Bangkit Dari Debu. “Selanjutnya kami tidak mau, Saudara-saudara bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya, kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa dengan perantaraan Yesus, Allah akan mengumpulkan bersama-sama dengan Dia mereka yang telah meninggal.” –1 Tesalonika 4:13-14 i Dedicated to my mom, Indriyana Ratna Sutrisni that lives happily in Heaven now. You have to go, so everybody else in the world can rise up and live. ii Pujian untuk Bangkit Dari Debu. Semasa saya membaca buku ini, saya diingatkan oleh satu kutipan yang diucapkan oleh Pastor Bobby Chaw -dekan School of Theology City Harvest Church, Singapura- dalam salah satu khotbahnya, “Only GOD can turn a mess into a message, a test into a testimony, a trial into a triumph, a victim into a victory”. Bangkit Dari Debu. Buku yang anda pegang ini sangatlah menggambarkan kutipan diatas, inilah buku yang lahir dari kekacauan namun membawakan pesan kebangkitan yang indah. Buku yang lahir dari sebuah ujian lembah dukacita, namun memberikan kesaksian yang menguatkan. Buku yang lahir dari adanya pencobaan yang membuat kita seakan-akan menjadi korban dari kekejaman dunia ini, namun ternyata Tuhan membangkitkan kita di “hari yang ketiga” dan mengubah kita menjadi lebih dari seorang pemenang. Dipaparkan dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, sekali lagi Sarah menuliskan kisah hidupnya dan akan membawa Anda ke sebuah pemahaman dan pengertian yang baru mengenai "Kebangkitan". Bukan hanya memberikan pengertian, Audrey juga membagikan langkah-langkah praktis bagaimana Anda dapat "dibangkitkan" dan meraih kembali kehidupan Anda! Kehidupan yang bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. –Sophia Novita A., City Harvest Church Singapore. Saya melihat bagaimana pendewasaan di dalam Tuhan terjadi melalui masa-masa yang sukar. Hasil dari proses tersebut adalah keindahan manusia rohani, karena Yesus yang ada didalam kita. Entheos! God in us, never fear and let the ressurection begins! –Maya Uniputty, Singer and Worship Leader Membaca tulisan Sarah selalu membuat saya merinding. Ditambah ketika ia menuliskan kisah perjuangan hidupnya yang menggugah, membuat setiap hati orang yang membaca tulisannya seolah disentuh oleh sebuah 'tangan' yang membangkitkan. Percayalah saya, Anda harus membawa pulang buku ini! (kalau saya sudah pasti akan melakukan itu!). –Josua Iwan Wahyudi, Master Trainer EQ Indonesia | Penulis 24 buku | @josuawahyudi iii Bangkit Dari Debu! Sebuah buku yang sangat mengubah pola pemikiran kita, dengan cara penyampaian bahasa yang mudah dicerna dan penggunaan ilustrasi yang menarik membuat kita mengerti bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan kita, entah itu baik atau buruk, tetap Jesus is the center of our lives! Dalam buku ini, diagnosa terjalin indah dengan pemecahan masalah. Sukacita dan kemerdekaan untuk bernafas dan menikmati kehidupan adalah hasil yang akan Anda dapatkan saat Anda mempelajari halaman demi halaman buku ini! –Max Millianus Tanudjaja, Bintang Sinetron dan Pengusaha Muda iv Ucapan Terima Kasih. Sebuah kebangkitan adalah alasan untuk berterima kasih. Bukan kepada diri sendiri, yang tak mungkin bangkit tanpa beberapa uluran tangan yang persisten. Tetapi kepada pribadi-pribadi, yang telah melakukan jauh lebih banyak dari yang mereka ketahui. Mereka telah membangkitkan satu jiwa! Dan mereka tidak menyadari bahwa mereka sudah melakukannya. Maka di sinilah saya, berdiri untuk memanggil satu persatu mereka ke panggung dan mengucapkan selamat atas kegigihan dan kasih yang mereka berikan kepada saya. Saya harap lampu sorot mengarah kepada mereka, dan gemuruh tepuk tangan setiap kali saya menyebut satu nama, karena mereka layak mendapatkannya. Namun pertama-tama, saya tak akan pernah lupa pada satu-satunya Pribadi yang membuat segala rencanaNya terjadi dengan sempurna, sesuai dengan kekayaan dan kemuliaanNya. Dialah Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat saya. Dia yang telah membuat sebuah rencana yang hebat, menyelipkannya dalam pikiran saya, dan walau saya berkata "hah?" dan menolak mentah-mentah, Dia memberitahu saya di sela-sela keraguan, bahwa bersama Dia, tidak ada yang tidak mungkin! Dialah alasan dan dasar dari semua yang baik yang keluar dari kehidupan saya. Dan Dialah penebus bagi semua yang buruk yang telah saya lakukan. Dialah Allah yang menjadikan ketidaksempurnaan saya tampak seperti permata yang indah. You are my world, God. Lalu ada orang-orang yang Ia kirim. Orang-orang yang luar biasa. Terima kasih untuk Papa saya, Harry Alimwidjaja, yang telah memberikan dukungan yang tak terbatas bagi pelayanan dan visi yang Tuhan taruh dalam hati saya. Terima kasih telah menjadi sahabat yang hangat dan penuh semangat dalam kehidupan. Ps. Timotius Arifin, Bapa Rohani saya. Terima kasih untuk sebuah nasihat untuk pulang, untuk menit-menit paling genting di sebelah peti mati Mama, untuk beberapa patah kata di ujung telepon yang tak saya mengerti sebelumnya namun yang ternyata merupakan sebuah kebenaran yang membebaskan. Thank you for believing in me, and what Jesus can do in my life... v Tante Marleen Prasetyo, terima kasih untuk kebaikan demi kebaikan dan kasih Kristus yang menguatkan, yang telah menjadi secercah cahaya harapan bagi kami sekeluarga. Saya selalu mengatakan kepada Mama bahwa Tante adalah seorang malaikat, dan memang demikian adanya. Sabine Kusuma, terima kasih, untuk waktu, hati, setiap tetesan air mata, hardikan, doa, Firman, pengajaran, kesabaran untuk berdiri bersama saya di masa apapun, tanpa keluh kesah, melainkan selalu dengan semangat yang menyala-nyala. Saya belajar banyak dari hati satu orang, bagaimana kasih karunia tidak hanya mengubah saya, tapi juga seluruh dunia. Terima kasih telah menjadi mentor yang saya butuhkan, bukan yang saya inginkan. Sophia Novita Angkadjaja, terima kasih untuk belasan tahun yang melelahkan yang telah kau luangkan untuk mendidik saya dalam kebenaran Kristus. Saya menjadi sebagaimana saya ada sekarang, karena belasan tahun yang lalu, saya berjumpa denganmu. Saya masih berharap saya dapat membalas kebaikanmu, tapi saya tahu, mustahil untuk melakukannya. Ewaldine Melanie, terima kasih telah mendampingi saya melalui masa-masa terberat dalam hidup saya, menjadi saksi bagaimana sebuah benih memang harus mati, sebelum ia bertumbuh dan berbuah lebat. Menjadi si penyiram, yang percaya bahwa benih itu pasti akan tumbuh pada waktunya. Dan menjadi sahabat, yang bersorak-sorai saat benih itu bertunas dan beranjak untuk meraih tujuan hidupnya. Zaenani, I must say, thank you for your ever-meaningful silence. Melalui ketenangan kau menunjukkan bahwa kasih dapat dibuktikan tanpa kata-kata. Terima kasih untuk waktu dan telinga yang kau berikan dengan sukarela bahkan hingga saat ini. Benar-benar sebuah kelegaan bagi saya, mengetahui bahwa saya dapat berlari beberapa ratus meter dari kantor dan mendapatkan kamu untuk mendengarkan saya, kapanpun saya membutuhkannya. Evy Marline, saya berharap kau ingat apa yang kau katakan padaku waktu itu, karena Tuhan sedang mewujudkannya bagi kemuliaanNya. Terima kasih, untuk sebuah pemberitahuan awal, apa yang akan Tuhan lakukan dalam hidup saya, dan kesetiaan untuk mendoakan agar saya dapat mencapainya. Richard Liemanto dan Febe Sunarto, my cell group leaders, kalian memberi contoh yang baik bagi semua pemimpin muda di seantero nusantara, bahwa kepemimpinan, dan penggembalaan, selalu dimulai dengan hati, dan cinta kasih yang tak mengenal kata tidak (dalam arti yang positif). Hati yang kalian bagi-bagikan itu, tak akan kembali dengan sia-sia. Kalian akan melihat, anak-anak muda yang kalian pimpin, bertumbuh menjadi orang-orang muda yang hebat, karena satu keputusan sederhana untuk vi berbagi hati dengan mereka. Terima kasih pula untuk semua sahabat saya di Komsel FamPro dan semua Gembala, rekan pelayanan, serta jemaat ROCK Ministry yang namanya tak dapat saya sebutkan satu persatu. Juga kepada semua orang yang saya jumpai dalam perjalanan hidup dan pelayanan saya. You all have been a tremendous blessing to me. I love you with the love of Christ. vii Daftar Isi. Chapter #0 Ada Titik Nol Chapter #1 Kembali Ke Kristus. Satu-satunya Jalan Kembali Kepada Hidup Chapter #2 Bukan Milik Kita. Jangan Pegang Erat-erat Chapter #3 Dalam Keadaan Tak Mengerti, Percaya Chapter #4 To Be Put Back In Place Chapter #5 Bangkit Pada Hari yang Ketiga viii Intro. Ketika Semuanya Tidak Berjalan Sesuai dengan Rencana Saya. "Things don't go wrong and break your heart so you can become bitter and give up. They happen to break you down and build you up so you can be all that you were intended to be." -- Samuel Johnson December tiba. Saya sangat bersemangat. Tahun itu adalah tahun 2010. Saya baru saja membeli iPod Touch 4. Saya ingat, Saya menyebutnya my early Christmas gift. Karena saya percaya akan ada kejutan yang lebih baik lagi Natal nanti. Tuhan pasti akan memberikan kebahagiaan. Sebab tahun itu bukan tahun yang baik bagi karir saya. Setelah dua setengah tahun saya bekerja di tempat yang salah. Dan untuk segala kesulitan yang sudah saya alami di tempat kerja, saya merasa berhak mendapatkan Natal yang indah. Saya pun memaksa Mama untuk membuat paspor. Saya ingin mewujudkan impian kami berdua, berkunjung ke Hong Kong di akhir Desember, merayakan pergantian tahun bersama keluarga kami di sana. Saya pikir saya punya cukup simpanan untuk membiayai liburan kami kali ini. Saya yakin, akhir tahun ini Mama pasti bahagia. Dan itu berarti, saya juga. Karena sudah lama saya mendambakan pergi berlibur lagi bersama Mama. Sesuatu yang jarang bisa saya lakukan karena saya dijajah oleh pekerjaan. ix Hmm... Rencana akhir tahun yang sempurna. Saya pasti bahagia... Saya salah... 10 Desember 2010, pukul 5.00 pagi, ponsel saya berdering kencang. Saya terbangun dengan jantung yang berdetak tiga kali lebih cepat. Tiba-tiba saya tahu. Saya tahu saja. Sesuatu yang buruk terjadi. Mama meninggal............................... Dugaan kuat, internal bleeding karena liver failure. Suara di ujung telepon yang terbata-bata dan berusaha mengumpulkan katakata yang tepat untuk membuat berita ini lebih mudah dicerna, saya akhiri dengan cepat. Lalu tak ada suara. Pikiran saya seketika kosong. Kini saya tidak punya rencana. Saya bahkan tak tahu apa yang akan saya lakukan 1 menit ke depan. Saya menelepon beberapa orang. Saya tidak ingat siapa yang saya hubungi pertama kali. Tapi saya ingat di antara mereka adalah bapa rohani saya, Pastor Timotius Arifin. Saya masih ingat apa yang ia katakan dengan segera, “Mama pulang sebagai orang benar”. Beberapa orang terdekat lalu menghubungi saya. Tapi saya tak dapat merasakan apa-apa. Mereka menangis karena merasakan kesedihan yang mendalam, namun saya seperti tak paham akan situasi. Saya menjawab seadanya, menutup telepon, masuk ke kamar mandi dan menangis sebisanya. Lalu saya keluar, mengumpulkan barang-barang yang dapat saya temukan, memasukkan semuanya ke dalam koper, dan berjalan setengah sadar menyusuri jalan raya, sampai saya menemukan taksi. Pikiran saya masih kosong. Tetapi kenyataan mulai kembali ke akal. Mama pergi! Mama pergi untuk selamanya. Dan saya bahkan tak ada di samping Mama, di detik-detik terakhir hidupnya. Air mata saya pun mulai tak terbendung. Sopir taksi yang menyadari sesuatu yang buruk telah terjadi, bergegas membawa saya ke bandara. x Saya masih ingat, saya menangis deras di sepanjang penerbangan kembali ke Surabaya, tempat asal saya. Semua orang heran, tapi mereka seolah-olah tahu, apa yang sedang saya alami. Mereka tak bersuara. Tapi mereka juga tak tertawa. Mereka hanya diam dalam dengung suara mesin pesawat. Jadi saksi-saksi bisu dukacita yang membunuh saya dari dalam. Hari itu adalah hari terburuk dalam sejarah hidup saya. Itu adalah hari di mana saya 'mati'. --------- Itu berita buruknya. Dalam suatu masa dalam hidup ini, kita harus berhadaphadapan dengan masa yang sukar. Dengan perasaan-perasaan yang sulit. Dengan tragedi-tragedi dalam hidup. Dengan rasa sakit yang tak terkatakan. Dan terkadang, akibat dari peristiwa-peristiwa yang terlalu menyakitkan itu, kita kehilangan diri kita begitu saja. Tanpa jejak untuk kembali, tanpa arah ke depan, tanpa keyakinan yang dulu pernah kita miliki. Anda mungkin menyebutnya tragedi. Saya menyebutnya, kematian spiritual. Kita akan membahasnya lebih banyak lagi nanti. Bagi saya sendiri, kehilangan orang-orang yang paling saya cintai, mungkin adalah salah satu fase yang paling sulit dari antara semua masalah yang pernah saya hadapi. Oma (Nenek) saya meninggal tahun 2001. Beliau adalah salah satu orang yang membesarkan saya. Tetapi itu tidak membuat kehilangan Mama menjadi lebih mudah. Malah semakin berat terasa. Karena untuk beberapa saat lamanya, saya merasa benar-benar sendirian, ditinggalkan. Saya merasa... mati. Kalau Anda mengalaminya sekarang ini, duduklah bersama saya, karena saya juga pernah berada di sana. Saya tahu rasanya. Dan saya tahu, bahwa pada saat Anda kehilangan orang yang paling Anda cintai, dunia runtuh. Anda runtuh. Dan semua benteng yang Anda bangun untuk situasi-situasi genting seperti ini, akan runtuh bersama Anda. Semata-mata tidak ada yang dapat Anda lakukan pada saat itu. Tidak ada xi pertolongan pertama terhadap peristiwa-peristiwa seperti ini. Tidak ada perban yang dapat sementara waktu menahan pendarahan batin Anda. Sama sekali tidak ada. Walau percayalah, ini adalah hal yang sepenuhnya manusiawi. Saya dapat berkata demikian, karena pada waktu Mama meninggal, saya merasa pada hari itu juga jantung saya berhenti, saya ikut ‘mati’, dan harus hidup untuk melihat ‘kematian’ saya. Seperti berada dalam kondisi 'koma' yang mengenaskan, saya seolah-olah kehilangan kemampuan untuk menggerakkan kehidupan saya sendiri. Mari kembali sejenak ke bulan Desember yang kelam itu, yah, hari itu memang hari yang buruk. Sebenarnya, sepanjang minggu itu adalah minggu yang buruk. Seperti yang saya bilang tadi, I had a crappy job. Saya punya pekerjaan yang buruk. Dan hidup saya terpusat pada pekerjaan yang menyiksa nurani ini. Hanya saya tak pernah berpikir bahwa keadaan dapat menjadi lebih buruk dari yang saya perkirakan. Tapi ternyata itu terjadi. Saat pukul 05.00 pagi seseorang menelepon dan memberitahu bahwa Mama telah pergi. Just when you think nothing worse could happen. Saya bekerja dan tinggal di kota Jakarta. Sedangkan kedua orang tua saya menetap di Surabaya. Jadi entah Anda bisa membayangkan atau tidak, tapi perasaan saya saat itu sangat kalut. Ya, perasaan di mana Anda tidak ada di sana pada saat sesuatu terjadi terhadap orang yang Anda cintai, perasaan ketika seseorang yang begitu dekat dengan Anda tiba-tiba pergi untuk selamanya tanpa mengucapkan selamat tinggal. Padahal masih segar dalam ingatan saya, beberapa hari sebelumnya saya dan Mama masih bertukar canda di Facebook (Ya, Mama saya cukup mengerti Facebook). Dan saya sama sekali tidak mengira, bahwa itu akan menjadi kali yang terakhir saya berbincang dengan Mama. Pada saat itu, kekalutan menguasai hati dan pikiran saya. Sepertinya tiba-tiba saja sebuah awan gelap melingkupi seluruh hidup saya. Saya tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan, ke mana saya harus pergi, lebih-lebih, saya sempat tidak tahu bagaimana saya harus hidup tanpa Mama, atau untuk apa lagi saya hidup jika tak ada Mama di dalam kehidupan saya. xii Tidak ada yang dapat melukiskan kesedihan saya. Bahkan tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan apa yang saya rasakan pada saat itu. Ini memang perasaan-perasaan yang susah dijelaskan. Tapi saya rasa, jika saat ini Anda mengalami hal yang sama, Anda pasti akan mengerti apa yang saya maksud. Akhir tahun itu, saya langsung berhenti dari pekerjaan, pulang ke Surabaya, memilih untuk melupakan semua impian dan sempat terpuruk dalam keputusasaan yang seakan-akan tak berujung. Saya sempat kehilangan semangat hidup, 180 derajat berbalik dari orang yang sangat termotivasi menjadi orang yang tidak memiliki motivasi sama sekali. Intinya, terkadang, kita ikut mati bersama dengan tragedi-tragedi yang menimpa kita. Bersama dengan orang-orang tercinta yang meninggalkan kita. Meski tak pernah dimaksudkan demikian. Tapi kalaupun terjadi, itu sangat manusiawi. Hanya masalah waktu, dukacita pasti akan menghampiri semua orang, karena kematian adalah kodrat manusia. Itulah juga alasan mengapa saya memutuskan untuk mulai menulis buku ini. Karena setiap harinya, ribuan orang harus berjalan melalui lembah yang kelam itu –melewati rasa duka yang mencekam– tapi sedikit yang berhasil keluar dari sana dengan selamat. Dan kalaupun mereka akhirnya keluar, mereka tidak sepenuhnya ‘kembali’. Sehingga orang-orang terdekat Anda bisa mengalami dua mimpi buruk sekaligus. Kehilangan orang terkasih yang meninggal, dan kehilangan Anda, yang walau masih hidup tetapi tidak benar-benar ‘ada’ bersama mereka. Seperti yang dikatakan Billy Graham, “Dukacita yang tidak diatasi dengan benar dapat menyebabkan kita kehilangan perspektif dalam kehidupan”. Saya ingin keadaan itu berubah. Saya ingin lebih banyak orang berhasil keluar dari gua dukacita. Saya ingin lebih banyak kemenangan dan sorak sorai. Saya ingin Anda memenangkan pertandingan, dan memperoleh hidup Anda kembali. Jadi sebenarnya, yang ingin saya ceritakan bukanlah betapa sedihnya perasaan saya atau betapa hancurnya hati saya saat itu, karena percayalah, jika saya harus menuangkan seluruhnya ke dalam tulisan, maka kitab Ratapan akan mendapat saingan yang sepadan. Dan tebalnya, mungkin akan melebihi 150 pasal kitab Mazmur! Membuat Anda yang membacanya turut hanyut dalam kesedihan, dan xiii semakin kehilangan harapan. Itu benar-benar tidak ada gunanya. Kesedihan yang berlarut-larut hanya akan menghancurkan jiwa Anda. Saya sudah mengalaminya. Dan saya tidak mau membiarkan Anda berada di sana lebih lama lagi. Saya menyadari, sudah waktunya seseorang mengatakan "Berhenti! kita harus melakukan sesuatu dengan perasaan yang sangat menyakitkan ini." Sekali lagi, tidak ada yang salah dari semua perasaan terpuruk yang menimpa kita pada saat sebuah tragedi terjadi. Tapi memutuskan untuk tinggal di dalam sumur keputusasaan dan tidak pernah keluar lagi dari sana adalah hal yang bodoh. Dan saya yakin itu bukan Anda. Anda adalah seseorang yang istimewa di mata Tuhan. Dia masih punya rencana yang besar dan jauh ke depan untuk Anda. Itu sebabnya, Anda harus bangkit. Karena orang-orang yang pergi, adalah masa lalu. Tetapi orang-orang yang ada bersama kita sekarang, adalah masa depan. Mereka membutuhkan kita. Jangan biarkan mereka kehilangan Anda. Jadi hal pertama –dan yang terpenting– adalah apapun yang terjadi, bagaimana pun beratnya, Anda harus kembali. Dengarkan saya, Anda harus kembali. Because your world needs you. Itulah sebabnya saya memberi judul buku ini Bangkit Dari Debu. Ya, karena ini memang sebuah buku tentang kebangkitan. Ini adalah buku tentang harapan. Tentang pemulihan, dan masa depan. Ini buku tentang Anda. Karena Anda adalah masa depan bagi diri dan dunia Anda sendiri. Maka mari menangislah, menangislah sekeras-kerasnya, berteriaklah dan ungkapkan kesedihan yang tak terkatakan itu. Selesaikan amarah Anda, dan ekspresikan kejengkelan Anda. I hear you, loud and clear. Tapi kemudian bangkitlah! Bersihkan luka-luka Anda, dan kembalilah berlari menuju garis finish. Sebab Tuhan sendiri berdiri di tahta kemuliaanNya, menantikan Anda pulang sebagai pemenang, sebagai orang-orang yang memenangkan hidup. Saya pun berpikir, ada berita baik di balik semua ini. Jika Anda dapat mengatasi dukacita, Anda akan dapat mengatasi banyak tantangan yang lain, bahkan yang tampak lebih besar sekalipun. Charles Swindoll, penulis terlaris Seri Tokoh Terbesar dalam Alkitab, dalam pembahasannya akan Raja Daud, ia mengatakan bahwa Daud dapat mengalahkan Goliat, selain karena sepenuhnya xiv mengandalkan Tuhan, juga karena jauh sebelum melawan raksasa Filistin itu, Daud sudah lebih dulu ‘melatih’ dirinya dengan mengalahkan singa dan beruang. Artinya, ujian-ujian yang Anda hadapi sekarang ini tidak pernah dimaksudkan untuk melemahkan Anda, atau bahkan menghabisi Anda. Tetapi untuk menguatkan, dan membangun, sehingga Anda dapat melanjutkan pertandingan hidup, dan keluar sebagai pemenang. “Tuhan yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu.” –1 Samuel 17:37 Karena itu, saya berjanji, kali ini Anda akan bangkit. Anda akan melanjutkan pertandingan, dan Anda akan menang. Anda tidak akan jatuh lebih lama lagi. Karena sekarang, Anda sudah tahu caranya untuk bertahan. Dan mulai sekarang, anda tahu caranya untuk BANGKIT! *** xv CHAPTER O Ada Titik Nol. Sebelum satu, selalu ada nol. Saya tidak ingin kita memulai dari satu. Itu akan melompati tahapan yang harus Anda lalui. Dan melompat kelas itu selalu tidak baik (Anda yang pernah melompat kelas saat sekolah pasti mengetahuinya), Saya ingin, kita mulai dari nol. Ada titik nol dalam kehidupan. Itu kurang menyenangkan kedengarannya memang. Itu bisa berarti Anda kehilangan semuanya. Semua mimpi, semua gambaran kebahagiaan, semua khayalan yang menyenangkan. Sampai saat ini, saya masih sering membayangkan, bagaimana jika saya berhasil mengajak Mama melancong ke Hong Kong. Betapa bahagianya kami. Menembus tahun yang baru bersama keluarga di sebuah negeri yang indah. Tapi titik nol juga bisa berarti kita dapat memulai lagi dari awal. Sebuah langit yang baru. Itu bisa berarti kesempatan kedua. “Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan laut pun tidak ada lagi.” –Wahyu 21:1 Tapi sebelum kita dapat menemukan titik terang, kita bertemu dengan titik nol. Titik nol yang gelap, titik nol yang mencekam. Titik nol yang menyedihkan. Titik nol yang tak pernah terbayangkan kita akan berada di sana. Sekali-kalipun tidak. Tapi demikianlah, kita harus berada di sana sekarang. 