3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Budidaya Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Tanaman kacang panjang dalam taksonomi tumbuhan termasuk kelas Dicotyledonae (berkeping dua), Ordo Rosales, Famili Leguminosae, Genus Vigna, Spesies Vigna sinensis L. (Hutapea 1994). Tanaman kacang panjang merupakan tanaman semak, menjalar, semusim dengan tinggi kurang lebih 2,5 m. Batang tanaman ini tegak, silindris, lunak, berwarna hijau dengan permukaan licin. Daunnya majemuk, lonjong, berseling, panjang 6-8 cm, lebar 3-4,5 cm, tepi rata, pangkal membulat, ujung lancip, pertulangan menyirip, tangkai silindris, panjang kurang lebih 4 cm, dan berwarna hijau. Bunga tanaman ini terdapat pada ketiak daun, majemuk, tangkai silindris, panjang kurang lebih 12 cm, berwarna hijau keputih-putihan, mahkota berbentuk kupu-kupu, berwarna putih keunguan, benang sari bertangkai, panjang kurang lebih 2 cm, berwarna putih, kepala sari kuning, putik bertangkai, berwarna kuning, panjang kurang lebih 1 cm, dan berwarna ungu. Buah tanaman ini berbentuk polong, berwarna hijau, dan panjang 15-25 cm. Bijinya lonjong, pipih, berwarna coklat muda. Akarnya tunggang berwarna coklat muda (Hutapea 1994). Komposisi gizi pada setiap 100 g bagian kacang panjang yang dapat dimakan adalah 89 g air, 3 g protein, 0.5 g lemak, 5.2 g kabohidrat, 1.3 g serat, 0.6 g hidrat arang, 64 mg kalsium, 54 mg fosfor, 1.3 mg zat besi, 167 mg vitamin A, 0,07 mg Vitamin B1, 28 mg vitamin C dan mengahasilkan 125 kalori (Prosea 1996). Tanaman kacang panjang tumbuh baik di dataran rendah sampai menengah hingga ketinggian 700 mdpl. Pada ketinggian di atas 700 mdpl tanaman kacang panjang pertumbuhannya akan terhambat. Tanaman tumbuh baik pada tanah Latosol, subur, gembur, banyak mengandung bahan organik dan drainasenya baik, pH sekitar 5,5-6,5. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan kacang panjang adalah 25-35 0C pada siang hari dan pada malam hari sekitar 15 0C (Prosea 1996). 4 Sifat Penting BCMV (Bean common mosaic virus) BCMV termasuk ke dalam famili Potyviridae, genus Potyvirus. Potyvirus merupakan kelompok virus tumbuhan terbesar yang diketahui saat ini (Agrios 1997). Partikel BCMV memiliki panjang 750 nm dan lebar 12-15 nm. Tipe asam nukleatnya single stranded RNA (ssRNA/RNA utas tunggal). Kandungan asam nukleat dalam partikel virus sebesar 5%. Kandungan protein dalam mantelnya sebesar 95% (Morales dan Bos 1988). BCMV dapat ditularkan melalui inokulasi mekanis, beberapa spesies kutudaun secara nonparsisten, melalui benih dan bunga. Virus ini dapat ditularkan oleh beberapa spesies kutudaun, khususnya Acyrthosiphom pisum, A.fabae dan M. persicae. Spesies lain yang dilaporkan termasuk A. gossypii, A. medicanigis, A. rumicis, Hyalopterus atriplicis, Macrosiphum ambrosiae, M. pisi dan M. solanifolii (Morales dan Bos 1988). BCMV merupakan virus yang terbawa benih, infeksi BCMV pada benih terjadi sebelum tanaman mengalami inisiasi bunga. Fenomena ini tampaknya terkait dengan transmisi serbuk sari BCMV, yaitu ketika virus masuk ke dalam sel telur pada saat pembuahan. BCMV mengalami perkembangan di dalam ovul dan kotiledon, tetapi tidak pada kulit benih. BCMV mampu mempertahankan infektivitas dalam biji selama 30 tahun (Morales dan Bos 1988). Tanaman yang terinfeksi secara sistemik, khususnya dari infeksi benih menunjukan gejala daun dengan pola mosaik dan penyimpangan