Memperkuat Basis Pertumbuhan Ekonomi

advertisement
Memperkuat Basis Pertumbuhan Ekonomi∗
Fithra Faisal Hastiadi
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence dan Staf Pengajar FEUI
Krisis ekonomi global di tahun 2009 semakin di depan mata. Terlebih, sejumlah
langkah penyelamatan yang dilakukan Amerika Serikat (AS) tidak berjalan mulus.
Pekan lalu, Senat AS gagal menyepakati bail out senilai US$14 miliar untuk
menyelamatkan tiga raksasa otomotif AS: General Motor, Ford, dan Chysler. Sementara
itu, program penyelamatan bagi sektor keuangan AS senilai US$700 miliar yang telah
disepakati pada Oktober juga tidak berjalan mulus karena ketatnya persyaratan yang
diberikan Kongres AS.
Tidak mulusnya program penyelamatan ekonomi AS ini tentunya akan
memberikan pengaruh negatif bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Oleh
karenanya, bila tidak ada langkah mendasar untuk menyelamatkan basis
pertumbuhan ekonomi kita, tren perlambatan pertumbuhan ekonomi yang sudah
terjadi pada Kuartal ketiga 2008 (yang hanya tumbuh 6,1 persen), tampaknya akan
berlanjut di tahun 2009. Meski BPS belum menerbitkan laporan kinerja ekonomi
kuartal keempat 2008, dengan melihat kinerja indikator ekonomi saat ini (ekspor dan
inflasi), diperkirakan pertumbuhan ekonomi tidak akan bisa menyamai level yang
dibuat pada kuartal I dan II 2008 yaitu 6,3 persen dan 6,4 persen.
Dengan melihat potensi krisis ini, penguatan basis pertumbuhan ekonomi
menjadi hal mutlak untuk dilakukan. Penguatan terutama diperlukan untuk
mengkompensasi basis-basis pertumbuhan ekonomi yang akan terpukul akibat krisis
global ini. Dan di sini, diperlukan kreativitas dari para pembuat kebijakan di negeri ini
untuk memanfaatkan setiap peluang bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Reaksi terhadap Krisis
Pihak otoritas sesungguhnya telah melakukan serangkaian tindakan untuk
mencegah perluasan dampak krisis ini. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan masih
bersifat parsial dan cenderung masih ortodoks. Sebagai contoh, respon untuk
mengantisipasi tingginya inflasi, kebijakan yang diambil masih bertumpu pada
kekuatan moneter, yaitu dengan menaikkan BI rate hingga menyentuh 9,5 persen,
meski akhirnya diturunkan ke level 9,25 persen pada Desember ini.
∗
Dimuat Republika, Senin, 15 Desember 2008.
Disebut ortodoks karena tindakan ini hanya berpengaruh terhadap permintaan
agregat tanpa adanya sumbangan di sisi penawaran agregat. Efeknya tentu dapat
diduga, permintaan agregat mengalami kontraksi yang pada gilirannya mengganjal
pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dimengerti mengingat dalam kurun waktu
delapan tahun terakhir (2001 – sekarang), struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia
ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebagai sumber pertumbuhan terbesar.
Ditilik dari sumber permasalahannya, tingginya inflasi disebabkan oleh peredaran
uang yang berlebih secara relatif terhadap barang. Jika saja ruang untuk berkreasi
sedikit diperluas, kondisi inflasi yang tinggi tentunya dapat di redam dari sisi
penawaran yaitu dengan melakukan ekspansi suplai sehingga gap antara barang
dengan uang menjadi lebih kecil, tanpa harus menaikkan suku bunga. Insentif untuk
ekspansi tentunya menjadi domain dari pemerintah, sehingga diperlukan koordinasi
yang efektif diantara otoritas fiskal dan moneter.
Suplai yang meningkat diiringi dengan perbaikan konsumsi domestik pada
gilirannya akan menghasilkan ekonomi yang bertumbuh dengan tingkat inflasi yang
manageable. Akan tetapi, dalam konteks analisa kebijakan, tindakan ini hanya bersifat
parsial dan hanya memenuhi syarat perlu (necessary condition). Demi memenuhi asas
kecukupan (sufficient condition) diperlukan sebuah tindakan yang juga bisa
memperbaiki kinerja sektor riil sehingga pertumbuhan ekonomi yang tercapai
merupakan pertumbuhan yang memiliki kualitas.
