2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Seluang (Rasbora argyrotaenia) Ikan seluang merupakan ikan khas perairan rawa, walaupun sebagian kecil lainnya dapat ditemukan pula di daerah aliran sungai. Penyebaran ikan seluang meliputi wilayah Afrika dan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam (Priyono 2011). Ikan seluang yang termasuk dalam Genus Rasbora spp. ini terdiri dari sekitar 70 spesies, salah satunya ialah Rasbora argyrotaenia. Klasifikasi ikan seluang (Rasbora argyrotaenia) (Bleeker 1850 diacu dalam Fishbase 2010) ialah sebagai berikut. Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Actynopterygii Sub Kelas : Neopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Rasbora Spesies : Rasbora argyrotaenia Gambar 1 Ikan seluang (Rasbora argyrotaenia) (Sumber : www.fishbase.us) Ikan seluang memiliki ciri morfologi berupa bentuk tubuh yang pipih, bersisik tipis, berwarna putih kekuningan dan mempunyai sepasang mata jernih, pada beberapa spesies terdapat garis kehitaman di bagian tengah badan. Ikan ini banyak ditemukan di sungai berair jernih dan rawa, biasanya ikan seluang memakan zooplankton, serangga, cacing tanah dan crustacea. Ikan seluang hidup 4 berkoloni dan bergerak bebas di permukaan air, namun ketika suhu air naik terutama pada musim kemarau, ikan seluang tidak berada pada permukaan air karena tidak tahan terhadap peningkatan suhu air. Sejumlah spesies ikan seluang dapat dijadikan ikan hias karena keindahan warnanya (Sobri 2008). Kisaran pH pada habitat ikan seluang ialah sebesar 6,0-7,5. Panjang maksimum tubuh ikan seluang dewasa ialah 14cm. Ikan betina dewasa biasanya berperut bulat dan berukuran sedikit lebih besar dari jantan. Ikan seluang berkembang biak seperti ikan cyprinid lain pada umumnya, dimana setelah pemijahan telur yang dihasilkan tersebut akan ditinggalkan oleh induk seluang (Duffill 2007). Ikan seluang (Rasbora argyrotaenia) merupakan jenis ikan seluang yang jarang dimanfaatkan sebagai ornamental fish. Ikan jenis ini juga tidak tersedia secara teratur dalam dunia perdagangan. Ikan seluang memiliki daerah distribusi yang luas. Ikan seluang tersebar dari sungai Mekong dan sungai Chao Phraya serta Mae Klong di bagian barat Thailand. Selain itu, ikan ini juga banyak ditemukan di Kamboja, Semenanjung Malaysia dan Cina. Distribusinya meluas lebih lanjut ke arah selatan Filipina dan Kepulauan Sunda termasuk bagian dari Malaysia, Indonesia dan Brunei Darussalam. Ikan dapat bervariasi dalam warna dan polanya tergantung pada wilayah hidupnya masing-masing (Duffill 2007). 2.2 Fermentasi Ikan Pengolahan ikan dengan cara fermentasi merupakan cara pengawetan tradisional di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, dimana prosesnya relatif mudah dan murah (Rahayu et al. 1992). Fermentasi adalah proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerobik, yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi terutama adalah karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu (Fardiaz 1992). Adanya bakteri fermentasi tersebut tidak hanya memberikan rasa yang khas pada produk perikanan, tetapi juga membuat produk tahan terhadap pembusukan dan perkembangbiakan bakteri yang merugikan (Rose 1982 diacu dalam Fauzan 2009). Hal tersebut dikarenakan selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida, kemudian asam-asam amino akan terurai lebih lanjut menjadi 5 komponen-komponen lain yang berperan dalam membentuk citarasa produk (Adawyah 2007). Perubahan kimia dalam bahan pangan terjadi dalam proses fermentasi yang disebabkan oleh aktivitas enzim. Enzim yang berperan tersebut dapat dihasilkan