TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Pepaya (Carica papaya L.) termasuk dalam famili Caricaceae dan genus Carica. Famili Caricaceae ini terdiri dari empat genus yaitu Carica, Jarilla dan Jacaratial yang tersebar di daerah Amerika Tropik, dan satu genus yaitu Cylicomorpha yang berasal dari Afrika Tengah. Genus Carica ini memiliki 21 spesies dan pepaya (Carica papaya L.) merupakan spesies yang paling digemari dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dari famili ini (Samson, 1980). Tanaman pepaya ini merupakan salah satu tanaman buah tropika asal Meksiko Selatan (Sujiprihati dan Suketi, 2009). Berdasarkan morfologinya, buah pepaya termasuk buah buni dengan daging buah yang tebal dan memiliki rongga buah di bagian tengahnya. Batang berbentuk silinder dengan diameter 10 - 30 cm dan berongga. Daun-daunnya tersusun spiral berkelompok dekat dengan ujung batang. Tangkai daun pepaya dapat mencapai panjang 1 m, berongga dan berwarna kehijauan, merah jambu kekuningan dan keunguan. Helaian daunnya berdiameter 25 - 75 cm, bercuping 7 - 11, menjari, serta tidak berbulu. Tanaman pepaya dapat digolongkan dalam kelompok tanaman menyerbuk silang (cross pollinated crop) contohnya pepaya Boyolali, Dampit Jingga, Wulung Bogor dan beberapa tipe pepaya besar yang lain. Terdapat juga beberapa pepaya yang bersifat menyerbuk sendiri (self pollinated crop) seperti pepaya Hawaii (tipe buah kecil) (Sujiprihati dan Suketi, 2009). Pepaya memiliki tiga tipe bunga sekaligus yaitu bunga jantan (staminate), bunga betina (pistillate) dan bunga lengkap atau hermafrodit (bisexual) (Sobir, 2009). Bunga jantan tersusun atas malai dengan panjang bunga yaitu 25 - 100 cm, menggantung dan tidak bertangkai. Kelopak bunga berbentuk cawan, berukuran kecil, bergerigi lima dengan mahkota berbentuk terompet yang panjangnya 2.5 cm, memiliki lima cuping yang berwarna kuning cerah. Stamen atau benang sari berjumlah 10 yang tersusun dalam dua lapisan yang melekat antara daun mahkota (Villegas, 1992). Menurut Villegas (1992) bunga betina soliter atau beberapa kuntum berada pada suatu payung menggarpu, panjang bunganya 3.5 - 5 cm, daun kelopaknya 5 berbentuk cawan dengan panjang 3 - 4 mm, memiliki lima gigi sempit dengan warna hijau kuning. Mahkotanya tersusun atas lima daun mahkota, berbentuk lanset, melilit, berdaging berwarna kuning. Bakal buahnya bulat telur sampai lonjong dengan panjang 2 - 3 cm, memiliki rongga tengah berisi banyak bakal biji. Bunga betina memiliki lima kepala putik berbentuk kipas tak bertangkai dan bercelah lima. Bunga hermafrodit terdiri dari dua macam yaitu tipe elongata dan pentandria. Tipe elongata bunganya berkelompok, bertangkai pendek, memiliki mahkota yang sebagian menyatu. Bunga hermafrodit memiliki 10 benang sari yang tersusun dalam dua seri dan bakal buah yang memanjang. Tipe petandria memiliki bunga yang mirip dengan bunga betina tapi memiliki lima benang sari (Villegas, 1992). Rasio bunga betina, hermafrodit dan jantan dapat diprediksi dengan melakukan penyerbukan yang terkontrol (Villegas, 1992). Bunga betina yang diserbuki oleh bunga jantan akan menghasilkan keturunan betina dan jantan dengan perbandingan 1 : 1. Bunga hermafrodit yang diserbuki oleh benang sari dari bunga hermafrodit lain, baik dengan penyerbukan sendiri maupun penyerbukan silang akan menghasilkan keturunan betina dan hermafrodit dengan perbandingan 1:2. Bunga betina yang diserbuki oleh benang sari yang berasal dari bunga hermafrodit akan menghasilkan keturunan betina dan hermafrodit dengan rasio 1 : 1. Bunga hermafrodit yang diserbuki oleh bunga jantan akan menghasilkan keturunan jantan, betina dan hermafrodit dengan rasio 1 : 1 : 1 (Nakasone dan Paull, 1998). Syarat Tumbuh Menurut Ashari (1995) tanaman pepaya memiliki daya adaptasi