BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Rumah Tangga yang Memiliki Suami Berpenghasilan Tidak Tetap 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Menurut (Ryff dalam Lianawati, 2008) memaparkan bahwa mengenai reinterpretasi pengalaman hidup, untuk dapat sejahtera secara psikologis individu tidak harus selalu mengalami peristiwa yang menyenangkan dalam hidupannya. Jika hal tersebut berlaku, maka hanyalah individu-individu yang mengalami peristiwa menyenangkan saja yang dapat mencapai sejahtera secara psikologis. Gagasan interpretasi tersebut menurut (Ryff dalam Lianawati, 2008) dapat membuka kemungkinan bagi individu yang tertekan untuk tetap sejahtera. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendekatan client centered Carl Rogers memandang manusia dilahirkan sebagai makhluk yang baik dengan potensi yang berfungsi secara penuh dari dalam dirinya, sehingga mengharapkan individu dalam keadaan apapun untuk dapat membawa dirinya bertingkah laku sehat dan seimbang, cenderung berusaha mengaktualisasikan diri untuk memperoleh sesuatu dan mempertahankannya (Laura, 2010). Sejahtera secara psikologis atau yang disebut dengan kesejahteraan psikologis individu, dalam hal ini individu dikatakan sejahtera secara menyeluruh tidak hanya terbebas dari sikap mental yang negatif, tetapi mengarah terhadap kemampuan individu untuk mengelola potensi yang ada dalam dirinya serta dapat mengembangkan potensi yang dimiliki untuk melangsungkan kehidupanya secara produktif (Ryff, 1989). Perkembangan penelitian yang mengkaji mengenai kesejahteraan psikologis individu diawali dari beberapa penelitian dari bidang ilmu psikologi yang berfokus terhadap ketidakbahagiaan dan penderitaan individu dari pada fungsi positif yang dimiliki oleh setiap individu (Jahoda dalam Ryff, 1989). Kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989) diartikan sebagai gambaran kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif, meliputi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan perkembangan pribadi. Sehubungan dengan hal di atas Ryff (1989) juga mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan sejauhmana individu memiliki tujuan didalam hidupnya, menyadari potensi yang dimiliki, memiliki kualitas hubungan dengan orang lain dan sejauhmana individu merasa bertanggung jawab dengan dirinya sendiri. Kesejahteraan psikologis menurut tokoh lain Wells (2010) merupakan pengembangan potensi manusia, berdasarkan teori dari Maslow dan Rogers yang berfokus terhadap aktualisasi diri dan pandangan orang yang berfungsi secara penuh oleh masing-masing individu sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan dan pemenuhan pribadi. Menurut Budiarti dkk (2015) kesejahteraan psikologis merupakan evaluasi kognitif dan afektif terhadap kehidupan. Cara pandang seseorang dan apa yang dialami serta dirasakan turut menjadi penentu dalam terbentuknya kesejahteraan psikologis. Beberapa penelitian yang berfokus dengan kesejahteraan psikologis mengarah pada individu yang memiliki latar belakang dengan situasi yang tertekan pada situasi dan kondisi kurang nyaman hal tersebut sejalan dengan pendapat (Jahoda dalam Ryff, 1989) salah satunya yaitu individu yang mengalami kesulitan finansial atau ekonomi. Dampak dari kesulitan ekonomi sangat di rasakan oleh golongan ekonomi menengah kebawah, sempitnya lapangan pekerjaan dan tingkat pengangguran sehingga memaksa kepala rumah tangga berkerja serabutan untuk menafkahi keluarganya dengan hasil yang diperoleh tidak tetap, hal tersebut secara langsung mauapun tidak langsung akan dirasakan oleh ibu rumah tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap. Kepala keluarga atau suami berpenghasilan tidak tetap adalah suami yang memiliki penghasilan tidak menentu. Hal tersebut dikarenakan dampak ekonomi yang tidak stabil serta berada dalalm golongan ekonomi menengah kebawah (Lestari, 2009). Kelas ekonomi golongan menengah kebawah yaitu yang memiliki pengeluaran dibawah Rp 1,5 juta perbulan (Noppiannor dalam Safitri, 2014). Seorang istri atau ibu rumah tangga harus dapat mengelola keuangan keluarga dengan benar, mengelola dan mengurus rumah tangga untuk mencapai kemakmuran di keluarga. Ketika pasangan diberkati dengan seorang anak, tanggung jawab istri akan meningkat, sebagai isteri dan seorang ibu, ibu harus mampu memberikan yang baik pendidikan untuk anakanak mereka, dan mengelola waktu mereka untuk menyelesaikan tugas rumah tangga mereka (Rosalinda, dkk 2013). Sejalan dengan tugas ibu rumah tangga dalam sebuah keluarga juga tidak terlepas dari tugas kepala keluarga untuk mencari nafkah menghidupi keluarganya melalui penghasilan yang diperolah. Penghasilan merupakan sarana kebutuhan yang harus diutamakan dalam berrumah tangga, namun sejalan dengan perkembangan ekonomi yang tidak stabil memberikan dampak terhadap lapangan kerja dengan penghasilan yang tidak tetap (Lestari, 2009). Berdasarkan uraian diatas kesejahteraan psikologis yaitu gambaran kesehatan psikologis yang dimiliki individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif mencakup kemampuan penerimaan diri mengenai kelebihan kekurangan dalam dirinya terhadap pengalaman masa lalu, mampu menjalin hubungan positif dengan orang lain, mempunyai otonomi dengan bertanggung jawab secara mandiri terhadap diri sendiri serta berhak menentukan nasib sendiri, mempunyai tujuan hidup dengan perasaan terarah yakin dan konsisten terhadap perencanaan yang sudah direncanakan sejak awal, mampu menguasai lingkungan sekitarnya dengan cara individu beradapatasi terhadap lingkungan ataupun merubah keadaan situasi lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan keadaan individu serta individu mampu mengambangkan potensi yang ada dalam dirinya. 