FENOMENA PERNIKAHAN BAWAH TANGAN (SIRI) DI KALANGAN MAHASISWA PEREMPUAN Oleh: Helnawaty S.H., M.M UNIVERSITAS GUNADARMA 2005 FENOMENA PERNIKAHAN BAWAH TANGAN (SIRI) DI KALANGAN MAHASISWA PEREMPUAN A. Peran Keluarga Keluarga sebagai bagian inti dari struktur sosil setiap masyarakat adalah salah satu unsur sosial yang paling awal mendapat dampak dari setiap perubahan sosial budaya. Peranan keluarga yang paling utama adalah sebagai pembagi kehidupan individu ke dalam tingkat-tingkat peralihan usia (daur hidup) dan dalam rangka pembentukan watak dan perilaku generasi muda agar menjadi bagian anggota masyarakat yang terinternalisasi ke dalam keseluruhan sistem nilai budaya yang jadi panutan masyarakatnya (sosialisasi) Peranan demikian amat menentukan struktur dan integritas di dalam sistem sosial masyarakat yang bersangkutan. Sehingga sosialisasi pada masyarakat petani dan masyarakat industri modern sekalipun ditentukan oleh arah dan kondisi sosisalisasi yang dikembangkan di dalam keluarga. Seperti dinyatakan oleh Goode, bahwa keluarga manusia mempunyai beberapa ciri yang mempermudah proses sosialisasi. Keluarga dapat bertahan lama karena secara biologis manusia mempunya hidup yang lebih panjang dibandingkan dengan makhluk lain dan karena adanya ikatan antara anggota-anggotanya. Hal itu memberikan kesempatan luas untuk meneruskan tradisi kebudayaan masyarakat kepada sang anak. Hubungan ibu-anak pun secara emosional sangat erat, yang juga mempermudah proses pendidikan. Disamping itu, pola kekuasaan juga memberikan kekuatan pada apa yang telah dipelajari yaitu, kekuasaaan dan kekuatan yang lebih besar yang dimiliki orang tua membuat pelajaran mereka lebih berkesan bagi sang anak. Oleh karena itu keluarga, keluarga adalah lembaga dasar darimana semua lembaga lainnya berkembang karena kebudayaan yang makin kompleks menjadikan lembaga-lembaga itu penting. Sebagai lembaga sosial, tentunya keluarga akan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Untuk membentuk keluarga dibutuhkan suatu proses yang disebut perkawinan, dimana perkawinan adalah suatu pola sosial yang disetujui, dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga (Horton and Hunt 1996). Perkawinan tidak hanya mencakup hak untuk melahirkan dan membesarkan anak teteapi juga seperrangkat kewajiban dan hak istimewa yang memperngaruhi banyak orang (masyarakat). Arti sesungguhnya dari perkawinan adalah penerimaan status baru, dengan sederetan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan akan status baru oleh orang lain. Oleh karena itu perkawinan sangat diperhatikan oleh masyarakat pada umumunya di dunia sebelum terbentuknya keluarga sebagai penerus kebudayaan Levy & Fallers mengelompokkan fungsi keluarga enjadi empat kategori yang terlihat secara universal Pertama, setelah sebagai lembaga yang mengarur dan menyalurkan kebutuhan manusia akan seks, yaitu memantapkan legalitas kedudukan seorang ayah untuk anak-anak dari seorang wanita, dan legalitas kedudukan seorang ibu bagi anak-anak dari seorang laki-lak, sekaligus mengatur hak monopoli hubungan seks antara kedua pasangan tersebut. Kedua, keluarga adalah saran dasar erkulturasi bagi generasi untuk menerima kedudukan-kedudukan resmi yang diwarisi dari ayah dan ibu serta kerabat-kerabat mereka Ketiga keluarga adalah sebagai suatu organisasi kesatuan pembagian kerja antara kedua pasangan, pengaturan hak dan kewajiban antara satu dengan yang lain, serta kepemilikan harta benda yang diperoleh sendiri-sendiri atau secara bersama-sama. Keempat, menghubungkan kedua pasangan dan anak-anak mereka ke dalam jaringan pemantaban hubungan sosial karena keturunan dan perkawinan. B. Keberadaan Keluarga Keberadaan keluarga sebagai unit utama dari kebudayaan dan kehidupan sosial manusia dikemukakan secara formal oleh Levy, bahwa : 1. Belum pernah ada kasus dimana suatu msyarakat tidak memiliki keluarga sebagai sub sistem sosialnya 2. Belum pernah ada suatu masyarakat, dimana individu-individunya tidak memiliki kedudukan atau istilah-istilah panggilan dalam sumber keluarga. 