16 Lalu apa yang harus kita lakukan saat berada di titik nol? Saya menghabiskan beberapa hari untuk mendapatkan jawaban yang tepat terhadap pertanyaan ini. Tiba-tiba, ketika saya sedang membuka Alkitab dan mempelajari surat-surat Paulus, Tuhan berkata di dalam hati saya, “Berdoa.” Dan segera saya mengerti, bahwa itulah jawabanNya untuk pertanyaan yang sedang saya renungkan ini. Ketika sebuah tragedi dalam hidup menghancurkan hati Anda, hanya jeritan yang jujur kepada Allah, yang dapat mengundang damai sejahtera ke dalam hati yang gelisah. Berdoalah. Bawalah seluruh keadaan hatimu kepada Tuhan. Ia mau mendengarmu. Ya, saya tahu, Anda pasti akan menjawab, “Tapi, saya tak bisa berdoa, saya terlalu sedih, saya bahkan tak dapat memikirkan apa yang akan saya ucapkan kepada Tuhan.” Itu pun yang saya alami dua tahun yang lalu ketika Mama pergi dengan tibatiba. Karena kesedihan yang mendalam saya merasa, saya tidak bisa berdoa. Tetapi hari-hari itu, entah mengapa, saya tetap memutuskan untuk berdoa. Awalnya saya datang kepada Tuhan dengan penuh amarah. Seperti seorang anak kecil yang sewot karena mainan kesayangannya diambil dengan paksa. Saya merasa Tuhan bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa saya. Jadi sudah pasti, doa saya tidak terdengar bagus, apalagi menyenangkan. Tidak ada kata-kata yang indah atau pujian yang muluk-muluk. Malah sebaliknya, doa saya terkesan pahit dan getir, juga penuh dakwaan. Ya, dengan percaya diri saya mendakwa Allah untuk sesuatu yang merupakan hak prerogatif Tuhan sebagai Pencipta. Tetapi sungguh, Allah penuh kasih, sebab dalam keadaan seperti itu pun, dan justru dalam keadaan yang kelam itu, Ia mendengarkan doa saya. Doa, yang lebih banyak menuduh daripada memuji, lebih banyak kata-kata protes daripada kalimat pujian, doa yang semacam itu, didengar olehNya. Bukankah itu berita baik? Karena kasihNya yang begitu besar kepada kita, sehingga waktu kita datang kepadaNya dengan hati yang pahit sekalipun, tak ada hardikan, tak ada petir yang menyambar, hanya hati yang begitu lapang untuk menampung semua kesedihan kita. 17 Tak berapa lama dari saya mulai berdoa, Ia membalas doa saya dengan menuangkan satu takaran penuh damai sejahtera, yang mengalir memenuhi hati saya dan menerangi jiwa saya yang suram. Doa telah memampukan saya melalui hari demi hari tanpa kehilangan keyakinan. Doa memberi saya harapan untuk terus bertahan dalam proses. Doa membuat saya kuat di tengah-tengah situasi yang menggerogoti iman. Doa mempersiapkan kebangkitan saya. Hingga akhirnya, doa, dan doa, dan doa, yang memampukan saya melangkah dari nol ke satu. Perlahan bangun dari keterpurukan dan kembali menggapai kehidupan. R.T. Kendall seorang pastor dan penulis ternama mengemukakan dalam bukunya “The Unfailing Love of Jesus”, dua reaksi Tuhan saat seorang yang kita cintai meninggal, dan kita datang kepadaNya dengan raungan kesedihan dan protes. Pertama, Yesus ikut menangis dengan kita (Yohanes 1:35). Perkataan “Lalu menangislah Yesus” memegang rekor sebagai ayat terpendek di dalam Alkitab, namun demikian, tiga kata ini sudah sangat mewakili betapa besar kasih dan anugerahNya bukan? Ia tidak menghakimi ketidakpercayaan kita. Ia tidak merasa terhina oleh protes keras kita, tapi hatiNya justru tersentuh oleh ketidakmengertian kita akan rencanaNya, dan Ia pun menangis, bersama dengan kita. Ia menangis, kala kita menangis. Reaksi kedua Allah dalam situasi-situasi seperti ini adalah Ia tidak memperhatikan kemarahan kita. Yakobus 1:20 mengatakan “Sebab kemarahan manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.” Karena Allah tahu kemarahan Anda tidak benar, Ia tidak memperhatikannya. God overlooks your bitterness, kata R.T. Kendall. Ia tidak menganggap serius kemarahan Anda. Sebab Ia tahu, kadang, dalam keadaan yang penuh tekanan, manusia tidak menjadi dirinya sendiri. Ia yakin, pada akhirnya Anda akan mengerti, ada rencana baik Allah di balik semua kejadian yang Anda alami. “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” –Yeremia 29:11 18 Prayer helps. Berdoa dapat menolong Anda. Berdoa telah menolong saya. Dan kini, kapanpun saya memerlukan damai sejahtera, saya tahu, hanya relasi yang dekat dengan Allah, yang mampu menenangkan hati saya. Hanya berbincangbincang dengan Dia, yang dapat membuat saya merasa lebih baik. Dan siapa bilang, berdoa berarti duduk, memejamkan mata, dan melipat tangan? Saya berdoa di mana-mana, dan dalam keadaan apapun, karena saya sepenuhnya yakin Tuhan tidak pernah terbatas oleh ruang, waktu dan ritual. Saya berdoa ketika berada di kamar mandi. Saya berdoa ketika sedang mengemudi. Saya berdoa begitu saya merasa takut atau khawatir. I pray when I feel like it. Saya berdoa begitu saya merasa ingin berdoa, dan butuh berdoa. Jadi berdoalah sekarang, sisa bab ini dapat menunggu. Tutuplah sejenak buku ini dan berdoalah kepada Tuhan. Katakan apa adanya perasaan Anda. Lontarkan semua kegundahan, kegelisahan, sakit hati, keputusasaan yang Anda rasakan. Dan biarkan Tuhan yang berurusan dengan semuanya itu di dalam hati Anda. Sebab berdoa adalah seperti membuka pintu dan membiarkan Tuhan masuk untuk membereskan kekacauan di dalam hati kita. Biarkan ia ‘membersihkan’ jiwa Anda, dan jadilah tenang di dalam hadiratNya. Selanjutnya, hal kedua yang dapat menolong Anda adalah sebuah pengakuan yang jujur. Mengakui keadaan, bahwa Anda sedang berada di titik terbawah dalam hidup, dapat membantu Anda bangkit kembali. Karena pengakuan yang sederhana ini memberi kesempatan untuk Anda terjatuh dan terluka, tanpa merasa malu. Memang, tak perlu merasa gengsi atau malu untuk mengakui situasi Anda, sebab kita semua punya titik nol kita sendiri. Kenyataannya, tidak ada manusia yang tanpa titik nol. Jadi kalau semua orang di seluruh dunia ini punya titik terbawah dalam hidup, mengapa kita harus malu untuk mengakui titik terbawah kita? Soal pengakuan, orang Amerika bisa menjadi contoh yang baik. Mereka terkenal paling mudah mengakui bahwa hari mereka sedang buruk. Mereka bahkan memiliki sebuah ungkapan yang berkata, "It wasn't one of my good days". Saya suka sekali ketika mereka mengatakan itu. Karena membuat mereka tampak lemah, tetapi juga kuat, dalam waktu yang sama. Mereka bahkan membuat lagu 19 yang berjudul "Bad Day" (Anda pasti tahu lagu itu). Mereka tak keberatan untuk mengakui bahwa mereka sedang berada di titik terbawah. Yang penting, sebuah pengakuan justru akan meyakinkan Anda, bahwa titik nol Itu tak akan menghancurkan Anda, selama Allah ada di sana. Dan Allah selalu ada di sana. Di titik-titik terburuk kemanusiaan kita. Allah justru ada di sana. Ia akan berada di baris paling depan, di antara semua orang yang berusaha membawa Anda kembali. Dia ada di sana. Dia adalah jaminan, bahwa tidak ada nol yang tidak berubah menjadi satu, dan tidak ada nol yang akan tetap menjadi nol. Seperti halnya kita akan segera melangkah ke bab satu, demikian pula Dia akan mengubah titik nol Anda, menjadi sebuah awal yang baru. Tuhan Ada Di Mana-mana Oleh Oliver Holden (1765-1844) Mereka yang mencari tahta kasih karunia Menemukannya di setiap tempat Jika kita menjalani suatu kehidupan doa, Tuhan ada di mana-mana. Dalam sakit atau sehat, Dalam kekurangan atau kelimpahan, Jika kita mencari Tuhan dalam doa, Tuhan ada di mana-mana. Ketika kenyamanan duniawi kita hancur, Ketika musuh kehidupan menang 20 Itulah saat untuk berdoa sungguh-sungguh, Tuhan ada di mana-mana. Dalam setiap kesulitan, hai jiwaku, Datanglah kepada Bapa dan nantikan Dia, Ia akan menjawab setiap doa, Tuhan ada di mana-mana. 21 CHAPTER 1 Kembali Ke Kristus. Satu-satunya Jalan Kembali Kepada Hidup. Semua peristiwa kehilangan yang harus dihadapi oleh manusia, adalah panggilan untuk kembali. Kembali kepada Sumber dari segala sesuatu. Kembali kepada Kristus. Seperti halnya tidak semua penyakit ada obatnya, begitu pula, tidak semua situasi dapat kita atasi dengan kemampuan kita sendiri. Dan dukacita, adalah salah satu dari beberapa ‘racun jiwa yang mematikan’ itu, yang tidak mungkin kita atasi sendiri meski dengan mengumpulkan segenap kekuatan yang ada. Karena rasa duka itu bagaikan pasir hisap yang siap menelan Anda hidup-hidup ke dalam pusaran kepahitan yang menyakitkan. Anda bisa jadi orang yang sangat kuat, tapi kehilangan orang yang Anda cintai akan menghantam Anda sampai titik terbawah. Dan di titik itulah baru Anda menyadari bahwa ternyata Anda tidak sekuat yang Anda bayangkan. Saya tidak sedang berusaha menakuti-nakuti Anda, saya hanya sedang berusaha membuka pikiran Anda. Bukan untuk membuat Anda putus asa, tetapi justru untuk memberikan harapan baru, di mana Anda boleh bersyukur, karena dalam masalah dukacita, Anda tidak akan menghadapinya sendirian. Sebab memang tidak mungkin mengatasi masalah ini dengan kekuatan Anda sendiri. Jadi saya ingin Anda menyadari satu hal sebelum Anda memutuskan ke mana akan pergi membawa kedukaan Anda hari ini. Anda akan menyimpannya dan berusaha menghadapinya sendiri, atau Anda akan menyerahkannya kepada pribadi yang tahu pasti apa yang harus dilakukan? Kita sering melihat dalam film22 film Amerika, di mana tiba-tiba seseorang yang tak berpengalaman harus berhadapan dengan sebuah bom yang akan meledak dalam hitungan detik. Lalu pada detik-detik terakhir, ia memutuskan untuk bertindak mengikuti insting dan memotong salah satu kabel (biasanya kabel biru, jika Anda ingin tahu), dan masalah selesai! Bom tidak jadi meledak! Tetapi berapa kali juga kita melihat, bahwa ternyata kabel yang dipotong adalah kabel yang salah, sehingga malah kembali mengaktifkan bom tersebut, dan akhirnya semua orang harus berlari keluar menyelamatkan diri, namun karena tak cukup waktu tersisa, bom meledak, dan si penjinak bom ‘amatir’ itu tewas mengenaskan dipecah-pecah oleh serpihan bom. Pikirkan bahwa orang itu adalah Anda dan saya, saat kita berusaha menghadapi masalah-masalah besar di dalam hidup kita, dengan kemampuan kita sendiri. Terkadang, bukannya menyelesaikan masalah, kita malah membuat masalah yang lebih besar dan membuat orang lain ikut menjadi ‘korban’ keegoisan kita. Kita adalah manusia yang diciptakan dengan segala kemanusiawian. Benar bahwa kita diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, dengan kemampuan yang luar biasa, tetapi bersama dengan segala potensi itu, kita juga diciptakan dengan batas. Saya tidak bisa menahan diri saya untuk menggarisbawahi kata batas. Karena penting sekali, penting sekali untuk memahami bahwa manusia itu terbatas (oh saya melakukannya lagi!). Akan ada persoalan-persoalan matematika yang tidak bisa kita selesaikan, akan ada fenomena-fenomena alam yang tidak dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan, akan ada benda-benda yang tak dapat diangkat dengan kekuatan tangan manusia, dan akan ada hal-hal yang tetap menjadi misteri, bahkan sampai kita mati. Dan saya menamai misteri itu, “Kemuliaan Allah”. Nah inilah kenyataannya. Kita diciptakan dengan batas. Tetapi, bukankah itu berita baik? Mengapa? Karena berarti lumrah jika dalam kehidupan kita sebagai manusia, ada perkara-perkara di dalam hidup ini yang berada di luar kemampuan kita. Lumrah, jika ada masalah-masalah yang tidak dapat kita mengerti, meski kita sudah berusaha memahaminya, menyelidikinya, mempelajarinya. Sesungguhnya kita memang tidak harus mengerti segala hal yang terjadi dalam hidup ini. Walau 23 seringkali yang kita lakukan adalah, kita berusaha memaksa diri kita untuk mengerti. Berusaha untuk membuat kejadian-kejadian yang di luar kendali kita itu ‘muat’ ke dalam akal manusia kita yang hanya sebesar tempurung kepala, yang meskipun sangat kompleks, namun masih terlalu jauh jika dibandingkan dengan pikiran Allah yang tak terbatas. Bahkan saya yakin para pemikir paling hebat dalam sejarah pun, tidak akan mampu menyelami dalamnya pikiran Allah dan betapa dahsyat rencanaNya. “Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalanKu dari jalanmu dan rancanganKu dari rancanganmu.” –Yesaya 55:9 Jadi jangan memakai insting Anda saat menghadapi ‘bom waktu’ dukacita, juga jangan memakai pikiran Anda yang tak berpengalaman. Jangan menebaknebak, jika Anda sama sekali tak dapat mengira jawabannya. Karena itu hanya akan membawa Anda kepada masalah-masalah yang lebih besar. Sebab ketika Anda berusaha untuk mencari jalan keluar sendiri, sementara Anda tidak menguasai area dengan baik, anda pasti akan tersesat. Anda mengerti maksud saya kan? Saya punya seorang kerabat, kebetulan ia mengalami hal yang sama dengan saya, ditinggalkan secara tiba-tiba oleh orang yang ia kasihi. Bahkan lebih dari sekali. Jadi saya berpikir sederhana, seharusnya, pada kali yang ke sekian, ia sudah lebih tahu apa yang harus ia dilakukan dalam situasi ini, tetapi, saya salah. Ia tetap tersesat bagai seekor kelinci yang terjebak di tengah hutan yang luas dan tak tahu jalan pulang. Dan seperti yang sebelum-sebelumnya, ia berusaha mengatasi semua rasa yang menyakitkan itu dengan caranya sendiri. Cara yang ia pikir berhasil mengusir rasa duka itu dan membuatnya merasa lebih baik. Setidaknya sementara. Ia menghubungi teman-teman yang salah, yang memberinya minuman keras, dan bukan mengajaknya berdoa. Ia pergi hingga pagi menjelang, sehingga ia terlalu lelah untuk berpikir jernih. Ia mungkin memakai obat-obatan dengan harapan itu dapat membuatnya lupa pada rasa sakit yang ia rasakan. Tetapi segera setelah semua pengaruh obat dan minuman itu lenyap, ternyata duka itu masih ada di sana, dan malah sepertinya semakin nyaman tinggal di dalam hati dan pikirannya. 24 Suatu hari ia datang kepada saya dan mengatakan bahwa ia merasa frustasi dan hampa. Saya tidak bisa mengatakan saya terkejut dengan pernyataannya itu. Mengapa? Sederhana, karena ia berusaha menyelesaikan dukacita dengan caranya sendiri, yang ternyata malah membuat jiwanya semakin tersesat dalam keputusasaan. Cara yang mudah mungkin, tetapi sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Anda mengerti kan, ini seperti berusaha menyelesaikan sebuah persoalan kalkulus yang rumit, tetapi menggunakan perhitungan matematika tingkat dasar. Saya tidak berusaha membuat perbandingan atau tabel benar dan salah. Percayalah, dalam situasi-situasi kehilangan seperti ini, Anda memang harus ekstra kreatif untuk memikirkan cara terbaik yang dapat membawa Anda keluar dari kedukaan. Tapi tentu saja, yang ingin saya bagikan saat ini adalah cara yang benar menurut Firman. Dan yang terbaik. Jadi apa yang harus Anda lakukan, pada saat Anda sedang terpuruk di titik terbawah dalam hidup, yang bernama dukacita? Hanya satu: Kembali. Kembalilah kepada sumber kekuatan. Kembali kepada Pribadi yang paling mengenal Anda dan tahu batas kekuatan Anda. Kembali kepada Pribadi yang paling mengasihi Anda. Kembali kepada Dia yang mengijinkan semua ini terjadi, karena Dia tahu pasti apa yang sedang Dia lakukan. Kembalilah kepada Yesus. Sayangnya hal yang lebih sering terjadi adalah, kita merasa Tuhan tidak tahu apa yang sedang Ia lakukan. Kita merasa bahwa Tuhan telah melakukan kesalahan besar dengan mengambil orang-orang yang paling kita cintai. Dan bahwa kalau Tuhan melakukannya berarti Ia tak ingin kita bahagia. Percayalah, saya pernah berpikir demikian, dan pada bulan-bulan pertama setelah meninggalnya Mama, saya sempat merasa marah kepada Tuhan. Itu sangat wajar, kebanyakan orang marah kan, jika mendapat persoalan yang tidak mereka mengerti? Lalu marah pada siapapun yang kita anggap bertanggung jawab terhadap persoalan yang kita hadapi? Kemudian karena amarah kita kepada Tuhan, kita memilih untuk mengambil arah yang berlawanan dengan Dia, dan berusaha menangani konflik kehidupan 25 ini sendirian, yang akhirnya malah membuat kita semakin terjerumus ke dalam dukacita kita. Kalau Anda sedang berada dalam fase itu sekarang, saya mengerti apa yang Anda rasakan. Tetapi saya ingin mengatakan beberapa fakta sederhana, yang pada saat itu juga membantu saya berpikir jernih, sehingga saya dapat merendahkan hati dan kembali tersungkur di bawah kaki Tuhan. Yang pertama, saya percaya, bagaimana pun juga, Tuhan Yesus adalah Bapa saya. Seorang Bapa yang sangat mengasihi anak-anakNya, dan selalu memberikan yang terbaik bagi kita. Seorang Bapa yang tidak mungkin mengijinkan sesuatu yang buruk terjadi pada anak-anakNya, kecuali Ia punya rencana. Jadi kalau Dia mengijinkan hal ini terjadi, itu karena Dia sudah memikirkan dengan baik apa yang akan Ia lakukan selanjutnya. Ia tahu, bahwa akhir dari semua ini adalah kebaikan, bahkan sebuah hidup yang berkemenangan. “Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepadaNya.” –Matius 7:9-11 Yang kedua, jika Tuhan mengijinkan sebuah masalah yang pelik menimpa kita, Ia pasti akan memampukan kita untuk menanggungnya. “Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah.” –2 Korintus 3:5 Sedikit ilustrasi. Saya adalah penggemar merk elektronik Apple dan segala terobosan teknologi yang telah mereka lakukan hingga saat ini, salah satunya adalah iPod Touch, perangkat pemutar musik yang revolusioner. Steve Jobs, sang pionir Apple, ketika membuat iPod Touch generasi pertama, tidak membenamkan kamera ke dalamnya. Tetapi dengan semakin kompleksnya kehidupan dan berkembangnya kebutuhan manusia, ia merasa akan lebih baik jika iPod Touch dapat merekam dan mengabadikan momen, sehingga ia pun menambahkan kamera pada iPod Touch generasi berikutnya. 26 Anda mengerti maksud saya kan? Kalau pun saat ini Anda tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk melampaui masalah yang sedang Anda hadapi, Tuhan akan menambahkan ‘fitur’ itu ke dalam diri Anda, segera. Hal ini juga berarti, dalam proses mengatasi dukacita, dengan sendirinya Anda sedang naik ke ‘level’ yang lebih tinggi. Anda akan keluar sebagai manusia yang lebih baik, lebih berkualitas, lebih bijaksana, dan lebih dapat diandalkan oleh semua orang di sekitar Anda. Anda mungkin tak menganggap semua ini penting sekarang, tapi nanti dalam kehidupan Anda selanjutnya, kualitas diri Anda yang akan berperan dan menentukan bagaimana Anda menyelesaikan masalahmasalah yang Anda hadapi. Saya mengalami hal yang sama dengan kerabat saya tadi. Saya kehilangan orang yang saya cintai. Hey, saya juga sempat kehilangan diri saya sendiri. Tetapi saya beruntung karena satu hal. Tuhan, dalam hal ini, membuat perbedaan. Oleh anugerah Allah, saya memilih untuk kembali kepada Tuhan. Bukan mengandalkan insting, bukan akal, apalagi keberuntungan. Saya menyadari bahwa saya tidak mampu, dan saya menyerahkan ‘bom waktu’ dukacita saya kepada Tuhan, Pribadi yang paling tahu apa yang harus dilakukan. Pikiran saya sederhana, kalaupun Ia akan meledakkannya, Ia pasti akan melindungi saya dari serpihan-serpihannya. Dan sepanjang hampir dua tahun perjalanan saya bersama Tuhan, semenjak hari di mana saya berdiri di depan peti mati Mama, telah menjadi sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, bahkan boleh dikatakan supernatural! Saya belajar jauh lebih banyak dalam waktu yang jauh lebih singkat. Saya mendapat pengertian-pengertian yang baru. Pada puncaknya, saya mendapat suatu anugerah, di mana Tuhan memberitahu saya mengapa Mama harus pergi. Pikiran dan jiwa saya diperbaharui. Sehingga tepat pada peringatan setahun meninggalnya Mama, saya dapat mengatakan dengan yakin, bahwa Tuhan telah melakukan sesuatu yang baik bagi saya. Bahwa adalah baik bagi Mama untuk pulang lebih awal ke rumah Bapa. 27 Bagaimana saya melakukannya? Saya tidak tahu, karena memang bukan saya yang melakukannya. Tetapi saya dapat memberitahu Anda apa yang saya lakukan. Saya menyerahkan semua perasaan kehilangan, sakit hati, kesedihan yang tak terkatakan, keputusasaan, amarah, dan penyesalan saya kepada Tuhan, lalu saya katakan kepadaNya, “Tuhan tolong lakukan sesuatu, karena saya tidak sanggup menanggung semua ini sendirian”. Saya tahu pasti, saya tidak mampu, untuk masalah yang satu ini, saya tidak mampu. Dan saya tidak berusaha menutup-nutupinya, apalagi berpura-pura kuat. Saya datang apa adanya kepada Tuhan. Saya membawa apa yang bisa saya bawa, diri saya sendiri, dan sejumlah besar masalah dalam hati saya. Lalu, Tuhan membuat perbedaan. Tidak instan, tetapi segera, menurut waktuNya. Rasa duka itu tetap sama, dan Anda akan tetap merasakan pahit getirnya untuk beberapa saat. Akan tetap ada masa-masa menyakitkan yang harus Anda lalui. Tetapi jalan keluar dan hasil akhirnya berbeda. Anda tidak akan keluar sebagai orang yang frustasi dan hampa. Anda akan keluar sebagai orang yang baru. Sebagai pemenang. Dan yang lebih indah adalah, di akhir semua ini, Anda akan berbahagia. Karena itulah yang saya rasakan. Saya merasa diperbaharui, bahkan seperti orang yang dilahirkan kembali. Saya merasakan kebahagiaan-kebahagiaan yang tidak saya rasakan sebelumnya. Saya merasa ‘bangkit’. C.S. Lewis, salah satu penulis terbesar abad kedua puluh –yang juga pernah mengalami kehilangan yang tragis– mengatakannya dengan sempurna, “Dengan demikian kita berpindah dari kebun kepada Sang Tukang Kebun, dari pedang kepada Sang Pandai Besi. Kepada Sang Kehidupan yang memberi hidup dan Sang Keindahan yang menjadikan semuanya indah.” Jadi, saya yakin, Anda pasti ingin kembali merasa bahagia di dalam hidup ini, kan? Tuhan sanggup melakukannya, asal Anda mempercayai Dia. Mulai detik ini, hingga Anda dipulihkan kembali, berpeganganlah yang erat pada Bapa. Karena Ia akan membawa Anda dalam sebuah perjalanan spiritual yang tak terlupakan! 28 Mengapa Tuhan? Mungkin Anda masih belum percaya, bahwa dalam dukacita tidak ada banyak jalan yang berujung pada kebaikan, dan hanya ada satu jalan yang dapat membawa Anda kepada kemenangan. Jalan yang bernama jalan TUHAN. Tetapi baiklah, jika Anda belum terlalu yakin, saya mengerti, Anda membutuhkan alasan yang lebih kuat. Saya setuju. Karena dalam masalah yang pelik, Anda perlu benar-benar yakin bahwa pilihan Anda benar. Jadi pertanyaannya adalah, mengapa Tuhan? Mengapa Anda harus kembali kepada Tuhan? 