oleh mikroorganisme atau telah ada dalam bahan pangan. Fermentasi ikan dibedakan menjadi empat golongan berdasarkan prosesnya, yaitu fermentasi menggunakan kadar garam tinggi, asam organik, asam mineral dan fermentasi dengan menggunakan bakteri asam laktat (Rahayu et al. 1992). Fermentasi asam laktat dapat terjadi sebagai akibat aktivitas bakteri asam laktat yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu bakteri asam laktat homofermentatif dan heterofermentatif (Adawyah 2007). Penggunaan bakteri asam laktat dalam proses fermentasi merupakan cara yang relatif mudah, murah dan aman. Bakteri tersebut dapat dirangsang pertumbuhannya dengan melakukan penambahan sumber karbohidrat dan garam dalam jumlah yang optimum pada kondisi anaerobik. Fermentasi tersebut hanya dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba pada substrat organik yang sesuai. Peranan substrat yang terpenting adalah sebagai sumber energi bagi metabolisme sel, sebagai bahan pembentuk sel dan produk metabolisme (Rachman 1989 diacu dalam Fauzan 2009). 2.3 Bekasam Bekasam adalah produk ikan fermentasi tradisional yang pada awalnya diolah oleh penduduk yang bermukim di Muara Sungai Bengawan Solo dan Surabaya, tetapi kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Produk tersebut di Kalimantan Tengah disebut dengan wadi (Moeljanto 1992). Bekasam pada umumnya berasal dari ikan air tawar atau payau. Pada dasarnya, semua ikan air tawar dapat diolah menjadi bekasam, tetapi setiap daerah mempunyai pertimbangan tersendiri dalam memilih jenis ikan air tawar yang digunakan sebagai bahan mentah. Ikan yang telah umum digunakan untuk pengolahan bekasam adalah ikan lele, ikan mas, bader, nila dan mujair (Afrianto dan Liviawaty 1989). Pembuatan bekasam pada prinsipnya terdiri atas tiga tahap, yaitu proses penggaraman, penambahan karbohidrat dan dilanjutkan dengan fermentasi. Pengolahan bekasam dilakukan dengan menambahkan sumber karbohidrat dalam 6 kondisi anaerobik. Karbohidrat didekomposisi melalui proses fermentasi menjadi gula-gula sederhana dan kemudian dikonversi menjadi alkohol dan asam yang berperan sebagai pengawet dan memberikan rasa dan bau spesifik pada bekasam. Dalam proses pembuatan bekasam secara tradisional pada umumnya digunakan garam untuk mencegah terjadinya pembentukan ammonia dari senyawa nitrogen dan untuk menyeleksi mikroba (Murtini 1992). Penambahan karbohidrat pada pembuatan bekasam bertujuan untuk merangsang pertumbuhan bakteri asam laktat (Rahayu et al. 1992). Proses pembuatan bekasam sampai saat ini masih dilakukan secara tradisional dengan menerapkan fermentasi spontan, yaitu bakteri yang berperan pertumbuhannya dirangsang dengan penambahan garam dan sumber karbohidrat dalam kondisi anaerobik (Winarno et al. 1973). Bekasam memiliki ciri khas rasa yang asam dan salah satu kekhasan dari produk ini adalah rasanya yang tidak terlalu asin, sehingga diharapkan dapat meningkatkan jumlah konsumsi atau intake protein yang berasal dari produk perikanan (Rahayu et al. 1992). 2.4 Penapisan Antibakteri Penapisan merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui adanya senyawa antibakteri dari BAL. Penapisan dibagi ke dalam dua metode, yakni metode penapisan secara langsung dan tidak langsung. Metode penapisan secara tidak langsung diantaranya adalah metode the spot on the lawn, dimana pada metode ini bakteri yang diduga menghasilkan senyawa antibakteri dititikkan ke dalam media agar dan diinkubasi selama 12 jam untuk menumbuhkan koloni tunggal dari bakteri tersebut. Koloni bakteri yang tumbuh tersebut kemudian dilapisi dengan media agar yang telah berisi organisme uji