BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja dan Pertumbuhan Remaja
Usia remaja merupakan masa yang penting dalam kelangsungan hidup
manusia. Menurut WHO (1995), usia remaja berkisar antara 10-19 tahun dan
menurut Desmita (2005), batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para
ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Masa remaja merupakan masa yang
penting dalam kelangsungan hidup manusia. Masa tersebut adalah masa transisi
dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan
perkembangan yang cepat baik fisik maupun mental (Nasoetion & Riyadi 1995).
Ahmadi dan Sholeh (2005) mengungkapkan, pada masa ini terdapat beberapa
fase, yaitu fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 14 tahun), remaja
pertengahan (usia 14 sampai dengan 18 tahun), fase remaja akhir (usia 18 tahun
sampai dengan 21 tahun).
Masa remaja merupakan periode penting pada pertumbuhan dan
kematangan manusia. Menurut Affandi dan Danukusumo (1990), remaja dimulai
dengan masa pubertas, yaitu tanda-tanda awal dari perkembangan karakteristik
seksual sekunder dan terus berlanjut sampai terjadi perubahan-perubahan
morfologi dan fisiologi pada masa dewasa.
Pertumbuhan adalah suatu proses bertambahnya ukuran fisik tubuh
sebagai hasil interaksi yang berkesinambungan dan kompleks antara faktor
keturunan dan lingkungan (Jelliffe & Jelliffe 1989). Faktor lain yang berperan
adalah faktor hormonal, biologi, tingkat sosial ekonomi, struktur tulang, serta
adanya trauma psikologi pada anak. Selama remaja, perubahan hormonal
mempercepat pertumbuhan. Menurut WHO (1995), faktor genetik memegang
peranan penting pada pertumbuhan seseorang, terutama pada tinggi badan.
Kecepatan pertumbuhan fisik pada saat remaja adalah kedua tercepat
setelah masa bayi. Pada masa ini sekitar 20% tinggi badan dan 50% berat badan
seseorang telah tercapai (Khomsan 2004). Salah satu dimensi pertumbuhan
remaja yang dapat terukur yaitu tinggi badan. Pengukuran tinggi badan
merupakan salah satu bentuk pengukuran antropometri. Tinggi badan adalah
ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal.
Struktur dan Pembentukan Tulang
Tulang secara fisiologis memiliki 3 fungsi utama yaitu sebagai fungsi
metabolik dan fungsi mekanik serta fungsi hemopoetik. Secara garis besar tulang
dikenal ada dua tipe yaitu tulang korteks (kompak) dan tulang trabekular
6
(berongga = spongy = cancelous). Bagian luar kedua tulang tersebut merupakan
tulang padat yang disebut korteks tulang dan bagian dalamnya adalah tulang
trabekular yang tersusun seperti bunga karang (Buckwalter 1995). Secara
makroskopis, menurut Lane (2001) dan Rachman (2006), tulang dibedakan
menjadi tulang woven dan tulang berlapis (lamellar). Tulang woven adalah
bentuk tulang yang paling awal pada embrio dan selama pertumbuhannya terdiri
dari jaringan kolagen berbentuk ireguler. Setelah dewasa tulang woven diganti
oleh tulang berlapis yang terdiri dari tulang korteks dan trabekular.
Menurut Buckwalter (1995), tulang korteks merupakan bagian terbesar
(80%) penyusun kerangka. Tulang korteks mempunyai fungsi mekanik, modulus
elastisitas yang tinggi dan mampu menahan tekanan mekanik berupa beban
tekukan dan puntiran yang berat. Tulang korteks terdiri dari lapisan padat
kolagen yang mengalami mineralisasi, tersusun konsentris sejajar dengan
permukaan tulang. Tulang korteks terdapat pada tulang panjang ekstremitas dan
vertebra. Tulang spongiosa atau cancelous atau trabekular mempunyai
elastisitas yang lebih kecil dibandingkan dengan tulang korteks. Selain itu, tulang
spongiosa atau cancelous mengalami proses resorpsi yang lebih cepat
dibandingkan dengan tulang korteks. Tulang spongiosa terdapat pada daerah
metafisis dan epifisis tulang panjang serta pada bagian dalam tulang pendek.
Unsur yang membentuk tulang menurut Compston (2001) antara lain
adalah mineral (±65%), matriks (35%), osteoblas, osteoklas, osteosit, dan air.
Matriks tulang korteks dan trabekula tersusun atas matriks organik dan
anorganik. Komponen anorganik merupakan 65% dari seluruh masa tulang
sedangkan, komponen organik sekitar 20% dan air 10%. Kolagen tulang
merupakan komponen organik terbesar yang membentuk dan memungkinkan
tulang menahan regangan sedangkan anorganik atau mineral berfungsi
menahan beban tekanan.
Sel tulang terdiri atas tiga jenis sel yaitu osteoblas, osteoklas, osteosit.
Osteoblas berasal dari jalur sel mesenkim stroma sumsum tulang. Osteoblas
memproduksi osteoid atau matriks tulang, berbentuk bulat, oval atau polihedral,
terpisah dari matriks yang telah mengalami mineralisasi. Osteoblas berfungsi
mensintesis dan mensekresi matriks organik tulang, mengatur perubahan
elektrolit cairan ekstraselular pada proses mineralisasi. Osteoblas mengandung
retikulum endoplasma, membran golgi dan mitokondria. Pematangan osteoblas
memerlukan fibroblast growth factor (FGF), bone morphogenic proteins (BMPs),
7
core binding factor-1 (CBFA-1) dan osteoblas specific cis acting element (OSE2). Osteoblas memiliki reseptor estrogen, sitokin, paratiroid hormon (PTH),
insulin derivated growth factor (IGF), dan Vitamin D3. Osteoblas saling
berhubungan melalui gap junction. Osteoblas yang menetap pada permukaan
tulang bentuknya pipih yang dinamakan bone lining cells/resting osteoblas
(Compston 2001).
Osteoklas berasal dari jalur hemopoetik yang juga membuat makrofag
dan monosit. Sel ini berpindah dari sumsum tulang lewat sirkulasi atau migrasi
secara langsung. Sel prekursor osteoklas terdapat pada sumsum tulang dan
sirkulasi darah. Sel ini ditemukan pada permukaan tulang yang mengalami
resorpsi dan kemudian membentuk cekungan yang dikenal sebagai lakuna
Howship. Osteoklas dalam sitoplasmanya akan terisi oleh mitokondria guna
menyediakan energi untuk proses resorpsi tulang. Osteoklas merusak matriks
tulang, melekat pada permukaan tulang, memisahkan sel dengan matriks,
menurunkan pH 7 (netral) menjadi pH 4 (asam). Keasaman ini akan melarutkan
mineral dan merusak matriks sel sehingga protease keluar (Compston 2001).
