PENDIDIKAN ISLAM BERWAWASAN PLURALIS (Sebuah Solusi Dari Keberagaman Pemahaman Internal dan antar Agama) Oleh: Ali Ridho Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Khairat Pamekasan Email: [email protected] Abstrak Pada dasarnya pendidikan Islam sangatlah berbeda dengan dakwah Islam, Hal ini terbukti dengan dijadikannya rumah al-Arqam sebagai pusat pendidikan Islam sekaligus pusat dakwah Islam. Akan tetapi setelah melalui proses sejarah yang panjang, pendidikan Islam lambat laun menjadi suatu sistem formal dan berbeda dari dakwah Islam. Pendidikan Islam merupakan proses bimbingan dan pembinaan semaksimal mungkin yang diberikan kepada seseorang melalui ajaran Islam agar orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan. Tujuan itu sendiri terdiri atas tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendeknya adalah tercapainya pengembangan potensi diri seseorang dalam segala aspeknya melalui proses pembelajaran yang maksimal, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah terbentuknya kepribadian muslim paripurna sehingga orang tersebut dapat memfungsikan dirinya secara individual maupun sosial demi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sedangkan pluralism, Islam secara tegas memandang pluralisme sebagai suatu keniscayaan dan bahkan secara positif menyikapinya. Bukti normatif adalah terdapatnya gagasan ahl alkitab dalam al-quran, yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain yang memiliki kitab suci. Kata kunci: Pendidikan Islam, Pluralistik 1 Pendahuluan Dalam kehidupan kita, realitas kemajemukan merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada realitas bahwa tidak semua orang sama dengan kita. Kita dengan sangat mudah menjumpai orang-orang yang berbeda dari segi suku, bahasa, budaya, agama dan lain-lain. Tanpa disadari, sebagian dari kita berada di lingkungan yang sangat beragam dan plural. Namun juga tidak menutup kemungkinan adanya sebagian kelompok masyarakat kita yang hidup secara homogen dengan komonitas suku, bahasa, budaya, dan agama tertentu1. Namun dilain hal, kadang keberagaman itu menjadi dilema tersendiri bagi pemeluk suatu agama, karena doktrin yang ada menjadikannya merasa menjadi orang yang lebih benar sendiri dan menafikan pemahaman yang lain. Ekslusivitas pemahaman serta radikalisme menjadi bumerang dan kadang berujung pada konflik diatara pemeluk agama, banyak sekali contoh kasus yang baerbau ras, agama ataupun suku, maupun keyakinan pemahaman terhadap madzhab suatu agama. Contoh kasus terbaru adalah pembakaran pesantren Syiah di Sampang2, atau pengrusakan masjid Ahmadiyah di Tasikmalaya Jawa Barat3, dan banyak lagi lainnya yang semuanya berbau ras dan agama4. hal ini harus manjadi perhatian 1 M. Afifuddin, Membangun Demokrasi dari Bawah; Isu-isu Demokrasi dalam Pendidikan Agama Islam, PPSDM UIN Jakarta, 2006, hal. 104 2 Seperti yang diberitakan oleh viva.news.com, Konflik kedua kelompok Islam berbeda aliran pemahaman ini bermula dari konflik pribadi antara pimpinan Islam Syiah Tajul Muluk dengan pimpinan kelompok Islam Sunni KH Rois yang berebut santri. Dari konflik kedua tokoh ini, tersiar kabar di kalangan pengikut Islam Sunni bahwa kelompok Islam Syiah adalah kelompok Islam yang menyebarkan ajaran sesat, hingga akhirnya memicu emosi pengikut Sunni di wilayah itu. Puncaknya, ratusan pengikut Sunni menyerbu kediaman pimpinan Islam Syiah di Desa Karang Gayam. Mereka membakar madrasah, mushala dan rumah pimpinan Syi'ah. Lebih dari 225 orang warga Syi'ah dievakuasi ke kantor Kecamatan Ombem, dan karena kapasitas kantor kecamatan tidak memadai kemudian pada pukul 23.30 WIB, dipindah ke GOR Wijata Kusuma depan kantor Bupati Sampang. 3 Seperti yang diberitakan oleh viva.news.com. Masjid Ahmadiyah di kampung Babakan Sindang, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya dirusak massa sekitar pukul 11.00 WIB, Jumat 20 April 2012. Meski tidak ada korban jiwa, aktifitas salat jumat di masjid tersebut berhenti total. Menggunakan batu dan kayu, mereka menghancurkan kaca jendela masjid serta pintu masjid. Bahkan dari dalam masjid sempat terlihat api membakar karpet. Aksi mereka hanya berlangsung 15 menit. "Perusakan ini diduga akibat difungsikannya lagi masjid Ahmadiyah yang sudah disegel masyarakat beberapa waktu sebelumnya. 4 Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, marak terjadi di tanah air. Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini sedang diuji eksistensinya. Berbagai indikator yang memperlihatkan adanya tanda-tanda perpecahan bangsa, dengan transparan mudah kita baca. Konflik di Ambon, Papua, maupun Poso, seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun berkali-kali bisa diredam. Peristiwa tersebut, 2 sendiri bagi orang berkompeten memikirkan dan mengarahkan pemeluk suatau agama pada pemahaman yang baik. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah, tentang peran pendidikan Islam bagi umat Islam itu sendiri. Islam sebagai “rohmatan lil „alamin” sudah dapatkah itu diwujudkan, karena posisi umat Islam sebagai mayoritas di satu sisi sangatlah tidak menguntungkan. Dan ironisnya ternyata umat Islam dapat dikatakan hampir banyak ikut serta dalam setiap aksi kerusuhan. Mengapa bisa terjadi demikian ? tentunya ada yang salah, “there is something wrong”. Atau bisa jadi pendidikan Islam belum mampu mendidik umatnya menjadi kaum pluralis? ini perlu dikaji kembali sebagai upaya perbaikan mutu pendidikan Islam itu sendiri. 1. Pendidikan Islam Hal pertama yang perlu dikemukakan disini adalah, bahwa pendidikan Islam sangatlah berbeda dengan dakwah Islam, hal ini juga diakui oleh Azra dalam buku Neo-sufisme masa depan sebagaimana dikutip oleh Abdullah idi dan Toto suharto, pada awal pertumbuhannya pendidikan memang bersentuhan dengan upaya-upaya dakwah islamiyah. Hal ini terbukti dengan dijadikannya rumah al-Arqam sebagai pusat pendidikan Islam sekaligus pusat dakwah Islam5. Akan tetapi setelah melalui proses sejarah yang panjang, pendidikan Islam lambat laun menjadi suatu sistem formal dan berbeda dari dakwah Islam. Menurut Ahmad Muhammad Jamal, pendidikan Islam dan dakwah Islam dapat dibedakan atas dasar objek formolanya. Objek pendidikan Islam adalah subjek didik yang dididik di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sedangkan objek dakwah Islam adalah masyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam, dan para rasul diutus untuk meluruskan penyimpangan tersebut.6 Inilah yang membedakan antara pendidikan Islam dan dakwah Islam. Dan untuk lebih jelasnya maka penulis akan lebih fokus pada hakikat pendidikan Islam. bukan saja telah banyak merenggut korban jiwa, tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat ibadah (baik masjid maupun gereja). 5 Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakrta: Tiara Wacana, 2006, hal. 46 6 Ibid. hal, 46-47 3 2. Hakikat Pendidikan Islam Apabila kita berbicara tentang hakikat pendidikan Islam, sudah barang tentu tidak dapat terlepas dari pembicaraan tentang pengertian pendidikan secara Umum, hal ini disebabkan karena ada faktor keterkaitan antara pengertian pendidikan Islam dengan pendidikan secara umum. Dalam memberikan definisi tentang pendidikan, para ahli berbeda pendapat sesuai dengan kerangka berpikir masing-masing, diantaranya sebagaimana dikutip oleh M. Slamet Yahya dalam jurnal Insania P3M STAIN Purwokerto sebagai berikut: Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Menurutnya pendidikan berarti usaha berkebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Soegarda Poerbakawatja mengatakan pendidikan mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya7. Dari ketiga definisi tersebut dapatlah diambil satu kesimpulan bahwa pendidikan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dengan sengaja, seksama, terancana, dan bertujuan yang dilaksanakan oleh orang dewasa dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan (profesional) menyampaikan kepada anak didik secara bertahap. Begitu juga apa yang diberikan kepada anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan perannya di masyarakat, di mana kelak ia hidup. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan Islam, Sayyid Quthb memberi pengertian pendidikan Islam sebagai usaha untuk melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani 7 M. Slamet Yahya, Pendidikan Islam dan Pluralisme, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, vol.13. No.1, Jan-Apr 2003. 4 ataupun rohani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam melaksanakannya di bumi ini8. Jadi dalam hal ini Quthb memandang pendidikan Islam sebagai suatu aktifitas yang berusaha memahami diri manusia secara total melalui berbagai pendekatan dalam rangka menjalankan kehidupan di dunia. Pengertian tentang pendidikan Islam banyak dikemukakan oleh pakar bidang pendidikan Islam. Masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda, hak ini tergantung dengan sudut pandang yang digunakannya. Hal itu menunjukkan bahwa betapa sulit merumuskan pengertian pendidikan Islam. Menurut Ahmad Tafsir sebagaimana dikutip oleh Idi dan Suharto kesulitan dalam merumuskan pengrtian pendidikan Islam itu dikarenakan dua hal, yaitu karena (i) banyaknya jenis kegiatan yang disebut sebagai pendidikan Islam, dan karena (ii) luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan Islam9. Oleh karenanya, upaya mendefinisikan pendidikan Islam sebaiknya lebih didasarkan pada hal-hal yang menjadi tujuannya. Penentuan tujuan pendidikan Islam perlu diperjelas sehinga sasaran yang hendak dicapai pun menjadi jelas pula. Di dalam laporan hasil word conference on Muslim Education yang pertama di Mekkah tanggal 31 Maret sampai 8 April 1977, disebutkan : “pendidikan seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan kepribadian total manusia secara seimbang, melalui latihan, spritual, intlektual, rasional diri, perasaan, dan kepekaan tubuh manusia. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spritual, intlektual, imajinasi, fisik, ilmiah, lingistik baik secara individual maupun secara kolektif, dan memotivasi semua aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Muslim terletak pada realisasi kepasrahan mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya.” 8 Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa Salman Harun, Bandung: Al-Ma’arif, 1984, hal. 27 9 Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakrta: Tiara Wacana, 2006, hal. 48-49 5 Berdasarkan kutipan diatas, pendidikan Islam ternyata memiliki tujuan antara dan tujuan akhir. Menurut Azyumardi Azra yang juga dikutip oleh Idi dan Suharto, tujuan antara adalah tujuan yang pertama-tama hendak dicapai dalam proses pendidikan Islam. Tujuan itu menyangkut perubahan-perubahan yang di kehendaki dalam proses pendidikan Islam, baik berkenaan dengan pribadi, peserta didik, masyarakat, maupun lingkungan. Keberadaan tujuan antara juga harus jelas sehingga keberhasilan pendidikan Islam dapat diukur secara bertahap. Dalam hal ini10. Dari pendapat tersebut diatas maka tujuan pendidikan Islam menjadi 3 macam jenis, yaitu : a. Tujuan individual, yaitu tujuan yang berorientasi pada pengembangan pribadi, baik dari segi pelajaran-pelajaran yang diterima ataupun aktifitas pertumbuhan peserta didik dalam menjalani kehidupan di dunia ataupun persiapan di akhirat. b. Tujuan sosial, yaitu tujuan yang berorientasi pada kehidupan sosial peserta didik secara keseluruhan, baik yang berkaitan dengan pengayaan pengalaman dan kemajuan peserta didik dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. c. Tujuan profesional, sebuah tujuan yang berkaitan dengan pendidikan sebagai ilmu, seni, profesi sebagai suatu aktivitas yang berada ditengahtengah masyarakat. Proses pendidikan Islam pada akhirnya berusaha mencapai ketiga tujuan antara di atas secara terpada dan terarah, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan paripurna dari pendidikan Islam, yaitu kepasrahan mutlak kepada Allah. Hal ini selaras dengan substansi penciptaan makhluk hidup adalah pengabdian (ibadah) sebagimana disabdakan dalam Surat alDzariyyat: 56 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan proses bimbingan dan pembinaan semaksimal mungkin 10 Ibid, hal. 50 6 yang diberikan kepada seseorang melalui ajaran Islam agar orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan. Tujuan itu sendiri terdiri atas tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendeknya adalah tercapainya pengembangan potensi diri seseorang dalam segala aspeknya melalui proses pembelajaran yang maksimal; sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah terbentuknya kepribadian muslim paripurna sehingga orang tersebut dapat memfungsikan dirinya secara individual maupun sosial demi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Yang dimaksudkan diatas adalah manusia karena pendidikan sejatinya pelakunya adalah manusia. 3. Pluralisme a. Sejarah Singkat Pluralisme11 Pluralisme telah muncul di India pada akhir abad ke 15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya yaitu guru nanak (1469-1538) diantar Pencetus-pencetusnya adalah Ernst Troelsch (18651923): seorang teolog Kristen liberal dalam sebuah makalahnya yang berjudul (posisi agama Kristen diantara agama-agama dunia) doi berpendapat bahwa dalam semua agama termasuk Kristen selalu mengandung elemen kebenaran mutlak. konsep tentang ketuhanan dimuka bumi ini beragam dan tidak hanya Satu. William E. Hocking dalam bukunya Rethinking Mission pada tahun 1932 dan berikutnya Living Religions and A World Faith dia memperediksikan munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global. Arnold Toynbee (1889-1975) pemikirannya hampir sama dengan Ernst Troelsch dalam karyanya An Historian’s Approach To Religion (1965) dan dan Crishtianity An World Religions (1957). Wilfred Cantwell Smith dalam karyanya Towards A World Theology (1981) karena gagasan dia inilah pluralisme semakin berkembang dia menyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama (commond 11 http://indonesiancommunity.multiply.com/journal/item/3600/ diambil pada tanggal 27 April 2012 7 ground) bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis. b. Definisi Pluralisme Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti: jamak/banyak. Sedangkan pluralisme itu sendiri berarti suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi12. Pluralisme juga dalam pengertian yang sederhana dapat dimaknai sebagai segala bentuk keanekaragaman dan kemajemukan13. Pluralisme juga sering digunakan untuk menunjuk pada makna realitas keragaman sosial sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Ramundo Panikar, melihat pluralisme sebagai bentuk pemahaman moderasi yang bertujuan menciptakan komunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalahpahaman timbal-balik antara budaya dunia yang berbeda dan membiarkan mereka bicara dan mengungkapkan pandangan mereka dalam bahasanya sendiri14. Richard J. Mouw dan Sander Griffion mendefinisikan lebih luas tentannganya, yang mana menurutnya pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran tentang “plurality” (a pluralisme is an “ism” about a “plurality”)15 pengertian ini menurutnya akan lebih bermakna ketika seseorang mengakui dan meyakini bahwa ada sesuatu yang penting untuk dikatakan mengenai banyaknya perbedaan tersebut. Jadi Pluralisme dalam kaitannya dengan thema makalah ini adalah paham atau sikap terhadap keadaan yang majemuk, baik dalam konteks sosial, budaya, politik, maupun agama Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan, bahwa pluralisme ini dapat dipahami sebagai: (1). Suatu teori yan menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya, mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi 12 utama yang mewakili Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Ar Kolah, 1994, hlm. 604 13 M. Afifuddin, Membangun Demokrasi dari Bawah; Isu-isu Demokrasi dalam Pendidikan Agama Islam, PPSDM UIN Jakarta, 2006, hal. 105 14 Sudiarjo, Dialog Intra Religious, Yogyakarta: Kanisus, 1994, hlm. 33-34 15 Ricard J. Mouw, Sander Griffon, Pluralism and Horizon (Grand Rapids: 1993) 13 8 keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga, suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama diantara sejumlah partai politik. (2). Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atau primordial16. Senada dengan pendapat ini Asghar Ali Engineer yang mana menurutnya Pluralisme sangat menghargai adanya entitas-entitas beragam yang mengkonstruk sebuah sistem sosial budaya. Dialektika seputar pluralisme tidak bisa dipisahkan oleh aspek keagamaan budaya, agama etnis, dan ragam perbedaan lainnya. Pluralisme menekankan sikap saling menghormati, menyayangi, dan selalu menghargai yang lain dalam sebuah masyarakat atau kesatuan sosial tertentu17. Sebagai upaya mendukung pluralisme tersebut, diperlukan adanya budaya toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat mengakui adanya kemajemukan sosial, namun persoalan penyikapan terhadaap segala bentuk pluralitas sering menimbulkan masalah tersendiri. Yang paling menonjol menurut Afifuddin dari persoalan pluralisme adalah isu yang berkaitan dengan ras atau agama. Kedua isu ini kadang menyatu dalam satu permasalahan seperti yang terjadi dalam kasus Israil-Palestina, SerbiaBosnia, dan sebagainya. Di Eropa sendiri dalam waktu yang relatif lama, terutama pada abad 16 dikenal adanya perang agama antar Kristen, Yahudi, dan Katolik. Untuk menghilangkan konflik dan intoleransi yang berkepanjangan, di Perancis diundangkan The Edict of Nates pada tahun 1598, sedangkan di Inggris diundangkan Toleration Act pada tahun 1689. Dalam konteks Indonesia, kasus yang terjadi di Sambas Kalimantan Barat adalah diantara konflik yang berbungkus isu ras dan agama18. 16 M. Afifuddin, Membangun Demokrasi dari Bawah; Isu-isu Demokrasi dalam Pendidikan Agama Islam, PPSDM UIN Jakarta, 2006, hal. 106 17 Paul F. Knitten (editor) the maith of religius superiority: a multifaith explovation, (New York Orbis Books, Mary hell, 2005) 214 18 M. Afifuddin, Membangun Demokrasi dari Bawah; Isu-isu Demokrasi dalam Pendidikan Agama Islam, PPSDM UIN Jakarta, 2006, hal. 106-107 9 Dalam realita kehidupan kita sehari-hari, masalah perbedaan dalam berbagai hal sering kali memicu terjadinya konflik dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena tidak atau kurang adanya kesepahaman dan kompromi diantara perbedaan-perbedaan tersebut. Fakta pluralitas disebuah kelompok sosial dengan titik-titik perbedaan didalamnya seringkali ditarik kemedan pertikaian yang tiada henti. Banyak sekali berita-berita dari media cetak ataupun elektro yang mengabarkan tentang pertikaian yang terjadi ditengah-tengah masyrakat disebabkan perbedaan, baik pemahaman, keakinan ataupun yang lainnya sebagaimana di contohkan diatas. Keragaman bahkan sering tertuduh menjadi kambing hitam kepentingan-kepentingan negatif individual dan kelompok sepihak. Kemajemukan dalam banyak hal perlu dimaknai secara tepat dan disikapi secara arif dan bijaksana. Fakta pluralisme harus disikapi dengan menerapkan sikap pengawasan dan pengimbangan untuk mewujudkan keselamatan bagi umat manusia. c. Pluralisme dalam al-Qur’an Gagasan pluralis multikultur (yang biasanya terwujud dalam bentuk toleransi yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari) sebenarnya mempunyai rujukan dalam al-Qur’an19, yang merupakan pedoman hidup umat manusia di dunia ini. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an 19 Al-Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW via malaikat Jibril dengan berbahasa Arab, dan kebenarannya dipercaya tanpa syarat serta menjadi pedoman hidup umat Islam di dunia. Menurut M. Quraish Shihab, secara harfiah al-Qur’an berarti “bacaan sempurna”. Al-Qur’an merupakan nama pilihan Allah yang sungguh tepat karena tiada suatu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca sekitar lima ribu tahun lalu yang dapat menandingi al-Qur’an. lihat M. Quraish Shihab, wawasan al-Qur‟an (Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan Umat), Bandung: Mizan, 1996, hal. 3 10 Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian20 terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu21, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu. Sebagai pedoman hidup manusia, al-Qur’an terbuka untuk berdialog dan menerima adanya pluralitas pemahaman dan penafsiran terhadapnya. Oleh karena itu, untuk memahami hakikat kebenaran yang terkandung di dalamnya tidak cukup hanya mengandalkan dengan pendekatan rasional saja menggunakan analisis makna kata, logika bahasa, dan konteks sejarah yang justru sering mendangkalkan hakikat kebenarannya. Oleh karena sebenarnya yang lebih penting adalah memahami dengan kebesaran hati, melalui pengosongan egoisme diri sendiri yang bercokol di dalam hati karena egoisme seringkali menutup hati dan menjadi penghalang untuk melihat langsung kebenaran dan realitas spritual. Berdasarkan pengungkapan al-Qur’an di atas, jelaslah bahwa alQur’an menunjukkan sikap dan pengakuan yang jelas terhadap perbedaan keyakinan atau agama ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai pluralitas agama. Konsep pluralitas agama juga memasukkan mereka yang tidak beragama dan mereka yang mempunyai banyak tuhan sebagai polytheism 20 Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya 21 Maksudnya: umat nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya 11 Al-Qur’an sendiri dengan jelas menetapkan prinsip upaya saling menghormati dan saling mengakui eksistensi masing-masing penganut agama ; Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." Selanjutnya Islam telah menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, sebagaimana yang tercantum dala surta al-Baqarah: 256 Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut22 dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Pandangan Islam di atas relevan dengan UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 yang berbunyi: “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, Islam mengajak untuk mencari akar persamaan yang menjadi dasar ajaran masing-masing agama, yakni kepercayaan pada Tuhan itu sendiri sebagai pusat ajaran setiap agama. Jadi bukan pada sebutan nama Tuhan dari masing-masing agama23, sebagaimana terungkap dalam al-Qur’an surat Ali Imran: 64 22 Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t. Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakrta: Tiara Wacana, 2006, hal. 117 23 12 Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orangorang yang berserah diri (kepada Allah)". Islam pada dasarnya adalah agama yang toleran terhadap penganut agama lain. Secara implisit, al-Qur’an menyindir siapapun yang terjebak dalam pemahaman keagamaan yang picik, sempit, eksklusif dan monolitik. Sebab, konsepsi kebenaran tidak menjadi monopoli seseorang atau golongan tertentu. Sebagaimana pepatah mengatakan “banyak jalan menuju roma” hal ini menunjukkan betapa jalan menuju kebenaran itu sangat beragam. Sedangkan menurut Nurcholish Majid kaitannya dengan pluralisme hal itu berangkat dari semangat humanitas dan universalitas Islam.24 Yang dimaksud dengan semangat humanitas adalah Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain cita-cita Islam sejalan dengan cita-cita manusia pada umumnya. Dan misi Nabi Muhammad adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, jadi bukan semata-mata untuk menguntungkan komunitas islam saja. Sedangkan pengertian universalitas islam dapat dilacak dari term al-islam yang berarti sikap pasrah pada Tuhan . dengan pengertian tersebut, semua agama yang benar pasti bersifat al-islam. Tafsir al-islam seperti ini bermuara pada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, yang kemusiaan dalam urutannya membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman.25 Islam secara tegas memandang pluralisme sebagai suatu keniscayaan dan bahkan secara positif menyikapinya. Bukti normatif lain yang ditunjukan Nurcholish adalah terdapatnya gagasan ahl al-kitab dalam al-quran, yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain yang memiliki kitab suci . ini tidak berarti memandang semua agama sama, suatu hal yang mustahil, mengingat 24 25 Ahmad Amir Aziz. Neo-modernisme islam di indonesia. Jakarta: PT rineka cipta, 1999. Hal. 50 Ibid, Fhal. 51 13 kenyataan agama yang ada adalah berbeda-beda dalam banyak hal sampai sampai ke hal yang prinsip. Tetapi memberi pengakuan sebatas hak masing-masing untuk berada (bereksistensi) dengan kebebasan menjalankan agama masing-masing. Bertolak dari pandangan bahwa Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah), yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal; Nurcholish berpendapat cita-cita keislaman di Indonesia adalah sejalan dengan cita-cita manusia indonesia pada umumnya. Ia yakin betul bahwa pandangan ini merupakan salah satu ajaran pokok Islam. Karenanya Nurcholish berpendapat bahwa, “sistem politik yang sebaiknya diterapkan diIndonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga yang membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia.” Pikiran bahwa yang dikehendaki oleh Islam adalah suatu sistem yang menguntungkan semua orang. Termasuk mereka