3. Belum pernah ada suatu masyarakat, dimana pengetahuan substansial dan kedudukan sebagai lembaga pendidik paling dasar tidak diperoleh dari keluarga. Dalam banyak masyakarat, dorongan seks disalurkan secara legal melalui perkawinan, akan tetapi pada sejumlah kasus, ternyata individu-individu beranggapan bahwa tanggung jawab perkawinan bukan semata-mata karena gravitasi seks merupakan salah satu fungsi dari keluarga. Sebaliknya pemeliharaan bayi dan pengasuhan anak adalah masalah yang paling banyak menjadi alasan bagi pembentukan keluarga. Dorongan untuk menjaga kehidupan keturunan, membesarkan dan memberinya pelajaran tentang dirinya sendiri dan mengenai seluk beluk masyarakatnya sendiri nampaknya merupakan alasan yang lebih universal dalam hal terbentuknya suatu keluarga Dalam pada itu, para hali sudah sangat menyadari bahwa fungsi-fungsi dasar dari keluarga dengan berbagai tingkat keefektifannya nampak cukup beragam di antara suatu kebudayaan yang lain, dan dilihat dari cara-cara pelaksanaan fungsi yang dijalankan oleh keluarga-keluaga dari berbagai kebudayaan tersebut secara mencolok menunjukkan betapa jelasnya perbedaan kepribadian anak-anak dan orang dewasanya (Hoebel dan Frost, 1976). Jadi dapat disimpulkan, bahwa keluarga adalah lembaga yang menghubungkan antara unit terkecil dalam masyarakat dengan struktur yang lebih luas, yaitu masyarakat. Para analis sosial telah melihat bahwa masyarakat adalah struktur yang terdiri dari keluarga, dan bahwa keanehan-keanehan suatu masyarakat tertentu dapat digambarkan dengan menjelaskan hubungan kekekuargaan yang berlangsung di dalamnya. Karya etika dan moral yang tertua menerangkan bahwa masyarakat kehilangan kekuatannya jika anggotanya gagal dalam melaksanakan tanggung jawab keluarganya. Confusius umpamanya, berpendapat bahwa kebahagiaan dan kemakmuran akan tetap ada dalam masyarakat jika saja semua orang bertindak benar sebagai anggota keluarga dan menyadari bahwa orang harus menaati kewajibannya sebagai anggota masyarakat (Goode, 1993). Jadi pada dasarnya sebelum terbentuk keluarga ada prosis yang disebut dengan perkawinan dan hal ini akan tersosialisasi dan bahkan terlembaga di dalam kehidupan masyarakat. Karena sosialisasi membentuk kebiasaan, keinginan, dan adat istiadat kita. Tata cara dan kebiasaan merupakan penghemat waktu yang hebat Keduanya membantu kita dalam mengambil sekian banyak keputusan. Hasrat hati sepasang manusia untuk melakukan perkawinan lebih didorong oleh keinginan untuk menyesuaikan diri dengan pola keluarga baik yang monogram daripada alsan yang bersifat akademis. Begitulah cara terjadinyan penyesuaian diri. Melalui sosialisasi seseorang menginternalisasikan (menghayati) norma-norma, nilai dan hal-hal yang tabu dalam masyarakatnya Sekali lagi, menginternalisasikana semua hal tersebut berarti menjadikannya bagian dari perilaku otomatis seseorang yang dilakukannya tanpa berpikir. Orang yang menginternalisasikan suatu nilai secara penuh akan menrapkan nilai tersebut meskipun tidak ada seorang pun yang melihatnya, karena keinginan untuk melanggar nilai tersebut sangat kecil kemungkinannya timbul di benak orang tersebut. Seancainya dia sungguh-sungguh tergoda maka hati kecilnya akan mencegah pelanggaran tersebut. Keadaan semacam itulah yang selalu terjadi dalam masyarakat yang memiliki kesepakatan atas nilai-nilai. Sehingga dalam membentuk keluarga masyarakat tentu akan mensahkan bila sudah terjadi perkawinan. Hal inilah yang menjadi dasar dari terbentuknya keluarga, karena tanpa melualui perkawinan maka masyarakat tentu tidak akan mengakui sebagai sebuah keluarga karena semuanya sudah terinternalisasi dalam masyarakat. Norma-norma yang mengakui bahwa sebelum ada keluarga harus melalui proses perkawinan terlebih dahulu Sementara itu, terdapat tahap-tahap yang biasa dilalui oleh pasangan yang akan meikah seperti dikemukakan oleh Abu Ahmadi dalam psikologi sosial, yaitu : 1. Tahap Perkenalan 2. Tahap Pacaran 3. Tahap Pertunangan 4. Tahap Perkawinan. Perlu diketahui bahwa tahap-tahap itu sifatnya umum