Osteosit berasal dari osteoblas dimana pada akhir proses mineralisasi
akan tersimpan pada matriks tulang. Osteosit mempunyai satu inti, jumlah
organela bervariasi dan sel ini menjangkau permukaan luar dan dalam tulang,
membuat tulang menjadi sensitif terhadap tekanan, mengontrol pergerakan ion
serta mineralisasi tulang (Compston 2001). Osteosit merupakan 90% dari sel
tulang terletak diantara matriks tulang yang mengalami mineralisasi. Osteosit
mempunyai satu inti, jumlah organela bervariasi. Jaringan sel ini menjangkau
permukaan luar dan dalam tulang, membuat tulang menjadi sensitif terhadap
pengaruh tekanan, mengontrol pergerakan ion serta mineralisasi tulang. Osteosit
berasal dari osteoblas yang pada akhir proses mineralisasi terhimpit oleh
ekstraselular matriks. Osteosit merupakan sel yang sensitif terhadap tekanan
mekanik, berperan dalam pemeliharaan massa dan struktur tulang (Compston
2001; Van Essen 2007).
Proses pembentukan tulang terdiri dari dua tahap yaitu modeling dan
remodeling tulang (Buckwalter 1995). Modeling tulang adalah suatu proses untuk
mencapai
bentuk
dan
ukuran
yang
tepat
selama
pertumbuhan
dan
perkembangan tulang. Pembentukan tulang panjang terjadi melalui mekanisme
pergeseran tulang endokondrial pada tulang panjang dan pergeseran pada
tulang apendikular. Kalsifikasi tulang rawan disebut the primary spongiosum
8
bone dan untuk tulang yang terletak di antara jaringan disebut the secondary
spongiosum bone yang nantinya dikenal sebagai woven bone (Compston 2001).
Setelah tulang woven berubah menjadi tulang berlapis (lamellar), tulang
terus mengalami proses resorpsi, pembentukan dan mineralisasi yang dikenal
sebagai remodeling tulang (pembentukan kembali). Tujuan pembentukan
kembali tulang atau remodeling tulang adalah untuk mereparasi kerusakan
tulang akibat kelelahan atau fatigue damage, mencegah proses ketuaan atau
aging dan akumulasi tulang tua. Proses remodeling diatur oleh sel osteoblas dan
osteoklas yang tersusun dalam struktur yang disebut “bone remodeling unit”
(BRU). BRU merupakan suatu struktur temporer yang unik aktif saat modeling
dan remodeling. Struktur dari BRU terdiri dari osteoklas didepan diikuti oleh
osteoblas, dibelakang dan ditengah-tengah terdapat kapiler, jaringan syaraf dan
jaringan ikat (Compston 2001). Proses penyerapan tulang terjadi dalam tiga
minggu sedangkan proses pembentukan tulang membutuhkan waktu sekitar tiga
bulan. Masa hidup BRU enam sampai sembilan bulan, lebih lama dari masa
hidup osteoblas yaitu tiga bulan dan masa hidup osteoklas dua minggu sehingga
diperlukan persediaan banyak sel osteoblas yang dibentuk oleh sel mesenkim
dan osteoklas (Compston 2001; Canalis 2005).
Densitas Tulang
Menurut Suryono (2007), densitas/kepadatan tulang adalah jumlah
kandungan mineral tulang yang diukur dengan alat bone densitometer. Densitas
tulang pada remaja dapat menentukan risiko osteoporosis saat usia lanjut.
Densitas tulang secara umum disebut dengan istilah massa mineral tulang atau
BMD (Bone Mineral Density). Densitas tulang memiliki hubungan terbalik yang
berkelanjutan dan bertahap dengan risiko fraktur tulang, semakin rendah
densitas tulang maka semakin besar risiko fraktur tulang (National Osteoporosis
Foundation 2003).
Pembentukan tulang yang pesat dialami oleh seseorang yang berada
pada rentang usia antara 18 hingga 20 tahun (Mann & Truswell 2007).
Kementrian Kesehatan RI (2008), menyebutkan bahwa massa tulang pada usia
30 tahun akan mengalami suatu puncak kepadatan tulang yang biasanya disebut
Peak Bone Mass (PBM). Gambar 1 menunjukkan perkembangan massa tulang
selama tahap kehidupan manusia. Massa jaringan tulang total pada tubuh yang
terbentuk pada masa remaja adalah 45% dan mencapai puncak kepadatan
tulang/PBM (Peak Bone Mass) pada saat remaja akhir (Matkovic et al. 1994).
9
Kebutuhan zat gizi selama remaja akan mengalami peningkatan karena adanya
proses pertumbuhan. Hal tersebut juga berlaku untuk kebutuhan mineral
termasuk kalsium. Menurut Riyadi (2003) lebih dari 20% pertumbuhan tinggi
badan total dan sekitar 50% massa tulang dewasa dicapai selama masa remaja,
sehingga hal ini menyebabkan kebutuhan kalsium meningkat sekitar 50%.
Menurut Kalkwarf et al. (2003), seseorang yang mengkonsumsi kalsium
(terutama dari susu) dalam jumlah yang kurang pada saat anak-anak dan
remaja, memiliki resiko kurangnya kepadatan tulang dan terjadinya osteoporosis
pada saat dewasa dan lanjut usia. Selama tahap pertumbuhan dan pembentukan
tulang serta guna mencapai PBM, laki-laki membutuhkan lebih banyak kalsium
daripada perempuan selama 20 tahun pertama kehidupan mereka. Menurut
Olson, Broquist, Darby, Kolbye, dan Stanley (1988), hal tersebut disebabkan
massa tulang perempuan lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki, sehingga
absorpsi kalsium pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.
Oleh karena itu, laki-laki membutuhkan kalsium yang lebih tinggi.
Gambar 1 Perkembangan massa tulang sejak lahir hingga usia lanjut
(Reid 2011)
Selama perkembangan, tulang membutuhkan kalsium yang tinggi.
