5 TINJAUAN PUSTAKA Remaja dan Pertumbuhan Remaja Usia remaja merupakan masa yang penting dalam kelangsungan hidup manusia. Menurut WHO (1995), usia remaja berkisar antara 10-19 tahun dan menurut Desmita (2005), batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kelangsungan hidup manusia. Masa tersebut adalah masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan yang cepat baik fisik maupun mental (Nasoetion & Riyadi 1995). Ahmadi dan Sholeh (2005) mengungkapkan, pada masa ini terdapat beberapa fase, yaitu fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 14 tahun), remaja pertengahan (usia 14 sampai dengan 18 tahun), fase remaja akhir (usia 18 tahun sampai dengan 21 tahun). Masa remaja merupakan periode penting pada pertumbuhan dan kematangan manusia. Menurut Affandi dan Danukusumo (1990), remaja dimulai dengan masa pubertas, yaitu tanda-tanda awal dari perkembangan karakteristik seksual sekunder dan terus berlanjut sampai terjadi perubahan-perubahan morfologi dan fisiologi pada masa dewasa. Pertumbuhan adalah suatu proses bertambahnya ukuran fisik tubuh sebagai hasil interaksi yang berkesinambungan dan kompleks antara faktor keturunan dan lingkungan (Jelliffe & Jelliffe 1989). Faktor lain yang berperan adalah faktor hormonal, biologi, tingkat sosial ekonomi, struktur tulang, serta adanya trauma psikologi pada anak. Selama remaja, perubahan hormonal mempercepat pertumbuhan. Menurut WHO (1995), faktor genetik memegang peranan penting pada pertumbuhan seseorang, terutama pada tinggi badan. Kecepatan pertumbuhan fisik pada saat remaja adalah kedua tercepat setelah masa bayi. Pada masa ini sekitar 20% tinggi badan dan 50% berat badan seseorang telah tercapai (Khomsan 2004). Salah satu dimensi pertumbuhan remaja yang dapat terukur yaitu tinggi badan. Pengukuran tinggi badan merupakan salah satu bentuk pengukuran antropometri. Tinggi badan adalah ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Struktur dan Pembentukan Tulang Tulang secara fisiologis memiliki 3 fungsi utama yaitu sebagai fungsi metabolik dan fungsi mekanik serta fungsi hemopoetik. Secara garis besar tulang dikenal ada dua tipe yaitu tulang korteks (kompak) dan tulang trabekular 6 (berongga = spongy = cancelous). Bagian luar kedua tulang tersebut merupakan tulang padat yang disebut korteks tulang dan bagian dalamnya adalah tulang trabekular yang tersusun seperti bunga karang (Buckwalter 1995). Secara makroskopis, menurut Lane (2001) dan Rachman (2006), tulang dibedakan menjadi tulang woven dan tulang berlapis (lamellar). Tulang woven adalah bentuk tulang yang paling awal pada embrio dan selama pertumbuhannya terdiri dari jaringan kolagen berbentuk ireguler. Setelah dewasa tulang woven diganti oleh tulang berlapis yang terdiri dari tulang korteks dan trabekular. Menurut Buckwalter (1995), tulang korteks merupakan bagian terbesar (80%) penyusun kerangka. Tulang korteks mempunyai fungsi mekanik, modulus elastisitas yang tinggi dan mampu menahan tekanan mekanik berupa beban tekukan dan puntiran yang berat. Tulang korteks terdiri dari lapisan padat kolagen yang mengalami mineralisasi, tersusun konsentris sejajar dengan permukaan tulang. Tulang korteks terdapat pada tulang panjang ekstremitas dan vertebra. Tulang spongiosa atau cancelous atau trabekular mempunyai elastisitas yang lebih kecil dibandingkan dengan tulang korteks. Selain itu, tulang spongiosa atau cancelous mengalami proses resorpsi yang lebih cepat dibandingkan dengan tulang korteks. Tulang spongiosa terdapat pada daerah metafisis dan epifisis tulang panjang serta pada bagian dalam tulang pendek. Unsur yang membentuk tulang menurut Compston (2001) antara lain adalah mineral (±65%), matriks (35%), osteoblas, osteoklas, osteosit, dan air. Matriks tulang korteks dan trabekula tersusun atas matriks organik dan anorganik. Komponen anorganik merupakan 65% dari seluruh masa tulang sedangkan, komponen organik sekitar 20% dan air 10%. Kolagen tulang merupakan komponen organik terbesar yang membentuk dan memungkinkan tulang menahan regangan sedangkan anorganik atau mineral berfungsi menahan beban tekanan. Sel tulang terdiri atas tiga jenis sel yaitu osteoblas, osteoklas, osteosit. Osteoblas berasal dari jalur sel mesenkim stroma sumsum tulang. Osteoblas memproduksi osteoid atau matriks tulang, berbentuk bulat, oval atau polihedral, terpisah dari matriks yang telah mengalami mineralisasi. Osteoblas berfungsi mensintesis dan mensekresi matriks organik tulang, mengatur perubahan elektrolit cairan ekstraselular pada proses mineralisasi. Osteoblas mengandung retikulum endoplasma, membran golgi dan mitokondria. Pematangan osteoblas memerlukan fibroblast growth factor (FGF), bone morphogenic proteins (BMPs), 7 core binding factor-1 (CBFA-1) dan osteoblas specific cis acting element (OSE2). Osteoblas memiliki reseptor estrogen, sitokin, paratiroid hormon (PTH), insulin derivated growth factor (IGF), dan Vitamin D3. Osteoblas saling berhubungan melalui gap junction. Osteoblas yang menetap pada permukaan tulang bentuknya pipih yang dinamakan bone lining cells/resting osteoblas (Compston 2001). Osteoklas berasal dari jalur hemopoetik yang juga membuat makrofag dan monosit. Sel ini berpindah dari sumsum tulang lewat sirkulasi atau migrasi secara langsung. Sel prekursor osteoklas terdapat pada sumsum tulang dan sirkulasi darah. Sel ini ditemukan pada permukaan tulang yang mengalami resorpsi dan kemudian membentuk cekungan yang dikenal sebagai lakuna Howship. Osteoklas dalam sitoplasmanya