II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pangan Darurat (Emergency Food Product) Pangan darurat (Emergency Food Product) merupakan pangan yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan energi harian manusia (2100 kkal berasal dari makronutrien) dalam kondisi darurat (IOM, 1995). Keadaan darurat tersebut adalah banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran, peperangan dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal. Ada dua jenis EFP, jenis EFP pertama merupakan pangan darurat yang dirancang untuk kondisi dimana para korban bencana dapat memasak atau mempersiapkan makanan. Jenis EFP yang kedua adalah pangan darurat yang didesain untuk kondisi dimana akses terhadap air dan api terbatas sehingga para korban bencana tidak dapat memasak makanan. Pangan darurat untuk korban bencana, terutama yang bersifat siap santap, sampai saat ini belum dikembangkan di Indonesia tetapi sudah banyak berkembang untuk kepentingan tentara di lapangan (Syamsir, 2008). Tujuan dari EFP adalah mengurangi kematian para korban bencana dengan menyediakan makanan yang secara nutrisi lengkap sehingga dapat menjadi sumber nutrisi selama lima belas hari terhitung dari awal pengungsian terjadi. Terdapat lima karakteristik kritis untuk mengembangkan EFP : 1) Aman, 2) Memiliki warna, aroma, tekstur dan penampakan yang dapat diterima, 3) Mudah didistribusikan, 4) Mudah digunakan dan 5) Nutrisi lengkap. EFP didesain untuk memiliki kandungan energi sebanyak 2100 kkal yang terdiri dari 35-45 % lemak, 10-15 % protein dan 40-50 % karbohidrat (Zoumas et al, 2002). Penerimaan warna, aroma, tekstur dan penampakan dari EFP menjadi faktor utama dalam pemilihan bahan-bahan pembuatnya. Lemak berfungsi sebagai sumber energi, membuat produk menjadi ringan, sebagai carrier vitamin larut lemak dan sumber asam lemak esensial. Jumlah protein maksimum sebesar 15 %, hal ini diatur untuk menghindari gangguan ginjal dan masalah kehausan (Zoumas et al, 2002). Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam mengembangkan komposisi nutrisi EFP (Zoumas et al, 2002) yaitu : Potable water harus disediakan bersamaan dengan pemberian EFP Individu (pengungsi) harus mengkonsumsi pangan ini untuk memenuhi kebutuhan energinya Semua individu (pengungsi) dengan usia diatas 6 bulan akan mengkonsumsi pangan darurat ini Produk ini merupakan sumber energi utama bagi korban bencana selama 15 hari Kebutuhan nutrisi bagi wanita hamil dan menyusui tidak dimasukkan dalam perhitungan pembuatan EFP, tetapi diasumsikan bahwa mereka harus mengkonsumsi EFP melebihi asupan energi rata-rata per harinya (>2100 kkal) Beberapa jenis EFP telah dikembangkan di luar negeri, diantaranya : Meal Ready To Eat (MRE), MRE ini biasanya digunakan sebagai ransum dan dikemas dalam retort pouch, tahan hingga 7 tahun dalam penyimpanan dingin, Camping Pouch Product, sama seperti MRE namun dibuat dengan metode freeze drying, dan Canned Emergency Food. B. Produk Pangan Darurat Komersial Produk pangan darurat atau Emergency Food Product telah banyak dikembangkan diluar negeri. Ada berbagai bentuk pangan darurat diantaranya food barss, Meal Ready to Eat, Camping Pouch Product, dan Long Life Food Supply. Food Bars Merupakan cookies yang diformulasi secara khusus sehingga tidak menyebabkan rasa haus dan memiliki kandungan protein tinggi. Setiap bars-nya mengandung vitamin dan mineral dalam jumlah berlebih. Produk ini memiliki umur simpan sekitar lima tahun dan dapat disimpan pada kisaran temperatur yang ekstrem. Dikemas dalam bentuk 3-days package yang mengandung 9 bar dengan nilai energi sekitar 400 kkal/bar. Bentuk Food Bars dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Food