WACANA PEMBAHARUAN HUKUM Positivisme Hukum Tidak Jauh-jauh dari Kita eorang pemilik sepeda motor hendak melakukan balik nama. Untuk itu, dia diharuskan melakukan uji fisik. Rupanya, saat hendak berangkat dia lupa mengenakan kaca spion. Alhasil, karena peraturan sudah menentukan demikian, polisi yang sedang jaga menyuruhnya melengkapi kaca spion tersebut. Tak ada cara lain, si pemilik sepeda motor itu harus kembali ke rumahnya, untuk mengambil kaca spion, sekalipun dia harus menghabiskan waktu lebih dari 1 jam. Bagi petugas, keadilan dalam kasus tersebut adalah apabila si pemilik sepeda motor mematuhi dengan sempurna segala hal yang diperintahkan oleh peraturan, sekalipun dia harus kehabisan bensin sekian liter atau menghadapi resiko tabrakan di tengah jalan. Termasuk resiko merogoh kantung apabila terkena razia dokumen kendaraan bermotor. Tidak sedikit aparat birokrasi sipil dan aparat penegak hukum memupuk keyakinan bahwa orang awam buta dengan hukum. Cukup banyak jebolan fakultas hukum dan sekolah tinggi hukum menganggap diri paling berpengetahuan mengenai hukum. La-yaknya seorang dokter, para pengacara menjadi begitu dibutuhkan setiap kali ada persengketaan dan sangkaan pidana. Para pihak dan tersangka seketika berubah jadi pesakitan yang memerlukan resep dari pengacara untuk bisa menang atau lolos dari hukuman. Seperti yang disajikan oleh acara-acara TV yang menayangkan dunia selebritis, komunitas para pesohor ini sedang menjadi perawat gaya hidup: candu pengacara. Bayangkan, seorang selebritis yang dipukul (hanya sekali) oleh selebritis lain, di sebuah kafe, langsung melaporkannya kepada polisi terdekat tanpa mau menggunakan pertimbangan rasio dan moralnya untuk menuntaskan sendiri dengan cara damai. Di banyak daerah sertifikasi tanah-tanah komunal (seperti tanah ulayat) tidak bisa dilakukan hanya karena format sertifikat hak S Tidak sulit bagi kita untuk menjumpai tampilan positivisme hukum. Sebab ia tidak berada jauh dari kita. Akibatnya, dengan mudah pula ia mengambil keadilan dari kita hanya dengan dalih untuk menjaga apa yang telah diletakan dan diberlakukan oleh peraturan dan hukum. Tulisan ini diperoleh dari berbagai sumber. Rikardo Simarmata Anggota Perkumpulan HuMa 46 FORUM KEADILAN: N0. 41, 12 PEBRUARI 2006 tanah tidak mengenal pemegang hak lebih dari satu dan tidak mengenal hak ulayat sebagai salah satu jenis hak-hak atas tanah. Dalam format sertifikat tanah, nama pemegang hak hanya satu, sementara pemilik tanah ulayat adalah satu persekutuan (gemeinschaft, paguyuban). Selama ini, nama hak yang disebutkan dalam sertifikat ada-lah hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Seorang staf Bagian Penatagunaan Tanah (PGT), Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar (Riau), terlihat tidak begitu yakin apakah hak ulayat bisa dikategorikan sebagai salah satu nama hak yang bisa dicantumkan dalam sertifikat tanah. Berdalih untuk melaksanakan ketentuan UU No. 45 Tahun 1999, ‘Jakarta’ melakukan beberapa tindakan yang di mata Orang Papua adalah bentuk ketidakkonsistenan. Pertama, Presiden mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 2003 Tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Kedua, pembentukan KPUD di Irian Jaya Barat sekaligus rencana penyelenggaraan Pilkada. Kedua tindakan di atas, lagi-lagi atas alasan untuk melaksanakan apa yang sudah ditetapkan dan diberlakukan oleh dan dalam peraturan perundang-undangan. Alasan itu sama sekali mengacuhkan sebagian suara yang menghendaki agar Propinsi Papua tidak dipenggal-penggal. Masih dari tanah