BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ide tentang ekonomi Islam telah muncul sejak akhir Perang Dunia Kedua. Ide tersebut mengendap dan baru dibangkitkan kembali pada saat konferensi para pemimpin Islam di Maroko tahun 1969, selanjutnya di Pakistan tahun 1973 dan berlanjut di Arab Saudi tahun 1981. Para pakar ekonomi Islam sepakat bahwa dengan mengembangkan ekonomi Islam, umat Islam akan memperoleh kejayaan di berbagai bidang. Begitupun di Indonesia, para pakar dan praktisi ekonomi Islam meyakinkan bahwa Indonesia akan terhindar dari krisis ekonomi untuk kesekian kalinya jika menerapkan sistem Islam dalam ekonomi. Walapun pada tahun 1940-an, telah muncul konsep teoritis tentang Bank Syariah, namun belum bisa direalisasikan, karena selain kondisi pada waktu itu belum memungkinkan, juga belum adanya pemikiran tentang Bank Syariah yang meyakinkan.1 Konsepsi ekonomi Islam berbeda dengan konsepsi ekonomi kapitalis atau yang biasa disebut dengan ekonomi konvensional. Perbedaan itu tidak hanya mengacu pada aspek akidah atau asas, tetapi juga meliputi standar nilai, dan metode untuk mengaplikasikannya. Konsepsi ekonomi Islam mengacu pada syariah yang 1 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful) di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.6-9. 1 Universitas Sumatera Utara 2 menjadi aturan agama. Sebab setiap perbuatan manusia termasuk kebijakan ekonomi dan pembangunan, serta aktivitas ekonomi masyarakat harus terikat hukum syara.2 Perbankan syariah merupakan bagian dari ekonomi syariah, dimana ekonomi syariah merupakan bagian dari muamalat (hubungan antara manusia dengan manusia). Oleh karena itu, perbankan syariah tidak bisa dilepaskan dari al-Qur`an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Perbankan syariah juga tidak dapat dilepaskan dari paradigma ekonomi syariah, antara lain : 1. Tauhid. Dalam pandangan Islam, salah satu misi manusia diciptakan adalah untuk menghambakan diri kepada Allah SWT: ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (51:56). Pengambaan diri ini merupakan realisasi tauhid seorang hamba kepada Pencipta-Nya. Konsekuensinya, segenap aktivitas ekonomi dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. 2. Allah SWT sebagai pemilik harta yang hakiki. Prinsip ekonomi syariah memandang bahwa Allah SWT adalah pemilik hakiki dari harta. ”Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi…” (2:284). Manusia hanya mendapatkan titipan harta dari-Nya, sehingga cara mendapatkan dan membelanjakan harta juga harus sesuai dengan aturan dari pemilik hakikinya, yaitu Allah SWT. 3. Visi global dan jangka panjang. Ekonomi syariah mengajarkan manusia untuk bervisi jauh ke depan dan memikirkan alam secara keseluruhan. Ajaran Islam menganjurkan ummatnya untuk mengejar akhirat yang merupakan kehidupan jangka panjang, tanpa melupakan dunia: ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (28: 77). Risalah Islam yang diturunkan kepada Muhammad SAW pun mengandung rahmat bagi alam semesta: ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (23:107). Dengan demikian dalam dimensi waktu, ekonomi syariah mempertimbangkan dampak jangka panjang, bahkan hingga 2 Muhammad Ismail, Refreshing Pemikiran Islam, (al-Fikru al-Islamiy), alih bahasa A. Haidar, cet. I, (Bangil: Al-Izzah, 2004), hlm.65-69. Universitas Sumatera Utara 3 kehidupan setelah dunia (akhirat). Sedangkan dalam dimensi wilayah dan cakupan, manfaat dari ekonomi syariah harus dirasakan bukan hanya oleh manusia, melainkan alam semesta. 4. Keadilan. Allah SWT telah memerintahkan berbuat adil: ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (4: 48). Bahkan, kebencian seseorang terhadap suatu kaum tidak boleh dibiarkan sehingga menjadikan orang tersebut menjadi tidak adil: ”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (5:8). 5. Akhlaq mulia. Islam menganjurkan penerapan akhlaq mulia bagi setiap manusia. bahkan Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR. Malik). Termasuk saat mereka beraktivitas dalam ekonomi. Akhlaq mulia semisal ramah, suka menolong, rendah hati, amanah, jujur sangat menopang aktivitas ekonomi tetap sehat. Contoh terbaik dalam akhlaq adalah Muhammad SAW, sehingga Allah SWT memuji beliau: ”Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (68:4). Sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad sangat dipercaya oleh kaumnya sehingga diberi gelar ’al Amin’ (yang terpercaya). Hasilnya, beliau menjadi pengusaha yang sukses. 6. Persaudaraan. Islam memandang bahwa setiap orang beriman adalah bersaudara: ”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara...” (49:10). Konsep persaudaraan mengajarkan agar orang beriman bersikap egaliter, peduli terhadap sesama dan saling tolong menolong. Islam juga mengajarkan agar perbedaan suku dan bangsa bukanlah untuk dijadikan sebagai pertentangan, melainkan sebagai sarana untuk saling mengenal dan memahami: ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (49:13). 