filsafat manusia - Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah

advertisement
FILSAFAT MANUSIA
(Studi Komparatif antara Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî)
Skripsi
Diajukan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th. I)
Oleh:
Hairus Saleh
109033100052
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H./2014 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 08 Juli 2014
Hairus Saleh
ii
FILSAFAT MANUSIA
Antara Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî
Skripsi
Diajukan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan
untuk Memeroleh Gelar Sarjana Theologi Islam
Oleh
Hairus Saleh
NIM: 109033100052
Di Bawah Bimbingan
Dr. Edwin Syarif, MA
NIP: 10670918 199703 1 001
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H./2014 M.
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul FILSAFAT MANUSIA; STUDI KOMPARATIF
ANTARA ABDURRAHMAN WAHID DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ,
telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 08 Juli 2014. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam
(S. Th. I) pada Program Studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 08 Juli 2014
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Edwin Syarif, MA
Dra. Tien Rohmatin, MA
NIP: 10670918 199703 1 001
NIP: 19680803 199403 2 002
Anggota,
Dr. Syamsuri, MA
NIP: 19590405 198903 1 003
Dr. A. M. Romly, M. Hum
NIP: 150 19232 34
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
‫ا‬
=
a
‫ﻑ‬
=
f
‫ب‬
=
b
‫ﻕ‬
=
q
‫ﺖ‬
=
t
‫ك‬
=
k
‫ث‬
=
ts
‫ﻝ‬
=
l
‫ﺝ‬
=
j
‫ﻡ‬
=
m
‫ﺡ‬
=
ḥ
‫ﻦ‬
=
n
‫ﺥ‬
=
kh
‫ﻭ‬
=
w
‫ﺩ‬
=
d
‫ﻩ‬
=
h
‫ﺫ‬
=
dz
‫ء‬
=
’
‫ﺮ‬
=
r
‫ﻯ‬
=
y
‫ﺰ‬
=
z
‫ﺲ‬
=
s
Untuk Madd dan Diftong
‫ﺶ‬
=
sy
‫آ‬
=
â
‫ﺹ‬
=
sh
ْ‫ﺇِﻯ‬
=
î
‫ﺽ‬
=
dl
‫ﺃُ ْﻭ‬
=
û
‫ﻁ‬
=
th
‫ﺃَ ْﻭ‬
=
aw
‫ﻅ‬
=
zh
ْ‫ﺃَﻯ‬
=
ay
‫ﻉ‬
=
‘
‫ﻍ‬
=
gh
v
ABSTRAK
Hairus Saleh
Filsafat Manusia (Studi Komparatif antara Pemikiran Abdurrahman Wahid dan
Murtadlâ Muthahharî)
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di antara
makhluk-makhluk lain, karena ia mempunyai berbagai potensi yang tidak dimiliki
makhluk lain. Potensi itu akan mengarahkan manusia pada tahap mencapai
hakikatnya sebagai manusia.
Para sufi mengatakan bahwa manusia yang hakiki adalah ia yang mampu
memenuhi kebutuhan jiwanya. Pencapaian jiwa manusia akan Tuhannya
merupakan tanda bahwa ia sudah mencapai manusia hakiki. Manusia yang
demikian tak akan lagi mengedepankan dunia.
Tetapi bagi Gus Dur dan Murtadlâ tidak demikian, terdapat sisi di mana
manusia harus mengoptimalkan potensi rohaninya untuk memenuhi kebutuhan
batin, di sisi lain manusia juga mempunyai potensi jasmani untuk memenuhi
kebutuhan lahirnya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah
makhluk yang mempunyai jiwa tetapi juga hidup di dunia dan berinteraksi dengan
orang lain dan alam.
Meskipun keduanya sama-sama mengakui potensi lahir dan batin manusia,
tetapi mereka mempunyai perbedaan-perbedaan dalam menjabarkan tentang
konsep mengenai hakikat manusia. Bahkan puncak pencapaian dari rumusan
tersebut juga berbeda. Gus Dur menyimbolkan manusia yang hakiki dengan
manusia yang mampu mengoptimalkan seluruh potensinya untuk kesejahteraan.
Sedangkan Murtadlâ menyimbolkannya dengan makhluk yang mampu
menyeimbangkan segala potensinya demi tercapainya ketauhidan yang benar.
Apa yang diuraikan penulis dalam tulisan ini, secara otomatis akan
memberikan gambaran-gambaran tentang hubungan pemikiran kaum Sunni dan
Syiah. Dari itu pembaca sudah bisa melihat persamaan dan perbedaan pemikiran
keduanya.
vi
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang amat sangat mendalam, penulis serahkan jiwa dan raga ini
kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan kuasa-Nya yang diberikan kepada
penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya,
para sahabat serta para pengikutnya yang telah menyebarluaskan warisan
kenabian dan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pada dasarnya, penulisan skripsi ini merupakan suatu respon atas konflik
tajam antara pengikut sunni dan syiah di Sampang Madura yang kemudian
melahirkan permusuhan yang tak berkesudahan. Isu yang berkembang di
masyarakat, konflik antara keduanya disebabkan oleh perbedaan pemahaman
terhadap teks-teks agama. Oleh karena itu penulis begitu tertarik untuk
mengkomparasikan pemikiran dua tokoh yang masing-masing berasal dari dua
aliran tersebut, yaitu Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî. Kajian
pemikiran kedua tokoh tersebut difokuskan pada pembahasan tentang filsafat manusia.
Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk itu saya
merasa perlu menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan skripsi ini, terutama peulis sampaikan kepada:
1.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat beserta
jajarannya.
2.
Dr. Edwin Syarif, MA. (Ketua Jurusan Aqidah Filsafat dan juga sebagai
pembimbing skripsi), terima kasih telah menyetujui proposal skripsi dan
membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
vii
dengan baik. Dra. Tien Rohmatin, MA (Sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat),
yang baik hati dan ramah, terima kasih atas nasihat dan bantuannya, akhirnya
penulis tetap konsisten menyelesaikan judul skripsi ini.
3.
Tak akan lupa dan tak akan pernah terlupakan oleh penulis, menghaturkan
beribu-ribu terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua
penulis Ayahanda Abd. Mun’im Siraj dan Ibunda Hamidah, yang tak hentihentinya memberikan do’a demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini.
Juga kepada kakak-kakakku, Siti Maryamah, Siti Hafsoh dan Siti Hasanah
yang selalu mendukung serta mengingatkan penulis untuk secepatnya
menyelesaikan skripsi.
4.
Pimpinan dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi
dan birokrasi.
5.
Para Dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan dan
ilmu yang luas kepada penulis.
6.
Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan fakultas
Ushuluddin,
terima
kasih
atas
pinjaman
buku-bukunya
yang
rela
meminjamkan beberapa literatur dalam penulisan skripsi ini.
7.
Teman seperjuangan Izaumal Hikmah, Ar Rahmah, Fifin, Burhan, Daqoiq,
Fitri M, Ali Humaini, Dwi Astrianingsih dan teman-teman yang lain yang tak
bisa disebutkan semua. Terimakasih telah memberikan semangat.
Jakarta, 08 Juli 2014
Hairus Saleh
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Batasan Masalah ...................................................................................... 6
C. Rumusan Masalah .................................................................................... 6
D. Metode Penelitian ..................................................................................... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ............................................................................ 8
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................... 9
G. Sistematika Pembahasan ....................................................................... 10
BAB II BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID DAN MURTADLÂ
MUTHAHHARÎ
A. Abdurrahman Wahid ............................................................................ 12
1. Riwayat Hidup .................................................................................. 12
2. Karya-karya ...................................................................................... 17
3. Kedudukan Abdurrahman Wahid dalam Pemikiran Islam ........ 20
B. Murtadlâ Muthahharî ........................................................................... 24
1. Riwayat Hidup .................................................................................. 24
2. Karya-karya ...................................................................................... 28
3. Kedudukan Murtadlâ Muthahharî dalam Pemikiran Islam ....... 30
BAB III FILSAFAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN
WAHID DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ
A. Filsafat Manusia menurut Abdurrahman Wahid ............................... 35
1. Mengenai Hakikat Manusia ............................................................ 35
2. Dimensi-dimensi Manusia ............................................................... 40
B. Filsafat Manusia menurut Murtadlâ Muthahharî .............................. 47
1. Perspektif Murtadlâ Muthahharî tentang Manusia ..................... 47
2. Dimensi-dimensi Manusia ............................................................... 51
ix
BAB IV KOMPARASI PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID DAN
MURTADLÂ MUTHAHHARÎ TENTANG FILSAFAT MANUSIA
A. Pandangan mengenai Ayat-ayat tentang Manusia ............................. 57
B. Pandangan tentang Manusia secara Utuh ........................................... 61
1. Manusia yang Hakiki ........................................................................ 61
2. Dimensi-dimensi Manusia ................................................................. 65
3. Tentang Kebebasan Manusia ........................................................... 69
C. Refleksi Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî
................................................................................................................... 76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 81
B. Saran-saran ............................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 83
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diungkapkan oleh Jan Hendrik Rapar yang diambil dari
definisi Plato dalam Pengantar Filsafat bahwa filsafat ialah ilmu yang berupaya
untuk memahami hakikat realitas ada dengan mengandalkan akal budi. 1 Karena
filsafat mencoba memahi segala realitas yang ada, sehingga objeknya melingkupi
segala yang ada termasuk juga manusia.
Ketika filsafat berobjekkan manusia, filsafat menjadi ilmu yang mengaji
tentang seluk-beluk manusia. Dalam artian, filsafat akan membahas mengenai
manusia secara mendalam, baik dari unsur dan fungsi hidupnya. Jika dikaitkan
dengan suatu tokoh, itu berarti mengacu pada pemikiran tokoh tersebut mengenai
manusia itu sendiri secara mendalam. Maka dari itu, kajian menganai filsafat
manusia mengarah pada hakikat manusia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia disebutkan sebagai alam
kecil yang merupakan bagian dari alam besar yang ada di atas alam. Ia adalah
makhluk yang bernyawa, makhluk antromorphen dan merupakan binatang yang
menyusui, akan tetapi juga merupakan makhluk yang dapat mengetahui dan
menguasai kekuatan-kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya, baik lahir
maupun batin.2
1
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2010), Cet. Ke-14, h. 15.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1987), Cet. Ke-1, h. 291.
2
1
2
Al-Qur‟an menyebutkan manusia dengan beberapa istilah, yaitu basyar,
insân dan nâs. Istilah basyar mempunyai arti bahwa manusia merupakan makhluk
yang terdiri dari karakteristik fisiologis, biologis dan psikologis.3 Istilah insân
digunakan dalam al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya, yaitu jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan
yang lain akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.4 Maka aspek jiwa dan
raga inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang memang benar-benar
berbeda dengan makhluk lain. Sedangkan istilah nâs digunakan untuk
menunjukkan sifat universal manusia atau untuk menunjukkan spesies manusia.
Artinya ketika menyebut nâs berarti adanya pengakuan terhadap spisies di dunia
ini yaitu manusia.5
Insân merupakan istilah yang sangat cocok untuk menggantikan istilah
manusia yang akan dibahas dalam kajian ilmiah ini. Dalam membahas tentang
manusia (insân dalam bahasa al-Qur‟an), para tokoh Islam mempunyai beragam
pendapat, sesuai dengan latar belakang keilmuannya.
Menurut al-Jîlî, manusia merupakan makhluk yang keruhaniannya
merupakan unsur pokok dalam hidupnya. Unsur pokok tersebut yang menjadikan
manusia memiliki potensi untuk meneladani sifat-sifat Tuhan.6 Dengan usaha ini,
sesungguhnya manusia berada dalam proses pengembaraan menuju Tuhan.
3
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Glogal, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 300.
4
M. Qurash Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan 1997), h. 278.
5
Bahruddin, Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 76.
6
Abdul Karîm Ibnu al-Jîlî, Insân Kâmil: Ikhtisar Memahami Kesejatian Manusia dengan
Sang Khâliq hingga Akhir Zaman, terj. Misbah el-Majid (Surabaya: Pustaka Hikma Perdana, 2006), h.
319.
3
Keintiman antara manusia dan Tuhan merupakan titik akhir dari pengembaraan
tersebut. Pada tahap ini manusia sesungguhnya sudah mencapai realitasnya
sebagai manusia yang hakiki.
Berbeda dengan „Alî Syari‘atî, ia memandang bahwa manusia tidak akan
pernah mencapai realitasnya, karena antara manusia dan Tuhan selalu terdapat
jarak yang memisahkan keduanya. Sehingga manusia pada hakikatnya selalu
berada dalam proses menuju realitasnya.7 Jadi meskipun dengan segala unsurunsur individunya ia berpotensi untuk mencapai taraf yang lebih tinggi dari
tingkatan kemanusiaan yang dicapainya, tetapi pencapaiannya hanya sebatas terusmenerus maju ke arah realitasnya.8
Kalau kedua tokoh di atas membahas tentang manusia dalam kaitannya
dengan penyatuannya dengan Tuhan, tetapi Abudurrahman Wahid dan Murtadlâ
Muthahharî membahas tentang manusia yang dikaitkan dengan eksistensi manusia
sebagai
makhluk
yang
hidup
di
dunia
dan
bertugas
untuk
menjaga
keberlangsungan hidupnya. Dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia,
kedua tokoh tersebut menjelaskan dimensi-dimensi manusia yang kemudian
diarahkan untuk menjaga keseimbangan berbagai aspek dari hidup manusia.
Tetapi keduanya mempunyai perbedaan titik tekan dalam mencapai tujuan
dari
konsepnya.
7
Gus
Dur
menjelaskan
dimensi-dimensi
manusia
yang
„Alî Syari„atî, Tugas Cendikiawan Muslim, terj. Muhammad Faishol Hasanuddin (Jakarta:
YAPI, 1990), h. 68-69.
8
„Alî, Tugas Cendikiawan Muslim, h. 64.
4
dikembangkan itu berujung pada ranah sosial.9 Sedangkan Murtadlâ Muthahharî
menjabarkan dimensi-dimensi manusia tersebut berpangkal pada keimanan dan
keilmuan.10
Dalam merumuskan konsep tentang hakikat manusia (filsafat manusia),
kedua tokoh sama-sama mendapatkan inspirasi dari al-Qur‟an. Al-Qur‟an
merupakan landasan utama keduanya dalam konsep tersebut, sehingga dalam
membahas tentang manusia, keduanya juga menyertakan ayat-ayat yang kemudian
dijabarkan. Maka pembahasan kedua tokoh tentang ayat-ayat mengenai manusia
perlu juga dibahasnya. Selain pembahasan mengenai kebebasan manusia dalam
menentukan masa depannya.
Latar belakang dari penulisan skripsi ini adalah berawal dari konflik Sunni
dan Syiah yang terjadi di Sampang pada 26 Agustus 2012. Berdasarkan MUI Jawa
Timur konflik tersebut lahir karena perbedaan aliran, yaitu Sunni dan Syiah.
Meskipun para peneliti menyebutkan bahwa faktor digerakkannya masyarakat
adalah masalah keluarga pemimpin masing-masing kelompok, tetapi faktanya
masyarakat itu bergerak atas nama membela Islam dari kesesatan Syiah.
Ajaran-ajaran Syiah yang sangat berbeda dengan Sunni yang kemudian
dianggap sesat antara lain ialah anggapan Syiah yang memposisikan Imam seperti
nabi, anggapan Syiah tentang selainnya adalah pelacur, menghalalkan darah Sunni,
9
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), Cet. Ke-1, h. 30.
10
Murtadlâ Muthahharî, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, terj. Haidar
Bagir (Bandung: Mizan, 1992), Cet. Ke-6, h. 30.
5
melecehkan Nabi dan Ummul Mu‟minin dan lainnya.11 Ajaran-ajaran ini yang
membakar jiwa jihat Sunni Sampang, sehingga mereka menganggap ajaran Syiah
sebagai ajaran yang bertentangan dengan Islam. Mereka menjadi tak lagi mampu
melihat persamaan-persamaan bahwa mereka juga berlandaskan al-Qur‟an dan
hadis.
Dari faktor inilah, penulis terpanggil untuk mencari titik persamaan dari
kedua aliran tersebut melalui pengkajian terhadap pemikiran masing-masing satu
tokoh dari kedua aliran tersebut. Dengan demikian penulis mengambil
Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî sebagai perwakilan. Alasannya,
kedua tokoh tersebut hidup di masa yang sangat dekat, umurnya hanya selisih 20
tahun. Di samping itu, keduanya merupakan tokoh yang mempunyai pengaruh
yang cukup besar di Sunni dan Syiah dan bahkan di dunia pemikiran. Kemudian,
kedua tokoh tersebut sama-sama tidak hanya membaca buku-buku pemikiran
Islam, tetapi juga membaca dan mengkaji secara mendalam buku-buku karya
filosof barat.
Di tengah perbedaan yang begitu menyeramkan itu, menjadi sangat
menarik ketika pemikiran keduanya tersebut dibahas untuk kemudian mencari titik
temu yang tepat sekaligus perbedaannya dalam suatu kajian komparasi. Maka
untuk mencapai hal itu, penulis mengangkat tema tersebut dalam sebuah penelitian
skripsi yang berjudul Filsafat Manusia: Studi Komparasi antara Abdurrahman
Wahid dan Murtadlâ Muthahharî.
11
MUI Jawa Timur, Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Jawa Timur, No.
Kep-01/SKF-MUI/JTM/I2012, Tentang kesesatan ajaran Syiah.
6
B. Batasan Masalah
Penulis memfokuskan pembatasan masalah skripsi ini pada pemikiran
tentang manusia menurut Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî yang
ditinjau dari aspek penafsiran tentang manusia, hakikat, unsur-unsur dan
kebebasan manusia.
Dalam judul skripsi menyebutkan istilah filsafat manusia. Maksud dari
istilah filsafat manusia itu sendiri ialah kajian yang mendalam mengenai hakikat
manusia itu sendiri. Pengertian mengenai filsafat sebagai kajian yang mendalam
diambil dari buku Kamus Filsafat yang ditulis oleh Loren Bagus. Tepatnya, ia
menjelaskan bahwa “filsafat merupakan penyelidikan kritis atas pernyataanpernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan”.12
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, masalah pokok dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut: bagaimana konsep manusia menurut
Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî? Apa persamaan dan perbedaan
pemikiran keduanya tentang filsafat manusia?
D. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi
pustaka dengan rujukan buku primer tulisan-tulisan karya Abudurrahman Wahid,
seperti Islam Kosmopolitan, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan,
12
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2005), Cet. Ke-4, h. 242.
7
Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, Prisma Pemikiran Gus Dur dan lain-lain.
Sedangkan mengenai tulisan pemikiran Murtadlâ Muthahharî, buku yang akan
dijadikan kajian utama ialah Insân Kâmil, yang diterjemahkan oleh Abdillâh
Ḥâmid Baʻabud menjadi Manusia Seutuhnya, Man and Universe, Bedah Tuntas
Fitrah, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama karya Murtadlâ yang
disunting Haidar Bagir dan lain-lain.
Sedangkan sumber sekunder ialah karya-karya yang membahas atau yang
berkaitan dengan manusia. Sumber sekunder ini akan digunakan untuk
menganalisis pemikiran Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî mengenai
manusia sekaligus persamaan dan perbedaannya yang kemudian akan ditemukan
titik temu antara kedua pemikiran tersebut.
Dalam pembahasan, penulis menggunakan metode deskriptif-analitik,
yaitu menggunakan sumber-sumber yang ada, lalu mendeskripsikannya, kemudian
dianalisis mengenai bagaimana pemkiran Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ
Muthahharî tentang menusia sekaligus titik temunya.
Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini didasarkan pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Thesis, dan Disertasi), Jakarta, Ceqda,
2007.
