1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ide tentang ekonomi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ide tentang ekonomi Islam telah muncul sejak akhir Perang Dunia Kedua. Ide
tersebut mengendap dan baru dibangkitkan kembali pada saat konferensi para
pemimpin Islam di Maroko tahun 1969, selanjutnya di Pakistan tahun 1973 dan
berlanjut di Arab Saudi tahun 1981. Para pakar ekonomi Islam sepakat bahwa dengan
mengembangkan ekonomi Islam, umat Islam akan memperoleh kejayaan di berbagai
bidang. Begitupun di Indonesia, para pakar dan praktisi ekonomi Islam meyakinkan
bahwa Indonesia akan terhindar dari krisis ekonomi untuk kesekian kalinya jika
menerapkan sistem Islam dalam ekonomi. Walapun pada tahun 1940-an, telah
muncul konsep teoritis tentang Bank Syariah, namun belum bisa direalisasikan,
karena selain kondisi pada waktu itu belum memungkinkan, juga belum adanya
pemikiran tentang Bank Syariah yang meyakinkan.1
Konsepsi ekonomi Islam berbeda dengan konsepsi ekonomi kapitalis atau
yang biasa disebut dengan ekonomi konvensional. Perbedaan itu tidak hanya
mengacu pada aspek akidah atau asas, tetapi juga meliputi standar nilai, dan metode
untuk mengaplikasikannya. Konsepsi ekonomi Islam mengacu pada syariah yang
1
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan
Takaful) di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.6-9.
1
Universitas Sumatera Utara
2
menjadi aturan agama. Sebab setiap perbuatan manusia termasuk kebijakan ekonomi
dan pembangunan, serta aktivitas ekonomi masyarakat harus terikat hukum syara.2
Perbankan syariah merupakan bagian dari ekonomi syariah, dimana ekonomi
syariah merupakan bagian dari muamalat (hubungan antara manusia dengan
manusia). Oleh karena itu, perbankan syariah tidak bisa dilepaskan dari al-Qur`an dan
as-Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Perbankan syariah juga tidak dapat
dilepaskan dari paradigma ekonomi syariah, antara lain :
1. Tauhid. Dalam pandangan Islam, salah satu misi manusia diciptakan adalah
untuk menghambakan diri kepada Allah SWT: ”Dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (51:56).
Pengambaan diri ini merupakan realisasi tauhid seorang hamba kepada
Pencipta-Nya. Konsekuensinya, segenap aktivitas ekonomi dapat bernilai
ibadah jika diniatkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
2. Allah SWT sebagai pemilik harta yang hakiki. Prinsip ekonomi syariah
memandang bahwa Allah SWT adalah pemilik hakiki dari harta. ”Kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi…” (2:284).
Manusia hanya mendapatkan titipan harta dari-Nya, sehingga cara
mendapatkan dan membelanjakan harta juga harus sesuai dengan aturan dari
pemilik hakikinya, yaitu Allah SWT.
3. Visi global dan jangka panjang. Ekonomi syariah mengajarkan manusia untuk
bervisi jauh ke depan dan memikirkan alam secara keseluruhan. Ajaran Islam
menganjurkan ummatnya untuk mengejar akhirat yang merupakan kehidupan
jangka panjang, tanpa melupakan dunia: ”Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (28: 77). Risalah Islam yang
diturunkan kepada Muhammad SAW pun mengandung rahmat bagi alam
semesta: ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam” (23:107). Dengan demikian dalam dimensi waktu,
ekonomi syariah mempertimbangkan dampak jangka panjang, bahkan hingga
2
Muhammad Ismail, Refreshing Pemikiran Islam, (al-Fikru al-Islamiy), alih bahasa A.
Haidar, cet. I, (Bangil: Al-Izzah, 2004), hlm.65-69.
Universitas Sumatera Utara
3
kehidupan setelah dunia (akhirat). Sedangkan dalam dimensi wilayah dan
cakupan, manfaat dari ekonomi syariah harus dirasakan bukan hanya oleh
manusia, melainkan alam semesta.
4. Keadilan. Allah SWT telah memerintahkan berbuat adil: ”Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (4: 48). Bahkan, kebencian
seseorang terhadap suatu kaum tidak boleh dibiarkan sehingga menjadikan
orang tersebut menjadi tidak adil: ”Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (5:8).
5. Akhlaq mulia. Islam menganjurkan penerapan akhlaq mulia bagi setiap
manusia. bahkan Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa: ”Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR. Malik).
Termasuk saat mereka beraktivitas dalam ekonomi. Akhlaq mulia semisal
ramah, suka menolong, rendah hati, amanah, jujur sangat menopang aktivitas
ekonomi tetap sehat. Contoh terbaik dalam akhlaq adalah Muhammad SAW,
sehingga Allah SWT memuji beliau: ”Dan sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang agung” (68:4). Sebelum diangkat menjadi Rasul,
Muhammad sangat dipercaya oleh kaumnya sehingga diberi gelar ’al Amin’
(yang terpercaya). Hasilnya, beliau menjadi pengusaha yang sukses.
6. Persaudaraan. Islam memandang bahwa setiap orang beriman adalah
bersaudara: ”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara...” (49:10).
Konsep persaudaraan mengajarkan agar orang beriman bersikap egaliter,
peduli terhadap sesama dan saling tolong menolong. Islam juga mengajarkan
agar perbedaan suku dan bangsa bukanlah untuk dijadikan sebagai
pertentangan, melainkan sebagai sarana untuk saling mengenal dan
memahami: ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (49:13). 3
Berdasarkan paradigma ekonomi syariah di atas, maka sistem ekonomi Islam
lebih mengutamakan aspek hukum dan etika yang islami, yakni adanya keharusan
3
Islamic Knowledge, Perbankan Syariah: Perkembangan dan Penjelasan,
http://www.syariahmandiri.co.id/
category/edukasi-syariah/islamic-knowledge/#perbankan-syariahperkembangan-dan-penjelasan, terakhir diakses tanggal 12 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
4
menerapkan prinsip-prinsip hukum dan etika bisnis yang sesuai dengan prinsip
ekonomi Islam. Prinsip-prinsip dan etika bisnis itulah yang kini menjadi landasan
operasional lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Dalam kerangka praktis
prinsip-prinsip dan etika bisnis tersebut diimplementasikan dalam berbagai produk
jasa dan layanan lembaga keuangan syari’ah yang menggunakan mekanisme bagi
hasil (profit sharing).
