INTELIGIBILITAS BAHASA INGGRIS PARA PELAJAR INDONESIA DALAM KONTEKS BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA INTERNASIONAL Yuliati Prayudias Margawati Pasca Kalisa Sri Wuli Fitriati Abstrak Meningkatnya penggunaan bahasa Inggris di dunia telah mengubah tujuan pembelajaran bahasa Inggris. Semula pembelajaran bahasa Inggris ditujukan sebagai sarana untuk dapat berkomunikasi dengan penutur aslinya sehingga kemiripan level profisiensi dengan penutur aslinya sangatlah penting. Saat ini tujuan itu telah berubah menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan sesama nonpenutur asli bahasa Inggris.Hal ini tidak lepas dari status bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Kaitannya dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi antar nonpenutur asli maka target komunikasi dalam bahasa Inggris adalah inteligibilitas atau area di mana bahasa tersebut dapat dipahami oleh setiap penuturnya. Kajian dan analisis mengenai inteligibilitas bahasa Inggris di Indonesia dirasa penting untuk dilakukan guna mengetahui keberhasilan para penutur bahasa Inggris dari Indonesia dalam berkomunikasi. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis inteligibilitas bahasa Inggris di Indonesia dengan lokasi yang terfokus di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, FBS Unnes. Metode kualitatif dengan pendekatan diskriptif analisis digunakan pada penelitian ini. Hal ini dimaksudkan agar dapat memperoleh data informasi yang komprensif melalui wawancara dan observasi langsung kepada para pengguna bahasa Inggris. Hasil penelitian menunjukkan 1) adanya penyimpangan pengucapan bahasa Inggris oleh para pelajar Indonesia pada umumnya, 2) penyimpangan ini dapat mengganggu inteligibilitas dan dapat juga tidak berpengaruh pada inteligibilitas, 3) penyimpangan pengucapan ini pada umumnya kurang disadari oleh para pengujarnya 4) kurikulum bahasa Inggris sudah sesuai dengan perkembangan pembelajaran bahasa Inggris, yaitu disesuaikan dengan kebutuhan akademis dan sosial penggunaan bahasa, namun para pelajar juga harus memperoleh dukungan dan akses apabila menginginkan bahasa Inggrisnya seperti penutur aslinya. Kata kunci: Inteligibilitas, Bahasa Inggris, Bahasa Internasional Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional Peningkatan penggunaan bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi di berbagai bidang seperti bidang perdagangan, perbankan, pendidikan, pariwisata, media dan sarana komunikasi sosial antar individu dalam kehidupan sehari-hari atau percakapan sehari-hari menjadi alasan utama kebutuhan setiap individu untuk menguasai bahasa Inggris. Kebutuhan penguasaan bahasa Inggris ini telah mengubah tujuan pembelajaran bahasa Inggris secara garis besar. Beberapa dekade yang lalu, belajar bahasa Inggris diartikan sama dengan belajar bahasa Inggris untuk dapat berkomunikasi dengan penutur asli bahasa Inggris tersebut (Kirkpatrick 2007; 2010; Jenkins 2000; 2009). Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, penggunaan bahasa Inggris semakin meningkat tajam terutama antara penutur asli bahasa Inggris dengan nonpenutur asli bahasa Inggris. Di negara-negara seperti India, Pakistan, Malaysia, Singapura, dan Bangladesh bahasa Inggris memiliki status resmi sebagai bahasa kedua setelah bahasa pertama atau bahasa Ibu pada masing-masing negara tersebut. Selain itu, masyarakat di negara-negara tersebut juga menggunakan bahasa Inggris sebagai sarana untuk berkomunikasi dalam kegiatan sehari-hari. Berlainan dengan hal ini, di negara yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa asing seperti Indonesia, Argentina, Thailand, Brazil dan China, bahasa Inggris hanya digunakan di tempat-tempat 231 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN tertentu dan hanya dipelajari di sekolah-sekolah atau lembaga pembelajaran bahasa Inggris (Kirkpatrick 2010). Dengan demikian, akses masyarakat terhadap bahasa Inggris menjadi terbatas. Pada dua kelompok negara tersebut, kebutuhan penggunaan bahasa Inggris bukan lagi untuk berkomunikasi dengan penutur aslinya, namun, lebih digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama non-penutur asli bahasa Inggris baik yang memiliki latar belakang bahasa ibu yang sama ataupun berbeda. Hal semacam ini dapat memunculkan fitur-fitur bahasa ibu muncul dan dapat mempengaruhi kelancaran dalam penguasaan bahasa Inggris. Di satu sisi, non-penutur asli bahasa Inggris ingin mempertahankan aksen bahasa ibunya, namun di sisi lain, mereka juga harus mempertahankan inteligibiltas komunikasi mereka dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, kemiripan pada penutur asli bahasa Inggris sebagai target utama pembelajaran bahasa Inggris bukan lagi hal yang utama untuk diraih dalam pembelajaran bahasa Inggris. Namun, inteligibilitas bahasa Inggris dalam berkomunikasi dengan siapapun