overweight - Universitas Sumatera Utara

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Pengukuran Overweight dan Obesitas
Berat
badan
lebih
(overweight)
dan
obesitas
menggambarkan
keabnormalan atau kelebihan akumulasi jaringan adiposa dibanding orang normal
yang berdampak pada kesehatan (WHO, 2015; CDC, 2012). Walaupun sering
dihubungkan dengan peningkatan berat badan total, hal tersebut tidak berlaku
pada orang yang memililiki massa otot yang tinggi (Flier, 2010).
Mengukur jaringan adiposa secara langsung sangat sulit. Berat badan
terdistribusi pada seluruh jaringan sehingga penting untuk menentukan apakah
kelebihan berat badan tersebut berasal dari jaringan adiposa atau bukan (Flier,
2010). Walaupun tidak mengukur langsung jaringan adiposa, indeks massa tubuh
(IMT) menjadi metode yang sering digunakan (WHO, 2015).
signifikan berbanding lurus dengan massa lemak
IMT secara
relatif (Klein dan Romijn,
2003). Cara lain yang bisa digunakan termasuk skinfold thickness (lipat kulit),
densitometry (berat dalam air), CT atau MRI dan electrical impedance. (Flier,
2010)
Indeks massa tubuh (IMT) sering digunakan untuk mengklasifikasikan
obesitas pada orang dewasa. IMT dinilai dengan membandingkan berat badan
(dalam kilogram) dengan tinggi badan (dalam meter kuadrat). IMT ≥ 25 kg/m2
diklasifikasikan sebagai overweight dan ≥ 30 kg/m2 sebagai obesitas (WHO,
2015). Berbeda pada anak-anak, status berat badan ditentukan dengan
menggunakan kurva persentil (lampiran II dan III) IMT terhadap usia dan jenis
kelamin. Jika IMT berada di antara kurva persentil 85 dan 95 maka dikategorikan
overweight sedangkan jika IMT di atas kurva persentil 95 maka dikategorikan
obesitas. Hal ini disebabkan distribusi berat badan total anak-anak dipengaruhi
usia dan jenis kelamin (CDC, 2012).
Universitas Sumatera Utara
6
Tabel 2.1 Klasifikasi Overweight dan Obesitas Berdasarkan IMT Menurut WHO
Klasifikasi
Berat Badan Kurang
Normal
IMT (kg/ m2)
<18,5
18,5-24,9
Overweight
>25
Pre-Obesitas
25,0-29,9
Obesitas Tingkat I
30,0-34,9
Obesitas Tingkat II
35,0-39,9
Obesitas Tingkat III
>40
Sumber : WHO 2000 dalam IPD, 2013
Tabel 2.2 Klasifikasi Overweight dan Obesitas Berdasarkan IMT Menurut Kriteria
Asia Pasifik
Klasifikasi
Berat Badan Kurang
Normal
Overweight
IMT (kg/ m2)
<18,5
18,5-22,9
≥23
Berisiko
23,0-24,9
Obesitas Tingkat I
25,0-29,9
Obesitas Tingkat II
≥30,0
Sumber : WHO 2000 dalam IPD, 2013
Berdasarkan jenis kelamin, distribusi akumulasi jaringan adiposa memiliki
dua tipe. Tipe android (seperti buah apel) yang umumnya pada laki-laki adalah
tipe distribusi jaringan adiposa yang dominan di daerah abdomen sedangkan tipe
gynoid (seperti buah pir) yang umumnya pada perempuan adalah tipe distribusi
jaringan adiposa yang lebih dominan pada daerah panggul. Kelebihan di daerah
abdomen diukur dengan rasio lingkar pinggang terhadap lingkar panggul (waisthip ratio). Wanita dengan waist-hip ratio di atas 0,8 dan pria dengan waist-hip
ratio di atas 1 memiliki risiko komorbiditas yang tinggi dibanding dengan IMT
Universitas Sumatera Utara
7
yang sama. Sehingga lokasi distribusi tersebut sangat menentukan morbiditas
(Flier, 2010). Obesitas tipe android berhubungan dengan erat profil metabolisme
dan risiko kardiovaskular dibanding tipe gynoid (Hellerstein dan Parks, 2007).