Pengertian Prinsip syariah termuat dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang berbunyi:
“Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank
dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha,
atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan
berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang
dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya
pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh
pihak lain (ijarah wa iqtina)”.
Perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan
berdasarkan syariah (hukum) Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh
larangan dalam agama Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau
yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang
dikategorikan
haram
(misalnya
usaha
yang
berkaitan
dengan
produksi
makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami), dimana hal ini tidak dapat
dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam
Pasal 1 angka 7 memberikan pengertian mengenai Bank Syariah yaitu Bank yang
Universitas Sumatera Utara
5
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya
terdiri atas Bank Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Prinsip kerja bank
syariah merupakan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang sesuai dengan syariah.
Di Indonesia Perbankan syariah yang pertama kali terbentuk adalah Bank
Muamalat Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank Muamalat Indonesia adalah
bank yang beroperasi dengan prinsip syariah, yang menggunakan sistem dan operasi
perbankan berdasarkan prinsip syariah islam, yaitu mengikuti tata cara berusaha dan
perjanjian berusaha yang dituntun oleh Al quran dan Hadist.4 Dasar pemikiran berdiri
Bank Muamalat Indonesia:
1. Keinginan umat Islam untuk menghindari riba adalam kegiatan muamalatnya.
2. Manajemen Islam sangat cocok diterapkan di Indonesia karena sebagian besar
penduduknya beragama Islam.
3. Memberikan alternatif kepada umat Islam dalam mempergunakan jasa perbankan.
4. Membantu program pemerintah di bidang pengentasan kemiskinan karena
orientasi Bank Muamalat adalah pembiayaan usaha masyarakat golongon
menengah ke bawah.5
Pada tahun 1999 muncul bank syariah lainnya yaitu Bank Syariah Mandiri.
Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah antara lain Bank
4
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta:Grafiti, 1995), hlm.48.
Zainal Asikin, Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia Hukum Perbankan Nasional
Indonesia, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.21
5
Universitas Sumatera Utara
6
Mega Syariah, Bank Negara Indonesia (Persero), Bank DKI dan Bank Panin. Sistem
syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat. Prinsip kerja bank
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang sesuai dengan syariah.
Bank Syariah adalah lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan yang
bekerja berdasarkan etika dan sistem nilai Islam yang mempunyai sifat khusus yakni
bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti perjudian, bebas dari hal-hal
yang tidak jelas dan meragukan (tidak pasti), berprinsip pada keadilan dan hanya
membiayai kegiatan usaha yang halal.6 Selain itu juga didasari oleh larangan dalam
agama Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut
dengan riba serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang
beretika,
mengedepankan
nilai-nilai
kebersamaan
dan
persaudaraan
dalam
berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan.
Dalam pelaksanaannya yang menjadi tujuan bank syariah adalah tercapainya
kesejahteraan sosial yang baik.
Dalam menjalankan kegiatan operasional, Bank Syariah harus mematuhi
prinsip syariah serta Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya
dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan,
produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh
6
Ascarya, dan Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum, seri kebanksentralan
nomor 14, (Jakarta: Bank Indonesia Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, 2005), hlm.4.
Universitas Sumatera Utara
7
lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Prinsip syariah yang dimaksud
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
sesuai dengan syariah.
Bila dilihat dari undang-undang perbankan syariah maka sistem keuangan
syariah bisa menjadi solusi atas krisis keuangan global. Sistem keuangan syariah
hanya membolehkan penyaluran dana kredit atau pembiayaan bila memang ada aset
yang dijadikan dasar transaksi sehingga bila peminjam mengalami gagal bayar, bank
tidak menderita risiko besar karena transaksi didasarkan pada aset yang telah
diperjanjikan dan untuk pelunasannya, aset tersebut bisa dijual. Selain itu produk
yang ditawarkan oleh perbankan syariah lebih bervariasi dibandingkan dengan
produk pada bank konvensional terlebih lagi dalam hal penyaluran dana kepada
masyarakat maka jenis pembiayaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan nasabah.
Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam Bank Syariah adalah memberikan
pembiayaan kepada rakyat yang sulit untuk mendapatkan bantuan dari bank
konvensional. Kepentingan operasional bank syariah berhubungan dengan sektor riil
disamping sektor finansial sedangkan perbankan konvensional hanya bertransaksi
pada sektor finansial.7
7
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm.109.
Universitas Sumatera Utara
8
Lembaga keuangan syariah seperti bank syariah, asuransi syariah, pembiayaan
syariah merupakan aplikasi dari sistem ekonomi syariah8 yang merupakan bagian dari
nilai-nilai dari ajaran Islam yang mengatur bidang perkonomian umat dan tidak
terpisahkan dari aspek-aspek lain ajaran Islam yang komprehensif dan universal.
Komprehensif berarti ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual
maupun sosial kemasyarakatan termasuk bidang universal. Universal bermakna
bahwa syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa
memandang ras, suku, golongan dan agama sesuai prinsip Islam sebagai “rahmatan
lil alamin”.9
Salah satu produk bank syariah adalah pembiayaan qardh. Qardh secara
umum diartikan sebagai kegiatan meminjamkan tanpa imbalan apapun. 10 Pinjam
meminjam adalah memberikan sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil
manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, dan akan mengembalikan barang yang
dipinjamnya tadi dalam keadaan utuh.11 Dibandingkan dengan sistim perbankan
konvensional, dimana dalam setiap transaksinya dikenakan bunga atau imbalan yang
besarnya telah ditetapkan di muka, maka sistim pembiayaan qardh yang kepada
8
Pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 22 yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut syariah, meliputi : Bank Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah, Reksa
Dana Syariah, Obligasi Syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,Sekuritas Syariah,
Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah,Dana Pensiun lembaga Keuangan Syariah,Bisnis Syariah dan
Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
9
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), hlm.4.
