3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Ekosistem sungai pada umumnya terbentuk oleh beberapa anak sungai yang menyatu dan membentuk suatu aliran sungai yang besar. Sungai memiliki ciri khas yang dimulai dari daerah bagian hulu yang biasanya berawal dari dataran tinggi yang hanya berupa parit kecil, aliran deras, aliran dingin, dan pergerakan air secara turbulen, mempunyai hidrograf aliran dengan puncak-puncak yang tajam sewaktu mendaki (rising stage) dan menurun (fallen stage), gradien hulu sungai cukup curam dan sangat aktif mengikis air secara turbulen, dasar sungai terdiri dari bebatuan. Semakin jauh ke hilir, sungai tersebut akan menyatu dengan anakanak sungai (Setiawan, 2008). Sungai merupakan suatu sistem yang dinamis dengan segala aktivitas yang berlangsung antara komponen-komponen lingkungan yang terdapat didalamnya. Adanya dinamika tersebut akan menyebabkan suatu sungai berada dalam keseimbangan ekologis sejauh sungai itu tidak menerima bahan-bahan asing dari luar. Pada batas-batas kisaran tertentu pengaruh bahan asing ini masih dapat ditolerir dan kondisi keseimbangan masih tetap dapat dipertahankan (Barus, 2004). Penurunan yang terjadi di suatu sungai akan mempengaruhi biota yang hidup di dalamnya. Pengaruh yang biasanya seringkali digambarkan oleh perubahan komunitas biota perairan (Hafshah et al., 2012). Kelangsungan hidup organisme dalam suatu ekosistem pada prinsipnya dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Secara genetis setiap jenis organisme sudah mempunyai kisaran toleransi tertentu terhadap perubahan yang terjadi dalam faktor-faktor lingkungan tersebut. Apabila perubahan suatu faktor lingkungan lebih besar daripada kisaran toleransi yang dapat diterima oleh suatu organisme, maka organisme tersebut tidak dapat bertahan hidup. Kisaran toleransi dari setiap dari setiap jenis organisme, baik hewan maupun tumbuhan, terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada faktor-faktor lingkungan tidak sama yang artinya suatu jenis tertentu dapat bertahan hidup meskipun terjadi perubahan yang 3 Universitas Sumatera Utara 4 sangat besar, sementara jenis lain mungkin hanya dapat mentolerir perubahan yang kecil saja (Barus, 2004). Menurut Odum (1993), zona-zona primer sungai dapat dibedakan menjadi 4, yaitu: 1. Zona litoral Merupakan daerah pinggiran perairan yang masih bersentuhan dengan daratan. Pada daerah ini terjadi pencampuran sempurna antara berbagai faktor fisik kimiawi perairan. Organisme yang biasanya ditemukan antara lain: tumbuhan akuatik, berakar atau mengapung, siput, kerang, crustaceae, serangga, amfibi, ikan, perifiton, dan lain-lain. 2. Zona limnetik Merupakan daerah kolam air yang terbentang antara zona ltoral disatu sisi dan zona litoral disisi lain. Zona ini memiliki berbagai variasi secara fisik, kimia, maupun kehidupan didalamnya. Organisme yang hidup dan banyak ditemukan didaerah ini antara lain ikan, udang, dan plankton. 3. Zona profundal Merupakan daerah dasar perairan yang lebih dalam dan menerima sedikit cahaya matahari dibanding daerah litoral dan limnetik. Bagian ini dihuni oleh sedikit organisme terutama dari organisme bentik karnivor dan detrifor. 4. Zona sublitoral Merupakan daerah peralihan antara zona litoral dan zona profundal. Sebagai daerah peralihan zona ini dihuni oleh banyak jenis organisme bentik dan juga organisme temporal yang datang untuk mencari makan. 2.2. Makrozoobenthos Menurut Barus (2004), semua organisme air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu perairan, air yang bersifat sesil (melekat) maupun vogil (bergerak bebas) termasuk dalam kategori bentos. Berdasarkan sifat hidupnya dibedakan antara fitobentos, yaitu organisme bentos yang bersifat tumbuhan dan zoobentos, yaitu organisme bentos yang bersifat hewan. Kelompok ini masih dibedakan menjadi efifauna, yaitu bentos yang hidupnya diatas substrat dasar perairan dan infauna, yaitu bentos yang hidupnya terbenam di dalam substrat dasar perairan. 4 Universitas Sumatera Utara 5 Selanjutnya berdasarkan siklus hidupnya bentos dapat dibagi menjadi holobentos yaitu kelompok bentos yang bersifat bentos pada fase-fase tertentu dari siklus hidupnya. Berdasarkan ukuran tubuhnya, bentos dapat dibagi menjadi makrobentos (>2 mm), meiobentos (0,2-2 mm) dan mikrobentos (0,2 mm). Bentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan (epifauna) atau di dalam substrat dasar perairan (infauna) (Odum, 1993). Menurut Nybakken (1988), organisme infauna dibagi menjadi tiga golongan, yaitu makrozoobentos (berukuran lebih besar dari 1 mm), meiozoobenthos (berukuran antara 0,1-1 mm), dan mikrozoobenthos (berukuran lebih kecil dari 0,1 mm). Menurut Odum (1971) Bentos sebagai salah satu parameter biologi adalah organisme yang hidup pada substrat dasar perairan (epifauna) atau didalam substrat (infauna). Organisme infauna biasanya digolongkan menurut ukurannya. Organisme infauna dapat digolongkan menjadi makrobenthos, meiobenthos dan mikrobenthos. Menurut Lalli dan Parsons (1993), berdasarkan ukuran tubuhnya zoobentos dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1) Makrobenthos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa insekta air dan larva dari diptera, odonata dan lain sebagainya. 