Papua, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Papua dinyatakan se-bagai tersangka pelaku illegal logging karena menerbitkan atau memberikan Izin Pe-manfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA). Oleh Tim Operasi Hutan Lestari (OHL), tindakan Kepala Dinas itu dianggap melewati kewenangan. Karena sejak tahun 2002, Menteri Kehutanan telah menarik kembali kewenangan Bupati/Walikota untuk memberikan izin Kerjasama Forum Keadilan dan Huma pemanfaatan kayu berskala 100 Hektar. Padahal, Kepala Dinas merasa memiliki kewenangan tersebut karena diperbolehkan oleh UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Dalam kasus ini, pemerintah pusat mengandalkan 2 argumen, yakni: Pertama, sebuah tindakan atau kebijakan, baru dianggap legal apabila dinyatakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah bukan dianggap sebagai sumber legalitas atau keabsahaan. Kedua, kehadiran UU Otsus Papua tidak lantas menggu-gur-kan asas hirarki perundang-undangan. UU Otsus tidak bisa dija-dikan alasan untuk menyimpangi peraturan yang lebih tinggi, apalagi bila menyangkut pemanfataan kawasan hutan. Lagipula UU Otsus tidak diangap sebagai peraturan yang khusus, yang boleh menyimpangi peraturan umum (lex specialis derogat lex generali). Doktrin-Doktrin Utama Positivisme Hukum Positivisme Hukum berakar dari filsafat positivisme. Di mata filsafat positivisme denyut dunia yang tampak berlangsung rapi, sebenarnya dihasilkan dari hubungan sebab akibat (cause and effect), yang akan terus berlangsung dan tak akan pernah selesai. Kelangsungan denyut dunia yang tampak rapi tersebut akan sangat tergantung pada relasi sebab akibat. Kerapian dunia bukanlah hasil ciptaan seseorang yang telah habis masa keproyekaannya. Sebaliknya, dunia akan terus berproses menurut logika sebab-akibat. Sebab, akibat ataupun sintesa bukanlah hasil pentakdiran yang tidak bisa difaham, dijelaskan, apalagi diubah. Oleh nalar manusia, ketiga aspek di atas bisa dijelaskan bahkan diubah serta diciptakan. Itu sebabnya, penganut faham positivisme menganggap bahwa dunia merupakan pekerjaan yang belum selesai masa keproyekannya. Positivisme hukum semakin memantapkan dirinya dengan mengadopsi pikiran-pikiran filsafat materialisme. Filsafat ini berdoktrin bahwa yang dianggap sebagai kebenaran adalah semua materi yang bisa dirasakan oleh panca indera (melihat, merasa, mendengar), alias materi yang bisa dijelaskan dengan nalar atau rasio. Hal yang tidak bisa dijelaskan oleh rasio bukanlah kebenaran. Salah satu cara untuk mengukur bahwa sesuatu bersifat rasional adalah dengan menggunakan optik panca indera. Setelah terlebih dahulu diturunkan ke dalam ilmu sosial, filsafat positivisme kemudian dikembangkan dalam ilmu hukum. Hasilnya, aliran berpikir yang bernama positivisme hukum (legal positivism). Berikut dua cara untuk mengenali kandungan ajaran filsafat positivisme dalam positivisme hukum. Pertama, positivisme hukum mengatakan bahwa di dalam dunia hukum juga berlangsung hubungan sebab akibat. Hukuman yang diberikan kepada seseorang adalah sebuah akibat yang disebabkan oleh peraturan perundang-undangan. Adalah tidak mungkin orang akan dihukum (akibat) bila terlebih dahulu tidak ada peraturan perundang-undangan (sebab). Jadi, hukum atau peraturan perundang-undangan adalah sebab yang mengakibatkan dihukumnya seseorang atau yang mengakibatkan seseorang mendapatkan atau kehilangan hak. Dalam pemikiran ideal Hans Kelsen, hukuman atau pemberian hak kepada seseorang harus disebabkan oleh hukum, bukan oleh disebabkan oleh anasir non-hukum (politik, ekonomi, budaya). Hanya dengan cara ini pula