bukan berarti setiap keluarga pasti melalui empat tahap untuk sampai pada suatu keluarga. Ada yang perkenalan langsung perkawinan seperti pada zaman dahulu ,tetapi ada juga seara penuh dari tahap 1 sampai pada tahan IV. Masing-masing keluarga mempunyai keunikan sendiri-sendiri dan ini sifatnya individual (Abu Ahmadi, 1991) Jika kita melihat dalam dunia pendidikan, hampir di setiap Perguruan Tinggi terdapat sejumlah mahawiswa yang telah menikah. Tetapi sejauh ini belum ada data yang pasti mengenai hal ini. Asebenarnya adalah fenomena yang patut kita telusuri, karena kita mengetahui bahwa antaa pendidikan dan menikah adalah dua hal yang berbeda. Dimana pendidikan merupakan prioritas untuk mengejar cita-cita serta orientasi untuk dapat menunjukkan prestasi akademik sedangkan pernikahan/perkawinan mempunyai tujuan dalam kehidupan untuk membentuk masyarakat yang berinteraksi serta mempunyai orientasi untuk menunjukkan kewajiban terhadap suami serta memelihara anak secara maksimal. Tetapi ternyata pernikaha itu banyak dilakukan oleh kalangan mahasiswa yang notabene berpikiran lebih maju. Pernikahan yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa banya yang dilakukan dengan nikah Siri. Pernikahan yang tergolong pada usia muda. Karena usia yang masih sangat muda, hal ini mempunyai dampak negati baik dari segi fisik maupun mental Edi Nur Hasmi, seorang psikolog dan juga Direktur Remaja dan Kesehatan Reproduksi BKKBN mengatakan bahwa kestabilan emosi biasanya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada usia inilah seseorang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, baru terhenti pada usia 19 tahun. Batasan secara psikologis sesorang dikatakan mulai memasuki masa kedewasaan pada usia 20-24 tahun, yang dikatakan sebagai dewasa muda atau Lead Edolesen Pada masa tersebut, biasanya mulai timbul transisi gejolak remaja ke dewasa stabil. Maka kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin berpetualang mencari jati dirinya. C. Arti Pernikahan Siri Pernikahan di bawah tangan atau sering disebut sebagai Nikah Siri artinya nikah secara rahasia, karena tidak dilaporkan ke Kantor Urusan Agama setempat bagi muslim atau ke Kantor Catatan Sipil bagi Non Muslim. Biasanya, nikah siri dilakukan karena kedua belah pihak belum siap melakukan atau meramaikannya, namun di pihak lain untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama apapun. Sah atau tidaknya nikah siri secara agama dikatakan menurut LSM Rika Kurnia tergantung kepada sejauh mana syarat dan rukun nikah terpenuhi. Syarat nikah menurut pasal 2 Ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan : 1. Harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai (tidak boleh kawin paksa) 2. Orang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua atau wali nya 3. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria sudah berumur 19 tahun dan perempuan sudah berumur 16 tahun 4. Bila belum berumur, seperti tersebut diatas maka meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain Rukun Nikah : 1. Adanya mempelai laki-laki 2. Adanya mempelai perempuan 3. Ada Wali (bagi perempuan) 4. Saksi nikah minimal dua orang laki-laki 5. Adanya Mahar 6. Ada Aqad ijab dari wali perempuan dan wakilnya dan Qobul dari mempelai laki-laki atau wakilnya Jika syarat dan rukun nikah ini dipenuhi ketika pernikahan digelar, maka sudah dinyatakan sah menurut Agama Islam. Secara hukum positif, nikah siri adalah tidak lengkapnya suatu perbuatan hukum karena tidak tercatat secara resmi dalam catatan pemerintah. Demikian juga anak yang lahir dari pernikahan siri, dianggap tidak dapat dilegalisasi oleh negara melalui akte kelahiran. Sebagaimana kita ketahui, setiap warga negara Indonesia yang melakukan pernikahan harus mendaftarkan pernikahannya ke KUA atau Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan akta Nikah. Sesuai dengan pasal 5 Kompilasi Hukum Islam (Inpres No 1 tahun 1991), agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, suatu perkawinan harus dicatat. Pasal 7 aturan tersebut juga menyebutkan perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sebagaimana telah disebutkan diatas tadi, perkawinan yang tidak tercatat baik di KUA maupun Kantor Catatan Sipil, tidak mendapatkan perlindungan hukum, artinya ketika di kemudian hari perkawinan/nikah siri ini mengalami peristiwa perceraian, sengketa warisan dan lainnya, para pihak tidak dapat mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama. Menurut Rika Kurnia, dampak hukum yang timbul dari sebuah pernikahan siri akan terjadi kalau ada perceraian, sang istri sulit untuk mendapatkan hak atas harta bersama mereka apabila suami tidak memberikan bagiannya. Selain itu, jika ada warisan yang ditinggalkan, maka istri dan anak akan sulit mendapatkan hak atas harta waris. Jika suami berprofesi sebagai Pegawai Negri Sipil, maka istri dan anak tidak berhak mendapatkan tunjangan apapun. Menurutnya, sering juga dijumpai hak-hak anak di keluarga yang melakukan nikah siri terabaikan. Karena tidak juga para pria yang melakukan nikah siri tidak mau bertanggung jawab atas biaya pendidikan dan kebutuhan sang anak. Anak yang lahir dari pernikahan siri biasanya juga kesulitan mendapat akte kelahiran sebab orang tuanya tidak mempunyai akte nikah. Dan yang paling pokok adalah, nikah siri tidak dapat disahkan oleh negara. Dampak sosial yang ditimbulkan dari pernikahan jenis ini biasanya dinilai oleh masyarakat sebagai sebuah perkawinan yang tidak ideal dan tidak membuat suasana rumah tangga yang harmonis. D. Posisi Perempuan Sejarah telah menceritakan bagaimana perempuan diperlakukan secara tidak adil. Ia tak lebih dari separuh harga laki-laki bahkan tak jarang diperlakukan seperti sebuah barang yang bisa diaminkan sembarangan oleh sang pemilik. Kalangan elit Yunani Kuno menempatkan sebagai makhluk tahanan yang disekap dalam istana sedangkan kalangan bawahan memperlakukannya sebagai barang dagangan yang bisa diperjualbelikan. Peradaban Romawi menempatkan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya dan setelah menikah maka kekuasaan tersebut pindah ke tangan suaminya. Kekuasaan ini sangat mutlak, sehingga ia berhak untuk menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Masyarakat Hindu pra Abad ke-17 Masehi sering menjadikan perempuan sebagai sesajen para Dewa. Sementara pada masyarakat Cina, masih melanggengkan petuah-petuah kuno yang tidak memanusiakan perempuan. Ajaran Yahudi, menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka karena telah menyebabkan Adam terusir dari surga. Tradisi Arab Jahiliyah menghalalkan pembunuhan seorang bayi perempuan (Srinthil, 2003). Akan tetapi, ada juga kontradiksi simbolik atau dinamika simbolisasi perempuan yang penting untuk dicermati. Secara simbolik, perempuan mendapatkan tempat yang sangat terhormat dalam imajinasi orang Indonesia. Misalnya, bumi Nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke selain disebut tanah air namun disebut sebagai ibu pertiwi, seperti pada ungkapan “Pahlawan kita telah gugur dan kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi.” Masyarakat pedesaan di Jawa, mempunyai miros mengenai Dewi Sri sebagai lambang kesuburan tanah pertanian. Disini, tanah negri dimaknai sebagai entitas yang bersifat feminim dan negri yang tegak diatasnya pun juga dicitrakan sebagai memiliki watak feminim, yaitu melindungi, merawat dan menumbuhkan. Sayangnya, simbolisasi seperti ini sering dimanfaatkan oleh laki-laki sebagai pemanis untuk menenangkan perempuan, atau sebagai pembungkus nilai-nilai patriarkhi yang sebenarnya lebih mewarnai hubungan laki-laki dan perempuan di masyarakat. Gambaran “surga dibawah telapak kaki Ibu” sebenarnya mengandung makna positif, yaitu peran reproduksi perempuan yang dijalankan perempuan, yaitu menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui adalah peran biologis yang harus diakui, dihargai, dan dilindungi. Secara normatif, sangat tidak pantas jika anak mengabaikan orang yang menjadi jalan kehadirannya di dunia dan yang telah mempertaruhkan nyawanya, dalam proses reproduksi tersebut. Sama tidak pantasnya