3 Berdasarkan paradigma ekonomi syariah di atas, maka sistem ekonomi Islam lebih mengutamakan aspek hukum dan etika yang islami, yakni adanya keharusan 3 Islamic Knowledge, Perbankan Syariah: Perkembangan dan Penjelasan, http://www.syariahmandiri.co.id/ category/edukasi-syariah/islamic-knowledge/#perbankan-syariahperkembangan-dan-penjelasan, terakhir diakses tanggal 12 Maret 2014. Universitas Sumatera Utara 4 menerapkan prinsip-prinsip hukum dan etika bisnis yang sesuai dengan prinsip ekonomi Islam. Prinsip-prinsip dan etika bisnis itulah yang kini menjadi landasan operasional lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Dalam kerangka praktis prinsip-prinsip dan etika bisnis tersebut diimplementasikan dalam berbagai produk jasa dan layanan lembaga keuangan syari’ah yang menggunakan mekanisme bagi hasil (profit sharing). Pengertian Prinsip syariah termuat dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang berbunyi: “Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)”. Perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misalnya usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam Pasal 1 angka 7 memberikan pengertian mengenai Bank Syariah yaitu Bank yang Universitas Sumatera Utara 5 menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Prinsip kerja bank syariah merupakan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Di Indonesia Perbankan syariah yang pertama kali terbentuk adalah Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank Muamalat Indonesia adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah, yang menggunakan sistem dan operasi perbankan berdasarkan prinsip syariah islam, yaitu mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian berusaha yang dituntun oleh Al quran dan Hadist.4 Dasar pemikiran berdiri Bank Muamalat Indonesia: 1. Keinginan umat Islam untuk menghindari riba adalam kegiatan muamalatnya. 2. Manajemen Islam sangat cocok diterapkan di Indonesia karena sebagian besar penduduknya beragama Islam. 3. Memberikan alternatif kepada umat Islam dalam mempergunakan jasa perbankan. 4. Membantu program pemerintah di bidang pengentasan kemiskinan karena orientasi Bank Muamalat adalah pembiayaan usaha masyarakat golongon menengah ke bawah.5 Pada tahun 1999 muncul bank syariah lainnya yaitu Bank Syariah Mandiri. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah antara lain Bank 4 Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta:Grafiti, 1995), hlm.48. Zainal Asikin, Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.21 5 Universitas Sumatera Utara 6 Mega Syariah, Bank Negara Indonesia (Persero), Bank DKI dan Bank Panin. Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat. Prinsip kerja bank syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Bank Syariah adalah lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan yang bekerja berdasarkan etika dan sistem nilai Islam yang mempunyai sifat khusus yakni bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti perjudian, bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (tidak pasti), berprinsip pada keadilan dan hanya membiayai kegiatan usaha yang halal.6 Selain itu juga didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dalam pelaksanaannya yang menjadi tujuan bank syariah adalah tercapainya kesejahteraan sosial yang baik. Dalam menjalankan kegiatan operasional, Bank Syariah harus mematuhi prinsip syariah serta Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh 6 Ascarya, dan Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum, seri kebanksentralan nomor 14, (Jakarta: Bank Indonesia Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, 2005), hlm.4. Universitas Sumatera Utara 7 lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Prinsip syariah yang dimaksud adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Bila dilihat dari undang-undang perbankan syariah maka sistem keuangan syariah bisa menjadi solusi atas krisis keuangan global. Sistem keuangan syariah hanya membolehkan penyaluran dana kredit atau pembiayaan bila memang ada aset yang dijadikan dasar transaksi sehingga bila peminjam mengalami gagal bayar, bank tidak menderita risiko besar karena transaksi didasarkan pada aset yang telah diperjanjikan dan untuk pelunasannya, aset tersebut bisa dijual. Selain itu produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah lebih bervariasi dibandingkan dengan produk pada bank konvensional terlebih lagi dalam hal penyaluran dana kepada masyarakat maka jenis pembiayaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan nasabah. Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam Bank Syariah adalah memberikan pembiayaan kepada rakyat yang sulit untuk mendapatkan bantuan dari bank konvensional. Kepentingan operasional bank syariah berhubungan dengan sektor riil disamping sektor finansial sedangkan perbankan konvensional hanya bertransaksi pada sektor finansial.7 7 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm.109. Universitas Sumatera Utara 8 Lembaga keuangan syariah seperti bank syariah, asuransi syariah, pembiayaan syariah merupakan aplikasi dari sistem ekonomi syariah8 yang merupakan bagian dari nilai-nilai dari ajaran Islam yang mengatur bidang perkonomian umat dan tidak terpisahkan dari aspek-aspek lain ajaran Islam yang komprehensif dan universal. Komprehensif berarti ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual maupun sosial kemasyarakatan termasuk bidang universal. Universal bermakna bahwa syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa memandang ras, suku, golongan dan agama sesuai prinsip Islam sebagai “rahmatan lil alamin”.9 Salah satu produk bank syariah adalah pembiayaan qardh. Qardh secara umum diartikan sebagai kegiatan meminjamkan tanpa imbalan apapun. 10 Pinjam meminjam adalah memberikan sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, dan akan mengembalikan barang yang dipinjamnya tadi dalam keadaan utuh.11 Dibandingkan dengan sistim perbankan konvensional, dimana dalam setiap transaksinya dikenakan bunga atau imbalan yang besarnya telah ditetapkan di muka, maka sistim pembiayaan qardh yang kepada 8 Pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22 yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut syariah, meliputi : Bank Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah, Reksa Dana Syariah, Obligasi Syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,Sekuritas Syariah, Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah,Dana Pensiun lembaga Keuangan Syariah,Bisnis Syariah dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah. 9 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.4. 