bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Berdasarkan kondisi geografisnya, Indonesia merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia dengan dua pertiga wilayahnya yang berupa perairan. Kondisi
geografis tersebut membuat Indonesia memiliki wilayah yang saling berbatasan baik
itu daratan maupun perairan dengan negara-negara tetangganya. Indonesia memiliki
kawasan maritim yang berbatasan dengan 10 negara tetangga, yakni dengan India,
Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Timor Leste
dan Australia (Arsana, 2013). Sampai dengan Mei 2016, Indonesia telah memiliki 19
perjajnjian batas maritim yang telah disepakati dan masih terus dilakukan perundingan
Laut Teritorial, Landas Kontinen dan ZEE dengan negara tetangga sesuai dengan misi
utama Indonesia untuk dapat menuntaskan batas maritimnya.
Berlakunya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) telah
memunculkan berbagai jenis perairan baru. Sebelum konvensi ini, laut hanya
dibedakan dengan Laut Teritorial, Laut Bebas dan Perairan Pedalaman. Setelah
konvensi dilakukan muncul jenis perairan baru yaitu Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landas Kontinen, khususnya untuk Indonesia konvensi ini memberi kewenangan bagi
Indonesia untuk menarik garis pangkal lurus kepulauan sebagai referensi untuk
menentukan berbagai zona maritimnya. Sesuai dengan pasal 74 ayat 1 UNCLOS
Tahun 1982, penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif antara negara yang pantainya
saling berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar
hukum internasional. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil (equitable solution).
Dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 74 ayat 4 UNCLOS Tahun 1982, dalam hal adanya
suatu persetujuan yang berlaku antara negara yang bersangkutan, maka masalah yang
berkaitan dengan delimitasi batas maritim Zona Ekonomi Eksklusif harus ditetapkan
sesuai dengan ketentuan persetujuan itu.
Indonesia dan Thailand memiliki hak yang sama dalam mengklaim zona
maritim yang dapat dimilikinya, perlu diketahui bahwa Indonesia dan Thailand telah
1
2
menyepakati perjanjian batas Landas Kontinen atau batas dasar lautnya pada tahun
1971, namun sampai saat ini masih belum ada perjanjian dan kesepakatan lebih lanjut
terkait dengan Zona Ekonomi Eksklusif antara kedua negara tersebut. Dalam kasus
klaim maritim antara Indonesia dan Thailand, terdapat area yang saling tumpang tindih
(overlapping) pada bagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan bagian Utara
Selat Malaka tepatnya di perairan Laut Andaman. Berdasarkan jarak titik pangkal
terluar antara Indonesia dan Thailand yang diukur, diketahui hanya berjarak sekitar
218 mil laut sehingga menyebabkan adanya area overlapping yang membutuhkan
proses delimitasi batas kedua negara karena masing-masing negara berhak untuk
melakukan klaim ZEE sepanjang 200 mil laut dari garis pangkalnya.
Penyelesaian delimitasi batas maritim dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa cara yaitu dengan perundingan, mediasi, dan bantuan lembaga pengadilan
internasional atau ITLOS. Dalam perkembangan yang sesuai dengan UNCLOS,
metode penyelesaian yang tersedia di dalamnya pun beragam, sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi geografisnya yaitu seperti metode sama jarak, metode
Envlacing, metode Two-Stage Approach dan Three-Stage Approach.
Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach) pertama kali diperkenalkan
dalam penyelesaian kasus delimitas batas maritim antarnegara Ukraina dan Romania
pada tahun 2009 (ICJ 2009). Yang dimaksud dengan Pendekatan Tiga Tahap yaitu
pertama, dengan pembuatan garis tengah sementara, kedua dengan mengubah garis
tengah yang telah dibuat dengan memperhatikan faktor-faktor relevan yang ada, dan
ketiga dengan uji keadilan atau uji disproporsionalitas.
Garis tengah sementara (provisional line) dapat dibuat dengan dua cara, yaitu
manual dan otomatis dengan bantuan software pendukung seperti ArcGIS dan CARIS
LOTS. Faktor-faktor relevan juga harus diperhatikan dalam delimitasi batas Zona
Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dengan Thailand. Peran penggunaan suatu pulau
dapat menjadi salah satu faktor yang relevan dalam penentuan delimitasi batas maritim
dalam menggunakan metode Pendekatan Tiga Tahap.
Pada penelitian ini dilakukan kajian terkait pembuatan garis batas ZEE antara
Indonesia dan Thailand menggunakan metode Pendekatan Tiga Tahap dengan
3
mempertimbangkan peran pulau-pulau kecil terluar antarnegara. Penelitian ini juga
akan menampilkan perbandingan luasan yang didapat dari provisional line yang dibuat
menggunakan Pendekatan Tiga Tahap, dengan luasan Zona Ekonomi Eksklusif yang
di klaim masing-masing negara, serta ditujukan untuk dapat menghasilkan cara yang
baik dan optimal dalam pembuatan batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia
dengan Thailand baik dari aspek teknis maupun yuridis sehingga dapat dijadikan opsi
penyelesaian delimitasi garis batas maritim antar kedua negara.
I.2. RUMUSAN MASALAH
Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach) merupakan metode baru yang
diperkenalkan oleh Mahkamah Internasional maupun International Tribunal for the
Law of the Sea (ITLOS). Pada penelitian ini peneliti mengkaji penerapan metode
Pendekatan Tiga Tahap dalam menentukan batas maritim yang sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam UNCLOS, dengan cakupan studi kasus meliputi batas
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Thailand, tepatnya yang berlokasi di perariran
laut Andaman. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan pada
penelitian ini adalah:
1. Berapa besar luasan yang diperoleh Indonesia bila dalam penyelesaiannya,
peran pulau-pulau terluar yang dimiliki kedua negara diikutsertakan?
2. Bagaimana bentuk garis batas hasil delimitasi ZEE yang terbentuk dari metode
Pendekatan Tiga Tahap dengan bentuk garis batas yang diklaim secara sepihak
oleh Indonesia dan Thailand?
3. Bagaimana kemungkinan hasil penerapan metode Pendekatan Tiga Tahap
dalam penyelesaian delimitasi batas maritim Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia dan Thailand?
I.3. BATASAN MASALAH
Penelitian ini dibatasi dengan cakupan sebagai berikut:
1. Wilayah perairan di perairan Utara Selat Malaka dan Laut Andaman pada Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dengan Thailand yang berjarak 218 mil
laut, diukur dari titik pangkal terluar sehingga terdapat area yang saling
overlapping (tumpang tindih).
4
2. Daftar koordinat klaim ZEE Thailand yang digunakan dalam penelitian
sebagaimana dipublikasikan dalam United Nation sedangkan daftar koordinat
klaim wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagaimana yang
dipublikasikan dalam bentuk peta Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang digunakan sebagai titik pangkal.
3. Daftar Koordinat Three Junction Point di Laut Andaman antara IndonesiaIndia-Thailand yang diguanakan dalam penelitian.
4. Peta dasar yang digunakan adalah peta BAC (British Admiralty Chart) daerah
perbatasan Indonesia dan Thailand
5. Studi literatur mengenai penyelesaian delimitasi batas maritim dengan
penerapan Pendekatan Tiga Tahap (Three Stage Approach) dilakukan dengan
mengkaji keputusan Mahkamah Internasional dan ITLOS.