lawan bicaranya menjadi hal yang paling penting. Dengan kata lain, selama mereka mampu menyampaikan tujuan dan maksud komunikasi kepada lawan bicaranya, dan lawan bicara mereka merespon dengan baik dan benar juga, maka komunikasi dalam bahasa Inggris dianggap telah berhasil (Jenkins 2000; McKay 2002; Kirkpatrick 2007, 2010). Perubahan pada penggunaan dan kebutuhan terhadap bahasa Inggris ini sudah semestinya diikuti dengan perubahan tujuan pembelajaran bahasa Inggris, terutama dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Hal ini karena tujuan utama pembelajaran bahasa Inggris dulunya adalah untuk mencapai level profisiensi yang sama dengan penutur asli bahasa Inggris sedangkan ruang dan waktu untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan penutur asli bahasa Inggris sangat terbatas. Orang-orang di Indonesia, misalnya, menggunakan bahasa Inggris hanya pada saat di sekolah, di kantor atau perusahaan asing, di konferensi atau seminar internasional, dan pada saat mereka bertemu dengan orang yang memiliki bahasa ibu berbeda dengan mereka. Oleh sebab itu, kemungkinan munculnya kesalahan-kesalahan bahasa seperti kesalahan di bagian pengucapan, linguistik, dan tata bahasa sangatlah tinggi (Alip 2004; 2007). Penelitian ini dimaksudkan untuk meneliti dan menganalisis kesalahan-kesalahan fonologi oleh para mahasiswa di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Semarang (Unnes), terutama pada bagian simplifikasi klaster konsonan akhir. Hal ini dimaksudkan untuk dapat menemukan tingkat eligibilitas bahasa Inggris para mahasiswa dalam penguasaan dan penggunaan bahasa Inggris sebagai alat berkomunikasi terutama dalam kaitannya bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional. Dasar yang digunakan oleh peneliti dalam menganalisi dan meneliti inteligibilitas bahasa Inggris para mahasiswa ini adalah Lingua Franca Core yang dikemukakan oleh Jennifer Jenkins (1998). Lingua Franca Core merupakan dasar-dasar fitur bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional. Penguasaan Bahasa Inggris Orang Indonesia Pada Umumnya Perkembangan bahasa Inggris di Indonesia yang signifikan menjadi faktor pendukung penggunaan bahasa Inggris untuk komunikasi sehari-hari meskipun masih terbatas pada tempattempat tertentu saja. Mengingat posisinya sebagai bahasa asing di Indonesia, tidaklah mengherankan jika terdapat ketidaksesuaian pengucapan, linguistik, ataupun tata bahasa Inggris yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Ketidasesuaian terutama pada bagian klaster konsonan seperti yang ditulis oleh Alip (2007) sering sekali muncul. Klaster konsonan merupakan bagian pendukung suatu suku kata. Vokal dan bunyi suku kata merupakan bagian utama dari suku kata itu sendiri. Pada sebuah suku kata, konsonan dapat diletakkan di bagian awal (onset) atau akhir dari beberapa bunyi suku kata (coda). Dalam bahasa Inggris, tiga konsonan dapat berfungsi sebagai suku kata di bagian depanjika konsonan pertamanya adalah konsonan /s/, konsonan keduanya adalah konsonan /p/, /t/, atau /k/ dan konsonan ketiganya adalah salah satu dari konsonan berikut ini /l/, /r/, /w/, atau /j/. Contoh kata untuk klaster konsonan ini adalah sebagai berikut: “squeeze”, “structure”, “screw” (Alip 2007:164). 232 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN Dalam bahasa Indonesia, hanya dua konsonan yang dapat berada pada posisi depan untuk suatu kata. Selain itu, dalam Bahasa Indonesia konsonan /s/ pada posisi depan bukan merupakan sebuah komponen klaster konsonan jika konsonan berikutnya setelah konsonan /s/ ini bersifat melebur. Akibatnya, orang Indonesia akan kesulitan mengucapkan jenis kata ini. Biasanya, mereka akan menambahkan atau menyisipkan huruf vokal diantara dua konsonan ini yang disebut schwa (Alip 2007: 164). Sebagai contohnya kata stamp cenderung dibaca /sətæmp/ dan bukan / stæmp/. Namun demikian, pada posisi tertentu dua jenis konsonan yang muncul bersamaan bukanlah masalah untuk diucapkan oleh orang Indonesia meskipun pada posisi-posisi yang sama dua konsonan lain yang muncul bersamaan bermasalah untuk diucapkan oleh orang Indonesia. Contoh dari hal ini adalah pengucapan kata sleek dan track bukanlah suatu masalah bagi orang Indonesia. Namun, susunan dua konsonan di awal kata untuk konsonan /sk/ dan /st/ seringnya diucapkan secara kurang tepat oleh orang Indonesia. Sebagai akibatnya, mereka sering mengucapkan kata still dan school dengan dua suku kata (Alip 2007: 164). Hampir sama dengan diskusi sebelumnya tentang klaster konsonan di posisi awal suatu kata, dalam bahasa Inggris terdapat klaster konsonan dengan posisi di akhir kata terutama kata-kata yang berkaitan dengan bentuk jamak dan bentuk lampau. Sebagai contohnya adalah penggunaan konsonan /s/ atau /z/ di akhir kata untuk menunjukkan bentuk jamak dan konsonan /t/ atau /d/ untuk menunjukkan