BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Rumah Tangga yang Memiliki Suami
Berpenghasilan Tidak Tetap
1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis
Menurut (Ryff dalam Lianawati, 2008) memaparkan bahwa mengenai
reinterpretasi pengalaman hidup, untuk dapat sejahtera secara psikologis
individu tidak harus selalu mengalami peristiwa yang menyenangkan dalam
hidupannya. Jika hal tersebut berlaku, maka hanyalah individu-individu yang
mengalami peristiwa menyenangkan saja yang dapat mencapai sejahtera
secara psikologis. Gagasan interpretasi tersebut menurut (Ryff dalam
Lianawati, 2008) dapat membuka kemungkinan bagi individu yang tertekan
untuk tetap sejahtera.
Pernyataan tersebut sesuai dengan pendekatan client centered Carl
Rogers memandang manusia dilahirkan sebagai makhluk yang baik dengan
potensi yang berfungsi secara penuh dari dalam dirinya, sehingga
mengharapkan individu dalam keadaan apapun untuk dapat membawa dirinya
bertingkah laku sehat dan seimbang, cenderung berusaha mengaktualisasikan
diri untuk memperoleh sesuatu dan mempertahankannya (Laura, 2010).
Sejahtera secara psikologis atau yang disebut dengan kesejahteraan
psikologis individu, dalam hal ini individu dikatakan sejahtera secara
menyeluruh tidak hanya terbebas dari sikap mental yang negatif, tetapi
mengarah terhadap kemampuan individu untuk mengelola potensi yang ada
dalam dirinya serta dapat mengembangkan potensi yang dimiliki untuk
melangsungkan kehidupanya secara produktif (Ryff, 1989). Perkembangan
penelitian yang mengkaji mengenai kesejahteraan psikologis individu diawali
dari beberapa penelitian dari bidang ilmu psikologi yang berfokus terhadap
ketidakbahagiaan dan penderitaan individu dari pada fungsi positif yang
dimiliki oleh setiap individu (Jahoda dalam Ryff, 1989).
Kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989) diartikan sebagai
gambaran kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria
fungsi psikologi positif, meliputi penerimaan diri, hubungan positif dengan
orang lain, otonomi, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan perkembangan
pribadi. Sehubungan dengan hal di atas Ryff (1989) juga mengungkapkan
bahwa kesejahteraan psikologis merupakan sejauhmana individu memiliki
tujuan didalam hidupnya, menyadari potensi yang dimiliki, memiliki kualitas
hubungan dengan orang lain dan sejauhmana individu merasa bertanggung
jawab dengan dirinya sendiri.
Kesejahteraan psikologis menurut tokoh lain Wells (2010) merupakan
pengembangan potensi manusia, berdasarkan teori dari Maslow dan Rogers
yang berfokus terhadap aktualisasi diri dan pandangan orang yang berfungsi
secara penuh oleh masing-masing individu sebagai cara untuk mencapai
kesejahteraan dan pemenuhan pribadi. Menurut Budiarti dkk (2015)
kesejahteraan psikologis merupakan evaluasi kognitif dan afektif terhadap
kehidupan. Cara pandang seseorang dan apa yang dialami serta dirasakan
turut menjadi penentu dalam terbentuknya kesejahteraan psikologis.
Beberapa penelitian yang berfokus dengan kesejahteraan psikologis
mengarah pada individu yang memiliki latar belakang dengan situasi yang
tertekan pada situasi dan kondisi kurang nyaman hal tersebut sejalan dengan
pendapat (Jahoda dalam Ryff, 1989) salah satunya yaitu individu yang
mengalami kesulitan finansial atau ekonomi. Dampak dari kesulitan ekonomi
sangat di rasakan oleh golongan ekonomi menengah kebawah, sempitnya
lapangan pekerjaan dan tingkat pengangguran sehingga memaksa kepala
rumah tangga berkerja serabutan untuk menafkahi keluarganya dengan hasil
yang diperoleh tidak tetap, hal tersebut secara langsung mauapun tidak
langsung akan dirasakan oleh ibu rumah tangga yang memiliki suami
berpenghasilan tidak tetap.
Kepala keluarga atau suami berpenghasilan tidak tetap adalah suami
yang memiliki penghasilan tidak menentu. Hal tersebut dikarenakan dampak
ekonomi yang tidak stabil serta berada dalalm golongan ekonomi menengah
kebawah (Lestari, 2009). Kelas ekonomi golongan menengah kebawah yaitu
yang memiliki pengeluaran dibawah Rp 1,5 juta perbulan (Noppiannor dalam
Safitri, 2014).
Seorang istri atau ibu rumah tangga harus dapat mengelola keuangan
keluarga dengan benar, mengelola dan mengurus rumah tangga untuk
mencapai kemakmuran di keluarga. Ketika pasangan diberkati dengan
seorang anak, tanggung jawab istri akan meningkat, sebagai isteri dan
seorang ibu, ibu harus mampu memberikan yang baik pendidikan untuk anakanak mereka, dan mengelola waktu mereka untuk menyelesaikan tugas rumah
tangga mereka (Rosalinda, dkk 2013). Sejalan dengan tugas ibu rumah tangga
dalam sebuah keluarga juga tidak terlepas dari tugas kepala keluarga untuk
mencari nafkah menghidupi keluarganya melalui penghasilan yang diperolah.
Penghasilan merupakan sarana kebutuhan yang harus diutamakan dalam
berrumah tangga, namun sejalan dengan perkembangan ekonomi yang tidak
stabil memberikan dampak terhadap lapangan kerja dengan penghasilan yang
tidak tetap (Lestari, 2009).