6. Kajian delimitasi batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan Thailand
ini akan dilakukan secara teknis dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS
dan CARIS LOTS.
I.4. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh besar luasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Thailand
yang relevan dengan mempertimbangkan peran pulau-pulau kecil terluar yang
dimiliki kedua negara sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Internasional.
2. Membandingkan batas Zona Ekonomi Eksklusif yang dibuat dengan
menggunakan Pendekatan Tiga Tahap dengan garis batas yang dibuat secara
sepihak atau unilateral oleh kedua negara.
3. Memperoleh opsi penyelesaian delimitasi batas Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia dan Thailand dengan penerapan metode Pendekatan Tiga Tahap.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tercapainya pemahaman yang jelas bagi akademisi maupun pihak yang
berwenang tentang penerapan Pendekatan Tiga Tahap dalam penyelesaian
5
delimitasi batas maritim internasional, dalam studi kasus antara Indonesia dan
Thailand
2. Diperoleh besar nilai perbedaan luasan yang di buat menggunakan metode
Pendekatan Tiga Tahap pada Zona Ekonomi Eksklusif dengan garis batas yang
dibuat kedua negara secara unilateral.
3. Dapat dijadikan rekomendasi terkait penerapan metode Pendekatan Tiga
Tahap dalam penyelesaian batas maritim anatara Indonesia dan Thailand
I.6. TINJAUAN PUSTAKA
Arsana (2013) melakukan penelitian yang berjudul “Challenges and
opportunities in the Delimination of Indonesia’s Maritime Boundaries: A Legal and
Technical Approach”. Penelitian ini ditujukan sebagai pilihan dalam penyelesaian
batas maritim antara Indonesia dan negara-negara tetangganya. Dalam penelitian
tersebut terdapat tiga studi kasus yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu persoalan
maritim yang terkait dengan laut Sulawesi, Selat Singapura dan Selat Malaka. Metode
penyelesaian yang dipergunakan dalam penelitian batas maritim tersebut adalah
dengan menggunakan penerapan metode Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage
Approach). Hasilnya berupa opsi delimitasi batas maritim Indonesia dengan negara
tetangganya dengan menggunakan Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach).
Yuniar (2014) Melakukan penelitian yang berjudul “Kajian Delimitasi Batas
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka”.
Penelitian ini ditujukan sebagai masukan dalam menentukan cara penarikan garis batas
ZEE bagi Indonesia dan Malaysia yang akan digunakan dalam perundingan perbatasan
kedua negara. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
Pendekatan tiga tahap (Three-Stage Approach) dengan mengacu pada UNCLOS 1982.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dua opsi penyeliesaian garis batas ZEE
antara Indonesia dan Malaysia. Opsi pertama diperoleh dengan memasukkan faktor
garis pangkal normal Malaysia dan opsi kedua memasukkan garis pangkal lurus
Malaysia. Uji disproposionalitas juga dilakukan dengan membandingkan hasil luas
ZEE yang diperoleh. Hasil dari kajian tersebut yaitu dapat dijadikan masukan bagi
penarikan garis batas maritim bagi Indonesia dan Malaysia dalam menentukan prinsip
6
penarikan Batas ZEE yang didasarkan pada ketentuan hukum Internasional UNCLOS
1982.
Sabila (2015) Melakukan penelitian yang berjudul ”Evaluasi Pendekatan Tiga
Tahap dalam Kasus Delimitasi Batas Maritim Antarnegara, Studi Kasus: Indonesia
dan Filipina”. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perbedaan antara
penyelesaian delimitasi batas maritim dengan dua metode yang berbeda yaitu
Pendekatan Tiga Tahap dan metode negosiasi atau perundingan. Hasil dari penelitian
ini adalah garis batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan Filipina dengan
menggunakan metode Pendekatan Tiga Tahap. Perbedaan yang ada antara garis batas
ZEE dengan kedua metode tidak terlalu signifikan berdasarkan hasil luas ZEE yang di
dapat, hanya seluas 293,03 km². Sehingga dengan ini, metode Pendekatan Tiga Tahap
dapat diterapkan dan menjadi opsi dalam penyelesaian batas maritim dengan
perundingan.
Berdasarkan tinjauan penelitian terdahulu, metode Pendekatan Tiga Tahap
merupakan suatu metode baru dalam penentuan garis batas maritim yang dapat
menghasilkan opsi dalam penyelesaian batas maritim antarnegara. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan studi kasus batas ZEE antara Indonesia dan Thailand yang
belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya.
I.7. LANDASAN TEORI
I.7.1. Klaim Zona Kawasan Maritim
Klaim atas zona kawasan maritim merupakan salah satu dampak hak yang
dapat diperoleh oleh negara pantai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
konvensi internasional yang bernama United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS) pada tahun 1982, konvensi tersebut telah membawa dampak yang
banyak bagi maritim dunia. Klaim atas kawasan maritim yang diatur dalam UNCLOS
terkait erat dengan kewenangan yang menyertai wilayah maritim tersebut.
Kewenangan yang melekat pada klaim wilayah maritim dibedakan menjadi:
a. Kedaulatan (Sovereignty)
Kedaulatan adalah kewenangan penuh yang diberikan kepada sebuah
negara untuk menjalankan kekuasaan terhadap suatu wilayah atau
7
masyarakatnya. Sebuah negara tidak perlu meminta persetujuan dari negara
lain untuk melaksanakan atau menjalankan kehendaknya di wilayah ini.
Wilayah maritim yang termasuk dalam kedaulatan adalah Perairan Pedalaman
(Internal Waters), Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters), dan Laut
Teritorial (Territorial Sea).
b. Hak Berdaulat (Sovereign Right)
Hak berdaulat adalah kewenangan yang dapat dimiliki suatu negara
terhadap wilayah tertentu yang dalam pelaksanaannya harus tunduk pada
aturan hukum yang dianut oleh masyarakat internasional. Hak berdaulat
umumnya adalah hak untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada pada
kawasan tertentu. Wilayah maritim yang termasuk dalam hak berdaulat adalah
Zona Tambahan (Continuous Zone), Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive
Economic Zone), dan Landas Kontinen (Continental Shelf).
UNCLOS merupakan konstitusi laut yang megatur dan memberi kerangka
yang lengkap dalam menjelaskan penguasaan atas laut yang meliputi: hak navigasi,
pelestarian lingkungan laut, eksploitasi sumberdaya, yurisdiksi ekonomi, dan isu
maritim. Terdapat banyak aspek yang dijelaskan dan diatur dalam UNCLOS, salah
satunya iyalah batas maritim. Menurut UNCLOS wilayah maritim yang dapat diklaim
oleh suatu negara pantai meliputi Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan Laut
Teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen.
Selain itu, wilayah maritim internasional terdiri dari Laut Bebas dan Dasar Laut Dalam
(Arsana 2013). Berikut ilustrasi klaim kawasan maritim suatu negara dapat dilihat pada
Gambar I.1.