1. Karena Tuhan Sumber Segala Penghiburan. “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan, dan Allah sumber segala penghiburan.” –2 Korintus 1: 3 Sumber segala penghiburan. Sebuah pernyataan yang melegakan, bukan? Di mana kita mencari di dunia ini, sumber segala penghiburan? Yang pasti Anda tidak dapat menemukannya di bumi. Sebab air di bumi bisa habis, panen bisa gagal, dan kayu bisa dimakan ngengat. Tetapi sebuah sumber yang sejati tidak akan pernah habis, tidak akan pernah kering, dan selalu ada ketika Anda membutuhkannya. Jadi betapa berbahagianya kita, karena memiliki Allah sebagai sumber segala penghiburan, karena dengan demikian kita tahu, bahwa penghiburan yang kita terima tidak akan pernah berkurang, atau habis. Allah tidak pernah memasang papan “out of stock” di pintu Surga. Karena Allah tidak pernah kekurangan penghiburan. Keluarga dan teman-teman kita bisa kehabisan akal untuk menghibur Anda. Mereka bisa kelelahan. Karena percayalah, tidak mudah menghibur orang yang sedang berkabung. Suatu saat tertentu, mereka akan menyerah dan pulang, berharap Anda dapat bertahan melalui masa-masa yang sulit ini, karena mereka juga tak tahu pasti bagaimana mengatasinya. Tetapi Allah, Ia tidak pernah berhenti. Bahkan keberadaanNya saja adalah penghiburan bagi kita. 29 “Tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” –Yohanes 4:14 Ini sebuah kabar yang sangat melegakan. Ketika Allah yang memberikan penghiburan, ia tak akan hanya memberikannya sekali-sekali, tetapi ia akan memberikan penghiburan yang kekal, yang tak lekang dimakan waktu, yang tak akan hilang oleh situasi atau usia, atau oleh keadaan hati Anda. Karena Ia mengerti, sebuah perjalanan melalui masa kehilangan adalah perjalanan naik turun yang drastis. Terkadang, hari ini Anda bisa berada di gunung dan esok hari Anda sudah terdampar di lembah. Ya saya tahu, karena saya pun melalui perjalanan yang seperti itu. Sudah hampir dua tahun sejak Mama meninggal, tetapi sesekali, saya pasti akan teringat kepadanya. Saya teringat akan masa-masa saat kami menghabiskan waktu bersama di sebuah depot mie yang sederhana. Saya teringat saat kami berbelanja bersama. Saya teringat ketika saya tertidur di atas perutnya yang besar. Saya bisa teringat akan banyak hal yang tak saya ingat sebelumnya. Ingataningatan akan kenangan yang indah itu dapat menimbulkan sedikit kesedihan di dalam hati Anda, dan beberapa episode penyesalan yang mengganggu. Tetapi syukur kepada Tuhan, yang terus menerus memancarkan penghiburan di dalam hati saya, sehingga meski ada sekelumit kesedihan terasa, itu tak akan lama, sebab Allah kembali menghibur saya. Ia tidak membiarkan saya larut dalam kesedihan dan penyesalan. Ia memancarkan kembali sukacita saya. Jadi inilah maksudnya ketika Allah menjadi ‘sumber segala penghiburan’ bagi Anda. Maksudnya, Ia tidak akan berhenti! Ia tak akan berhenti menghibur Anda. Ia akan selalu ada untuk mengembalikan sukacita Anda dan saya. Surga akan segera mendapat sinyal, ketika Anda mengalami masa ‘downtime’. Dan dengan sigap Allah akan bergegas menarik Anda keluar dari kondisi hati yang menyakitkan itu. Ia tahu bahwa Anda tak bisa selalu tegar, walau Anda sudah berusaha. Ada waktu-waktu di mana Anda mungkin akan mengalami masa yang suram di sepanjang perjalanan Anda melalui semua kesedihan ini. Allah mengerti keberadaan kita yang lemah. Itu sebabnya Ia menjadi sumber yang tak pernah kering. 30 Jadi, ke mana kita mencari penghiburan yang sejati, sukacita yang kekal, damai sejahtera yang tidak dapat hilang oleh situasi? Mintalah kepada Tuhan yang memiliki semuanya itu, dan Ia akan memberikannya kepada Anda, tanpa syarat. Lihatlah bagaimana Yesus sendiri mengatakannya, “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” –Matius 11:28 Tangan Allah terbuka. Ia siap menyambut Anda. Jadi tunggu apa lagi? Berlarilah dan peluklah Bapa. TanganNya yang lebar akan menghapuskan semua air mata Anda. Ia telah melakukannya dulu, dan Ia akan melakukannya lagi. Ia akan memberikan Anda kelegaan. “Sebab anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu akan menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan. Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka.” –Wahyu 7:17 2. Karena Tuhan Kita Hidup. Sebab Dia hidup, ada hari esok, Sebab Dia hidup, ku tak gentar, Karena ku tahu, Dia pegang hari esok, Hidup jadi berarti, sebab Dia hidup. Anda pernah tahu lagu ini kan? Sebuah lagu lama, tapi sangat mewakili apa yang ingin saya sampaikan kepada Anda. Kita sudah sering mendengar cerita tentang kebangkitan Tuhan Yesus pada hari ketiga setelah kematianNya di kayu salib, tapi kita mungkin tak pernah mengerti manfaat dari mengetahui kebenaran tersebut, hingga saat ini. Manfaatnya adalah, karena kita tahu bahwa Dia hidup, kita juga bisa yakin bahwa Ia tetap berkuasa atas kehidupan kita, atas apa yang sudah terjadi dan apa 31 yang akan datang. Dan yang lebih penting, Ia memegang kepastian hari depan kita. Hari esok ada karena Dia hidup. Kita punya harapan akan hari depan yang lebih baik, karena kita punya Allah yang hidup. Saya tidak dapat cukup mengatakan kepada Anda, betapa saya bersyukur bahwa Tuhan Yesus hidup. Saya tidak tahu apa jadinya, kalau saya tidak punya Allah yang hidup. Ke mana saya akan berlari? Kepada siapa saya akan berharap di saat-saat kehilangan seperti ini? Kepada patung-patung buatan manusia? Atau kepada tempat-tempat keramat? Atau kepada diri saya sendiri, yang sudah babak belur karena perasaan duka yang mendalam? Saya tidak mungkin punya harapan untuk bangkit, jika saya tidak memiliki Pribadi yang hidup dan berkuasa itu di dalam hati saya. Allah yang hadir saat saya mengalami masa terburuk di dalam hidup. Dan yang menolong saya tepat pada waktunya. Serta yang mengembalikan dan memulihkan saya oleh kasih karuniaNya yang besar. Hari ini, jika Anda tahu nada lagu di atas, nyanyikanlah dan kalahkan dukacita Anda dengan sebuah harapan yang pasti, “Sebab Dia hidup, ada hari esok!” 3. Karena Tuhan Tidak Terbatas. Jika Anda masih ingat, saya sudah sempat menyinggung tentang segala keterbatasan kita sebagai manusia pada bab-bab sebelum ini. Nah, saya tidak bermaksud untuk menurunkan martabat kita sebagai ciptaan Allah yang sempurna, tetapi dalam situasi-situasi tertentu, keberadaan kita sebagai manusia memang terbatas. Dan dalam sebuah kondisi yang pelik, manusia bisa terbatas oleh apapun. Waktu, jarak, ataupun situasi dapat membatasi pengharapan kita akan pemulihan. Saya akan menceritakan sebuah contoh. Pada saat Mama saya meninggal, ada beberapa orang yang sangat saya harapkan dapat berada di dekat saya untuk menguatkan, atau semata-mata menopang jiwa saya yang rapuh, salah satunya adalah kakak rohani saya. Namun ia tak dapat melakukannya, sebab ia tinggal dan bekerja di luar negeri. Bukan suatu hal yang mudah untuk ia pulang ke Indonesia, apalagi di bulan Desember, di saat akhir tahun menjelang. Inilah bentuk keterbatasan yang dapat 32 menghalangi pemulihan, jika Anda menaruh pengharapan Anda pada hal-hal tersebut. Jika Anda menaruh harapan pada keluarga dan teman-teman, atau kepada pemimpin rohani Anda misalnya, mereka bisa terbatas oleh banyak hal yang mungkin juga tak mereka inginkan. Mereka bisa terbatas oleh waktu, jarak, dan mungkin oleh tanggung jawab mereka sendiri terhadap kehidupan yang sedang mereka jalani. Tetapi Tuhan di lain pihak, tidak terbatas. Dan maksud saya, sama sekali tidak ada yang dapat membatasi Tuhan. Ia tidak terbatas oleh ruang dan jarak, Ia tak terbatas oleh waktu dan kesempatan. Ia tidak dapat diukur dengan apapun, dan tidak akan pernah terbatas oleh apapun. Itu berarti, Ia tak akan kewalahan menghadapi persoalan yang Anda alami, karena bahkan persoalan terbesar dalam hidup Anda, tidak dapat membatasi Dia, yang dapat mengijinkan atau tidak mengijinkan hal itu terjadi. Maka yakinlah, Anda dapat mempercayakan perkara sepelik apapun kepadaNya. Termasuk perasaan-perasaan yang menyakitkan, kesedihan yang tak terkatakan, atau tragedi-tragedi yang menghantui Anda. Ia sanggup menanggungnya untuk Anda. Karena tidak ada yang terlalu sulit bagi Pribadi yang tak terbatas. Tapi ada hal yang lebih baik lagi. Dalam situasi-situasi seperti ini, Ia akan meminjamkan kekuatanNya kepada kita. Sehingga kita pun akan dimampukan untuk menghadapi setiap masalah dengan kekuatan Allah yang melampaui segala batas. “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”. –Filipi 4:13 Kala yang Terbatas Bertemu dengan yang Tak Terbatas. Perjumpaan kembali kita dengan Allah, akan menjadi perkawinan yang indah antara yang terbatas dan yang tak terbatas. Untuk dapat menangkap dan memahami ide ini serta apa manfaatnya bagi kita, saya mengajak Anda kembali 33 menilik sebuah persamaan matematika yang pernah kita pelajari di bangku sekolah dulu. Tanpa kita sadari, persamaan ini sebenarnya merupakan gambaran hubungan kita dengan Tuhan. Dalam perhitungan matematika, ketika a dikalikan dengan tak terhingga, hasilnya adalah tak terhingga. Anda mungkin lebih suka melihat bentuk persamaannya: ax∞=∞ a mewakili sebuah angka, yang mana berapapun angkanya, apakah itu kecil atau besar, jika dikalikan dengan tak terhingga, hasilnya tetap tak terhingga. Jadi ‘a’ mewakili siapapun Anda, yang jika disatukan dengan Yesus, akan menjadi tak terhingga! Bukankah ini sebuah fakta yang luar biasa? Apakah Anda seorang yang tegar? Atau seorang yang cengeng? Apakah Anda seorang yang kuat? Atau seorang yang lemah? Siapapun Anda, ketika Anda memiliki Yesus, tidak ada masalah di dunia ini yang terlalu sulit untuk Anda. Karena Ia yang tak terbatas itu ada di dalam Anda. Maka berhentilah merasa tak berdaya menghadapi kehidupan, karena kini, bersama Yesus Anda dapat menanggung segala perkara. Segala keberadaan Anda sudah ‘dikalikan’ dengan Yesus, dan tak ada yang dapat mengalahkan persatuan yang manis antara manusia dengan Tuhannya. “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” –Roma 8:31 Dan jika Anda yang membaca buku ini adalah seorang ahli matematika, Anda pasti akan menanyakan tentang angka nol. Ya, masalahnya kita sedang berada di titik nol, kan. Bagaimana jika nol dikalikan dengan tak terhingga? Ah, sebuah pertanyaan yang pintar. Well, saya bukan ahli matematika, tetapi ketika mencari jawabannya di Google, saya berkali-kali mendapatkan jawaban: indeterminate. Maksudnya ‘tidak terdefinisi’, atau dengan kata lain, belum ada satu manusia pun yang dapat mengetahui jawabannya! Ya, karena memang tidak ada yang dapat mengetahui jawaban dari semua persoalan Anda, selain Allah sendiri! Jadi berbahagialah Anda yang merasa sedang berada di sebuah angka nol yang besar. Itu berarti, Tuhan yang memegang kunci jawaban untuk semua masalah Anda. 34 Dan Ia yang akan menuntun Anda sepenuhnya hingga semua persoalan terpecahkan dan Anda keluar sebagai pemenang. 4. Karena Tuhan Tahu Apa Yang Anda Rasakan Mengapa Allah harus menjadi manusia? Ada penjelasan Teologi yang kompleks untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi ada satu alasan sederhana, yang mungkin menjadi salah satu tujuan yang tak pernah diungkapkan dalam misi Allah ke dunia. Ia menjadi manusia, agar Ia dapat berdiri sama tinggi dengan kita. Agar Ia dapat merasakan apa yang kita rasakan. Dan baru kali ini saya berjumpa dengan Allah, yang karena begitu mengasihi umatNya, sehingga ia turun dari tahta ke tempat paling rendah dalam jajaran manusia, hanya agar ia dapat mengerti Anda. Tetapi itulah yang Allah lakukan. Ia harus tahu bagaimana rasanya ditampar, dihantam, ditendang, dipecut, dan diludahi, agar Ia dapat merasakan kepedihan dan ketakutan yang Anda rasakan saat orang lain menyakiti Anda, mungkin dengan cara yang sama. Dan meski Ia telah merasakan pengkhianatan umat Israel beratus-ratus tahun lamanya, Ia tetap membutuhkan Yudas Iskariot untuk memberitahu Dia, bagaimana rasanya dikhianati sebagai manusia. Dan Ia melakukannya –hidup di tangah-tengah manusia– selama 33 tahun! Bukan waktu yang sebentar. Ia hidup sebagaimana mereka hidup, makan sebagaimana mereka makan, berbicara dalam bahasa yang sama. Bernafas, berkeringat, tertawa, terharu, malu, takut, marah, sedih, geram, dan kecewa. Jadi jika saat ini Anda sedang berprasangka buruk terhadap Tuhan dan menuduhNya tidak mengerti perasaan Anda karena Dia Allah, Anda mungkin ingin berpikir ulang. Sebaliknya, Yesus mungkin pernah merasakan kehilangan yang jauh lebih buruk dari Anda. Ketika Yohanes Pembaptis dibunuh dengan keji, dituliskan di dalam Alkitab bahwa pada waktu Yesus mendengar kabar tersebut, “Ia menyingkir dan hendak menyendiri” (Matius 14:13). Ia merasakan kesedihan yang begitu dalam, karena Ia sangat mengasihi Yohanes Pembaptis, saudaraNya itu. Tetapi itu belum seberapa, pada menit-menit sebelum kematianNya, ia 35 merasakan kehilangan yang terburuk dalam sejarah kehidupan di dunia ini, yakni ketika Ia harus kehilangan Allah. Pada saat Ia berteriak “Eli, Eli, Lama Sabakhtani,” Ia sedang ‘kehilangan’ Allah, sebab pada detik ia menanggung seluruh dosa manusia, Ia harus terputus kontak dengan Sang Bapa. Oleh karena Allah itu kudus dan Ia tidak dapat bersatu dengan dosa. Beruntunglah Anda dan saya, yang tidak harus kehilangan hubungan dengan Allah, sebab Yesus sudah melakukannya untuk kita. Jadi Ia mengerti betapa beratnya perasaan dukacita Anda. Ia mengerti betapa sakitnya kehilangan orang-orang yang kita kasihi. Dan tidak ada dukungan yang lebih baik dari dukungan seseorang yang pernah berada di dalam ‘lubang’ yang sama dengan kita. Ketika Mama saya meninggal, kakak rohani saya menelepon dengan menangis. Seakan-akan tahu perasaan saya, ia mengajak saya berdoa. Ia tidak mengatakan bahwa itu perkara yang mudah. Ia juga tidak menghakimi atau menyalahkan saya atas apa yang terjadi, ia hanya mengajak saya berdoa. Anda tahu mengapa? Karena ia tahu bagaimana rasanya kehilangan. Beberapa tahun yang lampau, ia harus kehilangan adik kandungnya oleh sebuah kecelakaan yang fatal. Dan itu menjadi pukulan yang berat di dalam hidupnya. Meski sekarang nampak bahwa pukulan itulah yang telah membuat ia makin lama, makin kuat. Begitu tiba di Surabaya, seorang teman baik yang telah lama tak berkomunikasi dengan saya datang dan tidak berkata apa-apa. Ia hanya duduk di samping saya dan mendengarkan saya menangis berjam-jam. Lalu pada hari demi hari berikutnya, dia akan mengantarkan saya ke mana pun saya inginkan. Waktu saya bertanya mengapa ia melakukan semua itu padahal kami sudah lama tak bertemu, ia hanya menjawab dengan singkat, “Dalam masa seperti ini, kamu tidak boleh sendirian”. Bagaimana dia tahu? Karena beberapa tahun sebelumnya, ia juga kehilangan ibu yang sangat ia cintai. Sehingga ia tahu persis bahwa dalam masa-masa genting itu, kita tidak boleh sendirian. Dan masih banyak teman-teman yang datang kepada saya untuk sekadar menguatkan dan berkata “Saya tahu apa yang kamu rasakan, dan saya ada di sini kalau kamu ingin bicara”. Benar-benar oasis di tengah-tengah padang gurun yang kelam. 36 Maka jika teman-teman terbaik Anda pun mengerti perasaan Anda, lebih lagi Allah yang hidup! Dia bukan hanya mengerti, tetapi Dia akan membuat perubahan. Sebab hanya Dia yang sanggup menyembuhkan hati yang luka. Hari ini, jika Anda dapat mendengarnya di dalam hati Anda, Ia mungkin sedang berkata, “AnakKu, Aku tahu apa yang sedang kau alami, dan Aku ada di sini untuk memulihkan kamu. Sebab Akulah sumber damai sejahtera itu, dan tidak ada lagi kesedihan di dalam Aku. Jangan menyerah, tetaplah melangkah, sebab Aku besertamu.” 5. Karena Itu Yang Tuhan Inginkan Setiap Bapa rindu melihat anaknya pulang, bagaimanapun hubungan mereka sebelumnya. Apalagi Bapa kita di Sorga. Apakah itu sebuah hubungan yang usang, terlantar, atau bahkan sebuah hubungan yang rusak, Bapa tak peduli dengan semuanya itu. Ia hanya peduli pada Anda. Ia ingin menjadi tempat pelarian Anda, saat hidup menjadi terlalu keras dan menyakitkan, atau mungkin, menorehkan luka yang terlalu dalam. Dan saya yakin, ketika Anda berlari kepadaNya, Ia akan menyambut Anda dengan tangan yang terbuka lebar. Ia akan memeluk Anda dengan erat dan mengijinkan Anda menangis di bahuNya. Ini sebuah kebenaran yang harus sungguh-sungguh Anda ketahui. Karena seringkali, ketika Anda sudah terlalu jauh dari Tuhan, Anda akan merasa, ‘apa iya, Tuhan mau menerima saya, setelah semua yang saya lakukan, setelah semuanya ini terjadi?’ Tetapi jawab Allah, “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.” – Yesaya 41:10 Di dalam terjemahan Alkitab versi NASB, Allah mengatakan dengan sangat jelas, “surely I will help you, surely I will uphold you with my righteous right hand.” Wow! Indah sekali jawaban Tuhan! Ia mau dan pasti akan menolong kita! 37 Saya harus jujur terhadap Anda. Sebagai pelayan Tuhan pun, saya mengalami masa-masa jauh daripadaNya. Saya mengalami masa di mana saya ingin lari dari panggilanNya. Masa-masa di mana, seolah-olah kita hidup di luar rencana Tuhan (Walau ternyata tidak, segala pujian bagi Allah yang tetap memegang kendali akan rencanaNya dalam hidup saya). Dan waktu Mama saya meninggal, adalah semua masa-masa itu. Itu adalah masa-masa suram saya. Jadi dukacita saya menjadi lebih buruk, karena berpadu dengan rasa bersalah saya kepada Tuhan. Saya begitu takut dan merasa ‘tidak enak’ –juga tidak layak– untuk datang kepada Tuhan. Saya takut Ia menolak saya, karena saya terlebih dahulu menjauhi Dia. Tetapi, sungguh, semua dugaan saya salah besar. Waktu saya mengintip di balik tirai kudusNya, Bapa menyambut saya dengan penuh sukacita. Seakan-akan segenap Sorga bersorak-sorai ketika saya kembali menghadap Bapa dengan hati yang penuh luka. Ia memeluk saya dan membasuh luka saya, dan seperti perumpamaan yang begitu terkenal dalam Alkitab, sepertinya, Ia mengadakan pesta untuk saya di Sorga. Mungkin ia mengatakan pada para malaikat untuk segera menyanyikan himne-himne yang menyejukkan hati, agar saya merasa nyaman. Lalu perlahan Bapa menarik kursi dan duduk di dekat saya. Ia mengangkat, lalu memangku tubuh saya, bagai menimang seorang bocah yang ketakutan. Dan Ia menyuruh saya bercerita, panjang lebar, tentang semua perasaan yang menyakitkan itu. Sesekali Ia juga mengijinkan saya memukulmukul dadaNya karena saya belum dapat mengerti mengapa Ia mengambil Mama begitu cepat, di saat saya bahkan tak dapat memegang kehidupan saya sendiri. Ia menangis saat saya menangis. Ia memeluk saat saya lunglai. Dan Ia terus menerus berusaha menghapus air mata saya. Ia Bapa yang sangat baik, Anda mungkin tahu itu. Tapi saya tidak ingin Anda hanya tahu, saya ingin Anda yakin dan percaya, bahwa tidak ada yang dapat menghalangi kasih Allah bagi Anda. Tidak Anda, tidak kejadian-kejadian yang menimpa Anda, tidak kesalahan-kesalahan Anda. Dan jangan pernah biarkan setan, atau pikiran-pikiran Anda, mengatakan sebaliknya. Daud, dalam segala kelemahan dan kesalahan yang pernah ia lakukan, tahu dan sangat mengerti akan kebenaran tersebut. Ia mengatakan dalam Mazmurnya yang terkenal: 38 “Ke mana aku dapat pergi menjauhi Roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku. Jika aku berkata: “Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,” maka kegelapan pun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.” –Mazmur 139:7-12 Jadi percayalah, tidak ada yang dapat mengubah atau menjauhkan kasih Bapa dari Anda. Baik dulu, sekarang, dan sampai selamanya, kasih Allah tak terkalahkan oleh dunia. KasihNya mengalahkan dunia. Bahkan dosa tidak dapat menghapuskan kasihNya yang kekal. Yang perlu Anda lakukan sekarang hanyalah mengambil keputusan untuk ‘pulang’. Lihatlah, di depan Allah sudah meregangkan tanganNya untuk menyambut Anda. Segeralah berlari ke sana! Menjadikan Tuhan sebagai Pusat Kehidupan. Sebenarnya, inilah hal terpenting yang harus Anda ketahui, sebelum kita melangkah meninggalkan bab satu. Karena seringkali, kita tak dapat segera pulih dari perasaan-perasaan kehilangan itu, karena ternyata kita mempunyai pusat kehidupan yang salah. Apakah pusat kehidupan itu? Saya mengartikan pusat kehidupan sebagai alasan dan tujuan kita hidup di dunia ini. Untuk apa kita hidup. Untuk siapa kita hidup. Dan oleh karena itu pusat kehidupan juga adalah sumber kekuatan dan kebahagiaan kita dalam menjalani hidup. Lalu pusat kehidupan apa yang salah, dan pusat kehidupan apa yang benar? Nah saya akan memberitahu Anda terlebih dahulu tentang pusat kehidupan yang salah. Pusat-pusat kehidupan yang salah adalah jika kita memusatkan hidup dan komitmen hidup kita kepada sesuatu atau seseorang yang bahkan tidak dapat memberikan kita kepastian dalam hidup. Katakanlah Anda memusatkan hidup 39 kepada pasangan Anda. Ia dapat membuat Anda merasa aman, tetapi ia tak akan pernah dapat memberi Anda kepastian dalam hidup. Ia dapat memberikan Anda hadiah yang indah sekali waktu, tetapi ia tak dapat menjamin seluruh kehidupan Anda akan berbahagia. Bahkan ia tak dapat menjamin ia akan selalu ada di sana untuk mendampingi Anda. Begitu pula ketika Anda memusatkan hidup Anda pada anak-anak Anda. Mereka tak dapat selalu memberi kelegaan di dalam hati Anda, atau mengisi kekosongan yang Anda rasakan. Apalagi terus ada bersamasama dengan Anda. Suatu hari mereka akan beranjak dewasa dan mereka akan pergi mencapai kehidupannya sendiri. Anda mengerti maksud saya kan? Kepastian dalam hidup. Tanyakan pada diri Anda sendiri, dapatkah mereka memberi Anda kepastian-kepastian yang Anda cari? Lalu, ada sesuatu, barang-barang, benda-benda, yang terkadang secara tak sadar menjadi pusat kehidupan seseorang. Harta benda misalnya, ya mereka dapat memberi Anda kekayaan, dan kualitas gaya hidup yang lebih baik mungkin, tapi sekali lagi, mereka tidak dapat memberi Anda kebahagiaan. Mereka hanya memberi Anda kesenangan yang sementara. Dan berita buruknya, maksud saya, sangat-sangat buruk, adalah jika hal-hal tersebut menjadi pusat kehidupan Anda, lalu semua itu tiba-tiba hilang begitu saja, maka hidup Anda seketika itu juga menjadi tak pasti. Seperti yang saya alami lebih kurang dua tahun yang lalu. Hidup saya adalah Mama. Mama adalah hidup saya. Entah sejak kapan, tetapi sepertinya sudah sangat lama demikian. Saya begitu ingin membahagiakan Mama. Saya begitu fokus untuk mencapai segala sesuatu yang akan menyenangkan hatinya. Jadi bisa dibilang, Mama adalah pusat kehidupan saya. Sehingga waktu saya kehilangan Mama, saya seperti kehilangan segala-galanya. Tapi saya beruntung, Tuhan menopang saya. Ia tak menghukum saya karena salah memilih pusat kehidupan. Ia juga tidak menghakimi saya. Namun ia mengembalikan saya ke pusat kehidupan yang benar. 40 Apakah pusat kehidupan yang benar? Yakni pusat kehidupan yang dapat memberi Anda kepastian dalam hidup. Dan tentu saja, satu-satunya yang dapat memberi kepastian di dalam hidup Anda adalah Tuhan sendiri, tidak ada yang lain. Hanya Dia satu-satunya harapan yang pasti di dalam dunia yang penuh ketidakpastian. Anda sudah membacanya sepanjang perikop ini. Anda tidak akan menemukan hal atau pribadi lain yang dapat melampaui Dia dan kebesaranNya. Jadi demi kehidupan dan kebahagiaan Anda sendiri, dan demi masa depan yang masih menanti Anda, maka mulai sekarang, kembalikanlah poros kehidupan Anda kepada satu-satunya pribadi yang sanggup memberi Anda kepastian dalam hidup. Kembalikanlah pusat kehidupan Anda kepada Yesus. 