pendidikan islam berwawasan pluralis

advertisement
PENDIDIKAN ISLAM BERWAWASAN PLURALIS
(Sebuah Solusi Dari Keberagaman Pemahaman Internal dan antar Agama)
Oleh: Ali Ridho
Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Khairat Pamekasan
Email: [email protected]
Abstrak
Pada dasarnya pendidikan Islam sangatlah berbeda dengan dakwah Islam,
Hal ini terbukti dengan dijadikannya rumah al-Arqam sebagai pusat pendidikan
Islam sekaligus pusat dakwah Islam. Akan tetapi setelah melalui proses sejarah
yang panjang, pendidikan Islam lambat laun menjadi suatu sistem formal dan
berbeda dari dakwah Islam. Pendidikan Islam merupakan proses bimbingan dan
pembinaan semaksimal mungkin yang diberikan kepada seseorang melalui ajaran
Islam agar orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan.
Tujuan itu sendiri terdiri atas tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang.
Tujuan jangka pendeknya adalah tercapainya pengembangan potensi diri
seseorang dalam segala aspeknya melalui proses pembelajaran yang maksimal,
sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah terbentuknya kepribadian muslim
paripurna sehingga orang tersebut dapat memfungsikan dirinya secara individual
maupun sosial demi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sedangkan pluralism,
Islam secara tegas memandang pluralisme sebagai suatu keniscayaan dan bahkan
secara positif menyikapinya. Bukti normatif adalah terdapatnya gagasan ahl alkitab dalam al-quran, yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada
para penganut agama lain yang memiliki kitab suci.
Kata kunci: Pendidikan Islam, Pluralistik
1
Pendahuluan
Dalam kehidupan kita, realitas kemajemukan merupakan keniscayaan yang
tidak terbantahkan. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, kita seringkali
dihadapkan pada realitas bahwa tidak semua orang sama dengan kita. Kita dengan
sangat mudah menjumpai orang-orang yang berbeda dari segi suku, bahasa,
budaya, agama dan lain-lain. Tanpa disadari, sebagian dari kita berada di
lingkungan yang sangat beragam dan plural. Namun juga tidak menutup
kemungkinan adanya sebagian kelompok masyarakat kita yang hidup secara
homogen dengan komonitas suku, bahasa, budaya, dan agama tertentu1.
Namun dilain hal, kadang keberagaman itu menjadi dilema tersendiri bagi
pemeluk suatu agama, karena doktrin yang ada menjadikannya merasa menjadi
orang yang lebih benar sendiri dan menafikan pemahaman yang lain. Ekslusivitas
pemahaman serta radikalisme menjadi bumerang dan kadang berujung pada
konflik diatara pemeluk agama, banyak sekali contoh kasus yang baerbau ras,
agama ataupun suku, maupun keyakinan pemahaman terhadap madzhab suatu
agama. Contoh kasus terbaru adalah pembakaran pesantren Syiah di Sampang2,
atau pengrusakan masjid Ahmadiyah di Tasikmalaya Jawa Barat3, dan banyak lagi
lainnya yang semuanya berbau ras dan agama4. hal ini harus manjadi perhatian
1
M. Afifuddin, Membangun Demokrasi dari Bawah; Isu-isu Demokrasi dalam Pendidikan Agama
Islam, PPSDM UIN Jakarta, 2006, hal. 104
2
Seperti yang diberitakan oleh viva.news.com, Konflik kedua kelompok Islam berbeda aliran
pemahaman ini bermula dari konflik pribadi antara pimpinan Islam Syiah Tajul Muluk dengan
pimpinan kelompok Islam Sunni KH Rois yang berebut santri. Dari konflik kedua tokoh ini, tersiar
kabar di kalangan pengikut Islam Sunni bahwa kelompok Islam Syiah adalah kelompok Islam
yang menyebarkan ajaran sesat, hingga akhirnya memicu emosi pengikut Sunni di wilayah itu.
Puncaknya, ratusan pengikut Sunni menyerbu kediaman pimpinan Islam Syiah di Desa Karang
Gayam. Mereka membakar madrasah, mushala dan rumah pimpinan Syi'ah. Lebih dari 225 orang
warga Syi'ah dievakuasi ke kantor Kecamatan Ombem, dan karena kapasitas kantor kecamatan
tidak memadai kemudian pada pukul 23.30 WIB, dipindah ke GOR Wijata Kusuma depan kantor
Bupati Sampang.
3
Seperti yang diberitakan oleh viva.news.com. Masjid Ahmadiyah di kampung Babakan Sindang,
Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya dirusak massa sekitar pukul 11.00 WIB, Jumat 20
April 2012. Meski tidak ada korban jiwa, aktifitas salat jumat di masjid tersebut berhenti total.
Menggunakan batu dan kayu, mereka menghancurkan kaca jendela masjid serta pintu masjid.
Bahkan dari dalam masjid sempat terlihat api membakar karpet. Aksi mereka hanya berlangsung
15 menit. "Perusakan ini diduga akibat difungsikannya lagi masjid Ahmadiyah yang sudah disegel
masyarakat beberapa waktu sebelumnya.
4
Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga
terorisme, marak terjadi di tanah air. Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini sedang diuji
eksistensinya. Berbagai indikator yang memperlihatkan adanya tanda-tanda perpecahan bangsa,
dengan transparan mudah kita baca. Konflik di Ambon, Papua, maupun Poso, seperti api dalam
sekam, sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun berkali-kali bisa diredam. Peristiwa tersebut,
2
sendiri bagi orang berkompeten memikirkan dan mengarahkan pemeluk suatau
agama pada pemahaman yang baik.