8
Gambar I. 1. Wilayah maritim dalam UNCLOS
I.7.1.1. Perairan Pedalaman (Internal Waters). Perairan pedalaman (Internal water)
yang dikenal juga dengan istilah perairan nasional atau perairan interior, merupakan
perairan yang berada di sisi dalam garis pangkal, yang diukur ke arah daratan
(Churchill dan Lowe, 1999: 60). Dalam penentuannya, suatu negara pantai dapat
menentukan perairan pedalaman apabila sudah menentukan garis pangkal dan Laut
Teritorialnya, laut pedalaman biasanya terdapat di teluk yang mulut teluknya dapat
ditutup dengan garis pangkal. Pengaturan tentang perairan pedalaman ini juga termuat
di dalam pasal 8 dan 10 UNCLOS dan pasal 5 (1) Konvensi Laut Teritorial (Territorial
Sea Convention – TSC). Dalam pasal 10 UNCLOS juga dinyatakan perairan
pedalaman dapat berupa, garis penutup perairan yang ditarik antara ke dua garis air
rendah yang merupakan pintu masuk alamiah suatu teluk tidak melebihi 24 mil.
Pada penentuan perairan pedalaman untuk negara kepulauan mempunyai status
yang istimewa, karena perairan didalam dan di sekelilingnya yang dikelilingi garis
pangkal kepulauan akan beralih status menjadi perairan kepulauan.
Dalam penentuan garis maritim, perairan pedalaman ini penting adanya karena
menurut pasal 8 (2) UNCLOS “sebuah negara memiliki kedaulatan penuh terhadap
perairan pedalaman dengan pengecualian bahwa hak lintas damai tetap berlaku bagi
kapal asing di kawasan yang tidak dikategorikan sebagai perairan pedalaman, sebelum
ditentukannya sistem garis pangkal lurus”. Dapat dikatakan juga bahwasannya,
9
walaupun perairan pedalaman ini merupakan suatu kedaulatan, sebelum adanya
perubahan garis pangkal lurus yang menyelimiti perairan tersebut, kapal asing tetap
dapat melintas di perairan pedalaman yang tadinya tidak termasuk dalam perairan
pedalaman.
I.7.1.1. Perairan Kepulauan. Berbeda dengan perairan pedalaman, perairan kepulauan
adalah zona maritim istimewa yang tidak dapat di miliki oleh semua negara pantai
melainkan hanya dapat di klaim oleh negara kepulauan. Sebuan negara kepulauan
berhak atau memiliki kedaulatan penuh di dalam wilayah perairan kepulauannya baik
di udara maupun dalam dasar laut dibawahnya. Hal tersebut didasarkan pada Pasal 49
UNCLOS yang mendefinisikan perairan kepulauan sebagai perairan yang dilingkupi
oleh garis pangkal kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya dari garis
pantai. Meski demikian, pada pasal 52(2) UNCLOS menyatakan bahwa hak lintas
damai juga berlaku pada perairan kepulauan ini sehingga kapal asing tetap dapat
melintas dengan aman.
I.7.1.3. Laut Teritorial. Laut Teritorial adalah wilayah laut yang dapat diklaim oleh
suatu negara sejauh 12 mil yang diukur dari garis pangkal suatu negara, Hal tersebut
dijelaskan dalam pasal 3 UNCLOS 1982 Laut Teritorial menyatakan bahwa setiap
Negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar Laut Teritorialnya sampai suatu batas
yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang dimiliki negara pantai.
Laut Teritorial merupakan bentuk suatu kedaulatan yang dimiliki suatu negara pantai,
sehingga Laut Teritorial ini meliputi ruang udara di atas laut serta dasar laut dan
lapisan tanah dibawahnya (Pasal 2(2) UNCLOS 1982). Walaupun dalam Laut
Teritorial sebuah negara memiliki kedaulatan penuh, tetapi padanya berlaku hak lintas
damai bagi kapal-kapal asing (Arsana 2007). Sehingga kapal asing tetap dapat
melintasi suatu Laut Teritorial, namun kapal asing yang melintas wajib mematuhi
semua peraturan perundang-undang dari negara terkait dan semua peraturan
internasional yang terkait dengan pencegahan tabrakan di laut (Pasal 21 UNCLOS
1982)
10
I.7.1.4. Zona Tambahan. Zona tambahan adalah wilayah laut yang jaraknya sejauh
tidak lebih dari 24 mil laut yang diukur dari garis pangkal suatu negara pantai. Zona
tambahan ini dijelaskan dalam pasal 33 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa zona
tambahan adalah zona maritim yang berdampingan dengan laut Teritorial dan
merupakan area tambahan. Dimana zona tambahan ini tidak boleh melebihi 24 mil laut
yang diukur dari garis pangkal. Garis pangkal yang dimaksud disini adalah garis
pangkal yang juga digunakan dalam penarikan garis lebar Laut Teritorial. Dalam Pasal
tersebut juga dijelaskan bahwa Zona tambahan ini dapat difungsikan suatu negara
pantai untuk melaksanakan pengawasan yang diperlukan berupa:
a. Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal,
imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau Laut Teritorialnya
b. Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas
yang dilakukan di dalam wilayah atau Laut Teritorialnya.
I.7.1.5. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Zona ekonomi eksklusif merupakan suatu
wilayah atau zona maritim sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal suatu
negara (pasal 57 UNCLOS) , garis pangkal yang dimaksudkan disini berupa garis
pangkala yang sama digunakan dalam pengukuran lebar Laut Teritorial suatu negara.
Dalam Zona Ekonomi Eksklusif merupakan bentuk hak berdaulat yang dapat dimiliki
suatu negara, artinya hak tersebut bisa saja tidak diberikan jikalau tidak diajukan oleh
negara yang bersangkutan.
Pada Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara pantai mempunyai hak eksklusif
untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pelestarian, dan pengelolaan sumber daya
alam (hayati dan non-hayati) di dasar, di bawah, dan di atas, serta kegiatan lain seperti
produksi energi dari air, arus, dan angin (Pasal 56 UNCLOS). Dalam pasal 58
UNCLOS 1982 juga menyatakan bahwa pada zona ini semua negara pantai maupun
tak berpantai juga diberi kebebasan pelayaran dan penerbangan, kebebasan
meletakkan kabel dan pipa bawah laut dan penggunaan lain yang sah menurut Hukum
Internasional yang berkaitan dan mengikuti peraturan hak negara pantai yang
bersangkutan, dengan catatan peraturan yang berlaku pada daerah tersebut tidak
bertentangan dengan aturan yang tertera dalam UNCLOS. Pengaturan selanjutnya
terdapat dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 75 UNCLOS.
11
I.7.1.6 Landas Kontinen. Landas kontinen (Continental Self) adalah suatu kawasan
yang dapat dimiliki oleh negara pantai berupa kawasan dasar laut dan tanah
dibawahnya dari daerah permukaan bawah laut yang membenang diluar wilayah laut
Teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen
atau hiangga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal jika tepi luar batas kontinen
tidak melewati jarak tersebut (pasal 76 UNCLOS), ketika suatu negara pantai memiliki
batas kontinen yang melewati jarak 200 mil laut, maka geologi dan geomorfologi dari
batas tersebut akan berpengaruh (Prescott dan Schofield, 2005: 24). Jika jarak tepian
kontinen lebih dari 200 mil laut, maka penetapan pinggiran luar kontinen dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Titik-titik tetap terluar yang ketebalan sedimen dasar laut paling sedikit 1%
saling dihubungkan dari jarak terdekat antara titik-titik tersebut dan kaki lereng
kontinen (titik perubahan maksimum), atau
b. Ditarik suatu garis lurus dari titik-titik tetap yang terletak tidak lebih dari 60
mil laut dari kaki lereng (foot of slope) kontinen.
c. Garis batas terluar tidak boleh melebihi 350 mil laut atau 100 mil laut dari garis
kedalaman (isobath) 2500 m, kecuali untuk elevasi dasar laut yang merupakan
bagian alamiah tepian kontinen.
