BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Indonesia. Dimana pengobatannya merupakan pengobatan jangka panjang, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan efek samping. Maraknya isu Back to Nature mendorong orang-orang untuk beralih menggunakan ramuan yang berasal dari tanaman. Ramuan tradisional dipercaya memiliki efek samping yang kecil bila digunakan dalam jangka panjang, maka dari itu ramuan tradisional cocok untuk alternatif pengobatan penyakit kronis. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil komoditas obat-obatan yang potensial. Potensi flora di wilayah nusantara sekitar 30.000 spesies tumbuhan, dan 940 spesies di antaranya dikategorikan sebagai tanaman obat. Tanaman obat sudah sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia sabagai bahan obat tradisional, dan merupakan sarana penunjang kesehatan rakyat turuntemurun yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Di samping itu, tanaman obat mempunyai potensi besar untuk dijadikan komoditas ekspor nonmigas yang penting, terutama setelah manusia cenderung lebih senang menggunakan bahan alam daripada bahan sintetis (Rukmana, 1995). Tanaman obat yang banyak digunakan untuk pengobatan penyakit hipertensi adalah tanaman kumis kucing, seledri, dan pegagan. Ketiga bahan tanaman ini digunakan dalam ramuan saintifikasi jamu, sedangkan kunyit, 1 2 temulawak dan meniran, ditujukan sebagai ramuan yang bersifat promotif maupun preventif (Pramono, 2011). Biasanya ramuan obat tradisional yang diminum dibuat dengan cara direbus, diseduh ataupun diperas. Penggunaan bahan obat tradisional dengan cara ini, sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat. Namun penggunaan obat dengan cara diseduh, direbus, ataupun diperas memiliki kelemahan, yaitu kurang praktis dalam penggunaannya dan di sisi lain, terkadang rasa pahit dari tanaman ini membuat penggunanya tidak nyaman. Masyarakat modern cenderung lebih suka dengan hal yang praktis, oleh sebab itu dilakukan pembuatan ekstrak kering dari campuran simplisia agar lebih praktis digunakan, selain itu pembuatan ekstrak kering juga ditujukan untuk lebih mengawetkan bahan, karena dengan dibuat menjadi ekstrak kering kadar air akan berkurang dan mikroba tidak mudah tumbuh. Bergantung pada strukturnya, senyawa aktif yang terkandung di dalam kumis kucing, seledri, pegagan, meniran, kunyit dan temulawak memiliki kemampuan larut yang berbeda pada pelarut non polar, semi polar, maupun polar, sehingga perlu dilakukan analisis kualitatif untuk melihat apakah senyawa aktif dapat tersari di dalam ekstrak air. Ekstrak kering dapat diformulasikan lebih lanjut menjadi bentuk sediaan kapsul, kaplet, ataupun pil agar menjadi sediaan yang lebih praktis lagi, namun masalah yang sering timbul pada pembuatan sediaan menjadi kapsul, kaplet ataupun pil adalah besarnya jumlah ekstrak kering yang dibutuhkan dalam dosis sekali minum, sehingga perlu dilakukan purifikasi untuk menghilangkan pengotor 3 sehingga dapat mengurangi bobot ekstrak yang dibutuhkan dalam dosis sekali minum. B. Rumusan Masalah 1. Apakah senyawa flavonoid yang terdapat di dalam tanaman kumis kucing, seledri, pegagan dan meniran dapat tersari dalam pelarut akuades? 2. Bagaimanakah kadar senyawa aktif dalam ekstrak tunggal kering dan ekstrak campuran kering? 3. Apakah purifikasi dengan metode fraksinasi pada ekstrak dapat mengurangi bobot ekstrak yang dibutuhkan dalam dosis sekali minum? C. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi keberadaan flavonoid dalam ekstrak air dengan metode KLT. 2. Mengukur kadar flavonoid total dan kurkumin yang terdapat di dalam ekstrak tunggal kering dan ekstrak campuran kering. 