BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh
masyarakat Indonesia. Dimana pengobatannya merupakan pengobatan jangka
panjang, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan efek samping. Maraknya isu
Back to Nature mendorong orang-orang untuk beralih menggunakan ramuan yang
berasal dari tanaman. Ramuan tradisional dipercaya memiliki efek samping yang
kecil bila digunakan dalam jangka panjang, maka dari itu ramuan tradisional
cocok untuk alternatif pengobatan penyakit kronis.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil komoditas obat-obatan
yang potensial. Potensi flora di wilayah nusantara sekitar 30.000 spesies
tumbuhan, dan 940 spesies di antaranya dikategorikan sebagai tanaman obat.
Tanaman obat sudah sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia sabagai
bahan obat tradisional, dan merupakan sarana penunjang kesehatan rakyat turuntemurun yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Di samping itu, tanaman obat
mempunyai potensi besar untuk dijadikan komoditas ekspor nonmigas yang
penting, terutama setelah manusia cenderung lebih senang menggunakan bahan
alam daripada bahan sintetis (Rukmana, 1995).
Tanaman obat yang banyak digunakan untuk pengobatan penyakit
hipertensi adalah tanaman kumis kucing, seledri, dan pegagan. Ketiga bahan
tanaman ini digunakan dalam ramuan saintifikasi jamu, sedangkan kunyit,
1
2
temulawak dan meniran, ditujukan sebagai ramuan yang bersifat promotif maupun
preventif (Pramono, 2011).
Biasanya ramuan obat tradisional yang diminum dibuat
dengan cara
direbus, diseduh ataupun diperas. Penggunaan bahan obat tradisional dengan cara
ini, sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat. Namun penggunaan
obat dengan cara diseduh, direbus, ataupun diperas memiliki kelemahan, yaitu
kurang praktis dalam penggunaannya dan di sisi lain, terkadang rasa pahit dari
tanaman ini membuat penggunanya tidak nyaman. Masyarakat modern cenderung
lebih suka dengan hal yang praktis, oleh sebab itu dilakukan pembuatan ekstrak
kering dari campuran simplisia agar lebih praktis digunakan, selain itu pembuatan
ekstrak kering juga ditujukan untuk lebih mengawetkan bahan, karena dengan
dibuat menjadi ekstrak kering kadar air akan berkurang dan mikroba tidak mudah
tumbuh.
Bergantung pada strukturnya, senyawa aktif yang terkandung di dalam
kumis kucing, seledri, pegagan, meniran, kunyit dan temulawak memiliki
kemampuan larut yang berbeda pada pelarut non polar, semi polar, maupun polar,
sehingga perlu dilakukan analisis kualitatif untuk melihat apakah senyawa aktif
dapat tersari di dalam ekstrak air.
Ekstrak kering dapat diformulasikan lebih lanjut menjadi bentuk sediaan
kapsul, kaplet, ataupun pil agar menjadi sediaan yang lebih praktis lagi, namun
masalah yang sering timbul pada pembuatan sediaan menjadi kapsul, kaplet
ataupun pil adalah besarnya jumlah ekstrak kering yang dibutuhkan dalam dosis
sekali minum, sehingga perlu dilakukan purifikasi untuk menghilangkan pengotor
3
sehingga dapat mengurangi bobot ekstrak yang dibutuhkan dalam dosis sekali
minum.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah senyawa flavonoid yang terdapat di dalam tanaman kumis kucing,
seledri, pegagan dan meniran dapat tersari dalam pelarut akuades?
2.
Bagaimanakah kadar senyawa aktif dalam ekstrak tunggal kering dan ekstrak
campuran kering?
3.
Apakah purifikasi dengan metode fraksinasi pada ekstrak dapat mengurangi
bobot ekstrak yang dibutuhkan dalam dosis sekali minum?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengidentifikasi keberadaan flavonoid dalam ekstrak air dengan metode
KLT.
2.
Mengukur kadar flavonoid total dan kurkumin yang terdapat di dalam ekstrak
tunggal kering dan ekstrak campuran kering.
3.
Melakukan purifikasi untuk menghilangkan pengotor sehingga dapat
mengurangi bobot ekstrak yang dibutuhkan.
D. Tinjauan Pustaka
1) Kumis Kucing
Klasifikasi
Divisi
: Spermatophyta
4
Sub divisi : Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Lamiales
Suku
: Lamiaceae
Marga
: Orthosiphon
Jenis
: Orthosiphon spicatus B. B. S.