2. Aspek-Aspek Kesejahteraan Psikologis Menurut Ryff (1989) aspek atau dimensi kesejahteraan psikologis terdiri dari 6 aspek kunci yaitu : a. Penerimaan diri (Self Acceptance) Individu yang memiliki penerimaan diri berarti individu tersebut memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengenali dan menerima segala aspek diri yang baik dan buruk serta merasa positif tentang masa lalunya. Penerimaan diri merupakan kriteria paling penting dalam kesejahteraan psikologis seseorang. Individu yang mampu menerima keadaan dirinya mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri, berani mengakui kesalahan dan selalu berusaha untuk koreksi diri atau intropeksi diri. b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relation with Others) Menggambarkan individu yang memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, dalam hal ini kemampuan individu ketika berinteraksi dengan individu lain, individu tersebut memiliki hubungan yang hangat, memuaskan, dan saling percaya satu sama lain, memperhatikan kesejahteraan orang sekitarnya, mampu berempati dan mengasihi serta terlibat dalam hubungan timbal balik. c. Otonomi (Autonomy) Individu yang otonomi berarti individu tersebut memiliki determinasi diri dan bebas menentukan nasibnya sendiri mampu mengatasi tekanan sosial dengan tetap berpikir dan bertindak sesuai dengan keyakinan, mengatur perilaku dari dalam diri mempunyai pengendalian diri, mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadi. Serta seseorang yang otonomi mempunyai keyakinan atau kepercayaan mendasar bahwa pikiran dan tindakan seseorang berasal dari dalam diri individu itu sendiri bukan ditentukan oleh kendali orang lain. d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Individu yang memiliki penguasaan lingkungan adalah individu yang mampu menguasai dan mengatur lingkungan sekitar tempat dimana individu itu berada, selain itu individu mampu mengontrol aktivitas dengan dunia luar yang kompleks, menggunakan kesempatan dalam hidupnya secara efektif, serta memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan konteks atau kondisi yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. Penguasaan lingkungan juga merupakan sebuah upaya yang dilakukan individu untuk memanipulasi lingkungan dengan situasi yang terjadi, baik dengan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar atau lingkungan di ubah sesuai dengan keadaan individu. Hal ini bertujuan individu bisa mengimbangi perubahan lingkungan yang bersifat dinamis dan kontinyu dalam masyarakat. e. Tujuan Hidup (Purpose in Life) Individu yang memiliki tujuan hidup adalah individu yang mempunyai perasaan terarah sehingga memiliki keyakinan terhadap hidupnya, mampu merasakan makna dari kehidupan yang telah dijalaninya dengan mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan masa sekarang. Ketika individu memiliki keyakinan terhadap tujuan hidupnya, maka individu akan konsisten dengan tujuan yang sudah direncanakan sebelumnya, sehingga individu akan berfokus terhadap usaha-usaha atau hal-hal yang dapat menunjang pencapaian tujuan hidup yang sudah direncanakan. f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth) Individu yang memiliki pertumbuhan diri akan merasakan perkembangan kehidupan yang berkelanjutan, melihat dirinya tumbuh dan berkembang, terbuka pada pengalaman baru dan memiliki kesadaran serta kemauan untuk selalu mengoreksi atau berbenah diri, menyadari potensi dalam dirinya serta melihat peningkatan dalam diri dan perilakunya secara kontinyu. Selain itu individu mampu dalam mengatasi hambatan eksternal yang dapat mengganggu keberlangsungan individu dalam menggali potensi dan mengembangkan kemampuan yang dimilki. Tokoh lain juga mengemukakan mengenai aspek kesejahteraan psikologis , Menurut Dayton dkk (2001) aspek yang menyusun kesejahteraan individu terdiri dari : a. Penerimaan (Acceptance) Pada aspek ini berfokus pada penerimaan diri individu terhadap kehidupan yang dijalaninya, baik penerimaan diri maupun menerima takdir hidupnya. Individu dengan penerimaan diri yang baik mampu mengelola kekurangan yang ada dalam dirinya serta mampu untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah diperoleh, selain itu individu akan bersikap lebih tenang ketika penerimaan dirinya posotif. b. Keselarasan (Harmony) Keselarasan berkaitan dengan kemapuan individu menjalin hubungan yang hangat dan konstruktif