yang bukan muslim, menurutnya adalah sejalan dengan watak inklusif Islam. Pandangan ini, menurutnya telah memperoleh dukungannya dalam sejarah awal Islam. Dari alur pemikiran Nurcholish di atas, pada intinya ia hendak menandaskan bahwa Islam, melalui kekuatan doktrin ajaran dan bagaimana kesejarahanya, memiliki peran besar dalam mengembangkan paham pluralisme agama, memang ia mengakui bagaimanapun tetap ada kendala berupa munculnya sikap tertutup dan tidak suka terhadap agama lain. Prasangka negatif adalah bagian dari kenyataan hubungan antar kelompok. Namun tidak semua kelompok membenarkan adanya prasangka kepada kelompok lainnya dan banyak dari mereka yang mempunyai komitmen untuk memberantasnya. Menurut Nurcholish, pengalaman historis umat Islam dalam mempraktekan pluralisme benar-benar mengesankan, namun beberapa abad belakangan mengalami gangguan. Sebabnya ialah karena faktor imperialisme barat (Eropa-kristen) terhadap dunia Islam dan gerakan zionisme yahudi. Dua hal itu menyebabkan timbulnya konflik yang rumit di kalangan versus kristen dan Yahudi. Meskipun demikian bagi Nurcholis, 14 kendala itu tidak boleh membuat umat Islam menurun prestasinya dalam mengembangkan semangat toleransi. Berkat kemajuan pendidikan, umat Islam dapat secara kreatif mengolah pengalaman masa lalunya, untuk ditransformasikan kedalam bentuk-bentuk toleransi dan pluralisme modern, dengan sedikit saja perubahan seperlunya beberapa konsep dan ketentuan teknis operasionalnya. Pendeknya, Nurcholis hendak mengiring bahwa umat islam Indonesia pun harus bisa mewarisi semangat pluralisme yang tinggi. Ia selalu menekankan baik pada umat Islam sendiri maupun non muslim bahwa bersikap positif pada pluralisme adalah suatu keharusan, bukan saja karena doktrin agama memang mendukung demikian, tetapi terlebih karena tuntutan objektif dari realitas kehidupan modern. d. Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis Dalam perkembangan kehidupan yang ditandai dengan semakin derasnya arus perubahan sosial budaya, pendidikan Islam menghadapi tantangan yang berat untuk tetap bertahan dan meningkatkan perannya. Dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan agama mempunyai posisi yang kuat karena pendidikan agama wajib diajarkan mulai dari jenjang pendidikan terendah sampai jenjang pendidikan tinggi. Menyadari uraian diatas, persoalan yang dihadapi oleh pendidikan agama adalah bagaimana mampu menghadirkan konstruksi wacana keagamaan yang kontekstual dengan perubahan masyarakat. Selanjutnya, bagaimana konstruksi wacana keagamaan tersebut mampu ditransformasikan dalam masyarakat secara sistematik dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini yang dikalaim oleh A. Malik Fajar sebagai permaslahan yang sangan fundamental untuk saat ini26. Ketika pendidikan Agama Islam masih diajarkan dengan semangat ekslusivisme dan truth claim, yang cenderung intoleran, jangan banyak mengharap pendidikan agama Islam dapat turut meredam gejolak sosial yang sedang melanda bangsa ini. Oleh karena truth calaim tidak akan melahirkan kecuali output yang ekslusif, yang cendrung memonopoli 26 A. Mallik Fajar, Reorientasi pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, hal. 131-132 15 kebenaran, tertutup, tidak mau mendengar dan memahami orang lain, serta cenderung otoriter27. Dari sudut sosiologis, truth claim sudah banyak melahirkan berbagai konflik sosial-politik yang membawa perang antar agama yang sampai saat ini masih menjadi problem dan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Padahal semua agama berasal dari Tuhan, dan umat manusia yang plural itu juga merupakan umat manusi yang satu karena berasal dari sejarah dan keturunan yang sama, yaitu adam dan hawa. Begitupun dengan pendapatnya Quraish Shihab yang dikutip oleh Abuddin Nata menyebutkan bahwa semua agama berpaham monotheis dengan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa, yang pada hakikatnya menganut paham universalisme. Tuhan Yang Maha Esa itulah menciptakan seluruh manusia. Pandangan ini merupakan modal besar. Disamping itu, diyakini secara penuh oleh setiap penganut agama bahwa Tuhan merupakan sumber ajaran agama, tidak membutuhkan pengabdian manusia. Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah atau mengurangi kesempurnaan-Nya28. Jadi karekteristik agama Islam dalam visi keagamaan bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan, dan saling menghargai, karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat unsur kesamaanyaitu pengabdian pada Tuhan. Dari sinilah sangat nampak betapa urgennya upaya integrasi inklusivitas ajaran islam, hal ini agar Islam tampil dengan wajah yang sesungguhnya, yaitu pluralis, toleran, humanis, transformatif, dan egalitarian. Pluralitas tersebut dinampakkan dalam kurikulum, materi serta metode pembelajaran yang diterapkan disekolah. Disini penulis tawarkan konsep pendidikan Islam berwawasan pluralis dari segi Kurikulum. Sebagaimana yang sarankan oleh UNISCO tahun 1981, untuk merealisasikan tujuan dan fungsi pendidikan yang dapat