Setelah mencapai masa pubertas (kematangan hormon estrogen pada wanita
dan kematangan hormon testoteron pada laki-laki) karena pengaruh anabolik
dan prekusor estrogen terjadilah proses remodeling tulang. Tulang manusia
mengalami peluruhan dan pembentukan secara berkesinambungan. Saat usia
muda, pembentukan tulang berlangsung lebih cepat dibandingkan resorpsinya.
Sementara itu, saat usia tua resorpsi tulang berlangsung lebih cepat
dibandingkan pembentukannya (Khomsan 2006). Oleh karena itu pada usia tua
terjadi proses kehilangan massa tulang.
10
Menurut Almatsier (2006), densitas tulang berbeda menurut umur,
meningkat pada bagian pertama kehidupan dan berangsur menurun setelah
dewasa. Densitas tulang akan terus meningkat sampai pada dekade keempat
atau kelima dengan kecepatan paling tinggi terjadi pada massa remaja atau
adolescent. Tulang trabekular mengalami remodeling atau bone turnover sekitar
20-30% pertahun sedangkan tulang korteks 3%-10% pertahunnya (Compston
2001).
Zat gizi yang penting untuk mempertahankan densitas tulang adalah
kalsium. Kalsium mempunyai berbagai fungsi dalam tubuh, salah satunya adalah
memberikan kekuatan dan bentuk pada tulang dan gigi. Kalsium dalam tulang
merupakan sumber kalsium darah (Almatsier 2006). Asupan kalsium yang cukup
sangat dianjurkan karena bila kalsium di dalam darah mengalami penurunan,
tubuh akan langsung mengambilnya dari tulang. Bila keadaan ini berlangsung
secara terus-menerus, kadar kalsium di dalam tubuh akan mengalami penurunan
sehingga menyebabkan penurunan densitas tulang (Mann & Truswell 2007).
Beberapa faktor selain kalsium yang mempengaruhi kepadatan tulang
seseorang diantaranya adalah usia, jenis kelamin, faktor genetik dan gaya hidup
seperti kebiasaan berolahraga, konsumsi alkohol, konsumsi kopi, serta
kebiasaan merokok (Mann & Truswell 2007; Kemenkes 2008). Wardlaw et al.
(2007) menambahkan konsumsi makanan berserat dalam jumlah besar, proporsi
fosfor yang lebih besar daripada kalsium, adanya asam fitat, oksalat dan asam
lemak yang tidak dapat diserap/mengikat kalsium akan menurunkan penyerapan
kalsium dalam tubuh. Selain itu, obat-obatan tertentu (jenis glukokortikoid) dapat
berpengaruh terhadap ketersediaan biologik kalsium atau meningkatkan ekskresi
sehingga dapat menyebabkan penurunan kepadatan tulang (Almatsier 2006;
Dawson-Hughes 2006).
Aktivitas fisik harian dan olahraga diketahui juga dapat mempengaruhi
massa dan kepadatan tulang. Olahraga dengan tingkat sedang yang dilakukan
secara teratur sangat baik diterapkan sejak dini untuk pertumbuhan massa
tulang (Mann & Truswell 2007). Valimaki et al. (1994) dan CDC (2005) dalam
Fikawati et al. (2005) menyatakan bahwa olahraga yang baik untuk dapat
mendukung kekuatan dan kepadatan tulang dan mencapai PBM maksimal
adalah dengan latihan teratur lebih dari 3 kali seminggu minimal 30 menit setiap
kali latihan. Remaja dengan aktivitas fisik kurang tidak cukup memperoleh
rangsangan untuk memenuhi kebutuhan kalsiumnya, dengan asumsi bahwa jika
11
aktivitas fisik seseorang tinggi maka ia akan memperoleh rangsangan untuk
memenuhi kebutuhan kalsiumnya dengan berusaha mengkonsumsi makanan
sumber kalsium (Fikawati et al. 2005). Penelitian Lloyd et al. (2004) menunjukkan
adanya hubungan yang positif antara tingkat olahraga dengan massa dan
kekuatan tulang. Aktivitas olahraga pada masa remaja berhubungan dengan
massa dan kekuatan tulang panggul masa dewasa. Gambar 2 menunjukkan
struktur trabekula normal dan trabekula yang mengalami osteoporosis.
Gambar 2 Struktur trabekula normal (A) dan trabekula yang mengalami
osteoporosis (B) (Reid 2011)
Pengukuran Densitas Tulang
Pengukuran kepadatan tulang adalah pengukuran kepadatan mineral
(seperti kalsium) pada tulang dengan menggunakan sinar-X spesial, CT scan,
atau ultrasounds. Dari hasil pengukuran kepadatan tulang ini dapat diperkirakan
kekuatan tulang (Nissl 2004). Pengukuran densitas tulang dimaksudkan untuk
mengukur kekuatan dan kepadatan tulang serta menganalisis kemungkinan
terjadinya resiko pengeroposan atau patah tulang di masa mendatang. Menurut
Broto (2004), pemeriksaan kepadatan tulang dengan bone densitometer
merupakan pemeriksaan akurat dan presisi untuk menilai kepadatan tulang,
sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur dan
diagnosis osteoporosis.
Densitometer umumnya digunakan untuk mendiagnosis kepadatan tulang
yang rawan keropos (osteoporosis) dengan mengukur kepadatan mineral tulang
Sistem kerja alat ini ada yang dapat mengukur lumbal, pangkal paha, lengan
bawah ataupun tulang tumit saja. Densitometer dapat digunakan sebagai deteksi
dini adanya patah tulang (Kemenkes 2008). Beberapa alat dan cara yang
digunakan untuk mengukur densitas tulang ditunjukkan pada Tabel 1.
12
Tabel 1 Alat pengukur densitas tulang dengan kelebihan dan kelemahannya
Nama alat
Radiographic
absorptiometry
Single energy x-ray
absorptiometry
Dual energy x-ray
absorptiometry
Quantitative
compute
tomography
Quantitative
ultrasound
Bagian tubuh yang
diukur
Telapak
tangan/tumit
Rangka apendik
Murah
Terlalu sensitif
Mudah digunakan
Seluruh tubuh
Lebih akurat
Terbatas pada
rangka apendik
Mahal
Tulang belakang
Menggambarkan
2
kepadatan g/cm
Radiasi tinggi
Kaki, tumit
Tanpa radiasi,
murah, mudah
digunakan
Tidak bisa
memprediksi resiko
fraktur
Kelebihan
Kekurangan
Sumber: Mirsky & Einhorn (1998)
Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan
mineral tulang adalah Dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), Peripheral
dual-energy X-ray absorptiometry (P-DEXA), Dual photon absorptiometry (DPA),
Ultrasounds, dan Quantitative computed tomography (QTC). Dual-energy X-ray
absorptiometry (DEXA), menggunakan dua sinar-X berbeda, dapat digunakan
untuk mengukur kepadatan tulang belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X
dipancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan
bagian yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya
mengizinkan sedikit sinar-X yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang
paling akurat untuk mengukur kepadatan mineral tulang. DEXA dapat mengukur
sampai 2% mineral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat
cepat dan hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih
mahal dibandingan dengan metode ultrasounds (Nissl 2004).