bentuk lampau. Jenis klaster konsonan akhir merupakan hal yang sulit untuk diucapkan oleh sebagian besar orang Indonesia. Akibatnya, bentuk jamak dan lampau sering tidak dapat ditunjukkan dalam pengucapannya. Orang Indonesia mungkin dapat menggunakan akhiran dengan baik pada saat menulis. Namun, akhiran yang berupa klaster konsonan akhir jarang sekali diucapkan. Oleh sebab itu, meskipun akhiran dari suatu kata yang berbentuk klaster konsonan bukanlah hal yang sulit, namun dalam berbicara atau pengucapan klaster konsonan akhir sering kali menjadi hal yang tidak mudah untuk ditampilkan oleh orang Indonesia (Alip 2007: 164).. Dalam bahasa Inggris, klaster konsonan akhir bisa muncul hingga lima konsonan (Giegerich 1992: 167). Hal ini dapat menjadi suatu masalah bagi orang Indonesia untuk diucapkan dengan benar. Contohnya adalah kata contexts dan wasps. Masing-masing kata tersebut harus diucapkan dengan strategi yang berbeda dengan pengucapan klaster konsonan di posisi awal kata oleh orang Indonesia. Strategi yang mereka lakukan cenderung dengan cara menghapus konsonan di bagian akhirnya, sehingga pengucapan dua kata tersebut menjadi /kƆntek/ and /wƆs/ (Alip 2007: 165). Ketidaksesuaian pengucapan klaster konsonan dapat dikategorikan sebagai ketidaksesuaian fonologi atau phonological errors yang dapat menyebabkan pengucapan bahasa Inggris mereka menjadi rendah inteligibilitasnya (Collin and Mees 2003: 186). Oleh sebab itu, ketidaksesuaian ini perlu mendapat perhatian dan perlakuan khusus dari para guru atau pengajar bahasa Inggris untuk menjadi solusi sehingga bahasa Inggris orang Indonesia bisa menjadi lebih inteligibel. Analisis tentang klaster konsonan akhir ini menjadi fokus utama dalam penelitian ini dengan objek penelitian mahasiswa pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris yang kemungkinan besar juga memiliki kecenderungan yang sama denga orang Indonesia lainnya pada umumnya. Inteligibilitas dalam bahasa Inggris Inteligibilitas berkaitan dengan komprehensibilitas dan interpretabilitas terhadap sesuatu. Smith (1992) membatasi definisi inteligibilitas sebagai kemampuan to menyadari atau mengidentifikasi kata sedang komprehensibilitas merupakan kemampuan untuk memahami makna atau arti literal dan interpretabilitas kurang lebihnya berkaitan dengan kemampuan untuk mengutarakan makna suatu diskursus (Smith 1992). Munro et al (2006) mendefinisikan inteligibilitas sebagai suatu batasan area di mana suatu ujaran atau kata-kata dapat dipahami. Mereka menekankan pentingnya pembedaan antara inteligibilitas dan 233 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN komprehensibilitas yaitu pada bagian kemampuan lawan bicara untuk memprediksi kesulitankesulitan dalam pengungkapan ujaran atau kata-kata. Beberapa faktor yang mempengaruhi inteligibilitas diantaranya adalah tingkat kompetensi atau profisiensi bahasa (Pihko, 1997 dalam Sajavaara dan Dufva, 2001), kedekatan interpesonal antar penutur (Smith, 1992), usia dan kedewasaan para penutur (Burda 2000 dalam Shah et al 2005), respon terhadap gerak tubuh setiap penutur (Rubin, 1992 dalam Derwing dan Munro 2005), serta beberapa faktor sosiolinguistik lainnya seperti dialek, aksen, dan budaya. Yang menekankan bahwa bahasa Inggris non-standar yang ditunjukkan oleh seorang penutur dapat dianggap sebagai sumber dari ketidaksesuaian bahasa Inggris yang akibatnya mengurangi inteligibilitasnya (Yang, 2004). Dalam penelitian ini, faktor-faktor penyebab terjadinya ketidaksesuaian pengucapan yang mempengaruhi inteligibilitas bahasa Inggris mahasiswa Jurusan Bahasa dan Satra Inggris menjadi fokus utama. Faktor-faktor tersebut akan dianalisis oleh peneliti sehingga dapat dihasilkan suatu temuan dan solusi untuk permasalahan inteligibilitas tersebut. Bagaimanakah kecenderungan para mahasiswa di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris melakukan simplifikasi klaster konsonan akhir ? Perkembangan bahasa Inggris di Indonesia telah mempromosikan penggunaan bahasa Inggris dalam komunikasi sehari-hari meskipun masih dalam bidang tertentu. Karena bahasa Inggris hanya sebagai bahasa asing, tidak dapat dihindari bahwa ada beberapa penyimpangan yang dihasilkan oleh penutur bahasa Inggris Indonesia dalam beberapa tingkat linguistik dan fonologi. Di antara penyimpangan tersebut, sebagian besar mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris melakukan beberapa penyimpangan seperti tersebut di bawah ini: 1. Penyimpangan Segmental Penyimpangan fonologis dapat terjadi di antara segmen suara individu. Jenis-jenis penyimpangan berupa "substitusi dan konvergensi" (Alip 2007:161). Dalam kasussubstitusi, suara biasanya diganti dengan yang lain, misalnya/f/oleh/p/seperti dalamkata surfing. Contoh lain adalah"substitusi /ð/olehnasalised alveolar voiceless stops "(Alip 2007:161). Dalam kasus konvergensi, suara berbeda