menumbuhkan sikap pluralisme agama pada peserta didik dengan kerangka yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh 27 M. Slamet Yahya, Pendidikan Islam dan Pluralisme, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, vol.13. No.1, Jan-Apr 2003 hal. 4 28 Dr. H. Abuddin Nata, MA., Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003. hal. 81 16 dari lingkungannya. Riilnya memang masyarakat kita majemuk, maka kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankaan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi muda yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain29. Selain itu, bentuk kurikulum dalam pendidikan agama pada masa yang akan datang hendaknya tidak lagi ditujukan pada siswa secara individu menurut agama yang dianutnya, melainkan secara kolektif dan berdasarkan kepentingan bersama. Bila mana selama ini setiap siswwa memperoleh pelajaran agama sesuai dengan agamanya, maka diusulkan agar lebih baik bila setiap siswa SMP s/d PT memperoleh agama yang sama, yaitu berisi tentang sejarah pertumbuhan semua agama yang berkembang di Indonesia. Untuk SD diganti dengan pendidikan budi pekerti yang lebih menanamkan nilai-nilai moral kemanusiaan dan kebaikan secara universal. Dengan materi seperti itu, disamping siswa dapat menentukan agamanya sendiri (bukan berdasarkan keturunan), juga dapat belajar memahami pluralitas berdasarkan kritisnya, mengajarkan keterbukaan, toleran dan tidak eklusif tapi inklusif30. Syekh Abdul Mahbub memberikan garis pedoman dam membuat kurikulum pendidikan berwawasan pluralis, diataranya sebagai berikut: 1. Penyusunan kurikulum harus didasarkan keimanan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, norma-norma atau nilai-nilai absolut yang diambil dari agama-agama besar dunia dan hubungan integral antara Tuhan, manusia dan alam. 2. Karena ilmu pengetahuan datang dari Tuhan, manusia bukanlah (the creators of knowledge) atau pembuat ilmu pengetahuan tersebut. Dan disebabkan karena manusia dengan mudahnya telah dapat menemukan aspek-aspek di dunia ini. Dengan demikian, nilai-nilai kemanusiaan 29 30 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme Agama (IAIN Wali Songo: Tesis, 2002) 42 Darmaningtyas, Pendidikan Pada dan Setelah Kritis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) 165 17 dapat menjadi insperable untuk menyeleksi, menginvestigasi, menerima dan menikmati sebuah kebenaran. 3. Peserta didik diharuskan mengetahui hirarki antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui sebuah pengalaman yang harus tunduk terhadap pengetahuan rasional, dan pengetahuan rasional harus tunduk terhadap norma-norma agama yang datang dari Tuhan. 4. Keimanan dan nilai-nilai, harus diakui sebagai dasar kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, keduanya tidak boleh dipisahkan dalam proses belajar mengajar. Ilmu pengetahuan tidak harus ditunjukkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan pandangan agama. Dengan demikian, dalam pendidikan harus digunakan untuk mendorong “value” atau nilai-nilai yang baik. 5. Manusia tidak dapat mengetahui kebenaran absolut, tetapi suatu kebenaran dapat direalisasikan pada level yang berbeda-beda melalui perasaan, pemikiran, intuisi dan intelek. Keempat bentuk ini harus bekerja secara harmoni dan terintegrasi ke dalam sebuah sistem pendidikan yang komperhensip. 6. Peserta didik harus didorong untuk mengetahui prinsip-prinsip unity and diversity dan menyadari adanya dasar-dasar kesamaan yang menembus dunia biologis dan psikis. Ini sebuah refleksi terhadap sebuah kesatuan prinsip-prinsip penciptaan dunia. Dunia adalah sebuah sistem yang mempersatukan (the universe is a unifed syistem) dan terhadap suatu hubungan integral diantara bagian-bagian yang berbeda-beda31. Agar maksud dan tujuan kurikulum pendidikan semacam itu dapat tercapai, kurikulumnya harus di desain sedemikian rupa dan favourable untuk semua tingkatan dan jenjang pendidikan. Namun demikian, pada level sekolah dasar dan menengah adalah paling penting, sebab pada tingkatan ini, sikap dan perilaku peserta didik masih siap dibentuk. Dan penting diingat, suatu kurikulum tidak dapat diimplementasikan tanpa 31 Syekh Abdul Mahbub, An Integrated Education Syistem In A Multi-Faith And Multi-Cultural Contry (TB: 1991) 39-44 18 adanya keterlibatan, pembuatan dan kerjasama secara langsung antara para pembuat kurikulum, penulis dan guru. Di samping hal tersebut, untuk menuju sebuah pendidikan yang berwawasan pluralis, sebenarnya selain aspek kurikulum yang harus di desain, pendekatan dalam pengajaran seperti metode pengajaran sangat perlu diperhatikan. Maka dalam kajian ini penulis akan sedikit menawarkan metode pembelajaran yang disampaikan pada siswa demi terciptanya pendidikan Islam yang berwawasan pluralis sebagaimana dipaparkan diatas. Maka dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Seorang guru harus bisa membentuk pola pikir siswa secara terbuka untuk bersedia menerima kebenaran yang lain, selain yang telah diyakini. Oleh karena itu, kita harus menghindari penyampaian pesanpesan Islam secara ideologis-doktrinal yang akan mengedepankan truth claim dalam beragama. Kita harus menyampaikan pula kepada peserta didik bahwa di luar paham kita ada paham lain yang tidak mustahil mengandung kebenaran dan diyakini oleh pengikutnya. Dengan demikian, diharapkan siswa akan lebih mudah bergaul dan berinteraksi dengan orang lain, yang berbeda agama, ras, dan etnis. 