Berdasarkan uraian diatas kesejahteraan psikologis yaitu gambaran
kesehatan psikologis yang dimiliki individu berdasarkan pemenuhan kriteria
fungsi psikologi positif mencakup kemampuan penerimaan diri mengenai
kelebihan kekurangan dalam dirinya terhadap pengalaman masa lalu, mampu
menjalin hubungan positif dengan orang lain, mempunyai otonomi dengan
bertanggung jawab secara mandiri terhadap diri sendiri serta berhak
menentukan nasib sendiri, mempunyai tujuan hidup dengan perasaan terarah
yakin dan konsisten terhadap perencanaan yang sudah direncanakan sejak
awal, mampu menguasai lingkungan sekitarnya dengan cara individu
beradapatasi terhadap lingkungan ataupun merubah keadaan situasi
lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan keadaan individu serta individu
mampu mengambangkan potensi yang ada dalam dirinya.
2. Aspek-Aspek Kesejahteraan Psikologis
Menurut Ryff (1989) aspek atau dimensi kesejahteraan psikologis terdiri dari
6 aspek kunci yaitu :
a.
Penerimaan diri (Self Acceptance)
Individu yang memiliki penerimaan diri berarti individu tersebut
memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengenali dan menerima
segala aspek diri yang baik dan buruk serta merasa positif tentang masa
lalunya. Penerimaan diri merupakan kriteria paling penting dalam
kesejahteraan psikologis seseorang. Individu yang mampu menerima
keadaan dirinya mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri, berani
mengakui kesalahan dan selalu berusaha untuk koreksi diri atau
intropeksi diri.
b.
Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relation with Others)
Menggambarkan individu yang memiliki hubungan yang positif
dengan orang lain, dalam hal ini kemampuan individu ketika berinteraksi
dengan individu lain, individu tersebut memiliki hubungan yang hangat,
memuaskan, dan saling percaya satu sama lain, memperhatikan
kesejahteraan orang sekitarnya, mampu berempati dan mengasihi serta
terlibat dalam hubungan timbal balik.
c. Otonomi (Autonomy)
Individu yang otonomi berarti individu tersebut memiliki
determinasi diri dan bebas menentukan nasibnya sendiri mampu
mengatasi tekanan sosial dengan tetap berpikir dan bertindak sesuai
dengan keyakinan, mengatur perilaku dari dalam diri mempunyai
pengendalian diri, mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadi. Serta
seseorang yang otonomi mempunyai keyakinan atau kepercayaan
mendasar bahwa pikiran dan tindakan seseorang berasal dari dalam diri
individu itu sendiri bukan ditentukan oleh kendali orang lain.
d.
Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Individu yang memiliki penguasaan lingkungan adalah individu
yang mampu menguasai dan mengatur lingkungan sekitar tempat dimana
individu itu berada, selain itu individu mampu mengontrol aktivitas
dengan dunia luar yang kompleks, menggunakan kesempatan dalam
hidupnya secara efektif, serta memiliki kemampuan untuk memilih dan
menciptakan konteks atau kondisi yang sesuai dengan kebutuhan dan
nilai pribadi.
Penguasaan lingkungan juga merupakan sebuah upaya yang
dilakukan individu untuk memanipulasi lingkungan dengan situasi yang
terjadi, baik dengan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitar atau lingkungan di ubah sesuai dengan keadaan individu. Hal ini
bertujuan individu bisa mengimbangi perubahan lingkungan yang
bersifat dinamis dan kontinyu dalam masyarakat.
e. Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Individu yang memiliki tujuan hidup adalah individu yang
mempunyai perasaan terarah sehingga memiliki keyakinan terhadap
hidupnya, mampu merasakan makna dari kehidupan yang telah
dijalaninya dengan mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan masa
sekarang. Ketika individu memiliki keyakinan terhadap tujuan hidupnya,
maka individu akan konsisten dengan tujuan yang sudah direncanakan
sebelumnya, sehingga individu akan berfokus terhadap usaha-usaha atau
hal-hal yang dapat menunjang pencapaian tujuan hidup yang sudah
direncanakan.
f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)
Individu yang memiliki pertumbuhan diri akan merasakan
perkembangan kehidupan yang berkelanjutan, melihat dirinya tumbuh
dan berkembang, terbuka pada pengalaman baru dan memiliki kesadaran
serta kemauan untuk selalu mengoreksi atau berbenah diri, menyadari
potensi dalam dirinya serta melihat peningkatan dalam diri dan
perilakunya secara kontinyu. Selain itu individu mampu dalam mengatasi
hambatan eksternal yang dapat mengganggu keberlangsungan individu
dalam menggali potensi dan mengembangkan kemampuan yang dimilki.
