdata dan tata usaha negara, terasakan manfaatnya Kejaksaan dengan kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat. Meskipun demikian, hal ini tetap memerlukan kajian lebih lanjut agar tidak berbenturan dengan peran advokat. 8. Sinergitas antar pemangku kepentingan reformasi di Kejaksaan perlu lebih dioptimalkan. Terutama respon positif dan proaktif dari pihak Kejaksaan untuk membuka diri terhadap masukan, kritik dan dukungan dari eksternal. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penguatan kapasitas dan peran Komisi Kejaksaan juga perlu ditingkatkan, tidak sebatas pada fungsi pengawasan perilaku saja tetapi juga untuk memastikan bahwa Kejaksaan bersungguh-sungguh melakukan reformasi. RUU TENTANG PERUBAHAN ATAU MENGGANTI UU TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Perlu Berpedoman Pada Prospektif Sistem Keamanan Nasional Dan Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana A. PENGANTAR Perjalanan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah berlangsung selama 9 tahun sampai dengan saat ini. Suatu usia yang cukup lama untuk melihat apakah keberadaan Kepolisian sudah selaras dengan fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas. Hal-hal tersebut, seringkali dijadikan rujukan bagi masyarakat untuk mengritisi perjalanan Kepolisian yang Kepolisian beranggapan telah melakukan berbagai paradigma baru dalam menerapkan tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian sesuai UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bukan sekedar “isu” lagi melainkan fakta, Kepolisian dengan “force and power” yang dimiliki masih menggunakan pemerasan, korupsi, kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam penegakan hukum. Di samping itu penegakkan hukum yang akuntabel (accountability), transparan (openness), efektif dan efisien belum dicapai pula. Dalam mengemban tugas, Kepolisian saat ini masih saja menonjolkan kekuasaan (power) sebagaimana berbagai perkara yang muncul ke permukaan. Di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 116 (KUHAP) dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang menegaskan bahwa pada Kepolisian melekat kekuasaan upaya paksa (penyelidikan, penyidikan, penyitaan, penggeledahan) dan diskresi yang sangat berpotensi disalahgunakan apabila tidak ada pengawasan internal, eksternal dan horizontal serta aturan perilaku (code of practice). Sepertinya ada kesalahpahaman dan penyimpangan dalam pelaksanan upaya paksa itu. Kedudukan Kepolisian juga mulai dipersoalkan, terutama ketika ramai dibicarakan RUU tentang Keamanan Nasional yang diusulkan oleh Lembaga Ketahanan Nasional dan Kementerian Pertahanan di tahun 2006 sampai dengan 2007. Meskipun pembicaraan mengenai RUU tentang Keamanan Nasional sudah meredup seiring belum dibahasnya kembali RUU tersebut, tetap perlu dilakukan pengkajian kembali kedudukan Kepolisian dalam ketatanegaraan di Indonesia. Begitupun halnya dalam penegakan hukum pidana, maka peran Kepolisian perlu dikaji kembali apakah sudah memenuhi idealitas suatu prospektif rekonstruksi sistem peradilan pidana. Berkaitan hal ini revitalisasi peran Komisi Kepolisian Nasional juga perlu dilakukan agar tidak seperti keadaan saat ini yang hampir tidak berperan penting dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan Kepolisian. Dengan melihat uraian di atas, maka rencana perubahan atau bahkan mengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang termasuk dalam daftar Prolegnas, perlu berpedoman pada prospektif rekonstruksi sistem peradilan pidana dan sistem keamanan nasional. B. MENINJAU FUNGSI KEPOLISIAN DAN TUGAS POKOK Sejauh ini, terdapat keragu-raguan apakah fungsi dan tugas pokok Kepolisian telah dijalankan dengan baik. Fungsi Kepolisian yang dinyatakan dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan kalimat: "Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, diberikan penegasan dalam penjelasan pasalnya bahwa fungsi Kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan hak asasi manusia, hukum 117 dan keadilan. Ini merupakan wujud paradigma baru dalam fungsi Kepolisian. Hal tersebut memberikan landasan bagi tugas dan wewenang Kepolisian. Tugas pokok Kepolisian yang terdapat dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu "memelihara keamanan” dan "ketertiban masyarakat” bersumber dari kewajiban umum Kepolisian bersumber dari Undang Undang Dasar 1945, yaitu ”memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum”. Tugas pokok "menegakkan hukum” bersumber dari ketentuan peraturan perundangundangan yang memuat tugas pokok Kepolisian dalam hubungannya dengan peradilan pidana seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan berbagai undang-undang yang memuat ketentuan pidana serta undang-undang tertentu lainnya. Tugas pokok "memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat” bersumber dari kedudukan fungsi Kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara yang pada hakikatnya bersifat pelayanan publik (public service) dan termasuk dalam kewajiban umum Kepolisian.35 1. Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, serta Perlindungan, Pengayoman, dan Pelayanan kepada Masyarakat Dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat banyak permasalahan yang tidak kunjung selesai. Hal ini menelisik untuk menelaah hal yang mendasar mengenai hakekat sebenarnya dari ketertiban itu sendiri. Dalam hal yang demikian, bagaimana posisi Kepolisian dalam melakukan upaya penertiban itu. Banyak orang berpendapat bahwa fungsi Kepolisian yang paling penting, dan yang paling dikaitkan dengan pemolisian, adalah pemeliharaan ketertiban umum, dan bahkan semua fungsi Kepolisian lainnya berasal dari fungsi ini. Sementara itu, Kepolisian bukanlah satu-satunya alat negara yang bertanggung jawab atas pemeliharaan ketertiban. Kepolisian juga bukan satu-satunya badan yang beroperasi di bidang ini. Ada berbagai mitra yang terlibat, masing-masing memiliki peranan dan tanggung jawab serta kekuasaan yang berbeda-beda. Dalam banyak kasus, tidak pantas dan tidak efektif apabila pendekatan atau bahkan tudingan hanya ditujukan pada Kepolisian saja dengan membawa keprihatinan mengenai tidak adanya hukum dan ketertiban. Oleh karena itu sangat penting memahami bahwa banyak lembaga lainnya juga terlibat dalam penjagaan ketertiban 118 dan bagaimana Kepolisian terkait (dan tergantung kepada hal ini). Dalam arti, keberhasilan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan tanggung-jawab yang terbagi pada Kepolisian dan lembagalembaga lainnya. Hal lain yang juga sama pentingnya adalah pengertian bagaimana Kepolisian terkait kepada negara dan warganya. Kepolisian dapat dianggap merupakan ”tangan” yang digunakan negara untuk memaksa atau merupakan alat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian juga dianggap sebagai “kekuatan’ atau’ pelayanan’. Perspektif yang dianut juga memberikan pengaruh kuat pada bagaimana Kepolisian mendekati masyarakat serta bagaimana masyarakat mendekati Kepolisian. Para penganjur penegakan hak asasi manusia (HAM) cenderung untuk memandang Kepolisian sebagai ”kekuatan’ dan berusaha agar Kepolisian menjadi ’pelayanan’, yaitu Kepolisian yang responsif dan secara langsung bertanggung-gugat kepada masyarakat. Usaha-usaha yang digunakan untuk mengubah perspektif Kepolisian dari ”kekuatan manjadi pelayanan” banyak menjadi slogan yang sering dipakai sehubungan dengan pekerjaan HAM dengan Kepolisian. Dalam praktiknya, terjadi masalah ketika layanan kepada negara diprioritaskan. Kepolisian berisiko menjadi instrumen kekuatan kalangan elit yang berkuasa. Namun, ketika layanan kepada masyarakat yang menjadi prioritas, Kepolisian berisiko melayani kebutuhan segolongan orang dengan mengorbankan golongan lainnya. Dengan demikian, dalam waktu tertentu Kepolisian memerlukan sejumlah kebebasan untuk membuat pilihannya sendiri berdasarkan profesionalitas Kepolisian. Kebebasan tersebut harus tetap terikat oleh hukum dan kebijakan yang mapan. Dalam upaya mencapai Kepolisian yang menjunjung tinggi HAM, Kepolisian merupakan ”kekuatan” yang ’pelayanan’, yang mencerminkan bagaimana dan sejauh mana negara bekerja untuk kepentingan umum. Kepolisian, dalam hal ini, adalah dinas pelayanan yang dapat dengan sah menggunakan kekuatan agar dapat mencapai tujuan-tujuan sah. Bagaimana menyeimbangkan dalam masyarakat kekuatan dan pelayanan, dalam praktiknya sangat terkait erat dengan peranan Kepolisian dalam masyarakat. Apabila salah satu dari kedua hal tersebut (kekuatan atau pelayanan) diabaikan, maka akan menghasilkan pemolisian yang kurang efektif. Kepolisian perlu dengan tepat memosisikan kelembagaannya dalam konsep ’ketertiban’ dan konsep lawannya yaitu ’ketidaktertiban’. 119 Kepolisian dapat membentuk tanggung jawab mereka dalam menjaga ketertiban; dengan memakai metodologi yang berbeda-beda untuk mencapai sasaran. Kemudian Kepolisian dapat melihat sejauh mana hubungannya dengan negara, para warganya dan Kepolisian itu sendiri. Kepolisian dapat menjelajahi kebutuhan, dan risiko dari kemandirian operasional seperti pada saat ini. Ketertiban harus dipelihara karena ketertiban merupakan kepentingan semua orang, dan semua orang harus ikut berkontribusi sebab setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat. Ketertiban sebagai ’keadaan penuh kedamaian dan harmoni di bawah pihak otoritas yang berkuasa”. Namun, ketertiban bukanlah konsep yang sepenuhnya bersifat netral. Sebagian orang akan berpendapat bahwa ketertiban berarti tidak adanya mereka yang menentang hukum. Namun sebagian lain dapat berargumen bahwa pemeliharaan ketertiban bertujuan mengamankan pendistribusian sumber daya yang tidak merata. Ketertiban cenderung dijabarkan oleh penguasa sebagai tidak adanya ancaman apa pun terhadap kekuasaannya. Penindasan terhadap para pembangkang lalu dibenarkan sebagai ’tindakan yang diperlukan untuk menjaga ketertiban. Ketertiban berkaitan dengan konsep ’keselamatan komunitas masyarakat”. Ketertiban berkaitan juga dengan konsep yang digunakan oleh lembaga-lembaga negara, sementara keselamatan masyarakat adalah konsep yang digunakan ’di lapangan’ (lokal). ’Perspektif lokal’ ini berlawanan dengan perspektif nasional, dan kini menjadi semakin relevan karena belakangan ini semakin jelas bahwa negara tidak selalu berhasil menjamin adanya kedamaian dan ketertiban. Negara memilki kemampuan yang terbatas dalam melakukan intervensi terhadap segala jenis konflik dan dalam memengaruhi para pelaku yang bukan dari kalangan negara, dan kemampuan ini pun terkadang berat sebelah dan membela kepentingan-kepentingan tertentu. Di samping itu, penjaminan keselamatan masyarakat memerlukan kerjasama dari semua kelompok yang terlibat, termasuk masyarakat sipil. PBB menanggapi tantangan ini dengan konsep ’Keamanan Manusia’. Konsep ini menekankan gagasan bahwa negara harus melindungi hak-hak manusia, tetapi juga harus mendukung pemberdayaan mereka demi meningkatkan potensi mereka untuk bisa melindungi diri sendiri. Penting dicatat bahwa konsep keamanan manusia ini berhubungan dengan HAM termasuk hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan kembali mengakui ”bahwa keamanan, pertumbuhan ekonomi dan kemerdekaan manusia tidak bisa dipisahkan”.36 120 Para pendukung HAM mungkin tidak nyaman dengan konsep ketertiban. Ketertiban dapat memiliki konotasi konservatisme dan pemeliharaan status quo. Namun, ketertiban seperti termaksud tidak berarti kesetiaan kepada peraturan tanpa mempedulikan kesesuaian isi perundang-undangan yang berlaku dengan tuntutan kondisi riil masyarakat. Contohnya, dalam sebuah komunitas yang dipimpin oleh gerombolan/geng, ketertiban bisa dipertahankan melalui rasa takut. Ketertiban dalam hal ini muncul dari ’hak untuk mendapat keamanan’, bahwasanya ketertiban dianggap mencakup tidak adanya kesewenangwenangan dan bisa ditebaknya peraturan dan norma apa yang akan diterapkan. Ini artinya negara harus dipandu oleh prinsip-prinsip negara hukum dan HAM agar dapat meningkatkan kemungkinan bahwa keharmonisan memang didapatkan dan dipelihara dengan damai. ’Ketertiban’ semacam itu merupakan konsep yang dapat dirumuskan negara agar ketertiban berada sejajar dengan prinsip-prinsip HAM. Ketertiban harus berdasarkan pada supremasi hukum dan menuju pada ’cita-cita manusia bebas yang menikmati semua hak-hak mereka’.37 2. Penegakan Hukum Hukum pada dasarnya adalah hasil kesepakatan, tidak pernah merupakan kesepakatan utuh, dan bahkan sebagian masyarakat merasa sangat tidak bertanggungjawab terhadap terbentuknya sebuah hukum dan bahkan menafikannya sebagai sarana keadilan. Dalam keadaan yang demikian, Kepolisian menghadapi berbagai masalah penegakan hukum (pencarian tersangka, pembuktian dan lain-lain). Kepolisian harus pula bekerja keras menghadapi penentang sistem dan materi hukum. Interprestasi lain mengenai asas negara hukum berfokus pada lembaga-lembaga yang dibutuhkan untuk menunjang supremasi hukum, termasuk perundang-undangan yang komprehensif, pengadilan yang berjalan dengan baik dan kemandirian para hakim dan ”mesin” penegakan hukum. Namun asas negara hukum dapat juga berarti tentang pencapaian sasaran tertentu. Untuk sasaran itulah lembaga-lembaga tersebut diperlukan, tetapi seperti biasanya di setiap negara, tetap tidak mencukupi untuk mencapai sasaran. Sasarannya adalah : 1. Pemerintahan yang terikat oleh hukum. 2. Kesetaraan di hadapan hukum. 3. Tegaknya hukum dan ketertiban. 4. Keputusan/ kebijaksanaan yang bisa diprediksi dan efektif; dan 121 5. Penghormatan kepada HAM. Pembentukan lembaga-lembaga dengan tujuan meraih kelima sasaran, adalah interpretasi yang didukung oleh organisasi-organisasi HAM termasuk Amnesti Internasional. HAM harus menjadi elemen integral (sementara untuk penganut formalisme prosedur keempat butir pertama sudah mencukupi). Posisi ini juga menyiratkan bahwa sekedar advokasi untuk pendirian lembaga-lembaga penegakan asas hukum tidaklah memadai. Salah satu tujuan dari asas negara hukum adalah menciptakan ketertiban, ketertiban yang kemudian harus berdasarkan pada asas negara hukum. Menciptakan dan mempertahankan supremasi hukum adalah salah satu cara negara untuk menjamin adanya ketertiban. Tidak perlu dikatakan lagi bahwa kehadiran asas negara hukum merupakan hal mendasar bagi pemolisian berbasis HAM karena hal ini menjabarkan dan membatasi fungsi dan kekuasaan polisi, memberikan panduan yang mengatur perilaku profesional Kepolisian, dan mempatkan Kepolisian dalam sistem keamanan yang lebih luas. Ketaatan kepada asas negara hukum pasti membutuhkan sistem perundang-undangan yang bekerja dengan baik dalam melindungi hak-hak manusia, baik itu hak sipil, budaya, ekonomi, politik dan sosial. Kepolisian mungkin terkadang mengatakan ”undang-undang membatasi pekerjaan Kepolisian” sedangkan justru sebaliknya: ”hukum memungkinkan Kepolisian bekerja”. C. KEDUDUKAN KEPOLISIAN Dalam negara demokratis, ada tiga sistem Kepolisian yang digunakan yakni: 1. Sistem Kepolisian terpisah (fragmented system of policing). 2. Sistem Kepolisian terpusat (centralized system of policing). 3. Sistem Kepolisian terpadu (integrated system of policing). Indonesia salah satu negara selain Perancis, Italia, dan Thailand dan mungkin negara lainnya yang menganut sistem Kepolisian terpusat sesuai dengan UUD 1945 dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sistem Kepolisian Indonesia yang terpusat itu mempunyai keunggulan antara lain yaitu : 1. Pembuatan kebijakan (policy making) dan penegakan hukum (law enforcement) serta pengendalian dalam soal keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum dapat berjalan secara simultan. 122 2. Pelaksanaan kebijakan (policy executing) melalui sistem komando dapat berjalan efektif dan efisien. 3. Pengawasan dan evaluasi kebijakan dan kode etik serta peraturan disiplin, terhadap setiap lapis struktur kesatuan di bawahnya (Kepolisian Daerah, Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor) dapat berjalan maksimal, tanpa hambatan yang berarti seperti tumpang tindih kebijakan, personil, dan yuridiksi. 4. Kesepahaman dan kesamaan pandang terhadap mekanisme pengamanan, diskresi, penegakan hukum, kode etik (code of conduct), peraturan disiplin, administrasi, anggaran dan profesionalisme. Indonesia sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum menempatkan Kepolisian merupakan salah satu lembaga negara yang disebutkan di dalam Pasal 30 Bab XII Pertahanan dan Keamanan Negara UUD 1945. Secara implisit Kepolisian juga (Reserse) ditempatkan sebagai pelaku yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana ditegaskan Pasal 24 UUD Tahun 1945: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. “Badan - badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang - undang.” Kepolisian adalah salah satu lembaga negara yang berperan menegakan hukum selain Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat pilar penegak hukum ini harus berkoordinasi dan bekerjasama di dalam menanggulangi kejahatan dan memberikan rasa aman kepada masyarakat sekaligus menegakan hukum dan keadilan. Keberadaan lembaga Kepolisian di dalam negara demokratis yang berlandaskan hukum merupakan keniscayaan untuk memberikan rasa aman dan penegakan hukum, bahkan dalam negara totaliter pun lembaga Kepolisian merupakan keharusan (taken for granted). Pemisahan Kepolisian dengan ABRI pasca 1998, merupakan kristalisasi dari evaluasi dan kritik terhadap Kepolisian yang sering dilontarkan berbagai kelompok dalam masyarakat, yang mengusulkan agar struktur organisasi Kepolisian harus dipisahkan dari ABRI. Tujuannya adalah agar Kepolisian dapat menjadi suatu “lembaga yang independen” dalam melayani masyarakat. Pekerjaan Kepolisian, tidak bisa dipengaruhi struktur militer. Dalam pengalaman sebelum 1998, sebagai akibatnya, fungsi dan tugas Kepolisian menjadi disfungsional, seakan- 123 akan Kepolisian sedang berperang menghadapi masyarakat. Peran dan fungsi Kepolisian pada dasarnya adalah menjaga ketertiban dan hukum dalam masyarakat, dengan membawa para tersangka ke pengadilan guna mengembalikan kerugian publik dan juga korban. Berkaitan dengan prospektif rekonstruksi sistem keamanan nasional dan sistem peradilan pidana, Kepolisian ditempatkan sebagai pembantu Presiden (eksekutif) setingkat menteri untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dan mewakili negara dalam bidang penegakan hukum pidana (investigation powers). Pemikiran ini dilandasi Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sekaligus kepala negara yang bertanggung jawab penuh pada keamanan dan tegaknya supremasi hukum bersama kekuasaan kehakiman. Dalam pengaturan kekuasaan kehakiman, meskipun UUD Tahun 1945 hanya mengatur tiga lembaga yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Komisi Konstitusi yang menganalisis UUD 1945 pasca 1998, menghendaki agar pengaturan dalam bab kekuasaan kehakiman lebih luas dari dari hanya sebatas kekuasaan kehakiman. Komisi Konstitusi mengusulkan judul babnya menjadi kekuasaan “Kehakiman dan Penegakan Hukum”. Usulan ini dilatarbelakangi oleh adanya lembaga lain yang juga sangat penting dalam proses penegakan hukum, tetapi kurang mendapat jaminan ”independensi konstitusional” dalam UUD 1945, diantaranya adalah Kepolisian, Kejaksaan dan Advokat. Komisi Konstitusi menilai, pengaturan Kejaksaan dan Kepolisian dalam UUD 1945 sangat penting karena terkait dengan sistem penegakan hukum pidana, hukum pidana lingkungan dan tindak pidana tertentu serta perkara-perkara ruang maya.38 Independensi kekuasaan kehakiman, merupakan faktor penting dan fundamental dalam penyelenggaraan peradilan. Independensi kekuasaan kehakiman sebagai adjudication dan neutral third mempunyai arti penting, bahwa penerapan prinsip-prinsip keadilan tanpa memandang status pihak yang berperkara. Selain itu, independensi ini juga penting manakala pemerintah merupakan salah satu pihak yang “berperkara”. Dari dua persoalan ini, maka persoalan utama dalam independensi terkait dengan impartiality dan political insularity.39 Penerapan prinsip independence of the individual dalam Kepolisian penyidik Kepolisian sesungguhnya telah dijamin UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Prinsip ini dimaknai, bahwa penyidik dalam melakukan penyidikan dan upaya paksa (penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, 124 penyadapan, penggeledahan, penyitaan) dan melaksanakan tugas lain (diskresi) hanya tunduk pada hukum dan keadilan. Selain itu, penyidik juga harus bebas dari segala bentuk gangguan yang berasal dari lembagalembaga eksternal, misalnya kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif, maupun tekanan yang bersifat keuangan atau bisnis. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menindaklanjuti TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, TAP MPR No. VII/ MPR/2000 tentang Peran TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan amandemen UUD 1945, sudah tepat menempatkan kedudukan, karena dapat menjamin kemandirian terutama dalam penegakan hukum bersama-sama dengan Kejaksaan. Kedudukan Kepolisian seperti saat ini juga merupakan penyelesaian atas proses sejarah yang menempatkan kedudukan Kepolisian dalam kedudukan di bawah departemen (sekarang Kementerian) yang berbeda, yang kemudian menimbulkan permasalahan kemandirian dalam penegakan hukum. Tepatnya menempatkan Kepolisian di bawah Presiden seperti tersebut di atas, perlu kewaspadaan pengawasan yang kuat untuk mengeleminasi Kepolisian menjadi alat kekuatan rezim yang sedang berkuasa. Kerentanan dan potensi yang cukup tinggi terhadap munculnya intervensi penguasa serta penyalahgunaan organisasi maupun wewenang Kepolisian untuk kepentingan penguasa memang sangat disadari. Jika itu terjadi Kepolisian tersebut tidak lagi mengindahkan posisi dan perannya sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. D. ORGANISASI KEPOLISIAN DENGAN PENGUATAN PENGAWASAN Dalam kerangka perubahan atau mengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka organisasi Kepolisian dengan prioritas Badan Reserse Kriminal seyogianya direstrukturisasi dengan mengedepankan: 1. Keterbukaan informasi tentang mekanisme penanganan perkara. 2. Keterbukaan jumlah perkara yang diadukan, diproses dan dihentikan Kepolisian setiap tahunnya. 3. Keterbukaan target waktu penyelesaian perkara. 4. Keterbukaan perkembangan proses penanganan perkara. 5. Akuntabilitas penggunaan diskresi. 125 6. Keterbukaan infromasi penanganan laporan/pengaduan tentang pelanggaran kode etik dan peraturan disiplin Kepolisian. Tantangan paling rumit dan berat yang dihadapi Kepolisian ke depan adalah merestorasi kepercayaan publik dan menjamin komitmen dalam membangun profesionalitas, akuntabilitas, transparansi dan independensi. Kepolisian juga harus melakukan gebrakan dengan melakukan akselerasi reformasi kelembagaan, di mana masyarakat melihat Kepolisian masih resisten dengan reformasi internal. Atas dasar hal tersebut, maka Kepolisian dapat juga memrioritaskan desain Badan Reserse Kriminal dan penyidik agar tetap netral dalam posisinya di bawah komando Presiden selaku kepala pemerintahan. Hal lainnya ialah bagaimana mendesain hubungan secara sistemik dan harmonis antara penyidik Kepolisian dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Setelah itu, Kepolisian dapat memberikan landasan yang kuat dalam RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk membenahi dan mengembangkan profesionalitas Kepolisian, dan membangun lembaga independen yang kuat yang mengawasi pelaksanaan tugas Kepolisian sehari-hari di seluruh wilayah tugasnya. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, perlu memperkuat pengawasan kelembagaan, reposisi dan pergeseran kedudukan, struktur, tugas dan wewenang, keterbukaan dan akuntabilitas dari Inspektorat Pengawasan Umun/Daerah dan Divisi Profesi dan Pengamanan sebagai bagian dari fungsi pengawasan internal. Revitalisasi fungsi lembaga pengawasan internal ini dalam fungsinya mengawasi proses penyidikan dan pelanggaran kode etik serta peraturan disiplin Kepolisian, menjadi penting dalam situasi saat ini untuk melanjutkan reformasi Kepolisian pasca 1998. E. Komisi Kepolisian Nasional Di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diperkenalkan Komisi Kepolisian Nasional. Hanya saja, tidak mencerminkan fungsi Komisi Kepolisian Nasional sebagai pengawas Kepolisian. Oleh karena Komisi Kepolisian Nasional yang dibentuk saat ini tidak dibentuk sebagai lembaga pengawas eksternal yang independen, maka model organisasi yang dibentuk pun sangat sederhana dan tidak 126 menyesuaikan dengan desain dan sistem kelembagaan organisasi Kepolisian yang menjadi counter part-nya. Dapat dikatakan bahwa model organisasi yang dipakai oleh Komisi Kepolisian Nasional termasuk dalam kategori yang tidak efektif sebagaimana lazimnya organisasi modern. Karena organisasi Kepolisian itu sendiri merupakan sebuah organisasi besar yang melingkupi seluruh wilayah negara, yang dimulai dari tingkat pusat di ibukota negara sampai ke berbagai kecamatan maupun kelurahan dan desa di Indonesia. Penguatan fungsi dan kewenangan Komisi Kepolisian Nasional akan sangat membantu pengawasan eksternal Kepolisian, yang relatif tidak mampu bergerak sendiri dengan kekuatan pengawasan dari dalam dirinya sendiri. Dalam hal optimalisasi tugas dan wewenang Komisi Kepolisian Nasional untuk membantu masyarakat dalam menangani berbagai keluhan masyarakat terhadap Kepolisian, tidaklah dapat dipisahkan dengan keberadaan berbagai lembaga pengawasan terhadap Kepolisian, baik yang bersifat eksternal dan internal tersebut. Di satu sisi, saat bersanding dengan berbagai lembaga pengawasan Kepolisian tersebut maka Komisi Kepolisian Nasional seyogianya perlu memiliki nilai lebih agar dapat berfungsi lebih ketimbang sekedar menerima dan menampung keluhan-keluhan masyarakat terhadap Kepolisian, yang artinya Komisi Kepolisian Nasional optimal dalam memantau tindak lanjutnya. Hal ini terkait dengan seberapa besar kemanjuran fungsi Komisi Kepolisian Nasional dalam menindaklanjuti keluhan-keluhan masyarakat yang ada. Nilai lebih yang harus dibuat Komisi Kepolisian Nasional tersebut, akan lebih terasa apabila berbagai lembaga pengawasan Kepolisian tersebut, terutama lembaga pengawasan internal, sudah melakukan tugasnya dengan baik. Tanpa adanya nilai lebih yang dibuat oleh Komisi Kepolisian Nasional dari pada apa yang sudah diperbuat saat ini, maka fungsi dan wewenang Komisi Kepolisian Nasional tidak akan berarti. F. REKOMENDASI Melanjutkan uraian tersebut di atas, maka rekomendasi lanjutan selain yang terdapat dalam uraian tersebut di atas, yang dapat diberikan ialah: 1. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sepanjang yang berkaitan dengan tugas pokok Kepolisian dalam keamanan dan ketertiban, dapat diusulkan sebagai berikut: 127 a. Revitalisasi Komisi Kepolisian Nasional. b. Pendelegasian wewenang pada Kepolisian Daerah. c. Memungsikan Kepolisian Resor sebagai Pusat Informasi Keamanan dan Ketertiban. 2. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sepanjang yang berkaitan dengan tugas pokok Kepolisian dalam perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, dapat diusulkan sebagai berikut: a. Pendelegasian wewenang pada Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor. b. Optimalisasi peran Mitra Bhayangkara. 3. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sepanjang yang berkaitan dengan tugas pokok Kepolisian dalam penegakan hukum, dapat diusulkan sebagai berikut: a. Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana. b. Penggantian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. c. Pembenahan Koordinasi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. 4. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam hal penataan organisasi Kepolisian, yang memrioritaskan penataan Badan Reserse Kriminal, maka harus ditegaskan bahwa: a. Penuntut Umum dan Polisi Reserse adalah bagian dari kekuasaan kehakiman dan tunduk pada hakim serta dapat ditegur dan dihukum oleh hakim/majelis sidang pengadilan bersangkutan, bilamana lalai ataupun mengganggu kelancaran proses pengadilan pidana, serta melanggar hak asasi manusia Tersangka atau Terdakwa. b. Polisi Reserse adalah pendamping Penuntut Umum, dalam mempersiapkan bukti-bukti adanya tindak pidana dan kesalahan Tersangka/Terdakwa. Tugas utamanya adalah pengumpulan fakta lapangan (physical evidence dan witnesses). Dalam KUHAP dikenal pula adanya penyelidikan (Bel.onderzoek;pro-actief rechercheren), di mana belum diperlukan adanya “bukti permulaan yang kuat”, berbeda dengan penyidikan. Penuntut Umum memeriksa dan 128 mengawasi (oversight) pengumpulan fakta lapangan, agar sesuai dengan hukum dan yurisprudensi. Hanya Polisi Reserse yang adalah pendamping Penuntut Umum. Divisi-divisi lain dari Kepolisian tidak berkaitan langsung dengan Kejaksaan atau Penuntut Umum. Karena itu dahulu, pegertian “hulp-magistraat” hanya berlaku untuk “de rechterlijke politie”, tidak untuk kepolisian secara keseluruhan; 5. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam hal penataan organisasi Kepolisian, maka perlu pengaturan uji kelayakan dan kepatutan terhadap seseorang anggota Kepolisian yang hendak atau dicalonkan menjadi pemimpin Kepolisian dalam arti Kepala Satuan Wilayah (Kepolisian Sektor, Kepolisian Resor dan Kepolisian Daerah), dapat menjadi solusi permasalahan kepemimpinan Kepolisian yang relatif lebih cepat dan dapat diperketat. Uji kelayakan dan kepatutan tersebut dapat dengan memasukkan nilai-nilai kepemimpinan seperti di bawah ini: 1. Top management, menjadi change agent; 2. Manajemen partisipatif, mengurangi hambatan komunikasi antar level jabatan, kalau perlu diadakan komunikasi direct line pada top management; 3. Konsistensi menerapkan sistem reward and punishment yang tegas, menekankan bahwa tidak ada tempat bagi mereka yang tidak berprestasi dan tidak ada waktu tersedia untuk mengembangkan mereka yang butuh dorongan. Setiap orang harus menolong dirinya sendiri, dan pastikan bahwa setiap orang harus menjadi aset bagi organisasi Kepolisian; 4. Dekat dengan bawahan dan keteladanan; 5. Kemampuan membuat orang bertanggung-jawab. 6. RUU tentang Perubahan atau yang Mengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, harus menjamin pelibatan masyarakat dengan melibatkan jaringan lembaga swadaya masyarakat yang dikenal mempunyai akuntabilitas. Hanya saja diperlukan suatu Nota Kesepahaman yang detail dalam pelibatan tersebut, selain untuk menjaga independensi Kepolisian maupun lembaga swadaya masyarakat, karena lembaga swadaya masyarakat tetap diperlukan untuk berposisi di luar Kepolisian guna memberikan saran dan kritik atau mengawasi Kepolisian. RUU TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Sebagai Pedoman Prospektif Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana A. PENGANTAR Hukum acara pidana sebagai salah satu instrumen sistem peradilan pidana dimungkinkan untuk berubah. Perubahan tersebut terjadi karena sistem peradilan pidana bukan merupakan sistem tertutup tetapi sebagai sistem terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (openness). Melalui interaksi tersebut dimungkinkan adanya pengaruh sistem sosial lainnya seperti pengaruh politik, sosial, pertahanan dan keamanan (hankam), ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terhadap sistem peradilan pidana.40 Dalam konteks yang lebih tinggi, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seharusnya diselaraskan dengan amandemen UUD 1945 yang telah menempatkan Indonesia sebagai negara hukum (rechsstaats) yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan dimanapun.41 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga harus beradaptasi dengan perkembangan perlindungan hak asasi manusia yang diatur dalam The Declaration of Human Rights42 dan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR)43 beserta Optional Protocol-nya. Implikasi Indonesia meratifikasi Konvensi-Konvensi PBB tentang HAM, sebagai negara pihak (state party), berkewajiban bahkan terikat secara yuridis dan politis untuk melakukan langkah-langkah strategis guna menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak tersangka/terdakwa dalam tahapan proses peradilan pidana. Kebutuhan pada pembaruan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia telah direspon oleh pemerintah dengan mengajukan RUU tentang Hukum Acara Pidana yang baru ke 130 DPR. Rancangan yang dipantau dan dikaji dalam pendapat ini adalah rancangan yang masih sama dengan tahun 2009. Saat ini, proses tersebut masih berlangsung (dengan masih terdaftar dalam daftar prolegnas). Sekalipun UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dibuat pada tahun 1970-an dan diundangkan pada tahun 1981, sebagai pembaruan total dari Herziene Inlands Reglement (HIR), tetapi harus diakui bahwa setelah berjalan lebih dari tiga dekade, banyak kelemahan yang ditemukan dalam praktik, sehingga timbul kebutuhan baru yang mendesak untuk diperbaiki. Hal ini wajar karena sesuai dengan dinamika perkembangan dan pertumbuhan masyarakat demokratis yang menuntut adanya pembaruan hukum secara berkala atau dengan perkataan lain hukum yang responsif.44 B. KEWENANGAN HAKIM (MENUJU REKONSTRUKSI SISTEM PERADILAN PIDANA DENGAN DIAWALI REKONSTRUKSI KEWENANGAN YANG SEHARUSNYA DIMILIKI HAKIM) Hakim memegang peranan penting dalam setiap tahapan peradilan pidana. Tahapan proses praajudikasi merupakan tahapan yang dalam praktik sering didominasi oleh Kepolisan dan Kejaksaan. Hal tersebut sebenarnya keliru, karena dalam tahapan proses praajudikasi pun, Hakim lah yang memegang peranan penting agar tindakan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan berjalan secara adil dan tidak memihak (due process of law). Meskipun UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur peran pengadilan dalam hal ini Ketua Pengadilan Negeri dalam proses sebelum sidang, tetapi dalam praktik peran tersebut kurang memberikan makna yang berarti dalam upaya perlindungan hak-hak tersangka. Dalam praktik selama ini: 1. Ijin Ketua Pengadilan Negeri terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum hanya bersifat administrasi. 2. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa perlu tidaknya upaya paksa penyidik dan penuntut umum dilakukan. 3. Praktik demikian menyebabkan sistem kontrol kekuasaan yudikatif terhadap upaya paksa eksekutif dalam hal ini penyidik dan penuntut umum tidak ada. Perkembangan sejak berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hingga saat ini, terdapat kelemahan 131 dalam praperadilan baik dalam aspek normatif maupun empiris. Secara normatif, kelemahannya adalah, antara lain: 1. Pengadilan hanya dapat dilaksanakan jika para pihak menggunakan haknya. Selama para pihak tidak menuntutnya hakim tidak dapat menguji sah tidaknya tindakan penyidik dan penuntut umum dalam menggunakan kewenangannya; 2. Hak tersangka, keluarga, atau kuasanya dapat gugur jika perkara pidana telah mulai disidangkan. Hal ini dimuat dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d yang menyebutkan, dalam hal perkara sudah diperiksa pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur; 3. Tidak semua upaya paksa dapat diuji oleh hakim sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang mengujinya dan hakim hanya memperhatikan perihal dipenuhinya syarat formal semata tidak menyentuh syarat materil; 4. Lembaga praperadilan yang saat ini ada merupakan hasil transplantasi dari konsep habeas corpus, ternyata baik substansi maupun mekanisme proseduralnya tidak sesuai dengan konsep dasarnya. Akibatnya, hakim dalam praperadilan tidak efektif dalam mengawasi penggunaan upaya paksa dari kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum; Dalam sistem negara yang demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, tahap ajudikasi seharusnya mempunyai arti penting dalam melakukan “pengawasan” terhadap tahap praajudikasi dan purna ajudikasi. Dalam tahap ajudikasi ini, hakim-hakim yang independen berkonsentrasi penuh untuk menentukan hasil pembuktian di persidangan dan dalam tahap ini pula, hakim dapat menilai apa yang terjadi dalam tahap praajudikasi dan apa yang seharusnya dilaksanakan dalam tahap purna ajudikasi. Dengan demikian, perlu rekonstruksi peran hakim dalam tahapan atau proses praajudikasi, ajudikasi dan purnaajudikasi. Tidak tepat jika hakim, melalui praperadilan, hanya memeriksa bukti formil dan mengenyampingkan fakta yang terjadi (materil). Peran hakim yang seperti demikian, menyimpangi tujuan proses peradilan pidana yang mencari kebenaran materil. Sangat sulit mengharapkan kebenaran materil jika dalam tahapan praajudikasi, hakim hanya memeriksa bukti formil saja sebagaimana dipraktikan dalam praperadilan (sebagai salah satu bagian dalam tahapan atau proses praajudikasi saat ini). 