2.2. Faktor Risiko Overweight dan Obesitas
Tanda yang umum dari obesitas adalah kelebihan akumulasi jaringan
adiposa. Bagaimanapun, obesitas bukan penyakit tunggal. Lebih dari 200 gen
pada tikus dan 100 gen pada manusia teridentifikasi mempengaruhi pengaturan
berat badan (Srivastava, et al., 2007). Interaksi lingkungan dan genetik
menyebabkan akumulasi kelebihan jaringan adiposa. Lazimnya, obesitas terjadi
harus ada faktor genetik dan faktor lingkungan. Hipotesis tersebut terbukti pada
populasi obesitas dengan variasi yang beragam (Atkinson, 2005).
a. Faktor Genetik
Berdasarkan ilmu genetika, identifikasi dan karakterisasi single-gene dan
polygenic pada obesitas membuktikan seberapa bermakna pengaruh keturunan
(Srivastava, et al., 2007). Screening genom pada populasi etnik yang berbeda
menunjukan lokasi kromosom 2, 4 , 10, 11, dan 20.
1) Single-Gene Defects
Ob/ob (obesitas) dan db/db (obesitas-diabetes) merupakan single-gene
yang paling dominan mengalami defek pada hewan maupun manusia.
Gen Ob/ob dan db/db masing-masing mengkode leptin dan
reseptornya. Selain itu dua gen tersebut, masih ada beberapa gen
lainnya seperti, agouti, tubby, dan proopiomelanocortin. Coleman
dalam Atkinson (2005) mendeskripsikan dua model tikus, obesitas
(ob/ob) dan obesitas-diabetes (db/db). Gen ob yang mengkode leptin
dideskripsikan pertama kali oleh Zhang, et al. (Atkinson, 2005).
Leptin dibentuk di jaringan adiposa dan diduga memberi sinyal
penurunan nafsu makan ke otak dan menurunkan jaringan adiposa
tubuh. Defisiensi leptin bersifat autosomal recessive yang berakibat
Universitas Sumatera Utara
8
pada obesitas pada tikus dengan defek ob/ob dan pada sebagian kecil
pada manusia dilaporkan mengalami defek ini.
Coleman membuktikan bahwa pada tikus dengan defek ob/ob harus
dibatasi hingga setengah asupan energi untuk mendapatkan berat
badan yang sama dengan tikus yang tidak memiliki defek ob/ob.
Ketika diinjeksikan leptin, tikus dengan defek ob/ob mengalami
penurunan berat badan menuju level pada tikus yang tidak mengalami
defek, termasuk pada manusia. Pada tikus yang mengalami defek
db/db menunjukan rusak atau absennya reseptor leptin. Pada
penginjeksian leptin pada tikus dengan defek db/db tidak menunjukan
penurunan berat badan.
Hanya sebagian kecil pada orang obesitas yang mengalami singlegene disorder. Beberapa penelitian mengidentifikasi bahwa sangat
sedikit manusia yang mengalami defisensi leptin, dan reseptor leptin
(Clement, et al., 2002). Perubahan gen yang mengekspresikan
melanocortin 4 receptors (MC4R) terjadi kurang 5% obesitas pada
beberapa etnik. Perubahan tersebut menyebabkan rasa lapar yang
tinggi dan menjadi obesitas karena kelebihan makan (overeating)
(CDC, 2012).
2) Polygenes Obesity
Loos dan Bouchard (2003) telah mengidentifikasi lebih dari 300 gen
yang berkaitan dengan etiologi obesitas dan 24 kromosom yang
mempunyai gen yang berkontribusi pada obesitas. Beberapa gen
menginduksi terjadinya obesitas dan beberapa malah memproteksi.
Sehingga ada belasan hingga ribuan gen yang terlibat dalam obesitas.
Penelitian yang dilakukan Westphal, et al. (2008) menunjukan tidak
ada perbedaan signifikan resting metabolic rate dalam satu keluarga.
Gen yang diduga paling berpengaruh pada energi metabolisme adalah
gen uncoupling protein. Uncoupling protein-1 (UPC-1) memiliki
kontribusi dan juga proteksi pada metabolic syndrome. Kemudian
uncoupling protein-2 berpengaruh pada metabolic syndrome melalui
Universitas Sumatera Utara
9
mekanisme down-regulation sekresi insulin dan pada obesitas belum
menunjukan pengaruh yang jelas (Fisler dan Warden, 2006).