akan terisi oleh mitokondria guna menyediakan energi untuk proses resorpsi tulang. Osteoklas merusak matriks tulang, melekat pada permukaan tulang, memisahkan sel dengan matriks, menurunkan pH 7 (netral) menjadi pH 4 (asam). Keasaman ini akan melarutkan mineral dan merusak matriks sel sehingga protease keluar (Compston 2001). Osteosit berasal dari osteoblas dimana pada akhir proses mineralisasi akan tersimpan pada matriks tulang. Osteosit mempunyai satu inti, jumlah organela bervariasi dan sel ini menjangkau permukaan luar dan dalam tulang, membuat tulang menjadi sensitif terhadap tekanan, mengontrol pergerakan ion serta mineralisasi tulang (Compston 2001). Osteosit merupakan 90% dari sel tulang terletak diantara matriks tulang yang mengalami mineralisasi. Osteosit mempunyai satu inti, jumlah organela bervariasi. Jaringan sel ini menjangkau permukaan luar dan dalam tulang, membuat tulang menjadi sensitif terhadap pengaruh tekanan, mengontrol pergerakan ion serta mineralisasi tulang. Osteosit berasal dari osteoblas yang pada akhir proses mineralisasi terhimpit oleh ekstraselular matriks. Osteosit merupakan sel yang sensitif terhadap tekanan mekanik, berperan dalam pemeliharaan massa dan struktur tulang (Compston 2001; Van Essen 2007). Proses pembentukan tulang terdiri dari dua tahap yaitu modeling dan remodeling tulang (Buckwalter 1995). Modeling tulang adalah suatu proses untuk mencapai bentuk dan ukuran yang tepat selama pertumbuhan dan perkembangan tulang. Pembentukan tulang panjang terjadi melalui mekanisme pergeseran tulang endokondrial pada tulang panjang dan pergeseran pada tulang apendikular. Kalsifikasi tulang rawan disebut the primary spongiosum 8 bone dan untuk tulang yang terletak di antara jaringan disebut the secondary spongiosum bone yang nantinya dikenal sebagai woven bone (Compston 2001). Setelah tulang woven berubah menjadi tulang berlapis (lamellar), tulang terus mengalami proses resorpsi, pembentukan dan mineralisasi yang dikenal sebagai remodeling tulang (pembentukan kembali). Tujuan pembentukan kembali tulang atau remodeling tulang adalah untuk mereparasi kerusakan tulang akibat kelelahan atau fatigue damage, mencegah proses ketuaan atau aging dan akumulasi tulang tua. Proses remodeling diatur oleh sel osteoblas dan osteoklas yang tersusun dalam struktur yang disebut “bone remodeling unit” (BRU). BRU merupakan suatu struktur temporer yang unik aktif saat modeling dan remodeling. Struktur dari BRU terdiri dari osteoklas didepan diikuti oleh osteoblas, dibelakang dan ditengah-tengah terdapat kapiler, jaringan syaraf dan jaringan ikat (Compston 2001). Proses penyerapan tulang terjadi dalam tiga minggu sedangkan proses pembentukan tulang membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Masa hidup BRU enam sampai sembilan bulan, lebih lama dari masa hidup osteoblas yaitu tiga bulan dan masa hidup osteoklas dua minggu sehingga diperlukan persediaan banyak sel osteoblas yang dibentuk oleh sel mesenkim dan osteoklas (Compston 2001; Canalis 2005). Densitas Tulang Menurut Suryono (2007), densitas/kepadatan tulang adalah jumlah kandungan mineral tulang yang diukur dengan alat bone densitometer. Densitas tulang pada remaja dapat menentukan risiko osteoporosis saat usia lanjut. Densitas tulang secara umum disebut dengan istilah massa mineral tulang atau BMD (Bone Mineral Density). Densitas tulang memiliki hubungan terbalik yang berkelanjutan dan bertahap dengan risiko fraktur tulang, semakin rendah densitas tulang maka semakin besar risiko fraktur tulang (National Osteoporosis Foundation 2003). Pembentukan tulang yang pesat dialami oleh seseorang yang berada pada rentang usia antara 18 hingga 20 tahun (Mann & Truswell 2007). Kementrian Kesehatan RI (2008), menyebutkan bahwa massa tulang pada usia 30 tahun akan mengalami suatu puncak kepadatan tulang yang biasanya disebut Peak Bone Mass (PBM). Gambar 1 menunjukkan perkembangan massa tulang selama tahap kehidupan manusia. Massa jaringan tulang total pada tubuh yang terbentuk pada masa remaja adalah 45% dan mencapai puncak kepadatan tulang/PBM (Peak Bone Mass) pada saat remaja akhir (Matkovic et al. 1994). 9 Kebutuhan zat gizi selama remaja akan mengalami peningkatan karena adanya proses pertumbuhan. Hal tersebut juga berlaku untuk kebutuhan mineral termasuk kalsium. Menurut Riyadi (2003) lebih dari 20% pertumbuhan tinggi badan total dan sekitar 50% massa tulang dewasa dicapai selama masa remaja, sehingga hal ini menyebabkan kebutuhan kalsium meningkat sekitar 50%. Menurut Kalkwarf et al. (2003), seseorang yang mengkonsumsi kalsium (terutama dari susu) dalam jumlah yang kurang pada saat anak-anak dan remaja, memiliki resiko kurangnya kepadatan tulang dan terjadinya osteoporosis pada saat dewasa dan lanjut usia. Selama tahap pertumbuhan dan pembentukan tulang serta guna mencapai PBM, laki-laki membutuhkan lebih banyak kalsium daripada perempuan selama 20 tahun pertama kehidupan mereka. Menurut Olson, Broquist, Darby, Kolbye, dan Stanley (1988), hal tersebut disebabkan massa tulang perempuan lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki, sehingga absorpsi kalsium pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Oleh karena itu, laki-laki membutuhkan kalsium yang lebih tinggi. Gambar 1 Perkembangan massa tulang sejak lahir hingga usia lanjut (Reid 2011) Selama perkembangan, tulang membutuhkan kalsium yang tinggi. Setelah mencapai masa pubertas (kematangan hormon estrogen pada wanita dan kematangan hormon testoteron pada laki-laki) karena pengaruh anabolik dan prekusor estrogen terjadilah proses remodeling tulang. Tulang manusia mengalami peluruhan dan pembentukan secara berkesinambungan. Saat usia muda, pembentukan tulang berlangsung lebih cepat dibandingkan resorpsinya. Sementara itu, saat usia tua resorpsi tulang berlangsung lebih cepat dibandingkan pembentukannya (Khomsan 2006). Oleh karena itu pada usia tua terjadi proses kehilangan massa tulang. 