132 Rekonstruksi peran hakim dalam proses prajudikasi dapat dijadikan sebagai “arus utama” dalam suatu rekonstruksi yang lebih besar yaitu rekonstruksi sistem peradilan pidana. RUU tentang Hukum Acara Pidana yang baru yang telah dipersiapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sejak tahun 1999 dengan Surat Keputusan Nomor C.17. PR.09.03. tahun 1999 sampai dengan 2007, dapat dijadikan kesempatan yang besar bagi suatu rekonstruksi peran hakim dalam proses praajudikasi. Pola pikir yang menjadi “arus utama” dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana yang baru seharusnya ialah bagaimana rekonstruksi sistem peradilan pidana berpijak pada rekonstruksi peran hakim dalam proses praajudikasi. Dengan kata lain, rekonstruksi peran hakim dalam proses praajudikasi mengawali rekonstruksi sistem peradilan pidana. C. MODEL DAN KELEMBAGAAN PENGAWASAN (MENELAAH HAKIM KOMISARIS SEBAGAI SUATU MODEL DAN KELEMBAGAAN PENGAWASAN) Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirimkan kepada Penuntut Umum, seringkali masih “kabur” tersangkanya, padahal ketika telah masuk ke tahap penyidikan secara yuridis formal telah ada pelaku (tersangka) dan kualifikasi tindak pidana. Seseorang yang sudah disebut oleh penyidik dalam SPDP sebagai tersangka berarti sudah tinggal menyelesaikan kelengkapan penyidikan. Tidak hanya itu, dalam penegakan hukum selama ini, SPDP tidak sesegera mungkin dikirimkan, tetapi diserahkan bersamaan dengan perpanjangan penahanan atau penyerahan Berkas Perkara. Laporan tahunan institusi penyidik belum pernah menunjukkan berapa jumlah perkara yang masuk tahap penyidikan dan SPDP yang telah diterima institusi penuntut umum dan dilimpahkan ke Kejaksaan. Hal ini menunjukkan lemahnya “pengawasan berjenjang” di tingkat penyidikan. RUU tentang Hukum Acara Pidana memberikan suatu harapan pengawasan yang lebih ketat terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan yang selama ini dlakukan, namun masih terdapat berbagai kelemahan yang masih dimiliki dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana antara lain: 1. Pengawasan Hakim Komisaris terhadap dimulainya penyidikan dan penetapan tersangka. Sebab belum dirinci dalam keadaan bagaimana seseorang dapat dikatakan ”diduga keras” melakukan tindak pidana 133 dan jumlah alat bukti yang harus dipenuhi sehingga dapat dikatakan telah memenuhi syarat sebagai ”bukti permulaan yang cukup” (prime facie evident). Kewenangan Hakim Komisaris dalam menilai tindakan perlu tidaknya dilakukan upaya paksa dalam tahap penyidikan dan penuntutan tidak disertai dengan syarat-syarat yang ketat. Syaratsyarat penahanan sebagai guidence putusan atau penetapan Hakim Komisaris tidak jauh berbeda sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 21 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): ”...Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Dalam Pasal 59 ayat (5) RUU tentang Hukum Acara Pidana disebutkan Penahanan ...dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dan ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan: a. Melarikan diri. b. Merusak dan menghilangkan alat bukti dan/atau barang bukti. c. Mempengaruhi saksi. d. Melakukan ulang tindak pidana; dan e. Untuk kepentingan keselamatan tersangka atau terdakwa dengan persetujuannya. 2. Mekanisme pemeriksaan oleh Hakim Komisaris sangat singkat yang tidak memungkinan peradilan dan pembuktian berlangsung berdasarkan prinsip-prinsip peradilan yang transparan, akuntabel, fair dan imparsial. Ketakutan yang paling rasional dan realistis lembaga ini hanya menjadi birokrasi tambahan yang memperpanjang pemerkosaan hak asasi tersangka. 3. Belum diatur kewenangan Hakim Komisaris apabila laporan atau pengaduan pencari keadilan (justiabelen) tidak mendapat respon dari penyidik atau jaksa. Padahal praktiknya banyak sekali laporan/ pengaduan yang tidak mendapat respon dalam bentuk proses hukum (Tanda Terima Laporan/Pengaduan); 4. Fungsi jaksa selain sebagai penuntut umum juga sebagai penyidik, perlu melihat perkembangan penegakan hukum di mana kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan korupsi pernah di gugat ke Mahkamah Konstitusi. Di Indonesia, konsep sistem peradilan pidana 134 mengarah pada pembagian kewenangan antara fungsi penyidikan dan penuntutan. Oleh karena itu, perlu mengkaji ulang pemberian kewenangan penyidikan kepada jaksa. 5. Meskipun penyadapan berpotensi melanggar hak-hak privasi (infringement of privacy rights), namun izin penyadapan dari Hakim Komisaris harus dikecualikan terhadap kejahatan serius (white collar crime) seperti korupsi dan terorisme. Hal ini penting untuk memudahkan penyelidik dan penyidik mengumpulkan bukti-bukti, karena begitu sulitnya membongkar kejahatan jenis ini. D. STANDAR MEKANISME LEMBAGA PENGAWASAN DI DALAM MENJALANKAN KEWENANGANNYA (MENELAAH USULAN STANDAR MEKANISME BAGI HAKIM KOMISARIS) RUU tentang Hukum Acara Pidana cukup mengatur secara rinci tentang Hakim Komisaris. Jika Hakim Komisaris berasal dari hakim yang telah menjabat golongan III/C biasanya sudah diberikan wewenang untuk menangani perkara yang lebih serius sedangkan hakim yang menjabat golongan III/D, untuk pengadilan kelas II, biasanya sudah menjabat sebagai Wakil Ketua. Apabila tidak dipersyaratkan untuk jenjang karir di masa selanjutnya, maka Hakim Komisaris tidak menjadi hal yang menarik bagi hakim-hakim tersebut. Dalam keadaan yang demikian, maka tetap diperlukan suatu motivasi dari Ketua Pengadilan Negeri yang dianggap lebih mengetahui secara teknis hal-hal yang dipersyaratkan sebagai atasan langsung hakim yang akan diusulkan sebagai Hakim Komisaris tersebut. Teknis operasional di lapangan yang mungkin terjadi sesuai jalur birokrasinya, ialah Ketua Pengadilan Negeri yang mengusulkan ke Ketua Pengadilan Tinggi dan kemudian Ketua Pengadilan Tinggi yang mengusulkan ke Presiden. Fungsi Ketua Pengadilan Tinggi dalam hal ini adalah fungsi koordinatif saja sebagai pengusul ke Presiden, untuk hakimhakim Pengadilan Negeri di wilayahnya yang akan diangkat sebagai Hakim Komisaris. RUU tentang Hukum Acara Pidana tidak mengatur apakah seorang hakim yang sudah menjabat Hakim Komisaris di satu Pengadilan Negeri, dapat diangkat kembali sebagai Hakim Komisaris di Pengadilan Negeri yang lain, apabila yang bersangkutan mengalami mutasi. Persoalan seperti tersebut di atas, ditambah lagi dengan terbatasnya jumlah Hakim 135 Komisaris yang ditentukan dalam Pasal 123 RUU tentang Hukum Acara Pidana yaitu hakim tunggal. Entah apakah pengertian ”tunggal” itu dalam hal bersidangnya ”tunggal” ataukah hanya seorang (tunggal) Hakim Komisaris di dalam suatu yurisdiksi Pengadilan Negeri. Penjelasan Pasal 123 RUU tentang Hukum Acara Pidana tidak memberikan keterangan yang memadai mengenai hal ini, hanya disebutkan ”cukup jelas”. Sementara itu, bahwa jumlah Hakim Komisaris dalam setiap wilayah atau yurisdiksi Pengadilan Negeri ditentukan relatif sedikit dibandingkan beban tugas yang diembannya. Terlebih lagi, dapat terjadi bahwa tidak semua Pengadilan Negeri mempunyai Hakim yang memenuhi kriteria untuk menjadi Hakim Komisaris. Hal ini patut menjadi perhatian penting. Persyaratan untuk menjadi Hakim Komisaris yang sudah relatif baik, tetap tidak menutupi kelemahan kemungkinan terjadinya Hakim Komisaris tidak berjalan sebagaimana mestinya atau tidak sesuai dengan tujuan pembentukannya. Misalnya ialah kelemahan mendasar mekanisme pengawasan yang dilakukan Hakim Komisaris adalah belum dirincinya secara detail bagaimana standar dalam “proses pemeriksaan”. Mengingat besarnya kewenangan yang dimiliki, beban kerja dan budaya kerja yang harus dimiliki seorang Hakim Komisaris, maka ketentuan RUU tentang Hukum Acara Pidana yang mengatur Hakim Komisaris adalah hakim tunggal, hal itu menuntut seorang Hakim Komisaris yang bukan saja berpengalaman (sebagaimana ketentuan undang-undang ini mengharuskan pengalaman kerja minimal 10 tahun), melainkan benar-benar harus memiliki kapabilitas dan integritas moral tinggi. Mengingat nasib perlindungan hak asasi manusia tersangka dalam proses praajudikasi dan upaya untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyidik dan atau penuntut umum, yang menjadi komitmen dan tujuan RUU tentang Hukum Acara Pidana ini, perwujudannya sangat tergantung penuh kepada obyektifitas, kapabilitas dan integritas moral Hakim Komisaris. Berkaitan dengan hal itu, berinisiatif sendiri melaksanakan kewenangannya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum menjadi suatu kebutuhan masyarakat. Pasca reformasi tahun 1998, penyalahgunaan wewenang pada lembaga-lembaga penegakan hukum masih saja terjadi, sehingga muncul lah gagasan adanya lembaga pengawas eksternal yang berguna untuk mendorong peningkatan kinerja dan profesionalitas. Lembaga pengawas tersebut selanjutnya dikenal dengan komisi-komisi yang berfungsi sebagai pengawas eksternal. Kebijakan itu dimulai dari masa Presiden BJ Habibie untuk mendorong percepatan reformasi hukum pada masa awal transisi 136 demokrasi, kemudian dilanjutkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Lahirnya komisi-komisi negara tersebut cukup mendapat tentangan dari sebagian kalangan dengan alasan bahwa pembentukan komisi-komisi negara itu tidak sesuai dengan semangat konstitusi. Pelaksanaan pengawasan sesuai konstitusi UUD 1945 adalah pertama oleh parlemen, masyarakat melalui media massa dan lainnya. Namun hal tersebut disanggah dengan pendapat yang menyetujuinya bahwa model pengawasan parlemen akan efektif jika telah terjadi pemisahan antara institusi pemberi kebijakan (element of policy) dengan unsur pelaksana. Dalam hal ini, komisi-komisi negara tersebut yang merupakan pelaksananya dan berbeda dengan parlemen yang memberikan kebijakan. Cukup banyaknya lembaga pengawasan baik yang bersifat internal maupun eksternal saat ini, tetap tidak membuat penegakan hukum menjadi lebih baik. Meskipun keberadaan Hakim Komisaris mendapatkan dukungan yang cukup kuat, namun dikhawatirkan yang terjadi adalah tumpang-tindihnya pengawasan. Ini jelas merupakan keadaan yang tidak sinergi antara lembaga pengawasan dengan Hakim Komisaris. E. REKOMENDASI 1. RUU tentang Hukum Acara Pidana yang mencerminkan suatu rekonstruksi sistem peradilan pidana, dapat mencakup hal sebagai berikut: a. Desain prosedur. b. Kewenangan penyidikan dan pendakwaan/penuntutan. c. kewenangan kekuasaan kehakiman; dan d. Realitas keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 2. Sebagai bagian dari rekonstruksi sistem peradilan pidana, perlu ada pembenahan terminologi sebagai berikut: a. Alat penegak hukum (milik Negara) adalah hanya institusi Kepolisian dan institusi Kejaksaan. Keliru menyebut Pengadilan, Advokat, Notaris dan Institusi Pemasyarakatan Narapidana sebagai “penegak hukum” (law enforcement agencies). Kita harus dapat membedakan antara pengertian harafiah bahasa, dengan makna suatu konsep (concept). b. Institusi Kepolisian dan institusi Kejaksaan adalah bagian dari 137 Kekuasan Eksekutif (pemerintahan), dan bukan Kekuasaan Yudikatif (kekuasaan kehakiman). Pengertian “(Kewenangan) Kepolisian” dan “(Kewenangan) Kejaksaan” yang independen, hanya berarti “bebas intervensi (politik) untuk kasus”, bukan berarti “bebas pengaruh politik Kabinet” (dengan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, Kapolri dan Jaksa Agung sebagai pembantu Presiden, setingkat Menteri, tunduk kepada politik/ kebijakan Kabinet); apakah Kapolri harus duduk dalam (Sidang) Kabinet (setara Menteri) adalah kebijaksanaan politik, bukan hukum. c. Kepolisian dan Kejaksaan harus bekerjasama dalam proses sistem peradilan pidana, secara “in tandem” (keduanya bekerjasama secara erat). Bagian Kepolisian yang mempunyai wewenang penyidikan hanya “Divisi Reserse Kriminal (Reskrim)” (Belanda : de rechterlijke politie, Inggris : criminal investigation division – CID), dan kalau divisi ini dahulu dinamakan “hulp-magistraat”, jangan merasa “terhina”. Ini sekedar “istilah” dan bukan untuk merendahkan Kepolisian, seperti juga ada istilah “magistrat – duduk” (hakim) dan “magistrat berdiri” (penuntut umum); mungkin tidak merasa “terhina” kalau diterjemahkan sebagai “magistrat-pendamping”. d. Tidak dikenal “monopoli” wewenang Kepolisian (police powers), karena publik juga punya wewenang Kepolisian (terutama dalam hal “tertangkap tangan”), begitu pula: institusi Imigrasi, institusi Bea Cukai, institusi Pajak, dan institusi-institusi lain yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pula dikenal “monopoli” wewenang pendakwaan (prosecutorial powers). Dalam KUHAP untuk tindak pidana ringan, Kepolisian dapat mendakwa di pengadilan. Di luar negeri dikenal adanya “private prosecutor” (disamping “state/public prosecutor”) atau “special prosecutor” (dalam hal tersangka/terdakwa adalah hakim, menteri atau presiden). Di Inggris ”prosecution” diserahkan oleh Directorate of Prosecution kepada Advokat Swasta (Barrister). e. Perbedaan wewenang Kepolisian dengan wewenang penuntut umum/Kejaksaan, harus dilihat dalam pengertian “division of powers” (pembagian kewenangan) dan bukan “separation of powers” (pemisahan kewenangan). Tujuan pembagian kewenangan ini adalah untuk “saling mengawasi” (check and balances). Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang, dengan tujuan sinergi 138 (disinilah letak pengertian Sistem Peradilan Pidana Terpadu). 3. Pembenahan terminologi perlu juga ditekankan pada Kekuasaan kehakiman yang berasal dari terjemahan istilah (konsep) Belanda “rechterlijke macht” (rechter: hakim, rechterlijke: kehakiman). Dalam konsep “kekuasaan kehakiman” ini tercakup pengertian “judicial power” oleh “the Judiciary” (jajaran hakim pengadilan), tetapi juga dari “officers of the court” (pejabat pengadilan lainnya). Siapa yang lain ini? the judicial police” (Indonesia : Polisi kehakiman atau Reserse, sebagai “pendamping magistrat berdiri/penuntut umum”), dan Jaksa/PU sebagai magistrat berdiri. Juga adalah “officers of the court”, para advokat ketika mereka “memakai toganya” (melaksanakan kewenangan “membela perkara pidana”). Dalam kedudukan dan kewenangan penuntut umum sebagai “officer of the court”, dia dapat “memerintah kegiatan” (direct the activities) dari “judicial police”. Oleh karena itu: a. Institusi Kepolisian bukan bagian dari Bab Kekuasaan Kehakiman UUD/Konstitusi kita. Institusi Kepolisian masuk dalam Bab lain dari konstitusi (kewenangan eksekutif). Namun, kewenangan Kepolisian kehakiman/kewenangan reserse sebagai “judicial police” ada di dalam kekuasaan kehakiman. Karena itu, Kepala Reserse pada Kepolisian berada secara administratif di bawah Kapolri, tetapi secara fungsional di bawah “officer of the court”: Penuntut Umum (Jaksa Agung ). b. Institusi Kejaksaan (Agung) adalah bagian dari pemerintahan (kewenangan eksekutif), seperti juga institusi Kepolisian. Akan tetapi kewenangan pendakwaan (prosecutorial powers)/ penuntutan (vervolging) adalah sebagai “officer of the court” dan karena itu masuk dalam kekuasaan kehakiman, dan merupakan wakil publik bersama dengan polisi–reserse, mewakili kekuasaan negara (publik) membuktikan kesalahan terdakwa dan menuntut hukuman (tetapi juga, bila tidak cukup bukti membatalkan dakwaan dan hukuman). Didalam bahan pustaka, maka bilamana dibicarakan tentang reformasi “judiciary”, yang dimaksud adalah reformasi hakim dan penuntut umum (judges and prosecutors). Dan secara logika tentunya juga reformasi polisi kehakiman/reserse. c. Advokat adalah organisasi swasta (private), tetapi begitu mereka berperan sebagai “pembela”, baik dalam tahap pra-adyudikasi (penyidikan), maupun dalam tahap adyudikasi (pendakwaan 139 di pengadilan), mereka adalah bagian pula dari “kekuasaan kehakiman”. Mereka disebut sebagai “counsel of the court” ataupun juga “officer of the court”. Di Inggris, advokat (barrister) bertindak mewakili publik (negara) mendakwa di pengadilan, sedangkan di Belanda, advokat dapat bertindak (sementara) sebagai hakim (rechter). Kekeliruan desain UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah karena mengarah pada peng”kotak-kotak”an. Ini salah satu hasil “kompromi” pada waktu pembentukannya. d. Suatu “anomali” (perbedaan dari yang biasa/umum) adalah dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Dapat dinamakan anomali sistem peradilan pidana Indonesia, tetapi dasar politiknya ialah “ketidak percayaan total terhadap Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung/ Pengadilan”, yang dipersepsikan terlibat dalam korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tersangka dan terdakwa (dan juga terpidana oleh institusi Lembaga Pemasyarakatan). Persepsi masyarakat terhadap sistem peradilan pidana Indonesia menghasilkan solusi KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai usaha pemulihan kepercayaan masyarakat. Dalam krisis kepercayaan yang terjadi, maka solusi ini seharusnya dapat diterima oleh institusi Kepolisian, institusi Kejaksaan (Agung) dan jajaran Pengadilan/Mahkamah Agung. 4. Dibutuhkan ketegasan politik hukum dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana agar jika kelak disahkan, menjadi rujukan utama bagi perundang-undangan lainnya yang mengatur secara khusus mengenai peradilan pidananya atau mengenai kelembagaannya. Dukungan untuk ketegasan politik hukum dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana untuk mengatasi hambatan-hambatan selama ini. Ketegasan tersebut tertuju pada substansi RUU tentang Hukum Acara Pidana seperti di bawah ini: a. Sistem peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. b. Asas legalitas. c. Penyidikan. d. Penyadapan. e. Penahanan. f. Sistem penuntutan dan penyelesaian perkara di luar pengadilan. 140 g. h. i. j. k. l. m. n. 5. 6. 7. 8. Hakim Komisaris. Alat bukti, perolehan alat bukti dan pembuktian di persidangan; Saksi mahkota. Adversarial dalam pemeriksaan di persidangan. Plea bargaining. Acara pemeriksaan. Bantuan hukum. Ganti kerugian, rehabilitasi, dan putusan pengadilan tentang ganti kerugian terhadap korban. o. Upaya hukum atas putusan pengadilan. Penempatan Hakim Komisaris sebagaimana dimaksudkan di dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana perlu dilakukan secara matang agar masalah-masalah yang menjadi potensi hambatan seperti faktor geografi maupun keterbatasan sarana dan prasana menjadi dapat diperkecil potensinya. SPDP adalah instrumen penyidik melakukan koordinasi dengan penuntut umum, sejak mulainya penyidikan. Dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana ketentuan ini diatur pada Pasal 13. Pasal lain yang berkaitan dengan koordinasi adalah Pasal 8 ayat (1). Ketentuan RUU tentang Hukum Acara Pidana tersebut tentu bukan mendudukan institusi penyidikan (Kepolisian) di bawah institusi penuntutan (Kejaksaan) akan tetapi sejak awal penyidikan, penyidik telah berkonsultasi dan koordinasi dengan penuntut umum untuk memudahkan penyelesaian berkas perkara. Oleh karenanya penting penuntut umum sejak awal mengikuti proses penyidikan, dengan begitu efisiensi penyelesaian perkara dapat tercapai yang selaras dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan (constante justitie) sebagai prinsip dalam setiap tahapan hukum acara peradilan pidana. Kewenangan Hakim Komisaris sebagaimana terdapat dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana, mempunyai legitimasi yang cukup kuat berdasarkan pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini. Oleh karenanya, kelemahan-kelemahan pengaturan mengenai kewenangan pengawasan oleh Hakim Komisaris dalam proses penyidikan maupun pra penuntutan, perlu segera diperbaiki dalam pembahasan RUU tentang Hukum Acara Pidana tersebut di tingkat legislatif/DPR. Implikasi putusan Hakim Komisaris tentu saja sangat signifikan dalam perwujudan hak asasi tersangka dan kelanjutan proses 141 praajudikasi, baik yang berkaitan dengan penyidikan maupun penuntutan. Kemungkinan suatu sanksi dimasukkan dalam putusan Hakim Komisaris merupakan kebutuhan di tengah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh polisi maupun jaksa. Pemberian sanksi oleh Hakim Komisaris mempunyai legitimasi atau dukungan yang cukup kuat untuk diwujudkan meskipun hal ini menjadi kontroversial karena merupakan hal yang tidak biasa jika terdapat sanksi dalam hukum acara (jika hal ini hendak dimasukkan dalam pembahasan RUU tentang Hukum Acara Pidana di tingkat legislatif/DPR). Pemberian rekomendasi sanksi tersebut disesuaikan dengan karakteristik penegakan hukum pidana yang sesuai dengan masyarakat Indonesia dan asas-asas universal dalam suatu hukum acara pidana. 9. RUU tentang Hukum Acara Pidana atau peraturan pelaksanaannya nanti mengatur agar jabatan Hakim Komisaris dipersyaratkan untuk jenjang karier hakim di masa selanjutnya, layaklah untuk dipikirkan. Dengan demikian dalam perjalanan karier seorang hakim, menjadi Hakim Komisaris adalah sebuah jenjang karier yang harus dilalui terlebih dahulu sebelum menjadi Ketua Pengadilan atau jabatan struktural lainnya. 10. Di dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana atau peraturan pelaksanaannya, perlu dijelaskan alasan pengaturan Ketua Pengadilan Tinggi yang mengusulkan hakim-hakim yang akan menjabat Hakim Komisaris ke Presiden. Dalam hal ini perlu diperjelas alasan tidak menyerahkan calon-calon tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung, lalu Ketua Mahkamah Agung yang mengusulkannya ke Presiden. Dengan demikian jalur birokrasinya jelas dan terstruktur, dan dapat dihindari kesan bahwa Ketua Mahkamah Agung dilewati oleh Ketua Pengadilan Tinggi dalam hal ini. 11. Memahami bahwa kelembagaan Hakim Komisaris masih perlu ditelaah pengorganisasiannya, maka perlu dibuat perencanaan yang standar mengenai hal tersebut. Salah satu usulan yang dapat diperhatikan ialah pengaturan pengorganisasian Hakim Komisaris dalam lingkup pendayagunaan aparatur negara, koordinasi, sinkronisasi, integrasi, pengawasan dan pengendalian, yang kesemua hal tersebut merupakan bagian penting bagi berjalannya suatu organisasi. Standar, diartikan sebagai suatu nilai yang dalam bidang manajemen digunakan sebagai rujukan atau acuan. Standar tersebut diusulkan untuk diterapkan dengan pembentukan Hakim Komisaris sebagai bagian sistem 142 peradilan di Indonesia. Standar tersebut berpijak pada peran penting sumber daya manusia. Perincian standar tersebut tercermin dalam hal sebagai berikut: a. Konsep manajemen sumber daya manusia aparatur. b. Penerapan konsep manajemen sumber daya manusia aparatur yang layak bagi Hakim Komisaris. c. Manajemen Hakim Komisaris di masa mendatang. d. Perencanaan Hakim Komisaris. e. Pengadaan Hakim Komisaris. f. Penempatan Hakim Komisaris. g. Pengembangan Hakim Komisaris. h. Pengelolaan kinerja. i. Penerapan peraturan disiplin dan kode etik. j. Remunerasi. k. Pemberhentian/pemensiunan. l. Efektivitas pembentukan Hakim Komisaris. Standar tersebut di atas atau dapat juga disebut standar manajemen sumber daya manusia aparatur negara dapat diterapkan untuk jenis jabatan apapun yang berkaitan dengan kepentingan publik tanpa terkecuali di lingkungan peradilan. Standar manajemen sumber daya manusia aparatur adalah mewujudkan pejabat yang memiliki integritas dan kompetensi tinggi. Prinsip-prinsip umum tersebut dapat diterapkan secara selektif dalam jabaran teknis sesuai kepentingan pembentukan Hakim Komisaris. 12. Masih adanya keraguan atas persyaratan Hakim Komisaris tersebut, perlu juga diimbangi dengan pelibatan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial perlu terlibat mengawasi penyeleksian calon Hakim Komisaris. Tugas dan wewenang Komisi Yudisial sudah diatur dalam konstitusi dan juga undang-undang yang mengatur mengenai kelembagaan Komisi Yudisial. terdapat harapan yang besar agar penyeleksian calon Hakim Komisaris tidak hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung tetapi juga melibatkan Komisi Yudisial. Hal ini, meskipun dapat menjadi kontroversial mengingat tugas dan fungsi Komisi Yudisial yang sudah terdapat dalam konstitusi, menandakan besar harapan agar penyeleksian berlangsung dengan menjunjung tinggi integritas dan profesionalitas. Harapan besar itu berpotensi lebih terwujud dengan melibatkan Komisi Yudisial. Untuk itu perlu dirumuskan standar mekanisme pengawasan oleh Hakim Komisaris. 143 13. Dukungan untuk bersikap pro aktif atau melaksanakan kewenangan atas inisiatifnya sendiri bagi Hakim Komisaris, tetap memerlukan suatu standar mekanisme kerja. Standar mekanisme tersebut, dapat berupa perincian prinsip-prinsip fair trial yang penting dan wajib diikuti Hakim Komisaris dalam pemeriksaan antara lain: a. Prinsip pembuktian. b. Prosedur dan persamaan kedudukan (equality of arms). c. Asas non diskriminasi. d. Praduga tidak bersalah (presumption of innocence). e. Hak atas penasihat hukum. f. Peradilan yang bebas, cepat dan sederhana. g. Peradilan yang terbuka untuk umum. 14. Rekomendasi sanksi dari Hakim Komisaris tentu memerlukan pelaksanaan yang efektif. Keefektivan ini sangat ditentukan oleh pihak yang berwenang di institusi Kepolisian dan/atau Kejaksaan. Oleh karenanya diperlukan suatu sifat yang mengikat dan wajib dilaksanakannya rekomendasi tersebut oleh pihak yang berwenang di institusi Kepolisian dan/atau Kejaksaan dan pelaksanaannya diawasi oleh pengawas internal maupun eksternal. Hal ini tentunya dapat turut memberikan terobosan bagi agar Hakim Komisaris tidak sematamata terpaku pada Pasal 111 RUU tentang Hukum Acara Pidana saja, namun juga memikirkan efektivitas efek jera bagi penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangannya. Pemberian rekomendasi sanksi tersebut disesuaikan dengan karakteristik penegakan hukum pidana yang sesuai dengan masyarakat Indonesia dan asas-asas universal dalam suatu hukum acara pidana, maka begitupun juga dengan sifat mengikatnya rekomendasi sanksi tersebut. Hakim Komisaris memberikan rekomendasi sanksi yang mengikat dalam putusan atau penetapannya, dengan tidak melanggar kaidah-kaidah suatu putusan atau penetapan dalam proses praajudikasi. Endnote 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. Komisi Hukum Nasional, Kajian Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2008), hlm. 17. Tentang dua aliran proses pemuatan kebijakan melalui demokrasi partisipasi (participatory democracy) dan demokrasi elitis (elitist democracy) baca antara lain: Anis Ibrahim, Legislasi dan Demokrasi, (Malang: Instrans, 2008), hlm. 144-117. Tentang legislasi di Indonesia dengan pendekatan hukum responsif, otonom, dan represif yang disampaikan Nonet dan Selznick. Baca lebih lanjut Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 2023. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 317. Komisi Hukum Nasional, Kajian tentang Evaluasi Reformasi Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2010), hlm. 51. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Catatan Akhir Tahun 2009. (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2009). Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389, Bab IV – Bab V. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Program Legislasi Nasional, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002). Ignatius Mulyono, “Kebijakan Penyusunan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2011”, suatu tulisan yang disampaikan dalam Rapat Pembahasan Tahunan Program Legislasi Nasional Tahun 2010, Badan Pembinaan Hukum Nasional - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, pada tanggal 12 -14 Oktober 2010 di Bogor – Jawa Barat. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Berharap Pada 560: Catatan Kinerja DPR 2009-2010, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2011), hlm.38. Dikembangan dari Komisi Hukum Nasional, Program Legislasi Nasional, Op. Cit., hlm. 54-58. Ibid. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010, Ibid., bagian Lampiran, hlm. II.8.- 32. Ibid. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Naskah Akademik RUU tentang Bantuan Hukum dan RUU tentang Bantuan Hukum, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2009). Berdasarkan penegasan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin Ketua DPR RI Marzuki Alie pada hari Selasa, 4 Oktober 2011, yang telah mensahkan RUU tentang Bantuan Hukum menjadi Undang-Undang. Sebelumnya, RUU ini telah dibawa pada Pembicaraan Tingkat I di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada tanggal 20 September 2011. Pembicaraan Tingkat I tersebut merupakan hasil Rapat Konsultasi pengganti rapat Badan Musyawarah pada tanggal 13 Juli 2010. Ibid. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Desain Sistem Perlindungan Sosial Terpadu, (Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2003), hlm 3. Diolah dari data BPS 2010. Komisi Hukum Nasional, Perekrutan dan Karir di Bidang Peradilan, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2002). Mahkamah Agung, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2003). Maruarar Siahaan, “Membangun Kembali Komisi Yudisial yang Mampu Menjaga dan Menegakkan Kehormatan Hakim Indonesia”, 2011. Moh. Mahfud MD, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Hak Konstitusional Warga Negara”, 2009. Berdasarkan surat DPR tanggal 11 Juli 2011 mengenai Undangan Rapat Dengar Pendapat Umum pada tanggal 14 Juli 2011 di DPR. Berdasarkan Rapat Dengar Pendapat Umum pada tanggal 15 September 2011 di DPR antara Komisi III DPR dengan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Newsletter Komisi Hukum Nasional, ”Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyadapan: Tidak Konstitusional?”, volume 10, No.1, Edisi Januari-Februari 2010, hlm. 34. Ibid. Dikembangkan berdasarkan Indonesia Corruption Watch, “KPK Harus Rekrut Penyidik Independen”, dalam 146 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. www.antikorupsi.org, 16 Mei 2010. www.waspada.co.id,”KPK Rancang Perwakilan Daerah”, diunduh 15 Juli 2011. www.okezone.com, 3 Juli 2011, “Din Syamsuddin Usul: KPK Diperkuat di Daerah”. www.hukumonline.com, 24 Mei 2011, “Jabatan Pimpinan KPK Jangan Diisi Bersamaan”. Berdasarkan surat DPR tanggal 13 September 2011 mengenai Undangan Rapat Dengar Pendapat Umum pada tanggal 19 September 2011 di DPR. Ibid. Momo Kelana, Memahami Undang-Undang Kepolisian – Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 – Latar Belakang dan Komentar Pasal demi Pasal, (Jakarta: PTIK Press, 2002), hlm. 76 – 77. Zakarias Poerba, “Kajian Evaluasi terhadap Pelaksanaan Reformasi Kepolisian”, suatu tulisan yang dipresentasikan dalam Lokakarya Penelitan “Kajian Evaluasi terhadap Pelaksanaan Reformasi Kepolisian” di Jakarta, 26 Oktober 2010. Ibid. Komisi Hukum Nasional, ”Kajian Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2009). Ibid. Muladi, “Peran Administrasi Peradilan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu”, Newsletter Komisi Hukum Nasional, (Mei, 2002), hlm. 4-6; Lihat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28A – Pasal 29J UUD 1945. Pasal 6: setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum hukum sebagai manusia secara pribadi dimana saja ia berada; Pasal 7: semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi.... Pasal 9: tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang;. Pasal 10: setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka dan pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya. Pasal 11 ayat (1): setiap orang yang dituntut karena diduga melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, dimana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya”. Pasal 9 ayat (1): ...tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum; ayat (3): siapapun yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana harus segera dibawa ke hadapan hakim atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk melaksanakan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Seharusnya bukan merupakan ketentuan umum bahwa orang yang menunggu pemeriksaan pengadilan harus ditahan, tetapi pembebasan dapat dilakukan dengan syarat jaminan untuk hadir pada waktu pemeriksaan pengadilan, pada tahap lain dari proses peradilan, dan apabila dibutuhkan, pada pelaksanaan putusan pengadilan; ayat (4): siapapun yang dirampas kemerdekaannya dengan cara penangkapan atau penahanan, mempunyai hak untuk disidangkan di depan pengadilan, agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tersebut tidak sah menurut hukum. Pasal 14 ayat (3): dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan, setiap orang berhak atas jaminan minimum berikut, dalam persamaan yang penuh: (c) untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; (d) untuk diberitahu tentang haknya atas bantuan hukum dan/atau mendapat bantuan hukum; (g) untuk tidak dipaksa agar memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengakui kesalahannya. Adnan Buyung Nasution, “Praperadilan Versus Hakim Komisaris, Beberapa Pemikiran Mengenai Keberadaan Keduanya” , 27 November 2001. BAB DUA PENGKAJIAN LEGISLASI PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI Permasalahan Instrumen, Struktural Dan Budaya Hukum A. PENGANTAR Hak atas pekerjaan dijamin dalam Universal Declaration of Human Right 1948. Di dalam Pasal 23 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, memilih pekerjaan, menikmati kondisi kerja yang baik serta perlindungan atas ancaman pengangguran (everyone has the right to work, to free choice of employment, to just and favorable conditions of work and to protection against unemployment). Selain itu juga dijamin dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Di dalam Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa negara mengakui hak atas pekerjaan dan melindunginya. Amandemen UUD 1945 juga menjamin hak atas pekerjaan. Di dalam Pasal 28E ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang bebas memilih pekerjaan untuk mendapatkan penghidupan yang layak demi kesejahteraannya. Di dalam Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan di dalam Pasal 28D ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan lebih lanjut kemudian diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang juga mengamanatkan dibentuknya perundangan yang mengatur penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, yang selanjutnya disebut dengan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Di dalam Pasal 34 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang. Kesulitan ekonomi menyebabkan TKI rela meninggalkan tanah air tercinta untuk mencari nafkah di luar negeri. Hal itu tidak lepas dari ketidakmampuan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang layak. 150 Ironinya, tidak hanya tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan, negara juga tidak “cakap” melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Sementara itu, penempatan TKI di luar negeri selain menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi juga menyumbangkan devisa yang luar biasa kepada negara. Pada Tahun 2005, jumlah TKI mencapai 474.310 orang dengan remitansi lebih dari 2,93 miliar dolar AS. Jumlah itu meningkat tajam pada tahun 2006, sejumlah 680.000 orang berhasil diserap dan menghasilkan remitansi lebih dari 4,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 40 triliun, angka tersebut lebih tinggi dari tahun sebelumnya (2005) sekitar 150%, dan tahun 2007 peningkatan remitansi sekitar 4,8 miliar dolar AS. Berangkat dari kenyataan tersebut, sesungguhnya negara sangat diuntungkan dengan keberadaan TKI, sehingga wajar bila pemerintah berkepentingan untuk memprogramkan penempatan TKI di luar negeri, termasuk Pemerintah Daerah. Kebijakan penempatan TKI juga mendapatkan dukungan kuat karena angka remitansi yang dihasilkan dari penempatan TKI di luar negeri dapat melampaui angka PAD (pendapatan asli daerah), seperti di Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang tiga tahun lalu mencapai Rp 39,6 miliar. Namun ironisnya, besarnya sumbangan devisa dari para TKI tidak sebesar perhatian pemerintah terhadap perlindungan TKI. Kasus Ruyati adalah potret betapa Pemerintah tidak memiliki sistem perlindungan yang baik bagi TKI. Sehingga ketika warga negaranya menghadapi eksekusi pancung di Arab Saudi, alih-alih memberikan perlindungan, bahkan Pemerintah Republik Indonesia baru mengetahui kabar pemancungan itu setelah peristiwa tersebut terjadi. Pemerintah sepertinya tidak bersungguh hati memperjuangkan nasib warga negaranya terutama TKI di luar negeri. Pemerintah bergerak memberikan pembelaan hanya ketika disorot tajam oleh masyarakat, namun ketika sorotan itu reda, maka reda pula pembelaan itu. Inilah gambaran betapa Pemerintah belum membenahi diri secara sungguh-sungguh untuk dapat bekerja secara sistemik dan penuh dengan kesadaran akan tugas dan tanggung-jawab yang diembannya, bukan reaktif terhadap sorotan publik. Hal ini pula yang dengan kasat mata menunjukkan kepada kita bahwa institusionalisasi pembelaan terhadap hak-hak pekerja migran hanya isapan jempol. Lihat saja rasio jumlah atase luar negeri untuk urusan TKI, terlalu timpang dibandingkan jumlah TKI. Bayangkan, di Arab Saudi hanya ada 4 tenaga atase untuk mengurus sekitar 1,5 juta Warga Negara Indonesia (WNI) di Arab Saudi. Belum lagi keterbatasan anggaran dan tidak adanya pembagian urusan yang tegas antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan 151 Kementerian Luar Negeri, sehingga ketika muncul persoalan TKI di luar negeri masing-masing saling lempar tanggung-jawab. Birokrasi yang morat-marit menjadi penyebab munculnya persoalan TKI dalam tahap Pra-Penempatan-Penempatan dan Purna Penempatkan. A. PERMASALAHAN DALAM TAHAP PRA PENEMPATAN Dalam tahap pra penempatan ini, permasalahan terdapat pada calo atau sponsor, perjanjian kerja, dan TKI ilegal. 