41 CHAPTER 2 Bukan Milik Kita. Jangan Pegang Erat-erat. Jauh lebih mudah melepaskan sesuatu, jika kita tidak memegangnya terlalu erat. Bayangkan Anda sedang memegang dengan kedua tangan Anda, sebuah mawar berduri. Lalu seseorang mengambil mawar itu dari tangan Anda dengan paksa. Tetapi daripada melepaskannya, Anda malah memegang tangkai mawar semakin erat dan berusaha mempertahankannya sekuat tenaga. Alhasil, tangan Anda akan terluka semakin parah, kan? Tetapi bayangkan jika Anda tidak memegang tangkai mawar itu terlalu erat, Anda mungkin terluka, tetapi luka itu tidak akan begitu dalam. Itulah yang terjadi pada saat kita kehilangan orang-orang yang kita cintai. Kita baru menyadari, bahwa selama ini kita memegang mereka terlalu erat, sehingga, kita begitu terluka ketika mereka harus pergi. Kita punya 'pusat-pusat' kehidupan yang salah. Dan kita terlampau takut untuk melepaskannya. “Katanya: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"” –Ayub 1:21 Ayat itu tiba-tiba muncul di hadapan saya seperti sekelebat angin masuk menerobos tirai jendela. Perasaan saya pun menjadi sedikit nyeri. Mengapa ayat itu muncul, setahun setelah Mama pergi? Dan saya mulai ‘memiliki’ hidup saya kembali? Mungkinkah Tuhan sedang menjawab pertanyaan saya tentang kehilangan, yang saya ajukan dengan tak sengaja ketika sedang menulis buku ini? 42 Jadi, mungkin saya mengajukan pertanyaan yang salah. Beberapa hari berselang, saya mengalami dua kehilangan, yang satu cukup menyakitkan, sementara yang lain cukup merepotkan. Tapi saya yakin, kehilangan-kehilangan ini ada di dalam kehendakNya. Ia mengijinkan dua kehilangan terakhir sebagai sebuah ujian yang tulus, akan pusat kehidupan saya. Dan bersyukur kepada Allah, saya dapat melalui proses ini dengan baik. Saya tetap menangis, apalagi karena saya seorang wanita (kami menangis bahkan ketika kami bahagia), saya tetap merasakan penyesalan mengapa hal itu harus terjadi, dan berharap sebaliknya. Tetapi saya tidak kehilangan diri saya, itu yang terpenting! Jika Anda dapat kehilangan sesuatu atau seseorang tanpa kehilangan diri Anda, Anda sudah memenangkan pertandingan. Karena itu berarti, Anda tidak memusatkan kehidupan pada hal-hal yang sementara, yang dapat lenyap dalam hitungan detik dan tak mungkin ditemukan kembali. Saya pasti membuat Anda penasaran. Baiklah, saya rasa cukup adil untuk menceritakan kehilangan apa yang saya alami kali ini. Pertama, saya kehilangan ponsel Blackberry saya. Tentu saja, beberapa dari Anda akan terhibur, karena ini sama sekali bukan kehilangan yang besar menurut sebagian orang, tapi tahukah Anda, berapa banyak orang memusatkan dirinya kepada barang-barang? Mengidentifikasikan dirinya pada benda-benda yang ia gunakan? Dan ketika kepemilikannya terhadap barang-barang tersebut hilang, mereka seolah kehilangan jati diri? Atau ada orang-orang seperti saya, yang sangat membutuhkan alat-alat kerja yang saya bawa, sehingga tanpa alat-alat kerja tersebut saya sedikit ‘pincang’. Apapun alasannya, semua ‘kelekatan’ yang berlebihan terhadap barang-barang bukanlah hal yang baik. Dan Anda harus berhati-hati, agar jangan sampai barang-barang itu mendapatkan tempat yang terlalu tinggi di dalam hati Anda, apalagi jika sampai menggeser tahta Tuhan dari tempatnya. 43 Bagi seorang penulis yang seluruh data dan tulisan, serta studinya berada di dalam ponsel, sedikit banyak ini mimpi buruk. Dan saya pun cukup terkejut ketika ponsel saya tiba-tiba terjatuh entah di suatu tempat yang sampai sekarang saya tak tahu pasti, dan dalam sekejap saya terputus kontak begitu saja dengan alat kerja saya tersebut. Dan tentu Anda tahu, jika Anda kehilangan ponsel di Indonesia, jadilah seorang yang berbesar hati dan jangan harap kembali. Terakhir kali seorang teman mengatakan bahwa ponsel itu sudah berada di jauh di luar pulau, berpindah tangan ke orang lain. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, baiklah, itu suatu pemberitahuan yang jelas saya pikir, sehingga akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, meredakan kepanikan, lalu berdoa, menangis sejenak, dan kemudian saya tertidur. Esok harinya, atasan di kantor saya mendengar kejadian ini, lalu hari itu juga ia membeli sebuah ponsel baru, yang menurut saya, lebih bagus dari milik saya sebelumnya. Benar-benar kejutan yang menghibur! Sebuah kelegaan karena atasan saya mengasihi saya. Tetapi lebih dari itu, inilah poin penting dari setiap kehilangan: Anda akan selalu mendapatkan yang lebih baik! Tidak selalu sama, tapi pasti lebih baik. Karena rencana Allah selalu bergerak ke atas, membawa Anda naik dan bukan turun, menjadi kepala, dan bukan ekor (Ulangan 28:13). Apalagi jika Anda hidup di dalam Kristus dan mengenalNya secara pribadi sebagai Tuhan, Juruselamat, dan seorang Bapa yang sangat mengasihi anak-anakNya, maka Anda boleh yakin, bahwa semua kehilangan Anda akan tergantikan. Belum selesai sampai di situ. Sesungguhnya yang berarti bagi saya bukanlah alat elektronik ini, tetapi apa yang ada di dalamnya. Namun doa saya kepada Tuhan cukup sederhana, kalaupun memang kehendakNya untuk tulisan-tulisan dan studi saya hilang bersama dengan ponsel tersebut, Tuhan yang adalah Yang Awal dan Yang Akhir, Ia pula yang berkuasa atas masa lalu dan masa depan, sehingga Ia pasti akan mengilhamkannya kembali kepada saya. Maka saya pun berusaha menyingkirkan kekhawatiran dan melanjutkan hidup. Lalu tiba-tiba Tuhan mengingatkan bahwa saya pernah membuat salinan dari data-data tersebut, dan ternyata salinan terakhir hanya berselang beberapa bulan dari kejadian ini! 44 Ketika saya berhasil mensinkronisasi data dan membukanya dengan ponsel yang baru, ternyata semua data, bahkan semua kontak saya –meski tak semuanya– sebagian besar masih ada di sana. Termasuk studi dan riset saya, yang sebagian adalah untuk buku ini, semuanya seolah-olah tak pernah pergi ke mana-mana... Benar-benar sebuah keajaiban yang saya butuhkan. Tetapi lalu datanglah kehilangan berikutnya yang cukup menyakitkan. Yakni ketika seorang laki-laki yang sangat saya harapkan menjadi pendamping saya memilih orang lain untuk menjadi pasangannya. Mengingat waktu lebih kurang satu tahun yang telah saya luangkan untuk menunggu, mendoakan, dan memelihara perasaan terhadap pria tersebut, rasa-rasanya sakit hati itu tak terhindarkan. Jadi hati ini hancur juga, meski tak seberapa. Karena Allah menopang saya. Dan inilah salah satu hal yang paling berharga di dalam hidup kita bersama Kristus, yakni tetap berada dalam lindungan Allah meski kita mungkin membuat keputusan-keputusan yang kurang bijaksana yang membawa akibat kurang menyenangkan (menyukai seorang laki-laki yang tidak ditunjukkan Tuhan bagi saya, termasuk dalam daftar “Hal-hal Tidak Bijaksana yang Dapat Kita Lakukan”). Tetapi pelajaran terpenting yang saya peroleh dari peristiwa-peristiwa kehilangan yang saya alami adalah, bahwa hal-hal yang kita beri nilai atasnya – termasuk kehidupan ini–, sesungguhnya bukan milik kita. Hal-hal yang kita anggap berharga, yang seolah-olah berada dalam genggaman tangan kita sekalipun, semuanya itu, bukan milik kita. Melainkan hanya titipan, yang harus kita perlakukan dengan baik, dan kita kembalikan jika memang sudah waktunya. Jadi Apa yang Kita Pegang Erat-erat? Hidup. kita suka sekali memegang erat-erat hidup, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Orang-orang terkasih, harta benda, pekerjaan, karir, status sosial, keadaan, hidup kita sendiri, hidup orang lain, hidup sekitar kita, lingkungan, bangsa, peristiwa, masa lalu, masa depan, ketakutan, kekhawatiran, keinginan, 45 cita-cita, impian yang kandas, impian yang muluk-muluk, visi, pelayanan, panggilan hidup. Apakah Anda sedang memegang erat-erat salah satunya? Anda mungkin menjawab tidak. Tapi hati-hati, kita seringkali memegang erat sesuatu tanpa kita sadari. Seorang sahabat meminjamkan sebuah buku berjudul Brokenness, oleh Nancy Leigh DeMoss. Nancy Leigh DeMoss adalah seorang yang benar-benar diurapi dan telah dipakai Tuhan untuk menyampaikan pesan “brokenness” ini kepada jutaan orang Kristen di seluruh dunia. “Brokenness” adalah ‘hancurnya’ kehendak diri sendiri, sebuah penyerahan diri yang mutlak dan sepenuhnya pada kehendak Allah. Tanpa penolakan, tanpa gesekan, tanpa keras kepala, sepenuhnya menyerahkan diri pada rencana dan kehendakNya dalam hidup ini. Dalam bahasa saya sendiri, saya menyimpulkan bahwa “brokenness” adalah ketika kita menyadari bahwa sesungguhnya kita ini bukan apa-apa dan Tuhan adalah segalanya (we are nothing but God is everything). Bahwa hidup ini adalah oleh Allah dan untuk Allah, bukan oleh kekuatan atau rencana kita. Dan, sebelum kita menyadari sepenuhnya ketiadaan kita dan keberdayaan Allah, akan sangat sulit bagi kita untuk melepaskan genggaman. Beberapa saat kemudian, saya pergi ke ibadah doa puasa di gereja saya, dalam keadaan masih merenungkan isi buku tersebut. Pada saat saya berdoa, saya baru menyadari bahwa buku itu benar. Saya tidak bisa apa-apa. Sama sekali tidak bisa apa-apa, tanpa Allah. I am nothing without God! Hanya Allah yang dapat melakukan semua yang ingin saya lakukan. Hanya Allah yang dapat memampukan saya, jika Ia menginginkannya. Sesaat di dalam doa, saya melihat dalam pikiran saya, tubuh saya tengah tergeletak di lantai, seolah tak bisa bangun atau bangkit. Saya terus memberontak dan berusaha untuk bangun, namun saya tidak bisa. Memberontak. Itu kata yang tepat. Tanpa kita sadari, tindakan kita yang tidak mau menyerahkan sepenuhnya problema hidup kita kepada Tuhan, adalah sebuah tindakan pemberontakan kepada Allah yang dibungkus oleh ‘niat baik’. Sebuah tindakan kudeta yang terselubung. 46 Hati-hati dengan ‘niat baik’ kita sendiri. Kita sering mengatakan, kita mempunyai maksud baik untuk berusaha semaksimal mungkin dalam hidup ini, tetapi sesungguhnya kita tak cukup yakin bahwa Allah sanggup melakukan apa yang Ia katakan akan Ia lakukan. Itu sebabnya kita ikut ‘turun tangan’. Kita sulit untuk mempercayai Allah. Kita berusaha menyelamatkan hari dan menjadi pahlawan bagi diri sendiri. Sama sekali bukan ‘niat baik’. Tapi ketidakpercayaan kepada Allah. Ada perbedaan yang tipis memang, antara berusaha yang terbaik dan berusaha menolong Allah. Perbedaannya adalah, apakah Allah memintanya, dan kapan Allah meminta Anda melakukannya. Padahal seringkali, Allah justru meminta Anda untuk melepaskan genggaman, bukan malah berebut kendali kehidupan denganNya. “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku”.–Lukas 14:33 Saya ingat di tengah-tengah ibadah tersebut, saya berkata lirih dalam doa, ‘Butuh waktu 2 tahun untuk menyadari, bahwa tanpa Tuhan, saya tak bisa apaapa’ Lalu Tuhan menjawab jelas dalam hati saya, “Bukan 2 tahun, anakKu, sesungguhnya 29 tahun, Aku menunggumu mengatakan ‘aku tidak bisa’.” Saya terhentak oleh jawaban Allah, dan tak dapat menahan air mata. 29 tahun! Untuk menyadari bahwa saya tidak mampu. Bahwa saya tidak bisa melakukan dengan rencana dan kekuatan saya sendiri. Bahwa ‘panggung’ kehidupan saya ini sepenuhnya milik Allah. Allah yang harus berada di atas panggung itu dan melakukan segala sesuatu untuk kemuliaanNya. Bukan saya, dan apalagi saya, yang tidak tahu bagaimana melakukannya. Saya hanya akan mengacaukan semua yang telah Ia rencanakan bagi saya. Hari itu, saya turun dari panggung dan menyerahkan mic kembali ke tangan Allah. Saya tahu, setelah 29 tahun, sudah saatnya saya menyerahkan kendali kehidupan saya kembali kepada Tuhan, dan membiarkan Ia berbicara. Sebelum saya menjadi terlalu tua dan terlalu keras kepala. 47 Saya suka sekali apa yang dikatakan oleh Simon Tugwell, seperti dikutip Philip Yancey dalam bukunya, “Doa: Bisakah Membuat Perubahan?” “Allah mengundang kita untuk mengambil liburan, berhenti menjadi Allah untuk sementara, dan biarlah Dia saja yang menjadi Allah. Allah mengundang kita untuk beristirahat, untuk membolos. Kita bisa berhenti melakukan semua hal penting yang harus kita lakukan dalam kapasitas kita sebagai Allah, dan membiarkan Dia menjadi Allah.” Ini masalahnya. Di awal saya menulis bab ini, saya hanya ingin mengatakan secara sederhana dan cepat, “Hidup ini bukan milik kita, teman, jangan pegang erat-erat”. Tetapi melalui kehidupan saya sendiri, Tuhan memberitahu saya, ‘melepaskan genggaman’ itu tak akan semudah yang kita bayangkan. Ada suatu proses yang panjang dan penuh air mata sampai kita dapat melepaskan genggaman dan membiarkan Tuhan mengambil alih kehidupan. Pertama, melepaskan genggaman menjadi hal yang sangat sulit untuk dilakukan, bahkan hampir mustahil, jika saya masih merasa punya hak yang sama dengan Allah dalam hal hidup saya. Yakni jika saya merasa bahwa Allah dan saya dapat duduk sama tinggi untuk mendiskusikan mengenai mau dibawa ke mana kehidupan saya nanti. Tentu saja, Allah tidak akan memperoleh persetujuan saya, jika itu tidak sesuai dengan keinginan saya. Tetapi, jika kita masih bersitegang hingga waktu diskusi habis, kita selalu dapat melakukan voting… Percayalah, seringkali, kita memperlakukan Allah seperti itu. Dan itu sangat menghancurkan hatiNya. Karena berarti Anda tidak mempercayai Allah sepenuhnya, dan Ia tidak akan dapat mewujudkan rencanaNya dengan batasanbatasan yang adalah diri kita sendiri. Kedua, kita tak akan dapat melepaskan genggaman tanpa sebuah pengakuan yang tulus di hadapan Allah –bukan hanya perkataan manis di lidah– bahwa oleh sebab hidup dan segala sesuatu di dalamnya ini bukan milik kita, maka jadilah apa yang menjadi kehendakNya. Percayalah, jika Anda mencoba mengatakan dengan sungguh-sungguh, bukan sebagai hafalan Doa Bapa Kami yang harus Anda ucapkan setiap hari, Anda akan menyadari bahwa mengatakan “Jadilah KehendakMu” adalah sesuatu yang hampir tidak bisa keluar dari mulut kita. 2 tahun yang lalu ketika saya belum mengerti kebenaran tentang rencana Allah, 48 saya tidak dapat mengatakan kata-kata “Jadilah kehendakMu” dengan leluasa. Rasanya selalu tertahan di lidah saya setiap kali saya hendak mengatakannya. Karena saya tidak benar-benar percaya bahwa rencanaNya itu baik bagi saya, terutama ketika saya harus mengalami kehilangan orang-orang yang saya cintai. Tetapi selama lebih dari 2 tahun saya diproses dan dipulihkan oleh Allah, saya mengalami perubahan cara pandang. Saya mengalami terobosan dalam cara berpikir saya. Sehingga meski saya mengalami masa-masa yang berat, namun melepaskan genggaman saya dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan membuat semua beban itu menjadi ringan. Apakah berat beban itu berkurang? Tidak. Rasa sakit tetap ada. Tangisan tetap terurai. Kesedihan tetap terasa. Tetapi cara saya memikul beban, itu yang berubah. Saya tidak lagi memikulnya sendirian, karena kini saya melakukannya bersama Allah. “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah kepadaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKu pun ringan.” –Matius 11:29 Tuhan tidak berjanji akan mengambil semua masalah Anda seketika, tapi Ia berjanji akan melindungi, menyertai, menolong dan menjadikan Anda pemenang atas semua masalah Anda (Yesaya 41:10). Bayangkan udara tempat kita hidup, selalu ada oksigen yang melegakan, tapi juga selalu ada karbondioksida yang menyesakkan. Namun Tuhan menyediakan pepohonan untuk menyerap semua karbondioksida di sekitar kita dan mengolahnya menjadi oksigen, sehingga kita dapat bernafas lega. Ia tidak meniadakan karbondioksida, tapi Ia memberi jalan yang mudah untuk mengolahnya bagi kebaikan kita. Ia membuat kita menjadi orang-orang yang dewasa dan kuat. Saya pun merenungkan kembali perjalanan saya bersama Tuhan, dan saya hanya bisa mengatakan, “O, glory be to God! Let Your will be done in my life, as it is in Heaven!” 49 Melepaskan Genggaman adalah Menyerah Seperti Yesus! Beberapa waktu yang lalu, karena Natal sudah dekat, saya membuka kembali kitab-kitab Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) untuk mempelajari peristiwa kelahiran Yesus, dengan harapan mendapatkan pengertian yang lebih mendalam tentang hal itu. Tapi anehnya studi saya tergiring ke masa-masa The Passion, terutama beberapa saat jelang penangkapan Yesus oleh orang-orang Yahudi, saat Ia sedang berdoa di taman Getsemani. “Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya.” –Markus 14:35 Lalu Roh Kudus menuntun saya untuk melihat kisah di kitab Yohanes, saat Yesus akan membangkitkan Lazarus. Sejak dulu saya bertanya-tanya, mengapa Marta dan Maria mendapat respon yang berbeda dari Yesus, padahal mereka mengatakan hal yang sama persis, "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati” (Yohanes 11: 21, 32). Ketika mendengar Marta mengatakannya, Yesus membalas dengan pernyataan-pernyataan yang tegas. Ketika Maria mengatakannya, Tuhan Yesus menangis karena terharu. Mengapa demikian? Jawabannya ada di ayat 32. “Setibanya Maria di tempat Yesus berada dan melihat Dia, tersungkurlah ia di depan kaki-Nya dan berkata kepada-Nya: "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati."” –Yohanes 11:32 Kata ‘merebahkan diri ke tanah’ dan kata ‘tersungkurlah’, berasal dari kata yang sama dalam bahasa Yunani, ‘pipto’, yang dalam bahasa Inggris ‘to prostrate’, artinya: merebah sampai ke tanah sebagai tindakan menyembah seseorang. Kata ‘pipto’ juga berarti tindakan kehilangan atau menghilangkan otoritas, di mana seseorang tidak lagi memiliki kekuatan atau kuasa. Bandingkan dengan ayat 20, ketika Marta mendengar Yesus telah tiba di kota mereka, 50 “Ketika Marta mendengar, bahwa Yesus datang, ia pergi mendapatkan-Nya. Tetapi Maria tinggal di rumah.” –Yohanes 11:20 Marta berlari untuk mendapatkan Yesus. Di dalam terjemahan lain, dipakai pula kata ‘menyambut’. Tampaknya sebuah tindakan yang baik ya? Tetapi tahukah Anda, ternyata di dalam bahasa Yunani, kata yang digunakan adalah ‘hypantao’, yang berarti ‘to oppose’ atau ‘to fight in battle’ yang berarti menyerang dengan sikap menuduh, sinis menyalahkan, menentang, orang yang ditemui. Bahkan tidak ditulis Marta menyembah Yesus terlebih dahulu ketika menemuiNya, Ia langsung membombardir Yesus dengan gugatan. Marta menempatkan Yesus setara dengan dia, seolah-olah Yesus harus menuruti semua yang ia inginkan. Jadi sekarang kita tahu, mengapa Maria mendapat respon yang berbeda dari Yesus. Karena Maria menunjukkan penyerahan diri yang mutlak kepada Allah. Yaitu tindakan berserah yang menghormati Allah, dengan menempatkan Allah sebagai Allah, bukan sebagai seorang pelayan yang salah melakukan pekerjaannya, seperti yang dilakukan Marta. Tindakan penyerahan Maria ini juga mengakui bahwa dirinya sendiri tidak berkuasa apa-apa, tetapi Allah-lah yang berkuasa penuh atas hidupnya, dan bahwa Allah berhak melakukan apa yang Ia pikir baik. Maria melakukannya seperti Yesus, ketika di Taman Getsemani, dan kematianNya tinggal sebentar lagi, Yesus menyerahkan diriNya kepada Bapa, dan memperlakukan Bapa sebagai Allah, yang memiliki otoritas tertinggi atas hidupNya, terbukti ketika Ia mengatakan, “tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” (Markus 14:36) Dalam kasus Tuhan Yesus sendiri, doanya memang tidak dikabulkan oleh Bapa di Surga, karena kehendak Bapa jauh lebih baik, yaitu bahwa supaya melalui pengorbanan Yesus, Anda dan saya yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Pengorbanan Yesus di kayu salib menyelamatkan seluruh dunia dan segala masa. Tetapi dalam kisah Lazarus, Yesus tersentuh oleh penyerahan diri Maria. Ia menyerahkan rasa dukacita itu sepenuhnya kepada Allah dan mempercayai Allah untuk melakukan apa yang Ia anggap baik. 51 Jadi, di tengah-tengah pedihnya dukacita yang Anda rasakan saat ini, adalah suatu kelegaan untuk mengetahui bahwa hidup ini bukan milik kita. Hidup kita ini milik Allah yang begitu mengasihi kita. Ia tahu apa yang terbaik untuk membuat hidup kita indah di mataNya. Seperti kata Simon Tugwell, sudah saatnya Anda ‘membiarkan’ Allah menjadi Allah dalam kehidupan Anda. Berhentilah memutuskan sendiri segala sesuatu menurut pertimbangan Anda sendiri. Mengakulah seada-adanya di hadapan Allah, bahwa Anda tidak mampu. Dan hanya Dia yang mampu mengatasi situasi Anda sekarang. “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” –Amsal 3:5-6 Begitu pula dengan orang-orang tercinta yang dipanggilNya pulang. Mereka bukan milik kita. Mereka milik Allah, dan Allah berhak memanggil mereka pulang, jika menurut Allah, itu akan mendatangkan kebaikan bagi mereka yang pergi dan bagi kita yang ditinggalkan. Sadarilah satu hal. Bahwa Dia adalah Allah yang bertanggung jawab. Ia akan menjaga kehidupan Anda, dengan segenap hati dan kuasaNya. Tak sehelai rambut Anda akan jatuh tanpa seijin Allah. Kalau Ia mengijinkan luka, Ia pula yang akan membalutnya. Dan kalau Ia mengijinkan Anda berduka, itu karena Dia, dan hanya Dia, yang sanggup mengubah ratapan menjadi tari-tarian, dan Ia mau melakukannya bagi Anda dan saya. (Mazmur 30:12) Saya tahu, ini tidak mudah, tetapi akan terasa semakin berat, jika Anda bersikeras untuk mengatasinya dengan kekuatan Anda sendiri. Berusahalah, berusahalah sekali ini untuk dengan rela hati mempercayai Dia sepenuhnya. Biarkan diri Anda jatuh, dan biar Allah yang menopangnya. Berilah kesempatan untuk Allah memulihkan kehidupan Anda, tanpa sedikit pun campur tangan Anda. Segera, lepaskanlah genggaman, dan biarkan kelopak-kelopak kehidupan Anda yang terkulai terbang ke dalam tangan Tuhan yang dahsyat, yang sanggup 52 ‘menghidupkannya’ kembali. Saya percaya, saat itu juga, Anda akan melihat keajaiban. 53 CHAPTER 3 Dalam Keadaan Tidak Mengerti, Percaya. “Accept and Trust” Charles Swindoll seperti mengatakan kata-kata itu langsung ke wajah saya, sewaktu saya sedang membaca sebuah artikel renungan yang ditulisnya. Saya segera membuat tulisan besar “Accept and Trust” di komputer dan menjadikannya latar belakang desktop, sehingga setiap kali saya pupus harapan, saya selalu dapat melihatnya kembali (Anda juga dapat melakukannya, memasang tulisan-tulisan yang besar terbukti cukup efektif untuk menguatkan hati yang lemah). Saya ingat benar, itu adalah awal tahun 2011, di mana kematian Mama masih sangat ‘segar’ dalam ingatan saya. Saya masih diliputi oleh duka yang mendalam. Dan tentu saja, saya masih tidak mengerti –juga setengah tak percaya– bagaimana ini semua bisa terjadi. Saya ingat benar, saya mengajukan pertanyaan ‘mengapa’ kepada Tuhan jutaan kali, mungkin sudah terdengar seperti radio rusak. Tentu saja, saya bertanya karena saya tidak mengerti. Dan semakin saya berusaha mengerti, saya semakin tidak mengerti. Saya memiliki rekaman video dari acara penghiburan dan penutupan peti Mama. Saya pernah sekilas melihatnya lagi beberapa waktu lalu, ketika saya sedang menyusuri beberapa dokumen di dalam komputer saya. Di dalam video itu, saya melihat wajah-wajah yang hancur hati dan bingung. Saya pun memutar kembali dalam pikiran saya, potongan-potongan kejadian pada saat itu. Saya teringat, saya terduduk di sebelah peti berukuran 2x1 meter itu –tidak paham sedikit pun apa yang sedang terjadi– selagi semua orang sibuk berlalu lalang di sekitar saya. Mereka seperti angin, dan saya seperti daun gugur yang dibawa 54 terbang oleh angin. Saya sudah menangis berulang kali, tapi air mata itu masih ada. Rasa duka itu masih ada. Saya ingin membilasnya, membersihkan diri saya dari semua perasaan yang mencekam itu, tapi saya tidak bisa. Ya, saya harus memberitahu Anda satu kebenaran tentang ‘membersihkan’ dukacita dari hati kita: Hanya proses pemulihan Allah yang dapat melakukannya. Banyak orang bilang, waktu yang akan menyembuhkan. Itu hanya sebagian benar. Waktu tidak akan menyembuhkan, jika selama kurun waktu tersebut, Anda tidak mengijinkan Tuhan untuk masuk ke dalam kehidupan Anda dan memproses Anda menuju ke sana. Saya melihat bukti nyata di sekeliling saya, betapa begitu banyak orang masih terkurung di dalam dukacitanya sendiri, meski orang-orang yang mereka cintai sudah meninggal puluhan tahun yang lampau. Saya menonton sebuah film yang sungguh luar biasa beberapa hari yang lalu, berjudul “Courageous”. Saya menganjurkan Anda membeli dan menonton film ini, karena nilai-nilai yang ada di dalamnya dapat membantu Anda beradaptasi dengan situasi kehilangan yang sedang Anda hadapi sekarang. Melalui film ini, Tuhan mengatakan sesuatu kepada saya sebuah rahasia untuk mengatasi dukacita: “There needs to be a grieving process. You cannot escape the process. You cannot skip the process. You simply have to be part of the process.” Perlu ada sebuah proses berduka. Anda tidak dapat kabur dari proses itu. Anda tidak dapat melompati proses itu. Anda semata-mata harus menjadi bagian dari proses itu. Bagi beberapa dari kita mungkin perlu sebuah keberanian untuk terjun ke dalam proses Allah. Mungkin, karena Anda belum sepenuhnya mengenal Dia, dan Anda tidak yakin, apakah dengan mempercayai Dia, semua akan baik-baik saja. Saya pun meski terlahir Kristen, tidak dengan mudah mengijinkan Allah bekerja dalam kehidupan saya. Seperti yang disebutkan dalam bab sebelumnya, kebanyakan dari kita, tidak terkecuali saya, lebih sering berebut roda kemudi dengan Allah, daripada membiarkan Allah yang memimpin kehidupan kita, ke mana Ia inginkan. 