Salah satu yang perlu diperhatikan adalah, tentang peran pendidikan Islam
bagi umat Islam itu sendiri. Islam sebagai “rohmatan lil „alamin” sudah dapatkah
itu diwujudkan, karena posisi umat Islam sebagai mayoritas di satu sisi sangatlah
tidak menguntungkan. Dan ironisnya ternyata umat Islam dapat dikatakan hampir
banyak ikut serta dalam setiap aksi kerusuhan. Mengapa bisa terjadi demikian ?
tentunya ada yang salah, “there is something wrong”. Atau bisa jadi pendidikan
Islam belum mampu mendidik umatnya menjadi kaum pluralis? ini perlu dikaji
kembali sebagai upaya perbaikan mutu pendidikan Islam itu sendiri.
1. Pendidikan Islam
Hal pertama yang perlu dikemukakan disini adalah, bahwa pendidikan
Islam sangatlah berbeda dengan dakwah Islam, hal ini juga diakui oleh Azra
dalam buku Neo-sufisme masa depan sebagaimana dikutip oleh Abdullah idi
dan Toto suharto, pada awal pertumbuhannya pendidikan memang
bersentuhan dengan upaya-upaya dakwah islamiyah. Hal ini terbukti dengan
dijadikannya rumah al-Arqam sebagai pusat pendidikan Islam sekaligus pusat
dakwah Islam5. Akan tetapi setelah melalui proses sejarah yang panjang,
pendidikan Islam lambat laun menjadi suatu sistem formal dan berbeda dari
dakwah Islam.
Menurut Ahmad Muhammad Jamal, pendidikan Islam dan dakwah
Islam dapat dibedakan atas dasar objek formolanya. Objek pendidikan Islam
adalah subjek didik yang dididik di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Sedangkan objek dakwah Islam adalah masyarakat yang menyimpang dari
ajaran Islam, dan para rasul diutus untuk meluruskan penyimpangan tersebut.6
Inilah yang membedakan antara pendidikan Islam dan dakwah Islam. Dan
untuk lebih jelasnya maka penulis akan lebih fokus pada hakikat pendidikan
Islam.
bukan saja telah banyak merenggut korban jiwa, tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat
ibadah (baik masjid maupun gereja).
5
Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakrta: Tiara Wacana, 2006,
hal. 46
6
Ibid. hal, 46-47
3
2. Hakikat Pendidikan Islam
Apabila kita berbicara tentang hakikat pendidikan Islam, sudah barang
tentu tidak dapat terlepas dari pembicaraan tentang pengertian pendidikan
secara Umum, hal ini disebabkan karena ada faktor keterkaitan antara
pengertian pendidikan Islam dengan pendidikan secara umum.
Dalam memberikan definisi tentang pendidikan, para ahli berbeda
pendapat sesuai dengan kerangka berpikir masing-masing, diantaranya
sebagaimana dikutip oleh M. Slamet Yahya dalam jurnal Insania P3M STAIN
Purwokerto sebagai berikut: Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa
pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan ruhani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang
dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan
kebahagiaan manusia. Menurutnya pendidikan berarti usaha berkebudayaan,
berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat
kemanusiaan.
Soegarda Poerbakawatja mengatakan pendidikan mencakup segala
usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya,
pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda
untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya7.
Dari ketiga definisi tersebut dapatlah diambil satu kesimpulan bahwa
pendidikan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dengan sengaja,
seksama, terancana, dan bertujuan yang dilaksanakan oleh orang dewasa
dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan (profesional)
menyampaikan kepada anak didik secara bertahap. Begitu juga apa yang
diberikan kepada anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan
perannya di masyarakat, di mana kelak ia hidup.
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan Islam, Sayyid Quthb
memberi pengertian pendidikan Islam sebagai usaha untuk melakukan
pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani
7
M. Slamet Yahya, Pendidikan Islam dan Pluralisme, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan
INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, vol.13. No.1, Jan-Apr 2003.
4
ataupun rohani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam
melaksanakannya di bumi ini8. Jadi dalam hal ini Quthb memandang
pendidikan Islam sebagai suatu aktifitas yang berusaha memahami diri
manusia secara total melalui berbagai pendekatan dalam rangka menjalankan
kehidupan di dunia.
Pengertian tentang pendidikan Islam banyak dikemukakan oleh pakar
bidang pendidikan Islam. Masing-masing mempunyai pandangan yang
berbeda, hak ini tergantung dengan sudut pandang yang digunakannya. Hal
itu menunjukkan bahwa betapa sulit merumuskan pengertian pendidikan
Islam. Menurut Ahmad Tafsir sebagaimana dikutip oleh Idi dan Suharto
kesulitan dalam merumuskan pengrtian pendidikan Islam itu dikarenakan dua
hal, yaitu karena (i) banyaknya jenis kegiatan yang disebut sebagai
pendidikan Islam, dan karena (ii) luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan
Islam9. Oleh karenanya, upaya mendefinisikan pendidikan Islam sebaiknya
lebih didasarkan pada hal-hal yang menjadi tujuannya. Penentuan tujuan
pendidikan Islam perlu diperjelas sehinga sasaran yang hendak dicapai pun
menjadi jelas pula.
Di dalam laporan hasil word conference on Muslim Education yang
pertama di Mekkah tanggal 31 Maret sampai 8 April 1977, disebutkan :
“pendidikan
seharusnya
bertujuan
menimbulkan
pertumbuhan
kepribadian total manusia secara seimbang, melalui latihan,
spritual,
intlektual, rasional diri, perasaan, dan kepekaan tubuh manusia. Oleh karena
itu, pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia
dalam segala aspeknya: spritual, intlektual, imajinasi, fisik, ilmiah, lingistik
baik secara individual maupun secara kolektif, dan memotivasi semua aspek
tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir
pendidikan Muslim terletak pada realisasi kepasrahan mutlak kepada Allah
pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya.”