10
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah-Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek,
(Jakarta: Alvabet, 1999), hlm.234.
11
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Citra Media, 2006), hlm.123.
Universitas Sumatera Utara
9
peminjam (mustahiq) tidak dikenakan bunga dan hanya mengembalikan pinjaman.
Hal inilah yang membedakannya dengan sistem bank konvensional. Namun
demikian, hal ini tidak dikategorikan sebagai hibah atau sedekah yang merupakan
pemberian tanpa imbalan dan tidak ada kewajiban untuk mengembalikan pinjaman
melainkan semata-mata karena mengharap ridha Allah SWT.
Secara etimologi Al qardhu berarti: potongan (Al qath'u) dan harta yang
diberikan kepada orang yang meminjam (muqtaridh) dinamakan qardh karena ia
adalah satu potongan dari harta orang yang meminjam (muqridh).12 Menurut
Muhammad Muslehuddin, qardh merupakan suatu jenis pinjaman pendahuluan untuk
kepentingan peminjaman. Ini meliputi semua bentuk barang yang bernilai dan
bayarannya juga sama dengan apa yang dipinjamkan. Peminjam tidak mendapatkan
nilai yang berlebih karena itu akan merupakan riba yang dilarang dengan keras.13
Fasilitas qardh diberikan kepada mereka yang memerlukan pinjaman
konsumtif jangka pendek untuk tujuan-tujuan yang urgen dan mendesak. Dalam
praktek perbankan modern, diberikan kepada para pengusaha kecil yang kekurangan
dana, tetapi memiliki prospek bisnis yang sangat baik.14
Dalam praktek perbankan khususnya pada PT. Bank Syariah Mandiri (Bank
Syariah Mandiri) Kantor Cabang Medan, kegiatan usaha di bidang syariah antara lain
adalah:
12
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah,
(Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm.40.
13
Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004),
hlm.78.
14
Warkum Sumitro, Op.cit., hlm.40.
Universitas Sumatera Utara
10
1.
Pendanaan/Penghimpunan dana: Wadiah dan mudharabah.
a. Wadiah (titipan) yaitu nasabah menitipkan dananya kepada bank syariah.
Nasabah memperkenankan dananya dimanfaatkan oleh bank syariah untuk
beragam keperluan (yang sesuai syariah). Namun bila nasabah hendak
menarik dana, bank syariah berkewajiban untuk menyediakan dana tersebut.
Umumnya wadiah digunakan dalam produk giro dan sebagian jenis tabungan.
Bank Syariah Mandiri menggunakan skema ini untuk Bank Syariah Mandiri
Giro, Bank Syariah Mandiri TabunganKu dan Bank Syariah Mandiri
Tabungan Simpatik.
b. Mudharabah (investasi) yaitu nasabah menginvestasikan dananya kepada
bank syariah untuk dikelola. Bank Syariah Mandiri berfungsi sebagai manajer
investasi bagi nasabah dana. Nasabah mempercayakan pengelolaan dana
tersebut untuk keperluan bisnis yang menguntungkan (dan sesuai syariah).
Hasil keuntungan dari bisnis tersebut akan dibagi hasilkan antara nasabah
dana dengan Bank Syariah Mandiri sesuai nisbah yang telah disepakati di
muka. Bank Syariah Mandiri menggunakan produk ini untuk Bank Syariah
Mandiri Deposito, Tabungan Bank Syariah Mandiri, Bank Syariah Mandiri
Tabungan Berencana, Bank Syariah Mandiri Tabungan Mabrur, Bank Syariah
Mandiri Tabungan Investa Cendekia dan Bank Syariah Mandiri Tabungan
Kurban.
2.
Pembiayaan/Penyaluran dana: Murabahah, ijarah, istishna, mudharabah,
musyarakah.
a. Murabahah, merupakan akad jual beli antara nasabah dengan bank syariah.
Bank syariah akan membeli barang kebutuhan nasabah untuk kemudian
menjual barang tersebut kepada nasabah dengan marjin yang telah disepakati.
Harga jual (pokok pembiayaan ditambah marjin) tersebut akan dicicil setiap
bulan selama jangka waktu yang disepakati antara nasabah dengan bank
syariah. Karena harga jual sudah disepakati di muka, maka angsuran nasabah
bersifat tetap selama jangka waktu pembiayaan. Hampir seluruh pembiayaan
konsumtif Bank Syariah Mandiri (Bank Syariah Mandiri Griya, Bank Syariah
Mandiri Oto) menggunakan skema ini. Skema ini juga banyak dipergunakan
Bank Syariah Mandiri dalam pembiayaan modal kerja atau investasi yang
berbentuk barang. Sekitar 70% pembiayaan bank syariah menggunakan skema
murabahah.
b. Ijarah, merupakan akad sewa antara nasabah dengan bank syariah. Bank
syariah membiayai kebutuhan jasa atau manfaat suatu barang untuk kemudian
disewakan kepada nasabah. Umumnya, nasabah membayar sewa ke bank
syariah setiap bulan dengan besaran yang telah disepakati di muka. Bank
Syariah Mandiri mengaplikasikan skema ini pada Bank Syariah Mandiri
Pembiayaan Eduka (pembiayaan untuk kuliah) dan Bank Syariah Mandiri
Universitas Sumatera Utara
11
Pembiayaan Umrah. Beberapa pembiayaan investasi juga menggunakan
skema ijarah, khususnya skema ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT).
c. Istishna, merupakan akad jual beli antara nasabah dengan bank syariah,
namun barang yang hendak dibeli sedang dalam proses pembuatan. Bank
syariah membiayai pembuatan barang tersebut dan mendapatkan pembayaran
dari nasabah sebesar pembiayaan barang ditambah dengan marjin keuntungan.