bias datang bersama-sama untuk membuat satu suara, misalnya suara /s/ dan /ʃ/ cenderung diucapkan atau diproduksi sebagai/s/oleh mahasiswa di jurusan bahasa dan sastra Inggris. Suara hampir tidak mungkin untuk diganti dengan suara yang lain jika mereka tidak memiliki ciri-ciri fonetis serupa. Misalnya, suara / ð / tidak pernah diganti oleh / k /. Alip menambahkan bahwa substitusi dapat terjadi jika dua suara memiliki minimal satu kesamaan atau mirip (2007: 161). Dengan demikian, suara / s / lebih berpotensi dan memungkinkan untuk mengganti suara / ʃ / dari / z / karena / s / memiliki fitur yang lebih umum bukan hanya karena cara artikulasi (bunyi desah), tetapi juga karena menyuarakan karakteristik atau fitur (Alip 2007: 161). Penjelasan ini juga terjadi pada sebagian besar mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Unnes. Daftar fonologis lain yang terjadi pada mahasiswa di jurusan bahasa dan sastra Inggris antara lain: "masalah dalam memproduksi Lenis akhir (konsonan yang diproduksi dengan sedikit energi), aspiration, the labial consonants /f, v, w/, the dental fricative consonants /θ, ð/, the palato-alveolar fricatives /ʃ, ʒ/, and the front high vowels /ɪ, i:/. Selain itu, gugus konsonan, tekanan (stress) kata serta irama juga dianggap sebagai penyebab potensial kesulitan untuk para mahasiswa di jurusan bahasa dan sastra Inggris. Dikatakan bahwa ".... gugus konsonan dan stres dan irama sebagai sumber potensial kesalahan untuk penutur bahasa Indonesia pada umumnya ...." (Collins dan Mees 2003 di Alip 2007: 161). 234 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN 2. Fortis Akhir /Lenis Kontras final fortis (konsonan yang diproduksidenganlebih banyak energiartikulasi) atau Lenis dikaitkan dengan energy artikulasi yang menyebabkan suara yang berbeda, meskipun tempat dan cara artikulasi sama (Collins dan Mees2003:49). Beberapa contoh untuk kontras fortis/ Lenis konsonan final /k/ dan /g/ dan /s/ dan /z/. Kedua konsonan/k/dan/g/memiliki tempat yang sama artikulasi (velar) dan cara artikulasi(plosif) tetapi suara mereka berbeda satu sama lain. Hal yang sama berlaku untuk konsonan/s/dan/z/-keduanya disebut frikatifalveolar tetapi suara mereka yang berbeda. Suara Fortis berasal dari energy artikulasi kuat, sementara itu suara Lenis berasal dari energi artikulasi lemah dan mereka sering disebut seperti menyuarakan suara(Collins dan Mees2003:49-50). Di dalam Bahasa Indonesia, perbedaan konsonan akhirfortis/ Lenistidak bisa terlihat atau diamati (Alip 2007). Ketika orang Indonesia mengucapkan kata babad [kata benda] yang berartinarasi sejarah dan Babat [kata kerja] yang berarti untuk mengurangi, tampaknya tidak ada perbedaan antara suara akhir/d/dan/t/. Contoh lain, suara akhir/b/dalam kata sebab (berarti menyebabkan) diucapkan sebagai/p/, bukan /b/(Alip 2007:162) Fenomena ini tentu tidak menyebabkan masalah dalam berkomunikasi, berbeda dalam bahasa Inggris. Fortis/lenis dianggap salah satu kesalahan yang dapat menyebabkan ucapan seseorang menjadi kurang dimengerti oleh orang lain (Collins danMees2003:186). 3. MasalahAspirasi Bahasa Indonesia tidak memiliki palato-alveolar frikatif (Lapoliwa 1981: 12diAlip2007:163). Konsonan /ʃ/ (the voicelesspalato-alveolar fricative) ada dalam Bahasa Indonesia sebagai katayang dipinjam dari bahasa Arab. Selain itu,konsonan /ʃ/ biasanya diucapkan sebagai/s/. Dengan demikian, kata-kata seperti"fish" /fɪʃ/cenderung diucapkan sebagai /fis/ dan kata "measure" /meʒə/ cenderung diucapkan sebagai/mesə/. Pelajar Indonesia dari bahasa Inggris umumnya akan mengalami kesulitan ketika mereka menghadapi konsonan tersebut (Alip 2007:163). Kesulitan ini juga ditemukan pada mahasiswa di jurusan bahasa dan sastra Inggris. Mereka mengalami kecenderungan pengucapan konsonan /ʃ/ biasanyadiucapkan sebagai/s/ dan kata-kata seperti"fish" /fɪʃ/cenderung diucapkan sebagai/fis/dankata "measure" /meʒə/cenderung diucapkan sebagai/mesə/. Seberapa besarkah simplifikasi klaster konsonan akhir yang diucapkan oleh mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris itu mempengaruhi inteligibilitas komunikasi mereka dalam bahasa Inggris? 