jaringan daun menggulung dan mengerut sepanjang tulang daun. Gejala pada tanaman terinfeksi menunjukan daun belang, mosaik, jaringan tulang daun klorosis dan malformasi daun pada daun-daun muda, biasanya gejala muncul setelah 7-10 hari setelah inokulasi (Djikstra dan De jeger 1998). Biologi dan Morfologi Kutudaun Aphis craccivora Koch. Tipe reproduksi kutudaun ditentukan oleh keadaan lingkungan tempat hidupnya. Di daerah dengan keadaan iklim yang hangat sepanjang tahun, seperti di daerah tropis dan rumah kaca, reproduksi berlangsung secara partenogenetik Embrio telah berkembang dalam tubuh induknya dan larva dilahirkan oleh induknya (Wigglesworth 1950). 5 Siklus hidup A. craccivora pada kondisi lingkungan yang sesuai berkisar antara 5-6 hari, dengan rata-rata 5.5 hari. Di daerah yang beriklim sedang keperidian dapat mencapai 60 ekor. Walaupun demikian mortalitas pada tingkat nimfa cukup besar. Serangga bersayap hanya menghasilkan kira-kira separuh dari jumlah keturunan yang dapat dihasilkan serangga tidak bersayap (Jurgen et al. 1977). Di Indonesia A. craccivora yang dibiakan pada kacang tanah mempunyai siklus hidup rata-rata 4 hari. Stadium tiap instar 1 hari. Jumlah nimfa yang dihasilkan oleh seekor betina rata-rata mencapai 115 serangga (Darsono 1991). A. craccivora biasanya menyerang tanaman Leguminoceae dengan kepadatan populasi yang berbeda-beda, tetapi pada musim kemarau ia dapat bertahan pada gulma. Serangga-serangga ini menghuni permukaan bawah daun pada bagian atas tanaman. Pada saat pembentukan bunga, populasi akan berkurang (Jurgen et al. 1977). Nimfa A. craccivora yang baru lahir hialin, kemudian secara berangsurangsur berubah menjadi coklat dan akhirnya menjadi abu-abu hitam. Nimfa yang baru lahir panjangnya 0.35 mm dan lebarnya 0.18 mm (Sutardjo 1978). Serangga dewasa A. craccivora yang partonegenensis terdiri dari dua bentuk, yakni bentuk tidak bersayap (apterae) dan bentuk bersayap (alatae) (Cottier 1953; Eastop 1961; Martin 1983). Imago Bentuk Tidak Bersayap Imago yang tidak bersayap kepalanya berwarna hitam dengan dengan mata berwarna merah gelap hampir hitam, dan sepasang antena yang panjangnya dua pertiga panjang tubuh dan terdiri dari enam ruas. Antena tidak mempunyai sensorial sekunder (Cottier 1953; Eastop 1961). Tubuhnya berukuran ± 1.5-2 mm, berwarna hitam (biasanya mengkilat) dan kadang-kadang sedikit bertepung putih. Pada bagian dorsal yang berwarna hitam mengkilat, terdapat retikulasi, kecuali pada bagian ujung-ujung ruas abdomen yang memperlihatkan imbrikasi. Pada bagian dorsal (terutama abdomen) terdapat bercak gelap. Panjang kornikel k.1. 0.38 mm. kauda berwarna hitam dan mengecil di bagian ujung. Pada kauda terdapat 5-6 rambut yang tersusun 2-5 rambut pada satu sisi dan 3 rambut pada sisi yang lainnya. Pada 6 ujung kauda kadang-kadang terdapat beberapa rambut kecil. Panjang kauda k.1 0.21 mm. lempeng genital (genital plate) berwarna hitam dan mempunyai 12-16 helai rambut (Cottier 1953; Eastop 1961). Femur berwarna hialin sampai agak kuning atau coklat muda. Sepertiga sampai setengah bagian ujungnya agak hitam sampai hitam. Biasanya femur tungkai belakang lebih gelap daripada femur tungkai muka dan tengah. Tibia berwarna hampir hialin sampai pucat agak kuning atau agak coklat dan bagian ujungnya berwarna hitam. Tarsus berwarna hitam (Cottier 1953; Eastop 1961). Imago Bentuk Bersayap Bentuk serangga dewasa bersayap