I.7.2. Prinsip Delimitasi Batas Maritim
Penyelesaian tumpang tindih klaim antar negara pantai yang dikenal dengan
istilah delimitasi adalah proses penentuan hasil kesepakatan alokasi wilayah antar dua
atau lebih negara yang bersangkutan diatas peta dan kemudian dicantumkan dalam
dokumen penting lainnya. Dalam delimitasi, semua negara pantai memliki hak klaim
kawasan maritim yang sama, namun sengketa maritim seringkali terjadi di suatu
kawasan yang sama, hal ini disebabkan karena adanya suatu kawasan yang dimiliki
atau diklaim oleh dua negara atau lebih yang disebut dengan tumpang tindih klaim
(overlapping claim) sehingga dibutuhkan adanya proses delimitasi untuk
menyelesaikan overlapping claim tersebut. Arsana (2007) mengatakan bahwa,
“Tumpang tindih klaim bisa terjadi untuk Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif,
dan Landas Kontinen. Masing-masing diselesaikan dengan cara berbeda sesuai
12
ketentuan hukum yang berlaku”. Berikut pada Gambar I.2 diilustrasikan salah satu
bentuk wilayah yang tumpang tindih overlapping claim pada Zona Ekonomi Eksklusif.
Gambar I. 2. Area overlapping
I.7.2.1 Delimitasi Laut Teritorial
Pengaturan terkait delimitasi Laut Teritorial telah dijelaskan dalam pasal 15
UNCLOS 1982, dimana dalam pasal ini dijelaskan bahwa dua negara yang saling
berhadapan atau berdampingan tidak diperkenankan mengklaim Laut Teritorial yang
melebihi garis tengah (median line), dengan kata lain penentuan garis delimitasi
maritimnya diselesaikan dengan menggunakan prinsip sama jarak (equidistance line).
Prinsip sama jarak (equidistance line) merupakan suatu perpanjangan garis dari garis
pangkal yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan, kecuali negara yang
bersangkutan tesebut melakukan kesepakatan lain ataupun karena adanya kondisi
13
khusus yang harus mempertimbangkan sejarah ataupun kondisi khusus lainnya yang
memungkinkan tidak diterapkannya prinsip penentuan garis tengah. Kondisi khusus
yang dimaksud dapat berupa adanya pulau-pulau lepas pantai, bentuk garis pantai atau
klaim khusus atas wilayah perairan berdasarkan pertimbangan sejarah.
Selain memperhatikan faktor kondisi khusus, penyelesaian garis batas maritim
juga mempertimbangkan peran pulau-pulau kecil yang ada, karena pulau kecil juga
berhak atas wilayah maritim yang dapat dimilikinya. Dalam hal ini pemberian atas
bobot tertentu (half effect, full effect and nil effect) dapat diberikan terhadap pulaupulau kecil yang bersangkutan dalam mempertimbangkan wilayah maritim yang dapat
dimiliki. Garis yang terbentuk nantinya bukan merupakan garis tengah murni,
melainkan garis yang telah termodifikasi (Arsana, 2007), Salah satu contoh kasus
delimitasi yang mempertimbangkan keberadaan pulau-pulau kecil yang ada yaitu
perjanjian antara Australia dan Selandia Baru. Perjanjian ini memberikan bobot half
effect terhadap Three Kings Island milik Selandia Baru dan berlaku sejak 25 januari
2006 (Scoop, 2006 dalam Arsana 2007).
I.7.2.2 Delimitasi Zona Tambahan
Berdasaran pemaparan terkait Zona tambahan yang telah dijelaskan
sebelumnya, delimitasi terkait Zona tambahan ini juga diatur dalam UNCLOS 1982.
Dijelaskan dalam pasal 33 bahwasannya zona tambahan dapat mencapai jarak
maksimal sejauh 24 mil laut dari garis pangkal, dimana garis pangkal tersebut
merupakan garis yang sama digunakan untuk menarik lebar Laut Teritorial, namun
dalam UNCLOS tidak dijelaskan bagaimana metode penyelesaian yang digunakan
dalam delimitasi zona tambahan. Zona tambahan bukan merupakan yurisdiksi
eksklusif layaknya yang dimiliki Laut Teritorial. Terdapat dua alasan yang dijelaskan
Churchill dan Lowe (1999: 136-137) pertama, Zona Tambahan sebenarnya berada di
dalam Zona Ekonomi Eksklusif dan kedua karena Zona Tambahan bukanlah
merupakan wilayah kedaulatan atau yuridiksi eksklusif, sehingga tidak ada alasan
adanya delimitasi khusus untuk Zona Tambahan.
14
I.7.2.3 Delimitasi Landas Kontinen
UNCLOS 1982 telah mejelaskan delimitasi terkait Landas Kontinen diatur
dalam pasal 83. Sama halnya dengan Zona Tambahan tidak ada Statuta mahkamah
Internasional pada UNCLOS yang mejelaskan petunjuk terkait pengaturan delimitasi
landas kontinen. Dalam pasal 83 ayat 1 menyatakan bahwasannya delimitasi terkait
Landas Kontinen antara negara-negara dengan pantai yang berseberangan atau
berdampingan dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk
mencapai suatu penyelesaian yang adil (equitable solution). Berdasarkan kesimpulan
tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum laut internasional secara tegas tidak
mengatur mengenai metode tertentu dalam penyelesaian landas kontinen, melainkan
lebih mengemukakan tercapainya solusi yang adil. Artinya, sepanjang yang dimiliki
oleh negara lain tidak terganggu, negara yang bersengketa dibebaskan untuk
menentukan metode dan tata cara delimitasi batas maritim serta membuat perjanjian
yang mereka inginkan demi tercapainya solusi yang adil (Carleton dan Scholfield
2002: 26 dalam Arsana 2007).
I.7.2.4. Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif
Pengaturan terkait Zona Ekonomi Eksklusif telah diatur dalam pasal 74
UNCLOS 1982. Perlu diketahui bahwasannya, pengaturan terkait ZEE ini baru secara
legal diadakan pada konvensi hukum laut UNCLOS tahun 1982 yang belum
dicantumkan dalam UNCLOS 1958. Layaknya pasal 83, Arsana (2007) mengatakan
bahwasannya pasal 74 ini hampir idientik dengan pasal 83 UNCLOS dimana tidak
satupun dari kedua pasal tersebut yang mejelaskan secara rinci tentang proses
delimitasi tetapi hanya menyebutkan pelunya mencapai suatu solusi yang adil
(equitable solution).
I.7.3. Aspek Teknis dalam Delimitasi Batas Maritim
Selain aspek yuridis, dalam penentuan delimitasi batas maritim tentunya tidak
terlepas dari aspek teknis yang sangat erat kaitannya dengan keilmuan bidang Geodesi.