10 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah-Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, (Jakarta: Alvabet, 1999), hlm.234. 11 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Citra Media, 2006), hlm.123. Universitas Sumatera Utara 9 peminjam (mustahiq) tidak dikenakan bunga dan hanya mengembalikan pinjaman. Hal inilah yang membedakannya dengan sistem bank konvensional. Namun demikian, hal ini tidak dikategorikan sebagai hibah atau sedekah yang merupakan pemberian tanpa imbalan dan tidak ada kewajiban untuk mengembalikan pinjaman melainkan semata-mata karena mengharap ridha Allah SWT. Secara etimologi Al qardhu berarti: potongan (Al qath'u) dan harta yang diberikan kepada orang yang meminjam (muqtaridh) dinamakan qardh karena ia adalah satu potongan dari harta orang yang meminjam (muqridh).12 Menurut Muhammad Muslehuddin, qardh merupakan suatu jenis pinjaman pendahuluan untuk kepentingan peminjaman. Ini meliputi semua bentuk barang yang bernilai dan bayarannya juga sama dengan apa yang dipinjamkan. Peminjam tidak mendapatkan nilai yang berlebih karena itu akan merupakan riba yang dilarang dengan keras.13 Fasilitas qardh diberikan kepada mereka yang memerlukan pinjaman konsumtif jangka pendek untuk tujuan-tujuan yang urgen dan mendesak. Dalam praktek perbankan modern, diberikan kepada para pengusaha kecil yang kekurangan dana, tetapi memiliki prospek bisnis yang sangat baik.14 Dalam praktek perbankan khususnya pada PT. Bank Syariah Mandiri (Bank Syariah Mandiri) Kantor Cabang Medan, kegiatan usaha di bidang syariah antara lain adalah: 12 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm.40. 13 Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm.78. 14 Warkum Sumitro, Op.cit., hlm.40. Universitas Sumatera Utara 10 1. Pendanaan/Penghimpunan dana: Wadiah dan mudharabah. a. Wadiah (titipan) yaitu nasabah menitipkan dananya kepada bank syariah. Nasabah memperkenankan dananya dimanfaatkan oleh bank syariah untuk beragam keperluan (yang sesuai syariah). Namun bila nasabah hendak menarik dana, bank syariah berkewajiban untuk menyediakan dana tersebut. Umumnya wadiah digunakan dalam produk giro dan sebagian jenis tabungan. Bank Syariah Mandiri menggunakan skema ini untuk Bank Syariah Mandiri Giro, Bank Syariah Mandiri TabunganKu dan Bank Syariah Mandiri Tabungan Simpatik. b. Mudharabah (investasi) yaitu nasabah menginvestasikan dananya kepada bank syariah untuk dikelola. Bank Syariah Mandiri berfungsi sebagai manajer investasi bagi nasabah dana. Nasabah mempercayakan pengelolaan dana tersebut untuk keperluan bisnis yang menguntungkan (dan sesuai syariah). Hasil keuntungan dari bisnis tersebut akan dibagi hasilkan antara nasabah dana dengan Bank Syariah Mandiri sesuai nisbah yang telah disepakati di muka. Bank Syariah Mandiri menggunakan produk ini untuk Bank Syariah Mandiri Deposito, Tabungan Bank Syariah Mandiri, Bank Syariah Mandiri Tabungan Berencana, Bank Syariah Mandiri Tabungan Mabrur, Bank Syariah Mandiri Tabungan Investa Cendekia dan Bank Syariah Mandiri Tabungan Kurban. 2. Pembiayaan/Penyaluran dana: Murabahah, ijarah, istishna, mudharabah, musyarakah. a. Murabahah, merupakan akad jual beli antara nasabah dengan bank syariah. Bank syariah akan membeli barang kebutuhan nasabah untuk kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah dengan marjin yang telah disepakati. Harga jual (pokok pembiayaan ditambah marjin) tersebut akan dicicil setiap bulan selama jangka waktu yang disepakati antara nasabah dengan bank syariah. Karena harga jual sudah disepakati di muka, maka angsuran nasabah bersifat tetap selama jangka waktu pembiayaan. Hampir seluruh pembiayaan konsumtif Bank Syariah Mandiri (Bank Syariah Mandiri Griya, Bank Syariah Mandiri Oto) menggunakan skema ini. Skema ini juga banyak dipergunakan Bank Syariah Mandiri dalam pembiayaan modal kerja atau investasi yang berbentuk barang. Sekitar 70% pembiayaan bank syariah menggunakan skema murabahah. b. Ijarah, merupakan akad sewa antara nasabah dengan bank syariah. Bank syariah membiayai kebutuhan jasa atau manfaat suatu barang untuk kemudian disewakan kepada nasabah. Umumnya, nasabah membayar sewa ke bank syariah setiap bulan dengan besaran yang telah disepakati di muka. Bank Syariah Mandiri mengaplikasikan skema ini pada Bank Syariah Mandiri Pembiayaan Eduka (pembiayaan untuk kuliah) dan Bank Syariah Mandiri Universitas Sumatera Utara 11 Pembiayaan Umrah. Beberapa pembiayaan investasi juga menggunakan skema ijarah, khususnya skema ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT). c. Istishna, merupakan akad jual beli antara nasabah dengan bank syariah, namun barang yang hendak dibeli sedang dalam proses pembuatan. Bank syariah membiayai pembuatan barang tersebut dan mendapatkan pembayaran dari nasabah sebesar pembiayaan barang ditambah dengan marjin keuntungan. Pembayaran angsuran pokok dan marjin kepada bank syariah tidak sekaligus pada akhir periode, melainkan dicicil sesuai dengan kesepakatan. Umumnya bank syariah memanfaatkan skema ini untuk pembiayaan konstruksi. d. Mudharabah, merupakan akad berbasis bagi hasil, dimana bank syariah menanggung sepenuhnya kebutuhan modal usaha/investasi. e. Musyarakah, merupakan akad berbasis bagi hasil, dimana bank syariah tidak menanggung sepenuhnya kebutuhan modal usaha/investasi (biasanya sekitar 70% sampai dengan 80%). 