Walaupun ada hubungan, mutasi UPC pada obesitas sangat kecil,
sebesar 1-3% (Atkinson, 2005).
b. Faktor Lingkungan
1) Ekspresi Genetik oleh Lingkungan
Walaupun suatu gen memiliki peranan yang jelas, faktor lingkungan
mungkin menentukan bagaimana suatu gen diekspresikan. Peran
faktor lingkungan yang terjadi selama di dalam uterus dan bayi dalam
mengakibatkan suatu penyakit menjadi menarik untuk diteliti
(Atkinson, 2005).
Blokade Jerman terhadap Belanda selama
perang dunia II
mengakibatkan banyak ibu hamil yang mengalami kelaparan. Pada
tahun 1976, Ravelli, Stein, dan Susser melaporkan bahwa orang lahir
pada masa tersebut menunjukan peningkatan prevalensi obesitas. Ibu
yang mengalami kelaparan selama bulan ke-6 pertama kehamilan
memiliki keturunan obesitas dan menderita sindrom metabolik. Jika
pada bulan ke-3 terakhir kehamilan memiliki kecenderungan lebih
kurus dari yang normal.
Penelitian case-control pada usia 64-74 tahun menunjukan bahwa
orang dengan riwayat berat badan lahir rendah memiliki massa lemak
yang banyak dibanding kontrol (Kensara, 2005). Bagaimana hal
tersebut bisa terjadi masih belum jelas, tetapi diperkirakan
keabnormalan plasenta menjadi penyebab (Atkinson, 2005).
2) Faktor Keluarga dan Etnis
Faktor keluarga dan etnis dalam pilihan makanan, pola makan,
komposisi makanan, dan aktivitas fisik menjadi etiologi obesitas.
Penelitian tentang energi yang keluar pada tiap individu menunjukan
perbedaan yang besar antara keluarga dan dalam satu keluarga
(Westphal, 2008). Hal ini terjadi akibat faktor genetik yang
mempengaruhi metabolisme tetapi juga akibat dari pola aktivitas
Universitas Sumatera Utara
10
masing-masing. Tiap etnis menunjukan perbedaan karakter dan
jumlah makanan. Faktor tersebut berpengaruh pada asupan energi
termasuk frekuensi dan waktu makan serta penggunaan penyedap,
minyak, lemak dan sumber makanan pokok (beras atau gandum)
(Atkinson, 2005).
3) Komposisi Makanan dan Pola Makan
Kelebihan asupan energi di atas angka kecukupan harian sangat
berpengaruh pada kejadian obesitas tetapi tidak benar berasumsi
bahwa makan yang berlebihan menyebabkan obesitas. Kualitas dari
makanan sangat penting dalam mempengaruhi obesitas. Pada hewan
coba, diet tinggi lemak menyebabkan obesitas berat dibanding tinggi
karbohidrat (Atkinson, 2005). Hal ini disebabkan karena lemak
mengandung energi yang lebih besar dibandingkan dengan protein dan
karbohidrat sehingga diet tinggi lemak mempunyai total energi lebih
tinggi namun dengan volumenya lebh kecil sehingga penimbunan
lemak lebih efisien dibandingkan karbohidrat atau protein (Subardja,
2010).
Konsumsi makanan berserat (diatery fiber) berkontribusi menekan
nafsu makan dan mengurangi asupan kalori. Hal ini berkaitan dengan
β-glucan yang terdapat pada polisakarida (Akramienė, 2007). βglucan mengurangi rasa lapar dan meningkatkan rasa kenyang karena
ada pengaruh terhadap pengeluaran ghrelin dan PYY. Pada penelitian,
kelompok yang mengonsumsi roti yang mengandung β-glucan
memiliki kadar ghrelin lebih rendah dan PYY yang lebih tinggi
dibanding dengan kelompok yang tidak (Vitaglione, 2009).
4) Aktivitas Fisik
Kuantitas
aktivitas
fisik
secara
jelas
berkontribusi
terhadap
pemeliharaan berat tubuh. Orang dengan obesitas kurang aktif
daripada orang normal. Di masa industri sekarang, dengan mekanisi
dan kemajuan transportasi, membuat kondisi kecenderungan kurang
Universitas Sumatera Utara
11
gerak atau menggunakan sedikit tenaga untuk aktivitas sehari-hari.
Sebagai contoh, seorang petani yang membajak sawahnya secara
manual akan mengeluarkan energi 400 kkal dibanding menggunakan
traktor 130 kkal (Misnadiarly, 2007). Dengan peningkatan taraf hidup
dan penggunaan mesin, lebih banyak mobil, dan pekerja kasar yang
dibutuhkan semakin sedikit. Terobosan terbaru pada televisi rumah,
komputer, dan game komputer
meningkatkan aktivitas fisik yang
kurang bergerak, terutama bagi anak-anak (Atkinson, 2005).