Tokoh lain juga mengemukakan mengenai aspek kesejahteraan psikologis ,
Menurut Dayton dkk (2001) aspek yang menyusun kesejahteraan individu terdiri
dari :
a. Penerimaan (Acceptance)
Pada aspek ini berfokus pada penerimaan diri individu terhadap
kehidupan yang dijalaninya, baik penerimaan diri maupun menerima
takdir hidupnya. Individu dengan penerimaan diri yang baik mampu
mengelola kekurangan yang ada dalam dirinya serta mampu untuk selalu
bersyukur atas nikmat yang telah diperoleh, selain itu individu akan
bersikap lebih tenang ketika penerimaan dirinya posotif.
b. Keselarasan (Harmony)
Keselarasan berkaitan dengan kemapuan individu menjalin
hubungan yang hangat dan konstruktif dengan orang lain, baik dengan
keluarga, tetangga , teman sebaya dan masyarakat. Kesalarasan dalam
aspek ini berfokus bagaimana individu bisa menjalin hubungan yang
seimbang dengan orang lain saling support, memberikan feed beck serta
sama-sama memberikan kontribusi untuk menjalin relasi yang lebih baik
dengan banyak orang baik orang asing ataupun orang-orang disekitar.
c. Interdependensi (Interdependance)
Pada aspek interdependensi lebih menekankan pada hakikat
manusia sebagai makhluk sosial, yaitu manusia akan saling bergantung
satu sama lain dalam melangsungkan kehidupanya. Interdependensi
melibatkan interaksi kompleks dan menyeluruh dalam membutuhkan
bantuan, kemandirian, dan ketergantungan antara individu satu dengan
yang lainnya.
d. Kenikmatan (Enjoyment)
Kenikmatan merupakan sebuah penilaian individu yang dirasa
menyenangkan, yang dapat memberikan kepuasan secara lahir maupun
batin dari apa yang diperoleh individu dalam menjalani hidup sehari-hari.
Individu yang bisa menikmati hidup merasa hidupnya santai tidak
terbebani meskipun dalam keadaan yang tidak menentu atau dalam
keadaan tertekan. Kenikmatan yang diperoleh melalui hubungan individu
dengan lingkungan sosialnya.
e. Penghormatan (Respect)
Penghormatan yang dimaksudkan disini adalah penghormatan dari
orang lain. Hal tersebut dikarenakan penghormatan dari orang lain
dibutuhkan sebagai eksistensi individu untuk diakui keberadaanya oleh
lingkungan sekitarnya, baik didalam kelompok maupun dalam komunitas.
Penghormatan juga ditekankan dalam penanaman moral atau nilai
kehidupan dimasyarakat.
Berdasarkan dari kedua tokoh yang telah mengemukakan aspek-aspek
kesejahteraan psikologis dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kesejahteraan
psikologis terdiri dari panerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain,
kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, perkembangan pribadi,
keselarasan, interdependensi, kenikmatan, dan penghormatan. Peneliti memilih
menggunakan aspek-aspek kesejahteraan psikologis dari Ryff (1989) sebagai
acuan penyusunan alat ukur untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat
kesejahteraan psikologis dikarenakan aspek-aspek ini lebih lengkap dan detail
untuk mengungkap kesejahteraan psiklogis ibu rumah tangga yang memiliki
suami berpenghsilan tidak tetap.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Merujuk pada beberapa literatur dan hasil penelitian menurut (Sarason dkk
dalam Baron & Byrne, 2005), (Ryff, Kayes & Shmotkin, 2002) Landa dkk
(Safitri, 2014), Ryff (1989), Ryff (1995), (Argyle dalam Nasiruddin &
Hadjam, 2003) dan Folkman (1984) faktor-faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan psikologis adalah sebagai berikut :
a.) Dukungan sosial
Dukungan sosial (social support) merupakan kenyamanan fisik dan
psikologis yang diberikan oleh orang lain (Sarason dkk dalam Baron &
Byrne, 2005). Dukungan sosial diberikan ketika individu mengalami stress
dan sesuatu yang sangat efektif terlepas dari strategi mana yang digunakan
untuk mengatasi stress (Frazier dkk dalam Baron & Byrne, 2005).
Semakin tinggi dukungan sosial maka semakin baik kesejahteraan
psikologis yang dirasakan, dan sebaliknya semakin rendah dukungan
sosial yang diberikan maka mengindikasikan tekanan psikologis yang
berpengaruh terhadap kesejateraan psikologis individu yang rendah
(Jibeen dan Khalid dal amSari, 2015).
b.) Kecerdasan Emosi
Menurut (Landa dkk dalam Safitri, 2014) mengatakan bahwa
individu yang mampu mengelola emosi dengan baik memiliki skor cukup
tinggi dalam beberapa dimensi kesejahteraan psikologis yaitu penerimaan
diri, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
c.) Makna Hidup
Menurut Ryff (1989), pencapaian kesejahteraan psikologis pada
individu dapat diketahui dengan meneliti berbagai pengalaman kehidupan
dan bagaimana individu memberi makna atau arti dalam hidupnya. Setiap
orang berkaitan dengan pemaknaan makna hidup pasti akan berbeda antara
orang satu dengan yang lainnya dikarenakan pengalaman kehidupan
seseorang juga berbeda. Individu dalam memaknai pengalaman hidupnnya
atau menginterpretasi pengalaman hidupnya dengan cara membandingkan
dirinya dengan orang lain, mengevaluasi umpan balik yang mereka terima
dari orang disekitarnya atau orang terdekatnya, mencoba mengerti
penyebab pengalaman mereka, dan mengambil makna yang penting dari
beberapa pengalaman hidup yang pernah dialaminya.
d.) Coping
Strategi coping dikemukakan oleh Folkman (1984) sebagai bentuk
usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan seseorang untuk mengatur
tuntutan internal dan eksternal yang timbul dari hubungan individu dan
lingkungan, yang dianggap mengganggu batas-batas yang dimiliki oleh
individu tersebut.