8
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa Salman Harun, Bandung: Al-Ma’arif,
1984, hal. 27
9
Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakrta: Tiara Wacana, 2006,
hal. 48-49
5
Berdasarkan kutipan diatas, pendidikan Islam ternyata memiliki tujuan
antara dan tujuan akhir. Menurut Azyumardi Azra yang juga dikutip oleh Idi
dan Suharto, tujuan antara adalah tujuan yang pertama-tama hendak dicapai
dalam proses pendidikan Islam. Tujuan itu menyangkut perubahan-perubahan
yang di kehendaki dalam proses pendidikan Islam, baik berkenaan dengan
pribadi, peserta didik, masyarakat, maupun lingkungan. Keberadaan tujuan
antara juga harus jelas sehingga keberhasilan pendidikan Islam dapat diukur
secara bertahap. Dalam hal ini10. Dari pendapat tersebut diatas maka tujuan
pendidikan Islam menjadi 3 macam jenis, yaitu :
a. Tujuan individual, yaitu tujuan yang berorientasi pada pengembangan
pribadi, baik dari segi pelajaran-pelajaran yang diterima ataupun aktifitas
pertumbuhan peserta didik dalam menjalani kehidupan di dunia ataupun
persiapan di akhirat.
b. Tujuan sosial, yaitu tujuan yang berorientasi pada kehidupan sosial
peserta didik secara keseluruhan, baik yang berkaitan dengan pengayaan
pengalaman dan kemajuan peserta didik dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat.
c. Tujuan profesional, sebuah tujuan yang berkaitan dengan pendidikan
sebagai ilmu, seni, profesi sebagai suatu aktivitas yang berada ditengahtengah masyarakat.
Proses pendidikan Islam pada akhirnya berusaha mencapai ketiga
tujuan antara di atas secara terpada dan terarah, sehingga dapat mendukung
pencapaian tujuan paripurna dari pendidikan Islam, yaitu kepasrahan mutlak
kepada Allah. Hal ini selaras dengan substansi penciptaan makhluk hidup
adalah pengabdian (ibadah) sebagimana disabdakan dalam Surat alDzariyyat: 56
     
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”
Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
Islam merupakan proses bimbingan dan pembinaan semaksimal mungkin
10
Ibid, hal. 50
6
yang diberikan kepada seseorang melalui ajaran Islam agar orang tersebut
tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan. Tujuan itu sendiri
terdiri atas tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka
pendeknya adalah tercapainya pengembangan potensi diri seseorang dalam
segala aspeknya melalui proses pembelajaran yang maksimal; sedangkan
tujuan jangka panjangnya adalah terbentuknya kepribadian muslim paripurna
sehingga orang tersebut dapat memfungsikan dirinya secara individual
maupun sosial demi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Yang dimaksudkan
diatas adalah manusia karena pendidikan sejatinya pelakunya adalah manusia.
3. Pluralisme
a. Sejarah Singkat Pluralisme11
Pluralisme telah muncul di India pada akhir abad ke 15 dalam
gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya yaitu guru nanak
(1469-1538) diantar Pencetus-pencetusnya adalah Ernst Troelsch (18651923): seorang teolog Kristen liberal dalam sebuah makalahnya yang
berjudul (posisi agama Kristen diantara agama-agama dunia) doi
berpendapat bahwa dalam semua agama termasuk Kristen selalu
mengandung elemen kebenaran mutlak. konsep tentang ketuhanan dimuka
bumi ini beragam dan tidak hanya Satu.
William E. Hocking dalam bukunya Rethinking Mission pada tahun
1932 dan berikutnya Living Religions and A World Faith dia
memperediksikan munculnya model keyakinan atau agama universal baru
yang selaras dengan konsep pemerintahan global.
Arnold Toynbee (1889-1975) pemikirannya hampir sama dengan
Ernst Troelsch dalam karyanya An Historian’s Approach To Religion
(1965) dan dan Crishtianity An World Religions (1957).
Wilfred Cantwell Smith dalam karyanya Towards A World
Theology (1981) karena gagasan dia inilah pluralisme semakin
berkembang dia menyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi
universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama (commond
11
http://indonesiancommunity.multiply.com/journal/item/3600/ diambil pada tanggal 27 April
2012
7
ground) bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat
secara damai dan harmonis.
b. Definisi Pluralisme
Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti: jamak/banyak.
Sedangkan pluralisme itu sendiri berarti suatu paham atau teori yang
menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi12. Pluralisme
juga dalam pengertian yang sederhana dapat dimaknai sebagai segala
bentuk keanekaragaman dan kemajemukan13. Pluralisme juga sering
digunakan untuk menunjuk pada makna realitas keragaman sosial
sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Ramundo
Panikar, melihat pluralisme sebagai bentuk pemahaman moderasi yang
bertujuan
menciptakan
komunikasi
untuk
menjembatani
jurang
ketidaktahuan dan kesalahpahaman timbal-balik antara budaya dunia yang
berbeda dan membiarkan mereka bicara dan mengungkapkan pandangan
mereka dalam bahasanya sendiri14.
