5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Pengukuran Overweight dan Obesitas Berat badan lebih (overweight) dan obesitas menggambarkan keabnormalan atau kelebihan akumulasi jaringan adiposa dibanding orang normal yang berdampak pada kesehatan (WHO, 2015; CDC, 2012). Walaupun sering dihubungkan dengan peningkatan berat badan total, hal tersebut tidak berlaku pada orang yang memililiki massa otot yang tinggi (Flier, 2010). Mengukur jaringan adiposa secara langsung sangat sulit. Berat badan terdistribusi pada seluruh jaringan sehingga penting untuk menentukan apakah kelebihan berat badan tersebut berasal dari jaringan adiposa atau bukan (Flier, 2010). Walaupun tidak mengukur langsung jaringan adiposa, indeks massa tubuh (IMT) menjadi metode yang sering digunakan (WHO, 2015). signifikan berbanding lurus dengan massa lemak IMT secara relatif (Klein dan Romijn, 2003). Cara lain yang bisa digunakan termasuk skinfold thickness (lipat kulit), densitometry (berat dalam air), CT atau MRI dan electrical impedance. (Flier, 2010) Indeks massa tubuh (IMT) sering digunakan untuk mengklasifikasikan obesitas pada orang dewasa. IMT dinilai dengan membandingkan berat badan (dalam kilogram) dengan tinggi badan (dalam meter kuadrat). IMT ≥ 25 kg/m2 diklasifikasikan sebagai overweight dan ≥ 30 kg/m2 sebagai obesitas (WHO, 2015). Berbeda pada anak-anak, status berat badan ditentukan dengan menggunakan kurva persentil (lampiran II dan III) IMT terhadap usia dan jenis kelamin. Jika IMT berada di antara kurva persentil 85 dan 95 maka dikategorikan overweight sedangkan jika IMT di atas kurva persentil 95 maka dikategorikan obesitas. Hal ini disebabkan distribusi berat badan total anak-anak dipengaruhi usia dan jenis kelamin (CDC, 2012). Universitas Sumatera Utara 6 Tabel 2.1 Klasifikasi Overweight dan Obesitas Berdasarkan IMT Menurut WHO Klasifikasi Berat Badan Kurang Normal IMT (kg/ m2) <18,5 18,5-24,9 Overweight >25 Pre-Obesitas 25,0-29,9 Obesitas Tingkat I 30,0-34,9 Obesitas Tingkat II 35,0-39,9 Obesitas Tingkat III >40 Sumber : WHO 2000 dalam IPD, 2013 Tabel 2.2 Klasifikasi Overweight dan Obesitas Berdasarkan IMT Menurut Kriteria Asia Pasifik Klasifikasi Berat Badan Kurang Normal Overweight IMT (kg/ m2) <18,5 18,5-22,9 ≥23 Berisiko 23,0-24,9 Obesitas Tingkat I 25,0-29,9 Obesitas Tingkat II ≥30,0 Sumber : WHO 2000 dalam IPD, 2013 Berdasarkan jenis kelamin, distribusi akumulasi jaringan adiposa memiliki dua tipe. Tipe android (seperti buah apel) yang umumnya pada laki-laki adalah tipe distribusi jaringan adiposa yang dominan di daerah abdomen sedangkan tipe gynoid (seperti buah pir) yang umumnya pada perempuan adalah tipe distribusi jaringan adiposa yang lebih dominan pada daerah panggul. Kelebihan di daerah abdomen diukur dengan rasio lingkar pinggang terhadap lingkar panggul (waisthip ratio). Wanita dengan waist-hip ratio di atas 0,8 dan pria dengan waist-hip ratio di atas 1 memiliki risiko komorbiditas yang tinggi dibanding dengan IMT Universitas Sumatera Utara 7 yang sama. Sehingga lokasi distribusi tersebut sangat menentukan morbiditas (Flier, 2010). Obesitas tipe android berhubungan dengan erat profil metabolisme dan risiko kardiovaskular dibanding tipe gynoid (Hellerstein dan Parks, 2007). 2.2. Faktor Risiko Overweight dan Obesitas Tanda yang umum dari obesitas adalah kelebihan akumulasi jaringan adiposa. Bagaimanapun, obesitas bukan penyakit tunggal. Lebih dari 200 gen pada tikus dan 100 gen pada manusia teridentifikasi mempengaruhi pengaturan berat badan (Srivastava, et al., 2007). Interaksi lingkungan dan genetik menyebabkan akumulasi kelebihan jaringan adiposa. Lazimnya, obesitas terjadi harus ada faktor genetik dan faktor lingkungan. Hipotesis tersebut terbukti pada populasi obesitas dengan variasi yang beragam (Atkinson, 2005). a. Faktor Genetik Berdasarkan ilmu genetika, identifikasi dan karakterisasi single-gene dan polygenic pada obesitas membuktikan seberapa bermakna pengaruh keturunan (Srivastava, et al., 2007). Screening genom pada populasi etnik yang berbeda menunjukan lokasi kromosom 2, 4 , 10, 11, dan 20. 