3. Melakukan purifikasi untuk menghilangkan pengotor sehingga dapat mengurangi bobot ekstrak yang dibutuhkan. D. Tinjauan Pustaka 1) Kumis Kucing Klasifikasi Divisi : Spermatophyta 4 Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Lamiales Suku : Lamiaceae Marga : Orthosiphon Jenis : Orthosiphon spicatus B. B. S. (Backer and Van den Brink, 1965) Sinonim Orthosiphon grandiflorus Auct. Non Terrac., Orthosiphon stamineus Benth (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Uraian tanaman Perawakan terna tegak, tinggi sampai dapat mencapai 2 m. Batang bersegi empat dari pangkal, agak beralur, tidak berambut sampai berambut pendek. Daun tunggal, letak bersilang-berhadapan, helaian daun berbentuk bulat telur, bulat memanjang-lanset, oval atau belah ketupat, pangkal meruncing, runcing sampai tumpul, petulangan daun menyirip, tulang daun berambut, di seluruh permukaan daun berbitik-bitik kelenjar, panjang tangkai 3 cm. Perbungaan berupa bunga majemuk tandan, di ujung batang atau cabang, panjang 7-29 cm, tertutup rambut berwarna ungu, saat kering berwarna putih, tangkai bunga berambut halus dan jarang, panjang 1-6 mm. Kelopak bunga berbintik kelenjar, alur dan pangkal daun 5 kelopak berambut halus jarang, bagian ujung tidak berambut, saat bunga mekar panjang kelopak 4-7,5 mm, saat tua mencapai 12 mm, mahkota bunga berbibir 2, daun mahkota berwarna ungu pucat sampai putih, panjang 13-27 mm, tabung mahkota 10-18 mm, bibir 4,5-10 mm, toreh mahkota bunga membulat sampai tumpul, putih atau ungu terang. Benang sari lebih panjang dari tabung mahkota bunga, melebihi bibir mahkota bagian atas. Bunga berwarna coklat gelap, panjang 1,75-2 mm (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Kegunaan dan khasiat Kumis kucing digunakan sebagai diuretikum, pengobatan hipertensi, gout dan rematik (Barnes et al., 1996) Kandungan kimia Silika, kalium, flavonoid: eupatorin, sinensetin, luteolin, sinarosida, isosinarosida, kuersetin, kuersimetrin, krisoeriol, isoramnetin 3-glikosida [1-3], kuersetin-3-O-α-L-ramnosida dan kaempferol-3, 7-α-L diramnosida, 5-hidroksi6,7,3’,4’-tetrametoksi flavon, salvigenin, ladancin, tetra metil skutelarein,6hidroksi-5,7,3’,4’-tetrametoksi flavon; asam kuinat; diterpen isopimaren teroksigenasi: 7-O-diasetil ortosipol B, 6-hidroksi ortosipol B, 3-O-diasetil ortosipol I, 2-O-diasetil ortosipol J, siponol A-E, ortosipol H, K, M, N, staminol A-B, norstaminol; vomifoliol, aurantiamida asetat, asam rosmarinat, asam kafeat, asam oleanolat, asam ursolat, asam betulinat dan β-sitosterol (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). 6 2) Seledri Klasifikasi Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Apiales Suku : Apiaceae (Umbelliferae) Marga : Apium Jenis : Apium graveolens L. (Backer and Van den Brink, 1965) Uraian tanaman Tanaman seledri merupakan herba dengan tinggi kurang lebih 50 cm, umur 1-2 tahun, batang tidak berkayu, beralur, beruas, bercabang, tegak, hijau pucat. Daun tipis majemuk, daun muda melebar atau meluas dari dasar, hijau mengkilat, segmen dengan hijau pucat, tangkai di semua atau kebanyakan daun merupakan sarung. Bunga tunggal dengan tangkai yang jelas, sisi kelopak yang tersembunyi, daun bunga putih kehijauan atau merah jambu pucat dengan ujung yang bengkok. Bunga betina majemuk yang jelas, tidak bertangkai atau bertangkai pendek, sering mempunyai daun berhadapan atau berbatasan dengan tirai bunga. Tirai bunga tidak bertangkai atau dengan tangkai bunga tidak lebih dari 2 cm panjangnya. Daun bunga putih kehijauan atau putih kekuningan1/2-3/4 mm panjangnya. Buah sekitar 1 mm panjangnya, batang angular, berlekuk, sangat aromatik, akar tebal (Backer and Van den Brink, 1965). 