Richard J. Mouw dan Sander Griffion mendefinisikan lebih luas
tentannganya, yang mana menurutnya pluralisme adalah sebuah “ism”
atau aliran tentang “plurality” (a pluralisme is an “ism” about a
“plurality”)15
pengertian ini menurutnya akan lebih bermakna ketika
seseorang mengakui dan meyakini bahwa ada sesuatu yang penting untuk
dikatakan mengenai banyaknya perbedaan tersebut.
Jadi Pluralisme dalam kaitannya dengan thema makalah ini adalah
paham atau sikap terhadap keadaan yang majemuk, baik dalam konteks
sosial, budaya, politik, maupun agama
Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan, bahwa
pluralisme ini dapat dipahami sebagai: (1). Suatu teori yan menentang
kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya, mendukung desentralisasi
dan
otonomi
untuk
organisasi-organisasi
12
utama
yang
mewakili
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Ar Kolah, 1994,
hlm. 604
13
M. Afifuddin, Membangun Demokrasi dari Bawah; Isu-isu Demokrasi dalam Pendidikan
Agama Islam, PPSDM UIN Jakarta, 2006, hal. 105
14
Sudiarjo, Dialog Intra Religious, Yogyakarta: Kanisus, 1994, hlm. 33-34
15
Ricard J. Mouw, Sander Griffon, Pluralism and Horizon (Grand Rapids: 1993) 13
8
keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga, suatu keyakinan bahwa
kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama diantara sejumlah partai politik.
(2). Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok
kultural dalam suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan
atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Definisi yang
pertama mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi
kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atau primordial16. Senada
dengan pendapat ini Asghar Ali Engineer yang mana menurutnya
Pluralisme sangat menghargai adanya entitas-entitas beragam yang
mengkonstruk sebuah sistem sosial budaya. Dialektika seputar pluralisme
tidak bisa dipisahkan oleh aspek keagamaan budaya, agama etnis, dan
ragam
perbedaan
lainnya.
Pluralisme
menekankan
sikap
saling
menghormati, menyayangi, dan selalu menghargai yang lain dalam sebuah
masyarakat atau kesatuan sosial tertentu17.
Sebagai upaya mendukung pluralisme tersebut, diperlukan adanya
budaya toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat mengakui adanya
kemajemukan sosial, namun persoalan penyikapan terhadaap segala
bentuk pluralitas sering menimbulkan masalah tersendiri. Yang paling
menonjol menurut Afifuddin dari persoalan pluralisme adalah isu yang
berkaitan dengan ras atau agama. Kedua isu ini kadang menyatu dalam
satu permasalahan seperti yang terjadi dalam kasus Israil-Palestina, SerbiaBosnia, dan sebagainya. Di Eropa sendiri dalam waktu yang relatif lama,
terutama pada abad 16 dikenal adanya perang agama antar Kristen,
Yahudi, dan Katolik. Untuk menghilangkan konflik dan intoleransi yang
berkepanjangan, di Perancis diundangkan The Edict of Nates pada tahun
1598, sedangkan di Inggris diundangkan Toleration Act pada tahun 1689.
Dalam konteks Indonesia, kasus yang terjadi di Sambas Kalimantan Barat
adalah diantara konflik yang berbungkus isu ras dan agama18.
16
M. Afifuddin, Membangun Demokrasi dari Bawah; Isu-isu Demokrasi dalam Pendidikan
Agama Islam, PPSDM UIN Jakarta, 2006, hal. 106
17
Paul F. Knitten (editor) the maith of religius superiority: a multifaith explovation, (New York
Orbis Books, Mary hell, 2005) 214
18
M. Afifuddin, Membangun Demokrasi dari Bawah; Isu-isu Demokrasi dalam Pendidikan
Agama Islam, PPSDM UIN Jakarta, 2006, hal. 106-107
9
Dalam realita kehidupan kita sehari-hari, masalah perbedaan dalam
berbagai hal sering kali memicu terjadinya konflik dalam masyarakat. Hal
ini disebabkan karena tidak atau kurang adanya kesepahaman dan
kompromi diantara perbedaan-perbedaan tersebut. Fakta pluralitas
disebuah kelompok sosial dengan titik-titik perbedaan didalamnya
seringkali ditarik kemedan pertikaian yang tiada henti. Banyak sekali
berita-berita dari media cetak ataupun elektro yang mengabarkan tentang
pertikaian yang terjadi ditengah-tengah masyrakat disebabkan perbedaan,
baik pemahaman, keakinan ataupun yang lainnya sebagaimana di
contohkan diatas. Keragaman bahkan sering tertuduh menjadi kambing
hitam kepentingan-kepentingan negatif individual dan kelompok sepihak.
Kemajemukan dalam banyak hal perlu dimaknai secara tepat dan disikapi
secara arif dan bijaksana. Fakta pluralisme harus disikapi dengan
menerapkan sikap pengawasan dan pengimbangan untuk mewujudkan
keselamatan bagi umat manusia.
c. Pluralisme dalam al-Qur’an
Gagasan pluralis multikultur (yang biasanya terwujud dalam
bentuk toleransi yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari) sebenarnya
mempunyai rujukan dalam al-Qur’an19, yang merupakan pedoman hidup
umat manusia di dunia ini. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an
         
            
            
19
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW via malaikat
Jibril dengan berbahasa Arab, dan kebenarannya dipercaya tanpa syarat serta menjadi pedoman
hidup umat Islam di dunia. Menurut M. Quraish Shihab, secara harfiah al-Qur’an berarti “bacaan
sempurna”. Al-Qur’an merupakan nama pilihan Allah yang sungguh tepat karena tiada suatu
bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca sekitar lima ribu tahun lalu yang dapat menandingi
al-Qur’an. lihat M. Quraish Shihab, wawasan al-Qur‟an (Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan
Umat), Bandung: Mizan, 1996, hal. 3
10
           
        
Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian20 terhadap kitab-kitab yang lain
itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara
kamu21, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu
perselisihkan itu.