2) Mesobenthos, kelompok bentos yang berukuran antara 0,1 mm–1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur. Hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca kecil, cacing kecil dan crustaceae kecil. 3) Mikrobenthos, kelompok benthos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk ke dalamnya adalah protozoa khususnya ciliata. Benthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau pada sedimen dasar perairan. Berdasarkan sifat fisiknya bentos dibedakan menjadi dua kelompok diantaranya fitobentos yaitu benthos yang bersifat tumbuhan dan zoobentos yaitu organisme bentos yang bersifat hewan (Barus, 2004). Dalam Odum (1994), menyatakan bahwa makrozoobenthos dapat dimasukkan kedalam jenis hewan makroinventebrata. Taksa utama dari kelompok 5 Universitas Sumatera Utara 6 ini umumnya adalah insekta, moluska, chaetopoda, crustaceae, dan nematoda. umumnya bentos yang sering dijumpai di suatu perairan adalah dari taksa crustaceae, moluska, insekta, chaetopoda. Bentos tidak saja hanya berperan sebagai komunitas perairan (Barus, 2004). 2.3. Makrozoobenthos Sebagai Indikator Pencemar Pada dasarnya, jika limbah organik dibuang ke suatu badan perairan, maka akan timbul serangkaian peristiwa seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini menciptakan kondisi lingkungan yang berbeda dan menghasilkan komunitas akuatik yang berubah secara suksesif di perairan tersebut. Dalam mengkaji kondisi perairan, selain ikan, penggunaan struktur komunitas avertebrata seperti makrozoobenthos untuk menggambarkan kondisi ekosistem akuatik yang terintegrasi sudah mulai berkembang. Untuk dapat menduga kualitas perairan secara tepat melalui penggunaan komunitas biota perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Keberadaan atau ketiadaan organisme, 2) metode yang digunakan harus diyakini dapat menduga kualitas air sehingga dapat diperbandingkan, 3) pendugaan harus terkait dengan kualitas air untuk jangka waktu yang cukup lama, bukan hanya pada saat sampling, 4) perlu diperhatikan bahwa pendugaan harus lebih dikaitkan dengan tujuan sampling, 5) sampling, penyortiran, identifikasi dan pengolahan data harus dilakukan secara baik dan benar (Ayu, 2009). Makrozoobenthos umumnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan perairan yang ditempatinya, karena itulah makrozoobenthos ini sering dijadikan sebagai indikator biologis disuatu perairan karena cara hidupnya, ukuran tubuhnya, dan perbedaan kisaran toleransi diantara spesies didalam lingkungan perairan (Simamora, 2009). Brinkhurst et al., (2002) mengelompokkan tiga pendekatan yang berkembang dalam pendugaan kualitas perairan , yaitu: Sistem yang dikenal dengan sebutan „eutrofik „ (kaya akan unsur hara) dan „oligotrofikā (miskin akan unsur hara) yang dicetuskan oleh Naumann, dimana menggambarkan kuantitas dari keberadaan unsur hara di perairan. Akan tetapi sistem tersebut tidak sesuai dengan hewan benthos karena ketersediaan unsur hara ini terutama 6 Universitas Sumatera Utara 7 nitrogen, fosfor, dan kalsium erat kaitannya dengan kuantitas produksi fitoplankton di suatu perairan. Menurut Patrick (1949) dalam Odum (1994), bahwa suatu perairan yang sehat (belum tercemar) akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari hampir jumlah spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan tercemar, penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi. 2.4. Parameter fisik dan kimia perairan Faktor fisik kimia perairan yang mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos diantaranya adalah: a. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengontrol kehidupan dan penyebaran organisme dalam suatu perairan. Suhu akan mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan dari organisme tersebut (Nybakken, 1988). Perubahan suhu akan mempengaruhi pola kehidupan dan aktivitas biologi di dalam air termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota menurut batas kisaran toleransinya. Perubahan suhu juga menghasilkan pola sirkulasi dan stratifikasi yang berperan dalam perairan (Simamora, 2009). Kenaikan suhu air tesebut akan mengakibatkan menurunnya oksigen terlarut di dalam air, meningkatnya kecepatan reaksi kimia, terganggunya kehidupan hewan air . Naiknya suhu air yang relatif tinggi seringkali di tandai dengan munculnya hewan air lainnya ke permukaan air untuk mencari oksigen. Jika suhu tersebut tidak juga kembali pada suhu normal, lama kelamaan dapat menyebabkan kematian hewan lainnya (Nugroho, 2006). Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan lingkungan daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme akuatik terhadap suhu relatif sempit dengan organisme daratan. Berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik. Naiknya suhu perairan dari yang biasa, misalnya karena pembuangan sisa pabrik, sehingga dapat mengakibatkan struktur komunitasnya berubah (Suin, 2002). 