3. Jasa: Wakalah, rahn, kafalah, sharf. a. Wakalah, wakalah berarti perwalian/perwakilan. Artinya Bank Syariah Mandiri bekerja untuk mewakili nasabah dalam melakukan suatu hal. Bank Syariah Mandiri mengaplikasikan skema ini pada beragam layanannya semisal transfer uang, L/C, SKBDN. b. Rahn, Rahn bermakna gadai. Artinya bank syariah meminjamkan uang (qardh) kepada nasabah dengan jaminan yang dititipkan nasabah ke bank syariah. Bank syariah memungut biaya penitipan jaminan tersebut untuk menutup biaya dan keuntungan bank syariah. Bank Syariah Mandiri mengaplikasikan skema ini pada Bank Syariah Mandiri Gadai Emas iB. c. Kafalah, dengan skema kafalah, bank syariah menjamin nasabahnya. Bila terjadi sesuatu dengan nasabah, bank syariah akan bertanggung jawab kepada pihak ke-3 sesuai kesepakatan awal. Bank Syariah Mandiri mengaplikasikan skema ini pada produk Bank Syariah Mandiri Bank Garansi. d. Sharf, merupakan jasa penukaran uang. Bank Syariah Mandiri mengaplikasikan skema ini untuk layanan penukaran uang Rupiah dengan mata uang negara lain, semisal US$, Malaysia Ringgit, Japan Yen, dsb.15 Produk yang banyak diminati di PT. Bank Syariah Mandiri yang berada di wilayah Cabang Medan yaitu produk pembiayaan qardh. Aplikasi qardh di Bank 15 Islamic Knowledge, Skema-skema produk perbankan syariah, http://www.syariahmandiri. co.id/category/edukasi-syariah/islamic-knowledge/, terakhir diakses tanggal 12 Maret 2014. Universitas Sumatera Utara 12 Syariah Mandiri KCP Petisah adalah Gadai Emas IB yang merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai dengan cepat, dengan cara memberikan utang (qardh) kepada nasabah dengan jaminan emas (rahn), atas transaksi ini bank mendapatkan upah (ujrah) atas jasa penyimpanan/penitipan yang dilakukannya atas emas tersebut berdasarkan akad ijarah (jasa).16 Pelaksanaan gadai syariah di Indonesia didasarkan pada Fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn. Menurut ketentuan Fatwa DSN-MUI tentang rahn menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan. Pedoman tentang pelaksanaan rahn (menahan barang sebagai jaminan utang) yang terdapat di dalam Fatwa DSN-MUI tersebut bersumber dari ketentuan al-quran, sunnah dan ijma’ (pendapat ulama fiqh). Dalam Fatwa DSN nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn menyebutkan bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang. Maka jelas pada dasarnya, hakikat dan fungsi Pegadaian dalam Islam adalah sematamata untuk memberikan pertolongan kepada masyarakat yang membutuhkan dengan bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersiil dengan 16 Kurnia, Gadai Emas Menurut Islam, http://sneea.blogspot.com/2013/01/gadai-emasmenurut-islam.html, terakhir diakses tanggal 12 Maret 2014. Universitas Sumatera Utara 13 mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.17 Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah atstsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Sedangkan definisi ar-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.18 Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.19 Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan. Sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu 17 Muhammad dan Solikhul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hlm.63. 18 Rahmat Syafei, Konsep Gadai; Ar-Rahn dalam Fikih Islam antara Nilai Sosial dan Nilai Komersial dalam Huzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, Cet. II, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1995), hlm.59. 19 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.1. Universitas Sumatera Utara 14 barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan atau agunan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam (syara') adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut. Menurut Imam Abu Zakariya Al Anshari, rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan dari (harga) benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar.20 Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Al Husaini mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhun bih dan murtahin berhak menjual/melelang barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya. Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di atas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak 20 Chuziamah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi 3, (Jakarta: LSIK, 1997), hlm.60. Universitas Sumatera Utara 15 dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah.21 Barang yang dapat digadaikan untuk dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat diperjualbelikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berhutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berhutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.22 Pinjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun bih dalam bentuk rahn itu dibolehkan,23 dengan ketentuan bahwa murtahin, mempunyai hak menahan marhun sampai semua marhun bih dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin, yang pada prinsipnya tidak boleh dimanfaatkan murtahin, 21 22 Zainuddin Ali, Op.Cit., hlm.3. Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta : Ekonisia, 2003), hlm. 141. 