Sebagai pedoman hidup manusia, al-Qur’an terbuka untuk
berdialog dan menerima adanya pluralitas pemahaman dan penafsiran
terhadapnya. Oleh karena itu, untuk memahami hakikat kebenaran yang
terkandung di dalamnya tidak cukup hanya mengandalkan dengan
pendekatan rasional saja menggunakan analisis makna kata, logika bahasa,
dan konteks sejarah yang justru sering mendangkalkan hakikat
kebenarannya. Oleh karena sebenarnya yang lebih penting adalah
memahami dengan kebesaran hati, melalui pengosongan egoisme diri
sendiri yang bercokol di dalam hati karena egoisme seringkali menutup
hati dan menjadi penghalang untuk melihat langsung kebenaran dan
realitas spritual.
Berdasarkan pengungkapan al-Qur’an di atas, jelaslah bahwa alQur’an menunjukkan sikap dan pengakuan yang jelas terhadap perbedaan
keyakinan atau agama ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai
pluralitas agama. Konsep pluralitas agama juga memasukkan mereka yang
tidak beragama dan mereka yang mempunyai banyak tuhan sebagai
polytheism
20
Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang
diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya
21
Maksudnya: umat nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya
11
Al-Qur’an sendiri dengan jelas menetapkan prinsip upaya saling
menghormati dan saling mengakui eksistensi masing-masing penganut
agama ;
    
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
Selanjutnya Islam telah menegaskan bahwa tidak ada paksaan
dalam beragama, sebagaimana yang tercantum dala surta al-Baqarah: 256
             
           
 
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut22 dan
beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang
kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Pandangan Islam di atas relevan dengan UUD 1945 Pasal 29 Ayat
2 yang berbunyi: “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”, Islam mengajak untuk mencari akar
persamaan yang menjadi dasar ajaran masing-masing agama, yakni
kepercayaan pada Tuhan itu sendiri sebagai pusat ajaran setiap agama. Jadi
bukan pada sebutan nama Tuhan dari masing-masing agama23,
sebagaimana terungkap dalam al-Qur’an surat Ali Imran: 64
            
             
     
22
Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakrta: Tiara Wacana, 2006,
hal. 117
23
12
Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia
dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian
yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka
Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orangorang yang berserah diri (kepada Allah)".
Islam pada dasarnya adalah agama yang toleran terhadap penganut
agama lain. Secara implisit, al-Qur’an menyindir siapapun yang terjebak
dalam pemahaman keagamaan yang picik, sempit, eksklusif dan
monolitik. Sebab, konsepsi kebenaran tidak menjadi monopoli seseorang
atau golongan tertentu. Sebagaimana pepatah mengatakan “banyak jalan
menuju roma” hal ini menunjukkan betapa jalan menuju kebenaran itu
sangat beragam.
Sedangkan menurut Nurcholish Majid kaitannya dengan pluralisme
hal itu berangkat dari semangat humanitas dan universalitas Islam.24 Yang
dimaksud dengan semangat humanitas adalah Islam merupakan agama
kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain cita-cita Islam sejalan dengan
cita-cita manusia pada umumnya. Dan misi Nabi Muhammad adalah untuk
mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, jadi bukan semata-mata untuk
menguntungkan komunitas islam saja. Sedangkan pengertian universalitas
islam dapat dilacak dari term al-islam yang berarti sikap pasrah pada
Tuhan . dengan pengertian tersebut, semua agama yang benar pasti bersifat
al-islam. Tafsir al-islam seperti ini bermuara pada konsep kesatuan
kenabian dan kerasulan, yang kemusiaan dalam urutannya membawa
kepada konsep kesatuan umat yang beriman.25
Islam
secara
tegas
memandang
pluralisme
sebagai
suatu
keniscayaan dan bahkan secara positif menyikapinya. Bukti normatif lain
yang ditunjukan Nurcholish adalah terdapatnya gagasan ahl al-kitab dalam
al-quran, yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para
penganut agama lain yang memiliki kitab suci . ini tidak berarti
memandang semua agama sama, suatu hal yang mustahil, mengingat
24
25
Ahmad Amir Aziz. Neo-modernisme islam di indonesia. Jakarta: PT rineka cipta, 1999. Hal. 50
Ibid, Fhal. 51
13
kenyataan agama yang ada adalah berbeda-beda dalam banyak hal sampai
sampai ke hal yang prinsip. Tetapi memberi pengakuan sebatas hak
masing-masing
untuk
berada
(bereksistensi)
dengan
kebebasan
menjalankan agama masing-masing.
Bertolak dari pandangan bahwa
Islam merupakan agama
kemanusiaan (fitrah), yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-cita
kemanusiaan universal; Nurcholish berpendapat cita-cita keislaman di
Indonesia adalah sejalan dengan cita-cita manusia indonesia pada
umumnya. Ia yakin betul bahwa pandangan ini merupakan salah satu
ajaran pokok Islam. Karenanya Nurcholish berpendapat bahwa, “sistem
politik yang sebaiknya diterapkan diIndonesia adalah sistem yang tidak
hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga yang membawa kebaikan untuk
semua anggota masyarakat Indonesia.” Pikiran bahwa yang dikehendaki
oleh Islam adalah suatu sistem yang menguntungkan semua orang.
Termasuk mereka yang bukan muslim, menurutnya adalah sejalan dengan
watak inklusif Islam. Pandangan ini, menurutnya telah memperoleh
dukungannya dalam sejarah awal Islam.