bagi suami untuk merendahkan atau mengabaikan istri karena peran reproduksi yang sangat penting ini. Akan tetapi, pengakuan dan penghargaan seperti ini seringkali dibelokkan untuk memberi penegasan bahwa tempat yang cocok bagi perempuan adalah rumah. Konsekuensi ekstra dari pengotakan itu adalah perempuan tidak layak masuk ke ranah publik (Muhadjir Darwin, 2005). Subordinasi perempuan sebagai obyek pemuasan hedonisma seks laki-laki tergambar pada sejumlah penelitian atau kajian perempuan. Sukatno (2004) pada masa kerajaan keraton, seks menjadi bagian integral strategi politik kekuasaan raja Jawa. Seks terkait kepentingan makro, baik kepentingan sosial, ekonomi, maupun budaya yang mendukung kebesaran kekuasaan Raja. Oleh para ningrat Jawa, seks diritualisasikan dan dimaknakan sedemikian rupa sehingga menghasilkan budaya yang rumit, penuh simbol. Namun dari segi praktik seksua, kreasi budaya itu tampak sebagai upaya penikmatan seks secara maksimal, yaitu sebuah hedonisme. Demikian juga dalam Suyatno (2004) bahwa budaya priyayi sangat menekankan pada hirarki kebangsawanan yang sangat rumit, mulai dari sentono dalem sampai ke Wong Cilik. Ada obsesi kuat dari wong cilik untuk naik status sebagai priyayi dan jalan termudah untuk itu adalah melalui perkawinan. Wong cilik yang mempunya anak perempuan terobsesi naik status dengan mengawinkan anak perempuannya dengan keluarga bangsawan, meskipun hanya menjadi istri pendamping (selir). Pada masyarakat keraton, perempuan dimaknai tidak lebih sebagai kelanggengan laki-laki bangsawan dan harus bisa ngudi sariro (merawat badan) untuk memuaskan hedonisme laki-laki bangsawan. Perempuan priyayi harus pandai menari sehingga dapat menghibur laki-laki. Ia harus bisa sopan santun menggunakan bahasa halus pada suaminya. Norma-norma kebudayaan priyayi yang lebih ketat diterapkan pada perempuan pada umumnya berupa larangan atau pantangan bagi perempuan berperilaku yang artinya membatasi perempuan (Muhadjir Darwin. 2005). Praktik poligami sangat lazim bagi priyayi, bahkan perempuan menganggap memperolah berkah jika dijadikan “garwo selir” oleh bangsawan. Seorang istri harus rela jika suaminya ingin berpoligami. Istri yang baik, bahkan harus rela jika suaminya jajan ketika ia tidak bisa melayani suaminya, misalnya sedang menyusui bayi hingga berumur 2 tahun. Perempuan juga masih menjadi obyek eksploitasi di dunia media. Ibrahim dan Suranto (1998) memberi gambaran yang jelas bagaimana obyektifikasi dan eksploitasi terjadi, yang secara karikaturis dilukiskan pada kutipan ungkapan Ariel Heryanto : “di negri kami tubuh perempuan bukan milik perempuan. Dada dan paha sudah dijatahkan oleh biro iklan dan wartawan. Vagina dan rahim adalah lahan resmi proyek nasional KB”. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa perempuan tidak dimanusiakan dan tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Mereka sering dijadikan makhluk nomor dua, pelengkap yang lebih menunjukkan inferioritasnya. Ia hanya menjadi ajang pemuasan kebutuhan seksual laki-laki. Lebih parahnya, ia sering dicap sebagai sumber kemaksiatan karena dianggap sering menimbulkan fitnah sehingga ia kemudian dipenjara ke dalam wilayah privat sedangkan ruang publik mutlak milik laki-laki. Yang jelas sejarah adalah milik kaum adam, tidak pernah berpihak kepada kaum hawa. Juga demikian fenomena ini ternyata tidak hanya berlangsung pada masa lalu bahkan pada masa sekarang pun penindasan terhadap perempuan masih tetap berlangsung, dengan format yang berbeda tentunya. Seperti dikatakan oleh Aristoteles, sebagai penganut teori nature bahwa wanita adalah laki-laki yang tidak lengkap. Wanita kurang bisa mengerami atau memasak darah yang dikeluarkan pada masa haidnya ke taraf yang lebih sempurna menjadi air mani. Karena itu wanita tidak bisa menyumbangkan air mani dalam proses pembentukan janin manusia, wanita hanya menyumbangkan selongsongnya saja, dan kemudian memberi janin itu makanan untuk tumbuh. Tapi benih itu tetap harus datang dari laki-laki. Maka menurut Aristoteles, adalah wajar bahwa