Sedangkan
Paramadina.
transeliterasi
didasarkan
pada
pedoman
transeliterasi
8
E. Tinjauan Kepustakaan
Berdasarkan hasil pengamatan penulis di perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah, sudah terdapat beberapa penelitian yang mengaji pemikiran
Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî, tetapi tidak satu pun dari
pembahasan tersebut mengkomparasikan antara pemikiran kedua tokoh tersebut
mengenai kajian tentang manusia. Di antara penelitian-penelitian tersebut yaitu:
Penelitian skripsi yang berhubungan dengan Murtadlâ Muthahharî ialah
Pertama, skripsi yang berjudul Kebebasan Manusia dalam Persepektif John Stuart
Mill dan Murtadlâ Muthahharî (Sebuah Studi Komparasi) yang ditulis oleh Yuli
Astuti pada tahun 2001. Yuli memfokuskan pada kebebasan manusia yang
menurutnya terdapat perbedaan dan persamaan dalam pemikiran kedua tokoh
tersebut. Kedua, Kejahatan dan Keadilan Tuhan dalam Perspektif Teologi
Murtadlâ Muthahharî yang merupakan skripsi Izkar Sobah pada tahun 2006.
Skripsi ini difokuskan pada keadilan Tuhan dan kejahatan yang tidak membuatnya
untuk tidak adil. Ketiga Konsep Fitrah Murtadlâ Muthahharî yang ditulis oleh
Muniroh pada tahun 2008. Dalam skripsi ini ia membahas fitrah yang berkaitan
dengan masalah-masalah kemanusiaan dan prinsip-prinsip berpikir yang tak lain
bersifat fitrah.
Keempat, Konsep Zuhud Murtadlâ Muthahharî yang ditulis Nurdin Kadir
pada tahun 2008. Ia memokuskan penulisannya pada zuhud yang akan
mengakibatkan seseorang merasa puas dengan kehidupan yang sederhana.
Keenam ialah Pemikiran Murtadlâ Muthahharî tentang Filsafat Sejarah yang
ditulis oleh Muslim pada tahun 2011. Skripsi ini difokuskan pada filsafat sejarah
9
Murtadlâ yang kemudian dilanjutkan pada kritiknya terhadap materialisme
dialektis dan materialisme historis Karl Marx.
Sedangkan karya ilmiah yang berkaitan dengan Gus Dur di antaranya
ialah Kontroversi Kebijakan Politik Presiden Abdurrahman Wahid pada Era
Reformasi yang ditulis oleh asep hikmatillah tahun 2006. Penelitian ini membahas
tentang kebijakan presiden mengenai pencabutan TAP MPR tentang pelarangan
ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme; penghapusan Departemen Sosial, juga
penerahangan, badan pemantapan stabilitas nasional dan lembaga penelitian
khusus. Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai Asas
Negara yang ditulis oleh Warno pada tahun 2009. Skipsi ini mengaji tentang
hubungan antara agama dan negara. Hal ini dilakukan untuk menemukan makna
Pancasila dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari
banyak suku, ras, agama serta budaya. Dan Demokrasi dalam Pandangan
Abdurrahman Wahid yang ditulis oleh Ato Sugiarto pada tahun 2010. Skipsi ini
membahas tentang pilar-pilar demokrasi, relasi Islam dengan demokrasi dan
analisis pemikiran Abdurrahman Wahid tentang demokrasi.
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan antara pemikiran Abdurrahman Wahid yang merupakan tokoh besar
Sunni dan Murtadlâ Muthahharî sebagai tokoh berpengaruh Syiah tentang filsafat
manusia.
10
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini meliputi kegunaan praktis dan
akademis. Kegunaan praktis dari penelitian ini yaitu: Pertama, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan solusi terhadap pertikaian antara aliran Sunni dan
Syiah khususnya di Sampang, bahwa ajaran kedua aliran tersebut tidak
bertentangan dan bahkan di beberapa aspek mempunyai persamaan-persamaan
yang dengan hal itu kedua aliran tersebut dapat hidup berdampingan dengan
damai. Kedua,
penelitian ini diharapkan mampu memberikan model terbaik
kepada seluruh umat tentang hakikat manusia. Sedangkan kegunaan akademisnya
ialah penelitian ini berguna untuk memperkaya khazanah intelektual Islam dan
Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi ini,
maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I merupakan Bab Pendahuluan, memuat latar belakang, rumusan dan
batasan masalah, metode penelitian, tinjauan kepustakaan, tujuan dan kegunaan
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II akan dijelaskan mengenai biografi Abdurrahman Wahid dan
Murtadlâ Muthahharî. Dalam bab ini penulis akan membahas biografinya yang
perlu diangkat dalam penelitian ini. Di dalam biografi tersebut, terdapat sub
pembahasan yang terdiri dari riwayat hidup dan kedudukan kedua tokoh tersebut
dalam pemikiran Islam.
11
Mengenai pemikiran filsafat manusianya, penulis akan membahas selukbeluk pemikirannya mengenai filsafat manusia seperti aspek-aspek kemanusian
manusia yang memang harus ditekankan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
aspek kemanusiaan itu perlu dilindungi. Tetapi tidak hanya itu, hal-hal yang
berkaitan dengan konsep manusia akan penulis ungkapkan dalam bab ini.
Bab III akan dijelaskan tentang pemikiran kedua tokoh yang penulis
bahas mengenai filsafat manusia. Filsafat manusia tersebut terdiri dari kajian
tentang manusia secara hakiki beserta dimensi-dimensi kemanusiaan manusia yang
memang tertanam dalam diri manusia.
Bab IV menjelaskan tentang komparasi pemikiran Abdurrahman Wahid
dengan Murtadlâ Muthahharî mengenai pemikiran filsafat manusia. Di kesempatan
ini penulis akan membahas persamaan sekaligus perbedaan pemikiran keduanya
mengenai filsafat manusia beserta analisis terhadap pemikiran kedua tokoh tentang
filsafat manusia. Sedangkan Bab V adalah penutup yang meliputi kesimpulan dan
saran-saran.
BAB II
BIOGRAFI
ABDURRAHMAN WAHID DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ
A. Abdurrahman Wahid
1. Riwayat Hidup
Nama Abdurrahaman Wahid sudah tidak asing lagi bagi masyarakat
Indonesia. Abdurrahman Wahid dikenal juga dengan nama Gus Dur. Gus
adalah panggilan kehormatan untuk putra dari keluarga Kiai. Gus itu sendiri
adalah kependekan dari kata bagus. Di Madura, gus (bagus) dikenal dengan
istilah lora. Dia adalah anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan priyai
terkemuka di Indonesia. Bapaknya, Kiai Abdul Wahid Hasyim adalah putra
Kiai Hasyim Asy‟ari yang merupakan pendiri oraganisasi Islam terbesar di
Indonesia, bahkan di dunia, jamʻiyah Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan
ibunya, Nyai Sholehah, adalah putri dari tokoh besar NU dan juga seorang Kiai
terkemuka, Kiai Bisri Syamsuri.12
Mengenai hari kelahiran Gus Dur, beberapa penulis berbeda pendapat.
Tim Institute of Culture and Religion Studies (INCRES), id.wikipedia.org dan
beberapa penulis menyebutkan bahwa tanggal kelahirannya bertepatan pada 4
Agustus 1940 M. Sedangkan Greg Barton menyebutkan bahwa pada 7
September adalah tanggal kelahiran Gus Dur. Alasannya, penanggalan
12
Tim Institute of Culture and Religion Studies (INCRES), Beyond the Symbols: Jejak
Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: INCRES, 2000), Cet. Ke-1, h. 4.
12
13
kelahiran Gus Dur berdasarkan pada penanggalan Islam, yaitu 4 Sya‟ban yang
bertepatan pada tanggal 7 September 1940 M.13
Tetapi Greg Barton dan Tim Institut of Culture and Religion Studies
(INCRES) sepakat bahwa Gus Dur adalah keturunan dari Lembu Peteng (raja
Brawijaya VI) melalui Jaka Tingkir (putera Lembu Peteng), pangeran Bawana
(putera Jaka Tingkir).14 Jaka tingkir adalah tokoh yang pertamakali dianggap
sebagai orang yang memperkenalkan Islam di daerah pantai timur laut pulau
Jawa. Sedangkan pangeran Bawana merupakan orang yang rela meninggalkan
kemegahan kerajaan demi mengajar sufisme kepada masyarakat.15
Sejak belajar bersama kakeknya, Gus Dur memang sudah terbiasa hidup
sederhana. Dalam pendidikan ia justru belajar di sekolah-sekolah sederhana. Di
masa kecil ia belajar di pondok pesantren yang diasuh kakeknya. Ketika di
Jakarta, ia belajar di sekolah dasar KRIS (Jakarta Pusat) dan pindah ke SD
Matraman Pertiwi.16 Untuk tingkat sekolah menengah pertama ia sekolah di
Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Tanah Abang, dan pindah ke
SMEP Yogyakarta. Di samping itu ia juga belajar ilmu agama kepada Kiai
pengasuh pondok pesantren seperti KH. Maksum Ali, KH. Fatah, KH. Masduki
dan KH. Bisri Syamsuri.17
Selain kakeknya, ayah Gus Dur, Wahid Hasyim (pemimpin Islam
sekaligus pejabat kementerian agama) mempunyai jasa yang besar terhadap
13
Greg Barton, Biografi Gus Dur, terj. Lia Hua (Yogyakarta: LKiS, 2003), Cet. Ke-1, h. 25.
Tim INCRES, Beyond the Symbols, h. 6.
15
Greg, Biografi Gus Dur, h. 27.
16
Greg, Biografi Gus Dur, h. 70.
17
Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid: Gagasan dan Pemikiran
(Jakarta: Bina Utama, 1999), h. 4-5.
14
14
perkembangan intelektual Gus Dur. Ayahnyalah yang mengajarkannya banyak
hal, terutama dalam hal pluralitas dan toleransi. Karena Gus Dur adalah orang
yang selalu menemani Wahid Hasyim dalam setiap aktivitasnya dengan
berbagai golongan, termasuk dengan Tan Malaka.18
Gus Dur memang sosok yang mempunyai kebiasan berbeda dengan
lainnya. Sejak kecil ia sudah terbiasa berbaur dengan berbagai golongan dan
keadaan sebagaimana diajarkan kakek dan ayahnya. Kebiasaan ini turut
memperkaya khazanah intelektualnya, karena setiap orang yang pernah
berinteraksi dengannya pasti membawa budaya, ideologi serta kemampuan
intelektualnya. Seperti Willem Buhl, di samping mengajarinya bahasa Belanda,
ia juga menyuguhkan musik klasik ala Eropa.19 Inilah modal awal Gus Dur
yang akan menyadarkanya tentang pentingnya saling menghormati dan
pentingnya memanusiakan manusia.
Dari aspek intelektual, Gus Dur juga merupakan sosok yang mempunyai
kebiasaan berbeda dengan orang lain seusianya. Ketika di Jakarta, ia sering
membaca buku di Perpustakaan Umum dan akrab dengan berbagai majalan,
surat kabar, novel, filsafat, dokumen sejarah manca negara, cerita silat hingga
fiksi sastra.20 Hal itu didukung oleh anjuran ayahnya untuk membaca buku apa
saja yang disukai dan kemudian secara terbuka membicarakan ide-ide yang
mereka temukan.21
18
Greg, Biografi Gus Dur, h. 35.
Tim INCRES, Beyond the Symbols, h. 6.
20
Tim INCRES, Beyond the Symbols, h. 7.
21
Greg, Biografi Gus Dur, h. 40.
19
15
Maka dari itu, menjadi sangat wajar jika dalam usia 15 tahun saja ia
sudah membaca buku-buku berat seperti Das Kapital karya Karl Marx, bukubuku filsafat Plato, Thales, novel-novel William Bocher dan Romantisme
Revolusioner karangan Lenin Vladimir Ilych.22 Bacaannya tentang pemikiran
filsafat barat juga diteruskan sampai ia kuliah di Universitas Baghdad Iraq. Ia
banyak membaca pemikiran Emile Durkheim dan filosof-filosof Barat
lainnya.23 Tetapi yang tidak kalah bahwa ia juga belajar dengan tekun tentang
buku-buku Islam tradisional sejak keberadaannya di pondok pesantren,
Universitas al-Azhar Mesir dan Universitas Baghdad. Serta banyak membaca
tentang sastra dan kebudayaan Arab, dan teori sosial.24
Meskipun Gus Dur banyak membaca buku tentang pemikiran-pemikiran
barat, tetapi tidak kemudian melupakan bacaan-bacaan dan ajaran Islam
tradisional yang merupakan identitas ideologinya. Pemikiran-pemikiran barat
tampak banyak memengaruhinya, sehingga ia mampu berpikir secara
sistematis. Yaitu kajian-kajian yang dikelutinya dilakukan secara empiris
dengan
menggunakan
pisau
mitodologi
yang
tajam.
Ia
juga
tetap
mempertahankan ajaran spritualitas dengan mengunjungi makam para wali. Di
samping itu ia mendapat pengokohan ajaran spiritualitasnya dengan menggeluti
ajaran Imam Junaidi al-Baghdadi.25
22
INCRES, Beyond the Symbols, h. 9.
Greg Barton, “Liberalisme: Dasar-dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid”
dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul UlamaNegara, terj. Ahmad Suaedy dkk (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 170.
24
Ibid, h. 168.
25
Budi Hadrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia Pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme,
dan Liberalisme Agama (Jakarta: Hujjah Press, 2007), h. 18.
23
16
Dalam pandangannya mengenai Islam, ia banyak mengaji mengenai
Islam tradisional dan menghormati kebudayaan lokal. Hal itu yang menjadikan
Gus Dur tidak terbatasi oleh ideologi, sehingga ia mempunyai ruang yang lebih
luas di ranah nasional dibandingkan dengan Kiai lain. Dengan demikian ia
dijuluki dengan sebutan Kiai ketoprak.26
Tidak puas-puasnya Gus Dur belajar. Meskipun sudah menjabat sebagai
presiden, ia tetap tidak gengsi untuk terus belajar pada orang-orang yang
dianggap lebih hebat darinya. Orang yang dijadikannya guru selain guru di
pesantren ialah Presiden Kim Dae Jung yang merupakan Presiden Seoul dan
Sulakhshi Bharaksa dari Thailand. Keduanya ialah guru Gus Dur yang masih
hidup di masanya. Sedangkan gurunya yang sudah meninggal di antaranya
Ialah Sun Yat Sen, Jose Rizal, Jawaharal Nehru, Mahatma Gandhi dan
Soekarno.27
Sepulangnya ke Indonesia, Gus Dur banyak berkiprah di dunia
penulisan dan aktivitas akademis lainnya. Misalnya ia aktif menulis di Majalah
Tempo, Jurnah Prisma, Kompas dan Pelita.28 Kemudian dia mendirikan Forum
Demokrasi (FORDEM). Sekaligus penggagas berdirinya Gerakan Anti
Diskriminasi (Gandi).
Gus Dur juga pernah menjadi salah seorang presiden pada Konfrensi
Dunia untuk Agama dan Perdamaian yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Ia
juga pernah menjadi anggota Pembina Simon Pereze untuk Perdamaian yang
26
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: al-Ruzz, 2004), h. 71.
Tim INReS, Beyond the Symbols, h. 22.
28
Ibid, h. 19.
27
17
Bermarkas di Tel Aviv, Israel dan menjadi dewan penasehat pada Internasional
Dialoque Foundation on Perspective Studies of Syariah and Secular Law, di
Den Haag, Belanda.29
Berbagai penghargaan juga pernah dinobatkan kepadanya. Salah
satunya ialah penghargaan Nobel Asia yang disebut Hadiah Ramon Magsaysay
yang digelar di Manila, Filipina. Penghargaan tersebut diberikan berdasarkan
keterlibatan yang besar dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap
demokrasi serta upaya menumbuhkan toleransi antar umat beragama di
Indonesia.30 Penghargaan yang diterima tersebut tidak salah, karena selama
hidupnya Gus Dur memang memerjuangkan kemanusiaan lewat demokrasi.
Menurut putrinya, Yenny Zannuba Wahid, di sambutan dalam suatu buku,
bahwa Gus Dur adalah orang yang sepanjang hidupnya berjuang untuk
kemanusiaan.31
2. Karya-Karya
Gus Dur memang terkenal sebagai akademisi yang produktif dalam tulis
menulis. Karya-karyanya banyak menyebar di berbagai media. Tulisan-tulisan
itu kemudian diformat dalam bentuk buku. Di antara bukunya ialah:
Tuhan tidak Perlu Dibela merupakan buku kumpulan tulisannya yang
dimuat di Tempo dari tahun 1970-an sampai 1990-an. Dalam buku ini, Gus Dur
29
Ahmad, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid, h. 37.
Mujamil Qamar, NU Liberal dari Tradisionalisme ke Universalisme Islam (Bandung:
Mizan, 2002), h. 167.
31
Yenny Zannuba Wahid, “Gus Dur: Seorang Pejuang Kemanusiaan,” Rumadi (ed), Damai
Bersama Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010), h. xix.
30
18
menjelaskan tentang paradoks-paradoks yang terjadi di sekitar pemikiran Islam,
perdebatan politik, sosial keagamaan dan ideologi antarkelompok dalam
konteks kebangsaan dan ke-Indonesia-an.
Prisma Pemikiran Gus Dur merupakan kumpulan tulisan Gus Dur yang
dimuat di jurnal Prisma yang dicetak dalam bentuk buku. Spektrum yang
menjadi perhatiannya dalam tulisan ini meliputi politik, ideologi, nasionalisme,
gerakan keagamaan, pemikiran sosial dan budaya.
Islam
Kosmopolitan:
Nilai-nilai
Indonesia
dan
Transformasi
Kebudayaan merupakan pemikiran Gus Dur dalam merespon isu-isu yang
dianggap aktual sejak 1980-an hingga 1990-an. Selain itu, buku ini berisi
kumpulan tulisan-tulisan Gus Dur yang telah berserakan di media lokal maupun
nasional. Dalam buku itu, ia menjelaskan tentang Islam yang multi wajah,
wajah manusiawi. Islam, dalam buku tersebut, adalah agama yang tampil sejuk,
pluralis, serta demokratis. Agama Islam menjadi agama yang melindungi umat
manusia, bukan agama yang menebar ketakutan kepada umat agama lain.
Pergulatan Negara, Islam dan Kebudayaan, karya Gus Dur ini
menjelaskan tentang sebuah negara yang tidak seharusnya berurusan dengan
kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan seni hidup (the art of living) atau
kehidupan sosial manusiawi (human social life) yang terbangun dari interaksi
antar manusia; individu maupun kelompok. Kebudayaan dengan demikian
adalah representasi emansipasi manusia ke arah yang lebih survive. Intervensi
negara atas (meminjam istilah Gus Dur) birokratisasi-kebudayaan hanya akan
19
memutarnya ke arah kebalikan, yakni pembekuan daya cipta masyarakat yang
sedang berada dalam perubahan besar-besaran.
Karya Gus Dur yang berjudul Kiai Nyentrik: Membela Pemerintah ini
dikumpulkan dari kolom-kolom yang dia tulis di majalah Tempo era 1970-an
dan 1980-an. Esai-esai ini bertutur tentang rasionalitas yang penuh warna, yang
bergerak antara ortodoksi dan penyiasatan pragmatik, agar kehidupan tetap
berlangsung.
Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, buku ini merupakan
kumpulan essai Gus Dur tentang pesantren, yang mengambil format hubungan
pesantren, negara, pembangunan, dan juga deskripsi atas kebudayaan pesantren.
Deskripsi Gus Dur ini turut mempersempit kesenjangan dan kekeliruan
pengertian antara pihak luar dan pihak dalam pesantren. Tawaran pembaruan
yang dikemukakan Gus Dur untuk pesantren, seperti hal penyusunan
kurikulum, peningkatan sarana, pembenahan manajemen kepemimpinan,
pengembangan watak mandiri, dan beberapa yang lainnya tetap merupakan
agenda pesantren hingga sekarang.