Pembayaran angsuran pokok dan marjin kepada bank syariah tidak sekaligus
pada akhir periode, melainkan dicicil sesuai dengan kesepakatan. Umumnya
bank syariah memanfaatkan skema ini untuk pembiayaan konstruksi.
d. Mudharabah, merupakan akad berbasis bagi hasil, dimana bank syariah
menanggung sepenuhnya kebutuhan modal usaha/investasi.
e. Musyarakah, merupakan akad berbasis bagi hasil, dimana bank syariah tidak
menanggung sepenuhnya kebutuhan modal usaha/investasi (biasanya sekitar
70% sampai dengan 80%).
3.
Jasa: Wakalah, rahn, kafalah, sharf.
a. Wakalah, wakalah berarti perwalian/perwakilan. Artinya Bank Syariah
Mandiri bekerja untuk mewakili nasabah dalam melakukan suatu hal. Bank
Syariah Mandiri mengaplikasikan skema ini pada beragam layanannya
semisal transfer uang, L/C, SKBDN.
b. Rahn, Rahn bermakna gadai. Artinya bank syariah meminjamkan uang
(qardh) kepada nasabah dengan jaminan yang dititipkan nasabah ke bank
syariah. Bank syariah memungut biaya penitipan jaminan tersebut untuk
menutup biaya dan keuntungan bank syariah. Bank Syariah Mandiri
mengaplikasikan skema ini pada Bank Syariah Mandiri Gadai Emas iB.
c. Kafalah, dengan skema kafalah, bank syariah menjamin nasabahnya. Bila
terjadi sesuatu dengan nasabah, bank syariah akan bertanggung jawab kepada
pihak ke-3 sesuai kesepakatan awal. Bank Syariah Mandiri mengaplikasikan
skema ini pada produk Bank Syariah Mandiri Bank Garansi.
d. Sharf, merupakan jasa penukaran uang. Bank Syariah Mandiri
mengaplikasikan skema ini untuk layanan penukaran uang Rupiah dengan
mata uang negara lain, semisal US$, Malaysia Ringgit, Japan Yen, dsb.15
Produk yang banyak diminati di PT. Bank Syariah Mandiri yang berada di
wilayah Cabang Medan yaitu produk pembiayaan qardh. Aplikasi qardh di Bank
15
Islamic Knowledge, Skema-skema produk perbankan syariah, http://www.syariahmandiri.
co.id/category/edukasi-syariah/islamic-knowledge/, terakhir diakses tanggal 12 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
12
Syariah Mandiri KCP Petisah adalah Gadai Emas IB yang merupakan produk
pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas sebagai salah satu alternatif memperoleh
uang tunai dengan cepat, dengan cara memberikan utang (qardh) kepada nasabah
dengan jaminan emas (rahn), atas transaksi ini bank mendapatkan upah (ujrah) atas
jasa penyimpanan/penitipan yang dilakukannya atas emas tersebut berdasarkan akad
ijarah (jasa).16
Pelaksanaan gadai syariah di Indonesia didasarkan pada Fatwa DSN Nomor
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn. Menurut ketentuan Fatwa DSN-MUI tentang
rahn menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
utang dalam bentuk rahn dibolehkan. Pedoman tentang pelaksanaan rahn (menahan
barang sebagai jaminan utang) yang terdapat di dalam Fatwa DSN-MUI tersebut
bersumber dari ketentuan al-quran, sunnah dan ijma’ (pendapat ulama fiqh).
Dalam Fatwa DSN nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn menyebutkan
bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan
masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang.
Maka jelas pada dasarnya, hakikat dan fungsi Pegadaian dalam Islam adalah sematamata untuk memberikan pertolongan kepada masyarakat yang membutuhkan dengan
bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersiil dengan
16
Kurnia, Gadai Emas Menurut Islam, http://sneea.blogspot.com/2013/01/gadai-emasmenurut-islam.html, terakhir diakses tanggal 12 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
13
mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan
orang lain.17
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah
suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.
Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah atstsubut wa ad-dawam, yang berarti
“tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang.
Sedangkan definisi ar-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang
mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu utang,
sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.18
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup
dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat
materiil. Karena itu, secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang
yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.19
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah
tetap, kekal, dan jaminan. Sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera
sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil
kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian gadai yang
terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak
yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu
17
Muhammad dan Solikhul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003),
hlm.63.
18
Rahmat Syafei, Konsep Gadai; Ar-Rahn dalam Fikih Islam antara Nilai Sosial dan Nilai
Komersial dalam Huzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, Cet. II, (Jakarta:
Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1995), hlm.59.
19
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.1.
Universitas Sumatera Utara
14
barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang
mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena
itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai
barang jaminan atau agunan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam
(syara') adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam
pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil
seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.
Menurut Imam Abu Zakariya Al Anshari, rahn adalah menjadikan benda
yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan
dari (harga) benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar.20 Sedangkan Imam
Taqiyyuddin Abu Bakar Al Husaini mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian
utang-piutang dengan menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhun bih
dan murtahin berhak menjual/melelang barang yang digadaikan itu pada saat ia
menuntut haknya.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam
di atas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang
bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang
diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang
menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau
sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak
20
Chuziamah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi
3, (Jakarta: LSIK, 1997), hlm.60.
Universitas Sumatera Utara
15
dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa
gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda
berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan
dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan
hukum gadai syariah.21
Barang yang dapat digadaikan untuk dijadikan jaminan utang adalah semua
barang yang dapat diperjualbelikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat
digadaikan, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak
tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai
utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang
berhutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk
menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila
pihak yang berhutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.22
Pinjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun bih dalam
bentuk rahn itu dibolehkan,23 dengan ketentuan bahwa murtahin, mempunyai hak
menahan marhun sampai semua marhun bih dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap
menjadi milik rahin, yang pada prinsipnya tidak boleh dimanfaatkan murtahin,
21
22
Zainuddin Ali, Op.Cit., hlm.3.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta : Ekonisia, 2003),
hlm. 141.