yang cukup luas terhadap lingkungannya. Tanaman pepaya banyak diusahakan di daerah dataran rendah hingga ketinggian 700 m dpl dengan curah hujan 1,000 - 2,000 mm per tahun. Menurut Nakasone dan Paull (1998) tanaman pepaya akan tumbuh dengan baik dan akan dapat terus berbuah tanpa bantuan irigasi pada daerah yang memiliki curah hujan minimal 100 mm/bulan. Menurut Sobir (2009) terdapat hubungan positif antara ketinggian tempat dan kecepatan berbunga. Semakin rendah lokasi lahan, semakin cepat tanaman pepaya berbunga. Menurut Nakasone dan Paull (1998) pepaya dapat tumbuh pada pH tanah 5.0 sampai 7.0. Kisaran pH yang paling baik untuk pertumbuhan tanaman pepaya 6 yaitu 5.5 sampai 6.5. Pada pH dibawah 5.0 pertumbuhan bibit pepaya akan buruk dan tingkat kematian tinggi. Pepaya termasuk tanaman yang tidak tahan terhadap angin kencang. Menurut Villegas (1992) perkebunan pepaya hendaknya berada di lahan yang dikelilingi oleh pohon penahan angin. Menurut Nakasone dan Paull (1998) tanaman pepaya harus dilindungi dari angin kencang. Angin kencang dapat merobohkan tanaman pepaya dan dapat merusak daun serta merontokkan bunga dan buah. Menurut Nakasone dan Paull (1998) suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman pepaya berkisar antara 21 - 33oC. Tanaman pepaya tergolong sensitif terhadap perubahan suhu. Suhu dibawah 12 - 14oC selama beberapa jam pada malam hari berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Menurut Sobir (2009) kelembapan udara optimal yang dibutuhkan pada lingkungan tumbuh tanaman pepaya sekitar 66%. Kekeringan dapat menyebabkan daun tua lebih cepat layu dan terjadi perubahan bunga hermafrodit menjadi jantan. Akibatnya, buah yang terbentuk berkurang atau malah kosong. Perubahan jenis bunga atau ekspresi seks sangat dipengaruhi oleh faktor iklim seperti kekeringan, suhu yang bervariasi dan kandungan hara yang tidak seimbang. Pada tiga bulan pertama (saat pembentukan bunga pertama) tanaman harus cukup air, suhu udara tidak terlalu tinggi dan fluktuasi, serta mendapatkan pemupukan yang berimbang. Genotipe Pepaya Karakter unggul pepaya yang diinginkan yaitu rasa daging buah yang manis, ukuran buah sedang dan warna daging buah oranye-merah (Budiyanti et al., 2005). Saat ini pepaya genotipe IPB 1, IPB 3 dan IPB 8 mempunyai sifat buah yang diinginkan oleh konsumen (Suketi et al., 2010c). Genotipe IPB 1 dan IPB 3 digemari karena memiliki ukuran kecil dan rasanya sangat manis. Beberapa genotipe pepaya unggul yang telah banyak diuji coba untuk dibudidayakan antara lain genotipe IPB 1, IPB 3, IPB 6 C dan IPB 9 (Sujiprihati dan Suketi, 2009). Genotipe IPB 1 biasa dikenal di masyarakat dengan nama Arum Bogor. Menurut PKBT (2010) genotipe IPB 1 memiliki ciri - ciri : umur berbunga empat bulan setelah tanam, umur petik tujuh bulan setelah tanam, bentuk buah lonjong, 7 warna kulit buah hijau, warna daging buah jingga kemerahan, panjang buah 13.2 15.5 cm, diameter buah 9.1 - 11.5 cm, bobot per buah yaitu 510 - 800 g, tingkat kemanisan sebesar 11 - 13oBrix dan edible portion sebesar 80.12 - 84.20%. Keunggulan dari genotipe IPB 1 yaitu praktis karena bentuk buah kecil sehingga cukup dikonsumsi satu orang dengan menggunakan sendok, bentuk buah lonjong dan seragam, serta rasa daging buah sangat manis dan beraroma harum. Genotipe IPB 3 dikenal oleh masyarakat dengan nama pepaya Carisya. Pepaya genotipe IPB 3 ini merupakan tipe buah pepaya berukuran kecil sama seperti genotipe IPB 1. Deskripsi dari genotipe IPB 3 menurut PKBT (2010) yaitu umur berbunga empat bulan setelah tanam, umur petik tujuh bulan setelah tanam, bentuk buahnya lonjong, warna kulit buah hijau tua, warna daging buah jingga kemerahan, panjang buah sekitar 16.2 - 17.8 cm, diameter buah yaitu 7.6 - 8.4 cm, bobot per buah sebesar 497.9 - 648.7 