Adapun beberapa aspek teknis yang diperlukan dalam penentuannya meliputi
penentuan kriterian pulau, penentuan elevasi pasang terendah, penentuan titik dasar,
15
penentuan garis pangkal serta penentuan sistem koordinat yang dipergunakan dalam
delimitasi batas maritim.
I.7.3.1. Pulau. Pengertian atas suatu daratan yang dapat dikatakan sebagai pulau adalah
penting adanya. Pulau merupakan salah satu aspek yang berperan penting dalam
penentuan klaim zona maritim suatu negara. Berdasarkan UNCLOS pasal 121 telah
dijelaskan kriteria atau penjelasan terhadap daratan yang dapat didefinisikan sebagai
pulau. Sekiranya, terdapat empat kriteria yang harus dipenuhi suatu daratan agar dapat
disebut sebagai pulau, keempat kriteria tersebut yaitu berupa daratan atau wilayah
tanah (area of land), terbentuk secara alami (naturally formed), dikelilingi oleh air
(surrounded by water), dan berada di atas permukaan air laut saat pasut tertinggi
(above water at high tide).
Pulau juga dapat didefinisikan sebagai batu yang dapat mendukung kehidupan
manusia, jika tidak maka tidak bisa digunakan untuk mengklaim wilayah maritim
untuk Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen. Jika empat
syarat pulau telah terpenuhi tetapi fitur maritim tersebut tidak dapat mendukung
kehidupan manusia, maka dinamakan karang (rocks). Peruntukan antara pulau dan
karang juga berbeda, karang hanya dapat digunakan untuk mengklaim wilayah
maritim untuk Laut Teritorial dan Zona Tambahan.
I.7.3.2. Elevasi Pasang Terendah/Low Tide Elevation (LTE). Elevasi Pasang terendah
merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi bentuk klaim maritim dari
suatu negara. Low Tide Elevation didefinisikan sebagai daratan yang nampak pada saat
pasang terendah tetapi tenggelam pada saat pasang tertinggi. Pengaruh dari adanya
LTE dapat berperan dalam delimitasi batas maritim untuk sebuah negara pantai dalam
mengkalaim suatau Laut Teritorial. LTE dapat dijadikan sebagai titik pangkal jika
berada di dalam Laut Teritorial (kurang dari 12 mil laut dari garis pangkal) sebuah
negara dan digunakan untuk klaim Laut Teritorial suatu negara.
Namun perlu diketahui sesuai dengan Pasal 13 UNCLOS, jika Elevasi Pasang
Terendah tersebut terletak di luar dari wilayah Laut Teritorial (lebih dari 12 mil laut
dari garis pangkal), maka tidak dapat digunakan sebagai bagian dari garis pangkal,
kecuali negara tersebut telah membangun mercusuar atau instalasi lain di atas air yang
dibuat secara permanen di atasnya.
16
I.7.3.3. Garis Pangkal. Dalam delimitasi Batas maritim, suatu negara yang memiliki
tumpang tindih kawasan maritim, penting adanya untuk membuat suatu referensi yang
jelas sebagai acuan untuk melakukan klaim atas yudisdiksi maritim, inilah yang
disebut dengan garis pagkal (Arsana 2007). Berdasarkan TALOS 2006, Garis pangkal
adalah suatu garis yang merupakan referensi pengukuran batas terluar laut wilayah dan
zona yurisdiksi maritim sebuah negara pantai. Kemudian dalam IHO 2006 juga
dijelaskan bahwasannya Garis pangkal adalah garis yang disusun oleh titik-titik
pangkal sepanjang muka laut terendah, yang menjadi acuan dalam menentukan
wilayah maritim suatu negara.
Garis pangkal juga merepresentasikan batas perairan pedalaman yang berada
di sebelah dalam garis pangkal kearah daratan (landward) (Carleton dan Schofield,
2001: 17). Artinya garis pangkalan yang telah ditentukan suatu negara untuk menjadi
titik referansi penentuan klaim atas suatu maritim telah mencakup laut pedalaman yang
berada di dalam daerah garis pangkal yang dimiliki. UNCLOS tidak menentukan
bagaimana bentuk garis batas yang dapat dimiliki suatu negara dalam menentukan
garis pangkal yang akan digunakan untuk menetapkan batas wilayah perairan
negaranya. Hal yang perlu ditentukan sebelum menentukan garis pangkal suatu negara
adalah terlebih dahulu menentukan titik-titik dasar yang digunakan sebagai dasar
dalam menentukan garis pangkal yang akan digunakan. Nantinya, garis pangkal yang
telah ditentukan oleh suatu negara harus dicantumkan dalam peta skala besar resmi
suatu negara pantai atau diberikan dalam bentuk koordinat geografis yang selanjutnya
diumumkan secara resmi serta diserahkan salinannya kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Berikut ilustrasi jenis-jenis garis pangkal yang dapat digunakan suatu negara
17
Gambar I. 3. Macam-macam garis pangkal (Arsana 2007)
I.7.3.3. Garis pangkal kepulaun (Archipelagic Baseline). Garis pangkal kepulauan
merupakan garis yang hanya bisa dimilki oleh negara kepulaun, garis tersebut dibentuk
dengan menghubungkan titik-titik pulau terluar suatu negara dan karang kepulauan
dengan jarak maksimal tiap segmen garis 100 mil laut kecuali 3% dari total segmen
garis pangkal kepulauan yang panjangnya bisa mencapai 125 mil laut. Tidak ada
batasan jumlah segmen garis pangkal yang bisa digunakan. Jika panjang suatu segmen
garis pangkal lebih dari 100 mil laut maka harus diputuskan untuk mengurangi panjang
garis pangkal dengan menambah titik pangkal baru sehingga panjang segmen garis
pangkal kurang dari 100 mil laut (Pasal 47 UNCLOS
Berdasarkan Gambar I.3 menjelaskan adannya beberapa jenis garis batas yang
dapat digunakan suatu negara dalam menentukan garis pangkal yang dapat
digunkannya. Definisi macam-macam garis pangkal dijelaskan sebagai berikut
(UNCLOS):
a. Garis Pangkal Normal (Normal Baseline)
Garis pangkal normal didefinisikan sebagai garis air rendah (the low-water)
sepanjang muka laut yang mengikuti bentuk alami pantai di sekeliling benua, pulau,
batas terluar dari pelabuhan permanen, atau batu karang yang muncul, dan terumbu
18
karang sekitar pulau. Garis pangkal normal ini ditetapkan pada peta laut skala besar
yang ditetapkan pada negara pantai. Ketentuan tentang garis pangkal normal dapat
dilihat pada Pasal 5 UNCLOS. Ilustrasi Garis Pangkal Normal terlihat pada Gambar
I.3 dengan penunjuk normal. Garis pangkalnya mengikuti bentuk alami garis pantai.
b. Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline)
Garis pangkal lurus adalah garis yang terdiri atas segmen-segmen lurus
menghubungkan titik-titik tertentu yang memenuhi syarat (TALOS, 2006). Syaratnya
antara lain, jika garis pantai benar-benar menikung dan memotong ke dalam atau
bergerigi (deeply indented and cut into), atau jika terdapat pulau tepi (fringing island)
di sepanjang pantai yang tersebar tepat di sekitar (immediate vicinity) garis pantai, hal
ini sesuai dengan aturan Pasal 7 UNCLOS. Ilustrasi Garis Pangkal Lurus terlihat pada
Gambar I.3 dengan penunjuk straight. Garis pangkal ini adalah penyederhanaan dari
garis pantai yang tidak beraturan.