Peripheral dual-energy X-ray absorptiometry (P-DEXA), merupakan hasil
modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti
pergelangan tangan, tetapi tidak dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko
patah tulang seperti tulang belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang
belakang dan pangkal paha sudah diukur maka pengukuran dengan P-DEXA
tidak diperlukan. Mesin P-DEXA mudah dibawa, menggunakan radiasi sinar-X
dengan dosis yang sangat kecil, dan hasilnya lebih cepat dan konvensional
dibandingkan DEXA (Nissl 2004).
Dual photon absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif untuk
menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral tulang belakang dan
pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat
rendah tetapi memerlukan waktu yang cukup lama (Nissl 2004).
13
Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika
hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka dianjurkan
untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds menggunakan gelombang suara
untuk mengukur kepadatan mineral tulang, biasanya pada telapak kaki.
Sebagian mesin melewatkan gelombang suara melalui udara dan sebagian lagi
melalui air. Ultrasounds dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak
menggunakan radiasi seperti sinar-X. Alat ini dapat mengukur kepadatan mineral
tulang tumit pasien dalam waktu 1 menit (Kemenkes 2008). Salah satu
kelemahan Ultrasounds tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral tulang yang
berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan Ultrasounds juga lebih
terbatas dibandingkan DEXA (Nissl 2004).
Quantitative computed tomography (QTC), adalah suatu model dari CTscan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu model dari
QTC disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat mengukur kepadatan tulang
anggota badan seperti pergelangan tangan. Pada umumnya pengukuran dengan
QCT jarang dianjurkan karena sangat mahal, menggunakan radiasi dengan dosis
tinggi, dan kurang akurat dibandingkan dengan DEXA, PDEXA, atau DPA (Nissl
2004).
Densitas tulang diekspresikan sebagai keterkaitan antara dua standar z
score dan t score. Z score adalah perbandingan nilai kepadatan tulang yang
diharapkan pada pasien sesuai umur dan jenis kelamin. Sedangkan t score
adalah skor nilai perbandingan kepadatan tulang pasien dengan nilai kepadatan
tulang standar populasi orang dewasa muda normal dengan jenis kelamin yang
sama. Menurunnya t score secara paralel berkaitan dengan menurunnya massa
tulang. Hal ini terjadi seiring dengan bertambahnya umur (NOF 2003). Nilai
densitas mineral menurut klasifikasi WHO berdasarkan t score ditunjukkan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Nilai densitas mineral menurut klasifikasi WHO berdasarkan t score
Kategori
t score
Normal
-1 ≤ SD < 2,5
Osteopenia
-2,5 ≤ SD < -1
Osteoporosis
< -2,5
Osteoporosis parah
< -2,5 dan adanya satu atau lebih fracture
Sumber: WHO (1994)
Achilles Insight. Achilles Insight adalah ultrasonometer tulang yang
menggunakan gelombang suara frekuensi yang tinggi (ultrasound) untuk
mengevaluasi status tulang di bagian tumit (os calcis). Dengan kata lain, Achilles
14
Insight termasuk ke dalam alat pengukur densitas tulang jenis ultrasound. Alat ini
dilengkapi dengan tempat duduk untuk pasien, dengan salah satu kaki pasien
diletakkan pada positioner. Tumit akan diapit oleh membran yang mengembang
berisi air hangat. Air di dalam membran berfungsi sebagai media optimal
transmisi ultrasound. Transduser yang terdapat pada salah satu sisi tumit
mengubah sinyal listrik menjadi gelombang suara yang akan melewati air pada
membran dan tumit. Tranduser pada pada sisi yang lain dari tumit menerima
gelombang suara yang kemudian diubah kembali menjadi sinyal listrik yang akan
dianalisis oleh program dalam Achilles Insight. Sinyal yang diterima akan
digunakan untuk menampilkan gambaran dari tumit (os calcis) saat pengukuran
berlangsung. Achilles Insight mengukur SOS (Speed of Sound) dan BUA
(Broadband Ultrasound Attenuation) dan mengkombinasikan keduanya menjadi
hasil pengukuran klinis yang disebut dengan Stiffness Index (SI) (GE Health
Care 2002).
Alat ini memiliki ukuran 25,4x30,5x61 cm (10x12x24 inch) dengan berat
10 kg. Alat ini beroperasi pada suhu 15-35 oC dan kelembaban 25-80%. Achilles
Insight memiliki akurasi sebesar 98%. Alat ini dilengkapi dengan monitor LCD
dengan ukuran 5,7 inch (14,5 cm) berwarna yang memiliki efek touch screen.
Alat ini membutuhkan membran dan aquades agar dapat beroperasi. Membran
terbuat dari bahan latex. Aquades diganti minimal setelah 300 kali pengukuran.
Setelah mengisi ulang aquades, Achilles Insight dikalibrasi ulang (GE Health
Care 2002).
Saat akan dilakukan pengukuran, terlebih dahulu dilakukan input pada
informasi pasien meliputi pasien ID, jenis kelamin, usia, dan kaki yang digunakan
(kanan/kiri). Selain informasi pasien, dapat juga ditambahkan data opsional
meliputi nama, tinggi badan, berat badan, tanggal lahir, usia menopouse, dan
ras. Sebelum densitas tulang diukur, kaki pasien disemprotkan isoprophil alkohol
dengan konsentrasi 70% atau gel sebagai media penghantar agar densitas
tulang dapat terbaca di monitor. Output yang dihasilkan melalui monitor meliputi
nilai Stiffness Index, t score, dan z score berdasarkan klasifikasi WHO, serta
dilengkapi dengan grafik (GE Health Care 2002). Tabel 3 menunjukkan klasifikasi
Stiffness Index (SI) pada usia 20-29 tahun.
