layout_41_12-06 (Page 98)

advertisement
WACANA
PEMBAHARUAN HUKUM
Positivisme Hukum Tidak
Jauh-jauh dari Kita
eorang pemilik sepeda motor hendak melakukan balik nama. Untuk
itu, dia diharuskan melakukan uji fisik. Rupanya, saat hendak berangkat dia lupa mengenakan kaca spion. Alhasil, karena
peraturan sudah menentukan demikian, polisi yang sedang jaga menyuruhnya melengkapi kaca spion tersebut. Tak ada cara lain,
si pemilik sepeda motor itu harus kembali
ke rumahnya, untuk mengambil kaca spion,
sekalipun dia harus menghabiskan waktu
lebih dari 1 jam. Bagi petugas, keadilan dalam kasus tersebut adalah apabila si pemilik sepeda motor mematuhi dengan sempurna segala hal yang diperintahkan oleh
peraturan, sekalipun dia harus kehabisan
bensin sekian liter atau menghadapi resiko
tabrakan di tengah jalan. Termasuk resiko
merogoh kantung apabila terkena razia dokumen kendaraan bermotor.
Tidak sedikit aparat birokrasi sipil dan aparat penegak hukum memupuk keyakinan
bahwa orang awam buta dengan hukum.
Cukup banyak jebolan fakultas hukum dan
sekolah tinggi hukum menganggap diri paling
berpengetahuan mengenai hukum. La-yaknya seorang dokter, para pengacara menjadi
begitu dibutuhkan setiap kali ada persengketaan dan sangkaan pidana. Para pihak
dan tersangka seketika berubah jadi pesakitan yang memerlukan resep dari pengacara
untuk bisa menang atau lolos dari hukuman.
Seperti yang disajikan oleh acara-acara TV
yang menayangkan dunia selebritis, komunitas para pesohor ini sedang menjadi perawat
gaya hidup: candu pengacara. Bayangkan,
seorang selebritis yang dipukul (hanya sekali) oleh selebritis lain, di sebuah kafe, langsung melaporkannya kepada polisi terdekat
tanpa mau menggunakan pertimbangan rasio dan moralnya untuk menuntaskan sendiri dengan cara damai.
Di banyak daerah sertifikasi tanah-tanah
komunal (seperti tanah ulayat) tidak bisa dilakukan hanya karena format sertifikat hak
S
Tidak sulit bagi kita
untuk menjumpai
tampilan positivisme
hukum. Sebab ia tidak
berada jauh dari kita.
Akibatnya, dengan
mudah pula ia
mengambil keadilan
dari kita hanya dengan
dalih untuk menjaga
apa yang telah
diletakan dan
diberlakukan oleh
peraturan dan hukum.
Tulisan ini diperoleh
dari berbagai sumber.
Rikardo Simarmata
Anggota Perkumpulan HuMa
46
FORUM KEADILAN: N0. 41, 12 PEBRUARI 2006
tanah tidak mengenal pemegang hak lebih
dari satu dan tidak mengenal hak ulayat sebagai salah satu jenis hak-hak atas tanah.
Dalam format sertifikat tanah, nama pemegang hak hanya satu, sementara pemilik tanah ulayat adalah satu persekutuan (gemeinschaft, paguyuban). Selama ini, nama hak
yang disebutkan dalam sertifikat ada-lah hak
milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai. Seorang staf Bagian Penatagunaan Tanah (PGT), Kantor Pertanahan
Kabupaten Kampar (Riau), terlihat tidak begitu yakin apakah hak ulayat bisa dikategorikan sebagai salah satu nama hak yang bisa
dicantumkan dalam sertifikat tanah.
Berdalih untuk melaksanakan ketentuan
UU No. 45 Tahun 1999, ‘Jakarta’ melakukan beberapa tindakan yang di mata Orang
Papua adalah bentuk ketidakkonsistenan.
Pertama, Presiden mengeluarkan Inpres
No. 1 Tahun 2003 Tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Propinsi
Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Kedua, pembentukan KPUD di Irian Jaya Barat
sekaligus rencana penyelenggaraan Pilkada. Kedua tindakan di atas, lagi-lagi atas
alasan untuk melaksanakan apa yang sudah ditetapkan dan diberlakukan oleh dan
dalam peraturan perundang-undangan.