55 Oleh karena itu, perlu dua buah sikap –saya lebih suka menyebutnya keputusan– agar Anda mampu mengambil langkah pertama masuk ke dalam proses pemulihan Allah: menerima dan percaya. Menerima Hal yang Mustahil Siapa yang mau menerima dukacita? Sungguh, kedukaan adalah beban yang terlalu berat untuk dipikul, terlalu menyakitkan untuk dihadapi oleh manusia biasa seperti kita. Menerima kenyataan bahwa Anda telah kehilangan orangorang yang Anda cintai? Sepertinya tidak mungkin. Tetapi, menerima, meski hampir mustahil untuk dilakukan, kelihatannya adalah satu-satunya cara untuk beradaptasi dengan kedukaan. Saya ingin memberikan sebuah ilustrasi untuk meyakinkan Anda, mengapa menerima adalah sikap terbaik untuk menghadapi dukacita. Dan yang berpeluang besar untuk membebaskan Anda dari tekanan rasa sakit yang terlalu menyiksa batin. Di jaman sekarang ini, banyak orang menganggap rasa sakit adalah jalan menuju keberhasilan atau kebahagiaan. Para ahli obat-obatan Cina melakukan tusuk jarum, untuk memperlancar peredaran darah. Para wanita pergi ke salon untuk melakukan facial, demi mendapatkan wajah yang cantik mempesona. Para body builder melakukan sit up, push up, dan mengangkat beban yang semakin berat setiap hari, demi tubuh yang perkasa. Para ibu-ibu muda melakukan diet ketat dan mengikat diri dengan korset setelah melahirkan, demi kembalinya bentuk tubuh yang didambakan. Semua rasa sakit itu dapat ditanggung oleh kemanusiaan kita. Kita dapat sekadar menahan nafas untuk menahan sakitnya. Bahkan sebagian dari kita menikmati rasa sakit tersebut, karena yakin pada hasil yang dinanti. Dan Anda selalu dapat menolak, saat Anda merasa prosedur ini terlampau menyakitkan dan menyiksa Anda. Tapi dukacita bukan pilihan. Dukacita berada di luar kendali kita. Dukacita datang tanpa diundang, ke rumah orang baik dan orang jahat, ke rumah pendeta maupun pembunuh, kepada orang yang taat dan tidak taat. Dukacita bukan pilihan, dan dukacita tidak memilih. 56 Dan dukacita, adalah rasa sakit yang berada di tingkatan yang jauh berbeda dari tusuk jarum, facial, atau kram perut. Rasa sakit itu jauh lebih besar, karena Anda tak dapat melihat lukanya. Luka duka jauh di dalam, menyayat batin manusia menjadi serpihan-serpihan kepedihan, menghukum kita dengan ketidakmengertian, kebingungan, dan keputusasaan. Kita sendiri tidak akan tahu bagaimana cara mengatasi rasa sakit seperti ini. Dan saya bisa mengatakan dengan yakin, hanya Allah yang tahu jalan keluar dari kegelapan duka. Jadi oleh karena tragedi ini bukan pilihan kita, kita tidak memintanya, tetapi oleh kehendak Allah, kita harus mengalaminya, dan oleh karena kita sama sekali tidak mengerti substansi dukacita, sebab ini bukanlah sebuah rasa sakit fisik yang dapat didefinisikan dengan kata-kata, keringat, atau darah, maka oleh kedua alasan itu, menerima, menjadi satu-satunya hal paling bijaksana yang dapat Anda lakukan dalam keputusasaan. Teolog Amerika Reinhold Niebuhr mengatakannya dengan sangat baik, lewat Serenity Prayer-nya yang terkenal, “God, grant me the serenity to accept the things I cannot change, The courage to change the things I can, And the wisdom to know the difference.” Saya beberapa kali menghadapi situasi yang tidak saya inginkan, tetapi harus terjadi kepada saya. Dan saya sering berada dalam situasi yang saya tidak mengerti, mengapa dan bagaimana hal ini bisa terjadi. Dan dalam segala peristiwa tersebut, setiap kali saya memutuskan untuk menerima situasi dan menyerah kepada Tuhan yang mengijinkan itu terjadi, adalah hal yang selalu membebaskan saya dari jerat keputusasaan. Iblis tidak bisa menyerang orang yang menerima. Ia tidak akan bisa menyiasati orang yang sudah berbesar hati menerima peristiwa yang dialaminya. Ia tidak akan bisa menggali lebih dalam dukacita Anda, jika Anda sudah menerimanya. Ada tips untuk memudahkan Anda menerima situasi yang menyakitkan. Saya mengajak Anda sekarang, untuk menangis. Mari menangislah, untuk hal-hal yang harus Anda alami hari-hari ini. Menangislah karena Anda merasa tak mampu, tak mengerti, dan tak menginginkan hal itu terjadi. Menangislah dan gunakanlah air mata Anda untuk membilas hati yang terluka. Menangis akan memberi Anda 57 kelegaan, memberi Anda keleluasaan untuk mengaku bahwa Anda tidak sanggup menghadapi semuanya sendiri, dan menangis, adalah jeritan hati yang tidak mungkin diabaikan Allah. Satu orang di dunia ini menangis, seisi surga akan mengetahuinya. Malaikat-malaikat segera membuat laporan kepada Bapa, dan Bapa tidak akan tinggal diam. Ia pasti akan bergegas turun dari tahtaNya yang mulia untuk mendapatkan Anda, memeluk dan menghiburkan Anda. Karena Ia Bapa yang baik. Yesus mengatakan dengan ringkas dan jelas, sebuah kepastian abadi, “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.” –Matius 5:4 Dalam Keadaan Tidak Mengerti, Percaya. Saya sangat suka dengan pernyataan ini. Tuhan mengatakannya kepada saya, ketika saya mengajukan lebih banyak pertanyaan daripada ujian akhir sekolah menengah, sidang skripsi universitas, atau proses interogasi kepolisian. Tampaknya memang saya sedang mendudukkan Tuhan di kursi ‘orang yang dicurigai’ dan menghujaniNya dengan berbagai pertanyaan yang memojokkan. Apalagi kehilangan itu menyerang saya, yang dalam hidup sehari-hari pun sudah terlalu sering bertanya ‘mengapa’. Jadi ya, saya yakin, Bapa sudah mengira ini akan terjadi, saya akan mengajukan sejumlah besar pertanyaan ‘mengapa’ dan tidak akan berhenti sampai Tuhan, atau salah seorang malaikat, datang ke kamar saya untuk memberi jawaban. Saya menuntut Tuhan untuk memberikan penjelasan, dan percayalah, saya seorang yang sangat penuntut. Tapi kali ini, Tuhan sudah menyimpan di sakuNya, sebuah jawaban yang tepat. “Dalam keadaan tidak mengerti, percayalah”, kataNya tenang. Bagaimana bisa? Bagaimana saya bisa percaya, jika saya tidak mengerti apa yang sedang saya hadapi? Pertama-tama, berhentilah bertanya. 58 Saya yakin, kita semua tak akan pernah dapat sepenuhnya memahami tragedi yang bernama dukacita. Saya, yang oleh anugerah Tuhan boleh mendapatkan sebagian jawaban tentang mengapa Mama harus pergi meninggalkan kami, tetap memiliki sejumlah pertanyaan yang hingga saat ini tidak terjawab. Dan ketidakmengertian kita membuahkan kebingungan. Kebingungan ini sebenarnya merupakan hal yang baik dan tidak baik. Hal yang baik adalah, bagi orang-orang yang berharga diri tinggi –termasuk saya, ini adalah pertama kalinya kita akan bertanya ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ kepada orang lain. Untuk pertama kalinya dalam hidup, kita akan mulai merendahkan hati dan memberanikan diri untuk meminta pertolongan dan dukungan dari orang lain. Dua tahun yang lalu pada hari Mama meninggal, seorang sahabat terdekat saya yang tinggal di Banyuwangi, Ewaldine Melanie, bertanya, “Apakah kamu mau saya berangkat ke sana?”. Saya yang biasanya tidak mudah untuk meminta pertolongan menjawab, “Ya, kalau bisa kemarilah”. Dan ternyata saya memang membutuhkan dukungannya selama acara penghiburan digelar. Ia yang menerima karangan bunga, mengingatkan saya untuk makan, dan menyambut orang-orang yang datang, kala saya sudah tak punya kekuatan lebih untuk menemani mereka. Ia benar-benar malaikat yang Tuhan kirimkan untuk saya. Saya tak pernah dapat cukup mengucapkan terima kasih kepadanya. Tapi kebingungan juga dapat menjadi hal yang tidak baik. Dan memang lebih sering demikian. Karena kebingungan membuat kita dengan tanpa henti melontarkan pertanyaan, tanpa kemungkinan akan mendapatkan jawaban. Seperti melempar sebuah bola ke ruang angkasa, ke sebuah ruang hampa tanpa gravitasi bumi, yang hanya akan membuat bola itu melayang-layang di sana, tanpa keharusan untuk kembali. Anda harus berhenti bertanya. Karena semakin Anda bertanya, semakin banyak pertanyaan lain yang muncul. Dan itu hanya akan membuat Anda semakin frustasi. Anda sudah cukup frustasi karena harus kehilangan orang terkasih Anda, tak perlu menambah tekanan Anda dengan daftar pertanyaan tanpa kunci jawaban. 59 Joyce Meyer, dalam bukunya “Why, God, Why?” mengatakan, “Kita akan terbebas dari jerat kebingungan jika kita berhenti mencari-cari jawaban atas segala sesuatu” Selanjutnya Joyce Meyer juga menyebutkan, bahwa kebiasaan bertanya-tanya akan menjebak kita di masa lalu. Saya mengalaminya. Beberapa bulan pertama, ingatan saya terjebak di menit-menit dan jam-jam setelah ponsel saya berdering di jam 5 pagi, 10 Desember 2010. Juga pada menit-menit dan jam-jam sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan, dan pernyataan-pernyataan “kalau saja” mencoba mengubah situasi di dalam ingatan saya, dan membuat alternatif adegan akhir cerita dari peristiwa yang menyedihkan ini, yang mungkin dapat berakhir dengan tidak ada seorang pun yang meninggal. Dan pengalaman saya melihat CSI selama sepuluh tahun membuat saya selalu merasa bahwa saya dapat mengubah situasi jika saya tahu lebih cepat. Semuanya ini sama sekali tidak membantu saya, malah menjerumuskan diri saya lebih dalam ke jurang penyesalan dan rasa bersalah. Sedangkan situasi tidak berubah, Mama tetap pergi ke Surga, dan saya yakin ia tidak akan memesan tiket kembali ke bumi, sebab Surga jauh lebih menyenangkan. Tidak akan pernah ada alternatif adegan akhir cerita, kecuali Tuhan menginginkannya. Jadi berhentilah bertanya, dan sekarang juga, Anda dapat melanjutkan hidup. Saya suka sekali dengan petikan kata-kata dari film Courageous, “The hard choice for you is, whether or not you’re gonna be angry for the time you didn’t have with him/ her, or grateful for the time you did have.” Hiduplah pada masa kini dan untuk masa depan, jangan menjebak diri Anda sendiri dalam pertanyaan-pertanyaan akan masa lalu dan upaya-upaya hampa untuk mengubahnya. 60 Percayalah dengan Iman. Hampir selalu, saya merasa kesal, jika seorang menjawab saya dengan kalimat klise, “Percaya saja, percayalah dengan iman”. Itu kalimat yang tak dapat saya mengerti! Percaya dengan iman itu seperti apa, dan bagaimana maksudnya? Katakan bagaimana saya harus melakukannya! Bukankah lebih baik kalau ada deskripsi yang lebih jelas untuk tindakan percaya dengan iman ini? Allah sependapat dengan kita. Ia menjawab di dalam kitab Ibrani, sebuah penjelasan tentang iman: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” –Ibrani 11:1 Iman, di dalam bahasa aslinya memiliki arti ‘pengakuan’ (conviction). Pengakuan atas apa? Pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan dalam kehidupan Anda. Bahwa Yesus yang berkuasa membuat perubahan dalam hidup Anda, jika menurutNya itu yang terbaik. Kata “segala sesuatu” berasal dari kata ‘pragma’ dalam bahasa Yunani, yang ternyata memiliki sejumlah pengertian yang jauh lebih kompleks dan kaya, dari hanya sebuah frase “segala sesuatu”. Pragma berarti: hal-hal dan tindakan yang sudah dilakukan, fakta yang sudah dicapai, sesuatu yang sudah ada. Jadi ketika Anda percaya dengan iman, Anda sudah melakukan sangat banyak. Pertama, Anda percaya dan mengakui Yesus adalah tetap Allah, walau apapun yang terjadi dalam kehidupan Anda. Dia tetap Allah! Dia tetap memegang kendali dalam kehidupan Anda, Ia tak sedang melepaskannya, ia justru sedang memegangnya erat-erat untuk menjaga agar Anda tak jatuh berkeping-keping. Dan sebagai Tuhan –yang seringkali kita pandang terlalu rendah dari seharusnya– Ia jauh lebih tahu bagaimana mengatasi situasi Anda, daripada Anda sendiri. Kedua, ketika Anda percaya dengan iman, Anda mempercayai sesuatu yang sudah dilakukan, sudah ada, sudah selesai. Salah satunya adalah karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus, di mana melalui Dia, semua penderitaan, semua rasa sakit, semua kesedihan, sudah ditanggungnya di kayu salib, dan sudah berakhir waktu ia berteriak dari ketinggian, “Sudah selesai!”. 61 Sehingga bagi kita yang percaya dalam iman, kita juga percaya bahwa di dalam Yesus, dukacita kita sudah berlalu. Bahwa rasa sakit ini hanya sementara, dan akan segera tergantikan oleh sukacita pemulihanNya. Sementara itu, saya tergoda untuk menyelidiki kata “percaya” yang dikatakan Abraham dalam Kejadian 15:6, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” –Kejadian 15:6 Di antara segala bangsa dan semua orang yang mengenal Dia, tindakan percaya Abraham-lah yang dianggap ‘benar’ oleh Allah. Kepercayaan Abraham ini dalam bahasa aslinya berarti ‘to stand firm’ atau ‘tetap berdiri tegak’. Mazmur Daud mengatakan, “Walau seribu orang rebah di sisimu, dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu.” –Mazmur 91:7 Sebuah kelegaan, bukan? Anda akan tetap berdiri? Walau ribuan orang yang diserang kedukaan rebah dalam keputusasaan, Anda akan tetap berdiri tegak. Sebab Anda mempunyai harapan di dalam Yesus. Anda mempunyai harapan sebab sekalipun Anda harus kehilangan orang-orang yang Anda cintai, Anda tidak akan pernah kehilangan Allah, yang akan mengisi kekosongan hati Anda dengan damai sejahtera yang melampaui segala akal, mulai sekarang, sampai selama-lamanya. Suatu kali di penghujung tahun 2012, saya mengalami sesuatu yang menurut saya, sangat menakutkan. Setelah sekian waktu bergaul dengan Allah, pada harihari itu, saya tiba-tiba tidak dapat merasakan hadiratNya. Ketika saya berdoa, saya merasa sendiri, padahal biasanya, saya merasa seolah-olah sedang berbincang denganNya. Saya tidak dapat menemukan Dia di semua bilik di dalam hati saya. Tiba-tiba saja, selama beberapa hari, saya merasa sendirian. Dan itu sangat menakutkan bagi saya. Saya tidak dapat membayangkan melalui proses kehidupan ini tanpa Tuhan. Tetapi sahabat dan mentor saya di gereja mengatakan, Tuhan sedang mengajarkan kepada saya tentang iman, untuk mempercayai bahwa hadiratNya tetap ada, meski saya tidak dapat merasakannya. Ia mengatakan bahwa penting untuk percaya bahwa Allah tetap ada dan 62 menyertai kita, meski kita tidak dapat merasakan kehadiranNya dengan perasaan manusia kita. Sebab di situlah iman kita terbangun dan menjadi kuat. Saya belajar dari nasihat sahabat saya –sebuah nasihat yang baik– dan saya memutuskan untuk percaya, bahwa Allah ada, meski saya tidak dapat mengetahuiNya. Beberapa hari berlalu –walau terasa seperti bertahun-tahun– saya merasa sedang berjalan dalam kesendirian. Mungkin ini adalah secuil dari apa yang dirasakan Yesus di atas kayu salib, waktu ia berteriak, “Eloi, Eloi, lama sabachtani?”, yang berarti, “AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Sesaat lamanya, Tuhan harus berpaling wajah dari anakNya, untuk sebuah tujuan yang mulia. Begitu pula dengan saya, Ia melatih saya untuk percaya, melampaui perasaan dan segenap indera manusiawi saya, bahwa Ia ada dan berkuasa. Lalu tak lama setelah itu, saya merasa Tuhan memanggil saya, dan perlahanlahan, saya dapat merasakan hadiratNya kembali! Walau sebenarnya, Ia memang tak pernah pergi. Saat itu, saya sedang melaju di atas motor skuter saya di tengah hujan yang meski tidak lebat tetapi cukup membasahi wajah saya. Saya pun menangis di tengah hujan, karena saya baru sadar, bahwa yang saya inginkan bukan tidak ada hujan atau panas terik, tetapi agar di tengah hujan yang deras atau panas yang paling terik sekalipun, Allah tetap ada bersama-sama dengan saya, dan tidak meninggalkan saya. Dan ini adalah berita baiknya, saudaraku. Allah tetap ada, dan Dia tetap Allah. Meski kita tidak dapat merasakanNya dengan indera manusiawi kita. Anda tidak akan pernah kehilangan Allah, apapun yang terjadi, bagaimanapun situasi Anda, keberadaan Anda, atau bahkan kedekatan Anda denganNya, sebab Ia tak diukur oleh semuanya itu. Ia diukur hanya oleh kasihNya sendiri yang tak berkesudahan. Dan karena kasihNya tidak pernah habis, maka tidak pernah ada alasan untuk meninggalkan anak-anak yang sangat dikasihiNya, lebih dari apapun juga. 63 Percayalah kepada Yesus, bukan diri Anda sendiri. Pastor Joseph Prince, seorang pendeta yang diurapi Tuhan untuk mengabarkan kabar anugerah ke seluruh dunia, mengatakan, “Iman itu tanpa jerih payah (effortless), ini tentang mempercayai apa yang sudah dikerjakan”. Dalam arti, jika Anda percaya dengan iman, Anda sebenarnya tidak perlu mengusahakan apapun, selain berserah dan mengikuti tuntunanNya. Bicara tentang tuntunanNya pada masa-masa suram, Roh Kudus mengingatkan saya akan suatu masa, beberapa bulan setelah meninggalnya Mama, di mana saya masih berada dalam kesedihan yang mendalam. Suatu hari, Tuhan mendorong saya lewat sebuah posting Twitter yang tak sengaja saya lihat, untuk saya pergi ke sebuah gereja, yang sama sekali tidak saya ketahui lokasinya, karena di sana seorang pendeta yang saya kagumi, pastor Jose Carol, akan menyampaikan Firman. Saya mengagumi pastor Jose Carol, sebab Ia selalu mengupas Firman Tuhan dengan mendalam. Tetapi masalahnya, saya belum menguasai area, karena saya baru saja kembali dari Jakarta, dan saya sama sekali tidak pernah pergi ke daerah tempat gereja itu berada. Tetapi karena saya tahu itu tuntunan Tuhan, saya berusaha untuk taat. Saya berusaha mencari tahu lokasi gereja tersebut melalui peta elektronik, namun saya semakin bingung, akhirnya saya memutuskan untuk pergi tidur dan membiarkan masalah esok hari menjadi masalah esok hari. Keesokan harinya, saya berusaha mengingat-ingat petunjuk dari peta, dan saya sempat baik-baik saja, tapi kemudian, saya tiba di sebuah jalan, yang rasanya tidak ada di peta (itu pembelaan diri saya), dan jalan itu bercabang-cabang. Saya hampir saja menangis dan pulang, tetapi Roh Kudus mengatakan kepada saya “Ikuti orang di depanmu”. Dan saya mengikuti dia. Dalam jalan yang berliku-liku itu, saya hanya mengikuti satu orang, yang juga tidak saya kenal. Lalu saya tiba di sebuah jalan yang terpampang nama gedung tersebut dengan ukuran yang mengherankan! Karena sangat besar dan berlebihan rasanya. Saya yakin, Tuhan sedang mengusahakan agar saya tak tersesat. Saya begitu bahagia. Tapi, di mana gerejanya? Saya menyusuri kembali jalan tersebut, dan tak jauh dari sana, terpampang lagi dengan ukuran yang mengherankan, nama gereja tersebut! Saya benar-benar terkesima, oleh bagaimana Tuhan begitu mengasihi saya. Saya yakin, 64 ia mengirimkan sejumlah malaikat untuk mengiringi perjalanan saya, menuntun saya, sehingga saya tiba di gereja tersebut dan sama sekali tidak terlambat. Dan ternyata, saya baru ingat, Firman yang disampaikan oleh Pastor Jose Carol saat itu adalah “Jangan bertanya mengapa”. Ingin tertawa rasanya! Pantas saja Roh Kudus menyuruh saya untuk menuliskan kejadian ini, agar saya menceritakan kepada Anda, apa yang saya dapatkan waktu itu. Lewat Pastor Jose Carol, Tuhan mengatakan kepada Anda yang sedang mengalami dukacita, jangan bertanya mengapa, sebab, sekalipun Ia menjawab pertanyaan Anda, tentang mengapa orang-orang terkasih Anda harus pergi, belum tentu Anda mengerti juga jawaban tersebut. Seperti yang saya katakan, pertanyaan Anda akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Jadi tolonglah diri Anda sendiri, percayalah kepada saya dan sejumlah besar hamba Tuhan yang sudah mengatakannya kepada kita, untuk sesaat lamanya hingga pikiran Anda jernih dan sukacita Anda kembali, berhentilah bertanya mengapa. Jadi mengikuti tuntunanNya itu benar-benar effortless, tanpa jerih payah. Yang harus Anda lakukan hanya mentaatiNya dan membiarkan Ia yang membuat keputusan atas hidup Anda. Indah bukan, hidup dengan berserah kepadaNya? Ia akan memelihara Anda, dan sedetikpun tak pernah terpikirkan dalam benakNya untuk meninggalkan atau menelantarkan Anda. Kembali pada Pastor Joseph Prince, ia menjelaskan sebuah kebenaran yang selama ini terselubung, dalam kitab Markus pasal 9, ketika Yesus mengusir roh jahat yang membisukan seorang anak. Yesus mengatakan dengan lantang, “Jawab Yesus: "Katamu: jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!"” –Markus 9:23 Di dalam bahasa Inggris, ayat ini tidak mengatakan “bagi orang yang percaya”, tetapi “bagi dia yang percaya”. Dan jika Anda membaca perikop tersebut secara menyeluruh, Anda tidak akan menemukan satu orang pun yang percaya, baik bapak anak itu, yang sudah mengaku bahwa dia kurang iman, maupun para murid, yang kebanyakan bingung dan tidak paham apa yang sedang terjadi. Jadi satu-satunya pribadi yang percaya pada saat itu adalah Yesus! Wow, sebuah kebenaran yang sangat membebaskan! 