dengan orang lain, baik dengan keluarga, tetangga , teman sebaya dan masyarakat. Kesalarasan dalam aspek ini berfokus bagaimana individu bisa menjalin hubungan yang seimbang dengan orang lain saling support, memberikan feed beck serta sama-sama memberikan kontribusi untuk menjalin relasi yang lebih baik dengan banyak orang baik orang asing ataupun orang-orang disekitar. c. Interdependensi (Interdependance) Pada aspek interdependensi lebih menekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial, yaitu manusia akan saling bergantung satu sama lain dalam melangsungkan kehidupanya. Interdependensi melibatkan interaksi kompleks dan menyeluruh dalam membutuhkan bantuan, kemandirian, dan ketergantungan antara individu satu dengan yang lainnya. d. Kenikmatan (Enjoyment) Kenikmatan merupakan sebuah penilaian individu yang dirasa menyenangkan, yang dapat memberikan kepuasan secara lahir maupun batin dari apa yang diperoleh individu dalam menjalani hidup sehari-hari. Individu yang bisa menikmati hidup merasa hidupnya santai tidak terbebani meskipun dalam keadaan yang tidak menentu atau dalam keadaan tertekan. Kenikmatan yang diperoleh melalui hubungan individu dengan lingkungan sosialnya. e. Penghormatan (Respect) Penghormatan yang dimaksudkan disini adalah penghormatan dari orang lain. Hal tersebut dikarenakan penghormatan dari orang lain dibutuhkan sebagai eksistensi individu untuk diakui keberadaanya oleh lingkungan sekitarnya, baik didalam kelompok maupun dalam komunitas. Penghormatan juga ditekankan dalam penanaman moral atau nilai kehidupan dimasyarakat. Berdasarkan dari kedua tokoh yang telah mengemukakan aspek-aspek kesejahteraan psikologis dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kesejahteraan psikologis terdiri dari panerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, perkembangan pribadi, keselarasan, interdependensi, kenikmatan, dan penghormatan. Peneliti memilih menggunakan aspek-aspek kesejahteraan psikologis dari Ryff (1989) sebagai acuan penyusunan alat ukur untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan psikologis dikarenakan aspek-aspek ini lebih lengkap dan detail untuk mengungkap kesejahteraan psiklogis ibu rumah tangga yang memiliki suami berpenghsilan tidak tetap. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis Merujuk pada beberapa literatur dan hasil penelitian menurut (Sarason dkk dalam Baron & Byrne, 2005), (Ryff, Kayes & Shmotkin, 2002) Landa dkk (Safitri, 2014), Ryff (1989), Ryff (1995), (Argyle dalam Nasiruddin & Hadjam, 2003) dan Folkman (1984) faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah sebagai berikut : a.) Dukungan sosial Dukungan sosial (social support) merupakan kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain (Sarason dkk dalam Baron & Byrne, 2005). Dukungan sosial diberikan ketika individu mengalami stress dan sesuatu yang sangat efektif terlepas dari strategi mana yang digunakan untuk mengatasi stress (Frazier dkk dalam Baron & Byrne, 2005). Semakin tinggi dukungan sosial maka semakin baik kesejahteraan psikologis yang dirasakan, dan sebaliknya semakin rendah dukungan sosial yang diberikan maka mengindikasikan tekanan psikologis yang berpengaruh terhadap kesejateraan psikologis individu yang rendah (Jibeen dan Khalid dal amSari, 2015). b.) Kecerdasan Emosi Menurut (Landa dkk dalam Safitri, 2014) mengatakan bahwa individu yang mampu mengelola emosi dengan baik memiliki skor cukup tinggi dalam beberapa dimensi kesejahteraan psikologis yaitu penerimaan diri, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. c.) Makna Hidup Menurut Ryff (1989), pencapaian kesejahteraan psikologis pada individu dapat diketahui dengan meneliti berbagai pengalaman kehidupan dan bagaimana individu memberi makna atau arti dalam hidupnya. Setiap orang berkaitan dengan pemaknaan makna hidup pasti akan berbeda antara orang satu dengan yang lainnya dikarenakan pengalaman kehidupan seseorang juga berbeda. Individu dalam memaknai pengalaman hidupnnya atau menginterpretasi pengalaman hidupnya dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain, mengevaluasi umpan balik yang mereka terima dari orang disekitarnya atau orang terdekatnya, mencoba mengerti penyebab pengalaman mereka, dan mengambil makna yang penting dari beberapa pengalaman hidup yang pernah dialaminya. d.) Coping Strategi coping dikemukakan oleh Folkman (1984) sebagai bentuk usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan seseorang untuk mengatur tuntutan internal dan eksternal yang timbul dari hubungan individu dan lingkungan, yang dianggap mengganggu batas-batas yang dimiliki oleh individu tersebut. Menurut (Compas dkk dalam Baron & Byrne, 2005) coping terhadap stress adalah suatu proses yang terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama adalah Coping yang berpusat pada emosi (emotion-focused coping), yaitu usaha untuk mengurangi respon-respon emosional negatif yang muncul akibat dari suatu ancaman dan untuk meningkatkan afek-afek positif (Folkman & Moskowitz dalam Baron & Byrne, 2005). Pada tingkat kedua adalah