c. Garis Pangkal Penutup Sungai (Mouth of Rivers)
Garis pangkal yang menutup mulut sungai dapat dilakukan jika terdapat aliran
sungai langsung menuju laut. Ditutup dengan sebuah garis lurus yang merupakan satu
kesatuan sistem garis pangkal. Garis pangkal ini bisa memotong garis lurus muara
sungai antara titik pada garis air rendah (Pasal 9 UNCLOS). Ilustrasi garis pangkal
normal terlihat pada Gambar I.3 dengan penunjuk straight yang beratri Garis Pangkal
Lurus. Garis pangkal ini adalah penyederhanaan dari garis pantai yang tidak beraturan.
d. Garis Pangkal Penutup Teluk (Bay)
Teluk adalah bagian laut yang secara jelas teramati menjorok ke daratan yang
jarak masuknya dan lebar mulut teluknua memenuhi perbandingan tertentu, bukan
hanya lekukan pantai biasa. Suatu lekukan pantai dianggap sebagai teluk, jika luas
lekukan tersebut sama atau lebih luas dari setengah lingkaran yang diameternya
melintasi mulut lekukan tersebut. Garis pangkal dibuat dengan menarik garis lurus
antara titik-titik pada garis air rendah di pintu masuk alamiah (mulut) suatu teluk yang
panjangnya tidak lebih dari 24 mil laut. Apabila melebihi 24 mil laut, maka suatu garis
lurus yang panjangnya 24 mil laut ditarik sehingga menutup suatu daerah perairan
19
yang maksimal dicapai oleh garis tersebut (Pasal 10 UNCLOS). Namun, hal ini tidak
berlaku pada teluk yang disebut sebagai teluk bersejarah (historic bays).
I.7.3.4. Garis Pangkal Indonesia. Indonesia merupakan negara yang tersusun atas
ribuan pulau, baik pulau besar dan pulau-pulau kecil terluar yang dimilikinya,
sehingga Indonesia menggunakan garis pangkal kepulauan. Syarat suatu negara dapat
menggunakan garis pangkal kepulauan dapat dilihat pada Pasal 47 UNCLOS. Garis
Pangkal Kepulauan pada dasarnya disusun atas garis pangkal normal dan lurus.
Melalui PBB Indonesia telah mendepositkan titik-titik pangkalnya sebanyak 183 titik
pada tahun 2009 (The List of Geographical Coordinates of Points of The Indonesian
Archipelagic Baselines 2009). Persebaran titik pangkal yang dimiliki Indonesia dapat
dilihat pada gambar I.4.
Gambar I. 4. Gambar persebaran titik pangkal Indonesia yang dimodifikasi dari
ArcGIS (Sabila, 2015)
Titik pangkal kepulauan kedua negara terletak di wilayah negara terluarnya,
dapat terletak di pulau terluar ataupun karang. Garis yang menghubungkan titik-titik
pangkal kepulauan disebut Garis Pangkal Kepulauan.
20
I.7.3.5. Garis Pangkal Thailand. Thailand menggunakan garis pangkal yang berbeda
dengan garis pangkal yang digunakan Indonesia. Negara Thailand merupakan negara
yang sagian besar daratannya berada dari benua Asia, sehingga garis pangkal yang
digunakan merupakan garis pangkal lurus. Garis pangkal tersebut dideklarasikan
Thailand pada pada 11 Juni 1970 (Announcement of the Office of the Prime Minister
concerning the Straight Baselines and Internal Waters of Thailand 1970). Perlu
diketahui bahwasannya Thailand melakukan deklarasi tentang titik-titik pangkalnya
sebanyak tiga kali, yaitu pada 11 Juni 1970, 11 Agustus 1992, dan 17 Agustus 1992
(Thailand Submission at Law of The Sea Department 2010).
I.7.3.6. Peta Laut Peta laut merupakan bagian penting dalam delimitasi maritim. Peta
laut sendiri secara khusus dibuat untuk kegiatan navigasi atau tujuan khusus lainnya
yang berkaitan dengan peruntukan di wilayah perairan (TALOS, 1993: 22). Dalam
peta laut banyak terdapat istilah-istilah baru yang berbeda dengan yang dikenal dalam
peta pada umumnya, Nautical miles merupakan salah satu istilah baru yang
dipergunakan, dalam UNCLOS istilah Nauctical miles diperkenalkan dalam
menggambarkan satuan jarak yang dirancang untuk keperluan navigasi.
Dalam delimitasi maritim, peta laut yang digunakan pada umumnya
merupakan peta yang memiliki skala yang memadai anatara satu dengan lainnya.
Rentang skala yang digunakan biasanya berkisar antara 1:100.000 hingga 1:1.000.000
untuk delimitasi ZEE dan delimitasi landas konrtinen, sementara untuk delimitasi
batas Laut Teritorial yang digunakan sebaiknya berkisar antara 1:50.000 hingga
1:100.000 (TALOS, 1993: 22 dalam Arsana, 2007). Secara garis besar peta laut
berkaitan erat dengan elemen teknis penyusun utama yang dipertimbangkan sebagai
dasar pembuatan peta laut seperti proyeksi peta, sistem koordinat, skala, datum vertikal
dan datum horizontalnya.
21
I.7.3.6.A. Proyeksi peta. Proyeksi peta secara sederhana merupakan metode yang
digunakan untuk mereduksi bentuk kelengkungan bumi agar dapat tergambarkan di
atas bidang datar, dari benda yang berbentuk 3 dimensi yang digambarkan dalam
bentuk 2 dimensi maka objek tersebut harus digambarkan dalam bidang datar yang
membutuhkan satu sistem yang disebut dengan proyeksi peta. Karena karakteristik
bentuk permukaan bumi yang tidak datar atau bebentuk ellipsoid maka perlu diberikan
pendekatan matematis agar objeck yang ingin di proyeksikan dalam bidang datar
sesuai dengan posisi sebenarnya.
Proyeksi UTM merupakan salah satu sistem proyeksi peta yang cocok
digunakan untuk keperluan navigasi, karena karakteristik proyeksi peta ini bersifat
Konformal atau mempertahankan sudut (Azimuth) dan jarak asli dipermukaan bumi,
dengan kata lain jarak dan sudut pada sistem proyeksi ini benar-benar mewakili
gambaran asli sudut dan arah diatas permukaan bumi sehingga sangat cocok untuk
keperluan navigasi. Jarak dipermukaan bumi juga dapat langsung diukur diatas peta
dengan ketentuan rentang lintang yang dihitung cukup kecil atau untuk jarak yang
arahnya tidak terlau jauh menyimpang dari arah parallel.
I.7.3.6.B. Sistem Koordinat. Sistem koordinat merupakan salah satu unsur yang
penting dalam aspek penyusun peta laut. Posisi suatu titik diatas permukaan bumi
biasanya dinyatakan dengan koordinat 2D (dua dimensi) maupun 3D (tiga dimensi)
yang mengacu pada suatu sistem koordinat tertentu. Sistem koordinat itu sendiri
didefinisikan dengan parameter sebagai berikut:
a. Lokasi titik nol dari sistem koordinat
b. Orientasi dari sumbu-sumbu koordinat
c. Paramater-parameter
(kartesian,
kurvilinier)
yang
digunakan
untuk
mendefinisikan posisi sutu titik dalam sistem koordinat tersebut.