(Backer and Van den Brink, 1965)
Sinonim
Orthosiphon grandiflorus Auct. Non Terrac., Orthosiphon stamineus Benth
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010)
Uraian tanaman
Perawakan terna tegak, tinggi sampai dapat mencapai 2 m. Batang bersegi
empat dari pangkal, agak beralur, tidak berambut sampai berambut pendek. Daun
tunggal, letak bersilang-berhadapan, helaian daun berbentuk bulat telur, bulat
memanjang-lanset, oval atau belah ketupat, pangkal meruncing, runcing sampai
tumpul, petulangan daun menyirip, tulang daun berambut, di seluruh permukaan
daun berbitik-bitik kelenjar, panjang tangkai 3 cm. Perbungaan berupa bunga
majemuk tandan, di ujung batang atau cabang, panjang 7-29 cm, tertutup rambut
berwarna ungu, saat kering berwarna putih, tangkai bunga berambut halus dan
jarang, panjang 1-6 mm. Kelopak bunga berbintik kelenjar, alur dan pangkal daun
5
kelopak berambut halus jarang, bagian ujung tidak berambut, saat bunga mekar
panjang kelopak 4-7,5 mm, saat tua mencapai 12 mm, mahkota bunga berbibir 2,
daun mahkota berwarna ungu pucat sampai putih, panjang 13-27 mm, tabung
mahkota 10-18 mm, bibir 4,5-10 mm, toreh mahkota bunga membulat sampai
tumpul, putih atau ungu terang. Benang sari lebih panjang dari tabung mahkota
bunga, melebihi bibir mahkota bagian atas. Bunga berwarna coklat gelap, panjang
1,75-2 mm (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Kegunaan dan khasiat
Kumis kucing digunakan sebagai diuretikum, pengobatan hipertensi, gout
dan rematik (Barnes et al., 1996)
Kandungan kimia
Silika, kalium, flavonoid: eupatorin, sinensetin, luteolin, sinarosida,
isosinarosida, kuersetin, kuersimetrin, krisoeriol, isoramnetin 3-glikosida [1-3],
kuersetin-3-O-α-L-ramnosida dan kaempferol-3, 7-α-L diramnosida, 5-hidroksi6,7,3’,4’-tetrametoksi flavon, salvigenin, ladancin, tetra metil skutelarein,6hidroksi-5,7,3’,4’-tetrametoksi
flavon;
asam
kuinat;
diterpen
isopimaren
teroksigenasi: 7-O-diasetil ortosipol B, 6-hidroksi ortosipol B, 3-O-diasetil
ortosipol I, 2-O-diasetil ortosipol J, siponol A-E, ortosipol H, K, M, N, staminol
A-B, norstaminol; vomifoliol, aurantiamida asetat, asam rosmarinat, asam kafeat,
asam oleanolat, asam ursolat, asam betulinat dan β-sitosterol (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
6
2) Seledri
Klasifikasi
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Apiales
Suku
: Apiaceae (Umbelliferae)
Marga
: Apium
Jenis
: Apium graveolens L.
(Backer and Van den Brink, 1965)
Uraian tanaman
Tanaman seledri merupakan herba dengan tinggi kurang lebih 50 cm,
umur 1-2 tahun, batang tidak berkayu, beralur, beruas, bercabang, tegak, hijau
pucat. Daun tipis majemuk, daun muda melebar atau meluas dari dasar, hijau
mengkilat, segmen dengan hijau pucat, tangkai di semua atau kebanyakan daun
merupakan sarung. Bunga tunggal dengan tangkai yang jelas, sisi kelopak yang
tersembunyi, daun bunga putih kehijauan atau merah jambu pucat dengan ujung
yang bengkok. Bunga betina majemuk yang jelas, tidak bertangkai atau bertangkai
pendek, sering mempunyai daun berhadapan atau berbatasan dengan tirai bunga.
Tirai bunga tidak bertangkai atau dengan tangkai bunga tidak lebih dari 2 cm
panjangnya. Daun bunga putih kehijauan atau putih kekuningan1/2-3/4 mm
panjangnya. Buah sekitar 1 mm panjangnya, batang angular, berlekuk, sangat
aromatik, akar tebal (Backer and Van den Brink, 1965).