coping yang berpusat pada masalah (problem-focused coping) yang melibatkan usaha untuk mengatasi ancaman itu sendiri dan untuk memperoleh kontrol terhadap situasi. e.) Status Pernikahan Menurut Ryff (1995) individu yang telah menikah lebih banyak memiliki emosi positif dari pada individu yang tidak menikah atau hidup sendiri, ketika individu yang sudah menikah dan hidup bersama membangun keluarga secara tidak langsung akan terjalin hubungan yang intim dikeluarga tersebut, seperti terjalinya rasa memiliki satu sama lain, saling support serta munculnya dukungan sosial dari keluarga itu sendiri, hal ini sejalan dengan pendapat (Smit dalam Christie dkk, 2013) wanita yang menikah memiliki tingkat dukungan emosional lebih tinggi dan tingkat depresi lebih rendah dibandingkan dengan wanita lajang. Sedangkan individu yang tidak menikah sering kali mengalami kesepian, karena kurangnya dukungan sosial. Individu yang merasa kesepian terisolasi, dan ditolak oleh lingkungan sosial menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dan rentan terhadap penyakit (Christie dkk, 2013). f.) Status Pendidikan Ryff, Shmotkin, dan Kayes (2002) mengemukakan bahwa wanita dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki skoor tinggi pada dimensi penerimaan diri dan tujuan dalam hidupnya, dibandingkan dengan wanita berpendidikan rendah. g.) Religiusitas Religiusitas berperan terhadap kesejahteraan psikologis terletak pada bukti dari penelitian yang dilakukan oleh (Argyle dalam Nasiruddin & Hadjam, 2003) yang menemukan bahwa religiusitas membantu individu mempertahankan kesehatan psikologis individu disaat-saat sulit. Terdapat dua cara bagaimana religiusitas mendukung terwujudnya kesejahteraan psikologis individu di saatsaat sulit, pertama, melalui dukungan sosial yang didapat melalui komunitas agamanya. Kedua dengan membantu individu untuk menemukan makna dari peristiwa yang dialaminya. Selain faktor-faktor di atas kesejahteraan psikologis juga dipengaruhi oleh faktor demografis yang dikemukakan oleh Ryff & Singer (1966) yaitu sebagai berikut : a. Usia Hasil penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh usia pada kesejahteraan psikologis terhadap responden usia dewasa muda (18-29 tahun), dewasa madya (30-64 tahun) dan lanjut usia (65 tahun keatas) menunjukan bahwa beberapa dimensi dari kesejahteraan psikologis yaitu penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukan pola yang meningkat sejalan dengan usia, lebih spesifiknya dari usia dewasa muda ke dewasa madya. Dimensi lain pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup menunjukan pola menurun khususnya dari dewasa madya ke lanjut usia. Hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri tidak menunjukan perbedaan yang signifikan bila ditinjau dari usia. b. Jenis Kelamin Wanita dari segala usai menilai kesejahteraan psikologis dirinya lebih tinggi dari pada pria dalam hal memiliki hubungan positif dengan orang lain dan juga pada dimensi perkembangan diri. c. Status Sosial Ekonomi Hasil penelitian (Wisconsin dalam Ryff & Singer, 1996) bertujuan untuk melihat pengaruh status sosial ekonomi terhadap kesejahteraan psikologis menunjukan bahwa individu yang mempunyai penghasilan dan jabatan tinggi menunjukan kesejahteraan psikologis yang lebih baik. d. Budaya Hasil penelitian kesejahteraan psikologis dari Ryff & Singer (1996) dengan memperhitungkan latar belakang budaya menunjukan bahwa sistem nilai individualism-kolektivisme berpengaruh terhadap dimensidimensi kesejahteraan psikologis suatu masyarakat. Masyarakat yang menganut sistem individualisme memiliki skor tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan perkembangan pribadi walaupun bernilai rendah pada dimensi otonomi. Sedangkan masyarakat yang menganut nilai kolektivisme mempunyai skor tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain namun berada dalam tingkat penerimaan diri dan perkembangan pribadi yang rendah. Berdasarkan uraian faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu diantaranya : dukungan sosial, kecerdasan emosi, makna hidup, coping, faktor demografis meliputi (Usia, Jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya). Peneliti memilih faktor coping sesuai dengan teori (Folkman, 1984) yaitu usaha yang dilakukan individu untuk keluar mencari solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi baik dari sisi internal maupun eksternal akibat dari hubungan individu dengan lingkungannya, khususnya strategi coping problem focused coping yang sesuai dengan hasil wawancara peneliti bahwa problem focused coping digunakan oleh ibu-ibu rumah tangga ketika menghadapi masalah dalam kehidupan keluarganya khususnya ketika mengalami himpitan ekonomi dan permasalahan yang lain. Coping dipilih oleh peneliti sejalan dengan penelitian (Karlsen dkk dalam Mawarpury, 2013) strategi coping berkontribusi positif terhadap kesejahteraan psikologis individu. B. Problem Focused Coping 1. Pengertian Problem Focused Coping Strategi coping dikemukakan oleh Folkman (1984) sebagai bentuk usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan seseorang untuk mengatur tuntutan internal dan eksternal yang timbul dari hubungan individu dengan lingkungan, yang dianggap menganggu batas-batas yang dimiliki oleh individu tersebut. Coping yang dimaksud terdiri dari pikiran-pikiran khusus dan perilaku yang digunakan individu untuk mengatur tuntutan dan tekanan yang timbul dari hubungan individu dengan lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan kesejahteraan. Chaplin (2004) mengartikan perilaku coping sebagai suatu tingkah laku dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas atau masalah. Tingkah laku coping merupakan suatu proses dinamis dari suatu pola tingkah laku maupun pikiranpikiran yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan dan menegangkan. Coping berfokus pada cara seseorang untuk mengatasi atau menghadapi ancaman-ancaman yang mengancam dirinya serta konsekuensi emosional yang timbul dari ancaman-ancaman tersebut (Taylor dalam Berney & Baron , 2005). Menurut (Berney dan Baron, 2005) juga mengungkapkan bahwa coping merupakan bentuk respon terhadap stress dengan cara mengurangi ancaman dan efeknya termasuk apa yang dilakukan, dirasakan, atau dipikirkan seseorang dalam rangka mengurangi atau menghadapi efekefek negatif dari situasi-situasi penuh tekanan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi coping adalah usaha yang terkonsep dalam fikiran seseorang kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan perilaku untuk mengatur tuntutan tekanan dari dalam maupun luar diri individu yang ditimbulkan dari efek interaksi individu dengan lingkungannya, yang dianggap mengancam keadaan individu sehingga menimbulkan ketegangan pada individu yang bersangkutan. Menurut (Compas dkk dalam Berney & Baron, 2005) coping yang berpusat pada masalah (problem-focused coping) yang melibatkan usaha untuk mengatasi ancaman itu sendiri dan untuk memperoleh kontrol terhadap situasi. Lazarus & Folkman (1985) Problem focused coping digunakan untuk mengontrol hal yang terjadi antara individu dengan lingkungan melalui pemecahan masalah, pembuatan keputusan dan tindakan langsung. Problem focused coping dapat diarahkan pada lingkungan maupun pada diri sendiri. Folkman (1984) menyatakan bahwa PFC juga dapat berupa pembuatan rencana tindakan, melaksanakan, mempertahankan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Berdasarkan uraian mengenai problem focused coping dapat ditarik kesimpulan problem focused coping merupakan strategi untuk menghadapi masalah secara langsung terhadap sumber permasalahan dengan melibatkan usaha untuk mengatasi ancaman dari permasalahan yang ditimbulkan dan untuk memperoleh kontrol terhadap situasi yang mengancam. 2. Aspek-Aspek Problem Focused Coping Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan beberapa aspek dalam Problem Focused Coping (PFC) yakni sebagai berikut : a. Countiousness (kehati-hatian) Yaitu individu berpikir dan mampu mempertimbangkan beberapa pemecahan masalah dengan melakukan pengambilan keputusan untuk memutuskan masalah dengan hati-hati, serta mengevaluasi strategistrategi yang pernah dilakukan sebelumnya atau meminta pendapat orang lain. Individu melakukan evalusi terhadap strategi yang pernah dilakukan dengan tujuan langkah atau strategi yang dilakukan benar-benar matang dan efektif untuk memecahkan masalah yang sedang hadapi. b. Instrumental action Yaitu usaha-usaha langsung individu dalam menemukan solusi permasalahannya serta menyusun langkah-langkah yang akan dilakukan. Ketika sudah menemukan solusi, individu dituntut berusaha semaksimal mungkin berupaya menggunakan kemampuan dan potensi yang dimiliki agar solusi yang dilakukan bisa tercapai. c. Negosiasi Merupakan salah satu taktik dalam PFC yang diarahkan langsung pada orang lain atau mengubah pikiran orang lain, melakukan diskusi, perundingan dan melakukan kesepakatan demi mendapatkan hal yang positif dari situasi yang problematik tersebut. Menurut tokoh lain (Carver, Scheier & Weintraub 1989) lain juga mengemukakan mengenai aspek problem focused coping terdiri dari 5 aspek yaitu: a. Active Coping Active coping (Koping aktif) mencakup memulai tindakan secara langsung meningkatkan usaha seseorang dan mencoba untuk melakukan coping dengan cara yang bijaksana. Selain itu juga merupakan upaya melakukan sesuatu dengan keras untuk menghilangkan atau menghindarkan diri dari stressor. Active coping sama juga halnya dengan coping konfrontif yaitu penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu untuk menangani distress yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi individu dengan menggunakan cara yang agresif dan berani mengambil resiko (Taylor, 2014). b. Planning (Merencanakan) Mencakup menghasilkan strategi-strategi tindakan, memikirkan langkah apa yang yang harus diambil dan cara terbaik untuk mengatasi masalah. Planning ini lebih terfokus terhadap perencanaan dalam melakukan upayaupaya coping aktif. Perencanaan yang dilakukan yaitu melakukan strategi tindakan, memikirkan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi masalah, dan