23
Fatwa DSN Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
Universitas Sumatera Utara
16
kecuali dengan seizin rahin, tanpa mengurangi nilainya, serta sekedar sebagai
pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Biaya pemeliharaan dan perawatan
marhun adalah kewajiban rahin, yang tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah
marhun bih. Apabila marhun bih telah jatuh tempo, maka murtahin memperingatkan
rahin untuk segera melunasi marhun bih, jika tidak dapat melunasi marhun bih, maka
marhun dijual paksa melalui lelang sesuai syariah dan hasilnya digunakan untuk
melunasi marhun bih, biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun yang belum
dibayar, serta biaya pelelangan. Kelebihan hasil pelelangan menjadi milik rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban rahin.24
Gadai dalam fiqh disebut rahn yang menurut bahasa adalah nama barang yang
dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Barang yang digadaikan dapat berupa
kendaraan, emas atau barang bergerak lainnya.25 Di Bank Syariah Mandiri KCP
Petisah hanya memberikan fasilitas untuk produk pembiayaan gadai berupa emas,
artinya, dalam pelaksanaannya barang yang digadaikan yaitu berupa emas. Produk ini
diperuntukkan bagi perorangan dengan obyek gadai berupa emas batangan dan
perhiasan 16-24 karat.
Pada pelaksanaan gadai emas di Bank Syariah Mandiri KCP Petisah ini
menggunakan Pembiayaan Ar-Rahn dengan Akad Al-Qardh. Pembiayaan Ar-Rahn
dengan Akad Al-Qardh adalah akad pemberian pinjaman dari bank untuk nasabah
yang disertai dengan penyerahan tugas agar bank menjaga barang jaminan yang
24
HB. Tamam Ali, (Ed.), Ekonomi Syariah dalam Sorotan, (Jakarta: Yayasan Amanah,
2003), hlm.205.
25
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
17
diserahkan. Biaya pemeliharaan menggunakan akad ijarah. Jangka waktu
pembiayaan Gadai Emas Bank Syariah Mandiri (iB) mulai empat bulan, dan dapat
diperpanjang maksimal dua kali. Nilai pembiayaan Rp.500.000 hingga Rp.250 juta
per nasabah.26 Ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh nasabah yang
menggunakan produk gadai ini. Dalam prakteknya, pembiayaan gadai emas syariah
ini juga mempunyai banyak kendala atau masalah yang terjadi.
Bank Syariah Mandiri KCP Petisah merupakan outlet warung mikro Bank
Syariah Mandiri Cabang Medan yang begitu giat memasarkan produk gadai emas
syariah karena lokasinya yang berada di pusat niaga kota Medan, sehingga banyak
nasabahnya yang menggunakan skim pembiayaan ini. Selain itu Bank Syariah
Mandiri KCP Petisah banyak mengadakan kerjasama dengan lembaga keuangan
mikro syariah dan usaha kecil dan menengah seperti BMT (Baitull Mall wat Tanwil).
Hal tersebut menunjukkan bahwa BSM KCP Petisah banyak bersentuhan dengan
pembiayaan mikro syariah, termasuk dalam pembiayaan gadai emas syariah. Karena
itu, ketika masyarakat sedang ramai memanfaatkan gadai emas syariah dalam bentuk
berkebun emas sebelum adanya aturan BI yang membatasi jumlah dan jangka waktu
gadai emas, BSM KCP Petisah merupakan salah satu warung mikro BSM yang
melayani pembiayaan gadai emas tersebut.
Dengan adanya regulasi di bidang gadai syariah sesuai dengan SE (surat
edaran) Nomor 14/7/DPbs tertanggal 29 Februari 2012 tentang qardh beragun emas
26
Kliping Berita, ”Bank Syariah Mandiri Sinergi dengan Bank Mandiri Perluas Layanan
Gerai Emas”, http://www.syariahmandiri.co.id/2013/08/bsm-sinergi-dengan-bank-mandiri-perluaslayanan-gadai-emas/, terrakhir diakses tanggal 13 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
18
yang membatasi maksimal jumlah pembiayaan menjadi sebesar Rp 250.000.000,00
serta jangka waktu menjadi 4 bulan dan hanya dapat diperpanjang maksimal dua kali,
BSM KCP Petisah adalah salah satu warung mikro syariah BSM yang terkena
dampaknya. Selain karena adanya perubahan kebijakan manajemen BSM KCP
Petisah terkait dengan adanya aturan BI tersebut, perubahan regulasi BI di bidang
gadai emas syariah juga berimbas pada penurunan minat masyarakat terhadap gadai
emas syariah.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut
mengenai pelaksanaan pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh yang akan
dituangkan ke dalam judul tesis “Problematika Pelaksanaan Pembiayaan Ar-Rahn
Dengan Akad Al-Qardh Pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu
Petisah”.
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah:
1. Problematika apa saja yang dihadapi PT. Bank Syariah Mandiri KCP Petisah
dalam pelaksanaan pembiayaan Ar-Rahn dengan akad Al-Qardh ?
2. Faktor-faktor apa yang menjadi kendala bagi PT. Bank Syariah Mandiri KCP
Petisah dalam pelaksanaan pembiayaan Ar-Rahn dengan akad Al-Qardh?
3. Upaya apa yang dilakukan PT. Bank Syariah Mandiri KCP Petisah untuk
mengatasi problematika dalam pelaksanaan pembiayaan Ar-Rahn dengan akad AlQardh?
Universitas Sumatera Utara
19
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis problematika yang dihadapi PT. Bank
Syariah Mandiri KCP Petisah dalam pelaksanaan pembiayaan Ar-Rahn dengan
akad Al-Qardh.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menjadi kendala bagi PT.