Buku selanjutnya ialah Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Dalam buku ini
Gus Dur menjelaskan tentang apa yang ia lihat mengenai kejayaan Islam yang
terletak pada kemampuan agama Islam untuk berkembang secara kultural.
Dalam hal ini, ia menulak konsep mengenai negara Islam. Karena menurutnya
Islam merupakan jalan hidup yang tak memiliki konsep jelas tentang negara.
20
3. Kedudukan Abdurrahman Wahid dalam Pemikiran Islam
Dalam ranah pemikiran Islam Indonesia, Gus Dur mempunyai posisi
yang cukup tinggi dan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
pemikiran Islam pada masa itu dan sesudahnya. Hal ini tidak mengherankan,
karena kapasitas keilmuan Gus Dur yang tidak diragukan lagi kehebatannya,
baik mengenai keilmuan agama maupun keilmuan lain. Tidak hanya itu, yang
menjadikannya mempunyai pengaruh dan wibawa yang hebat terhadap umat
Islam Indonesia ialah posisinya sebagai cucu dari pemimpin besar kelompok
Islam terbesar sedunia, yaitu Hasyim Asyʻarî.
Berdasarkan perjalanan intelektualnya, Gus Dur dibentuk oleh
pendidikan Islam klasik dan pendidikan Barat modern. Kedua pendidikan
tersebut memberikan modal yang sangat baik untuk mengembangkan
pemikirannya mengenai Islam Indonesia. Tampaknya kedua pendidikan
tersebut yang menjadikannya mempunyai cara pandang yang lebih luas
dibandingkan dengan tokoh Islam lainnya, yaitu pandangan yang menekankan
pada hal yang bersifat substansial.32
Hal yang tidak dapat dilupakan ialah Gus Dur merupakan bagian dari
gerakan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia.33 Gerakan baru yang
menekankan pemahaman Islam yang terbuka, terutama dalam menerima
kenyataan tentang kemajemukan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.
32
33
Tim INCReS, Beyond the Symbols, h. 55.
Greg, Biografi Gus Dur, h. 134.
21
Hal tersebut kemudian menekankan sikap toleran dan harmonis dalam
hubungannya dengan komunitas lain.34
Gus Dur dikenal dengan seorang pemikir Islam yang sangat bijak.
Dalam memahami ajaran Islam, ia juga mempertimbangkan kearifan lokal yang
menurutnya harus tetap dipertahankan35 tanpa harus menghilangkan ajaran
keimanan dan peribadatan formal.36 Karena budaya lokal merupakan identitas
suatu masyarakat yang bersangkutan, yang kemudian membedakannya dengan
masyarakat lain.
Di samping itu, Gus Dur merupakan pemikir Islam yang disamakan
dengan filosof Yunani ternama yang molontarkan komentar-komentar humoris.
Filosof tersebut ialah Socrates.37 Sebagai tokoh intelektual yang disamakan
dengan Socrates, keagungan Gus Dur dalam ranah akademis sudah sewajarnya
menjadi panutan umat.
Bapak Humanis Islam adalah sebutan yang tidak berlebihan untuk Gus
Dur. Ia hadir di dunia memang untuk memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.
Tak pernah ada rasa ragu dan takut dalam memperjuangkan Hak Asasi
Manusia. Dalam memperjuangkan kemanusiaan, Gus Dur selalu menghindari
kekerasan sebagaimana dilakukan salah satu tokoh favoritnya, Mahatma
34
Abdurrahman Wahid, “Pemikiran Islam yang Brilian,” dalam Badiatul Rozikin, dkk, 101
Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: E-Nusantara, 2009), h. 38.
35
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur (Yogjakarta: LKiS, 2010), h. 126.
36
Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak Perlu Dibela, h. 92.
37
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesarans Gus Dur, h. 22.
22
Gandhi.38 Bahkan, dia pernah berpesan seandainya ia wafat, di batu nisan
hendaknya dituliskan dengan kalimat “di sini dikubur seorang humanis.”39
Dalam suasana intelektual umat Islam yang mulai stagnan, di tengah
keterbungkaman intelektual muslim Indonesia karena tekanan sesepuhnya yang
terus menghantui kaum muda untuk berpikir kritis, Gus Dur tampil sebagai
pahlawan yang cukup gagah dan sukses dalam mendorong dan memupuk
tumbuhnya intelektual umat Islam Indonesia. Dialah, Gus Dur yang melahirkan
dan menumbuh suburkan kultur kaum muda NU. Kaum muda yang melahirkan
pemikiran-pemikiran yang mencengangkan dalam merespon isu-isu modern.40
Djohan Efendi juga memberikan penilaian yang sama mengenai hal ini,
bahwa era kepemimpinan Gus Dur di organisasi Islam terbesar dunia itu telah
melahirkan banyak intelektual muda yang punya kompetensi yang hebat dan
kreatif dalam merespon problematika zaman yang datang silih berganti. Hal
itulah kiranya yang menjadikan NU tidak tergoncang dikala arus globalisasi
membanjiri dunia Islam Indonesia.
Tema-tema yang menjadi ajang dialog aktif dan terbuka antarintelektual
di antaranya mengenai isu tentang Islam dan negara, Islam dan budaya lokal,
Islam dan modernisme, Islam dan kemanusiaan. Gus Dur sangat aktif merespon
isu-isu tersebut dengan dasar-dasar yang sangat kuat, dan mampu memberikan
jalan tengah antara Islam dan isu-isu yang berkaitan dengannya.
38
Iip D. Yahya, Gus Dur: Berbeda Itu Asyik (Yogyakarta: Kanisius, 2008), Cet. Ke-5, h. 60.
Djohan Efendi, “Gus Dur: Sang Presiden yang Humanis,” dalam Ahmad Gaus AF, Sang
Pelintas Batas: Biografi Djohan Efendi (Jakarta: ICRP, 2009), h. 191.
40
Hanif, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, h. 30.
39
23
Respon-respon Gus Dur kemudian memberikan kemantapan hati umat
Islam untuk tetap tidak gentar menghadapi arus globalisasi. Karena mereka
sudah menemukan jalan terbaik untuk dilalui di tengah hantaman arus budayabudaya dunia yang siap mengikis ajaran dan budaya mereka. Gus Dur juga
menunjukkan suatu sikap yang benar-benar terbuka terhadap segala di luar
Islam tanpa harus menghilangkan hakikat Islam itu sendiri. Tetapi dengan
catatan selama apa yang ada di luar Islam itu dapat memberikan manfaat
terhadap kesejahteraan umat manusia.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur tidak hanya diterima di kalangan umat
Islam Indonesia, tetapi pemikirannya sudah mewakili pemikiran Islam dalam
menyuarakan
pemikiran-pemikiran
cemerlang
yang
menjadi
perhatian
intelektual dunia. Bukti diterima pemikirannya di kancah pemikiran
internasional ialah banyaknya penghargaan internasional yang diteriman Gus
Dur.41 Bahkan Gus Dur tidak hanya berteori, ia juga tidak segan-segan
memperaktekkan teori tersebut dalam kehidupan nyata.
Dalam wacana Hak Asasi Manusia, Gus Dur tidak hanya memberikan
konsep-konsep
kosong
mengenai
pembelaan
HAM,
tetapi
ia
juga
mengaplikasikan dalam kehidupan nyata. Misalkan pembelaan terhadap hakhak kaum Konghucu yang terpasung selama Orde Baru. Atas kerja keras
tersebut Gus Dur mendapatkan penghargaan dari sebuah yayasan yang bergerak
di bidang penegakan Hak Asasi Manusia, Simon Wiesenthal Center, dan dri
41
Mohammad, Gus Dur, h. 54-55.
24
Mebal Valor.42 Bahkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang dan langkahlangkah yang mencengangkan itu juga mendapatkan perhatian dari Universitas
Tampel. Dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman
Wahid Chair of Islamic Study.43
Keluasan cakrawala keilmuannya yang melintasi ilmu agama serta
kepiawayannya memanfaatkan ilmunya untuk memberikan solusi-solusi kreatif
mengenai
seluruh
aspek
permasalahan-permasalahan
umat
merupakan
keunggulan Gus Dur yang patut dijuluki sebagai pendekar intelektual yang
handal. Bahkan sampai saat ini tampaknya belum ada tokoh Islam yang mampu
menggantikan posisi tersebut.
B. Murtadlâ Muthahharî
1. Riwayat Hidup
Murtadlâ Muthahharî merupakan putra dari seorang ulama terkemuka
dan dihormati, Syekh Muhammad Husain Muthahharî.44 Muhammad Husain
adalah orang pertama yang memperkenalkannya dengan ilmu pengetahuan. Ia
berada di bimbingan ayahnya sampai 12 tahun setelah kelahirannya.45
Kelahirannya bertepatan pada 2 Februari 1920 M yang bertepatan dengan 12
Jumadil Ula 1228 H di Fariman.46
42
Abdurrahman Wahid, http://id.wikipedia.org.
Ibid.
44
Haidar Baqir, Murtadlâ Muthahharî, Sang Mujahid Sang Mujahid (Bandung: Yayasan
Muthahharî, 1998), h. 25.
45
Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî” (Laporan Penelitian
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001), h. 8.
46
Haidar, Murtadlâ Muthahharî, h. 26.
43
25
Bekal ilmu keagamaan pertamakali didapatkan dari ayahnya. Sehingga
sang ayah bukan hanya sekedar orang tua darinya, tetapi juga menjadi seorang
guru yang sangat mempunyai perhatian yang cukup tinggi terhadap
pendidikannya, sehingga ia selalu membimbingnya dengan baik. Sedangkan
keilmuan tentang membaca, menulis, surat-surat pendek al-Qur‟an dan
pengentar sastra Arab didapatkan dari madrasah di Fariman tempat ia belajar.47
Tampaknya, ilmu-ilmu yang didapatkan itulah yang kemudian menjadi bekal
dan bahkan mampu memengaruhi perkembangan intelektualnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar tersebut, ia kemudian
berpetualang ke Hawzah Masyhad untuk melanjutkan studi keagamaannya.
Tempat itu adalah pusat pendidikan agama Syi‟ah. Di Hawzah Masyhad
tersebut, Muthahharî telah menunjukkan kecerdasan dan keseriusan dalam
upaya mempelajari ilmu-ilmu Islam. Di sana, beliau juga telah menunjukkan
minat besar terhadap filsafat dan Irfan. Selama di Masyhad, beliau banyak
terinspirasi oleh kepribadian seorang filsuf Islam tradisional ternama kala itu,
Mirza Mehdi Syahidi Razavi.48
Tepatnya pada 1936, ia pindah ke Qom untuk memperdalam ilmu
keagamaan. Di tempat tersebut, ia belajar di bawah bimbingan Ayatullah
Boroujerdi dan Khomeini.49 Tentunya kepindahan tersebut berlasan yang kuat.
47
Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h.
313.
48
Muhsin Labib, Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra (Jakarta: Lentera, 2005), h. 278.
Jamaluddin Rahmat, “Kata Pengantar,” dalam Murtadlâ Muthahharî, Perspektif al Qur’an
tentang Manusia dan Agama (Bandung: Mizan, 1992), h. 8.
49
26
Di antara faktor-faktor yang menjadikannya pindah ialah pertama, guru
yang menjadi curahan perhatiannya, Mirza Mehdi Syahidi Razawi wafat pada
tahun 1936. Kedua, Kemunduran yang dialami Hawzah Masyhad. Ketiga,
adanya tekanan-tekanan destruktif dari pemerintah tirani yaitu raja Reza Khan,
terhadap seluruh lembaga-lembaga ke-Islam-an, termasuk Hawzah Mashyad.50
Kerajaan Persia kala itu menganggap bahwa eksistensi berbagai institusi Islam
tersebut dapat mengganggu stabilitas politis negara.51
Khomeini merupakan guru yang mempunyai hubungan yang sangat
dekat dengannya. Sang imam adalah pengajar muda yang mempunyai
kedalaman
dan
keluasan
wawasan
keislaman
dan
kemampuan
menyampaikannya kepada orang lain dengan sangat baik. Kehebatannyalah
yang menjadikan pelajaran-pelajaran khomaeni terutama pelajaran mengenai
irfannya meninggalkan bekas yang amat kuat dalam hati Muthahharî. Bahkan
materi yang disampaikan Khomaeni itu masih terngiang-ngiang di telinganya
sampai beberapa hari setelah mendengarkannya.
Tidak hanya Khomaeni yang menjadi gurunya. Bahkan ʻAllamah
Thabatthabaʻî yang juga merupakan ulama besar di masanya juga menjadi guru
favoritnya di bidang filsafat dan irfan. Sedangkan pemikiran ʻAllamah juga
dipengaruhi kajian-kajian mengenai Nahj al-Balâghah. Nahj al-Balâghah
50
51
155-156.
Muhsin, Filosof, h. 279.
Murtadlâ Muthahharî, Mutiara Wahyu, terj. Syekh Alî al-Ḥamîd (Bogor: Cahaya, 2004), h.
27
merupakan kumpulan wacana, pidato, surah-surah dan kata-kata bijak khalîfah
keempat dan imam pertama dalam madzhab Syi‟ah, „Alî bin Abî Thâlib.52
Pada tahun 1950 Murtadlâ konsentrasi lebih keras lagi pada studi
filsafat. Ia meneruskan bacaannya tentang Marxisme melalui terjemahan Persia
dari karya George Pulizer yang berjudul Introduction to Philosophy dan mulai
mengikuti diskusi Kamis Thabatthabaʻî tentang “filsafat materealis.” Diskusi
ini berlangsung dari tahun 1950-1953 dan menghasilkan lima jilid buku Ushule Falsafah va Ravesh-e Realism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realistik).
Murtadlâ kemudian mengedit karya ini dan menambahkan catatan-catatan yang
luas (lebih besar dari naskah aslinya sendiri) dan secara bertahap
menerbitkannya (1953-1985). Di samping itu pada waktu ini ia mempelajari Ibn
Sina dengan Thabatthabaʻî. Di antara teman kelasnya adalah Muntazeri dan
Behesti
Mengenai Nahj al-Balâghah, selain dikenal merupakan suatu model
ketinggian sastra Arab, seperti antara lain diungkapkan oleh Syaikh
Muḥammad „Abduh, kitab ini berisi banyak ungkapan-ungkapan teologis,
filosofis, dan mistis yang amat sophisticated. Dari kitab ini (di samping ucapanucapan para imam lain) kaum Syi‟ah menggali banyak dasar-dasar filsafat dan
irfan. Inkorporasi Nahj al-Balâghah ke dalam sistem Filsafat Islam yang
berkembang di Iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran Hikmah Mullah
Shadra. Untuk sekedar mengetahui isinya, khususnya yang menarik minat
52
Haidar Baqir, Membincang Metodologi Ayatullâh Murtadlâ Muthahharî (Yogyakarta:
UGM, 2004), h. 2.
28
Muthahharî, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitab ini
Muthahharî
dalam
karyanya
yang
berjudul Sayr’e
dar
Nahu
al-
Balâghah (pelancangan dalam Nahj al-Balâghah). Teologi dan metafisika,
suluk (tasawuf) dan ibadah, kuliah-kuliah mengenai akhlak, serta dunia dan
keduniaan (dalam hubunganya dengan sikap seseorang arif dan sufi
terhadapnya).
Dari kesemuanya di atas itulah yang membentuk dasar karakter pola
pikir Muthahharî menjadi seorang pemikir Syiʻî yang dapat memadukan antara
filsafat dan agama serta menanggapi setiap persoalan secara rasionalitas dan
filosofis, sebagaimana di dalam Sya‟ir dan Nahj al-Balâghah, misalnya
Murtadlâ membantah pernyataan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa
rasionalisme dan kecendrungan kepada filsafat lebih merupakan pengaruh
budaya intelektual Persia dari pada
budaya intelektual ke-Islam-an. Dia
menunjukkan bahwa semuanya itu berada di jantung ajaran Islam, sebagaimana
ditunjukkan oleh al-Qur‟an, Hadis nabi dan ajaran para imam.
2. Karya-Karya
Murtadlâ Muthahharî cukup produktif dalam menghasilkan karya. Ia
mempunyai karya yang cukup banyak, yaitu sekitar enam puluhan. Tulisan
tersebut terdiri dari tulisan sendiri dan juga banyak akumulasi dari pidatopidatonya yang kemudian diterbitkan menjadi buku.
Di antara buku-buku yang telah diterbikan ialah al-ʻAdl al-Ilâhi, buku
ini menjelaskan tentang konsep keadilan, baik keadilan Ilahi maupun keadilan
29
manusia. Bis Guftôr, buku ini merupakan kumpulan 20 ceramah yang secara
keseluruhan mengacu pada pembahasan mengenai keadilan, hak-hak, ilmu,
akal, hati dan tentang cara berpikir yang ideal dalam kehidupan.
Fundamentals of Islamic Thought God, Man and Universe, buku ini
menjelaskan tentang persoalan Tuhan, manusia dan alam semesta. Goal of Life.
Buku ini menjelaskan tentang tujuan penciptaan, landasan etika personal dan
etika sosial, agama, madzhab pemikiran dan pendangan dunia Islam serta
proses penyempurnaan manusia serta tauhid Islam.
Hak wa al-Bathil, buku ini menjelaskan nilai-nilai pandangan dunia
ideologi Islam di hadapan pandangan dunia dan ideologi lain, buku ini
memberikan tawaran pemikiran alternatif tentang kebenaran dan kebatilan, plus
sebagai kritik yang jitu terhadap berbagai penyelewengan pemikiran yang
sedang berkembang.
Inna al-Dîn ‘Inda Ilâh al-Islâm, buku ini menjelaskan tentang cara
melihat kebenaran ajaran Islam yang murni sebagai bentuk filsafat sosial dan
keyakinan ketuhanan, pola pikir dan kepercayaan yang konstruktif dan
konfrehensif. Dan cara mengenal kondisi umat Islam harus senantiasa cemat
melihat orientasi perkembangan sains dan pengetahuan, mana fenomena yang
menyimpang, imam yang sebenarnya secara substansial harus dikembangkan.
Insône Kômil, buku ini menjelaskan tentang hakikat manusia. Yang
menurutnya manusia hakiki itu adalah manusia multi dimensional dengan
melaksanakan seluruh ajaran potensi kemanusiaannya dengan utuh dan
30
harmonis. Buku ini merupakan ceramahnya yang disampaikan pada bulan
Ramadhan.
Introduction to Kalam, buku ini membahas tentang ilmu kalam yang
merupaka ilmu yang mengaji mengenai dasar-dasar pokok aqidah seseorang
terhadap teologi. Man and Universe, buku ini merupakan akumulasi poin-poin
penting tentang berbagai problematika manusia dan alam semesta yang
diimbangi dengan argumentasi yang ilmiah, filosofis, logis serta merujuk
kepada al-Qur‟an.
Mas’alê-ye Syenôkh, buku ini merupakan kumpulan ceramahnya
tentang penguatan landasan filsafat Islam yang pada waktu itu penganut
Marxisme melakukan aktifitas besar-besaran di bidang kebudayaan. Penguatan
itu dengan cara memperbaiki kerangka pemikiran umat Islam dalam ranah
epistemologis yang mengarahkan pada hakikat epistemologi Islam. Ceramah itu
disampaikan pada bulan Muharram 1397 H/1977 M.
Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, buku ini
menjelaskan menenai tiga persoalan pokok yaitu manusia dan keimanan,
manusia menurut al-Qur‟an, manusia dan takdirnya.
3. Kedudukan Murtadlâ Muthahharî dalam Pemikiran Islam
Murtadlâ adalah pemikir yang mengabdikan hidupnya untuk perjuangan
ideologi dan politik.53 Selain itu ia merupakan seorang cendekiawan muslim
yang mempunyai pengetahuan dan wawasan mendalam tentang berbagai hal.
53
h. 56-58.