7 Kegunaan dan khasiat Peluruh air seni, antiseptik saluran kemih, asam urat, memperlancar sirkulasi darah, anti tekanan darah tinggi, penyakit asma serta bronkitis. Biji seledri telah digunakan sebagai peluruh air seni, penenang, antikejang, penyubur rambut, mengurangi minyak di wajah, menurunkan tekanan darah, dan antireumatik (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Seledri dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan (Joshi et al., 2012). Kandungan kimia Flavonoid dengan komponen utama apiin dan apigenin, minyak atsiri dengan komponen utama isokariofilen, kariofilen, stearaldehid, senyawa kumarin dengan komponen utama umbelliferon (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004). 3) Pegagan Klasifikasi Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub kelas : Archichlamydeae Bangsa : Apiales Suku : Apiaceae (Umbelliferae) 8 Marga : Centella Jenis : Centella asiatica (L.) Urban (Backer and Van den Brink, 1965) Sinonim Hydrocotile asiatica L., H. Erecta L.f., H. Hebecarpa DC., H. lurida Hance (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Uraian tanaman Pegagan merupakan tanaman terna atau herba tahuanan, batang berupa stolon yang menjalar di atas permukaan tanah, panjang 10-80 cm. Daun tunggal tersusun dalam roset yang terdiri dari 2-10 helai daun, kadang agak berambut. Tangkai daun panjang sampai 50 mm, helaian daun berbentuk ginjal, lebar dan bundar dengan garis tengah 1-7 cm, tepi daun beringgit sampai bergerigi, terutama ke arah pangkal daun, perbungaan berupa bunga majemuk tipe payung tunggal, terdiri atas 3-5 anak bunga, bersama-sama keluar dari ketiak daun, ukuran ibu tangkai 5-50 mm, lebih pendek dari tangkai daun. Bunga umumnya 3, yang di tengah duduk, yang di samping bertangkai pendek; daun pelindung 2, panjang 3-4 mm, bentuk bulat telur, mahkota bunga berwarna merah lembayung, panjang 1-1,5 mm, lebar sampai 0,75 mm. Buah pipih, lebar kurang lebih 7 mm dan tinggi lebih kurang 3 mm, berlekuk dua, jelas berusuk, berwarna kuning kecoklatan, dinding agak tebal. Pegagan tumbuh liar di seluruh Indonesia serta daerah-daerah beriklim tropis pada umumnya. Pegagan dapat tumbuh mulai di dataran rendah hingga 9 ketinggian 2500 m dpl baik daerah terbuka atau ternaung. Pegagan juga tumbuh di tempat lembab dan subur seperti tegalan, padang rumput, tepi parit, di antara batubatu, dan di tepi jalan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Kegunaan dan khasiat Pegagan berkhasiat sebagai peluruh air seni, obat sariawan, obat penurun panas dan penambah napsu makan (Syamsuhidayat dan Johnny, 1991). Pegagan juga memiliki aktifitas mempercepat penyembuhan luka (Shukla et al., 1999). Di samping itu, pegagan juga memiliki aktifitas anti inflamasi dan anti alergi (George et al., 2009). Kandungan kimia Kandungan utamanya adalah triterpen asam asiatat, asam madekasat dan asam madesianat, terutama dalam bentuk glikosida, seperti asiatikosida dan madekasosida. Glikosida lainnya adalah indosentelosida, brahmosida, brahminosida, tankunisida, isotankunisida. Kandungan kimia non-glikosida antara lain kuersetin, kaemferol, stigmasterol (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) 4) Meniran Klasifikasi Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae 10 Bangsa : Geraniales Suku : Euphorbiaceae Marga : Phyllantus Spesies : Phyllanthus niruri L. (Backer and Van den Brink, 1965) Sinonim Phyllanthus kirganelia Schrub., Phyllanthus carolinianus, P, sellowianus, P.fraternus, P. Kirganella, P. lathyroides, P. lonphali, Nymphanthus niruri (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Uraian tanaman Merupakan tanaman liar (gulma), banyak terdapat di ladang, tanah berbatu, hutan yang lembab. Tumbuh tersebar hampir di seluruh Indonesia pada ketinggian antara 1-1000 m dpl. Tumbuh liar di