Posisi 2D dan 3D umumnya dinyatakan dalam (φ, λ) maupun dalam sistem
tertentu (X, Y) seperti sistem referensi koordinat polieder, transverse merkator,
maupun UTM (Universal Transverse Mercator). Sistem referensi koordinat atau sering
juga disebut sistem koordinat digunakan agar suatu koordinat konsisten dan standar.
22
Realisasi dari sistem referensi koordinat dinamakan kerangka referensi koordinat.
Sebelum menentukan sistem referensi koordinat, terlebih dahulu ditentukan bidang
datum yang digunakan. Bidang datum adalah bidang yang digunakan untuk
memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinat geografis atau koordinat
geodetiknya (φ, λ) (Prihandito 2010). Dalam hal ini φ = lintang (latitude) dan λ = bujur
(longitude) dalam Sabila 2015.
I.7.3.6.C. Datum Vertikal. Istilah Datum vertikal atau sistem tinggi ini merupakan
referensi yang digunakan sebagi dasar pengukuran ketinggian atau kedalaman. Untuk
delimitasi batas maritim datum vertikal yang relevan adalah ketinggian yang dijadikan
dasar/refernsi untuk menyatakan kedalaman air dibawahnya (Arsana, 2007).
Penentuan datum vertikal ini sangat berpengaruh dalam penentuan garis pangkal,
semakin rendah garis air rendah (Low Water Lines) yang dipakai/dipilih maka semakin
jauh garis pangkal normalnya dari daratan. Akibatnya, kawasan laut yang dapat
diklaim menggunakan garis pangkal tersebut semakin bertambah luas. Oleh karenanya
datum vertikal ini sangat penting sebagai aspek penyusun peta laut atau nautical chart.
I.7.3.6.D. Datum Horizontal. Berbeda dengan datum Vertikal, datum horizontal
digunakan sebagai referensi untuk posisi arah X dan Y yang didefinisikan dengan
menggunakan ellipsoid yang mendekati harga geoid dan titik asal.
I.7.3.6.E. Skala. Faktor penting lainnya yang penting dalam deliitasi batas maritim
ialah skala, Skala peta adalah perbandingan jarak antara dua titik di peta dengan jarak
sebenarnya dipermukaan bumi (lapangan).
I.7.4. Metode Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif
Dalam UNCLOS delimitasi batas ZEE diatur oleh Pasal 74, dan pasal 83.
Berdasarkan pasal yang dijelaskan dalam UNCLOS tidak satupun dari pasal 74
maupun 83 menyebutkan petunjuk rinci tentang proses delimitasi ZEE, melainkan
hanya menyebutkan perlunya mencapai solusi yang adil (equitable solution).
Walaupun dalam penyelesain delimitasi batas maritim khususnya untuk kawasan ZEE
tidak disebutkan secara rinci dalam UNCLOS metode penyelesaian delimitasi
23
maritimnya, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan ataupun diadopsi dalam
penyelesian delimitasi batas maritim diantaranya metode sama jarak dan metode
Enclaving.
I.7.4.1. Metode Sama Jarak
Prinsip sama jarak merupakan metode yang disebutkan dalam UNCLOS 1982
sebagai prinsip penyelesaian delimitasi maritim antara negara yang bersebrangan dan
berdampingan pada zona Laut Teritorial. Dijelaskan kembali pada TALOS (1993:
106). Istilah ‘median line’ biasanya digunakan untuk kasus negara yang
berseberangan, sedangkan istilah ‘equidistance line’ digunakan untuk kasus negara
yang berdampingan. Secara arti memiliki makna yang sama yaitu garis tengah yang
diperoleh dengan metode sama jarak
Melalui tulisannya (Legault dan Hankey 1993:207) menjelaskan geometrik
garis ekuidistan antara sembarang dua titik adalah garis bagi (bisector) tegak lurus
terhadap garis yang menghubungkan dua titik pangkal berdekatan. Hampir semua
garis pantai bersifat tidak teratur (irregular) maka sebuah garis lurus tidak akan
memenuhi syarat ekuidistan pada jarak yang sangat panjang. Untuk menjaga sifat
ekuidistan dan tegak lurusnya maka garis ekuidistan yang awalnya bisector tegak lurus
harus mengubah arahnya di titik tertentu (memiliki titik belok) untuk menyesuaikan
dengan kenyataan geografis garis pantai yang diwakili oleh titik pangkal terdekat di
garis pantai negara-negara terlibat.
Gambar I. 5. Gambar ilustrasi Konstruksi median line (TALOS 2012)
24
I.7.4.1. Metode Enclaving
Metode Enclaving merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam
penentuan garis batas maritim pada daerah yang berhadapan maupun tumpang tindih,
tak khayal apabila di daerah tumpang tindih sering kali ditemui kasus seperti pulaupulau kecil terluar yang jaraknya sangat jauh dari pusat pulau utama (contoh :
Christmas island milik Australia yang posisinya relatif lebih dekat ke daratan utama
Indonesia) atau dikatakan dalam Arsana 2007 terdapat pulau berlokasi pada posisi
yang “salah” ditinjau dari garis tengah antara garis pantai kawasan daratan utama.
Metode Enclaving ini merupakan cara untuk memberikan sabuk kawasan laut
(zona maritim) kepada pulau yang ter-enclave berwujud garis batas berupa busur
lingkaran yang diukur dari titik pangkal terluar (United Nations 2000). Terdapat dua
jenis metode enclave yaitu:
a. Full-enclave
Diterapkan ketika terdapat suatu pulau yang berada jauh diluar dari daratan
utama negara pantainya (lebih dari 12 mil laut) diberikan kawasan maritim
yang terpisah secara keseluruhan dari kawasan maritim daratan utama negara
pantainya, lihat Gambar I.6.
b. Semi-enclave
Diterapkan ketika terdapat suatu pulau yang berada diluar dari daratan utama
negara pantainya (kurang dari 12 mil laut), jika kawasan maritim yang
diberikan kepada pulau tersebut sebagian terhubung atau berada di kawasan
maritim yang masih merupakan kedaulatan negara pantainya. Metode semienclave sering digunakan ketika sebuah atau sekelompok pulau berlokasi dekat
atau tepat ditengah-tengah kawasan maritim yang memerlukan delimitasi
antara garis pantai dua negara, lihat gambar I.6.
25
Gambar I.6. Metode Enclave (TALOS 2012)
Metode ini merupakan metode yang memberikan efek atau bobot tidak penuh
kepada pulau ter-enclave yang merupakan bagian dari kedaulatan salah satu negara
yang bersengketa, maka metode enclaving dapat disebut sebagai salah satu bentuk
ekuidistan termodifikasi
I.7.5. Metode Pendekatan Tiga Tahap
Metode Pendekatan Tiga Tahap merupakan metode baru yang dilakukan dalam
penyelesaian batas maritim. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Mahkamah
Internasional (ICJ) dan International Tribunal Law of The Sea (ITLOS) dalam
menetapkan batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen untuk penyelesaian
sengketa-sengketa batas maritim. Secara umum, tiga tahapan yang dilakukan yaitu:
a. Membuat garis ekuidistan sementara
b. Memodifikasi garis ekuidistan sementara dengan sebelumnya menentukan
faktor-faktor yang berpengaruh
c. Uji disproporsionalitas pada hasil yang diperoleh dengan membandingkan
panjang pantai relevan dan luas Zona Ekonomi Eksklusif yang diperoleh
masing-masing negara dari delimitasi.