Haidar Bagir, Murtadlâ Muthahharî Sang Mujahid (Bandung: Yayasan Muthahharî, 1988),
31
Syamsuri menyebutkan bahwa ia adalah intelektual muslim yang taat
beragama, moderat, dan terbuka dan senantiasa berkeinginan mengembangkan
dan memperluas wawasan berpikir generasi muda Islam Iran dan meningkatkan
kualitas pendidikan mereka.54
Beliau adalah seorang filosof besar yang tidak hanya menguasai filsafat
Islam, namun juga filsafat Barat. Meskipun ia juga menguasai filsafat Barat,
tetapi ia tetap menjadi cendikiawan yang sangat gagah dan tidak pernah rendah
diri terhadap ilmuwan Barat, bahkan ia tidak malu untuk mengutip pemikiranpemikiran ilmuwan Islam. Tidak sama dengan kebanyakan ilmuan yang merasa
rendah diri dihadapan pemikir barat sehingga kemudian ia memuja pemikiran
Barat tanpa berpikir kritis terhadapnya.
Dari pemikiran dan metodologi yang beliau gunakan, Murtadlâ
termasuk dalam kategori pemikiran Islam atau islamic thought (al-fikr alislâmî).
Beliau
sudah
menggunakan
metode
dan
pendekatan
dalam
pemikirannya, namun di samping itu juga beliau masih berada dalam lingkaran
sebagai seorang muslim yang taat terhadap agama Islam sekte Syi‟ah, sebagai
agama yang beliau anut sejak kecil.
Tidak heran, karena memang sejak dini ia sudah memperlihatkan
kecenderungan yang kuat pada filsafat Islam. Kecenderungannya itu dipicu oleh
pandangannya tentang filsafat sebagai senjata ideologi yang ampuh untuk
menghadapi ide-ide sekular yang tersebar cepat di Iran pada waktu itu.
54
Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî”, h. 15.
32
Dari aspek pemikiran, Muthahharî memang tidak kalah intelektualnya
dengan ilmuan barat yang terkenal seperti Sartre, Heidegger atau Buber. Karena
dalam pemikiran mengenai eksistensi manusia dan alam, Muthahharî sudah
melakukan permenungan yang aktif dan menyajikannya dengan sangat kritis
dan analitis.55
Sedangkan dalam ranah filosof muslim, ia disamakan dengan alGhazâlî. Kesamaannya terletak pada kecenderungannya melihat filsafat sebagai
senjata ampuh ideologi untuk menangkal ide-ide filosofis. Tetapi perbedaannya
ialah terletak lawan yang dihadapinya. Kalau al-Ghazâlî menghadapi ide-ide
filosofis para filosof muslim yang dianggap tidak ortodoks. Sedangkan yang
dihadapi Muthahharî ialah ide-ide sekular Barat, khususnya Marxisme. Tetapi
keduanya mempunyai semangat yang sama.56
Dalam mengkritik ideologi Marxisme, Muthahharî sampai pada satu
kesimpulan bahwa ideologi Marxisme tidak sesuai dengan ideologi Islam,
sehingga tidak pantas bagi ummat untuk mengusung ideologi tersebut.
Memudahkan
memahami
argumentasi
yang
dipakainya,
Muthahharî
mengajukan diagram di bawah ini.
Epistemologi --> Paradigma --> Ideologi --> Praktik
Diagram di atas menjelaskan relasi antara ideologi dengan paradigma
(worldview) seseorang ibarat fondasi dasar sebuah bangunan dengan bagian
55
Jalaluddin Rahmat, “Mutahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama‟,”, h. 8.
Mulyadi Kartanegara, Renungan-renungan Filosofis Murtadlâ Muthahharî (Makalah
Seminar Internasional Pemikiran Murtadlâ Muthahharî di Auditorium Adhiyana Wisma Antara lt.2,
2004), h. 4.
56
33
atas bangunan tersebut. Singkatnya, ideologi sebagai hikmat amali (ilmu
praktis) mesti berlandaskan pada hikmat nazhari (ilmu teoritis) tertentu.57
Tetapi menurut Ḥamîd Dabbashî -sebagaimana diungkapkan Mulyadi
Kartanegara dalam makalahnya- bahwa sumber-sumber yang dipakai
Muthahharî untuk mempelajari Marxisme ini adalah sekunder, yaitu sumbersumber yang bisa ia dapatkan dalam bahasa Persia, baik pamplet-pamplet oleh
kaum Marxis yang tergabung dalam partai Tudeh, atau terjemahan karya Marx
ke dalam bahasa Persia atau sumber Arab berbahasa Arab.58
Selain itu, Murtadlâ merupakan salah satu tokoh yang memberikan
perhatian yang serius terhadap filsafat. Menurutnya filsafat mempunyai peran
penting dalam pertempuran ideologi. Ia merupakan senjata ideologi, sehingga
Muthahharî berusaha menghidupkan kembali tradisi filosofis, dan ia percaya
filsafat merupakan prioritas utama dalam skala makna di antara semua cabang
ilmu pengetahuan.
Maka dari itu Murtadlâ dikenal sebagai pemikir filosofis juga dikenal
sebagai salah seorang tokoh pembela kebebasan berpikir. Muthahharî
berkeyakinan bahwa eksistensi Islam tidak bisa dipertahankan kecuali dengan
kekuatan ilmu dan pemberian kebebasan terhadap ide-ide yang muncul. Oleh
karena itu, ajaran Islam yang dipercayai dan diyakini kebenarannya harus
melindungi kebebasan berpikir.
57
Haidar Bagir, Resensi Buku Murtadlâ Muthahharî : Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah
Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi
Pandangan Dunia (Jakarta: Sadra Press, 2010), h. ii.
58
Mulyadi, Renungan-Renungan Filosofis Murtadlâ Muthahharî, h. 2.
34
Filsafat bagi Muthahharî merupakan alat dan metode untuk memahami
ajaran-ajaran Islam, di samping untuk mempertahankan diri dari pengaruh
ideologi-ideologi yang menyimpang. Tetapi, menurut Muthahharî, filsafat
bukan merupakan kebenaran yang berdiri sendiri, di sampingnya, ada
kebenaran agama.
Kebenaran filsafat dan kebenaran agama, bagi Muthahharî tidak saling
bertentangan. Berdasarkan keyakinan ini, Muthahharî selalu mendasarkan
pemikirannya
pada
kebenaran-kebenaran
agama,
kemudian
dipahami,
diinterpretasikan, dan dipertahankan dengan kebenaran-kebenaran filosofis.
Muthahharî memandang serbuan pemikiran Barat sebagai musuh
terbesar dari pemikiran Islami. Menghadapi pertempuran intelektual ini
menurut Muthahharî harus dengan menggunakan senjata intektual pula.
Muthahharî tidak menolak Barat dengan mengumumkan shalat istikharah, tidak
pula dengan menyesuaikan ajaran Islam pada kerangka pemikiran Barat (seperti
kaum modernis yang membungkus paham Barat dengan kemasan Islam).
Muthahharî mengadakan penelitian tentang dasar-dasar pemikiran yang sudah
terbaratkan; Ia mengkaji dan menyangkal secara rasional aliran-aliran filsafat
intelektual dan sosial Barat dan memberikan interprestasi baru tentang
pemikiran dan praktik-praktik keislaman secara logis dan rasional.59
59
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj: Luqman
Hakim (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), Cet. Ke-1, h. 195.
BAB III
FILSAFAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID
DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ
A. Filsafat Manusia menurut Abdurrahman Wahid
1. Mengenai Hakikat Manusia
Konsep tentang hakikat manusia merupakan pemikiran fundamental
Gus Dur dalam memberikan apresiasi luas terhadap segala hal, baik dalam
kehidupan manusia dan dalam memberikan perhatian pada kesejahteraan setiap
individu. Tampaknya Gus Dur memang benar-benar memposisikan manusia
pada tempat yang sebenarnya. Terbukti dalam setiap langkahnya Gus Dur
selalu mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan.
Menurutnya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mempunyai
kesempurnaan keadaan yang paling tinggi dalam setiap ciptaan Tuhan. Ia
adalah makhluk yang dilengkapi akal, perasaan dan keterampilan untuk
mengembangkan diri. Segala kelengkapan itu tidak dimiliki makhluk lainnya.63
Demikianlah manusia lebih unggul dari makhluk lainnya.
Ditinjau dari aspek ini, sesungguhnya seluruh manusia memiliki
kedudukan yang tinggi dalam tatanan kosmologi sehingga setiap individu harus
memperoleh perlakuan dan hak-hak dasar yang sama.64 Karena posisi manusia
yang tinggi itu menuntut pula penghargaan kepada nilai-nilai dasar kehidupan
63
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 30.
Samsul Bakri dan Udhofir, Jombang-Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus
Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2004), Cet. Ke-1, h.
49.
64
35
36
manusia yang sesuai dengan martabatnya. Hal itu menuntut agar manusia
dipandang sebagai manusia.
Hak-hak dasar itu tidak lain ialah nilai-nilai dasar manusia. Nilai-nilai
dasar manusia merupakan dimensi-dimensi kemanusiaan yang memang sudah
melekat dalam diri manusia sejak lahir. Adapun dimensi-dimensi yang
dimaksud ialah dimensi materi, keyakinan, moralitas, kepemilikan, kreativitas65
dan rasionalitasnya. 66
Apa yang disebutkan tadi merupakan dimensi-dimensi kemanusian yang
bersifat universal, karena setiap individu pasti mempunyai dimensi-dimensi itu.
Melekatnya fitrah dalam diri manusia, menjadikan manusia berbeda dengan
makhluk lainnya. Dalam artian, fitrahnya menjadikan manusia sebagai makhluk
termulia di jagat raya.
Untuk menjadi manusia seutuhnya, manusia harus memberikan ruang
gerak yang cukup bagi dirinya sendiri di luar dan di dalam dirinya sendiri.67
Maka dari itu dimensi-dimensi tersebut harus dilindungi demi lahirnya
kebebasan dimensi-dimensi manusia dalam rangka perkembangan hidup
manusia yang optimal. Kebebasan tersebut menjadikan manusia dapat
mengembangkan pemikiran dan kepribadiannya tanpa intervensi dari luar
baginya.68 Jika kalau tidak demikian, manusia sebagai individu cenderung
65
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara,
2001), Cet. Ke-2, h. 180.
66
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 8-11.
67
Ibid, h. 36
68
Wawan Kurniawan, “Menolak HAM atau Mengubah Fiqh?: Pemikiran Gus Dur tentang
Islam dan HAM,” Kajian Kebudayaan dan Demokrasi, Weltanscauung Gus Dur, Edisi. vi (Juni 2010),
h. 40.
37
memperlakukan dirinya secara berlebihan. Akibatnya, kebebasan keakuan
manusia justru akan mengganggu manusia lainnya dalam meraih hakikatnya
sebagai manusia.
Kebebasan manusia bukan kebebasan tanpa batas. Tetapi kebebasan
manusia yang dimaksud Gus Dur tidak lain ialah kebebasan yang dibatasi oleh
kebebasan manusia lainnya. Itulah yang disebut Gus Dur sebagai kebebasan
yang dilandaskan pada dimensi-dimensi kemanusiaan. Hal tersebut harus
tumbuh dari hati nurani manusia. Karena kesadarannya akan hakikat manusia
itu sendiri merupakan hal yang sangat penting demi terciptanya saling
menghargai di antara sesama manusia.69 Sartre membahasakan dengan
kebebasan yang juga harus memerhatikan kebebasan orang lain, yang oleh
Sartre diistilahkan dengan kata Faktisitas.70
Manusia yang mampu menerapkan penghargaan kepada sesama, pada
dasarnya ia sadar bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan mulia. Ia
terlahir dalam keadaan dibekali dimensi-dimensi dasar yang sangat manusiawi.
Tetapi dalam kehidupannya, terkadang manusia sendiri justru melupakan
dimensi-dimensi kemanusiaan tersebut. Jika manusia dapat memahami dan
melaksanakan dimensi-dimensi tersebut dengan baik dalam kenyataan,
69
Abdurrahman Wahid, “Pengembangan Ahlussunah wal Jama’ah di Lingkungan Nahdlatul
Ulama”, dalam Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wa al-Jamaʻah: Sebuah Kritik Historis (Jakarta: Pustaka
Cendekia Muda, 2008), Cet. Ke-1, h. viii.
70
Lili Tjahjadi, “Ateisme Sartre: Menulak Tuhan Mengiyakan Manusia,” dalam Filsafat
Eksistensialisme Jean-Paul Sartre (Yogyakarta: Kanisius, 2003), Cet. Ke-3, h. 131.
38
sesunggunya manusia yang demikian merupakan manusia yang sempurna,
manusia yang sesuai dengan hakikat dirinya sebagai manusia yang mulia.71
Kemuliaan manusia dilengkapi oleh Allah dengan firman-Nya pula
dalam surat al-Tîn/95: 4, yaitu, “laqad khalaqnâ al-insâna fî aḥsani
taqwîm” (“sesungguhnya telah Ku-jadikan manusia dalam bentuk
kemakhlukan yang sebaik-baiknya”) dan dengan keseluruhan peranan
status dan bentuk kemakhlukan itu manusia dijadikan Allah sebagai
pengganti-Nya di muka bumi (khalîfatullâh fî al-ardl).72
Fitrah manusia yang diterangkan di atas merupakan anugerah dari Allah
kepada manusia agar manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai khalîfahNya. Kepercayaan Tuhan akan diri manusia merupakan derajat yang sangat
spesial yang tidak satu pun makhluk lain mendapatkannya. Jabatan itu
menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang mempunyai posisi
tertinggi ke-2 setelah Tuhan.
Tuhan tidak akan pernah salah pilih dalam menentukan suatu pilihan,
termasuk juga dalam memilih manusia untuk menjadi pengganti-Nya di muka
bumi. Menurut Gus Dur, Tuhan memilih manusia sebagai pengganti-Nya tidak
lain karena dalam penciptaannya, manusia dibekali berbagai potensi yang
dimungkinkan dapat mengemban tugas berat tersebut.
Diutusnya manusia mempunyai tugas-tugas utama. Dalam suatu tulisan,
Gus Dur mengatakan bahwa tugas utama manusia sebagai khalîfah tidak lain
ialah untuk membawakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Sebagaimana Nabi Muhammad diutus Allah untuk kesejahteraan manusia.
71
72
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 368-369.
Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, h. 153.
39
Pesan-pesan yang dibawakan Islam pada umat manusia adalah sederhana
saja: bertauhid, melaksanakan syariah, dan menegakkan kesejahteraan di
muka bumi. Kepada kita telah diberikan contoh sempurna, yang harus
kita teladani sejauh mungkin, yaitu Nabi Muhammad Saw. Hal itu
dinyatakan dalam al-Qur’an surat al Aḥzab/33: 21, yaitu “laqad kâna
lakum fî rasûlillâh uswatun ḥasanah” (“telah ada bagi kalian keteladanan
sempurna dalam diri Rasulullah”). Keteladanan itu tentunya paling utama
terwujud dalam peranan beliau untuk membawakan kesejahteraan bagi
seluruh umat manusia (raḥmatan li’al-âlamîn). Karena meneladani
peranan pembawa kesejahteraan itulah manusia diberi status tinggi di
hadapan Allah, seperti firman-Nya dalam surat al-Isra’/17: 70, yaitu,
“laqad karramnâ banî âdam” (“sungguh telah Ku-muliakan anak
Adam”).73
Dalam teks di atas, Gus Dur ingin menjelaskan bahwa urutan pesan
yang dibawakan Islam merupakan suatu urutan menuju pada kesempurnaan
manusia sebagai khalîfah Tuhan. Bertauhid merupakan menjadi modal utama
yang harus tertanam dalam diri manusia untuk menjadi diri yang sempurna.
Kebertauhidan manusia mendorongnya untuk menjalankan syariah yang
dihasilkan dari persaksian manusia akan Tuhan. Maka menjalankan syariah
merupakan suatu tanda bahwa seseorang itu bertauhid. Tidak hanya itu,
kebertauhidan dan melaksanakan syariah itu pula mendorong manusia untuk
berbuat sebagaimana perintah Tuhan yaitu menciptakan kesejahteraan untuk
alam semesta.
Seseorang yang bertauhid dan melaksanakan syariah dengan baik dan
benar sudah merupakan kepastian baginya untuk terus berusaha memakmurkan
dan menyejahterakan seluruh jagat raya. Sehingga seseorang yang tidak
menyebarkan rahmat berupa kesejahteraan tidak dapat dikatakan sebagai
manusia yang bertauhid dan melaksanakan syariah.
73
Ibid, h. 153.
40
Dengan demikian, Gus Dur menempatkan kesejetahteraan sebagai
ukuran hakikat manusia itu sendiri. Sedangkan unsur-unsur dasar kemanusiaan
merupakan modal awal yang sangat penting untuk menuju pada derajat
tertinggi manusia. Derajat tertinggi manusia ialah jika ia mampu memanfaatkan
dimensi-dimensi manusia demi kesejahteraan umat manusia. Manusia yang
nilai-nilai kemanusiaannya berkembang dengan seimbang ialah dia yang
menyejahterakan seluruh umat manusia. Maka itulah hakikat manusia, yang
seharusnya menjadi cita-cita seluruh umat manusia agar dirinya mampu
menjadi manusia yang sesungguhnya.
Gus Dur tidak hanya menyusun teori tentang hakikat manusia. Tetapi ia
juga memberikan contoh yang sangat baik mengenai teorinya tentang manusia
yang sebenarnya. Gus Dur tidak ragu-ragu menggunakan segala kekuatannya
untuk kesejahteraan manusia. Ketika menjadi presiden, kesejahteraan
masyarakat
menjadi
perjuangan
utamanya.
Saking
pedulinya
pada
kesejahteraan, Franz Magnis Suseno SJ menyamakan Gus Dur dengan para
khalîfah Mongul yang memang benar-benar bertanggung jawab atas
kesejahteraan
dan
kebahagiaan
minoritas
yang
hidup
di
bawah
pemerintannya.74
2. Dimensi-dimensi Manusia
Terdapat beberapa dimensi yang menurut Gus Dur harus diasah jika
manusia ingin menjadi diri yang sesungguhnya. Dimensi-dimensi itulah yang
74
Franz Magnis Suseno, “Gus Dur: Bangsa Mana di Dunia Mempunyai Presiden seperti
Kita,” dalam Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKIS, 2000), Cet.
Ke-1, h. 21.
41
akan benar-benar menampilkan kesempurnaan manusia dibandingkan makhluk
lainnya. Dimensi-dimensi itu ialah dimensi badani, keyakinan, moralitas,
kepemilikan, kreativitas dan rasionalitasnya.
Manusia berposisi sebagai makhluk yang terdiri dari aspek materi, yaitu
susunan fisik yang disebut tubuh. Aspek materi manusia merupakan suatu alat
untuk merealisasikan segala apa yang ada dalam pikiran dan hati seseorang.
Dengan demikian, untuk mengoptimalkan potensi ini, individu harus mampu
mengembangkan persamaan hak dan derajat antarsesama manusia.75 Persamaan
hak dan derajat akan melahirkan saling menghormati segala potensi manusia
antarsesama yang memang harus memiliki kesempatan yang sama dalam
mengembangkan segala pontensinya.
Selain dimensi materi, manusia juga mempunyai dimensi keyakinan
yang memang sudah melekat dalam diri manusia. Keyakinan inilah yang
memungkinkan manusia untuk mendekat dan menemukan Tuhannya. Sehingga
menangkap eksistensi Tuhan itu oleh Gus Dur disebut sebagai bagian dari fitrah
manusia. Hal tersebut yang menjadikan Gus Dur tidak ragu untuk mengatakan
bahwa manusia dituntut memiliki landasan berupa bekal keyakinan yang kuat,76
karena hal itu merupakan bagian dari penyempurna hakikat diri manusia itu
sendiri.