Bars. MREs (Meals-Ready-to-Eat) Produk jenis ini merupakan salah satu bentuk ransum untuk keperluan militer. MREs dikemas dalam kemasan khusus yang tertutup rapat dan tidak terekspos udara. MREs berbentuk dapat berbentuk pangan lengkap yang mengandung daging, sayur atau buah, kacang, kraker berprotein tinggi, dan lainlain. Bentuk Meals-Ready-to-Eat dapat dilihat pada Gambar 2. Camping Pouch Products Produk ini dikemas dalam kemasan alumunium foil dan memilki umur simpan sekitar dua tahun pada suhu ruang. Pangan ini merupakan pangan hasil dehidrasi atau freeze dried. Sebelum dikonsumsi pangan ini membutuhkan tambahan air panas. Bentuk Camping pouch product dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 2 Meals-Ready-to-Eat. Gambar 3 Camping Pouch Product. C. Bars Bars adalah produk pangan padat yang berbentuk batang dan merupakan campuran dari berbagai bahan kering seperti sereal, kacang-kacangan, buahbuahan kering yang digabungkan menjadi satu dengan bantuan binder. Binder dalam barss dapat berupa sirup, nougat, caramel, coklat, dan lain-lain (Gillies, 1974 diacu dalam Rahmi, 2003). Bentuk bars dipilih karena kemudahan dalam konsumsi. Pangan berbentuk bars mudah dibuat dan dikreasikan dengan berbagai macam bahan. Pada penelitian ini binder yang digunakan adalah puree pisang. Bahan-bahan penyusun bars terdiri dari margarin, gula, garam, tepung terigu, tepung singkong, tepung kedelai, dan pisang. Lemak merupakan bahan baku yang sangat penting dalam pembuatan bars. Lemak dapat berasal dari hewan (butter dan lard) atau dari tumbuhan (margarin). Kemampuan membentuk krim oleh lemak pada pembuatan kue diperlukan karena adanya kemampuan lemak untuk menangkap dan menahan sel-sel udara bila lemak terus dikocok kuat-kuat, terutama bila dicampur dengan bahan adonan lainnya, seperti gula dan tepung. Margarin berperan untuk meningkatkan penerimaan, terutama flavor. Gula berfungsi sebagai pemanis nutritif, pembentuk tekstur, pemberi warna, dan pengontrol penyebaran adonan. Garam berperan untuk menguatkan flavor, membantu dalam pelarutan gluten untuk menciptakan struktur yang baik dalam adonan. Sebagian besar formula kue menggunakan 1% garam atau kurang. Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan bars adalah tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8-9 %. Tepung terigu berfungsi membentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya serta mendistribusikannya secara merata, mengikat gas selama proses fermentasi dan membentuk struktur selama pemanggangan (Matz, 1978). Tepung singkong berperan sebagai bahan pembentuk tekstur, penambahan tepung singkong ini diharapkan dapat menggantikan atau mensubstitusi tepung terigu sebagai pembentuk tekstur. Tepung kedelai berperan sebagai sumber protein dan sumber lemak. Pisang berperan sebagai binder atau pengikat untuk produk bars ini. D. Kedelai Kedelai (Glycine max Merr.) termasuk dalam famili Leguminosa, sub famili Papillionaceae dan Genus Glycine L. Kacang kedelai merupakan bahan pangan sumber protein nabati untuk manusia dan hewan di berbagai negara. Bentuk, ukuran, warna biji, sifat fisik dan sifat kimia kacang kedelai bervariasi tergantung pada varietasnya. Bentuk biji pada umumnya bundar sampai lonjong agak memanjang dengan warna kuning, hijau, coklat, atau kehitaman (Liu, 1997). Komposisi kimia tepung kedelai dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia tepung kedelai per 100 gram bahan Komponen Komposisi Air (g) 5.1 Protein (g) 34.5 Karbohidrat (g) 35.2 Lemak (g) 20.6 Abu (g) 4.4 Kalsium (mg) 205.9 Zat Besi (mg) 6.4 Magnesium (mg) 428.6 Fosfor (mg) 494 Potassium (mg) 2515 Sodium (mg) 12.9 Sumber: USDA (2008) Dilihat dari segi pangan dan gizi, kedelai merupakan sumber protein yang paling murah di dunia dengan kadar 30.53 sampai dengan 40.00%. Berdasarkan kelarutannya, protein leguminosa digolongkan ke dalam albumin yang larut dalam air dan globulin yang larut dalam larutan garam. Sebagian besar protein kedelai adalah globulin. Protein kedelai mengandung asam amino esensial yang lengkap dengan asam amino pembatas methionin. Selain kadarnya yang tinggi, protein kedelai adalah protein yang lengkap kualitasnya hampir menyamai kualitas protein hewani. Nilai gizi protein kedelai dibatasi oleh faktor antitripsin serta kompaknya struktur kuarterner dan tersier protein kedelai (Liu, 1997). Selain mengandung protein, kacang kedelai mengandung lemak yang cukup tinggi. Kacang kedelai mengandung asam lemak tidak jenuh yang termasuk esensial, yaitu asam linoleat, linolenat yang sangat diperlukan tubuh. Lemak kedelai mengandung 86% linoleat, dan oleat, 10% palmitat, dan 2% masingmasing untuk stearat dan arachidat. Karbohidrat kedelai sebagian besar terdiri dari disakarida dan oligosakarida, yaitu 2.5-8.2% sukrosa, 0.1-0.9% rafinosa, dan 1.44.1% stakiosa (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Citarasa langu (beany atau painty off flavor) merupakan hambatan utama dalam usaha memproduksi makanan asal kedelai. Bau langu disebabkan oleh enzim lipoksigenase yang dapat mengkatalisis reaksi oksidasi asam lemak tidak jenuh sehingga menghasilkan senyawa volatil etil fenil keton (Hariyadi, 1997). E. Pisang Tanaman pisang termasuk dalam famili Musaceae, ordo Zingiberales. Famili Musaceae, mempuyai dua genera yaitu Musa dan Ensete. Semua varietas yang buahnya dapat dimakan dimasukkan ke dalam genus Musa (Palmer, 1971). Pisang dapat diklasifikasikan menjadi dua kelas besar, yaitu: 1. Pisang yang dapat dimakan langsung (banana), terdiri dari dua varietas, yaitu: a. Musa paradisiaca var. Sapientum (L) Kunze (M. sapientum var. paradisiaca Baker) b. Musa nana Lour (M. chinensis Sweet, M. cavendishii Lamb) 2. Pisang yang umumnya dimakan setelah dimasak terlebih dahulu (plantain), yaitu Musa paradisiaca L. Jenis pisang yang termasuk dalam tipe pisang buah (banana) antara lain ambon putih, ambon hijau, pisang mas, pisang raja, pisang susu, pisang badak, pisang seribu, dan pisang angleng. Jenis pisang yang tergolong dalam plantain antara lain pisang siam, pisang nangka, pisang kapas, pisang kepok, pisang gembor, pisang menggala, dan pisang tanduk (Munadjim, 1983). Komponen utama penyusun buah pisang adalah air yang mencapai 75% pada buah yang telah matang. Karbohidrat merupakan komponen penyusun kedua setelah air, kandungannya sekitar 20-25%. Jenis karbohidrat yang lain dalam buah pisang adalah serat kasar dan pektin. Serat kasar menyusun sekitar 0,84 persen daging buah. Daging buah pisang mengandung 0.5% lignin, 0,21% selulosa, dan 0,12% hemiselulosa (Chandler, 1995). Pisang matang mengandung komponen volatil yang relatif tinggi kelengkapannya dan sebagian besar terdiri atas campuran kompleks ester-ester, namun demikian alkohol, aldehid, keton dan senyawa aromatik juga ada. Flavor seperti pisang ditentukan oleh ester amil dan isoamil dari asam asetat, propionat dan butirat, sedangkan alkohol dari karbonil memberikan bau yang menggambarkan sebagai “green”, “woody” atau “musty”. Komposisi kimia pisang ambon dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia pisang ambon (setiap 100 gram daging buah) Jenis pisang Ambon Protein (g) 1.2 Lemak (g) 0.2 Karbohidrat (g) 25.8 Air (g) 72 Kalsium (mg) 8 Fosfor (mg) 28 Besi (mg) 0.5 Sumber : Prawiranegara (1981) F. Singkong Ubi kayu atau singkong termasuk ke dalam Kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledone, famili Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas. Singkong digolongkan ke dalam dua jenis yaitu Manihot palmata (singkong pahit) dan Manihot aipi (singkong manis). Singkong mengandung sianogenik gliukosida linamarin dan lotaustralin yang akan menghasilkan asam sianida jika terjadi kerusakan pada sel tanaman. Singkong manis mengandung asam sianida kurang dari 50 mg/kg umbi segar. Linamarin akan menghasilkan glukosa, aseton dan HCN apabila dihidrolisis, sedangkan lotuaustralin akan menghasilkan glukosa, metil etil keton dan HCN (Muchtadi, 1991). Hidrolisis terjadi karena kerja enzim linamarinase endogen yang bertemu dengan substratnya (glukosida) bila terjadi kerusakan sel secara fisik. Enzim ini terdapat di luar sel. Singkong dapat diolah menjadi bentuk tepung singkong dan tapioka. Tepung singkong berbeda dengan tepung tapioka baik dari segi pengolahannya maupun dalam hal komposisi kimianya. Pembuatan tepung singkong tidak menggunakan tahap ekstraksi pati sehingga komponen kimia yang terdapat pada tepung singkong relatif sama dengan komposisi kimia dalam umbi singkong (Fadilah, 2004). Tepung singkong dapat dibuat melalui dua cara yaitu pembuatan tepung singkong melalui penepungan irisan singkong yang telah dikeringkan dan penepungan parutan tepung singkong yang telah dikeringkan. Komposisi tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia tepung singkong per 100 gram bahan Komponen Protein (g) Komposisi 1.6 Karbohidrat (g) 79.8 Lemak (g) 1.6 Sodium (mg) 417 Sumber : Anonimd (2008) G. Terigu Tepung gandum (terigu) biasanya merupakan bahan utama dalam pembuatan cookies. Dalam hal ini karakter bars menyerupai cookies yaitu tidak butuh pengembangan yang besar, tetapi bars umumnya lebih empuk dibandingkan cookies. Oleh karena kesamaan karakter inilah maka untuk membuat barss dapat digunakan pula bahan baku pembuat cookies yaitu terigu ataupun jenis tepung lainnya. Berbeda dengan tepung-tepung lainnya, tepung gandum mengandung protein yang unik, yang disebut gluten (Husain, 1993). Gluten merupakan campuran antara dua kelompok atau jenis protein gandum, yaitu glutenin dan gliadin. Glutenin memberikan sifat-sifat yang tegar dan gliadin memberikan sifat yang lengket sehingga mampu memerangkap gas yang terbentuk selama proses pengembangan adonan dan membentuk struktur remah produk. Gluten, bersama-sama dengan pati gandum akan membentuk struktur dinding sel (building block) remah produk (Anonima, 1996). Kuantitas dan kualitas dari gluten dalam terigu merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kekuatan terigu dan paling menentukan dalam pemilihan terigu untuk membuat cookies. Jenis terigu yang cocok digunakan dalam pembuatan cookies yaitu jenis soft-wheat (gandum lunak) dengan kadar protein sebesar 8-9% (Husain, 1993). Jenis terigu inilah yang juga akan dipakai dalam pembuatan barss. Tepung cap Kunci Biru adalah jenis tepung yang mewakili tepung gandum lunak. Gandum lunak biasanya diperoleh dari gandum summer, dengan masa tanam yang pendek. Tepung gandum lunak biasanya digunakan khusus untuk membuat produk bakery yang tidak memerlukan keteguhan dan sempurnanya struktur remah (Anonima, 1996). Komposisi kimia tepung terigu cap Kunci Biru dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi kimia tepung terigu cap Kunci Biru Komponen Kadar (%) Protein 11.00 Lemak 1.50 Karbohidrat 72.70 Air 14.30 Abu 0.50 Sumber : PT. Bogasari Flour Mill H. Umur Simpan Terdapat dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS sering juga disebut metode konvensional adalah penentuan tanggala kadaluwarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal penemuan dan penggunaannya, metode ini dianggap memerlukan waktu yang panjang dan analisa parameter mutu yang relatif banyak. Metode ESS ini sering digunkan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluwarsa kurang dari 3 bulan. Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat (accelerated) reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk pangan. Keuntungan dari metode ini membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat (3 sampai 4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Arpah, 2001). Metode ASS (Accelerated Storage Studies) Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu pangan. Sehingga kerusakan yang berlangsung dapat diamati dengan cermat dan diukur. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati parameter perubahan yang berlangsung. Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada metode akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan, yaitu : 1). Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluwarsa dan 2). Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius. Yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001). Salah satu faktor mutu makanan yang terpenting adalah citarasa atau flavor. Perubahan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut, oleh karenanya dalam menentukan daya simpan makanan perlu dilakukan pengukuran-pengukuran terhadap atribut tersebut (Syarief, 1993). Uji pendugaan umur simpan untuk produk bars ini menggunakan metode akselerasi model Arrhenius. Model Arrhenius umumnya digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu, diantaranya produk pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna oleh reaksi pencoklatan, atau kerusakan vitamin C. Prinsip model Arrhenius adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim, dimana produk pangan akan lebih cepat rusak, kemudian umur simpan produk ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Untuk menganalisis penurunan mutu dengan metode Arrhenius diperlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan keadaan mutu produk yang diperiksa. Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik, uji fisik atau mikrobiologis seperti daya serap oksigen, kadar peroksida, intensitas warna TBA, kadar vitamin C, skor uji citarasa, tekstur, warna, total warna mikroba dan sebagainya. Dalam penyimpanan, parameter-parameter mutu tersebut akan berubah oleh adanya pengaruh dari faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan tekanan udara atau karena faktor komposisi makanan itu sendiri. Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawaan kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan. Dalam penyimpanan makanan, keadaan suhu ruangan penyimpanan selayaknya dalam keadaan tetap dari waktu ke waktu tetapi seringkali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Apabila keadaan suhu penyimpanan tetap dari waktu ke waktu (atau dianggap tetap) maka perumusan masalahnya bisa sederhana, yaitu menduga laju penurunan mutu cukup dengan menggunakan persamaan Arrhenius : k ko .e Ea / RT Dimana : Ko = faktor pra-eksponensial (1/hari) R= konstanta gas universal (1.987 kal/mol/K) T = suhu mutlak ruang penyimpanan (K) Ea = Energi aktivasi (kal/mol) Dengan mengubah persamaan diatas menjadi: ln k ln ko Ea 1 R T Persamaan Arrhenius dapat diduga untuk menduga laju penurunan mutu selama penyimpanan dengan menggunakan asumsi-asumsi: a. Perubahan faktor mutu makanan hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja. b. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu. c. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya. d. Suhu ruangan penyimpanan selama penyimpanan dianggap tetap