15
Tabel 3 Klasifikasi Stiffness Index (SI) pada usia 20-29 tahun
Kategori
Well above average
Above average
Average
Below average
Well below average
Laki-laki
>146
123-146
90-122
66-89
<66
Sumber: Tufts Longitudinal Health Study (2010)
Perempuan
>141
116-140
84-115
61-83
<60
Kalsium, Fungsi, dan Angka Kecukupan Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh,
40% dari seluruh mineral yang ada adalah kalsium atau setara dengan 10001200 gram (Wardlaw et al. 2007; Wiseman 2002). Sekitar 99% total kalsium
dalam tubuh ditemukan dalam jaringan keras/tulang yang berperan sentral dalam
pembentukan struktur kekuatan tulang dan gigi terutama dalam bentuk
hidroksiapatit. Hanya sebagian kecil (1%) terdapat dalam jaringan lunak, cairan
ekstraseluler, plasma yang diperlukan dalam banyak peran metabolisme. Apabila
jumlahnya di bawah 1%, maka tubuh akan melepaskan kalsium dari tulang
ataupun gigi untuk memenuhi kebutuhan (Wardlaw et al. 2007). Menurut
Almatsier (2006), jumlah kalsium dalam tulang berubah menurut umur, ukuran,
dan komposisi tubuh serta akan mengalami penurunan massa tulang sejalan
dengan pertambahan umur.
Kalsium mempunyai peranan yang penting dalam tubuh, yaitu dalam
pembentukan tulang dan gigi, dalam pengaturan fungsi sel pada cairan
ekstraseluler dan intraseluler, seperti untuk transmisi saraf, kontraksi otot,
penggumpalan darah, dan menjaga permeabilitas membran sel. Selain itu
kalsium juga mengatur pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan
(Winarno 2002; Almatsier 2006).
Kebutuhan kalsium pada remaja sangat tinggi karena masa pembentukan
tulang terjadi pada saat remaja. Karena kebutuhannya yang tinggi, efisiensi
penyerapan kalsium pada remaja meningkat dan deposit kalsium meningkat
hingga 2 kali lebih besar daripada masa-masa sebelum ataupun sesudahnya.
Dengan demikian, asupan kalsium yang cukup dari makanan sangat diperlukan
untuk memaksimalkan PBM dan menjaga keseimbangan kalsium tubuh yang
optimal (Krummel 1996 dalam Fikawati et al. 2005). Tabel 4 berikut menunjukkan
angka kecukupan kalsium pada remaja.
16
Tabel 4 Angka kecukupan Ca (mg/hari) pada remaja
Angka Kecukupan Kalsium
Usia/Jenis Kelamin
(mg/hari)
Laki-laki
16-18 tahun
1000
19-29 tahun
800
Perempuan
16-18 tahun
1000
19-29 tahun
800
Sumber: Widyakarya Pangan dan Gizi Nasional VIII (2004)
Absorpsi dan Ekskresi Kalsium
Proses metabolisme kalsium melibatkan kerja hormon-hormon. Tiga
hormon terutama dihubungkan dengan regulasi metabolisme kalsium. Menurut
Ganong (1990) 1,25-dihidroksikalsiferol/kalsitriol merupakan hormon steroid yang
dibentuk dari vitamin D oleh hidroksilasi berurutan di dalam hati dan ginjal.
Fungsi utamanya yaitu meningkatkan absorpsi kalsium dalam usus dengan
meningkatkan aktivitas protein-pengikat kalsium yang disebut calbindin (Gropper,
Smith, & Groff 2009). Hormon paratiroid (PTH) memobilisasi kalsium dari tulang
dan meningkatkan ekskresi fosfat urin. Penurunan kadar kalsium plasma
sekalipun dalam jumlah kecil akan meningkatkan sekresi PTH, yang merangsang
resorpsi tulang secara aktif. Kalsitonin merupakan suatu hormon yang dapat
menurunkan kadar kalsium di dalam plasma dan menghambat resorpsi tulang.
Bila kadar kalsium plasma meningkat, jumlah kalsitonin yang dilepaskan
meningkat
secara
proporsional
dan
menurunkan
sekresi
PTH
yang
mengakibatkan menurunnya produksi kalsitriol. Selain hormon-hormon tersebut,
Ganong menambahkan bahwa peran hormon pertumbuhan dan estrogen akan
mempengaruhi metabolisme kalsium.
Absorpsi kalsium adalah proses aktif yang terjadi terutama di duodenum
dan jejunum (Muchtadi et al. 1993). Penyerapan kalsium secara efisien
mensyaratkan suasana asam di dalam usus halus, yang merupakan keadaan
normal. Asam klorida yang dikeluarkan lambung membantu absorpsi kalsium
dengan cara menurunkan pH pada bagian atas duodenum. Pada usia lanjut,
keasaman cenderung menurun sehingga absorpsi kalsium menjadi menurun. Hal
ini merupakan salah satu penyebab osteoporosis pada kaum manula (Wiseman
2002).
Penyerapan kalsium sangat bervariasi, tergantung pada umur dan kondisi
tubuh. Pada waktu kanak-kanak atau masa pertumbuhan, sekitar 50-70%
17
kalsium yang dicerna diserap, tetapi pada waktu dewasa hanya 10-40% kalsium
yang diserap (Winarno 2002).
Absorpsi kalsium yang efisien terjadi jika kebutuhan semakin meningkat
dan persediaan kalsium dalam tubuh semakin menurun. Peningkatan kebutuhan
terjadi selama masa pertumbuhan, masa kanak-kanak dan remaja, kehamilan
dan menyusui. Jumlah kalsium yang dikonsumsi akan mempengaruhi kalsium
yang diabsorpsi (Almatsier 2006; Bender 2003).
Pada keadaan normal sebanyak 30-50% kalsium yang dikonsumsi
diabsorpsi tubuh. Kemampuan absorpsi lebih tinggi pada masa pertumbuhan dan
menurun pada proses penuaan. Kemampuan absorpsi pada laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan pada semua golongan usia. Absorpsi kalsium terutama
dilakukan secara aktif dengan menggunakan alat angkut protein pengikat
kalsium (calbindin). Absorpsi pasif terjadi pada permukaan saluran cerna.
Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk terlarut (Almatsier
2006).
Menurut Muchtadi et al. (1993) absorpsi kalsium tidak pernah sempurna,
tergantung pada kalsium dalam bentuk ion terlarut (pH asam), adanya vitamin D,
dan hormon paratiroid. Absorpsi kalsium yang menurun dapat disebabkan oleh
menurunnya waktu transit gastrointestinal (akibat diare), stres, dan imobilisasi,
serta hormon tiroid. Absorpsi kalsium akan meningkat dengan konsumsi
beberapa antibiotik seperti penisilin, neomisin, dan khloramfenikol.