5) Obat
Beberapa obat diperkirakan meningkatkan asupan makanan maupun
berat badan. Glukokortikoid menyebabkan pertambahan jaringan
adiposa terutama bagian batang tubuh. Insulin, sulfonilurea dan
tiazolidenosa meninduksi peningkatan berat badan dan jaringan
adiposa pada pasien diabetes. Phenotiazine dan golongan anti-psikotik
serat trisiklik anti-depresan menginduksi pertambahan berat badan.
Cyproheptadine dan asam valproat juga telah dicurigai sebagai
etiologi obesitas pada beberapa pasien. Terakhir, beta-bloker seperti
propanolol diperkirakan mengurangi efek simpatis dan menaikkan
berat badan atau susah kehilangan berat badan (Atkinson, 2005).
2.3. Hubungan Fast Food dengan Kejadian Overweight dan Obesitas
Fast food merupakan makanan yang mudah disajikan dan cepat
dikonsumsi. Fast food tidak memiliki nilai gizi serta tinggi lemak, garam, gula,
dan kalori (Johnson, Sahu, dan Saxena, 2012). Tingginya kadar lemak
menyebabkan otak mengirimkan impuls ke sel untuk mengabaikan sinyal dari
leptin dan insulin sehingga terganggunya pusat kenyang (Benoit, et al., 2009).
Jenis-jenis makanan cepat saji yang banyak dikonsumsi oleh remaja antara
lain: hamburger, fried chicken, pizza dan donat (Virgianto, 2005). Misalnya
hamburger MC Donald memiliki kadar garam sebesar 2 gram/100 gram. Dengan
kata lain, jika seseorang mengonsumsi 300 gram hamburger MC Donald saja
sama dengan mengonsumsi 6 gram garam, sedangkan asupan garam per hari yang
Universitas Sumatera Utara
12
direkomendasikan WHO hanya 5 gram. Contoh lainnya adalah fried chicken KFC
memiliki kadar lemak trans sebesar 0,7 gram/100 gram. Dengan kata lain, jika
seseorang mengonsumsi 300 gram fried chicken KFC saja hampir mencapai batas
maksimal asupan lemak trans yang direkomendasikan sebesar 2,6. Selanjutnya,
pizza memiliki kadar lemak total sebesar 7,9 gram /100 gram dengan angka
rekomendasi lemak total per hari sebesar 35-79
gram (Johnson, Sahu, dan
Saxena, 2012). Kandungan gizi fast food tersebut dapat menyebabkan obesitas
jika dikonsumsi secara berlebihan (KEMENKES 2012; Zulfa, 2011).
Di Amerika Serikat, dari 4.746 siswa dengan rentang usia 11-18 tahun
menemukan bahwa sekitar 75% dari populasi tersebut paling sedikit
mengonsumsi fast food satu kali dalam seminggu. Di Riyadh, Arab Saudi, fakta
membuktikan satu dari empat remaja di sana mengonsumsi fast food lebih dari 2
kali dalam seminggu (ALFariz, et al., 2015). Di Surakarta, lebih dari setengah
siswa dikategorikan sering dalam mengonsumsi fast food (Muwakhidah dan Dian,
2008).
Penelitian yang dilakukan di Manado pada anak SD umur 6-12 tahun yang
dilakukan oleh Domopolli, Mayulu, dan Masi (2013), menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara konsumsi fast food dengan obesitas pada anak-anak.
Dari penelitian yang dilakukan oeh Virgianto (2005) tentang konsumsi fast food
terhadap kejadian obesitas pada remaja umur 15-17 tahun di SMUN 3 Semarang
mendapatkan bahwa variasi jenis makanan cepat saji tidak meningkatkan risiko
terjadinya obesitas. Meskipun begitu, berdasarkan perhitungan odds ratio pada
kontribusi kalori yang berasal dari makanan cepat saji terhadap terjadinya
obesitas, menunjukkan bahwa siswa yang intake kalori setiap hari yang berasal
dari fast food ≥6%, mempunyai risiko terjadinya obesitas sebesar 4,2 kali lebih
tinggi dibandingkan siswa yang intake kalori setiap hari yang berasal dari
makanan cepat saji < 6%.