7
Kegunaan dan khasiat
Peluruh air seni, antiseptik saluran kemih, asam urat, memperlancar
sirkulasi darah, anti tekanan darah tinggi, penyakit asma serta bronkitis. Biji
seledri telah digunakan sebagai peluruh air seni, penenang, antikejang, penyubur
rambut, mengurangi minyak di wajah, menurunkan tekanan darah, dan
antireumatik (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Seledri dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik secara
signifikan (Joshi et al., 2012).
Kandungan kimia
Flavonoid dengan komponen utama apiin dan apigenin, minyak atsiri
dengan komponen utama isokariofilen, kariofilen, stearaldehid, senyawa kumarin
dengan komponen utama umbelliferon (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2004).
3) Pegagan
Klasifikasi
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Sub kelas : Archichlamydeae
Bangsa
: Apiales
Suku
: Apiaceae (Umbelliferae)
8
Marga
: Centella
Jenis
: Centella asiatica (L.) Urban
(Backer and Van den Brink, 1965)
Sinonim
Hydrocotile asiatica L., H. Erecta L.f., H. Hebecarpa DC., H. lurida Hance
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010)
Uraian tanaman
Pegagan merupakan tanaman terna atau herba tahuanan, batang berupa
stolon yang menjalar di atas permukaan tanah, panjang 10-80 cm. Daun tunggal
tersusun dalam roset yang terdiri dari 2-10 helai daun, kadang agak berambut.
Tangkai daun panjang sampai 50 mm, helaian daun berbentuk ginjal, lebar dan
bundar dengan garis tengah 1-7 cm, tepi daun beringgit sampai bergerigi,
terutama ke arah pangkal daun, perbungaan berupa bunga majemuk tipe payung
tunggal, terdiri atas 3-5 anak bunga, bersama-sama keluar dari ketiak daun,
ukuran ibu tangkai 5-50 mm, lebih pendek dari tangkai daun. Bunga umumnya 3,
yang di tengah duduk, yang di samping bertangkai pendek; daun pelindung 2,
panjang 3-4 mm, bentuk bulat telur, mahkota bunga berwarna merah lembayung,
panjang 1-1,5 mm, lebar sampai 0,75 mm. Buah pipih, lebar kurang lebih 7 mm
dan tinggi lebih kurang 3 mm, berlekuk dua, jelas berusuk, berwarna kuning
kecoklatan, dinding agak tebal.
Pegagan tumbuh liar di seluruh Indonesia serta daerah-daerah beriklim
tropis pada umumnya. Pegagan dapat tumbuh mulai di dataran rendah hingga
9
ketinggian 2500 m dpl baik daerah terbuka atau ternaung. Pegagan juga tumbuh di
tempat lembab dan subur seperti tegalan, padang rumput, tepi parit, di antara batubatu, dan di tepi jalan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Kegunaan dan khasiat
Pegagan berkhasiat sebagai peluruh air seni, obat sariawan, obat penurun
panas dan penambah napsu makan (Syamsuhidayat dan Johnny, 1991). Pegagan
juga memiliki aktifitas mempercepat penyembuhan luka (Shukla et al., 1999). Di
samping itu, pegagan juga memiliki aktifitas anti inflamasi dan anti alergi (George
et al., 2009).
Kandungan kimia
Kandungan utamanya adalah triterpen asam asiatat, asam madekasat dan
asam madesianat, terutama dalam bentuk glikosida, seperti asiatikosida dan
madekasosida.
Glikosida
lainnya
adalah
indosentelosida,
brahmosida,
brahminosida, tankunisida, isotankunisida. Kandungan kimia non-glikosida antara
lain kuersetin, kaemferol, stigmasterol (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2010)
4) Meniran
Klasifikasi
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
10
Bangsa
: Geraniales
Suku
: Euphorbiaceae
Marga
: Phyllantus
Spesies
: Phyllanthus niruri L.
(Backer and Van den Brink, 1965)
Sinonim
Phyllanthus kirganelia Schrub., Phyllanthus carolinianus, P, sellowianus,
P.fraternus, P. Kirganella, P. lathyroides, P. lonphali, Nymphanthus niruri
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Uraian tanaman
Merupakan tanaman liar (gulma), banyak terdapat di ladang, tanah
berbatu, hutan yang lembab. Tumbuh tersebar hampir di seluruh Indonesia pada
ketinggian antara 1-1000 m dpl. Tumbuh liar di tempat terbuka, pada tanah
gembur yang mengandung pasir, di ladang, di tepi sungai, dan di pantai.