Bank Syariah Mandiri KCP Petisah dalam pelaksanaan pembiayaan Ar-Rahn
dengan akad Al-Qardh.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dilakukan PT. Bank Syariah
Mandiri KCP Petisah untuk mengatasi problematika dalam pelaksanaan
pembiayaan Ar-Rahn dengan akad Al-Qardh.
D. Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang
hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/literatur
mengenai pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh, selain itu penelitian ini
diharapkan juga dapat menjadi dasar bagi penelitian pada bidang yang sama.
Universitas Sumatera Utara
20
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait pembiayaan ar-rahn dengan akad alqardh.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang
ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister
Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum
ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Problematika Pelaksanaan Pembiayaan ArRahn Dengan Akad Al-Qardh Pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu
Petisah”. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang yang menyangkut pembiayaan
syariah antara lain penelitian yang dilakukan oleh :
1. Aminah (Nim. 097011136), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara,
dengan judul penelitian “Kajian Yuridis Akad Wakalah Pada Pembiayaan KPR
(Kredit Kepemilikan Rumah) dan Kaitannya Dengan Murabahah di Bank
Tabungan Negara Syari’ah Cabang Batam”, dengan permasalahan yang diteliti
adalah :
a. Mengapa Akad Wakalah menjadi keharusan dalam pembiayaan Kredit
Kepemilikan Rumah di Bank Tabungan Negara Syari’ah Cabang Batam?
b. Bagaimana Kekuatan Yuridis Akad Wakalah pada Perjanjian Pembiayaan
Rumah di Bank Tabungan Negara Syari’ah Cabang Batam?
Universitas Sumatera Utara
21
c. Bagaimana Pengaturan BI (Bank Indonesia) atas Akad Wakalah dan
perbandingan dalam Hukum Islam?
2. Fitri Andriani (Nim. 107011077), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera
Utara, dengan judul penelitian “Tinjauan Yuridis Terhadap Dana Talangan Haji
Berdasarkan Hukum Islam (Studi Kasus di Bank Sumut Syariah Cabang
Medan)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah :
a. Bagaimanakah Konsep Pengelolaan Dana Talangan Haji di Bank Sumut
Syariah Cabang Medan?
b. Bentuk Pengawasan Terhadap Dana Talangan Haji di Bank Sumut Syariah
Cabang Medan?
c. Bagaimana pendapat para ulama tentang Pembiayaan Talangan Haji yang ada
di Bank-Bank Syariah di Kota Medan?
3. Ridwan Basyir (Nim. 087011099), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera
Utara, dengan judul penelitian “Pelaksanaan Gadai Emas pada PT. Bank Syariah
Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh Menurut Hukum Islam”, dengan
permasalahan yang diteliti adalah :
a. Bagaimana pelaksanaan gadai emas pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor
Cabang Pembantu Meulaboh?
b. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan gadai emas pada PT.
Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh?
4. Nurhimmi Falahiyati (Nim. 077011053), Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Kajian Hukum Terhadap Peranan
Universitas Sumatera Utara
22
Notaris Dalam Pembuatan Akta Pembiayaan Murabahah Dengan Jaminan Tanah
Yang Belum Bersertifikat”, dengan permasalahan yang diteliti adalah :
a. Bagaimana kekuatan hukum atas tanah belum bersertifikat sebagai objek
jaminan dalam pembiayaan murabahah?
b. Bagaimana resiko bank atas pembiayaan murabahah dengan jaminan tanah
yang belum bersertifikat?
c. Bagaimana peranan notaris dalam pembuatan akta jaminan dalam aqad
pembiayaan murabahah atas tanah yang belum bersertifikat?
5. Rina Dahlina (Nim. 037011072), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera
Utara, dengan judul penelitian “Kedudukan Lembaga Gadai Syariah (Ar-Rahn)
Dalam Sistem Perekonomian Islam (Studi Di Bank Muamalat Indonesia Cabang
Medan dan BNI Unit Syariah Cabang Medan”, dengan permasalahan yang diteliti
adalah :
a. Bagaimanakah bentuk rahn yang dapat dijadikan jaminan pada Bank
Muamalat Indonesia Cabang Medan dan BNI Unit Syariah Cabang Medan?
b. Bagaimanakah pelaksanaan gadai syariah yang diberlakukan pada Muamalat
Indonesia Cabang Medan dan BNI Unit Syariah Cabang Medan?
c. Bagaimanakah kedudukan gadai syariah dalam hukum penggadaian di
Indonesia?
Universitas Sumatera Utara
23
6. Rina Hutagalung, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan
judul penelitian “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Murtahin (Penerima Gadai)
Dalam Pelaksanaan Akad Rahn Emas”, dengan permasalahan yang diteliti adalah:
a. Bagaimana ketentuan pelaksanaan akad rahn emas dalam sistem gadai
syariah?
b. Bagaimanakah tanggung jawab murtahin terhadap marhun yang dijadikan
objek jaminan dalam pelaksanaan akad rahn emas?
c. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap rahin dalam pelaksanaan akad
rahn emas?
Permasalahan-permasalahan
yang
dibahas
dalam
penelitian-penelitian
tersebut berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari
permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara
akademik.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,
teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu
terjadi.27 Teori adalah ungkapan mengenai hubungan kausal yang logis diantara
perubahan (Variable) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986), hlm.122.
Universitas Sumatera Utara
24
kerangka berpikir (Frame of Thingking) dalam memahami serta menangani segala
permasalahan yang timbul dalam bidang tersebut.28
Kerangka teori yakni kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
thesis si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi
si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui
ataupun tidak setujuinya.29
Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori
perjanjian dalam Islam oleh Wahbah Zuhaili yang dalam kitabnya al Fiqh Al Islami
wa adillatuh menyatakan bahwa “akad adalah hubungan/keterkaitan antara ijab dan
qabul atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum
tertentu”.30 Istilah akad dalam hukum Islam dikenal dalam hukum Indonesia dengan
istilah “perjanjian”. Kata akad berasal dari kata al ‘aqd yang berarti mengikat,
menyambung atau menghubungkan, juga bisa bermakna afirmasi atau pengukuhan.