1) Single-Gene Defects Ob/ob (obesitas) dan db/db (obesitas-diabetes) merupakan single-gene yang paling dominan mengalami defek pada hewan maupun manusia. Gen Ob/ob dan db/db masing-masing mengkode leptin dan reseptornya. Selain itu dua gen tersebut, masih ada beberapa gen lainnya seperti, agouti, tubby, dan proopiomelanocortin. Coleman dalam Atkinson (2005) mendeskripsikan dua model tikus, obesitas (ob/ob) dan obesitas-diabetes (db/db). Gen ob yang mengkode leptin dideskripsikan pertama kali oleh Zhang, et al. (Atkinson, 2005). Leptin dibentuk di jaringan adiposa dan diduga memberi sinyal penurunan nafsu makan ke otak dan menurunkan jaringan adiposa tubuh. Defisiensi leptin bersifat autosomal recessive yang berakibat Universitas Sumatera Utara 8 pada obesitas pada tikus dengan defek ob/ob dan pada sebagian kecil pada manusia dilaporkan mengalami defek ini. Coleman membuktikan bahwa pada tikus dengan defek ob/ob harus dibatasi hingga setengah asupan energi untuk mendapatkan berat badan yang sama dengan tikus yang tidak memiliki defek ob/ob. Ketika diinjeksikan leptin, tikus dengan defek ob/ob mengalami penurunan berat badan menuju level pada tikus yang tidak mengalami defek, termasuk pada manusia. Pada tikus yang mengalami defek db/db menunjukan rusak atau absennya reseptor leptin. Pada penginjeksian leptin pada tikus dengan defek db/db tidak menunjukan penurunan berat badan. Hanya sebagian kecil pada orang obesitas yang mengalami singlegene disorder. Beberapa penelitian mengidentifikasi bahwa sangat sedikit manusia yang mengalami defisensi leptin, dan reseptor leptin (Clement, et al., 2002). Perubahan gen yang mengekspresikan melanocortin 4 receptors (MC4R) terjadi kurang 5% obesitas pada beberapa etnik. Perubahan tersebut menyebabkan rasa lapar yang tinggi dan menjadi obesitas karena kelebihan makan (overeating) (CDC, 2012). 2) Polygenes Obesity Loos dan Bouchard (2003) telah mengidentifikasi lebih dari 300 gen yang berkaitan dengan etiologi obesitas dan 24 kromosom yang mempunyai gen yang berkontribusi pada obesitas. Beberapa gen menginduksi terjadinya obesitas dan beberapa malah memproteksi. Sehingga ada belasan hingga ribuan gen yang terlibat dalam obesitas. Penelitian yang dilakukan Westphal, et al. (2008) menunjukan tidak ada perbedaan signifikan resting metabolic rate dalam satu keluarga. Gen yang diduga paling berpengaruh pada energi metabolisme adalah gen uncoupling protein. Uncoupling protein-1 (UPC-1) memiliki kontribusi dan juga proteksi pada metabolic syndrome. Kemudian uncoupling protein-2 berpengaruh pada metabolic syndrome melalui Universitas Sumatera Utara 9 mekanisme down-regulation sekresi insulin dan pada obesitas belum menunjukan pengaruh yang jelas (Fisler dan Warden, 2006). Walaupun ada hubungan, mutasi UPC pada obesitas sangat kecil, sebesar 1-3% (Atkinson, 2005). b. Faktor Lingkungan 1) Ekspresi Genetik oleh Lingkungan Walaupun suatu gen memiliki peranan yang jelas, faktor lingkungan mungkin menentukan bagaimana suatu gen diekspresikan. Peran faktor lingkungan yang terjadi selama di dalam uterus dan bayi dalam mengakibatkan suatu penyakit menjadi menarik untuk diteliti (Atkinson, 2005). Blokade Jerman terhadap Belanda selama perang dunia II mengakibatkan banyak ibu hamil yang mengalami kelaparan. Pada tahun 