Semakin besar intake kalori, semakin besar kemungkinan terjadinya
obesitas. Jadi jelas bahwa total intake kalori yang dikonsumsi tiap hari sedikit
banyaknya berperan terhadap terjadinya obesitas. Hasil studi ini memperkuat
pernyataan beberapa peneliti lainnya dimana peningkatan masukan energi dan
Universitas Sumatera Utara
13
konsumsi makanan memberikan kontribusi besar untuk terjadinya obesitas. Uji
korelasi terhadap variasi jenis makanan fast food dengan kejadian obesitas
menunjukkan bahwa tidak didapatkan hubungan antara variasi jenis makanan
cepat saji dengan terjadinya obesitas pada remaja. Hal ini disebabkan karena yang
mempengaruhi obesitas adalah jumlah masukan kalori, bukan jenis makanannya
(Padmiari dan Eka, 2003).
2.4. Hubungan Konsumsi Serat dengan Kejadian Overweight dan Obesitas
Serat pangan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, merupakan
bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang
memiliki sifat resisten terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus
manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar.
Sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan sumber serat pangan yang sangat
mudah ditemukan dalam bahan makanan (Santoso, 2011).
Burhan, Sirajuddin, dan Indriasari (2013), dalam artikelnya mengatakan
bahwa salah satu faktor langsung yang menyebabkan obesitas sentral adalah
konsumsi makanan, yaitu makanan dan minuman manis, makanan tinggi lemak,
dan konsumsi makanan berserat (sayur-sayuran dan buah-buahan) yang rendah.
Berdasarkan penelitian Lestari (2013), terdapat ada hubungan yang bermakna
antara asupan serat dengan kejadian obesitas yang mana jumlah kelompok kasus
(obesitas) yang mengonsumsi serat ≥ 23,85 gram/hari hanya ada 3 orang (4,0%)
dan jumlah kelompok kontrol yang mengonsumsi serat ≥ 23,85 gram/hari
sebanyak 39 orang (52,0%).
Meskipun tidak mengandung zat gizi, serat pangan menguntungkan bagi
kesehatan, yaitu berfungsi mengontrol berat badan atau kegemukan (obesitas).
Serat larut air, seperti pectin dan beberapa hemiselulosa mempunyai kemampuan
menahan air dan dapat membentuk cairan kental dalam saluran pencernaan
sehingga makanan kaya serat, akan lebih lama bertahan di lambung, menarik lebih
banyak air dan memberi rasa kenyang lebih lama sehingga mencegah konsumsi
yang berlebihan. Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi biasanya
Universitas Sumatera Utara
14
mengandung kalori, gula dan lemak yang rendah sehingga dapat membantu
mengurangi terjadinya obesitas (Santoso, 2011).
2.5. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Overweight dan Obesitas
Aktivitas fisik atau disebut juga aktivitas eksternal ialah suatu rangkaian
gerak tubuh yang menggunakan tenaga atau energi. Contohnya berjalan, berlari,
berolahraga, mengayuh sepeda, dan lain-lain.
Aktivitas fisik menentukan
kesehatan seseorang. Kelebihan energi karena rendahnya aktivitas fisik dapat
meningkatkan risiko kegemukan dan obesitas. Oleh karena itu, angka kebutuhan
energi individu disesuaikan dengan aktivitas fisik (WHO, 2010).
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Huriyati
(2004)
di
Yogjakarta
menyimpulkan bahwa remaja kota menghabiskan lebih banyak waktu untuk
aktivitas sedentari daripada remaja pedesaan. Hubungan antara aktivitas sedentari
dengan obesitas merupakan faktor independen dari faktor lain seperti asupan
energi dan status obesitas keluarga. Hal yang sama juga diungkapkan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Anissa, Indriani, dan Yustini (2014) pada remaja
di SMA Katolik Cendrawassih Makassar yang menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan positif yang signifikan antara aktivitas sedentari dengan kejadian
overweight.
Selain itu, ditemukan juga adanya hubungan obesitas dengan status
ketidakpuasan citra tubuh. Terdapat hubungan yang bermakna aktivitas fisik
dengan status ketidakpuasan citra tubuh. Artinya remaja yang tidak puas lebih
sedikit melakukan aktivitas fisik dibanding remaja yang puas (Tarigan, 2005).