65 Jadi Allah memang tidak mengharapkan iman dari diri Anda sendiri. Terbukti saat Yesus mengatakan, “Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu” (Matius 17:20). Dan sampai saat ini saya belum mendengar ada gunung yang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi Yesus tahu, bahwa iman manusia itu naik turun, ia akan naik saat situasi membaik, dan menurun drastis, saat situasi memburuk. Yesus tidak berharap Anda beriman kepada kemampuan Anda sendiri. Yesus berharap Anda beriman kepada diriNya, yang selama hidup selalu percaya kepada Allah, dan tak pernah kehilangan kepercayaanNya, meski hingga Ia digantung di kayu salib, turun ke dunia orang mati, dan bangkit pada hari yang ketiga. Tidak pernah ada tulisan yang mengatakan “seketika itu Yesus kehilangan kepercayaanNya kepada Bapa”. Yang kita tahu, bagaimana pun siksaan yang Ia terima, Ia tetap mempercayai Allah. Anda mungkin membutuhkan sedikit pencerahan untuk dapat menangkap keseluruhan filosofi ini. Katakanlah, Anda dan keluarga pergi mendaki gunung, tapi ternyata gunung yang Anda hadapi terlalu susah untuk didaki. Anda dan keluarga pun putus asa, berencana untuk mengemas peralatan dan berbalik pulang, tetapi Ayah Anda berteriak “Jangan! Aku percaya kita bisa mendaki gunung ini! Aku tahu bagaimana caranya”. Lalu karena Ayah Anda begitu yakin, semua orang pun percaya kepadanya dan ikut meyakini keteguhan hatinya. Alhasil, karena semua orang percaya penuh kepada Ayah Anda, seluruh rombongan dapat mencapai puncak, tanpa kekurangan sesuatu apapun. Seperti itulah jika Anda mempercayai Dia yang percaya kepada Bapa. Anda menaruh harapan Anda kepadaNya, bukan diri Anda sendiri. Dia yang berkuasa menaklukkan ‘gunung’ dukacita Anda. Jadi sekali lagi, percayalah dengan mata yang tertuju kepada Yesus, bukan kepada diri kita sendiri. “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” –Ibrani 12:2 66 CHAPTER 4 To Be Put Back in Place. “Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadaNya: Di manakah Engkau?” –Kejadian 3:9 Jika bahasa Tuhan diinterpretasikan ke jaman sekarang yang penuh penekanan, maka mungkin kata-kata Allah akan berbunyi, “Di manakah Engkau???” atau “Coba lihat, kamu berdiri di mana sekarang!” “Kamu tidak berada di tempatmu, anak muda!” Seperti itulah dosa. Dosa berasal dari akar kata bahasa Yunani “amartia” yang berarti “missing the mark” atau luput dari target; tidak tepat sasaran. Seperti tembakan anak panah yang luput dari lingkaran targetnya. Dosa membuat Anda berjalan tidak kepada gol yang Allah tetapkan dalam hidup Anda, tapi berjalan menuju sebuah kehidupan yang sama sekali tidak Anda inginkan. Dosa membuat Anda berada di tempat yang salah di hadapan Allah. Sehingga kehidupan Anda tidak berfungsi dengan benar. Tetapi syukur kepada Allah, sebab Ia ingin memulihkan Anda. Ia tak akan membiarkan Anda tersesat dalam ketidakpastian hidup. Dalam suatu masa dalam kehidupan, seringkali Tuhan menyelinap masuk, mengambil alih dan menggunakan situasi-situasi yang buruk sebagai cara untuk mengembalikan segala sesuatu yang ‘salah tempat’ dalam kehidupan Anda, ke tempat yang benar. Dengan lembut Ia memberitahu Anda, bahwa Anda sedang tidak berada di tempat yang seharusnya, bukan agar Ia dapat menghukum Anda, karena di dalam Kristus tidak ada lagi penghukuman (Roma 8:1), sebab semua hukuman atas dosa-dosa kita sudah ditanggung Yesus di kayu salib, 2000 tahun yang lalu. Jadi 67 Allah tidak sedang berbicara tentang hukuman. BagiNya, masalah hukummenghukum sudah lewat, dan Anda terlambat 2000 tahun, jika masih memikirkannya sekarang! Allah bertindak, menginjak rem, membanting kemudi dan mengubah haluan, agar Anda dapat kembali kepada rencanaNya yang semula. Kemuliaan demi kemuliaan Allah dalam kehidupan Anda. A.W. Tozer mengatakannya dengan sederhana, “Orang harus tahu di mana ia berada sebelum ia dapat memahami di mana seharusnya ia berada”. Namun selanjutnya Anda harus menjalani sebuah proses yang sedikit menegangkan, yang bernama “dikembalikan ke tempat yang benar”. Saya percaya ketika hal-hal yang sulit terjadi, ada ‘sesuatu’ yang dikembalikan pada tempatnya. Kalau saya dapat bertualang ke dalam roh saya, saya tentu akan menemukan atau mendengar bunyi ‘grek’ beberapa kali sejak peristiwa meninggalnya Mama. Seperti bunyi sebuah poros yang kembali ke lubang porosnya, atau sebuah roda gigi mesin yang kembali bertemu dengan roda gigi lainnya, sehingga mesin kembali berjalan dengan normal. Beberapa bulan yang lalu saya sempat mengalami kecelakaan kecil yang cukup menyakitkan. Saya terjatuh dari tangga (hanya dua anak tangga sebenarnya), yang membuat pergelangan kaki kiri saya terkilir dan menimbulkan bengkak yang menakutkan! Sungguh, saya tidak pernah melihat bengkak kaki sebesar itu! Selama beberapa hari saya tidak begitu mempedulikannya, atau mungkin beberapa minggu malah, saya tidak terlalu memperhatikannya. Saya pikir ini cedera kecil dan akan segera sembuh dalam beberapa hari. Karena saat itu saya sangat sibuk dengan berbagai urusan kantor yang mengharuskan saya untuk tidak peduli pada kaki saya, malah membebaninya dengan sepatu hak tinggi untuk berjalan menghadiri pertemuan-pertemuan. Saya tidak peduli pada kaki saya. Dan bengkak itu tak peduli juga dengan saya, karena dia tetap ada di situ, malah semakin menyeramkan tampaknya. Sampai suatu saat beberapa minggu kemudian, saya mulai berpikir bagaimana jika kaki kiri saya selamanya bengkak seperti ini. Dan barulah saya mulai khawatir. Saya meraih ponsel dan mencoba menghubungi beberapa orang. Seorang sahabat saya menyarankan agar saya pergi ke rumah sakit tulang... Well, itu tampak sangat berlebihan untuk sebuah pergelangan kaki yang terkilir, tapi karena saya melihat bengkak di kaki saya itu 68 seperti mengejek saya karena saya tak tahu apa yang harus dilakukan, maka saya bertekad untuk pergi ke rumah sakit tulang. Keesokan harinya saya meminta ijin kepada atasan di kantor, tetapi sebelum ia sempat mengijinkan, pemilik perusahaan tempat saya bekerja mendengar mengenai cedera saya dan langsung mencegah saya pergi ke rumah sakit tulang, karena alasan yang sama tentunya, itu berlebihan. Ia lalu menelepon seorang sinshe (ahli pijat dan obat-obatan Cina) yang dikenalnya dan membuat janji untuk saya. Saya, yang tidak mempunyai ide yang lebih baik tentang apa yang harus dilakukan pada kaki ini, memutuskan untuk mengikuti saran beliau dan pergi menemui sinshe tersebut. Saya masuk ke ruang prakteknya, terlentang di tempat tidur periksa tanpa berharap terlalu banyak selain jangan sampai kaki saya patah atau hancur berkeping-keping karena saya masih ingin memakainya, dan di tengah-tengah angan-angan saya, tiba-tiba sinshe itu melakukan manuver yang cepat dan “krek!”, serasa tulang kaki saya lepas sesaat –juga jantung saya– tapi lalu kembali ke tempatnya! Sinshe tersebut dengan cepat mengoleskan ramuan obat-obatan dan membalut kaki saya dengan perban, dalam keadaan bengkak pada pergelangannya sudah semakin berkurang. Saya masih ingat, ia mengatakan bahwa jika saya membiarkan kondisi ini, maka selama-lamanya kaki saya akan tetap bengkak seperti ketika saya datang, karena posisi tulang saya berpindah dari tempurungnya, dan tulang itu tak akan bisa kembali sendiri, harus seseorang yang ahli dan memahami struktur tulang yang mengembalikannya. Kehidupan juga seringkali seperti itu. Sebagai makhluk yang paling fungsional di bumi ini, beberapa ‘fungsi’ dalam kehidupan kita kadang-kadang melenceng dari tempatnya, tanpa kita sadari. Dunia dan berbagai hiruk pikuk di dalamnya kerap membuat beberapa fungsi kita di dalam kehidupan tidak bekerja dengan baik. Terjadi degradasi, atau penurunan kinerja, atau bahkan kemerosotan, dalam fungsi-fungsi tersebut. Dan bukankah sangat sering terjadi –seperti saya memperlakukan pergelangan kaki saya tadi– meskipun kita menyadari hal ini lebih awal, kita tak begitu mempedulikan, karena kita berpikir ‘ah, itu bukan hal yang besar’. Kita 69 membiarkan sesuatu dalam kehidupan kita ‘meradang’ dan tidak melakukan apaapa, karena kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang mungkin tidak lebih penting. Hingga suatu saat, sesuatu terjadi, dan kita baru menyadari bahwa kita sudah berada jauh di timur, ketika kita seharusnya ke utara. Jadi, terkadang, Allah memakai situasi sulit yang Anda alami, untuk mengembalikan hal-hal di dalam hidup Anda, ke tempat yang benar. Apa yang tidak berada di tempat yang benar? Apa saja. Apa saja dalam hidup Anda bisa berpindah tempat, tanpa Anda menyadarinya. Tiba-tiba saja, hal-hal yang penting dalam hidup Anda, dan juga bagi Allah, ternyata tidak pada tempatnya. Bisa fungsi atau peranan Anda dalam kehidupan, atau hubungan-hubungan Anda dalam keluarga, atau fokus Anda dalam hidup yang melenceng. Seorang ayah bisa saja tidak berfungsi sebagai ayah. Itu sudah masuk ke dalam kategori ‘tidak pada tempatnya’. Dan sudah menjadi alasan untuk sebuah pembenahan. Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, di pagi itu, sesaat setelah matahari terbit, dan sesaat setelah saya menerima kabar bahwa Mama telah tiada, bapa rohani saya, Pastor Timotius Arifin menelepon dan mengatakan, “Mama pulang sebagai orang benar.” Hari itu, saya sama sekali tidak mengerti maksudnya. Mata saya masih berlinang, dan hati saya masih basah oleh air mata. Dalamnya duka membuat saya tak dapat berpikir dengan jernih, apalagi berusaha mengerti semua yang sedang terjadi. Tetapi hari demi hari, ketika pikiran saya mulai kembali. Saya mulai teringat akan kata-kata itu. Dan secara perlahan, Tuhan memberi pengertian kepada saya. Mama saya adalah orang yang baik. Ia adalah orang yang takut akan Tuhan dan begitu peduli pada orang lain. Orang yang sangat setia dan dikasihi Allah. Ia selalu melihat apa yang baik di dalam kami anak-anaknya. Kesalahan apapun yang kami lakukan, kami tetap malaikat di matanya. Melalui 60 tahun kehidupannya saya telah menyaksikan, bagaimana kehidupan Mama dipakai 70 untuk menyatakan kemuliaan Allah dengan luar biasa. Kesembuhan-kesembuhan yang dialami Mama dari dekade ke dekade (saya menceritakannya dengan detil di dalam buku saya sebelumnya “Kala Wanita Percaya”) telah menjadi berkat dan secercah harapan bagi banyak orang. Saya sangat mengaguminya, lebih dari wanita manapun yang saya kenal. Hanya rupanya, ada yang mengganjal di hati Tuhan. Dan sebenarnya, di hati kami semua. Tapi kami terlalu takut, atau tak peduli, untuk melakukan sesuatu dengan hal ini. Mama belum menikah kembali dengan Papa. Pada tahun 1995, saat kami semua belum begitu mengenal Tuhan yang sanggup memulihkan hubungan-hubungan, Mama dan Papa memutuskan untuk bercerai. Tetapi keinginan untuk kembali sebenarnya sudah ada sejak lama, apalagi setelah papa bertobat 9 tahun yang lalu. Tetapi siapa yang harus memulai dan bagaimana melakukan ini? Bagaimana menikah kembali setelah 15 tahun berpisah. Pertanyaan demi pertanyaan seringkali membuat harapan lebih cepat surut, dan rencana-rencana kami pun tertunda. Tahun 2005, Mama terserang penyakit Hepatitis C, atau lebih dikenal dengan Kanker Hati. Sebuah penyakit yang cukup mematikan dan tidak ada obatnya. Tetapi setelah setahun berdoa dengan menangis kepada Allah, pada tahun 2006, Mama secara cepat pulih, dan akhirnya dinyatakan sembuh oleh dokter. Kami menyaksikan hal ini di berbagai pertemuan, persekutuan doa, kebaktiankebaktian. Sebab ini adalah mujizat Allah, dan ini juga adalah kali pertama saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, sebuah mujizat terjadi. Bukan dari cerita orang saya mendengarnya, tetapi saya berada di sana ketika itu terjadi. Saya melihat Allah dan kuasaNya, dan jika saya mengingat kembali, saat-saat menjerit kepada Allah dalam tangis yang tak terkatakan demi kesembuhan Mama itu mungkin adalah pertama kalinya saya berdoa sungguh-sungguh kepada Allah untuk meminta sesuatu. Dan kemurahan hatiNya untuk menyembuhkan Mama, adalah sesuatu yang sangat berharga untuk saya. Saya tidak patut berhenti bersyukur untuk itu. 71 Pada pertengahan tahun 2010, setelah melalui serangkaian pertimbangan, keragu-raguan, ketakutan, maju-mundur, Mama dan Papa akhirnya berhasil dipersatukan kembali dalam suatu pernikahan yang kudus dengan landasan kasih Kristus. Saya harus jujur kepada Anda, mulanya, saya benar-benar tidak yakin dengan semua ini. Saya takut Mama tidak bahagia. Saya tidak yakin bahwa Papa sudah berubah. Namun suatu malam, Allah menegur saya dengan sangat jelas, lewat FirmanNya yang dikatakan oleh Yesus sendiri, “Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?". Tetapi jawab-Nya kepada mereka: "Apa perintah Musa kepada kamu?". Jawab mereka: "Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai". Lalu kata Yesus kepada mereka: "Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.”” –Markus 10:2-5 Karena ketegaran (kekerasan) hati saya, Mama dan Papa hampir tidak kembali bersatu. Saya beruntung Tuhan dengan segera menegur saya, sehingga mata saya terbuka. Tetapi Pastor Timotius Arifin yang juga adalah sahabat Mama, adalah tokoh yang paling berperan dalam hal ini. Beliau meyakinkan kami berkali-kali, dan dengan sabar membimbing agar kami semua dapat dipersatukan kembali sebagai sebuah keluarga Kristus. Ia mengerti pentingnya mengembalikan kami semua ke tempat yang benar di hadapan Tuhan. Itu akan sangat menyenangkan hati Tuhan, tetapi terlebih, itu akan memulihkan kehidupan kami semua. Satu tindakan untuk kembali kepada rencana Allah akan membawa pemulihan yang menyeluruh dan turun-temurun, bahkan bagi generasi yang belum ada sekalipun. Sebagai hadiah pernikahan, Tuhan memberi hadiah yang indah untuk Mama dan Papa. Mereka tidak perlu mengubah tanggal pernikahannya! Karena Tuhan menikahkan kembali mereka pada tanggal yang sama, padahal kami sama sekali tidak merencanakan hal tersebut. Pastor Timotius Arifin bahkan mengatakan, sepanjang sejarah beliau menikahkan kembali pasangan-pasangan yang berpisah, belum pernah ia mendapati pasangan yang dapat menikah kembali pada tanggal yang sama, 15 tahun kemudian! 72 Tetapi pada akhir tahun 2010, hanya berselang hanya 6 bulan dari peristiwa yang begitu berarti bagi kehidupan kami, Mama meninggal. Di balik serangkaian pertanyaan yang muncul dari benak kami tentang mengapa ini harus terjadi, tatkala Mama dan Papa sedang merayakan persatuan kembali yang begitu indah, pada saat itu juga saya mengerti maksud Allah: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” –2 Timotius 4:7 Mama sudah menyelesaikan sebuah pertandingan yang baik dan sudah mencapai garis akhir, dari sebuah hidup yang hebat. Rencana Allah sudah tercapai. Misinya di dunia ini sudah selesai dengan gemilang. Ia sudah berada di tempat yang benar, di hadapan Allah. Dan Allah pun mengulurkan tanganNya, di suatu fajar di bulan Desember 2010, dan mengajak Mama pulang ke Surga. Sebagai orang yang sudah dibenarkan Allah. Tuhan Ingin Kita Pulang Sebagai Orang Benar. Lebih dari semua penjelasan Teologis yang saya peroleh selama saya merenungkan peristiwa yang saya alami, kalimat ini yang paling saya sukai, karena kalimat inilah yang paling merepresentasi isi hati Allah. Ini bukan masalah keharusan, syarat masuk surga, hukum, atau undang-undang Kerajaan Allah. Ini masalah ‘hasrat’ terbesar di dalam hatiNya sebagai Allah, agar umatNya, Anda dan saya, memiliki kehidupan yang berhasil dan berbahagia. Ia begitu ingin kehidupan Anda berada di tempat-tempat yang benar dan berfungsi dengan benar, karena itu baik untuk Anda dan kehidupan Anda. Seperti seorang bapa di dunia melatih anak-anaknya untuk makan makanan yang sehat, agar mereka memiliki hidup yang baik dan panjang umur, begitu pula dengan Allah untuk hal-hal yang jauh lebih besar dari itu. Ia begitu peduli pada kebahagiaan Anda, di bumi dan di Surga, hingga terus terang saja, menurut saya, Ia melalaikan kebahagiaanNya sendiri. Sebab jika saya menjadi Allah, saya tentu akan memilih jalan yang mudah. Saya akan memilih untuk mendatangkan air bah 73 sekali lagi, sehingga semua generasi ini terhapuskan, dan kita dapat memulai dengan ciptaan baru. Itu akan lebih cepat dan ringkas. Kemudian, untuk seri manusia terbaru, saya mungkin akan membuat beberapa perubahan yang diperlukan, dimulai dengan mengambil semua kehendak bebas manusia, karena itu ternyata sangat merepotkan! Tetapi Allah melalaikan kebahagiaanNya sendiri, karena Ia menginginkan kebahagiaan kita. Ia ingin agar Ia dapat melihat Anda berbahagia di bumi, sama seperti ketika nanti Anda berpulang ke Surga. Ia membenahi kita satu persatu, ketika seharusnya Ia tak perlu mempedulikan kita semua. Ia selalu dapat menciptakan manusia yang baru, tetapi Ia terlalu cinta, Ia terlalu cinta, pada Anda dan saya. Satu persatu Ia perhatikan, satu persatu Ia benahi, satu persatu Ia kembalikan ke tempatnya, agar suatu hari nanti, dunia pun menjadi tempat yang lebih baik untuk kita. Saya harus mengatakannya sekali lagi, untuk kita. Ia tak perlu membuat dunia lebih baik, karena Ia memiliki Surga. Tetapi Ia melakukannya untuk kita, sebab kita membutuhkan tempat yang baik untuk hidup. Dan satusatunya jalan untuk membenahi dunia adalah dengan membenahi manusia, makhluk yang paling berkuasa di dunia tetapi paling terkorupsi oleh dunia itu sendiri. Tentu saja, tidak ada yang terlalu sulit bagi Dia, yang menciptakan dunia dengan dua kata. Tetapi kesediaanNya untuk memberi kesempatan kepada satu persatu kita yang tak layak untuk mendapatkanNya, itulah yang mempesona saya. Betapa hati yang terlalu besar! Bahkan Ia pun tak lelah menunggu ketika kita sulit untuk mentaati Dia dalam pembenahan yang sedang dilakukanNya. Ia tak marah kalau kita gagal. Ia tak menghukum kita dengan kedahsyatan kuasaNya. Malah sebuah pelukan yang hangat atau sebuah tepukan di punggung yang diberikanNya. Sekalipun mendatangkan air bah mungkin hanya membutuhkan satu kata. Satu hal yang perlu saya katakan kepada Anda. Kasih dan anugerahNya tidak akan pernah ditentukan oleh perbuatan Anda. Ia tetap mengasihi Anda, apapun yang terjadi. TETAPI, kebahagiaan Anda di dalam hidup (dan orang-orang yang 74 Anda kasihi), pasti akan ditentukan oleh perbuatan-perbuatan Anda. Apa yang Anda lakukan dan apa yang tidak Anda lakukan akan menentukan kehidupan Anda. Namun terkadang, kita tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Kita tidak berfungsi sebagaimana kita seharusnya berfungsi. Dengan berbagai alasan yang dapat menjadi sebuah daftar panjang jika saya menuliskannya. Sehingga, kita tidak dapat meraih kebahagiaan yang seharusnya dapat kita raih. Pada saat-saat itu, melalui situasi yang sulit dalam kehidupan, Allah menerobos masuk ke dalam bilik kehidupan kita dan membuat perubahan. Ia mengambil alih kemudi yang oleng ini dengan sigap, membanting setir, dan mengembalikan Anda ke jalur yang benar. Ia mengembalikan sesuatu dalam hidup Anda pada tempatnya. Salib Kristus. Hubungan-hubungan yang dikembalikan pada tempatnya. Dalam banyak peristiwa, ‘dikembalikan pada tempatnya’ juga berarti pemulihan hubungan-hubungan. Sebab fungsi yang paling sering merosot dalam kehidupan kita, adalah fungsi dan peranan kita dalam hubungan-hubungan kehidupan. Dan sesungguhnya Yesus Kristus datang ke dunia demi pemulihan hubunganhubungan. Melalui pengorbanannya di kayu salib, ada dua jenis hubungan yang dikembalikan ke tempat yang benar. Hubungan yang pertama, adalah hubungan ke atas, hubungan kita dengan Allah. Hubungan yang kedua adalah hubungan ke samping, hubungan kita dengan orang-orang di sekeliling kita, terutama hubungan-hubungan di dalam keluarga, hubungan yang paling ringkih dan paling sering hancur di bumi ini. Bahkan berapa banyak kali kita sudah melihat, hubungan persahabatan dapat menjadi lebih erat daripada hubungan antar sesama saudara kandung. Ini sesuatu yang salah di hadapan Tuhan, dan Ia berkomitmen untuk memperbaikinya. Apakah itu hubungan anak dengan ayah, kakak dengan adik, suami dengan istri, jika satu atau beberapa hubungan tersebut 75 rusak, maka Allah akan menggunakan hak veto-Nya untuk membenahi hubungan ini, demi kebaikan Anda. Dalam kehidupan saya, melalui peristiwa meninggalnya Mama, dua buah hubungan yang paling berharga dalam hidup saya terus-menerus dipulihkan. Pertama, hubungan saya dengan Allah, yang seperti daun berguguran pada tahun-tahun terakhir sebelum Mama saya meninggal. Saya seperti kehilangan fokus dan tujuan hidup semula. Padahal Tuhan telah mengatakannya dengan jelas kepada saya pada suatu hari di tahun 2007. Tetapi 3 tahun kemudian, saya seperti berada di tempat yang sama sekali tidak saya kenal, dalam hal hubungan saya dengan Tuhan. Saya melayani, tetapi tidak sepenuh hati, dan tanpa pengertian tentang apa dan untuk apa pelayanan itu sebenarnya. Saya mungkin sudah kehilangan konsep pelayanan itu sendiri. Inilah buruknya kejatuhan-kejatuhan yang terjadi di dalam gereja. Terkadang, saat itu terjadi, bahkan Anda yang sedang terjatuh pun tidak begitu menyadarinya, karena Anda berada di dalam gereja. Di tempat di mana ‘idealnya’ hati dan jiwa seseorang berada pada taraf yang paling baik. Tapi kita tahu sekarang, bahwa di dalam gereja, dan kadang malah di dalam gereja, jiwajiwa manusia terjatuh bergelimpangan, tanpa ada yang menyadarinya. Yang pasti, selama Anda dan saya masih berada di dunia ini, kejatuhan rohani, begitu saya menyebutnya, dapat terjadi di mana saja. Saya tidak melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Saya tidak bersikap seperti seharusnya saya bersikap. Saya hidup sebagai Kristen abu-abu, dan bangga karena itu. Saya tidak tahu bagaimana menurut Anda. Tapi saya bisa mengatakan bahwa saya berada di tempat yang salah, sangat salah. Dan karena saya tidak menyadarinya, saya perlu seseorang untuk mengembalikan saya ke tempat yang benar. Dan ternyata ‘seseorang’ itu adalah Tuhan sendiri. Anda sudah membaca ceritanya di bab-bab sebelum ini. Dalam dua tahun, dan hingga saat ini, Tuhan ‘mencuci’ saya. Maksudnya, Tuhan benar-benar membilas keabu-abuan saya, dan membuat saya menyadari bahwa Ia tidak pernah merancang saya menjadi abu-abu. Ia merancang saya menjadi putih 76 cemerlang. Dan untuk suatu tujuan yang jauh lebih mulia daripada yang bisa saya bayangkan. Saya percaya, begitu pula dengan Anda yang membaca buku ini. Allah tidak pernah sekalipun merancang Anda untuk menjadi biasa-biasa saja. Sebuah wajah untuk melengkapi sebuah foto keluarga, atau satu titik kecil di bola dunia. Tidak. Allah merancang Anda untuk menjadi sesuatu yang besar yang tak pernah terlintas dalam pikiran manusia. Sungguh, terpujilah Tuhan, yang membawa saya pulang dan memulihkan kehidupan saya, bahkan membawa saya lebih tinggi dan lebih dekat lagi kepadaNya. Dan yang kedua, yang ternyata memang sudah menjadi agenda Allah sejak awal, melalui peristiwa meninggalnya Mama, Ia membenahi hubungan antara saya dan Papa, yang telah rusak dan berkarat sejak saya masih di bangku kuliah. Ia mengembalikan saya ke tempat yang benar, untuk berfungsi sebagai anak bagi seorang ayah, dan Ia pun mengembalikan Papa ke tempat yang benar untuk berfungsi kembali sebagai seorang ayah yang dipimpin oleh Allah. Sebuah rencana yang sangat detil, spesifik, dan terancang sempurna dari Allah yang hidup. Sama halnya dengan hubungan saya dengan Tuhan, saya tidak pernah merasa ada yang salah dengan hubungan kami. Saya terlalu angkuh untuk mengakui bahwa kami tidak mempunyai hubungan yang baik. Bahkan di buku saya yang sebelumnya, meski tersirat dalam tulisan-tulisan saya bahwa hubungan kami kurang baik, saya malu untuk mengakuinya karena saya seorang pelayan Tuhan. Tapi sekarang ini, saya telah melalui berbagai proses Tuhan yang membuktikan kepada saya, bahwa keangkuhan saya tidak berarti di hadapan Tuhan. Jadi saya akan mengakui dengan apa adanya di hadapan Anda, sebagai pelayan Tuhan, dua tahun yang lalu, saya tidak memiliki hubungan yang saling mengasihi dengan Papa saya. Saya malah cenderung menjauhinya. Tetapi Tuhan mengampuni saya, sebelum saya tahu bahwa saya membutuhkan pengampunanNya. Lalu Ia mengijinkan sesuatu yang menyakitkan terjadi demi menghentakkan hati-hati 77 yang keras, agar untuk pertama kalinya kami melihat kembali ke atas dan bertanya kepada Tuhan apa yang harus kami lakukan. Pada saat itulah, Tuhan mengembalikan saya ke tempat yang benar di hadapanNya. Bunyi ‘grek’ yang keras terdengar dalam roda-roda sistem kehidupan saya. Rasanya? Rasanya seperti ketika gigi Anda dicabut dengan paksa. Seketika itu ada yang hilang, sakit luar biasa selama beberapa saat lamanya, tetapi lalu berangsur-angsur membaik. Ya, percayalah, Anda akan pulih. Mungkin tidak segera, mungkin tidak sekarang, tetapi percayalah pada Allah yang sedang bekerja di balik layar kehidupan Anda, things will get better, selama Anda bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dalam melalui masa-masa ini, dan tidak berusaha menyelesaikan segala sesuatu dengan kekuatan Anda sendiri. Lebih dari dua tahun berlalu sejak Mama pergi, dan saya kini berada di tempat yang baru. Tempat yang damai antara saya dan Papa. Tempat di mana saya bisa tertawa mendengar leluconnya, dan tempat di mana kami bisa makan bersama di satu meja. Tempat di mana ia bisa bercerita, dan saya bisa mendengar. Tentu saja, pada awalnya, tidak semulus yang kelihatan sekarang. Dua tahun yang lalu, bahkan cara mengunci pagar rumah saja bisa menjadi masalah. Tapi waktu demi waktu, bulan demi bulan, saya dilembutkan dan ditundukkan sebagai anak. Papa dilembutkan dan diberi kesabaran seorang Ayah. Sungguh, tidak ada yang lebih indah, dari dua orang yang keras kepala, dilunakkan dan dilembutkan oleh Allah, lalu dipersatukan kembali dalam porsinya masing-masing. Menurut hemat saya, hanya Allah yang dapat melakukannya. Yang jelas saya tidak bisa. Saya tidak akan bisa merendahkan hati, jika bukan Allah yang melatih saya untuk tunduk dan taat kepada rencanaNya. Seperti seorang horse whisperer menjinakkan seekor kuda liar, begitulah saya selalu membayangkan bagaimana Tuhan menjinakkan saya. Ia melakukannya dengan lembut, tetapi juga keras, sesuai dengan takaran yang diperlukan, untuk mengubah dan memperbaharui jiwa saya. Hari ini, cobalah melihat ke atas dan ke samping, adakah hubungan-hubungan yang sedang diperbaiki oleh Allah di dalam hidup Anda? Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia sedang melakukannya bagi kebaikan Anda. 78 CHAPTER 5 Bangkit Pada Hari yang Ketiga. “Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali.” –Amsal 24:16a Baiklah, kita telah sampai di saat yang paling saya tunggu-tunggu sejak halaman satu. Sejak pertama kali saya mulai menulis buku ini. Puncak acara. Saat tirai diangkat untuk terakhir kalinya. Saat di mana lakon utama, Anda, berada di sebuah momen krusial, di tengah-tengah panggung kehidupan, dalam keadaan lelah, keringat masih menetes, kedua lutut masih terasa lemas oleh tragedi yang membabi buta, sementara keinginan untuk menyerah dan tinggal lebih lama dalam gua kekelaman ini tampak lebih masuk akal. Pertarungan hati pun memuncak. Pikiran-pikiran seperti “Sepertinya tak masalah untuk tinggal lebih lama di sini” atau “Tak ada yang perlu dibenahi rasanya, toh sudah hancur” membuat Anda hampir kehilangan semangat. Tetapi itulah saatnya saya, dan sebenarnya, Tuhan, berteriak sekeras-kerasnya dari kedua sisi panggung, “Bangkit!!! Bangkitlah!!!” Bangkitlah teman, ini bukan saat yang tepat untuk menyerah. Dan memang, di dalam Kristus, Anda tak harus menyerah kepada apa pun juga, selain kepadaNya yang sanggup menolong Anda. Saya dapat mengatakan ini, sebab saya pernah berada di sana. Saya bertarung juga dengan pikiran-pikiran yang sama. Saya berpikir untuk menyerah berkalikali. Dan setan, ya, tampaknya ia begitu senang dengan situasi saya pada saat itu. Setan selalu senang ketika ia dapat menunda rencana Allah dalam kehidupan seseorang. Ketahuilah kebenaran ini, setan tidak dapat merusak rencana Allah dalam kehidupan Anda. Ia hanya dapat menunda. Tetapi jika ia berhasil 79 menunda terlalu lama, ia bisa memiliki kemungkinan untuk mengagalkannya. Tetapi saya percaya, Tuhan, Allah atas langit dan bumi, atas Anda dan saya, yang mengasihi kita lebih dari seluruh kekayaan dan kemuliaanNya, tak akan sekali-kali membiarkan itu terjadi. Jadi pada suatu masa dalam kehidupan saya dua tahun yang lalu, Tuhan juga meneriakkan hal yang sama kepada saya, “Bangkitlah! Bangkitlah, anakKu! Aku masih punya sejuta rencana yang indah untukmu. Ini hanyalah badai dalam perjalananmu menuju ke sana. Jangan berhenti di sini. Kamu lebih baik dari semua ini. Kamu lebih baik dari tempat yang kelam ini. Kamu tak seharusnya berada di gua yang lembab dan kotor ini. Mari, bangkitlah bersamaKu. Aku yang akan membalut luka-lukamu, dan merawatnya hingga kau dapat berjalan kembali.” Maka, saya mulai menggerakkan kaki-kaki yang lemas, dan Ia membantu saya berdiri. Meski seolah ada tangan-tangan dari balik lumpur kegelapan yang menarik dan menahan saya di gua itu, saya menghempaskannya dengan segenap tenaga yang tersisa, dan berlari bersama Allah, perlahan-lahan, tertatih-tatih, tapi makin lama makin cepat. Tanpa saya sadari, saya sudah berlari seperti angin, dan Ia mengiringi saya dalam kemuliaanNya, hingga akhirnya kami berhasil keluar dari sana. Ya, bukan perjalanan yang mudah memang, tapi akhirnya saya bisa keluar! Menghirup kembali segarnya udara kebebasan dari dukacita. Mengecap lagi indahnya kehidupan. Meraih kembali semangat hidup yang pernah pudar. Jadi, saya hanya ingin mengatakan kepada Anda sekali lagi, ini saatnya bangkit! Tuhan sudah menunggu Anda meraih uluran tanganNya. Tetapi tidak hanya itu saja, Ia ingin memberitahu Anda lebih banyak tentang kebangkitan, dan apa yang harus Anda lakukan untuk bangkit. Waktu saya tengah merenungkan isi bab akhir ini, saya bertanya-tanya kebenaran Firman apa yang harus saya sampaikan kepada Anda. Lalu Tuhan berbicara di dalam hati saya, “Ceritakan tentang bagaimana Aku bangkit.” Saya terhentak. Saya mulai mengingat-ingat lagi bagaimana Yesus bangkit. Saya membaca kembali keempat kitab injil dan mencari beberapa sumber. Lalu Tuhan membuka beberapa kebenaran ini kepada saya. 80 Kebangkitan: Kematian yang Singkat “Dan Yesus berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.” –Lukas 9:22 Yesus bertanya di dalam hati saya, “Mengapa Aku bangkit pada hari yang ketiga? Mengapa tidak 7 hari kemudian, atau sebulan kemudian, atau bahkan satu tahun kemudian?” Sebuah pertanyaan yang masuk akal. Apakah karena Allah menyukai angka 3? Saya tak dapat menyingkirkan kemungkinan itu. Sebab di sepanjang Alkitab banyak hal terjadi pada kali ketiga. Tetapi jika itu kasusnya, maka bisa saja Allah bangkit pada tahun ketiga, tapi untung saja Ia tidak melakukan seperti yang saya pikirkan. Karena itu berarti penderitaan manusia akan jauh lebih lama. Nah, itulah intinya! Jika sedikit saja lebih lama dari dua hari itu, semua ini akan menjadi terlalu lama! Dan Anda akan menderita terlalu lama. Tetapi Yesus ingin menekankan sesuatu lewat kematianNya, yaitu bahwa perkabungan Anda dimaksudkan hanya untuk sementara! Bersama Yesus, kita semua akan bangkit pada ‘hari yang ketiga’. Saya tidak tahu berapa lama ‘hari yang ketiga’ itu bagi Anda, tapi yang pasti anugerah, sukacita, dan penghiburan dari Allah Bapa kita Yesus Kristus akan memulihkan Anda dengan cepat! Dan bagian kita, seperti yang saya sebutkan pada bab sebelumnya, adalah mempercayai Dia seratus persen untuk mengambil alih kehidupan kita. Sebab Yesus berkata, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” (Yohanes 11:25). Wow! Anda melihat kebenaran ini? Kebangkitan dan hidup bukan sebuah keadaan, tema, atau istilah. Kebangkitan dan hidup adalah sebuah Pribadi! Anda bukan harus merasakan kebangkitan dan hidup, Anda harus berjumpa dengan kebangkitan dan hidup! Ketika Anda mau mendekat, mengenal, dan percaya penuh pada Pribadi itu, dengan sendirinya, Anda akan bangkit dan hidup! Karena tanpa Yesus tidak ada kehidupan, hanya kematian yang berjalan. Tanpa Yesus, kita melihat banyak orang, bahkan sampai puluhan tahun lamanya tidak dapat keluar dari kematian rohani yang mencekam. 81 Tetapi saat Anda berjumpa dengan Yesus, ya, pribadi yang begitu lembut dan hangat itu, percayalah, hidup Anda akan berubah! Akan ada suatu gelora yang mengaliri segenap kehidupan Anda dan mewarnai kembali gairah Anda yang memudar. Sang Kebangkitan dan Hidup yang tinggal di dalam Anda akan membuat perbedaan. Dia yang akan memporak-porandakan semua menara dukacita dan kekelaman yang dibangun si jahat untuk Anda. Dia yang akan mengacaukan semua rencana setan untuk menahan Anda lebih lama dalam kesedihan Anda. Dia membuat perbedaan. Waktu saya sedang menulis bab ini, Roh Kudus terus mengingatkan saya tentang ihwal kematian Yesus yang cepat. Nah, mari kita sedikit mempelajari tentang penyaliban. Penyaliban adalah metode eksekusi menyeramkan yang diterapkan oleh pemerintah Roma, yang tujuan utamanya adalah untuk mempermalukan mereka yang disalib. Kematian yang perlahan dan memalukan adalah inti dari seluruh proses penyaliban. Menurut sejarah, biasanya penyaliban seseorang berlangsung 2-3 hari, sampai orang tersebut akhirnya kehabisan darah dan meninggal. Bahkan diceritakan bahwa para tentara Roma dengan sengaja menjaga agar target penyaliban dapat bertahan hidup lebih lama, agar mereka lebih lama menderita. Namun dalam kasus Yesus, uniknya, Yesus meninggal sebelum lewat satu hari. Mungkin juga karena sudah terlalu banyak siksaan yang diterimanya sebelum penyaliban, yang menurut beberapa studi, begitu dahsyatnya siksaan tersebut sehingga wajahNya tak dapat dikenali lagi. Bahkan ada yang mengatakan, sebagian tubuhnya telah terbuka karena tersayat-sayat oleh pecut tentara Roma. Tapi ada suatu titik terang dalam penderitaan ini, karena beberapa saat kemudian, Yesus mengalami kematian yang cepat. Bahkan Pilatus pun heran waktu mendengar bahwa Yesus telah mati (Markus 15:44). Karena kejadian penyaliban yang tidak lebih dari satu hari itu dianggap tidak biasa. Apa artinya kebenaran ini bagi kita? Artinya, penderitaan apapun yang sedang Anda alami sekarang, akan berlalu dengan cepat! Dan kebangkitan akan segera datang. Allah tak pernah membiarkan penderitaan anakNya berlarut-larut. Saya membayangkan apa yang terjadi di Surga, saat penyaliban Kristus. Begitu Yesus berteriak di atas kayu salib, “sudah selesai!” dan menyerahkan nyawaNya, pada 82 saat itu pula di Surga, Allah berteriak, “Cukup! Cukuuuuup!”, sebuah teriakan yang membuat bumi gentar dan matahari bersembunyi dalam kengerian. “Turunkan anakKu!” kata Tuhan dalam tangisNya yang tak terbendung. Dan segenap bumi pun terdiam, menjadi saksi sunyi kepedihan hati Allah karena anakNya yang tunggal disalibkan oleh dosa manusia, dosa kita. Yesus mati. TugasNya selesai. Dan Allah, dalam tangan yang mengepal dan hati yang pilu meyakinkan diriNya sendiri, satu kali untuk selamanya. Satu kali untuk selamanya. Satu kali untuk selamanya! Pengorbanan Yesus di kayu salib sudah menyelesaikan semuanya. Allah adalah Pribadi yang penuh kasih. Ia tak tahan melihat orang-orang yang dikasihiNya menderita terlalu lama. Percayalah, seperti halnya Ia membuat penderitaan anakNya berakhir dengan cepat, demikian pulalah Ia akan membuat dukacita kita berlalu dengan segera. Dan Ia akan segera membangkitkan Anda pada ‘hari yang ketiga’. “Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?” –Lukas 18:7 Pastor Timotius Arifin, bapa rohani saya mengatakan dalam sebuah ibadah Jumat Agung, “Selalu ada ‘hari yang ketiga’ bagimu!”. Saya suka kata-kata itu. Selalu ada ‘hari yang ketiga’ untuk Anda dan saya. Sebab Yesus tak mau Anda berkabung terlalu lama. Segala macam kesedihan, tragedi, dan keterpurukan harus segera berakhir pada ‘hari yang ketiga’. Bagi saya sendiri, mungkin juga karena Tuhan dan saya bersetuju tentang angka 3 ini, kebangkitan rohani saya terjadi pada bulan ketiga, setelah meninggalnya Mama. Dari mana saya tahu bahwa saya telah bangkit? Saya dapat menulis kembali, itu tandanya. Sesuatu yang sebelumnya terasa seperti hilang lenyap dari tangan saya. Jika Anda dapat melakukan kembali semua hal yang paling Anda sukai dalam hidup ini, seperti, membaca novel, atau sekedar minum secangkir kopi hangat dan merasa kopi itu sangat nikmat, ya, Anda sudah bangkit! 83 Sampai di sini, saya harus bertanya kepada Anda. Apakah Anda sudah mengalami perjumpaan pribadi dengan Yesus? Karena hanya sebuah perjumpaan pribadi dengan Allah yang dapat membawa pemulihan dalam kehidupan Anda. Dan saya mendorong Anda untuk melakukannya. Karena saya tak ingin Anda tenggelam dalam kesedihan ini lebih lama lagi. Dalam kehidupan saya sendiri, ketika Mama meninggal, saya merasa seperti dibuang oleh kehidupan, tetapi ditangkap oleh Allah. Saya harus meninggalkan teman-teman saya, dan mungkin teman-teman saya juga meninggalkan saya, pulang kembali ke kota yang telah menjadi asing bagi saya, sendirian, tak mengenal siapapun, dan harus mulai lagi dari nol. Seolah-olah semua memori kehidupan saya dihapus dan saya di-restart. Tetapi yang tidak saya duga, begitu saya tiba di Surabaya, saya berjumpa kembali dengan Allah. Anak yang terhilang ini pulang, dan Bapa yang penuh kasih itu berlari memeluknya tanpa keraguan. Seakan-akan Ia yang menjemput saya di bandara, membawa saya pulang, dan berbicara kepada saya dari hari ke hari, tentang apa yang harus saya lakukan, dan bagaimana saya melakukannya. Bahkan sampai detik ini, saya menikmati, hubungan yang jauh lebih pribadi dari sebelumnya. Hubungan yang menghembuskan kembali nafas hidup ke dalam kehidupan saya. Sehingga hidup saya benar-benar tak pernah sama lagi! Saya tak hanya bicara soal spiritual, tetapi kehidupan sehari-hari Anda, keluarga, pekerjaan, karir Anda, semuanya akan ikut berubah, dan mengarah kepada kemuliaanNya! Rasul Paulus mengatakan, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,” (Roma 8:28, cetak tebal dari saya). Jadi, jika hari ini, Allah menggerakkan hati Anda, untuk kembali menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan, atau jika Anda belum mengenal Dia dan ingin mengundangnya masuk dalam kehidupan Anda untuk memulihkan Anda, mari, saya ajak Anda berdoa bersama saya: Bapa, terima kasih, karena kasihMu begitu besar bagi saya. Saya menyadari, bahwa saya membutuhkan Engkau dan kasihMu untuk memulihkan saya, dan membawa saya keluar dari kesedihan saya. Saya tak dapat menghadapinya sendiri, ya Bapa, tetapi saya tahu, Engkau bisa, dan mau menolong saya. Hari ini, saya menyerahkan kehidupan saya kepadaMu, Tuhan Yesus, dan menerima 84 Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat saya, dari sekarang, hingga selamalamanya. Pulihkanlah saya ya Bapa. Dalam Nama Yesus, Amin. Saya mendorong Anda untuk mengingat tanggal hari ini, ketika Anda menerima atau menjalin kembali hubungan dengan Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat Anda. Karena percayalah, ini adalah sebuah hari yang berarti, sebab mulai dari sekarang, hidup Anda akan berubah. Jadi ingatlah dua hal ini. Esensi dari kematian rohani adalah: singkat. Esensi dari perkabungan adalah: sementara! Dan tidak ada yang lebih melegakan daripada mengetahui bahwa semua kesakitan ini hanya sementara, sebab Kebangkitan dan Hidup sedang menunggu Anda beberapa langkah di depan. Kebangkitan: Sebuah Permulaan Baru “Tetapi pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu mereka pergi ke kubur membawa rempah-rempah yang telah mereka sediakan. Mereka mendapati batu sudah terguling dari kubur itu, dan setelah masuk mereka tidak menemukan mayat Tuhan Yesus.” –Lukas 24:1-3 Di hampir semua kitab injil, Anda akan melihat penekanan, pada hari pertama minggu itu. Nah, yang harus Anda ketahui adalah, di kalender atau kebudayaan Yahudi, hari pertama setiap minggu adalah hari Minggu, bukan hari Senin, seperti dalam kebudayaan kita. Dan jika Anda bertanya tentang hari Sabat, hari peristirahatan yang diperintahkan Allah itu, ya, pada kebudayaan Yahudi, hari Sabat jatuh pada hari Sabtu. Mengapa ini penting? Mengapa Allah membangkitkan Yesus pada hari Minggu, yang adalah hari pertama pada minggu itu? (Saya harus mengulangulang kata-kata ini karena saya ingin kebenaran ini benar-benar merasuk ke dalam hati Anda). Pertama, karena Allah menghormati hari Sabat, hari yang Ia ciptakan sendiri, dan Ia perintahkan bagi umatNya. Allah tidak dapat mengingkari diriNya sendiri, 85 jika Ia mengatakan tidak akan ada pekerjaan besar pada hari itu, maka tidak ada pekerjaan besar pada hari itu (kebangkitan termasuk sesuatu pekerjaan yang besar bukan). Bukan berarti Ia tak akan membangkitkan orang pada hari Minggu. Namun peristiwa ini membuktikan bahwa Allah adalah Pribadi yang berintegritas. Apa yang Ia katakan, itulah yang Ia lakukan. Allah pertama kali mengatakan tentang Sabat pada hari ketujuh penciptaan, 4000 tahun sebelum Yesus lahir. Dan Ia mengingat dengan jelas janjiNya dan tetap memegang janji itu hingga jaman Yesus, bahkan saya yakin, sampai detik ini. Jika kita tahu bahwa kita memiliki Allah yang seperti itu, yang mengingat janji yang dibuatNya ribuan tahun yang lampau dan menepatinya, oh percayalah, Anda tak perlu khawatir dengan kehidupan ini! Ia berjanji untuk menjaga dan melindungi Anda dari segala mara bahaya (Mazmur 91). Ia berjanji bahwa Ia punya rencana yang baik untuk Anda (Yeremia 29:11). Ia berjanji akan menyediakan apa yang Anda butuhkan (Filipi 4:19, Matius 6:25-34). Ia berjanji bahwa saat Anda merasa lelah dengan kehidupan ini, Ia akan memberi kelegaan bagi jiwa Anda (Matius 11:28-29). Ia berjanji bahwa Ia tak akan membiarkan Anda patah semangat, tetapi akan memulihkan Anda (Yesaya 42:3). Maka yakinlah, bahwa Ia mengingat janji-janjiNya itu, dan pasti Ia akan menepatinya. Kedua, Yesus harus bangkit pada hari Minggu, di hari pertama minggu itu, sebagai tanda yang jelas dari sebuah permulaan yang baru. KematianNya adalah akhir dari dosa, dan kebangkitanNya adalah permulaan baru. Itulah mengapa Yesus harus bangkit pada hari yang pertama dalam minggu itu dan tidak pada hari yang kedua, ketiga, atau keempat. Hari yang pertama menandakan sebuah permulaan baru, halaman baru dalam kehidupan, harapan baru akan hidup yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Ketika Anda mengalami kematian rohani, tetapi bangkit bersama Yesus, Anda bisa yakin, bahwa Anda akan mendapatkan selembar kertas kehidupan yang benar-benar baru, putih, bersih, untuk Anda mulai menulis kehidupan Anda kembali di sana. Dan kali ini, memulai ceritanya dengan lebih baik. You will get a fresh start in life. 86 Anda akan mendapat kesempatan yang baru, teman-teman yang baru, paradigma yang baru tentang kehidupan. Pandangan yang sama sekali baru tentang Tuhan dan hubungan yang diperbaharui denganNya. Sukacita yang baru setiap hari. Pengalaman-pengalaman yang baru. Dan hal-hal baru lain yang tak terkatakan. Dan seperti saya, Anda mungkin akan mendapat karir yang baru, petualangan baru, panggilan yang baru, koneksi-koneksi yang baru, dan bekerja dengan cara-cara yang baru. Semua itu karena Tuhan Yesus bangkit pada hari yang pertama di minggu itu. Haleluya! Kebangkitan: Gulingkan Semua Rintangan “Setelah hari Sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama minggu itu, pergilah Maria Magdalena dan Maria yang lain, menengok kubur itu. Maka terjadilah gempa bumi yang hebat sebab seorang malaikat Tuhan turun dari langit dan datang ke batu itu dan menggulingkannya lalu duduk di atasnya.” –Matius 28:1-2 Apa yang terguling? Batu. Batu yang besar itu. Batu yang menurut beberapa sumber diperkirakan berdiameter setidaknya 5-6 kaki (1,8 meter). Nah hanya untuk membayangkannya, lihatlah tempat tidur Anda. Ya, diameter batu tersebut adalah panjang tempat tidur Anda. Dan kita tidak berbicara tentang sebuah lempengan. Kita berbicara tentang batu yang memiliki ketebalan, massa, dan berat yang luar biasa. Begitu besarnya, hingga Maria Magdalena berkata, “Siapa yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur?” (Markus 16:3). Lalu Markus, membenarkan ucapan teman-temannya, menekankan di ayat berikutnya, “... Batu itu memang sangat besar.” (Markus 16:4) Tapi apa yang mereka temukan? Batu itu sudah terguling. Siapa yang menggulingkannya? Yang pasti bukan mereka. Sebab melihatnya saja mereka merasa ngeri. Matius memberikan kesaksian yang jelas tentang bagaimana batu itu terguling. “...seorang malaikat Tuhan turun dari langit dan datang ke batu itu dan 87 menggulingkannya lalu duduk di atasnya.” Seorang suruhan Allah. Dengan kata lain, Allah sendiri! Namun pertama-tama kita perlu tahu apa makna batu raksasa ini bagi kita. Batu ini berbicara tentang semua ketakutan Anda, yang menghalangi Anda untuk bangkit. Semua kekhawatiran yang menyesakkan dada. Semua harapan yang pupus yang menghantui Anda. Semuanya itu menjadi batu yang terlalu besar dan menghalangi pandangan Anda akan masa depan. Sehingga membuat Anda berpikir ada baiknya untuk tidak mengambil resiko atau memiliki harapan yang muluk-muluk. Lalu seakan-akan, hidup dengan keterpurukan dan dukacita nampak tak terlalu buruk lagi, jika dibandingkan dengan besarnya batu kekhawatiran yang menghadang di depan Anda. Tapi saya katakan kepada Anda hari ini, jangan percaya pada kebohongan itu! Saya menghadapi batu besar itu juga dalam dukacita saya 2 tahun yang lalu. Saya sempat tak dapat melihat masa depan gara-gara batu kekhawatiran yang menghalangi saya. Impian yang seolah pupus di tengah jalan membuat saya takut bahkan untuk mulai bermimpi lagi. Saya juga takut dengan keadaan di sekitar saya sepeninggal Mama. Saya takut pada realita. Apakah saya akan berhasil mengatasinya? Bagaimana saya harus mengatasinya? Saya takut kalau saya tidak mendapatkan dukungan. Bagaimana jika tak ada seorang pun yang mendukung saya? Bagaimana jika tak ada yang berdoa untuk saya. Mama dan Oma adalah orang-orang yang senantiasa berdoa untuk saya, bagaimana jika tak ada mereka, akankah saya tetap mendapat perlindungan dan kasih Allah? Lihatlah, begitu banyak bukan ketakutan yang bisa melingkupi kita. Apalagi belum tentu semua ketakutan itu masuk akal. Tetapi syukur kepada Allah. Ia ada di sana