Perawakan terna 1 tahun tumbuh tegak, tinggi dapat mencapai 0,8 m,
berwarna hijau pucat, letak cabang tersebar. Daun tunggal, letak berseling pada
ujung cabang dengan posisi mendatar terhadap batang pokok. Helaian daun
berbentuk elip pendek sampai lonjong, panjang 0,5-2 cm, lebar 0,25-0,5 cm,
pangkal membulat sampai tumpul, ujung membulat, tumpul atau runcing, warna
hijau pucat. Bunga tunggal, bunga betina di ketiak daun ujung, kadang dengan
beberapa bunga jantan, letak bunga di sisi bawah ketiak daun, 2-3 bunga jantan di
sekitar pangkal cabang, panjang tangkai bunga 0,5-1 mm. Mahkota bunga
11
berbentuk bulat telur terbalik (sungsang), panjang 0,75-1 mm, warna hijau muda
bergaris merah. Bunga betina tunggal, di ketiak daun bagian ujung (atas) cabang,
tangkai bunga 1,25-1,5 mm. Ukuran bunga lebih dari 1,75 mm, berbentuk genta,
buah licin, garis tengah 2-2,5 mm, panjang tangkai buah 1,5-2 mm (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Kegunaan dan khasiat
Untuk mengobati penyakit ginjal, kuning, mencret, kencing nanah, ayan,
sakit perut, sakit gigi, kencing kurang lancar, demam, tetanus, darah kotor, kejang
gagau, kecing batu (Aliadi et al., 1996). Selain itu meniran juga memiliki aktifitas
sebagai anti-oksidan dan hepatoprotektor (Manjrekar et al., 2008). Penelitian dari
Okoli et al (2009) menunjukkan bahwa meniran memiliki potensi sebagai obat
anti diabetes. Meniran juga dapat digunakan sebagai anti-tumor (Sharma et al.,
2009).
Kandungan kimia
Lignan dengan komponen utama filantin dan hipofilantin, flavonoid
dengan komponen utama kuersetin, rutin, dan leukodelfinidin, galokatekin
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004).
5) Temulawak
Klasifikasi
Kingdom
: Plantae
12
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Species
: Curcuma xanthorriza Roxb
(Backer and Van den Brink, 1965)
Uraian tanaman
Temulawak berasal dari Indonesia, khususnya pulau Jawa, selanjutnya
menyebar ke kawasan Indo-Malaya. Habitat temulawak berada di hutan tropis
pada tanah gembur. Temulawak tumbuh di seluruh pulau Jawa dan tumbuh liar di
bawah hutan jati, tanah kering, pekarangan, padang alang-alang dan tegalan pada
ketinggian tempat 5-1500 m dpl. Temulawak dapat ditanam pada tanah ringan
agak berpasir sampai tanah berat bertekstur liat.
Temulawak memiliki perawakan terna berbatang semu, tinggi dapat
mencapai 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap, rimpang berkembang sempurna,
bercabang-cabang kuat, berwarna hijau gelap, bagian dalam berwarna jingga,
rasanya agak pahit. Setiap individu tanaman mempunyai 2-9 daun, berbentuk
lonjong sampai lanset, berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap,
panjang 31-84 cm, lebar 10-18 cm, panjang tangkai daun (termasuk helaian) 4380 cm. Perbungaan berupa bunga majemuk bulir, muncul di antara 2 ruas rimpang
(lateralis), bertangkai ramping, 10-37 cm berambut, daun-daun pelindung
13
menyerupai sisik berbentuk garis, berambut halus, panjang 4-12 cm, lebar 2-3 cm.
Bentuk bulir lonjong panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak,
panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bulat telur
sungsang (terbalik) sampai bulat memanjang, berwarna merah, ungu atau putih
dengan sebagian dari ujungnya berwarna ungu, bagian bawah berwarna hijau
muda atau keputihan, panjang 3-8 cm, lebar 1,5-3,5 cm. Kelopak bunga berwarna
putih berambut, panjang 8-13 mm. Mahkota bunga berbentuk tabung dengan
panjang keseluruhan 4,5 cm, tabung berwarna putih atau kekuningan, panjang 22,5 cm, helaian bunga berbentuk bulat telur atau lonjong, berwarna putih dengan
ujung yang berwarna merah atau merah tua, panjang 1,25-2 cm, lebar 1 cm.