75
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 5.
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta: LKIS,
2007), Cet. Ke-2, h. 184.
76
42
Dalam tatanan alam, sebenarnya manusia mempunyai posisi yang
sangat unik, yaitu keberadaannya di antara alam semesta dan Tuhan. 77 Sebagai
makhluk yang berkeyakinan yang merupakan bagian dari rohani, manusia
mempunyai potensi untuk menangkap pesan-pesan dari Tuhan. Sebagai
makhluk
materi
kemudian
manusia
menyampaikannya
atau
mengaplikasikannya kepada alam semesta.78 Manusia ibarat suatu jembatan
yang menjadi perantara yang amat baik untuk menyatukan alam semesta
dengan Tuhan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Gus Dur menambahkan bahwa
sebagian dari unsur dasar manusia ialah hakikatnya sebagai makhluk bermoral.
Moral oleh Gus Dur diartikan sebagai kerangka etis yang utuh maupun dalam
arti kesusilaan.79 Dimensi moralitas ini yang oleh Gus Dur disebut sebagai
landasan keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi.80
Dimensi moral ini merupakan suatu bekal manusia dalam hidup berdampingan
dengan manusia lainnya.
Konsep mengenai manusia sebagai makhluk bermoral, Gus Dur juga
mengambilnya dari kandungan al-Qur’an yang banyak menyatakannya. Ayat
yang menyatakan manusia sebagai makhluk yang berbangsa dan bersuku-suku
merupakan salah satu yang menjelaskan tetang aspek moralitas manusia.81
77
R.A. Nicholson, Tasawuf Cinta: Studi atas Tiga Sufi: Ibn Abî al-Khair, al-Jîlî dan Ibn alFarid, terj. Uzair Faizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 144.
78
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia
(Jakarta: Erlangga, 2009), h. 12.
79
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 6.
80
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 6.
81
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 25.
43
Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hujarat/49: 13 yakni “wa jaʻalnâkum
syuʻûban wa qabâila litaʻârafû” (“Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal”).
Dimensi moralitas ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial
manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain.82 Antara yang
satu dengan yang lainnya terjadi hubungan timbal balik yang saling
membutuhkan demi serangkaian penemuan identitasnya untuk meningkatkan
kualitas hidup mereka sendiri.83 Dengan demikian, kehidupan sosial manusia
membutuhkan pengakuan manusia pada eksistensi manusia yang lain. Sehingga
perbedaan tiap individu harus diakui mempunyai kebebasan yang sama.
Karena mempunyai kebebasan yang sama dalam tiap individu, sehingga
dibutuhkan saling menghormati antara kebebasan yang satu dengan yang
lainnya. Hubungan yang baik itu akan melahirkan perkembangan segala potensi
dalam dirinya. Inilah bentuk pengabdian diri manusia terhadap sesama.
Menurutnya, hasrat mengabdikan diri kepada sesama merupakan suatu hal yang
harus dipupuk dalam hubungannya dengan sesama.84
Syamsul Bakri dan Mudhofir mengungkapkan dengan sangat baik
dalam bukunya mengenai pemikiran Gus Dur tentang manusia sebagai makhluk
bermoral.
Bagi Abdurrahman Wahid, penanggulangan kemiskinan harus dilakukan
dengan mendudukkan martabat manusia pada tempat yang tinggi, yaitu
82
Ibid, h. 161.
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 90.
84
Hamdan, Dari Teologi Profesional ke Teologi Praktisi, h. 131.
83
44
sebagai makhluk bermoral dengan hak-hak asasi dan kebutuhannya
sendiri.85
Dalam kutipan di atas, dinyatakan bahwa Gus Dur memosisikan
manusia sebagai makhluk yang sangat tinggi ketika manusia mampu hidup
dengan sesama, dengan segala pemenuhan seluruh haknya sebagai manusia
yang utuh. Jika hal tersebut tidak dicapai, manusia tidak dapat dikatakan
sebagai manusia, melainkan hanyalah bayangan mengenai manusia.
Adelbert Snijders juga mengungkapkan mengenai pentingnya manusia
hidup dalam suatu interaksi dengan sesama. Menurutnya, manusia tidak akan
pernah menjadi manusia sampai ia hidup bersama manusia pula. Kebersamaan
hidup manusia tersebut juga akan menjadikan dunia sebagai tempat yang
manusiawi.86
Tetapi hidup manusia bersama dengan manusia lainnya tidaklah cukup
menjadikannya sebagai makhluk yang unggul. Terdapat hal lain yang juga
melengkapi keunikan manusia sebagai makhluk terbaik Tuhan, yaitu dimensi
kepemilikan. Manusia menurut Gus Dur tidak bisa tidak memiliki sesuatu
dalam hidupnya. Itu berarti, memiliki adalah salah satu kodrat manusia yang tak
bisa dihilangkan.
Bukti
mengenai
hakikat
manusia
merupakan
makhluk
yang
berkepimilikan ialah tidak berhasilnya konsep Plato diterapkan di mayarakat.
85
Syamsul Bakri dan Mudhofir, Jombang Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus
Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2004), Cet. Ke-1, h.
65.
86
Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta:
Galang Press, 2010), Cet. Ke-5, h. 217.
45
Konsep Plato tersebut menyebutkan bahwa manusia tidak diperkenankan
memiliki sesuatu secara pribadi, segala sesuatu yang dimiliki sesungguhnya
bukan miliknya, tetapi milik seluruh umat manusia.87 Konsep itu sudah pernah
dicoba diterapkan di negara polisnya, dan dicoba dihidupkan kembali oleh Karl
Marx. Tetapi sampai sekarang konsep itu tidak dapat diterapkan dengan
sempurna. Hal itu terjadi karena konsep mengenai ketidak pemilikan manusia
adalah bertentangan dengan hakikat manusia itu sendiri dan merupakan konsep
berupa pemerkosaan terhadap kodrat manusia.
Tampaknya fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki dapat
melahirkan semangat kepada manusia agar terus berlomba-lomba untuk
memiliki sesuatu. Perlombaan itu kemudian melahirkan kemajuan pada suatu
individu, dan kalau setiap individu sudah maju, maka kelompok (masyarakat)
yang individu yang terdapat dalam suatu negara akan maju seiring dengan
majunya tiap individu tersebut.
Tidak dapat dipungkiri pula bahwa akal merupakan salah satu potensi
manusia yang sangat penting. Kinerja dari akal disebut berpikir. Maka
sesungguhnya manusia merupakan makhluk yang berpikir. Melalui kinerjanya
yang berpikir, akal dapat memberikan pencerahan pada manusia agar dapat
membedakan antara kebaikan dengan keburukan, serta antara yang bermanfaat
dan membahayakan.88
87
Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh
dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Kompas Gramedia, 2006), h. 116.
88
Ibrahim Amini, Risalah Tasawuf: Kitab Suci para Pesuluk, terj. Ahmad Subandi dan
Muhammad Ilyas (Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2001), h. 61.
46
Gus Dur menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk rasional,
yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan akal.89 Sebagai makhluk rasional,
manusia hendaknya mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari
keharusan berpegang pada kebenaran.90 Wawasan terjauh tersebut bisa saja
terus menerus mencari sisi-sisi yang paling tidak masuk akal dari kebenaran
yang ingin dicari dan ditemukan. Apa yang terkait dengan kemampuan akal
manusia itu sebenarnya sangat terkait dengan metafisika. Hasil dari berpikir
itulah yang disebut dengan konsep.
Tetapi manusia tidak hanya membutuhkan suatu konsep. Lebih dari itu,
manusia membutuhkan realisasi terhadap apa yang telah dirumuskan melalui
akalnya. Maka realisasi itulah yang disebut dengan berkreasi. Lebih dalam lagi
Gus Dur menjelaskan bahwa kreatif mempunyai arti mengambil inisiatif untuk
mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran.91 Manusia
boleh mempunyai seribu konsep mengenai hidup yang sejahtera, tetapi ia tidak
akan mampu bertahan hidup tanpa berkreasi, atau tanpa merealisasikan apa
yang telah disusunnya.
Bahwa
berkreasi
atau
berkarya
(meminjam
istilah
Soerjanto
Poespowardojo) sebenarnya mempunyai arti yang positif, yakni mempunyai
makna
89
yang
sangat
manusiawi, karena
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 30.
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 11.
91
Ibid.
90
berkreasi
merupakan proses
47
penyempurnaan manusia itu sendiri.92 Dengan demikian dalam kreativitasnya
tercermin mutu dan martabat manusia.
B. Filsafat Manusia menurut Murtadlâ Muthahharî
1. Perspektif Murtadlâ Muthahharî tentang Manusia
Murtadlâ Muthahharî memberikan perhatian yang cukup serius
mengenai tema tentang hakikat manusia. Ia banyak membahas hakikat manusia
di berbagai buku yang ditulisnya. Bahkan ia menulis buku khusus yang
menyoroti tentang manusia, yaitu buku yang berjudul Insone Komel yang dialih
bahasakan oleh ʻAbdillâh Ḥâmid Baʻabud menjadi Manusia Seutuhnya: Studi
Kritis berbagai Pandangan Filosofis.
Penjelasan Muthahharî menganai hakikat manusia sangatlah menarik.
Konsep yang ia tawarkan sangat berbeda dengan konsep manusia hakiki
sebagaimana banyak orang pahami dari pelopor konsep insân kâmil, Ibn Arabi,
yang memang menjadi icon utama dalam perbincangan tentang hakikat
manusia. Bahwa apa yang ia sampaikan mengenai manusia yang benar-benar
manusia adalah suatu hal yang baru.
Muthahharî memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari apa
yang ada pada malaikat dan apa yang ada di hewan.93 Dengan demikian, dalam
diri manusia terdapat unsur yang tidak dimiliki malaikat yaitu unsur kehewanan
meliputi nafsu, amarah dan lainnya dan juga terdapat unsur yang tidak dimiliki
92
Soerjanto Poespowardojo, “Menuju Manusia Seutuhnya,” dalam Sekitar Manusia (Jakarta:
Gramedia, 1983), Cet. Ke-4, h. 5.
93
Murtadlâ Muthahharî, Manusia Seutuhnya: Studi Kritis berbagai Pandangan Filosofis, terj.
ʻAbdillâh Ḥâmid Baʻabud (Jakarta: Sadra Institute, 2012), Cet. Ke-1, h. 27.
48
hewan seperti akal dan lainnya. Jika melihat unsur-unsur tersebut,
sesungguhnya manusia memang diciptakan untuk diuji, karena unsur-unsur
tersebut yang mendorong lahirnya serangkaian potensi. Hal itulah yang
menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik dan mempunyai keunggulan
melebihi makhluk lain.
Manusia merupakan makhluk yang diilhami kebaikan dan keburukan
kedalam jiwanya.94 Sehingga dengan itu manusia mampu memahami kebaikan
dan keburukan. Karena kebaikan dan keburukan memang sudah tertanam dalam
diri manusia, maka meskipun tanpa belajar atau tanpa guru manusia sebenarnya
sudah mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan.
Selain itu ia memposisikan manusia sebagai makhluk yang dalam
dirinya terdapat segumpalan potensi-potensi yang memang khas. Karena
potensi-potensi tersebut adalah suatu hal yang khas, maka makhluk selainnya
tidak mempunyai potensi-potensi sebagaimana manusia miliki. Di sinilah nilai
lebih manusia dibandingkan dengan makhluk lain, yaitu memiliki potensi yang
tidak dimiliki makhluk lain..
Peneliti handal dari UIN Syarif Hidayatullah, Syamsuri, mengatakan
dalam laporan hasil penelitiannya mengenai konsep hakikat manusia
Muthahharî, bahwa manusia mempunyai banyak potensi. Potensi itu biasa
disebut juga dengan dimensi kemanusiaan atau nilai kemanusiaan. Menurutnya,
Muthahharî mengklasifikasikan dimensi-dimensi tersebut setidaknya menjadi
94
Murtadlâ Muthahharî, Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam Dialog Teks
yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2011), Cet.
Ke-1, h. 321.
49
lima bagian, yaitu dimensi intelektual, dimensi moral, dimensi estetis, dimensi
ibadat (ritus) dan dimensi kreativitas.95
Dalam pandangannya mengenai hakikat manusia, ia menjadikan
dimensi kemanusiaan tersebut sebagai ukuran yang sangat menentukan
kemanusiaan manusia. Manusia yang benar-benar manusia adalah ia yang
segala dimensi kemanusiaannya berkembang secara seimbang dan stabil.96
Seimbang dalam hal ini menurutnya ialah seiring perkembangan potensipotensi kemanusiaannya, tercipta juga keseimbangan dalam perkembangannya.
Sehingga tak satu pun dari nilai-nilai itu yang berkembang tidak selaras dengan
nilai-nilai lain. Manusia seperti itulah yang disebut sebagai imam.
Kalau berbicara mengenai perkembangan, tentunya terdapat titik awal
dari perkembangan tersebut. Bahwa suatu perkembangan pasti diawali oleh titik
rendah dan kemudian bergerak menuju arah yang lebih sempurna. Sama halnya
dengan perkembangan manusia menjadi manusia. Titik awal dari kemanusiaan
tidak lain ialah berpangkal pada aspek kehewanannya yang kemudian terus
berkembang menjadi kemanusiaan.97
Pada mulanya, manusia hanyalah sekadar susunan fisik, tetapi
bersamaan dengan perkembangan esensinya, ia menjadi lebih bersifat spiritual.
Menurutnya, roh manusia berasal dari keberadaan fisiknya dan berkembang
menuju kebebasan. Itu berarti, kehewanannya bertindak sebagai suatu sarang.
Di dalam sarang tersebut kemanusiaannya tumbuh dan menjadi sempurna.
95
Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî”, h. 36.
Murtadlâ, Manusia Seutuhnya, h. 28.
97
Murtadlâ, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, h. 68.
96
50
Sehingga kebebasan dinilai olehnya sebagai kemampuan manusia dalam
penguasaan terhadap aspek-aspek lainnya.
Dengan demikian manusia yang hakiki adalah ia yang menguasai secara
relatif, baik lingkungan internal maupun eksternalnya tanpa menghilangkan
keimanan dan keilmuan bahkan menguatkan keduanya. Sebagaimana yang
diungkapkan dalam bukunya:
Individu yang hakiki ialah yang terbebaskan dari ikatan internal maupun
eksternal dan mengikatkan diri pada suatu keimanan dan keyakinan.98
Perbedaan yang paling penting dan mendasar antara manusia dan
makhluk-makhluk lainya terletak pada iman dan ilmu yang merupakan
kriteria kemanusiaannya.99
Maka, kebebasan manusia dari ikatan internal dan eksternal yang
kemudian mengikatkan dirinya pada suatu keimanan dan keilmuan merupakan
tanda atau ukuran mengenai hakikat manusia. Bahwa, seseorang yang
dikatakan perkembangan seluruh nilai kemanusiaannya seimbang dan stabil
jika individu tersebut bebas dari segala ikatan internal dan eksternal yang
kemudian memupuk keimanan dan keilmuan.
Keimanan merupakan media dalam memperluas manusia secara
vertikal, sedangkan keilmuan memperluas manusia secara horizontal.
Keimanan dan keilmuan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia.
Karena keimananlah yang mengilhami manusia tentang apa yang mesti kita
kerjakan. Sedangkan keilmuan menunjukkan kepada kita apa yang ada di sana.
98
99
Ibid, h. 68.
Ibid, h. 65.
51
Dari apa yang disampaikan di atas, Murtadlâ ingin menekankan bahwa
keseimbangan dari segala aspek nilai-nilai kemanusiaan tersebut ditandai oleh
keimanan dan keilmuan seseorang. Jika keimanan dan keilmuan seseorang
stabil, sudah merupakan kepastian bahwa nilai-nilai kemanusiaannya sudah
seimbang sebaigamana dijelaskannya. Karena menurut Murtadlâ, keilmuan
saja tidak mampu menyelamatkan manusia dari kehancuran.100 Dengan
demikian, puncak hakikat manusia ialah berada pada keimanan dan
keilmuannya.
2. Dimensi-Dimensi Manusia
Sebagaimana dituliskan dalam buku Muthahharî yang berjudul Bedah
Tuntas Fitrah yang diterjemahkan oleh Afif Muhammad, bahwa dimensidimensi manusia tersebut di antaranya ialah mencari kebenaran, moral, estetika,
kreasi
dan
penciptaan,
kerinduan
dan
ibadah.
Sedangkan
Syamsuri
menyebutnya dengan istilah dimensi intelektual, dimensi moral, dimensi estetis,
dimensi ibadat (ritus) dan dimensi kreativitas.101
Sebagai salah satu dari dimensi kemanusiaan, dimensi intelektual
manusia sebenarnya sudah tertanam dalam diri manusia sejak lahir. Dimensi
intelektual itu merupakan dimensi yang melahirkan dorongan-dorongan suci
untuk mencari kebenaran. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan
untuk mengetahui dan menalar hakikat sesuatu.102 Artinya, manusia ingin
100
Murtadlâ Muthahharî, Neraca Kebenaran dan Kebatilan, (Bogor: Ebook yang
dipublikasikan oleh www.al-shia.org, 2001), h. 45.
101
Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî,” h. 38-43.
102
Murtadlâ Muthahharî, Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Hakikat dan Potensi Kita, terj. Afif
Muhammad (Jakarta: Citra, 2011), h. 49.
52
memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda
dalam keadaan yang sesungguhnya. Murtadlâ menyebut keadaan itu dengan
“kesadaran filosofis” atau “pencarian kebenaran”.
Dalam kajian Sidi Gazalba, otak diposisikan sebagai organ yang tak
akan berfungsi tanpa adanya jiwa.103 Jiwalah yang kemudian dapat
menggerakkan otak, sehingga ia dapat berpikir. Fungsi berpikir ini yang
kemudian membedakan dengan hewan. Hewan juga mempunyai otak tetapi
tidak dapat berpikir sebagaimana manusia, karena memang hewan tidak
memiliki jiwa yang mendorong otak untuk berpikir. Maka keunikan manusia
sebagai makhluk berpikir ini yang Murtadlâ sebut dengan dimensi intelektual.
Selain itu, manusia akan selalu terarah pada kecenderungankecenderungan moral, yaitu kecenderungan tentang bagaimana ia bersikap.104
Sebagian manusia cenderung pada yang memberikan manfaat secara fisik,
selebihnya cenderung pada keutamaan dan kebajikan.105 Kecenderungan
pertama ia sebut sebagai kebaikan materi, sedangkan kedua ia sebut sebagai
kebaikan spiritual. Dalam diri manusia sebenarnya yang pertama muncul adalah
rangsangan kebaikan, bukan kenikmatan.106
Manusia sesungguhnya mempunyai ketergantungan terhadap kebaikankebaikan spiritual. Manusia sangat menyukai kejujuran dan sebaliknya dengan
kebohongan. Ketergantungan manusia terhadap kebaikan-kebaikan spiritual
103
Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), Cet. Ke-3, h.12.
104
Mujtaba Misbah, Daur Ulang Jiwa, terj. Jayadi (Jakarta: al-Huda, 2008), Cet. Ke-1, h. 16.
105
Murtadlâ, Bedah Tuntas Fitrah, h. 53.
106
Murtadlâ, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, h. 95.
53
atau keutamaan itu dibagi menjadi ketergantungan individu dan ketergantungan
sosial.107
Ketergantungan individu merupakan ketergantungan terhadap kebaikan
yang memang terdapat dalam diri seperti ketergantungan kepada penguasaan
diri dan keberanian yang berarti kekuatan hati. Sedangkan ketergantungan
sosial ketergantungan terhadap hubungan dengan manusia lainnya. Misalkan
senang membantu, bekerjasama, kerja sosial, berbuat baik dan berkorban untuk
orang lain, baik dengan jiwa maupun harta. Bahkan, ketergantungan kebaikan
spiritual ini merupakan prilaku yang dapat meningkatkan derajat manusia.108
Aspek sosial merupakan bagian terpenting dari ranah moral. Dalam
tulisannya ia juga menjelaskan bahwa kepentingan sosial jauh lebih penting di
bandingkan kepentingan pribadi, karena terdapat kebahagiaan tersendiri ketika
seseorang dapat bersosial.
