1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembentukan pasar tunggal atau sering kita sebut sebagai masyarakat ekonomi asean pada tahun 2015 ini secara tidak langsung telah membuat persaingan di beberapa sektor menjadi semakin berat, khususnya pada lima sektor yang di liberalisasi oleh kesepakatan di dalam perjanjian MEA tersebut. Lima sektor jasa yang disepakati diliberalisasi tersebut adalah jasa kesehatan, pariwisata, e-commerce, transfortasi udara, dan logistik. Kelimanya pada tahun 2015 akan bebas diperdagangkan lintas negara. Sedangkan untuk profesional, ada lima kategori yang disepakati mulai beroperasi bebas 2015, yaitu perawat, dokter, dokter gigi, akuntan, dan insinyur (www.bppk.kemenkeu.go.id). Tenaga profesional dan buruh yang melintas batas negara ini juga nantinya harus memenuhi standar yang sudah ditetapkan di ASEAN. Untuk dapat berkembang dan menghadapi persaingan tersebut sebuah perusahaan perlu untuk melakukan investasi. Melalui investasi ini perusahaan diharapkan akan bisa mengatasi persaingan duia usaha yang semakin berat. Namun dengan adanya keputusan untuk mengadakan investasi maka diperlukan dana yang dapat membelanjai investasi tersebut. Masalah pemenuhan kebutuhan untuk investasi ini tentunya sering kali menjadi masalah yang menyulitkan bagi perusahaan. Di dalam berinvestasi ini tentunya di perlukan dana yang tidak sedikit oleh karena itu perusahaan perlu untuk melakukan pencarian terhadap berbagai alternatif pendanaan. Modal merupakan salah satu faktor produksi terpenting yang digunakan oleh perusahaan untuk membiayai kegiatan operasinya. Strategi pemenuhan modal perusahaan sangat berhubungan dengan kebijakan struktur modal. Sumber modal perusahaan berasal dari dua sumber yaitu dari dalam perusahaan (internal) dan dari luar perusahaan (eksternal). Keputusan apakah modal dipenuhi dari sumber internal atau eksternal merupakan suatu keputusan yang tidak mudah. Penggunaan sumber eksternal tidak menjadi masalah selama perusahaan mengalami pertumbuhan, karena perusahaan mempunyai harapan memperoleh 1 2 laba dan arus kas yang cukup tinggi untuk menutupi kewajiban terhadap pemilik modal. Namun tidak demikian apabila perusaahaan tersebut tidak memiliki perkembangan atau pertumbuhan, maka penggunaan sumber dana yang berasal dari luar / eksternal hanya akan menambah beban dalam bentuk kewajiban untuk membayar bunga dan tidak menutup kemungkinan bahwa nantinya nilai perusahaan pun akan ikut turun. Alternatif pendanaan secara internal dapat dilakukan melalui penggunaan retained earnings atau laba ditahan. Alternatif pendanaan secara external adalah suatu alternatif pemenuhan kebutuhan perusahaan yang sumbernya berasal dari luar perusahaan, yaitu bisa melalui penerbitan saham baru ataupun melalui peminjaman hutang. Sebagiamana telah di sebutkan bahwa apabila alternatif pendanaan yang dipilih adalah melalui penerbitan saham, maka cara yang dapat di tempuh adalah harus melalui proses go public. Sebelum saham diperdagangkan di pasar sekunder (bursa efek) terlebih dahulu saham perusahaan yang go public dijual di pasar perdana (primary market) yang biasa disebut IPO (Initial Public Offering). Di dalam pasar finansial, initial public offering ( IPO ) adalah penjualan pertama saham umum sebuah perusahaan kepada investor umum. Pada saat suatu perusahaan melakukan IPO, harga jual sahamnya akan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara emiten dan penjamin emisi (underwriter), sedangkan harga yang terjadi di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar yang telah ada melalui kekuatan permintaan dan penawaran saham tersebut di pasar modal. Dalam proses go public sebelum saham diperdagangkan di pasar sekunder (bursa efek) terlebih dahulu saham perusahaan yang go public dijual di pasar perdana (primary market) yang biasa disebut IPO (Initial Public Offering). Setelah perusahaan memutuskan untuk menjadi go public ̧maka harus diawali melalui penawaran saham perdana yang disebut IPO (Initial Public Offering). Fenomena yang seringkali timbul pada saat penawaran saham perdana (Initial public offering=IPO) adalah terjadinya underpricing yang menunjukkan harga saham pada saat penawaran perdana relatif lebih rendah dibanding pada saat diperdagangkan di pasar sekunder. Selama periode 2011-2014 terdapat 102 perusahaan yang melakukan ipo. Dari 102 perusahaan tersebut terdapat 80 perusahaan yang mengalami underpricing atau sekitar 78,43% yang mengalami 3 underpricing. Jumlah tersebut tergolong cukup besar karena jumlah tersebut melebihi setengahnya dari total populasi. Underpricing terbesar dialami oleh perusahaan Siloam International Hospitals pada tahun 2013, dimana selisih harga IPO dengan harga penutupannya adalah sebesar Rp 650, perusahaan