tempat terbuka, pada tanah gembur yang mengandung pasir, di ladang, di tepi sungai, dan di pantai. Perawakan terna 1 tahun tumbuh tegak, tinggi dapat mencapai 0,8 m, berwarna hijau pucat, letak cabang tersebar. Daun tunggal, letak berseling pada ujung cabang dengan posisi mendatar terhadap batang pokok. Helaian daun berbentuk elip pendek sampai lonjong, panjang 0,5-2 cm, lebar 0,25-0,5 cm, pangkal membulat sampai tumpul, ujung membulat, tumpul atau runcing, warna hijau pucat. Bunga tunggal, bunga betina di ketiak daun ujung, kadang dengan beberapa bunga jantan, letak bunga di sisi bawah ketiak daun, 2-3 bunga jantan di sekitar pangkal cabang, panjang tangkai bunga 0,5-1 mm. Mahkota bunga 11 berbentuk bulat telur terbalik (sungsang), panjang 0,75-1 mm, warna hijau muda bergaris merah. Bunga betina tunggal, di ketiak daun bagian ujung (atas) cabang, tangkai bunga 1,25-1,5 mm. Ukuran bunga lebih dari 1,75 mm, berbentuk genta, buah licin, garis tengah 2-2,5 mm, panjang tangkai buah 1,5-2 mm (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Kegunaan dan khasiat Untuk mengobati penyakit ginjal, kuning, mencret, kencing nanah, ayan, sakit perut, sakit gigi, kencing kurang lancar, demam, tetanus, darah kotor, kejang gagau, kecing batu (Aliadi et al., 1996). Selain itu meniran juga memiliki aktifitas sebagai anti-oksidan dan hepatoprotektor (Manjrekar et al., 2008). Penelitian dari Okoli et al (2009) menunjukkan bahwa meniran memiliki potensi sebagai obat anti diabetes. Meniran juga dapat digunakan sebagai anti-tumor (Sharma et al., 2009). Kandungan kimia Lignan dengan komponen utama filantin dan hipofilantin, flavonoid dengan komponen utama kuersetin, rutin, dan leukodelfinidin, galokatekin (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004). 5) Temulawak Klasifikasi Kingdom : Plantae 12 Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Species : Curcuma xanthorriza Roxb (Backer and Van den Brink, 1965) Uraian tanaman Temulawak berasal dari Indonesia, khususnya pulau Jawa, selanjutnya menyebar ke kawasan Indo-Malaya. Habitat temulawak berada di hutan tropis pada tanah gembur. Temulawak tumbuh di seluruh pulau Jawa dan tumbuh liar di bawah hutan jati, tanah kering, pekarangan, padang alang-alang dan tegalan pada ketinggian tempat 5-1500 m dpl. Temulawak dapat ditanam pada tanah ringan agak berpasir sampai tanah berat bertekstur liat. Temulawak memiliki perawakan terna berbatang semu, tinggi dapat mencapai 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap, rimpang berkembang sempurna, bercabang-cabang kuat, berwarna hijau gelap, bagian dalam berwarna jingga, rasanya agak pahit. Setiap individu tanaman mempunyai 2-9 daun, berbentuk lonjong sampai lanset, berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang 31-84 cm, lebar 10-18 cm, panjang tangkai daun (termasuk helaian) 4380 cm. Perbungaan berupa bunga majemuk bulir, muncul di antara 2 ruas rimpang (lateralis), bertangkai ramping, 10-37 cm berambut, daun-daun pelindung 13 menyerupai sisik berbentuk garis, berambut halus, panjang 4-12 cm, lebar 2-3 cm. Bentuk bulir lonjong panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak, panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bulat telur sungsang (terbalik) sampai bulat memanjang, berwarna merah, ungu atau putih dengan sebagian dari ujungnya berwarna ungu, bagian bawah berwarna hijau muda atau keputihan, panjang 3-8 cm, lebar 1,5-3,5 cm. Kelopak bunga berwarna putih berambut, panjang 8-13 mm. Mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm, tabung berwarna putih atau kekuningan, panjang 22,5 cm, helaian bunga berbentuk bulat telur atau lonjong, berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah atau merah tua, panjang 