Dalam kehidupan bermasyarakat, kepantingan umum mesti lebih
diutamakan di atas kepentingan perorangan atau bahkan di atas
kepentingan pribadi. Karena, jika setiap orang hanya mengutamakan
kepentingan pribadi atau perorangan saja, niscaya kepentingan umum,
bahkan termasuk kepentingannya sendiri akan terabaikan, karena itu ada
sebagian orang yang berkorban demi membela kepentingan umum.109
Dalam wacana Muthahharî mengenai dimensi moral manusia, tampak
melandaskan moral tersebut kepada aspek spiritual. Bahwa manusia
sesungguhnya akan mencapai kebahagiaan, yang emang diidamkan dalam
107
108
Ibid, h. 53.
Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih (Bandung: Mizan, 2007), Cet. Ke-1,
h. 150.
109
Murtadlâ Muthahharî, Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam, terj. Muhammad
Bahruddin (Jakarta: Sadra, 2011), Cet. Ke-1, h. 251.
54
hidupnya, jika ia seseorang melandaskan hidupnya pada aspek kebaikan
spiritual. Hal ini sejalan dengan ungkapan W. Poespoprodjo bahwa moral
tersebut harus berlandaskan spiritual, tanpanya moral tidak akan terialisasi
dengan baik bahkan gagal.110
Ketertarikan manusia pada kebahagiaan tidak dapat dipungkiri, tetapi
ketertarikannya terhadap keindahan pun tidak dapat diabaikan dari kehidupan
manusia. Justru karena keindahan-keindahan manusia mampu hidup penuh
optimis. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, seseorang tidak akan dapat
mengabaikan keindahan pribadi ataupun di luar dirinya. Bagaimanapun juga,
manusia akan terus memburu keindahan tersebut. Arahnya yang tak dapat
dipisahkan dari keindahan itulah yang disebut dengan dimensi estetis. Itulah
keunikan manusia.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat menangkap dunia
sekitarnya sebagai suatu yang sangat mengagumkan.111 Artinya manusia
mampu menangkap keindahan yang tertuang di balik benda itu sendiri sehingga
benda atau alam sekitar itu menjadi mengagumkan. Suatu bentuk (keindahan)
yang tidak dapat ditangkap makhluk lain.
Dimensi-dimensi kemanusian mempunyai hubungan langsung dengan
fitrah dan fitrah dapat ditafsirkan. Penafsirannya ialah dalam diri manusia
terdapat hakikat kemanusiaan yang suci. Salah satu di antaranya adalah
kecendungan mencari Tuhan. Kecenderungan mencari Tuhan sebenarnya
110
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek (Bandung: Pustaka
Grafika, 1999), Cet. Ke-1, h. 28.
111
Soerjanto Poespowardojo, “Menuju Manusia Seutuhnya,” h. 5.
55
berasal dari kerinduan yang tertanam dalam diri manusia karena kerinduan
hakiki manusia menyatu dengan roh manusia, setelah roh itu sampai dan
menemukannya. Maka kerinduan itu sendiri berperan sebagai penggerak.
Kerinduan tidak ada kaitannya sama sekali dengan kebersamaan dan
pertemuan. Ia berpusat dalam diri individu itu sendiri. Kerinduan dapat
mengantarkan seseorang pada suatu tingkat yang di situ ia ingin menjadikan
yang dicintainya sebagai tuhan (sesuatu yang dipuja) dan dirinya sebagai
hambanya. Sehingga yang dicintai disebut sebagai yang mutlak ada dan dirinya
sebagai tidak ada. Maka kerinduan itu sendiri yang Murtadlâ sebut sebagai ritus
atau ibadat.112
Menurut Murtadlâ Muthahharî, kerinduan yang sangat tinggi ialah
kerinduan akan Tuhannya. Kerinduan terhadap Tuhan merupakan suatu
kecenderungan manusia untuk dekat dengan Tuhan.113 Dalam artian, manusia
sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Tetapi
pertanyaannya ialah kalau memang hakikat manusia itu mempunyai
kecenderungan untuk dekat dengan Tuhan, mengapa tidak sedikit orang yang
jauh dari-Nya. Muthahharî menjelaskan bahwa lahirnya segala keraguan dan
keingkaran manusia kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari
fitrah mereka sendiri.114
Terlepas dari kecenderungan manusia untuk mensucikan sesuatu
sebagaimana telah diterangkan, manusia masih mempunyai nilai dasar yang
112
Murtadlâ, Bedah Tuntas Fitrah, h. 55.
Murtadlâ, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, h. 118.
114
Ibid, h. 118.
113
56
tampaknya hal ini sering diabaikan. Bahwa manusia mempunyai ketertarikanketertarikan yang mendasar untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum
dibuat orang.115 Membuat sesuatu yang belum ada atau kata lain menciptakan
merupakan bentuk dimensi kreativitas manusia.
Dalam diri
manusia,
akan
lahir kebahagiaan tersendiri
yang
menyelimuti hidup seseorang ketika ia mampu berkreasi. Dalam artian, ia
mampu berkreasi dan kemudian mengaktualisasikan dalam bentuk nyata. Saat
itulah menurut Muthahharî seseorang merasakan kepribadiannya. Merasakan
kepribadiannya lewat kreativitas merupakan salah satu tanda bahwa ia benarbenar sadar akan dirinya. Pada saat itu manusia paham bahwa dirinya mampu
menciptakan sesuatu dan mampu mewujudkan sesuatu yang bersifat
metafisikan menjadi fisika.
115
Murtadlâ, Bedah Tuntas Fitrah, h. 54.
BAB IV
KOMPARASI PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID
DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ TENTANG FILSAFAT MANUSIA
A. Pandangan mengenai Ayat-Ayat tentang Manusia
Pandangan Gus Dur dan Murtadlâ Muthahharî mengenai manusia memang
tidak akan lepas dari dasar utama agama yang mereka anut, al-Qur’an. Keduanya
menjadikan al-Qur’an sebagai landasan utama dalam merumuskan pemikiran
mengenai manusia. Tetapi memang mereka menginterpretasikannya dengan cara
yang berbeda.
Dalam pembahasan mengenai status manusia di muka bumi, keduanya
menafsirkan surat al-Baqarah yang menjelaskan tentang ke-khalîfah-an manusia
dengan ragam penafsiran yang tidak sama. Misalkan dalam menafsirkan surat al
Baqarah/2: 29, berikut teksnya:
                
             
“Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalȋfah di bumi. Mereka berkata: mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalîfah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan dara. Tuhan berfirman: sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui.”
Kata khalȋfah merupakan fȋʻil yang berarti yang menggantikan atau yang
datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Tetapi dalam memahami istilah ini,
57
58
khalȋfah diartikan yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan
menerapkan ketetapan-ketetapannya.114
Menurut Gus Dur, posisi manusia sebagai khalîfatullâh merupakan
kedudukan tertinggi setelah Tuhan dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan
makhluk lain. Dengan demikian manusia sesungguhnya adalah makhluk
kepercayaan Tuhan untuk menggantikan-Nya di muka bumi. Tentunya manusia
diberikan kepercayaan sebesar itu dikarenakan ia mempunyai potensi-potensi yang
memungkinkannya dapat memahami dan merealisasikan maksud-maksud Tuhan.
Kedudukan manusia sebagai khalîfatullâh, Gus Dur maknai sebagai fungsi
kemasyarakatan.
Dengan
itu,
manusia
mempunyai
keharusan
untuk
memperjuangkan dan melestarikan cita-cita hidup kemasyarakatan yang mampu
menyejahterakan manusia itu sendiri secara menyeluruh.
Selanjutnya, Islam memberikan hak kepada manusia untuk menjadikan
pengganti Allah di muka bumi, sebuah fungsi kemasyarakatan yang
mengharuskan kaum muslimin untuk senantiasa memperjuangkan dan
melestarikan cita hidup kemasayarakatan yang mampu menyejahterakan
manusia itu sendiri secara menyeluruh.115
Ungkapan ini memberikan gambaran kepada penulis bahwa inti dari status
manusia sebagai makhluk nomor satu di jagat raya adalah tidak lain kecuali sebagai
rahmat atau kesejahteraan bagi seluruh alam. Syaiful Arif116 mengatakan bahwa
dalam hal ini Gus Dur memaknai rahmat tidak hanya sebagai kasih sayang, tetapi
juga kesejahteraan. Dalam makna kesejahteraan ini, rahmat memiliki makna
114
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, V. I
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-5, h. 142.
115
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007) Cet. Ke-1, h. 30.
116
Pengamat pemikiran Gus Dur lulusan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) sekaligus tutor kuliah
pemikiran Gus Dur di The Wahid Institute.
59
praksis, sebab ia akan mengupayakan kesejahteraan di tengah realitas hidup yang
tidak sejahtera.117
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Gus Dur menginterpretasikannya
dengan menggunakan pendekatan sosial. Artinya, manusia sebagai khalîfatullâh
diukur dengan peranannya dalam ranah sosial, karena menurut Gus Dur pesanpesan Islam untuk umatnya tidak lain kecuali untuk memberikan kontribusi besar
terhadap tatanan sosial yang lebih baik berupa kesejahteraan.118
Pernyataan Gus Dur tentang al-Qur’an sebagai kitab moral119 merupakan
upayanya dalam merangsang pembaca yang beriman untuk kembali mengaji alQur’an dengan lebih manusiawi. Tampaknya Gus Dur ingin menunjukkan bahwa
tuntunan dalam al-Qur’an tidak mengajarkan umat Islam tentang kekerasan, tetapi
mengajarkan tentang pentingnya kedamaian dan kesejahteraan. Maka ini adalah
jurus handal Gus Dur untuk
memupuskan seluruh bentuk diskriminasi dan
penindasan dalam bentuk apa pun.
Sedangkan menurut Murtadlâ manusia adalah makhluk pilihan Tuhan yang
disebut dengan istilah khalîfatullâh. Manusia diciptakan khusus untuk diuji oleh
Allah demi mengukuhkan statusnya sebagai khalȋfah. Hal tersebut sebagaimana
dijelaskan Allah dalam surat al-Anʻam/6: 165, yaitu “Wa huwa al-ladzî jaʻalakum
khalâifa al-ardl wa rafaʻa baʻdlukum fauqa baʻdlin liyabluwakum fî mâ âtâkum”
(“dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi, untuk mengujimu
117
Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Jakarta: The
Wahid Institute, 2013), h. 169.
118
Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, h. 153.
119
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara dan
Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), Cet. Ke-1, h. xix.
60
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu”). Sehingga ia mempunyai banyak
keunggulan dibandingkan dengan makhluk lain. Keunggulan-keunggulan tersebut
merupakan suatu tanda ke-khalȋfah-an manusia itu sendiri.
Manusia mempunyai dua dimensi, yaitu makhluk semi-samawi dan semiduniawi. Kedua dimensi tersebut merupakan keunggulan manusia yang tidak
dimiliki makhluk lain. Tetapi keunggulan itu bukanlah kriteria manusia sebagai
wakil Tuhan. Justru yang menjadikannya sebagai wakil Tuhan yang sesungguhnya
ialah tertanamnya keyakinan yang benar dalam dirinya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa makluk Allah, yang dipujikan oleh para
malaikat dan yang berlimpahan dengan segala sesuatu serta kesempurnaan
adalah manusia yang berkeyakinan, bukan manusia tanpa keyakinan.120
Jadi, keseimbangan seluruh dimensi kemanusia sesorang ditandai oleh
kebenaran keyakinan manusia itu sendiri. Keyakinan mempunyai peranan penting
dalam hidup manusia untuk membentuk dirinya munuju pada kesempurnaankesempurnaan yang kemudian mengarahkannya pada penerapan di setiap tindakan.
Tentunya tindakan-tindakan yang dimaksud adalah prilaku yang telah tertuang
dalam al-Qur’an.121
Dengan demikian, penafsiran yang digunakn Murtadlâ dalam kajian di atas
ialah menggunakan pendekatan tauhid. ke-khalȋfah-an manusia menurutnya, tampil
ketika ia nilai-nilai tauhid tertanam dengan baik dalam dirinya. Alasannya, tauhid
120
Murtadlâ Muthahharî, Perspektif al-Qur’an tetanng Manusia dan Agama, terj. Haidar Baqir
(Bandung: Mizan, 1992), Cet. Ke-6, h. 123.
121
Ibid, h. 123.
61
merupakan langkah dasar menuju kealiman, amal saleh, dan bekerja keras di jalan
Allah.122
B. Pandangan tentang Manusia secara Utuh
1. Manusia yang Hakiki
Mengenai pandangan kedua tokoh tentang hakikat manusia, masingmasing mempunyai konsep yang menarik. Manusia oleh Gus Dur dipandang
sebagai makhluk Tuhan yang sangat mulia. Kemuliaan itu tercermin pada
potensi-potensi yang tidak terdapat di makhluk selainnya. Sedangkan Murtadlâ
mengatakan bahwa manusia sebenarnya satu-satunya makhluk Tuhan yang
diciptakan untuk diuji. Sehingga wajar jika ia dibekali oleh Tuhan kemampuankemampuan yang tidak dimiliki makhluk lain yang tidak diciptakan untuk diuji.
Tetapi dalam menjelaskan lebih lanjut mengenai manusia, Gus Dur
menitik tekankan hakikat manusia itu kepada penggunaan segala daya upaya
manusia untuk kesejahteraan manusia. Daya upaya di sini lebih pada potensi
kemanusiaan manusia yang digunakan maksimal dan seimbang demi
kemaslahatan bersama. Itu berarti segala usaha manusia dalam segala
aktivitasnya hanya untuk kesejahteraan manusia.123 Jadi, manusia itu akan tampil
ketika ia benar-benar manusia jika ia kemudian memperjuangkan kesejahteraan
umat.
Apa yang diungkapkan Gus Dur itu sangat menarik, karena dalam
memandang manusia yang juga sama-sama berlandaskan al-Qur’an, tetapi
122
123
Ibid, h. 123.
Syaiful, Humanisme Gus Dur, h. 12.
62
melahirkan teori yang berbeda dengan teori Muthahharî mengenai hakikat
manusia.
Kalau dilihat dari aspek epistemologi, konsep mengenai hakikat manusia
Gus Dur dan Murtadlâ sama-sama berlandaskan al-Qur’an dan Hadis. Itu
artinya, bahwa konsep kedua tokoh tersebut bersumber dari al-Qur’an dan
Hadis. Karena memang, al-Qur’an dan hadis merupakan bagian dari sumber
ilmu pengetahuan.124 Karena bersumber dari al-Qur’an dan Hadis, maka
pemikiran keduanya tentang manusia pun tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai
landasan tersebut.
Memang keduanya sama-sama berlandaskan al-Qur’an dalam menyusun
konsep
hakikat
manusia
itu
sendiri.
Tetapi
Gus
Dur
dalam
menginterpretasikannya lebih menekankan pada aspek sosial. Baginya, manusia
yang sesungguhnya akan tampak ketika segala potensi kemanusiaannya
digunakan dan mempunyai dampak sosial yang positif bagi umat manusia. Itulah
yang disebut dengan raḥmatan lil ʻâlamîn.
Maka seandainya terdapat dua diskriminasi, yaitu diskriminasi terhadap
Tuhan dan manusia. Maka manusia seharusnya memilih membela manusia
untuk dibebaskan dari diskriminasi itu. Karena Tuhan itu sendiri tidak perlu
dibela. Tuhan itu Mahakuasa, jika manusia memilih membela Tuhan, itu sama
saja dengan menyepelekan kemahakuasaan Tuhan. Bahkan meletakkan
124
Dinar Dewi Kania, “Objek Ilmu dan Sumber-Sumber Ilmu,” dalam Filsafat Ilmu: Perspektif
Barat dan Islam, Adian Husaini et al (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 93-101.
63
kemahakuasaan Tuhan di bawah kekuasaan manusia, karena
Ia butuh
pertolongan manusia.
Gus Dur menjadikan Manusia yang raḥmatan lil ʻâlamîn itu sebagai
model manusia paling ideal. Karena itulah hakikat diturunkannya manusia di
muka bumi. Manusia diturunkan ke muka bumi untuk mengolah dengan baik
baik isi alam demi rahmat untuk seluruh alam termasuk kesejahteraan manusia.
Nabi Muhammad lahir di bumi pada hakikatnya diutus untuk membebaskan
manusia dari segala penindasan, diskriminasi dan lain sebagainya. Maka hakikat
kedatangan Muhammad ialah untuk memanusiakan manusia.
Tetapi Muthahharî berpandangan berbeda dengan apa yang disampaikan
Gus Dur. Muthahharî menekankan esensi kemanusiaan manusia berada pada
aspek ketauhidan. Bahwa manusia yang esensial ialah dia yang beriman.
Keimanan menurutnya merupakan hal yang dapat mengarahkan manusia pada
cara-cara yang harus ia lalui. Maka yang menjadikan manusia manusia yang
utuh itu tampil pada keimanannya.125 Tetapi diredaksi lain ia juga menambahkan
bahwa kehakikian manusia tampil juga pada keilmuannya.126
Seseorang yang beriman, dalam tiap tindakannya tentu tidak akan pernah
lepas dari ajaran-ajaran Tuhan, yaitu yang tertuang dalam al-Qur’an. Bahwa
tindakan manusia yang menjadikannya sebagai manusia yang bertingkah laku
sebagaimana dalam al-Qur’an ialah beramal baik, yaitu menggunakan segala
125
126
Murtadlâ, Perspektif al-Qur’an tetanng Manusia dan Agama, h. 123.
Ibid, h. 68.
64
potensinya untuk kebaikan dan demi ridha Allah.127 Tentu keimanan yang
dimaksud harus dilandaskan pada ilmu, sehingga objek yang diimani tidak salah
sasaran.
Sebenarnya Gus Dur tidak mengabaikan tauhid atau ketuhanan dalam
mengungkapkan teorinya mengenai manusia. Manusia yang hakiki bukan dia
yang asal menciptakan kesejahteraan di muka bumi dan kemudian meniadakan
Tuhan. Tetapi justru menciptakan kesejahteraan umat manusia itu merupakan
suatu bentuk keimanannya kepada Tuhan. Dalam istilah lain, menciptakan
kesejahteraan merupakan bentuk aplikasi yang sesungguhnya dari keimanan
kepada Tuhan.
Yang menarik dari Gus Dur ialah untuk mendekatkan diri dengan Tuhan,
manusia hendaknya tidak memisahkan antara kepentingan hidupnya dan
moralitas yang dianutnya.128 Maka, menciptakan kesejahteraan manusia
merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Tuhan, atau dalam rangka
membentuk keimanan seseorang kepada Tuhan itu sendiri.
Sedangkan Murtadlâ justru berkebalikan darinya. Untuk menciptakan
kesejahteraan, manusia harus beriman. Sedangkan keberimanan manusia
merupakan fitrah yang terdapat dalam diri manusia.129 Kalau mengambil contoh
cara Nabi Ibrahim dalam membangkitkan keimanannya, ia justru mendapatkan
keimanannya melalui pendayagunaan intelegensia secara optimal dan benar.
127
128
Ibid, h. 65.
Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKIS, 2010), Cet. Ke-4, h.
85.
129
Murtadlâ Muthahharî, Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Hakikat dan Potensi Kita, terj. Afif
Muhammad (Jakarta: Citra, 2011), 135.
65
Maka intelegensia inilah bentuk keilmuan seseorang yang menurut Murtadlâ
tidak dapat dipisahkan dari keimanan pada manusia hakiki.130
Maka Muthahharî sesungguhnya lebih menekankan pada ketauhidannya.