1. Calo atau Sponsor Kesalahan awal dalam pengiriman TKI adalah penggunaan “calo atau sponsor”. Keberadaan calo dalam pengiriman TKI ke luar negeri tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pemerintah di dalam menyediakan informasi dan lemahnya pengawasan serta penindakan terhadap Pelaksana Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang mempergunakan jasa calo. BNP2TKI mengakui terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap TKI tidak terlepas dari banyaknya PPTKIS yang menggunakan “calo” dalam melakukan perekrutan, sementara pengawasan dari pemerintah juga sangat lemah. Saat ini dapat dikatakan, penyediaan TKI masih didominasi oleh calo yang rawan dan rentan terjadinya pelanggaran HAM. Keberadaan calo, kurang mendapat “perhatian serius” dari pemerintah, sehingga penegakan hukum baik secara pidana maupun perdata tidak berjalan. Kepolisian dan penyidik ketenagakerjaan terkesan lamban di dalam memerangi dan memberantas serta menertibkan mereka, meskipun secara hukum tindakan calo tersebut merupakan tindak pidana kejahatan dan perbuatan melawan hukum (onrecht matigedaads). Peran calo sangat signifikan dalam penempatan TKI secara ilegal yang bekerjasama dengan PPTKIS ilegal atau pun legal. Dengan mekanisme ilegal, TKI pada akhirnya menjadi korban kekerasan, pemerasan dan perdagangan manusia (human trafickking) bahkan deportasi karena tidak memiliki dokumen yang sah. Dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, khususnya di dalam Pasal 4, Pasal 10, Pasal 34, dan Pasal 100 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa penempatkan TKI ke luar negeri hanya boleh dilakukan pemerintah dan PPTKIS. Larangan kepada siapapun termasuk “calo” disertai dengan sanksi pidana dan administrasi. Namun ketentuan ini, tidak terimplementasi dengan baik, karena lemahnya political will dari 152 pemerintah, serta lemahnya pengawasan dan penindakan Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI serta Kepolisian. 2. Perjanjian Kerja Salah satu faktor penyebab terjadinya pelanggaran HAM terhadap TKI adalah ketidakmampuan membaca dan memahami dokumen yang ditandatangani. Hal ini diperparah sikap PPTKIS yang tertutup dengan tidak memberikan pemahaman secara komprehensif tentang perjanjian perekrutan (antara Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia dengan Agen Asing), Perjanjian Penempatan (antara Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia dengan TKI); dan Perjanjian Kerja (antara TKI dengan perusahaan/majikan). Di sisi lain, BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi kurang serius dalam melakukan review dan pemeriksaan semua jenis perjanjian yang akan ditandatangani TKI. Ketiga jenis perjanjian di atas sesungguhnya menjadi pintu masuk terjadinya pelanggaran HAM terhadap TKI baik dilakukan PPTKIS, agency atau pun majikan/ perusahaan. Oleh karena itu peran negara tidak nampak sama sekali di dalam “mencegah” pelanggaran HAM terhadap TKI. Timbulnya pelanggaran HAM terhadap TKI di luar negeri juga tidak dapat dilepaskan dari ketertutupan “perjanjian kerja” oleh PPTKIS kepada TKI itu sendiri maupun kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau BNP2TKI. Padahal Pasal 55 ayat (3) dan Pasal 58 ayat (1) UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri mengharuskan perjanjian kerja dilegalisir dan disahkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan perwakilan pemerintah di negara setempat. Selain mengandung keharusan PPTKIS melaporkan perjanjian kerja ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pasal itu juga memberikan sanksi administratif kepada PPTKIS yang melakukan pelanggaran. 3. TKI Ilegal Salah satu persoalan besar dalam pengiriman TKI ke luar negeri adalah keberadaan TKI ilegal yang merupakan bentuk kegagalan pemerintah di dalam memberi pelayanan, pengawasan dan monitoring pengiriman TKI ke luar negeri. Diperkirakan jumlah TKI ilegal lebih dari 70% dari total TKI yang ke luar negeri. Faktor utama maraknya penempatan TKI secara ilegal adalah mahalnya dan birokratisasi pengurusan penempatan TKI di luar negeri. Meskipun Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah 153 menyederhanakan birokrasi dari yang semula 40 pos menjadi 11 pos. Tetapi jika dicermati dari skema alur penempatan TKI, ada 41 birokrasi yang harus dilewati oleh seorang TKI. Jika diasumsikan untuk masingmasing birokrasi ada tiga meja saja, berarti ada 123 meja yang harus dilalui oleh TKI. Di samping faktor di atas, faktor yang tatkalah penting adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk berangkat melalui jalur resmi.1 Permasalahan TKI ilegal merupakan bagian tak terpisah dari praktik calo tenaga kerja. Mereka spekulan yang memanfaatkan kondisi ketidaktahuan dan keterjepitan masyarakat. Ketertarikan dan keinginan berangkat bekerja ke luar negeri didasarkan “iming-iming” dari calo, dimana biaya keberangkatan ke luar negeri jauh lebih murah dibandingkan dengan yang dipungut PPTKIS resmi. C. PERMASALAHAN DALAM TAHAP PENEMPATAN DAN PURNA PENEMPATAN Pemerintah menyadari dengan menyerahkan pengelolaan TKI − perekrutan, penempatan dan pemulangan − kepada PPTKIS banyak menimbulkan terjadinya pelanggaran HAM terhadap TKI. Pelanggaran HAM tersebut telah menjadi fenomena sehari-hari bagi TKI tanpa tindakan tegas dari pemerintah, bahkan cenderung “menyalahkan” TKI. Karakteristik pelanggaran HAM tersebut di setiap negara tempatan sangat berbeda begitu pula dengan pelakunya. Lemahnya penegakkan UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri oleh pemerintah memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memiliki komitmen pemenuhan HAM TKI, sementara realitasnya kemauan untuk menjadi TKI terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari lemahnya penindakan dalam bentuk pemberian sanksi administrasi dan sanksi pidana. Di lain pihak pemerintah juga “gagal” mendorong penyelesaian pelanggaran HAM terhadap mereka, baik yang bersifat pidana maupun perdata, yang dilakukan agency maupun majikan/perusahaan serta pemerintah negara tempatan. Kelemahan mendasar pemerintah terletak pada lemahnya monitoring praktik PPTKIS dan pemantauan TKI di negara tempatan. Khusus BNP2TKI, kelemahan mendasar lembaga ini terletak pada substansi UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang hanya memberikan wewenang “sebatas merekomendasikan” hasil pengawasannya tanpa wewenang melakukan “penindakan” baik yang bersifat pidana maupun administratif. 154 Lemahnya komitmen pemerintah di dalam memberikan perlindungan hukum juga dapat dilihat dari “ketidaktahuan” pemerintah berapah jumlah TKI yang bekerja di luar negeri, karena PPTKIS umumnya yang tidak melaporkan TKI yang diberangkatkan bekerja ke luar negeri. Kegagalan pemerintah di dalam memberikan perlindungan hukum terhadap TKI dan mendorong penyelesaian pelanggaran HAM-nya telah melanggar berbagai instrumen internasional yang substansinya “mengharuskan setiap negara memberikan perlindungan hukum terhadap setiap warganya” antara lain Deklarasi Umum HAM (1948), Konvensi Pencegahan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pelacur (1949), Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukum lain yang Kejam (1965), Konvensi Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990), Konvensi Hak Anak (1989), Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (1993); dan Konvensi Penghapusan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi Lainnya (1949). Dibalik lemahnya perlindungan TKI, pemerintah (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI) menyatakan berbagai keberhasilan dalam mengimplementasikan peningkatan kualitas dan kuantitas TKI. Namun demikian, kalau kita melihat keseluruhannya, berlangsung di dalam kerangka memperdagangkan dan menempatkan sebanyak-banyaknya mereka di pasar tenaga kerja internasional. Kebijakan pemerintah tentang TKI masih terkesan memperlakukan mereka sebagai barang dagangan yang perlu dipasarkan, menghilangkan sisi kemanusian mereka. Ukuran-ukuran keberhasilan pemerintah dengan membuka kerjasama penempatan TKI mengesankan komoditisasi mereka; karena tidak linier dengan peningkatkan perlindungan HAM. Selain itu, mereka ditempatkan sebagai persediaan tenaga kerja untuk memenuhi permintaan di pasar tenaga kerja internasional. Kebijakan dan tindakan pemerintah yang mengobjektifikasikan TKI makin terlihat dalam UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang menjadikan PPTKIS sebagai subjek yang bebas mengatur bagaimana hak-hak dan perlindungan hukum mereka di dalam dan di luar negeri. Begitu pun dari sisi kebijakan dan legislasi di Indonesia sejak tahun 1974 hingga sekarang, masalah TKI masih dirumuskan menempatkan mereka sebagai “barang perdagangan” yang tidak perlu sungguhsungguh untuk diberikan perlindungan. Lebih ekstrem lagi dapat dikatakan bahwa tidak ada regulasi yang sunguh-sunguh melindungi mereka, meskipun sejatinya mereka adalah penyumbang devisa negara. Cara pandang pemerintah tersebut adalah bentuk pelanggaran HAM oleh 155 negara. Padahal nafas UUD 1945 sangat menghargai dan menjamin hak setiap warga negara untuk bekerja di dalam dan di luar negeri, untuk memperoleh penghidupan yang layak dan kesejahteraan. Kondisi itu mendeskripsikan TKI terpasung pada kerangka bisnis ketenagakerjaan. Pemasungan ini menjadi semakin kokoh ketika perlindungan TKI diterjemahkan menjadi bagian dari aspek bisnis penempatan tenaga kerja, bukan sebagai kewajiban negara. Padahal UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) telah menegaskan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, menjadi tanggung jawab negara. Hal itu tidaklah berlebihan karena memang kelemahan mendasar UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri terletak dalam tataran paradigmatis, dimana substansinya tidak mencerminkan tanggung jawab negara di dalam memberikan perlindungan hukum ke semua warganya tidak terkecuali TKI di luar negeri. Selain itu, UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri lebih banyak mengatur bagaimana mekanisme perekrutan dan penempatan TKI, dengan mengabaikan perlindungan hukum mereka. Ke depan, pemerintah harus dapat menjamin dan memastikan serta menyediakan sarana perlindungan hukum terhadap mereka. Perlindungan itu tidak hanya dalam kerangka penanganan setelah terjadinya peristiwa (represif) tetapi juga harus mencakup unsur pencegahan (preventif). Untuk itu langkah yang paling strategis untuk memperbaiki “perlidungan hukum terhadap TKI” adalah dengan memperbaiki (revisi) UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dengan lebih menonjolkan perlindungan hukum, ketimbang mekanisme penempatan. D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MASIH BERMASALAH Permasalahan TKI bersumber dari kegamangan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan Peraturan Pelaksananya dalam memberikan perlindungan kepada TKI sehingga pengaturannya tidak jelas dan tegas. Demikian pula dengan birokrasi pelaksana yang tidak terkoordinasi secara sistematis, tidak jelas pembagian tugas dan tanggungjawab masing-masing pihak. Pada akhirnya hal ini menimbulkan berbagai permasalahan yang terus menerus terjadi. Tidak terlalu salah bahwa peraturan perundangundangan tentang TKI selalu bermotifkan keuntungan pihak-pihak tertentu karena itu tidak pernah benar-benar berpihak pada perlindungan TKI itu sendiri. 156 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dan Peraturan Pelaksananya sebagai dasar hukum penempatan dan perlindungan TKI memiliki sejumlah kelemahan, antara lain : 1. Dasar pemikiran lahirnya lebih menitikberatkan pada pengaturan tentang penempatan dan perlindungan yang hanya melengkapi kebutuhan untuk penempatan. Karena itu tidak dideskripsikan secara jelas hak-hak TKI atas perlindungan dan prosedur perlindungan yang mudah diakses TKI. (Dari 109 pasal, hanya 8 pasal yang mengatur tentang Perlindungan). 2. Perlindungan lebih didekati sebagai “program” bukan sistem yang selalu melekat dalam setiap proses dan tahapan. (Pasal 83). 3. Tidak mengakomodasi Hak-Hak yang dijamin oleh Peraturan Perundang-Undangan tentang Hak Asasi Manusia, antara lain UU 39 No. Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan UU No. 5 Tahun 1988 Tentang Anti Penyiksaan. 4. Tidak menjamin “Hak atas Komunikasi”, “Hak Berserikat” dan “Hak Cuti atas Tanggungan Majikan” (termasuk cuti haid dan cuti hamil). 5. Monopoli kewenangan oleh Pemerintah sebagai regulator, pembinaan dan pengawasan. [Pasal 5 ayat (1)]. 6. Tidak jelas pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal PPTKI sehingga dalam praktiknya masih sentralistik. (Pasal 5 ayat (1) bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana ketenagakerjaan masuk dalam wewenang daerah). 7. Tidak sinkron antara Peraturan Pelaksana dengan UU, misalnya pasal 73 ayat (2) yang mengatur mengenai Pemulangan TKI meninggal dunia dibebankan kepada PPTKIS namun dalam Pasal 24 Permenakertrans No. 07/MEN/V/2010 menjadi tanggungjawab konsorsium asuransi TKI bekerjasama dengan Perwakilan R.I. dan/atau lembaga yang mendapat persetujuan Perwakilan R.I. di Negara Penempatan. 8. Bentuk perlindungan bagi TKI seperti yang diamanatkan Pasal 77-84 direduksi menjadi program asuransi TKI. 9. Belum diratifikasinya Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. 157 E. PERMASALAHAN PELAKSANA PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI. Pelaksana Penempatan dan Perlindungan TKI dalam hal ini adalah Pemerintah termasuk BNP2TKI dan PPTKIS. Beberapa permasalahan yang terjadi adalah: 1. Tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan BNP2TKI. 2. Tidak terkoordinasinya institusi yang terkait dengan TKI dalam satu atap pelayanan (one stop service), antara lain, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan Nasional, dan Kementerian Kesehatan. 3. Birokratisasi baru di BNP2TKI. 4. Birokrasi Pemerintahan Pusat dan Daerah belum memiliki sistem informasi, pendataan dan sosialisasi untuk rekruitmen calon TKI/ TKI. 5. Kementerian Luar Negeri tidak dilibatkan secara aktif untuk mengurus TKI di luar negeri, dengan tidak diberikan kewenangan dan alokasi anggaran yang memadai. 6. Kinerja pengawasan dan perlindungan dari pemerintah yang sangat lemah. 7. Belum dibuat Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan TKI Pada Masa Penempatannya di Luar Negeri. 8. Hasil Pemeriksaan BPK atas kinerja BNP2TKI Tahun 2007 dan 2008, bahwa pengelolaan pengawasan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI) terhadap PPTKIS (Pelaksana Penempatan TKI Swasta), BLKLN (Balai Latihan Kerja Luar Negeri), LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) dan sarana kesehatan dalam proses pra penempatanTKI informal secara prosedural belum dilaksanakan secara efektif. Sesuai dengan kerangka model pengelolaan yang baik (model of good management) yang telah dikembangkan dalam pemeriksaan. F. Rekomendasi Berdasarkan uraian di atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan dalam permasalahan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri ialah: 1. Pembenahan perundang-undangan, yaitu dengan: 158 a. Mengganti UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dengan UU yang baru yang berparadigma Perlindungan TKI dalam setiap tahapan. b. UU Perlindungan TKI yang baru harus secara jelas dan tegas mengatur pembagian tugas, kewenangan, jaminan hak-hak TKI atas perlindungan dan mekanisme perlindungan serta penegakan UU ini. c. UU Perlindungan TKI yang baru harus mendekatkan akses, mendorong dan memudahkan masyarakat untuk mengadukan pelanggaran-pelanggaran TKI serta menjamin hak pengadu atas proses penindakan. d. UU TKI yang baru juga harus menjamin hak-hak yang telah diatur dalam UU yang berkaitan dengan HAM. e. Segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. 2. Pembenahan kelembagaan yang bekaitan dengan penempatan dan perlindungan TKI, yaitu dengan: a. Membangun pelayanan satu atap untuk pengurusan dokumen TKI terdiri dari, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Kesehatan. b. Membangun sistem informasi, sosialisasi peluang kerja di luar negeri, perekrutan calon TKI dan pendataan TKI di daerah. c. Memberikan Peranan dan Alokasi Anggaran Yang Lebih Besar Kepada Kementrian Luar Negeri Untuk Memberikan Perlindungan TKI di Luar Negeri. d. Membentuk Tim Terpadu Perlindungan TKI yang independen (bukan bagian dari birokrasi) dengan keanggotaan dari unsur pemerhati masalah TKI, Tokoh Masyarakat, Pemerintah, PJTKI. e. Tim Terpadu Perlindungan TKI berfungsi untuk memberikan perlindungan TKI serta menerima dan memberikan tindakan terhadap pengaduan/laporan masyarakat terhadap pelanggaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang TKI. 3. Pembenahan budaya hukum masyarakat, dengan mengoptimalkan peran pemerintah dalam hal: a. Pendidikan kritis calon TKI. b. Pendidikan hak dan kewajiban calon TKI. c. Buku panduan hak-hak TKI dan cara bertindak bila ada pelanggaran. PERAN ASEAN DALAM PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN Berharap Pada Solidaritas Hak Asasi Manusia Negara-negara Anggota ASEAN A. PENGANTAR Sabtu, 18 Juni 2011, Ruyati Binti Satubi, seorang pekerja migran asal Bekasi di pancung di Pengadilan Mekah, Arab Saudi karena Pengadilan memutuskan Ruyati terbukti melakukan pembunuhan terhadap majikannya. Ruyati adalah TKI kedua yang menjalani hukuman mati di Arab Saudi. Tahun 2008, TKI bernama Yanti Riyanti juga mengalami nasib yang sama yaitu meninggal karena hukuman pancung. Selain Ruyati dan Riyanti, masih terdapat 23 TKI yang masih dalam proses pengadilan karena didakwa hukuman mati.2 Pemerintah Indonesia merupakan pihak yang turut serta bertanggung jawab atas hukuman mati yang menimpa Ruyati dan Riyanti serta TKI yang mempunyai masalah hukum. Pada level ASEAN, pasca penandatanganan Piagam ASEAN, permasalahan pekerja migran belum menjadi tanggung jawab bersama negara-negara ASEAN. Masalah pekerja migran tetap menjadi masalah dan tanggung jawab masing-masing negara pengirim. Hal demikian bertolak belakang dengan komitmen bersama yang dituangkan dalam Piagam ASEAN. Kesepakatan pemimpin ASEAN dalam menandatangani Piagam ASEAN juga disandarkan pada keinginan bersama untuk hidup di kawasan yang damai, aman dan stabil, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kesejahteraan bersama, kemajuan sosial, serta untuk memajukan kepentingan, cita-cita, dan aspirasi bersama. Negara-negara ASEAN bersepakat untuk membentuk komunitas ASEAN sebagai langkah untuk menjamin pembangunan berkelanjutan yang bermanfaat bagi generasi-generasi sekarang dan mendatang dan menempatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak serta kemakmuran rakyat sebagai pusat proses pembentukan komunitas ASEAN. Salah satu tujuan ASEAN adalah memajukan ASEAN yang berorientasi kepada rakyat yang di dalamnya seluruh lapisan masyarakat didorong untuk berpartisipasi dalam, dan memperoleh manfaat dari, proses integrasi dan pembangunan komunitas ASEAN. Upaya mewujudkan tujuan ASEAN tersebut adalah dengan memberikan perlindungan hak ekonomi, hak sosial, dan hakhak rakyat negara-negara ASEAN. Pekerja migran merupakan kelompok masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Dalam perspektif historis, arus pekerja migran dari negara-nagara ASEAN ke sesama negara ASEAN maupun ke negara di luar ASEAN telah berlangsung lama sejak ratusan tahun lalu berbarengan dengan kebijakan kolonial di ASEAN serta migrasi konvensional yang sudah berlangsung lama. Pekerja migran dari negara-negara ASEAN kebanyakan unskilled atau semi-skilled. Perkembangan selanjutnya, pergerakan pekerja migran lintas batas negara demikian mendorong adanya penataan perijinan antar negara. Hal demikian memunculkan pekerja migran resmi/berdokumen (legal/documented) maupun tidak resmi/tidak berdokumen (illegal/ undocumented). Pekerja migran pekerja rumah tangga (PRT) yang kebanyakan sebagai kelompok unskilled dianggap sebagai kelompok pekerja migran kelas bawah yang paling rentan di kawasan ASEAN, karena pekerja migran PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Selain itu pekerja migran perempuan yang bekerja sebagai PRT di negaranegara ASEAN tidak memiliki standar upah, tidak menikmati hak atas keselamatan kerja dan kesehatan reproduksi, dan hak lain. Hingga saat ini, sekitar 13,5 juta pekerja migran dari negara-negara anggota ASEAN bekerja di negara-negara lain di seluruh dunia. Lima juta di antaranya bekerja di negara di wilayah ASEAN3 selebihnya bekerja di luar ASEAN seperti Timur Tengah, Hongkong, Eropa, dll. Untuk hal tersebut, ASEAN sebagai organisasi regional diharuskan memberi perhatian pada para pekerja migran baik yang bekerja di wilayah ASEAN maupun di luar ASEAN. Data US 0f The 10th annual Trafficking in Persons Report mencatat adanya praktik perdagangan manusia melalui pengiriman pekerja migran di negara-negara ASEAN. Negara-negara ASEAN menjadi tempat tujuan, transit, serta pengirim pekerja migran yang berujung pada eksploitasi manusia khususnya anak dan perempuan. Di Indonesia, Harian Tempo pada 12 September 2007, menulis berita berjudul “1.300 Pekerja Asal Indramayu Korban Trafficking”, yang menyebutkan sebanyak 1.300 pekerja asal Kabupaten Indramayu tercatat sebagai korban trafficking.4 Menyikapi kondisi pengiriman pekerja migran diatas, maka ASEAN perlu membuat langkah-langkah positif untuk mewujudkan kawasan ekonomi, sosial budaya, dan politik keamanan di ASEAN memberikan perlindungan pada rakyat Negara-Negara ASEAN. B. ASEAN DAN PEKERJA MIGRAN Negara-negara ASEAN merupakan salah satu wilayah yang mempunyai kontribusi tinggi dalam mengirim tenaga kerja. Selain itu, negara-negara ASEAN juga merupakan negara tujuan bagi pekerja migran dari luar ASEAN. Pergerakan pekerja migran di ASEAN juga beririsan dengan praktik perdagangan manusia lintas negara. Perdagangan Manusia dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu: forced labor, bonded labor, sex trafficking, debt bondage among migrant laborers, involuntary domestic servitude, forced child labor, child soldiers, child sex trafficking.5 Adanya praktik perdagangan manusia yang dilakukan melalui pengiriman pekerja migran dapat dilihat dalam UN Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families, yang menjelaskan bahwa pergerakan pekerja migran yang tidak didokumentasikan atau yang berada dalam situasi yang tidak biasa seringkali dipekerjakan dalam kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan pekerja-pekerja lain, dan bahwa beberapa majikan berupaya mencari pekerja-pekerja semacam itu untuk memperoleh keuntungan dalam persaingan yang tidak wajar. Saluran untuk mempekerjakan pekerja migran yang berada dalam situasi yang tidak biasa, harus dikurangi agar hak yang mendasar dari pekerja migran lebih dihormati, dan lebih lanjut lagi, bahwa memberikan seperangkat hak tambahan pada pekerja migran dan anggota keluarganya dalam situasi yang biasa, akan mendorong semua pekerja migran dan majikan untuk menghormati dan mematuhi hukum dan prosedur yang ditetapkan oleh negara-negara yang bersangkutan.6 Pada tahun 1994, PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai “perdagangan perempuan dan anak” yang memperluas definisi perdagangan sehingga memasukkan eksploitasi yang tidak hanya untuk 162 tujuan prostitusi saja tetapi juga untuk semua jenis kerja paksa. Dalam resolusi ini perdagangan didefinisikan sebagai “tujuan akhir dari memaksa perempuan dan anak perempuan masuk kedalam situasi yang menekan dan eksploitatif dari segi ekonomi ataupun seksual” Perdagangan manusia untuk eksploitasi tenaga kerja lebih banyak terjadi dalam konteks perdagangan manusia internal dan regional dibandingkan perdagangan manusia interkontinental (antar benua). Apabila eksploitasi tenaga kerja terdiri dari pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik seperti di pertambangan, ladang pertanian atau armada kapal ikan, maka kemungkinan yang lebih besar terjadi, akan menimpa kaum lelaki dibandingkan kaum perempuan. Sebaliknya, jika tenaga kerja mencakup pekerjaan pertanian ringan seperti pemetik hasil panen, tenaga kerja tempat kerja dengan gaji rendah atau perbudakan rumah tangga maka kemungkinkan besar korbannya terdiri dari perempuan.7 Dalam US 0f The 10th annual Trafficking in Persons Report, dijabarkan: 1. Brunei merupakan negara tujuan, dan pada tingkat lebih rendah, Brunei merupakan negara penyedia dan transit perdagangan orang, khususnya tenaga kerja paksa dan prostitusi paksa. Warga negara dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Pakistan, India, Bangladesh, Cina, dan Thailand bermigrasi ke Brunei. Ada lebih dari 88.000 pekerja migran di Brunei, beberapa di antaranya tidak diberi pembayaran uang kerja, penyitaan paspor, mengalami kekangan, dan kontrak kerja beralih. Faktor tersebut memberi kontribusi terjadinya praktik perdagangan manusia. Dari 25.000 pekerja rumah tangga perempuan di Brunei ada yang bekerja dengan jam kerja sangat panjang tanpa libur. Terdapat perempuan dipaksa dalam prostitusi, dan adanya laporan bahwa perempuan ditangkap karena prostitusi terbukti menjadi korban perdagangan. 2. Pekerja migran Indonesia, diperkirakan 6,5 juta lebih di seluruh dunia, termasuk 2,6 juta di Malaysia dan 1,8 juta di Timur Tengah. Diperkirakan 69% dari seluruh tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah perempuan dan lebih dari 50% dari tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah anak-anak. Sekitar 43 % atau 3 juta pekerja migran Indonesia adalah korban human trafficking. Malaysia, Singapura, Brunei merupakan negara tujuan migran serta tujuan dan transit human trafficking. 3. Malaysia adalah negara tujuan pekerja migran. Pada tahun 2009, sekitar 2 (dua) juta pekerja migran yang terdokumentasi bekerja di Malaysia, dan diperkirakan 1,9 juta yang tidak berdokumen. Banyak 163 perusahaan merekrut pekerja berlebihan dan kemudian sering tunduk pada kondisi kerja paksa. Beberapa warga Malaysia diperdagangkan secara internal dan ke luar negeri seperti Singapura, Hong Kong, Perancis, dan Amerika Serikat. Malaysia juga merupakan negara sumber dan transit negara perdagangan wanita dan anak-anak. Mayoritas korban perdagangan manusia adalah pekerja asing. Pelaku perdagangan manusia di Malaysia adalah individu dan sindikat kejahatan terorganisir. 4. Singapura adalah negara tujuan pekerja migran. Bagi yang mempekerjakan perempuan dan anak perempuan, dapat dikenakan terhadap perdagangan orang, khususnya dipaksa prostitusi, dan untuk beberapa pekerja migran dalam kondisi yang mungkin menunjukkan kerja paksa. Terdapat sepertiga pekerja asing dari total tenaga kerja di Singapura. Pekerja migran dari Thailand, Myanmar, Filipina, Indonesia, Vietnam, India, Sri Lanka, Bangladesh, dan tempat lain di Asia, kebanyakan pekerja tidak terampil dan setengah terampil yang bekerja di konstruksi, rumah tangga domestik, dan industri jasa. Beberapa wanita dari Thailand, Filipina, dan Cina direkrut di negara asal mereka dengan tawaran kerja resmi tetapi setibanya di Singapura, ditipu atau dipaksa ke dalam prostitusi. Kelompok kejahatan terorganisir mungkin terlibat dalam perdagangan seks internasional khususnya perempuan dan anak ke Singapura. Berdasarkan data yang diterbitkan tahun 2008 lalu, pria Singapura terus menjadi sumber permintaan untuk pariwisata seks anak di Asia Tenggara. 5. Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam, dan Filipina adalah negara-negara pengirim pekerja migran baik ke negara-negara ASEAN maupun di luar ASEAN. Tidak jarang pekerja Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam, dan Filipina dipaksa bekerja di tempat tertentu di negara penerima serta dipaksa masuk dalam prostitusi dan eksploitasi seksual komersial. Ditemukan juga anak-anak dari Kamboja diperdagangkan ke Thailand dan Vietnam untuk mengemis, menjual permen, bunga, dan sepatu.8 Berdasarkan US of The 10th Annual Trafficking in Persons Report ditemukan banyak kasus terjadinya kerja paksa dan praktik prostitusi serta terjadinya human trafficking. Dari daftar TIER yang dikeluarkan US of The 10th annual Trafficking in Persons Repor, tidak ada negara ASEAN yang masuk dalam daftar TIER I atau dengan bahasa lain, dalam upaya memberantas perdagangan manusia, semua negara-negara ASEAN tidak ada yang pemerintahannya secara penuh mematuhi standar minimum Trafficking Victims Protection Act . 164 Hanya Indonesia dan Kamboja menempati TIER 2 yaitu kelompok negara-negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya sesuai dengan standar minimum Trafficking Victims Protection Act tetapi melakukan upaya yang signifikan untuk menyesuaikan dengan standar-standar. Negaranegara ASEAN lainnya, selain Indonesia dan Kamboja, menempati TIER Tier 2 Watch List dimana dalam kategori ini negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya sesuai dengan standar minimum Trafficking Victims Protection Act tetapi membuat upaya yang signifikan menyesuaikan dengan standar-standar tetapi di negara tersebut ditemukan: 1. Jumlah korban perdagangan sangat signifikan atau secara signifikan meningkat. 2. Ada kegagalan untuk memberikan bukti telah dilakukannya peningkatan upaya memerangi perdagangan orang dari tahun sebelumnya dan adanya bukti keterlibatan perdagangan oleh pejabat pemerintah, atau, 3. Penentuan bahwa suatu negara melakukan upaya signifikan untuk memenuhi standar minimum berdasarkan komitmen negara untuk mengambil langkah-langkah tambahan sampai tahun berikutnya. Hasil temuan yang muat dalam US 0f The 10th annual Trafficking in Persons Report perlu dicermati oleh negara-negara ASEAN. ASEAN yang dibentuk salah tujuannya adalah memberikan perlindungan hak ekonomi, hak sosial, dan hak-hak rakyat negara-negara ASEAN, maka fakta di atas merupakan hal yang harus dipertimbangkan untuk mewujudkan tujuan tersebut. ASEAN harus mampu membuat langkah-langkah konkrit untuk memerangi perdagangan manusia yang salah satunya melalui pengiriman tenaga kerja lintas negara. ASEAN harus serius melindungi rakyat negaranegara ASEAN khususnya perempuan dan anak. Penilaian US 0f The 10th annual Trafficking in Persons Report didasarkan pada Standar Minimum Trafficking Victims Protection Act. UU di Amerika Serikat tentang perlindungan korban perdagangan manusia dikeluarkan pada tahun 2000 pada masa Presiden Bill Clinton dan ini hampir bersamaan dengan diadopsinya The UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children (Palermo Protocol) pada tahun 2000 di Palermo, Italy and entered into force in 2003. Terdapat empat standar minimal yang ditentukan yaitu The minimum Standards for The Elimination of Trafficking Applicable to The Government of a Country of Origin, Transit, or Destination for Victims of Severe Forms of Trafficking are the following: 165 (1) The government of the country should prohibit severe forms of trafficking in persons and punish acts of such trafficking. (2) For the knowing commission of any act of sex trafficking involving force, fraud, coercion, or in which the victim of sex trafficking is a child incapable of giving meaningful consent, or of trafficking which includes rape or kidnapping or which causes a death, the government of the country should prescribe punishment commensurate with that for grave crimes, such as forcible sexual assault. (3) For the knowing commission of any act of a severe form of trafficking in persons, the government of the country should prescribe punishment that is sufficiently stringent to deter and that adequately reflects the heinous nature of the offense. (4) The government of the country should make serious and sustained efforts to eliminate severe forms of trafficking in persons. Pada pertemuan tingkat tinggi ASEAN di Indonesia, Kepala Negaranegara ASEAN bersepakat yang salah satunya adalah meningkatkan kerjasama pemberantasan perdagangan manusia. Kesepakatan tersebut seharusnya tidak berhenti pada komintmen para Kepala Negara ASEAN tetapi harus segera dijabarkan dalam bentuk kesepakatan mengikat yang lebih implementatif. Hal tersebut disebabkan, kondisi pengiriman pekerja migran di ASEAN sudah mengarah pada perdagangan manusia dan terdapat perbedaan keseriusan dari masing negara anggota ASEAN dalam memerangi human trafficking. Pada sisi lain, sampai saat ini, negara-negara ASEAN banyak yang belum meratifikasi Konvensi ILO, beberapa Konvensi ILO yang berkaitan dengan perlindungan pekerja yaitu: 1. Konvensi ILO tentang Non Diskriminasi bagi Pekerja (Konvensi ILO No 100 dan 111). 2. Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan 89). 3. Konvensi ILO tentang Larangan Kerja Paksa (Konvensi ILO No. 29 dan 105). 4. Konvensi ILO tentang Larangan terhadap Pekerja Anak (konvensi ILO No. 138 dan 182). Selain itu, terdapat juga konvensi-konvensi khusus yang berkaitan dengan pekerja migran secara langsung, diantaranya yaitu: 1. Konvensi ILO tentang Pekerja Migran (Konvensi ILO No. 143). 2. Konvensi ILO tentang Migrasi untuk Bekerja (Konvensi ILO No. 97). 166 3. Konvensi ILO tentang Kesetaraan Perlakuan bagi Pekerja (Konvensi ILO No. 118). 4. Konvensi ILO tentang Jaminan Sosial (Konvensi ILO No. 157). 5. Konvensi ILO tentang Agen/Perusahaan Tenaga Kerja, serta Pembahasan Konvensi tentang Standar Internasional Pekerja Rumah Tangga (Konvensi ILO No. 181). Tidak dilakukannya ratifikasi konvensi internasional tersebut, maka di antara negara-negara ASEAN menggunakan standar yang berbedabeda dalam memperlakukan pekerja migran sejak perekrutan, pengiriman, penempatan, maupun pengembalian pulang. Perbedaan demikian akan menjadi bermasalah ketika terjadi perbedaan hukum nasional dalam menyelesaikan masalah pekerja migran. Prinsip penghormatan kedaulatan masing-masing negara menjadi problem penyelesaian masalah pekerja migran. Untuk menghindari hal demikian serta untuk memberikan perlindungan hak dan kepastian hukum pekerja migran, maka seharusnya ASEAN mampu memerankan diri untuk mendorong kesamaan standar internasional melalui ratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan dengan perlindungan pekerja migran. Sebagai organisasi regional yang menghendaki pembentukan komunitas ekonomi, komunitas politik keamanan, dan komunitas sosial ekonomi, maka ASEAN seharusnya menyejajarkan upaya membangun ekonomi melalui mekanisme pasar tunggal di kawasan ASEAN dengan upaya perlindungan dan pengembangan pekerja migran secara regional. Keberadaan pasar tunggal akan menjadi timpang jika tidak diimbangi dengan pemerataan peningkatan sumber daya manusia di ASEAN. Salah satu karakteristik dan elemen ASEAN Economy Comunity (AEC) adalah bahwa The AEC will establish ASEAN as a single market and production base making ASEAN more dynamic and competitive with new mechanisms and measures to strengthen the implementation of its existing economic initiatives; accelerating regional integration in the priority sectors; facilitatingmovement of business persons, skilled labour and talents; and strengthening the institutional mechanisms of ASEAN.9 Setelah dilakukannya penandatangan Piagam ASEAN, muncul keinginan untuk memberikan perlindungan pada pekerja migran. Dalam Socio-Cultural Community Blueprint, perlindungan pekerja migran merupakan salah satu agenda yang akan dibangun dan menjadi bagian dari pembangunan komunitas sosial budaya di ASEAN. Begitu halnya dalam Cetak Biru “Politik dan Keamanan ASEAN” menentukan upaya 167 menyinergikan langkah pembentukan Komisi Pemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak, dan mendorong penyusunan instrumen ASEAN untuk pemajuan dan perlindungan hak pekerja migran. Pada bagian Promotion and Protection of human rights, dengan tegas disebutkan bahwa Cooperate closely with efforts of the sectoral bodies in the development of an ASEAN instrument on the protection and promotion of the rights of migrant workers.10 Pada 13 January 2007, ditanda tangani ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ACMW). Dalam the 3rd ASEAN Forum on Migrant Labour in Ha Noi from 19 to 21 July 2010. This year’s Forum carried the theme “Enhancing Awareness and Information Services to Protect the Rights of Migrant Workers” merekomendasaikan, antara lain: 1. Menyerukan ASEAN memastikan adanya layanan informasi mudah diakses untuk migran dan mencerminkan spesifik dan beragam kebutuhan mereka. 2. Lingkup informasi antara lain: jalur pengiriman bervariasi untuk prakerja, pra-keberangkatan dan situs informasi, termasuk sekolah dan lembaga pelatihan, wakil masyarakat migran, media dan kampanye informasi publik. 