26
Metode Three-Stage Approach digunakan pertama kali pada penyelesaian
sengketa antara Rumania dan Ukraina. Secara umum proses delimitasi batas
maritim diawali dengan penentuan pantai relevan dan area relevan. Pantai relevan
digunakan untuk menentukan titik-titik pangkal yang tepat untuk kemudian
digunakan dalam garis pangkal yang akan digunakan dalam pembentukan garis
ekuidistan. Area relevan dapat ditentukan setelah diketahui pantai relevan, untuk
mengetahui wilayah yang menjadi area delimitasi batas maritim. Penentuan pantai
relevan dan area relevan yang akan digunakan dalam uji disproporsional pada
tahap akhir delimitasi batas maritim.
I.7.6. Dasar Hukum Penentuan Delimitasi Batas Zona Ekonomi Eksklusif
Adapun dasar hukum dalam menyelesaikan delimitasi batas ZEE antara
Negara Indonesia-Thailand sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.
2. Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS
(Konvensi PBB tentang Hukum Laut).
3. Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Batas Wilayah Negara
Indonesia.
4. Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
I.7.7. Caris LOTS
Dalam delimitasi batas maritim, penggunaan sistem informasi SIG menjadi
salah satu aspek penting dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan
aspek teknis. Caris Law of The Sea (Caris LOTS) adalah salah satu perangkat lunak
yang didesain untuk dapat membuat konstruksi aspek teknis garis batas maritim yang
telah disesuaikan dengan aturan yang ada pada Konvensi Hukum Laut Internasional
(UNCLOS). Caris LOTS secara umum memfasilitasi perhitungan-perhitungan teknis
dan tools analisis untuk data batimetri. (Levesque & Cardenas, 2011). Caris LOTS
dapat digunakan untuk melakukan beberapa fungsi yaitu (Caris, 2015):
27
1. Aplikasi landas Kontinen UNCLOS 1982
Salah satu tools pada Caris LOTS dapat digunakan desktop study klaim Landas
Kontinen Ekstensi yang dilakukan oleh sebuah negara. Perhitungan foot of
continental slope dan perhitungan teknis pasal 76 UNCLOS juga dapat
dilakukan dengan menggunakan Caris LOTS.
2. Aplikasi batas maritim negara pantai
Beberapa aplikasi terkait dengan batas maritim negara adalah aplikasi
negosiasi batas maritim yang lengkap, meliputi pembuatan, analisis, dan
menghasilkan solusi untuk permasalahan batas.
3. Global digital data
Caris LOTS dilengkapi dengan data global berformat digital yang dapat
digunakan pada aplikasi hukum laut yang berguna untuk menjadi referensi
visual dalam pembuatan batas maritim antarnegara.
4. Aplikasi hukum laut
Untuk pekerjaan terkait aplikasi hukum laut, Caris LOTS dapat melakukan
pekerjaan-pekerjaan pemetaan dari proses editing sampai dengan pencetakan,
juga transformasi geometrik ekpor data.
5. Aplikasi khusus lainnya
Beberapa aplikasi khusus yang didukung oleh Caris LOTS adalah analisis data
seismik, tools perencanaan survei, dan managemen garis pangkal Laut
Teritorial.
I.7.8. Signifikan
Pada penelitian ini istilah signifikan yang digunakan tidak mengacu kepada
parameter atau hasil proses hitungan statistik. Signifikan atau tidak signifikan, dalam
penentuan batas wilayah, mengacu kepada keputusan-keputusan hakim terdahulu atau
yurisprudensi dari International Court of Justice (ICJ) dan International Tribunal Law
of The Sea (ITLOS). Hasil keputusan dari ICJ dan ITLOS dijadikan acuan karena
keduanya menggunakan metode Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach)
dalam penyelesaian sengketa batas maritim antarnegara. Terdapat beberapa contoh
kasus putusan mahkamah internasional yang dapat dijadikan acuan dalam penentuan
signifikan atau tidak dalam penelitian ini, diantaranya sebagai berikut :
28
1. Sengketa batas maritim di Teluk Benggala antara Bangladesh dan Myanmar
diselesaikan oleh ITLOS pada tahun 2012 (ITLOS 2012). Berdasarkan
yurisprudensi pada kasus tersebut, diketahui bahwa area relevan dalam
delimitasi tersebut seluas 283.471 km². Setelah mengetahui area relevan dari
delimitasi, ITLOS mengecek signifikan atau tidak signifikan perbandingan dari
garis pangkal dan luas area relevan masing-masing negara dari garis batas
sementara yang telah dibuat. Garis pangkal relevan Bangladesh yaitu
sepanjang 423 km, sedangkan Myanmar yaitu sepanjag 587 km. Perbandingan
dari garis pangkal relevan kedua nagera adalah 1:1,42 untuk Myanmar. Area
relevan yang didapat Bangladesh seluas 111.631 km² dan Myanmar seluas
171.832 km². Perbandingan dari luas area relevan kedua negara adalah 1:1,54
untuk Myanmar. Dengan perbedaan dan perbandingan terhadap garis pangkal
relevan dan luas area relevan, ITLOS tidak melakukan perubahan terhadap
garis batas sementara dikarenakan perbedaan yang ada tidak signifikan dan
tetap menganut prinsip solusi adil dalam delimitasi batas maritim sesuai
UNCLOS Pasal 83.
2. Sengketa batas maritim antara Ukraina dan Romania diselesaikan oleh ICJ
pada tahun 2009 (ICJ 2009). Berdasarkan yurisprudensi pada kasus tersebut,
diketahui perbandingan dari garis pangkal dan area relevan kedua negara tidak
mengubah garis batas sementara yang dibuat oleh ICJ karena dianggap tidak
ada perbedaan yang signifikan. Garis batas sementara dibuat dengan metode
garis ekuidistan atau prinsip sama jarak. Perbandingan dari garis pangkal
Romania dan Ukraina adalah 1:1,28 lebih panjang Ukraina yaitu 705 km.
Sedangkan, untuk perbandingan area relavan kedua negara adalah 1,2:1 lebih
luas Romania.
I.8. HIPOTESIS
Pada penelitian ini penulis memberikan hipotesis bahwa metode Pendekatan
Tiga Tahap (Three-Stage Approach) merupakan salah satu metode yang efektif dalam
menyelesaikan permasalahan delimitasi batas maritim. Penerapan metode ini juga
telah banyak dipergunakan dalam menyelesaikan delimitasi batas maritim, diantaranya
29
dalam sengketa batas maritim Rumania dan Ukraina pada tahun 2009, sengketa batas
maritim di Teluk Benggala pada tahun 2012, dan telah banyak dilakukan kajian terkait
oleh beberapa peneliti terdahulu. Penerapkan metode Pendekatan Tiga Tahap (ThreeStage Approach) diduga dalam penelitian dapat menghasilkan perbedaan bentuk garis
batas dan perbedaan luas ZEE dengan garis yang diklaim oleh kedua negara secara
sepihak (unilateral).
Download