mencari solusi masalah yang sedang dihadapi. c. Suppression of competing activities (Penekanan pada aktifitas bersaing) Merupakan suatu usaha untuk menghindari hal-hal yang dapat mengganggu fokus permasalahan dan merupakan upaya mengalihkan perhatian seseorang dari kegiatan lain yang dapat membuat orang terlibat agar bisa berkosentrasi secara penuh terhadap upaya mengatasi stressor. (Cerver dkk dalam Nurhayati, 2006) mengurangi aktifitas-aktifitas persaingan, berarti mengajukan rencana lain, mencoba menghindari gangguan orang lain, tetap membiarkan orang lain sebagai cara untuk menangani stressor. Seseorang mungkin mengurangi keterlibatan dalam aktifitas persaingan atau menahan diri dari perebutan sumber informasi, sebagai cara untuk memusatkan perhatian pada tantangan atau ancaman yang ada. d. Seeking social support for instrumental reason (Mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental) Meliputi mencari nasihat, bantuan dan informasi mengenai apa yang harus dilakukan oleh individu ketika menghadapi masalah. Individu berusaha mencari bantuan dari orang lain berupa dukungan, simpati dan pengertian dari orang lain. e. Restrain Coping (Koping Menahan) Restrain coping ini merupakan upaya coping secara pasif dengan menahan diri untuk melakukan upaya coping hingga upaya tersebut menjadi berguna. Cerver dkk (Nurhayati, 2006) pengendalian, yaitu menunggu kesempatan yang tepat untuk bertindak, menahan diri, dan tidak bertindak secara prematur. Pada dasarnya strategi ini tidak dianggap sebagai suatu strategi menghadapi masalah yang potensial, tetapi terkadang responnya cukup bermanfaat dan diperlukan untuk mengatasi tekanan, karena perilaku seseorang yang melakukan strategi pengendalian diri difokuskan untuk menghadapi tekanan secara efektif. Berdasarkan dari kedua tokoh yang telah mengemukakan aspek-aspek problem focused coping dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek problem focused coping terdiri Countiousness (kehati-hatian), Instrumental action, Negosiasi, Active coping, Planning, Supression of competing activities, Restraint Coping, Seeking social support for instrumental. Peneliti memilih menggunakan aspekaspek problem focused coping menurut tokoh (Carver, Scheier & Weintraub 1989) karena pada aspek ini lebih lengkap dan detail dijadikan alat ukur untuk mengungkap problem focused coping pada kesejahteraan psikologis ibu rumah tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap. C. Hubungan antara Problem Focused Coping dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Rumah Tangga yang Memiliki Suami Berpenghasilan Tidak Tetap Keadaan ekonomi menengah kebawah atau keadaan perekonomian keluarga yang tidak menentu dapat menbawa dampak buruk terhadap kesejahteraan psikologis individu, (Huppert dalam Sari, 2015). Kesejahteraan psikologis ibu rumah tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap akan terganggu karena penghasilan yang diperoleh dari suami tidak menentu sedangkan ibu rumah tangga dituntut untuk mengatur keuangan keluarga dengan sebaik mungkin demi mencapai kesejahteraan dalam keluarganya. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan (Dariyo dalam Raharjo, 2015) menyatakan bahwa kesejahteraan keluarga dimulai dari fondasi dasar untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang dapat dicapai melalui kondisi ekonomi yang baik. Kondisi yang mengancam atau menekan baik berupa tekanan ekonomi serta kelelahan dalam keseharianya mengurusi kegiatan rumah tangga yang dialami ibu rumah tangga, mereka cenderung hanya bersikap pasrah menerima keadaan perekonomian keluarganya, merasa putus asa ketika ingin membantu pendapatan suami, cenderung pesimis selain itu hubungan positif dengan orang lain ketika ditagih hutang oleh saudara ataupun tetangga hubungan yang terjalinn kurang berjalan dengan baik. Uraian tersebut didasarkan dari hasil observasi dan wawancara dilapangan, gambaran situasi dan kondisi yang dialami oleh IRT tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Mawarpury (2013) stres psikologis dan kesejahteraan dapat dipengaruhi oleh masyarakat, lingkungan sekitar, dan ketahanan individu secara mental dalam menghadapi kecemasan dan depresi. Kaitan antara kesejahteraan psikologis dengan depresi atau masalah psikologis lain yaitu pada efek negatif psikis yang dialami individu tersebut akan menghambat perkembangan dirinya dan dapat mengakibatkan timbulnya ketidakberdayaan diri sehingga menerima keadaan apa adanya tanpa ada usaha dari diri sendiri. Menurut ahli, kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah strategi coping problem focused coping (Folkman, 1984). Problem focused coping digunakan untuk mengontrol hal yang terjadi antara individu dengan lingkungan melalui pemecahan masalah, pembuatan keputusan dan tindakan langsung yaitu berfokus mencari jalan keluar dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Problem focused coping memiliki lima aspek menurut (Carver, dkk 1989). Aspek pertama dalam problem focused coping adalah active coping, yaitu mengambil tindakan aktif untuk