kemurnian hukum (reine rechtslehre) bisa tetap dipertahankan. Kedua, positivisme hukum juga meyakini bahwa hanya sesuatu yang ‘ada’, yang bisa dikategorikan sebagai hukum. Aturan (rule) yang tidak ada bukanlah hukum melainkan hanya moral. Kriteria agar aturan dianggap ada hanya apabila bisa dirasakan dengan panca indera. Satu-satunya cara agar aturan bisa dirasakan oleh panca indera adalah dengan menuliskannya. Dalam perkembangannya, hukum dianggap ada hanya apabila dituliskan (written law). Hukum yang tidak dituliskan bukanlah hukum (unnamed law). Pencirian seperti ini semakin mengental saat hukum diidentikan semata-mata dengan undang-undang (legisme). Dalam faham legisme, sekalipun sebuah aturan dituliskan, namun bila tidak dibuat oleh lembaga atau pejabat negara dan pemerintah dengan prosedur tertentu, tidak dapat dikualifisir sebagai hukum (statutory law). Selain lewat dua kandungan di atas, positivisme hukum juga bisa dikenali dengan doktrin lainya. Misalnya doktrin yang mempercayai bahwa hukum harus dirawat oleh ahlinya. Kaum yang dianggap ahli dalam merawat hukum adalah para lulusan fakultas dan sekolah tinggi hukum. Mereka dianggap ahli karena telah dididik selama sekian tahun untuk mengenal dan memahami hukum. Orang awam tidak pernah bisa menjadi ahli dalam merawat hukum karena tidak pernah mendapatkan pendidikan ilmu hukum. Bibit pemikiran ini diawali ketika Fakultas Hukum Bologna (Italia) mulai mengajarkan kodifikasi corpus juris civilis justitianus (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Justinianus-Kaisar Romawi). Kisah-kisah yang disebutkan dalam bagian awal tulisan ini adalah wujud faham dan doktrin positivisme hukum. Petugas uji fisik sepeda motor meninggalkan pertimbangan-pertimbangan moral dan humanismenya hanya karena mau menegakan hubungan sebab akibat. Karena tidak memiliki kaca spion maka pemilik sepeda motor harus menerima akibatnya: menghabiskan waktu lebih dari satu jam, kehabisan bensin atau mengeluarkan sejumlah uang. Istilah hak ulayat dan pemegang haknya sulit dicantumkan dalam sertifikat tanah hanya karena sertifikat tanah belum mengenal hak ulayat atau pemegang tanah secara kolektif. Tidak jarang, dalam kesulitan yang sama, aparatus negara dan pemerintah lebih memilih menyangkal hukum adat. Misalnya sejumlah penangkapan yang dilakukan oleh Tim Operasi Hutan Lestari terhadap orang yang mengambil kayu dari hutan atau ladangnya untuk keperluan membangun rumah. Mereka ditangkap karena tidak bisa menunjukan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Karena tidak bisa menunjukan dokumen, mereka akhirnya disangkakan se-bagai pelaku illegal logging seperti yang saat ini dialami seorang warga di Kampung Cisiih, Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak (Banten) dan di Kampung Benung, Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat (Kaltim). ‘Jakarta’ mempermainkan Orang Papua, dengan mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 2003, hanya de-ngan dalih legalistik yakni UU Otsus Papua tidak mencabut UU No. 45 Tahun 1999. Kisah-kisah di atas menunjukan betapa sosok positivisme hukum sangat mudah dijumpai dalam hidup sehari-hari. Tampilan positivisme hukum tidak berada jauh dari sekitar kita. Karena tidak berada jauh, maka dengan mudah keadilan substantif bisa diambil sewaktu-waktu dari kita. Kenapa? Karena bagi faham positivisme hukum, yang dianggap adil hanyalah sesuatu yang telah diletakkan atau diberlakukan (ponere, posui, positus) oleh peraturan atau hukum negara. ❏ Kerjasama Forum Keadilan dan Huma FORUM KEADILAN: N0. 41, 12 PEBRUARI2006 47