Dari alur pemikiran Nurcholish di atas, pada intinya ia hendak
menandaskan bahwa Islam, melalui kekuatan doktrin ajaran dan
bagaimana kesejarahanya, memiliki peran besar dalam mengembangkan
paham pluralisme agama, memang ia mengakui bagaimanapun tetap ada
kendala berupa munculnya sikap tertutup dan tidak suka terhadap agama
lain. Prasangka negatif adalah bagian dari kenyataan hubungan antar
kelompok. Namun tidak semua kelompok membenarkan adanya prasangka
kepada kelompok lainnya dan banyak dari mereka yang mempunyai
komitmen untuk memberantasnya. Menurut Nurcholish, pengalaman
historis umat Islam dalam mempraktekan pluralisme benar-benar
mengesankan, namun beberapa abad belakangan mengalami gangguan.
Sebabnya ialah karena faktor imperialisme barat (Eropa-kristen) terhadap
dunia Islam dan gerakan zionisme yahudi.
Dua hal itu menyebabkan timbulnya konflik yang rumit di
kalangan versus kristen dan Yahudi. Meskipun demikian bagi Nurcholis,
14
kendala itu tidak boleh membuat umat Islam menurun prestasinya dalam
mengembangkan semangat toleransi. Berkat kemajuan pendidikan, umat
Islam dapat secara kreatif mengolah pengalaman masa lalunya, untuk
ditransformasikan kedalam bentuk-bentuk toleransi dan pluralisme
modern, dengan sedikit saja perubahan seperlunya beberapa konsep dan
ketentuan teknis operasionalnya.
Pendeknya, Nurcholis hendak mengiring bahwa umat islam
Indonesia pun harus bisa mewarisi semangat pluralisme yang tinggi. Ia
selalu menekankan baik pada umat Islam sendiri maupun non muslim
bahwa bersikap positif pada pluralisme adalah suatu keharusan, bukan saja
karena doktrin agama memang mendukung demikian, tetapi terlebih
karena tuntutan objektif dari realitas kehidupan modern.
d. Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis
Dalam perkembangan kehidupan yang ditandai dengan semakin
derasnya arus perubahan sosial budaya, pendidikan Islam menghadapi
tantangan yang berat untuk tetap bertahan dan meningkatkan perannya.
Dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan agama mempunyai posisi
yang kuat karena pendidikan agama wajib diajarkan mulai dari jenjang
pendidikan terendah sampai jenjang pendidikan tinggi.
Menyadari uraian diatas, persoalan yang dihadapi oleh pendidikan
agama adalah bagaimana mampu menghadirkan konstruksi wacana
keagamaan yang kontekstual dengan perubahan masyarakat. Selanjutnya,
bagaimana
konstruksi
wacana
keagamaan
tersebut
mampu
ditransformasikan dalam masyarakat secara sistematik dalam kehidupan
bermasyarakat, hal ini yang dikalaim oleh A. Malik Fajar sebagai
permaslahan yang sangan fundamental untuk saat ini26.
Ketika pendidikan Agama Islam masih diajarkan dengan semangat
ekslusivisme dan truth claim, yang cenderung intoleran, jangan banyak
mengharap pendidikan agama Islam dapat turut meredam gejolak sosial
yang sedang melanda bangsa ini. Oleh karena truth calaim tidak akan
melahirkan kecuali output yang ekslusif, yang cendrung memonopoli
26
A. Mallik Fajar, Reorientasi pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, hal. 131-132
15
kebenaran, tertutup, tidak mau mendengar dan memahami orang lain, serta
cenderung otoriter27.
Dari sudut sosiologis, truth claim sudah banyak melahirkan
berbagai konflik sosial-politik yang membawa perang antar agama yang
sampai saat ini masih menjadi problem dan kenyataan yang tidak bisa
dihindari. Padahal semua agama berasal dari Tuhan, dan umat manusia
yang plural itu juga merupakan umat manusi yang satu karena berasal dari
sejarah dan keturunan yang sama, yaitu adam dan hawa.
Begitupun dengan pendapatnya Quraish Shihab yang dikutip oleh
Abuddin Nata menyebutkan bahwa semua agama berpaham monotheis
dengan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa, yang pada hakikatnya
menganut paham universalisme. Tuhan Yang Maha Esa itulah
menciptakan seluruh manusia. Pandangan ini merupakan modal besar.
Disamping itu, diyakini secara penuh oleh setiap penganut agama bahwa
Tuhan merupakan sumber ajaran agama, tidak membutuhkan pengabdian
manusia. Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah atau
mengurangi kesempurnaan-Nya28. Jadi karekteristik agama Islam dalam
visi keagamaan bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan, dan saling
menghargai, karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat unsur
kesamaanyaitu pengabdian pada Tuhan.
Dari sinilah sangat nampak betapa urgennya upaya integrasi
inklusivitas ajaran islam, hal ini agar Islam tampil dengan wajah yang
sesungguhnya, yaitu pluralis, toleran, humanis, transformatif, dan
egalitarian. Pluralitas tersebut dinampakkan dalam kurikulum, materi serta
metode pembelajaran yang diterapkan disekolah. Disini penulis tawarkan
konsep pendidikan Islam berwawasan pluralis dari segi Kurikulum.