g, tingkat kemanisan sebesar 9.3 - 14.3oBrix dan edible portion sebesar 80.12 - 84.20%. Keunggulan dari genotipe IPB 3 yaitu praktis karena bentuk buah kecil sehingga cukup dikonsumsi satu orang dengan menggunakan sendok, kulit buah halus mulus, rasa daging buah sangat manis dan tidak berbau, serta daging buah agak kenyal. Genotipe IPB 9 lebih dikenal dengan nama pepaya Callina oleh masyarakat. Genotipe IPB 9 termasuk buah ukuran sedang. Genotipe IPB 9 menurut PKBT (2010) yaitu umur berbunga empat bulan setelah tanam, umur petik 8.5 bulan setelah tanam, bentuk buah silindris, warna kulit buah hijau lumut, warna daging buah jingga, panjang buah 23 - 24 cm, diameter buah 9.2 - 9.5 cm, bobot per buah 1,200 - 1,300 g, tingkat kemanisan sebesar 10.1 - 11.2oBrix dan edible portion sebesar 82.9 - 85.7%. Keunggulan dari genotipe IPB 9 yaitu bentuk buah silindris seperti peluru, warna kulit buah hijau dan mulus, rasa buah manis, daging buah tebal dan renyah, daya simpan lama, umur tanaman genjah dan perawakan rendah. Pemuliaan Tanaman Pepaya Pemuliaan tanaman pepaya bertujuan untuk menghasilkan varietas pepaya yang lebih baik dan sesuai dengan selera konsumen. Varietas hasil pemuliaan tanaman yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yaitu varietas hibrida. Istilah varietas hibrida ini biasanya menunjukkan populasi F1 yang 8 dipakai untuk tanaman komersil. Populasi F1 seperti itu dapat diperoleh dengan mengawinkan secara silang klon-klon, varietas penyerbukan bebas, galur inbreed atau populasi lain yang secara genetik tidak sama (Allard, 1989). Tahapan untuk menghasilkan varietas hibrida yaitu pembentukan galur murni dengan cara selfing selama 7 - 8 generasi terhadap tetua terpilih yang membutuhkan waktu 7 - 8 tahun (Sujiprihati dan Suketi, 2009). Menurut Poespodarsono (1988) keturunan hasil hibridisasi ini akan mengalami segregrasi pada F1 bila kedua tetuanya heterozigot atau pada F2 bila kedua tetuanya homozigot. Segregasi ini akan menimbulkan keragaman genetik yang selanjutnya dilakukan seleksi dan evaluasi terhadap karakter tanaman yang diinginkan. Menurut Mangoendidjojo (2003) variasi yang timbul karena faktor genetik dinamakan heritable variation yakni variasi yang diwariskan kepada keturunannya. Bila ada variasi yang timbul atau dampak pada populasi tanaman yang ditanam pada lingkungan yang sama maka variasi tersebut merupakan perbedaan yang berasal dari genotipe individu anggota populasi. Keragaman genotipe ini diwariskan maka perhatian utama para pemulia tanaman ditujukan pada variasi ini. Variasi genetik dapat terjadi karena adanya percampuran material pemuliaan, rekombinasi genetik sebagai akibat adanya persilangan-persilangan dan adanya mutasi ataupun poliploidisasi. Karakter tanaman dikendalikan oleh gen dalam sel tanaman itu sendiri. Karakter tanaman yang tampak dan dapat diamati secara visual disebut dengan fenotipe. Fenotipe merupakan pengaruh interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Pada dasarnya fenotipe tanaman dapat dikategorikan atas dua bentuk karakter yaitu karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif biasanya dapat diamati dan dibedakan dengan jelas secara visual, sedangkan karakter kuantitatif dapat diukur dengan satuan ukuran tertentu (Nasir, 2001). Pendugaan Parameter Genetik Pendugaan parameter genetik dalam kaitan karakterisasi sifat - sifat tanaman merupakan komponen utama dalam upaya perbaikan sifat tanaman sesuai dengan yang dikehendaki. Keberhasilan seleksi tanaman dalam pemuliaan bergantung pada seberapa luas variabilitas genetik yang ada dari suatu materi yang akan 9 diseleksi (Akhtar et al., 2007). Pendugaan parameter genetik pada tanaman jarak pagar melalui nilai variabilitas genetik, ragam genotipe, fenotipe dan ragam lingkungan, nilai