tersebut berada dalam kategori perusahaan non keuangan (www.e-bursa.com). Grafik 1.1. Grafik Rata-Rata Underpricing Selama Periode 2011-2014 UNDERPRICING 40 30 29.3 25.4 20 24.1 UNDERPRICING 15.67 10 0 2011 2012 2013 2014 Sumber Data: www.e-bursa.com Dari grafik terlihat bahwa dari tahun 2011 hingga tahun 2014 underpricing mengalami fluktuatif. Bagi emiten fenomena underpricing tersebut jelas sangat merugikan perusahaan, karena proses pengumpulan dana pada saat IPO menjadi tidak optimal. Sebaliknya, jika terjadi over pricing maka investor yang akan merugi karena mereka tidak akan menerima initial return (return awal). Fenomena inilah yang sering menyulitkan para penjamin emisi dan emiten dalam menetapkan harga awal pada saat IPO. Para pemilik perusahaan menginginkan situasi underpricing tersebut diminimalisasi, karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran dari pemilik kepada investor. Banyaknya underpricing pada perusahaan yang pertama kalinya melakukan IPO dipengaruhi oleh beberapa faktor, namun didalam penelitian ini hanya akan menguji beberapa variabel saja diantaranya adalah umur perusahaan, 4 ukuran perusahaan, reputasi underwriter, dan juga return on equity . Umur perusahaan merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan seorang investor. Semakin lama umur perusahaan, maka semakin banyak informasi yang telah diperoleh masyarakat tentang perusahaan tersebut. Grafik 1.2. Grafik Umur Perusahaan Tertinggi Selama Periode 2011-2014 Umur Perusahaan 100 80 60 40 20 0 Umur Perusahaan Sumber : Data yang diolah Grafik diatas menunjukan grafik 4 perusahaan tertinggi selama periode IPO 2011-2014. Berdasarkan grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa umur perusahaan yang tinggi tidak menjamin bahwa perusahaan tersebut tidak mengalami underpricing oleh karena itu variabel umur perusahaan dipertimbangkan untuk menjadi salah satu variabel dalam penelitian ini. Selain itu variabel umur perusahaan juga dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa perusahaan yang mempunyai umur yang lebih lama di anggap mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menyediakan informasi dan juga dinilai investor mempunyai prospek yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang baru berdiri. Dengan demikian akan mengurangi adanya informasi asimetri dan memperkecil ketidakpastian pasar yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat underpricing. Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor lainnya yang dipertimbangkan oleh investor. Ukuran perusahaan mengunakan proksi jumlah total aset sebagai penilaiannya. 5 Grafik 1.3. Grafik Ukuran Perusahaan Tertinggi Selama Periode 2011-2014 Ukuran Perusahaan 28.5 28.02 28 27.5 28.13 28.27 Ukuran Perusahaan 27.35 27 26.5 2011 2012 2013 2014 Sumber : Data yang diolah Grafik di atas menunjukan bahwa dari tahun 2011 hingga tahun 2014 pertumbuhan ukuran perusahaan yang diproksikan oleh total asset mengalami kenaikan. Variabel ukuran perusahaan dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa ketika seorang investor akan menanamkan modalnya maka salah satu faktor yang menjadi penilaiannya yaitu seberapa besar ukuran perusahaan tersebut yang bisa dilihat dari seluruh total asetnya, karena semakin besar nilai total asetnya maka akan semakin banyak pula total aset yang bisa dijaminkan bila suatu saat perusahaan tersebut tidak bisa melunasi kewajibannya. Dengan melihat seberapa banyak aset perusahaan tersebut diharapkan ini dapat menjadi sinyal bagi investor untuk bisa membedakan perusahaan yang berkualitas baik dengan perusahaan berkualitas buruk sehinnga pada akhirnya diduga akan memperkecil ketidak pastian pasar dan memperkecil tingkat underpricing. Penelitian yangdilakukan oleh Hapsari dan mahfud (2012) menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh terhadap underpricing. Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Yustisia dan Roza (2012) menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat underpricing. Underwriter adalah pihak yang membuat kontrak dengan emiten untuk melakukan penawaran umum bagi kepentingan emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa efek yang tidak terjual. Variabel Underwriter dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa underwriter ini merupakan pihak yang 6 paling banyak keterlibatannya ketika membantu suatu emiten untuk menerbitkan sahamnya. Dalam hal ini underwriter bertugas untuk memperoleh informasi lebih mengenai permintaan saham-saham emiten. Oleh karena itu, underwriter akan memanfaatkan informasi yang dimiliki untuk memperoleh kesepakatan optimal dengan emiten. Karena penentuan harga perdana saham tersebut ditentukan oleh emiten dan underwriter sebagai penjamin emisi, maka sudah selayaknya