Menurut (Compas dkk dalam Baron & Byrne, 2005) coping
terhadap stress adalah suatu proses yang terdiri dari dua tingkat. Tingkat
pertama adalah Coping yang berpusat pada emosi (emotion-focused
coping), yaitu usaha untuk mengurangi respon-respon emosional negatif
yang muncul akibat dari suatu ancaman dan untuk meningkatkan afek-afek
positif (Folkman & Moskowitz dalam Baron & Byrne, 2005). Pada tingkat
kedua adalah coping yang berpusat pada masalah (problem-focused
coping) yang melibatkan usaha untuk mengatasi ancaman itu sendiri dan
untuk memperoleh kontrol terhadap situasi.
e.) Status Pernikahan
Menurut Ryff (1995) individu yang telah menikah lebih banyak
memiliki emosi positif dari pada individu yang tidak menikah atau hidup
sendiri, ketika individu yang sudah menikah dan hidup bersama
membangun keluarga secara tidak langsung akan terjalin hubungan yang
intim dikeluarga tersebut, seperti terjalinya rasa memiliki satu sama lain,
saling support serta munculnya dukungan sosial dari keluarga itu sendiri,
hal ini sejalan dengan pendapat (Smit dalam Christie dkk, 2013) wanita
yang menikah memiliki tingkat dukungan emosional lebih tinggi dan
tingkat depresi lebih rendah dibandingkan dengan wanita lajang.
Sedangkan individu yang tidak menikah sering kali mengalami kesepian,
karena kurangnya dukungan sosial. Individu yang merasa kesepian
terisolasi, dan ditolak oleh lingkungan sosial menunjukkan tingkat
kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dan rentan terhadap penyakit
(Christie dkk, 2013).
f.) Status Pendidikan
Ryff, Shmotkin, dan Kayes (2002) mengemukakan bahwa wanita
dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki skoor tinggi pada dimensi
penerimaan diri dan tujuan dalam hidupnya, dibandingkan dengan wanita
berpendidikan rendah.
g.) Religiusitas
Religiusitas berperan terhadap kesejahteraan psikologis terletak
pada bukti dari penelitian yang dilakukan oleh (Argyle dalam Nasiruddin
& Hadjam, 2003) yang menemukan bahwa religiusitas membantu
individu mempertahankan kesehatan psikologis individu disaat-saat sulit.
Terdapat dua cara bagaimana religiusitas mendukung terwujudnya
kesejahteraan psikologis individu di saatsaat sulit, pertama, melalui
dukungan sosial yang didapat melalui komunitas agamanya. Kedua
dengan membantu individu untuk menemukan makna dari peristiwa yang
dialaminya.
Selain faktor-faktor di atas kesejahteraan psikologis juga
dipengaruhi oleh faktor demografis yang dikemukakan oleh Ryff & Singer
(1966) yaitu sebagai berikut :
a. Usia
Hasil penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh usia pada
kesejahteraan psikologis terhadap responden usia dewasa muda (18-29
tahun), dewasa madya (30-64 tahun) dan lanjut usia (65 tahun keatas)
menunjukan bahwa beberapa dimensi dari kesejahteraan psikologis
yaitu penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukan pola yang
meningkat sejalan dengan usia, lebih spesifiknya dari usia dewasa
muda ke dewasa madya. Dimensi lain pertumbuhan pribadi dan tujuan
hidup menunjukan pola menurun khususnya dari dewasa madya ke
lanjut usia. Hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri
tidak menunjukan perbedaan yang signifikan bila ditinjau dari usia.
b. Jenis Kelamin
Wanita dari segala usai menilai kesejahteraan psikologis dirinya
lebih tinggi dari pada pria dalam hal memiliki hubungan positif dengan
orang lain dan juga pada dimensi perkembangan diri.
c. Status Sosial Ekonomi
Hasil penelitian (Wisconsin dalam Ryff & Singer, 1996) bertujuan
untuk melihat pengaruh status sosial ekonomi terhadap kesejahteraan
psikologis menunjukan bahwa individu yang mempunyai penghasilan
dan jabatan tinggi menunjukan kesejahteraan psikologis yang lebih
baik.
d. Budaya
Hasil penelitian kesejahteraan psikologis dari Ryff & Singer (1996)
dengan memperhitungkan latar belakang budaya menunjukan bahwa
sistem nilai individualism-kolektivisme berpengaruh terhadap dimensidimensi kesejahteraan psikologis suatu masyarakat. Masyarakat yang
menganut sistem individualisme memiliki skor tinggi dalam dimensi
penerimaan diri dan perkembangan pribadi walaupun bernilai rendah
pada dimensi otonomi. Sedangkan masyarakat yang menganut nilai
kolektivisme mempunyai skor tinggi pada dimensi hubungan positif
dengan orang lain namun berada dalam tingkat penerimaan diri dan
perkembangan pribadi yang rendah.
Berdasarkan
uraian
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi
kesejahteraan psikologis yaitu diantaranya : dukungan sosial, kecerdasan
emosi, makna hidup, coping, faktor demografis meliputi (Usia, Jenis
kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya). Peneliti memilih faktor
coping sesuai dengan teori (Folkman, 1984) yaitu usaha yang dilakukan
individu untuk keluar mencari solusi dari permasalahan yang sedang
dihadapi baik dari sisi internal maupun eksternal akibat dari hubungan
individu dengan lingkungannya, khususnya strategi coping problem
focused coping yang sesuai dengan hasil wawancara peneliti bahwa
problem focused coping digunakan oleh ibu-ibu rumah tangga ketika
menghadapi masalah dalam kehidupan keluarganya khususnya ketika
mengalami himpitan ekonomi dan permasalahan yang lain. Coping dipilih
oleh peneliti sejalan dengan penelitian (Karlsen dkk dalam Mawarpury,
2013) strategi coping berkontribusi positif terhadap kesejahteraan
psikologis individu.