Alasan itu sama sekali mengacuhkan sebagian suara yang menghendaki agar Propinsi
Papua tidak dipenggal-penggal.
Masih dari tanah Papua, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Papua dinyatakan se-bagai
tersangka pelaku illegal logging karena
menerbitkan atau memberikan Izin Pe-manfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA). Oleh
Tim Operasi Hutan Lestari (OHL), tindakan
Kepala Dinas itu dianggap melewati kewenangan. Karena sejak tahun 2002, Menteri
Kehutanan telah menarik kembali kewenangan Bupati/Walikota untuk memberikan izin
Kerjasama Forum Keadilan dan Huma
pemanfaatan kayu berskala 100 Hektar. Padahal, Kepala Dinas
merasa memiliki kewenangan tersebut karena diperbolehkan oleh
UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi
Papua. Dalam kasus ini, pemerintah pusat mengandalkan 2 argumen, yakni: Pertama, sebuah tindakan atau kebijakan, baru dianggap legal apabila dinyatakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah
daerah bukan dianggap sebagai sumber legalitas atau keabsahaan.
Kedua, kehadiran UU Otsus Papua tidak lantas menggu-gur-kan asas
hirarki perundang-undangan. UU Otsus tidak bisa dija-dikan alasan
untuk menyimpangi peraturan yang lebih tinggi, apalagi bila
menyangkut pemanfataan kawasan hutan. Lagipula UU Otsus tidak
diangap sebagai peraturan yang khusus, yang boleh menyimpangi
peraturan umum (lex specialis derogat lex generali).
Doktrin-Doktrin Utama Positivisme Hukum
Positivisme Hukum berakar dari filsafat positivisme. Di mata filsafat positivisme denyut dunia yang tampak berlangsung rapi, sebenarnya dihasilkan dari hubungan sebab akibat (cause and
effect), yang akan terus berlangsung dan tak akan pernah selesai.
Kelangsungan denyut dunia yang tampak rapi tersebut akan sangat
tergantung pada relasi sebab akibat. Kerapian dunia bukanlah hasil ciptaan seseorang yang telah habis masa keproyekaannya. Sebaliknya, dunia akan terus berproses menurut logika sebab-akibat.
Sebab, akibat ataupun sintesa bukanlah hasil pentakdiran yang
tidak bisa difaham, dijelaskan, apalagi diubah. Oleh nalar manusia,
ketiga aspek di atas bisa dijelaskan bahkan diubah serta diciptakan. Itu sebabnya, penganut faham positivisme menganggap bahwa dunia merupakan pekerjaan yang belum selesai masa keproyekannya. Positivisme hukum semakin memantapkan dirinya dengan mengadopsi pikiran-pikiran filsafat materialisme. Filsafat ini
berdoktrin bahwa yang dianggap sebagai kebenaran adalah semua
materi yang bisa dirasakan oleh panca indera (melihat, merasa,
mendengar), alias materi yang bisa dijelaskan dengan nalar atau
rasio. Hal yang tidak bisa dijelaskan oleh rasio bukanlah kebenaran. Salah satu cara untuk mengukur bahwa sesuatu bersifat rasional adalah dengan menggunakan optik panca indera.
Setelah terlebih dahulu diturunkan ke dalam ilmu sosial, filsafat
positivisme kemudian dikembangkan dalam ilmu hukum. Hasilnya,
aliran berpikir yang bernama positivisme hukum (legal positivism).
Berikut dua cara untuk mengenali kandungan ajaran filsafat positivisme dalam positivisme hukum. Pertama, positivisme hukum mengatakan bahwa di dalam dunia hukum juga berlangsung hubungan
sebab akibat. Hukuman yang diberikan kepada seseorang adalah
sebuah akibat yang disebabkan oleh peraturan perundang-undangan. Adalah tidak mungkin orang akan dihukum (akibat) bila terlebih
dahulu tidak ada peraturan perundang-undangan (sebab). Jadi,
hukum atau peraturan perundang-undangan adalah sebab yang mengakibatkan dihukumnya seseorang atau yang mengakibatkan seseorang mendapatkan atau kehilangan hak. Dalam pemikiran ideal Hans
Kelsen, hukuman atau pemberian hak kepada seseorang harus disebabkan oleh hukum, bukan oleh disebabkan oleh anasir non-hukum
(politik, ekonomi, budaya). Hanya dengan cara ini pula kemurnian
hukum (reine rechtslehre) bisa tetap dipertahankan.