laki-laki dewasa menguasai budak-budak, anak-anak dan wanita. Laki-laki dewasa menguasai budak karena budak memang dikodratkan untk menjadi budak. Laki-laki dewasa menguasai anak=anak yang bukan budak karena anak-anak belum berkembang jiwanya. Laki-laki menguasai wanita karena jiwa wanita memang tidak sempurna. Istilah family dalam bahasa inggris kenyataannya berasal dari kata Famulus yang berarti, budak domestik, dan familia berarti sejumlah budak yang dimiliki seseorang laki-laki dewasa, termasuk di dalamnya, istri dan anak-anaknya (Arif Budiman, 1980) Ide tentang wanita lebih lemah dari laki-laki terus dipertahankan dan terus disebarkan oleh hampir semua ahli filsafat sepanjang sejara manusia. Bahkan penindasar ini seolah-olah legitimate karena keberadaan sistem beserta konstruksi sosialnya yang telah di setting sedemikian rupa sehingga membuat perempuan-perempuan nyaris tanpa kuasa untuk melawan sistem itu. Apa yang dilakukan terhadap perempuan, walaupun membungkam haknya, dihalalkan. Misalnya, sangat dianggap wajar bahkan kalau menolak bisa dianggap menentang norma atau aturan yang telah ada. Padahal aturan yang ada sangat diskriminatif. Contohnya, seorang istri harus patuh kepada suami, walaupun sebenarnya ia tidak bersedia, karena menolaknya berarti menentang adat, atau tradisi. Satu pandangan menyebutkan, bahwa agama atau doktrin keagamaan yang meliputi pikiran-pikiran para penafsir agama, disamping kekuasaan politik negara dan ideologi-ideologi dominan yang hegemonik, dianggap sebagai pihak yang turut serta menghegemoni dan melanggengkan kebudayaan tersebut. Agama dalam masyarakat religius seringkala menjadi kekuatan besar yang membentuk sejarah atau kebudayaan manusia. Intervensi agama ini setidaknya karena terdapat teks-teks agama yang memberikan legitimasi dan justifikasi atas persoalan-persoalan tersebut (Khoirul Muqtafa dalam Srinthil 2003). Demikian banyaknya cerita diatas menggambarkan bahwa perempuan selalu didominasi laki-laki oleh superioritasnya terhadap perempuan. Juga tidak berbeda dengan posisi perempuan dalam perkawinan sebagian besar berada dalam kungkungan hegemoni laki-laki. Ada banyak kedudukan perempuang yang menjadi tidak berdaya dalam menghadapi perkawinan baik secara fisik maupun psikologis. Posisi perempuan yang lemah dalam perkawinan dapat dilihat dalam berbagai latar belakang sebagai berikut : Pertama, perempuan dalam perkawinan didasarkan untuk memperlakukan perempuan sebagai obyek seks bagi laki-laki dan penghasil keturunan. Kisan demikian dapat ditemui dalam ilustrasi Fatimah Umar Nasif bagaimana perempuan pada zaman pra Islam semata-mata dinikahi tidak lebih dari obyek pemuas seks laki-laki. Senada dengan pemikiran Fatimah, adalah pemikiran Kamla Bhasin seorang feminis asal Asia Selatan, yang berpendapat bahwa perempuan dalam budaya patriarkhi tidak hanya menjadi ibu, tetapi juga budak seks, dan ideologi patriarkal mempertentangkan perempuan sebagai makhluk sesksual dengan perempuan sebagai ibu. Dalam konteks inilah, menurut beliau, perempuan memasuki wilayah kontrol atas seksualitas yang menjadi bidang subordinasi perempuan dengan mewajibkan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai dengan kebutuhan dan keinginan laki-laki. Kedua, masih banyak perkawinan didasarkan pada perjodohan. Kisah ini cukup banyak ditemui dalam masyarakat. Kisah Siti Nurbaya, sebuah contoh yang sangat menggambarkan bagaimana posisi perempuan sangat rendah dan rentan sebagai makhluk yang bebas. Perempuan dalam konteks ini tidak mempunyai kekuatan untk membela diri. Perempuan dalam konteks ini berada dalam tikaman kultur yang sarat dengan patriarki. Kisah perempuan yang dijodohkan ini sangat kental terjadi terutama didasarkan pada dua sebab utama, yaitu tradisi dan ekonomi. Tradisi suatu masyarakat tertentu biasanya menjadikan perjodohan ini dilihat sebagai sesuatu yang lumrah dan kodrati. Penolakan terhadap bentuk perjodohan berarti melanggar tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Untuk itu bila terjadi penolakan terhadap proses