3. ASEAN juga perlu untuk memperkuat dan meningkatkan visibilitas atase tenaga kerja dan konsulat staf dalam mengumpulkan dan menyediakan informasi, dan menanggapi pelanggaran hak asasi terhadap pekerja migran. 4. Mendorong Sekretariat ASEAN dan pemangku kepentingan nasional dan organisasi internasional menyediakan informasi dan pelayanan, mempromosikan pengembangan dan penggunaan informasi pengguna antara dan antar Negara Anggota ASEAN. 5. Memberi kemudahan pekerja migran mengakses dan memahami informasi publik mengenai hukum, pedoman dan bahan informasi lainnya. Kendala muncul dalam level implementasi. Banyak faktor yang mempengaruhi belum efektifnya ASEAN dalam memberikan perlindungan dan promosi pekerja migran. Faktor yang muncul yang menyebabkan belum optimalnya perlindungan dan promosi pekerja migran, antara lain: 1. Penyelesaian permasalahan pekerja migran baik yang bekerja di wilayah ASEAN maupun di negara-negara di luar ASEAN menjadi belum menjadi masalah ASEAN tetapi masih menjadi masalah antar 168 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. negara dengan pekerja migran dan antara negara pengirim dengan negara penerima. ASEAN sebagai organisasi regional belum memberi peran aktif untuk melindungi pekerja migran. Prinsip kedaulatan negara menjadi problem penyelesaian permasalahan pekerja migran antara negara ASEAN. Perbedaan pandang negara-negara di ASEAN dalam menyepakati undocumented migrant workers sebagai pihak yang berhak dilindungi. Indonesia dan Filipina, sebagai negara pengirim pekerja migran, memandang persoalan undocumented migrant workers ini sebagai masalah ketenagakerjaan. Akan tetapi, Singapura dan Malaysia memandang masalah pekerja migran sebagai masalah politik dan security. Mereka merasa unsecured ketika bicara tentang undocumented migrant workers. Adanya upaya di negara-negara penerima untuk memanfaatkan dan mencari pekerja migran yang tidak didokumentasikan (undocumented) atau yang berada dalam situasi yang tidak biasa untuk tujuan memperoleh keuntungan dengan dipekerjakan dalam kondisi kerja yang buruk atau dengan upah yang murah. Banyak ditemukan terjadinya eksploitasi pekerja dalam bentuk tidak diberikan pembayaran, penyitaan paspor, pengekangan, dan kontrak beralih, bekerja dengan jam kerja sangat panjang tanpa libur, terdapat perempuan dipaksa dalam praktik prostitusi. Kuatnya praktik trafficking yang melibatkan pelaku-pelaku baik di negara pengirim, negara transit, maupun di negara penerima. Masalah trafficking sampai saat ini belum dapat diselesaikan. Keterlibatan kelompok kejahatan terorganisir dalam masalah pekerja migran dan perdagangan manusia. Lemahnya sistem hukum dan birokrasi negara-negara pengirim khususnya Indonesia. Hal demikian menghambat dilakukannya sistem informasi terpadu. Pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai tugas perempuan yang tidak bernilai produktif. Hukum ketenagakerjaan setempat belum mengakui pekerja rumah tangga sebagai pekerja yang berhak atas kondisi kerja layak sebagaimana jenis pekerjaan lainnya. Akibatnya pekerja migran PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Pekerja migran perempuan yang bekerja sebagai PRT di negaranegara ASEAN tidak memiliki standar upah, tidak menikmati hak atas keselamatan kerja dan kesehatan reproduksi, tidak diberi hari libur, 169 dan tidak punya kesempatan untuk bergabung dalam serikat pekerja. Akibat relasi kuasa yang tidak seimbang antara majikan dan pekerja migran PRT, pekerja migran PRT rentan mengalami penganiayaan fisik, pelecehan seksual, atau bahkan perkosaan. Sejalan dengan ini pekerja migran PRT tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan akses informasi tentang mekanisme internasional (CEDAW, ILO, Migrant Convention 1990) dan regional (ASEAN Declaration) yang telah tersedia. Masih subur pandangan (dari pemerintah dan majikan) yang menganggap jika pekerja migran PRT diberi libur akan berpeluang menyebabkan PRT hamil, dan melawan majikan. 10. Diplomat dan petugas perwakilan pemerintah di luar negeri yang bertanggung jawab pada perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri kurang menggunakan perspektif gender dan HAM dalam menangani masalah pekerja migran. Hal ini banyak merugikan pekerja migran perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. C. REKOMENDASI Upaya perwujudan perlindungan pekerja migran di ASEAN merupakan materi yang menjadi pembahasan dalam pertemuan antar negara-negara anggota ASEAN. Perlindungan, promosi dan penyelesaian masalah pekerja migran tidak hanya dilihat dari perspektif ketenagakerjaan antar negara belaka. Pekerja migran juga dapat dilihat dari perspektif hak asasi manusia dan kejahatan perdagangan manusia (trafficking). Oleh karena itu, pendekatan dalam penyelesaian masalah pekerja migran dapat dilakukan dengan pendekatan: 1. Hubungan ketenagakerjaan antara negara. ASEAN dalam hal ini bertujuan untuk mensejahterakan rakyat negara anggota ASEAN, perlu mendorong pentingnya perlindungan pekerja migran baik di negara pengirim maupun penerima. Peran ASEAN sangat menentukan untuk menerapkan prinsip dasar pekerja migran yang diatur dalam konvensi Internasional. 2. Perlindungan dan promosi HAM melalui : a. ASEAN commision for the protection and promotion of the rights of migrant workers. b. ASEAN commission on the promotion and protection of the rights of women and children. c. Badan HAM ASEAN. 170 3. Pemberantasan kejahatan perdagangan manusia baik di negara pengirim maupun di negara penerima. ASEAN sebagai wadah negara-negara di Asia Tenggara sudah selayaknya memrioritaskan promosi dan perlindungan pekerja migran untuk mendukung capaian masyarakat ASEAN. Peran ASEAN dalam mewujudkan perlindungan dan promosi pekerja migran: 1. ASEAN harus memposisikan diri sebagai organisasi yang turut bertanggung jawab dalam permasalahan pekerja migran negaranegara ASEAN baik yang bekerja di wilayah negara ASEAN maupun di luar negara ASEAN. 2. ASEAN bersama negara-negara pengirim, Negara transit, dan negara tujuan, turut memberi perlindungan dan promosi pekerja mirgran di negara-negara di luar ASEAN. 3. Membuat standar minimal perlindungan dan promosi pekerja migran yang sama bagi negara-negara ASEAN yang dilakukan dengan cara membuat konvensi regional tentang standar minimal perlindungan pekerja migran atau mendorong negara-negara ASEAN melakukan ratifikasi konvensi internasiolan berkaitan dengan perlindungan pekerja migran. 4. Mendorong negara-negara ASEAN untuk meratifikasi konvnsi internasional berkaitan dengan human trafficking. 5. Mendorong negara-negara ASEAN baik negara pengirim maupun negara tujuan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja migran sejak rekruitmen, pengiriman, penempatan, bekerja, hingga kembali ke negara masing-masing melalui perbaikan intrumen hukum dan implementasiannya di masing-masing negara anggota ASEAN. 6. Mewujudkan tranparansi informasi yang mudah di akses pekerja migran yang terintegrasi, mencakup: a. Informasi kebutuhan negara tujuan. b. Mekanisme rekruitmen dan pendidikan calon pekerja migran. c. Mekanisme pengiriman dan penempatan. d. Informasi tempat asal pekerja dan tempat bekerja. e. Mekanisme pemulangan kembali ke negara masing-masing. 7. Membangun mekanisme penyelesaian pekerja migran dengan membentuk: a. Bantuan hukum pekerja migran yang berkonflik dengan hukum. b. Membangun mekanisme arbitrase penyelesaian sengketa pekerja migran. c. Membangun mekanisme pengawasan pekerja migran. ANCAMAN TERHADAP KEAMANAN NASIONAL / NEGARA Membentuk Kesepahaman Sistem Keamanan Nasional A. PENGANTAR Pembahasan tentang keamanan nasional selayaknya dilakukan bersamaan dengan pembahasan mengenai pertahanan negara karena kedua hal ini sangat berkaitan. Namun, pembahasan mengenai pertahanan negara sudah sejak lama dilakukan, tidak lama setelah momentum reformasi di segala bidang pasca 1998. Dalam perkembangan saat ini, pembahasan tentang masalah kemanan nasional masih belum tuntas dan perdebatan tertuju pada sistem dan proses penataan kerangka regulasi bidang keamanan nasional. Bahkan dalam hal tertentu emngarah langsung pada masalah yang cenderung bernuansa kepentingan menyudutkan Kepolisian dengan terlihat upaya yang gigih, misalnya mengampanyekan penempatan Kepolisian di bawah suatu Kementerian. Dalam sisi yang lain, pembahasan keamanan nasional terlalu memakan waktu lama dibandingkan dengan cepat dan seringnya Indonesia mengalami berbagai bencana, musibah kecelakaan, wabah penyakit, masalah kemiskinan dan kelaparan, serta mencuatnya kembali konflik komunal yang bernuansa agama dan suku serta aliran nasionalisme sempit, terorisme, maupun sengketa perbatasan dengan berbagai negara tetangga. Meskipun demikian, disadari pula bahwa masalah keamanan nasonal berhubungan dengan kelembagaan dan kompleksitas tentang keamanan nasional itu sendiri. KHN memahami bahwa berbagai konsep keamanan nasional yang banyak dibicarakan oleh masyarakat mempunyai beragam definisi. Dahulu dikenal suatu definisi strategis (strategic definition) dalam keamanan nasional. Kemudain dalam perkembangannya, dikenal pula 172 definisi non-strategis ekonomi (economic non-strategic definition). Dalam definisi strategis, “keamanan” diartikan sebagai upaya mempertahankan independensi dan kedaulatan negara dan umumnya berdimensi militer. Dalam definisi non-strategis ekonomi, keamanan nasional dilihat secara menyeluruh atau dikenal pula dengan istilah konsep keamanan komprehensif (comprehensive security). Konsep ini melihat dari totalitas kemampuan negara untuk melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilainilai inti (core values), yang pencapaiannya merupakan sebuah proses yang terus-menerus dengan menggunakan segala element power dan resources yang ada serta melingkupi semua aspek kehidupan. Di Indonesia, pemahaman keamanan nasional mulai difokuskan seperti pemahaman keamanan nasional secara menyeluruh atau komprehensif. Oleh karenanya pembahasan ancaman terhadap keamanan nasional juga termasuk pembahasan berkembangnya ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, misalnya ialah ideologi NII (Negara Islam Indonesia). Selain itu, pemberontakan G-30 S PKI yang mencoba merebut kekuasaan dengan cara kekerasan. Pada masa otoriter orde baru (begitu juga orde lama dengan konteks yang berbeda), pemerintah memberangus orang-orang atau organisasi-organisasi yang kritis terhadap jalannya pemerintahan. Dengan dalih menjaga stabilitas nasional dan mempertahankan Pancasila. Namun dalam perkembangan paham demokrasi hingga saat ini, ada jaminan terhadap kebebasan berpikir, berekspresi, berserikat, berkumpul dan berorganisasi sebagai bagian dari hak sipil-politik. Disinilah terjadi polemik sejauhmana kebebasan berpikir, berekspresi dan berorganisasi dapat dikatakan mengancam keamanan nasional? Permasalahan di tengah dua keadaan tersebut (memberikan hak kebebasan berpendapat dengan risiko berkembangnya potensi ancaman terhadap keamanan nasional/negara, dan mempertahankan integritas nasional) bertambah berat dengan kecenderungan bahwa saat ini negara belum memiliki sikap yang jelas dan tegas tentang bagaimana menempatkan ideologi negara secara tepat dalam konteks demokrasi. Bahkan ideologi Pancasila di era reformasi telah banyak ditinggalkan, proses-proses penanaman ideologi Pancasila kepada generasi penerus minim dilakukan oleh negara, karena itu tidak tertutup kemungkinan di saat-saat mendatang bangsa ini akan tercerabut dari akar ideologinya. Sikap phobi terhadap Pancasila akibat politisasi di masa Orde Baru seolah dibiarkan berkembang secara liar tanpa arah yang jelas, karena itu seharusnya negara berupaya merumuskan nilai-nilai yang terkandung 173 dalam Pancasila dalam konteks demokrasi agar identitas nasional tertancap kuat sebagai karakter bangsa Indonesia. Membicarakan mengenai perumusan konsep keamanan nasional secara komprehenshif, perkembangan ideologi-ideologi pasca reformasi dan pengaruhnya terhadap integritas nasional, serta perumusan konsep tentang hak sipil politik dalam konteks demokrasi dan keamanan nasional, tidak terlepas dari membicarakan mengenai koordinasi peran berbagai lembaga dan harmonisasi undang-undang. Harmonisasi tersebut dapat juga tertuju pada rancangan undang-undang yang mempunyai keterkaitan yang erat dalam mengatur peran berbagai lembaga tersebut. Berkaitan dengan hal di atas, dalam kerangka negara menjaga keamanan nasional secara menyeluruh atau konsep keamanan komprehensif, negara juga masih mempunyai permasalahan dalam mengoordinasikan peran berbagai lembaga dan mempunyai permasalahan dalam mengharmonisasikan undang-undang maupun rancangan undangundang yang mempunyai keterkaitan yang erat dalam mengatur peran berbagai lembaga tersebut. Sebagai contoh berbagai lembaga tersebut ialah Intelijen dan Kepolisian. Adapun sebagai contoh berbagai undangundang maupun rancangan undang-undang tersebut ialah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (yang juga dikenal dengan sebutan KUHAP), UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, RUU tentang Keamanan Nasional dan UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. B. KONSEP KEAMANAN NASIONAL Secara konstitusional, keamanan nasional ditujukan untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa “... negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.” Oleh karenanya, keamanan nasional dipahami sebagai upaya mempertahankan diri sebagai suatu entitas berdaulat, memelihara identitas kedaulatan, dan mengembangkan diri sebagai entitas berdaulat dalam kehidupan bangsabangsa. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa dalam pandangan yang konvensional, konsep keamanan nasional lebih menekankan pada kemampuan pemerintah dalam melindungi integritas 174 teritorial negara dari ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam negara tersebut dan umumnya berdimensi militer. Namun konsep keamanan nasional tidak lagi dibatasi atau dipersekutukan dengan sudut pandang militer. Jadi bukan hanya militer sebagai alat negara yang memiliki kekuatan senjata dan boleh menggunakan kekuatan secara paksa untuk mewujudkan keamanan nasional. PBB telah menekankan perubahan konsep dan fokus keamanan dari keamanan yang menitikberatkan kepada keamanan negara menjadi keamanan masyarakat, dari keamanan melalui kekuatan militer menuju keamanan melalui pembangunan masyarakat, dari keamanan wilayah kepada keamanan manusia terkait jaminan hak asasi manusia (HAM), ketersediaan pangan dan pekerjaan serta kelestarian lingkungan.11 Seiring perubahan tersebut, di dalam pengertian keamanan lahir istilah keamanan insani (human security), yang dikonseptualisasikan melalui pendekatan HAM, pendekatan humanitarian dan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan HAM menitikberatkan pada penguatan sistem hukum dan penegakan hukum yang berkaitan dengan HAM di tingkat regional maupun internasional, serta juga penguatan sistem hukum dan penegakan hukum di tingkat negara. Pendekatan humanitarian meletakkan perang sebagai ancaman utama human security sehingga keselamatan individu dipandang sebagai tujuan utama pengembangan konsep human security. Sedangkan pendekatan pembangunan berkelanjutan menekankan pada ancaman non-militer atas human security dan ancaman atas human survival yang berasal dari persoalan-persoalan seperti pertumbuhan populasi global yang tidak terdata, migrasi jurang ekonomi dan kesempatan, penyakit, degradasi lingkungan, drug trafficking dan terorisme.12 Apabila dilihat dari sumber ancamannya, maka ada tiga tipe ancaman, yakni ancaman yang berasal dari dalam negara (internal), ancaman yang berasal dari luar negara (eksternal), dan ancaman yang tidak dapat dipastikan secara tepat sumbernya (internal-eksternal). Sedangkan apabila dilihat dari sifatnya, dikenal pembedaan antara ancaman non militer dengan ancaman militer. Ancaman non militer merupakan suatu spektrum, mulai dari tindak kriminal, kerusuhan sosial, berkembangnya ideologi radikal, pertikaian elit politik yang tidak terkendali, ketidakpuasan yang meluas hingga memunculkan pembangkangan massal dan subversi. Ancaman militer itu meliputi teror dan pemberontakkan bersenjata sampai dengan tindakan militer dari luar. Beberapa ancaman yang bersifat non militer bisa saja berubah menjadi ancaman yang bersifat militer, hal ini dikenal 175 dengan istilah sekuritisasi. Sekuritisasi sering terjadi pada masa orde baru dalam menangani berbagai ancaman terhadap keamanan nasional. Bagi masyarakat, istilah “keamanan nasional” memang akan selalu dikaitkan dengan masa orde baru, dimana aparat keamanan menjadi pilar utama kekuasaan Suharto. Keadaan ini tidak berubah, bahkan ketika aparat keamanan itu telah menjadi aktor yang terpisah, polisi dan tentara. Terlihat kekhawatiran pada masyarakat, bahwa dengan mengatasnamakan “demi keamanan nasional”, aparat keamanan bisa mengalahkan hak-hak pada masyarakat dan melanggar nilai-nilai yang sebetulnya menjadi bagian perekat dari bangsa. Sesuatu yang berharga, dan tidak boleh dilupakan, dari pesan seperti itu adalah bahwa pendekatan-pendekatan yang terlalu menitikberatkan pada keamanan wilayah dan/atau stabilitas pemerintahan, pada saat yang sama harus memperhatikan kesejahteraan dan keamanan manusia (human security). Pengalaman Indonesia di masa orde baru yang mengedepankan kekuatan militer dalam menangani berkembangnya ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, telah mengharamkan ideologi komunis, marxis, leninis hidup di negeri ini berdasarkan UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Begitu pula halnya dalam menangani ideologi Negara Islam Indonesia (NII) pada awal tahun 1940 sampai dengan tahun 1960-an, yang kemudian berkembang lagi sampai dengan saat ini. Perkembangan paham demokrasi yang memberi jaminan terhadap kebebasan berpikir, berkespresi, berserikat, berkumpul dan berorganisasi secara tidak langsung telah memberi ruang kepada ideologi-ideologi yang “kelihatannya” bertentangan dengan Pancasila untuk berkembang. Di era reformasi, dimana peluang kebebasan semakin terbuka, maka potensi berkembangnya ideologi yang berpotensi bertentangan dengan Pancasila dan mengancam keamanan nasional semakin terbuka lebar. Namun negara tidak dapat secara semena-mena memberangus ideologi-ideologi tersebut, karena ada hak sipil-politik warga negara yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara (terlebih dengan adanya UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik). Oleh karenanya, upaya perwujudan keamanan nasional harus didasarkan pada lima prinsip, yaitu: 1. Tidak boleh mengorbankan prinsip demokrasi dan hak-hak sipil. 2. Penggunaan instrumen keamanan harus didasarkan pada tingkat 176 gradasi ancaman dan efisiensi pengunaan sumber daya, hal ini berkaitan dengan penggunaan instrumen negara yang meliputi diplomasi preventif, sistem peringatan dini, penangkalan, pertahanan, hingga rekonstruksi paska konflik. 3. Penggunaan instrumen keamanan nasional harus didasarkan pada prinsip supremasi sipil, akuntabilitas dan transparansi vertikal. 4. Menempatkan keamanan nasional sebagai konsep multidimensi sehingga perlu ditangani secara sektoral dengan mempertimbangkan spesialisasi fungsi dan kompetensi teknis, dan 5. Mengharuskan adanya kerjasama dan koordinasi lintas institusi untuk mendapatkan akuntabilitas dan transparansi horisontal dalam setiap upaya untuk mewujudkan keamanan nasional.13 Untuk menghadapi berbagai macam ancaman sebenarnya telah dikembangkan sistem keamanan nasional melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata), sebagaimana yang tercantum di dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945. Namun Sishankamrata yang dikembangkan sampai saat ini seharusnya dapat bersifat lebih dinamis dan dapat memberikan ruang lingkup bagi negara untuk mengembangkan strategi, kebijakan dan kemampuan pertahanan negara yang memadai. Pasal 10 ayat (3) huruf c dan d UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara hanya mengatur bahwa TNI dapat melakukan peran di luar tugas pokoknya. Di sisi lain, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia membuka peluang Kepolisian untuk meminta perbantuan TNI kepada fungsi-fungsi kepolisian. Ketentuan legislasi tersebut juga belum mengatur secara lebih rinci tentang mekanisme tugas perbantuan TNI kepada fungsi Kepolisian. Kebutuhan legislasi dalam kebijakan keamanan yang komprehensif dan tersinkronisasi sangat diperlukan untuk mengatur penyelenggaraan keamanan nasional secara demokratis, komprehensif dan terkoordinasi. Kebijakan itu juga menjadi landasan hukum untuk mengatur keterlibatan berbagai institusi, batas kewenangan antar institusi yang terlibat dan sumber daya yang digunakan. Tugas untuk menyusun legislasi yang berkaitan dengan keamanan nasional berada di tangan DPR bersama pemerintah. DPR juga berperan melakukan fungsi pengawasan atas penggunaan anggaran dan implementasi kebijakan keamanan nasional. Sementara itu Presiden merupakan penanggung jawab tertinggi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan keamanan nasional yang meliputi perumusan anggaran, pernyataan deklarasi perang dan keadaan darurat, 177 pengerahan pasukan, penggunaan komponen cadangan dan pengaturan tentang pengelolaan sumber daya. Dalam penyusunan legislasi, perumusan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan, sangat perlu untuk memperhatikan 5 (lima) prinsip yang telah dijelaskan di atas dalam mewujudkan keamanan nasional terutama yang terkait dengan perumusan pengertian ancaman di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengertian ancaman yang longgar dan tidak jelas dapat membuka peluang multitafsir, dan memberi peluang untuk tindakan bersenjata. Kekhawatiran masyarakat timbul, terutama dari pemerhati hak asasi manusia dan Komnas HAM yang menyoroti beberapa kelemahan yang terdapat di dalam RUU tentang Keamanan Nasional. Sebagai contoh adalah Pasal 1 Poin ke-13 dalam RUU menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ancaman tidak bersenjata adalah ancaman selain ancaman militer dan ancaman bersenjata yang membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok, kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan bangsa. Definisi ancaman yang seperti ini dinilai masih terlalu luas dan tidak spesifik.14 Pengertian ancaman pada poin lain juga dinilai bermasalah, misalnya definisi ancaman pada Pasal 1 Poin ke-2 RUU15 yang dinilai masih sangat longgar dan membuka peluang munculnya institusi seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) seperti yang ada pada masa orde baru. Pengaturan mengenai sasaran, jenis dan bentuk ancaman yang luas dan tidak dijelaskan secara terperinci, termasuk siapa aktor utama pelaku dan siapa yang seharusnya mempunyai wewenang dalam menghadapi berbagai ancaman tersebut, dapat mengakibatkan penanganan ancaman bisa tumpang tindih. Selain itu diperlukan adanya satu lembaga koordinator alternatif untuk menyatukan berbagai bentuk mekanisme koordinasi sebagai wadah tunggal keamanan nasional di tingkat nasional, melalui pembentukan Dewan Keamanan Nasional. C. PERAN DEWAN KEAMANAN NASIONAL Substansi berikutnya yang harus dikembangkan untuk membentuk sistem keamanan nasional adalah pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN). DKN merupakan perangkat kepresidenan yang berfungsi membantu Presiden untuk menentukan masalah-masalah yang dapat dikategorikan sebagai masalah keamanan nasional dan merekomendasikan alternatif kebijakan dalam menangani masalah keamanan nasional tersebut. Dalam hal ini DKN akan menjadi lembaga 178 yang bisa memberikan pandangan dan masukan secara cepat kepada Presiden, terutama mengenai kondisi keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman. DKN diketuai oleh Presiden dengan keanggotaan dari pemerintah dan non-pemerintah. Anggota DKN terdiri dari Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan kepala lembaga-lembaga intelijen (BIN dan lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi intelijen). Menurut Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), DKN diklaim akan menjadi jalan keluar dari berbelit-belitnya birokrasi di bidang pertahanan dan keamanan, dan tumpang tindih tugas antara Kepolisian dan TNI dalam wilayah tugas yang masih abu-abu.16 Berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh DKN, Presiden dapat menggunakan institusi-institusi yang sudah ada (seperti TNI, Kepolisian, lembaga-lembaga intelijen dan departemen-departemen) untuk menangani masalah keamanan nasional atau jika diperlukan Presiden dapat membentuk unit pelaksana operasi keamanan nasional (executing agencies) yang bersifat ad hoc, namun diperlukan penegasan secara eksplisit mengenai syarat-syarat yang menjadi pertimbangan dalam membentuk unit pelaksana operasi keamanan nasional di dalam peraturan perundangundangan. Unit pelaksana operasi keamanan nasional tersebut merupakan instrumen untuk melaksanakan kebijakan keamanan nasional yang telah dirumuskan oleh Presiden. Menurut Pasal 25 RUU tentang Keamanan Nasional dinyatakan bahwa DKN memiliki beberapa peran, yaitu: 1. Merumuskan ketetapan kebijakan dan strategi keamanan nasional. 2. Menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman. 3. Menetapkan unsur utama dan unsur pendukung penyelenggaraan keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman. 4. Mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional. 5. Menelaah dan menilai risiko dari kebijakan dan strategi yang ditetapkan, dan 6. Menelaah dan menilai kemampuan dukungan sumber daya bagi penyelenggaraan keamanan nasional. Dengan peran yang dilaksanakan oleh DKN tersebut, diharapkan akan dapat mengelola dan mensinergikan semua unsur yang terkait dalam penyelenggaraan keamanan nasional, sehingga dapat mengatasi dengan 179 tepat setiap ancaman yang ada sesuai tingkat eskalasinya dalam rangka mewujudkan stabilitas keamanan nasional yang mantap.17 Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada keamanan internal yang disertai dengan blue-print keamanan nasional yang melingkupi aspek pertahanan dan keamanan (dalam dimensi politik, hukum, ekonomi dan kesejahteraan) yang memperhatikan tantangan eksternal dan internal mendesak untuk segera disusun. Potensi ancaman yang terjadi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika lingkungan strategis yang terjadi di tiga ranah, yaitu global, regional dan domestik. Di tingkat global, dinamika lingkungan strategis dipengaruhi oleh interaksi diantara negara-negara besar yaitu interaksi antara Amerika Serikat, Cina, Rusia dan negara-negara Eropa (Uni Eropa). Sementara di tingkat regional, beragam kepentingan dan persaingan antar negara-negara Asia terhadap penguasaan pasar, jalur ekonomi dan sumber daya alam terutama di wilayah-wilayah perbatasan yang dipersengketakan menjadi persoalan tersendiri. Sedangkan di tingkat domestik, instabilitas politik, ancaman krisis ekonomi dan lemahnya sistem hukum yang ada merupakan potensi ancaman yang selalu dikemukakan namun tidak pernah diupayakan untuk diselesaikan secara komprehensif, akuntabel, adil dan sesuai dengan prinsip negara demokrasi. Perlu disadari oleh pemerintah bahwa berbagai gerakan separatisme yang muncul, seperti di Aceh, Maluku dan Papua, sebagian besar disebabkan oleh kekecewaan terhadap pemerintah terkait dengan ketimpangan distribusi ekonomi, diskriminasi politik dan peminggiran sosial-budaya masyarakat setempat. Perdamaian yang tercapai antara GAM-RI merupakan salah satu contoh keberhasilan penyelesaian masalah separatisme di Aceh. Namun pencapaian tersebut juga harus dibarengi sejumlah penyelesaian lain, khususnya terkait dengan penyelesaian akar masalah konflik yang berupa ketimpangan ekonomi, diskriminasi politik dan peminggiran sosial-budaya masyarakat setempat, serta kekerasan dan pelanggaran HAM. Demikian halnya dengan konflik horisontal yang kerap terjadi, yang menggunakan isu agama dan primordial, seperti konflik dengan isu agama di Ambon dan Poso (Kristen-Islam) dan konflik primordial di Sampit dan Sambas (dengan isu etnis Madura-Melayu-Dayak). Penyebab dari terjadinya konflik horizontal tersebut tidak lain adalah distribusi ekonomi, sosial dan politik yang dianggap tidak adil yang bertepatan dengan perbedaan identitas masyarakatnya. Mengingat keragaman etnis 180 dan agama yang rawan gesekan serta kondisi ekonomi dan politik yang belum mapan, konflik horisontal menjadi potensial untuk dapat terjadi. Oleh karenanya sistem keamanan nasional dan penanganan pola ancaman yang dimiliki harus bersifat multidimensional, komprehensif dan integratif. Kekuatan militer tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dalam penanggulangan ancaman keamanan di Indonesia. Penanganan ancaman harus melibatkan aktor-aktor lain yang bersifat non-militer. Sekalipun kekuatan militer harus digunakan dalam penanganan ancaman, pendekatan militer yang digunakan harus menghormati hak-hak sipil warganegara. Langkah-langkah yang diambil dalam rangka memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan nasional harus disesuaikan dengan perkembangan eskalasi, jenis dan bentuk ancaman yang dihadapi, yang pelaksanaannya harus melalui tahapan:18 Pencegahan dini, Peringatan dini, Penindakan dini, Penanggulangan, dan Pemulihan. Ini artinya negara harus menjamin dan melindungi hak-hak dasar setiap individu yang menjadi warga negaranya. D. PERAN INTELIJEN DALAM MENGHADAPI ANCAMAN TERHADAP KEAMANAN NASIONAL/ NEGARA Pada hakikatnya tugas intelijen adalah mengumpulkan dan menganalisis informasi yang relevan mengenai ancaman terhadap keamanan bangsa dan negara. Informasi dan analisis tersebut harus tersedia sebagai bagian dari peran intelijen untuk menyediakan peringatan dini mengenai ancaman-ancaman terhadap keamanan bangsa dan negara, yang bersifat menyeluruh dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Tugas dan peran intelijen ini menjadi tidak sederhana apabila melihat sifat rahasia dari informasi dan analisis mengenai keamanan negara tersebut dan apabila dikaitkan dengan perkembangan teknologi dan produk informasi yang tersedia dalam masyarakat. Kepiawaian maupun ketertinggalan intelijen dalam memanfaatkan kemutakhiran teknologi dan produk informasi dapat berdampak pada peranannya dalam mengolah informasi dan menyajikannya secara cepat, akurat dan bersifat kekinian. Karena kepiawaiannya tersebut, peran intelijen dapat mengawasi dan mencegah terjadinya sekuritisasi, sedangkan ketertinggalannya dapat menjadikan intelijen disfungsional. Operasi intelijen pada umumnya terdiri dari pelaksanaan fungsi operasi penyelidikan, penanganan dan penggalangan, yang ketiga-tiganya 181 digunakan dalam beberapa operasi, yakni19 : 1. Operasi lunak, yang menggunakan sarana kontak berupa materi dalam pelaksanaan tugasnya, 2. Operasi cerdas dengan menggunakan konsep rasional yang meyakinkan, dan 3. Operasi keras yang menggunakan kekuatan militer dalam operasionalnya. Pola operasi intelijen cerdas inilah yang membuat kemenangan Barat di kawasan asia tenggara, yakni menggunakan kekuatan sendiri untuk menghancurkan dirinya sendiri. Pola ini jauh lebih efisien daripada menggunakan angkatan perang, dan pola inilah yang digunakan pemerintah Indonesia dalam menangani DI/TII. Pola gerakan dengan pengerahan secara militer seperti yang digunakan Barat ketika perang Vietnam, dan Indonesia ketika menghadapi masalah Timor-Timur pada akhirnya berakhir dengan kekalahan. Ancaman terhadap ketahanan negara RI tidak lagi berasal dari lingkungan eksternal, tetapi juga berasal dari internal. Ancaman terhadap negara Pancasilais tidak lagi bersifat non-teritorial yang datang dari bangsa asing dan menyebabkan saling bantai antar bangsa tetapi juga datang dari bangsa sendiri atau disebut teroris lokal yang melakukan aksi bom bunuh diri. Pola intelijen lunak dan cerdas ini lebih efektif digunakan daripada pengerahan tentara dan polisi secara besar-besaran dalam menghadapi perang urat syaraf atau phsychological war serta berbagai ancaman yang semakin kompleks sekarang ini. Oleh karena itu para pengambil kebijakan baik dari kalangan elite maupun sipil perlu memahami jenisjenis ancaman baru dan harus berani menggunakan metode yang tepat untuk menghadapinya.20 Sekuritisasi yang kerap terjadi pada masa pemerintahan orde baru sudah seharusnya dihindari. Otoritas politik yaitu Presiden bersama-sama DPR yang memiliki kewenangan untuk menetapkan mengenai eskalasi ancaman ini, seharusnya menetapkan kebijakan berdasarkan analisis atau input-input dari kalangan intelijen, serta berdasarkan rekomendasi dari Dewan Keamanan Nasional. Keberadaan pengawasan politik oleh DPR ini memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat untuk menguji seberapa jauh assessment dari otoritas politik itu dapat dipertanggungjawabkan ataupun memiliki korelasi dan berkorespondensi dengan realitas. 182 Namun praktik intelijen dapat dan sering bersalah guna, sehingga kinerja dan produk intelijen justru mengancam keamanan bangsa dan negara yang seharusnya dilindungi. Informasi tentang ancaman terhadap keamanan nasional selalu disertai dengan informasi dan bahan mentah yang bukan berasal dari bahan-bahan publik (atau dari sumber-sumber yang terbuka). Perolehan informasi ini sering dilakukan bukan secara kebetulan, melainkan berdasarkan perencanaan yang sistematik, misalnya dengan melakukan spionase, surveillance dan pemotretan udara, intersepsi (mencegat) komunikasi, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan seperti itu dapat, sering dan bahkan sudah mengabaikan atau melanggar kebebasan sipil dan legalitas, seperti menguntit seseorang sehinga mengganggu keleluasaan bergerak, memonitor perkantoran hingga kawasan pemukiman, memblokir dan menyabot komunikasi untuk memperoleh informasi, dan menjatuhkan musuh. Oleh karena itu, pembatasan dan pengawasan sangat diperlukan, melalui pengawasan (oversight) atas intelijen, khususnya dengan menetapkan batas-batas yuridis dan pengawasan yudikatif. Pembatasan dan pengawasan ini merupakan kebutuhan mendesak dalam masyarakat Indonesia pasca orde baru, yang mengutamakan kehidupan demokratik, tegaknya rule of law serta perlindungan hak-hak asasi manusia dari ancaman organ-organ kekuasaan negara yang bersalah guna. Dalam uraian tentang perkembangan intelijen di Indonesia hingga dewasa ini sudah ditengarai bahwa intelijen Indonesia dibangun tanpa landasan hukum yang kuat, jelas dan eksplisit. Keberadaan organisasi intelijen lebih karena kepentingan kekuasaan negara, bahkan rezim semata. Intelijen kepolisian tunduk pada aturan yang sangat umum dalam UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara dan kemudian tunduk pada UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Intelijen Yustisi tunduk pada UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang tidak memberi kejelasan. Tidak ditentukan, misalnya, batas-batas kekuasaan, metode operasi dan cara pertanggungjawaban intelijen. Peraturan yang terakhir diberlakukan terhadap intelijen nasional adalah Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004. Untuk fungsi koordinasi (keutuhan dan keterpaduan) semua kegiatan intelijen oleh semua unsur komunitas intelijen Indonesia, BIN berpegang kepada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2002. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004 hanya berisi aturan umum organisasi di lingkungan internal eksekutif, 183 bahkan hanya dalam kaitan dengan kepala eksekutif (Presiden) tanpa menyebut pola hubungannya dengan lembaga-lembaga pengawasan politik (parlemen) dan anggaran (Badan Pemeriksa Keuangan, misalnya). Sesudah itu, kewenangan umum diberikan kepada kepala BIN untuk mengatur ke dalam. Wewenang intelijen dirumuskan sangat umum dan dapat meluas secara sembarangan (arbituary), pola hubungannya terbatas dengan kepala eksekutif, tidak ada aturan mengenai metode pengumpulan dan analisis informasi terutama jika diperoleh melalui tindakan yang melanggar kebebasan sipil, tidak disinggung sama sekali mengenai deklasifikasi informasi intelijen maupun yang tidak rahasia, akses publik juga tidak disinggung. Begitu pula, tidak disebut tentang pertanggungjawaban intelijen, tidak ada penegasan bahwa intelijen tidak berhak untuk memanggil pejabat dan tidak memiliki wewenang penegakan hukum atau fungsi-fungsi keamanan internal, tidak ada kewajiban kepala lembaga intelijen negara untuk melindungi kerahasiaan sumber dan metode intelijen kecuali jika diberi wewenang untuk membukanya atau karena faktor lampau waktu (setelah periode tertentu), tidak ada ketentuan tentang tata cara penunjukkan pimpinan lembaga intelijen maupun kualifikasi pimpinan. Hal-hal terakhir ini biasa dicantumkan dalam undang-undang intelijen di berbagai negara demokratik lainnya. Dewasa ini kebutuhan untuk membatasi dan mengontrol intelijen justru meningkat, baik karena pertimbangan sosial-politik untuk mewujudkan kehidupan yang terbuka, bebas dan demokratik maupun karena praktik-praktik kotor yang menjadi stigma intelijen dan aparat keamanan Indonesia selama ini. Dalam kaitan ini, pemberian wewenang yang berlebih dan melampaui kewenangannya sebagai institusi dalam sistem peringatan dini justru membuat intelijen semakin tidak populer. Hal ini sudah mengemuka ketika dalam UU Antiteror 2002 (Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) dimungkinkan penggunaan laporan intelijen dalam proses yustisia (penegakan hukum). Dengan demikian gagasan memberi keleluasaan kepada intelijen untuk memasuki ranah penegakan hukum (law enforcement) dalam RUU Intelijen dari pihak pemerintah, yang sempat beredar pada tahun 2004 pun dituding anti reformasi serta mengancam demokrasi dan hak-hak asasi manusia. 