Benang sari 6, 5 benang sari menjadi lembaran menyerupai bibir yang berbentuk
bulat atau bulat telur sungsang (terbalik), berwarna jingga dan kadang-kadang
pada tepinya berwarna merah, panjang 14-18 cm, lebar 14-20 mm, benang sari
fertil berwarna kuning muda, panjang 12-16 mm, lebar 10-15 mm, panjang
tangkai sari 3-4,5 mm, lebar 2,5-4,5 mm, kepala sari berwarna putih, panjang 6
mm. Tangkai putik panjang 3-7 mm. Buah berambut, panjang 2 cm (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Kegunaan dan khasiat
Digunakan untuk mengobati penyakit ginjal, sakit kuning, gangguan pada
getah empedu, penyakit kurang darah, radang lambung, kencing darah, ayan,
kurang darah sehabis nifas, exsim, sembelit, kejang-kejang, ambeien, kurang
napsu makan, cacar air, mencret (Aliadi et al., 1996). Temulawak juga berfungsi
14
sebagai hepatoprotektor (Lin et al., 1995). Selain itu, temulawak juga digunakan
secara topikal untuk obat jerawat dan peradangan di kulit, serta memiliki aktifitas
antibakteri (Park et al., 2008).
Kandungan kimia
Rimpang
temulawak
mengandung
kurkumin,
desmetoksikurkumin,
minyak atsiri dengan komponen utama xantorizol, dan oleoresin (BPOM RI,
2004)
6) Kunyit
Klasifikasi
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Species
: Curcuma domestica Val
(Backer and Van den Brink, 1965)
Uraian tanaman
Perawakan terna berbatang semu, tersusun atas pelepah-pelepah daun,
warna hijau agak kekuningan, rimpang bercabang-cabang, berwarna jingga. Daun
15
tunggal, letak daun berseling, setiap tanaman memiliki 3-8 daun, daun bertangkai,
panjang tangkai berserta pelepah daun lebih dari 73 cm, helaian daun berbentuk
bulat memanjang sampai lanset, panjang 2,5-5 kali lebar, ujung daun runcing
sampai meruncing, keseluruhannya berwarna hijau atau hanya bagian atas dekat
tulang utama berwarna agak keunguan, panjang 28-85 cm, lebar 10-25 cm.
Perbungaan berupa bunga majemuk tandan di ujung batang semu, tangkai
karangan berambut sampai bersisik, panjang tangkai 16-40 cm. Daun pelindung,
panjang 10-19 cm, lebar 5-10 cm. Daun kelopak berambut, berbentuk lanset,
panjang 4-8 cm, lebar 2-3,5 cm, daun kelopak yang paling bawah berwarna hijau,
bentuk bulat telur, makin ke atas makin menyempit serta memanjang, warna putih
atau putih keunguan, kelopak berbentuk tabung, panjang 9-13 mm, bergigi 3 dan
tipis seperti selaput. Mahkota bunga bagian bawah berbentuk tabung, panjang
lebih kurang 20 mm, berwarna coklat muda, bagian dalam tabung berambut,
mahkota bagian ujung terbelah, warna putih atau merah jambu, panjang 10-15
mm, lebar 11-14 mm. Benang sari 6, 5 benang sari menjadi lembaran seperti bibir
berbentuk bulat telur, panjang 16-20 mm, lebar 15-18 mm, warna jingga atau
kuning keemasan dengan pinggir berwarna coklat dan di tengahnya berwarna
kemerahan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Kegunaan dan khasiat
Rimpang kunyit digunakan secara tradisional untuk mengobati radang
umbai usus buntu, radang rahim, amandel, mati haid, asma , borok, gatal, radang
gusi, koreng, bengkak-bengkak, encok, radang hidung, perut nyeri, sembelit,
16
trachoma/mata, eksema, kurang darah, tekanan darah tinggi, demam-nifas,
mencret, cacar sapi, kepala pusing, keputihan, kudis, disentri, dan lain-lain
(Mardisiswojo dan Harsono, 1985)
Kandungan kimia
Kurkuminoid: kurkumin, desmetoksi kurkumin, bisdesmetoksi kurkumin;
pati tanin, resin; komponen minyak atsiri terpen: tumeron, atlanton dan
zingiberon; gula; protein (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004)
7) Ekstrak
Ekstrak merupakan sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).
Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang
sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan
awal dianalogkan dengan komoditi bahan baku obat yang dengan teknologi
fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti
masih menjadi bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat
senyawa tunggal maupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak
sebagai produk jadi berarti ekstrak yang berada dalam sediaan obat jadi siap
digunakan oleh penderita (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).
17
8) Kromatografi
Berdasarkan buku analisis instrumental yang ditulis oleh Mulja dan
Suharman pada tahun 1995 tentang sejarah kromatografi, kromatografi pertama
kali dilakukan oleh W.Ramsey yang pada tahun 1905 yang berusaha memisahkan
campuran gas dan uap. Sedangkan istilah “kromatografi” pertama kali diberikan
oleh seorang ahli botani Rusia yaitu Mikhail Semenovie Tswett (1872-1999)
terhadap hasil pemisahan yang dilakukan pada klorofil. Alasan Tswett
memberikan istilah kromatografi (yang artinya penulisan warna) karena beliau
mendapatkan pita-pita yang berwarna yang terpisah pada kolom yang diisi
adsorben kalsium karbonat (Mulja dan Suharman, 1995).
Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh
suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase,
salah saru diantaranya bergerak secara berkesinambungan dengan arah tertentu
dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya
perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau
kerapatan muatan ion. Teknik kromatografi umum membutuhkan zat terlarut
terdistribusi di antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak
membawa zat terlarut melalui media, hingga terpisah dari zat terlarut lainnya,
yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati
media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut
eluen. Fase diam dapat bertindak sebagai fase penjerap seperti silika gel atau
dapat bertindak melarutkan sehingga terjadi partisi antara fase diam dan fase
gerak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Kromatografi sendiri
18
bertujuan untuk memisahkan komponen dari matriks sampel dan tetap dibiarkan
dalam fase diam kemudian ditentukan untuk analisis. Selain itu kromatografi
dipakai pula untuk tujuan produksi atau preparatif, dalam hal ini komponen yang
ingin dipisahkan dari matriks sampel harus dikeluarkan dari fase diam sehingga
didapatkan bentuk komponen murni (isolat) (Mulja dan Suharman, 1995).
a)
Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada
tahun 1938. Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang
seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat
aluminium, atau pelat plastik (Rohman, 2009). Lempeng yang dilapisi dapat
dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan yang tercapai dapat
didasarkan pada adsorpsi, partisi, atau kombinasi kedua efek yang tergantung dari
jenis lempeng, cara pembuatan, jenis pelarut yang digunakan.
Pada kromtografi lapis tipis dikenal istilah atau pengertian faktor retardasi
(Rf) untuk tiap-tiap noda kromatogram yang didefinisikan sebagai
Rf = Jarak migrasi komponen = dR = hRF
Jarak migrasi fase mobil dM 100
Sedangkan
untuk
membandingkan noda
analisis
kromatogram
kualitatif
sampel
dilakukan
dengan
dengan
cara
noda kromatogram
pembanding (Mulja dan Suharman, 1995). Pengukuran kuantitatif dimungkinkan,
bila digunakan densitometer, atau bercak dapat dikerok dari lempeng, kemudian
diekstraksi dengan pelarut yang sesuai dan diukur secara spektrofotometri
19
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Kromatografi lapis tipis
dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan
krmatografi kolom. Demikian juga dengan peralatan yang digunakan lebih
sederhana, pelaksanaannya juga terhitung lebih cepat (Rohman, 2009).
9) Spektrofotometri ultra-violet
Metode ini termasuk spektroskopi absorpsi, merupakan pengukuran hasil
interaksi radiasi elektromagnetik dengan molekul yang menggunakan panjang
gelombang di daerah ultraviolet dan tampak pada spektrum elektromagnetik. Pada
spektrometri uv dan tampak molekul mengabsorbsi energi dengan cara transisi
elektronik. Pada spektrometri absorpsi ternyata ada hubungan antara banyaknya
radiasi yang diabsorpsi dengan jumlah molekul pengabsorpsi, sedangkan gugusgugus molekul yang mengabsorpsi radiasi pada panjang gelombang tertentu juga
spesifik, sehingga pengukuran ini dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif (Fatah, 1987).
Download