1976, Ravelli, Stein, dan Susser melaporkan bahwa orang lahir pada masa tersebut menunjukan peningkatan prevalensi obesitas. Ibu yang mengalami kelaparan selama bulan ke-6 pertama kehamilan memiliki keturunan obesitas dan menderita sindrom metabolik. Jika pada bulan ke-3 terakhir kehamilan memiliki kecenderungan lebih kurus dari yang normal. Penelitian case-control pada usia 64-74 tahun menunjukan bahwa orang dengan riwayat berat badan lahir rendah memiliki massa lemak yang banyak dibanding kontrol (Kensara, 2005). Bagaimana hal tersebut bisa terjadi masih belum jelas, tetapi diperkirakan keabnormalan plasenta menjadi penyebab (Atkinson, 2005). 2) Faktor Keluarga dan Etnis Faktor keluarga dan etnis dalam pilihan makanan, pola makan, komposisi makanan, dan aktivitas fisik menjadi etiologi obesitas. Penelitian tentang energi yang keluar pada tiap individu menunjukan perbedaan yang besar antara keluarga dan dalam satu keluarga (Westphal, 2008). Hal ini terjadi akibat faktor genetik yang mempengaruhi metabolisme tetapi juga akibat dari pola aktivitas Universitas Sumatera Utara 10 masing-masing. Tiap etnis menunjukan perbedaan karakter dan jumlah makanan. Faktor tersebut berpengaruh pada asupan energi termasuk frekuensi dan waktu makan serta penggunaan penyedap, minyak, lemak dan sumber makanan pokok (beras atau gandum) (Atkinson, 2005). 3) Komposisi Makanan dan Pola Makan Kelebihan asupan energi di atas angka kecukupan harian sangat berpengaruh pada kejadian obesitas tetapi tidak benar berasumsi bahwa makan yang berlebihan menyebabkan obesitas. Kualitas dari makanan sangat penting dalam mempengaruhi obesitas. Pada hewan coba, diet tinggi lemak menyebabkan obesitas berat dibanding tinggi karbohidrat (Atkinson, 2005). Hal ini disebabkan karena lemak mengandung energi yang lebih besar dibandingkan dengan protein dan karbohidrat sehingga diet tinggi lemak mempunyai total energi lebih tinggi namun dengan volumenya lebh kecil sehingga penimbunan lemak lebih efisien dibandingkan karbohidrat atau protein (Subardja, 2010). Konsumsi makanan berserat (diatery fiber) berkontribusi menekan nafsu makan dan mengurangi asupan kalori. Hal ini berkaitan dengan β-glucan yang terdapat pada polisakarida (Akramienė, 2007). βglucan mengurangi rasa lapar dan meningkatkan rasa kenyang karena ada pengaruh terhadap pengeluaran ghrelin dan PYY. Pada penelitian, kelompok yang mengonsumsi roti yang mengandung β-glucan memiliki kadar ghrelin lebih rendah dan PYY yang lebih tinggi dibanding dengan kelompok yang tidak (Vitaglione, 2009). 4) Aktivitas Fisik Kuantitas aktivitas fisik secara jelas berkontribusi terhadap pemeliharaan berat tubuh. Orang dengan obesitas kurang aktif daripada orang normal. Di masa industri sekarang, dengan mekanisi dan kemajuan transportasi, membuat kondisi kecenderungan kurang Universitas Sumatera Utara 11 gerak atau menggunakan sedikit tenaga untuk aktivitas sehari-hari. Sebagai contoh, seorang petani yang membajak sawahnya secara manual akan mengeluarkan energi 400 kkal dibanding menggunakan traktor 130 kkal (Misnadiarly, 2007). Dengan peningkatan taraf hidup dan penggunaan mesin, lebih banyak mobil, dan pekerja kasar yang dibutuhkan semakin sedikit. Terobosan terbaru pada televisi rumah, komputer, dan game komputer meningkatkan aktivitas fisik yang kurang bergerak, terutama bagi anak-anak (Atkinson, 2005). 