yang sensitif dan diinkubasi kembali untuk menghasilkan suatu zona penghambatan. Pada metode secara langsung, bakteri uji dan bakteri yang diduga menghasilkan senyawa antibakteri ditumbuhkan secara bersamaan dan efek antagonis yang ditunjukkan tergantung pada terdifusinya zat penghambat yang dihasilkan pada fase pertumbuhan dari bakteri penghasil senyawa antibakteri ke dalam media. Metode ini diantaranya ialah metode difusi sumur agar. Metode ini dilakukan dengan memasukkan supernatan dari bakteri yang diduga menghasilkan antibakteri ke 7 dalam sumur pada media agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji (DeiVuyst dan Vandamme 1994b diacu dalam Nurmalis 2008). Aktivitas penghambatan oleh senyawa antibakteri ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekeliling sumur. Zona bening tersebut terdiri atas dua macam, yaitu zona bening dengan batas tepi lingkaran yang tegas dan jelas, serta zona bening dengan tepi lingkaran yang keruh. Pada kasus senyawa antibakteri dari BAL, zona bening dengan batas tepi lingkaran yang jelas dan tegas disebabkan oleh adanya aktivitas bakteriosin, karena bakteriosin memiliki sifat single hit inactivation yang artinya satu molekul bakteriosin akan membunuh satu sel bakteri indikator. Zona bening dengan tepi lingkaran yang keruh disebabkan oleh adanya aktivitas asam. Keruhnya zona bening tersebut disebabkan semakin rendahnya konsentrasi asam yang terdapat dalam supernatan yang mengakibatkan turunnya aktivitas penghambatan terhadap bakteri uji (Ray 1996 diacu dalam Nurmalis 2008). 2.5 Bakteri Asam Laktat Bakteri yang memproduksi asam laktat termasuk ke dalam golongan bakteri Gram-positif, sebagian besar bersifat katalase negatif, tidak membentuk spora, berbentuk batang dan coccus. Golongan bakteri asam laktat ini dapat tumbuh dengan atau tanpa oksigen (Casida 1968 diacu dalam Fauzan 2009). Berdasarkan produk akhir dari metabolisme glukosa, bakteri asam laktat dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri asam laktat yang termasuk homofermentatif dapat mengubah 95 % dari glukosa atau heksosa lainnya menjadi asam laktat. Karbondioksida dan asamasam volatil lainnya juga dihasilkan, tetapi dalam jumlah sedikit. Beberapa contoh bakteri asam laktat yang bersifat homofermentatif adalah Streptococcus, Pediococcus, Aerococcus dan beberapa spesies Lactobacillus. Asam laktat merupakan salah satu metabolit utama dari bakteri asam laktat. Namun pada bakteri heterofermentatif, bakteri asam laktat juga memproduksi asam asetat dan sebagian asam propionat dalam jumlah besar. Asidifikasi (pengasaman) yang diakibatkan asam organik meningkatkan aktivitas antibakterial, baik asam laktat maupun substansi inhibitor lain seperti bakteriosin 8 (Theron dan Lues 2011). Bakteri asam laktat heterofermentatif mengubah glukosa dan heksosa lainnya menjadi asam laktat, etanol, asam asetat, asam format dan CO2 dalam jumlah yang hampir sama. Beberapa contoh bakteri asam laktat heterofermentatif adalah Leuconostoc dan beberapa spesies Lactobacillus. Bakteri heterofermentatif tidak mempunyai enzim fruktosadifosfat aldolase, transaldolase dan transketolase yang berperan dalam tahap glikolisis. Bakteri homofermentatif dapat menghasilkan energi sebesar dua kali energi yang dihasilkan oleh bakteri heterofermentatif dari sejumlah substrat yang sama (Fardiaz 1988). Bakteri asam laktat yang banyak terdapat pada bekasam adalah Lactobacillus coryneformis, Lactobacillus spp., Lactobacillus spp., Pediococcus sp., Lactobacillus coryneformis dan Pediococcus damnosus (Sugiyono et al. 1999). Bakteri asam laktat dapat mengubah karbohidrat menjadi asam