2. Guru harus bisa membentuk pola pikir siswa untuk bisa menghargai perbedaan secara tulus, komonikatif, inklusif, dan tidak saling curiga, oleh karena itu, kita harus menghindari penyampaian pemahaman Islam yang hanya bertumpu pada tekstual-normatif. Sudah saatnya siswa harus mengkaji model-model pemahaman Islam, dan mengkontekstualisasikan-nya dalam kehidupan nyata agar dapat menghasilakan cara pandang yang utuh dan apresiatif terhadap perubahan dan perkembnagan jaman yang pluralistik dan komprehensif, yakni dengan pendekatan filosofis dan historis. 3. Para pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan harus secara jujur dan transparan sehingga materi pendidikan Islam bisa dipahami oleh peserta didik dalam kehidupan praksis. Pendidik jangan memosisikan diri sebagai agen/penyalur madzhab tertentu dengan menyalahkan madzhab lain. Dalam hal ini, sanagat diperlukan tenaga 19 tenaga pendidik yang mampu menerjemahkan pesan-pesan universal keagamaan dengan baik, dan harus mampu menegakkan demokrasi yang mengakomodasi perbedaan. 4. para pendidik hendaknya memahami bahwa dalam pendidikan Islam itu bukan hanya pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga transfer dan internalisasi nilai-nilai (transfer and internalization values) dalam diri peserta didik. Dengan demikian, dalam pendidikan Islam, kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik harus benar-benar menyatu dan terwujud dalam kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, peserta didik jangan hanya diindoktrinasi tentang kesalehan vertikal/individual, tetapi juga kesalehan sosial. 5. Para pendidik perlu membiasakan anak-anak mengalami pertukaran budaya (cross cultural exchange) dengan sesama peserta didik. Pengalaman ini akan dapat membantu mereka untuk memahami orang lain dalam sebuah perbedaan. Dengan demikian, persatuan dan kesatuan pada akhirnya akan menjadi keinginan yang kuat di kalangan mereka. Kedamaian yang senantiasa kita nanti-natikan akan menjadi kenyataan sesuai dengan peran agama yang membawa pesan perdamaian bagi umat manusia32. Kesimpulan Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang mempunyai misi Rahmatan lil‟alamin, dalam artian bukan hanya terhadap agama Islam itu sendiri namun bagi umat-umat yang lain. Hal ini harus dinampakkan salah satunya dalam pendidikan Islam dimana output-nya harus tercipta insan yang inklusif, pluralis dan apresiatif terhadap perbedaan. Sehingga dapat berpartisipasi disemua lini kehidupan sosial bermasyarakat. Hal ini demi menghilangkan citra pendidikan Islam dimata masyarakat yang masih dianggap eklusif, radikal, dan kejam. 32 M. Slamet Yahya, Pendidikan Islam dan Pluralisme, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, vol.13. No.1, Jan-Apr 2003 hal. 5 20 DAFTAR PUSTAKA A. Azizi, A. Qodry. Al-Qur‟an dan Pluralisme Agama, dalam profetika: Jurnal Studi Islam PMSI UMS, Vol. 1, no. 1. Januari 1999 Al-Qur’an dan Terjemahannya Aziz , Ahmad Amir. Neo-modernisme islam di indonesia. (Jakarta: PT Rineka cipta, 1999) Darmaningtyas, Pendidikan Pada dan Setelah Kritis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) Fajar , A. Mallik. Reorientasi pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999) Idi , Abdullah & Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakrta: Tiara Wacana, 2006) Ma’arif , Syamsul, Pendidikan Pluralisme Agama (IAIN Wali Songo: Tesis, 2002) Mahbub, Abdul Syekh, An Integrated Education Syistem In A Multi-Faith And Multi-Cultural Contry (TB: 1991) M. Afifuddin. Membangun Demokrasi dari Bawah; Isu-isu Demokrasi dalam Pendidikan Agama Islam, (PPSDM UIN Jakarta, 2006) Mouw, J. Ricard, Sander Griffon, Pluralism and Horizon (Grand Rapids: 1993) Nata, Abuddin, Dr. H. MA., Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003) Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer , (Surabaya: Ar Kolah, 1994) Paul F. Knitten (editor) the maith of religius superiority: a multifaith explovation, (New York Orbis Books, Mary hell, 2005) Sudiarjo. Dialog Intra Religious. (Yogyakarta: Kanisus, 1994) Shihab, M. Quraish. wawasan al-Qur‟an (Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan Umat), (Bandung: Mizan, 1996) Quthb, Muhammad. Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa Salman Harun, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984) Yahya, M. Slamet. Pendidikan Islam dan Pluralisme, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, vol.13. No.1, Jan-Apr 2003 http://indonesiancommunity.multiply.com/journal/item/3600/ diambil pada tanggal 27 April 2012 http://nasional.vivanews.com/news diambil pada tanggal 27 April 2012 21