hampir sama dengan serangga tidak bersayap. Rata-rata ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan serangga yang tidak bersayap (Cottier 1953). Protoraks berwarna hitam dengan pita hijau sampai hijau tua tepat di depan dan di belakangnya. Skutum dan skutelum berwarna hitam. Pangkal sayap tidak berwarna sampai hijau pucat, coklat atau merah. Pembuluh-pembuluh sayap berwarna coklat sampai coklat agak hitam. Stigma berwarna kelabu coklat muda (Cottier 1953). Abdomen berkilat hijau semu hitam sampai hitam. Kornikel, kauda, pelat anal dan pelat genital berwarna hitam. Panjang kornikel k.1. 0.30 mm. Kauda mempunyai 4-6 rambut, 1-3 rambut pada salah satu sisi dan 3 rambut pada sisi kauda lainnya. Panjang kauda 0.19 mm, lempeng genital berwarna hitam dan mempunyai 11-16 helai rambut (Cottier 1953). 7 Gambar 1 A. craccivora imago bentuk tidak bersayap (Cottier 1953) (1) Antena, (2) Kepala, (3) Kornikel, (4) Kauda, (5) Lempeng genital, (6) Toraks dan abdomen imago tidak bersayap. Gambar 2 A. craccivora imago bentuk bersayap (Cottier 1953) (1) Antena, (2) Antena ruas III, (3) Kepala, (4) Kornikel, (5) Kauda, (6) Lempeng genital, (7) Toraks dan abdomen imago bersayap. 8 Peran Kutudaun Sebagai Serangga Vektor Virus Vektor patogen adalah organisme yang bertindak sebagai agens pembawa patogen, dan dapat menularkannya ke tumbuhan lain. Serangga vektor virus yang terbanyak termasuk dalam ordo Hemiptera dan Thysanoptera. Serangga vektor yang termasuk ordo Hemiptera diantaranya kutudaun, kutukebul, wereng daun yang merupakan vektor utama virus dan menjadi vektor hampir 400 spesies virus. (Fareres dan Moreno 2009). Jumlah vektor dan ketergantungannya pada musim merupakan faktor penting dalam epidemiologi penyakit virus. Efisiensi penularan virus oleh kutudaun erat kaitannya dengan konsentrasi virus dan jumlah kutudaun, karena semakin banyak koloni kutudaun pada pertanaman maka proses kecepatan multiplikasi virus semakin meningkat dan mempercepat perkembangan epidemi penyakit. Faktor lain yang mempengaruhi diantaranya kemampuan kutudaun dalam membawa dan menularkan virus, periode yang diperlukan kutudaun untuk memperoleh cairan sel tanaman, periode untuk menghisap cairan sel dan untuk memindahkan virus ke tanaman sehat, dan periode makan akuisisi selesai sampai kutudaun mampu menularkan virus ke tanaman sehat (Bos 1990). Hubungan penularan virus oleh serangga vektor dibedakan atas penularan secara non persisten, semi persisten, dan persisten. Pada penularan non persisten kutudaun menularkan virus dari dan ke dalam parenkima inang. Perolehan dan inokulasi terjadi dalam periode makan yang pendek dari beberapa detik sampai beberapa menit. Vektor segera menjadi infektif sesudah pengambilan virus. Penularan virus secara semi persisten memerlukan waktu beberapa jam (10-100 jam) untuk tetap infektif dalam tubuh vektor sebelum ditularkan ke tumbuhan sehat yang sesuai. Pada sisi ekstrem yang lain adalah penularan persisten. Biasanya penularan virus tetap persisten dalam tubuh vektor meskipun telah lebih dari 100 jam meninggalkan sumber virus. Penularan persisten dibedakan dalam bentuk sirkulatif dan propagatif. Virus sirkulatif masuk dalam tubuh vektor, menuju ke usus dan hemolimfe kemudian menetap sampai dapat dikeluarkan lagi melalui kelenjar saliva (ludah) dan cairan liur dalam mulutnya, sedangkan virus propagatif memperbanyak diri dalam tubuh vektor (Bos 1990)