laktat dalam kondisi anaerob dan proses ini dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pada tahap awal, zat pati dari sumber karbohidrat akan dihidrolisa menjadi maltosa oleh α dan β amilase yang merupakan enzim ekstraseluler pada mikroorganisme, kemudian molekul maltosa ini akan dipecah menjadi glukosa oleh maltase dan pada tahap terakhir bakteri asam laktat akan mengubah glukosa menjadi asam laktat dan sejumlah kecil bahan lain seperti asam asetat, asam propionate dan etanol (Fardiaz 1988). Sejauh ini telah diketahui bahwa keberadaan bakteri asam laktat tidak bersifat patogen dan aman bagi kesehatan sehingga sering digunakan dalam industri pengawetan makanan, minuman dan berpotensi sebagai produk probiotik. Beberapa kriteria penting untuk karakter fisiologi yang merupakan seleksi kelayakan bakteri sebagai produk probiotik antara lain uji pertumbuhan/resistensi bakteri probiotik pada pH rendah (Hardiningsih et al. 2005). BAL dapat berfungsi sebagai pengawet makanan karena mampu memproduksi asam organik, menurunkan pH lingkungannya dan mengeksresikan senyawa yang mampu menghambat mikroorganisme patogen seperti H2O2, diasetil, CO2, asetaldehid, d-isomer asam-asam amino dan bakteriosin (Hardy 1975 diacu dalam Kusmiati dan Malik 2002). 9 2.6 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat Proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh adanya pertumbuhan bakteri asam laktat. Oleh karena itu, perlu dibuat kondisi yang ideal bagi pertumbuhan bakteri tersebut. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri asam laktat antara lain adalah suhu, nilai pH, kadar garam dan karbohidrat. Suhu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan juga pembentukan produk oleh mikroba. Hal ini berhubungan dengan jenis mikroba yang dominan selama fermentasi (Fardiaz 1988). Berdasarkan suhu (minimum, optimum dan maksimum) untuk pertumbuhannya mikroba dibedakan atas tiga grup, yakni psikrofilik, mesofilik dan termofilik. Nilai pH medium merupakan salah satu parameter penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Bakteri pada umumnya tumbuh dengan baik pada pH sekitar 6,5-7,5. Bakteri yang berperan dalam fermentasi silase adalah bakteri asam laktat. Perubahan pH selama proses fermentasi terjadi karena asam yang dihasilkan. Nilai pH optimum untuk pertumbuhan bakteri asam laktat adalah 3-8 (Djakffar et al. 1996 diacu dalam Nur 2005). Bakteri asam laktat juga mampu mempertahankan pH sitoplasma lebih alkali daripada pH ekstraseluler (Hutkins dan Nannen 1993 diacu dalam Hardiningsih et al. 2005). Asam laktat yang dihasilkan akan menurunkan nilai pH pada lingkungan pertumbuhannya. Menurut Hardiningsih et al. (2005), bakteri asam laktat mempunyai toleransi pH dengan rentang yang luas. Garam sering digunakan dalam proses fermentasi ikan. Pada umumnya jumlah garam yang ditambahkan dalam pembuatan bekasam berkisar antara 15-20 % dari berat ikan segar (Murtini 1992). Kebutuhan garam untuk pertumbuhan optimum mikroorganisme bervariasi, tergantung dari sifat dinding sel dan tekanan osmotik internalnya (Fardiaz 1992). Karbohidrat merupakan sumber energi bagi bakteri asam laktat. Penambahan karbohidrat akan membuat lingkungan yang baik bagi pertumbuhan bakteri tersebut. Selama fermentasi, karbohidrat akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang sederhana seperti asam laktat, asam asetat, asam propionat dan etil alkohol. Senyawa-senyawa ini yang meyebabkan rasa asam pada produk dan dapat berfungsi sebagai pengawet (Rahayu et al. 1992). 