2.6. Hubungan Uang Saku dengan Kejadian Overweight dan Obesitas
Besarnya uang saku akan menentukan jenis dan frekuensi jajanan yang
akan dipilih. Sebagian besar uang saku yang dimiliki remaja digunakan untuk
membeli makanan yang diinginkan (Muwakhidah dan Dian, 2008). Vaida (2013)
menemukan bahwa pada remaja dengan uang saku yang tinggi cenderung
membeli makanan yang tinggi kalori dan sedikit membeli buah-buahan dibanding
dengan remaja dengan uang saku rata-rata. Penelitian yang dilakukan Bipasha dan
Universitas Sumatera Utara
15
Goon (2013) juga menenunjukan bahwa hampir dari setengah dari total uang saku
per bulan mahasiswa Bangladesh dihabiskan untuk membeli makanan jenis fast
food.
Hasil statistik penelitian yang dilakukan oleh Muwakhidah dan Dian
(2008) pada remaja di SMU Batik I Surakarta menunjukkan bahwa besarnya uang
saku tidak menunjukan hubungan secara signifikan. Hal yang sama juga
ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Sya’diah (2010), pada siswa SMA
Negeri 1 Kudus yang menyimpulkan tidak terbukti bermakna bahwa faktor uang
saku mempunyai risiko terhadap kejadian obesitas.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Imtihani dan Noer (2013) mengenai
hubungan uang saku dengan frekuensi konsumsi fast food pada remaja putri di
Semarang terlihat bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara signifikan. Hal
ini menunjukkan bahwa uang saku berhubungan dengan frekuensi konsumsi
makanan cepat saji. Hal ini terjadi karena subjek yang mendapatkan uang saku
yang cukup, menggunakan uangnya untuk membeli makanan cepat saji.
2.7. Hubungan Pengaruh Kelompok dengan Kejadian Overweight dan
Obesitas
Kelompok adalah semua individu yang memiliki persamaan usia dan
status sosial yang memberikan pengaruh terhadap suatu kebiasaan (Peng, Poza,
dan Xiaobo, 2014). Pengaruh dari kelompok berkontribusi terhadap 2 faktor yang
paling berkaitan pada epidemi obesitas, yaitu pola makan dan aktivitas fisik. Pola
makan dan aktivitas fisik sangat dipengaruhi oleh kelompok yang mana
pengaruhnya semakin besar seiring dengan bertambahnya usia individu. Secara
umum, kesan atau sikap kelompok terhadap kejadian overweight/obesitas
cenderung mengesankan penolakan atu negatif. Namun, anak-anak atau remaja
dengan latar belakang keluarga atau teman-teman yang overweight/obesitas
cenderung tidak mengesankan penolakan terhadap keadaan tersebut dan tidak
menyadari kondisi tubuhnya yang overweight/obesitas. Hal ini timbul akibat
normalization, di mana individu merasa tidak ada yang salah dengan menjadi
overweight/obesitas (Salvy dan Bowker, 2014).
Universitas Sumatera Utara
16
Setiap individu sebenarnya memiliki kecenderungan untuk selalu
memberikan kesan yang positif saat bersama dengan orang yang tidak dikenalnya,
hal ini menjelaskan mengapa seseorang cenderung makan lebih sedikit ketika
makan berama orang yang baru atau belum begitu dikenalnya. Penelitian pada
anak usia 2-6 tahun menunjukan bahwa jika terdapat 9 orang dalam kelompok
meningatkan jumlah makanan yang dimakan dibanding 3 orang (Lumeng dan
Hillman, 2007). Penelitian oleh Horne, et al. dalam Salvy dan Bowker (2014)
menemukan bahwa individu yang overweight/obesitas memang cenderung
memiliki aktivitas fisik yang lebih rendah, namun ketika bersama dengan temantemannya yang bukan overweight/obesitas justru menunjukkan peningkatan
aktivitas fisik.
Keputusan pemilihan makanan dan jajanan termasuk jajanan fast food
dapat dipengaruhi oleh orang lain, dalam hal ini adalah teman bermain atau peer
group. Bipasha dan Goon (2013) menemukan bahwa alasan mahasiswa dalam
memilih makanan fast food sekitar 13% dipengaruhi oleh kelompok. Di
Semarang, para remaja putri sudah bisa menentukan sendiri makanan jajanan
seperti apa yang akan dia makan. Hal ini berarti tingkat ketergantungan remaja
putri terhadap peer group nya sangat rendah. Keputusan pemilihan makanan cepat
saji pun atas keinginan sendiri tanpa pengaruh orang lain. Hal ini di dasarkan atas
penelitian yang dilakukan oleh Imtihani dan Noer (2013) pada remaja putri di
Semarang.