Adapun secara terminologi, ulama fiqih memberikan dua makna; makna khusus dan
makna umum. Adapun akad dalam arti khusus adalah pernyataan dari dua pihak atau
lebih (ijab dan qabul) yang menghasilkan hukum syar’i yang melazimkan salah satu
pihak atau kedua belah pihak. Sedangkan akad dalam arti umum adalah tindakan atau
kehendak sepihak yang melahirkan hukum syar’i yang melazimkan dirinya.31
28
Bintaro Tjokroamidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta : Haji
Masagung, 1998), hal.12.
29
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80.
30
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm. 48.
31
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
25
Secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dilihat dari dua segi, yaitu
secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah segala sesuatu yang
dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak,
pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang,
seperti jual-beli, perwakilan dan gadai. Pengertian akad secara umum di atas adalah
sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyyah,
Malikiyyah dan Hanabilah.32 Pengertian akad secara khusus adalah pengaitan ucapan
salah seorang yang berakad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak
dan berdampak pada objeknya. Pengertian akad secara khusus lainnya adalah
perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang
berdampak pada objeknya.33
Hal yang penting bagi terjadinya akad adalah adanya ijab dan qabul. Ijab
qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridlaan
dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari
suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua
kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan
yang tidak didasarkan pada keridlaan dan syari’at Islam.
Dalam al-Qur’an, setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berhubungan dengan
perjanjian, yaitu al-’aqdu (akad) dan al-’ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa
adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun
32
Rachmad Syafe’I, Fiqih Muamalah, cet. Ke-2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004),
33
Ibid., hlm.44.
hlm.43.
Universitas Sumatera Utara
26
atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya
hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.34 kata al’-aqdu
terdapat dalam surat al- Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi
akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-’aqdu ini dapat disamakan dengan
istilah verbintenis dalam KUH Perdata.35 Sedangkan istilah al-’ahdu dapat disamakan
dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang
untuk mengerjakan atau tidak untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan
dengan orang lain.36 Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imron ayat 76 yaitu
“sebenarnya siapa yang menepati janji yang dibuatnya dan bertaqwa, maka
sesungguhnya Allah menyukai orang-orangyang bertaqwa”.
Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan (Verbintenis), sebagaimana
diatur dalam Pasal 1234 BW yang berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Menurut ulama fiqh, rahn adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan
utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak
mampu melunasi utangnya. Ulama fiqh juga berpendapat bahwa Apabila barang
34
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontektual, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 75
35
Fatturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syari’ah, dalam Darus Badrulzaman, et.al.,
Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.247-248.
36
Ibid., hlm.248.
Universitas Sumatera Utara
27
jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad ar-rahn bersifat mengikat
bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang itu terkait dengan barang jaminan,
sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang
dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib
dikembalikan kepada pemiliknya.
Dalam pelaksanaan gadai emas pada Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu
Petisah, pihak Bank membutuhkan jaminan sebagai kepercayaan atas kemampuan
atau kesanggupan nasabahnya dalam memenuhi kewajiban dari hubungan timbal
balik. Penyerahan barang atau benda yang dijadikan jaminan gadai adalah untuk
melunasi utang nasabah dan mempermudah proses eksekusi apabila dikemudian hari
nasabah wanprestasi.
Sebagai teori pendukung digunakan teori kemaslahatan oleh Al-Syatibi yang
bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati AlSyatibi. Al-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syari’ah. Al-Syatibi
mengemukakan konsep maqashid al-syari’ah. Secara bahasa, maqashid al-syari’ah
terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan
atau tujuan, sedangkan al-syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula
dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan. Al- Syatibi menyatakan
bahwa, “sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia
ini dan akhirat”.37
37
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi, edisi kedua, (Jakarta: PT Raja
Grofindo Persada, 2004), hlm.316-318.
Universitas Sumatera Utara
28
Dengan
demikian,
kewajiban-kewajiban
dalam
syari’ah
menyangkut
perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi
kemaslahatan manusia. Al-Syatibi menjelaskan bahwa syari’ah berurusan dengan
perlindungan mashalih, syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang
landasan-landasan mashalih walaupun dengan cara preventif seperti syari’ah
mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apapun yang secara aktual
atau pontensial merusak mashalih.38
Secara etimologi kata mashlahat, jamaknya mashalih berarti sesuatu yang
baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan.
Mashlahat kadang-kadang disebut dengan istilah yang berarti mencari yang benar.
Esensi mashlahat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan
manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum.39
Ibnu Taymiyyah, sebagaimana dikutip oleh syekh Abu Zahrah,40 mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan mashlahat ialah pandangan mujtahid tentang
perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang
berlawanan dengan hukum syara'.
Menurut Hasballah,41 mashlahat yang dimaksud adalah kemashlahatan yang
menjadi tujuan syara', bukan kemashlahatan yang semata-mata berdasarkan
keinginan hawa nafsu manusia. Sebab disadari sepenuhnya bahwa tujuan dari syariat
38
Ibid., hlm.320
H.M. Hasballah Thaib, Tajdid Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Konsentrasi
Hukum Islam, (Medan: Program Pascasarjana USU, 2002).
40
Nasroen Haroen (b), Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.126.
41
H.M. Hasballah Thaib, Op.Cit., hlm.28.
39
Universitas Sumatera Utara
29
hukum tidak lain adalah untuk merealisir kemashlahatan bagi manusia dari segala
segi dan aspek kehidupan manusia di dunia dari berbagai bentuk yang dapat
membawa kepada kerusakan.