Sebagaimana
yang sarankan
oleh
UNISCO
tahun
1981,
untuk
merealisasikan tujuan dan fungsi pendidikan yang dapat menumbuhkan
sikap pluralisme agama pada peserta didik dengan kerangka yang
memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh
27
M. Slamet Yahya, Pendidikan Islam dan Pluralisme, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan
INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, vol.13. No.1, Jan-Apr 2003 hal. 4
28
Dr. H. Abuddin Nata, MA., Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003. hal. 81
16
dari lingkungannya. Riilnya memang masyarakat kita majemuk, maka
kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses
siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankaan
penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu
generasi muda yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis,
dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati
hak orang lain29.
Selain itu, bentuk kurikulum dalam pendidikan agama pada masa
yang akan datang hendaknya tidak lagi ditujukan pada siswa secara
individu menurut agama yang dianutnya, melainkan secara kolektif dan
berdasarkan kepentingan bersama. Bila mana selama ini setiap siswwa
memperoleh pelajaran agama sesuai dengan agamanya, maka diusulkan
agar lebih baik bila setiap siswa SMP s/d PT memperoleh agama yang
sama, yaitu berisi tentang sejarah pertumbuhan semua agama yang
berkembang di Indonesia. Untuk SD diganti dengan pendidikan budi
pekerti yang lebih menanamkan nilai-nilai moral kemanusiaan dan
kebaikan secara universal. Dengan materi seperti itu, disamping siswa
dapat menentukan agamanya sendiri (bukan berdasarkan keturunan), juga
dapat belajar memahami pluralitas berdasarkan kritisnya, mengajarkan
keterbukaan, toleran dan tidak eklusif tapi inklusif30.
Syekh Abdul Mahbub memberikan garis pedoman dam membuat
kurikulum pendidikan berwawasan pluralis, diataranya sebagai berikut:
1. Penyusunan kurikulum harus didasarkan keimanan pada Tuhan Yang
Maha Kuasa, norma-norma atau nilai-nilai absolut yang diambil dari
agama-agama besar dunia dan hubungan integral antara Tuhan,
manusia dan alam.
2. Karena ilmu pengetahuan datang dari Tuhan, manusia bukanlah (the
creators of knowledge) atau pembuat ilmu pengetahuan tersebut. Dan
disebabkan karena manusia dengan mudahnya telah dapat menemukan
aspek-aspek di dunia ini. Dengan demikian, nilai-nilai kemanusiaan
29
30
Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme Agama (IAIN Wali Songo: Tesis, 2002) 42
Darmaningtyas, Pendidikan Pada dan Setelah Kritis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) 165
17
dapat menjadi insperable untuk menyeleksi, menginvestigasi,
menerima dan menikmati sebuah kebenaran.
3. Peserta didik diharuskan mengetahui hirarki antara ilmu pengetahuan
dan
nilai-nilai.
Ilmu
pengetahuan
diperoleh
melalui
sebuah
pengalaman yang harus tunduk terhadap pengetahuan rasional, dan
pengetahuan rasional harus tunduk terhadap norma-norma agama
yang datang dari Tuhan.
4. Keimanan dan nilai-nilai, harus diakui sebagai dasar kebudayaan
manusia. Oleh sebab itu, keduanya tidak boleh dipisahkan dalam
proses belajar mengajar. Ilmu pengetahuan tidak harus ditunjukkan
sebagai sesuatu yang bertentangan dengan pandangan agama. Dengan
demikian, dalam pendidikan harus digunakan untuk mendorong
“value” atau nilai-nilai yang baik.
5. Manusia tidak dapat mengetahui kebenaran absolut, tetapi suatu
kebenaran dapat direalisasikan pada level yang berbeda-beda melalui
perasaan, pemikiran, intuisi dan intelek. Keempat bentuk ini harus
bekerja secara harmoni dan terintegrasi ke dalam sebuah sistem
pendidikan yang komperhensip.
6. Peserta didik harus didorong untuk mengetahui prinsip-prinsip unity
and diversity dan menyadari adanya dasar-dasar kesamaan yang
menembus dunia biologis dan psikis. Ini sebuah refleksi terhadap
sebuah kesatuan prinsip-prinsip penciptaan dunia. Dunia adalah
sebuah sistem yang mempersatukan (the universe is a unifed syistem)
dan terhadap suatu hubungan integral diantara bagian-bagian yang
berbeda-beda31.
Agar maksud dan tujuan kurikulum pendidikan semacam itu dapat
tercapai, kurikulumnya harus di desain sedemikian rupa dan favourable
untuk semua tingkatan dan jenjang pendidikan. Namun demikian, pada
level sekolah dasar dan menengah adalah paling penting, sebab pada
tingkatan ini, sikap dan perilaku peserta didik masih siap dibentuk. Dan
penting diingat, suatu kurikulum tidak dapat diimplementasikan tanpa
31
Syekh Abdul Mahbub, An Integrated Education Syistem In A Multi-Faith And Multi-Cultural
Contry (TB: 1991) 39-44
18
adanya keterlibatan, pembuatan dan kerjasama secara langsung antara para
pembuat kurikulum, penulis dan guru.
Di samping hal tersebut, untuk menuju sebuah pendidikan yang
berwawasan pluralis, sebenarnya selain aspek kurikulum yang harus di
desain, pendekatan dalam pengajaran seperti metode pengajaran sangat
perlu diperhatikan. Maka dalam kajian ini penulis akan sedikit
menawarkan metode pembelajaran yang disampaikan pada siswa demi
terciptanya pendidikan Islam yang berwawasan pluralis sebagaimana
dipaparkan diatas. Maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Seorang guru harus bisa membentuk pola pikir siswa secara terbuka
untuk bersedia menerima kebenaran yang lain, selain yang telah
diyakini. Oleh karena itu, kita harus menghindari penyampaian pesanpesan Islam secara ideologis-doktrinal yang akan mengedepankan
truth claim dalam beragama. Kita harus menyampaikan pula kepada
peserta didik bahwa di luar paham kita ada paham lain yang tidak
mustahil mengandung kebenaran dan diyakini oleh pengikutnya.