2.8. Komplikasi
Obesitas pada saat remaja berkaitan dengan peningkatan risiko insiden
obesitas berat saat dewasa. Penelitian yang dilakukan oleh Natalie, et al. (2010)
mengobservasi dari tahun 1996-2009 menemukan bahwa individu yang obesitas
saat remaja memiliki insiden obesitas derajat berat sebesar 37,1% pada laki-laki
dan 51,3% pada perempuan.
Obesitas pada remaja juga berkaitan dengan penyakit jantung koroner.
Baker, Olsen, dan Sørensen (2010) menemukan adanya hubungan IMT yang
tinggi pada remaja dengan adanya risiko penyakit jantung koroner saat dewasa.
Universitas Sumatera Utara
17
Walaupun gejalanya tampak pada saat dewasa, proses awal terjadinya
arterosklerosis dimulai saat remaja dan bersifat progresif (Daniels, 2009).
Głowińska (2004) menemukan bahwa pada remaja yang obesitas memiliki kadar
E-selectin yang tinggi dibanding yang tidak. Beberapa grup selectin, termasuk Eselectin
berperan pada tahap awal arterosklerosis.
Selain itu E-selectin
ditemukan pada plak yang mengandung lemak (Galkina dan Ley, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Stabouli, et al. (2011) juga menemukan bahwa
obesitas pada saat anak-anak dan remaja berperan dalam onset awal
arterosklerosis arteri karotis. Hal ini dibuktikan dengan temuan pada anak-anak
dan remaja obesitas memiliki penebalan lapisan intima daripada yang bukan
obesitas.
Profil lipid yang tinggi dapat ditemukan pada remaja yang mengalami
obesitas. Sebagaimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Mexitalia, et al.
(2009) pada siswa SMP di Semarang bahwa rerata profil lipid berada di atas
normal pada siswa yang pengukuran antropometrinya tergolong obesitas.
Di Amerika Serikat, terjadi peningkatan kejadian diabetes melitus tipe 2
dari 0,35 per 1000 remaja (umur 10-19 tahun) pada tahun 2001 menjadi 0,46 per
1000 pada tahun 2009 (Dabelea, 2014). Kejadian diabetes melitus tipe 2 pada
kalangan remaja selain dikaitkan dengan riwayat keluarga juga dikaitkan dengan
obesitas (Vasconcelos, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Mexitalia (2009)
pada siswa SMP kelas VII menunjukan prevalensi remaja obesitas yang
mengalami gangguan glukosa darah 7,6 sedangkan pada remaja yang berat badan
normal tidak ada mengalami gangguan.
Pada dewasa, obesitas merupakan faktor risiko utama obstructive sleep
apnea (OSA) sedangkan pada anak dan remaja obesitas bukan sebagai faktor
risiko utama (Kaswandani, 2010). Namun risiko OSA pada remaja (di atas 12
tahun) meningkat 3,5 kali setiap pertambahan satu standar deviasi IMT (Kohler,
et al. 2009).
Hal tersebut didukung dengan tingginya prevalensi hipertropi
adenotonsilar pada remaja obesitas dan pengaruh endocrine mediated-somatic
growth menyebabkan pembesaran dan peningkatan lemak di palatum dan lidah
(Narang dan Mathew, 2012)
Universitas Sumatera Utara
18
2.9. Manajemen Berat Badan pada Overweight dan Obesitas
Prinsip penatalaksanaan obesitas adalah mencegah komplikasi dan
menurunkan gejala klinis yang timbul karena obesitas dengan menurunkan berat
badan (Subardja, 2010). Penurunan berat badan harus SMART: spesific,
measurable, achievable, realistic, dan time limited (Sugondo, 2009). Pada anak
dan remaja ditetapkan target penurunan berat badannya berdasarkan usia, derajat
obesitasnya, serta ada tidaknya penyakit penyerta/komplikasi. Rekomendasi yang
dianjurkan untuk remaja seperti pada tabel 2.3 (Subardja, 2010).