jika underwriter tersebut mempunyai peran yang besar dalam menentukan harga perdana saham. Hal ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Risqi dan Harto (2013) yang menyatakan bahwa reputasi underwriter memiliki pengaruh terhadap underpricing. Namun hal berbeda ditunjukan oleh hasil penelitian dari Saputra dan Wardoyo (2008) yang menyatakan bahwa reputasi underwriter tidak berpengaruh terhadap underpricing. Begitu juga dengan hasil peneltian dari Chastina Yolana dan Martani (2005) yang menyatakan bahwa variabel reputasi underwriter tidak berpengaruh terhadap tingkat underpricing Return On Equity (ROE) merupakan rasio profitablitas yang membandingkan antara laba bersih (net profit) perusahaan dengan aset bersihnya (ekuitas atau modal). Rasio ini mengukur berapa banyak keuntungan yang dihasilkan oleh Perusahaan dibandingkan dengan modal yang disetor oleh Pemegang Saham. Variabel ROE dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa salah satu rasio yang paling sering digunakan untuk penilaian suatu perusahaan. pengukuran ROE memberikan arti bahwa seberapa besar perusahaan dapat memanfaatkan dana atau modal yang telah didapatnya untuk bisa menghasilkan profit yang maksimal. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Hapsari dan Mahfud (2012) menyatakan bahwa variabel ROE ini memiliki pengaruh terhadap underpricing. sedangkan penelitian dari Risqi dan Harto (2013) menyatakan bahwa ROE tidak berpengaruh terhadap underpricing. Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan diatas dan juga adanya hasilhasil penelitian yang tidak konsisten mendorong peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan data dari perusahaan industri perbankan yang listed di BEI, yang melakukan IPO pada tahun 2010 sampai dengan 2014. Tujuannya adalah untuk mendapatkan penjelasan harga saham yang underpricing, 7 dengan menggunakan data-data hasil IPO terbaru. 1.2. Identifikasi Masalah Penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan IPO (Initial Public Offering) dari tahun 2010-2014 di Bursa Efek Indonesia. Karena luasnya aspek yang dibahas dari judul di atas maka diperlukan pembatasan masalah sesuai dengan metode, ruang lingkup, dan informasi yang dibutuhkan agar pembahasan masalah tersebut tidak meluas. Berdasarkan uraian di atas , masalah yang timbul diidentifikasi sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran umur perusahaan, ukuran perusahaan, reputasi underwriter, dan return on equity terhadap underpricing? 2. Bagaimana pengaruh umur perusahaan, ukuran perusahaan, reputasi underwriter, dan return on equity terhadap underpricing secara simultan? 3. Bagaimana pengaruh umur perusahaan, ukuran perusahaan, reputasi underwriter, dan return on equity terhadap underpricing secara parsial? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data-data, mencari dan mendapatkan informasi sehubungan dengan pengaruh informasi arus kas dan laba akuntansi terhadap penentuan harga saham. 1.3.2. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan diatas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui gambaran pengaruh umur perusahaan, ukuran perusahaan, reputasi underwriter, dan return on equity terhadap underpricing. 2. Untuk mengetahui pengaruh umur perusahaan, ukuran perusahaan, reputasi underwriter, dan return on equity terhadap underpricing 8 secara simultan. 3. Untuk mengetahui pengaruh umur perusahaan, ukuran perusahaan, reputasi underwriter, dan return on equity terhadap underpricing secara parsial. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi Perusahaan Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mencegah agar tidak terjadinya underpricing pada saat akan melakukan IPO 2. Bagi Investor Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk di manfaatkan oleh investor sebagai bahan pertimbangan atau referensi ketika akan mengambil keputusan untuk berinvestasi, khususnya dalam menentukan untuk berinvestasi pada saham yang baru saja memasuki pasar perdana atau IPO 3. Bagi Akademisi Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mendukung teori maupun hasil penelitian terdahulu serta dapat memberikan kontribusi terhadap pandangan baru atau wawasan baru mengenai Pengaruh Umur dan Ukuran Perusahaan, Reputasi Underwriter, Return On Equity terhadap tingkat Underpricing. 1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang berada dalam sektor yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2010-2014. Namun karena keterbatasan jarak,waktu, dan ketersediaan informasi maka pengambilan data dilakukan dengan cara pengambilan sekunder yang diperoleh dari www.yahoofinance.com, Indonesian Capital Market Directory, ww.idx.co.id. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 sampai dengan bulan Januari 2015.