1. Masalah klaster konsonan Gugus konsonan dianggap bagian perifer dari suku kata. Suara vokal adalah bagian utama dari suku kata. Dalam suku kata, konsonan dapat diletakkan baik di depan (onset) atau setelah beberapa suara suku kata (coda). Bahasa Inggris memungkinkan pengucapan tiga konsonan yang berfungsi sebagai suku kata awal jika konsonan pertama adalah / s /, yang kedua adalah salah satu konsonan / p /, / t /, atau / k / dan konsonan ketiga adalah salah satu "aproksiman / l /, / r /, / w /, atau / j / ". Contoh katakata ini adalah "squeeze", "structure", "screw" (Alip 2007: 164). Bagaimanapun juga, Bahasa Indonesia memungkinkan dua konsonan dalam situasi atau posisi onset. Selain itu, dalam Bahasa Indonesia, / s / dalam posisi awal bukan merupakan komponen dari klaster konsonan kecuali konsonan berikutnya setelah itu adalah konsonan yang likuid. Akibatnya, orang Indonesia mungkin menemukan beberapa kesulitan dalam mengucapkan jenis-jenis kata. Biasanya, 235 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN mereka menambahkan atau menyisipkan suara vokal antara dua konsonan atau suara epenthetic yang disebut suara "schwa" (Alip 2007: 164). Misalnya kata ―stamp‖ dapat diucapkan sebagai / sətæmp / bukan / stæmp /. Namun, Bahasa Indonesia memungkinkan konsonan ganda dalam urutan tertentu tetapi urutan lain dari konsonan ganda tidak diperbolehkan. Contoh kata-kata "sleek" dan "track" tidak bermasalah sama sekali untuk orang Indonesia. Bahasa Inggris memperbolehkan kedua jenis klaster tersebut. Akibatnya, orang Indonesia cenderung mengucapkan kata-kata "school" dan "still" dalam dua suku kata. Namun, beruntungnya hal ini tidak terjadi pada para mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unnes dalam penelitian ini pada khususnya. Seperti dalam pembahasan sebelumnya tentang gugus konsonan dalam posisi awal, bahasa Inggris memperbolehkan gugus konsonan akhir, khususnya yang berhubungan dengan bentuk jamak dan bentuk lampau. Misalnya penggunaan akhir / s / atau / z / yang menunjukkan bentuk jamak dan / t / atau / d / untuk menunjukkan bentuk lampau. Jenis gugus konsonan ini sulit diucapkan oleh orang Indonesia pada umumnya. Orang Indonesia kadang-kadang mengalami kesulitan yang beragam untuk mengucapkan kata-kata itu dengan benar meskipun mereka mungkin menyadari bahwa beberapa sufiks diperlukan untuk menunjukkan bentuk jamak dan bentuk lampau. ―...This type of final consonant cluster is a problem for many speakers of Indonesian. As a result, the plural or tense marker is often absent in their speech. Indonesians might be aware that the suffixes are needed and in their mental words they might appear, but the suffixes might fail to appear in their spoken language. Thus, while in the written language suffixes might not be a serious problem, they are so when English is spoken...” (Alip 2007: 164). "... Jenis konsonan klaster akhir merupakan masalah bagi orang Indonesia. Akibatnya, bentuk jamak atau tense seringkali absen dalam pengucapan. Orang Indonesia mungkin menyadari bahwa sufiks diperlukan dalam kata mereka dan mungkin tampak, tetapi akhiran jarang untuk dipakai dalam bahasa mereka. Dalam bahasa tertulis akhiran mungkin tidak menjadi masalah serius, masalah ini jadi serius ketika mereka menggunakan bahasa Inggris secara lisan ... "(Alip 2007: 164). 2. Klaster Konsonan Akhir Orang Indonesia Penelitian telah menunjukkan bahwa untuk pelajar Indonesia, gugus konsonan sulit untuk diucapkan. Penelitian lebih lanjut menjelaskan bahwa kesulitan ini sebagian besar disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik dan sifat antara bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan jenis struktur konsonan atau klaster yang digunakan. Bahasa Inggris memungkinkan beberapa klaster yang terdiri dari beberapa konsonan (Alip 2007) sedangkan Bahasa Indonesia memungkinkan gugus konsonan yang sangat terbatas. Bahasa Indonesia dikenal mudah dalam hal pola komposisi suku katanya (konsonan vokal / CV) dan tidak menggunakan gugus konsonan pada posisi akhir dari sebuah kata. Sementara itu, gugus konsonan akhir sangat umum dalam bahasa Inggris. Ini juga mencakup penggunaan beberapa coda, misalnya CC (word, east), CCC (learnt, thirst), CCCC (fourths), CCCCC (twelfths). Pada penelitian ini secara khusus mengungkapkan kesulitan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris dalam memproduksi gugus konsonan akhir. Penyederhanaan paling khas mereka lakukan ketika menghadapi kesulitan ini adalah devoicing dan menghapus beberapa fitur. Hal ini mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Matthew (2005) tentang kesalahan pengucapan oleh peserta didik Indonesia yang bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia, Gayo, dan Aceh. Gayo dan Aceh bahasa daerah yang dituturkan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia. Dia mengungkapkan bahwa 236 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN ada banyak istilah yang digunakan oleh para ahli sebelumnya untuk mengklasifikasikan kesalahan linguistik yang dibuat oleh orang Indonesia. Dia mengelompokkan kesalahan-kesalahan menjadi dua jenis; perkembangan dan pengalihan kesalahan. Kesalahan perkembangan biasanya terkait dengan proses akuisisi bahasa pertama - misalnya penghapusan konsonan akhir, devoicing gugus konsonan akhir [konsonan yang bersuara b, g, digantikan oleh p, k], over-generalisasi (mengganti satu suara dalam bahasa tertentu ke suara bahasa lain ), dan pendekatan (Matius, 2005: 30; Odlin 1989: 123). Ketika mahasiswa Jurusan Bahasa dan Satra Inggris menyederhanakan