Tabel 2.3 Target Berat Badan Remaja Umur 12-18 Tahun
Umur
Katergori IMT
Target BB untuk memperbaiki persentil IMT
12-18 tahun
P5-84 atau P85-94
Pertahankan kecepatan BB; setelah
tanpa risiko
pertumbuhan linier lengkap, pertahankan BB
P85-94 dengan
Pertahankan BB atau penurunan BB bertahap
risiko
P95-99
Penurunan BB maksimal 1 kg/minggu
>P99
Penurunan BB maksimal 1 kg/minggu
Sumber : Endokrinologi Anak, 2010
Prinsip manajemen obesitas adalah mengurangi asupan energi serta
meningkatkan keluaran energi dengan menentukan target berat badan, pengaturan
diet, peningkatan aktivitas fisik, dan memodifikasi pola hidup. Tujuan tatalaksana
obesitas adalah mengurangi IMT dan massa lemak, serta mencegah atau
mengatasi komorbiditas akut dan kronik (Subardja, 2010). Meliputi:
a. Terapi Diet
Keberhasilan penurunan berat badan bergantung pada penanganan
keseimbangan energi salah satunya perubahan gaya diet dalam asupan energi
(National Heart of Australia, 2007). Makanan dengan nilai kalori yang tinggi
dihindarkan seperti es krim, makanan gorengan, chips, dll bahkan dengan hanya
Universitas Sumatera Utara
19
mengurangi asupan energi sebanyak 100 kkal per hari dapat mengurangi berat
badan sekitar 5 kg per tahunnya (Subardja, 2010).
Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya dikurang
dan sama dengan 30 persen dari total kalori. Ketika asupan lemak dikurangi,
prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud
untuk menurunkan konsentrasi kolesterol-LDL (Sugondo, 2009).
b. Aktivitas fisik
Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program
penurunan berat badan, walaupun sejatinya penurunan berat badan terjadi karena
penurunan asupan energi. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada
pencegahan peningkatan berat badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah
pengurangan risiko kardiovasular dan diabetes (Sugondo, 2009).
Peningkatan pengeluaran energi menjadi konsep dalam peningkatan
aktivitas fisik. Dampak dari peningkatan aktivitas fisik saja dalam manajemen
obesitas sulit didapat. Peningkatan aktivitas fisik bermakna dalam menyokong
manajemen diet (Flier, 2010). Penelitian memperlihatkan penurunan berat badan
akan lebih mudah dicapai bila dikombinasikan dengan olahraga dibanding hanya
diet saja. Untuk aktivitas ringan dibutuhkan 1,5-2,0 kkal/meint, aktivitas sedang
3,5-7,0 kkal/menit, pada aktivitas berat 7,4 kkal/menit atau lebih (Subardja, 2010).
c. Farmakoterapi
Farmakoterapi dikelompokan menjadi 3 kelompok, pertama obat yang
mempengaruhi asupan makanan, kedua obat yang mempengaruhi penyimpanan
energi dan terakhir obat yang meningkatkan penggunaan energi (Subardja, 2010).
Sibutramin, contoh obat yang mempengaruhi asupan makan berkerja menghambat
pengambilan kembali norepineprin dan serotonin (Flier, 2010). Namun pengguna
perlu pemamantauan ketat karena dapat menyebabkan hipertensi. FDA (Food and
Drug Administration) juga menyetujui phentermin, golongan obat mirip
amfetamin (amphetamine-like agents) untuk penggunaan jangka pendek.
Obat kelompok kedua seperti orsilat, bekerja dengan menghambat kerja
lipase di saluran cerna tanpa efek sistemik dan menurunkan kadar kolesterol total,
Universitas Sumatera Utara
20
LDL, dan resiko diabetes tipe 2 (Subardja, 2010). Kelompok terakhir adalah
hormon tiroid. Hormon ini menginduksi pengurangan berat badan tanpa lemak
(lean body mass) tetapi juga meningkatkan risiko keadaan hipertiroid (Flier, 2010)
2.10. Pencegahan
Secara umum pencegahan obeitas dilakukan dengan memberikan
pengertian, memperbaiki pola asuhan makan, meningkatkan aktivitas fisis,
mengenalkan pendidikan gizi sedini mungkin, membatasi promosi makanan tidak
sehat, melakukan inovasi produk makanan, dan deteksi dini.
Dari aspek endokrin, upaya yang erat hubungannya adalah :
o Memperbaiki pola makan
o Meningkatkan aktivitas fisik
o Membuat produk makanan dengan efek insulinogenik rendah
Hal-hal tersebut di atas diharapkan dapat memberikan dampak positif
terhadap penurunan kejadian obesitas primer pada anak dan remaja. Meskipun
kelainan genetik yang mendasarinya belum jelas, tetapi untuk obesitas sekunder
pada anak pencegahannya dapat diupayakan dengan bimbingan/konsultasi genetik
(Subrdja, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Download