5) Obat Beberapa obat diperkirakan meningkatkan asupan makanan maupun berat badan. Glukokortikoid menyebabkan pertambahan jaringan adiposa terutama bagian batang tubuh. Insulin, sulfonilurea dan tiazolidenosa meninduksi peningkatan berat badan dan jaringan adiposa pada pasien diabetes. Phenotiazine dan golongan anti-psikotik serat trisiklik anti-depresan menginduksi pertambahan berat badan. Cyproheptadine dan asam valproat juga telah dicurigai sebagai etiologi obesitas pada beberapa pasien. Terakhir, beta-bloker seperti propanolol diperkirakan mengurangi efek simpatis dan menaikkan berat badan atau susah kehilangan berat badan (Atkinson, 2005). 2.3. Hubungan Fast Food dengan Kejadian Overweight dan Obesitas Fast food merupakan makanan yang mudah disajikan dan cepat dikonsumsi. Fast food tidak memiliki nilai gizi serta tinggi lemak, garam, gula, dan kalori (Johnson, Sahu, dan Saxena, 2012). Tingginya kadar lemak menyebabkan otak mengirimkan impuls ke sel untuk mengabaikan sinyal dari leptin dan insulin sehingga terganggunya pusat kenyang (Benoit, et al., 2009). Jenis-jenis makanan cepat saji yang banyak dikonsumsi oleh remaja antara lain: hamburger, fried chicken, pizza dan donat (Virgianto, 2005). Misalnya hamburger MC Donald memiliki kadar garam sebesar 2 gram/100 gram. Dengan kata lain, jika seseorang mengonsumsi 300 gram hamburger MC Donald saja sama dengan mengonsumsi 6 gram garam, sedangkan asupan garam per hari yang Universitas Sumatera Utara 12 direkomendasikan WHO hanya 5 gram. Contoh lainnya adalah fried chicken KFC memiliki kadar lemak trans sebesar 0,7 gram/100 gram. Dengan kata lain, jika seseorang mengonsumsi 300 gram fried chicken KFC saja hampir mencapai batas maksimal asupan lemak trans yang direkomendasikan sebesar 2,6. Selanjutnya, pizza memiliki kadar lemak total sebesar 7,9 gram /100 gram dengan angka rekomendasi lemak total per hari sebesar 35-79 gram (Johnson, Sahu, dan Saxena, 2012). Kandungan gizi fast food tersebut dapat menyebabkan obesitas jika dikonsumsi secara berlebihan (KEMENKES 2012; Zulfa, 2011). Di Amerika Serikat, dari 4.746 siswa dengan rentang usia 11-18 tahun menemukan bahwa sekitar 75% dari populasi tersebut paling sedikit mengonsumsi fast food satu kali dalam seminggu. Di Riyadh, Arab Saudi, fakta membuktikan satu dari empat remaja di sana mengonsumsi fast food lebih dari 2 kali dalam seminggu (ALFariz, et al., 2015). Di Surakarta, lebih dari setengah siswa dikategorikan sering dalam mengonsumsi fast food (Muwakhidah dan Dian, 2008). Penelitian yang dilakukan di Manado pada anak SD umur 6-12 tahun yang dilakukan oleh Domopolli, Mayulu, dan Masi (2013), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi fast food dengan obesitas pada anak-anak. Dari penelitian yang dilakukan oeh Virgianto (2005) tentang konsumsi fast food terhadap kejadian obesitas pada remaja umur 15-17 tahun di SMUN 3 Semarang mendapatkan bahwa variasi jenis makanan cepat saji tidak meningkatkan risiko terjadinya obesitas. Meskipun begitu, berdasarkan perhitungan odds ratio pada kontribusi kalori yang berasal dari makanan cepat saji terhadap terjadinya obesitas, menunjukkan bahwa siswa yang intake kalori setiap hari yang berasal dari fast food ≥6%, mempunyai risiko terjadinya obesitas sebesar 4,2 kali lebih tinggi dibandingkan siswa yang intake kalori setiap hari yang berasal dari makanan cepat saji < 6%. Semakin besar intake kalori, semakin besar kemungkinan terjadinya obesitas. Jadi jelas bahwa total intake kalori yang dikonsumsi tiap hari sedikit banyaknya berperan terhadap terjadinya obesitas. Hasil studi ini memperkuat pernyataan beberapa peneliti lainnya dimana peningkatan masukan energi dan Universitas Sumatera Utara 13 konsumsi makanan memberikan kontribusi besar untuk terjadinya obesitas. Uji korelasi terhadap variasi jenis makanan fast food dengan kejadian obesitas menunjukkan bahwa tidak didapatkan hubungan antara variasi jenis makanan cepat saji dengan terjadinya obesitas pada remaja. Hal ini disebabkan karena yang mempengaruhi obesitas adalah jumlah masukan kalori, bukan jenis makanannya (Padmiari dan Eka, 2003). 