1,25-2 cm, lebar 1 cm. Benang sari 6, 5 benang sari menjadi lembaran menyerupai bibir yang berbentuk bulat atau bulat telur sungsang (terbalik), berwarna jingga dan kadang-kadang pada tepinya berwarna merah, panjang 14-18 cm, lebar 14-20 mm, benang sari fertil berwarna kuning muda, panjang 12-16 mm, lebar 10-15 mm, panjang tangkai sari 3-4,5 mm, lebar 2,5-4,5 mm, kepala sari berwarna putih, panjang 6 mm. Tangkai putik panjang 3-7 mm. Buah berambut, panjang 2 cm (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Kegunaan dan khasiat Digunakan untuk mengobati penyakit ginjal, sakit kuning, gangguan pada getah empedu, penyakit kurang darah, radang lambung, kencing darah, ayan, kurang darah sehabis nifas, exsim, sembelit, kejang-kejang, ambeien, kurang napsu makan, cacar air, mencret (Aliadi et al., 1996). Temulawak juga berfungsi 14 sebagai hepatoprotektor (Lin et al., 1995). Selain itu, temulawak juga digunakan secara topikal untuk obat jerawat dan peradangan di kulit, serta memiliki aktifitas antibakteri (Park et al., 2008). Kandungan kimia Rimpang temulawak mengandung kurkumin, desmetoksikurkumin, minyak atsiri dengan komponen utama xantorizol, dan oleoresin (BPOM RI, 2004) 6) Kunyit Klasifikasi Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Genus : Curcuma Species : Curcuma domestica Val (Backer and Van den Brink, 1965) Uraian tanaman Perawakan terna berbatang semu, tersusun atas pelepah-pelepah daun, warna hijau agak kekuningan, rimpang bercabang-cabang, berwarna jingga. Daun 15 tunggal, letak daun berseling, setiap tanaman memiliki 3-8 daun, daun bertangkai, panjang tangkai berserta pelepah daun lebih dari 73 cm, helaian daun berbentuk bulat memanjang sampai lanset, panjang 2,5-5 kali lebar, ujung daun runcing sampai meruncing, keseluruhannya berwarna hijau atau hanya bagian atas dekat tulang utama berwarna agak keunguan, panjang 28-85 cm, lebar 10-25 cm. Perbungaan berupa bunga majemuk tandan di ujung batang semu, tangkai karangan berambut sampai bersisik, panjang tangkai 16-40 cm. Daun pelindung, panjang 10-19 cm, lebar 5-10 cm. Daun kelopak berambut, berbentuk lanset, panjang 4-8 cm, lebar 2-3,5 cm, daun kelopak yang paling bawah berwarna hijau, bentuk bulat telur, makin ke atas makin menyempit serta memanjang, warna putih atau putih keunguan, kelopak berbentuk tabung, panjang 9-13 mm, bergigi 3 dan tipis seperti selaput. Mahkota bunga bagian bawah berbentuk tabung, panjang lebih kurang 20 mm, berwarna coklat muda, bagian dalam tabung berambut, mahkota bagian ujung terbelah, warna putih atau merah jambu, panjang 10-15 mm, lebar 11-14 mm. Benang sari 6, 5 benang sari menjadi lembaran seperti bibir berbentuk bulat telur, panjang 16-20 mm, lebar 15-18 mm, warna jingga atau kuning keemasan dengan pinggir berwarna coklat dan di tengahnya berwarna kemerahan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Kegunaan dan khasiat Rimpang kunyit digunakan secara tradisional untuk mengobati radang umbai usus buntu, radang rahim, amandel, mati haid, asma , borok, gatal, radang gusi, koreng, bengkak-bengkak, encok, radang hidung, perut nyeri, sembelit, 16 trachoma/mata, eksema, kurang darah, tekanan darah tinggi, demam-nifas, mencret, cacar sapi, kepala pusing, keputihan, kudis, disentri, dan lain-lain (Mardisiswojo dan Harsono, 1985) Kandungan kimia Kurkuminoid: kurkumin, desmetoksi kurkumin, bisdesmetoksi kurkumin; pati tanin, resin; komponen minyak atsiri terpen: tumeron, atlanton dan zingiberon; gula; protein (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004) 7) Ekstrak Ekstrak merupakan sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan awal dianalogkan dengan komoditi bahan baku obat yang dengan teknologi fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti masih menjadi bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal maupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak sebagai produk jadi berarti ekstrak yang berada dalam sediaan obat jadi siap digunakan oleh penderita (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). 