B. Problem Focused Coping
1. Pengertian Problem Focused Coping
Strategi coping dikemukakan oleh Folkman (1984) sebagai bentuk
usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan seseorang untuk mengatur
tuntutan internal dan eksternal yang timbul dari hubungan individu dengan
lingkungan, yang dianggap menganggu batas-batas yang dimiliki oleh
individu tersebut. Coping yang dimaksud terdiri dari pikiran-pikiran khusus dan
perilaku yang digunakan individu untuk mengatur tuntutan dan tekanan yang
timbul dari hubungan individu dengan lingkungan, khususnya yang berhubungan
dengan kesejahteraan.
Chaplin (2004) mengartikan perilaku coping sebagai suatu tingkah
laku dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya
dengan tujuan menyelesaikan tugas atau masalah. Tingkah laku coping
merupakan suatu proses dinamis dari suatu pola tingkah laku maupun pikiranpikiran yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam
situasi yang menekan dan menegangkan.
Coping berfokus pada cara seseorang untuk mengatasi atau
menghadapi ancaman-ancaman yang mengancam dirinya serta konsekuensi
emosional yang timbul dari ancaman-ancaman tersebut (Taylor dalam Berney
& Baron , 2005). Menurut (Berney dan Baron, 2005) juga mengungkapkan
bahwa coping merupakan bentuk respon terhadap stress dengan cara
mengurangi ancaman dan efeknya termasuk apa yang dilakukan, dirasakan,
atau dipikirkan seseorang dalam rangka mengurangi atau menghadapi efekefek negatif dari situasi-situasi penuh tekanan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi coping
adalah usaha yang terkonsep dalam fikiran seseorang kemudian diwujudkan
dalam bentuk tindakan perilaku untuk mengatur tuntutan tekanan dari dalam
maupun luar diri individu yang ditimbulkan dari efek interaksi individu
dengan lingkungannya, yang dianggap mengancam keadaan individu
sehingga menimbulkan ketegangan pada individu yang bersangkutan.
Menurut (Compas dkk dalam Berney & Baron, 2005) coping yang
berpusat pada masalah (problem-focused coping) yang melibatkan usaha
untuk mengatasi ancaman itu sendiri dan untuk memperoleh kontrol terhadap
situasi. Lazarus & Folkman (1985) Problem focused coping digunakan untuk
mengontrol hal yang terjadi antara individu dengan lingkungan melalui
pemecahan masalah, pembuatan keputusan dan tindakan langsung. Problem
focused coping dapat diarahkan pada lingkungan maupun pada diri sendiri.
Folkman (1984) menyatakan bahwa PFC juga dapat berupa pembuatan
rencana tindakan, melaksanakan, mempertahankan untuk mendapatkan hasil
yang diinginkan.
Berdasarkan uraian mengenai problem focused coping dapat ditarik
kesimpulan problem focused coping merupakan strategi untuk menghadapi
masalah secara langsung terhadap sumber permasalahan dengan melibatkan
usaha untuk mengatasi ancaman dari permasalahan yang ditimbulkan dan
untuk memperoleh kontrol terhadap situasi yang mengancam.
2. Aspek-Aspek Problem Focused Coping
Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan beberapa aspek dalam Problem
Focused Coping (PFC) yakni sebagai berikut :
a. Countiousness (kehati-hatian)
Yaitu individu berpikir dan mampu mempertimbangkan beberapa
pemecahan masalah dengan melakukan pengambilan keputusan untuk
memutuskan masalah dengan hati-hati, serta mengevaluasi strategistrategi yang pernah dilakukan sebelumnya atau meminta pendapat orang
lain. Individu melakukan evalusi terhadap strategi yang pernah dilakukan
dengan tujuan langkah atau strategi yang dilakukan benar-benar matang
dan efektif untuk memecahkan masalah yang sedang hadapi.
b.
Instrumental action
Yaitu usaha-usaha langsung individu dalam menemukan solusi
permasalahannya serta menyusun langkah-langkah yang akan dilakukan.
Ketika sudah menemukan solusi, individu dituntut berusaha semaksimal
mungkin berupaya menggunakan kemampuan dan potensi yang dimiliki
agar solusi yang dilakukan bisa tercapai.
c.
Negosiasi
Merupakan salah satu taktik dalam PFC yang diarahkan langsung pada
orang lain atau mengubah pikiran orang lain, melakukan diskusi,
perundingan dan melakukan kesepakatan demi mendapatkan hal yang
positif dari situasi yang problematik tersebut.
Menurut tokoh lain (Carver, Scheier & Weintraub 1989)
lain juga
mengemukakan mengenai aspek problem focused coping terdiri dari 5 aspek
yaitu:
a. Active Coping
Active coping (Koping aktif) mencakup memulai tindakan secara langsung
meningkatkan usaha seseorang dan mencoba untuk melakukan coping
dengan cara yang bijaksana. Selain itu juga merupakan upaya melakukan
sesuatu dengan keras untuk menghilangkan atau menghindarkan diri dari
stressor. Active coping sama juga halnya dengan coping konfrontif yaitu
penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu untuk menangani distress
yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi individu dengan
menggunakan cara yang agresif dan berani mengambil resiko (Taylor,
2014).
b. Planning (Merencanakan)
Mencakup menghasilkan strategi-strategi tindakan, memikirkan langkah
apa yang yang harus diambil dan cara terbaik untuk mengatasi masalah.