2.4. Hubungan Konsumsi Serat dengan Kejadian Overweight dan Obesitas Serat pangan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, merupakan bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resisten terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar. Sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan sumber serat pangan yang sangat mudah ditemukan dalam bahan makanan (Santoso, 2011). Burhan, Sirajuddin, dan Indriasari (2013), dalam artikelnya mengatakan bahwa salah satu faktor langsung yang menyebabkan obesitas sentral adalah konsumsi makanan, yaitu makanan dan minuman manis, makanan tinggi lemak, dan konsumsi makanan berserat (sayur-sayuran dan buah-buahan) yang rendah. Berdasarkan penelitian Lestari (2013), terdapat ada hubungan yang bermakna antara asupan serat dengan kejadian obesitas yang mana jumlah kelompok kasus (obesitas) yang mengonsumsi serat ≥ 23,85 gram/hari hanya ada 3 orang (4,0%) dan jumlah kelompok kontrol yang mengonsumsi serat ≥ 23,85 gram/hari sebanyak 39 orang (52,0%). Meskipun tidak mengandung zat gizi, serat pangan menguntungkan bagi kesehatan, yaitu berfungsi mengontrol berat badan atau kegemukan (obesitas). Serat larut air, seperti pectin dan beberapa hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air dan dapat membentuk cairan kental dalam saluran pencernaan sehingga makanan kaya serat, akan lebih lama bertahan di lambung, menarik lebih banyak air dan memberi rasa kenyang lebih lama sehingga mencegah konsumsi yang berlebihan. Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi biasanya Universitas Sumatera Utara 14 mengandung kalori, gula dan lemak yang rendah sehingga dapat membantu mengurangi terjadinya obesitas (Santoso, 2011). 2.5. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Overweight dan Obesitas Aktivitas fisik atau disebut juga aktivitas eksternal ialah suatu rangkaian gerak tubuh yang menggunakan tenaga atau energi. Contohnya berjalan, berlari, berolahraga, mengayuh sepeda, dan lain-lain. Aktivitas fisik menentukan kesehatan seseorang. Kelebihan energi karena rendahnya aktivitas fisik dapat meningkatkan risiko kegemukan dan obesitas. Oleh karena itu, angka kebutuhan energi individu disesuaikan dengan aktivitas fisik (WHO, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Huriyati (2004) di Yogjakarta menyimpulkan bahwa remaja kota menghabiskan lebih banyak waktu untuk aktivitas sedentari daripada remaja pedesaan. Hubungan antara aktivitas sedentari dengan obesitas merupakan faktor independen dari faktor lain seperti asupan energi dan status obesitas keluarga. Hal yang sama juga diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Anissa, Indriani, dan Yustini (2014) pada remaja di SMA Katolik Cendrawassih Makassar yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara aktivitas sedentari dengan kejadian overweight. Selain itu, ditemukan juga adanya hubungan obesitas dengan status ketidakpuasan citra tubuh. Terdapat hubungan yang bermakna aktivitas fisik dengan status ketidakpuasan citra tubuh. Artinya remaja yang tidak puas lebih sedikit melakukan aktivitas fisik dibanding remaja yang puas (Tarigan, 2005). 2.6. Hubungan Uang Saku dengan Kejadian Overweight dan Obesitas Besarnya uang saku akan menentukan jenis dan frekuensi jajanan yang akan dipilih. Sebagian besar uang saku yang dimiliki remaja digunakan untuk membeli makanan yang diinginkan (Muwakhidah dan Dian, 2008). Vaida (2013) menemukan bahwa pada remaja dengan uang saku yang tinggi cenderung membeli makanan yang tinggi kalori dan sedikit membeli buah-buahan dibanding dengan remaja dengan uang saku rata-rata. Penelitian yang dilakukan Bipasha dan Universitas Sumatera Utara 15 Goon (2013) juga menenunjukan bahwa hampir dari setengah dari total uang saku per bulan mahasiswa Bangladesh dihabiskan untuk membeli makanan jenis fast food. Hasil statistik penelitian yang dilakukan oleh Muwakhidah dan Dian (2008) pada remaja di SMU Batik I Surakarta menunjukkan bahwa besarnya uang saku tidak menunjukan hubungan secara signifikan. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Sya’diah (2010), pada siswa SMA Negeri 1 Kudus yang menyimpulkan tidak terbukti bermakna bahwa faktor uang saku mempunyai risiko terhadap kejadian obesitas. Pada penelitian yang dilakukan oleh Imtihani dan Noer (2013) mengenai hubungan uang saku dengan frekuensi konsumsi fast food pada remaja putri di Semarang terlihat bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa uang saku berhubungan dengan frekuensi konsumsi makanan cepat saji. Hal ini terjadi karena subjek yang mendapatkan uang saku yang cukup, menggunakan uangnya untuk membeli makanan cepat saji. 2.7. Hubungan Pengaruh Kelompok dengan Kejadian Overweight dan Obesitas Kelompok adalah semua individu yang memiliki persamaan usia dan status sosial yang memberikan pengaruh terhadap suatu kebiasaan (Peng, Poza, dan Xiaobo, 2014). Pengaruh dari kelompok berkontribusi terhadap 2 faktor yang paling berkaitan pada epidemi obesitas, yaitu pola makan dan aktivitas fisik. Pola makan dan aktivitas fisik sangat dipengaruhi oleh kelompok yang mana pengaruhnya semakin besar seiring dengan bertambahnya usia individu. Secara umum, kesan atau sikap kelompok terhadap kejadian overweight/obesitas cenderung mengesankan penolakan atu negatif. Namun, anak-anak atau remaja dengan latar belakang keluarga atau teman-teman yang overweight/obesitas cenderung tidak mengesankan penolakan terhadap keadaan tersebut dan tidak menyadari kondisi tubuhnya yang overweight/obesitas. Hal ini timbul akibat normalization, di mana individu merasa tidak ada yang salah dengan menjadi overweight/obesitas (Salvy dan Bowker, 2014). Universitas Sumatera Utara 16 Setiap individu sebenarnya memiliki kecenderungan untuk selalu memberikan kesan yang positif saat bersama dengan orang yang tidak dikenalnya, hal ini menjelaskan mengapa seseorang cenderung makan lebih sedikit ketika makan berama orang yang baru atau belum begitu dikenalnya. Penelitian pada anak usia 2-6 tahun menunjukan bahwa jika terdapat 9 orang dalam kelompok meningatkan jumlah makanan yang dimakan dibanding 3 orang (Lumeng dan Hillman, 2007). Penelitian oleh Horne, et al. dalam Salvy dan Bowker (2014) menemukan bahwa individu yang overweight/obesitas memang cenderung memiliki aktivitas fisik yang lebih rendah, namun ketika bersama dengan temantemannya yang bukan overweight/obesitas justru menunjukkan peningkatan aktivitas fisik. Keputusan pemilihan makanan dan jajanan termasuk jajanan fast food dapat dipengaruhi oleh orang lain, dalam hal ini adalah teman bermain atau peer group. Bipasha dan Goon (2013) menemukan bahwa alasan mahasiswa dalam memilih makanan fast food sekitar 13% dipengaruhi oleh kelompok. Di Semarang, para remaja putri sudah bisa menentukan sendiri makanan jajanan seperti apa yang akan dia makan. Hal ini berarti tingkat ketergantungan remaja putri terhadap peer group nya sangat rendah. Keputusan pemilihan makanan cepat saji pun atas keinginan sendiri tanpa pengaruh orang lain. Hal ini di dasarkan atas penelitian yang dilakukan oleh Imtihani dan Noer (2013) pada remaja putri di Semarang. 