selagi saya menggigil ketakutan melihat batu yang begitu besar itu di hadapan saya. Ia berkata, “Jangan takut, Aku besertamu. Aku yang akan menggulingkan batu-batu itu bagimu.” Dan Ia benar-benar menyertai saya, sampai hari ini. Ia pulalah yang menggulingkan batu-batu itu dari hadapan saya. Satu persatu batu ketakutan saya diruntuhkanNya. Semua situasi yang tampaknya terlalu besar untuk saya, kini tak nampak terlalu sulit lagi. Semua kemampuan yang awalnya tak saya miliki, 88 diajarkannya kepada saya. Dari hari-ke hari, saya semakin diperbaharui dalam Kristus. Ketakutan saya, Ia buktikan salah. Ia membuktikan bahwa semua ketakutan itu hanyalah tipu daya iblis untuk mengelabui saya dan berusaha merebut masa depan dari saya. Tapi tentu saja, si jahat tidak akan bisa melakukannya, teman, selama Tuhan ada di sana memegang kendali hidup Anda. Tidak ada yang dapat menghalangi, atau mendahului Tuhan, apalagi kalau soal orang-orang yang dikasihiNya, seperti Anda dan saya. Anda ingin tahu bagaimana cara Tuhan meruntuhkan batu-batu saya? Apakah melibatkan saya? Tentu. Karena ini kehidupan saya, Tuhan pasti melibatkan saya di dalamnya. Tapi apakah saya yang meruntuhkan sendiri batu-batu itu? Sama sekali tidak. Saya cukup mendengar dan mengikuti arahanNya. Saya akan menceritakan salah satunya kepada Anda. Saya adalah seorang muda. Well, saya mungkin lebih tua dari sebagian Anda, tapi saya masih terhitung muda bagi sebagian kalangan lainnya. Dan dalam kehidupan kekristenan kami di rumah, Oma dan Mama adalah orang-orang yang berdoa. Banyak orang mengatakan bahwa Mama dan Oma adalah pilar-pilar doa keluarga kami. Saya percaya itu, mereka adalah pendoa-pendoa yang hebat. Mereka berdoa siang dan malam. Saya mengagumi mereka untuk itu. Saya dulu merasa, saya tidak mungkin seperti mereka. Itu bukan panggilan saya (padahal berdoa adalah panggilan semua orang. Lagipula sebenarnya, doa itu bukan panggilan, doa itu gaya hidup!). Mereka berdoa untuk keluarga kami di mana pun mereka berada. Baik di dalam maupun di luar negeri. Saya dulu bukan orang yang terlalu yakin tentang mendoakan orang-orang yang di seberang benua (tapi itu dulu). Lalu Oma meninggal pada tahun 2001. Sebagian Anda yang pernah membaca buku saya sebelumnya tentu mengetahui tentang hal ini. Saya pikir, tidak apa-apa, saya tidak perlu belajar berdoa. Saya masih punya Mama. Lalu tiba-tiba, tanpa tanda-tanda angin atau hujan lebat, Mama saya tiada. Dan saya tidak sempat belajar berdoa kepada siapapun, baik Oma maupun Mama. Saya mulai merasa hidup saya ada di pinggir jurang, seperti sebuah mobil yang kedua roda depannya sudah melayang-layang di udara, dan kedua roda belakangnya sudah hampir tergelincir. Oh no, apa yang baru saja terjadi??? Saya kehilangan 89 Oma dan Mama saya. Orang-orang yang berdoa untuk saya. Dan untuk seluruh keluarga kami. Apa yang harus saya lakukan? Percaya tidak percaya, selama setahun saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya tahu Roh Kudus ada di dalam saya, sebab terkadang Ia menyuruh saya melakukan sesuatu atau pergi ke suatu tempat yang Ia tunjukkan kepada saya. Tapi pada saat itu, saya belum menerima baptisan Roh. Yang artinya, saya belum benar-benar mengalami Dia, Sang Penolong yang sanggup membimbing saya berdoa. Saya telah menanti baptisan itu selama hampir 7 tahun, dan saya mulai berpikir mungkin Tuhan tidak mau memberikannya kepada saya (lagi-lagi kebohongan setan!). Tentu saja Tuhan mau memberikannya, Anda hanya harus meminta, dan mencari orang yang tepat untuk menolong Anda. Setahun berlalu, dan saya masih tak punya petunjuk apa yang harus saya lakukan dengan hidup ini. Tapi saya terus menerus mencari Tuhan. Karena saya percaya, saya tak lepas dari rencanaNya. Suatu hari, Roh Kudus menggerakkan hati saya untuk menghubungi seseorang. Dia adalah seorang yang beriman, dan kuat di dalam Tuhan. Saya bertemu dengan dia dan menceritakan masalah saya. Lalu Ia mengajak saya berdoa, cukup lama, sangat lama mungkin, hingga tibatiba, saya mendapatkan terobosan itu. Saya berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru! Saya berbicara dalam bahasa Roh Kudus! Bahasa yang agung dan menenangkan hati itu mulai mengalir dari lidah saya, makin lama makin kuat, makin lama makin lantang. Dan saya menangis. Saya hanya bisa menangis sekeras-kerasnya. Saya pikir, saya tidak akan pernah mengalami ini. Saya pikir, saya tidak mungkin berdoa dan berbahasa Roh seperti Mama dan Oma saya. Padahal masalah kehidupan yang tengah saya hadapi saat itu sangat pelik, dan saya sungguh harus bisa berdoa agar saya dapat tetap kuat dalam menghadapi masalah-masalah tersebut. Saya pikir, Tuhan tidak akan melakukan sesuatu atas keadaan saya. Tapi saya salah, saya salah besar. Tuhan menjawab saya dengan tegas pertanyaan yang saya ajukan kepadaNya. “Siapa yang akan berdoa untuk saya dan keluarga saya?”. JawabNya, “Kamu, anakKu, kamu yang akan berdoa untuk dirimu dan keluargamu.” 90 Kadang-kadang untuk sesuatu yang berharga, Ia memang melakukan persiapan yang cukup lama. Tapi percayalah, ketika tiba waktunya, Ia akan membuat perubahan, dalam hidup Anda, seketika. Hari ini, lebih dari setahun kemudian, Ia sudah mengajarkan kepada saya jauh lebih banyak tentang bagaimana saya harus berdoa. Ia mengajar saya berdoa bagi diri saya sendiri, dan bagi orang lain. Dan terkadang, Ia mengajar saya untuk membiarkan Roh Kudus yang mengambil alih dan berdoa untuk saya. Saya tidak tahu, apakah saya sudah berdoa sebaik Oma dan Mama, mungkin belum. Tapi saya percaya, Tuhan akan memampukan kita berdoa, jika kita benar-benar menginginkannya. Lagi, doa bukan soal kemahiran, keahlian, atau teknik-teknik yang perlu dibanggakan dan dipertontonkan. Doa adalah hubungan yang mesra dengan Allah. Doa adalah ketika Anda bisa begitu banyak bercerita kepadaNya, dan tiba-tiba hari sudah siang. Doa adalah ketika Anda benar-benar lost in His presence. Dan merasakan kebahagiaan karena dicintai Allah. Itulah doa. Jadi tanpa saya sadari, waktu saya mengangkat kepala, batu besar saya sudah terguling. Saya bahkan tak menyadarinya kapan batu itu terguling. Tapi saya menemukan batu itu sudah terguling! Karena Yesus yang sudah melakukannya untuk kita. Maka jangan takut, batu besar apa yang ada di hadapan Anda sekarang? Kekhawatiran? Ketakutan? Masalah? Keadaan? Realita? “Jangan takut anakKu, Aku yang akan menggulingkannya bagi kamu!” Kebangkitan: Tanggalkan Masa Lalu “Kemudian datanglah Simon Petrus juga menyusul dia dan masuk ke dalam kubur itu. Ia melihat kain kafan terletak di tanah. Sedangkan kain peluh yang tadinya ada di kepala Yesus tidak terletak dekat kain kafan itu, tetapi agak di samping di tempat yang lain dan sudah tergulung.” –Yohanes 20:6-7 91 Kita sudah sering melihat di berbagai film yang mengisahkan tentang Yesus, gambaran kain kafan yang tertinggal di kubur. Tapi apa sebenarnya maksud dari kain kafan yang tertinggal? Pertama, Anda harus tahu bahwa Yesus keluar dari kubur tidak dengan kain kafan masih melilit di tubuhNya seperti mumi atau zombie di dalam film-film. Karena mumi atau zombie itu mati, tapi Allah hidup! Namun mengapa Ia menanggalkan kain kafan itu? Bukan untuk penampilan, tetapi untuk sesuatu yang jauh lebih penting dari itu. Menanggalkan kain kafan berbicara tentang menanggalkan masa lalu. Waktu Allah bangkit, Ia menanggalkan semua masa lalu yang penuh kepahitan, luka, sakit hati, siksa dan sengsara yang Ia alami 3 hari sebelumnya. Ia bahkan mungkin sudah lupa dosa-dosa mereka yang ‘menyalibkan’ Dia. Siapa? Orang Yahudi? Bukan, Anda dan saya. Kita lah yang menyalibkan Dia. Ia mati bukan untuk dosa waktu itu atau untuk dosa bangsa Israel saja, tetapi bagi dosa seluruh umat manusia. Ia mati untuk menebus dan melupakan dosa-dosa kita! Ini yang seringkali tidak kita sadari. Kita dalam pemahaman yang terlalu fasih terhadap hukum tabur tuai, suka sekali mengingat dosa-dosa kita sendiri. Dan berpikir bahwa, meski Allah mengampuni, Allah tidak lupa. Itu pernyataan yang salah dan tidak Alkitabiah! Ibrani 8:12 menyampaikan isi hati Tuhan, “Sebab Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosadosa mereka.” Luar biasa! Kita punya Allah yang lupa terhadap dosa-dosa namun setia pada janji-janjiNya! Jadi Anda ingin bangkit dari keterpurukan jiwa Anda? Anda harus belajar ‘lupa’ seperti Allah. Pertama, Anda harus melupakan segala luka dan kepedihan yang Anda alami pada waktu mereka yang Anda kasihi meninggal. Ada banyak sekali sakit hati yang bisa Anda alami pada saat-saat seperti itu. Sakit hati pada mereka yang pergi, sakit hati pada mereka yang tinggal tetapi tidak cukup berperan seperti yang Anda harapkan. Sakit hati pada mereka yang hidup namun pergi meninggalkan Anda di saat-saat Anda paling membutuhkannya. Sakit hati terhadap diri sendiri (rasa bersalah yang berlarut-larut). Saya harus jujur pada 92 Anda. Saya mengalami semuanya itu pada detik-detik awal meninggalnya Mama. Saya menyalahkan semua orang, termasuk diri saya sendiri. Saya bahkan pernah menyalahkan Tuhan. Namun bersyukur Tuhan menyelamatkan saya. Ia yang mengoyakkan ‘kain kafan’ yang melilit tubuh rohani saya dan membangkitkan jiwa saya. Ia mengampuni semua perasaan dan luka hati yang pedih itu lalu membalutnya dengan lembut. Ia tidak marah. Ia sama sekali tidak marah kepada saya. Saya malah merasakan pelukanNya jauh lebih banyak dari biasa. Ia menghibur saya dengan cara-cara yang ajaib. Ia memutar lagu-lagu kesukaan saya kapanpun Ia ingin melakukannya hanya agar saya mengetahui bahwa Ia mengasihi saya. Ia sungguh luar biasa, teman. He is a great loving Father. Dan saya tidak tahu apakah saya sudah cukup menjabarkan kebaikan Allah dengan semestinya di dalam buku ini. Saya yakin tidak. Tidak ada kata-kata yang dapat cukup merepresentasikan kebaikanNya. Apa yang saya lakukan, menulis kebaikanNya, adalah satu-satunya cara yang saya miliki untuk melukiskan betapa baik Tuhan Yesus, yang rela menderita, dan mati, bahkan bagi orang-orang yang tak mengenal Dia, agar kita beroleh hidup, dan dapat menikmati hidup itu dengan berkelimpahan berkat dan anugerahNya. Tetapi saya yakin, tidak ada kata, atau gambar, atau tindakan, atau keindahan, yang dapat mewakili betapa besarnya, dalamnya, lebarnya, tingginya, kasih Allah kepada kita. Sama sekali tidak ada! Jadi jika Ia begitu, terlalu mengasihi kita, apa yang Anda tunggu? Mengapa Anda masih berdiri di sini dan menangis sendiri? Berlarilah, berlarilah ke dalam pelukanNya! Ia yang akan menghapus air mata Anda. Tidak ada yang lain, hanya Allah yang sanggup menolong dan memulihkan Anda. Saya mengerti, melupakan rasa sakit bukan hal yang mudah, dan itu proses. Saya pun menghabiskan waktu cukup lama untuk mengampuni, terutama diri saya sendiri. Tetapi bersepakatlah dengan Tuhan untuk melakukannya bersama dengan Dia. Ingat, tak ada yang mustahil bagi Allah. Saya yakin, Ia akan memulihkan Anda dengan cepat. 93 Kedua Anda harus berhenti menjadi ahli forensik yang mereka ulang kejadian hingga ribuan kali, dan bertanya, “bagaimana jika...” atau “kalau saja...”. Saya memutar ulang kejadian meninggalnya Mama lebih dari ribuan kali, hanya untuk menemukan bahwa saya tidak dapat melakukan apa-apa untuk mengubahnya. Jadi saya ingin menyelamatkan Anda dari kepusingan yang tidak perlu. Semua skenario happy ending yang Anda pikirkan saat ini, tak akan dapat mengubah kenyataan yang sudah terjadi. Sebab itu adalah bagian dari kehendak Allah yang berdaulat dalam hidup Anda. Tapi bersama Yesus, Anda dapat mengubah masa depan, menjadi jauh lebih baik dari yang Anda harapkan. Kebangkitan: Kesempatan Kedua “Tetapi sekarang pergilah, katakan kepada murid-muridNya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakanNya kepada kamu.” –Markus 16:7 Kalau bukan Max Lucado yang mengatakan dengan jelas dalam bukunya “No Wonder They Called Him Savior” mengenai kebenaran yang tersembunyi dalam ayat ini, saya juga akan membacanya sambil lalu. Lihat bagaimana malaikat Allah mengatakannya. Ia tak hanya berkata, “Katakan kepada murid-muridNya.” Ia menambahkan, “dan kepada Petrus”. Ya, Petrus, Simon Petrus, yang menyangkal Dia tiga kali! Jangan terlalu bersemangat, kita bisa menghakimi dia pada jaman sekarang dan mengatakan dia pengecut. Tapi pada jaman itu, di mana hukum dan siksaan pemerintah Roma dapat membuat Yesus meneteskan keringat darah karena ketakutan yang begitu mencekam, ya, pada jaman itu sebenarnya lebih banyak dari kita yang seperti Petrus. Bahkan kita mungkin termasuk dalam kumpulan murid-murid yang lari bersembunyi ketika Yesus ditangkap dan disiksa. Jadi kesalahan Petrus, pengkhianatan Petrus, penyangkalan Petrus, kegagalan Petrus untuk memenuhi panggilan hidupnya, dan kekecewaan Allah karena semuanya itu, kita pernah melakukannya. Kita semua pernah mengecewakan Dia yang begitu mengasihi kita. Kita semua pernah gagal. Gagal dalam hidup. Gagal terhadap diri kita sendiri. Dan gagal memenuhi rencana Tuhan. 94 Tapi Yesus, melalui kisah Petrus, meyakinkan kita sekali lagi, bahwa Dia adalah Allah atas kesempatan kedua. Ia bahkan menyebut nama kita, sebab Ia mengenal dan mengingat kita, lepas dari segala kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lalu. “Katakan kepada Sarah, katakan kepada John, katakan kepada Alissa, katakan kepada Henry, katakan bahwa Aku mengasihi mereka, dan Aku berharap mereka segera bangkit dan meraih kembali rencanaKu dalam kehidupan mereka.” Jadi, dalam setiap dukacita, ada sebuah kesempatan kedua diselipkan Tuhan di sana. Sebuah kesempatan kedua untuk membangun kembali kehidupan Anda yang runtuh karena kehilangan orang-orang yang Anda cintai. Anda hanya harus cukup jeli untuk melihat, cukup rendah hati untuk mengakui bahwa Anda lemah, sama dengan Petrus, dan cukup menyadari bahwa Anda tak mungkin melalui semuanya ini tanpa Kristus. Anda mungkin jatuh seperti Petrus, tapi Anda akan bangkit seperti Yesus! Kebangkitan: Mulailah dengan Rumahmu “...Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakanNya kepada kamu.” –Markus 16:7 Ini sesuatu yang tidak kita sadari, kita berpikir bahwa kebangkitan jiwa kita hanyalah bagi diri kita sendiri, dan untuk kebaikan kita sendiri. Itu hanya separuh benar. Tapi sesungguhnya, kebangkitan kita adalah bagi orang-orang di sekitar kita, keluarga terdekat kita. Sebab mereka membutuhkan kita kembali. Galilea adalah tempat asal Yesus. Maka segera setelah bangkit, yang diingat Yesus adalah keluarga terdekatnya di Galilea. Lingkaran dalamNya, murid-murid yang telah bersamaNya selama tiga tahun, keluargaNya. Ia harus segera kembali kepada keluargaNya dan menguatkan mereka, itu pikirNya. Saya tak dapat membayangkan, apa yang terjadi dengan Papa, jika saya tidak bangkit. Jika saya memilih untuk tinggal dalam dukacita saya dan berlama-lama di sana. Anda tahu, orang yang hidup dalam dukacita secara terus-menerus tak akan punya sikap yang positif. Ia akan penuh dengan kepahitan, kepedihan, atau 95 malah ucapan-ucapan yang menyakitkan. Sebagian orang dapat menyembunyikan, tetapi sebagian lagi sangat jelas kelihatan sikapnya. Papa saya terserang stroke 9 tahun yang lalu. Sejak saat itu, ia membutuhkan dukungan dalam segala hal. Bukan hanya fisiknya, yang lumpuh oleh serangan itu, tapi juga hatinya. Hatinya tak mungkin berdiri sendiri. Sebab stroke telah meremukkan jiwanya. Apalagi kini, Mama meninggal, 6 bulan setelah mereka dinikahkan kembali. Sebuah keindahan yang sesaat, yang tiba-tiba hancur berkeping-keping ketika di bulan Desember itu, Mama pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Kalau saya tidak kembali... kalau saya tidak kembali... kalau saya tidak kembali... saya tidak tahu apa yang terjadi. Hubungan dengan Papa mungkin akan menjadi lebih buruk. Saya mungkin menjadi anak yang durhaka karena saya lebih peduli pada perasaan saya sendiri daripada orang lain. Dan saya tidak akan bahagia. Papa juga tidak akan bahagia. Ia akan semakin terpukul, mungkin putus asa. Padahal ia berhak untuk bahagia di masa tuanya. Tapi saya bersyukur kepada Allah. Saya sungguh bersyukur. Saya tidak tahu saya harus mengatakan apa, selain bahwa saya bersyukur. Saya bersyukur bahwa bukan saya yang memegang kendali atas diri saya, dan atas kehidupan saya, tetapi Allah. Kalau saya memegang kendali atas diri saya sendiri, saya tidak akan ada di sini menguatkan Anda. Saya masih akan berada di dalam gua yang lembab dan gelap itu, penuh kepahitan dan keputusasaan. Namun Dia adalah Allah memegang kendali. Ia berdaulat atas diri saya, lebih dari diri saya sendiri. Ia membuktikan kepada saya bahwa Ia adalah Allah yang berkuasa. Berkuasa mengubah situasi-situasi yang buruk, berkuasa memulihkan hati-hati yang terluka. Berkuasa melunakkan kepala-kepala yang keras. Dan melakukan semuanya secara teratur dalam waktu dan urutan yang sangat presisi. Ia mengambil alih. Dan saya sangat bersyukur karena Ia melakukannya tanpa persetujuan saya. 96 Ia membuat saya menjadi pribadi yang baru. Sungguh, Ia Allah yang membangkitkan! Jadi, ketika Anda membaca perikop ini, pikirkanlah tentang mereka, yang membutuhkan Anda. Mereka yang tak mungkin hidup tanpa Anda. Mereka yang Anda kasihi. Ayah, ibu, saudara, atau anak-anak Anda. Mereka membutuhkan Anda. Demi mereka, ijinkan Allah mengambil alih dan memulihkan kehidupan Anda. Yesus kembali ke Galilea. Anda harus segera kembali kepada mereka. Kebangkitan: Kebangkitan adalah Kegiatan Bersama Ini termasuk hal-hal yang menyelamatkan saya. Kenyataan bahwa Yesus setelah bangkit menjumpai banyak orang, dan bukan hanya kesebelas muridNya sangat melegakan bagi saya. Dan memberi saya pelajaran yang mendalam tentang komunitas. Ia bangkit, lalu menjumpai begitu banyak orang untuk memulihkan kepercayaan dan iman mereka yang luluh lantak karena keputusasaan. Dan ingat, tak hanya kesebelas murid tersebut, tapi murid-murid lain yang bahkan namanya mungkin hanya kita dengar sekali di dalam Alkitab, termasuk si Kleopas, murid Yesus yang sedang dalam perjalanan ke Emaus itu. Kita hanya mendengar tentang dia sesekali, tapi kita yakin ia berbahagia, sebab ia mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah. Bayangkan, betapa berartinya, ketika ada orang yang meski mungkin kita tak terlalu mengenalnya, namun mau ikut merasakan kesusahan hati kita dan menguatkan iman kita, lebih-lebih berdoa bagi pemulihan kita. Benar-benar sebuah ‘kekuatan’ tersembunyi dari komunitas Kristus. Setelah setahun berusaha mengatasi berbagai masalah sendirian sehabis meninggalnya Mama, dan kurang berhasil, Seorang kakak rohani mendorong saya untuk bergabung di komunitas sel gereja tempat saya bernaung. Saya tak terlalu tertarik dengan ide itu. Menceritakan masalah-masalah saya secara terbuka dan mengakui kelemahan-kelemahan saya, hmm... coba saya pikir-pikir dulu ya. 97 Namun lagi-lagi Tuhan mengambil alih. Dalam suatu kesempatan Tuhan menggerakkan ketua komunitas sel tersebut untuk mengajak saya, dan maksud saya, mengajak dengan gigih, tak mudah menyerah, tak keberatan dengan kata ‘tidak’ yang berkali-kali atau alasan-alasan klise, seperti ‘saya lembur di kantor’ atau ‘saya kehujanan’ atau ‘saya tidak enak badan’. Mereka adalah suami istri yang cukup sibuk. Tapi mereka orang-orang yang memiliki hati Allah. Mereka tidak peduli seberapa keras kepala saya. Mereka peduli karena mereka melihat saya butuh pertolongan dari saudara-saudara seiman, sebab saya sedang menghadapi sebuah proses yang terlalu menyesakkan jika dijalani sendirian. Itu sebabnya Allah mendorong saya bergabung di komunitas tersebut. Ia menyuruh saya tanpa banyak berkata-kata. Ia tak memberi banyak alasan, atau penjelasan. Ia hanya mendorong saya dengan sangat dan tiba-tiba saja terjadi, hati saya luluh dan saya pun akhirnya tergabung di dalam sebuah komunitas sel. Dan saya menyadari, bergabung dalam komunitas sel ini telah memberkati saya dengan luar biasa. Bahkan lebih dari yang saya harapkan. Kami saling berbagi, saling menguatkan, saling memperhatikan. Selanjutnya, pada kali berikutnya ketika saya telah dikuatkan, saya menguatkan orang lain. Sehingga terbentuk sebuah lingkaran saling menguatkan yang tak terputus di antara kami. Benar-benar menakjubkan. Terkadang dalam suatu masa, Anda tidak bisa bangkit sendirian, dengan kekuatan sendiri, apalagi dengan keinginan sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa selama setahun sebelum bergabung dalam komunitas sel saya tidak mengalami pemulihan. Saya mengalami banyak terobosan, terutama pemulihan hubungan saya dengan Allah, yang memang harus terjadi secara pribadi, antara Allah dan saya. Tetapi bergabung dalam komunitas sel gereja telah memberi percepatan dalam proses pemulihan saya selanjutnya. Seolah-olah saya beralih dari naik sepeda kayuh ke naik pesawat jet. Semuanya menjadi serba cepat! Sebab bukankah beban yang ditanggung bersama-sama lebih cepat dipindahkan, daripada beban yang Anda pikul sendirian? Itu alasan mengapa di Amerika, ketika tragedi 9/11 terjadi, semua lembaga di Amerika segera mengadakan pertemuan-pertemuan sejenis komunitas sel untuk saling menguatkan antara sesama mereka yang ditinggalkan oleh orang terkasih dalam peristiwa 98 menyedihkan tersebut. Sebab mereka menyadari, bahwa ada hal-hal yang tidak dapat mereka lalui sendirian. Mereka butuh pertolongan dari orang lain. Mereka perlu meminjam kekuatan dari orang lain. Dan itu sama sekali bukanlah bukti bahwa Anda lemah. Itu adalah bukti bahwa Anda manusia. Lagu Lean On Me yang terkenal mengatakan dengan tepat. “Bersandarlah padaku, waktu kamu tidak merasa kuat, aku akan menjadi temanmu, aku akan menolongmu untuk terus berjalan, sebab tidak akan lama lagi, aku juga akan membutuhkan seseorang untuk bersandar.” Anda bergabung dalam komunitas sel gereja, atau perkumpulan-perkumpulan lain yang serupa, bukan semata-mata untuk membangkitkan diri Anda sendiri, tetapi dalam suatu masa, situasi mungkin akan berbalik, dan orang lain yang akan memerlukan kekuatan dari Anda. Terobosan, kebangkitan, pemulihan, dapat terjadi dua atau tiga kali lebih cepat, jika Anda dikelilingi oleh pribadi-pribadi yang kuat di dalam Tuhan. Maka di penghujung bab, yang sekaligus adalah akhir dari buku ini, saya mengajak Anda, mari, kita bangkit bersama, kita pikul bersama beban kita, sambil memegang kepercayaan penuh kepada Tuhan Yesus, Allah yang bekerja di balik layar untuk membenahi, memulihkan, dan membuka lembaran baru bagi hidup Anda, serta yakinlah, kebangkitan jiwa Anda sudah di depan mata. Anda dapat menghubungi saya, jika Anda membutuhkan seorang teman untuk mendengar cerita-cerita Anda. Saya dapat dihubungi lewat email di [email protected] atau www.facebook.com/KalaWanitaPercaya Rayakan kebangkitan Anda! 99