10 2.7 Senyawa Antibakteri Senyawa antibakteri pada bakteri asam laktat memiliki potensi sebagai bahan pengawet makanan. Bakteri asam laktat menghasilkan senyawa-senyawa tertentu selain asam laktat dan asam asetat (asam organik) yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain. Senyawa-senyawa tersebut diantaranya H2O2, diasetil dan bakteriosin dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan dengan produksi asam organik (Daeschel 1983 diacu dalam Kusmiati dan Malik 2002). 2.7.1 Asam laktat Asam laktat merupakan molekul yang larut dalam air. Mekanisme antimikroba asam laktat berdasarkan pada teori chemiosmotic dan pH homeostasis. Ketika asam laktat yang diproduksi disekresikan ke lingkungan, beberapa molekul terdisosiasi menjadi H+ dan anion, sementara yang lain tidak terdisosiasi. Salah satu faktor yang berperanan terhadap terdisosiasi atau tidaknya suatu molekul adalah pH lingkungan dan pK (tetapan keseimbangan). Hal ini menyebabkan peningkatan proton transmembran yang pada akhirnya menyebabkan gradien proton. Perbedaan ini menyebabkan proton lebih cepat masuk ke dalam sel sehingga meningkatkan kebutuhan energi untuk mempertahankan pH alkali dalam sel (Ray 1992). Aktivitas antibakteri dari asam laktat selain memaksa zat antibakteri lain masuk, juga memiliki perannya tersendiri. Asam yang masuk melalui plasma membran sel akan terdisosiasi menjadi kation dan anion toksik. Membran sel akan luruh dan menyebabkan transportasi sel terganggu. Selain itu aktivitas air bebas (water activity) dan metabolisme sel seperti glikolisis juga akan terganggu (Theron dan Lues 2011). Asam laktat mampu melemahkan permeabilitas bakteri Gram-negatif dengan merusak membran luar bakteri Gram-negatif. Pelindung dari permeabilitas membran luar berupa lapisan lipopolisakarida yang terletak pada permukaan membran dirusak oleh asam laktat sehingga substrat antimikroba yang lain yaitu diasetil, bakteriosin, hidrogen peroksida dan laktoperidase sistem dapat berpenetrasi ke dalam membran sitoplasma (Alokomi et al. 2000). 11 2.7.2 Diasetil Bakteri Gram-negatif lebih sensitif terhadap diasetil daripada bakteri Gram-positif. Diasetil pada 344 µg/ml dapat menghambat strain Listeria, Salmonella, Yersinia, E. coli dan Aeromonas (Jay 1982 diacu dalam Ammor et al. 2006). Diasetil diproduksi oleh strain dalam semua genera dari BAL oleh fermentasi sitrat. Diasetil menghambat pertumbuhan bakteri Gram-negatif yang bereaksi dengan pemanfaatan arginin (Jay 1986 diacu dalam Ammor et al. 2006). 2.7.3 Karbon dioksida (CO2) Karbon dioksida diproduksi terutama oleh BAL heterofermentatif. Karbon dioksida memainkan peranan penting dalam membuat lingkungan anaerobik yang menghambat enzimatik dekarboksilase, dan akumulasi CO 2 membran lipid bilayer dapat menyebabkan disfungsi permeabilitas (Eklund 1984 diacu dalam Ammor et al. 2006). Karbon dioksida secara efektif dapat menghambat banyak mikroorganisme perusak makanan, terutama bakteri psikrotropik Gram-negatif (Farber 1991 diacu dalam Ammor et al. 2006). 2.7.4 Hidrogen peroksida (H2O2) Hidrogen peroksida merupakan prekursor untuk produksi bakterisidal radikal bebas seperti superoksida (O2-) dan radikal hidroksil (OH-) yang dapat merusak DNA (Byczkowski dan Gessner 1988 diacu dalam Ammor et al. 2006). Hidrogen peroksida diproduksi oleh bakteri asam laktat sebagai hasil dari aksi flavoprotein oksidase atau nikotinamida adenine dinukleotida (NADH) peroksidase. Efek antimikroba dari H2O2 adalah hasil dari oksidasi grup sulfhydryl yang menyebabkan denaturasi sejumlah enzim, dan dari peroksidase membran lipid meningkatkan permeabilitas membran (Kong dan Davison 1980 diacu dalam Ammor et al. 2006). 