Oleh karena itu masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan
sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di
dalam masyarakat.42
Menurut Kamus Bahasa Indonesia manfaat artinya guna, faedah. Dalam
Bahasa Arab manfaat disebut mashlahah (jamaknya mashalih) merupakan sinonim
dari kata manfaat, dapat digunakan untuk perbuatan yang mengandung manfaat. Kata
manfaat sendiri selalu diartikan dengan ladzhzah (rasa enak) dan upaya mendapatkan
atau mempertahankannya.43
Al-Ghazali mengatakan arti asli mashlahat ialah menarik manfaat atau
menolak mudharat. Adapun artinya secara istilah ialah pemeliharaan tujuan
(maqashid) syara', yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala sesuatu yang
mengandung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima ini adalah mashlahat, semua
yang menghilangkannya adalah mafsadat dan menolaknya merupakan mashlahat.44
42
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1988), hlm.134-135.
43
Husein Hamid Hassan, Nazhariyah Al-Mashlahah Fi Al-Fiqh Al-Islami, (Kairo: AlMutanabbi, 1981), hlm.4, dalam Jamaluddin, Analisis Hukum Perkawinan Terhadap Perceraian
Dalam Masyarakat Kota Lhokseumawe Dan Kabupaten Aceh Utara, Disertasi, (Medan: PPs-USU,
2008), hlm. 23.
44
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
30
Selanjutnya Imam al-Ghazali mengatakan bahwa yang dijadikan patokan
dalam kemashlahatan adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan
manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut
ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, aqal, keturunan, dan harta. Apabila
seseorang melakukan suatu perbuatan yang intinya bertujuan memelihara kelima
aspek tujuan syara’ tersebut, maka perbuatannya dinamakan mashlahat. Di samping
itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima
aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan mashlahat.45
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.46
Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu
fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
keadaan, kelompok atau individu tertentu.47
Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
45
Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2013), hlm.37.
46
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.31.
47
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm.19.
Universitas Sumatera Utara
31
a.
Problematika adalah suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang
diharapkan dapat menyelesaikan atau dapat diperlukan atau dengan kata lain
dapat mengurangi kesenjangan itu.48
b. Akad atau perjanjian adalah janji setia kepada Allah SWT dan juga meliputi
perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan sesama manusia dalam pergaulan
hidupnya sehari-hari.49
c. Pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi
kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.50
d. Rahn adalah menahan barang sebagai jaminan atas utang.51
e. Qardh adalah suatu jenis pinjaman pendahuluan untuk kepentingan peminjaman.
Ini meliputi semua bentuk barang yang bernilai dan bayarannya juga sama dengan
apa yang dipinjamkan.52
f. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah.53
48
Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islami, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1983), hal. 65.
Chairuman Pasaribu, dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1994), hlm.2.
50
M. Syafii Antonio, Op. cit., hlm. 160.
51
Fatwa DSN MUI nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa nomor 26/DSNUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
52
Muhammad Muslehuddin, Op.cit., hlm. 78.
53
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
Pasal 1 angka 12.
49
Universitas Sumatera Utara
32
g. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Petisah adalah lembaga
perbankan syariah yang menjalankan usahanya dalam wilayah Bank Syariah
Mandiri Cabang Medan.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif
analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci
dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan
berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat
untuk menjawab permasalahan.54
Mengingat bahwa penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan
metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu
kepada norma-norma hukum,55 yang terdapat dalam hukum Islam mengenai
pelaksanaan pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh maka penelitian ini
menekankan pada sumber-sumber bahan sekunder, baik berupa peraturan-peraturan
maupun teori-teori hukum, disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku
di masyarakat, sehingga ditemukan suatu asas-asas hukum yang berupa dogma atau
doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalisis
54
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung:
Alumni, 1994), hlm.101.
55
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PT. Ghalia Indonesia, 1996),
hlm.13.
Universitas Sumatera Utara
33
permasalahan yang dibahas,56 yang dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok
permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu pelaksanaan pembiayaan ar-rahn
dengan akad al-qardh dikaitkan dengan ketentuan hukum Islam.
2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
dengan menggunakan bahan hukum :
a. Bahan hukum primer.57
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama
yang dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya adalah KetentuanKetentuan Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW., Ijma’ Ulama, dan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kompilasi Hukum Islam, serta peraturanperaturan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pembiayaan ar-rahn dengan
akad al-qardh.
b. Bahan hukum sekunder.58
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan
dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasilhasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari para ahli hukum, serta dokumendokumen lain yang berkaitan dengan masalah pelaksanaan pembiayaan ar-rahn
dengan akad al-qardh.
56
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.13.
57
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hlm.53.
58
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
34
c. Bahan hukum tertier.59
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, surat kabar, makalah yang
berkaitan dengan objek penelitian.
Sebagai sumber data tambahan dilakukan wawancara dengan menggunakan
pedoman wawancara. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data dan
informasi dari pihak yang telah ditentukan sebagai informan yaitu Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kota Medan, Officer Gadai, dan Nasabah Bank Syariah Mandiri
KCP Petisah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan
melalui tahap-tahap penelitian antara lain sebagai berikut :
a. Studi Kepustakaan (Library Research).
Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian ini.
b. Wawancara.
Hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data penunjang dalam
penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang telah ditentukan
sebagai informan atau narasumber yang dianggap mengetahui permasalahan yang
berkaitan dengan masalah pelaksanaan pembiayaan ar-rahn dengan akad al59
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
35
qardh. Dalam penelitian ini sebagai informan antara lain Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kota Medan, Officer Gadai, dan nasabah Bank Syariah Mandiri
KCP Petisah. Alat yang digunakan dalam wawancara yaitu menggunakan
pedoman wawancara sehingga data yang diperoleh langsung dari sumbernya dan
lebih mendalam sehingga dapat dijadikan bahan guna menjawab permasalahan
dalam tesis ini.
4. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan
metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang
bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun
penuh dengan variasi (keragaman).60
Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
(library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field
research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya
dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran
secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah pelaksanaan
pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan
menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal
60
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53.
Universitas Sumatera Utara
36
yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan
ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsipprinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap faktafakta yang bersifat khusus,61 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah
dirumuskan dalam penelitian ini.
61
Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Op.cit., hlm.109.
Universitas Sumatera Utara
Download