10 Menurut Almatsier (2006), densitas tulang berbeda menurut umur, meningkat pada bagian pertama kehidupan dan berangsur menurun setelah dewasa. Densitas tulang akan terus meningkat sampai pada dekade keempat atau kelima dengan kecepatan paling tinggi terjadi pada massa remaja atau adolescent. Tulang trabekular mengalami remodeling atau bone turnover sekitar 20-30% pertahun sedangkan tulang korteks 3%-10% pertahunnya (Compston 2001). Zat gizi yang penting untuk mempertahankan densitas tulang adalah kalsium. Kalsium mempunyai berbagai fungsi dalam tubuh, salah satunya adalah memberikan kekuatan dan bentuk pada tulang dan gigi. Kalsium dalam tulang merupakan sumber kalsium darah (Almatsier 2006). Asupan kalsium yang cukup sangat dianjurkan karena bila kalsium di dalam darah mengalami penurunan, tubuh akan langsung mengambilnya dari tulang. Bila keadaan ini berlangsung secara terus-menerus, kadar kalsium di dalam tubuh akan mengalami penurunan sehingga menyebabkan penurunan densitas tulang (Mann & Truswell 2007). Beberapa faktor selain kalsium yang mempengaruhi kepadatan tulang seseorang diantaranya adalah usia, jenis kelamin, faktor genetik dan gaya hidup seperti kebiasaan berolahraga, konsumsi alkohol, konsumsi kopi, serta kebiasaan merokok (Mann & Truswell 2007; Kemenkes 2008). Wardlaw et al. (2007) menambahkan konsumsi makanan berserat dalam jumlah besar, proporsi fosfor yang lebih besar daripada kalsium, adanya asam fitat, oksalat dan asam lemak yang tidak dapat diserap/mengikat kalsium akan menurunkan penyerapan kalsium dalam tubuh. Selain itu, obat-obatan tertentu (jenis glukokortikoid) dapat berpengaruh terhadap ketersediaan biologik kalsium atau meningkatkan ekskresi sehingga dapat menyebabkan penurunan kepadatan tulang (Almatsier 2006; Dawson-Hughes 2006). Aktivitas fisik harian dan olahraga diketahui juga dapat mempengaruhi massa dan kepadatan tulang. Olahraga dengan tingkat sedang yang dilakukan secara teratur sangat baik diterapkan sejak dini untuk pertumbuhan massa tulang (Mann & Truswell 2007). Valimaki et al. (1994) dan CDC (2005) dalam Fikawati et al. (2005) menyatakan bahwa olahraga yang baik untuk dapat mendukung kekuatan dan kepadatan tulang dan mencapai PBM maksimal adalah dengan latihan teratur lebih dari 3 kali seminggu minimal 30 menit setiap kali latihan. Remaja dengan aktivitas fisik kurang tidak cukup memperoleh rangsangan untuk memenuhi kebutuhan kalsiumnya, dengan asumsi bahwa jika 11 aktivitas fisik seseorang tinggi maka ia akan memperoleh rangsangan untuk memenuhi kebutuhan kalsiumnya dengan berusaha mengkonsumsi makanan sumber kalsium (Fikawati et al. 2005). Penelitian Lloyd et al. (2004) menunjukkan adanya hubungan yang positif antara tingkat olahraga dengan massa dan kekuatan tulang. Aktivitas olahraga pada masa remaja berhubungan dengan massa dan kekuatan tulang panggul masa dewasa. Gambar 2 menunjukkan struktur trabekula normal dan trabekula yang mengalami osteoporosis. Gambar 2 Struktur trabekula normal (A) dan trabekula yang mengalami osteoporosis (B) (Reid 2011) Pengukuran Densitas Tulang Pengukuran kepadatan tulang adalah pengukuran kepadatan mineral (seperti kalsium) pada tulang dengan menggunakan sinar-X spesial, CT scan, atau ultrasounds. Dari hasil pengukuran kepadatan tulang ini dapat diperkirakan kekuatan tulang (Nissl 2004). Pengukuran densitas tulang dimaksudkan untuk mengukur kekuatan dan kepadatan tulang serta menganalisis kemungkinan terjadinya resiko pengeroposan atau patah tulang di masa mendatang. Menurut Broto (2004), pemeriksaan kepadatan tulang dengan bone densitometer merupakan pemeriksaan akurat dan presisi untuk menilai kepadatan tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur dan diagnosis osteoporosis. Densitometer umumnya digunakan untuk mendiagnosis kepadatan tulang yang rawan keropos (osteoporosis) dengan mengukur kepadatan mineral tulang Sistem kerja alat ini ada yang dapat mengukur lumbal, pangkal paha, lengan bawah ataupun tulang tumit saja. Densitometer dapat digunakan sebagai deteksi dini adanya patah tulang (Kemenkes 2008). Beberapa alat dan cara yang digunakan untuk mengukur densitas tulang ditunjukkan pada Tabel 1. 12 Tabel 1 Alat pengukur densitas tulang dengan kelebihan dan kelemahannya Nama alat Radiographic absorptiometry Single energy x-ray absorptiometry Dual energy x-ray absorptiometry Quantitative compute tomography Quantitative ultrasound Bagian tubuh yang diukur Telapak tangan/tumit Rangka apendik Murah Terlalu sensitif Mudah digunakan Seluruh tubuh Lebih akurat Terbatas pada rangka apendik Mahal Tulang belakang Menggambarkan 2 kepadatan g/cm Radiasi tinggi Kaki, tumit Tanpa radiasi, murah, mudah digunakan Tidak bisa memprediksi resiko fraktur Kelebihan Kekurangan Sumber: Mirsky & Einhorn (1998) Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan mineral tulang adalah Dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), Peripheral dual-energy X-ray absorptiometry (P-DEXA), Dual photon absorptiometry (DPA), Ultrasounds, dan Quantitative computed tomography (QTC). Dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), menggunakan dua sinar-X berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X dipancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-X yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal dibandingan dengan metode ultrasounds (Nissl 2004). Peripheral dual-energy X-ray absorptiometry (P-DEXA), merupakan hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapi tidak dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulang seperti tulang belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang belakang dan pangkal paha sudah diukur maka pengukuran dengan P-DEXA tidak diperlukan. Mesin P-DEXA mudah dibawa, menggunakan radiasi sinar-X dengan dosis yang sangat kecil, dan hasilnya lebih cepat dan konvensional dibandingkan DEXA (Nissl 2004). Dual photon absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif untuk menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral tulang belakang dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat rendah tetapi memerlukan waktu yang cukup lama (Nissl 2004). 13 Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka dianjurkan untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds menggunakan gelombang suara untuk mengukur kepadatan mineral tulang, biasanya pada telapak kaki. Sebagian mesin melewatkan gelombang suara melalui udara dan sebagian lagi melalui air. Ultrasounds dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak menggunakan radiasi seperti sinar-X. Alat ini dapat mengukur kepadatan mineral tulang tumit pasien dalam waktu 1 menit (Kemenkes 2008). Salah satu kelemahan Ultrasounds tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral tulang yang berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan Ultrasounds juga lebih terbatas dibandingkan DEXA (Nissl 2004). Quantitative computed tomography (QTC), adalah suatu model dari CTscan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu model dari QTC disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan. Pada umumnya pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan karena sangat mahal, menggunakan radiasi dengan dosis tinggi, dan kurang akurat dibandingkan dengan DEXA, PDEXA, atau DPA (Nissl 2004). Densitas tulang diekspresikan sebagai keterkaitan antara dua standar z score dan t score. Z score adalah perbandingan nilai kepadatan tulang yang diharapkan pada pasien sesuai umur dan jenis kelamin. Sedangkan t score adalah skor nilai perbandingan kepadatan tulang pasien dengan nilai kepadatan tulang standar populasi orang dewasa muda normal dengan jenis kelamin yang sama. Menurunnya t score secara paralel berkaitan dengan menurunnya massa tulang. Hal ini terjadi seiring dengan bertambahnya umur (NOF 2003). Nilai densitas mineral menurut klasifikasi WHO berdasarkan t score ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai densitas mineral menurut klasifikasi WHO berdasarkan t score Kategori t score Normal -1 ≤ SD < 2,5 Osteopenia -2,5 ≤ SD < -1 Osteoporosis < -2,5 Osteoporosis parah < -2,5 dan adanya satu atau lebih fracture Sumber: WHO (1994) Achilles Insight. Achilles Insight adalah ultrasonometer tulang yang menggunakan gelombang suara frekuensi yang tinggi (ultrasound) untuk mengevaluasi status tulang di bagian tumit (os calcis). Dengan kata lain, Achilles 14 Insight termasuk ke dalam alat pengukur densitas tulang jenis ultrasound. Alat ini dilengkapi dengan tempat duduk untuk pasien, dengan salah satu kaki pasien diletakkan pada positioner. Tumit akan diapit oleh membran yang mengembang berisi air hangat. Air di dalam membran berfungsi sebagai media optimal transmisi ultrasound. Transduser yang terdapat pada salah satu sisi tumit mengubah sinyal listrik menjadi gelombang suara yang akan melewati air pada membran dan tumit. Tranduser pada pada sisi yang lain dari tumit menerima gelombang suara yang kemudian diubah kembali menjadi sinyal listrik yang akan dianalisis oleh program dalam Achilles Insight. Sinyal yang diterima akan digunakan untuk menampilkan gambaran dari tumit (os calcis) saat pengukuran berlangsung. Achilles Insight mengukur SOS (Speed of Sound) dan BUA (Broadband Ultrasound Attenuation) dan mengkombinasikan keduanya menjadi hasil pengukuran klinis yang disebut dengan Stiffness Index (SI) (GE Health Care 2002). Alat ini memiliki ukuran 25,4x30,5x61 cm (10x12x24 inch) dengan berat 10 kg. Alat ini beroperasi pada suhu 15-35 oC dan kelembaban 25-80%. Achilles Insight memiliki akurasi sebesar 98%. Alat ini dilengkapi dengan monitor LCD dengan ukuran 5,7 inch (14,5 cm) berwarna yang memiliki efek touch screen. Alat ini membutuhkan membran dan aquades agar dapat beroperasi. Membran terbuat dari bahan latex. Aquades diganti minimal setelah 300 kali pengukuran. Setelah mengisi ulang aquades, Achilles Insight dikalibrasi ulang (GE Health Care 2002). Saat akan dilakukan pengukuran, terlebih dahulu dilakukan input pada informasi pasien meliputi pasien ID, jenis kelamin, usia, dan kaki yang digunakan (kanan/kiri). Selain informasi pasien, dapat juga ditambahkan data opsional meliputi nama, tinggi badan, berat badan, tanggal lahir, usia menopouse, dan ras. Sebelum densitas tulang diukur, kaki pasien disemprotkan isoprophil alkohol dengan konsentrasi 70% atau gel sebagai media penghantar agar densitas tulang dapat terbaca di monitor. Output yang dihasilkan melalui monitor meliputi nilai Stiffness Index, t score, dan z score berdasarkan klasifikasi WHO, serta dilengkapi dengan grafik (GE Health Care 2002). Tabel 3 menunjukkan klasifikasi Stiffness Index (SI) pada usia 20-29 tahun. 