Kalau manusia sudah beriman, sudah seharusnya ia berprilaku baik kepada
seluruh alam demi ridha-Nya. Jadi keimanan bagi Murtadlâ merupakan segalagalanya bagi manusia itu sendiri. Karena imanlah yang menunjukkan bahwa
segala potensi kemanusiaannya berjalan dengan maksimal dan seimbang.
Sedangkan menurut Gus Dur, segala potensi kemanusiaan manusia tersebut
berjalan dengan baik dan seimbang jika manusia mampu memperjuangkan
kesejahteraan umat manusia.
Tetapi hal yang tidak dapat dipungkiri ialah persamaan anjuran kedua
tokoh
agar terus berprilaku baik antar sesama dan berlaku arif terhadap
lingkungan lingkungan demi kebaikan mamanusia itu sendiri. Di samping itu
keduanya juga sama-sama tidak kemudian membuang unsur keyakinan dalam
diri manusia dalam melihat manusia yang hakiki tersebut.
2. Dimensi-dimensi Manusia
Mengenai dimensi-dimensi manusia yang ditawarkan kedua tokoh
tersebut, penulis akan mengalisisnya dengan baik. Gus Dur tidak serta-merta
menentukan dimensi-dimensi kemanusiaan. Demikian juga dengan Muthahharî.
Keduanya mempunyai landasan-landasan yang cukup menarik menganai
dimensi-dimensi manusia itu sendiri.
130
Mulyadi Kartanegara, Renungan-Renungan Filosofis Murtadlâ Muthahharî (Makalah
Seminar Internasional Pemikiran Murtadlâ Muthahharî di Auditorium Adhiyana Wisma Antara lt.2,
2004), h. 2.
66
Dalam hal ini, Gus Dur memandang bahwa dimensi-dimensi manusia
merupakan
aspek
terpenting
bagi
perkembangan
manusia
menuju
kesempurnaannya sebagai makhluk terbaik Tuhan, demikian juga Murtadlâ
memandangnya. Hanya saja secara sepintas dimensi-dimensi kemanusia yang
ditawarkan kedua tokoh tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan istilah.
Menurut Gus Dur, dimensi-dimensi manusia yang dimaksud ialah
dimensi badani, keyakinan, moral, kepemilikan, kreativitas dan rasionalitas.131
Sedangkan Muthahharî mengistilahkan dimensi-dimensi kemanusiaan itu
sebagai dimensi intelektual, moral, estetis, ibadat dan kreativitas.132
Kalau penulis hitung, akan menemukan jumlah klasifikasi yang berbeda
antara keduanya. Gus Dur menentukan nilai-nilai dasar tersebut menjadi enam,
sedangkan Murtadlâ menentukannya menjadi lima. Tetapi secara substansial,
istilah-istilah tersebut mempunyai persamaan-persamaan pembahasan yang
mendasar meskipun titik tekannya berbeda.
Dari dimensi keyakinan yang diungkapkan Gus Dur tampaknya penulis
dapat menelusuru titik temu atau titik persamaan di sela-sela pembahasannya
dengan kajian dimensi ibadat menurut Muthahharî. Dimensi keyakinan menurut
Gus Dur merupakan dorongan yang lahir dalam diri manusia untuk meyakini
keberadaan Tuhan dan menjalankan ajaran-ajaran-Nya.133 Menurut Murtadlâ,
dimensi ibadat merupakan kemampuan untuk menjangkau suatu tempat di luar
131
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan Kebudayaan (Depok:
Desantara, 2001), Cet. Ke-2, h. 180.
132
Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî” (Laporan Penelitian
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001), h. 36.
133
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, h. 6.
67
alam material dan hasrat untuk menguasai cakrawala yang lebih tinggi dan luas.
Hasrat semacam itu merupakan ciri seluruh umat manusia.134
Kajian antara keyakinan dan ibadat merupakan kajian mendasar
keagamaan. Dengan demikian, pemikiran kedua tokoh tersebut dipertemukan
dalam lingkup keagamaan, bahwa fitrah manusia merupakan dorongannya untuk
menjadi makhluk beragama. Hal ini telah disinggung dengan baik oleh Syamsuri
dalam penelitiannya, bahwasanya dalam lubuk hati manusia telah tertanam suatu
kesadaran untuk beriman dan menyembah Allah (beragama).
Dalam kaitannya dengan dimensi moral menurut Gus Dur dan dimensi
etis menurut Murtadlâ, penulis dapat menelusuri persamaan pandangan
keduanya tentang kedua hal tersebut. Bahwa manusia tidak akan pernah mampu
hidup dengan baik dan tidak akan hidup dalam suatu masyarakat tanpa
dilandaskan pada nilai-nilai moral. Gus Dur juga membahas pentingnya
moralitas itu yang dibingkai dengan istilah etika sosial. Bahkan Gus Dur
menyebutkan bahwa al-Qur’an merupakan kitab moral.135 Untuk menjadikannya
dekat dengan Tuhan, manusia tidak boleh memisahkan diri antara kepentingan
hidupnya dari moralitas yang dianutnya.136 Sedangkan Murtadlâ sendiri juga
membahas aspek moralitas manusia tidak pernah lepas dari ranah sosial
manusia.137 Maka ketika pembahasan tentang moral, pada hakikatnya hal
134
Murtadlâ, Perspektif al-Qur’an tetanng Manusia dan Agama, h. 131.
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. xix.
136
Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak Perlu Dibela, h. 85.
137
Murtadlâ Muthahharî, Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam, terj. Muhammad
Bahruddin (Jakarta: Sadra, 2011), Cet. Ke-1, h. 251. Lihat juga Murtadlâ Muthahharî, Manusia dan
Alam Semesta: Konsep Islam tentang Jagat Raya (Ebook yang dipublikasikan oleh www.al-shia.org), h.
93.
135
68
tersebut membahas ranah sosial. Karena moral membahas mengenai hubungan
manusia yang satu dengan yang lainnya.
Manusia juga mempunyai dimensi kreativitas. Dalam hal ini, Gus Dur
memandang dimensi kreativitas ini sebagai sisi manusia yang begitu penting
untuk melahirkan pengembangan-pengembangan dari yang telah ada menjadi
hal baru yang begitu bermanfaat untuk kepentingan hidup manusia itu sendiri.138
Maka di sinilah letak persamaan pembahasan istilah bekerja ala Gus Dur dengan
istilah kreativitas ala Murtadlâ. Karena Murtadlâ memaknai kreativitas dengan
menciptakan sehingga melahirkan hal baru yang bermanfaat.139
Dimensi rasionalitas manusia dalam pandangan Gus Dur tampaknya
tidak berbeda dengan dimensi intelektual menurut Murtadlâ. Murtadlâ
menyatakan bahwa dorongan manusia untuk mengetahui dan menalar hakikat
sesuatu merupakan dimensi intelektual manusia.140 Bahkan manusia tidak hanya
mengetahui, tetapi juga mampu menemukan tentang hukum alam semesta dan
kebenaran umum yang berlaku di dunia.141 Sedangkan nalar merupakan aktivitas
berpikir manusia yang oleh Gus Dur disebut sebagai fungsi akal. Maka manusia
merupakan makhluk yang mempunyai kemampuan akal.142
Mengenai dimensi-dimensi manusia berikutnya, tampaknya kedua tokoh
tersebut mengalami perbedaan yang signifikan. Misalkan dimensi materi dan
kepemilikan dalam pandangan Gus Dur tidak terdapat dalam segenap susunan
138
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, h. 11.
Murtadlâ, Bedah Tuntas Fitrah, h. 54.
140
Ibid, h. 49.
141
Murtadlâ Muthahharî, Manusia dan Alam Semesta: Konsep Islam tentang Jagat Raya
(Bogor: ebook yang dipublikasikan oleh www.al-shia.org), h. 4.
142
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 30.
139
69
nilai-nilai kemanusiaan yang dirangkai Murtadlâ. Sebaliknya, dimensi estetis
yang menurut Murtadlâ merupakan bagian dari unsur dasar kemanusian, ternyata
Gus Dur tidak menjadikannya sebagai bagian dari unsur-unsur dasar
kemanusiaan.
Tidak hanya itu, perbedaan yang mencolok dari pemikiran keduanya
ialah penekanan dan orientasi penyusunan dimensi-dimensi manusia. Gus
menitik tekankan pada dimensi-dimensi universal manusia yang mengarah pada
kesejahteraan. Artinya, manusia akan sempurna jika unsur-unsur universal
manusia itu digunakan secara optimal dan seimbang demi terlahirnya
kesejahteraan umat manusia. Sedangkan Murtadlâ, berorientasi pada keimanan
dan keilmuan.
3. Tentang Kebebasan Manusia
Perdebatan mengenai kebebasan sudah tidak lagi menjadi kajian yang
baru dalam dunia pemikiran. Tetapi tema ini akan tetap menjadi kajian yang
menarik karena perdebatan mengenainya tidak pernah tuntas dan menjadi lebih
menarik lagi ketika konsep tentang kebebasan tersebut dikontektualkan.
Dalam tiap perjalanan hidup manusia, akan terus menghasilkan
pengalaman-pengalaman yang berbeda tiap individu. Dua orang yang
berkunjung ke Burobudur, salah satunya tidak dapat menyalahkan atau
membenarkan pengalaman lainnya, karena apa yang dialami dan dipikirakan tiap
individu mengenai Burobudur merupakan suatu yang berbeda. Maka pemaksaan
terhadap orang lain untuk menerima kebenaran mutlak pengalaman seseorang
70
sehingga menyalahkan pengalaman lainnya
merupakan tindakan tidak
rasional.143
Ulasan di atas menampilkan konsep kebebasan manusia dalam berpikir.
Bahwa tiap individu mempunyai kesempatan untuk berpikir berbeda dengan
orang lain yang tak bisa dapat disalahkan dan dipaksakan oleh orang lain. Dalam
konsep kebebasan Gus Dur memperlihatkan pentingnya saling mengerti dan
menghormati antara individu yang juga mempunyai kebebasan yang sama.
Seseorang yang sudah mencapai taraf ini akan merasa bahagia dan bangga atas
perbedaan yang dimilikinya dan tidak kemudian memaksakan pemikirannya
kepada orang lain.
Maka kebebasan manusia menurut Gus Dur ialah kehendak manusia
yang tidak dipaksa oleh segala kehendak di luar dirinya. Dalam artian,
kehendaknya adalah keputusan yang dilakukan oleh diri sendiri secara sadar.
Tetapi kebebasan itu tidak didasarkan pada egoisme, tetapi lebih tepat harus
didasarkan pada jiwa kemanusiaan.144
Menurutnya, manusia adalah makhluk berpikir yang memiliki kebebasan
menggunakan rasionya. Bahwa kemerdekaan berpikir manusia harus dijunjung
tinggi karena ia adalah keniscayaan dalam Islam.145 Tetapi kemerdekaan itu
tidak menjadikan manusia bebas berpikir tanpa batas. Dalam memahami
kemerdekaan berpikir ala Gus Dur, kita harus melanjutkannya pada suatu titik
mengenai batas-batas kemerdekaan itu.
143
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 67.
Ibid, h. 307.
145
Ibid, h.143.
144
71
Manusia tidak akan pernah mampu berpikir sebegitu bebasnya, karena ia
mempunyai banyak kekurangan-kekurangan. Manusia tak dapat berpikir dengan
kemerdekaan yang sempurna kerena yang sempurna itu hanyalah Allah. Maka
batasan-batas kemerdekaan manusia ialah kesempurnaan Allah.
Kebebasan berpikir ini hendaknya harus diimbangi dengan kesadaran
akan kebebasan individu, bahwa setiap individu memiliki kebebasan yang sama
antara yang satu dan yang lainnya. Tiap individu mempunyai peluang
berpendapat yang sama, sehingga tiap individu juga berpeluang yang sama untuk
berbeda pendapat mengenai hasil pemikirannya tentang suatu objek. Tetapi
perbedaan itu tidak merupakan malapetaka bagi kehidupan manusia, bahkan
perbedaan itu adalah rahmat.146 Tetapi dalam berpikir, manusia seharusnya
berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan,147 keadilan, menghormati dan
bersikap benar terhadap fakta.148
Kebebasan manusia untuk berpikir merupakan senjata utama dalam
mencari solusi problematika hidup yang kemudian dilengkapi dan didukung
dengan fasilitas-tasilitas lain. Segala fasilitas itu dituangkan Tuhan kepada
manusia karena manusia memang disiapkan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Tuhan hanya menyediakan kehidupan itu sendiri.149
Dalam surat al-Baqarah/2: 61 difirmankan bahwa “wa dluribat ʻalaihimu
al-dzillatu wa al-maskanatu wa bâ’û bi ghadlabin mina Allahi” (”dibuatkan
146
Ibid, h. 145.
Ibid, h. 307.
148
Ibid, h. 335.
149
Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, h. 102.
147
72
bagi kaum mulimin kehinaan dan kemiskinan”). Menurut Gus Dur, ayat ini
menjelaskan bahwa Islam menolak kemiskinan sebagai sesuatu yang langgeng
dan tetap. Maka dari itu, manusia mempunyai kebebasan untuk tetap
melestarikan kemiskinan tersebut atau merubahnya menjadi kekayaan. 150 Maka
Allah tidak menentukan nasib manusia, melainkan manusia sendiri yang
menentukan.151
Bahkan dalam menentukan kebenaran, termasuk kebenaran suatu agama,
Tuhan menyerahkannya kepada akal sehat manusia.152 Itu berarti pilihan agama
bagi seseorang merupakan pilihan akal sehatnya yang merupakan bentuk
kebebasannya. Hal ini menunjukkan keharusan kepada manusia untuk
menghormati keputusan-keputusan seseorang dalam memilih agamanya.
Tetapi dalam tulisannya yang berjudul Kerangka Pengembangan Doktrin
Ahlu al-sunnah wa al-Jamaʻah, Gus Dur membatasi kebebasan manusia pada
kekuasaan Tuhan yang menurutnya tidak dapat dilawan.
Manusia diperkenankan menghendaki apa saja yang dimaunya, walaupun
kehendak itu sendiri harus tunduk kepada kenyataan akan kekuasaan
Allah yang tidak dapat dilawan lagi.153
Sayangnya, Gus Dur tidak melanjutkan menjelaskan konsep kuasa Tuhan
atas manusia itu. Tetapi kalau melihat latar belakang Gus Dur, konsep itu sama
dengan teori yang diungkapkan Asy’ariyah. Bahwa manusia mempunyai
kemerdekaan kehendak tetapi atas persetujuan Tuhan.154
150
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 215.
Abdurrahman, Tuhan tidak Perlu Dibela, h. 91.
152
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 14.
153
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 35.
154
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 81.
151
73
Dalam memandang hal ini, Murtadlâ Muthahharî juga berkomentar
mengenai kebebasan manusia. Menurutnya, manusia bebas dari kungkungan
kekuatan absolut yang menjadikannya tertekan ketakutan. Maka dari itu
sesungguhnya takdir Tuhan tidak membatasi kebebasan manusia, melaikan
hanya sebagai hakikat sejati.155
Artinya taqdir Tuhan merupakan keputusan mutlak dari peristiwaperistiwa dan fenomena-fenomena. Dalam kata lain, taqdir merupakan ketetapan
suatu hukum yang pasti mengenai suatu kejadian seperti hukum kausalitas.
Manusia memang bebas dari pengaruh taqdir Tuhan secara langsung mengenai
tindakannya dan kehendaknya, tetapi ia tidak akan pernah bebas dari hukumhukum yang telah ditentukan tadi.
Tetapi ketetapan itu tidak menjadikan manusia terbelenggu, justru hal
tersebut yang mengahruskan manusia agar memiliki kehendak bebas dan sifat
yang penuh kearifan. Sedangkan kebebasan itu sendiri ialah tidak adanya
berbagai rintangan dalam jalan pertumbuhan.156 Dengan demikian manusia akan
mampu sepenuhnya membebaskan diri dari kepatuhan terhadap kendali
lingkungan dan sosial, serta mengatur nasib mereka. Sebagaimana ia ungkapkan
dalam bukunya.
Ketetapan Ilahi itu mengharuskan manusia memiliki kearifan dan
kehendak bebas, agar mereka mampu sepenuhnya membebaskan diri dari
kepatuhan terhadap kendala lingkungan dan sosial, serta mengatur nasib
mereka.157
155
Murtadlâ, Perspektif al-Qur’an tetanng Manusia dan Agama, h. 143.
Murtadlâ Muthahharî, Wacana Spiritual, terj. Strio Pinandito (Jakarta: Firdaus, 1991), h. 39.
157
Murtadlâ, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, h. 143
156
74
Ungkapan di atas juga memeberikan penulis penjelasan bahwa
kebebasan manusia itu tidak hanya dipandang dari kebebasannya dari belenggu
kekuatan Tuhan yang absolut itu. Tetapi juga dilihat dari aspek sosial. Bahwa
manusia yang bebas adalah manusia yang tidak patuh terhadap lingkungan dan
sosial yang kemudian bebas mengatur nasibnya.
Kebebasan sosial ialah kebebasan manusia dalam hubungannya dengan
individu-individu lain dalam suatu masyarakat sehingga tidak menghalangi
pertumbuhannya,
tidak
memenjarakannya
untuk
mencegah
berbagai
aktivitasnya, tidak memeras atau memperbudaknya, tidak memeras segala
kekuatan fisik dan mentalnya demi berbagai kepentingannya sendiri, yang dapat
pula digolongkan ke dalam beberapa jenis.158
Orang lain tidak boleh menghalangi pertumbuhannya dan tidak
mempersiapkan sarana bagi kesempurnaannya dan tidak menggunakan seluruh
kemampuan pemikiran dan fisiknya untuk kepentingan mereka. Satu dari tujuan
diutusnya para nabi adalah memberikan kebebasan sosial kepada manusia.
Yakni, menyelamatkan manusia dari tawanan dan penghambaan kepada orang
lain.
Tidak hanya itu, Murtadlâ juga menjelaskan tentang kebebasan dari
tekanan-tekanan internal seseorang. Dalam artian, manusia adalah makhluk yang
bebas dari belenggu diri sendiri.159 Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan lagi
158
159
Murtadlâ, Wacana Spiritual, h. 40.
Murtadlâ, Perspektif al-Qur’an tetanng Manusia dan Agama, h. 68.
75
dengan kalimat “dan mengikatkan diri pada keimanan dan keyakinan.160
Tampaknya mengikatkan diri pada keimanan dan keyakinan itulah yang disebut
dengan kebebasan spiritual.
Kebebasan spiritual ialah kebebasan diri seseorang terhadap kebebasan
sosial, kebebasan dari berbagai ikatan yang lain.161
Kecenderungan
spiritual
yang
tertuang
dalam
diri
manusia
menjadikannya berusaha untuk terus melangkah di jalan pertumbuhan dan
kesempurnaan spiritual dan tidak mengikuti kecenderungan materi saja. Itu
berarti bebas dari rakus, ketamakan, syahwat, marah dan hawa nafsu dapat
merealisasikan kebebasan spiritual. Orang-orang yang bebas secara hakiki di
dunia ini adalah mereka yang pada awalnya telah membebaskan dirinya dari
tawanan hawa nafsu.
Ia mencontohkannya pada pandangan seseorang kepada seorang wanita
tetapi ia mencegah dorongan nafsu tersebut dan mematuhi kesadarannya. Orang
yang demikian, Murtadlâ menyebutnya sebagai manusia bebas.162
Muthahharî menilai kebebasan spiritual sangat penting dalam kehidupan
manusia, bahkan menyebutnya sebagai sarana bagi manusia untuk meraih
kebebasan sosial. Dengan kata lain, manusia yang telahmencapaikebebasan
spiritual, manusia yang mendapat didikan ajaran para nabi, pasti menghormati
hak-hak sosial manusia lainnya. Mereka tidak akan melakukan kezaliman,
berbuat yang melampaui batas dan menghianati orang lain.