2.7.5. Bakteriosin Bakteriosin adalah senyawa protein yang dieksresikan oleh bakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri lain terutama yang memiliki kekerabatan erat secara filogenik (Hardy 1975 diacu dalam Kusmiati dan Malik 2002). Mekanisme aktivitas bakterisidal bakteriosin adalah sebagai berikut: (1) molekul bakteriosin kontak langsung dengan membran sel, (2) proses kontak ini mampu mengganggu potensial membran berupa destabilitas membran sitoplasma 12 sehingga sel menjadi tidak kuat, dan (3) ketidakstabilan membran mampu memberikan dampak pembentukan lubang atau pori pada membran sel melalui proses gangguan terhadap PMF (Proton Motive Force) (Gonzalez et al. 1996 diacu dalam Usmiati 2007). Bakteriosin dapat diproduksi oleh Lactococcus, Lactobacillus dan Pediococcus yang berasal dari berbagai bahan makanan, misalnya nisin diproduksi oleh Lactococcus lactis, pediosin AcH dihasilkan Pediococcus acidilactic. Beberapa kelebihan bakteriosin sehingga potensial digunakan sebagai biopreservatif, yaitu karena bukan termasuk bahan toksik dan mudah mengalami degradasi oleh enzim proteolitik karena merupakan senyawa protein, tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim saluran pencernaan, dapat mengurangi penggunaan bahan kimia sebagai pengawet pangan, penggunaannya fleksibel dan stabil terhadap pH dan suhu yang cukup luas sehingga tahan terhadap proses pengolahan yang melibatkan asam dan basa, serta kondisi panas dan dingin (Cleveland et al. 2001 diacu dalam Usmiati dan Marwati 2007). 2.7 Bakteri Uji Bakteri uji merupakan bakteri yang digunakan dalam pengujian aktivitas senyawa antibakteri. Bakteri uji sangat berperan dalam penentuan efektifitas daya hambat suatu senyawa antibakteri. Bakteri uji yang digunakan tersebut terdiri atas bakteri Gram-positif (Listeria monocytogenes dan Staphylococcus aureus) dan bakteri Gram-negatif (Escherichia coli dan Salmonella typhimurium). 2.7.1 Listeria monocytogenes Listeria monocytogenes merupakan Gram-positif, psikrotropik, fakultatif anaerobik, tidak berspora, motil, batang pendek. Pada kultur segar, selnya terkadang membentuk rantai pendek. Listeria monocytogenes tumbuh pada kisaran 1-44 oC, dengan suhu pertumbuhan optimum 35-37 oC. Pada suhu 7-10 oC, dapat memperbanyak diri dengan sangat cepat. Bakteri ini memfermentasi glukosa tanpa menghasilkan gas. Sel ini cukup resisten terhadap pembekuan, pengeringan, kadar garam tinggi, dan pH ≥5. Listeria monocytogenes sensitif terhadap suhu pasteurisasi (71,7 oC selama 15 detik atau 62,8 oC selama 30 menit) 13 (Ray 2000). Listeria monocytogenes yang bersifat patogen biasanya terdapat pada daging unggas dan sapi serta olahannya, dapat bertahan pada pH, aw dan suhu rendah, sehingga berbahaya untuk produk beku. Masalah yang dihadapi akibat infeksi L. monocytogenes yaitu 63% bakterimia dan 26% bermasalah dengan sistem syaraf (Veclerc et al. 2002 diacu dalam Usmiati dan Marwati 2007). 2.7.2 Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri fakultatif anaerob, Gram-positif dan berbentuk kokus yang tersusun bergerombol seperti sekelompok anggur. Staphylococcus aureus membentuk koloni dengan warna kuning keemasan dan termasuk ke dalam katalase positif (artinya dapat menghasilkan enzim katalase) dan mampu mengubah hidrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan oksigen. Kebanyakan S. aureus merupakan koagulase positif yang berarti mampu memproduksi protein, yakni enzim (Corning 2011). Staphylococcus aureus dapat bertambah dengan cepat pada beberapa tipe media dengan aktif melakukan metabolisme, melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacammacam pigmen dari warna putih hingga kuning gelap (Jawetz et al. 2001). Staphylococcus aureus mempunyai 4 karakteristik khusus, yaitu faktor virulensi yang menyebabkan penyakit berat, faktor differensiasi yang menyebabkan penyakit yang berbeda pada sisi atau tempat berbeda, faktor persisten bakteri pada lingkungan dan manusia yang membawa gejala karier, dan faktor resistensi terhadap berbagai antibiotik yang sebelumnya masih efektif. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti jerawat, selulitis folikulitis, bisul dan abses. Selain itu juga dapat menyebabkan penyakit yang mengancam kehidupan seperti pneumonia, meningitis, osteomielitis, endokarditis, bakterimia dan toxic shock syndrome (TSS). Beberapa strain S..aureus juga dapat menghasilkan enterotoksin yang merupakan agen penyebab S. aureus gastroenteritis. Gejala-gejala gastroenteritis ialah seperti mual, muntah, diare dan nyeri perut (Corning 2011). 2.7.3 Escherichia coli Eschericia coli merupakan bakteri Gram-negatif, motil, tidak berspora, berbentuk batang dan anaerobik fakultatif. E. coli bersifat aerob atau kualitatif anaerob, dapat tumbuh pada media buatan. Bakteri ini umumnya hidup pada 14 rentang suhu 20-40ºC dengan suhu optimum 37ºC, tumbuh baik pada pH 7,0 tapi tumbuh juga pada pH yang lebih tinggi. E.coli mengandung enterotoksin dan atau faktor virulensi lainnya, termasuk invasiveness dan faktor kolonisasi, menyebabkan penyakit diare. E.coli juga penyebab utama infeksi urin dan infeksi nosomical termasuk septisemia dan meningitis. Dari sekian ratus strain E.,coli yang teridentifikasi, hanya sebagian kecil yang bersifat patogen (Holt et al. 1994). Industri kimia banyak mengaplikasikan teknologi fermentasi yang memanfaatkan bakteri E..coli, misalnya dalam produksi obat-obatan (insulin, antiobiotik), high value chemicals (1-3 propanediol, lactate). Escherichia coli tersebar di seluruh dunia dan ditularkan bersama air atau makanan yang terkontaminasi oleh feses. Strain pathogen E. coli dapat menimbulkan penyakit diare berdarah, pembengkakan dan kelainan ginjal, demam, kelainan syaraf, bahkan kematian (Veclerc et al. 2002 diacu dalam Usmiati dan Marwati 2007). 2.7.4 Salmonella typhimurium Salmonella typhimurium termasuk ke dalam bakteri Gram-negatif, tidak berspora, fakultatif anaerobik dan motil. Salmonella yang bersifat mesofilik memiliki suhu pertumbuhan optimum 35-37oC, tetapi umumnya memiliki range pertumbuhan pada suhu 5-46 oC. Salmonella mati pada suhu dan waktu pasteurisasi, sensitif pada pH rendah dan tidak membelah diri pada aw 0,94, khususnya jika dikombinasikan pH ≤5.5. Selnya dapat bertahan pada suhu beku dan kondisi kering dalam jangka panjang (Ray 2000). Salmonella typhimurium merupakan salah satu bakteri penyebab diare dan gangguan pencernaan lainnya (Ajizah 2004). Selain sebagai bakteri patogen, bakteri ini juga merupakan jenis bakteri pembusuk (Okolocha and Ellerbroek 2005 diacu dalam Usmiati 2007) sehingga dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius (Deumier and Collignan 2003 diacu dalam Usmiati 2007). Salmonella dapat menyebabkan gastroenteritis, demam enteric (thypoid dan parathypoid), septicemia (mikroorganisme berkembangbiak dalam aliran darah), diare, nausea dan muntah. Daging ayam dan olahannya dilaporkan sebagai media penyebaran penyakit salmonellosis (Usmiati 2007). Strain bakteri Salmonella, seperti S..enteritidis dan S. typhimurium merupakan penyebab utama terjadinya 15 salmonellosis yang paling sering dilaporkan. Di Amerika Serikat sekitar 50% kejadian salmonellosis pada manusia disebabkan oleh bakteri Salmonella dengan strain S. enteritidis, S. typhimurium dan juga S. heidelberg (Ajizah 2004).