Dengan demikian, diharapkan siswa akan lebih mudah bergaul dan
berinteraksi dengan orang lain, yang berbeda agama, ras, dan etnis.
2. Guru harus bisa membentuk pola pikir siswa untuk bisa menghargai
perbedaan secara tulus, komonikatif, inklusif, dan tidak saling curiga,
oleh karena itu, kita harus menghindari penyampaian pemahaman
Islam yang hanya bertumpu pada tekstual-normatif. Sudah saatnya
siswa harus mengkaji model-model pemahaman Islam, dan mengkontekstualisasikan-nya
dalam
kehidupan
nyata
agar
dapat
menghasilakan cara pandang yang utuh dan apresiatif terhadap
perubahan
dan
perkembnagan
jaman
yang
pluralistik
dan
komprehensif, yakni dengan pendekatan filosofis dan historis.
3. Para pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan harus secara
jujur dan transparan sehingga materi pendidikan Islam bisa dipahami
oleh peserta didik dalam kehidupan praksis. Pendidik jangan
memosisikan diri sebagai agen/penyalur madzhab tertentu dengan
menyalahkan madzhab lain. Dalam hal ini, sanagat diperlukan tenaga
19
tenaga pendidik yang mampu menerjemahkan pesan-pesan universal
keagamaan dengan baik, dan harus mampu menegakkan demokrasi
yang mengakomodasi perbedaan.
4. para pendidik hendaknya memahami bahwa dalam pendidikan Islam
itu bukan hanya pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge),
tetapi juga transfer dan internalisasi nilai-nilai (transfer and
internalization values) dalam diri peserta didik. Dengan demikian,
dalam
pendidikan
Islam,
kompetensi
kognitif,
afektif,
dan
psikomotorik harus benar-benar menyatu dan terwujud dalam
kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, peserta didik jangan hanya
diindoktrinasi tentang kesalehan vertikal/individual, tetapi juga
kesalehan sosial.
5. Para pendidik perlu membiasakan anak-anak mengalami pertukaran
budaya (cross cultural exchange) dengan sesama peserta didik.
Pengalaman ini akan dapat membantu mereka untuk memahami orang
lain dalam sebuah perbedaan. Dengan demikian, persatuan dan
kesatuan pada akhirnya akan menjadi keinginan yang kuat di kalangan
mereka. Kedamaian yang senantiasa kita nanti-natikan akan menjadi
kenyataan sesuai dengan peran agama yang membawa pesan
perdamaian bagi umat manusia32.
Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang
mempunyai misi Rahmatan lil‟alamin, dalam artian bukan hanya terhadap agama
Islam itu sendiri namun bagi umat-umat yang lain. Hal ini harus dinampakkan
salah satunya dalam pendidikan Islam dimana output-nya harus tercipta insan
yang inklusif, pluralis dan apresiatif terhadap perbedaan. Sehingga dapat
berpartisipasi disemua lini kehidupan sosial bermasyarakat. Hal ini demi
menghilangkan citra pendidikan Islam dimata masyarakat yang masih dianggap
eklusif, radikal, dan kejam.
32
M. Slamet Yahya, Pendidikan Islam dan Pluralisme, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan
INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, vol.13. No.1, Jan-Apr 2003 hal. 5
20
DAFTAR PUSTAKA
A. Azizi, A. Qodry. Al-Qur‟an dan Pluralisme Agama, dalam profetika: Jurnal
Studi Islam PMSI UMS, Vol. 1, no. 1. Januari 1999
Al-Qur’an dan Terjemahannya
Aziz , Ahmad Amir. Neo-modernisme islam di indonesia. (Jakarta: PT Rineka
cipta, 1999)
Darmaningtyas, Pendidikan Pada dan Setelah Kritis (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999)
Fajar , A. Mallik. Reorientasi pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999)
Idi , Abdullah & Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakrta: Tiara
Wacana, 2006)
Ma’arif , Syamsul, Pendidikan Pluralisme Agama (IAIN Wali Songo: Tesis,
2002)
Mahbub, Abdul Syekh, An Integrated Education Syistem In A Multi-Faith And
Multi-Cultural Contry (TB: 1991)
M. Afifuddin. Membangun Demokrasi dari Bawah; Isu-isu Demokrasi dalam
Pendidikan Agama Islam, (PPSDM UIN Jakarta, 2006)
Mouw, J. Ricard, Sander Griffon, Pluralism and Horizon (Grand Rapids: 1993)
Nata, Abuddin, Dr. H. MA., Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo,
2003)
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer , (Surabaya: Ar
Kolah, 1994)
Paul F. Knitten (editor) the maith of religius superiority: a multifaith explovation,
(New York Orbis Books, Mary hell, 2005)
Sudiarjo. Dialog Intra Religious. (Yogyakarta: Kanisus, 1994)
Shihab, M. Quraish. wawasan al-Qur‟an (Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan
Umat), (Bandung: Mizan, 1996)
Quthb, Muhammad. Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa Salman Harun,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1984)
Yahya, M. Slamet. Pendidikan Islam dan Pluralisme, Jurnal Pemikiran Alternatif
Pendidikan INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, vol.13. No.1, Jan-Apr
2003
http://indonesiancommunity.multiply.com/journal/item/3600/
diambil
pada
tanggal 27 April 2012
http://nasional.vivanews.com/news diambil pada tanggal 27 April 2012
21
Download