heritabilitas, kemajuan genetik, nilai korelasi fenotipe dan genotipe, heterosis dan pengaruh maternal merupakan informasi dasar bagi upaya perbaikan suatu karakter tanaman melalui seleksi atau kegiatan pemuliaan lainnya (Wardiana dan Pranowo, 2011). Heterosis menurut Poespodarsono (1988) adalah keunggulan hibrida atau hasil persilangan (F1) yang melebihi nilai atau kisaran kedua tetuanya. Pada saat ini istilah heterosis disamakan dengan ketegapan hibrida (hybrid vigor), tetapi heterosis dan ketegapan hibrida sebenarnya berbeda artinya. Heterosis berarti rangsangan perkembangan yang disebabkan oleh bersatunya gamet yang berbeda, sedangkan ketegapan hibrida merupakan manifestasi dari heterosis. Menurut Nasir (2001) heterosis biasanya dinyatakan dalam satuan tertentu misalnya persen dari nilai tengah kedua tetua, tetua terbaik atau varietas komersial. Terdapat tiga macam heterosis yaitu heterosis tetua tengah (mid-parent heterosis), heterobeltiosis (high-parent heterosis) dan heterosis baku (standard heterosis). Heterosis nilai tengah biasanya dinyatakan dalam persen. Heterosis nilai tengah ini membandingkan nilai hibrida dengan nilai tengah kedua tetuanya. Heterobeltiosis membandingkan nilai hibrida dengan salah satu tetua terbaiknya dan dinyatakan dalam persen. Heterosis baku membandingkan nilai tengah hibrida dengan nilai tengah varietas komersial yang telah beradaptasi di suatu kawasan tertentu. Persilangan antara dua genotipe yang berkerabat jauh biasanya memberikan efek heterosis yang lebih besar dibandingkan dengan kerabat dekat (Nasir, 2001). Hibrida yang berasal dari persilangan antara galur tetua yang memiliki latar belakang genetik yang berbeda memperlihatkan nilai heterosis yang tinggi (Ruswandi et al., 2008). Menurut Poespodarsono (1988) terdapat tiga teori yang menerangkan terjadinya heterosis atas dasar genetik yaitu : 1. Heterosigositas. Heterosigositas dalam arti over dominance yakni nilai lebih dari hibrida jika dibandingkan kedua tetuanya, akibat adanya interaksi antara gen dalam lokus. 10 Persilangan dua tetua dapat dihasilkan hibrida yang kemungkinan nilainya separuh kedua tetuanya disebut intermediate, atau mendekati nilai salah satu tetua disebut dominan parsial atau sama nilainya dengan nilai tertinggi salah satu tetuanya disebut dominan. 2. Akumulasi gen dominan. Gen pendukung pertumbuhan dan keunggulan dalam keadaan dominan, sedang gen yang merugikan dalam keadaan resesif. Bila diadakan persilangan antara dua tetua, kemungkinan gen dominan dari salah satu tetua menambah dominan dari tetua lain sehingga F1 mempunyai gen dominan lebih banyak dari kedua tetuanya. 3. Interaksi antara allel berbeda lokus. Interaksi ini memberikan nilai lebih karena hasil penambahan dan perkalian dari gen dominan mendukung keunggulan sifat. Keunggulan sifat salah satunya disebabkan adanya interaksi antara gen dominan dari lokus yang berlainan. Menurut Gardner et al. (1991) pada umumnya karakter-karakter yang dapat diwariskan dikendalikan oleh gen-gen kromosom inti, tetapi terdapat beberapa karakter yang dikendalikan oleh DNA organel sitoplasma. Suatu karakter yang dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat pada organel sitoplasma atau dipengaruhi tetua betina dapat diketahui dengan melakukan persilangan resiprokal (efek maternal). Menurut Permadi et al. (1991) informasi tentang efek maternal terhadap suatu sifat sangat penting dalam upaya penentuan arah dan metode seleksi pada tanaman kacang hijau. Menurut Stansfield (1991) efek maternal dapat terlihat dengan cara membandingkan turunan pertama (F1) dan turunan pertama resiprokal (F1R). Karakter yang dipengaruhi oleh tetua betina maka keturunan persilangan resiproknya akan memberikan hasil yang berbeda dan keturunannya akan memperlihatkan ciri dari tetua betina.