7 Universitas Sumatera Utara 8 b. Penetrasi Cahaya Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Di samping itu, nilai kecerahan juga sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, padatan tersuspensi dan ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah. Kecerahan merupakan parameter fisika yang penting karena berkaitan erat dengan aktivitas fotosintesis dari alga dan mikrofita. Makrozoobenthos secara langsung maupun tidak langsung memerlukan alga dan mikrofita tersebut sebagai sumber makananya (Simamora, 2009). Kekeruhan air disebabkan adanya partikel-partikel debu, liat, fragmen tumbuh-tumbuhan dan plankton dalam air. Keruhnya air menyebabkan penetrasi cahaya ke dalam air berkurang, sehingga penyebaran organisme berhijau daun (memiliki klorofil) tidak begitu dalam, karena proses fotosintesis tidak dapat berlangsung (Suin, 2002). c. pH Organisme perairan mempunyai kemampuan toleransi yang berbeda dalam pH perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973 dalam Retnowati, 2003). Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral, yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar, misalnya air limbah (buangan), berbeda-beda tergantung pada jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun menuju kondisi asam. Hal ini karena bertambahnya bahan-bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian (Kristanto, 2002). d. Arus Arus air adalah faktor yang memiliki peranan penting baik pada perairan lotik maupun perairan lenthik. Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisma, gasgas terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan aliran air akan 8 Universitas Sumatera Utara 9 bervariasi secara vertikal. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen, yaitu arus air yang bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke seluruh bagian dari perairan tersebut (Barus, 2004). Kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan penyebaran organisme yang hidup di badan air tersebut. Penyebaran plankton, baik fitoplakton maupun zooplankton, paling ditentukan oleh aliran air. Selain itu, aliran air juga ikut berpengaruh terhadap kelarutan udara dan garam-garam dalam air, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme air (Suin, 2002). Kecepatan arus yang tinggi dapat menyebabkan pencacahan yang tinggi bagi makrozoobenthos (Silaban, 2011). Kecepatan arus air permukaan tidaksama dengan air bagian bawah. Semakin ke bawah gerakan air biasanya semakin lambat dibandingkan dengan di bagian permukaan. Perbedaan kecpatan arus antar kedalaman menyebabkan bentuk antara organisme air pada kedalaman yang berbeda tidaklah sama (Suin, 2002). e. DO (Dissolved Oxygen) Dissolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting didalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen didalam air terutama sangat dipengaruhioleh faktor temperatur, dimana kelarutan maksimum terdapat pada temperatur 00C, yaitu sebesar 14,16 mg/L O2 (Barus, 2004). Oksigen terlarut sangat penting bagi pernapasan hewan benthos dan organisme-organisme akuatik lainnya menyatakan keberadaan bahwa O2 (Odum, terlarut 1993). Retnowati di dalam substrat (2003) sangat berkurang. Tingginya kandungan bahan organik dan tingginya populasi bakteri pada sedimen menyebabkan besarnya kebutuhan akan O2 terlarut. Kadar O2 terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L (Effendi, 2003). Menurut Sinambela (1994) dalam Sinaga (2009), kehidupan makrozoobenthos di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimal 2 mg/L. Menurut Setyobudiandi (1997) dalam Sitanggang (2013) kandungan oksigen 9 Universitas Sumatera Utara 10 terlarut mempengaruhi suatu perairan, semakin tinggi kadar O 2 terlarut maka jumlah dan jenis makrozoobenthos semakin besar. f. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) Pengukuran BOD didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terdapat senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Produk-produk kimiawi seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme (Barus, 2004). Nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masuk tergolong baik dimana apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai 5 ml/L O2 maka perairan tersebut tergolong baik apabila konsumsi O 2 berkisar 10 mg/L- 20 mg/L O2 akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi dan untuk air limbah nilai BOD umumnya lebih dari 100mg/L (Brower et al, 1990 dalam Setiawan, 2010). Nilai BOD5 yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya defisit oksigen, sehingga akan menggangu metabolisme makrozoobenthos (Silaban, 2011). g. Kejenuhan Oksigen Pengukuran konsentrasi oksigen, biasanya dilakukan pengukuran terhadap tinggkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak. Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu contoh air, maka disamping mengukur konsentrasi oksigen terlarut dalam mg/L (Barus, 2004). 10 Universitas Sumatera Utara