184 E. PERAN KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM KEAMANAN NASIONAL/NEGARA DAN PEMBAGIAN PERAN DENGAN LEMBAGA LAINNYA Berbagai ketentuan yang terkait dengan peran Kepolisian dalam kaitannya sebagai penegak hukum di bidang keamanan nasional, telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, mulai dari Konstitusi UUD 1945 sampai kepada peraturan yang lebih operasional. Dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, keberadaan Kepolisian telah ditentukan demikian: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Demikian juga telah ditentukan dalam Bab II, Pasal 6 ayat (1) TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peranan TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu: “(1) Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.” Selanjutnya, secara tegas telah ditentukan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 13 sampai dengan pasal 16 telah diatur mengenai tugas pokok, fungsi dan peran Kepolisian secara terperinci, baik dalam bidang tugas-tugas operasional Kepolisian berupa pemberian pelayanan, perlindungan, pengayoman kepada masyarakat dan penegakan hukum. Bahkan juga telah diatur mengenai kerja sama baik dalam negeri maupun dengan pihak luar negeri, bahkan turut berperan dalam menjaga perdamaian internasional dan dalam UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Demikian juga peran Kepolisian yang pengaturannya terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tersebar di luar UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, utamanya terkait dengan tugas-tugas pengamanan dan/atau tugas-tugas penegakan hukum secara represif.21 Namun UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia masih banyak membuka celah bagi terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) memiliki kewenangan yang luas, yakni sebagai institusi 185 yang membuat kebijakan dan juga pelaksana kebijakan (Pasal 30 ayat (2) jo Pasal 30 ayat (3)). Sudah seharusnya Kepolisian hanya bertindak sebagai pelaksana kebijakan dan bukan sebagai pembuat kebijakan. Hal ini untuk memisahkan akuntabilitas antara aktor penanggungjawab atas kebijakan dan aktor yang bertanggungjawab secara operasional. Dengan demikian pertanggungjawabannya menjadi jelas. Hal ini merupakan prasyarat demokrasi yang mensyaratkan perlunya diferensiasi fungsi dan kerja antar aktor pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Dalam hal ini diperlukan revitalisasi peran dari Komisi Kepolisian Nasional, menjadi lembaga yang menjadi jembatan bagi masyarakat untuk melakukan kritik dan pengawasan terhadap kinerja Kepolisian. Hal ini perlu ditegaskan agar kinerja Kepolisian dapat terukur oleh masyarakat. Dalam perkembangan ganguan terhadap Kamtibmas dewasa ini yang semakin meningkat, baik dalam kejahatan yang sifatnya konservatif, kejahatan kontingensi, kejahatan lintas batas negara (transnational crimes), yang dilakukan dengan modus operandi yang rapi, yaitu melalui berbagai jaringan yang sangat kuat dengan menggunakan berbagai kemajuan teknologi elektronik, informasi dan transformasi. Sebenarnya Polri sesuai dengan tugas dan wewenangnya telah berusaha dengan sekuat tenaga memelihara kondisi keamanan nasional/negara baik melalui tindakan preventif dan represif sesuai dengan peraturan perundang-undangan, namun tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh negara belum berhasil dilaksanakan semaksimal mungkin sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.22 Di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah diatur mengenai pemberian bantuan dari TNI kepada Kepolisian dalam rangka tugas-tugas keamanan, namun teknis operasional pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah sampai saat ini belum ada/belum selesai dibahas. Namun secara taktis di lapangan perbantuan dari TNI kepada Polri dalam rangka tugastugas keamanan sudah dilaksanakan berdasarkan prinsip kerja sama dan tanggung-jawab selaku alat negara, seperti dalam menghadapi ancaman dalam negeri semisal dalam penanganan konflik Ambon dan konflik Poso. Mekanisme pelibatan itu berpijak pada Protap (Prosedur Tetap) yang dimiliki oleh Kepolisian maupun oleh TNI itu sendiri. Masalahnya Protap bukanlah bagian dari tata peraturan perundang-undangan sehingga status hukumnya lemah dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Dalam praktiknya, kadangkala justru terjadi rivalitas dan kurangnya koordinasi akibat kelemahan pengaturan tentang tugas perbantuan itu.23 186 Rencana pengaturan tugas perbantuan TNI ke Kepolisian dalam kerangka operasi militer selain perang sudah sepantasnya memperhatikan beberapa prasyarat berikut ini yakni tugas perbantuan baru dapat dilakukan apabila24 : 1. Adanya ancaman nyata dan tingkat eskalasinya telah meningkat tajam. 2. Adanya kondisi dimana aparat kepolisian sudah tidak bisa lagi menanggulanginya secara sendiri. 3. Adanya permintaan aparat kepolisian ke otoritas sipil untuk meminta perbantuan dari TNI. 4. Adanya penilaian dari otoritas sipil atas permintaan itu. 5. Adanya keputusan dari otoritas sipil untuk melibatkan TNI membantu Kepolisian maupun dalam menghentikan tugas perbantuan itu sendiri. 6. Kendali pasukan TNI yang diperbantukan di lapangan harus tetap berada di bawah kendali pimpinan Kepolisian kecuali dalam situasi darurat militer. 7. Memperhatikan prinsip proporsionalitas dalam pengerahan kekuatan TNI. 8. Perbantuan itu sifatnya sementara dan tidak permanen. 9. Pelibatan TNI merupakan alternatif terakhir. 10. Adanya pembagian tugas yang jelas diantara keduanya guna menghindari tumpang tindih kerja. 11. Memperhatikan tata nilai HAM dalam tugas perbantuan. 12. Adanya pengawaan dan evaluasi dari otoritas sipil dari pelaksanaan tugas perbantuan itu. F. REKOMENDASI Berkaitan uraian tersebut di atas, terdapat beberapa rekomendasi yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan ancaman terhadap keamanan nasional/negara, yaitu: 1. Melihat Perkembangan konsep keamanan nasional dewasa ini, maka sistem keamanan nasional di Indonesia dan penanganan pola ancaman yang dimiliki harus bersifat multidimensional, komprehensif dan integratif. Kekuatan militer tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dalam penanggulangan ancaman keamanan di Indonesia. Penanganan ancaman harus melibatkan aktor-aktor lain yang bersifat non-militer. Sekalipun kekuatan militer harus 187 digunakan dalam penanganan ancaman, pendekatan militer yang digunakan harus menghormati hak-hak sipil warga negara. Oleh karenanya, pemerintah perlu menunjukkan political will untuk tidak lagi mengutamakan penggunaan kekuatan militer sebagai alat utama untuk mengatasi berbagai ancaman terhadap keamanan nasional, menghentikan perdebatan yang terjadi selama ini dan menyusun blueprint yang disepakati bersama tentang konsep keamanan nasional yang komprehensif sebagai dasar untuk menyusun kerangka regulasi bidang keamanan nasional ke depan. 2. Kebutuhan legislasi dalam kebijakan keamanan yang komprehensif dan tersinkronisasi sangat diperlukan untuk mengatur penyelenggaraan keamanan nasional secara demokratis, komprehensif dan terkoordinasi. Kebijakan itu juga menjadi landasan hukum untuk mengatur keterlibatan berbagai institusi, batas kewenangan antar institusi yang terlibat dan sumber daya yang digunakan. Selain itu, permasalahan yang muncul setelah pasca pemisahan TNI-Polri perlu segera diselesaikan. Ketentuan legislasi yang mengatur mengenai tugas perbantuan TNI kepada fungsi-fungsi kepolisian perlu mengatur secara lebih rinci tentang mekanisme tugas perbantuan TNI tersebut. Dalam hal ini, maka diperlukan penyelesaian RUU tentang Keamanan Nasional dengan mengacu kepada blue-print tentang konsep keamanan nasional, kemudian melakukan amandemen terhadap UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara terutama mengenai tugas perbantuan TNI kepada fungsi kepolisian. 3. Penyusunan pengertian ancaman di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan harus jelas dan tidak menimbulkan multitafsir. Pengertian ancaman yang longgar dan tidak jelas dapat membuka peluang untuk dilakukannya tindakan bersenjata. Dalam hal ini diperlukan pengkajian kembali dan memperjelas pengertian ancaman yang terdapat RUU tentang Keamanan Nasional. 4. Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang akan dibentuk diharapkan dapat mengelola dan mensinergikan semua unsur yang terkait dalam penyelenggaraan keamanan nasional, sehingga dapat mengatasi dengan tepat setiap ancaman yang ada sesuai tingkat eskalasinya. Berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh DKN nantinya, Presiden dapat menggunakan institusi-institusi yang sudah ada (seperti TNI, Kepolisian, lembaga-lembaga intelijen dan departemen-departemen) 188 untuk menangani masalah keamanan nasional atau jika diperlukan, Presiden dapat membentuk unit pelaksana operasi keamanan nasional yang bersifat ad hoc. Selain itu, perlu penegasan secara eksplisit mengenai syarat-syarat yang menjadi pertimbangan bagi Presiden dalam membentuk unit pelaksana operasi keamanan nasional di dalam peraturan perundang-undangan. 5. Peranan intelijen sangat penting untuk menyediakan peringatan dini mengenai ancaman-ancaman terhadap keamanan bangsa dan negara. Oleh karenanya perlu diupayakan praktik-praktik intelijen yang baik dan terencana, yang tidak mengabaikan atau melangar kebebasan sipil dan legalitas. Dalam hal ini, pola intelijen lunak dan cerdas lebih efektif digunakan daripada pengerahan tentara dan polisi secara besar-besaran dalam menangani berbagai ancaman yang semakin kompleks. Pembatasan dan pengawasan sangat diperlukan melalui pengawasan (oversight) atas intelijen, khususnya dengan menetapkan batas-batas yuridis dan pengawasan yudikatif. 6. Untuk lebih memungsikan Kepolisian dan meminimalisasi terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang, maka sudah seharusnya akuntabilitas Kepolisian diprioritaskan. Posisi dimanapun Kepolisian akan terukur sejauhmana akuntabilitas Kepolisian dapat dipertanggungjawabkan melalui pengawasan internal dan eksternal yang aktif dilakukan terhadap kinerja Kepolisian. Peran Komisi Kepolisian Nasional perlu direvitalisasi menjadi lembaga yang mempunyai fungsi pengawasan eksternal dan menjadi jembatan bagi masyarakat untuk melakukan kritik dan pengawasan terhadap kinerja Kepolisian. RENEGOSIASI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN Upaya Membenahi Pemanfaatan Sumber Daya Alam Untuk Kepentingan Rakyat A. PENGANTAR Akhir - akhir ini telah berkembang wacana di masyarakat bahwa sistem royalti di dalam Kontrak Karya Pertambangan dianggap sangat merugikan negara, dan oleh karena itu Kontrak Karya perlu di renegosisasi. Pelaksanaan renegosiasi kontrak karya tersebut masih terus dikaji oleh pemerintah, agar kontrak karya yang berlaku sekarang dan yang akan berlaku ke depan semuanya tetap berjalan dengan logis, lancar dan adil, serta dapat membawa manfaat. Dalam hal ini renegosiasi kontrak karya utamanya ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah industri pertambangan.25 Selain itu, renegosiasi Kontrak Karya merupakan salah satu bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I)26 . Keberadaan Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan signifikan yang disebabkan karena krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1977, dan juga krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 dan berkembang menjadi krisis ekonomi. Pada saat itu, banyak pakar berpendapat bahwa kegiatan ekonomi yang bersumber pada sumber daya alam (“resource-based industry”) dapat diharapkan menjadi andalan untuk menunjang perbaikan perekonomian nasional. Dengan memiliki potensi cadangan sumber daya mineral yang besar, maka Indonesia dapat memanfaatkan sektor pertambangan sebagai salah satu sektor yang merupakan keunggulan komparatif (“comparative advantage”) dari negara ini. Oleh karena itu, selama periode yang cukup panjang, industri pertambangan telah berhasil memegang peranan penting dalam 190 mempromosikan dan meningkatkan kegiatan eksplorasi atas sumber daya mineral di Indonesia, khususnya dalam rangka percepatan serta peningkatan perbaikan perekonomian nasional. Dalam masa sekitar dan pasca proklamasi kemerdekaan 1945, perkembangan industri pertambangan umum sangat tidak berarti, bahkan kinerjanya menurun dibandingkan dengan tahun terakhir masa penjajahan Belanda (1941). Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perundang–undangan yang mengatur investasi di bidang usaha pertambangan umum. Peraturan pemerintah kolonial Belanda di bidang ini yang diperbaiki terakhir kalinya pada tahun 1918, yaitu “Indische Mijnwet” menganut sistem kolonial yaitu sistem Konsesi, yang pada tahun 1950-an dianggap tidak sesuai lagi dengan UUD 1945. Usaha untuk menerbitkan peraturan baru tidak pernah terlaksana karena situasi politik pada masa itu. Bahkan pada tahun 1959 dikeluarkan undang–undang yang membatalkan semua hak pertambangan yang diberikan sebelum tahun 1949 dan tidak berproduksi atau tidak aktif lagi. Selanjutnya, pada tahun 1960 telah dikeluarkan Perpu dan menjadi UU No. 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan. Akan tetapi UU ini ternyata tidak menarik minat investor, baik dalam negeri maupun asing, meskipun seperti yang telah disebutkan di atas bahwa sebenarnya geologi kepulauan Indonesia sangat potensial mengandung sumber daya mineral. Pada era pemerintah Orde Baru, kegiatan industri pertambangan umum yang berarti dan modern di Indonesia mulai berkembang secara pesat setelah diundangkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, pada bulan Januari 1967, dan disusul kemudian dalam tahun yang sama, telah diundangkannya UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok Pertambangan. Kedua undang – undang ini, memberikan dasar hukum yang kuat untuk bidang industri pertambangan, khususnya dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya di industri pertambangan Indonesia. Dengan terbentuknya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok Pertambangan, dasar hukum keberadaan Kontrak Karya telah diperkuat. Pasal 8 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyatakan bahwa: “Penanaman Modal Asing di Indonesia, khususnya pada bidang pertambangan, harus dilaksanakan dengan didasarkan pada suatu 191 kerja sama dengan pemerintah atas dasar Kontrak Karya atau bentuk lain sesuai dengan perundang–undangan yang berlaku”. Kemudian pasal 10 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, menyatakan bahwa: “Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan–pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah atau perusahaan negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan”. Keberadaan kontrak karya di dalam UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan– Ketentuan Pokok Pertambangan, tampaknya telah dapat menarik minat investor (terutama investor asing) untuk menanamkan modal di bidang pertambangan. Konsep “Kotrak Karya” yang diberlakukan kepada investor asing, dianggap telah dapat menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha yang sangat diharapkan oleh investor dalam industri pertambangan umum. Begitu juga halnya di sektor batubara, Pemerintah memperkenalkan konsep kontrak kerja sama yang disebut sebagai “Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara”, atau disingkat sebagai PKP2B untuk menarik investor menanamkan modalnya di sektor batubara. Namun di sisi lain, posisi dan pengawasan pemerintah di dalam pelaksanaan kontrak karya sangat lemah, besaran royalti yang rendah dan potensi akan hilangnya sebagian besar sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Oleh karena itu pemerintah kemudian berupaya untuk melakukan negosiasi kembali terhadap kontrak karya yang telah dilakukan dengan perusahaan pertambangan. Rencana renegosiasi kontrak karya yang dinyatakan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 1 Juni 2011 seharusnya tetap dianggap sebagai suatu pembenahan kembali pemanfaatan sumber daya pertambangan atau sumber daya alam untuk kepentingan rakyat. Meskipun demikian asas-asas umum yang berlaku secara internasional sejak dahulu, harus tetap dijunjung tinggi. Asas tersebut misalnya suatu perjanjian yang sudah dibuat dengan sah, harus tetap dihormati dan ditaati agar tetap menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha bagi para investor. Penghormatan dan pentaatan terhadap suatu asas tersebut akan berpengaruh pada perkembangan investasi di Indonesia dan citra Indonesia di mata dunia internasional. 192 B. TUJUAN RENEGOSIASI PERTAMBANGAN KONTRAK KARYA Kontrak karya pertambangan adalah sebuah kontrak yang dilakukan antara pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan penanaman modal asing yang memuat persyaratan teknis, finansial dan persyaratan lain untuk melakukan usaha pertambangan bahan galian di Indonesia, kecuali minyak dan gas bumi, batu bara dan uranium. Dalam naskah kontrak karya dimuat ketentuan-ketentuan yang mengatur soal-soal yang mencakup aspek hukum, teknis, kewajiban di bidang keuangan dan perpajakan, ketenagakerjaan, perlindungan dan pengolahan lingkungan, hak-hak khusus pemerintah, penyelesaian sengketa, pengakhiran kontrak, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang diberlakukan selama jangka waktu kontrak.27 Di dalam kontrak karya pertambangan tersebut, pemerintah memberikan sebuah perlakuan khusus atau lex specialis, dimana segala ketentuan-ketentuan atau kesepakatan yang telah tercantum di dalam kontrak, tidak akan pernah berubah karena adanya peraturan perundangundangan yang berlaku umum (lex generalis). Kalaupun akan diubah (renegosiasi), maka terlebih dahulu harus ada kesepakatan dari para pihak, yakni pihak pemerintah dan pihak perusahaan penanam modal. Perlakuan khusus tersebut merupakan jaminan kepastian hukum bagi investor, dan hal inilah yang kemudian banyak menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.28 Kesepakatan bersama antara para pihak dalam melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan harus mencakup kesepakatan tentang tujuan utama dari renegosiasi, seperti, manfaat dan kepentingan dari masing-masing pihak yang hendak dicapai dari renegosiasi dan hal–hal yang harus dipertimbangkan oleh para pihak dalam rangka melakukan renegosiasi. Dalam hal ini, Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association/IMA) berpendapat bahwa, tujuan untuk melakukan suatu renegosiasi kontrak karya pertambangan antara lain adalah sebagai berikut:29 1. Untuk mendapatkan kesepakatan atas pemahaman yang jelas tentang isu bahwa Kontrak Karya Pertambangan itu adil atau tidak adil. 2. Untuk mendapatkan kesepakatan atas pemahaman mengenai manfaat yang diterima bangsa Indonesia dari mekanisme kontrak karya pertambangan. 193 3. Untuk mendapatkan kesepakatan atas pemahaman mengenai masalah transfer of knowledge/technology. 4. Untuk mendapatkan kesepakatan atas pemahaman mengenai masalah kesempatan kerja yang luas bagi warga negara Indonesia. 5. Untuk mendapatkan kesepakatan atas pemahaman yang jelas mengenai isu Nasionalisme. Renegosiasi adalah hal yang biasa dalam suatu perjanjian termasuk kontrak karya pertambangan, namun seperti yang telah dijelaskan di atas, renegosiasi tersebut harus dilakukan berdasarkan kesepakatan dari para pihak dan mengutamakan prinsip-prinsip itikad baik dan berkeadilan. Beberapa poin kesepakatan yang diungkapkan oleh IMA tersebut berusaha untuk menegaskan kembali segi keadilan dari kontrak karya pertambangan, mengenai manfaat apa saja yang telah diterima oleh bangsa Indonesia termasuk transfer of technology dan kesempatan kerja bagi masyarakat Indonesia. Dari sisi pemerintah, pelaksanaan renegosiasi kontrak karya pertambangan ini benar-benar harus ditujukan untuk memberikan kemanfaatan yang besar kepada masyarakat. Tidak hanya untuk memperbesar prosentase royalti sebagai penerimaan negara, tetapi juga menciptakan mekanisme pengawasan atas pengelolaan perusahaan pertambangan dan mencegah terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang tanpa mengindahkan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Selanjutnya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, menyatakan bahwa Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara harus disesuaikan dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya UU itu. Ketentuan ini kemudian memperkuat dasar bagi pelaksanaan renegosiasi kontrak karya pertambangan, walaupun pihak pengusaha tambang dan beberapa ahli menyatakan bahwa terdapat ketidaksinkronan antara bunyi Pasal 169 a dengan Pasal 169 b UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam Pasal 169 a disebutkan bahwa pemegang Kontrak karya dan PKP2B tetap dihormati hingga berakhirnya masa kontrak, sedangkan Pasal 169 b menyebutkan bahwa ketentuan kontrak harus disesuaikan dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 194 Adanya ketidaksinkronan antara kedua pasal di dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut memang harus dijelaskan oleh pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang, karena sementara ini yang banyak dipahami ialah Kontrak Karya Pertambangan yang berlaku sebelum disahkannya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tetap terlaksana dan dihormati sampai dengan masa kontrak habis sedangkan Kontrak Karya Pertambangan yang sudah habis masa berlakunya saat atau setelah disahkannya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dilakukan negosiasi ulang. Namun masalah demikian, dianggap tidak menghalangi renegosiasi terhadap semua kontrak karya dan tetap diperbolehkan sepanjang hal-hal mengenai renegosiasi dan tujuan dari renegosiasi itu sudah disepakati oleh para pihak yang terlibat di dalamnya. Renegosiasi yang dilaksanakan harus dapat bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dengan tetap memerhatikan posisi internasional Indonesia dan menjamin kepastian usaha bagi pelaku usaha pertambangan dalam renegosiasi kontrak karya pertambangan dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara30. Indonesia merupakan bagian dari komunitas internasional, yang dengan keadaan itu, maka Indonesia mempunyai kewajiban sebagai bagian dari komunitas internasional. Diantara kewajiban itu ialah kewajiban untuk menghormati kontrak.31 C. RENEGOSIASI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN DALAM TINJAUAN HUKUM PERDATA INDONESIA Renegosiasi kontrak karya pertambangan seyogianya dilakukan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang–undangan yang berlaku saat ini, dalam hal ini adalah KUHPerdata, yang di dalamnya dinyatakan sebagai berikut: 1. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan – alasan yang oleh undang – undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. 195 2. Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal.” Setiap Kontrak Karya Pertambangan selalu mencantumkan klausul bahwa para pihak dapat melakukan negosiasi untuk mengubah Kontrak Karya Pertambangan atas kesepakatan. Kesepakatan salah satunya bertujuan untuk melindungi salah satu pihak dari pihak lain yang memiliki kemampuan untuk memaksa pihak lain. Sejak terbentuknya Kontrak Karya Pertambangan Generasi I sampai dengan Kontrak Karya Pertambangan yang berlaku saat ini, maka telah dilakukan beberapa kali perubahan Kontrak Karya Pertambangan atas dasar itikad baik. Atas dasar itikad baik menjadi alasan utama bahwa tidak ada sengketa dalam beberapa kali perubahan kontrak sebagaimana tersebut di atas. Hal ini karena, sampai sejauh ini, tidak ada alasan bahwa renegosiasi dilakukan karena adanya suatu syarat objektif tidak terpenuhi (hal tertentu atau sebab yang halal). Tidak terpenuhinya syarat obyektif tersebut dapat mengakibatkan perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang – orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Artinya, tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal.32 Sementara itu, renegosiasi yang dahulu telah dilakukan pun, bukan atas dasar terdapat syarat subyektif yang tidak terpenuhi. Dalam hal ini persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, antara lain harus diberikan secara bebas. Dalam Hukum Perjanjian ada tiga sebab yang membuat kesepakatan tidak bebas, yaitu33 : 1. Paksaan. 2. Kekhilafan. 3. Penipuan. Sejauh ini, pelaku kesepakatan dalam perjanjian kontrak tersebut, bebas dan tidak ada paksaan dan kekhilafan atau bahkan penipuan. Berdasarkan hal tersebut di atas, apabila renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan ini dilihat dari segi yuridisnya, dapatkah menurut hukum di Indonesia, suatu kontrak yang telah ditandatangani dan 196 berjalan beberapa waktu (artinya para pihak telah memenuhi sebagian isi perjanjian) dimintakan diperjanjikan-ulang?34 Dapatkah pengadilan Indonesia meluluskan permohonan semacam ini berdasarkan hukum Indonesia?35 Inilah yang secara rasional (lawan dari emosional) harus dikaji oleh kita bersama. Diasumsikan tentunya bahwa pihak yang dimintakan untuk bersedia mengulang negosiasi perjanjian (pihak-lawan) menolaknya.36 Jika pihak-lawan bersedia, tentu tidak perlu ada sengketa. Namun, bila pihak-lawan menolak, maka tentu ada sengketa yang perlu diselesaikan menurut hukum yang berlaku untuk kontrak tersebut. Diasumsikan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia (tentu ada kemungkinan bahwa dalam kontrak ditentukan berlakunya hukum asing dan sengketa diselesaikan melalui jalur arbitrase internasional). Sengketa ini termasuk dalam kebatalan perjanjian.37 Karena jika ingin mengubah sebagian dari kontrak, maka secara hukum harus mengambil ancang-ancang bahwa pasal-pasal tertentu dari kontrak “batal” atau “batal demi hukum” ataupun “dapat dibatalkan”. Pandangan yang lebih hati-hati (dan tidak retorik) adalah mereka yang berprakarsa “dapat dibatalkan” seperti ucapan yang mengatakan bahwa semua kontrak karya dan PKP2B sedang dikaji ulang. Meskipun demikian, patut diperhatikan pula mengenai ”kekhilafan” dalam hukum perjanjian yang ada dalam hukum perdata di Indonesia. Subekti menjelaskan bahwa kekhilafan terjadi bila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifatsifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.38 Lebih lanjut, menurut Herlien Budiono, kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan itu dapat bersifat sebenarnya dan dapat pula bersifat semu.39 Kekeliruan yang sebenarnya terjadi dalam hal antara kehendak dan pernyataan para pihak saling berkesesuaian namun kehendak salah satu pihak atau kedua pihak terbentuk secara cacat. Artinya, perjanjian memang telah terbentuk namun terjadinya perjanjian itu berada di bawah pengaruh kekeliruan atau kesesatan, sehingga bila kekeliruan itu diketahui sebelumnya maka tidak akan terbentuk perjanjian.40 Subekti juga menyebutkan bahwa “kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.”41 Dalam kekeliruan yang bersifat semu, menurut Herlien Budino, sebenarnya tidak terbentuk perjanjian sebab pada situasi seperti itu belum terbentuk kata sepakat di antara para pihak sehingga belum memenuhi unsur subyektif pertama untuk sahnya perjanjian.42 197 Banyaknya pendapat masyarakat yang meminta pengkajian kembali atas isi Kontrak Karya Pertambangan, menimbulkan suatu pemikiran bahwa terdapat kemungkinan terjadi kekhilafan atau kekeliruan yang baru disadari saat ini sehingga isi Kontrak Karya tersebut berpotensi atau bahkan sudah menimbulkan kerugian bagi rakyat Indonesia. Jika terjadi kekhilafan, maka pemerintah dan semua pihak tidak perlu malu untuk mengakuinya sepanjang hal itu berlanjut pada penguatan hukum yang bermanfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. D. KONSTITUSI UUD 1945 DAN MANFAAT RENEGOSIASI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN Konstitusi Indonesia telah meletakkan dasar hukum bagi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia, yaitu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut dinyatakan bahwa “Bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan pasal tersebut diatas, dapat dimaknai bahwa industri pertambangan yang kegiatannya mencari (survey dan eksplorasi) menemukan, menggali, dan mengolah sumber daya alam pertambangan, merupakan suatu kegiatan usaha yang melaksanakan amanat pasal 33 (3) UUD 1945 tersebut. Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan dilakukan agar kontrak tersebut tetap bermanfaat bagi negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam kerangka “sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, maka perlu ditelaah kembali mengenai sistem yang ada dalam kontrak tersebut, termasuk dalam hal ini ialah mengenai royalti saja, pembayaran PPh Badan (Pajak Perusahaan Badan) sebesar 35% dari keuntungan perusahaan, yang tarifnya berlaku selama berlakunya kontrak karya tersebut, tarif pajak yang berlaku umum yang sejak beberapa tahun ini sudah diturunkan untuk menarik investasi, pembayaran “Deadrent” (artinya iuran tetap atas lokasi pertambangannya), pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan atas seluruh wilayah yang dipergunakan termasuk untuk perumahan karyawan dan sebagainya, pembayaran Bea Masuk Barang Impor, dan pembayaran Bea Materai Atas Dokumen. Disadari bahwa renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan ini bukan hal yang mudah dan oleh karena itu sebaiknya dilakukan dengan 198 cermat serta mempertimbangan segala aspek dan permasalahan yang ada di dalamnya. Selain itu, renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan tetap dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang pada akhirnya dapat bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Situasi dan kesempatan untuk dilakukan renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan sudah terbuka, lebar kecilnya sangat tergantung dengan isu – isu di dalam kontrak karya tersebut. Menurut IMA, renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan kemungkinan tidak seragam formatnya, karena terdapat perbedaan antara kontrak karya satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti pemerintah tidak dapat memaksakan satu format atau konsep renegosiasi tertentu untuk diterapkan pada semua proses renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan, karena baiknya renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan harus dilakukan sesuai dengan format dan konsep Kontrak Karya Pertambangan yang bersangkutan, dimana setiap kontrak karya memiliki karakteristik, prinsip–prinsip hak dan kewajiban para pihaknya dan risiko yang berbeda satu dengan lainnya. Di sisi lain, di dalam renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan harus dengan cermat melihat dan mempertimbangkan semua kondisi dan situasi faktual yang sedang dialami para pihaknya (pelaku kesepakatan Kontrak Karya Pertambangan) saat itu. Jika dilihat dari segi kemampuan Indonesia sebagai bangsa, maka pada saat itu, terdapat ketidakmampuan Indonesia dalam meningkatkan kepemilikan. Selain itu harus cermat melihat, setelah sekian lama waktu berlalu, maka perlu ditelusuri kemampuan teknologi Indonesia dalam pertambangan. Perlu ditelusuri pula, kesiapan kemampuan modal Indonesia, dan sejau mana transfer of technology sudah terjadi pada Indonesia. Kemungkinan serta kesempatan untuk melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan itu sudah terbuka, namun yang harus diingat adalah bahwa dalam melakukan renegosiasi tersebut ada banyak hal yang harus dipertimbangkan dengan cermat. Banyak kepentingan para pihak Kontak Karya Pertambangan yang harus dipertimbangkan. Sehubungan dengan hal ini, maka harus diperhatikan bahwa Indonesia masih dinilai sangat rendah oleh PERC (Political and Economic Risk Consultancy), sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia dibutuhkan kepercayaan dari dunia bisnis dan pemodal (dalam dan luar negeri). Renegosiasi merupakan suatu kebutuhan untuk membenahi pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan rakyat. Dalam kerangka itu, berhubungan dengan upaya membangun ekonomi yang pro-rakyat, yang secara serius mengutamakan 199 kesejahteraan rakyat, yang ingin membangun suatu sistem yang mampu “memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu” (pasal 33 UUD 1945), maka memerlukan terutama sistem hukum yang efisien, dengan peradilan yang punya personalia (terutama hakimnya) yang jujur, kompeten dan adil – hal yang sayangnya masih sangat langka di infrastruktur hukum Indonesia.43 Jangan sampai terjadi bahwa renegosiasi yang dilakukan nanti mengakibatkan ketidakpercayaan luar biasa terhadap pemerintah Indonesia karena tidak cermat melakukannya. E. REKOMENDASI Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan dalam hal ini ialah: 1. Renegosiasi merupakan suatu kebutuhan yang harus ditindaklanjuti. Oleh karenanya, pelaksanaannya harus dilakukan dengan cermat agar tidak menimbulkan pengaruh yang negatif bagi Indonesia sendiri. Situasi dan kesempatan untuk dilakukannya renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan yang sudah terbuka seperti saat ini, jangan sampai mengakibatkan ketidakpercayaan dunia bisnis dan pemodal (dalam dan luar negeri) akibat pelaksanaannya yang tidak cermat dan banyaknya kepentingan para pihak Kontak Karya Pertambangan, yang tidak dipertimbangkan. 2. Atas hal renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan yang menggunakan instrumen kontrak, yang mengakibatkan formatnya tidak seragam antara suatu kontrak dengan kontrak lainnya, maka diperlukan suatu standar yang umum dalam suatu kontrak yang dapat menjadi bahan renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan. Selain itu dipersiapkan pula suatu standar yang khusus dalam suatu kontrak, yang berlaku dalam keadaan yang khusus pula dalam suatu kontrak. 3. Dalam hal renegosiasi Kontrak Karya pertambangan dalam segi hukum (yuridis). Terdapat beberapa hal yang dapat direnegosiasikan yaitu sebagai berikut: a. Hal–hal yang bertentangan dengan konstitusi, namun permasalahan berikutnya adalah yaitu siapa yang menjadi penggugat (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi? Karena Pemerintah tidak akan mungkin menjadi penggugat (Invesment Guarantee Agreement) GOI terhadap sejumlah negara. 200 b. Hal – hal yang jatuh tempo, yaitu jika cadangan / deposit sudah tidak ekonomis maka investor akan cenderung meninggalkan, dan jika deposit masih menggiurkan, kata kuncinya ada pada kepekaan dan tanggung jawab intelektual, moral dan sosial Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral, Kementerian Keuangan dan lembaga lainnya yang berkaitan. c. Hal – hal yang merugikan, seperti biaya produksi (cost revovery, strategic transfer pricing) dan harga serta jumlah bagi hasil, jumlah yang sesungguhnya diproduksi (e-mining). d. Masalah Royalti. e. Masalah Domestic Market Obligation. 