mencoba menghilangkan atau mengelak dari sumber stress dengan tujuan memperbaiki akibat yang ditimbulkan dari sumber stress. Active coping berupa tindakan memulai aksi coping secara langsung, meningkatkan suatu upaya, dan mencoba melaksanakan usaha coping dengan cara yang sewajarnya atau lazim (Carver dkk, 1989). Ketika individu menggunakan coping secara aktif, individu tersebut berupaya langsung mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi. Ibu rumah tangga yang mengalami permasalahan keuangan akibat pendapatan yang tidak menentu dari suami, dapat mencari cara agar kebutuhan ekonomi masih tetap dapat terpenuhi. Pemecahan masalah secara langsung dapat melibatkan kemampuan berhubungan positif dengan orang lain yaitu dengan cara hubungan yang konstruktif, ramah, hangat serta terjadinya timbal balik. Ketika ibu rumah tangga mendapatkan masalah mereka dapat meminta bantuan orang-orang di sekitarnya dengan harapan mereka dapat mencari solusi dan memecahkan masalahnya dengan baik, ketika permasalahan sudah terselesaikan perasaan lega tenang dan nyaman akan muncul. Hal ini sesuai dengan penelitian Rodriguez (2011) yang menyebutkan bahwa hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri yang merupakan parameter kesejahteraan psikologis memiliki hubungan signifikan dengan coping konfrontif. Coping konfrontif merupakan active coping yaitu pemecahan masalah secara langsung berfokus terhadap sumber permasalahan (Smet, 1994). Aspek kedua perencanaan atau Planning yaitu merencanakan suatu strategi dengan tujuan untuk menghilangkan dan mengatasi stress yang sedang dihadapi melibatkan tindakan yang teliti, berhati-hati, bertahap dan analitis (Carver dkk, 1989). Dalam melakukan penyelesaian masalah, ibu rumah tangga dapat mempersiapkan perencanaan atau strategi yang bertujuan dapat membantu memperoleh solusi untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Langkah strategi yang dapat direncanakan untuk menanggulangi permaslahan kesulitan ekonomi ketika keuangan tidak menentu, para ibu rumah tangga mengelola keuangan dengan hemat dan memprioritaskan kebutuhan yang utama untuk dipenuhi. Pada aspek ini berkaitan dengan aspek tujuan hidup bahwa individu yang mempunyai perasaan terarah sehingga memiliki keyakinan terhadap hidupnya, diantaranya mampu merasakan makna dari kehidupan yang telah dijalaninya. Ibu rumah tangga yang melakukan perencanaan atau mempunyai strategi pemecahan masalah, berkaitan bahwa ibu rumah tangga masih mempunyai keyakinan untuk berjuang hidup, berusaha mensiasati kondisi yang serba kekurangan untuk dapat tetap dijalani dan dilaluinya. Hal ini sejalan dengan penelitian (Rodriguez, 2011) yang menyatakan bahwa planful problem solving atau perencanaan pemecahan masalah berhubungan positif hubungan positif dengan orang lain dan tujuan hidup yang merupakan aspek dari kesejahteraan psikologis. Aspek ketiga yaitu penekanan pada aktifitas bersaing Suppression of competing activities berusaha untuk menghindari dan megesampingkan hal-hal lain yang tidak berkontribusi dengan permasalahan yang sedang diselesaikan atau dipecahkan. Hal tersebut dilakukan agar individu lebih bisa fokus dan berkontribusi dengan permasalahan yang sedang dihadapi (Carver dkk, 1989). Ketika mengalami masalah dalam kehidupan kesehariannya baik yang berkaitan dalam pemenuhan kebutuhan, atau masalah dalam rumah tangga yang lain, ibu rumah tangga dapat berusaha untuk menghindari hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pemecahan masalah yang akan dilakukan untuk menemukan solusi. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan ibu rumah tangga menyesuaikan situasi dan kondisi dengan lingkungan agar terfokus dengan pemecahan masalah, jadi ketika ibu rumah tangga menghindari hal-hal yang tidak berhubungan dengan pemecahan masalah, ibu rumah tangga dapat menggunakan kemampuan penguasaan lingkungnya dengan baik. Dengan demikian ibu rumah tangga bisa menghindari hal-hal yang tidak mendukung dari lingkungan yang dapat menghambat dalam proses mencari solusi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rodriguez (2011) dalam studinya menyebutkan bahwa Coping menjauh (distancing) atau sama halnya dengan suppression of competing activities berhubungan dengan otonomi dan penguasaan lingkungan. Aspek keempat Mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental (Seeking social support for instrumental reason) berusaha untuk mendapatkan bantuan informasi, bimbingan atau saran dari orang lain (Carver dkk, 1989). Ketika para ibu rumah tangga mendapati suatu permasalahan cenderung untuk mencari bantuan terhadap orang lain, yaitu dengan mencari solusi , meminta nasihat dan pendapat dari orang lain terutama keluarga baik dari suami maupun orang tua dan tetangga, pernyataan tersebut sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan subjek. Pada aspek ini berkaitan dengan aspek penguasaan lingkungan yaitu ketika individu mampu mampu melakukan penguasaan lingkungan dengan baik, dengan cara individu yang menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, ataupun