15 Tabel 3 Klasifikasi Stiffness Index (SI) pada usia 20-29 tahun Kategori Well above average Above average Average Below average Well below average Laki-laki >146 123-146 90-122 66-89 <66 Sumber: Tufts Longitudinal Health Study (2010) Perempuan >141 116-140 84-115 61-83 <60 Kalsium, Fungsi, dan Angka Kecukupan Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, 40% dari seluruh mineral yang ada adalah kalsium atau setara dengan 10001200 gram (Wardlaw et al. 2007; Wiseman 2002). Sekitar 99% total kalsium dalam tubuh ditemukan dalam jaringan keras/tulang yang berperan sentral dalam pembentukan struktur kekuatan tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit. Hanya sebagian kecil (1%) terdapat dalam jaringan lunak, cairan ekstraseluler, plasma yang diperlukan dalam banyak peran metabolisme. Apabila jumlahnya di bawah 1%, maka tubuh akan melepaskan kalsium dari tulang ataupun gigi untuk memenuhi kebutuhan (Wardlaw et al. 2007). Menurut Almatsier (2006), jumlah kalsium dalam tulang berubah menurut umur, ukuran, dan komposisi tubuh serta akan mengalami penurunan massa tulang sejalan dengan pertambahan umur. Kalsium mempunyai peranan yang penting dalam tubuh, yaitu dalam pembentukan tulang dan gigi, dalam pengaturan fungsi sel pada cairan ekstraseluler dan intraseluler, seperti untuk transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, dan menjaga permeabilitas membran sel. Selain itu kalsium juga mengatur pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan (Winarno 2002; Almatsier 2006). Kebutuhan kalsium pada remaja sangat tinggi karena masa pembentukan tulang terjadi pada saat remaja. Karena kebutuhannya yang tinggi, efisiensi penyerapan kalsium pada remaja meningkat dan deposit kalsium meningkat hingga 2 kali lebih besar daripada masa-masa sebelum ataupun sesudahnya. Dengan demikian, asupan kalsium yang cukup dari makanan sangat diperlukan untuk memaksimalkan PBM dan menjaga keseimbangan kalsium tubuh yang optimal (Krummel 1996 dalam Fikawati et al. 2005). Tabel 4 berikut menunjukkan angka kecukupan kalsium pada remaja. 16 Tabel 4 Angka kecukupan Ca (mg/hari) pada remaja Angka Kecukupan Kalsium Usia/Jenis Kelamin (mg/hari) Laki-laki 16-18 tahun 1000 19-29 tahun 800 Perempuan 16-18 tahun 1000 19-29 tahun 800 Sumber: Widyakarya Pangan dan Gizi Nasional VIII (2004) Absorpsi dan Ekskresi Kalsium Proses metabolisme kalsium melibatkan kerja hormon-hormon. Tiga hormon terutama dihubungkan dengan regulasi metabolisme kalsium. Menurut Ganong (1990) 1,25-dihidroksikalsiferol/kalsitriol merupakan hormon steroid yang dibentuk dari vitamin D oleh hidroksilasi berurutan di dalam hati dan ginjal. Fungsi utamanya yaitu meningkatkan absorpsi kalsium dalam usus dengan meningkatkan aktivitas protein-pengikat kalsium yang disebut calbindin (Gropper, Smith, & Groff 2009). Hormon paratiroid (PTH) memobilisasi kalsium dari tulang dan meningkatkan ekskresi fosfat urin. Penurunan kadar kalsium plasma sekalipun dalam jumlah kecil akan meningkatkan sekresi PTH, yang merangsang resorpsi tulang secara aktif. Kalsitonin merupakan suatu hormon yang dapat menurunkan kadar kalsium di dalam plasma dan menghambat resorpsi tulang. Bila kadar kalsium plasma meningkat, jumlah kalsitonin yang dilepaskan meningkat secara proporsional dan menurunkan sekresi PTH yang mengakibatkan menurunnya produksi kalsitriol. Selain hormon-hormon tersebut, Ganong menambahkan bahwa peran hormon pertumbuhan dan estrogen akan mempengaruhi metabolisme kalsium. Absorpsi kalsium adalah proses aktif yang terjadi terutama di duodenum dan jejunum (Muchtadi et al. 1993). Penyerapan kalsium secara efisien mensyaratkan suasana asam di dalam usus halus, yang merupakan keadaan normal. Asam klorida yang dikeluarkan lambung membantu absorpsi kalsium dengan cara menurunkan pH pada bagian atas duodenum. Pada usia lanjut, keasaman cenderung menurun sehingga absorpsi kalsium menjadi menurun. Hal ini merupakan salah satu penyebab osteoporosis pada kaum manula (Wiseman 2002). Penyerapan kalsium sangat bervariasi, tergantung pada umur dan kondisi tubuh. Pada waktu kanak-kanak atau masa pertumbuhan, sekitar 50-70% 17 kalsium yang dicerna diserap, tetapi pada waktu dewasa hanya 10-40% kalsium yang diserap (Winarno 2002). Absorpsi kalsium yang efisien terjadi jika kebutuhan semakin meningkat dan persediaan kalsium dalam tubuh semakin menurun. Peningkatan kebutuhan terjadi selama masa pertumbuhan, masa kanak-kanak dan remaja, kehamilan dan menyusui. Jumlah kalsium yang dikonsumsi akan mempengaruhi kalsium yang diabsorpsi (Almatsier 2006; Bender 2003). Pada keadaan normal sebanyak 30-50% kalsium yang dikonsumsi diabsorpsi tubuh. Kemampuan absorpsi lebih tinggi pada masa pertumbuhan dan menurun pada proses penuaan. Kemampuan absorpsi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan pada semua golongan usia. Absorpsi kalsium terutama dilakukan secara aktif dengan menggunakan alat angkut protein pengikat kalsium (calbindin). Absorpsi pasif terjadi pada permukaan saluran cerna. Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk terlarut (Almatsier 2006). Menurut Muchtadi et al. (1993) absorpsi kalsium tidak pernah sempurna, tergantung pada kalsium dalam bentuk ion terlarut (pH asam), adanya vitamin D, dan hormon paratiroid. Absorpsi kalsium yang menurun dapat disebabkan oleh menurunnya waktu transit gastrointestinal (akibat diare), stres, dan imobilisasi, serta hormon tiroid. Absorpsi kalsium akan meningkat dengan konsumsi beberapa antibiotik seperti penisilin, neomisin, dan khloramfenikol. Absorpsi kalsium dirangsang oleh vitamin D. Peranan vitamin D dalam meningkatkan penyerapan kalsium oleh usus terjadi pada saat kekurangan kalsium dalam bahan pangan atau pada saat kebutuhan kalsium meningkat yang berlangsung dengan perantara metabolit 1,25-(OH)2D3. Senyawa 1,25-(OH)2D3 merupakan metabolit aktif dari vitamin D yang berperan dalam penyerapan kalsium dan fosfor di dalam usus (Muchtadi et al. 1993). Vitamin D meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium (Almatsier 2006). Faktor dalam makanan selain vitamin D yang dapat meningkatkan absorpsi kalsium antara lain adalah beberapa asam amino seperti lisin dan arginin, serta laktosa. Asam amino tertentu meningkatkan pH saluran cerna, sehingga membantu absorpsi (Almatsier 2006). Laktosa meningkatkan absorpsi kalsium dengan cara meningkatkan kelarutannya (Gropper et al. 2009). Garam kalsium lebih banyak larut di dalam larutan asam amino daripada air. 18 Penyerapan kalsium meningkat dengan meningkatnya konsumsi protein, namun jumlah kalsium yang hilang melalui urin juga meningkat dengan meningkatnya konsumsi protein. Hal tersebut menyebabkan konsumsi protein yang berlebihan secara terus-menerus berdampak kurang baik (Muchtadi et al. 1993). Absorpsi kalsium dihambat oleh senyawa-senyawa yang membentuk garam-garam kalsium yang tidak larut seperti oksalat dan fitat (Gropper et al. 2009). Menurut Burton dan Foster (1988) asam oksalat yang terdapat dalam bayam dan sayuran lain dapat menghambat absorpsi kalsium. Oksalat dan kalsium akan membentuk kalsium oksalat yang tidak dapat diabsorpsi di usus halus. Efek ini tergantung dari jumlah oksalat yang terdapat pada makanan yang dikonsumsi. Setelah oksalat, asam fitat diduga juga dapat menghambat absorpsi kalsium. Fitat dalam tubuh akan membentuk garam kalsium yang tidak larut sehingga kalsium menjadi tidak tersedia untuk diabsorpsi (Burton & Foster 1988). Asam fitat terdapat pada serealia seperti roti dan gandum serta beras. Fitat yang terdapat pada 250 g roti dapat mencegah penyerapan kalsium hingga 300 mg, yaitu sekitar sepertiga dari kebutuhan rata-rata kalsium sehari (Wiseman 2002). Gangguan penyerapan kalsium dapat terjadi bila terdapat ketidakseimbangan antara kalsium dan fosfor. Kalsium dan fosfor bekerja saling berkaitan dalam tubuh (Khomsan 2002). Rasio vital antara Ca:P untuk pertumbuhan tulang yang ideal adalah 1:1 hingga 2:1 (IOM 1991; Khomsan 2002). Serat dan lemak diduga dapat mempengaruhi absorpsi kalsium tubuh. Serat diduga menurunkan absorpsi kalsium. Hal ini terjadi karena serat menurunkan waktu transit makanan di dalam saluran cerna sehingga mengurangi kesempatan untuk absorpsi (Almatsier 2006). Lemak meningkatkan waktu transit makanan melalui saluran cerna, dengan demikian memberi waktu lebih banyak untuk absorpsi kalsium. Pada kondisi normal, kekurangan lemak sangat sedikit pengaruhnya terhadap penyerapan kalsium oleh usus. Namun, pada kondisi abnormal tertentu, kehilangan kalsium dapat terjadi akibat terganggunya absorpsi lemak. Garam-garam asam lemak dari kalsium (sabun kalsium) bersifat tidak larut. Jika asam lemak yang dihasilkan dari hidrolisis lemak tidak dapat diserap, maka asam lemak tersebut akan berikatan dengan kalsium dan terbuang sebagai feses (Muchtadi et al. 1993). 19 Konsumsi sodium yang berlebihan dapat meningkatkan ekskresi kalsium melalui urin. Pengaruh yang sama juga terjadi pada konsumsi kafein yang berlebihan (Gropper et al. 2009). Hal ini menyebabkan kadar kalsium dalam darah menurun sehingga merangsang dilepaskannya hormon paratiroid yang kemudian merangsang resorpsi tulang secara aktif, guna mengembalikan kadar kalsium darah (Khomsan 2002). Selain faktor makanan, stres mental dan fisik cenderung menurunkan absorpsi dan meningkatkan ekskresi kalsium. Tingkat aktivitas juga dapat mempengaruhi absorpsi kalsium dalam tubuh. Seseorang yang kurang bergerak dan lama tidak bangun dari tempat tidurnya dapat kehilangan sebanyak 0,5% kalsium tulang dalam jangka waktu sebulan dan tidak dapat menggantikannya (Almatsier 2006). Obat-obatan tertentu juga dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium dan meningkatkan ekskresi yang dapat menyebabkan menurunnya densitas tulang. Obat-obatan seperti antibiotik tetrasiklin cenderung dapat mengikat kalsium dan membuat kalsium tidak tersedia untuk diabsorpsi. Obat-obatan anti konvulsif dapat mengurangi absorpsi kalsium karena cara bekerjanya dalam metabolisme vitamin D di dalam tubuh (Burton & Foster 1988). Sejumlah besar kalsium difiltrasi di dalam ginjal, tetapi 98-99% kalsium yang disaring direabsorpsi. Sekitar 60% reabsorpsi terjadi di tubulus proximalis dan sisanya dalam pars ascendans ansa henle dan tubulus distalis. Reabsorpsi tubulus distalis diregulasi oleh hormon paratiroid (Ganong 1990). Kalsium diekskresikan melalui urin dan feses. Dalam kondisi normal, ginjal menekskresikan kelebihan kalsium dalam darah sebesar 7 mg/100 ml. regulasi hormon akan mempengaruhi keseimbangan kalsium yang diekskresikan melalui urin (Burton & Foster 1988). Sebagian besar (sekitar 70-90%) kalsium yang dibuang tubuh diekskresi melalui feses. Kalsium dalam feses terdiri dari mineral diet yang tidak diabsorpsi. Selain itu, sejumlah kecil kalsium yaitu 1-20 mg/jam bisa hilang dari tubuh bila seseorang berada dalam keadaan aktivitas berat yang mengeluarkan banyak keringat (Burton & Foster 1988). Menurut Weaver dan Heaney (2000), setiap hari sejumlah 100-200 mg kalsium diekskresikan melalui urin, 100-120 mg melalui feses dan 16-24 mg melalui keringat. 