23 Fatwa DSN Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Universitas Sumatera Utara 16 kecuali dengan seizin rahin, tanpa mengurangi nilainya, serta sekedar sebagai pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Biaya pemeliharaan dan perawatan marhun adalah kewajiban rahin, yang tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah marhun bih. Apabila marhun bih telah jatuh tempo, maka murtahin memperingatkan rahin untuk segera melunasi marhun bih, jika tidak dapat melunasi marhun bih, maka marhun dijual paksa melalui lelang sesuai syariah dan hasilnya digunakan untuk melunasi marhun bih, biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun yang belum dibayar, serta biaya pelelangan. Kelebihan hasil pelelangan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.24 Gadai dalam fiqh disebut rahn yang menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Barang yang digadaikan dapat berupa kendaraan, emas atau barang bergerak lainnya.25 Di Bank Syariah Mandiri KCP Petisah hanya memberikan fasilitas untuk produk pembiayaan gadai berupa emas, artinya, dalam pelaksanaannya barang yang digadaikan yaitu berupa emas. Produk ini diperuntukkan bagi perorangan dengan obyek gadai berupa emas batangan dan perhiasan 16-24 karat. Pada pelaksanaan gadai emas di Bank Syariah Mandiri KCP Petisah ini menggunakan Pembiayaan Ar-Rahn dengan Akad Al-Qardh. Pembiayaan Ar-Rahn dengan Akad Al-Qardh adalah akad pemberian pinjaman dari bank untuk nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar bank menjaga barang jaminan yang 24 HB. Tamam Ali, (Ed.), Ekonomi Syariah dalam Sorotan, (Jakarta: Yayasan Amanah, 2003), hlm.205. 25 Ibid. Universitas Sumatera Utara 17 diserahkan. Biaya pemeliharaan menggunakan akad ijarah. Jangka waktu pembiayaan Gadai Emas Bank Syariah Mandiri (iB) mulai empat bulan, dan dapat diperpanjang maksimal dua kali. Nilai pembiayaan Rp.500.000 hingga Rp.250 juta per nasabah.26 Ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh nasabah yang menggunakan produk gadai ini. Dalam prakteknya, pembiayaan gadai emas syariah ini juga mempunyai banyak kendala atau masalah yang terjadi. Bank Syariah Mandiri KCP Petisah merupakan outlet warung mikro Bank Syariah Mandiri Cabang Medan yang begitu giat memasarkan produk gadai emas syariah karena lokasinya yang berada di pusat niaga kota Medan, sehingga banyak nasabahnya yang menggunakan skim pembiayaan ini. Selain itu Bank Syariah Mandiri KCP Petisah banyak mengadakan kerjasama dengan lembaga keuangan mikro syariah dan usaha kecil dan menengah seperti BMT (Baitull Mall wat Tanwil). Hal tersebut menunjukkan bahwa BSM KCP Petisah banyak bersentuhan dengan pembiayaan mikro syariah, termasuk dalam pembiayaan gadai emas syariah. Karena itu, ketika masyarakat sedang ramai memanfaatkan gadai emas syariah dalam bentuk berkebun emas sebelum adanya aturan BI yang membatasi jumlah dan jangka waktu gadai emas, BSM KCP Petisah merupakan salah satu warung mikro BSM yang melayani pembiayaan gadai emas tersebut. Dengan adanya regulasi di bidang gadai syariah sesuai dengan SE (surat edaran) Nomor 14/7/DPbs tertanggal 29 Februari 2012 tentang qardh beragun emas 26 Kliping Berita, ”Bank Syariah Mandiri Sinergi dengan Bank Mandiri Perluas Layanan Gerai Emas”, http://www.syariahmandiri.co.id/2013/08/bsm-sinergi-dengan-bank-mandiri-perluaslayanan-gadai-emas/, terrakhir diakses tanggal 13 Maret 2014. Universitas Sumatera Utara 18 yang membatasi maksimal jumlah pembiayaan menjadi sebesar Rp 250.000.000,00 serta jangka waktu menjadi 4 bulan dan hanya dapat diperpanjang maksimal dua kali, BSM KCP Petisah adalah salah satu warung mikro syariah BSM yang terkena dampaknya. Selain karena adanya perubahan kebijakan manajemen BSM KCP Petisah terkait dengan adanya aturan BI tersebut, perubahan regulasi BI di bidang gadai emas syariah juga berimbas pada penurunan minat masyarakat terhadap gadai emas syariah. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Problematika Pelaksanaan Pembiayaan Ar-Rahn Dengan Akad Al-Qardh Pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Petisah”. B. Permasalahan Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah: 1. Problematika apa saja yang dihadapi PT. Bank Syariah Mandiri KCP Petisah dalam pelaksanaan pembiayaan Ar-Rahn dengan akad Al-Qardh ? 2. Faktor-faktor apa yang menjadi kendala bagi PT. Bank Syariah Mandiri KCP Petisah dalam pelaksanaan pembiayaan Ar-Rahn dengan akad Al-Qardh? 3. Upaya apa yang dilakukan PT. Bank Syariah Mandiri KCP Petisah untuk mengatasi problematika dalam pelaksanaan pembiayaan Ar-Rahn dengan akad AlQardh? Universitas Sumatera Utara 19 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis problematika yang dihadapi PT. Bank Syariah Mandiri KCP Petisah dalam pelaksanaan pembiayaan Ar-Rahn dengan akad Al-Qardh. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menjadi kendala bagi PT. Bank Syariah Mandiri KCP Petisah dalam pelaksanaan pembiayaan Ar-Rahn dengan akad Al-Qardh. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dilakukan PT. Bank Syariah Mandiri KCP Petisah untuk mengatasi problematika dalam pelaksanaan pembiayaan Ar-Rahn dengan akad Al-Qardh. D. Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/literatur mengenai pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh, selain itu penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi dasar bagi penelitian pada bidang yang sama. Universitas Sumatera Utara 20 2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait pembiayaan ar-rahn dengan akad alqardh. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Problematika Pelaksanaan Pembiayaan ArRahn Dengan Akad Al-Qardh Pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu Petisah”. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang yang menyangkut pembiayaan syariah antara lain penelitian yang dilakukan oleh : 1. Aminah (Nim. 097011136), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Kajian Yuridis Akad Wakalah Pada Pembiayaan KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) dan Kaitannya Dengan Murabahah di Bank Tabungan Negara Syari’ah Cabang Batam”, dengan permasalahan yang diteliti adalah : a. Mengapa Akad Wakalah menjadi keharusan dalam pembiayaan Kredit Kepemilikan Rumah di Bank Tabungan Negara Syari’ah Cabang Batam? b. Bagaimana Kekuatan Yuridis Akad Wakalah pada Perjanjian Pembiayaan Rumah di Bank Tabungan Negara Syari’ah Cabang Batam? Universitas Sumatera Utara 21 c. Bagaimana Pengaturan BI (Bank Indonesia) atas Akad Wakalah dan perbandingan dalam Hukum Islam? 2. Fitri Andriani (Nim. 107011077), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tinjauan Yuridis Terhadap Dana Talangan Haji Berdasarkan Hukum Islam (Studi Kasus di Bank Sumut Syariah Cabang Medan)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah : a. Bagaimanakah Konsep Pengelolaan Dana Talangan Haji di Bank Sumut Syariah Cabang Medan? b. Bentuk Pengawasan Terhadap Dana Talangan Haji di Bank Sumut Syariah Cabang Medan? c. Bagaimana pendapat para ulama tentang Pembiayaan Talangan Haji yang ada di Bank-Bank Syariah di Kota Medan? 3. Ridwan Basyir (Nim. 087011099), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Pelaksanaan Gadai Emas pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh Menurut Hukum Islam”, dengan permasalahan yang diteliti adalah : a. Bagaimana pelaksanaan gadai emas pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh? b. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan gadai emas pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh? 4. Nurhimmi Falahiyati (Nim. 077011053), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Kajian Hukum Terhadap Peranan Universitas Sumatera Utara 22 Notaris Dalam Pembuatan Akta Pembiayaan Murabahah Dengan Jaminan Tanah Yang Belum Bersertifikat”, dengan permasalahan yang diteliti adalah : a. Bagaimana kekuatan hukum atas tanah belum bersertifikat sebagai objek jaminan dalam pembiayaan murabahah? b. Bagaimana resiko bank atas pembiayaan murabahah dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat? c. Bagaimana peranan notaris dalam pembuatan akta jaminan dalam aqad pembiayaan murabahah atas tanah yang belum bersertifikat? 5. Rina Dahlina (Nim. 037011072), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Kedudukan Lembaga Gadai Syariah (Ar-Rahn) Dalam Sistem Perekonomian Islam (Studi Di Bank Muamalat Indonesia Cabang Medan dan BNI Unit Syariah Cabang Medan”, dengan permasalahan yang diteliti adalah : a. Bagaimanakah bentuk rahn yang dapat dijadikan jaminan pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Medan dan BNI Unit Syariah Cabang Medan? b. Bagaimanakah pelaksanaan gadai syariah yang diberlakukan pada Muamalat Indonesia Cabang Medan dan BNI Unit Syariah Cabang Medan? c. Bagaimanakah kedudukan gadai syariah dalam hukum penggadaian di Indonesia? Universitas Sumatera Utara 23 6. Rina Hutagalung, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Murtahin (Penerima Gadai) Dalam Pelaksanaan Akad Rahn Emas”, dengan permasalahan yang diteliti adalah: a. Bagaimana ketentuan pelaksanaan akad rahn emas dalam sistem gadai syariah? b. Bagaimanakah tanggung jawab murtahin terhadap marhun yang dijadikan objek jaminan dalam pelaksanaan akad rahn emas? c. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap rahin dalam pelaksanaan akad rahn emas? Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi.27 Teori adalah ungkapan mengenai hubungan kausal yang logis diantara perubahan (Variable) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai 27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm.122. Universitas Sumatera Utara 24 kerangka berpikir (Frame of Thingking) dalam memahami serta menangani segala permasalahan yang timbul dalam bidang tersebut.28 Kerangka teori yakni kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak setujuinya.29 Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori perjanjian dalam Islam oleh Wahbah Zuhaili yang dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuh menyatakan bahwa “akad adalah hubungan/keterkaitan antara ijab dan qabul atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu”.30 Istilah akad dalam hukum Islam dikenal dalam hukum Indonesia dengan istilah “perjanjian”. Kata akad berasal dari kata al ‘aqd yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan, juga bisa bermakna afirmasi atau pengukuhan. Adapun secara terminologi, ulama fiqih memberikan dua makna; makna khusus dan makna umum. Adapun akad dalam arti khusus adalah pernyataan dari dua pihak atau lebih (ijab dan qabul) yang menghasilkan hukum syar’i yang melazimkan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Sedangkan akad dalam arti umum adalah tindakan atau kehendak sepihak yang melahirkan hukum syar’i yang melazimkan dirinya.31 28 Bintaro Tjokroamidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta : Haji Masagung, 1998), hal.12. 29 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80. 30 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 48. 31 Ibid. Universitas Sumatera Utara 25 Secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dilihat dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang, seperti jual-beli, perwakilan dan gadai. Pengertian akad secara umum di atas adalah sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah.32 Pengertian akad secara khusus adalah pengaitan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya. Pengertian akad secara khusus lainnya adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.33 Hal yang penting bagi terjadinya akad adalah adanya ijab dan qabul. Ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridlaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridlaan dan syari’at Islam. Dalam al-Qur’an, setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-’aqdu (akad) dan al-’ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun 32 Rachmad Syafe’I, Fiqih Muamalah, cet. Ke-2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), 33 Ibid., hlm.44. hlm.43. Universitas Sumatera Utara 26 atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.34 kata al’-aqdu terdapat dalam surat al- Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-’aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata.35 Sedangkan istilah al-’ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.36 Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imron ayat 76 yaitu “sebenarnya siapa yang menepati janji yang dibuatnya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orangyang bertaqwa”. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan (Verbintenis), sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 BW yang berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Menurut ulama fiqh, rahn adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. Ulama fiqh juga berpendapat bahwa Apabila barang 34 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontektual, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 75 35 Fatturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syari’ah, dalam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.247-248. 36 Ibid., hlm.248. Universitas Sumatera Utara 27 jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad ar-rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Dalam pelaksanaan gadai emas pada Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu Petisah, pihak Bank membutuhkan jaminan sebagai kepercayaan atas kemampuan atau kesanggupan nasabahnya dalam memenuhi kewajiban dari hubungan timbal balik. Penyerahan barang atau benda yang dijadikan jaminan gadai adalah untuk melunasi utang nasabah dan mempermudah proses eksekusi apabila dikemudian hari nasabah wanprestasi. Sebagai teori pendukung digunakan teori kemaslahatan oleh Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati AlSyatibi. Al-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syari’ah. Al-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syari’ah. Secara bahasa, maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan. Al- Syatibi menyatakan bahwa, “sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia ini dan akhirat”.37 37 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi, edisi kedua, (Jakarta: PT Raja Grofindo Persada, 2004), hlm.316-318. Universitas Sumatera Utara 28 Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Al-Syatibi menjelaskan bahwa syari’ah berurusan dengan perlindungan mashalih, syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih walaupun dengan cara preventif seperti syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apapun yang secara aktual atau pontensial merusak mashalih.38 Secara etimologi kata mashlahat, jamaknya mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan. Mashlahat kadang-kadang disebut dengan istilah yang berarti mencari yang benar. Esensi mashlahat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum.39 Ibnu Taymiyyah, sebagaimana dikutip oleh syekh Abu Zahrah,40 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mashlahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara'. Menurut Hasballah,41 mashlahat yang dimaksud adalah kemashlahatan yang menjadi tujuan syara', bukan kemashlahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan hawa nafsu manusia. Sebab disadari sepenuhnya bahwa tujuan dari syariat 38 Ibid., hlm.320 H.M. Hasballah Thaib, Tajdid Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Islam, (Medan: Program Pascasarjana USU, 2002). 40 Nasroen Haroen (b), Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.126. 41 H.M. Hasballah Thaib, Op.Cit., hlm.28. 39 Universitas Sumatera Utara 29 hukum tidak lain adalah untuk merealisir kemashlahatan bagi manusia dari segala segi dan aspek kehidupan manusia di dunia dari berbagai bentuk yang dapat membawa kepada kerusakan. Oleh karena itu masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.42 Menurut Kamus Bahasa Indonesia manfaat artinya guna, faedah. Dalam Bahasa Arab manfaat disebut mashlahah (jamaknya mashalih) merupakan sinonim dari kata manfaat, dapat digunakan untuk perbuatan yang mengandung manfaat. Kata manfaat sendiri selalu diartikan dengan ladzhzah (rasa enak) dan upaya mendapatkan atau mempertahankannya.43 Al-Ghazali mengatakan arti asli mashlahat ialah menarik manfaat atau menolak mudharat. Adapun artinya secara istilah ialah pemeliharaan tujuan (maqashid) syara', yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala sesuatu yang mengandung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima ini adalah mashlahat, semua yang menghilangkannya adalah mafsadat dan menolaknya merupakan mashlahat.44 42 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1988), hlm.134-135. 43 Husein Hamid Hassan, Nazhariyah Al-Mashlahah Fi Al-Fiqh Al-Islami, (Kairo: AlMutanabbi, 1981), hlm.4, dalam Jamaluddin, Analisis Hukum Perkawinan Terhadap Perceraian Dalam Masyarakat Kota Lhokseumawe Dan Kabupaten Aceh Utara, Disertasi, (Medan: PPs-USU, 2008), hlm. 23. 44 Ibid. Universitas Sumatera Utara 30 Selanjutnya Imam al-Ghazali mengatakan bahwa yang dijadikan patokan dalam kemashlahatan adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, aqal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang intinya bertujuan memelihara kelima aspek tujuan syara’ tersebut, maka perbuatannya dinamakan mashlahat. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan mashlahat.45 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.46 Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.47 Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah: 45 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013), hlm.37. 46 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.31. 47 Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm.19. Universitas Sumatera Utara 31 a. Problematika adalah suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang diharapkan dapat menyelesaikan atau dapat diperlukan atau dengan kata lain dapat mengurangi kesenjangan itu.48 b. Akad atau perjanjian adalah janji setia kepada Allah SWT dan juga meliputi perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan sesama manusia dalam pergaulan hidupnya sehari-hari.49 c. Pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.50 d. Rahn adalah menahan barang sebagai jaminan atas utang.51 e. Qardh adalah suatu jenis pinjaman pendahuluan untuk kepentingan peminjaman. Ini meliputi semua bentuk barang yang bernilai dan bayarannya juga sama dengan apa yang dipinjamkan.52 f. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.53 48 Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islami, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1983), hal. 65. Chairuman Pasaribu, dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm.2. 50 M. Syafii Antonio, Op. cit., hlm. 160. 51 Fatwa DSN MUI nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa nomor 26/DSNUI/III/2002 tentang Rahn Emas. 52 Muhammad Muslehuddin, Op.cit., hlm. 78. 53 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 angka 12. 49 Universitas Sumatera Utara 32 g. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Petisah adalah lembaga perbankan syariah yang menjalankan usahanya dalam wilayah Bank Syariah Mandiri Cabang Medan. G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.54 Mengingat bahwa penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma hukum,55 yang terdapat dalam hukum Islam mengenai pelaksanaan pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh maka penelitian ini menekankan pada sumber-sumber bahan sekunder, baik berupa peraturan-peraturan maupun teori-teori hukum, disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat, sehingga ditemukan suatu asas-asas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalisis 54 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hlm.101. 55 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PT. Ghalia Indonesia, 1996), hlm.13. Universitas Sumatera Utara 33 permasalahan yang dibahas,56 yang dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu pelaksanaan pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh dikaitkan dengan ketentuan hukum Islam. 2. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan menggunakan bahan hukum : a. Bahan hukum primer.57 Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya adalah KetentuanKetentuan Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW., Ijma’ Ulama, dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kompilasi Hukum Islam, serta peraturanperaturan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh. b. Bahan hukum sekunder.58 Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasilhasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari para ahli hukum, serta dokumendokumen lain yang berkaitan dengan masalah pelaksanaan pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh. 56 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.13. 57 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm.53. 58 Ibid. Universitas Sumatera Utara 34 c. Bahan hukum tertier.59 Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, surat kabar, makalah yang berkaitan dengan objek penelitian. Sebagai sumber data tambahan dilakukan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi dari pihak yang telah ditentukan sebagai informan yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan, Officer Gadai, dan Nasabah Bank Syariah Mandiri KCP Petisah. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap penelitian antara lain sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan (Library Research). Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. b. Wawancara. Hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang telah ditentukan sebagai informan atau narasumber yang dianggap mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan masalah pelaksanaan pembiayaan ar-rahn dengan akad al59 Ibid. Universitas Sumatera Utara 35 qardh. Dalam penelitian ini sebagai informan antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan, Officer Gadai, dan nasabah Bank Syariah Mandiri KCP Petisah. Alat yang digunakan dalam wawancara yaitu menggunakan pedoman wawancara sehingga data yang diperoleh langsung dari sumbernya dan lebih mendalam sehingga dapat dijadikan bahan guna menjawab permasalahan dalam tesis ini. 4. Analisis Data Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).60 Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah pelaksanaan pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal 60 Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53. Universitas Sumatera Utara 36 yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsipprinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap faktafakta yang bersifat khusus,61 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. 61 Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Op.cit., hlm.109. Universitas Sumatera Utara