Kedua, positivisme hukum juga meyakini bahwa hanya sesuatu
yang ‘ada’, yang bisa dikategorikan sebagai hukum. Aturan (rule)
yang tidak ada bukanlah hukum melainkan hanya moral. Kriteria
agar aturan dianggap ada hanya apabila bisa dirasakan dengan
panca indera. Satu-satunya cara agar aturan bisa dirasakan oleh
panca indera adalah dengan menuliskannya. Dalam perkembangannya, hukum dianggap ada hanya apabila dituliskan (written law).
Hukum yang tidak dituliskan bukanlah hukum (unnamed law). Pencirian seperti ini semakin mengental saat hukum diidentikan semata-mata dengan undang-undang (legisme). Dalam faham legisme,
sekalipun sebuah aturan dituliskan, namun bila tidak dibuat oleh
lembaga atau pejabat negara dan pemerintah dengan prosedur tertentu, tidak dapat dikualifisir sebagai hukum (statutory law).
Selain lewat dua kandungan di atas, positivisme hukum juga bisa dikenali dengan doktrin lainya. Misalnya doktrin yang mempercayai bahwa hukum harus dirawat oleh ahlinya. Kaum yang dianggap
ahli dalam merawat hukum adalah para lulusan fakultas dan sekolah tinggi hukum. Mereka dianggap ahli karena telah dididik selama sekian tahun untuk mengenal dan memahami hukum. Orang
awam tidak pernah bisa menjadi ahli dalam merawat hukum karena tidak pernah mendapatkan pendidikan ilmu hukum. Bibit pemikiran ini diawali ketika Fakultas Hukum Bologna (Italia) mulai mengajarkan kodifikasi corpus juris civilis justitianus (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Justinianus-Kaisar Romawi).
Kisah-kisah yang disebutkan dalam bagian awal tulisan ini adalah
wujud faham dan doktrin positivisme hukum. Petugas uji fisik sepeda
motor meninggalkan pertimbangan-pertimbangan moral dan humanismenya hanya karena mau menegakan hubungan sebab akibat.
Karena tidak memiliki kaca spion maka pemilik sepeda motor harus
menerima akibatnya: menghabiskan waktu lebih dari satu jam,
kehabisan bensin atau mengeluarkan sejumlah uang. Istilah hak
ulayat dan pemegang haknya sulit dicantumkan dalam sertifikat
tanah hanya karena sertifikat tanah belum mengenal hak ulayat atau
pemegang tanah secara kolektif. Tidak jarang, dalam kesulitan yang
sama, aparatus negara dan pemerintah lebih memilih menyangkal
hukum adat. Misalnya sejumlah penangkapan yang dilakukan oleh
Tim Operasi Hutan Lestari terhadap orang yang mengambil kayu dari
hutan atau ladangnya untuk keperluan membangun rumah. Mereka
ditangkap karena tidak bisa menunjukan dokumen Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Karena tidak bisa menunjukan dokumen, mereka akhirnya disangkakan se-bagai pelaku illegal logging
seperti yang saat ini dialami seorang warga di Kampung Cisiih, Desa
Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak (Banten) dan di Kampung Benung, Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat (Kaltim).
‘Jakarta’ mempermainkan Orang Papua, dengan mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 2003, hanya de-ngan dalih legalistik yakni UU
Otsus Papua tidak mencabut UU No. 45 Tahun 1999.
Kisah-kisah di atas menunjukan betapa sosok positivisme hukum sangat mudah dijumpai dalam hidup sehari-hari. Tampilan positivisme hukum tidak berada jauh dari sekitar kita. Karena tidak
berada jauh, maka dengan mudah keadilan substantif bisa diambil
sewaktu-waktu dari kita. Kenapa? Karena bagi faham positivisme
hukum, yang dianggap adil hanyalah sesuatu yang telah diletakkan
atau diberlakukan (ponere, posui, positus) oleh peraturan atau
hukum negara. ❏
Kerjasama Forum Keadilan dan Huma
FORUM KEADILAN: N0. 41, 12 PEBRUARI2006
47
Download