20 Defisiensi Kalsium Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat, mudah bengkok, rapuh, dan mudah patah. Hal ini disebut dengan osteoporosis yang dapat dipercepat oleh keadaan stres sehari-hari. Kekurangan kalsium dapat pula menyebabkan osteomalasia atau riketsia (dewasa) yang pada umumnya terjadi karena kekurangan vitamin D dan ketidakseimbangan konsumsi kalsium terhadap fosfor. Mineralisasi matriks tulang terganggu, sehingga kandungan kalsium di dalam tulang menurun (Almatsier 2006). Kalsium juga berberan dalam proses pembekuan darah dan kontraksi otot. Kadar kalsium darah yang sangat rendah akan menyebabkan titani atau kejang (Almatsier 2006). Menurut Guyton dan Hall (1997), titani akan timbul jika konsentrasi kalsium darah turun dari kadar normalnya yaitu 9,4 mg/dl mejadi ± 6 mg/dl (35% di bawah kadar normal). Jika kadar kalsium darah turun menjadi ± 4 mg/dl, dapat menyebabkan kematian. Defisiensi yang terjadi pada kelompok masyarakat dapat diatasi dengan beberapa cara. Salah satu cara yang dapat digunakan antara lain adalah dengan cara mengubah pola makan masyarakat dengan lebih meningkatkan konsumsi pangan yang secara alami kaya kalsium (seperti susu dan hasil olahan susu) (Chasman 2002). Cara ini lebih dikenal dengan pemenuhan gizi (kalsium) dengan pendekatan food base. Susu sebagai Pangan Sumber Kalsium Susu adalah sumber kalsium dan fosfor yang sangat penting untuk pembentukan tulang (Khomsan 2004). Para pakar kesehatan menyatakan bahwa susu dan produk olahannya adalah sumber kalsium terbaik, remaja yang mengkonsumsi susu dan produk olahan susu mempunyai tulang yang lebih kuat dan status gizi yang lebih baik (National Dairy Council 2003). Menurut Almatsier (2006), susu nonfat merupakan sumber kalsium terbaik, karena ketersediaan bilogiknya yang tinggi. Susu dapat mengandung protein, lemak, laktosa, vitamin, mineral (terutama kalsium dan fosfor), dan enzim-enzim alami seperti fosfatase (Buckle, Edwards, Fleet, & Wooton 1987). Iswahanik (2001) menambahkan, banyak vitamin larut air yang terdapat di dalam susu yaitu vitamin B1, B2, B12, asam pantotenat, niasin, biotin, asam folat, dan vitamin C, sedangkan vitamin larut lemak yang terdapat di dalam susu yaitu vitamin A, D, dan E. Susu juga 21 mengandung potasium, magnesium klorida, fosfor, sulfur dalam jumlah besar dan kandungan Fe, Cu, Zn, Al, Mn, Si, Co, dan yodium dalam jumlah kecil. Susu juga mengandung asam (sitrat, format, asetat, dan oksalat) dan gas seperti oksigen dan nitrogen (Susilorini dan Sawitri 2006). Susu dan produk olahannya mengandung cukup banyak kalsium yang diperlukan oleh tubuh. Mengkonsumsi susu secara rutin sangat disarankan agar kebutuhan kalsium terpenuhi (Mann & Truswell 2007). Menurut Wiseman (2002) di dalam 0,6 liter susu terdapat sekitar 700 mg kalsium. Kebutuhan kalsium harian remaja yang berusia di bawah 19 tahun dapat dipenuhi dengan empat cangkir susu per hari (Holman 1987). Konsumsi susu dua hingga tiga kali sehari dapat dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan kalsium. Kandungan kalsium pada berbagai jenis susu dan hasil olahan susu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kandungan kalsium (mg/100g) pada berbagai jenis susu dan hasil olahan susu Jenis susu/olahan susu Ca (mg) Tepung susu skim 1300 Tepung susu 904 Keju 777 Susu kental manis 275 Susu kental tak manis 243 Susu kerbau 216 Susu sapi 143 Sumber: Hardinsyah dan Briawan (1994) Jenis susu/olahan susu Susu skim Es krim Yogurt Susu kambing Kepala susu (krim) ASI Mentega Ca (mg) 123 123 120 98 97 35,3 15 Menurut Mann dan Truswell (2007) susu dan hasil olahannya di negara barat menyumbangkan lebih dari dua pertiga kalsium dari kebutuhan kalsium harian. Hasil olahan susu seperti es krim, yogurt, dan keju merupakan makanan sumber kalsium yang tinggi dibandingkan pangan jenis lain. Keju mengandung 700 mg kalsium dalam 100 gramnya (Wiseman 2002). Di Indonesia, menurut Khomsan (2004), konsumsi susu rata-rata hanya sekitar 0,5 gelas per minggu setiap orang. Hal ini karena susu masih dianggap barang mahal dan masih sulit dijangkau oleh masyarakat banyak. Kondisi ini dapat dilihat dari konsumsi susu yang masih rendah, yaitu hanya 5,1 kg/orang/tahun. Konsumsi Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi, kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehaan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada 22 berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier 2006). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1988). Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (sekeluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa telaahan terhadap konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi (Hardinsyah & Martianto 1988). Menurut Wulandari (2000) konsumsi pangan secara garis besar adalah kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dengan jenis tunggal maupun beragam. Ada tiga hal yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kuantitas dan ragam pangan yang tersedia dan diproduksi, pendapatan dan tingkat pengetahuan gizi. Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), aktivitas dan mempertahankan daya tahan tubuh. Kebutuhan gizi merupakan sejumlah zat gizi yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat membahayakan kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1988). Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan zat gizi. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996) dalam Sukandar (2007) adalah : (1) defisit tingkat berat (<70% AKG); (2) defisit tingkat sedang (70-79% AKG); (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKG); (4) normal (90-119% AKG); (5) kelebihan (≥120% AKG). Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral menurut Gibson (2005) yaitu (1) kurang (<77% AKG); (2) cukup (≥77% AKG). Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. 23 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Remaja Usia Kebiasaan makan setiap individu berbeda satu sama lain. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah usia. Jumlah yang diperlukan individu untuk mempertahankan kelangsungan hidup, biasanya terkait dengan kebiasaan makan. Pada masa kanak-kanak, jumlah energi yang diperlukan tubuh tidak sebesar jumlah energi yang diperlukan masa remaja. Seiring pertambahan usia, jumlah energi tersebut semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada masa dewasa. Namun, jumlah energi yang diperlukan oleh tubuh akan mengalami penurunan kembali pada saat usia lanjut (Suhardjo 1989). Selain itu, pola konsumsi pangan juga dapat dipengaruhi oleh suku bangsa. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa hal ini terkait dengan kebudayaan dan pangan lokal yang tersedia di suatu daerah. Jenis Kelamin dan Aktivitas Fisik Kebutuhan zat gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan dan biasanya lebih tinggi karena anak laki-laki memiliki aktivitas fisik yang lebih tinggi (Syafiq et al 2009). Khumaidi (1989) dalam Syafiq et al (2009) menyebutkan bahwa anak laki-laki biasanya mendapatkan prioritas yang lebih tinggi dalam hal makanan dibandingkan anak perempuan. Aktivitas pada remaja juga semakin meningkat dan sering disertai dengan perubahan pola konsumsi pangan. Puncak aktivitas seseorang terjadi pada masa remaja. Pada masa ini, umumnya seseorang sangat sibuk dengan kegiatan, baik yang kurikuler (kegiatan akademis) maupun kegiatan non-kurikuler (di luar kegiatan akademis). Kegiatan kurikuler yang dilakukan antara lain adalah kegiatan belajar, mengerjakan tugas-tugas, dan kegiatan yang serupa, sedangkan kegiatan non-kurikuler meliputi kegiatan bermain, olahraga, serta kegiatan fisik lainnya. Pada umumnya remaja laki-laki memiliki proporsi kegiatan yang lebih tinggi dibandingkan remaja perempuan. Kondisi seperti ini sangat memerlukan asupan gizi yang tinggi dan berkualitas (Suryono 2007). Pendidikan dan Pengetahuan Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik (Berg 1986). Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan 24 gizi yang mereka peroleh. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi (Almarita 2004). Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula. Uang Saku Setiap orang membawa tiga sumber daya ke dalam setiap sistem pengambilan keputusan, yaitu waktu, uang, dan perhatian. Berhubungan dengan sumber daya uang, maka seseorang akan menggunakan uang yang diperolehnya untuk melakukan pembelian produk barang atau jasa tertentu. Begitu pula halnya remaja yang biasanya diberi uang saku oleh orang tuanya baik remaja dari keluarga berpendapatan tinggi maupun keluarga berpendapatan rendah (Engel, Blackwell & Miniard 1994). Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Perolehan uang saku sering menjadi suatu kebiasaan, sehingga anak diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimiliki (Napitu 1994). Semakin banyak uang yang dimiliki memungkinkan semakin baiknya kualitas makanan yang diperoleh. Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan. Status gizi seseorang tersebut dapat diukur dan dinilai. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik ataukah tidak (Riyadi 2003). Status gizi adalah suatu keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat-zat gizi tubuh umumnya kearah status gizi yang baik (Suhardjo el al. 1988). Status gizi berhubungan dengan makanan dan kebiasaan makan dari individu, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Perbaikan gizi pada dasarnya adalah upaya mengubah kebiasaan yang berhubungan dengan makanan pada individu, keluarga atau masyarakat secara keseluruhan untuk status gizi yang baik. 25 Menurut Suhardjo (1989), status gizi seseorang dipengaruhi jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi serta keadaan tubuh seseorang yang dapat menyebabkan gangguan penyerapan zat gizi atau investasi penyakit parasit. Dalam perhitungannya konsumsi pangan lebih ditekankan pada kebutuhan energi dan protein. Sebab apabila kebutuhan energi dan protein sudah terpenuhi maka kebutuhan zat gizi lainnya akan mudah untuk terpenuhi. Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur direkomendasikan sebagai indikator status gizi terbaik untuk remaja (Riyadi 2003). IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Salah satu indeks antropometri yang digunakan dalam IMT adalah perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan. Kategori status gizi berdasarkan klasifikasi ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Kategori status gizi berdasarkan klasifikasi internasional Kategori Underweight • Kekurangan BB tingkat berat • Kekurangan BB tingkat sedang • Kekurangan BB tingkat ringan Normal Overweight • Pre-obese Obese • Obese tingkat I • Obese tingkat II • Obese tingkat III Sumber : WHO (2004) IMT <18,50 <16,00 16,00-16,99 17,00-18,49 18,50-24,99 ≥25,00 25,00-29,99 ≥30,00 30,00-34,99 35,00-39,99 ≥40,00 internasional