6 dari 1 maka volume bakteri diinokulasikan sebanyak 50 µL. yang Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Sebanyak 0.1 gram serbuk hasil ekstraksi flaonoid dilarutkan dengan 3 mL kloroform dan 5 tetes amoniak (NH4OH). Ekstrak kloroform dipisahkan dan ditambahkan 5 tetes H2SO4 2M. Ekstrak H2SO4 diambil, kemudian ditambahkan pereaksi Dragendorf, Meyer, dan Wagner. Uji positif terhadap alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih pada pereaksi Meyer, endapan merah pada pereaksi Dragendorf, dan endapan coklat pada endapan Wagner. Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Sebanyak 0.1 gram serbuk hasil ekstrak flavonoid dilarutkan dengan 1 mL metanol dan dididihkan selama 1 menit. Terbentuknya, warna merah pada filtrat setelah penambahan 3 tetes H2SO4 menunjukkan adanya flavonoid sedangkan Warna merah yang terbentuk setelah penambahan 3 tetes NaOH 10% (b/v). menunjukkan adanya senyawa fenolik hidrokuinon. Uji triterpenoid. Sebanyak 0.1 gram serbuk hasil ekstraksi flavonoid dilarutkan dengan 5 mL etanol lalu dipanaskan pada suhu 50°C dan disaring. Filtratnya diuapkan lalu ditambah 5 tetes eter. Lapisan eter ditambah pereaksi Liebermen Buchard (3 tetes asam pekat lalu 1 tetes H2SO4 pekat). Warna merah menunjukkan adanya triterpenoid sedangkan warna hijau menunjukkan kandungan steroid. Uji tanin. Sebanyak 0.1 gram serbuk hasil ekstraksi flavonoid dilarutkan dengan 5 mL air, dididihkan selama 1 menit dan disaring. Filtrat ditambah 3 tetes FeCl3 1% (b/v). Warna hijau tua menunjukkan adanya tanin. Uji Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) (Kusumaningjati 2009) Penentuan KHTM dilakukan terhadap tiga jenis ekstrak, yaitu ekstrak heksana, ekstrak kloroform, dan ekstrak air pada konsentrasi 1%. Kontrol positif yang digunakan adalah kloramfenikol 1% dan kontrol negatif yang digunakan adalah akuades untuk ekstrak air, sedangkan kontrol negatif untuk heksana dan kloroform menggunakan campuran air dengan DMSO (Dimetil Sulfo Oksida). Sebanyak 50 µL dari konsentrasi sampel dimasukan ke dalam lubang pada media NA yang sebelumnya telah diinokulasikan dengan bakteri uji. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Diameter zona bening yang terbentuk diukur dan dinilai sebagai aktivitas antibakteri (Lampiran 3). Diameter zona bening terkecil pada konsentrasi tertentu dinilai sebagai konsentrasi minimum ekstrak yang mampu menghambat pertumbuhan E. coli dan S. aureus . Penentuan Bakteriostatik Penentuan bakteriostatik dilakukan terhadap ekstrak yang memiliki aktivitas antibakteri berdasarkan hasil uji pendahuluan KHTM. Ekstrak dibuat menjadi beberapa konsentrasi yaitu 1%, 3%, 5%, 7%, dan 9%. Akuades steril digunakan sebagai kontrol negatif sedangkan kloramfenikol 1% sebagai kontrol positif. Aktivitas antibakteri ditandai dengan terbentuknya zona bening yang tidak ditumbuhi bakteri selama 24 jam inkubasi pada suhu 37°C (Lampiran 4). Daya hambat antibakteri dinilai dari ukuran zona bening yang terbentuk (Yadav dan Bishe 2004). Penentuan Bakterisidal Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dilakukan dengan cara, zona bening hasil KHTM dari setiap konsentrasi dikulturkan ke dalam media NB cair steril lalu diinkubasi selama 18 jam pada suhu 37°C. Media NB cair steril digunakan sebagai blanko. Nilai OD dari kultur tersebut diukur pada panjang gelombang 600 nm secara duplo. Nilai absorban dari setiap konsentrasi kultur yang sama dengan blanko menunjukkan tidak ada pertumbuhan bakteri dan dinilai sebagai bakteriostatik (Vollekova et al. 2001; Usman et al. 2007; dan Reuben et al. 