17 8) Kromatografi Berdasarkan buku analisis instrumental yang ditulis oleh Mulja dan Suharman pada tahun 1995 tentang sejarah kromatografi, kromatografi pertama kali dilakukan oleh W.Ramsey yang pada tahun 1905 yang berusaha memisahkan campuran gas dan uap. Sedangkan istilah “kromatografi” pertama kali diberikan oleh seorang ahli botani Rusia yaitu Mikhail Semenovie Tswett (1872-1999) terhadap hasil pemisahan yang dilakukan pada klorofil. Alasan Tswett memberikan istilah kromatografi (yang artinya penulisan warna) karena beliau mendapatkan pita-pita yang berwarna yang terpisah pada kolom yang diisi adsorben kalsium karbonat (Mulja dan Suharman, 1995). Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase, salah saru diantaranya bergerak secara berkesinambungan dengan arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. Teknik kromatografi umum membutuhkan zat terlarut terdistribusi di antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, hingga terpisah dari zat terlarut lainnya, yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak sebagai fase penjerap seperti silika gel atau dapat bertindak melarutkan sehingga terjadi partisi antara fase diam dan fase gerak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Kromatografi sendiri 18 bertujuan untuk memisahkan komponen dari matriks sampel dan tetap dibiarkan dalam fase diam kemudian ditentukan untuk analisis. Selain itu kromatografi dipakai pula untuk tujuan produksi atau preparatif, dalam hal ini komponen yang ingin dipisahkan dari matriks sampel harus dikeluarkan dari fase diam sehingga didapatkan bentuk komponen murni (isolat) (Mulja dan Suharman, 1995). a) Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik (Rohman, 2009). Lempeng yang dilapisi dapat dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan yang tercapai dapat didasarkan pada adsorpsi, partisi, atau kombinasi kedua efek yang tergantung dari jenis lempeng, cara pembuatan, jenis pelarut yang digunakan. Pada kromtografi lapis tipis dikenal istilah atau pengertian faktor retardasi (Rf) untuk tiap-tiap noda kromatogram yang didefinisikan sebagai Rf = Jarak migrasi komponen = dR = hRF Jarak migrasi fase mobil dM 100 Sedangkan untuk membandingkan noda analisis kromatogram kualitatif sampel dilakukan dengan dengan cara noda kromatogram pembanding (Mulja dan Suharman, 1995). Pengukuran kuantitatif dimungkinkan, bila digunakan densitometer, atau bercak dapat dikerok dari lempeng, kemudian diekstraksi dengan pelarut yang sesuai dan diukur secara spektrofotometri 19 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan krmatografi kolom. Demikian juga dengan peralatan yang digunakan lebih sederhana, pelaksanaannya juga terhitung lebih cepat (Rohman, 2009). 9) Spektrofotometri ultra-violet Metode ini termasuk spektroskopi absorpsi, merupakan pengukuran hasil interaksi radiasi elektromagnetik dengan molekul yang menggunakan panjang gelombang di daerah ultraviolet dan tampak pada spektrum elektromagnetik. Pada spektrometri uv dan tampak molekul mengabsorbsi energi dengan cara transisi elektronik. Pada spektrometri absorpsi ternyata ada hubungan antara banyaknya radiasi yang diabsorpsi dengan jumlah molekul pengabsorpsi, sedangkan gugusgugus molekul yang mengabsorpsi radiasi pada panjang gelombang tertentu juga spesifik, sehingga pengukuran ini dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif (Fatah, 1987).