Absorpsi kalsium dirangsang oleh vitamin D. Peranan vitamin D dalam
meningkatkan penyerapan kalsium oleh usus terjadi pada saat kekurangan
kalsium dalam bahan pangan atau pada saat kebutuhan kalsium meningkat yang
berlangsung dengan perantara metabolit 1,25-(OH)2D3. Senyawa 1,25-(OH)2D3
merupakan metabolit aktif dari vitamin D yang berperan dalam penyerapan
kalsium dan fosfor di dalam usus (Muchtadi et al. 1993). Vitamin D meningkatkan
absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat
kalsium (Almatsier 2006).
Faktor dalam makanan selain vitamin D yang dapat meningkatkan
absorpsi kalsium antara lain adalah beberapa asam amino seperti lisin dan
arginin, serta laktosa. Asam amino tertentu meningkatkan pH saluran cerna,
sehingga membantu absorpsi (Almatsier 2006). Laktosa meningkatkan absorpsi
kalsium dengan cara meningkatkan kelarutannya (Gropper et al. 2009). Garam
kalsium lebih banyak larut di dalam larutan asam amino daripada air.
18
Penyerapan kalsium meningkat dengan meningkatnya konsumsi protein, namun
jumlah kalsium yang hilang melalui urin juga meningkat dengan meningkatnya
konsumsi protein. Hal tersebut menyebabkan konsumsi protein yang berlebihan
secara terus-menerus berdampak kurang baik (Muchtadi et al. 1993).
Absorpsi kalsium dihambat oleh senyawa-senyawa yang membentuk
garam-garam kalsium yang tidak larut seperti oksalat dan fitat (Gropper et al.
2009). Menurut Burton dan Foster (1988) asam oksalat yang terdapat dalam
bayam dan sayuran lain dapat menghambat absorpsi kalsium. Oksalat dan
kalsium akan membentuk kalsium oksalat yang tidak dapat diabsorpsi di usus
halus. Efek ini tergantung dari jumlah oksalat yang terdapat pada makanan yang
dikonsumsi.
Setelah oksalat, asam fitat diduga juga dapat menghambat absorpsi
kalsium. Fitat dalam tubuh akan membentuk garam kalsium yang tidak larut
sehingga kalsium menjadi tidak tersedia untuk diabsorpsi (Burton & Foster 1988).
Asam fitat terdapat pada serealia seperti roti dan gandum serta beras. Fitat yang
terdapat pada 250 g roti dapat mencegah penyerapan kalsium hingga 300 mg,
yaitu sekitar sepertiga dari kebutuhan rata-rata kalsium sehari (Wiseman 2002).
Gangguan
penyerapan
kalsium
dapat
terjadi
bila
terdapat
ketidakseimbangan antara kalsium dan fosfor. Kalsium dan fosfor bekerja saling
berkaitan dalam tubuh (Khomsan 2002). Rasio vital antara Ca:P untuk
pertumbuhan tulang yang ideal adalah 1:1 hingga 2:1 (IOM 1991; Khomsan
2002).
Serat dan lemak diduga dapat mempengaruhi absorpsi kalsium tubuh.
Serat diduga menurunkan absorpsi kalsium. Hal ini terjadi karena serat
menurunkan waktu transit makanan di dalam saluran cerna sehingga
mengurangi kesempatan untuk absorpsi (Almatsier 2006). Lemak meningkatkan
waktu transit makanan melalui saluran cerna, dengan demikian memberi waktu
lebih banyak untuk absorpsi kalsium.
Pada kondisi normal, kekurangan lemak sangat sedikit pengaruhnya
terhadap penyerapan kalsium oleh usus. Namun, pada kondisi abnormal
tertentu, kehilangan kalsium dapat terjadi akibat terganggunya absorpsi lemak.
Garam-garam asam lemak dari kalsium (sabun kalsium) bersifat tidak larut. Jika
asam lemak yang dihasilkan dari hidrolisis lemak tidak dapat diserap, maka
asam lemak tersebut akan berikatan dengan kalsium dan terbuang sebagai feses
(Muchtadi et al. 1993).
19
Konsumsi sodium yang berlebihan dapat meningkatkan ekskresi kalsium
melalui urin. Pengaruh yang sama juga terjadi pada konsumsi kafein yang
berlebihan (Gropper et al. 2009). Hal ini menyebabkan kadar kalsium dalam
darah menurun sehingga merangsang dilepaskannya hormon paratiroid yang
kemudian merangsang resorpsi tulang secara aktif, guna mengembalikan kadar
kalsium darah (Khomsan 2002).
Selain faktor makanan, stres mental dan fisik cenderung menurunkan
absorpsi dan meningkatkan ekskresi kalsium. Tingkat aktivitas juga dapat
mempengaruhi absorpsi kalsium dalam tubuh. Seseorang yang kurang bergerak
dan lama tidak bangun dari tempat tidurnya dapat kehilangan sebanyak 0,5%
kalsium tulang dalam jangka waktu sebulan dan tidak dapat menggantikannya
(Almatsier 2006).
Obat-obatan tertentu juga dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium
dan meningkatkan ekskresi yang dapat menyebabkan menurunnya densitas
tulang. Obat-obatan seperti antibiotik tetrasiklin cenderung dapat mengikat
kalsium dan membuat kalsium tidak tersedia untuk diabsorpsi. Obat-obatan anti
konvulsif dapat mengurangi absorpsi kalsium karena cara bekerjanya dalam
metabolisme vitamin D di dalam tubuh (Burton & Foster 1988).
Sejumlah besar kalsium difiltrasi di dalam ginjal, tetapi 98-99% kalsium
yang disaring direabsorpsi. Sekitar 60% reabsorpsi terjadi di tubulus proximalis
dan sisanya dalam pars ascendans ansa henle dan tubulus distalis. Reabsorpsi
tubulus distalis diregulasi oleh hormon paratiroid (Ganong 1990).