pengucapan gugus konsonan akhir, mereka lebih suka menghapus salah satu dari tiga konsonan (devoicing), dan ketika penghapusan terjadi mereka lebih suka menghapus konsonan yang nyaring. Selain itu, devoicing adalah penyederhanaan yang disukai, mereka cenderung menyederhanakan klaster konsonan yang dianggap menghambat atau sukar diucapkan. Penyederhanaan ini juga dilakukan oleh peserta didik lain dari berbagai latar belakang bahasa pertama seperti Cina, Taiwan, dan Mandarin (Matthew, 2005; Chappell, 2008). Masalah masalah universal dalam pengucapan yang terkait dengan masalah pembebasan bahasa dianalisis beberapa dekade yang lalu (Ellis, 1994: 428). Beberapa suara yang dianggap alami sulit untuk diucapkan atau artikulatif. Tarone menambahkan bahwa ada beberapa kecenderungan peserta didik untuk menggantikan beberapa artikulasi dari posisi yang sangat tinggi atau rendah dari zona artikulasi dengan yang tengah (1978). Selain itu, Odlin mencatat bahwa pada dasarnya ada beberapa korelasi antara infrequency suara dalam bahasa Inggris dan tingkat kesulitan untuk mengucapkannya, seperti suara [ð] atau [tʃ]. Fenomena linguistik lintas ini dapat menjadi bukti kesalahan pengucapan (1989: 120). Seberapa mudahkah para mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris menyadari kesalahan penggucapannya? Salah satu kesalahan yang dapat mempengaruhi tingkat kejelasan dalam komunikasi adalah penyederhanaan gugus konsonan. Mengingat sifat dari bahasa Inggris di Indonesia sebagai bahasa asing, sebagian besar peserta didik hanya akan menggunakan bahasa Inggris di kelas dan memiliki akses yang sangat terbatas untuk menggunakannya di luar ruang kelas. Dengan sifat Indonesia menjadi negara multibahasa, bahasa Inggris, bila digunakan di Indonesia, biasanya berfungsi sebagai lingua franca (Kirkpatrick 2010). Hal ini terutama karena Indonesia adalah multibahasa dan orang Indonesia belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Dalam situasi ini, menggunakan bahasa Inggris Amerika dan Inggris sebagai model dan target keberhasilan atau tujuan pembelajaran perlu dipertimbangkan (Kirkpatrick 2010: 172). Dengan kata lain, orang Indonesia tidak perlu memaksakan diri untuk menggunakan bahasa Inggris yang sesuai dengan gaya penutur monolingual bahasa Inggris asli. Tujuan mereka belajar harus untuk tujuan lingua franca atau kejelasan dan keberterimaan bahasanya dalam konteks di mana mereka berpartisipasi. ".... [Bahasa Inggris oleh peserta didik multibahasa] tidak harus diukur terhadap fonologi dan norma-norma sintaksis yang berasal dari penutur monolingual bahasa Inggris. Sebaliknya, kemampuan mereka perlu diukur terhadap keberhasilan mereka dalam menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi global ... "(Firth dan Wagner 1997, 2007 Kirkpatrick 2010: 172).. Meskipun ada beberapa kesalahan fitur fonologis oleh penutur Indonesia yang menyebabkan bahasa Inggris mereka kurang dipahami atau kurang standar, komunikasi berhasil bila ada kerja sama dan saling pengertian antara penutur. Dengan demikian, ketika kesalahpahaman atau gangguan komunikasi terjadi, dapat diperbaiki dengan menggunakan beberapa strategi komunikasi. Fitur-fitur non-standar tidak akan mempengaruhi kejelasan ketika mereka menggunakan bahasa Inggris secara langsung (Kirkpatrick 2010). Meskipun sebagian besar penutur bahasa Inggris di Indonesia memiliki berbagai bahasa ibu, bahasa-bahasa pertama umumnya berasal dari akar bahasa yang sama yaitu 237 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN bahasa Austronesia. Selain itu, posisi bahasa Indonesia sebagai lingua franca di negara ini biasanya menjadi bahasa terkuat Indonesia, yang menyebabkan bahasa daerah lebih lemah dari Bahasa Indonesia sehubungan dengan isu-isu pengalihan bahasa ketika orang Indonesia berbahasa Inggris. Dengan demikian, secara umum, penutur bahasa Inggris di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris tampaknya memiliki fitur fonologi yang sama. Hal ini merupakan situasi yang menguntungkan yang dapat membuat mahasiswa menggunakan kompetensi komunikatif dan hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan bahasa Inggris secara fungsional. Beberapa mungkin berpendapat bahwa model Inggris yang digunakan di dalam kelas tidak harus didefinisikan secara jelas oleh standar penutur aslinya asalkan mendukung siswa untuk menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi fungsional berhasil. Kemiripan dengan penutur asli sepertinya masih bisa menjadi target belajar bahasa Inggris, tetapi hanya sebagai sasaran individual dari tiap mahasiswa saja (Celce-Murcia et al 1996). Bagaimana fitur fonologi klaster konsonan akhir ini sebaiknya disikapi dalam kurikulum bahasa Inggris di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris? Pada bagian ini pembahasan difokuskan pada implikasi dari klaster konsonan akhir oleh pelajar Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris dan penyikapannya. Hal ini penting karena kebijakan bahasa Inggris akan menentukan pelaksanaan Pengajaran Bahasa Inggris. Bahkan, untuk pelajar bahasa Inggris di negara yang menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, pengajaran Bahasa Inggris tampaknya menjadi sumber utama para pelajar bahasa Inggris untuk memperoleh akses bahasa Inggris. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa Inggris di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris menitikberatkan pada: 1. Tujuan Belajar Bahasa Inggris? Paradigma lama menitikberatkan tujuan tradisional belajar bahasa Inggris untuk mencapai kompetensi bahasa Inggris penutur asli. Dengan demikian, bahasa peserta didik selalu diukur terhadap norma penutur asli. Ketika kemampuan bahasa Inggris mereka tidak memenuhi norma-norma penutur asli, itu dianggap kurang. Pandangan ini telah ditentang oleh banyak ahli. Firth dan Wagner (1997 di Kirkpatrick 2010) berpendapat bahwa pandangan ini terlalu berfokus pada kognitif akuisisi bahasa asing dan kurang memperhatikan pandangan sosial bahasa pembelajaran sebagai praktek sosial dan fenomena. Namun, mereka menekankan bahwa meskipun norma penutur asli 'masih digunakan sebagai dasar untuk mengukur keberhasilan belajar bahasa namun tujuan pembelajaran bahasa sebaiknya tidak hanya berfokus pada kemiripan dengan penutur asli tetapi lebih pada kesuksesan berkomunikasinya. Sebuah gambaran yang lebih baru dari perbedaan antara akuisisi bahasa asing berbasis kognitif dan pembelajaran bahasa asing berbasis sosial budaya ditunjukkan oleh Larsen-Freeman (2007). Mereka mengatakan bahwa para ahli kognitif melihat bahasa sebagai keadaan mental, dan konteks pembelajaran tidak membedakan proses pemerolehan bahasa. Sementara itu, berbeda dengan para ahli bahasa yang berbasis pada sosial budaya yang menganggap bahasa sebagai konstruksi sosial di mana peran konteks sangat penting dalam pembelajaran bahasa. Dengan kata lain, penelitian cognitivist ini berkaitan dengan bagaimana peserta didik belajar bahasa sementara peneliti bahasa berbasis sosial lebih menekankann pada cara peserta didik menggunakan bahasa untuk berkomunikasi atau berinteraksi (Larsen-Freeman 2007: 780). Kirkpatrick (2010) menekankan bahwa non-penutur asli bahasa Inggris tidak harus diukur terhadap norma-norma penutur asli, tetapi keberhasilan mereka untuk berkomunikasi dengan bahasa Inggris dalam konteks mereka karena "norma-norma ideal dari penutur asli bahasa Inggris kurang relevan di dunia pasca-Anglophone seperti hari ini" (Kirkpatrick 2010: 157). Dengan demikian, ia mengusulkan pengajaran bahasa Inggris harus dipahami dan dilaksanakan untuk mendukung speaker multibahasa, 238 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN bukan menghambat perkembangan mereka dengan memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan speaker monolingual. Dengan demikian, keberhasilan mereka harus diukur dengan kemampuan mereka untuk menggunakan beberapa bahasa di berbagai tingkat kemahiran dan untuk berbagai tujuan dan tidak lagi diukur terhadap norma-norma penutur asli (Beacco dan Byram 2003: 8 di Kirkpatrick 2010: 157). Hal ini juga menjadi tujuan pemebelajaran bahasa Inggris di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unnes. Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kecenderungan para mahasiswa di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris melakukan simplifikasi klaster konsonan akhir adalah sebagai berikut: a. Penyimpangan Segmental Penyimpangan fonologis dapat terjadi di antara segmen suara individu. Jenis-jenis penyimpangan berupa "substitusi dan konvergensi" (Alip 2007:161). Dalam kasus substitusi, suara biasanya diganti dengan yang lain, misalnya/f/oleh/p/seperti dalam kata surfing. Contoh lain adalah "substitusi /ð/olehnasalised alveolar voiceless stops "(Alip 2007:161). b. Perbedaan pengucapan Fortis Akhir /LenisFenomena initentu tidak menyebabkan masalah dalam berkomunikasi, berbeda dalam bahasa Inggris. Fortis/lenis dianggap salah satu kesalahan yang dapat menyebabkan ucapan seseorang menjadi kurang dimengerti oleh orang lain (Collins danMees2003:186). c. Kesulitan pengucapan konsonan dengan aspirasi juga ditemukan pada mahasiswa di jurusan bahasa dan sastra Inggris. Mereka mengalami kecenderungan pengucapan konsonan /ʃ/ biasanyadiucapkan sebagai/s/ dan kata-kata seperti"fish" /fɪʃ/cenderung diucapkan sebagai/fis/dankata "measure" /meʒə/cenderung diucapkan sebagai/mesə/. d. Pada penelitian ini secara khusus mengungkapkan kesulitan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris dalam memproduksi gugus konsonan akhir. Penyederhanaan paling khas mereka lakukan ketika menghadapi kesulitan ini adalah devoicing dan menghapus beberapa fitur.Ketika mahasiswa Jurusan Bahasa dan Satra Inggris