160
Ibid, h. 68.
Murtadlâ, Wacana Spiritual, h. 54.
162
Ibid, h. 61.
161
76
Tampaknya kedua tokoh tersebut sama-sama mengakui kebebasan
manusia dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Hal tersebut tampak pada
paparan di atas tentang kemampuan manusia untuk bebas. Maka menurut
keduanya, manusia mampu menjadi orang berilmu atau menjadi orang bodoh
sekalipun. Tetapi dalam mencapai pilihan-pilihan itu tetap membutuhkan usahausaha yang mengarah pada pilihan-pilihan tersebut.
Tetapi memang kalau menurut Gus Dur, kebebasan tersebut tetap
dibatasi oleh kemahabebasan Tuhan. Artinya sebebas-bebasnya manusia, tetap
Tuhan yang mengiyakan segala keputusan manusia. Hanya saja, usaha manusia
sangat berpengaruh terhadap keputusan Tuhan, meskipun keputusan bebas
Tuhan itu sendiri tidak dapat diintervensi. Sedangkan Murtadlâ menyatakan
bahwa kebebasan manusia itu dibatasi oleh kepastian hukum alam. Manusia bisa
menjadi orang pintar jika ia melalui proses-proses alam yang telah ditentukan
Tuhan. Misalkan jika ia mempunyai otak untuk berpikir, dan berusaha untuk
mengasah otak untuk menjadi orang pintar.
C. Refleksi Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî
Dari hasil kajian sebelumnya, pemikiran keduanya dapat penulis singkat
dalam beberapa paparan dalam tabel di bawah.
Tijauan
Pandangan
terhadap
ayat
tentang
Abdurrahman Wahid
Murtadlâ Muthahharî
juga
mendasarkan
Gus
Dur
melandaskan Murtadlâ
konsepnya
tentang
manusia
pada
pemikirannya
tentang
manusia dalam al-Qur’an. Ia al-Qur’an, tetapi ia memaknai teksmemahami
ayat-ayat teksnya menggunakan pendekatan
77
manusia
menggunakan
pendekatan
sosial. Misalkan Gus Dur
memaknai
kata
raḥmah
(manusia sebagai dengan
raḥmah untuk seluruh alam)
dengan kesejahteraan. Itu
berarti
kesempurnaan
manusia oleh Gus Dur dilihat
dari seberapa banyak ia dapat
memberikan manfaat berupa
kesejahteraan kepada seluruh
umat manusia.
Gus
Dur
membangun
konsepnya tentang manusia
menitik beratkan pada ranah
sosial.
Baginya
hakikat
manusia ialah ia yang mampu
merealisaskan inti ajaran
Tuhan,
yaitu
berupa
Hakikat
mewujudukan kesejahteraan
manusia
bagi
seluruh
umat.
Kesejahteraan menjadi tujuan
luhur di atas apa pun.
Maka
merealisasikan
kesejahteraan
merupakan
bentuk
keberimanannya
kepada Tuhan.
Gus
Dur
merumuskan
dimensi-dimensi
manusia
berdasarkan
kulliyah
alDimensikhamsah
yang
pernah
dimensi
diungkapkan
al-Ghazâlî.
manusia
Tetapi terdapat titik temu
dalam pembahasan. Yaitu
dimensi keyakinan, moral,
kreativitas dan rasionalitas
Manusia
mempunyai
kebebasan memilih sehingga
Kebebasan dapat merubah nasibnya,
manusia
meskipun pada akhirnya
kebebasan itu dibatasi oleh
ketidak terbatasan Tuhan.
tauhid. Dalam istilah manusia
khalȋfah tampil ketika ia nilai-nilai
tauhid tertanam dengan baik dalam
dirinya.
Alasannya,
tauhid
merupakan langkah dasar menuju
kealiman, amal saleh, dan bekerja
keras di jalan Allah. Jelaslah bahwa
kesempurnaan manusia itu diukur
dari keyakinan seseorang.
Murtadlâ menekankan pada aspek
teologis.
Menurut
Murtadlâ
manusia yang utuh ialah ia yang
menyeimbangkan
segala
potensinya demi mencapai tujuan
tertinggi
yaitu
berkeyakinan/berkeimanan.
Sedangkan keyakinan yang benar
ialah keyakinan kepada Allah.
Tetapi ia juga mengakui bahwa
manusia juga mempunyai tugas
untuk berbuat baik untuk ridha-Nya
Sedangkan Murtadlâ berdasarkan
pada teks ayat tentang dimensi
manusia yang membedakannya
dengan makhluk lain.
Titik
temunya
ialah
pada
pembahasan
tentang
dimensi
ibadat, moral, kreativitas dan
intelektual.
Manusia mempunyai kebebasan
memilih dan menentukan nasibnya
sesuai dengan hukum-hukum alam
yang telah ditentukan Allah.
78
Bagi Gus Dur nilai-nilai dasar kemanusiaan merupakan unsur universal
manusia yang harus dikembangkan dengan optimal dan seimbang untuk mencapai
hakikat dirinya sebagai rahmat bagi seluruh alam, atau untuk menciptakan
kesejahteraan. Salah satu unsur universal itu ialah unsur rohani yang dengannya
manusia terdorong secara fitrah untuk berkeyakinan. Sedangkan keyakinan yang
paling tinggi ialah keyakinan kepada Tuhan sesuai dengan agama masingmasing.163
Tampaknya Gus Dur memaknai keyakinan secara universal tanpa mengarah
pada keyakinan umat Islam (keyakinan kepada Allah). Maka keyakinan kepada
Tuhan bermakna kepercayaan tiap pemeluk agama kepada Tuhan sesuai dengan
ajaran agamanya. Karena seluruh Tuhan agama pasti akan selalu mengajarkan
kebaikan dan memerintah untuk menebarkan rahmat atau kesejahteraan.
Dengan demikian, setiap manusia yang berkeyakinan –entah apa pun
agamanya- mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai manusia sejati,
makhluk tertinggi setelah Tuhan. Dalam Islam, makhluk yang mencapai derajat
tertinggi tersebut ialah Nabi Muhammad. Bahkan Gus Dur menjadikan Nabi
Muhammad sebagai satu-satunya manusia yang mencapai kesempurnaan paling
tinggi di antara umat-umat lain.
Tampaknya Gus Dur ingin memperlihatkan bahwa Islam yang ditampilkan
Muhammad adalah ajaran terbaik yang patut dijadikan model/landasan utama
seluruh umat manusia dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas.
Tampa disadari Gus Dur sebenarnya berkampanye tentang kesempurnaan Islam.
163
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 4.
79
Konsep ini menjadi sangat menarik ketika dihadapkan pada era kontemporer
yang menuntut umat manusia selalu ikut arus globalisasi. Alasannya, konsep Gus
Dur tentang manusia ingin membetuk manusia yang berkarakter dan beridentitas
tanpa menutup diri dari apa pun di luarnya.
Tetapi konsep ini hanya bisa dipahami kalangan tertentu seperti akadimisi.
Jika disajikan kepada khalayak ramai, konsep ini akan disalah artikan. Jika ini
terjadi, yang tercipta bukan malah manusia yang beridentitas, tetapi malah tercipta
manusia tanpa identitas.
Di sisi lain, pengakuan terhadap kebenaran agama lain sebagai bentuk saling
menghormati antarsesama demi kesejahteraan bersama, akan melahirkan kesan
bahwa terdapat banyak kebenaran dalam satu individu. Sehingga, satu orang orang
awam yang tidak paham dapat menganut enam agama sekaligus. Jika ini terjadi
yang lahir bukan kedamaian dan kesejahteraan, justru pertikaian yang akan
mewarnai konsep manusia sejahtera itu.
Sedangkan bagi Murtadlâ keseimbangan unsur-unsur universal manusia
yang melekat dalam diri manusia merupakan aspek terpenting dalam mencapai
manusia hakiki. Seseorang akan tampak sebagai manusia hakiki jika ia benar-benar
tampil sebagai manusia yang berkeyakinan dan berilmu.
Namun, Murtadlâ menggaris bawahi istilah keyakinan yang dibarengi
dengan ilmu. Manusia memang makhluk yang berkeyakinan, tetapi keyakinan harus
diimbangi dengan ilmu pengetahuan. Karena keyakinan tanpa ilmu akan
melahirkan keyakinan terhadap objek yang salah. Sedangkan keyakinan yang benar
ialah keyakinan kepada Allah.
80
Tampaknya
Murtadlâ
ingin
mengatakan
bahwa
yang
mempunyai
kesempatan untuk mencapai hakikat manusia hanyalah umat yang beriman kepada
Allah demikan juga dengan ajarannya. Seseorang yang berkeyakinan, sedangkan
keyakinannya tersebut tidak kepada Allah, tentu ia tidak mengoptimalkan potensi
intelektualnya dengan baik dan seimbang. Kalau digunakan dengan baik dan
seimbang, orang tersebut pasti akan menemukan keyakinan yang benar, yaitu
keyakinan kepada Allah.
Nah, yang perlu dipertanyakan ialah “Di mana letak universalitas dari ajaran
Murtadlâ tentang hakikat manusia jika pada akhirnya yang berhak menjadi manusia
sempurna hanyalah manusia yang berkeyakinan/beriman kepada Allah?” Maka
konsep Murtadlâ ini tampaknya bersifat eksklusif.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gus Dur memandang bahwa manusia merupakan makhluk yang unggul
karena mempunyai beberapa dimensi, di antaranya ialah dimensi badani, keyakinan,
moralitas, kepemilikan, kreativitas dan rasionalitas. Manusia akan mencapai hakikat
dirinya sebagai manusia, jika seluruh dimensi-dimensi tersebut diberikan
kebebasan untuk mengekpresikan segala kemampuannya. Dengan demikian
dimensi-dimensi tersebut harus dilindungi agar tidak ada benturan antara
kebebasan yang satu dengan yang lainnya.
Sedangkan menurut Murtadlâ, manusia adalah makhluk yang diciptakan
untuk diuji, karena di dalamnya terdiri dari apa yang terdapat di malaikat dan
hewan. Kedua unsur yang mendorong lahirnya serangkaian potensi. Potensipotensi tersebut antara lain ialah kebenaran, moral, estetika, kreasi dan penciptaan,
kerinduan dan ibadah. Keseimbangan dari potensi-potensi itu adalah tanda bahwa
seseorang tersebut telah berada pada tingkat hakikatnya sebagai makhluk ciptaan
Tuhan yang unggul.
Antara Gus Dur dan Murtadlâ sama-sama menjadikan al-Qur’an sebagai
landasan utama pemikiran mereka tentang manusia. Sehingga pemikiran keduanya
tetap sama-sama tidak akan keluar dari nilai-nilai al-Qur’an. Sehingga keduanya
sama-sama ingin membawa manusia pada keadaan yang lebih baik. Tidak hanya
itu, pemikiran keduanya juga dipertemukan dalam konsep tentang dimensi-dimensi
manusia. Misalkan, dimensi keyakinan yang dikonsep Gus Dur dan dimensi ibadat
81
82
dalam konsep Murtadlâ dipertemukan dalam bingkai agama. Bahwa bahwa tidak
akan pernah lepas dari fitrahnya sebagai manusia yang beragama. Beragama yang
dimaksud ialah berkeyakinan dan beribadah kepada yang diyakininya.
Tetapi dalam menafsirkan al-Qur’an, keduanya menggunakan metode yang
berbeda. Gus Dur menafsirkan menggunakan pendekatan sosial, sedangkan
Murtadlâ menafsirkan menggunakan pendekatan tauhid. Sehingga hasilnya pun
menitik beratkan pada ranah yang berbeda. Gus Dur menitik beratkan pada aspek
kesejahteraan, sedangkan Murtadlâ lebih pada aspek keimanan.
B. Saran-Saran
Kajian ini tentu tidak sempurna, sehingga diperlukan kajian-kajian yang
lebih mendalam mengenai tema tersebut, karena kajian ini menyangkut hakikat
diutusnya manusia ke muka bumi. Dengan mengetahui tugas dan perannya di
muka bumi, ia akan hidup dengan benar, yaitu hidup sesuai dengan keharusankeharusan sebagaimana
Yang juga tidak kalah pentingnya ialah mengimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari segala hasil penelitian ini. Sehingga konsep ini benar-benar
bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, Ibrahim. Risalah Tasawuf: Kitab Suci Para Pesuluk, terj. Ahmad Subandi
dan Muhammad Ilyas. Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2001.
Arif, Syaiful. Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan.
Jakarta: The Wahid Institute, 2013.
Bagir, Haidar. Membincang Metodologi Ayatullâh Murtadlâ Muthahharî.
Yogyakarta: UGM, 2004.
____________. Murtadlâ Muthahharî, Sang Mujahid Sang Mujahid. Bandung:
Yayasan Muthahharî, 1998.
____________. Resensi Buku Murtadlâ Muthahharî: Pengantar Epistemologi
Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas
Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia.
Jakarta : Sadra Press, 2010.
Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2005.
Bahar, Ahmad. Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid: Gagasan dan
Pemikiran. Jakarta: Bina Utama, 1999.
Bahruddin. Paradigma Psikologi Islam; Studi tentang Elemen Psikologi dari alQur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Bakhtiar, Amtsar. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia.
Jakarta: Grafindo Persada, 2009.
Bakri, Syamsul dan Mudhofir. Jombang Kairo, Jombang Chicago: Sintesis
Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di
Indonesia. Solo: Tiga Serangkai, 2004.
Barton, Greg. Bografi Gus Dur, terj. Lia Hua. Yogyakarta: LKiS, 2003.
___________, “Liberalisme: Dasar-dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman
Wahid” dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme
Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, terj. Ahmad
Suaedy dkk. Yogyakarta: LKiS, 1997.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
Dewan Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997.
Dhakiri, M. Hanif. 41 Warisan Kebesaran Gus Dur. Yogjakarta: LKiS, 2010.
83
84
Driyarkara. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Kompas Gramedia,
2006.
Efendi, Djohan. “Gus Dur: Sang Presiden yang Humanis,” dalam Ahmad Gaus
AF, Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Efendi. Jakarta: ICRP,
2009.
Gazalba, Sidi. Ilmu, Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama. Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Hadrianto, Budi. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia Pengusung Ide Sekulerisme,
Pluralisme, dan Liberalisme Agama. Jakarta: Hujjah Press, 2007.
Ismail, Faizal. Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Jakarta: Mitra
Cendikia, 2004.
al-Jîlî, Abdul Karîm Ibnu. Insân Kâmîl: Ikhtisar Memahami Kesejatian Manusia
dengan Sang Khaliq hingga Akhir Zaman. terj. Misbah el-Majid,
Surabaya: Pustaka Hikma Perdana, 2006.
Kania, Dinar Dewi. “Objek Ilmu dan Sumber-sumber Ilmu,” dalam Filsafat Ilmu:
Perspektif Barat dan Islam, Adian Husaini et al. Jakarta: Gema Insani,
2013.
Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.
_________________. Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan
Manusia. Jakarta: Erlangga, 2009.
__________________. Renungan-renungan Filosofis Murtadlâ Muthahharî.
Makalah Seminar Internasional Pemikiran Murtadlâ Muthahharî di
Auditorium Adhiyana Wisma Antara lt. 2, 2004.
Kurniawan, Wawan. “Menolak HAM atau Mengubah Fiqh?: Pemikiran Gus Dur
tentang Islam dan HAM,” Kajian Kebudayaan dan Demokrasi,
Weltanscauung Gus Dur. Edisi. vi, Juni 2010.
Kurzman, Charles. Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang
Isu-isu Glogal, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi. Jakarta:
Paramadina, 2003.
Labib, Muhsin. Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra. Jakarta: Lentera,
2005.
Misbah, Mujtaba. Daur Ulang Jiwa, terj. Jayadi. Jakarta: al-Huda, 2008.
85
Muthahharî, Murtadlâ. Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Hakikat dan Potensi Kita,
terj. Afif Muhammad. Jakarta: Citra, 2011.
___________________. Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam, terj.
Muhammad Bahruddin. Jakarta: Sadra, 2011.
___________________. Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam
Dialog Teks yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad
Sobandi. Jakarta: Pustaka Hidayah, 2011.
___________________. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam. Bandung:
Mizan, 2009.
___________________. Manusia dan Alam Semesta: Konsep Islam tentang Jagat
Raya. Ebook yang dipublikasikan oleh www.al-shia.org.
___________________. Manusia Seutuhnya: Studi Kritis berbagai Pandangan
Filosofis, terj. ʻAbdillâh Ḥâmid Baʻabud. Jakarta: Sadra Institute,
2012.
___________________. Mutiara Wahyu, terj. Syekh Alî al-Ḥamîd. Bogor:
Cahaya, 2004.
___________________. Neraca Kebenaran dan Kebatilan. Bogor: Ebook yang
dipublikasikan oleh www.al-shia.org, 2001.
___________________. Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, terj.
Haidar Bagir. Bandung: Mizan, 1992.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj:
Luqman Hakim. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.
Nicholson, R.A.. Tasawuf Cinta: Studi atas Tiga Sufi; Ibn Abî al-Khair, al-Jîlî
dan Ibn al-Farid, terj. Uzair Faizan. Bandung: Mizan, 2003.
Poespoprodjo, W.. Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek.
Bandung: Pustaka Grafika, 1999.
Poespowardojo, Soerjanto. “Menuju Manusia Seutuhnya,” dalam Sekitar
Manusia. Jakarta: Gramedia, 1983.
Qamar, Mujamil. NU Liberal dari Tradisionalisme ke Universalisme Islam.
Bandung: Mizan, 2002.
Rakhmat, Jalaluddin. Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih. Bandung: Mizan, 2007.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
86
Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Yogyakarta: al-Ruzz, 2004.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
v. i. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
________________. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1997.
Siroj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai
Inspirasi, bukan Aspirasi. Bandung: Mizan, 2006.
Snijders, Adelbert. Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan.
Yogyakarta: Galang Press, 2010.
Suseno, Franz Magnis. “Gus Dur: Bangsa Mana di Dunia Mempunyai Presiden
seperti Kita,” dalam Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman
Wahid. Yogyakarta: LKIS, 2000.
Syamsuri. “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî,” Laporan
Penelitian Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2001.
Syari„atî, Alî. Tugas Cendikiawan Muslim, terj. Muhammad Faishol Hasanuddin.
Jakarta: YAPI, 1990.
Tiahidi, Simon Petrus L.. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius,
2011.
Tim Institut of Culture and Religion Studies (INCRES). Beyond the Symbols:
Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur. Bandung:
INCRES, 2000.
Tjahjadi, Lili. “Ateisme Sartre; Menulak Tuhan Mengiyakan Manusia,” dalam
Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Yogyakarta: Kanisius,
2003.
Wahid,
Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia
Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
dan
___________________. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat,
Negara dan Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
___________________.
Menggerakkan
Yogyakarta: LKIS, 2007
Tradisi:
Esai-esai
Pesantren.
___________________. “Pemikiran Islam yang Brilian,” dalam Badiatul Rozikin,
dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta: E-Nusantara,
2009.
87
___________________. “Pengembangan Ahlussunah wa al-Jamaʻah di
Lingkungan Nahdlatul Ulama”, dalam Said Aqil Siradj, Ahlussunnah
wa al-Jamaʻah: Sebuah Kritik Historis. Jakarta: Pustaka Cendekia
Muda, 2008.
___________________. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok:
Desantara, 2001.
___________________. Prisma Pemikiran Gus Gur. Yogyakarta: LKIS, 2010.
___________________. Tuhan tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKIS, 2010.
Wahid, Yenny Zannuba. “Gus Dur: Seorang Pejuang Kemanusiaan,” Rumadi
(ed), Damai Bersama Gus Dur. Jakarta: Kompas, 2010.
Yahya, Iip D.. Gus Dur: Berbeda Itu Asyik. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Download