Kalsium diekskresikan melalui urin dan feses. Dalam kondisi normal,
ginjal menekskresikan kelebihan kalsium dalam darah sebesar 7 mg/100 ml.
regulasi hormon akan mempengaruhi keseimbangan kalsium yang diekskresikan
melalui urin (Burton & Foster 1988). Sebagian besar (sekitar 70-90%) kalsium
yang dibuang tubuh diekskresi melalui feses. Kalsium dalam feses terdiri dari
mineral diet yang tidak diabsorpsi. Selain itu, sejumlah kecil kalsium yaitu 1-20
mg/jam bisa hilang dari tubuh bila seseorang berada dalam keadaan aktivitas
berat yang mengeluarkan banyak keringat (Burton & Foster 1988). Menurut
Weaver dan Heaney (2000), setiap hari sejumlah 100-200 mg kalsium
diekskresikan melalui urin, 100-120 mg melalui feses dan 16-24 mg melalui
keringat.
20
Defisiensi Kalsium
Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat, mudah bengkok, rapuh, dan
mudah patah. Hal ini disebut dengan osteoporosis yang dapat dipercepat oleh
keadaan stres sehari-hari. Kekurangan kalsium dapat pula menyebabkan
osteomalasia atau riketsia (dewasa) yang pada umumnya terjadi karena
kekurangan vitamin D dan ketidakseimbangan konsumsi kalsium terhadap fosfor.
Mineralisasi matriks tulang terganggu, sehingga kandungan kalsium di dalam
tulang menurun (Almatsier 2006).
Kalsium juga berberan dalam proses pembekuan darah dan kontraksi
otot. Kadar kalsium darah yang sangat rendah akan menyebabkan titani atau
kejang (Almatsier 2006). Menurut Guyton dan Hall (1997), titani akan timbul jika
konsentrasi kalsium darah turun dari kadar normalnya yaitu 9,4 mg/dl mejadi ± 6
mg/dl (35% di bawah kadar normal). Jika kadar kalsium darah turun menjadi ± 4
mg/dl, dapat menyebabkan kematian.
Defisiensi yang terjadi pada kelompok masyarakat dapat diatasi dengan
beberapa cara. Salah satu cara yang dapat digunakan antara lain adalah dengan
cara mengubah pola makan masyarakat dengan lebih meningkatkan konsumsi
pangan yang secara alami kaya kalsium (seperti susu dan hasil olahan susu)
(Chasman 2002). Cara ini lebih dikenal dengan pemenuhan gizi (kalsium)
dengan pendekatan food base.
Susu sebagai Pangan Sumber Kalsium
Susu adalah sumber kalsium dan fosfor yang sangat penting untuk
pembentukan tulang (Khomsan 2004). Para pakar kesehatan menyatakan bahwa
susu dan produk olahannya adalah sumber kalsium terbaik, remaja yang
mengkonsumsi susu dan produk olahan susu mempunyai tulang yang lebih kuat
dan status gizi yang lebih baik (National Dairy Council 2003). Menurut Almatsier
(2006), susu nonfat merupakan sumber kalsium terbaik, karena ketersediaan
bilogiknya yang tinggi.
Susu dapat mengandung protein, lemak, laktosa, vitamin, mineral
(terutama kalsium dan fosfor), dan enzim-enzim alami seperti fosfatase (Buckle,
Edwards, Fleet, & Wooton 1987). Iswahanik (2001) menambahkan, banyak
vitamin larut air yang terdapat di dalam susu yaitu vitamin B1, B2, B12, asam
pantotenat, niasin, biotin, asam folat, dan vitamin C, sedangkan vitamin larut
lemak yang terdapat di dalam susu yaitu vitamin A, D, dan E. Susu juga
21
mengandung potasium, magnesium klorida, fosfor, sulfur dalam jumlah besar
dan kandungan Fe, Cu, Zn, Al, Mn, Si, Co, dan yodium dalam jumlah kecil. Susu
juga mengandung asam (sitrat, format, asetat, dan oksalat) dan gas seperti
oksigen dan nitrogen (Susilorini dan Sawitri 2006).
Susu dan produk olahannya mengandung cukup banyak kalsium yang
diperlukan oleh tubuh. Mengkonsumsi susu secara rutin sangat disarankan agar
kebutuhan kalsium terpenuhi (Mann & Truswell 2007). Menurut Wiseman (2002)
di dalam 0,6 liter susu terdapat sekitar 700 mg kalsium. Kebutuhan kalsium
harian remaja yang berusia di bawah 19 tahun dapat dipenuhi dengan empat
cangkir susu per hari (Holman 1987). Konsumsi susu dua hingga tiga kali sehari
dapat dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan kalsium. Kandungan kalsium
pada berbagai jenis susu dan hasil olahan susu dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Kandungan kalsium (mg/100g) pada berbagai jenis susu dan hasil
olahan susu
Jenis susu/olahan susu
Ca (mg)
Tepung susu skim
1300
Tepung susu
904
Keju
777
Susu kental manis
275
Susu kental tak manis
243
Susu kerbau
216
Susu sapi
143
Sumber: Hardinsyah dan Briawan (1994)
Jenis susu/olahan susu
Susu skim
Es krim
Yogurt
Susu kambing
Kepala susu (krim)
ASI
Mentega
Ca (mg)
123
123
120
98
97
35,3
15
Menurut Mann dan Truswell (2007) susu dan hasil olahannya di negara
barat menyumbangkan lebih dari dua pertiga kalsium dari kebutuhan kalsium
harian. Hasil olahan susu seperti es krim, yogurt, dan keju merupakan makanan
sumber kalsium yang tinggi dibandingkan pangan jenis lain. Keju mengandung
700 mg kalsium dalam 100 gramnya (Wiseman 2002).
Di Indonesia, menurut Khomsan (2004), konsumsi susu rata-rata hanya
sekitar 0,5 gelas per minggu setiap orang. Hal ini karena susu masih dianggap
barang mahal dan masih sulit dijangkau oleh masyarakat banyak. Kondisi ini
dapat dilihat dari konsumsi susu yang masih rendah, yaitu hanya 5,1
kg/orang/tahun.
Konsumsi Pangan
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh
setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi,
kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk
terhadap kesehaan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada
22
berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik
(Almatsier 2006).
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang
dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan
mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat
gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1988). Konsumsi
pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan
seseorang atau kelompok orang (sekeluarga atau rumah tangga) pada waktu
tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa telaahan terhadap konsumsi pangan dapat
ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi (Hardinsyah & Martianto 1988).
Menurut Wulandari (2000) konsumsi pangan secara garis besar adalah
kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang
dengan tujuan tertentu dengan jenis tunggal maupun beragam. Ada tiga hal yang
mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kuantitas dan ragam pangan yang
tersedia dan diproduksi, pendapatan dan tingkat pengetahuan gizi.
Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan
mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh
melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan
kegiatan (internal dan eksternal), aktivitas dan mempertahankan daya tahan
tubuh. Kebutuhan gizi merupakan sejumlah zat gizi yang harus dipenuhi dari
konsumsi makanan. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan
normal jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat membahayakan
kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1988).
Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan zat gizi. Klasifikasi tingkat
kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996) dalam Sukandar (2007)
adalah : (1) defisit tingkat berat (<70% AKG); (2) defisit tingkat sedang (70-79%
AKG); (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKG); (4) normal (90-119% AKG); (5)
kelebihan (≥120% AKG). Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral
menurut Gibson (2005) yaitu (1) kurang (<77% AKG); (2) cukup (≥77% AKG).
Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan
membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi
yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen.
23
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Remaja
Usia
Kebiasaan makan setiap individu berbeda satu sama lain. Salah satu
faktor yang mempengaruhinya adalah usia. Jumlah yang diperlukan individu
untuk mempertahankan kelangsungan hidup, biasanya terkait dengan kebiasaan
makan. Pada masa kanak-kanak, jumlah energi yang diperlukan tubuh tidak
sebesar jumlah energi yang diperlukan masa remaja. Seiring pertambahan usia,
jumlah energi tersebut semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada masa
dewasa. Namun, jumlah energi yang diperlukan oleh tubuh akan mengalami
penurunan kembali pada saat usia lanjut (Suhardjo 1989). Selain itu, pola
konsumsi pangan juga dapat dipengaruhi oleh suku bangsa. Suhardjo (1989)
menyatakan bahwa hal ini terkait dengan kebudayaan dan pangan lokal yang
tersedia di suatu daerah.
Jenis Kelamin dan Aktivitas Fisik
Kebutuhan zat gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan dan
biasanya lebih tinggi karena anak laki-laki memiliki aktivitas fisik yang lebih tinggi
(Syafiq et al 2009). Khumaidi (1989) dalam Syafiq et al (2009) menyebutkan
bahwa anak laki-laki biasanya mendapatkan prioritas yang lebih tinggi dalam hal
makanan dibandingkan anak perempuan.
Aktivitas pada remaja juga semakin meningkat dan sering disertai dengan
perubahan pola konsumsi pangan. Puncak aktivitas seseorang terjadi pada masa
remaja. Pada masa ini, umumnya seseorang sangat sibuk dengan kegiatan, baik
yang kurikuler (kegiatan akademis) maupun kegiatan non-kurikuler (di luar
kegiatan akademis). Kegiatan kurikuler yang dilakukan antara lain adalah
kegiatan belajar, mengerjakan tugas-tugas, dan kegiatan yang serupa,
sedangkan kegiatan non-kurikuler meliputi kegiatan bermain, olahraga, serta
kegiatan fisik lainnya. Pada umumnya remaja laki-laki memiliki proporsi kegiatan
yang lebih tinggi dibandingkan remaja perempuan. Kondisi seperti ini sangat
memerlukan asupan gizi yang tinggi dan berkualitas (Suryono 2007).
Pendidikan dan Pengetahuan
Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur
penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi
yang dimiliki menjadi lebih baik (Berg 1986). Tingkat pendidikan turut
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan
24
gizi yang mereka peroleh. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
dalam kesehatan dan gizi (Almarita 2004). Seseorang yang mempunyai tingkat
pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi
pula.
Uang Saku
Setiap orang membawa tiga sumber daya ke dalam setiap sistem
pengambilan keputusan, yaitu waktu, uang, dan perhatian. Berhubungan dengan
sumber
daya uang,
maka seseorang
akan menggunakan uang yang
diperolehnya untuk melakukan pembelian produk barang atau jasa tertentu.
Begitu pula halnya remaja yang biasanya diberi uang saku oleh orang tuanya
baik remaja dari keluarga berpendapatan tinggi maupun keluarga berpendapatan
rendah (Engel, Blackwell & Miniard 1994).
Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga
yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian,
mingguan, atau bulanan. Perolehan uang saku sering menjadi suatu kebiasaan,
sehingga anak diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas
uang saku yang dimiliki (Napitu 1994). Semakin banyak uang yang dimiliki
memungkinkan semakin baiknya kualitas makanan yang diperoleh.
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan
penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan. Status gizi seseorang tersebut dapat
diukur dan dinilai. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang
maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status
gizinya baik ataukah tidak (Riyadi 2003).
Status gizi adalah suatu keadaan tubuh seseorang atau sekelompok
orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat-zat gizi
tubuh umumnya kearah status gizi yang baik (Suhardjo el al. 1988). Status gizi
berhubungan dengan makanan dan kebiasaan makan dari individu, keluarga dan
masyarakat secara keseluruhan. Perbaikan gizi pada dasarnya adalah upaya
mengubah kebiasaan yang berhubungan dengan makanan pada individu,
keluarga atau masyarakat secara keseluruhan untuk status gizi yang baik.
25
Menurut Suhardjo (1989), status gizi seseorang dipengaruhi jumlah dan
mutu pangan yang dikonsumsi serta keadaan tubuh seseorang yang dapat
menyebabkan gangguan penyerapan zat gizi atau investasi penyakit parasit.
Dalam perhitungannya konsumsi pangan lebih ditekankan pada kebutuhan
energi dan protein. Sebab apabila kebutuhan energi dan protein sudah terpenuhi
maka kebutuhan zat gizi lainnya akan mudah untuk terpenuhi.
Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur direkomendasikan sebagai
indikator status gizi terbaik untuk remaja (Riyadi 2003). IMT merupakan alat
sederhana untuk memantau status gizi, khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat
mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Salah satu indeks antropometri
yang digunakan dalam IMT adalah perbandingan antara berat badan dengan
tinggi
badan.
Kategori
status
gizi
berdasarkan
klasifikasi
ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kategori status gizi berdasarkan klasifikasi internasional
Kategori
Underweight
• Kekurangan BB tingkat berat
• Kekurangan BB tingkat sedang
• Kekurangan BB tingkat ringan
Normal
Overweight
• Pre-obese
Obese
• Obese tingkat I
• Obese tingkat II
• Obese tingkat III
Sumber : WHO (2004)
IMT
<18,50
<16,00
16,00-16,99
17,00-18,49
18,50-24,99
≥25,00
25,00-29,99
≥30,00
30,00-34,99
35,00-39,99
≥40,00
internasional
Download