Planning ini lebih terfokus terhadap perencanaan dalam melakukan upayaupaya coping aktif. Perencanaan yang dilakukan yaitu melakukan strategi
tindakan, memikirkan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
mengurangi masalah, dan mencari solusi masalah yang sedang dihadapi.
c. Suppression of competing activities (Penekanan pada aktifitas bersaing)
Merupakan suatu usaha untuk menghindari hal-hal yang dapat
mengganggu fokus permasalahan dan merupakan upaya mengalihkan
perhatian seseorang dari kegiatan lain yang dapat membuat orang terlibat
agar bisa berkosentrasi secara penuh terhadap upaya mengatasi stressor.
(Cerver dkk dalam Nurhayati, 2006) mengurangi aktifitas-aktifitas
persaingan, berarti mengajukan rencana lain, mencoba menghindari
gangguan orang lain, tetap membiarkan orang lain sebagai cara untuk
menangani stressor. Seseorang mungkin mengurangi keterlibatan dalam
aktifitas persaingan atau menahan diri dari perebutan sumber informasi,
sebagai cara untuk memusatkan perhatian pada tantangan atau ancaman
yang ada.
d. Seeking social support for instrumental reason (Mencari dukungan sosial
untuk alasan instrumental)
Meliputi mencari nasihat, bantuan dan informasi mengenai apa yang harus
dilakukan oleh individu ketika menghadapi masalah. Individu berusaha
mencari bantuan dari orang lain berupa dukungan, simpati dan pengertian
dari orang lain.
e. Restrain Coping (Koping Menahan)
Restrain coping ini merupakan upaya coping secara pasif dengan menahan
diri untuk melakukan upaya coping hingga upaya tersebut menjadi
berguna. Cerver dkk (Nurhayati, 2006) pengendalian, yaitu menunggu
kesempatan yang tepat untuk bertindak, menahan diri, dan tidak bertindak
secara prematur. Pada dasarnya strategi ini tidak dianggap sebagai suatu
strategi menghadapi masalah yang potensial, tetapi terkadang responnya
cukup bermanfaat dan diperlukan untuk mengatasi tekanan, karena
perilaku seseorang yang melakukan strategi pengendalian diri difokuskan
untuk menghadapi tekanan secara efektif.
Berdasarkan dari kedua tokoh yang telah mengemukakan aspek-aspek
problem focused coping dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek problem focused
coping terdiri Countiousness (kehati-hatian), Instrumental action, Negosiasi,
Active coping, Planning, Supression of competing activities, Restraint Coping,
Seeking social support for instrumental. Peneliti memilih menggunakan aspekaspek problem focused coping menurut tokoh (Carver, Scheier & Weintraub
1989) karena pada aspek ini lebih lengkap dan detail dijadikan alat ukur untuk
mengungkap problem focused coping pada kesejahteraan psikologis ibu rumah
tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap.
C. Hubungan antara Problem Focused Coping dengan Kesejahteraan
Psikologis Pada Ibu Rumah Tangga yang Memiliki Suami
Berpenghasilan Tidak Tetap
Keadaan ekonomi menengah kebawah atau keadaan perekonomian
keluarga yang tidak menentu dapat menbawa dampak buruk terhadap
kesejahteraan psikologis individu, (Huppert dalam Sari, 2015). Kesejahteraan
psikologis ibu rumah tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap akan
terganggu karena penghasilan yang diperoleh dari suami tidak menentu sedangkan
ibu rumah tangga dituntut untuk mengatur keuangan keluarga dengan sebaik
mungkin demi mencapai kesejahteraan dalam keluarganya. Hal tersebut juga
didukung oleh pernyataan (Dariyo dalam Raharjo, 2015) menyatakan bahwa
kesejahteraan keluarga dimulai dari fondasi dasar untuk dapat memenuhi
kebutuhan
keluarga yang dapat dicapai melalui kondisi ekonomi yang baik.
Kondisi yang mengancam atau menekan baik berupa tekanan ekonomi serta
kelelahan dalam keseharianya mengurusi kegiatan rumah tangga yang dialami ibu
rumah tangga, mereka cenderung hanya bersikap pasrah menerima keadaan
perekonomian keluarganya, merasa putus asa ketika ingin membantu pendapatan
suami, cenderung pesimis selain itu hubungan positif dengan orang lain ketika
ditagih hutang oleh saudara ataupun tetangga hubungan yang terjalinn kurang
berjalan dengan baik. Uraian tersebut didasarkan dari hasil observasi dan
wawancara dilapangan, gambaran situasi dan kondisi yang dialami oleh IRT
tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Mawarpury (2013) stres
psikologis dan kesejahteraan dapat dipengaruhi oleh masyarakat, lingkungan
sekitar, dan ketahanan individu secara mental dalam menghadapi kecemasan dan
depresi. Kaitan antara kesejahteraan psikologis dengan depresi atau masalah
psikologis lain yaitu pada efek negatif psikis yang dialami individu tersebut akan
menghambat perkembangan dirinya dan dapat mengakibatkan timbulnya
ketidakberdayaan diri sehingga menerima keadaan apa adanya tanpa ada usaha
dari diri sendiri.
Menurut ahli, kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh beberapa faktor,
salah satunya adalah strategi coping problem focused coping (Folkman, 1984).
Problem focused coping digunakan untuk mengontrol hal yang terjadi antara
individu dengan lingkungan melalui pemecahan masalah, pembuatan keputusan
dan tindakan langsung yaitu berfokus mencari jalan keluar dengan permasalahan
yang sedang dihadapi.