perjodohan, seseorang akan menanggung akibatnya, semisal diusir dari lingkungan masyarakat karena diyakini akan mendatangkan aib bagi keluarga dan masyarakat. Sebab ekonomis juga menjadi salah satu faktor tumbuhnya perjodohan. Celakanya hal ini banyak menimpa perempuan. Keluarga yang tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonominya, akhirnya merelakan anak perempuan untku dijodohkan dengan seseorang yang lebih kaya secara ekonomi. Dengan harapan dapat membantu keluarganya yang dalam kemiskinan. Atau bisa jadi sebuah keluarga yang terjerat hutang akhirnya selalu anak perempuanlah yang menjadi korban untuk melunasi hutang keluarganya. Juga dari sini persoalan perdagangan perempuan kemudian muncul ke permukaan. Ketiga, perempuan dalam perkawinan yang didasarkan pada peristiwa psikologis yang oleh Collete Dowling disebut sebagai Cinderella complex. Mitos Cinderella yang mendambakan sang pangeran mempersunting dirinya sampai kini menjadi impian setiap perempuan. Sebagian perempuan dalam rasionalitasnya mendambakan kehadiran laki-laki yang diyakininya sebagai seorang pangeran dalam cerita Cinderella yang akhirnya membawanya ke jenjang pernikahan. Kebahagiaan dan martabat perempuan dalam konteks ini terjadi ketika sang pangeran mempersuntingnya, dan sang perempuan pasrah untuk diperlakukan apa saja demi sang pangerang yang diimpikannya. Jelas sekali penyakit Cinderella Complex ini memposisikan perempuan menjadi tidak berarti tanpa kehadiran seorang laki-laki yang akan mempersuntingnya. Keempat, perempuan dalam perkawinan didasarkan pada mitos perawan tua. Persoalan mendasar dari seorang anak perempuan ketika dia telah memasuki usia dewasa. Banyak orang tua menginginkan anaknya untuk tidak menjadi perawan tua. Menjadi hal tersebut bagi masyarakat awam dianggap sebagai bentuk kekurangan yang terjadi pada diri perempuan. Untuk itu, dalam bayangan ketakutan yang tidak beralasan, banyak orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda. Sedikit saja perempuan terlambat menikah pada usia yang diyakini pantas menikah, maka berkembang mitor bahwa anak tersebut selamanya tidak akan mendapatkan suami dan akhirnya menjadi perawan tua, dan menjadi gunjingan atau bahan olok-olok masyarakat (Jurnal Perempuan, 22 Tahun 2002). Ilustrasi-ilustrasi yang digambarkan tersebut, bila disadari, menggambarkan posisi perempuan dalam perkawinan lebih didominasi oleh nuansa keharusan untuk tunduk ketimbang sebagai sebuah kehendak untuk melakukan atas kesadaran dirinya. Perkawinan merupakan keharusan yang harus dijalani atas nama kekuasaan patriarki. E. Dampak Fenomena Pernikahan di Bawah Tangan (Siri) di Kalangan Mahasiswa Fenomena nikah siri, yang saat ini banyak melibatkan mahasiswa sebagai pelaku, tentu membawa dampak. Mengenai latar belakang atau alasan terlaksananya nikah siri di kalangan mahasiswa yang telah dijabarkan sebelumnya, memberikan gambaran yang jelas bahwa konsep nikah secara siri bukan hanya menjadi budaya bagi sebagian kelompok agama atau alim ulama, namun sudah merambah di kalangan akademisi khususnya bagi mahasiswa. Dampak yang timbul dari adanya konsep nikah siri seperti yang dijalankan oleh sebagian masyarakat yang sangat beragam, mlai dari dampak yang bersifat positif sampai dengan dampak yang sifatnya negatif. Namun dampak yang ditimbulkan oleh konsep nikah siri juga tergantung dari tujuan individu yang menjalankan nikah siri. Jika tujuan menikah itu baik, atau untuk mengikuti aturan agama (Islam), maka dampak yang ditimbulkan akan mengarah ke positif. Namun jika konsep pernikahan siri disalahartikan tujuannya, maka akan membawa dampak negatif terutama pada pihak perempuan. Secara umum, beberapa dampak positif dari nikah siri yang dilaksanakan dengan tujuan yang baik adalah sebagai berikut : 1. Mengurangi beban atau tanggung jawab seorang wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya 2. Meminimalisasi adanya seks bebas serta mencegah penyakit kelamin 3. Mampu menghindarkan seseorang dari hukum zina dalam agama Islam. Ketiga dampak positif konsep nikah