menyederhanakan pengucapan gugus konsonan akhir, mereka lebih suka menghapus salah satu dari tiga konsonan (devoicing), dan ketika penghapusan terjadi mereka lebih suka menghapus konsonan yang nyaring. Hal ini tidak begitu berpengaruh pada inteligibilitas bahasa Inggris mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Namun, bagi penutur yang bukan berlatar belakang bahasa ibu yang sama, yaitu bahasa Indonesia atau bahasa Jawa mungkin akan sedikit berbeda. Hal ini membutuhkan penelitiaan lebih lanjut. e. Meskipun ada beberapa kesalahan fitur fonologis oleh penutur Indonesia yang menyebabkan bahasa Inggris mereka kurang dipahami atau kurang standar, komunikasi berhasil bila ada kerja sama dan saling pengertian antara penutur. Dengan demikian, ketika kesalahpahaman atau gangguan komunikasi terjadi, dapat diperbaiki dengan menggunakan beberapa strategi komunikasi. Fitur-fitur non-standar tidak akan mempengaruhi kejelasan ketika mereka menggunakan bahasa Inggris secara langsung (Kirkpatrick 2010). Meskipun sebagian besar penutur bahasa Inggris di Indonesia memiliki berbagai bahasa ibu, bahasa-bahasa pertama umumnya berasal dari akar bahasa yang sama yaitu bahasa Austronesia. Selain itu, posisi bahasa Indonesia sebagai lingua franca di negara ini biasanya menjadi bahasa terkuat Indonesia, yang menyebabkan bahasa daerah lebih lemah dari Bahasa Indonesia sehubungan dengan isu-isu pengalihan bahasa ketika orang Indonesia berbahasa Inggris. Dengan demikian, secara umum, penutur bahasa Inggris di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris tampaknya memiliki fitur fonologi yang sama. Hal ini merupakan situasi yang menguntungkan yang dapat membuat mahasiswa menggunakan kompetensi komunikatif dan hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan bahasa Inggris secara fungsional. 239 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN f. Kirkpatrick (2010) menekankan bahwa non-penutur asli bahasa Inggris tidak harus diukur terhadap norma-norma penutur asli, tetapi keberhasilan mereka untuk berkomunikasi dengan bahasa Inggris dalam konteks mereka karena "norma-norma ideal dari penutur asli bahasa Inggris kurang relevan di dunia pasca-Anglophone seperti hari ini" (Kirkpatrick 2010: 157). Dengan demikian, ia mengusulkan pengajaran bahasa Inggris harus dipahami dan dilaksanakan untuk mendukung speaker multibahasa, bukan menghambat perkembangan mereka dengan memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan speaker monolingual. Dengan demikian, keberhasilan mereka harus diukur dengan kemampuan mereka untuk menggunakan beberapa bahasa di berbagai tingkat kemahiran dan untuk berbagai tujuan dan tidak lagi diukur terhadap norma-norma penutur asli (Beacco dan Byram 2003: 8 di Kirkpatrick 2010: 157). Hal ini juga menjadi tujuan pemebelajaran bahasa Inggris di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unnes. DAFTAR PUSTAKA Alip, F.B (2004) ―The Feasibility of Indonesian English‖. Article in Phenomena 8 (1):1-10 Alip, F.B (2007) ―Localization of English Phonology in the Indonesian Context.‖ Article in Phenomena, 10 (2):159-167 Collins, B. dan Mees, I. M. (2003) Practical Phonetics and Phonology: a Resource Book for Students. London: Routldege. Collins, B. dan Mees, I. M. (2008) Practical Phonetics and Phonology: a Resource Book for Students 2nd edition. London: Routldege. Derwing, T.M. dan Rossiter, M.J. (2003) ―The effects of pronunciation instruction on the accuracy, fluency and complexity of L2 accented speech.‖ Applied Language Learning, 13: 1-18. Derwing, T.M. dan Munro, M. J. (2005) ―Second Language Accent and Pronunciation Teaching: A Research-Based Approach.‖ TESOL Quarterly 39(3), 379-397 Giegerich, H. J. (1992) English Phonology. Cambridge: Cambridge University Press. Jenkins, J. (1998) ―Which Pronunciation Norms and Models for English as an International Language?‖ ELT Journal 52(2): 119-126 Jenkins, J. (2000) The Phonology of English as an International Language. Oxford: Oxford University Press. Jenkins, J., Modiano, M., dan Seidlhofer, B. (2001). ―Euro-English‖. English Today, 17, 13-19. Jenkins, J. (2002). ―A Sociolinguistically based, empirically researched pronunciation syllabus for English as an International Language‖. Applied Linguistics 23 (1): 83-103 Jenkins, J. (2003) World Englishes. A resource Book for Students. London: Routledge Jenkins, J. (2006). ―Current perspectives on teaching World Englishes and English as a Lingua Franca.‖ TESOL Quarterly 40(1): 157-181. Jenkins, J. (2007) English as a Lingua Franca: Attitude and Identity. Oxford: Oxford University Press Jenkins, J. (2009) World Englishes: A Resource Book for Students (2nd Edition). London: Routledge Kirkpatrick, A. (2007) World Englishes: Implications for International Communication and English Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press 240