Problem focused coping memiliki lima aspek menurut (Carver, dkk 1989).
Aspek pertama dalam problem focused coping adalah active coping, yaitu
mengambil tindakan aktif untuk mencoba menghilangkan atau mengelak dari
sumber stress dengan tujuan memperbaiki akibat yang ditimbulkan dari sumber
stress. Active coping berupa tindakan memulai aksi coping secara langsung,
meningkatkan suatu upaya, dan mencoba melaksanakan usaha coping dengan cara
yang sewajarnya atau lazim (Carver dkk, 1989).
Ketika individu menggunakan coping secara aktif, individu tersebut
berupaya langsung mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi.
Ibu rumah tangga yang mengalami permasalahan keuangan akibat pendapatan
yang tidak menentu dari suami, dapat mencari cara agar kebutuhan ekonomi
masih tetap dapat terpenuhi. Pemecahan masalah secara langsung dapat
melibatkan kemampuan berhubungan positif dengan orang lain yaitu dengan cara
hubungan yang konstruktif, ramah, hangat serta terjadinya timbal balik. Ketika ibu
rumah tangga mendapatkan masalah mereka dapat meminta bantuan orang-orang
di sekitarnya dengan harapan mereka dapat mencari solusi dan memecahkan
masalahnya dengan baik, ketika permasalahan sudah terselesaikan perasaan lega
tenang dan nyaman akan muncul. Hal ini sesuai dengan penelitian Rodriguez
(2011) yang
menyebutkan bahwa hubungan positif dengan orang lain dan
penerimaan diri yang merupakan parameter kesejahteraan psikologis memiliki
hubungan signifikan dengan coping konfrontif. Coping konfrontif merupakan
active coping yaitu pemecahan masalah secara langsung berfokus terhadap
sumber permasalahan (Smet, 1994).
Aspek kedua perencanaan atau Planning yaitu merencanakan suatu strategi
dengan tujuan untuk menghilangkan dan mengatasi stress yang sedang dihadapi
melibatkan tindakan yang teliti, berhati-hati, bertahap dan analitis (Carver dkk,
1989). Dalam melakukan penyelesaian masalah, ibu rumah tangga dapat
mempersiapkan perencanaan atau strategi yang bertujuan dapat membantu
memperoleh solusi untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Langkah
strategi yang dapat direncanakan untuk menanggulangi permaslahan kesulitan
ekonomi ketika keuangan tidak menentu, para ibu rumah tangga mengelola
keuangan dengan hemat dan memprioritaskan kebutuhan
yang utama untuk
dipenuhi.
Pada aspek ini berkaitan dengan aspek tujuan hidup bahwa individu yang
mempunyai perasaan terarah sehingga memiliki keyakinan terhadap hidupnya,
diantaranya mampu merasakan makna dari kehidupan yang telah dijalaninya. Ibu
rumah tangga yang melakukan perencanaan atau mempunyai strategi pemecahan
masalah, berkaitan bahwa ibu rumah tangga masih mempunyai keyakinan untuk
berjuang hidup, berusaha mensiasati kondisi yang serba kekurangan untuk dapat
tetap dijalani dan dilaluinya. Hal ini sejalan dengan penelitian (Rodriguez, 2011)
yang menyatakan bahwa planful problem solving atau perencanaan pemecahan
masalah berhubungan positif hubungan positif dengan orang lain dan tujuan
hidup yang merupakan aspek dari kesejahteraan psikologis.
Aspek ketiga yaitu penekanan pada aktifitas bersaing Suppression of
competing activities berusaha untuk menghindari dan megesampingkan hal-hal
lain yang tidak berkontribusi dengan permasalahan yang sedang diselesaikan atau
dipecahkan. Hal tersebut dilakukan agar individu lebih bisa fokus dan
berkontribusi dengan permasalahan yang sedang dihadapi (Carver dkk, 1989).
Ketika mengalami masalah dalam kehidupan kesehariannya baik yang
berkaitan dalam pemenuhan kebutuhan, atau masalah dalam rumah tangga yang
lain, ibu rumah tangga dapat berusaha untuk menghindari hal-hal yang tidak ada
kaitannya dengan pemecahan masalah yang akan dilakukan untuk menemukan
solusi. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan ibu rumah tangga
menyesuaikan situasi dan kondisi dengan lingkungan agar terfokus dengan
pemecahan masalah, jadi ketika ibu rumah tangga menghindari hal-hal yang tidak
berhubungan dengan pemecahan masalah, ibu rumah tangga dapat menggunakan
kemampuan penguasaan lingkungnya dengan baik. Dengan demikian ibu rumah
tangga bisa menghindari hal-hal yang tidak mendukung dari lingkungan yang
dapat menghambat dalam proses mencari solusi. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Rodriguez (2011) dalam studinya menyebutkan bahwa Coping menjauh
(distancing) atau sama halnya dengan suppression of competing activities
berhubungan dengan otonomi dan penguasaan lingkungan.
Aspek keempat Mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental
(Seeking social support for instrumental reason) berusaha untuk mendapatkan
bantuan informasi, bimbingan atau saran dari orang lain (Carver dkk, 1989).
Ketika para ibu rumah tangga mendapati suatu permasalahan cenderung untuk
mencari bantuan terhadap orang lain, yaitu dengan mencari solusi , meminta
nasihat dan pendapat dari orang lain terutama keluarga baik dari suami maupun
orang tua dan tetangga, pernyataan tersebut sesuai dengan hasil wawancara
peneliti dengan subjek.