Penguatan Sektor Riil
Dalam perkembangannya, kinerja sektor riil juga tak luput terkena pengaruh dari
krisis di AS dan beberapa negara maju lainnya. Pengaruh tersebut terutama
disebabkan oleh melemahnya kurs Rupiah terhadap Dollar AS dan penurunan order
yang berasal pasar tradisional ekspor kita, yaitu AS, Eropa, dan Jepang. Lebih lanjut,
kondisi krisis global menimbulkan second round effect berupa melemahnya nilai
ekspor netto Indonesia karena penurunan daya beli luar negeri dan semakin mahalnya
bahan baku impor akibat pelemahan Rupiah.
Kondisi ini pada gilirannya berkontribusi terhadap tren penurunan surplus (ekspor
netto) neraca perdagangan Indonesia. Idealnya, komponen ekspor netto memiliki
kontribusi yang semakin besar dalam menopang laju PDB sekaligus demi menciptakan
kondisi aman pada supply cadangan devisa. Akan tetapi, kenyataan berkata lain,
kontribusi ekspor netto dalam pembentukan PDB terus mengalami tren penurunan.
Pada tahun 2003, kontribusi ekspor netto terhadap pembentukan PDB masih sebesar
7,63 persen. Tetapi, pada tahun 2004 kontribusi ekspor netto turun drastis menjadi
hanya 4,65 persen. Kemudian, pada tahun 2005 kontribusi ekspor netto terhadap
pembentukan PDB turun lagi menjadi hanya 4,30 persen.
Kontribusi ekspor netto dalam pembentukan PDB mengalami kenaikan pada
tahun 2006 menjadi 5,40 persen. Namun, pada tahun 2007 kontribusi ekspor netto
turun menjadi hanya 4,10 persen. Dan sejak tahun 2007 hingga triwulan ketiga 2008
kontribusi ekspor netto sebagai penopang PDB terus mengalami penurunan. Pada
triwulan ketiga 2008, kontribusi ekspor netto, bahkan tercatat berkontraksi atau
tumbuh negatif sebesar 0,10 persen. Memburuknya ekspor netto tersebut merupakan
gambaran bahwa telah terjadi perlambatan kinerja di sektor riil.
Substitusi Impor
Mengingat adanya hubungan yang cukup erat antara perkembangan neraca
perdagangan dengan kinerja sektor riil, maka usaha-usaha untuk memperbaiki
performa neraca perdagangan akan memiliki kontribusi yang kuat terhadap perbaikan
kinerja dari sektor riil. Namun, dalam situasi saat ini, selayaknya usaha yang dilakukan
perlu difokuskan pada strategi penguatan pasar domestik ketimbang membidik pasar
luar negeri. Hal ini sangat rasional, mengingat kinerja ekspor kita mengalami
penurunan sebagai akibat melemahnya kinerja perekonomian negara-negara tujuan
ekspor. Dengan pasar domestik yang tumbuh kuat, hal ini dapat mengkompensasi
penurunan kinerja ekspor kita.
Berbicara mengenai pasar domestik tentunya ini menyangkut sisi permintaan
agregat. Ditilik dari tinjauan kebijakan yang telah terpapar diatas, peningkatan
konsumsi domestik secara relatif memiliki hubungan yang cukup signifikan dengan
meningkatnya impor. Hal ini pada gilirannya akan meminimalisir efek dari surplus
neraca perdagangan. Dengan demikian, kebijakan substitusi impor memegang
peranan yang sangat penting untuk menyelesaikan cela ini, karena tentunya kita tidak
menginginkan usaha yang dilakukan para pemegang kebijakan dalam hal perbaikan
konsumsi domestik memilki dampak yang minimal terhadap perbaikan sektor riil.
Ide dari strategi substitusi impor berangkat dari sebuah premis untuk mengurangi
pengaruh eksternal terhadap perkembangan ekonomi negara yaitu dengan
menciptakan produk-produk yang sebelumnya diimpor. Melihat dari sejarahnya,
kebijakan ini sangat lekat dengan negara-negara yang tidak memiliki keterkaitan yang
kuat dengan pasar luar negeri, seperti yang pernah dilakoni oleh negara-negara
Amerika latin pada 1930-an. Akan tetapi, seiring waktu berjalan, kebijakan ini dirasa
efektif untuk mengatasi gejala krisis, sebuah gejala yang kini muncul di Indonesia.
Beberapa keuntungan potensial dari strategi ini berupa menguatnya kinerja dari
sektor riil yang ditandai dengan meningkatnya lapangan kerja. Pada gilirannya,
kebijakan ini diharapkan akan menciptakan sebuah pertumbuhan ekonomi yang
bersifat resilien terhadap shock ekonomi global. ***
Download