siri tersebut berhubungan dengan dampak yang mengarah pada faktor ekonomi, kesehatan, serta faktor agama. Untuk beberapa hal tersebut, nikah siri dapat dipandang memberikan solusi bagi sebagian orang yang memiliki tujuan baik atas konsep nikah siri yang dijalaninya. Namun konsep nikah siri jika dipandang lebih luas, dan menyangkut hak-hak wanita, maka hal tersebut akan lebih banyak menimbulkan dampak negatif atau merugikan. Dampak negatif dari nikah siri adalah sebagai berikut : 1. Tidak adanya kejelasan status wanita sebagai istri dan kejelasan status anak baik di mata hukum Indonesia, maupun masyarakat sekitar 2. Akan ada banyak kasus poligami terjadi 3. Pelecehan seksual terhadap wanita karena dianggap sebagai pelampiasan nafsu sesaat bagi kaum laki-laki 4. Pihak wanita tidak memiliki kekuatan hukum untuk menuntut suami jika terjadi permasalahan perceraian dan kematian, karena konsep nikah yang dijalani tidak sah secara hukum, Dari uraian tentang dampak negatif tersebut, cukup memberikan penjelasan bahwa konsep nikah siri lebih membawa dampak yang merugikan khususnya bagi kaum perempuan. F. Kesimpulan Pada saat ini, banyak sekali ditemukan pernikahan siri yang dilakukan oleh mahasiswa. Meski pernikahan ini sah menurut agama, tetapi sangat merugikan perempuan. Karena sebenarnya tujuan membentuk keluarga yang dimulai dengan melakukan pernikahan yang sah menurut agama dan negara adalah membentuk keluarga yang bahagia, dengan kebahagiaan akan menciptakan ketenangan dan kebahagiaan bagi yang telah mampu melaksanakannya. Sementara itu nikah siri sering juga disebut nikah bawah tangan yang artinya nikah secara rahasia karena tidak dilaporkan ke KUA atau Kantor Catatan Sipil. Biasanya jenis pernikahan seperti ini karena kedua belah pihak belum siap meresmikannya. Namun di pihak lain untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang dilarang oleh agama seperti yang dikemukakan oleh PY yaitu mereka menikah supaya jika berhubungan mereka tidak beresiko menurut agama mereka. Sementara itu, menurut penelitian yang dilakukan MISPI di tiga wilayah hukum, yaitu Banda Aceh, Aceh Besar dan Aceh Jaya ada 4 hal yang melatarbelakangi mereka melakukan nikah siri, uaitu : 1. Pasangan yang mau menikah secara siri tidak tahu dampak hukum dari nikah siri 2. Proses administrasi pernikahan dianggap terlalu susah 3. Pihak pria ingin melakukan poligami namun tidak diberikan izin resmi dari istri sah-nya. Maka agar tidak melakukan perzinahan, lebih memilih melakukan pernikahan Siri. 4. Sejak awal, baik pihak perempuan maupun pihak laki-laki tidak memiliki itikad baik untuk membentuk suatu keluarga. Dalam penelitian tersebut, tidak jauh berbeda hasilnya bahwa mereka tetap melakukan nikah siri karena tidak berpikir jika suatu saat hubungan mereka putus. Sementara mereka sudah sah menurut agama. Di bayangan pelaku nikah siri, mereka yakin bahwa hubungan mereka akan sampai pada hubungan resmi yang disahkan negara. Jadi pada dasarnya, pernikahan siri yang telah dilkaukan hanyalah sementara, dan mereka akan melaksanakan di KUA jika sudah siap melaksanakannya, dalam hal ini, sudah lulus dari statusnya sebagai mahasiswa. Oleh karena itu, nampak bahwa nikah siri adalah pernikahan yang belum ideal, dan tidak membuat rumah tangga menjadi harmonis seperti yang diharapkan ketika perkawinan itu dilakukan. Selain itu, dampak yang ditimbulkan adalah ketidaknyamanan ketika mereka selalu dipergunjingkan masyarakat sekitar karena hubungan mereka tidak seperti pada umumnya masyarakat yang masih dalam tahap pacaran. Sementara itu, informan yang lain menyatakan bahwa pernikahan mereka didorong oleh alasan ekonomi, bahwa dengan menikah siri beban yang harus ditanggung orang tua akan menjadi lebih ringan. Karena mereka sudah menikah walaupun hanya siri. Tampaknya perempuan hanya menjadi beban bagi suami mereka sehingga perempuan bisa diperlakukan semena-mena karena boleh bergantung pada suami mereka. Apalagi dalam penelitian yang dilakukan, bahwa laki-laki dan keluarganya lah yang wajib menafkahi pihak perempuan.