Pada aspek ini berkaitan dengan aspek penguasaan lingkungan yaitu
ketika individu mampu mampu melakukan penguasaan lingkungan dengan baik,
dengan cara individu yang menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya,
ataupun individu membuat keadaan lingkungan sekitar sesuai dengan kebutuhan
individu. Ketika ibu rumah tangga membutuhkan informasi, nasihat bantuan
dukungan dari orang-orang sekitar, ibu rumah tangga dapat mencarinya dari
lingkungan sekitar, misalnya dari tetangga saudara dst, semisal ibu rumah tangga
membutuhkan bantuan nasihat maka ibu rumah tangga akan meminta nasihat dari
lingkungan agar sesuai dengan kebutuhannya yaitu mencari solusi dari masalah
yang sedang dihadapi seperti halnya permasalahan kesulitan ekonomi. Hal ini
sejalan dengan penelitian Rodriguez (2011) yang menyatakan bahwa seeking
sosial support for instrumental atau sama halnya dengan dukungan sosial
berhubungan dengan otonomi, penguasaan lingkungan dan penerimaan diri yang
merupakan aspek dari kesejahteraan psikologis.
Aspek kelima Restrain Coping atau coping menahan menunda
pelaksanaan kegiatan sampai saat yang tepat, tidak tergesa-gesa melakukan
kegiatan yang berkontribusi terhadap pemecahan masalah (Carver dkk, 1989).
Ketika para ibu rumah tangga mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar
dari permasalahan yang sedang dihadapi, para ibu memikirkannya dengan
matang-matang, menimbang- nimbang terlebih dahulu mana yang sesuai dan tidak
sesuai dengan konsekuensi yang siap untuk dihadapi. Pernyataan tersebut
diperoleh peneliti dari hasil wawancara dengan subjek.
Aspek ini berkaitan dengan aspek otonomi yaitu individu secara mandiri
bebas menentukan nasibnya sendiri, mampu mengatasi tekanan sosial, berpikir
dan bertindak sesuai dengan keyakinan dan mampu melakukan pengendalian diri.
Ketika ibu rumah tangga mencari solusi untuk memecahkan masalah yang sedang
dihadapi, kemampuan seperti mampu untuk bertindak dan berpikir sesuai dengan
keyakinanya serta melakukan introprksi diri akan berpengaruh terhadap langkahlangkah pengambilan keputusan secara hati-hati dan teliti, berkitan dengan
pemecahan masalah yang tidak tergesa-gesa berhubungan dengan kemampuan
sesorang mampu mengontrol atau mengendalikan dirinya, harapannya solusi yang
didapatkan bisa efektif untuk memecahkan permasalahan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Rodriguez (2011) yang menyatakan bahwa Coping kontrol diri atau
restrain coping
berhubungan dengan otonomi, penguasaan lingkungan dan
penerimaan diri yang merupakan aspek dari kesejahteraan psikologis.
Dinamika permasalahan yang telah dijelaskan oleh penelitian diatas juga
telah dibuktikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya bahwa coping berkontribusi
positif dengan kesejahteraaan psikologis seseorang. Hal tersebut berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Mawarpury (2013) dengan judul penelitian Coping
Sebagai Prediktor Kesejahteraan Psikologis: Studi Meta Analisis, strategi coping
berkontribusi positif terhadap kesejahteraan psikologis individu. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Angreani dan Cahyanti (2012) dengan judul Perbedaan
Psychological Well-Being Pada Penderita Diabetes Tipe 2 Usia Dewasa Madya
Ditinjau dari Strategi Coping dengan hasil penelitian bahwa kedua strategi coping
(Emotional Focused Coping dan Problem focused coping) tidak menunjukan
perbedaan, keduanya sama-sama memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan
psikologis penderita diabetes tipe 2. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh
Rodriguez (2011) dengan judul penelitian Psychological Well-Being and Coping
Mechanisme of Battered Women dengan hasil penelitian bahwa antara
kesejahteraan psikologis dan mekanisme coping terdapat korelasi tetapi terhadap
permasalahan atau kekuatan tertentu. Perbedaan penelitian yang telah dilakukan
oleh peneliti sebelumnya yaitu terletak pada karakteristik subjek dan variabel
bebasnya atau variabel yang memberikan pengaruh terhadap variabel tergantung.
Karakteristik subjek pada penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang memiliki
suami berpenghasilan tidak tetap, sedangkan variabel bebasnya adalah problem
focused coping.
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa strategi coping
problem focused coping yang digunakan oleh ibu rumah tangga berkorelasi positif
terhadap kesejahteraan psikologis ibu rumah tangga yang memiliki suami
berpenghasilan tidak tetap. Hal tersebut dapat terjadi karena problem focused
coping berupa active coping (Coping aktif), Planning (Merencanakan),
Suprression of competing activities (Penekanan pada aktifitas bersaing), Seeking
social support for instrumental reason (Mencari dukungan sosial untuk alasan
instrumental), Restrain Coping (Koping Menahan) mampu meningkatkan
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, tujuan hidup,
penguasaan lingkungan, dan perkembangan pribadi.
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif
antara Problem Focused Coping dengan kesejahteraan psikologis ibu rumah
tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap. Semakin tinggi tingkat
Problem Focused Coping maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis ibu
rumah tangga yang memiliki suami berpenghasilan tidak tetap
Sebaliknya
semakin rendah problem focused coping maka akan semakin rendah pula
kesejahteraan psikologis ibu rumah tangga yang memiliki suami berpenghasilan
tidak tetap.
Download