4. Selain itu juga suatu renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan harus dilakukan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang– undangan yang berlaku di Indonesia dan asas-asas universal saat ini. 5. Apabila terjadi suatu kondisi dimana tidak tercapai suatu kesepakatan antara para pihak Kontrak Karya Pertambangan untuk melakukan renegosiasi, maka kontrak karya pertambangan mempunyai mekanisme penyelesaian sengketa, yaitu dengan menggunakan tiga cara: a. Musyawarah: Konsultasi dan pemecahan administratif. b. Konsiliasi: Dilakukan sesuai dengan peraturan – peraturan Konsiliasi UNCITRAL dalam resolusi 35/32 PBB yaitu “Conciliation Rules of the United Nations Commission on International Trade Law”. c. Arbitrase: Dilakukan sesuai dengan peraturan – peraturan Arbitrase UNCITRAL dalam resolusi 31/98 PBB yaitu “Arbitration Rules of the United Nations Commission on International Trade Law”. MODEL PEREKRUTAN CALON HAKIM DAN PERAN KOMISI YUDISIAL Membentuk Kesepahaman Mahkamah Agung Dan Komisi Yudisial Dalam Perekrutan Calon Hakim A. PENGANTAR Pada tahun 2010 lalu, Mahkamah Agung (MA) telah melaksanakan seleksi calon hakim dan calon pegawai negeri sipil (CPNS), yang menghasilkan sekitar 210 orang calon hakim untuk menjadi hakim di seluruh pengadilan di Indonesia. Namun Komisi Yudisial (KY) memutuskan untuk tidak menandatangani surat MA tentang pengangkatan sekitar 210 orang calon hakim tersebut, sehingga dapat diartikan 210 orang calon hakim yang diluluskan oleh MA itu statusnya akan tetap sebagai calon hakim. Komisioner KY Bidang Perekrutan calon hakim, Taufiqurrohman Syauhari menyatakan bahwa apabila ke-210 orang calon hakim ini dipaksakan menjadi hakim, maka mereka rentan digugat putusannya oleh para berperkara yang mengerti aturan hukum, karena dipandang status hakim mereka yang inprosedural. KY menyatakan bahwa KY tidak pernah dilibatkan dalam proses seleksi calon hakim tersebut. Padahal semestinya, MA dapat memberikan porsi yang lebih kepada KY dalam proses seleksi. KY memiliki kredibilitas dalam menyeleksi maupun menyaring nama calon hakim, yang diyakini bisa membantu MA dalam meningkatkan mutu hakim. Mengenai pelibatan KY dalam proses seleksi calon hakim ini juga telah diatur di dalam beberapa ketentuan antara lain: (1) Pasal 14A Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, (2) Pasal 13A Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan (3) Pasal 14A Undang-Undang No. 51 202 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Sistem perekrutan dan pendidikan dan pelatihan (diklat) calon hakim merupakan salah satu masalah yang belum banyak mengalami perubahan sampai saat ini. Pada bulan Februari 2010, Tim Psikologi Universitas Indonesia meluncurkan Laporan Analisis Kebutuhan Pendidikan bagi Calon Hakim MA Republik Indonesia. Hasil analisis menunjukkan fakta dan temuan berkaitan dengan rendahnya kompetensi dan integritas hakim di Indonesia, yang diidentifikasi antara lain beberapa masa sidang masih ditemukan hakim-hakim yang tidak menguasai materi, tidak dapat menentukan jumlah ganti rugi secara cepat, membuat keputusan yang tidak sesuai dengan premis-premis yang digunakan, dan lemah dalam penguasaan hukum acara. Kajian yang dilakukan oleh Tim Psikologi Universitas Indonesia tersebut tidak berbeda dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan belum ada perubahan mendasar terhadap sistem diklat calon hakim. Lebih luas lagi, sistem diklat calon hakim tersebut berkaitan erat dengan sistem perekrutan calon hakim. Perekrutan sebagai sarana awal mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berintegritas saat ini pelaksanaannya masih kurang transparansi dan belum mendapatkan sumber daya calon hakim yang diinginkan. Ouput dari seleksi/perekrutan calon hakim ini nantinya akan menjadi input dalam pelaksanaan diklat calon hakim. Jika perekrutan menghasilkan calon-calon hakim yang mempunyai kualitas intelektual dan moral yang tinggi, maka kemungkinan untuk mencetak SDM hakim yang berkualitas melalui diklat calon hakim akan menjadi lebih luas. Sebaliknya, jika kualitas hasil seleksi rendah maka perlu upaya yang sangat besar untuk menjadikan calon hakim tersebut sebagai hakim yang profesional dan berkualitas. Oleh karena itu untuk mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan diklat calon hakim dibutuhkan sebuah proses seleksi/perekrutan calon hakim yang berkualitas agar dapat menghasilkan SDM hakim yang berkualitas. Pada tahap perekrutan inilah dibutuhkan pelibatan peran KY, sehingga dapat bersama-sama dengan MA menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan dalam menghasilkan SDM hakim yang memiliki kualitas intelektual dan moral yang tinggi. Permasalahan yang terjadi pada pelaksanaan seleksi calon hakim dan CPNS pada tahun 2010, menunjukkan masih adanya sikap sentimentil antar lembaga penegak hukum, yang dalam hal ini adalah antara MA 203 dan KY. Persaingan yang terjadi antara MA dan KY selalu berkisar pada persoalan mengenai kewenangan dan tugas, yang pada puncaknya terjadi pada tahun 2006, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 005/PUU-IV/2006, yang telah memangkas kewenangan KY dalam melakukan pengawasan. Pengaturan yang jelas mengenai tugas dan kewenangan dari kedua lembaga sangat diperlukan. Penyusunan Undang-undang tentang perubahan Undang-undang Komisi Yudisial dan rencana perubahan kembali Undang-undang MA harus memberikan perhatian yang lebih mengenai hal ini. MA dan KY seharusnya dapat saling membantu dalam mewujudkan reformasi hukum terutama dalam mewujudkan reformasi peradilan di Indonesia. Selain itu harus ada titik temu dalam menyelesaikan permasalahan mengenenai pelaksanaan seleksi calon hakim dan CPNS ini, terutama mengenai status 210 orang calon hakim yang telah diluluskan oleh MA. B. PERSPEKTIF MAHKAMAH AGUNG MENGENAI PEREKRUTAN CALON HAKIM Dari sekian banyak institusi yang giat melakukan reformasi, lembaga peradilan menjadi salah satu lembaga yang masih tetap berada dalam iklim yang tidak jauh berbeda dengan kondisinya di masa orde baru. Walaupun sejak tahun 1999, kewenangan organisasi dan administrasi pengadilan telah berpindah dari Departemen Kehakiman kepada Mahkamah Agung (MA). Namun peradilan terus mendapatkan kritik terutama dari pencari keadilan, berkenaan dengan kualitas putusan, integritas hakim dan pegawai pengadilan, lambatnya proses penyelesaian perkara dan sebagainya yang sesungguhnya berujung pada buruknya kinerja pengadilan secara keseluruhan. Semua permasalahan yang terjadi pada lembaga peradilan berawal pada perekrutan. Perekrutan sebagai sarana awal untuk mendapatkan SDM hakim yang berkualitas dan berintegritas saat ini pelaksanaannya masih kurang transparansi dan cenderung mengadopsi sistem perekrutan yang dilaksanakan pada masa sebelumnya. Sistem perekrutan calon hakim merupakan salah satu masalah MA yang belum banyak mengalami perubahan. Baik dan buruknya sistem perekrutan calon hakim secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas hakim yang dihasilkan. Mengingat beratnya tanggung jawab hakim, maka hakim yang dihasilkan melalui proses perekrutan harus memiliki profesionalitas yang tinggi, berbudi pekerti luhur dan mempunyai integritas. Sebagai penegak 204 hukum dan keadilan, hakim harus dapat berdiri tegak dan mandiri dalam memberikan keadilan. Proses perekrutan calon hakim yang selama ini dilaksanakan oleh MA, dilakukan dalam 3 (tiga) tahap penyaringan, tahap pertama adalah pendaftaran pelamar dan seleksi administrasi, kemudian tehap kedua, penyaringan melalui test tertulis dan tahap terakhir penyaringan melalui psikotest dan wawancara. Para pelamar yang lulus tahap seleksi awal akan mengikuti tes tertulis, yang terdiri dari tes kompetensi dasar (TKD) dan tes kompetensi bidang (TKB), khusus bagi calon hakim diberikan tes substansi. Bagi pelamar calon hakim yang lulus tes tertulis maka akan diberikan psikotest dan wawancara. Pengangkatan Calon hakim (Cakim) dan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dilakukan terhadap para peserta yang telah dinyatakan lulus, berdasarkan Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung.44 Para lulusan tes Cakim dan CPNS kemudian akan ditempatkan di pengadilan tingkat pertama kelas II untuk jangka waktu tertentu (kurang lebih 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) tahun dan kemudian mengikuti pendidikan dan pelatihan Cakim (Diklat Cakim) selama 4 (empat) sampai dengan 6 (enam) bulan yang diselenggarakan oleh Balitbang Diklat Kumdil MARI. Setelah mengikuti Diklat dan dipandang mampu, Cakim akan diusulkan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama melalui Pengadilan Tingkat Banding untuk proses pengusulan penerbitan Keputusan Presiden untuk pengangkatan sebagai hakim.45 Proses perekrutan seperti dijelaskan di atas terus berjalan sampai sekarang. Beberapa perubahan telah diupayakan oleh MA untuk mengadopsi berbagai masukan dalam mereformasi sistem perekrutan calon hakim, seperti melakukan kerja sama dengan pihak universitas. Pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2010, MA mengadakan kerjasama dengan Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran, untuk pembuatan dan pengiriman soal-soal ujian tertulis serta pemeriksaan dan pemberian peringkat/ranking hasil ujian juga dalam pelaksanaan psikotest. Namun tetap saja masyarakat menganggap bahwa sistem perekrutan belum dapat diakses secara luas, dan belum ada transparansi atas hasil-hasil ujian tertulis dan psikotest yang telah dilaksanakan. MA juga berupaya melakukan penelusuran bibit-bibit unggul dari para mahasiswa di fakultas hukum atau perguruan tinggi yang berkalitas untuk direkrut sebagai Cakim, namun tidak banyak mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi yang mempunyai minat menjadi hakim. Hal ini menjadi satu permasalahan tersendiri bagi MA. 205 Permasalahan yang ada dalam proses perekrutan calon hakim pada saat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan permasalahan perekrutan calon hakim pada masa sebelum reformasi, yang berkisar pada kurangnya transparansi dan adanya indikasi praktik korupsi-kolusi dan nepotisme (KKN). Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh KHN pada tahun 2003 diperoleh informasi bahwa sistem perekrutan belum dapat diakses oleh masyarakat secara luas. Hal tersebut dibenarkan oleh Dirjen Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (saat itu), dengan alasan keterbatasan dana untuk melakukan perekrutan dan keterbatasan jumlah hakim yang akan direkrut pada periode tersebut. Selain itu dari sekitar 230 responden penelitian non yustisiabel, 55,66% responden menyatakan pernah mengetahui adanya KKN dalam perekrutan calon hakim. Data tersebut diperkuat pendapat dari 20 responden yustisiabel yang semuanya mengatakan percaya akan adanya KKN dalam proses perekrutan calon hakim.46 Pada tahun 2010, tim psikologi Universitas Indonesia juga meluncurkan Laporan Analisis Kebutuhan Pendidikan bagi Calon Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hasil analisis menunjukkan fakta dan temuan yang menunjukkan rendahnya kompetensi dan integritas hakim di Indonesia. Rendahnya kompetensi dan integritas hakim secara tidak langsung adalah akibat dari kurangnya pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas dalam pelaksanaan perekrutan calon hakim, serta kurang efektifnya pelaksanaan diklat calon hakim. Sejak dikeluarkannya paket perubahan Undang-undang Peradilan (Kekuasaan Kehakiman) pada tahun 200947, proses perekrutan untuk tahun 2010 dan seterusnya harus dilakukan bekerja sama dengan Komisi Yudisial (KY). Proses perekrutan pada tahun 2010 itu seharusnya sudah tidak lagi menggunakan istilah CPNS dan Cakim. Namun pelaksanaan perekrutan calon hakim oleh MA pada tahun 2010 lalu ternyata masih menggunakan pola lama, dan masih menggunakan istilah CPNS dan Cakim, sehingga kembali menuai perselisihan dengan KY, Selain itu MA juga dianggap tidak mengikutsertakan KY dalam prosesnya. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, pelaksanaan seleksi CPNS dan Cakim pada tahun 2010 tersebut telah menghasilkan sekitar 210 orang Cakim untuk menjadi hakim di seluruh pengadilan di Indonesia. Namun KY memutuskan untuk tidak menandatangani surat MA tentang pengangkatan sekitar 210 orang Cakim tersebut, sehingga 210 orang Cakim yang diluluskan oleh MA itu statusnya akan tetap sebagai Cakim. Permasalahan ini menunjukkan kembali sikap sentimentil antar 206 lembaga penegak hukum,yang seharusnya bisa duduk bersama untuk mencari alternatif solusi. Perspektif MA dalam hal perekrutan calon hakim harus dirubah terlebih dahulu sehingga tidak kembali menggunakan pola lama yang banyak memiliki kelemahan dan cenderung dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan praktek kolusi dan nepotisme dalam pelaksanaan perekrutan calon hakim. C. PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM PEREKRUTAN CALON HAKIM Kurangnya transparansi dan tidak adanya supervisi merupakan beberapa kelemahan yang ditengarai oleh masyarakat dan KY dari pelaksanaan perekrutan calon hakim selama ini. Selain karena paket revisi undang-undang di bidang peradilan pada tahun 2009, sudah mengamanatkan agar proses perekrutan calon hakim oleh pihak MA harus dilakukan bekerja sama dengan KY. Oleh karena itu, keikutsertaan KY dalam proses perekrutan calon hakim sangat penting dan harus segera dibicarakan bersama dengan MA.48 Pada proses seleksi CPNS dan Cakim pada tahun 2010, MA menyatakan sudah berupaya untuk mengikutsertakan KY di dalamnya. Namun KY tidak dilibatkan sejak tahap awal proses seleksi, yaitu seleksi administrasi dan tahap tes tertulis. Keterlibatan KY hanya sebatas untuk melakukan wawancara mengenai penguasaan kode etik dan pedoman perilaku hakim.49 Keterlibatan KY sejak tahap awal seleksi sebenarnya sangat penting, agar proses penjaringan CPNS dan Cakim bisa lebih obyektif dan mencegah kemungkinan praktik suap dan nepotisme. Disinilah KY berperan dalam melakukan supervisi dan menjamin pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan proses seleksi. Selama ini KY dan lembaga penegak hukum (KPK, Kepolisian dan Kejaksaan) hanya mampu menyentuh hakim. Sementara proses perekrutan yang diduga korup belum tersentuh. Padahal peradilan yang bersih akan tercipta jika pembersihan dilakukan sejak proses perekrutan. Sistem perekrutan calon hakim yang selama ini dijalankan adalah melalui perekrutan pegawai negeri sipil (PNS) diikuti dengan test untuk menjadi Cakim dan kemudian mengikuti Diklat Cakim serta melakukan praktek magang menjadi hakim. Sehingga seorang hakim secara otomatis juga menjadi PNS. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang 207 menyatakan bahwa “Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua badan peradilan” adalah salah satu kategori pegawai negeri sipil yang menjadi pejabat negara. Namun menurut KY, proses perekrutan calon hakim tidak perlu semuanya berasal dari Cakim, karena hakim adalah pejabat negara, sehingga diperlukan mekanisme baru dalam perekrutan calon hakim yang harus disusun bersama-sama MA, sesuai dengan asas partisipatif.50 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Apabila dihubungkan dengan Pasal 31 ayat (1) Undangundang yang sama, maka Hakim yang dimaksudkan tidak hanya hakim agung, melainkan juga seluruh hakim pada pengadilan tingkat banding dan seluruh hakim pada pengadilan tingkat pertama.51 Lebih lanjut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Ashidiqie bahkan mengatakan bahwa pola perekrutan calon hakim seperti yang diterapkan sekarang ini sudah tidak relevan lagi dan perlu diubah. Pola seleksi yang sekarang dilakukan sarat dengan penyimpangan. Calon hakim yang direkrut adalah mereka dengan pengalaman dangkal, seseorang yang baru menyelesaikan pendidikan strata satu atau dua dapat menjadi hakim setelah menjadi calon hakim selama 3-4 tahun saja. Padahal seharusnya yang menjadi kriteria bagi seseorang untuk menjadi hakim diantaranya adalah harus memiliki pengalaman dengan usia minimal 40 tahun dan maksimal 70 tahun, serta berintegritas.52 Keikutsertaan KY di dalam proses perekrutan calon hakim merupakan perluasan dari kewenangan yang dimiliki KY, yang sebelumnya hanya memiliki wewenang menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim dan wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung.53 Perluasan kewenangan ini patut mendapatkan apresiasi, karena di negara-negara yang memberikan kewenangan secara terbatas terhadap KY pun mengenal adanya kewenangan perekrutan, mutasi dan promosi hakim. Sebagai contoh kewenangan ini dimiliki oleh KY di negaranegara Eropa Selatan semacam Perancis, Italia, Spanyol dan Portugal. Di Perancis, KYl disebut dengan istilah The Conseil Superieur de la Magistrature. Lembaga ini mempunyai wewenang mengangkat, mengawasi kedisiplinan, dan promosi hakim. Di Italia, KY disebut Consiglio Superiore della Magistratura (Bahasa Inggris: The Superior Council of the Judiciary). Lembaga ini mempunyai wewenang yang mirip dengan 208 The Conseil Superieur de la Magistrature di Prancis yang juga diketuai oleh Presiden. Wewenang lembaga ini adalah mengangkat hakim, promosi, mutasi, pengangkatan petugas peradilan umum, dan pendisiplinan hakim. Di Spanyol, Komisi Yudisial disebut El Consejo General del Poder Judicial (Bahasa Inggris: The General Council of the Judicial Power) yang mempunyai Wewenang menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi, dan pengawasan hakim melalui inpeksi dan prosedur pendisiplinan hakim. Terakhir, di Portugal, KY disebut Coselho Superior da Magistratura (Bahasa Inggris: The Higher Council of the Bench), wewenangnya adalah juga menyangkut promosi dan mutasi hakim. Di Belanda, lembaga seperti KY memiliki peran sentral dalam proses seleksi hakim. Bahkan seluruh pegawai yang terlibat dalam urusan administrasi pengadilan, seperti panitera dan pegawai lainnya juga menjadi wewenang KY untuk melakukan perekrutan. Dengan demikian hakim hanya memiliki 1 (satu) peran, yaitu hanya mengurus perkara di persidangan, sehingga konsetrasi seorang hakim hanya terfokus pada bagaimana membuat putusan yang baik.54 Di Indonesia diharapkan ada kerjasama yang baik antara MA dan KY dalam proses perekrutan calon hakim. Dalam hal ini, KY harus diberikan peran yang lebih besar dalam proses perekrutan calon hakim. Adapun peranan yang dapat dilakukan oleh KY dalam proses seleksi hakim antara lain:55 1. Melakukan supervisi terhadap seluruh proses seleksi pengangkatan hakim sejak dimulai. 2. Menentukan kriteria tertentu dalam proses seleksi pengangkatan hakim (misalnya dalam tes kemampuan khusus, psikotes, pendidikan hakim dan wawancara akhir). 3. Melakukan tes kepribadian dan analisis track record (rekam jejak) pada peserta seleksi pengangkatan hakim; dan 4. Menetapkan kelulusan peserta seleksi pengangkatan hakim bersamasama dengan MA. D. PERAN MASYARAKAT DALAM PROSES PEREKRUTAN CALON HAKIM Upaya yang dapat digunakan untuk menekan unsur KKN dalam proses perekrutan adalah dengan pengawasan, transparansi dan akuntabilitas publik. Upaya ini merupakan bagian yang sangat penting untuk mengurangi terjadinya kesalahan dan penyalahgunaan wewenang. 209 Pelaksanaan pengawasan yang paling ideal adalah dari dalam atau lembaga seprofesi, karena hal yang demikian itu akan menambah kewibawaan dari profesi tersebut. Kalau terdapat pelanggaran hukum maupun kode etik mestinya tidak sungkan-sungkan untuk menerapkan, tetapi pada kenyataannya, pengawasan dari dalam tidak efektif, karena masih ada unsur sungkan terhadap yang diawasi atau bahkan melindunginya karena merupakan satu profesi atau korps. Disinilah KY sebagai lembaga pengawas eksternal mempunyai peranan penting. Peranan KY dalam proses perekrutan calon hakim sebenarnya sejalan dengan peranan masyarakat dalam melaksanakan supervisi terhadap jalannya proses perekrutan. KY dapat menampung berbagai keluhan masyarakat sehubungan dengan pelaksanaan perekrutan. Pada proses perekrutan calon hakim selama ini, MA cenderung tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi selama proses perekrutan karena kurangnya transparansi. Bahkan MA mengakui kelemahannya dalam melakukan publikasi, sehingga informasi yang sebenarnya terjadi tidak tersampaikan kepada publik. Melihat pada prinsip pelaksanaan perekrutan calon hakim yang harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, maka partisipasi masyarakat itu merupakan suatu keharusan. Hak publik untuk menilai bagaimana jalannya proses perekrutan tidak dapat dihilangkan begitu saja. Masyarakat juga dapat memberikan masukan agar pelaksanaan perekrutan calon hakim dapat menghasilka hakim-hakim yang profesional dan berintegritas sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan sesuai juga dengan kriteria masyarakat pencari keadilan. Peneliti senior dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Emerson Junto mengatakan bahwa terkait dengan proses seleksi hakim, ketika ada dugaan suap dalam proses perekrutan dan penempatan hakim, maka hendaknya fungsi pengawasan MA dapat berjalan. Perlu ada evaluasi di dalam tubuh MA sehubungan dengan pelaksanaan perekrutan, karena tidak hanya satu atau dua kasus yang terjadi, namun ada banyak kasus terjadi dimana banyak calon hakim yang tidak lulus karena tidak memiliki kolega pejabat-pejabat di MA.56 Pihak masyarakat harus dapat memperoleh informasi atau mengakses proses perekrutan calon hakim. Proses dan rationalitas pengambilan kebijakan dalam perekrutan harus transparan serta dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Bentuk transparansi dapat 210 dilakukan antara lain dengan cara memberikan kemudahan bagi anggota masyarakat untuk mengakses setiap proses pengambilan keputusan, serta menciptakan aturan (sistem seleksi) yang lebih terbuka. Sebelum para hakim diangkat atau diumumkan melalui media massa, maka masyarakat perlu mengetahui para calon hakim yang telah lulus seleksi dan sekaligus perlu diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan. Seluruh proses perekrutan calon hakim hendaknya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (akuntabilitas publik) terutama kualitas hakim yang diperoleh dan seluruh biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan perekrutan calon hakim.57 E. UPAYA UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN MENGENAI HASIL SELEKSI CALON HAKIM YANG TELAH DILULUSKAN OLEH MAHKAMAH AGUNG PADA PROSES SELEKSI CALON HAKIM DAN CPNS PADA TAHUN 2010 Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 2010 lalu, MA telah melaksanakan seleksi CPNS dan Cakim yang menghasilkan sekitar 210 orang calon hakim untuk menjadi hakim di seluruh pengadilan di Indonesia. Proses perekrutan yang dilakukan tetap menggunakan pola lama, dengan seleksi administrasi, tes tertulis, dan tes kemampuan berupa psikotes dan wawancara. Proses perekrutan ini dianggap tidak sah oleh KY, karena tidak mengikutsertakan KY sejak tahap awal proses, sehingga status 210 orang calon hakim yang telah lulus tahap seleksi menjadi tidak jelas. Menurut MA, proses perekrutan ini harus dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu penempatan ke-210 orang lulusan CPNS dan Cakim tersebut ke beberapa Pengadilan Negeri tingkat II untuk jangka waktu tertentu, antara 2 (dua) sampai 3 (tiga) tahun, baru kemudian diikutsertakan di dalam Diklat Cakim selama kurang lebih 4 (empat) sampai 6 (enam) bulan. Namun menurut KY, apabila ke-210 orang Cakim ini dipaksakan untuk berpraktek sebagai hakim dan membuat putusan atas suatu perkara di Pengadilan Negeri, maka putusan yang dibuat akan rentan digugat oleh para berperkara, karena dipandang status hakim mereka yang inprosedural. Oleh karena itu saat ini dibutuhkan jalan keluar, untuk mengatasi ketidakjelasan status dari 210 orang lulusan CPNS dan Cakim tersebut. 211 Dapat dikatakan bahwa proses perekrutan calon hakim terbagi menjadi 3 tahap,yaitu: pertama, tahap seleksi CPNS dan Cakim, kedua tahap penempatan dan Diklat, dan ketiga tahap pasca Diklat. Walaupun proses seleksi CPNS dan Cakim sudah berjalan tanpa keterlibatan KY, namun KY masih dapat menjalankan peranannya dalam melakukan wawancara mengenai penguasaan kode etik dan pedoman perilaku hakim terhadap 210 orang lulusan CPNS dan Cakim. Hal ini berarti ada satu tahap seleksi lagi yang harus dilalui para lulusan CPNS dan Cakim tersebut, yaitu tahap wawancara mengenai kode etik dan pedoman perilaku hakim. Tahap wawancara inilah yang akan mengesahkan apakah ke-210 orang lulusan CPNS dan Cakim itu layak untuk ditempatkan di beberapa Pengadilan Negeri di Indonesia.58 Pada saat pelaksanaan Diklat Cakim, KY dapat ikut serta dalam mengembangkan metode pelaksanaan Diklat Cakim, agar dapat lebih efektif serta melakukan supervisi dan penilaian terhadap para peserta Diklat cakim. Peranan KY dalam mengembangkan metode Diklat, antara lain adalah dalam hal penyusunan kurikulum Diklat Cakim dan cara penyampaian materi Diklat. Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh KHN pada tahun 2005, kurikulum Diklat Cakim selama ini tidak terstruktur dan tidak jelas target kompetensi yang hendak dicapainya. Hampir setiap pengajar dalam Diklat Cakim menentukan sendiri materi yang akan diajarkannya, sehingga banyak materi yang tumpang tindih. Pasca pelaksanaan Diklat Cakim, KY dapat melakukan peranannya mengawasi 210 orang lulusan CPNS dan Cakim tersebut, dalam melaksanakan tugas-tugasnya di Pengadilan Negeri yang telah ditentukan sebagai bahan penilaian atau rekomendasi bagi MA pada saat akan melantik para lulusan CPNS dan Cakim tersebut menjadi hakim. Periode pasca Diklat selama ini tidak dirancang secara sistematis dan tidak jelas capaiannya. Tidak ada standarisasi materi, metode dan prosedur magang yang dijalani Cakim pasca Diklat, semuanya tergantung pada inisiatif setiap Pengadilan Negeri dimana para Cakim tersebut ditempatkan. Periode pasca Diklat yang semestinya mejadi ajang penguatan kompetensi hakim, pada prakteknya dianggap tidak menymbang banyak kepada penguatan dan peningkatan kompetensi para Cakim. Agar mampu menghasilkan hakim yang berkualitas, maka sudah seharusnya dilakukan pembaruan dan penyelarasan antara perekrutan, Diklat terpusat di Pusdiklat, dan Diklat praktek. Diklat terpusat di Megamendung perlu melakukan perbaikan metode dan kurikulum pendidikan serta peningkatan sarana dan prasarana yang dapat mendukung 212 proses pendidikan. Dalam Diklat praktek (pra dan pasca Diklat terpusat) perlu ada standar dan pola pembinaan yang seragam, pembuatan aturan yang mempunyai daya paksa kepada Ketua Pengadilan Negeri dan hakim senior untuk melakukan pendampingan dan pembinaan. Pendampingan dan pembinaan nantinya bisa menjadi prestasi kerja bagi Ketua Pengadilan Negeri dan hakim-hakim senior. F. REKOMENDASI Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan dalam hal ini ialah: 1. Permasalahan yang ada dalam proses perekrutan calon hakim pada saat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan permasalahan perekrutan calon hakim pada masa sebelum reformasi, yang berkisar pada kurangnya transparansi dan adanya indikasi praktek KKN. Hal ini disebabkan karena sistem perekrutan calon hakim yang dilaksanakan oleh MA belum banyak mengalami perubahan dan masih banyak mengadopsi pola lama. Masyarakat masih menganggap sistem perekrutan belum dapat diakses secara luas dan belum ada transparansi atas hasil-hasil ujian tertulis dan psikotest yang telah dilaksanakan. Kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan proses perekrutan juga menyebabkan timbulnya berbagai indikasi adanya praktek KKN. Dalam hal ini, maka perspektif MA dalam hal perekrutan calon hakim harus dirubah terlebih dahulu sehingga tidak kembali menggunakan pola lama yang banyak memiliki kelemahan dan cenderung dimanfaatkan untuk menyuburkan praktek KKN dalam pelaksanaan perekrutan calon hakim. Dalam hal ini MA perlu memprioritaskan transparansi dan pengawasan yang ketat baik oleh MA sendiri maupun oleh lembaga pengawasan eksternal (KY) dalam proses pelaksanaan perekrutan calon hakim. 2. Keikutsertaan KY dalam proses perekrutan calon hakim sangat penting, oleh karenanya MA dan KY perlu menyusun metoda baru dalam proses perekrutan calon hakim. Sistem perekrutan calon hakim tidak perlu lagi mengadopsi sistem perekrutan CPNS dan Cakim seperti yang selama ini dilakukan, karena sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hakim adalah pejabat negara dan tidak dapat disamakan dengan PNS. MA perlu memberikan peran yang lebih besar kepada KY untuk turut serta dalam proses perekrutan sejak awal, proses seleksi bisa lebih obyektif dan mencegah kemungkinan 213 praktek KKN. Dalam hal ini, maka peranan yang dapat dilakukan oleh KY dalam proses perekrutan calon hakim antara lain: a. Melakukan supervisi terhadap seluruh proses perekrutan sejak awal. b. Menentukan kriteria tertentu dalam proses perekrutan, misalnya dalam tes kemampuan khusus, psikotes, pendidikan hakim dan wawancara akhir. c. Melakukan tes kepribadian dan analisis track record (rekan jejak) pada peserta perekrutan calon hakim; dan d. Menetapkan kelulusan peserta perekrutan calon hakim bersamasama dengan MA. 3. Peranan Masyarakat dalam proses perekrutan calon hakim adalah sejalan dengan peranan KY dalam melakukan supervisi terhadap jalannya proses perekrutan. KY dapat menampung berbagai keluhan masyarakat sehubungan dengan pelaksanaan perekrutan. Pada proses perekrutan calon hakim selama ini, MA cenderung tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pihak masyarakat harus dapat memperoleh informasi atau mengakses proses perekrutan calon hakim. Proses rationalitas pengambilan kebijakan dalam perekrutan harus transparan serta dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Sebelum para Cakim diangkat, maka masyarakat perlu mengetahui para Cakim yang telah lulus seleksi dan sekaligus perlu diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan, baik kepada MA maupun kepada KY. 4. Pola perekrutan calon hakim seperti yang diterapkan sekarang ini sudah tidak relevan lagi, oleh karena itu MA dan KY perlu duduk bersama untuk melakukan perubahan. Pola seleksi yang sekarang dilakukan sarat dengan penyimpangan, selain itu Cakim yang direkrut adalah mereka dengan pengalaman dangkal. Seseorang yang baru menyelesaikan pendidikan strata satu atau dua dapat menjadi hakim setelah menjadi calon hakim selama 3-4 tahun saja. Dalam hal ini, pengalaman magang di Pengadilan Negeri bagi para Cakim perlu diperbanyak, bisa dengan memperbanyak pelaksanaan Diklat Cakim dan memperpanjang masa magang. Selain itu perlu dipikirkan dalam proses perekrutan calon hakim, agar hakim tidak perlu semuanya berasal dari Calon hakim, karena menurut undang-undang, hakim adalah pejabat negara, sehingga diperlukan mekanisme baru dalam perekrutan calon hakim, sesuai dengan asas partisipatif. 214 5. Proses perekrutan CPNS dan Cakim yang telah dilakukan pada tahun 2010 dan telah menghasilkan 210 orang lulusan CPNS dan Cakim harus dilanjutkan ke tahap selanjutnya karena adanya kebutuhan akan sumber daya hakim yang mendesak. Dalam tahapan berikutnya, MA dalam harus mengikut sertakan KY, dan memberikan peranan yang lebih besar kepada KY dalam melakukan penilaian terhadap para lulusan CPNS dan Cakim tersebut. Oleh karenanya: a. KY masih dapat menjalankan peranannya dalam melakukan wawancara mengenai penguasaan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Tahap wawancara inilah yang akan mengesahkan apakah ke-210 orang lulusan CPNS dan Cakim itu layak untuk ditempatkan di beberapa Pengadilan Negeri di Indonesia. b. Pada saat pelaksanaan Diklat Cakim, KY dapat ikut serta dalam mengembangkan metode pelaksanaan Diklat Cakim, agar lebih efektif serta melakukan supervisi dan penilaian terhadap para peserta Diklat Cakim. c. Pasca pelaksanaan Diklat Cakim, KY dapat melakukan peranannya dalam mengawasi 210 orang lulusan CPNS dan akim tersebut, dalam melaksanakan tugas-tugasnya di Pengadilan Negeri yang telah ditentukan sebagai bahan penilaian atau rekomendasi bagi MA pada saat akan melantik para lulusan CPNS dan Cakim tersebut menjadi hakim. JURNALISME DI ERA KONGLOMERASI MEDIA MASSA Pencegahan Pengaruh Negatif Terhadap Kebebasan Dan Etika Pers A. PENGANTAR Pembahasan mengenai konglomerasi media massa bukanlah hal yang baru sekali ini dibicarakan, mengingat kecenderungan konglomerasi media massa ini telah lama berlangsung di Indonesia. Konglomerasi media massa ialah gambaran dari perusahaan berskala besar yang memiliki bagian unit usaha media massa yang berbeda seperti suatu perusahaan yang menaungi televisi, koran, majalah dan lain sebagainya. Konsentrasi kepemilikan media ini dimaksudkan untuk mencapai efisiensi sehingga keuntungan ekonomi maksimal dapat diperoleh. Disamping keuntungan yang menjadi tujuan utama para pemilik perusahaan pers, perdebatan mengenai konglomerasi media massa muncul manakala konglomerasi ini mulai mengancam kebebasan pers dan menciptakan “single voice” di suatu daerah, negara, bahkan regional tentang suatu persoalan. Jika media cetak dan televisi sudah berada di satu tangan pemilik, keseragaman berita penting bisa terjadi, dan ini bisa jadi amat merugikan masyarakat dilihat dari perspektif demokrasi. Kebebasan pers dan berpendapat telah melewati beberapa fase panjang dalam perkembangannya di Indonesia. Pers tidak mendapatkan tempatnya pada zaman Kolonial. Indonesia mulai mengakui kebebasan berpendapat dengan diterapkannya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45) sebagai konstitusi negara yakni terlihat dari Pasal 28 UUD ’45 yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang” Pasal tersebut tidak jauh berbeda atau sama dengan sebelum undang-undang tersebut di amandemen. Dalam kerangka media massa 216 yang dihubungkan dengan amandemen UUD ‘45, maka pasal 28 tersebut mendapatkan penguatan dengan Pasal 28C, dalam hal yang berhubungan dengan media massa yang menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya (setiap orang) dan demi kesejahteraan manusia. Pasal 28E ayat (3) juga menguatkan peran media massa dengan menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28F pun menguatkan Pasal 28, dengan menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Kebebasan yang didapatkan media massa, disertai dengan kewajiban yang dikenakan kepadanya oleh konstitusi, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 28J yang jika dihubungkan dengan media massa, maka media massa wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada tahun 1965, sistem pemerintahan Indonesia yang bersifat demokrasi terpimpin membuat sejumlah surat kabar di-bredel. Surat kabar yang menjadi korban adalah Merdeka, Berita Indonesia, dan Indonesia Observer. Kebebasan pers dan berpendapat kembali kehilangan tempatnya seperti masa Hindia Belanda dahulu. Berakhirnya kekuasaan demokrasi terpimpin yang kemudian digantikan oleh kekuasaan orde baru memberikan “angin segar” bagi kebebasan pers nasional. Pers boleh bersikap kritis terhadap penyimpangan kekuasaan. Sayangnya kondisi tersebut tidak berimbang, karena pemerintah orde baru ternyata tidak merespon segala kritik yang ada. Akan tetapi, masa keemasan pers nasional berakhir setelah meletusnya peristiwa Malari (lima belas Januari) di tahun 1974. Lebih dari 12 koran dibredel kala itu. Pasca lengsernya rezim Soeharto, pers kembali menjamur di pertengahan 1998. Di masa reformasi ini mulai bermunculan sejumlah media daerah (lokal). Peran media massa banyak mengalami perubahan seiring berkembangnya teknologi yang ada. Surat kabar baik koran atau majalah dulu bertujuan untuk menyampaikan berita yang berasal dari pemerintah kepada masyarakat, terdapat pula sarana iklan dan juga hiburan berupa musik atau ceritera. Di era 1900-an, koran mulai tersaingi dengan menjamurnya media informasi lain seperti radio dan televisi. Dengan kehadiran radio dan televisi, maka semakin besar pula pintu kebebasan bagi pers. Setelah orde baru tumbang, mulai banyak bermunculan stasiun- 217 stasiun televisi swasta yang bermunculan. Hal ini tidak lain ialah sebagai akibat dari euphoria demokratisasi yang terjadi di Indonesia. Data tahun 2000 menunjukkan 54% penduduk di Indonesia mempunyai televisi, jumlah ini meningkat menjadi 65% pada 2007 dan 91% pada 2010.59 Fungsi media massa pun telah berubah tidak lagi sebagai media penyampaian berita saja namun juga media pembujuk selera (persuaders). Ditambah lagi dengan adanya media komputer dan internet belakangan ini yang semakin gencar membuat suatu bentuk komunikasi massal yang mampu menyediakan kebutuhan akan informasi yang cepat mengenai apa yang terjadi baik lokal, nasional, regional maupun internasional. Pada 2011, lebih dari 39% penduduk Indonesia menjadikan internet sebagai sumber media kedua setelah televisi melebihi radio dan internet. B. KONSEP KONGLOMERASI MEDIA MASSA Secara konseptual, konglomerasi merupakan suatu perkembangan bisnis yang terjadi karena suatu perusahaan melakukan diversifikasi (perluasan) bisnis baik, pada bisnis terkait maupun bisnis yang tidak terkait.60 Sebuah surat kabar melakukan diversifikasi atau perluasan usaha terkait misalnya dengan mendirikan usaha percetakan, perusahaan pabrik kertas, pada sektor hulu, atau mendirikan perusahaan peragenan, toko buku pada sektor hilir, lalu dalam perkembangannya, perusahaan surat kabar tersebut mendirikan usaha lain, yang tidak terkait dengan core business. Dapat diambil contoh, KompasTV yang baru saja mengudara sejak 9 September 2011 lalu. Popular di jalur persuratkabaran, KompasTV yang merupakan bagian dari Kompas Gramedia sebagai induk perusahaan telah bekerjasama dengan saluran lokal di beberapa wilayah Indonesia. Kompas Gramedia memiliki unit usaha mulai dari media massa, surat kabar, majalah, tabloid, televisi, radio, toko buku, percetakan, penerbitan, bahkan event organizer, hotel hingga lembaga pendidikan. Tidak hanya Kompas Gramedia, Konsentrasi media massa inipun dimiliki oleh Media Group, Jawa Pos Group, MNC, Femina Group, dan lain lain. Media massa sebagai bagian dari komunikasi massa memegang peranan penting dalam masyarakat dimana menurut Lasswell dan Wright, komunikasi massa memiliki fungsi sosial sebagai surveillance, korelasi dan interpretasi, transmisi budaya dan sosialisasi, serta sebagai media hiburan. Peranan ini yang kemudian berkembang sangat pesat, membuat media massa seakan tidak lagi sebagai media yang idealis melainkan berubah menjadi alat kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan 218 juga ideologi tertentu. Seperti saat ini media dimiliki beberapa pengusaha dan tokoh-tokoh politik. Mereka sadar bahwa dengan memiliki media akan lebih mudah menyiarkan kepentingan mereka. Kebebasan pendapat yang dimiliki oleh pers saat ini tidak hanya dapat dituangkan dalam bentuk cetak saja, namun juga ke dalam bentuk elektronik. Perkembangan dari media massa ialah tidak hanya memproduksi barang, tetapi juga mempunyai karakteristik yakni menjual jasa berupa tayangan program dari media itu sendiri. Dikarenakan semakin banyaknya persaingan dalam bisnis media massa, maka diperlukan kekuatan sosial ekonomi dengan melakukan konsolidasi media yang kemudian mengarah pada munculnya pemain raksasa media massa yang kemudian mengakibatkan terjadinya konsentrasi kepemilikan media massa. Gejala konsentrasi kepemilikan media massa ini dapat dilihat kelompok korporasi media yang mana di Indonesia terdapat 3 (tiga) kelompok korporasi media. Korporasi media pertama adalah PT Media Nusantara Citra, Tbk (MNC) yang dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo yang membawahi RCTI (PT Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia/ sekarang MNCTV), dan GlobalTV (PT Global Informasi Bermutu). Kelompok kedua berada di bawah PT. Bakrie Brothers (Group Bakrie) yang dimiliki oleh Anindya N. Bakrie. Grup Bakrie ini membawahi ANTV (PT Cakrawala Andalas Televisi) yang dulu berbagi saham dengan STARTV (News Corp, menguasai saham 20%) dan Lativi yang sekarang telah berganti nama menjadi TVOne. Kelompok ketiga adalah PT. Trans Corpora (Group Para). Grup ini membawahi TransTV (PT Televisi Transformasi Indonesia) dan Trans7 (PT. Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh). Singkat kata, nama pemiilik media tersebut di atas merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan dan beberapa diantaranya ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada pula yang merupakan tokoh penting salah satu partai yang telah sekian lama berkuasa di Indonesia. Konsentrasi media massa ini banyak terjadi tidak hanya di Indonesia, tapi juga terjadi di dunia khususnya negara barat yang banyak menganut sistem demokrasi dan kebebasan pers. Amerika misalnya, didominasi oleh kelompok media News Corporation, salah satu perusahaan media terbesar yang paling berpengaruh di dunia, yang dikuasai Rupert Murdoch.61 Perusahaan yang dimiliki News Coep di antaranya adalah FOX dan HarperCollins di Amerika Serikat, dan BSkyB di Britania Raya. 219 Skandal harian News of the World di London milik Murdoch adalah bukti nyata tentang dampak buruk konglomerasi pers. Selama lebih dari 10 tahun koran ini menyadap telepon seluler dan rekening bank mantan Perdana Menteri Gordon Brown. Penyadapan dilakukan sejak Brown menjabat Menteri Keuangan di tahun 1997-2007. Menjelang pemilihan umum Mei 2010, Murdoch mengalihkan dukungannya dari Partai Buruh (Gordon Brown) ke Partai Konservatif yang dipimpin David Cameron. David Cameron pun memenangkan pemilihan umum tersebut. Dapat dibayangkan bagaimana pengaruh politik media Murdoch terhadap pemerintahan Inggris karena tindakan medianya ini. Bahkan Perdana Menteri Tony Blair mengatakan: “No big decision could ever made inside No. 10 Downing Street without taking account of the likely reaction of three men: The Deputy Prime Minister, The Chancellor, and Rupert Murdoch.” Di Amerika, kerisauan ini terlihat dari buku Edward S Herman dan Noam Chomsky yang berjudul Manufacturing Consent: “The Political Economy of The Mass Media, Concentrated Corporate Media Ownership Works to Narrow The Limits on What is Considered Reasonable, Responsible, or So Calleds Objective Reporting by Journalist.” Konglomerasi media massa di Indonesia terjadi sejak awal 1990-an. Istilah awal yang dipakai ialah “kerjasama manajemen”. Pada tahun 1982, Surat Izin Terbit (SIT) yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). SIUPP ini hampir sama dengan SIT, namun yang membedakan ialah jika sebuah SIUPP dicabut oleh Departemen Penerangan, terbitan itu langsung ditutup oleh pemerintah. Sejak tahun 1970an pers telah mulai menjadi industri besar dan mempekerjakan banyak karyawan dalam setiap tahap produksinya. Di samping kepentingan-kepentingan itu, ada kekuasaan pemerintah dengan ancaman pencabutan SIT dan Surat Izin Cetak (SIC) kemudian SIUPP. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup. Sebagai respons terhadap kelemahan tersebut, perusahan pers mulai melakukan diversifikasi baik di bidang pers sendiri maupun perusahaan di bidang-bidang lain. Jalan diversifikasi yang ditempuh oleh surat kabar besar di Jakarta adalah dengan mengambil alih surat kabar regional dengan memberi bantuan dana, serta pimpinan manajemen maupun redaksi. Akibat diversifikasi itu muncul grup-grup besar, atau konglomerat media, seperti Kompas Gramedia Grup, Grafiti Pers Grup dan Sinar Kasih Grup. Di tahun 1990-an pers mulai proses repolitisasi dengan memuat berita yang kritis terhadap pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari ditutupnya Tempo, Detik, dan Editor oleh pemerintah. Kemudian di tahun 1998 krisis 220 moneter melanda menyebabakan harga kertas koran membumbung tinggi sehingga banyak surat kabar mengurangi jumlah halaman dan masa terbit. Segala daya upaya efisiensi dilakukan agar media ini tetap eksis. Wartawan dan karyawan dikenakan potong gaji atau bahkan diberhentikan, kemudian surat kabar mengurangi jumlah halaman dan mengurangi masa terbitnya. Media yang nyaris “tewas” karena kesulitan finansial mencari mitra untuk menyelamatkannya. Menurut peraturan perundangundangan, SIUPP tidak bisa diperjualbelikan atau dipindahtangankan. Maka pembatasan ini diterobos dengan konsep “kerjasama manajemen”. Akan tetapi konsep ini otomatis mematikan kewenangan pemilik lama, bahkan memberikan kewenangan kepada pemilik baru, mitra baru, untuk merombak total susunan keredaksian, disamping manajemen keuangan, pemasaran, dan sebagainya. Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto dan rezim Orde Barunya, juga memberikan semangat kebangkitan kepada pers di Indonesia. Era reformasi ditandai dengan terbukanya kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP62. Sebelum tahun 1998 proses perolehan SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ Habibie, dikurangi menjadi tiga tahap. Di samping itu pada bulan September 1999, pemerintahan BJ Habibie mengesahkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, menggantikan UU No. 11 Tahun 1966, UU No. 4 Tahun 1967 dan UU No. 21 Tahun 1982, yang diakui “sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.”63 Pasca disahkannya UU tentang Pers, kini cukup dengan secarik kertas bertajuk Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), siapapun yang berbadan hukum dan memiliki modal berhak untuk menerbitkan media cetak. Pengakuan ketidaksesuaian dalam perundang-undangan Republik Indonesia tersebut, merupakan sejenis kemenangan untuk pers Indonesia. Dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers antara lain, menjamin kebebasan pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tersebut juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih organisasi wartawan sekaligus menjamin keberadaan Dewan Pers. Perkembangan zaman membuat kerjasama manajemen ini tidak hanya sebatas media dalam surat kabar saja, namun 221 juga merambah kiprahnya ke media lain seperti televisi dan internet yang kemudian menjadi media sosial. Pers Indonesia saat ini mengalami perubahan struktur politik dari negara yang menganut sistem pemerintahan otoriter menjadi negara demokrasi. Kehidupan media massa pun mengalami perubahan signifikan menuju ke arah liberalisasi media. Industri media massa berkembang dengan sangat pesat baik dalam bentuk cetak maupun elektronik. Kecenderungan media massa di era liberalisasi media massa sangat kuat dan mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap negara. Contohnya adalah kasus Bibit dan Chandra, kekuatan media menyebabkan terbentuknya opini publik yang luar biasa dan menyebabkan Presiden turun tangan. Begitu pula dengan kasus Prita Mulyasari dengan kekuatan media terhadap kasus ini dikawal ketat oleh publik dan terbentuk opini luar biasa. Liberalisasi media memunculkan semacam tirani media, karena media dengan bebas menyampaikan informasi sesuai dengan agendanya tanpa pengawasan publik. Media massa ini juga cenderung tidak otonom terhadap pemilik modal dan memberikan informasi yang bias akan kepentingan pemilik modal. C. PENGARUH KONGLOMERASI MEDIA MASSA Konglomerasi media massa ini sudah menjadi fenomena global yang tidak dapat dibendung lagi dimana pun dan dengan kekuatan apapun, karena konglomerasi media ini membuktikan bahwa media memiliki kekuatan untuk dapat mempangaruhi opini publik. Tidak keliru apabila media massa mendapat julukan sebagai “the hidden persuaders” (pembujuk tersembunyi). Melalui media massa modern saat ini, pencitraan maupun selera seseorang, kelompok atau bahkan masyarakat dapat dipengaruhi. Menyadari hal ini, banyak para pengusaha besar termotivasi untuk memasuki dunia media, sekaligus menggapai tingkat konglomerasi pers dengan terus memakan media yang hampir mati, atau berusaha keras membangun kerajaan medianya sendiri sepanjang dimungkinkan oleh ketentuan perundang-undangan. Fenomena ini membuktikan ambisi orang-orang media untuk masuk ke dunia politik atau eksis paling tidak menaruh pengaruh mereka di lingkaran kekuasaan. Perkembangan akhir-akhir ini yang mana media massa dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar menimbulkan kekhawatiran. Dilihat dari isi atau konten yang disampaikan kepada masyarakat, konten media acap kali mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak. 222 Sebagian besar yang diberitakan tidak jauh dari tema kekerasan, kejahatan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional yang tidak mengandung nilai edukatif. Kekhawatiran kedua adalah akan tergerusnya independensi jurnaliseme di Indonesia sehingga publik disajikan berita dan pendapat yang “berat sebelah” terhadap suatu peristiwa. Salah satu faktor yang membuat media massa kehilangan kenetralannya (independensi) ialah faktor politik. Faktor politik berpengaruh besar terhadap kepentingan dalam konsentrasi media massa di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada media massa yang dekat dengan pemerintah cenderung menghadirkan pemberitaan yang pro pemerintah. Contohnya dapat dilihat pada pemberitaan salah satu stasiun televisi yang menayangkan perihal Rakornas partai tertentu dibandingkan pemberitaan yang lebih perlu untuk rakyat ketahui. Kemudian, ketika pemilik media merupakan tokoh politik, ia akan cenderung menggunakan medianya sebagai alat politik untuk menyiarkan kepentingannya. Sebagian berita yang diberitakan menjadi cenderung bias karena memihak pihak-pihak tertentu. Belum lagi pada pemberitaan yang banyak mengandung fitnah, ini mengesampingkan hak masyarakat akan informasi yang memuat kebenaran. Faktor kepemilikan media massa tersebut menyebabkan isu ekonomi politik media memiliki konsekuensi:64 1. Homogenisasi yang dapat diartikan sebagai: “Financial pressures and other forces lead all media products to becom similar, standard and uniform” atau penyeragaman bentuk tayangan atau program. 2. Agenda setting merupakan upaya media untuk membuat pemberitaan tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa melainkan ada strategi dan kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan memiliki nilai lebih yang diharapkan oleh media. 3. Hegemoni Budaya merupakan pandangan bahwa telah terjadi dominasi oleh salah satu kelas di masyarakat atas kelas-kelas lainnya. Hegemoni budaya mengidentifikasi dan menjelaskan dominasi dan upaya mempertahankan kekuasaan, metode yang dipakai mereka yang berkuasa atas kelas-kelas yang subordinat untuk menerima dan mengadopsi the ruling-class values. Dalam perspektif Marxian, media massa berpotensi menyebarkan ideologi dominan. Ideologi dominan biasanya disebarkan oleh orde yang berkuasa dalam rangka mengekalkan kekuasaannya. Dalam rangka mengekalkan kekuasaan tersebut, kelompok yang dominan melalui 223 media cenderung menyuarakan kepentingannya dan berusaha agar kelas lain turut serta berpartisipasi dengan sukarela, atau tanpa mereka sadari dan itulah yang disebut sebagai “hegemoni”. Hegemoni merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Bahkan lebih lanjut hegemoni didefinisikan sebagai “rekayasa sistematik” kepatuhan massa untuk memapankan kekuasaan kelompok yang berkuasa. Maka dari itu selama media massa masih dikuasai oleh ideologi dominan, maka mereka akan menggambarkan kelompok oposisi sebagai kaum marjinal. Hal ini pula yang menciptakan kekhawatiran akan konglomerasi media karena media massa cenderung untuk tunduk kepada kekuatan pasar, pemilik modal dan juga industri yang melahirkannya. Konglomerasi media massa yang mendunia membuktikan bahwa media itu “powerful”, namun media tidak saja “powerful”, tetapi juga “powerless”. Hal ini karena dalam operasionalisasinya media massa akan selalu menghadapi tekanan-tekanan. Efeknya adalah konten yang ditampilkan oleh media yang dimasukkan hanya konten yang secara ekonomi mendatangkan rating tinggi untuk menarik pengiklan sebanyak mungkin. Selain itu, konflik kepentingan juga bisa muncul akibat persaingan yang ketat dengan kompetitornya. Akhirnya, media itu terjebak pada dilema antara harus menghadirkan tayangan yang melayani kepentingan publik atau menayangkan tayangan yang popular demi meraih uang yang banyak. Tekanan-tekanan itu juga yang membuat pemberitaan menjadi tidak obyektif. Akibatnya, masyarakat semakin banyak disuguhi dengan berita-berita rekayasa, mengandung fitnah, provokatif, dan informasi yang kurang beragam. Dampak lebih jauh ialah ancaman akan kehidupan demokrasi dan mengontrol juga menggiring opini publik ke arah kepentingan media. Dapat dilihat bahwa potensi gangguan terhadap kebebasan dan independensi pers tidak hanya datang dari pemilik perusahaan pers atau pemilik modal melalui pengaruh-pengaruhnya demi kepentingan komersial ataupun kepentingan non-komersialnya, tetapi gangguan juga berasal dari publik dan juga perundang-undangan yang berlaku. Publik dapat diartikan secara luas yakni termasuk juga pejabat negara, melalui pengaruh atau tekanan yang saat ini terutama terjadi di daerah, demi kepentingan pribadi subjek berita atau kepentingan kebijakan pemeritahan tersebut. Perundang-undangan juga turut memberi andil manakala undang-undang pada masa reformasi sekarang ini, produk hukumnya tidak harus berarti lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan masyarakat demokratis dibandingkan dengan undang-undang yang 224 dibuat oleh pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Hal ini dapat dilihat terkait hukuman pidana yang terdapat pada UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dirasa jauh lebih berat untuk pencemaran nama baik daripada pidana yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketika sumber informasi sudah dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu, maka terdapat potensi bahwa kebenaran yang ada ikut tersembunyikan. Masyarakat, dengan sadar atau tidak, sangat dirugikan dengan terjadinya distorsi informasi. Distorsi informasi ini berpotensi menimbulkan muatan fitnah dan/atau pencemaran nama baik kepada siapapun. Yang menjadi masalah dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan tersebut digunakan sebagai alat untuk memfitnah dan/atau menghina seseorang atau institusi dan tidak memiliki nilai berita selain daripada pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan dan unsur kesalahan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Perlu ditekankan bahwa hukum tetap harus diberlakukan kepada pihak manapun yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitanan pers sebagai sarana. Kecenderungan banyak pihak memperjuangkan agar proses pertanggungjawaban hukum oleh insan pers kirannya melalui proses peradilan perdata dan bukan pidana. Seperti misalnya di beberapa negara saat ini telah mengubah ketentuan hukum pidana menjadi ketentuan hukum perdata. Dipertimbangkan pula pemberlakuan sanksi dengan (untuk pidana) atau ganti rugi (untuk perdata) yang proporsional, yakni disesuaikan dengan kemampuan pembayar denda atau ganti rugi. Tujuan pemberian sanksi yang proporsional tersebut ialah pertama, agar tidak menyulitkan kehidupan terhukum atau tidak membangkrutkan perusahaan atau lembaganya apabila harus melaksanakan putusan itu. Kedua, agar tidak mengakibatkan terhukum traumatis dan takut sehingga diharapkan akan tetap memiliki keberanian untuk berekspresi serta mengemukakan pendirian dan sikapnya. Takut berekspresi dan menyatakan pendapat dapat berakibat timbulnya rasa takut untuk berkarya jurnalistik, seni dan intelektual, termasuk dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers maka dibentuklah Dewan Pers yang independen. D. PERAN DEWAN PERS Patut diberdayakan untuk dikembangkan peranannya ialah fungsi dari Dewan Pers Nasional. Dewan Pers merupakan perangkat yang 225 independen dibentuk berdasarkan perintah UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Anggota Dewan Pers terdiri dari: 1. Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan. 2. Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers. 3. Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Dalam hal ini, pemerintah tidak duduk di dalam anggota Dewan Pers guna menjaga independensi lembaga pers tetap terjaga. Dalam hal ini pembentukan Dewan Pers merupakan bagian dari upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Dengan demikian, Dewan Pers mengemban amanat atas dipatuhinya kode etik pers dan penggunaan standar jurnalistik profesional. Menurut Bab V Pasal 15 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers memiliki peranan antara lain: 1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. 2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers. 3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. 4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. 5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah. 6. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturanperaturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, dan 7. Mendata perusahaan pers. Berdasarkan peranan Dewan Pers diatas, maka Dewan Pers dibentuk untuk mengatur pers dari segi etika jurnalistik baik media cetak maupun elektronik. Di dalam tubuh Dewan Pers kemudian terdapat tujuh komisi untuk menjalankan fungsinya, yaitu: 1. Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika Pers. 2. Komisi Hukum dan Perundang-undangan. 3. Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers. 4. Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi. 5. Komisi Pemberdayaan Organisasi. 6. Komisi Pendanaan Organisasi, dan 226 7. Komisi Hubungan Antarlembaga dan Hubungan Luar Negeri. Selain Dewan pers, terdapat pula organisasi penerbit seperti Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), organisasi wartawan dan jurnalis seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Terdapat pula Ikatan Penerbit Buku Indonesia (IKAPI) yang mengkhususkan untuk penerbitan buku. Sumber pembiayaan Dewan Pers ini berasal dari organisasi pers, perusahaan pers, dan/ atau bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat. Untuk mengelola dukungan dana dari Negara maka dibentuk Sekretariat Dewan Pers yang dipimpin oleh seorang sekretaris berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 04/P.KOMINFO/5/2005 yang merupakan unsur staf yang bertugas melaksanakan pelayanan teknis dan administratif kepada Dewan Pers dalam menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Dalam peranannya dalam melakukan pengawasan terhadap Kode Etik Jurnalistik, Dewan Pers wajib untuk menjaga kodrat pers sebagai salah satu unsur pengawas pemerintah dalam memberitakan informasi secara utuh, jelas, adil dan berimbang. Selain daripada Dewan Pers, terdapat pula komisi yang sifatnya independen yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai regulator yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Tujuan dari KPI ialah untuk memperkukuh integrasi nasional dan membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. E. PERAN PEMERINTAH DALAM MENJAMIN KEBEBASAN PERS DI ERA KONGLOMERASI MEDIA MASSA Kebebasan pers dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan hal yang mutlak sesuai amanat konstitusi dan konvensi internasional relevan yang telah diratifikasi Indonesia. Hanya saja, kebebasan itu patut dipahami bukanlah kebabasan mutlak dan tanpa batas. Untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai sarana penghinaan, hujat-menghujat, fitnah, ataupun nista diperlukan perangkat hukum lain yang sebenarnya bertujuan bukan untuk mengekang kebebasan pers namun membuat pers menjadi lebih profesional dan bertanggung jawab serta menghormati hukum (hukum positif) dan hak asasi manusia setiap 227 individu sebagaimana diatur dalam konstitusi, undang-undang dan konvensi internasional. Undang-undang yang terkait dengan pers antara lain UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, KUHP dan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Selain itu, pemerintah juga berperan dalam menciptakan undang-undang lain terkait pers seperti UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam KUHP setidaknya terdapat 34 (tiga puluh empat) pasal yang memiliki keterkaitan dengan delik pers. Terdiri dari pasal mengenai pembocoran rahasia negara (Pasal 112), pembocoran rahasia pertahanan dan keamanan negara (Pasal 113), penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134, 136 bis dan 137), penghinaan terhadapraja atau kepala negara sahabat (Pasal 142), penghinaan terhadap wakil negara asing dan pemerintah (Pasal 143,144 dan 154, 155), pernyataan permusuhan atau penghinaan golongan, penodaan agama dan penguasa atau badan umum (Pasal 156, 157, dan 207-208), penghasutan (Pasal 160161), penawaran tindak pidana (Pasal 162-163), pelanggaran kesusilaan (Pasal 282), pencemaran nama baik seseorang dan/atau orang mati (Pasal 310-321), pelanggaran hak ingkar (Pasal 322) penadahan penerbitan dan percetakan (Pasal 483 dan 484), penanggulangan kejahatan (Pasal 484), dan pelanggaran ketertiban umum (Pasal 519, 533 dan 534). Hukum di Indonesia khususnya yang tertuang dalam KUHP memuat setidaknya delapan klasifikasi penghinaan, adapun klasifikasinya ialah pencemaran lisan (Pasal 310 ayat 91), pencemaran terlulis (Pasal 310 ayat (2), fitnah (Pasal 310-314), penghinaan ringan (Pasal 315), pengaduan fitnah (Pasal 317), menimbulkan persangkaan palsu (Pasal 318), penghinaan terjadap orang mati lisan (Pasal 320), dan penghinaan terhadap orang mati tertulis (Pasal 321). Dari sudut pandang KUHP, maka Pasal 310-311 KUHP telah mengatur perihal permasalahan penghinaan maupun fitnah yang dapat terjadi dalam pemberitaan pers. Untuk Pasal 310-321 KUHP telah mengatur secara jelas mengenai kriteria tindak pidana penghinaan. Dari beberapa pasar tersebut di atas, mengatur ancaman hukuman pidana penjara paling lama 4 bulan sampai dengan 4 tahun. Pemberatan tersebut akan dikenakan apabila penghinaan tersebut memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam beberapa pasal dalam KUHP mengenai tindak pidana penghinaan. Selain KUHP, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 228 juga mengatur perihal larangan membuat berita yang mengandung unsur fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik yakni terdapat dalam Pasal 27 ayat (3). Tindak pidana fitnah merupakan tindak pidana penghinaan yang ditambahkan unsur kesempatan bagi pelaku penghinaan untuk membuktikan kebenaran apa yang dituduhkan dan jika apa yang dituduhkan oleh si pelaku tidak terbukti, maka ia telah melakukan tindak pidana fitnah. Apabila tindak pidana fitnah itu dilakukan melalui media pemberitaan pers, maka tindak pidana fitnah itu akan memenuhi unsurunsur yang ada. Dengan demikian, pada prinsipnya KUHP sendiri cukup memberikan perlindungan bagi kebebasan pers, yaitu kesempatan bagi terdakwa pelaku penghinaan dan/atau fitnah untuk membuktikan kebenaran mengenai apa yang dituduhkannya, atau dalam hal penghinaan atau fitnah tersebut dilakukan melalui pemberitaan pers maka wartawan yang melakukan pemberitaan tersebut diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran mengenai pemberitaannya ataupun dengan alasan pemberitaan “demi kepentingan umum”. Jika pemberitaan pers yang dianggap menghina dan/atau memfitnah itu dapat dibuktikan kebenarannya, maka wartawan yang menjadi terdakwa tidak dapat dipidana atas tuduhan penghinaan atau fitnah. Sebaliknya, jika berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap tetapi perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak terbukti, maka si terhina atau si terfitnah tersebut dibebaskan dari apa yang dituduhkan, dan putusan tersebut menjadi bukti sempurna bahwa apa yang dituduhkan tersebut tidak benar. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dimengerti bahwa kebebasan pers dalam mengemukakan buah pikiran dan berita tetap dilindungi, akan tetapi bukan berarti kriminalisasi dalam pers tidak dimungkinkan sesuai hukum positif. Dalam hal ini media pers telah menjadi alat untuk melakukan penghinaan dan fitnah tentu saja pelaku tersebut harus dapat dipidana berdasarkan hukum positif. Jadi, bukan pers sebagai media pemberitaan yang dikriminalisasi pelaku, pelaku yang mungkin saja menunggangi pers atau memanfaatkan pers untuk kepentingan yang melanggar hukum, itulah yang akan dikriminalisasi. Oleh karena itu, yang diadili ialah si pelaku bukan pers. Dalam pembuktian pidana penghinaan dan fitnah yang dilakukan melalui media pemberitaan pers tentu saja harus terdapat kesenjangan pelaku untuk melakukan tindak pidana dan juga adanya kesalahan dalam perbuatan tersebut. Jadi sesungguhnya bukan pemberitaan pers yang dipidanakan tetapi perbuatan menghina atau memfitnah tersebut yang dipidana. Kebebasan pers merupakan hal yang mutlak untuk 229 dijaga dan dijamin secara hukum sesuai konstitusi serta dalam Pasal 19 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tentang kebebasan berpendapat dan kebebasan informasi serta kebebasan pers dan media massa. Untuk menjamin kebebasan pers di era konglomerasi media ini, pemerintah memberikan jaminan untuk tidak terjadi pemusatan kepemilikan sesuai peraturan perundang-undangan (UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Pasal 18)) yang berbunyi: “(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi” “(2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi” Pembatasan pemusatan kepemilikan Lembaga Penyiaran Swasta tersebut juga diatur dalam PP No. 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta (Pasal 32 dan Pasal 33) sebagaimana berbunyi: (32) “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut: a) satu badan hukum paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di dua provinsi yang berbeda; b) paling banyak memiliki saham sebesar 100% pada badan hukum kesatu; c) paling banyak memiliki saham sebesar 49% pada badan hukum kedua; d) paling banyak memiliki saham sebesar 20% pada badan hukum ketiga; e) paling banyak memiliki saham sebesar 5% pada badan hukum keempat; f) badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, c, d, dan e berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. 230 (33) “Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta, perusahaan media cetak, dan Lembaga Penyiaran Berlangganan baik langsung maupun tidak langsung dibatasi sebagai berikut: a. satu Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan satu Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan satu perusahaan media cetak di wilayah yang sama; atau b. satu Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dan satu Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan satu perusahaan media cetak di wilayah yang sama; atau c. satu Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan satu Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dengan satu Lembaga Penyiaran Berlangganan di wilayah yang sama.” Berdasarkan pasal tersebut di atas, sudah jelas adanya peraturan terkait dengan pembatasan suatu badan hukum terkait pemusatan kepemilikan atau dalam hal ini disebut kepemilikan silang. Walaupun dalam peraturannya sudah diatur dengan jelas, namun masih ada saja pemilik media yang “nakal” melanggar pasal tersebut. Dalam menjamin kebebasan pers, pemerintah mendorong terjadinya penegakkan hukum serta pengawasan dan pengawasan masyarakat yang efektif dan kuat, sehingga media massa mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas, terutama untuk pendidikan dan pembentukan karakter bangsa. F. REKOMENDASI Berdasarkan uraian yang tersebut di atas, maka yang dapat direkomendasikan dalam hal ini ialah: 1. Konsentrasi media tidak seluruhnya buruk, dengan adanya konglomerasi media maka dapat meningkatkan efisiensi yang berlipat-lipat, dan dengan efisiensi tersebut maka meningkatkan daya saing perusahaan. Namun kepemilikan media sangat berpengaruh terhadap konten program yang disajikan kepada masyarakat yang mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak atau hanya merepresentasikan kepentingan ekonomi maupun politik pemilik media dan menyajikan pendapat yang “berat sebelah” atau dalam hal ini “bias” yang pada akhirnya merugikan masyarakat dari perspektif demokrasi dan hak untuk mendapatkan pemberitaan yang berimbang. Dalam hal ini, agar menjaga independensi media dari segala campur tangan pemilik media, maka manajemen mediamedia tersebut harus memisahkan antara redaksi pemberitaan dengan pemberitaan yang mengandung faktor bisnis berkaitan 231 dengan medianya. Media dan para pemilik media harus menyadari akan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat sehingga faktor kepentingan pemilik media seperti kepentingan politik pemilik media sebaiknya dipisahkan dengan obyektifitas media tersebut. Pemberitaan yang disampaikan harus mengandung kebenaran yang mencakup akurasi, pemahaman publik, jujur, dan berimbang. Selain itu perlu diperbaiki iklim persaingan usaha yang sehat di bidang media, sehingga setiap pemberitaan yang mengandung agenda politik tertentu dari sebuah kelompok media dapat diimbangi dengan pemberitaan yang seimbang dari kelompok media lainnya. 2. Seiring dengan perkembangannya, pers Indonesia saat ini mengalami perubahan signifikan menuju ke arah liberalisasi media. Industri media massa berkembang dengan sangat pesat baik dalam bentuk cetak maupun elektronik menyebabkan fungsi media tidak hanya sebagai media penyampaian berita saja namun juga media pembujuk selera (persuaders). Kecenderungan media massa di era liberalisasi media massa sangat kuat sehingga mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap negara. Liberalisasi media ini memunculkan tirani media karena media dapat dengan bebas menyampaikan informasi tanpa adanya pengawasan masyarakat. Dalam hal ini, maka pengawasan dari masyarakat sangat diperlukan melalui pengawasan atas pers atau media khususnya memberikan sosialisasi terhadap masyarakat agar lebih jeli dalam menghadapi pemberitaan-pemberitaan oleh media apalagi terhadap media yang ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Berkaitan dengan hal itu, perlu peningkatan peran Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. 3. Dewan Pers perlu dioptimalkan sebagai wadah untuk menampung aspirasi dan laporan masyarakat terhadap pelanggaran kode etik jurnalistik. Dewan pers mempunyai peranan dalam hal melindungi kebebasan pers dari campur tangan pihak lain dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik dan hasil karya jurnalistik sesuai dengan pers nasional yang berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Hal tersebut karena Dewan Pers saat ini masih kurang dalam melakukan pengawasan kepada pers itu sendiri. Masih banyak pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik dan asas praduga tak bersalah tidak begitu diperhatikan. 4. Kode etik jurnalistik sudah seharusnya digunakan sebagai pegangan bagi pers dalam melaksanakan tugasnya dan menciptakan hasil karya 232 jurnalistik. Hal ini penting sebagai tolak ukur kebebasan pers itu sendiri. Selain itu Dewan Pers seharusnya bisa meningkatkan kinerjanya dengan lebih baik dan menggunakan haknya untuk memberikan sanksi kepada para pelanggar dengan sanksi yang tegas. Begitu juga dengan kinerja dari KPI karena dua lembaga pers ini menjadi tumpuan harapan masyarakat sebagai konsumen yang diakui lemah posisinya. Dewan Pers dan KPI diharapkan tetap konsisten dalam melaksanakan fungsi pokoknya yakni menegakkan etika pers dan meluruskan kembali peranan media sebagai pengawas (surveillance) pemerintah yang bebas dari segala campur tangan termasuk dari sang pemilik media yang melahirkannya. 5. Perdebatan dalam Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang pada intinya larangan untuk dengan sengaja membuat informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal ini dirasa dapat membelenggu kebebasan baik pers ataupun pihak di luar pers dalam menyuarakan pendapatnya dan dianggap melanggar konstitusi yakni Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 27 ayat (1) Pasal 28, Pasal 28 C ayat (1) dan (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (2) dan (3), Pasal 28 F serta Pasal 28 G ayat (1). Dalam hal ini, perlu adanya revisi terhadap UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait Pasal 27 ayat (3). Pasal ini dapat diibaratkan sebagai pedang bermata dua yang pada satu sisi melindungi kehormatan dan nama baik orang namun disisi lain memenjarakan orang yang tidak bersalah dan dapat menimbulkan diskriminasi, ketakutan, dan ketidakadilan bagi pengguna teknologi informasi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan program pemerintah yang sedang gencar untuk memanfaatkan teknologi informasi. Revisi juga perlu dilakukan terkait ancaman pidana baik denda maupun penjara dari undang-undang tersebut yang dirasa sangat berat, yakni pidana pencara paling lama enam tahun, dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 6. Salah satu peran pemerintah dalam menjaga kebebasan pers dalam era konglomerasi media massa ini ialah dengan adanya jaminan tidak terjadinya pemusatan kepemilikan di UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan juga mengatur pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran swasta atau kepemilikan silang dalam PP No. 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Namun pada kenyataannya, masih banyak pemilik media yang melanggar peraturan tersebut 233 dengan melakukan ekspansi dengan cara merger atau akuisisi sehingga memiliki saham melebihi prosentase yang terdapat pada PP No. 50 Tahun 2005 yakni kepemilikan saham di lembaga penyiaran swasta pertama sebesar 100% dan kedua 46%. Dengan demikian, diperlukan adanya revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang nantinya sudah harus mengatur perihal merger lembaga penyiaran swasta. Polemik merger dan akuisisi antar lembaga penyiaran bermuara pada lemahnya pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut. Maka dari itu untuk selanjutnya perlu diatur apakah nanti merger antar lembaga penyiaran swasta dilarang atau tidak. Selain itu, pemerintah juga perlu untuk menyusun peraturan terkait penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan saham di sektor telekomunikasi dan penyiaran. Law enforcement juga patut diperhatikan, karena tanpa ini maka lembaga penyiaran swasta dapat memanfaatkan celah hukum yang ada. KPK DAN ARAH PEMBERANTASAN KORUPSI Penguatan Dan Menjaga Independensi Serta Akuntabilitas KPK Dalam Pemberantasan Korupsi A. PENGANTAR KPK dibentuk ketika (dan begitu juga sampai dengan sekarang ini) tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat, dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. KPK dengan kewenangannya yang luar biasa, dianggap tepat untuk menangani tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis yang juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Dengan keadaan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa, tentu saja harapan besar pun dibebankan pada KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi dengan cara-cara yang tidak lagi dapat dilakukan secara biasa seperti yang telah dilakukan oleh penegak hukum yang ada (Kepolisian dan Kejaksaan), tetapi perlu dilakukan cara-cara yang luar biasa. Dengan begitu UU tentang KPK yang disahkan pada tahun 2002 (UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) menjadi dasar hukum yang kuat bagi pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenangnya dengan cara-cara yang luar biasa. Dengan undang-undang tersebut, KPK tampil sebagai suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas (termasuk dalam hal ini ialah kewenangan penyidikan dan penuntutan), independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang: 236 1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau 3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Selain itu, KPK juga: 1. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. 2. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. 3. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism). 4. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh Kepolisian dan/atau Kejaksaan. KPK juga didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain: 1. Ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik. 2. Ketentuan tentang wewenang KPK yang dapat melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara. 3. Ketentuan tentang pertanggungjawaban KPK kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, DPR, dan BPK. 4. Ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota atau pegawai pada KPK yang melakukan korupsi; dan 5. Ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota KPK yang melakukan tindak pidana korupsi. Setelah perjalanan KPK selama 8 tahun (jika dihitung sejak satu tahun disahkannya UU tentang KPK), banyak ketidakpuasan terhadap KPK. 237 Ketidakpuasan itu, dapat dlihat sehari-hari di berbagai berita media massa cetak maupun elektronik. Ketidakpuasan tidak hanya diungkapkan oleh masyarakat, juga terutama diungkap oleh kalangan DPR. Ketidakjelasan rekomendasi DPR mengenai kasus Century dan beberapa penangkapan terhadap anggota DPR yang dianggap bermuatan politis (yang berhubungan dengan permasalahan “tebang pilih” yang dilakukan oleh KPK), semakin membuat ketidakpuasan kalangan DPR terhadap KPK. Ketidakpuasan tersebut tercemin juga dalam Rapat Konsultasi atau Rapat Dengar Pendapat antara KPK dan DPR. Ketidakpuasan tersebut juga ditunjukkan dengan pewacanaan kembali konstitusionalitas keberadaan KPK sementara kebutuhan mengenai KPK telah dijelaskan seperti bagian di atas Kerangka Acuan ini. Betapapun demikian yang terjadi antara kalangan DPR dengan KPK, peran DPR sangat penting dalam turut serta menentukan arah pemberantasan korupsi, karena DPR merupakan representasi pilihan rakyat dalam suatu negara demokrasi (terlebih lagi dengan pemilihan umum yang demokratis pasca momentum reformasi tahun 1998 yaitu di tahun 1999, 2004 dan 2009). Selain itu, Calon Pimpinan KPK yang harus memenuhi persyaratan administratif, juga harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh DPR (seperti yang sedang dilakukan dalam saat ini), sebelum dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia. DPR juga berperan dalam menentukan sumber anggaran KPK yang didukung oleh sumber anggaran yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. B. KONSTITUSIONALITAS KPK Sikap “galak dan tidak suka” yang ditunjukkan oleh beberapa politisi terhadap keberadaan KPK dinilai sebagai akibat perlakuan tebang pilih dan diskriminasi yang ditunjukkan KPK dalam bekerja. Tidak hanya di DPR, “ketidaksukaan” terhadap sepak terjang KPK juga muncul dari para tersangka, terdakwa, dan narapidana korupsi dengan mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi, sejak KPK mulai bekerja sampai dengan saat ini. Ketidaksukaan itu kemudian lalu ingin membubarkan atau melemahkan KPK dari peta pemberantasan korupsi. Alasan-alasan yang sering digunakan: 1. KPK lembaga yang bersifat ad hoc. 2. Kepolisian dan Kejaksaan dapat memerankan tugas dan fungsi KPK. 3. KPK kini telah berubah menjadi instrumen kekuasaan. 238 Melacak perkembangan yang ada, ancaman terbesar dan yang paling serius terhadap KPK datang dari manuver sejumlah elite politik di DPR, yang hendak memakai kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945 untuk membangun opini bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Dengan cara pandang demikian, KPK sulit bekerja dengan nyaman menghadapi laju praktik korupsi yang kian masif.65 Keinginan membubarkan KPK tersebut sangatlah tidak tepat dengan desain negara hukum yang termaktub dalam UUD 1945. Gerakan pemberantasan korupsi yang dicanangkan oleh hampir semua lembaga negara dan masyarakat sipil karena korupsi dianggap kejahatan luar biasa, bertolak belakang dengan keinginan pembubaran tersebut, sehingga ide itu tidak lain dan tidak bukan sebagai gerakan perlawanan balik para koruptor dan mafioso (corruptors and mafioso fight back). Dari segi sejarah badan khusus pertama pemberantasan korupsi di Indonesia di kenal dengan nama Panitia Retooling kemudian berevolusi menjadi Operasi Budhi. Pada masa kekuasaan Soeharto dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Lalu memasuki era reformasi dibentuklah Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang kemudian perannya dilebur dalam KPK. Dari aspek historis gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia, KPK bukanlah badan pertama yang pernah dibentuk untuk memberantas korupsi. Dalam konteks pelaksanaan clean and good governance atau pun reformasi birokrasi (reformasi administrasi), pembentukan dan peran KPK amat sangat dibutuhkan dalam mengakselerasi tujuan itu, tatkala Kepolisian dan Kejaksaan yang diberi amanat itu, berkembang menjadi bagian dari kejahatan korupsi. Bahkan pembentukan KPK sendiri merupakan amanah dari ketentuan Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu apakah DPR akan membubarkan KPK dengan alasan sebagai legal policy? Tentu ini perlu diperdebatkan kembali. Sikap “tidak suka” para politisi di DPR terhadap KPK terbalik dengan sikap pemerintah yang terus mendorong akselerasi pemberantasan korupsi. Sejak 2004, pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus-Kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak, terus membangun sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi. Meski peraturan ini terus berjalan dan dikampanyekan secara masif, korupsi masih saja subur yang menggerogoti anggaran negara dan daerah hampir 80%.66 Berpijak pada 239 hal ini, tentu sikap naif jika ingin membubarkan KPK atas dasar tidak suka pada pimpinan KPK. Keberadaan KPK tidak bisa dinafikan karena setidak-tidaknya telah membawa implikasi dalam gerakan pemberantasan korupsi sekaligus penyelamatan uang negara. Keberhasilan KPK dalam konteks tertentu tidak bisa dinafikan dari keberadaan beberapa desain prosedur di dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memberi keleluasaan dan kebebasan bagi KPK untuk bertindak dengan cara-cara luar biasa (extra ordinary) dalam pemberantasan korupsi. Perihal itu di antaranya: 1. Tindakan penyadapan tanpa melalui persetujuan atau pun pemberitahuan kepada pengadilan (Pasal 12 ayat (1) huruf a UU UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 2. Tindakan pemeriksaan tanpa persetujuan atau pun pemberitahuan kepada atasan (Pasal 46 ayat (1) huruf a UU UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 3. Tindakan penyitaan tanpa melalui persetujuan atau pun pemberitahuan kepada pengadilan (Pasal 47 ayat (1) huruf a UU UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 4. Tindakan lainnya yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 5. Larangan KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (Pasal 40 UU UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 6. Alat bukti baru sebagimana diatur Pasal 26 A UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berupa: a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Dari sekian alasan keinginan membubarkan KPK dari peta pemberantasan korupsi, sesungguhnya jika ditelisik, tidak lepas dari kewenangan luar biasa yang dimiliki KPK sebagaimana disebutkan 240 di atas. Alasan yang sering disembunyikan itu sebenarnya telah pernah diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi di mana diajukan para tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi, tetapi selalu kandas, dan Mahkamah Konstitusi telah melakukan tindakan afirmasi konstitusionalitas atas keseluruhan ketentuan di atas, sehingga seluruh ketentuan di atas dapat diterima dalam praktik pemberantasan kejahatan korupsi. Dalam penjelasan umum UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga ditegaskan bahwa kewenangan KPK yang luar biasa didasarkan pertimbangan penanggulangan kejahatan korupsi harus dilakukan cara-cara yang luar biasa karena sifatnya sistemik dan terorganisir serta masif, sehingga penanganannya harus dengan caracara yang luar biasa pula, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dalam konsideran UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dijelaskan mengapa KPK dibentuk sebagai badan khusus di luar Kepolisian dan Kejaksaan, yang berbunyi: 1. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. 2. Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sebagai organ negara (supporting organ), meskipun tidak disebut secara eksplisit di dalam UUD 1945, itu tidak mengurangi eksistensi KPK sebagai badan kekuasaan kehakiman di luar Kepolisian dan Kejaksaan. Penilaian miring terhadap KPK sebagai organ inkonstitusional baik dari segi kelembagaan dan penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu lembaga dianggap bertentangan dengan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan badan-badan khusus yang fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang guna menegakkan hukum dan keadilan, dan sistem peradilan pidana. Seperti juga diketahui, Indonesia telah lama menandatangani United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 dan diratifikasi 241 melalui UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Korupsi. Sebagai negara pihak sudah barang tentu Indonesia harus membentuk badan spesifik dalam memerangi kejahatan korupsi. Berdasar ketentuan ini, pembubaran dan/atau pelemahan KPK akan berakibat fatal dan Indonesia dapat dianggap tak serius memberantas korupsi.67 Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bahwa Indonesia harus memberantas korupsi sampai tingkat paling rendah dan akar-akarnya. Tidak perlu berdalih macam-macam karena ketidakberhasilan pemberantasan korupsi dengan membubarkan dan/atau melemahkan KPK, sementara Kepolisian dan Kejaksaan masih mengalami krisis kepercayaan dalam pemberantasan korupsi.68 C. KINERJA KPK Dibalik pembubaran Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) sekaligus pembentukan KPK, negara mempunyai maksud dan tujuan mengakselerasi atau mengefektifkan pemberantasan korupsi yang dinilai lamban dan terfragmentasi. Hal ini tentu sejalan dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme yang menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglemerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia (Pasal 4). Integrasi pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam satu badan (in casu KPK) tentunya adalah usaha mengonsolidasikan kelembagaan pemberantasan korupsi, sehingga kejahatan korupsi dapat dikurangi dan dihapus, dengan begitu uang rakyat terselamatkan. Kewenangan yang diberikan kepada KPK antara lain: 1. Tugas: (a) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (c) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (d) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan (e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara; 242 2. Wewenang: (a) mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; (b) menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; (c) meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; (d) melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan (e) meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Periode pertama KPK cukup berhasil di dalam menyusun dan menyelesaikan langkah awal pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi, namun pada periode kedua, KPK mulai diguncang berbagai masalah internal sebut saja penangkapan Antasari Azhar (Ketua KPK saat itu) sebagai dalang dalam pembunuhan Nazruddin Zulkarnain, kasus Cicak versus Buaya, dan dugaan pelanggaran etika pimpinan KPK. Berbagai macam deraan masalah hukum yang menimpa para komisioner, kinerja penindakan korupsi tanpa diskriminasi yang menyentuh hampir semua lembaga politik, hukum, dan swasta terkecuali Kepolisian, menunjukkan “progress” yang sangat baik. Namun, sebagian pihak menilai, KPK melakukan tindakan tebang pilih dalam penindakan pemberantasan korupsi, karena tidak berani menyentuh lembaga Kepolisian, Pengadilan dan pusat kekuasaan eksekutif. Sementara langkah-langkah pencegahan (preventif) untuk menekan kebocoran keuangan negara dan pengembalian kerugian keuangan negara (BUMN dan Pemerintah Daerah) secara optimal belum berjalan seperti yang diharapkan. Kendala utama sesungguhnya bukan pada tiadanya langkah-langkah KPK kearah sana, ini lebih karena kurang bekerjanya sistem pengawasan keuangan yang bersifat internal dan eksternal oleh instansi terkait (inspektorat, badan pengawasan, BPKP, dan BPK). Sampai dengan hari ini sektor negara yang paling subur menjadi ladang korupsi di antaranya, yakni: 1. Korupsi eksekutif. 2. Korupsi peradilan. 3. Korupsi legislatif. 4. Korupsi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Eksistensi KPK dalam mencegah atau pun menindak praktik korupsi di empat sektor di atas harus menjadi prioritas ke depan dalam arah kebijakan pemberantasan korupsi, di mana KPK sebagai leading sector bersinergi dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Dengan menjadikan kedua lembaga tersebut sebagai counter partner, maka pemberantasan korupsi 243 akan berjalan efektif dan efisien. Koordinasi dan kerjasama tersebut sesuai yang diinginkan sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri maupun dalam KUHAP. Bilamana KPK bekerja sendirian (monopoli penyidikan dan penuntutan), maka dapat dipastikan pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil mengembalikan “uang negara” dalam jumlah besar dan membuat Indonesia bebas dari praktik korupsi. Karena idealnya anggaran yang dikeluarkan negara untuk pemberantasan korupsi seimbang dengan uang yang berhasil dikembalikan KPK kepada negara. Ke depan pemberantasan korupsi harus dilakukan secara bersinergi dan seimbang. Keseimbangan diperoleh jika KPK fokus pada sektor penyelamatan uang negara dengan cara menyelidiki, menyidik, dan menuntut perkara korupsi besar. Kemudian, KPK melakukan pencegahan dengan cara menata sistem pengawasan penganggaran dan pengunaan anggaran baik di hulu dan hilir. Selain itu, untuk mengukur keberhasilan KPK dalam satu periode, perlu dilakukan audit kinerja yang meliputi tiga hal pokok: 1. Uang yang berhasil dikembalikan KPK. 2. Perkara yang ditangani atau diproses. 3. Pelaksanaan supervisi dan keberhasilannya. Dalam meningkatkan dan mempercepat kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK tenyata dihambat secara yuridis. Hambatan itu, antara lain: 1. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mensyaratkan Penuntut Umum dan Penyidik berasal dari Kejaksaan dan Kepolisian, padahal kedua lembaga masuk objek pengawasan, pencegahan, dan penindakan. 2. Berlakunya UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengharuskan KPK untuk menuntut terdakwa di daerah, padahal KPK tak mempunyai kantor perwakilan. 3. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme hanya memberi sanksi adminsitrasi terhadap penyelenggara negara yang tidak melaporkan kekayaan negara. D. ARAH PEMBERANTASAN KORUPSI Pemberantasan korupsi yang gencar KPK tenyata bukan tanpa hambatan di lapangan. Beberapa kasus yang melilit pimpinan KPK bukti 244 bahwa “serangan” terhadap KPK dari berbagai sisi terus dilakukan guna menghambat jalannya rezim pemberantasan korupsi di Indonesia. Serangan tersebut bersifat internal maupun eksternal, baik melalui peraturan perundang-undangan dan perlawanan hukum di Mahkamah Konstitusi. Serangan tersebut juga berkaitan dengan sepak terjang KPK yang dinilai terjebak dalam ruang-ruang politik, sehingga dianggap tebang pilih dengan dominan membungkam lawan-lawan pemerintah. Untuk mematahkan itu dan mempertegas nondiskriminasi dalam agenda pemberantasan korupsi, KPK harus dipandu dengan sebuah “arah” yang menuntun KPK dalam bekerja. Pada dua periode kepemimpinan KPK sebelumnya, arah tersebut sesungguhnya telah ada yang diberi nama Rencana Strategis Komisi Pemberantasan Korupsi yang substansinya antara lain, yakni: Tabel. Rencana Strategis KPK 2004-2007 2008-2011 Penindakan - Pengembangan sistem dan prosedur peradilan pindana korupsi yang ditangani langsung oleh KPK; - Pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi oleh KPK; - Pengembangan mekanisme, sistem dan prosedur supervisi oleh KPK atas penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan; - Identifikasi kelemahan undang-undang dan konflik antar undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi; - Pemetaan aktivitas-aktivitas yang berindikasikan tindak pidana korupsi. Penindakan - Penindakan korupsi dilakukan bersamasama dengan aparat penegak hukum lainnya; - Menangani kasus-kasus yang belum selesai dikerjakan oleh Pimpinan KPK yang lama; - Menanganani kasus-kasus yang menimbulkan dampak ikutan kumulatif yang tinggi, sedangkan kasus-kasus yang ber-scope lokal dilimpahkan kepada aparat penegak hukum daerah; - Menangani kasus-kasus korupsi di lingkungan aparat penegak hukum, pemasukan dan pengeluaran keuangan negara, serta sektor pelayanan publik; - Menindaklanjuti MoU dengan Kemhan untuk mendorong penanganan kasus-kasus korupsi di lingkungan TNI. Pencegahan Pencegahan - Peningkatan efektifitas sistem pelaporan - Mendorong segenap instansi dan masyarakat kekayaanpenyelenggara Negara; untuk meningkatkan kesadaran anti korupsi dan peran sertanya dalam pencegahan - Penyusunan sistem pelaporan gratifikasi korupsi di lingkungan masing-masing; dan sosialisasi; - Penyusunan sistem pelaporan pengaduan - Melakukan proaktif investigasi (deteksi) untuk mengenali dan memprediksi masyarakat dan sosialisasi; kerawanan korupsi dan potensi masalah - Pengkajian dan penyampaian saran penyebab korupsi secara periodik untuk perbaikan atas sistem administrasi disampaikan kepada instansi dan masyarakat pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang bersangkutan; yang berindikasikan korupsi; 245 Pencegahan Pencegahan - Penelitian dan pengembangan - Mendorong lembaga dan masyarakat untuk teknik dan metode yang mendukung mengantisipasi kerawanan korupsi (kegiatan pemberantasan korupsi. pencegahan) dan potensi masalah penyebab korupsi (dengan menangani hulu permasalahan) di lingkungan masing-masing. Dalam arah pemberantasan korupsi ke depan, KPK melakukannya dengan: 1. Menindak dan membongkar kasus dari hulu sampai hilir atau pusat dan daerah. 2. Fokus pada kasus atau perkara yang nilai korupsinya sangat tinggi. 3. Melakukan upaya pencegahan di pusat-pusat korupsi berbarengan dengan tindakan penindakan. Berdasarkan data yang ada sampai saat ini arah pemberantasan korupsi masih berkutat pada angka kerugian keuangan negara sebesar Rp 1 Miliar sampai dengan Rp 20 Miliar. Artinya, KPK belum menyentuh perkara korupsi yang mencapai nilai ratusan atau triliunan rupiah (BLBI, pengelapan pajak, rekening “gendut” perwira Kepolisian, Bank Century, dan lain-lain). Ini yang kemudian menjadi fokus perbaikan performance KPK ke depan. Tugas pencegahan dan penindakan KPK ke depan yang tak kalah pentingnya adalah menuntaskan pembersihan “mafia peradilan atau mafia hukum” yang sekian lama menggerogoti peradilan (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) dan birokrasi di Indonesia. Masih suburnya praktik mafia peradilan atau mafia hukum membuat tak bisa tegaknya keadilan dan kepastian hukum serta lenyapnya uang negara ratusan miliar. KPK penting dan harus mempertegas keberadaannya sebagai “lembaga superbody” untuk mencegah dan menindak mafia hukum, sebab lembaga pengawas peradilan (Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisial) belum mampu saat ini memberantasnya. Oleh karena itu peletakkan “beban” tersebut tidaklah berlebihan, agar KPK dapat mengembalikan proses peradilan menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi setiap warga negara yang memimpikan kepastian hukum dan keadilan. Penetapan arah pemberantasan korupsi tersebut merupakan bagian dari peningkatan transparansi dan akuntabilitas KPK kepada masyarakat. Di samping itu pula, arah tersebut dapat memandu setiap lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan (seperti BPK, Irjen, Bawasda dan 246 PPATK) untuk mendukung KPK dalam bekerja. Adanya penetapan arah pemberantasan korupsi akan semakin memperkuat agenda percepatan pemberantasan korupsi. Adanya kepentingan politis tertentu yang ikut menggembosi proses pemberantasan korupsi seperti terlihat, dapat ditangkal dengan hal tersebut. Tidak hanya sampai disitu, Indonesia dalam gerakan pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan kekuasaan kepala negara yakni Presiden. Tanpa itu, pemberantasan korupsi akan mengarah pada penanganan korupsi yang nilainya kecil, dan tentu penanganan kasus-kasus korupsi penuh dengan intervensi politik. Kehadiran arah pemberantasan korupsi tidak lain diperlukan untuk semakin mendorong KPK untuk mengukir “success story” pemberantasan korupsi, sebab di mata publik, KPK masih menjadi lembaga yang dipercaya serta punya integritas dan kredibilitas di dalam agenda percepatan pemberantasan korupsi. Dalam arah upaya percepatan pemberantasan korupsi demikian, KPK masih memerlkanu kebijakan yang menghapus hambatan-hambatan prosedural seperti ijin pemeriksaan, supervisi, pengambilalihan kasus, ketersediaan dana, ketersediaan penyidik dan penuntut umum, dan lain sebagainya yang selama ini menjadi hambatan besar. Jika menengok ke belakang tentang arah pemberantasan korupsi, maka sesungguhnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 pernah menebitkan arah kebijakan pemberantasan korupsi yang tertuang dalam Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan ini diterbitkan dengan pertimbangan, yakni: 1. Permasalahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi belum menunjukkan arah perubahan dan hasil sebagaimana diharapkan. 3. Terdapat desakan kuat masyarakat yang menginginkan terwujudnya berbagai langkah nyata oleh pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dalam hal pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme. 4. Pembaruan komitmen dan kemauan politik untuk memberantas dan mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme memerlukan langkahlangkah percepatan. 247 Hal-hal penting dalam arah kebijakan percepatan pemberantasan korupsi dalam Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagai berikut (Pasal 2): 1. Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum. 2. Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya. 3. Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota masyarakat. 4. Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundangundangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. 5. Merevisi semua peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan korupsi sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya. 6. Membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: (a) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (b) Perlindungan Saksi dan Korban; (c) Kejahatan Terorganisasi; (d) Kebebasan Mendapatkan Informasi; (e) Etika Pemerintahan; dan (f) Kejahatan Pencucian Uang; (g) Ombudsman. 7. Perlu segera membentuk Undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi dan/atau nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi. E. KELEMAHAN YANG MASIH MENYELIMUTI KPK Salah satu kelemahan paling menonjol dari KPK sejak berdirinya hingga saat ini adalah ketiadaan penyidik dan penuntut umum sendiri (perekrutan). Keberadaan penyidik dan penuntut umum non Kepolisian 248 dan Kejaksaan amat dibutuhkan untuk menjamin dan menjaga independensi KPK, efektifitas pemberantasan korupsi, dan prinsip nondiskriminasi. Selama ini, KPK dalam menjalankan kerja-kerja pemberantasan korupsi masih mengandalkan penyidik dari Kepolisian serta penuntut umum dari Kejaksaan. Padahal ketika muncul kasus korupsi di intansi mereka berasal, maka tidak terhindarkan lagi conflict of interest yang pada akhirnya melahirkan sikap “keengganan” yang sudah barang tentu menganggu jalannya penyelidikan dan penyidikan. Kelemahan lain yang menjadi hambatan KPK adalah minimnya dukungan dari pemerintah dan DPR. Sebagaimana diketahui umum proses pemilihan pimpinan, legislasi dan penganggaran KPK berasal dari kedua lembaga tersebut, sehingga bila tak mendapat dukungan penuh maka pemberantasan korupsi tidak akan pernah mencapai titik maksimal seperti yang diinginkan publik. Kelemahan internal yang dimiliki saat ini yang bagaimana pun “menganggu” kerja-kerja KPK adalah jumlah sumber daya manusia yang masih terbatas (staf, Penuntut Umum, Penyidik dan penyelidik) yang tidak sebanding dengan ruang lingkup dan luasnya wilayah yang menjadi objek tugas KPK. Begitu pun dengan kantor KPK yang sudah tidak dapat menampung dokumen-dokumen berkaitan dengan tugas pemberantasan korupsi. Guna memperkuat agenda pemberantasan korupsi ke depan perlu kiranya KPK dipermanenkan dengan mengangkatnya pada level konstitusi. Hal ini penting mengingat berbagai hambatan dan gangguan yang dihadapi KPK seperti isu pembubaran dan pemandulan yang sering disampaikan ke publik yang tidak hanya datang dari koruptor, tapi juga kalangan DPR. Dengan berada pada level konstitusi, perang terhadap kejahatan korupsi tak bisa dihentikan (yuridis dan keuangan) baik oleh DPR dan pemerintah. Keberadaan KPK di konstitusi saat ini hanya diatur oleh pasal sapu jagat berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Pasal inilah yang menjadi pijakan keberadaan KPK selama ini, sehingga penyempurnaan UUD 1945 ke depan khususnya Pasal 24 Bab Kekuasaan Kehakiman perlu mencamtumkan eksplisit eksistensi KPK. 249 F. REKOMENDASI KPK yang dibentuk dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan lembaga superbodi dalam bidang pemberantasan korupsi karena memiliki beberapa kewenangan yang tidak dimiliki lembaga penegak hukum lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan, baik itu dalam penyidikan, upaya paksa (penyadapan, penggeledahan, dan lain-lain), jenis alat bukti, dan pembuktian perkara. Selain itu, KPK juga merupakan “trigger mechanism” dan institusi independen pemberantasan korupsi (tidak di bawah kekuasaan Presiden). Sebagai lembaga pemberantasan korupsi paling berhasil dan dipercaya masyarakat, maka KPK perlu tetap dipertahankan dan bahkan harus dikuatkan baik secara yuridis dan politik, sebagai upaya luar biasa negara di dalam upaya mencegah dan menindak tindak pidana korupsi yang sudah mendarah daging di Indonesia. Bilamana seluruh kewenangan yang melekat dioptimalkan, maka KPK akan bisa menyelematkan kekayaan negara yang dirampok dan disalahgunakan. Dari masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri dan Soesilo Bambang Yudhoyono KPK selalu mendapat dukungan politik. Bahkan di masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dukungan itu dikonkritkan dengan terbitnya Instruksi Presiden No 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diganti dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus-Kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak, di mana keduanya menunjukkan tekad bulat Presiden di dalam pemberantasan korupsi. Kini memasuki periode ketiga, eksistensi KPK banyak digugat oleh para politisi dan narapidana korupsi, dengan mengidekan membubarkan dan/atau memandulkan KPK (mengembalikan fungsi pemberantasan korupsi pada Kepolisian dan Kejaksaan) dengan dua alasan pokok, Pertama, KPK hanya membongkar kasus korupsi pesanan penguasa, dan Kedua, politik tebang pilih pada penindakan pemberantasan korupsi. Serangan terhadap KPK tersebut sudah barang tentu dilandasi keinginan tidak baik yang tetap menginginkan Indonesia diselimuti budaya korupsi, padahal institusi yang dibebani untuk memberantas korupsi masih bergelut dengan kerusakan integritas, akuntabilitas, transparansi, dan kemauan dalam pemberantasan korupsi (Kepolisian dan Kejaksaan). 250 KPK dalam perjalananannya (sejak operasional efektif tahun 2003) tentu banyak kelemahan, maka dari itu menjadi suatu keharusan harus diadakan evaluasi untuk mengakselerasi dan mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi. Evaluasi itu menyangkut Standard Operating Procedure (SOP) penanganan kasus, kebijakan penanganan kasus korupsi, dan infrastuktur penanganan kasus seperti penyidik, penuntut umum, kantor, dan anggaran. Berdasarkan paparan di atas, ada beberapa rekomendasi ke depan yang perlu dilakukan, yakni: 1. Meneguhkan keberadaan KPK sebagai lembaga anti korupsi dengan cara memberikan dukungan secara politik baik berasal dari pemerintah (Presiden, Kepolisian dan Kejaksaan) dan DPR maupun yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi). 2. Menguatkan keberadaan dan kewenangan KPK pada level berbagai perundang-undangan, sehingga tidak mudah diamputasi, dilemahkan, atau pun dibubarkan oleh pihak-pihak yang tidak suka terhadap eksistensi KPK dalam percepatan pemberantasan korupsi. 3. KPK dalam penindakan, perlu fokus membongkar kasus-kasus besar baik yang terjadi di pusat atau pun di daerah seperti kasus BLBI, Bank Century, penggelapan pajak dan lain sebagainya. 4. Melakukan upaya pencegahan di pusat-pusat (kantong-kantong) korupsi bersamaan dengan tindakan penindakan. Endnote 1. Sri Hartati Samhadi, “Potret Suram TKI, Salah Siapa?”, Kompas, 9 Juni 2007. 2. Migran Care, Siaran Pers : Menyikapi Siaran Pers Presiden SBY dan 3 Menteri Terkait Eksekusi Ruyati , Jakarta, 23 Juni 2011. 3. ASEAN, Summary Report of The 3rd ASEAN Forum on Migrant Labour 19-20 July 2010 Ha Noi, VietNam). 4. Harian Tempo, “1.300 Pekerja Asal Indramayu Korban Trafficking”, 12 September 2007, dalam Zaky Alkazar Nasution, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak Korban Perdagangan Manusia (Trafficking in Persons), suatu tesis yang telah diuji di Universitas Diponegoro, 2008, hlm. 23. 5. Laura Rundlet, U.S. Department of State Office to Monitor and Combat Trafficking in Persons, Makalah, 2011, hlm. 6. 6. UN Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families, Bagian Menimbang 7. Zaky Alkazar Nasution, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak Korban Perdagangan Manusia (Trafficking in Persons), suatu tesis yang telah diuji di Universitas Diponegoro, 2008, hlm. 195. 8. Dalam US 0f The 10th annual Trafficking in Persons Report, tidak ada hasil evaluasi dan monitoring terhadap Myanmar. 9. Sekretariat ASEAN, ASEAN Economic Community Blueprint, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2010), hlm. 5. 10. Ibid. 11. Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS) dan Rights & Democracy Kanada, Seri 8 Penjelasan Singkat (Backgrounder) Keamanan Nasional, suatu tulisan yang terdapat di dalam situs www.idsps.org, Jakarta: Juni 2008, hlm. 2. 12. Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS), Policy Paper Kebijakan Umum Keamanan Nasional, suatu tulisan yang terdapat di dalam situs www.idsps.org, Jakarta: September 2008, hlm. 9-11. 13. ProPatria, Naskah Akademik RUU Keamanan Nasional, suatu tulisan yang terdapat di dalam situs www.propatria. or.id, (Jakarta: ProPatria, Juli, 2003), hlm. 5-6. 14. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Keamanan Nasional, suatu tulisan yang terdapat di dalam situs www.elsam.or.id, tanggal 30 Maret 2011 15. Ibid. 16. Ibid. 17. Budi Susilo Soepandji, “Peran Dewan Keamanan Nasional dalam Merumuskan Kebijakan Keamanan Nasional”, suatu tulisan yang dipresentasikan dalam Diskusi Publik tentang “Ancaman terhadap Keamanan Nasional/ Negara” yang diselenggarakan KHN pada tanggal 31 Mei 2011 di Jakarta. 18. Pasal 4 huruf C RUU tentang Keamanan Nasional, tanggal 30 Maret 2011. 19. A.M. Hendropriyono, “Pentingnya Peran Intelijen Negara”, suatu tulisan yang dipresentasikan dalam Diskusi Publik tentang “Ancaman terhadap Keamanan Nasional/Negara” yang diselenggarakan KHN pada tanggal 31 Mei 2011 di Jakarta. 20. Ibid. 21. R. M. Panggabean, “Peran Kepolisian dalam Penegakan Hukum Keamanan Nasional/Negara”, suatu tulisan yang dipresentasikan dalam Diskusi Publik tentang “Ancaman terhadap Keamanan Nasional/Negara” yang diselenggarakan KHN pada tanggal 31 Mei 2011 di Jakarta. 22. Ibid. 23. ProPatria, Op. Cit 24. Ibid. 25. www.rakyatmerdekaonline.com, 7 Juni 2011, “DPR Dukung Renegosiasi Kontrak Karya Tambang - Demi Tingkatkan Pendapatan Negara”, 26. Ibid. 27. Abrar Saleng, “Kepastian Hukum dan Status Hukum Pemerintah dalam Kontrak Karya Pertambangan”, suatu tulisan yang terdapat dalam Majalah Mimbar Hukum, Nomor 36, Volume X, Tahun 2000. 28. Ibid. 29. Tony Wenas, “Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan”, suatu tulisan yang dipresentasikan pada acara Diskusi Publik tentang “Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan”, yang diadakan KHN pada tanggal 13 Juli 2011 di Jakarta. 30. Kompas, 20 Juni 2011, “Renegosiasi Kontrak: Jangan Menimbulkan Ketidakpastian Usaha”, hlm. 18. 31. Ibid. 32. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1998), cet. 17, hlm. 22-25. 33. Subekti, Ibid., hlm. 64-78. 34. Mardjono Reksodiputro, “Renegosiasi Kontrak antara Pemerintah RI dengan Investor Asing: Retorika ataukah Kebijakan Rasional?”, suatu tulisan yang dipresentasikan pada acara Diskusi Publik tentang “Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan”, yang diadakan KHN pada tanggal 13 Juli 2011 di Jakarta. 35. Ibid. 252 36. Ibid. 37. Ibid. 38. Komisi Hukum Nasional dan National Legal Reform Program, Restatement atas Perjanjian Batal Demi Hukum (Null and Void) dalam Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2010), hlm. 12. 39. Ibid. 40. Ibid. 41. Ibid. 42. Ibid. 43. Mardjono Reksodiputro, Op. Cit. 44. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2009, (Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010), hlm. 179, bagian “Proses Perekrutan Sumber Daya Manusia di Mahkamah Agung”. 45. Ibid., hlm. 188, bagian “Calon Hakim”. 46. Komisi Hukum Nasional, Perekrutan dan Karir di Bidang Peradilan, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2002), hlm. 20. 47. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 48. Pasal 14A ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh MA dan KY”. 49. Transkrip Diskusi Publik KHN mengenai “Model Perekrutan Calon Hakim dan Peran Komisi Yudisial”, di Jakarta, tanggal 19 Juli 2011, dimana Karopeg MA, Bapak Aco Nur mengemukakan bahwa MA berusaha melibatkan KY dalam proses seleksi CPNS/Cakim pada tahun 2010 dalam hal melakukan wawancara mengenai Penguasan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 50. “Presentasi Bapak Taufiqurrohman Syahuri” dalam Diskusi Publik yang diadakan KHN mengenai “Model Perekrutan calon hakim dan Peran Komisi Yudisial”, di Jakarta, tanggal 19 Juli 2011. 51. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Hakim di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.” 52. “www.tempointeraktif, 4 Juni 2011, “Jimly Ashidiqie: Antasari Korban Peradilan Sesat”. 53. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial . 54. www.komisiyudisial.go.id, 27 Mei 2011, “KY Minta Dilibatkan Merekrut Hakim”. 55. “Presentasi Anggota Komisi Yudisial RI”, Bapak Taufiqurrohman Syahuri dalam Diskusi Publik yang diadakan KHN mengenai “Model Perekrutan calon hakim dan Peran Komisi Yudisial”, di Jakarta, tanggal 19 Juli 2011. 56. Presentasi Emerson Junto, dalam Diskusi Publik yang diadakan KHN mengenai “Model Perekrutan calon hakim dan Peran Komisi Yudisial”, di Jakarta, tanggal 19 Juli 2011. 57. Komisi Hukum Nasional, Op. Cit., hlm. 33. 58. Emerson Junto dalam presentasinya pada Diskusi Publik yang diadakan KHN mengenai “Model Perekrutan calon hakim dan Peran Komisi Yudisial”, di Jakarta, tanggal 19 Juli 2011, menyatakan bahwa dalam mengatasi permasalahan 210 orang calon hakim yang telah lulus seleksi pada tahun 2010, KY harus dilibatkan terutama dalam hal penilaian kode etik dan dalam penempatan calon hakim tersebut. 59. World Bank, World Development Indicators Database, suatu data yang terdapat di dalam www.worldbank.org, diterbitkan tahun 2009, yang diunduh pada tanggal 28 Juli 2011. 60. LSPR (Felix Jebarus dan A. Edi Aruman), Konglomerasi Media – Studi Kasus terhadap Praktik Manajemen pada Surat Kabar Lokal, suatu hasil penelitian yang dipresentasikan dalam 2nd Communication Research Conference, yang terdapat dalam situs www.lspr.edu, yang diunduh pada tanggal 26 April 2011. 61. www.reuters.com, 18 Juli 2011, Paul Sandle, “Quickguide to the News Corp Hacking Scandal”. 62. Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik atas Profesionalisme Wartawan, 2001, hlm. 3. 63. UU tersebut terlampir dalam Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik Atas Profesionalisme Wartawan, 2001, hlm. 205 - 214 64. www.globalization.icaap.org. Amerika Serikat, 2003. 65. Saldi Isra, “Selamatkan Jalan KPK”, suatu tulisan yang terdapat di situs www.saldiisra.web.id. dan www. seputarindonesia.com, pada tanggal 10 Juni 2010. 66. Transparansi Internasional (TI) Indonesia menyatakan Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia berada di poin 2,8. Kondisi ini masih sangat jauh tertinggal jika dibandingkan IPK negara tetangga seperti Singapura 3,9 dan Malaysia 4 serta Korea Selatan 5,4. Lihat www.detiknews.com., 7 November 2011, “Pemerintah Akui Indeks Persepsi-Korupsi Indonesia Lemah”. 67. Frans H Winarta, “Jangan Bubarkan KPK”, Kompas, 24 Oktober 2011. 68. Ibid.