2.8. Komplikasi Obesitas pada saat remaja berkaitan dengan peningkatan risiko insiden obesitas berat saat dewasa. Penelitian yang dilakukan oleh Natalie, et al. (2010) mengobservasi dari tahun 1996-2009 menemukan bahwa individu yang obesitas saat remaja memiliki insiden obesitas derajat berat sebesar 37,1% pada laki-laki dan 51,3% pada perempuan. Obesitas pada remaja juga berkaitan dengan penyakit jantung koroner. Baker, Olsen, dan Sørensen (2010) menemukan adanya hubungan IMT yang tinggi pada remaja dengan adanya risiko penyakit jantung koroner saat dewasa. Universitas Sumatera Utara 17 Walaupun gejalanya tampak pada saat dewasa, proses awal terjadinya arterosklerosis dimulai saat remaja dan bersifat progresif (Daniels, 2009). Głowińska (2004) menemukan bahwa pada remaja yang obesitas memiliki kadar E-selectin yang tinggi dibanding yang tidak. Beberapa grup selectin, termasuk Eselectin berperan pada tahap awal arterosklerosis. Selain itu E-selectin ditemukan pada plak yang mengandung lemak (Galkina dan Ley, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Stabouli, et al. (2011) juga menemukan bahwa obesitas pada saat anak-anak dan remaja berperan dalam onset awal arterosklerosis arteri karotis. Hal ini dibuktikan dengan temuan pada anak-anak dan remaja obesitas memiliki penebalan lapisan intima daripada yang bukan obesitas. Profil lipid yang tinggi dapat ditemukan pada remaja yang mengalami obesitas. Sebagaimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Mexitalia, et al. (2009) pada siswa SMP di Semarang bahwa rerata profil lipid berada di atas normal pada siswa yang pengukuran antropometrinya tergolong obesitas. Di Amerika Serikat, terjadi peningkatan kejadian diabetes melitus tipe 2 dari 0,35 per 1000 remaja (umur 10-19 tahun) pada tahun 2001 menjadi 0,46 per 1000 pada tahun 2009 (Dabelea, 2014). Kejadian diabetes melitus tipe 2 pada kalangan remaja selain dikaitkan dengan riwayat keluarga juga dikaitkan dengan obesitas (Vasconcelos, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Mexitalia (2009) pada siswa SMP kelas VII menunjukan prevalensi remaja obesitas yang mengalami gangguan glukosa darah 7,6 sedangkan pada remaja yang berat badan normal tidak ada mengalami gangguan. Pada dewasa, obesitas merupakan faktor risiko utama obstructive sleep apnea (OSA) sedangkan pada anak dan remaja obesitas bukan sebagai faktor risiko utama (Kaswandani, 2010). Namun risiko OSA pada remaja (di atas 12 tahun) meningkat 3,5 kali setiap pertambahan satu standar deviasi IMT (Kohler, et al. 2009). Hal tersebut didukung dengan tingginya prevalensi hipertropi adenotonsilar pada remaja obesitas dan pengaruh endocrine mediated-somatic growth menyebabkan pembesaran dan peningkatan lemak di palatum dan lidah (Narang dan Mathew, 2012) Universitas Sumatera Utara 18 2.9. Manajemen Berat Badan pada Overweight dan Obesitas Prinsip penatalaksanaan obesitas adalah mencegah komplikasi dan menurunkan gejala klinis yang timbul karena obesitas dengan menurunkan berat badan (Subardja, 2010). Penurunan berat badan harus SMART: spesific, measurable, achievable, realistic, dan time limited (Sugondo, 2009). Pada anak dan remaja ditetapkan target penurunan berat badannya berdasarkan usia, derajat obesitasnya, serta ada tidaknya penyakit penyerta/komplikasi. Rekomendasi yang dianjurkan untuk remaja seperti pada tabel 2.3 (Subardja, 2010). Tabel 2.3 Target Berat Badan Remaja Umur 12-18 Tahun Umur Katergori IMT Target BB untuk memperbaiki persentil IMT 12-18 tahun P5-84 atau P85-94 Pertahankan kecepatan BB; setelah tanpa risiko pertumbuhan linier lengkap, pertahankan BB P85-94 dengan Pertahankan BB atau penurunan BB bertahap risiko P95-99 Penurunan BB maksimal 1 kg/minggu >P99 Penurunan BB maksimal 1 kg/minggu Sumber : Endokrinologi Anak, 2010 Prinsip manajemen obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi dengan menentukan target berat badan, pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, dan memodifikasi pola hidup. Tujuan tatalaksana obesitas adalah mengurangi IMT dan massa lemak, serta mencegah atau mengatasi komorbiditas akut dan kronik (Subardja, 2010). Meliputi: a. Terapi Diet Keberhasilan penurunan berat badan bergantung pada penanganan keseimbangan energi salah satunya perubahan gaya diet dalam asupan energi (National Heart of Australia, 2007). Makanan dengan nilai kalori yang tinggi dihindarkan seperti es krim, makanan gorengan, chips, dll bahkan dengan hanya Universitas Sumatera Utara 19 mengurangi asupan energi sebanyak 100 kkal per hari dapat mengurangi berat badan sekitar 5 kg per tahunnya (Subardja, 2010). Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya dikurang dan sama dengan 30 persen dari total kalori. Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk menurunkan konsentrasi kolesterol-LDL (Sugondo, 2009). b. Aktivitas fisik Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program penurunan berat badan, walaupun sejatinya penurunan berat badan terjadi karena penurunan asupan energi. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan berat badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah pengurangan risiko kardiovasular dan diabetes (Sugondo, 2009). Peningkatan pengeluaran energi menjadi konsep dalam peningkatan aktivitas fisik. Dampak dari peningkatan aktivitas fisik saja dalam manajemen obesitas sulit didapat. Peningkatan aktivitas fisik bermakna dalam menyokong manajemen diet (Flier, 2010). Penelitian memperlihatkan penurunan berat badan akan lebih mudah dicapai bila dikombinasikan dengan olahraga dibanding hanya diet saja. Untuk aktivitas ringan dibutuhkan 1,5-2,0 kkal/meint, aktivitas sedang 3,5-7,0 kkal/menit, pada aktivitas berat 7,4 kkal/menit atau lebih (Subardja, 2010). c. Farmakoterapi Farmakoterapi dikelompokan menjadi 3 kelompok, pertama obat yang mempengaruhi asupan makanan, kedua obat yang mempengaruhi penyimpanan energi dan terakhir obat yang meningkatkan penggunaan energi (Subardja, 2010). Sibutramin, contoh obat yang mempengaruhi asupan makan berkerja menghambat pengambilan kembali norepineprin dan serotonin (Flier, 2010). Namun pengguna perlu pemamantauan ketat karena dapat menyebabkan hipertensi. FDA (Food and Drug Administration) juga menyetujui phentermin, golongan obat mirip amfetamin (amphetamine-like agents) untuk penggunaan jangka pendek. Obat kelompok kedua seperti orsilat, bekerja dengan menghambat kerja lipase di saluran cerna tanpa efek sistemik dan menurunkan kadar kolesterol total, Universitas Sumatera Utara 20 LDL, dan resiko diabetes tipe 2 (Subardja, 2010). Kelompok terakhir adalah hormon tiroid. Hormon ini menginduksi pengurangan berat badan tanpa lemak (lean body mass) tetapi juga meningkatkan risiko keadaan hipertiroid (Flier, 2010) 2.10. Pencegahan Secara umum pencegahan obeitas dilakukan dengan memberikan pengertian, memperbaiki pola asuhan makan, meningkatkan aktivitas fisis, mengenalkan pendidikan gizi sedini mungkin, membatasi promosi makanan tidak sehat, melakukan inovasi produk makanan, dan deteksi dini. Dari aspek endokrin, upaya yang erat hubungannya adalah : o Memperbaiki pola makan o Meningkatkan aktivitas fisik o Membuat produk makanan dengan efek insulinogenik rendah Hal-hal tersebut di atas diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap penurunan kejadian obesitas primer pada anak dan remaja. Meskipun kelainan genetik yang mendasarinya belum jelas, tetapi untuk obesitas sekunder pada anak pencegahannya dapat diupayakan dengan bimbingan/konsultasi genetik (Subrdja, 2010). Universitas Sumatera Utara