2008). HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Flavonoid Ekstraksi 50 gram daun gambir dengan metode maserasi bertingkat menghasilkan tiga jenis ekstrak, yaitu ekstrak air (ekstrak asar flavonoid), ekstrak heksana, dan ekstrak kloroform (Gambar 3). Ketiga jenis ekstrak memiliki jumlah rendemen, warna, dan bentuk yang berbeda. Rendemen yang diperoleh pada ekstrak kasar flavonoid sebesar 4.8%, kloroform sebesar 3.4%, dan heksana sebesar 1%. Perbedaan rendemen dan warna kemungkinan disebabkan oleh perbedaan komponen fitokimia. 6 7 Gambar 3 Ekstrak kasar flavonoid (A), ekstrak heksana (H), dan ekstrak kloroform (K). Berdasarkan data yang diperoleh ekstrak air memiliki persentase rendemen paling tinggi diantara ekstrak lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa fitokimia yang terkandung pada ekstrak air daun gambir lebih dominan daripada ekstrak lainnya. Ekstrak air memiliki warna orange kemerahan dan berbentuk kristal yang larut di dalam air. Hal ini kemungkinan akibat adanya kelompok senyawa fenol. Sriningsih et al. (2008) menyatakan bahwa senyawa fenol cenderung mudah larut di dalam air karena umumnya senyawa ini mudah berikatan dengan gula sebagai glikosida. Adapun senyawa yang tergolong ke dalam kelompok senyawa fenol diantaranya flavonoid, hidrokuinon, katekol, dan kelompok asam fenolat (Grotewold 2005). Secara ilmiah telah diketahui bahwa keberadaan flavonoid di dalam daun gambir paling dominan yaitu sekitar 40-50% (Lucida et al 2007; Hayani 2008). Berdasarkan hasil yang diperoleh diduga bahwa ekstrak tersebut mengandung flavonoid lebih tinggi dibandingkan kelompok senyawa fenol lainnya. Pengamatan terhadap ekstrak kloroform diperoleh bahwa ektrak ini berwarna hijau pekat dan berbentuk padatan yang menggumpal serta sukar larut di dalam air. Hal ini diduga akibat adanya senyawa golongan terpenoid. Lenny (2006) menyatakan bahwa terpenoid dapat larut dan terekstrak dengan baik pada pelarut eter dan kloroform. Senyawa yang tergolong ke dalam kelompok terpenoid diantaranya triterpenoid, sterol, serta pigmen tumbuhan. Warna hijau pekat pada ekstrak ini kemungkinan disebabkan adanya pigmen tumbuhan seperti klorofil dan adanya triterpenoid. Hal ini karena triterpenoid adalah senyawa berwarna yang sangat larut di dalam kloroform. Triterpenoid yang bersifat sukar menguap kemungkinan menjadi penyebab bentuk koloidal pada ekstrak ini. Pengamatan terhadap ekstrak heksana diketahui bahwa ekstrak ini berbentuk kental yang tidak larut air dan berwarna hijau kecokelatan. Hal ini kemungkinan karena adanya minyak atsiri. Berdasarkan hasil yang diperoleh, ekstraksi dengan cara maserasi bertingkat dapat memisahkan komponen fotokimia berdasarkan kepolarannya. Sukadana (2010) menyatakan ekstraksi dengan maserasi bertingkat dapat mengekstrak hampir 90% komponen fitokimia. Penggunaan tiga jenis pelarut yang berbeda kepolarannya pada teknik ini menyebabkan komponen fitokimia yang berbeda kepolarannya akan larut di dalam pelarut tersebut. Pelarut metanol:air 9:1 digunakan selama tiga kali perendaman pada tahap awal ekstraksi yang dilanjutkan dengan pelarut metanol:air 1:1 selama tiga kali perendaman. Proses maserasi dilakukan pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya agar komponen bioaktif tidak teroksidasi (Sukadana 2010). Selama proses ini akan terjadi peristiwa difusi. Pelarut akan diabsorbsi ke dalam sel melewati dinding sel. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel menyebabkan isi sel akan larut. Proses ini menyebabkan larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan dengan konsentrasi rendah. Peristiwa tersebut berlangsung secara berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara di luar sel dan di dalam sel (Amborowati 2003). Akhir dari proses ini adalah komponen fitokimia tumbuhan yang bersifat non polar hingga yang bersifat polar akan terekstrak. Pemisahan komponen fitokimia berdasarkan kepolarannya dilakukan dengan teknik partisi menggunakan corong pisah. Partisi dilakukan dengan menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda kepolarannya, yaitu heksana yang bersifat non polar, air yang bersifat polar, dan kloroform yang bersifat semi polar. Ketiga jenis pelarut tersebut memiliki densitas yang berbeda. Perbedaan densitas tersebut menyebabkan saat proses partisi antara heksana dengan metanol:air, ekstrak heksana berada di fasa atas sedangkan metanol:air di fasa bawah. Partisi antara kloroform dan air menyebabkan ekstrak kloroform berada di bagian bawah. Untuk mengetahui komponen fitokimia yang terdapat pada ketiga ekstrak 7 8 dilakukan analisis fitokimia. Analisis fitokimia juga berfungsi sebagai tahap evaluasi terhadap keberhasilan ekstraksi flavonoid. Komponen Fitokimia Ekstrak Kasar Daun Gambir Hasil uji fitokimia menunjukkan ekstrak air hanya mengandung flavonoid, ekstrak kloroform hanya mengandung triterpenoid, dan ekstrak heksana hanya mengandung tannin. Uji alkaloid dan fenolik memberikan hasil negatif pada ketiga ekstrak (Tabel 2). Berdasarkan hasil ini ekstrak air disebut sebagai ekstrak kasar flavonoid. Dugaan adanya kelompok senyawa fenolik pada ekstrak air telah terbukti melalui teridentifikasinya flavonoid. Hasil uji yang negatif terhadap fenol hidrokuinon mengindikasikan kelompok senyawa fenolik yang mendominasi ekstrak air adalah flavonoid (Lampiran 5). Hal ini karena flavonoid pada tumbuhan berada dalam bentuk aglikon yang terikat gula sehingga larut dalam air (Lenny 2006). Dugaaan adanya kelompok senyawa terpenoid pada ekstrak kloroform dibuktikan melalui teridentikasinya triterpenoid. Senyawa ini bersifat nonpolar sehingga menjadi penyebab bentuk ekstrak seperti padatan yang menggumpal dan sukar larut di dalam air. Warna hijau pekat kemungkinan disebabkan oleh adanya klorofil. Diketahui pula pada ekstrak heksana teridentifikasi tanin. Secara kualitatif warna yang dihasilkan pada uji tannin adalah hijau pudar. Kemungkinan kandungan tannin pada ekstrak ini konsentrasinya rendah. Bentuk ekstrak yang tidak larut di dalam air, diduga terdapat minyak atsiri dan pigmen tumbuhan yang bersifat nonpolar seperti kuinon isoterpenoid (Harborne 1993). Proses ekstraksi flavonoid dengan metode maserasi bertingkat memberikan hasil yang baik. Komponen fitokimia terpisah berdasarkan kepolaran dan sifat kimianya. Komponen yang bersifat polar larut di dalam air (polar), komponen yang bersifat semipolar larut di dalam kloroform (semipolar), dan komponen yang bersifat nonpolar larut di dalam heksana (non polar). Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) Ekstrak Kasar Daun Gambir Hasil uji terhadap ketiga jenis ekstrak menunjukkan hanya ekstrak kasar flavonoid yang memiliki aktivitas antibakteri (Lampiran 7 dan Lampiran 8). Aktivitas antibakteri pada ketiga ekstrak terlihat dari terbentuknya zona bening (Gambar 4 dan Gambar 5) dan daya hambat kloramfenikol 1% (Gambar 6). Gambar 4 Aktivitas antibakteri ekstrak kasar flavonoid (A), ekstrak kloroform (K), dan ekstrak heksana (H) terhadap S.aureus Tabel 2 Komponen fitokimia ekstrak kasar Keterangan: + : mengandung fitokimia uji - : tidak mengandung fitokimia uji Gambar 5 Aktivitas antibakteri ekstrak kasar flavonoid (A), ekstrak kloroform (K), dan ekstrak heksana (H) terhadap E.coli 8 9 Gambar 6 Zona hambat kloramfenikol 1% terhadap S.aureus (A) dan terhadap E.coli (B). Ekstrak klorofom yang mengandung triterpenoid dan ekstrak heksana yang mengandung tannin tidak memiliki aktivitas antibakteri pada konsentrasi sampel 1%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh senyawa antibakteri yang terdapat pada setiap ekstrak dengan konsentrasi 1% belum mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Kemungkinan konsentrasi tersebut terlalu rendah bagi senyawa antibakteri untuk bekerja optimal sehingga pembentukan kompleks protein dengan senyawa antibakteri terjadi melalui ikatan yang lemah dan segera mengalami penguraian. Akibatnya senyawa antibakteri belum mampu mengkoagulasikan protein serta melisiskan sel bakteri. Jika konsentrasi sampel ditingkatkan kemungkinan kedua ekstrak tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri E.coli dan S.aureus. Hal ini karena tanin dan senyawa golongan terpenoid seperti minyak atsiri memiliki aktivitas antibakteri (Juliantana 2006). Mekanisme antibakteri tanin ialah dengan mengganggu permeabilitas membran sel bakteri (Ajizah 2004), dan diduga pula tannin dapat melakukan presipitasi protein dan menginaktifasi kerja enzim pada sel bakteri (Masduki 1996). Juliantina (2006) menyatakan bahwa minyak atsiri yang mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil memiliki aktivitas antibakteri. Berdasarkan uji pendahuluan KHTM memperlihatkan ekstrak kasar flavonoid mampu menghambat pertumbuhan E.coli dan S.aureus pada konsentrasi yang rendah. Kemampuannya sebagai antibakteri diperlihatkan melalui zona bening yang tidak ditumbuhi oleh bakteri akibat adanya senyawa bioaktif. Tingkat kekuatan antibakteri ekstrak kasar falvonoid daun gambir dalam menghambat pertumbuhan bakteri ditentukan dari ukuran diameter zona hambat. Yadav dan Bishe (2004) menyatakan daya hambat tergolong sangat kuat (>20 mm), kuat (10-20 mm), sedang (510 mm), dan tergolong lemah (<5 mm). Zona bening yang terbentuk pada ekstrak kasar falvonoid sebesar 5 mm terhadap E.coli dan 3 mm terhadap S.aureus. Hal ini menunjukkan ekstrak kasar falvonoid dengan konsentrasi 1% memiliki daya hambat yang tergolong lemah dalam menghambat pertumbuhan kedua jenis bakteri tersebut. Kloramfenikol 1% yang berperan sebagai kontrol positif memberikan daya penghambatan yang tergolong sangat kuat dengan diameter hambat 30 mm terhadap E.coli dan 25 mm terhadap S.aureus. Menurut (Resce 1988) antibiotik ini bekerja dengan cara menghambat sintesis protein sel bakteri. Penggunaan kloramfenikol sebagai kontrol positif karena antibiotik ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Uji pendahuluan ini menunjukkan bahwa ekstrak kasar falvonoid memiliki aktivitas antibakteri lebih tinggi daripada senyawa fitokimia lainnya yang terkandung di dalam ekstrak heksana maupun ekstrak kloroform. Data ini selaras dengan hasil penelitian beberapa literatur yang menyebutkan bahwa senyawa fenol memiliki aktivitas antibakteri dimana flavonoid adalah salah satu kelompok senyawa polifenol (Sukadana 2010; Asih & Setiawan 2008; dan Juliantina et al 2006). Flavonoid yang terkandung pada ekstrak air daun gambir merupakan salah satu dari kelompok senyawa polifenolik, dengan jenis terbanyak adalah aglikon. Senyawa aglikon merupakan flavonoid dalam tumbuhan yang terikat pada gula sebagai glikosida, dan bersifat menghambat pertumbuhan bakteri secara kuat (Asih & Setiawan 2008). Menurut Grotewold (2005), flavonoid merupakan senyawa fenol dan diketahui bahwa senyawa fenol bersifat koagulator protein. Konsentrasi Bakteriostatik Ekstrak Kasar Flavonoid Daun Gambir Pemberian ekstrak kasar falvonoid daun gambir dengan variasi konsentrasi (1%, 3%, 5%, 7%, dan 9%) terhadap S.aureus dan E.coli menunjukkan adanya aktivitas antibakteri melalui terbentuknya zona bening (Lampiran 6). Daya hambat ekstrak kasar falvonoid daun gambir pada konsentrasi 1% tergolong lemah terhadap E.coli (5 mm) dan S.aureus (3 mm). Daya hambat ekstrak kasar falvonoid daun gambir 9 10 pada konsentrasi 3% tergolong kuat terhadap E.coli (10 mm) namun tergolong sedang terhadap S.aureus (8 mm). Daya hambat ekstrak kasar falvonoid daun gambir tergolong kuat pada konsentrasi 5%, 7%, dan 9% untuk kedua jenis bakteri uji dengan diameter hambat antara 15-20 mm (Gambar 7). Secara umum daya hambat ekstrak kasar falvonoid terhadap S.aureus lebih kecil daripada E.coli (Lampiran 9 dan Lampiran 10). Hal ini disebabakan oleh dinding sel bakteri Gram negatif (E.coli) lebih tipis (580 nm) dibandingkan dengan Gram positif (10-15 nm) sehingga bakteri Gram negatif lebih mudah untuk dihambat aktivitasnya dengan cara merusak dinding sel (Pelczar & Chan 1998). Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa konsentrasi minimum antibakteri ekstrak kasar falvonoid yang mampu mengambat pertumbuhan bakteri uji berada pada konsentrasi 1%. Selanjutnya kemampuan antibakteri dalam membunuh bakteri uji dapat ditentukan melalui uji Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM). Gambar 7 Daya hambat ekstrak kasar flavonoid terhadap S.aureus dan E.coli pada berbagai konsentrasi. Konsentrasi Bakterisidal Ekstrak Kasar Flavonoid Daun Gambir Hasil pengukuran biomassa sel bakteri menghasilkan ekstrak kasar falvonoid bekerja secara bakterisidal pada konsentrasi 9% sedangkan konsentrasi 1%, 3%, 5%, dan 7% masih memiliki aktivitas bakteri (Gambar 8). Hal ini terlihat melalui terukurnya biomassa sel bakteri pada keempat konsentrasi sedangkan pada konsentrasi 9% memiliki nilai absorban yang sama dengan blanko (Lampiran 11 dan Lampiran 12). Hal ini mengindikasikan tidak ada aktivitas sel bakteri. Gambar 8 Nilai serapan uji antibakteri terhadap S.aureus dan E.coli pada berbagai konsentrasi. Aktivitas pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 1%, 3%, 5%, dan 7% kemungkinan karena rendahnya kadar antibakteri pada konsentrasi tersebut sehingga zat antibakteri belum mampu melisiskan sel bakteri secara sempurna. Hasil uji memperlihatkan daya hambat antibakteri ekstrak kasar falvonoid daun gambir semakin bertambah dengan meningkatnya konsentrasi. Menurut Akiyama et al. (2001) beberapa antimikrob yang bersifat bakteriostatik dapat bersifat bakterisidal jika digunakan dalam dosis tinggi. Cowan (1999) menyatakan mekanisme antibakteri flavonoid ialah dengan cara mengganggu aktivitas transpeptidase peptidoglikan sehingga pembentukan dinding sel terganggu dan sel mengalami lisis. Penelitian ini membuktikan secara ilmiah bahwa ekstrak kasar falvonoid daun gambir berpotensi sebagai sumber alternatif antibakteri baru. Daya hambat antibakteri terhadap E.coli lebih tinggi daripada S.aureus. Ekstrak kasar falvonoid daun gambir pada konsentrasi 9% memiliki spektrum luas terhadap kedua bakteri uji. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstrak kasar flavonoid daun gambir memiliki aktivitas antibakteri. Konsentrasi minimum ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, berada pada konsentrasi 1%. Konsentrasi minimum antibakteri ekstrak air daun gambir yang mampu membunuh bakteri Gram positif dan Gram negatif berada pada konsentrasi 9%. 10