individu membuat keadaan lingkungan sekitar sesuai dengan kebutuhan individu. Ketika ibu rumah tangga membutuhkan informasi, nasihat bantuan dukungan dari orang-orang sekitar, ibu rumah tangga dapat mencarinya dari lingkungan sekitar, misalnya dari tetangga saudara dst, semisal ibu rumah tangga membutuhkan bantuan nasihat maka ibu rumah tangga akan meminta nasihat dari lingkungan agar sesuai dengan kebutuhannya yaitu mencari solusi dari masalah yang sedang dihadapi seperti halnya permasalahan kesulitan ekonomi. Hal ini sejalan dengan penelitian Rodriguez (2011) yang menyatakan bahwa seeking sosial support for instrumental atau sama halnya dengan dukungan sosial berhubungan dengan otonomi, penguasaan lingkungan dan penerimaan diri yang merupakan aspek dari kesejahteraan psikologis. Aspek kelima Restrain Coping atau coping menahan menunda pelaksanaan kegiatan sampai saat yang tepat, tidak tergesa-gesa melakukan kegiatan yang berkontribusi terhadap pemecahan masalah (Carver dkk, 1989). Ketika para ibu rumah tangga mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi, para ibu memikirkannya dengan matang-matang, menimbang- nimbang terlebih dahulu mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan konsekuensi yang siap untuk dihadapi. Pernyataan tersebut diperoleh peneliti dari hasil wawancara dengan subjek. Aspek ini berkaitan dengan aspek otonomi yaitu individu secara mandiri bebas menentukan nasibnya sendiri, mampu mengatasi tekanan sosial, berpikir dan bertindak sesuai dengan keyakinan dan mampu melakukan pengendalian diri. Ketika ibu rumah tangga mencari solusi untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi, kemampuan seperti mampu untuk bertindak dan berpikir sesuai dengan keyakinanya serta melakukan introprksi diri akan berpengaruh terhadap langkahlangkah pengambilan keputusan secara hati-hati dan teliti, berkitan dengan pemecahan masalah yang tidak tergesa-gesa berhubungan dengan kemampuan sesorang mampu mengontrol atau mengendalikan dirinya, harapannya solusi yang didapatkan bisa efektif untuk memecahkan permasalahan. Hal ini sejalan dengan penelitian Rodriguez (2011) yang menyatakan bahwa Coping kontrol diri atau restrain coping berhubungan dengan otonomi, penguasaan lingkungan dan penerimaan diri yang merupakan aspek dari kesejahteraan psikologis. Dinamika permasalahan yang telah dijelaskan oleh penelitian diatas juga telah dibuktikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya bahwa coping berkontribusi positif dengan kesejahteraaan psikologis seseorang. Hal tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mawarpury (2013) dengan judul penelitian Coping Sebagai Prediktor Kesejahteraan Psikologis: Studi Meta Analisis, strategi coping berkontribusi positif terhadap kesejahteraan psikologis individu. Penelitian lain yang dilakukan oleh Angreani dan Cahyanti (2012) dengan judul Perbedaan Psychological Well-Being Pada Penderita Diabetes Tipe 2 Usia Dewasa Madya Ditinjau dari Strategi Coping dengan hasil penelitian bahwa kedua strategi coping (Emotional Focused Coping dan Problem focused coping) tidak menunjukan perbedaan, keduanya sama-sama memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes tipe 2. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Rodriguez (2011) dengan judul penelitian Psychological Well-Being and Coping Mechanisme of Battered Women dengan hasil penelitian bahwa antara kesejahteraan psikologis dan mekanisme coping terdapat korelasi tetapi terhadap permasalahan atau kekuatan tertentu. Perbedaan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yaitu terletak pada karakteristik subjek dan variabel bebasnya atau variabel yang memberikan pengaruh terhadap variabel tergantung. Karakteristik subjek pada penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap, sedangkan variabel bebasnya adalah problem focused coping. Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa strategi coping problem focused coping yang digunakan oleh ibu rumah tangga berkorelasi positif terhadap kesejahteraan psikologis ibu rumah tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap. Hal tersebut dapat terjadi karena problem focused coping berupa active coping (Coping aktif), Planning (Merencanakan), Suprression of competing activities (Penekanan pada aktifitas bersaing), Seeking social support for instrumental reason (Mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental), Restrain Coping (Koping Menahan) mampu meningkatkan penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan perkembangan pribadi. D. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara Problem Focused Coping dengan kesejahteraan psikologis ibu rumah tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap. Semakin tinggi tingkat Problem Focused Coping maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis ibu rumah tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap Sebaliknya semakin rendah problem focused coping maka akan semakin rendah pula kesejahteraan psikologis ibu rumah tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap.